1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

pemerintah menyoroti pers

Discussion in 'Education Free Talk and Trivia' started by ichreza, Mar 11, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ichreza M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 8, 2009
    Messages:
    838
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +8,787 / -0
    Masyarakat Menyoroti Pers
    Oleh: Lailiya Yuliatin*

    Perjuangan Indonesia diawali dari organisasi pergerakan (dibangun oleh Sema’un). Namun ketika perjuangan mereka dilibas oleh Belanda, strategi pun diganti dengan memanfaatkan Kelompok Studi dan Pers. Kali ini Bung Hatta dan Soekarno menjadi ujung tombak untuk menjadikan pers Indonesia sebagai alat perjuangan, bagaimana Soekarno dan Bung Hattta bergerilya lewat wacana, membuka ‘borok’ penjajah dengan tulisan yang tajam berargumen. Setelah Indonesia merdeka, pers berperan sebagai alat perjuangan partai tertentu. Pers menjadi ‘corong’ partai yang tentu saja pemberitaannya tidak obyektif namun lebih propagandis buta terhadap kepentingan partai. Namun dengan keadaan ini justru liberalisasi pers juga terwujud, setidaknya tidak dikenal pembredelan pers, yang ada adalah pencekalan terhadap pimpinan-pimpinan pers seperti Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis yang pernah mendekam di penjara. Tentu saja masyarakat memandang pers waktu itu tak lebih dari alat propagandis partai sehingga pangsa pasar atau pembacanya juga terbatas pada kalangan simpatisan partai.
    Pada masa orde baru, masyarakat memandang pers tak lebih dari kepanjangan pemerintah dengan slogannya sebagai media pembangunan. Kooptasi terhadap pemberitaan pada orde baru sangat terasa, isi berita digunakan untuk mendukung pembangunan ala orba. Ini berlangsung secara sistematis dan kontinue. Dari sinilah awal dari hegemoni pemerintah secara sistematis.

    Hegemoni Sistematis
    Seiring dengan dominasi militer dengan ciri khasnya yang menggunakan sistem komando dan represif, hegemoni pemerintah juga sangat terasa pada rezim orde baru ini. Dan hegemoni ini juga merasuki dunia pers, media massa menyajikan berita yang seragam akibat dari sistem kontrol pemerintah. Setiap informasi yang diberikan ke publik harus melalui lembaga kontrol pers, yaitu Departemen Penerangan yang berfungsi untuk mensensor atau menyeleksi informasi yang layak untuk dimuat. Lebih dari itu, pers dituntut untuk memback-up seluruh kegiatan yang dilakukan oleh penguasa (wacana dari bagaimana ‘liputan khusus’ menjadi acara wajib relay di seluruh stasiun televisi).
    Tentu saja masyarakat tak mampu memberikan respon secara proporsional terhadap pemberitaan pers. Bahkan ada sebuah anekdot, keseragaman berita membuat masyarakat malas membaca atau melihat media massa (baik media cetak maupun elektronik) karena sudah mampu memperkirakan apa yang akan dimuat bahkan sebelum media itu terbit.
    Efek yang terjadi ialah terbentuknya masyarakat yang bersikap pasif dan statis, masyarakat semakin dibodohi. Pendidikan politik bagi masyarakat tidak mampu diwujudkan oleh media massa, bahkan seandainya ada media yang berani bersikap kritis terhadap pemerintah, langsung disikapi dengan pencabutan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) seperti pada kasus Tempo atau di majalah mahasiswa Kanaka, yaitu majalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali. Pasca rezim orde baru yang kemudian beralih pada rezim reformasi. Peran pers sudah mulai diperhitungkan. Bahkan terkesan ada sebuah pandangan bahwa hegemoni pemerintah harus diganti dengan hegemoni pers (yang sebetulnya perlu diperdebatkan lebih panjang). Perubahan ini ternyata juga memunculkan permasalahan baru yang tidak kalah rumitnya. Hal ini diakibatkan ketidaksiapan prakondisi, yaitu tidak disiapkannya kondisi subyektif masyarakat untuk menghadapi kondisi obyektif. Justru kondisi subyektif masyarakat yang terjadi antara lain: Masyarakat dibombardir isu-isu; Masyarakat mengalami kesusahan untuk membedakan antara isu dan fakta; Masyarakat cenderung lebih dimanfaatkan dan digiring dalam kepentingan politis. Selain itu, masyarakat juga kian terusik pada permasalahan etnisitas yang sempit. Kondisi Subyektif tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi obyektif atau kondisi riil dari masyarakat, karena kondisi obyektif yang nampak ialah minimnya pendidikan politik, kurangnya kesadaran politik, masyarakat yang belum dewasa, dan masyarakat yang belum siap untuk berbeda pendapat, belum mampu berdialektik dan berpikir rasional serta lebih suka menyelesaikan konflik dengan kekerasan (belum ada manajemen konflik).

    Pada saat rezim reformasi ini, saat kran kebebasan pers dibuka, justru melahirkan pers bombastis, sensasional, tendensius, bahkan profokatif (Tentu ini bukan generalisasi apalagi radikalisasi keberadaan pers di Indonesia). Yang tentu memicu terjadinya manipulasi subyektifitas untuk jadi obyektifitas-setidaknya menurut wartawan.

    Pers, Struktur Masyarakat dan Tanggung Jawab Sosial
    Pers umum tidak mampu menumbuhkan civil society, sehingga pemikiran masyarakat pun sulit berkembang. Hal ini disebabkan ketidakpahaman pers terhadap struktur masyarakat dan tanggug jawab sosialnya. Ini terlihat dari keberpihakan pers terhadap kapitalis yang nampak dari ciri-ciri pers umum saat ini, yaitu: Pertama, Pers menggunakan kekuasaannya untuk tujuannya sendiri. Para pemiliknya mempropagandakan pendapatnya sendiri, terutama mengenai politik dan ekonomi, dengan mengorbankan masyarakat dan para penentangnya; Kedua, Pers tunduk pada pengusaha besar dan kadang-kadang para pemasang iklan mengawasi kebijakan dan isi tajuk rencana; Ketiga, Pers merintangi perubahan sosial; Keempat, Pers dalam pemberitaannya acapkali menaruh perhatian yang lebih banyak kepada yang dangkal dan sensasional, dan hiburannya acapkali kekurangan bahan; Kelima, Pers mengancam moral masyarakat; Keenam, Pers diawasi oleh kelas sosial-ekonomik, kelonggaran bagi ‘kelas usaha’, akses kepada industri yang mempersulit pendatang baru; karena itu wahana bebas dan terbuka menjadi terancam. (lihat makalah “Pers di Tengah Dinamika Sosial-Politik Masyarakat Bali”, oleh Alit Kelakan, Mei 2001).

    Seharusnya pers mampu menjadi sarana yang efektif bagi kesadaran politik dan pendewasaan masyarakat, tanggung jawab sosial pers harus mampu ditransformasikan dalam tataran praksis. Pemahaman tentang struktur masyarakat harus dipahami lebih mendalam, bagaimana kondisi ekonomi dan sosial masyarakat setempat, bagaimana akar budaya masyarakat setempat, sehingga diharapkan pemahaman ini mampu mengarah pada kebutuhan riil masyarakat dan konflik yang ada (pertentangan, suka tidak suka etnisitas dan sebagainya) mampu dimanajemen untuk dimanfaatkan atau digunakan secara konstruktif.

    Namun justru pers umum di era reformasi ini menjadi alat propagandis dan provokatif status quo (kenyataannya sebagian besar pers umum justru dimiliki oleh golongan status quo, yaitu orde baru dan kroni-kroninya). Sehingga sangat tidak mungkin bagi masyarakat untuk mengharapkan pers menjawab permasalahan sosial, apalagi berharap keberpihakan pers umum kepada masyarakat kecil, tentu sangat naif (kecuali apabila kebebasan wartawan terwujud, dimana wartawan mampu melepas ketakutan struktural baik kepada pemilik maupun pemodal; Mungkinkah?)

    Ketika fungsi dan tanggung jawab sosial dari pers tidak mampu diwujudkan oleh pers umum yang sudah mapan, ditambah dengan kondisi obyektif dari masyarakat yang dibombardir dengan isu-isu tanpa mampu memilah-milah fakta, tentu ini riskan akan peluang terjadinya konflik sosial atau konflik horisontal. Wacana ini menjadi nyata seperti ditampakkan pada maraknya kerusuhan baik yang dilatarbelakangi oleh etnisitas, ekonomi maupun agama. Sebenarnya jika kondisi subyektif sudah dipersiapkan, dimana kedewasaan masyarakat sudah teruji, hal seperti ini tak perlu lagi dikhawatirkan. Namun kegagalan dari penyiapan kondisi subyektif ini harus dibayar mahal, yang tentunya juga harus segera diantisipasi. Solusi yang menarik banyak ditawarkan, salah satunya ialah dengan membentuk sebuah kontrol terhadap media yang bertujuan untuk membantu masyarakat memahami dan memilah-milah informasi yang ada.

    Teori dasarnya ialah dengan mengganti fungsi Departemen Penerangan yang tadinya dipegang oleh pemerintah, kini fungsi itu diambil oleh masyarakat secara mandiri (mungkin ini ide awal Gus Dur ketika membubarkan Departemen Penerangan dengan alasan bahwa fungsi Departemen Penerangan ini sudah mampu ditangani masyarakat secara mandiri). Di tataran praktis, muncullah Media Watch yanng secara independen mengontrol dan mengawasi informasi yang dilempar oleh media massa. Namun ini pun menjadi polemik karena sebetulnya kemampuan masyarakat untuk menyeleksi informasi juga diragukan. Masyarakat seperti apa yang punya hak untuk mengawasi media?; Siapa yang bisa dianggap independen?; serta persoalan –persoalan mendasar lainnya terus dipertanyakan. Tampaknya tuntutan masyarakat terhadap pers dan ide untuk mensejajarkan masyarakat dengan pers masih banyak mengalami kendala.

    Masyarakat Membutuhkan Pers Alternatif
    Di sela permasalahan ini persma muncul sebagai pers alternatif yang menyajikan berita dimana pers umum tidak mampu menyajikan secara obyektif. Pada dasarnya pers alternatif ini juga berpedoman pada pandangan pers secara umum. Pers alternatif memiliki prinsip yang bersifat profesional, tidak bersifat menghakimi, reportase yang sifatnya berimbang (cover both side), menyajikan berita secara kritis, jujur, dan benar, penulisan berita yang mengikuti kaidah jurnalistik yang universal dan mengikuti kode etik penulisan pers alternatif (masih perlu diagendakan), serta yang paling penting adalah mencoba memberikan solusi alternatif yang konkrit dengan memakai bahasa penulisan yang menggigit, tajam, namun tetap sopan dan tidak sarkatis.

    Masyarakat akan semakin menyadari bahwa pers alternatif ini begitu dibutuhkan oleh mereka. Karena pers umum yang selama ini menyajikan berita seragam tidak bisa memuaskan keinginan masyarakat sendiri sebagai pembaca untuk memperoleh informasi. Keberpihakan rakyat oleh pers alternatif tentunya mendapat sambutan positif dari masyarakat, karena selama ini pers umum selalu condong pada golongan tertentu yang sedang berada di posisi atas pemerintahan.

    Keistimewaan pers alternatif adalah sebagai antithesa dari pers umum untuk melawan hegemoni pers yang sudah mapan, pers alternatif memiliki keberpihakan sendiri yang khususnya ditujukan pada rakyat kecil. Permasalahan-permasalahan kaum proletar (petani, buruh, nelayan, pedagang dan sebagainya) dibahas secara detail dengan tetap berpihak pada idealisme kebenaran dan keadilan, kebebasan berpendapat, serta hak yang sama memperoleh akses dalam jaringan informasi. Kondisi masyarakat yang tidak mampu menjangkau informasi (disebabkan mahalnya harga informasi yang dihargai secara ekonomis semata; informasi dikuasai kaum kapitalis yang hanya memperebutkan keuntungan semata), harus dilawan dengan upaya untuk memberikan sebuah wacana alternatif yang dikemas oleh pers alternatif dalam kemasan yang sangat murah sehingga mampu untuk dijangkau masyarakat (karena pada dasarnya hak untuk mendapatkan informasi yang murah merupakan hak seluruh rakyat). Disinilah peran pers alternatif dituntut untuk mampu merealisasikan demokrasi dan keberpihakan pada kaum kecil. Dengan mengabdi sepenuhnya pada demokrasi, pers alternatif akan mampu menuangkan ide-ide kritisnya agar bisa merangsang pembaca menjadi lebih aktif.

    Masyarakat tentu sangat merindukan pembahasan-pembahasan dan wacana yang dilontarkan oleh pers alternatif dimana selalu memperhatikan kebutuhan rakyat. Seperti saat terjadi polemik pada rencana pemberlakuan Undang–Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB), mahasiswa dan pers umum gencar membeeritakan pro dan kontra seputar RUU PKB. Tentu saja peran pers justru kian meruncingkan situasi dan memperpanas sampai pada tataran grass root (rakyat akar rumput). Padahal jika kita bisa berpikir secara arif, dalam keadaan itu mengapa tidak kita coba melemparkan wacana alternatif dengan keberpihakan kepada rakyat saja, misalnya dengan melempar wacana tentang pentingnya pembentukan undang–undang keamanan dan keselamatan rakyat. Tentu saja, wacana-wacana alternatif ini hanya bisa dibahas oleh pers alternatif pula.

    Pers alternatif, sebagai lembaga pers yang independen, dan tidak condong pada satu golongan atau kelompok tertentu, tentu hanya bisa diwujudkan oleh sekelompok orang yang independen pula. Disinilah sebenarnya peran mahasiswa, sebagai orang yang belum larut dalam tarik ulur kepentingan politik bisa lebih bermain cantik dengan keberpihakan pada masyarakat.

    Memandang Pers Alternatif Dalam Kerangka Budaya Lokal Bali
    Teknologi informasi dan Media massa punya pengaruh yang sangat kuat terhadap perubahan serta arah dari kebudayaan lokal. Pada dasarnya, media bisa dimainkan untuk berbagai tujuan sosial, bisa menjadi alat pembodohan, alat penindasan, atau sebaliknyamenjadi alat pencerdasan dan upaya pendemokratisasian. Tujuan-tujuan ini tergantung dari sistem masyarakat dan kepemilikan dari suatu media.

    Semisal di Bali, Budaya yang timbul baik dulu maupun sekarang adalah budaya ‘koh ngomong’ atau dengan kata lain malas berbicara yang dapat diinterpretasikan sebagai protes sosial diakibatkan oleh tidak tercapainya keinginan dan kenyataan. Apabila budaya ini masih dilestarikan maka bahasa yang sebagai salah satu unsur penting dalam kebudayaan nantinya bukannya mengalami perkembangan tetapi malah surut, tidak ada dinamika sehingga akan mempengaruhi peradabannya. Perkembangan bahasa didorong oleh kebutuhan akan suatu sistem komunikasi yang kompleks. Berkembangnya kemampuan berbahasa menunjukkan bahwa turut berkembangnya pula otak atau pemikiran kita. Dapat disimpulkan bahwa akal dan bahasa menentukan seseorang memiliki kebudayaan.

    Gejala yang ditimbulkan oleh budaya ‘koh ngomong’ ini berpengaruh buruk bagi kehidupan bangsa mendatang. Usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sebaliknya menghasilkan pembodohan bangsa. Di sinilah masyarakat mengharapkan peran persma, Pers mahasiswa dapat berperan dalam menuangkan gagasan, konsep, pikiran dalam kerangka IPTEK melalui publikasi berita berupa wacana yanng mampu menumbuhkan respon gagasan kolektif. Budaya ‘koh ngomong’ yang timbul di Bali merangsang pers mahasiswa sebagai pers alternatif untuk tampil di tengah masyarakat. Ide dan gagasan mahasiswa sebagai pelaku pers mahasiswa mencoba lebih mengaktifkan masyarakat yang selama ini pasif. Dari situlah diharapkan pemikiran masyarakat dan juga mahasiswa sendiri untuk lebih berkembang.

    Khusus pada kondisi masyarakat di Bali pers mahasisa tertantang untuk membahas dan menyajikan konteks dinamika sosial politik masyarakat di Bali sekarang dan ke depan. Dalam menganalisa aspek kultural masyarakat di Bali diperlukan pemahaman yang baik dan tepat terhadap persoalan lokal tersebut. Tantangan yang utama dihadapi adalah gejala penjungkirbalikkan struktur nilai-nilai tradisional yang diyakini mempunyai kearifan. Namun perlu diingat, bahwa nilai-nilai budaya atau dogma agama yang melingkupi budaya masyarakat ini tidak berarti harus dibongkar dengan sebuah revolusi. Karena justru sifat pers alternatif ini berusaha untuk memanajemen setiap kontradiksi dan konflik yang ada secara konstruktif.

    Namun bisa jadi pula, sifat kritis dari pers alternatif akan bersinggungan dengan budaya ‘koh ngomong’ dalam lingkungan dan masyarakat Bali. Jika dilihat dari sejarahnya, Budaya ‘koh Ngomong’ atau malas bicara sebenarnya bukanlah suatu budaya yang populer dimasyarakatnya. Namun pada perkembangan selanjutnya, kolonial Belanda berusaha mempopulerkan budaya ‘Koh Ngomong’ ini dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Bali secara tradisional berdasarkan stereotif yang mereka bentuk. Stereotip dimana masyarakat bawah harus diam membisu dalam menyikapi setiap perbuatan kasta bangsawan, walaupun apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan tersebut sangat bertentangan dengan kepentingan rakyat kecil.

    Di masa orde baru, budaya ‘koh ngomong’ dilanjutkan dengan perubahan cara pandang bahwa rakyat kecil tidak boleh mengkritisi apa yang dilakukan oleh penguasa, dalam hal ini ialah eksekutif (Bupati, Gubernur, presiden dan lain-lain). Dikhawatirkan seiring dengan perubahan hegemoni pemerintah menuju hegemoni pers, masyarakat Bali tidak akan berani mengkritisi apapun yang disajikan oleh pers walaupun berita yang ada tidak sesuai fakta dan memojokkan mereka.

    Kondisi psikologi masyarakat Bali akibat ‘koh ngomong’-nya dimana setiap persoalan terus diendapkan justru dikhatirkan akan memuncak dan meledak pada titik klimaksnya. Hal ini nampak pada kasus AM Saefudin yang dirasa menyinggung persoalan adat dan agama yang dianut oleh masyarakat lokal Bali. Komentar yang banyak dilansir oleh media massa justru menaikkan suhu masyarakat Bali sehingga memicu perlawanan yang menyeluruh di setiap daerah. Hal ini juga akibat dari eksklusivisme masyarakat Bali dalam memandang persoalan adat dan budaya mereka. Eksklusivisme adat juga ditunjang oleh peran pers, selama ini pers manapun tidak berani untuk mengkritisi persoalan adat dan agama, bahkan ada beberapa pers umum yang justru membahas persoalan adat, agama dan budaya dalam kerangka sektarian sehingga kian menyuburkan permasalahan etnisitas yang sempit. Padahal tugas dan tanggung jawab sosial pers adalah turut mencerdaskan masyarakat dan memberikan pendidikan politik dalam kerangka pendewasaan kehidupan bermasyarakat.

    Disinilah peran pers alternatif sebagai bagian dari gerakan kultural yang terpadu berusaha membongkar stigma ataupun stereotif yang dibangun Belanda. Peta sosial kemasyarakatan di Bali yang rawan terhadap konflik antar kelompok menjadi sebuah wacana yang menarik untuk dimanajemen oleh pers, dimana selama ini belum pernah pers umum menyajikannya. Persma mencoba mengidentifikasi dinamika aspirasi kekuatan sosial-politik pada masyarakat Bali ini. Persoalan SARA bukanlah hal yang tabu untuk dibahas persma, bahkan harus dibahas dengan manajemen konflik yang baik sehingga mampu secara konstruktif mendukung tatanan masyarakat yang demokratis. Ini dimungkinkan karena pers mahasiswa yang merupakan bagian dari pers alternatif memiliki idealisme sendiri, keberpihakan terhadap rakyat lebih diutamakan, melindungi hak asasi rakyat, dan mengabdi sepenuhnya pada demokrasi.

    Pers mahasiswa harus mampu memposisikan perannya, mahasiswa harus berani kritis dan bersifat obyektif utamanya dalam menganalisa kondisi sosial masyarakat seperti premanisme, pelacuran, dan sebagainya (yang sebelumnya hanya desa adat yang memegang kekuasaan untuk menangani persoalan palemahan; persoalan adat dan agama). Persma sebagai pers alternatif posisinya sebagai oposan terhadap pers umum yang establish (mapan), dimana mereka telah mampu mengetahui seluk beluk atau kondisi politik di pemerintahan. Alternatif yang diberikan oleh persma membuktikan bahwa analisa kondisi sosial tersebut sebenarnya berpengaruh juga terhadap kondisi politik. Seperti yang telah dilakukan oleh PMM MAESTRO (Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana), misalnya yang mengangkat masalah usaha rakyat di desa Sibetan, Kabupaten Karangasem (mengangkat masalah produksi ‘wine salak’) dan masyarakat di Nusa Ceningan (mengangkat tentang pemberdayaan rumput laut). Mereka berusaha mengangkat tema teknologi tepat guna yang memanfaatkan potensi alam dan masyarakat yang ada dengan tujuan agar bisa diterapkan oleh dan untuk Masyarakat sendiri atau yang disebut pemberdayaan masyarakat. Diharapkan makin banyak pers-pers mahasiswa yang mengangkat masalah-masalah sosial seperti ini, yaitu yang bersifat membangun masyarakat.

    ---- THE END ----

    * Mahasiswa Teknik Elektro, Redaktur Pelaksana Maestro 2000/2001
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.