1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Berkelana ke Negeri-negeri Stan

Discussion in 'Luar Negeri' started by aqua00, May 10, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Rabu, 2 April 2008 | 07:58 WIB

    Bagaimana Caranya Keluar dari Sini?

    Bagaimana caranya keluar dari Murghab? Saya sudah tak sabar lagi ingin keluar dari kota yang penuh dengan kemuraman hidup ini. Apalagi, visa Tajikistan saya hanya tersisa empat hari. Saya harus selekasnya masuk ke Kyrgyzstan sebelum visa kadaluwarsa.

    Murghab memang bukan tempat yang nyaman untuk menunggu kendaraan. Sudah dua hari saya menunggu di pasar Murghab yang sepi dan malas itu. Begitu pula dua orang backpacker bule, orang Israel dan Amerika, yang saya temui di sana. Di sini, tidak seperti di Langar, banyak sekali mobil. Tetapi, tidak ada penumpang. Orang tidak mampu membayar karcis perjalanan yang melambung. Harga bensin di Murghab 3.40 Somoni per liter, lebih murah daripada di Langar yang terpencil. Selain kami bertiga, tidak ada lagi yang berniat pergi ke Kyrgyzstan.

    Melihat backpacker bule para supir tidak mau melewatkan kesempatan berharga. Tiga ratus dolar, tidak bisa ditawar, untu menyewa jeep sampai ke kota Osh di Kyrgyzstan sana. Saya tidak tertarik untuk menyewa kendaraan. Angka ratusan dolar jauh sekali di atas kemampuan dompet saya. Tapi, Si Turis Amerika sudah tidak sabar lagi. Visanya berakhir hari ini. Kalau dia tidak berada di Kyrgyzstan malam ini juga, nasibnya akan berakhir di tangan para tentara Tajik yang rakus, atau mungkin malah di penjara gelap. Kami menawar. Supir bergeming. Kami menunggu. Satu jam. Dua jam. Menawar lagi. Supir turunkan harga 10 dolar. Kami menunggu lagi. Menawar lagi. Saya jadi terbiasa dengan kehidupan super membosankan di sini.

    Si Israel mulai mengumpat.
    "Organisasi-organisasi bodoh. Apa gunanya orang-orang bodoh ini di sini selain merampok turis?" Ia marah karena Acted, sebuah LSM dari Perancis yang bekerja di Murghab, menyebutkan, harga sewa sebuah jeep ke Osh di Kyrgyztan adalah 250 dolar AS.
    "Tetapi organisasi-organisasi itu kan tidak hanya bekerja untuk turis. Mereka juga menyediakan program kredit lunak kepada para penduduk," saya menyanggah.
    "Hah? Kredit lunak? Kalau mereka memberikan aku kesempatan, aku tahu sejuta cara bagaimana membuat kehidupan di kota sial ini jauh lebih baik!" Si Israel berapi-api.
    "Misalnya?"
    "Misalnya ya, memanggil sukarelawan asing mengajar Bahasa Inggris!"

    Mengajar bahasa Inggris untuk orang-orang Kirghiz di Murghab? Orang-orang ini bahkan masih belum bisa bicara bahasa nasionalnya sendiri, bahasa Tajik.

    "Setidaknya," saya menyanggah, "Acted sudah menyediakan kursus komputer untuk orang-orang pengangguran sehingga mereka bisa mencari pekerjaan nantinya."
    "Apa gunanya ketrampilan komputer?" Si Israel protes.
    "Apa gunanya bahasa Inggris?" bantah saya.

    Dinginnya kota Murghab justru membuat perdebatan kami makin panas.
    "Kota ini, hmmm...., hanya satu kata," Si Israel berusaha menyimpulkan kota Murghab, "....malas! Ya! Itu kata yang tepat. Dan lihat orang-orang itu dengan topi mereka yang konyol."

    Topi konyol yang dimaksudnya adalah ak kalpak, topi putih khas orang Kirghiz, membumbung langsing dan tinggi dari kepala para pria.

    Diskusi macam ini semakin membuat saya frustrasi. Tentang keacuhan orang asing yang merasa tidak diistimewakan di tempat di mana kehidupan sehari-hari pun sudah tidak ada istimewanya lagi. Tentang orang-orang beringas yang menghabiskan hari-hari tanpa arti, berkeliaran di jalanan dan di pasar. Tentang supir-supir yang sudah lama merindukan para penumpang, mangsa yang lezat disantap di tengah kelangkaan transportasi dan minyak.

    Supir Kirghiz itu akhirnya melunak. Setelah negosiasi panjang selama dua hari, harga sewa jeep yang semula 300 dolar, akhirnya turun menjadi 140 dolar. Si Amerika yang kehabisan visa akhirnya menyetujui juga tawaran ini. Si supir mengajukan syarat. Dia akan membawa keluarganya ikut ke Kyrgyzstan. Saya yang ikut membantu proses tawar-menawar diijinkan menumpang gratis oleh kedua turis bule itu.

    Pertama-tama kami harus menjemput bapak Si Supir dari pasar. Lama sekali menunggu Pak Tua selesai belanja. Setelah itu, kami menjemput ibunya yang sedang sibuk di rumah tetangga. Kami juga menjemput dua orang bibi yang tinggal di desa sebelah. Setelah sekitar tiga jam menunggu, keliling kanan kiri, jeep ini akhirnya berangkat juga ke arah Kyrgyzstan. Si Amerika sudah sangat tidak sabar. Berkali-kali ia melihat arlojinya. Sudah sore dan kami baru melaju beberapa kilometer saja meninggalkan Murghab. Kalau dia sampai telambat keluar dari Tajikistan, entah penjara macam apa yang akan dihuninya.

    Tak sampai setengah jam, tiba-tiba mobil membelok ke arah timur. Kyrgyzstan ada di utara sana. Mengapa kami ke timur, ke arah China? Saya melihat puncak gunung Muztagh Ata, di balik perbatasan China. Puncak gunung bertudung salju ini pernah saya lihat dari Tashkurgan di China sana. Sekarang saya melihat gunung yang sama dari sisi yang berbeda.

    Empat puluh kilometer ke arah timur, tiba-tiba jalan terputus. Ini adalah ujung jalan yang mungkin dicapai. Ini adalah ujung dunia. Tempat paling terpencil di sebuah negara terpencil. Song Kul, nama desa ini, terletak di kaki gunung Muztagh Ata, hanya beberapa terjangan saja ke arah perbatasan China. Mengapa kami sampai di sini?

    Ternyata si supir masih harus menjemput beberapa orang bibinya yang lain lagi, ikut bersama-sama kami ke Kyrgyzstan. Saya terdesak ke tempat paling tak mengenakkan di bagasi, didesak-desakkan bersama tumpukan barang bagasi. Meringkuk. Jalan berbatu dan berdebu membuat mobil berjalan melompat-lompat. Saya ikut terlompat. Di atas terbentur atap jeep. Di depan tertumbuk tumpukan barang yang keras. Sungguh berat. Tapi, apa mau dikata, namanya juga penumpang gratisan.

    Si Supir Kirghiz ini sungguh pintar. Sebenarnya, ia memang berencana pergi ke Kyrgyztan membawa semua keluarganya. Dan, dua orang bule inilah yang membayar ongkosnya. Saya lihat mereka pun mendapat tempat duduk yang tidak nyaman, meringkuk di bangku tengah diapit bibi-bibi Si Supir yang gendut-gendut. 140 dolar AS untuk dua bangku sempit. Dua turis bule itu membayar empat kali lipat lebih mahal dari harga seharusnya.

    Mobil menyusuri jalan berbatu dan berdebu yang sama, ke arah barat, kembali ke jalan raya Pamir Highway. Di sinilah bayangan akan dunia paralel dimulai. Sepanjang jalan ke utara, ke arah Kyrgyzstan, tiang-tiang kayu berpagar kawat berjajar di sisi kanan jalan. Di belakang pagar itu tidak ada apa-apa selain barisan gunung batu.

    "Apa itu di balik pagar?" saya bertanya.
    "Itu China. Ini adalah perbatasan China," kata Si Israel sok tahu.
    "Tetapi saya tidak melihat apa-apa di sana," saya masih tidak percaya China ada di belakang pagar-pagar kawat dan kayu itu.
    "Di sini yang tidak ada apa-apanya. Di sana itu adalah superpower dunia!"

    Kedua backpacker bule itu akhirnya sibuk berdiskusi tentang perbatasan Israel yang dilengkapi dengan listrik dan setrum sehingga orang-orang Palestina yang nekat memanjat langsung mendapat ganjarannya.

    Di belakang pagar kayu sederhana itu memang bukan China. Mana mungkin negara macam China punya perbatasan yang sangat bocor seperti ini. Apalagi pagar-pagar kayu itu kadang jaraknya hanya lima meter dari tepi jalan. China masih 15 kilometer jauhnya dari pagar ini. Pagar-pagar ini didirikan untuk memisahkan jalan raya dari daerah sensitif perbatasan Tajikistan. Di belakang pagar, tentu saja masih Tajikistan yang itu-itu juga. Daerah perbatasan ini sangat sensitif, karena merupakan garis batas tiga negara – Tajikistan, Kyrgyzstan, dan China. Selain itu, China berusaha mengklaim 20 persen wilayah perbatasan GBAO, yang kebetulan mengandung emas.

    Malam hampir menjelang ketika kami sampai di Karakul. Di sebelah kiri jalan, ada hamparan danau luas. Memasuki kota tepi danau ini ada pos penjaga perbatasan Tajikistan yang ketat sekali.

    Saya yang sudah hampir pingsan berlompat-lompat sambil meringkuk di tengah tumpukan barang bagasi, sudah tidak kuat lagi meneruskan perjalanan ke Kyrgyzstan. Saya memutuskan turun di Karakul, danau raksasa yang menawarkan satu nama: kematian.


    (Bersambung)
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Kamis, 3 April 2008 | 06:41 WIB

    Danau kematian

    Karakul, danau besar di puncak atap dunia, adalah sebuah danau raksasa. Tak ada kehidupan di dalamnya. Dalam bahasa Kirghiz, Karakul berarti danau hitam. Danaunya sendiri tidak hitam, malah biru kelam memantulkan warna langit yang cerah. Yang hitam adalah kehidupannya. Dalam danau yang sangat asin ini, tak ada satu pun makhluk yang bisa hidup.

    Danau ini tercipta oleh sebuah meteor yang jatuh menghantam bumi, jutaan tahun silam. Biksu Buddha Xuanzang, ribuan tahun yang lalu, pernah lewat sini. Marco Polo pun pernah melintas. Kini, danau ini masih menyimpan misteri dalam keheningannya.

    Di dekat danau ada sebuah dusun kecil. Penduduknya berasal dari etnis Kirghiz , hanya ada satu orang Tajik. Saya sebenarnya dikenalkan oleh orang-orang di Murghab untuk menginap di rumah orang Tajik yang polisi ini. Tetapi, ketika saya sampai di Karakul, si polisi sudah tidak tinggal di sini lagi.

    Saya pun menginap di sebuah rumah keluarga Kirghiz yang memang sudah dipersiapkan oleh organisasi Perancis, Acted, di Murghab, sebagai losmen untuk melayani orang asing. Keluarga ini tidak bisa bahasa Tajik, tetapi si suami bisa sedikit-sedikit. Setidaknya mereka bisa menyanyikan lagu kebangsaan Tajikistan dengan bangga, "Zindabosh e vatan Tajikistan e azadi man...," walaupun tidak tahu artinya sama sekali. Tildahan, istrinya, seorang wanita muda yang cantik yang mirip artis Korea, tidak bisa bahasa Tajik sama sekali. Bahkan dia tidak tahu bedanya antara si (tiga puluh) dengan se (tiga). Anaknya yang basih berumur empat tahun, Nurulek, bocah berpipi tambun, suka sekali melompat-lompat sambil berceloteh riang, "OK! OK!"

    Dibandingkan Murghab, kehidupan di sekitar danau mati Karakul tidak terlalu menyedihkan. Di musim panas, padang rumput di sekitar danau ini menghijau. Air selalu melimpah. Tempat ini adalah lokasi yang bagus bagi penggembalaan ternak, yang sudah menjadi tradisi turun-temurun bangsa Kirghiz. Rumah-rumah di Karakul, seperti halnya rumah-rumah penggembala di Alichur, semua berbentuk kotak-kotak seragam, tersebar tak karuan, namun rapat. Orang-orang tidak kaya, tetapi tidak sampai kelaparan juga, karena setiap keluarga punya hewan ternak untuk penghidupan. Lembah hijau dan air yang melimpah ruah ini menjadi sumber kehidupan bagi orang-orang di sekitar danau.

    Dusun di sebelah danau Karakul ini sebenarnya masih baru. Ribuan tahun lalu, ketika biksu Hsuan Tsang dari dinasti Tang, yang lebih dikenal dalam legenda Kera Sakti, pernah singgah di danau ini dalam perjalanannya ke barat. Tak ada kehidupan di sekitar danau. Tak ada dusun dengan rumah kotak-kotak ini. Hanya ada danau luas, tanpa ikan dan tanaman. Inilah danau kelam yang disebut Kara Kul, danau hitam. Begitu sunyi suasana di sini, misterius, mati. Kabut tipis baru saja berlalu di atas permukaan air, dihembus angin pagi yang mengantarkan sinar mentari. Udara sangat dingin. Saya menggigil di tepi danau mati dikelilingi puncak-puncak pegunungan Pamir.

    Musim dingin datang lebih cepat di pegunungan. Desa Karakul sudah mulai merasakan susahnya musim dingin karena persediaan listrik sangat minim. Air dari gunung-gunung sudah mulai membeku dan generator tidak lagi berputar sesibuk biasanya. Orang-orang desa terpaksa kembali lagi ke radio transistor, atau paling banter tape recorder untuk mengisi kebosanan di hari-hari yang dingin. Sayangnya, televisi tidak mungkin diakali, karena tidak menyala dengan batu baterai. Siapa yang peduli? Pria-pria Kirghiz berjaket tebal asyik bermain catur atau duduk memperbincangkan ketumpulan hidup, hanya sekadar membunuh waktu. Sementara para perempuan sibuk memasak, memasukkan kayu dan batu bara ke tungku untuk menghangatkan ruangan. Selain itu, tak banyak yang bisa dikerjakan di sini.

    Seperti penduduk Karakul, para tentara penjaga perbatasan di sini pun juga sama bosannya. Mereka harus melewatkan bertahun-tahun hidup mereka yang berharga di tempat yang tidak berharga ini.

    "Gila! Dingin sekali di sini," kata seorang tentara muda dari Khojand yang harus menjalani wajib militer di sini. Pria Tajik berusia dua puluh tahun ini tentu saja merindukan rumahnya, di kota terbesar kedua Tajikistan, di Khojand di lembah Ferghana yang hangat sana. Siapa yang mau ke tempat semerana ini?

    Khurshed, komandan tentara perbatasan, adalah seorang pria Tajik asli Pamir. Umurnya masih 25 tahun, tetapi gajinya sudah 300 Somoni, sekitar 85 dolar, jauh di atas gaji rata-rata orang Tajikistan. Anak buahnya ada 80 orang. Saya juga heran, delapan puluh orang di desa kecil seterpencil ini mau buat apa.

    "Oh, banyak sekali yang bisa mereka lakukan di sini," sanggahnya. Yang saya lihat para tentara ini kerjanya mencatat nomer semua kendaraan yang melintas, mengecek dokumen orang-orang, dan memeriksa bagasi apakah ada obat-obatan terlarang yang mau diselundupkan ke negara tetangga. Untuk pekerjaan ini dibutuhkan 80 orang tentara?

    Para tentara di sini sebagian besar datang karena terpaksa – wajib militer. Mereka datang untuk bekerja tanpa menerima bayaran, atau kalau pun dibayar paling banter 1 dolar per bulan.

    Karakul terletak persis di sebelah daerah sensitif perbatasan dengan China. Setiap hari mulai dari subuh yang membeku hingga malam yang menggigit terntara perbatasan harus melaksanakan patroli sepanjang pagar kayu. Suatu hari saya pernah melihat Khursid mengomandani anak buahnya untuk membersihkan jalan batu. Saya yakin, setelah para tentara muda ini menghabiskan dua tahun wajib militer di sini, mereka bakal jadi pembersih jalan yang jempolan.

    Sebagian besar tentara di sini adalah pemuda Tajik yang berasal dari propinsi-propinsi lain, walaupun ada pula beberapa yang etnis Kirghiz. Khurshed si komandan sama sekali tidak bisa bahasa Kirghiz. Kalau memerintah dia menggunakan bahasa Tajik, kadang bahasa Rusia.

    Semula Khurshed sangat suka bercerita kepada saya. Tetapi, lama-lama saya menangkap sebersit tatapan aneh di matanya ketika saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam tentang kemiliteran Tajikistan. Dia mulai curiga bahwa saya adalah mata-mata. Di negeri ini kata spion atau mata-mata sangat sensitif. Orang sering menyebut kata itu dalam kehidupan sehari-hari diiringi tatapan mata penuh rasa curiga. Mungkin mereka masih ingin bernostalgia tentang masa lalu mereka bersama para agen KGB Uni Soviet yang mengintai setiap menit setiap *******

    Khurshed mulai berhati-hati dengan saya. Ia memeriksa setiap lembar paspor saya dengan teliti. Mula-mula ia tidak menjawab pertanyaan saya, tetapi kemudian dia lebih memilih untuk memberi informasi palsu.

    "Kamu lihat gedung itu? Itu adalah gudang amunisi kami."
    Atau kalau tidak ia menunjuk ke arah batang logam yang mirip cerobong asap, "nah, kalau yang itu... dengan cerobong itu kami bisa menembakkan rudal ke arah China!"

    Tajikistan yang seujung jari mau melemparkan rudal ke negara tetangga yang raksasa itu, dari cerobong kayu tua pula, di sebuah desa mungil di tepi danau kosong ini?

    Tempat Khurshed berpatroli memang strategis. Dari sini, kita bisa melihat jalan raya sejauh-jauhnya. Dua puluh lima kilometer ke utara ke arah Kyrgyzstan, sepuluh kilometer ke selatan ke arah Murghab, semua bisa terlihat dari sini. Rentang 35 kilometer ini yang ada hanya jalan. Tak ada kendaraan yang melintas. Sepi sekali.

    "Rata-rata hanya 12 kendaraan yang melintas per hari," kata Khurshed. Dan untuk tingkat kesibukan seperti ini perlu 80 tentara perbatasan?

    Setidaknya para tentara yang kena wajib militer ini bukan pengangguran. Walaupun pekerjaan mereka hanya menjaga pintu gerbang di tengah kesunyian, atau pembersih jalan berbatu, setidaknya mereka bisa mengurangi angka pengangguran di negara ini.


    (Bersambung)
     
  4. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Jumat, 4 April 2008 | 07:08 WIB

    Keluarkan Saya dari Sini!!!

    Terjebak di tempat terpencil ini dengan visa yang sudah hampir habis berarti bencana. Penjara Tajikistan bukan tempat yang asyik bagi wisatawan. Tetapi, saya hampir tak tahu lagi bagaimana caranya keluar dari sini.

    Sebenarnya, kemarin ada truk yang melintas. Khurshed berteriak-teriak memanggil saya dan menyarankan untuk ikut dengan truk yang akan pergi ke Kyrgyzstan. Namun, karena batas waktu visa saya masih dua hari lagi, saya katakan saya masih ingin menikmati indahnya danau Karakul yang menyimpan kesunyian penuh misteri ini.

    Hari ini, saya bangun pagi-pagi, menyaksikan cantiknya matahari merekah di atas kesunyian danau dan barisan rumah-rumah balok. Angin dingin bertiup kencang, menerpa wajah, dan membekukan setiap partikel kotoran dalam hidung. Sakit sekali. Di tengah dinginnya angin, di bawah langit biru yang kemudian berubah menjadi gelap berselubung awan, saya menanti kendaraan lewat.

    Dua jam menunggu, sejauh mata memandang, 25 kilometer ke utara dan 10 kilometer ke selatan, sama sekali tidak ada kendaraan yang tampak. Saya lihat truk Kamaz melintas tepat pukul dua belas siang. Ini adalah kendaraan pertama yang saya lihat sejak pagi tadi. Begitu kecewanya saya mengetahui bahwa penumpang sudah penuh.

    Saya tahu betapa membosankannya bekerja di sini sebagai tentara perbatasan. Yang ada hanya jalanan kosong melompong. Dua jam berikutnya saya menunggu. Masih di jalan yang sama. Kosong melompong. Sunyi dan membosankan. Tak ada kendaraan. Mahluk pun tak ada yang melintas.

    Khurshed, yang kasihan melihat saya kelaparan menunggu di bawah terpaan angin dingin pegunungan, mentraktir makan siang di stolovaya, kantin kecil di tengah dusun. Baru pertama kali ini ia melihat agen mata-mata yang begitu miskin yang tidak sanggup membayar makan siang, guraunya. Saya tersenyum getir.

    "Jangan khawatir. Kan masih ada besok," katanya.
    "Tetapi visa saya kadaluwarsabesok."
    "Ya tidak apa-apa. Kalau besok kamu tidak dapat kendaraan, visa kamu kan kadaluwarsa. Nah kemudian giliran kami yang bekerja, membawa kamu ke Khorog. Di sana kamu akan dapat makan gratis, tempat tinggal gratis, di penjara indah di negeri Tajikistan!"
    Hah?
    Dia tertawa terkekeh-kekeh.

    Sebagai tentara perbatasan, tugas Khurshed adalah memeriksa setiap kendaraan yang lewat. Dia berjanji, sebagai teman, ia akan minta semua supir truk yang lewat untuk mengangkut saya ke Kyrgyzstan. Masalahnya sekarang, tidak ada yang bisa dibujuk karena sama sekali tidak ada mobil yang lewat di sebuah highway yang membentang kosong ini.

    Sejak truk yang lewat pagi tadi itu, tidak ada kendaraan lain lagi. Saya sudah menunggu empat jam lebih. Angin terus saja menderu, membuat semangat saya berbalik menjadi loyo dan semakin loyo.

    Sudah sore. Khurshed sudah berulang kali membujuk saya untuk menunggu di rumah Tildahan saja. Saya menggeleng. Rasa cemas menggelayuti saya, ingin rasanya cepat-cepat meninggalkan Tajikistan sebelum semuanya terlambat. Tetapi, tak mungkin orang bisa terburu-buru di negara seperti Tajikistan, di mana yang ada hanya kekosongan dan kesunyian.

    Penduduk desa juga menghibur saya. Mereka mengatakan besok sore, seperti biasanya sekali dalam seminggu, ada angkutan jeep yang berangkat dari Murghab sampai ke Osh di Kyrgyzstan. Tetapi apakah ada tempat kosong untuk penumpang dari Karakul ? Tidak ada yang berani menjamin.

    Anak-anak sekolah berlarian riang keluar dari gedung sekolah mungil di utara dusun. Hari ini adalah hari pembagian susu. Aga Khan, sang pemimpin spiritual umat Ismaili, memang masih menyuapi orang-orang yang hidup di provinsi GBAO. Setiap minggu anak-anak sekolah kebagian susu kotak yang diproduksi di Kazakhstan. Khurshed sang komandan tentara perbatasan, dengan gagahnya menghentikan anak-anak SD itu. Bak preman dari Tanah Abang dia menyuruh anak-anak mungil itu menyerahkan kotak-kotak susu mereka.

    Anak-anak itu berbisik-bisik.
    "Kumpulkan dari teman-temanmu yang lain, ya. Semakin banyak semakin baik," kata Khurshed. Anak-anak itu berlarian kembali ke gedung sekolah, ke habitat mereka yang penuh oleh bocah-bocah berjas hitam yang asyik menyedot kotak-kotak susu.

    Sekejap kemudian, lima bocah datang kembali menyerahkan delapan kotak susu. Khurshed bilang kurang, tetapi bocah-bocah itu bilang sudah tak ada yang lain. Khurshed memberi mereka selembar uang 5 Somoni.
    "Sudah, kamu bagi-bagi sendiri uangnya!"

    Saya kebagian dua kotak susu. Sisanya untuk Khurshed sendiri – stok mingguan.

    Untungnya Aga Khan tidak ada di sini. Apa yang dia pikir kalau melihat susu-susu pemberiannya bukannya disedot anak-anak sekolah, tetapi malah nyasar ke perut gendut seorang tentara komandan dan perut kurus seorang mata-mata gadungan?

    Malam pun menjelang. Suami Tildahan membujuk saya untuk tidak gelisah. Tapi, sulit untuk tidak gelisah. Makan pun rasanya tak enak. Yang saya pikirkan hanya keluar dari Tajikistan. Saya mencoba tidur, tetapi tak bisa memejamkan mata. Kalaupun terlelap yang muncul dalam mimpi saya hanya dua hal, visa dan penjara.

    Tengah malam saya keluar rumah. Toilet keluarga Tildahan di luar rumah, harus memanjat-manjat batu cadas dulu. Anjing besar melolong bersahut-sahutan. Saya mendongakkan kepala ke atas, ke jutaan bintang yang bertaburan pada langit kelam yang cerah.

    Beberapa garis terang meluncur di angkasa. Ada bintang jatuh. Say a wish.
    Saya berteriak, "Keluarkan aku dari Tajikistaaaaaaan!!!!!"



    (Bersambung)
     
  5. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Senin, 7 April 2008 | 10:32 WIB

    Perbatasan di Puncak Gunung


    Saya bagun pagi-pagi sekali, sekitar pukul tujuh. Udara masih teramat dingin meski langit baru mulai terang. Rasa cemas karena visa saya bakal berakhir hari ini membuat tidur saya tidak lelap. Setiap detik yang terbayang hanya penjara Tajikistan.

    Mungkin memang karena bintang jatuh, di tengah udara pagi yang dingin saya melihat dua truk Kamaz melintas. Saya melompat kegirangan. Sementara anak buah Khurshed memeriksa rombongan kedua truk itu, suami Tildahan membantu saya ber-chakchak, bernegosiasi dengan para supir, yang bersedia mengangkut saya sampai ke Sary Tash di Kyrgyzstan. Sary Tash adalah kota pertama Kyrgyzstan dari perbatasan Tajikistan. Negosiasi berjalan lancar. Deal, 20 Somoni.

    Dengan perasaan lega, saya lemparkan backpack ke dalam truk dan melompat naik. Saya duduk dengan manis sambil tersenyum-senyum sendiri mengingat kegelisahan tadi malam. Di kejauhan gunung-gunung raksasa berbaris sepanjang jalan.

    Kamaz berjalan pelan. Supir-supir tidak berbicara bahasa Tajik sama sekali. Mereka juga bukan orang yang ramah. Saya berusaha memecah kekakuan dengan berbagai gurauan kecil, tetapi mereka hanya memandang saya sinis dari sudut mata mereka yang lancip. Tak apalah. Pemandangan di luar sana begitu agung. Barisan gunung-gunung bersalju sambung-menyambung. Jalan beraspal terkadang merayap mendaki dengan sudut kemiringan yang nyaris tegak. Tak dinyana, kendaraan sebesar ini masih mampu mendaki.

    Sejak dari Karakul kami memasuki daerah yang sangat sensitif di Tajikistan. Dulu di zaman Uni Soviet daerah ini adalah perbatasan dengan China, kini perbatasan tiga negara – Tajikistan, Kyrgyzstan, dan China. Di mana-mana ada pos penjagaanuntuk memeriksa dokumen kendaraan dan penumpang.

    Kedua truk ini mengangkut hewan ternak – domba dan yak. Tetapi para supir sama sekali tidak punya dokumen untuk mengekspor ternak. Pos penjagaan tentara perbatasan Tajikistan merupakan halangan bagi semua supir, tetapi selalu ada uang yang bisa memuluskan perjalanan. Bisnis jual beli hewan ternak dari Tajikistan yang ditukar batu bara dari Kyrgyzstan memang menguntungkan. Uang yang didapat dari bisnis ini jauh lebih dari cukup untuk membayar harga BBM yang terus melambung dan uang pelicin jalan.

    Kami berhenti di sebuah pos penjagaan di tengah jalan gunung yang sepi. Pos tentara ini sangat kecil. Hanya dua orang yang bertugas di sini, meringkuk dalam sebuah ruangan kecil yang gelap dengan kasur kumal dan selimut bau. Menjadi tentara di tempat seperti ini mungkin adalah pekerjaan yang paling membosankan di dunia. Sepanjang hari hanya memandang gunung-gunung. Mobil yang lewat setiap hari hanya sepuluhan. Udara dingin yang menggigit memaksa orang untuk bersembunyi di balik selimut. Asap rokok terus mengepul dari mulut para tentara. Hiburan bagi mereka hanya bermain catur dan mengobrol dengan supir-supir truk. Tentu saja supir truk ini menjadi kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi para tentara, karena dompet kosong mereka jadi terisi.

    Para tentara yang semula bersenda gurau, begitu tiba pada detik-detik paling menentukan – negosiasi uang sogokan – langsung menyuruh saya menunggu di luar. Sepuluh menit kemudian, kedua supir keluar dengan muka merah padam dan wajah marah. Mereka pasti baru diperas habis-habisan, batin saya.

    Lepas dari mulut singa yang satu ini, masih banyak singa-singa lapar dan beringas lainnya di sepanjang wilayah Tajikistan. Jalanan terus mendaki. Semakin ke atas, sogokan yang diminta semakin besar. Puncaknya adalah perbatasan internasional Tajikistan-Kyrgyzstan di atas sebuah gunung yang bernama Kyzyl Art, artinya punggung merah. Entah punggung apa yang dimaksud.

    Memasuki perbatasan ada tulisan besar-besar dalam bahasa Rusia di atas sebuah monumen: Propinsi Otonomi Pegunungan Badakhshan Menyambut Anda. Sambutan macam apa yang diberikan oleh tempat yang lebih mirip garasi daripada international border ini? Apa lagi kalau bukan sogok-menyogok dalam ruangan gelap yang sudah menjadi karakter orang berseragam di negeri ini?

    Imigrasi Tajikistan hanyalah beberapa buah gerbong kargo bekas yang disulap menjadi kantor sekaligus tempat tinggal. Saya seperti masuk ke rumah gipsi saja. Ternyata kargo bisa juga jadi rumah yang nyaman. Petugas pabean Tajikistan yang sedang bermain catur mengisi bosan, sangat senang melihat saya yang orang Indonesia. Pertama kali dalam hidupnya, katanya.

    "Wah, kemarin saya melihat Indonesia di TV. Negara kamu cantik sekali, banyak airnya." Saya tersenyum. Orang Tajikistan yang hidup di puncak gunung ini pasti tidak pernah membayangkan rumahnya kebanjiran.

    Keramahan itu semakin menjadi-jadi ketika si tentara Tajik itu menemukan kesalahan dokumen para supir truk yang mengangkut domba dan yak tanpa izin. Dalam bahasa Rusia, mereka mulai tawar-menawar harga sogokan. Debat alot ini dilakukan dengan senyum dan penuh keramahan, walaupun jelas sekali wajah para supir itu jadi merah padam. Tentara Tajik memberi signal kepada saya untuk menunggu di luar.

    Supir-supir itu kena peras 150 Somoni, hampir 30 dolar, atau lebih tinggi dari pendapatan bulanan rata-rata nasional Tajikistan. Para tentara di perbatasan memang punya rejekinya sendiri. Sekarang giliran kedua truk diperiksa dengan barisan anjing-anjing besar dan galak, sudah terlatih untuk mencari narkotika hanya dengan mengendusi ban mobil.

    Setelah sukses melewati kantor pabean, sekarang kami harus mengecap paspor di kantor imigrasi. Kalau tadi kargo bekas berbentuk kotak, yang ini adalah mantan tanker truk minyak yang disulap jadi kantor. Ruangan bundar di dalamnya mengingatkan saya pada wahana rumah miring Dunia Fantasi di Jakarta. Siapa sangka dalam tanker rongsokan ini nasib paspor saya ditentukan? Orang Tajik memang kreatif, ekonomis, dan efisien. Kargo, tanker, atau rongsokan besi apa pun bisa jadi kantor.
    "Visa kamu habis hari ini," kata petugas imigrasi.
    "Iya. Pas sekali kan?"
    "Wah, sayang sekali. Coba kamu datang besok, kamu pasti harus bayar kita antara 50 hingga 100 dolar."

    Keuntungan bagi saya, apes bagi dia yang tak jadi dapat duit.

    Dengan penuh sumpah serapah, para supir Kirghiz melanjutkan perjalanan. Dari Kyzyl Art, jalanan terus turun menuju ke perbatasan Kirghiz, terpisah 20 kilometer dari pos perbatasan Tajikistan. Ini adalah daerah tak bertuan.

    Bor Dobo namanya. Sebuah nama yang harus diucapkan dengan memonyong-monyongkan mulut gara-gara huruf 'o' dengan dua titik di atasnya. Perbatasan ini nampak jauh lebih bener daripada perbatasan Tajikistan. Ada kantor-kantor bea cukai, karantina, imigrasi, dan sebagainya. Yang tidak ada cuma cap. Visa Kyrgyzstan saya tidak dicap.

    "Kami tidak punya stempel," kata petugas imigrasi keukeuh, "kalau kamu mau stempel paspor nanti minta di Osh saja."

    Saya sempat ngeyel tetapi paspor saya tetap saja tidak dicap.

    Dua puluh kilometer dari Tajikistan membawa saya ke sebuah dunia yang berbeda. Saya memasuki kehidupan baru. Bahasa Persianya orang Tajik tidak laku di sini. Orang-orang bicara bahasa Kirghiz yang terdengar menggaruk-garuk kerongkongan, atau bahasa Rusia yang macho dan tajam. Seketika saya menjadi warga miskin karena uang Somoni Tajikistan tidak diterima. Mata uang yang berlaku di sini adalah Som, dan saya tidak punya sepeser pun.

    Truk berjalan lambat sekali. Langit sudah hampir gelap ketika truk kami sampai di Sary Tash, masih setengah perjalanan menuju kota Osh. Saya pun tidak tahu hendak ke mana lagi. Saya terjepit di sebuah dunia baru. Saya tak bisa bahasanya, tak punya uang, dan perut saya kelaparan. Sary Tash adalah sebuah desa kecil, belum tentu dolar saya bisa laku di sini. Saya tak punya pilihan selain meneruskan perjalanan hingga ke Osh.

    Supir truk yang kelihatannya sangat tidak bersahabat sesungguhnya masih berbaik hati mentraktir saya makan malam. Di sebuah restoran kecil di tengah kegelapan malam, saya disuguhi semangkuk bakmi. Ibu gendut pemilik warung matanya sipit yang kalau tersenyum bola matanya hilang. Remang-remang lampu petromaks di warung kecil ini semakin menambah misteriusnya makanan di hadapan saya.

    Beshbermak namanya. Dalam bahasa Kyrgyz artinya 'lima jari'. Bakmi ini, sesuai tradisi para gembala, memang dimakan dengan kelima jari tangan. Di atasnya ditaburi irisan daging kecil-kecil dan saus. Beshbermak yang asli katanya pakai daging kuda. Tetapi untung yang saya makan ini masih pakai daging kambing.

    Saya begitu penat ketika truk harus melanjutkan perjalanan ke kota Osh. Truk merangkak lambat dan saya tertidur lelap di samping pak kusir yang sedang bekerja. Tengah malam, tiba-tiba saya dibangunkan. "Kamu harus turun!" kata supir dengan kasar. Tidak ada pilihan lain. Saya dilempar di sebuah losmen murah di pinggiran kota Osh. Truk-truk pun pergi begitu saja seperti suami yang memberikan talak tiga.

    Losmen gelap di tempat asing seperti ini. Saya berjalan terseok-seok memasuki pekarangan losmen. Anjing besar menyalak menyambut saya. Saya menjerit..., disambung dengan ibu gendut pemilik losmen yang tergopoh-gopoh menyambut saya. Dengan komunikasi seadanya, saya berhasil mendapat kamar. Saya menyerahkan lembar-lembar uang Som kumal hasil menukar dengan supir truk yang memberikan nilai kurs yang jelek sekali.

    Saya begitu letih. Tujuh belas jam perjalanan eksodus dari Tajikistan. Saya pun tertidur lelap di atas kasur keras sebuah losmen bau di pinggiran kota Osh.

    Sampai jumpa Tajikistan.
    Selamat datang di Kyrgyzstan.




    (Bersambung)
     
  6. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Selasa, 8 April 2008 | 07:41 WIB

    Cita Rasa Osh

    Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, adalah sebuah kejutan luar biasa setelah mengalami beratnya hidup di GBAO-nya Tajikistan. Kota ini, walaupun dikelilingi gunung-gunung, suhunya sangat hangat. Osh adalah kota dalam definisi yang sebenarnya, dengan hiruk pikuk manusia dan segala kesibukannya. Bukan kota-kota di GBAO macam Khorog dan Murghab yang hanya menyimpan kisah sedih pegunungan terpencil.


    Arus mobil dan bus kota berseliweran tanpa henti. Jalanan pasar penuh sesak oleh orang-orang yang berbelanja. Gedung-gedung tinggi berbentuk balok berbaris sepanjang jalan. Penduduk Osh adalah percampuran berbagai suku bangsa. Ada orang Kyrgyz yang berwajah Mongoloid. Ada orang Uzbek yang berwajah keturki-turkian. Ada gadis-gadis Korea yang berpakaian modis. Banyak juga orang Rusia dan Tatar yang berkulit putih pucat. Dering ringtone telepon seluler seakan tak pernah putus di tengah riuh rendahnya pasar kota Osh.

    Tetapi kejutan yang paling menggembirakan setelah meninggalkan GBAO adalah, saya tidak akan pernah kelaparan di Osh. Dalam bahasa Tajik, Osh memang berarti makanan. Apakah memang ada hubungan antara kata ini dengan melimpahnya makanan lezat di Osh?

    Duduk di atas dipan, sambil menghirup panasnya secangkir teh hitam dan menyaksikan mengalirnya sang waktu adalah kebiasaan kakek-kakek Uzbek dan Kyrgyz melewatkan hari mereka di Osh. Sambusa, pastel kecil berbentuk segitiga dan penuh berisi daging kambing, menambah nikmatnya bercengkerama sepanjang hari.Minum dan makan adalah bagian dari kebahagiaan hidup.

    Osh adalah persimpangan budaya. Beragam etnik tinggal di sini karena letaknya yang strategis. Di sebelah timur, di belakang barisan pegunungan Tien Shan, adalah kota kuno Kashgar di provinsi Xinjiang (RRC) yang didiami etnis Uyghur, yang pernah punya negeri bernama Uyghuristan. Di sebelah barat adalah lembah Ferghana Uzbekistan, yang terkenal dengan gerakan Muslim militannya. Di sebelah selatan adalah gunung-gunung tinggi milik Tajikistan. Dan di utara adalah Kyrgyzstan yang sebenarnya. Di sini Stan, di sana Stan, Osh dikelilingi negeri-negeri Stan di empat penjuru.

    Osh, walaupun termasuk wilayah Kyrgyzstan, tetapi dihuni oleh orang Uzbek. Setelah Kyrgyzstan merdeka dan melewati berbagai pertikaian rasial berdarah, orang-orang Kirghiz semakin banyak yang tinggal di Osh. Komposisi etnis sekarang makin berimbang, walaupun tetap kultur Uzbek masih mendominasi.

    Persimpangan inlah yang menjadikan Osh sebagai kota penting sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai macam suku bangsa berinteraksi melalu aktivitas perdagangan ketika Jalan Sutra masih menjadi pusat peradaban dunia. Dan gemilang sejarah masa lalu Osh terlihat jelas dari melimpah ruahnya berbagai jenis makanan.

    Cita rasa makanan China yang dibawa oleh orang-orang Uyghur menambah variasi masakan Osh, yang sudah kaya karena percampuran budaya kuliner dari Rusia, Kirghiz, Uzbek, Korea dan Tajik. Sepanjang ingatan saya, tidak banyak tempat di Asia Tengah ini yang orang-orangnya terbiasa memakai sumpit. Bakmi laghman khas Uyghur disajikan selezat porsi di tempat aslinya di Uyghuristan sana, lengkap dengan irisan tomat dan cabe pedas, serta cacahan daging yang empuk dan kuah yang menendang-nendang. Ada juga berbagai macam pangsit dan manty yang seakan menerbangkan saya ke negeri China.

    Berawal ketertarikan saya pada bagaimana menu masakan dari China bisa sampai ke sini, saya berkenalan dengan Fakhridin, seorang juru masak Uyghur laghman yang restorannya selalu ramai oleh pengunjung. Fakhriddin adalah pemuda Uzbek yang baru berumur 21 tahun. Restoran ini punya orang tuanya yang tinggal di desa. Bisnis ini sudah turun-temurun, dan keluarga Fakhriddin mampu menunjukkan kelebihannya untuk tetap bertahan di tengah derasnya persaingan antar puluhan restoran yang berbaris sepanjang jalan ini.

    Sentuhan masakan China masuk ke Osh lewat Xinjiang, yang menjadi jalur sibuk perdagangan sutra dunia. Di belahan lain Asia Tengah, selain restoran milik orang Uyghur atau Dungan – keduanya dari dataran China, menu masakan cenderung hambar. Kultur masak-memasak memang lebih kuat di negeri China sana dibandingan dengan bangsa Asia Tengah yang memiliki sejarah mengembara di padang-padang.

    Walaupun saya sangat menggemari makanan lezat di restoran Fakhriddin, saya tidak begitu mengidamkan rumah tempat tinggalnya di Osh. Hari itu, ketika malam mulai larut, Fakhriddin mengajak saya menginap di apartemennya tak jauh dari restoran. Di sini Fakhriddin tinggal bersama 8 orang pegawainya. Rata-rata juru masak dan pelayan etnis Uzbek, tetapi ada juga pelayan wanita yang Kirghiz. Tidak masalah. Mereka tinggal bersama berdesak-desakkan.

    Rumah ini penuh dengan nyamuk. Semalam suntuk saya tidak bisa tidur karena nyamuk terus mendengung di kuping saya, ditambah lagi asisten juru masak, Rahmatullah, yang menelepon pacarnya sampai tengah malam. Fakhriddin yang juga terganggu sampai melempar sepatu ke arah Rahmatullah. Memang susah tinggal rame-rame macam begini.

    Fakhriddin sempat mengajak saya menonton acara berita. Suasana di Kyrgyzstan kali ini sangat mencekam. Ada demonstrasi besar-besaran di Bishkek, ibu kota Kyrgyzstan, yang menuntut presiden Kurmanbek Bakiev turun. Ada orasi-orasi. Ada tarian dan lagu-lagu. Ada lempar-lemparan batu dan tembakan senjata. Hari ini adalah puncak demonstrasi. Fakhriddin, Rahmatullah, dan para pegawai restoran lainnya, tercekat pada kotak televisi, khawatir akan terjadinya kudeta. Tahun 2006 terjadi kudeta yang menurunkan presiden Aliyev. Tak sampai setahun sudah ribut-ribut lagi minta ganti presiden.

    "Saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Bagi saya, Bakiev yang jadi presiden atau yang lain, sama saja. Tidak ada pengaruhnya apa-apa," kata Fakhriddin.

    Sebagian besar orang, sepengetahuan Fakhriddin, mendukung Bakiev. Tetapi mengapa sampai terjadi demonstrasi sengit yang menjadi berita besar di negeri kecil ini? Tidak tahu. Fakhriddin pun tak mau tahu. Bagi orang kecil macam para koki Uzbek ini, politik hanyalah omong-omong kosong.

    Tak banyak pengaruhnya ribut-ribut di Bishkek, jauh di utara sana, dengan kehidupan di Osh sini. Karena Osh, yang dijuluki sebagai 'ibukota selatan' Kyrgyzstan, punya denyut nadinya sendiri, punya citarasanya sendiri untuk menikmati mengalirnya kehidupan.


    (Bersambung)
     
  7. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Rabu, 9 April 2008 | 08:30 WIB

    Kota Kuno

    Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan.

    Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul.

    Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia Tengah, Osh masih mempertahankan Jalan Lenin di pusat kota.

    Walaupun Osh tidak berusaha menghapus masa lalunya begitu saja, sejarah kota ini, yang konon lebih tua dari kota Roma, tidak banyak terlihat. Di sini semua nampak baru. Tak ada peninggalan yang benar-benar kuno yang mentahbiskan perayaan ulang tahun kota Osh yang ke-3000. Yang paling nyata adalah bayang-bayang bukit besar memanjang yang disebut Sulaiman Too atau Takhta Sulaiman yang menaungi seluruh kota. Bukit ini merupakan tempat ziarah penting, dan konon Nabi Muhammad pun pernah singgah di sini.

    Kesan pertama saya tentang Osh malah tidak begitu baik. Dua tahun lalu saya datang ke sini dengan segala kenaifan dan kepolosan saya sebagai backpacker muda. Di pasar kuno Osh saya ditipu ketika menukar uang. Sebuah Moneychanger gelap di pinggir jalan sengaja memberi uang recehan, sehingga saya butuh waktu lama untuk menghitung. Ternyata kurang dua lembar. Ketika saya protes, ibu berkerudung itu menghitung lagi, menambahkan dua lembar sambil dengan gesit tanpa sepengetahuan saya mengambil dua puluh lembar dari tumpukan uang. Ia terus mengajak saya ngobrol sampai saya lupa menghitung kembali. Dua puluh dolar hilang begitu saja.

    Setelah kejadian itu, saya diajak jalan-jalan oleh seorang pemuda tentara yang memperalat saya sebagai 'dompet berjalan'. Minta dibelikan ini itu dan dia terus menempel seperti benalu. Di hari yang lain di bazaar kota Osh, saya menjadi bulan-bulanan lima orang polisi yang menyeret saya ke dalam kantor gelap dan memaksa menunjukkan semua isi dompet saya. Tujuannya jelas, mencari mangsa.

    Kenangan-kenangan itu, bagaimanapun tak mengenakkannya, adalah nostalgia yang manis. Saya kembali lagi ke bazaar kuno kota Osh, salah satu yang tertua di kota-kota bekas Silk Road. Seorang nenek Kirghiz yang pernah saya potret dua tahun silam ternyata masih ingat saya.

    "Saya adalah ibumu dari Kyrgyzstan! Kamu masih ingat?" teriaknya ketika saya melintas di depan kiosnya yang menjual berbagai kerajinan tangan khas Kirghiz. Khana Ay, si nenek, masih sehat dan gemuk. Saya dibanjiri berbagai macam hadiah, yang katanya merupakan bukti keramahtamahan orang Kirghiz.

    "Ke mana saja selama ini? Mengapa tidak ada kabar berita? Sudah lupakah engkau dengan ibumu dari Osh ini?"

    Perjalanan membawa saya ke ratusan pelosok dunia, menganugerahkan ratusan ibu dan bapak yang menyayangi saya seperti anak mereka sendiri. Saya tidak akan pernah lupa dengan mama Kirghiz yang satu ini, yang senyumnya tetap manis menghiasi giginya yang ompong.

    Saya menyusuri Jalan Lenin, mengumpulkan kembali serpihan-serpihan memori saya di kota ini dua tahun silam. Tanpa sengaja saya menemukan rumah Mansur, pemuda Uzbek yang mengundang saya menginap selama beberapa hari bersama keluarganya di sebuah gang kecil di dekat bazaar.

    Mansur sebenarnya sudah tidak tinggal lagi di Osh. Dia bekerja di Turki sebagai kuli. Gajinya 500 dolar per bulan, jauh lebih tinggi dari apa yang bisa didapatkan di negara miskin Kyrgyzstan. Kebetulan saja dia pulang karena adiknya menikah.

    "Kenapa kamu tidak datang kemarin? Kamu mestinya bisa melihat pernikahan khas orang Uzbek."

    Saya menyesal karena kegembulan saya yang hanya menghabiskan waktu di kamar losmen setelah kekenyangan menyantap laghman membuat saya melupakan Mansur.

    Adik perempuan Mansur baru berumur 17 tahun. Ia sudah menikah dalam usia yang begitu muda. Tanpa pacaran. Ia hanya melihat suaminya satu kali sebelum menikah. Urusan perjodohan diatur oleh kedua keluarga mempelai. Perkawinan ala Siti Nurbaya ternyata masih populer juga di sini.

    Orang tua Mansur ternyata juga masih ingat saya.
    "Ke mana saja kamu dua tahun ini? Waktu kami melihat ada tsunami di Indonesia, kami sangat takut, jangan-jangan kamu jadi korban. Kamu sama sekali tak pernah berkirim kabar, jadi kami khawatir."

    Saya minta maaf, karena alamat email Mansur tak sengaja hilang entah di mana.

    Mansur menghidangkan saya piring demi piring nasi plov, makanan khas Uzbek yang menjadi menu wajib acara pernikahan. Sisa kemarin, tetapi masih sangat lezat. Nasi Uzbek ini ukurannya lebih besar daripada bulir nasi Indonesia, tidak menggumpal, dan kulitnya penuh dengan bintik-bintik, seperti gadis Eropa yang menginjak remaja. Dicampur irisan wortel, minyak, dan daging kambing, rasanya sungguh luar biasa.

    Di balik tembok rumah Mansur, tersembunyi sebuah taman yang indah. Di taman ini, kami bercengkerama, bersenda gurau tentang hari lalu. Masing-masih bercerita tentang pengalaman selama dua tahun yang terlewatkan begitu saja. Keluarga Mansur dari seluruh penjuru desa masih berdatangan mengucapkan selamat.

    Taman mungil ini, dikelilingi tembok padat yang menyembunyikan keindahannya dari luar, memang bagian tak terpisahkan dari arsitektur Persia dan Asia Tengah. Orang-orang Osh hidup dalam dunianya yang makmur. Tidak ada gelandangan. Pengemis pun bisa dihitung jumlahnya. Perdagangan dengan negara-negara tetangga mendatangkan rejeki. Osh, ibu kota selatan Kyrgyzstan, terpisah 800 kilometer jauhnya dari Bishkek, sedang menikmati kemakmurannya di dalam taman pekarangannya yang indah.


    (Bersambung)
     
  8. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Kamis, 10 April 2008 | 06:53 WIB

    Depresi (1)

    Saya tak sengaja singgah di Karakol. Sebuah ketidaksengajaan yang membuka mata saya terhadap beratnya hidup di sebuah negara bernama Kyrgyzstan.

    Semula saya berencana pergi ke Toktogul dengan bus dari Osh. Toktogul terletak di tengah-tengah antara Osh dengan Bishkek, ibu kota Kyrgyzstan. Perjalanan jauh sekali, lewat gunung-gunung. Bus sudah berangkat pagi-pagi buta dari Osh, dan saya tidak punya pilihan selain berganti-ganti bus untuk sampai ke Toktogul.

    Pertama-tama saya harus naik bus dulu ke Jalalabad, dua jam perjalanan, dilanjutkan ke kota bernama Tashkomur, 90 kilometer jauhnya. Tashomur terkenal karena pembangkit listriknya, namun sekarang keadaan di kota ini semakin memburuk seiring dengan ambruknya perekonomian Kyrgyzstan setelah kemerdekaan. Saya sampai di pinggiran Tashkomur ketika hari sudah mulai gelap. Toktogul masih kurang 100 kilometer lagi, dan saya berharap-harap cemas untuk bisa sampai di kota itu sebelum malam.

    Cukup lama juga saya menunggu bus yang menuju ke utara. Tiba-tiba ada angkot dengan papan nama berhuruf Rusia "Toktogul". Saya langsung meloncat ke dalam bus itu dan membayar tiket 100 Som.

    Sekitar dua jam perjalanan, angkot yang semula padat itu langsung kosong. Ini masih kota Karaköl dan saya sudah disuruh turun.

    "Toktogul?" saya bertanya.
    "Nyet. Eta Karakol. Bukan, ini Karaköl," kata si supir dalam bahasa Rusia. Ia segera mematikan mesin dan lenyap begitu saja.

    Saya terdampar di Karakol. Dalam kegelapan malam. Yang saya tahu ini adalah kota yang termasyhur namanya sebagai kota miskin yang penuh dengan penjahat. Saya tak ingin tinggal di sini, tetapi tak tahu lagi hendak ke mana.

    Tiba-tiba seorang ibu setengah baya datang menghampiri. Ibu itu yang tadi minta botol minuman saya waktu kami berada di dalam angkot, karena anaknya kehausan. Dia juga membawa bayi kecil yang terus-menerus menangis sepanjang perjalanan.
    "Kamu mau ke mana?" tanya si ibu dalam bahasa Rusia.
    "Toktogul."
    "Jangan kuatir. Banyak kok mobil yang ke Toktogul. Kami bantu kamu mencari, ya."

    Si ibu kemudian menyuruh anak gadisnya untuk mencari bus yang mau berangkat. Tapi malam sudah larut. Tidak mungkin lagi ada bus yang berangkat. Di tempat bergunung-gunung seperti Kyrgyzstan ini, kendaraan hanya berjalan ketika ada sinar matahari. Melintasi kelokan-kelokan pegunungan di malam hari sangatlah berbahaya.

    Saya melihat dompet saya. Isinya hanya kira-kira 1000 Som, sekitar 25 dolar saja. Dengan uang segini saya harus sampai ke Bishkek. Di sana nanti saya bisa menukar uang. Kecemasan membayang. Saya bahkan tidak punya cukup uang untuk bayar penginapan.

    "Ayo, ke rumah saya saja," kata ibu itu dengan ramah.
    “Tapi saya tak punya uang.”
    "Jangan khawatir. Kami sama sekali tidak mau uangmu."

    Saya hanya bisa berucap terima kasih.
    Ibu itu, dengan satu bayi di gendongan dan satu bocah balita di gandengan, berjalan di belakang seorang anak gadis yang cukup tinggi dan berpakaian agak ketat. Kami berempat berjalan bersama menyusuri jalan utama yang hanya lurus memanjang. Yang ada cuma gelap. Lolong anjing bersahutan tanpa henti.

    Saya tidak tahu pula hendak ke mana. Ibu dan gadisnya ini hanya orang asing yang saya kenal di angkot, dan saya berada di salah satu kota yang paling berbahaya di kegelapan malam Kyrgyzstan.

    Rumah ibu itu adalah rumah kayu, terlihat besar dari luar, tetapi sangat reyot dan muram di dalamnya. Ada beberapa pintu. Ibu itu mengetok salah satu pintu. Wajah seorang ibu tua menyembul dari dalam. Mereka berdua bercakap-cakap dalam bahasa Kirghiz yang sama sekali tidak saya mengerti. Si ibu tua lalu memberikan sebuah kunci. Kami pindah ke pintu yang lain. Si ibu membuka pintu dengan segerendel kunci yang ia dapatkan dari ibu tua, kemudian mempersilakan saya masuk.

    Rumah besar yang saya lihat dari luar ini sebenarnya adalah apartemen tua. Si ibu yang saya kenal dari angkot itu adalah salah satu penghuni dari delapan keluarga yang tinggal di sini. Rumah ibu ini sangat kecil sebenarnya. Lantainya kayu, sudah rusak-rusak. Temboknya kotor. Lampu yang dipasang sangat suram. Ada bau tak sedap yang memenuhi seluruh ruangan ini, sepertinya berasal dari kakus yang tidak pernah disiram.

    Si ibu kemudian mengundang saya masuk ke sebuah ruangan. Kami semua duduk di atas lantai. Si anak gadis menggelar kain di atas tanah. Kain ini, namanya dastarkon,semacam taplak, berfungsi sebagai meja makan. Si ibu kemudian menyiapkan kurpacha, bantal duduk, di sekeliling taplak. Kurpacha tebal berwarna merah ini sudah kumal dan bau. Gadis itu kemudian sibuk menjerang air, menyiapkan teh. Si bayi duduk manis, dan si bocah kecil bermain mobil-mobilan.

    Sekarang waktunya makan malam. Tetapi gadis dan ibu itu tidak memasak. Bukan karena malas, tetapi karena mereka memang tidak punya apa-apa lagi untuk dimasak.

    Di bawah remang lampu 5 watt, saya mulai mengenali si ibu dan anak gadisnya, kedua orang yang benar-benar asing yang mengundang saya begitu saja ke dalam rumah mereka yang sederhana ini.

    Gulsaira, nama ibu itu, berumur 45 tahun. Pengangguran sejati. Suaminya sudah lama meninggal, dan sendirian ia harus mengasuh ketiga anaknya. Yang paling besar, si gadis, bernama Guldora. Usianya 16 tahun. Guldora tinggi sekali, wajahnya manis dan senyumnya malu-malu. Matanya tak begitu besar, hidungnya tidak mancung, karakter wajah khas orang Kirghiz. Menurut saya gadis ini cantik sekali.

    Guldora sibuk menyiapkan makan malam, tetapi terkadang masih sempat bermain dengan bayi kecil yang baru berumur satu tahun itu. Eldiyar, si bocah berumur 5 tahun, nakal sekali. Hobinya membikin si bayi kecil menangis. Tetapi kemudian giliran dia yang menangis, menunjukkan giginya yang bolong, setelah dicubiti dengan gemas oleh Guldora.

    Makan malam, menurut budaya orang Asia Tengah, biasanya selalu besar dan mengenyangkan. Tetapi keluarga ini tidak punya apa-apa lagi selain menumpahkan segunung permen-permen, remah-remah roti yang sudah mengeras, patahan-patahan coklat, beberapa buah busuk, teh tanpa gula, ..., hmm.... apa lagi ya? Rasanya sudah saya sebutkan semua. Ya..., memang sudah semua.

    Bagi orang kebanyakan, yang tersaji di atas taplak rumah Gulsaira ini hanyalah cemilan pagi hari. Apalagi barang-barang Gulsaira semua sudah kadaluarsa. Tetapi bagi keluarga ini, remah-remah makanan yang entah dikumpulkan dari mana ini adalah menu utama.

    "Seperti inilah makan malamnya orang miskin," kata Gulsaira, "apa lagi yang bisa kami makan selain ini?"
    Keremangan lampu 5 watt yang kadang nyala kadang mati, mengaburkan wajah-wajah lapar para penghuni rumah yang duduk dengan lesu di sekeliling gunung remah-remah makanan. Hanya Eldiyar yang masih bersemangat menumpahkan teh dan menangis. Sebuah makan malam yang penuh depresi, seperti depresi kota Karaköl di tengah keterpurukan Kyrgyzstan.


    (Bersambung)
     
  9. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Jumat, 11 April 2008 | 08:02 WIB

    Depresi (2)

    Rumah Gulasaira remang-remang. Dindingnya mengelupas tak sedap dipandang. Bau busuk memenuhi seluruh penjuru ruangan. Tetapi, di sini saya justru merasakan kehangantan cinta kasih sebuah keluarga.

    Eldiyar, bocah 5 tahun itu, memang nakal. Bukan hanya menggoda bayi Gulsaira yang masih sangat kecil sampai menangis, Eldiyar juga memasukkan remah-remah roti yang menjadi makanan pokok keluarga itu ke dalam cangkir tehnya, kemudian menyiramkan teh hijau tanpa gula ke tumpukan remah-remah roti, potongan coklat, dan permen-permen kadaluarsa yang menjadi menu makan malam keluarga. Si bocah itu baru menangis tanpa henti ketika Guldora, si kakak yang berumur 16 tahun, mencubitnya dengan gemas.

    Saya sempat bingung, bagaimana mungkin Guldora bisa mempunyai adik yang umurnya terpaut begitu jauh? Eldiyar ternyata memang bukan adik kandungnya. Gulsaira memungut bayi kecil Eldiyar yang dibuang di depan pintu rumah mereka. Gulsaira tidak tahu siapa kedua orang tua Eldiyar, atau mungkin saja dia tahu tetapi merahasiakannya. Hati Gulsaira tak tahan ketika si bayi kecil menangis kelaparan. Gulsaira memang miskin, tetapi tidak hatinya.

    Kemudian, di tengah susahnya kehidupan di negara baru Kyrgyzstan, Gulsaira memutuskan untuk mengasuh bayi itu, mencintainya seperti anaknya sendiri. Kini Eldiyar sudah tumbuh menjadi bocah yang lincah dan nakal. Tahukah ia akan masa lalunya?

    "Eldiyar masih kecil. Masih belum waktunya," kata Gulsaira.

    Ketika Gulsaira bercerita, Eldiyar masih terus memamerkan kenakalannya. Bocah ini manja. Selalu menangis kalau keinginannya tidak dituruti. Potongan-potongan roti, makanan yang sangat berharga bagi keluarga ini, dilemparnya ke tanah. Eldiyar suka sekali makan permen, sampai giginya hitam semua dan bolong. Susah juga untuk melarang bocah ini makan permen.

    Selain permen, menu makanan Gulsaira cuma potongan coklat kadaluarsa dan roti. Saya memberinya beberapa bungkus coklat yang saya dapat di Osh. Ia langsung menyambut dengan kedipan mata. Saking nakalnya Eldiyar, Gulsaira sampai memanggilnya si bocah setan. Tetapi itu hanya panggilan sayang. Saya tahu Gulsaira sangat mencintai bocah nakal ini.

    Rasa sayang Gulsaira juga tak terhingga terhadap bayi mungil yang ada di pangkuannya yang sedang mengunyah cacahan apel. Bayi ini pun, seperti halnya Eldiyar, bukan anak kandung Gulsaira. Adik Gulsaira, sekarang bekerja di Bishkek, baru saja berkabung karena istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Terpaksa si adik menitipkan bayinya yang baru lahir kepada Gulsaira di Karakol.

    Bayi kecil ini sudah tahu kalau Gulsaira bukan ibu kandungnya. Kalau ditunjukkan foto papa mamanya, si bayi perempuan yang sedang belajar jalan ini langsung menangis, "papa...., papa...., mama...., mama..."

    Suramnya rumah Gulsaira mencerminkan kesuraman Karakol pascakemerdekaan Kyrgyzstan. Negara yang memilih perubahan drastis dari negara sosialis menjadi kapitalis ini akhirnya terpaksa sadar bahwa untuk menjadi kapitalis ia harus punya sesuatu untuk dijual. Itu yang tak dimiliki Kyrgyzstan. Dalam sekejap, ekonomi kolaps dan orang-orang kehilangan asa. Tahun ini, upah minimum di Bishkek yang ditetapkan pemerintah, sedikit naik dari 4 dolar menjadi 5 dolar per bulan. Itu sudah standar ibu kota.

    Semula Karakol adalah tempat yang makmur. Semasa Uni Soviet, sebagian besar penduduk kota ini bekerja di PLTA Toktogul, dalam bahasa Rusia disingkat GES. Setelah negara ini mengikuti jejak republik-republik Soviet lainnya, memproklamirkan kemerdekaan di tahun 1991, Kyrgyzstan mungil tak lagi sanggup membiayai proyek-proyek yang semula disubsidi Soviet. Orang-orang Karakol kehilangan mata pencaharian. Kehidupan di sini bisa disimpulkan dengan satu kata, depresi.

    Gulsaira, terlepas dari beban hidup tiga anak yang ditanggungnya, juga tak bermata pencaharian. Ia hanya mengunjungi desa-desa sebelah untuk menawarkan bantuan rumah tangga. Tetapi kemurahan hati Gulsaira selalu membuatnya sibuk sendiri.

    Salah satu tetangganya di Karakol adalah sepasang suami istri pemabuk. Di kala kehidupan demikian suramnya, orang kembali lagi ke vodka dan alkohol sebagai jalan keluar membebaskan diri dari tekanan hidup. Suami istri ini, pengangguran kelas kakap, untuk memenuhi nafsu minum-minumnya terpaksa harus menjadi pengemis. Tetapi apa gunanya mengemis kalau semua orang juga sama miskinnya? Si suami kemudian menjadi perampok di jalan, dan uang hasil perasannya habis di meja judi.

    Si istri juga sudah parah penyakit mabuknya. Bahkan, ketika mengandung bayi kedua, dia terus menenggak vodka. Anak perempuannya lahir cacat mental, sangat mungkin gara-gara kenyang bir dan vodka sejak masih janin. Kakaknya, yang lahir sebelum kemerdekaan Kyrgyzstan, jadi pemuda yang sehat dan kuat. Saya tiba-tiba teringat akan Hadisa, si gadis cacat dari Murghab, yang juga lahir dalam kota yang penuh depresi. Apakah negeri yang depresi memang harus melahirkan bocah-bocah malang ke dunia ini?

    Seperti tak pernah kapok, si ibu ini hidup setia bersama vodka. Demikian pula suaminya. Suatu malam, mereka bertengkar. Pertengkaran suami istri biasa yang dikipasi oleh aroma alkohol. Orang mabuk memang tidak bisa dilogika. Si istri meloncat, meraih bohlam lampu yang masih menyala dengan tangannya. Dia kesetrum, terelektrolisis bersama vodka yang membasahi bibirnya. Tewas. Ibu itu ditemukan keesokan harinya. Si suami kembali ke kehidupannya yang normal, jadi pemabuk-cum-pengemis-cum-penjudi-cum-perampok. Semua profesinya ini berlevel cum laude.

    Kini giliran Gulsaira yang sesekali mengunjungi rumah itu, mengasuh gadis gila yang malang yang tidak dipedulikan orang tuanya lagi. Gulsaira Muslim, tetapi ia tak pernah sembahyang ataupun belajar agama. Dia hanya tahu bahwa vodka adalah nenek moyangnya setan, dan bahwa hidup itu harus selalu diisi dengan kasih dan cinta.

    Bersama keluarga itu, saya mengucapkan syukur teramat dalam, akan makanan-makanan kadaluarsa yang terhidang di hadapan saya. Tuhan masih memberi kami makanan hari ini. Tuhan masih menyelamatkan saya dari kegelapan malam di Karakol yang ganas dengan mengirimkan saya ke rumah kayu Gulsaira yang penuh dengan bau apek. Tetapi di rumah inilah, Tuhan memberikan saya pelajaran yang sangat indah.



    (Bersambung)
     
  10. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Senin, 14 April 2008 | 07:42 WIB

    Kawan Lama dari Toktogul

    Dari Karakul saya melanjutkan perjalanan ke Toktogul. Sebuah memori indah mengantar saya ke sana. Dua tahun silam, saya terdampar di kota ini, berkenalan dengan dua orang sukarelawan Amerika, Rosa dan Jason, yang mengajar bahasa Inggris. Gelar mereka keren – Peace Corps. Lewat mereka saya berkenalan dengan seorang guru bahasa Inggris di desa itu. Inilah awal persahabatan saya dengan Satina Eje, atau Mbak Satina, guru desa yang tak pernah padam semangatnya.

    Betapa manis kenangan bersama wanita paruh baya yang ramah dan terus berceloteh tanpa henti tentang kehidupan di Kyrgyzstan. Ia menghabiskan waktu bersama putra satu-satunya, Maksat, yang sudah hampir lulus sekolah, di rumah kayunya di sebuah apartemen kuno di sebuah gang kecil di Toktogul.

    Rumah Satina seperti mesin waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak - permadani sulam-sulaman khas Kyrgyzstan. Ada hiasan dinding bergambar Mekkah dan bertulis huruf Arab. Satina tidak tahu kalau tulisan itu berbunyi "Allah" dan "Muhammad". Ada telepon yang masih menggunakan papan putar yang mengeluarkan bunyi gredek-gredek tiap kali nomornya diputar. Ada pula televisi hitam putih yang tabungnya super cembung. Ada koleksi foto-foto keluarga hitam putih ketika suami Satina masih hidup. Bagi Satina, semua ini adalah barang biasa. Bagi saya, setiap pernik rumah Satina adalah serpihan masa lalu saya.

    Saya teringat di musim panas dua tahun lalu itu, Satina membawa saya ke danau Toktogul yang terbentang luas bersambung dengan gunung-gunung salju di kejauhan sana. Satina memasak sherpo, sup Kirghiz yang penuh dengan minyak dan yoghurt, yang saya hirup dalam-dalam bersama potongan roti dan bubuk merica merah.

    Dan, hari ini saya kembali ke Toktogul dengan segudang pertanyaan dalam benak – bagaimana dua tahun telah mengubah Satina, kawan lama saya dari negeri Kirghiz.

    Toktogul tak banyak berubah. Saya masih ingat betul jalan utama ini, rindangnya pohon-pohon yang berjajar, dan lapangan besar tempat dulu rombongan artis cilik dari Eropa datang menggelar konser. Tetapi saya benar-benar lupa gang kecil menuju rumah Satina.

    Hari ini hari Minggu. Jalanan lengang. Hampir tak ada orang di jalan. Sepertinya penduduk Toktogul menggunakan hari libur hanya untuk tidur. Saya melihat sesosok tubuh terkapar di atas dedaunan kuning yang berguguran. Ada juga orang tidur pulas di pinggir jalan seperti ini?

    Wanita itu bertumbuh tambun, ber-sweater hijau. Posisi tidurnya sepertinya tidak nyaman sama sekali. Kakinya bertekuk. Mulutnya menganga. Sepertinya ia tergeletak begitu saja, tanpa memilih tempat yang nyaman untuk tidur. Tetapi ia begitu lelap sampai tidak terganggu sama sekali dengan orang lewat.

    Saya semula berpikir perempuan empat puluh tahunan ini kena serangan jantung. Tetapi seorang pejalan kaki bilang, perempuan ini cuma mabuk. Tidak kurang dan tidak lebih.

    Kehidupan yang penuh frustrasi dan depresi di negeri sunyi Kyrgyzstan membuat vodka menjadi jalan pintas favorit untuk membebaskan diri dari tekanan hidup. Taman-taman desa dan kota dipenuhi para pemabuk ketika senja menjelang. Kota-kota Kyrgyzstan menjadi sangat berbahaya ketika hari mulai gelap, karena para setan mabuk bisa tiba-tiba melompat dari balik pohon dan menodongkan pisau. Kriminalitas yang disebabkan oleh alkohol, atau vodka terrorism, membuat orang-orang di negeri ini tak berani berjalan-jalan keluar rumah di waktu malam.

    Vodka, tidak hanya membuat penduduk takut, tetapi juga membahayakan nyawa si peminum sendiri. Mabuk sampai teler dan pingsan di pinggir jalan seperti ini, apalagi di musim dingin, tak jarang berujung kematian. Tak peduli laki-laki atau perempuan, vodka tak pernah pilih-pilih korbannya.

    Saya tiba-tiba teringat, Satina juga hobi minum. Walaupun Satina tidak pernah minum-minum di hadapan saya, karena saya bukan peminum, saya tak berani membayangkan apakah Satina, wanita yang saya hormati, juga bisa teler seperti perempuan gemuk yang terkapar di pinggir jalan ini.

    Bekbolot, seorang pemuda Toktogul, membantu saya mencari alamat Satina. Susah payah, dengan beratnya backpack di punggung, kami berhasil menemukan rumah itu. Apartemen kayu yang sama. Pintu-pintu mungil yang sama. Pohon besar yang sama. Semuanya masih sama. Saya gembira sekali.

    Bekbolot memencet bel. Sebuah kepala gadis muda menyembul dari balik pintu. Saya tidak kenal gadis ini. Dia tak tersenyum, dan menjawab pendek-pendek.

    "Eje pergi ke desa. Dia kembali lagi nanti sore," Bekbolot menterjemahkan ucapan gadis itu kepada saya. Satina tidak ada di rumah. Maksat juga tidak ada.

    Saya menjelaskan maksud kedatangan saya, bahwa saya kawan lama Satina yang ingin berjumpa. Gadis itu tidak mengizinkan saya masuk.

    "Saya tidak kenal kamu. Kalau eje tahu saya mengizinkanmu masuk, pasti eje akan menghukumku," katanya.

    Si gadis lima belasan tahun ini mengaku sebagai keponakan Satina dan datang dari desa. Saya juga tidak memaksa. Rumah ini punya Satina dan si gadis hanya menjalankan tugasnya.

    Bekbolot menemani saya duduk di pekarangan, menunggu datangnya Satina. Hampir dua jam kami menunggu. Satina tak datang juga. Udara sudah mulai dingin. Langit mulai gelap, pertanda bahaya mulai datang. Saya juga tidak tahu lagi mau ke mana.

    Bekbolot, pelajar muda yang saya temui di jalan, malah mengajak saya menginap di rumahnya daripada menunggu di luar seperti ini. Saya semula tidak setuju, tetapi Bekbolot kemudian memberikan nomer telepon rumahnya kepada gadis itu dan meninggalkan pesan untuk disampaikan pada Satina.

    Saya mengikuti Bekbolot, melintasi taman desa Toktogul yang terkenal angker waktu malam, penuh dengan pemabuk. Kalau bukan karena ada Bekbolot, tentu saya tak berani lewat sini.

    Keesokan paginya, saya kembali lagi ke rumah Satina. Wanita bersanggul dan berjaket coklat itu sudah menunggu di depan pintu pekarangannya.

    "Avgustin!!!!!!!" teriak Satina penuh gembira ketika melihat bayang-bayang saya membelok dari ujung jalan. Dia memeluk saya, mengajak saya masuk, dan menyiapkan teh hangat.

    "Saya kemarin malam sekali baru pulang," katanya dengan bahasa Inggrisnya yang khas, "Jam 11. Saya coba telepon nomer yang dititipkan, berkali-kali, tetapi sepertinya telepon di situ rusak. Saya khawatir sekali. Kemarin malam, ketika saya pulang, saya mabuk berat. Saya tak ingat apa-apa lagi. Keponakan saya bilang, gara-gara menelepon kamu, saya menangis habis-habisan sepanjang malam. Tetapi saya tidak ingat apa-apa sama sekali."

    Satina masih mengenali saya seperti dua tahun silam.
    "Kamu tak berubah!" katanya tersenyum, menghias gurat-gurat wajahnya. Bahkan tetangga-tetangga Satina pun masih ingat saya. Dua tahun lalu, saya datang dengan celana sedengkul dari Indonesia. Orang-orang di sini mengira saya pakai rok. Saya sendiri sudah lupa kalau bukan Satina yang mengingatkan kejadian lucu itu.

    "Kepala saya masih sakit," kata Satina, "gara-gara mabuk kemarin. Saya minum terlalu banyak. Tetapi sekarang saya mesti mengajar. Tetapi ada sukarelawan yang menggantikan saya untuk jam pertama, karena saya sudah minta izin tidak mengajar pagi hari untuk menunggu kamu. Kamu sekarang mau istirahat dulu atau ikut saya ke mengajar?"

    Saya dengan semangat berangkat ke sekolah bersama Satina, seperti anak kecil yang bergembira di hari pertama masuk sekolah.

    (Bersambung)
     
  11. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Selasa, 15 April 2008 | 07:38 WIB

    Susahnya Jadi Guru

    Sekolah Dasar dan Menengah Birimkulov adalah tempat Satina Eje mengajar bahasa Inggris. Walaupun terletak di desa kecil, Satina sangat bangga bahwa sekolah ini tidak kalah kualitasnya dengan sekolah-sekolah di kota besar seperti Bishkek dan Jalalabad.

    Satina, yang nama aslinya Manapova Satkinbu, membawa saya ke ruang kelas tempat saya mengajar. Murid-muridnya keleleran karena Satina terlambat datang. Melihat guru mereka datang, murid-murid yang bermain di halaman dalam hitungan detik langsung masuk ke ruangan kelas, duduk manis, seperti domba-domba tanpa dosa. Satina duduk di bangku guru, dengan kaca matanya yang berukuran super besar, mulai mengabsen murid-muridnya.

    Satina mengajar, mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Inggris. Murid-muridnya diam saja. Satina menerjemahkan pertanyaan dalam bahasa Kirghiz, baru ada satu dua murid yang mengacungkan tangan. Satina mengeluh kepada saya yang duduk di barisan belakang, "My students are too much stupid." Keras sekali. Baru pertama kali ini saya mendengar guru yang mengeluhkan kebodohan murid-muridnya sendiri tanpa tedeng aling-aling. Murid-murid tak bereaksi. Mungkin tak mengerti, mungkin tak berani.

    Murid-murid Satina memang sangat pasif, seperti yang dikeluhkan Satina. Dia kebagian kelas mengajar siswa yang kurang mampu. Setiap kelas dibagi menjadi dua grup. Grup A, siswa-siswa yang dianggap pandai, ikut kelas yang dibimbing Anna, seorang sukarelawan Peace Corps dari Amerika yang baru datang. Sisanya masuk kelas Satina.

    Ketika saya bertandang ke kelas Anna, saya langsung diberondong pertanyaan oleh murid-murid kelas 4 itu.

    "How many brothers and sisters do you have?"
    "How many cars do you have?"
    "How many apples do you eat everyday?"

    Anna tergelak melihat kebingungan saya.
    "Jangan kuatir, anak-anak hari ini baru belajar 'how many'." Murid-murid Anna memang cepat sekali menangkap apa yang baru dipelajari.

    Kyrgyzstan memang bukan negara kaya. Tetapi saya sangat mengagumi kualitas sekolah di desa ini. Gedungnya sangat kokoh, berlantai dua. Ada perpustakaan dengan koleksi buku-buku bahasa Inggris. Ada museum sekolah, menampilkan pahlawan-pahlawan Kyrgyz dan lambang-lambang nasional. Ada ruang olah raga dan gymnasium. Kantin dan toiletnya pun bersih sekali. Ruang-ruang kelas dibagi berdasar mata pelajaran. Ada ruang bahasa Inggris, ruang matematika, ruang geografi, dan sebagainya. Kalau di Indonesia, anak-anak SD cukup duduk manis di satu ruangan sepanjang hari dan guru datang silih berganti, di sini Ibu Guru Satina Eje cukup duduk manis dari pagi sampai siang, dan murid-murid yang datang silih berganti.

    Sekolah Birimkulov memang bukan sekolah sembarangan di Toktogul. Selain sukarelawan pengajar dari Amerika Serikat, perpustakaan sekolah ini pun penuh dengan buku-buku dari luar negeri. Buku pelajaran yang digunakan Satina juga dari Amerika, judulnya WOW – Window of the World. Anak-anak di sini memang beruntung, sudah mengenal dunia luar sejak usia sedini ini.

    Sekolah ini dulunya dibantu oleh Soros Fondation, yang mendatangkan buku-buku bermutu dari luar negeri. Tetapi sejak Peace Corps menawarkan jasa sukarelawan pengajar Bahasa Inggris, Soros Fondation mengurangi dana sumbangannya.

    "Sayang sekali, Anna tahun depan sudah balik ke negaranya, dan tidak ada sukarelawan lagi yang mengajar lagi di sini," kata Satina, "saya berharap tahun berikutnya akan ada lagi orang Amerika yang mau mengajar ke Toktogul."

    Pertama kali saya merasakan susahnya jadi guru. Dari pagi bersama Satina, menghadapi murid-murid yang hanya duduk diam tanpa suara, sementara kita harus berceloteh sendiri tanpa direspon, memang susah. Satina, yang sudah puluhan tahun menjadi guru, sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kata-kata saktinya, "My students are too much stupid" selalu terngiang-ngiang di benak saya.

    Anak-anak dari kelas dua, walaupun masih belum bisa bicara dalam Bahasa Inggris, jauh lebih aktif. Satina membantu menerjemahkan.

    "Berapa saudara yang kamu punya?" tanya seorang bocah.
    "Hanya satu," jawab saya.
    Seluruh kelas tersontak.
    "Mengapa sedikit sekali?"

    Di Kyrgyzstan, apalagi di desa seperti ini, rata-rata keluarga memang punya banyak anak. Negeri ini berpenduduk hanya sekitar lima juta jiwa, bahkan tidak sampai separuhnya penduduk Jakarta. Di sini, satu keluarga dengan tujuh hingga dua belas anak sekali pun adalah hal yang biasa.

    Bocah-bocah mungil Kirghiz ini menggeleng-geleng kepala, kemudian tanpa henti mengasihani orang-orang Indonesia yang sudah diprogram untuk punya dua anak saja.

    "Kasihan sekali kaum ibu di Indonesia. Tidak ada anak-anak yang membantu mencuci piring," kata seorang gadis mungil dengan pita rambut merah muda seperti telinga kelinci menjulang di atas kepalanya.

    "Bapak-bapak di sana pasti sedih sekali, karena kalau anaknya pergi sekolah, tidak ada anak yang membantunya merawat ternak," kata bocah lain yang memakai jas hitam.

    "Iya. Kalau anaknya sakit, jadi tidak ada yang membantu ibu di rumah," sambung yang lain.

    Saya terhenyak. Bocah-bocah sekecil ini sudah menunjukkan sikap kasih sayang yang luar biasa terhadap orang tua. Dari belasan alasan yang dikemukakan bocah-bocah mungil ini, semuanya bertema 'kasihan ayahnya', 'kasihan ibunya'. Mereka tidak bicara tentang acara TV, atau game Playstation terbaru, atau tentang uang jajan. Padahal mereka tidak diajari dengan rentetan kurikulum pelajaran moral.

    Sekali lagi saya menyusuri koridor gedung sekolah ini. Foto-foto siswa berprestasi dipajang sepanjang dinding. Semua foto ini tampak sama. Yang laki-laki berjas hitam, kepala tegak menghadap kamera, bibir terkatup. Yang perempuan memakai pita merah muda melambung tinggi dari ujung kepala. Nama-nama bocah-bocah yang lahir setelah Kyrgyzstan merdeka sudah tidak bergaya Rusia lagi, tak lagi berakhiran ov atau ova. Tetapi yang paling berkesan adalah foto bocah-bocah yang berteriak gembira di depan pintu gerbang.

    "Foto ini terpilih menjadi foto terbaik dari seluruh sekolah di Kyrgyzstan," kata Satina bangga.

    Jadi guru memang susah. Jam 2 siang, kerongkongan saya sudah hampir putus rasanya. Padahal saya tidak bicara sebanyak Satina. Sesampainya di rumah saya sudah lemas dan langsung tertidur lelap. Satina masih masak, menyiapkan makan malam, memutar telepon dan mengobrol ngalor ngidul dengan tetangga. Itu memang telepon tua yang masih berbunyi gedek-gedek kalau diputar.

    Malamnya, giliran saya yang jadi murid Satina, belajar bahasa Rusia dan Kirghiz. Satina dengan sabar mengajari saya, walaupun kadang-kadang masih sering bilang bahasa Rusia saya jelek sekali. Satina malah ingin belajar membaca huruf Arab dari saya. Sekarang di kamar rumahnya ada beberapa hiasan dinding. Satu bertulis Allah, satu bertulis Muhammad, dan satunya lagi Bismillahirrahmanirrahim.

    Seperti sebagian besar orang Kirghiz, Satina juga Muslim. Tetapi dia tidak tahu bacaan tulisan-tulisan Arab yang menghiasi dinding rumahnya.

    "Ah, saya ingin sekali bisa mengerti artinya," keluh Satina, "tetapi bahasa Arab kelihatannya susah sekali ya."


    (Bersambung)
     
    Last edited: May 10, 2011
  12. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    Agustinus Wibowo | Rabu, 16 April 2008 | 07:39 WIB

    Bagaimana Cara Membaca Kyrgyzstan

    Bab ini mungkin seharusnya diletakkan pada saat awal-awal kita memasuki negeri ini. Saya yakin, banyak orang yang kesulitan membaca nama negara ini, karena dari sekian banyak deretan huruf itu, hampir semuanya huruf mati. Jadi bagaimana sih membaca Kyrgyzstan?

    Saya sebenarnya juga baru belajar bahasa Kirghiz. Dapat buku pinjaman dari sukaralewan PeaceCorps asal Amerika. Penutur bahasa Kirghiz sekitar 4 juta jiwa, tersebar di Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, China, dan Rusia. Bahasa Kirghiz bersaudara dekat dengan bahasa Kazakh, Uzbek, Turkmen, dan Turki, semuanya masuk rumpun bahasa Turki. Ada yang bilang bahasa Jepang dan Korea juga masih bersaudara jauh, semuanya ikut kelompok bahasa Altai. Saya pernah belajar bahasa Jepang, tetapi tidak banyak membantu untuk belajar bahasa Kirghiz.

    Pertama kali belajar bahasa ini, saya merasa pusing karena begitu banyak rumus-rumus aneh bin ajaib. Dalam dua hari, saya melahap 100 halaman buku tata bahasa dasar itu, dan waktu malam Satina menanyakan mengapa jalan saya jadi sempoyongan.

    Karakteristik utama dalam bahasa Kirghiz, seperti bahasa-bahasa Turki lainnya, adalah harmonisasi vokal. Dalam satu kata, semua vokalnya harus berasal dari kelompok yang sama. Ada 4 kelompok vokal yang menjadi hukum dasar bahasa Kirghiz:

    a berpasangan dengan u dan y
    o berpasangan dengan u
    e berpasangan dengan i
    ö berpasangan dengan ü

    Kelompok vokal pertama menunjukkan bahwa y dalam bahasa Kirghiz adalah vokal, pasangannya dengan vokal a. y, yang ditulis dalam huruf Rusia ?, dibaca seperti vokal 'eu' dalam kata keukeuh. Nama Kyrgyzstan, terdiri dari 3 vokal: dua y dan satu a, semuanya masuk dalam kelompok vokal pertama.

    Sekarang mari lihat nama-nama kota di Kyrgyzstan. Toktogul, hanya ada vokal o dan u, kelompok vokal kedua. Naryn, masuk kelompok pertama. Jalalabad, Özgön, Bör Döbö, Tokmok, semuanya memenuhi batasan pasangan vokal. Demikian juga dengan kata-kata lainnya dalam bahasa Kirghiz. Kata-kata dari bahasa Arab, yang datang bersama Islam sekitar lima abad silam, juga harus memenuhi aturan vokal ini. Nikah menjadi nikeh, masjid menjadi mejit, kitab menjadi kitep. Kata-kata pinjaman dari bahasa Rusia, yang masuk hanya beberapa dekade silam, umumnya tidak mengalami perubahan sama sekali.

    Seperti bahasa Indonesia, bahasa Kirghiz juga mengutamakan penambahan imbuhan dalam pembentukan kata. Aturan vokal harus dipegang teguh ketika kita membubuhkan imbuhan. Misalnya, bahasa Kirghiz punya 12 macam akhiran untuk menunjukkan fungsi jamak, yaitu: lar, lor, ler, lör, tar, tor, ter, tör, dar, dor, der, dör. Ini semua tergantung vokal dan konsonan terakhir dari kata yang bersangkutan. Misalnya alma (apel) menjadi almalar (apel-apel) tetapi kitep menjadi kitepter (buku-buku).

    Pusing kan? Ini masih belum seberapa. Bahasa Kirghiz masih punya segudang kerumitan. Ada 8 kata ganti, semuanya punya akhiran masing-masing. Ada banyak penanda waktu yang harus dikombinasikan dengan 8 kata ganti tadi. Belum lagi berbagai macam akhiran untuk menyatakan bisa, tidak, mungkin, dan banyak lagi. Susunan kalimatnya selalu S-O-P, seperti bahasa-bahasa rumpun Turki lainnya. Saya jadi kagum dengan bocah-bocah Kirghiz yang bisa menguasai bahasa sesulit ini.

    Bahasa Kirghiz ditulis dengan huruf Rusia yang dimodifikasi, diciptakan ketika negeri ini dikuasai Rusia dan masih dipakai ketika negara Kyrgyzstan merdeka hingga sekarang. Walaupun ada rencana untuk beralih ke huruf Latin seperti halnya Uzbekistan dan Turkmenistan, Kyrgyzstan masih terbilang malas untuk melakukan perubahan drastis itu.

    Bukan hanya bahasanya yang dituliskan oleh orang Rusia. Identitas Kirghiz, sebagaimana bangsa-bangsa lain di Asia Tengah, juga dikukuhkan oleh ahli etnografi Uni Soviet. Dulu, nama 'Kirghiz' dipakai untuk menamai orang Kazakh. Orang Kazakh dan Kirghiz sangat dekat secara linguistik, kultural, dan historis. Orang Kazakh adalah pengembara di hamparan padang stepa, sedangkan Kirghiz tinggal di gunung-gunung. Kazakh dulu dinamai Kirghiz dan orang Kirghiz dulunya disebut Kara Kirghiz, si Kirghiz Hitam. Baru pertengahan 1920'an orang Kirghiz mendapat namanya yang sekarang.

    Kalau orang Uzbek dan Tajik yang bersalam dengan assalomualaikum, orang Kirghiz, yang sejarahnya memeluk agama Islam masih relatif muda, mengucap salom alaykum hanya untuk aksakal, laki-laki tua yang dihormati. Salam yang paling lazim digunakan adalah 'salamatsyzby?', 'apakah Anda baik-baik saja?', kemudian dilanjutkan menanyakan keadaan suami atau istri, anak, keluarga, hewan-hewan ternak, tenda, dan pekerjaan orang yang diajak bicara. Kebiasaan ini merefleksikan kultur bangsa nomaden yang masih sangat kental dalam kehidupan orang Kirghiz.

    Bangsa Kirghiz memang menjalani ribuan tahun perjalanan panjang dari negeri nenek moyangnya di Mongolia sana hingga ke balik pegunungan Tien Shan tempat sekarang mereka tinggal. Ribuan tahun perjalanan yang penuh dengan perjuangan dan pertumpahan darah. Bangsa Kirghiz baru saja merayakan 1000 tahun kesusastraan mereka, sebuah epos bernama Manas, puisi panjang tentang perjuangan pahlawan bernama Manas. Puisi ini panjangnya hampir setengah juta baris. Orang Kirghiz dengan banga mensejajarkan peradabannya dengan epos klasik dunia macam Mahabarata dan Oddysei.

    Seperti jatuh bangunnya perjuangan Manas, yang tidak pernah menyerah pada keadaan dan kegagalan, sebuah pepatah Kirghiz membuat saya kagum akan ketangguhan bangsa ini:

    "Kami bangsa Kirghiz,
    Sudah mengalami ribuan kematian,
    Tetapi kami menjalani ribuan kehidupan."



    (Bersambung)
     
  13. aqua00 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Feb 17, 2010
    Messages:
    763
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +1,102 / -0
    bikin 30 dulu :hot:

    habis dicek ulang, ternyata banyak yang dopost :sembah:
    mohon maaf :maaf:
     
    Last edited by a moderator: Dec 5, 2011
  14. dzakil Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 15, 2014
    Messages:
    17
    Trophy Points:
    2
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +5 / -0
    mantap gan. lanjutkan. baru baca 4 post
     
  15. farorerayzes Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 23, 2012
    Messages:
    51
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +0 / -0
    luar biasa sekali pengalamannya
     
  16. oceanwave Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Sep 18, 2012
    Messages:
    20
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +8 / -0
    Pengalamannya seru banget, saya suka traveling & suka bermimpi buat pergi ke suatu tempat, tapi belum pernah kepikiran buat travel ke asia tengah, kalo liat di google sih landscape nya bagusss, tapi pas baca ceritanya ternyata buat dapetin visanya susah banget yaa -___- , terusin dong ceritanya, penasaran bagaimana dengan uzbekiztan atau khazakstan katanya lebih maju ya *btw agak susah ya tulis nama negaranya
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.