1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Tales of Gaea: Children of The East

Discussion in 'Fiction' started by MaxMarcel, Mar 7, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Gak bisa ngomong sama sekali. Cuma buat beberapa hari aja :haha:

    Maunya sih dijelasin. Tapi kalo ternyata ga bisa ya dibuat fic spesial buat nyeritainnya :hehe:

    29 ama 20
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    apaan nih! buat2 kategory sendiri seenaknya! :voodoo:
    btw, sepertinya aq ngerti maksud kk :fufufu:

    jawaban apaan nih! dasar ga konsisten! :voodoo:
    enaknya jadi pengarang ori...:kenyang:

    dasar pemalas! :voodoo:
    kasihanilah pembaca..! :suram:

    hoookkeee kk! :top:
     
  4. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Oh well, ketika udah menulis lama (kayak gw udah nulis lama aja). Lu bakal dapet apa yang disebut style menulis sendiri. Dan ini merupakan gaya gw. :haha:
    Setiap style selalu ada pro kontranya. Dan gw udah nyaman dengan gaya ini.
     
  5. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter IV: Fortress of The Djinn

    Matahari sudah berada jauh di barat. Bayang-bayang pasukan Cavaliar mulai memanjang. Sudah empat hari mereka berjalan menyisiri sungai. Mereka tahu seharusnya mereka mulai waspada sekarang.

    “Sebentar lagi kita dapat melihat benteng Cataract.” kata Ishtar dari atas kudanya.

    Benevito hanya mendengus mendengar kata-kata Ishtar. Sebenarnya ia sudah mendapatkan suaranya kembali, tapi tampaknya ia sama sekali tidak berniat untuk berbicara dengan Ishtar.

    Ishtar hanya tersenyum ragu-ragu melihat tingkah Benevito. Mungkin aku memang harus minta maaf padanya. . . atau tidak?

    “Jendral Ishtar, lihat!” tiba-tiba Sophie menunjuk ke arah langit.

    Ishtar memicingkan matanya dan dapat melihat asap hitam tipis di depan mereka.

    “Sepertinya pasukan Aesyr masih belum dapat menembus Cataract. Ini bisa menjadi malam yang berat.” kata Ishtar pelan.

    “Ayo percepat jalan kalian! Kita harus mendirikan kamp sebelum matahari terbenam!” Ishtar berseru sambil memacu kudanya, diikuti oleh sorakan dari tentaranya mereka mulai mempercepat laju mereka.


    Begitu Ishtar melihat sumber asap tersebut, ia langsung menghentikan kudanya. Tampak bendera-bendera berwarna perunggu dengan gambar kumbang scarab berkibaran di mana-mana. Ia melihat pasukan-pasukan Aesyr sedang sibuk menggotong dan menumpuk mayat dari teman mereka sendiri. Apa yang tadinya ia kira sebagai asap dari dalam benteng Cataract, ternyata merupakan asap dari api kremasi pasukan Aesyr.

    “Cepat! Nyalakan apinya sebelum kegelapan datang!” teriak seorang tentara Aesyr.

    Dari ukiran scarab tembaga di baju besi sang tentara, Ishtar menyimpulkan orang tersebut merupakan kapten pasukan. Ishtar mengarahkan kudanya untuk mendekati orang tersebut, berharap mendapat informasi yang berguna.

    Pria tersebut menyadari kehadiran Ishtar dan pasukannya, dengan cepat ia mengenali pasukan di depannya dengan melihat bendera Kerajaan Cavaliar.

    “Salam, pasukan Cavaliar. Kalian datang di saat yang sulit.” ucap sang kapten sambil memberi hormat.

    “Apa yang terjadi? Di mana pasukan kalian yang lain?” tanya Ishtar sambil memperhatikan tumpukan-tumpukan mayat tentara Aesyr yang dibakar dengan tergesa-gesa.

    “Pasukan utama kami mendirikan kemah di depan benteng Cataract. Pengepungan benteng masih berlanjut. Kami yang ada di sini hanya bertugas untuk mengkremasi orang-orang malang ini.” balasnya dengan nada tidak peduli.

    “Kalian tampak tergesa-gesa dalam mengkremasi teman-teman kalian.” komentar Ishtar.

    Tiba-tiba pandangan pria tersebut menjadi tajam dan raut wajahnya berubah serius, “Tentu saja kami harus cepat. Atau kami harus membunuh mereka untuk kedua kalinya.”

    Ishtar mengerutkan keningnya, “Maksudmu, kapten?”

    “Hal-hal aneh mulai terjadi begitu tentara kami memulai pengepungan di benteng itu. Pada awalnya semua memang berjalan normal, pasukan kami menyerang benteng, kami gagal menembus pertahanan, ada korban jiwa yang cukup tinggi.”

    Sang kapten berhenti sejenak dan melihat ke kanan dan kiri seakan ia hendak mengucapkan hal yang tabu. Ia mengambil napas sebelum berbicara lagi dalam bisikan pelan.

    “Semua berubah ketika kegelapan malam datang. . . Suara-suara aneh terdengar dari dalam benteng. Dan mereka yang mati kembali bangkit dan menyerang yang hidup. . .”

    Ishtar sedikit tidak percaya ketika ia mendengar apa yang dikatakan sang kapten Aesyr.

    “Bangsa kirzka bukan pengguna sihir necromancy.” jawabnya.
    Kapten tersebut hanya mengangkat kedua bahunya, “Terserah padamu. Aku hanya menyarankan untuk waspada ketika malam datang. Masih banyak mayat yang bertebaran di depan benteng, kami tidak dapat memungut mereka. . . Pastikan untuk menghunus pedangmu ketika kau mulai mendengar suara gertak gigi.” Kilau api tampak menari-nari membuat wajahnya terlihat aneh. Kapten tersebut terdengar sedikit angker ketika mengucapkan kalinat terakhirnya.

    ***

    “Bagaimana kabar orang-orang kita?” tanya Ishtar pada salah satu kaptennya.

    “Kondisi mereka baik. Aku juga sudah menempatkan penjaga di sekeliling perkemahan.” jawab si kapten.

    “Kerja bagus. Kau bisa beristirahat sekarang.”

    “Terima kasih, Jendral.” kata sang kapten sambil menunduk dan kemudian berjalan pergi.

    Ishtar kembali memandangi api unggun yang ada di depannya. Necromancy. . . Mengapa pasukan Zar’goza menggunakan sihir necromancy. Sihir dari Zar’goza berpusat pada sihir penghancuran dan pemanggilan, bukan sihir orang mati.

    Tiba-tiba Ishtar mendengar suara langkah kaki mendekati dirinya. Ia mendongak dan melihat Benevito yang sedang menghampirinya.

    Dari wajahnya Ishtar dapat mengatakan bahwa Benevito enggan berbicara dengannya tapi ia punya sesuatu yang perlu di sampaikan.

    “. . . Aku baru saja dari perkemahan pasukan Aesyr. Kau tahu lah, mencoba mengumpulkan informasi.” akhirnya Benevito berbicara. Ishtar sedikit merindukan gaya bicara Benevito yang khas, cepat dan tidak jelas.

    “Ada hal yang menarik?”

    Benevito langsung memberitahu hasil pengamatannya tanpa berhenti, “Tidak banyak. Benteng tersebut cukup kokoh, pasukan Aesyr cukup menjaga jarak dari benteng tersebut. Mereka sudah kehilangan sekitar lima puluh ribu orang. Salah mereka sendiri langsung menghantam benteng pertahanan tanpa persiapan yang matang. Oh ya, satu hal yang penting. Sepertinya pasukan Aesyr sekarang sedang menunggu bantuan dari Oceanor, mereka memperkirakan bantuan datang besok. Jadi mereka merencanakan untuk menyerang lagi besok.”

    “Terima kasih. Kau sungguh berguna Benevito.” kata Ishtar sungguh-sungguh.

    “Dan satu lagi, mungkin kau akan tertarik dengan hal ini. Pasukan Aesyr menjuluki benteng tersebut dengan nama Fortress of the djinn. Sepertinya serangan sihir selama pagi dan malam yang diderita Aesyr membuat mereka menghubungkan benteng itu dengan legenda kaum nomaden di Zar’goza.”

    Ishtar hanya menggelengkan kepalanya, “Mereka punya selera yang aneh dalam memberi julukan.”

    “Sebenarnya nama tersebut cukup puitis menu-“

    Sebuah bunyi terompet memotong kata-kata Benevito.

    “Tanda pertempuran!” seru Ishtar.

    Dengan cepat Ishtar dan Benevito berlari ke arah suara terompet, mencoba untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pertanyaan mereka segera terjawab.

    “PENYERANGAN! MUSUH DI HILIR SUNGAI! GHOUL! GHOUL!” seorang tentara tampak berlari sambil berteriak membangunkan kawan-kawannya yang terlelap.

    Ishtar dan Benevito hanya bisa bertukar pandang.

    ***​

    Suara tebasan pedang terdengar memotong udara dengan dingin. Sophie dapat dengan mudah menghindari pedang berkarat tersebut. Musuhnya lambat dan tampak kurang cekatan dalam menggunakan senjata mereka. Tapi penampilanlah yang tampaknya menjadi senjata utama mereka.

    Bentuk mereka menunjukkan bahwa mereka sebelumnya adalah tentara Aesyr. Baju kain mereka yang berwarna perunggu, ornamen bergambar kumbang scarab. Ini menunjukkan bahwa mereka pernah hidup. Tapi mereka tidak lebih dari orang mati yang kembali berjalan sekarang.

    Dari dalam sungai mereka merangkak keluar perlahan-lahan dan mulai menyerang pasukan Cavaliar yang mereka lihat. Apa yang tadinya melayani Raja Aesyr sekarang hanya melayani rasa haus darah.

    Mereka berjalan terseok-seok dan terhuyung-huyung. Suara gigi mereka yang terus bergeretak menimbulkan sensasi dingin yang menusuk tulang. Mata mereka menyala merah terang dan menyorotkan pandangan yang haus darah.


    Sebuah ayunan pedang yang canggung kembali mengancam Sophie. Dengan mudah Sophie melompat ke belakang dan menghindarinya. Walaupun sosok yang ada di depannya membuat ia cukup ketakutan, Sophie mengumpulkan segenap keberaniannya dan menyerang balik.

    Ia mengayunkan pedangnya ke arah makhluk mengerikan tersebut dengan sekuat tenaga. Suara benturan logam disertai derak yang mengerikan begema di telinga Sophie. Ayunan pedangnya telah menembus pelindung bahu musuhnya dan memutuskan lengan kanan makhluk itu.

    Makhluk itu mengeluarkan suara geraman yang aneh, menunjukkan gigi-giginya yang sekarang berbentuk runcing. Tanpa peringatan makhluk tersebut berlari ke arah Sophie.

    Secara reflek Sophie menusukkan pedangnya ke dada makhluk itu. Tapi sang ghoul sama sekali tidak merasakan rasa sakit. Pedang Sophie menembus dadanya dan makhluk tersebut terus mendorong.

    Sophie mencoba bertumpu dan mendorong balik makhluk tersebut dengan pedangnya. Tapi makhluk tersebut terus melawan walaupun pedang Sophie telah menembus tubuhnya. Sebuah hentakan yang kuat dari makhluk itu membuat Sophie kehilangan keseimbangan.

    Ia terjatuh dengan keras di tanah. Untuk sesaat pandangannya menjadi kabur. Begitu ketajaman inderanya kembali, makhluk tersebut sudah berada di atas tubuh Sophie. Tangannya yang sudah membusuk sedang meraih leher Sophie.

    Diselimuti kepanikan, Sophie mencengkeram tangan si ghoul. Hal tersebut tampak tidak menghentikan ghoul tersebut dari mencekik leher Sophie. Perlahan-lahan Sophie mulai merasakan napasnya sesak dan dadanya menjadi panas.

    Sophie hanya dapat mencengkeram tangan si ghoul dan berusaha sekuat tenaga melepaskan cekikannya. Tapi sebelum Sophie berhasil melakukannya, makhluk tersebut membuka mulutnya seakan hendak memakan Sophie. Darah-darah kotor menetes dari mulut makhluk tersebut ketika ia mempertontonkan gigi-giginya yang tajam.

    Sophie langsung menarik salah satu tangannya. Dengan sedikit tenaga yang ia miliki, ia melontarkan sebuah pukulan lemah ke arah wajah makhluk tersebut. Usahanya malah membuat makhluk itu makin terprovokasi. Diikuti suara gertak gigi yang mengerikan, si ghoul langsung berusaha menggigit Sophie.

    Didorong dengan ketakutan dan keinginan kuat untuk terus hidup, Sophie menahan ghoul tersebut pada bagian leher dengan lengan kirinya. Cairan merah menetes dari mulut si ghoul dan mengotori wajah Sophie ketika ia menahan mulutnya.

    Darah-darah kotor berceceran setiap kali makhluk tersebut mengatupkan mulutnya. Suara gertakan giginya makin keras ketika makhluk itu mengatupkan mulutnya pada udara kosong dengan ganas.

    Sophie sendiri merasa tenaga yang ia miliki semakin kabur. Jantungnya berdegup makin kencang ketika ia membayangkan apa yang akan terjadi bila ia menyerah sekarang.

    Entah dari mana, tiba-tiba Sophie seakan menemukan tenaga yang tersembunyi dalam dirinya. Ia mendorong ghoul tersebut kuat-kuat sambil memajamkan matanya.

    Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia tidak merasakan perlawanan dari si ghoul. Ketika Sophie membuka matanya, ghoul tersebut sudah tidak bergerak lagi. Sebuah anak panah mencuat dari telinga kanannya.

    Sophie mendorong jatuh ghoul tersebut dan bangkit berdiri. Ia bernapas terengah-engah dan memandang dengan liar ke sekeliling. Tampak beberapa lusin ghoul masih berdiri dan menyerang tentara Cavaliar yang hanya sedikit jumlahnya.

    Terdengar suara mengerikan yang familiar di telinga Sophie. Seorang ghoul melesat ke arahnya dengan gigi yang bergertakan. Kali ini Sophie sudah siap menghadapi makhluk tersebut.

    Sebuah pedang yang berkarat dan kotor dengan lumut mengayun ke arah Sophie. Dengan sigap Sophie merunduk untuk menghindari tebasan pedang tersebut. Ia dapat merasakan hembusan angin yang dingin tepat di atas kepalanya.

    Serangan yang meleset itu membuat si ghoul sedikit terhuyung. Dengan cepat Sophie meraba sepatu bootnya dan mencabut sebuah pisau yang terikat di sepatunya. Sebuah sayatan yang dalam pada bagian leher langsung merobohkan makhluk itu.

    Belum sempat Sophie bernapas lega, sesosok ghoul lainnya muncul di hadapannya. Kali ini ia tidak cukup siap untuk mengantisipasi serangan. Ia hanya dapat merasakan ketakutan luar biasa yang merasuki hatinya begitu pedang sang ghoul terangkat tinggi di hadapannya.

    Sophie membeku ditempatnya ketika pedang terhunus itu mulai mengayun. Tanpa ia duga, dua buah tombak meluncur dari balik bahunya dan menghantam kepala ghoul tersebut.

    Sophie menengok dan menemukan dua orang tentara Cavaliar sedang berdiri di belakangnya. Kedua orang tersebut memberikan anggukan singkat salam.

    Sophie dapat melihat pasukan-pasukan tambahan berdatangan dari arah perkemahan dan mulai mendorong mundur sisa ghoul yang tersisa dengan mudah.

    “Sophie, kau tidak apa-apa.” terdengar sebuah suara yang sangat familiar.

    Jendral Ishtar berlari ke arahnya, wajahnya tampak khawatir. Pandangan Sophie langsung jatuh pada tangan kanan Ishtar yang sedang memagang busur. Ia yang tadi menyelamatkanku.

    “Sophie, kau baik-baik saja?” tanya Ishtar sambil mengguncang-guncang bahu Sophie.

    “A-aku baik-baik saja.” jawab Sophie dengan canggung.

    Ishtar menghembuskan napas lega, “Baguslah. Tetap berada di dekatku, Sophie.”

    Sophie menendang mayat ghoul pertama yang dihadapinya. Ia mencabut pedangnya yang masih tertancap di dada ghoul tersebut.

    Sementara itu Ishtar sudah menyisipkan sebuah anak panah pada busurnya. Matanya tampak tajam ketika dia memandang targetnya. Suara desing pelan terdengar ketika ia melepaskan anak panahnya ke arah kelompok ghoul yang sudah terdesak. Panah Ishtar dengan mulus mendarat pada kepala salah satu ghoul dan langsung merobohkannya.

    “Mereka tampaknya sama sekali tidak berbahaya ketika kalah jumlah.” komentar Ishtar ketika menyaksikan pasukan Cavaliar yang membantai ghoul yang tersisa dengan mudah.

    “Apakah sudah berakhir.” tanya Sophie lemah.

    “Untuk sementara kita bisa tenang.” jawab Ishtar.
     
  6. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Darah yang dipenuhi semangat untuk hidup di tubuh Sophie sudah mulai menghilang. Sekarang ia hanya merasa lelah dan sedikit gemetar bila mengingat pertempuran yang baru dialaminya. Ia menghela napas dan memandang kain kanvas tenda yang ada di atasnya.

    Bayangan makhluk-makhluk mengerikan tersebut masih menghantui pikirannya. Suara gemertak gigi mereka masih menggaung di telinganya.

    “Minumlah ini, kau akan merasa lebih baik.” Ishtar berkata padanya sambil menyodorkan sebuah kantung minum dari kulit.

    Sophie meneguk isi kantung kulit tersebut tanpa pikir panjang. Air tersebut terasa manis dan terasa hangat begitu memasuki tenggorokannya.

    “Anggur?” tanya Sophie.

    Ishtar tersenyum, “Ya, sangat membantu untuk menenangkan diri setelah pertempuran.”

    Sophie termenung sebentar dan mengingat pertempuran yang baru saja ia alami, “Mereka. . . Mereka sungguh mengerikan. Menggunakan cara seperti ini dalam perang.”

    Ishtar memandang Sophie dengan sorot khawatir, “Keadaan selalu lebih keras ketika terjadi perang, Sophie. Aku sendiri masih tidak percaya pasukan Zar’goza sampai menggunakan necromancy untuk memenangkan perang ini.”

    Ia memikirkan kebenaran kata-kata Jendral Ishtar untuk sesaat. Sekali lagi ia meneguk kantung anggur tersebut. Sensasi hangat yang ditimbulkannya membuat Sophie merasa lebih baik.

    Sophie tahu bahwa Ishtar sedang berbicara dengannya, tapi ia tidak dapat mendengar kata-kata Ishtar dengan jelas. Ia merasa sangat nyaman dan rasa kantuk terus mendorong dirinya untuk memejamkan mata.

    “Sophie, kau mendengarkanku? Sophie?” Ishtar hanya menemukan Sophie yang sudah terlelap.

    Ia tersenyum kecil melihat hal itu, “Sepertinya malam ini cukup berat bagimu. Kau memang memerlukan istirahat karena besok akan jauh lebih berat lagi bagi kita.” Ishtar berbisik di telinga Sophie ketika ia menggendong Sophie.
     
  7. setanbedul Veteran

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Dec 9, 2008
    Messages:
    4,678
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +11,657 / -0
    part 1 ini memiliki flow cerita yang datar awalnya.. lalu agak naik saat bertemu kapten
    tetapi flow itu makin naik saat menjelang kehadiran ghoul..
    tetapi kenapa menjelang akhir malah tidak diteruskan? krn akan lebih bagus bila
    yg terjadi adalah sebaliknya? atau Ishtar berkata
    “Mereka terlalu banyak, tetapi kita mampu menanganinya.” komentar Ishtar ketika menyaksikan pasukan Cavaliar yang membantai ghoul .

    “Apakah ini akan berakhir?” tanya Sophie lemah.

    “Untuk sementara. Namun kita harus mundur mencari tempat yang lebih baik.” jawab Ishtar. "Untuk saat ini" dia menambahkan.


    padahal point disini akan lebih terbangun apabila pasukan tersebut mundur teratur walau sebenarnya mereka menang..

    ketika disini
    suspense tetap terbangun.. berdasarkan pada cerita sebelumnya..

    pada point disini
    penurunan flow sudah terlihat.. dan Paragraf berikutnya membantu sekali dalam membantu pengembangan cerita..
     
  8. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Wah makasih komennya. Mengenai suspense, memang bener bakal bagus kalau di terusin. Tapi sebenernya adegan ghoul ini cuma sebagai selingan (ibarat makanan pembuka untuk hidangan utama).
    :haha:

    Di tunggu aja ke depannya gimana. Bisa memuaskan atau tidak :XD:
     
  9. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    akhirnya selesai di baca..:kenyang:
    komen komen...:blink:

    aq suka kalimat ini :top:

    pada bagian si ishtar nipu si benevito...menyenangkan juga ya? :hehe: tapi aq benar2 ga ngerti bagian bunga yang bisa buat bisu hanya dengan mencicipi dikit :onion-102:, fantasy buat mudah sekaligus buat susah :onion-102:

    entah kenapa aq merasa kalimat ini tidak menyenangkan..:sigh: n paragraf di depannya jadi berkesan pengulangan "haus darah :sigh:

    menajamkan or memejamkan nih kk? :???:
    ---------------oOo-------------​

    overall, ceritanya tambah keren :top:
    U do know how to make a story :top:
    konflik n penyelesaian konflik ishtar-sophie benar2 terasa natural :top:, di satu sini si sophie menganggap ishtar tidak mengerti penderitaannya, n di sisi lain ishtar mengetahui lebih banyak tentang musuh mereka (tidak semua jahat) n berusaha tenang sambil menutupi masa lalunya dari sophie walaupun ia harus memimpin pasukan yang akan menghancurkan keluarga masa kecilnya...:top: :top: :top:

    n yang terpenting...magic muncul!! :matabelo: <-- magic mania

    sisanya udah di komen kk bedul :hehe:

    mana sambungannya? :minta:
     
  10. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Wah makasih ya komentarnya :XD:
    Kurang enak ya? Ya tinggal di ubah. Tenang aja :ngacir:
    Typo. Yang bener memejamkan.

    Wew, dari mana dapet kesimpulan kirzka dari klan darkscale itu keluarga masa kecilnya Ishtar (walau ga jauh salah)? :???:
    Nanti di post cerita barunya, bakal lebih banyak magic lagi :XD:
     
  11. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    oke! :top:

    kan mereka kelihatan akrab gitu? :???: n kelihatannya si ishtar familiar gitu sama keadaan sosial di sana :???: salah ya? :???:
    terserah author deh mau jadi apa :haha:

    oke!!! :blink:
     
    Last edited: Mar 26, 2011
  12. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter V: Might of The Ironscale Clan

    Dari atas bukit kecil Ishtar memandangi kerusakan yang diderita pasukan Aesyr. Ia bisa memperkirakan betapa keras para ghoul menghantam perkemahan mereka kemarin malam.

    “Kita beruntung.” komentar Benevito, “Sepertinya ghoul yang menyerang kamp kita hanyalah ghoul yang terseret arus sungai.”

    “Ya, kau benar Benevito. Kita memang beruntung.”

    “Ngomong-ngomong, harus kuakui. Ukuran pasukan Aesyr memang mengagumkan.” kata Benevito sambil memandang perkemahan pasukan Aesyr.

    Ishtar mengangguk. Dari tempatnya berdiri, perkemahan pasukan Aesyr tampak seperti jaring laba-laba raksasa. Tenda-tenda berwarna coklat muda tampak memenuhi perkemahan raksasa itu dengan padat.

    “Dari jumlah tendanya kuperkirakan kekuatan mereka sekitar tiga ratus ribu orang. Dan ini baru sebagian pasukan mereka.” kata Benevito.

    Ishtar bersiul kecil, “Itu sudah lebih dari tiga kali lipat seluruh pasukan Cavaliar.”

    “Tapi di lain sisi, coba perhatikanlah.” Benevito menyisirkan telunjuknya pada perkemahan Aesyr. “Persenjataan mereka tampaknya tidak mencukupi. Atau boleh kukatakan sebagian besar dari mereka memiliki persenjataan yang sangat kurang.”

    Ishtar langsung menangkap apa maksud Benevito. Perlengkapan pasukan Aesyr memang memiliki kualitas yang sangat buruk. Sebagian besar hanya menggunakan baju pelindung dari anyaman kulit yang tebal. Perisai mereka kebanyakan hanya terbuat dari kayu. Senjata mereka berasal dari produksi kasar yang dibuat tergesa-gesa. Secara garis besar pasukan mereka tidak lebih baik dari pasukan militan yang baru saja terbentuk.

    “Bahkan dengan jumlah sebanyak itu, aku ragu mereka dapat menjatuhkan benteng Cataract.” komentar Benevito.

    Ishtar berbalik dan melihat benteng Cataract dari kejauhan. Benteng itu merupakan sebuah benteng yang cukup besar dan kokoh. Berdiri tepat ditengah-tengah sungai Serpent’s Tear, benteng tersebut menempati lokasi yang strategis.

    Sungai Serpent’s Tear merupakan salah satu dari dua sungai besar yang berada di Zar’goza. Dan telah menjadi salah satu pertahanan alami Zar’goza. Sungai besar ini membentang secara horizontal di sepanjang daerah Zar’goza, sehingga untuk mencapai ibukota Zar’goza semua orang harus melalui sungai tersebut.

    Permasalahannya adalah fakta bahwa hanya sedikit jembatan yang didirikan untuk menyeberangi sungai Serpent’s Tear. Dan jembatan terbesar berdiri tepat melewati benteng Cataract.


    “Ishtar, sebaiknya kau mulai menyiapkan tentaramu.” ucapan Benevito membuyarkan pikiran Ishtar.

    Ishtar melihat pasukan Aesyr mulai berkumpul di depan perkemahan mereka dan membuat massa yang sangat besar. Genderang perang mulai ditabuh dan bendera-bendera berlambang scarab mulai berdiri.

    “Sepertinya penyerangan hari ini akan berakhir dengan kegagalan lagi.” kritik Ishtar sambil memperhatikan tentara Aesyr yang mulai berkumpul.

    “Tidak apa, siapkan saja pasukanmu. Siapa tahu ada sesuatu yang menarik nanti.” kata Benevito sambil terus mengamati barisan tempur pasukan Aesyr.

    “Baiklah aku akan menyiagakan sebagian pasukan kita.” kata Ishtar sambil pergi meninggalkan Benevito.

    ***​

    “Julian, Cirus, Basil! Siapkan pasukanmu untuk bergerak!” perintah Ishtar dengan cepat pada kapten-kaptennya begitu ia memasuki di perkemahan Cavaliar.

    “Baik, Jendral.” jawab mereka dengan sigap.

    Ishtar berjalan dengan langkah kaki yang dipercepat menuju tendanya sendiri.

    Begitu sampai di dalam ia langsung mengenakan baju rantai besinya, diikuti dengan baju pelat baja, dan pelindung bahu yang bentuknya beruas-ruas. Terakhir ia mengenakan sarung tangan kulit beserta pelindung pada punggung tangannya.

    Ishtar mencabut kedua bilah pedangnya yang tadinya tersarung dan memainkannya di tangan untuk sejenak. Dengan cekatan ia memutar-mutar pedangnya dan mengayunkannya pada udara kosong. Setelah puas ia baru kembali menyarungkan kedua bilah pedangnya. Untuk berjaga-jaga Ishtar juga menyelipkan sebuah belati pada pinggang belakangnya.

    “Jendral Ishtar, kita akan pergi menyerang?” sebuah suara yang familiar terdengar ketika ia baru saja melangkah keluar dari tendanya.

    Sophie juga tampak sudah siap dengan baju besinya. Ishtar dapat melihat Sophie mencengkeram gagang pedangnya dengan sangat kuat, seakan sedang menahan emosi yang meluap.

    “. . . Entahlah, untuk sementara kita hanya akan bersiaga saja.” jawab Ishtar setelah terdiam sesaat.

    Sophie mendengus, “Seharusnya kita melumat mereka secepat mungkin.”

    Ishtar dapat melihat pancaran mata Sophie yang terbakar semangat.

    “Jangan terlalu bersemangat, Sophie.” Ishtar memberi peringatan.

    Tiba-tiba seorang kapten berlari ke arah mereka, “Jendral, pasukan kami sudah siap untuk bergerak.”

    Ishtar mengangguk singkat kepada si kapten.

    ***​

    “Hanya segini yang kau bawa?” komentar Benevito begitu melihat Ishtar datang dengan tentaranya.

    “Kita hanya mengawasi jalannya pertempuran, untuk apa menyiagakan banyak tentara.” balas Ishtar dengan pemikiran logis.

    “Tapi. . . Tapi. . .” Benevito tampak sedang menghitung secara singkat tentara yang berdiri di belakang Ishtar, “Jumlah mereka bahkan tidak sampai lima ratus orang.”

    “Kenapa tidak kau sendiri yang memimpin sisanya?” tawar Ishtar.

    “Itu ide yang bagus, tapi tidak terima kasih. Aku belajar untuk tidak terlibat secara langsung dengan pertempuran.”

    “Pilihan yang bijak.” puji Ishtar dengan tulus. “Jadi bagaimana keadaan pertempurannya?”

    “Seperti yang bisa dilihat. . . Pasukan Aesyr tampak tidak mengalami kemajuan.”

    Ishtar melihat dengan matanya sendiri, pasukan Aesyr ibarat semut yang sedang mengerubungi makanan. Jembatan benteng Cataract yang lebarnya hampir dua puluh meter tampak dipadati oleh pasukan Aesyr, baik yang masih hidup ataupun yang telah gugur.

    Jembatan itu telah menjadi ladang pembantaian untuk pasukan Aesyr. Darah mereka yang tewas telah menggenangi jembatan dan menodai sungai Serpent’s Tear, membuat Ishtar berpikir apakah sang Serpent sedang menangis darah kali ini.

    Dengan cepat crossbow-crossbow Zar’goza memotong jumlah penyerang mereka. Anak panah yang berterbangan dari atas dinding benteng Cataract menembus tubuh tentara Aesyr layaknya pisau panas memotong mentega.

    Tapi berkat jumlah mereka yang besar, pasukan Aesyr banyak yang mencapai dinding kota dan mengaitkan tangga. Entah mengapa Ishtar merasa kasihan pada pasukan Aesyr yang gagah berani, selamat dari anak panah dan memanjat tangga hanya untuk dipecahkan kepalanya oleh kirzka yang menjaga dinding.


    Para kirzka bertarung dengan sangat ganas. . . Sama seperti biasanya. Pikiran tersebut muncul ketika Ishtar menonton jalannya pertempuran. Tanpa sengaja matanya melihat sesuatu yang menarik.

    “Kau lihat itu, Benevito?” kata Ishtar sambil menunjuk ke arah gerbang Cataract.

    Untuk sesaat Benevito mencari-cari apa yang dimaksud Ishtar, “Oh, maksudmu ukiran di atas gerbang benteng tersebut? Gambar naga yang sedang melingkari sebuah gunung berapi?”

    “Ya, itu artinya benteng ini berada di bawah penjagaan klan Ironscale.”

    “Ehm. . . . Baiklah, jadi apa artinya?”

    “Artinya pasukan Aesyr akan mengalami waktu yang sangat sulit.”

    “Sepertinya kau be-“

    Sebuah suara terompet tanduk memecahkan kebisingan medan tempur. Suara tersebut datang dari barisan belakang pasukan Aesyr yang berada di hilir sungai. Tampak terjadi perubahan gerakan pada kubu Aesyr.

    Tampak pasukan Aesyr mendirikan perisai-perisai raksasa dari kayu di sepanjang hilir sungai, seakan hendak melindungi sesuatu.

    Ishtar menekuk dahinya, “Apa yang mau mereka lakukan?”

    Sepertinya Benevito menemukan jawabannya dengan cepat, ia menunjuk ke arah perkemahan Aesyr, “Lihat siapa yang mereka bawa.”

    Ishtar mengikuti arah telunjuk Benevito dan melihat apa yang dimaksudnya. Sekelompok orang, mungkin sekitar dua lusin jumlahnya sedang berjalan keluar dari perkemahan Aesyr. Tubuh mereka terselimuti oleh jubah panjang dan wajah mereka tertutupi kerudung. Mereka berjalan dengan sangat aneh, beberapa berjalan dengan normal, tetapi yang lain tampak terseok-seok ataupun agak terhuyung.

    “Penyihir?” tebak Ishtar.

    “Kemungkinan besar begitu. Sepertinya akan terjadi sesuatu yang menarik.” angguk Benevito.

    Penyihir tersebut berjalan dengan sangat perlahan hingga akhirnya mencapai bagian belakang medang pertarungan. Mereka membentuk sebuah lingkaran besar dan mulai merapal mantra. Sebuah cahaya berwarna merah tampak berpendar di tanah dan membentuk sebuah lingkaran dengan simbol-simbol yang aneh.

    Ishtar menoleh lagi ke arah benteng Cataract, “Apa mereka tidak menyadari penyihir Aesyr?”

    “Sepertinya perisai-perisai besar itu menutupi pandangan pasukan Zar’goza. Lagi pula mereka terlalu sibuk membunuh pasukan Aesyr yang terus mengalir. . . Tapi, tebakanku dalam satu atau dua menit lagi mereka akan menyadarinya.”

    ***​

    Sementara itu pasukan Zar’goza mulai menyadari ada sesuatu yang sedang terjadi. Walaupun mereka tidak sepenuhnya mewaspadai hal itu.

    “Hei, kira-kira apa yang direncanakan makhluk-makhluk kecil itu? Mendirikan perisai di tempat yang tidak berguna.” desis salah satu kirzka dalam bahasa kuno mereka.

    “Entahlah, aku tidak pernah bisa mengerti pikiran para kulit merah muda.” balas rekannya sambil melepaskan sebuah anak panah.

    “Kenapa tidak kau tanyakan pada salah satu dari tentara bayaran?” balas salah satu kirzka.

    “Tidak kau salah. Kenapa tidak tanyakan pada Rastam, dia yang sudah menikah.” salah satu pemanah menceletuk.

    Seluruh kirzka yang ada di sana langsung tertawa.

    “Terkutuk kalian semua.” desis kirzka yang bernama Rastam dengan jengkel. Ia mengayunkan pedangnya ke salah satu tentara Aesyr yang berhasil memanjat tangga dan memecahkannya menjadi dua bagian.

    “Rastam terlalu lambat hingga ia hanya mendapatkan istri seorang manusia.” tambah kirzka yang lainnya.

    “Hei, berhenti menjelek-jelekan istriku, memang apa salah dia pada kalian.” balas Rastam marah.

    “Tidak. Tidak ada. Hanya saja. . . Menikah dengan manusia, itu sedikit. . . lucu.” kirzka itu kembali tertawa sambil memasang panah pada crossbownya.

    “Berhenti berbicara seperti ibu kalian tidak mempunyai darah manusia.” balas Rastam tidak peduli sambil menendang tentara Aesyr lainnya yang menampakkan kepalanya di dinding pertahanan.

    “Memang benar, tapi setidaknya mereka masih memiliki darah kirzka.” timpal yang lainnya.

    “Berhentilah dengan omongan tidak berguna kalian!” tiba-tiba seorang kirzka bersisik merah membentak mereka semua.

    “Ada apa gerangan hingga si tukang sulap menjadi marah.” canda salah satu crossbowman.

    “Kalian terlalu sibuk dengan diri kalian sendiri! Itu yang membuatku marah. Kalian tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sana bukan!?” balasnya marah sambil menunjuk ke kejauhan.

    Para kirzka penjaga baru menyadari cahaya merah terang yang tampak keluar dari balik perisai-perisai besar pasukan Aesyr di seberang sungai

    “Ehm . . . Jadi apa itu?”

    ‘Sihir. Dan sihir yang kuat.” desis kirzka bersisik merah tersebut.

    “Ehm. . . sihir macam apa?”

    “Kita hanya bisa mengetahuinya ketika sihir itu dilepaskan.”

    Seorang kirzka langsung menyumpah kesal, “Lalu apa gunanya kau di sini!”

    Seluruh kirzka di tempat itu kembali tertawa. Mereka baru berhenti tertawa ketika tertawa ketika terdengar suara keras dari kejauhan. Tampak terjadi keributan besar di balik perisai-perisai kayu Aesyr. Tentara Aesyr terlihat lari berhamburan seakan sedang menghindari sesuatu. Detik berikutnya perisai-perisai kayu raksasa yang didirikan pecah dengan kasar diikuti suara derak yang mengerikan.

    “Apa mataku sedang berbohong?” kata salah satu kirzka sambil menatap pemandangan yang ada di depannya.

    “Apa kau sedang melihat scarab bertanduk yang panjangnya sekitar lima puluh kaki?” tanya penjaga lainnya yang juga terkejut dengan apa yang sedang berjalan menuju mereka.

    “Apa yang kalian lakukan! Terus memanah!” teriak salah satu rekan mereka.

    Dengan perlahan tapi pasti scarab raksasa tersebut merayap menuju gerbang benteng Cataract. Cangkangnya yang berwarna keemasan tampak bersinar terang karena terkena cahaya matahari. Kakinya yang beruas-ruas tampak menyapu dan mendorong pasukan-pasukan Aesyr yang berdiri di atas jembatan hingga terjun ke dalam sungai.

    Pasukan Aesyr sendiri tampak jauh lebih terkejut dengan keberadaan scarab raksasa ini. Banyak dari mereka yang berdiri diantara si scarab dan gerbang langsung memutuskan untuk melompat ke dalam sungai.

    “Jangan buang anak panah kalian ke para manusia! Tembak scarab itu!”

    Puluhan anak panah langsung melayang ke arah scarab raksasa tersebut. Terdengar suara dengung kesakitan dari si scarab ketika anak panah menancap di cangkangnya. Cairan berwarna hijau memancar keluar dari lukanya, tapi walau demikian scarab raksasa itu tampak sama sekali tidak mengurangi kecepatan jalannya.

    Pada saat bersamaan penyihir-penyihir yang ada di atas dinding pertahanan juga mulai merapal mantra mereka. Begitu scarab tersebut tinggal lima meter lagi dari gerbang, lusinan pilar tombak api meluncur dari atas dinding dan menghantam scarab tersebut secara bertubi-tubi.

    Dalam sekejap jembatan benteng Cataract seakan dilanda oleh ombak lidah api. Untuk sesaat pasukan Zar’goza yang mempertahankan benteng harus menutupi mata mereka ataupun melihat ke arah yang lain karena terang api yang intens. Mereka baru kembali melihat ketika merasakan tempat berpijak mereka sedikit bergetar.

    Tanduk scarab raksasa itu sekarang sedang memukul gerbang benteng dengan perlahan. Makhluk tersebut tampak sama sekali tidak terluka oleh sihir para kirzka. cangkangnya tampak masih mengkilap, walau anak panah yang tadinya menancap di punggungnya sekarang sudah hangus menjadi debu.

    “Tidak mungkin! Sihir tidak berpengaruh pada makhluk tersebut!” desis salah satu penyihir dengan terkejut.

    “Makhluk tersebut memiliki imunitas pada sihir” desis penyihir lainnya, “Ras muda tidak seharusnya bisa memanggil makhluk sekuat itu.”

    Sekali lagi terdengar suara gemuruh dan getaran pada gerbang benteng.

    “Seseorang cepat panggil Warlord Kyriakos! Gerbangnya tidak akan bertahan lama!” teriak salah satu kapten.

    ***​
     
    Last edited: Mar 27, 2011
  13. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Tidak jauh dari ladang pertumpahan darah, di dalam sebuah aula yang megah. Sebuah aula yang tampaknya begitu jauh dari keadaan perang walaupun fakta berkata lain.

    Alunan suara musik dan gelak tawa memenuhi aula tersebut, walaupun di luar orang-orang meneriakkan kematian. Aroma masakan dan anggur memenuhi aula, meskipun aroma darah dan penderitaan merebak di luar.

    Di dalam aula tersebut meja-meja panjang tampak tersusun rapih dibawah naungan bendera-bendera klan Ironscale. Pasukan-pasukan elite Ironscale tampak menempati meja-meja dan berpesta pora. Mereka menghentak-hentakkan kaki mereka dan memukul-mukulkan gelas mereka sesuai irama genderang.

    Tiba-tiba terdengar suara pintu masuk aula mengayun terbuka dengan berat.

    Dengan terburu-buru seorang pembawa pesan masuk dan memberi laporan, “Warlord Kyriakos! Musuh telah menembus pertahanan luar! Pasukan garis depan sedang dalam kesulitan!”

    Keadaan dalam aula langsung menjadi sunyi. Semua orang menatap sosok kirzka yang sedang duduk di singgasana.

    Sosok tersebut terdengar mendengus, “Baru tiga hari dan gerbang benteng sudah roboh.”

    “Sebaiknya masalah ini dibereskan secepatnya.” desisnya sambil berdiri.

    Begitu sosok tersebut berdiri dari singgasananya, terlihat perbedaan yang mencolok antara dirinya dengan kirzka lainnya. Sosok yang dipanggil Warlord tersebut merupakan raksasa, bahkan dalam ukuran kirzka. Tingginya mungkin dapat mencapai tiga meter lebih. Sisiknya yang berwarna biru tua tampak besar-besar dan keras. Mata buayanya yang berwarna kuning memencarkan keagungan dan kuasa yang sangat dalam.

    “Angkat senjata kalian, saudara-saudaraku! Hari ini kita minum darah musuh kita!” raungnya sambil mengangkat sebuah halberd dengan salah satu tangannya. Seluruh pasukan yang ada di ruangan tersebut langsung bangkit dari tempat duduk mereka dan meneriakan seruan perang sambil memukul-mukulkan senjata mereka.

    ***​

    Sosok raksasa tersebut melangkah dengan berat, pasukan pribadinya tampak mengikuti langkahnya dari belakang. Walaupun jumlah mereka tidak seberapa, tapi gerombolan ini tampak berbeda jauh dari pasukan kirzka yang lainnya, mereka tampak lebih elite.

    Mereka terpersenjatai dengan sangat baik. Kebanyakan dari mereka bahkan mengenakan baju baja hingga dua lapis. Senjata mereka sendiri tampak dengan jelas sebagai senjata yang diproduksi dengan halus. Ukiran-ukiran khas klan Ironscale menghiasi perisai-perisai mereka.

    Gerombolan yang saat ini sangat jauh kesannya dari gerombolan yang beberapa saat lalu berpesta pora di dalam aula, seakan mereka merupakan orang yang berbeda. Penampilan mereka tampak tidak seragam, tapi derap langkah kaki mereka seirama dan menggema di jalan-jalan benteng. Langkah kaki mereka baru berhenti ketika Warlord yang memimpin mereka menghentikan langkah kakinya dan memberi isyarat untuk berhenti.

    Untuk sesaat raksasa bersisik biru tersebut mempelajari pemandangan yang ada di hadapannya.

    Seekor scarab bertanduk dengan ukuran tidak wajar tampak mengamuk, mengayun-ayunkan tanduknya dan menghantam pasukan kirzka yang ada di dekatnya. Beberapa pucuk senjata mencuat dari tubuh scarab tersebut tapi tidak ada yang memberikan luka serius, sementara itu pengguna senjata-senjata tersebut tampaknya sudah berserakan di seluruh lapangan.

    Sambil meraung dan mengeluarkan berbagai makian, para tentara tampak mengacungkan tombak mereka ke arah scarab tersebut. Dengan sebuah sapuan tanduknya, scarab itu mematahkan tombak-tombak tersebut dan membuat penyerangnya terpental ke berbagai arah.


    Warlord Kyriakos hanya menggeram sambil tersenyum melihat pemandangan di depannya, “Para manusia kecil sepertinya mempunyai peliharaan baru. Astlar! Tombak!”

    Seorang kirzka yang dipanggil Astlar tersebut langsung memberikan sebuah tombak pada sang Warlord. Warlord Kyriakos menancapkan halberdnya ditanah dengan mudah dan mengambil tombak tersebut dengan satu tangan seakan beratnya sama sekali tidak memiliki pengaruh padanya.

    Ia mengarahkan mata tombak tersebut pada scarab raksasa yang masih sibuk mengayun-ayunkan tanduknya. Mata sang Warlord menatap scarab tersebut dengan tajam, kaki kanannya melangkah kebelakang dan mengambil ancang-ancang.

    Dengan kekuatan yang luar biasa ia melempar tombak tersebut. Tombak itu meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah makhluk raksasa tersebut. Sebuah suara pecah diikuti dengung keras penuh kesakitan langsung menggema di seluruh medan tempur.

    Scrab tersebut tampak terpental sedikit, sementara itu sebuah tombak menancap tepat di mulutnya. Cairan hijau mengalir keluar dengan deras dari lukanya. Diiringi dengan dengung kesakitan scarab tersebut mengayun-ayunkan tanduknya secara membabi buta. Dengan cepat kumpulan pasukan kirzka yang menghadangnya langsung melarikan diri, menjauh dari makhluk raksasa yang mengamuk tersebut.

    “Kepung makhluk itu dari sisi kiri dan kanan!” perintah sang Warlord dengan tegas.

    Pasukan-pasukan elite yang tadinya berdiri di belakangnya langsung mengepung scarab tersebut dengan berhati-hati. Mereka tampak menjaga jarak mereka sambil mengacungkan senjata mereka ke arah scarab tersebut.

    Scarab tersebut mengayunkan tanduknya dengan marah kearah mereka. Tapi dengan sigap mereka selalu menjauh ketika tanduk scarab itu mengayun.

    Warlord Kyriakos sendiri tampak mencabut halberdnya dan berjalan lurus ke arah scarab raksasa tersebut. Langkah kakinya yang berat tampaknya telah menarik perhatian makhluk tersebut. Sekarang scarab itu mengarahkan tanduknya ke sang Warlord dan dengan diikuti dengung marah ia mencoba untuk menyeruduk sang Warlord.

    Warlord Kyriakos dengan sigap menahan tanduk itu dengan halberdnya. Tampak jalan batu yang dipijaknya menjadi retak begitu ia menahan tanduk scarab dengan halberdnya. Untuk sesaat kekuatan mereka berdua tampak imbang.

    Tiba-tiba dengung kesakitan kembali terdengar. Pasukan elite sang Warlord telah melemparkan tombak dan kapak mereka ke arah scarab raksasa tersebut pada saat bersamaan. Serangan scarab tersebut pada sang Warlord telah lepas.

    Dengan sigap sang Warlord mengayunkan halberdnya. Suara benda keras yang pecah memenuhi medan tempur. Ayunan halberd Warlord Kyriakos telah memotong tanduk si scarab raksasa. Sebuah ayunan berat kembali melayang, kali ini halberd sang Warlord langsung menghancurkan kepala scarab tersebut.

    Cairan hijau langsung mengalir deras dan membasahi batu jalanan benteng. Scarab tersebut menggelepar sambil terus menumpahkan cairan hijau dari tubuhnya hingga makhluk itu akhirnya telentang dengan kaki tertekuk.

    Raungan kemenangan terdengar di seluruh benteng. Para kirzka meraung sambil mengangkat senjata dan memukul-mukul perisai mereka.

    “Hidup Warlord Kyriakos!”

    Tapi Astlar berteriak memperingati saudara-saudaranya, “Belum waktunya untuk senang! Musuh kita masih menanti!”

    Dari kejauhan tampak pasukan-pasukan manusia berlari menyisiri jembatan. Dengan hancurnya gerbang pertahanan tidak ada lagi yang berdiri diantara mereka dan bagian dalam benteng Cataract.

    Warlord Kyriakos hanya tertawa melihat hal ini, “Bukankah para manusia kecil yang menginginkan perang ini? Kalau begitu bagaimana kalau kita bawa perang ini tepat kedepan wajah mereka. Astlar siagakan pasukan!”

    Astlar menjawab perintah tuannya dengan membunyikan sebuah terompet tanduk yang tersisip di ikat pinggangnya.

    “Serang! Kematian bagi musuh Kaisar!” raungnya setelah membunyikan terompet tanduknya.

    Kyriakos beserta pasukannya berlari keluar dari benteng Cataract dan menghadang musuh mereka. Dengan mudah sang Warlord mengayunkan halberdnya dan memotong semua orang yang ada dalam jangkauannya.

    Manusia yang tidak terbunuh oleh sang Warlord dengan cepat dihabisi oleh pasukan pribadinya. Mereka mengayun-ayunkan voulge mereka dan memotong para manusia seakan mereka hanya sedang memotong gandum yang siap panen. Pasukan manusia yang beruntung kemungkinan hanya menderita beberapa patah tulang, setelah pasukan kirzka menghantam mereka dengan bahu dan mendorong mereka hingga jatuh ke sungai.

    Pasukan Aesyr yang tadinya memenuhi jembatan untuk menyerbu benteng dalam waktu dekat tidak terlihat lagi. Perlawanan yang mereka berikan tampak sia-sia dan mereka sendiri hilang dalam pertempuran secepat debu terbawa angin.

    Keadaan dalam cepat berubah, tentara Aesyr yang tadinya mendesak pasukan Zar’goza selama berhari-hari sekarang telah berada di ujung tanduk. Pengepungan benteng Cataract dengan cepat diangkat oleh pasukan yang jumlahnya tidak sampai dua ratus orang.

    Pasukan-pasukan elite klan Ironscale memanjat perisai-perisai kayu rusak yang terpasang di sepanjang hilir sungai. Angka pasukan Aesyr tampaknya sama sekali tidak berarti bagi mereka.


    “Bunuh mereka semua! Tidak ada tahanan!” raung sang Warlord yang memimpin serangan balik tersebut.

    Barisan-barisan tombak tampak mengancam raksasa biru tersebut ketika ia mendorong mundur pasukan Aesyr. Sambil mengeluarkan suara tawa ia mengayunkan halberdnya dan mematahkan barisan tombak tersebut.

    Seorang tentara keluar dari barisan tombak tersebut dengan pedang terhunus. Kyriakos menghargai keberanian tentara itu, tapi bagaimanapun itu hanya keberanian orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Dengan mudah Kyriakos mencengkeram kepala tentara itu dan meremukkannya dalam genggamannya. Ia melempar apa yang tersisa dari pemberani itu ke kelompok manusia lainnya, dan dengan cepat menghancurkan moral tempur mereka.

    Ia mengeluarkan sebuah suara serak keras yang sebenarnya merupakan suara tawanya. Seluruh serangan ini seperti sebuah lelucon bagi dirinya.

    “Tuan! Awas!” tiba-tiba salah satu pengawalnya berteriak memperingatkan.

    Tepat pada waktunya Sang Warlord menunduk dan menghindari sebuah kilatan petir berwarna hitam yang meluncur tepat di atas kepalanya. Beberapa orang yang diselimuti jubah tampak sedang merapal mantra dari arah datangnya petir tersebut.

    “Trik sihir kalian tidak dapat menyelamatkan nyawa kalian.” seru sang Warlord sambil tertawa.

    Ia memungut sebuah kapak perunggu yang tergeletak di tanah. Dengan enteng ia melempar kapak tersebut ke arah para penyihir Aesyr. Meskipun kapak tersebut terbuat dari perunggu, tapi tampaknya di tangan yang benar perunggu tetaplah mematikan. Logam perunggu tersebut langsung memecahkan kepala si penyihir dan melukai penyihir yang ada di belakangnya.

    “Astlar! Aku ingin perkemahan musuh rata dengan tanah!” desis sang Warlord.

    “Dimengerti, tuan.” jawab Astlar sambil menghantamkan perisainya ke kepala tentara Aesyr.

    Sang Warlord kembali tertawa, “Tanah Zar’goza selalu membutuhkan darah musuh-musuhnya.”

    ***​

    Dari atas bukit tampak segelintir pasukan Cavaliar menyaksikan seluruh kekacauan yang dialami pihak Aesyr. Rencana brilian mereka untuk menaklukan benteng Cavaliar telah berubah menjad bencana.

    “Jendral Ishtar! Kita harus cepat membantu pasukan Aesyr sekarang!” kata Sophie dengan geram ketika menyaksikan perkemahan Aesyr yang sedang diserang.

    “. . . Sekarang bukan waktunya.” jawab Ishtar lirih.

    “Aku benci mengatakannya, tapi aku setuju dengan letnanmu. Selagi tentara Aesyr masih ada, kita harus menyerang mereka. Setidaknya selagi masih ada yang bisa mendukung kita.” jawab Benevito dengan logis.

    “Kalian tidak mengerti. Yang memimpin penyerangan mereka adalah seorang Warlord, bukan sekedar pemimpin lokal biasanya. Mereka jauh berbeda dari-“ Ishtar berhenti begitu menyadari Sophie sudah berlari menuruni bukit.

    “Sophie berhenti!” teriaknya, tapi sepertinya Sophie tidak mengindahkan perintah Ishtar.

    Ishtar mengumpat kecil, “Benevito, cepat kembali ke perkemahan dan bawa seluruh tentara kesini! Yang lainnya ikuti aku!”

    Dengan terpaksa Ishtar memimpin tentaranya yang hanya berjumlah lima ratus orang untuk terjun membantu pihak Aesyr.

    ***​


    =================
    Catatan:
    Voulge; sejenis pole cleaver pada Eropa abad pertengahan.
     
    Last edited: Mar 27, 2011
  14. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ia masih dapat mengingat teriakan-teriakan penuh kesedihan yang didengarnya dua belas tahun lalu. Dan sekarang kenangan kelam itu seakan bangkit dan mengambil tempat dalam kenyataan. Kengerian yang dulu pernah disaksikannya sekarang kembali lagi terulang di depan mata kepalanya sendiri.

    Pandangannya dibutakan oleh amarah dan kebencian. Yang ada di pikirannya hanyalah keinginan yang sangat kuat untuk membunuh makhluk-makhluk tidak manusiawi di depannya.

    Sophie berlari melewati tentara-tentara Aesyr yang memilih untuk melarikan diri. Ia tidak peduli apakah ada yang mendukungnya atau tidak, ia hanya ingin menumpahkan darah kirzka.

    Matanya langsung terpaku pada seorang kirzka yang sedang meniup terompet tanduk. Dengan ganas Sophie menerjang kirzka tersebut, mengayunkan pedangnya secara membabi buta.

    Kirzka itu langsung membuang terompet tanduknya begitu menyadari serangan Sophie dan melompat ke belakang. Dia mencabut pedangnya dan tampak siap untuk menghadapi Sophie dalam duel.

    Sophie berteriak penuh emosi sambil kembali menerjang kirzka tersebut. Dengan sigap si kirzka mengangkat perisainya. Sophie dapat merasakan pedangnya memantul ketika menghantam perisai tersebut.Tapi ia sama sekali tidak peduli, dengan sembarangan ia mengayun-ayunkan pedangnya ke arah perisai si kirzka. Sebuah dorongan sederhana dari perisai tersebut dan Sophie langsung terhuyung kehilangan keseimbangan.

    Sophie tidak membiarkan trik sederhana itu menghalanginya, ia segera bangkit dan kembali menyerang dengan ganas.

    Sepertinya hanya dibutuhkan sebuah kenangan lama untuk membuat Sophie melupakan semua yang telah ia pelajari. Pada saat ini Sophie seakan telah membuang semua pengetahuannya dalam bertarung. Lawannya dapat dengan mudah membaca gerakannya dan menghindarinya.

    Terdengar suara serak yang tersendat-sendat keluar dari mulut lawannya. Sophie butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa kirzka tersebut sedang menertawai dirinya.

    Sambil meraung, Sophie mengayunkan pedangnya secara langsung pada kirzka tersebut dengan sekuat tenaga.

    Dengan santai lawannya melompat mundur dan menghindari ayunan pedang tersebut. Sepertinya kirzka itu sudah memutuskan bahwa sekarang adalah waktunya ia berhenti bermain-main. Dengan sigap kirzka itu menyapukan ekornya pada tanah.

    Sophie dapat melihat pasir-pasir beterbangan ke arah dirinya. Ia merasakan pandangannya menjadi kabur dan matanya perih oleh hempasan pasir tersebut. Sophie menutupi matanya dengan satu tangan dan berjalan terhuyung karena kehilangan keseimbangan.

    Detik berikutnya ia mendengar sebuah suara ayunan pedang yang berat. Pada detik itulah ia baru menyadari kebodohan dirinya dan mengetahui bahwa ia tidak dapat menghindari serangan tersebut.

    Di saat ia mengira pedang tersebut akan mencabik dirinya, ia merasakan seseorang menarik kerah bajunya. Saat Sophie sadar, ia sudah terduduk di tanah. Ishtar tampak berdiri diantara dirinya dan kirzka yang ia lawan.

    “Tetaplah di sana Sophie. Ini perintah.” kata Ishtar dengan tajam.

    ***​

    Astlar menatap wanita yang ada di depannya dengan hati-hati. Ia dapat merasakan bahwa wanita itu bukanlah lawan yang mudah.

    Rasanya ingin ia bertanya apa yang dilakukan seorang wanita dalam medan perang. Tapi warna rambut dan mata wanita tersebut membuat ia jauh lebih penasaran.

    Dengan anggun wanita itu menarik keluar kedua bilah pedangnya. Astlar mengangkat perisainya hingga menutupi setengah wajahnya.

    Tanpa ia duga wanita tersebut meluncur dengan sangat cepat ke arah dirinya. Astlar mengayunkan perisainya secara horizontal, berharap untuk melumpuhkan gerakan lawannya. Tapi yang ia serang hanya udara kosong.

    Tiba-tiba ia merasakan sebuah tusukan pada rusuk kirinya. Sambil meraung ia mundur selangkah dan melihat wanita tersebut telah melancarkan serangan pada dirinya. Ini tidak mungkin. Sebuah serangan kebetulan? Atau dia memang tahu bagian terlemah baju bajaku terletak pada sisi rusukku?

    Ia melihat wanita tersebut berdiri dengan tenang, darah menetes dari salah satu bilah pedangnya, darahnya sendiri. Kali ini ia memutuskan untuk mengambil inisiatif menyerang.

    Ia mengayunkan pedangnya secara vertikal sambil menjaga jarak aman. Tadinya ia menduga wanita tersebut akan menghindari serangannya. Tapi sekali lagi ia salah. Dengan menyilangkan kedua bilah pedang di atas kepala, serangannya berhasil dihentikan.

    Astlar cepat-cepat menarik pedangnya dan langsung melancarkan beberapa serangan baru. Dengan cekatan wanita tersebut menangkis dan membalas serangannya secara tidak terduga. Dalam waktu cepat Astlar menyadari bahwa dirinyalah yang sedang terdesak di sini.

    Ia kembali mengayunkan pedangnya secara vertikal, hanya saja kali ini ia melakukannya dengan tenaga penuh. Berharap untuk menghancurkan pertahanan wanita tersebut. Dan ia menyadari ia sedang dikecoh.

    Alih-alih menahan serangan itu, wanita tersebut memilih untuk menghindarinya kali ini. Astlar berakhir dengan menebas tanah kosong. Sementara itu pedang wanita tersebut sudah menempel pada lehernya.

    Ia tidak bisa melakukan apapun kecuali menjatuhkan senjatanya. Mungkin ajalnya memang sudah berada di depan mata.

    ***​

    Ishtar tersenyum kecil, ia telah berhasil membuat salah satu pengawal Warlord bertekuk lutut. Dengan perlahan ia menarik pedangnya dari leher kirzka tersebut.

    “Jendral, awas!” tiba-tiba ia mendengar Sophie berteriak. Pada saat bersamaan instingnya mengatakan bahwa nyawanya sedang terancam.

    Dengan cepat Ishtar melompat ke belakang. Sebuah tombak tampak meluncur dengan cepat melewati tempat berdirinya sepersekian detik yang lalu. Sebuah perasaan merinding tiba-tiba muncul ketika ia memandang arah datangnya tombak tersebut.

    Ketakutan Ishtar menjadi kenyataan. Dari antara kekacauan pertempuran, sebuah sosok raksasa berjalan ke arah dirinya. Dengan langkah berat raksasa biru yang diselimuti baju baja berat tersebut mengarungi medan tempur dengan tenang. Sebuah kalung amulet sederhana dari butiran kayu dan gading tergantung di lehernya dan menandakan bahwa ia telah diakui sebagai seorang Warlord.

    Tanpa peringatan sang Warlord mengayunkan halberdnya ke arah Ishtar. Dengan cepat Ishtar melompat ke samping dan menghindari ayunan berat tersebut.

    Untuk sesaat mata mereka saling bertemu. Ishtar menemukan pandangan yang aneh dalam sorot mata sang Warlord, ia tidak bisa menentukan apa arti pandangan tersebut.

    Sebuah ayunan lagi diarahkan pada dirinya. Sekali lagi Ishtar menghindarinya. Halberd sang Warlord menghantam tanah dan membuat getaran kecil pada bumi.

    Ishtar melompat maju dan melemparkan beberapa serangan pada sang Warlord. Tidak ada yang terjadi, pedangnya hanya bisa menggores baju baja sang Warlord.

    Aku tidak bisa bertarung seperti ini terus menerus. Pikir Ishtar sambil menghindari serangan halberd sang Warlord. Aku hanya bisa menghindari dirinya dan melancarkan balasan tidak berguna. Ia melompat ke belakang sambil menyilangkan kedua pedangnya. Cepat atau lambat aku akan-

    Ishtar gagal untuk menghindari sebuah serangan secara utuh. Ayunan halberd sang Warlord mematahkan kedua pedangnya ketika ia gagal memperkirakan jangkauan halberd tersebut.

    Ia merasakan rasa sakit menusuk yang luar biasa pada bahu kanannya. Dalam keadaan berlutut, Ishtar dapat melihat serangan sang Warlord telah menghancurkan pelindung bahunya dan membuat luka yang dalam pada bahu kanannya.

    Ishtar memandang kedua bilah pedangnya yang patah dan bahu kanannya yang terluka berat. Ia mencengkeram bahu kanannya kuat-kuat, ia bisa merasakan darah segar langsung membasahi sarung tangan kulitnya dengan cepat. Tiba-tiba ia menyadari betapa tidak berdaya dirinya.

    Dengan diselimuti perasaan takut Ishtar berusaha menjauh dari sosok tersebut. Kakinya menendang-nendang tanah, sementara ia memandang sosok tersebut. Ia tahu merangkak tidak akan membawanya kemana-mana, tapi insting dasarnya menyuruhnya untuk menjauh dengan cara apapun.

    Sebuah langkah dari sang Warlord langsung menghilangkan jarak di antara mereka yang susah payah Ishtar ciptakan. Dengan kasar sang Warlord menarik rambut perak Ishtar sehingga mereka saling bertatapan muka.

    Ishtar memandang raksasa di depannya. Walaupun perasaan takut sudah merasuki hatinya, tiba-tiba sebuah keberanian baru muncul. Mungkin lebih tepatnya kepasrahan yang berani. Ia menatap balik mata buaya di depannya dengan tajam, seakan-akan mengatakan ‘lakukan apa yang ingin kau lakukan padaku, aku tidak peduli lagi’.

    Sekali lagi mata mereka bertemu. Untuk waktu yang lama Ishtar dan sang Warlord mempertahankan kontak mata mereka. Dan sekali lagi Ishtar sama sekali tidak bisa membaca apa yang diinginkan Warlord tersebut.

    Tapi apapun yang ada di dalam pikiran sang Warlord, tampaknya keberuntungan Ishtar belum habis. Terdengar sebuah suara terompet tanduk membahana. Sang Warlord langsung menengok ke arah benteng dan mengucapkan sesuatu yang tampaknya merupakan makian dalam bahasa kuno mereka.

    Cengkeraman pada rambut Ishtar dilepaskannya. Ia mendesiskan beberapa patah kata pada Ishtar sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ishtar.

    Ishtar sendiri masih bingung akan apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Satu hal yang ia tahu, pasukan sang Warlord berjalan kembali ke benteng mereka dan ia merasa sangat beruntung pada detik ini.

    ***​
     
    Last edited: Mar 17, 2011
  15. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ketegangan pertempuran tampak sudah mulai surut. Penjaga-penjaga Zar’goza sudah tampak saling mengobrol sambil minum anggur di pos jaga mereka. Sementara itu matahari sudah jauh di barat dan mulai membiarkan kegelapan datang.

    “Komandan, aku ingin benteng ini dipertahankan dengan semua yang kau miliki.” desis sesosok kirzka raksasa kepada kirzka lainnya yang lebih kecil.

    “Baik, tuan. Benteng ini akan dipertahankan hingga ke orang terakhir.”

    Sang Warlord mengangguk, “Bagus, jangan lupa untuk mempergunakan tentara tambahan yang kita miliki dengan sebaik mungkin.”

    “Tentu saja, tuan.”

    Setelah mendengar jawaban komandan benteng, sang Warlord dengan perlahan berjalan pergi. Langkah kaki pengawal pribadinya menggema dibelakang langkahnya sendiri.

    “Tuan Kyriakos, apakah menurutmu mereka dapat bertahan?” tanya Astlar yang berjalan di samping Kyriakos.

    Kyriakos menggeleng pelan, “Setelah pasukan bantuan musuh tiba, benteng ini akan jatuh dalam beberapa hari. . . Sebuah benteng hanya sekuat titik terlemahnya. Dan titik terlemah benteng ini adalah gerbang selatan yang sudah hancur. Tidak mungkin memperbaikinya dalam waktu singkat.”

    “Kalau begitu apakah bijak kita meninggalkan benteng sekarang, mungkin kita dapat menghancurkan pasukan musuh terlebih dahulu sebelum pergi ke Orienthrone.” desis Astlar.

    “Penguasa Timur tahu yang terbaik, Astlar. Perintahnya adalah mutlak. Bila dia mengatakan kita harus pergi ke ibukota sekarang, maka kita harus melakukannya.”

    Astlar hanya mengangguk patuh.

    “Walaupun, jujur saja aku merasa sedikit bersalah pada si Baron. Aku benci harus meninggalkan manusia itu untuk mati di sini, walaupun sejauh ini dia hanya menunjukkan sedikit kegunaan.” tambah Kyriakos.

    “Kita lihat saja kabar bagaimana pertempuran terakhirnya.” balas Astlar.

    Sementara itu rombongan sang Warlord diam-diam berjalan melalui gerbang utara. Mereka meninggalkan benteng Cataract dalam lindungan kegelapan malam.

    ***​

    Meskipun matahari bersinar dengan sangat terik, tubuhnya tetap saja gemetar dan ia bisa merasakan keringat dingin menetes dari dahinya. Langkahnya terasa berat, seakan dihantui oleh pemandangan yang ia saksikan.

    “Aku disini untuk bertemu dengan Jendral Dyo.” katanya sambil berusaha mempertahankan nadanya agar terdengar wajar.

    Kedua tentara yang ada di depannya menjawab dengan menunduk dan membuka tirai tenda berwarna putih tersebut.

    “Kau memanggilku, Jendral?” tanya dirinya begitu ia melangkah ke dalam tenda.

    “Ya.” jawab sosok yang tengah terduduk di tengah ruangan tenda tersebut.

    “Komandan, aku ingin kau memimpin legiun untuk menyerang benteng musuh.” lanjut sosok tersebut dengan datar.

    Ia tahu hal yang ditakutkannya menjadi kenyataan, “Tapi, tuan. Moral tentara saat ini dalam keadaan yang buruk. Kita baru saja kehilangan lebih dari lima puluh ribu orang dalam satu hari.”

    “Omong kosong, komandan. Para penyihir telah berhasil menghancurkan gerbang, aku ingin penyerangan pada titik terlemah mereka.”

    “Kenapa tidak kita minta bantuan dari pasukan Cavaliar?” sang komandan mencoba menghindar.

    “Kemenangan adalah milik Aesyr, bukan milik mereka.”

    “Tapi tuan, tentara kita-“

    “Ini adalah perintah komandan. Hidupmu dan keluargamu dipertaruhkan disini.” balas atasannya dengan sorot mata yang kejam.

    “Baiklah, tuan.” jawab dirinya dengan pasrah, lagi-lagi sensasi dingin kembali menyerang tubuhnya.

    Dengan berat hati ia melangkah keluar dari tenda tersebut.


    Tanpa ia sadari, ia sudah berjalan menyongsong takdirnya. Langkah kakinya bergemericik dan sepatunya basah oleh genangan darah. Di belakangnya belasan ribu orang mengikuti langkahnya. Tentara-tentara yang menggenggam senjata mereka dengan lemah.

    Hati mereka berat dan langkah mereka licin oleh darah. Udara yang penuh kematian menyambut mereka dan melengkapi kemerosotan moral mereka. Ia tahu dari saat ini keadaan hanya akan menjadi lebih buruk lagi.

    Pemikirannya segera dibenarkan oleh suara mekanik dari arah benteng. Beberapa proyektil seperti labu besar tampak melayang ke arah mereka.

    “Sial. Cepat semuanya! Menuju benteng! Serang! Serang!” teriaknya sambil mengacungkan pedangnya ke arah benteng Cataract.

    Dengan suara teriakan riuh rendah tentara-tentara Aesyr berlari menyisiri jembatan. Sementara itu labu-labu yang melayang dari dalam benteng mulai menghujani tentara Aesyr. Suara keras seperti petasan memekakan telinganya begitu labu tersebut mendarat dan pecah menjadi lidah api.

    “Serang! Jangan lihat kebelakang! Serang!” teriaknya sambil terus berlari menyinsing anak panah yang mulai beterbangan.

    Tentara Aesyr berhamburan maju sambil mengangkat perisai mereka. Hal tersebut tampaknya sama sekali tidak berpengaruh, dengan mudahnya anak panah dari crossbow memecahkan dan menembus perisai mereka. Meninggalkan lebih banyak lagi mayat di sepanjang jembatan.

    Potongan tubuh, darah dan organ internal manusia berserakan di seluruh jembatan dan membuat licin jalan. Wajah-wajah dengan tatapan kosong tampak mengintip dari sungai ke permukaan.

    Baru saja ia berpikir dirinya beruntung karena belum bergabung bersama wajah-wajah tersebut, ia merasa kehilangan keseimbangan karena terpeleset darah. Keberuntunganku berakhir di sini, sebuah anak panah pasti akan membunuhku. Itulah yang ada di pikirannya ketika ia mulai meluncur jatuh.

    Tapi sepertinya nasib berkata lain. Kecerobohannya telah berubah menjadi keberuntungan. Tepat ketika ia terpeleset sebuah proyektil labu meluncur tepat di atas dirinya. Labu tersebut pecah dan langsung melahap setengah lusin orang yang berdiri di belakangnya ke dalam lidah api. Bila ia masih berdiri tegak labu tersebut akan langsung menabrak dirinya dan membakarnya hidup-hidup.

    Ia menengok kebelakang, dengan ngeri ia menyaksikan orang-orangnya meraung dan berusaha memberontak dari api yang melahap tubuh mereka. Banyak yang sudah gugur, tapi lebih banyak lagi yang masih berdiri.

    Ia melihat ke depan, gerbang kokoh yang menjaga benteng tidak ada lagi. Hanya barisan pasukan bertombak kirzka yang menghadangnya di depan. Mungkin ia dapat melalui semua ini, mungkin masih ada harapan.

    “Maju semuanya! Hancurkan barisan mereka!” teriaknya sambil bangkit.

    Barisan tombak di depannya tampak solid, tapi tidak sekokoh gerbang benteng. Tampak kirzka pada barisan depan berlutut pada satu kaki. Tombak terhunus di satu tangan dan perisai baja di tangan yang lainnya. Sedangkan barisan di belakangnya tampak berdiri tegak dengan kuda-kuda yang sigap. Halberd yang mereka pegang tampak mengancap.

    “Serang mereka!” raungnya sambil diikuti oleh tentaranya.

    Barisan yang kelihatan berbahaya ini jauh lebih rapuh dari pada tembok ataupun gerbang mereka. Ia membatin dan memperkuat hatinya dengan pikiran baik. Barisan tombak ini dapat dirusak. Kita dapat menombak balik mereka sambil menghindari tombak mereka. Aku dapat memimpin orang-orangku untuk menghancurkan barisan ini. Untuk memenangkan pertempuran ini. Untuk keluar dari sini dengan- selamat?

    Dalam sekejap pikirannya terhenti. Tombak-tombak bergerigi milik para kirzka menembus tubuhnya dengan mudah. Tombak sama yang akan mencabik-cabik semua gelombang tentara Aesyr yang mencoba menembus mereka.

    ***​

    “Mereka benar-benar tidak tahu kapan saatnya untuk menyerah.” desis seorang kirzka sambil mengisi ulang peluru crossbownya.

    “Sepertinya mereka belum menangkap pelajaran yang diberikan tuan Kyriakos.” tambah kirzka lain.

    “Hey, tidak bisakah kau mempermudah pekerjaan kami.” desis salah satu kirzka pada penyihir mereka.

    “Bersabarlah, sihir merupakan sebuah seni. . . dan kerjasama.” tampak seorang kirzka bersisik merah sedang mempersiapkan mantranya. Kedua tangannya terangkat tinggi ke langit, jubahnya tampak seperti teriup angin yang tidak alami. Bukan hanya dirinya yang melakukan hal tersebut. Sekitar sepuluh orang penyihir melakukan hal serupa di sepanjang dinding benteng.

    Tiba-tiba angin yang aneh mulai bertiup. Udara seakan-akan terkonsentrasi ke arah medan pertempuran. Diikuti desis aneh para penyihir, angin bertiup dengan keras sehingga para penjaga di sepanjang dinding terbawa mundur beberapa langkah.

    Suara ledakan keras secara berkala dan cepat terdengar dari arah jembatan. Dalam sekejap jembatan yang menghubungkan benteng Cataract dengan tepi sungai tampak bersih dari orang-orang. Para penjaga dinding hanya bisa saling bertanya-tanya kemana musuh mereka hilang.

    Pertanyaan mereka terjawab pada detik setelahnya. Hujan langsung mengguyur mereka semua. Hujan darah dan potongan tubuh.

    “Oh, ya seni yang bagus. Kau benar-benar meringankan pekerjaan kami. Sekarang aku harus mencuci baju bajaku.” desis kirzka tadi sambil membersihkan baju bajanya dari serpihan daging.

    “Sama-sama.” desis si penyihir dengan jengkel. Jubahnya sendiri sudah berwarna merah sekarang.

    “Oh, kerja bagus. Tapi akankah para manusia necromancer marah. Kalian telah membuat bahan baku mereka menjadi serpihan kecil.” komentar salah satu kirzka sambil melempar seonggok daging keluar.

    “Para manusia cukup kreatif dalam menggunakan barang sisa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” jawab si penyihir dengan kalem.

    ***​

    Dari sisi lain medan tempur tampak Jendral Dyo menyaksikan hasil dari serangannya. Ekspresi wajahnya tetap tidak berubah setelah menyaksikan pembantaian pasukannya.

    “Kalian yakin bisa menjatuhkan benteng tersebut?.” tanya dirinya tanpa menengok.

    Tampak orang-orang yang terbungkus jubah dan tudung berdiri di belakang sang Jendral.

    “Tenanglah Jendral, pasukan baru akan berdiri untukmu. Saat itulah kemenangan akan datang.” salah satu dari mereka menjawab dengan suara dingin yang kosong.

    “Kalian telah gagal bahan ketika jumlah kalian lengkap. Dan sekarang sebagian dari kalian telah terbunuh. Apakah kalian mampu?” balas sang Jendral tanpa berpaling.

    “Milikilah kepercayaan pada kami. Darah dan jiwa yang melayang tinggi akan memperkuat kami. Pengorbanan tentaramu akan terbayar.” jawab sosok tersebut dengan nada datar.

    “Aku akan mengorbankan sebanyak mungkin tentara untuk menjatuhkan benteng tersebut. Aku ingin hasil dari kalian secepat mungkin.” Setelah mengucapkan hal tersebut Jendral Dyo langsung melangkah pergi.

    “Percayalah pada kami. Percayalah. Kau akan mendapatkan kemenanganmu.”
     
    Last edited: Mar 17, 2011
  16. Lyco Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Nov 3, 2008
    Messages:
    8,648
    Trophy Points:
    221
    Ratings:
    +9,754 / -0
    Uh langsung beberapa chapter
    :XD:
    mungkin ada yang terlewat, jadi wa tanya2 aja

    Kalau ada jembatan2 lain berarti mereka bisa melewati benteng itu kan? biarpun jembatan lainnya kecil2 tp jauh lebih cepat daripada penyerangan lebih dulu ke benteng kuat.

    trus itu Aesyr nggak punya peralatan berat macam catapult atau lainnya buat hancurin dinding benteng?

    mungkin yang agak aneh menurut wa ini, itu clan Ironscale bisa pesta pora sementara benteng mereka sedang digempur pasukan musuh?
    :iii:

    woh chapter 5 part 4 nya jadi FPV serang prajurit yah :haha:

    jadi yang gunain sihir itu sebenarnya manusia yah :iii:
    di benteng itu juga ada manusia yang ada di pihak kirzka?
    seru juga ceritanya :haha:
     
  17. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ini kan invasi besar2an yang tidak dilakukan hanya satu dua kerajaan, tapi banyak kerajaan.
    Jadi kan tiap kerajaan beda2 rutenya. Aesyr sendiri tentaranya sebenernya ga cuma gempur Cataract, tapi di tempat lain juga.

    Bawa peralatan berat di padang pasir susah kali, ada juga nyangkut di pasir duluan.
    Kalo mau buat peralatan berat di medan perang bingung juga bahannya dari mana.

    Bisa lah. Ibarat ada tentara reguler yang berjuang sama ada tentara elitenya sebagai reserve (yang bisa pesta pora)

    Yep, tentaranya Zar'goza ada manusianya juga. Bakal menonjol di chapter depan.
     
  18. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter VI: Clement and The Mount Thorn

    Dalam salah satu menara di benteng Cataract. Terdapat dua orang pria yang tampaknya tidak terpengaruh oleh ketegangan perang. Ketika matahari tenggelam mereka sibuk minum anggur dan saling bercanda.

    Pria pertama adalah seorang yang berbadan bidang dan agak gemuk, ia mengenakan jubah tebal dari bulu unta. Jenggotnya dipotong pendek dan kasar, sedangkan rambutnya yang sebahu dibiarkan berantakan. Wajahnya menyorotkan pandangan yang santai dan sedikit licik, tapi ia bisa menjadi orang yang keras bila saatnya tepat. Meskipun penampilannya tidak meyakinkan, orang ini sebenarnya merupakan kaum bangsawan.

    Pria kedua memiliki penampilan yang jauh berbeda. Walaupun tubuhnya lebih kecil dari pria pertama, ia memiliki beberapa bekas luka di wajahnya dan tubuhnya diselimuti oleh baju baja serta jubah berwarna hitam. Penampilannya menunjukkan ia adalah orang yang terbiasa di medan perang.

    “Aku bersumpah, ini adalah salah satu pekerjaan terbaik yang pernah kulakukan.” canda pria pertama sambil mengangkat gelas anggurnya.

    “Semuanya berjalan dengan lancar. Yang kita lakukan hanyalah menyewa beberapa necromancer dan semuanya berkelimpahan.” balas pria kedua.

    “Semuanya berkelimpahan. . . Oh, hanya saja kita sangat kekurangan wanita di sini. Tapi, meskipun demikian ini adalah pekerjaan yang indah.”

    “Pekerjaan ringan dan uang yang banyak.” tawa pria kedua sambil meneguk anggur.

    “Ya, Kekaisaran membayar dengan sangat dermawan. Terpujilah para kirzka, semoga sisik mereka makin berkilau. . . Seperti emas!” balas pria pertama, anggur yang diminumnya dari tadi sudah mulai memberi dampak.

    “Hidup kekaisaran.” kata pria kedua sambil mengangkat gelasnya.

    “Ya, hidup uang mereka juga- Oh dengar! Kedengarannya orang-orang Aesyr mencoba menyerang lagi.”

    Musik pertempuran terdengar di telinganya. Campuran dari suara benturan logam, derak patah, dan teriakan.

    Pria kedua tertawa, “Mereka tidak bisa menembus benteng ini. Bahkan jika gerbangnya sudah hancur.”

    “Tapi kau tahu. Si kirzka besar itu sudah pergi. Masalah Kekaisaran atau sesuatu seperti itu kalau tidak salah.”

    “Kita tidak membutuhkannya. Penjaga-penjaga kelas kedua kirzka sudah cukup untuk menahan mereka. Lagi pula kudengar seluruh penyihir mereka sudah dibantai.”

    “Tidak semuanya. Sepertinya masih ada cukup banyak yang selamat. Penyihir sungguh merepotkan, mereka dapat menjadi sangat nakal dan menimbulkan banyak masalah.” balas pria pertama, sekarang nadanya menjadi serius.

    “Ya, ya aku mengerti. Seperti penyihir kirzka, mereka meninggalkan kekacauan dalam jumlah besar tadi.”

    “Aye.”

    “Ngomong-ngomong, kau tidak menugaskan para necromancer malam ini?”

    “Untuk apa? Seluruh mayat bertebaran dalam potongan kecil. Kalau aku menyuruh mereka menyatukan mayat-mayat tersebut, mereka hanya akan mengatakan ‘kenapa kau tidak menyewa tukang jahit sekalian’."

    Pria kedua tertawa keras mendengar jawaban temannya, walaupun sepertinya pria pertama tidak menganggap itu sebagai lelucon.

    “Kau tahu, aku yakin mereka tidak benar-benar mengatakan hal tersebut.” kata pria kedua sambil menahan tawa dan mengusap air matanya.

    “Tentu saja mereka tidak akan berani mengatakan hal itu. Aku akan mencambuk mereka kalau sampai mereka berani.” kata pria pertama dengan tenang sambil meneguk kembali anggurnya.

    “Ya tentu, kau jauh lebih mengerikan dibanding mereka.” tawa pria kedua mendengar perkataan temannya.

    Tiba-tiba pria pertama bangkit dari tempat duduknya. Perhatiannya seakan telah dialihkan oleh sesuatu yang penting.

    “Ada apa?” tanya pria kedua dengan bingung melihat tingkah temannya.

    “Katakan padaku. Apa aku yang mabuk. . . Atau suara pertempuran sepertinya makin dekat.”

    Lawan bicaranya langsung terhenyak, dia mulai memperhatikan suara-suara pertempuran juga.

    “Aku juga mendengarnya. Suara teriakan-teriakan itu cukup dekat dari sini. . . Tapi, tidak mungkin pasukan penjaga dikalahkan.”

    “Tidak. Selama pertempuran masih berlanjut semua hal mungkin terjadi.” kata pria pertama dengan waspada, “Aku merasakan sesuatu yang aneh.”

    Tiba-tiba semua hal menjadi jelas. Pintu ruangan mengayun terbuka dengan keras. Seorang kirzka bersisik hitam masuk ke dalam ruangan.

    “Baron Moritz, kau sebaiknya menyiapkan pasukanmu. Garis pertahanan sedang dalam keadaan kacau dan hancur. Pasukan Aesyr sudah menembus benteng.” desisnya dengan cepat.

    “Sial, aku tahu ada sesuatu yang salah.” pria pertama yang dipanggil Baron tersebut langsung memaki.

    “Eckhard! Cepat siapkan orang-orangmu!” perintah Baron Moritz pada pria kedua.

    “Siap, tuan.” balasnya sambil bangkit dan berlari keluar dari ruangan tersebut.

    Baron Moritz juga ikut berlari. Ia menelusuri anak tangga dan terkadang melompati beberapa anak tangga sekaligus.

    Napasnya sudah terengah-engah ketika ia sampai di lantai dasar. Tampak beberapa tentara penjaga melihat dirinya dengan heran.

    “Kalian tidak dengar pertempuran sedang berlangsung! Cepat bangunkan teman-teman kalian!” bentak dirinya pada pasukannya.

    “Ba-baik tuan!” jawab mereka dengan terkejut. Dengan cepat mereka berhamburan keluar sambil berteriak, berusaha menyiagakan rekan-rekan mereka yang terlelap.

    Baron Moritz berjalan keluar dari bangunan menara tersebut. Dalam waktu singkat beberapa ratus tentara sudah berdiri di sekitarnya. Baju baja mereka yang berwarna hitam membuat mereka seakan menyatu dengan bayangan. Hanya suara gemerincing baju rantai cincin yang memperkuat keberadaan mereka.

    Baron Moritz tersenyum dingin melihat pasukannya. Ia tahu ini bukan jumlah sepenuhnya, tapi manusia-manusia ini dapat membuat perubahan dalam medan perang.

    “Sepertinya waktu istirahat sudah habis! Mari kita tumpahkan darah orang-orang terkutuk dari selatan!” raungnya sambil mengangkat pedang.

    Pasukannya membalas seruan perangnya dengan memukul-mukulkan pedang dan kapak mereka pada perisai. Bendera-bendera mulai berdiri dari antara kerumunan itu.

    Ia memimpin pasukannya berjalan menuju suara perkelahian. Dengan sunyi mereka berjalan melewati bangunan-bangunan pertahanan. Ketegangan secara perlahan mulai terbentuk di hati pasukan tersebut. Suara-suara pertempuran mulai menghilang dan kobar serta asap dari arah dinding pertahanan selatan mulai terlihat.

    Begitu ia menginjakkan kakinya di lapangan yang tepat dibelakang gerbang selatan itu, sang Baron menemukan dirinya sedang melihat pemandangan yang cukup kacau. Tampak mayat para kirzka dan tentara Aesyr bertebaran dimana-mana.

    Tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya. Cairan berwarna hijau banyak bercipratan di seluruh tempat. Begitu juga dengan bangkai-bangkai scarab dengan ukuran raksasa. Setidaknya ada delapan ekor scarab di lapangan tersebut. Untungnya mereka sudah mati, telentang dengan kaki-kakinya yang menekuk ke dalam. Tampak tombak-tombak dan senjata lannya menancap di cangkang perunggu mereka.

    “Aku tahu mereka akan bermain dengan sihir lagi.” kata sang Baron sambil memaki. “Untung saja kita tidak perlu berhadapan dengan makhluk raksasa ini.”

    Sepertinya pernyataan sang Baron tidak sepenuhnya benar. Tiba-tiba seekor scarab yang tadinya terguling membalikkan tubuhnya. Cairan berwarna hijau merembes keluar dari luka-lukanya. Diikuti dengan dengung yang melengking scarab tersebut mulai berlari dan mengarahkan tanduknya pada pasukan sang Baron.

    “SIAL! TOMBAK! BENTUK BARISAN TOMBAK!” teriak sang Baron dengan panik.

    Mengikuti perintah mendadak tersebut, para pasukan dengan tergesa-gesa maju dan membentuk barisan tombak yang tidak teratur tepat pada waktunya. Ketika scarab raksasa tersebut hendak menyapukan tanduknya belasan tombak besi langsung menusuk dirinya.

    Tampaknya usaha terakhir scarab tersebut sudah habis. Dengan suara bedebum makhluk besar itu tumbang.

    Sang Baron tertawa melihat hal itu, “Ini tidak terlalu sulit. Kita harus berterima kasih pada para penjaga benteng. Berkat mereka kita hanya mendapat ampas pertempuran.”

    “Tuan, bukan saatnya untuk merasa lega sekarang.” kata salah satu pasukannya memperingatkan.

    Benar saja. Tidak selang lama, diikuti dengan suara gaduh orang-orang dengan bendera scarab berhamburan masuk ke melalui gerbang. Mereka tampak terkejut melihat keberadaan pasukan sang Baron. Sepertinya lawan mereka tidak seperti yang diharapkan.

    Sang Baron seakan menilai tentara yang ada di depannya, kemudian ia memberi semangat pada pasukannya sendiri, “Mungkin saja kita hanya pasukan kelas kedua dan berjumlah sedikit. Tapi melawan anjing-anjing kelas terakhir ini tentu bukan hal yang sulit.”

    Kata-kata Sang Baron disambut dengan tawa dari pasukannya.

    “Lihat mereka mengibarkan bendera Kekaisaran. Serang mereka!” terdengar seruan dari antara tentara Aesyr.

    “Bunuh semuanya! Tidak ada tahanan malam ini! UNTUK CLEMENT DAN MOUNT THORN!!” tawa sang Baron sambil mengacungkan pedangnya.

    Suara pertempuran kembali memenuhi udara. Suara logam yang saling menghantam, suara logam yang membelah daging, suara logam yang memecahkan tengkorak.

    “Apa bagusnya perunggu melawan besi dan baja!” tawa Baron Moritz sambil menebaskan pedangnya. Pedangnya yang tebal dengan mudah membelah perut seorang tentara Aesyr dan menghamburkan ususnya.

    Tiba-tiba ia merasakan hembusan angin yang keras dari arah sisi tubuhnya. Dengan sigap ia menunduk dan menghindari sebuah tusukan tombak. Belum ia melakukan apa-apa, sebuah kapak lempar mendarat tepat di kepala penyerangnya.

    Oh, kekacauan dalam pertempuran. Dimana semua senjata terhunus dan semua benda melayang. Aku sudah lama tidak merasakannya. Pikir sang Baron diam-diam.

    Ia melihat ke sekeliling. Pasukannya dapat dengan mudah membantai tentara Aesyr yang miskin dalam perlengkapan. Tapi walaupun begitu setiap tentara Aesyr yang roboh tampaknya langsung digantikan oleh tentara lainnya. Mereka mengalir dengan sangat deras melalui gerbang kota. Tanpa disadari pasukan sang Baron sudah kalah jumlah telak dengan tentara Aesyr.

    Sang Baron sendiri sibuk menghindari ayunan-ayunan pedang tentara Aesyr sambil membalasnya dengan serangan yang fatal.

    “Dasar sial! Apa pekerjaan kalian!? KALIAN TENTARA! DAN ATAS PERINTAHKU KALIAN AKAN MENDORONG MUNDUR ORANG-ORANG SELATAN TERKUTUK INI!” teriak sang Baron.

    Diiringi sebuah raungan sang Baron mengayunkan pedangnya ke kapala seorang kapten Aesyr. Dengan keras pedangnya memecahkan helm berukiran scarab yang dipakai si kapten dan meremukkan kepalanya. Tapi ia sendiri harus mundur karena tombak-tombak yang mengancam dirinya dengan segera.

    Hal yang terjadi dan apa yang diteriakkan sang Baron pada kenyataannya sangat bertolak belakang. Selangkah demi selangkah ia dan pasukannya mulai kehilangan pijakan untuk bertahan.

    “Tuanku, mungkin kita harus mundur.” saran salah satu tentara yang sudah bernapas dengan tersengal-sengal. Di balik helmnya darah tampak mengalir membasahi wajahnya.

    “Tidak akan! Mau lari kemana kita? Lebih baik bertahan di sini dari pada tersesat di padang pasir.” jawab sang Baron dengan tegas.

    “Tapi kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi!” protes pasukannya sambil terus berusaha melindungi diri dari serangan tentara Aesyr yang makin intens.
     
  19. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Sang Baron sendiri tahu kebenaran hal ini, mereka tidak akan bisa bertahan kecuali-. Terdengar suara ringkikan dan tapal kaki kuda yang menghantam bumi. Pasukan bantuan telah tiba.

    Sekeras dan sedahsyat guntur, pasukan kavaleri berat datang dan menyapu tentara Aesyr dari sisi lain lapangan. Tanpa peringatan kuda-kuda yang dilindungi dengan pelat baja berduri menghantam pasukan Aesyr. Ayunan-ayunan kapak dan pedang memenggal kepala tentara Aesyr yang masih berdiri. Sedangkan tapal-tapal kuda meremukkan tubuh mereka yang tidak beruntung.

    “Kau terlambat Eckhard! Tapi terpujilan semua leluhurmu karena telah menyelamatkanku tepat pada waktunya!” teriak Baron Moritz pada komandannya.

    “Maaf tuan, mempersiapkan pasukan kavaleri memakan sedikit waktu. Ngomong-ngomong, sebentar lagi para tukang tidurmu akan segera menyusul.” balas Eckhard tanpa menoleh, saat ini ia sedang sibuk mengayunkan pedangnya dan menebas semua orang yang ada di jangkauannya.

    “Bagus. Maukah kau berbaik hati mendorong semua anjing ini keluar!” teriak sang Baron, kata-kata kasar selalu terselip diantara perintahnya.

    “Itu hal yang sulit tapi akan kuusahakan tuan.” jawab Eckhard dengan patuh.

    Perkataan Eckhard ada benarnya. Momentum serangan kavaleri berat sudah berakhir. Kuda-kuda mereka telah kehilangan kecepatan karena banyaknya jumlah tentara Aesyr.

    “Yang lain jangan diam saja! Bunuh semua yang masih berdiri!” teriak Baron Moritz begitu menyadari pasukannya sedang berdiri termenung.

    “Ayo! Tunjukkan pada tuan kita apa yang bisa kita lakukan! Maju!” seru salah satu kapten pasukannya.

    Dalam waktu singkat pasukan pejalan kaki mulai mendukung pasukan kavaleri berat. Memastikan pijakan yang telah mereka ambil alih tetap terjaga. Sang baron tersenyum dingin melihat pasukannya kembali berada di sisi pembantai.

    Senyumnya buyar begitu ia mendengar suara langkah tergesa-gesa dari belakang. Ia menengok dan dapat melihat sisa pasukannya baru saja tiba.

    “Teruslah tidur! Kalian akan dengan sangat nyenyak, senyenyak orang mati tepatnya!” bentaknya pada pasukan yang baru saja tiba.

    “Maafkan kami tuan, kami tidak mengira akan terjadi pertempuran malam ini.” jawab salah satu dari mereka.

    Rasanya ia sangat ingin memenggal orang tersebut, tapi cepat-cepat ia mengusir pikiran itu.

    “Jangan banyak alasan. Kalian ikuti aku.” perintahnya pada sekelompok kecil pasukan, “Yang lainnya tetap berjaga, jangan sampai musuh mengambil alih lapangan.”

    Sekitar dua puluh orang mengikuti sang Baron, sebagian besar dari mereka bersenjatakan busur dan crossbow. Sang Baron beserta beberapa orang tentara berpedang, mulai merengsek dengan cepat diantara sisa-sisa pasukan Aesyr yang kacau balau.

    “Tujuan kita adalah pos penjaga diatas gerbang! Kita harus mengambil alih tempat itu dengan cepat!” jelas sang Baron dengan terburu-buru.

    Tampak pasukan kavaleri berat berkerumun di sekitar gerbang berusaha memukul mundur tentara Aesyr. Sementara itu masih ada sejumlah tentara Aesyr yang tersisa di lapangan.

    Sang Baron melewati mereka semua seakan meraka hanya orang-orangan sawah. Terkadang ia meninju, menyikut, ataupun menebas mereka ketika waktunya tepat. Tentara Aesyr sendiri juga tampaknya tidak memperkirakan akan ada bangsawan yang lari tanpa memedulikan mereka.

    “Ayo cepat, lama sekali kalian!” teriak sang Baron sambil menebas seorang tentara Aesyr. Ia sendiri sudah berada di depan tangga yang mengarah ke pos penjaga bagian gerbang.

    “Cepat ikuti aku!” katanya tidak peduli sebelum ia mulai menaiki tangga spiral.

    Dengan tergesa-gesa ia menapaki anak-anak tangga berwarna kecoklatan tersebut. Terkadang ada mayat penjaga kirzka yang tergeletak melintang di anak tangga. Ia hanya bisa bertanya-tanya apa yang membunuh mereka di sini.

    Pikirannya teralihkan oleh betapa melelahkannya menapaki anak tangga buatan kirzka. Tiap anak tangga lebar-lebar dan jarak yang satu dengan yang lainnya cukup jauh, mereka di desain untuk kaki kirzka bukan manusia. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mendengarkan keadaan. Suara kegaduhan masih terdengar di bawah, sepertinya pasukannya masih berjuang mendorong mundur musuh. Suara langkah kaki juga terdengar mengikutinya dari kejauhan. Lambat sekali mereka, pikirnya.

    Begitu sampai di ruangan penjaga sang Baron langsung melompati anak tangga terakhir dengan lega. Walaupun demikian ia tetap menghunuskan pedangnya, dengan tajam ia memandang kesekeliling ruangan. Sepertinya tentara Aesyr tidak memasuki tempat ini.

    Tampak banyak mayat penjaga kirzka berserakan di seluruh penjuru ruangan. Hal ini makin membuat sang Baron bingung. Tidak ada mayat tentara Aesyr disini, tidak ada kerusakan pada ruangan, apa yang membunuh mereka semua? Pikirnya dalam hati. Hal itu tidak penting sekarang.

    Pandangannya langsung tertuju pada apa yang dia cari-cari. Tampak beberapa kuali besar tergantung di sisi luar ruangan. Asap panas tampak membumbung tipis dari kuali-kuali tersebut.

    Sang Baron berlari ke sisi luar ruangan dan mengintip keadaan di luar melalui lubang pertahanan. Tampak pasukan kavaleri berat dibantu pasukan pejalan kaki telah mendorong tentara Aesyr hingga ke jembatan.

    Terdengar suara orang-orang memasuki ruangan.

    “Lamban sekali kalian! Cepat bersiap untuk menuang kuali minyak! Pemanah! Ambil posisi kalian, carilah target!” perintah sang Baron dengan cepat.

    Sambil mengeluh diam-diam, beberapa orang pasukannya langsung memposisikan diri di sisi-sisi kuali minyak. Sementara pemanah-pemanah mulai menempati lubang-lubang pertahanan dan menarik busur mereka.

    “Ketika aku memberikan isyarat, kalian tumpahkanlah isi kuali. Mengerti?”

    Pasukannya hanya menjawab dengan anggukan lemah, tampak keringat bercucuran di wajah mereka.

    “Eckhard! Eckhard! Komandan!” panggil sang Baron keras-keras pada sosok komandannya yang sedang sibuk mengayunkan senjatanya. Untung saja Eckhard langsung mendengar teriakan Baron Moritz. Sang komandan menoleh ke atas dengan pandangan bertanya-tanya.

    “Bawa pasukanku keluar dari situ! Kembali ke lapangan! Kuulangi bawa mundur semua pasukan ke lapangan!” teriak sang Baron memberi perintah.

    Tanpa banyak tanya Eckhard langsung menuruti perintah tuannya.

    “Mundur! Semuanya mundur!” katanya memberi perintah sementara ia masih mengayun-ayunkan pedangnya.

    Begitu sebagian besar pasukan sudah mundur, barulah komandan Eckhard dan beberapa kavaleri berat yang tersisa ikut mundur. Pasukan-pasukan Aesyr berusaha mengejar mereka, tapi laju mereka dapat diperlambat oleh para pemanah.

    "Sekarang! Tuang minyaknya!” perintah sang Baron begitu melihat seluruh pasukannya telah mundur.

    Tampak para pasukan bersusah payah mendorong kuali tersebut. Cairan hitam tampak mengalir tumpah dari mulut kuali dan mengalir ke dalam sebuah lubang yang memang sudah disiapkan.

    “Terus tuang semua kualinya!” perintah sang Baron, tanpa peringatan ia melempar sebuah obor ke salah satu kuali. Membuat kuali tersebut menumpahkan minyak yang terbakar ke dalam lubang di sisi ruangan.

    Secara mengagumkan, cairan minyak tersebut mengalir melalui saluran khusus dan keluar di depan pintu gerbang. Tepatnya saluran keluar minyak tersebut berada pada mulut ukiran naga dan gunung merapi yang terletak di atas gerbang.

    Gunung dan naga pada ukiran tersebut seakan menjadi hidup dan memuntahkan api pada orang-orang di bawah mereka. Dalam waktu singkat jalan masuk ke dalam benteng sudah diselimuti api yang membumbung tinggi. Sang Baron melihat dengan bangga hasil kerjanya.

    “Jangan berhenti memanah, usir mereka!” katanya memberi perintah sementara ia sendiri berjalan turun.

    ***​
     
  20. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    hoeeek...!!!:muntah:
    gore...gore...gore....!!!! :muntah:
    belum lagi hujan darah n organ + serpihan tubuh....!!!!!!!! :muntah:
    kekuatannya beda jauh....:swt:
    :dead:

    tegang juga nih perangnya! :keringat: mungkin lebih tepatnya sadisss!!! :shock1:
    (apa cerita aq bakal menjurus kemari juga ya nantinya...:swt:)

    keji juga nih jendral Dyo :voodoo:
    ternyata pasukan2 Aesyr bukan berani mati! dipaksa berani..keluarganya di ancam! :voodoo:
    habis tu sengaja pula pasang strategi tu biar mereka mati semua! :voodoo:
    gara2 sewa penyihir2 butuh tumbal! :voodoo:

    tadinya

    jangan pake istilah asing kk! jadi ga indah... :unyil:

    walaupun lebih mudah nangkap apa yang dimaksudkan di sini IMO kalo dikatakan langsung seperti itu akan mengurangi keindahan kalimat n cerita kk, mungkin dideskripsikan aja dengan kata2 lain, jangan langsung to the point! :unyil:

    IMO kurang indah kk kalo pengulangan gini! :unyil:

    dekat >> singkat

    overall, ceritanya tambah ganas! :top:
    (walaupun udah mulai full of gore...:swt:)
    tapi terkadang diskusi antar prajurit di benteng Cataract menurunkan intensitas n ketegangan, mungkin bisa di kemas lebih baik lagi timing n atmosfir penyampaiannya! :unyil:

    btw, kayaknya si warlord penasaran ya sama mata ishtar? :blink: ada rahasia apa nih? :blink:
    CMIIW :maaf:

    baru komen udah muncul lanjutannya...:swt: ga jadi nagih....:swt:
    jangan banyak2 kali sekali update!! :voodoo:
     
    Last edited: Mar 27, 2011
  21. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Typo dan kata yang terulang sudah di perbaiki :top:
    Masih tidak dapat menemukan pengganti yang tepat untuk kata intens dan deskripsi yang tepat untuk mata buaya.

    Gore itu sudah menjadi bagian dari nama saya :ngacir:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.