1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Than A Tasteful Floccinaucinihilipilification, It's A Vengeful Cerulean

Discussion in 'Dear Diary' started by Banksy, Nov 5, 2016.

  1. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    BLAKRA`AN


    Ta’qid : “...mampu melakukan apa saja dengan bagus, anak-anak mudanya selalu Juara Dunia dalam lomba ilmu pengetahuan dan kesenian. Dan kelengkapan bakat itulah yang kelak menjadi sumber kehancuran mereka...”

    “Bukan hanya itu, Paduka”, Markesot meneruskan, “Masih ada lebih dari seratus nama lagi. Kalau disebut hanya satu orang tapi punya banyak nama, tidak tepat juga. Sebab yang tampaknya hanya satu itu ternyata banyak juga…”

    “Untung saya tidak ditugasi menjadi Khalifah di Negerimu itu”, kata Paduka Harun, “kasihan nanti pegawai-pegawai saya, susah mengatur kartu identitasnya. Database nasional kami bisa kacau balau”

    “Belum lagi satu orang yang saya ceritakan tadi bisa hidup di beberapa era secara bergantian atau sekaligus”

    “Lebih kacau lagi kalau begitu”

    “Terkadang jelas nasab Hanoman itu di zaman yang disebut Ramayana, tapi kemudian muncul lagi di zaman Mahabharata, yang antara keduanya tidak berkaitan sama sekali”

    “Hanya kesamaan nama mungkin”, Paduka menyela.

    “Tidak, Paduka. Orangnya sama, yang itu juga. Wataknya, akhlaqnya, orientasi sosialnya, daya juangnya, keberpihakan politiknya, jenis kesaktiannya, dan semuanya, sama”

    “Mungkin Negerimu itu terletak di planet lain, bukan di Bumi”

    “Di Bumi, Paduka. Ada monyet juga. Sebagaimana sebagian ummat Nabi Musa yang dikutuk menjadi kera. Ya benar-benar kera, atau monyet. Bahkan Hanoman yang punya lebih dari seratus nama itu juga lebih dikenal sebagai kera, meskipun dengan kecerdasan dan kemuliaan manusia”

    “Berarti Negerimu itu Negeri Khayal”

    “Tidak, Paduka. Bukan khayal”, Markesot membantah.

    “Kalau ada kera punya kecerdasan dan kemuliaan, lantas manusia itu makhluk yang bagaimana”

    “Maaf Paduka, manusia mungkin cerdas dan mulia, tapi mungkin juga idiot dan hina. Sementara kera malah tidak ada yang idiot atau terlibat dalam kehinaan, padahal dia memiliki kecerdasan jenisnya sendiri, serta hidup dalam kemuliaan sunnah-Nya Tuhan”

    Paduka bertahan, “Tetap saja itu khayal, karena tidak ada kera berperan sebagai manusia, kecuali Hanomanmu itu”

    Markesot mencoba menjelaskan: “Di Negeri itu ada juga tokoh yang disebut Nabi Muhammad. Sangat popular. Sangat dicintai. Namanya disebut-sebut jutaan kali tiap hari melebihi nama siapapun kecuali Tuhan. Beliau sangat eksis. Disapa tiap hari. Dimohon-mohon syafaatnya tiap saat. Disebut di setiap pidato dan pengajian. Bahkan setiap beribadah tidak mungkin tidak menyebut nama beliau. Bagaimana mungkin beliau dianggap khayalan. Beliau sangat ada. Sangat nyata, Paduka”

    Paduka Harun Al-Rasyid menarik napas sangat panjang. Menyandarkan punggung beliau ke belakang, Singgasana beliau bergoyang oleh kegelisahan hati beliau.

    Setelah sunyi beberapa saat, Paduka bertanya kepada tamu asingnya itu: “Jadi kenapa kamu blakra`an sampai ke Negeri saya?”

    Hampir terloncat bunyi tawa keras dari mulut Markesot.

    “Maaf, Paduka”, katanya tergagap, “Paduka menggunakan kata yang kelak akan saya dengar di tempat hamba bertugas di seberang laut itu”

    “Apa?”

    Blakra`an…

    Paduka Harun tertawa. “Saya tidak pernah mengucapkan kata itu. Telingamu yang mendengar kata-kataku, melaporkannya ke otakmu, kemudian otakmu mengolahnya, lantas memerintahkan kepada mulutnya untuk mengucapkan… apa tadi itu?”

    Blakra`an

    “Ya. Persis seperti itu…”

    “Persis seperti apa, Paduka”

    “Ya seperti yang kamu ucapkan tadi”

    Markesot tertawa. “Paduka mengalami kesulitan mengucapkan satu kata saja dari Negeri jauh itu. Sementara para penduduk di Negeri itu dengan mudah mengucapkan kalimat-kalimat bahasa yang Paduka gunakan. Bahkan mereka bisa melantunkan dan melagukan kalimat-kalimat Kitab yang Paduka sebut tadi tak kalah indahnya dengan rakyat Paduka di Negeri ini”

    Paduka Harun tersenyum.

    “Memang penduduk Negeri yang kamu sebut itu multi-talent, bakatnya lengkap, mampu melakukan apa saja dengan bagus, anak-anak mudanya selalu Juara Dunia dalam lomba ilmu pengetahuan dan kesenian. Dan kelengkapan bakat itulah yang kelak menjadi sumber kehancuran mereka…”

    Markesot terkesiap oleh pernyataan terakhir Baginda Harun.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Maya Semaya-mayanya


    Ta’qid : “...pikiranmu maya. Hidupmu maya. Keinginanmu maya. Peranmu maya. Setiap kata dari ribuan kalimat yang kamu ucapkan semua maya...”

    “Kalau memang mau maya, sejak kecil saya sudah terbiasa dengan kehidupan maya semaya-mayanya”, kata Markesot.

    Semua kisah maya itu diberondongkan oleh Markesot kepada Brakodin. Memang dia pikir maya itu apa?

    “Mau ke mana kamu? Mau sekadar pergi ke kemarin sore terbang mambagi wilayah dengan Empu Baradah mengucurkan air dari kendi? Mau agak ke kemarin lusa yang kita disuruh menyebutnya abad-abad BC? Atau batasi saja pasca atau pra-Adam? Atau sekalian memasuki kelengangan ruang dan waktu sebelum inisiatif penciptaan Nur Muhammad?”

    “Mau ke wilayah maya yang sebelah mana? Daripada mengurusi kehidupan goni teles di sekitar kita yang bertele-tele? Kamu masih ingat goni, karung yang tebal sebelum ada plastik? Yang kalau basah, dipakai tidak bisa, dijemur tak kering-kering? Ayo kita terbang ke langit yang mana semaumu. Yang maya, yang fana, yang baka. Toh semua tak jelas di sekitarmu. Apa yang tersisa yang masih ada kejelasannya di kehidupan di sekitar kita ini?”

    “Keadaan masyarakat kita ini bengkok, tapi kalau diluruskan jadi patah. Mesin rusak, kalau diservis menjadi semakin tidak bisa dipakai. Mau turun mesin, ternyata ia bukan mesin. Mau ganti onderdil, tidak ada onderdil yang mau bergabung dengan mesin yang ternyata bukan mesin. Ini peradaban besi tua. Mau dibuang, sudah habis tempat pembuangannya…”

    Alhasil Markesot mengamuk mulutnya seperti orang buang air besar. Tapi ketika ia menoleh ke tempat Brakodin yang tadi tidur, temannya itu sudah tidak ada. Markesot jengkel bukan main. Spontan ia berdiri. Ia tutup semua pintu dan jendela Patangpuluhan. Lampu ia matikan. Kemudian ke kamar dan merebahkan badannya.

    Sudah jelas itu adalah perilaku orang putus asa.

    Markesot memejamkan mata, tapi hasilnya terbalik. Pikirannya malah berputar-putar, terbang melayang ke sana kemari tanpa bisa dikendalikan. Ia membolak-balik badannya ke kiri ke kanan, tengkurap telentang, akhirnya meloncat berdiri…

    Dan ia kaget setengah mati. Ketika ia bertolak pinggang, di hadapannya berdiri sebuah sosok. Setua dia, seburuk dia, sekumuh dia, dan Markesot merasa tahu siapa dia.

    “Lho Paduka kok di sini?”, Markesot menyapa.

    Sosok itu tertawa kecil. “Paduka siapa”, jawabnya, “Sultan yang kamu maksud sudah meninggal berabad-abad yang lalu. Kamu tidak mungkin mengenalnya, sehingga pasti juga tidak tahu bagaimana wajahnya, berapa tinggi badannya, atau rupa pakaiannya”

    “Maulana?”

    “Apalagi Abu Nawas, beliau meninggal lebih dulu dibanding Sultan”

    “Kamu ya Mon… jangan main-main”

    Sosok itu tertawa lebih keras. “Saya bukan Jin”

    “Kiai Semar?”

    “Semar gemuk pendek. Saya tinggi kurus”

    “Gareng?”

    “Gareng lebih pendek dari saya”

    “Ya sudah Bagong…”

    “Kamu yang Bagong!”, sosok itu setengah membentak, “Bagong yang tanggung, yang mestinya sederhana dan sehari-hari, tapi kamu sok filosofis seperti Gareng, di saat lain bergaya cendekiawan seperti Petruk, tapi juga bernafsu untuk berlagak matang, sepuh, arif dan sakti supaya orang menyangka kamu Semar…”

    “Aslinya saya Puntadewa…”, Markesot memotong.

    Sudah pasti ditertawakan habis oleh sosok itu. “Kamu ini benar-benar maya. Pikiranmu maya. Hidupmu maya. Keinginanmu maya. Peranmu maya. Setiap kata dari ribuan kalimat yang kamu ucapkan semua maya. Seluruh eksistensimu ini maya semaya-mayanya…”

    “Makanya saya tidak memerlukan orang menyangka saya Semar, karena sudah jelas Panembahan Ismaya…”

    Sosok itu meledak tawanya.

    “Mana Sapron, yang biasanya menemani kamu di sini?”, tiba-tiba ia membelokkan pembicaraan.

    “Tidak ada”

    “Brakodin?”

    “Minggat tadi entah ke mana”

    “Saimon”

    “Jin bukan urusan saya”

    “Kiai Sudrun?”

    “Ada. Tapi tidak tentu ada di mana”

    “Kamu ini siapa?”

    “Lha Sampeyan siapa?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  4. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Wama Adroka Maya au Fana au Baqa`


    Ta’qid : “Pada suatu hari Mesin Maya itu akan jebol, dan peradaban ummat manusia akan terjungkal seperti tronton menabrak bukit atau terperosok lubang besar mendadak”

    Lha Sampeyan siapa? Lha saya siapa? Lha dia, mereka, kami, kita siapa? Kiai Sudrun, Abu Nawas, Sultan Harun, Saimon, Sapron, Brakodin, Sunan Kalijogo, Raja Agung Dua Tanduk, Muhammad dan Nurnya, Bodronoyo, Kapiworo, Yai Panco, Kolomunyeng, Sangkelat, Jumadil Kubro, Mbah Petruk, Kanzul Jannah, Jabroil, Makahala Hasarapala Hajarala, Allah subhanahu wata’ala, memangnya siapa?

    Semua itu nyata kah? Maya? Fana? Baka?

    Buka dan pandang telapak tanganmu, guratan garis-gemarisnya, bayangan darah di balik kulitnya, nyatakah ia, atau maya, fana, baka? Berkacalah sehabis mandi pagi, tatap cerminan wajahmu, mayakah, nyatakah, fanakah, atau baqa`?

    Masyarakat penduduk bumi tiba-tiba berpapasan dengan makhluk jadi-jadian yang dinamakan cyberspace, yang lantas disimplifikasikan menjadi ruang maya, semesta maya, atau dunia maya: integrasi dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan computer, yang meliputi sensor, tranduser, koneksi, transmisi, prosesor, signal, pengontrol; yang dapat menghubungkan peralatan komunikasi — komputer, telepon genggam, instrumentasi elektronik, dan lain-lain, yang tersebar di seluruh penjuru kehidupan dunia.

    Berapa jarak antara cyber dengan maya? Seberapa jauh lompatan makna dan nilai antara keduanya? Apakah lompatan itu merupakan peristiwa penyederhanaan, ataukah sebenarnya lompatan ilmu, pengetahuan dan peradaban?

    Pada kulit ari hologram simulasi sunnati-khalqillah, yang diregulasi dengan syariat baku-Nya, penduduk seperdelapan khatulistiwa menyepakati suatu konotasi bahwa segala urusan internet disebut dunia maya. Sementara sandal dan sepatu di kaki mereka, kain pel di rumah mereka, motor dan pesawat mereka, sambal mercon kuliner di mulut mereka, disebut dunia nyata.

    Kalau mereka berkomunikasi, menyebar kebaikan, berdagang atau merekayasa kejahatan dan penipuan-penipuan melalui internet, mereka namakan cyber-communication, cyber-crime. Kalau mau nyata, kencan copy-darat di warung Mbah Cemplung. Kedua-duanya nyata, tetapi kenyataan yang pertama disebut maya.

    Mereka menyimpulkan bahwa internet yang menguasai hidup mereka dari Sidang Kabinet hingga jongkok di WC itu sebagai kenyataan yang maya, yang hanya seakan-akan ada. Sesuatu yang disimpulkan tidak benar-benar ada, diperlakukan sebagai benar-benar ada, bahkan mengikat hidup mereka siang dan malam, sampai pun mengimami shalat tidak bersedia meninggalkan gadgetnya.

    Sesuatu yang sangat terjadi, yang benar-benar berlangsung, yang sungguh-sungguh mereka lakukan dan alami, mereka sebut seakan-akan ada. Kemudian yang seakan-akan ada itu mereka pertuhankan, mereka sembah, mereka shalati, mereka sujudi dari terbitnya matahari hingga terbitnya kembali matahari.

    Ibarat roti bernama maya. Roti dimakan dikenyam dikulum-kulum, kemudian disimpulkan dan dinamakan itu Roti Maya. Sudah benar-benar makan, sudah terlanjur makan, tapi status dan maknanya seakan-akan makan.

    Maka letak ke-maya-annya tidak pada rotinya, tidak pada makannya, tapi pada cara pandangnya, pada pola pikirnya, pada kerja mesin ilmunya, yang pada akhirnya dijadikan ideologi dan teologinya.

    Padahal mesin maya itu sudah mereka pergunakan untuk menggarap segala arus informasi dan komunikasi di antara sesama manusia. Untuk menyempurnakan keunggulan, kekuasaan dan kemenangan suatu kelompok manusia atas kelompok lainnya.

    Mesin yang dianggap seakan-akan itu sudah mereka dayagunakan untuk menentukan siapa Presiden dan anggota Parlemen, untuk memperdaya khalayak antara bumi bulat dengan bumi datar, memanipulasi organisasi Bangsa-bangsa, mempertengkarkan madzhab-madzhab, menyebarkan tipu muslihat tentang demokrasi, rasisme, diskriminasi, Agama suku dan ideologi-ideologi yang benar-benar maya.

    Bahkan memperalat potensi-potensi “keTuhanan” untuk kepentingan itu.

    Pada suatu hari Mesin Maya itu akan jebol, dan peradaban ummat manusia akan terjungkal seperti tronton menabrak bukit atau terperosok lubang besar mendadak.

    Dalam posisi di mana manusia justru semakin awam dan kabur pandangannya tentang beda atau jarak antara nyata, maya, gugontuhon, fana, baka….

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  5. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Semesta Dalam Debu


    Ta’qid : “Terpenjara dengan bangga oleh ketakjuban kepada materialisme. Yakni yang terdangkal, terkerdil dan terbodoh dari daftar peradaban-peradaban yang pernah ada dalam sejarah ummat manusia”

    Maya, nyata, nyoto, sunyoto, kasunyatan, kasat mata, ngelmu katon, itu urusan ruang dan muatannya. Tapi tidak mungkin memahami ruang tanpa mengenali waktu. Juga sebaliknya. Sebagaimana mencari ombak jangan terjebak menciduk airnya.

    Dan untuk hal ruang dan waktu itu jangan bertanya kepada Markesot. Jawabannya mungkin kurang beradab, tidak berasal dari pendidikan, salah-salah malah justru membahayakan alur pengetahuan dan peta ilmu.

    Di masa kanak-kanaknya secara liar Markesot terkadang diam-diam main Jailangkung. Pakai boneka, tangannya dikasih kapur, di depannya ada sabak, papan hitam terbuat dari tanah, yang kapur bisa menggoreskan huruf atau kata. Jailangkung dipakai untuk memancing hadirnya energi liar, semacam roh yang magang, yang status quo, atau lazim disebut arwah gentayangan.

    Atau mungkin juga tidak liar, tidak gentayangan, bukan magang dan status quo. Mungkin someone out there. Kalau sudah ada gejala dia datang, Markesot bikin wawancara, yang pertanyaannya cukup dijawab dengan satu dua kata, dituliskan di sabak. Mungkin yang datang Menakjinggo, Qorun, Nambi, atau Jin iseng.

    Tidak penting itu benar atau tidak. Tidak perlu diperdebatkan itu cyberspace juga atau bukan. Ia kasunyatan atau maya. Yang diutamakan adalah membiasakan anak-anak manusia mengalami bahwa kehidupan ini sedemikian luasnya. Tak terbatas kali lipat dibanding yang bisa ditangkap oleh pancaindra.

    Di masa kanak-kanak Markesot, orang-orang di sekitarnya masih sering menggunakan ungkapan: “Oh, itu kan cuma Ngelmu Katon, gampang”. Adapun peradaban modern abad 20-21 adalah Peradaban Ngelmu Katon. Dan orang-orang tua di era peradaban ini, apalagi anak-anak muda, sangat terkagum-kagum pada Ngelmu Katon. Terpenjara dengan bangga oleh ketakjuban kepada materialisme. Yakni yang terdangkal, terkerdil dan terbodoh dari daftar peradaban-peradaban yang pernah ada dalam sejarah ummat manusia.

    Jailangkung yang sangat rawan terhadap persangkaan syirik klenik takhayul itu dulu secara tak sengaja dibiasakan supaya anak-anak manusia tidak mandeg di garis kebodohan dengan mengira debu itu kecil dan jagat raya ini besar tak terkira. Anak-anak harus memiliki pintu kemungkinan bahwa tata ruang berubah secara dialektis bersama tata waktu. Alam semesta yang agung ternyata terletak di dalam setitik debu.

    Semesta dalam debu.

    Semesta dalam debu.

    Semesta dalam debu.

    Itulah sebabnya ilmu Glepung, oleh Markesot diungkapkan tidak untuk siapapun kecuali untuk anak-anak cucunya sendiri, meskipun ia tak punya keluarga. Juga untuk siapapun saja di lingkaran pergaulannya, yang sudah tersaring untuk tidak datang bergaul membawa prasangka, dengki, nafsu menuduh, ringan memfitnah, serta kedangkalan yang menolak muatan-muatan.

    Semesta dalam debu.

    Semakin engkau memasuki wilayah mikro, nano, senano-nanonya, justru semakin terhampar keluasan jagat raya tan kinoyo ngopo tan keno kiniro.

    Semakin engkau meniti kelembutan, semakin hamba Tuhan yatalaththaf, melembut, memasuki yang terlembut, bergabung menjadi kelembutan itu sendiri, semakin ia temukan keagungan Allahu Akbar.

    Kelembutan bukan hanya tema komunikasi dan silaturahmi. Bukan hanya metoda dakwah yang diajarkan oleh Tuhan dan Nabi. Kelembutan adalah ujung Ma’rifat perjalanan yang engkau tempuh melalui Syariat, Thariqat, Shirath, yang ketiga kata itu semua bermakna jalanan.

    Peradaban Ngelmu Katon, Kebudayaan Pancaindra, mekanisme Kasat Mata, adalah bagian paling luar dan paling kasar dari semesta Cyberyang sesungguhnya. Bukan cyber atau maya yang sebagai kosakata — dipinjam sebagai konotasi, tapi kemudian diyakini sebagai denotasi. Seolah-olah yang dialami sebagai kenyataan, kenyataan yang diseolah-olahkan.

    Markesot dikepung oleh syubhat ilmu dan pengetahuan tentang itu semua. Syubhat yang riuh rendah di sekelilingnya. Membuat Markesot sungguh ingin duduk bersila saja di bilik kumuhnya. Atau sekalian loncat ke hutan. Duduk di tepi sungai di tempat terasing yang tak dijamah manusia.

    Markesot sangat ingin bertapa di semesta dalam debu. Tapi ia terlempar, tercampak di arena Gugon Tuhon.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  6. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Datar Dibulatkan, Bulat Didatarkan


    Ta’qid : “Nusantara di-Indonesia-kan. Rekayasa Presiden Klenik dan tahi kuku Dajjal Perwakilan Rakyat. Korupsi diurusi Klub Perampok. Emas ditembagakan. Punakawan dibadutkan, badut dibegawankan. Serta segala macam penjungkirbalikan Dajjali”

    Gugon-tuhon maksudnya sesuatu yang bukan tuhan tapi dituhan-tuhankan. Gugu, digugu, dianggap-anggap, diyakin-yakini, sampai tingkat dianut atau dipatuhi.

    Sebagai kasus teologi atau keimanan, sebuah Agama menyebutnya syirik, pelakunya Musyrik. Kemudian resonansinya bisa sangat melebar jika dipahami juga sebagai kasus keilmuan, mental dan budaya. Seseorang dengan praktik syirik mungkin tidak bisa dihukum sepenuhnya karena yang terjadi padanya adalah arus manipulasi ilmu dan pengetahuan, mental dan kultural, di mana sangat banyak orang menjadi korbannya.

    Miliaran manusia bisa mentuhankan sesuatu yang bukan Tuhan, dalam jangka waktu bisa sampai 1-2 milenium, mungkin karena “aktsaruhum la ya’qilun”, kebanyakan manusia tidak menggunakan akalnya.

    Untuk kepentingan kekuasaan, kapitalisme global, monopoli kekayaan bumi, atau demi hakiki eksistensi kekhianatan itu sendiri, Dajjal, sesuai dengan epistemologi namanya: menyebarkan dusta dan tipu muslihat fisika, astronomi, cuaca, gerhana, demokrasi, rasisme, gender melancholy, cyber capitalism, yang datar dibulatkan, yang bulat didatarkan, yang sorga dinerakakan, yang neraka disorgakan, yang baik disebar sebagai keterbelakangan, yang buruk dan merusak diumumkan sebagai kemajuan, serta segala macam “innahum yakiduna kaida” yang kecil-kecil, kita beli, dan menghuni rumah, kamar bahkan pakiwan kita.

    Bahkan sampai “Sirno Ilang Kertaning Bumi”. Majapahit dikubur. Jawa dan Melayu Kuno dihapus. Kesatria Demak Mataram dikebiri.

    Barat Timur dipertarungkan. Sosialisme Kapitalisme dipertengkarkan. Ottoman dikeroyok. Timur Tengah dilindas oleh Tank-tank Demokrasi Kilang-kilang Minyak.

    Nusantara di-Indonesia-kan. Rekayasa Presiden Klenik yang tanpa pertimbangan bobot dan mutu apapun, serta tahi kuku Dajjal Perwakilan Rakyat. Korupsi diurusi Klub Perampok. Emas ditembagakan. Punakawan dibadutkan, badut dibegawankan. Serta segala macam penjungkirbalikan Dajjali yang sangat banyak dan ragam di sekitar kehidupan sehari-hari setiap orang.

    Gugon-tuhon. Gugon-tuhon. Gugon-tuhon.

    Dan cyber machine adalah soundsystem raksasa seakan menyaingi terompet Malaikat Isrofil: menyebarluaskan, merasukkan, memviruskan, membakterikan, mengkankerkan beribu-ribu gugon-tuhon itu.

    Sesungguhnya di tengah itu semua sejumlah orang mengambil posisi dan mempekerjakan diri — di dalam lingkup syariat cyber itu — sebagaimana Nabi-Nabi yang menyampaikan sesuatu dari Tuhan kepada manusia. Mereka memastikan dirinya sedang bertugas pada proses akselerasi nilai dari Tuhan ke Nabi ke Rasul. Nabi itu pangkat, Rasul itu jabatan. Nubuwah itu penyampaian informasi,

    Risalah itu manajemen nilai yang menata dan mengendalikan informasi. Semua Risalah mengacu pada Nubuwah, meskipun tidak semua Nubuwah di-Risalah-kan. Semua Rasul itu Nabi, tapi tidak semua Nabi itu Rasul.

    Nabi itu pemberitaan, Rasul itu penugasan mengelola nilai berita, dengan regulasi antara kemerdekaan dengan batasan, antara pelampiasan dengan pengendalian, antara nge-gas dengan nge-rem, antara Futhur dengan Imsak.

    Tetapi IT ‘nubuwah’ Abad 21 adalah aplikasi untuk pelampiasan, terbuka untuk candu, nafsu, dengki, iri, curang, kepengecutan, lempar batu sembunyi tangan, lempar bom tanpa ketahuan, berpendapat tanpa tanggung jawab, memaki dan lari, memfitnah dan ngumpet, motret manusia bagian boroknya, ungkap perilaku bagian busuknya, ketemu sapi ambil buntutnya, manipulasi, pemotongan, mutilasi, adu domba adu ayam adu serigala adu manusia, bahkan adu Tuhan lawan Iblis, halal mengurangi, tidak haram menambah-nambahi, meniadakan yang ada, mengadakan yang tiada, serta segala macam yang insyaallah lebih cepat menghancurkan kehidupan manusia.

    Pada saat bersamaan IT sangat efektif untuk mengkudakan keledai, mengharimaukan kucing, mengkambingkan babi, mengkiyaikan korak, mempejabatkan preman, memuslimkan kafir, mentuhankan berhala, mensiapakan bukan siapa-siapa, mempemimpin-tertinggikan pembantu rumahtangga, meng-amirulwathon-kan sales toko kelontong.

    Tenggelamlah Markesot di lautan air matanya sendiri. Dan bodohlah Markesot yang tenggelam di lautan air matanya sendiri. Seolah-olah ia penanggung jawab utama kerusakan di Bumi.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  7. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Tidak Abadi? Enak Aja!


    Ta’qid : “Manusia wajib masuk keabadian. Di sorga ataukah neraka. Terserah. Tapi mereka diborgol dan diseret diangkut oleh keabadian...”

    Markesot sudah sangat berusaha untuk kembali berbaring dan memejamkan mata, tapi ternyata sosok remang orang tua itu mengejarnya.

    “Untuk apa kamu tanya siapa saya? Apa pentingnya siapa saya? Dan apakah kamu ini siapa-siapa sehingga merasa perlu menanyakan siapa saya?”

    Ogah-ogahan Markesot merespons. “Karena saya ditanya siapa maka saya juga bertanya siapa”

    “Saya hanya memenuhi kebutuhanmu”, kata orang tua itu.

    “Lho, kebutuhan apa?”

    “Kebutuhan bahwa Markesot, Kiai Sudrun, Saimon, Sapron, Brakodin atau siapapun, bahwa maya atau fana atau baka, bahwa kasat mata atau tak kasat mata, bahwa pancaindra atau jiwa, bahwa Nusantara atau Indonesia, bahwa jujur atau dusta, bahwa bangsamu disantuni atau diperdaya, bahwa ummat manusia selamat atau celaka, bahwa perusahaan atau Negara, bahwa pembangunan atau tipu daya, bahwa bumi bundar atau rata, bahwa dunia ini bagian atau pusat alam semesta, bahwa apapun saja yang kamu ribut memikirkan – itu semua bukan letaknya permasalahan”

    “Terserah”, Markesot apatis.

    “Jangan terserah”

    “Ya terserah”

    “Kok terserah”

    “Terserah saya mau terserah atau tidak terserah”

    “Kamu dan kalian semua tidak bisa absen dari kekekalan. Kalian tidak bisa mengelak dari keabadian. Kalian tidak bisa bersembunyi dari urusan dengan keabadian. Kalian tidak bisa menemukan tempat dan waktu selain dijaring dalam perhitungan selama waktu yang Tuhan menentukannya sebagai keabadian”

    “Saya justru memprihatinkan dan menentang kecenderungan hampir semua manusia terhadap kesementaraan”

    “Yang sementara adalah kesementaraan, tapi manusia yang memilih kesementaraan akan diseret memasuki gerbong-gerbong keabadian, untuk mempertanggungjawabkan pilihan kesementaraannya…”

    “Ke mana sebenarnya arah pembicaraan Sampeyan ini?”, Markesot memotong.

    “Bahwa semua manusia hidup abadi”

    “Belum jelas”

    “Bahwa manusia tidak bisa seenak nafsunya sendiri, merusak bumi, memboroskan anugerah kekayaan dari Tuhan, berbunuh-bunuhan satu sama lain, lantas mati, dan selesai. Tidak. Tidak bisa. Manusia harus mempertanggungjawabkan semua itu selama keabadian berlangsung sesuai dengan yang dijatahkan oleh Tuhan. Manusia wajib masuk keabadian. Di sorga ataukah neraka. Terserah. Tapi mereka diborgol dan diseret diangkut oleh keabadian”

    “Masih samar-samar”

    “Manusia silakan hidup berpijak pada kenyataan atau melayang-layang dalam kemayaan. Manusia silakan memilih satuan-satuan yang manapun dalam ruang dan waktu. Tetapi jangan dipikir semua selesai di kuburan”

    “Kalau itu sudah jelas sejak awal mula penciptaan”

    “Tidak ada urusan yang dilakukan oleh manusia adalah pembangunan atau perusakan, cinta atau pengkhianatan, kemewahan atau kekumuhan, kecanggihan atau keterbelakangan. Tuhan tidak memerlukan indah tidak indahnya dunia. Yang diurus oleh Tuhan adalah hamba-hamba-Nya, manusia-manusia, yang akan dibariskan dalam antrean sangat panjang, untuk dilihat apa yang tergenggam di tangannya, yakni pilihan nilainya, sikap yang diambilnya, serta perilaku yang dikerjakannya”

    “Itu juga sudah sangat jelas”

    “Tidak penting di mata Tuhan ummat manusia mencangkul saja selama hidup di bumi, membangun gedung-gedung tinggi, terbang dengan pesawat, berkomunikasi dengan cyber-cyber itu, atau sepanjang zaman menggembalakan lembu dan kerbau saja. Sama sekali bukan itu semua urusannya dengan Tuhan dalam keabadian”

    “Lantas apa hubungan itu semua dengan saya?”, Markesot tidak sabar.

    “Sangat jelas itu semua berkaitan dengan kecengenganmu. Kamu menangisi nasib miliaran manusia di muka bumi yang dipenjara oleh tipu muslihat global. Kamu meratapi nasib ratusan juta bangsa di sekitarmu yang tak kunjung mengerti bahwa mereka dibodohi, ditipu, didustai, dikempongi seperti balita. Sampai kapan kamu menangis, meratap, bercengeng-cengeng, putus asa. Tuhan mengejekmu: “Apakah kamu akan bersedih dan membunuh dirimu gara-gara mereka berpaling dari-Ku?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  8. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Puncak Ketidakseimbangan


    Sosok remang orang tua itu mencecar Markesot, tidak peduli Markesot sudah terbaring dan memejamkan mata.

    “Sekarang ini, hari-hari ini, mungkin detik-detik ini, seluruh dunia, secara makro maupun mikro, dari sistem-sistem besar kekuasaan global hingga individu-individu per manusia, sedang berada di puncak ketidakseimbangan, yang seluruh ilmu dan kekuatan manusia sangat tidak mencukupi untuk mengatasinya. Apalagi kamu sendirian yang selama ini saya amati juga sedang mengalami ketidakseimbangan”

    Markesot terbangkit dari baringnya mendengar kalimat yang terakhir itu.

    “Maaf, saya selama ini mengalami ketidakseimbangan?”, ia bereaksi, antara kaget, tersinggung dan bingung.

    “Kamu berjalan jauh, menyusuri dan melangkah di atas tanah yang tidak rata, itu pun jalanannya miring. Tanah yang tidak rata membuatmu terkadang terperosok, terloncat-loncat, tersandung, hampir terjungkal, sehingga terus-menerus kamu harus melakukan pekerjaan ekstra: yakni mencari dan menemukan kembali keseimbangan kaki dan seluruh badanmu”

    Sosok itu memberondong Markesot, tanpa peduli apakah Markesot memperhatikannya atau tidak, bereaksi atau tidak, mempertanyakannya atau tidak.

    “Jalanan yang kamu lalui juga miring. Kemiringannya terkadang sesuai dengan kemiringan tanah, kemudian tiba-tiba kemiringannya bertentangan dengan kemiringan tanah. Kamu harus tetap tegak pada garis gravitasi ketika berjalan di jalanan miring. Itu saja sudah membuatmu terkadang berhasil berdiri gravitatif, di saat lain gagal. Apalagi kemiringan jalan yang kamu lalui juga tidak menentu. Padahal kamu berpretensi untuk selalu menyimpulkan seberapa tidak rata tanah itu, berapa derajat kemiringan jalan yang di sini, yang di sana tadi atau yang di situ.”

    “Belum lagi kamu juga merepotkan dirimu sendiri dengan bertanya kepada dirimu sendiri: tanah tidak rata ini hanya di wilayah sekitar sini saja, ataukah se-Negara, ataukah seluruh bumi? Dari misalnya ada seribu jalanan, berapa yang miring, berapa perbandingan derajat kemiringannya di suatu daerah dibanding daerah lain? Apakah semua jalanan di Negeri ini miring semua? Apakah jalanan miring di Negeri ini menjadi miring secara alamiah, ataukah ada yang sengaja membuatnya miring? Kalau ada yang membuatnya miring, atas niatan, kepentingan atau motivasi apa?”

    “Kalau kamu yang merasa punya kuda-kuda kokoh saja setengah mati menegakkan badanmu dengan keseimbangan di atas kemiringan, bagaimana orang-orang lain? Bagaimana penduduk Negerimu? Bagaimana masyarakatmu? Seberapa mampu mereka menjaga atau menemukan kembali keseimbangan sesudah setiap kali dimiringkan dan diolengkan? Kalau seseorang berhasil tegak di atas kemiringan, sementara orang lain di sebelahnya atau yang berpapasan dengannya tidak berhasil menegakkan dirinya, pasti terjadi senggolan, atau mungkin bertubrukan atau saling menimpa. Dan itu pasti menjadi sumber konflik.”

    “Seluruh bumi sedang terkondisikan sampai tingkat ekstrem kemiringannya. Setiap jalanan membuat oleng posisi siapa saja yang melangkah di atasnya. Kondisi tanah dan jalanan, belum lagi lalu lintas arah angin yang tidak menentu, seperti itu, membuat seluruh situasi menjadi berguncang-guncang. Manusia di muka bumi berjalan dengan oleng, penuh gesekan dan tabrakan, dan kini semuanya sedang berada di puncak ketidakseimbangan”

    Setiap muncul kata ‘ketidakseimbangan’ Markesot merasa dipukul. Apalagi kalau orang tua yang tidak jelas itu menghubungkan ketidakseimbangan dengan dirinya.

    “Saya mengikuti perjalanan jauh yang kamu lakukan akhir-akhir ini. Sebenarnya itu adalah perjalanan untuk menemukan kembali keseimbangan dari dirimu. Dan sampai saat ini kamu belum berhasil menemukan keseimbangan itu, serta belum berdiri tegak di atasnya. Jangankan keseimbangan menyeluruh pada dirimu. Keseimbangan jasadmu saja tidak semakin tercapai. Struktur tulang-belulangmu, susunan semesta otot dan syarafmu, garis dari pusat tengah atas kepalamu tidak menuju tengah antara kedua kakimu, meskipun terus kamu upayakan untuk menyatu-garis dengan pusat bumi.”

    “Jangankan lagi keseimbangan jiwamu. Titik imbang antara intelektualitasmu dengan spiritualitasmu, dengan modulasi estetik dan akurasi keluaran mentalmu. Sedangkan di ruang berpikirmu saja setengah mati kamu berlaku seimbang. Kamu belum terbebas dari ketidakseimbangan lingkunganmu. Dari ketidakseimbangan peradaban berpikir ummat manusia dan bangsamu. Dari ketidakseimbangan wacana politik, ketidakseimbangan informasi, ketidakseimbangan data dan fakta, ketidakseimbangan ekosistem nilai dalam perhubungan antar kelompok-kelompok manusia dan bangsa. Ketidakseimbangan persepsi ilmu, ketidakseimbangan penglihatan politik, ketidakseimbangan penilaian kebenaran dan kebatilan, ketidakseimbangan kekuatan dan kekuasaan.”

    “Dunia dan Negaramu sedang berada di puncak ketidakseimbangan nilai-nilai kehidupan. Dan kamu juga belum berhasil menjaga keseimbangan dalam dirimu sendiri”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  9. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Garis Lurus dari dan ke Titik Qadar


    Ta’qid : “Ada garis lurus dari arasy Tuhan di langit, garis qadar, lurus ke pusat ubun-ubun kepalamu, kemudian ke titik tengah antara dua kakimu, hingga menunjuk akurat ke titik pusat gravitasi qadar Tuhan”

    “Kesimpulannya, Sot”, kata sosok tua itu akhirnya, “kamu sendiri belum lulus dalam menjaga keseimbanganmu di tengah ketidakseimbangan global zamanmu”

    Akhirnya Markesot tidak tahan juga oleh cecaran-cecaran itu. Meskipun ia tidak punya pengalaman bersekolah atau menjadi manusia terpelajar, ternyata tersinggung juga kalau dikasih stempel ‘tidak lulus’.

    “Tidak lulus bagaimana?”, Markesot bereaksi.

    “Kondisi tidak lulus itu membuatmu merasa ketelingsut, hilang lenyap, tertimbun, atau tersembunyi, di tengah hutan rimba ketidakseimbangan nilai yang berlangsung di zaman yang kamu berada di dalamnya. Kamu merasa sangat tertekan dan bahkan mungkin menderita, karena kamu bukan hanya tidak sanggup merumuskan apalagi mengatasi masalah-masalah zamanmu. Lebih dari itu bahkan kamu juga tidak kunjung menemukan kemampuan untuk merumuskan dirimu sendiri.”

    “Jadi, saya tidak lulus merumuskan diri saya sendiri?”

    “Ada garis lurus dari arasy Tuhan di langit, garis qadar, lurus ke pusat ubun-ubun kepalamu, kemudian ke titik tengah antara dua kakimu, hingga menunjuk akurat ke titik pusat gravitasi qadar Tuhan. Itulah gambaran paling jasad dari keseimbangan. Kamu berdiri tegak sejajar dan simetris dengan garis lurus arasy itu. Hanya pada dan dari posisi itu kamu bisa memandang alam dan dunia dengan keseimbangan. Yang kamu alami sejauh ini adalah oleng ke kiri atau kanan atau belakang atau depan, dengan derajat kemiringan yang terkadang membuat rebah bersilangan dengan garis arasy”.

    “Apa tanda dan akibat dari persilangan dengan garis arasy itu?”, Markesot bertanya.

    “Penduduk dunia tidak hanya berdiri miring dari garis qadar itu. Sebagian lainnya bahkan rebah dan sebagian yang lain lagi terjungkir arahnya dari garis arasy. Selama hidup di dunia manusia tidak akan pernah sanggup berdiri tegak simetris dengan garis qadar, parameter tuntutan untuk mereka adalah upayanya yang terus-menerus untuk membawa posisinya seakurat mungkin bersesuaian dengan garis yang mereka disuruh oleh Tuhan untuk menyebutnya as-shirath al-mustaqim

    “Sehingga doa utama mereka yang diulang-ulang hingga minimal 17 kali adalah ‘hidayahilah aku shirathal mustaqim’. Manusia yang menyadari jarak posisinya dari shirathal mustaqim menghitung dan menakar seberapa banyak ia mengupayakan kompatibilitasnya terhadap garis qadar itu. Atas dasar itu maka ia mungkin merasa perlu memperbanyak jumlah ibadah tidak wajib, bahkan membawa doa kelurusan dengan garis qadar itu di setiap langkahnya, gerakan bibirnya, detak jantungnya, jalan darahnya, getaran perasaannya, serta seluruh aktivitas jasad dan rohaninya”

    “Posisi tidak simeteris dengan garis qadar membuat silaturahmi sosial mereka dipenuhi bias, salah paham, keliru persepsi, gagal komunikasi. Membuat penataan politik kenegaraan mereka jauh dari gravitasi keadilan. Membuat pandangan dan penilaian mereka terhadap apa saja di dalam lalu lintas nilai sejarah yang mereka jalani menjadi penuh bahan perbenturan, pertentangan dan permusuhan. Kemudian melahirkan kedengkian, kebencian dan menjebol pintu-pintu aurat menuju langkah kalah menang, yang diaplikasi dengan segala tipu muslihat hingga tahap antara hidup dengan mati. Ketidakseimbangan yang memuncak membuat keserakahan pun memuncak, pemusnahan pun diselenggarakan, penguasaan total atas apapun saja urusan dunia dimaksimalkan”.

    “Kebanyakan manusia yang terbiasa tidak berada pada garis simetris dengan gravitasi qadar, akan hampir selalu terbalik melihat apapun saja yang berlangsung dalam kehidupan. Mereka mensyukuri turunnya adzab sosial politik, karena mereka menyangka itu berkah dari Tuhan. Mereka mengagumi, menyembah dan mematuhi fenomena yang sebenarnya sedang bergerak seperti air bah yang menghancurkan mereka hingga anak cucu mereka. Mereka membanggakan hal-hal yang seharusnya membuat mereka marah karena terhina. Mereka menghina, meremehkan dan mencampakkan hal-hal lain yang sesungguhnya mereka butuhkan untuk menyelamatkan sejarah mereka. Spektrum pandangan mereka miring atau terbalik, sehingga mereka benar-benar tidak mampu membedakan antara kehancuran dengan kejayaan”.

    “Mereka tidak diperkenankan oleh arus bah penghancuran untuk membiasakan diri mengamati sebab-akibat dari suatu peristiwa. Mereka dikurung untuk hanya menghuni sepetak ruang di lingkup akibat, tanpa memiliki alat apapun di akal dan ilmu mereka untuk mengerti sebab-sebab yang merupakan latar belakang dari akibat yang mengurung mereka. Demikianlah posisi mereka sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga suatu Negara, sebagai hamba Tuhan dan sebagai apapun saja”.

    “Dan kamu, Markesot, gagal mengurai itu semua. Bahkan kamu ketelingsut di tengah hutan belantara ketidakseimbangan zaman itu. Sekarang kamu harus memulai kembali segala sesuatunya dari awal. Kamu harus berwudlu total. Mensucikan diri tanpa sisa. Kemudian belajar kembali berdiri tegak di garis qadar, merasakan dan menghayati kembali takbiratul-ihrammu….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  10. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Manusia Rahmatan Lil’alamin


    Ta’qid : Sehingga apapun yang kau lakukan, kau ciptakan, kau bangun, kau susun, kau dirikan dan tegakkan – tetap berposisi ‘miring-tauhid’.

    Ketika bangun pagi itu, Markesot merasakan dirinya seperti tabung kosong, kering dan dingin. Sesekali angin bergerak pelan menyapu tengkuknya, membawa gemeremang bunyi ribuan kata, yang belum mereda sejak tadi malam menyerbunya.

    Berseliweran bayangan-bayangan mengepungnya. Beribu wajah, beribu peristiwa, beribu pengalaman, beribu derita dan kegembiraan, beribu keriuhan dan sunyi. Ratusan tahun peradaban manusia, memuai kesempitannya, menguncup kesemestaannya. Ummat manusia meloncat keluar dari diri mereka masing-masing dan bersama-sama, mempelajari dunia dan jagat raya, membangun kehebatan, kegagahan dan kemewahan — sampai tak ada waktu untuk mengenali diri mereka sendiri.

    Ummat manusia mengembangkan keahliannya untuk membangun keduniaan di dunia, sambil meragukan akherat, sorga dan neraka di kedalaman jiwanya. Yang unggul di antara mereka mengembangkan keahliannya untuk menyusun ilmu dan peradaban tipu muslihat, teknologi adu domba. Yang mayoritas di antara mereka digiring, diseret, dihimpun dan disandera di kutub-kutub, di petak-petak dalam setiap kutub, di kotak-kotak yang jauh dari katulistiwa, dengan kaki mereka berpijak di petak-petak itu. Ummat manusia berposisi miring satu sama lain, bahkan bersilangan dan garis-garis kuda-kuda hidup mereka bertentangan dan bertabrakan satu sama lain.

    Jika engkau manusia universal, tidak masalah akan tinggal di ujung sebuah kutub, terserah kutub manapun. Sebab kesadaran universalitasmu mentakdirkan posisi berdiri segaris dengan poros antara pusat bumi dengan ujung arasy. Asalkan engkau manusia rahmatan lil’alamin, maka setiap titik di bumi adalah garis gravitatif yang berentang tauhid kepada Allah.

    Tapi kalau posisimu adalah manusia petak, manusia kotak, manusia jengkal, manusia lokal, dan kesadaranmu sudah direkayasa menjadi kesadaran kutub, dan bukan kesadaran katulistiwa, maka engkau selalu mengalami kemiringan tauhid. Sehingga apapun yang kau lakukan, kau ciptakan, kau bangun, kau susun, kau dirikan dan tegakkan — tetap berposisi ‘miring-tauhid’.

    Di dalam penataan otoritas hakekat kewajiban dan hak, di dalam aplikasi politik dan kekuasaan, engkau harus membagi diri untuk bermusuhan satu sama lain menjadi pro-Barat atau Timur, blok-Utara atau Selatan, Sosialis atau Kapitalis, Liberal atau Konservatif, Religius atau Sekuler, bahkan secara nasional kalian menjadi manusia PDIP atau Golkar, Gerindra atau PKS, Hanura atau PPP, PBB atau PKB.

    Lebih terkeping-keping lagi karena PDIPmu bukan PDIP sebagaimana yang PDIP memperkenalkan dirinya sebagai PDIP. Juga kotak-kotak yang lain, yang merahnya tidak sungguh-sungguh merah, yang putihnya pura-pura putih. Bahkan lebih parah karena sesudah di wilayah atas petak-petak itu berhimpun menjadi sebuah rumah, ternyata di level bawah-bawahnya susunan petak-petaknya tidak sama komposisinya dengan yang di atas.

    Lebih hancur lagi karena perbedaan komposisi petak-petak untuk mengaplikasi hak politik itu tidak disusun berdasarkan kemerdekaan berpendapat dan kesucian aspirasi, melainkan berdasarkan tawar menawar finansial dan laba material. Kemudian keadaan itu memastikan diri untuk hampir mustahil dibenahi atau diperbaiki, karena setiap kata yang diucapkan dalam setiap ekspresi petak-petak maupun rumah itu, tidak benar-benar dimaksudkan sebagaimana maka denotatif dari kata itu.

    Setiap denotasi kata dikonotasikan, demi kepentingan uang dan keawetan kekuasan. Kemudian konotasi-konotasi yang dipakai untuk memanipulasi denotasi itu akhirnya diteguhkan sebagai denotasi baru. Lantas setiap denotasi baru mengalami nasib konotatif yang sama, secara terus menerus. Sehingga siklus denotasi-konotasi berlangsung secara simultan, menyusun bangunan oportunisme nilai, kemunafikan sikap dan pengkhianatan politik.

    Ketika kata ‘rakyat’ disebut, yang dimaksud bukan benar-benar rakyat, apalagi sungguh-sungguh untuk rakyat. Rakyat adalah komoditas terunggul di setiap jual beli kekuasaan. Sebagaimana kata ‘demokrasi’ adalah korban utama dari manipulasi denotasi dan pemanfaatan konotasi. Demikianlah juga peradaban ummat manusia yang Markesot ketelingsut di tengah-tengahnya itu mengkonotasikan denotasi makna Negara, Pemerintah, pembangunan, hukum, keadilan, kemajuan, peningkatan, pemerataan, dan beratus-ratus kosakata kekuasaan lainnya yang babak belur maknanya.

    Universalitas rahmatan lil’alamin dibagi-bagi dan dipersempit menjadi lingkup nasionalisme, kemudian dipetak-petakkan lagi menjadi golongan dan kelompok, diserpihkan lagi menjadi organisasi massa dan organisasi sosial politik, kemudian dikeping-kepingkan lagi sampai menjadi serbuk kasar oleh pengkonotasian denotasi-denotasi di setiap tahap aplikasi penyempitan itu.

    Bagaimana caranya manusia sebagai dirinya sendiri maupun sebagai ummat, masyarakat dan bangsa akan mengelak dari kehancuran yang mereka selenggarakan sendiri itu? Padahal setiap manusia dirancang Penciptanya untuk menghembuskan nafas rahmatan lil’alamin, karena kualitas ahsani taqwim mereka diracik oleh Allah lebih besar dari al’alamin itu sendiri.

    Tetapi kebanyakan mereka tidak berdiri di garis tauhid.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  11. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Menggerhanai Allah


    Ta’qid : “Sebab dunia, sejarah, politik, kebudayaan, teknologi, ilmu, peta bisnis, lalu lintas keuangan, dan apapun, selalu menciptakan kemiringan-kemiringan dari titik adil”

    Jadi siapakah sosok tua remang di bilik Markesot itu? Mungkin saja Kiai Sudrun, tapi pasti bukan Saimon, Sapron atau Brakodin. Atau magnet penyerap dari gelombang di dalam diri Markesot menyerap kehadiran entah siapapun: Kanjeng Sunan, Ki Ageng, atau malah Pendeta Dorna, bahkan siapa tahu malah resonansi Iblis.

    Yang paling mendekati, ia adalah bagian dari kosmos kesadaran dan aspirasi Markesot sendiri. Allah mengambil secuilan dzat dari diri-Nya sendiri, melemparkannya menjadi jagat raya dengan segala muatannya. Malaikat, Jin, Iblis, Setan, manusia, hewan, pepohonan dan batu-batu. Kemudian dengan ekosistem kewajiban dan hak yang ditawarkan oleh Allah, lahirlah peradaban demi peradaban — dan Markesot terselip, terjepit, ketelingsut di salah satu petak, di suatu tikungan atau lipatan.

    Itu membuat Markesot terpojok dalam kegelapan yang amat sunyi, ia berkedap-kedip menatap seluruh arah dan bertanya kepada dirinya sendiri: “Kenapa saya di sini? Apakah memang seharusnya saya ada di sini? Apakah memang Tuhan yang mencampakkan saya ke sini, ataukah terjadi semacam salah kelola pada kehidupan manusia, sehingga saya terbuang ke tempat ini? Atau saya sendirikah yang salah kelola atas diri saya sendiri sehingga tersesat ke maqam yang rasanya bukan maqam saya ini?”

    Markesot tidak punya kebiasaan untuk mengurusi nasib pribadinya atau memperjuangkan letak sosialnya di tengah kehidupan manusia. Markesot tidak pernah memikirkan eksistensinya, tidak menempuh karier pribadi, tidak memperjuangkan kepentingan dirinya. Di berbagai kurun kehidupan ia hanya merespons, mengabdi, melayani, dan sejak tadi malam ia merasa hilang di tengah hutan belantara pengabdian yang tidak ada ujung pangkalnya itu. Maka keluar dan hadirlah sosok atau gumpalan yang tertua dari ekosistem kejiwaannya.

    Markesot tidak mencari tempat di dunia, tidak memperjuangkan apapun untuk keperluan pribadinya. Tidak masalah ia bertempat atau ditempatkan di bagian manapun di dunia, sebab yang utama padanya adalah tak pernah bergeser posisi dirinya dan pilihan nilai-nilainya dari garis lurus tauhid, gravitatif, tengah antara dua kaki, membelah badannya hingga ke ubun-ubun dan menjulur lurus ke pusat arasy. Begitulah perspektif nilainya, pola berpikirnya, sangkan-paran perjalanannya, keputusan langkah-langkahnya, siang malam budayanya, serta gawang belakang dan depan iman kehidupannya.

    Tetapi tadi malam ia gerah oleh posisi universalitasnya serta maqam rahmatan lil’alaminnya. Secara sangat mendasar dan mengakar Markesot menggugat dirinya sendiri: “Kamu berada di sini ini karena dikirim oleh Tuhan atau ditindas oleh manusia?”

    Markesot dikepung oleh manusia-manusia madzhab, manusia aliran, manusia golongan, manusia kotak-kotak. Sebenarnya tidak ada masalah dengan madzhab, karena setiap orang harus berbagi jalanan untuk dilewati. Asalkan jiwanya tauhid dan pola berfikirnya gravitatif, cara memandang hidupnya dari titik tengah keadilan, di poros antara pusat arasy dengan pusat bumi, di hablun minallah.

    Sayangnya hablun minallah dipahami dan diumumkan berposisi bersilangan dengan hablun minannas. Yang pertama diasosiasikan vertikal, yang kedua horisontal. Alangkah jasadiyah dan materialistiknya cara pandang manusia atas kehidupan dan atas dirinya sendiri. Tidak akan ada apapun selain kehancuran yang akan terjadi pada perjalanan hidup manusia dan peradaban ummatnya yang bersilangan dengan sabilillah.

    Jika posisi berdiri tubuhmu, sistem nilai sosialmu, mekanisme Negara dan demokrasimu, tatanan akhlak kemanusiaanmu, bangunan kebudayaanmu dan keseluruhan ekosistem peradabanmu – berada pada kemiringan satu derajat saja, maka harus ada upaya dari dalam jiwamu, akal pikiran dan ilmumu, untuk menemukan ketegakan dirimu pada garis arasy dan poros tauhid.

    Terus-menerus harus engkau usahakan penyeimbangan semacam itu. Sebab dunia, sejarah, politik, kebudayaan, teknologi, ilmu, peta bisnis, lalu lintas keuangan, dan apapun, selalu menciptakan kemiringan-kemiringan dari titik adil. Engkau harus senantiasa bersiap siaga dengan mesin iman dan ilmu di dalam dirimu untuk mengantisipasi kemiringan-kemiringan yang terjadi.

    Sebab kalau tidak, untuk menggaris-lurus kepadamu, Allah digerhanai oleh tatanan sosial, oleh kekuasaan politik, oleh bias-bias ilmu, oleh tafsir-kutub atas Kitab Suci, oleh institusi Agama dan lembaga-lembaga kebudayaan, oleh mesin teknologi, oleh produksi-produksi industri, bahkan oleh Ulama, Kiai, Ustadz, pandangan-pandangan madzhabiyah, oleh versi-versi yang kau pahami sebagai garis-garis lurus kepada Allah.

    Percintaanmu dengan Allah menjadi hampir tidak pernah otentik.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  12. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Jalannya Orang Yang Menegakkan


    Ta’qid : “Demokrasi adalah sebuah sistem nilai yang punya kecenderungan sangat besar untuk menempatkan hakiki hidup manusia di garis arasy tauhid. Tetapi pada perkembangannya demokrasi menjadi sebuah atau salah satu kutub...”

    As-shirath al-mustaqim, pada pikiran Markesot, bukan ‘jalan yang lurus’. Yang lurus bukan jalannya. Jalan hidup manusia tidak lurus, melainkan bengkok-bengkok, berliku-liku, naik turun, berbelok dan menikung, bahkan terkadang berbalik dulu.

    Yang lurus adalah tauhid dan cintanya. Yang tegak di garis qadarnya Allah adalah pikirannya, sikap hidupnya, keputusan pribadi, sosial, budaya, politik dan peradabannya. Sebagaimana semiring apapun tanah yang dipijak, manusianya menghitung ketegakan badan dan bangunan rumahnya berdasarkan kelurusan dari gravitasi ke titik pusat arasy yang puncaknya adalah Kursi Singgasana Allah.

    Maka as-shirath al-mustaqim adalah berjalannya manusia yang menegakkan kelurusan tauhid itu. Mungkin dalam perjalanannya manusia mengalami kemiringan kultural, keterlipatan sosial atau bahkan keterjungkiran politik, tetapi ia tetap menegakkan prinsip kelurusan ke Singgasana Kursi Allah.

    Manusia silakan bertempat tinggal di bagian manapun dari bumi, tetapi ia tidak bisa atau tidak boleh menjadikan alamat eksistensinya itu sebagai pusat dunia, kemudian seluruh penduduk dunia harus berpedoman kepadanya sebagai pusatnya. Sebagaimana koordinat GMT akhirnya dipercaya sebagai ‘paku bumi’ atau Ka’bah tidak dihitung sebagai ‘pusat jaring’ kosmos.

    Sesungguhnya titik manapun di permukaan kebulatan bumi adalah pusat, sepanjang ia menarik garis dari pusat bumi dengan titik itu pada kelurusan dengan pusat arasy di mana Allah bersinggasana. Sesungguhnya manusia ke mana saja pun meng-othak-athik koordinat hidupnya akan selalu gathukdengan Maha Pusat Kehidupan. Dan makhluk apapun tidak bisa mengelak dari hakikat itu. Maka sebenarnya tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali mempersesuaikan ilmunya, ideologinya, pola pemikirannya, sasaran cintanya, mekanisme kemasyarakatan dan kenegaraannya, beserta seluruh perjuangan kebudayaan dan bangunan peradabannya — kepada hakiki as-shirath al-mustaqim.

    Manusia tidak bisa mengelak dari kesejatian itu, di dalam keabadian hidup yang hanya berbatas qadar-nya Allah.

    Akan tetapi sejarah ummat manusia mencatat kebanyakan mereka digiring, tercampakkan dan terkurung di luar garis kelurusan qadar itu. Di dalam bahasa syariat Islam, pola-pola kemiringan dari garis tauhid itu menghasilkan kemunafikan atau kemusyrikan, bahkan kekufuran.

    Jika melihat keadaan global, sangat jelas wujud-wujud tiga fenomena itu. Sampah-sampah yang mengendap dan muleg-muleg di pikiran Markesot adalah tentang itu semua, yang sekarang harus dikurasnya, dibersihkan dan dikosongkan kembali. Markesot harus melakukan cuci-gudang setotal-totalnya, baru kemudian ia bisa memulai kembali mengeja kehidupan, meniti dari huruf ke huruf, dari angka ke angka berikutnya.

    Tiga fenomena itu, kalau hanya berlangsung dalam peta global Peradaban Negara-negara abad ke-21, hampir semua orang bersepakat. Yang mungkin tidak benar-benar diketahui, apalagi disadari, adalah kemunafikan, kemusyrikan dan kekufuran itu juga pada kenyataan hakikinya berlangsung pada kaum yang yakin bahwa mereka adalah ummat yang beriman. Yang percaya dan mantap dengan kefasihan religius mereka, dengan ketekunan ibadah mereka.

    Di dalam berpolitik, demokrasi adalah sebuah sistem nilai yang punya kecenderungan sangat besar untuk menempatkan hakiki hidup manusia di garis arasy tauhid. Tetapi pada perkembangannya demokrasi menjadi sebuah atau salah satu kutub. Kutub demokrasi kemudian menyalahkan, menuduh dan mengutuk kutub non-demokrasi sebagai anti-kemanusiaan, anti hak asasi, anti kesejatian.

    Demikian juga dalam beragama, Islam mengandung suatu prinsip ekosistem nilai as-shirath al-mustaqim yang berhulu-hilir pada garis tauhid “qul huwallahu ahad”. Tapi kemudian pelaku Islam maupun pelaku non-Islam bersepakat dalam suatu proses jahalah untuk memahami dan meletakkan Islam sebagai suatu kutub nilai. Yang non-Islam meresmikan Islam sebagai sebuah kutub ekstrem yang dijadikan musuh bersama mayoritas penduduk bumi.

    Sementara Kaum Muslimin sendiri juga memantapkan diri meletakkan Islam sebagai sebuah kutub yang benar-benar ekstrem mempersalahkan yang non-Islam. Kaum Muslimin terpojok dan memojokkan diri di sebuah koordinat di tepian kebulatan bumi, terkurung dan melankolik di sebuah kutub. Mereka tidak lagi menjunjung ibu nilai Islam misalnya “khoirul umuri ausathuha” atau menyadari kuda-kuda gravitatifnya sebagai “ummatan wasathan”.

    Kemudian mayoritas penduduk dunia yang meletakkan Islam dan Kaum Muslimin sebagai musuh besar bersama, demi keperluan survival, penguasaan aset-aset kekayaan bumi dan perekonomian global, menemukan keuntungan jika Kaum Muslimin diperadudombakan, dipertengkarkan dan dipermusuhkan satu sama lain.


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  13. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Pusat Pandang Allah


    Ta’qid : “Tuhan berdomisili di madzhab masing-masing manusia, bahkan sub dan sub-sub bahkan sub-sub-sub-madzhab. Jalan ke sorga terbentang di petak tafsirnya masing-masing. Kebenaran Islam berlaku di alirannya masing-masing”.

    Dalam berbagai proses pembelajaran ilmu, dikenal suatu pola persepsi dengan idiom sudut-pandang, sisi-pandang, kemudian orang-orang di sekitar Markesot ada yang menambahi: jarak-pandang.

    Itu semua metode, kerendahan hati dan kesadaran untuk beranjak dari belum tahu menuju mungkin tahu. Kalau orang menawarkan rumah, dipasang foto rumah itu tampak-depan, tampak-samping, tampak-atas dan tampak-belakang. Tentu saja tidak diperlukan, bahkan mungkin tidak pernah diingat: tampak-bawah.

    Kalau urusannya hanya rumah, cukup disodorkan beberapa ‘tampak’. Meskipun yang disebut tampak-samping saja sesungguhnya memuat beribu kemungkinan gambar, bergantung derajat dan koordinat pengambilannya. Yang berbentuk kotak saja tetap ada beribu angle, koordinat, sisi atau spektrum yang berbeda-beda. Apalagi yang bulat atau bundar, siapakah yang pernah menghitung jumlah kemungkinannya?

    Yang jasad, yang fisik, yang materi saja tak terbatas sudut pandangnya. Yang kasat mata saja tak terjangkau oleh mata. Mungkin itu sebab Allah ‘menggoda’ manusia dengan “manthiquththoir”, spektrum-pandang burung. Juga “sulthon”, kekuatan-pandang, determinasi, daya tembus, daya-lembut menusuki wilayah-wilayah mikro kelembutan.

    Terlebih lagi yang rohani, yang software, yang nilai, yang berujung pada yang ghoib, yang hanya Allah yang ‘Alimul ghoibi wa-syahadah. Dan pada hakikinya ilmu itu, alQur`an itu, nilai-nilai itu, termasuk muatan aspirasi, hidayah, doa, atau bahkan mungkin setiap kata yang diucapkan oleh manusia — sesungguhnya adalah al-ghoib yang manusia sendiri tidak benar-benar ber-syahadah. Tidak sungguh-sungguh menyaksikannya, apalagi mengetahui kesejatiannya.

    Bahkan kebanyakan manusia tidak memiliki kesanggupan untuk ber-syahadah atas hatinya sendiri, jangankan lagi semesta luas jiwanya. Manusia tidak pernah mengenali dirinya dalam arti yang sebenarnya. Ia belajar dan melatih pengenalannya sepanjang hidup, di depan tantangan Tuhan: “Jangan menjadi orang yang lupa kepada Tuhannya sehingga lupa kepada dirinya sendiri”, sesudah progresivitas batin manusia melihat cakrawala: “barang siapa mengenali dirinya, maka ia mengenali Tuhannya”.

    Ilmu Jiwa mengenali, mengindentifikasi, menghapal dan menghitung indikator-indikator kejiwaan, tetapi tidak memasuki jalan atau lorong untuk benar-benar memasuki jiwanya. Peradaban dan kebudayaan berlangsung di lapisan indikator itu, tanda-tanda luar dari jiwa, ekspresi psikologis, tidak terlacak beda antara jiwa dengan ruh, rasa, hati, sanubari, nurani, roso, perasaan, ngeng, dengung, dlouq. Manusia hanya “gatal-gatal” oleh jiwanya yang sejati dan kebudayaan adalah menggaruk-garuk rasa gatal-gatal itu.

    Manusia, pada dirinya masing-masing, tidak punya waktu untuk mengenali presisi batas antara kebutuhan dan keinginan, antara semangat dengan nafsu, antara cinta dengan rasa-magnetik, antara cita-cita dengan khayalan, antara waspada dengan curiga, antara hati-hati dengan paranoia, antara optimisme dengan terburu-buru, antara sabar dengan lemah, antara arif dengan lembek, antara progresivitas dengan keserakahan, atau antara zuhud dengan rasa malas. Bahkan per kata dari semua itu juga tidak benar-benar dicari kejelasan satuan-satuannya.

    Kemudian peperangan terus-menerus terjadi di antara manusia dan kelompok-kelompoknya karena polarisasi atau pengkutuban. Mayoritas manusia berpijak pada kutub-kutub atau petak-petak yang tercerai berai, dan masing-masing meyakini kebenaran terletak di kutubnya masing-masing. Tuhan berdomisili di madzhab masing-masing manusia, bahkan sub dan sub-sub bahkan sub-sub-sub-madzhab. Jalan ke sorga terbentang di petak tafsirnya masing-masing. Kebenaran Islam berlaku di alirannya masing-masing.

    Tidak usah karena kepentingan kekuasaan atau keperluan perekonomian pun manusia di dunia sangat berkecenderungan untuk berperang karena fanatisme kutub-kutubnya masing-masing. Kebanyakan manusia tidak berkembang kemampuannya untuk melihat jarak antara kenyataan dengan penafsirannya terhadap kenyataan itu. tidak bisa melihat bentangan jarak antara nilai dengan interpretasi atas nilai. Antara Al-Qur`an dengan tafsirnya. Dan itu semua menghasilkan keterpencaran, kemudian benturan, permusuhan dan peperangan, air bah pengkafiran pemusyrikan pen-sesat-an, di antara manusia yang masing-masing memonopoli Tuhan dan kebenaran nilai di kutub dan petaknya masing-masing.

    Dan yang teraneh dari manusia adalah tidak kunjung mengetahui bahwa yang paling benar dari seluruh semesta relativitas sudut-pandang, sisi-pandang, cara-pandang dan jarak-pandang kebenaran yang mengepung mereka, tak lain adalah pusat pandang Allah sendiri atas ciptaan-Nya, termasuk manusia. Itulah hulu kehidupan dan segala penciptaan. Itulah sangkan-paran. Itulah titik awal dan akhir dari garis gravitasi semesta, poros qadar, hulu hilir tauhid. Metodologi berpikir, ilmu, teknokrasi dan segala jenis dan wilayah khilafah adalah “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. Manusia yang sangat terbatas ilmu dan pengetahuannya hanya bisa memahami bahwa itu adalah lingkaran atau bulatan. Padahal sesungguhnya ia lurus. Pada dimensi kesadaran inilah as-shirathal mustaqim bisa diartikan sebagai ‘garis lurus’.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  14. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Einstein Nyuwuk, Socrates Selawatan


    Ta’qid : “Kalau kamu mau meneruskan Nabi Nuh, bisamu cuma bisa bikin gethek atau perahu kecil. Kalau mau meniru Nabi Musa, Tuhan ngasih tongkat apa ke kamu? Mau meng-Ibrahim, mana kapakmu? Jarum pun kamu tak punya. Mau nyulaiman? Mana piring terbangmu?”

    Hari itu benar-benar sangat senyap dan berat bagi Markesot. Seperti hari pengadilan besar dan mendasar yang membanting-bantingnya. Ia malah menjadi seperti wakil sosok tua semalam yang meneruskan pengadilan atas dirinya sendiri.

    “Sot”, kata dirinya kepada dirinya sendiri, “Kamu ini sebenarnya siapa, letakmu di mana dan ngapain?”

    “Lha menurutmu saya siapa, letakku di mana dan ngapain?”, Markesot menjawab.

    “Apakah kamu ini Negarawan atau politisi? Kok berat amat memikirkan Negara dan Bangsa?”

    “Lho saya tidak pernah memikirkan itu. Negara dan Bangsa yang nyelonong masuk ke otak dan hati saya tanpa saya minta”

    “Siapa yang menyorong soal itu ke dalam dirimu?”

    “Ndak tahu. Mungkin Tuhan, mungkin setan”

    “Atau kamu yang memang usil. Gegedhen rumangsan. GR. Tidak ada yang menyuruhmu, tidak ada yang mendaulatmu, tidak ada yang mewakilkan urusan Bangsa dan Negara kepadamu, tidak ada yang mempercayaimu, tidak ada yang mendengarkanmu, tapi kamu sok asyik dengan tema itu”

    “Lho saya tidak pernah berhajat apa-apa. Itu berlangsung begitu saja tanpa saya bisa menghentikannya. Mungkin karena bagaimanapun saya ini diposisikan sebagai manusia, dengan semua kemungkinan perhatian dan cintanya”

    “Kalau mau mengurusi politik ya terjun dong ke dunia politik. Kalau mau jadi Negarwan ya tampil dong di panggung nasional Negara yang kamu huni. Kok malah masuk hutan, bengong di tepi sungai, berlagak seperti pertapa, melanglang desa-desa, menjauh dari pusat masalah yang kamu pikirkan sampai hampir pecah kepalamu”

    “Kan saya tidak punya hajat, kepentingan, ambisi atau cita-cita untuk itu. Saya hanya dijadikan dan diperjalankan….”

    “Tapi kalau memang jadi Negarawan ya tidak usah jadi pengarang lagu”

    “Saya bukan pengarang lagu. Saya sekadar memenuhi ruang kosong yang memerlukan lagu”

    “Kalau urusan lagu, nada, irama, aransemen, nuansa, ya tidak perlu menjadi penafsir Kitab Suci”

    “Saya bukan penafsir, yang saya lakukan hanya menjawab pertanyaan tentang sesuatu yang perlu penafsiran baru”

    “Kalau sudah sibuk jadi penafsir ayat-ayat Tuhan ya tidak usah meloncat-locat ke lapangan sepakbola, tinju, kickboxing atau MMA”

    “Mungkin karena ada semacam naluri atau daya serap dalam dan dari diri setiap manusia untuk mencari sportivitas, kejantanan, ketegasan, keteguhan dan keadilan”

    “Kalau memang mau tuntas mengurusi olahraga ya tidak perlu jadi ilmuwan, menganalisis masalah sosial dan kemasyarakatan, bahkan sok tahu tentang fisika, gravitasi, kemiringan dari garis tauhid, sikap gravitatif, ketajaman ujung jarum di titik tengah universalitas”

    “Namanya juga manthiq, ia berlaku di apa saja, bisa loncat ke pata apapun, tema apapun, masalah apapun”

    “Tapi di dalam sejarah tidak ada ilmuwan sekaligus Dukun. Einstein tidak nyuwuk orang sakit, Socrates tidak selawatan. Kalau selawatan ya fokus seperti Imam Busyiri, AlHabsyi, Kiai Mansur, Kiai Asnawi, Guru Ijai atau AlBarzanji. Tidak nyelonong-nyelonong mendamaikan ribuan petambak yang tawur, saling melukai, mengusir, membunuh”

    “Siapa yang nyelonong? Ada orang minta tolong ya wajib ditolong”

    “Kalau memang mengurusi persatuan dan kesatuan masyarakat, bagaimana mungkin sekaligus juga menjadi penyair, penulis repertoar teater, melengserkan Presiden, workshop dengan anak-anak, dan macam-macam lagi. Kamu ini tidak fokus. Kamu rakus. Semua yang kamu lakukan itu menggambarkan keserakahan. Makanya kamu jadi keranjang sampah. Semua masalah manusia dibuang ke kamu. Kamu dituntut untuk mampu menyelesaikan semua masalah manusia, masyarakat, Negara, Dunia, di semua bidang, Agama, politik, ekonomi, kebudayaan, ilmu, moral, mental, spiritual, kesehatan fisik, kebatinan, dan segala macam lainnya. Itu semua bersumber tidak lain dari kebodohan dan kesombonganmu sendiri”

    “Yang salah yang membuang dong”

    “Kesulitan keluarga mencari nafkah, Negara tidak beres, ijtihad ilmu, semua kemudlaratan di bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, praktik keagamaan, orang sedih dan stres, wanita hamil minta didoakan, racun-racun informasi dan komunikasi, pelayanan nama bayi-bayi, keterancaman para ilmuwan penemu dan inovator, orang ketakutan tertangkap kasus korupsi, laskar-laskar milisi-milisi mau menyerbu, erupsi gunung berapi, semua kamu telan.”

    “Saya tidak menelan. Itu semua masuk begitu saja ke mulut saya”

    “Kamu pikir kamu Nabi atau Rasul atau Imam Mahdi? Sehingga merasa bertanggung jawab atas semua masalah ummat manusia? Kalau kamu mau meneruskan Nabi Nuh, bisamu cuma bisa bikin gethek atau perahu kecil. Kalau mau meniru Nabi Musa, Tuhan ngasih tongkat apa ke kamu? Mau meng-Ibrahim, mana kapakmu? Jarum pun kamu tak punya. Mau nyulaiman? Mana piring terbangmu? Pernah belajar manthiqut-thoir? Mana pasukan Jin-mu? Mana laskar burung-burungmu? Atau mau jadi pahlawan sehingga kamu menyalib dirimu sendiri?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  15. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Mengawinkan Kurma


    Ta’qid : “Nilai sebaiknya ditemukan oleh setiap orang secara otentik dan mandiri. Semua perkataan dan bahan yang ia dengarkan dari siapapun, hanya ********** untuk mencapai proses otentiknya sendiri dalam rangka menemukan dan meyakini kebenaran”

    “Nabi Muhammad saja tahu diri sehingga menyatakan kepada petani kurma itu: Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”, tak berhenti Markesot mengadili dirinya sendiri.

    Memang Nabi pernah suatu hari berjalan melintasi kebun kurma dan terkejut melihat petani berada di atas pohon kurma. Beliau menanyakan, dan dijawab bahwa petani itu sedang mengawinkan serbuk bunga kurma agar lebih pasti tahapnya untuk berbuah. Karena baru mengetahui hal itu, beliau berkata “Selama ini saya pikir kurma tidak perlu dikawinkan untuk berbuah”.

    Karena jarak dari beliau di bawah cukup jauh dengan posisi petani di bagian atas pohon kurma, si petani salah tangkap terhadap kalimat Nabi. Ia menyangka beliau menyatakan bahwa kurma tidak perlu dikawinkan.

    Maka petani itu lantas menghentikan kegiatannya mengawinkan kurma. Akibatnya ketika saat panen tiba, hasil buah kurma di kebunnya tidak sebanyak biasanya kalau dikawinkan terlebih dulu. Maka si petani berkunjung ke tempat Nabi dan memprotes, sehingga Nabi menjelaskan bahwa ada kesalahpahaman, kemudian beliau tegaskan “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”.

    Maka Markesot menjawab: “Maksudmu Nabi saja mengaku bahwa ada sesuatu yang ia tidak tahu, atau ada bidang tertentu yang tidak beliau kuasai. Sedangkan saya merasa tahu semua dan mengerti apa saja?”

    “Memang begitu orang-orang di sekitarmu menganggapmu”

    “Kenapa anggapan orang dituduhkan sebagai anggapan saya atas diri saya sendiri?”

    “Karena kamu tidak pernah menolak atau mengelak dari anggapan itu”

    “Setahu saya, selalu atau setidak-tidaknya sangat sering saya katakan kepada teman-teman sejumlah hal yang membatalkan tuduhanmu itu. Misalnya, saya nyatakan bahwa apapun yang saya kemukakan, itu bukan kebenaran yang mutlak atau permanen. Sangat mungkin beberapa saat sesudahnya saya membantah sendiri pernyataan saya sebelumnya karena mungkin kemudian ada kebenaran yang lebih kuat yang menimpa saya”

    “Tapi kamu kan tidak pernah menolak untuk menjawab sesuatu yang sebenarnya kamu belum tentu tahu”

    “Saya tidak pernah menjawab pertanyaan. Yang saya lakukan hanya menjalankan kewajiban untuk melayani orang bertanya. Benar atau salahnya yang saya kemukakan selalu saya relatifkan sendiri. Bahkan hampir selalu saya nyatakan hendaknya orang-orang itu jangan percaya kepada saya. Andaikanpun yang saya kemukakan itu ternyata benar, maka mohon janganlah kebenaran itu diyakini karena saya. Nilai sebaiknya ditemukan oleh setiap orang secara otentik dan mandiri. Semua perkataan dan bahan yang ia dengarkan dari siapapun, hanya ********** untuk mencapai proses otentiknya sendiri dalam rangka menemukan dan meyakini kebenaran”.

    “Tetapi buktinya pernyataan-pernyataanmu itu tidak membuat mereka mengurangi kesimpulannya bahwa kamu mengerti semua dan bisa menjawab pertanyaan apa saja”

    “Apakah itu kesalahan saya? Kenapa kesalahan anggapan orang atas saya malah ditimpakan kepada saya? Kan saya justru korbannya. Saya tidak pernah mengatakan, apalagi menawarkan, bahwa saya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan. Apalagi soal-soal yang besar: Negara, perekonomian nasional, kekuasaan politik, pergantian rezim, degradasi kebudayaan, disinformasi global, kehancuran moral, kelunturan mental, keterjungkiran intelektual, atau semua yang besar-besar, luas dan megah seperti itu. Saya kan sekadar menjalankan apa yang saya yakini untuk saya jalankan. Sejak kanak-kanak dulu Ibu saya selalu menasihati “perbuatlah kebenaran dan kebaikan kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja”.

    “Bukanlah kamu sendiri yang sering memberitahukan kepada orang-orang di sekitarmu bahwa tidak ada keharusan bagi semua orang untuk melakukan semua hal, apalagi satu orang melakukan semua pekerjaan. Hidup ini sangat penuh batasan dan manusia dihuni oleh banyak kelemahan dan kekurangan. Maka yang paling memenuhi nalar adalah sebagian orang melakukan sebagian hal, atau seseorang melakukan suatu hal. Sepanjang sejarah tidak ada tokoh atau manusia dengan kualitas apapun saja yang merangkap-rangkap keahlian secara berlebihan. Tidak ada Ilmuwan merangkap Teaterawan. Tidak ada Pakar Politik merangkap Tabib. Tidak relevan Filosof merangkap Komandan Mujahidin. Tidak kompatibel Penyair merangkap Konsultan Olahraga Tinju. Tidak masuk akal Mursyid Thariqat memaparkan hal-hal tentang regulasi Migas. Lucu kalau Lalat mengurusi Macan. Berlebihan kalau Ayam mengkomandani Burung-burung. Petugas Pemadam Kebakaran pun hanya memadamkan bangunan kebakaran, tidak lantas menangani segala jenis kebakaran dari yang fisik sampai yang spiritual. Kamu harus belajar menyederhanakan diri, Sot. Kamu harus kembali berpijak di bumi.”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  16. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Perjalanan Penderitaan


    Ta’qid : “...karena kita orang bawah, rakyat kecil yang tidak berdaya, tidak punya modal untuk membiayainya, tidak punya akses internasional untuk support, tidak memiliki massa, tidak punya kesaktian atau apapun yang menjadi syarat perubahan mendasar kehidupan Negara dan Bangsa”

    Ketika Markesot sedang suntuk tertekan oleh masalah langkanya Manusia Gravitasi, titik adil, khoirul umuri ausathuha, tiba-tiba datang seorang teman lamanya yang sudah dua puluh tahun lebih baru nongol lagi. Wajahnya agak berbunga-bunga, seperti sedang penasaran oleh sesuatu, atau memang bergembira.

    “Mungkin anak ini sukses hidupnya”, Markesot bergumam dalam hati, “mungkin dia kaya sekarang, pakaiannya necis, wajahnya klimis. Mungkin akan mengajak ke warung entah apa untuk makan enak”

    Sebenarnya belum selesai kepala Markesot berputar-putar oleh pikiran tentang bagaimana menjelaskan banyak kebobrokan sosial yang terjadi sekarang ini, melalui amsal kuda-kuda lurus antara titik pusat bumi dengan Kursi Allah, yang menjadi sumber berbagai macam kasus yang ia jumpai.

    Dari posisi dan ‘nasib’ per orang, keluarga dan komunitas-komunitas, sampai tingkat makro: kemiringan Negara, keambrukan, bahkan keterbalikannya. Yang itu semua semakin memastikan masa depan ambruk dan rubuh-nya. Meskipun kebanyakan orang baru mengerti sedang ambruk ketika bentuknya sudah seperti kiamat kecil yang kasat mata: Negara bangkrut, gedung-gedung perekonomian mangkrag, putaran uang melamban dan macet, krisis pangan, antre jatah beras, langka air, sekolah libur, listrik byar satu pet sepuluh, dan penderitaan-penderitaan fisik semacam itu.

    Markesot membayangkan ia akan memulai kembali berangkat dari tatanan sosial yang paling bawah. Melakukan atau melayani semacam “perjalanan penderitaan”, meneliti kembali akibat-akibat mikro dari kemiringan-kemiringan gravitatif makro, sambil melihat apakah ia bisa sedikit membantu penyelesaian masalah. Markesot menemukan bahwa seluruh kasus-kasus yang terjadi, semua permasalahan sosial di bawah atau menengah, sesungguhnya prosentase terbesarnya adalah merupakan akibat dari sebab-sebab makro dan elite nasional serta internasional.

    Tapi tiba-tiba teman itu datang, tanpa melihat-lihat situasi Markesot, langsung saja nyelonong dengan wajah polos yang berbunga-bunga.

    “Sekarang saya baru mengerti apa yang Cak Sot omongkan tiga puluhan tahun yang lalu”, ia langsung menusuk, tanpa sapaan basa-basi layaknya seorang tamu.

    “Omongan apa?”, Markesot balik tanya.

    “Tentang mundur ke depan dan maju ke belakang. Begitu Cak Sot dulu menggambarkan perjalanan bangsa kita”

    “O, itu”, jawab Markesot, “Ya, saya ingat sedikit-sedikit tapi samar karena sudah terlalu lama”

    “Cak Sot menyatakan tidak ikut arus perjuangan bangsa yang mengejar ketertinggalan, yang diposisikan sebagai Bangsa dan Negara terbelakang. Cak Sot bilang bahwa arah perjalanan yang Cak Sot tempuh berbeda, bahkan mungkin terbalik, dari arah perjalanan mayoritas bangsa ini terutama mainstream kepemimpinannya.”

    “Tapi kan saya tidak melawan”, sahut Markesot, “Saya tidak makar, tidak berontak, tidak merancang kudeta, tidak berambisi untuk mengambil alih kekuasaan, tidak berpikir revolusi atau apapun yang bisa malah menambah kekacauan perjalanan bangsa ini”

    “Ya, Cak Sot bilang semua itu tidak akan kita lakukan karena kita orang bawah, rakyat kecil yang tidak berdaya, tidak punya modal untuk membiayainya, tidak punya akses internasional untuk support, tidak memiliki massa, tidak punya kesaktian atau apapun yang menjadi syarat perubahan mendasar kehidupan Negara dan Bangsa”

    “Saya bilang begitu dulu?”

    “Seingat saya, ya”

    “Dan kamu serta kawan-kawan percaya?”

    “Tidak perlu percaya atau tidak percaya. Karena kenyataannya memang begitu. Kan Cak Sot sering bilang bahwa kepercayaan itu diperlukan untuk menjadi jembatan antara kita dengan sesuatu yang kita belum bisa menyentuhnya. Lha keadaan kita kan sudah jelas, sudah nyata, dan posisi kita sudah menyatu dengan kenyataan itu, bahwa kita memang rakyat kecil yang tak berdaya”

    Markesot tersenyum kecut. “Jadi apa yang membuatmu tiba-tiba nongol ke sini? Apa yang menyebabkan kamu senyum-senyum dengan wajah yang berbunga-bunga?”

    Temannya menjawab, “Karena kemarin saya tiba-tiba menemukan bahwa yang Cak Sot sampaikan dulu ternyata benar”

    “Memangnya ada apa sehingga kamu berkesimpulan seperti itu?”

    “Saya membaca sebaran tulisan tentang kata-kata seorang Kiai di Magelang, yang dalam tumpukan pengetahuan saya menegaskan kebenaran kata-kata Cak Sot bahwa Sampeyan tidak ikut arus perjuangan bangsa yang mengejar ketertinggalan, yang diposisikan sebagai Bangsa dan Negara terbelakang. Cak Sot bilang bahwa arah perjalanan yang Cak Sot tempuh berbeda – dan seterusnya seperti saya bilang tadi…”

    “Kiai siapa nama beliau?”, Markesot bertanya.

    “Tidak ada namanya di tulisan itu”

    Teman Markesot kemudian mengeluarkan handset-nya, membuka aplikasi tertentu, kemudian menunjukkan ke Markesot tulisan yang dimaksud.


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  17. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Lombok Tarmihim


    Ta’qid : “Hak dan kewajiban bukan dua hal yang sejajar atau setara. Kewajiban adalah bapaknya, hak adalah anaknya. Tidak ada Gudel yang lahir tanpa Kerbau.”

    Tarmihim, demikian nama teman lama Markesot itu, tiba-tiba sadar tentang apa yang dilihatnya: perubahan wajah Markesot sedemikian seriusnya sesudah membaca beberapa tulisan yang ia bukakan. Kesedihan yang sangat mendalam terpancar sangat nyata melalui guratan-guratan di wajah itu.

    Bahkan dengan polosnya spontan Tarmihim berkata: “Gusti Pengeran, Cak Sot, nyuwun sewu Sampeyan sudah tua ya…”.

    Markesot terkejut oleh pertanyaan yang sangat bersifat pernyataan itu, tetapi wajahnya tidak bereaksi oleh itu. Markesot tidak menatap wajah Tarmihim untuk menampakkan responsnya. Dan Tarmihim menyadari bahwa wajah tua Markesot tampaknya bukan semata-mata karena memancarkan kesedihan yang mendalam, tetapi karena memang benar-benar ia sudah tua.

    Tiba-tiba Markesot berdiri. Masuk ke dalam kamarnya. Kemudian kembali membawa botol air dengan dua gelas. Ia menuangkan air ke dua gelas itu dan menyodorkan satu ke depan Tarmihim. Kemudian Markesot bersandar di tembok. Wajahnya menatap jauh ke depan, terkadang ke langit-langit atas, sekilas melewati pusat mata Tarmihim.

    “Kenapa kepandaian anak-anak sekarang tidak membawanya ke suatu posisi kesadaran di antara kewajiban dan hak. Saya belum berhasil memahami hal itu sampai detik ini”, Markesot berkata sangat pelan.

    Dengan polos Tarmihim menatap wajah Markesot. Tapi ketika sorot mata Markesot pun menatapnya, Tarmihim membuang pandangannya ke bawah. Ia tidak memasukkan kalimat Markesot ke dalam pikirannya, karena masih penuh dengan semacam rasa tertekan melihat kerut-kerut ketuaan di wajah Markesot.

    “Kenapa kecerdasan pikiran anak-anak modern sekarang ini sangat miring ke wilayah hak dan menjauh dari kewajiban”, suara Markesot lagi, “mereka sangat peka dan penuh kobaran api untuk hal-hal yang menyangkut hak, tetapi hampir padam ingatannya terhadap kewajiban. Apa karena sejak kecil ke dalam telinga mereka diperdengarkan urutan kata hak dan kewajiban. Hak dulu, baru kewajiban. Yang utama adalah hak, berikutnya baru mungkin ada kewajiban. Yang primer adalah hak, sedangkan kewajiban berposisi sekunder. Saya sungguh belum mampu memahami”

    Tarmihim mulai mendengarkan kalimat Markesot yang menyebut hak dan kewajiban, sehingga ia mencari apa hubungannya dengan tulisan-tulisan yang tadi ia sodorkan. Setahu Tarmihim, tema tulisan-tulisan itu tidak ada kaitannya dengan hak dan kewajiban.

    “Apakah tidak pernah ada Guru atau Dosen, Kiai atau Ustadz, Pastur atau Pendeta, tulisan atau makalah, atau apapun saja, yang menjelaskan bahwa hak adalah buah dari kewajiban”, Markesot meneruskan.

    Tentu saja Tarmihim semakin kehilangan jejak. Dan semakin tertinggal oleh percepatan pikiran dan ungkapan Markesot.

    “Bahwa hak baru diperoleh sesudah seseorang menjalankan kewajiban. Sementara kalau dibalik, andaikan hak dulu yang dipegang oleh seseorang, ia berisiko kewajiban”, lanjut Markesot, “Hak dan kewajiban bukan dua hal yang sejajar atau setara. Kewajiban adalah bapaknya, hak adalah anaknya. Tidak ada Gudel yang lahir tanpa Kerbau. Anak-anak sekarang sangat sadar Gudel, tapi semakin melupakan Kerbau”

    Tarmihim semakin pasrah pada ketidakmengertiannya.

    “Masa depan mereka sangat mengkhawatirkan, karena masa silam mereka tinggalkan dalam kegelapan”

    Mata Tarmihim berkedip-kedip di hadapan wajah Markesot, pikirannya loncat ke sana kemari tak menentu.

    “Tuhan sendiri sesudah menciptakan makhluk, menjalankan terlebih dulu kewajiban-Nya atas makhluk-makhluk itu, baru ia menentukan diri-Nya memiliki hak atas mereka. Tuhan menghamparkan rezeki, melimpahkan fasilitas-fasilitas, kesuburan dan kemakmuran, tetumbuhan kesejahteraan dan jaminan hidup, baru kemudian Ia memerintahkan kepada makhluk-makhluk-Nya untuk berterima kasih kepada-Nya dengan cara mengabdi, dalam bentuk ibadah, cinta dan kesetiaan”

    Benar-benar Tarmihim tidak bisa melacak sama sekali apa hubungan semua ungkapan Markesot itu dengan isi tulisan-tulisan yang dibacanya tadi.

    “Kamu sekarang tinggal di mana?”

    Tarmihim kaget oleh pertanyaan Markesot yang sangat mendadak di tengah kalimat-kalimat yang susah dimengertinya.

    “Di Magelang, Cak Sot”, tergagap ia menjawab.

    “Di kota?”

    “Agak naik ke arah barat kota, di pegunungan”

    “Bertani?”

    “Ya. Lombok”

    “Apakah orang yang bertanam Lombok berhak menentukan harga Lombok?”

    Tarmihim semakin tergagap oleh pertanyaan itu. Bukan hanya karena sekian puluh tahun bertani Lombok ia ternyata memang belum pernah menentukan harga Lombok, tapi juga karena semakin tidak mengerti apa hubungan tani Lombok dengan hak dan kewajiban yang sebelumnya diomong-omongkan oleh Markesot.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  18. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    One Piece Anime Episode (001-008) - Romance Dawn & Orange Town Arc
    @GoogleDrive @155Mb [720p] [AnimeOut]

    [​IMG]
    Hidden Content Hide Post Membutuhkan 10 post(s):
    **Hidden Content: To see this hidden content your post count must be 10 or greater.**
    ----------------------------------------------------------------------

    One Piece Anime Episode Lainnya (per Arc) [720p] @80-180Mb @GoogleDrive

    Semua koleksi ane episode sebelumnya dijamin 720p dengan ukuran 80-180Mb dari berbagai sumber terpercaya macam Yibis, Horrible Subs, Sora Innosia, Archnime, Anime 7, lihat list lengkap per arc di Superindex Post ane.

    Link download mati atau error? Segera PM ane :piso:

    Akhirnya ane punya One Piece Anime 720p dari Eps 1 sampe yg terbaru :nikmat:
     
    • Like Like x 16
    Last edited: Oct 29, 2018
  19. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    One Piece Anime Episode (009-018) - Syrup Village Arc
    @GoogleDrive @147Mb [720p] [AnimeOut]

    [​IMG]
    Hidden Content Hide Post Membutuhkan 10 post(s):
    **Hidden Content: To see this hidden content your post count must be 10 or greater.**

    ----------------------------------------------------------------------

    One Piece Anime Episode Lainnya (per Arc) [720p] @80-180Mb @GoogleDrive

    Semua koleksi ane episode sebelumnya dijamin 720p dengan ukuran 80-180Mb dari berbagai sumber terpercaya macam Yibis, Horrible Subs, Sora Innosia, Archnime, Anime 7, lihat list lengkap per arc di Superindex Post ane.

    Link download mati atau error? Segera PM ane :kaget:
    Akhirnya ane punya One Piece Anime 720p dari Eps 1 sampe yg terbaru :puff:
     
    • Like Like x 11
    Last edited: Oct 29, 2018
  20. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    One Piece Anime Episode (019-030) - Baratie Arc
    @GoogleDrive @143Mb [720p] [AnimeOut]

    [​IMG]
    Hidden Content Hide Post Membutuhkan 10 post(s):
    **Hidden Content: To see this hidden content your post count must be 10 or greater.**

    ----------------------------------------------------------------------

    One Piece Anime Episode Lainnya (per Arc) [720p] @80-180Mb @GoogleDrive

    Semua koleksi ane episode sebelumnya dijamin 720p dengan ukuran 80-180Mb dari berbagai sumber terpercaya macam Yibis, Horrible Subs, Sora Innosia, Archnime, Anime 7, lihat list lengkap per arc di Superindex Post ane.
    Link download mati atau error? Segera PM ane :lalala:
    Akhirnya ane punya One Piece Anime 720p dari Eps 1 sampe yg terbaru :hoho:
     
    • Like Like x 10
    Last edited: Oct 29, 2018
  21. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    One Piece Anime Episode (031-044) - Arlong Park Arc
    @GoogleDrive @143Mb [720p] [AnimeOut]

    [​IMG]
    Hidden Content Hide Post Membutuhkan 10 post(s):
    **Hidden Content: To see this hidden content your post count must be 10 or greater.**

    ----------------------------------------------------------------------

    One Piece Anime Episode Lainnya (per Arc) [720p] @80-180Mb @GoogleDrive

    Semua koleksi ane episode sebelumnya dijamin 720p dengan ukuran 80-180Mb dari berbagai sumber terpercaya macam Yibis, Horrible Subs, Sora Innosia, Archnime, Anime 7, lihat list lengkap per arc di Superindex Post ane.
    Link download mati atau error? Segera PM ane :peluk:
    Akhirna ane punya One Piece Anime 720p dari Eps 1 sampe yg terbaru :panda:
     
    • Like Like x 10
    Last edited: Oct 29, 2018

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.