1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Everyday Adventure

Discussion in 'Fiction' started by red_rackham, Apr 17, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. thenubie Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Nov 30, 2011
    Messages:
    68
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +2 / -1
    bagus kk ceritanya hehe

    jgn bosen buat lagi kk [​IMG]
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Bener juga, gantiin tag dulu ah :ngacir:
     
  4. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Everyday Adventure III

    “Baron! Ambilkan bor listrik dan kunci pas nomor 8, cepat!”

    Seruan Airi terdengar nyaring, mengalahkan suara riuh rendah yang sejak pagi terdengar di sekitarnya.

    Baron yang sedang sibuk merakit sebuah kaki, segera berdiri dan mengambilkan alat-alat yang diminta oleh Airi. Android itu lalu mengamati sosok mungil Airi yang sedang berjuang menyelamatkan ‘nyawa’ sebuah android. Tubuh android itu tampak rusak parah di beberapa bagian dan sepertinya nyaris mustahil dipulihkan. Kedua mata android berteknologi cyber-brain itu terlihat tidak fokus ketika dia memandang ke sekelilingnya. Sesekali cahaya di mata elektroniknya itu berkedip, menandakan kalau kerusakan yang dialaminya sudah sangat parah.

    “Bagaimana? Bisa diselamatkan?”

    Baron bertanya sambil sesekali membantu Airi mengambilkan peralatan atau spare-part yang mereka buat dari barang rongsokan.

    “Pasti bisa!” sahut Airi tanpa menoleh. Kedua mata wanita asia itu terfokus pada pekerjaannya, sementara tangan terampilnya tidak berhenti bergerak.

    Baron menghela nafas dan memandang ke sekelilingnya. Saat ini dirinya sedang berada di sebuah gudang setengah runtuh, yang merupakan tempat tinggalnya. Gudang itu dipenuhi oleh robot dan droid dengan berbagai bentuk dan model. Mereka semua tampak menyedihkan karena masing-masing terlihat penuh goresan dan kusam, beberapa diantara mereka malah terlihat mengalami kerusakan. Meskipun begitu, mata mereka tampak masih bersinar penuh harap, terutama ketika melihat sosok Airi yang sedang berjuang menyelamatkan sebuah android.

    Wajar saja robot-robot dan droid-droid itu berkumpul di sini. Sejak tiga tahun yang lalu, tempat ini disulap menjadi rumah sakit bagi robot dan droid yang tinggal di reruntuhan kota Bravaga. Sejak Baron secara tidak sengaja menemukan Airi di dalam sebuah bunker cold-sleep capsule, kehidupan android multi-guna itu benar-benar berubah. Dulu dirinya dan Tesla, sebuah robot lipan raksasa, hanya menghabiskan waktu dengan menjelajahi reruntuhan kota untuk mencari sisa-sisa teknologi yang bisa mereka gunakan. Namun kini mereka jadi sibuk melayani para robot dan droid yang mengalami kerusakan, sejak Airi memutuskan untuk membangun rumah sakit bagi warga Bravaga.

    “Baron!!”

    Seruan Airi membuat Baron terkejut dan bergegas menghampiri wanita itu. Dia terkejut melihat android yang sedang diperbaiki oleh Airi tampak terkulai lemas. Dia tahu kondisi ini jelas sangat tidak baik.

    “Aku butuh kick starter! Siapkan generatormu!” perintah Airi. Dia lalu mengulurkan dua buah kabel yang terhubung ke tubuh pasiennya. “Cepat!”

    Tanpa pikir panjang dan banyak tanya, Baron meraih kabel itu dan membuka bajunya. Dengan cepat android itu menancapkan kabel itu ke dua buah plug yang ada di sisi kiri dan kanan pinggangnya. Dia lalu memberi perintah pada generator tubuhnya agar menyalurkan energi melalui kabel-kabel itu.

    “Ready!”

    Baron berseru ketika dia siap memberikan sebuah kick starter pada tubuh pasien Airi.

    “Clear!” sahut Airi sambil memukul sebuah tombol di alat yang terhubung dengan tubuh Baron, dan tubuh android yang sedang dia perbaiki.

    Suara dengungan nyaring terdengar selama beberapa detik. Generator tubuh Baron berusaha menyalakan generator tubuh sang pasien yang berhenti bekerja, tapi tidak ada yang terjadi. Android malang itu tetap tidak bergeming dan tidak ada tanda aktivitas elektronik di tubuhnya.

    “Sekali lagi!” seru Airi. “Naikkan power output-nya!”

    Baron ingin sekali protes. Dia tahu kapasitor generator pasien android yang sedang ditangani oleh Airi tidak akan sanggup menahan output dari generator miliknya. Tapi Baron tidak punya pilihan lain dan segera menaikkan power output dari generator tubuhnya.

    “Ready!” seru Baron.

    Airi kembali memukul tombol starter di sampingnya, sambil berseru nyaring. “Clear!”

    Suara dengungan nyaring kembali terdengar, tapi sang pasien masih juga diam. Generator tubuhnya tidak mau menyala.

    “Baron! Sekali lagi!”

    “Sudahlah. Dia sudah tidak bisa diselamatkan. Hentikan saja. Ini sia-sia. Kalau dipaksakan, nanti generator tubuhnya bisa meledak.”

    Baron menyentuh lembut pundak Airi. Android itu tahu kalau pasien yang sedang mereka tangani sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Generator tubuhnya sudah mati dan tidak akan menyala kalau tidak diperbaiki total, atau diganti.

    “Tidak! Kita bisa memindahkan cyber-brain-nya ke tubuh lain! Masih ada harapan!” bantah Airi.

    “Sudahlah. Relakan saja. Kita tidak punya teknologi untuk itu dan kita juga tidak punya tubuh cadangan untuknya. Kau sudah berusaha.”

    Baron menarik tubuh Airi mendekat dan memeluknya. Awalnya Airi berontak, tapi wanita itu kemudian diam dan meneteskan air mata. Dia marah dan sedih karena dia tidak mampu menyelamatkan android malang itu. Meskipun dirinya adalah seorang ahli robotik jenius dari jaman sebelum Catastrophy, tapi dia tidak bisa berbuat banyak tanpa dukungan teknologi dan peralatan yang memadai.

    Sejak Catastrophy melanda seluruh dunia 200 tahun lalu, segalanya berubah. Peradaban manusia yang telah bertahan dan berkembang selama ribuan tahun, runtuh begitu saja dalam waktu singkat. Yang tersisa dari kejayaan manusia sekarang hanya reruntuhan bangunan dan masyarakat robot yang berhasil bertahan. Namun bersamaan dengan runtuhnya peradaban manusia, banyak teknologi penunjang hidup para robot yang hilang. Akibatnya robot dan droid berteknologi tinggi, seperti Baron dan Tesla, tidak lagi bisa memperbaiki diri ketika ada bagian tubuh yang rusak. Umumnya para robot dan droid hanya bisa menunggu ‘ajal’ mereka tiba, tapi Baron dan Tesla tidak seperti itu. Mereka terus mencari cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat mesin, khususnya di Bravaga. Pencarian itulah yang membawa Baron dan Tesla ke sebuah bunker bawah tanah, tempat Airi tertidur selama ratusan tahun.

    Baron dan Tesla sangat beruntung karena manusia yang mereka ‘bangunkan’ itu adalah seorang ahli robotik jenius. Sayangnya meskipun bisa memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil, Airi tidak bisa berbuat apa-apa kalau ada bagian penting yang rusak, seperti generator tubuh atau cyber-brain misalnya. Itulah yang dialami android yang baru saja ‘mati’ di depan mata Airi dan Baron.

    “Sial! Seharusnya android itu tidak perlu ‘mati’!”

    Airi melepaskan diri dari pelukan Baron dan duduk lemas di kursi terdekat. Tatapan mata wanita itu terpaku pada deretan pasien lain yang menunggu dengan sabar. Beberapa dari mereka terlihat sedih melihat sesama mereka baru saja kehilangan ‘nyawanya’.

    “Jangan menyalahkan dirimu. Kemampuanmu terbatas...kemampuan kita terbatas,” hibur Baron. Dia lalu memandang ke arah robot dan droid lain yang ada di dalam ruangan. “Airi. Kau harus tegar. Kita masih punya banyak tugas.”

    Airi mengusap matanya, berusaha menghapus air mata yang menggenang disana. Wanita itu lalu menepuk pipinya cukup keras dan berdiri sambil memandang ke deretan pasiennya.

    “Selanjutnya!” serunya lantang.

    Baron tersenyum tipis sambil mengangkat tubuh sang android yang sudah tidak berfungsi lagi. Ketika mengangkat android itu, tiba-tiba Baron bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

    Kapan dia akan bernasib sama seperti android malang ini?

    ****

    Kesibukan di rumah sakit milik Baron dan Airi terus berlanjut hingga menjelang sore. Ketika pasien terakhir pergi meninggalkan ruangan, Airi langsung melemparkan tubuhnya ke atas dipan.

    Dia kelelahan. Wanita itu sering sekali mengabaikan istirahatnya demi membantu para robot yang mengalami kerusakan komponen tubuh. Padahal Airi tidak seperti mesin yang bisa bekerja terus-menerus, wanita itu seharusnya banyak beristirahat. Hidup diantara para robot dan droid yang bisa berekspresi seperti manusia, membuat Airi sering lupa kalau dirinya berbeda dengan mereka. Dia sering lupa kalau dirinya hanyalah manusia biasa.

    “Kau tidak apa-apa?” tanya Baron sambil menyerahkan secangkir air hangat pada Airi. “Ini, minumlah.”

    “Hanya sedikit lelah,” sahut Airi sambil meneguk isi cangkirnya. Ekspresi wajah wanita itu tampak kembali muram. Sepertinya dia masih saja menyalahkan diri atas kegagalannya menyelamatkan sebuah android tadi pagi.

    “Tidak perlu dipikirkan. Kami sudah tahu suatu saat kami akan rusak dan mati,” ujar Baron. “Sama seperti manusia kan? Mesin juga tidak abadi. Suatu saat waktu kami untuk berhenti bekerja juga akan tiba. Jadi jangan terlalu kau pikirkan kejadian tadi pagi.”

    Airi mendongak dan memandangi Baron.

    “Aku tahu. Tapi seharusnya aku bisa melakukan lebih banyak hal untuk membantu android malang itu,” balas Airi dengan muram.

    “Yah. Mau bagaimana lagi. Kau sudah.....”

    “Ya~Ho~!”

    Ucapan Baron terpotong oleh suara seruan nyaring dari pintu masuk gudang. Airi dan Baron menoleh ke arah datangnya suara dan melihat Tesla merayap masuk ke dalam ruangan. Wujud robot penyelamat itu memang menakutkan, sehingga waktu pertama kali Airi beremu dengannya, wanita itu sempat menjerit histeris. Tapi setelah terbiasa, Airi sudah tidak takut lagi pada Tesla.

    “Ada apa? Kau terlihat muram, Airi,” sapa Tesla sambil bergerak mendekati wanita itu. “Ada yang terjadi saat aku pergi?”

    Airi dan Baron saling pandang sejenak, kemudian menggelengkan kepala mereka.

    “Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya lelah,” jawab Airi. Dia lalu menyadari kalau Tesla tampak membawa sebuah kotak logam tua yang sudah berkarat. “Apa itu?”

    Pertanyaan Airi membuat keempat mata Tesla berbinar-binar.

    “Aku senang kau bertanya,” balas Tesla.

    Dengan cepat dia membuka kotak logam yang dia bawa dan menunjukkan isinya. Isi kotak logam itu ternyata adalah tumpukan beberapa buah crystalline memory kuno. Benda itu merupakan alat kristal khusus yang digunakan untuk menyimpan data digital. Ukurannya memang kecil, hanya sebesar jari telunjuk pria dewasa, tapi benda itu bisa menyimpan beberapa terrabyte data.

    “Crystalline memory? Apa isinya?” tanya Airi heran. “Dimana kau temukan ini?”

    “Aku tidak tahu apa isinya, tapi kurasa itu penting. Aku menemukannya di sebuah fasilitas militer kuno yang ada di sisi timur sana,” jawab Tesla sambil mengambil sekeping crystalline memory. “Sayangnya aku tidak bisa baca benda itu, karena tubuhku tidak punya slot-nya. Kalau tidak salah Baron bisa baca kan, benar tidak?”

    Baron mengangguk membenarkan. Dia lalu mengambil sekeping crystalline memory dan menancapkan benda itu di sebuah slot kecil yang ada di tengkuknya. Selama beberapa saat, cyber-brain milik android itu sibuk menganalisa data yang terkandung dalam benda canggih itu. Tapi karena beberapa bagian dari crystalline memory itu sudah rusak, ada beberapa bagian yang sulit diterjemahkan oleh Baron. Setelah mencoba beberapa kali, dia akhirnya bisa memperbaiki bagian yang rusak itu sebisanya.

    Ketika analisis memory itu selesai, Baron terkejut bukan main.

    “Astaga!” serunya.

    “Apa? Apa?” tanya Tesla penuh semangat.

    “Apa isinya?” timpal Airi penasaran.

    Baron terdiam lagi selama beberapa detik, sebelum akhirnya berbicara dengan nada kagum.

    “Isi crystalline memory ini adalah cetak biru dari sebuah mesin yang menakjubkan! Kalau dilihat sepintas dari keterangan yang ada dalam memory ini, mesin ini mampu membuat spare-part tubuh robot dari barang-barang bekas!” seru Baron. “Kalau digunakan dengan baik....sepertinya mesin ini bahkan bisa menciptakan robot atau droid baru!”

    Baik Airi maupun Tesla terkejut bukan main mendengar penuturan Baron.

    “Jangan bercanda!” celetuk Airi dengan nada tidak percaya.

    “Airi benar! Jangan bercanda deh,” timpal Tesla.

    Baron memandangi kedua temannya itu dan tersenyum lebar.

    “Aku tidak bercanda! Aku bisa buktikan!” balas Baron.

    Android itu dengan segera menyalakan sistem nirkabel tubuhnya, kemudian menghubungkannya ke mesin cetak yang teronggok di seberang ruangan. Dalam waktu singkat, mesin cetak itu mulai bekerja dan mencetak cetak biru yang dilihat Baron dalam kepalanya.

    Airi segera menghampiri mesin cetak itu. Awalnya dia masih bingung karena hasil cetakan mesin cetak tua itu hanya berupa diagram-diagram rumit. Tapi setelah mengamati lebih lanjut, Airi segera menyadari kalau Baron memang benar. Isi crystalline memory yang ditemukan Tesla adalah rancang bangun sebuah mesin yang bernama clone replicator. Menyadari hal itu, kedua mata Airi langsung terbelalak lebar.

    “I....ini! INI LUAR BIASA!!” jerit Airi kegirangan. Wanita itu lalu berlari menghampiri Tesla dan Baron, lalu memeluk keduanya dengan erat. “Ini bisa menyelamatkan kalian semua! Mesin ini adalah harapan bagi masyarakat mesin di Bravaga!! Kita harus membuatnya!”

    Baron dan Tesla saling pandang selama beberapa saat.

    “Tunggu sebentar,” ujar Baron sambil mencabut crystalline memory dari tengkuknya. “Mesin ini sangat rumit dan ukurannya juga tidak kecil. Kita tidak punya bahan dan tenaga yang cukup untuk membuat mesin ini. Ditambah lagi kita tidak dilengkapi dengan peralatan pabrik yang canggih.”

    Airi menggoyangkan telunjuknya di depan wajah.

    “Bicara apa kau, Baron? Kalau soal bahan baku, kita punya sebuah reruntuhan kota seluas lebih dari lima ribu kilometer persegi yang bisa digunakan!” ujar Airi dengan tegas. “Selain itu, kita punya lebih dari sepuluh ribu robot dan droid dengan berbagai wujud dan fungsi. Apa itu tidak cukup?”

    “Entahlah....” ujar Baron. Dia lalu melirik ke arah Tesla yang juga sedang berpikir. “Bagaimana menurutmu, Tesla?”

    Tesla mengangkat tangan-tangan rampingnya yang sedang memegang lembaran-lembaran cetak biru dari clone replicator.

    “Aku pikir.....mesin ini mustahil kita wujudkan. Selain butuh tenaga pembantu yang banyak, butuh waktu sampai puluhan tahun untuk membangun mesin ini. Apalagi dengan teknologi yang tersisa saat ini....” jawab Tesla. “Jadi....ya.....lebih baik tidak usah saja.”

    Airi tidak menyangka kalau Tesla akan menolak idenya membangun mesin clone replicator itu. Tadinya dia berharap kalaupun Baron menolak membantu, Tesla setidaknya akan membantunya. Ternyata tidak.

    “Ayolah! Kalian ini bagaimana sih? Ini adalah kesempatan kita untuk mengubah kondisi hidup yang buruk ini. Apa kalian mau hidup dengan penuh ketakutan, terutama karena kalian tidak tahu kapan tubuh kalian berhenti bekerja?” ujar Airi, dengan harapan bisa membujuk Tesla dan Baron.

    “Bukannya itu sama saja denganmu?” celetuk Tesla. “Kau juga tidak tahu kapan tubuhmu akan berhenti bekerja kan?”

    Airi langsung melotot ke arah robot lipan itu, membuat Tesla merangkak mundur dan agak bergulung sedikit. Dia lalu menatap tajam ke arah Baron.

    “Pikirkan!” ujar Airi lagi. ““Dengan mesin ini, kita bisa menyelamatkan para robot dan droid yang mengalami kerusakan tubuh! Dengan mesin ini, kau dan Tesla tidak perlu khawatir berlebihan kalau mengalami kerusakan. Semua spare-part tubuh kalian berdua bisa disediakan oleh clone replicator ini.”

    Baron dan Tesla terdiam sejenak. Ucapan Airi memang masuk akal, tapi ada satu hal yang membuat Baron enggan membuat mesin ‘ajaib’ itu.

    “Bagaimana denganmu?” tanya Baron. “Bagaimana dengan kehidupanmu, Airi? Kau satu-satunya manusia di kota ini. Kau sadar kan kalau kami para mesin tidak bisa menyediakan spare-part tubuh untukmu, atau menyembuhkanmu kalau kau sakit. Kenapa kau tidak memikirkan dirimu sendiri?”

    “Lupakan soal kehidupanku!” sahut Airi tanpa pikir panjang. “Era manusia sudah berakhir, setidaknya di kota ini. Ini adalah era bagi kalian, robot dan droid berteknologi cyber-brain. Kalian adalah generasi penerus peradaban umat manusia. Kalau kalian musnah juga, maka jejak peradaban manusia akan sepenuhnya hilang dari muka bumi.”

    Baron dan Tesla saling pandang. Setelah hidup bersama Airi selama tiga tahun, keduanya tahu sekali wanita itu memutuskan sesuatu, keputusannya tidak akan berubah. Airi memang seorang wanita yang keras kepala dan pantang menyerah, tapi itu juga merupakan kelebihannya.

    “Baiklah. Aku dan Tesla akan membantu,” ujar Baron pada akhirnya. Tapi dia segera menambahkan. “Tapi kau tidak boleh bekerja terlalu berat. Serahkan semua urusan pekerjaan berat pada kami, para mesin. Kau cukup awasi pekerjaan kami dan pastikan kami tidak melakukan kesalahan saat membuat clone replicator ini.”

    Airi mengangkat sebelah tangannya.

    “Aku janji,” ujar Airi, tapi dia lalu mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum nakal. “Aku janji akan jadi mandor yang baik dan tegas pada kalian semua.”

    Baron dan Tesla langsung balas tersenyum lebar dengan caranya masing-masing.

    ****

    Seperti yang sudah diperingatkan oleh Baron dan Tesla, pekerjaan membangun mesin clone replicator sangat tidak mudah. Pertama-tama mereka membutuhkan sebuah tempat baru untuk membangun menara yang akan digunakan untuk meletakkan mesin itu. Airi kemudian mengusulkan untuk membangun mesin itu di puncak sebuah bukit di padang rumput, yang berada di sisi utara reruntuhan kota. Menara itu juga nantinya akan digunakan sebagai pabrik spare-part, tempat pembuatan droid atau robot baru, serta rumah sakit bagi masyarakat mesin di reruntuhan Bravaga. Setelah memutuskan lokasinya, kini tibalah Airi, Baron dan Tesla di bagian yang tersulit.

    Membangun menara dan clone replicator itu sendiri.

    Tentu saja Airi, Baron dan Tesla tidak melakukannya sendirian. Dengan gigih ketiganya berusaha membujuk warga reruntuhan kota Bravaga untuk membantu. Meyakinkan para robot dan droid yang sudah hampir kehilangan harapan dan semangat hidup memang tidak mudah. Namun Airi tidak pernah mau menyerah dan terus membujuk warga untuk membantunya. Awalnya tidak banyak yang mau membantu mereka, tapi lama kelamaan jumlah droid dan robot yang bergabung dalam proyek itu semakin bertambah. Sehingga meskipun pekerjaan membangun menara dan clone replicator sangat sulit, tapi proyek itu mulai berjalan secara bertahap dan perlahan-lahan.

    Seperti yang diyakini Airi, mereka tidak akan kekurangan bahan bangunan ataupun bahan baku mesin. Semuanya bisa didapatkan di reruntuhan kota Bravaga. Yang perlu mereka lakukan adalah mengolah rongsokan dan logam-logam tua yang berserakan di sekitar kota menjadi bahan baku menara dan clone replicator. Memang tidak mudah, tapi bisa dikerjakan bila warga kota mau bekerja sama.

    Tahun demi tahun berlalu dengan cepat selagi Airi, Baron, Tesla dan warga reruntuhan kota Bravaga membangun mesin impian mereka. Tanpa terasa sudah hampir 10 tahun berlalu sejak menara dan clone replicator mulai dibangun. Sayangnya proses pembangunannya tidak selamanya lancar. Ada banyak halangan yang muncul, terutama akibat kurangnya dukungan teknologi dalam pembangunan menara itu.

    “Gagal lagi!”

    Airi menggerutu sambil melangkah mundur dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Saat ini dirinya sedang berada di ruang bawah tanah yang dibangun untuk menampung pusat kendali dari clone replicator. Mesin yang bisa ‘melahirkan mesin’ itu sudah nyaris selesai dibangun, hanya saja ada bagian yang masih saja gagal dibuat oleh Airi dan kawan-kawannya.

    Bagian itu adalah modul kendali. Bagian utama yang akan mengendalikan kerja seluruh mesin yang menjadi bagian dari clone replicator.

    “Kenapa? Kenapa masih tidak bisa juga?” tanya Airi pada dirinya sendiri.

    “Sudahlah. Sebaiknya kau istirahat dulu, baru dilanjutkan lagi nanti.” Tesla yang sedang bekerja mengelas sebuah pipa langsung berkomentar. Robot lipan raksasa itu lalu menyodorkan sebuah botol minuman kepada Airi. “Nih.”

    “Terima kasih,” sahut Airi sambil duduk di lantai. “Aku tidak mengerti. Sudah setahun ini aku berusaha mengaktifkan modul kendali ini. Tapi masih saja gagal. Padahal semuanya sudah sempurna. Apa kau tahu penyebabnya?”

    Tesla menggelengkan kepalanya. Dia lalu menoleh ke arah Baron yang sedang memasang pelat baja ke sebuah panel kendali di sisi lain ruangan.

    “Hei Baron! Apa kau tahu sesuatu soal ini?” tanya Tesla.

    Baron mengangkat bahunya.

    “Tidak! Kalau aku tahu, sudah dari dulu modul kendali ini berfungsi!” balas Baron.

    “Begitulah,” ujar Tesla pada Airi. “Tapi apa memang tidak ada yang salah dengan sistem kendalinya? Maksudku....pada otak mesin ini?”

    Airi memandangi Tesla dengan tatapan heran.

    “Kurasa tidak. Aku sudah memastikan itu,” balas Airi. “Memangnya kenapa?”

    “Apa tidak mungkin otak mesin yang kau gunakan ini tidak cukup canggih untuk mengatur seluruh bagian dari clone replicator ini?” tanya Tesla lagi.

    Airi terdiam. Dia tidak mau menjawab pertanyaan itu. Airi tahu kalau otak elektronik yang dia gunakan sebagai pusat pengendali clone replicator, sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang memadai. Hanya ada satu solusi yang sejak dulu terpikir oleh Airi untuk mengatasi masalahnya ini, yaitu menggunakan cyber-brain sebagai pusat kendali. Tapi tidak bisa sembarang cyber-brain, dia membutuhkan otak elektronik yang memiliki kecepatan proses jauh lebih tinggi dari yang biasanya. Selain itu, kondisi cyber-brain itu juga harus sangat terjaga, tidak boleh ada kerusakan sedikitpun, sehingga cyber-brain milik robot atau droid yang sudah ‘mati’ tidak dapat digunakan.

    “Airi? Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dari kami.”

    Baron yang sejak tadi mengamati sikap wanita itu langsung berkomentar. Karena sudah tinggal bersama Airi cukup lama, dia jadi mengerti bagaimana sikap wanita itu kalau sedang menyembunyikan sebuah rahasia.

    “Tidak. Aku tidak menyembunyikan apapun!”

    Airi langsung membantah, tapi dia jadi tidak berani menatap ke arah mata Baron.

    “Ayolah! Katakan saja pada kami. Kau bisa percayakan rahasia apapun pada kami berdua. Kau kan tahu itu,” desak Tesla. “Jadi....apa kau sebenarnya tahu masalah apa yang dihadapi modul kendali clone replicator ini?”

    Airi mengangguk perlahan, tapi dia tidak mengatakan apapun.

    “Nah! Kalau kau sudah tahu, kenapa tidak diatasi saja?” ujar Baron.

    Airi masih terdiam, tapi wajahnya tampak sedih. Tentu saja ini membuat Baron dan Tesla semakin penasaran.

    “Ayolah. Jangan menyimpan rahasia seperti ini,” desak Tesla lagi. “Jadi apa sebenarnya masalah yang membuat modul kendali Clone Replicator ini tidak juga berfungsi?”

    Meskipun enggan, Airi akhirnya bicara juga.

    “Ucapan Tesla tadi memang benar. Otak elektronik yang kugunakan untuk mengatur clone replicator, dan seluruh fasilitas di menara ini, tidak cukup canggih,” ujar Airi.

    “Kalau itu masalahnya, solusinya mudah. Cari saja otak elektronik yang lebih canggih lagi,” balas Baron. Tapi dia lalu menyadari sesuatu. Kalau hanya itu saja masalahnya, Airi pasti sudah mengatasi itu sejak lama. “Tunggu dulu. Jangan-jangan yang kau maksudkan itu....kau membutuhkan sebuah cyber-brain untuk digunakan sebagai pusat kendali?”

    Airi mengangguk.

    “Benar,” sahutnya singkat.

    “Kalau begitu kenapa tidak bilang dari dulu? Kita kan bisa berkeliling kota untuk mencari cyber-brain yang bisa kita gunakan,” balas Tesla.

    Airi menggelengkan kepalanya.

    “Tidak bisa sembarang cyber-brain. Dibutuhkan cyber-brain dengan kecepatan proses lebih tinggi dari normal, serta memiliki kondisi yang sangat terjaga. Cyber-brain dari robot atau droid yang sudah ‘mati’ tidak bisa digunakan,” ucap Airi dengan nada muram. Dia lalu menambahkan dengan suara semakin lirih sambil memandang ke arah Baron. “Dari semua robot dan droid yang kukenal di Bravaga ini...satu-satunya kandidat yang memiliki cyber-brain paling cocok untuk clone replicator adalah Baron.”

    Baron dan Tesla terkejut mendengar penuturan Airi. Rupanya itu sebabnya Airi terus berkutat untuk menggunakan otak elektronik biasa untuk clone replicator-nya.

    “Kalau memang harus begitu, kenapa tidak kau katakan padaku? Aku akan dengan senang hati memberikan cyber-brain milikku ini,” sahut Baron tanpa pikir panjang. “Kau tidak perlu khawatir. Bagiku ini sama saja dengan mengganti seluruh tubuhku. Tidak masalah.”

    Airi kembali terdiam. Inilah alasan sebenarnya kenapa dia tidak mau menjelaskan kalau dia butuh cyber-brain untuk menyelesaikan clone replicator-nya. Dia tahu bagaimana sifat Baron. Android itu pastinya tidak akan ragu untuk membongkar tubuhnya sendiri dan menyerahkan otaknya kepada Airi untuk dia gunakan.

    “Tidak bisa! Kalau cyber-brain mu kugunakan sebagai pusat kendali clone replicator, aku harus menghapus semua isinya! Kalau itu kulakukan, kepribadian buatan dan ingatanmu akan hilang! Itu artinya Baron akan hilang! Kau akan mati!” seru Airi sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

    Baron terdiam sejenak. Selama hidupnya yang panjang, Baron sudah lama bertanya-tanya bagaimana hidupnya akan berakhir. Sebelum bertemu dengan Airi, android itu selalu berpikir dirinya akan berakhir sebagai tumpukan logam tidak berguna di sudut reruntuhan kota Bravaga. Tapi sejak bertemu Airi pertama kalinya dan melihat kemampuannya, Baron tahu nyawanya akan berakhir di tangan wanita itu. Hanya saja Baron yakin nyawanya tidak akan berakhir dengan sia-sia. Dan keyakinannya itu benar-benar terbukti sekarang.

    “Tidak masalah bagiku. Aku siap,” balas Baron dengan tegas. “Kalau nyawaku dibutuhkan untuk menyelamatkan masa depan masyarakat mesin di Bravaga, aku siap memberikannya.”

    Airi menggelengkan kepalanya lagi. Air mata mulai menggenang di kedua matanya.

    “Aku tidak mau itu terjadi!” seru Airi dengan penuh kesedihan.

    “Kalau begitu pakai saja cyber-brain punyaku,” sela Tesla sambil mengetuk kepalanya. “Mungkin tidak sebagus punya Baron, tapi aku yakin otakku akan berguna.”

    “Kalian tidak mengerti!” jerit Airi pilu. “Aku tidak ingin kehilangan satupun dari kalian! Kalian adalah keluargaku! Mana mungkin aku mengorbankan kalian untuk membangun mesin ini!”

    Baron langsung memeluk Airi dan membelai kepalanya dengan lembut. Dia bisa memahami perasaan wanita itu. Biar bagaimanapun, dirinya juga sudah kehilangan terlalu banyak robot dan droid yang dianggapnya sebagai saudara. Dia tidak mau hal yang sama terjadi pada robot dan droid lain di Bravaga. Oleh karena itu, dia tidak berpikir panjang ketika Airi mengatakan akan menggunakan cyber-brain-nya.

    “Aku senang kau menganggap kami berdua sebagai keluarga,” ujar Baron pada Airi. “Sejak bertemu denganmu, hari-hariku dan Tesla tidak pernah sama lagi. Kami menemukan harapan untuk hidup. Kami menemukan harapan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Mungkin sebenarnya kami sangat egois. Kau adalah satu-satunya manusia yang tersisa di Bravaga, dan mungkin juga di seluruh daratan ini, tapi kami tidak pernah memikirkan masa depanmu.”

    “Tapi..!”

    Ucapan Airi terhenti ketika Baron menempelkan telunjuknya ke bibir wanita itu.

    “Tidak usah ragu lagi. Lakukan saja. Aku tahu kalau pengorbananku tidak akan sia-sia,” ucap Baron dengan lembut. “Kalau nyawaku diperlukan demi masa depan masyarakat mesin di Bravaga, aku rela memberikannya.”

    Airi masih memandangi Baron cukup lama. Tapi akhirnya dia mengusap air matanya dan melepaskan diri dari pelukan android itu.

    “Baiklah. Kalau itu keputusanmu....” gumam Airi sedih. “Aku akan melakukannya. Jangan khawatir, kau tidak akan merasakan apapun.”

    Baron tersenyum sambil menutup matanya.

    “Terima kasih.”

    Bersamaan dengan ucapannya itu, Baron mematikan seluruh sistem di tubuhnya. Android itu bisa merasakan satu-persatu komponen tubuhnya berhenti bekerja. Tidak lama kemudian, Baron tidak bisa merasakan apapun lagi. Tapi di saat yang sama, dia merasakan sebuah kedamaian yang sudah lama dia cari.

    Kutitipkan masa depan kami ditanganmu, Airi.

    ****

    “Jadi begitulah ceritanya. Berkat pengorbanan Baron dan kerja keras Airi selama bertahun-tahun, maka kehidupan masyarakat mesin di kota Bravaga sekarang jadi nyaman seperti ini. Berkat clone replicator yang dibuat oleh Airi, kita tidak perlu lagi takut tidak bisa pulih kalau mengalami kerusakan. Berkat itu juga jumlah robot dan droid di kota ini jadi bertambah banyak. Dengan kata lain, mereka berdua telah memberikan masa depan bagi kita semua.”

    Tesla mengakhiri ceritanya dengan beberapa kali tepukan tangan. Saat ini dia tengah bergulung di lapangan berumput, tepat di depan sebuah menara tinggi menjulang di puncak sebuah bukit, yang letaknya persis di tengah kota Bravaga. Di hadapan robot lipan raksasa itu, duduk sebuah gynoid berambut hitam panjang dan sebuah android besar bermata satu. Keduanya sedari tadi tampak mendengarkan cerita Tesla dengan seksama. Kedua mata sang gynoid bahkan terlihat berkilat penuh rasa kagum ketika mendengarkan cerita Tesla. Sikap mesin berbentuk gadis muda itu mengundang reaksi dari sang android bermata satu.

    “Oi Maria. Cerita ini kan sudah kau dengar entah berapa ribu kali. Kenapa kau masih saja terlihat kagum dan bersemangat mendengarnya?” tanya sang android bermata satu.

    “Memangnya kau tidak merasa kagum, Ryouta?” balas Maria, sang gynoid. “Ini kan cerita tentang asal usul Mother....maksudku....clone replicator di Bravaga! Bayangkan saja, kalau tidak ada mesin itu, kita berdua tidak akan lahir!”

    “Ralat! Kau yang tidak akan lahir. Aku sudah ada sejak jaman Catastrophy,” balas Ryouta dengan nada mengejek.

    “Tapi kalau tidak ada Mother, kau tidak akan hidup lagi,” Maria balas mengejek temannya itu. “Kan spare-part tubuhmu itu hampir setengahnya diciptakan kembali oleh Mother.”

    Ryouta mendengus jengkel setiap kali Maria berhasil membuatnya kesal. Dia lalu menoleh ke arah Tesla yang masih dengan sabar menunggu. Sekilas Ryouta bisa melihat kilatan kesedihan di keempat mata Tesla.

    “Kau tidak apa-apa?” tanya Ryouta khawatir.

    Tesla menggelengkan kepalanya.

    “Tidak. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku hanya merasa sedikit sedih mengingat semua itu.”

    Ryouta dan Maria saling pandang. Mereka jadi merasa bersalah karena sudah memaksa Tesla mengingat semua semua kejadian yang terjadi selama pembangunan central tower dan clone replicator.

    Tesla masih ingat bagaimana wajah pedih Airi ketika wanita itu membongkar kepala Baron untuk mengambil cyber-brain-nya. Dia juga tidak akan pernah bisa melupakan wajah bahagia Airi menjelang akhir hayatnya, ketika wanita itu duduk di depan central tower sambil melihat kota Bravaga baru yang dibangun disekitar menara ciptaannya itu. Tesla tahu Airi begitu bahagia melihat hasil kerja kerasnya, serta pengorbanan Baron, sama sekali tidak sia-sia.

    “Kakek Tesla, maafkan kami karena telah membuatmu sedih,” ujar Maria.

    Tesla menggelengkan kepalanya lagi.

    “Kau tidak perlu minta maaf. Justru aku senang sekali kalau diminta menceritakan sejarah central tower dan Mother kepada generasi baru, seperti kalian. Sebab dengan begitu, Airi dan Baron tidak akan pernah ‘mati’, mereka akan tetap hidup dalam ingatan kalian,” ujar Tesla dengan lembut. “Mereka akan tetap hidup dan diingat sebagai dua sosok yang berjasa besar memberikan masa depan bagi masyarakat mesin di Bravaga ini.”

    Maria dan Ryouta kembali saling pandang, kemudian Maria tersenyum lebar.

    “Kau benar, kakek! Selama masih ada yang mengingat mereka, Airi dan Baron akan tetap hidup!” seru Maria girang.

    “Nah. Ceritanya sudah selesai. Kurasa sekarang sudah saatnya kalian kembali ke rumah masing-masing. Aku masih ada pekerjaan lain di dalam central tower,” ujar Tesla sambil bangkit dan mulai merayap kembali ke dalam menara. “Sampai jumpa lagi.”

    “Sampai jumpa lagi, kakek!” sahut Maria dengan riang.

    “Sampai ketemu lagi,” ujar Ryouta.

    Setelah Tesla masuk ke dalam Central Tower, Ryouta dan Maria memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Keduanya memandang sejenak ke arah menara yang menjadi pusat kota baru Bravaga, kemudian pandangan mereka beralih ke arah jalanan utama yang membentang hingga ke reruntuhan kota tua di selatan. Pemandangan kota yang disirami cahaya keemasan dari matahari terbenam tampak begitu indah dan mengagumkan. Sebuah pemandangan yang sebelumnya tidak pernah dilihat oleh robot dan droid yang dulu tinggal di reruntuhan kota Bravaga. Memang kalau tidak karena jasa Airi, Baron dan Tesla, pemandangan seperti ini tidak akan pernah ada.

    “Ryouta.” Akhirnya Maria berbicara setelah terdiam cukup lama.

    “Ada apa?” balas Ryouta singkat.

    “Manusia yang bernama Airi dan android bernama Baron itu benar-benar hebat. Mereka tidak ragu mengorbankan kepentingan diri mereka sendiri demi masa depan yang lainnya,” ujar Maria dengan nada serius.

    “Ya. Mereka memang orang-orang hebat.” Ryouta mengangguk mengiyakan. “Apa yang mereka lakukan benar-benar mengubah segalanya.”

    “Ryouta? Apa kita bisa seperti mereka?” tanya Maria sambil mendongak ke arah temannya itu. “Maksudku....apa mungkin droid biasa seperti kita menjadi seperti Airi dan Baron? Apa kita bisa menjadi sosok yang membukakan jalan masa depan bagi generasi selanjutnya?”

    Ryouta terdiam sambil menatap lembut ke arah Maria. Kalau saja wajahnya didesain untuk bisa tersenyum, Ryouta pasti sudah tersenyum lebar. Android itu lalu menepuk kepala Maria dengan lembut.

    “Tentu saja bisa, Maria. Tentu kita bisa seperti Airi dan Baron.”

    Kali ini Maria tidak menjawab. Dia hanya menyunggingkan sebuah senyuman manis kepada Ryouta.

    Tentu saja bisa....karena masa depan generasi selanjutnya ada di tangan kita.

    ****

    ~FIN~

    By:

    red_rackham 2012

    http://redsignpalace.blogspot.com/
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. lawren M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jun 4, 2009
    Messages:
    428
    Trophy Points:
    222
    Ratings:
    +8,683 / -0
    bro rackham :matabelo /

    kali ini ceritanya tentang sejarah para robot sebelum Ryouta dan Maria..
    Walaupun fictnya singkat, tapi menyentuh banget, emang :top: writer yang satu ini...

    oh ya, ada sedikit saran, di part 1
    arti bergeming sendiri bukannya tidak bergerak;diam saja?

    omong-omong Airi di jaman itu makan apa ya, kan udah jaman mesin semua, ga ada manusia lagi :bloon:
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  6. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Di jaman itu dia makan apa yang bisa ditemukan di reruntuhan kota dan di sekitarnya. Kan biarpun udah ga ada manusia, masih ada hewan dan tumbuhan yang bisa dimakan :elegan: .
     
  7. cornellex Members

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 23, 2011
    Messages:
    247
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +19 / -0
    dari sisi storyline bgus bgt.... gak tlalu nyontoh crita lain.... (atw bisa diblang ORI :ogtop:)
    dari POV karakter juga enak... gampang dimengerti.. :top:

    namun sayang bgt..... akhirnya HAPPY END ( gak seneng happy end alx gw... :hahai:)
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Thanks.
    Kalau pengen yang ga HAPPY END, sila tengok trit saia yang lain, ada cerpen2 yang berakhir dengan......kematian dan darah :fufufu:
     
  9. lochichuong3 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 6, 2012
    Messages:
    45
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +3 / -0
    Bener-bener. . . . . . :top: Terasa sangat menjiwai ceritanya (atau kebalikan, ceritanya terasa menjiwai gambarnya?). Gambarnya sendiri juga bagus dan cocok ama ceritanya. Pokoknya mantap dah
     
    • Thanks Thanks x 1
  10. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Thanks udah mampir :top:
     
  11. kan4ta Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 14, 2011
    Messages:
    103
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +9 / -0
    bagus banget ceritanya, setting ceritanya juga pas banget :XD:
    ditunggu cerita lainnya
     
  12. andotri23 Members

    Offline

    Joined:
    Mar 5, 2011
    Messages:
    9
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    keren kren, ceritanya lumayan nih
     
  13. indorangz Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 17, 2012
    Messages:
    14
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +0 / -0
    filmnya walau bikin asek, yg asiknya saat jalaninnya
     
  14. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Everyday Adventure IV

    *gelindingan nongol*

    Setelah lama (buanget) hiatus, akhirnya saia kembali melanjutkan OriFic ini.
    Yak, biar ga banyak basa-basi, langsung saja simak chapter terbaru dari Everyday Adventure :elegan:

    Everyday Adventure IV

    “Bosan~!” gerutu Maria.

    Tadinya seperti biasa, dia berniat untuk mengganggu Ryouta yang sedang bekerja di lokasi proyek pembangunannya. Tapi hari itu Ryouta sedang tampak sangat sibuk sehingga Maria akhirnya tidak jadi mengganggu temannya itu. Gagal menggoda Ryouta, Maria tadinya ingin berbuat onar dengan mencuri atau mengerjai robot lainnya. Tapi niat itu juga dia urungkan karena dia sedang tidak mood untuk berbuat jahil. Pada akhirnya dia memutuskan untuk berjalan-jalan di kota.

    “Aah~! Daripada mati bosan, lebih baik hari ini aku menjelajah kota saja!” Maria berseru pada dirinya sendiri, sambil menepukkan tangannya.

    Dengan santai Maria berjalan menyusuri salah satu jalan utama yang membelah kota Bravaga. Gynoid itu tampak mengamati situasi di sekitarnya sambil sesekali berhenti di depan toko yang menjual asesoris dan suku cadang tubuh. Maria juga sesekali mengamati berbagai sosok robot yang berjalan lalu-lalang di sekitarnya. Mereka semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing, meskipun ada juga beberapa robot yang seperti Maria, hanya berjalan mengitari kota untuk menghabiskan waktu.

    Dia lalu berpikir sejenak.

    “Dipikir-pikir ... kota ini luas sekali ya.”

    Maria bergumam pada dirinya sendiri sambil memandang ke arah ujung jalan utama kota Bravaga. Jalan lebar itu tampak membentang hingga puluhan kilometer, hingga menghilang di batas kota yang juga berbatasan dengan kota megapolitan kuno di selatan Bravaga. Kota Bravaga sendiri setidaknya memiliki luas lebih dari 3000 kilometer persegi dan kota itu terus tumbuh ke arah utara dan timur, hingga membuat ukuran kota jadi jauh lebih luas lagi. Saking luasnya kota itu, masih banyak tempat yang tidak diketahui oleh Maria, padahal dia adalah salah satu robot yang paling gemar menjelajahi pelosok kota Bravaga.

    Sambil terus berjalan, Maria teringat kata-kata yang pernah dia dengar dulu.

    Kota ini sudah tua dan ada banyak lagi bangunan-bangunan dan tempat-tempat yang jauh lebih tua daripada kota ini.
    Mother, ibu dari sebagian besar robot di Bravaga, pernah memberitahu Maria soal itu. Namun Mother tidak mau memberitahu Maria di mana saja letak bangunan-bangunan dan tempat-tempat kuno itu. Sikap Mother justru memicu rasa ingin tahu Maria yang memang sangat besar dan membuatnya menjadi penjelajah kota.

    Tiba-tiba saja Maria berhenti berjalan. Kedua mata android itu terpaku pada sebuah gedung berkubah yang tampak menjulang di sela-sela bangunan tinggi yang berdiri di sisi jalan.

    “Tempat apa itu?” gumam Maria.

    Dia lalu memicingkan matanya dan menyadari kalau bangunan itu terlihat jauh lebih tua dari bangunan di sekitarnya. Sekilas dia melihat cat di dinding bangunan itu sudah terkelupas dan noda-noda jamur serta tanah terlihat menghiasi permukaannya. Dari bentuknya, sepertinya bangunan itu sudah ada sebelum kota Bravaga berkembang sampai sejauh ini. Dan yang pasti, Maria belum pernah pergi ke bangunan itu. Begitu menyadari itu, dia langsung tersenyum lebar.

    Jangan-jangan itu salah satu bangunan kuno yang dimaksud Mother waktu itu! Seru Maria dalam hati. Kalau begitu, aku harus ke sana!

    Maria berjalan mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan langsung melompat tinggi ke atap gedung terdekat. Tanpa basa-basi, gynoid
    itu segera berlari ke arah gedung tua yang menjadi tujuannya itu.

    Jantungnya berdebar karena bersemangat dan senyum lebar menghiasi wajahnya.

    Semoga tempat itu adalah tempat yang menarik!

    ****​

    “Wow~! Aku tidak pernah tahu ada tempat seperti ini di kota!”

    Maria berjalan melewati gerbang besar dan masuk ke dalam gedung. Begitu masuk, dia segera disapa oleh ratusan rak kayu yang berisi entah berapa puluh ribu buku berbagai ukuran, bentuk dan warna. Semuanya tampak disusun dengan rapi dan teratur, serta tampak terawat.

    “Selamat datang. Ada yang bisa kubantu?”

    Tiba-tiba Maria mendengar ada yang menyapanya, gynoid itu segera berbalik dan menemukan seorang gynoid berdiri di depannya. Berbeda dengan Maria yang wujudnya nyaris serupa dengan manusia, robot di hadapannya itu tidak terlalu mirip manusia. Terutama karena kedua mata gynoid itu terbuat dari kristal berwarna biru jernih.

    “Selamat datang di Perpustakaan Bravaga. Ada yang bisa kubantu?” Gynoid itu mengulangi perkataannya lagi sambil tersenyum ke arah Maria.

    “Ini yang namanya perpustakaan itu ya?” tanya Maria dengan penuh semangat. “Tempat manusia menyimpan cetakan dari pengetahuan yang mereka punya?”

    Sang gynoid bermata kristal mengangguk.

    “Benar sekali,” jawabnya. “Siapa namamu?”

    “Maria. Gynoid serba guna, Maria!” sahut Maria sambil tersenyum lebar. “Salam kenal!”

    “Maria? Nama yang bagus sekali. Dulu sekali nama itu sangat terkenal di antara para manusia,” ujar si gynoid sambil ikut tersenyum. “Namaku Trisha. Akulah penjaga perpustakaan ini. Salam kenal juga.”

    Untuk beberapa detik, kedua android itu saling bertukar senyum, sebelum akhirnya Maria mengalihkan pandangannya ke arah salah satu rak buku terdekat.

    “Jadi ... informasi apa saja yang ada di dalam kertas-kertas itu?” tanya Maria dengan nada penasaran. “Aku ingin tahu.”

    Trisha tersenyum sambil berjalan ke arah salah satu rak dan mengambil sebuah buku tebal yang tampak lapuk. Dengan hati-hati dia membuka lembaran buku itu dan menunjukkan isinya kepada Maria. Halaman buku yang dibuka Trisha menunjukkan foto sebuah kapal luar angkasa yang sedang bersandar di pelabuhan angkasa. Begitu melihat foto itu, kedua mata Maria langsung berbinar-binar.

    “Waah~! Apa ini?” seru Maria penuh semangat.

    “Ini merupakan catatan dari seorang kapten kapal luar angkasa di jaman awal penjelajahan angkasa dulu,” jawab Trisha dengan lembut. “Seluruh isi buku ini bercerita mengenai berbagai pengalaman sang kapten selama dia memimpin kapal luar angkasanya itu.”

    Maria memandangi foto buram di lembaran buku itu dengan takjub.

    “Jadi memang ini cara manusia mengabadikan memori dan pengetahuan mereka?” ujar Maria. “Dulu aku pernah melihat foto dan lukisan seperti ini di sebuah menara tua. Kata temanku Ryouta, membuat foto dan lukisan adalah cara manusia untuk mengabadikan apa yang mereka lihat dan mereka ketahui.”

    Trisha menoleh ke arah Maria.

    “Menara tua? Ah, pasti yang kau maksud itu Menara Memori. Ya. Memang begitulah cara manusia menyimpan pengetahuan, pengalaman, dan memori mereka. Itu juga cara mereka menurunkan informasi itu pada generasi selanjutnya,” ujar Trisha sambil menutup buku yang dia pegang. “Berbeda dengan kita para robot, kemampuan manusia untuk mengingat sesuatu sangat terbatas. Mereka terlalu mudah lupa. Selain itu mereka juga tidak bisa memindahkan ingatan, pengetahuan dan pengalaman secara langsung ke dalam otak manusia lain. Jadi satu-satunya cara bagi manusia adalah menciptakan cetakan seperti ini.”

    “Tidak praktis sekali,” celetuk Maria.

    Trisha tersenyum geli mendengar ucapan Maria. Kemudian dia berjalan ke arah rak lain dan mengambil sebuah buku lain yang jauh lebih tipis. Meskipun sampul buku itu tampak kusam karena dimakan usia, tapi warna sampulnya tampak cerah dan berwarna-warni.

    “Apa itu?” tanya Maria penasaran.

    “Ini adalah salah satu kehebatan yang dimiliki manusia dan tidak kita miliki,” jawab Trisha. Android itu lalu mendorong bahu Maria dengan lembut ke arah sebuah meja panjang di salah satu sudut perpustakaan. Dia lalu meletakkan buku tua itu di atas meja dan memberi isyarat agar Maria membaca buku yang ada di atas meja itu.

    “Kau ingin aku membaca buku ini?” tanya Maria. Dari nada bicaranya, jelas dia semakin penasaran.

    Trisha mengangguk.

    “Ya. Nanti kau akan paham apa maksudku,” ujar Trisha sambil tersenyum penuh arti.

    Tanpa banyak tanya lagi Maria langsung duduk dan mulai membuka buku yang ada di depannya. Dan begitu melihat isinya, gynoid itu berseru tertahan. Buku yang dia buka lebih tipis dari buku-buku sebelumnya, tapi isinya membuat Maria kagum.

    Buku yang dia baca itu berisi gambar-gambar penuh warna dan narasi sederhana yang menceritakan tentang hidup seekor naga yang kesepian, serta seorang putri kerajaan yang diam-diam mencintainya.

    “Apa ini?” tanya Maria bingung bercampur kagum. “Aku tidak pernah tahu kalau manusia itu bisa bicara pada makhluk-makhluk bersisik seperti ini. Luar biasa!”

    Trisha tertawa tertahan mendengar seruan polos Maria.

    “Tidak, tidak. Manusia tidak bisa bicara dengan para naga,” sahutnya sambil menunjuk ke arah gambar seekor reptil raksasa di buku. “Ini adalah salah satu kehebatan manusia ... imajinasi. Mereka bisa memikirkan hal-hal tidak logis semacam ini dan membuatnya menjadi sesuatu yang menarik, dan konon imajinasi jugalah yang pada akhirnya menciptakan ras kita. Yang jelas, kemampuan itu tidak kita miliki. Kita bisa berpikir logis dan memecahkan masalah, tapi program dasar di cyber-brain kita tidak dirancang untuk berkhayal seperti manusia.”

    Trisha diam sejenak untuk mengambil sebuah buku lain dari rak buku terdekat.

    “Masih ada banyak buku-buku cerita khayalan seperti itu di sini. Kalau kau mau, kau bisa ...” Ucapan Trisha terputus ketika melihat kalau ternyata Maria sudah menghilang bersama buku cerita yang dibacanya tadi. Gynoid penjaga perpustakaan itu lalu hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian berbalik untuk mengembalikan buku yang dia ambil ke tempatnya semula.

    “Dasar anak-anak ...” ujar Trisha sambil tersenyum.

    ****​

    Matahari sudah tinggi di langit ketika Ryouta akhirnya menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Android bertubuh besar dan bermata satu itu baru saja duduk santai di depan tempat kerjanya, ketika dia tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari kejauhan. Tepatnya dari arah hutan lebat yang berada tidak jauh dari kota Bravaga.

    “Huh? Apa itu?” ujarnya sambil berdiri dan memandang ke arah datangnya suara. Ternyata rekan-rekan kerjanya juga mendengar suara itu dan berdiri menghadap arah yang sama.

    “Suara apa tuh?” tanya seorang android bertubuh langsing di belakang Ryouta.

    “Seperti suara guntur. Apa hari ini akan hujan?” sahut seorang android lagi sambil memandang lurus ke atas, ke arah matahari yang bersinar terik di langit.
    Mendengar komentar kedua rekannya Ryouta ikut memandangi langit. Tapi langit hari ini benar-benar cerah, nyaris tidak ada awan sama sekali di atas sana, jadi rasanya mustahil ada suara guntur di langit. Anehnya, ketika dia mendengar suara gemuruh itu lagi, Ryouta tiba-tiba saja mendapat firasat buruk.

    “Ryoooouuuuutttaaaa ~ !”

    Mendadak seekor robot berbentuk kecoa raksasa terbang melesat masuk ke dalam areal konstruksi dan menubruk tubuh kekar Ryouta. Sambil mengabaikan fakta bahwa dia baru saja menabrak salah satu robot terkuat di Bravaga, Buggy langsung melompat dan menempel di wajah Ryouta.

    “Ryouta! Gawat! Ini gawat!” seru Buggy panik. “Backpacker! Mereka! Banyak! Besar! KACAU!!”

    “Hei! Tenang dulu. Ada apa ini?” Ryouta menyahut sambil melepaskan cengkraman kaki-kaki kurus Buggy dari wajahnya. “Backpacker? Kadal-kadal mutan jinak itu? Ada apa dengan mereka?’

    “Jinak? Tidak! Tidak! Mereka tidak jinak. Yah ... setidaknya yang kali ini tidak,” jawab Buggy terburu-buru. Dia lalu berhenti sejenak dan mengatur sistem cyber-brain-nya agar tidak meracau lagi, kemudian mengucapkan satu kata yang langsung membuat rahang Ryouta terbuka lebar.

    “Maria!”

    Tanpa pikir panjang, Ryouta menyambar tubuh Buggy dan melesat keluar dari tempat kerjanya dengan kecepatan tinggi. Android tempur itu sama sekali mengabaikan seruan para robot yang terkejut dengan kemunculan sosok besarnya yang tiba-tiba. Begitu mendengar nama Maria disebut oleh Buggy yang datang dengan tergesa-gesa seperti itu, Ryouta tahu kalau gynoid temannya itu pasti dalam masalah. Sambil berlari, Ryouta sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari arah datangnya suara guntur yang didengarnya tadi.

    “Apa yang terjadi dengannya?” tanya Ryouta sambil melompat tinggi, kemudian mendarat dengan suara keras di atap sebuah toko suku-cadang gynoid. “Lebih tepatnya ... masalah apa yang dia buat sekarang?”

    Buggy terdiam sejenak dan terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan temannya itu.

    “Buggy!” desak Ryouta sambil menghindari robot terbang yang tiba-tiba saja muncul di sisi gedung tempatnya berlari.

    “Eeeh ... tadi pagi Maria menemukan buku cerita bergambar dari ... entah perpustakaan mana di kota. Dan sepertinya dia mau mencoba sesuatu yang diceritakan di buku itu,” jawab Buggy.

    “Apa itu?” tanya Ryouta lagi.

    “Maria mau belajar bicara dengan backpacker terbesar di hutan hidup seberang kota Bravaga. Jadi dia lalu pergi ke sarang kadal raksasa itu.” Buggy langsung menutup kedua mata besarnya ketika melihat Ryouta melotot ke arahnya. “Jangan melotot begitu! Aku sudah berusaha mencegahnya. Tapi kau tahu bagaimana Maria. Kalau dia sudah ingin sesuatu, dia enggak akan mau mundur!”

    Ryouta langsung mengumpat pelan mendengar penjelasan Buggy. Dia benar-benar tidak habis piker sebenarnya apa yang diperbuat Maria dengan para backpaker, hingga mereka mengejarnya. Backpacker sebenarnya tergolong mutan yang sangat jinak dan biasanya tidak akan menyerang para robot ... kecuali kalau mereka merasa terganggu. Dan sepertinya itulah yang dilakukan Maria. Gynoid itu pastinya sudah membuat para backpacker merasa terancam.

    Dasar! Dia benar-benar harus belajar untuk berhenti membuat masalah! gerutu Ryouta dalam hati.

    Tahu bahwa Maria sedang dalam masalah besar, Ryouta mempercepat larinya dan dalam waktu cukup singkat, android itu sudah sampai di tepian hutan hidup yang membatasi salah satu sisi kota Bravaga.

    Hutan yang sebagian tumbuhannya bisa bergerak dan berpindah itu tampak begitu lebat dan menakutkan, sehingga tidak banyak robot yang mau berkeliaran di dalam sana. Terlebih karena hutan itu dihuni oleh berbagai jenis mutan yang ganas, atau para robot liar yang siap menyerang siapa pun. Hanya robot gila, atau yang seperti Maria saja, yang mau masuk ke dalam hutan itu dan menghampiri sarang para backpacker.

    “Di mana terakhir kali kau meninggalkan Maria?” tanya Ryouta pada Buggy, sambil melepaskan robot kecoa itu dari tangannya.

    “Itu ...”

    Sebelum Buggy sempat melanjutkan perkataannya, terdengar lagi suara gemuruh di kejauhan.

    “... di sana,” lanjut Buggy sambil menunjuk ke arah datangnya suara. “Mudah-mudahan saja Maria masih utuh begitu kita sampai. Soalnya tadi ukuran para backpacker yang mengejarnya lumayan ... besar ...”

    Mendengar ucapan Buggy, Ryouta semakin khawatir lagi. Tanpa pikir-pikir lagi dia langsung berlari menerobos kerimbunan hutan, sambil sesekali menepis sulur atau ranting pohon berjalan yang berusaha membelit tubuhnya. Sementara itu Buggy terbang zig-zag menghindari tumbuhan-tumbuhan yang mendadak bergerak liar itu. Namun naas, sebuah tanaman menjalar berhasil membelit tubuh Buggy dan menghentikannya seketika.

    “Buggy?!” seru Ryouta kaget.

    Dia baru bermaksud membantu temannya itu, tapi Buggy justru berseru ke arahnya.

    “Jangan pedulikan aku! Sekarang pergi ke tempat Maria, sebelum dia terluka!” seru Buggy sambil meronta-ronta untuk melepaskan diri.

    Meskipun ragu, Ryouta akhirnya berlari meninggalkan Buggy yang masih terbelit sulur-sulur tanaman berjalan. Tidak perlu waktu lama bagi Ryouta untuk bisa menyusul jejak Maria, soalnya jejak kerusakan yang ditimbulkan kawanan backpacker yang mengejar gynoid itu begitu mudah dilihat. Pepohonan tumbang, semak-semak rata dengan tanah, dan ada jejak-jejak hewan yang tidak terhitung jumlahnya di lantai hutan. Sama sekali tidak sulit untuk mengikuti Maria dan kawanan backpacker itu. Tapi melihat kerusakan yang ditimbulkan kawanan kadal mutan itu, Ryouta langsung khawatir setengah mati.

    Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ryouta langsung berlari mengikuti jejak kehancuran di depannya. Dengan segera dia berhasil menemukan kerumunan kadal raksasa yang berlari liar mengejar sesosok gynoid berambut hitam, yang melompat ke sana ke mari dengan panik.

    “MARIA!” Ryouta berseru nyaring ketika akhirnya berhasil menyusul temannya itu. Seruannya itu langsung membuat Maria menoleh dan wajah gynoid itu jelas-jelas menunjukkan kelegaan yang luar biasa, ketika melihat penyelamatnya telah datang.

    “RYOUTA~!!” serunya sambil melompat menghindari terkaman seekor backpacker bertubuh tambun. Dia lalu berseru dengan nada riang. “OW~! Nyaris saja!”

    Melihat Maria yang masih saja bisa santai walaupun sedang dikejar-kejar segerombolan kadal raksasa yang tampak marah, Ryouta mau tidak mau merasa kagum dengan gynoid itu. Walaupun pada saat yang sama dia juga marah karena gadis robot itu terlihat tidak merasa bersalah karena telah membuat keributan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah sifat Maria yang tidak bisa jauh-jauh dari masalah.

    Tanpa mengucapkan apapun lagi, Ryouta melompat tinggi dan menyusul Maria yang berlari menerobos semak belukar di depannya. Begitu sampai di dekat Maria, Ryouta langsung menyambar tubuh gynoid itu dan berlari sekuat tenaga dari kejaran setidaknya 10 ekor backpacker, yang masing-masing berukuran lebih besar dari dirinya.

    Melihat kedatangan sosok Ryouta yang tiba-tiba, para backpacker yang tadi mengejar Maria langsung berpindah sasaran dan justru berlari semakin cepat. Kecepatan kadal-kadal raksasa itu sungguh sulit dipercaya, mereka mampu berlari menembus kerumunan hutan dengan mudah dan mengejar Ryouta, yang sedang berlari dengan kecepatan tinggi.

    Adegan kejar-kejaran maut itu berlangsung selama beberapa menit, hingga akhirnya Ryouta memutuskan untuk mencoba menakut-nakuti para backpacker yang mengejarnya.
    Secara tiba-tiba, Ryouta mengerem lajunya, berbalik, kemudian menghentakkan sebelah kakinya ke lantai hutan begitu keras hingga menimbullkan suara dentum nyaring. Karena terkejut, para backpacker yang mengejarnya langsung berhenti mendadak dan nyaris saling bertabrakan satu sama lainnya.

    Sepertinya berhasil! ujar Ryouta dalam hati.

    Sayangnya dia terlalu cepat gembira. Meski pada awalnya kawanan backpacker itu terlihat bingung dan kaget, tapi kemudian kadal-kadal mutan raksasa itu mulai membuat pola lingkaran, bermaksud menjebak Maria dan Ryouta di tengah kepungan mereka.

    “Oke ... ini tidak bagus.” Maria berkomentar meronta turun dari dekapan Ryouta. “Tadi mereka hanya terlihat marah ...”

    Ryouta menoleh dan melotot ke arah Maria.

    “Kau gila ya?!” seru android bermata satu itu. “Untuk apa kau masuk ke sarang Backpacker? Apa kau tidak tahu mereka itu juga bisa ganas?! Dan ka ...”

    Seruan Ryouta terhenti ketika mendengar suara rintihan pelan dari arah Maria.

    “Maria? Kau tidak apa-apa?” tanya Ryouta khawatir kalau-kalau gynoid itu sebenarnya teruka. Tapi dia langsung terdiam melihat sosok mungil yang sejak tadi dipeluk Maria. Sekilas makhluk kecil yang dipeluk oleh Maria tidak berbeda dengan seekor kadal berkulit hijau pucat. Hanya saja itu bukan kadal biasa, karena kadal itu berkaki enam dan bermata empat. Kadal itulah yang barusan mengeluarkan suara rintihan pelan.

    “Maria ...” ujar Ryouta sambil melirik ke arah sekelilingnya, kemudian kembali memandangi sosok backpacker mungil yang dipeluk Maria. “Itu apa?”

    “Backpacker kecil,” sahut Maria dengan entengnya. “Aku menemukan si mungil itu terluka waktu aku mau pergi ke sarang mereka. Aku sudah berusaha menolong, tapi waktu kubawa ke sarang, eh ... yang besar-besar malah mengejarku.”

    Ryouta menepuk wajahnya dengan keras.

    Pantas saja para backpacker ini mengejarmu! Mereka pasti mengira kau sudah melukai anak mereka! Bentak Ryouta dalam hati. Meskipun biasanya backpacker itu sangat jinak dan ramah pada makhluk lain, tapi kalau anak mereka sampai diganggu, mereka pastinya akan mengamuk.

    Ryouta baru akan marah pada Maria, tapi suara geraman keras membuatnya berpaling dan berhadapan dengan seekor backpacker terbesar yang pernah dia lihat selama hidupnya. Panjang kadal mutan itu nyaris dua kali lebih besar dari sebuah bis kota, dan tingginya nyaris setinggi sebuah rumah. Keempat mata makhluk melata itu berkilat menakutkan dan berkali-kali pandangannya teralih dari sosok besar Ryouta, dan sosok mungil Maria yang sedang memeluk seekor backpacker kecil. Ketika berhadapan dengan sosok raksasa itu, sang backpacker kecil merintih pelan. Suara itu ditanggapi dengan geraman marah dari sang backpacker raksasa yang kini berdiri dengan sikap mengancam di hadapan Ryouta dan Maria.

    “Maria ...” ujar Ryouta dengan suara pelan.

    “Ya?” sahut Maria, juga dengan suara pelan, nyaris berbisik.

    “Lepaskan backpacker di pelukanmu itu sebelum kita dihajar sampai hancur,” bisik Ryouta, tanpa mengalihkan pandangan dari kadal raksasa di hadapannya itu.
    Maria mengangguk dan perlahan-lahan melangkah maju sambil membuka pelukannya. Tapi sebelum gynoid itu sempat melakukan apapun, tiba-tiba saja si backpacker raksasa meraung keras dan membuat Maria jatuh terjengkang ke belakang.

    Sikap mengancam yang mendadak ditunjukkan sang backpacker membuat Ryouta langsung bereaksi. Guardia kuno itu langsung mengerahkan seluruh kemampuan generator nuklirnya dan menerjang maju, tepat ketika sang backpacker berusaha menerkam Maria.

    Tadinya Ryouta mengira kekuatannya sebagai android tempur mampu mengimbangi kekuatan sang backpacker. Ternyata dia salah. Backpacker itu jauh lebih kuat dari dugaannya, dan terjangan makhluk besar itu membuat tubuh Ryouta melayang jauh dengan sukses, kemudian menghantam sebatang pohon hingga patah. Kekuatan benturan yang diterimanya membuat sistem tubuhnya mengalami black-out sesaat, sebelum akhirnya aktif kembali.

    Sayangnya sebelum Ryouta sempat melakukan apapun, seekor backpacker menerjang ke arahnya dan menginjak-injak tubuhnya, hingga membuat android itu tidak bisa bergerak. Diluar dugaan, backpacker yang baru menyerangnya ini, juga tidak kalah kuat dengan backpacker terbesar di kawanannya.

    OKE! INI GAWAT! Ryouta berseru panik dalam hati. Sebenarnya dia bisa saja mengerahkan kekuatan aslinya, tapi kemampuannya itu bisa menyebabkan terjadinya badai EMP dahsyat, yang kekuatannya bahkan sanggup memanggang cyber-brain robot canggih seperti Maria.

    “MARIA, LARI~!!” Karena tidak ada pilihan lain, Ryouta hanya bisa melakukan satu hal. Selagi para backpacker sibuk meremukkan tubuhnya, dia harus bisa memberi waktu bagi Maria untuk melarikan diri. “Cepat! Selagi mereka sibuk menyerangku!”

    Sialnya alih-alih lari, Maria justru menggelengkan kepalanya.

    “Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu di sini!” serunya sambil melangkah maju ke arah backpacker raksasa yang berdiri di hadapannya. Gynoid itu lalu membuka pelukannya dan mengangkat sang backpacker mungil tinggi-tinggi di udara.

    “Ini anak yang kalian cari!” seru Maria tanpa memperdulikan geraman marah dari kerumunan backpacker di sekelilingnya. “Aku akan mengembalikannya pada kalian, jadi berhenti menyakiti temanku!!”

    “Maria!” seru Ryouta sambil meronta dan berusaha melarikan diri dari injakan backpacker yang menyerangnya. “Apa yang kau lakukan?! Lari!”

    “Tidak akan!” balas Maria. Dia lalu kembali menatap lurus ke arah empat mata backpacker raksasa yang berdiri diam di hadapannya. “Nah. Kalau kalian mau marah, marahlah padaku. Aku yang seenaknya mengambil anak kalian dan seenaknya merawat lukanya. Kalau itu membuat kalian tidak suka, hancurkan saja aku. Tapi lepaskan Ryouta!”

    Seolah memahami perkataan Maria, pandangan si backpacker raksasa perlahan teralih ke arah balutan kain di tubuh si backpacker mungil. Selama beberapa saat, kadal raksasa itu memperhatikan dengan serius, selagi si backpacker mungil berdecit ke arahnya, seolah sedang memberitahu sesuatu.

    “Maria ... lari!” Ryouta masih berusaha menyuruh Maria agar melarikan diri, meskipun kini dia sudah pasrah untuk menghindar dari amukan backpacker yang menyerangnya.

    Tiba-tiba saja, backpacker raksasa yang berdiri di hadapan Maria meraung keras. Seketika itu juga, backpacker yang sejak tadi menyerang Ryouta langsung terdiam dan mundur teratur.

    Dengan perasaan tidak percaya, Maria melihat kerumunan backpacker yang mengepungnya perlahan-lahan melangkah mundur. Amarah yang tadi berkilat di mata kadal-kadal mutan itu kini menghilang dan berubah menjadi tatapan ramah.

    “Ada apa ini?” tanya Maria bingung, ketika melihat sikap para backpacker di sekitarnya berubah drastis.

    Ryouta yang akhirnya terbebas dari serangan berat yang menimpanya, perlahan-lahan berdiri sambil bertumpu pada potongan pohon di sampingnya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Para backpacker yang mengepung Maria itu tampaknya paham bahwa gynoid itu bukanlah makhluk yang telah melukai seekor anak mereka, melainkan yang telah mencoba merawat luka kadal kecil itu. Dan sepertinya barusan backpacker terbesar, yang merupakan pimpinan kawanan, telah menjelaskan hal itu pada yang lainnya dengan satu raungan singkat. Meskipun sulit dipercaya, tapi Ryouta yakin itulah yang terjadi.

    “Kurasa mereka memahami perkataanmu,” ujar Ryouta pelan. Sambil memandang ke sekelilingnya, dia memulai pemeriksaan terhadap kondisi tubuhnya. Meskipun tidak ada kerusakan fisik yang terlihat, tapi android itu merasa kalau sistem keseimbangannya terganggu, sehingga dia jadi sulit untuk berdiri tegak. “Ugh ... tidak kusangka backpacker itu kuat sekali ...”

    “Ryouta! Kau tidak apa-apa?”

    Maria berseru dari kejauhan. Gynoid itu masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, karena dia masih dikelilingi oleh kawanan backpacker bertubuh besar. Tapi sikap mereka kini sudah berubah menjadi jinak seperti biasa. Alih-alih mengepung, kini kawanan backpacker itu mulai sibuk dengan urusannya masing-masing.

    “Tidak. Sistem keseimbanganku masih kacau, tapi sebentar lagi pasti membaik,” jawab Ryouta sambil berjalan terhuyung-huyung ke arah Maria.

    Dia lalu terdiam melihat sosok backpacker mungil yang diselamatkan Maria, kini bertengger di pundak gynoid itu sembari menggosokkan tubuhnya, tanda bahwa makhluk mungil itu kini merasa nyaman berada dekat Maria. Dan Maria sendiri kini sudah tidak merasa takut dengan sosok raksasa backpacker yang kini bergulung di hadapannya. Makhluk yang tadi bersikap ganas itu, kini terlihat jinak, meskipun backpacker itu masih menjaga jarak dari Maria.

    “Lihat, Ryouta! Mereka sudah tidak marah padaku!” seru Maria dengan riang. “Kurasa mereka benar-benar bisa mengerti bahasa kita! Berarti buku itu memang benar! Para backpacker ini benar-benar cerdas!”

    Ryouta yang kini berdiri di samping Maria, langsung menepuk lembut kepala gynoid bertubuh ramping itu.

    “Untung kau tidak apa-apa,” ujar Ryouta.

    “Kau juga,” sahut Maria sambil mengelus tubuh backpacker mungil yang masih bertengger di pundaknya. Dia lalu menatap ke arah Ryouta dengan wajah penuh penyesalan. “Maafkan aku. Lagi-lagi aku membuat masalah ...”

    “Tidak apa-apa. Sudah biasa,” ujar Ryouta. “Kau ...”

    Ucapan Ryouta terputus begitu saja ketika tiba-tiba seluruh sistem tubuhnya berhenti bekerja. Tubuh logam android itu langsung ambruk ke tanah dengan suara berdebam keras, dan membuat Maria menjerit ketakutan. Gynoid itu langsung menggoyang-goyangkan tubuh Ryouta dengan panik, tapi android besar itu tetap saja diam.

    “Ryouta!! RYOUTA!!!” jerit Maria dengan sekuat tenaga.

    ****​

    “Dia tidak apa-apa. Sepertinya hantaman kuat di kepala sudah membuat sistemnya melakukan reboot secara paksa. Kalau dibiarkan sebentar, nanti juga dia akan pulih.”

    Dengan cemas Maria mengangguk setelah mendengarkan perkataan dari sebuah android yang mengenakan jas lab putih dan berkepala televisi. Saat ini dia sedang duduk di samping sosok besar Ryouta, yang terbaring dengan tubuh terhubung dengan berbagai macam mesin canggih. Keduanya sekarang berada di dalam sebuah ruangan kecil yang penuh sesak dengan berbagai macam rongsokan mesin.

    “Jadi dia tidak akan mati, Dokter?” tanya Maria, masih dengan nada cemas.

    “Tidak. Guardia seperti dia itu dirancang sangat tahan banting. Hanya diinjak-injak oleh backpacker yang beratnya cuma beberapa ton saja tidak akan membuatnya hancur,” jawab android berkepala televisi, yang dipanggil dengan nama Dokter itu. “Jangan khawatir. Lagi pula dia sudah ada di tangan yang tepat. Kau tenang saja.”

    Baru saja Maria ingin bicara lagi, Ryouta tahu-tahu sudah membuka mata besarnya. Selama beberapa saat android itu hanya menatap kosong ke langit-langit ruangan, sebelum akhirnya beralih menatap ke arah Maria.

    “Maria? Ada apa ini?” tanyanya kebingungan. Dia lalu menatap ke arah Dokter dan terdiam sejenak. “Dokter?”

    “Benar,” jawab Dokter singkat. “Kau beruntung dirimu adalah sebuah Guardia. Kalau kau cuma robot biasa, kau pasti sudah hancur berkeping-keping sekarang. Meskipun para backpacker itu biasanya jinak, tapi kalau marah mereka itu sangat menakutkan loh.”

    Ryouta perlahan duduk dan teringat bahwa dia tadi baru saja selesai diinjak-injak oleh kadal mutan raksasa. Meski rasanya tidak ada suku cadang tubuh yang rusak, tapi serangan para backpacker itu sempat membuat sistem tubuhnya mengalami kekacauan.

    “Terima kasih karena sudah menolongku,” ujar Ryouta.

    “Lupakan. Aku tidak melakukan apa-apa kok, hanya memeriksa tubuhmu saja,” jawab Dokter dengan santai. “Kalau mau berterima kasih, berterima kasihlah pada para backpacker yang menyerangmu. Merekalah yang membawamu kemari.”

    Ryouta menoleh ke arah Maria yang langsung mengangguk mengiakan.

    “Itu benar! Waktu kau roboh dan aku kebingungan, tiba-tiba seekor backpacker mengangkat tubuhmu dengan mulutnya, kemudian membawamu pergi. Tadinya kupikir kau akan dimakan, tapi ternyata mereka justru membawamu ke tempat ini,” ujar Maria sambil memandang ke sekelilingnya. Dia lalu kembali menatap ke arah Ryouta dengan ekspresi sedih.

    “A ... aku benar-benar minta maaf. Aku hanya ingin mencoba melakukan apa yang diceritakan dalam buku ini.” Maria kembali bicara sambil menunjukkan sebuah buku bergambar yang terlihat sudah sangat tua. “Tapi tidak kusangka jadinya akan seperti ini dan gara-gara aku, kau jadi terluka.”

    Ryouta menepuk kepala gynoid itu dengan lembut.

    “Sudahlah. Yang penting semuanya sudah selesai dan kita berdua baik-baik saja,” ujar Ryouta sambil duduk. Android itu lalu menggerakkan kedua tangannya dan melakukan pemeriksaan singkat terhadap seluruh sistem tubuhnya. Sepertinya sudah tidak ada masalah.

    “Sekali lagi terima kasih karena telah membantuku dan Maria,” ujar Ryouta sambil menoleh ke arah Dokter. “Aku berhutang padamu.”

    Dokter mengangkat kedua tangannya.

    “Kau tidak perlu berhutang padaku. Lagi pula kalau kau sampai rusak, aku benar-benar tidak tahu cara memperbaiki Guardia seperti mu. Aku hanya tahu cara memperbaiki Machina saja,” ujar sang Dokter sambil berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. “Nah, kalau kau sudah merasa lebih baik, kau boleh pulang. Kalau tidak, kau bisa istirahat sebentar lagi di sini. Aku tidak keberatan kok.”

    Ryouta dan Maria saling pandang sejenak.

    “Tidak perlu, kami akan pergi sekarang,” ujar Ryouta sambil berdiri dan menepuk bahu Maria. “Ayo pulang. Sudah cukup masalah yang kau buat hari ini.”
    Sambil membungkuk singkat ke arah Dokter, Ryouta dan Maria melangkah keluar dari ruangan. Tidak lama kemudian, kedua robot itu sudah berada di luar sebuah gedung tua yang dulu sepertinya merupakan sebuah bangunan rumah sakit atau klinik. Sesampainya di luar, Ryouta terkejut ketika melihat para backpacker raksasa masih berkeliaran di sekitar tempat itu.

    Melihat Ryouta dan Maria berjalan keluar dari klinik, seekor backpacker raksasa langsung menghampiri mereka, dan itu membuat Ryouta langsung siaga.

    “Tenang saja. Mereka sudah tidak ganas kok,” ujar Maria sambil berjalan ke arah sang backpacker, kemudian mengelus kepala kadal raksasa itu. “Katanya mereka menyesal karena sudah menyerang dan melukaimu.”

    Bagaikan mengerti apa yang dikatakan Maria, backpacker yang ada di hadapan gynoid itu menggeram pelan. Makhluk itu kemudian menggesekkan kepalanya yang besar ke pipi Maria, dan membuat gynoid itu tertawa geli.

    Menyaksikan pemandangan seperti itu membuat Ryouta benar-benar ingin tersenyum lebar.

    “Menakjubkan ya?”

    Tiba-tiba Ryouta mendengar suara Buggy dan melihat robot berbentuk mirip kecoa itu sudah bertengger di sebuah bangkai mobil tua.

    “Kau tidak apa-apa?” tanya Ryouta.

    “Ooh~! Aku baik-baik saja. Walaupun harus kuakui melepaskan diri dari belitan tumbuhan berjalan itu tidak mudah,” sahut Buggy dengan nada riang. “Bagaimana denganmu sendiri? Aku tahu kau sebuah Guardia, tapi kau juga harus ingat kalau tubuhmu sudah tidak seperti dulu lagi.”

    Ryouta mengangguk mendengar ucapan Buggy.

    “Aku tahu itu,” jawab Ryouta singkat. Dia lalu menatap ke arah buku bergambar yang jadi sumber segala masalah ini.

    Tadi Maria sempat bilang dia menemukan buku yang berjudul ‘Aku dan Sahabatku’ itu di perpustakaan tua yang ada di salah satu sudut kota Bravaga. Dilihat dari tahun terbitannya, buku ini dibuat jauh sebelum masa Catastrophy terjadi. Ketika membuka buku itu, Ryouta mau tidak mau tersenyum dalam hati. Di salah satu halaman buku yang sudah kusam itu, tergambar sosok seorang anak perempuan sedang mengelus wajah seekor kadal raksasa berkulit merah membara yang tampak menakutkan. Dan di halaman buku itu, tertulis sebuah kalimat singkat.

    “Walaupun tahu kami berdua berbeda, tapi pada akhirnya kami bisa memahami satu sama lainnya, karena ... kini kami adalah teman.”

    Ryouta membaca kalimat yang tertulis di halaman buku itu, kemudian mendongak dan menatap ke arah Maria yang sedang sibuk bermain dengan kawanan backpacker yang ukurannya jauh lebih besar darinya. Melihat sosok Maria yang seperti itu, Ryouta menghela nafas panjang dan menutup buku yang baru dibacanya.

    Dasar Maria, bisa-bisanya dia membayangkan dirinya melakukan hal yang seharusnya hanya sebuah imajinasi manusia ini, gumam Ryouta dalam hati.

    Meskipun sering membuatnya kesal, tapi Maria juga sering membuat Ryouta kagum. Terutama karena gynoid itu sering kali bertingkah lebih manusiawi dari para manusia yang dulu pernah dia temui sebelum Catastrophy terjadi ratusan tahun lalu. Dalam hati, dia mempertanyakan apakah ini tujuan Mother melahirkan generasi-generasi baru seperti Maria? Generasi-generasi robot yang lebih manusiawi? Generasi penghuni Bumi yang selanjutnya?

    Namun apapun pertanyaan yang muncul dalam benak Ryouta, kini dia tahu satu hal yang pasti. Masa depan ras robot ada di tangan generasi baru seperti Maria, generasi robot yang memiliki imajinasi dan penuh rasa ingin tahu. Robot-robot kuno seperti Ryouta dan Buggy hanya bisa memandu generasi baru seperti Maria, dan memastikan mereka tidak membuat masalah yang sama seperti ras manusia dulu.

    “Ayo kita ajak Maria pulang, sebelum dia mulai membuat masalah lagi,” ujar Ryouta pada Buggy.

    “Setuju!” sahut robot kecoa itu sambil melayang dan mendarat di pundak Ryouta. “Dan kalau sudah sampai di rumah, apa yang pertama kali ingin kau lakukan?”

    Kalau dia bisa nyengir lebar, Ryouta pasti sudah melakukannya sekarang.

    “Tentu saja aku akan menasihati Maria sampai dia mati bosan!”

    ****

    -FIN?-​

    Fuhaa~! Selesai juga posting chapter baru Everyday Adventure ini.

    Cerita ini juga bisa dibaca di blog saia: Red Sign Palace

    P.S.
    Ada ilustrasi-ilustrasi spesial di (hampir) setiap chapter Everyday Adventure yang diposting di blog saia. So, check it out :top:

    Bagi yang berminat untuk mendapatkan versi cetak dari LN Everyday Adventure ini, dapat menghubungi saia melalui email:

    kaminariayato@gmail.com

    dengan mencantumkan format sebagai berikut:
    - Nama :
    - Alamat/ no hp :
    - Jumlah barang :

    Pembayaran nanti melalui rekening Mandiri (nomornya akan saya berikan melalui email).
     
  15. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Everyday Adventure V

    Yeah, walopun besok adalah saatnya ber-NaNoWriMo-ria, hari ini saia sempatkan update trit dulu biar ga tenggelam di lautan trit SF-Fiction ini :elegan:

    Everyday Adventure V

    Ryouta berdiri di tengah reruntuhan bangunan yang sedang terbakar. Android bertubuh besar itu memandang ke sekelilingnya dan bertatap mata dengan ratusan robot berbagai bentuk yang mengarahkan senjata ke arahnya.

    Meskipun dikepung oleh sekian banyak robot bersenjata, Ryouta tidak gentar. Dia adalah Guardia. Robot pelindung. Benteng pertahanan manusia. Bagi sebuah robot sepertinya, gempuran ratusan robot bersenjata maut sama sekali bukan masalah, terlebih karena saat ini dia sedang melindungi sesuatu yang sangat berharga.

    Di belakang sosok raksasa Ryouta, terlihat sebuah pesawat luar angkasa yang sedang bersiap mengudara. Di dalam pesawat putih itulah bibit-bibit manusia akan berkelana ke seluruh penjuru galaksi, mencari tempat baru untuk tinggal dan membangun kembali ras mereka yang hampir punah. Sejak terjadinya perang besar yang menyapu sebagian besar manusia, dan bahkan menghancurkan setengah bulan, manusia harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Terlebih karena ternyata masih banyak manusia yang haus darah akan manusia lainnya, dan terus berperang, meskipun tahu itu justru akan mempercepat kepunahan mereka.

    “Aku tidak akan membiarkan satu pun dari kalian lewat!”

    Ryouta meraung murka sambil membuka semua sistem persenjataannya. Puluhan tabung misil dan belasan katup homing laser langsung tersingkap dari sekujur tubuhnya, membuat sosoknya yang sudah menakutkan menjadi semakin mengerikan. Namun bersamaan dengan itu, robot-robot yang mengepungnya juga melepaskan tembakan dari senjata-senjata mereka.

    Seketika itu juga seluruh dunia menjadi putih bersih. Ryouta tidak bisa melihat apapun dan tidak bisa mendengar apapun. Yang dia tahu adalah dia harus terus menembak dan menghancurkan apapun yang berani mencoba melewati pagar pembatas area peluncuran di belakangnya. Hanya berbekal sensor-sensor panas dan gerak di tubuhnya, Ryouta mengamuk dan menembak ke arah apapun yang bergerak di dekatnya. Tidak peduli apakah itu robot, ataukah itu manusia.

    Dia tidak tahu berapa lama dia bertarung membabi-buta seperti itu. Yang dia tahu, dia harus bertahan selama mungkin, selagi pesawat di belakangnya itu bersiap meluncur ke angkasa, membawa harapan baru bagi ras manusia.

    Di tengah kekacauan yang melanda sekitarnya, Ryouta mendadak mendengar suara deru nyaring dan menoleh sekilas ke belakang. Pesawat putih yang tadi ada di belakangnya, kini sudah mengudara dengan diiringi semburan mesin ion berkekuatan dahsyat, dan suara menggelegar yang menghancurkan semua kaca jendela gedung di sekitarnya. Melihat pesawat itu lepas landas, Ryouta tersenyum lebar dalam hati. Dia tahu tugasnya sudah selesai sekarang dan dia pun akhirnya bisa merasakan kedamaian.

    Dan hal terakhir yang di ingat Ryouta adalah sebuah tembakan laser yang dengan telak menembus dadanya.

    ****

    Ketika Ryouta terbangun, awalnya dia bingung di mana dia berada. Tapi atap rendah, jendela kecil di seberang tempat tidur, dan jaket hijau lengan buntung yang tergantung di belakang pintu logam membuatnya sadar, dia ada di dalam kamarnya di kota Bravaga.

    Perlahan-lahan android bertubuh besar itu bangkit dan memegangi kepala dengan sebelah tangannya.

    “Kenapa aku tiba-tiba mengingat kejadian itu ya?” Ryouta bergumam pada dirinya sendiri.

    Dia lalu menoleh ke arah cermin tua yang tergantung miring di dinding kamar sempitnya. Di balik cermin itu, dia melihat sosok android kekar bermata satu yang tampak sudah terlalu tua untuk masih bisa hidup dan berjalan. Namun setelah mimpi barusan, dia jadi teringat sosok aslinya dulu, sewaktu robot seperti dirinya masih dinamai dengan nama Guardia, dan ditakuti sebagai sosok android perang yang kokoh bagai benteng tidak tertembus. Di masa itu, Ryouta dijuluki sebagai Benteng Putih dan sempat dianggap sebagai pahlawan.

    Tapi itu semua sudah jadi kenangan masa lalu. Kini dia hanya sebuah android yang mendedikasikan dirinya untuk membangun kota Bravaga.

    Lupakan soal masa lalumu, Ryouta! Ada hal yang lebih penting sekarang! Gumam Ryouta dalam hati.

    “Ryouta~!”

    Sebuah seruan nyaring membuat Ryouta langsung menoleh ke arah jendela dan melihat sesosok gynoid berambut hitam berdiri di luar sana. Gynoid itu tersenyum ke arahnya sambil berkacak pinggang, sementara di kusen jendela merayap sesosok robot kecoa yang ukurannya kelewat besar.

    “Maria, Buggy? Sedang apa kalian di sini?” tanya Ryouta sambil bangkit dan mengenakan jaket hijau favoritnya. “Kukira kalian hari ini akan sibuk membantu Trisha di perpustakaan?”

    Maria dan Buggy saling pandang sejenak, lalu Maria tersenyum lebar ke arah Ryouta.

    “Ah! Memang harusnya sih begitu, tapi hari ini ada hal penting yang harus kami lakukan,” jawab Maria, masih sambil tersenyum lebar. “Tapi aku butuh bantuanmu untuk itu.”

    Ryouta memicingkan satu-satunya mata yang dia punya ke arah Maria. Sejak gynoid itu menemukan letak perpustakaan kuno kota Bravaga dan berkenalan dengan Trisha, gynoid penjaga perpustakaan itu, Maria jadi sibuk membantu pekerjaan di sana. Bagi Ryouta, itu bagus sekali, soalnya ketika Maria sibuk di perpustakaan, dia jadi lupa untuk membuat masalah. Tapi sepertinya hari ini Maria baru saja menemukan sesuatu yang membuatnya bersemangat, dan firasat Ryouta mengatakan ini ada hubungannya dengan suatu masalah.

    “Oke, sebelum aku bilang ‘aku akan membantumu’, kau harus jelaskan dulu apa yang harus kubantu,” ujar Ryouta sambil berjalan menghampiri Maria. “Baru setelah itu aku akan memutuskan mau membantu atau tidak.”

    Mendengar ucapan Ryouta, Maria merengut sedikit. Dan itu artinya apapun bantuan yang dibutuhkan Maria, pastinya akan membuat Ryouta kerepotan.

    “Kami dimintai bantuan oleh kakek Tesla dari Central Tower untuk mencari sesuatu di reruntuhan kota kuno. Dan pastinya kami tidak akan sampai di tempat tujuan kalau tidak dibantu olehmu.” Kali ini Buggy yang bicara sambil merayap masuk dan naik ke bahu Ryouta. “Ayolah, kau tahu seberapa bahayanya tempat itu untuk kami berdua.”

    Ryouta menghela nafasnya. Tentu saja dia tahu. Soalnya beberapa waktu yang lalu mereka bertiga sempat menjelajah ke bekas kota manusia itu, dan kemudian diserang oleh sebuah robot liar di tengah jalan. Meskipun waktu itu Maria melakukannya demi merayakan ulang tahun Ryouta, tapi dia sudah berpesan pada gynoid itu untuk tidak nekat menjelajahi reruntuhan kota tua itu lagi.

    “Ayolah! Kan kali ini juga ada kamu, Ryouta. Jadinya pasti tidak ada masalah!” bujuk Maria sambil memasang tampang memelas.

    Ryouta paling tidak suka kalau gynoid itu sudah bersikap seperti itu, karena meskipun berkali-kali menolak, pada akhirnya dia pasti akan menuruti permintaan Maria.
    Sambil menepuk wajahnya dengan sebelah tangan, Ryouta mengangguk.

    “Baiklah, akan kutemani kalian ke sana,” ujarnya dengan enggan.

    “Yey~!” sorak Maria sambil melompat ringan.

    “Tapi dengan satu syarat!” ujar Ryouta sebelum Maria sempat mengatakan apapun. “Kalian berdua jangan jauh-jauh dari ku, dan jangan sentuh apapun yang terlihat mencurigakan.”

    Maria mengangguk penuh semangat, kemudian tersenyum lebar.

    “Tentu saja! Aku akan ingat itu!” serunya bersemangat. “Jangan khawatir!”

    Mana bisa aku tidak khawatir. Nanti kau pasti lupa soal nasihatku itu dan seenaknya pergi menjelajah, gerutu Ryouta dalam hati.

    ****

    Ryouta ingat terakhir kali mereka menjelajah reruntuhan kota di selatan Bravaga ini, mereka menghadapi serangan sebuah robot liar. Robot yang sistem cyber-brain-nya sudah tidak lagi berfungsi itu nyaris melumat Maria, kalau saja Ryouta tidak turun tangan dan menghabisi nyawa robot kuno itu. Dan seperti yang terakhir kali diingat olehnya, kondisi kota yang dulu sekali dipenuhi oleh manusia itu tidak banyak berubah. Masih saja terlihat kosong dan menakutkan sejak ras penguasa bumi itu punah, lebih dari 500 tahun yang lalu.

    Deretan gedung-gedung kosong masih berdiri tegak dan semakin dipenuhi oleh tumbuhan yang kini merajai kota. Beberapa kali Ryouta melihat sosok-sosok backpacker atau tumbuhan berjalan yang melintasi sela-sela gedung yang kosong. Tapi kali ini dia tidak melihat atau mendeteksi adanya robot liar atau semacamnya.

    “Aman?” tanya Maria sambil berjalan di samping Ryouta.

    Ryouta mengangguk.

    “Sejauh ini sih aman,” jawabnya sambil memandang berkeliling. “Sebenarnya apa sih yang kalian cari kali ini?”

    Maria saling pandang dengan Buggy sejenak.

    “Potongan sejarah kuno ras manusia,” sahut Maria singkat. Dia lalu mengambil sepotong kertas tebal dari tas kain yang dia bawa. “Coba lihat ini.”
    Ryouta terkejut melihat gambar yang tercetak di atas potongan kertas itu. Potongan kertas yang dibawa Maria itu merupakan sebuah poster bergambar sebuah kompleks bangunan mewah, dan sebuah pesawat luar angkasa besar berwarna putih yang menghiasi bagian belakang bangunan itu. Di bagian bawah poster kuno itu, tercetak sebuah tulisan yang sudah pudar hingga agak sulit dibaca.

    “Project Starchild,” gumam Ryouta sambil membaca tulisan kabur di poster itu. “Di mana kau temukan ini?”

    “Di gudang perpustakaan kuno Trisha. Kami menemukan itu teronggok bersama ratusan kertas-kertas lainnya,” sahut Maria dengan entengnya. “Memangnya kenapa?”

    Ryouta diam sejenak. Tiba-tiba di dalam kepalanya, dia bisa melihat dengan jelas gambaran gedung putih yang dipenuhi oleh ribuan manusia, yang sebagian besarnya adalah anak-anak. Dia juga bisa melihat jelas deretan sosok android-android raksasa yang memiliki bentuk mirip dengan dirinya. Sejenak Ryouta bisa mendengar seruan kekaguman anak-anak manusia itu ketika mereka menghampiri dan mengamati dirinya yang berdiri kokoh menjaga sebuah pesawat putih raksasa yang menjulang ke langit. Dia lalu mengingat satu kata yang diucapkan oleh seorang anak perempuan yang memandanginya dengan tatapan kagum saat itu: Kalau aku besar nanti, aku ingin jadi pelindung seperti dia.

    “Ryouta? Kau tidak apa-apa?”

    Suara Maria membuat Ryouta kembali sadar. Android besar itu menggelengkan kepalanya dan menatap ke arah gynoid di sampingnya itu.

    “Apa?” tanyanya.

    “Kau terlihat aneh akhir-akhir ini. Apa kau tidak apa-apa?” tanya Maria dengan nada khawatir. “Apa kau perlu pergi menghadap Mother untuk diperiksa?”

    Ryouta menggelengkan kepalanya, kemudian menepuk pelan kepala Maria.

    “Aku tidak apa-apa,” ujarnya sambil mendorong punggung Maria dengan lembut. “Sana, kau bisa jalan duluan. Tapi ingat, jangan jauh-jauh dari ku!”

    Maria langsung tersenyum lebar dan melompat-lompat ringan di antara reruntuhan tembok dan bangkai mobil yang berserakan di jalan. Sementara gynoid itu menjelajah dengan riang, Ryouta memegangi kepalanya dan terdiam sejenak.

    “Sepertinya diinjak-injak oleh backpacker benar-benar bikin kepala terasa tidak enak ya?”

    Tiba-tiba Buggy berkomentar sambil terbang melingkar di sekitar Ryouta, kemudian mendarat di atas kepala android besar itu.

    “Benar kau tidak perlu pergi ke Mother untuk diperiksa? Aku punya firasat kau mengalami kerusakan fisik juga waktu itu,” ujar Buggy sambil mengetuk-ngetukkan kakinya ke kepala Ryouta. “Ingat loh, kalau ini sampai rusak, kau pasti mati.”

    Ryouta mendengus sambil meraih tubuh Buggy dan memindahkan robot kecoa itu ke bahunya.

    “Aku tahu itu,” sahut Ryouta. “Toh aku sudah pernah mati sekali.”

    Buggy mengetuk pipi Ryouta dengan salah satu kaki kurusnya.

    “Kalau gitu jangan sampai mati lagi,” ujarnya sambil memandang ke arah Maria yang semakin jauh melompat-lompat ke ujung jalan. “Nanti Maria sedih.”

    “Aku tahu itu,” sahut Ryouta singkat.

    ****

    Perjalanan menembus reruntuhan kota kuno terasa semakin berat, terutama ketika Ryouta, Buggy, dan Maria semakin dekat ke sisi terjauh dari kota. Wilayah yang dulu merupakan pusat kota itu kini dipenuhi dengan reruntuhan gedung yang roboh semasa Catastrophy dulu. Jalanan utama yang membelah kota itu kini tidak terlihat lagi, dan ini membuat Maria kebingungan.

    “Aduh! Ke mana lagi nih?” serunya sambil memperhatikan peta kumal yang jadi satu dengan poster tua yang dipegangnya. Tapi percuma saja. Peta itu menunjukkan rute jalan yang sudah tidak ada lagi sekarang. Jadi rasanya percuma saja dia masih berkutat untuk menemukan lokasi bangunan yang tertera di peta itu dengan kondisi kota saat ini. Menyadari hal itu Maria lalu mendongak ke arah Buggy yang melayang jauh di atas sana.

    “Ketemu tidak?” serunya pada robot kecoa yang terbang tinggi di udara itu.

    Buggy melayang turun dan mendarat di pundak Maria, kemudian menggoyangkan tubuhnya.

    “Maaf ... ini seperti mencari sepotong besi di antara tumpukan reruntuhan beton,” sahut Buggy. Dia lalu balik memandang ke arah Ryouta yang kini berdiri di atas sebuah rongsokan tank berkarat. “Menemukan sesuatu?”

    “Lewat sini.”

    Ryouta menghiraukan pertanyaan Buggy dan mulai berjalan melintasi kerimbunan semak tumbuhan berjalan, yang langsung menyingkir melihat sosok besar yang tiba-tiba menghampiri mereka. Maria dan Buggy sempat bingung sejenak, tapi mereka lalu berjalan mengikuti Ryouta.

    Selama beberapa saat, tiga robot itu berjalan melintasi semak dan pepohonan tumbuhan berjalan, yang tampak protes ketika seenaknya diterabas. Beberapa sulur dan ranting tumbuhan mutan itu sempat membelit atau menampar tubuh ketiganya, tapi Ryouta dan Maria dengan mudah membebaskan diri dari tumbuhan-tumbuhan itu. Hanya Buggy yang sesekali tersangkut dan harus dibantu oleh kedua temannya untuk melepaskan belitan tumbuhan berjalan dari tubuhnya.

    “Kau mau ke mana sih?” tanya Maria penasaran.

    “Iya, benar. Mau ke mana kau?” timpal Buggy, sambil sekali lagi berusaha membebaskan diri dari sulur tumbuhan yang kembali membelit tubuhnya.

    Tapi Ryouta tidak menjawab. Android bertubuh besar itu terus melangkah maju tanpa ragu sedikit pun, seolah-olah dia benar-benar mengenal daerah kota kuno ini. Dan itu memang benar, bagi Ryouta, berjalan di daerah ini adalah sesuatu yang dulu sekali dia lakukan setiap hari. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi manusia yang memandang kagum atau hormat kepadanya. Yang ada hanya kerimbunan tumbuhan berjalan dan kawanan backpacker mungil yang sesekali menampakkan diri karena penasaran.

    Rasanya benar-benar janggal, gumam Ryouta dalam hati. Lebih dari 500 tahun yang lalu, tempat ini begitu ramai. Sekarang semuanya nyaris sunyi senyap. Jejak-jejak manusia juga sudah nyaris hilang ditelan kerimbunan tumbuhan. Semuanya sudah berubah ...
    Setelah bersusah payah selama beberapa jam, akhirnya Ryouta, Maria, dan Buggy sampai di sebuah lapangan terbuka. Ketika akhirnya sampai di tempat itu, Maria dan Buggy langsung berseru kagum.

    Saat ini ketiganya sedang berada di sebuah lapangan luas yang dikelilingi oleh bekas bangunan pencakar langit, yang dulunya pasti terlihat begitu megah, meskipun sekarang hanya tinggal reruntuhan saja. Di depan mereka tampak sebuah jalan lebar yang aspalnya sudah hancur, namun masih menyisakan kemegahan masa lalunya. Jalan itu mengarah lurus ke arah sebuah gerbang tinggi yang pintunya sudah tidak ada lagi. Satu hal yang membuat tempat ini begitu menakjubkan adalah kerimbunan tumbuhan liar berbunga yang menutupi sebagian besar reruntuhan bangunan.

    “Tempat apa ini?” tanya Maria pada Ryouta. “Ini indah sekali!”

    “Ini tempat yang kau cari,” sahut Ryouta singkat. Dia lalu menunjuk ke arah sebuah gedung bundar yang setengahnya sudah runtuh. “Coba cocokkan bentuk dasar bangunan itu dengan gambar di poster.”

    Tanpa basa-basi, Maria menarik keluar poster tuanya dan mengamati bentuk gedung yang ditunjuk Ryouta. Dia terkesiap melihat kalau temannya itu benar! Ini adalah lokasi kompleks yang dia cari-cari.

    “Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Maria heran bercampur kagum.

    “Ayo, lewat sini,” ujar Ryouta tanpa menghiraukan pertanyaan Maria.

    Android besar itu lalu melangkah melewati pintu depan gedung, kemudian mulai membersihkan jalan yang akan dia lewati dari puing-puing bangunan. Setelah berusaha selama beberapa saat, dia lalu sampai di sebuah ruangan luas yang masih cukup utuh. Di sisi ruangan itu terdapat puluhan meja meja resepsionis yang sudah setengah hancur karena dimakan usia. Tapi cukup jelas terlihat ruangan luas ini adalah lobi utama dari kompleks gedung ini.

    “Wow! Tempat apa ini?” Maria bertanya sambil mulai berjalan mengelilingi ruangan. Dengan segera gynoid itu tertarik pada benda-benda kecil yang berserakan di lantai. Sebagian besar benda logam itu langsung hancur ketika dia sentuh karena begitu lapuk. Tapi beberapa masih bertahan dan menunjukkan bentukan sebuah bintang, dengan hiasan sebuah pesawat luar angkasa di depannya. Setelah mengamati benda itu beberapa saat, dia lalu berdiri dan mengacungkan benda yang dia pegang itu tinggi-tinggi di udara. “Ryouta, kau tahu apa ini?”

    Ryouta memandangi benda kecil yang dipegang Maria selama beberapa saat.

    “Itu pin dengan logo Project Starchild,” sahutnya dengan nada agak muram. “Dulu sekali orang-orang yang mengikuti proyek itu mendapatkan pin spesial, yang memberi mereka kebebasan untuk mengakses seluruh tempat ini.”

    Begitu mendengar penjelasan Ryouta, Maria langsung terbelalak. Dia baru menyadari bahwa rekannya itu sepertinya begitu mengenal tempat ini. Walaupun wajah Ryouta tidak bisa menunjukkan ekspresi apapun, tapi Maria nyaris yakin kalau temannya itu sedang sedih. Seolah-olah seluruh tempat ini membawa kenangan yang tidak ingin diingatnya.

    “Ryouta, kau tahu ini tempat apa kan?” tanya Maria sambil berjalan menghampiri android bertubuh besar itu. “Kulihat sejak tadi kau tampak tahu segala sesuatu tentang kompleks bangunan ini.”

    Ryouta mengangguk perlahan.

    “Ya, aku tahu,” jawabnya singkat.

    “Kalau begitu, ceritakan padaku tempat apa ini!” seru Maria dengan penuh semangat. “Benarkah ini dulu tempat manusia bersiap untuk pergi ke bulan? Benarkah mereka dulu bisa terbang lebih cepat dari cahaya? Ayo, beri tahu aku! Kan tujuan kita ke sini untuk itu.”

    Ryouta menepuk kepala Maria dengan lembut. Dia lalu menatap ke arah Buggy yang sedang menyusup ke dalam tumpukan kotak logam yang teronggok di sudut ruangan.

    “Buggy! Aku dan Maria akan pergi ke belakang, kau periksalah tempat ini, mungkin ada sesuatu yang bisa kau bawa pulang,” ujar Ryouta.

    “Hah?! Apa? Itu tidak adil!” protes Buggy sambil merayap keluar dari sebuah kotak. Tapi begitu dia melihat tatapan mata Ryouta, dia langsung berbalik sambil menggerutu. “Ah ... dasar Ryouta suka pilih kasih!”

    Ryouta mengabaikan protes Buggy dan menggiring Maria melewati koridor panjang yang setengah runtuh. Beberapa kali Ryouta harus menggunakan tenaganya untuk menyingkirkan potongan tembok atau atap yang menghalangi jalan. Tapi dalam waktu singkat, keduanya berhasil keluar dari gedung dan berhadapan dengan sebuah hutan, yang dulunya adalah sebuah lapangan luas. Beberapa gedung tinggi yang terbuat dari logam masih berdiri kokoh di sana-sini, dan sebuah menara aneh tampak menjulang di kejauhan.

    “Wow! Tempat apa ini?” tanya Maria penasaran.

    Ryouta memandangi menara tinggi di kejauhan dengan tatapan sedih.

    “Itu adalah menara peluncuran pesawat luar angkasa yang membawa anak-anak manusia pergi meninggalkan bumi. Pada jaman dahulu kala, manusia yang putus asa dengan kondisi bumi memutuskan untuk mengirim generasi baru mereka ke luar sana, demi mencari tempat tinggal baru,” ujar Ryouta sambil terus memandangi menara peluncuran yang sudah berkarat itu. “Itu sebabnya proyek ini disebut sebagai Project Starchild, atau proyek anak-anak bintang.”

    Maria memandangi Ryouta dengan tatapan tidak percaya. Sejak pertama mengenal Ryouta beberapa belas tahun yang lalu, dia tahu kalau android bermata satu itu sudah berumur sangat tua. Tapi dia tidak pernah tahu seberapa tua umur Ryouta sebenarnya, tapi sekarang dia sadar kalau temannya itu sudah ada sejak jaman sebelum Catastrophy terjadi. Meskipun rasanya mustahil ada mesin yang bertahan selama itu, tapi itulah kenyataannya.

    “Jadi ... kau ini ...”

    “Mesin sepertiku ini disebut Guardia,” potong Ryouta. “Kau sudah pernah dengar nama itu disebut sebelumnya kan?”

    Maria mengangguk. Memang Mother, kakek Tesla, dan Dokter yang ditemuinya setelah insiden dengan kawanan Backpacker pernah menyebutkan nama itu. Tapi dia tidak pernah tahu apa artinya.

    “Apa itu Guardia?” tanya Maria penasaran.

    “Mesin perang kuno yang dirancang sebagai benteng pelindung umat manusia dari serbuan senjata penghancur massal yang disebut dengan nama ... Machina,” ujar Ryouta sambil mulai berjalan menembus hutan. “Dulu ada banyak mesin seperti ku. Tapi hanya aku yang masih bertahan sampai sekarang.”

    Maria baru akan bertanya, tapi Ryouta sudah keburu bicara lagi.

    “Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Guardia lainnya,” ujar Ryouta, seolah bisa membaca pikiran Maria. “Mungkin mereka sudah lama mati. Tidur. Atau ... yah ... berubah menjadi robot liar. Biar bagaimanapun, tidak ada mesin yang bisa bertahan tanpa perawatan rutin selama ratusan tahun, terlebih lagi dengan adanya Catastrophy, rasanya sudah tidak ada lagi Guardia di tanah ini. Aku beruntung masih hidup samai sekarang.”

    Sembari bicara, tanpa sadar cyber-brain Ryouta memutar ulang rekaman kejadian masa lalunya. Saat-saat ketika dia pertama kali bangun di pabrik pembuatan Guardia. Saat-saat ketika pertama kali dia terjun ke medan perang. Dan saat-saat menyedihkan ketika dia beberapa kali gagal menjalankan tugasnya melindungi manusia dari serbuan Machina. Yang membuat Ryouta tidak tahan bukanlah ingatannya akan kengerian medan perang, melainkan ingatannya akan wajah-wajah gembira dan penuh harap dari orang-orang yang dulu bergantung pada dirinya. Wajah-wajah yang kini tidak akan pernah dia lihat lagi selamanya.

    “Ryouta? Kau tidak apa-apa?”

    Lagi-lagi suara Maria membangunkan Ryouta dari ingatan masa lalunya.

    “Tidak,” sahut Ryouta. “Hanya saja berada di tempat ini membuat cyber-brain ku mengulang kembali rekaman masa lalu. Dan itu ... membuatku merasa ... sedih. Dulu aku pernah gagal melindungi tempat ini dan aku masih menyesalinya sampai hari ini.”

    Maria memandangi sosok besar Ryouta dengan tatapan kagum. Dibalik balutan rangka neo-titanium yang sangat kokoh itu, terdapat jiwa lembut yang sudah berumur begitu tua, hingga sulit dibayangkan sudah berapa banyak peristiwa yang disaksikan oleh Guardia kuno itu.

    Tanpa sadar Maria langsung berlari memeluk Ryouta dari belakang.

    “Ryouta ... maafkan aku,” ujar Maria. “Aku selalu saja membuatmu merasa kesulitan. Bahkan sekarang, aku masih membuatmu mengingat kembali kesedihanmu.”
    Ryouta membelai lembut kepala Maria. Inilah yang membuat Ryouta begitu menyayangi Maria. Meskipun gynoid itu suka sekali membuat masalah, tapi sebenarnya Maria adalah robot yang baik. Hanya saja dia belum mengerti di mana tempatnya dalam tatanan masyarakat robot di Bravaga. Itulah yang membuat Maria senang mengganggu robot lain dan membuat kekacauan. Maria tidak lebih dari seorang anak kecil, sama seperti anak-anak manusia yang dulu memenuhi fasilitas Project Starchild ini.

    “Sudahlah, ayo kita pergi ke menara peluncuran. Kurasa masih ada beberapa artifak kuno peninggalan manusia yang ditinggalkan disana,” ujar Ryouta sambil melepaskan pelukan Maria dengan lembut.

    “Iya, ayo,” sahut Maria sambil tersenyum.
    ****

    Seperti ingatan Ryouta lebih dari 500 tahun yang lalu, kondisi menara peluncuran itu tidak banyak berubah. Bangunan yang sepenuhnya terbuat dari campuran neo-titanium dan logam nanokarbon itu masih bertahan menghadapi beratnya cuaca bumi setelah Catastrophy terjadi. Struktur utama bangunan itu masih utuh, hanya saja dinding-dindingnya kini sudah dipenuhi dengan tumbuhan menjalar. Di masa lalu ini adalah bangunan yang sangat megah, tapi kini menara itu tidak lebih dari sebuah bangunan tua yang menjadi saksi bisu kejayaan manusia di masa lampau.

    “Ini menakjubkan!” seru Maria sambil berdiri dan mendongak ke atas. “Aku bingung, gimana bisa manusia membayangkan untuk membuat sesuatu seperti ini?”

    Ryouta mengangkat kedua bahunya.

    “Manusia punya kekuatan imajinasi, sesuatu yang sampai generasimu tidak juga dimilik oleh ras robot. Berkat itu mereka bisa menciptakan bangunan-bangunan hebat seperti ini, dan mesin-mesin menakjubkan seperti diriku,” ujar Ryouta. Dia lalu menambahkan dengan muram. “Sayangnya karena imajinasi itu juga mereka punah.”
    Maria menepuk punggung Ryouta untuk memberi semangat.

    “Ayo! Kita jelajahi menara ini. Pastinya ada sesuatu yang bisa kita bawa pulang!” seru Maria sambil melangkah masuk ke dalam menara.

    Kondisi ruangan di dalam menara nyaris gelap total, tapi berkat sistem pandangan inframerah yang dimiliki Ryouta dan Maria, kegelapan seperti itu bukan masalah. Dengan segera kedua robot itu menjelajahi ruangan-ruangan yang dulu digunakan untuk persiapan peluncuran. Namun tidak banyak yang tersisa. Mesin-mesin canggih yang dulu mengatur seluruh menara ini sudah lama hancur, dan tidak mungkin lagi berfungsi. Barang-barang yang sepertinya dulu digunakan manusia untuk hidup, kini juga sudah nyaris tidak berbentuk karena dimakan usia.

    “Rasanya tidak ada apa-apa di sini,” ujar Ryouta sambil membalik sebuah kotak logam berkarat dan menumpahkan isinya yang sudah menjadi pasir. “Ayo kita kembali ke gedung utama saja. Mungkin Buggy menemukan sesuatu yang menarik.”

    Maria memandangi Ryouta dengan perasaan kecewa. Tapi dia lalu melihat sebuah pintu yang sedari tadi luput dari pandangannya, karena pintu itu setengah tertutup oleh reruntuhan langit-langit yang terbuat dari beton. Sekilas dia bisa membaca tulisan ‘Ruang Dokumentasi’ di pintu logam berkarat itu.

    “Hei, itu pintu apa?” seru Maria sambil menunjuk ke arah pintu yang dia maksud.

    Ryouta langsung menoleh dan menyadari kalau masih ada satu tempat yang belum mereka jelajahi. Tanpa berkata apapun, dia langsung bertindak dan menyingkirkan reruntuhan yang menghalangi jalannya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk melakukan itu.

    “Nah, ayo kita buka pintunya,” ujar Ryouta sambil mengulurkan tangan dan menjebol pintu logam berat itu dengan satu sentakan kuat. Begitu pintu di depannya sudah terbuka, dia lalu mundur dan membiarkan Maria masuk terlebih dahulu.

    “Ryouta! Ini hebat!”

    Ryouta mendengar seruan Maria dari dalam ruangan dan bergegas masuk mengikuti gynoid itu. Begitu sampai di dalam, dia tertegun melihat deretan rak-rak berisi ratusan buku dan kristal memori yang masih tersimpan begitu raih. Rupanya sejak ditinggalkan oleh manusia ratusan tahun yang lalu, ruangan ini tertutup rapat dan kedap udara, sehingga apapun yang ada di dalamnya masih bertahan dari ganasnya iklim bumi saat Catastrophy melanda.

    “Ini ... luar biasa,” gumam Ryouta sambil mengambil sebuah kristal memori dari dalam sebuah kotak logam. “Aku tidak menyangka benda-benda seperti ini masih utuh.”

    Maria memandangi kristal mungil di tangan Ryouta dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

    “Apa isinya?” tanya Maria.

    “Aku tidak tahu,” jawab Ryouta jujur. Dia lalu memandang ke segala arah dan menemukan sebuah komputer kuno, yang bisa membaca isi kristal memori yang dia pegang. “Kuharap komputer kuno itu masih bisa dipakai.”

    “Kalau begitu, tunggu apalagi?”

    Tanpa menunggu persetujuan Ryouta, Maria tahu-tahu sudah membongkar mesin kuno itu dan memeriksa bagian-bagiannya. Sepertinya komputer kuno, yang masih lengkap dengan unit proyeksi layar holografisnya itu, masih benar-benar utuh. Hanya saja tidak ada sumber energinya, hingga tidak bisa dinyalakan. Masalah itu tentu saja mudah diatasi saat Ryouta mengeluarkan kabel energi dari tubuhnya dan menyambungkannya ke catu daya komputer itu.

    Butuh waktu beberapa menit sampai komputer berusia ratusan tahun itu untuk menyala kembali. Tapi penantian Ryouta dan Maria terbayarkan ketika melihat komputer kuno itu masih berfungsi dengan baik.

    “Ayo! Ayo! Masukkan kristalnya!” Maria berseru penuh semangat selagi Ryouta memasukkan kristal memori yang dia pegang ke slot khusus di komputer tua itu.

    Selama beberapa menit, komputer kuno itu berjuang membaca data yang tersimpan dalam kristal memori yang terhubung ke mesin pembacanya. Kemudian, sebuah rekaman video muncul di salah satu layar holografis yang melayang di atas unit komputer. Awalnya hanya satu, tapi kemudian layar-layar itu bertambah hingga jumlahnya puluhan buah. Masing-masing layar itu memutar rekaman video yang berbeda-beda, tapi ada kesamaan di antara rekaman-rekaman kuno itu, yaitu semuanya menampilkan sosok anak manusia yang sedang bicara dengan berbagai bahasa manusia. Mereka semua tampak gembira dan beberapa tidak henti-hentinya tertawa selagi bicara di hadapan kamera yang merekam perkataan dan ekspresi wajah mereka.

    “Ini ... luar ... biasa ...” Maria nyaris tidak bisa berkata-kata ketika menyaksikan rekaman-rekaman video itu.

    Dia lalu menoleh ke arah Ryouta dan melihat android besar itu berdiri mematung sambil memandangi salah satu layar holografis yang melayang di hadapannya. Berbeda dengan video lainnya, video yang ini menampilkan sosok seorang anak yang berada di pangkuan seorang wanita. Di belakang wanita itu, berdiri seorang pria yang juga tersenyum ke arah kamera.

    “Ryouta, kalau kau melihat rekaman ini, mungkin kami berdua sudah tidak ada.” Sang wanita dalam rekaman meraih wajah sang pria yang berdiri membungkuk di belakangnya. Dia lalu ganti menunduk dan membelai lembut rambut anak perempuan di pangkuannya. “Tapi mungkin ... mungkin saja anak kami ini masih bertahan hidup, dan mungkin berhasil sampai di bintang baru, dan menempati rumah barunya. Dan kalau harapan kami memang terwujud, kami merasa perjuangan kami selama ini sama sekali tidak sia-sia.”

    Selama beberapa saat, pasangan di dalam rekaman video itu terdiam dan saling pandang.

    “Kami tidak pernah sempat berterima kasih kepadamu. Berkat dirimu dan Guardia lainnya, kami dan semua anak-anak yang menjadi harapan masa depan kami bisa bertahan sampai sekarang.” Sejenak wanita di dalam rekaman video itu kembali terdiam. “Kami juga harus minta maaf karena dengan seenaknya, kami meninggalkanmu sendirian di bumi. Kami juga minta maaf karena selama ini telah bergantung pada perlindunganmu dan selalu berharap kau berdiri di depan kami sebagai benteng pertahanan.”

    Tiba-tiba percakapan terputus karena di dalam rekaman itu terdengar suara ledakan keras, dan seluruh rekaman terlihat berguncang keras. Menyadari mereka dalam bahaya, sang lelaki dalam rekaman mengambil alih kamera dan mengarahkannya ke wajahnya.

    “Ryouta, aku tidak tahu kapan para Machina itu akan sampai ke tempat ini. Yang jelas tidak lama lagi mereka akan menembus baris pertahanan akhir, dan akhirnya sampai ke menara peluncuran. Kalau itu sampai terjadi, maka semuanya akan sia-sia,” ujar sang lelaki sambil sesekali menoleh ke arah sang wanita dengan tatapan khawatir. “Untuk itu, sekali lagi kami akan bergantung pada perlindunganmu. Aku yakin tanpa kami minta, kau pasti akan terjun ke hadapan mereka dan melindungi kami.”

    Segera setelah mengatakan itu, sang lelaki meletakkan kameranya kembali ke tempatnya. Rekaman video kuno itu kini menunjukkan sosok sang lelaki dan wanita yang sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa, entah ke mana. Tapi selagi keduanya sibuk berkemas, sang anak perempuan berjalan mendekati kamera dan menatap ke arah kamera dengan tatapan heran.

    “Halo?” ucapnya dengan polos. “Halo robot putih? Kata mama dan papa kita mau pergi ke bulan. Tapi aku sedih karena robot putih tidak bisa ikut. Papa bilang robot putih enggak muat masuk roket, jadi robot putih harus tinggal di rumah.”

    Sejenak anak kecil itu berhenti bicara, kemudian menunjukkan sebuah boneka yang wujudnya mirip sekali dengan sosok Ryouta di masa lalu.

    “Tapi biar aku ingat terus dengan robot putih, mama ngasih aku ini,” ujarnya sambil tersenyum lebar ke arah kamera. “Jadinya biar robot putih enggak ikut, aku jadi enggak kesepian. Robot putih juga biar enggak kesepian, kukasih ini ya.”

    Anak kecil itu lalu ganti menunjukkan sebuah boneka anak perempuan di tangannya yang lain, kemudian menggoyangkan benda itu di depan kamera. Tapi sebelum anak itu sempat bicara lagi, kamera sudah berpindah mengarah kembali ke wajah sang lelaki.

    “Kami harus pergi sekarang. Barusan ada kabar beberapa Machina berhasil menembus gerbang timur dan akan sampai di sini sebentar lagi. Sudah tidak ada waktu lagi,” ujar lelaki itu dengan nada terburu-buru. “Maafkan kami dan selamat tinggal, Ryouta.”

    Dan rekaman video itu pun putus sampai di situ.

    “Ryouta ...” Maria bergumam lirih sambil meraih sebelah tangan Ryouta dan menggenggamnya dengan erat. Dia tahu temannya itu sangat mengenal sosok manusia-manusia yang terekam dalam video barusan. Meskipun tidak bisa menampakkan ekspresi apapun, tapi Maria yakin Ryouta sedang mengalami kesedihan yang mendalam.

    “Ryouta, apa kau baik-baik saja?” ujar Maria lagi.

    Ryouta menoleh ke arah gynoid itu dan mengelus kepalanya dengan lembut.

    “Aku tidak apa-apa,” ujarnya sambil memandang sekilas ke arah layar-layar holografis yang masih memutar berbagai rekaman video di sekitarnya. “Ini sepertinya rekaman video kenangan dari anak-anak yang dikirim ke luar angkasa. Aku tidak tahu benda-benda seperti ini masih utuh sampai sekarang. Kupikir semuanya sudah musnah waktu ...”

    Ucapan Ryouta terputus ketika melihat sesuatu dalam kotak tempat dia menemukan kristal memori barusan. Benda itu tidak lain adalah sebuah boneka kain kecil yang setengah tertimbun oleh tumpukan kristal-kristal memori lainnya. Ketika mengangkat benda mungil itu, mata Ryouta terbelalak lebar karena menyadari itu boneka yang sama seperti yang baru saja terlihat di rekaman video barusan.

    Melihat boneka itu, Ryouta kembali terdiam. Dia tidak mampu berkata apapun. Cyber-brain canggihnya mendadak seperti baru saja kena hubungan arus pendek. Berbagai ingatan akan sang anak yang dia lihat di rekaman video barusan kembali terulang dalam benak Ryouta. Dalam ingatannya yang begitu jelas itu, Ryouta menyaksikan sebuah pesawat luar angkasa yang harusnya dia lindungi, berubah menjadi bola api membara saat sebuah Machina menembak jatuh pesawat itu. Saat itu juga, sang Guardia tua jatuh berlutut di lantai dengan suara keras. Saat itu juga sang pelindung tua ingin sekali dirinya dibekali kemampuan untuk menangis seperti Maria, supaya dia bisa menunjukkan betapa dia telah kehilangan terlalu banyak hal.

    “Maafkan aku! Aku telah gagal melindungi kalian!” seru Ryouta sambil meringkuk di lantai. “Maafkan aku!”

    Menyaksikan sosok besar Ryouta yang meringkuk sambil memeluk boneka kecil di tangannya membuat Maria terkejut. Tanpa sadar dia langsung menghampiri temannya itu dan memeluknya dengan lembut.

    “A ... aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi yang kutahu, kau tidak perlu sedih. Itu semua sudah berlalu,” ujar Maria sambil terus memeluk tubuh besar Ryouta. “Aku tidak tahu seperti apa masa lalumu, tapi aku yakin dulu Ryouta sama seperti Ryouta saat ini, seorang pelindung. Tanpa dirimu, mungkin aku sudah lama mati. Sudah tidak terhitung berapa kali kau menyelamatkanku, Ryouta.”

    Maria kembali mengingat-ingat sejak pertama kali dia bertemu Ryouta, dia selalu membuat masalah dan segalanya hampir selalu berakhir dengan sosok android bermata satu yang berlari menyelamatkan dirinya. Maria tidak tahu apa yang ada dalam benak Ryouta saat ini, tapi yang dia tahu, android itu begitu menyayangi sosok-sosok yang dilihatnya dalam video tadi hingga dia begitu sedih saat menyadari mereka semua sudah lama sekali tiada.

    Saat itu Maria membayangkan kesedihan yang akan melandanya, bila suatu hari kelak Ryouta ataupun Buggy sudah tidak ada bersamanya lagi. Perasaan itulah yang membuat
    Maria merasa dia memahami apa yang dirasakan Ryouta saat ini.

    Tanpa sadar Maria meneteskan air matanya dan mulai menangis bersama Ryouta.
    ****

    “Hei! Kalian ini ke mana saja sih? Tidak tahu aku sedang sibuk sendirian di tempat seluas ini?”

    Buggy berseru protes saat melihat Ryouta dan Maria akhirnya muncul setelah menghilang cukup lama. Awalnya dia mau marah, tapi melihat tumpukan kotak yang dibawa keduanya, rasa penasarannya langsung muncul seketika.

    “Apaan tuh?” tanyanya sambil merayap mendekati Ryouta dan Maria.

    "Kristal-kristal memori,” sahut Maria sambil tersenyum lebar. “Ada entah berapa banyak benda seperti ini di menara peluncuran di belakang sana. Pokoknya tempat ini penuh dengan harta karun sejarah ras manusia!”

    Mendengar perkataan Maria, kedua mata Buggy langsung berbinar-binar.

    “Benarkah?” ujarnya kagum, kemudian seperti anak kecil, Buggy melompat-lompat kegirangan. Sesuatu yang sebenarnya terlihat absurd, mengingat robot itu memiliki bentuk seperti seekor serangga raksasa. “Ayo! Ayo kita ke sana lagi! Tunjukkan padaku tempatnya!”

    Maria balas tersenyum, kemudian menyodorkan kotak-kotak yang dia bawa ke arah Ryouta.

    “Nih pegang dulu, aku mau menunjukkan tempat tadi pada Buggy,” ujarnya dengan riang. Tapi sebelum pergi, Maria berbisik pelan ke arah Ryouta. “Kau tidak perlu sedih lagi, ada aku sekarang di sisimu.”

    Segera setelah selesai bicara, Maria berlari pergi disusul oleh Buggy yang terbang di samping gynoid berambut hitam itu. Keduanya dengan cepat menghilang dibalik kerimbunan hutan yang membatasi jalan menuju menara peluncuran, dan meninggalkan Ryouta yang berdiri seorang diri.

    Ryouta menghela nafas panjang kemudian mendongak menatap langit biru berawan jauh di atas sana.

    Aku tidak tahu di mana kalian berada sekarang, tapi kalau kalian berhasil selamat dan mencapai rumah baru, kuharap kalian semua hidup dengan damai, gumam Guardia tua itu dalam hati. Dan sampai generasi baru penerus kalian kembali, aku akan terus menunggu kalian di sini.
    ****
    -Fin?-

    red_rackham 2013

    Also available (with special illustrations) at Red Sign Palace
     
  16. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Extra Adventure

    Yak, akhirnya saia posting juga chapter penutup dari Book 1 Everyday Adventure ini, sekaligus teaser sebuah project yang dikerjakan oleh ilustrator spesial saia: Sinlaire

    Enjoy~! :elegan:

    Extra Adventure

    “Titania~!”

    Seorang anak perempuan berambut hitam dan bermata cerah langsung menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia melihat seorang anak laki-laki berlari-lari kecil sambil menghampiri dirinya yang sedang sibuk melakukan pengecekan sistem kapsul hibernasi.

    “Apaan sih, Eugene? Enggak usah teriak-teriak gitu dong. Kan cuma ada aku di sini,” gerutunya sambil menekan sebuah tombol di panel kendali komputernya. “Ada masalah?”

    Anak laki-laki itu menggeleng.

    “Enggak, aku bosan karena dari tadi aku cuma sendirian memeriksa ruang mesin,” jawabnya enteng. Dia lalu menyunggingkan senyuman lebar. “Jadinya aku kepingin gangguin orang lain.”

    Titania mendengus kesal. Ini rotasi kelima baginya sejak pertama kali dia dan ribuan anak lainnya menaiki wahana Starchild ini. Rasanya sulit dipercaya sudah lebih dari 500 tahun mereka berkelana menjelajahi kedalaman luar angkasa untuk mencari planet tempat tinggal baru.

    Meskipun enam belas wahana dalam armada Starchild ini dapat beroperasi secara mandiri, tetap saja ada sistem yang secara bergilir memaksa lima orang anak untuk bangun dari kapsul hibernasi, kemudian bekerja sebagai awak kapal selama satu tahun. Dan walaupun ada ribuan anak yang tertidur dalam kapal raksasa ini, Titania dan Eugene sudah lima kali kena giliran jaga.

    “Kapal ini kayaknya suka sekali denganku,” gerutu Titania sambil menutup layar-layar holografisnya, namun menyisakan satu layar yang menunjukkan gambar tiga dimensi planet asal kelahirannya, bumi.

    Planet yang terlihat dalam layar holografis itu terlihat indah dengan campuran warna biru, putih, hijau, dan kecoklatan. Sama sekali berbeda dengan warna planet cokelat kemerahan yang terakhir kali dilihat Titania saat pesawat yang ditumpanginya ini meninggalkan bumi lebih dari 500 tahun yang lalu.

    “Sudah lama sekali ya ... rasanya enggak bisa dipercaya.” Eugene berkomentar ketika melihat planet kelahirannya itu di layar. Tanpa sadar air mata menggenang di kedua matanya yang berwarna cokelat tua. Dia lalu bicara dengan suara bergetar “Aku rindu ayah dan ibu ...”

    Ucapan Eugene membuat dada Titania terasa sesak. Gadis itu tanpa sadar meraih sebuah boneka yang diletakkan di sisi panel komputernya, dan memeluk erat boneka itu. Sama seperti Eugene dan ribuan anak lainnya di pesawat ini, Titania juga terpaksa harus meninggalkan kedua orang tuanya dan pergi mencari planet baru, sebagai bagian dari Project Starchild, usaha terakhir manusia untuk menyelamatkan rasnya dari kepunahan.

    “Kamu enggak usah nangis, Eugene,” ujar Titania sambil mengelus bahu temannya itu. “Papa mama bilang kita harus tegar, soalnya kita loh yang jadi anak-anak bintang pertama. Katanya juga kita yang bakalan menyelamatkan ras manusia. Jadi kita enggak boleh sering-sering nangis.”
    Eugene mengusap air matanya dan mengangguk.

    “Titania benar,” ujarnya sambil menghela nafas. “Ngomong-ngomong, aku pergi lihat adikku dulu di ruang hibernasi 110. Nanti aku balik lagi, ya!”

    “Hei! Bentar lagi kita masuk ke fold-cycle loh, jangan jauh-jauh dari kursi anti-gravitasi!” seru Titania pada temannya itu.

    “Iyaa~!” sahut Eugene.

    Sambil berlari-lari kecil, Eugene pergi meninggalkan Titania yang duduk sendirian, dengan ditemani sebuah boneka putih yang dia bawa dari bumi. Selama beberapa saat, anak perempuan itu memandangi boneka yang berwujud sosok robot bermata satu dan bertubuh kekar. Sosok itu dulu begitu dikaguminya dan ingatan akan sosok itulah yang membuatnya selalu tegar menjalani hari-harinya sekarang. Sosok itu adalah sebuah Guardia, mesin perang yang diciptakan untuk melindungi umat manusia dari serangan musuh. Dulu Titania benar-benar mengagumi dan mengidolakan satu Guardia, yang dia beri nama robot putih, meskipun nama asli mesin itu adalah Ryouta. Sosok sang Guardia yang selalu berdiri tegak menjaga kompleks Project Starchild, telah membuat Titania sampai sekarang bertekad untuk juga menjadi seorang pelindung.

    Titania menarik nafas panjang dan memeluk erat boneka yang merupakan satu-satunya peninggalan dari kedua orang tuanya itu.

    “Papa, mama, robot putih, di sini Titania. Aku tahu kalian sudah lama tiada, jadinya aku mau lapor dari sini ke surga saja,” ujarnya sambil menatap ke arah bintang-bintang gemerlap di luar jendela ruang tempatnya bekerja. “Di sini kami sehat-sehat saja, walaupun aku mulai khawatir sama Eugene yang lama-lama bikin makin ngeselin. Teman-teman yang lain juga sehat-sehat saja, walau aku cuma ketemu 3 orang lagi sih tiap giliran jaga tiba. Yang pasti aku enggak kesepian di sini.”

    Sejenak Titania berhenti bicara dan menutup kedua matanya. Dia lalu tersenyum ketika membayangkan kedua orang tua, dan sosok yang dikaguminya muncul dalam benaknya. Mereka tampak bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Titania sampai saat ini.

    Ketika dia membuka matanya lagi, Titania mengusap sedikit air mata yang sempat menetes di pipinya, kemudian menekan sebuah tombol di panel kendali komputernya.

    “Eugene! Kasih tahu yang lainnya, kita masuk fold-cycle sejam lagi!” seru Titania pada salah satu layar holografis di dekatnya.
    Sambil mulai melakukan pekerjaan rutin mempersiapkan wahana untuk terbang melebihi kecepatan cahaya, Titania menatap bintang-bintang di kejauhan.

    Di sini Titania, si pengembara bintang, gumamnya dalam hati. Wahai Tuhan, lindungilah kami selama perjalanan ini.

    ****
    -Fin?-

    Also available in Red Sign Palace
     
  17. bentir Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 18, 2012
    Messages:
    25
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +5 / -0
    ceritanya lumayan oke juragan, tapi ga nyangka uda fin
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.