1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Legend/Myth Two Great Chinese Legend - Facts and Fiction

Discussion in 'History and Culture' started by Kurenai86, Mar 30, 2010.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. emiliaw Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Nov 9, 2008
    Messages:
    67
    Trophy Points:
    21
    Ratings:
    +11 / -0
    ikut nimbrung ah :D
    kayanya cerita FSB menarik cuma males baca, ga ada waktu soalnya :(( , mendingan nonton
    kalo JTTW mah udah apal :))
    btw FSB ini sama ga sih sama cerita 7 dewa (yg cerita ttg dewa yg menuntun 7 orang yg jadi dewa berdasarkan sifatnya, ada yg suka tidur, jatuh cinta terus, suka makan dll) pernah nonton serinya tp lupa judul
    soal tao sama budha kaya nya ga saling menjelek2 an, cuma saling menonjolkan diri aja hehehe

    kalo gitu JTTW versi stephen chow juga pas doang, yg ceritanya biksu tong dipenjara trus siluman di sebelah nya bunuh diri waktu biksu tong nya cerita :piss:

    analisa soal nya gokong sebagai pikiran, patkai sebagai napsu dan sa sheng sebagai logika sangat bagus :smiley_beer: kuda sebagai tubuh duniawi (karena sebenernya tubuh asli nya naga kan) dan pendeta tong sebagai tujuan yang mulia yg ada diatas tubuh duniawi. tubuh duniawi dan tujuan yang mulia tidak bisa sampai tujuan kalau tidak memberi pelajaran yang baik ke logika, mengatur pikiran dan mengontrol napsu.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    ^
    ^
    ahahaha........
    ngga pernah nonton Chinese Odyssey secara full, cuma tahu ringkasan ceritanya...jadi ngga bisa kasih komen

    cerita 7 dewa yang bro emiliaw sebut... kayaknya ngga sama ya sama FSB, soalnya FSB tokohnya banyak (pake banget) jadi ngga cuman 7 orang. Menonjolkan diri, ya... kalo engga gitu ketutupan 'mulu, sih...he3...peace2...
    (sekarang ngga ada lagi yang saling menjelekkan, lho - entah kalo dulu gimana siapa yang tahu. Ini kan justru berusaha membahas kerjasamanya, jadi jangan salah paham lagi dong.)

    wah, thanks atas tambahannya... jadi baik saya maupun yang baca sama2 tambah pengetahuan:piss:
     
    Last edited: Apr 12, 2010
  4. kuuki M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 9, 2008
    Messages:
    333
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +1,176 / -0
    gw juga tau FSB nya dari komik Hoshin Engi,tapi gak ngira kalo ada saling menjatuhkan gtu ma crta JJTW,kirain malah sejenis,soalnya sama2 ada na cha nya,hha

    btw yang dibahas 2 aja nih kk?
    setauku ada gtu istilah '4 kitab besar sastra china'
    -FSB
    -JTTW
    -Romance of three kingdom
    -108 warrior / suikoden(?)
    ada hubungannya kah semua?
    kayaknya lu bu yg di ROTK tuh reinkarnasinya sun wu kong?
    (maap klo gak nyambung)
     
  5. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    ^O^
    kalo dibahas ke-4-nya kebanyakan!!!
    apalagi sudah ada yang bahas San Guo juga, cari sendiri deh, di sini ada kok...
    he3...sama2 kalo di Dynasty Warrior pake mahkota yang ada sungutnya itu, ya???

    Sebagai informasi aja, ya, SWK, baik itu menurut Buddha dan Tao, sama2 sepakat kalo SWK itu adalah tokoh rekaan belaka (fiktif), jadi kalo ada yang ngaku2 titisan SWK, atau menyembah tokoh itu sebagai dewa itu namanya sesat!. Yang benar2 ada dalam catatan sejarah:
    JTTW --> Biksu Tang;
    FSB --> Jiang Zi Ya
    .
    Tentu saja tokoh kaisarnya memang benar2 ada, ya.
    sama aja kalo sekarang menyembah Batman jadi dewa..he3...

    perbedaan 2 yang saya bahas dengan 2 yang lain:
    XYJ dan FSB sama2 menyangkut dewa2 dsb. yang namanya sihir ditunjukkan secara eksplisit
    sementara SG / ROTK dan SHQ / Water Margin murni tentang pemerintahan, perang, dan politik. hampir tidak ada yang namanya sihir segala macam.
     
    Last edited: Apr 16, 2010
  6. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Lanjut ah, ceritanya...

    Bab 7: Fei Zhong berencana menyingkirkan permaisuri Jiang
    ---------------------------------------------------------

    Tiba di istana keabadian, permaisuri Jiang disambut oleh Daji yang langsung memberikan hormat; dan mengantar permaisuri menemui raja Zhou. Di dalam istana, raja Zhou menyambut istrinya dan mempersilakan permaisuri Jiang untuk duduk di sebelahnya sepanjang malam. Dengan diiringi alunan musik, Daji menyuguhkan sebuah tarian kepada sang raja dan permaisuri. Daji menari dengan begitu anggun dan mempesona. Sementara raja sedang menikmati tarian Daji, permaisuri Jiang menjadi semakin tidak bisa menahan amarahnya. Tiba-tiba ia angkat bicara dan langsung mencerca suaminya beserta selir kesayangannya. Permaisuri Jiang menyatakan kekesalannya terhadap sikap suaminya berkenaan dengan kebijakan-kebijakannya. Permaisuri Jiang juga menuding Daji sebagai biang kekacauan yang terjadi di istana belakangan ini. Selesai berkata demikian, permaisuri Jiang langsung pergi meninggalkan istana keabadian dengan emosi.

    Raja Zhou terkejut dengan sikap permaisurinya, dan perasaanya menjadi campur aduk antara marah dan malu. Maka ia meminta Daji agar menari sekali lagi untuk menyenangkan hatinya. Namun tiba-tiba Daji jatuh tersungkur ke lantai; sambil berurai air mata, ia menagis di kaki raja Zhou dan menyatakan kekhawatirannya apabila permaisuri Jiang menjelek-jelekan Daji di depan semua pejabat istana dan bangsawan. Dengan demikian, berarti akan membuahkan hukuman mati bagi Daji. Mendengar ini, raja Zhou menjadi marah dan berjanji kepada Daji bahwa ia (raja Zhou) akan segera menyingkirkan permaisuri Jiang demi menjamin keselamatan selir kesayangannya itu.

    Pada hari pertama bulan berikutnya, seluruh selir istana berkumpul menghadap permaisuri Jiang dalam upacara pemberian selamat kepada permaisuri. Ini adalah upacara yang sudah menjadi tradisi di kalangan istana. Daji pun hadir di upacara tersebut bersama selir-selir lainnya. Permaisuri Jiang yang masih menyimpan kebencian terhadap Daji mengeluarkan kata-kata yang mempermalukan Daji di depan selir-selir lainnya. Bahkan sampai akhirnya permaisuri meninggalkan upacara tersebut, caci maki terhadap Daji masih keluar dari mulut permaisuri. Perlakuan permaisuri membuat Daji merasa sangat malu dan marah. Sehingga di kediamannya, Daji berdiskusi dengan Gun Juan, salah satu dayangnya, tentang bagaimana secepatnya membunuh permaisuri Jiang dan mengklaim dirinya sebagai permaisuri yang baru.

    Keesokan harinya, raja Zhou bersama-sama dengan Daji sedang menikmati pemandangan di kebun istana; ketika Fei Zhong menerima surat dari Daji. Dalam surat itu, Fei Zhong diminta bantuannya untuk melenyapkan permaisuri. Fei Zhong berpikir dengan keras sepanjang malam; mencari cara untuk menyingkirkan permaisuri tanpa membahayakan dirinya. Sebab, jikapun ia menolak permintaan Daji, sudah pasti nyawanya akan melayang. Suatu hari, Fei Zhong melihat melalui jendela kamarnya, seorang berbadan tinggi dan besar. Ia adalah Jiang Huan dari propinsi Lu timur. Jiang Huan adalah adik kandung permaisuri Jiang. Selama 5 tahun terakhir, ia telah mengabdi kepada Fei Zhong; dan Jiang Huan diperlakukan sangat baik oleh Fei Zhong. Maka terbesitlah sebuah rencana di pikiran Fei Zhong.

    Fei Zhong memanggil Jiang Huan dan mengatakan bahwa ia sedang dalam kesulitan; Fei Zhong bertanya apakah Jiang Huan dapat membantunya. Jiang Huan yang memang mencari kesempatan untuk membalas budi Fei Zhong segera berkata: "Tuan ku, permohonanmu adalah tugas bagiku, meskipun hamba harus melewati api dan minyak mendidih. Hamba akan senantiasa melaksanakan perintahmu tanpa keraguan". Senang dengan jawaban Jiang Huan, Fei Zhong menceritakan niatnya untuk menyingkirkan permaisuri Jiang. Walaupun permaisuri Jiang adalah kakak kandungnya, namun Jiang Huang tetap memegang teguh kesetiannya terhadap Fei Zhong. Akhirnya sebuah rencana telah dirancang. Fei Zhong tidak lupa memberi tau Daji mengenai rencana ini...

    Keesokan harinya, Daji sengaja menyarankan raja Zhou agar menghadiri rapat kenegaraan yang sedang berlangsung di aula utama. Bujukan ini berhasil, raja Zhou memutuskan untuk berangkat ke aula utama untuk menghadiri rapat tersebut. Namun ketika sedang melewati 'Jembatan 9 Naga', tiba-tiba rombongan raja Zhou diserang oleh seorang bertopeng yang bertubuh tinggi besar. Orang itu berteriak bahwa ia harus membunuh raja Zhou demi kelangsungan dinasti Shang; dan akan menjadikan ayahnya sebagai raja yang baru. Segera, orang bertubuh besar itu mengayunkan pedang ke raja Zhou; namun para prajurit istana segera datang dan melindungi raja Zhou. Karena kalah jumlah, akhirnya penjahat tersebut berhasil ditangkap.

    Setelah insiden ini, Fei Zhong menawarkan diri untuk menginterogasi tahanan tersebut. Lalu di hadapan raja Zhou, Fei Zhong melaporkan bahwa tahanan tersebut tidak lain adalah Jiang Huan, putra dari bangsawan agung Timur--yang juga adalah ayah dari permaisuri Jiang. Fei Zhong melanjutkan, bahwa Jiang Huan telah diperintahkan oleh permaisuri Jiang untuk membunuh raja Zhou; sehingga ia dapat mengambil alih takhta. Raja Zhou sangat marah mendengar penjelasan Fei Zhong. Raja Zhou segera mengumpulkan mentri-mentrinya dan bergegas kembali ke istana keabadian untuk membahas hal ini. Ia juga menunjuk selir Huang agar mengatasi hal ini. Para mentri tidak dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam ketidak jelasan ini, raja Zhou memutuskan memanggil segera permaisuri Jiang ke istana barat untuk diadili.

    Setibanya di istana barat, permaisuri Jiang menyatakan ketidakbersalahannya secara langsung kepada selir Huang. Berdasarkan pengakuan yang didengarnya sendiri, selir Huang menceritakan segalanya kepada raja Zhou bahwa permaisuri tidak bersalah. Namun tiba-tiba dari balik bayangan muncul Daji yang langsung menyela pembicaraan; dan berkata bahwa permaisuri Jiang sengaja melemparkan kesalahan kepada orang lain dengan kebohongan yang dibuat-buat. Raja Zhou langsung percaya ucapan Daji, dan mengancam permaisuri bahwa jika ia tetap tidak mengaku, maka salah satu bola matanya akan dicungkil keluar sebagai hukuman. Selir Huang segera menghampiri permaisuri Jiang dan berbisik supaya lebih baik memberikan kesaksian palsu untuk menghindari hukuman. Namun permaisuri tetap pada pendiriannya dan menolak untuk mengaku bersalah. Akhirnya selir Huang hanya dapat melihat pasrah ketika seorang pengawal dengan keji mencungkil salah satu mata permaisuri Jiang.

    Raja Zhou tiba-tiba menjadi ketakutan dalam pikirannya ia membayangkan akan ada pembalasan dari bangsawan agung timur; belum lagi seluruh mentrinya pasti akan mengutuk perbuatan keji ini. Namun dengan cerdiknya Daji menasehati raja Zhou agar tidak perlu takut. Asalkan permaisuri sudah mengakui kesalahannya, maka tidak akan ada ancaman dari dalam dan luar istana. Kali ini Daji juga meyakinkan raja Zhou bahwa permaisuri pasti akan mengakui kesalahannya apabila diancam agar kedua tangannya dibakar dengan cara dicelupkan ke dalam timah cair. Namun ancaman ini juga tidak mengubah pendirian permaisuri Jiang. Hingga akhirnya permaisuri Jiang kehilangan kedua tangannya dengan sangat cepat dalam cairan timah panas. Semua yang menyaksikan kengerian itu tidak dapat berbuat apa-apa, termasuk selir Huang.

    Walaupun sudah sekarat, namun segala kekejian yang diterimanya tetap tidak mengubah pendirian permaisuri Jiang. Daji menjadi cemas akan-akan siasatnya terbongkar. Maka ia segera membujuk raja Zhou agar memanggil Jiang Huan sebagai saksi dalam persidangan tersebut.

    Bersambung...

    Oya, bagi yang ingin tahu cerita sebenarnya mengenai Biksu Tang, silakan lihat di:
    http://www.wihara.com/forum/mahayana/6505-xuan-zang-bhikshu-tang-san-zang-asli-dalam-sejarah.html
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Apr 16, 2010
  7. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Lanjutannya...
    Bab 8: Pelarian kedua Pangeran (bagian pertama)
    ------------------------------------------------

    Akhirnya Jiang Huan dibawa istana barat untuk disidang bersama-sama dengan permaisuri. Begitu Jiang Huan masuk ke ruangan, permaisuri yang sudah sekarat langsung mencerca Jiang Huan dengan makian-makian atas perbuatan busuknya. Namun dengan tenang, Jiang Huan menjawab cacian itu dengan berkata "Permaisuriku, andalah yang memerintahkan hamba untuk melakukannya! Mana mungkin hamba menolaknya. Ini adalah fakta, mengapa engkau menyangkalnya?".

    Ketika persidangan itu, di tempat yang lain putra mahkota Yin Jiao dan pangeran Yin Hong sedang bermain catur. Lalu tiba-tiba Yang Rong datang dan memberitakan situasi yang sedang terjadi di istana barat. Mendengar hal ini, kedua pengeran segera menuju istana barat. Setibanya di sana, alangkah terkejutnya mereka melihat sang permaisuri, yang adalah ibu kandung mereka sekarat bersimbah darah di lantai; dan Jiang Huan yang berdiri di dekatnya sebagai seorang tawanan. Pada saat-saat terakhir menjelang ajalnya, permaisuri Jiang berpesan kepada putra-putranya agar membalaskan dendamnya. Setelah berpesan demikian, permaisuri Jiang menemui ajalnya.

    Ketika kedua pangeran sampai di istana barat, raja Zhou dan Daji sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana keabadian. Setelah mengetahui diberitahukan kejadian yang sesungguhnya, Yin Jiao menjadi sangat murka dan segera mengeluarkan pedangnya dan membunuh Jiang Huan di tempat itu juga, membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Setelah berbuat demikian Yin Jiao bersumpah di hadapan orang-orang di ruangan itu, bahwa ia akan membunuh Daji demi membalaskan dendam ibunya. Chao Tian dan Chao Lei (yang dikenal dengan julukan si kembar Chao) yang juga berada di ruangan itu, segera meninggalkan istana barat dengan ketakutan dan menuju istana keabadian untuk melaporkan niat kedua pangeran. Mendengar laporan Chao bersaudara, raja Zhou sangat murka; lalu ia menyerahkan pedang naga-phoenix kepada Chao bersaudara dan memerintahkan agar mereka segera menghabisi kedua pangeran itu dengan alasan pemberontakan. Chao bersaudara segera berangkat ke istana timur untuk melaksanakan perintah raja Zhou.

    Namun Lady Huang mengetahui hal ini, dan segera menyarankan kedua pangeran agar bersembunyi di istana harum (kediaman selir Yang) untuk beberapa hari. Kedua pangeran mengikuti saran ini dan pergi ke istana harum untuk bersembunyi. Tak lama setelah kedua pangeran tiba di istana harum, Chao bersaudara juga datang ke istana harum untuk inspeksi. Selir Yang berusaha sebisa mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan pada Chao bersaudara. Beruntung, Chao bersaudara malah bersikap tidak sopan terhadap selir Yang. Hal ini dimanfaatkan selir Yang sebagai alasan untuk mengusir Chao bersaudara dari istana harum sebelum mereka sempat memeriksa istana itu. Keberuntungan ini melegakan kedua pangeran. Namun mereka erasa tempat itu sudah tidak aman. Sehingga kedua pangeran pergi mencari tempat yang lebih aman; yaitu ke aula utama di mana Huang Feihu juga berada di situ.

    Setelah kedua pangeran meninggalkan istana harum, selir Yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri; karena ia takut apabila suatu hari diketahui bahwa ia pernah menyembunyikan pangeran, yang berarti melawan titah raja. Pada saat yang sama, Lady Huang dipanggil menghadap raja Zhou perihal hilangnya pangeran dan kematian selir Yang. Dan terpaksa Lady Huang menceritakan permintaan terakhir permaisuri Jiang kepada putra-putranya sebelum meninggal. Raja Zhou lalu memerintahkan Chao bersaudara agar segera mencari pangeran-pangeran itu di aula utama; kali ini raja Zhou juga sudah kesal dengan Chao bersaudara karena kegagalan sebelumnya.

    Di aula utama, kedua pangeran langsung disambut oleh Huang Feihu dan beberapa mentri lainnya. Mereka yang mendengar cerita kedua pangeran menjadi geram dan bersumpah untuk menuntut keadilan bagi kedua pangeran.

    Bersambung...
     
  8. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Lanjutan
    Bab 8 part 2
    ----------------------------------------

    Setelah melakukan perjalanan selama dua hari bersama dengan kedua pangeran muda, empat orang itu tiba di pertigaan jalan: satu arah menuju Timur, dan satunya menuju Selatan. Fang bersaudara memutuskan bahwa cara terbaik adalah kedua pangeran berpencar sementara mereka berdua menuju Barat, karena potongan jade pusaka yang diberikan oleh Huang Fei Hung (Macan Kuning Terbang) bisa mengurangi resiko jika di masa depan ada yang mengenali pemilik sebenarnya. Setelah memberitahukan pada para pangeran resolusi mereka, Fang bersaudara menginformasikan pada para pangeran bahwa mereka akan meminta perlindungan pada para bupati wilayah sepanjang perjalanan dan menggabungkan penjagaan mereka saat nanti bertemu di Zhao Ge.
    Dengan berlinang air mata, Yin Jiao mengumumkan bahwa dia akan terus menuju Timur untuk menemui kakeknya, dan Yin Hong akan menuju Selatan. Saat kakeknya nanti akan memajukan pasukannya menuju ibu kota, Yin Jiao berjanji akan memberitahukan rutenya pada adiknya agar sang adik bisa bergabung dalam penyerangan.
    Setelah berpisah, Yin Hong tiba di sebuah desa kecil dan duduk untuk menikmati makanannya setelah memberitahukan pada penduduk setempat bahwa dia tak lain adalah putra kedua Raja Zhou. Setelah membayar tagihan makanannya, Yin Hong memasuki kuil Kaisar Xuanyuan di tengah perjalanan dan bermalam di sana.
    Sementara itu, Yin Jiao yang melanjutkan perjalanannya menuju Lu Timur, menemukan dirinya ada di depan kediaman Guru Besar – seperti yang ditunjukkan dari papan yang tergantung di atas pintu gerbangnya. Karena sudah terlalu malam, sang pangeran memutuskan untuk saat ini lebih baik bermalam di kediaman tersebut agar bisa bangun pagi untuk melanjutkan perjalanannya. Setelah lama mengetuk pintu tanpa jawaban, Yin Jiao memutuskan untuk membuka gerbang ketika dia mendengar seseorang sedang membaca puisi. Sambil berjalan mendekat dan berusaha menyusun alasan kedatangannya, Yin Jiao memasuki kediaman tersebut dan dengan terkejut melihat, tak lain tak bukan, adalah mantan Perdana Menteri Shang Rong sedang berdiri di depannya.
    Ketika Shang Rong duduk dan mendengarkan cerita sang pangeran, dia membanting kakinya dengan kemarahan yang luar biasa – dan kemudian bersumpah pada Yin Jiao bahwa dia akan kembali ke ibu kota dengan dengan petisi langsung di muka pada Yang Mulia karena mengabaikan persyaratan tindakannya untuk menyelamatkan kerajaan.
    Sementara Shang Rong membuat petisinya, Jenderal Yin dan Lei memutuskan untuk memecah pasukan menjadi dua – setengahnya menuju Timur, dan sisanya menuju Selatan – setelah meninggalkan pertigaan jalan. Saat berpencar, mereka sepakat untuk bertemu di pertigaan ini sebagai tempat berkumpul kembali setelah berhasil menangkap para pangeran.

    Bersambung…

    Karena versi indonesia mulai bagian ini saya terjemahkan sendiri secara bebas, bila kurang jelas saya sertakan juga versi asli bahasa inggrisnya
    Travling for the past two days with the young princes, the four individuals arrived at a fork in the road: one direction leading east, and the other leading south. The Fang Brothers decided it best that the two princes solely traveled either paths while they both traveled to the west; for the precious jade piece given by Yellow Flying Tiger may be a risky expense less anyone in the future realized who it truly belonged to. Thus telling the princes their resolution, they informed them that they will take refuge in any neighboring dukedom along the way and join their vanguard upon it's future advance to Morning Song. Following their tearful farewell, Yin Jiao declared that he will continue to head east until he meets with his grandfather, and Yin Hong should head to the south. Once his grandfather were to begin his troop mobilization upon the capital, Yin Jiao promised to inform his younger brother of his route so that he could additionally join in the attack. Thus parting their separate ways, Yin Hong arrived shortly at a small village and sat down to eat a meal after declaring to the cottagers that he was none other than the younger son of King Zhou. Following his immediate leave once paying his obeisance, Yin Hong entered the Temple of Emperor Xuanyuan along his way and slept their for the night in comfort. While Yin Jiao meanwhile continued his journey towards East Lu, he found himself in front of a Grand Tutor's mansion -- as displayed from a bourd hanging from its gate. Being late into the night, the prince decided it best to rest at this mansion for now while he resumes early into the following morning. Knocking continuously without any answer, Yin Jiao decided to open the gates where he heard someone reciting over a poem. Walking closer and elaborting the reason upon his arrival, Yin Jiao entered the mansion and saw none other than former Prime Minister Shang Rong standing before him to his immense surprise. As Shang Rong sat down to listen to the prince's story, he stamped his foot in unparalleled rage -- and thus vowed to Yin Jiao that he would return to the capital with the former and directly petition His Majesty to abandon his course of action to save the kingdom. With Shang Rong thus forming his petition, Generals Yin and Lei meanwhile decided to split their forces into two--one halve leaving the east, and the other to the south--after arriving at the original tripe fork road. Thus leaving their separate directions, they decided to meet at this specific fork road as an area of regroup after the princes were captured.
     
    • Like Like x 2
    • Thanks Thanks x 1
  9. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    lanjutan bab 9
    Bab 9 – Tewasnya Sang Perdana Menteri
    ---------------------------------------------------
    Sementara Jenderal Lei melanjutkan perjalanannya ke selatan siang malam, sebagian besar prajuritnya terjatuh dari kuda karena kelelahan; dan karena itu diturunkan perintah untuk beristirahat. Dengan niat untuk bermalam di desa, sekelompok prajurit menjelajah hutan pinus hingga akhirnya menemukan Kuil Xuanyuan. Ketika memasuki kuil ini, Jenderal Lei tersenyum kegirangan karena menemukan Pangeran Yin Hong tertidur nyenyak di depannya. Segera membangunkan Sang Pangeran, Jenderal mempersilahkan pangeran untuk menggunakan kudanya sendiri dalam perjalanan kembali ke pertigaan. Sementara itu, setelah menempuh dua hari perjalanan, Jenderal Yin tiba di desa kecil bernama Fengyun dimana dia mengenali kediaman Shang Rong d dekat tempat itu. Setelah memasuki kediaman ini, diputuskanlah kalau Yin Jiao akan mengendarai kuda bersama Jenderal Yin kembali ke ibukota sementara Shang Rong menuju lokasi sebelumnya belakangan kalau-kalau Yin ingin membuat perhitungan pribadi dengan Shang Rong nantinya.
    Ketika Jenderal Yin dan Lei berkumpul kembali di pertigaan dengan kesuksesan di tangan mereka, Yin Hong dan Yin Jiao menangisi kemalangan mereka. Mengikuti mereka kembali ke ibukota, Huang Fei Hu menggetakkan gigi dengan kemarahan membara, menyatakan bahwa dia pribadi yang akan membantai Jenderal Yin dan Lei dengan pedangnya sendiri sebelum mereka bahkan bisa dikenali karena jasa sepihaknya.
    Memerintahkan semua menteri untuk segera berkumpul di depan gerbang istana untuk mempertahankan kedua pangeran, Yin dan Lei sementara itu menerima perintah tertulis dari Raja Zhou untuk mengeksekusi kedua pangeran di depan gerbang dengan cepat. Melihat laporan semacam itu, Menteri Utama Zhao Qi merebut surat itu dari tangan mereka dan merobek-robeknya karena marah. Setelah itu, Chao Qi mengumumkan pada semua menteri yang ada pergi ke Aula Utama dan mengundang Yang Mulia Raja; karena hal semacam ini adalah kesempatan sempurna untuk menggertak seorang tiran berpikiran sederhana seperti itu.

    Dengan empat jenderal tangan kanan Huang Fei Hu melindungi para pengeran dengan nyawa mereka, dan para menteri membunyikan lonceng dan memukul genderang untuk menuntut kehadiran sang Raja, Raja Zhou hanya menulis dekrit untuk menghabisi para pangeran karena tidak berbakti dan tetap tinggal di Istana Dewa Umur Panjang. Dengan para eksekusioner mendatangi kedua pangeran yang terikat, pertapa Red Nudeau dan Guangchengzi, sementara itu sedang menjelajahi angkasa untuk mengusir kebosanan. Saat mereka tiba di atas Chao Ge dan melihat kedua pangeran siap dieksekusi, tornado besar muncul di langit – membuat semua pejabat dan prajurit yang hadir ketakutan.
    Begitu badainya berhenti, Ying Hong dan Yin Jiao menghilang, bencana ini melegakan hati banyak pejabat, sementara Raja Zhou duduk kebingungan.
    Sekarang saat akhirnya tiba di ibukota Chao Ge, Shang Rong mendengar seluruh kejadian itu dari Huang Fei Hu sendiri. Demi untuk bisa mengkonfrontasi Sang Raja dengan terhormat dan setia, Shang Rong segera memerintahkan agar lonceng dan drum dibunyikan untuk memaksa Raja Zhou bodoh itu memasuki Aula Utama. Saat sang Raja tiba di depan mejanya, Shang Rong berlutut dan mempersembahkan laporan tertulisnya.
    Saat membaca laporan itu, Raja Zhou marah besar – dan segera memerintahkan agar Shang Rong dipukul hingga mati dengan palu emas. Meneriaki sang Raja dengan kata-kata tugas dan cintanya pada jasa-jasanya dulu atas nama Dinasti Shang, Shang Rong menyingkirkan para penjaga dan melompat dengan kepala terlebih dahulu, menghantamkannya pada pilar batu – dan mengakhiri hidupnya dengan cara yang cukup mengerikan. Banyak menteri yang saling bertukar pandang melihat pemandangan yang mengerikan ini, Raja Zhou memerintahkan agar mayatnya dikuburkan di lahan kosong di belakang ibukota sebagai ekspresi penghormatannya pada almarhum.

    Bersambung...
    Here's the english version
    This chapter is titled "The Prime Minister's Resolve". As General Lei continued to the south from day to night, the majority of his soldiers fell off their saddles in their tiredness; and a command for rest was thus ensued. With the intention to rest at a village for the night, a section of his soldiers roamed about through the pine forest to eventually find the Temple of Xuanyuan. Upon the entering of this temple, General Lei smiled in immense delight as he saw none other than prince Yin Hong sleeping soundly before him. Awaking the prince immediately, he allowed the former to personally use his horse on their travel back to the three-staked road. Meanwhile after two days of travel, General Yin arrived at a small village by the name of Fengyun where he noticed the residence of Shang Rong nearby. Upon his entering of this residence, it was decided that Yin Jiao would personally ride together with General Yin back to the capital while Shang Rong heads to the former location at a later time less Yin were to be accused of private dealings with Shang Rong in the future. As Generals Yin and Lei thus regrouped at the three-forked road in due happiness over their success, Yin Hong and Yin Jiao weeped together for their unfortunateness. Following their arrival back to the capital, Yellow Flying Tiger grinded his teeth in explosive rage, declaring that he would personally slay Generals Yin and Lei with his sword before they ever were to be recognized for their one-sided merit. Ordering all ministers to quickly gather before the palace gates in defense for the two princes, Yin and Lei meanwhile attained a written report from King Zhou to put them both to death before the gates in quick pace. Seeing such a report, Supreme Minister Zhao Qi grabbed it from their hands and tore it to many pieces in his rage. Continuing in such a manner, Zhao Qi declared to every minister present to go to the Grand Hall and invite His Majesty to attend; for such was the perfect chance to admonish the simple-minded tyrant.

    With Yellow Flying Tiger's four right-hand generals protecting the princes with their lives, and ministers banging the bells and beating the drums to attain the king's attendance, King Zhou simply wrote a decree to put an end to the princes for their unfilialness while remaining in his Fairy Longevity Palace. With the executioners thus pacing towards the two bound princes, Superiorman Pure Essence and Grand Completion meanwhile roamed about through the skies in great boredom. As they thus appeared above Morning Song and saw the two princes ready for execution, a grand gust storm ran across the skies -- putting every official and soldier present in fear. With the sudden disappearance of Yin Hong and Yin Jiao following the end of the storm, this calamity brought great relief and joy in the hearts of each official, while King Zhou sat in wonder at such a happening. Now finally arriving at the capital of Morning Song, Shang Rong rose forth and heard the complete story of current happenings from Yellow Flying Tiger himself. In due resolve to be able to confront the emperors of yore in high honor and loyalty, Shang Rong immediately ordered the beating of bells and drums to force the foul King Zhou into the Grand Hall. As the king thus arrived before his desk, Shang Rong kneeled forward and presented to the former his written report. Upon the reading of this report, King Zhou flew into great rage -- immediately ordering Shang Rong to be beaten to death with the golden hammer. Yelling back at the king with words of duty and love towards his past services in the name of the Shang Dynasty, Shang Rong knocked away the guards and jumped head-first into a stone pillar -- effectively ending his life in a rather grusome manner. As many ministers exchanged glances at such a horrific scene, King Zhou ordered for his body to be thrown into an empty field behind the capital in an expression of his dignity towards the former.
     
    • Like Like x 2
    • Thanks Thanks x 1
  10. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Lanjutan bab 10
    Bab 10 - Lahirnya Lei ZhenZi
    -------------------------------------------------------------------------------
    Melihat tragedi ini terjadi di depan matanya, Perdana Menteri Zhao Qi mengekspresikan kemarahan terpendamnya pada Sang Raja tanpa sedikitpun rasa takut. Akhirnya Perdana Menteri ini dihukum dengan diikat pada tiang yang membara hingga terbakar tanpa sisa manjadi abu.
    Kembali ke Istana Dewa Umur Panjang dengan penuh kepuasan atas perbuatan sadisnya, Raja Zhou segera menemui Daji, menjelaskan insiden yang terjadi dengan Shang Rong, dan mendiskusikan dengan permaisurinya itu cara menyingkirkan Jiang Huanchu yang menjadi ancaman bagi ibukota. Tanpa memikirkan penyelesaian terlebih dahulu atas masalah itu, Daji memanggil Fei Zhong untuk meminta pendapatnya. Fei Zhong menyatakan bahwa empat adipati besar harus segera disingkirkan untuk mencegah pejabat lainnya bekerja sama dengan negara tetangga untu memberontak. Jiang Huanchu juga harus disingkirkan karena akan menjadi ancaman bagi ibukota bila dia bergabung dengan 3 adipati besar lainnya.
    Sang Raja segera menyetujui saran dari Fei Zhong dan secara pribadi mengirim empat kurir istana kepada masing-masing adipati besar tersebut – Jiang Huanchu, E Chongyu, Ji Chang, dan Chong Houhu – secara cepat. Saat salah satu dari empat kurir tersebut tiba di depan kaki bukit bagian barat – wilayah kekuasaan Ji Chang – dan tiba di hadapan Ji Chang sendiri, Ji Chang menawarkan perak dan emas pada kurir itu sebelum kemudian mengantarnya kembali ke ibukota.
    Setelah menunjuk San Yisheng untuk mengurus masalah internal, Ji Chang menemui putranya, Bo Yi Kao, mengatakan pada sang putra tentang ramalan bahwa dia (Ji Chang) akan ditawan selama 7 tahun, dan memberi instruksi pada Bo Yi Kao untuk mengurus masalah kenegaraan setelah dia pergi. Setelah menjelaskan situasinya pada banyak menteri lainnya, Ji Chang pergi dari kaki bukit sebelah barat keesokan harinya dengan diantar oleh 50 pengikutnya. Ketika rombongan tiba di Gunung Yan, tiba-tiba terjadi hujan badai disertai gelombang besar dari masing-masing puncak gunung; bagaikan lautan yang tumpah dari langit. Setelah terdengar guntur yang menggelegar mengguncang bumi, Ji Chang memerintahkan para prajuritnya untuk mencari “bintang pahlawan” – karena ada pepatah yang mengatakan bahwa petir akan menyertai kelahiran seorang pahlawan yang terberkahi.
    Saat menemukan seorang bayi yang baru lahir dengan mata bersinar bagaikan bintang, Ji Chang menyuruh pengawalnya untuk menemukan keluarga di dekat situ yang dapat mengasuh sang bayi. Namun, Yun Zhongzi sendiri muncul di depan mereka, menyatakan dengan senang hati akan mengasuh sendiri sang bayi – yang diberi nama Lei Zhenzi – dan akan mengembalikannya pada Ji Chang saat Ji Chang sudah meninggalkan Zhao Ge.
    Ji Chang melanjutkan perjalanan. Saat dia tiba di Zhao Ge, dia dihibur sepanjang hari bersama ketiga adipati lainnya di Istana Pejamuan Emas. Saat malam tiba dan keempat adipati menikmati arak mereka sepuasnya, E Chongyu, Adipati Timur, mulai mengeluarkan makian penuh kebencian pada tingkah Chong Houhu karena mabuk. Dengan pikiran yang kacau karena mabuk, Chong Houhu dan E Chongyu mulai berkelahi hingga akhirnya Ji Chang bisa memisahkan mereka berdua dengan paksa dan mengirim mereka ke tempat peristirahatan.
    Pada jam dua tengah malam, Ji Chang mendengar seseorang datang ke ruang peristirahatan dan mengatakan bahwa besok darah para adipati utama itu akan menodai dinding pasar. Dengan ancaman bahwa semua orang akan dihukum mati bila pelaku yang mengucapkan kata-kata itu tidak menunjukkan dirinya, akhirnya Yao Fu ditangkap dan dilemparkan di depan kaki Ji Chang. Saat Yao Fu, yang juga merupakan keluarga kurir istana, mengatakan pada Ji Chang dan Jiang Huanchu mengenai kejadian menyedihkan di dalam istana, Jiang Huanchu jatuh berlutut menangisi kematian putrinya dengan cara yang kejam sementara Ji Chang menawarkan untuk membuat petisi atas nama Jiang Huanchu. Bersumpah untuk menuntut sendiri Raja Zhou atas kematian putri kesayangannya, Jiang Huanchu mengatakan pada Ji Chang bahwa dia juga harus membuat laporannya sendiri mengenai kasus tersebut.
    Saat Fei Zhong mengetahui kedatangan para adipati tersebut di ibukota, dia mengatakan pada Raja Zhou untuk mengabaikan laporan apapun yang diserahkan padanya keesokan harinya. – dan agar para adipati segera dieksekusi tanpa disidang. Saat Raja Zhou tiba di Aula Utama keesokan harinya, dia segera memanggil keempat adipati itu. Ketika Jiang Huanchu menyerahkan laporannya pada Raja Zhou dan dengan tenang menuntut Sang Raja atas tindakan biadabnya, jubah Jiang Huanchu langsung dilepas untuk bersiap-siap dieksekusi segera. Namun, ketiga adipati utama lainnya maju untuk menyatakan bahwa Jiang Huanchu tidak bersalah.

    Bersambung.....

    Here's the english version
    This chapter is titled "The Discovery of Thunderquaker". Seeing this tragedy in full form, Supreme Minister Zhao Qi additionally expressed his inner hate towards the king without a single ounce of fear. Upon being bound before a burning pillar as punishment, Zhao Qi became nothing more than ash to the wind in mere moments. Now returning to the Fairy Longevity Palace in great satisfaction over his barbarity, King Zhou personally approached Daji, explained the past incident with Shang Rong, and discussed with her how to get rid of Jiang Huanchu as a threat to the capital. With no true thought-out resolution to such a problem, Daji called forth Fei Zhong for a suggestion. Fei Zhong stated that the four regional grand dukes should effectively be disposed off less any ministers of Morning Song attempted to rise up in rebellion with any neighboring force. Jiang Huanchu would also be effectively destroyed as a threat to the capital if he were to join the other three grand dukes in execution. Following the king's immediate approval of Fei Zhong's suggestion, four royal messengers were personally sent to each grand duke--Jiang Huanchu, E Chongyu, Ji Chang, and Chong Houhu--in quick pace. As one of four messengers arrived before the Western Foothills--Ji Chang's domain--and presented it before Ji Chang himself, the latter offered fine silver and gold to the messenger before ensuring his depature to the capital at a later time. After appointing San Yisheng as commander of internal affairs, Ji Chang went to his son, Bo Yi Kao, told him of his seven-year-prisoner prophecy, and how he should take care of state affairs following his departure. Explaining the situation to many other ministers in attendance throughout the day, Ji Chang took his leave from the Western Foothills the following morning with fifty attendants by his side. As his party arrived before Mount Yan, a sudden rainstorm appeared with giant waves rolling down from each neighboring mountain top; it was as if an ocean was falling from the very skies. After hearing a collosal thunderbolt shake the very earth, Ji Chang gave the order for his soldiers to find "the star of a warrior"--followed from the saying that a gifted warrior is born after the movement of lightning.
    Upon the finding of a small newborn child with eyes like that of stars, Ji Chang told his men to find a local family that could take the child in. However, Master of the Clouds personally presented himself shortly before Ji Chang, stating that he would graciously take the child--newly dubbed as "Thunderquaker"--in as his own, and return him to the former once he had left Morning Song. As Ji Chang thus continued his journey, he arrived at Morning Song one day to be entertained in the company of the other three grand dukes at the Golden Reception House. As the night flew and the four grand dukes enjoyed their wine to the fullest, E Chongyu, the Grand Duke of the East, began to spout words of hatred at Chong Houhu's actions in his drunken state. Being at a lose in judgement due to their state of mind, Chong Houhu and E Chongyu began to physically attack eachother before Ji Chang forcefully pulled the two apart and sent them to their respective rooms. At the second watch that night, Ji Chang heard someone present at the reception house mutter that the blood of the grand dukes would stain the market walls the following day. Threatening to put every individual to death if the culprit did not show himself, the accused Yao Fu was thrown before Ji Chang's feet shortly. As Yao Fu, who was a relative of a royal messenger, told Ji Chang and Jiang Huanchu of the unfortunate past within the kingdom, Jiang Huanchu fell to his feet in misery over his daughter's cruel death while Ji Chang offered to create a petition in his behalf. Vowing to personally see King Zhou over the death of his precious daughter, Jiang Huanchu declared to Ji Chang that he should form his own report on the case instead. When Fei Zhong learned of their arrival before the capital, he told King Zhou that he should ignore any report that is to be handed to him the following morning -- and the dukes should be publicly executed without condition. As King Zhou arrived within the Grand Hall the following morning, he announced forth the four grand dukes immediately. When Jiang Huanchu handed his report to King Zhou and calmly accused the latter for his barbaricy, the former's robes were removed to prepare for his immediate execution. However, the other three grand dukes rushed forth protesting Huanchu's innocence.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jun 19, 2010
  11. Wolfkid M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jun 26, 2009
    Messages:
    466
    Trophy Points:
    56
    Ratings:
    +57 / -0
    Hmm Sun Wu Kong itu kan memang ada disembah sebagai dewa, dulu di rumah gw ada rupangnya, tapi uda diberikan ke vihara.

    FSB versi indo pernah diterbitkan bukunya judulnya "Penganugerahan malaikat " T_T sayang gw cuma punya jilid 1 aja. Ditunggu bro, bab bab selanjutnya. Dah gw cari cari ebook bahasa Inggrisnya gak ketemu. T_T

    Anyways this is nice tread.
     
  12. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Ow, gitu ya...^^
    maaf deh kalo ada yang tersinggung...
    soalnya aneh saja kalo tokoh fiktif didewakan, apalagi sampai memohon macam2. Enggak kan?
    kalo misalnya Guan Yu disembah, masih bisa diterima, soalnya Guan Yu memang ada dalam sejarah ^^
    iya, aku juga sudah nyari ebook inggrisnya, akhirnya yang ketemu cuman wikibook yang cuman ringkasan per bab.
    sabar ya, soalnya agak sibuk nih, jadi cuman bisa kalo sempat nerjemahinnya.
    kalo mau ringkasannya ada kok, cari saja di google pake kata kunci Feng Shen Yan Yi

    Omong2... bentar lagi dah mau masuk cerita Ne Zha nih... ditunggu aja ya
     
    • Like Like x 3
    Last edited: Jun 18, 2010
  13. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Feng Shen Yan Yi Chapter 11

    Bab 11 - Kemalangan para Adipati Utama
    ----------------------------------------------------------
    Melihat bagaimana Raja Zhou akan mengeksekusi mati Jiang Huanchu begitu saja, ketiga adipati utama lainnya dengan pucat pasi segera berlutut di depan Sang Raja dan meminta Sang Raja mempertimbangkan kembali keputusannya demi menjaga hubungan baik antara Raja dengan para pejabatnya. Saat Bi Gan membeberkan petisi mereka di depan meja Raja Zhou, sang Raja tdak punya pilihan lain selain membacanya. Setelah membaca petisi-petisi tersebut, yang mana banyak membeberkan kesalahan sang Raja, dalam kemarahan yang memuncak sang Raja mencabik-cabik petisi-petisi tersebut. Ketiga adipati utama tersebut segera ditangkap karena memberikan petisi yang penuh penghinaan tersebut, namun Huang Fei Hu dan pangeran-pangeran lainnya segera berlutut dan mengingatkan Sang Raja tentang tugas besar dan kesetiaan para adipati yang ditangkap tersebut melalui jasa-jasa mereka atas nama Dinasti Shang.

    Setelah mendengar cerita mereka, Raja Zhou mendapatkan penyelesaian baru: Ji Chang akan diampuni karena jasa besarnya dan kesetiaannya sementara kedua adipati lainnya akan dieksekusi seperti keputusan sebelumnya. Meskipun Yang Ren terus menerus memohon ampunan demi kedua adipati itu, perintah sang Raja segera dilaksanakan tanpa pikir panjang lagi.

    Setelah Raja Zhou kembali ke istananya, semua pejabat menangisi tragedi ini sementara sisa-sisa pengikut kedua almarhum adipati tersebut segera lari ke wilayah mereka masing-masing untuk bersiap-siap melakukan pemberontakan di masa depan. Setelah kedua adipati utama tersebut dikuburkan dan Ji Chang bersiap-siap kembali ke wilayahnya sendiri, Fei Zhong menemui Raja Zhou dan menyarankan padanya agar Ji Chang juga segera dihancurkan untuk mencegah kalau-kalau Ji Chang berusaha menggabungkan pasukannya baik dengan Jiang Wenhuan (anak almarhum Jiang Huanchu) di Timur ataupun E Shun (anak almarhum E Chongyu) di Selatan – karena rasa takutnya sendiri. Dengan mengamati Ji Chang saat perjamuan perpisahan, Fei Zhong dapat mengetahui apakah Ji Chang benar-benar setia pada kerajaan; dan karena tampaknya Ji Chang agak menakutkan, dia (Ji Chang) harus segera disingkirkan.

    Saat Ji Chang berpamitan pada raja dan Perdana Menteri Bi Gan, Ji Chang berkendara hingga Paviliun Changting dimana dia disambut oleh banyak pejabat tinggi dengan hangat. Dengan senang hati dan karena ketulusan yang ditunjukkan para pejabat, Ji Chang dengan gembira saling bersulang dalam perjamuan penyambutan. Ketika Fei Zhong dan You Hun tiba tak lama kemudian, semua pejabat merasa tidak senang dan segera mengundurkan diri saat melihat kehadiran para penjahat itu.
    Ji Chang yang sendirian dan hanya berdua dengan Fei Zhong dan You Hun, Fei Zhong dan You Hun memberikan satu gentong arak dengan cangkir ukuran sangat besar untuk diminum Ji Chang. Saat Ji Chang dengan senang meminumnya dan menjadi mabuk, Fei Zhong sengaja menanyainya bagaimana nasib Dinasti Shang. Ji Chang menyatakan bahwa Raja Zhou akan menjadi raja terakhir dinasti ini, dan pemerintahannya akan bertahan hanya sekitar sepuluh tahun. Sebagai tambahan, Ji Chang juga meramalkan kematian ganjil bagi Fei Zhong dan You Hun di masa depan: mereka akan mati beku di dalam es.

    Merasa kaget dengan ramalan Ji Chang, Fei Zhong dan You Hun segera kembali ke Istana Dewa Umur Panjang untuk memberitahukan pada sang raja betapa kurang ajarnya sang adipati. Chao Tian (salah satu dari kembar Chao) segera dikirim untuk membawa kembali Ji Chang atas perintah sang raja, dan membawanya kembali ke ibukota.

    Ketika Ji Chang menghadap Raja Zhou, dan akan dihukum mati, Bi Gan membela Ji Chang, mengatakan bahwa suatu ramalan hanya digunakan untuk memprediksikan keberhasilan atau kegagalan di masa yang akan datang – dan jelas tidak dibuat-buat oleh Ji Chang ataupun digunakan dengan tujuan membuat prediksi sembrononya sendiri. Setelah dipaksa membuat ramalan untuk melihat apakah ramalan sebelumnya akan menjadi kenyataan, Ji Chang menyatakan bahwa Kuil Leluhur akan terbakar menjadi debu keesokan siangnya.

    Dengan ramalan semacam ini diutarakan secara gamblang, Raja Zhou dengan terpana mengingat kembali kualitas-kualitas Ji Chang sebagai orang bijak. Bagaimanapun juga, akhirnya diputuskan bahwa Ji Chang tidak jadi dihukum mati – namun harus menjalani tahanan rumah dalam Distrik Yaoli di Chao Ge untuk memastikan tidak adanya masalah di masa yang akan datang karena ramalan tersebut. Saat kedamaian sudah kembali di ibukota, Ji Chang akan dibebaskan dari tahanannya. Berlutut dengan penuh rasa terima kasih atas kemurahan hati sang Raja, Ji Chang disambut sebagai pemimpin oleh masyarakat Yaoli yang memendam kebencian pada Raja Zhou.

    Suatu hari di masa yang akan datang, Pangeran Huang Feihu menerima laporan bahwa Jiang Wenhuan dari Selatan menyerang Gerbang Youhun, sementara E Shun menginvasi Sanshan. Menyadari bahwa sekarang muncul pemberontakan dari empat ratus marquis, Huang Feihu mengesah dengan berat hati sebelum memerintahkan para jenderalnya untuk segera melindungi gerbang-gerbang tersebut.

    Bagian 1 – Selesai –
    Bersambung ke bagian 2...

    Here’s the english version:
    This chapter is titled "The Ill-Fortunes of the Grand Dukes". Seeing how King Zhou was to put Jiang Huanchu to death so blatantly, the other three grand dukes knelt before the king in shock and told the latter to reconsider his descision in the name of preserving his king-minister relationship. As Bi Gan spread forth their petition upon King Zhou's desk, he had little choice but to read it. Upon the reading of this petition, which elaborated the king's many wrongs, the latter flew into a great rage while tearing it to many pieces. Once the three dukes had been bounded immediately for such a slanderous petition, Yellow Flying Tiger and other princes knelt down and elaborated the grand duty and loyalty that the dukes fully showed throughout their many merits towards the name of the Shang Dynasty. After hearing their story, King Zhou came to a new conclusion: Ji Chang will be specially pardoned for his exceeded virtue and due loyalty while the other two dukes are to be executed at once as previously stated. Even with Yang Ren's continued plead to have mercy on the two remaining dukes, the king's decree was effectively carried out in efficient form none the less. Following King Zhou's return to his palace, each minister wept profusely at such a tragedy while the remaining attendants of the two newly deceased dukes fled immediately to their respective dukedoms in a chance to attain a future rebellion. As two grand dukes were thus buried and Ji Chang made preparations to head back to his dukedom, Fei Zhong approached King Zhou and suggested to him that Ji Chang should effectively be destroyed less he attempts to join forces with either Jiang Wenhuan of the east or E Shun in the south--the sons of the deceased dukes--due to his secretioned "inner treachery". By observing the former during his farewell feast, Fei Zhong could effectively determine if he was truly loyal to the dynasty; for if he seems the least bit treacherous, he should be disposed of immediately.

    As Ji Chang thus presented his farewell to the king and Prime Minister Bi Gan, he rode to the Changting Pavilion where he was warmly welcomed by many high ranked ministers. With happiness and due dignity present within each minister's heart, Ji Chang was merrily treated to volleys of wine in a celebrational feast. Once both Fei Zhong and You Hun arrived shortly, each minister became displeased and dispersed immediately at the sight of such criminals in their presence. With Ji Chang now alone with Fei Zhong and You Hun, the latter presented forth an especially large jug of wine equipped with extra-large cups for the former to drink from. As Ji Chang thus happily guzzled down several glasses, and became somewhat drunk, Fei Zhong purposely asked the former the fate of the Shang Dynasty. After stating that King Zhou would be the last monarch of the dynasty, and his rule will last for another decade or so, Ji Chang additionally foretold the rather strange death that Fei Zhong and You Hun will experience in the future: they will be frozen to death in ice. With expressive condolences towards Ji Chang's prophecies, Fei Zhong and You Hun shortly returned to the Fairy Longevity Palace to tell the king how truly foul the duke was. As Chao Tian--one of the Chao Twins--was thus deployed to bring back Ji Chang immediately by decree of King Zhou, Chao Tian arrived shortly before Ji Chang and rode back to the capital. Once Ji Chang was presented before King Zhou, and received the death punishment, Bi Gan defended the former, saying that divination is simply meant to predict the success or failure of future events -- and was most definately not invented by Ji Chang or used for the sole purpose to create his own rash predictions whatsoever. After thus being forced to make a divination to see if it will come true, Ji Chang stated that the Ancestral Temple shall burn to ashes at noon the following day. With such a prophecy being reciprocated in real form, King Zhou flew back in astonishment at Ji Chang's sage-like qualities. However, it was concluded that Ji Chang will escape the death punishment -- but will be forced to live within Morning Song's Yaoli District as to ensure no future trouble is caused through such divination. Once peace is to be restored in the capital, Ji Chang would be freed from such containment. Bowing in gratitude towards the king's grace, Ji Chang was welcomed merrily into Yaoli as a leader of the people who possessed voidful hate towards King Zhou. One day into the future, Prince Yellow Flying Tiger received a report that Jiang Wenhuan of the south is attacking Youhun Pass, while E Shun is present at Sanshan. Now being fully rational over the rebellion of four-hundred marquises at present, he sighed with discontent before ordering his generals to protect the passes with all due haste.
    -- Arc 1 - END --
     
    • Like Like x 2
    • Thanks Thanks x 1
  14. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Bab 12

    Bagian 2

    Bab 12 – Kelahiran Nezha
    -----------------------------------------------------
    Saat ini di Gerbang Chentang (Chentang Guan) tidak ada orang selain komandan militer Li Jing yang memiliki kemampuan langka untuk menembus tanah, metal, kayu, ataupun api yang diajarkan oleh ‘Superiorman Woe Evading Sage’. Dengan dua putra – Muzha dan Jinzha – serta istrinya, nyonya Yin, Li Jing sedang menghadapi situasi yang aneh: istrinya dari luar tampak hamil, tapi selama tiga setengah tahun mengandung, tidak ada tanda-tanda akan melahirkan. Barulah setelah Nyonya Yin mendapat mimpi aneh suatu malam, tiba-tiba dia melahirkan seorang anak yang aneh keesokan harinya.

    Karena para pelayan wanita menyerukan bahwa siluman muncul di kamar istrinya, Li Jing segera menyerbu masuk ke kamar tersebut dan membacok sebuah bola daging yang aneh yang bergelindingan di lantai menjadi dua. Dari dalam bola tersebut muncul seorang anak kecil dengan rambut seputih salju dan mengenakan sebuah gelang emas di pergelangan tangan kanannya. Sambil menggendong anak tersebut, Li Jing dan istrinya sangat bahagia melihat anak mereka yang baru lahir tersebut.

    Ketika Taiyi Zhenren tiba tak lama kemudian, dan disambut gembira di kediaman mereka, Taiyi menggendong sang anak dan memberinya nama ‘Nezha’. Setelah memberikan persetujuannya bahwa Taiyi dapat mengadopsi sang anak menjadi muridnya, Li Jing melanjutkan untuk melatih prajuritnya dengan keras dalam tujuh tahun.

    Tujuh tahun kemudian, ketika suatu hari Nezha berjalan-jalan di luar gerbang perbatasan bersama seorang pengawal setelah berlatih selama tujuh tahun dibawah bimbingan Taiyi Zhenren, dia tiba di Sungai Sembilan Dasar yang berkilauan terkena cahaya matahari. Karena ingin mandi di sungai ini untuk melepaskan diri dari suhu udara yang panas di musim panas, Nezha segera melepaskan pakaiannya dan menggunakan ‘Kain Pengacau Langit’ di lehernya untuk menggosok tubuhnya. Tanpa dia sadari, tiap kali kain ini menyentuh air, permukaan airnya menjadi merah; dan saat kain itu diayunkan, tanah di bawahnya bergetar hebat.

    Ao Guang, raja naga Laut Timur, memerintahkan prajurit yaksha-nya, Li Gan, untuk mencari tahu penyebab guncangan hebat yang terus-menerus tersebut. Setelah mengetahui bahwa Nezha-lah penyebab kekacauan ini, Li Gan dengan sadisnya mengayunkan kapaknya pada Nezha – namun berakhir dengan kehilangan nyawanya sendiri oleh Cincin Semesta milik Nezha.

    Ketika Ao Guang mendapat kabar mengenai kematian prajuritnya, Ao Bing (putra ketiga Ao Guang) menenangkan ayahnya dengan kata-kata akan mencari tahu alasan di balik perbuatan ini. Saat Pangeran Ketiga Ao Bing bertemu Nezha, Nezha mengolok-oloknya dengan pongah hingga membuatnya marah dan mengayunkan tombak pualamnya pada Nezha sepenuh tenaga. Dengan memanfaatkan pusaka-pusaka legendarisnya yang memiliki kekuatan yang luar biasa, Nezha berhasil memukul Ao Bing hingga tewas – yang kemudian kembali ke wujudnya semula: seekor naga berwarna perak.

    Saat diberitahu oleh para pengawal Ao Bing bahwa putra ketiganya juga kehilangan nyawanya, kemurkaan Ao Guang memuncak hingga ke langit. Ao Guang mengubah dirinya menjadi seorang sastrawan dan segera menemui Li Jing untuk mengabarkan hal ini. Setelah melampiaskan kemarahannya pada Li Jing, Ao Guang menuntut untuk segera menemui sendiri Nezha. Ketika Nezha tiba di hadapan Ao Guang dan dengan penuh penyesalan menyerahkan padanya urat nadi putra ketiganya yang telah dicabut dari mayatnya, Ao Guang marah besar dan terbang pergi dengan meyatakan bahwa dia sendiri akan menemui sendiri Kaisar Giok (Yu Huang Da Di) untuk memastikan bahwa mereka (Li Jing dan Nezha) akan dihukum karena perbuatan ini.

    Merasa bertanggungjawab penuh atas penderitaan dan kecemasan luar biasa yang diterima kedua orangtuanya, Nezha mengatakan bahwa dia akan menemui gurunya, Taiyi Zhenren, untuk menanyakan apa yang harus dilakukannya pada Ao Guang untuk memastikan keselamatan keluarganya. Menggunakan awan debu untuk terbang dengan kecepatan tinggi, Nezha tiba tak lama kemudian di kediaman gurunya di gunung Qianyuan. Mengetahui bahwa kejadian kecil itu memang sudah ditakdirkan untuk terjadi, dan masalah semacam itu tidak pantas untuk diajukan di hadapan Kaisar Giok, Taiyi Zhenren menggambar mantra agar tidak nampak pada Nezha lalu mengirimya ke Gerbang Kebajikan di Istana Langit dengan seperangkat instruksi untuk dilakukan.

    Setibanya di depan Gerbang Kebajikan, Nezha memandang takjub atas keindahan dan keanggunan yang ada di sekelilingnya; pemandangan semacam itu terlalu hebat untuk ada di muka bumi. Ketika Ao Guang akhirnya tiba di gerbang itu, Ao Guang segera menuju Nan Tian Men (Gerbang Langit Selatan) – dan bertekad untuk segera menemui Kaisar Giok. Saat gerbang itu sudah dekat, tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa mendera punggungnya karena Nezha menghantamkan Cincin Semestanya dengan keras ke punggungnya. Ao Guang terjatuh ke tanah dengan Nezha mencengkeram lehernya. Sang Raja Naga benar-benar berada dalam kondisi yang sulit.

    Bersambung...

    Here/s the english version
    -- Arc 2 - BEGIN --
    This chapter is titled "The Birth of Nezha". Present at Chentang Pass was none other than the renowned military commander Li Jing, who possessed the rare ability to travel through ground, metal, wood, or fire as taught by Superiorman Woe Evading Sage. Currently with two sons--Muzha and Jinzha--and his wife, Madam Yin, Li Jing was in a strange situation: his wife was seemingly pregnant for over three years and sixth months -- but never progressed into labor. However, as Yin had a strange dream one night, she suddenly gave birth to this strange child the following morning. With maidens rushing about saying that a demon was present in Yin's chambers, Li Jing immediately rushed forth into her room and cleaved in two a strange fleshy ball that rolled to and fro across the floor. Within the ball emerged a small young child with hair as white as snow with a gleaming golden bracelet on his right wrist. Taking the young child into his arms, Li Jing and his wife were both very delighted at the sight of their new son. As Fairy Primordial arrived shortly, and was happily welcomed into their territory, the former took hold of the child and declared his name to be 'Nezha'. After containing consent that Primordial could adopt the child as his own disciple, Li Jing continued to train his soldiers fervently throughout the following seven years of time. As Nezha ventured outside of the pass one day with a guard after his seven-year nurturing under Fairy Primordial, Nezha arrived before the Nine Bed River which sparkled with the light of the sun. Determined to take a bath in this stream as an escape from the great heat of summer, Nezha immediately took his clothes off and used the Sky Buddling Damask around his neck to wipe his body. Little did he know that each time this scarf touched the water the surface turned red; when it swished about, the ground beneath shook violently.
    Ao Guang, the dragon king of the East Sea, thus ordered his yaksha scout, Li Gan, to find out the cause to each consistent tremors. After realizing Nezha to be the source of such tremors, Li Gan lashed his axe violently at the former in great rage -- but only ended up losing his life shortly by Nezha's Universal Ring. As Ao Guang was informed of his scout's death, Ao Bing eased his father with word that he will find out the reason for such an action. Experiencing great ridicule and aroggance upon the meeting of Nezha, Third Prince Ao Bing lashed his jaden lance forthward with great renown. Using both of his legendary items with synchronized ability, Nezha managed to strike the former dead -- who thus returned to his original form: a silver dragon. Being informed by Ao Bing's soldiers that his third son lost his life in addition, Ao Guang's rage pierced the very skies as he transformed himself into a scholar to immediately see Li Jing on the issue. After angrily elaborating the issue to Li Jing, Ao Guang demanded to see Nezha in person without any moment to waste. When Nezha appeared before Ao Guang and apologetically handed him his third son's tendon that was previously ripped out, the former flew into greater discontempt declaring fully that he would personally see the Jade Emperor to ensure their punishment. Feeling fully responsible for the great agony and frustration that his mother and father were now going through, Nezha declared that will see his master, Fairy Primordial, to see how he should deal with Ao Guang to ensure his family's safety. Using a dust cloud to move with great speed through the air, Nezha arrived shortly before his master's residence at Qianyuan Mountain. Knowing fully that the minor actions of the past were destined to occur, and such a matter was not worthy to be placed before the Jade Emperor himself, Fairy Primordial first drew invisibility charms on Nezha and then sent him to the Virtue Gate of the Heavenly Palace with his set instructions. Arriving in moderate time before the Virtue Gate, Nezha gazed in great admiration at the beauty and elegance that revolved around him; such a sight truly was far too great to ever be present within earth. As Ao Guang eventually arrived through the gate, he rode swiftly towards the South Heavenly Gate -- determined indeed to see the Jade Emperor at once. Realizing that such a gate was yet closed, a large pain suddenly erupted forth in his back as Nezha's Universal Ring landed a crucial blow to the former. Falling to the ground with Nezha grabbing hold of his neck, Ao Guang was truly in a difficult situation.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  15. silverkhingz M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    May 1, 2010
    Messages:
    2,768
    Trophy Points:
    226
    Ratings:
    +26,741 / -0
    yg gw tahu kisah journey to the west itu emang kisah nyata, meski ya cerita aslinya ga kayak yg di film, tapi intinya emang ada orang yg melakukan perjalanan wat ngambil kitab suci
     
  16. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Iya, Biksu Tang-nya memang ada, ini peta perjalanannya
    [​IMG]

    lanjut dulu deh Nezha-nya
    Bab 13 – Pertarungan Dua Dewa
    ------------------------------------------------------------------
    Saat Nezha turun dari punggung sang raja naga dan mulai meninjunya dengan keras, Ao Guang menjadi semakin marah. Dengan tekad untuk memaksa Ao Guang menyerah dan kembali bersamanya ke Chentang Guan, Ne Zha mencabuti sisik-sisik sang naga satu persatu dari tubuhnya – dan berhasil memaksa sang raja naga menyerah padanya. Kemudian Nezha memaksa Ao Guang mengubah bentuknya menjadi seekor kadal kecil agar tidak kabur dan segera kembali ke Chentang Guan. Sekembalinya di hadapan Li Jing, Ao Guang kembali ke wujudnya semula, menyentakkan kakinya ke tanah dengan kemurkaan luar biasa, dan bersumpah untuk mengumpulkan raja-raja naga dari keempat samudera dalam usahanya menemui Kaisar Giok.

    Melihat Li Jing frustasi berat, Nezha langsung menenangkan ayahnya dengan menyatakan bahwa dia berasal dari Debu Merah di Yuzu Gong; dan jika ada masalah yang diajukan di depan Kaisar Giok nantinya, gurunya, Taiyi Zhenren, akan mengurus hal tersebut dengan tepat.

    Ketika Nezha berjalan-jalan di kebun bunga milik orangtuanya setelah berhasil menenangkan Li Jing, dia mulai merasa bosan dan akhirnya memanjat menara penjaga gerbang terdekat untuk menikmati suasana siang itu. Setelah melihat-lihat pemandangan menakjubkan yang terbentang di hadapannya, Nezha memungut sebuah busur yang terpasang bersama tiga buah anak panahnya di sudut menara besar ini. Memutuskan untuk berlatih panahan, Nezha menembakkan salah satu dari ketiga anak panah yang ada – yang berwarna merah menyala dan berkilauan – ke arah barat daya. Nezha tidak menyadari bahwa busur ini dulunya milik Kaisar Xuanyuan – dan hanya orang-orang yang memiliki kekuatan dewa yang mampu mengangkatnya. Dan lebih sialnya lagi, panah ini tepat menghunjam tenggorokan Anak Awan Biru dari Gua Tulang Putih di Gunung Tengkorak.

    Segera insiden ini dilaporkan pada Shici Niang-Niang, sang pemilik gua, yang kemudian bersumpah menuntut balas pada pelaku yang menyebabkan insiden ini: Li Jing. Shici Niang-Niang segera menuju ke Chentang Guan, dan setibanya di sana, dia mengurung Li Jing dengan jin berkain kuningnya tanpa ragu-ragu. Sekembalinya ke gunung bersama Li Jing, Li Jing mengatakan pada Shici Niang-Niang bahwa dia akan segera mencari tahu pembunuh sebenarnya dengan menyelidiki panah suci tersebut. Ketika Li Jing memanggil Nezha, tak lama kemudian dia segera mengetahui bahwa Nezha-lah pelaku di balik insiden baru tersebut, dan segera membawanya ke Gunung Tengkorak menggunakan awan debu.

    Ketika Anak Awan Cantik, murid kedua Shici Niang-Niang, memanggil Nezha untuk masuk ke dalam gua, Nezha memustuskan inilah saat yang tepat untuk sekalian menghabisi Anak Awan Cantik karena toh dia (Nezha) bagaimanapun juga akan mendapat bencana. Melihat muridnya terbaring sekarat di tanah, Shici Niang-Niang segera menyabetkan pedangnya kearah Nezha dengan kemarahan yang lebih besar lagi. Malang bagi Nezha, pusaka-pusakanya yang hebat terhisap oleh lengan jubah Shici Niang-Niang saat dia berusaha menggunakannya – sehingga tidak ada pilihan lain baginya selain kabur untuk menemui gurunya di Gunung Qianyuan. Nezha segera bersembunyi di kebun buah persik milik gurunya itu. Taiyi Zhenren meninggalkan kediamannya dan keluar menghadapi Shici Niang-Niang yang mengejar Nezha.

    Setelah berteriak memaki-maki Taiyi Zhenren karena ingin menghajar Nezha, Taiyi mengatakan bahwa Nezha memang ditakdirkan harus menghadapi bencana ini – dan kejadian kecil semacam ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan jasa-jasanya di masa yang akan datang. Shici Niang-Niang menyadari bahwa perkataan Taiyi tidak dapat dibantah, dan cara satu-satunya untuk menyingkirkan Taiyi adalah menemui gurunya di Yuzu Gong, Shici memutuskan untuk bertarung melawan Taiyi untuk membuktikan kesaktiannya melebihi Taiyi Zhenren.

    Bahkan dengan menggunakan pusakanya – Saputangan Jenggot Naga – terbukti bahwa Shici kalah dibandingkan Taiyi karena Taiyi mampu menghindari dan menangkis semua serangannya bagaikan air yang mengalir. Taiyi bahkan berhasil menjebaknya dengan mudah di dalam Kurungan Api Dewa Sembilan Naga, dan sambil melemparkan pandangan pada Nezha – yang mengintip dari dalam gua – memerintahkannya kembali ke kediaman orangtuanya karena Kaisar Giok telah menerima permintaan Ao Guang. Sambil mengatakan pada Nezha mengenai hal-hal yang harus dilakukannya saat tiba di rumah, Taiyi Zhenren menepukkan kedua tangannya dan menghabisi Shici Niang-Niang yang irasional dalam kurungan api.

    Nezha menemui keempat raja naga yang tiba di rumahnya dan mulai mematahkan tulang-tulangnya, mengeluarkan organ tubuhnya, dan membelah perutnya sendiri sebagai bayaran atas kesalahannya – dan untuk menyatakan bahwa kedua orangtuanya tidak bersalah. Melihat Nezha mati dalam genangan darahnya sendiri, Ao Guang dan raja-raja naga lainnya merasa puas atas pengorbanannya itu – dan menyatakan bahwa kedua orangtua Nezha tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman.

    Bersambung…
    Here’s the English version:
    This chapter is titled "Combat Between Two Fairies". As Nezha toppled about the dragon king and began beating him violently with his fist, the latter became even more infuriated. Determined to force Ao Guang to give up and return with him to the Chentang Pass, Nezha tore apart each individual scale upon his sides -- effectively forcing the king to give in to such detriment. After Ao Guang had been ordered to take the form of a small lizard less he attempted to escape, Nezha returned immediately to Chentang Pass in mere moments. Upon his return before Li Jing, Ao Guang resumed his original form, stamped his foot in unparalleled rage, and vowed to gather the dragon kings of each of the four seas in his next attempt to see the Jade Emperor. With Li Jing in a state of rejuvinated frustration, Nezha effectively calmed his father down by stating that he was decreed existence upon the Red Dust by the Jade Emptiness Palace; and if any trouble were to be presented before the Jade Emperor in the future, his master, Fairy Primordial, would take care of the situation with precise accuracy. As Nezha thus calmly walked off to his parent's garden after placing confidence in his father, he soon became rather bored and decided to climb the neighboring pass's watchtower to enjoy the afternoon breeze. After gazing forth at the great view before him, Nezha picked up a bow equipped with a set of three arrows that sat at the edge of this large tower. Deciding to better his archery technique, he shot one of three arrows--which glistened with brilliant crimson--into the southwest. Little did Nezha truly realize that this bow was wielded by none other than Emperor Xuanyuan within the past -- for only one of immortal ability could have the strength to wield it. With even greater misfortunate, this arrow happened to pierce the throat of Blue Cloud Lad of White Bone Cave on Skeleton Mountain.
    As such an incident was immediately informed to Lady Rock, the mistress of the cave, the latter vowed to attain revenge against the conjectured criminal of such an incident: Li Jing. Following Lady Rock's immediate arrival before Chentang Pass, she wrapped up Li Jing with her yellow-scarved genie without a moment of hesitation. After thus returning to her mountain with the latter, Li Jing told Lady Rock that he would immediately find out who the true murderer was upon his inspection of the sacred arrow. As Li Jing called for Nezha and shortly realized that he was indeed the criminal behind this new incident, the former led Nezha to Skeleton Mountain atop a dust cloud. Once Pretty Cloud Lad, the secondary disciple under Lady Rock, approached Nezha to call him in to the cavern, Nezha determined this to be the perfect chance to knock the former out cold due to the calamity that shall befall him in very short time anyways. Seeing her disciple near death on the ground, Lady Rock began to lash her sword at the latter in even greater rage. Unfortunately for Nezha, his legendary items were absorbed into the former's sleeves with ease when he attempted to unleash them -- and he thus had no choice but to flee immediately to his master at Qianyuan Mountain. Hiding in the peach garden immediately upon his arrival, Fairy Primordial left his domain to confront Lady Rock as she pursued the former. After yelling profusely at Fairy Primordial in her desire to confront Nezha, the latter retorted by saying that Nezha is destined to perform such calamities -- and such an incident is only minor and of no real significance compared to his true future performance. Realizing that his words were unfultured, and her only method to get past his resolve would be to approach his master at the Jade Emptiness Palace, the former decided to duel Fairy Primordial to prove her her skill as being greater. Even with her magical item--the Dragon Beard Handekerchief--she proved inferior as the latter evaded and negated her every blow like the flow of water. Thus trapping her easily inside his great Nine Dragon Divine Fire Coverlet, Fairy Primordial glanced down at Nezha--who peered outside the cave--to head immediately to his family's residence due to the Jade Emperor's consentention of Ao Guang's request. Thus telling Nezha what he should do during his arrival, Fairy Primordial clapped his hands to put the irrational Lady Rock to her rest in a pit of flames. Approaching the four dragon kings, who arrived shortly at his house, Nezha began to break his bones, gouge out his intestines, and slit his belly as a representation of the punishment that he deserves -- and the innocence that is deserving of his parents. Seeing Nezha dead in a large pool of blood, Ao Guang and the other dragon kings consented to his sacrifice -- and declared his parent's as innocent and free of any form of punishment.
     
    • Like Like x 4
    • Thanks Thanks x 1
  17. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Bab 14 a

    Bab 14a
    Reinkarnasi dengan Teratai
    -------------------------
    Ketika jiwa Nezha muncul di hadapan Taiyi Zhenren setelah kematiannya, gurunya itu memerintahkan Nezha untuk menemui ibunya dalam mimpi dan meminta sang ibu untuk membuatkan baginya sebuah kuil di Gunung Layar Kumala yang nantinya akan digunakan sebagai tempat pemujaan oleh rakyat menggunakan dupa dan lilin selama tiga tahun; dan setelah tiga tahun berlalu, Nezha akan mampu bereinkarnasi dalam bentuk manusianya yang semula. Sambil terus memohon pada sang ibu untuk membangunkannya sebuah kuil agar dia (Nezha) dapat beristirahat dengan tenang, sang ibu akhirnya memerintahkan para pelayan untuk membangun kuil itu – yang selesai dalam waktu 10 bulan kemudian. Tentu saja Li Jing tidak diberi tahu mengenai pembangunan kuil ini, agar sang ayah tidak berusaha merobohkannya. Selanjutnya, banyak rakyat yang memuja di kuil yang indah itu karena tampaknya dengan memuja Nezha di kuil itu membawa banyak rejeki bagi mereka.

    Suatu hari, saat Li Jing turun dari Gunung Kuda Liar setelah selesai melatih pasukannya, Li Jing memperhatikan banyak orang yang berkumpul di sebuah kuil yang didedikasikan bagi ‘Dewa Nezha’. Li Jing membakar kuil itu dan menceritakan kejadian sebenarnya pada masyarakat, kemudian segera kembali ke rumah menemui istrinya dan menyalahkannya karena hanya berpikir secara sepihak.

    Ketika Nezha mendengar apa yang terjadi dari sekretaris kuilnya, Nezha segera menemui gurunya di Gunung Qianyuan untuk menjelaskan situasinya. Taiyi menyadari bahwa Nezha akan segera direinkarnasi tanpa bisa ditunda-tunda lagi, dan memerintahkan pengikutnya, Bocah Semilir Emas, untuk segera mengambil dua kuntum bunga teratai dan tiga lembar daun teratai dari kolam teratainya. Segera setelah Taiyi melakukan serangkaian proses dengan bunga dan daun teratai yang diterimanya, tiba-tiba Nezha melompat keluar dalam tubuh manusia yang baru dan utuh tanpa cacat dari gumpalan asap. Setelah berkowtow dengan penuh rasa terima kasih pada gurunya, Nezha segera dilatih dengan Tombak Berujung Api yang dikombinasikan dengan Roda Angin dan Api barunya, dan segera menguasai keahlian itu dalam waktu singkat.

    Sebelum Nezha meninggalkan Qianyuan untuk membalas dendam pada Li Jing, Taiyi memberikan padanya pusaka lamanya – yang diambil dari mayat Shici Niang-Niang – bersama dengan sebuah lempeng emas yang bisa mengubah volumenya sesuai keinginan penggunanya. Nezha menggunakan roda apinya untuk terbang dengan cepat, dan segera tiba di kediaman Li Jing, dimana beberapa pengawal melaporkan kedatangannya – dan Li Jing tidak punya pilihan selain melihat sendiri apakah laporan para pengawal itu benar. Li Jing begitu terkejut melihat Nezha yang kembali dengan ajaib, dan segera menyabetkan tombaknya pada Nezha – dan akhirnya Li Jing harus melarikan diri ke tenggara setelah merasakan kamampuan ajaib Nezha yang baru.

    Nezha mengejar Li Jing dengan mudahnya menggunakan Roda Angin dan Apinya, dan Li Jing yang menyadari bahwa nyawanya dalam bahaya segera lari mati-matian untuk kabur. Secara kebetulan, Li Jing bertemu putra keduanya, Muzha, di tengah jalan, dan segera menceritakan secara singkat situasinya sambil bersembunyi di balik punggung putranya itu. Nezha yang tiba di hadapan Muzha segera menyadari bahwa orang yang berdiri di hadapannya adalah kakak keduanya – dan karena itu Nezha menceritakan alasan dibalik tindakannya tersebut. Tanpa sedikitpun keraguan dan rasa simpati atas penyebab sikap tidak berbakti adiknya itu, Muzha menyabetkan pedangnya pada Nezha – yang berakhir dengan dirinya sendiri pingsan karena lambungnya dihantam menggunakan lempeng emas Nezha setelah menunjukkan celah dalam pertarungan mereka. Setelah melihat kakaknya pingsan di tanah karena hantamannya, Nezha menggunakan kesempatan ini untuk kembali mengejar Li Jing dengan penuh semangat. Li Jing menyadari bahwa dia hanya akan berakhir dengan bencana besar bila hal memalukan ini terus berlanjut, oleh karena itu dia segera berlutut di tanah untuk bersiap melakukan ritual bunuh diri. Tepat sebelum hal itu terlaksana, Wenshu Guangfa Tianzun tiba-tiba muncul untuk menghentikan upayanya itu
    Here's the english version
    Chapter 14a
    This chapter is titled "Reincarnation with Lotus Flowers". As the soul of Nezha appeared before Fairy Primordial recently after the former's death, the latter told Nezha to approach his mother in a dream and tell her to construct a temple on Jade Screen Mountain that is to be worshipped with incense and candles for over three years of time; following the three years, Nezha will be able to reincarnate into his original human form once again. Thus continuously pleading to his mother for the construction of his temple so that he could rest in peace, she finally ordered her attendants to do as such -- resulting in the temple's completion following the passage of ten months. As Li Jing was naturally not informed of such a construction less he attempted to tare it down in the future, many people soon gathered to worship before the beautifully articulated temple due to the seemingly good forture that resulted in such worship. Descending one day from the Wild Horse Mountain after thorougly drilling his troops, Li Jing noticed many individuals gathering around a neighboring temple that was suposedly dedicated to "God Nezha". Burning the temple down shortly and calming the people with the truth, Li Jing returned immediately to see his wife and reprimand her for such one-sided thinking. As Nezha heard what happened through his temple secretaries, he headed to see his master at Qianyuan Mountain to explain the current situation. Realizing that Nezha is to be reincarnated as soon as possible without a single moment of delay, Fairy Primordial ordered his attendant, Golden Haze Lad, to retrieve two lotus flowers and three lotus leaves from the lotus pond immediately. Performing a special process with his lotus leaves and flowers shortly after being received, Nezha suddenly leapt forth in a new human body without the slightest defect following a puff of smoke. Bowing in unparalleled gratitude before his master, Nezha was trained immediately with the Fire-Tip Lance combined with his new Wind-Fire Wheels, and ended up mastering such an art in very short time.
    Before leaving Qianyuan to attain revenge against Li Jing, Fairy Primordial handed the former his original legendary items--after being retrieved off of Lady Rock's corpse--along with a golden brick that could change its mass at the users' will. Riding upon his flaming wheels with quick pace, and arriving before Li Jing's residence shortly, several guards reported the former's arrival -- and Li Jing had little choice but to see if what they said was really true. Appearing before Nezha in great shock due to his miraculous return, Li Jing slashed his lance upon the former -- but only ended up fleeing to the southeast after experiencing the celestial renown that Nezha now possessed. Pursueing the latter with great ease with his Wind-Fire Wheels, Li Jing knew that his life was to end shortly and thus fled for his life at the fastest speed he could muster. As Li Jing happened to fortunately run into his second son, Muzha, along the way, he immediately explained the situation with quick words while hiding behind the former. Appearing before Muzha, Nezha soon learned that the person standing before him was his second brother -- and he thus told the latter his reason for such an action. Without any hesitation for sympathy on Nezha's part due to unfilialness, Muzha lashed his sword forth at the former -- but only ended up being knocked in the stomach by Nezha's golden brick after leaving an opening. Falling to the ground in moderate unconsciousness after receiving such a heavly blow, Nezha seized this chance to pursue Li Jing further in his amusement. Resolved that he would only end up with further calamity if such shamefulness continued, Li Jing prostrated himself on the ground in preparation for his ritual suicide. Just before such could be performed, Master of Outstanding Culture suddenly appeared to stop the former with immediate pace.
     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 1
  18. sanchamie Members

    Offline

    Joined:
    Jun 19, 2010
    Messages:
    5
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    emang selain kera sakti ada lagi ya cerita khususnya dewa erlang??
    sampe k indo ga sih filmnya yg khusus dewa erlangnya?
    hmmm...
     
  19. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    ada koq, sekarang sudah ada bajakannya, judulnya Prelude of Lotus Lantern.

    Yang Lotus Lantern sudah ada threadnya di bagian TV series, juga dah main di TV tengah malem. coba aja nonton
     
    • Like Like x 8
  20. Kurenai86 M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 26, 2010
    Messages:
    548
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +5,213 / -0
    Bab 14 b

    Dengan memegang sekuntum teratai berukuran besar yang berputar-putar di telapaknya, sang pendeta segera memerintahkan Li Jing untuk bersembunyi di gua terdekat sementara dia sendiri yang akan mengurus pengejarnya. Ketika Nezha tiba di depannya dan menyadari bahwa pendeta itu menyembunyikan Li Jing di guanya, Nezha menyombongkan diri akan mencincangnya dengan tombaknya jika pendeta itu masih saja melindungi ayahnya tanpa mengerti situasi sebenarnya. Setelah Nezha memberitahukan pendeta itu namanya dan nama guru yang melatihnya, dia mulai melontarkan dirinya ke arah sang pendeta meski menyadari bahwa tidakan itu bukanlah pilihan terbaik. Wenshu Guangfa Tianjun segera menangkis tombak milik Nezha dengan bunga teratai di tangannya dan melepaskan Pancang Pengikat Naganya – dan seketika itu pula membuat Nezha pusing sehingga mudah ditangkap.

    Begitu Nezha menyadari bahwa dia terikat pada sebuah pancang emas dengan cincin yang mengikat kedua tangan dan kakinya, Wenshu memerintahkan muridnya, Jinzha, memukuli Nezha dengan tongkat sebagai hukuman. Setelah memukuli Nezha dalam waktu yang lama, mereka kembali ke guanya; saat itu juga Taiyi Zhenren muncul dari langit dan menemui master. Taiyi mengabaikan permohonan Nezha untuk minta tolong dan malah memasuki gua sang pendeta, mengatakan padanya bahwa dia (Taiyi) sengaja mengirim Nezha untuk digembleng. Akhirnya Nezha dibebaskan tak lama kemudian, dan langsung berlutut di depan gurunya di dalam gua. Setelah Li Jing dimarahi atas kekejamannya membakar kuil peesembahan Nezha, dia diijinkan pergi dengan syarat tidak lagi membuat masalah dengan Nezha sejak saat ini – dan juga sebaliknya.

    Setelah itu Nezha diperintahkan mengawasi mulut gua sementara kedua pendeta sakti itu bermain catur. Nezha tidak bisa menahan dirinya dan akhirnya segera kabur untuk kembali mengejar Li Jing dengan roda apinya. Li Jing merasa tertipu oleh Taiyi karena Nezha kembali mengejarnya, dan akhirnya, syukurlah, melihat seorang lelaki duduk si bawah sebatang pinus – kemudian memanggil orang tersebut untuk meminta bantuannya.

    Li Jing segera bersembunyi di belakang pria itu, dan segera Nezha menyusulnya dan menjelaskan situasinya pada orang asing itu, dan bertekad untuk menyalurkan kebenciannya. Melihat kemarahan Nezha, pria itu meludah ke arah Li Jing dan kemudian menepukkan tangannya ke punggung Li Jing. Kemudian pria itu menyuruh Li Jing melawan Nezha tanpa pilihan lain, dan segera setelah itu, Nezha menyadari bahwa ayahnya itu menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya – dan menyadari bahwa pria yang berdiri di samping pohon pinus itu pastilah seorang pendeta yang memiliki keahlian untuk memperkuat orang lain.

    Nezha menyadari bahwa jika dia membunuh sang pendeta, kekuatan ayahnya tidak akan bisa melampauinya, dan karena itu Nezha segera maju dan menyabetkan tombaknya ke dahi sang pendeta. Ketika sekuntum teratai muncul di depan wajah sang pendeta untuk menahan terjangan Nezha, sang pendeta yang murka melepaskan pagoda emasnya dari langit untuk mengurung Nezha di dalamnya sebagai hukuman. Kemudian pendeta itu menepukkan kedua tangannya untuk mengeluarkan api yang membara di dalam pagoda, dan Nezha tidak punya pilihan lain selain memohon ampun dan bersedia mengakui ayahnya – dan dengan itu mohon untuk dibebaskan.

    Nezha menyadari bahwa dia tidak terluka sedikitpun meski dibakar oleh api sang pendeta, dan karena itu berkesimpulan bahwa kemampuan sang pendeta adalah mengeluarkan ilusi. Dengan ancaman akan dibakar di dalam pagoda sang pendeta jika Nezha tidak berkowtow penuh hormat di depan ayahnya, akhirnya Nezha mau tidak mau melakukan hal itu sambil menggerutu. Sang pendeta kemudian memutuskan untuk mengajarkan ilmu pagoda membara pada Li Jing untuk berjaga-jaga terhadap serangan Nezha di masa yang akan datang, dan Nezha disuruh pergi terlebih dahulu – yang kemudian cepat-cepat kembali ke Gunung Qianyuan dengan penuh kekecewaan atas pembalasannya yang digagalkan.

    Sang pendeta kemudian menyatakan bahwa namanya adalah Randeng Daoren dari Gunung Elang Dewa dan mengatakan pada Li Jing untuk melupakan ketenaran dan kekayaan yang diperolehnya dari Dinasti Shang dan agar Li Jing bertapa di lembah terdekat hingga tiba saat yang telah diramalkan untuk meruntuhkan Dinasti Shang; dan pada saat itu Li Jing harus membantu perjuangan Raja Wu.

    Bagian 2 Selesai...
    bersambung ke bagian 3

    Here's the english version
    With a large revolving lotus within his palm, the Taoist immediately ordered Li Jing to hide in his neighboring cavern while he personally confronts the pursuer. As Nezha thus arrived before Master of Outstanding Culture, and realized that the former was hiding Li Jing in his cave, Nezha boasted that he would slash him to pieces with his lance if he were to continue to shelter his father without understanding the true situation at hand. After telling Master of Outstanding Culure his name, and the respective master that he has trained under, Nezha began to lunge forward at the Taoist master knowing it probably wasn't the best choice. Immediately parrying Nezha's lance with the lotus flower within his palm, Master of Outstand Culture unleashed forth his renowned Dragon Bound Stake -- effectively placing the former's mind into great confusion and thus resulting in easy capture. As Nezha shortly realized that he was completely bound to a golden stake with rings around his arms and legs, Master of Outstanding Culture ordered his disciple, Jinzha, to beat him with his cane as punishment. After they both returned to their cave after giving Nezha a long and severe beating, Fairy Primordial arrived from the skies to meet with Master of Outstanding Culture. Walking into the Taoist's cave while ignoring Nezha's pleas completely, the former declared to Outstanding Culture that he sent him here for the sole purpose of temperment. With Nezha thus being set free shortly, he kneeled with dignity before his master within the cavern. As Li Jing was reprimanded for the cruelty of burning down Nezha's sacrificial temple, he was soon dismissed but ordered to show no further animosity towards Nezha from this point on -- and vice-versa. With Nezha thus being ordered to keep watch of the cave entrance while the two superiormen played a round of chess, the former could not contain himself and left to pursue Li Jing immediately atop his flaming wheels. Believing to be fooled completely by the previous immortal due to Nezha's refreshed pursuit, Li Jing fortunately caught site of a man sitting on the side of a pine tree -- and thus called to the latter for assistance.
    Running up to the man and hiding behind him, Nezha arrived shortly and explained the situation to this man, determined to vent his hatred. Giving in to Nezha's furiosity, the man spat on Li Jing and then clapped his hand to the former's back. As Li Jing was ordered by this man to fight back Nezha with little other choice, Nezha soon realized that his father's strength was far greater than originally -- and thus the man standing at the pine tree must be none other than a Taoist who is a master at the enhancement arts. Realizing that if he effectively destroyed the Taoist, his father's strength would not be surpassing his own, Nezha lunged forward and slashed his lance into the latter's forehead. As a lotus flower appeared before the his face to negate Nezha's blow, the Taoist angrily unleashed forth his great golden pagoda from the skies to trap the former within as punishment. Clapping his hands to additionally signal a great fire to rage within the pagoda, Nezha had no choice but to beg for mercy and declare his acknowledgement to his father -- thus seizing the chance of being set free. Realizing that he possessed not a single burn from the Taoist's great fire, Nezha deduced the former's ability to be none other than genjutsu. Threatening to burn Nezha further in his pagoda if he did not kowtow to his father with needed respect, the former had no choice but to do so in a rageful state. As the Taoist thus declared to Li Jing that he will teach him the burning pagoda art as a resistance against Nezha's potential future assaults, Nezha would be dismissed first -- and thus quickly rode back to Qianyuan Mountain in dissappointment over his sullied vengeance. Now declaring his name to be Burning Lamp of Mount Divine Hawk, the former told Li Jing to forget about fame and riches under the Shang Dynasty and to live as a hermit in the neighboring mountain valleys until the preordained assault upon the dynasty comes his way; at that time he should assist King Wu in the campaign.

    -- Arc 2 - END --

    fuiihh... akhirnya cerita Nezha kelar juga...
     
    • Like Like x 4
    • Thanks Thanks x 1
  21. ian_xander M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 24, 2009
    Messages:
    622
    Trophy Points:
    127
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +380 / -0
    owh gt ya :hahai:

    jd inget dulu waktu sering nonton pilemnya...:hahai:

    g bgitu ngerti cerita aslinya, tp habiz baca thread diatas jd agak jelas 'n sekilas inget kejadian2nya di pilem dulu...:hehe:

    btw er lang tu yang pny mata 3 itu bukan :???:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.