1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Meteorid

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, May 22, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Blance Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 7, 2014
    Messages:
    72
    Trophy Points:
    22
    Ratings:
    +18 / -0
    wah akhirnya kelar juga baca cerita ini.. kerennnn...
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. pacarnyafairyfly Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 22, 2014
    Messages:
    17
    Trophy Points:
    7
    Ratings:
    +5 / -1
    aih fairyay kamu ga bilang2 novel ini masuk ke idws :(

    ini yang gagal masuk penerbit kemaren kan ya? hemm padahal kataku lumayan loh :( jarang2 ada cerita android yang genre SoL kayak gini, aku sampe mau nangis bacanya..

    gapapa tetep semangat ya ay :)
     
    • Like Like x 1
    • Tidak Setuju Tidak Setuju x 1
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Reopen for additional side story :yahoo:

    Meteorid Side Story
    The Day When I Meet You


    “Kopi ini enak, Anna.”

    Anna mengangguk, membungkuk singkat. Rambutnya yang pendek sebahu menjulur kebawah dan memperlihatkan sisi lehernya yang putih. Maid Outfit yang dikenakannya membuat senyumnya tampak menawan.

    Ah, cantik.

    Serius, cantik.

    “Terima kasih, Tuan Arch-Kya!”

    Anna menjerit kala kugenggam jemarinya kuat-kuat. Wajahnya merah padam, tak berani menatap wajahku yang kini tepat berada di hadapannya.

    “Tu…Tuan Arche, maafkan aku. Aku…aku…”

    “Anna. Maafkan aku.” Kataku perlahan. Bisa kurasakan tubuh Anna yang gemetar hebat kala kubisikkan sesuatu di telinganya.

    “Anna, sepertinya aku benar-benar suka padamu.”

    “Tu…Tuan Arche, aku hanya…”

    “Hei, menikahlah denganku. Aku menyukaimu.”

    “H…hha…haahaa…Tu…Tuan Arche…men…mengeri…kan…”

    “Anna, menikahlah dengan-“

    “Berhenti bicara, dasar suami bejat.”

    Bersamaan dengan munculnya suara orang ketiga, sebuah benda keras menepi di kepalaku.

    Dari bentuknya, kurasa apa yang menghantam kepalaku kali ini adalah panci berukuran besar. Mmn. Panci karatan yang biasa digunakan istriku memasak. Rasanya tida begitu menyakitkan jika dibandingkan dengan papan cuci yang ia pakai di dua hari sebelumnya.

    Dasar, tenaga setan!

    “Waktunya bangun tidur, sayang. Istrimu ada disini mengucapkan selamat pagi, lho.”

    Ardelia membangunkanku dari lamunan yang menyenangkan antara aku dan Anna.

    Duh…

    “Nyo…nyonya Ardelia…Huwaaaa!”

    Anna berlari memeluk Ardelia kuat-kuat. Andai ia bisa menangis, ia pasti sudah menangis sejadi-jadinya. Hanya saja, robot tidak punya air mata.

    Ya. Betul.

    Anna merupakan seorang robot. Lebih tepatnya, robot pelayan.

    “Ampun, deh.” Ardelia menghela napas, mencibir. “Baru kutinggal sebentar ke pasar swalayan, dan kau sudah berniat selingkuh dengan Anna. Benar-benar tak bisa dipercaya.”

    Ardelia menepuk-nepuk panci yang ada di genggamannya ibarat seorang sipir penjara yang kejam. Matanya menatapku sinis, dan sebuah senyum mengerikan muncul di bibirnya.

    “Hei, suamiku tersayang, apa fetishmu kini beralih kepada robot? Apa kau mau jika aku diset ulang sebagai robot? Hei, bagaimana kalau kau saja yang diset ulang? Siapa tahu kau bisa menikah dengan Anna. Bagaimana, sayangku?”

    Anna bergidik mendengar ucapan Ardelia, sementara Ardelia masih memukul-mukul panci ke telapak tangannya.

    “Khu, sial betul.” Kataku pasrah. “Sepertinya aku ketahuan!”

    “Ketahuan? Hampir setiap hari kau menggoda Anna, lho.” Jawab Ardelia, masih dengan senyumnya yang mengerikan. “Apa Anna begitu menggoda buatmu?”

    Tentu!

    Lagipula Anna memiliki pantat- ah, sori. Anna memiliki senyum yang cantik. Ia terlihat lebih seksi dan lebih muda daripada istriku yang gila sains. Ia juga murah senyum, tidak mudah marah, dan lucu.

    Secara keseluruhan, Anna-

    “…apa ia terlihat lebih menyenangkan dariku?”

    -jauh lebih menyenangkan darinya.

    Dih, gila! Nenek sihir ini bisa membaca isi pikiranku! Ah, apa ini yang dimaksud dengan perasaan saling mengerti antara suami dan istri, ya?

    “Ufufu, sepertinya aku benar, ya?”

    “Benar katamu? Haha…hahaha!”

    Aku tertawa sinis. Saat sudah terpojok seperti ini, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain terus maju. Yah, lagipula sudah kepalang basah. Mau menghindar pun takkan bisa.

    Kubetulkan letak kacamataku layaknya detektif conan. Dan kugaet tangan Anna-

    “Kya,”

    -sebelum berteriak sekuat tenaga.

    “Dengar baik-baik nenek lampir!”

    Jari telunjukku refleks mengarah pada Ardelia – yang masih mengenakan jas lab nya bahkan saat pergi ke pasar – dan terus berteriak.

    “Anna itu istriku!”

    “Istrimu itu aku, bego!”

    Sementara Anna gemetar ketakutan, Ardelia kembali menghajarku dengan logam panci.

    ***​

    2023.

    Langit panas cerah, terik. Keringatku turun deras dan tak bisa kuhentikan meskipun sudah kuminum dua kaleng kola dingin.

    Siang hari musim panas di Montblanc terkenal dengan cahaya matahari yang menyengat. Di musim gugur dan musim dingin, kota ini tak sedingin tempat lainnya di Eropa. Hanya siang hari saja yang terasa begitu panas. Pemerintah yang menyadari hal ini memutuskan untuk menanam banyak pohon di Montblanc. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, kota ini pasti akan menjadi amat teduh.

    Tetapi untuk sekarang, jangan ditanya.

    “Ampun…nenek lampir…”

    Setelah puas menghajarku, Ardelia mengusirku keluar rumah. Caranya cukup licik – ia bilang bahwa bos di tempatku bekerja tiba-tiba datang berkunjung untuk menagih utang. Saat tiba di teras, Ardelia lantas tersenyum puas sambil berkata perlahan,

    “Nah, karena kau sudah berlaku cabul, kau dilarang pulang sebelum malam tiba.”

    Dasar laknat!

    Padahal aku hanya bercanda saja pada Anna.

    ………

    Sebenarnya, setengah serius, sih.

    Ah, lupakan.

    Sementara kehidupan di kota ini berlalu dengan damai, rumah tanggaku dan Ardelia boleh dibilang unik. Kami saling mengungkapkan rasa sayang kami dengan bertengkar hebat untuk hal-hal kecil. Pertengkaran yang terjadi diantara kami seringkali berakhir dengan tawa riang yang muncul dari wajahnya, dan itu membuatku amat senang.

    Layaknya kebanyakan keluarga di Montblanc, kami memiliki seorang robot pembantu. Anna, nama robot tersebut. Semenjak dibeli tiga tahun lalu, Anna kerap menjadi pemicu pertengkaran antara aku dan Ardelia, dan ia sering terlihat sedih karenanya. Ah, andai ia tahu alasan sebenarnya mengapa kami bertengkar, ia pasti tertawa lepas.

    Anna masih berada dalam kondisi primanya bahkan setelah lewat tiga tahun. Itu karena istriku yang bekerja di departemen robot merupakan seorang ilmuwan. Ia tahu banyak hal soal pemrograman robot, sehingga program yang mengontrol perilaku Anna tak pernah mengalami masalah. Adapun aku yang bekerja di bengkel robot, mesin yang ada di tubuh Anna merupakan makananku sehari-hari.

    Kami berusaha merawat Anna sebaik mungkin. Ia merupakan bagian penting dalam hidup kami.

    Mmn. Karena kami belum juga dikaruniai seorang anak, kami memperlakukan Anna sebagai anak kami sendiri.

    Anak kami sendiri…

    “Kya! Tuan Arche! Hentikan! Aku hanya robot!”

    “Ah, tu…tuan Arche…apa yang kau lakukan dengan pakaian dalamku?”

    “Nyonya Ardelia! Tuan Arche! Tuan Arche menatapku dengan tatapan mengerikan!”

    Yah…

    Untukku mungkin beda kasus, sih. Tapi sejujurnya, aku menganggapnya anak sendiri. Serius. Aku sadar akan usiaku, dan tentu aku tak menganggapnya sebagai calon istri simpanan atau semacamnya.

    Aku bukan lagi seorang mesum.

    “Hei, pelajaran fisika tadi bagaimana?”

    Eh? Apa? Apa ini? Suara…suara merdu seorang gadis. Uuh, darimana asalnya, ya?

    Refles, mataku melirik ke sumber suara.

    “Fisika? Ah, pak Tony itu, ya? Menyenangkan, sih.”

    “Kau lebih senang pak Tony dibandingkan pelajarannya, ya?”

    “Di…diam kau!”

    Ah, udara segar…

    Gadis SMA memang luar biasa…

    “Sayang, ada bos di teras, tuh.”

    ………

    Dilarang pulang sebelum malam. Puhehe.”

    ………



    “Ah, kampet lah! Setan! Laknat! Panas-panas begini aku harus kemana coba?”

    Aku mulai memaki, kesal. Rasa panas yang menyengat membuat tingkat stressku naik, dan mengingat otakku yang mesum membuat kekesalanku kian memuncak. Uugh, lagipula, kenapa aku dilahirkan dengan otak bejat begini, sih?

    “Ardelia laknat! Jangkrik! Istri jahanam! Nenek lampir!”

    “Bisa kau ulangi itu, sayang?”

    Eh?

    “Dan juga, tampaknya matamu jadi segar setelah melihat anak-anak SMA itu, ya?”

    Ampun, mak.

    Apa aku baru mendengar suara Ardelia?

    Menoleh kebelakang, tampak Ardelia yang tersenyum puas.

    “A…Ardelia…kenapa kau ada disini?”

    “Yah, bagaimana ya? Tadinya aku kasihan padamu karena harus meninggalkanmu di siang terik begini, tapi sepertinya kau malah senang ya? Ahaha.”

    “Ma…masa sih, ahaha…”

    “Ahaha…”

    “Ahaha…”

    Haha…

    Ha…

    ………

    “Hari ini tak usah pulang saja, ya?”

    “EEH? Ardelia? Tunggu, aku hanya bercanda. Tunggu aku, Ardelia! Ardelia!”

    Meski aku merajuk, Ardelia tetap mengunci pintu rumah.

    Dengan aku yang masih berada diluar, tentunya.

    ***​

    Ardelia pasti akan membolehkanku pulang besok. Trust me.

    Terlebih, aku baru saja mendapat pesan singkat darinya. Bilang bahwa ia menyisakan makanan untukku.

    “Arche sayangku, aku memasak kari kesukaanmu, lho. Tapi karena kau tak pulang, sisa makanannya kuberikan ke tetangga sebelah. Kau kemana, sih? Kok tak pulang? Oh, iya. Aku lupa. Kau kan tak bisa pulang, ya? Puhehe!”

    Sialan!

    Kenapa aku bisa menikah dengan kuntilanak seperti dia, sih? Ah, sialan!

    Sementara kini aku menghangatkan badan di kolong jembatan, Ardelia dan Anna mungkin sedang asyik menonton televisi sambil makan keripik. Menunggu pagi tiba di kolong jembatan, uh, aku jadi ingat dengan para tunawisma yang sempat ada disini beberapa tahun lalu.

    “Tuan…”

    Apa aku akan menjadi salah satunya, ya?

    “Permisi, tuan…”

    Ah, tidak, tidak! Aku punya rumah. Besok aku akan meminta maaf pada Ardelia, dan membelikannya roti kesukaannya. Juga-

    “Tuan-”

    “APA SIH?”

    Menoleh kebelakang, tampak dihadapanku sesosok gadis kecil yang menatapku terkejut. Ah, karena aku berteriak, ia pasti gugup.

    “Ma…maaf, kupikir aku…aku mengganggu tuan, tapi aku selalu ada disini setiap malam.”

    Sang gadis tampak ketakutan. Dengan terbata-bata, ia melanjutkan. “Ji…jika…jika tuan merasa terganggu, a…aku akan…akan mencari tempat lain. Maafkan aku!”

    Gadis itu membungkuk dalam-dalam, sebelum mengambil ransel miliknya yang lusuh dan berlari menjauh.

    Pakaian dan penampilannya yang kusam menarik perhatianku.

    “Tunggu dulu, kau!”

    Gadis itu berhenti seketika.

    Wajahnya yang sayu menoleh perlahan.

    “Apa kau…seorang wanderer?”

    Sang gadis tampak terkejut, dan ia menundukkan kepalanya perlahan. Cukup lama sang gadis terdiam, sebelum kemudian mengangguk perlahan.

    ………

    Wanderer merupakan istilah yang digunakan untuk robot tak bertuan.

    Berbeda dengan manusia, kehidupan robot sangatlah ditentukan oleh keberadaan majikan yang menjamin dan menunjang hidupnya. Secara hukum, robot yang tak lagi bertuan adalah asset milik negara, dan harus kembali pada negara. Kebanyakan dari para robot tak bertuan ini akan didaur ulang menjadi robot jenis lain. Ingatan mereka akan kehidupan bersama tuan sebelumnya akan dihapus secara permanen agar mereka bisa melakukan tugas mereka kembali secara efektif.

    Hanya saja, karena sejak awal robot diprogram untuk memiliki emosi layaknya manusia, banyak robot yang enggan untuk didaur ulang. Mereka tak ingin ingatan tentang orang-orang terdekatnya hilang begitu saja.

    Dari tahun ke tahun, keberadaan wanderer semakin menjadi pusat perhatian publik. Awalnya orang-orang tak mempedulikan mereka sama sekali, namun sekarang keberadaan mereka begitu diakui. Bahkan mulai muncul usulan untuk memperbolehkan wanderer mencari tuan yang baru.

    Tak pernah kusangka aku akan bertemu seorang wanderer di tempat seperti ini.

    “…duduklah.”

    ***​

    “Nenek meninggal setelah dirawat di rumah sakit.”

    Malam sudah amat larut saat sang wanderer memutuskan untuk bercerita. Ia tak mau mengobrol banyak sebelum merasa benar-benar nyaman dengan keberadaanku.

    Menggenggam gelas hangat, kudengar baik-baik cerita sang wanderer. Wajahnya memancarkan kesedihan yang mendalam – yang tak bisa ia sembunyikan.

    “Beliau tak memiliki sanak saudara, dan tak ada satupun yang menjenguknya ketika sakit. Aku merawatnya sebisa mungkin, namun tak banyak yang bisa kulakukan. Dan meski kemudian anak-anak nenek muncul di pemakaman, namun tak ada seorangpun yang mau membawaku…”

    Sang wanderer memejamkan matanya dalam-dalam.

    Terdengar suara gesekan besi tatkala ia mengangkat kepalanya dan menatap jauh ke langit luas. Dari suaranya aku tahu bahwa robot ini memerlukan perawatan serius.

    “Rumah nenek tak bisa lagi kutempati setelahnya, dan tak ada pilihan lain untukku selain menjalani daur ulang.”

    “Tetapi kau tak mau melakukannya?”

    Sang wanderer mengangguk perlahan.

    “Kuambil dan kusembunyikan sebagian harta nenek, sebelum kabur dari kejaran polisi robot. Dengan harta yang ada, aku bisa melakukan reparasi dan mengisi ulang baterai untuk beberapa lama. Hanya saja, beberapa minggu terakhir ini aku tak lagi memiliki apapun.”

    “Dan kau menjual teh untuk bertahan hidup?”

    “Mmn.” Jawabnya lagi. “Teh yang saat ini kau minum…”

    ………

    Meskipun keberadaan wanderer sendiri merupakan pelanggaran hukum, banyak dari para wanderer yang mampu bertahan hingga tak lagi memiliki baterai untuk hidup. Singkatnya, para wanderer memiliki kemampuan bertahan hingga masa hidupnya habis. Cara mereka bertahan hidup tergolong brutal. Mereka melakukan pekerjaan kasar – menjadi kuli bangunan, menjual jasa porter, bahkan hingga menjual minuman. Uang yang mereka dapatkan akan digunakan untuk mengisi baterai dan reparasi di pasar gelap.

    “Kusimpan sebagian uang hasil penjualan harta nenek untuk membeli termos dan teh. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk terus hidup. Satu-satunya keahlianku saat nenek masih ada hanyalah membuat teh.”

    Sang gadis tersenyum kecil, dan melanjutkan ceritanya tak lama kemudian.

    “Berkat menjual teh itulah, aku bisa bertahan hingga saat ini. Meski…”

    “Meski?”

    Gadis itu menoleh padaku.

    Wajahnya tersenyum begitu lepas.

    “Meski esok adalah hari terakhirku berjualan.”

    “………”

    “Setelahnya, aku akan tertidur panjang.”

    Aku hanya terdiam mendengar kata-kata sang gadis. Ia tampaknya sadar bahwa aku terkejut dengan ucapannya, meski ia tetap melanjutkan ceritanya.

    “Aku tak memiliki banyak waktu lagi. Hidupku sudah hampir usai. Dua hari dari sekarang, bateraiku akan habis. Dengan uangku yang ada saat ini, aku tak mungkin lagi mengisi dan mengganti komponen bateraiku yang sudah hancur. Aku akan rusak permanen setelahnya.”

    “Maksudmu, kau akan mati?”

    “Mmn. Begitulah manusia menyebutnya. Kurang lebih, konsepnya sama.”

    Dengan wajah sedih, sang wanderer mkembali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

    Ia tentu merasa takut dan sedih. Namun tak lama kemudian, wajahnya kembali tampak dimataku. Kedua lensa artifisial yang membentuk matanya menatapku.

    Sebuah senyum muncul dari bibirnya.

    “Tapi kau tahu, tuan? Aku tak menyesal. Aku tak menyesal jika harus mati sebagai wanderer ketimbang didaur ulang sebagai robot baru.”

    “………”

    “Kenangan bersama nenek…aku ingin terus membawanya hingga akhir. Aku tak mau melupakan semuanya.”

    Sesaat, robot itu kembali menatap langit. Dipejamkannya matanya rapat-rapat.

    “Bahkan jika hanya satu jam, atau satu menit pun, aku ingin tetap melindungi kenangan tersebut.”

    “Kenapa?”

    “Kenapa? Hmn, bukankah jawabannya sudah jelas?”

    Sang wanderer menatapku dalam-dalam.

    Dan tersenyum kian lepas.

    “Karena kenangan itu merupakan sesuatu yang berharga.”

    “………”

    Gadis wanderer itu tak mengucapkan apa-apa lagi setelahnya. Matanya tertuju ke arah langit, terpejam. Dibiarkannya angin malam menyibak rambutnya.

    …model 70.

    Itu tulisan yang terdapat pada bagian tengkuknya.

    Setiap robot memiliki serial, dan model 70 adalah robot tipe lama. Butuh biaya lebih untuk memperbaiki robot tipe ini hingga sembuh total.

    Tetapi entah mengapa, aku ingin melakukannya.

    Mmn!

    Aku tak mau meninggalkannya!

    Sang robot kembali menatapku tak lama kemudian, tersenyum. “Jika Tuan ingin tidur disini, aku akan mencari tempat lain. Maaf sudah menggangu- eh?“

    Gadis robot itu terkejut kala kubenamkan kepalanya di dadaku.

    Jika ia benar manusia, mungkin aku bisa merasakan detak jantungnya saat ini.

    “Tu…tuan, kenapa?”

    Aku tak menjawab pertanyaannya sama sekali. Meski demikian, sang gadis tak meronta. Ia seolah ingin menumpahkan emosi yang ia pendam selama ini padaku.

    Perlahan, tangannya menepi di dadaku. Ia menggenggam bajuku erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya.

    “Maafkan aku, tuan. Aku tak tahu mengapa aku bisa merasa sedih seperti ini. Aku…aku…”

    Kudekap ia begitu erat.

    Lama kubiarkan kepalanya terbenam di dadaku, sebelum kemudian berbisik perlahan.

    “Ikutlah denganku.”

    “Eh?”

    Kulepaskan tubuh sang gadis, dan tersenyum sebebas mungkin.

    “Siapa namamu?”

    Gadis itu menjawab dengan lugu. “Nenekku biasa memanggilku Iris.”

    “Iris, eh? Nama yang bagus.”

    “………”

    “Ikutlah denganku, Iris. Aku bekerja di bengkel, jadi kau tak perlu khawatir soal suku cadang dan bahan bakar. Istriku seorang ilmuwan, jadi kau akan segera sembuh dalam waktu singkat. Oh, dan juga, aku memiliki seorang robot pelayan bernama Anna. Kurasa kalian bisa berteman baik.”

    Iris melongo menatapku, seolah tak percaya dengan kata-kataku.

    Tetapi aku serius.

    Mmn. Untuk kali ini aku serius ingin membawanya pulang.

    “…mengapa Tuan mau membawaku?”

    “Mengapa? Yah, jika dengan membawamu pulang bisa membuatmu terus hidup, tak ada salahnya, bukan?”

    Iris tersenyum, menggeleng.

    “Aku mungkin takkan terlalu berguna untuk tuan, dan mungkin saja komponen tubuhku tak bisa diperbaiki secara permanen. Jika pada akhirnya aku hanya akan menganggu, mungkin sebaiknya tuan tak usah membawaku. Aku berterima kasih atas tawaran tuan. Tapi, jika pada akhirnya aku hanya akan mengganggu-”

    “Jangan pernah bicara seperti itu, Iris!” Kataku tegas, memotong kata-katanya dan membuat Iris menatapku terkejut. “Jika kau memiliki kesempatan untuk hidup, teruskanlah. Kau tidak bisa menyerah begitu saja!”

    “…mengapa?”

    “Karena ada beberapa hal di dunia ini yang hanya bisa dinikmati jika kita terus hidup.”

    “………”

    “Seperti kau yang ingin melindungi kenangan bersama majikanmu, ia juga, pati amat ingin ka uterus hidup, membuat kenangan baru, dan menemukan kebahagiaanmu sendiri.”

    Setelah mendengar kata-kataku, Iris tertawa untuk sesaat.

    Dan tersenyum bahagia setelahnya.

    “Apa aku…benar-benar memiliki kesempatan untuk tetap hidup?”

    “Mmn.”

    “…aku tak bisa membayar untuk itu semua, tuan.”

    “Aku tak bilang bahwa aku meminta bayaran, bukan?”

    Iris kembali tertawa mendengarnya.

    Dipejamkannya matanya dalam-dalam, dan kami sama-sama dibuat terkejut kala melihat cahaya kembang api di kejauhan. Satu, dua, lima, sepuluh…

    …siapa pula yang main kembang api di jam-jam ini? Kampret, ini bahkan bukan tahun baru!

    Tetapi entah mengapa, aku merasa amat lega saat melihatnya. Rasanya seperti…sudah melakukan janji yang lama tak kulakukan.

    “Hei, Tuan,”

    “Hmn?”

    “Jika…jika aku masih memiliki kesempatan hidup, maukah tuan membawaku ke makam nenek suatu saat nanti?”

    “Ya, tentu.”

    “Benarkah? Syukurlah…”

    Iris memejamkan matanya tak lama kemudian. “Terima kasih…”

    Kubiarkan kenangannya mengalir untuk beberapa lama. Saat Iris membuka matanya kembali, kuulang kembali ajakanku sebelumnya.

    “Ikutlah denganku. Kita bisa membuat kenangan baru tanpa menghapus kenangan yang sudah kau buat sebelumnya.”

    “Mmn.” Jawab Iris, mengangguk. “Mulai sekarang, mohon bantuannya. Tuan…”

    “Arche.” Jawabku tersenyum. “Arche Van Klinken.”

    Iris tersenyum kian lebar. “Mohon bantuannya, tuan Arche.”
     
    • Setuju Setuju x 2
  5. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    sori baru baca dan komeng sekarang, pas selesai baca ini, gw ngerasa ini penutup yang manis untuk konklusi di meteorid yang mungkin rada gantung.

    i really like how this ends, sepertinya beberapa mata rantai yg kurang sreg di meteorid ke fix di sini :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    well, bisa dibilang ini after story nya sih, chapter seneng2 setelah pait di ending :lol:

    anyway, thanks :matabelo:
     
    • Like Like x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.