1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Fairy's Tale - Short Stories Collection

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Mar 7, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    celeng sebelah bulan April :swt:

    Operation Martabak
    Genre : Comedy, Slice of Life

    “Andre, selamatkan aku!”

    Gundulmu!

    Aku tak mungkin menyelamatkannya, itu sama saja dengan bunuh diri. Lebih baik ia habis dilahap makhluk jejadian itu daripada aku pergi menolongnya.

    “Andre!”

    Maafkan aku, Toni.

    Secepat kilat aku berlari. Berlari, dan terus berlari, berharap makhluk-makhluk jejadian itu menghilang dan ganti melahap Toni. Sialnya, saat aku menoleh kebelakang, salah satu dari mereka masih saja berlari mengejarku. Dua dari mereka mulai melahap Toni yang menjerit ketakutan. Teriakannya terdengar begitu jelas.

    Dan makhluk yang mengejarku, jaraknya kini semakin dekat.

    ………

    Mama, tolong aku…

    ***​

    Kejadian yang akan aku kisahkan ini bermula saat aku dan dua temanku, Toni dan Asep, berencana membeli martabak di dekat terminal bus antar kota. Untuk membelinya, kami bertiga benar-benar harus berembuk dan merencanakan taktik dengan sangat hati-hati. Salah-salah, kami bisa dikejar makhluk jejadian.

    Mmm, makhluk jejadian. Itu sebutan kami untuk para pria yang kesuciannya sebagai pria patut dipertanyakan. Masalahnya, mereka selalu berdandan seperti wanita, merasa diri mereka wanita meskipun bulu kaki mereka tumbuh sangat lebat.

    Dan, walaupun dandanan mereka itu selalu gagal, para jejadian itu seolah tidak pernah menyadarinya. Kegagalan mereka itu, ah, entah itu karena kebanyakan lipstick atau bedak, atau buah dada mereka yang seringkali melorot dengan sendirinya, kalau dihitung-hitung rasanya banyak juga. Yang jelas, bagi kami mereka tampak seperti artis film Kuntilanak Kesurupan daripada wanita anggun.

    Salah satu kegemaran mereka adalah melahap para pria yang tidak memberi uang saat mereka bernyanyi.

    Ah, ya. Namaku Andre. Umurku 18 tahun. Toni dan Asep sering bilang bahwa umurku sudah mendekati kepala empat.

    Aku menganggap bahwa ucapan mereka adalah fitnah Dajjal.

    “Jadi, siapa yang akan berangkat?”

    Asep mengepulkan asap rokok Djarum Coklat yang sedari tadi dihisapnya. Jika kuhitung baik-baik, malam ini ia sudah menghabiskan setengah bungkus rokok. Aku heran, bagaimana bisa ia menghisap rokok yang sebenarnya lebih diminati kakek-kakek. Untung saja pintu kosan lantai dua ini terbuka lebar-lebar. Jika tidak, aku pasti akan meminta Asep untuk menelan asap rokoknya.

    “Jangan aku, ya.” Kataku perlahan. “Aku ada disini juga terpaksa, jadi jangan seret aku.”

    Ya, betul. Aku terpaksa berada disini. Andai saja laptop milikku - si jangkrik – tidak meledak, pasti aku bisa dengan tenang mengerjakan tugas kuliah di rumah. Masalahnya, adikku keasyikkan mendownload lagu-lagu cowboy junior selama lebih dari lima jam. Jadi kini, selain kuota intenetku habis, laptopku yang terlalu panas juga mati permanen. Adikku yang terlalu jenius juga ikut andil dalam masalah ini – ia menyimpan es diatas si jangkrik. Kata temannya, cara itu bisa mendinginkan suhu laptop yang terlalu panas.

    Adik laknat.

    “Toni saja yang berangkat.”

    “Nenekmu!” Teriak Toni sambil meninju pundakku perlahan. “Kamu saja. Cuma kamu yang bisa.”

    “Lah, Ton, kok aku sih?”

    “Logikanya gini loh,” kata Toni. “Cewek aja ndak ada yang mau sama kamu, apalagi jejadian. Hayo?”

    Asem.

    Jujur, ini merupakan kata-kata yang amat menyakitkan. Ah, ya. kuperingatkan bagi para pria, jangan mengucapkan kata-kata semacam ini pada para pria lajang. Itu akan membuat mereka sakit hati bukan main. Salah seorang temanku, Waluyo, pernah begitu stress karenanya. Sampai-sampai ia punya kasus yang hingga kini selalu dikenang di sekolah kami dulu.

    Kejadiannya berlangsung dua tahun lalu. Saat itu, karena kesal belum punya pacar, Waluyo menyebarkan pamphlet ke seantero sekolah, bilang bahwa pacaran di sekolah merupakan hal yang tabu. Ia juga berorasi saat pidato pemilihan ketua OSIS, mengusulkan agar kegiatan pacaran dilarang disekolah.

    "Demi Tuhan! Kita sebaiknya melarang kegiatan pacaran di sekolah ini! Hidup siswa-siswi Indonesia!"

    Alhasil, ia diskors selama tujuh hari dengan alasan menebar terorrisme di sekolah.

    “Kalau aku berangkat, aku gak mau sendirian.” Kataku kesal. “Asep, kamu ikut aku!”

    “Tuan rumah itu raja, bos!”

    Goblok!

    Bisa-bisanya makhluk setengah jemuran ini bilang begitu. Bukankah peribahasa yang berlaku mengatakan bahwa tamu adalah raja?

    Ah, lupakan.

    “Saranku sih sebaiknya kalian berdua saja yang berangkat." Lanjut Asep. "Aku nunggu disini.”

    “Wuu, enak’e ndewek!” Kataku kesal, sambil menambahkan saran bahwa sebaiknya kita membeli martabak di tempat lain saja.

    “Jauh men,” kata Toni. “Dan juga, rasanya kalah jauh dibandingkan dengan yang ada di dekat terminal.”

    Ah, baiklah. Jadi kita tak punya pilihan.

    “Ayolah, siapa yang pergi? Aku lapar, nih.” Kata Asep, gusar. Dilemparkannya puntung Djarum Coklat yang sedari tadi digenggamnya jauh-jauh, keluar balkon dan melewati pagar pembatas koridor, turun hingga ke lantai dibawahnya. Tak lama setelahnya terdengar suara teriakan dari lantai bawah.

    “Woi, sompret! Siapa yang buang puntung rokok? Minta disetrika ya?”

    ………

    “Sudah biasa,” kata Asep, santai. “Jadi, siapa?”

    “Bagaimana kalau tentukan pake cara tradisional saja?” Kataku lagi, santai. Toni dan Asep menoleh dengan wajah bingung.

    “Kita undi.” Kataku lagi.

    “Undi bagaimana?”

    Gambreng!

    ***​

    “Kok aku jadi ikut berangkat, sih?” Ujar Asep, kesal. Hasil gambreng yang tidak jelas memaksa kami bertiga untuk pergi bersama membeli martabak. Awalnya, Asep kalah undian. Namun sebagai tuan rumah, ia meminta rematch. Kami beri. Di undian yang kedua, Toni yang kalah. Ia meminta rematch dengan alasan yang membuatku ingin menghajarnya habis-habisan.

    Ganteng.

    Undian ketiga aku yang kalah, namun aku merengek, meminta rematch. “Kamu tidak punya alasan buat minta rematch.” Kata Asep, berusaha memojokkanku. “Apa spesialisasi kamu?”

    Aku menjawab dengan sebuah nada berat. Jomblo.

    Pada akhirnya undian batal kami gelar karena berpusat pada lingkaran setan yang tidak habis-habis selama lima belas menit. Kecapekan, kami memutuskan pergi bersama – atau aku dan Toni menyeret Asep untuk pergi bersama, dengan ancaman akan menyumbangkan Djarum Coklat pada pak hansip yang sedang jaga di posko dekat kosan.

    Dibalik sebuah tiang listrik, kami berdiri terpaku.

    “Toni, pantau situasi!” Kataku. Toni mengangguk dan mulai celingukan. Tak lama setelahnya ia berjalan maju perlahan, kembali celingukan. Beberapa orang yang lalu lalang melihatnya keheranan. “Ini monyet darimana?” Mungkin itu yang ada dipikiran mereka.

    “Aman!”

    “Oke, maju.”

    Mengendap-endap, kami berjalan melewati beberapa pagar. Ada beberapa warung tenda lain yang harus kami lewati untuk sampai ke lokasi target. Saat melalui warung pecel ayam, kami dibuat shock bukan main : tiga orang jejadian sedang asyik menggoda pelanggan yang makan disana.

    “Makhluk-makhluk haram.” Ujar Asep, kecil. Aku menelan ludah, mengintip melalui ujung mata.

    Ah, benar. Tiga jejadian. Yang satu lebih cocok disebut anggota koramil daripada jejadian. Andai ia menyamar sebagai anggota militer, pasti tak akan ada yang tahu bahwa ia palsu.

    Kami berusaha untuk low profile sebaik mungkin, tidak menunjukkan ekspresi ketakutan kami.

    “Dua puluh meter!” Toni berbisik, menandakan jarak antara kami dan target operasi. Gerobak sang pedagang martabak kini tampak cukup jelas.

    “Kondisi aman.” Lanjut Toni. “Tak ada motor didepan tukang martabak, tidak akan mengantri.”

    “Bagus,” jawabku. “Ini pasti hari keberungtungan kita!”

    “Sepuluh meter, bersiap.”

    Aku mengangguk.

    “Bahaya dari arah jam enam!” Ujar Asep. “Jejadian keluar dari warung pecel ayam.”

    “Tenang, Asep.” Kataku perlahan. “Low profile.”

    “Lima meter…”

    “Dua meter…”

    Sampai!

    “Pak, martabak telor satu.”

    “Tunggu dulu ya, dek.”

    Eh?

    “Ibu ini pesan duluan.”

    Aku menoleh. Disamping kami, ada seorang wanita dengan tubuh sebesar spring bed sedang duduk diatas kursi kayu reot.

    “Mas, yang satu gulanya jangan terlalu banyak. Dua lagi pake mentega yang banyak. Terus yang martabak telur itu dagingnya yang banyak, ya?”

    Buto ijo!

    ***​

    Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya kami mendapat giliran membeli martabak. Masalahnya, jejadian itu kini tepat berada di warung sebelah.

    “Emak, ini gimana?” Toni mulai panik, gugup.

    “Kamu kan ganteng, Ton. Godain aja?” kataku. Alih-alih membalas, Toni malah diam. Keringat mengalir dari wajahnya.

    Ah, ya, aku baru ingat. Toni pernah bercerita padaku bahwa ia memiliki trauma dengan para pria setengah suci ini. Dahulu kala, di pasar malam, ia terpisah dengan ibunya. Beberapa jejadian lantas datang mengerubuninya, mencolek pipinya, pantatnya, dan seorang lagi malah mencium pipinya. Pantas saja kini ia sekarat. Andai aku tahu hal itu lebih cepat, pasti aku takkan membawanya dalam ekspedisi ini.

    “Ton!”

    “Uh-huh, kenapa ndre?”

    Aku menatap tajam padanya. “Tenang, rileks, oke?”

    Toni mengangguk, meski napasnya terasa tak beraturan. Ia panik luar biasa.

    Beruntung, tak sampai dua menit kemudian, sang pedagang martabak mengulurkan sebuah kantung kresek.

    “Sudah dek.” Jawabnya. “Lima belas ribu.”

    Aku mengeluarkan uang lima puluh ribuan. Bagus, kini kami tinggal menunggu kembalian, lalu pergi secepat mungkin.

    “Bagaimana status musuh?”

    “Masih sibuk dengan warung sebelah. Ayo, kawan. Kita pergi.”

    Aku mengangguk, tersenyum. Misi ini akan berhasil mulus.

    “Aduh, dek.” Kata sang penjual martabak. “Gak ada kembalian, sebentar saya tukar uang dulu ya?”

    Ah…

    ………

    ***​

    “Andeca, andeci, bora bora bori. Andeca, andeci…”

    Baiklah, akhirnya diganggu juga. Tenang, tenang, aku harus kuat…harus kuat…

    “Ndre, kasih uang gih?”

    Ugh, sialan. Si Asep ini malah berlagak jadi penakut. Ia sendiri hanya tersenyum manggut-manggut pada para jejadian itu.

    Toni memegang lenganku erat-erat. Tangannya gemetar hebat.

    “Ndre!”

    “Ya, ya, sebentar.” Kataku, merogoh saku sambil kemudian mengeluarkan uang. Salah satu dari mereka datang menghampiri.

    “Andeca, andeci…”

    “Ini mas, eh, maaf. Non,” kataku tersenyum. Saat tangan kami bersentuhan, rasanya tubuhku mati rasa.

    “Yuk,” kataku lagi sambil melemparkan senyuman miris pada para makhluk jejadian itu. Kami mulai melangkah. Asep tersenyum manggut-manggut sambil mengucapkan kata-kata perpisahan.

    Wah, jangan-jangan Asep ini maho!

    ………

    “Sudah, semua aman sep,” kataku lega. Asep menoleh padaku, sedikit cemas kalau boleh kubilang.

    “Yakin?”

    Aku mengangguk.

    “Kamu kasih berapa?”

    “Gopek.”

    “Hah? Gopek?”

    Aku mengangguk. Asep membalas dengan wajah yang tampak gusar.

    “Bego!”

    Hah, kenapa? Apa yang salah dengan lima ratus rupiah?

    “Hei, kesini kamu!”

    Suara itu terdengar dari belakang. Aku menoleh, lugu. Sontak jantungku bergup amat kencang.

    Ketiga makhluk haram itu, entah kenapa kini ketiganya berlarian ke arah kami.

    “Kampret ngasih cuman gopek! Sini kamu?”

    “Mampus guwe!” Jerit Asep. “Lari coy, lari!”

    Eh? Kenapa? Kenapa mereka marah? Lari? Lari kenapa? Tapi, para jejadian itu mengejar kami. Jadi apa yang harus-

    “Lari, onta!”

    Eeeehhhh?

    Tet tereet tereet.

    Para jejadian itu berlarian ke arah kami. Asep berlari duluan, meninggalkan aku dan Toni jauh dibelakang.

    ***​

    “Andre, selamatkan aku!”

    Gundulmu!

    Masih berlari tak tentu arah, pada akhirnya aku terpojok setelah menemukan jalan buntu yang gelap. Panik, aku bersembunyi dibalik salah satu gerobak bakso yang sedang menganggur.

    “Mau kemana kamu?”

    Astaga, aku mimpi apa, sih?

    Aku menjatuhkan diri, duduk, berharap setan itu tak menemukanku. Dengan napas terengah-engah, mulutku mulai komat-kamit membaca doa.

    Selang beberapa saat setelahnya, suara langkah kaki tak lagi terdengar.

    ………

    Mungkin jejadian itu sudah pergi menjauh.

    “Halo!”

    Deg!

    Jantungku rasanya berhenti berdetak.

    Disampingku, kini tampak wajah yang amat mengerikan. Wajah seorang pria yang memakai blush-on, lipstick, dan bedak tebal.

    Mayat hidup!

    ………

    Aku tak mau melanjutkan cerita ini lagi. Terlalu mengerikan.

    Oh, dan…

    Keesokan harinya, aku baru tahu bahwa Asep juga ikut tertangkap.

    original link
     
    Last edited: May 23, 2014
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Writer's Road to Anthology Season 7 :lalala:

    What Teddy Hides
    Genre : horror, supernatural

    “Yosh!”

    Aku berdiri, bersiap. Dihadapanku duduk sebuah teddy bear berukuran sekitar seratus sentimeter, terbujur kaku diatas bangku plastik tanpa sandaran. Sepintas dari wajahnya yang lucu, aku jadi merasa sedikit iba juga padanya.

    ………

    Peduli amat.

    Kunaikkan kakiku setengah badan.

    “THIS IS SPARTAAAA!!”

    Oh, yeah, aku berteriak, menirukan adegan di film “300” dimana King Leonidas menendang utusan Xerxes ke dalam sumur tak berdasar. Teriakannya menggelegar, nyaring, rasanya suara sambaran petir saja kalah keras dibandingkan suara teriakannya.

    Sialan! Bagus benar! Film “300” yang baru saja kutonton benar-benar membuatku kesurupan.

    Tak lama setelah tendanganku mengenai tubuh empuknya, sang teddy bear kini mengapung beberapa meter, mengenai layar komputer tepat dihadapanku, dan roboh ke lantai. Ia tak berdaya, mati. Ah, tunggu. Ia kan tak pernah benar-benar hidup.

    Fuh, rasanya benar-benar puas menirukan adegan tersebut. Hahahaha.

    Yang tak kusadari kemudian adalah sosok adik perempuanku yang sedang berdiri tepat di depan pintu kamar, memandangiku dengan tatapan miris.

    Makjan.

    Mungkin yang ada dipikirannya saat ini adalah “Kakakku gila!”

    Menyadari hal itu, darahku rasanya langsung berdesir ke otak. Senyum yang sebelumnya mengembang lebar kini tiba-tiba menghilang. Mungkin wajahku juga kini pucat pasi.

    Dan tak lama, tampak mata adikku itu kini berkaca-kaca. Wajar saja, teddy bear yang baru saja main film laga itu adalah miliknya. Teddy bear yang cukup aneh karena diberi pita merah di lehernya, dan dinamai “Natasha.”

    Diluar itu semua, yang lebih mengherankanku adalah alasan kenapa dia bisa ada disini.

    “Eehehe, ade…”

    “Ibuuu, si kakak jahaaaatt!”

    ………

    “Catur! Sini kamu!”

    Monyet.

    ***​

    “Kamu kurang kerjaan amat, Tur,”

    Ya, namaku Catur.

    Ada satu hal yang selalu mengusik pikiranku saat aku mendengar namaku disebut : orangtuaku khilaf saat mereka memberiku nama. Kesampingkan fakta bahwa namaku mirip dengan nama papan olahraga penguras isi otak, catur dalam bahasa Sansakerta itu artinya empat. Berarti seharusnya aku ini anak keempat. Tapi nyatanya, aku anak pertama.

    Hal ini membuatku mengalami beberapa gangguan psikologis, terutama saat orang yang baru mengenalku bertanya “Kamu anak keempat ya?”

    Serius, sedikit demi sedikit, pertanyaan yang berulang-ulang itu membuatku gila. Dan untuk melampiaskan emosiku agar kejiwaanku kembali stabil, aku harus melakukan sesuatu yang sedikit luar biasa – salah satu contohnya adalah menirukan adegan di film “300” tersebut.

    Ah, sial!

    “Adikmu nangis tuh, ayo, kamu harus bisa bikin dia diam!”

    Aku mengangguk, malas. Kini menghadap adikku yang masih sesegukan, aku mencoba mengulurkan tangan, meminta maaf. Adikku diam, acuh.

    ………

    “THIS IS SPARTAAA!”

    Ah, rasanya jadi ingin mengulang adegan di kamar tadi, deh.

    “Ayo tur, adikmu loh! Kamu nanti kalau sudah besar masak mau biarin adikmu nangis?”

    Oke, baiklah, baiklah. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu.

    “Dek, sudah jangan nangis.”

    Sesegukan. Dia masih sesegukan.

    “Adek tahu gak kenapa kakak tendang bonekanya?”

    Sejenak, Adikku berhenti. Ia lalu menatapku perlahan.

    “Kenapa memang kak?”

    Ah, berhasil.

    Adikku kini penasaran dengan ceritaku.

    “Teddy sebenarnya…”

    “Natasha!”

    Oke, baik, Natasha, atau siapapun itu. Terserah. Nama sang boneka tidak penting. Aku bisa memanggilnya Spiderman atau Waluyo jika aku mau.

    “Natasha sebenarnya jahat, dek!”

    “Jahat?”

    Hehe, rupanya dia belum tahu cerita tentang sang teddy bear terror.

    “Jadi, ceritanya begini,”

    ***​

    Jam di dinding menunjukkan pukul 03.00 saat Henry terbangun di kamar apartemennya yang cukup kecil. Kepalanya pusing luar biasa. “Seperti disetrika,” begitu pikirnya.

    Semalam ia memang habis berkaraoke ria dengan Eileen, tetangga sebelahnya. Tentunya ia juga tak lupa minum bir, enam gelas bir ia habiskan seorang diri. Alhasil, ia teler, muntah, dan kalau tidak salah hampir-hampir ia kencing dicelana. Eileen harus menggotongnya pulang kembali ke apartemennya.

    Tapi bukan bir yang membuat kepalanya pusing, setidaknya itu yang ia pikirkan. Ia tahu bagaimana rasanya pusing yang diakibatkan oleh mabuk alkohol. Pusing yang ia alami kali ini amatlah…aneh.

    Rasanya seperti disetrika, atau apa ya? Ditusuk pisau dapur, barangkali?

    Berjalan perlahan, ia menemukan hal lain yang lebih aneh : pintu keluar apartemennya tak bisa dibuka sama sekali. Ia yakin semalam ia tak mengunci pintu apartemennya.

    “Ah, kunci mana kunci?” Gerutu Henry perlahan. Dirogohnya saku celana jeans birunya untuk mencari kunci pintu apartemennya. Dapat. Sebuah kunci dihiasi ornamen berupa teddy bear kecil. Ia amat ingin keluar apartemennya untuk suatu alasan yang absurd – sebuah panggilan yang mengiang ditelinganya, memanggil-manggil namanya.

    Sayangnya, kunci itu macet.

    “Ah, ayolah, kunci dungu!” Teriak Henry. Dicobanya memutar kunci itu berkali-kali. Tak berhasil. Tak peduli berapa kali ia mencobanya, kunci itu tetap macet di lubang kunci. Tak putus asa, Henry menggedor-gedor pintu, berharap seseorang diluar sana mendengar teriakannya. Namun tampaknya tak ada reaksi.

    Sejenak, Henry tampak frustasi. Dipandanginya kunci rumahnya yang dungu, dan ia menjadi lebih frustasi lagi ketika menyadari bahwa sedari tadi yang ia pegang ternyata adalah kunci lemari.

    “Maklum, aku kan habis mabuk. Baru bangun tidur pula,” pikirnya.

    Karena kebingungan, Henry duduk di sofa untuk sejenak. Dipegangnya kepalanya dalam-dalam, menunduk. Detik jam di dinding sama sekali tak terdengar berdetak olehnya. Aneh. Ia yakin baru dua hari yang lalu ia mengganti baterai jam tersebut.

    Saat ia mencoba melirik ke arah jam dinding tersebut, didapatinya sebuah pemandangan yang mengerikan. Sesosok teddy bear raksasa tengah berdiri menatapnya tepat didepan wajahnya.

    Tinggi tubuhnya sekitar seratus lima puluh sentimeter – ah, tidak, lebih tinggi lagi!

    Wajah sang Teddy tampak berwarna cokelat kelam. Matanya hitam legam dan berjarak hanya beberapa inci saja dari wajah Henry.

    “Wuooooooo!” Teriak Henry, kaget. Saking kagetnya, Henry melempar asbak yang ada di meja secara refleks, untuk mengusir sang teddy bear. Naas, ternyata teddy bear itu menghilang dalam sekejap.

    Dan asbak yang baru saja dilempar Henry kini malah mengenai layar televisi 32 inch miliknya. Terdengar suara nyaring dari kaca yang pecah. Tv nya? Rusak, tentu saja.

    ………

    Astaga…

    “Ini TV kreditan,” jerit Henry dalam hati.

    ***​

    “Henry Townshend…Henry!”

    Suara itu lagi-lagi mengiang di telinga Henry ibarat nada pesan sms. Padahal, Henry sudah kembali mencoba untuk tidur dan melupakan semua ini.

    “Henry…”

    “Berisik, nyet!” Gerutu Henry dalam hati.

    “Henry…”

    “Henry…”

    “Henry…”

    “Saprol, nama gua Udin!” Teriak Henry kemudian, sambil bangun dan melempar bantal ke udara, berharap suara itu hilang. Bantal itu kembali mendarat tepat di wajahnya yang masih kusut berantakan.

    Henry tak tahan. Ia tidak bisa tidur dengan semua suara bisikan itu. Di benaknya, kini ia benar-benar harus mencari sumber suara tersebut, dan memusnahkannya.

    Dan, ya. Sepertinya ia tahu asal muasal sumber suara tersebut. Samar-samar, saat berjalan di ruang keluarga, suara yang memanggilnya terdengar semakin keras saat ia berada di dekat lemari es.

    Jika tebakannya benar, suara itu berasal dari dalam lemari es. Ya, pasti dari dalam lemari es! Begitu pikir Henry.

    Sejenak tangannya merogoh gagang lemari es tersebut, namun keraguan menyelimuti hatinya untuk sesaat. Apakah ia akan membukanya atau tidak, ia tak tahu. Ia ragu. Apa yang ada dalam lemari es tersebut mungkin bisa membunuhnya, atau paling tidak membuatnya ketakutan dan trauma seumur hidup.

    Bagaimanapun, rasa penasaran yang ada di benaknya mengalahkan semua ketakutannya. Ia harus bisa bangun dari mimpi buruk ini.

    “Oke, well, YOLO.” Bisik Henry perlahan.

    Tangan Henry bergerak perlahan. Dibukanya pintu lemari es tersebut. Ada semacam hawa dingin yang menusuk tulangnya saat pintu lemari es terbuka. Bersamaan dengannya, letupan kabut putih yang dingin muncul dari dalam lemari es tersebut, berkumpul laksana asap yang dihasilkan dari proses memasak ayam bakar.

    Astaga…

    Telapak tangan manusia!

    Di dalam kulkas tersebut terdapat sebuah telapak tangan manusia. Ya, potongan telapak tangan!

    Hanya telapak tangan, dan warna telapak tangan tersebut hitam legam, jauh berbeda dari telapak tangan manusia pada umumnya.

    Tapi, tunggu. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata itu adalah sarung tangan kain yang biasa ia gunakan jika naik motor.

    ………

    Dipegangnya sarung tangan kain tersebut dengan tangan kanannya. Ia makin heran, bagaimana mungkin ia bisa salah menyimpan sarung tangan yang seharusnya berada di lemari? Sarung tangan kan bukan makanan.

    “Hey, high five!” Ujar Henry singkat. Ia mengangkat tangan kirinya dan menempelkannya kepada sarung tangan hitamnya, seolah-olah dua tangan tersebut merupakan tangan dua orang yang sedang beradu. Cas, begitu pikirnya.

    “Henry!”

    Ah, baiklah. Suara itu masih belum berhenti dan malah makin menjadi setelah kini posisi Henry tepat didepan lemari es. Karenanya, Henry kini berasumsi bahwa suara itu berasal dari balik lemari es, dan pastinya ada sesuatu yang tersembunyi dibalik lemari es itu. Sebuah portal menuju dunia lain, mungkin? Ia tak tahu pasti.

    Perlahan, ia menggeser posisi lemari es tersebut.

    Bingo!

    Sebuah lubang tampak menganga kecil dibalik lemari es. Lubang yang terlalu kecil baginya untuk bisa masuk kedalamnya, namun cukup besar bagi matanya untuk bisa mengintip lubang tersebut.

    “Henry…”

    “Henry…”

    Perlahan, mata Henry mulai beranjak menuju lubang kecil tersebut. Dipandanginya sebuah situasi yang cukup mengherankan baginya.

    Dimatanya kini tampak Eileen yang sedang duduk di sebuah kursi kayu, menghadap sebuah Teddy Bear yang juga duduk di sebuah bangku kayu kecil. Pandangan mata Eileen terasa begitu hampa, tanpa ekspresi. Teddy bear dihadapannya menatap balik Eileen dengan pandangan yang sama.

    Herannya, kepala sang Teddy tampak berdarah, lengkap dengan sebuah pisau yang menancap di kepalanya.

    “Tunggu…tunggu dulu. Teddy dengan pisau di kepala? Rasanya aku pernah mendengar cerita itu!” Gumam Henry, singkat. Ya, ia pernah mendengar, ah, bukan. Membaca. Ya, ia pernah membaca berita tentang seorang penghuni apartemen yang tewas dengan pisau yang menancap di kepala, ditemani sebuah teddy bear yang terbaring disebelahnya dengan pisau yang juga menancap di kepala sang boneka.

    “Kalau tidak salah, ada di dalam koran dua hari lalu.”

    Dengan segera, Henry beranjak menuju sebuah compact bookshelf dibawah meja. Dicarinya koran dua hari lalu. Awalnya ia kesulitan mencarinya karena yang berada didalam compact bookshelf tersebut – selain majalah P*rn* – adalah beberapa buah kolor, pencukur kumis, coca cola, dan sikat gigi.

    Ah, dapat. Koran dua hari yang lalu.

    Dengan kesabaran ekstra, Henry mulai mencari isi berita yang pernah ia baca. Dibukanya halaman koran yang ada. Selembar, dua lembar, ia tak berhenti hingga kemudian ia menemukan sebuah judul artikel yang menarik perhatiannya.

    “Tak kebagian uang hasil curian, maling lapor ke polisi.”

    Oke, serius. Ini bukan berita yang Henry cari.

    “Wartawan Cantik Ditemukan Tewas Mengenaskan.”

    Ah, ya, ini dia!

    “Alyssa Ashcroft, 28, wartawan sebuah harian surat kabar ternama di ibukota, ditemukan tewas mengenaskan di rumahnya. Korban ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa oleh tetangganya yang bernama Cindy Hart. Saat ditemukan, kepala korban tampak ditusuk oleh sebilah pisau dapur yang menancap tepat di bagian otaknya. Sejauh ini, tim kepolisian menduga bahwa hal ini merupakan kasus pembunuhan berencana, karena disamping mayat korban, ditemukan sebuah boneka beruang yang juga terbujur kaku dengan kepala tertusuk pisau dapur, dengan pola yang sama seperti yang ditemukan pada korban.”

    Dalam foto yang tampak pada artikel tersebut, terlihat bahwa kepala sang teddy bear juga ditusuk oleh pisau dapur tepat dengan posisi yang sama persis seperti yang dialami korban.

    Dan teddy bear dalam foto itu, dilihat dari ukurannya atau warnanya, rupanya sama persis dengan teddy bear yang dilihatnya di kamar Eileen.

    Tapi bagaimana mungkin teddy bear itu bisa hidup kembali?

    Penasaran, Henry kembali mengintip ke lubang yang ada dibelakang lemari es, mencoba kembali mencocokkan teddy bear yang dilihat di koran dengan yang ada di kamar Eileen.

    Namun yang ia dapati kini adalah mata Eileen juga tengah melihat ke arah matanya. Wajahnya tampak tersenyum jahat!

    Astaga! Apa sebenarnya yang terjadi?

    Belum selesai rasa penasaran Henry, sebuah suara kembali mengagetkannya – pintu rumahnya kini diketuk keras-keras. Suara ketukan itu tak berhenti meski Henry tak menjawab atau membuka pintunya.

    Mengintip dari lubang kunci di pintunya, dilihatnya sebuah teddy bear dengan pisau menancap di kepala yang sedang melompat-lompat tepat didepan pintu kamarnya.

    Ditangan sang teddy bear itu, sebuah pisau dapur mengacung!

    ***​

    “Hii, serem kak!”

    Adikku tampak bergidik mendengar ceritaku tentang teddy bear yang jahat. Dengan cerdik, kembali aku mengada-ngada semua cerita.

    Kukatakan padanya bahwa semua hal itu terjadi karena sejarah teddy bear yang dimanipulasi oleh penemunya – seorang warga Negara Amerika Serikat. Seringkali disebutkan bahwa boneka beruang yang kita kenal sebagai Teddy dinamai berdasarkan nama salah satu Presiden Amerika Serikat : Theodore Roosevelt. Versi sejarah resmi menyebutkan bahwa saat sedang berburu, Theodore Roosevelt menemukan anak beruang yang terjerat jebakan di kakinya, dan karena kasihan, ia melepaskan anak beruang tersebut. Hal ini menginspirasi seorang pembuat boneka beruang untuk menamai produknya dengan nama Teddy, berdasarkan nama akrab sang presiden.

    Kenyataannya, Teddy merupakan beruang grizzly ketiga ratus yang dibunuh dalam perburuan yang dilakukan oleh sekelompok warga Amerika Serikat, yang dengan serakah membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan dan permukiman. Sayang, warga Amerika Serikat pada saat itu tak sadar akan kutukan Bangsa Indian Navajo tentang beruang.

    Kutukan yang berbunyi sebagai berikut :

    “Ketika 300 beruang mati tertembus peluru di tanah Navajo, maka kutukan leluhur bangsa Navajo akan datang dan menghantui seluruh bangsa Amerika. Para roh beruang akan datang dan membalas dendam setiap lewat 300 bulan purnama, sebanyak 300 jiwa.”

    “Ja…jadi, beruang itu tadi jahat ya, kak?”

    Aku mengangguk, mantap, sambil mengelus-elus rambut adikku.

    “Terus, harus ditendang ya supaya gak jahat?”

    Ah, ya, itu, bagaimana aku menjelaskannya ya?

    “Hemm, kamu tahu film 300 gak dek?”

    Adikku menggeleng.

    “Tahu gak kenapa dikasih judul 300?”

    Lagi-lagi menggeleng.

    “Jadi, film itu dinamai 300 oleh bangsa Amerika Serikat sebagai respon atas kutukan bangsa Navajo. Didalam film itu terdapat salah satu cara untuk menangkal kutukan yang ada.”

    “Oh, caranya ditendang gitu ya?”

    “Iya, ditendang sambil teriak keras-keras.”

    “Teriak apa kak?”

    “This is Sparta!” kataku sambil kemudian berdiri, mengambil Natasha dari tangan adikku, mendudukannya di lantai, dan menendangnya hingga jatuh.

    “Oh, gitu ya?”

    Aku mengangguk. “Ingat ya, This is Sparta!”

    Adikku manggut-manggut, mengangguk. “This is Sparta!”

    Ah, entah ia mengerti apa yang sedari tadi kuucapkan, atau malah tidak sama sekali. Lagipula, dia masih kecil. Dan dasar anak kecil, mudah saja dia kubohongi.

    Dan saat kupikirkan kembali, kenapa aku harus mengarang cerita yang aneh ini hanya untuk menutupi kesalahanku sih? Padahal, aku bisa dengan mudah mengakui bahwa aku merupakan makhluk sadis dengan tingkat intelejensia yang rendah, yang seenaknya meniru adegan film “300” yang baru saja kutonton.

    ………

    Masa bodoh! Yang penting adikku tidak menangis lagi.

    “Okay, jadi kamu harus hati-hati ya dek mulai sekarang.”

    Adikku mengangguk.

    Dan aku tersenyum menang. Yes, kebohonganku berhasil.

    ***​

    “Anjrit, gua telat!”

    Senin pagi dimulai dengan bangun kesiangan seperti biasa. Dan karena aku terlambat, segera aku memakai seragam sekolah tanpa mandi terlebih dahulu.

    “Tur, Catur, cepat nak! Sebentar lagi sekolah dimulai nih. Kamu dibangunkan kok susah bener ya?”

    Ah, bukan susah dibangunkan. Yang membangunkannya saja yang tidak memiliki skill ahli dalam membangunkan orang tidur. Atau…ah, sudahlah. Dasar memang aku tukang tidur dan tukang telat. Aku tak mau berlama-lama membahasnya.

    Keluar dari kamarku sambil menyambar sepatu, aku masuk ke kamar adikku, berusaha membangunkannya karena ia juga pasti terlambat sekolah.

    “Adek, ayo kita berang-“

    “THIS IS SPARTAAAA!”

    ………

    Adikku gila!

    original link
     
  4. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    hmm, :iii:

    agak nggak sreg dengan penggunaan peribahasa yg 'jatuh ke lubang yg sama'.

    mgkin beda interpretasi atau cuman aku yg miskonsepsi ya?

    --

    kyk gini, klo yg sejauh yg aku ingat, 'jatuh ke lubang yg sama' itu diartikan sebagai 'nggak akan ngulangin kesalahan yg sama' lagi kan?

    klo di cerita, itu udh kayak kerasa lumrah amat, keadaannya yg kyk gitu tentu saja.
    apalagi dalam situasi yg kek gitu, protagonisnya nggak punya kuasa sama sekali dengan keadaannya.

    entah dia mau kerja keras atau apa, klo takdirnya kek gitu ya mau gimana lagi.


    tapi, entahlah aku juga nggak tau klo masalah ini. mgkin aja pemakaian kk yg benar.


    trus keadaannya yg tiba2 kakaknya mati, trus usahanya tiba2 bangkrut itu juga kerasa kurang riil. atau gimana, aku nggak ngeliat hubungan klo kakaknya mati, usahanya jadi bangkrut itu aja.

    itu aja kyknya.


    dan katanya pov 2 ya? aku rasa bukan. :lalala:
     
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    err, aku no komen ama 2nd pov, udah dibilang ama si merp soalnya :swt:

    yang lainnya aku no komen juga, ini project eksperimental. baru pertama kali pake style gini :iii:

    thanks anyway :hmm:
     
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    celeng sebelah bulan Juli :nikmat:

    Catatan dalam Jurnal Ayah
    Genre : Slice of Life, Drama

    “Rasanya pasti menyenangkan…”

    Aku bergumam sendiri, bermonolog. Menatap jauh ke bawah tebing, buih-buih ombak yang pecah di lepas pantai berpasir itu tampak amat menarik. Apalagi membayangkan suara riuh ramai anak-anak yang bermain di tepi pantai atau berenang di laut dangkal, ah, pasti sungguh menyenangkan.

    Sayangnya, aku hanya bisa menikmati pemandangan itu dari atas tempat tidur.

    Kamarku memiliki balkon kecil di tepi jendela yang mengarah ke lautan luas. Dari sana aku bisa melihat birunya laut dan langit yang serasa hampir tak berbatas. Meskipun begitu, buatku yang seharian hanya bisa diam mengurung diri di rumah, bisa merasakan segarnya air laut seperti itu mungkin merupakan hal yang mustahil terwujud.

    Mmn. Kondisi kesehatanku tak kunjung membaik. Apalagi setahun terakhir aku harus duduk diatas kursi roda, tak bisa bergerak bebas.

    Atas saran dokter, ibu memindahkanku ke rumah ini agar aku bisa pulih dan beristirahat dengan tenang. Awalnya memang berat bagi ibu yang kini bekerja di luar negeri untuk memindahkanku kemari. Ibu memiliki trauma dengan laut, pantai, dan semacamnya. Tapi dokter menyarankan demikian, karena menurut beliau, laut akan membuatku tenang. Karenanya ibu tak bisa berbuat banyak.

    Dan nyatanya, berada di tepi laut selama beberapa bulan terakhir memang malah membuatku amat ingin menikmati air laut. Lucu, memang. Aku sama sekali belum pernah menyentuh dinginnya air laut semenjak tiba disini.

    Diterpa angin sejuk, akupun menghela napas.

    Tanganku perlahan bergerak, membuka kembali lembaran-lembaran buku tentang kehidupan bawah laut yang sedari tadi kugenggam. Kudapatkan buku itu dari perpustakaan kota, dan seharusnya sudah kukembalikan sejak sebulan lalu. Yah, mau bagaimana lagi? Aku hampir-hampir tak bisa keluar rumah.

    Ah, bukan. Kurasa bukan itu. Aku belum mengembalikannya karena memang aku masih ingin membacanya. Ya, aku masih ingin mengetahui banyak hal tentang lautan luas. Tentang ikan hiu, ikan manta, gurita, kerang, ombak, dan lautan luas.

    Diatas semua itu, aku ingin mengetahui lebih dalam tentang kehidupan ayah, seperti yang selalu ia tulis dalam jurnalnya.

    “Shelly, sudah kau minum obatnya?”

    Mendadak terdengar suara seseorang, membuyarkan lamunan indahku tentang kehidupan bawah laut. Aku lantas menoleh.

    “Ah, Stella,”

    Entah sejak kapan Stella berdiri di tepian pintu kamar, menatapku tersenyum. Sosok wanita berusia 32 tahun tersebut adalah kepala pelayan yang sudah bertahun-tahun bekerja pada ayah. Ia sudah mengenalku bahkan sejak aku masih balita.

    Aku balas tersenyum, menggeleng.

    “Sibuk dengan buku-buku itu lagi?” Ujarnya. “sekali-sekali pikirkanlah kesehatanmu.”

    Tanpa sempat aku menjawab, Stella beranjak perlahan, ikut duduk diatas ranjang. Tangannya kemudian mengambil apel dan pisau diatas meja di samping tempat tidur. Dengan cekatan ia mengupasnya, memotongnya menjadi bagian-bagian kecil.

    Aku tak mempedulikannya dan kembali larut dengan gambar-gambar anemone laut, kuda laut, ikan paus, plankton, ikan manta…

    “Kau kedatangan tamu hari ini, Shell.”

    “Eh?”

    “Teddy.”

    Mendadak aku terkejut. Setengah berteriak aku menjawab, histeris. “Te…Teddy?!”

    “Ya.” Jawab Stella mengangguk, meyakinkan. Seketika kututup buku yang sedang kubaca rapat-rapat, menyembunyikannya dibalik bantal.

    “Stella, kau tak bilang kalau aku ada disini kan?“

    “Anu, itu-”

    “Kau bilang bahwa aku sedang tak disini? Iya kan? Iya kan?” Kataku mendesak, panik. Kedua tanganku meraih pundaknya keras-keras.

    Tapi Stella tampak ragu-ragu menjawab. Dan belum sempat ia berkata apapun, sebuah suara kembali terdengar dari pintu kamarku ini.

    “Yo, Shelly. Apa kabar?”

    “Hu…huaaa!” Aku berteriak, kaget. Sial! Teddy! Si Teddy itu, kenapa ia bisa ada disini sih?

    Ah, mati aku!

    “Oi, kenapa menjerit begitu?” Teddy balik berteriak, melempar tas punggungnya ke lantai. Sikap ceplas ceplos dan wajah menyebalkannya masih saja tak berubah semenjak kali pertama kami bertemu di perpustakaan kota. Ia dikenal sebagai petugas perpustakaan yang paling hiperaktif, sekaligus paling kasar. Aku bahkan pernah melihatnya menyiram seseorang yang asyik tertawa di ruang baca. Meski peraturan mengatakan bahwa dilarang ribut di perpustakaan, tapi tak harus sampai menyiramnya juga.

    “Ka…kamu!” Teriakku dengan telunjuk mengarah pada sosok lelaki jangkung itu. “Sedang apa kamu disini? Kok kamu bisa ada di rumahku?”

    “Aku sudah minta ijin kok.” Jawabnya singkat. Telunjuknya balik mengarah pada Stella yang tersenyum masam padaku

    “Anu, maaf Shelly. Aku sudah berusaha, tapi ia tak percaya…”

    Ah, kenapa…

    “Dan juga,” Kata Teddy kemudian. “ada apa dengan ‘kok kamu ada di rumahku’ itu? Wajar kan aku kemari untuk mengambil kembali buku yang belum kau kembalikan.”

    “Bu…buku? Buku apa ya?”

    “Marine biology for dummies, edisi satu sampai delapan.” Jawabnya malas sambil menggaruk bagian belakang kepala. Ah, sial! Jawaban jitu. Itu memang buku-buku yang belum kukembalikan. Sial! Petugas perpustakaan memang mengerikan.

    “Anu…buku-buku itu…” Aku mencoba berkelit. Mataku menatap ke segala arah dengan jantung yang berdebar tak karuan. “A…anu…kemarin sudah aku kembalikan, kok.”

    “Oh ya?” Ujar Teddy, sumringah. “Kenapa kau tak bilang padaku?”

    Kurasakan tubuhku berkeringat, dingin. “A…aku…aku baru mau bilang padamu hari ini, kau tahu? Ahaha…haha…”

    Teddy membalas senyuman panik yang kulemparkan dengan sebuah senyum lebar sambil berkata senang, “Wah, begitu ya? Syukurlah, kalau begitu aku akan segera kembali ke perpustakaan dan mengeceknya.”

    Mendengar jawabannya aku menjadi sedikit lega, meski hanya untuk dua detik saja karena kemudian Teddy kembali berkata ketus, “seperti aku akan percaya saja? Dasar dungu.”

    Uh, sial. Si ajaib ini…

    Aku harusnya sudah tahu alasan seperti itu takkan berguna baginya.

    “Ayo, kau sembunyikan dimana?” Kata Teddy yang kemudian mendekatiku ogah-ogahan. Perlahan ia menggeser tubuhku. Tangannya kemudian merogoh jauh, merayap kebawah bantal.

    “Aduh, hentikan!” Kataku melawan. Namun kemudian, Teddy kembali menarik tangannya setelah berhasil menemukan buku tersebut.

    “Edisi tiga, ya?” Gumamnya dengan nada malas. Sial. Ia bisa menebak dengan jitu dimana buku itu kusembunyikan. Uh, benar-benar menyebalkan.

    “Sebulan meminjam, dan baru sampai edisi tiga. Kau ini benar-benar ‘dummy’ deh.”

    “A…aku sudah tamat membacanya, kok!” Kataku kesal. “Cuma diulang saja karena, hei!”

    Kembali aku berteriak saat mendapatinya memindai buku-buku di rak kayu samping pintu masuk. “Jangan sembarangan mengacak-acak properti orang lain!“

    Teddy mengabaikan ocehanku dan terus asyik memindai. Diambilnya beberapa buku yang kususun rapi. Aku makin panik. Ia mungkin sedang mencari buku-buku miliknya, tapi di rak tersebut terdapat jurnal ayah. Au tak ingin ia menyentuhnya.

    “Berhenti! Kau tak bisa sembarangan menyentuh buku-buku itu!”

    “Tentu bisa, sayang.” Balasnya santai. “Lagipula beberapa dari buku-buku ini kan milik perpustakaan, jadi tak ada masalah.”

    “Tidak, bukan itu…Jurnal ayah…”

    “Huh?” Katanya linglung. Tak lama ia kembali menatap rak buku, memindai, dan mengambil sebuah buku bersampul coklat tua.

    “Kembalikan!”

    Teddy lagi-lagi tak menggubris. Dibukanya buku itu perlahan, dan dibacanya baik-baik.

    “Wah,” kata Teddy kemudian. “Ayahmu seorang peneliti, ya?”

    ………

    Sialan! Seenaknya saja ia membuka catatan ayah.

    Menyebalkan!

    “Teddy!”

    Aku berteriak, kesal. Kurasakan tanganku yang mengepal kuat. Tak lama aku beranjak, berusaha bangkit dari tempat tidur dan berdiri.

    Dan berjalan, meski aku seharusnya sudah tak bisa lagi berjalan.

    Selangkah…

    Dua langkah…

    Dan pada langkah ketiga, aku mulai terhuyung-huyung. Pandanganku kabur, buram.

    “Shelly!”

    Aku ambruk, jatuh. Stella bergegas menghampiriku, memapahku bangun, berdiri. Namun refleks, aku menepis tangan Stella keras-keras.

    ………

    Aku ingin berdiri, dan berjalan, dengan kekuatanku sendiri.

    Seperti apa yang tertera pada halaman terakhir di jurnal ayah, mmn, itulah yang membuatku tetap bersemangat.

    Tapi kini...

    “Shelly…”

    Stella amat tahu perasaanku, amat tahu keinginanku untuk bisa kembali berjalan. Karenanya, ia paham dan mengerti saat rasa sesak memenuhi dadaku.

    Dan menangis…

    ***​

    “Tak usah memaksakan diri.”

    Stella berkata perlahan setelah kembali memapahku ke tempat tidur. “Santai saja, Shelly. Suatu saat nanti kau pasti bisa kembali berjalan.”

    Aku tersenyum sayu. Meski tahu bahwa ia berusaha menyemangatiku, kata-katanya sama sekali tak membantu. Karena, entah sampai kapan aku akan berada dalam kondisi ini. Mungkin selamanya.

    Dan selamanya aku tak bisa menikmati air laut yang sering ayah ceritakan padaku sejak kecil, yang setiap detailnya masih kubaca dalam jurnalnya.

    “Semuanya akan baik-baik saja.” Katanya kemudian, membuatku kembali tersenyum.

    “Anu,” Teddy tiba-tiba terlibat dalam pembicaraan. Tangan kanannya mengulur, menyodorkan jurnal ayah yang sejak tadi ia genggam.

    Aku mengambilnya, tersenyum. Kembali kubuka lembaran-lembaran buku tersebut, tak terkecuali bagian akhir yang membuatku sedikit lebih tenang.

    “Stella, tolong.” Kataku, menunjuk pada kursi roda yang berdiri di pojok ruangan. Seolah mengerti, Stella mengambilnya. Ia lantas membantuku berpindah.

    Duduk diatas kursi roda, kusimpan kembali jurnal ayah di tempat semula.

    “Semua yang kau alami saat ini, kematian ayahmu, juga kondisi fisikmu, kurasa semuanya bukanlah alasan bagimu untuk tetap diam.”

    Kata-kata Teddy membuatku terkejut. Aku menoleh, menatapnya, dan tersenyum pahit. Ia pasti sudah membaca beberapa lembar halamannya, termasuk halaman terakhirnya hingga tahu bahwa ayahku sudah meninggal.

    Ya, benar. Ayah sudah meninggal, atau lebih tepatnya hilang di lautan saat bekerja. Hal itu membuat ibu trauma dan melarangku pergi ke dekat pantai setelahnya. Jadi, meski aku amat penasaran dengan dunia ayah, aku tak bisa berbuat banyak. Terlebih, kondisiku saat ini tidak memungkinkanku untuk berenang di lautan.

    Hal itu menjelaskan kenapa aku amat senang dengan isi buku Marine Biology yang kupinjam dari perpustakaan itu, karena aku seolah bisa berada di dunia yang menjadi impianku selama ini – dunia ayah, dunia yang sering ia ceritakan padaku semasa kecil.

    “Meski kau bilang begitu juga, apa yang bisa kulakukan dalam kondisi seperti ini?” Kataku lagi. “Dulu aku masih memiliki semangat untuk pergi ke lautan. Masih memiliki ayah yang memberiku inspirasi, juga memiliki dua kaki yang kuat untuk berenang dan berlari. Sekarang, apa yang tersisa untukku dari mimpi-mimpi itu?”

    Teddy tak membalas. Stella diam, dan aku juga tak tahu harus berkata apa lagi. Kami bertiga diliputi keheningan untuk sesaat.

    .........

    Aku sudah menyerah. Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk bisa berenang ditengah laut.

    “Jika kau mau membawa buku-buku itu, ambillah.” Kataku memecah keheningan. Menoleh pada Teddy, aku tersenyum lepas. “Pastikan buku-buku itu masih ada disana, karena besok aku bisa kembali meminjamnya. Meski tak bisa berenang, aku masih ingin melihat seperti apa isi dunia ayah.”

    “Hmm,” Jawab Teddy, bergumam. Tak lama ia mengambil kedelapan jilid buku marine biology yang sebelumnya diletakkan diatas meja. Dimasukkannya semua buku tersebut kedalam tas gendong miliknya, dan kembali ia berkata singkat. “Sayang sekali jika semua keinginanmu terkurung oleh kenyataan bahwa kau tak bisa berjalan lagi. Benar-benar gadis yang menyedihkan."

    ...ya, itu benar.

    Aku...

    "Ayahmu pasti kecewa."

    "Tu...tunggu sebentar!" Stella memotong cepat. "Teddy, kau kasar sekali!"

    "Aku mengatakan hal yang benar, kan?" Sanggah Teddy. "Shelly, kau takkan bisa mengubah semuanya jika kau hanya diam disini.”

    ......

    Benar juga.

    Dulu aku percaya bahwa jika kita memiliki keinginan, kita bisa menggapai apapun. Tapi sekarang...

    Sekarang, apa yang sebenarnya sedang kulakukan? Hanya karena tak bisa berjalan, aku melepas semuanya...

    Benar kata Teddy. Aku menyedihkan.

    Sungguh menyedihkan.

    .........

    Cukup lama aku merenung, sebelum kemudian kusadari bahwa kini Teddy sudah ada dibalik punggungku. Menggenggam gagang kursi roda yang kunaiki, ia berbisik.

    “Kalau kau mau tahu seperti apa lautan luas, kau harus melihatnya sendiri, dungu.”

    “He?”

    “Akan kuantar kau kesana." Katanya, melangkah perlahan. Dapat kurasakan kursi roda ini bergerak.

    "Teddy?"

    "Percayalah padaku, kau masih bisa menjalani kehidupan yang menyenangkan dengan apapun kondisimu saat ini. Jika hanya berenang di laut, itu hal mudah!" Sambungnya, tersenyum. "Akan kutunjukkan padamu caranya."

    Dan beberapa saat setelahnya, dapat kurasakan kursi roda ini bergerak dengan cepat, keluar kamar, menuju pintu depan. Ah, Teddy, apa yang ia lakukan? Tidakkah ia tahu bahwa aku tak boleh pergi ke pantai?

    Dari kejauhan dapat kudengar Stella yang berteriak kencang, “Te…Teddy! Apa yang kau-”

    “Tak apa-apa, Stella!” Teddy bersorak “Aku akan membantu gadis dungu ini meraih impiannya!”

    Eh, apa?

    Dia…

    “Teddy! Kembali!”

    “Tentu!” Jawab Teddy, riang. “Aku akan kembali sebelum matahari terbenam! Tenang saja!”

    ………

    Dia…

    Entah kenapa, rasanya menyenangkan. Ada semacam perasaan gembira yang meledak, yang tiba-tiba merasuk ke tubuhku saat ia mengatakan bahwa ia akan membawaku melihat laut.

    Dan kursi roda ini pun melaju makin cepat. Keluar dari pintu rumah, tampak pepohonan teduh di sepanjang jalanan kasar yang membuat tubuhku bergoncang, berirama sesuai gelombang yang ada di jalan.

    “Uwaa! Teddy, hati-hati!”

    “Kau tenang saja. Serahkan semuanya padaku!"

    Mungkin kini aku merasa bersalah karena aku telah melanggar perintah ibu, tapi muncul perasaan lain yang lebih besar.

    Perasaan senang yang meluap-luap. Ya, tak ada salahnya sekali-kali menembus batas untuk meraih apa yang menjadi sumber kebahagiaan.

    Aku menoleh pada Teddy yang taampak bersemangat, tertawa riang. Si kasar itu, meski ia seringkali bertingkah seenaknya, namun terkadang aku merasa amat senang dengan kelakuannya, dengan tindakannya yang seringkali melampaui batas.

    Karena seringkali batas memberi beban dan menjadi penghalang bagi cita-cita.

    Kursi roda ini masih melaju kencang, menuruni bukit, melewati pepohonan rindang. Cepat. Cepat sekali!

    “Shelly,” Katanya kemudian. “Coba kau berteriak.”

    “Eh?”

    “Teriak yang kencang. Bilang ‘laut, aku datang!’ Ayo.”

    “Mu…mustahil aku melakukannya!” Balasku, memikirkan bagaimana malunya aku bila orang-orang melihatku demikian. Namun Teddy malah makin mendesakku untuk melakukannya.

    “Teriaklah! Aku tahu kau bisa!”

    Ah…

    Menatap wajah Teddy yang tertawa senang, aku jadi memiliki keyakinan sendiri bahwa aku bisa melakukannya – berteriak keras, melihat dan menyentuh air laut...

    Menggapai impianku.

    “La…laut, aku datang!”

    “Lebih keras!”

    “Laut! Aku dataaanng!”

    “Bagus!” Katanya. “Ayo, sekali lagi! Lepaskan bebanmu!”

    Aku tertawa, senang, bahagia. Kembali aku berteriak – kali ini lebih lepas.
    “Lauutt! Akuu Dataaanngg!”

    “Kami datang!”

    Ahaha, menyenangkan. Sungguh menyenangkan.

    Kursi roda ini masih bergerak cepat menuju laut. Untuk sesaat, aku teringat dengan catatan terakhir di jurnal ayah.

    Disana tertulis :

    Untuk almarhum ayahku.

    Aku akan menggapai impianku, karena, seperti apa katamu, apalah artinya sebuah impian bila tidak diwujudkan?

    Mmn. Aku akan mewujudkannya.

    Meski kini aku tak bisa berjalan, atau jika kelak aku tak bisa berdiri sekalipun, aku akan mewujudkan impianku, keinginanku.

    Aku takkan berhenti sampai disini.

    ………

    Dapat kurasakan semilir angin dan teriakan burung camar tak lama kemudian. Jauh didepan, tampak genangan air yang begitu luas memenuhi cakrawala.

    original link
     
    Last edited: Aug 9, 2014
  7. atmosphere_blues Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 30, 2009
    Messages:
    41
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +5 / -0

    mantap kakak. andai endingnya di remarks lagi mungkin lebih sedap membacanya :)
     
    • Like Like x 1
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Writer's Road to Anthology Season 8 :hmm:

    Eden Lake
    genre : mystery

    Namanya Eden Lake, danau dengan perairan tenang dengan sebuah pulau ditengahnya.

    Orang-orang lebih sering menyebut tempat itu sebagai danau kematian. Alasannya simpel saja : Eden Lake selalu meminta korban jiwa setiap tahunnya. Setiap tahun, selalu saja ada berita ditemukannya mayat yang mengapung disana.

    Ditengah-tengah danau tersebut, terdapat sebuah pulau yang amat misterius. Ya, misterius, karena seharusnya tak ada pulau apapun di Eden Lake. Danauh ini seharusnya berupa perairan tanpa daratan apapun. Hal ini sudah dibuktikan oleh peta satelit dari Google Map – tak ada pulau apapun yang mengapung di Eden Lake. Meski demikian, beberapa saksi mata menyebutkan bahwa ada sebuah pulau menyeramkan yang mengapung di danau tersebut.

    Desas-desus menyebutkan bahwa pulau tersebut merupakan tempat kaburnya seorang psikopat gila yang melarikan diri dari penjara sepuluh tahun silam, dan siapapun yang datang ke pulau tersebut kelak akan menjadi korban berikutnya. Hal ini dibantah oleh beberapa kalangan, karena dari beberapa mayat yang ditemukan, tak tampak adanya bekas penyiksaan. Kalangan ilmuwan percaya bahwa pada waktu-waktu tertentu, pulau tersebut dipenuhi konsentrasi gas metana dan sulfur yang tinggi, yang juga dibantah karena fakta menunjukkan bahwa burung-burung merpati masih bisa terbang bebas melintasi danau tersebut setiap tahunnya. Lalu, teori konspirasi menyebutkan bahwa pulau tersebut adalah sarang alien. Dan masih banyak teori-teori lain yang membuat nama Eden Lake melambung tinggi. Sebuah tim dari kepolisian dan sekelompok kru film horror bahkan pernah mencoba menelusuri keangkeran danau dan keberadaan pulau tersebut. Hasilnya nihil. Mereka mengaku bahwa mereka sama sekali tak menemukan pulau apapun disana.

    “Cih, hanya sebuah legenda konyol.” Rekanku, Chris, menggerutu. Ia mengepulkan asap rokoknya, memeriksa handycam yang ia bawa, lalu mengepaknya kedalam sebuah tas besar. “Malam ini kita akan menemukan misteri itu, ya kan, Amy?”

    Aku tak menjawab. Atau mungkin, tak tahu bagaimana harus menjawab.

    Terlepas dari tugas kami sebagai wartawan buletin misteri, aku disini karena punya tujuan sendiri. Sepucuk surat tiba di apartemenku minggu lalu. Sepucuk surat dari tunanganku, Alton. Isinya hanya sebuah tulisan besar berwarna merah.

    Eden Lake.

    Masalahnya, Alton tak mungkin mengirimiku surat. Ia sudah meninggal tiga tahun lalu. Jatuh dari tangga. Kepalanya membentur lantai hingga meninggal seketika itu juga. Dan kejadian itu merupakan kejadian yang amat memukul. Chris bahkan bilang, semenjak kejadian itu aku menjadi jarang bicara dan lebih sering menghabiskan waktu seorang diri.

    Dan aku…

    Aku bahkan tidak menyadari perubahan diriku sama sekali. Perasaan terpukul yang amat dalam mungkin telah membuatku lupa siapa diriku sebenarnya.

    Kini kugenggam erat surat tersebut di saku jaket. Memejamkan mata dan menghirup napas panjang, aku bertekad takkan pulang sebelum menemukan siapa dalang dibalik lelucon ini. Mempermainkan perasaan orang lain, ah, orang yang melakukannya pasti benar-benar gila! Bertahun-tahun aku hidup dengan bayang-bayang Alton di benakku, dan orang ini, bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku seenaknya.

    Padahal, dalam tiga tahun ini, secara perlahan aku bisa melupakan semua kisah tragis itu. Gara-gara surat itu, semua yang kulaui dengan Alton kembali muncul.

    Ah, sial!

    “Hei, Amy,”

    Suara Chris membangunkan lamunanku, membuatku terperanjat. Menoleh pada Chris dengan mata terbelalak tentu membuat Chris kebingungan.

    “Kau tidak apa-apa?”

    Ragu-ragu aku mengangguk.

    “Ayo,” katanya lagi. “Kita berangkat.”

    Mengikat rambut panjangku, akupun mulai melangkah.

    ***​

    “Kabutnya tebal sekali!” Chris mengumpat. “Lampu kabut ini sampai tak bisa tembus. Sialan!”

    Tak aneh jika kami tersesat ditengah danau begini. Chief Editor bilang bahwa kami harus merekam perjalanan kami tepat di malam hari, dan itu berarti minim penerangan. Sebetulnya semua sudah kami persiapkan untuk perjalanan lintas malam ini. GPS, lampu kabut, peta danau, bahkan hingga lampu suar.

    Sayangnya, sebuah keanehan terjadi. Lampu suar kami tiba-tiba macet, GPS mati dengan sendirinya, dan lampu kabut ini sama sekali tak kuasa menahan tebalnya kabut yang ada. Peta? Kami tak bisa mengandalkan peta sama sekali karena kami bahkan tak tahu dimana posisi kami saat ini. Hal terbaik yang bisa kami lakukan adalah tetap mengapung diatas danau dan menunggu hingga pagi menjemput.

    “Hei, Amy, kau hening sekali.” Chris mencoba mengajakku bicara. “Kau ketakutan?”

    Aku hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Pikiranku masih tertuju pada surat itu, dan hal itu tampaknya membuat Chris makin bosan. Ia mulai kembali mengeluarkan rokok dari saku jaketnya, mengepulkan asapnya ke udara.

    Berusaha menghilangkan pikiran yang kalut, aku mengaktifkan handycam dan mulai sibuk merekam keadaan sekeliling. Kuputar handycam di tanganku perlahan. 360 derajat.

    Saat handycam ini mengarah ke tubuh Chris, sontak tanganku diam seketika. Aku dibuat kaget bukan main oleh apa yang kudapati di handycam milikku ini.

    Sosok Chris, ia sama sekali tak ada di dalam kamera!

    “Kenapa?”

    Astaga…

    Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa? Kenapa Chris tak ada didalam kamera?

    “Hei, Amy? Ada apa?”

    Tidak! Aku…aku tak bisa menjawab! Maksudku, siapa – lebih tepatnya, apa yang sedang ada dihadapanku kini?

    Belum sempat penasaranku hilang, sebuah goncangan menghantam kapal kecil kami. Rasanya seperti ditabrak batu karang. Tubuhku bergoyang bukan main.

    Dan saat mencoba melihat kearah Chris, ia sudah tak ada disana. Ia lenyap.

    Astaga…

    Apa yang terjadi?

    “Chris!”

    Kucoba berteriak dan melihat sekeliling, mencoba mencari sosok Chris.

    “Chris! Dimana kau? Chris?”

    Tak ada. Sosoknya lenyap seperti asap.

    ***​

    Kini aku sendirian.

    Tanpa tahu kemana kapal ini akan berlabuh, aku tetap diam didalam kapal. “Tenang, tenang, jangan panik,” gumamku dalam hati.

    Hingga perlahan, kabut ini pun menghilang. Sebuah pulau tampak di kejauhan. Hanya perlu sepintas melihat, dan aku yakin bahwa itu bukanlah pulau tempatku berasal. Pulau itu pastilah pulau ditengah danau yang menjadi buah bibir di masyarakat.

    Kuarahkan handycam ini ke arah pulau tersebut, dan lagi-lagi aku mendapati hal yang aneh. Kamera ini tak menangkap bayangan apapun selain sebuah perairan kosong. Padahal mataku jelas-jelas menangkap sebuah pulau yang mengapung, lengkap dengan sebuah gubuk yang bertengger di tepian pulau tersebut.

    Karena sia-sia, aku segera mematikan handycam dan menyimpannya kembali kedalam ransel milikku. Napasku kini tak beraturan. Dadaku berdetak kencang seiring laju perahu ini yang kian lama kiat cepat, seolah tertarik oleh pulau misterius itu. Tubuhku menggigil hebat. Bahkan saat kapal ini menepi di sebuah tanah landai, aku tak lantas bergerak. Aura menakutkan dari pulau ini terasa begitu memancar. Pulau ini…kosong, gelap, dan rasanya, tak ada kehidupan yang memancar dari sini.

    Saat kemudian aku memutuskan untuk menginjakkan kakiku di pulau tersebut, perasaan aneh tiba-tiba muncul di benakku. Kepalaku terasa berat. Amat berat. Selain itu, aku juga mendengar suara-suara teriakan yang begitu kuat ditelinga. Jeritan-jeritan ketakutan, keputusasaan, semuanya terdengar begitu keras. Tubuhku serasa diserbu oleh kekuatan mistis. Tak kuat, aku memejamkan mata sambil menutup kedua telingaku. Bisa kurasakan tubuhku roboh diatas tanah.

    Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Aku tak bisa bernapas.

    Berhenti…

    Tolong…berhenti…

    Kuulangi kata-kata itu berkali-kali, hingga kemudian, saat semuanya menghilang, aku kembali membuka mata. Tetapi, aku malah kembali dikejutkan oleh apa yang ada dihadapanku. Karena yang tampak dimataku kali ini bukanlah sosok pulau seram seperti yang kulihat sebelumnya.

    Kini aku berdiri di ruang tamu apartemenku sendiri.

    Aneh! sungguh aneh! Aku baru saja berada di tempat paling menyeramkan di bumi, dan kini aku tiba di apartemenku sendiri. Ini semua benar-benar diluar akal sehat!

    Kenapa aku bisa ada disini juga aku tak mengerti, namun kemudian aku bisa mendengar suaraku sendiri dari ruang TV.

    “Kenapa kau melakukannya, Alton? Tidakkah kau sadar bahwa dalam dua bulan kita akan meni-“

    “Aku tahu! Aku tahu, sialan!”

    Ah…

    Ada aku dan Alton yang sedang bertengkar.

    Ini…kejadian ini…

    “Aku tahu Amy. Aku mengerti.” Alton berkata gusar padaku yang berdiri dihadapannya dengan mata berbinar. Momen ini, aku takkan pernah lupa momen ini.

    Kala itu aku benar-benar shock. Aku tak tahu harus bagaimana.

    Rasanya ingin mati saja.

    “Lantas kenapa kau melakukannya?”

    Alton menghela napas panjang, mengangkat kedua tangannya seolah mengisyaratkan bahwa ia pun tak tahu hal itu, atau tak mau tahu tentang hal itu. Melihat gelagatnya tentu saja aku semakin menangis menjadi-jadi.

    “Dengar, Amy.” Kata Alton kemudian. “Hanya sebentar, OK? Tunggulah beberapa bulan lagi. Setelah bayi Ruth lahir, aku akan menceraikannya, dan kita akan kembali bersama, OK?”

    Sosokku menggeleng, menangis. Aku kala itu – dan mungkin juga hingga saat ini – tak bisa menerima kenyataan bahwa Alton berselingkuh dengan sahabatku sendiri, Ruth. Yang lebih parah, Ruth hamil karena hubungan itu. Karenanya, Alton ingin agar pertunangan kami berakhir.

    Ia bilang semuanya hanya sementara, tapi aku tetap tak bisa menerimanya.

    Sosokku itu kini hanya terus menangis, sementara Alton terus berusaha menghiburku.

    “Aku akan kembali, aku janji. Kau mau menungguku, kan?”

    Aku menggeleng. “Tidak, Alton. Tidak. Aku tak sanggup. Aku…”

    Tanpa bisa menyelesaikan kata-kataku, Alton menamparku keras-keras.

    “Ternyata kau tidak benar-benar mencintaiku, benar begitu, bukan?”

    ………

    Lucu. Benar-benar lucu.

    Empat tahun bersamanya, empat tahun menerima segala kekurangannya, dan dengan entengnya ia bilang bahwa aku tidak mencintainya sama sekali. Dan dia bahkan dengan entengnya menampar diriku.

    Sosokku seketika terdiam. Tangisnya tiba-tiba saja berhenti.

    “Kalau begitu, sebaiknya kita sudahi saja semua ini,” Alton berkata sinis. Ia melepas cincin tunangan kami dengan gusar, tanpa perasaan. Ia lantas membuangnya ke lantai, menginjaknya, dan menendangnya.

    Tepat dihadapanku.

    “Aku pergi dari sini. Mulai hari ini, kita tak memiliki hubungan apa-apa lagi.”

    ………

    Alton…

    Kurang ajar! Bedebah!

    Sakit hati, marah, benci, semua itu lantas membuatku kalap. Serta merta, aku mengejarnya.

    Dan saat ia tiba di tangga turun menuju lantai bawah, aku mendorongnya sekuat tenaga. Hingga kemudian ia terjatuh. Kepalanya membentur beberapa anak tangga dan lantai keramik.

    Ia meninggal seketika, namun aku merasa amat puas.

    Mmn, amat puas, setidaknya untuk sementara. Karena kemudian, aku merasa begitu panik dan menyesal dengan apa yang baru saja kulakukan.

    Seorang tetangga di lantai bawah menjerit, berteriak. Beberapa tetangga lain berhamburan keluar. Ada yang segera menelpon ambulans, ada yang ikut berteriak, ada yang memeriksa asal lokasi ia jatuh.

    “Kau…”

    Ah, seorang tetangga menanyai sosokku. “Apa yang terjadi.”

    ………

    Panik, tak tahu apa yang harus kulakukan, aku segera menyusun alibi.

    “Dia…jatuh…”

    ***​

    Bayang-bayang masa lalu itu terhampar begitu jelas didepan mataku sendiri, hingga kemudian, sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang. Refleks, aku menoleh.

    “Lupa padaku?”

    Ah…

    Alton…

    Tapi, kenapa? Bukankah ia sudah mati?

    Gemetar, aku hanya bisa berdiri dihadapannya tanpa berkata apapun. Wajah Alton perlahan dipenuhi oleh darah yang mengucur deras dari kepalanya, sama seperti sosoknya tiga tahun lalu.

    Kedua tangannya kini menjulur padaku, seolah siap untuk mencekik leherku. Dan aku…aku sama sekali tak bisa bergerak. Tubuh ini rasanya membeku. Mataku terus menatap sosok wajahnya yang kini tersenyum penuh kemenangan.

    “Amy, apa kau tahu kenapa danau ini disebut danau kematian? Kau tahu? kau tahu? kau tahu?”

    Aku menggeleng, panik. Aku ingin bergerak, ingin lari sejauh mungkin, namun tubuhku mati rasa.

    “Yakin kau tidak tahu?” Kata Alton sambil tetap tersenyum mengerikan. Perlahan, ia menurunkan kedua tangannya.

    Hanya untuk menggenggam sebilah pisau yang entah sejak kapan ada di tangan kanannya.

    Dan sesaat kemudian, sebuah benda tajam terasa menusuk dadaku kuat-kuat, menembus hingga ke punggungku. Saat perlahan aku menoleh kebawah, aku dapat melihat pisau tersebut telah dipenuhi darahku sendiri.

    “Karena semua jiwa yang mati berkumpul disini, untuk membalas dendam pada semua yang telah membunuh mereka. Kematian demi kematian berkumpul disini. Dan kau tahu kabar baiknya?” Katanya dengan nada bengis. “Kini, kematian itu akan tiba padamu saat ini juga!”

    Ukh…

    Pandanganku kabur…

    Rasanya sakit sekali.

    ………

    Tapi, Alton…

    Perlahan, sedikit demi sedikit, tanganku bergerak meraih pundaknya, menarik tubuhnya kian dekat denganku. Aku tak peduli meskipun tubuh ini makin berlubang akibat pisau yang kini semakin menembus tubuhku. Aku tak peduli lagi.

    Karena, kini aku bisa bersamanya.

    Memegangi pundaknya, bisa kukatakan bahwa sekarang aku sedang berada di pelukan Alton – yang masih tersenyum menang melihatku sekarat.

    “Al…ton…”

    Ia tak menjawab. Aku tahu ia takkan menjawab apapun. Tapi aku tak peduli lagi. Ada satu hal yang ingin kukatakan padanya – satu hal yang tak sempat kuucapkan padanya karena ia telah menamparku lebih dulu.

    “A…ku…men…cintai…mu…”

    “Huh,” Jawab Alton, perlahan. “Memangnya apa peduliku?”

    Mendengar jawabannya itu, aku hanya bisa tersenyum kecil. Bahkan hingga maut hampir menjemputku, ia masih tak mencintaiku sama sekali.

    Ternyata, beginilah rasanya sakit hati.

    Tapi tak apa, karena semuanya akan segera berakhir. Dan aku amat bersyukur. Bahwa meskipun Alton tak mencintaiku sama sekali, tapi aku bisa mati di pelukannya. Cintaku memang tak berbalas, aku tahu itu. Aku tahu semenjak Alton lebih memilih Ruth daripada aku.

    Aku hanya ingin ia tahu satu hal, bahwa aku selalu mencintainya, bahkan hingga kini.

    Tanganku terasa makin lemas. Aku tak sanggup lagi menggenggam pundak Alton. Dan tak lama setelahnya, aku tak bisa melihat apa-apa lagi.

    ***​

    “Korban tahun ini. Yah, jadi, bagaimana?” Sang Sherriff menanyai Chris perihal mayat seorang gadis yang merupakan rekan kerjanya sendiri. Amy Light. 24 tahun. Mati secara misterius dengan sebuah luka tusukan di dada.

    Chris hanya menggeleng. “Semuanya berlalu secara tiba-tiba. Kapal kami membentur sesuatu. Ia terjatuh ke danau. Aku tak bisa menemukannya hingga dua jam kemudian, saat mayatnya mengapung seperti ini.”

    “Betulkah? Kau yakin tidak menusuknya lalu membuang barang bukti ke dasar danau?”

    “Hei!” Chris berteriak. “Kau menuduhku? Punya bukti apa kau?”

    “Hanya menanyakan saja, tak perlu marah begitu.” Jawab sang Sherriff. Tak lama, ia menoleh kearah jam tangannya. “Hari ini 18 Mei, kan?”

    “Ya, Dan kau seharusnya lebih tahu tentang hal ini!”

    “Rileks, bung,” Jawab sang Sherriff. “Tahun lalu, tanggal yang sama. Lalu dua, tiga, empat, bahkan lima tahun sebelumnya. Tanggal kematian korban selalu sama.”

    Chris menghela napas. “Tampaknya, legenda ini akan tetap hidup.”

    “Yeah,” Jawab sang Sherriff.

    original link
     
    • Like Like x 1
  9. Blance Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 7, 2014
    Messages:
    72
    Trophy Points:
    22
    Ratings:
    +18 / -0
    wahh ceritanya bkn terharu T.T
     
    • Like Like x 1
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Baru sembuh dari Wb :iii:

    Haunted
    genre : romance

    Orang sering bilang bahwa mereka yang pendiam, besar kemungkinan akan menjadi korban bullying di sekolah, dan aku bukanlah pengecualian.

    Menjadi korban bullying memang tidak enak. Dianggap remeh, diminta macam-macam, menjadi bahan cemoohan akibat fitnah atau lelucon kasar, dan yang paling mengesalkan dari itu semua adalah kenyataan bahwa kau sama sekali tak bisa melawan.

    Tapi, kalau sampai tak diacuhkan oleh seisi kelas, rasanya itu yang terburuk.

    Berjalan perlahan keluar kelas ditengah pelajaran, bu guru bahkan sama sekali tidak melarangku. Namaku saja bahkan tidak disebut dalam absensi tadi pagi. Teman-teman tetap fokus pada pelajaran mereka tanpa peduli padaku.

    Seolah aku ini tidak ada saja...

    Fuuh...

    Menghela napas panjang, kedua kakiku perlahan mulai mengayun.

    Seperti hari-hari biasanya, koridor sekolah hari itu amat lengang. Berjalan leluasa sambil melompat-lompat ditengah koridor, aku sama sekali tak khawatir orang-orang menganggapku idiot. Kubiarkan kakiku melompat, menari diatas lantai hingga menimbulkan suara yang cukup kencang. Tingkahku yang demikian sebetulnya bisa membuat siapapun marah karena mengganggu proses belajar mengajar di dalam kelas.

    Faktanya, tak ada seorangpun pernah menegurku. Tak peduli sejauh apa aku berharap…

    Masih melompat, kakiku mengarah menuju atap sekolah, tempat dimana aku biasa makan siang. Aku memilihnya karena disana, aku bisa leluasa melihat langit luas. Entah mengapa, menatap langit selalu memberikan perasaan lega.

    Saat kemudian kakiku tiba di pintu atap sekolah, kubuka pintu tersebut perlahan. Tampak hamparan langit biru yang menyatu dengan cakrawala dari tempat ini. Disana, kubiarkan angin meniup rambut panjangku ke udara. Rasanya sungguh melegakan.

    Kupejamkan mataku erat-erat, membiarkan pikiranku melayang jauh ke masa lampau. Dulu, beberapa senior pernah memerasku di tempat ini. Meski sekarang hal semacam itu tak pernah lagi kualami, aku menjadi sedikit terasing karena tak lagi diacuhkan oleh semuanya.

    Dan pada akhirnya, aku merasa kesepian juga…

    ………

    Menghela napas panjang, aku kembali membuka mata dan duduk merebahkan diri. Kuarahkan pandanganku ke langit. Awan tebal tampak menggantung di angkasa.

    “Cumulonimbus.”

    Eh?

    Ada seseorang yang bicara, tepat disampingku. Sontak aku menoleh.

    “Hai,”

    Ah, orang ini...

    Sial!

    Aku tak mau menjawab. Hatiku masih panas bila mengingatnya, dan kini tiba-tiba saja dia muncul dihadapanku. Ukh, ini pasti hari sialku.

    “Sendirian saja?”

    “………”

    “Boleh aku ikut duduk?”

    Aku tak menjawab dan hanya memasang wajah menggerutu. Seolah tak peduli, lelaki itu langsung saja ikut duduk disampingku, membuat tubuhku bergeser menjauh.

    “Hei,” katanya membuka pembicaraan.

    “...ada apa?”

    “Aku nggak mengganggu, kan?”

    “Mengganggu.” Jawabku ketus. “Sangat mengganggu.”

    “Kau mau aku pergi?”

    Ya.

    Sejujurnya ya. Aku ingin ia pergi menjauh.

    Sayangnya, seperti biasanya, aku tak bisa mengungkapkan hal ini melalui kata-kata. Alih-alih, aku hanya menjawab dengan kembali mengambil posisi menjauh sambil memalingkan muka.

    “Flo, kau masih marah soal hal itu?”

    “………”

    “Maafkan aku, Flo.”

    “…mudah mengucapkan maaf, kau tahu?”

    Florence Fleuranza, namaku. Lelaki disebelahku ini, Alan Moore, merupakan sahabatku sejak kecil. Ah, maksudku, mantan sahabat. Bagiku, kini ia tidak lebih dari sekedar orang asing yang kutemui di stasiun kereta.

    “Kau masih belum memaafkanku? Apa kesalahanku begitu besar hingga kau tidak mau memaafkanku?”

    Lagi-lagi aku diam, tak menjawab apapun.

    Alan Moore. Pertemuanku dengannya bermula saat kami masih kecil. Kala itu, sekelompok berandalan pernah mencoba merampas boneka milikku sambil mengataiku hal-hal buruk. Ibarat film drama, Alan datang menolong. Ia kemudian bilang padaku bahwa kapanpun aku butuh bantuannya, ia akan selalu datang, dan hal itu membuatku amat menyukainya.

    Namun ucapan hanya tinggal ucapan. Seiring waktu, saat kami masuk SMP, Alan hampir-hampir tidak mau jalan bersamaku ke sekolah. Teman-temannya menganggap Alan seorang banci karena ia bermain bersama seorang perempuan. Karenanya, perlahan hubungan kami pun menjauh.

    Saat SMA, Alan seolah tak mau menyapaku. Beberapa temannya semasa SMP ditemuinya lagi saat SMA, dan mereka sering menggoda Alan bila kami bersama. Meski aku tak terlalu peduli, namun hal tersebut mengganggu Alan. Aku tak tahu mengapa.

    Dan karenanya hubungan antara ksatria dan putri raja yang pernah kami alami saat kecil dulu menghilang begitu saja, berganti dengan hubungan layaknya seorang asing dengan orang asing lainnya. Tapi tetap saja, kata-kata pertamanya selalu kuingat. Aku selalu menganggap bahwa ia mungkin hanya merasa risih bila berada dekatku, dan aku harus bersabar menerimanya. Aku yakin, Alan akan kembali menyapaku suatu saat, dan kami akan kembali bersahabat baik.

    Hanya saja, ada satu hal yang membuatku amat kecewa padanya.

    Di suatu siang enam bulan lalu, empat orang kakak kelas menyiramku dengan air mineral sambil berusaha mengambil uangku. Alan sempat muncul, namun ia tidak menolongku sama sekali. Padahal kami sempat bertatap mata, dan ia hanya berbalik arah.

    ………

    Akan lain cerita bila Alan hanya seorang teman biasa. Tetapi ia sudah berjanji akan selalu menolongku. Dan kala itu, bagiku ia merupakan seorang sahabat sekaligus pahlawan. Kenyataan bahwa ia membohongiku itulah yang membuatku marah, bahkan hingga saat ini.

    Selain itu, aku juga marah pada diriku sendiri. Marah karena terlalu berharap pada seseorang yang tak pernah memperhatikanku sama sekali.

    Dan sejak saat itu, aku menolak bicara padanya. Meskipun di kelas ia menoleh padaku beberapa kali, tidak seperti teman-temanku yang lain yang tak pernah menganggapku ada.

    “Flo, kau selalu berada disini, kan?”

    Aku mengangguk, sayu.

    “Aku akan kembali lagi kesini besok, mungkin saat istirahat makan siang. Oh, hei, kita bisa makan bersama. Makanan seperti apa yang kau suka?”

    Perlahan, aku menoleh padanya, gusar.

    “Aku, aku akan terus menemanimu disini. Kau pasti kesepian, bukan?”

    “Sudah kubilang, kan? Kau itu mengganggu. Aku tak mau kau berada disini. Besok, lusa, atau nanti.”

    “Meski kau bilang begitu, aku akan tetap datang kesini besok." Jawabnya. "Aku akan terus berada disini hingga kau memaafkanku.”

    “………”

    “Sampai nanti.”

    Ugh, sial.

    Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Mungkin aku akan mengacuhkannya saja besok. Lagipula, aku masih kesal padanya.

    Menatap jauh ke langit luas, kembali aku menghela napas.

    ***

    “Kau ini keras kepala juga ya?”

    Alan menjawab dengan sebuah senyuman kecil, mengacungkan telapak tangannya seolah berkata “hai”. Aku menatapnya malas.

    Ini sudah hari ketujuh semenjak kami mengobrol di siang itu. Alan masih sering datang kemari meskipun aku lebih sering diam saat ia mencoba mengobrol.

    Duduk sambil mengambil jarak, kuarahkan pandanganku ke langit luas. Namun tidak seperti biasanya, kini luasnya langit tidak begitu membuatku gembira.

    Alan berusaha mendekatiku seperti biasa. Kali ini aku tak memintanya menjauh. Aku tahu itu akan sia-sia saja karena ia takkan mendengarkanku.

    Mengeluarkan bekal makananku, aku mulai makan tanpa banyak bicara.

    “Hei, Flo, kau punya telur dadar. Sepertinya enak.”

    “…maumu apa sih?”

    “Anu, boleh minta?”

    Ugh…

    Aku ingin menjawab tidak, namun tanganku malah diam, seolah aku mengiyakan permintaannya.

    Haah, mungkin sikapku ini yang membuatku sering menjadi korban bullying. Tapi mau bagaimana lagi? Aku terlahir seperti ini.

    Alan segera mengambil telur dadar yang ada di kotak makan. Aku tak bereaksi sama sekali saat Alan mulai memasukkan telur itu ke mulutnya, dan mengunyahnya. Perlahan, aku juga mulai memakan nasi bekalku.

    Ugh, rasanya tidak enak.

    Harusnya makanan ini lezat, tapi dengan hadirnya orang menyebalkan ini, sepertinya semua yang kumakan rasanya menjadi hambar.

    Aku terus menggerutu dalam hati, tapi ketika beberapa saat kemudian Alan tersedak, mendadak aku tertawa geli. Aku tak bisa menahan diri untuk tertawa.

    “Ugh, kau…”

    Ah…

    Sial.

    Aku menunjukkan sisi lemahku. Sialan. Aku harus kembali-

    “Malah tertawa, ya? Ini kau yang masak?”

    -bersikap kasar padanya.

    Tapi…

    “…memangnya kenapa?” Kataku mencoba ketus, meski aku tahu wajahku masih tertawa. “Tidak enak, ya?”

    “Siapa bilang?” Jawabnya. “Enak. Enak sekali, kok. Saking enaknya, aku sampai tersedak.”

    “Masa?”

    “Serius.”

    “Aku tak percaya.”

    “Kau pikir aku berbohong?”

    Aku mengangguk.

    “Ampun, kenapa pula aku harus berbohong soal itu?”

    “Karena kau itu pembohong, Alan.” Jawabku refleks. Dan perlahan, senyumku menghilang, berganti oleh kenangan akan kejadian beberapa bulan lalu yang membuatku amat marah padanya.

    “Kau itu pembohong ulung. Makanya, aku tak mau percaya lagi padamu.”

    Kali ini Alan diam, dan aku yang berbicara.

    “Kau bilang padaku bahwa kau akan selalu ada saat aku dalam kesulitan. Tapi saat itu, kau malah pergi menjauh…”

    “Ah, soal itu, aku-“

    “Aku tidak akan memaafkanmu!”

    "Flo..."

    Kali ini aku merasakan amarah yang kembali menyala. Sambil melempar kotak makan ke lantai, aku berlari menjauh, menjauh dari tempat sialan ini.

    Aku tidak akan memaafkannya. Aku sudah bertekad bahwa aku tak akan memaafkannya akan hal itu.

    Tetapi, kenapa?

    Bila aku tak akan mau memaafkannya, kenapa aku masih kembali ke tempat ini setiap harinya? Apa mungkin aku sendiri masih ingin bertemu dengannya? Berteman, dan kembali bersahabat baik dengannya?

    Mungkinkah semua itu terjadi tanpa aku pernah memaafkannya?

    Ah, sial!

    ***

    Hari-hari setelahnya, ia tetap muncul di atap sekolah. Termasuk seminggu kemudian saat hujan turun deras. Tampak Alan berdiri menatap ke cakrawala sambil membentangkan sebuah payung. Begitu melihatku berdiri dihadapan pintu, ia tersenyum, berjalan mendekat, dan memayungiku.

    Payung yang dipegangnya cukup kecil, sehingga bila kami berdua berpayung bersama, salah satu dari kami pasti harus merelakan sebagian tubuhnya basah terkena derasnya air hujan. Alan merelakan diri menjadi korban hari itu. Tampak sebagian seragamnya basah oleh derasnya hujan.

    “Flo,”

    “Hm?”

    “Sekali lagi aku minta maaf."

    ………

    Mudah bagi seseorang meminta maaf, tapi memberi maaf merupakan lain hal. Dan sampai sekarang, rasa sakit oleh sikapnya mungkin belum bisa kumaafkan. Terlebih, setelah kejadian itu, semua orang tiba-tiba saja mengacuhkanku.

    Bukan hanya sudah menyakiti perasaanku, Alan juga membuatku seolah tak ada di sekolah ini.

    Tapi, berada bersamanya beberapa hari terakhir, mau tak mau memang membuatku cukup lega. Setidaknya, aku tak merasa sendirian.

    Dia ada bersamaku saat semua orang mengacuhkanku. Dan hal itu membuatku nyaman…

    ………

    “Alan,”

    “Ya?”

    “Kepingan puzzle ini masih belum lengkap.”

    “Ha? Apa maksudmu?”

    “Kepingan puzzle.” Jawabku. “Saat kau mengacuhkanku di hari itu, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Kalau diibaratkan sebuah puzzle, mungkin saat ini aku merasa bagaikan sebuah puzzle yang kehilangan satu bagian untuk menjadi sebuah gambar yang sempurna.”

    Alan melongo, menatapku tidak mengerti. Aku balik menatapnya, sayu, dan menghela napas.

    “Mungkin kehidupanku takkan lagi sempurna, karena apa yang kau lakukan kala itu. Kadang aku berharap, hari itu tak pernah terjadi. Hari dimana kau berjalan meninggalkanku.”

    “Flo…”

    Kupejamkan mataku perlahan, saat kemudian kurasakan sebuah sentuhan di bahuku. Alan merangkul tubuhku dan membenamkaan kepalaku di pundaknya.

    “Aku benar-benar minta maaf, Flo.”

    Masih bersandar di pundaknya, aku menggeleng. Meski untuk kali ini, sebuah senyum menyertaiku.

    "Tidak mudah memaafkan seseorang. Memori buruk tidak akan menghilang secepat kau berlari.”

    “…ya, kau benar.”

    Aku memejamkan mata, untuk kemudian membukanya kembali dan menatap jauh ke langit luas. Awan kelabu menggantung tinggi, menurunkan tetesan-tetesan hujan yang entah kapan akan berakhir.

    “Meskipun begitu," Kataku perlahan. "Alan, aku senang karena kau ada disini.”

    "........."

    "Untuk semua yang kau lakukan beberapa minggu ini, terima kasih."

    Alan lagi-lagi tertegun dengan kata-kataku, membuatku tersenyum geli. Perlahan, aku melepskan diri darinya dan melangkah menjauh, membiarkan diriku basah dalam guyuran hujan. Kedua tanganku kurentangkan jauh-jauh. Sambil merasakan derasnya air yang menerpa tubuh, aku mulai memutar tubuhku, mencoba melupakan semua hal kelam sambil menikmati tetesan hujan yang jatuh.

    “He…hei, kamu bisa sakit tahu?”

    “Kau khawatir padaku, Alan?”

    “Tentu!”

    Aku berhenti berputar. “Kau tahu, Alan? Kau ini selalu saja khawatir pada hal-hal kecil.” Kataku kemudian. “Aku bukan anak kecil. Hujan seperti ini takkan membuatku sakit.”

    Alan terdiam, sementara aku kembali mengayun tubuhku, tertawa, berputar kesana kemari layaknya orang gila.

    Lelaki itu, ia selalu saja khawatir padaku.

    Tapi karena itulah aku menyukainya.

    ***

    “Minta.”

    “Ugh, apa-apaan sih?”

    Aku hanya tertawa saat Alan mengomel ketika daging ayam bekalnya kurebut dengan paksa. Meski demikian, ia tidak berusaha mengambilnya kembali.

    “Main rebut seperti itu, dasar maling ayam.”

    “Maofu tukfar fama tlefur?”

    “Jangan bicara dengan mulut penuh! Lagipula, ayam ditukar sama telur itu kan nggak adil. Uh, dasar…” Katanya lagi sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Sementara itu aku kembali sibuk mengunyah ayam rampasan hingga habis kutelan.

    “Habisnya, aku kan hanya punya telur. Aku juga ingin makan ayam.”

    “Yah, minta baik-baik dong.”

    “Aku kan sudah bilang minta.”

    “Aku belum beri ijin, jadi itu sama saja dengan merampok.”

    “Ehehe…”

    Aku tertawa lugu.

    Meskipun kami hanya bicara pada jam istirahat, beberapa hari terakhir yang kuhabiskan bersamanya terasa begitu menyenangkan. Terlebih dengan kenyataan bahwa aku dikucilkan oleh teman-teman sekelas, Alan seolah menjadi pahlawanku untuk kedua kalinya.

    Meski sampai saat ini aku masih belum mengerti mengapa semua orang kini mengacuhkanku, tapi aku tak peduli. Alan ada bersamaku, dan itu sudah lebih dari cukup.

    “…apa?” Tanyanya saat ia sadar bahwa aku sedang menatap wajahnya sedari tadi. Aku membalas dengan senyuman lebar.

    “Hei, Alan,”

    “Hm?”

    “Kurasa aku siap."

    "Siap?" Tanya Alan bingung. "Siap untuk?"

    "Memaafkanmu."

    "Eh?”

    “Mmn." Aku mengangguk. "Alan, aku memaafkanmu. Semua yang terjadi hari itu, saat kau meninggalkanku, kurasa kini aku bisa memaafkanmu. Karenanya…” Suaraku terhenti sesaat. Kurasakan kepalaku menunduk.

    “Karenanya, Alan, jangan tinggalkan aku seperti waktu itu.”

    Alan tampak tersentak untuk sesaat. Gerakan mulutnya berhenti, seolah mencoba mencerna apa yang aku bilang padanya.

    Dan aku terus tersenyum. Perlahan, kuraih telapak tangannya.

    “Jangan kau tinggalkan aku lagi.”

    Genggaman tanganku terasa semakin menguat. Dan tanpa kusadari, kepalaku sudah tenggelam di dadanya.

    "Flo?"

    “Aku menyukaimu, Alan.”

    Perlahan, tanganku merayap meraih punggungnya. Kutarik tubuhnya erat-erat, agar kepalaku makin terbenam di dadanya.

    “Kurasa, kaulah kepingan puzzle yang selama ini kosong.”

    Aku tak bicara apapun lagi setelahnya. Apa yang kulakukan kali ini…semuanya sudah cukup menjelaskan bahwa aku akan kembali membuka diri padanya, bahwa aku amat bergantung padanya, dan bahwa aku membutuhkannya.

    Dan bahwa aku memaafkannya, bahkan semenjak kejadian itu terjadi untuk pertama kali.

    “Flo, apa kau masih belum menyadarinya?”

    “Apanya?” Kataku sambil melepaskan pelukanku dari tubuh Alan.

    Ia kini tampak bimbang.

    “Sadar tentang apa, Alan?”

    “…tidak, lupakan saja.”

    Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan, namun aku memilih untuk tidak menanyainya lebih lanjut dan kembali memeluknya. Hanya saja, sesaat setelahnya Alan mendorongku, menjauh.

    Dan hal itu membuatku terkejut.

    “Ke…kenapa, Alan?”

    “Maaf, Flo.” Katanya kemudian, menunduk. “Aku…aku ada urusan yang harus kukerjakan. Maaf, kita bertemu lagi besok, ya?”

    “Tu…tunggu dulu. Alan, ada apa?”

    Alan tak menjawab.

    Sambil terburu-buru mengepak kotak makannya, ia segera berlari menjauh.

    ………

    Aku tak begitu mengerti apa yang terjadi, tapi aku merasa bahwa duniaku akan kembali runtuh.

    ***

    “Hai, lama tak jumpa.”

    Alan mengangguk sayu.

    Ditengah hujan deras ini, aku amat senang ketika akhirnya ia kembali menemuiku. Semenjak aku mengutarakan apa yang kurasakan, ia tak pernah lagi muncul, dan hal itu sudah berlalu kurang lebih dua minggu lamanya. Bukan hanya itu, Alan bahkan tidak bereaksi saat aku memanggilnya di kelas, atau saat aku berusaha mengganggunya di tengah jam pelajaran.

    “Kau tampak sayu,” Kataku kemudian. “Apa ada masalah? Kau bisa bicara padaku kalau kau mau.”

    “Itu…justru yang mau aku bicarakan padamu.”

    “Oya?” Kataku kemudian. “Katakanlah. Aku akan mendengarkannya.”

    “Ya, meski mungkin apa yang kukatakan akan menyakitimu kelak.”

    Sebuah ancaman.

    "Menyakitiku?"

    Ia mengangguk, membuatku kini semakin gelisah menunggu berita yang ia bawa. Tergesa-gesa, aku bicara sedikit berteriak. “Alan, apa kau akan meninggalkanku lagi?”

    “Mungkin.”

    Kini jantungku serasa berhenti berdetak

    ………

    Mengapa?

    Mengapa saat justru aku merasa amat nyaman bersamanya, semua ini kembali terjadi? Mengapa saat aku mempercayainya lagi, ia kembali menjadi seorang pengkhianat?

    “Kenapa?” Tanyaku bingung. “Apa maksudmu?”

    “Flo, pernahkah kau berpikir mengapa semua orang mengacuhkanmu?”

    “Karena mereka membenciku, tentu.” Kataku sayu. “Kau tahu kalau aku selalu menjadi korban kekerasan, bukan?”

    “Apa kau pikir semua orang akan bertindak sejauh ini? Sampai tak mengacuhkanmu setiap hari?” Kali ini nada suaranya terdengar cukup keras. Reaksinya itu membuatku sedikit menundukkan kepala, murung. Ia diam setelahnya, bungkam.

    Untuk sesaat kami diliputi keheningan. Hanya angin yang berbicara, sampai kemudian aku memberanikan diri untuk bicara meski dengan nada gemetar.

    “Apa kau juga membenciku, Alan?”

    “Kau sendiri?”

    “Aku...aku..."

    Akh, sial.

    Kenapa ini semua terjadi lagi?

    "Apa kau akan membenciku bila kelak aku meninggalkanmu lagi?"

    "Ya, aku akan membencimu! Tapi untuk sekarang, aku amat menyukaimu!" Jawabku keras-keras, seolah seluruh tenagaku kukeluarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

    “Tak peduli seberapa jauh aku membencimu, pada akhirnya aku tetap menyukaimu. Sama seperti saat ini, saat aku memilih menunggumu di atap sekolah ini.”

    “Flo…”

    “Kenapa kau membohongiku lagi? Kenapa kau meninggalkanku lagi?”

    “Flo, kau tidak mengerti.”

    “Apanya?!”

    Tanpa bicara panjang lebar lagi, Alan kemudian meraih tas punggung miliknya. Sebuah buku catatan ia keluarkan dari dalam tas tersebut.

    Di suatu halaman diantara buku catatan itu, selembar kertas terselip.

    Sebuah potongan koran.

    “Bacalah, Flo.”

    Aku masih tidak mengerti maksud Alan. Namun perlahan, kuraih potongan koran yang ia sodorkan.

    Dan tepat saat mataku mulai meraba judul berita yang ia bawa, jantungku rasanya berhenti berdetak.

    Ini…

    Tidak mungkin!!

    ***

    Seorang siswi SMA Willowhood meninggal dunia karena kecelakaan.

    Korban bernama Florence Fleuranza, 17, siswi SMA Willowhood. Meninggal karena pendarahan dan trauma di kepala akibat jatuh dari tangga sekolah.

    Saksi mata berjumlah empat orang mengaku bahwa korban terpeleset dan terjatuh di tangga sekolah.

    ***

    Sebuah adegan seketika muncul di kepalaku. Sebuah kenangan buruk.

    ***

    “Aku tidak punya uang lagi. Cuma itu yang-“

    Belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, sebuah tamparan keras sudah mendarat di pipi. Para senior ini memiliki tenaga seperti kuda liar, terutama pemimpin mereka, May. Satu tamparan darinya tadi sudah cukup membuatku pusing.

    Tubuhku basah oleh siraman air botol yang disiramkan para senior. Meski aku mencoba bertahan sekuat tenaga, para senior ini juga tak mau menyerah.

    “Kemarin kau berbohong soal itu!” Katanya sambil meraih kerah bajuku. “Kau pikir bisa membohongi kami lagi?”

    “Ke…kemarin aku butuh uang…untuk pulang.”

    “Sama denganku!” Jawabnya. “Aku kan sudah bilang, aku akan membayar hutang-hutangku! Kau tak mau berbaik hati?”

    “Tapi, itu semua yang kupunya…”

    Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat di wajahku.

    Ukh…

    Sakit sekali…

    Saat itu kami berada di atap sekolah, sehingga tak ada siapapun yang mungkin mendengar kami. Padahal, aku amat berharap seseorang datang menolongku saat ini.

    Aku benar-benar berharap…

    ………

    Siapapun, tolong aku…

    Senior May dan ketiga temannya bertingkah makin menjadi. Namun saat itu, aku melihat sosok yang amat kukenal.

    Alan.

    Ia berada cukup dekat. Kami beradu pandang.

    “A…Alan…” refleks aku mengulurkan tangan.

    “Alan, tolong aku…”

    May menoleh kebelakang. Tampak dihadapan matanya Alan yang sedang berdiri menatapku didepan pintu atap sekolah.

    “Bocah, kau sebaiknya tak ikut campur.”

    Alan diam. Ia mungkin perlu mengumpulkan keberaniannya untuk melawan empat orang sekaligus. Tapi tak masalah.

    Ia pasti akan menolongku.

    Mmn. Aku percaya ia akan menolongku.

    “Hei, bocah,” May kembali berkata kasar. “Kau kenal gadis idiot ini?”

    Ya, tentu. Pahlawanku ini akan menghajar kalian habis-habisan. Syukurlah, aku tertolong.

    “Hei!”

    “…tidak.”

    Eh?

    “Aku tidak mengenalnya. Maaf mengganggu, aku akan segera pergi dari sini.”

    “Jangan kau bilang pada siapapun. Ayahku seorang mafia. Aku bisa menghabisimu bila aku mau.”

    Alan tidak menjawab apapun dan berlalu begitu saja.

    Tapi…

    Kenapa?

    Bukankah ia bilang ia akan ada disampingku saat aku butuh bantuan?

    Kenapa?

    Kenapa…

    ………

    Tidak…

    Jangan dia…

    Siapapun boleh membenciku, tapi jangan dia.

    Kumohon, Alan, kembalilah.

    “Hei, brengsek! Jangan melamun! Keluarkan uang-“

    Tanpa tahu bagaimana, aku meronta-ronta dan berhasil menendang kaki senior May. Terlepas dari genggamannya, segera kukejar teman kecilku itu. Beberapa senior lain berusaha mengejar, namun aku berhasil lepas.

    Alan…

    Apa kau berbohong?

    Kau bilang kau akan selalu ada saat aku butuh bantuan, kan? Kenapa kau pergi saat aku butuh?

    Dengan pikiran campuraduk, aku menuruni anak tangga tergesa-gesa.

    Dan saat itulah, aku terjatuh. Kepalaku membentur anak tangga beberapa kali.

    Yang kutahu saat itu adalah, bahwa aku pingsan setelahnya. Dan saat kembali ke sekolah, semua orang tak lagi peduli padaku. Tak ada seorangpun yang menyapaku, menanyaiku, atau bahkan melihatku. Ibu guru tak pernaah lagi menyebut namaku dalam absensi.

    Semuanya masuk akal sekarang. Kenapa tak ada seorangpun yang menganggapku ada, dan kenapa hanya Alan yang bisa melihat wujudku. Kala itu, aku tidak pingsan. Aku meninggal seketika itu juga. Dan selama ini, aku tak pernah menyadarinya.

    Tapi, kenapa?

    Apakah semua roh penaasaran juga tak pernah sadar bahwa mereka sudah meninggal?

    “Flo, maafkan aku." Kata Alan kemudian. "Kau sudah meninggal sejak…”

    “Enam bulan lalu.”

    Alan mengangguk, mengiyakan perkataaanku.

    Ya, benar. Aku yang sekarang ini bukanlah manusia. Kini aku hanyalah sesosok roh penasaran, yang tak bisa beristiraahat dengan tenang sebelum aku tahu kenapa Alan meninggalkanku, dan untuk mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan padanya.

    Aku ada disini saat ini, semata-mata karenanya. Hanya untuknya.

    Hanya karena dia…

    ***

    “Enam bulan lalu,” Kataku memecah keheingan. “Kenapa kau meninggalkanku?”

    Alan diam, tak bergeming. Ia seolah tak tahu harus menjawab apa. Kudesak kembali dirinya dengan pertanyaan yang sama, karena ia hanya bungkam.

    “Kenapa? Alan? Bukankah kau bilang akan selalu menolongku?”

    “Maaf…”

    Aku tak bicara apapun lagi. Tubuh ini perlahan gemetar. Isak tangis mulai jatuh mengalir di pipiku.

    “Kenapa, Alan?”

    “……”

    “Padahal aku…aku amat percaya padamu. Alan…aku…”

    “Flo…”

    “Kenapa kau tak pernah memperhatikanku?”

    Ia lagi-lagi tak menjawab, dan aku pun tak tahu harus bicara apa lagi. Semua ini sudah tak ada artinya. Apa yang bisa dilakukan seorang roh penasaran selain menghantui kehidupan seseorang? Alan dan aku takkan bisa bersama, tak peduli sejauh apa aku berharap. Dua makhluk yang berbeda tak mungkin bersama.

    Aku benar-benar bodoh.

    “Maafkan aku, Flo.” Katanya kemudian. “Kau boleh menghantuiku hingga aku mati nanti, tapi aku tak memiliki apapun lagi untuk kusampaikan. Aku bersalah. Aku memang bodoh, Flo…”

    Perlahan, suaranya terhenti. Untuk beberapa saat ia terdiam dalam lamunannya. Wajahnya memerah, seolah ia juga ingin menangis. Sesaat kemudian, bagaimanapun, lelaki itu memeluk tubuhku, membiarkan wajahku tenggelam didadanya.

    “Aku memang bodoh. Hanya karena keegoisanku, kau meninggal. Maafkan aku, Flo. Maafkan aku. Maafkan aku.”

    Perlahan, tanganku meraih punggungnya.

    Dibawah guyuran hujan, kami berpelukan. Air mata kami sama-sama jatuh beriringan dengan tetesan hujan yang membasahi bumi.

    Semuanya sudah berakhir.

    Semuanya sudah berakhir sekarang.

    Kemudian, melepaskan tubuhku dari pelukan Alan, kutatap wajahnya sambil mencoba tersenyum sebisa mungkin.

    “Alan,”

    “Y…ya?”

    “Kepingan puzzle ini, rasanya takkan pernah bisa kulengkapi.”

    “Ah…”

    Aku menundukkan kepala, menggenggam kuat-kuat kedua telapak tangan Alan. Kupejamkan kedua mataku perlahan.

    “Meski demikian, kurasa aku bisa menerima semua yang terjadi. Semua hal buruk ini, kematian ini..."

    "........."

    "...dan juga, kepergianmu.”

    "Apa itu berarti, kau memaafkanku?"

    Aku mengangguk. Meski terasa pahit, aku harus bisa menerima semua takdir ini. Karenanya, aku tersenyum.

    “Aku memaafkanmu.” Kataku. Perlahan, kembali kubenamkan kepalaku di dadanya.

    “Aku memaafkanmu, pahlawan masa kecilku.”

    Kurasakan telapak tangan Alan membelai rambutku perlahan, membuatku memeluknya kian erat.

    "Ingatkah saat kita pertama kali bertemu? Saat kau menghajar beberapa orang sekaligus dan bilang padaku bahwa kau akan menolongku ketika aku butuh bantuan? Semenjak saat itu, aku selalu menyukaimu, dan selalu ingin bersamamu."

    “Flo…”

    Aku menggeleng.

    "Kau tak perlu meminta maaf lagi. Semuanya sudah berakhir sekarang."

    Melepaskan pelukanku dari tubuhnya, kutatap Alan dalam-dalam, tersenyum.

    “Flo, jika kau memaafkanku, aku…aku mungkin takkan lagi dihantui olehmu. Tetapi perasaan bersalah itu, masa lalu itu, semuanya pasti akan terus menghantuiku.”

    “Itu semua masa lalumu, Alan.” Kataku tersenyum. “Setiap orang pasti dihantui oleh masa lalu mereka, bahkan seorang raja sekalipun.”

    Alan tersenyum kecil mendengar kata-kataku. “Ya, kurasa kau benar.”

    Aku balas tersenyum. Perlaahan, kubuang pandanganku keatas langit. Tetesan air hujan masih memenuhi udara.

    “Hei, Alan,”

    “Ya?”

    “Jangan pernah menjadi seorang pengecut lagi.”

    “Tidak akan, Flo. Tidak akan pernah.”

    “Kau janji?”

    “Aku janji.”

    Sebuah senyum mengembang di wajahku. “Jika kau sampai berbohong, aku akan menghantuimu lagi.

    “Silakan saja.”

    Tertawa mendengar reaksinya, perlahan kubenamkan kepalaku di pundaknya.

    “Tetaplah bersamaku, hingga hujan ini berhenti.”

    ***

    Berdiri dihadapan makamku sendiri, aku tersenyum kecil. Sekarang, karena sudah melakukan apa yang harus kulakukan, aku tak bisa lagi ada di dunia ini.

    Alan tertidur di atap sekolah saat aku meninggalkannya. Sungguh ironis, aku yang tak ingin ia meninggalkanku, kini malah meninggalkannya disana.

    Jauh di cakrawala, cahaya jingga memancar terang. Kucoba menikmati momen-momen terakhir ini dengan sepenuh hati.

    Hidupku mungkin buruk, tapi aku tak peduli lagi. Mulai detik ini, aku juga akan melangkah menuju kehidupan yang baru.

    Mengumpulkan keberanian, aku pun memejamkan mata.

    Melepaskan semua kenanganku, aku tersenyum. Setelahnya, bisa kurasakan tubuhku menghilang bersama buih-buih cahaya.
     
    Last edited: Jan 4, 2015
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Writer's Road to Anthology season 9 :hmm:

    Farewell Melody
    Genre : romance, drama

    “Selamat jalan anak-anakku. Tuhan menyertaimu kemanapun kau melangkah kelak.”

    Kata-kata perpisahan dari Ibu Kepala Sekolah sontak disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari seluruh alumnus, menandakan bahwa upacara kelulusan telah selesai. Seluruh peserta upacara langsung berhamburan kesana kemari. Beberapa menangis sesegukan. Beberapa bahkan berpelukan.

    Orang-orang sering berkata bahwa momen kelulusan adalah saat-saat bagi kami untuk berpisah dengan kehidupan lama dan memulai kehidupan baru – tentang bagaimana pada akhirnya kami akan memulai kehidupan sebagai manusia dewasa yang dibekali tanggung jawab untuk mengurus diri kami sendiri, tentang bekerja atau melanjutkan studi, tentang merantau ke tempat baru, dan hal-hal lain yang membuat kami pada akhirnya melupakan bahwa kami pernah menjalani kehidupan yang menyenangkan. Untuk sebagian orang, hal itu bisa dimaknai sebagai berhenti sekolah dan memulai bekerja selama delapan sampai dua belas jam sehari, dan lima belas jam sehari bila ditambah lembur.

    Untukku, semuanya tak semudah itu.

    Tidak seperti kebanyakan orang, aku hampir-hampir berharap agar hari ini tak pernah tiba. Dan tentunya aku punya alasan tersendiri untuk hal itu.

    ………

    Menatap jauh ke langit-langit, aku menghela napas panjang.

    Kupejamkan mataku perlahan.

    ***​

    “Berjanjilah untuk memainkan sebuah melodi untukku saat kita lulus nanti.”

    Kata-kata Sylphy di tahun pertama kami bersekolah masih dapat kuingat, terngiang jelas di telinga. Saat mendengarnya, aku tak bisa berbuat banyak selain tersenyum dan memainkan jemariku diatas kepalanya. Sylphy membalas dengan sebuah senyum bahagia, dan sandaran kepala di pundak.

    Sylphy tumbuh di panti asuhan dekat rumah, tempat dimana aku sering mengunjunginya ketika kecil. Sahabat yang kemudian tumbuh sebagai sepasang kekasih, rasanya hal ini hanyalah kejadian yang ada di film drama. Meski demikian, aku mengalami hal tersebut saat entah bagaimana, Sylphy mengatakan bahwa ia memiliki perasaan padaku. Saat kami resmi menjadi sepasang kekasih, kami masih berusia lima belas tahun. Saat itu kami mungkin masih dibawah umur, namun aku merasa amat bahagia.

    Dan semua kebahagiaan itu tiba-tiba saja menghilang, beberapa jam setelah kami pulang dari taman bermain. Siang itu kami sama-sama pergi ke bank saat kemudian segerombolan perampok datang mengacau. Mengambil Sylphy sebagai tawanan, beberapa perampok mengancam akan membunuh Sylphy bila polisi berani menghalangi tindakan mereka.

    Kemudian, suara letupan senjata api terdengar nyaring berkali-kali. Hal selanjutnya yang kusadari adalah tubuh Sylphy yang sudah tergeletak diatas lantai, dengan darah mengalir dari punggungnya.

    Satu liter, dua liter…

    Aku tak tahu pasti.

    Yang jelas, keesokan harinya Sylphy sudah terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma. Dan selama tiga tahun setelahnya, ia tak pernah sekalipun membuka matanya.

    Ia belum mati, tentu, dan hal itulah yang membuatku tak pernah berhenti mengunjunginya. Setiap Sabtu, Minggu, hari libur nasional, aku selalu menyempatkan diri datang menjenguk Sylphy yang tertidur pulas.

    Tertidur. Ya. Aku selalu beranggapan bahwa Sylphy hanya sedang tertidur pulas dan bermimpi indah. Harapan bahwa suatu saat ia akan terjaga dan kembali menyapaku membuatku melakukan banyak hal gila. Dan harapan itu jugalah yang sebenarnya membuatku tak ingin lulus. Karena, seiring dengan datangnya momen kelulusan ini, tentunya aku juga harus menjalani kehidupan yang baru sebagai manusia dewasa.

    Aku tidak mau hal itu terjadi. Ada banyak sekali memori indah yang sudah kubuat bersama Sylphy, dan aku tak ingin semua memori itu terhapus begitu saja.

    Meski pada akhirnya aku tak bisa menampik kenyataan, bahwa dalam masa penantianku selama tiga tahun ini, banyak hal yang berubah. Rutinitasku, kondisi mentalku, semuanya berubah.

    Termasuk juga, perasaanku padanya…

    ………

    Sebenarnya, mengapa selama ini aku menunggunya bangun? Apakah karena aku masih menyukainya? Ataukah…

    “Waltz,”

    “………”

    “Waltz!!”

    Terkejut mendengar sebuah suara keras, aku seketika kembali ke alam sadar.

    “Ah…iya. Ke…kenapa?”

    Tepat dihadapanku, Sherry melongo lugu, bingung. Matanya yang tertuju padaku terlihat amat lebar dan bulat seperti telur ayam.

    Sedikit tidak nyaman, aku berkata risih. “Apa?”

    “Kamu melamun ya?”

    “Mungkin.”

    “Soal Sylphy?”

    “………”

    “Waltz, kau bisa bercerita padaku, kau tahu? Jika ini soal biaya rumah sakit, kita bisa mengadakan konser keliling lagi.”

    Aku menggeleng. “Tidak. Tak apa. Kurasa bukan saatnya kita menggelar konser jalanan lagi. Kita sudah lulus, mungkin sudah saatnya kita mencari pekerjaan lain.”

    “Begitukah? Aku tidak keberatan bila kau ingin bermusik lagi. Lagipula, itu menyenangkan.”


    Kembali aku menggeleng, tersenyum kecil.

    Aku melakukan hampir semua hal untuk membayar biaya rumah sakit Sylphy – menyambi menjadi pengantar surat, tukang bangunan, namun yang paling sering kulakukan adalah mengadakan konser musik keliling bersama Sherry.

    Kami saling mengenal di klub musik. Meskipun ia buruk dalam menyanyi, tapi ia bisa memainkan biola dengan sangat handal. Saat pertama kali kami berlatih bersama, aku tahu bahwa ia akan menjadi partner yang sempurna dengan permainan keyboardku.

    Bersama kami memainkan musik melodi tanpa vokal, hanya keyboard dan biola. Bersama kamipun merintis reputasi sebagai pemusik di bar dan restoran. Dari yang awalnya tidak dikenal, hingga diundang untuk menjadi bintang tamu dalam acara rapat VIP di hotel berbintang.

    Dan karenanya, aku dan Sherry berteman dekat. Begitu dekat hingga aku bisa leluasa menangis dan bercerita padanya soal Sylphy tanpa menyinggung perasaannya sama sekali. Sherry tak pernah mengeluh dan selalu mau mendengarkan semua ceritaku tentang Sylphy. Ia mengerti tentang bagaimana aku menyukai Sylphy, dan bahwa aku masih menunggunya hingga saat ini. Sekali dua kali ia bahkan ikut denganku untuk menjenguk Sylphy.

    Bersamanya, aku merasa amat nyaman.

    Begitu nyaman, sampai-sampai aku tak tahu lagi siapa yang ada dalam hatiku saat ini – entah itu Sherry atau Sylphy.

    “Serius kau tak ingin konser lagi? Padahal aku sudah menerima undangan dari Melodia Studio untuk rekaman musik instrumental, loh.”

    Aku tetap menggeleng sambil memasang senyum kecut. Ragu-ragu aku menggeleng.

    Aku tidak menampik kenyataan bahwa kami berdua telah cukup dikenal di masyarakat, dan andaikata kami terus berduet, bukan tidak mungkin bahwa kami akan menjadi pemusik terkenal di masa depan. Para guru bahkan menyarankan agar kami terus menekuni pekerjaan sambilan yang kami jalani, dan agar kami terus menempuh kehidupan di bidang yang sama.

    Meskipun Sherry sama sekali tak keberatan dengan hal tersebut, namun aku ragu dengan hal itu. Tentu saja hingga saat ini, Sylphy menjadi prioritas utama bagiku. Aku lebih memilihnya dibandingkan bermusik. Aku juga paham bahwa dengan merintis karir sebagai pemusik professional adalah sama halnya dengan kehilangan banyak waktu luang yang biasa kugunakan untuk menjenguknya.

    Tetapi aku juga tak rela membiarkan Sherry bersedih karena hal ini. Meski ia bisa mengerti alasanku untuk memilih meninggalkan musik, adakalanya ia tampak begitu sedih dengan keputusan yang kuambil.

    “Hei, Waltz,”

    “Hmm?”

    Menempelkan kedua tangannya di punggung kursi, ia tersenyum manis. “Kau tampak ragu dengan jawabanmu.”

    “Ah, tahu darimana kau?”

    Sherry tersenyum makin lebar. “Aku sudah bersamamu selama tiga tahun ini, Waltz. Mana mungkin aku tak hafal tentangmu?”

    “………”

    “Ceritakanlah padaku.”

    “Apanya?”

    “Apa yang ada di pikiranmu, tentu.” Jawabnya lagi. Tangan kirinya perlahan menyeka rambutnya yang panjang, yang terurai menutupi matanya.

    Meskipun ia bicara seperti itu, rasanya akan lebih baik bila kusimpan kegundahan ini untukku sendiri. Aku tidak mau bilang padanya bahwa saat ini aku amat gelisah dengan pilihan antara meninggalkan musik dan tetap bersama Sylphy, atau terus bermusik bersamanya.

    Pada kenyataannya, Sylphy masihlah kekasihku, seseorang yang teramat spesial bahkan hingga detik ini sekalipun. Meninggalkannya dalam keadaan koma seperti ini jelas merupakan sebuah pengkhianatan sekaligus sebuah tindakan kejam. Aku bahwa tahu Sylphy besar di panti asuhan, dan karenanya takkan ada yang mengurusnya kelak bila aku meninggalkannya.

    Aku bertahan dengannya semata-mata karena perasaan tersebut. Perasaan tak ingin meninggalkannya sendirian.

    Meskipun demikian, dia tak pernah ada bersamaku. Tidak saat aku membutuhkan seseorang untuk bercerita, untuk tertawa atau menangis. Dia hanya terbaring disana, di ranjang rumah sakit.

    Sherry, di lain pihak, terus ada bersamaku, terus membantuku melalui hari-hari yang kelam tanpa Sylphy. Bersamanya aku melewati berbagai kesulitan.

    Dan selama ini aku terus membuat banyak kenangan indah bersamanya.

    Aku tak bisa memungkiri kenyataan bahwa perlahan, Sherry mulai menggantikan peran Sylphy di kehidupanku.

    Dan bahwa aku mulai memiliki perasaan padanya.

    ………

    Kadang, aku berpikir bahwa takdir begitu kejam. Andai aku bisa memutar waktu, aku pasti takkan memilih Sherry sebagai partner bermusik.

    Ah, bukan. Jika aku bisa memutar waktu, aku takkan pergi ke bank di hari kelam itu. Atau mungkin, aku bisa pergi ke masa yang lebih jauh lagi dan memilih untuk tidak berpacaran dengan Sylphy.

    Meskipun demikian, semuanya sudah terlambat sekarang…

    “Waltz! Ah, melamun lagi, ya?”

    “Huh?”

    Gelagapan, aku tersenyum kecut pada Sherry. “Maaf, Sherry, aku…”

    Aku kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya, dan untuk sesaat kemudian, kami terdiam, sebelum kemudian aku bisa merasakan sebuah sentuhan di telapak tanganku.

    Sherry menggenggam jemariku erat-erat, dan tersenyum.

    “Hei, Waltz, mau pulang bersama?”

    “………”

    ***​

    Kami biasa berjalan melalui jalur dekat rel kereta api saat pulang bersama. Momen-momen pulang dengannya selalu terasa menyenangkan. Kadang, aku amat berharap bisa melakukannya dengan Sylphy saat ia sudah bangun.

    Bila ia bangun…

    “Semuanya begitu cepat berlalu, ya?” Sherry membuka pembicaraan, meski dengan kata-kata yang klise. Aku menoleh padanya yang kini menatap jauh ke langit jingga.

    Matahari sudah mulai terbenam. Sadar bahwa kami mungkin akan terpisah jauh setelah hari ini, siang tadi kami menghabiskan waktu bersama. Makan siang, bermain di Arcade, dan mengacak-acak toko baju. Kini senja sudah menghampiri, dan ini mungkin terakhir kalinya aku bisa melihat sosok wajahnya.

    “Hey, Waltz, kau sudah memutuskan tentang apa yang akan kau lakukan setelah ini?”

    “Entahlah…” jawabku bimbang. “Kau sendiri?”

    Sherry tersenyum kecil. “Bila kita tak lagi bermusik, aku mungkin akan bekerja. Pamanku punya nama di jawatan kereta api, jadi aku tak perlu khawatir soal mencari pekerjaan.”

    “Jadi petugas di jawatan kereta api? Seperti yang cocok saja.”

    “Lihat siapa yang bicara!” Ujar Sherry. “Aku mungkin buruk dengan kereta api, tapi aku memiliki kemauan. Aku bisa menjadi masinis yang handal, kau tahu?” Katanya lagi sambil menyikut tubuhku perlahan, tersenyum.

    “Mmn. Aku tahu kau bisa. Orang sepertimu pasti bisa melakukannya.”

    “Apa itu pujian? Atau cemoohan?”

    “Entahlah.” Jawabku. “Kau tentukan saja sendiri, mana yang menurutmu paling cocok.”

    “Kalau begitu, aku anggap itu cemoohan!”

    “Cemoohan, kalau begitu.” Kataku. “Kau memang selalu memandang semuanya dari segi negatif.”

    Memandang wajahku, Sherry berhenti berjalan dan tertawa. Aku ikut tertawa tak lama setelahnya.

    Dan setelahnya, kami kembali terdiam untuk beberapa saat. Dihadapan kami membentang sebuah cabang jalan. Ke arah kanan merupakan jalan menuju rumahku, dan ke arah kiri adalah jalan menuju rumah Sherry.

    Seolah tahu bahwa kami masih belum memutuskan satu hal penting, Sherry berkata perlahan.

    “Waltz, kau serius tak mau bermusik lagi? Kau mungkin bilang begitu, tapi aku tahu kau sebenarnya ragu dengan keputusanmu.”

    Terdiam sejenak, aku menarik napas panjang.

    “Aku tidak tahu.” Jawabku perlahan. Aku tidak tahu, hanya itulah jawaban terbaik yang bisa kulontarkan. Kutatap dalam-dalam wajah Sherry.

    Ia tampak murung.

    “Mungkin tidak untuk saat ini.” Kataku lagi. “Tapi suatu hari nanti, mungkin kita akan bermusik lagi. Yah, siapa yang tahu, bukan?”

    “…ambigu.”

    “Maaf?”

    “Itu bukan jawaban yang aku harapkan!” Ujar Sherry ketus. Aku tahu ia hanya menginginkan sebuah ketegasan dariku, antara memilihnya, atau memilih Sylphy. Namun aku masih tak tahu harus menjawab apa.

    “Sherry, jika kau begitu khawatir dengan masa depanmu bermusik-“

    “Lupakan itu!”

    Untuk pertama kalinya, aku melihat Sherry yang diliputi kekesalan. “Waltz, aku tak mau jawaban ‘aku tidak tahu’. Aku…itu sama sekali tak menolongku!”

    Ia merogoh saku tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih bertuliskan Melodia Record – sebuah surat undangan rekaman yang ia ceritakan di sekolah – dan merobeknya sampai habis.

    “He…hei, Sherry, undangan itu…”

    “Lupakan undangan itu!” Jawabnya setengah berteriak. “Waltz, yang kuinginkan hanyalah terus bersamamu. Itu yang terpenting. Aku tak peduli dimana kita harus bermusik – entah di panggung internasional atau di jalan raya, aku tak peduli. Aku bahkan tak peduli bila kita berhenti bermusik!”

    Eh…tapi…

    Kupikir, ia hanya tertarik pada karir bermusik. Ia mungkin berbohong dengan kata-katanya, namun untuk apa ia berbohong di saat seperti ini?

    Lagipula, semua yang ia katakan seakan berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam.

    “Waltz, Aku ingin terus bersamamu. Karena…”

    Ah…

    Tidak.

    Tidak! Jangan katakan hal itu! Jika ia mengatakannya, bukan mustahil bahwa aku akan semakin kacau. Aku tak ingin memiliki perasaan yang lebih dari ini.

    “…karena aku menyukaimu.”

    ………

    Pada akhirnya, ia mengatakannya juga.

    “Selama aku bisa bersamamu, aku tak peduli kita bermusik dimana, atau apakah kita bisa terus bermusik atau tidak.”

    Ia terus mencecarku dengan kata-kata yang menyakitkan, yang mungkin sudah ia pendam sejak lama. Saat ia berhenti bicara, air matanya sudah mengalir deras.

    Air mata itu mengingatkanku tentang sesuatu.

    Tentang Sylphy, dan tentang bagaimana ia sering menangis seperti itu.

    Aku tak ingin Sherry mengalami hal yang sama…

    ………

    Sherry dan musik ibarat sesuatu yang saling melengkapi satu sama lain. Aku bisa bilang hal itu karena ia amat terobsesi dengan karirnya di bidang tersebut. Ia menekuni permainan biola semenjak usia tujuh tahun. Bila ia bilang bahwa ia rela meninggalkan music hanya untuk bersamaku…

    Aku…

    ………

    “Waltz, maaf, aku…”

    Aku tak menunggu kata-katanya lagi. Perlahan, tubuhku bergerak memeluknya, untuk kemudian mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya kukatakan.

    Otakku berkali-kali bilang bahwa aku harus menahan perasaan ini, namun tubuh dan mulutku bergerak dengan sendirinya.

    ***​

    Malam itu kami pergi ke rumah sakit tempat Sylphy dirawat. Sambil menenteng biola dan piano keyboard, kami masuk ke kamar tempat Sylphy tertidur. Masuk rumah sakit dengan alat musik seperti ini seharusnya dilarang, namun setelah aku bicara baik-baik kepada Pak Harris – kepala rumah sakit yang kukenal dekat semenjak Sylphy , beliau mengizinkan kami memainkan musik, dengan catatan bahwa kami hanya boleh memainkannya untuk lima menit saja.

    “Lima menit sudah lebih dari cukup.” Ujar Sherry, tersenyum. Matanya masih terlihat sembab, namun aku tahu bahwa kini ia sedang diliputi perasaan bahagia.

    Aku mungkin telah mengambil keputusan yang salah. Namun aku tak menyesal. Perasaanku pada Sylphy kini mungkin hanya sebatas perasaan untuk melindunginya saja. Bila ia bangun kelak, aku akan menceritakan semua yang terjadi di hari ini padanya, bahwa aku telah memutuskan untuk bersama dengan Sherry mulai hari ini.

    “Waltz…”

    “Ya?”

    “Kau belum bilang padaku kenapa kita bermain di tempat seperti ini.”

    “Ah, begitukah?”

    Sherry mengangguk lugu, membuatku tersenyum singkat.

    “Aku pernah berjanji pada Sylphy, bahwa saat kami lulus, aku akan memainkan sebuah lagu untuknya.” Kataku memulai. “Ia tahu aku pemusik yang handal, dan amat senang mendengarkan instrument musik yang kumainkan.”

    “Dan permainan musik ini adalah…”

    “Realisasiku atas janji itu, tentu.” Jawabku. “Tapi, aku tak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini.”

    Sherry tersenyum singkat. “Kau menyesal?”

    Aku menggeleng.

    Ini keputusan yang kuambil. Aku harus jujur dengan perasaanku sendiri. Aku yakin Sylphy akan mengerti semuanya saat ia bangun nanti.

    “Tiga tahun menjenguknya merupakan momen yang menyenangkan, tapi…”

    “…tapi?”

    Aku menarik napas panjang dan menoleh ke langit-langit.

    “Pada kenyataannya, aku sadar bahwa semuanya berubah. Aku, ah, bukan. Aku dan Sylphy harus mengerti bahwa kami tak boleh larut oleh masa lalu.”

    Ya, tentu. Kami tak boleh larut dalam masa lalu. Kenangan yang kubuat antara aku dan Sylphy memang merupakan kenangan indah. Tetapi semua itu sudah berakhir semenjak tiga tahun lalu. Dan selama itu, aku terus merekonstruksi kenangan tersebut dengan terus menjenguknya, tanpa sadar bahwa semuanya sudah berakhir semenjak ia tergeletak bersimbah darah.

    Aku harus bisa melupakan apa yang sudah terjadi. Dan selama Sherry ada denganku, kurasa aku bisa melaluinya.

    “Sherry…”

    “Ya?”

    “Terima kasih sudah bersamaku selama tiga tahun ini. Mulai sekarang, aku juga akan berusaha sebaik mungkin. Berusaha menjadi yang terbaik untukmu.”

    Sherry tersenyum. “Aku pegang kata-katamu. Jika kau sampai membuatku menangis, aku takkan memaafkanmu.”

    Aku balas tersenyum.

    Perlahan, Sherry mengeluarkan biola miliknya dan menyetelnya. Tak mau ketinggalan, aku melakukan hal yang sama. Segera kususun keyboard milikku. Kusetel agar keyboard tersebut mengeluarkan suara mirip piano. Mungkin agak sumbang, namun tak masalah. Andai kami mengeluarkan kemampuan terbaik kami, semuanya akan baik-baik saja.

    “Waltz,”

    Berdiri disampingku dengan biola yang sudah terpasang diantara pipi dan pundaknya, Sherry berbisik perlahan. “Mari kita berusaha sebaik mungkin.”

    Aku mengangguk, tersenyum. “Ya, tentu.”

    Tanpa menunggu aba-aba, sebuah irama musik perlahan mengalun. Terdengar melankolis, dengan tempo yang lambat. Namun itu merupakan musik andalan kami. Dentuman melodi yang aku dan Sherry mainkan berpadu di udara, saling menopang satu sama lain dan membentuk susunan nada yang mengalun lembut.

    Semuanya berlangsung begitu singkat, namun kami sama-sama larut dalam permainan tersebut. Musik yang aku dan Sherry mainkan seolah sudah menyatu dalam memori dan perasaan kami.

    Dan untukku sendiri, musik yang kumainkan ini merupakan salam perpisahan bagi Sylphy. Aku mungkin masih akan membiayainya. Tapi yang jelas, aku takkan ada disampingnya saat ia bangun nanti.

    Meskipun begitu, aku percaya ia akan bangkit, berdiri, dan kembali mengulang semua kebahagiaan yang sama, meskipun aku tak ada bersamanya.

    Mmn. Aku percaya akan hal itu.

    Untuk selanjutnya, kami terus larut dalam melodi. Sampai kemudian, ketika lagu yang kami mainkan usai, kami saling memandang satu sama lain. Tampak wajah Sherry yang sedikit kelelahan. Ia benar-benar memainkan biolanya dengan segenap kemampuannya.

    Dan kami pun tertawa kecil, sama-sama tertawa.

    Dari semua penampilan yang pernah kami mainkan bersama, penampilan pada malam itu rasanya merupakan yang terbaik yang pernah kami pertunjukkan.

    “Permainan yang bagus.” Kataku memuji. Sherry mengangguk-angguk lugu, sebelum kemudian menoleh pada Sylphy.

    “Hei, Waltz, lihat!”

    “Huh?”

    Sherry memandang Sylphy sambil melempar sebuah senyum. Begitu kulihat wajah Sylphy, aku sadar akan alasannya.

    Sylphy, ia tampak tersenyum bahagia.

    Ia masih tidak sadarkan diri, tentu. Aku pun tak mengerti kenapa dan bagaimana ia bisa tersenyum seperti itu.

    “Kau pikir ia senang dengan penampilan kita?”

    “Sepertinya begitu,” jawabku. “Aku…tak pernah melihatnya tersenyum seperti ini. Dan bagaimana mungkin ia bisa tersenyum saat ia dalam kondisi koma seperti ini?”

    “Entahlah, tapi siapa peduli. Lagipula, ini hal yang bagus, bukan?”

    Aku mengangguk, mengiyakan. Kami sudah melakukan yang terbaik, dan kini janjiku padanya untuk memainkan musik setelah lulus terbayar sudah.

    Berjalan mendekati Sylphy, aku kemudian berbisik padanya perlahan, bahwa mulai sekarang aku akan melanjutkan kehidupanku.

    Sesaat kemudian Pak Harris masuk, meminta kami untuk segera meninggalkan kamar Sylphy, namun juga bilang bahwa kami memainkan musik yang indah. Kami berdua mengucapkan terima kasih. Pak Harris kemudian menghampiri Sylphy. Berbeda dengan reaksi kami, ia tampak senang saat melihat wajah Sylphy yang tersenyum.

    “Waltz, kau tahu sesuatu nak? Kurasa Sylphy bertahan dalam komanya selama ini, semata-mata hanya untuk menunggumu bangun dan melanjutkan kehidupanmu.”

    Aku tak menjawab – lebih tepatnya tak tahu bagaimana harus menjawab. Pak Harris kembali meminta kami untuk segera pergi sebelum petugas keamanan datang. Untuk yang terakhir kalinya, aku kembali menoleh pada Sylphy.

    Ia masih tersenyum bahagia. Amat bahagia.

    Dan keesokan harinya, aku mendapat telepon dari Pak Harris, bahwa Sylphy telah meninggal dunia.

    ***​

    Ada semacam perasaan duka saat aku dan Sherry berdiri dihadapan makam Sylphy. Langit sore itu mendung, pertanda hujan akan segera turun. Sherry masih menungguiku yang masih duduk disamping batu nisan Sylphy tanpa alasan yang jelas.

    Semua ikatan yang terjalin antara aku dan Sylphy benar-benar sudah berakhir sekarang. Aku amat bersyukur karena bisa melepasnya dalam keadaan bahagia. Terlebih setelah melihat senyumya di malam sebelumnya.

    Mungkin pak Harris benar, bahwa Sylphy bertahan dalam kondisi koma semata-mata untuk menungguku bangkit. Kini setelah semuanya berakhir, ia bisa pergi dengan tenang.

    ………

    Apa yang menunggu kami setelahnya, aku tak tahu pasti.

    Namun aku yakin kami bisa melalui semuanya.

    original link
     
    Last edited: Jan 8, 2015
  12. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    gak begitu suka. kurang puas sama hasilnya. nulisnya dikejar deadline. aku kurang suka n gak jago bikin happy end btw :iii:

    Midwinter Sky
    Genre : romance

    Dari semua musim yang ada, aku paling suka dengan musim dingin.


    Bukan tanpa alasan aku menyukainya. Mungkin sebagian orang – termasuk William – beranggapan bahwa musim dingin adalah musim yang buruk, karena membuat mereka harus berhadapan dengan suhu yang membuat tubuh menggigil, dan itu belum ditambah dengan jalanan yang licin atau tak bisa digunakan karena tertutup lapisan es. Aku tak menampik kenyataan bahwa aku juga tidak suka dengan kondisi seperti itu.


    Meski demikian, aku punya alasanku sendiri.


    “Pelan sedikit, Autumn.”


    Dibelakangku, William tampak kelelahan. Napasnya tersengal ibarat seseorang yang baru menyelesaikan lomba marathon. Langkah kakinya juga tampak gontai.


    Ugh, rasanya aneh juga melihat bagaimana seorang lelaki kelelahan berjalan ditengah hutan seperti ini.


    “Ayolah William. Ini sudah sore. Kau mau kita bermalam ditengah hutan?”


    “Gundulmu!”


    “Makanya!” Kataku kemudian, sambil perlahan berjalan mendekatinya dan meraih telapak tangannya. “Ayo!”


    “Ugh, kau ini…”


    Aku tersenyum licik. William tak mengelak saat aku meraih tangannya, dan itu membuatku sangat bahagia.


    “Kenapa kau membawaku kesini, sih?”


    “Hmn? Menurutmu kenapa?”


    “Ugh, yang ditanya malah bertanya.”


    “Hehe…”


    “Lagipula…” Katanya kemudian. “Hutan ini gelap, angker, dan kenapa aku yang murid baru ini kau bawa kemari, sih?”


    “Ra-ha-si-a.”


    “Huh, menyebalkan.” Ujarnya. “Dan juga, scarf hijau itu…”


    Ah…


    Jarinya menunjuk ke arah scarf berwarna hijau yang menempel di leherku. Refleks, tanganku meraih scarf tersebut.


    “Scarf hijau ini…kenapa?”


    “Selama musim dingin ini, kau memakainya setiap hari, Autumn. Apa kau tidak merasa bosan?”


    “…hei, William,”


    “Ha?”


    Aku terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Pikiranku rasanya campuraduk.


    Perlahan, aku kembali menoleh padanya, tersenyum. “Bukan apa-apa.” Kataku kemudian, sambil kembali berjalan. Dihadapanku pepohonan tinggi tampak menjulang. Jarak antar pepohonan tersebut cukup renggang. Hutan ini hanyalah hutan di tepian kota yang tak begitu lebat.


    Menggenggam tangannya, aku berjalan makin jauh kedalam hutan,


    ***


    Suatu hari di bulan Desember.


    Pesta tahun baru selalu jadi ajang menarik di kota kecil ini. Ada kembang api, pasar, dan ratusan orang yang turun ke jalan. Semuanya sudah taka sing lagi, meski dari beberapa perayaan yang kulalui, rasanya ini yang paling ramai.


    Siang itu, ayah dan ibu membawaku ke berbagai tempat. Keduanya tak menolak semua permintaanku meskipun hari itu aku meminta banyak hal, mulai dari kue tart superbesar hingga mainan mahal. Sama seperti perayaan tahun baru sebelum ini, semua keinginanku selalu terkabul.


    Rasa-rasanya, hari perayaan tahun baru adalah hari dimana aku bisa bermanja-manja sesuka hati. Dan yang lebih menyenangkan, ayah dan ibu sama sekali tak pernah memarahiku soal meminta macam-macam. Tidak seperti hari-hari sebelumnya saat keduanya menegurku bila aku merengek, meminta dibelikan boneka mahal. Karena itulah, aku amat menyukai bulan Desember, juga musim dingin yang datang bersamanya. Dan meski namaku sendiri berarti musim gugur, aku tetap lebih menyukai musim dingin.


    Pada hari itu ayah dan ibu mewanti-wanti agar kami tetap bersama. Sesekali keduanya bahkan menggenggam tanganku agar tak lepas dari pengawasan mereka. Namun entah kesialan apa yang menghampiriku hari itu. Tanpa sadar, sesaat setelah melihat pertunjukan boneka, mendadak ayah dan ibu tak ada disampingku.


    Melongo kebingungan, kuputuskan untuk berjalan mengikuti kerumunan orang-orang. Sambil melirik sana sini dan berharap bertemu ibu atau ayah, perasaanku mulai was-was. Kerumunan orang ini sangat padat – aku hampir-hampir tak bisa melihat apa yang ada di depan atau belakang. Terlebih, aku juga tak bisa melawan arus orang-orang yang berjalan berdesakan. Kemana orang-orang ini berjalan, maka kesanalah aku ikut. Lama-lama kerumunan orang semakin bertambah padat, sehingga untuk bergerak saja aku merasa kesulitan.


    Tanpa tahu berapa lama aku berjalan, kaki ini membawaku ke tepian hutan kota. Bagaimana aku bisa berada disini juga aku tak tahu pasti. Setahuku, sejak tadi aku hanya mengikuti kerumunan orang-orang.


    Astaga, ini dimana?


    “Ayah, Ibu, dimana kalian?”


    Kerumunan orang yang ada kini sudah tak terlalu banyak, membuatku kini bisa bergerak leluasa kesana kemari untuk menemukan kedua orang tuaku. Sayangnya, aku tetap tak menemukan mereka.


    “Ayah! Ibu!”


    Kutinggikan suaraku, sehingga kini beberapa orang mulai memperhatikanku – beberapa orang dewasa. Tanpa aba-aba, mereka menanyaiku macam-macam. Darimana asalku? Bersama siapa aku datang? Dimana ayah dan ibuku?


    Lalu satu, dua orang memintaku untuk ikut bersama mereka.


    Aku menolak. Ibu pernah bilang padaku agar jangan bicara dengan orang asing. Karenanya, ketika beberapa orang hendak membawaku, aku berlari jauh-jauh, takut-takut kalau orang-orang dewasa itu adalah penculik yang akan menjualku kepada seorang penyihir jahat untuk dijadikan sup.


    Beberapa mengejarku kedalam hutan. Namun aku berhasil sembunyi. Setelahnya aku kembali berlari. Tak ada hal lain lagi. Aku harus terus berlari, begitu pikirku.


    Hingga kemudian, aku tiba di sebuah danau. Kelelahan, kurebahkan diriku diatas rerumputan. Kakiku menjulur kearah danau yang berair jernih. Kabut tipis mengapung di udara.


    Perasaanku campuraduk, bimbang. Hatiku bertanya-tanya, bagaimana bila aku tak bertemu dengan ayah dan ibuku lagi? Bagaimana bila orang-orang itu masih mengejarku? Bagaimana bila aku tersesat?


    Uh, bukan. Aku memang sudah tersesat.


    Apakah aku tidak bisa bertemu lagi ayah dan ibu? Aku ingin bertemu mereka. Aku ingin pulang bersama mereka.


    “…hiks.”


    Ah, ini...


    Entah sejak kapan aku mulai menangis. Bayang-bayang akan rumah kini muncul di pikiranku. Aku rindu ayah. Aku rindu ibu. Aku rindu Luna, boneka kesayanganku. Aku…aku…aku rindu semuanya.


    Aku ingin pulang.


    “Hiks…hiks…”


    Terus menangis karena tak tahu harus bagaimana, aku tak sadar bahwa sore hari sudah menjemput.


    Memeluk lutut sambil sesegukan, sejenak kemudian aku mendengar suara sesuatu yang aneh.


    Terdengar seperti, desisan?


    Menoleh kebelakang, ke kiri, dan ke kanan, jantungku mulai berdegup kencang. Aku amat takut kalau-kalau ada ular yang mendekat. Kudengar, ular bisa membunuh manusia hanya dengan mengigitnya. Dan katanya di hutan sana, ada ular yang bisa memakan manusia.


    Aku tak mau dimakan ular!


    Desisan itu terdengar semakin nyata. Ketakutan, aku bergerak mundur sedikit demi sedikit. “A…aku tidak enak!” Kataku meracau.


    Saat suara desisan itu terdengar makin menjadi, aku berteriak panik. “Jangan makan aku!”


    “Hah?”


    “Eh?”


    ………


    Yang tampak dihadapanku bukanlah seekor ular, melainkan sesosok lelaki seusiaku. Di lehernya menggantung sebuah scarf berwarna hijau terang.


    “Ka…kamu siapa?”


    “He? Kamu sendiri siapa?” Jawab anak itu polos. “Sedang apa kau disini”


    “Aku…”


    “Kamu sendirian saja? Ayah dan ibumu mana?”


    Mendengar kata-katanya, entah bagaimana aku jadi kembali teringat bahwa aku kini terpisah dengan orang tuaku.


    “U…uuu…”


    “He…hei?”


    “Huwaaa!”


    “Hei! Kenapa kau malah menangis?”


    ***


    “Jadi, kamu tersesat sampai kesini?”


    Aku mengangguk sayu, menunduk. Anak itu membalas dengan tatapan kosong.


    “Sudah, sudah, jangan menangis.” Katanya. “Namaku William. Namamu?”


    Aku tak langsung menjawab dan terus menangis sesegukan. Saat ia kembali bertanya sambil tersenyum, barulah aku bisa menjawabnya.


    “Jadi, namamu?”


    “…aku takkan memberitahumu.”


    “He? Kenapa?”


    “Teman-temanku menjadikan namaku sebagai bahan olok-olokan.”


    “Kenapa begitu?”


    “Mereka bilang, namaku membuat mereka mengigil.”


    “Uh,” Kata William, melongo keheranan. “Alasan yang aneh.”


    “Aku tetap takkan memberitahumu.” Kataku lagi.


    “Hm, baiklah kalau begitu.” Katanya lagi. “Hei, ayo kita cari orangtuamu bersama.”


    Masih menyeka air mataku, aku mengangguk, menurut. Meski orang tuaku bilang bahwa aku tak boleh bicara pada orang asing, kurasa tak ada salahnya bila aku percaya pada sesama anak-anak.


    William berjalan didepan. Langkah kakinya tampak gesit melewati celah-celah diantara pepohonan. Sesekali aku dibantunya melewati akar-akar pohon yang licin. Tak tampak sedikitpun rasa takut di wajahnya.


    Ah, mungkin ia sudah hafal daerah ini. Bersamanya, aku pasti bisa keluar dari tempat ini.


    Pasti…


    Anak ini pasti akan menolongku keluar dari hutan ini. Mmn. Aku percaya padanya. Dan kini, melihat sosoknya yang berjalan riang gembira melewati celah-celah pepohonan, aku tersenyum.


    “Anu…”


    “Hm?”


    William tampak celingukan, menengok ke arah kanan dan kiri. “Kita…ada dimana ya?”


    Eh??


    Jadi dia juga tak tahu daerah ini?


    “Ka…kamu nggak tahu ini dimana?”


    Ia menggeleng. “Aku juga baru pertama kali kemari, loh.”


    ………


    “Sebetulnya, tadi aku bertengkar dengan ayah, sih. Karena kesal, aku jadi ingin pergi darinya. Aku bisa tiba di danau setelah mendengar kamu menangis.”


    Astaga…


    Dia seharusnya bilang sejak awal kalau dia juga tersesat.


    “Jadi, kamu tahu kita dimana?”


    Melirik ke kanan dan ke kiri, aku hanya melihat pepohonan yang tumbuh tinggi. Sore sudah semakin meredup, dan malam akan segera tiba.


    Ugh…


    “Ah, sepertinya jalan keluarnya kearah sini.” Ia menunjuk jauh ke pedalaman hutan di sebelah kanan, namun aku tak percaya lagi padanya. Alih-alih, kini air mataku mulai kembali turun.


    “Ayo-“


    “Huaa…”


    Aku kembali menangis.


    ***


    “Kau seharusnya bilang kalau kau juga tersesat.”


    “Ma…maaf.”


    Pada akhirnya kami kembali ke tempat kami bertemu. Sebuah danau kecil ditengah hutan. Menatap jauh ke langit yang mulai gelap, William menghela napas.


    “Seharusnya aku tak bertengkar dengan ayah.” Katanya perlahan. “Ah, andai saja ayah mau mendengarkanku.”


    “…memangnya kenapa dengan ayahmu?”


    “Ya, bagaimana yah? Dia itu pelit.”


    “Pelit?”


    Ia mengangguk. “Kamu tahu kan? Mainan mobil-mobilan yang sedang populer? Teman-teman sekolahku semua punya mainan itu.”


    Meski aku tak tahu mainan seperti apa yang William maksud, aku mengangguk-angguk bodoh.


    “Ayah sudah janji akan membelikanku hari ini, tapi ia malah bilang kalau uangnya tidak ada. Aku yakin ia hanya berbohong saja.”


    “…bagaimana kau tahu?” Tanyaku. “Dan mengapa ia harus berbohong padamu?”


    “Yah,” jawabnya singkat, menggaruk-garuk kepala. “Orang dewasa memang senang berbohong, kan?”


    “Orang tuaku tidak begitu.”


    “Sungguh?”


    Aku kembali mengangguk. “Meski ada kalanya ayah dan ibu tak mau membelikanku boneka yang kuinginkan.”


    “Hmm…”


    Sejenak, kami terdiam.


    Angin musim dingin berhembus perlahan, menusuk tulang dan kulit. Kurasa William masih memandang jauh ke angkasa, sementara aku memeluk lutut sambil membuang tatapanku ke tanah.


    “Jadi dewasa itu rumit ya?” Kata sang lelaki tak lama kemudian. “Aku jadi penasaran. Ayah sedang apa ya sekarang?”


    “Mmn.” Kataku perlahan. “Aku juga…”


    “………”


    Malam ini udara benar-benar dingin.


    Merasa sangat lelah setelah seharian berjalan kesana kemari, kini kurasakan mataku menutup perlahan. Kepalaku rasanya berat sekali.


    “Hei, kau tak apa-apa?”


    Ah…


    William memanggilku. Sontak aku kembali pada kesadaranku.


    “Kau mengantuk?”


    Aku mengangguk. Bersamaan dengannya, angin kembali berhembus cukup kencang, membuatku tubuhku mengigil.


    “Kedinginan, ya?”


    Masih memeluk lutut, aku mengangguk.


    Selang beberapa lama, bisa kurasakan William berjalan mendekat. Seolah tahu aku sedang mengigil, ia duduk disampingku.


    Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja aku merasa leherku diselimuti oleh sesuatu yang hangat.


    Ah, ini…


    Sebuah scarf. Sebuah scarf berwarna hijau muda.


    “Ini…”


    “Kamu pakai saja. Kedinginan, kan?”


    “Tapi…”


    Lelaki itu tertawa riang. “Aku tak apa-apa. Seorang lelaki harus kuat. lihat, nih.”


    William mengambil sebongkah batu kecil. Aku tak tahu apa yang akan ia lakukan, tapi suhu batu itu pasti sangat dingin. Bebatuan yang tertutup salju mempunyai suhu yang mirip dengan es.


    Meski demikian, ia tetap mengambilnya. Dan dilemparnya batu kecil itu, jauh ke arah danau.


    “Lihat, aku masih bisa melempar batu itu jauh-jauh.” Katanya bangga. “Itu tandanya aku kuat. Hahaha!”


    “………”


    “Kau tak perlu khawatir.”


    Aku mengangguk, tersenyum kecil. Anak itu, ia benar-benar bodoh. Bertingkah sok kuat di musim dingin ini, aku yakin lima menit kemudian ia pasti sudah bersin-bersin.


    Tapi kini William kembali mengambil beberapa buah batu, dan dilemparkannya kembali batu-batu itu jauh ke danau, menimbulkan suara gemericik yang khas.


    “Cobalah!”


    Aku menggeleng. “Mungkin lain waktu.”


    William tersenyum kecil, kembali melempar bebatuan kecil ke arah danau. Aku melihatnya dengan tatapan lugu.


    Butir pertama, jatuh.


    Butir kedua, jatuh.


    ………


    Ah, mataku berat sekali.


    Perlahan, seiring dengan kelelahan yang mulai menerpa tubuh, aku memejamkan mata. Meski demikian aku tak bisa langsung tertidur – siapa yang bisa tidur di tempat ini?


    Aku sangat rindu kamarku.


    Ibu…


    Ayah…


    Ah, ya. Aku ingat keduanya sering menyanyikan sebuah lagu agar aku bisa tertidur lelap. Dulu aku amat sering merasa ketakutan bila berada sendirian di dalam kamar, dan kedua orang tuaku sering menyanyikan lagu tersebut agar aku diam.


    Refleks, mulutku mulai bergerak. Pita suaraku mulai memainkan melodi yang sering ayah dan ibu mainkan untukku sesaat sebelum aku tidur.


    “Hei, lagu itu…”


    Ah…


    Lelaki itu lagi-lagi memanggilku.


    “Aku tahu lagu itu.”


    “Sungguh?”


    “Mm.” Ia mengangguk. Duduk perlahan disebelahku, ia berkata, “Mau bernyanyi bersama?”


    “…tentu.”


    ***


    Entah sudah berapa lama aku tertidur. Saat perlahan kubuka mata, langit masih gelap. Meski demikian aku merasa cukup segar.


    William tampaknya masih tertidur. Aku masih bersandar di bahunya. Pada leher kami, sebuah scarf hijau tampak menggantung menyelimuti leher kami. Semalam, kami memutuskan untuk memakai scarf itu bersama-sama. Duduk di bawah pohon, tanpa sadar kami telah tertidur pulas.


    “William!”


    Ah…


    Sayup-sayup, terdengar suara seseorang memanggil.


    “William! Kau dengar ayah?”


    Menggeliat lugu, aku menggoyang-goyang tubuh William. Tak butuh waktu lama baginya untuk bangun dan menyadari bahwa seseorang sedang mencarinya.


    “Itu ayahku!” Katanya riang. “Ayah menemukanku! Ayah! Ayah! Aku disini!”


    Tak lama setelahnya, muncul seorang lelaki dewasa. Dengan wajah sumringah, serta merta lelaki itu memeluk tubuh William. Dua orang polisi ikut bersamanya.


    Mendapatiku seorang diri, pada akhirnya aku dibawa menuju kantor polisi. Seorang polisi wanita memberiku cemilan dan bertanya tentang nama kedua orang tuaku.


    Adapun William, tak lama setelah ditanya macam-macam, ia tampak sedang berkemas bersama ayahnya di dekat sebuah mobil sedan. Aku menghampirinya.


    “William,”


    “Ah,” katanya kemudian. “Maaf, ya. aku harus pulang.”


    Aku menggeleng, tersenyum. Ditanganku sebuah scarf berwarna hijau tergenggam. Saat William menoleh ke arah scarf tersebut, refleks aku mengulurkan tanganku.


    “Uh, kau tahu? Kau boleh memilikinya. Itu untukmu.”


    “Untukku?”


    “Mmn,” William mengangguk, tersenyum. “Aku masih punya banyak di rumah. Tak usah khawatir.”


    “William, nak. Ayo kita pulang.” Terdengar suara ayah William dari dalam mobil. William menoleh, mengangguk. Ada semacam perasaan kehilangan saat ia membuka pintu mobil dan mulai melangkah masuk kedalamnya. Namun sesaat kemudian, William kembali menoleh padaku, tersenyum.


    “Will…William?”


    “Ya?”


    “Maukah kau…maukah kita bertemu lagi tahun depan?”


    Sebuah senyum yang teramat lepas mengalir dari wajahnya saat ia mengangguk. “Ya, tentu. Tempat yang sama?”


    “Mmn.” Aku mengangguk.


    “Sore hari, tepat di waktu yang sama?”


    “Mmn.” Aku mengangguk, tersenyum kian lebar. William membalas senyumanku, melambaikan tangan, dan masuk kedalam mobil.


    “Oh, hei, aku lupa sesuatu!” Katanya sesaat kemudian. “Kau masih belum memberitahu namamu!”


    Ah, ya. betul!


    Aku masih belum memberitahu namaku padanya.


    Seiring dengan laju mobilnya yang mulai berjalan, William berteriak dari samping jendela mobil. “Siapa namamu?”


    “Autumn!” Teriakku sekuat tenaga. “Namaku Autumn!”


    Aku tak tahu apakah William mendengarnya atau tidak. Ia hanya melambai-lambaikan tangannya dari balik jendela mobil. Aku masih merasa kehilangan saat kemudian, mobil tersebut bergerak menjauh, melesat dengan cepat hingga menghilang dari pandangan.


    Dan itulah saat dimana aku berpisah dengan cinta pertamaku.


    ***


    Semenjak pertemuanku hari itu, setiap malam pergantian tahun baru aku selalu menunggunya di danau tersebut. Saking seringnya, aku hafal jalur menuju tempat pertemuan kami. Dan setiap kali aku menunggunya, scarf hijau miliknya selalu kugunakan. Sesekali aku melempar batu-batu kecil ke tengah danau, atau memainkan melodi yang dulu pernah kami nyanyikan.


    Sayangnya, William tak pernah datang. Ia tak muncul di tahun pertama, tahun kedua, tahun ketiga…


    Meski demikian, aku terus menunggunya. Aku yakin suatu hari nanti kami akan kembali bertemu di tempat itu.


    Dan keyakinanku itu kini membuahkan hasil, tatkala di usiaku yang menginjak tujuh belas tahun, seorang murid baru datang di sekolahku. Aku senang bukan main saat ternyata, murid baru itu adalah William.


    Hanya saja, aku perlu mengumpulkan keberanian untuk mengatakan bahwa kami pernah bertemu saat kecil dulu. Bukan tanpa alasan aku menunggu hingga saat ini tiba : William tak pernah ingat namaku, dan aku takut dianggap aneh bila menjelaskan macam-macam soal pertemuan kami dulu. Terlebih, William tak pernah ingat dengan scarf hijau yang ia beri, juga dengan hutan kecil ini.


    “Autumn…” katanya merengek. “Kita mau kemana sih?”


    Menoleh padanya, aku tersenyum singkat dan berhenti melangkah. “William, apa kau punya pengalaman soal tersesat di hutan?”


    “Eh?”


    Tepat dugaan! William tampak terkejut mendengar kata-kataku.


    “Pernahkah kau tersesat di dalam hutan dan bertemu seorang gadis kecil di tengah danau?”


    “A...Autumn! Kenapa kau tahu…”


    Aku hanya tersenyum. Sambil kembali melangkah, beberapa saat kemudian kami tiba di tepi danau tempat kami pertama bertemu.


    “Apa kau pernah berada disi-“


    “Pernah!” Jawabnya. “Autumn, jangan bilang kalau kau…”


    Aku mengangguk, tersenyum. “Mmn. Akulah gadis yang pernah berada bersamamu dulu.”


    Sejenak, kami saling terpaku satu sama lain, sebelum kemudian kami tertawa terbahak-bahak.


    ***


    “Jadi, kau tak pernah lupa tentang janji itu?”


    “Mana mungkin aku lupa?” Jawabnya. “Ayahku mengalami mutasi, dan aku harus pindah rumah. Sebenarnya aku sudah curiga bahwa kau adalah gadis di masa kecilku. Hanya saja, yah, mungkin akan aneh rasanya kalau ternyata kau bukan gadis yang kumaksud.”


    Aku tersenyum geli. Alasan yang ia kemukakan sama denganku.


    “Jadi, maafkan aku Autumn. Aku tak pernah datang lagi semenjak hari itu.”


    Aku menggeleng. “Kita sudah bertemu lagi sekarang. Itu yang terpenting.”


    William tersenyum kecil. Aku balas tersenyum padanya.


    Dan sejenak kemudian, ia berdiri. Mengambil batu-batu kecil, William mulai melemparnya jauh ke tengah danau. Terdengar suara khas saat kemudian batu-batu tersebut menyentuh genangan air.


    Sambil duduk memeluk lutut, aku mulai bersenandung, memainkan melodi yang dulu pernah kami nyanyikan bersama.


    “Sama seperti waktu itu, ya?” Katanya perlahan. Duduk disebelahku, William membuang tatapan jauh ke langit luas.


    “William?”


    “Hmn?”


    “Maukah kita bertemu lagi di tempat ini saat malam tahun baru nanti?”


    “Tentu Autumn.” Jawabnya tersenyum, menepuk kepalaku dan memainkan jarinya diatas rambutku. “Tentu.”
     
  13. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    ini yg batu ijo dan melodis itu ya? :iii:

    overall, simpel aku bilang. mgkin terlalu simpel. adegan per adegan lumaayn baik, cmn di akhir aja yg kurang meyakinkan atau kurang apa gitu.

    kurang keliatan fatenya. inti janjinya kan si cewek autumn janji ketemu ama si william di pohon itu kan?
    tapi yg diakhir itu aku malah ngeliat si autumn narik wiliam ke pohon itu :lol:
     
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Danau, bukan pohon :swt:

    N iya, endingnya :facepalm: benernya tadinya aku mau bikin bittersweet. Apa daya udah jam stgh 11 malem :swt:

    Ma ii ka :lalala:
     
  15. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Fikbul bulan Februari 2015 :iii:

    gagal, gagal, cerita gagal :nangis:

    The Repeating 6 April
    Genre : romance, drama, supernatural, tragedy


    “Tentu, jam sepuluh pagi, kan?”

    Aku tersenyum membaca pesan Yuki.

    Menutup telepon genggam, pandanganku jatuh keluar jendela. Hujan turun deras di hari dimana aku akan bertemu dengannya.

    Jam sepuluh pagi di halte bus dekat sekolah, rasanya semuanya seperti mimpi saja.

    Pukul sembilan pagi aku memutuskan untuk berangkat. Mengenakan sepatu dan bergegas keluar dengan sebuah payung di tangan, pikiranku melambung jauh tak karuan.

    Yuki Itou…

    Aku mengenalnya sudah sejak lama. Kami masuk SMP yang sama dan bahkan sempat berada dalam satu kelas. Meski demikian, perasaanku padanya baru tumbuh saat aku mulai berteman baik dengannya setahun lalu, ketika ia memayungiku di sore hari sepulang sekolah, saat hujan turun deras.

    Yuki merelakan sebagian tubuhnya tersiram derasnya hujan demi memayungiku yang jelas-jelas sudah basah kuyup.

    “Yuki, kenapa kau memayungiku?”

    Kala itu, Yuki hanya menjawab singkat-

    “Entahlah. Aku hanya ingin melakukannya saja.”

    -sambil tersenyum.

    Rasanya, hampir tidak ada orang yang mau tersenyum seperti itu padaku. Setiap orang yang kutemui selalu membuatku merasa sendirian di dunia ini. Karenanya, senyumannya kala itu benar-benar membuatku bahagia, bahkan bila aku mengingatnya di hari ini.

    Dan karena itu pula, hujan merupakan sebuah anugerah tersendiri untukku. Kini, diiringi dengan hujan, aku berharap keajaiban tahun lalu kembali terulang. Kuharap Yuki mau menerima perasaanku.

    Aku ingin selalu bersamanya. Selamanya.

    09.30.

    Aku tiba di halte bus dan mencoba rileks. Kurapikan cardigans putih yang kukenakan. Yuki amat menyukai warna putih, sehingga, meski tidak begitu menyukainya, aku memutuskan memakai cardigans tersebut. Juga, aku tak tahu apakah Yuki akan menyukainya atau tidak, tapi hari itu aku mencoba memakai lensa kontak, bukan kacamata seperti yang biasa kupakai.

    Hm, persiapanku sudah bagus. Tinggal menunggu jam sepuluh, dan semuanya selesai.

    Berdiri menatap rintik hujan, aku mulai menerka-nerka jawaban yang akan Yuki berikan padaku. Apakah ia akan menerimaku? Ataukah menolakku?

    Bila ia menolak perasaanku, apa yang akan kulakukan?

    Apakah hubungan kami setelahnya tidak akan sama lagi?

    Masih menerka-nerka jawabannya, seketika aku dikejutkan oleh suara deru mesin dan teriakan orang-orang dari samping kiri tubuhku. Dan saat aku menoleh, semuanya sudah terlambat.

    Sebuah bus yang amat besar tampak hanya berjarak beberapa inci saja dari mataku. Melaju dengan kecepatan penuh, jelas sudah bahwa bus itu akan menabrakku dengan keras. Aku hanya berdiri terpaku, shock. Jarak bus itu terlalu dekat dan aku takkan bisa menghindar. Cahaya lampu bus yang menyala terang pun tampak menyilaukan.

    Dan bisa kurasakan rasa sakit yang luar biasa saat tubuhku disambarnya.

    Rasanya tulangku hancur oleh hantaman tersebut. Dari kepalaku, darah mengucur deras setelah mengalami benturan yang sangat kuat, baik oleh badan bus maupun saat menghantam aspal berkali-kali. Seluruh tubuhku remuk. Cairan pekat mengalir dari kepala, tangan, kaki, dan seluruh tubuh.

    Dan cardigans putih yang kukenakan, mungkin kini sudah berubah warna menjadi merah.

    Aku mulai berpikir bahwa hari itu akan menjadi hari kematianku.

    ………

    Tetapi aku, aku tak mau menerimanya. Semua ini terlalu tiba-tiba.

    Aku masih belum menyampaikan perasaanku pada Yuki. Aku juga belum tahu apa jawaban yang akan Yuki berikan padaku.

    Aku tak mau semuanya berakhir seperti ini. Aku ingin agar hari ini kembali terulang.

    Sesaat sebelum kesadaranku benar-benar menghilang, samar-samar aku mendengar suara gaib.

    Untuk setiap hari yang kau habiskan disini, satu jiwa akan menghilang dari kehidupan Yuki.

    Si…siapa? Siapa dia?

    Seolah tahu pertanyaanku, suara gaib itu terdengar kembali.

    Aku adalah takdirmu.

    Takdirku?

    Apa maksudnya?

    ………

    Akh, aku tak bisa mendengar apapun lagi. Kini semuanya menghilang dalam gelap.

    ***

    Terdengar suara hujan deras saat aku membuka mata. Hal yang pertama kulihat adalah plafond berwarna putih bersih yang menempel di langit-langit.

    “Ugh…”

    Aku tahu tempat ini. Hujan yang turun deras, plafond putih, meja di samping tempat tidur, piyama hijau yang kukenakan…

    Tempat ini adalah kamarku sendiri.

    Kudapati tubuhku terbaring diatas tempat tidur, masih mengenakan piyama hijau favoritku.

    Aneh.

    Aku masih hidup.

    Aku tak merasakan sakit apapun. Kedua tanganku juga masih bertenaga. Saat kuraba kepalaku, darah tak mengalir darinya.

    Seluruh tubuhku masih utuh.

    Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi, sampai ketika aku bangun dan mengecek kalender diatas meja di samping tempat tidur, barulah aku paham.

    Tanggal hari itu adalah 6 April.

    Tanggal dimana aku berjanji bertemu dengan Yuki dan tewas tersambar bus.

    Masih kebingungan, perlahan aku berdiri dan membuka gorden jendela kamar. Diluar sana, hujan masih turun dengan deras. Langit masih gelap, tertutup awan kelabu yang menumpahkan butiran-butiran air keatas tanah.

    Waktu kembali berulang untuk alasan yang tak kumengerti. Namun, meski keheranan, jauh dilubuk hati aku merasa amat senang.

    Maksudku, bukankah aku memang meminta agar hari ini kembali terulang? Aku benar-benar menginginkannya, karena aku harus mengutarakan perasaanku ini pada Yuki. Terbunuh di hari itu merupakan penyesalan terbesarku.

    Apa yang terjadi saat ini aku benar-benar tak tahu. Apakah tempat ini nyata atau tidak, aku juga tidak tahu. Tapi aku tak mau ambil pusing dengan semuanya. Aku masih hidup. Waktu kembali berputar kembali ke tanggal 6 April, dan aku bisa mencegah kematianku. Itu semua yang terpenting.

    Perlahan, kuambil telepon genggam milikku, mulai mengetik pesan singkat pada Yuki.

    “Yuki, untuk hari ini, kita bertemu jam sembilan pagi saja, ya?”

    Kecelakaan itu terjadi pada jam setengah sepuluh. Bila aku bertemu Yuki pada satu jam sebelumnya, tentu aku akan tetap hidup.

    Tak lama, sebuah balasan muncul di telepon genggamku.

    “Baiklah, jam sembilan pagi, kan?”

    Aku tersenyum.

    ***

    Sesuai dugaanku, bertemu pada satu jam sebelumnya, kecelakaan itu akhirnya bisa kuhindari.

    Duduk bersebelahan di kursi bus yang kami naiki, Yuki mengatakan bahwa cardigans yang kukenakan sangatlah cantik, membuatku tersenyum malu sekaligus bahagia.

    Jauh diluar, hujan masih turun deras. Sedikit melirik pada Yuki, tampak pandangan matanya yang tertuju ke arah kota, hanyut dalam lamunan sambil menatap rintik-rintik hujan dari balik jendela yang basah. Sejenak kemudian, ia tersadar bahwa aku menatapnya dari tadi.

    “Ada apa, Ruka?”

    Aku tersenyum. “Melamun apa sih?”

    “Hm?” Yuki balas tersenyum. “Menurutmu apa?”

    “Menurutku? Ah, apa mungkin kau teringat saat kita berpayung bersama di hari hujan tahun lalu?”

    “Lupakan!” Jawabnya ketus sambil memalingkan wajahnya yang berubah menjadi merah padam. “I…itu memalukan!”

    Aku tertawa kecil. “Meski kau bilang memalukan, itu hal yang selalu kuingat, kau tahu?”

    “He?”

    Ah…

    Tanpa sadar aku mengatakannya.

    Yuki menatapku dalam-dalam, terpaku oleh kata-kataku barusan. Aku balik menatapnya, bingung harus bagaimana.

    …kurasa, inilah saat yang tepat untuk mengatakannya.

    “Yu…Yuki,”

    “Ya?”

    “Semenjak hari dimana kau memayungiku-”

    Tanganku bergerak cepat dengan sendirinya, menggenggam telapak tangan Yuki yang hangat.

    “-aku menyukaimu, Yuki.”

    Yuki tampak terkejut dengan kata-kataku. Tentu, ia mungkin tak pernah menyangka bahwa aku akan mengatakan hal semacam ini padanya.

    Tapi sekarang, karena aku sudah terlanjur mengatakannya-

    “Ma…maukah kau berpacaran denganku?”

    -aku tak bisa mundur lagi.

    Meski demikian, Yuki tak menjawab. Aku menunduk, malu, melepaskan genggaman tanganku darinya. Kami terdiam selama beberapa saat sebelum kemudian refleks aku bicara, “A…ahaha, tentu saja itu…”

    Yuki mengecup keningku perlahan, dan menarik tubuhku ke pelukannya.

    Ah…

    Dia…

    “Aku juga menyukaimu, Ruka.”

    Jadi, perasaanku berbalas.

    Aku tak melawan lagi. Perlahan, tanganku ikut merangkul tubuhnya. Selama beberapa saat kami berpelukan sebelum kemudian Yuki melepaskan tubuhku.

    Aku tersenyum bahagia. Setetes air mengalir dari pelupuk mataku.

    “E..Eh? Ruka, kenapa kau menangis?”

    “Hm? Aku menangis?”

    “Ya!”

    Mengusap pipiku perlahan, aku membalas singkat. “Itu, itu karena aku sangat bahagia, Yuki.”

    Yuki tersenyum perlahan. Tangannya kembali menarikku ke pelukannya.

    Aku pasrah, tersenyum bahagia.

    “Kalau Yuna tahu tentang hal ini, ia pasti akan marah, ahaha.” Kataku menggoda, tertawa kecil sambil menggenggam erat punggung Yuki. Yuna merupakan adik kecil Yuki yang selalu melarang kakaknya berpacaran. Ia memiliki obsesi aneh untuk menikahi kakaknya sendiri. Hal yang aneh, sekaligus menggelikan.

    “Yuna?”

    “Mmn,” jawabku mengangguk, melepaaskan diri dari rangkulan Yuki.

    “Yuna, siapa?”

    Eh?

    ***

    “Maukah bertemu jam sembilan pagi?”

    Entah sudah keberapa kalinya aku mengirim pesan ini padanya. Mungkin puluhan, ah, bukan. Mungkin ratusan kali.

    Untuk alasan yang tak kumengerti, hari ini selalu berulang setiap harinya. Hujan selalu turun di kota ini, dan semua yang kualami selalu berulang dari awal.

    Mmn. 6 April selalu berulang, tak pernah melaju menjadi 7 April, apalagi 8 atau 9.

    Tapi, aku tak begitu keberatan. Maksudku, di tanggal ini, Yuki akan selalu memelukku dan mengecup keningku. Aku dan Yuki akan selalu melewatkan masa-masa yang indah bersama. Meski mungkin aku bertengkar dengannya, keesokan harinya ia akan kembali tersenyum.

    Tanggal ini mencerminkan keabadianku dengannya, sama seperti yang selalu kuingingkan.

    Mungkin.

    Mmn. Mungkin. Karena jauh di lubuk hatiku, aku merasa telah melakukan kesalahan fatal.

    Satu hal yang juga membuatku bingung adalah, setiap kali tanggal ini berulang, ingatan Yuki tentang seseorang atau suatu hal akan menghilang.

    Pertama, ia kehilangan ingatan soal adiknya, Yuna. Awalnya aku sempat berpikiran bahwa ia hanya bergurau, namun saat aku mengecek telepon genggamnya dan tak menemukan kontak Yuna didalamnya, aku mulai merasa curiga. Terlebih, aku tak menemukan sosok Yuna dalam foto keluarganya saat aku memutuskan berkunjung ke rumahnya beberapa waktu lalu.

    Setelahnya, semua yang ada di kehidupannya menghilang perlahan. Sosok teman-temannya, keluarganya, semuanya…

    Hingga pada akhirnya, yang tersisa di alam yang tak kuketahui ini mungkin hanya kami berdua. Dan mengapa hal itu terjadi, aku juga tak tahu.

    Aku mencoba bungkam dengan apa yang terjadi. Lagipula, aku tak begitu peduli dengan keluarganya, teman-temannya, atau apapun. Aku hanya peduli padanya. Aku menyukainya, aku ingin tetap bersamanya, hanya itu yang kuinginkan.

    Meski begitu, sebuah kekhawatiran selalu muncul di benakku.

    Bila semua yang ia ingat menghilang, akankah suatu saat, ia takkan ingat apapun tentangku?

    Maksudku, aku juga merupakan bagian dari kehidupannya, kan?

    ………

    Sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggamku.

    “Tentu. Jam sembilan pagi, kan?”

    ***

    Aku tak tahu lagi sudah berapa kali tanggal 6 April berulang.

    Berada dalam bus yang sama dan duduk bersebelahan dengan Yuki, ia kembali memelukku dan mengecup keningku. Meski demikian, untuk kali ini aku tak begitu senang. Kekhawatiranku akan dirinya yang kelak akan melupakanku membuatku murung sepanjang waktu.

    “Ada apa, Ruka?”

    Aku menoleh pada Yuki yang menatapku, tersenyum kecil sambil menggeleng.

    Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?

    Mengapa ingatan Yuki perlahan memudar? Mengapa semua yang ia lupakan juga menghilang dari dunia ini?

    Apa mungkin, ingatan Yuki dan menghilangnya orang-orang merupakan bayaran atas kehidupanku? Dan atas terulangnya tanggal 6 April ini?

    Jika memang begitu, bukankah itu sama saja dengan membuatku sebagai seorang pembunuh egois?

    ………

    Sekarang, aku malah mempertanyakan kembali semuanya.

    Sebenarnya, apa yang kuinginkan? Apakah berada bersama Yuki di alam yang selalu berulang ini memang merupakan keinginanku? Bukankah akan lebih baik bila aku bisa meneruskan kehidupanku ke hari berikutnya?

    Meski begitu, 6 April tak pernah melaju menuju 7 April. Dan meski aku tak tahu mengapa, namun aku tahu satu hal. Aku mati di tanggal 6 April, dan jika itu artinya aku tak pernah ada di tanggal 7, maka tanggal yang berulang ini takkan pernah berakhir selama aku ada disini.

    “Ruka!”

    Apakah aku bisa tinggal diam seperti ini? Di tanggal yang selalu berulang ini? Apakah perasaanku padanya akan tetap sama?

    “Ruka!”

    “Huh, Yuki, kenapa?”

    “Aku memanggilmu daritadi.”

    “Ah,” aku tersenyum bodoh. “Be…begitu ya? maaf.”

    “Kau baik-baik saja?”

    Aku mengangguk, mencoba tersenyum sebisaku. Yuki balas tersenyum dan kembali menatap keluar jendela.

    Kearah kota yang masih diterpa hujan, yang tak pernah berakhir.

    “…Yuki.”

    “Hm?”

    “Ingatkah kau saat kau memayungiku di hujan deras setahun lalu?”

    Yuki menoleh, menatapku. Wajahnya tampak keheranan. Aku berdebar menunggu jawabannya. Bisa kurasakan senyumku yang memudar.

    “Apakah kita pernah melewati hari semacam itu?”

    Ah…

    Tentu.

    Ia tak ingat. Ia mulai lupa tentangku. Wajar saja, semua ingatannya memudar. Semua yang ia lalui menghilang begitu saja didepan mataku.

    “Hari seperti apa yang kau maksud?”

    Aku menggeleng. “Tidak.” Jawabku. “Lupakan saja.”

    Yuki menepuk kepalaku, tersenyum, dan kembali menatap keluar jendela.

    Menundukkan kepala, aku bisa merasakan tetesan air yang mengalir menuruni pipiku, jatuh keatas kedua telapak tanganku yang menggenggam kuat celana panjang yang kukenakan.

    Air mata yang jatuh kali ini bukanlah air mata bahagia.

    Yang jatuh kali ini adalah air mata yang penuh kesedihan dan penyesalan.

    Dan keesokan harinya, aku makin tidak bersemangat untuk menghubungi Yuki. Mengecek kalender, semua masih tetap sama. Hari ini masih merupakan hari dimana kecelakaan itu berlangsung.

    Meski demikian, ragu-ragu aku mengetik pesan singkat pada Yuki.

    “Maukah bertemu pada jam sembilan pagi?”

    Kutunggu jawaban darinya. Lima menit, sepuluh menit, sampai ketika satu jam kemudian ia tak membalas, aku mulai curiga. Mengambil inisiatif, aku berganti pakaian, menyambar payung, dan bergegas menuju rumahnya.

    Disana, kulihat sosok Yuki yang berdiri di halaman rumah. Pandangan matanya kosong, hampa. Ia tak bereaksi saat aku memanggilnya, bahkan saat aku berdiri dihadapannya.

    Yuki hanya diam disana dengan pandangan mata kosong. Sesekali ia melihat ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sosok lain selain dirinya.

    Ah, aku mengerti.

    Kali ini, akulah yang menghilang dari ingatan Yuki. Karena itulah Yuki tidak membalas pesanku, terlebih menyadari keberadaanku.

    Pandangan mata Yuki tampak begitu kosong, hampa. Raut wajahnya menunjukkan perasaan kesepian yang begitu mendalam hingga membuatku merasa amat iba. Tentu, ia tak memiliki siapa-siapa lagi dalam kehidupannya setelah aku mengambil semuanya darinya.

    Aku tak mau melihatnya seperti itu. Meski begitu, semua yang kucoba untuk menarik perhatiannya tampaknya sia-sia saja. Ia tak bereaksi saat aku berteriak memanggilnya, menyentuhnya, memeluknya.

    Aku tak pernah ada dalam kehidupannya. Tak pernah ada siapapun dalam hidupnya.

    Kehidupan itu sama seperti yang kualami saat aku belum berteman dengannya, yang kadangkala membuatku ingin menjerit keras-keras dan mengutuk dunia ini. Karenanya, aku tak mau hal itu terjadi pada Yuki.

    Namun apa yang bisa kulakukan?

    Aku tak bisa melakukan apapun selain berjalan pulang, dan terisak diatas tempat tidur sambil mengutuk waktu dan tempat sialan ini.

    6 April ini.

    Aku ingin mengakhiri 6 April ini.

    Beberapa jam terlewat, yang rasanya seperti berhari-hari, dan bibirku mulai bergerak perlahan.

    “…aku ingin agar Yuki bisa mengingatku lagi. Mengingat kehidupanku, mengingat semuanya.”

    …dan mengakhiri semuanya.

    Mengakhiri hari yang selalu sama ini.

    Setelahnya, aku merasa amat lelah, dan tertidur tanpa kusadari.

    ***

    Untuk kembalinya waktu dan ingatan Yuki, jiwamu akan menjadi gantinya.

    Ah, suara itu lagi.

    Suara yang kudengar sesaat sebelum aku mati. Suara yang mengaku sebagai takdirku sendiri.

    ………

    Apa yang sebenarnya kuinginkan?

    Saat terbunuh di hari itu, penyesalan terbesarku adalah tak bisa mengatakan perasaanku pada Yuki. Sementara di waktu dan tempat yang aneh ini, aku menyatakan perasaanku berkali-kali, bahkan bisa menggenggam tangannya dan memeluknya.

    Meski demikian, semua ini tidak nyata, bukan? Pada kenyataannya, aku sudah mati bahkan sebelum sempat mengatakan cintaku padanya. Dan sebagai pengganti kehidupanku, aku mengambil semua ingatan Yuki, sekaligus semua orang-orang yang ada di kehidupannya.

    Ah, aku sungguh bodoh.

    Egois.

    Apalah artinya bila aku bisa bersamanya dalam keabadian? Lagipula, apakah sesuatu yang abadi itu benar-benar nyata adanya di dunia ini? Bahkan di tanggal yang abadi ini, perasaanku padanya pun berubah. Semakin hari, rasa cintaku padanya pun semakin memudar, berganti dengan obsesi berlebih untuk selalu bersamanya.

    Karenanya, aku harus mengakhiri semua ini. Mengakhiri tanggal 6 April yang selalu berulang ini meski itu berarti menghapus keinginanku sendiri untuk mengatakan perasaanku padanya.

    Meski aku tak pernah bisa menyatakan cintaku padanya…

    Meski itu artinya aku harus meninggalkannya…

    …aku akan menerimanya.

    Aku akan menerimanya ketimbang kembali ke tanggal 6 April yang tak pernah berakhir.

    Lagipula, aku benar-benar tak mau melihat rona kesepian dari wajah Yuki.

    Menghirup napas panjang, kembali kuucapkan permintaanku yang terakhir, yang kuucapkan sebelum aku tertidur.

    “Aku ingin mengakhirinya.”

    Penyesalan terbesarku di hari itu-

    “Aku ingin tanggal 6 April berakhir.”

    -pada akhirnya bisa kulepaskan.

    Kesunyian masih menghampiriku, namun tidak untuk waktu yang lama karena kemudian sosok Yuki muncul tepat didepan mataku.

    “Ruka,”

    Dia berdiri dihadapanku, tersenyum.

    Senyum yang sama seperti yang kulihat di hari hujan setahun yang lalu. Senyum yang membuatku jatuh hati padanya.

    Dan seketika, ingatanku kembali pada pertemuan pertama kami di tahun lalu.

    “Yuki, mengapa kau memayungiku?”

    “Entahlah. Aku hanya ingin melakukannya.”

    “Ingin melakukannya?”

    “Ah, salah ya?”

    “Tidak juga sih, tapi….”

    “Salah ya bila aku ingin memayungi temanku sendiri?”

    “………”

    “………”

    “…Yuki, tubuhmu basah, lihat!”

    “Sudah, biar saja, tak usah kau pedulikan!”


    Kenangan itu…

    Aku amat senang karena hingga akhir, aku bisa mengingat semua itu.

    Ah, kenangan itu membuatku ingin memeluk sosok Yuki yang ada dihadapanku saat ini, dan mengatakan bahwa aku sangat menyukainya.

    Namun aku sudah memutuskan bahwa semuanya harus berakhir sebagaimana mestinya, sebagaimana seharusnya tanggal 6 April berakhir, bahwa aku tak pernah menyatakan perasaanku padanya.

    Karenanya, maafkan aku, Yuki.

    Maafkan aku yang tak bisa mengatakan hal ini lebih cepat.

    Mulutku membuka perlahan,

    “Yuki, maukah kita bertemu di halte bus...jam sepuluh pagi?”

    Ia mengangguk.

    ***

    Dan disanalah aku berada, di halte bus tepat pukul 09.30. Hanya beberapa saat sebelum kecelakaan itu berlangsung.

    Hujan turun dengan deras. Menatap rintik hujan yang turun, aku tersenyum.

    Perasaan ini…

    Perasaan yang kumiliki pada Yuki, aku amat senang karena semuanya bisa berakhir bersama dengan hujan yang turun.

    Maksudku, andai aku hidup lebih lama, perasaan ini bisa saja memudar, kan? Tak ada cinta abadi di dunia ini. Perasaanku padanya mungkin akan berubah seiring waktu berjalan.

    Tapi…

    Di tanggal 6 April ini, di hari kematianku ini, aku masih menyukai Yuki. Masih amat menyukainya…

    Menyadari hal itu, aku tersenyum lepas.

    Aku amat bersyukur bisa pergi sambil membawa perasaan ini.

    Dan sesaat kemudian, suara mesin dan kepanikan orang-orang mulai terdengar. Menarik napas, aku pun menoleh ke arah kiri. Bus yang teramat besar tampak didepan mata.

    Setelahnya, aku tersenyum, dan menutup mata.

    Bisa kulihat Yuki yang berdiri dihadapanku saat aku memejamkan mata. Sosoknya menatapku, tersenyum. Aku balas tersenyum sebelum berkata perlahan.

    “Selamat tinggal, Yuki.”

    Dan senyumnya, pelukannya, sentuhan lembutnya…

    Semuanya kini menghilang.

    Semuanya menghilang seiring dengan hujan yang turun deras.

    original link
     
    Last edited: Mar 1, 2015
  16. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    ujung2 jadi tragedi juga ya :bloon: gw jadi keinget ama bagian sebelum true endingnya clannad after story. sebenernya bukan sesuatu yang jelek sih, ini endingnya jadi ada impact sendiri. it's nice to some extent.

    tapi kalo dalam kacamata seorang penyuka happy ending mungkin mereka menganggap ini cerita terkesan kosong. jadi setelah sekian lama menderita trus akhirnya berakhir gitu aja? memang akhir yang begini bisa dibilang lebih make sense ke real life, jadi repeating april itu terkesan kayak flash back sebelum mc akhirnya bisa move on.

    tapi yang paling penting sih, apa fiksi mesti berlandaskan realita biar menjadi sesuatu yang bagus, setidaknya buat diri sendiri? jadi fiksi yang intinya suatu imajinasi kekanak-kanakan, dibalut impian dan fantasi klise itu menjadi tabu gitu? mungkin ini yang sebenernya gw gak terlalu ngerti dari beberapa penulis. kayak terlalu desperate buat menciptakan sesuatu yang edgy molo.

    ya di gw sebagai pembaca ini sama sekali gk terlihat sebagai sesuatu yang gagal. gw gak tau pasti sih dari perspektif situ gimana, tapi buat gw definisi gagal itu ada satu : cerita yg gw tulis bukan cerita yang mau gw baca ulang lagi setelah sekian lama, dan isinya pengen gw lupakan saja.

    meski demikian, bukan berarti cerita gagal tersebut gk ada creditnya. justru gara2 cerita tersebut gw bisa mulai beralih pada hal2 yang gw sukai, dan gw juga belajar dari kegagalan tersebut untuk mulai menulis hanya untuk gw sendiri dolo.

    overall it's something nice and different. keep up the good work, sorry kalo komeng gw kepanjangan.
     
  17. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    yaa gimana yah? aku gak tau bilangnya gimana, tapi rasanya ini fic off dari yang aku pengen (meski gak terlalu jauh sih).

    welp, mungkin karena aku kurang confident sama isinya, jadinya alam bawah sadar aku bilang kalo ini gagal dll dsb :hiks:

    gah, mod, I think I need something to make me more confidence of myself. I mean, beberapa author diluar sana tetep kalem meski dibom ama orang banyak. I really need to be more confident of myself, maybe :hiks:

    oh, well, thanks anyway sudah mampir :matabelo:
     
  18. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    well, kayak gw ada sesuatu yg dapat dibanggakan aja :lalala: ya kalo gw sendiri ya asal ngelakuin sesuatu apa adanya aja sih, gk perlu ditambahin embel2 tertentu biar terkesan lebih bagus gitu. ya kalo orang bilang jelek it's just their opinion.

    buat yang mereka bilang bagus ya kalau gw sendiri gk suka gimana gw ngelakukannya ya itu bukan sesuatu yg bagus buat gw.

    gw sendiri gk terlalu care sih mosting cerita buat dibaca orang banyak, terutama mereka yang full of prejudice dan punya standar kek cerita mesti begini begitu dan kalo gk sesuai ama aturan emas mereka bakal langsung keluar rant panjang lebar.

    sama sekali gk ditujukan pada orang sekitar sini loh ya :ngacir:

    ya kalo mau nyebut satu hal yang bikin gw bangga ya, gw gak perlu sesuatu buat gw ngerasa gw bangga akan hal yang gw lakukan. if i wanna feel proud, i just have to feel proud about it, that's all.
     
  19. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ngerjain pake mata dewa soalnya ngantuk :swt:

    Reason
    genre : Slice of Life

    Mengintip sedikit kedepan, gadis itu tampak masih asyik dengan sebuah novel di tangannya. Dihadapannya secangkir sirup cokelat tersaji, masih hangat. Saat aku merobek kertas dari buku catatan yang sedari tadi kutulis, ia menoleh, seolah ingin bertanya kenapa. Aku tak menggubris dan terus merobek kertas yang ada, dan menggulungnya menjadi bongkahan bola tak beraturan sebelum kulempar keatas meja.

    “Gagal lagi?”

    Aku menggerutu, mengangguk.

    Entah sudah berapa lembar kertas yang kulempar - mungkin sekitar lima puluh atau enam puluh. Isinya kurang lebih berupa pembuka dari cerita yang kubuat untuk lomba menulis cerita tahunan yang diadakan kota ini – yang semuanya kuanggap gagal.

    Benar-benar payah, lima jam duduk di ruangan penuh buku dan aku sama sekali belum menyelesaikan satu paragraf pun.

    Membenamkan kepala diatas meja, aku menghela napas panjang. Deadline untuk lomba menulis ini hanya tinggal dua hari – waktu yang boleh dibilang sempit. Tentu, pada umumnya sebuah cerita pendek pendek akan selesai dalam waktu kurang dari sehari begitu ide sudah didapat.

    Sayangnya, ide itu sekarang entah ada dimana. Sejak seminggu lalu aku sudah mencoba menulis banyak hal, mulai dari cerita bertema fiksi ilmiah tentang perjalanan waktu hingga pengalaman kencan buta yang kocak. Semuanya gagal. kacau. Entah karena ide yang mogok ditengah jalan atau rasa malasku yang makin menjadi-

    -atau karena aku terlalu berharap bahwa para kritikus tidak mencecarku seperti tahun lalu.

    Mmn. Tahun lalu aku ikut berpartisipasi dalam acara lomba menulis cerita pendek yang secara rutin diadakan di kota ini. Pemenang dari lomba tersebut, selain akan mendapatkan hadiah, nama mereka akan dikenal oleh banyak orang. Terlebih, karir para juara akan terjamin karena biasanya akan ada banyak orang yang meminta mereka untuk menjadi penulis naskah pada produser pentas.

    Semua itu merupakan hadiah yang menggiurkan, meski untukku sendiri, aku hanya ingin mencurahkan perasaanku saja melalui kisah yang kubuat.

    Meski demikian, semuanya berakhir bencana. Pada hari dimana hasil karya seluruh peserta ditampilkan di atrium kota, cerita buatanku banyak menuai kritikan pedas dari banyak komentator. Juga, satu-dua pengunjung yang sempat membaca naskah buatanku memilih untuk membaca karya kontestan lain setelah lewat dua, tiga halaman.

    Dan tentu saja namaku tidak muncul sebagai kandidat pemenang. Mungkin ceritaku merupakan salah satu yang terburuk dalam lomba ini, begitu yang kupikirkan.

    Aku tak mengerti bagian mana yang salah dari naskah buatanku. Pada dasarnya naskah ini hanyalah sebuah penceritaan ulang dari kisah klasik tentang putri duyung yang menghilang menjadi buih setelah gagal menikahi pangeran impiannya. Saat aku bertanya pada teman-teman dan guruku di kelas, mereka berkata bahwa naskah itu merupakan naskah yang bagus.

    Apa mungkin mereka berbohong?

    ………

    Pada akhirnya, kontes tahun lalu berakhir bencana. Aku bahkan memutuskan pulang sebelum acara pameran tersebut selesai. Saat aku melangkah keluar, tak ada satupun orang yang memedulikanku, seolah aku keluar dengan hinaan yang amat kejam.

    Momen itu…

    Perasaan itu…

    Perasaan yang kualami pada hari sangatlah tidak mengenakkan. Bahkan aku bersumpah dalam hati bahwa suatu hari nanti aku akan membalas semua sakit hati itu. Aku bersumpah bahwa kelak, aku akan membuat suatu naskah yang luar biasa, yang akan membuat semua orang kagum. Dengan begitu, aku bisa membalas hinaan mereka.

    Karenanya, aku mulai sering membuat cerita pendek, dan serius mendalaminya. Tak jarang aku berkonsultasi dengan beberapa penulis ternama dan membaca karya-karya mereka sekedar untuk mengetahui teknik menulis yang baik, yang kelak bisa mewujudkan impianku. Keinginan untuk membalas hinaan di hari itu memberiku motivasi lebih dari apapun.

    Tetapi sekarang?

    Saat deadline untuk lomba itu tinggal 2 hari lagi, ideku malah buyar, berantakan. Dan semakin aku mengurung di perpustakaan kota ini, semakin aku kehilangan ide cerita. Ini benar-benar menyebalkan. Duduk diantara ribuan buku yang bisa memberi jutaan ide, aku masih tetap tak bisa menulis.

    Sialan…

    “Hei, Arthur,”

    Perlahan, suara gadis itu kembali terdengar, membuatku sedikit mengangkat kepala. Ia meletakkan secangkir cokelat hangat dihadapanku – yang biasa ia buat untuknya sambil menungguku menyelesaikan naskah. Lucu, bahkan aku tidak sadar bahwa ia pergi sejenak untuk membuatnya.

    “Istirahatlah dulu. Kau lelah.”

    Ia melempar senyum tipis. Duduk kembali diatas kursi, sejenak ia merapikan scarf biru yang dikenakannya.

    Cheryl, nama gadis itu. Salah satu teman sekelasku yang selalu terobsesi dengan cerita buatanku, dan satu-satunya orang yang bisa kuandalkan untuk bercerita ini itu soal keinginanku membalas dendam. Untuk suatu alasan, Cheryl selalu menunggu cerita buatanku.

    Ia juga satu-satunya orang yang terkesan dengan cerita pendek tahun lalu,

    Tapi, apalah yang ia tahu dari naskahku tahun lalu?

    Jujur, dalam dunia tulis menulis, aku tak berharap banyak masukan darinya. Cheryl tak mengerti banyak soal tata cara penulisan. Pernah suatu hari aku melirik naskah novel buatannya yang boleh kubilang gagal total, baik secara penulisan maupun secara plot cerita. Dan jika aku dibolehkan berkomentar, maka aku akan berkomentar sepedas-pedasnya untuk tulisan yang ia buat. Ia senang membaca, namun bahan bacaannya juga hanya berupa cerita-cerita picisan yang banyak menuai komentar pedas diantara para penulis berpengalaman, namun populer dikalangan remaja umumnya.

    Jadi, mengapa ia menganggap naskahku menarik juga bisa kujelaskan. Ia hanya berkomentar soal inti cerita yang kubuat, tanpa dilengkapi dengan unsur-unsur penulisan yang bisa membuat banyak orang kagum.

    Karenanya, selain sekedar teman bercerita, aku benar-benar tak berharap banyak darinya. Meski ia selalu kagum dengan cerita buatanku, aku menganggap bahwa pujian yang ia beri tak lebih hanya sekedar kesan dari seorang penggemar fanatik, dan bukan kesan yang sesungguhnya kuinginkan.

    Juga, aku menganggapnya fanatik bukan tanpa alasan.

    Ia selalu bertanya kapan tulisanku selanjutnya akan muncul, selalu bertanya tulisan macam apa yang sudah kubuat, dan bahkan menanyakan nomor teleponku hanya untuk tahu tentang tulisan apa yang sedang kukerjakan.

    Meski demikian, aku tak pernah menganggap semua hal itu sebagai beban. Memiliki satu penggemar rasanya takkan menjadi masalah, dan aku menikmatinya.

    “Minumlah.” Katanya kemudian. Aku mengangguk, mulai menyeruput cokelat hangat buatannya sambil kembali memikirkan ide cerita yang masih buntu. Kulihat Cheryl mengambil salah satu gulungan kertas yang berserakan diatas meja, dan membacanya.

    “…bagaimana menurutmu?”

    “Entahlah.” Jawabnya. “Kurasa bagus, namun ada yang berbeda dari gayamu bercerita.”

    Aku tak terlalu serius menganggap ucapannya. Sekali lagi, aku tak berharap banyak pada Cheryl jika itu berkaitan dengan dunia penulisan.

    “Jika diteruskan mungkin bisa menjadi kisah yang menarik.” Ujarnya sambil menjulurkan kertas tersebut. “Kenapa tidak kau teruskan? Kurasa ini bagus.”

    “Kau pikir begitu?”

    Cheryl mengangguk, tersenyum.

    Tanganku mengulur, mengambil kertas yang ia sodorkan dan membacanya sambil tersenyum pahit. Bagaimana mungkin kisah tentang Alien raksasa yang menyerang evolusi cacing tanah di permukaan bumi bisa menjadi cerita yang bagus untuk kubuat? Aku mungkin bisa membuatnya menjadi kisah komedi berbalut fiksi ilmiah. Masalahnya, apakah orang-orang akan menganggapnya begitu? Cheryl mungkin akan terbahak-bahak membacanya, namun apa artinya bila hanya dirinya seorang? Satu Cheryl takkan cukup untuk membuat dendamku terbalas.

    Karenanya, kembali kugulung kertas itu menjadi bola kusut dengan sebelah tanganku, dan kulempar kembali keatas meja.

    “Jika begini terus, aku tak mungkin bisa menang di lomba kali ini.” Gumamku perlahan, menggerutu, sebal pada kondisi yang kualami.

    Tetapi kemudian, melirik pada senyum Cheryl yang lembut, ada sedikit semangat yang kembali muncul. Setidaknya, aku akan merasa bersalah padanya jika harus menyerah disini.

    “Istirahatlah dulu sejenak.”

    Aku menurut sambil kembali menyeruput cokelat buatannya. Di cuaca bersalju seperti ini, cokelat hangat memang merupakan minuman yang amat melegakan.

    Cheryl kembali tenggelam dalan novel yang sedari tadi ia genggam.

    The White Lamp. Begitulah tulisan yang tertera pada sampul depan novel tersebut. Cheryl amat menyukainya. Ia sempat bilang bahwa isi ceritanya mungkin bisa memberiku inspirasi.

    Tetapi aku menolak.

    Aku tahu bahwa novel itu merupakan karya yang gagal di pasaran. Sama sekali tak kuinginkan untuk bahan referensi.

    ………

    Setelah cukup lama bergulat dengan pikiranku sendiri, aku kembali berkonsentrasi untuk menulis.

    ***​

    “Jam berapa sekarang?”

    “Hm? Ah, sekarang? Jam tujuh. Aku tak tahu kalau kita sudah terlalu lama disini, lho.” Jawab Cheryl, terkejut mendengar suaraku.

    Dua jam berlalu semenjak aku menghabiskan cokelat hangat buatan Cheryl, dan aku masih kesulitan menemukan apa yang sebenarnya ingin kutulis. Beberapa buah buku kini menumpuk dihadapanku. Novel, cerita pendek, puisi, dan bahkan ensiklopedia terlihat berserakan diatas meja. Aku membaca beberapa buku itu untuk menemukan ide yang pas dalam ceritaku. Namun, semakin aku mendapatkan referensi, semakin sulit pula cerita ini kutulis.

    Dan satu jam lagi perpustakaan kota ini pun akan tutup. Haruskah aku berhenti untuk hari ini? Tapi itu berarti aku hanya punya waktu satu hari untuk menulis cerita ini.

    Ugh…

    Rasanya kepalaku mau kubenturkan saja keatas meja.

    “Anu,” Katanya kemudian. “Mungkin sebaiknya kita pulang untuk hari ini.”

    “Eh?”

    “Kau tampak lelah, Arthur. Aku juga sudah lelah. Besok aku akan menemanimu lagi kalau kau mau.”

    Awalnya aku ingin menyetujuinya. Berada dalam perpustakaan selama hampir sehari penuh membuatku stress bukan main. Cheryl juga sudah mengantuk sedari tadi.

    Tetapi saat aku kembali teringat dengan obsesiku untuk menjuarai lomba kali ini, semangatku kembali terbakar. Aku menolak untuk pulang. Aku ingin berjuang hingga akhir. Bila perlu, aku akan menginap disini hingga tulisan buatanku selesai. Cheryl tak perlu menungguiku, jadi aku memintanya untuk pulang terlebih dahulu jika ia mau

    Cheryl, bagaimanapun, menggeleng. “Aku masih bisa menunggu, bahkan hingga pagi sekalipun. Hanya saja, Arthur-“

    Suaranya terhenti sesaat, seolah ia ragu dengan kata-katanya. Ia menatap mataku dengan tatapan khawatir sebelum kembali berkata,

    “-aku benar-benar berpikir bahwa kau sebaiknya beristirahat.”

    “Kau tak perlu khawatir denganku.” Balasku kemudian. “Lagipula, sebelum naskah ini selesai, kurasa aku tak bisa beristirahat.”

    “…begitu, ya?”

    Aku tak membalasnya dan kembali mencoret kertas bersih yang ada. Tak sampai lima detik kemudian saat Cheryl kembali bertanya, “Arthur, kenapa kau berusaha sangat keras untuk ini semua?”

    Kali ini aku menoleh. Saat kudapati wajahnya yang murung, aku meletakkan pulpen yang kugenggam diatas meja.

    “Apakah memenangkan lomba tahun ini begitu penting buatmu sehingga-”

    “Tentu saja!” Balasku tegas, sedikit menyentak. “Tentu, tanpa terkecuali.”

    Cheryl sedikit terkejut melihatku, meski hal itu tak menyurutkan niatku untuk terus bicara.

    “Aku harus memenangkan lomba tahun ini dan membalas penghinaan tahun lalu! Sebelum hal itu terwujud, aku tak bisa berleha-leha!”

    “Tapi kau tak perlu memaksakan diri seperti itu Arthur. Kau perlu beristirahat.”

    “Aku tak bisa!” Jawabku lagi. “Aku tak bisa beristirahat sebelum semua ini selesai. Cheryl, kau seharusnya tahu betapa pentingnya perlombaan ini bagiku, yang bahkan lebih penting dari beristirahat. Kau tak bisa merasakannya karena kau pasti belum pernah dianggap remeh oleh orang-orang, bukan? Iya-”

    Cheryl makin terkejut. Ia murung dan menundukkan kepalanya untuk sesaat, hingga membuatku berhenti membentak. Sadar bahwa aku sudah berlaku kasar padanya, aku jadi malu sendiri.

    Apa aku benar-benar sudah putus asa, hingga hal kecil seperti itu membuatku jengah?

    Cheryl tersenyum kecil, lebih tepatnya memaksakan senyum. Masih menundukkan kepalanya, perlahan ia kembali berkata, “Arthur, aku memang tak tahu apa yang kau rasakan. Tapi, dianggap remeh oleh orang lain, kurasa akupun mengalaminya.”

    Ah…

    “Dianggap remeh, jangan kau kira hanya kau saja yang mengalaminya.”

    Ah, ya, tentu saja.

    Selama ini, aku selalu menganggapnya remeh. Aku tak pernah tahu bagaimana ia menyadarinya, namun kata-kata yang ia keluarkan pasti tertuju padaku.

    Kedua mata Cheryl kini menatap mataku yang kalut. Tak sampai dua detik kemudian, ia kembali menundukkan kepalanya. Tangannya mengambil bongkahan kertas kusut yang kubuang. Ia membukanya tanpa ragu, dan tersenyum.

    “Semenjak kau terobsesi dengan lomba itu, semuanya berubah. Tulisanmu, sikapmu, semuanya.”

    Cheryl kembali mengangkat kepalanya.

    Wajahnya yang sedih bisa terlihat jelas dimataku.

    “Perasaanku padamu juga berubah. Kau berhenti bersikap baik padaku. Aku mulai membencimu. Aku mulai membeci sikapmu padaku yang selalu menganggapku bodoh dan tak tahu menahu soal masalahmu. Padahal, yang kutahu, kau adalah orang baik. Seperti tahun lalu, saat aku membaca ceritamu.”

    Kedua tangan Cheryl tampak gemetar.

    Matanya kembali menatap kertas kusut berisi tulisanku, dan sejenak kemudian, ia tersenyum.

    “Tulisan ini, aku tak melihat perasaanmu lagi disini. Tidak seperti tahun lalu saat kau menulis dengan segenap perasaanmu, dengan emosi yang bisa membuatku tersenyum. Aku sama sekali tak merasakan apapun disini. Hanya sebongkah tulisan dengan rumus-rumus penulisan yang sama sekali tak kuketahui.”

    Ia kembali membuat bola dari kertas kusut tersebut, dan membuangnya.

    “Aku tak mau kau menjadi seperti ini.”

    Kutatap kedua matanya dalam-dalam. Cheryl seolah sudah memendam perasaan ini sejak lama, karena nada dan tempo bicaranya menunjukkan bahwa ia sudah paham dengan apa yang ia bicarakan.

    “Aku masih akan menunggumu, dan menunggu tulisanmu yang dulu.”

    “Chery, apa kau benar-benar memikirkanku sampai sejauh itu?”

    Cheryl tersenyum, mengangguk. “Satu-satunya tulisanmu yang bisa membuatku tersenyum hanyalah tulisanmu tahun lalu, kau tahu? Aku tak peduli apa kata orang-orang soal itu. bagiku, cerita itu bagus. Cerita yang bisa membuatku tersenyum.”

    Ah…

    Ia memikirkanku sampai sejauh itu, dan aku hanya menganggapnya beban…

    ………

    “Tunggulah disini, aku haus.” Katanya kemudian, beranjak berdiri dan meninggalkan kursinya. “Aku harus menyeduh cokelat favoritku. Kau tunggulah disini, biar kubuatkan satu untukmu.”

    Tak lama kemudian, ia beranjak pergi, meninggalkanku dengan pikiran-pikiran yang kacau tentang segalanya.

    ………

    Lomba ini…

    Apakah aku benar-benar harus menang untuk bisa merasa puas?

    Kata-kta Cheryl membuatku ragu dengan keputusan yang kuambil – keputusan untuk membalas dendam dan berada di puncak kejayaan dan hidup dengan sanjungan orang-orang. Jika Cheryl sampai menunjukkan wajah seperti itu, apakah sanjungan yang kudapat bisa berarti buatku?

    Aku memang ingin menang. Ingin berada di puncak.

    Tapi tanpa sadar, aku membohongi diriku sendiri.

    Aku lupa tujuanku menulis, bahwa aku hanya ingin orang-orang tahu apa yang kurasakan.

    Jadi, apakah memenangkan lomba itu masih berarti buatku?

    ………

    Cheryl kembali dengan dua cangkir cokelat hangat di tangannya. Ia kembali duduk, meletakkan salah satu cangkir cokelat tersebut dihadapanku. Aromanya yang menyengat masuk menusuk hidung, membuat perasaan nyaman.

    Saat kemudian Cheryl menyeruput cokelat itu, seketika ideku kembali menyala.

    Cerita ini…

    Cerita ini akan sangat singkat.

    Aku mulai menggerakan pulpenku keatas kertas putih bersih. Sempat muncul rasa takut bahwa cerita ini akan gagal lagi, akan menuai cercaan dan hinaan lagi, semua ketakutan ini muncul sesaat setelah aku selesai menulis kalimat pertama.

    Tetapi, masa bodoh.

    Aku akan kembali menulis cerita yang menurutku menarik.

    Cerita yang kutulis adalah tentang seorang pemuda yang sangat ingin memenangkan kontes menulis, dan seorang gadis yang selalu menemaninya setiap waktu, yang selalu memberinya cokelat hangat. Melalui serangkaian peristiwa, sang pemuda ambisius itu akhirnya sadar bahwa ia telah salah jalan, dan bahwa selama ini, keinginannya menulis telah dikendalikan oleh rasa takut akan hinaan dan cercaan orang-orang.

    Berat bantuan sang gadis, ia kembali menjalani apa yang menurutnya benar.

    Pemuda itupun bisa kembali menulis sesuai dengan hatinya, dan bisa kembali mencurahkan segala perasaannya pada tulisan itu.

    ***​

    “Cheryl, cerita ini selesai!”

    Aku bersorak saat jam menunjukkan pukul tujuh lima puluh. Hanya butuh waktu lima puluh menit sampai cerita itu selesai. Mungkin berantakan, namun aku merasa amat puas dengan hasilnya.

    Tetapi Cheryl, ia mungkin tak mendengar sorakanku.

    Entah sejak kapan ia tertidur. Pipi kanannya menyentuh meja. Saat melihat wajahnya, aku bisa melihat sebongkah senyum bahagia yang tampak di wajahnya. Bekas air mata tampak jelas terlihat di pipinya, entah karena mengantuk atau apa.

    Meski sebentar lagi perpustakaan ini tutup, aku tak ingin membangunkannya. Sepuluh menit. Ia punya waktu sepuluh menit sebelum kubangunkan.

    Kutarik mantel tebal milikku yang menggantung diatas kursi untuk menyelimuti tubuhnya. Rambutnya yang hitam tampak menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya tampak kembang kempis, layaknya orang tertidur pada umumnya. Namun entah kenapa, kali ini aku amat senang melihatnya tertidur.

    Ah, dan juga, kurasa ada sesuatu yang hilang dalam cerita ini.

    Saat aku membacanya kembali, aku sadar apa hal yang hilang tersebut. Menatap Wajah Cheryl yang masih tertidur pulas, aku tersenyum.

    Kuakhiri cerita ini dengan sebuah catatan, bahwa gadis pembuat cokelat itu, perlahan mulai membuat nama di hati sang pemuda.

    Bahwa tanpanya, cerita ini mungkin takkan pernah selesai.

    Sesaat setelah mengakhiri catatan tersebut, Cheryl tampak menggeliat. Matanya membuka perlahan, berat.

    “Ah, maaf, aku tertidur. Jam berapa ini?”

    “Hm? Hampir jam delapan malam.”

    “Uh,” jawabnya celingunkan, bingung. “Kau sudah selesai dengan ceritamu?”

    Aku tertawa kecil, tersenyum, mengangguk.

    “Bolehkah aku melihatnya?”

    Aku menggeleng. “Tunggulah sampai besok.”

    original link
     
  20. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    wah anjeeeer lanjutan nya mana woi :voodoo:

    udah enak2 pembawaan ceritanya sampe mau ada konklusi ternyata malah udah tamat gitu aja, gw kira ini bakal langsung sampai lombanya berakhir gitu dan udah jelas itu akhirnya bakal kemana habis itu :nangis:

    well that aside, ceritanya ngena banget sih di gw. salah satu yg bikin ini cerita menarik buat gw ya itu, gw bisa relate ama karakter utama beserta hal2 yang ia rasakan. so it's a good job :D /
     
  21. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    iya nih :swt: berasa kurang ya endingnya :haha:

    welp thanks mod, ane belum sempet komen ceritamu nih :iii: tar ya :hmm:

    puyeng ini soale seharian tidur :puyeng:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.