1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Sang Kyai Penguasa Ghaib (Kisah Nyata)

Discussion in 'Dear Diary' started by rianfals, Jun 15, 2020.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. rianfals Members

    Offline

    Joined:
    Jun 15, 2020
    Messages:
    4
    Trophy Points:
    1
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +0 / -0
    WhatsApp 082390615902

    Scene 1
    Pesantren di lereng bukit

    Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.

    Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

    Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.

    Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

    Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

    Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.

    Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.

    Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.

    Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

    Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.

    Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.

    Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,

    “Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”

    “Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.

    “ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.

    Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.

    Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.

    Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.

    Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.
     
    Last edited: Jun 30, 2020
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. wakjowakjo Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 10, 2012
    Messages:
    165
    Trophy Points:
    41
    Ratings:
    +62 / -2
    Lanjutkan Kisanak, Ijin ikut Ndeprok di pojokan
    :ogblink:
     
  4. rianfals Members

    Offline

    Joined:
    Jun 15, 2020
    Messages:
    4
    Trophy Points:
    1
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +0 / -0
    Scene 2
    Nyai Bundo

    “Sudah.” kata Kyai.

    “Saya mau… mau…” sahut Iqbal gugup.

    “Iya sudah saya isi, mau ilmu kebal senjata kan?” Iqbal manggut.

    Aku yang waktu itu membereskan gelas minuman, juga ikut heran, apalagi Iqbal. Karena memang Kyai belum menyentuh Iqbal sama sekali. Melihat Iqbal ragu, Kyai segera memanggil Kunto, santri dari Sumatra yang tubuhnya gempal.

    Setelah kunto menghadap, “Kunto, ambil golok!, kau tes si Iqbal ini.” kata Kyai tenang.

    Iqbal pucat, kulihat keringat dingin membasahi jidatnya, tubuhnya gemetar, aku tak berani membayangkan apa yang dipikirkan Iqbal, mungkin dia menyesali telah datang kesini, atau mungkin membayangkan kulitnya sobek sampai ke tulangnya kelihatan memutih lalu darah mengucur dari lukanya, lalu tubuhnya ambruk mati.

    Kunto telah datang membawa golok, semua santri memiliki golok, senjata khas yang dipakai santri untuk mengambil kayu bakar di gunung putri. Di pondok ini para santri makannya ditanggung Kyai, kalau Kyai ngasih beras, maka nasi yang dimakan, tapi bila adanya ubi maka ubi yang dimakan, bahkan tak jarang berhari-hari kami makan daun singkong yang direbus saja, tapi alat perebus yaitu kayu bakar, kami harus mencari di hutan.

    Kedatangan Kunto dengan goloknya yang berkilat-kilat membuat Iqbal makin gemetaran, tamu-tamu yang lain telah minggir, sebelum Kunto datang mungkin takut kecipratan darah, apalagi tamu-tamu wanita makin jauh, tinggal Iqbal yang duduk sendirian di depan Kyai, keringatnya membanjir, apalagi Kunto datang tanpa kata-kata lagi meloncat menebaskan goloknya berkelebat ke arah leher Iqbal yang duduk menunduk di depan Kyai, para tamu perempuan menjerit.

    Kontan Iqbal menoleh. Bias, wajahnya seputih kapas, golok Kunto mendesing ke arah lehernya. Memejamkan mata saja Iqbal tak sempat apalagi menghindar, nyawanya rasanya sudah lepas ketika suara ngek!, terdengar di lehernya, tapi segera aliran darah merah mengaliri seluruh permukaan kulitnya yang memutih, menyegarkan kembali urat-uratnya, dan kelegaan menggantikan keterkejutan, ketika mendapati kepalanya tidak menggelundung lepas.

    Bahkan ia tak merasakan sakit sama sekali ketika ketajaman golok menyentuh kulitnya, seperti bantal kapuk yang empuk saja. Semua mata yang menatap lega, dan suasana segera dicairkan dengan ketawa Kyai, yang menyuruh Iqbal melanjutkan ujicoba kekebalannya di luar, karena Kyai mau menerima tamu yang lain.

    “Oh engkau rupanya nyai Bundo.” kata Kyai, diiringi senyum.

    “Maaf nyai aku tak bisa menyambutmu yang mendadak ini,”

    “Ah banyak bacot amat!” bentak nyai Bundo.

    “Terima serangan ku!”

    Seketika perempuan tua itu mengangkat tangan kanannya setinggi pundak, sedang tangan kirinya diarahkan ke pusar. Dengan hitungan detik tapak tangannya menyala, dari menyala merah biru kemudian putih keperakan. Terdengar olehku suara Kyai mendesis, “Pukulan saripati bagaspati.” Tangan Kyai mendorong lututku sehingga tubuhku meluncur seperti beroda dan mentok di tembok. Kulihat tangan nyai Bundo dipukulkan ke depan. Terdengar suara bersiutan seperti suara mobil yang jalan kencang lalu direm mendadak.

    Ketika cahaya itu lepas dan menghantam dada Kyai, semua orang di situ matanya melotot, udara terasa panas, rasanya seperti dalam oven. Cahaya yang menghantam Kyai begitu mengenai dadanya, cahaya itu langsung amblas. Kyai tetap duduk tersungging senyumnya. Seperti tak terjadi apa-apa, bahkan pakaian putih yang dikenakan samasekali tak berkibar. Jelas hal itu membuat nyai Bundo makim marah, dan mengulang pukulannya sampai berulang kali, tapi hasilnya sama, Kyai tetap duduk tak bergeming.

    “Bedebah cilik, sihir apa yang kau pakai?” nyai Bundo seperti tak percaya, ilmu yang selama ini dibanggakannya seperti tak punya kekuatan apa-apa. Padahal biasanya yang terkena pukulan yang telah dilambari aji saripatibagaspati, jangankan manusia, kerbaupun akan hangus terbakar luar dalam, tinggal mengasih bumbu sudah matang tak perlu dimasak lagi. Tapi ini orangnya masih hahak hihik, jelas membuat nyai Bundo panas hatinya kicat-kicat.

    “Sareh nyai, ayo duduk sini.” kata Kyai masih terus ketawa. Walau masih mbesengut nenek itupun akhirnya duduk di depan Kyai, lalu Kyai mengangkat tapak tangan kirinya seraya berkata,

    “Nyai, nanti apa yang keluar dari tapak kiriku, dan engkau bisa mengambilnya maka itu menjadi hak mu.” nyai Bundo penasaran matanya menatap ke tapak tangan Kyai yang terpentang.

    Nyai Bundo memandang tak berkedip kearah tapak tangan Kyai yang perlahan tapi pasti mulai memerah dan semakin merah bercahaya, ketika dari dalam telapak tangan itu keluar batu mirah delima, batu itu terlihat merah menyala-nyala, sampai lengan baju putih Kyai ikut menyala. Segera tangan kiri nyai Bundo meraih punggung tapak tangan Kyai, sementara tangan kanannya mencoba mengambil mirah delima yang menyala-nyala itu, tapi alangkah terkejutnya karena batu itu seperti lengket di telapak tangan Kyai.

    Lebih lengket daripada lengketnya perekat raja lem sekalipun. Nyai Bundo mencoba mengambil dengan segala daya kekuatannya. Sementara Kyai terkekeh-kekeh, keringat nyai Bundo membanjir, dan asap putih tipis mengepul dari rambutnya menunjukkan bahwa nyai itu telah menggunakan kekuatan tenaga dalamnya. Malah batu sakti itu tak bergeser sedikitpun, dan lagi ketika batu itu masuk lagi kedalam telapak Kyai tangan nyai Bundo ikut terbetot masuk kedalam. Sontak nyai Bundo membetot tangannya, setelah batu itu lenyap.

    “Itu mungkin bukan rizkimu nyai, mungkin yang ini rizki mu,” lagi-lagi dari dalam tapak tangan Kyai yang terbentang, perlahan muncul gagang keris berukir burung garuda, keris itu perlahan keluar dari tangan Kyai yang sama sekali tak berlubang apalagi berdarah. Separuh keris itu masih menancap di tapak tangan Kyai, nyai Bundo pun lekas memegang gagang keris dan mengerahkan semua tenaga dalamnya di salurkan ke tangannya yang menggenggam keris. Dengan mudahnya keris itu dicabut. Sreet, seperti mencabut rambut dari adonan roti.

    Ketika keris telah tercabut betapa nyai Bundo matanya melotot terkejut, dia benar-benar mengenali keris yang sekarang ada di genggamannya.

    Segera ia bersujud mohon ampun dan menyembah-nyembah ke Kyai, Kyai cuma terkekeh-kekeh sambil membelai rambut putih perempuan tua yang sedang bersujud. Lalu Kyai menyuruh nyai Bundo duduk dengan tenang. Dan Kyai mengajakku dan yang ada di situ sholat berjamaah karena memang waktu magrib tinggal sedikit. Setelah sholat selesai dan dzikir setelah sholat, Kyai segera menemui nyai Bundo yang masih duduk sambil tangannya masih memegang keris dan tak ikut menjalankan sholat karena memang nyai Bundo bukan orang Islam. Ketika Kyai duduk di depannya, nyai itu segera meraih tangan Kyai menyalaminya, membungkuk dan meletakkan tangan Kyai di jidatnya.

    “Maafkan aku guru, yang bodoh ini, tak tau tingginya gunung di depan mata, bimbinglah aku guru…” suara nyai Bundo mengiba, tak seperti pada saat kedatangannya, yang menantang-nantang.

    “Nyai dari mana engkau tau akan diriku.” tanya Kyai lalu nyai Bundo menceritakan.

    Nyai Bundo adalah orang Kalimantan pedalaman, dia murid seorang sakti bernama Wong Agung Sahlunto, ketika gurunya itu moksa di depannya. Sebelum moksa gurunya itu berpesan, sambil mengacungkan keris yang sekarang ini ada di genggamannya.

    Lalu katanya, “Muridku kalau kau nanti menemukan orang yang memegang keris ini, maka tunduklah padanya ikuti ajarannya dan masuk agamanya.” setelah berkata seperti itu Wong Agung itu sirna beserta kerisnya. Bertahun-tahun berlalu namun nyai Bundo tak menemukan keris yang dipegang gurunya di tangan orang lain. Dia mencari ke segala penjuru, namun tetap tak menemukan, dalam pencariannya itu nyai bertemu dua orang pertapa sakti dari orang Dayak, namanya Luh Bajul dan Luh Landak.

    Dan mereka bertiga mengikat persaudaraan, pada waktu terjadi kerusuhan sampit Luh Bajul dan Luh Landak mengamuk, membunuhi orang Madura. Sepak terjang dua orang sakti ini begitu menakutkan, tak jarang seorang bayi yang digendong ibunya, tanpa ketahuan sang ibu, telah kehilangan kepalanya.

    Sungguh gerakan dua orang ini tak diketahui, sehingga banyak korban binasa di tangan dingin mereka. Di suatu senja, Luh Bajul dan Luh Landak tengah mengaso di tepi hutan. Setelah selesai menumpas habis dua keluarga, mereka berdua tengah duduk-duduk santai di bawah pohon randu alas. Tiba-tiba ada suara keras dan berat memanggil nama mereka berdua, mereka segera mendongak ke atas karena suara itu dari atas dan mereka terkejut sekali melihat perwujudan besar tinggi hitam legam, lebih tinggi dari pohon randu alas, matanya merah menyala seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu.

    Serempak mereka berdua bersujud menyembah, karena mereka tau itulah Jadsaka, jin yang mereka sembah, yang memberikan berbagai ilmu sihir dan ilmu kesaktian. Kata jin itu dengan suaranya yang membuat bumi yang dipijak kedua orang itu bergetar “Jebleng..! Jebleng..!, celaka, celaka, Sang raja akan datang kesini, kalian sambutlah dia, dan ikuti apa yang dikatakannya, sebelum dia marah dan menghancurkan bangsaku maka aku akan membinasakan kalian berdua.”

    Setelah menemui sang raja itu kedua pertapa dayak itu menceritakan pada nyai Bundo, perempuan itu yang tak ada hubungan dengan Jadsaka tanpa takut. Dengan petunjuk dari Luh Bajul dan Luh Landak segera mencari keberadaan sang raja.

    Aku jadi ingat pada satu malam setelah wirid malam aku tertidur pulas dalam tidur aku bermimpi Kyai mengajakku, “Mas Ian ayo temani aku jalan-jalan.″ begitu kata Kyai, lalu Kyai menggandengku. Tubuhku terasa ringan seperti kapas, melayang cepat laksana kilat, melintasi pohon melewati gunung, melayang seperti superman dalam film, melintasi laut menuju pulau, perjalanan begitu cepat. Lalu tubuh kami melayang sebatas pinggang, nampak olehku dua orang duduk bersimpuh, menyembah-nyembah.

    “Ampun raja apa yang paduka inginkan?”

    “Aku hanya ingin kalian hentikan membunuh orang.” kata Kyai masih memegang pergelangan tanganku.

    “Baik paduka… kalau boleh tau siapa gerangan paduka?”

    “Aku Kyai Lentik penguasa gunung Putri.” setelah berkata itu maka Kyai pun segera menarik tanganku kembali, melesat cepat, dan aku terbangun, hari sudah pagi, kejadian malam itu aku menganggapnya hanya mimpi saja, ternyata kini aku tau bahwa itu nyata, apalagi setelah menguasai ilmu raga sukma melepas sukma itu adalah hal yang biasa saja, terbang kemana saja sekehendak kita.
     
  5. rianfals Members

    Offline

    Joined:
    Jun 15, 2020
    Messages:
    4
    Trophy Points:
    1
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +0 / -0
    Sang Kyai - Scene 3
    Medium

    Malam itu nyai Bundo, disuruh mandi oleh Kyai, setelah diberi petunjuk-petunjuk, setelah mandi nyai Bundo di tuntun membaca dua kalimah sahadah, dan nyai Bundo pun telah menjadi seorang muslimah, terlihat wajahnya memancarkan kebahagiaan, dan matanya berkaca-kaca karena bahagia.

    Malam itu nyai Bundo menemani Kyai menemui para tamu-tamu yang tiada habisnya sampai adzan subuh, nyai Bundo teramat kagum kepada Kyai, yang begitu dengan telaten mendengar keluh kesah para tamu, lalu memberi solusi, berbagai macam keluhan tentang kesempitan hidup, tentang segala macam penyakit.

    Kyai dengan sabar melayani, tanpa meminta imbalan apapun, karena memang Kyai tak membutuhkan apa-apa. Aku sangat tau pasti itu, kalau soal rumah mewah, aku sangat tau Kyai punya di mana-mana, yang sering aku diajak menengok rumah mewahnya yang dibiarkan kosong, di Pondok Indah, di Kelapa Gading, di Tangerang, di Parung, semua rumah-rumah yang mewah, juga mobil Kyai punya banyak, sampai akupun tak tau jumlahnya, yang aku tau pasti ada mobil mercedes, karena aku pernah mengecatnya dengan lukisan airbrush, lalu ada mobil land cluser yang dibeli dari uang daun.

    Saat itu Kyai mengajar kami tentang kemulyaan ilmu, dan banyaknya ilmu Alloh, sehingga ilmu Alloh teramat banyak sampai jika ilmu Alloh itu digali dari masa nabi Adam as. sampai sekarang maka ilmu itu masih lebih banyak lagi, lalu Kyai juga menyinggung tentang kebersihan hati dari penyakit nafsu, serakah, sombong, egois, iri, dengki, berburuk sangka, tiada bersyukur, menjauhkan sifat-sifat dan budi pekerti yang tercela, apa yang kau lihat, jika orang lain melakukan maka kau tak suka, maka apabila kau lakukan seperti itu orang lain pun tak suka.

    Itu harus dijauhi, dan jauhkan diri dari memandang sesuatu itu punya kekuatan melebihi kekuatannya Alloh. Upayakanlah di dalam hati yang ada Allah semata. Maka hatimu nanti menginginkan, sebenarnya itu keinginan Alloh. Tiba-tiba Kyai menyuruh para santri mengumpulkan daun kopi sebanyak-banyaknya, kami segera bertebaran mengambil daun kopi, yang pohonnya tumbuh di sekitar pondok, setelah dirasa banyak, kamipun segera kembali ke depan Kyai, kemudian Kyai menyuruh mengikat daun-daun kopi itu degan tali dari gedebong pisang, dijadikan bundelan-bundelan, lalu Kyai menyuruh semua daun disatukan di atas sorban, dan sorban itu diikat, kemudian Kyai mengucap, ”Ini adalah suatu contoh jika engkau menginginkan daun jadi uang, jika hati telah diliputi hanya Alloh, maka daun pun akan jadi uang.”

    Kami semua menatap dengan pandangan kurang yakin, bagaimanapun itu pengalaman yang belum pernah kami alami. Lalu Kyai menuding pada bungkusan daun. Dan berkata, “Jadilah uang.”

    Lalu Kyai menyuruh kami membuka ikatan sorban itu, dengan hati berdebar-debar kami buka ikatan, dan betapa terkejutnya kami, semua daun kopi yang kami kumpulkan telah menjadi uang semua, masih terikat tali gedebong pisang. Kami semua memandang takjub, termasuk para tamu yang ada, lalu Kyai memanggil salah seorang tamu yang dikenal baik oleh Kyai. Namanya pak Wisnu.

    “Pak Wisnu, tolong pak Wisnu bawa pergi uang ini dan saya minta dibelikan mobil landcluser.” kata Kyai. Pak wisnu he eh aja kemudian pergi membawa uang itu. Besoknya datang mobil yang masih kinyis-kinyis sesuai permintaan Kyai.

    Pagi itu sebelum matahari keluar dari peraduannya, nyai Bundo telah pergi, sebelumnya mohon diri kepada Kyai, lalu berjalan ke halaman, membentangkan karpetnya, berdiri di atasnya, membaca mantra, tubuh dan karpetnya pun melayang terbang, nenek itu melambai kepada Kyai yang mengantarkan sampai pintu rumah gubugnya. Wajah nenek itu demikian bercahaya penuh kedamaian.

    Begitulah di pesantren ini tiap hari ada saja orang yang diIslamkan, penyakit yang disembuhkan, pecandu narkoba yang disadarkan, bromocorah yang ditaubatkan, preman yang disadarkan, dengan kelembutan dan kasih sayang juga kelebihan-kelebihan Kyai.

    Matahari pagi bersinar dengar ceria, wajahnya berbinar sumringah seperti merahnya para gadis desa yang mau pergi ke sungai untuk mandi, embun di atas rerumputan bagai permadani manikam, berkilauan bahagia seakan tak takut sebentar lagi sari indahnya akan hilang berbarengan siang yang mulai menggarang.

    Nampak beberapa tamu menunggu Kyai menemui ada yang ngobrol, ada juga yang duduk bermalasan. Nampak sebuah sedan BmW hitam dop. Berhenti di tempat parkir, lalu menempatkan ke parkir jauh dari pohon kelapa yang memang mendomisili tumbuhan di sekitar pesantren. Selain kopi pesitan, picung, dan cecek juga ada pohon mlinjo.

    Setelah mobil berhenti, keluarlah tiga orang, satu pria dan dua wanita, nampaknya tiga orang itu, seorang gadis dan ayah ibunya. Duilah cantiknya, bener-bener gadis yang cantik, walau di pondok ini sering kedatangan artis, tapi memang gadis ini benar-benar cantik, mata yang indah wajah yang sempurna hidung mancung sekali, bibir yang merekah tapi tipis, alis mata yang melengkung seperti pedang orang Arab, dagu yang lancip, uh kulitnya putih bersih tapi mengeluarkan cahaya, mungkin sering mandi susu dan madu. Tubuh yang tinggi tapi padat berisi.

    Wah jadi membayangkan yang enggak-enggak, ternyata bukan aku saja yang terpukau, si Jauhari, Kholil dan Mujaidi, yang sedang menyapu halaman, terbengong-bengong, sapu di tangan mereka terlepas. Dan air liur menetes dari tepi mulut mereka, wah bisa malu maluin, aku segera menghampiri mereka, dan mengingatkan mereka. Mereka bertiga segera menyadari, dan cepat-cepat melanjutkan menyapu. Aku sebenarnya juga keluar air liur, tapi dikit, tak sebanyak mereka.

    Ketertarikan wanita dan lelaki juga kekaguman kesempurnaan ciptaan Alloh, adalah wajar, wanita memandang lelaki, juga sebaliknya, kemudian kagum, itu wajar, asal tidak meneruskan pandangannya ke dalam pandangan perzinahan mata. Yang tidak wajar itu kalau lelaki lihat kambing betina, lalu timbul birahi.

    Inilah hidup kita ini diberi nafsu binatang, tapi kita juga diberi pikiran, nafsu membuat kita hina, tapi dengan menempatkan pada tempatnya sungguh nafsu tak membuat manusia hina.

    Gadis cantik dengan kedua orang tuanya itu menghampiri salah seorang santri yang sedang menyapu halaman. Kebetulan yang didekati si Kolil, Kolil masih pura-pura sibuk menyapu, keringat dingin keluar membanjir, gemetar dengkulnya bergemelatukan.

    Lalu si gadis bertanya, “Mas, Kyainya ada?” tanya gadis itu.

    Sebenarnya yang ditanyakan hanyalah pertanyaan yang biasa saja, yaitu pertanyaan bagi tamu yang baru datang dan ingin bertemu Kyai. Tapi karena Kolil sudah keder duluan, dan suara gadis itu seperti suara seruling dari alam lain, maka Kolil pun gelagapan, seperti orang tenggelam di danau yang dalam “nga…ngu.. uit…nguk…”

    Melihat gelagat yang kurang baik, aku segera menghampiri.

    “Mau ketemu Kyai ya?” dijawab anggukan oleh ketiga orang itu. “Mari ikuti saya.” sayapun berjalan duluan, sambil berpikir, pastilah si Kolil nanti malam tak bisa tidur, kalaupun bisa tidur, pasti semalaman akan mengigau, sampai pagi.

    Setelah sampai di tempat, Kyai masih sibuk mengobati seorang tamu, sementara tamu yang lain masih mengantri, segera tiga orang itu kuminta mengantri. Yang ditangani Kyai bernama Bapak Saipudin, dia seorang jaksa daerah Banten, karena menangani suatu masalah bapak Saipudin disantet orang. Tiba-tiba lelaki tinggi, umur empatpuluhan tahun itu memuntahkan darah kental, dari mulutnya, sementara Kyai mengobati lewat tangan Kyai ditempel di punggungnya.

    Lalu Kyai memanggilku, “Suruh si Tarsan mengambil kelapa hijau.” kata Kyai, yang langsung kufahami maksudnya.

    Aku segera memanggil Tarsan. Nama Tarsan adalah nama panggilan kepada seorang santri, karena trampilnya memanjat. Tarsan adalah santri dari Bojonegoro, umurnya duapuluh tahunan, tubuhnya kecil tapi kekar, berotot, Tarsan segera memanjat kelapa, tubuhnya sama sekali tak menempel pada pohon kelapa, kaki tangannya lincah menempel pada pohon kelapa, seperti tangan dan kaki itu milik spiderman, tak sampai lima menit tiga buah kelapa didapat tanpa dijatuhkan, karena memang kelapa itu perintah Kyai.

    Setelah kelapa itu diisi oleh Kyai, satu kelapa diminum bapak Saipudin, dan yang dua dibuat mandi. Setelah tamu-tamu dilayani, sampailah pada giliran gadis itu dan kedua orang tuanya. Lelaki itu mulai mengenalkan diri bernama Purnomo, dan istrinya dan gadis cantik itu adalah anak angkat pak Pur, yang bernama Evo, aslinya ayahnya orang Jerman dan ibunya orang Indonesia, sejak umur 12 tahun ibunya telah meninggal dunia, dan papanya kembali ke negaranya, sehingga pak Purnomo yang mengasuhnya.

    Pak Pur menarik napas, lalu melanjutkan ceritanya. Namun sayang agamanya Kristen, mengikuti agama ibunya. Tampak Kyai merenung sebentar kemudian berkata ditujukan kepada Evo,

    “Tidakkah engkau ingin tau keadaan ibumu di sana.”

    “Bagaimana aku bisa tau, ibuku telah meninggal.” jawab gadis itu polos.

    Kyai lalu menyuruhku memanggil Jauhari, santri asal Madura, yang wajahnya agak kotak, tinggi sedang yang suka mandi berlama-lama tapi kulitnya tetap hitam juga. Tapi memang Jauhari orangnya baik, bertemu siapa saja ia akan tersenyum, atau mungkin sengaja tersenyum karena mau menunjukkan pada semua orang bahwa ia punya gigi yang putih. Jauhari segera menghadap Kyai masih dengan senyum khasnya, tapi ia tak berani menatap gadis cantik yang duduk di situ, takut ilernya tak bisa ditahan dan membanjir, tentu akan membuat malu Kyai.

    “Ada apa Kyai?” katanya, masih tersenyum.

    “Hur.! Sini duduk menghadap kesana.” kata Kyai, menyuruh Jauhari duduk membelakangi Kyai, yang segera dilakukan Kyai.

    Perlahan tangan kanan Kyai terangkat tinggi-tinggi telapaknya terbuka, kemudian telapak itu tergenggam. Mata pak Pur, istrinya, dan Evo memandang tak berkedip, tiba-tiba tangan Kyai seperti melempar sesuatu ke punggung Jauhari. Tiba-tiba secara mengejutkan tubuh Jauhari bergulingan di galar bambu, suaranya mengaduh-aduh, tapi bukan suara Jauhari yang terdengar melainkan suara wanita.

    “Aduh… tolong, ampun, sakiit.. jangan pukul lagi, ampun.. huhuu..” suara Jauhari yang menjadi suara perempuan itu merintih-rintih kadang merangkak, tapi seperti ada yang memukulnya dari belakang, punggungnya sampai meliuk, lalu bergulingan, seperti tak kuat menahan derita sakit yang tiada tara.

    Pak Purnomo dan istrinya terkejut, heran, dan berbagai pertanyaan kumpul jadi satu. Tapi yang lebih tekejut lagi adalah Evo, wajah gadis cantik itu, putih pucat seperti kapas, tanpa sadar ia menjerit, “mama!”

    Mendengar suara Evo, Jauhari yang masih bergulingan itu bangkit lalu merangkak mendekati Evo, masih mengaduh dan menangis,

    “Kaukah itu Evo?” suara perempuan yang ada di tubuh Jauhari bertanya, “Evo Yulianti Dousand.” Evo beringsut mundur, wajah Jauhari yang hitam makin jelek saja, mungkin itu yang membuat Evo mundur, aku jadi berpikir kenapa tadi yang jadi medium bukan aku saja, setidaknya lebih cakep daripada Jauhari.

    “Tak mungkin, mama sudah meninggal…, tak mungkin.” Evo beringsut mundur.

    “Anak durhaka, setelah ibumu meninggal, kau tidak mengakui ibumu, aduuh..” tubuh Jauhari terjengkang lagi, seperti ada yang menyambuk punggungnya. Kyai terlihat mengangkat tangan seperti menahan seseorang yang tak terlihat supaya tidak memukul lagi, dan Jauhari pun tak mengaduh lagi.

    “Apa buktinya kau mamaku.” tanya Evo masih ragu.

    Lalu suara perempuan itu nerocos menceritakan Evo dari kecil sampai saat mamanya meninggal, tentang Evo yang suka bubur kacang hijau, tak pernah mau minum susu, sejak kecil rambutnya suka dikepang. Belum sampai ceritanya habis, Evo menjerit mau menubruk Jauhari tapi segera ditahan oleh ibu angkatnya.

    “Oh mama…” tangis Evo menyayat, “Bagaimana keadaan mama di sana? huhuu…”

    “Oh aku disiksa terus… dicambuk terus, menyesalpun percuma, kenapa kau tak pernah mendoakan ibumu ini.”
     
  6. rianfals Members

    Offline

    Joined:
    Jun 15, 2020
    Messages:
    4
    Trophy Points:
    1
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +0 / -0
    Sang Kyai - Scene 4
    Teror di Desa Pasir Saketi

    “Aku selalu mendoakan ibu…”

    “Tapi doamu tak sampai, kenapa kau tak masuk agama Muhammad, aku tak kuat lagi disiksa…”

    “Mama…huhu..” Evo masih menangis.

    “Aku pergi anakku …masuklah agamanya Muhammad..”

    Tiba-tiba tubuh Jauhari melemah, dan ambruk.

    “Mama… mama jangan tinggal Evo ma… Mama.” Evo menjerit lalu tubuhnya gelosor pingsan lama Evo pingsan, sementara Jauhari telah lama sadar, tapi masih kelihatan bingung, kayak orang habis dinyalain petasan tepat di depan hidungnya.

    Sementara setelah Kyai menyalurkan tenaga prana dari jauh, Evo mulai bergerak-gerak sadar, karena peristiwa itu Evo kemudian masuk Islam, mempelajari doa anak kepada orang tuanya. Setelah sholat ashar, keluarga Evo meninggalkan pesantren, wajah Evo sudah tak sedih lagi, nampak jelas ada gurat-gurat harapan yang kuat di dasar hatinya, sehingga wajah cantiknya berpendaran.

    Belum sampai setengah jam mobil Evo dan keluarganya pergi, datang lagi dua mobil, satu mobil toyota model lama, satu lagi mobil sedan polisi. Setelah mobil itu parkir, orang-orang yang ada di dalam mobil segera keluar, dari mobil toyota kijang, nampak keluar dua lelaki satu berperawakan sedang bajunya warna coklat susu, umurnya sekitar empat puluhan tahun, orang ini bernama Setiono, sering dipanggil pak Nono, adalah kepala desa Pasir Seketi.

    Yang keluar dari mobil bersamanya adalah carik Sanusi, orangnya berperawakan tinggi gagah, kumis melintang sangar. Sementara mobil yang satu lagi adalah mobil polisi, berisi tiga orang polisi. Kelima orang itu segera menemui Kyai di rumahnya.

    Aku tak mengerti masalahnya, sampai Kyai memanggilku, karena aku sedang masak di dapur menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Merebus singkong, dan membakar ikan asin. Bau ikan asin yang terbakar segera memenuhi udara, memanggil cacing dalam perut bergerak-gerak sehingga menimbulkan suara berkerutan, rupanya bau ikan asin pun sampai ke rumah cacing-cacing dalam perut itu.

    “Feb, dipanggil Kyai..” suara Majid yang wajahnya melongok dari balik gedek yang sebatas dada, pemisah dapur dengan dunia luar, yang memanggil Feb cuma Majid, dia adalah teman sekolahku di SMA. Karena tau aku di pesantren lalu dia menyusul, Majid sama denganku dari Tuban cuma beda kecamatan, dia dari Bangilan, perawakannya biasa malah agak pendek, tingginya setelingaku, wajahnya paspasan, ganteng kagak, jelek ia, karena wajahnya berlubang-lubang bekas jerawat batu, tapi memang hobynya mencet jerawat, kalau sudah mencet jerawat, maka ia akan berusaha sekuat mungkin supaya jerawat itu kena, kalau sudah kena, senangnya seperti mendapatkan harta karun terpendam.

    “Gantiin di dapur ya?”

    “Udah sono, biar aku yang ngurusin”

    Akupun melangkah meninggalkan dapur menuju tempat Kyai menerima tamu. Nampak di situ juga Mujaidi, rupanya dipanggil juga, Mujaidi adalah santri dari Bekasi. Sebenarnya awalnya bukan santri, tapi berobat karena kecanduan narkoba, setelah sembuh, kemudian memutuskan menjadi santri.

    Mujaidi perawakannya tinggi kurus, aku aja sepundaknya, umurnya masih delapan belasan, bibirnya tebel hitam, sering sariawan, lalu dikelotoki kulitnya, wajahnya agak lonjong, sama dengan Majid, wajah Mujaidi juga berlubang-lubang karena bekas jerawat batu, hobinya sama dengan Majid, memenceti jerawat, kalau Mujahidi sudah memenceti jerawat maka ia akan lupa waktu, lupa makan, bedanya dengan Majid kalau Majid mencet jerawatnya kalau sudah meletus, bekas letusannya diusap-usapin ke tembok, tapi kalau Mujahidi lebih profesional mencetnya aja dia pake kain, sehingga kalau jerawatnya meletus, letusannya tak kemana-mana, kainnya juga dibasahi cairan antiseptic.

    Peralatan pencet memencet jerawat milik Mujahidi juga lumayan lengkap. Yang aku pernah lihat, ada batu kali, manfaatnya adalah kalau batu dijemur di matahari, dan setelah panas maka ditempelkan, ke jerawat yang belum matang, maka akan segera matang, ada lagi amplas nomer 2000, gunanya untuk mengamplas tempat jerawat yang terlalu dalam. Ada juga jarum jahit, untuk ngorek-ngorek jerawat yang sudah terlalu berakar.

    Aku segera duduk di sebelah Mujahidi, yang melemparkan senyumnya kena mataku,

    “Mas Ian.” kata Kyai.

    “Iya Kyai.”

    “Entar malem, bareng Mujahidi ikut ronda sama orang Pasir Seketi. Mereka membutuhkan bantuan kita, untuk menangkap pencuri yang meresahkan warga.”

    Akupun mengiyakan, sambil melirik Pak Lurah dan rombongannya. Maka setelah sholat maghrib, dan menjalankan wirid wajib, aku dan Mujahidi pun berangkat setelah berpamitan kepada Kyai. Gelap mulai merayap, kampung Pasir Seketi dari pesantren jaraknya kira-kira empat kiloan, cuma harus melewati hutan kopi yang panjang serta grumbul-grumbul yang gelap mengerikan, tapi kami menganggapnya biasa, karena memang kami biasa hidup di alam bebas. Jam delapan lebih kami tiba di desa Pasir Seketi. Di hadang pemuda-pemuda desa yang membawa golok arang.

    “Siapa?” tanya pemuda gempal memakai topi coklat. Di belakangnya berdiri pemuda yang lain siaga.

    “Aku Ian.” jawabku keras untuk menghilangkan kecurigaan. Dan rupanya pemuda itu mengenaliku.

    “Oo mas Ian, ayo mas ke rumah Pak Lurah, Pak Lurah sudah menunggu, tadi berpesan kalau mas Ian datang supaya langsung dibawa ke rumah.” kata pemuda itu seraya menggandengku. Diikuti oleh anggukan hormat dari sepuluh pemuda, di mata mereka memancarkan kekaguman ketika memandangku dan Mujahidi.

    Memang kisah pesantren kanuragan Pacung, lereng gunung Putri, sudah menjadi buah bibir, tentang Kyai dan santrinya yang sakti-sakti, itu membuatku bangga sekaligus takut, takut satu saat cerita mereka terbukti, dan kami tak sakti, lemah, tentu akan kecewa mereka dan nama pesantren Pacung hanya isapan jempol belaka.

    Kami bertiga sampai di rumah Pak Lurah, dan memang di serambi depan Pak Lurah telah menunggu kedatanganku. Melihatku dan Mujahidi datang, Pak Lurah segera menyongsong kedatanganku.

    “Ah saya sudah berharap-harap cemas, jangan-jangan nak mas Ian gak datang, mari-mari.″ kami diajak masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi.

    Sementara di meja terhidang beraneka macam buah, gorengan, dan entah makanan apa lagi, aku yang tiap hari makan singkong rebus, tentu ingin mencicipi buah semangka yang telah dipotong-potong warnanya ada yang kuning dan merah. Aku melirik Mujahidi, tentu dia juga merasakan apa yang kurasakan, oh benar sekali, kulihat jakunnya naik turun amat cepat. Karena ludah yang ditelannya, dan tanpa sadar dia mengulurkan semangka kuning, aku menyodok kakinya dengan kakiku. Kebetulan Pak Lurah ke dalam sebentar, memanggil istrinya, dan anaknya diminta menyediakan minuman, semangka kuning yang telah di tangan Mujahidi, segera cepat dilahap, ketika Pak Lurah keluar, semangka itu telah hilang termakan tak tersisa sampai kulit-kulitnya.

    Pak Lurah keluar bersama istri dan anak perempuannya, sambil membawa minuman di nampan.

    “Ini lo bu murid dari Pesantren Pacung, anak-anak muda yang sakti-sakti.″ terdengar suara Pak Lurah yang benar membuat aku jengah, serba salah, tapi aku berusaha bersikap wajar.

    Anak Pak Lurah bernama Anggraini, wajahnya ayu wajah polos anak desa, tapi aku kaget ketika Anggraini meletakkan minuman matanya mengerling, bagaimanapun aku lelaki normal wajarlah kalau berdesir hatiku. Setelah kenal-kenalan, istri dan anaknya Pak Lurah ke dalam, tinggal aku, Mujahidi, dan Pak Lurah. Sementara satu pemuda dan dua orang desa yang sebelumnya menemani Pak Lurah telah melanjutkan ronda. Aku melanjutkan pembicaraan sambil sekali-kali mencicipi tahu isi dengan cabe kesukaanku.

    “Sebenarnya ada pencurian yang bagaimana sih pak, kok sampai meminta bantuan Kyai?”

    “Begini lo nak mas Febri,” Pak Lurah mulai bercerita, setelah menarik napas panjang.

    “Desa Pasir Seketi adalah desa yang damai, tak pernah ada pencurian, kehilangan. Sampai satu hari… Anak perawan desa ini ada yang hilang, namanya Nining. Sehari dua hari Nining tak muncul, kedua orang tuanya menyangka Nining pergi ke kota menyusul abangnya yang bekerja di Jakarta, jadi orangtuanya kemudian menghubungi abang Nining yang ada di Jakarta, tapi abangnya mengatakan, Nining tidak menyusul ke Jakarta, semua orang bertanya lalu kemana Nining, sampai seminggu kemudian tubuh Nining ditemukan di sungai pinggir desa sudah tak bernyawa. Semua orang geger, siapa yang tega melakukan kekejian seperti itu? Setelah diperiksa forensik ternyata Nining diperkosa sebelum dibunuh, Polisi berusaha menyelidiki tapi hasilnya tak ada. Pembunuh Nining tak bisa ditemukan. Sampai sebulan kemudian, lagi-lagi Melati perempuan desa ini pun menghilang, malah menurut ibunya Melati malam itu menghilang dari kamarnya, karena memang jendelanya terbuka, seluruh desa telah diubeg-ubeg tapi Melati tak ditemukan, sampai seminggu kemudian mayatnya ditemukan di sungai dulu Nining ditemukan. Ini jelas bahwa penjahat yang menculik adalah penjahat cabul belaka. Tapi kami tak tau bagaimana dia beraksi.” Pak Lurah berhenti bercerita, dia mengambil rokok Dji sam soe dan menyalakannya, aku dan Mujahidi pun ikut-ikutan mengambil rokok dan menyalakannya, selama ini kami ngerokok tingwe alias ngelinteng dewe. Itu pun tembakau puntung, maka rokok Dji sam soe terasa nikmat sekali, asap mengepul-ngepul bergulung.

    Pak Lurah melanjutkan ceritanya.

    “Kami tak mau kecolongan lagi, maka perondaan ditingkatkan, dibantu para Polisi, sampai seminggu yang lalu, kami meronda, salah satu rombongan peronda melihat bayangan dalam gelap malam, “berhenti.!!” tapi bayangan itu, malah berlari, dan ternyata menggendong karung di pundaknya, tak salah lagi, penculik, sebagian rombongan segera mengejar, yang lain memukul kentongan memanggil bantuan, semua orang berlarian ke arah suara kentongan, dan setelah tau semua mengejar, saat itu Pak Lurah sendiri dan tiga Polisi ikut mengejar. Betapa saktinya orang itu, dengan masih menggendong orang yang diculiknya dia melesat meloncati pagar meloncat ke wuwungan atap rumah, lalu meloncat ke atap yang lain, Polisi mau menembak tapi takut mengenai perempuan yang dipanggul, lalu penculik itu berhenti dan menoleh, seperti mengejek. Lalu melesat cepat, dan hilang di telan gelap malam. Tempat sekitar penculik itu menghilang sudah kami aduk-aduk tapi kami tak menemukan apa-apa, dan yang hilang kali ini gadis bernama Tunik, seminggu kemudian kami menemukan nyawa Tunik dibuang begitu saja di sungai ujung desa. Maka setelah kami adakan rapat, kami memutuskan meminta bantuan Kyai Lentik …,” belom lagi Pak Lurah menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba terdengar jeritan istri Pak Lurah dari dalam.

    “Anggraini..! Anggraini pak.” Pak Lurah segera lari ke dalam, aku dan Mujaidi segera mengikuti, nampak bu Lurah menangis.

    “Anggraini hilang pak,”

    “Hilang gimana?”

    “Tadi di kamar, sekarang nggak ada..”

    “Sudah dicari kemana-mana?″

    “Sudah pak tapi kgak ada.”

    Tiba-tiba ditabuh kentongan bertalu-talu. Aku segera menghambur ke arah suara kentongan, disusul Mujahidi.

    “Kejar..!” “penculik tangkap…!”

    Aku berlari cepat, Mujahidi menyusul di belakangku, orang berserabutan mengejar. Tubuhku terasa ringan, aku dapat menyusul yang lain, malah aku tak sadar ada paling depan di antara pengejar. Kulihat bayangan meloncati sebuah pagar, di pundakya kelihatan karung, tentunya berisi, ah pasti Anggraini, aku makin cepat mengejar, semangat, meloncati pagar, meloncati sungai kecil, menerobos kebon pisang. Aku berhenti membungkuk mengatur napas, mengusap keringat yang membasahi jidatku. Aku baru sadar kalau aku sendiri, kemana yang lain, aku tengak tengok tak ada orang, yang lain pada kemana, tapi aku tadi benar-benar melihat orang itu lari ke sini, dengan sinar bulan yang seperti kuku, kucoba mengenali tempat sekitarku.

    Perlahan pandanganku mulai jelas. Kuburan. Benar tempat ini kuburan, mungkin pemakaman orang desa Pasir Seketi, tapi semakin ku perhatikan ini pemakaman tua, terlihat yang tak begitu terurus, dan batu nisannya dari batu yang menyerupai batu candi, semua hitam berlumut. Segala pohon melintang kesana kesini, rumput setinggi lutut, pohon besar di tengah pemakaman, sungguh tempat yang angker, mungkin dulu aku kalau tidak digembleng Kyai mengitari pulau Jawa dan tidur di sembarang tempat yang lebih serem dari tempat ini, tentu aku akan takut.

    Aku melangkah berhati-hati sambil kaki meraba-raba, sekali waktu mataku menengok ke arah aku datang mengharap ada yang menyusulku, tapi keadaan teramat sepi, aku mau memutuskan tuk kembali, tiba-tiba terdengar, suara daun kering terinjak,

    ”Siapa?” kataku, tak yakin. Muncul di depanku bayangan manusia, pakaiannya hitam-hitam dan memakai penutup wajah hitam.

    “Heh cuma mas Ian ha ha ha.” suara orang itu dan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, aku seperti pernah mengenalnya.

    “Hah kau penjahat cabul…” kataku sambil masih tengak tengok, mengharap orang yang datang.

    Sebab kalau sampai aku berhadapan dengan lelaki ini sendirian bisa berabe. Apakah begini rasanya kalau mau berkelahi, tubuh gemetar. Bagaimana aku menghadapi orang ini, kulihat tubuhnya tinggi besar, berotot, kalau dibandingkan denganku tubuh kecil ceking, tangan kecil kurang gizi, jangankan berkelahi salaman aja kalau tanganku diremasnya tentu seperti meremas kobis. Apalagi sampai berantem, aku takut membayangkannya.

    Terus terang selama ini belum pernah aku berkelahi, pernah juga mau berkelahi, waktu aku kelas SD, kelas dua, kursi yang ku tempati ditempati sama anak lain, lalu ku suruh dia pergi, tapi tak mau malah ngajak berantem, lalu dia memegang hidungku, akupun menangis sekencangnya. Tanpa sadar ku pegang hidungku yang mancung. Wah bagaimana kalau nanti hidungku dipukul sampai patah, pasti tak bisa ku banggakan lagi, apalagi kalau sampai aku mati.

    Ah aku kan masih punya hutang ama teh Ipar, warung yang dekat pondok, apa aku lari aja ya, eh pembaca jangan mengira aku ini pengecut, aku lari cuma mau bayar hutang, apa aku jujur aja ya sama orang di depanku. Aku pergi dulu bayar hutang, nanti balik ke sini, dia bisa nunggu sambil ngrokok-ngrokok, kuraba sakuku, tadi sebelum pergi aku sempat menyambar rokok Djisamsoe yang ada di meja pak Lurah, tapi alangkah kecewaku, rokokku hilang pasti terjatuh saat kejar-kejaran tadi, ah pupuslah harapanku, tapi kalau dipikir-pikir kalau untuk bayar hutang saat ini aku sendiri tak punya uang.

    Eh kamu jangan hiha hihik kalau baca, pasti kamu mengira aku pengecut, bener aku mau bayar hutang tak bermaksud lari, ini pilihan sulit tak seperti yang kau kira, aku hanya takut kalau mati masih menanggung hutang. Dan aku tak takut berkelahi, soal aku di terminal Pulogadung ditodong preman kemudian semua uangku diminta lalu ku berikan, itu memang karena aku tak mau berkelahi dan tak suka berkelahi, kalau mau orang di depanku ini, daripada berkelahi mending main gaple, atau skak, atau macan-macanan, atau yang lebih gampang lagi, suit.

    Yang kalah harus mengakui kalah, jadi gak ada yang terluka, eh pembaca jangan ketawa-ketawa aja, aku tahu kalian menganggapku pengecut, lagian kalau aku mati, kalian kan gak tau kelanjutan cerita ini, oke aku ngalah memang aku pengecut, lalu kalian mau apa?

    Bingung, terjadi pergolakan dalam pikiranku. Ah aku masih berharap ada pemuda kampung yang datang kesini membantuku, repotnya kalau menjadi orang udah terlanjur dianggap sakti, keringat mengucur, dari semua pori-pori tubuhku, bahkan punggungku basah.

    Padahal udara sangat dingin sekali. Sesaat hatiku lega, ketika kulihat bayangan mendekati. Tempat aku dan orang bertopeng itu berhadapan. Tapi rasa legaku segera sumpek lagi, karena yang datang ternyata Mujahidi, wah sama aja, parah. Bisa tambah runyam ini urusan. Gimana gak runyam, Mujahidi ini lebih pengecut lagi, mungkin embahnya pengecut. Sama ulat aja takut, jangankan ulat, di tubuhnya dirambatin kecoak aja gindrang-gindrangnya aja tak henti, merinding terus.

    “Hua ha ha, rupanya pendekar dari pesantren Pacung lagi yang datang, sungguh bangga bisa bertarung dengan orang gagah.” kata orang bertopeng itu dengan nada menghina, mungkin dia sudah tau kalau kependekaran kami cuma cerita saja,

    “Heh Muja, kenapa kamu kesini..?” tanyaku berbisik, setelah dia ada di dekatku.

    “Aku cuma ngikuti mas Ian, soalnya tadi arah larinya kesini. Dia tuh siapa mas?”

    “Ya ini orangnya yang suka nyulik gadis.”

    “Waduh bahaya kalau begitu mas, mending lari aja mas..” Mujahidi beringsung sembunyi di belakangku, itu sudah aku kira, jadi aku tak terkejut melihat tingkah Mujahidi. Lalu bisikku,

    “Eh apa enggak perlu pake alasan?”

    “Ya enggaklah ya lari, lari aja,” aku baru saja mau menyetujui usul Mujahidi, tiba-tiba orang bertopeng itu telah bicara,

    “Ah jangan banyak bacot, terima seranganku.” kaki orang itu lurus menendang ke perutku, gerakannya begitu cepat. ngehg.! Perutku kena tendangan telak.

    Aku tak sempat lagi mengelak, atau lebih tepatnya tak tau cara mengelak, karena memang tak tau bagaimana bertarung, perutku mulas bukan main, tapi aku masih untung jatuhku menimpa Mujahidi yang ada di belakangku.

    Aduh perutku mules banget. Ah mungkin bisa jadi alasan aku beol dulu, tapi setahuku dalam cerita silat tak ada yang menghentikan pertempuran untuk beol dulu, apa nanti tak malu-maluin. Tiba-tiba bruuuet…! Angin keluar tanpa bisa kucegah lagi, Mujahidi mendorongku, “Ah kentut, beuh baunya seperti kentut gendruwo…” Mujahidi memegangi hidungnya seakan-akan yang kukentuti hidungnya. Dia berbangkis-bangkis. Aku segera berdiri, setidaknya mulas di perutku berkurang.

    Tiba-tiba kudengar bisikan halus di telingaku, jelas aku tau itu suara Kyai. “Mas Ian, baca Basmalah.” panas seperti balsem cap lang, mengalir deras ke setiap urat-uratku, mengalir ke ujung jari kaki tangan dan kakiku. Sehingga tubuhku makin lama makin ringan, dan kakiku serasa tak menapak lagi ke bumi, mengalir ke kepala sehingga mataku makin lama makin jelas melihat, tempat ini pun menjadi seperti siang di penglihatanku. Bahkan seekor nyamuk yang terbang kian kemari tampak nyata sekali, suara nyamuk yang hinggap pun terdengar kakinya menapak di nisan.

    Aku tak tau apa yang terjadi denganku, hawa yang mengalir dari pusarku masih terus mengalir.

    “Huahaha…., pendekar, jawara tai ayam, curot, murid pesantren Pacung tak ada isinya..,” suara orang bertopeng itu memecahkan sunyi yang menyelimuti pemakaman tua itu.

    “Mati saja kalian.” setelah mengatakan itu tubuh orang itu berkelebat. Kaki dihantamkan lurus ke arahku, kaki satunya menekuk. Tapi di pandanganku serangan itu seperti filem dalam gerakan lambat.

    Tiba-tiba kurasakan ada tenaga dari dalam tubuhku. Aku menyamping, kaki yang menderu ke arahku, ku cengkeram dan ku tarik sehingga lelaki itu terlempar mengikuti tendangannya. Dan tanganku menelusup menghantam lehernya dengan pergelanganku.

    Hugh!!, tubuhku terseret oleh tubuhnya, kaki kiriku yang terangkat segera memalu belakang kepalanya sementara tanganku menarik lepas kain penutup kepalanya, dan bret..! Aku kaget bukan main.

    “Hah carik Sanusi…!” orang yang menjadi maling para gadis itupun kaget, tutup wajahnya lepas.

    Lebih kaget lagi dia tak menyangka akan seranganku. Cepat beruntun, telak, aku sendiri kaget, dan tak tau apa yang menimpaku sehingga mampu menyerang begitu jurus yang kupakai seperti jurus taici. Mujahidi juga terlongo-longo menyaksikan sepak terjangku.

    “Setan alas. Bajulbuntung, tai kebo, jiampot, rupanya punya simpanan hah.” umpat carik Sanusi panjang pendek, lalu segera mencabut goloknya.

    Aku pun segera mencabut golokku. Golokku ini dibilang golok biasa ya memang golok biasa, karena sering kupakai memotong kayu bakar. Soal kesaktiannya sudah tak terhitung berapa nyawa ayam termakan ketajamannya. Golok ini pemberian Kyai, karena memang aku tak punya uang untuk membeli golok, golok ini bergagang kayu sawo kecik, dibuat oleh orang Ciomas. Kampung pembuat golok paling punya nama di tlatah Banten.

    Sebelum membuat golok besi ditancapkan di tanah pada waktu bulan purnama, dan baru diambil bulan purnama kemudian, sehingga besinya menjadi besi kuning tahan karat dan tua. Ilmu kekebalan yang bagaimanapun akan terluka tersentuh golok ini, karena diisi oleh Kyai. Tapi aku tak mau terbawa oleh cerita mistik tentang golok, makanya golok ini kubuat bekerja di dapur.

    “Suing…!” terdengar desingan ketika Sanusi menyerangku dengan ilmu goloknya, aku tak mengerti ilmu golok, tapi yang jelas serangan Sanusi tak bisa dianggap remeh, goloknya menderu menjadi beberapa bagian, lagi-lagi kekuatan dalam tubuhku seperti menggerakkanku, aku mengikuti saja. Ketika tubuhku juga berkelebat yang jelas di seluruh tubuhku seperti ada sentakan-sentakan kecil seperti setrum listrik, yang membuat golokku berkelebatan kesana kemari. Sangat cepat dan tak terduga. Mengurung Sanusi dari segala arah, wut,wut, betbetbet. Begitu suara nya.

    “Trang…!” Golokku berbenturan dengan golok Sanusi, tak terasa apa-apa, tapi golok Sanusi terlepas dan dia memegangi tangannya. Ada kekuatan yang menarikku mundur, badanku pun melayang seperti kapas, kemudian hinggap di tanah dengan perlahan melayang. Kulihat Sanusi terhuyung, ternyata hasil seranganku sungguh mengerikan, beberapa detik kemudian terlihat di sana sini tubuh Sanusi penuh luka sedalam setengah senti. Bahkan pakaiannya tercabik-cabik tak karuan, Sanusi melenguh lalu melemparkan sesuatu ke arahku, ku kira itu sebuah tulang kecil-kecil, dan “bulz” asap mengepul tipis.

    Tiba-tiba saja telah muncul, empat pocong mengurungku, aku kaget dan ngeri melihat empat pocong yang wajahnya ada yang cuma tengkorak, ada yang biji matanya sudah hilang satu, biji mata yang satu keluar seperti mau jatuh. Sementara tempat hidung telah gerowong, juga rahang dan giginya hilang, aku pontang panting karena pocong itu tak mempan dibacok, golokku membal ketika mengenai kain pocong itu sehingga aku panik, dan hanya bisa menendang tuk menjauhkan pocong itu, tapi ketika pocong itu terjengkang maka tubuhnya seperti memantul, tegak lagi.

    “Hai Mujahidi bantu aku.” aku berteriak panik karena sudah lelah, tapi Mujahidi rupanya pingsan tubuhnya menyender ke pohon sambil berdiri. Ah rupanya aku harus berjuang sendiri, tenaga di dalam tubuhku melontarku ke atas, tubuhku melayang ringan di atas pocong-pocong, lalu bersalto dua kali dan hinggap di dekat Mujahidi. Ku dekati dia memang benar-benar pingsan, mungkin pingsan saat melihat pocong-pocong itu, uh matanya sampai melotot dan mulutnya terbuka lebar.

    Tiba-tiba terdengar bisikan Kyai di telingaku, “mas Ian kalau membacok pocong itu baca takbir.” Mendapat pesan seperti itu aku lantas menggenjot tubuh, berkelebat bak anak panah lepas dari gendewa membabat empat pocong sekaligus. Sambil membaca takbir, dan memang golokku bisa merobek kain ules mereka. Dan blesss.! Begitu saja pocong-pocong itu berhamburan seperti debu yang ditaburkan ke udara. Hilang.

    Aku berdiri sejenak memandang berkeliling, carik Sanusi telah tak ada dia tadi melempar tulang kearahku langsung kabur. Ku dekati Mujahidi, ah enak-enakan dia pingsan, ku coba membangunkan dengan cara apa saja tapi tetap aja pingsan, aduh nih orang nambah kerjaan aja. Sekarang mungkin jam dua dini hari, embun sudah mulai turun. Aku berpikir pasti Anggraini di sembunyikan di pemakaman tua ini. Ku tinggalkan Mujahidi, menuju arah tadi aku pertama kali aku melihat carik Sanusi datang, untung penglihatanku terasa terang, sehingga aku dapat melihat jelas sekitarku.

    Nampak makam-makam yang aneh berbatu nisan batu ukir, mungkin makam zaman Hindu kuno, pohon kemboja, randu alas, dan pinggir makam ditumbuhi pohon bambu yang rapat. Aku berhenti di sebuah nisan aneh bentuknya seperti kepala kuda, tapi patah sampai matanya, juga telinganya yang keatas sudah patah, aku bersandar, tapi ketika aku sandari nisan kepala kuda itu bergeser, aku terkejut, karena tanah yang ku injak terbuka begitu saja dan aku pun jatuh ke sebuah tangga semen, menuju ke bawah. Sebentar aku terkejut, rupanya di makam ini ada ruangan rahasia, pantas Sanusi selalu dapat menghilang kalau dikejar orang kampung.

    Rupanya rahasianya di sini, perlahan ku turuni tangga, golok kukeluarkan, untuk berjaga-jaga dari sesuatu yang tidak kuinginkan, dinding bawah tanah ini lumayan rapi, karena disemen walau asal-asalan dan kasar. Ada lampu minyak menempel di dinding yang cahayanya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang masuk. Wah gila juga si carik Sanusi menciptakan tempat seperti ini, ruangan bawah tanah ini ada dua aku masuki ruangan satu, luasnya kira-kira empat kali tiga meter, ada meja kursi, piring, mangkok dan peralatan masak, ruangan ini rupanya dapur dan tempat makan, aku ke ruangan satunya lagi, rupanya yang ini ruangan tidur, ada ranjang kayu berkelambu. Ku dekati ranjang kayu, dan aku terkejut, menemukan Anggraini walau sebelumnya sudah mengira Anggraini ada di situ.

    Mata gadis itu melotot, tubuh Anggraini digeletakkan begitu saja, di kiri kanannya bertaburan bunga aneka warna, pasti di sini juga gadis yang lain menemui ajalnya, aku merinding juga membayangkannya, seperti banyak mata gadis yang mati memandangku, meminta keadilan, atas kehormatan dan nyawa yang terenggut tanpa sisa. Tiba-tiba hawa yang keluar dari pusarku mengalir, deras menuju jari telunjukku, dan kuikuti saja ketika tanganku bergerak, membuka totokan yang ada di tubuh Anggraini, aku masih tak mengerti apa yang bergerak di tubuhku, sampai di pondok pesantren nanti aku akan bertanya kepada Kyai.

    Anggraini setelah bebas dari totokan segera saja menghambur memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Aku sempat gelagapan, maklum aku tak pernah dipeluk wanita, kringetan juga, gemeter. Apalagi meluknya dengan erat. Aku lelaki normal, bagaimanapun juga, walau imanku kuat, pasti imron kgak bakal kuat. Sebelum setan membisikkan yang enggak-enggak, aku segera melepaskan tubuh Anggraini dari tubuhku.

    “Sudahlah, sekarang sudah aman.”

    “Tapi aku takut sekali kak.” katanya mengiba, air matanya berderai-derai membasahi pipi.

    “Sekarang mari pulang, kuantar ke ayah ibumu, pasti mereka sangat mencemaskan keselamatanmu.” Anggraini mengangguk, kemudian kami keluar, Anggraini masih menggenggam lengan kiriku. Mungkin takut, mungkin menyukaiku, ah tak taulah, aku kasihan, gadis muda begini, mengalami pengalaman yang mengerikan, tak terbayangkan bagaimana dia diperkosa dan dibunuh seperti gadis-gadis yang telah mati menjadi korban carik Sanusi.

    Kami berjalan pulang ke Pasir Seketi, di tengah jalan kami bertemu dengan serombongan para pemuda yang semalam ikut mengejar Sanusi. Semua ribut menanyakan bagaimana Anggraini bisa ditemukan bagaimana penculiknya, agar tidak bertanya terlalu banyak, maka kukatakan penculik yang selama ini membuat resah warga desa adalah carik Sanusi. Sontak para pemuda itu kaget tak percaya, tapi setelah Anggraini mengiyakan, maka mereka marah, dan berbondong-bondong mendatangi rumah Sanusi. Aku dan Mujaidi melanjutkan perjalanan mengantar Anggraini. Sampai di rumah bu Lurah yang sangat kuatir keselamatan anaknya segera menghambur memeluk anak semata wayangnya. Tangis-tangisan ramai terdengar.

    Sementara istri dan anaknya bertangis-tangisan pak Lurah mengajakku dan Mujahidi ke ruang depan, ku ceritakan dengan singkat sampai para pemuda yang mau mendatangi rumah carik Sanusi. Ketika tau yang menjadi biang segala pembunuhan adalah Sanusi, pak Lurah terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala tapi segera mengajakku untuk mendatangi rumah Sanusi sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Aku dan Mujahidi mengikuti pak Lurah yang melangkah tergesa, namun di jalan tak henti-henti mengucapkan terimakasihnya.

    “Sekali lagi aku dan segenap warga desa, khususnya aku pribadi sangat berterima kasih dengan nak mas Ian, kalau tak ada nak mas Ian, apa jadinya Anggraini, mungkin kami tinggal menunggu mayatnya ditemukan di pinggir kali.” Pak Lurah berjalan sambil menangis haru.

    “Sudahlah pak, yang penting semua telah berlalu.” aku mencoba bersikap bijak, walau kedengarannya wagu.

    Yah bagaimana kata bijak keluar dari mulut pemuda seperti aku, rambut panjang sepunggung, walau selalu ku ikat dengan rapi, anting kecil di telinga kananku, wajah hampir mirip perempuan, yah mungkin karena pergaulanku, sebagai pelukis motor airbrush. Sehingga tampang cuek dekil, seenaknya, semua melekat begitu saja dalam diriku, bagaimana mungkin, kata bijak bisa keluar dari mulutku, kalau ada kata bijak mungkin kata itu akan terbang karena tak punya bobot mati. Sampailah kami di rumah carik Sanusi.

    Teriakan para pemuda ramai terdengar bersahut-sahutan.

    “Bakar saja rumahnya, seret saja keluar, lalu bacok rame-rame. Dirajam saja, terlalu enak kalau mati cepat.” tapi semua pemuda tak ada yang berani maju, melewati pagar rumah Sanusi. Karena setiap melewati pagar, paku-paku segera beterbangan, malah telah ada dua pemuda yang terluka lengan dan pahanya kena sambitan paku.

    “Bagaimana ini nak mas?” tanya pak Lurah.

    Aku menggeleng tak tau.

    “Hei Sanusi ayo keluar serahkan dirimu!” Tiba-tiba pak Lurah berteriak, dan teriakan pak Lurah dijawab dengan meluncurnya paku kecil hitam kearahnya. Aku segera berkelebat, tring…! Sepuluh paku rontok jatuh ke tanah, tertangkis golokku.

    “Bagaimana ini mas?” tanya pak Lurah kawatir, aku menggeleng.

    “Tak tau lah pak,” sementara waktu telah beranjak pagi kicau burung mulai terdengar di sana sini, orang-orang sudah tak ada yang berteriak-teriak lagi, mungkin sudah lelah, sehingga keadaan hening.

    Kulihat rumah carik Sanusi, rumah yang besar namun biasa saja, dinding rumah bagian depan menggunakan kayu tanpa dicat. Dan dinding rumah bagian belakang menggunakan bambu yang dianyam, sedang lantai rumah geladak setinggi kurang lebih tujupuluh senti dari tanah. Depan pintu utama ada balai-balai yang ada tangga kecil dari kayu. Balai-balai kayu itu selebar dua kali empat meter. Tiba-tiba terdengar suara mobil datang, rupanya mobil Polisi. Dua polisi keluar dari mobil, lalu menghampiri pak Lurah,

    “Bagaimana pak keadaannya?” tanya Polisi itu setelah ada di dekat Pak Lurah.

    “Wah sulit pak.”

    “Sulit bagaimana.”

    “Yah setiap orang mau maju langsung dihujani paku, sudah ada korban dua orang.”

    “Bagaimana kalau kami menyerbu?”

    “Apakah itu tak berbahaya sekali?” aku maju menimpali.

    “Pak Polisi, bagaimana kalau saya maju mengajak berunding carik sanusi?”

    “Lho anak muda ini siapa?” tanya Polisi itu ditujukan pada pak Lurah. Mungkin dia curiga, karena tampangku, yang lebih mirip kriminal daripada orang baik-baik.

    “Oh dia murid Kyai Lentik, yang kami mintai bantuan, sebenarnya Sanusi sudah terluka parah karena semalam telah bertarung dengan nak mas Ian.”

    “Oh maaf saya tak tau.” wajah Polisi itu menatapku kagum, kemudian menghormatiku dengan sedikit membungkuk, sementara temannya manggut-manggut.

    “Bagaimana menurut nak mas?” tanya Polisi itu ditujukan padaku.

    “Yah gimana seandainya aku maju mengajaknya berunding, sementara pak Polisi menghadang dari pintu belakang, kalau-kalau dia lari?”

    “Yah patut dicoba.” Dua Polisi itu pun kemudian berjalan memutar menuju belakang rumah, sambil mencabut pistolnya, aku mengeluarkan golokku bersama sarungnya kepada Mujahidi.

    “Wah apa kgak terlalu berbahaya mas? Nanti kalau mas Ian disambitin paku, aku kgak bawa tang tuk nyabutinnya.” Mujahidi menerima golokku dengan ragu.

    “Udahlah berdo’a aja.”

    “Kalau menurut saya dikepung aja, yang satu ngepung yang lain makan, gantian gitu, lama-lama juga dia pasti kelaparan dan mati.”

    “Ah kamu ini.” aku menepuk pundak Mujahidi seraya melangkah maju, semua mata menatap ke arahku, orang-orang kampung Pasir Seketi juga sudah mengerumuni tempat itu mungkin juga dari desa-desa tetangga, mereka menonton dari jauh, seakan ini tontonan yang gratis. Aku tak perduli, dengan langkah mantap aku melangkah maju.

    Semua mata tegang menatapku, aku berhenti dua meter dari tangga kecil untuk naik ke balai rumah Sanusi, sambil menunggu kalau-kalau ada paku yang menyambar. Lengang aku berkata, “Carik Sanusi, aku tak bersenjata, aku mau berunding,” kataku seraya membuka lebar-lebar lenganku, kalau-kalau dia mengintip dari dalam maka akan melihatku tanpa senjata, lalu aku memutar tubuhku untuk meyakinkan.

    Suasana masih hening tak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa menit aku melanjutkan melangkah maju. Melewati anak tangga satu-satu, lalu menginjak papan paling tepi dari balai-balai rumah itu, “braak!!”

    Pintu depan rumah itu lepas, melayang cepat ke arahku yang berdiri dalam posisi yang tak menguntungkan, di belakang pintu itu Sanusi yang dengan goloknya beringas menyerangku.

    “Mampuslah kau, anak setan alas..! Kau telah menggagalkan semua usahaku selama ini.!” aku yang terpelanting karena hantaman daun pintu, tak bisa menghindar lagi ketika Sanusi menghantam kepalaku, semua orang yang menonton menjerit, mukaku pun pucat. Ah mati aku ! Tapi, “prak!!” Golok Sanusi telak mengenai kepalaku, tapi aku tak merasakan rasa sakit sama sekali, malah kekuatan dalam tubuhku, menggerakkanku dengan cepat, tubuhku begitu ringan berkelit dari timpaan daun pintu tau-tau telah berdiri di belakang Sanusi, dan melakukan totokan sana-sini, sehingga Sanusi jatuh menimpa daun pintu yang jatuh dahulu.

    Tubuhnya kaku, karena totokanku yang tak ku sadari telah mencabut semua ilmu yang dimiliki, seketika semua orang bersorak. Lalu terdengar suara berteriak, “Habisi penjahat cabul…” kontan semua orang menyerbu. Pagar pun roboh diterjang orang-orang kampung yang marah, aku tak bisa menahan ketika tubuh Sanusi dihujani golok, batu, pentungan, massa rupanya teramat marah. Pengeroyokan baru berhenti setelah terdengar suara tembakan.

    Semua orang kampung yang mengeroyok mundur, tubuh Sanusi, tak berbentuk lagi, aku yang berdiri di atas balai-balai melihat dengan jelas, betapa mengerikannya, wajahnya telah tak dikenali lagi, terlalu hancur, juga tubuhnya sudah tak karuan, darah seperti dituang begitu saja, sungguh kengerian yang tiada tara, aku berjalan meninggalkan tempat itu menghampiri Mujahidi yang juga terbengong, aku segera menarik tangannya tuk segera meninggalkan tempat itu, Pak Lurah melihatku, dan menghampiri.

    “Nak Ian, mampir dulu ke rumah dan tunggu aku di rumah, biar aku mengurus dulu di sini.” aku manggut aja, lalu menyeret Mujahidi untuk bergegas pergi. Dalam perjalanan, Mujahidi selalu menyanjungku.

    “Ah bener-bener kagak nyangka saya, kalau mas Ian sehebat itu, punya ilmu kebal lagi, uh uh, apa kgak sakit mas tadi dibacok di kepala? Wah saya ampek teriak mas tadi, ngira kepala mas Ian pasti belah, ee, ternyata kgak apa-apa.”
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.