Res est solliciti plena timoris amor

Alhamdulillahi rabbil 'alamin. Tidak sia-sia aku dan si Mas berjuang selama 7 bulan.


Akhirnya, BPN menerbitkan sertifikat hak milik atas sebidang tanah yang aku miliki.

Semua bentuk keruwetan yang harus kami berdua alami, kini telah terbayar tuntas.
Ada rasa haru ketika melihat namaku tercantum sebagai pemilik sah tanah tersebut.

---

Tahun lalu, atas rekomendasi Bude Agni, aku membeli sebidang tanah seluas 400 m2.
Sebidang tanah di satu lokasi yang cukup asri dan nyaman di pinggiran kota Jakarta.


Meski untuk bisa membeli tanah itu, 1/4 pembayarannya harus dibantu Mama-Papa.

---

Sayangnya, sekalipun bukan tanah sengketa, tanah itu belum bersertifikat hak milik.
Sehingga aku dan (terutama) si Mas Gantengku harus bersusah payah mengurusnya.

Dan —sebagaimana kita ketahui— berurusan dengan birokrasi itu tidaklah mudah.
Bertele-tele, stressful, bahkan tak jarang mesti sanggup adu kuat dalam menggertak.


Syukurlah, laki-laki tercintaku itu bukan tipe "macan kertas" yang mempan digertak.


Alhamdulillah, segala keruwetan yang meletihkan fisik dan mental itu kini telah usai.

---

Mungkin saja, aku tak akan pernah bermukim di tanah yang telah aku beli tersebut.
Karena setelah tahun depan menikah, aku akan diboyong si Mas ke rumah miliknya.


Tapi paling tidak, ada sesuatu yang bisa dilihat dari hasil keringatku selama bekerja.

 

---

Diam-diam, ternyata Mbak F.M. menyimpan sejumlah perasaan khusus pada si Mas.
Sebagai seorang perempuan, aku bisa menangkap makna dari hal yang tersamarkan.

Aku mau marah, tapi tidak tega. Mau membiarkan... ah, memangnya aku sudah gila?!

---

Mama bilang, semua manusia memiliki hak untuk menyukai dan mencintai siapa pun.

Apalagi, Allah telah menakdirkan si Mas tercipta sebagai laki-laki yang good-looking.
Sangatlah masuk akal jika ada banyak perempuan yang tertarik dan menyukai si Mas.

Rasa suka, cinta, ataupun benci itu adalah hak asasi yang melekat pada tiap manusia.
Sepanjang rasa suka dan cinta itu tidak berujung pada kemungkaran, ya biarkan saja.


Sayangnya, kalimat yang terdengar bijak itu sama sekali tak terasa bijak menurutku.

---

Mau tak mau, situasi ini membuatku terpaksa mengaktifkan kembali para informan.

Untuk berjaga-jaga, supaya bara itu jangan sampai berkobar menjadi api yang besar.
Mbak F.M. itu lugu, sedangkan si Mas punya "rekam jejak dan reputasi level dewa".


Meski aku masih sangat percaya diri bahwa si Mas masih cukup waras dalam hal ini.

 

---

Aku dan si Mas adalah sesama "anak teknik". Baik dari latar belakang pendidikan,
maupun bidang pekerjaan dan karier kami berdua yang sedang kami jalani saat ini.

Tapi sayang, aku sering kurang becus mengaplikasikan ilmu teknik yang aku miliki.

---

Contohnya, seperti yang terjadi pada Ahad siang kemarin di paviliun rumah si Mas.


Aku memahami prinsip dasar instalasi listrik, termasuk wiring diagram instalasinya.
Mungkin aku bisa berbangga bahwa aku bukan hanya sekadar tahu, tapi memahami.


Cuma, ketika tiba pada fase pemasangan instalasi, aku terpaksa harus angkat tangan.
Satu kenyataan bahwa aku hebat dalam penguasaan teori, tapi lemah dalam aplikasi.

---

Yah, untunglah si Mas sanggup menangani ketidakbecusanku itu dengan sempurna.
Dia bisa mengerjakan pemasangan instalasi listrik itu tanpa ada kesalahan apa pun.

Dan Alhamdulillah, paviliun rumah si Mas itu pun akhirnya bisa segera difungsikan.

---

Belakangan, si Mas bilang bahwa dia "bersyukur" atas ketidakbecusan aku tersebut.

:mesum:
Karena hal itu seolah menunjukkan superioritas dia terhadap diriku masih berlaku.
Si Mas bisa melakukan dengan baik satu hal yang justru tidak sanggup aku lakukan.
(Dalam hal ini, perihal satu jenis pekerjaan maskulin seperti pemasangan instalasi listrik)

Tapi di sisi lain, si Mas ingin agar aku pun memiliki superioritas terhadap dirinya.
Khususnya, terkait dengan hal-hal yang menjadi spesialisasi bagi kaum perempuan.


Kesimpulannya, si Mas akan menunjukkan superioritasnya dalam hal-hal maskulin,
dan aku harus senantiasa bisa menunjukkan superioritasku dalam hal-hal feminin.

---

 

Semalam, aku sempat menonton dan menyimak satu film drama produksi Hollywood.

Ada sebuah kalimat "offensive" yang diucapkan oleh satu karakter di film tersebut.
"At least, my boobs are real." (Untuk memojokkan para pelaku "breast augmentation")


Ternyata, di "tempat yang penuh kepalsuan" pun, keaslian itu masih sangat berharga.
Secara naluriah, manusia pasti akan cenderung lebih menyukai keindahan yang asli.

---

Sampai detik ini, aku sangat mensyukuri anugerah yang Allah paringi untuk diriku.
Tiap bercermin, aku masih bisa tersenyum dan berterima kasih atas pemberian-Nya.


Jadi, aku sama sekali tak pernah kepingin untuk melakukan operasi plastik apa pun.
Toh, tanpa perlu mengutak-atik wajah dan tubuhku, si Mas bisa jatuh ke pelukanku.

---

Terkadang, si Mas Ganteng mengatakan kalimat yang langsung memerahkan pipiku:
"Kamu adalah bukti nyata bahwa surrah At-Tiin ayat 4 itu memang benar adanya."


Ah, perempuan mana sih yang tak akan sumringah mendengar kata-kata seperti itu?
Meski aku sadar bahwa satu hari nanti, semua yang fana ini pasti akan kutinggalkan.

 

---

Alkisah, ada seorang "emak-emak" yang pernah begitu nyinyirnya terhadap diriku.
Dan subjek kenyinyirannya adalah perihal mabuk kepayangnya aku kepada si Mas.

Dengan sinisnya, "si emak-emak tersebut" pernah berkomentar nyelekit seperti ini:
"Nggak pantas banget seorang perempuan menampakkan sikap 'kedanan' seperti itu."

Kalimat pedas yang ditujukan untuk aku, karena aku begitu kedanan memuja si Mas.


Syukurlah, kala itu, aku cukup ndableg dan tegar dalam menyikapi sinisme tersebut.

---

Eh, jebulane... ketika "si emak-emak itu" bertemu langsung dengan si Mas Ganteng,
"si emak-emak itu" pun hanya bisa terdiam malu, plus salah tingkah tak tentu arah.


Nah..... klenger sejadi-jadinya, 'kan? Klepek-klepek juga, 'kan? Kedanan juga, 'kan?



Sayangnya, sampeyan sudah terlambat. Si Mas Ganteng itu kini telah kugenggam erat.
Akan ada pertumpahan darah jika sampeyan mau coba-coba merebut dia dari sisiku.

---

Nyinyir itu hak asasi. Tapi sungguh memalukan jika kenyinyiranmu berbalik padamu.
Mungkin bisa aku ungkapkan, "Ono gajah diblangkoni. Iso khutbah, ora iso nglakoni."


Meski demikian, aku tidak menyimpan perasaan dendam kepada yang bersangkutan.

 

---

I don't wear hijab yet. But that doesn't mean I deny the obligation of wearing hijab.
As a muslimah (who believes the words of Allah) wearing hijab is an obligation to fulfill.

Even though some people say, there's nothing wrong with wearing any kind of clothes,
(as long as those clothes meet Islamic requirements) I still believe the obligation of hijab.


Ehm, I made a promise to myself that (Insya Allah) I'll wear hijab when I get married.
I hope I'll fulfill that promise. Allah sees my efforts and knows my sincere intentions.

 

---

Kemarin sore, aku sempat "terjebak" dalam kemacetan di Jakarta saat hujan deras.
Padahal ada satu pertemuan penting —terkait urusan kantor— yang harus aku hadiri.


Kalau sampai terlambat, sedikit banyak akan mengancam reputasi aku dan kantorku.

---

Terpaksa aku "berputar-putar" mencari jalur alternatif untuk mempersingkat waktu.


Sambil menerapkan sunnah Rasulullah SAW setiap hujan turun: memperbanyak doa.
Yah, daripada cuma misuh-misuh atau memaki tidak karuan, mending berdoa, 'kan?

---

Dan mobil yang aku kendarai tiba di gedung pertemuan tersebut. Terlambat 1/2 jam.


Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi? Di lift, aku mencoba tegar menghadapi kenyataan.
Mudah-mudahan, "beliau-beliau itu" bisa sedikit memaklumi keterlambatanku kali ini.


Eh..... ternyata pertemuan belum dimulai. "Beliau-beliau itu" belum ada yang datang.
Baru ada Ibu Tetty + para staff-nya yang telah terlebih dulu hadir dibandingkan aku.

Jadi, meski secara teknis aku datang terlambat, tapi hal itu tak berpengaruh apa-apa.

---

Pada akhirnya, misi penting dari kantorku bisa aku tunaikan dengan sebaik-baiknya.


Kemudian setelah pertemuan usai, aku sempat ditraktir makan malam oleh Ibu Tetty.
Biarpun sebagai konsekuensinya, aku baru sampai di rumah menjelang jam 10 malam.

Toh, hal itu tidak menghilangkan rasa lega dan terima kasihku atas pertolongan Allah.
Juga menjadi satu pembuktian, doa di saat hujan tidak akan pernah Dia sia-siakan.

---

Dan nikmat dari Allah belum berhenti sampai di situ. Tadi siang, ada "satu kejutan".


Tanpa aku perkirakan, satu doaku ketika hujan deras kemarin, langsung dikabulkan.

Padahal sih, menurut kalkulasi, hal itu sulit untuk bisa terwujud dalam waktu dekat.
Si Mas yang selalu menjadi Mr. Problem Solver-ku, juga pernah berpendapat begitu.

Jadi, aku cukup realistis dan tahu diri. Tak "memaksa" supaya doa itu segera diijabah.


Tapi Allah itu Maha Berkuasa. Dia memiliki kalkulasi tersendiri yang sangat akurat.
Apa yang menurut aku cukup sulit, sama sekali tidak sulit menurut kekuasaan Allah.

---

 

Alhamdulillahi rabbil 'alamin. Aksi Damai Jumat kemarin, berlangsung dengan elegan.
Super damai, aman, tertib, peduli dengan kebersihan, dan sangat menggetarkan hati.

Ada begitu banyak makanan dan minuman yang disediakan secara cuma-cuma, tetapi
hal tersebut tak membuat orang-orang berebutan untuk mengambilnya secara rakus.

Lalu ada juga sejumlah Mbak-Mbak anggota Kowad TNI dan Polwan yang berhijab.

---

Saat shalat Jumat tiba, para aparat TNI & Polri ikut bergabung dengan para jamaah.
Bahkan beberapa aparat itu pun ikut menangis haru ketika shalat sedang berlangsung.

Hujan yang turun, sama sekali tak membuat jamaah shalat Jumat membubarkan diri.

Ba'da shalat Jumat, aksi pun diakhiri. Dan tidak ada kerusuhan apa pun yang terjadi.
Tak ada tumpukan sampah yang berserakan di sana sini. Semua langsung dibersihkan.

Sesuai komitmen, aksi yang dihadiri jutaan umat itu bisa berlangsung super damai.
Tidak ada celah bagi "media-media partisan" untuk mem-framing berita secara jahat.

---

Sang boss baruku adalah seorang perempuan ekspatriat yang berasal dari Benua Biru.
Bukan seorang muslimah. Tapi beliau terkesima dengan Aksi Damai Jumat kemarin.

Atau lebih tepatnya, beliau ikut berempati dan bersimpati pada Aksi Damai tersebut.

Hingga tadi siang, beliau masih terlihat antusias membincangkan hal itu bersamaku.
Dan beliau sempat mengatakan, "If I were a muslim, I would definitely do the same."

 

---

Yang namanya "berkarier" itu memang sangat berat. Berangkat pagi, pulang malam.
Belum lagi harus punya ketabahan dalam menghadapi "neraka kemacetan" di Jakarta.

Kemudian, di kantor ada kewajiban menyelesaikan seabrek pekerjaan yang rumit.
Dan ada pula tanggung jawab besar yang mesti aku pikul dan panggul setiap harinya.

Memeras tulang, membanting keringat, dan bahkan memutar otak ke segala penjuru.

---

Toh, semua itu bisa "terobati" dengan makin bertambahnya jumlah saldo rekeningku.
Yang menandakan bahwa peluh dan keringatku tidaklah menetes dengan percuma.

Rezeki halal.... yang bisa aku dapatkan secara halal.... dan dari pekerjaan yang halal.
Tanpa perlu menjilat. Tanpa perlu menggadaikan iman, aqidah, ataupun idealismeku.

Dan Insya Allah, semua itu akan aku bisa pertanggungjawabkan di alam akhirat kelak.

---

Ehm, kepenatan yang seolah tak pernah bosan mendera sekujur otak dan tubuhku ini,
bisa pula hilang dengan sekejap ketika laki-laki tercintaku itu menghadirkan dirinya.

Dia yang aku cintai dan sayangi. Yang mampu menyingkirkan setiap tetes air mataku.
Yang mampu memberikan aku banyak sekali hal yang tidak semua pria bisa berikan.


Selalu saja ada hal-hal indah yang dia semai dan tanamkan dalam ruang-ruang hatiku.
Yang membuatku kembali bersemangat untuk menaklukkan kehidupan yang keras ini.

 

---

Postingan terkait dengan niat aku berhijab pasca kami menikah, dibaca oleh si Mas.


Dan si Mas mengatakan, ada hal yang kurang tepat dalam kalimat yang aku buat itu.

---

Kalimatku pada postingan ini http://forum.idws.id/posts/33142419/ bisa dia pahami dengan baik:

Even though some people say, there's nothing wrong with wearing any kind of clothes,
(as long as those clothes meet Islamic requirements) I still believe the obligation of hijab.

---

Tetapi menurut si Mas, seharusnya kalimatku itu lebih tepat ditulis sebagai berikut:

Even though some people say, there's nothing wrong with wearing any kind of clothes
(as long as they meet the Islamic requirements), I still believe in the obligation of hijab.

Terdapat perbedaan mendasar antara verba "believe" dan frasa verbal "believe in".
Saat aku yakin: "wearing hijab is an obligation", maka hal itu terkait dengan keyakinan.

Sehingga frasa verbal "believe in"-lah yang harus aku gunakan dalam kalimat tersebut.

---

Ternyata, laki-laki tercintaku yang ganteng itu masihlah tetap seorang grammar Nazi.
Yang sering merasa tak tahan saat melihat penggunaan bahasa yang tak sesuai kaidah.
(Jika aku tak salah ingat, "si Ibu itu" pernah membahas kedisiplinan berbahasa dari si Mas)

Tapi aku bersyukur, karena ia memberikan koreksi atas kekeliruan yang aku lakukan.
Dengan demikian, kesalahanku tersebut tidak akan lagi berlanjut di kemudian hari.

---

Menurut aku, tindakan mengoreksi itu adalah bentuk cinta yang bertanggung jawab.
Mencoba membenarkan satu kesalahan, cuma akan menciptakan kesalahan yang baru.


Meski mungkin ada saat-saat tertentu.... ketika kita merasa gengsi menerima koreksi.



Mencintai seorang manusia secara membabi buta ialah bentuk kebodohan yang nyata.
Kekeliruan itu wajiblah untuk dikoreksi. Bukan malah "dicari-cari" pembenarannya.


Sing jenenge "pembenaran" itu pasti selalu terlihat manipulatif dan juga mengada-ada.

---

Dia mencintaiku. Tetapi saat aku melakukan kesalahan, maka dia "meluruskan" aku.
Aku mencintainya. Tapi jika ia tergelincir, maka aku akan "mengangkat" dia kembali.

Percintaan "sepanas" apa pun tetap membutuhkan nalar yang sehat dan juga rasional.
Karena nalar yang sehat dan rasional itulah yang membedakan kita dengan binatang.

 

---

Saat ini, kelihatannya banyak orang Jakarta yang sedang "kedanan" sama sate taichan.
Kalau berdasarkan ulasan yang aku simak, kelihatannya memang cukup masuk akal.


Tetapi sayangnya, sate taichan yang dijual itu rata-rata berbahan baku ayam broiler.
Dan aku tidak sanggup mengonsumsi daging ayam broiler. Dari dulu hingga sekarang.

---

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat berbincang dengan sang calon Mama mertuaku.
Menurut beliau, sate yang terenak di seantero Indonesia ini hanyalah sate Ponorogo.

Sate Ponorogo yang orisinal itu pasti 100% akan selalu berbahan baku ayam kampung.
Nyaris tidak akan ada penjual sate Ponorogo yang nekat menggunakan ayam broiler.

Sambal kacang yang digunakan pun terasa berbeda daripada yang biasa kita jumpai.
Karena memakai kacang tanah Tuban. Super gurih, tapi tak menimbulkan rasa mual.

Keistimewaan lainnya, sate Ponorogo bisa bertahan hingga 2 hari tanpa menjadi basi.

---

Kemarin, si Mas Gantengku memberikan 5 bésék (box anyaman bambu) sate Ponorogo.
Sate Ponorogo "H.T.S." yang sangat legendaris itu. Kiriman dari seorang koleganya.

Saat aku bertanya, siapa sang kolega tersebut, jawaban si Mas cukup mengejutkanku.
Seseorang yang (aku tahu persis) dahulu "pernah memusuhi" laki-laki tercintaku itu.


Lha, sejak kapan si orang itu tiba-tiba saja bisa menjadi salah seorang kolega si Mas?

---

Semalam Mama bilang, "Mbak, seorang 'tough guy sejati' itu bukanlah yang cuma bisa
adigang adigung, sok-sokan petantang-petenteng, dan berkoar-koar kosong tanpa arti.

Tetapi seorang 'tough guy sejati' itu adalah seorang laki-laki yang punya kemampuan
unik untuk bisa menjadikan orang yang memusuhi, berubah menjadi teman baiknya."

 

---

Suka tidak suka, segala macam pencitraan itu pasti akan selalu terlihat di sekitar kita.

Seseorang bisa bercerita dengan kalimat yang "ndakik-ndakik". Melambung-lambung.
(Meski setiap orang akan punya persepsi berlainan perihal kalimat yang "ndakik-ndakik" itu)

Jika hal-hal yang dia ceritakan itu benar-benar sesuai dengan kenyataan yang terjadi,
ya, tak masalah. Paling-paling cuma akan membuat sebagian orang merasa iri dengki.


Karena mengakui keunggulan orang lain memang bukanlah hal yang menyenangkan.
Toh, rasa iri dengki tersebut tak akan mampu mengubah kenyataan faktual yang ada.


Permata yang orisinal ialah batuan yang berharga. Sedangkan kerikil tetaplah kerikil.
Segala bentuk pengingkaran apa pun tidak akan pernah bisa mengubah fakta tersebut.

---

Membangun pencitraan adalah satu kecenderungan alami yang sangat bisa dimaklumi.

Tetapi jika pencitraan yang berusaha keras dibangun itu tak sesuai dengan kenyataan,
ya, ujung-ujungnya pencitraan itu cuma akan menjadi bahan tertawaan di mana-mana.


Dan jika seseorang telah mendapat cap tukang ngibul, harga diri apa lagi yang tersisa?

Orang-orang akan selalu menakar kualitas dirimu dari kejujuran yang ada padamu.
Banyak kekurangan atau ketidaksempurnaan manusia yang mudah untuk dimaklumi.


Tetapi takkan pernah ada pemakluman untuk setiap kebohongan yang diperlihatkan.

---

Sebrengsek-brengseknya si Mas Gantengku, dia tetap bisa menjadi a man of his word.
Trustworthy. Reliable. Tidak mencla-mencle. Bukan pula tipe "isuk dele sore tempe".

He's well-mannered, tahu unggah-ungguh, tapi tak pernah memakai "topeng" apa pun.
Apa yang si Mas tampilkan, ceritakan, dan janjikan, semua sesuai dengan kenyataan.


Bahkan "si Ibu yang judes itu" pun terpaksa harus mau berbesar hati mengakuinya.
Meskipun pengakuan itu hanya sanggup dia nyatakan secara implisit dan tersirat saja.

---

 

Kemarin, mobilku "masuk bengkel" temannya si Mas. Bukan karena ada kerusakan,
tetapi untuk instalasi audio mobil dan perbaikan interior, supaya "lebih sophisticated".


Semua itu atas rekomendasi, propaganda, promosi, provokasi, dan agitasi dari si Mas.
"Mengapa sejak dulu, interior dan audio system mobilmu cuma begitu-begitu saja?"


Sebetulnya sih, hal tersebut sama sekali bukanlah sesuatu yang aku rasakan penting.
Tapi setelah melihat hasil pekerjaan bengkel itu, mau tak mau aku jadi tergoda juga.


Ya sudahlah, hitung-hitung sekalian memberi rezeki akhir tahun bagi mereka semua.
Atau lebih tepatnya, rezeki dari Allah untuk mereka, hadir melalui perantaraan aku.

---

Si Mas meminjamkan SUV miliknya untuk kupakai. Hingga semua urusan itu tuntas.
Tapi dengan satu ketentuan, aku tak boleh mengutak-atik apa pun di dalam mobilnya.


Sayangnya, secara tidak sengaja, aku melanggar ketentuan yang telah dia tetapkan itu.
Kalaupun dia nanti mau menghukumku, biar dia lakukan. Aku pasrah menantikannya.

---

Yang lucu, tadi pagi, satpam kantorku nyaris melarang aku parkir di tempat biasa.
Hal itu semata-mata karena kekurangtahuan mereka atas "perubahan" yang terjadi.


Biasanya, tempat tersebut telah menjadi lokasi tetap untuk keperluan parkir mobilku.
Eh, tahu-tahu ada SUV segede gajah yang terindikasi kuat akan segera parkir di situ.

Maka, para satpam yang baik itu segera mendatangi SUV yang aku kendarai tersebut.


Begitu mengetahui bahwa akulah si pengendara SUV itu, reaksi mereka pun berubah.
"Oh, Ibu.... kirain orang lain yang mau coba-coba mengambil jatah parkir Ibu di situ."


Ah, aku jadi terharu juga setelah melihat kepedulian yang sempat mereka tunjukkan.
Mereka memperlihatkan salah satu contoh dedikasi total dalam menjalankan tugas.

---