1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Official Short Story Fiesta ~ Mari Menulis Cerpen dan Membuat Antologi Bersama

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, May 17, 2015.

  1. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    cabe dini hari... you've been warned. :>

    Komen buat 'Arti Nama'
    Sebelum komen, mau nanya dulu... situ orang mana ya? honestly, satu-satunya cara supaya tulisan yang situ buat enak dibaca sama aku itu kalau aku sok-sok niruin logat orang sumatra kalau ngomong bahasa Indonesia. Trus, gaya bahasa begini agak ngingetin aku sama tulisannya norprif (and he's from Sumatra--kayaknya). Yang sebenarnya nggak salah... cuma kurang standar, yang bagus kalau buat penulisan dialog (bisa jadi ciri khas chara) but a bit too much kalau buat narasi. And sastra Indonesia dulu banyak yang pengarangnya dari Sumatra dan rasanya gaya bahasanya kerasa standar aja kok (pada zamannya). :v

    Well... secara isi cerita.. aku sama sekali nggak ngerti apa yang mau kamu ceritain. Misteri? I don't think so. Nggak ada misterinya sama sekali. Semuanya udah terpapar blek begitu aja. Soal arti nama MC juga... antara arti di awal cerita sama di akhir nggak beda jauh IMO. Iya, pada intinya hati kan? Di awal nggak ada yang nyangkut pautin itu jadi organ jantung kan? Trus masalahnya apa?

    Ditambah koplak banget itu ortu tirinya.. bunuh orang karena pengen punya anak? kenapa nggak adopsi aja? Ini latar sosial ceritanya kayak gimana nyampe pengen punya anak aja mesti bunuh orang sih. Mana habis itu si MC (yang ntah umur berapa) jg langsung tanpa merasa galau atau gimana ngebunuh orang tuanya--yang sepertinya Ayahnya bilang udah ngebesarin dia. Oke, dia marah orang tua kandungnya dibunuh, oke. Tapi nggak ada rasa apa-apa gitu sama orang tua yang udah ngasuh dia selama ini? Ofc pengecualian kalau ternyata mereka orang tua yang buruk, suka nyiksa anak, etc. Tapi kan nggak ada ceritanya. Dia jg masih sempet2 aja tuh mempertanyakan arti nama dia.

    Mana cara bunuhnya jg kocak... pertama ngancem pake pistol, trus pake pisau.. kenapa dia harus bawa dua senjata begitu? kalau emang rencananya mau bikin mereka tergelincir ya pake pisau aja, ga usah pake pistol.

    Lalu kekocakannnya nambah pas dia dengan mudahnya nemu keluarga besar ortu kandungnya. How? Nenek lu tahu dia punya cucu? Trus kenapa bisa kematian tu dua orang plus hilangnya satu anak nggak dicurigai? Sementara kesimpulan akhir ceritanya... manusia yang mempunyai hati.

    ha? Bukannya udah jelas dari awal jg? Dan kalau maksudnya supaya dia jadi manusia yang mempunyai hati... jadi ini ceritanya soal Irony? Karena sepanjang cerita aku nggak liat ada adegan yang menunjukkan dia manusia yang mempunyai hati. Dia bunuh ortunya. iya karena mereka bunuh ortu kandungnya I know, tapi ini adegan sama sekali nggak bikin simpatik kalau nggak ada latarnya.

    Atau kalau ternyata maksudnya mau bikin sarkas soal entah apa... I just don't get it.

    kalau nggak terima, buang aja ke lalat-san:ngacir:
     
    • Like Like x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. HartantoShine M V U

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Aug 18, 2012
    Messages:
    7,794
    Trophy Points:
    177
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +1,997 / -0
    FairyflyFairyfly; dan merpati98merpati98;

    Trims atas petunjuknya, cerita di atas rencana keduaku, rencana pertama bukan begitu, tapi kalau dijalanin aku bingung nglanjutinnya :sedih:

    Karena kunubie trims atas perbaikannya juga perhatiannya :malu1:

    :angel:
     
    • Like Like x 1
  4. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    Secara pribadi, saya suka dengan ceritanya. Dialognya juga udah bagus.
    Cuman membaca cerita dalam cerita yang pendek kyknya kurang efisien aja. Lagian nggak fokus ke perkembangan anaknya okaasan jg.

    Keep writing :onfire:

    Eee, kayaknya masih kasar ceritanya. To the point amat, selesai gt aja.
    Klo di tambah dengan penceritaan suasana, latar hingga gimna sih galaunya si mc yg jadi anak yg diculik itu mungkin lbh bagus lagi.

    --

    :lalala:

    sent from Rokkenjima island[​IMG]
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Jul 24, 2015
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Rip off dari mana-mana, dan otak aku masih nyangkut di orific, jadilah karyaku yang begini :swt:

    Judul : Pion-pion Kecil
    Genre : Tragedy, Military, Romance, Drama


    Langit di sore itu terlihat begitu cerah.

    Menepikan pesawatku di landasan, kubuka kokpit pesawat tempur ini. Puluhan orang sudah menantiku bahkan sebelum pesawat ini benar-benar berhenti, dan tepat saat aku melompat keluar darinya, orang-orang itu bersorak.

    “Puteri Minazuki telah kembali! Pahlawan Negeri Akane telah kembali!”

    Kakiku menepi keatas tanah. Beberapa tentara lantas mendatangiku, menjagaku dari kerumunan orang-orang tersebut.

    “Puteri Minazuki, berapa banyak pesawat yang kau tumbangkan hari ini?”

    “Puteri Minazuki, bagaimana rahasia menjadi pilot tempur yang handal?”

    “Puteri Minazuki, benarkah kau menghabisi seluruh lawan dalam pertempuran Lotus seorang diri?”

    “Hidup Puteri Minazuki!”

    “Minazuki!”

    Ah, lagi-lagi…

    Sejujurnya, aku sama sekali tak mau lagi mendengar kata-kata tersebut. Berkali-kali aku ingin menjerit, berteriak agar mereka semua tutup mulut dan menjauh dari hadapanku. Pahlawan. Pahlawan. Itu menjijikkan. Bagiku, itu semua tak lebih dari sekedar omong kosong belaka.

    Meski demikian, yang bisa kulakukan hanyalah membalas teriakan mereka dengan lambaian tangan dan senyuman lebar. Bukan karena aku ingin, melainkan karena perintah yang diberikan komandan.

    “Bersikaplah layaknya seorang pahlawan dan buat dirimu menjadi contoh bagi pilot-pilot yang lain.”

    Bersikap selayaknya seorang pahlawan. Menjadi contoh bagi pilot-pilot lain…

    Sebuah omong kosong besar.

    Apa yang kulakukan saat ini hanyalah mengirim para pilot ke jurang kematiannya.

    Entah sudah berapa banyak pilot yang tumbang demi melindungiku. Semenjak pertempuran Lotus, sosokku dianggap sebagai dewa penyelamat Negeri Akane yang membawa terror bagi pihak musuh. Dalam setiap pertempuran, musuh akan selalu ketar-ketir kala mendapati pesawatku ada diantara lawan mereka. Beberapa akan berusaha menumbangkanku, namun pilot-pilot lain akan selalu melindungi.

    “Kau adalah pahlawan negeri ini. Simbol harapan bagi setiap orang yang ada di negeri ini. Karenanya, kau tidak boleh mati.”

    Omong kosong…

    ………

    Kakiku mulai mengayun perlahan, bergerak menuju hangar. Seiring dengannya, orang-orang disekitarku kembali bersorak riang.

    Disertai wajah penuh senyum, tanganku melambai pada mereka semua.

    Meskipun hatiku menjerit untuk suatu alasan.

    ***​

    Dua tahun lalu, sebuah pertempuran udara terjadi antara Kerajaan Akane dengan Negeri Agari. Pertempuran Lotus, begitu kami menyebutnya. Kala itu, usiaku baru menginjak tujuh belas tahun. Menjadi satu-satunya pilot wanita sekaligus pilot termuda dalam pertempuran itu, membuat senior-seniorku mengawasiku sedemikian ketat. Berkali-kali pesawatku hampir tertembak jatuh, namun senior-seniorku selalu datang melindungi. Beberapa bahkan merelakan dirinya menjadi perisai hidup untukku.

    Hingga sekarang, aku tak pernah mengerti mengapa mereka melakukannya.

    Pada akhirnya, duel udara yang berlangsung sengit selama enam jam itu bisa dimenangkan Kerajaan kami, Kerajaan Akane.

    Meski demikian, aku sama sekali tak menganggap hal itu sebagai sebuah kemenangan. Mengerahkan dua ratus lebih pesawat tempur, hanya aku satu-satunya pilot yang berhasil kembali ke pangkalan. Kisah heroik yang muncul dari Pertempuran Lotus itu lantas menginspirasi seluruh rakyat Kerajaan Akane untuk menjadi pilot tempur sepertiku. Hal itu, mau tidak mau, menjadikanku seorang pahlawan. Mmn. Sesosok simbol harapan bagi Kerajaan Akane untuk terus bertempur, dan pembawa terror bagi pihak musuh. Popularitasku bahkan membuat raja mengangkatku sebagai anak.

    Aku dianggap sebagai pahlawan yang kelak akan menyelamatkan Kerajaan Akane dan menghancurkan negeri Agari. Meski demikian, aku sama sekali tidak merasa senang karenanya.

    “Dalam setiap pertempuran, Puteri Minazuki harus selamat! Dia adalah simbol harapan negeri ini. Jika ia sampai mati, semangat pihak musuh akan kembali bangkit. Itu tidak boleh terjadi!” Begitulah perintah komandan kepada setiap pilot di pangkalan ini. Dan pada setiap perintah yang ia beri, ia akan selalu mengakhirinya dengan sebuah kalimat tegas.

    “Lindungi Puteri Minazuki dengan nyawa kalian!”

    ………

    Lucu.

    Apakah nyawaku sedemikian pentingnya? Seharusnya aku bahkan sudah mati berkali-kali.

    “Hei, lihat! Itu Puteri Minazuki!”

    “Puteri Minazuki? Maksudmu Pahlawan yang terkenal itu?”

    “Tentu! Siapa lagi? Dia pilot terhebat di pangkalan ini. Kabarnya, dalam pertempuran Lotus, dia menghancurkan lebih dari seratus musuh seorang diri!”

    Dan rumor tentangku bahkan berkembang menjadi bualan yang terlalu mengada-ada.

    Orang-orang terus mengoceh ini itu tentangku. Setiap hari, tanpa henti, tanpa mengerti bagaimana perihnya melihat pilot-pilot lain gugur hanya untuk melindungiku.

    “Selama ada Puteri Minazuki, kita semua akan baik-baik saja.”

    Ah, benar-benar sukses besar.

    Kalian semua sebaiknya mati saja.

    Atau mungkin, aku yang sebaiknya mati.

    ***​

    Suatu siang setelah misi pengintaian.

    Langit luas dan lapangan terbang tampak jelas dari atap hangar, membentang jauh hingga ke cakrawala. Beberapa orang melihatku dari bawah, tersenyum dan melambaikan tangan. Seolah telah diprogram untuk melakukannya, aku membalas lambaian tangan mereka dan tersenyum lebar.

    Misi pengintaian yang kulakukan tadi pagi berakhir bencana bagi dua orang pilot. Tanpa diduga, kami bertemu dengan musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Dua pesawat kami tertembak jatuh – satu dari mereka merelakan dirinya tertembak demi melindungiku yang terus menerus menjadi target sasaran.

    Perasaan bersalah yang muncul setelahnya benar-benar terasa menyakitkan. Ia menumpuk di jiwaku dan membutku amat lelah. Mmn. Aku amat lelah dengan senyum palsu yang kuberikan setiap hari, dan dengan berita kematian pilot-pilot lain. Hingga kini pun, aku tak pernah mengerti mengapa mereka harus melindungi sebuah simbol yang hanya merupakan omong kosong.

    Nyawa pilot-pilot itu sama pentingnya dengan nyawaku, bukan? Keluarga mereka menunggu di rumah. Apa yang harus kukatakan pada anak-anak mereka yang kelak tumbuh tanpa ayah atau ibu?

    ………

    Akan lebih baik kiranya jika simbol itu tak ada. Takkan ada yang menderita lagi karenanya, baik diriku maupun orang-orang disekitarku.

    Mencondongkan tubuhku ke tepian pagar besi yang ada, sebuah pikiran terbesit dipikiranku – bahwa aku lebih baik melompat dari atap hangar ini, dan mendarat dengan kepala membentur aspal. Kematianku akan menjadi sebuah solusi yang sempurna.

    Mmn. Aku tak perlu merasakan semua beban ini lagi.

    Itu benar. Aku akan melakukannya!

    Aku akan melakukannya saat ini juga!

    Menarik napas terakhir, kunaikkan kakiku keatas pagar. Meski demikian, belum sempat aku tiba di sisi lain hangar, sebuah suara pintu terdengar dari balik tubuhku. Hal itu membuat kakiku kembali ke lantai. Aku tak bisa melompat selama ada seseorang yang melihatku.

    “Maaf! Permisi!”

    Dari balik pintu tersebut, muncul sesosok teknisi pesawat yang bernapas terengah-engah. Kemeja lapangannya yang kusut tampak basah oleh keringat. Kalau tidak salah, aku baru saja melihatnya di bawah semenit yang lalu. Ia pasti berlari sangat kencang untuk tiba disini dalam waktu satu menit.

    Tapi, kenapa?

    “Apa tuan puteri baik-baik saja?”

    Pertanyaanya membuat batinku tersentak untuk suatu alasan. Apakah aku baik-baik saja? Jawabannya tentu saja tidak. Meski demikian, aku sudah terlatih untuk menyembunyikan emosi ini dari pandangan orang-orang.

    Lantas, kenapa orang ini menanyakan hal itu? Kecuali ia tahu bahwa aku sedang risau, ia pasti takkan menanyakannya.

    Menatap dalam-dalam padanya, bisa kurasakan sebuah harapan muncul di benakku.

    “Ah, maafkan aku bertanya seperti ini, ahaha.”

    Aku terdiam untuk beberapa saat, menatap sang lelaki yang tertawa kikuk. Tepat ketika sang lelaki akan kembali turun, suaraku muncul dengan sendirinya.

    “Apa…apa aku terlihat baik-baik saja?”

    Lelaki itu kembali berbalik, menatapku, dan mengangguk. “Yah, bisa dibilang, tuan puteri selalu terlihat begitu, sih.”

    Ah…

    Begitu, ya?

    Aku selalu terlihat baik-baik saja.

    Mmn. Sampai sekarangpun, kurasa topeng yang kukenakan masih sempurna. Senyum palsu yang kubuat masih sangat hebat dalam menipu orang-orang. Bahkan orang yang hampir membuatku berharap pun tak bisa menemukan apapun dibalik topeng yang kukenakan.

    Orang itu, ia tak lebih dari mereka yang memanggilku seorang pahlawan. Ia bukan seorang yang penting untuk kuingat.

    Dan karenanya, harapanku musnah.

    Aku tersenyum, menatap sang lelaki dengan senyuman palsu yang sangat manis. “Terima kasih.” Kataku kemudian. Sang lelaki menatapku dan balas tersenyum.

    “Tapi, tuan puteri,”

    Tepat saat aku akan kembali membuang harapan ini, suaranya kembali terdengar.

    “Anda benar-benar berusaha keras, ya?”

    “Eh?”

    “Ya.” Sang lelaki kembali mengangguk. “Maksudku, aku tak tahu apa yang mengganggu tuan puteri, tapi tuan puteri selalu tampak bahagia. Tuan puteri pasti berusaha keras untuk bisa terus tersenyum seperti itu.”

    ………

    Entah mengapa, kalimat terakhir yang ia ucapkan mengiang ditelingaku, dan membuat jantungku berdebar untuk suatu alasan.

    Berusaha untuk terus tersenyum…

    Ah, betul juga.

    Kurasa, jauh dilubuk hatiku, aku benar-benar berusaha keras untuk terus tersenyum. Jawabnnya sangat tepat – bahkan lebih tepat daripada menyebut bahwa semua senyum yang kulempar hanyalah senyum palsu.

    Lelaki ini bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang-orang, komandan, dan bahkan aku sekalipun.

    Dan jika ia tahu sejauh itu tentangku, kurasa aku-

    “Apakah ada yang mengganggumu, tuan puteri?”

    -bisa bercerita banyak hal padanya.

    Ya. benar.

    Aku bisa bercerita banyak hal padanya. Semua hal yang kusembunyikan sampai sejauh ini, kurasa kini bisa kuperlihatkannya padanya. Aku tak berharap bantuannya. Cukup membuatnya tahu bahwa aku memiliki banyak hal tersembunyi akan sungguh berarti bagiku.

    Dan untuk suatu hal, aku merasa amat nyaman.

    “Ah, maaf, seharusnya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu.” Katanya kemudian. “Namaku Arashima Makoto dari bagian mesin. Salam kenal, Puteri Minazu-“

    “Midori.” Kataku kemudian, tersenyum. “Konohana Midori.”

    ***​

    “Jadi, Puteri Minazuki bukan nama aslimu?”

    Menemani Arashima di suatu sore, aku mengangguk lugu, tersenyum. “Raja yang menamaiku begitu, sesuai dengan nama pesawatku yang selamat dalam pertempuran Lotus.” Jawabku. “Ah, dan kalau kau memanggilku Puteri Minazuki atau tuan puteri, aku takkan mengampunimu!”

    “Eh? Kenapa?”

    Aku tak menjawab pertanyaannya dan hanya tertawa geli.

    Beberapa minggu berlalu semenjak aku mengenal Arashima, dan perasaan nyaman yang muncul saat bersamanya terus mengalir tanpa henti. Ibarat air sungai yang memenuhi kolam, perasaan nyaman ini terus membanjiri ruang gelap di jiwaku yang rusak, hingga aku tiba di titik dimana aku bisa bercerita leluasa padanya tanpa takut apapun.

    Aku sadar bahwa aku mungkin saja berharap terlalu banyak. Mengetahui hal-hal yang kusembunyikan bukan berarti bahwa ia mau serta merta menerimaku.

    Meski demikian, untuk saat ini aku tak keberatan.

    “Lihat, Konohana!”

    “Hmn?”

    Telunjuk Arashima mengacung ke langit luas. Tampak beberapa pesawat terbang rendah, berusaha untuk mendarat.

    Satu squadron tempur. Lima pesawat. Tak ada satupun dari mereka yang gugur.

    Pesawat-pesawat itu terbang makin rendah, hingga rodanya menyentuh aspal tiba dan di landasan.

    “Hei, Arashima…”

    “Ya?”

    “Aku selalu ingin mendarat dengan formasi lengkap seperti itu.”

    Arashima menoleh padaku, melongo keheranan. Aku balik menoleh padanya dan tersenyum lugu, sebelum kembali menatap pesawat-pesawat itu.

    Kini, didepan mataku tampak wajah senang para pilot yang baru saja mendarat. Senyum mereka, tawa mereka, aku tak mau lagi semua itu menghilang hanya karena melindungi sebuah simbol kerajaan.

    “Jika aku bersama mereka, mungkin hanya akan ada empat atau tiga pesawat saja.”

    “…kau berlebihan, Konohana.”

    “Tidak.” Kataku kemudian. “Itu benar.”

    Kurasakan telapak tangan Arashima mendarat di kepalaku. Sudah berkali-kali ia melakukannya, namun telapak tangan itu selalu terasa hangat.

    “Andai saja aku bisa berhenti menjadi pahlawan…”

    Arashima mulai memainkan rambutku dengan telapak tangannya dan berbisik perlahan. “Kau benar-benar tak bisa memaafkan dirimu ya? Konohana?”

    Masih tersenyum, aku mengangguk. “Kurasa, hingga aku matipun, aku akan terus merasa bersalah.” Kataku kemudian.

    Para pilot yang baru mendarat tersebut lantas melihatku dan melambaikan tangan. Aku balas melambai. Meski untuk kali ini, perasaan berat yang muncul untuk melakukannya tak sehebat dulu lagi. Ada Arashima yang membantuku melalui semuanya.

    Kedua tanganku meraih telapak tangan Arashima dan menurunkannya dari kepalaku. Mataku menatap matanya dalam-dalam.

    “Bahkan aku tak bisa meminta maaf pada mereka yang gugur saat terbang bersamaku. Ah, seandainya aku bisa bertemu mereka kembali, aku akan melakukan apapun untuk mereka, untuk menebus dosa-dosaku…”

    Senyum Arashima tampak hilang untuk suatu alasan.

    “Konohana, bolehkah aku bercerita satu hal?”

    “Hmn? Apa itu?”

    Arashima tak langsung bicara. Raut wajahnya tampak sedikit muram. Meski demikian, tak lama setelahnya ia kembali tersenyum.

    “Aku memiliki seorang adik perempuan.”

    Eh? Adik perempuan?

    Ampun. Arashima tak pernah bercerita tentang hal ini semenjak kami saling mengenal. Adik Arashima? Aku amat ingin mengenalnya. Aku amat ingin mengenal keluarganya.

    “Si-siapa namanya? Kau tak pernah bilang soal ini. Ampun!” Kataku kesal. “Hei, kenalkan aku padanya, ya?”

    “Ahaha, maaf.” Arashima tertawa kecil. “Sayangnya ia sudah mati. Jika ia masih hidup, aku mungkin sudah mengenalkannya.”

    Eh?

    Sudah mati?

    “Dia gugur dalam pertempuran setahun lalu. Dari yang kudengar, ia merelakan diriya menjadi pengecoh agar rekan-rekannya selamat.”

    Perasaanku hancur untuk suatu alasan. Kini dadaku terasa berat – amat berat hingga rasanya aku ingin menjerit sekuat tenaga.

    Menjadi pengecoh, merelakan dirinya sendiri untuk mati agar pasukannya kembali selamat…

    Semua itu terdengar seperti mimpi buruk bagiku. Aku sudah sering mengalami hal itu saat terbang. Bukan tidak mungkin bahwa kala itu, aku ada diantara pasukan yang terbang bersamanya.

    “…apakah, aku ada diantara pasukan tersebut?”

    Arashima mengangguk. “Ya.”

    Aku kembali dibuat shock oleh kata-katanya. Bisa kurasakan jantungku yang kini berdebar kencang.

    Sebuah perasaan bersalah yang teramat kuat kini muncul memenuhi pikiranku. Sangat kuat hingga membuatku ingin menembak kepalaku saat ini juga.

    “Maafkan aku…”

    Pada akhirnya, hanya kata-kata itu yang terucap. Aku mengatakannya sambil menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Arashima. Tanganku mengepal kuat, seolah ingin meninju wajah ini berkali-kali hingga babak belur.

    Seluruh tubuhku gemetar hebat.

    Aku amat marah pada diriku sendiri.

    “Maafkan aku, Arashima. Maafkan aku…”

    Perlahan, aku mulai terisak. Dan entah bagaimana, sebuah kata meluncur deras dari bibirku.

    “Arashima, jika…jika kau ingin membunuhku, lakukanlah. Aku…”

    Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku, karena kemudian Arashima menarik tubuhku ke pelukannya.

    “Konohana,” Bisiknya perlahan. “Pada awalnya aku bisa merasakan kemarahan yang sama sepertimu.”

    Arashima terus mencengkram tubuhku erat-erat, hingga aku merasa sesak dibuatnya.

    Dan perasaan kesal, marah, dendam, dan kecewa yang bercampur sedemikian rupa kini membuat air mataku meleleh begitu saja.

    “Meski demikian, saat melihatmu yang selalu berusaha tampil bahagia, pada akhirnya aku sadar akan satu hal. Ya. aku sadar bahwa kau menanggung beban yang jauh lebih berat dariku.”

    Bisa kurasakan napas Arashima yang sedikit terisak. Ia melepaskanku dari pelukannya dan menampakkan matanya yang sedikit berbinar.

    “Karenanya, aku tak berhak memiliki dendam apapun.”

    “A…rashi…ma…”

    Napasku terasa makin sesak mendengar kata-kata Arashima. Ia kembali memelukku perlahan.

    “Kurasa, hidup dan mati seseorang merupakan takdir yang tak bisa diubah.” Bisiknya perlahan. “Dalam dunia penuh kekacauan ini, hidup dan mati merupakan hal yang biasa terjadi. Kekuatan apa yang kita miliki untuk bisa mencegahnya? Kita semua hanyalah pion-pion kecil yang tak bisa memliki kekuatan untuk bisa menentukan siapa yang akan mati, dan siapa yang tetap hidup.”

    Arashima memelukku kian erat, dan membisikkan sesuatu di telingaku.

    “Bahkan kaupun hanyalah manusia biasa…”

    “Arashima…”

    Kedua tanganku ikut memeluknya perlahan. Tangisanku terasa makin menjadi, dan napasku dibuat makin sesak karenanya.

    ………

    Arashima benar.

    Pada akhirnya, aku hanyalah manusia biasa. Mmn. Seorang manusia biasa yang tak berhak menentukan takdir, dan tak berhak menentukan siapa yang mati, dan siapa yang hidup.

    Para penerbang ini…

    Mereka melakukan apa yang mereka percayai, dan gugur karenanya.

    Itu merupakan jalan hidup yang mereka pilih. Kurasa, tak ada satupun dari mereka yang ingin mati, namun mereka selalu siap dengannya.

    “Seharusnya, akulah yang meminta maaf, Konohana.” Arashima kembali berbisik ditelingaku. “Maafkan aku sudah memberimu beban yang terlalu besar untuk kau pikul…”

    Tanpa sadar, aku mengangguk, dan menangis keras-keras setelahnya.

    “Arashima…aku…maafkan aku tak bisa melindungi adikmu. Aku…”

    “Shh,” Arashima membelai rambutku yang panjang, menenangkanku. “Jika kau merasa bersalah, aku memaafkanmu, Konohana.”

    Melepaskan pelukannya, Arashima menatapku dengan sebuah senyum lepas.

    “Sekarang, giliranmu yang harus memaafkan dirimu sendiri.”

    ***​

    Alarm tanda bahaya yang berbunyi di pagi buta membuat seluruh pilot terbangun. Musuh masih berada cukup jauh dari pangkalan, namun tempat ini sudah tampak seperti pasar raya.

    “Konohana!”

    Tepat saat aku akan meninggalkan pangkalan, terdengar suara Arashima yang memanggil. Sebuah kunci inggris menggantung di tangan kanannya yang tampak hitam pekat diterpa oli basah. Tampaknya ia bekerja lembur lagi.

    “Ya, Arashima?”

    “Tentang ucapanku kemarin sore, kurasa aku bicara terlalu banyak. Maafkan aku…”

    Mendengarnya, aku tersenyum.

    Aku tersenyum dengan begitu lepas.

    “Arashima,” Kataku kemudian. “Kau tahu? Bahkan hingga saat ini aku masih merasa bersalah atas semua yang terjadi..”

    Kuhentikan kata-kata ini sejenak.

    Menatap wajah Arashima yang lugu, aku mendapatkan kekuatan untuk bisa mengatakan ini semua-

    “Tetapi, mulai hari ini, aku akan mencoba memaafkan diriku sendiri.”

    -dengan sebuah senyuman yang begitu lepas.

    “Mungkin akan memakan waktu lama, tetapi aku akan melakukannya.”

    Mendengar kata-kataku, kini Arashima tampak tersenyum lega. “Mmn.” Katanya mengangguk “Kau pasti bisa melakukannya.”

    Aku ikut mengangguk, terus tersenyum. Untuk beberapa saat, terus kutatap wajah Arashima, seolah tak ingin berpisah dengannya.

    Meski demikian,

    “Aku berangkat, Arashima.“

    Pada akhirnya aku berpamitan padanya.

    Tepat saat aku akan melangkah, Arashima kembali memanggil. “Ko…Konohana!”

    “Ya?”

    Ia tampak kesulitan untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Butuh waktu cukup lama sebellum suaranya kembali terdengar.

    “Hati-hatilah. Saat misi ini selesai, aku ingin mengajakmu makan malam.”

    Aku tertegun untuk sejenak.

    Entah sejak kapan aku merasa bahagia seperti ini.

    Sebuah senyum yang sudah lama tak kulemparkan kembali muncul di wajahku. Perasaan bahagia yang membludak datang membanjiri hati ini.

    “Tentu,” Jawabku mengangguk. “Sampai bertemu nanti sore, Arashima.”

    Arashima tersenyum mendengar jawabanku.

    ***​

    “Shirayuki, menghindarlah! Tambah ketinggian! Naik! Naik!”

    Shirayuki, pesawat yang menjadi wingman untukku, menurut. Ia menambah ketinggian dan menaikkan kecepatannya hingga berhasil lepas dari kejaran musuh. Aku yang sudah menunggu dalam posisi menyergap bisa dengan mudah menembak jatuh musuh yang masuk dalam perangkap.

    “Minazuki! Dua musuh dibelakang!”

    Shirayuki berteriak keras dari radio. Menoleh kebelakang, tampak dua buah pesawat yang berjarak cukup dekat mengekor, menunggu posisi yang pas untuk menembakku jatuh. Dengan cekatan aku menghindar, berbelok kesana kemari hingga terlepas dari kejaran musuh. Shirayuki berhasil memburu mereka berdua.

    “Tembakan jitu, Shirayuki.”

    Kami terlampau senang, hingga tak menyadari kehadiran tiga buah pesawat yang sudah siap menyergap kami.

    Ah, bukan. Menyergapku. Aku yang menjadi sasaran mereka.

    “Minazuki! Musuh arah jam lima! Menghindar! Segera menghindar dari situ!”

    Ah…

    Jarak mereka amat dekat.

    Siapapun tahu bahwa tak ada pilot yang dapat menghidar dengan mudah dari sergapan seperti ini.

    Kemudian, terdengar suara tembakan senapan mesin yang bertubi-tubi.

    ***​

    “Minazuki! Bicaralah padaku!”

    Pesawat ini kehilangan kendali dan mulai bergerak menghantam tanah seperti meteor.

    “Lompat! Minazuki! Lompat!

    Suara Shirayuki terdengar begitu keras. Aku ingin melakukannya, namun seluruh tubuhku mati rasa. Tembakan senapan mesin yang terakhir itu tepat mendarat di pundakku, dan mungkin menembus hingga bagian belakang tubuhku.

    Kurasakan darah mengalir deras darinya.

    “Minazuki!”

    Aku…

    “Minazuki!”

    ………

    Ah, rasanya dingin sekali.

    Mataku begitu berat. Pandanganku menjadi kabur untuk perlahan.

    Kemudian, semuanya berubah menjadi hitam pekat.

    Kurasa, inilah akhirnya bagiku.

    Tetapi, aku cukup senang bisa mengakhiri semuanya seperti ini. Tanpa beban. Tanpa penyesalan.

    “Minazuki! Jangan mati!”

    Jangan mati…

    Kekuatan apa yang kita milikki untuk menentukan siapa yang hidup, dan siapa yang mati? Kita semua hanyalah pion-pion kecil yang tak bisa memliki kekuatan untuk bisa menentukan itu semua. Tak banyak yang bisa kita lakukan dalam menghadapi takdir yang ada.

    Sebuah senyum bisa kurasakan mengembang di wajahku, meski aku tak bisa melihatnya.

    ………

    Arashima…

    Maafkan aku tak bisa kembali dengan selamat.

    Tetapi, meskipun berakhir disini, pada akhirnya aku bisa menemukan kedamaian yang kucari.

    Karenanya, terima kasih, Arashima.

    Terima kasih telah memberiku sebuah tempat untuk kembali.

    “Konoha…na…”

    Mengucapkan nama itu perlahan, perasaanku menjadi begitu lega.

    Kemudian, sebuah rangkaian kata kembali meluncur dari bibirku.

    Rangkaian kata yang berasal dari lubuk hatiku yang terdalam.

    Rangkaian kata terakhir.

    “Aku…memaafkanmu.”

    efek baca doujin kancolle mulu ini :dead:

    edited version :lalala:
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Jul 26, 2015
  6. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    ...hum... bagus. buat fanfic, ini bagus. buat orific, terlalu banyak detail yg nggak dijelasin. kayak nama Minazuki, Shirayuki, etc... ada typo jg di satu tempat dimana Puteri Minazuki jadi hampir dipanggil Puteri Shirayuki dan bikin aku bingung karena habis itu beberapa adegan setelahnya ada yang manggil Shirayuki tanpa penjelasan siapa yg manggil dan apa/siapa itu Shirayuki. Well. akhirnya ngerti emang. dan masih bagus sih. cuma sayang endingnya... pake death flag yang udah sering dipake, jadi bisa aku tebak apa yang bakalan terjadi.
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    Kenpa klo org mau mati itu hrus ada death flagnya?
    Kek 'akan kuberitahu perasaan ini jika aku pulang dgn selamat' atau 'menikahlah dgn ku stlh perang ini usai'

    Well, klo nggak mati juga, nggak terasa efeknya juga sih.

    Apa surprise death lbh mengejutkan tanpa deathflag? Atau nggk?

    Btw, ceritanya bagus :onfire:

    Fanfic dr cerita apa ini? :bingung:




    sent from Towacchi no heya[​IMG]
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    unedited, merpy-chan :hihi:

    bikinnya aja dadakan soalnya mau kerja :hiks: btw thanks komen n editannya :hmm:

    I think I revise it once I got home :iii:

    karena...biar dramatis, maybe :hihi:

    dari kantai collection. itu yang aku share hiei tenggelam itu sih :lalala: banyakan terinspirasi dari sana :iii:
     
  9. arief71p M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 2, 2015
    Messages:
    391
    Trophy Points:
    66
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +264 / -38
    Saya masih bingung sama latar belakangnya. Apakah sesudah perang atau masih dalam keadaan perang? Kok masih aja ada serangan, kan katanya udah menang. Dan biasanya kalo menang, ngga menang gitu aja. Harta rampasan bisa dipake buat membangun militer lagi.
    Dan juga misi di adegan terakhir belum dijelasin. Mungkin cuma menembak jatuh pesawat musuh atau sejenisnya.
    Tapi susah juga kalo cuma mengirim 2 pesawat. Kecuali kalo pilotnya jago.

    Denger nama 'konohana' jadi inget Harvest Moon Tales of Two Town
     
    • Thanks Thanks x 1
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    masih dalam keadaan perang kok :iii: humm padahal keknya settingan yang ngejelasin situasinya udah cukup jelas lho. lagi, menang pertempuran kan buakn menaang perang juga :iii:

    aku pikir aku melakukannya dengan baik :tega: #patrickstarstyle

    bag terakhir emang ga difokusin kok, soalnya fokusnya emang ke dramanya aja :lalala: dan aku gak bilang dua pesawat lho :hihi:

    ah, makasi udah komen sebelumnya :maaf:

    aku malah gak tau konohana harvest moon :tega:
     
  11. arief71p M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 2, 2015
    Messages:
    391
    Trophy Points:
    66
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +264 / -38
  12. arief71p M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 2, 2015
    Messages:
    391
    Trophy Points:
    66
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +264 / -38
    Saya mau protes sama ceritanya. Tiba-tiba out of the blue dia bisa menemukan interaksi lemah dan kuat.
    Sheldon Lee Glashow
    Dia mengemukakan teori interaksi elektro-lemah.
    Dia ga menemukan interaksi kuat.
    Dia ga menemukan medan elektromagnetik. Medan elektromagnetik sudah ditemukan sekitar seabad sebelumnya.
     
    • Like Like x 1
  13. arief71p M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 2, 2015
    Messages:
    391
    Trophy Points:
    66
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +264 / -38
    --Ckrek, Ckrek—adalah suara pistol dikokang. Dua orang saling todong di dalam ruang lantai dua sebuah apartemen. Seorang pria dan wanita saling menatap mata ke mata. Sang pria menatap wanita dengan penuh rasa cinta, kasih, ingin memeluk wanita yang tak dilihatnya sejak lama. Sang wanita memandang pria dengan penuh nafsu, amarah, ingin melubangi kepala orang yang mengabaikannya.

    “Ga perlu seperti ini, Naga. Hentikan,” sang pria benar-benar ingin berhenti menodongnya sebab tangannya mulai kesemutan.

    “Diam!” sang wanita serius ingin pria itu diam. Tahu kenapa? Sebab ia ingin ingatan membawanya kembali ke masa setengah tahun lalu saat ia masih bisa tersenyum gembira.

    ***

    Seorang anak laki-laki berselimut putih sedang bermain jenga bersama ibunya yang duduk di samping tempat tidur.

    “Ah, kalah lagi. Kamu pinter banget main jenga-nya” katanya bangga sambil mengelus kepala anaknya. Anak itu hanya tersenyum, entah karena menang atau kepalanya yang dielus.

    “Mama, kapan ayah pulang?” anak itu tiba-tiba bertanya.

    Naga, sang ibu, tersenyum sambil memeluk anaknya.

    ”Ayah lagi kerja sayang. Kichi sabar yah. Cepet sembuh. Nanti kalau ayah pulang, bisa main bareng,” Naga menghibur anaknya sambil kembali tersenyum.

    Kichi mengangguk sambil tersenyum.

    “Sekarang istirahat dulu,” Naga membaringkan Kichi di tempat tidur dan merapikan selimutnya supaya anaknya nyaman. Naga duduk di samping. Ia menemani anaknya hingga tertidur.

    Naga beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar ruangan. Ia bertemu dengan dokter yang menangani anaknya.

    “Dokter, bagaimana keadaan anak saya?”

    “Untuk saat ini masih normal. Tapi kalau dibiarkan, lama-lama kondisinya akan menurun.”

    “Bagaimana kemungkinan hidupnya dok?”

    “Harapan hidupnya tidak terlalu kecil. Masih bisa diperjuangkan. Tapi itu tergantung pada semangat hidupnya. Seberapa besar keinginannya untuk terus hidup.

    “Dia sangat ingin bertemu dengan ayahnya. Mungkin jika ayahnya hadir semangat hidupnya akan naik.”

    “Lebih baik ibu cepat memutuskan kapan akan memulai operasi. Berbahaya jika kondisinya makin memburuk.”

    “Iya dok. Saya paham.”

    Naga kemudian pergi ke taman rumah sakit. Ia duduk di kursi taman. Wajahnya penuh dengan rasa cemas. Ia menatap langit. Dalam hatinya ia berkata, “Taki, kapan kamu pulang. Anak kita sakit. Dia butuh kamu.”

    ***

    “Naga,”suara sang pria membawanya kembali dari dunia ingatan. “Ini bukan salah siapa-siapa!”

    Mendengar kata-katanya Naga jengkel, kesal bercampur marah. Ia kemudian menarik pelatuk pistol. Dalam sekejap, percikan api dan peluru secara bersamaan dari pistol tesebut.

    Taki seakan-akan tahu kapan Naga akan menarik pelatuk. Saat peluru keluar dari mulut pistol, ia sudah mulai menghindari benda kecil yang mengincar kepalanya itu. Tak sempurna ia menghindar ke kanan, peluru berhasil menggores pipi kirinya. Tapi menghindar bukanlah langkah akhir. Itu adalah langkah awalnya untuk menyerang. Ia memutar tubuh ke arah kiri. Saat pandangannya menghadap ke lantai, kaki kirinya diangkat untuk mengincar pistol yang dipegang Naga.

    Pistol tersebut lepas dari tangan Naga dan terpelanting ke luar jendela. Naga yang tersentak melihat ke arah pistolnya yang melesat. Selamat tinggal pistol. Sesaat setelahnya ia kembali menoleh ke depan. Namun bukan Taki yang dilihatnya melainkan mulut pistol yang berjarak 10 cm dari kepalanya.

    Naga yang ditodong ternyata tidak takut. Ia tahu bahwa hari ini bukan hari yang baik untuk mati. Mungkin itu yang dikatakan ramalan zodiak hari ini. Atau mungkin ia tahu bahwa Taki tak akan sanggup membunuh satu-satunya keluarga yang tersisa.

    ***

    Sudah dua hari ini kondisi anaknya makin memburuk. Naga tak punya pilihan lain selain mengobati anaknya dengan operasi. Itu satu-satunya jalan untuk mengangkat penyakit di kepalanya.

    Naga berada di ruang tunggu sementara anaknya sedang di ruang operasi. Naga menunggu dengan hati cemas. Tangannya direkatkan mulutnya terus mengucapkan doa-doa.

    1 jam, 2 jam berlalu. Dokter keluar dari ruang operasi.

    “Gimana dok kondisi anak saya?”

    Dokter melihat Naga sejenak lalu menggelengkan kepala. Sebuah pertanda buruk.

    “Maaf, operasinya gagal. Anak anda tidak dapat diselamatkan. Kami turut berduka.”

    Naga menutup mulut dan menangis sejadi-jadinya. Air matanya mengalir deras. Tenaganya terkuras oleh tangisan sehingga kakinya tak kuasa menopang tubuhnya. Ia jatuh berlutut di tengah lorong rumah sakit.

    Di pemakaman anaknya pun Naga masih menangis seorang diri. Ia tidak punya relasi manapun. Satu-satunya yang ia punya hanya Kichi. Tapi kini ia sudah pergi meninggalkannya.

    Dari belakang seorang pria berpakaian hitam mendekatinya. Ia mengambil tempat di sebelah kanan Naga.

    “Maafkan saya. Saya sudah bantu semampu saya.”

    “Iya. Saya tau. Terimakasih.”

    “Andai saja saya ayahnya. Saya pasti tidak akan menyia-nyiakannya,” ia menepuk pundak Naga.

    Kata-kata orang itu mengetuk nadi amarah Naga. Ia jadi mengingat suaminya. Iblis dalam hatinya mengatakan, “ini salahnya. Andai dia hadir disamping Kichi, anakmu pasti akan punya kesempatan hidup. Taki telah membunuh anakmu.”

    “Saya harus membunuhnya,” ucap Naga tiba-tiba. Nafasnya berganti jadi menggebu-gebu.

    Laki-laki disampingnya mendengar kata-kata itu.

    “Mati terlalu bagus buat dia. Kamu mesti buat dia menderita. Buat dia merasakan penderitaanmu dan anakmu.”

    “Gimana caranya?”

    “Kamu ikut saya. Saya butuh tenaga kamu untuk beberapa pekerjaan. Saya kriminal yang sedang dia cari. Nanti dia juga akan mengejarmu. Kamu akan mendapat perhatian yang selama ini tidak pernah kamu dan anakmu dapatkan. Buat dia hanya bisa mengejar tanpa bisa menangkapmu. Buat dia merasakan dilema. Penderitaan itu yang cocok untuknya.”

    Pikiran Naga saat itu sedang tidak lurus. Iblis dalam hatinya menuntut untuk balas dendam. Cara apapun, tawaran apapun saat itu terdengar manis di telinga.

    “Saya ikut.”

    ***

    Naga melangkah maju dan menempelkan mulut pistol ke tulang pipi dibawah mata kirinya. Matanya dengan yakin menatap Taki kali ini dengan tatapan penuh kecewa. Air matanya mulai menetes. Ujung pistol Taki basah disapu air mata Naga.

    “Naga, plis,” ucap Taki mencoba membujuknya. Taki masih punya harapan penuh terhadap Naga. Ia ingin Naga kembali padanya.

    Tangan kanan Naga tanpa diketahui mengambil pisau dari balik lengan bajunya. Tangan kirinya memegang pistol yang sedang menempel di wajahnya. Dengan sekejap ia menggeser pistol tersebut dan menusukkan pisau tersebut ke tangan Taki.

    Taki melepas pistol yang dipegangnya. Ia mengerang kesakitan. Tangan kanannya mengeluarkan darah cukup banyak. Taki mundur beberapa langkah untuk menghindari serangan lebih lanjut.

    Naga kembali menyiapkan pisaunya lalu maju untuk menyerang Taki. Tahu dirinya tak bersenjata, Taki mencoba untuk menghindari tebasan-tebasan pisaunya. Mungkin karena trauma dengan luka di tangannya, Taki hanya fokus pada pisau yang dipegang Naga.

    Naga memutarkan tubuhnya lalu menendang Taki hingga tersungkur. Naga lalu mendekati Taki yang terbaring di lantai dan hendak menusukkan pisaunya ke arah kepala. Namun Taki dengan sigap menggunakan dua tangan untuk menahannya. Tepat 10 cm ujung pisau tersebut terpisah dari wajahnya. Saat itu bukan mata pisau yang dilihatnya namun wajah Naga yang penuh emosi.

    Sambil mengeluarkan suara yang penuh amarah, Naga mengerahkan tenaga untuk mendorong pisau tersebut. Ia menggunakan tangan kirinya untuk membantu mendorong pisau teresebut. Terjadi adu kekuatan antara Naga dan Taki.

    Cukup lama Taki mampu bertahan hingga matanya terpejam untuk sejenak. Kini giliran Taki yang menyelami dunia ingatannya.

    ***

    Sudah setengah tahun Taki tak berada di rumah karena tugas dari kepolisian. Ia sudah sangat rindu dengan istri dan anak laki-lakinya. Sampai di depan pintu, ia membuka pintu apartemen rumahnya.

    “Aku pulang,” serunya sambil melepas sepatu di teras. Taki heran sebab tidak ada jawaban dari dalam rumah, padahal pintu tidak dikunci. Ia kemudian masuk menuju ruang keluarga. Di sana istrinya sedang duduk menghadap ke arah meja.

    “Sayang, aku pulang,” ia memanggil namun istrinya masih tetap tanpa jawaban.

    Taki mendekati istrinya dari belakang dengan perasaan gembira. Namun makin ia mendekati istrinya, ia makin dapat melihat apa yang berada di depan istrinya. Sebuah foto anaknya yang berusia 7 tahun yang dihias dengan bunga dan dupa.

    Matanya terbelalak. Tangannya lemas sampai-sampai melepas mobil-mobilan yang dipegangnya. Lalu ia perlahan mundur beberapa langkah.

    Ia sadar apa yang terjadi. Selama ia pergi, anak mereka telah meninggal. Istrinya sangat sedih atas kepergian anak mereka.

    Taki kemudian mendekati istrinya, Naga. Ia memegang kedua pundak dan membalikkan tubuh Naga. Ia melihat wajah Naga yang pucat seakan tak bernyawa. Tatapan matanya kosong dan tubuhnya tak bertenaga. Kemudian ia memeluknya.

    “Naga, apa yang terjadi?” Taki bertanya namun Naga masih diam. Lalu Taki melepas pelukannya dan sekali lagi melihat wajah Naga.

    “Naga,” ia memanggilnya lagi sambil membelai wajahnya.

    Mata Naga mulai bereaksi dan mengarah pada Taki. Tangan Naga memegang tangan kanan Taki yang berada menempel pada wajahnya. Ia mulai menangis. Air matanya mengucur deras. Setelah itu Taki kembali memeluknya.

    “Maaf Naga. Aku ninggalin kamu selama ini, ” Taki pun ikut menangis sambil memejamkan mata.

    Naga perlahan-lahan menghentikan tangisannya. Setelah air matanya berhenti mengalir, ia kembali dalam kondisi terdiam. Matanya kembali kosong.

    Mata Taki tiba-tiba terbuka. Ia mengerang sambil melepaskan pelukannya. Tangannya memegang perut sementara nafasnya tersenggal. Dilihat tangannya yang berlumuran darah lalu ia melihat sebilah pisau yang menancap di perutnya.

    Ia kemudian melihat Naga yang menatapnya dengan penuh amarah. Itu tatapan seorang pembunuh dan ia adalah sasarannya. Ia kemudian terbaring karena tenaganya tak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Kesadarannya mulai menghilang begitu pula penglihatannya.

    Taki melihat Naga yang mulai beranjak. Ia berjalan di sampingnya menuju pintu depan.

    “Naga,” Taki mencoba memanggil Naga. Tangannya menjulur ingin meraih Naga namun istrinya sudah membuka pintu depan.

    Dari celah pintu yang terbuka, Taki melihat sosok pria yang pernah ia lihat membawa istrinya pergi.

    Ia ingat pria itu bernama Atama, seorang buronan polisi. Dia adalah alasan Taki ditugaskan ke Korea untuk menangkapnya.

    Kesadaran Taki makin memudar. Matanya mulai terpejam perlahan-lahan hingga hanya ada kegelapan yang dapat dilihatnya.

    ***

    Taki tidak takut dengan pisau yang dipegang Naga karena ini bukan pertama kalinya Naga coba membunuhnya.

    Ia melemahkan tangannya sehingga pisau meluncur kearah wajahnya. Namun kepalanya dapat menghindar ke kanan sehingga ujung pisau membentur lantai. Segera Taki menendang Naga hingga terdorong dan membentur dinding. Taki kemudian dapat berdiri begitupula dengan Naga. Mereka kembali saling menghadap satu sama lain.

    “Naga, membunuhku tidak akan membawa anak kita kembali.”

    “Aku tahu. Aku belum ingin kamu mati.”

    “Makanya hentikan semua ini.”

    “Tidak. Aku masih ingin main. Aku ingin kamu tau rasanya menderita.”

    Tiba-tiba sebuah benda terlempar masuk melalui jendela. Taki melihat benda itu adalah sebuah granat. Ia langsung melompat untuk bersembunyi di balik meja. Naga tidak berkutik, malah ia memasang kacamata hitam yang diambil dari atas meja.

    Saat granat itu meledak cahaya putih memenuhi ruangan bersamaan dengan suara ledakan. Rupanya itu bukan granat tangan melainkan granat cahaya yang dapat membutakan mata sementara.

    Ketika pandangan Taki kembali, ia melihat Naga melompat dari jendela. Ia segera berlari kearah jendela. Ia melihat Naga meluncur pada tali yang telah dipersiapkan. Naga mendarat diatas sebuah mobil pick-up kemudian pergi menghilang diantara bangunan.

    Kali ini pun Taki hanya bisa melihat istrinya kembali pergi meninggalkannya. Wanita yang dulu sangat ia cintai. Wanita itu telah hancur.

    “Maaf, Naga.”
     
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ugh :keringat:

    aku gakan komentar soal penulisan. silakan tanya sepuh2 lain soal penulisan kalo berkenan.

    ceritanya sendiri sebenernya memiliki konsep bagus, cuma entah kenapa ini kerasa kek sebuah draft cerita yang emang belum selesai. well, aku emang belum banyak baca cerita dengan ending gantung, tapi ini bener2 baru sih, jadinya yah, aku bisa bilang cerita ini mungkin emang cuma draft kasar dari sebuah cerita yang seharusnya lebih panjang lagi.

    terus, karakterisasi naga juga kurang maksimal menurutku, dan mungkin emang ada hubungannya sama cerita yang emang belum jadi ini. sisi emosional naga sebenernya bisa digali lebih dalam lagi, dan juga, assassin yang tiba2 muncul mungkin bisa lebih diperjelas latar belakangnya :iii:

    itu aja sih
     
  15. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    eee, ceritanya sih lumayan.
    tapi ini kek cerita besambung pulak, tanpa conclusion yg jelas.

    adegan fightnya udh lumayan, sya keknya nggak bisa bikin kk gitu mlh.
     
  16. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Tema Ketiga :

    Fanfic Siesta 2015


    [​IMG][/SIZE]

    Deskripsi : tema bulan ini cukup spesial, karena untuk kali ini dikhususkan buat fanfic.

    Yaitu bikin fic berdasarkan media2 yg ada, entah dari film, game, komik, kartun / animu dll. pokoknya parodi dari apa aja yg udah ada deh. Dari aplikasi macam MS Word juga boleh klo punya idenya.

    Berikut syarat submission nya, btw untuk R-18 ama bau2 begituan paling kasih tag aja deh.

    Bikin introduction dolo tentang Fanficnya. Batas maksimal fanfic 4000 kata, dan bagian introduction sama sekali gk diitung, jadi segala perkenalan masukin aja di situ, semakin lengkap, bisa semakin bikin situ bisa makin lega buat nulis ceritanya.[/SIZE]

    Silahkan pake gambar buat memperjelas, asal gk terlalu BWK aja.

    Fanfic

    Sebagai syarat, dari fanfic yg sudah ada diberi sinopsis singkat cerita original nya gimana, dan perkenalan singkat tokoh-tokoh di cerita yang muncul dan terlibat langsung di cerita.

    Contoh:

    Bikin fanfic Doraemon, karakter yang muncul Nobita dan Doraemon. Pakai setting dari universenya Doraemon juga.

    Introduction:

    Doraemon adalah kisah tentang robot kucing dari abad 22 blablabla...

    Perkenalan karakter;

    Doraemon

    ----

    Nobita

    ----

    Bila nama tokoh lain sekedar disebut tapi tidak terlibat langsung dalam cerita, tidak perlu dicantumkan dalam perkenalan.

    Untuk Crossover Fanfic

    Crossover Fanfic adalah Fanfic yang mengadaptasi dua atau lebih media. Misalnya Fanfic Doraemon digabung dengan Crayon Shincan.

    Tambahin aja synopsis cerita aslinya kayak gimana, dan karakter doraemon dan shincan di perkenalan karakter dipisahin.

    Boleh juga nambahin keterangan tambahan mengenai setting cerita yang ada di fanfic tersebut, tapi ini gk harus sih.

    Untuk cerita contoh, anggap saja di fanfic ini Doraemon dan Crayon Shincan ada di setting nya Crayon Shincan.

    Contoh:

    Introduction

    Doraemon bercerita tentang....

    Crayon Shincan adalah....

    (optional : keterangan tambahan bahwa cerita berada pada timeline nya Crayon Shincan)

    Perkenalan Karakter:

    Doraemon:

    Nobita

    Giant

    Crayon Shincan:

    Kazama

    Nene

    dll...

    yang dikenalkan karakter yg muncul saja.

    Contoh 2 :

    Cerita Yuru Yuri di universe dragon quest.

    Introduction:

    Yuru Yuri adalah...

    Dragon Quest adalah...

    dalam cerita ini karakter yuru yuri masuk dalam universe dragon quest.

    Karakter:

    Yuru Yuri:

    Kyouko

    ---

    Karena karakter Dragon Quest tidak ada yg muncul di cerita, maka tidak dicantumkan

    Untuk Alternate Universe (AU) dan Original Character (OC)


    Alternate Universe ya, kalau misalnya situ punya setting yang berbeda dari original source. Misalnya pada cerita Doraemon, dibikin setting jaman prasejarah yang modern macam The Flintstones.

    Kasih keterangan aja mengenai alternate Universe nya bagaimana, ini optional sih.

    OC itu karakter bikinan kita sendiri yg dimasukin ke dalam Fanfic.

    Kalau cerita tersebut masukin OC, sama seperti AU, boleh kasih perkenalan, boleh enggak.

    Tapi kalau mau ngasih, bisa bikin cerita lebih gampang dimengerti, juga hemat kata buat ceritanya sendiri, ketimbang langsung infodump semua di fanficnya.

    Intinya ya, buat yg ini syaratnya tinggal bikin perkenalan singkat mengenai original source, beserta semua karakter yang muncul dan terlibat langsung di cerita. Itu aja. Selebihnya optional.

    Anyway, dengan ini gw buka Short Story Fiesta : Tema Ketiga. Happy fun writing!


    Timeline : 4 Agustus - 6 September

    ===

    submission list under construction.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    • For The Win For The Win x 1
    Last edited: Aug 4, 2015
  17. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Cita-Citaku (Doraemon)

    Sinopsis:

    Doraemon adalah kisah robot kucing bernama Doraemon yang muncul dari abad 22. Ia tinggal bersama seorang anak bernama Nobita, dikenal sebagai anak malas dan sering menjadi bulan-bulanan temannya

    Dengan berbagai alat yang ia miliki di kantong ajaibnya, ia membantu Nobita mengatasi kesehariannya. Namun tak jarang alat-alat Doraemon malah menimbulkan masalah bagi mereka sendiri.

    Alat-alat tersebut sungguh canggih dan dapat melakukan banyak sekali hal yang tak terbayangkan. Tapi bila disalahgunakan, yang muncul malapetaka, ya begitulah.

    Karakter:

    Nobita

    Seorang anak yang malas, sering mendapat masalah di sekolah karena ia malas belajar, dan ia sering dikerjai oleh teman-temannya.

    Selalu meminta bantuan pada Doraemon setiap kali ada masalah.

    Doraemon:

    Robot kucing dari abad 22, memiliki kantong ajaib yang berisi alat-alat serba canggih. Suka makan dorayaki dan takut tikus.

    Sering merasa kesal karena Nobita sering sekali mengeluh dan merengek padanya.

    "Aku berharap muncul waktu, dimana aku dapat tidur siang sepuasnya. Tanpa ada gangguan, tak harus khawatir harus mengerjakan PR setiap harinya. Tidak ada ayah dan ibu yang memarahi. Tidur sepuasnya, makan sepuasnya. Alangkah nikmat ....tapi mengapa di liburan musim panas ini aku tetap harus mengerjakan PR saat yang lain sibuk liburan? Sungguh...terlalu...rasanya ingin mati saja..."

    Nobita bergumam panjang sambil duduk terpaku di meja belajar. Pandangannya sama sekali tidak fokus, sudah hampir sejam berlalu--ia sama sekali tidak berminat memandang buku pelajaran. Memegang pensil dan membuka buku PR nya pun ia tak sanggup. Bertopang dagu dan melamun seperti duduk di toilet, begitulah kerjanya sejauh ini.

    "Sudah berhenti mengeluh sana, kalau terus mengeluh PR mu kapan selesainya? Ya seandainya kau tidak semalas ini, mungkin saat ini kau bisa habiskan 3 bulan berlibur ketimbang harus tersiksa seperti ini. Ya, mungkin saja kau sekarang seharusnya ada di villa nya Suneo bareng Shizuka, Giant dan De...siapa namanya ya....ah intinya begitu.."

    Di tengah penderitaan Nobita, seekor robot kucing besar bernama Doraemon berbaring manis di lantai, membaca majalah tentang kucing sambil mengunyah kue dorayaki pelan. Ia terlihat sungguh menikmatinya.

    "Ini gara-gara kau tak mau bantu dengan alat-alat mu sih! Kalau pakai kantong ajaib, pasti semua ini bisa langsung kelar. Lagian kalau Suneo liburan dan aku tak punya urusan sekolah, mana mungkin ia mengajakku juga? Paling dengan sombongnya ia ngomong: 'Nobita payah, tidak keren. Ini tempat terlalu keren untuk Nobita' datang ke tempatku hanya mengucapkan itu dan langsung pergi juga."

    Nobita mencoba sekuat tenaga untuk membuka buku, namun semangat belajarnya tak kunjung bangkit. Ia menatap muram pada Doraemon, yang seakan tak acuh. Sudah cukup lama aktivitas 'aku ingin ini itu' berlangsung, membuat Doraemon cukup jenuh.

    "Kalau aku pinjamkan begitu saja alatku, itu mah sama saja dengan menyontek. Kapan kau jadi benar-benar pintar bila untuk segala hal saja kau mengandalkan alatku? Kapan kau sungguh bisa belajar selesaikan sendiri?"

    ...ia seakan berubah dari teman penolong ajaib yang dapat mengabulkan segala permohonan, menjadi wali murid yang mengawasinya setiap saat.

    "Tapi ya, buat apa ada alat kalau ujung-ujung harus menyelesaikan semuanya sendiri? Ibarat mau bepergian jauh, punya kendaraan tapi memilih jalan kaki saja. Apakah itu yang kau anggap pintar, Mon?"

    Doraemon hanya bisa menjawab pelan.

    "Ya itu kalau kau bisa bawa kendaraan."

    Nobita terus mencecar berbagai pertanyaan padanya. Nobita serasa naik darah lantaran Doraemon tidak mau membantunya saat ia sungguh merasa tak dapat melakukan apa-apa.

    "Kau juga, misalnya makan dorayaki, mengapa kau puas dengan yang itu-itu saja. Bukankah kau tinggal gunakan pintu kemana saja, untuk ke toko, tinggal beli satu potong, dan gunakan senter pembesar, lalu makan sepuasnya?"

    Mendengar bantahan dari Nobita, Doraemon menghela napas panjang, ia merasa agak menyesal telah memulai argumen ini.

    "Bagiku lebih enak membeli seadanya dengan uang jajan yang terbatas. Kerja keras yang ada menjadi lebih nikmat. Lagian, siapa tahu apa yang terjadi bila alatnya tiba-tiba rusak, dan saat itu aku malah tergantung padanya 'kan?"

    Pernyataan itu memunculkan suatu ide di benak Nobita, seakan ia menemukan cara membuat Doraemon jadi 'skak-mat'.

    "Mon, kau tahu begitu apa kau pernah mencobanya sendiri? Ataukah kau hanya ikut perkataan orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang diri kita? Bila alat tersebut nanti akan rusak juga, bukankah minimal kita coba dulu, ketimbang meratapi nasib lantaran tak pernah mencoba? Aku tahu, kau punya kemampuan untuk membuat hidup jadi lebih wah dari ini, kenapa harus pua0s sampai di sini saja?"

    Namun, sanggahan Nobita yang demikian malah membuka celah bagi Doraemon untuk membuatnya belajar sendiri.

    "..dan kau, Nobita. Kalau kau bisa berpikir sejauh ini akan masalah yang sebenarnya kompleks, mengapa kau harus bergantung pada alatku? Pelajaran sekolah seperti ini seharusnya urusan kecil bagimu, bukan? Aku tahu kau punya kemampuan, dan tanpa alatku saja kau bisa melakukan hal-hal besar. Tapi kau benar-benar malas, sehingga kau dicap bodoh, padahal sebenarnya bila kau ada usaha, ibu dan ayah tak perlu memarahimu lagi.

    Ya, aku dapat mencoba hidup nikmat dengan menggunakan alat-alatku sendiri, tapi ya, aku tidak suka hal tersebut. Meski aku belum mencobanya, tapi aku tahu betul, menikmati dorayaki tak akan jadi nikmat lagi bila terlalu berkelimpahan."

    Deru uap terlihat mulai keluar dari kepala Doraemon. Nobita sendiri merasa gusar lantaran bantuan yang ia inginkan tak kunjung dikabulkan.

    "Bedakan, Mon. Berpikir seperti ini dan belajar hal yang sungguh berbeda. Entah mengapa, aku tidak dapat merasakan bahwa mempelajari hal ini sama sekali bermanfaat. Aku tak mengerti mengapa aku setiap hari harus begini dan begitu. Untuk apa aku terus melakukannya? Aku tidak suka hal ini, aku tak suka dipaksa harus begini. Mengapa bila aku ingin bersantai, selalu saja ada yang menghalangi?

    Tolonglah, Mon. Kau tidak perlu dibebani harus belajar tiap hari dan terus-terusan dimarahi. Jangan samakan aku dengan dirimu. Kalau mau tertawa, ya silahkan. Tapi, kau yang tak pernah menjalani hal serupa denganku, apa kau berani asumsi kalau kau tahu apa yang sebenarnya aku butuhkan?

    Ya, kalau soal dorayaki ini urusanmu. Seperti aku senang main karet dengan caraku sendiri, tapi hal ini sungguh penting. Bila aku tidak mengerjakan PR, besok aku akan sengsara, tapi aku sama sekali tak dapat bergerak."

    Doraemon hanya terdiam melihat Nobita yang melimpahkan semua emosi kesalnya.

    "....aku tak butuh banyak hal, Mon. Aku hanya ingin waktu dan tempat, di mana aku dapat beristirahat dan berpikir, tanpa gangguan. Setiap hari aku selalu disibukkan dengan hal-hal yang aku benci. Apakah begitu sulit, ada sebuah kesempatan, aku dapat beristirahat sepuasnya? Aku tahu apa yang ingin kulakukan, Mon. Setelah ini, aku tidak akan terlalu bergantung padamu lagi."

    "Kau selalu mengatakan hal demikian, tapi ujung-ujung, setiap ada masalah kau pasti kembali padaku terus."

    "Dulu kau tak pernah seperti ini, Mon. Tanpa harus menghakimi, kau menolongku karena aku seorang anak lemah. Kau yang tahu aku begitu lama pasti tahu, sepanjang masa aku akan terus seperti ini, tapi kenapa kau terus berusaha merubahku? Aku tidak pernah memaksamu harus begini, aku hanya memohon bantuan karena aku tak tahu harus meminta pada siapa lagi. Mau kau bersikap seperti apa, kau tetap Doraemon yang selalu membantuku."

    "...."

    "Mon, apa kau mulai menganggap permintaan Sewashi untuk pergi ke masa lalu dan mengurusku itu suatu hal yang menyebalkan? Kau tidak perlu repot-repot lagi, aku sudah mengerti cukup banyak alat-alat yang kau gunakan. Kini saatnya aku belajar mengurus diriku sendiri. Dengan alatmu, aku pasti---"

    "Sudah cukup, Nobita! Aku sudah muak dengan semua ini. Setiap kali kau datang padaku, selalu alat ini, alat itu. Apa kau hanya melihatku karena segala sesuatu yang kukeluarkan dari kantong ajaib? Bila aku tak punya kantong, pasti kau tak akan melihatku, bahkan sebelah mata sekalipun, bukankah demikian? Hah? Aku telah salah menilaimu. Ya, kau urus saja dirimu sendiri, aku tak ingin peduli lagi."

    Dengan begitu ketusnya, Doraemon mendorong Nobita menjauhi meja, membuatnya jatuh terlentang dari kursinya. Doraemon menarik laci meja lalu masuk ke dalamnya. Melarikan diri lewat mesin waktu yang terdapat di bawah sana.

    "....aku tak tahu harus mengatakan apa padamu, Mon."

    Mungkin Doraemon yang ia kenal sudah lama tiada. Nobita yang sekarang juga telah jauh berbeda. Ia bukan lagi anak kecil yang naif, namun seorang pemikir yang serba utilitarian. Apakah gerangan yang terjadi? Waktu mengubah segalanya.

    Dalam rasa kalut yang ia rasakan, Nobita mengecek lemari tempat Doraemon biasa tidur. Di sana ia temukan kantong ajaib cadangan.

    "....terserah kau sajalah Mon, mau bagaimana. Aku juga akan lakukan sesukaku saja." tutur Nobita ketus.

    Xxx​

    Entah berapa lama waktu telah berlalu, semenjak saat itu. Mungkin, di dunia nyata, segalanya tak berubah sedikitpun. Nobita mendekam pada dimensi tanpa waktu, tidur dan bersantai sepuasnya. Dengan hal-hal yang terbatas pada kantong cadangan, dengan imajinasinya ia ciptakan hal-hal yang membuatnya serasa seperti dewa, ya dewa pemalas.

    Awalnya, dimensi tanpa waktu tersebut Nobita temukan, kira-kira dua jam setelah Doraemon pergi. Saat selesai mengorek isi dari kantong cadangan, ia coba telisik laci mejanya. Ternyata mesin waktu tersebut telah kembali, tanpa adanya Doraemon di sana. Hal ini sungguh terlihat aneh.

    Apakah Doraemon sebenarnya telah kembali, namun mengurungkan diri bertemu Nobita lantaran mereka habis bertengkar? Entahlah, Nobita tidak mau urus hal itu, ia hanya ingin tempat dimana ia dapat bersantai sepuasnya.

    Pada mesin waktu, ia temukan suatu hal yang berbeda. Untuk masuk ke masa yang ditentukan, tinggal tekan pada tombol angka yang ada. Mirip dengan kalkulator sains abad 21 yang ia lihat pada katalog masa depan.

    Seperti kalkulator sains pula, terdapat tombol 'shift' dan ia coba tekan, muncullah huruf 'i'. Ia ingat suatu pelajaran sekolah yang menyebalkan, tentang bilangan imajiner. Suatu bilangan yang ada, tapi sebenarnya sama sekali tak ada. Begitulah caranya masuk dalam dimensi tanpa waktu. Yang ada padanya hanyalah ruangan maha luas, seakan tak berujung, bewarna abu-abu, dan pola kotak-kotak bergaris putih pada keliling kotaknya.

    Saat itulah, ia menyadari, mungkin pelajaran yang ia dapat di sekolah mungkin ada manfaatnya, meski hanya sekelumit.

    Nobita, yang sepertinya tak peduli pada kepergian Doraemon, dan diiringi rasa kalut, akhirnya membuat rumah kecil dengan alat yang tersedia. Rumah itu diperbesar sedemikian rupa, hingga interiornya terasa sangat lega. Terdapat satu lantai, dengan berbagai ruangan yang ada pada umumnya. Terutama kamar Nobita yang dibuat begitu luas sehingga ia dapat berguling sesuka hati di lantai saat ingin tidur.

    Untuk uang tak masalah. Ia gunakan Bank Ajaib dan Selimut Waktu, dalam sekejab uang yang ia miliki hampir tak terhingga. Dengan uang tersebut, ia dapat memesan makanan, juga berbagai perabotan dari katalog masa depan. Kini ia tak tidur di lantai lagi, di kamarnya terdapat kasur empuk nan mewah, juga sangat lega sehingga di atas kasur pun ia dapat berguling kesana kemari. Lantai ruangan dihiasi karpet. Selain daripada itu, rumahnya dipenuhi dengan berbagai macam hiburan abad 22, jauh melampaui jamannya sendiri.

    Ia serasa seperti seorang raja, dapat tidur dan bermalas-malasan sepanjang hari tanpa harus mengenal waktu. Ia tak perlu khawatir, karena waktu tak berlalu pada dimensi ini. Dalam masa tenang itu, ia melamun dan bergumam: apa aku akan selamanya seperti ini? Apakah keseharian seperti ini sungguh benar hal yang kuidamkan?

    Apa hari-hari berlalu demikian akan terasa berarti tanpa Doraemon?

    Tidak ada yang tahu pasti. Nobita setidaknya tahu satu hal, yang ia inginkan, selain Doraemon di sisinya.

    Alangkah nikmatnya, bila suatu saat, ia dapat lakukan suatu tanpa harus merasa terpaksa. Akan segala hal yang menantinya di dunia nyata. Bukankah hidup akan jadi begitu dangkal bila hanya diisi kewajiban semata? Kewajiban yang sama sekali bukan sesuatu yang ia inginkan.

    Ia tidak dapat memilih dilahirkan di keluarga ini, tidak dapat pula memlih apakah ia harus sekolah atau berfokus pada hal lainnya. Mereka hanya ingin Nobita melakukan hal yang 'harus' dilakukan, atau mereka akan menghukumnya terus-terusan.

    Ini semua salah Doraemon, pikirnya. Bila Doraemon tidak bersikap dingin seperti itu, maka segala derita yang ia tanggung akan serasa lebih ringan. Biasanya Doraemon tidak menghakimi maupun memarahi—ia pinjamkan alatnya untuk membuat rasa jenuh itu hilang. Bila Doraemon tidak ada alatpun, tidak apa-apa. Dapat mengobrol hangat dengannya, dan mendengar kata-kata dukungannya sudah cukup untuk membuat rasa depresinya hilang.

    Mungkin, bila tak ada yang mendengar keluh kesahnya, Nobita mungkin sudah nekat bunuh diri, namun kini ia masih hidup dan sehat senantiasa.

    Memang, di tempat ini ia dapat bermalas-malasan sepuasnya. Namun, rasa sepi yang teramat sangat pun bergejolak. Sampai berapa lama 'kah ia akan seperti ini?

    Entahlah. Mungkin saja, bila ia dapat mengatasi rasa kesepian itu, ia dapat menetap di sana untuk selamanya. Waktu tak lagi jadi masalah—segalanya berjalan di tempat.

    Xxx​

    Berapa waktu lalu, Nobita mimpi buruk. Pada mimpi itu, ia mengikuti tes bersama teman-temannya. Betapapun ia berpikir, soalnya tak dapat ia kerjakan sama sekali. Satu persatu teman meninggalkan kelas, dan akhirnya hanya ada ia sendiri. Ia sedari tadi coba selesaikan semua soal, tetapi meski sudah ia selesaikan, pak guru sama sekali tidak membolehkannya keluar. Harus benar semua, katanya. Ini salah, itu salah, salah sedikit salah.

    Nobita pun menjadi begitu gusar, lalu ia berlari keluar kelas begitu saja. Apa gerangan dengan semua ini? Hal ini sungguh menyebalkan dan membuat kepala sakit. Setelah keluar kelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan kelas, dan satu persatu teman sekelasnya menghilang, digantikan anak-anak yang lebih muda. Sampai tinggal ia seorang. Ia berlari keluar kelas lagi.

    Ia melihat saat ia mulai bekerja. Teman-temannya semua mendapat pujian dan bonus yang besar, sementara ia selalu kena marah dan gajinya paling kecil. Belum lagi pekerjaan yang harus ia selesaikan paling banyak, dan pulangnya juga paling malam, meski ia harus datang paling pagi. Pekerjaannya saat itu bukanlah sesuatu yang dianggap membanggakan.

    Saat kumpul keluarga, Nobita menjadi bahan cemooh, dan hal itu membuatnya sungguh muak. Hal itu berlanjut pada reuni sekolah, dimana teman-temannya menyombongkan segala prestasi kerjanya, dan sewaktu melihat Nobita, mereka langsung membuang muka.

    Sampai akhirnya ia dipecat dari pekerjaan, dan sampai tua terus dikejar hutang sana-sini. Penderitaan yang ia rasakan sungguh sangat nyata dan menyakitkan, membuatnya berteriak:

    "CUKUP! SUDAH CUKUP! AKU TIDAK TAHAN LAGI DENGAN SEMUA INI!"

    Ia seketika terbangun dari mimpi itu, yang sepertinya telah berlangsung begitu lama. Dipenuhi perasaan lega lantaran hal tersebut sama sekali tidak nyata, ia menangis sejadi-jadinya. Seumur hidup, tak pernah ia terus menangis sedemikian rupa. Saat pagi tiba, wajahnya dipenuhi bekas air mata, dan matanya jadi kemerahan. Suasana hatinya begitu muram, dan segala pikiran untuk pergi sekolah membuatnya kejang.

    Ia tidak mau kembali tidur, takut mimpi buruk tersebut akan menghantuinya lagi. Semenjak malam itu, ia merasa telah menjadi gila. Dalam istirahatnya, ia berpikir tentang banyak hal, tentang masa depannya, jauh melampaui hal yang biasa dipikirkan anak seusianya.

    Pada hari itu, wajah Nobita begitu pucat, hingga ia diliburkan dari sekolah. Esok harinya memang tanggal merah. Dua hari penuh ia beristirahat. Meski kondisinya pulih kembali, semanjak itu, pandangannya terhadap sekolah tak pernah sama kembali. Ia menjadi suka berontak, dan rasa malasnya kadang keterlaluan, melebihi yang biasanya.

    Begitulah, mengapa Doraemon mulai merasa jengah dengan kelakuan Nobita.

    Namun, apakah itu murni Kesalahan Nobita, dan mereka yang sama sekali tak memberi kesempatan Nobita untuk mengutarakan isi hatinya adalah pihak yang benar?

    Xxx​

    "Semuanya akan baik-baik saja, bukankah demikian?" batin Nobita.

    Mengingat segala hal yang membuatnya berat hati di sana, rasa sepi tak begitu kentara lagi. Tak perlu pikirkan PR maupun sekolah. Hanya butuh bersenang-senang, makan, tidur dan berbagai hal lain yang ingin dilakukan. Tak ada yang memaksa harus begini maupun begitu.

    Entah berapa lama ia terlelap, setelah sepuasnya bermain dan bersantai. Tak tahu pasti selama apakah ia meninggalkan kehidupannya yang lalu. Yang ia ingat, tak peduli berapa lama ia tinggal di sini, waktu tetap akan berhenti bergerak. Satu pertanyaan yang muncul: mengapa ia begitu yakin akan hal itu, apakah ia telah mencoba sesuatu?

    Benar, ia bawa jam dari sana, dan jarumnya sama sekali tak bergerak di sini. Bahkan jam pasir pun tak berfungsi. Meski demikian, hanya jam saja yang berhenti, selebihnya, mereka bekerja seperti biasa. Mungkin memang Nobita tak dapat menonton televisi sesuai jadwal, tapi dari alat yang ia pesan dari katalog, ia dapat menonton acara televisi apa saja, kapan saja, dan episode manapun saat ia ingin, dan sama sekali tanpa iklan.

    Segala yang ia pesan dari katalog juga datang saat itu juga. Tak perlu menunggu berapa lama sebelum makanan datang, segalanya juga langsung ditarik dari akun Bank Ajaib. Sampai sekarang pun, jumlah uang yang tersimpan serasa tak berkurang sedikitpun. Meski di tempat ini, bank sama sekali tak memberikan bunga, tetap pengeluaran yang ada terasa begitu kecil ketimbang total uang yang tersedia.

    Mungkin satu-satunya yang membuat waktu bergerak adalah selimut waktu di sini. Mempercepat waktu dan mengembalikannya seperti semula secara independen, bekerja pada sistem waktu sendiri, terlepas dari yang ada pada dimensi ini.

    Kata mereka, realita itu kejam. Orang biasa tak punya pilihan dalam hidup, selain mengikuti jalan yang sudah ada. Meski hal itu bukan yang diinginkan, dan harus dijalankan secara terpaksa, jalankanlah. Begitulah hidup. Mungkin hal tersebut adalah ironis, bagi Nobita yang setiap harinya selalu bersantai di sela-sela kesibukan sekolahnya, dan melarikan diri dari tanggung-jawab, untuk memikirkan semua ini. Tapi ya, mungkin harga yang dibayar untuk sampai pada tempat ini, betapapun mahal, cukup sapadan lah.

    Teman-teman Nobita dapat dibilang orang biasa, namun Nobita sendiri tak dapat disebut orang biasa begitu saja, terutama karena ia punya Doraemon, dan berkat alat-alatnya lah ia dapat sampai di sini. Ia memiliki pilihan karena ada seorang yang mendukungnya. Menentukan jalan hidup sesuai yang dikehendakinya.

    Entah diperlukan kerja keras ataupun pemikiran yang tak biasa, ia tak peduli. Yang ia tahu, setiap orang memiliki ukuran yang berbeda-beda untuk sesuatu yang dikatakan 'kerja keras' dan setiap orang selalu coba paksakan ukuran mereka pada orang lain. Ia merasa, dunia ini bodoh, terlalu banyak mengurusi hal-hal tidak penting.

    "Dunia ini bukan untukku." pikirnya, "Dunia dimana aku tak bisa bermalas-malasan sepuasku, bukanlah yang kuinginkan."

    Bila ada orang lain yang mendengar pemikirannya, kemungkinan besar pasti ia dihakimi. Kamu harus kerja keras lah, kamu harus berusaha dan memberikan hasil seperti yang kami inginkan lah. Peduli setan, apakah mereka sama sekali pernah coba mendengarkan. Ketimbang selalu saja memaksakan kehendak?

    "Aku tak perlu kembali ke dunia ini, tak akan pernah. Persetan segalanya..."

    Dalam kesepian, ia kembali terlelap. Sudah berulang kali ia mencoba tidur, namun rasa letihnya tak kunjung reda. Seperti ada sesuatu dalam jiwanya yang berlubang, dan lubang itu membuatnya kosong.

    Mungkin saja orang lain sama sekali tidak tahu seperti apa dirinya. Mereka yang mengumbar nasehat kiri-kanan. Meski demikian, ia mungkin juga tak tahu pasti apa yang ia sendiri inginkan, agar hidupnya menjadi bermakna. Orang lain mungkin tak tahu apa-apa, tapi tak menutup bahwa apa yang mereka katakan ada benarnya. Memang tidak selalu, tapi bila dipikir secara seksama, pasti ada hal positif yang bisa ia ambil.

    Ia sungguh menyesal. Kalau saja ia mendengarkan, ia tak akan merasa seperti ini. Tapi yah, lantaran nasi sudah menjadi bubur, ia hanya bisa bergumam: 'ya sudahlah'.

    Xxx​

    Tak lama setelah Nobita pergi ke dimensi imajiner, Doraemon akhirnya pulang dari mesin waktu. Ternyata mesin waktu yang Nobita kendarai tadi bukanlah milik Doraemon. Jadi, bagaimana mesin waktu itu tiba-tiba muncul? Entahlah.

    Yang pastinya Doraemon dengan wajah muram berjalan perlahan, berhati-hati keluar dari laci meja Nobita. Ia temukan, Nobita tak ada di kamarnya. Ia memanggil kesana-kemari : oi, Nobita!

    Tak ada jawaban sama sekali. Ia tak membesarkan suaranya lantaran takut menarik perhatian ibu yang sedang bersih-bersih di lantai bawah. Kemana gerangan perginya Nobita? Dari sanalah ia mengecek seantero kamar, ketimbang langsung memakai baling-baling bambu untuk keluar. Pada pojok pandangan matanya, ia serasa melihat sebuah kertas kecil yang diselipkan. Tepatnya berada di lemari, tempatnya biasa tidur.

    Sewaktu ia mengecek isinya, ternyata kosong.

    Nobita sepertinya tak akan kembali, pikirnya.

    Jadi ya, ia buang kertas itu di tempat sampah lalu kembali tidur di lemari.

    Hari yang tenang dan santai, batin Doraemon.

    ...di alam sana pula, Nobita juga bersantai sesuka hati, semuanya damai dan tenang, meski ada sedikit kesedihan.

    Tamat​
     
    • Like Like x 1
  18. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Okelah karena sudah ampir jam 12 juga, saya nyatakan event FFA (sesi 2) ditutup :lalala:

    entry yang masuk ada 5, thanks to all writers high_timehigh_time Karin99Karin99 HartantoShineHartantoShine arief71parief71p dan saia sendiri :yahoo: ditunggu karya2 berikutnya :hmm:

    dan berhubung Ii_chanIi_chan gak finish deadline, mari kita kasi bata massal wogh :lempar: ato seenggaknya kita spam VM nya :lempar:

    yosh, ditunggu 10 hari buat ebooknya :hmm:
     
    • Like Like x 2
    • Dislike Dislike x 1
    Last edited: Aug 5, 2015
  19. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    somehow I get it, somehow I don't :iii:

    anyway, as usual, this is a story that high always make. something...phylosophical, maybe?

    well terlepas dari itu, saia cukup enjoy sih baca ceritanya, apalagi pesan yang (kurang lebih) saya dapat, bahwa tiap orang punya standar berbeda dalam menjalankan kehidupannya. well, social standards sure are scary. we live in a society where everything we do is judged by social presumtion - a social presumption about what is right, what is wrong.

    well, aku juga ngalamin hal kek gitu sih, more or less. social presumption, eventually, destroy our very self until we cannot recognize who we are anymore.

    disini aku salut ama nobita yang bisa memilih buat jadi dirinya sendiri ketimbang ngikutin nilai-nilai yang udah jadi asumsi dasar di masyarakat. still, on the other hand, I think both social presumption and his freedom can live in balance. tapi yah, dalam fic ini memang nobita diharuskan memilih salah satu, dan aku salut dia bisa memilih buat jadi dirinya sendiri.

    yeah, as for me myself, right now I want to be my very own self. I lost myself back then in my high school and college life. Now, I want to find my true self again. It's hard, but it's not impossible.

    therefore, I really like the story. well mungkin perlu sedikit effort lebih buat ngerti jalinan ceritanya, terutama bagian filosofisnya dan pesan yang mau disampaikan di cerita ini. tapi bahasanya mudah dimengerti kok.
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Aug 10, 2015
  20. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    thanks banget buat komengnya

    mungkin itu ceritanya setengah ngerant juga, dan endingnya rada sengaja gw bikin absurd dari rencana awal.

    ya sebelumnya sih gw mikir, well nobita yg kerasa sepi sendirian disono mungkin aja kangen banget ma doraemon, dan si doraemon jadi pergi ke sono, ngebujuk nobita buat balik, karena meski ada berbagai macam cobaan, pasti ada hal baik yg terjadi di dunia nyata. tapi pas gw pikir2, ah ni terlalu mainsetrum, udah bosen gw.

    trus ya udah, si doraemon gw bikin masa bodo aja karena dia udah kesel mesti ngurusin nobita trus. tapi ntar pas si doraemon mikirin lagi tentang nobita, tentang sekolahnya lah, tentang orangtuanya dsb. lah yg khawatir, dia ntar juga bakal nyari nobita lagi.

    bagian yg dipotong itu sih, tentang berapa lama waktu antara dimensi imajiner ma dunia nyata. mungkin bakal jadi syok buat doraemon klo misalnya berapa jam ia tinggal, si nobita udah bertapa 2 millenium di situ. tiba2 aja udah skillnya dewa semua dsb. padahal gk keliatan tambah tua lagi.

    tapi klo dilanjut kek gitu malah bikin kepanjangan, dan bagian yg gk jelas jd tambah gk jelas lagi. jadinya gw cut di situ aja deh.

    ya sebenernya pesan cerita nya bisa dibilang gini : aku mau tidur siang sepuasnya, tapi tak kunjung ada kesempatan. maka aku pindah ke tempat yg bisa memberiku kesempatan.

    akhir kata, ya thx a lot lagi buat komengnya. i'm glad you can somehow relate to it too. ini juga rada2 terinspirasi dari pengalaman masa lalu juga sih, meski seberapa banyak terinspirasinya ya, kurang tau juga lol :lol:
     
  21. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    well oke deh, buat sekarang yg tema kali ini ditutup dolo ya :bye:

    mungkin bakal di hiatuskan dolo sampai om lalat balik lagi. :haha:
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.