Lounge Siapa Mod Berikutnya?

heeee

kamu minta dilempar ke gunung bromo ya, charasun

...tanya merp

entah, ini masih diedit2, susah bikinnya

 

ga bisa ngepost lagi disana

autolocked nya di pej 199

 

Dukung lalat jadi mod

 

lach bukannya kamu ya yang daftar

 

Ya paling juga ditolak, mending kk lalat aja

 

tsun2 gitu kau

sama kek merp ya

neng vera

ini tempat dimana TS yang imut2 bikin trit

neng vera nglamar jadi mod curhat ya

 

dilarang maen edit sembarangan

dih kepo deh

 

kekunci di 199 mod tadi

Ii_chan iican iican liat nih, aku rombak lagi, gah

Spoiler: ga tau mesti digimanain

Saat mobilku tiba dan menepi di depan De’Lau Café, gadis itu masih ada disana.

Berdiri dibalik kabut tipis yang muncul sejak pagi, sosoknya terlihat begitu tenang. Matanya yang biru cerah tertuju keatas langit, menatap butiran-butiran salju yang jatuh perlahan. Ia menggenggam sebuah payung besar yang cukup untuk memayungi dua orang. Bening, tak berwarna.

Seolah tak menyadari keberadaanku dari balik kaca mobil, sang gadis masih tetap diam. Ia baru menoleh saat kemudian aku membuka pintu mobil dan melangkah keluar.

Pandangan mata kami beradu. Wajahnya masih tampak lugu, polos, sama seperti sebelumnya.

Aku tersenyum hambar. Ada sedikit keraguan saat aku memutuskan untuk berjalan mendekatinya.

“Hai,” Sapaku singkat. “Lama menunggu?”

Gadis itu masih tetap diam, seolah tak mendengar apa yang kuucapkan. Untuk sesaat, hatiku kembali diliputi perasaan ragu. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana perasaan itu muncul – setidaknya tidak untuk saat ini.

Memejamkan mata sambil menarik napas panjang, kuputuskan untuk kembali mengulang pertanyaanku.

“Sudah lama menunggu?”

“………”

“Eve?”

Saat namanya kuucapkan, mata sang gadis perlahan berbinar. Sebuah senyum muncul dari raut wajahnya.

Ia mengangguk.

“…cukup lama.”

Aku tersenyum kecil. Sang gadis masih menatapku dengan mata berlinang, hingga tak lama kemudian butiran air jatuh dari pelupuk matanya. Ia menunduk, hanyut dalam isak tangis. Jujur aku tak tahan melihat raut wajahnya yang berisi perasaan sedih campur haru.

Dan tanpa sadar, ia sudah berada di pelukanku.

Kurasakan payung yang ia genggam jatuh keatas tanah putih bersalju. Gadis itu membenamkan tubuhnya dan menggenggam punggungku erat-erat. Cukup lama, sebelum kemudian kudorong tubuhnya menjauh. Setelah menyeka air matanya untuk beberapa saat, ia tersenyum.

“Aku merindukanmu, Kyle.”

Aku mengangguk, tersenyum. Tanpa menunggu aba-aba, gadis itu kembali membenamkan kepalanya di dadaku. Dirangkulnya tubuhku erat-erat, seolah ia sudah menunggu begitu lama untuk bisa melakukan hal ini.

Refleks, kutepuk kepalanya. Eve masih asyik memelukku bahkan saat kuminta dirinya masuk kedalam mobil – sebuah sedan hitam yang sudah mulai usang.

***

Salju turun perlahan dari langit luas. Untuk sejenak, aku sempat berpikir bahwa salju akan terus turun tanpa henti.

Eira merupakan sebuah kota kecil di pegunungan Kaukasus. Hanya sedikit sekali orang yang tahu tentang keberadaan kota ini. Hal ini dikarenakan letaknya yang ada diantara pegunungan terjal dan hampir setiap hari terhalang oleh kabut. Diantara berbagai keunikannya, ada satu hal yang membuat Eira berbeda dengan kota-kota lain di dunia : kota ini memiliki banyak sekali sosok robot berwujud manusia, yang digunakan untuk membantu kehidupan manusia sehari-hari.

Android, begitu kami menamai sosok robot tersebut.

Dibuat di pabrik robot, sosok Android dibuat untuk memudahkan pekerjaan masyarakat Eira yang rata-rata bekerja sebagai tukang kayu. Sosok android ini kelak nantinya akan bekerja sebagai pelayan, juru masak, atau supir. Imajinasi masyarakat Eira yang tinggi membuat sosok android hampir menyerupai manusia pada umumnya. Satu hal yang membedakan mereka dengan manusia adalah bahwa android memiliki antenna pemancar di telinganya. Rata-rata umur android juga pendek, hanya sekita dua sampai delapan tahun, tergantung dari peranan yang dimainkan sang android.

Hampir semua masyarakat di Eira memiliki android. Aku sendiri bukanlah pengecualian. Eve merupakan android yang kubeli lima tahun lalu, saat aku membuka toko buku. Awalnya aku hanya menganggapnya sebagai sesosok mesin yang bisa kugunakan sesuka hati. Meski demikian, android yang ada di Eira dibuat menyerupai manusia asli, termasuk kenyataan bahwa mereka memiliki emosi layaknya manusia. Mereka bisa merasakan senang, sedih, marah, malu, semuanya.

Sebagai sesosok android, umur Eve sendiri sudah ditentukan sejak awal ia diciptakan. Ia merupakan android jenis Beta dengan usia pakai lima tahun. Aku membelinya untuk kufungsikan sebagai pelayan di toko buku milikku. Adapun android jenis Beta sendiri boleh dibilang merupakan prototype android yang kini tak difungsikan lagi. Setelah melihat banyaknya kasus manusia yang menjalin ikatan emosional dengan android, pemerintah negeri ini memutuskan untuk menerapakan kebijakan berupa penghapusan emosi pada setiap Android. Tentu kebijakan ini dikecam banyak pihak, meski tak sedikit pula yang mendukungnya. Tapi bagaimanapun, keputusan pemerintah tetap berjalan, dan sedikit demi sedikit, android jenis Beta digantikan peranannya oleh android jenis Alpha. Hingga akhir tahun ini, android type Beta mungkin hanya tersisa belasan.

Setelah menghabiskan waktu selama hampir lima tahun bersamanya, aku memutuskan untuk mengirim Eve ke pusat daur uang.

remind me of Dismantle. I have no idea. seriously

dah ah, tidur, besok kerja

 

pas di post 2K berarti ya

ya boleh aja sih