1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Unchanging Feelings

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Dec 22, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    well, takut gak beres juga sih, tapi, seperti kata pewdiepie :

    YOLOOOOOOOOOOO

    Fairyfly present's
    Unchanging Feelings

    (detail menyusul btw)
     
    • Informatif Informatif x 2
    • Like Like x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    reserved for index dll :maaf:
     
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Setiap orang mengungkapkan kesedihan mereka dengan berbagai cara.

    Normalnya, menangis merupakan cara yang paling jelas untuk mengungkapkan kesedihan. Mmn. Tentu. Siapapun yang menangis, mereka pasti sedang bersedih, bukan? Meski adakalanya orang-orang tak mengerti bahwa perasaan sedih juga dapat terungkap dalam bentuk lain. Marah, diam, atau bahkan tertawa juga bisa merupakan sebuah ekspresi kesedihan.

    Sebagai contoh, saat ayahku meninggal akibat kecelakaan mobil tahun lalu, aku sama sekali tak menangis. Beberapa orang menganggapku tak memiliki perasaan, atau setidaknya tak memiliki perasaan yang begitu peka. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Campuran perasaan sedih, marah, terkejut, dan seluruh emosi yang kurasakan kala itu, semuanya larut menjadi satu dan membuatku tak bisa menangis sama sekali.

    Dan kini, saat Inoue meninggal, aku juga tak bisa menangis.

    Duduk didepan peti mati tempat jasadnya berada, tampak Ayah Inoue yang menunduk lesu. Guru, wali kelas, dan teman-teman sekelas ikut duduk sambil memasang wajah muram. Beberapa ada yang mulai menangis sesegukan.

    ………

    Aku masih tak bisa menangis.

    Tetapi, perasaan yang ada di benakku kali ini amatlah berbeda dengan apa yang kurasakan kala ayah meninggal. Emosi yang kini kurasakan saat menatap foto dan peti mati Inoue…

    Entahlah.

    Aku sama sekali tak merasakan apapun.

    Tentu, kesedihan tak perlu diungkapkan dengan tangisan. Dan berkali-kali kuyakinkan diriku bahwa meskipun tak menangis, aku ikut sedih dengan kepergian Inoue.

    Meski demikian, hati seseorang tak bisa berbohong, bukan?

    Mmn. Aku sama sekali tak merasa sedih, takut, kehilangan atau semacamnya. Meski sadar dengan kenyataan bahwa aku takkan bisa bertemu Inoue lagi untuk selamanya, entah bagaimana aku sama sekali tak peduli dengan hal itu. Dan mengapa hal ini terjadi, aku benar-benar tak tahu. Padahal, Inoue dan aku sudah saling mengenal semenjak SMP. Rumah kami searah, dan dulu, kami sering pulang sekolah bersama. Dengan semua kenyataan itu, sudah seharusnya aku merasa kehilangan dengan kepergiannya.

    Namun kini aku benar-benar tidak merasakan semua hal itu. Bahkan aku sempat berpikiran bahwa acara melayat ini hanyalah acara omong kosong dan buang-buang waktu saja. Maksudku, empat jam lebih di rumah duka, ugh, aku bisa menggunakannya untuk bermain game atau tiduran seharian. Aku masih kesal dengan keputusan Ibu Yoshida yang bersikeras meminta kami semua – siswa kelas 2-B SMA Aohara – untuk melayat Inoue.

    Inoue Kaoru.

    Kemarin, ia ditemukan tergeletak di atap sekolah dengan tubuh menggigil. Dokter Sayuri, dokter sekolah kami, tak bisa berbuat banyak untuk menolong Inoue. Menurutnya, gadis itu sakit parah dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Beliau sempat membentak Ibu Yoshida yang tak memberitahunya sama sekali tentang kondisi kesehatan Inoue. Yang mengejutkan, Ibu Yoshida berkata bahwa beliau pun tak tahu menahu soal kondisinya. Bahkan teman-teman sekelas pun tak ada yang tahu, dan hal ini membuat dokter Sayuri berang bukan main.

    Tepat saat ambulans tiba, Inoue menghembuskan napas terkhirnya.

    Hasil diagnosa menyebutkan bahwa Inoue meninggal oleh pneumonia akut yang dideritanya. Tak ada satu orang pun yang benar-benar tahu soal ini, bahkan ayah Inoue pun tidak. Kami semua sadar bahwa akhir-akhir ini Inoue sedang tidak sehat, namun tak satupun dari kami yang menganggap bahwa ia sedang sakit parah. Terlebih, aku juga tak menyangka jika ayahnya sendiri sampai tak mengetahui kondisi putri semata wayangnya. Beliau memang merupakan seorang pengangguran yang tidak begitu bertanggung jawab, namun bila sampai tak mengetahui kondisi putrinya sendiri, rasanya benar-benar keterlaluan.

    Bagaimanapun juga, Inoue tetap meninggal. Kami semua merasa bersalah. Ibu Yoshida, dokter Sayuri, teman-teman sekelas, semuanya.

    Semuanya…

    Kecuali aku.

    Memandang foto Inoue yang terpampang tepat di depan peti mati, Ibu Yoshida melakukan penghormatan terakhir yang diikuti oleh seluruh siswa. Beliau menangis sesegukan setelahnya, dan teman-temanku ikut larut dalam suasana duka saat jasad Inoue dibawa untuk dimakamkan.

    Tetapi aku…

    ………

    …mengapa?

    Mengapa aku malah merasa lega setelahnya? Tentu aku sadar bahwa rangkaian acara melelahkan ini pada akhirnya berakhir, dan aku merasa senang karenanya.

    Yang membuatku bertanya-tanya adalah, mengapa aku tak merasa sedih?

    Mengapa aku…

    …sama sekali tak merasakan apapun?

    ***​

    “Jika kupikirkan baik-baik, Inoue tidaklah sejahat yang orang-orang pikirkan.”

    Mendengar suara Kanata dari seberang telepon genggam, aku hanya bisa terdiam.

    Duduk diatas kursi kecil yang menghadap jendela, malam terasa amat sunyi. Langit gelap tak berbintang menggantung di kejauhan. Sesekali petir menyambar jauh di cakrawala, dan serangga-serangga musim semi yang seharusnya bernyanyi kini diam tak berbunyi.

    Satu-satunya yang terdengar jelas olehku kini hanyalah suara Kanata Ayase – teman sekelasku – yang sesekali terisak. Ia merasa amat bersalah dengan kepergian Inoue. Aku tak mengerti kenapa.

    “Andai ia masih hidup, aku ingin berada lebih lama bersamanya.”

    “Kanata,” kataku memotong. Bagiku obrolan soal Inoue sangatlah menjemukan, dan jika bisa, aku ingin mengakhirinya sesegera mungkin.

    Sayangnya, untuk kali ini aku tak bisa melakukannya.

    Mmn. Aku tak ingin Kanata menganggapku orang yang tak berperasaan. Diantara semuanya, aku paling tak ingin Kanata menganggapku demikian.

    Itu…karena aku menyukainya.

    Menjalin hubungan baik dengannya selama setahun lebih, aku tak mau Kanata lepas dariku hanya gara-gara orang yang sudah meninggal. Karenanya, alih-alih mengganti topik pembicaraan, kukatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja, dan bahwa Inoue sudah pergi dengan tenang. Meskipun tak ingin, aku bilang padanya bahwa aku juga amat merindukan Inoue, dan bahwa aku merasa amat kehilangan akan kepergiannya. Aku berbohong, tentu. Namun setidaknya Kanata percaya padaku, dan terhibur mendengarnya.

    “Hei, Kawano,”

    “Ya?”

    “Kau tahu? Erm, aku sering berpikir bahwa kalian berdua merupakan pasangan yang cocok.”

    Ucapan Kanata yang tiba-tiba itu membuatku terkejut bukan main. Aku, dan Inoue? Ugh, mengapa harus dia? Kami memang sempat berteman baik, namun pertemanan diantara kami terhenti semenjak masuk SMA.

    Inoue, gadis lugu yang ditakuti semua orang, aku tak mau berteman dengannya. Kenyataannya, Inoue bahkan hampir-hampir tak memiliki teman, dan ia layak mendapatkan hal itu.

    “Ke…kenapa kau bilang begitu?”

    “Entahlah, ahaha.” Jawab Kanata riang. “Aku…aku hanya merasa seperti itu.”

    “Kanata,” kataku murung. “Apa…itu berarti kau menolakku?”

    “E, eh? Ah! Ti…tidak kok! Ma…maksudku, aku bilang begitu bukan berarti aku memberi jawaban soal yang kemarin, ya? Bukan seperti itu, kok.”

    Ugh, nyaris. Kukira ia menolakku.

    ………

    Setelah menunggu sekian lama, pada akhirnya aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Kanata. Mmn. Di depan gerbang sekolah, kemarin pagi. Alih-alih memberi jawaban di hari yang sama, Kanata bilang padaku untuk menunggu jawabannya sampai esok hari. Dan seharusnya, ia sudah memberi jawaban atas perasaanku. Yah, berkat kematian Inoue, kini Kanata masih belum memberi jawaban apapun.

    “Kawano,”

    “Ya?”

    Kanata terdiam untuk beberapa saat. Butuh waktu cukup lama baginya untuk kembali berkata, “Mengapa kau menjauhi Inoue?”

    Kembali aku dibuat terkejut dengan ucapan Kanata. “Eh? Me, menjauhinya?”

    “Ya,” Kanata menjawab singkat. “Semenjak masuk kelas dua, kalian hampir-hampir tidak pernah bicara, bukan?”

    Aku terdiam, tak tahu bagaimana harus menjawab. Dan Kanata kembali mencecarku dengan berbagai pertayaan.

    “Maksudku, kau tahu? Kita bertiga satu kelas semenjak masuk SMA, dan Inoue selalu memangilmu ‘Kazuki’ Bahkan teman-teman terdekatmu pun tak pernah memanggilmu dengan nama aslimu. Bahkan aku sekalipun. Karenanya, kukira kalian merupakan sahabat dekat.“

    “Be…begitu ya?”

    “Karenanya, Kawano,” Kata Kanata lagi. “Mengapa kau menjauhinya?”

    “Aku…”

    Cukup lama aku terdiam, dan Kanata juga tak berkata apapun lagi. Saat samar-samar suara Kanata kembali terdengar, segera aku memotong dan menjawab pertanyaannya.

    “Kurasa, itu…karena kasus yang ia buat.”

    “Eh?”

    “Ah, kau tahu sendiri kan, Kanata, kalau dia memang dijauhi semua orang.”

    “I…iya sih, tapi…”

    Kanata tak melanjutkan kata-katanya dan hanya diam menungguku bicara. Dan butuh waktu lama untukku untuk bisa melanjutkan semuanya.

    “Kanata, kau pasti sudah dengar desas-desus tentang Inoue dan kasus yang dibuatnya, bukan?”

    “Tentang kasus di koran nasional dua tahun lalu?”

    “Ya, yang itu!”

    “…mmn.” Jawab Kanata singkat “Aku pernah mendengarnya.”

    Tentu! Siapa yang belum dengar?

    Kasus dua tahun lalu yang dibuat Inoue.

    Kasus yang membuatku begitu membencinya.

    Dulu, saat SMP, Inoue merupakan murid lugu yang kerap mendapat perlakuan kasar dari senior-seniornya. Seringkali ia menjadi bahan olok-olok ataupun objek pemerasan, dan ia sama sekali tak bisa melawan itu semua. Ia…terlalu lugu.

    Dan karena sama-sama lugu, aku mengerti perasaan Inoue.

    Setelah menghiburnya di suatu sore, aku dan Inoue berangsur-angsur menjadi teman baik. Kami selalu saling menghibur setelah mendapat perlakuan buruk dari para senior, dan aku yakin bahwa selama kami bersama, kami akan baik-baik saja. Aku merasa nyaman berada dekat dengannya karena kami memiliki nasib yang sama.

    Atau, setidaknya begitulah yang kupikirkan.

    Entah setan apa yang merasuki hati Inoue, suatu hari ia kalap dan hampir-hampir menusuk salah seorang seniornya dengan pisau cutter. Meskipun sang senior hanya mengalami luka kecil di bagian tangan, nama Inoue lantas masuk menjadi headline pada koran nasional. Hal ini terjadi karena sang senior merupakan anak dari anggota dewan yang sangat berpengaruh di seantero negeri.

    Aku selalu berpikir bahwa Inoue merupakan anak baik, dan bisa menahan dirinya untuk tidak melakukan hal gila.

    Tetapi aku tak menyangka jika ia bisa menjadi sangat mengerikan.

    “Hei, hei, kau tahu? Inoue hampir membunuh seseorang!”

    “Ah, berita basi. Ayahnya saja Yakuza, kau tahu?”

    “Ma…masa sih? Kudengar ia menderita gangguan mental. Uuh, semacam psikopat begitu, sih.”

    “Ayah Inoue sampai membuat pernyataan maaf di media nasional lho. Kasihan, padahal ia baru dipecat dari pekerjaannya.”

    “He, hei! Sudahlah! Kasihan, tahu! Yang jelas, jangan sampai anak-anak kita terbawa pengaruhnya!”

    “Betul! Kau jangan bermain dengannya! Kau mau mati?”

    “Eh, Inoue Inoue? Maksudmu, pembunuh cilik itu?”

    Desas-desus soal Inoue lantas mulai bermunculan dan menyebar layaknya lumut yang tumbuh di bebatuan. Awalnya aku tak menanggapinya dan masih berteman dengannya. Meski demikian, perasaan kikuk perlahan muncul di batinku. Kenyamanan yang muncul saat berada dekat dengannya berubah menjadi perasaan aneh dan risih saat orang-orang disekitar kami bergunjing, dan menatap kami dengan tatapan sinis.

    Perlahan, aku pun mulai menakutinya.

    Menakutinya, kasihan padanya, lalu sedikit tidak menyukainya, hingga akhirnya aku berubah menjadi sangat membencinya. Stigma yang muncul di masyarakat tentang Inoue melekat padaku dan tak bisa kuhilangkan.

    Dan semenjak kejadian itu, Inoue menjadi dikucilkan oleh semua orang. Namanya menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Bahkan kepala sekolah dan guru-guru yang ada di sekolah pun tidak menyukainya.

    Kala SMA, pada akhirnya aku menemukan teman-teman dan tempat dimana aku bisa merasa nyaman. Aku tak lagi merasa terkucilkan, dan perlahan, orang-orang tak lagi menganggapku lugu atau menjahiliku. Kehidupanku berangsur-angsur pulih, dan semuanya berubah menyenangkan.

    Tetapi Inoue, ia masih tetap terpenjara dalam keluguannya.

    Semakin hari, aku menjadi amat kesal padanya. Aku malu memiliki teman sepertinya, dan melihatnya terkucilkan seperti itu membuat kebenciaku makin menjadi. Ya. Aku membencinya, membenci sikapnya dan nasibnya yang seperti itu. Diantara semuanya, aku tak mau lagi merasa terabaikan begitu. Melihat sosok Inoue yang tak berdaya kala dikucilkan begitu, aku seolah melihat bagian dari diriku yang ingin kumusnahkan.

    Karenanya, selama ini aku terus menjauhi Inoue, hingga tiba titik dimana aku dan dia tak menyapa sama sekali.

    Aku tak ingin berteman dengan orang seperti dirinya.

    “Kawano?”

    “E, eh, ya?”

    “Kau melamun?”

    “Ah, anu…” kataku gelagapan. “Ma…maaf, ya, ahaha.”

    Kanata ikut tertawa kecil. Sesaat setelah kilatan petir menyambar di kejauhan, suara Kanata kembali terdengar.

    “Hei, Kawano,”

    “Hmn?”

    “Ini…tentang apa yang kau utarakan padaku kemarin pagi.”

    Eh?

    “Tentang perasaanmu, kurasa aku siap untuk menjawabnya.”

    “Be…begitukah?”

    “Mmn, Maaf membuatmu menunggu, Kawano.”

    Ini dia!

    Inilah waktu yang kutunggu-tunggu! Kanata siap menjawab perasaanku. Ugh, setahun lebih aku menunggu hari ini tiba. Dalam beberapa detik kemudian, semuanya akan berakhir.

    Meski demikian, kini tubuhku jadi sedikit gemetar. Bisa kurasakan degup jantungku yang berdetak kencang. Otakku seakan membeku.

    Aku panik bukan main.

    “Kawano,”

    “Ya?”

    Bisa kudengar suara Kanata yang menarik napas panjang.

    “Mulai hari ini, maukah kau memanggilku Ayase?”

    ***​

    Ah, sukses besar!

    Kanata, ah, tidak. Ayase membalas perasaanku, dan mulai detik ini, kami resmi berpacaran.

    Merebahkan diri diatas tempat tidur, aku pun mulai berpikir macam-macam. Kurasakan wajahku bersemi, tersenyum dengan sendirinya. Detak jantungku terus bergerak tak karuan.

    Ahaha, senang sekali.

    Setahun lebih aku menunggu akan datangnya hari ini, dan semuanya berjalan seperti apa yang kuharapkan.

    Memeluk guling, aku menggeliat tak karuan saat membayangkan apa-apa saja yang akan kulakukan bersama Ayase. Seperti, makan malam berdua bersamanya, pergi dan pulang sekolah bersama, pergi ke festival bersama, main game di arcade bersama, menggenggam tangannya, memeluknya, lalu, lalu…

    Wohoooo!

    Tubuhku pun lantas menggeliat kesana kemari layaknya ulat bulu yang kepanasan. Tepat saat kepalaku menubruk tembok, barulah aku berhenti berulah, menarik napas dan menenangkan diri. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk tiba di ponselku.

    “Sampai bertemu besok, Kazuki-kun.”

    Membaca pesan singkat seperti itu, aku lantas menjeduk-jedukkan kepala ke tembok.

    Kazuki-kun.

    Ah, bahagia sekali rasanya…

    Puas membuat kepala ini benjol, aku balik merebahkan diri. Tanganku pun bergerak mengetik sebuah pesan pada layar ponsel.

    “Ya, selama tidur, Ayase. Mimpi indah.”

    Uguuu…

    Sepertinya hari ini aku juga akan bermimpi indah.

    Memikirkan banyak hal tentang Ayase, aku pun tertidur tanpa kusadari.

    ***​

    “Kazuki,”

    Eh? Ini dimana?

    Ah, ini…ini atap sekolah SMA tempatku berada.

    Tapi, kenapa aku ada disini?

    “Hei, Kazuki,”

    Suara itu datang tepat dari hadapanku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa yang bicara. Meski demikian, entah bagaimana aku bisa tahu bahwa sosok yang bicara itu adalah sosok yang kukenal.

    Amat kukenal.

    “Kazuki…”

    “Si…siapa?”

    Kuputuskan berjalan mendekat perlahan. Langkahku tak berhenti sampai mataku menangkap bayang-bayang seorang gadis yang berdiri di tepian atap. Wajahnya tampak memandang jauh ke cakrawala.

    ………

    Gadis ini…

    Ia menangis.

    Aku tak mengerti mengapa ia menagis. Meski demikian, perasaanku mengatakan bahwa gadis itu sedag merasa amat sedih. Kakiku lantas kembali mengayun, melangkah lebih dekat untuk menangkap sosoknya lebih jelas.

    Setelah berada pada jarak pandang, aku amat terkejut saat mengetahui siapa sosok itu sebenarnya.

    ………

    Dia, Inoue.

    Inoue Kaoru.

    Inoue yang memanggilku sedari tadi, yang kini menatapku dengan mata berlinang.

    Segera kuhentikan lankahku. Tubuhku dibuat kaku oleh sosok Inoue yang memandangiku dengan tatapan sayu dan raut wajah sedih. Meski demikian, kini ia tak mengatakan apapun, meninggalkanku terdiam menatapnya.

    Aku ingin mengatakan sesuatu, namun mulutku tak bisa kugerakkan.

    Mengapa aku bisa berada disini bersamanya? Seingatku aku jatuh tertidur setelah melamunkan hal-hal gila yang bisa kulakukan bersama Ayase. Tetapi, kenapa kini aku berada disini?

    Ah, ya. Ini mimpi.

    Meski demikian, kenapa?

    Kenapa aku malah memimpikan Inoue?

    Tepat saat aku akan bicara padanya, Inoue lantas mengucapkan sesuatu.

    ………

    Apa yang ia katakan?

    Ah, aku tak bisa mendengarnya. Aku hanya bisa melihat sosok Inoue yang menggerakkan bibirnya. Cukup lama ia melakukannya, sebelum kemudian ia memejamkan matanya, menatapku…

    …dan tersenyum dengan mata berlinang.

    Kata terakhir yang ia ucapkan pun sama sekali tak bisa kudengar. “Apa? Apa yang kau katakana, Inoue?”

    Namun Inoue hanya tersenyum, dan terus tersenyum lebar.

    Setelahnya, sosoknya perlahan menghilang. Lenyap ditelan kabut.
     
    • Like Like x 1
    • For The Win For The Win x 1
    Last edited: Dec 25, 2015
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Uugh…”

    Membuka mata perlahan, bisa kulihat kamarku yang jungkir balik.

    Ah, bukan. Bukan kamarku yang jungkir balik. Aku tertidur begitu lelap sehingga tubuhku kini jatuh dari kasur. Yup. Kepala di lantai, kaki diatas kasur. Situasi yang sangat cocok untuk…

    Prett…Bruut…

    Yah, betul. Untuk buang gas.

    Uugh, jangan salahkan aku. Perutku kacau balau setelah makan ramen pedas kemarin malam. Dan juga, mulas di pagi hari merupakan hal biasa, bukan?

    ………

    Ah, kampret lah.

    Kalau Ayase ada disini, aku pasti sudah bunuh diri.

    Hmm, neng Ayase…

    Tak pernah kukira bahwa aku bisa berpacaran dengannya. Ah, bahagianya…

    Menggerakkan badan dengan malas, aku pun menggeliat dan kembali ke posisi layaknya orang biasa terbangun. Tampak matahari yang sudah jauh meninggi dari balik jendela. Udara pagi terasa hangat dengan suara burung-burung yang bernyanyi diatas kabel-kabel listrik.

    Fuuh…

    Di saat seperti ini, ibu malah tidak membangunkanku. Biasanya teriakannya selalu terdengar tiap pagi.

    Menyambar ponsel diatas meja, aku menemukan sebuah pesan masuk. Ah, Ayase pasti mengirimiku ucapan selamat pagi atau semacamnya. Wajahku pun lantas bersemi dibuatnya.

    Pesan Masuk : Ayase-chan

    “Kazuki-kun, selamat pagi. Sudah bangun?”

    Ah…

    Jadi inilah yang dinamakan kebahagiaan.

    Atau, setidaknya itu yang kupikirkan, sih. Faktanya, pesan masuk yang muncul di layar ponselku datang dari departemen kesehatan yang berbunyi : jangan menonton TV dengan lampu mati.

    ***.

    Mampus, deh. Selamat tinggal imajinasi.

    ………

    Bahkan pesan masuk dari Ayase yang mengucapkan selamat malam pun tidak ada.

    Ugh, aneh. Apa aku menghapusnya, ya?

    ***

    Aku tak berpamitan pada ibu saat berangkat sekolah.

    Kenyataannya, ibu bahkan tak ada di rumah. Sebuah catatan di meja makan bilang bahwa beliau harus menghadiri rapat perkumpulan budaya sekota Aohara. Cukup mengejutkan karena biasanya rapat hanya diadakan sekali dalam dua bulan, dan kalau tidak salah, bulan kemarin beliau baru saja menghadiri rapat tersebut.

    Tanpa adanya ibu yang memasak, aku jadi harus berimprovisasi untuk menyiapkan sarapan pagi. Berbekal ilmu seadanya, aku berhasil membuat nasi goreng dadakan. Jangan tanya bagaimana rasanya.

    ………

    Apa Ayase akan menyiapkanku bekal ya? Maksudku, kami kan sepasag kekasih sekarang.

    “Hei, Kazuki-kun, aku menyiapkan bekal untukmu, lihat!”

    Uugh, jika memang begitu, aku pasti klepek-klepek. Mmn. Seperti game-game bejat yang kumainkan, kuharap Ayase akan memberiku bento dengan nasi berbentuk hati. Kemudian, kami akan makan bersama di atap sekolah yang sunyi. Ayase akan malu-malu menyuapiku, dan semuanya berakhir dengan adegan mesum di ruang loker yang tak terpakai.

    “Kazuki-kun, aaaa.”

    Wuohoooo!

    Kembali tubuhku menggeliat tak karuan. Aku bahkan tak peduli dengan kenyataan bahwa aku sedang berada dalam perjalanan menuju sekolah. Beberapa orang memandangiku dengan mata miris. “Awas, orang gila!”, begitu mungkin yang mereka pikirkan.

    Bodo amat, lah. Yang penting enak.

    Uuh, bisa berpacaran dengan Ayase seperti ini benar-benar membuatku serasa berada di surga. Dan sepanjang perjalanan aku tak bisa berhenti melamunkan hal-hal ajaib yang bisa kulakukan bersamanya.

    Berjalan melewati beberapa area pertokoan, pada akhirnya aku tiba di gedung sekolah. Tampak jelas murid-murid yang datang sambil mengobrol riang. Beberapa dari mereka datang berpasangan dengan kekasih mereka, tertawa riang dan bercanda dengan mesra.

    Polusi mata. Kampret.

    Huh, bikin ngiri.

    Alih-alih langsung masuk kelas, kini aku memilih diam didepan gerbang sekolah, menunggu Ayase berlari saat jam pelajaraan akan dimulai – ia selalu datang terlambat dengan wajah polos, dan untuk kali ini aku amat ingin terlambat bersamanya. Mmn. Aku juga ingin terlihat seperti murid-murid lain yang berjalan mesra dengan pacar-pacar mereka.

    Berdiri mematung disamping gerbang sekolah, mataku pun memindai setiap orang yang datang melintas. Toru, Sou, Kokone, dan banyak murid yang tidak kukenal.

    Dan, diantara semua yang datang, tampak seorang gadis yang berjalan dengan wajah muram.

    Mmn. seorang gadis dengan rambut bergelombang yang menggantung hingga ke pundaknya. Untuk sesaat ia tampak menoleh padaku, sebelum kemudian berlalu dengan cepat.

    ………

    …tidak.

    Tidak mungkin.

    Tidak mungkin yang kulihat ini nyata!

    Aku mungkin takkan terkejut andaikata gadis yang baru kulihat itu masih hidup. Hanya saja, kemarin aku baru menghadiri acara pemakamannya.

    Gadis yang kulihat barusan adalah Inoue!

    Kuyakinkan diriku bahwa aku sedang melamun, dan bahwa yang baru saja kulihat hanyalah khayalan. Meski demikian, sosok Inoue terus terlihat dimataku, berjalan menuju gedung sekolah, membaur bersama murid-murid lain. Tak ada seorangpun yang sadar bahwa sosok yang berada ditengah-tengah mereka seharusnya sudah meninggal.

    Sesaat ia berhenti melangkah, dan menoleh perlahan kebelakang.

    Padaku.

    Gila! Ia benar-benar Inoue!

    Tapi, bagaimana mungkin?

    Bagaimana mungkin yang kulihat barusan adalah Inoue? Ia baru saja dimakamkan kemarin siang, bukan? Aku juga menghadiri pemakamannya, kan?

    Lantas, kenapa aku masih melihatnya?

    Penasaran, segera aku berlari mengejar sosok sang gadis. Saat kemudian pundaknya berhasil kuraih, kutarik tubuhnya agar menghadap padaku. Pandangan kami beradu tak lama kemudian.

    Wajah muram, rambut bergelombang sepundak, dan tinggi tubuh yang hanya sebatas daguku…

    “…apa?”

    Bahkan suaranya pun terdengar sama…

    “Ka…kau…”

    “………”

    “…Inoue?”

    Gadis itu sama sekali tak menjawab. Menatapku dengan tatapan kesal, ia lantas memalingkan matanya dan berusaha pergi dariku. Baru beberapa langkah saja ia mejauh, karena tanganku refleks meraih pergelangan tangannya. Aku menggenggamnya begitu kuat, hingga Inoue meringis kesakitan.

    Dari pergelangan tangannya, bisa kurasakan denyut nadinya yang berirama tenang.



    Bagaimana bisa?

    Sial! Pengliatanku pasti rusak! Aku sama sekali tak percaya dengan apa yang kulihat!

    “Lepaskan aku! Hei!”

    Inoue berteriak, marah. Tangannya meronta-ronta, memintaku agar melepaskannya. Namun, alih-alih mengabulkanya, cengkramanku malah makin menguat.

    “Kau Inoue, bukan? Inoue Kaoru!”

    Inoue berhenti meronta. Matanya menatapku kesal. Ia tampak begitu marah saat suaranya terdengar perlahan, “Lepaskan aku, Kazuki.”

    “Ta…tapi…”

    “Kubilang lepaskan, sialan!”

    Teriakan Inoue meraih perhatian beberapa murid yang lantas berhenti dan menatap kami berdua. Inoue lantas mencabut tangannya dariku, dan berlari cepat kedalam gedung sekolah. Wajahnya tampak kesal bukan main.

    “Inoue!”

    Ia tak menoleh. Ia terus berlari menjauh tanpa menoleh padaku.

    Tak dapat dipercaya…

    Ini semua tidak mungkin terjadi. Inoue sudah mati. Mmn. Inoue seharusnya sudah mati! Bagaimana mungkin aku masih bisa melihat sosoknya atau merasakan denyut nadinya?

    Ia nyata, dan masih hidup!

    “Ada apa, Kawano?”

    Suara seorang gadis kemudian terdengar dari belakang. Seketika aku menoleh.

    Ayase, ia berdiri didepan mataku, menatapku sambil tersenyum lugu.

    “A…ah, itu…” Kataku panik, seraya menunjuk ke arah kemana Inoue berlari. “Kau lihat itu kan? Tadi itu, dia, Inoue…”

    “Inoue?”

    “Ya, Inoue! Kau lihat itu, kan? Ayase?”

    Tak lama setelah aku menyebut nama Inoue, raut wajah Ayase berubah merah. Ia tampak amat terkejut.

    Ya, tentu! Bagaimana mungkin ia tak terkejut bila mengetahui bahwa sosok yang sudah mati kini kembali datang ke sekolah ini?

    “Ka…Kawano…”

    “Kau melihatnya, kan? Ayase? Inoue masih- “

    “Ampun! Tolong hentikan itu, Kawano!”

    Eh?

    Kenapa? Apa aku mengatakan hal yang salah?

    Tanpa berbicara panjang lebar, Ayase lantas meraih tangankku, menarikku kedalam gedung sekolah. Beberapa murid menatap tingkah kami, keheranan.

    ***

    Ayase membawaku keatap gedung sekolah, tempat paling sunyi dari semua tempat yang ada di sekolah ini. Hanya kami berdua, tak ada siapapun lagi.

    “Ayase, apa yang kau lakukan? Tidakkah kau lihat kalau Inoue-“

    “Ampun! Kawano! Hentikan itu!”

    Ayase balik berteriak. Aku tak menggubris permintaannya dan kembali mengatakan apa yang ingin kukatakan : Bahwa Inoue masih hidup, padahal seharusnya ia sudah mati.

    “Kau bicara apa sih, Kawano?”

    Eh?

    “Hentikan omong kosongmu itu. Ampun! Inoue belum mati. Kau baru saja melihatnya, bukan?”

    Tidak mungkin. Bahkan Ayase juga…

    “Dan juga, berhenti memaggilku Ayase!”

    Kehilangan kata-kata, aku lantas diam, tak berbicara apapun lagi. Tubuhku mendadak lemas, dan tanpa sadar aku terduduk diatas lantai.

    “Ka…Kawano?”

    “Tidak mungkin…ini tidak mungkin terjadi.”

    Kulihat Ayase kini berlutut dihadapanku. Sebelah tangannya menepi di keningku, sementara tangan sebelahnya menempel di keningnya.

    “Kawano, tampaknya kau demam.” Begitu bisiknya perlahan. “Biar kuantar kau ke ruang UKS.”

    Ayase menggenggam tanganku, berusaha menarikku kembali ke lantai bawah. Namun aku hanya bisa diam membeku. Otakku berpikir ke segala arah, karena bagaimanapun, semua ini amatlah aneh.

    Ibu yang tak ada di rumah, rapat perkumpulan budaya, Ayase yang menolak kupanggil dengan nama kecilnya…

    Dan kehadiran Inoue…

    ………

    Apa aku…

    “Hei, Kawano. Kau tahu? Kau boleh memanggilku Ayase kalau-“

    “Ayase,”

    “Eh? Y, ya?”

    “Bisa kau katakan tanggal berapa sekarang?”

    “Sekarang?”

    “Ya! sekarang!” Kataku panik, membentak. Raut wajah Ayase berubah seketika, terkejut . Meski begitu aku tak lagi peduli.

    “Cepat! Beritahu aku!”

    “Ah, ba, baik. Duh, jangan berteriak begitu. Kau ini…”

    Aku tidak berteriak.

    Setidaknya, aku tidak mau berteriak. Namun mengapa aku malah melakukannya?

    Ah, sial!

    Sial!

    Ayase lantas melirik jam tangannya – sebuah jam tangan berwarna putih yang kuberikan untuk hadiah ulang tahunnya dua bulan lalu.

    “Ini, 12 Januari, lho.”

    Mendengar jawabannya, jantungku berdegup kencang. Darah mengalir ke otakku, membuatku lesu.

    “Memangnya kenapa?”

    Tidak dapat dipercaya.

    Tanggal kematian Inoue adalah 11 Februari. Tanggal dimana aku berpacaran dengan Ayase juga 11 Februari. Ulang tahun Ayase sendiri ada di bulan Desember, dan aku baru saja berpikiran bahwa aku memberikan jam tangan itu dua bulan lalu.

    Lantas, bagaimana mungkin ini masih bulan Januari?

    “Ayase,”

    “Ya?”

    “Kapan kau dapat jam tangan itu?”

    Ayase menatap padaku keheranan, sebelum melirik jam tangan tersebut.

    “Kawano, kau memberikannya untuk hadiah ulang tahunku bukan? Bulan lalu…”

    Bulan lalu. Bukan dua bulan lalu.

    Apa aku…

    …baru saja terlempar ke masa lalu?

    shiit, ngeditnya susah juga. lama gak latihan sih :keringat:
     
    • Like Like x 1
    • For The Win For The Win x 1
    Last edited: Dec 27, 2015
  6. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    well gw gk bisa komentar banyak. overall cukup enjoy dengan ceritanya. sekilas rada mirip cerita situ yg tamat kemarin tapi ada twist yg bikin alur ceritanya jadi gk ketebak.

    anyway good luck ya :gotdrink:
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    uwaa, thank you mod :matabelo:

    well gak ngarep banyak sih buat yang ini, seenggaknya bisa nulis yang aku pengen n finish dulu aja udah seneng banget keknya :kecewa:
     
    • Like Like x 2
  8. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    Lumayan bagus :top:
    Jd si mc time leap pas tidur y?
    Coba liat kita mau kemana ini:lalala:

    -The Roci was a good ship. State of the art.
     
    • Thanks Thanks x 1
  9. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    sherlock1524sherlock1524 thanks om momod :matabelo: let's see then :hehe:

    Aku tak pernah percaya segala sesuatu tentang perjalanan waktu.

    Maksdku, hal itu sama sekali tak dapat dibuktikan kebenarannya, bukan? Dan hingga saat ini, hal-hal semacam itu – perjalanan waktu, fiksi ilmiah, atau hantu sekalipun – masih tak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Mmn. Aku lebih percaya pada sains dan rasionalitas yang memiliki dasar atas segala hal.

    Meski demikian, apa yang baru saja kualami juga bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan oleh sains.

    Sains takkan bisa menjelaskan bagaimana tanggal 12 Januari kembali terulang.

    Ah, andai ada satu, dua hal yang berbeda dari tanggal 12 Januari yang sudah pernah kulewati, aku pasti akan menyangkal kenyataan soal berulangnya waktu. Namun nyatanya, semua yang kualami di hari ini sama persis dengan apa yang kualami bulan lalu. Mata pelajaran yang sama, guru yang sama, bahkan ulangan sejarah dan matematika yang kulalui, semuanya sama persis.

    Mmn. Orang-orang dan kejadian yang sama, dan Inoue yang masih hidup.

    Bagaimana mungkin sains bisa menjelaskan semuanya?

    ………

    ***​

    “Kau bicara apa sih, Kawano? Waktu? Berulang kembali?”

    Siang hari saat jam istirahat.

    Menahan diri sejak pagi, pada akhirnya aku tak bisa menahan hasrat untuk tidak mengatakan ini semua. Kumulai ceritaku pada sahabat baikku, Yamada, dan bisa ditebak : ia sama sekali tak percaya dengan apa yang kukatakan.

    “Kau benar-benar kebanyakan nonton film, deh.”

    “Ini betulan, lho!” Kataku berteriak, membalas sanggahan Yamada. “Di ulangan fisika kemarin, kau akan dapat D!”

    “He? D? Kau tahu darimana?”

    “Karena aku sudah mengalami hari ini! Bleh!” Kataku kembali berteriak. “Hasilnya akan keluar saat jam pulang sekolah nanti! Ibu Yoshida akan menceramahimu hingga sore, dan kau akan diberi PR tiga paket.”

    “Eeh?” Yamada merengut, keheranan. “Ma, masa sih?”

    “Iya!” Jawabku bersorak. “Karenanya, percayalah padaku!”

    Yamada tampak terdiam untuk sesaat. Tatapan matanya tertuju padaku, bingung. Saat aku mencoba kembali meyakinkannya, Yamada mengangguk.

    “Tenang, Kawano. Aku percaya padamu.” Katanya kemudian, merengut. Meski demikian, jawabannya membuatku sedikit lega.

    “Kau percaya?”

    Yamada masih mengangguk. “Kapan kau menguping soal hal ini?”

    “Eh? Menguping?”

    “Yup, menguping.” Jawabnya polos. “Ibu Yoshida pasti menggosip yang aneh-aneh tentangku di ruang guru.”

    Oh, ayolah! Sempak!

    “Lalu, Ibu Yoshida bilang apa lagi, nih?”

    Ah, sial! SIAL!

    Menggaruk-garuk kepala, tampak dimataku Ayase yang baru akan menyantap bentou miliknya.

    “Dan kau, Ayase!” Kataku berteriak, menunjuk sosoknya. “Kau akan mendapatkan surat cinta di loker sepatumu selepas pulang sekolah. Hirano yang memberikannya!”

    Ayase sontak terkejut mendengar suaraku – amat terkejut hingga ebifurai yang akan ia santap terjatuh keatas lantai. Hirano yang ada dibelakangku pun tak kalah terkejut. Berdiri dengan wajah merah, ia berteriak, “Sialan! Kalau ngomong dijaga, dong!”

    Kurasakan sebuah pukulan mendarat di kepala. Hirano memukulku sekuat tenaga hingga aku jongkok kesakitan. Wajahnya merah padam tatkala seisi kelas kini menatapnya.

    “Apa betul, Hirano?”

    “Wah, Hirano ternyata suka pada Kanata! Tepat dugaan, ya?”

    “Yay! Ayo Hirano! Semangat!”

    Walah…

    Sepertinya aku salah bicara.

    Seisi kelas menatap Hirano dengan senyum menggelitik. Bahkan dua orang yang duduk di dekat pintu masuk bertingkah lebih aneh lagi.

    “Nah, sesuai dugaanku, kan? Ayo, sini bayar! 1,000 Yen!”

    Sampai dijadikan bahan taruhan segala…

    Dan bisa kulihat Ayase yang tersipu mendengar apa yang baru saja kukatakan, dan ia segera berlari menjauh, meninggalkan kelas.

    “Ah, Kanata!”

    Melihat Ayase yang pergi menjauh, Hirano segera mengejarnya.

    “Hirano, maafkan aku! Lagipula, Ayase akan meno-“

    “Hei, Hei, Kawano,” Yamada menarik bajuku, dan meraih leherku dengan lengannya. “Sudahlah, biarkan saja dia. Lagipula, kalau kau tahu rahasia seseorang, jangan diumumkan begitu, dong.”

    “Benar, benar! Kawano, itu sedikit keterlaluan, lho?”

    “Kau pasti datang amat pagi ya, hingga bisa tahu kalau Hirano akan menembak Kanata? Tapi, yah, tak usah diumumkan begitu, sih.”

    “Benar! Benar!”

    Dan setelahnya, seisi kelas menganggapku penjahat karena telah membocorkan rahasia Hirano. Aku yang tak kalah kesal kemballi berteriak.

    “Bukan begitu, dasar kalian beloon! Aku tahu hal ini karena aku sudah mengalami hari ini! Ini bukanlah Januari seperti yang kalian kira. Ini bulan Februari!”

    Mendengar teriakanku, seisi kelas kini terdiam. Suaraku pasti terdengar begitu keras sehingga seisi kelas kaget dibuatnya.

    Inoue yang pertama bereaksi. Ia bangkit, berdiri dari duduknya, dan mulai melangkah perlahan, menjauh. Melihat sosoknya yang lugu, tanpa sadar telunjukku mengarah padanya.

    “Dan kau! Inoue!”

    Inoue menghentikan langkahnya dan menoleh padaku dengan tatapan polos.

    ………

    Tatapan penuh kekosongan.

    Ah…

    Melihat sorot matanya, untuk suatu alasan aku jadi merasa kasihan padanya. Meski demikian, untuk suatu alasan perasaan kesal pun muncul didalam benakku.

    Mmn. Kesal, benci, jijik, entahlah. Aku tak tahu mengapa aku merasa demikian.

    “…apa?”

    Ugh.

    Aku tak bisa- bukan. Tak mau. Aku tak mau mengatakan apapun padanya.

    Lagipula, Inoue akan mati di bulan depan. Untuk apa repot-repot memberitahu hal ini pada seseorang yang akan mati? Tak ada gunanya.

    “Bu…bukan apa-apa.” Kataku kemudian. Kuturunkan jari telunjukku yang mengacung. Keraguanku membuat seisi kelas menatapku dengan perasaan heran, aneh, dan risih.

    Ah, sial!

    Mengapa tak ada satu orangpun yang menanggapi kata-kataku dengan serius?

    Bahkan saat nilai ulangan fisika keluar, Yamada malah tertawa dan berkata bahwa aku merupakan penguntit yang hebat.

    Dan aku…

    “…aku mengetahuinya saat dipanggil ibu Yoshida pagi tadi.”

    “Sudah kuduga! Hahaha! Kau memang penguntit yang hebat, Kawano!”

    …kurasa sebaiknya aku menyimpan hal ini untukku saja.

    Mmn. Lebih baik begitu.

    Kukatakan pada Yamada bahwa aku menguping pembicaraan Ibu Yoshida soal nilai ujian fisika. Yamada mempercayainya, tentu – lebih mempercayainya ketimbang percaya bahwa aku terlempar ke masa lalu, yang kukatakan dengan jujur.

    “Sial. Jika aku terus seperti ini, aku bisa jadi bahan pembicaraan para guru, nih. Beritahu aku jika ada hal baru, ya?”

    Aku mengangguk, lesu. Tersenyum sebisaku.

    ***​

    Ibu Yoshida memanggil Yamada saat kelas sudah bubar. Aku tahu bahwa beliau akan memberinya tiga paket PR.

    Berjalan di lorong, tampak Ayase yang kebingungan sedang berdiri menatap jendela luas. Jemari tangannya menggenggam tas sekolah yang menggantung didepan roknya.

    Ia pasti bingung bagaimana menjawab pernyataan cinta Hirano. Meski aku sudah tahu akan jawabannya.

    ………

    “Kanata,”

    Mendengar suaraku, Ayase lantas menoleh, terkejut.

    “Ah, Kawano,”

    Ia tersenyum kecil tak lama setelahnya. Teringat akan apa yang kulakukan di jam istirahat, aku lantas membungkuk.

    “Kanata, tentang kejadian tadi siang itu, maafkan aku.”

    Ayase tak lantas menjawab. Aku terus menunduk hingga kemudian terdengar tawanya yang kecil.

    “Ka…Kanata?”

    Masih dengan tawa kecilnya, Ayase berkata, “Kawano, pagi ini kau memanggilku Ayase. Kini kau memanggilku Kanata. Kau benar-benar demam ya, hari ini?”

    “Uh, barangkali.” Jawabku kikuk. “Rasanya aku memang tidak enak badan.”

    “Sudah kuduga. Ahaha…”

    Ayase terus tertawa, dan terus tertawa saat aku kembali meminta maaf.

    “Sudahlah, Kawano. Bukan masalah berarti.” Jawabnya. “Hanya saja, aku tak siap untuk mengatakan hal ini padanya.”

    “Hirano? Bahwa kau akan menolaknya?”

    “Eh? Bagaimana kau tahu?”

    Ah, sial. Tanpa sengaja aku malah mengatakan apa yang kutahu.

    “Uuh, tebakan jitu, barangkali?”

    Ayase menatapku lugu. Cukup lama kedua bola matanya memandangiku, sebelum sebuah senyum menghias wajahnya.

    “Kau banyak menebak hal yang benar. Untuk sesaat, aku hampir percaya kalau ceritamu tentang terulangnya waktu ini benar, lho.”

    “Ma…mana mungkin, ahaha!”

    Sial…

    Aku tak bisa berkata pada siapapun soal terulangnya waktu ini. Terlebih Ayase, aku tak mau ia menganggapku gila.

    Bahkan jauh di lubuk hatiku, aku merasa bahwa aku tak bisa melakukan apapun soal hal ini, dan bahwa aku harus menerima kenyataan yang ada.

    “Hirano orang yang baik.”

    Suara Ayase yang kembali terdengar membuat lamunanku pecah. Tampak sosoknya yang kini memandang jauh ke lapangan atletik. Tepat dibawah pohon kecil di ujung lapangan, Hirano berdiri mematung, menunggu Ayase menjawab perasaannya.

    “Ia selalu membantuku saat aku menemui masalah. Di klub, dalam kelas, dimanapun. Aku menyukainya, tentu. Menyukai sikap baiknya itu. Hanya saja…”

    “Kau tak memiliki perasaan khusus terhadapnya, bukan?”

    Ayase menarik napas untuk sesaat.

    “Bukan hanya itu.” Katanya kemudian. “Aku…aku memiliki orang lain yang kusukai.”

    Mendengar hal itu, bisa kurasakan perasaan nyaman yang tak bisa kujelaskan darimana datangnya. Mmn, karena aku tahu siapa orang yang disukai Ayase.

    “Akan sangat menyakitkan baginya jika ia tahu bahwa aku akan menolaknya hari ini. Meskipun begitu…”

    Tatapan Ayase kembali tertuju padaku.

    Ia tersenyum makin lepas.

    “…aku harus melakukannya, bukan?”

    ………

    “Aku harus melakukannya. Aku…aku ingin jujur pada perasaanku sendiri.”

    Aku tersenyum semu, mengangguk. “…mmn. Kau benar, Kanata.”

    Ayase lantas memejamkan matanya sesaat, menarik napas, dan kembali membuka matanya.

    Semua hal ini tampak amat mengganggu pikirannya. Ah, seandainya ia tahu bahwa Hirano akan mendapatkan kekasih di bulan berikutnya, pasti ia takkan sebimbang ini.

    Sial…

    Sial!

    Mengapa ini terjadi?

    Aku amat ingin melenyapkan soal waktu yang terulang ini dari otakku. Kuharap aku tak pernah ingat apapun soal ini.

    “Kawano,”

    Kembali suara Ayase memecah konsentrasiku. Menoleh padanya, tampak raut wajahnya yang masih kebingungan. Ia seolah menungguku mengatakan sesuatu.

    Mmn.

    Aku tahu apa yang seharusnya kukatakan.

    “Kau bisa melakukannya, Kanata.”

    Jawabanku membuat Ayase tersenyum sumringah, bahagia. Ia mengangguk perlahan. Matanya tampak sedikit berbinar.

    Menepuk kelapa Ayase, aku kembali berkata, “Aku akan mendukungmu. Berjuanglah. Jika kau butuh seseorang, aku ada disini.”

    “…mmn. Terima kasih, Kawano.”

    Ayase terus tersenyum, dan membungkuk dalam-dalam sebelum kemudian berlalu ke lapangan atletik. Aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Kutatap sosoknya hingga ia tiba diujung koridor, berbelok, dan menuruni tangga.

    Ia benar-benar tak perlu khawatir soal apapun. Hirano sama sekali takkan terluka olehnya.

    Ah…

    Rasanya aku ingin satu bulan ini segera berlalu.

    Mengapa waktu harus kembali terulang saat aku tak menginginkan apapun lagi dari masa lalu?

    “Ayolah, cepat!”

    Terdengar suara seseorang yang sama sekali asing buatku.

    Membalikkan badan, kudapati sosok dua orang senior yang berjalan mengapit Inoue. Gadis malang itu tak mengatakan apapun pada keduanya – hanya diam menunduk, dan menurut saat kedua senior tersebut membawanya pergi ke suatu tempat.

    Untuk sesaat, terpikir olehku bahwa aku harus menolongnya.

    Aku harus menolong Inoue.

    Tapi…

    “Kawano! Kau jangan berteman dengannya! Dia itu pembunuh!”

    “Hee? Kawano bermain dengan Inoue?”

    …tidak.

    Untuk suatu alasan, aku tak mau melakukannya. Ada dorongan perasaan yang kuat yang berkata bahwa aku tak boleh melakukannya.

    Sial…

    Aku…ingin menolongnya.

    Tetapi kenapa?

    Kenapa aku tak bisa melakukannya?

    ………

    Kembali menoleh kebelakang, Inoue sudah menghilang dari pandangan. Ia mungkin sudah dibawa oleh para seniornya untuk mengalami penyiksaan.

    Dan aku hanya bisa diam mematung, sebelum kakiku membawaku keluar dari sekolah ini.

    Hari ini pun, aku tak bisa menolongnya.

    Mmn. Kebencianku padanya masih bisa kurasakan.

    Aku tak tahu mengapa.
     
    • Like Like x 1
    • For The Win For The Win x 1
    Last edited: Dec 31, 2015
  10. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm...that was an interesting development to say. kayakna hal time slip iini rada tricky buat ditulis tapi gw rasa semua effort situ kerasa kena bt chapter ini.

    good luck bt chapter berikut
     
    • Thanks Thanks x 1
  11. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    secara personal, intro bab 2 rada nggak suka saya :lol: si mcnya sok2an ngomong sains lagi, meskipun latar belakangnya bukan org pinter.
    meskipun itu mgkin ekspositori gmn lalat-san mengungkapkan perasaan si mc ya emang rada makes sense sih. terus usaha useless mcnya :lol::lol:

    :lalala: semangat bb 3.
     
    • Thanks Thanks x 1
  12. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Hei, Kazuki. Jadi kan menemaniku hari ini?“

    “Maaf Kaoru. Aku…aku ada keperluan lain.”

    “Eh, tapi kan kau sudah janji?”

    “Aku tahu. Maaf ya.”

    ***

    “Kazuki, lihat rambut baruku. Aku memotongnya seperti tahun lalu. Kau menyukainya, kan?”

    “………”

    “…tidak suka?”

    ***

    “Kazuki. Sepertinya hanya kita yang belum memiliki kelompok. Bagaimana kalau kita-”

    “Ya…Yamada! Kau masih kekurangan anggota kelompok, kan? Ijinkan aku gabung, ya?”

    ***

    “Kazuki, hei! Hujan nih. Payungku cukup besar. Ayo kita- Kazuki! Hei! Tunggu aku! Kazuki, kau kehujanan, tahu? Kazuki!”

    ***

    “Kazuki, maaf menelpon malam-malam begini.”

    “…ada apa, Inoue?”

    “I…Inoue?”

    “Mmn. Ada apa?”

    “………”

    biip-biip-biip

    ***

    “Kazuki…”

    “………”

    “Apa kau…tak mau lagi bicara padaku?”

    ***

    Aku tak pernah tahu sejak kapan aku mulai menjauhi Inoue, dan berhenti bicara padanya.

    Ada semacam rasa benci yang amat kuat setiap kali melihatnya. Mengapa perasaan benci itu muncul, hingga sekarang pun aku tak begitu mengerti.

    Maksudku, tentu aku benci dengan tindakannya yang membuat heboh media massa dua tahun lalu. Kesampingkan aku yang hanya teman sekelasnya – atau mantan teman sekelasnya. Bahkan ayah Inoue pun tidak menyukainya sama sekali. Seringkali aku melihat Inoue masuk ke kelas dengan mata sembab dan kantung mata yang penuh. Ia juga seringkali tak memiliki uang untuk makan.

    Manusia berhati normal mungkin saja akan merasa kasihan padanya. Dan sejujurnya, aku pun bukanlah pengecualian. Aku seringkali merasa iba pada Inoue, dan aku amat ingin bisa menolongnya. Namun seperti yang kukatakan, ada hal lain yang membuatku begitu membencinya, dan kebencian itu tak bisa kujelaskan secara detail.

    Aku benci melihatnya, melihat wajah polosnya. Aku benci melihatnya dijahili para senior dan dijauhi teman-teman sekelas. Kebencian itu makin hari makin memuncak, hingga lama kelamaan aku benci dengan kenyataan bahwa aku pernah mengenalnya.

    Karenanya, saat ia meninggal, aku malah bersyukur.

    Mmn. Bersyukur bahwa pada akhirnya aku bisa lepas dari tuntutan untuk menolongnya. Atau, yang lebih kuharapkan, aku bisa lepas dari pemandangan miris yang ia alami, dan perasaan bersalah yang muncul kala aku tak menolongnya. Meski aku pun merasa kehilangan dengan kepergiannya, namun nyatanya perasaan senang yang ada mampu menutupi rasa kehilangan tersebut – sangat mampu.

    Aku takkan melihatnya lagi. Beberapa minggu setelahnya, aku mungkin takkan ingat padanya lagi. Aku takkan lagi merasa terbebani oleh perasaan benci ini.

    “Inoue Kaoru!”

    Tetapi sekarang, ibu Yoshida masih memanggil namanya di dalam kelas. Sosoknya masih ada disini, berdiri tepat dihadapanku. Sorot matanya yang kelam masih bisa terlihat, terpancar jelas dari bola matanya yang berarna kecoklatan.

    “Hadir!”

    Pandangan Inoue lantas tertuju padaku sesaat setelah gadis itu menurunkan tangannya. Sadar menatapnya sedari tadi, buru-buru aku memalingkan muka.

    “Kawano Kazuki!”

    “Hadir!”

    Dan tentang waktu yang berulang ini…

    Tak bisa mendapatkan penjelasan apapun soal semuanya, pada akhirnya aku berhenti memikirkan hal ini. Kuanggap kasus berulangnya waktu ini sebagai kehendak Tuhan.

    Lebih tepatnya, kehendak Tuhan yang salah alamat.

    Maksudku, tentu ada banyak orang diluar sana yang amat ingin memperbaiki kesalahan yang mereka buat di masa lalu, bukan? Hirano, contohnya. Ia mungkin bisa mengulang waktu satu bulan ini agar tak mengungkapkan perasaannya pada Ayase. Inoue mungkin bisa menggunakannya untuk berobat agar ia bisa sembuh dari penyakitnya. Atau, untuk skala yang lebih besar, Tuhan bisa memberikan anugerah ini pada orang-orang yang akan naik pesawat komersial di dua hari yang akan datang – yang berita kecelakaan tentangnya memenuhi media massa selama berhari-hari.

    Untukku yang tak memiliki protes soal apa yang sudah terjadi, waktu yang berulang ini lebih terasa sebagai sebuah kutukan daripada sebuah anugerah. Aku menyukai apa yang kualami di masa satu bulan yang akan datang : Lepas dari Inoue, dan berpacaran dengan Ayase. Karenanya, aku tak berniat mengubahnya sama sekali.

    Kini, karena waktu berulang kembali, aku harus mengulangi semua yang kulakukan dari awal.

    Mmn. Mengulang semuanya.

    Secara logika, jika waktu kembali berulang, seseorang bisa menempuh pilihan yang berbeda yang akan mengubah takdirnya, bukan? Ibarat game-game eroge yang biasa kumainkan, pilihan yang kuambil bisa saja berakibat pada memeluk Ayase di kamar mandi, atau dikejar-kejar banci di rel kereta api. Aku bisa memilih pilihan apapun sesuka hati.

    Tetapi, karena sudah menemukan apa yang kuinginkan, aku tak perlu mengubah pilihan yang sudah kuambil.

    Apa-apa saja yang sudah kualami, aku akan kembali mengulangnya, entah itu manis atau pahit. Hidupku sudah sesuai dengan apa yang kubayangkan. Aku tak ingin mengubahnya.

    ***​

    “Siapapun yang telat masuk kelas tak boleh masuk, kau paham?”

    Enam hari berlalu semenjak waktu kembali berulang.

    Aku masih ingat bahwa di hari itu Ibu Yoshida tak mengizinkanku masuk kelas. Meskipun sudah susah payah berlari sampai sekolah, aku tetap saja datang telat. Karena Ibu Yoshida tak mengizinkanku masuk kelas, pada akhirnya aku diam di atap sekolah dan tidur hingga sesi pertama usai.

    Hanya saja, kemarin malam aku begitu lelah sehingga dapat tidur lebih awal, yang berakibat bangun lebih pagi. Meski begitu, aku sudah bertekad bahwa aku harus melakukan semuanya sesuai dengan yang sudah terjadi. Karena itulah aku tetap terlambat datang ke sekolah.

    “Ta…tapi…”

    “Tunggu diluar, dan temui ibu di jam istirahat!”

    Yup. Sama persis.

    Ibu Yoshida akan menceramahiku macam-macam di jam istirahat nanti, namun tak untuk waktu lama. Lima menit setelah beliau mengomel, kepala sekolah akan memanggilnya. Aku akan dilepas oleh ibu Yoshida setelah lima menit itu.

    Pintu kelas tertutup rapat dengan aku yang masih berada di luar. Ugh, Ibu Yoshida bisa galak juga jika ia mau…

    Menyesuaikan semuanya seperti dulu, akupun lantas melangkah menuju atap sekolah dan mulai berbaring diatas ruang tangki air. Satu-satunya yang tak kusukai kala itu adalah salju yang menumpuk di permukaan atap, yang membuat tubuhku mengigil kedinginan. Beruntung cuaca cukup cerah sehingga aku tak perlu khawatir soal salju yang turun.

    Meski demikian, hari itu aku hanya bisa pura-pura tertidur. Awalnya kupikir semuanya akan berjalan mudah – bahwa aku cukup berbaring hingga sesi pertama usai, dan tertidur pulas tak lama setelahnya. Nyatanya, aku malah berguling sana sini karena bosan. Tak mudah bagi mataku untuk terpejam. Mmn. Siapa pula yang bisa langsung kembali tidur setelah mimpi panjang?

    Dan lewat setengah jam, aku pun bangkit. Sebuah perasaan nyeri di punggung pun muncul akibat berguling sana-sini.

    Sesaat terpikir olehku untuk kembali turun ke koridor, namun segera kubuang niatku jauh-jauh. Kesampingkan fakta bahwa aku tak berada di koridor di waktu yang sudah kualami. Berada di koridor saat jam sekolah merupakan tindakan kriminal. Semua orang bisa menganggapku sebagai berandalan.

    Rasa bosan yang begitu mengganggu ini tanpa sadar membuat tanganku meraih tas yang sebelumnya kujadikan bantal. Kuaduk-aduk isi tas tersebut – beberapa buku pelajaran, PSP, majalah b*kep, foto Ayase…

    Dan, ah, ini dia! Sebuah MP3 player berwarna hitam!

    “Wehee…”

    Tertawa geli, kupasang earplug yang ada pada kedua telinga. Sambil mendengar lagu Coldplay yang biasa kuputar, akupun teringat akan asal muasal MP3 Player ini.

    “Kawano, aku tak tahu apa yang kau inginkan. Jadi, jangan berharap banyak ya?”

    Ah, neng Ayase…

    Benda ini merupakan hadiah ulang tahun darinya. Entah bagaimana ia mengetahui apa yang kuinginkan – aku tak pernah memberitahu siapapun bahwa aku amat menginginkan benda ini. Nyatanya, hadiah ini pula yang membuatku jatuh hati padanya. Sebelum hari ulang tahun itu, aku hanya sebatas mengaguminya saja.

    Dan jika kupikir-pikir, kala itu sebetulnya aku tak memutar lagu, sih. Dengan memutar lagu, itu berarti sama saja aku mengubah masa lalu. Sempat aku menyesal dengan keputusan untuk memutar lagu. Tapi, yasudahlah. Toh yang terpenting, aku tak pergi kemana-mana, bukan?

    Yah, hanya ada aku sendiri disini, jadi-

    “He? Hanya segini?”

    -aku bisa santai-santai saja…

    Ugh, ada apa ini?

    “Itu semua yang aku punya, jadi…”

    Sebuah suara tamparan menggema di udara.

    Aku masih bisa mendengarnya dengan jelas, meskipun kedua telingaku sudah tertutup earplug. Sekali, dua kali, dan kuhitung mungkin ada lima atau enam suara pukulan. Merasa terganggu, kulepaskan earplug dari telinga dan mengintip apa yang terjadi dari balik atap ruang tangki air.

    Tiga orang senior.

    Tiga orang senior sedang menjahili seorang junior. Salah satunya kuketahui merupakan cucu sang kepala sekolah. Mmn. Saori Rika, gadis unggulan di seantero sekolah yang bagiku lebih mirip berandalan bermuka dua. Tingkahnya selalu manis dihadapan para guru, namun berbalik kala ia menemukan seseorang untuk dijahili.

    Aku amat tahu tentangnya. Ah, bukan hanya aku. Kurasa, seluruh teman sekelasku juga tahu tentangnya – terutama saat kedua temannya membawa Inoue untuk dijahili.

    ………

    Inoue…

    Apa ia ada disana sekarang? Tapi, seharusnya ia sedang berada di kelas, bukan? Aku bahkan sempat melihat wajahnya saat berada di depan pintu.

    Namun suara batuk yang muncul kala itu benar-benar terdengar seperti suara Inoue…

    “Kenapa kau berbohong begitu?”

    Sebuah suara tamparan kembali terdengar.

    Kali ini suara itu muncul begitu keras. Bersamaan dengannya, bisa kembali terdengar suara batuk yang muncul - suara seorang gadis tak berdaya yang menjadi bulan-bulanan para senior.

    Entah bagaimana, suara gadis itu terdengar tidak asing buatku.

    “Aku tidak bohong. Itu semua yang kupunya.“

    Ah, Inoue…

    Gadis itu benar-benar Inoue.

    Tetapi, kenapa? Kenapa ia ada diluar saat kelas masih berlangsung?

    Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak ingat kejadian ini pernah ada di masa laluku. Yang kuingat, aku terbangun kala bel sesi pertama sudah berbunyi, dan tak ada satupun yang kutemui setelahnya.

    Jadi, ini yang terjadi selama aku tertidur. Inoue, dan para seniornya…

    “Kenapa kau hanya bawa segini?”

    “………”

    “Tak mau bicara, heh?”

    Seorang senior mendorongnya kuat-kuat, membuat Inoue terjatuh keatas lantai bersalju.

    …sial.

    Perlakuan para senior terhadap Inoue sungguh mengerikan. Gadis itu tak bisa melawan, namun para senior masih saja memperlakukannya seperti boneka hidup.

    Tetapi…mengapa aku jadi memikirkannya?

    Bukankah aku membencinya?

    “Kau tak percaya pada kami, ya? Kami hanya meminjam uang. MEMINJAM!!”

    “………”

    Seorang senior kembali mendorong tubuh Inoue, membuatnya hilang keseimbangan, membentur tembok, dan kembali jatuh keatas lantai. Untuk sesaat Inoue mengerang kesakitan, sebelum seorang senior kembali mengangkat tubuhnya – lebih tepatnya menjambak rambutnya agar ia berdiri.

    Sebuah bando putih yang biasa Inoue kenakan kini terlepas dari rambutnya.

    “Ah-“

    Tangannya sempat bergerak, berusaha menggapai bando tersebut. Jangkauannya tak sampai sehingga ia hanya bisa pasrah saat salah seorang seniornya menginjak benda itu hingga rusak. Kedua bola mata Inoue masih tertuju pada bando miliknya tatkala sebuah tamparan kembali mendarat di pipinya.

    Pasti menyakitkan sekali diperlakukan seperti itu.

    ………

    Aku…

    Akupun pernah mengalami itu semua, bukan?

    Aku pernah mengalami masa-masa seperti Inoue. Ah, tidak, bukan. Bahkan apa yang Inoue alami mungkin lebih parah daripada apa yang pernah kualami.

    Tetapi, mengapa?

    Mengapa aku memikirkannya?

    Mengapa aku merasa kasihan pada Inoue? Dan mengapa aku ingin menghentikan semuanya?

    Siksaan yang dialami Inoue belum selesai. Para seniornya masih memberinya beberapa perlakuan khusus – guyuran air mineral dan serpihan roti kering diatas kepalanya. Inoue masih tetap diam, tak melawan. Perasaan takut bercampur pasrah masih terpancar darinya.

    “Ahahaha…”

    Cukup…

    Cukup!!

    Itu sudah keterlaluan!

    Tanganku mengepal kuat-kuat. Tawa riang para senior dan keluguan Inoue membuat darahku naik ke ubun-ubun. Kurasakan keinginan kuat untuk berlari menerjang para senior dan memukuli mereka sekuat tenaga. Tindakan para senior itu sudah keterlaluan, dan meskipun Inoue merupakan orang yang kubenci, ia juga tak berhak mengalami semua itu, bukan?

    Mmn. Meskipun aku membencinya, meskipun aku menginginkannya lenyap dari hidupku, aku tak tahan dengan pemandangan yang ada dihadapanku kini.

    Aku melakukannya bukan untuk Inoue. Aku melakukannya karena aku tak suka melihat pemandangan itu. Ya! betul! Kubulatkan tekadku hari itu – bawa aku akan menghentikan kekejaman para senior tersebut.

    Tetapi sesaat setelah mengambil langkah, pemandangan didepan mataku tiba-tiba saja berubah. Tak ada Inoue, tak ada senior, tak ada atap sekolah. Semuanya lenyap.

    Otakku lantas dipenuhi oleh bayang-bayang akan sesuatu yang membuatku diam tak berkutik. Rasa takut tiba-tiba saja memenuhi hatiku hingga tubuhku gemetar dibuatnya. Penglihatanku buram untuk sesaat. Semuanya hitam, buram, tak ada apapun selain ruang serba hitam yang penuh kekosongan.

    Dan setelahnya, bisa kulihat sesosok anak kecil yang dikelilingi beberapa berandal.

    ***​

    “Hanya itu yang kupunya-“

    “Bohong!”

    Ah, aku saat masih SMP.

    Dikelilingi orang-orang yang lebih tua, sosok diriku yang kecil sama sekali tak bisa melawan kala para berandal itu mulai memukuli dan menjarah uang yang ada dalam tas milikku. Semua pukulan itu memang mendarat pada diriku yang masih kecil, namun sakitnya bisa kurasakan dengan jelas. Pipi kanan, pelipis kiri, atas kepala, tendangan di bagian kaki, semuanya…

    “A…ampun…maafkan aku…”

    “Ahahaha…”

    Tawa itu.

    Kengeriannya…

    ***​

    “Ahahah…”

    Hentikan…

    Hentikan!!

    Tidakkah kalian sadar apa yang gadis itu rasakan sekarang?

    “Ahaha…”

    Hentikan!!!

    HENTIKAN!!

    AARGH!!! SIALAN!!!

    Mengapa aku tak bisa bergerak sama sekali?

    Tawa riang para senior masih terngiang jelas ditelinga. Terdengar begitu menyakitkan hingga membuatku menutup telinga rapat-rapat.

    Mengapa aku masih tak bisa menolongnya, kurasa kini aku tahu alasannya.

    Aku…ketakutan.

    Aku takut semua hal itu akan kembali kualami di hari ini. Jika kini aku menolong Inoue, bukan tidak mungkin aku akan masuk koran seperti apa yang dialami gadis itu, dan berakhir pada apa yang ia alami saat ini. Dari semua hal yang ada di dunia, aku paling tak ingin hal itu terjadi.

    Karenanya, aku tak pernah bisa melawan perlakuan jahil ini semenjak dulu.

    Semenjak masuk SMA, perlakuan jahil yang kuterima berangsur-angsur menghilang. Aku bisa diterima oleh lingkunganku dan tak lagi dijahili. Ibarat terbangun dari mimpi buruk, semua kekejaman itu menghilang seiring jalannya waktu dan tak pernah kembali muncul. Dan tak pernah sekalipun aku ingin untuk kembali pada masa-masa itu.

    Karenanya, meskipun Inoue kini mengalami hal buruk, aku tak mau peduli lagi. Aku tak mau lagi terlibat dalam mimpi buruk itu.

    Lebih baik aku mengorbankan Inoue daripada harus menderita kembali.

    “Tetaplah basah begitu. Lagipula, kau belum mandi kan? Hahaha…”

    Tawa para senior masih terdengar jelas. Kututup telingaku makin rapat.

    Bahkan hingga jam istirahat tiba dan para senior itu tak lagi disini, aku masih terus menutup telinga.

    edited :nikmat:

    well, sepertinya melenceng dari rencana awal, tapi keknya lebih enakan, jadi gapapa lah. yang penting alur ceritanya gak berubah :lalala:
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jan 7, 2016
  13. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    development yg menarik. kesannya ada miris juga tapi gw mayan suka dinamik karakter nya kali ini. kerasa kek ada sesuatu yg baru di cerita situ.

    anyway, dari chapter2 awal memang ini cerita punya banyak potensi bt dikembangin. moga2 situ bisa memaksimalkan impact cerita nya sebisa mungkin :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    hee? ini masih tipikal tear jerking yang biasa aku bikin kok :kaget:

    anyway, thanks mod. working on next chapter :hmm:

    on the other hand, kok keknya aku jadi lebih suka nulis longfic kek gini ya :keringat: ah sudahlah :swt:
     
  15. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    banyakan monolog mikir mc ini chapter :swt:
     
    • Thanks Thanks x 1
  16. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ^ well sorry for that. can't think much.

    Hingga kini aku masih bertanya-tanya mengapa Tuhan memberikan anugerah ini padaku.

    Maksudku, meski tahu bahwa dengan anugerah ini aku bisa memenangkan lotere berhadiah dua juta yen, atau memenangkan tiket liburan ke Hawaii, aku tak mau melakukannya. Hidupku mungkin tidak begitu luar biasa, namun aku menyukainya.

    Alih-alih, orang lain yang kesulitan lebih berhak menerima kesempatan ini. Orang seperti Inoue, contohnya. Yah, jika ia selangkah lebih tahu tentnag apa yang akan ia alami, tentunya ia bisa menghindari hal buruk yang akan terjadi – atau bahkan membalas semua perlakuan para seniornya. Aku pasti akan melakukannya jika ada di posisinya.

    Dan sebenarnya, aku juga bisa diam-diam memberitahu Inoue tentang kapan dan dimana ia akan mengalami siksaan, membiarkannya lolos tanpa gangguan. Tetapi jika kupikirkan kembali, apa yang akan terjadi andaikata Inoue lolos dari gangguan? Setidaknya, satu-dua hal akan berubah, bukan? Dan jika perubahan itu kelak mengganggu kehidupanku, aku tak menginginkannya.

    Sekali lagi, hidupku sudah sempurna. Aku tak ingin masa depanku mengalami perubahan. Lagipula, aku dan Inoue sudah tak lagi bicara satu sama lain. Persahabatan yang kami miliki sejak SMP kini menghilang ibarat embun di pagi hari.

    Atau…setidaknya itulah yang kupikirkan.

    Aku terus beranggapan bahwa persahabatan antara aku dan Inoue sudah runtuh. Selalu. Selalu berpikir demikian. Namun semenjak melihatnya kemarin siang, beberapa hal kini menggangguku.

    Mengapa aku meraha iba saat melihatnya diganggu?

    Mengapa aku merasakan dorongan yang kuat untuk menghajar para senior? Dan mengapa aku…tak bisa melakukannya?

    Mengapa kenangan buruk di masa kecilku kembali muncul saat melihatnya?

    ………

    Mungkin, kebencianku pada Inoue hanyalah alasan saja, karena aku masih tak kuat melihatnya menderita. Mmn. Bahkan hati kecilku berkata bahwa kebencianku hanyalah alasan untukku menjauhi dunia yang ada disekitarnya.

    Ya. Dunia kelam yang membawaku larut dalam duka, yang sama sekali tak ingin kumasuki kembali.

    Tapi, jika benar demikian, apakah selama ini aku melakukan hal yang benar?

    Mengapa perasaan benci yang kupendam padanya – yang terkumpul selama berbulan-bulan – seketika runtuh saat melihatnya kemarin siang?

    ***​

    “Yo, Kawano, makan siang apa nih?”

    Yamada mencekik leherku dengan sikutnya kala sesi pertama selesai. Sakit, sih. Tapi si bejat ini tetap saja melakukannya.

    “…apa sih, Yamada?”

    “Nggak bekal, kan? Makan di kantin, yuk!”

    “Heeh,” Mataku menatap sinis. “Makan di kantin?”

    “Iya.” Yamada mengangguk. “Makan, terus kabur!”

    Goblok!

    Kadang-kadang aku amat ingin melaporkannya si bejat ini ke polisi. Dasar, rada bego…

    “Bercanda, lah. Sebenarnya, aku mau minta tolong, sih.”

    “…apa?”

    “Makanya, ayo makan di kantin, biar aku cerita detailnya. Kalau kau tak ada uang biar aku yang bayar.”

    Ugh, sebenarnya aku sudah tahu kalau dia tak akan bayar sama sekali, sih. Dan jika boleh memilih, aku akan memilih diam di kelas saja.

    Tentu, pilihanku berdasar atas apa yang sudah kualami sebelumnya. Di kantin, Yamada akan meminta bantuanku untuk menyimpan barang-barang berharga miliknya : majalah b*kep berusia setahunan lebih. Ayahnya menemukan barang-barang tersebut kala Yamada sedang asyik bermain eroge, dan menceramahinya semalam penuh. Beliau meminta Yamada membuangnya, dan Yamada berencana menjadikan kamarku sebagai tempat sampah untuk koleksinya tersebut.

    Uh, aku tak keberatan sih. Terlebih, aku dan Yamada menyukai dunia yang sama, dan koleksi Yamada yang kelak akan dititipkan padaku merupakan koleksi langka yang hanya ia simpan untuk dirinya sendiri. Si mesum ini menyimpan beberapa kenikmatan untuk dirinya sendiri. Karma. Mampus.

    Pada akhirnya aku setuju untuk menyimpan majalah Yamada. Masalahnya, adikku lantas menemukan semua barang tersebut. Meski lantas kusogok adikku dengan semangkuk es krim, pada akhirnya ia tetap buka mulut. Aku marah, tentu. Namun si kecil itu hanya bilang “puhehe,” sambil mengetuk kepalanya sendiri. Duka memiliki adik kecil…

    Sama-sama tak memiliki tempat bernauh, kejadian selanjutnya berakhir pada Hirano yang menjadi korban atas rasa penasaran kami terhadap dunia b*kep. Aku merasa kasihan padanya yang otaknya sama sekali belum tercemar.

    “Hoi! Kawano!”

    “Eh? Ah…maaf-”

    Kek.

    Yamada mencekik leherku makin jadi, membuatku merengek-rengek minta dilepaskan.

    “Kalau semua maaf bisa diterima, polisi tidaklah dibutuhkan.”

    “Mengerti! Mengerti! Lepasin, dong!”

    Saat ia melepaskanku dan mengajak kembali ke kantin, aku pun hanya mengangguk.

    ***​

    Kantin sekolah ini terletak di lantai satu.

    Seluruh dinding yang ada di ruangan ini diganti oleh lapisan kaca. Karenanya, kami bisa melihat apa yang terjadi di halaman depan atau di koridor. Makanan yang disajikan disini tak begitu enak, namun cukup untuk membuat perut kami kenyang.

    “Jadi,” kataku pura-pura tidak tahu. “Mau minta tolong apa?”

    “Yawh, imhi muhishi rwahwasiha-”

    Telan dulu makananmu, ugh!

    Butuh waktu cukup lama bagi Yamada untuk mengunyah makanannya, menelan, dan kembali bicara. “Yaah, ini sebenarnya rahasia. Jika aku bilang padamu, nanti bukan rahasia lagi dong?”

    “Balik, ah.”

    “Ehh! Bercanda-bercanda atuh! Hahaha, duduk dulu, sini.”

    Dasar laknat!

    Tak jadi kabur, tanganku kembali bergerak, menyuap nasi kare yang rasanya sedikit hambar. Yamada masih asyik dengan mappo tofu miliknya saat ia kembali berkata perlahan, “Anu, Kawano, keberatan nggak kalau aku titip beberapa barang di kamarmu?”

    “Barang apa?”

    “Harta karun. Nilainya mungkin sepuluh juta yen.”

    “Apaan? Celana dalam emakmu?”

    “Bukan, lah! Kalau itu sih, seribu yen juga masih kelebihan.”

    Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ibunya mendengar ucapan sang anak.

    “Jadi, apa?”

    “Majalah b*kep.”

    Aku sudah tahu Yamada akan mengatakan hal ini. Meski demikian, tetap saja aku tersedak saat ia mengatakannya tanpa basa-basi – dengan intonasi datar layaknya b*kep merupakan sesuatu yang normal. Tawaku ingin meledak, namun dengan nasi yang masih ada di tenggorokan, aku bisa mati mendadak.

    Kubuka jus kaleng yang ada diatas meja, dan meminumnya sampai habis.

    “Reaksimu lebay, deh.”

    “Nggak lebay bagaimana? Kamu minta titip majalah b*kep seperti minta keripik kentang.”

    “Memang sama, kan? b*kep dan keripik kentang sama-sama suplemen kehidupan.”

    “Gundulmu! Dan juga, bagaimana b*kep bisa bernilai sepuluh juta yen?”

    Yamada terdiam sesaat, menunduk. Jemarinya menempel di dagu layaknya seorang detektif memikirkan kasus pembunuhan. Bagus, Sherlock. Mikir apa kamu?

    “Okelah. Kalau begitu, mari kita ganti kata b*kep dengan ‘keripik kentang’. Keberatan?”

    Kaleng jus kosong yang ada di tanganku pun lantas melayang menghantam kepalanya.

    ***​

    Tiga puluh menit berlalu, dan diskusi soal ‘keripik ketang’ ini tiba di fase akhir. Aku setuju untuk menolongnya, dan Yamada bilang bahwa ia akan menemuiku besok sepulang sekolah.

    “Dengan begini, kita namakan misi ini dengan sandi ‘Operation Potato’.”

    …sesukamu sajalah.

    Kami lantas berdiri, mengambil piring bekas makan dan berjalan ke counter untuk membuang sisa makanan dan menyimpan piring bekas. Yamada ikut dibelakang, mengekor. Aku tiba di counter dan membuang sisa makanan lebih dulu.

    Belum selesai melakukannya, sebuah suara piring pecah terdengar dari arah belakang.

    Kepalaku refleks menoleh. Kudapati Yamada yang…tunggu. Dia tidak apa-apa?

    Mmn. Tak ada yang salah dengan Yamada. Ia masih berdiri dengan nampan dan piring yang masih ada di kedua tangannya.

    Tetapi, untuk suatu alasan, wajahnya tampak gusar. Saat melihat apa yang ada dibawahnya, barulah aku sadar mengapa.

    “Maaf…”

    Tepat di bawah kaki Yamada, Inoue jatuh terjerembab. Piring yang dibawanya pecah berkeping-keping. Aku tak tahu apa yang membuat gadis itu jatuh. Uh, aku bahkan tak mau tahu. Gadis itu jatuh diatas piring pecah, dan, ah, tangannya…dari arah telapak tangannya mengalir darah segar.

    Mmn. Telapak tangan Inoue sobek akibat terkena pecahan beling. Rasanya pasti amat menyakitkan.

    Dan entah bagaimana, sesegera mungkin aku melempar nampan dan piring yang kupegang kedalam wastafel. Kakiku tanpa sadar mulai melangkah ke arah sang gadis. .

    Tetapi kemudian-

    “Hei, pakai mata kalau jalan!”

    -suara teriakan Yamada terdengar jelas di telinga.

    Suara teriakan itu cukup untuk membuat langkahku terhenti. Melihat Yamada yang seketika berubah agresif, tubuhku mendadak kaku.

    “Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf..”

    “Cih. Kalau semua maaf diterima, tak perlu ada polisi.”

    Ah, kembali ia melontarkan kata-kata itu. Bukan sebagai candaan seperti yang ia lempar padaku, ucapan itu terasa bagai sarkasme yang membuat pilu hati seseorang. Bahkan aku merasa takut karenanya.

    Inoue tak berkata apapun lagi, hanya menunduk dan kembali meminta maaf. Perlahan, tangannya mulai memunguti sisa-sisa piring pecah – tangannya yang meneteskan darah segar itu…

    Dan Yamada tak membantu Inoue sama sekali dengan piring pecah tersebut – tak ada seorangpun yang membantunya. Bahkan mungkin, merasa bersalah atau kasihan pun tidak. Semua orang yang ada di kantin ini hanya melihat kejadian itu untuk sesaat, dan kembali melanjutkan aktivitasnya.

    Stereotip dan stigma yang melekat pada diri Inoue membuatnya seolah hidup di pengasingan. Aku tak tahu bahwa stigma buruk yang ada di masyarakat bisa berakibat sangat mengerikan.

    Untuk beberapa lama, aku terpaku menatap Inoue yang memunguti sisa pecahan piring. Seorang diri.

    Aku ingin membantunya. Aku…aku ingin berlari padanya dan membaawanya ke ruang kesehatan.

    Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja.

    ………

    Tetapi aku tak melakukannya.

    Dan melihat Inoue yang terus memunguti sisa pecahan piring dengan tangannya yang luka, rasanya aku ingin menangis.

    ***​

    Seingatku, tak pernah ada pertemuan dengan Inoue saat kami berdiskusi soal ‘Keripik Kentang’. Mungkin karena aku masih menganggapnya beban, hal tersebut berlalu begitu saja di ingatanku. Entahlah.

    Tetapi kini, bayang-bayang Inoue yang memunguti pecahan piring terus muncul di benakku. Wajahnya yang lugu dan sedih terus-menerus menggangguku. Aku merasa bersalah karena tak bisa menolongnya. Di sisi lain, aku merasa takut jika harus menolongnya.

    Dan aku merasa menyesal dengan keputusan yang kubuat kemudian – untuk meninggalkannya dan kembali ke kelas sesegera mungkin. Aku terlalu takut untuk membantunya. Yamada mungkin akan merasa kesal jika aku membantu Inoue, dan bukan tidak mungkin aku akan dijauhi olehnya karena hal itu.

    Aku tak mengerti mengapa perasaanku padanya berubah semudah itu. Kenyataan bahwa aku membencinya kini tampak ibarat sebuah kebohongan. Kini, melihatnya saja membuatku iba. Di lain hal, aku merasa kesal karena tak bisa berbuat apapun soal itu. Aku merasa takut untuk menolongnya – meski entah bagaimana, aku merasa senang bisa kembali memperhatikannya.

    “Kawano,”

    Ayase menyapaku dari samping meja kala jam sekolah usai, tersenyum. Aku yang sedari tadi melamun sontak terkejut oleh suaranya.

    “A…apa? Eh, hai. Ayase.”

    Ayase menatapku keheranan untuk sesaat, sebelum kembali berkata perlahan, “Mau pulang sama-sama?”

    Ayase pulang sejalur denganku, meski pada kenyataannya kami hanya sesekali saja pulang sama-sama. Mendapatkan kesempatan langka untuk bisa berdua dengan Ayase, seharusnya aku merasa senang.

    Ya, tentu. Andai aku tak teringat akan kejadian di kantin, dan melihat sosok Inoue di meja belakang.

    Tak ada hal spesial saat pulang dengan Ayase di hari itu. Kami hanya mengobrol ini itu soal sekolah, dan bepisah di persimpangan dekat stasiun. Ayase akan naik kereta untuk pulang, dan aku terus berjalan sendirian. Meski aku bisa saja mengulang kejadian itu, untuk kali ini ada dorongan yang kuat untuk menolak ajakan Ayase.

    Kelas sudah teramat sepi, hanya kami bertiga yang tersisa. Yamada dan teman-temanku yang lain mungkin sudah berada di gerbang depan, dan Inoue selalu pulang paling belakang. Jika aku menunggu sedikit lama, aku bisa berdua dengan Inoue, dan mungkin menanyakan kondisi tangannya.

    Mmn. Hanya kondisi tangannya.

    Karena tanpa sadar, aku amat ingin kembali bicara padanya. Meski keraguan masih muncul menyelimutiku, namun aku amat ingin kembali bicara dengan Inoue.

    ………

    Ayase, Yamada, dan kehidupanku.

    Apa aku bisa mempertaruhkan semuanya demi menghilangkan rasa bersalah ini?

    “Kawano?”

    “Eh? Ah, ya?”

    “Kamu kenapa?”

    Ayase melambai-lambaikan telapak tangannya di depan mataku. Sadar kembali melamun, aku tersenyum kikuk. Kubalas pertanyaan Ayase dengan senyum lebar yang dipaksakan. “Tidak, tak ada apa-apa. Maaf jadi cuek begini.”

    “Hmn, apa kau punya masalah?”

    Otakku masih belum bisa memutuskan apa yang sebaiknya kukatakan. Namun kemudian, kusadari tatapan mata Ayase yang kini tertuju pada apa yang kulihat – Inoue.

    “Kau ingin bicara padanya, ya?”

    “Ah, itu…”

    Ayase tersenyum lebar sebelum aku sempat selesai bicara. “Tak apa-apa, kok. Jika itu antara kau dan dia, pasti sesuatu yang penting, bukan?”

    Tidak begitu penting, sih. Tapi…

    “Kalau begitu, sampai jumpa besok ya, Kawano.”

    Ayase berpamitan bahkan sebelum aku sempat membalas kata-katanya, melambaikan tangan dan melangkah keluar kelas. Tanganku ikut melambai tanpa sadar, sementara batinku berkecamuk. Apa aku melakukan hal yang benar? Apa masa depan akan berubah dengan pilihanku hari ini?

    Tetapi, ini sudah terjadi. Masa depan mungkin akan berubah, namun kini aku tak peduli lagi.

    Kudapati Inoue yang beranjak berdiri dan melangkah perlahan keluar kelas. Aku lantas berdiri. Sebelum ia keluar kelas, aku harus menghentikannya.

    “Anu,”

    Satu kata itu serta-merta menghentikan Inoue.

    Kata pertama yang kuucapkan padanya setelah tak saling sapa setahun lebih.

    Dan perlahan, Inoue memalingkan wajahnya.

    Meski demikian, ia tak membalas – hanya melihatku dengan tatapan kosongnya seperti biasa. Aku menjadi ragu untuk sesaat, dan rangkaian kata yang sempat tersusun di otakku untuknya kini hancur berantakan.

    Tepat saat ia akan kembali melangkah-

    “Apa tanganmu baik-baik saja?”

    -rangkaian kata itu kembali muncul, dan keluar begitu saja dari pita suaraku.

    Inoue kembali menghentikan langkahnya. Kali ini cukup lama sehingga membuatku berpikir bahwa aku melukai perasannya. Aku baru akan meminta maaf saat kemudian tampak wajah Inoue yang menoleh padaku.

    Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya saat ia mengangguk perlahan.

    “…mmn.”

    Hatiku mendadak hangat untuk suatu alasan. Hanya sebuah senyum kecil yang dipaksakan, namun cukup untuk membuatku bahagia. Tanpa sadar, aku balas tersenyum lega, dan kembali berkata, “Boleh kulihat tanganmu?“

    Inoue tak membalas, hanya diam menunduk. Tanpa menunggu balasannya, aku berjalan mendekat.

    Dan kupikir Inoue akan dengan serta merta memperlihatkan tangannya padaku.

    Tetapi-

    “Jangan mendekat!”

    -Inoue lantas berteriak keras-keras.

    Sebuah ekspresi kemarahan muncul dari raut wajahnya. Suaranya terdengar begitu tajam, seolah menolak kuat-kuat keberadaanku. Aku masih tertegun, shock, saat kemudian Inoue menatap tajam padaku.

    “Jangan mendekat…”

    Rasa hangat yang sempat muncul di hatiku kini kembali sirna. Meski tak tahu kenapa, kini aku kembali merasa kesal padanya. Niat baikku untuk memperhatikannya dibalas oleh teriakan, dan itu membuat perasaanku hancur.

    “Ke…kenapa?!”

    “Tolong. Menjauh saja. Kumohon…”

    Terasa sedikit getaran pada suaranya tatkala ia mengatakannya, seolah menahan tangis yang hampir muncul. Aku yang frustasi kini dibuat semakin bingung olehnya. Aku mungkin menyakiti perasaannya, tapi kenapa? Apa yang sudah kulakukan?

    “He…hei! Kenapa? kenapa kau berteriak begitu?”

    Tanpa sadar, emosiku ikut meledak, dan aku ikut berteriak padanya tanpa alasan jelas.

    “Tanganmu luka, bukan! Kenapa kau menolak bantuanku? Tidakkah kau sadar bahwa selama ini kau selalu sendiri? Aku mencoba menolongmu!”

    Inoue tak langsung menjawab, dan keheningan menyelimuti kami untuk sesaat.

    “Jika…”

    Setelah beberapa saat, suaranya kembali terdengar.

    “…jika kau melakukan ini semua hanya karena aku akan mati di bulan depan, lebih baik kau tak usah melakukannya!”

    Berteriak seperti itu, Inoue lantas berlari keluar kelas, meninggalkanku yang gusar. Konyol! Aku tak melakukan ini karena ia akan mati!

    …tetapi, tunggu.

    Tunggu sebentar.

    Mengapa Inoue tahu bahwa ia akan mati di bulan depan?
     
    • Like Like x 1
    • Setuju Setuju x 1
    Last edited: Jan 14, 2016
  17. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    oh, menarik :iii:
    lumayan terbayar gimana konflik perasaan si mcnya pingin nolongin atau nggak nya.
     
    • Thanks Thanks x 1
  18. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm....buat chapter yg terbaru, situ kayaknya semakin lancar dalam membuat adegan drama kek yg situ demen :bloon: jadinya gk terlalu terpaku di bikin comedy trus :hihi:

    good luck, moga2 buat kedepan situ bisa lebih lancar lagi pas nulisnya :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  19. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    high_timehigh_time sherlock1524sherlock1524
    thanks for always reading :matabelo: seriously, my work is killing me right now :swt:
    but I will never give up :onfire:

    And here it goes, chapter 5, wogh :onfire:

    Aku berlari menyusuri koridor sekuat tenaga.

    Tak kupedulikan lagi napasku yang kian pendek. Aku tak mau Kazuki menemukanku dan menanyaiku macam-macam.

    Atau, lebih tepatnya, aku tak mau lagi melihat wajahnya. Mn. AKu sudah muak dengannya. AKu tak ingin lagi terlibat satu hal apapun dengannya. Karenanya, aku terus berlari. Meski tahu bahwa aku bisa jatuh tersungkur sewaktu-waktu, kakiku tak berhenti mengayun.

    “Haah, haah…”

    Dadaku serasa dikuliti secara perlahan. Aku tak tahu apakah rasa sakit ini muncul akibat radang paru-paru yang kualami, atau perasaanku yang terluka. Entahlah. Peduli setan dengan semuanya.

    Lagipula, aku akan mati di bulan depan.

    Mmn. Aku tahu aku akan mati di bulan depan. Aku juga tahu apa yang akan terjadi selama satu bulan ini. Kazuki yang mengacuhkanku, para senior yang menyiksaku di atap sekolah, aku yang tak bisa bergerak setelahnya, semuanya.

    Dan meski awalnya aku tak mau mati, namun jika kupikirkan sekarang, sepertinya hal itu bukanlah hal yang buruk.

    Lagipula, hidup ini tidaklah menyenangkan. Berada di dunia seorang diri, terhina, semua yang kualami tak ubahnya seperti mimpi yang sangat buruk, yang entah kapan akan berakhir. Tawa? Bahagia? Senang? Ah, kapan terakhir kali aku merasakan hal itu?

    Satu-satunya jalan keliar yang bisa terpikir olehku hanyalah kematian itu sendiri.

    “Inoue!”

    Kazuki mulai mengejar. Ia pasti penasaran dengan apa yang kukatakan. Membuka rahasia yang selama ini tersimpan rapat, aku benar-benar ceroboh. Muncul penyesalan mengapa bibirku mengatakannya. Tapi, semuanya sudah terjadi.

    Apakah dengan kecerobohanku, ada sesuatu yang akan berubah?

    Aku…aku tak ingin semuanya berubah. Apa yang terjadi selama satu bulan di masa lalu, aku ingin semuanya berakhir sama. Mmn. Senior yang menyiksaku, rasa sakit yang muncul, dan perasaan Kazuki padaku…

    …aku tak ingin semuanya berubah.

    Tetapi, kenapa?

    Kenapa kini Kazuki mengejarku?

    Kenapa Kazuki…peduli padaku?

    “Inoue, tunggu!”

    Ah, aku tak mau tahu lagi!

    Tak mau berurusan lebih jauh dengannya, aku terus berlari hingga tiba di lorong menuju toilet, dan masuk toilet wanita sesegera mungkin. Bisa kulihat sosok Kazuki tepat di depan pintu yang kini kubanting keras-keras. Kecuali ia tak keberatan dicap sebagai penjahat kelamin, Kazuki takkan berani masuk kemari.

    Aku tak mau lagi melihat wajahnya!

    ***

    “He…hei! Kau kenapa? Kau baik-baik saja?”

    Hal terakhir yang kulihat dari dunia ini adalah bapak penjaga sekolah yang menghampiri tubuhku dengan wajah panik. Aku tak merasakan apapun setelahnya selain kehampaan. Semuanya gelap. aku tak bisa melihat apapun untuk beberapa lama, hingga kemudian, terdengar suara seorang dokter yang berkata perlahan.

    “Anak ini sudah mati.”

    Ah, benar. Aku sudah mati. Aku bahkan bisa melihat tubuhku yang terbaring kaku tak bernapas diatas mobil ambulans.

    Sungguh, aku tak ingin semuanya berakhir seperti ini. Aku masih ingin hidup, tertawa, dan menemukan kebahagiaan. Setidaknya, sebelum meninggal, aku tak ingin memiliki penyesalan.

    Tetapi tak ada apapun yang bisa kulakukan. Hidupku yang singkat dan tak bermakna berakhir begitu saja diatas mobil ambulans yang dingin dan kecil. Padahal, masih banyak yang ingin kulakukan.

    Salah satunya, kembali bicara dengannya.

    Ya, benar.

    Aku…ingin kembali berbicara dengan Kazuki.

    ***

    “…apa kau, tak mau lagi bicara padaku?”

    Musim semi setahun yang lalu, hujan turun rintik-rintik.

    Berdiri didepan rumah Kazuki, kulempar sebuah senyum yang sedikit kupaksakan. Bisa kulihat wajah Kazuki yang sama sekali tak mengindahkan sapaanku.

    Aku melangkah mendekat. Sebuah payung kuulurkan padanya.

    Biasanya aku akan menunggu di depan rumahnya. Kazuki akan menyapaku, dan kami akan berangkat ke sekolah bersama. Di hari hujan seperti ini, hal yang paling menyenangkan adalah kala kami berjalan beriringan dibawah payung yang sama. Beberapa kali kami melakukannya saat SMP dulu.

    Tetapi sekarang, semuannya hanyalah kenangan.

    Kazuki melangkah mendekat. Sempat muncul sebuah senyum di bibirku, berharap ia akan mengambil payung yang kugenggam dan berjalan bersama.

    Namun ia mengacuhkanku begitu saja.

    ………

    Untuk suatu alasan jelas, tubuhku gemetar hebat. Tanganku mengepal, tak kuat menahan sakit muncul bertubi-tubi. Aku cukup terkejut kala mendapati rasa asin dari air yang menyentuh mulutku.

    Ah…

    Persahabatan kami sudah berakhir.

    ***

    Kazuki sudah memiliki dunianya sendiri.

    Sementara aku terus menjadi bulan-bulanan masyarakat akibat apa yang kulakukan kala SMP dulu, Kazuki menjadi lebih ceria. Di SMA ini ia menemukan teman-teman yang bisa mengerti tentangnya. Ia tak lagi menjadi bulan-bulanan sepertiku.

    Perlahan, hidupnya berangsur membaik. Aku merasa senang dengan hal itu, meski aku juga menjadi kesepian karenanya.

    ………

    Aku percaya bahwa Kazuki takkan meninggalkanku.

    Ya. itu benar. Suatu hari nanti, Kazuki pasti akan kembali. Persahabatan kami pasti akan kembali seperti sediakala. Kazuki kelak akan kembali, dan membawaku serta keluar dari dunia yang kosong ini. Aku percaya hal itu. Selalu percaya akan hal itu. Selalu…

    Karenanya, aku terus menunggunya.

    Meskipun duniaku menjadi lebih sempit, aku tak putus asa. Aku akan terus menyapanya, menunggunya, dan tersenyum padanya. Meski hari-hari yang kulewati tanpa perhatiannya benar-benar membuatku sedih, namun aku akan terus menunggunya.

    Mmn. Hari dimana aku dan dia kembali berteman pasti akan tiba!

    ***

    “Sampah!”

    Setelah menerima pukulan dari Senior Saori, entah mengapa aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali.

    Hari itu aku sedang tidak sehat, namun aku tak menyangka jika aku sampai tak bisa bergerak dibuatnya. Pagi ini dadaku terasa begitu sesak. Rasanya, napasku menjadi kian pendek. Tetapi mungkin itu hanya perasaanku saja.

    Meski demikian, kini aku sama sekali tak bisa bergerak. Tubuhku sakit sekali. Dingin. Jari tanganku terasa begitu dingin. Mataku, ah, perlahan mataku kehilangan fokus.

    Tolong aku.

    Seseorang, tolong aku.

    Kazuki.

    Kazuki…

    ………

    Setahun berlalu, dan Kazuki masih tak menyapaku. Hubungan kami kian hancur. Ia bahkan tak mau melihatku sama sekali.

    Aku ingat kami sering mendapat perlakuan seperti ini kala SMP, dan akan saling menghibur setelahnya. Tetapi kini, di atap sekolah ini, hanya aku seorang diri. Kazuki mungkin sedang tertawa riang bersama teman-temannya – bahkan bukan tidak mungkin menertawakan keluguanku.

    Ia tak lagi datang menolongku.

    Ia…

    ………

    Kazuki…

    Mengapa kau tak kunjung datang?

    “U…Uhuk…”

    Sebongkah cairan asam terasa di mulutku. Tak lama setelahnya, bisa kulihat tetesan berwarna merah kental jatuh diatas lantai bersalju.

    Ini pertengahan musim dingin. Salju sedang turun deras, dan para senior menjahiliku dengan menumpahkan es kola keatas kepala. Sekarang mereka mengunci pintu masuk menuju ruang gedung utama, membuatku terkunci diatap sekolah dengan salju dan angin yang bertiup kencang.

    Tetapi, darah?

    Mengapa mulutku meneteskan darah? Aku memang sedang sakit. Tapi, apakah separah ini?

    Merasa lemas, kubaringkan tubuhku diatas lantai dingin ini. Jauh diatas sana, langit sama sekali tak tampak. Semuanya putih, bersih.

    ………

    Kazuki, bolehkah aku bercerita?

    Kau tahu? Satu tahun terakhir ini, aku terus-menerus dihantui mimpi buruk. Mimpi dimana kau menemukan kehidupanmu, dan meninggalkanku sendiri. Mimpi dimana kau meninggalkan dunia tempat dimana kita bisa tertawa bersama, dan membiarkanku disana seorang diri.

    Tetapi, itu semua hanya mimpi, bukan?

    Tolong, katakan bahwa itu semua hanya mimpi buruk, Kazuki.

    Kazuki…

    ………

    Ah, lemas sekali…

    Mungkin aku akan beristirahat sebentar.

    “He…hei!”

    Eh?

    Siapa? Siapa yang datang? Kazuki? Apa ia sudah kembali?

    “Kau kenapa? Kau baik-baik saja?”

    Ah…

    Hanya pak penjaga sekolah.

    ***

    Kazuki tak pernah kembali. Bahkan hingga aku mati, ia masih tertawa dan senang dengan dunianya. Sadar akan hal itu, hatiku terasa begitu perih.

    Hingga akhir, Kazuki tak pernah melihatku lagi.

    Harapanku akan kembalinya Kazuki hancur kala melihatnya tertawa riang setelah prosesi pemakaman. Ia bahkan merasa bahagia kala berhasil menyatakan perasaannya pada Kanata. Ia bahkan tak ingat bahwa aku baru saja dimakamkan.

    Sadar dengan keluguanku, aku tertawa miris.

    Aku selalu dikhianati olehnya, namun aku terus percaya bahwa ia akan kembali – bahwa persahabatan kami akan kembali seperti sediakala.

    Ah…

    Aku sungguh bodoh.

    Sadar dengan semua hal itu, aku tertawa sinis. Hatiku terasa hampa, namun juga lega untuk suatu alasan.

    Kini aku takkan bertemu dengannya lagi. Kami takkan bisa saling bicara lagi. Semuanya sudah berakhir. Meski aku tak ingin semuanya berakhir seperti ini, semuanya sudah berakhir.

    Andai saja aku tak pernah mengenalnya, semuanya pasti takkan sesakit ini.

    Ya. Itu benar.

    Kuharap aku tak pernah mengenalnya.

    Aku selalu sendiri, dan akan selalu sendiri. Kazuki tak ubahnya seperti orang lain yang kutemui.

    Jika aku terlahir kembali sebagai Inoue Kaoru, dan menjalankan kehidupan yang sama sekali lagi. Aku takkan percaya lagi pada siapapun.

    Terlahir kembali? Heh.

    Daripada kembali ke dunia penuh dusta seperti ini, mungkin sebaiknya aku tak pernah terlahir kembali.

    ***

    Entah kekuatan apa yang membuatku kembali hidup, dan membuat waktu berulang ke masa satu bulan sebelum tanggal kematianku.

    “Ka…Kau Inoue, bukan?!”

    Kazuki menyadari bahwa aku kembali hidup – yang berarti, ia juga sadar bahwa waktu kembali terulang. Aku memutuskan untuk tak bicara padanya lagi, dan mengurung diriku seorang diri.

    ………

    Ini semua sungguh tidak adil.

    Maksudku, semuanya sudah berakhir. Aku sudah menerima kekalahanku. Aku sudah menerima bahwa Kazuki tak kembali, dan dengan kenyataan bahwa aku berakhir seorang diri. Mmn. Aku bahkan tahu Kazuki sudah menemukan cintanya.

    Tetapi, kenapa?

    “Kubilang lepaskan, sialan!”

    Kenapa kini semuanya kembali terulang?

    Kenapa aku harus mengalami kembali satu bulan penderitaan yang kualami?

    Ah, dunia ini sungguh kejam!

    ***

    Sore dimana aku akan pulang, dan Kazuki masih ada di kelas ini.

    Aku takkan menyapanya sama sekali. Aku sudah menyerah. Aku sudah menerima kenyataan bahwa Kazuki tak kembali padaku, dan semuanya akan kembali berakhir seperti seharusnya. Aku akan kembali mati, dan Kazuki akan terus berada di dunianya.

    Tetapi-

    “Apa tanganmu baik-baik saja?”

    -kenapa?

    Kenapa di waktu yang berulang ini, ia kembali memanggilku?

    Kakiku berhenti melangkah kala suara Kazuki terdengar olehku. Perasaanku yang sudah lama mati kini seolah dihujani oleh ribuan cahaya kehidupan yang memberiku energi untuk tersenyum – Ah, benar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa kembali tersenyum.

    Melihat sosoknya yang menatapku cemas, aku mengangguk.

    Sorot mata itu…

    Itu merupakan sorot mata yang sudah lama kunantikan.

    Detik itu pula aku merasa sangat bahagia, hingga bisa kurasakan tangisku yang hampir pecah. Namun kala ia mendekatiku perlahan, aku kembali sadar dengan duniaku.

    Kazuki tak pernah sekalipun peduli padaku.

    Tidak pernah.

    Dan juga-

    “Jika…jika kau melakukan ini semua hanya karena aku akan mati di bulan depan, lebih baik kau tak usah melakukannya!”

    -Kazuki tahu apa yang terjadi di bulan depan.

    Ia juga kembali ke masa lalu, sama sepertiku. Dan karena ia tahu bahwa aku akan mati di bulan depan, ia pasti sengaja berbuat baik padaku – sekedar untuk membuatku senang atau terhibur.

    Heh.

    Aku takkan tertipu olehnya.

    Semua yang ia katakan pasti hanyalah bualan untuk membuatku senang.

    “Inoue,”

    Suara Kazuki terdengar dari balik pintu.

    “Aku tak peduli jika kau akan mati bulan depan. Tapi berhentilah membuatku khawatir. Aku takkan mengganggumu lagi setelahnya.”

    Semuanya…

    “Aku tak mau melihatmu sedih seperti ini.”

    …hanyalah bualan.

    …bukan?

    ………

    edited
     
    • Like Like x 1
    • For The Win For The Win x 1
    Last edited: Feb 7, 2016
  20. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    nice closing so far :bloon: mungkin bisa lebih menarik kalo dideskripsikan backstory nya ketimbang dari monolog aja, tapi mang lebih simpel sih difokusin ke cerita yg sekarang sambil bangun dikit2 mata rantai nya.
     
    • Thanks Thanks x 1
  21. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    ilangin tidak setujumu terhadap posku klo mw dbaca :gadisawas:

    bab 5 keknya harus dikasih penjelasan atau apa klo ini dari sudut pndang yg beda. soalnya klo banyak, rada susah bedain mana yg mana kan?
     
    • Thanks Thanks x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.