1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic There is a Song between You and Me

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Jul 7, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    hee, itu karena pake PoV Risa mod :hiks:

    oh, well, thanks anyway :kecewa:
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    dan gw gk nyadar juga kalo itu juga pake miring di interlude sebelumnya.

    mungkin gara2 panjang dan gw baru bangun tidur makanya moodnya blom pulih sepehunya, pandangan mata gw juga masih kabur sih. oh well nevermind aja deh, ntar gw baca2 dolo :lalala: klo panjang juga tinggal gw kopas ke ms word trus diilangin italicnya.
     
    • For The Win For The Win x 1
  4. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    akhirnya kelar juga

    well, rata2 gw baca karena pengen tau ceritanya juga sih. jadinya deskripsi dsb. rada gw skip.

    good luck buat chapter berikutnya.

    keluarga nya si yuki kawin lagi ya.

    soalnya pas chapter2 sebelumnya gw gk diceritain tentang keadaan si yuki di rumah kek gimana sama sekali sih.
     
    • Like Like x 1
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    well, ampir bener mod, tapi bukan kawin lagi sih lol :lol:

    tar deh ditunggu lanjutannya ya :hmm:
     
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Seharusnya aku memberitahumu sejak awal.”

    Tampak wajah Risa yang sayu saat ia kembali berbicara. Perlahan, kedua tangannya bergerak menggenggam jemariku. Ia menggenggamnya dengan begitu erat, seolah takut akan kehilangannya.

    “Maafkan aku…”

    Perasaan hangat yang muncul di kedua telapak tangan ini membuatku hening untuk sesaat. Meski demikian, segala keanehan ini kembali memicu diriku untuk berbicara.

    “Aku…aku tak mengerti, Risa.” Kataku kemudian. “Apa maksudmu bahwa kau tak pernah ada?”

    Risa tak lantas menjawab. Matanya terus tertuju pada jemari kami yang saling beradu didepan dada kami.

    Kemudian, ia tersenyum.

    Ia tersenyum sayu. Senyuman yang hanya berisi kekosongan.

    Ini…

    Ini benar-benar aneh.

    Bagaimana mungkin ia berkata bahwa dirinya tak pernah ada ketika mataku bisa dengan jelas melihatnya dan bahkan menyentuhnya? Bahkan perasaan hangat yang muncul dari jemari kami bisa dengan jelas kurasakan.

    Dan meskipun semua orang menolak keberadaannya, ia yang kulihat kali ini merupakan sosok yang nyata.

    Kini giliranku yang berbicara. Melepaskan jemariku dari genggaman Risa, tanganku lantas menyentuh pundaknya dan membuatnya terkejut.

    “Risa!” Kataku dengan nada sedikit meninggi. “Jelaskan padaku apa yang terjadi!”

    Risa tertegun melihatku, sebelum kembali membuang pandangannya jauh-jauh dan memasang raut wajah muram untuk kesekian kali. Tanpa sadar, tanganku mulai gemetar menunggu jawabannya. Jantungku ikut berdegup dengan tempo cepat.

    Memejamkan matanya untuk beberapa saat, Risa lantas kembali menatapku. Tampak jelas dari raut wajahnya bahwa ia memendam keraguan yang dalam akan suatu hal.

    “Yuki, aku tak tahu. Aku-”

    “Tolonglah!” Kataku memotong. Aku tahu bahwa ia hanya akan berbicara soal keraguannya, dan itu takkan memuaskanku.

    Karenanya, aku memutuskan untuk memberinya sedikit tekanan.

    “Aku ingin tahu semuanya.”

    Risa masih tampak ragu untuk sesaat dan kembali membuang pandangannya. Tak mau menunggu lama, aku kembali menekannya.

    “Risa, tolonglah.”

    Kali ini suaraku kembali normal. Meski demikian, pertanyaanku tetap sama – bahwa aku ingin tahu semuanya. Tak lama tatapan mata Risa kembali tertuju padaku, dan itu membuatku sedikit lega.

    “Ceritakanlah, Risa.” Kataku perlahan. “Aku selalu ingin mengerti tentangmu. Tentang apa yang menimpamu, tentang kesedihanmu, tentang senyuman yang selalu kau paksakan, semuanya…”

    Raut wajah Risa masih tampak sayu untuk sesaat. Meski tak lama setelahnya, ia tersenyum.

    Mmn. Ia kembali tersenyum. Makin lama, senyumnya tampak makin lebar dan berubah menjadi sebuah tawa kecil.

    Kemudian, ia menatapku dalam-dalam dengan bola mata yang mulai berbinar.

    “Kau selalu seperti itu, Yuki…”

    Kulepaskan genggaman tanganku dari pundaknya. Risa masih tertawa, meskipun dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya.

    “…selalu bersikap baik padaku.”

    Tak lama, isak tangisnya mulai terdengar. Sesaat setelah mengusap matanya, Risa kembali menatapku dalam-dalam.

    Dan tersenyum dengan mata sembab.

    “Sejak dulu, kau tak pernah berubah…”

    Eh?

    “Sebenarnya, aku sedikit kecewa saat kau bilang kau ingin tahu tentangku. Seharusnya kau sudah tahu semuanya. Sejak dulu, kau seharusnya sudah tahu…”

    Tu…tunggu dulu. Sejak dulu?

    Apa maksud kata-katanya? Aku tak mengerti.

    Namun tepat ketika aku akan menanyakan hal itu, Risa seketika menubrukkan kepalanya di dadaku.

    Dan memelukku erat-erat.

    “Yuki, kau mungkin tak percaya ini, namun aku sedang bermimpi.” Katanya perlahan. “Keberadaanku, hari-hari yang kulalui denganmu, semuanya hanyalah mimpi panjangku tentangmu.”

    “Mimpi?”

    Kurasakan kepala Risa yang mengangguk di dadakku. “Selayaknya mimpi, aku yang kau lihat sekarang ini bukanlah sesuatu yang nyata.”

    Untuk kali ini suara Risa terdengar begitu tenang. Bahkan teramat tenang saat bibirnya bergetar di telingaku.

    “Saat semua mimpi ini berakhir, aku akan menghilang.”

    Kemudian, Risa melepaskan diri dari tubuhku, dan menatapku sambil terus tersenyum lebar.

    “Risa, tunggu dulu!” Kataku heran. “Aku tak mengerti. Bagaimana mungkin ini semua hanya mimpi?”

    Risa menjawab dengan gelengan kepala sebelum membuang pandangannya jauh ke langit-langit.

    “Hal terakhir yang kuingat adalah tempat tidurku, dan tiba-tiba saja, keesokan harinya aku sudah berdiri disamping tubuhku sendiri.”

    Mendengar jawaban Risa yang demikian, aku hanya bisa tertegun. Semua itu tidaklah masuk akal sama sekali.

    Meski demikian-

    “Karenanya, aku bilang bahwa aku sedang bermimpi. Kau boleh tidak percaya, tapi…itulah kenyataanya, Yuki.”

    -Risa mengatakan semuanya dengan begitu tenang. Aku sama sekali tak menemukan kebohongan didalam kata-katanya.

    ………

    Mimpi.

    Ah, akal sehatku sama sekali tak bisa menerima ini semua. Menerima bahwa sosok Risa yang ada dihadapanku saat ini sebagai sosok arwah yang keluar dari tubuhnya terdengar seperti sebuah anomali yang teramat besar. Namun di lain pihak, aku juga tak bisa serta merta menolak ucapannya. Kenyataan bahwa semua orang tak ingat apapun tentangnya membuat semua keanehan ini sedikit masuk akal.

    Mmn. Itu benar. Dari penjelasannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Risa hanyalah sosok semu yang seharusnya tak pernah ada. Dan karena ia tak pernah ada, kenangan yang dibuatnya bersama orang-orang yang ditemuinya pun seharusnya tak pernah ada.

    Tetapi…

    “Kenapa kini aku bisa melihatmu, dan bahkan memiliki ingatan tentangmu?”

    Risa tak lantas menjawab dan hanya tersenyum. Pandangannya kini beralih menuju langit luas yang tampak dari balik jendela.

    Senyumnya tampak memudar perlahan.

    Ia menarik napas dalam-dalam.

    “Kurasa itu…karena kaulah orang yang kutunggu selama ini, Yuki.”

    Eh?

    Orang yang ia tunggu?

    “Ingatkah saat kubilang bahwa aku menunggu seseorang untuk datang?”

    “Y…ya.”

    “Kurasa, kaulah orang itu, Yuki.” Jawab Risa sambil tersenyum.

    Ah, sial! Ini semua benar-benar membuatku bingung. Apa maksudnya bahwa aku adalah orang yang ditunggunya?

    Maksudku, aku sama sekali tak pernah bertemu dengannya sebelumnya.

    ………

    Perlahan tatapan Risa kembali tertuju padaku.

    Senyumnya bisa kembali terlihat.

    ***​

    “Yuki, ingatkah kau saat pertama kali kita bertemu?”

    Tangan Risa kembali menggenggam erat jemariku, mengusapnya, dan tersenyum setelahnya.

    “Saat kutepuk punggungmu di loker sepatu pagi itu, aku amat yakin bahwa kaulah orang yang kutunggu. Terlebih, kau memiliki nama yang sama dengannya.”

    “Nama yang sama?”

    Dengan mata yang terus tertuju ke arah jemari kami, Risa mengangguk perlahan.

    “Yuki.”

    Dan untuk sesaat, ia berhenti berbicara. Tatapan matanya tetap tak berubah.

    Kemudian, ia memejamkan matanya sejenak. Jemari tangannya terus bergerak, mengusap dan menggenggam jemariku seolah berusaha meraih perasaan hangat yang muncul darinya.

    Ia membuka matanya tak lama setelahnya.

    “Bahkan saat aku memutuskan untuk memanggil nama aslimu, aku bisa merasakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Mmn. Meskipun nama keluargamu berbeda dengan Yuki yang kutunggu, jauh dilubuk hatiku, aku amat yakin bahwa kaulah orang itu.”

    Risa menggenggam jemariku kian kuat, sebelum menatapku dalam-dalam.

    “Dan keyakinan itu makin menguat seiring jalannya waktu.”

    Aku menelan ludah. “Risa, aku…aku tak yakin soal itu. Apakah kita-”

    “Mungkin kau tak mengingatnya,” Risa memotong cepat. “Tetapi aku pernah bertemu denganmu.”

    ………

    Tak dapat dipercaya.

    Risa mengatakan semuanya dengan begitu lepas, seolah semua yang ia katakan merupakan kenyataan.

    Tetapi aku tak tahu.

    Apakah aku benar-benar pernah bertemu dengannya? Jika ya, kapan? Dan dimana? Ingatan terakhirku menyebutkan bahwa aku tak pernah memiliki teman gadis sejak kecil.

    Sejak kecil…

    Ah, aku bahkan tak begitu ingat masa kecilku. Memoriku benar-benar buruk saat ini.

    Kurasakan tangan Risa yang gemetar ketika ia kembali berkata perlahan, “Saat melihat matamu di loker sepatu, aku tahu kau sudah lupa tentangku.”

    Nada suara Risa terdengar begitu memilukan. Ia mungkin tersenyum, namun aku tahu bahwa jauh dilubuk hatinya, ia sedang menangis.

    “Sorot mata itu, sorot mata seseorang yang lupa akan sesuatu, hal itu sudah sering kulihat.”

    ………

    Meski demikian, perlahan, kukumpulkan kembali kekuatan untuk bisa berbicara.

    “Jika…jika aku memang orang yang kau tunggu, kenapa kau tak mengatakan semua ini sejak awal?”

    “Dan jika kukatakan hal itu padamu, apakah kau akan lantas mempercayainya?”

    Ah, betul.

    Aku tak mungkin serta merta percaya pada orang asing yang bilang ini itu soal masa laluku. Karenanya, pertanyaan Risa kali ini sama sekali tak bisa kujawab.

    Risa tersenyum singkat. “Perlahan, aku mencoba membangun kembali semuanya. Semua memorimu, semua yang telah kulalui bersamamu, aku terus mencoba membuatmu ingat. Namun semua itu tetap sia-sia, hingga aku tiba titik dimana aku merasa putus asa…”

    “Risa…”

    Seiring dengan genggaman tangan Risa yang terus menguat, butiran air jatuh menetes keatas telapak tangan kami. Kedua bola mata Risa tampak basah saat kemudian ia menatapku.

    “Yuki…”

    Ia berkata dengan nada yang hampir tak terdengar.

    “Ini mungkin yang terakhir, tapi…tentang lagu yang kunyanyikan saat ulang tahunmu, apakah itu pertama kali kau mendengarnya?”

    Dan untuk kesekian kalinya, aku kehilangan kata-kata.

    Tentu, itu merupakan kali pertama aku mendengarnya. Meski hal itu menyakiti hatinya, namun itu adalah kenyataan. Setidaknya, hingga saat ini, itulah yang kuingat.

    Tetapi, kini aku sendiri pun tidak yakin soal hal itu.

    Karenanya, aku sama sekali tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku tak mengangguk. Tak menggeleng. namun Risa tampaknya sudah mengerti apa jawabanku.

    Suara Risa perlahan kembali terdengar, “Kalau begitu, apakah kau tak ingat tentang jepit rambut ini?”

    Ah…

    Jepit rambut yang dipakai Risa? Apakah ada yang aneh dengannya?

    Aku…aku tak ingat apapun.

    Sial!

    Sial! Sial! Ini semua menyebalkan!

    Risa terus menatapku dalam-dalam. Isak tangis mulai menyela suaranya saat ia kembali bertanya,

    “Apa…apa kau tak ingat dengan laut? Dengan hari-hari yang biasa kau habiskan di rumah sakit Higashi? Dengan ibuku, dengan buku-buku, lagu, dan semua waktu yang kau habiskan bersamaku, apakah kau tak mengingatnya?”

    …tidak.

    Aku sama sekali tidak ingat.

    Meski kucoba sebisa mungkin untuk mengingat dalam-dalam tentang semua kata-katanya, aku tak bisa mengingat apapun.

    Dan semakin aku mencoba mengingatnya, yang muncul kemudian malah sebuah perasaan sakit. Sebuah rasa sakit yang menerpa kepalaku – terasa seperti dihantam sebuah palu martil.

    “Ukh!”

    Rasa sakit yang menghantam kepalaku ini lantas membuatku memegangi kepala.

    Mengapa rasa sakit ini muncul, aku tak mengerti. Namun kurasa, ini ada hubungannya dengan kata-kata Risa.

    Apakah ia benar? Bahwa aku pernah bertemu dengannya di masa lalu?

    “Yuki?”

    Tidak.

    Tidak bisa. Tetap tidak bisa.

    Tak peduli berapa dalam aku menggali memoriku, aku tak mengingat semua yang Risa ceritakan.

    Dan juga, jika aku orang yang ditunggunya, bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan itu semua?

    Akh…

    Sial…

    Sial!

    Menatap Risa yang kini tertegun melihatku, aku menggeleng.

    “Maafkan aku, Risa…”

    Wajah Risa yang sempat menyiratkan sebuah harapan, kini kembali murung. Meski tak lama kemudian, senyumnya kembali menghias wajahnya.

    “Tak apa, Yuki.”

    “………”

    “Kau sudah berusaha keras. Terima kasih. Itu membuatku sedikit lega.”

    Risa kembali tersenyum. Aku tahu bahwa itu hanyalah senyum yang ia paksakan, yang hanya digunakan sebagai topeng untuk menutupi kesedihannya.

    “Kau tahu, Yuki? Aku amat merindukannya. Aku amat merindukannya hingga jiwaku menjelma menjadi seperti ini hanya untuk bertemu dengannya. Dan saat bersamamu, aku merasa bahwa kau memang orang yang kucari.”

    Risa lantas menatapku dalam-dalam, masih dengan mata berbinar.

    Dan mengecup keningku perlahan, sebelum membenamkan wajahnya di dadaku.

    “Terima kasih, Yu-Hiiragi.”

    “E, Eh?”

    Risa kembali memanggilku dengan nama keluargaku.

    “Aku benar-benar berterima kasih.”

    Mengapa Risa kembali memanggilku dengan nama ini?

    “Hiiragi, kurasa aku akan mengakhiri mimpi panjang ini.” Risa kembali berbisik perlahan. “Saat mimpi ini berakhir, semuanya akan kembali normal. Aku tak pernah ada di ingatanmu, atau orang-orang lain.”

    Kemudian, Risa melepaskan pelukannya dan menatapku dengan sebuah senyum lepas.

    “Karenanya, maafkan aku karena sudah mengganggumu selama ini, Hiiragi. Mulai besok, kau takkan ingat apapun lagi tentangku.”

    “Ri…Risa! Apa maksudmu?”

    Risa tersenyum lepas. “Dan maafkan aku karena tak bisa membalas perasaanmu…”

    “Risa!”

    Tangannya melepaskan genggamanku.

    “Selamat tinggal.”

    Sesaat setelah mengatakannya, ia tersenyum makin lepas – sebuah senyum dari lubuk hatinya yang terdalam, yang bercampur dengan kesedihan yang besar.

    Kurasakan tanganku mengulur, berusaha meraihnya. Namun, secepat mata berkedip, ia tiba-tiba saja menghilang.

    “Risa!”

    Ia benar-benar menghilang, lenyap ditelan udara.

    Seiring dengannya, kurasakan perasaan sesak di dada. Akupun tak kuasa menahan keinginan untuk berteriak.

    “RISA! RISA!”

    Namun, tak peduli berapa kalipun aku berteriak memanggil namanya, ia tetap tak kembali.

    “RISA!!”

    Entah mengapa aku masih berteriak layaknya orang gila.

    Kemudian, tak lama setelahnya terdengar suara pintu UKS yang terbuka.

    “Yuki!”

    Tampak Kenji yang berdiri diambang pintu.
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Jul 31, 2015
  7. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    hmmm, lumayan banyak skenario yg mirip dengan anime. mc nya yg di awal agak sok suci, hingga jalan cerita yg agak ketebak (mgkin).
    tapi, dialog ama penulisannya bagus ngalir kek air jd nilai plus. pacingnya jga oke.

    bentar lagi mau tamat ya ini?
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    boleh dibilang ini 2/3 nya sih :iii:
    sip iican, makasi komentarnya :hmm:
     
  9. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Hari itu, aku memutuskan untuk tidak kembali ke kelas.

    Duduk diatas lantai atap sekolah, kubuang tatapanku ke langit luas. Cahaya keunguan dan awan-awan putih tampak jelas dimata, mengiringi kepergian sekelompok camar laut yang hendak pulang ke lautan. Samar-samar, aku juga bisa mendengar suara angin yang berhembus meniup ombak.

    Menatap langit luas selalu memberiku sebuah ketenangan tersendiri, meski tidak untuk kali ini.

    Yah, terutama untuk hari ini.

    Akal sehatku masih tak bisa menerima semua yang terjadi. Berjam-jam kucoba untuk menenangkan diri, namun bayang-bayang Risa masih jelas di memoriku. Semua tentangnya, senyumnya, tangisannya, semuanya melayang di kepala dan tak bisa kuhilangkan.

    “Selamat tinggal…”

    Dan salam perpisahan yang dikatakannya pun masih terngiang di telinga.

    Akh, aku tak mau mengakhiri perpisahan kami seperti ini. Meski ia mengatakan selamat tinggal, hatiku tak bisa menerimanya. Tidak. Aku tak bisa membiarkannya bersedih.

    Aku harus tahu apa yang terjadi padanya dan melepaskannya dari belenggu penyesalan yang mengganggunya.

    Tetapi bagaimana caranya?

    Kini, menghadapi kenyataan bahwa ia sudah tak ada, aku amat ingin menjerit keras-keras, mengutuk diriku yang sama sekali tak bisa melakukan apapun. Bahkan untuk tahu tentang apa yang terjadi padanya, aku tak bisa melakukannya.

    Semua ini…

    Semua keanehan ini terjadi dengan begitu cepat. Kisah seseorang yang menjelma menjadi jiwa yang lepas hanya untuk melepaskan penyesalan di hatinya terdengar seperti kisah dalam sebuah Anime atau Light Novel. Dan tiba-tiba saja hal itu terjadi padaku.

    Sial…

    Ini semua benar-benar tak dapat dipercaya.

    “-ki!”

    “Huh?”

    “Yuki! Hei!”

    Mendengar suara Kenji yang berteriak, aku menoleh cepat. Tatapan kesal Kenji yang berdiri disampingku terasa begitu mengganggu.

    “Yuki, kau dengar apa yang baru saja kubilang?”

    Aku hanya melongo tanpa bisa menjawab pertanyaan Kenji, dan itu membuatnya menghela napas, kesal.

    Kenji ikut bolos denganku hanya untuk berceramah, mengoceh ini itu soal apa yang terjadi padaku, dan bilang bahwa aku harus melupakan Risa sesegera mungkin.

    Aku, disisi lain, masih tak bisa – bukan. Tak mau. Aku masih tak mau melupakan Risa. Dorongan yang muncul di hatiku untuk bisa mengerti Risa terasa begitu kuat. Hingga aku tahu apa yang terjadi, aku tak mau melupakannya begitu saja.

    Tentu, karena aku…menyukainya.

    …aku mencintainya.

    Aku amat mencintainya dan sama sekali tak ingin melupakannya. Karenanya, saat ini aku tak mau mendengar ocehan Kenji. Lagipula, apa yang bisa kuharapkan dari seseorang yang bahkan tak bisa mengingat apapun soal Risa?

    Kenji bahkan tak tahu apapun tentangnya.

    “Yuki? Hei!”

    Kenji tampak frustasi. Kenyataan bahwa aku tak mendengarkan kata-katanya membuatnya jengah. Ia lantas membuang pandangannya jauh ke cakrawala.

    Setelah beberapa saat terdiam, aku membuka mulut perlahan. “Furukawa…”

    “Dia akan baik-baik saja.” Kenji memotong cepat, seolah tahu apa yang akan kutanyakan. “Lagipula, itu yang sejak tadi kukatakan.”

    Aku kembali menoleh perlahan padanya. Ia masih tampak begitu kesal.

    “Ia amat mengkhawatirkanmu, kau tahu?” Katanya sambil menghela napas. “Saat aku kembali untuk mengambil tas, ia masih menyalin catatan pelajaran untukmu.”

    “…ia tak perlu melakukan sampai sejauh itu.”

    “Memangnya siapa kau? Berani melarangnya seperti itu?”

    Dari suaranya, tampak jelas bahwa Kenji masih kesal padaku. Dan setelahnya ia kembali berkata dengan nada malas.

    “Gadis itu, ia melakukannya atas kemauannya sendiri.”

    Kata-kata Kenji membuatku tersenyum miris dan kembali menundukkan kepala. “Furukawa itu, selalu saja seperti itu.”

    “Yah, dia menyukaimu, jadi wajar saja.”

    …Mmn.

    Furukawa menyukaiku. Aku tahu itu, dan hal itu membuatku sedikit merasa bersalah. Bagaimana mungkin aku berani menolak kebaikannya?

    Kembali menoleh pada Kenji, kini tampak sosoknya yang perlahan melepaskan kacamatanya. Kenji lantas memejamkan mata dan membiarkan angin laut menyapu wajahnya.

    Kembali ia menghela napas panjang.

    “Benar-benar, kau ini beruntung sekali.”

    Aku kembali membuang tatapanku ke lantai, membiarkan suara Kenji masuk ke telingaku.

    “Seluruh lelaki di sekolah ini menyukai Furukawa, namun ia memilihmu. Dan kau…”

    Kenji menghentikan kata-katanya sejenak. Mengesampingkan kenyataan bahwa itu adalah kali pertama Kenji menyebut Furukawa dengan namanya, aku kembali mendengarkan apa yang Kenji katakan. Ada perasaan berat saat kenji meneruskan kata-katanya.

    “…kau malah memilih Sakagami.”

    Aku tersenyum kecut, tak berniat membalas apapun yang ia katakan.

    “Jika aku jadi kau, aku akan memilih sesuatu yang sudah pasti saja ketimbang seseorang yang entah benar-benar ada atau hanya sekedar imajinasi.”

    “Yah,” Aku mulai menimpali, “Mudah untuk berbicara. Kenyataannya adalah, aku tak mau ingatanku tentangnya hilang begitu saja.”

    Kenji diam untuk sesaat. Tatapannya tertuju padaku. Kesal, namun ia tak bisa berbuat apapun.

    “Aku benar-benar senang bahwa Furukawa menyukaiku.” Balasku kemudian. “Tetapi, kau tahu? Kurasa Furukawa terlalu sempurna untukku. Kurasa, aku bukan pria yang tepat untuk Furuka-.”

    “Ia tahu itu.” Kenji memotong cepat. “Meski demikian, ia terus berharap padamu. Berharap suatu saat kau bisa menyadari keberadaan dirinya. Furukawa terus melakukannya, bahkan hingga titik dimana ia menyembunyikan rasa sakitnya.”

    “Begitukah?”

    Kenji mengangguk. “Aku tahu Furukawa lebih banyak daripada kau.”

    Untuk suatu alasan, aku tak bisa menimpali kata-kata Kenji.

    Dan tak lama kemudian, suara gumamannya kembali terdengar perlahan.

    “Karena itulah, aku ingin tahu orang seperti apa si Sakagami ini…”

    ………

    Bayang-bayang Risa kembali muncul saat Kenji menyebut namanya. Rambutnya yang panjang, senyumnya, semuanya…

    Tanpa sadar aku bergumam, “Risa bilang bahwa aku adalah orang yang ditunggunya.”

    “Huh?”

    Kenji menoleh padaku dengan raut wajah penasaran. Aku tak bisa berbuat banyak selain terus tersenyum. Sementara itu, memoriku tentang Risa terus bermunculan – satu per satu layaknya daun yang jatuh.

    “Risa…ia bilang padaku bahwa aku pernah bertemu dengannya, dan bahwa aku tak ingat apapun soal hal itu.”

    “Ia mengatakan hal itu?”

    Aku mengangguk, tersenyum kecut. “Ia…ia juga berkata bahwa aku pernah mengalami banyak hal bersamanya. Lagu, laut, jepit rambut yang sering dipakainya, Rumah Sakit Higashi, dan banyak lagi.”

    Keni tampak tertegun, menatapku dengan tatapan takjub. Tentu, ia pasti terkejut dengan kenyataan itu.

    “Apakah kau percaya hal itu, Kenji? Aneh bukan?” Kataku kemudian, tersenyum sinis. “Apakah kau percaya bahwa Risa dan aku pernah bertemu sebelum-“

    “Rumah sakit Higashi?”

    Tiba-tiba saja Kenji memotong suaraku dengan nada berat. Matanya menatap mataku dalam-dalam, masih dengan tatapan takjub.

    ………

    Apa ada yang salah dengan ucapanku?

    “Rumah sakit Higashi?” Kenji kembali menyebut nama tempat itu – kali ini dengan suara meninggi. “Yuki, apa ia benar-benar mengatakan hal itu? Hei? Yuki!”

    Aku mengangguk cepat. “Mmn. Ada apa dengan hal itu?”

    Kenji tampak makin terperanjat. Dari sorot matanya tersirat sesuatu hal yang sepertinya amat mengganggunya.

    “Apakah…”

    “Ya?”

    “Apakah ia bilang sesuatu soal namamu?”

    Mengapa Kenji tiba-tiba menanyakan hal itu?

    Aku mengangguk perlahan. “Mmn. Ia bilang bahwa aku memiliki nama yang sama dengan seseorang yang ditunggunya.”

    “Yuki…”

    Kenji menatapku tertegun. Ia tampak ragu untuk sesaat, sebelum kembali berkata perlahan,

    “Ia bilang bahwa namamu juga Yuki, bukan?”

    Ah…

    Benar. Itu benar. Tetapi, tunggu dulu.

    Bagaimana mungkin Kenji tahu soal hal itu?

    “Katakan padaku bahwa ia mengatakan hal itu.”

    Aku mengangguk cepat. Membuat Kenji semakin terkejut. Dipejamkannya kedua matanya erat-erat, sebelum ikut berlutut dihadapanku.

    Tangannya kemudian menyentuh pundakku, “…sudah kuduga.”

    “Sudah kuduga?”

    Untuk sesaat, Kenji tampak seperti orang kebingungan. Menundukkan kepalanya ke lantai, ia kemudian menampakkan kembali wajahnya padaku.

    Ia menampakkan wajahnya dan tersenyum. Matanya tampak sedikit sembab.

    “Kau tahu, Yuki? Kurasa, Sakagami ini benar-benar orang yang istimewa untukmu.”

    “Huh?”

    Kenji mengangguk perlahan. “Ia…ia bisa mengatakan apa yang tak bisa kukatakan sejak dulu.”

    Ah…

    Aku tak mengerti. Apa maksud perkataan Kenji?

    Perlahan, ia melepaskan lengannya dari pundakku sebelum kembali menatap jauh ke langit luas.

    Dan untuk kesekian kalinya, ia kembali menghela napas.

    “Yuki, tentang masa lalumu, apa kau masih belum bisa mengingatnya?”

    “Masa…lalu?”

    “Mmn.” Kenji kembali mengangguk, tersenyum. “Tentang masa lalu yang kau habiskan di Higashi…”

    Eh? Apa?

    Higashi?

    ………

    Apa aku pernah mengalami masa lalu seperti itu?

    Tetapi, aku tak ingat apapun.

    Akh…

    Mengapa Kenji mengatakan sesuatu yang tak kumengerti? Apa maksud perkataannya?

    Jika ia tahu sesuatu tentangku, mengapa ia tak mengatakannya?

    “Kau benar-benar tak ingat, ya?”

    “Kenji…”

    Sambil terus menatap jauh ke langit luas, Kenji memakai kembali kacamatanya.

    Dan sesaat setelahnya, ia kembali menatapku dalam-dalam.

    Tersenyum lepas.

    “Aku…tak bisa…”

    “Apa? Apanya? Hei, Kenji!”

    “Aku bahkan tak bisa membuatmu ingat apapun, Saito.”

    Eh?

    ………

    Saito?
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Aug 3, 2015
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Saat kecil, kita pernah bertemu.”

    Sepanjang jalan pulang, kata-kata Kenji terus terngiang di telingaku.

    Di atap sekolah sore itu, Kenji menceritakan semua yang ia tahu – sebuah kenyataan yang sama sekali asing buatku. Seperti, bahwa Hiiragi bukanlah nama keluargaku, dan bahwa namaku seharusnya adalah Saito Yuki.

    Semua yang ia ucapkan bermuara pada satu hal – bahwa aku bukanlah anak kandung keluarga yang mengurusku selama ini.

    Lantas, siapa? Siapa keluarga asliku?

    Kemudian, ia juga bercerita bahwa di masa kecil kami, ia selalu merengek ini itu dan datang menangis padaku. Hampir setiap hari ia melakukannya, terlebih jika ia diganggu anak-anak berandalan.

    “Kita juga sering berangkat sekolah bersama, kau tahu?”

    Mmn.

    Ia bilang bahwa kami sama-sama sekolah di SD Higashi, bahkan masuk kelas yang sama. Setiap pagi kami selalu berangkat bersama, dan kebiasaan Kenji yang selalu merengek padaku tak pernah hilang. Bahkan, panggilan Yuki-chan yang selalu ia sebut bermula dari semenjak ia kecil, dan tak pernah ia tinggalkan hingga sekarang.

    Kenji selalu mengingatku. Ia menganggapku sebagai sesosok pahlawan yang selalu melindunginya. Semua ingatan itu begitu membekas di benak Kenji. Bahkan saat aku tak ingat apapun, ia masih mengingatnya. Dan semua yang ia lakukan hingga saat ini – bertingkah seperti anak kecil, merengek, dan memanggilku Yuki-chan…

    Semua itu, semuanya ia lakukan semata-mata agar ia bisa terus mengingat momen tersebut, dan berharap agar suatu saat aku bisa kembali mengingat itu semua.

    Tetapi, kenapa?

    Kenapa aku sama sekali tidak ingat apapun tentang itu? Bahkan sampai saat ini?

    Dan juga, Saito…

    Nama itu…siapa? Kenapa ibu tak pernah memberitahuku?

    ………

    Aku ingin tahu. Aku…harus tahu.

    Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.

    Dan kurasa, satu-satunya cara untuk memastikan hal ini adalah mendesak ibu untuk bicara padaku. Jika apa yang dikatakan Kenji dan Risa benar adanya, aku pasti bisa mendesaknya untuk berbicara. Yah, pada dasarnya ibu bukanlah seseorang yang suka menyembunyikan sesuatu. Kuharap, ia tetap begitu saat aku menanyakan soal ini.

    Ya.

    Aku memutuskan untuk menanyainya setibanya aku di rumah.

    ***​

    “Yuki, darimana saja kau?”

    Kudapati wajah ibu yang tampak cemas, berdiri menungguku didepan pintu. Ini bukan kali pertama aku pulang malam, namun ibu selalu saja khawatir.

    “Biasanya kau selalu mengabari ibu jika akan pulang malam.”

    Ah, iya, aku bahkan lupa melakukannya. Sejak tadi aku bahkan tidak menyentuh telepon genggamku.

    Pikiranku begitu kacau.

    “Masuklah.”

    Aku mengangguk lesu. Dengan langkah gontai, aku mulai berjalan. Padangan mataku tertuju keatas tanah, sebelum kemudian menatap ibu dalam-dalam.

    Ibu tampak sedikit tersentak saat pandangan mata kami beradu. Tak lama setelahnya, beliau mengusap kepalaku untuk suatu alasan – hal yang selalu dilakukannya saat khawatir tentang diriku.

    “Apakah ada sesuatu yang terjadi di sekolah?”

    ………

    Banyak.

    Dan lebih banyak lagi yang sebenarnya akan kutanyakan.

    Sejenak, aku memejamkan mata, menghela napas panjang, dan kembali menatap wajah ibu. Dan selayaknya seorang ibu, beliau mengerti bahwa ada sesuatu yang menggangguku. Naluri keibuannya mengatakan demikian. Ibu tak perlu bertanya lagi tentang apa yang kupikirkan sejak tadi.

    Meski demikian-

    “Ada sesuatu yang ingin kutanyakan, bu.”

    -aku tetap menanyakannya.

    Dan kali ini, Ibu balas menatapku dalam-dalam.

    Wajahnya penuh dengan senyuman.

    “Makanlah terlebih dahulu.” Balasnya kemudian. “Kita bicara saat kau selesai makan.”

    ***​

    Malam itu, kuceritakan semua keanehan yang terjadi selama beberapa hari terakhir. Tentang Risa, Kenji, masa laluku, Saito, kujabarkan semuanya satu per satu. Siapa itu Saito? Apa aku pernah mengalami masa lalu yang tak kuingat? Kenapa aku tak bisa mengingat apapun? Apa aku merupakan anak kandungnya? Siapa aku sebenarnya?

    Semuanya. Kutanyakan semua hal yang membekas di batinku pada Ibu di malam itu. Dan meski pada awalnya ibu mencoba berkelit, beliau akhirnya mau berbicara.

    “Yuki, sejauh apa ingatan tentang masa kecilmu ada?”

    Ah…

    Itu, kalau tidak salah, aku hanya mengingat bahwa aku masuk sekolah dasar di kota ini.

    Tangan ibu bergerak perlahan, meraih secangkir teh yang masih hangat diatas meja, dan meminumnya perlahan.

    “Kau sama sekali tak ingat apapun, jauh sebelum itu?”

    Mencoba mengingat makin jauh, sebuah perasaan nyeri kembali hinggap di kepalaku. Aku tak tahu mengapa rasa nyeri itu muncul, tetapi hal itu benar-benar menganggu.

    Kemudian, aku pun menggeleng. “Aku…aku tak ingat.”

    Tampak ibu yang tersenyum, menatapku, sebelum beranjak perlahan dan melangkah ke kamarnya. Ia kembali dengan sebuah buah album foto di pangkuannya.

    “Lihatlah ini, Yuki.”

    Aku menurut saat ibu menyodorkan album foto tersebut. Album tersebut terlihat sedikit usang. Beberapa bagiannya tampak lusuh dan sobek.

    Pada halaman depan album tersebut, tampak sosok ibu yang masih amat muda – mungkin seusiaku – sedang berfoto bersama ayah. Seiring dengan laju halaman album ini, terdapat pula foto pernikahan ibu dan ayah, lalu foto keduanya saat berumah tangga, hingga yang terakhir, foto keduanya saat bersamaku di sesi foto keluarga.

    “Adakah yang aneh?”

    Aku mengangguk.

    Tak ada foto ibu dan ayah bersama bayi mereka. Yang ada hanyalah foto keduanya denganku yang mungkin sudah berumur sekitar sepuluh tahun, atau mungkin lebih.

    “Saat kami menemukanmu, kau sudah sebesar ini.”

    Perlahan, kurasakan wajah ibu mendekat, hingga hembusan napasnya bisa kurasakan menyentuh pipiku. Beliau ikut menatap foto yang ada dihadapanku.

    “Ayahmu yang menginginkannya.”

    “Ayahku?”

    Ibu mengangguk kecil. Sebuah senyum terlihat dari wajahnya.

    “Ayahmu. Ah, maksudku, suamiku. Ia yang menginginkannya. Semenjak kami menikah, kami tak dikaruniai seorang anakpun. Karenanya, saat kami memutuskan mengadopsi dirimu, kami sangat bahagia.”

    Suara ibu lantas membuatku murung dan kecewa untuk suatu alasan. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku tak benar-benar tahu apa yang kurasakan. Di satu sisi, aku merasa kecewa dengan kenyataan yang ada. Dan di sisi lain, aku merasa senang bisa menjadi bagian dari keluarga yang amat menyayangiku.

    Terlepas dari itu, kata-kata ibu menjadi bukti nyata atas ucapan Kenji sore tadi. Aku bukanlah anak kandung dari keluarga ini.

    Lantas, siapa? Siapa orang tua kandungku?

    “Kami sudah menganggapmu sebagai anak kami sendiri, Yuki.” Kata ibu lagi. “Meski demikian, ayahmulah yang memutuskan untuk membuatmu lupa akan masa lalumu.”

    “Lupa…akan masa lalu?”

    Ibu mengangguk. Tatapan matanya terus tertuju pada sosokku yang ada diatas lembaran foto.

    “Enam tahun lalu, sebuah kecelakaan terjadi. Sebuah truk menghantam mobil. Benturan yang terjadi membuat bagian depan mobil tersebut hancur seketika. Diantara tiga orang penumpang mobil tersebut, hanya satu orang yang selamat.”

    “Dan orang itu…”

    Ibu kembali mengangguk. “Kau, Yuki.”

    Aku kehilangan kata-kata saat ibu mengatakannya. Kurasakan darahku mengalir ke otak, membuanya panas. Jantungku berdegup kencang tanpa alasan yang jelas.

    Satu-satunya yang selamat dari tiga orang yang menjadi korban, apakah, dua orang yang meninggal itu-

    “Ayah dan ibumu, bagaimanapun, tidak bisa diselamatkan. Kau beruntung karena berada di kursi belakang.”

    ………

    Jadi, begitu kenyataannya. Aku menjadi korban selamat atas sebuah kecelakaan, dan kehilangan ingatan setelahnya, apakah itu yang terjadi?

    Perlahan, bisa kurasakan tangan ibu yang menyentuh pundakku, merangkulnya erat-erat.

    Dan bisa kurasakan tangannya yang gemetar hebat.

    “Sesaat sebelum meninggal, ayah kandungmu berpesan agar aku menyelamatkanmu. Aku…aku ada di lokasi kejadian saat kecelakaan itu terjadi.”

    “…kenapa harus kau, bu?”

    “Saat kecelakaan itu terjadi, aku dan suamiku yang pertama tiba dihadapan ayahmu. Dan…dan itu merupakan pesan terakhirnya.” Jawab ibu kemudian. “Karenanya, kami memutuskan merawatmu, Yuki.”

    Ah…

    Masuk akal. Sebuah keluarga yang tak memiliki anak, seorang anak yatim piatu, semuanya masuk akal.

    Meski demikian, masih ada satu hal yang mengganjal di pikiranku.

    Itu-

    “Mengapa ibu merahasiakannya selama ini?”

    Ibu memejamkan matanya dan menarik napas panjang untuk suatu alasan. Dilepaskannya tangannya dari pundakku, sebelum kembali meraih cangkir teh yang ada diatas meja.

    “Dua bulan lebih kau berada dalam kondisi koma di rumah sakit.” Ibu berkata perlahan “Jujur, kami tak tahu apakah kau akan kembali bangun atau tidak.”

    “………”

    “Meski demikian, kau bangun.” Lanjutnya. “Setelah berada pada kondisi koma selama dua bulan, kau akhirnya terbangun. Tetapi…”

    “Tetapi?

    Untuk kesekian kalinya, terdapat jeda yang cukup panjang diantara kata-kata ibu. Beliau kembali menghirup napas panjang.

    “Kau sama sekali tak ingat apapun soal kecelakaan itu, dan bahkan tentang kehidupanmu sebelumnya. Dokter berkata bahwa kecelakaan itu membuatmu ingatanmu menghilang. Meski demikian, beliau juga berkata agar kami tak memaksa untuk membuat ingatanmu pulih, demi kesehatanmu. Dan karena kami tak memiliki satu anakpun, kami memutuskan untuk mengangkatmu sebagai anak. Adapun tentang kejadian kecelakaan itu dan masa lalumu…“

    Tangan ibu perlahan meraih kepalakku, dan menariknya ke dadanya.

    “…kami memutuskan untuk tidak membahas apapun tentang hal itu padamu, dan membiarkan ingatanmu pulih dengan sendirinya.”

    Ah…

    Lagi-lagi perasaan ini muncul. Perasaan kecewa yang dibarengi dengan kebingungan yang teramat sangat. Awalnya aku merasa kecewa, namun setelah memikirkan apa yang selama ini ibu lakukan padaku, kekecewaanku menghilang dengan sendirinya.

    “Maafkan ibu, Yuki.” Ibu kembali berkata singkat. “Ibu hanya ingin seorang anak.”

    ………

    Ini semua…

    Ini semua terjadi layaknya sebuah takdir. Aku yang kehilangan orang tuaku, dan keluarga yang tak punya anak. Mengapa ibu dan ayah menyembunyikan kenyataan ini, apa yang Kenji dan Risa katakan, semuanya terjadi ibarat takdir yang sudah tertulis.

    Dan normalnya, aku seharusnya marah pada ibu dan ayah-tidak. Bukan. Aku seharusnya marah atas kenyataan yang ada.

    Tapi, entah mengapa aku tak bisa meluapkan emosiku. Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, entah mengapa memberiku sebuah perasaan lega tersendiri.

    Perlahan, kulepaskan tubuhku dari pelukan ibu. Setelah terdiam untuk beberapa saat, suara ibu kembali terdengar.

    “Aku tahu bahwa suatu saat, hari ini akan tiba. Namun tak kusangka akan begitu berat untuk mengatakan semuanya…”

    Aku menggeleng. “Tak apa, ibu.”

    Mmn.

    Tak ada lagi yang bisa kulakukan dengan kenyataan yang ada. Meskipun aku begitu kesal dan marah pada semuanya, semua amarah ini tak ada gunanya lagi. Semua sudah terjadi.

    Yang terpenting sekarang adalah menemukan apa yang kucari.

    Dan itu…

    “Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan, bu.”

    Mengusap air matanya, ibu mulai tersenyum. “Katakanlah.”

    Aku mengangguk. “Apakah, ibu tahu seseorang yang bernama Risa? Sakagami Risa?”

    “Risa?”

    “Mmn.” Balasku, kembali mengangguk. Tatapan mataku tertuju tajam pada ibu.

    Setelah menghirup napas panjang dan meneguk tehnya hingga habis, tampak wajah ibu yang kembali tersenyum lebar.

    “Ibu tak tahu pasti.”

    Jawaban ibu membuatku sedikit kecewa.

    Namun saat aku akan membuang harapanku, suara ibu kembali terdengar.

    “Tetapi, aku ingat kau menyebut nama itu, sesaat setelah kau terbangun dari koma.”

    ***​

    Menghempaskan diriku keatas tempat tidur, pikiranku sedikit lepas dari beban yang selama ini mengganggu.

    “Biar ibu yang bicara pada ayahmu saat ia pulang dari luar negeri. Kau tak perlu khawatir.”

    Kata-kata ibu membuatku sedikit tenang. Beliau akan mengatur semuanya agar ayah tak terkejut dengan kenyataan bahwa kini aku tahu apa yang terjadi.

    Adapun soal Risa, ibu tak tahu apapun tentangnya, selain bahwa aku menyebut namanya saat terbangun dari koma. Lucu. Aku bahkan tak ingat apapun tentangnya, namun aku bisa menyebut namanya.

    Kini tatapanku tertuju keatas langit-langit. Risa…ia bilang bahwa esok hari, aku akan lupa tentangnya. Jika itu benar, ini akan jadi malam terakhirku untuk bisa mengingatnya.

    ………

    Risa…

    Apa yang sebenarnya terjadi diantara kita? Jepit rambut? Lagu? Masa kecil di rumah sakit?

    Kupejamkan mataku kuat-kuat, kembali mencoba mengingat tentang apa yang terjadi dengan itu semua. Meski rasa nyeri kembali muncul, untuk kali ini aku tak peduli. Kucoba mengingat jauh ke masa lalu, mencoba menemukan jawaban atas semua yang Risa katakan.

    “Ingatkah kau saat kita pertama kali bertemu?”

    “Tentang lagu yang kunyanyikan, apakah itu merupakan kali pertama kau mendengarnya?”

    “Ingatkah kau dengan laut? Dengan lagu yang kunyanyikan?”

    “…dengan semua waktu yang kau habiskan bersamaku, apakah kau tak mengingatnya?”

    Ugh, sial.

    Aku tetap tak bisa mengingatnya.

    Untuk berjaga-jaga, aku memutuskan untuk menulis semua yang terjadi selama ini, agar aku bisa mengingatnya di esok hari. Jika ingatanku tentang Risa benar-benar menghilang seperti yang teman-temanku alami, setidaknya aku masih punya catatan ini.

    Perlahan, aku bangkit, melangkah perlahan ke meja belajar. Namun, tepat saat aku membuka laci meja, kutemukan sesuatu yang membuat batinku terenyuh.

    Sebuah kotak.

    Sebuah kotak musik pemberian Risa.

    Entah sudah sejak kapan aku lupa dengan kotak musik itu, namun saat aku melihatnya, bayang-bayang Risa kembali muncul di benakku. Teringat saat kami sama-sama duduk dan mendengarkan suara dari kotak musik itu, akupun tersenyum.

    Bahkan sampai sekarang, rambutnya yang menyentuh wajahku di sore itu masih bisa kurasakan…

    Aku memeluknya untuk pertama kali sore itu, dan rasa-rasanya, perasaan kami saling menyahut saat Risa larut dalam pelukanku.

    ………

    Kubaringkan kepalaku diatas meja. Menatap dalam-dalam pada kotak musik tersebut, aku kemudian memainkannya. Sesaat. Hanya untuk sesaat saja, sebelum aku lupa dengan semuanya.

    Lalu, sebuah melodi mengalir lembut.

    Melodi yang membuatku tersenyum senang. Melodi yang membuatku kembali teringat dengan Risa.

    Kupejamkan mataku dalam-dalam, membiarkan jiwaku larut dalam lantunan nada yang muncul.

    Aku…

    Aku ingin selalu mengingat Risa.

    Selamanya…ingin selalu ingat.
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Aug 6, 2015
  11. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    ch. 8 - 9, ternyata mc nya putra yg tertukar :kaget:
    penulisannya ada m dari mu yg ilang diatas tadi :garing:

    btw, si furukawa kasian amat effortna nggak kebalas :sayangku: lanjut :lalala:
     
    • Thanks Thanks x 1
  12. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    yang mana, iican :kaget:

    welp itu tadi beum diedit, tapi setelah ane edit kok masi gak ketemu ya :keringat:

    putra yang ditukar :swt: berasa kek sinetron. tega kau, iican :tega:
     
  13. Ii_chan M V U

    Offline

    Minagiru ai

    Joined:
    Jun 27, 2013
    Messages:
    4,958
    Trophy Points:
    187
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +1,180 / -55
    nggak tertukar juga sih sbnarnya :haha:
     
    • For The Win For The Win x 1
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ”Beritahu ibu jika kau merasa lelah atau pusing. Kau seharusnya tidak diizinkan keluar, kau tahu?”

    Mendengar suara ibu dari balik kursi roda, aku hanya bisa mengangguk. Tatapan mataku, bagaimanapun, terus tertuju kearah jalan raya dan orang-orang yang berjalan di sekitar.

    Kearah satu-dua mobil yang berlalu, dan kearah seorang ibu yang menggandeng tangan anaknya yang masih TK, juga seorang lelaki tua yang membaca koran, pagar, burung-burung, tanaman, sinar matahari pagi…

    Ah, rasanya sungguh menyenangkan.

    Bisa berada diluar rumah sakit, meskipun hanya untuk satu hari ini saja, rasanya sungguh menyenangkan.

    “Hei, Risa, kau dengar apa yang ibu bilang?” Kata ibu seraya menundukkan badannya. Suaranya terdengar tepat disamping telingaku. “Beritahu ibu jika-”

    “Aku merasa pusing. Ya, ya, bu. Aku dengar. Tenang saja.”

    Ibu tampak cemberut untuk sesaat. Namun setelahnya, beliau menepuk kepalaku sambil tersenyum.

    Awalnya, ibu tak mengizinkanku pergi keluar. Atas saran dokter, aku dianjurkan untuk beristirahat total tanpa melakukan banyak aktivitas. Aku, bagaimanapun, bersikeras meminta agar diizinkan pergi keluar di hari itu.

    Itu karena, Yuki akan berulang tahun minggu depan.

    Menghirup napas panjang, kubuang tatapanku jauh ke langit biru yang luas. Sinar matahari pagi masih menerpa tubuhku dengan hangat.

    ………

    Kuharap, Yuki juga bisa ada disini, menemaniku.

    Mmn. Jika ia ada bersamaku, rasanya pasti akan sangat menyenangkan.

    ***​


    Ibu terus mendorong kursi roda yang kunaiki. Tiga blok dari rumah sakit, melewati stasiun, kami tiba di sebuah area pertokoan kecil. Bagiku yang harus memakai kursi roda untuk berpindah tempat, tiga blok terasa amat melelahkan.

    “Sudah memutuskan untuk membeli sesuatu?”

    Aku menggeleng. Sempat terpikir olehku sebelumnya untuk memberi Yuki sebuah pemukul baseball atau sebuah topi, namun entah ia akan menyukainya atau tidak, aku tak tahu. Dan karena aku kurang suka dengan dua benda itu, aku memutuskan untuk tidak membelinya.

    Yah, sejujurnya aku tak berpikiran banyak soal hadiah. Kurasa, aku akan menemukan apa yang akan kubeli dengan sendirinya.

    “Kalau begitu, carilah apa yang kau mau, Risa. Kau bisa menemukan apapun disini. Oh, dan tak usah khawatir soal harga.”

    Aku mengangguk, tersenyum.

    Kursi roda ini lantas melaju perlahan, beriringan dengan langkah ibu yang berjalan santai. Sambil sesekali menunjuk beberapa toko yang ada, ibu memberiku saran untuk hadiah yang akan kuberikan. Meski demikian, saran-saran yang ibu beri padaku terkadang tak masuk akal. Beliau bahkan menyarankanku untuk membeli selembar peta!

    Ugh, bahkan aku yang sudah terpenjara selama satu tahun lebih saja masih bisa memikirkan hadiah yang lebih baik.

    Dasar…

    ………

    Meski demikian, ibu terus menemani. Bahkan hingga satu jam berlalu tanpa menemukan apapun, ibu masih saja setia menemani. Tingkah ibu yang demikian awalnya membuatku risih.

    Namun-

    "Risa, coba lihat ini. Apa kau pikir temanmu akan menyukainya?

    -melihat senyumnya yang lepas membuat batinku kembali lega.

    Jauh sebelum ini, ibu seringkali terlihat murung. Awalnya kupikir, hal itu disebabkan karena ibu merasa sedih dengan kenyataan bahwa aku takkan hidup lama. Seiring waktu berjalan, aku mengerti bahwa beliau murung karena melihatku tak bersemangat. Meski ibu selalu berusaha tampak ceria dihadapanku, perasaannya tak bisa disembunyikan.

    Semenjak Yuki datang, ibu benar-benar terlihat bahagia. Melihatnya bersemangat membuat hatiku senang untuk suatu alasan.

    Dan juga, untuk kali ini-

    “Hei, Risa, kau lapar? Bagaimana kalau kita makan siang terlebih dahulu?”

    -aku merasa amat bersyukur bisa tetap hidup.

    ***​


    Satu jam kembali berlalu setelah makan siang, dan kami masih belum menemukan apapun.

    Yah, sebenarnya hal itu juga terjadi karena salahku. Kami menghabiskan waktu lama karena aku terlampau senang melihat dunia luar. Aku bahkan menghabiskan waktu setengah jam lebih untuk melihat-lihat ikan dan kucing di toko hewan.

    Kini ibu mulai tampak kelelahan. Merasa tak enak, kuputuskan bahwa aku akan membeli sesuatu di toko berikutnya. Apapun yang akan kubeli kelak, kuharap Yuki akan menyukainya.

    “Kesana, bu!”

    Ibu mengangguk dan mulai mendorong kursi roda ini ke arah tempat yang kumaksud.

    Tempat itu…

    Sebuah toko alat musik.

    ***​


    “Selamat datang.”

    Terdengar suara sang petugas toko yang berdiri dibalik mesin kasir. Sementara ibu berbincang-bincang dengannya, aku dibuat takjub oleh toko ini. Tampak dimataku berbagai instrument musik yang terpampang rapi. Gitar, biola, piano, seruling, simbal, semuanya tersedia lengkap.

    Mataku mulai memindai barang-barang yang ada. Menyentuh beberapa instrumen, aku kemudian tertegun dengan sebuah piano besar yang ada ditengah ruangan. Warnanya hitam mengkilap, terlihat gagah. Sebuah tulisan terpampang disampingnya : dilarang memainkankan piano ini.

    Ah, sial. Padahal aku amat ingin menyentuhnya.

    “Kau tertarik?"

    Eh?

    "Mau aku memainkan piano itu, nak?”

    Entah sejak kapan sang petugas berdiri disampingku, Ia menatapku, tersenyum hangat. Ibu berdiri dibelakangnya sambil ikut tersenyum lugu.

    “Pengunjung memang dilarang memainkannya, tapi aku bisa memainkannya kalau kau mau. Yah, sekedar untuk demonstrasi saja.”

    Belum sempat aku menjawab, sang petugas kemudian duduk diatas kursi dan mulai menekan tuts piano tersebut. Aku menatap sang petugas, tertegun. Sesaat, ia tersenyum padaku sebelum kemudian memainkan sebuah melodi melalui piano tersebut. Satu demi satu nada yang dimainkannya menyatu menjadi sebuah alunan musik lembut.

    Sebuah alunan musik yang perlahan meresap kedalam hati.

    Mendengar musik yang dimainkannya, rasa-rasanya ada sesuatu yang membuatku damai. Tanpa sadar, akupun mulai memejamkan mata. Kupasang telingaku lebar-lebar, mengiringi irama piano yang terus mengalun lembut.

    Entah apa yang orang lain rasakan, namun alunan musik itu seolah berkata padaku bahwa semua hal yang terjadi padaku, semuanya akan baik-baik saja. Bahwa aku akan baik-baik saja, dan bahwa musik itu akan selalu menemaniku.

    Mmn. Terasa seperti itu.

    Lantunan nada piano itu terus terdengar, membuatku tersenyum bahagia. Kala aku kembali membuka mata, tampak dimataku sang petugas yang juga hanyut dalam musik tersebut. Ibu pun sepertinya ikut terpana dengan kelihaian sang petugas memainkan piano.

    ..........

    Aku ingin terus mendengar lagu ini.

    Karenanya…

    “Bu, bolehkah jika aku meminta sebuah piano untuk hadiah ulang tahun Yuki?”

    Awalnya ibu tak menggubris. Beliau masih larut dalam nada-nada yang dimainkan sang petugas. Aku merengut dan mulai menarik-narik baju ibu, yang kemudian menoleh padaku.

    “Ada apa, Risa?”

    “Ibu, aku ingin memberi piano ini untuk Yuki.”

    Mendengar kata-kataku, spontan wajah ibu berubah kaget. Namun senyumnya kembali terlihat tak lama setelahnya.

    “Ka…kau yakin? Maksudku…”

    ………

    Ah, betul…

    Aku terlalu senang dengan lagu yang diaminkan sang petugas toko, hingga tanpa sadar aku berbicara hal bodoh. Kesampingkan harga piano itu yang pastinya sangat mahal, piano itu cukup besar untuk dibawa seorang diri.

    Meski demikian, aku amat ingin bisa terus mendengar lagu tersebut.

    ***​


    “Kau benar-benar suka dengan lagu itu, ya?”

    Aku mengangguk, tersenyum. “Mungkin nanti aku akan datang lagi. Dan ketika aku datang, kakak harus memainkan lagu itu lagi.”

    Sang petugas hanya tesenyum mendengar apa yang kukatakan.

    Kemudian, beliau mengambil sesuatu dari balik lemari kaca yang ada dibelakangnya.

    Itu…

    Sebuah kotak kecil berwarna coklat.

    “Promise. Itu judul lagu yang kumainkan.”

    Sang petugas lantas membuka kotak tersebut, dan aku amat terkejut kala mendapati bahwa kotak itu memainkan nada-nada yang sama persis dengan apa yang baru saja dimainkannya. Meski nada-nada piano yang ada berganti dengan nada-nada yang entah apa, aku merasa senang bisa mendengar lagu ini kembali.

    “Bagus, bukan?”

    Aku mengangguk senang. Berkali-kali aku mengangguk.

    Kotak ini…

    Aku menginginkannya.

    Ibu lagi-lagi menepuk kepalaku. Beliau tersenyum senang sebelum kembali mengalihkan pandangan matanya pada sang petugas toko.

    “Berapa harga kotak musik ini?”

    ***​


    Aku mendapatkan sebuah kotak musik untuk hadiah ulang tahun Yuki.

    Tiba kembali di rumah sakit, kudapati sebuah keributan diantara para petugas. Aku tak tahu apa yang terjadi, tetapi petugas-petugas itu terlihat begitu resah.

    “Nah, Risa,” Ibu membantu membaringkanku kembali diatas tempat tidur, menyelimutiku. “Istirahatlah. Esok dan lusa ibu tak bisa menemuimu, tapi Saito akan ada disini, bukan?”

    Aku mengangguk, terseyum.

    Mmn.

    Meskipun ibu sibuk, Yuki akan menemaniku dan membuatku kembali tersenyum.

    “Nyonya Sakagami,”

    Ah…

    Dokter yang merawatku tiba-tiba muncul dari balik pintu.

    “Bolehkah aku bicara padamu untuk sesaat?”

    Ibu mengangguk, tersenyum, sebelum kembali menoleh padaku.

    “Sampai jumpa minggu depan.”

    Aku mengangguk, melambaikan tangan. Saat ibu menghilang dari pandangan, kualihkan tatapanku kearah kotak musik yang kini ada dipangkuanku. Membuka tutupnya perlahan, sebuah iringan nada kemudian mengalir lembut.

    Lagu ini...

    Yuki pasti akan sangat menyukainya.

    ***

    “Jadi, Yuki takkan kembali kesini?”

    Ibu menundukkan kepalanya dalam-dalam, murung. Beliau tak kunjung menjawab dan hanya terus menunduk.

    Satu bulan berlalu semenjak kami membeli kotak musik untuknya, namun semenjak hari itu, Yuki tak kunjung muncul. Hari-hari yang kulalui tanpanya membuatku merasa kesepian. Perasaan kesal, sedih, kecewa, semuanya kembali menyerang hatiku.

    Ia menghilang begitu saja. Begitu tiba-tiba.

    .........

    Menggenggam erat-erat kotak musik yang kujanjikan, perasaanku terasa hancur berkeping-keping. Kupejamkan mataku erat-erat, mencoba berpikir bahwa ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk.

    Sebuah mimpi yang teramat buruk.

    Meski kemudian-

    “Ia akan kembali, Risa.”

    -suara ibu kembali terdengar.

    Menoleh padanya, tampak wajah ibu yang memaksakan diri untuk tersenyum. Matanya menatapku dalam-dalam.

    “Untuk saat ini, ia hanya pindah ke kota lain saja. Ia pasti akan kembali kesini.”

    Aku mengangguk lesu.

    Orang tua Yuki mengalami mutasi pekerjaan dan harus meninggalkan kota ini. Karenanya, aku takkan bertemu Yuki untuk beberapa waktu – yang entah sampai kapan. Dan hal itu lantas membuat kenangan buruk di masa laluku kembali muncul, membuatku berpikiran macam-macam tentangnya.

    Apakah Yuki akan meninggalkanku selamanya?

    Apakah aku akan kembali bertemu dengannya?

    Apakah aku akan mengalami hal ini lagi? Kembali ke tempat dimana aku merasa sendiri? Ke tempat dimana hidup dan mati terasa sama saja?

    ………

    Ah-

    Kurasa, cinta pertamaku sudah berakhir.

    “…begitu, ya?”

    Aku merasa amat sedih. Wajahku mungkin tak menunjukannya, namun hatiku menangis keras-keras.

    Perlahan, tanganku bergerak membuka kotak musik yang ada di genggamanku. Nada-nada yang mengalun darinya membuatku tersenyum meski dengan perasaan perih. Tanpa sadar, air mataku mulai ikut meleleh. Secepat mungkin aku menyekanya.

    Kemudian, kutatap ibu sambil tersenyum.

    “Terima kasih sudah mengabari-“

    Belum selesai aku berkata, Ibu memelukku dalam-dalam.

    Dan mulai menangis sejadi-jadinya.

    Mengapa beliau menangis, aku juga tak mengerti.

    Tetapi-

    “Ia akan kembali, Risa. Ia akan kembali! Hingga waktu itu tiba, tetaplah hidup!”

    -saat mendengar kata-kata ibu, kurasakan sebuah perasaan sesak yang memenuhi dada. Dan perasaan sedih inipun tak bisa lagi kusembunyikan.

    Tanpa sadar, tanganku bergerak perlahan, merangkul punggung ibu yang gemetar.

    “UWAAAAHH!”

    Tangisku mulai pecah, berubah menjadi sebuah jeritan keras. Kami sama-sama menangis layaknya seorang gadis kecil.

    ………

    Entah apa yang harus kulakukan sekarang.

    Yuki sudah tak ada lagi, dan aku kembali ke jurang kesepian itu lagi…

    Perasaanku pada Yuki lantas berubah total. Aku membencinya, membenci semua yang kualami bersamanya. Aku menyesal pernah mengenalnya, pernah bertemu dengannya atau tertawa bersamanya. Andai bisa kulakukan, aku ingin memukulnya sekuat mungkin.

    Aku membencinya! Sangat membencinya!

    Tetapi, kenapa?

    Kenapa perasaan ini muncul? Kenapa aku membenci orang yang telah membawaku keluar dari jurang kesedihan itu?

    Aku…tak mengerti.

    ………

    Musik ini terus mengalir lembut. Lain dari biasanya, kali ini aku amat ingin melempar kotak musik ini jauh-jauh. Kuharap aku tak pernah bertemu dengan kotak musik ini. Kuharap kotak musik ini hancur lebur atau tenggelam di lautan dalam.

    Meski demikian, untuk suatu alasan aku tak bisa melakukannya.

    Bahkan hingga berhari-hari, berminggu-minggu, dan bertahun-tahun setelahnya, kotak musik itu masih ada disini.

    Menemaniku.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Aug 23, 2015
  15. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Menemaninya…

    Baginya, kotak musik ini bukan hanya sekedar hadiah yang tak pernah bisa ia berikan. Lebih dari itu, benda ini merupakan harapan untuknya agar kami bisa kembali bertemu. Kenyataan bahwa Risa tak pernah bisa membuangnya merupakan bukti bahwa ia masih menyimpan semua harapan itu.

    Akh…

    Padahal, akan lebih mudah baginya jika ia melupakan semuanya. Aku tak bisa membayangkan betapa besarnya rasa kesepian yang ia tahan selama bertahun-tahun.

    Ia tetap menunggu hingga detik ini.

    ………

    Kurasa, aku tahu apa yang kini harus kulakukan.

    Perlahan, kotak musik itu menghilang dari pandangan. Lalu semuanya berubah. Putih. Bercahaya.

    Semuanya hilang ditelan cahaya.

    ***​

    Terdengar bunyi hujan yang turun.

    Saat mataku membuka perlahan, kudapati aliran air hujan turun dari balik jendela. Aku lupa menutup gorden jendela kamar ini sebelum tidur hingga derasnya hujan dapat terlihat jelas.

    Kurasakan air hujan itu kini juga ikut mengalir di pipiku.

    Ah, bukan.

    Ini bukan air hujan. Ini…ini adalah air mataku.

    Aku menangis. Mimpi yang baru saja kualami membuatku menangis tanpa kusadari.

    “Risa…”

    Menyebut namanya perlahan, aku lantas tersenyum lega. Hari ini aku seharusnya sudah lupa tentangnya, tetapi kenyataanya, aku masih bisa mengingatnya. Ya. Karena mimpi yang baru saja kualami, mimpi itu menceritakan semua hal yang kami lalui bersama. Tentang aku, tentang Risa, tentang perasaannya padaku, semuanya. Semuanya muncul bertubi-tubi ibarat hujan yang turun deras.

    Entah bagaimana hal bisa ini terjadi, aku juga tak mengerti. Sebuah teori mengatakan bahwa kenangan akan seseorang atau sesuatu akan muncul ketika kita menemukan sebuah memento – sebuah benda yang menjadi pengingat – akan hal tersebut. Dan kotak musik pemberian Risa mungkin merupakan memento akan kenangan itu.

    Meski demikian, aku tak tahu pasti. Yang jelas, semua hal tentang Risa mengalir jelas di mimpiku. Dalam lagu yang melantun lembut dari kotak musik yang kuputar, semua kenangan ini muncul dengan sendirinya dan membuatku bisa mengingat semuanya dengan jelas.

    Mengusap kedua mataku yang basah, perlahan aku beranjak berdiri. Saat kembali mengambil napas panjang, sebuah senyum kembali mengembang di wajahku.

    Sebuah senyum lega.

    ***​

    Jam empat pagi.

    Kotak musik yang awalnya ada diatas meja kini tak lagi terlihat. Ibarat sebongkah es yang telah selesai menunaikan tugasnya, benda itu hilang tak berbekas. Hal yang sama pernah terjadi pada pesan singkat yang Kenji kirim padaku. Aku tak mengerti mengapa semua hal itu bisa terjadi, tapi sejujurnya, aku tak begitu peduli.

    Lagipula, ada sesuatu yang lebih besar yang menjadi perhatianku – itu, bahwa aku harus menuju ke rumah sakit Higashi sesegera mungkin.

    Tetapi jam empat pagi bukanlah waktu yang bagus. Kereta baru beroperasi jam enam, sama halnya dengan bus umum. Aku mungkin harus menunggu hingga dua jam lagi hingga situasi kembali normal. Namun untuk suatu alasan, keinginan untuk menemui Risa terasa begitu kuat. Aku tak bisa menahanya lagi bahkan untuk satu menit sekalipun.

    Satu-satunya cara bagiku untuk pergi saat ini juga adalah jika aku naik kendaraanku sendiri. Sayangnya, hal itu tak mungkin kulakukan. Lupakan kenyataan bahwa aku tak memiliki ijin mengemudi – aku bahkan tak bisa mengemudi.

    -ah, tunggu.

    Aku tahu seseorang yang bisa melakukannya.

    Furukawa. Ia bisa mengemudi.

    Sadar dengan kenyataan bahwa ia satu-satunya orang yang bisa menolongku saat ini membuatku sedikit menyesal akan apa yang kulakukan tadi siang. Dan jika dipikir-pikir lagi, aku memang tak seharusnya membentaknya.

    Tanganku refleks bergerak, mengambil telepon genggam yang ada diatas meja. Meski demikian, aku tetap ragu untuk menelpon Furukawa. Untuk beberapa lama jemariku hanya bisa membeku diatas tombol panggil tanpa menekannya, hingga tanganku gemetar dibuatnya.

    Bagaimanapun, inilah satu-satunya cara bagiku agar bisa menemui Risa sesegera mungkin.

    Dan tanpa sadar, tombol itu kutekan perlahan.

    “………”

    “………”

    “………”

    Furukawa tak menjawab.

    Hal yang wajar, tentu. Menelponnya sepagi ini dan memintanya mengantarku ke kota lain, aku pasti sudah gila untuk melakukannya.

    Meski demikian, setelah menunggu sedikit lama-

    “Halo?”

    -suara Furukawa dapat terdengar dari balik telepon.

    Tersenyum lega, aku menyahut, “Furukawa, ini aku.”

    “Hiiragi?”

    “Maaf, Furukawa. Aku butuh bantuanmu.”

    ***​

    Hampir-hampir tak ada yang tahu tentang ini, tetapi Furukawa sangat mahir mengemudikan mobil.

    Meninggalkan pesan tertulis diatas meja makan, aku melangkah keluar. Tak perlu menunggu waktu lama bagi Furukawa untuk muncul di jalan kecil dekat rumahku.

    “Hiiragi, sebelah sini!”

    Aku mengangguk, tersenyum, dan masuk kedalam mobil yang Furukawa kemudikan. Furukawa sepertinya tak sempat mempersiapkan diri – ia hanya mengenakan sebuah mantel dibalik piyamanya yang tipis.

    Entah bagaimana caranya Furukawa bisa mendapat ijin untuk meminjam mobil ayahnya sepagi ini. Metode yang ia gunakan untuk keluar dari suatu masalah terkadang membuatku takjub. Mungkin hal itu jugalah yang membuatnya banyak dikagumi orang-orang.

    Kuceritakan semua yang telah terjadi, mulai dari apa yang Kenji katakan hingga mimpi yang baru saja kualami. Dan sesuai dugaanku, Furukawa tak lantas percaya dengan semua ceritaku – reaksi yang sama seperti yang kutunjukkan pada Risa kala ia mengatakannya. Bahkan selama perjalanan, Furukawa masih berpikiran bahwa semua yang terjadi padaku tidak lebih dari sekedar dongeng anak-anak.

    Namun untuk suatu alasan, Furukawa tetap menjalankan mobilnya.

    Mmn.

    Ia tetap percaya bahwa aku bisa menemui Risa di rumah sakit itu.

    “Hiiragi, aku tak tahu harus berkata apa. Itu semua benar-benar mustahil, kau tahu?” Fuurkawa bergumam perlahan sambil mengemudikan mobilnya. Aku menoleh padanya, tersenyum kecut.

    “Yah, begitulah.” Jawabku. “Pada awalnya, akupun tak percaya. Namun, saat semua memori ini kembali, aku yakin bahwa masa laluku memang seperti ini.”

    Furukawa tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya perlahan. “Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa…”

    “Kau masih tak percaya?”

    “Tidak, bukan begitu.” Sanggah Furukawa. “Kata-katamu mungkin benar adanya. Tapi, ini semua begitu tiba-tiba.”

    Aku tak menjawab dan hanya tersenyum singkat. Furukawa lantas melanjutkan kata-katanya.

    “Mungkin, aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ceritamu. Jika yang kau ceritakan memang benar adanya, aku mungkin harus melakukan beberapa penyesuaian.”

    “Seperti?”

    “Seperti percaya dengan hal-hal ajaib atau memanggilmu dengan sebutan Saito, barangkali?”

    Aku tertawa kecil. Furukawa tak membalas apapun setelahnya.

    Mobil ini berhenti saat lampu lalu lintas berubah merah. Meski demikian, tak ada kendaraan lain yang tampak disekitar kami. Hanya deretan bangunan dan laut. Di pagi buta seperti ini, kota ini tampak seperti kota mati.

    “Tetapi, Hiiragi…”

    “Ya?”

    Furukawa menoleh padaku perlahan. “Bagaimana jika kau salah?”

    Kata-kata Furukawa membuatku tertegun sesaat. Tatapan mata Furukawa tampak menyiratkan sebuah perasaan sedih untuk suatu alasan yang tidak kuketahui.

    “Maksudku,” Katanya kembali. “Apa kau benar-benar bisa membuktikannya?”

    “Apa? Bahwa aku memiliki masa lalu seperti ini?”

    “Mmn.” Furukawa menggeleng. “Bukan itu. Ini…tentang Sakagami…”

    “Ya?”

    “Apakah kau benar-benar yakin bahwa ia masih menunggumu?”

    Ah, itu…

    Kini giliranku yang diam, tak tahu bagaimana harus menjawab.

    ………

    Lampu jalan ini perlahan berubah hijau. Meski demikian, Furukawa tak lantas menjalankan mobilnya. Ia terus menatapku untuk beberapa lama, masih dengan tatapan mata sayu.

    “Furukawa, lampunya…”

    “Ya, aku tahu, Hiiragi.” Jawab Furukawa tanpa menoleh sama sekali ke arah lampu yang kumaksud. “Kau tahu, Hiiragi…”

    “Ya?”

    “Kurasa, kau tak harus pergi kesana.”

    Aku dibuat terkejut oleh kata-kata Furukawa. Meski entah bagaimana, aku tahu bahwa Furukawa pasti akan mencegahku untuk pergi ke rumah sakit itu.

    Kini Furukawa menundukkan kepalanya, murung.

    Suaranya kembali terdengar perlahan.

    “Hiiragi, apa kau yakin bahwa perasaan Sakagami padamu tak berubah?”

    Aku masih tak menjawab. Itu, aku mengerti apa maksud tersembunyi dibalik pertanyaan Furukawa.

    ………

    Ah, Tentu.

    Aku dan Risa sudah terpisah sedemikian lama, dan sadar bahwa selama ini ia menungguku membuat hatiku teramat sakit. Tetapi, bagaimana jika perasaan Risa berubah? Bagaimana jika ia tak lagi menungguku? Bagaimana jika ia sudah meninggal atau semacamnya> Jika Aku pergi ke rumah sakit itu hanya untuk mendapati bahwa Risa sudah tak lagi menungguku, tentu aku akan sedih dibuatnya.

    Dan kurasa, Furukawa tak mau melihatku sedih. Ia ingin selalu melihatku tertawa. Ia ingin agar tak ada yang berubah dariku.

    Mmn. Itu yang Furukawa maksud.

    “Ia mungkin sudah melupakanmu, dan jika begitu, apa kau masih ingin menemuinya? Bahkan jika kau menemuinya, kau akan hancur dibuatnya. Dan aku…”

    Furukawa menggenggam lengan bajuku erat-erat.

    Matanya lantas menatapku dalam-dalam.

    “…aku tak mau melihatmu sedih karenanya.”

    ………

    “Kau tahu? Melihat perubahanmu dalam beberapa hari terakhir ini, entah mengapa aku merasa sedih. Aku merasa…aku merasa bahwa aku akan kehilanganmu. Mmn. Kehilangan dirimu yang biasa kutemui, kehilangan hari-hari yang biasa kulalui sambil memandangimu dari kursi tempatku duduk. Semenjak kau bercerita soal Sakagami ini, kau berhenti menjadi seseorang yang kukenal. Aku amat takut, kau tahu? Aku amat takut kehilanganmu, dan diatas semuanya, aku amat takut jika suatu saat, perasaanku padamu berubah.”

    “Furukawa…”

    Furukawa menggenggam lengan bajuku makin erat.

    Napasnya mulai terisak perlahan.

    “Aku…aku tak bisa menerima kenyataan ini.”

    Furukawa lantas merebahkan kepalanya di pundakku. Tubuhnya gemetar oleh isak tangisnya yang turun.

    Bibirnya bergetar perlahan.

    “Kembalilah…”

    ………

    Apa yang dikatakan Furukawa mungkin benar. Kenyataan bahwa Risa masih menungguku mungkin saja hanya merupakan harapanku yang entah benar adanya atau tidak. Pada kenyataannya, mungkin saja Risa sudah tak menungguku. Mungkin saja Risa sudah tak ada disana, atau sudah meninggal sejak lama.

    Dan bukankah akan lebih baik jika aku meninggalkan semua ketidakpastian itu?

    Tetapi aku…

    Aku, bagaimanapun, ingin tetap pergi kesana, bahkan jika pada akhirnya semuanya tak berakhir sesuai yang kuharapkan. Tentu, Risa mungkin tak lagi menungguku. Namun, bahkan jika kenyataannya berkata demikian, aku masih ingin tetap menemuinya dan meminta maaf karena tak pernah datang lagi semenjak hari itu.

    Dan juga, jika dugaanku benar – bahwa Risa masih menungguku di rumah sakit itu – maka aku akan menjadi orang paling jahat di seluruh dunia untuk tidak menemuinya lagi.

    Aku ingin menemui Risa sesegera mungkin. Aku tak mau membuat ia menunggu lebih lama lagi.

    Karenanya, aku tak bisa mengatakan hal lain lagi padanya, selain dari apa yang akan kukatakan.

    “Furukawa,”

    “…ya?”

    Kubuka mulutku perlahan.

    Meski demikian, rasanya sulit sekali untuk mengatakannya. Keraguan terus muncul di hatiku, dan untuk beberapa saat, aku hanya bisa diam sambil mencoba berkata-kata. Mulutku membuka dan menutup berkali-kali, namun tak ada satu katapun yang keluar darinya.

    Hingga akhirnya aku dibuat terkejut oleh tangan Furukawa yang merangkul punggungku dan memelukku erat-erat.

    “Sudah kuduga, aku memang tak bisa membuatmu lupa tentangnya.”

    Pada akhirnya, aku tak menjawab apapun. Furukawa tahu apa yang akan kukatakan meski aku tak bisa mengatakannya sama sekali.

    Ah…

    “Maafkan aku. tapi, aku tetap ingin pergi kesana.”

    Kurasakan kepala Furukawa yang mengangguk perlahan.

    Sebuah suara kembali terdengar dari bibirnya.

    “Aku mengerti.”

    Ia lantas melepaskan pelukannya, dan menatapku dengan sebuah senyum lepas.

    “Kau tahu, Hiiragi? Perasaan ini mungkin akan hilang seiring jalannya waktu. Suatu saat nanti, aku pun akan lupa dengan perasaan ini. Tapi, meskipun demikian, kuharap kau akan tetap ingat akan satu hal. Bahwa di saat ini-“

    Furukawa mendekatkan wajahnya perlahan, dan berbisik di telingaku.

    “-aku menyukaimu, Hiiragi.”

    Kemudian, ia menatapku dengan sebuah senyum lepas.

    “Ayo kita lanjutkan perjalanan.”

    Aku mengangguk. “Maafkan aku-“

    “Jangan khawatir soal itu. Kau melakukan apa yang seharusnya.”

    Melihat Furukawa yang berusaha sebisa mungkin untuk tetap tersenyum, aku tak bisa melakukan apapun lagi selain berharap bahwa ia akan baik-baik saja.

    Mmn.

    Furukawa pasti akan baik-baik saja.

    “Hei, Hiiragi.”

    “Ya?”

    Lampu lalu lintas didepan kami kembali menyala hijau. Menarik napas lega, Furukawa kembali menjalankan mobilnya.

    “Jika aku sampai ditilang, kau yang harus tanggung jawab”

    ***​

    Butuh waktu dua jam lebih bagi kami untuk tiba di kota Higashi.

    Saat kami tiba di Higashi, matahari sudah mulai terbit. Memasuki jalan-jalan yang ada, bayang-bayang tentang kota ini kembali muncul. Jalanan kota, jembatan, gedung-gedung tinggi dan laut, entah bagaimana semuanya kembali muncul di kepalaku. Aku ingat bahwa aku pernah bermain di laut, lalu berjalan pulang sekolah sambil menyeberang jembatan, dan berkelahi di tepian jalan.

    Dan meskipun hal itu membuat kepalaku sakit, aku merasa senang dibuatnya.

    Mobil ini masih terus melaju untuk beberapa saat, sebelum kemudian kulihat sebuah bangunan yang familiar.

    “Furukawa, disana!”

    “Dimana?”

    Aku menunjuk sebuah bagunan yang ada tepat diseberang sebuah bank – sebuah bangunan sepuluh lantai. Meski baru pertama melihatnya, namun aku bisa tahu bahwa bangunan itu merupakan rumah sakit yang kumaksud.

    Furukawa menepikan mobilnya dan memarkirkannya di rumah sakit itu. Kudapati bahwa tempat parkir rumah sakit ini masih sama persis dengan tempat ayah biasa memarkirkan mobilnya. Bahkan pos penjaga yang ada pun terlihat sama. Tak ada yang berubah.

    “Kau tahu berana nomor kamarnya?”

    Aku mengangguk. “507. Jangan khawatir, Furukawa. Aku tahu semuanya. Aku bisa mengurus diriku dari sini.”

    Furukawa mengangguk, tersenyum. “Panggil aku jika kau butuh jemputan. Atau, apa kau mau aku menunggumu?”

    Aku menggeleng. “Tidak perlu, Furukawa. Aku sudah banyak merepotkanmu. Maafkan aku.”

    Furukawa tersenyum kecil. “Baiklah. Telepon saja aku jika kau butuh bantuan.”

    Aku mengangguk.

    Melepas sabuk pengaman, aku kemudian melangkah menuju pintu utama rumah sakit ini.

    “Hiiragi!”

    Ah…

    Kuhentikan langkahku sesaat setelah Furukawa berteriak. Perlahan, aku berbalik.

    Furukawa berdiri disamping mobilnya dan melambaikan tangannya padaku.

    Wajahnya tampak tersenyum lepas.

    “Berjuanglah.”

    Aku mengangguk.

    Tersenyum.

    ***​

    “Sakagami Risa di 507?”

    Aku mengangguk. Sang resepsionis perlahan mengecek layar komputernya. Cukup lama aku dibuat menunggu hingga kemudian ia kembali berkata.

    “Yup. Nona Sakagami Risa masih ada disana. Namun sayangnya, untuk saat ini kau tak bisa menemuinya.”

    Kata-kata sang petugas lantas membuat perasaan senang dan bingung muncul secara bersamaan. “Kenapa?” kataku kemudian. Sang petugas kembali menatapku.

    “Yah, kami dilarang mengizinkan siapapun masuk kecuali ada persetujuan salah satu anggota keluarganya.”

    “Kenapa begitu?”

    Sang petugas menghela napas panjang. Ia lantas melirik ke arah kiri dan kanannya – kearah orang-orang yang pergi lalu lalang.

    Kemudian ia berbisik padaku.

    “Seharusnya aku tak boleh memberitahumu, tapi status nona Sakagami saat ini, koma.”

    Eh?

    Koma?

    Aku dibuat terkejut oleh kata-kata sang petugas. Meski kemudian, aku berusaha untuk tetap tenang sebisa mungkin.

    “Tak bisakah anda menolongku? Aku…aku amat ingin menjenguknya.”

    Sang petugas tampak berpikir sejenak. “Untuk saat ini tak ada, tapi…”

    “Tapi?”

    “Entah ini akan membantumu atau tidak, tapi, silakan.”

    Ia menyodorkan selembar kertas dan pulpen dan menyarankanku untuk meninggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi.

    “Akan kuberitahu anggota keluarganya bahwa ada seseorang yang sangat ingin bertemu dengannya.”

    …Ide yang cukup bagus.

    Aku menurut. Dan alih-alih menulis Hiiragi Yuki, aku menulis Saito Yuki. Kusodorkan kembali kertas itu pada sang petugas tak lama kemudian.

    “Saito Yuki, ya?”

    Aku mengangguk. “Mohon bantuannya.” Kataku kemudian. Setelah membungkuk kecil pada sang petugas, kubalikkan tubuhku kembali ke arah pintu masuk.

    ………

    Diantara kerumunan orang-orang yang ada, seseorang tampak menatap dalam-dalam padaku.

    Seorang wanita paruh baya.

    Aku…

    Aku tahu siapa wanita itu.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Aug 23, 2015
  16. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    dat cliffhanger is killin me though

    ya, semua build up yang mungkin rada lambat dari chapter2 pertama beneran kerasa impact nya di chapter 10.

    i seriously thought this story deserved a lot more with this kind of storytelling.

    ada beberapa aspek yang membuat gw bakal bilang ini sesuatu yg lebih baik dari meteorid. salah satu yg gw harapkan itu ya, ini bisa ngasih konklusi yg bener2 wah di akhir. kalo soal eksekusi overall sih meteorid mang lebih berwarna (dengan tema sci-fi ma time travel nya dsb), tapi gw merasa endingnya agak gimana gitu.

    kalo ini mungkin seperti suatu yg dinikmati pelan2 dan sabar, hingga akhirnya semua penantian itu bakal jadi sesuatu yg rewarding lah istilahnya.

    well good luck aja overall. akhir kata semua direction cerita ada di tangan situ sendiri. dan apapun yg situ pengen capai dari sini, gw yakin ini adalah sesuatu yg terbaik.

    keep on writing.
     
    • Thanks Thanks x 1
  17. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    eh :kaget: cliffhanger yang mana mod :gadisomg:

    erm, kurang ngerti soal yang deserved more hehe :hihi:

    well, benernya sejak semua aku gak kepikiran bahwa ini bakal jadi cerita yang bener2 wah si mod. bener'e malah aku mikirnya ini bakal lebih buruk dari meteorid sih, tapi tetep pengen aku tamatin.

    yah, as I said on the first post, I want to finish another story after meteorid. kalo beneran tamat, itu bakal jadi kepuasan tersendiri buat aku sih. kurang lebih, itu yang pengen aku capai.

    annyway, thanks komennya. just a little more and the story will finish :hmm:
     
    • Like Like x 1
  18. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Wanita itu menatapku dalam-dalam, berdiri terpaku untuk beberapa saat.

    Kemudian, ia tersenyum lebar.

    Aku dibuat sedikit takjub kala melihatnya tersenyum. Jika untuk suatu alasan ia mau menemuiku, itu pastilah karena ia marah padaku. Aku takan keberatan jika wanita itu akan memarahiku kelak, atau membenciku atau semacamnya. Kenyataannya, itulah yang seharusnya wanita itu rasakan, dan kupikir aku pantas mendapatkannya.

    Namun dimataku, kini dari wajah sang wanita terpancar sebuah senyum bahagia.

    Bibirnya tampak bergerak perlahan. Aku tak bisa mendengar apa yang ia katakan, tapi kurasa ia menyebut namaku.

    Saito.

    Ya. Namaku yang sebenarnya.

    Sesegera mungkin aku menghampirinya, dan wanita itupun lantas bergerak menghampiriku. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk kemudian berdiri berhadap-hadapan.

    “Kau…Saito…”

    Aku mengangguk berkali-kali. “Ya. Ini aku, nyonya.” Kataku tersenyum. “Ini aku, nyonya Sakagami.”

    Mmn.

    Orang yang kutemui tak lain adalah ibu dari Risa.

    Wajahnya sudah berubah tua, namun aku masih bisa mengingatnya. Dulu, beliau selalu mengundangku untuk datang menemani Risa, dan seringkali memberiku mainan atau makanan-makanan manis. Wajah nyonya Sakagami selalu tampak bahagia saat melihatku bermain bersama Risa – wajah yang sama seperti apa yang kini kulihat.

    Seolah tak percaya bahwa aku adalah Saito, tangan nyonya Sakagami perlahan menyentuh tubuh dan wajahku, menyusuri rambut, kening, dan pipiku. Matanya berlinang untuk suatu alasan. Ia ingin bicara, namun suaranya lantas tertahan. Alih-alih, ia menyeka matanya.

    “Aku kembali untuk menemui Risa, nyonya.”

    Nyonya Sakagami tak berkata apapun lagi. Ia menundukkan kepalanya dan terus mengusap tangisnya yang mulai turun. Tak lama kemudian, beliau kehilangan keseimbangannya dan jatuh berlutut dihadapanku. Kedua tangannya masih menutupi sebagian wajahnya.

    Aku ikut berlutut. Tanganku menggenggam pundak nyonya Sakagami, dan tanpa sadar air mataku ikut jatuh.

    “Maaf membuatmu menunggu lama.”

    Nyonya Sakagami mengangguk dengan mata sembab.

    ***​

    “Sudah sebulan ini Risa tak bangun.”

    Nyonya Sakagami berkata perlahan saat kami tiba di kamar Risa. Berdiri tepat disampingku, tatapan matanya tertuju pada seorang gadis seusiaku yang terbaring lemah diatas tempat tidur.

    Gadis itu, ia benar-benar Risa. Wajahnya, rambutnya, semuanya sesuai dengan gambaran Risa yang kutemui di sekolah selama sebulan terakhir.

    Meski demikian, kini gadis itu terbaring tanpa daya. Lemah, kecil, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari apa yang kuingat. Infus yang menempel di tangannya membuat perasaanku hancur untuk suatu alasan. Dan jika bukan karena elektrokardiograf yang menampilkan detak jantungnya yang masih stabil, mungkin ia takkan tampak jauh berbeda dengan orang mati.

    Perlahan, aku bergerak mendekatinya. Berlutut disamping wajahnya, aku tersenyum sesaat sebelum menyentuh pipinya dan berbisik perlahan tepat disamping wajahnya.

    “Hei, Risa, ini aku.”

    “………”

    “Aku kembali, Risa.”

    ………

    Tak ada reaksi sama sekali. Sosoknya tak mau bangun bahkan saat aku menyebut namanya, atau saat aku menyentuh wajahnya.

    “Risa menunggumu sudah sejak lama, Saito.” Kata nyonya Sakagami kemudian. “Setiap hari, selama enam tahun ini, ia terus menunggumu. Tiap kali melihatnya, aku dapat merasakan aura kesepian yang ia simpan rapat-rapat.”

    Aku tak bisa membalas perkataan nyonya Sakagami.

    Maksudku, apa yang bisa kukatakan? Aku sudah meninggalkannya selama enam tahun ini tanpa melakukan apapun.

    “Aku mungkin berlebihan, tapi…melihat raut wajah kesepian itu, aku selalu ingin menangis dibuatnya.”

    Aku tertawa miris mendengar suara nyonya Sakagami. Yang kutertawakan, kurang lebih, adalah kejahatanku sendiri. Ya. Aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri atas apa yang terjadi dengan Risa, meskipun itu bukan murni kesalahanku.

    Tak lama, nyonya Sakagami melangkah perlahan dan mengusap rambut Risa.

    “Nyonya Sakagami,”

    “…ya?”

    “Apakah Risa tahu bahwa selama ini aku lupa tentangnya?”

    Tatapan nyonya Sakagami kini tertuju ke arahku. Beliau tampaknya sudah tahu bahwa aku akan mengatakan hal ini. Karenanya, beliau pun tersenyum dan melanjutkan kata-katanya.

    “Semenjak kecelakaan enam tahun lalu, aku tak pernah lagi berharap bertemu denganmu, Saito. Maksudku, ayah dan ibumu meninggal dalam kecelakaan itu, dan aku tak bisa berpikiran hal lain lagi selain bahwa kau juga ikut meninggal karenanya. Bahkan kala rumor mengatakan bahwa kau selamat, kau tetap tak kembali, dan aku tak bisa berpikiran hal lain lagi selain bahwa kau memang takkan kembali lagi.”

    Aku menundukkan kepala mendengar penjelasan nyonya Sakagami. Sebuah perasaan bersalah mulai datang menghampiri hatiku. Tentu, akibat kecelakaan itu, keluarga Saito seharusnya sudah tak ada lagi. Tindakan yang cukup rasional baginya untuk berhenti berharap bahwa aku akan kembali.

    “Tetapi, aku sama sekali tak ingin Risa kehilangan harapannya. Karenanya-”

    Nyonya Sakagami menghentikan kata-katanya sejenak. Senyumnya lantas memudar perlahan, berganti dengan raut wajah muram.

    “-aku tak pernah memberitahu Risa tentang kecelakaan itu.”

    Tatapan mata nyonya Sakagami kembali tertuju pada putrinya. Tampak sebuah senyum sayu muncul di wajahnya saat jemarinya kembali mengusap rambut Risa perlahan.

    “Aku…aku ingin agar ia tetap berharap, dan tetap hidup. Meski harus membohonginya, aku ingin ia tetap berharap bahwa kau akan datang kembali suatu saat nanti, dan memiliki harapan untuk terus hidup. Karenanya, aku mengarang sebuah cerita.”

    “Sebuah cerita?”

    Nyonya Sakagami kembali mengangguk lesu.

    “Mmn.”

    Senyumnya kembali memudar perlahan.

    “Aku mengarang sebuah cerita bahwa kau pindah ke kota lain tanpa sempat berpisah padanya. Aku selalu menyemangatinya untuk tetap menunggumu, berkata bahwa kau akan kembali dan semacamnya, semata-mata karena ingin melihatnya tetap hidup. Aku bahkan meminta seluruh staff di rumah sakit untuk menyembunyikan berita kecelakaan itu darinya. Aku tahu bahwa kebohongan ini akan menyatiki Risa kelak. Tapi, kau tahu? Aku terpaksa melakukannya. Meskipun semua ini akan menyakitinya kelak, namun aku amat menyayangi putriku. Meskipun Risa akan membenciku seumur hidup-“

    Nyonya Sakagami mengusap matanya sejenak, dan tersenyum dengan mata sembab.

    “-aku akan tetap menyayanginya sebisaku.”

    Mendengar cerita nyonya Sakagami, aku tak bisa menahan diri untuk kembali menyalahkanku atas apa yang terjadi. Mmn. Bukan hanya membuat Risa menunggu lama, akupun membuat nyonya Sakagami menanggung beban mental karena harus berbohong pada putrinya sendiri.

    Perlahan, mataku kembali menatap wajah Risa.

    Ia tampak begitu tenang.

    “…akankah ia kembali bangun?”

    Nyonya Sakagami menoleh padaku tatkala aku menanyakan hal tersebut. Ia lantas ikut berlutut disampingku dan berkata dengan sebuah senyum lebar.

    “Ia akan kembali bangun, Saito.”

    Tangan nyonya Sakagami perlahan menggenggam pundakku.

    “Sama seperti kau yang kembali padanya, ia pun pasti akan kembali padamu.”

    Aku tersenyum, sedikit terhibur oleh kata-kata nyonya Sakagami.

    Risa sudah menungguku sedemikian lama, dan tak pernah sekalipun ia berhenti berharap agar aku kembali. Sadar dengan kenyataan itu membuatku senang sekalligus sedih untuk suatu alasan. Segala macam emosi kini bercampur aduk dalam batinku. Senang, sedih, kesal, bahagia, semuanya bercampur jadi satu. Aku tak bisa mengendalikan semua gejolak emosi yang masuk. Mataku terus menatap wajah Risa yang damai, hingga tanpa sadar aku dibuat terkejut oleh tetesan air asin yang tiba di mulutku.

    “Nyonya…aku…aku…”

    Ah…

    Tanpa sadar, kubenamkan wajah ini keatas tempat tidur Risa.

    “UWAA!”

    Dan menangis sejadi-jadinya.

    “Aku…aku…maafkan aku…maafkan aku yang sudah membuatnya menunggu lama! Aku benar-benar minta maaf, nyonya!”

    Mataku tak bisa lagi membendung isak tangis yang ada. Diatas kasur Risa, aku menangis layaknya seorang anak kecil. Membuatnya menunggu selama ini benar-benar membuatku membenci diriku sendiri.

    “Maafkan aku…aku…”

    Nyonya Sakagami terus memegangi pundakku dan mengusap rambutku perlahan. Suaranya lantas terdengar ditelingaku, menenangkanku.

    “Risa akan kembali, Saito. Percayalah bahwa ia akan kembali.”

    Kata-katanya itu terus terdengar ditelingaku untuk beberapa lama.

    Sebuah beban yang tak terhingga kini memenuhi batinku. Namun di lain pihak, aku senang karena aku tahu apa yang harus kulakukan mulai hari ini.

    Mmn.

    Risa sudah menungguku sedemikian lama. Kini giliranku yang harus menunggunya.

    Bahkan jika aku harus menunggunya hingga bertahun-tahun, aku akan menunggunya.

    ………

    Itu yang akan kulakukan. Itu perasaanku yang sejujurnya.

    ***​

    Semenjak hari itu, aku selalu mengunjungi Risa selepas pulang sekolah.

    Ibu yang tahu akan hal ini mengizinkanku untuk pulang malam setiap harinya. Bahkan, kadangkala beliau tetap terjaga sebelum aku tiba di rumah, yang tak pernah kurang dari pukul sembilan malam. Di akhir pekan aku bahkan tetap berada di dalam kamar Risa, menemaninya hingga pagi. Beruntung ibu tak pernah mengeluh soal itu. Beliau mengerti bahwa apa yang kulakukan adalah soal masa laluku.

    Dan untuk mengimbangi sekolahku, seringkali aku mengerjakan PR di kamar Risa. Furukawa dan Kenji juga sesekali ikut mengunjunginya. Aku tak pernah mengajak Furukawa, namun ia selalu bersikeras untuk ikut.

    Penyakit yang dialami Risa ternyata memang sangat sulit untuk disembuhkan. Dilated Cardiomyopathy yang dideritanya takkan bisa sembuh kecuali jika ia mendapat bantuan donor jantung dari seseorang. Aku pun lantas mencoba sebisa mungkin mencari seseorang yang mau mendonorkan jantungnya untuk menolong Risa. Berbagai cara kulakukan, mulai dari mencari informasi di internet, hingga mengajukan permohonan ke dinas kesehatan. Meski demikian, semua usaha yang kulakukan tak lantas membuahkan hasil yang signifikan, bahkan boleh dibilang tak menghasilkan apapun sama sekali. Berbulan-bulan berupaya tanpa hasil, nyonya Sakagami lantas menyuruhku untuk berhenti, dan sadar bahwa aku telah melakukan segala yang kubisa, kini aku hanya harus menunggu hasilnya saja.

    Dan tanpa terasa, satu tahun pun berlalu semenjak aku menemuinya di rumah sakit itu.

    Sabtu sore itu merupakan Sabtu yang cerah. Menaiki kereta selama dua jam perjalanan, aku tiba di rumah sakit Higashi dan langsung beranjak menuju ke kamar Risa. Kenji dan Furukawa tak menemaniku hari ini. Mereka berdua sama-sama sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan.

    “Kau akan menginap disini lagi?”

    Mendengar suara nyonya Sakagami, aku mengangguk. Setelah tersenyum dan berterima kasih, nyonya Sakagami lantas mengambil mantelnya dan beranjak dari kursinya.

    “Aku akan kembali besok lusa. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.” Kata nyonya Sakagami perlahan. “Kabari aku jika ada masalah, ya?”

    Aku mengangguk. “Jangan khawatir soal itu. Selamat bekerja, nyonya.”

    Nyonya Sakagami mengangguk. Ditatapnya Risa perlahan, dan ia kembali menatapku dengan sebuah senyum lebar.

    “Kutitipkan Risa padamu, Saito.”

    Aku kembali mengangguk, membungkuk kecil, dan tersenyum.

    Hari-hari yang kuhabiskan disini biasanya cukup menjemukan. Pada awal kedatanganku, aku selalu bercerita berjam-jam soal kehidupanku pada Risa, yang entah bisa mendengarnya atau tidak. Kini, setelah berbulan-bulan berlalu, aku hanya akan menyapanya dan mengobrol sesekali, sebelum kemudian membaca majalah yang kubawa dari rumah. Setelah dokter jaga mengecek kondisinya pukul sebelas malam, aku biasanya tertidur. Kadangkala aku tertidur dengan wajah terbenam diatas tempat tidurnya. Mau tak mau hal itu membuat badankku pegal, namun aku sama sekali tak keberatan. Sadar bahwa aku masih ada disini bersamanya sudah cukup membuatku bahagia.

    Malam itu, aku kembali tertidur diatas tempat tidur Risa. Hujan yang turun deras membuat tidurku terasa begitu nyenyak. Adapun hal yang terakhir kuingat sebelum tidur adalah dokter jaga yang bercerita soal pertandingan baseball minggu lalu.

    “Kau seharusnya ikut denganku, lho. Pertandingan kemarin itu luar biasa! Soal bir biar aku yang traktir.”

    Aku hanya bisa tertawa. Dokter itu bahkan tak sadar kalau aku masih dibawah umur untuk minum alcohol.

    Dasar…

    ………

    Tidurku lantas terganggu oleh sebuah sentuhan yang menyentuh punggung. Ah, dokter itu, apakah ia kembali lagi? Bukankah ia sudah selesai mengecek kondisi Risa?

    Aku menggeleiat sejenak. Pandangan mataku masih tampak buram saat menoleh kebelakang perlahan.

    Dihadapanku, kini tampak bayangan seseorang yang berdiri menatapku. Wajahnya tampak tersenyum lebar.

    Kemudian, telingaku menangkap suara tawa kecil seorang gadis.

    “Yuki…”

    Ah, suara itu…

    Suara yang sejak lama ingin kudengar.

    “Risa?”

    Kukerjapkan mataku berkali-kali, hingga sosok yang ada dihadapanku tampak kian jelas.

    Seorang gadis.

    Mmn. Seorang gadis dengan rambut panjang terurai, memakai sebuah jepit rambut berwarna biru cerah, dengan tinggi tubuh yang lebih pendek dariku. Ia berdiri disana, memandangiku.

    “Risa…”

    Risa mengangguk dengan mata berbinar, menatapku dalam-dalam-

    “Mmn. Ini aku, Yuki.”

    -dengan sebuah senyuman.

    Dengan sebuah senyuman dari lubuk hatinya yang terdalam.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Aug 28, 2015
  19. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    eksekusinya buat sejauh ini lancar jaya sih. jadi mungkin buat berikutnya tinggal nulis ending 'kah :bloon:

    gw mikirnya situ bakal ngasih twist di akhir2 supaya ada impact tersendiri, tapi gw pribadi kalo jalan nya datar gitu aja gk masalah :haha:
     
    • Like Like x 1
  20. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    well, keknya gak ada twist lagi mod, dibikin datar aja sih :hmm:

    paling yang masih misteri soal nasib Risa selanjutnya aja, yang sebenernya, entah gimana jadinya endingnya pasti kesana juga :hmm:

    yah, thanks udah baca mod. mungkin pas ini selesai, aku jadiin ebook lagi dan dibagiin gratis lagi kek meteorid kemaren.

    come to think of it, om Red bener2 melesat jauh soal bikin cerita :gadisterharu:

    yah, not to say that the story is great, but he really did it. liat2 di fb nya, dia sampe bisa jualan bukunya gitu haha :gadisterharu:

    well, I'm not jealous or anything. In fact, I'm happy with him. Seeing his book on sale, I can't help but feeling happy for him.

    I might be a bit melancholic. I can't even tell what this feeling is. It's like, you know? Like being relieved by seeing a friend of yours happy.

    Well, he's fly far away now. I'm still on the ground. It's kinda ironic, isn't it? when I was young I want to fly, but I can't. Now this thing happens again.

    But you know? I'm happy being on the ground :gadisterharu:

    gw ngerant apa lagi ini :swt:

    well, kalo mau dilanjut mari ngonbrol di lonje. kalo engga juga gapapa sih, gak penting2 amat :haha:
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Aug 29, 2015
  21. bitterchoco Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Aug 14, 2015
    Messages:
    23
    Trophy Points:
    12
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +22 / -0
    mau komen boleh yaaaa:ehem:

    baru baca sampe chapter 2.:oghangat:

    baru liat orific ini sama cerpen badut kampus, tokoh utamanya cowo semua.
    kalo saya ga bisa nulis dari sudut pandang cowo, tapi kk fairyfly bisa bikin tokoh2nya meyakinkan.:ogtop:
    dari awal baca orific ini, di otak saya udah otomatis kayak lagi nonton anime series yang latar, budaya dan orangnya jepang tapi pada ngomong bahasa indonesia.:terharu:

    soal ceritanya belum bisa komen soalnya baru chapter 2, tapi menarik.

    ayo semangat kk... bentar lagi tamat ya??:cheers:
     
    • Thanks Thanks x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.