1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Lingkaran Abstraksi [END]

Discussion in 'Fiction' started by merpati98, Jun 29, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    wkwkwk.. :p

    baru nyadar.. aneh ya kalau gitu bahasanya.. :p

    oke, saya ganti dulu:lalala:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    06 – “Dia tuh orangnya cuek banget!”

    Aku punya kemampuan meniru dan mengubah suara.

    Kemampuan ini pertama kali kupakai saat meniru suara kucing agar bisa berbaikan kembali dengan Mila, si pecinta kucing sejati.

    Lalu yang keduanya adalah saat aku SMA kelas XI semester ganjil yang menyebabkan hampir seluruh siswa yang pacaran putus saat itu juga. Bagaimana caranya?

    Kuberi tahu satu hal saja:

    Aku mengenal hampir seluruh murid yang ada di SMA ini tanpa pengeculian apakah dia adalah adik kelas atau kakak kelas. Dan kata ‘mengetahui’ yang dimaksud di sini juga berarti mengetahui nomer HP-nya, nomer teleponnya, alamatnya dan hubungan sosial yang sedang dijalaninya.

    Bagaimana aku bisa tahu?

    Waktu kelas X, aku punya sedikit hobi aneh membuntuti orang lain. Entah kenapa perasaan berdebar-debar dan takut waktu sedang mengikuti membuatku ketagihan dan ingin terus menerus mencobanya lagi.

    Ken—Jangan tanya kenapa bisa begitu. Tapi sejak dulu aku memang punya ketertarikan tersendiri memperhatikan tingkah dan gerak-gerik orang lain walapun orang tersebut bukan orang yang aku kenal atau menarik perhatianku.

    Aku tidak peduli pada dia—orang yang kubuntuti.

    Aku hanya peduli pada apa yang bisa aku dapatkan.


    ***


    Yang namanya rahasia, memang terkadang lebih baik kalau tidak dikatakan pada orang lain.


    ***


    Kata siapa ngomong di depan itu lebih baik daripada ngomong di belakang?

    Lalu kata siapa juga ngomong di belakang lebih baik daripada ngomong di depan?

    Karena yang namanya penghinaan, ejekan, dan sesuatu negatif lainnya tidak akan bisa baik mau diambil dari sudut manapun juga. Aku tahu ini karena telah merasakan sendiri pengalaman itu. Walaupun yang kukatakan itu sebagian besar benar, tapi bukan hakku untuk mengatakannya.

    Mengerti apa maksudku? Oke, akan kujelaskan.

    Insiden waktu itu, yang menyebabkan putus massal baik antar teman maupun antar pacar. Semuanya putus, pisah, sampai ada yang menyadari kejanggalan ini dan tersebarlah isu bahwa kejadian ini adalah kesalah-pahaman yang disebabkan oleh seseorang yang menelpon mereka pada malam sebelumnya.

    Dan semuanya itu sebenarnya diakibatkan oleh rasa penasaranku tentang hukum fisika yang menyatakan aksi = reaksi.

    Oke, itu alasan. Maksudku aku merasa penasaran dengan reaksi orang-orang pada umumnya mengenai skenario yang aku buat berdasarkan hubungan mereka selama ini,
    dengan teman atau pacar.


    ***


    “Eh, pacarku mah orangnya cuek banget. Dingin lagi. Kemarin aja aku minta dianterin pulang dia nggak mau. Pake alasan rumahku jauhlah, berlawanan arah sama rumahnyalah. Banyak alasan!”

    “Sama. Pacarku juga gitu, ngeselin.”

    “Haha… kasian deh. Pacarku mah nggak dong. Waktu itu aja aku minta dia anterin ke mana gitu, dia mau.”

    “Ihh… enak banget!”

    Enak?

    Emangnya makanan…

    Menguping pembicaraan mereka, aku jadi merasa heran sendiri. Kalau emang pacarnya itu ngeselin, kenapa juga mereka pacaran sama pacarnya?


    ***


    “Matre itu cewek! Beneran matre!”

    “Udah habis berapa, emang?”

    “Nggak kehitung! Matre bener dah…”

    “Trus kemajuannya?”

    “Hehe.. ntar aku ceritain. Dia mah gampang banget!”

    Beda perempuan, beda laki-laki. Apa yang dikeluhkannya juga beda. Tapi menguping pembicaraan laki-laki soal pacar mereka mah cuma bikin kuping panas.

    Jadi heran…

    Sebenarnya mereka pacaran gara-gara cinta atau cuma buat jaga gengsi aja?


    ***


    Menatap kertas HVS yang baru saja aku corat-coret, baru kali ini aku melewatkan waktu belajarku dan lebih memilih untuk mengkonsentrasikan pikiran pada hal lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah manapun.

    “Ardi? Itu buat apa?”

    Mengintip dari balik bahuku dan bertanya, aku sudah tahu siapa pelakunya tanpa perlu membalikkan badan untuk melihat.

    “Nekomimi, jangan lihat-lihat seenaknya.”

    Sebenarnya tidak masalah juga sih kalau dia mau lihat. Karena kenyataannya dia nggak bakalan ngerti mau lihat selama apapun juga.

    Memilih untuk tidak memedulikannya, aku memencet tombol handphoneku lagi. Mataku sibuk menelusuri phonebook yang aku punya. Hampir semua nomor HP murid yang ada di SMA-ku termasuk dalam daftar ini.

    “Ardi! Mimi pengen tahu!”

    Kalau mau tahu, coba saja tebak sendiri.

    Aku tidak melarangmu menebak kok.

    “Ardi!”

    “Diam!”

    Aku balas berteriak. Keras.

    Seketika itu juga dia terdiam, aku mendadak merasa bersalah dan memutar tubuhku untuk melihatnya.

    Tapi dia sudah menghilang…



    ..

    .

    “Dengan begini, dia nggak akan muncul lagi di sini kan…”

    Mencari pembenaran, aku kembali pada kertas dan handphoneku tadi. Yah, kurasa aku akan meminta maaf padanya setelah ini kalau dia muncul lagi.


    ***


    Menelan ludah sekali,

    Aku menatap layar handphone yang ada di tanganku sekarang. Aku tidak tahu apakah perbuatanku ini benar atau salah, tapi satu hal yang aku tahu: aku benar-benar merasa penasaran ingin melihat bagaimana hasilnya nanti.

    Dengan pikiran seperti itu di kepalaku, aku memencet tombol ‘Call’ dan menunggu teleponku diangkat.

    Tidak apa-apa… mereka pasti akan mengetahuinya…


    ***


    “Aku putus dengan pacarku tadi malam.”

    “Aku juga.”

    “Sama. Emang yang namanya laki-laki itu nggak bisa dipercaya.”


    ***


    “Aku baru putus nih.”

    “Sama dia?”

    “Iya, gayanya kayak dia yang paling cantik aja. Kesel liatnya.”

    “Kapan putusnya?”

    “Tadi malam. Tiba-tiba aja dia nelpon, ngomong panjang lebar kalau aku itu pelit atau apalah. Padahal dianya itu yang kematrean!”


    ***


    Bencana…

    Aku telah membuat suatu bencana.

    Insiden…


    ***


    Hari itu,

    Aku membuat hampir seluruh anak di sekolahku bermusuhan. Dengan satu handphone saja yang berisi nomor-nomor anak satu sekolah. Dalam waktu satu malam.

    Aku melakukannya.

    Memberitahukan kekesalan yang mereka rasa,

    Memberitahukan kemarahan yang mereka rasa,

    Memberitahukan kejelekan yang mereka rasa,

    pada temannya ataupun pacarnya.

    Hanya karena suatu rasa penasaran akan jadi seperti apa reaksi mereka nanti… Aku tahu aku keterlaluan. Tapi waktu itu aku pikir,

    Buat apa pacaran kalau sebetulnya punya kekesalan masing-masing pada pasangannya?

    Buat apa berteman kalau sebetulnya hanya saling memanfaatkan?

    Kenapa mereka senang ngomong di belakang, sementara kalau di depan malah bersikap bermanis-manis seolah tidak ada suatu apapun yang mengesalkan mereka?

    Berpikir seperti itu, aku lalu memberitahukan rahasia yang mereka simpan dan hanya berani mengatakannya di belakang pada orangnya langsung, dengan…

    Suara mereka sendiri.

    Ya, karena aku bisa meniru suara berbagai orang dengan sangat baik.

    Terlalu baik.


    ***


    Tapi bukan aku yang bisa memutuskan hal seperti itu, bukan hakku untuk menghancurkan hubungan mereka, apapun alasan yang aku punya. Biarpun aku tidak suka dengan pacaran karena menurutku itu hanyalah pembohongan, aku tetap tidak mempunyai hak melakukannya.

    Karena orang luar tidak boleh seenaknya saja masuk ke dalam lingkaran hubungan yang telah dibangun oleh mereka walaupun atas dasar kebohongan.

    Aku mengetahui itu.

    Setelah melakukannya, aku jadi benar-benar menyesal. Karena hubungan beberapa temanku menjadi renggang.

    Beruntung, setelah itu tersebar isu kalau semua ini akibat seseorang yang tidak suka dengan mereka dan sengaja memecah belah persahabat, pertemanan, dan hubungan lainnya. Dan begitulah insiden itu ditutup.

    Karena aku, dengan segala kepengecutanku, tidak berani mengakui kalau akulah penyebab dan pelaku dari semua itu.


    ***

    :dead:
     
  4. eituze9 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Dec 29, 2010
    Messages:
    999
    Trophy Points:
    162
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +1,674 / -0
    wah yg ini kena banget di saya...
    kata2nya kayak menceritakan diri saya :hehe:

    keren alurnya... :top:

    ------------
    eh, boleh dicomment ga sih?
    kalo ga boleh maaf :maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    menceritakan diri anda..:kaget: kayak gimana tuh..:bloon:

    makasih komennya..:maaf:

    boleh-boleh aja kok kalau mau komen, kritik, saran..:hehe:
     
    Last edited: Jul 27, 2011
  6. Nebunedzar M V U

    Offline

    No information given.

    Joined:
    Mar 7, 2009
    Messages:
    707
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +5,466 / -0
    Ini akhirnya bisa kasih komentar juga. :keringat:

    Itu saya ada usul, di prolognya mungkin bisa ditambahkan bahwa lingkaran abstraksi adalah takdir yang menyatukan kita semua atau semacamnya mungkin? Lalu mengenai genre, ini jenisnya juga termasuk genre random lho. Jadi saya lihat ini ceritanya benar-benar bebas ke mana arahnya, tidak terpaku ke satu jenis saja--bagus juga. Lalu ini respon untuk curcol kamu di halaman depan. Caranya, cukup pikirkan bagaimana nasibnya nanti dengan karakter yang kamu buat atau hasil/akibat dari yang mereka kerjakan di cerita sebelumnya; pasti nanti juga ketemu ceritanya. Masalah flashback, saya suka--tidak ada masalah dengan itu. Justru menurut saya, harus ada alasannya kenapa diselip-selip. Semua elemen cerita diberikan karena ada alasannya; nggak bisa asal istilah "nggak ada angin, nggak ada kentut, eh tiba-tiba nongol", haha. Maksud saya, itu justru kalau dibuat jadi selipan, flashback-nya malah harus ada tujuannya kenapa ditaruh di segmen itu. Naah, malah makin ruwet kan jadinya. Jadi biarkan ceritanya tetap begitu alurnya, sudah keren--tinggal diperdahsyat lagi.

    Btw, saya kira itu hubungan Rendi dan Ardi itu boys love. :hoho:
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    eh ya... kalau itu saya rencananya mau ditaruh di epilognya sih.. jadi semacam kesimpulan begitu.
    iya juga sih... emang..:hmm:

    makasih komentar ma sarannya:maaf:

    :kaget: emang keliatannya gitu??! hubungan mereka berdua cuma sebatas friendship aja kok...:tkp2:
     
  8. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    07 - "Suatu saat nanti..."

    Bolos lagi.

    Kali ini untuk yang kedua kalinya. Menatap rumah bercat kuning di hadapanku, aku jadi heran kenapa tempat ini rasanya sepi sekali. Walaupun ya, aku tahu kalau orang tuanya kerja di luar negeri dan kakaknya saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Tapi kalau begitu…

    “Nenekmu dimana?”

    Aku bertanya sedikit penasaran, sambil berjalan mengikuti Rendi masuk ke dalam rumah.

    “Di rumah sakit. Sejak kakak masuk rumah sakit, nenek hampir selalu di sana buat menjaganya.”

    Ohh… masuk akal. Jadi karena itu kamu bisa bolos sekolah seenakmu sendiri…

    Udah nggak ada walinya sama sekali.

    “Kalaupun nenek ada, aku tetap bisa bolos kalau aku mau, Ardi.”

    Hahah…

    Kalimat yang sangat bijak dari seorang tukang bolos dan cabut paling legendaris yang pernah ada ya.

    Berjalan ke kamarnya yang baru sekali aku datangi, kami langsung memulai pekerjaan yang sedang akan kami kerjakan.

    Mendubbing suara.

    Aku sudah bisa memahami sedikit karakter tokoh-tokoh ini. Dan dari 4 orang tokoh yang ada di cerita ini, aku sudah memilih 3 tokoh yang paling aku mengerti kepribadiannya.

    “Hei, Ardi. Apa lebih baik kalau kita latihan dulu?”

    Bertanya padaku dengan muka serius, Rendi sepertinya tidak menginginkan adanya kegagalan pada saat mendubbing suara. Cukup wajar mengingat hal ini juga menyangkut animasi buatannya.

    Yah, tapi dia memang benar.

    Kalau sudah mendubbing lalu ada kesalahan, nanti akan lebih capek lagi mengulangnya. Walaupun bisa saja.

    “Tentu.”


    ***


    “Ngomong-ngomong, Rendi. Dulu kamu pernah bilang kalau gambar yang bergerak adalah seni yang sesungguhnya kan?”

    Melemparkan satu pertanyaan pada Rendi yang sedang sibuk menghabiskan isi gelasnya sampai tetes terakhir. Aku jadi heran, memangnya yang dia minum itu air putih atau susu yang ada di iklan bendera?

    “Ya. Kenapa?”

    Kenapa?

    Aku cuma merasa heran dengan kata-katamu yang agak berlebihan. Kenapa juga harus menggunakan kata ‘sesungguhnya’?

    Memangnya kalau kata ini tidak ada akan menghilangkan kehebatan animasi?

    “Aku hanya nggak mau animasi disamakan dengan seni-seni yang lain.”

    Memangnya siapa yang bakalan menyamakan… lagipula seni-seni yang lain juga tidak buruk kan. Apa masalahnya kalau begitu?

    “Kamu tahu sendiri kan, zaman sekarang ini. Banyak orang yang mencari pembenaran atas nama seni.”

    “Contohnya?”

    “Banyak. Ada yang bilang bugil itu seni, buka-bukaan itu seni, ciuman depan umum itu seni, lukisan telanjang itu seni, patung nggak pakai baju itu seni. Kalau semua yang… kayak begitu itu dibilang seni. Lalu apa itu seni?”

    Memang benar…

    Di zaman modern macam sekarang, banyak yang suka mencari-cari pembenaran dengan berbagai macam cara. Dari mulai senilah, profesionalisme lah, dan sebagainya. Kadang aku heran… memangnya profesional itu buat apa? seni itu seperti apa?

    Menghilangkan harga dirinya sendiri di balik kata itu.

    Memang yang namanya manusia itu adalah makhluk pengecut. Aku sendiri tidak akan bilang kalau aku tidak termasuk di antaranya. Karena aku sendiri juga manusia, bukan alien yang diturunkan ke bumi ini sebagai objek penelitian seperti yang pernah aku pikirkan waktu SD.

    Oke, jangan dilanjutin atau ceritanya bakalan jadi ngalor-ngidur nggak jelas.

    “Makanya itu aku tidak mau menyebut animasi sebagai suatu seni yang biasa. Karena yang luar biasa jauh lebih menarik daripada yang biasa. Apalagi aku tentu saja lebih menganggap animasi sebagai sesuatu yang sangat menarik dibanding seni-seni sebelumnya.
    Siapa yang peduli sama seni kriya? Seni musik? Seni lukis? Dan seni-seni lainnya?
    Pelajaran kesenian itu cuma bisa ngomong kalau nantinya keterampilan ini bakalan berguna buat masa depan kita. Padahal yang nentuin berguna atau nggaknya kan kita sendiri. Jadi mau diajarin sampai sekeras apapun juga kalau anaknya tidak suka yang nggak akan bisa.
    Biarpun nilai yang dia dapat cukup memuaskan.”

    Bicaramu panjang lebar sekali, Rendi. Beruntung aku ini termasuk tipe pendengar yang baik, kalau nggak pasti omonganmu sudah masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

    Tapi yah… pendapatmu adalah pendapatmu. Aku tidak akan menyalahkan dan juga tidak akan membenarkan.

    “Oh, ya, Ardi. Dari dulu ada yang mau aku tanyain ke kamu.”

    Kalau mau tanya ya tanya aja. Nggak usah pakai bikin pengumuman segala kalau kamu pengen nanya. Apalagi pakai nanya, ‘eh, boleh nanya, nggak?’ kayak orang bodoh. Soalnya itu kan juga udah nanya.

    “Apa?”

    “Cita-cita kamu itu apa?”



    Cita-cita ya…

    Kalau saja aku bisa tahu apa cita-citaku, mungkin hidupku tidak akan terasa se-statis ini. Ya, walaupun Mila telah berhasil mengubahku yang dulunya sangat dingin dan merasa tidak butuh orang lain menjadi seperti sekarang(walaupun sifat pendiam dan senang menyendiri masih tetap ada), aku tetap tidak mempunyai cita-cita, keinginan, impian atau semacamnya seperti manusia biasanya.

    Dulu saja waktu mendaftar masuk SMP dan SMA, aku sama sekali tidak ikut campur dalam pemilihan sekolah itu. Yang aku tahu, nilaiku sudah cukup bagus untuk masuk sekolah terfavorit di daerahku. Dan di sinilah aku berada.

    SMA favorit yang mempunyai gengsi tersendiri memasukinya.

    Tapi buat apa masuk sekolah cuma gara-gara gengsi?

    “Kamu belum tahu?”

    Mendengar pertanyaan Rendi, membuatku kembali tersadar dari lamunan panjangku tadi.

    “Dari kecil, aku tidak punya hal seperti itu.”

    Kurasa dia tidak mengerti maksudku. Bisa diperkirakan dari ekspresi wajahnya sekarang yang tampak kebingungan. Yah.. tidak heran mengingat dia adalah orang yang sepenuhnya total saat mengerjakan apa yang diimpikannya.

    Contohnya saja animasi ini.

    Aku tidak pernah mengira ada anak SMA yang bisa membuatnya. Apalagi dia bukan masuk sekolah kejuruan atau apa.

    “Maksudku, berbeda dengan anak-anak kecil yang biasanya paling nggak punya cita-cita semacam jadi dokter, guru, polisi, tentara, atronot, pilot,dan sebagainya. Aku dari dulu nggak punya cita-cita seperti itu.”

    Karena waktu kecil aku terlalu sibuk berpikir bagaimana rencana alien akan menginvasi bumi nantinya.

    Bukan, maksudku karena waktu kecil aku terlalu sibuk mencoba mengidentifikasi perilaku manusia yang sering kuanggap aneh dan tidak masuk akal sampai membuatku lebih memilih untuk menutup diri dari semuanya.

    “...”

    Dia terdiam.

    Aku tidak tahu apakah dia masih tidak mengerti atau hanya bingung mau membalas apa pada kata-kataku tadi.

    Tapi melihat gelagat dia selanjutnya, aku tahu kalau kedua perkiraanku itu salah.

    “…waktu dulu, aku juga tidak tahu.”

    Melirik ke arahnya yang tengah menerawang membuatku berpikir apa menerawang itu adalah salah satu hobinya? Mengingat dia cukup sering melakukannya. Yah, walaupun aku baru mengenal dia sejak sebulan yang lalu.

    “Aku tidak tahu apa cita-citaku. Di saat anak-anak yang lain saling membicarakan cita-citanya menjadi dokter, guru, polisi, dan sebagainya.. aku tidak pernah bisa ikut bergabung.

    Aku tidak mengerti kenapa mereka ingin jadi seperti itu. Aku tidak merasa bahwa cita-cita seperti itu menarik. Karena itu aku menyingkir.”



    “Tapi sejak dulu aku sangat menyukai film kartun. Mulai dari buatan barat sampai jepang, aku suka semuanya. Saat itulah aku jadi mulai suka menggambar. Tapi kemudian aku tidak puas dengan hanya dengan gambar yang diam saja, aku lalu menggambar di setiap halaman buku yang kalau kamu membukanya dengan cepat akan mengesankan gambar itu sedang bergerak.”

    Dia tersenyum kecil.

    Mengingat masa kanak-kanak yang polos memang sering memberikan sensasi tersendiri.

    “Ketika itulah, aku menyadari kalau aku sangat menikmati momen-momen mengerjakan hal ini. Dan menetapkan cita-citaku sebagai pembuat animasi, baik 3D maupun 2D.”

    Ahh…

    Aku mengerti sekarang, kenapa dia sering terlihat tersenyum seperti anak kecil yang baru diberi permen saat membicarakan animasi dan yang berhubungan dengannya…

    “Aku harap kamu cepat dapat menemukan mimpimu, Ardi.

    Karena hidup membosankan tanpa itu.”



    ..

    .

    Aku tahu.


    ***


    “Nekomimi,”

    Huh?

    Kenapa mendadak aku jadi manggil Nekomimi? Sekarang bahkan belum jam sembilan, yang berarti dia belum muncul di kamar ini sekarang.

    “Ardi?”

    “Waaah!”

    Muncul mendadak tepat di depan mukaku, Nekomimi melihatku dengan pandangan khawatir.

    Hei… hei… kenapa dia bisa muncul sekarang?

    Aku melirik jam dinding yang masih menunjukkan jam setengah delapan lewat dikit. Apa jam dia kecepetan atau bagaimana sampai dikiranya sekarang udah jam sembilan?

    “Kamu kenapa, Ardi?”

    Nekomimi bertanya lagi. Matanya yang bulat dan besar terlihat khawatir sementara aku sendiri tidak tahu apa yang perlu dikhawatirkannya sampai membuat dia memasang muka seperti itu.

    “Kenapa kamu udah muncul sekarang, Nekomimi? Sekarang belum jam sembilan.”

    Tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah mengajukan pertanyaan baru.

    Tapi buatku ini lebih penting daripada yang lain-lain, jadi aku harus bertanya dulu mengenai ini untuk memastikan bahwa dia adalah Nekomimi, hantu gadis bertelinga kucing yang kukenal dengan baik sejak dia muncul setahun yang lalu.

    “Soalnya Ardi tadi manggil!”

    Nekomimi kelihatannya agak kesal mendengar nada pertanyaanku yang terkesan mengusirnya.

    Yah, dia memang benar, tapi.

    Aku memang memanggilnya walaupun aku sendiri tidak tahu kenapa aku memanggilnya tadi. Berpikir seperti itu aku tidak tahu harus bagaimana membalas kata-katanya. Oh ya.. kenapa tidak tanyakan saja hal itu padanya?

    Dia kan sudah muncul di sini sejak setahun yang lalu, jadi ada kemungkinan dia mengetahuiku lebih baik daripada aku mengetahui diriku sendiri. Walaupun aku meragukannya.

    “Nekomimi,”

    “Ya?”

    “Apa kamu tahu apa hobiku?”

    Ditanya seperti itu, dia langsung memasang muka bingung. Telinga kucingnya bergerak ke kanan ke kiri sementara dia berpikir.

    Pemandangan aneh ini… semoga saja tidak memengaruhi otakku yang masih waras ini.

    “Kenapa Ardi nanya tentang itu ke Mimi? Biasanya orang tahu hobinya sendiri kan?”

    Ya, ya..

    Pada akhirnya kamu tidak mengetahuinya kan. Kenapa juga aku harus bertanya padamu dari pertama… aku jadi heran.

    “Hhh, yaudah kalau nggak tahu. Tidak usah dipikirkan.”

    Mendiamkannya, aku kembali pada pose berpikirku.

    Yang kusukai... mimpiku… apaan?

    Rendi sendiri mengatakan kalau hidup ini membosankan tanpa adanya mimpi, dan aku sendiri juga tahu betapa statisnya hidupku dari dulu sampai saat ini.

    Aku hanya pergi ke sekolah karena orang tuaku yang menginginkan. Aku hanya belajar karena orang tuaku menginginkan aku mendapat nilai yang bagus. Aku hanya masuk SMA ini hanya karena menurut orang tuaku ini adalah SMA yang bagus dan bermutu. Aku hanya masuk jurusan IPA karena orang tuaku menginginkannya dan nilaiku mencukupi untuk memenuhi keinginan itu. Aku melakukan itu semua karena orang tuaku…

    Atau aku tidak mempunyai pilihan lain yang membuatku terus mengikuti pilihan dan keinginan orang tuaku?

    “Ardi?”

    “Hm?”

    Membalas dengan malas-malasan, aku baru ingat kalau dia sedang ada di sini juga sekarang.

    “Boleh aku bertanya beberapa hal?”

    Huh?

    Apa kamu tahu kalau sebelumnya kamu tidak pernah izin saat sedang bertanya, dan apa kamu juga tahu kalau aku hampir selalu menganggap orang yang bertanya seperti itu bodoh?

    “Kalau aku bilang nggak boleh gimana?”

    Dia merengut, mukanya yang terlihat serius sedetik yang lalu terhapus. Berganti dengan muka kocak yang selalu dia perlihatkan setiap kali aku membuatnya kesal.

    Hm, lucu.

    Benar-benar seperti anak kucing memang Nekomimi itu.

    “Maksudku kalau mau tanya ya tanya aja. Aku nggak akan marah hanya gara-gara ada yang bertanya kok. Paling kalau aku nggak senang dengan pertanyaannya ya nggak aku jawab.”

    Mendengar kata-kataku, dia kembali tersenyum dengan senyum pasta giginya yang berkilau tidak jelas itu.

    “Tadi Ardi nanya apa hobi Ardi kan?”

    Ya, dan aku yakin kamu tidak tahu jawabannya kan Nekomimi. Tidak perlu repot-repot memikirkannya. Karena pada kenyataannya memang harus aku lah yang memikirkannya sendiri.

    “Memangnya apa yang Ardi sukai?”

    Kalau aku tahu hal itu, kenapa juga aku harus bertanya padamu mengenai apa hobiku, Nekomimi? Kamu benar-benar sangat membantu, tahu. Karena itu aku bilang tidak usah dipikirkan kan…

    “Kalau gitu, apa bakat Ardi?”

    Haha…

    Kamu tanya apa bakatku? Mungkin kalau dibilang bakatku ini belajar. Karena itulah nilai-nilaiku hampir selalu bagus.

    Tapi itu tidak ada hubungannya dengan hobiku. Aku tidak mau punya hobi menyeramkan seperti belajar.

    “Ardi aneh.”

    Terima kasih sekali, Nekomimi.

    Aku tidak perlu kata itu untuk menyadarkanku mengenai keanehanku. Tapi dibanding dulu, aku jelas cukup normal saat ini. Ah ya… kalau soal mimpi, mungkin aku punya satu.

    Menikah dengan Mila…

    Itu termasuk mimpi kan?



    Kenapa kedengarannya seperti cita-cita perempuan yang ingin jadi pengantin? Memalukan.
    Menutup mukaku dengan tangan, aku jadi bingung sendiri. Pengen rasanya bilang kalau aku ini adalah alien yang menyusup ke dunia manusia untuk dijadikan objek penelitian. Dengan begitu aku tidak perlu bingung mengenai cita-citaku karena nantinya para alien yang lain akan datang ke sini atau menjemputku kembali ke luar angkasa.

    Haaah…

    Itu baru namanya terlalu bermimpi,

    Apa aku punya cita-cita buat jadi alien?

    Haha.

    .

    Jawabannya: tentu saja tidak.
     
  9. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    08 - "Masa Depanku... Begini?"

    Aku bangun pagi-pagi sekali. Bersiap-siap, aku lalu berangkat ke kantor yang aku tuju setiap harinya menggunakan motor yang baru aku beli sebulan yang lalu. Kreditnya masih belum lunas. Dan aku harus berpikir mengenai pemasukan lebih untuk membayar kredit itu tiap bulannya.

    Menstarter motorku, aku lalu melaju membelah jalan sampai akhirnya tiba di bagian jalan raya yang selalu saja macet. Biarpun memakai motor, tetap saja macet itu bukan hal yang menyenangkan.

    Apalagi aku belum terlalu ahli memakai motor, jadi belum terbiasa melihat peluang-peluang jalan yang tersedia hanya khusus untuk motor dan berakhir dengan berada tepat di belakang truk berisi ayam yang menyebarkan bau yang… terlalu luar biasa untuk dideskripsikan.

    Sial… baru sepagi ini dan nasibku sudah sial begini.

    Aku jadi tidak mau tahu kejadian apalagi yang akan datang padaku nanti di kantor.
    Menghela napas panjang aku kembali melajukan motorku saat truk ayam di depanku maju sedikit-sedikit.



    Sampai di kantor, aku bergegas memarkir motorku.

    Jam delapan kurang, aku bisa terlambat lagi dan gajiku dikurangi kalau sampai begini. Berpikir begitu, aku segera berjalan cepat-cepat menuju tempat absen.

    Ayolah… dewi fortuna, berpihaklah padaku sekali ini saja dan jangan biarkan aku terlambat!

    Berharap keberuntungan,

    Aku menghela napas lega setelah berhasil absen tepat pada waktunya.

    Haaah… kenapa juga aku harus melakukan ini?

    Berpikir begitu,

    Aku jadi ingin tahu apakah aku telah salah memilih pilihanku waktu itu.


    ***


    Aku bangun pagi-pagi, bersiap-siap, aku lalu berangkat menuju rumah sakit tempat aku bekerja sekarang ini.

    Dokter, itu adalah impian kedua orang tuaku yang dulunya juga bekerja sebagai dokter.
    Biarpun ayah adalah dokter gigi, ibu adalah dokter anak, dan aku sendiri menjadi dokter bedah yang cukup ahli. Semua anggota keluargaku menjadi dokter, tanpa pengecualian untuk adikku yang saat ini sedang kuliah di fakultas kedokteran.

    Dia juga pasti akan jadi dokter yang hebat. Aku tahu itu dari sinar matanya yang selalu tampak bersemangat saat membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kedokteran.

    Berbeda denganku.

    Aku memang menjadi dokter.

    Tapi buat apa aku menjadi dokter?

    Orang tuaku menginginkan aku jadi dokter. Lalu apa itu berarti aku juga ingin jadi dokter?

    Berpikir seperti itu pun tidak ada gunanya, karena saat ini aku punya pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabku. Aku harus berusaha mengobati orang-orang. Sebagai salah satu dokter bedah yang paling ahli yang ada di negara ini.


    ***


    Aku bangun pagi-pagi sekali. Bersiap-siap, aku lalu berangkat menuju toko tempat aku menjual berbagai daganganku setiap harinya.

    Pedagang.

    Jadi itulah aku sekarang ini.

    Bisnisku berjalan cukup lancar, walaupun dari tahun ke tahun aku baru menyadari kalau sampai saat ini, bisnisku hampir tidak mengalami perkembangan. Selalu berjalan dengan statis sebagaimana aku selama ini.

    Aku jadi heran…

    Apa ini keinginanku?

    Atau aku salah memilih?


    ***


    Aku bangun pagi-pagi sekali. Bersiap-siap, aku lalu berangkat menuju sekolah tempat aku mengajar setiap harinya.

    Guru, itu adalah pekerjaanku saat ini.

    Mengajar dan mendidik murid-murid yang terkadang tidak ada sopan santunnya pada guru untuk bisa jadi generasi penerus yang hebat, aku kira itu tujuan yang mulia sebagai seorang guru. Tapi aku tidak bisa menikmatinya.

    Karena murid-murid yang selalu ribut di kelas, setiap ulangan remedial, dan mengumpulkan tugas sering tidak tepat waktu selalu membuatku kesal dan stress sendiri,

    Aku tidak menikmati mengajar seperti ini.

    Tapi apa yang aku harapkan? Semua murid-murid itu patuh dan menurut padaku serta berkelakuan baik? Itu baru namanya punguk merindukan bulan.

    Berpikir begitu, aku jadi heran…

    Kenapa dulu aku memilih untuk jadi guru?

    Aku tidak pernah ingat aku senang mengajar…

    Apa aku telah salah pilih dulu itu?


    ***


    Aku bangun pagi-pagi sekali. Bersiap-siap, aku lalu berangkat menuju tempatku bekerja, kantor polisi.

    Tapi karena aku adalah polisi lalu lintas, kelihatannya pagi ini aku harus berjaga di jalur itu lagi untuk mencegah kemacetan yang berlarut-larut.

    Payah, berdiri terus menerus setiap pagi cuma bikin kakiku pegal. Apa tidak ada cara lain mengatasi macet tanpa perlu polisi berdiri di sana? Huh, kalau ada kecelakaan bakalan lebih repot lagi.

    Apalagi waktu musim mudik… semua jalan macet dan polisi pun tidak bisa berbuat apa-apa melihat jumlah kendaraan yang melonjak seperti itu.

    Ya ampun… benar-benar pekerjaan yang melelahkan.

    Aku jadi ingin tahu kenapa dulu aku sempat memilih untuk jadi polisi sih...


    ***


    Aku bangun pagi-pagi sekali. Bersiap-siap, aku lalu berangkat menuju—BANGUN!

    …Haah… haaah… hhh..

    Berkeringat, aku segera melihat ke sekelilingku.

    Kamarku?

    Ini benar kamarku kan?

    “Hhh… hhh.. hhh…”

    Terengah-engah, aku mencoba mengkonfirmasi kejadian ini. Ya, ini adalah kamarku. Ini adalah kamarku dan saat ini aku sedang berbaring di tempat tidurku sambil melihat ke arah langit-langit.

    Kamarku…

    Memegang kepalaku yang sedikit terasa pusing, aku baru mengerti apa yang terjadi.

    Mimpi… mengenai masa depanku nanti. Dengan berbagai kondisi yang berbeda…tapi semuanya bukanlah hal yang aku inginkan. Aku bahkan bisa merasakan kebosanan yang dirasakan “aku” dalam mimpi tersebut.

    Seolah-olah itu adalah hal yang nyata dan benar-benar terjadi tanpa aku sadari.
    Mengelap keringatku, aku lalu menghela napas panjang untuk menyegarkan tubuhku. Sepertinya mimpi buruk itu benar-benar memengaruhiku, melihat betapa payahnya kondisiku saat bangun tidur tadi.

    Terengah-engah dengan keringat membasahi tubuh.

    Uhh.. rasanya bau badanku sekarang jadi seperti orang yang tidak mandi selama berhari-hari.

    Asem.
     
  10. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    09 - "Aku rasa kamu cocok jadi..."

    Aku bangun pagi-pagi sekali. Bersiap-siap, aku lalu berangkat menuju—hei, kenapa aku harus memakai kata-kata ini—ke sekolah tempat aku belajar setiap harinya kecuali hari minggu dan hari-hari libur lainnya.

    Berpikir mengenai mimpiku tadi malam membuatku merasa sangat malas pergi ke sekolah. Seolah-olah sekolah itu adalah rutinitas pekerjaan yang tidak ingin aku lakukan seperti juga dengan berbagai macam kondisi di mimpiku saat itu.

    Menggaruk-garuk kepalaku yang terasa gatal, aku tentu saja tidak mempunyai pilihan lain kecuali berangkat ke sekolah, tidak peduli mau semalas apapun aku saat ini.

    Huhh… aku jadi berharap Rendi datang mencegatku pagi ini untuk mengajak bolos.


    ***


    Tapi hal itu tidak terjadi,

    Karena itu sekarang aku terpaksa terkurung dalam ruang kelas ini sampai waktu yang ditentukan berakhir. Menatap papan tulis dengan pandangan kosong, aku yakin pelajaran yang diajarkan hari ini semuanya hanya akan masuk telinga kanan untuk kemudian keluar dari telinga kiri.

    Sial… aku benar-benar tidak bisa konsentrasi. Kalau begini apa gunanya juga aku pergi ke sekolah?

    Berpikir begitu, aku lama-lama tidak bisa juga menahan kantuk yang mendadak menyerangku dan akhirnya tertidur sampai waktu istirahat tiba.


    ***


    “Kamu kenapa, Ar?”

    Kenapa apanya, Rendi?

    Aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu.

    “Yah… kayaknya hari ini kamu kelihatan lebih capek daripada biasanya.”

    Lebih capek ya…?

    Jadi sebelumnya aku memang sudah kelihatan kayak orang capek gitu maksudnya…

    Menatapnya yang juga tengah menatapku dengan mata cokelat cerahnya, aku bisa melihat pantulan bayanganku sendiri di matanya. Memang… aku kelihatannya lebih capek daripada biasanya.

    “Mungkin ya.”

    Entah apa maksud kata-kataku ini, aku sendiri tidak tahu.

    Dan dia jelas lebih tidak mengerti lagi. Dilihat dari sudut kemiringan alisnya yang tampak semakin mengerucut, aku tahu itu.

    “Jadi kenapa?”

    Aku tidak tahu kalau kamu adalah tipe orang yang suka penasaran dengan urusan orang lain, Rendi. Melihat sikapmu yang tidak pedulian dengan hampir semua hal kecuali ‘gambar bergerak’mu itu, kurasa harusnya tebakanku tidak salah. Haha.

    Tapi melihat dia yang tampak serius begitu membuatku tidak ingin menjawabnya dengan jawaban asal-asalan seperti biasanya.

    “Aku dapat mimpi buruk tadi malam. Cuma itu aja, kok.”

    Mimpi buruk sial yang bikin tidurku nggak nyenyak…

    Dan… huaahmm…

    …bikin aku ngantuk siang-siang begini.

    “Oh.”

    Sepertinya dia tidak akan bertanya lagi.

    Entah karena mengerti kalau aku tidak mau ditanyain lagi atau cuma karena tidak peduli saja, aku tidak tahu. Tapi aku berterima kasih dengan tindakannya saat ini, karena otakku sudah cukup malas untuk disuruh berpikir. Apapun itu.

    Setelah itu, keheningan melingkupi suasana di sekitar kami. Walaupun seharusnya yang namanya kantin selalu ramai dan penuh dengan orang, tapi saat ini rasanya suasanya benar-benar hening dan tenang. Tentram…

    “Hei, Ardi!”

    …uh, sepertinya aku hampir tertidur lagi.

    Menatap Rendi yang baru saja memanggilku, aku entah harus merasa kesal atau senang mengetahui dia baru saja membangunkanku tadi.

    Tapi kata-katanya selanjutnya membuatku memilih untuk merasa senang.

    Ya, sekali ini saja.

    “Bagaimana kalau kita bolos hari ini?”


    ***


    Berbeda dengan biasanya kalau Rendi mengajakku bolos, kali ini dia tidak mengajakku ke rumahnya melainkan mengajakku ke sebuah taman yang sepi dan menenangkan. Berada di sini selama satu menit, membuatku yakin kalau aku bisa tertidur kapan saja tanpa aku sadari dan tiba-tiba matahari sudah mulai beranjak kembali ke peraduannya.

    Namun hal itu tidak terjadi karena Rendi punya agenda lain untuk aku lakukan, suka atau tidak suka.

    “Ardi.”

    “Apa?”

    Duduk di bangku taman, di bawah pohon rindang. Aku membalas panggilannya dengan malas-malasan.

    “…”

    Tapi dia tidak membalas lagi dan hanya terdiam sambil memandang ke suatu tempat. Aku meliriknya, melihat rambut cokelat pendeknya tertiup angin sepoi-sepoi yang bisa membuat tidur siapa saja yang merasakannya.

    …karena itulah sekarang aku merasa mengantuk sekali. Dan seperti yang kubilang sebelumnya, aku tidak heran kalau tiba-tiba aku tertidur di sini tanpa aku sadari.

    “Kamu bilang kalau kamu belum punya cita-cita kan?”

    Rendi…

    Timingmu bertanya itu selalu sempurna sekali ya.

    Aku mendesis sedikit kesal. Tapi kujawab juga pertanyaannya dengan satu anggukan singkat yang kurasa harusnya sudah cukup bisa membuatnya puas.

    “Kalau gitu, bagaimana kalau kau membantuku dulu mewujudkan cita-citaku?”

    Hah?

    Cita-citamu? Dan kenapa juga harus aku?

    Memang aku tidak punya cita-cita apapun saat ini. Tapi aku juga tidak punya ketertarikan khusus terhadap ‘gambar yang bergerak’ kesukaanmu itu, tahu.

    Jangan salah paham.

    “Tidak, aku tidak menyuruhmu untuk membantuku membuat animasi.”

    Lalu apa yang kamu mau?

    Aku tidak mengerti jalan pikiranmu sama sekali.

    Menggaruk kepalanya, dia tampak agak sedikit bingung. Tapi tentu saja aku jauh lebih bingung lagi daripada dia.

    “Kamu… kurasa cocok jadi dubber.”



    Kamu masih mau minta bantuanku untuk mengisi suara lagi?

    Yang satu ini saja masih belum selesai. Jangan nambah-nambah kerjaan kalau yang pertama aja belum selesai. Karena itu cuma bikin kerjaan jadi tidak efektif, terutama untuk pikiran dan waktu. Soalnya satu sisi pengen ngerjain ini, tapi satu sisi yang lain pengen ngerjain itu.

    Dan akhirnya lama-lama kerjaannya jadi terus menumpuk tanpa adanya penyelesaian.
    Yaah… itu cuma menurutku saja sih.

    “Bukan begitu. Tapi waktu dulu, aku kira kamu punya cita-cita buat jadi dubber.”

    “Kenapa emangnya?”

    Dia sepertinya tidak mengerti pertanyaanku.

    “Kenapa kamu kira aku punya cita-cita jadi dubber?”

    Aku bertanya lagi.

    “Soalnya… waktu kamu merubah-rubah suaramu… kelihatannya kamu benar-benar menikmatinya.”

    Ah…aku jadi ingat suara yang pertama kali aku tiru.

    Suara kucing yang sedang mengeong. Untuk memanggil Mila ke tempatku dan meminta maaf. Tapi memangnya sejak kapan aku bisa meniru suara seperti itu?

    Apa itu bakatku ya…


    ***


    Aku berada di kamarku,

    tepatnya di atas tempat tidurku, dan di bawah langit-langit kamarku.

    Mulutku dari tadi sibuk membuka tutup seperti ikan mas koki yang akan dipotong dan dimasukkan ke dalam penggorengan berisi minyak panas. Jangan tanya apa maksud perumpamaanku itu karena aku sendiri tidak tahu apa maksudnya.

    Tapi yang jelas, saat ini aku sedang sibuk latihan olah vokal. Bukan buat nyanyi, tapi buat mengetahui sebanyak apa macam suara yang bisa aku tiru.

    “AaA..”

    “Ehem…”

    “Kyaa…~!”

    Menirukan suara perempuan membuat telingaku mendadak gatal. Apalagi yang berjenis centil-centil gimana gitu. Rasanya jadi mau muntah walaupun aku sendiri tahu kalau itu berasal dari mulutku sendiri.

    “Aaaa…”

    “Selamat pagi.”

    “Haha..”

    “Yo!”

    “Ardi? Kamu lagi ngapain?”

    “N—Nekomimi!”

    Aku terlonjak kaget.

    Si kecil ini… apa sekarang dia jadi punya hobi muncul tiba-tiba dan ngagetin orang ya? Belakangan ini muncul dengan cara begitu melulu.

    Menggerutu kesal. Aku menoleh ke samping, melihat telinga kucing yang sangat familiar beserta ekornya yang bergerak ke sana ke mari. Sekarang aku jadi heran kenapa aku bisa tetap setenang ini setelah terus menerus dihantui dia selama setahun lebih.

    Beruntung sih, karena aku juga tidak mau jadi orang paranoid atau dianggap gila karena bilang ada hantu gadis kecil bertelinga kucing di kamarku.

    “Jangan suka ngagetin!”

    Kembali pada suaraku yang biasanya, aku memandang Nekomimi galak.

    Ngagetin orang itu bahaya tahu. Kalau jantungku nggak kuat, aku bisa saja meninggal saat ini juga, tahu.

    Hiperbola sekali.

    “Habis… Ardi dari tadi aneh.”

    Kamu sudah pernah bilang hal itu, terima kasih.

    Menatap mata bulat besarnya dengan setengah sinis, aku tahu yang dia maksudkan pasti tentang kelakuan ‘buka-tutup mulut kayak ikan mas koki’ku tadi. Tapi tetap saja aku tidak sudi dibilang aneh sama makhluk tidak jelas yang eksistensinya sendiri lebih aneh lagi daripada aku.

    “Ngomong-ngomong, Ardi. Aku jadi ingat waktu itu ada yang mau aku tanyain ke kamu…”

    Apa?

    Kalau tidak menarik, aku tidak mau jawab.

    “Waktu itu kamu pernah cerita soal insiden waktu itu kan…”

    Secara tidak sengaja, ya.

    Aku sendiri tidak tahu kesambet apaan aku sampai cerita hal seperti itu ke kamu.

    “Dan kamu melakukan itu karena penasaran dengan reaksi mereka kan?”

    Aku tahu aku bodoh berpikir begitu. Jadi apa kamu bisa berhenti menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan insiden waktu itu? Aku sudah cukup merasa bersalah telah merusak hubungan teman-temanku tanpa perlu kamu ungkit-ungkit lagi.

    “Tapi aku penasaran bagaimana Ardi bisa membuat skenario seperti itu?”

    Hah?

    Aku tidak mengerti apa maksudmu.

    “Darimana Ardi bisa dapat ide untuk bilang begitu pada mereka?”

    Hah?

    Hah?

    Bukannya aku udah bilang kalau yang aku ucapkan pada mereka itu bukan kata-kataku. Melainkan kata-kata yang aku tiru suaranya yang hanya berani mengatakannya di belakang?

    “Kalau gitu, darimana Ardi dengar mereka bilang begitu?”

    Uhh… aku mengupingnya?

    Menggaruk sedikit kepalaku yang tidak gatal, aku merasa seperti baru ditangkap basah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak aku lakukan.

    “Kenapa Ardi menguping mereka?”

    Hei… mau sampai pertanyaan ke berapa baru kamu mau berhenti?

    Dan kenapa aku mengupingnya itu karena aku penasaran. Apa kamu sudah mengerti? Semuanya itu cuma disebabkan oleh satu hal saja: penasaran.

    PE-NA-SA-RAN.

    Mengerti?

    “Tidak.”

    Uhh…

    “Aku tidak mengerti kenapa Ardi merasa penasaran pada hal-hal begitu.”

    Ng?

    Ngg…?

    Setelah kamu bilang begitu, kenapa aku juga tiba-tiba jadi tidak ngerti ya? Memutar otakku, aku berpikir lagi. Apa yang menyebabkan aku penasaran dengan hal-hal seperti itu? Padahal pertama itu bukan urusanku. Kedua, sebetulnya apa yang mereka lakukan itu wajar-wajar saja seperti umumnya anak remaja zaman sekarang. Lalu kenapa aku penasaran?

    Rasanya aku bukan tipe orang yang suka nyampurin urusan orang lain.



    Errr, paling nggak waktu aku SD aku tidak begitu.

    “Kamu tahu, Ardi! Aku tahu apa hobimu sekarang!”

    Haah?

    Bukannya waktu itu aku udah bilang tidak usah dipikirkan?

    “Apa?”

    Walaupun tidak yakin, kurasa tidak ada salahnya juga mencoba mendengarkan apa yang dia mau katakan. Mungkin sedikitnya bisa jadi petunjuk… seperti yang perkataan Rendi yang mengatakan kalau aku punya hobi meniru suara orang.

    “Kamu suka cari tahu sesuatu mengenai orang lain!”



    Apa itu bisa disebut hobi?

    Lagipula apa maksudnya?

    “Umm… kamu suka ikut campur orang lain?”

    Kenapa kamu mendadak jadi ragu-ragu begitu?

    Lalu, kenapa juga kedengarannya jadi tidak menyenangkan…

    “Kalau gitu, kamu suka cari tahu rahasia orang!”

    Itu jauh lebih parah kan… kamu sebetulnya berniat meledek atau memberitahuku sih?

    “Uhh… pokoknya. Menurutku… kamu cocok jadi psikolog!”

    Huh? Darimana kamu mendapat ide seperti itu?

    “Soalnya kamu selalu kelihatan tertarik dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan hubungan dan perilaku manusia kan?”



    Kalau gitu kenapa kamu nggak bilang sosiolog?

    “…”

    …dan dia tidak tahu jawabannya.


    ***


    2 petunjuk… kah?

    Dubber dan psikolog, aku tidak tahu bagaimana kedua orang(yang satu lagi sebetulnya tidak cocok disebut orang) itu bisa dapet ide seperti itu.

    Tapi sebelum berpikir begitu…

    Mungkin sebaiknya aku juga mengingat satu petunjuk lagi.

    “Kamu masih tetap jago membuat cerita aneh, Aldi.”

    Dari Mila.

    Kebiasaan anehku yang masih bertahan sampai sekarang. Kurasa kalau aku nanti jadi penulis, cerita pertama yang akan kubuat adalah tentang Alien yang dikirim ke bumi untuk jadi objek penelitian alien lainnya.

    Judulnya… “Aku adalah alien?”

    Hahaha… stupid indeed.
     
  11. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    10 - "Janji."

    “Aku mau berjanji denganmu.”

    Anak laki-laki itu menoleh ke arah gadis di sebelahnya dengan muka bingung. Kelihatan sekali kalau dia tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan gadis itu.

    “Kamu bilang… kalau mau membuat janji denganku kan?”

    Anak laki-laki itu terperangah. Dia sama sekali tidak pernah menyangka gadis itu akan menerima ide yang datang padanya secara tiba-tiba tadi. Tapi tidak masalah, sekarang dia merasa sangat bersyukur atas kelakuan spontannya yang dia sendiri heran kenapa dia bisa berpikir begitu.

    “Maksudmu… kamu mau?”

    Gadis kecil itu tersenyum.

    “Dengan syarat.”

    Mendengar perkataan gadis tersebut, anak laki-laki itu lalu mengerutkan keningnya sedikit. Berharap apapun syarat yang diberikan oleh gadis tersebut, dia akan bisa melakukannya.

    “Aku ingin kamu berubah.”

    Gadis itu berkata pelan. Tapi terdengar sangat jelas di telinga anak laki-laki itu. Keduanya duduk terdiam selama beberapa saat sampai anak laki-laki itu berhasil mengembalikan ketenangannya kembali, dan bertanya,

    “Maksudmu… apa?”

    “Aku tidak mau kamu kembali jadi seperti dulu ketika aku pertama kali bertemu denganmu. Aku tidak mau bertemu kamu yang tidak pedulian. Aku tidak mau bertemu kamu yang dingin pada orang lain. Aku tidak mau.”

    Menggigit bibirnya, anak laki-laki itu berusaha membentuk senyuman tipis di wajahnya.

    “Aku… akan berusaha. Tapi apa berarti sekarang aku sudah tidak begitu?”

    “…ya. Kamu sudah tidak begitu. Walaupun masih canggung bicara dengan orang lain. Tapi aku tahu kamu sudah tidak begitu.”

    Anak laki-laki itu terdiam. Memandang papan tulis yang tampak polos tanpa adanya coretan sedikitpun di permukaannya.

    “Kamu itu baik, Ardi. Baik sekali. Jadi jangan kembali seperti dulu lagi.”

    “Karena kamu tidak suka?”

    Gadis itu menggeleng pelan. Kepalanya menunduk, matanya sibuk memandang jari-jari tangannya yang saling berkaitan.

    “Karena semuanya tidak akan suka.”

    Kedua mengangguk secara bersamaan. Tanda mengerti.


    ***


    Benar… karena semuanya tidak akan suka, dan diapun tidak akan suka.

    Aku mengerti itu.


    ***


    “Lalu satu lagi…”

    Gadis itu mengangkat satu telunjuknya untuk menandakan kalau ini benar-benar hanya satu lagi. Anak laki-laki itu mengangguk, bersiap mendengarkan apapun yang dikatakan gadis tersebut berikutnya.

    “Aku mau… kita berhasil dulu.”

    Berhasil?

    Menggerakkan sedikit kepalanya ke samping, anak laki-laki itu tampaknya tidak terlalu mengerti apa yang dimaksudkan gadis tersebut.

    “Aku ingin jadi dokter hewan.

    Dan aku akan berusaha keras untuk mencapai cita-citaku itu.”

    Nada suara gadis itu terdengar sangat bertekad. Karena itu anak laki-laki tersebut hanya bisa mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Ya, dia tidak mungkin bilang kalau dia tidak tahu apa cita-citanya di hadapan gadis ini kan?

    Karena tentu saja anak laki-laki itu punya harga diri untuk dilindungi.

    “Kamu juga ya, Ardi. Berusahalah, dan pilih jalan yang paling kamu sukai sendiri.”

    Mungkin… gadis itu memang seseorang yang paling mengerti dirinya. Mengerti sekali sampai rasanya menyeramkan.

    Anak laki-laki itu mengangguk.

    “Ya, aku janji.”


    ***


    Satu janji yang belum berhasil aku penuhi sampai saat ini.

    Menetapkan jalanku sendiri, sesuai dengan apa yang aku sukai.


    ***


    Saat ini, aku sedang berada di kediaman Rendi.

    Tapi tidak, kami tidak membolos kali ini karena hari ini adalah hari libur yang selalu ada setiap pekannya, hari minggu.

    Lalu ada kegiatan apa aku ke sini?

    Jawabannya tentu saja: mendubbing suara.

    “Hei, Rendi… kapan mulainya?”

    Aku bertanya setengah tidak sabar pada Rendi yang terus menerus sibuk mengutak-ngatik komputernya sejak kami datang tadi. Aku bahkan belum bertukar kata apapun dengannya sejak masuk ke kamar ini karena dia langsung sibuk dengan persiapan entah apa yang aku juga tidak mengerti. Tapi tentu saja pasti ada hubungannya dengan dubbing dan animasi.
    Karena aku sendiri sulit membayangkan dia memikirkan hal lain selain kedua itu.

    “Bentar.”

    Hhh… sampai kapan memangnya kamu mau melakukan persiapan?

    Aku sudah hampir lumutan menunggunya, tahu.



    ..

    .

    “Oke.”

    Akhirnya…


    ***


    Aku sudah tahu kalau mimpi Rendi adalah menjadi seorang animator. Tapi aku tidak pernah melihat orang lain seserius ini mengenai mimpi atau cita-citanya. Aku tidak menganggap orang seperti ini tidak ada, aku hanya tidak pernah mengira bahwa orang seperti ini ada di sekitarku, dan aku bertemu dengannya.

    “Rendi.”

    Dia menggerakkan kepalanya sedikit, tanda mendengarkan. Aku tahu dia tidak akan mengalihkan pandangannya dari monitor saat ini walau hanya satu detik jadi aku membiarkan saja dia berbuat begitu.

    “Apa menyenangkan?”

    Aku ingin bertanya soal ini dari dulu…

    “Hm?”

    …karena aku belum pernah bertemu dengan orang lain seperti ini selain dia

    “Apa menyenangkan… mempunyai impian? Cita-cita?”

    …yang mempunyai totalitas mengagumkan yang aku tidak yakin bisa mengikutinya.
    Aku iri, mungkin ini pertama kalinya aku merasa iri pada seseorang, tapi aku benar-benar iri padanya yang bisa mengerjakan sesuatu yang disukainya secara penuh. Tanpa bisa dihalangi, tanpa bisa dialihkan konsentrasinya.

    Saat itu, aku lihat dia tersenyum. Menegaskan jawabannya untukku, dia lalu berkata…

    “Aku beruntung, bukan?”

    …dengan nada menyebalkan.

    “Seperti yang pernah kubilang, hidup itu membosankan kalau kamu tidak punya mimpi.”

    Juga seperti yang pernah kubilang…

    Aku tahu.
    Aku tahu.
    A
    Aku tahu. k
    u
    Aku tahu.
    Aku tahu. t
    a
    Aku tahu. h
    u
    Aku tahu.

    Aku tahu.

    A
    k Aku tahu.
    u
    Aku tahu.
    t
    a
    h Aku tahu.
    u

    ...aku tahu, lebih tahu daripada yang kamu bayangkan.


    ***


    “Hei, Nekomimi.”

    Aku menyapanya tepat ketika dia muncul. Kulihat dia agak sedikit terkejut dengan sapaanku. Wajar, mengingat aku hampir… tidak, aku memang tidak pernah menyapanya sedikitpun kalau dia tidak menyapaku duluan.

    Jadi wajar… kalau dia terkejut sekarang.

    “Ardi?”

    Aku tersenyum.

    Memandang gadis kecil berumur (ngakunya sih) 12 tahun dengan rambut hitam sebahu dan mata bulat besar yang manis. Ditambah dengan telinga kucing di kepala serta ekor di bagian belakang tubuhnya.

    Haha… dia memang benar-benar manis. Seperti anak kucing kecil yang lucu.



    Tapi sejak pertama kali bertemu dengannya setahun yang lalu, aku selalu punya perasaan tidak enak mengenainya. Yang aku simpan selama ini karena aku terlalu takut mengetahui kebenarannya.

    Hanya saja… aku tidak bisa terus-terusan menyimpannya.

    Karena aku juga ingin membuktikan kebenarannya.

    “Nekomimi… bukan…”

    Aku telah memutuskannya. Aku tidak akan lari, aku akan menjadi dubber, psikolog, atau penulis sekaligus. Tidak peduli apakah orang tuaku menginginkan aku menjadi dokter atau apa. Aku akan memilih jalanku sendiri sesuai dengan apa yang aku sukai.

    Terima kasih Rendi, Mimi, dan Mila… atas petunjuknya untukku.

    Lalu…

    Aku akan menepati janjiku. Walaupun mungkin, akhirnya tidak akan sesuai dengan apa yang aku harapkan.

    Menelan ludah, aku melanjutkan dengan penuh tekad.

    “Mimi. Ada yang mau aku tanyakan padamu.”


    ***


    Aku terpekur di tempatku.

    Tatapanku kosong, memandang tempat Mimi menghilang tadi. Aku tersenyum… tidak, aku menangis?

    Tidak, aku tersenyum… tapi aku menangis juga?

    Haha…

    Aku bahkan tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa.

    Aku ingin menangis.

    Aku ingin tertawa.

    Aku ingin berteriak.

    Aku ingin mengutuk semuanya.

    Aku ingin…

    Melakukan apapun. Apapun. APAPUN!

    Memandang kosong tempat Mimi menghilang tadi, aku tahu saat ini aku sama sekali tidak melakukan apapun. Aku hanya ingin melakukan apapun. Tanpa bisa aku lakukan apapun itu.


    ***


    “Suatu saat nanti, ketika kita sudah berhasil.”

    “Apa saat itu… kamu mau?”

    “Saat itu, ya.”

    “Janji?”

    “Aku bukan pembohong, Ardi.”



    ***


    “Kamu punya kenalan dengan pemilik stasiun TV?”

    Aku menatapnya setengah tidak percaya.

    Tidak mungkin… Rendi jauh melampaui apa yang pernah kubayangkan tentang dia. Dan saat aku berusaha membayangkannya lebih jauh lagi, maka dia juga akan berkembang lebih besar lagi dan lebih cepat lagi daripada yang bisa kubayangkan.

    “Kamu tidak perlu seheran itu. Di zaman ini, dimana kamu bisa berkenalan dengan orang dari luar negeri semudah kamu menyalakan televisi, hal ini juga sama sekali tidak mengherankan.”

    Dia berkata seolah itu adalah hal yang biasa.

    Walaupun kurasa.. reaksiku memang agak berlebihan.

    Yah, sudahlah. Tidak ada gunanya juga memikirkan apa saja yang dia lakukan selama aku tidak mengenalnya.

    Cuma bikin sakit kepala.

    “Lalu?”

    Dia tersenyum lebar ke arahku. Memamerkan gigi putih bersihnya, sebelum berkata.

    “Aku sudah memintanya melihat film animasiku itu.”

    O-oh, tidak.

    Aku tidak tahu apakah aku mau perkiraanku benar atau salah.

    “Dan dia sudah mengatakan oke untuk menampilkannya di stasiun TV miliknya.”

    Hahah…

    Aku tidak tahu apakah aku mau perkiraanku benar atau salah. Oh ya… sudah benar. Aku tidak perlu berpikir lagi soal itu.

    Tapi tetap saja…

    Sekarang aku bingung apakah aku perlu ikut tersenyum atau tertawa seperti orang gila yang hilang akal…

    “Sebetulnya aku pengen ke layar lebar. Tapi kurasa durasi satu jam itu terlalu pendek ya.”

    Hei, hei.

    Apa kamu keberatan menungguku berpikir sebentar, Rendi? Otakku masih belum bisa menerimanya, kau tahu. Biarpun nilai ulanganku hampir selalu sembilan tapi ini dengan itu jelas beda masalahnya.

    …lalu kenapa juga aku membawa-bawa masalah itu?

    Dasar bodoh.

    “Hei, Ardi. Aku tahu kalau kamu itu realist. Tapi ini bukan sesuatu yang perlu kamu pikirkan secara serius.

    Lagipula… kurasa ini masih cukup realistis.”

    Yah… kalau kamu bandingkan dengan cerita fantasi memang ini cukup realistis. Dan jangan salah, aku tidak pernah menjadi realist terutama sejak Mimi muncul dalam hidupku setahun yang lalu.

    Apa kamu kira aku bisa jadi realist dengan dia berkeliatan terus di dekatku setiap malam?

    Yah, kamu tidak tahu soal itu sih. Biarpun kamu menjadi stalkerku selama seratus tahun pun kamu tetap tidak akan mengetahuinya.

    “Akan kuberitahu kamu kalau jadwalnya sudah jelas.”

    Dia lalu bergerak seperti akan beranjak pergi dari situ.

    …seperti aku akan membiarkanmu begitu saja.

    “Tunggu dulu!”

    Dari tadi sebenarnya ada yang menggangguku, dan ini bukan soal film animasinya yang akan ditayangkan di televisi atau apapun.

    “Ha?”

    Jangan meng”ha”kanku!

    “Kalau kamu memang punya kenalan pemilik stasiun TV… kenapa juga kamu tidak meminta bantuannya buat cariin dubber buat ngisi suara di filmmu itu?!”

    Si sialan ini…

    Malah menyuruhku untuk membantunya sementara dia bisa minta bantuan orang lain yang jauh lebih bisa diandalkan.

    Menggeram, aku berusaha menahan kekesalanku yang menumpuk.

    “Hmm… benar juga katamu. Kenapa aku tidak berpikir begitu ya…?”

    Orang ini…!!

    “Hei… hei.. aku cuma bercanda. Aku bukannya tidak berpikir begitu, tapi aku tidak bisa melakukan itu.”

    Alasanmu?

    Kalau tidak masuk akal dan konyol, awas saja kau nanti.

    Memandangnya seperti hakim memandang tersangka, aku menunggu pembelaan apa yang akan disampaikannya.

    “Aku bertaruh dengannya.”

    Hah?

    “Kalau dalam waktu 2 tahun aku akan berhasil membuat satu film animasi secara sempurna. Baik visual maupun audionya,
    dia akan menampilkan filmku di stasiun TV-nya pada jam dimana penonton sedang banyak-banyaknya.”

    Uhh… taruhan yang aneh.

    Aku heran ada orang dewasa yang mau bertaruh dengan remaja seperti dia… dan 2 tahun yang lalu.. berarti dia masih anak SMP kan?

    Orang dewasa macam apa yang mau bertaruh dengan bocah ingusan begini… atau mungkin juga aku perlu bertanya ini lebih dulu.. bocah seperti apa yang bisa membuat orang dewasa bertaruh konyol begitu?
     
  12. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    11 - Epilog

    Di suatu ruang kelas,

    Dengan meja-meja yang tertata rapi pada posisinya dan bangku-bangku kosong yang baru saja ditinggalkan oleh pemiliknya, terlihat seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun-an sedang duduk sendirian di atas salah satu meja, menghadap ke arah papan tulis.

    Melamun. Merenung. Memikirkan sesuatu.

    Mungkin hal itulah yang sedang pemuda itu lakukan saat ini. Walaupun alasan kenapa dia melakukan hal itu di ruang kelas kosong seperti ini masihlah misteri.

    “Mila.”

    Pemuda itu menggumam tiba-tiba. Pandangannya menerawang, seolah ingin menembus papan tulis yang ada di hadapannya dan kembali ke masa saat dia masih berumur 12 tahun.

    “Kelihatannya... kamu tidak bisa menepati janjimu, ya.”

    Berbicara sendiri lagi.

    “Apa boleh buat.”

    Dia menggaruk kepalanya. Mengacak-ngacak rambut hitam selehernya setengah frustasi. Menghela napas panjang. Lalu menggigit bibir. Pemuda itu menundukkan kepalanya. Berbisik pelan, hanya untuk dirinya sendiri, dan seseorang yang ia harap bisa mendengarnya sekarang ini.

    “Mila…”

    Pemuda itu mencengkram pinggir meja yang didudukinya.

    “Aku mungkin belum pernah mengatakan ini padamu. Dan aku memang tidak akan pernah bisa mengatakannya langsung padamu.”

    Menghela napas panjang, pemuda itu berusaha bangun dari duduknya. Sedikit gemetar karena luapan emosi yang membendung.

    “Aku menyukaimu. Bukan, aku mencintaimu. Selamanya.”

    Dia terdiam lama setelah itu. Membiarkan air mata yang sejak beberapa tahun lalu ditahannya mengalir begitu saja. Membiarkannya, menangis sekali saja. Untuk seseorang yang paling ia cintai seumur hidupnya. Untuk seseorang yang telah mengubahnya.

    Untuk seseorang yang paling berharga untuknya.


    ***


    Tapi hidup tidak bisa berakhir begitu saja.

    Aku tahu itu.

    Menyeka air mata yang keluar dari mataku, aku menghela napas panjang sekali lagi.
    Hidupku… masih akan berlanjut. Dengan banyak permasalahan yang menghiasi. Dengan banyak orang yang akan membantuku melalui semuanya.

    Aku tersenyum tipis.

    Menatap papan tulis yang belum juga berganti sejak dulu sampai sekarang.

    “Istirahat yang tenang, Mila. Kamu tidak perlu mengirimkan Mimi lagi untukku.”
     
  13. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    ** - Kesimpulan

    Abstrak.

    Melihat kembali kehidupanku, aku terkadang merasa heran. Bagaimana bisa sebuah cerita tentang hidup terasa begitu abtsrak? Seperti penuh dengan plothole di berbagai tempat yang tidak diketahui sebab dan akibatnya.

    Tapi mungkin memang begitu hidup… justru karena penuh ketidak jelas-an makanya hidup jadi terasa menarik. Meskipun terasa penuh dengan rutinitas yang selalu berulang dan berlanjut seperti lingkaran setan, ketidak jelasan dalam kehidupan selalu saja ada.

    Ya,

    Aku mungkin tidak akan pernah tahu penyebab kecelakaan yang menimpa Mila saat dia berumur 15 tahun. Tidak akan tahu juga alasan orang dewasa yang bertaruh dengan Rendi soal “seni yang sesungguhnya” itu. Dan tidak mungkin juga tahu alasan kakaknya Rendi bisa jatuh cinta pada perempuan begitu.

    Aku tidak tahu. Bahkan alasan aku sendiri berada di sini pun aku tidak tahu. Karena semuanya abstrak. Semuanya tidak jelas. Tapi bukan berarti tidak mempunyai alasan. Bukan berarti tidak berguna.

    Karena semua orang…

    Aku, kamu, dia, kalian, mereka.. semuanya.

    Mempunyai alasan berada di sini. Meskipun alasan itu adalah sebuah ketidak jelas-an. Meskipun alasan itu terlihat abstrak oleh manusia. Aku percaya semuanya ada untuk sebuah alasan. Yang tidak perlu untuk dijelaskan lebih lanjut.
     
  14. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    ++ - Afterword

    Yeah…

    Akhirnya berhasil juga menyelesaikan novel paling random yang pernah saya bikin ini. Bahkan judulnya sendiri aja maksa dengan bikin penambahan epilog—lagi—di akhir cerita. Kalau ada yang mau ngomel kenapa banyak hal yang nggak dijelasin dan nggak diceritain di novel ini.. saya terima aja dengan tangan terbuka.

    Biarpun alasannya udah saya sampaikan di akhir… karena hidup itu penuh dengan keabstrak-an yang tidak berujung. Jadi jangan salahkan saya kalau cerita ini juga abstrak. Apalagi idenya sendiri random hanya sekedar mencomot apa yang terlintas di kepala.

    Tujuan awal bikin ni novel sebetulnya mau diikutin buat lomba. Tapi apa daya dan upaya… takdir mengatakan novel ini tidak mungkin diikut sertakan. Mengingat saya sendiri merasa minder dengan kegajes-an yang mengisi seluruh jalan cerita novel ini. Selain itu juga karena saya membuat novel ini 10 hari sebelum deadline perlombaan itu yang akhirnya tidak sempat terselesaikan.

    Oke, sekarang mengerti kan kenapa novel ini penuh dengan kerandom-an?

    Jawabannya ya.. karena sebagian besar alur, cerita, tokoh, dan lain-lainnya dibuat dalam waktu hanya sekitar 10 hari. Sementara yang paling lama adalah membuat epilog yang entah kenapa tidak selesai-selesai walaupun jadinya cuma berjumlah total 2 halaman.

    Plus ekstra yang saya buat untuk bikin alasan.

    Jangan bilang saya tidak bertanggung jawab, saya cuma udah hopeless mau mengedit naskah novel ini lagi. Mengingat ni naskah juga udah berulang kali saya rewrite dengan hasil akhir seperti sekarang ini.

    Ya… cukup omongan ngalor-ngidur saya. Novel ini terinspirasi dari sebuah manga berjudul Bakuman. Buat yang pernah baca ni manga, pasti tahu bagian mana yang paling mirip dan seenaknya saya comot.

    Trus mungkin juga anime Clannad, biarpun kalau yang ini saya kira hanya dalam alam setengah sadar saya aja. Jadi murni bukan kesengajaan. Melainkan sebuah kebetulan yang benar (yeah.. yeah… apa pula yang sedang saya bicarakan…).

    Dan ya… sebelum saya lupa dan dicap sebagai author tidak tahu terima kasih…
    Saya mengucapkan terima kasih untuk pembaca yang mau membaca sampai bagian ini dengan sabar tanpa menimpuk saya karena kegajes-an yang banyak ada di novelnya. Juga maaf karena memang hanya segini inilah kemampuan saya.

    Okay, sampai jumpa di lain kesempatan, pembaca semua.

    ^Merpati98^
     
  15. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    COMPLETE:onfire:

    kalau ada yang mau ngasih kritik dan saran:maaf:

    akan saya terima buat fict selanjutnya:ngacir:
     
  16. kyotou_yasuri Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    93
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +20 / -0
    :shock1: Lama tidak kemari, taunya sudah tamat ceritanya.

    Oke, komen ah...

    Hmm... Entah kenapa rasanya cerita ini kerasa kayak sebuah awal untuk kisah yang lebih panjang (kalau bagian epilognya g diitung). Karakter-karakternya baru keliatan 'kulit luarnya' aja (mungkin kecuali si protag) dan terasa cuma 'numpang lewat'. Apalagi (kalau menurutku) si protag terasa agak kurang 'likeable' kayaknya kerjanya ngeluh mulu masalah hidupnya :swt:

    Sebenernya pengen komen (cukup panjang) masalah plotnya yang cuma 'begitu aja' tp setelah ngeliat Afterword ga jd deh :XD:

    Oke itu aja. Sorry kalau ada yang nggak enak didengar. :peace: peace out bro.
     
    • Thanks Thanks x 1
  17. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    udah lama nggak liat:hi:

    gapapa kalau mau komen soal plotnya... biar jadi bahan renungan saya buat fict selanjutnya:hehe:

    makasih pendapatnya:maaf:
     
  18. kyotou_yasuri Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    93
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +20 / -0
    Okay here goes...

    Kurang lebih seperti yang di post sebelumnya. Karakter2 terasa cuma 'numpang lewat' jadi terasa 'kurang penting' dan nggak ada plotnya. Cthnya Rendi. Saya pribadi mikir kolaborasi antara Rendi dan Ardi jadi plot utama, dimana mereka benar2 bareng2 membuat animasi. Dari situ juga Ardi mulai belajar tentang kehidupan. Tp rupanya bagian itu kerasa cuma lewat. Contoh lainnya Ardi sendiri, tentang 'insiden' itu, saya kira bakal ada masalah yang lebih besar menyangkut insiden itu. Pernah baca manga Onani Master Kurosawa (kalau belum baca aja, bagus!)? Dimana tokohnya mengaku atas segala perbuatan bejatnya. Saya mengira hal ttg insiden itu akan dijadikan plot point seperti di OMK. Rupanya nggak. Perkembangan di akhir terasa agak 'tame' karena Ardi nggak melalui masalah/konflik yang sulit, misal mendapat diskriminasi dr teman2nya/semacamnya (yah, pacarnya meninggal memang lumayan tp kan udah agak lama). Karena itu saya bilang kisah ini seperti prolog untuk sebuah kisah yang lebih panjang.

    Kehadiran Mimi terasa agak 'janggal' mungkin karena settingnya Indonesia kali ya... Atau itu hanya karena saya yg kadang 'alergi' terhadap 'moe' things yang terasa agak out of place. Cuma opini sih. (Kalau situasinya pas bisa kompromi mungkin :hehe:)...

    Tapi saya akui bagian pacarnya Ardi meninggal itu ngagetin! Saya nggak nduga hal itu sama sekali! :top:

    Sorry kalau kebanyakan dan ngomong yg nggak2... Ini opini saya tentang cerita anda. Peace out :peace:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Dec 5, 2011
  19. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    makasih sarannya:maaf:

    sebenernya emang pengen juga nyeritain kolaborasi Ardi ma Rendi secara lebih detail. tapi sayangnya saya ngerasa pengetahuan saya belum cukup buat itu. alias bingung.

    trus soal yang insiden juga saya kurang puas sih nyeritainnya. pengen nyeritain soal akibat dari perbuatannya terlalu susah. bingung sendiri nyusun kata-kata yang bisa deskripsiin kekacauannya. dan soal Ardi gak dapet diskriminasi ya soalnya gak ada yang tau.. wkwkwk. emang sih.. kalau mau si Ardi bener-bener nyadar mungkin bagusnya si Ardi ngaku soal itu. tapi kejadiannya juga udah lama... dan saya ngerasanya agak maksa aja kalau habis temenan sama Rendi mendadak Ardi ngaku ke yang lain. dan kalau ada orang ketiga yang tau tanpa Ardi ngaku atau Rendi ngasih tau, saya masih bingung gimana ceritanya ntar(maybe.. Ardi ma Rendi berantem? tapi gimana orang ketiganya tau? nguping kayak di sinetron masa:puyeng:)

    Emang karakter Mimi di sini kerasa aneh sih(dunno 'bout moe atau semacamnya dan masa saya harus masukin kuntilanak biar berasa Indo:ngacir:). soalnya karakternya dia harusnya lebih berperan lagi. yah.. sama kayak Rendi kasusnya.

    yang terakhir... saya nggak ngira itu ngagetin. soalnya saya sengaja udah pasang Mimi dari awal buat ngehint kesitu.

    Onani Master Kurosawa saya udah baca. emang bagus:top:
     
  20. Nebunedzar M V U

    Offline

    No information given.

    Joined:
    Mar 7, 2009
    Messages:
    707
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +5,466 / -0
    Ini ada komentar basa-basi dulu sebagai pengantar sebelum masuk ke bagian yg lebih serius dan atau lebih ke arah persuasif sih. Nah ini dia, saya sempat kepikiran kenapa terasa seperti tiba-tiba tamat. Mungkin saya kurang begitu mengikuti hingga tanpa terasa sudah selesai saja salah satu karya yang jadi perhatianku. Oh ya, ini ada satu komentar motivasi untuk kamu nih merpati: Tamatnya OriFictmu ini kan tidak menutup kemungkinan kisahnya semakin luas di cerita baru lagi di karya berikutnya. Entah itu menjadi suatu hal yang benar-benar beda dengan yang ini. Atau melanjutkannya untuk memperbaiki bagian-bagian yang belum dituntaskan dengan setuntas-tuntasnya.

    Karya berikutnya kutunggu ya. ^^;
     
    • Thanks Thanks x 1
  21. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    makasih :D

    emang sih ficnya kecepetan tamatnya. jadi kayak ada time-skip di tengah-tengah cerita. :p
    trus kalau fic yg lain saya jg masih nulis sih. dan fic ini ada kemungkinan jg dibuat lanjutannya(tapi saya prioritasin fic yang sekarang udah dimulai dulu). :D

    ditunggu bagian seriusnya... :D
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.