1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic The Story of My Girlfriend

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Mar 1, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    okelah, project2 sebelumnya saya drop dulu. jujur agak bingung ngembanginnya meskipun udah dapet ide dari awal sampai akhir.

    sisanya no komen. saya sadar ini mungkin bakal mentok juga, tapi bakal saya usahain sebaik-baiknya untuk diseleaikan. Jikalau di kemudian hari ceritanya lagi-lagi mentok, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

    reserve for index.
     
    • Like Like x 2
    • Informatif Informatif x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Apakah arti seorang siswi untuk siswa-siswa SMA?

    Ada banyak jawaban atas pertanyaan tersebut. Bagi seorang playboy, banyak sedikitnya jumlah siswi merupakan sumber protein bagi mereka untuk bisa hidup. Bagi seorang atlit basket, kehadiran siswi yang menyoraki mereka bisa dibilang sebagai kratindaeng. Untuk para berandalan dan penjahat kelamin, kehadiran seorang siswi bisa diibaratkan sebagai asupan gizi per hari. Untuk para jomblo, yah, kau pikir saja sendiri, lah. Meski kalau kau tanya pendapatku, seorang siswi bisa berarti kesempurnaan untuk seorang jomblo.

    Tapi serius, deh. Akan lebih baik jika kau tafsirkan sendiri.

    Pada intinya, satu hal yang bisa kita simpulkan dari pertanyaan tersebut adalah, bahwa setiap orang mempunyai standar berbeda untuk mengartikan kehadiran seorang siswi. Yang jadi masalah kemudian adalah, apakah semua siswa bisa menemukan makna tersebut?

    Singkatnya, apakah semua siswa bisa mendapatkan seorang gadis?

    Hanya segelintir orang yang bisa mendapatkannya, dan aku amat bersyukur karena aku bisa menjadi salah satunya.

    ***​

    “Perkenalkan, namaku Kirishima Lisa.”

    Bukan. Aku bukan Kirishima Lisa.

    Aku hanyalah seorang lelaki yang menatap sosok gadis berambut hitam panjang yang berdiri di depan kelas – yang tersenyum ramah nan elegan.

    Ah, lutuna…

    Seketika di otakku terbayang banyak hal yang bisa kulakukan bersamanya di kamar hotel. Meski demikian, kubuat agar wajahku tetap polos seperti Nobita di serial Doraemon. Aku tak mau dicap sebagai seorang maniak hentai yang berakhir di ruang BP.

    “Mulai hari ini aku akan merepotkan kalian semua, jadi mohon bantuannya!”

    Aku masih terus menatap sang gadis dengan tatapan polos. Yah, mudah-mudahan si gadis tertipu dengan kepolosanku.

    Tapi menatapnya terus menerus juga sepertinya mencurigakan, sih.

    ………

    Masa bodoh. Aku tidak sendiri, kok.

    Ada si Saitama, Fujiwara, Isurugi, dan banyak lagi. Kenyataannya, hampir semua lelaki di kelas kami kini menatap bidadari ini dengan tatapan mesum – yang mungkin membuat para gadis di kelas kami merasa ingin memanggil polisi. Wajah mereka boleh mengelak, tapi percayalah. Sebagai sesama lelaki, aku tahu apa yang ada di pikiran mereka semua.

    “Matsuda, oi! Cewek bahenol, cuy!”

    Bahkan Isurugi mengatakan apa yang ada di otaknya secara terang-terangan. Dasar iblis.

    Saat Kirishima berjalan perlahan menuju bangku yang ditunjuk Pak Tanaka, pandangan mata para pria tertuju padanya.

    ………

    Aku sih, sok-sok tidak melihat. Sebagai seorang lelaki, aku juga punya harga diri.

    “Hei, cewek, kenalan dong!”

    Tidak seperti si Isurugi yang duduk di sampingku ini – yang tidak sadar bahwa ia telah gagal menjadi playboy sejak pacar terakhirnya mengadukannya ke guru BP atas dugaan pelecehan.

    Ah, ngomong-ngomong soal playboy, Saitama yang terkenal sebagai chick magnet juga tampaknya tak mau kalah. Begitu Kirishima duduk tepat di bangku belakangnya, ia langsung saja melempar senyum andalannya yang selalu sukses membuat hati para gadis lemah iman klepek-klepek.

    “Hai, Kirishima, ya? Jangan sungkan untuk bertanya apapun padaku jika ada yang tidak kau ketahui.”

    Bebek biasanya terkecoh oleh senyuman serigala. Ia berakhir masuk ke sarang serigala untuk dimakan hingga menyisakan tulang.

    Dan sang serigala tampaknya sedang lapar.

    “Saya Saitama. Salam kenal.”

    Mmn. Sang serigala sedang lapar berat.

    “Baiklah, sesi perkenalan sudah selesai. Sekarang kita lanjutkan pelajaran-“

    Yah, bagaimanapun, anak baru ini memang manis. Jujur, aku juga amat tertarik padanya, dan bukan tidak mungkin bahwa suatu saat aku pun akan m*sturb*si sambil berfantasi tentangnya.

    Ah, sialan. Sabar. Jaga sikap. Jaga sikap…

    “Ah-“

    Entaha bagaimana, tiba-tiba saja terdengar suara benda jatuh yang menyentuh lantai.

    Sebuah pulpen berwarna merah terang. Pulpen itu menghentak lantai, menggelinding perlahan, dan menepi di sepatuku.

    Ampun.

    Tanganku refleks meraihnya. Belum sempat pulpen itu kusentuh, aku terkejut kala jemariku lantas merasakan sebuah sensasi aneh.

    Seperti jari jemari seseorang, namun teksturnya sedikit keras dari jemari seorang gadis.

    Oh ya, sekedar informasi, aku amat hafal bagaimana tekstur jemari seorang gadis. Yah, soalnya, setiap adik perempuanku tidur, aku selalu memainkan jemarinya, pipinya, dan kadang pantat– lupakan apa yang terakhir kubilang.

    “Anu,”

    Huh?

    Kenapa yang terdengar kemudian adalah suara seorang gadis? Aku yakin yang baru kusentuh tadi adalah jemari seorang lelaki.

    “Bisa tolong lepaskan tanganku? Dan maaf merepotkan, ya?”

    Spontan aku menoleh ke sumber suara.

    Kirishima menatapku lugu, tersenyum. Jemarinya masih kupegang erat-erat.

    ………

    Eeehh?

    “Ma…maaf!” Kataku refleks sambil melepas jemarinya. Kirishima mengambil pulpen tersebut, dan tersenyum setelahnya.

    “Terima kasih. Maaf merepotkan.”

    “Ah, ti…tidak apa-apa.”

    “Ah, ya. Aku Kirishima Lisa. Namamu?”

    “Ma…Matsuda Sora, yang mulia!”

    “Yang mulia?”

    Ah, sial!

    Berhadapan dengan bidadari surga seperti ini, jelas lah aku mati kutu!

    Tetapi Kirishima hanya tertawa kecil melihatku.

    “Kau boleh memanggilku Lisa.”

    Eh?

    “Dan juga, bolehkah aku memanggilmu Sora?”

    Eh? Ini…tidak salah?

    Tanpa sempat mendengar jawabanku, Lisa tersenyum dan berkata perlahan-

    “Senang berkenalan denganmu, Sora.”

    -sambil melempar sebuah tersenyum manis.

    Aku…

    Aku jatuh cinta padanya.

    Ah, mungkin ini yang namanya cinta pada pandangan pertama.

    ***​

    Setelah insiden pulpen jatuh itu, Pikiranku tak bisa lepas dari Lisa.

    Dan dewi keberuntungan memang sedang ada di pihakku. Semenjak perkenalan itu, aku dan Lisa bagai kutub utara dan selatan magnet. Kami berdua selalu bersama dari semenjak berangkat dan pulang sekolah. Bahkan aku terkadang menghabiskan waktu dengannya hingga malam tiba.

    Kedekatan kami tentu membuat para lelaki di kelas kami gusar. Bahkan Saitama yang playboy pun merasa bahwa harga dirinya sedang diinjak-injak.

    Sudah, sudah, kalau merasa kalah dan malu begitu, kenapa tidak melakukan seppuku saja?

    “Sora, hei!”

    Ah, Lisa memanggilku di sore hari sepulang sekolah.

    Lorong sekolah sudah amat sepi kala itu. Mungkin, di seluruh sekolah ini hanya ada aku dan Lisa saja. Situasi yang sempurna untuk berbuat mesum!

    “Ada apa, Lisa?”

    “Sora, anu…ada sesuatu yang ingin kukatakan. Maukah kau mendengarkanku?”

    “Tentu.”

    Lisa lantas tersenyum. Ia lantas memainkan jari-jemarinya didepan dadanya. Ia membuang muka, meski masih sesekali menjeling padaku.”

    “Anu…”

    “Hmn?”

    Mengambil napas panjang, ia lantas menyambar jemariku…mak! Kenapa ini?

    Tapi aku senang. Sumpah. Aku senang!! Dusta besar jika aku terkejut layaknya manga klise yang biasa kubaca.

    “Sora, jadilah pacarku!”

    Tuh, kan?

    “Aku menyukaimu sejak dulu. Jadilah pacarku!”

    “De…dengan senang hati!”

    Aku menjawab refleks.

    Tentu!! Jawaban apalagi yang paling cocok untuk hal ini selain menerma cintanya? Kesempatan seperti ini mungkin hanya akan terjadi sekali dalam seumur hidup. Ditembak gadis bidadari pujaan sekolah, ini bahkan terlalu indah untuk sebuah mimpi.

    Ah, aku benar-benar terlahir membawa keberuntungan.

    …setidaknya, itu yang kupikirkan, sih.

    Mmn. Akan sangat menyenangkan bila Lisa yang melamarku adalah gadis SMA normal yang menjalani kehidupan layaknya murid-murid SMA yang lain.

    Nyatanya, Lisa yang kukenal ini-

    “Kalian sudah dikepung! Menyerahlah! Jangan melawan!”

    “Berisik! Polisi bloon! Kalau kalian berani mendekat, kepala bocah bego ini akan kuledakkan!”

    -kini menjadikanku sebagai sandera dan menempelkan pistol di kepalaku.

    Mak, kenapa…
     
    • Like Like x 2
    • Setuju Setuju x 1
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Omachi merupakan kota yang damai. Tingat kriminalitas kota ini boleh dibilang sangat rendah. Tapi jika kau tanya apakah aku senang dengan hal itu? Aku akan jawab tidak.

    Rendahnya tingkat kriminalitas di Omachi ini bukanlah disebabkan oleh berwibawanya para penegak hukum, melainkan karena kota ini sama sekali tidak menarik. Terisolasi oleh gunung dan laut, orang-orang di Omachi hidup damai tanpa terpengaruh banyak oleh budaya luar yang penuh kriminalitas. Bahkan di kota ini hanya ada satu mall dan satu bioskop saja – itupun sudah bobrok dimakan usia. Dulu pernah ada stasiun kereta bawah tanah, namun semenjak gempa bumi enam tahun lalu, stasiun itu otomatis pensiun.

    Masyarakat Omachi hidup dengan melestarikan nilai-nilai leluhur yang masih kental. Tak usah merasa aneh jika menemukan warung yang menjual gula-gula dan es serut. Dan juga, bila ada seseorang yang pindah ke kota ini, bisa dipastikan akan ada sebuah perayaan di balai kota. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Omachi masih melestarikan budaya mereka.

    Singkatnya, kau boleh bilang kalau masyarakat Omachi itu udik.

    Untuk orang-orang muda yang ingin bebas, Omachi adalah neraka. Banyak lulusan SMA yang beramai-ramai hijrah ke kota besar untuk bekerja atau kuliah, dan hanya satu per sepuluh orang yang kembali setelah mereka sukses. Kurangnya kaum muda membuat kota ini adem ayem. Bahkan polisi pun bisa mengambil jatah cuti mereka seenaknya.

    Begitu ada serangan teroris begini, baru deh mereka kelabakan.

    Serangan teroris mendadak seperti ini sontak membuat polisi kota panik bukan main. Aku bisa melihatnya dari bagaimana cara para polisi ini bergerak dan menyusun formasi. Kenyataan bahwa seorang polisi terkena peluru nyasar sudah menunjukkan kualitas dari para penegak hukum kota ini : hancur.

    Jika Isurugi tahu tentang kenyataan ini. Bisa-bisa dia tertawa habis-habisan.

    “Bos! Kita sudah aman. Target berhasil dilumpuhkan, dan jemputan kita bakal tiba dalam dua menit.”

    “Kerja bagus!”

    Orang yang dipanggil sebagai bos lantas menjulurkan jempolnya, meski sambil tetap mencekik leherku dan menempelkan mulut pistol tepat di keningku.

    Si bos ini sudah menyamarkan identitasnya rapat-rapat. Mukanya tertutup oleh penutup wajah serba hitam, meninggalkan matanya saja yang biru cerah. Meski demikian, dari dadanya yang cukup datar – yang kini menempel di punggungku – aku bisa tahu kalau itu pacarku, sih.

    Bisa tahu identitas seseorang dari ukuran dada, ternyata aku sudah dewasa.

    “Oi, bolehkah aku pulang sekarang, Lisa? Dengan utuh, tentunya. Tidak dalam kantung mayat atau semacamnya…”

    Lisa menatapku kesal dengan pandangan mata yang seolah berkata, “Sudah, diam saja! kau aman, kok!”

    “Kau akan aman. Tenang saja!”

    Tuh, betul kan?

    “Syukurla-“

    Belum selesai aku berkata saat kemudian terdengar desingan peluru yang menghantam tembok.

    Hii, gila! Para polisi itu malah menempatkan sniper dan mencoba membidik Lisa yang masih menyanderaku. Untung saja polisi-polisi itu tak bisa menembak dengan benar.

    Kalau urusan sniper, sepertinya aku lebih jago. Aku biasa meraih 10 kill kala bermain CSGO- lupakan, goblok! Sekarang bukan waktunya!

    “Bre…brengsek! Kau mau anak ini mati, hah? Aku takkan segan-segan menembaknya!”

    ………

    Aturan pertama saat disandera teroris : semua perkataan teroris adalah dusta.

    Ah, sudahlah. Aku pasrah saja. Setidaknya aku tidak mati karena shock akibat tertabrak traktor. Kalau aku mati nanti, kuharap seseorang mau mengubur majalah pornoku yang sudah menumpuk. Jika ibuku tahu, aku yakin seumur hidup ia takkan mau datang ke pemakamanku.

    Dan juga-

    “Kau bilang kita akan nonton film. Tapi kenapa malah menodongku begini. Huhuuu…”

    “Berisik, bego! Ini juga film, kau tahu? Ini yang namanya film live action!”

    Gundulmu!

    Siapa sangka janji untuk nonton film – yang kuharap berakhir dengan colek sana sini – berakhir dengan penyanderaan di kantor Walikota?

    Mmn. Kemarin, Lisa memintaku berkencan dan janjian untuk bertemu di depan stasiun. Belum sampai di tempat yang dimaksud, seseorang menempelkan pisau di punggungku dan bilang agar aku menuruti perintahnya. Takut nyawaku melayang, aku menurut dan masuk kedalam mobil limosin yang ia tunjuk. Setelahnya, kepalaku dibungkus oleh karung atau semacamnya.

    Begitu sadar, tahu-tahu aku sudah disandera begini.

    Ah, nasib. Selama ini aku larut dalam delusi bahwa pacarku ini adalah seorang gadis lugu – yang setiap malam selalu kuperkosa kala kuhabiskan waktu di kamar mandi. Mungkin inilah yang disebut karma.

    “Bos, jemputan sudah tiba! Titik temu di saluran air. Silakan pergi dulu! Kami akan mengecoh para polisi!”

    Lisa menoleh pada sosok pria berkumis yang berseru padanya. Sementara dibelakangnya para begundal sibuk berjaga-jaga, si pria berkumis ini mengeluarkan sesuatu dari balik box kayu yang entah darimana asalnya. Didalamnya terdapat sebuah tabung termos berukuran superbesar.

    “Pastikan kau menyusul.”

    “Heh, seperti tidak tahu kami saja, haha!”

    Yang digenggam sang pria bukanlah sebotol termos, melainkan sebuah bazzoka!

    Gila! Pria ini mau apa?

    Lisa menatap dalam-dalam sang pria yang masih sibuk dengan bazzoka miliknya. Tak lama, ia menepuk pundak pria tersebut sembari berbisik perlahan.

    “Terima kasih atas bantuannya, Franz.”

    “Hehe, tak usah sungkan begitu.”

    Lisa tertawa kecil.

    “Pergilah sekarang, bos. Tak ada waktu lagi.”

    Lisa mengangguk. Dari sorot matanya, aku tahu ia tersenyum kecil. Tak berapa lama kemudian, ia lantas menggenggam tanganku-

    “Ayo!”

    -dan menggiringku menuruni tangga gedung bertingkat ini.

    Bersamaan dengannya terdengar suara rentetean tembakan dari sana-sini, dan dilanjutkan dengan suara ledakan amat dahsyat yang membuat gedung ini bergetar hebat.

    Si pria berkumis itu pasti sudah menembakkan bazzoka miliknya.

    Aku menutup telinga kala mendengar bunyi ledakan hebat yang membuat pandanganku kabur. Telingaku berdengung hebat. Aku tak pernah menyangka jika hentakan bazzoka bisa separah ini.

    Meski demikian, genggaman tangan Lisa masih bisa kurasakan. Bahkan terasa menguat.

    “Lewat sini, Sora! Cepat!”

    Aku hanya bisa pasrah dan menurut.

    Lisa terus membawaku turun. Sementara rentetan suara senjata terdengar dari sana-sini, ia terus bergerak dengan lincah, menggenggam tanganku dan terus menuruni tangga. Kami tiba di sebuah ruang bawah tanah tak lama setelahnya.

    Mampus.

    Kejebak deh.

    “Lisa, kamu mau membawaku kemana? Oh, dan juga, tolong kembalikan sosok Lisa yang imut dan lugu yang menjadi pacarku. Aku tak mau Lisa yang seperti ini!”

    Yah, meskipun kini semuanya sudah terlambat.

    Lisa tak menjawab apapun. Dilepasnya penutup wajah yang sedari tadi dipakainya, sebelum kemudian mengibaskan rambut hitamnya dan menarik napas panjang. Matanya lantas liar bergerak, seolah-olah mencari sesuatu yang entah apa. Hingga sesaat kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah lemari tua di pojokan gudang.

    “Hei, bantu aku!”

    “Kenapa aku harus membantu teroris?”

    Lisa mengacungkan pistolnya padaku dan tersenyum. “aku memintamu baik-baik, lho.”

    Mana ada orang yang meminta baik-baik sambil menodongkan pistol begitu? Ah, kampret lah! Mau tidak mau aku harus menuruti perkataan seorang teroris. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa kini aku sudah menjadi teroris juga?

    Lisa menyuruhku mengangkat lemari tua di pojokan gudang itu bersamanya. Untuk ukuran sebuah lemari tua, seharusnya benda ini tidak terlalu berat. Hanya saja aku terlalu lemah untuk mengangkatnnya. Maklum, hikikomori sepertiku ini tak banyak bergerak.

    Meski pada akhirnya lemari itu berhasil kupindahkan.

    Aku tak tahu mengapa Lisa menyuruhku memindahkan lemari tersebut. Membayangkan teroris yang kabur di film-film laga, pastilah dibalik lemari ini ada pintu tersembunyi atau semacamnya. Tetapi yang tampak dihadapanku kini hanyalah tembok utuh.

    “Nah!”

    “Nah nenekmu!”

    Sementara aku menggerutu, Lisa malah tampak tenang. Tangannya lantas mengoreh isi lemari tersebut, menemukan sebatang cokelat, mengupas bungkusnya, dan mengunyahnya.

    “Mau?”

    ………

    Salut, deh.

    Aku harus belajar darinya mengenai cara bersikap tenang saat terjepit. Jujur, aku ini mudah panik. Aku bahkan panik saat melihat semut-semut di dinding memakan kue coklat di dapur. Ilmu teroris rupanya tidak sepenuhnya tidak berguna. Dan juga, kenapa harus repot-repot memindahkan lemari jika tak ada pintu rahasia atau semacamnya?

    “Monyet, lah! Bagaimana caranya kita kelular dari sini? Oi, jangan cuma makan, dong! Lakukan sesuatu!”

    Tuh, kan? Aku mudah panik.

    “Sabar, sayang.” Ujar Lisa santai, kembali mengunyah cokelat yang digenggamnya. “Sebentar lagi. Ah, iya. Kusarankan kau menjauh dari tembok itu, deh.”

    “Kenapa memangnya?”

    Lisa meraih tanganku dan menariknya kuat-kuat. “Sudah! Menurut saja- ugf!”

    Gadis itu menarik tanganku terlalu kuat, hingga kini tubuhku membentur tubuh mungilnya.

    Ah, bisa kurasakan buah dadanya yang kini menempel di tubuhku. Ukurannya? Rata. Dan saat memikirkannya, entah kenapa tubuhku jadi menggigil.

    Meski demikian, jantungku jadi sedikit berdebar. Terlebih, saat kemudian aku sadar bahwa wajah kami berada tepat dihadapan satu sama lain, dan yang tampak di mataku kini hanyalah sorot mata Lisa yang balik menatapku.

    Astaga…

    Aku bisa membayangkan adegan romantic yang seharusnya terjadi. Mungkin aku akan mengecup bibirnya atau- bukan waktunya, goblok!

    “Kenapa mukamu memerah begitu?”

    “Huh?” Jawabku masih dengan hati berdebar. Bahkan saat ia berbicara, aku bisa merasakan desah napasnya di bibirku. “A…anu…”

    “Hee…” Suara Lisa terdengar menggoda. “Kau pasti mikir yang tidak-tidak, ya? Hmn, kau juga lelaki, sih. Jadi wajar saja bila-“

    Blarr!

    Sebuah ledakan terdengar dari balik punggungku.

    ***​

    “Lisa, sebelah sini, ayo!”

    “Oh, nice timing!”

    Begitu ledakan itu hilang, Lisa mendorong tubuhku menjauh dan segera bergerak. Ia menghampiri sumber suara yang ternyata berasal dari sebuah lubang yang kini menganga di tembok.

    Dibalik lubang itu, dua orang pria berpakaian serba hitam tampak berdiri tegap. Darimana munculnya kedua orang itu, aku juga tidak tahu. Mungkin dewa mengirimnya untuk menolongku? Tetapi, melihat tubuh keduanya yang kekar, tampaknya tidak mungkin juga, deh. Serius. Otot-otot di tangan keduanya terlihat seperti botol susu.

    “Siapa dia?”

    Salah seorang dari pria itu menatapku tajam dan membuatku shock seketika. Tatapan matanya memancarkan aura marah yang luar biasa.

    “Oh, itu?” Lisa menjawab. “Tawananku yang kemarin kuceritakan.”

    “Mau kubunuh saja?”

    “Jangan. Aku butuh dia dalam misi-misi selanjutnya.”

    “Oh, ayolah! Aku belum membunuh orang hari ini.”

    Apa itu berarti setiap hari ia harus membunuh seseorang?

    Entah mengapa kini tulangku rasanya gemetar. Padahal, jika dibandingkan dengannya, aku pasti telah membunuh lebih banyak. Setiap kali kugunakan kamar mandi, ratusan calon manusia akan terbunuh sia-sia ditanganku. Mmn. Jika dibandingkan dengannya, perbedaan kami ibarat anak ayam dan raja singa. Singkatnya, aku lebih hebat darinya, jadi aku tak perlu takut. Mmn. Aku sama sekali tak perlu takut.

    …mungkin.

    “Sora, kalau kau mau selamat, cepat kemari!”

    Lisa memanggilku dari balik lubang tersebut. Mengangguk dengan wajah pucat, aku menurut. Kumasuki lubang tembok itu dan melangkah menyusurinya. Dibelakangku berjalan si algojo yang entah kenapa tampak sangat bernafsu untuk mematahkan leherku. Senyumnya terlihat mengerikan.

    “Anu, pak, bisa jalan didepan saja? Aku merasa tidak nyaman.”

    Sang lelaki menjawab dengan menggerakkan telapak tangannya. Sebuah gerakan memotong leher.

    “Kek!”

    Aku ingat guruku yang pernah bilang bahwa bahasa tubuh bisa menjadi lebih efektif ketimbang bahasa verbal, dan dia memang benar.

    Mengikuti langkah Lisa, tanpa sadar kini aku sampai di sebuah saluran air. Disana sudah menunggu sebuah perahu karet yang mengapung rapi.

    “Kami sudah siapkan baju cadangan. Setelah kami membawamu ke zona evakuasi, kau bisa memakainya untuk menyamar. Kau tahu apa yang harus dilanjutkan selanjutnya, bukan?”

    “Mmn.” Lisa mengangguk. “Terima kasih, kalian berdua.”

    Sang algojo udik kembali bertanya dengan nada berat. “Bagaimana caranya kau mengecoh polisi setibanya disana?”

    “Gampang.” Jawab Lisa, penuh percaya diri. “Aku akan berkencan dengan bocah ini.”

    Tolong jangan ingatkan aku tentang kencan yang sangat tidak romantis ini. Kalau boleh, aku ingin pura-pura tidak mengenalmu saja.

    “Hei, bocah, kalau kau berani bertindak cabul pada bos,”

    Sang algojo kembali memperlihatkan gestur memotong leher yang sempat ia tunjukkan sebelumnya.

    “Kek!”

    ***​

    Kami muncul dari saluran air tanpa dicurigai sama sekali.

    Saluran air yang kami lewati terhubung dengan stasiun kereta bawah tanah yang memang sudah tak terpakai. Disana, kami turun dan langsung berbaur dengan orang-orang. Lisa kini menggaet tanganku dan menempelkan kepalanya di pundakku layaknya seorang pacar yang manja. Dimatanya, sepasang kacamata frameless menempel dan membuatnya terlihat kian cantik.

    Ah, sial. Lelaki mana yang tak akan senang memiliki pacar menggemaskan seperti ini? Bahkan aura menggemaskannya kini hinggap pada orang-orang sekitar. Beberapa dari mereka memandangi Lisa dengan tatapan cabul, sebelum melihatku dengan tatapan gusar yang seolah berkata, “Lelaki ini pasti main dukun.”

    Tidak. Aku tidak main dukun. Mereka saja yang tidak mengerti.

    Berjalan manja disampingku, bos teroris ini malah asyik bersenandung. Ia tampak tak peduli bahkan saat TV di sebuah toko elektronik menyiarkan berita serangan teroris di kantor Walikota.

    Dih…

    “Anu…” Kataku berusaha memecah suasana. “Sebenarnya aku ada urusan di rumah. Boleh enggak kalau-“

    “Ah, sayang, lihat!”

    Bahkan kini ia memanggilku sayang. Ia benar-benar menikmati aktingnya.

    “Sebelah sana, bioskop! Kau mau nonton apa hari ini?”

    Doremon.

    “Ah, ya! Eternal Light! Mau nonton?”

    Eternal Light. Film yang DVD nya sudah rilis setengah tahun lalu, kini sedang tayang di bioskop. Beberapa pasangan tampak tersenyum senang dambil menggaet pasangannya, dan berkata dengan manja, “Filmnya seru ya, sayang?”

    Kasihan. Ketinggalan zaman, ya? Ah, sudahlah. Lebih baik bahas yang lain saja.

    “Hei, Sora!”

    Sadar dari lamunanku, kudapati Lisa yang bersorak dari pintu masuk bioskop, menunjuk-nunjuk poster film yang dimaksud. Untuk seorang teroris, Eternal Light yang merupakan film romansa tragedy tentu bukan pilihan yang cocok – kecuali kalau ia mau nonton komedi.

    Ah, makjan…

    “Boleh tidak, kalau aku pulang saja?”

    “Hmn? Kau bilang apa?”

    “Ah, maaf, Biar aku ganti pertanyaannya. Umm, Boleh tidak kalau aku putus dengamu?”

    “Hee,” Lisa menggerutu. “Kenapa? Apa aku membosankan? Aku masih menyukaimu. Sangat menyukaimu! Aku rela mati demi dirimu, jadi tolong jangan putusin aku, huwaa!”

    Kalau begitu mati saja sana!

    “Pacarku mau minta putus! Padahal aku baru saja dihamili! Huwaa-”

    Yang terakhir itu jelas-jelas fitnah, jadi langsung saja aku yang menutup mulut Lisa. Kampret. Jika ia tetap mengoceh, harga diriku pasti akan bernasib sama seperti harga indeks harga saham gabungan : terjun bebas.

    “Anu…haha…maaf, pacarku ini sedang latihan akting untuk klub teater. Ia amat menghayati perannya ya? ahahaha…”

    Orang-orang disekitar kami – yang awalnya menatapku sebagai manusia laknat – kini mulai sibuk mengurusi urusannya kembali.

    Monyet, lah.

    “Hei, jangan menutup mulutku begitu.” Lisa telah melepas dirinya tanpa kusadari. “Lepaskan aku.”

    “Akan kulepaskan jika kau ijinkan aku pulang.” Bisikku. Lisa tampak menatapku menggerutu.

    “Kenapa kau sudah mau pulang lagi? Aku masih ada perlu denganmu.”

    Ya, tetapi aku tak ada perlu dengannya. Dan aku hanya akan mengerjakan sesuatu bila hal itu menguntungkan kedua belah pihak. Takkan ada kata ‘bisnis’ jika kedua pihak sama-sama mau melakukan sesuatu tanpa keuntungan bagi mereka.

    “…apa aku sebegitu membosankan bagimu?”

    Berhenti memandangiku dengan tatapan yang seolah mau menangis itu, dasar bispak! Dan juga-

    “Membosankan? Lebih tepatnya kau ini mengerikan! Siapa sangka kalau kau adalah gadis terimut yang pernah kumiliki, baik, baik, bisa tolong lepaskan pisau itu dari perutku? Aku masih mau hidup jadi tolong lepaskan ya, sayang?”

    “Baik, sayang. Aku mengerti. Dan tolong jangan bahas hal itu didepan umum, ya?”

    Siap, madam. Siap.

    “Ngomong-ngomong, pisau ini ukurannya cukup untuk menembus tenggorokan seseorang, lho. Jadi, kalau kau sampai bertingkah aneh, kau tahu akibatnya, kan?”

    Lisa berkata sambil terus menggaet tanganku kuat-kuat. Hentikan! Tulangku bisa remuk!

    “Ya, kan?”

    “Si…siap, madam! Siap!”

    Lisa tertawa Geli setelahnya.

    Dasar Iblis.
     
    • Like Like x 2
    • Setuju Setuju x 1
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Gadis manis seringkali menjadi tipuan bagi para lelaki.

    Sekedar gambaran saja, carilah sosok gadis-gadis cantik di internet, dan telusuri fakta tentang mereka. Data statistik akan menunjukkan bahwa hanya 40% dari para gadis itu yang bukan produk gagal. 30% dari mereka adalah perempuan-perempuan alay yang mahir photoshop. 20% dari mereka memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan wajahnya, dan sisanya merupakan waria. Sayangnya, lelaki seringkali gagal melihat tipuan tersebut, dan aku bukanlah pengecualian.

    Lisa termasuk dalam kelompok gadis yang berkepribadian rusak. Wajah malaikat hati bangsat.

    “Ah, Sora! Kau disini, rupanya!”

    Dan kini dia berlari padaku yang mengendap-endap untuk pulang. Melihat Lisa yang tersenyum sambil melambai-lambai tangannya benar-benar membuatku ingin berlari memeluknya dan menguncinya di dalam kamar.

    Sayangnya ia tidak seimut kelihatannya.

    “Minggu ini bantu aku, ya? Ada yang harus kulakukan, dan aku sangat buuuuutuh bantuanmu untuk hal ini.”

    Satu minggu berlalu semenjak kencan terror yang kami lakukan, dan hidupku sudah diatur olehnya.

    Sebetulnya, sehari setelah kencan terror itu aku berencana melapor polisi. Siapa tahu aku bisa meminta suaka pada polisi dan memasukanku ke dalam penjara – yang tampaknya lebih nyaman daripada harus berurusan dengan gadis buronan. Jadi, malam itu aku segera saja pergi dengan sepedaku dan mengebut menuju kantor polisi terdekat.

    Belum sempat aku tiba disana, tiba-tiba saja ibuku menelpon.

    “Halo, Sora, kau dimana? Ada seorang gadis yang mencarimu. Uuh, namanya Lisa, kalau tidak salah. Ia menunggumu di dalam kamar. Anaknya baik banget, lho. Hei, jangan-jangan kau mau berbuat yang tidak-tidak dengannya, ya? Atau jangan-jangan kalian sudah melakukannya? Hayo, mengaku! Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah?”

    Mendapat telepon mengerikan begitu, aku segera balik ke rumah tanpa melapor polisi.

    Dan setelahnya, setiap gerak-gerik yang kulakukan pasti akan selalu diketahui oleh pacarku ini. Bahkan saat aku berlama-lama di toilet, Lisa akan mengirim pesan “Kau kena diare ya? Lama sekali.” Gila! Dia ini stalker atau apa?

    Karenanya, aku tidak meneruskan niatku untuk melaporkannya ke polisi.

    “Hei, malah melamun!”

    “Ah, uh, maaf.” Jawabku. “A…anu, gimana ya? Minggu ini sepertinya kurang bagus.”

    “Hmn…” Lisa bergumam perlahan. “Bisa tolong jelaskan mengapa?”

    Karena aku harus menemaninya membunuh orang, jadi tidak bagus! Sama sekali tidak bagus!

    “Anu, bagaimana ya? Biarpun keliahatan santai begini, sebenarnya aku ini orang sibuk, lho.”

    “Sibuk? Bukankah yang biasa kau lakukan hanya nonton film horror di kamar? Dulu kau bahkan bilang kalau kau selalu mempunyai banyak waktu luang, dan akhir pekan selalu berakhir membosankan buatmu.”

    “A…ahaha…tentu.”

    Untuk suatu alasan, aku kagum pada tingkahnya yang tidak langsung mengancamku dengan bedil atau terror atau semacamnya. Aku harus menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, mencari alasan paling logis yang bisa membuatku kabur.

    Alasan paling logis…

    “Anu, menonton film itu sendiri sejatinya adalah sebuah kesibukan. Kau tahu? Kau memusatkan kekuatan pada otot di sekitar matamu untuk menangkap bayang-bayang yang kelak kau refleksikan pada otak. Setelahnya, kau harus mempekerjakan otak untuk mengekspresikan berbagai emosi, entah itu sedih, senang, atau marah. Intinya, minggu ini aku harus mengawasi bagaimana otakku ini bekerja.”

    Lebih tepatnya, mungkin aku harus membuat bagaimana otakku ini bekerja.

    Ah, alasan apa tadi itu? Mengerikan sekali. Najis. Menjijikkan. Aku bahkan merasa ingin melempar diriku dari gedung lantai dua puluh setelah mengatakannya.

    “Hemm, masuk akal juga.”

    Tetapi gadis ini malah mengangguk-angguk. Yang bodoh ini sebenarnya siapa, sih?

    “Yah, padahal aku amat ingin berkencan denganmu lho. Untuk kali ini tak apalah.”

    ………

    Entah mengapa aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi dalam waktu dekat.

    “Oh, kau tahu? Aku punya hadiah untukmu. Uuh, hadiahnya sudah kusimpan di loker sepatumu. Cobalah kau lihat, mumpung masih jam istirahat.”

    “…bukan bom atau semacamnya, kan?”

    Lisa membuang pandangannya sambil tersenyum. Tingkahnya yang tidak menjawab itu jelas-jelas menunjukkan bahwa dugaanku benar. Ah, mungkin aku seharusnya berhenti sekolah dan langsung berkarir menjadi seorang peramal.

    “Sampai nanti!”

    Jelas sudah bahwa aku tidak bisa menghindar.

    Ah, masa bodoh, lah. Menggerutu dan menyesal juga tidak ada gunannya. Aku tak mau berakhir sebagai orang yang larut dalam penyesalan hingga harus dibawa ke psikiater.

    Menatap sosok Lisa yang berjalan riang, aku lantas dikejutkan oleh suara langkah kaki yang tiba-tiba saja muncul di samping kanan tubuhku.

    “Kirishima, ya?”

    Whoa! Kehadiran orang ini sama sekali tak bisa terdeteksi. Ia ini ninja atau apa?

    Gadis berkacamata yang berdiri disampingku ini menatap sosok Lisa yang perlahan menghilang ditelan kerumunan. Fokus matanya tak teralihkan. Ia bahkan tidak sadar dengan keberadaanku yang menatapnya cukup lama.

    “…kenapa dengannya, Iris?”

    Iris Kato. Namanya yang setengah Jepang dan setengah barat ini mungkin terdengar aneh. Buatku, nama itu sama anehnya seperti mencampur bakso dengan lontong kari.

    Bertolak belakang dengan namanya, Iris adalah primadona kelas. Orang-orang sering melihatnya sebagai sosok pendiam yang elegan. Dengan kacamata tipis dan rambut cokelat sebahu yang dibuat setengah keriting itu, Iris tampil sebagai sosok dewi penyelamat para pria jomblo. Dingin, kalem, tak mudah panik, imut, tipikal kuudere yang biasa kau puja.

    “Dia…harus kudapatkan!”

    Iris lantas beranjak, berlari mengikuti kemana Lisa pergi dengan nafas penuh nafsu birahi.

    Yah, seperti yang kubilang, gadis manis seringkali menjadi tipuan bagi para lelaki.

    ***​

    Layaknya minggu lalu, kencan yang kubayangkan berakhir romantis dan berlajut adegan mesum sama sekali tak terjadi. Namun setidaknya, kini aku sudah tahu hal itu lebih dulu.

    Lisa mengajakku bertemu di pantai di tepian kota, dan berpesan supaya aku siap untuk tidak pulang selama dua-tiga hari. Yah, karena ajakannya berkencan bertepatan dengan libur nasional, aku sih enggak masalah.

    “Jadi, aku akan pulang setelah tiga hari.”

    Aku bilang pada ibu bahwa aku akan pergi kemping bersama Isurugi dan Saitama. Ibuku yang kala itu sedang memasak di dapur hanya mengangguk-angguk sambil berpesan agar aku hati-hati di jalan. Wajahnya sama sekali tak beranjak dari kare buatannya. Melihat hal itu, aku jadi ingat akan sebuah ungkapan yang bilang bahwa masakan ibu selalu nomor satu. Selalu. Bahkan jika seorang anak ditempatkan dalam hirarki keluarga, ia selalu akan menjadi nomor dua setelah masakan ibu. Sungguh konyol.

    Ah tidak. Mungkin itu hanya berlaku untukku saja.

    Melihat ibu yang masih sibuk memasak, aku membayangkan apa yang kelak akan terjadi dalam tiga hari kedepan. Bukan tidak mungkin bahwa aku akan kembali terlibat kontak tembak bersama polisi dan pulang dalam kantung mayat. Sadar bahwa aku bisa menjadi korban peluru nyasar, mulutku lantas bergerak sendiri.

    “Bu, maafkan anakmu yang tak berguna ini.”

    “Yah, kau memang tidak berguna. Karena itu cobalah untuk menjadi seseorang yang berguna. Renungi hidupmu di alam bebas sana!”

    Jangkrik!

    Aku jadi menyesal bilang begitu pada ibu. Apa dia benar-benar ibuku? Mungkin aku ini anak pungut yang ditemukan ibu di selokan depan rumah, ya?

    Haha, ngawur.

    Berpamitan pada ibu, aku lantas beranjak pergi. Ibu masih terus saja sibuk dengan kare buatannya.

    Meski kalimat “Pulangnya hati-hati,” yang terakhir diucapkannya itu terdengar manis.

    ***​

    Meskipun Lisa berjanji menemuiku di pantai, aku tak bisa menemukannya sama sekali. Apa mungkin ia lupa dengan janjinya? Atau mungkin saja ia sudah terlanjur ditangkap polisi? Tapi jika Lisa, sepertinya tak mungkin ia bisa tertangkap dengan mudah.

    Panas terik menyengat. Rasa-rasanya akan sangat nyaman bila aku masuk kulkas. Cuaca panas yang ditambah sedikitnya hasrat untuk menemui Lisa awalnya membuatku berniat kembali ke rumah. Tetapi ketika ingat soal hirarki keluarga – yang mana masakan ibu termasuk didalamnya – aku lantas memilih untuk membeli jus dingin sambil mencari tempat duduk yang agak sepi.

    Pantai kota ini benar-benar jauh dari kata ideal. Tidak seperti dalam film dimana kau bisa berlarian bebas diatas pasir atau memeluk pacarmu di tepi dermaga, tempat ini lebih mirip dengan gudang ikan yang baru dihantam bom nuklir. Belasan gudang tampak kosong terbangkalai ditinggal pemiliknya yang kebanyakan lebih memilih untuk bekerja di kantor pajak. Ah, bicara soal lautnya sendiri, ombak ganas dan karang terjal yang ada di pantai ini membuat ngeri orang-orang yang hendak berenang. Dan selain kapal-kapal berukuran sedang, yang biasa terlihat disini hanyalah petani rumput laut yang rata-rata sudah nenek-nenek. Tak usahlah berharap akan hadirnya sosok onee-san yang memakai bikini. Tak akan ada.

    Meski demikian, dinas pariwisata kota Omachi tetap saja memasukkan pantai ini sebagai tempat wisata andalannya. Aku merasa kasihan pada para turis yang tertipu dengan promosi yang orang-orang dinas itu lakukan.

    Sadar semuanya akan berakhir membosankan, aku lantas mengeluarkan sebuah manga shoujo dari dalam tas - yang kupinjam dari Isurugi. Cerita manga ini sendiri kurang lebih tentang gadis mahou shoujo yang memimpikan bertemu pangeran dambaannya. Klise. Menjemukan. Satu-satunya hal positif dari manga ini adalah adegan cabul antara sang pemeran utama dengan bosnya, dan sebenarnya hanya bagian itu yang membuatku tertarik.

    Begitu aku selesai membaca, tahu-tahu hari sudah gelap.

    Lisa sama sekali tak datang. Menatap langit jingga-biru di kejauhan, akupun menghela napas.

    Jangkrik! Aku sama sekali tak memperkirakan situasi bakal berakhir seperti ini. Karena sudah terbiasa dengan ancaman terror Lisa, aku amat yakin ia akan menemuiku. Aku bahkan tidak akan marah jika ada sesosok pria yang tiba-tiba membungkus tubuhku dengan karung goni. Aku akan menerima nasib dan menurut.

    Diterlantarkan seperti ini, rasanya aku jadi sedikit mengerti bagaimana perasaan seorang gigolo.

    Karena Lisa tak datang, kini aku harus mencari alasan untuk bisa tiba di rumah. Mmn. Rumah dengan ibu yang lebih sayang pada kare masakannya ketimbang anaknya sendiri. Mungkin aku harus bilang pada ibu bahwa Isurugi dan Saitama dihantam beruang di hutan, dan aku menjadi satu-satunya korban selamat.

    Tapi, jika aku mengatakan hal itu, aku jadi terdengar seperti orang jahat yang meninggalkan mereka berdua untuk santapan beruang. Bukan berarti aku tak mau melakukannya, sih.

    Selagi asyik dengan pemikiranku sendiri, bisa kulihat siluet seorang pria di tepi gudang di kejauhan.

    Sebenarnya, aku sudah melihatnya cukup lama. Kala bosan dengan manga shoujo yang kubaca, sesekali aku menatap sekeliling. Pria itu adalah satu-satunya orang yang ada di pantai ini selain aku. Awalnya kupikir ia sedang memancing atau apa, namun kemudian muncul dugaan lain di pikiranku.

    Yup, dugaan bahwa ia juga merupakan korban pacar yang tidak bertanggung jawab.

    Ah, jika memang benar demikian, kurasa akan menyenangkan jika aku menghampirinya. Aku bisa sok-sok akrab dan berkata, “Hey, menunggu pacarmu? Kita senasib, dong?” Uh, entah kenapa memikirkannya membuatku terasa hina.

    Tapi masa bodoh. Untuk suatu alasan aku ingin menghampiri pria itu.

    Dengan latar cahaya matahari yang terbenam, bayang-bayang sang pria terlihat amat familiar. Hmm, seorang lelaki dengan rambut hitam panjang. Ah, apa kini rambut panjang sedang populer di kalangan pria, ya?

    ………

    Ada yang aneh dengan pria itu. Rasanya seperti pernah kenalan dimana, begitu.

    Saat melihat lebih dekat, barulah aku sadar bahwa wajah orang itu terlalu imut untuk standar seorang pria. Tapi jika ia perempuan, dadanya terlihat amat rata. Jadi mana yang benar, nih? Apa mungkin ia sejenis makhluk laut yang jenis kelaminnya tidak teridentifikasi?

    Dan ketika aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, orang itu ternyata adalah gadis yang kutunggu selama berjam-jam.

    Sial! Daritadi aku melihatnya, namun aku sama sekali tak tahu kalau ia adalah pacarku!

    Yah, aku tak menyangka Lisa seorang perempuan karena dadanya memang tak menonjol. Oh, kenapa tiba-tiba bulu kudukku merinding, ya?

    Lisa menatap laut dengan mata sayu. Aura kesepian terpancar jelas dari raut wajahnya. Aku tak menyangka ia mau menungguku begitu lama- terbalik. Aku tak menyangka aku mau menunggunya begitu lama.

    Ah, melihat wajahnya yang sedih begitu, aku jadi merasa bersalah.

    Memejamkan matanya, Lisa tampak menghayati hembusan angin laut dan ombak yang berdesir. Ia sampai-sampai tak sadar dengan keberadaanku.

    “Y…yo…”

    Saat aku menyapanya, barulah pacarku itu menoleh.

    Raut wajahnya masih sayu, dan rasa-rasanya, ada butiran air yang keluar dari pelupuk matanya itu. Ah, apakah ia menangis? Apa ia begitu sedih tidak bertemu denganku hingga menangis begitu? Sempat aku berpikir bahwa ia mungkin saja kelilipan, tapi matanya benar-benar sembab. Lihat, bdak tipis yang dipakainya sampai luntur.

    Ah, teroris juga manusia. Sebaiknya aku cepat-cepat meminta maaf.

    “Ma…maaf. Menunggu lama, ya?”

    Jika dipikir baik-baik, adegan ini mirip dengan cerita romansa pada manga-manga shoujo pasaran. Seorang cewek dan seorang cowok sama-sama janjian di tempat tertentu tanpa pernah bertemu. Hingga ketika malam tiba, keduanya pun berpapasan dalam perjalanan pulang. Sadar bahwa mereka saling menunggu membuat keduanya terharu. Cerita diakhiri dengan adegan pelukan dan ciuman dibawah langit malam.

    Melihat Lisa yang masih menangis, aku berjalan perlahan untuk mendekapnya-

    “Dasar goblok!”

    -dan langsung dihantam tepat di wajah.
     
    • Like Like x 1
    • Setuju Setuju x 1
    Last edited: Mar 1, 2016
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Seseorang tak bisa disebut dewasa sebelum ia mengalami pahitnya realita dalam hidup. Jika kau beranggapan seperti itu, mungkin aku bisa disebut dewasa.

    “Padahal penampilanku sudah cukup mencolok. Apa one piece merah ini sama sekali tak terlihat di matamu? Kau ini buta apa?”

    Kuperhatikan baik-baik setelan Lisa. One piece lengan panjang kemerahan, kaus kaki hitam panjang, kacamata tipis dan rambut panjang hitam yang digerai. Sebetulnya semuanya sudah cukup mencolok. Satu-satunya yang tidak mencolok darinya hanyalah dadanya yang mirip pelat besi.

    “Tadinya aku ingin mengenalkanmu pada anggota yang lain, tapi sekarang semuanya berantakan!”

    Didalam sebuah gudang ikan yang tak terpakai, Lisa memarahiku habis-habisan. Yah, siapa pula yang tidak marah jika ditinggal menunggu selama lima jam? Meski sebetulnya, jika dilihat dari sudut pandangku, aku lebih pantas untuk marah.

    Nyatanya, aku tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhku diikat diatas sebuah kursi dengan mulut disumpal lakban.

    “Sampai jemputan kita tiba, perhatikan penjelasanku baik-baik. Hei, dengar tidak?”

    “Mmffphh!!”

    “Kau ini bilang apa? Ngomong yang jelas!”

    Buset. Orang ini sebenarnya memarahiku atau mengejekku, sih? Jika ia sampai tak sadar kenapa aku tak bicara, pasti ia punya disfungsi otak.

    “Mmpfhh!!” Kuulang kembali kata-kataku yang tak keluar dari mulut. Ada sesuatu yang amat ingin kukatakan, namun percuma saja. Lisa takkan mengerti jeritan seseorang yang mulutnya disumpal. Tidak. Ia bukan ahli bahasa tubuh.

    Dan Lisa tampaknya memang tak peduli. Alih-alih melepaskan sumpalan ini, ia malah mengetuk-ketuk papan tulis yang ada dihadapannya. Yah, berarti yang barusan itu, ia memang sengaja menjahiliku. Kurang ajar, memang, gadisku ini.

    Terpampang besar di papan tulis itu sebongkah kata dengan huruf kapital.

    WRO.

    “Organisasi kita, WRO, yang berarti World Reform Organization, bertujuan untuk mengubah tatanan dunia yang keji menjadi tempat yang layak untuk ditinggali.”

    Rasa-rasanya aku ingin menambahkan huruf N dan G di bagian akhir huruf itu. WRONG. Ya, kata itu lebih cocok untuk dipakai. Oh, dan apa maksudmu kita? Sejak kapan aku menjadi buronan sepertinya? Amit-amit, deh.

    Omong-omong, papan tulis itu dapat darimana, ya?

    “Kita tak punya banyak waktu, jadi biar kujelaskan secara singkat. Misi ini akan dilakukan di kota Kagiri. Target kita adalah sebuah dokumen yang dipegang seorang Ilmuwan. Orang ini.”

    Lisa menyodorkan foto berukuran kartu pos ke hadapan mataku, menampilkan sesosok lelaki muda dengan rambut pendek.

    Ah, ternyata rambut panjang memang tidak musim. Aku benar, kan?

    “Goro Yuu. Usia : 34 tahun. Seorang professor muda di Universitas Harvard. Untuk selajutnya, target kita ini akan kita sebut Sherlock, jelas?”

    “Mmffhh!!”

    “Baik. Kalau sudah jelas, kita lanjutkan pada-“

    “Mppffhh!!”

    “-skema operasi yang akan kita lakukan, dengarkan kalau orang bicara, dasar sempak!”

    Lisa melempar kapur yang ia genggam tepat kearah dahiku. Rasanya seperti digigit oleh kumbang badak. Percayalah, tak ada yang mau mengalaminya.

    “Diam dan dengarkan baik-baik!”

    “Mmppfh!!!”

    Yang kuteriakkan kurang lebih, “Dasar cabe-cabean enggak waras!!” Tetapi Lisa mungkin menangkapnya lain. Ah, sebenarnya ia malah tidak peduli dan terus mengetuk-ngetuk papan tulis dibelakangnya. Tindakannya mengingatkanku kepada guru matematika kelasku yang terkenal ganas. Sekali waktu Isurugi pernah mengatainya bispak, dan hal itu hampir-hampir membuatnya dipenjara.

    “Sherlock akan menjadi pembicara pada forum sains di hotel Kagiri. Kau dan aku akan masuk sebagai tamu undangan, dan selagi tim penyerbu beraksi melumpuhkan para preman, kita berdua akan mengambil dokumen tersebut secara diam-diam. Clean sheet. Mengerti?”

    Lisa berusaha menjelaskan bahwa pekerjaan yang biasa dilakukannya itu keren. Sayangnya ia gagal.

    “Ada pertanyaan?”

    “Mmpffh!!”

    “Ah, sori. Kau tidak bisa bicara sama sekali ya? Pfft! Bagaimana rasanya menjadi orang bisu?”

    Si cabe ini tersenyum sembari melepas sumpalan lakban di mulutku ini. Ia lantas menatapku senang. Mukanya mirip seperti seorang jomblo yang baru selesai menyalurkan hasrat birahinya pada seonggok sabun mandi. Sungguh enggak waras.

    Persetan. Ada satu hal yang ingin kukatakan.

    “Jadi-“

    “Oi, cabe-cabean! Toiletnya dimana sih? Gue mau pipis!!”

    Yah, sedari tadi aku menahannya, sih.

    ***​

    Jika aku sampai pipis di celana, Lisa mungkin akan merasa malu dan memintaku putus. Aku menyesal tak melakukannya dan malah memilih menyelamatkan harga diriku.

    Berada di dalam sebuah mobil van hitam gelap, perlahan kami meninggalkan Omachi. Dua jam perjalanan berlalu dan kota tujuan kami belum juga terlintas.

    Lisa hampir-hampir tak berkata sepatah katapun. Wajahnya yang imut terus menatap jauh keluar jendela. Matanya tak lagi sembab, namun raut wajahnya menunjukkan kalau ia masih kesal untuk suatu alasan. Dan karena aku ini orang yang pengertian, maka aku tak menanyainya macam-macam.

    “Apa kau akan memakai pakaian seperti itu?”

    Tiba-tiba saja gadisku ini bicara. Kedua bola matanya menatap setelanku dengan mata risih. Ha? Memangnya kenapa dengan pakaianku?

    Selagi aku menatapnya bingung, Lisa menghela napas. “Kau ini benar-benar, deh,”

    Ditempelkannya jari telunjuknya di dahi. Wajahnya seakan berkata, bahkan supirku saja bisa berdandan lebih baik darimu. Hei, itu keterlaluan. Aku tak bisa disamakan dengan seorang supir. Mereka lebih hebat dariku.

    Dan juga, supir, jangan tersipu begitu! Nyetir yang benar! Oi!

    “Yah, aku lebih senang memakai kaus Kancolle dan celana jeans saja, sih. Terkesan natural.”

    “Terkesan sableng mungkin lebih tepat.”

    Lontong!

    “Apa ini pertama kalinya kau menghadiri acara resmi? Memakai kaus bergambar Kaga-chan seperti itu hanya akan membuatmu terlihat hina. Kurasa kau harus belajar tata cara berpakaian yang baik.”

    “Apa?”

    “Ah, maaf. Ijinkan aku mengganti kata-katanya. Mungkin akan lebih baik jika kau belajar menggunakan otakmu dengan baik.”

    “Hei, sungguh terlalu, kau!” Kataku berontak. “Selama ini aku menggunakan otakku dengan baik!”

    Ya, betul! Jika aku masih bisa menentukan urutan hirarki antara aku dan masakan ibu, berarti otakku bekerja dengan optimal.

    “Menggunakan otakmu dengan baik? Kau bahkan tak sadar tentang keberadaanku di pantai itu. Apa bayangan tubuhku yang ditangkap oleh retina matamu itu tak sampai ke otakmu?”

    Memangnya apa yang bisa mataku tangkap dari dada tembok seperti itu? Sebetulnya aku mau menjawab begitu, sih. Tapi sejak tadi fokusku terus-menerus berpusat pada dada dan sesekali paha. Aku enggak mau dianggap mesum, meski kenyataannya memang demikian.

    Yah, kadang aku juga khawatir soal masa depanku. Aku tak mau bila di masa depan nanti aku bekerja sebagai pemeran utama film b*kep.

    Ah, sudahlah. Bahas yang lain saja.

    “Membuatku menunggu selama itu, kau sedang stress, ya?”

    “Hei, seenggak-enggaknya aku paham soal bagaimana meminta maaf. Dan juga, apa itu tadi? Kaga-chan? Kau ternyata penggemar juga, ya?”

    “Be…berisik!” Jawab Lisa gusar, sedikit berteriak. Sejurus kemudian, ia mengeluarkan sesuatu dari tas besar yang ada didepan tempatnya duduk – yang awalnya kukira sebuah kantung mayat. Dugaanku yang bilang bahwa ia akan mengeluarkan tengkorak manusia ternyata salah, karena yang muncul dari dalam tas itu adalah satu set kemeja, jas, dan sepatu yang tampak benar-benar baru.

    “Pergi kebelakang dan ganti baju, sana! Kau pasti pernah memakai jas, bukan?”

    Rupanya, ia membekali diri dengan pakaian cadangan. Menjadi teroris pasti boros biaya laundry.

    Merengut, aku lantas berbalik ke belakang van ini sambil mencibir. Lisa tak kalah kesal. Ia menyilangkan tangan di dadanya yang tak sama sekali tak menarik untuk dilihat.

    Selagi aku mengganti pakaian, Lisa kembali mencibir. “Aku memasukkan faktor keterbelakangan orang-orang Omachi pada misi kali ini. Berterima kasihlah karena kesalahanmu kututupi. Andai aku lupa membawa baju-baju itu, kau pasti sudah kutinggalkan.”

    “Bagus, dong. Berarti aku bisa lepas dari terroris.”

    “Meninggalkan itu istilah lain untuk menghilangkan. Sekali kau tahu tentang kami, kau tak bisa lari. Jika kau sampai lepas, anggotaku akan memastikanmu tutup mulut untuk selamanya. Kau akan diburu, dibunuh, dan mayatmu akan dibuang ke sungai. Oh, mungkin juga dimutilasi terlebih dahulu…”

    Dengan kata lain, pacarku ini seorang psikopat. Ah, dasar gila!

    Mengganti baju di dalam van yang sedang melaju tentu bukan perkara mudah. Terlebih, langit sudah begitu gelap hingga aku tak bisa melihat apapun dengan jelas. Lisa yang tampaknya sadar akan hal ini lantas menyalakan lampu dalam van – yang ia gelapkan sedari tadi seakan untuk menambah kesan akan betapa misteriusnya grup teroris WRO tanpa N dan G ini.

    Dengan lampu yang menyala terang, akupun sadar bahwa sedari tadi aku masih berkutat dengan celana dalam.

    “Ah, terima kasih. Mohon jangan lihat kebelakang. Aku malu.”

    “Tak masalah,” Lisa menjawab perlahan, dingin. “Tubuhmu itu tak ada menarik-menariknya, jadi aku takkan bernafsu melihatnya.”

    Asyuuu!

    “Cepat selesaikan bajumu itu. Aku tak suka lampu mobil. Rasanya begitu menyilaukan.”

    Dengan gusar, kukancingkan kemeja putih ini – yang entah bagaimana ukurannya amat pas dengan ukuran tubuhku. Bahkan celana dan sepatu yang ia beri pun rasanya begitu nyaman.

    “Maaf menunggu-“

    Kembali beranjak ke bagian tengah, Lisa lantas menempelkan telunjuknya di dagu seraya menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Gumaman seperti “Hmm,” atau “Un,” sesekali terdengar dari mulutnya.

    Rasanya jadi seperti model yang sedang dinilai.

    “Kau ini-“

    Ah, nilaiku sudah tentu jelek.

    “Berbalik!”

    “Huh?”

    “Berbalik, kubilang!”

    “Si…siap madam!”

    Orang-orang seperti Lisa ini bisa sangat mudah mendapatkan respek. Bahkan akupun tak tahu kenapa kini aku menurut dan membalikkan badan.

    Selagi punggungku berada dihadapannya, aku mulai berpikir macam-macam. Lisa mungkin akan memasukkan cecak kedalam kemejaku seperti apa yang pernah Isurugi lakukan. Jujur, itu bukan hal yang bagus. Siapapun pasti pernah bertindak jahil, namun memasukkan cecak kedalam kemeja seseorang itu keterlaluan. Bagaimana jika cecak yang dimaksud terbunuh oleh aroma tak sedap tubuhmu? Mereka juga berhak hidup.

    Tetapi yang Lisa lakukan kemudian hanyalah merapikan kerah bajuku.

    “Aku heran dengan caramu berpakaian tempo hari. Rasanya jauh lebih rapi.”

    Jelas, lah. Karena waktu itu aku menyangka pertemuan kami sebagai kencan betulan, aku menghabiskan waktu cukup lama bahkan untuk memilih baju sekalipun. Kini, karena sudah tahu semuanya akan berakhir begini, aku datang serampangan saja.

    ………

    Bisa kurasakan jemari Lisa yang lincah bergerak, menyentuh kerah-kerah kemeja dan membuatnya rapi.

    “Nah, sekarang balikkan kembali.”

    Aku menurut, membalikkan tubuh bagian depanku pada Lisa yang masih menatapku layaknya seorang pattiserie.Tak lama kemudian, tangannya kembali bergerak – kali ini merapikan jas yang kusut di beberapa bagian.

    Astaga…

    Jika ia manusia normal, aku pasti sudah jatuh cinta padanya. Ah, bahkan kini aku sudah jatuh cinta padanya, sih. Sayangnya ia teroris.

    “Jadi, teman-temanmu sudah disana?”

    Mencoba basa-basi, aku berkata perlahan pada Lisa yang masih asyik dengan kemejaku. Sebuah senyum sayu tampak muncul di wajahnya.

    Senyum langka yang belum pernah kulihat.

    “Franz, dan si algojo yang selalu bilang ‘kek’ itu juga ada disana?”

    “Ah, Weisz maksudmu? Mmn. Ia akan ada disana.”

    “Cih,” Tanpa sadar aku mencibir. “Kuharap aku tak bertemu dengannya. Ia itu orang udik. Mengerikan. Dari tatapan matanya saja kau bisa tahu kalau ia itu abnormal.” Kataku tanpa bermaksud menepis kenyataan bahwa gadis dihadapanku ini juga tak kalah abnormal.

    Lisa hanya mengangguk-angguk. Dia ini kira-kira dengar enggak, ya?

    “Franz masih lebih menyenangkan. Ia selalu tertawa dan mau membantumu. Aku sih, lebih memilih bertemu dengannya ketimbang si algojo itu.”

    “Franz sudah mati, kau tahu?”

    Eh?

    Apa aku tidak salah dengar? Bukannya ia harusnya kabur dengan perahu karet?

    “Ma…maaf…”

    “Mmn,” Lisa menggeleng. Ingin aku bertanya lebih lanjut soal Franz, namun kuurungkan niatku tersebut.

    Dan Lisa pun tampaknya tak mau membahas hal itu. Kedua tangannya terus asyik bergerak. Tak sampai semenit setelahnya ia pun menepuk pundakku dan tersenyum. “Selesai! Begini kan rapi!”

    Tepukannya itu keras juga. Mengerikan. Tenaga setan.

    Meski demikian, senyumnya tadi itu terasa indah dilihat.

    “Terima kasih.”

    Ah, mungkin aku sudah termakan oleh kemolekan gadis ini. Aku bahkan berterima kasih untuk sesuatu yang sebetulnya sama sekali tak kuinginkan.

    Lisa terus menampakkan senyumnya sebelum kembali memalingkan wajahnya. Matanya menatap jauh keluar jendela. Untuk beberapa lama, ia terus menatap jauh keluar.

    ………

    Aku penasaran dengan apa yang sedang dipikirkannya sekarang.

    Ah, bukan. Yang lebih membuatku penasaran adalah-

    “Kau ini, kan seorang terroris. Bagaimana kau bisa terlihat santai begitu?”

    Kampret! Tanpa sadar aku mengatakannya.

    Bersiap untuk sebuah pukulan di wajah, aku lantas memejamkan mata. Sedetik, dua detik, pukulan itu tak juga mendarat.

    Membuka mata perlahan, bisa kulihat sosoknya yang kini tertidur pulas.

    ………

    “Iblis! Mak lampir! Pacar gadungan! Lontong!”

    “Ngg…”

    Ah, oke. Oke. Cuma bercanda. Peace.
     
    • Like Like x 1
    • For The Win For The Win x 1
    Last edited: Mar 2, 2016
  7. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    ada di edit ttg kotanya ya ini, klo ngga salah yg kemaren ngga ada :iii:

    overall, nice :top: maksudmu pake kalimat panjang itu kalimat pembuka kek filosop2 gitu kah? :bingung:
    mgkin tinggal kenapa si itu tertarik ama si mc dan ngajak2 mc aja keknya ya blum diceritain.
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    iyaa, more or less :hmm:

    makasi uda mampir iican, update sedang progress :maaf:
     
    • Like Like x 1
  9. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Ceritanya rada ngegelitik juga, :lol:
    kalau dibaca agak mirip cerita meteorid terutama peran ceweknya yang tsundere :bloon: atau mungkin kuudere :iii:

    Ceritanya sih bagus :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    thank you, nopri-san :matabelo:

    hmm, bingung sih ini cewek dere nya apaan, tunggu jadi deh :hmm:

    also, disini ga ada time-traveled girl, jadi yah, mirip ga mirip. Oh, mungkin nanti di serial keduanya bakal ada yang mirip :hihi:
     
    • Thanks Thanks x 1
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Apakah aku menyukai pekerjaan ini?

    Kau tahu? Terkadang, aku juga mempertanyakan hal tersebut.

    Rasanya aneh juga. Maksudku, sudah lama aku menjalani kehidupan seperti ini, namun pertanyaan itu tak pernah menghilang. Meski sudah berapa kali kucoba untuk menghilangkannya, rasanya semakin hari, pertanyaan itu malah makin sering muncul.

    Dan hingga kini aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.

    Logika orang-orang akan berkata bahwa apa yang kulakukan ini adalah suatu hal hina. Menyandera, mencuri, membunuh dan menebarkan rasa takut ke seluruh dunia, siapa yang suka dengan semua hal itu? Apa-apa yang kulakukan hanyalah tindakan keji yang merugikan banyak orang.

    Dan andai aku mengikuti logika orang kebanyakan, mungkin aku akan dengan mudah menjawab bahwa pekerjaan ini tak kusukai.

    Kenyataannya, aku tak tahu pasti. Apa aku menyukainya? Apa aku membencinya? Aku tak pernah benar-benar tahu. Mengapa aku tak tahu, itu…aku juga tak mengerti.

    Yang jelas, aku membenci orang-orang.

    Kau tahu? Kupikir, pada dasarnya orang-orang juga melakukan hal-hal hina untuk menyelamatkan diri mereka sendiri, sama sepertiku.

    Mmn. Bukankah pada dasarnya, setiap orang hanya akan peduli pada diri mereka sendiri? Saat setiap orang terpojok, mereka takkan peduli pada orang lain dan akan melakukan apapun untuk melindungi diri mereka sendiri. Bahkan jika mereka harus mencari tumbal untuk keamanan mereka sendiri, mereka akan melakukannya.

    Karenanya, aku membenci orang-orang. Dan membunuhi mereka menjadi hal yang entah bagaimana, memuaskanku.

    Meski setelahnya, aku tak pernah merasa benar-benar senang.

    ………

    Matsuda…

    Apa yang sedang terjadi padaku?

    Jika kau jadi aku…apa yang kau lakukan?

    ***​


    “Maaf, tapi ibu melarangku bermain denganmu.”

    Seorang anak lelaki seusiaku beranjak masuk ke rumah kala aku menghampirinya. Di depan pintu masuk, ibunya menyilangkan dada dengan wajah menyeramkan. Meski kemudian aku melambaikan tangan dan berbalik arah, suara sang ibu sayup-sayup bisa kudengar.

    “Kenapa bermain dengannya, sih? Kau tahu sendiri kan betapa mengerikannya Ibu anak itu!”

    Menyebutku ‘anak itu’ mungkin terdengar kasar, meski aku sama sekali tak peduli. Aku bahkan takkan senang andai aku dipanggil Kirishima atau Lisa, karena itu juga bukan namaku.

    Kirishima Lisa…hanyalah nama yang ibuku berikan – jika ia masih bisa disebut sebagai ibu.

    “Kemari kau, bocah biadab!”

    Satu-satunya sosok ibu yang kukenal hanyalah sosok wanita paruh baya yang sering memarahi dan memukuliku setiap kali aku berada di rumah. Ia tak segan-segan membentak tanpa alasan jelas. Pipi dan tangan yang memar bukan lagi hal yang baru buatku – aku mengalaminya hampir setiap hari.

    “Anak kurang ajar! Menyesal aku memungutmu dari jalanan!”

    Setiap kali ibu merasa berang, kata-kata itu selalu terucap. Aku tak pernah benar-benar mengerti bagaimana beliau bisa berkata demikian. Nyata atau tidaknya hal itu, aku pun tak pernah paham. Meski demikian, sumpah serapah itu terus kudengar. Tanpa henti. Setiap hari, setiap waktu, hingga pernyataan bahwa aku dipungut dari jalanan melekat kuat dan menjadi hal yang kuyakini – yang menguatkan kenyataan bahwa aku memang tak pernah diinginkan oleh siapapun di dunia ini, termasuk orang tua kandungku sendiri

    “Belilah sesuatu untuk makan malam! Janga bisanya megeluh saja!”

    Di rumah…

    “Ah, seseorang mencuri uangku.”

    “Aku yakin Lisa yang melakukannya. Ayo kita geledah tasnya!”

    “Eh? Tunggu! Aku tak pernah mencuri-“

    “Lihat! Lihat! Uangnya ada di dalam tasnya! Dia ini memang pencuri! Menjijikkan!”

    Di sekolah…

    “Hei, bukankah anak itu yang kemarin mencuri uang anakmu?”

    “Ah, iya. Mengerikan sekali.”

    Bahkan di kota ini pun, keberadaanku sama sekali tak diinginkan…

    Aku tak pernah tahu mengapa hal itu terjadi. Meski aku tersenyum, meski aku berusaha berbuat baik, semuanya tak pernah berubah.

    “Anak sialan!”

    “Lisa si pencuri! Ayo taburkan bekas kapur ini padanya!”

    “Awas, dia itu anak nakal!”

    Mmn. Bahkan dengan waktu yang terus berjalan, semua siksaan itu tak lantas berhenti. Setiap hari, setiap waktu…

    Hingga entah sejak kapan, aku berhenti peduli dengan semuanya. Tanpa sadar aku telah berhenti menangisi nasib, dan rasa sakit yang muncul akibat siksaan tersebut tak lagi bisa kurasakan.

    ***​


    Musim panas kala aku kelas empat SD.

    Pak Hirada, wali kelas kami, mewanti-wanti agar kami pulang dalam kelompok. Aktivitas penculik anak akhir-akhir ini kian merebak, dan bukan tidak mungkin bahwa kami akan berakhir menjadi salah satu korbannya. Beliau berpesan agar kami selalu waspada selama pulang sekolah, dan agar kami tak bicara pada orang asing.

    Setelah mendengar penjelasan pak Hirada, seluruh anak mulai berkumpul dan mencari kelompok masing-masing. Tentu saja, aku tak mendapatkan perhatian sama sekali. Setiap kali aku mencoba bergabung dengan sekelompok anak, mereka akan serta merta mengusirku. Pak Hirada harus turun tangan untuk mencarikanku sebuah kelompok, dan itu rasanya memalukan.

    “Kenapa kita harus sekelompok dengannya, sih?”

    Meski aku memisahkan diri dan berjalan jauh dibelakang kelompokku, kata-kata itu bisa kudengar jelas. Aku mungkin akan menangis jika masih berkeinginan untuk berteman dan diterima di lingkungan sekitar. Nyatanya, kini aku sama sekali tak peduli. Bahkan kata-kata pedas yang kelompokku ucapkan tak lagi terasa menyakitkan.

    “Hei, bagaimana kalau kita tinggalkan saja dia disini?” Seorang lelaki berkacamata berkata polos. Sementara rekannya, si gendut, menyambut idenya dengan antusias.

    “Ah, ide bagus. Hei, kau. Berheti berjalan atau kulempar kau dengan batu!”

    “Ya! ya! Diam disana sampai kami sampai di belokan depan! Jangan ikuti kami!”

    Dan begitulah, kelompokku meninggalkanku ditengah perjalanan.

    Aku sama sekali tak marah. Bahkan, mungkin akan lebih baik bila aku tak bersama mereka. Keberadaanku hanya akan menjadi beban bagi mereka, bukan?

    Pulang seorang diri tentu menjadikanku sasaran empuk para penculik. Hingga tanpa sadar, seorang lelaki tua muncul dihadapanku dan menawariku tumpangan pulang.

    “Ah, kakek juga punya kembang gula. Mau?”

    Pak Hirada melarang kami semua mengobrol dengan orang asing. Karenanya, kutinggalkan lelaki tua ini tanpa bicara sepatah katapun.

    Meski demikian, sebuah sapu tangan lantas menempel menutupi mulut dan hidungku.

    Aku…tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

    Kepalaku rasanya amat berat.

    ***​


    “Kirishima…Lisa.”

    Sebuah tamparan mendarat di pipi kala aku selesai menyebutkan nama. Tamparan ini bahkan lebih keras daripada apa yang ibu biasa lakukan – aku sampai terjatuh di lantai dibuatnya.

    “Jika kau mau hidup, kau harus bersuara lebih keras. Aku yang menolongmu! Aku yang menyelamatkan hidupmu, dan kau harus ikuti apa yang kukatakan!”

    Seorang pria paruh baya berdiri persis dihadapanku dengan wajah menyeramkan. Teriakannya yang keras membuat telingaku sakit. Mengenakan setelan serampangan, ia kembali berteriak padaku yang perlahan bangkit dan kembali berdiri.

    “Ulangi sekali lagi!”

    “Kirishima Lisa.”

    “Lagi!”

    “Kirishima Lisa!”

    “Sekali lagi!”

    “KIRISHIMA LISA!”

    “SEKALI LAGI!!”

    “KIRISHIMA LISA!!”

    Ah, sungguh konyol.

    Terlepas dari cengkeraman ibu yang mengerikan, kini aku berakhir dengan seorang paman yang entah siapa, dan di tempat yang entah dimana.

    Akan seperti apa kehidupanku kelak?

    “Kirishima Lisa! Mulai sekarang, aku adalah ayahmu. Aku akan mempertemukanmu kembali dengan orangtuamu, tetapi selama itu, kau harus menurut dengan apa yang kukatakan.”

    Aku mengangguk sayu.

    “Antarkan dia ke kamar.”

    “Siap!”

    Sosok yang disebut ayah ini memerintahkan seorang lelaki berpakaian loreng untuk membawaku ke sebuah tempat yang disebut kamar – sebuah ruang sempit dengan jendela berukuran satu buah batu bata, dan sebuah tempat tidur ganda. Kasur yang ada terlihat sempit dan tak begitu empuk. Meski demikian, aku tak bisa protes dengan ini semua.

    Ah, dan juga, ada seorang anak perempuan seusiaku – bukan. lebih tua. Ia duduk di kasur bagian atas, menatap curiga padaku.

    “Sekolah dimulai besok. Tidurlah.”

    Aku mengangguk lugu. Sebelum menutup pintu besi kamar ini, sang pria memberiku sepasang pakaian dan menyuruhku untuk memakainya mulai esok. Sepintas kulihat, pakaian ini tak mengenakkan. Hanya sebuah kaus ketat dan celana panjang.

    “Jadi, kau anak barunya?”

    Perempuan yang ada di dalam kamar ini berkata perlahan, sinis, namun aku tak menjawabnya sama sekali. Saat ia kembali bertanya, aku masih tak menjawab.

    Aku tak ingin menjawab pertanyaannya. Aku…sama sekali tak ingin mengenalnya.

    Aku tak ingin mengenal siapapun lagi. Berada bersama orang lain hanya akan membuatku tersiksa. Karena itulah, aku tak mau mengenal siapapun lagi.

    Namun gadis ini-

    “Hup!”

    -ia turun dari kasur dan berjalan menghampiriku-

    “Kau mengalami hari-hari yang berat, ya?”

    -dan tahu satu hal yang selama ini kusembunyikan.

    Kata-katanya itu membuatku tersentak. Kenyataan bahwa ia orang pertama yang sadar akan hal ini membuatku ingin menangis untuk suatu alasan.

    Dan tak lama kemudian, sebuah tangan mengulur kehadapanku.

    “Kurasa kita partner sekarang.”

    Gadis ini tersenyum lepas. Meraih tanganku yang masih tak membalas salamnya, ia lantas memperkenalkan dirinya.

    “Matsuda Mizuki. Salam kenal.”

    Gadis ini…

    Ia bisa tersenyum bahkan saat tahu bahwa ia sedang dalam masalah. Aku jadi ingin mengetahui bagaimana cara ia melakukannya.

    Aku…ingin bisa tersenyum sepertinya.

    “Namamu?”

    Saat kemudian kuperkenalkan diriku, bisa kurasakan sebuah senyum sayu yang muncul di wajah.

    Dan meski hatiku masih dipenuhi rasa curiga, namun aku merasa nyaman saat tangan anak itu menggenggamku erat-erat.

    Karena, genggaman tangannya terasa begitu hangat.
     
    • Like Like x 2
    • For The Win For The Win x 1
    Last edited: Mar 12, 2016
  12. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    oh flaskback :iii: ceritanya suram jga si lisa :swt::swt:
     
    • Thanks Thanks x 1
  13. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    yup, flashback, iican :hmm:

    keknya bakal ada flashback lagi ntar, jadi yah, semodel song of you and me ini :bloon:

    oh, thanks to you and the tamayura song, it helps a lot :matabelo:

    Makhluk lelaki terkenal memiliki ketahanan lemah terhadap wanita. Bahkan saking lemahnya, para lelaki akan dengan senang hati memakan kue gosong buatan gadis pujaannya.

    “Matsuda…”

    Jika diberi kue gosong saja bisa membuat seorang lelaki jatuh cinta, bagaimana jadinya bila seorang gadis manis menyebut namamu kala mengigau? Pasti heboh banget. Contohnya ya sepertiku ini. Tepat disamping tubuhku, Lisa terus-terusan mengigau sambil menyebut ‘Matsuda…Matsuda…’

    Sial! Aku jadi merinding, deh. Kenapa dia harus menyebut namaku di dalam mimpinya, sih? Aku jadi penasaran dengan mimpinya.

    Kira-kira ada bagian mesumnya enggak ya?

    ………

    “Matsu…da…”

    Sabar, sabar. Jantung boleh dag dig dug, namun otak harus tetap waspada. Sadar, otak. Sadarlah dengan kenyataan bahwa gadis ini tetap seorang kriminal. Ah, bukan. Meskipun dia kriminal, sadarlah bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk berbuat onar. Jika hanya aku dan Lisa, mungkin aku akan berpikir ulang. Masalahnya, ada orang ketiga diantara kami, dan itu adalah sang supir mobil.

    “…pak, apa aku bangunkan saja? Kau bilang sudah dekat, kan ya?”

    Aku bertanya padanya – seorang pria berkulit gelap dengan setelan tidak jelas. Jas hitam, kemeja hitam, dasi hitam, kacamata hitam, ah, mungkin dia ini produk olahan batu bara, ya?

    Meski kuberi ia waktu untuk menjawab, sang supir malah diam saja. Ia hanya melirik santai pada kami dengan mulut tertutup. Aku lupa bahwa batu bara tak bisa bicara.

    Dan juga, tolong jangan melihat kebelakang saat anda menyetir. Apa anda belum pernah ikut kursus mengemudi sebelumnya? SIM milik anda itu hasil nyogok, ya? Bahaya, tahu. Ba-ha-ya. Aku tidak ikut asuransi jiwa, jadi biaya pemakamanku takkan ada yang urus jika kau sampai menabrak.

    Seolah sadar dengan sinyal otak yang kuberikan, si hitam itu kembali melihat kedepan.

    Mungkin aku ini benar-benar mempunyai kemampuan telepati.

    “Uuh…”

    Sementara aku larut dalam renungan soal telepati, sebuah suara erangan kecil terdengar mengalun. Bersamaan dengannya, sentuhan telapak tangan bisa kurasakan menempel di kerah kemejaku.

    “Matsuda…”

    Lisa terus mengigau. Kepalanya menyentuh dadaku perlahan, dan bisa kurasakan rambut panjangnya menyentuh dagu dan pipiku.

    Somplak!

    Mengerikan! Gadis ini mengerikan! Mengigau sambil tidur mungkin masih bisa kuanggap wajar, namun menggenggam kerah kemejaku dan bernapas tepat di dadaku itu lain hal.

    Ah, ia harus kubangunkan. Sebelum aku dibuat mabuk cinta padanya, ia harus kubangunkan. Refleks, kuulurkan saja tanganku untuk meraih pundaknya. Sebenarnya, jika dadanya sedikit berisi, aku akan berpikir ulang sebelum menyentuh pundaknya – mungkin aku akan menyentuh bagian lain saja.

    “Anu, bisa kau pindah dari sini? Rasanya memalukan, lho.”

    Meski kucoba untuk menggoyang pundaknya, Lisa tetap diam. Ia pasti sangat lelah sehingga tak terbangun oleh apa yang kulakukan. Atau mungkin aku yang ragu-ragu, ya?

    Soalnya, jujur saja, sejak tadi aku amat ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengelus rambutnya dan membenamkan kepalanya makin dalam ke tubuhku. Dan andai saja tak ada si black diantara kami, aku pasti sudah melakukannya.

    Yah, niatku tak sempat terlaksana karena kemudian kudapati wajah si black yang kini tertuju ke arahku.

    “Lihat kedepan, woi! Ngapain liat kemari?”

    Mungkin karena teriakanku yang cukup keras, gadisku ini kini menggeliat. Matanya mengerjip perlahan, sebelum membuka dengan tempo lambat.

    Ia lantas berkedip. Sekali, dua kali, sebelum wajah imutnya menghadap padaku.

    Aku bisa melihat wajahku terpantul dari bola matanya yang cerah. Hembusan napasnya bisa terasa jelas di wajahku.

    Astaga, ini kondisi yang amat menegangkan – bahkan lebih menegangkan daripada kamar mandi dan petualangan sabun yang biasa kualami.

    “Hei,”

    “Y…ya, yang mulia?”

    Bah, kelepasan.

    “Aku tahu kalau kau ini cabul, tapi sampai memelukku begini…aku benar-benar akan membunuhmu saat misi ini selesai.”

    Menyesal aku merasa dag dig dug sebelumnya.

    ***​

    “Kata pak supir, sebentar lagi kita sampai.”

    Berkat ucapan pedasnya, kini detak jantungku berangsu-angsur pulih. Padahal jika dibiarkan sebentar lagi, aku pasti sudah terjebak dalam situasi komedi romantis di dalam mobil pengap.

    Entah aku ini bersyukur atau menyesal, aku jadi tidak begitu paham.

    “Ah, ini…”

    Lisa menatap tubuhnya perlahan. Sebuah jas tampak membungkus tubuhnya dari pundak hingga paha. Ia lantas melirik padaku yang malu-malu menatap jauh keluar.

    “Diam di mobil full AC itu dingin. Kalau kau sampai demam, siapa yang akan bertanggung jawab atas keselamatanku nanti?”

    “Hee…”

    Aku mengharapkan jawaban yang lebih romantis, sih. Seperti “Aku…aku tidak butuh perhatian darimu, bego!” sambil tersipu malu-malu. Yah, hal-hal begitu kayaknya hanya akan terjadi dalam manga saja. Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari gadis berhati batu sepertinya, sih?

    “Terima kasih. Ini, kukembalikan.”

    Gadis berhati batu…

    “Pastikan kau memakainya dengan rapi- ah, tuh, kan? Lagi-lagi kusut. Dasar, ngerepotin banget.”

    …entah mengapa, aku jadi mempertanyakan hal itu.

    “Perhatikan kerahnya, lihat! Kau memakai jas seperti memakai kaos sepak bola saja, deh!”

    Aku sadar bahwa hati lelaki sangat rapuh jika dihadapkan dengan wanita, namun untuk suatu alasan, aku tak keberatan.

    Lagipula, melihatnya memperhatikanku begini rasanya menyenangkan juga. Rasanya…jadi benar-benar memiliki seorang gadis yang begitu memperhatikanmu.

    “Nah, begini. Rapi.”

    Dan pertanyaanku tentang hatinya yang sekeras batu, kini berlanjut pada banyak tanda tanya yang kusimpan tentangnya.

    Seperti, mengapa ia menangis di pantai? Mengapa ia bisa tersenyum riang dengan pekerjaannya? Mengapa ia mengigau sambil memanggil namaku dan menangis?

    Mmn. Aku tak bilang apapun soal dirinya yang menangis kala tidur, namun aku melihatnya meneteskan air mata.

    “…lihat apa?”

    “Ah, uh, maaf.”

    Tanpa sadar, aku menatap wajahnya dalam-dalam. Sial, gadis ini benar-benar susah ditebak.

    “Bos. Sebentar lagi kita sampai. Sebaiknya anda bersiap-siap.”

    Mendengar suara si black, Lisa menjawab sambil mengaitkan kancing jas yang kupakai.

    “Mmn. Aku mengerti.”

    Merapikan pakaiannya – setelan one piece merah panjang – gadisku ini mulai berbenah. Ia lantas menaburkan obat tetes mata, merapikan rambutnya, dan tersenyum kecil dihadapan cermin yang ada dalam kotak alas bedak yang ia bawa dalam tasnya. Aku melihatnya melongo.

    “Apa sih? Daritadi lihat-lihat melulu!”

    Sadar dirinya diamati, Lisa menoleh padaku dengan wajah cemberut. Aku lagi-lagi kelabakan.

    “Uuh, enggak.” Jawabku sambil kembali melirik keluar jendela.

    Akan sangat salah jika aku berkata bahwa ia tampak menawan, jadinya aku diam saja.

    “30 detik menuju lokasi!”

    “Yosh!”

    Lisa tiba-tiba saja menempel padaku. Pundak kanannya menyentuh lengan kiriku, dan tanpa aba-aba ia langsung saja menggaet lenganku dengan kedua tangannya.

    “Mohon bantuannya, sayang.”

    Duh, jadi serba salah, deh…

    ***​

    “Uuh, nona…”

    “Aoyama Aya, dan ini tunanganku, Motoba Nanaba. Oh, ia biasa dipanggil Banana, lho.”

    Sengaja!

    Si goblok ini pasti sengaja memilih nama samaran ajaib untukku. Kampret, lah! Kenapa enggak sekalian saja menamaiku power ranger atau spongebob?

    “Uuh, baiklah, nona Aoyama dan tuan Banana,”

    Hoi! Jangan ditiru!

    “Ah, ada. Anda berdua termasuk dalam daftar tamu undangan. Maaf membuat anda berdua menunggu. Silakan masuk, lewat sini.”

    Sang resepsionis – seorang lelaki muda dengan setelahn jas necis – mempersilakan kami masuk sambil membungkuk. Melihatnya memperlakukan kami seperti ini membuatku merasa seperti seorang bangsawan terhormat. Kira-kira aku bisa bersikap begitu tidak ya? Di dalam nanti?

    Sebelum tiba di lobi hotel, kami harus melewati pemeriksaan badan. Gadisku tak membawa senjata apapun, jadi ia bisa lolos. Dan sebenarnya aku juga bisa lolos dengan cepat. Sayangnya saat pemeriksaan badan, sensor logam detektor yang kulewati tiba-tiba saja berbunyi, membuatku menghabiskan 15 menit penuh derita di ruang interogasi.

    Saat diketahui bahwa logam detektor tersebut berbunyi lantaran aku menyimpan banyak uang receh di dalam dompet, para petugas melihatku dengan tatapan miris.

    Tapi benar-benar deh. Kenapa si laknat ini menamaiku banana? Memikirkannya saja aku jadi ingin bunuh diri.

    “Jadi, Lisa-“

    Lisa meninju perutku ditengah kerumunan, membuatku mulas bukan main.

    Orang ini kok senang sekali bertindak diluar akal sehat, ya?

    “Hei, sayang, kau kenapa?”

    Meski demikian, posisi yang ia lakukan kala meninjuku benar-benar sempurna. Setelah selesai dengan tinjunya, ia menepuk pundakku seolah khawatir dengan kondisiku. Orang-orang yang melihatnya mungkin mengira gadisku ini hendak menolong pasangannya yang terkena diare.

    Saat situasi sedikit tenang, ia berbisik dengan nada kesal.

    “Bukannya sudah kubilang kalau kita menggunakan nama samaran disini? Bilang Lisa sekali lagi dan akan kulempar kau dari atap hotel!”

    “Mengerti, mengerti, madam Ebina.”

    “Hei! Siapa itu madam Ebina? Apa dia salah satu karakter fiksi yang kau buat?

    …pemeran utama film b*kep yang biasa kutonton.

    “Namaku Aoyama, tolong ingat baik-baik! Secara harfiah, itu berarti gunung biru. Aoyama, bukan Ebina. Untuk sebutan sayang, kau panggil aku Aya. Dan berhenti memanggilku madam!”

    Aku mengangguk sambil merintih kesakitan. Lisa menghela napas, kesal. Saat kemudian aku kembali berdiri sambil meringis, Lisa serta merta menggaet lenganku.

    “Anu…”

    “Sherlock akan muncul sebentar lagi. Sampai waktu itu tiba, kuharap kau tidak mengacau.”

    Siap madam, siap.

    Menyapu rambutku kebelakang, kami mulai berjalan ke ballroom hotel, tempat dimana Sherlock akan muncul. Dengan bahu saling menempel, kami tak ubahnya seperti pasangan mesra yang baru menikah.

    Dan apa-apaan dengan gaun one piece lengan panjang itu? Uuh, sial. Gaun yang dipakai Lisa benar-benar membuat kepalaku pusing. Maksudku, ia benar-benar terlihat amat elegan dengannya.

    …ngomong-ngomong, untuk misi kali ini aku hanya perlu berpura-pura jadi pacarnya saja, kan?

    ………

    Lisa sama sekali tak memberiku detail yang rinci soal apa yang harus kulakukan. Saat kami memulai misi, ia hanya mengatakan sebuah pernyataan klise.

    “Ikuti saja perintahku, dan kau akan baik-baik saja.”

    Memangnya aku ini tentara, apa?

    “Hei, anu, Lis-Aya…”

    Aku baru akan menanyainya soal misi ini saat kemudian kulihat wajahnya yang menatap jauh ke arah kerumunan.

    Untuk suatu alasan, wajahnya tampak sayu. Gadisku ini seolah larut dalam pikirannya.

    “Aya?”

    “Hah? U…uh, kau bilang sesuatu?”

    “Ya. Tapi, uh, kenapa kau melamun begitu?”

    “Me…melamun? Masa sih?”

    Aku takkan bilang ia tersenyum jika aku tak melihatnya dengan jelas. Lagipula, berbohong bukanlah keahlianku.

    “Uh, lupakan. Apa yang harus kulakukan-“

    Lisa lagi-lagi sama sekali tak mendengar apa yang kukatakan. Matanya kembali tertuju ke arah kerumunan.

    Namun kali ini, sebuah senyum tipis muncul dari bibirnya.

    …anak ini kenapa ya?

    “Aya? Anu-”

    “Ah, hei!“

    Lisa seketika bersorak. Melepaskan tangannya dariku, ia lantas bergerak ke arah kerumunan. Aku cukup kesulitan kala harus mengikutinya dari belakang.

    Begitu aku tiba di tempat Lisa berada, ia tampak sedang membantu seorang anak perempuan seusia TK yang jatuh diatas lantai. Dia ini mengerikan. Bisa-bisanya mendeteksi seseorang yang jatuh dari jarak jauh begitu.

    “Sakit?”

    Tampaknya anak perempuan itu kesakitan. Ia sudah terlihat hampir menangis kala Lisa menyentuh kakinya dan tersenyum kecil.

    Dasar anak-anak. Tidakkah mereka pernah belajar soal peribahasa kuno di sekolah? Kalau kau jatuh, ya bangun lagi. Aku heran mengapa anak-anak diberi prioritas untuk tidak menempatkan peribahasa itu dalam kehidupan sehari-hari. Maksudku, aku yang sudah SMA pasti akan akan dianggap hina jika jatuh dan menangis.

    Yah, karena itulah aku memiliki ketidaktertarikan tersendiri terhadap anak-anak.

    “Sakit? Tidak apa-apa, kan?”

    Eh?

    “Tidak usah menangis. Sini, kakak bantu.”

    Lisa, gadisku ini, menghibur sang gadis kecil sembari membantunya berdiri. Setelah membersihkan gaun yang dipakai anak itu, Lisa tersenyum dan menepuk kepalanya.

    “Anak kuat tidak boleh menangis.”

    Kau bilang sesuatu, Lisa-chan? Bisa kau ulangi, Lisa-chan? Apa aku tidak salah dengar, Lisa-chan?

    Ini bohong, kan? Seorang Lisa, yang tidak segan-segan menembaki polisi di Omachi, kini bersikap begitu ramah pada seorang anak perempuan?

    “Siapa namamu, gadis kecil? Ayo beritahu kakak.”

    “Uuh, Hana.”

    “Hana? Hmn, nama yang bagus.”

    Benar-benar, deh.

    Gadis itu memang makhluk yang sulit ditebak.

    “Janji jangan menangis lagi, ya?”

    “Mmn!”

    Gadis kecil itu kini tersenyum penuh semangat, sebelum kembali berlari menjauh.

    “Hei, Yuuta, tunggu aku!”

    Teriakannya terdengar melemah seiring sosoknya yang menghilang. Melirik kesamping, Lisa tampak melambaikan tangan padanya.

    Sebuah senyum muncul di wajahnya. Gadis ini benar-benar terlihat bahagia…

    “Rrrrr!”

    …dan juga sedih untuk suatu alasan.

    “Aoyama disini!”

    Meski demikian, wajahnya kembali serius kala menerima telepon yang kemungkinan besar datang dari rekan-rekannya sesama anggota teroris. Tangannya kembali menggaet lenganku, dan cengkraman kini terasa begitu kuat.

    “Baik. Aku mengerti. Delay lima menit, tak masalah. Lakukan semuanya sesuai strategi. Hmn, oh, kau mau bicara pada pacarku?”

    Huh?

    “Banana, rekanku ingin bicara.”

    “Siapa?”

    Lisa tak menjawab. Alih-alih, ia hanya mengulurkan telepon genggamnya padaku. Ragu-ragu aku menerimanya.

    Oh, dan berhenti memanggilku banana, dasar bispak!

    “Halo?”

    “Kek!”

    Anjrit! Si udik!
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Mar 12, 2016
  14. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    bagian akhir itu ngga nangkap saya :iii:
    kek apa maksudnya :XD:
     
    • Like Like x 1
  15. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    itu, yaa, seperti yang ada di ch sebelumnya n ch 1, iican :hiks:

    kurang keliatan ya :kecewa:

    “Tamu undangan dimohon untuk masuk ke dalam ruang seminar.”

    Sang resepsionis yang sebelumnya menerima kami di lobi kini berdiri di sudut ruangan. Menggenggam sebuah microphone, lelaki berjas necis itu memandu kami menuju sebuah pintu besar yang terbuka dibalik tubuhnya yang kecil. Perlahan, para tamu bergerak mengikuti panduannya.

    “Yuuta! Sebelah sini!”

    Ah, gadis kecil yang tadi…

    Aku jadi penasaran dengan orang tuanya. Siapa ya kira-kira yang membiarkan loli-loli itu lepas?

    “Lucunya…”

    Dan gadisku kini malah terpaku menatap keduanya. Berbeda dengan biasanya, wajahnya itu kini merona kemerahan karena senang.

    Dasar muka dua.

    Mengikuti kerumunan orang-orang, aku dan Lisa berjalan perlahan sambil mencari tempat duduk di kursi yang telah disediakan. Sesekali celingukan, pada akhirnya aku tiba di lokasi yang ditentukan – sebuah meja bundar dan enam buah kursi yang diset tepat di depan panggung pembicara.

    Dari tempat ini, siapapun akan dengan mudah melompat keatas panggung dan menonjok si pembicara.

    Ini benar-benar lokasi yang pas untuk menculik orang. Tinggal matikan lampu, selesai. Mmn. Aku yakin kelak saat aksi akan dimulai, lampu akan padam. Lisa akan menarikku kedepan untuk bersama-sama menyandera Sherlock, membawanya kabur selagi gelap.

    Bisa membayangkan adegan selanjutnya begini, aku jadi bertanya-tanya sendiri. Hmn, mungkin aku benar-benar sudah menjadi teroris.

    Penataan kursi dan meja di ruang seminar ini cukup…aneh. Peserta undangan ditempatkan pada sebuah meja bundar dengan enam kursi. Pada masing-masing meja terdapat papan nama masing-masing tamu dengan pahatan kayu yang eksotis.

    Dua tahun lalu aku pernah ikut seminar mencari kerja di sekolah. Hanya saja, saat itu suasananya betul-betul berbeda. Tidak seperti saat ini dimana tempat duduk sudah ditentukan secara pasti, kala itu aku bisa seenaknya duduk dimana saja aku mau. Deretan tempat duduk yang ada pun hanya didesain seadanya – yang tentunya hasil keringat para peserta seminar juga. Begitu selesai, peserta seminarlah yang harus membereskan ruangannya. Oh, dan jangan harap bisa menemukan pembicara terkenal. Yang kala itu menjadi pembicara hanyalah kepala sekolah kami – yang cara bicaranya mirip tukang bakso.

    Makanya, begitu mendapati kemewahan seperti ini, aku jadi benar-benar takjub. Meja bulat dilapisi kain putih, susunan gelas untuk minum wine, pahatan nama yang unik…

    Ah, barangkali bila para menteri mengadakan rapat naik gaji, suasananya seperti begini ini, ya?

    Sedikit terpana dengan desain papan nama yang elegan, tanpa sadar aku menundukkan kepala, mencoba menatapnya dari dekat.

    Motoba Nanaba, hmm…

    “Berhenti melakukan hal memalukan seperti itu!”

    Lisa menggerutu sambil menyikut perlahan, jadi aku kembali duduk manis. Kala melihat dua orang tamu datang ke arah meja ini, langsung saja aku merapikan jas sambil berdehem.

    “Permisi, tuan dan nona. Kami-”

    “Silakan, pak! Silakan! Jangan sungkan-sungkan. Duduk saja.”

    Kedua orang ini – seorang lelaki paruh baya beserta seorang gadis muda – lantas menatapku melongo begitu aku selesai menyapa keduanya. Pandangan matanya seolah berkata, ini anak sakit? Salah obat, ya?

    Uh, menyebalkan juga. Aku kan hanya mencoba bersikap baik.

    “Haha, anda baik sekali, tuan. Kami memang ditempatkan disini. Tentu kami takkan sungkan-sungkan. Sungguh, anda orang yang perhatian, ya?”

    Sang lelaki tertawa keras-keras. Ia baru duduk setelah mempersilakan rekan gadisnya duduk terlebih dahulu. Sungguh mulia sekali orang ini. Jika aku berada di posisinya, akan kusuruh si gadis memakai maid outfit dan menarik kursi untukku duduk.

    Oh, dan entah mengapa, aku tak suka nada bicaranya. Maksudku, ia ini memujiku atau menyindirku, sih?

    “…ampun.”

    Lisa menghela napas sambil menekan dahinya dengan jari telunjuk. Melihatnya, aku jadi mengerti kalo sang bapak ternyata menyindirku.

    Bodo amat, deh.

    Saat dua orang lainnya kembali datang, aku memilih untuk diam saja. Adapun Lisa tampak sesekali mengobrol dengan kedua orang berkelas ini.

    “Jadi, ini tunangan anda, ya?”

    Gadis muda yang datang bersama lelaki paruh baya ini tertawa kecil, dan melihatku dengan sangat tidak niat. Meski demikian, Lisa menggaet lenganku makin erat, sebelum mendaratkan kepalanya di pundakku.

    “Yah, begitulah.”

    “Hmm, sepintas, kalian terlihat seperti adik kakak.”

    “Masak, sih? Padahal aku ingin bilang kalau kami terlihat seperti supir dan majikannya, lho. Ahaha.”

    Iya! Aku majikannya! Kampret!

    ***

    “Langsung saja kita sambut, Professor Goro Yuu!”

    Lima menit berbasa-basi dengan orang-orang yang menurutku udik, sang pemandu acara akhirnya memanggil target kami dengan cukup keras. Bersamaan dengannya, tepuk tangan riuh membahana di seisi ruangan.

    Lisa tampak ikut bertepuk tangan. Matanya memandang jauh ke arah mimbar, menanti kehadiran target kami. Sebuah senyum jahat terpancar dari mukanya.

    “Dimulai, ya?”

    Gadis ini melirik padaku. Senyumnya yang dibuat-buat seolah memberitahuku untuk bersiap-siap. Tanpa sadar, aku menelan ludah, dan keringat dingin mulai muncul di sekujur tubuh.

    Satu menit lagi, ruang seminar ini pasti gaduh.

    Sebentar lagi…

    Bersiap…

    ………

    Aneh.

    Tepuk tangan telah berhenti, namun tamu yang dimaksud tak juga datang. Saat sang pemandu acara memanggil kembali target kami, tak ada seorangpun yang muncul diatas panggung.

    “Mana pembicaranya? Kok enggak muncul?”

    “Apa ini? Apa yang terjadi, ya?”

    “Mungkin pembicaranya terlambat?”

    “Bayarannya kurang, ya?”

    Pertanyaan-pertanyaan ajaib mulai bermunculan dari tamu-tamu undangan, membuat suasana menjadi sedikit gaduh.

    “Mohon tunggu sebentar, tuan dan nyonya.” Sang pemandu acara tertawa kikuk, panik. Mengabaikan para peserta yang masih bertanya-tanya, ia lantas beranjak ke belakang panggung.

    “Aya, targetmu mana, nih?”

    Lisa tampak cemas. Ia menyibak lengan gaunnya dan menatap jam tangan yang menempel di pergelangan tangan kiri.

    “Aneh.”

    “Aneh bagaimana?”

    Aku membalas kata-katanya lugu, namun kini ia malah menatap sekeliling.

    “Ada yang salah. Ini tidak sesuai rencana.” Bisiknya kemudian.

    “He? Maksudmu?”

    Lisa tak menjawab dan terus menatap sekelilingnya. Meski aku tak tahu apa yang dicarinya, tanpa sadar mataku mulai ikut ke arah kemana ia memandang. Sebenarnya, tak ada hal aneh yang ada disekitar kami. Serius.

    …tetapi, tunggu.

    Kurasa, sebelumnya aku hanya mendapati orang-orang berjas kala masuk ke hotel ini. Kenapa kini malah terlihat deretan pria berbaju hitam? Baju, celana, sepatu hitam? Mirip dengan petugas keamanan atau…polisi?

    Dan apa yang mereka lakukan di meja belakangku?

    Apa yang mereka lakukan dengan pistol yang mengarah pada aku dan Lisa?

    Sial!

    Seseorang dari mereka mengarahkan pistol yang hampir-hampir tak bisa kulihat! Celaka!

    “Lisa-“

    “Awas, menunduk!”

    Aku belum selesai berkata, dan tatapanku masih terpaku pada sang pria dengan senjata api.

    Lisa bertindak lebih sigap. Ia meraih tubuh dan kepalaku, sebelum mendorongku jatuh keatas lantai.. Bersamaan dengannya bisa kurasakan sebuah benda melesat cepat diatas pungungku tanpa mengenainya.

    Sial! Itu tadi sebuah peluru! Beruntung peluru itu tidak mengenaiku. Tetapi, oh, kini sang pria paruh baya yang duduk di tempat kami jatuh tersungkur bersimbah darah.

    “Waaa!!”

    Gadis yang duduk di sebelahnya spontan menjerit histeris. Sadar dengan apa yang baru terjadi, suasana ruang seminar kini menjadi ramai riuh. Teriakan dan jeritan terdengar di seisi ruangan. Orang-orang mulai berlari tak karuan.

    Aku dan Lisa memanfaatkan kegaduhan itu untuk kabur.

    ***

    “Lewat sini! Cepat!”

    Lisa menarik tanganku kuat-kuat, membawaku berlari ke belakang panggung dan keluar lewat pintu staff. Tepat dibelakang kami, deretan pria bersetelan hitam berlari. Sesekali terdengar desingan peluru yang entah bagaimana tak mengenai kami.

    Sherlock sama sekali tak muncul. Kemungkinan besar ia sudah diamankan terlebih dahulu sebelum acara ini dimulai. Operasi ini jelas-jelas gagal total. Apa yang kami rencanakan sudah bocor terlebih dahulu.

    “Rrrr!”

    Sambil terus menarik tanganku, Lisa lantas mengangkat telepon genggamnya. Matanya liar, menatap kesana kemari sambil terus berlari.

    “Weisz! Kami ketahuan! Temui aku di atap dalam sepuluh menit!”

    Sementara kaki kami terus melangkah, Lisa terus berusaha mencari perlindungan. Sesekali ia sembunyi dibelakang tembok sebelum kembali berlari. Terkadang kami naik tangga, dan kembali turun tangga. Gadis ini mungkin berputar-putar tak tentu arah, namun jika dipikir-pikir lagi, sepertinya ia amat hafal kemana kami harus pergi. Ia bahkan tahu dengan sudut-sudut hotel ini.

    Pastinya, gadis ini sudah mempelajari seluk beluk hotel ini. Ia merencanakan operasi ini dengan sangat matang. Benar-benar luar biasa, si teroris ini.

    “Kesini, cepat!”

    Tiba di sebuah gudang makanan yang sepi, Lisa segera saja mendorongku masuk kedalamnya. Sesaat setelah melihat sekeliling, ia ikut masuk sambil lantas mengunci pintu. Tangannya kembali menggenggam tanganku dan kali ini ia menuntunku hingga ke sebuah ruang pendingin.

    “Masuk sini!”

    “Eh?”

    “Tak ada waktu! Cepatlah!”

    Karena gadisku tampak tergesa-gesa, aku tak punya pilihan. Melangkahkan kaki kedalam ruang pendingin, seketika saja tubuhku menggigil. Balok es tampak dimana-mana beserta daging-daging beku. Embun tipis mulai muncul kala aku menghembuskan napas.

    Lisa lantas ikut masuk kedalam ruang pendingin ini, menutup pintunya rapat-rapat dan menunduk. Aku mengikuti sama persis apa yang dilakukannya.

    “Lisa, anu…”

    “Shh!”

    Gadis ini membalikkan wajahnya padaku dengan telunjuk melintang di mulutnya. Apa yang ia perintahkan benar-benar masuk akal karena kemudian, terdengar bunyi pintu dapur yang dibuka paksa.

    “Cek area!”

    Samar-samar terdengar suara komando yang mengerikan, lalu hening, lalu suara pintu yang dibuka paksa dan langkah kaki yang mendekat. Aku menelan ludah, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Bisa kulihat tangan Lisa yang mengepal. Sorot matanya tampak mengerikan.

    Lalu, langkah kaki yang semenjak tadi terdengar begitu jelas tiba-tiba saja berhenti. Sejenak aku menoleh kearah lantai, dan aku amat terkejut kala mendapati sebuah bayangan muncul diatas lantai dibalik pintu ruang pendingin ini.

    Dan kini aku bisa melihat gagang pintu ruang pendingin yang bergerak perlahan.

    Aku memejamkan mata, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Bisa kurasakan tanganku kini menggenggam lengan Lisa kuat-kuat.

    Secara logika, lelaki seharusnya melindungi wanita. Tetapi untuk kali ini aku benar-benar tidak peduli. Salah langkah sedikit saja, kami akan berakhir sebagai daging beku.

    Aku masih ingin hidup. Aku masih ingin mendapat pacar yang normal.

    Krek!

    Gagang pintu ini masih bergeser. Sedikit…sedikit…

    Dan entah bagaimana, tahu-tahu terdengar suara letupan senjata api dari kejauhan.

    “Seluruh unit, musuh terlihat di atap! Bantuan! Kami butuh bantuan!”

    Suara yang muncul dari radio panggil itu lantas membuat gagang pintu ini berhenti berdecit. Kemudian, langkah-langkah kaki yang bergerak menjauh dapat terdengar.

    Orang-orang ini, mereka pergi dengan cepat.

    Ah, hampir saja…

    ***

    Kami berdua mungkin selamat, namun entah apa yang terjadi dengan Weisz dan yang lainnya.

    Bergerak mengendap-endap, kami terus bergerak menyusuri lorong-lorong hotel, mencari tempat yang aman untuk sembunyi sambil terus bergerak. Lisa tak langsung membawaku ke pintu keluar – tentu, area itu pasti sudah dijaga ketat aparat kepolisian.

    Ah sial. Berkat mereka, kini kami harus terus bergerak berputar di hotel.

    “Lisa, kita mau kemana sih?”

    Lelah berkeliling, tanpa sadar aku mulai menggerutu. Sudah cukup lama ia membawaku berputar-putar, jadi aku mulai kesal juga. Meski demikian, Lisa tak menjawab dan terus memanduku bergerak. Dengan kesal, kusimpan pertanyaanku sambil terus percaya bahwa ia akan membawaku pergi keluar. Lagipula, ia berjanji bahwa aku akan selamat, bukan?

    “Nah, Sherlock pasti ada disini.”

    Begitu sampai di lantai lima, tahu-tahu ia bergumam senang begitu.

    …jadi daritadi kami masih berburu, ya?

    “Ayo, lekas kita serbu.”

    “Nenekmu!” Teriakku kesal. “Kalau memang masih berburu, bilang dong daritadi! Kupikir kita mau pulang!”

    “Kamu bilang apa sih?” Lisa balas bersorak, kesal. “Aku kan sudah bilang kalau kita akan pulang dalam dua atau tiga hari. Lupa ya?”

    Sebelum aku sempat menjawab, Lisa lagi-lagi mencibir.

    “Benar-benar, deh, kamu itu. Kenapa bisa sampai lupa begitu, sih? Otakmu diisi gorengan, ya?”

    Laknat!

    Sudah membohongiku, mengataiku yang aneh-aneh pula. Menyesal aku bisa berpacaran dengannya. Serius.

    …tapi, bisa sampai terjebak menjadi pacarnya begitu, mungkin tingkat kecerdasanku memang bisa disamakan dengan gorengan.

    Ah, tak tahu, lah. Pusing aku!

    “Ayo, lekas. Kita tinggal mengambil dokumen itu dan-“

    Saat tangan Lisa hampir menyentuh gagang pintu, mendadak pintu itu terbuka dengan keras. Andai Lisa tak jeli, kepalanya pasti sudah terkena hantaman pintu tersebut.

    Yah, Gadisku ini dengan gesit melompat menghindari pintu yang terbanting.

    Dari balik pintu itu, sesosok lelaki paruh baya tampak berusaha kabur dengan panik. Tas kain yang ada di dadanya, ia peluk begitu erat. Bisa kurasakan sebuah kengerian yang terpancar dari kedua mata sang lelaki.

    “Ah, itu-“

    Memeluk tas kain erat-erat, lelaki itu tampak ketakutan saat melihat kami.

    Sherlock! Itu pasti dia!

    Target kami segera saja melarikan diri. Saat Lisa akan mulai mengejar, entah bagaimana sebuah tendangan muncul dari hadapannya. Lisa menangkis serangan tersebut dengan tangan kosong sambil melompat menghindar, namun kembali sebuah tendangan meluncur – kali ini melesat disamping wajahnya.

    Andai Lisa tak bergerak gesit, pipinya pasti sudah hancur.

    Tapi, meski berhasil menghindar, kini pipinya tampak sedikit lebam. Mungkin ujung sepatu sang penyerang berhasil mengenai pipi Lisa.

    Tapi, siapa penyerang itu? polisikah? Atau, bodyguard pribadi Sherlock?

    “Meleset, ya?”

    …mungkin hanya aku saja, tapi kini aku benar-benar dibuat terkejut dengan sosok lawan kami yang satu ini!

    “Berikutnya takkan meleset!”

    Lawan kami berbicara dengan nada yang amat familiar. Tidak, bukan. Bahkan sosoknya pun tampak amat familiar. Maksudku, aku mengenal orang ini.

    “Kau?”

    Iya, dia! Si gadis dengan nama yang sama anehnya dengan campuran bakso dan lontong kari.

    Iris Kato!

    Apa yang ia lakukan disini? Dengan seragam serba hitam itu?

    “Dugaanku tepat, rupanya. Kau muncul juga.”

    “………”

    “Aku mengagumi semua tindak tandukmu. Kau memang benar-benar licin. Ahaha!”

    Iris tertawa layaknya seorang ratu jahat yang biasa ada di film-film kartun kacangan – yang penontonnya terdiri dari kakek-kakek dan anak balita. Tapi kini, bukan itu yang menjadi perhatianku.

    Kenapa ia bisa ada disini? Apa yang sedang dilakukannya?

    “Kau…”

    “Ya, ini aku.”

    “…siapa ya?”

    Dan si goblok ini malah tidak kenal dengan teman sekelasnya.

    Dasar goblok, baca situasi sedikit.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Mar 21, 2016
  16. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    komentar sampe chapter 4 dulu :ogbloon:
    gak nyangka tokoh ceweknya unik, terkadang bisa menampilkan sisi sadisnya tapi juga bisa tampilin sisinya yang lembut sebagai cewek :oglonggar:, ceeritanya terkadaang nyedihin jugaa ya terutama si Lisanya waktu kecilnya:ogsedih:
    dan juga si matsuda kok bisa terus disamping si lisa dan bertahan walau dia udah tahu dia terorris, dan bbisa saja dia terkena imbasnya :ogaaaa:

    ya, kurasa sih ceritanya perlu dikembanggin terutama tokoh utamanyaa, :ogbloon:
     
    • Thanks Thanks x 1
  17. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    iris kato? ee dare :kaget::kaget:
    tk cari2 ternyata ada di ch.2 pun muncul bentar doang :lol: gmn mw ingat :swt::swt:
     
    • Thanks Thanks x 1
  18. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1

    1. cerita kuperkosa ibu guruku
    2. komik shouju guru dan murid


    as usual tag2 cerita situ ajib banget ya.

    anyhow baru sempet baca sampai ch 1, sejauh ini mayan menarik sih development nya, ntar lanjut lagi :bloon:

    still wondering about the terrorist motives thingy, mungkin di ch berikutnya bakal dijelasin.
     
    • Thanks Thanks x 1
  19. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    anyway gw udah baca semua ke ch 5, overall ceritanya mayan solid sih meski mungkin ada bagian yg rada ngebosenin terutama pas lagi ngobrol2 biasa gk ada ketegangan gitu. gw demen sih bagian backstory, ama pas mereka lagi kejar2an di hotel. anyway, bagian komedinya mayan ngebantu buat ngelepas kejenuhan pas udah selesai bagian2 tsb. mr. banana lol

    again gw ngerasa di setiap cerita situ yg baru gw ngerasa ada sesuatu yg baru di situ, mungkin situ bilang mang rada ribet bikinnya, tapi gw rasa klo situ bisa nulis ini sampe tamat, ini bakalan jadi sesuatu yg well worth readin' :hihi:

    ada misteri dibalik nama matsuda yg membuat bertanya-tanya? gw liat di ch berikutnya aja deh.
     
    • Thanks Thanks x 1
  20. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    sherlock1524sherlock1524 yah, sangkyu sudah baca sampai sejauh ini. anyway, buatku susah juga ngebangin ini cerita. Buat komedi yang sekaligus drama gak simpel ternyata :hiks:

    noprirfnoprirf well, makasi masukannya. keknya emang perlu penjelasan lebih jauh, ya?

    high_timehigh_time thanks as always, mod-san. hmm, jujur ini agak2 susah sih buatku. boleh dibilang juga ii project eksperimental, sih. nyatuin komedi ama drama, gah :swt:

    =====================

    anyway, thanks. here is the update :maaf:

    Hatiku tak berhenti bertanya mengapa Iris ada disini, dan apa yang dilakukannya dengan seragam polisi itu?

    Siapa ia sebenarnya?

    “Hei, aku tak tahu siapa kau! Tapi kalau kau menghalangi kami, kau tahu akibatnya, kan?”

    “Fufufu, dasar teroris. Memangnya aku takut dengan ancaman murahan seperti itu?”

    “Begitu, ya? Baiklah. Jangan harap aku akan menahan diri.”

    “Tenang saja. Akulah yang akan menahan diri untukmu. Percayalah.”

    Ah, kacau nih…

    Suasana didepanku kini sudah seperti film-film laga saja. Lisa yang memasang kuda-kuda dengan tangan kosong, dan Iris yang juga bersiap menyerang, rasa-rasanya ini bakal melelahkan.

    …kalau aku kabur saja, bisa nggak ya?

    Tapi…dua cewek berantem rasa-rasanya akan jadi tontonan yang menarik. Sayang sekali untuk dilewatkan. Lagipula, para polisi pasti masih berkeliaran menunggu kami. Tidak. Kurasa akan lebih bijak bila aku tetap bersama Lisa untuk saat ini.

    “Sora, kau beruntung ada disini. Akan kutunjukkan bagaimana seorang teroris bertempur. Oh, ya. Akan kuberi kau kehormatan untuk menjadi team support.”

    “Hentikan bualanmu dan cepat selesaikan. Aku mau pulang.”

    Lisa mencibir kesal. Tatapan matanya masih tertuju pada Iris yang masih memasang kuda-kuda. Lisa bergerak perlahan, selangkah demi selangkah. Iris tampaknya berhati-hati dan melangkah mundur dengan teratur.

    “Takut, heh?”

    “Fufu, dasar kriminal. Kau tak bisa membedakan yang mana berhati-hati dan takut, ya?”

    Mendengarnya, Lisa berhenti melangkah. Kesempatan ini digunakan Iris untuk melagkah maju, membuat Lisa mengganti kuda-kuda sambil melangkah mundur.

    “Tidak berani maju? Aku sudah mengira kalau teroris itu hanya berani membual saja, namun tak kukira kalau mereka bisa separah ini.”

    “Heh, aku tak mau mendengar hal itu dari seseorang yang memilih mundur terlebih dahulu!”

    …sebenarnya mereka berdua ini niat bertarung nggak, sih?

    “Bersiaplah, kriminal. Malam ini kau akan kuhabiskan”

    “Oh, menakutkan sekali. Apa kau bisa berkata begitu lagi saat aku mematahkan tulangmu yang rapuh itu?”

    “…uuh, permisi sebentar.”

    Tanganku menyambar lengan Lisa yang kini meronta-ronta. Sungguh, menyebalkan sekali rasanya melihat pemandangan yang amat tidak sesuai ekspektasiku seperti ini. Rasanya seperti menyewa video b*kep yang tertukar dengan artun teletubbies.

    “A…apa, sih? Jangan mengganggu begitu!”

    “Mengganggu gundulmu! Kalau kau menghabiskan banyak waktu disini, Sherlock akan kabur! Sebenarnya aku tak begitu peduli, tapi aku benar-benar ingin semua ini segera berakhir. Jadi bisa nggak kau selesaikan perkelahian ini dengan cepat?”

    “Kau…” Lisa kembali menggerutu. “Kau ini benar-benar tidak punya pengetahuan dasar bertempur, ya? Akan sangat mudah mengalahkan musuh jika mereka dibuat kesal terlebih dahulu!”

    “Terlalu lama, bego! Dan juga, apa kau tak pernah mendengar peribahasa bahwa seekor singa akan menjadi sangat kuat saat ia terjepit?”

    Kami terlalu asyik berdebat, hingga tanpa sadar Iris sudah ada dibelakang Lisa. Dengan lompatan tinggi, diarahkannya tangan kanannya yang mengepal kuat tepat ke wajah Lisa.

    Oh, tidak. Gadisku pasti K.O. bila terkena tinju mengerikan itu. Jika diibaratkan anime, tinju Iris ini mungkin bisa disamakan dengan Falcon Punch!

    “Falcon Punch!”

    Iris benar-benar menamainya Falcon Punch!

    Ah, sapi! Kenapa kami bisa sepikiran begini, sih? Apa aku punya kekuatan mengendalikan pikiran orang, ya?

    Tinju Iris melayang perlahan. Kupikir, Lisa akan kalah dengan satu pukulan ini. Tetapi saat ia menarik tubuhku kehadapannya-

    “Human Shield!”

    -aku tahu bahwa dugaanku salah besar!

    ***

    Terbujur kaku diatas lantai lobi, kupegangi wajahku yang mungkin sudah rusak. Lisa dan Iris, keduanya mungkin sedang bertempur. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena pandanganku jadi sedikit kabur. Falcon Punch Iris benar-benar menyakitkan!

    Menepi setelah melancarkan serangan dan pertahanan, Lisa dan Iris kini sama-sama menarik napas. Tampak wajah Lisa yang memar, dan pipi Iris yang sedikit berdarah.

    “Heh, tidak buruk, kriminal.” Iris berkata sambil mengusap pipinya. “Kurasa aku juga harus bersungguh-sungguh sekarang.”

    “Begitukah? Tunjukkan kesungguhanmu kalau begitu! Aku takkan segan-segan menghadapinya!”

    Kedua gadis ini sama-sama mengerikan. Bisa bertarung sampai sejauh itu, apa mereka benar-benar gadis, ya? Bukankah seharusnya seorang pria yang lebih bisa diandalkan untuk bertarung? Duh, jadi malu pada diriku sendiri, deh.

    ………

    Kalau dipikirkan, rasanya jadi kesal juga.

    Baiklah. Akan kutunjukkan bagaimana seorang pria bertempur!

    Bangkit berdiri, perlahan aku berdiri disamping Lisa sambil memasang kuda-kuda.

    “Hmn? Kau masih hidup, toh? Kukira kau sudah di surga.”

    Si bispak ini!

    Andai aku sekuat Weisz, akan kusiksa dirinya habis-habisan!

    “Heh, aku takkan mati secepat itu, jangkrik! Lihatlah bagaimana aku bertarung. Akan kuselesaikan pertempuran ini dalam semenit.”

    Lisa tampaknya tak peduli dengan kata-kataku. Iris, bagaimanapun, tampak terkesan dengan apa yang baru kukatakan. Sebuah senyum menantang muncul di wajahnya.

    “Oho, apakah si Matsuda ini baru saja bilang akan mengalahkanku? Andai ia bukan teman sekelasku, pasti aku sudah…membunuh…kyaaa! Apa yang kau lakukan, dasar iblis!”

    Kubuka kemeja seragam Iris dengan paksa, membuat kancing-kancingnya terlepas dan menampilkan bagian dadanya yang tertutup bra merah muda. Ngomong-ngomong, ukurannya hampir sama dengan punya Lisa – sama-sama tidak menarik untuk dilihat.

    Yah, meskipun begitu, Kini wajah Iris tampak memerah. Aku tak perlu menunggu untuk mendapat tinjunya yang kedua kali.

    “Mesum! Iblis! Laknat!”

    Iris berteriak dengan muka merah padam, malu. Kedua tangannya kini sibuk merapikan kembali kemejanya.

    Tapi, disitulah bagian menariknya. Andai Lisa mengerti apa maksud tindakanku-

    “Perhatikan lawanmu saat bertempur, bodoh!”

    -ah, ia mengerti.

    Lisa tiba dihadapan Iris untuk mengunci pergerakannya. Dan tentu saja, Iris yang kini sibuk dengan dadanya yang rata tak bisa menghindar sama sekali.

    Setelah mengunci pergerakan Iris, hanya butuh satu pukulan bagi Lisa untuk bisa merobohkannya. Dan gadisku ini pun melakukannya tanpa ragu-ragu.

    “Heh! Rasakan itu, pecundang!”

    Aku berteriak dari lantai, seolah-olah merasa bahwa akulah pemenang pertandingan itu.

    …yah, setidaknya aku juga berkontribusi, kan?

    Setelah melancarkan serangan, Lisa bergerak perlahan, mendekati sosok Iris yang terbujur diatas lantai untuk memastikan ia tak bisa bangun lagi. Menendang tubuhnya dua kali, Lisa kemudian menghela napas.

    “Kerja bagus! Benar-benar gadisku ini luar biasa!”

    …jadi aku benar-benar menganggapnya pacarku, ya?

    Meski baru beberapa hari berpacaran dengannya, rasa-rasanya kami sudah saling mendalami perasaan kami masing-masing. Mmn. Bagaimanapun, kami mengalami petualangan yang benar-benar hebat.

    Lisa berjalan kehadapanku.Wajahnya tersenyum menang. Sedikit mengerikan, sih.

    Mengulurkan tanganku perlahan, aku tersenyum, berharap gadisku ini membantuku berdiri.

    “Dasar iblis mesum!”

    Lisa menghajarku tanpa ampun setelahnya.

    ***

    “Lari yang benar, dong! Kau ini kan laki-laki!”

    “Kuntilanak! Memangnya kau pikir siapa yang bikin aku sempoyongan begini? Aku nggak mau dengar itu dari kamu!”

    Kami masih berlari menuju atap, tempat pertemuan kami dengan Weisz. Lisa berkata bahwa akan ada helikopter yang menjemput kami diatas sana, dan mungkin itu menjadi satu-satunya jalan keluar kami.

    Tetapi sebelum itu, ia masih ingin memburu Sherlock. Ia yakin Sherlock belum pergi dari hotel ini, sehingga ia pun memutuskan untuk mengecek seluruh ruang di atap hotel satu per satu.

    Ruang binatu, tidak ada.

    Gudang, tidak ada.

    Toilet, tidak ada.

    Mengecek hampir seluruh ruang di lantai teratas hotel, sepertinya Sherlock tak bisa kami temukan. Namun kala kami sampai di sebuah ruang yang mirip seperti ruang direktur-

    “Kuharap kau berhenti disitu!”

    -Sherlock tampak berdiri dibalik kursi direktur dengan sepucuk pistol yang mengacung pada kami berdua.

    Sama-sama tak memiliki senjata, Lilsa dan aku mengangkat tangan. Sherlock menatap kami berdua dengan gugup, panik. Tangan kanannya yang gemetar tak berhenti mengacungkan senjata pada kami berdua.

    “A, asal kalian tahu…aku bisa membunuh ka, kalian kapanpu-“

    “Berhentilah menggenggam senjata dengan tangan seperti itu. Jika kau gemetar begitu, aku yakin kau takkan bisa menembak tepat sasaran.”

    Hening.

    ………

    “…maaf?”

    “Kau ini payah. Apa kau baru pertama kali menggenggam senjata? Jika kau tak siap, lebih baik kau jangan menggenggam senjata api sama sekali. Salah-salah, kau bisa terbunuh.”

    Gadisku ini mulai lagi bicara yang aneh-aneh.

    “Di…diam kau! Aku yang berkuasa-“

    “Yah, kau hanya akan menyakiti dirimu jika genggamanmu tak kuat begitu. Lagipula, posisi jarimu salah. Tanganmu masih kurang lurus, dan posisi kakimu itu, aduh, apa kau benar-benar akan menembak dengan posisi kaki seperti itu? Hentakan senjatanya akan membuatmu terjatuh, percayalah. Oh, dan berapa sisa peluru yang kau punya? Sepuluh? Kurang dari sepuluh? Melihat caramu memegang senjata, aku yakin takkan ada satu tembakan pun yang mengenaiku meski kau punya sepuluh butir peluru.”

    Si dungu yang selalu tak sadar situasi ini terus-menerus mengkritik posisi menembak Sherlock tanpa ampun, membuat target kami melongo keheranan. Aku takkan merasa heran jika target kami berpikir bahwa grup teroris WRO tanpa N dan G ini membuat kesalahan besar kala merekrut dirinya.

    “Be…berisik! Biar bagaimanapun aku yang pegang senjata disini! Kalau tidak mau mati, pergilah sekarang juga!”

    “Oh, kau merasa bisa membunuh kami? Lakukanlah. Serius. Tembaklah dan mari kita lihat apakah tembakanmu bisa mengenai kami atau tidak.”

    Aku jadi merasa kasihan pada Sherlock. Serius.

    Meskipun begitu, Sherlock tampaknya termakan oleh kata-kata Lisa, dan bergerak dengan cepat kehadapannya. Ditempelkannya pistol miliknya itu ke kening Lisa.

    “Kalau begini, takkan meleset-“

    Dengan cepat, Lisa merebut pistol itu dari tangan Sherlock.

    “Nah, sekarang aku yang berkuasa. Ikuti kata-kataku jika kau masih ingin selamat.”

    Serius, aku merasa kasihan pada Sherlock.

    ***

    “Kau tahu apa yang kami inginkan, bukan? Berikan apa yang kami mau, dan kau akan kami lepaskan.”

    Mengacungkan senjata pada Sherlock, tatapan mata Lisa tampak mengerikan. Senyumnya terlihat seperti senyum seekor serigala yang menatap anak domba yang tersesat.

    Ngomong-ngomong…

    “Hei, siapa yang menyuruhmu menurunkan tangan? Angkat tanganmu kalau kau masih ingin hidup!”

    “Kau ini benar-benar iblis! Bukankah aku ini pacarmu? Kenapa aku ikut disandera begini? Kau akan benar-benar kulaporkan pada polisi saat aku pulang nanti!”

    “Ara, kau ingin bom di rumahmu meledak, ya? Ayah dan ibumu pasti amat kecewa kala tahu kau membiarkan mereka wafat gara-gara ulahmu.”

    Sontoloyo!

    Ah, bodo lah! Lagipula aku tidak dalam posisi untuk menawar.

    “Anggaplah ini hukuman atas apa yang kau lakukan pada gadis malang tadi.”

    “Hei, kenapa aku dihukum? Aku membantumu menang, tahu!”

    “Jangan berdalih sok suci begitu, deh! Kau hanya ingin mengintip dada gadis itu saja, kan? Ngaku, deh! Sekali mesum tetap mesum!”

    “Apanya? Dada orang itu seperti papan catur, tidak ada menarik-menariknya untuk dilihat, sama seperti punya kamu!”

    Duar!

    Sebuah peluru melesat cepat disamping wajahku.

    “…berikutnya nggak akan meleset!”

    Hii…

    “Kau, Sherlock, ini kesempatan terakhirmu. Berikan dokumen itu, dan semuanya akan selesai.”

    Sherlock tampak frustasi. Keringat mengucur deras dari wajahnya. Setelah memejamkan matanya untuk beberapa saat, tangannya mulai bergerak. Dirogohnya isi tasnya yang sedari tadi ia genggam.

    Sebuah dokumen dalam amplop putih tampak menyembul dari dalam tas tersebut.

    “…kau takkan tahu betapa mengerikannya isi dokumen ini.”

    Meski Sherlock mencibir perlahan, tangan Lisa tetap menyambar dokumen tersebut. Matanya lantas memperhatikan bagian luar amplop tersebut.

    “Eksperimen Alpha dengan cap Kaisar Jepang. Yep. Ini dokumen yang dimaksud.”

    Karena cap Kaisar merupakan sesuatu yang amat tidak mungkin untuk dipalsukan, aku yakin dokumen tersebut asli. Sejujurnya aku belum pernah melihat cap kaisar Jepang sebelumnya, tapi Lisa mungkin tahu. Lagipula ia bisa memastikannya hanya dengan sekali lihat.

    “Nah, sekarang berbaliklah.”

    “Huh?”

    “Berbalik!”

    Mendengar Lisa yang berteriak, Sherlock serta merta menurut. Aku benar-benar merasa kasihan padanya.

    “Kamu juga!”

    Oh, yang benar saja!

    ***

    “Hmm, sepertinya isinya cocok dengan apa yang intelijen katakan- hei, siapa yang menyuruhmu bergerak? Sekali lagi menengok kebelakang, kepalamu akan kuledakkan!”

    Sementara Lisa bergumam dibalik tubuh kami, aku buru-buru membalikkan kembali kepalaku.

    Gila, gadis ini bahkan bisa tahu aku melirik padanya. Instingnya benar-benar tajam. Mengerikan sekali.

    “Baiklah. Dengan begini, misi selesai. Sora, ayo kita kembali-“

    Langkah kaki Lisa yang berjalan mendekatiku perlahan bisa kudengar dengan jelas. Meski demikian-

    “Polisi! Jatuhkan senjata kalian!”

    -tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang didobrak. Bersamaan dengannya, beberapa orang bersenjata lengkap tampak berdiri didepan pintu tersebut. Aku yang baru saja menurunkan tangan lagi-lagi harus mengangkatnya. Kampret, lah.

    “Jatuhkan senjata kalian! Tiarap-“

    “Oh, maaf, bapak-bapak, kalian tak mau orang ini mati begitu saja, kan?”

    Begitu aku melirik kesamping, Lisa sudah menodongkan pistol pada kepala Sherlock.

    …refleks orang ini benar-benar mengerikan. Teroris benar-benar mengerikan.

    Jika ini film laga, Sherlock pasti mengatakan sesuatu yang klise, seperti ‘Jangan pedulikan aku, bunuh saja penjahat ini!’ atau ‘Demi keselamatan umat manusia, aku siap menjadi korban.’ Meski demikian, ia tak mengatakannya, dan ia juga sama sekali tak meminta untuk diselamatkan.

    “Orang ini merupakan asset berharga negeri ini, bukan? Turunkan senjata kalian jika kalian ingin orang ini hidup.”

    Para polisi ini tak berkutik. Mereka pasti diberi perintah agar tak ada apapun yang terjadi dengan Sherlock. Dan si Sherlock ini, aku heran mengapa ia hanya diam saja.

    Tetapi, saat mendengar sebuah teriakan dari balik pintu-

    “Ayah!”

    -aku baru mengerti kenapa.

    “He, hei! Siapa yang membiarkan anak ini lepas?”

    “Bodoh! Kenapa anak ini bisa ada disini? Apa kalian tak bisa menjaganya?”

    Aku sadar bahwa kualitas polisi di Omachi hancur, namun aku tak menyangka hal yang sama akan terjadi di kota ini.

    “Hei, tangkap gadis kecil itu!”

    “Oi, jangan diam saja! gadis itu! Jangan biarkan gadis itu masuk kedalam!”

    “Tapi pak, anak itu sudah-“

    Mmn. Ia sudah ada didalam ruangan ini. Bahkan sosoknya bisa jelas terlihat. Ia merupakan loli yang kutemui pada saat seminar berdarah ini dimulai.

    Ia benar-benar liar. Bisa menyusup diantara bapak-bapak polisi ini, gadis ini pasti memiliki masa depan yang gemilang sebagai seorang maling.

    Meski demikian-

    “A…ayah, kenapa?”

    “Hana! Jangan kemari! Pergilah!”

    -kini wajah sang gadis benar-benar shock kala melihat sang ayah yang duduk tak berdaya. Tanpa menggubris teriakan para polisi maupun ayahnya sendiri, ia lantas berlari menuju Sherlock.

    “Hei, gadis kecil, bahaya!”

    “Gadis kecil, kemarilah!”

    “Oi, selamatkan dia! Aku akan melindungimu jika para teroris itu berulah. Maju dan bawa kembali sang gadis, cepat!”

    “Tolong, siapapun! Siapapun! Bawa Hana pergi! Hana, kau tak bisa ada disini!”

    …ugh. Situasinya menjadi kian rumit saja.

    Tak sampai beberapa detik, gadis mungil itu tiba dihadapan Sherlock, dan langsung memeluknya erat-erat. Sherlock balas memeluk putrinya.

    “Ayah, aku takut! Orang-orang, banyak orang-orang galak yang membentak Lisa. Aku takut, Ayah akan menolongku, kan? Ah, kenapa? Kenapa ayah berdarah begitu?”

    Gadis lugu ini menangis kuat-kuat sambil memeluk sang ayah, dan Sherlock balas memeluk tubuh sang gadis.

    Ia seolah melindungi gadis ini dari peluru yang sewaktu-waktu bisa menyerang mereka berdua.

    “Hana, jangan takut. Ayah ada disini. Sudah, tak ada yang perlu ditakutkan. Semuanya akan baik-baik saja, Hana…”

    “Ayah jangan tinggalkan Hana lagi. Hana ingin bersama ayah! Hana ingin terus bersama ayah!”

    “Ya, Hana. Ayah ada disini sekarang. Hana tidak perlu khawatir.”

    ………

    Jika Lisa sampai menembak Sherlock, aku takkan memaafkannya.

    Ah, bukan. Aku bahkan berharap Lisa menurunkan senjatanya. Mmn. Bahkan aku yang tak memiliki ketertarikan pada anak kecil pun tahu bahwa apa yang dilakukan Lisa pada sang ayah merupakan hal yang salah.

    Dan Lisa tampaknya sadar akan hal ini.

    Karena…bisa kulihat tangan Lisa yang kini gemetar hebat. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut yang luar biasa.

    unedited, as usual :maaf:
     
    • Like Like x 1
    • Setuju Setuju x 1
    Last edited: Mar 31, 2016
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.