1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Than A Tasteful Floccinaucinihilipilification, It's A Vengeful Cerulean

Discussion in 'Dear Diary' started by Banksy, Nov 5, 2016.

  1. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Jenderal Gajah Putih


    “Saya lihat-lihat kamu juga mulai mengalami degradasi kesadaran nilai dan degradasi terhadap disiplin irama waktu”, kata Saimon, “kemungkinan besar karena kamu terlalu cinta kepada manusia. Kamu tertular penyakit mereka: kelalaian dan kesembronoan”

    “Terbalik”, jawab Markesot langsung, “kamu yang lalai dan sembrono”

    “Saya tidak ada urusan apa-apa dengan yang kamu kerjakan”

    “Tadi kamu kan bertanya ‘Kenapa kamu repot-repot menemui Dukun itu, kenapa tidak langsung saja kamu kerjain si Raja’. Itu pertanyaan bodoh yang lahir dari kelalaian dan kesembronoan”

    “Karena hati saya tidak tahan melihat yang kamu lakukan….”

    “Kenapa tidak sekalian kamu tuntaskan saja pertanyaanmu: Sot, mbok sudah kamu saja yang jadi Raja, daripada muter-muter memproses tahap-tahap perubahan suatu Bangsa yang toh hanya basa-basi. Sekalian kamu bilang ke Raden Sahid: Kanjeng Sunan Kalijaga, kenapa ruwet-ruwet hampir seratus tahun mengatur-atur transformasi kekuasaan, kenapa tidak langsung saja Panjenengan yang memimpin, terserah pakai kostum Raja atau Sultan? Bukankah Panjenengan tidak bisa dikalahkan di bidang apa saja? Di wilayah semua keilmuan dan keterampilan, kematangan pengelolaan sosial budaya, dukdeng kasekten, teknologi hingga tasawuf, cangkul hingga pedang dan keris, pementasan gelar panggung hingga subversi safat-saraf otak dan kelembutan hati, antiwacana, sihir, katuranggan, dan semuanya. Kenapa tidak menjadi Raja saja, kok melingkar-lingkar melalui peran King Maker?”

    Saimon meneruskan kalimat Markesot, “Sot, kenapa tidak sekalian saja kamu bilang ke Baginda Nabi Muhammad Kinasih Allah. Mbok langsung saja pegang dan kendalikan kekuasaan resmi. Entah dengan formula Khilafah atau Imamah atau Ro’iyah atau terserah monggo. Supaya ada contoh langsung yang bersifat padat dan bisa dipahami dengan panca-indera. Supaya para penerus tidak usah bertengkar di Tsaqifah. Memperdesakkan kebenaran melawan kebenaran. Kemudian melantik penerus paling senior dan yang paling dekat ke Panjenengan, membaiatnya, men-jumeneng-kannya. Kemudian tersimpan dendam. Kemudian bara menjadi api. Kemudian berbenturan. Kemudian perang dahsyat. Kemudian ummat Panjenengan terbelah. Kemudian sekam dipelihara berabad-abad hingga sekarang….”

    Markesot bersabar dengan sindiran Saimon. Kemudian ia menegakkan punggung.

    “Kenapa tidak lebih ke belakang lagi”, katanya, “usul kepada Tuhan agar mempertimbangkan kembali bantahan Buyut Iblis: ‘untuk apa menciptakan manusia, yang toh pekerjaannya adalah merusak bumi dan berbunuh-bunuhan satu sama lain’?”

    Saimon malah juga meneruskan. “Kenapa tidak sekalian bikin resume dari riset empiris, yang merekomendasikan agar Buyut Iblis tidak usah diberi tenggang waktu hingga kiamat, karena toh saat ini sudah sangat terbukti bahwa peradaban manusia memang sangat-sangat merusak bumi dan sibuk bunuh diri secara fisik maupun nilai. Sejak Masa Penggelapan yang disebut Masa Pencerahan dua abad yang lalu, semua rakyat manusia di Bumi digiring masuk kandang-kandang peternakan yang disebut Sekolah. Dan hasilnya adalah sarjana-sarjana yang meningkatkan secara sangat pesat segala jenis perusakan dan kerusakan di seantero permukaan Bumi, bahkan di perutnya serta di angkasa….”

    Markesot tidak langsung menanggapi. Ia menarik napas panjang. Beberapa saat kemudian baru berkata pelan: “Kedatangan kamu ini, Mon, membuat keadaan menjadi terang benderang…”

    “Tumben kamu memuji”, sahut Saimon.

    “Terang benderang bahwa kamu bukannya sedang menolong menenangkan saya, melainkan sebaliknya: memperluas keruwetan….”

    “Lho, kamu sendiri yang memang tidak efektif”, kata Saimon, “kamu bertele-tele. Pakai acting kepada Dukun segala. Itu pun salah pilih. Tidak update pengamatanmu terhadap Raja manusia di Lingkar Perdelapan Khatulistiwa itu….”

    “Tolong jangan melebar-lebarkan keruwetan wilayah pembicaraan”, Markesot memotong, “kamu buka lahan keruwetan baru, dengan menyebut Lingkar Perdelapan Khatulistiwa…. Apa itu”

    “Itu bahasamu sendiri”, kata Saimon.

    “Saya tahu kamu sedang menanam tambahan konflik gagasan dengan saya tentang ironi penguasaan Satelit, Raja Dunia Maya yang diperbudak oleh tetangga yang sebenarnya bisa mati cukup dengan dikencingi, timbunan Piring-piring Terbang warisan Baginda Sulaiman, beserta Masyarakat Semut beliau yang punah ilmunya karena beranak Sapi….”

    “Kamu yang melebar-lebar”, Saimon ganti memotong, “kamu mencoba menutup-nutupi kisah kekonyolanmu dengan si Dukun”

    “Itu bukan kekonyolan. Saya hanya kecolongan oleh tokoh jaringan Daulat Rakyat yang sok progresif mau mengubah Negara”

    “Kamu juga. Bahkan berputar-putar. Mestinya jangan Dukun yang itu yang kamu garap. Memang dia paling dekat dengan Raja, tetapi sebenarnya yang sedang mengisi hati Raja saat itu adalah Jenderal yang mempersembahkan Dukun Gajah Putih dari ujung pulau barat-utara. Kalau itu yang kamu datangi, kamu bisa sekaligus mengolah si Jenderal yang berkuasa atas seluruh prajurit dan tentara darat, laut maupun udara”

    “Saya tidak pernah melangkah dengan pertimbangan pragmatis”, jawab Markesot, “Saya selalu menghitung segala sesuatu secara mendasar dan dalam perhitungan waktu yang panjang”

    “Itu yang membuat kamu tidak pernah bisa tembak langsung. Apalagi Dukun yang kamu pilih untuk kamu datangi itu sebenarnya masih agak pemula, meskipun ia pandai mendekat dan menyentuh hati Raja kalian….”

    “Raja kalian Raja kalian”, potong Markesot, “Kalian siapa. Itu Raja mereka. Dan saya hanya menemani mereka”

    “Tapi sudah sangat lama kamu menjadi bagian dari mereka”

    “Tapi saya bukan mereka”

    “Cukup soal itu. Tidak perlu bicara tentang siapa”

    Saimon tertawa.

    “Kamu tahu hanya ada Satu Siapa”, Markesot melanjutkan, “Satu yang sebenar-benarnya Siapa. Semua yang lain hanya cipratan-cipratan dari Satu Siapa, yang memang diberi waktu sejenak untuk merasa siapa-siapa, meskipun kebanyakan mereka lantas terjebak untuk meyakini bahwa mereka benar-benar siapa…”

    Saimon memotong. “Katanya tak perlu bicara tentang siapa, malah kamu jelentreh-jelentrehkan siapa siapa siapa”

    Markesot menjawab, “Karena saya tidak krasan kalau sampai pada titik koordinat di mana saya sebenarnya adalah juga kamu. Dan sebaliknya. Mana mau saya mengingat bahwa kamu sebenarnya adalah juga saya”

    Saimon tidak mau kalah. “Kamu pikir saya bangga ketika ingat bahwa saya adalah kamu dan kamu adalah saya, meskipun kalau diteruskan siapapun saja adalah hanya Satu Siapa. Berapapun jumlah siapa, tetaplah hanya Satu Siapa yang sejatinya ada”

    Markesot tertawa. Pelan, tapi agak panjang.

    “Memang tidak enak ya bertugas menjadi siapa, padahal sebenarnya bukan siapa-siapa”, katanya lirih, “Puncak tidak enaknya adalah terlalu banyak siapa, padahal sebenarnya yang benar-benar ada hanya Satu Siapa”

    “Terkadang bisa kita nikmati, terkadang tidak”, Saimon menyahut, “Tuhan bilang ini permainan dan senda gurau, tapi kita selalu cemas….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Adam Digoda ‘Malaikat’


    “Mon”, kata Markesot, “kamu jangan berlagak tidak tahu”

    “Tidak tahu apa”, sahut Saimon.

    “Kamu pikir peristiwa remeh dengan Dukun itu pernah menjadi sesuatu yang penting bagi saya”

    “Lho, saya tidak pernah mengaggas itu penting atau tidak. Bahkan saya juga tidak pernah menganggap peristiwa itu pernah terjadi. Kan kamu sendiri yang omong dan menyesalinya”

    “Kamu kan tahu saya yang bikin dia percaya untuk lengser dari singgasananya”

    Saimon tertawa.

    “Itu kan menurut kamu. Kalau menurut kaum mahasiswa, ya mereka yang melengserkan Raja. Kalau menurut politisi kelompok ini, ya kelompok ini yang menurunkan. Kalau menurut politisi kelompok itu, ya kelompok itu yang menurunkannya. Setelah Reformasi terjadi, yang tampil adalah mereka yang dulu kerjaannya menjilat-jilat Raja, tapi kemudian secara efektif tampil sebagai golongan reformis”

    “Saya tidak meladeni kanak-kanak”

    “Tapi kan sudah lama kamu ingin main-main dan menggoda mereka, kamu bilang nanti kalau saatnya tepat”

    “Ah nggak juga. Itu iseng-iseng saja. Itu gatal-gatal saja dalam hati, tapi belum tentu kaki saya mau melangkah dan tangan saya tidak akan saya paksa untuk bertindak”

    “Sebenarnya asyik juga kalau kamu laksanakan niatmu itu….”

    “Ah, nggak”, Markesot memotong.

    “Dengarkan dulu maksudku. Saya senang kamu lakukan hajatmu itu. Tapi jangan lewat keributan. Jangan gaduh. Bikin tiba-tiba saja Raja yang sekarang lengser, turun sendiri dari kursinya, atau sakit gatal parah, atau mulutnya gagu, atau bikin dia melakukan beberapa langkah yang sangat keliru sehingga dia malu sendiri untuk meneruskan jadi Raja”

    “Ah, saya tidak punya kekejaman seperti kamu”

    “Itu bukan kejam”, kata Saimon, “itu lucu”

    “Saya tidak tegaan”

    “Usulan saya itu sebenarnya tidak sepadan jika dibandingkan kadar kekejaman yang dia sudah lakukan. Perselingkuhan politik yang penuh ketegaan hati kepada rakyat. Strategi pencitraan yang sangat canggih menggunakan metode-metode kemunafikan. Menggiring rakyat ke tempat yang seolah-olah menggiurkan, padahal akan sangat menghancurkan…”

    Tiba-tiba Saimon tertawa, berdiri dan menari-nari dengan sangat buruk sebagaimana beberapa waktu yang lalu. Kemudian melompat naik dan hinggap di salah satu dahan pohon di mana Markesot bersandar.

    Di sela-sela tertawanya Saimon mengejek Markesot.

    “Jadi sebenarnya sama sekali tidak ada manfaatnya kamu bercengeng-cengeng melakukan perjalanan sunyi sampai ke hutan. Keadaan sudah penuh bermuatan lipatan-lipatan tipu daya yang hampir mustahil untuk diurai kembali. Kamu malah melarikan diri, menyepi….”

    Markesot diam saja. Dan tidak sedikit pun menatap ke arah Saimon.

    “Mencari Kiai Sudrun?”, Saimon tertawa sangat keras, “Kamu pikir saya tidak tahu Kiaimu itu dan tidak bisa mengukur apa yang bisa ia lakukan, sehingga lucu bagi saya kalau kamu menyeram-nyeramkan diri berjalan kaki menelusuri rel, jalanan, sungai, hutan, untuk mencarinya?”

    Markesot tidak melirik, apalagi menoleh.

    “Ratusan tahun mencoba masuk sana sini, merasuki ini itu, mengipasi meniupi membakar-bakar hati dan pikiran manusia, meyakini bahwa itu adalah membantu perjuangan perubahan kehidupan manusia. Padahal yang kamu lakukan itu kan memasuki wilayah kutukan Tuhan: “yuwaswisu fi shudurinnas”. Dan hasilnya adalah perubahan ke belakang, perubahan dari derajat lumayan ke derajat rendah, perubahan dari tradisi kebodohan ke pengukuhan kebodohan, perubahan dari ketiadaan martabat menuju kehilangan derajat….”

    Markesot tetap diam.

    “Berpuluh-puluh tahun melakukan pendidikan kerakyatan, menemani kaum yang diinjak-injak yang tidak merasa diinjak-injak. Kaum yang dipenjara dalam kotak-kotak sempit dan sangat bangga di dalam kotaknya masing-masing. Kaum yang disandera sehingga sangat mencintai bahkan menyembah para penyanderanya. Kaum yang dikurung di dalam kegelapan, yang tersinggung kalau dibawakan lampu penyuluh kepada mereka. Kaum yang mengemis di neraka tetapi meyakini bahwa mereka sedang menikmati sorga…”

    Markesot malah memejamkan mata.

    “Raja kalian yang sekarang itu belajar dari Idajil yang menyamar berpakaian Malaikat Kasepuhan, sehingga Kakek Adam kalian terpesona, percaya dan kemudian diperdaya….”

    Markesot sudah sangat berdisiplin memasuki lubuk terdalam dari kesunyiannya, tetapi tetap kecolongan, sehingga Saimon bisa menangkap bahwa Markesot menghela napas panjang.

    Pandangan dan pendapat mereka sebenarnya relatif sama tentang apa yang dialami oleh kakek Adam. Beliau bukan digoda oleh Iblis, melainkan diperdaya, atau lebih jelasnya: ditipu. Oleh strategi kehadiran dan penampilan Iblis di depannya.

    Kakek Adam waktu itu adalah makhluk yang baru. Sama sekali baru. Bisa dikatakan belum punya jam terbang kehidupan. Baru beberapa saat saja mengalami hidup. Memang Allah secara langsung menginformasikan dan melatihkan pola-pola dan satuan-satuan gejala yang kelak akan mengisi kehidupan manusia, menghamparkan gambar-gambar fenomenologi perilaku manusia. Kalau kesetiaan, kepatuhan, pengabdian dan ketundukan, itu sederhana. Juga keingkaran, kekufuran, khianat atau pembangkangan, itu bersahaja untuk memahaminya.

    Tetapi fenomena kemunafikan, pola-pola campuran, wilayah abu-abu, warna-warni yang tampilannya tidak sama atau berbalikan dari faktanya, kekejaman yang tampil sebagai kesantunan, kejahatan yang dihadirkan sebagai kebaikan, niat buruk yang dibungkus dengan keindahan yang mempesona – itulah yang dilakukan oleh Iblis.

    Kakek Adam terjebak, tertipu, terperdaya. Beliau sama sekali belum pernah punya pengalaman terhadap ekspresi kemunafikan, meskipun Allah sudah menuturkannya. Tidak hanya kognitif dan literer, Allah juga memasukkannya ke dalam simulasi pengalaman tentang wilayah kemunafikan. Tapi siapa sangka, juga kakek Adam, sama sekali tidak berpikir bahwa hal itu akan dialaminya di dalam sorga.

    Kedatangan Iblis adalah pengalaman sosial kedua bagi kakek Adam, sesudah kehadiran nenenda Hawa istri beliau. Beliau sudah diperkenalkan oleh Allah kepada Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil, Syakhlatus-Syams, Zabaniyah dan sejumlah Malaikat lain. Tetapi belum pernah jumpa dengan Iblis. Sebab ketika kakek Adam di-ada-kan, Iblis sudah diusir ke bumi oleh Allah. Sesudah kakek Adam ditiup beberapa kali oleh Allah sehingga tapel-nya dipernikahkan dengan ruh, kemudian ia menyadari dan menemukan dirinya sebagai manusia yang hidup — tidak ada Iblis di depannya.

    Apalagi Allah menginformasikan kepadanya bahwa jumlah seluruh Malaikat tidak bisa dihitung atau tidak bisa dijangkau oleh batas kemampuan berhitung yang dipinjamkan oleh Allah kepada manusia. Tatkala ada yang datang kepada beliau sebuah sosok, yang dengan segala sesuatunya, pancaran wajahnya, pakaiannya, gerak-gerik dan perilakunya, sopan dan keanggungannya — kakek Adam sangat senang dan bahkan bangga, karena merasa sedang didatangi oleh Malaikat. Padahal itu Iblis.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  4. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Jam Terbang Bopo Adam


    Katakanlah ini semacam sowan kepada Bopo Adam. Belajar dari beliau. Rasanya bukannya beliau Adam adalah jenis manusia yang mudah terpesona, gampang kagum atau kepencrut oleh sesuatu hal, sebagaimana umumnya ummat manusia yang hidup sekarang ini.

    Masalahnya hanya karena jam terbang kehidupannya masih dini. Pengalaman sosialnya masih sangat minimal. Itu membuatnya masih rawan tipu daya. Bukan gampang tergoda mental atau spiritualnya, melainkan secara intelektual masih rentan untuk bisa peka dan cerdas terhadap tipu daya.

    Memang Allah mengajari beliau langsung tentang berbagai fenomena kehidupan yang akan beliau alami dan hadapi. Tetapi manusia diciptakan oleh Allah dengan takdir tahapan-tahapan, progresi, dinamika dan proses. Mungkin sebagaimana Allah menciptakan jagat raya dalam tahapan-tahapan, manusia Adam pun ditentukan untuk tidak langsung tunai segala sesuatu. Justru deretan pengalaman, akulturasi dan dialektika dengan lingkungannya sangat turut mendasari pertumbuhannya.

    Allah mengajarkan langsung kepada beliau Adam bukan sekadar nama benda-benda. Sebab nama sesuatu, benda atau peristiwa dan apapun, kelak akan bisa ditemukan sendiri oleh masyarakat manusia melalui proses-proses konvensi, perjanjian dan kesepakatan.

    Tentu saja manusia dan makhluk apapun tidak akan pernah mampu melakukan atau mengambil keputusan tentang apapun, tanpa hidayah dari Tuhan. Tetapi untuk taraf, misalnya, menyebut sehelai barang lembut dengan kata dan bunyi ‘daun’, ‘leaf’, ‘ron’, ‘waroqoh’ atau ‘godong’ – mungkin tidak perlu ajaran ‘barang jadi’ dari Allah, melainkan bisa diupayakan cukup dari dan dengan daya kreatif di akal masing-masing manusia.

    Allah memberitakan “wa ‘allama Adam al-asma` kullaha”, mungkin salah satu pemahamannya seperti ini. Pertama, kalau kata kerjanya ‘allama, logis produknya adalah ‘ilm, ‘ilmun, ilmu. Bukan pengetahuan. Nama benda-benda adalah pengetahuan, sedangkan ilmu adalah daya pemahaman dan pengolahan tentang benda. Jadi kemungkinan al-asma` tidak otomatis berarti jamak dari ism atau ismun atau isim.

    Apalagi terbatas pada “nama benda”. Sepertinya tidak ada tembok penghalang untuk memungkinkan pemaknaannya ke wilayah yang lebih luas dan berkonteks. Bisa juga nama benda, tapi bisa juga nama peristiwa, sebutan atas suatu gejala, suatu fenomena, pola, pattern atau mozaik satuan-satuan di wilayah kehidupan dinamis manusia.

    Sebab andaikan yang Allah ajarkan kepada beliau Adam adalah “nama benda-benda”, boleh kan kita minta satu contoh kata saja yang diwariskan oleh beliau yang masih diketahui dan berlaku hingga sekarang? Kalau memang kakek Adam dikasih “kamus” nama benda-benda, maksudnya itu untuk keluarga segenerasi beliau Adam saja atau untuk semua anak turunnya?

    Tentu saja jangan bercanda dengan menyatakan bahwa bunyi dan cara tertawa, cara berdehem, batuk atau menangisnya semua manusia di muka bumi ini relatif sama adalah salah satu contoh warisan dari “wa ‘allama Adamal asma`a kullaha”.

    Insyaallah merupakan suatu husnudhdhon untuk memaknai bahwa Allah mengajarkan kepada Adam tidak hanya deretan nama benda-benda, melainkan juga berbagai macam ilmu yang diperlukan untuk bekal kehidupan beliau Adam beserta beliau Hawa sebagai perintis kehidupan ummat manusia.

    Termasuk Allah mempersiapkan beliau untuk tidak terlalu kaget ketika nanti mengalami dahsyatnya kedengkian salah seorang putranya, sampai-sampai tega membunuh kakaknya sendiri. Akan tetapi bekal yang ini berlakunya kelak, masih lama berikutnya, yakni ketika kakek Adam sudah dihijrahkan ke Bumi dan menetap di planet kecil itu”.

    Tatkala ‘Malaikat’ samaran Iblis itu mengunjunginya, sangat wajar beliau Adam belum memiliki kesiapan, kepekaan dan kecerdasan untuk tidak tertipu. Beliau Adam bersangka baik kepada tamunya, serta bersegera merasa bersyukur bahwa mungkin sekali Allah memang mendatangkan sahabat baginya.

    Bahkan ketika kemudian samaran Iblis itu mengajaknya untuk melihat pohon, menyentuh dan menikmatinya, beliau Adam juga tidak berada pada kondisi berkhianat kepada Allah. Apalagi terbersit niat untuk mendurhakai-Nya. Dengan perasaan yang agak naïf dan pikiran yang masih miskin pengalaman, beliau Adam mungkin justru berterima kasih kepada Allah yang telah menghadirkan makhluk mulia yang berkenan mengantarkannya berkeliling untuk melakukan orientasi dan pengenalan lingkungan.

    Jangan pula diabaikan bahwa meskipun “wa ‘allama Adamal asma`a kullaha”, harus dimafhumi bahwa apresiasi beliau secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap jutaan ragam pohon yang seluruhnya indah dan menawan, masih belum mencukupi untuk mewaspadai apa yang dialaminya.

    Sebatang pohon yang Iblis samaran membawa beliau kepadanya, adalah pohon yang justru sangat dahsyat dan menakjubkan. Beliau sangat terpesona, tergiur dan bersyukur kepada Allah atas ciptaan-Nya. Beliau tidak sadar, karena sebegitu banyak dan ragamnya pepohonan di sorga: bahwa larangan Allah “dan janganlah kau dekati pohon ini”, ternyata adalah pohon ini yang dimaksud.

    Adam adalah contoh awal dari fakta kehendak Allah bahwa manusia diciptakan dengan sertaan kelalaian dan kekhilafan. Sesudah Allah murka kepada beliau, baru mulai muncul keinsyafan bahwa beliau yang pada tahap itu diperintah oleh Allah untuk meng-Adam, atau menjadi Adam, belumlah dianugerahi tingkat kesanggupan ilmu untuk mengapresiasi pohon itu.

    Tiba-tiba Saimon nyeletuk: “Pantas anak cucu Adam sangat mudah ditipu. Sangat gampang diperdaya. Gumunan. Kagetan

    “Ngomong apa kamu, Mon”, Markesot menyahut.

    “Coba kamu berdiri”, jawab Saimon, “Kamu lihat ada Selebaran yang ditempelkan di sisi pohon sebelah situ”

    Markesot berdiri. Berjalan memutari pohon. Markesot bertolak pinggang. Memang ada sesuatu yang ditempel di pohon itu dengan sejumlah tulisan:

    Skenario Rakyat Resah.
    Pengadu-domba.
    Strategi.
    Sebarkan Keresahan.
    Taktik.
    Memasang Atribut PKI.
    Sweeping.
    De-Sukarnoisasi.
    Membakar Isyu Rasial.
    Menyulut Isyu Tenaga Kerja Asing.
    Tenaga Kerja dari Cina.
    Target: Presiden.
    Momentum.
    Manfaatkan Bulan Ramadlan.
    Tujuan 1: Rakyat Dibuat Resah.
    Ketidakpuasan Kelas Menengah.
    Tujuan 2: Menurunkan Kewibawaan Presiden.
    Tujuan 3: Mendorong Kudeta oleh TNI.
    Strategi Pecah Belah.
    Taktik. Menyebarkan Isyu.
    Bangkitnya Komunisme.
    Sentimen Rasis Cina.
    Pertentangan SARA.
    TNI vs TNI.
    Ormas Islam vs Presiden.
    Polri vs Presiden.
    Menyerang Wibawa Presiden.
    Memastikan Kudeta TNI.

    Simon tertawa terpingkal-pingkal. “Alangkah canggihnya Iblis menyamar, alangkah polosnya para Adam di tanahmu ini….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  5. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Ilmu Pohon dan Ilmu Iblis


    Saimon memuncak tertawanya. “Sebenarnya manusia-manusia yang kamu kawal itu keturunan Baginda Adam ataukah keturunan Iblis, atau mungkin campuran alias blasteran antara Adam dengan Iblis….”

    Markesot agak salah tingkah juga. “Kamu tertawa atau mentertawakan?”

    “Apa bedanya”, jawab Saimon sambil terus tertawa, “yang penting saya tertawa dan sangat menikmatinya”

    “Kamu ini tertawa karena dirimu sendiri atau mentertawakan saya?”

    “Silahkan berdaulat untuk menafsirkan sendiri”

    Markesot menahan tersinggung dan mulai sedikit marah. Tapi Saimon tidak peduli. Ia meneruskan celotehnya.

    “Mereka yang diam-diam melaksanakan kepentingan-kepentingan yang curang, dan jalannya adalah merekayasa supaya rakyat resah: mereka pula yang menyebarkan peringatan: Awas, ada skenario meresahkan rakyat!”

    “Mereka yang mencuri peluang-peluang itu di belakang punggung rakyat, sehingga perlu menyibukkan rakyat dengan mengadu-domba mereka: sesudah curiannya berhasil, mereka pula yang mengumumkan peringatan: Awas ada gerakan mengadu-domba rakyat!”

    “Mereka yang membiayai dan menyelenggarakan perayaan merah-merah palu arit, mereka pula yang memperingatkan: Awas PKI Bangkit! Supaya penduduk tanah ini tidak memperhatikan ketika tahap-tahap pencurian dan pengukuhan penguasaan itu mereka lakukan”

    “Mereka yang mengumumkan ide de-Sukarnoisasi, mereka pula yang mengumumkan Awas ada gerakan penghapusan jasa Proklamator”

    “Mereka yang menunggangi dan memperbudak Presiden, mereka pula yang meneriakkan Awas ada yang merongrong wibawa Presiden….”

    “Mereka yang selalu menyelenggarakan langkah-langkah ekonomi dan keuangan yang rasial dan menomorduakan rakyat tanah ini, mereka pula yang memberi warning Awas rasisme Anti Utara”

    “Mereka yang mendatangkan tenaga kerja asing berduyun-duyun memasuki Negeri, ketika rakyat tanah ini sendiri setengah mati mencari kerja, mereka pula yang menyebarkan Awas ada gerakan yang mengobarkan kebencian dan fitnah tentang tenaga kerja asing”

    “Mereka yang merencanakan memanfaatkan Bulan Ramadlan untuk semua skenario strategis untuk mengokohkan penguasaan atas harta benda tanah ini, atas isi kekayaannya, mereka pula yang dengan penuh kearifan menginformasikan Awas ada gerakan yang menunggangi Bulan Ramadlan”

    ***

    Saimon mengulangi lagi tertawa terpingkal-pingkal. “Alangkah canggihnya Iblis menyamar, alangkah polosnya para Adam di tanahmu ini….”

    Tatkala Allah memberi peringatan kepada Adam “jangan dekati pohon itu”, kemudian beliau Adam dijebak oleh ‘Malaikat’ samaran Iblis, seolah-olah sesungguhnya ada kelengkapan kalimat dari Allah kepada Adam: “jangan kau dekati pohon itu, sebelum kau taklukkan Iblis….

    “Dan di zaman anak turun Adam sekarang ini”, lanjut Saimon dengan terus tertawa, “ternyata jauh lebih sepele dan sangat mudah diperdaya oleh Iblis. Manusia jalan pikirannya cenderung lurus-lurus, sedangkan strategi Iblis berlipat-lipat, zig-zag, berputar-putar, sangat menyukai tikungan dan telikungan.

    Kalau Iblis berbaju putih, mungkin ternyata dalamnya adalah hitam. Tetapi di balik hitam itu ternyata hijau. Di belakang hijau itu kuning. Sesudah kuning ternyata Iblis itu merah. Di balik merah itu ternyata ungu. Atau jingga, coklat, marun, biru, dan seribu kemungkinan warna lagi. Atau ternyata sejatinya ia memang putih sebagaimana kostum yang ia pakai. Dan sesudah engkau meyakini bahwa Iblis itu putih, beberapa saat kemudian baru ketahuan bahwa sejatinya itu palsu. Sejati dan palsu pada Iblis bisa berdetak bolak-bolik berganti-ganti tanpa batas.

    Mampuslah manusia yang tidak mengembangkan ilmunya sehingga menjadi mainan, sandera dan narapidana Iblis. Bahkan sesudah manusia memahami strategi kemunafikan kuadrat, bahkan kemunafikan pangkat seribu dari perilaku Iblis, di ujung adegan nanti, sebelum masuk adegan berikutnya: pandangan mata manusia yang dimanipulasi oleh Iblis, sehingga ia melihat putih sebagai merah, melihat merah sebagai hitam, melihat hitam sebagai hijau. Dan demikian seterusnya tanpa ada batasnya.

    Terbanting-bantinglah kehidupan anak cucu Adam. Terjerembab-jerembablah nasib mereka karena dipermainkan oleh anak turun Iblis. Hancur lebur dan luluh lantak fadhilah kemanusiaan mereka. Bagaimana mungkin manusia diperkenankan untuk mendekat ke pohon itu, sedangkan oleh Iblis ia bisa mudah dipermainkan.

    Banyak anak-anak cucu-cucu Adam di zaman ini bukan hanya kalah dimain-mainkan oleh anak-anak cucu-cucu Iblis. Malahan semakin banyak jumlahnya di antara manusia yang justru melamar pekerjaan di kantor-kantor perekonomian Iblis. Melamar, mengemis, ngiler, termimpi-mimpi, semoga menjadi budak-budak Iblis.

    Ilmu tentang pohon yang tidak boleh didekati oleh Adam itu jauh lebih tinggi dibanding ilmu Iblis. Manusia harus mengalahkan Iblis dulu, baru kompatibel untuk mendekat ke pohon itu. ‘Pohon’ adalah simbolisme yang Allah pakai di firman-firman-Nya, untuk memberi gambaran tentang kebaikan, keluasan, kedalaman, ketinggian, ketangguhan dan keteguhan.

    Cobalah teliti kembali pernyataan-pernyataan Allah dan pelan-pelan selami kedalamannya, semoga diperkenankan untuk menguak rahasianya.

    ***

    Memang wajar bahwa kadar akal Adam sebagai manusia, meskipun berlevel “ahsanu taqwim”, belum diizinkan oleh Allah untuk mampu meng-ilmu-i pohon itu. Bahasa gamblangnya, bagi beliau Adam, pohon itu masih ditutupi oleh kegelapan, sehingga jelas sekali kenapa gara-gara mendekati pohon itu maka Allah menyebut Adam sebagai “orang yang dhalim”: yakni orang yang berada di dalam kegelapan.

    Sebab aslinya kan Allah menentukan “Aku ciptakan Khalifah di bumi”. Artinya beliau Adam masih berposisi sebagai manusia bumi. Pohon itu masih gelap bagi pengetahuan dan ilmu makhluk bumi. Kelak kalau beliau Adam sudah legal sebagai penduduk sorga, maka pohon itu tidak gelap lagi bagi beliau.

    Mungkin memang ada yang berpendapat atau menyebut pohon itu sebagai ‘pohon larangan’. Benarkah ada sesuatu yang dilarang di sorga? Mungkinkah ada benda, pohon, buah atau apapun yang haram di sorga? Masihkah ada sesuatu di sorga, sebagaimana di dunia: yang halal, haram, halal, makruh dan wajib?

    Apakah dunia adalah tempat manusia diuji, adalah jalan perjuangan di mana sebagian manusia menempuhnya untuk memperoleh rahmat, sementara lainnya memperoleh adzab? Apakah yang demikian itu sorga namanya? Kalau sorga adalah tempat seperti itu, lantas apa landasan atau motivasi manusia berjuang ketika masih di dunia?

    Kenapa di dunia manusia harus memilih baik atau buruk dengan akibatnya masing-masing, kalau ternyata di sorga mereka masih juga harus dihadapkan pada pilihan antara bahagia atau bencana? Kalau di sorga manusia masih harus berjuang untuk menghindari neraka, apa bedanya dengan kehidupan di dunia?

    Kalau di sorga ada pohon terkutuk, ada sesuatu yang merupakan sebab kemaksiatan manusia, ada sesuatu yang membuat manusia berdosa, sehingga ada kemungkinan manusia dilemparkan dari sorga ke neraka — maka adakah kemungkinan juga bagi manusia-manusia penghuni neraka untuk berjuang agar dipindahkan ke sorga?

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  6. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Freedom of Jin’s Speech


    “Waduh”, kata Saimon, “terus terang saya tidak berani bicara seperti itu di kalangan masyarakat Jin. Apalagi kalau pas ada para Ulama Jin. Saya bisa diusir karena dituduh sesat pikir….”

    Markesot tertawa. “Bicara apa? Yang mana?”

    “Ya itu tadi: Baginda Adam, Iblis menyamar, acting seakan Malaikat, tidak ada yang terkutuk di sorga, tidak ada pohon larangan….”

    “Emang kenapa?”

    “Ah, gimana tho. Imajinasinya terlalu jauh, analisisnya terlalu liar. Memang logis sih, tapi sebenarnya daya pikir manusia tidak mungkin sampai ke wilayah itu. Hipotesis-hipotesis yang dihasilkan bisa lucu atau berbahaya”

    “Sepertinya kamu sendiri yang bersikap seperti yang kamu khawatirkan. Para Ulama Jin mestinya jauh lebih berpengalaman dibanding manusia, sehingga tidak akan geram atau mencak-mencak mendengar hal-hal semacam itu”

    “Siapa bilang”

    “Jam terbang Jin kan lebih tinggi dibanding manusia. Kalian lebih dulu takjub kepada Al-Qur`an dibanding manusia. Juga habitat dan pengembaraan ilmu kalian lebih luas dibanding manusia yang serba materiil dan penuh batas”

    “Nggak lah. Ummat manusia kan selalu yakin dengan kesimpulan mereka bahwa Jin yang terpandai sepadan dengan manusia yang terbodoh”

    “Ah, kamu sok merendahkan diri. Kan Tuhan selalu menyebut Jin dulu baru manusia di hampir semua kalimat-kalimat firman-Nya. Pasukan Baginda Raja Sulaiman juga utamanya dan jumlah terbanyaknya adalah Jin. Baru kemudian manusia dan burung-burung”

    “Saya tahu kamu sedang memprovokasi saya. Pasti tujuanmu agar saya mulai bicara yang gitu-gitu di masyarakat saya, sehingga mereka akan gerah, para pemimpin kami akan marah, dan bisa-bisa saya diusir dari dunia Jin. Sementara kalau saya diusir benar, tidak mungkin saya mengungsi ke dunia manusia. Apalagi Ustadz-Ustadz manusia rata-rata punya hobi mengusir Jin. Bahkan di-shooting segala dan ditayangkan lewat layar-layar televisi”

    Markesot tertawa lagi. “Ya kamu tinggal di rumah kontrakan saya kan bisa”, katanya.

    “Itu lebih celaka lagi bagi saya”, Saimon membalas tertawa Markesot.

    “Kalau saya sih berani-berani saja”, kata Markesot kemudian, “Saya bebas berekspresi di kalangan manusia. Ada yang namanya Freedom of Speech”

    “Benar. Sudah lama saya melakukan penelitian tentang itu”, kata Saimon, “Manusia bebas berekspresi, kecuali pas tidak bebas. Manusia bebas bicara, kecuali pas tidak bebas”

    “Jangan sinis, Mon. Saya sendiri mengalami dalam jangka waktu yang sangat lama bahwa saya bebas berbicara. Tak pernah saya mengalami akibat buruk apapun dari kebebasan itu. Jadi tidak ada apapun dari dunia manusia yang saya takutkan”

    “Hebat kamu, Sot”, kata Saimon.

    “Kalau hebat ya nggak juga”, tegas Markesot, “tetapi memang benar-benar tidak ada yang perlu saya khawatirkan dari dunia manusia”

    “Kamu omong apa saja boleh?”

    “Yaah begitulah”

    “Budaya dialog masyarakat manusia sudah sangat demokratis?”

    “Kira-kira demikian”

    “Dewasa, matang dan arif?”

    “Boleh juga disimpulkan begitu”

    “Pantas kamu krasan menemani mereka tanpa pernah surut”

    “Bagaimana tidak krasan. Kepada kebanyakan manusia saya bicara apa saja tidak berakibat apa-apa”

    “Dahsyat”, sahut Saimon.

    “Tidak berbahaya, dan tidak juga ada manfaatnya”

    “Lho…”

    “Kenapa semua pernyataan atau ekspresi saya tidak pernah ada bahayanya bagi mereka, juga tidak ada manfaatnya, itu ada sebabnya”

    “Misalnya?”

    “Sebenarnya mereka tidak pernah sungguh-sungguh paham apa yang saya ungkapkan, sehingga tidak menyentuh apa-apa pada mereka. Jadi sama sekali tidak berbahaya”

    “Kalau tidak ada sentuhan apa-apa kepada mereka, berarti tidak ada gunanya juga dong?”

    “Lha ya itu yang saya bilang”

    “Oooh kasihan kamu….”

    “Tidak usah kasihan. Kehadiran dan sumbangsih pemikiran saya tidak berbahaya sekaligus tidak berguna bagi kehidupan manusia, itu bukan faktor yang utama”

    “Jadi?”

    “Yang paling penting adalah bahwa saya tidak dikenal di kalangan manusia. Ummat manusia tidak mengenal saya. Sehingga juga tidak pernah merasa bahwa saya ada dalam kehidupan mereka. Apalagi mendengarkan celotah-celoteh saya….”

    “Oalah…”, kata Saimon, “Itu bukan kasihan lagi, Sot. Kamu bunuh diri saja lebih afdhal”

    “Diri mana yang harus saya bunuh?”, Tanya Markesot.

    “Terserah kamu mau bunuh Markesot yang mana. Atau semua saja sekalian, daripada gagal tugas dan nir-guna”

    “Apakah Markesot itu ada, sehingga bisa dibunuh?”

    Saimon tertawa lepas, melonjak-lonjak, menari-nari buruk. “Ternyata sama saja manusia atau Jin atau makhluk lainya….”

    “Sama gimana”

    “Kalau frustrasi lantas berfilsafat”

    “Bangsat kamu”

    “Kalau lelah berfilsafat, terus berpuisi”

    “Tengik kamu”

    “Kalu lelah berpuisi, lantas tidur”

    “Dasar Jin kamu”

    “Tapi karena dengan kondisi frustrasi kamu tidak bisa tidur, maka satu-satunya jalan adalah pura-pura tidur, dan itu yang kamu lakukan tadi di depanku”

    “Menyun kamu”

    “Semua manusia membangun kebanggaan kosong. Mereka selalu meyakini bahwa mereka lebih unggul dari Jin. Sekarang terbukti Jin yang tergolong tidak terpelajar seperti saya bisa mengalahkan kamu dengan sangat mudah”

    “Sudah sangat lama saya bercerai dari urusan menang dan kalah”, Markesot membela diri.

    “Itulah keanehan manusia. Tiap saat gila ingin unggul, ingin besar, ingin jaya, ingin menang, tetapi di babak final selalu kalah”

    “Saya ulang sekali lagi: Sudah sangat lama saya bercerai dari urusan memang dan kalah”

    “Lho, kamu manusia tho?”

    “Apa penting saya ini manusia atau bukan”

    “Aneh kamu ini”

    “Apanya yang aneh?”

    “Lha selama ini kamu siapa?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  7. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Bunuh Diri Karena Bersedih


    Sesungguhnya, apa yang terjadi pada dan antara Markesot dengan Saimon adalah kegagalan eksistensi.

    Bagi siapa saja yang stabil menjaga kejernihan persepsi, memelihara akurasi pandangan dan pendengaran, serta merawat kesadarannya pada garis kematangan dan kearifan — terdapat pengertian bahwa Saimon dan Markesot, dengan berbagai dialog yang berputar-putar seperti angin puting beliung, sebenarnya sedang membeku di antara ada dan tiada. Stagnan di antara ya dan tidak. Sedang kehilangan koordinat di antara semua arah yang semula dijalani dan dialaminya.

    Diawali oleh kebingungan menjalankan perannya masing-masing, berujung pada ketidakmampuan menjaga ke-diri-an masing-masing. Mereka berdua dan masing-masing sama-sama berada di puncak ketidaksanggupan untuk berdialektika dengan kemungkinan.

    Dari satu sudut sepertinya lebih mudah memerankan fungsi Malaikat. Garis, lelaku dan arahnya jelas: ya’malu ma yu`marun. Mengerjakan apa yang diperintahkan. Seluruh jenis makhluk Tuhan yang berada di bawah kepemimpinan dan koordinasi Baginda Jibril adalah pelaku-pelaku kepastian. Sedangkan Saimon dan Markesot adalah petugas-petugas kemungkinan.

    Bagi siapa saja yang jeli dan teliti, ketika mengamati lalu lintas perjalanan af’alMarkesot yang sangat panjang, yang membingungkan, yang penuh ketidakmenentuan, yang bergoyang-goyang bahkan berubah-ubah dan beralih-alih secara dzat, sifat, asmamaupun jasad — sosok yang tergambar adalah kegagalan eksistensi.

    Juga Saimon, andaikan ada yang menyempatkan diri untuk menelusuri latar belakang kehidupan dan pelaksanaan tugas-tugas di wilayahnya, yang tentu sama sekali tidak sama dengan daerahnya Markesot. Sama saja gambaran yang muncul darinya. Ialah kegamangan eksistensial. Keragu-raguan terhadap dirinya sendiri. Bercampur antara penyesalan, rasa penyesalan, frustrasi karena tumpukan kegagalan. Dan seluruhnya itu ujungnya sama: yakni kegagalan eksistensi.

    ***

    Sebelum Saimon maupun Markesot resmi di-ada-kan oleh Tuhan, mereka mantap oleh sejumlah prinsip perjanjian mereka dengan Tuhan: bahwa seluruh yang mereka jalani selama masa tugas adalah menapaki garis panjang sunnatullah, dari titik awal Allah menuju titik akhir Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

    Tetapi di tengah perjalanan, setelah mereka tak henti-hentinya salah perhitungan tentang dunia manusia dan dunia Jin, setelah mereka frustrasi oleh sangat banyaknya kenyataan kehidupan manusia dan Jin yang amat sangat jauh dari persangkaan mereka – keduanya, seolah-olah saling kencan satu sama lain: menjalankan naluri untuk menolak dirinya sendiri.

    Menolak dirinya sendiri adalah refleksi dari ketidakmampuan untuk mengakui dan menerima kegagalan-kegagalannya. Kecenderungan untuk menemukan dimensi-dimensi non-diri di dalam diri, terutama pada Markesot, adalah refleksi dari kepengecutan untuk mengakui kegagalannya. Sehingga muncul kecurangan dengan menyatakan kepada dirinya sendiri bahwa yang gagal itu bukanlah dirinya, dengan memaksa-maksakan diri untuk merasa bahwa dirinya yang ini bukanlah dirinya yang sejati.

    Eskapisme. Melarikan diri. Tidak mengakui diri yang sedang dijalani, mencari-cari kambing hitam pada diri yang lain yang mereka karang-karang, agar supaya terhindar dari rasa ingin bunuh diri. Padahal pelarian dari suatu diri, sesungguhnya sudah merupakan tindakan bunuh diri. Meskipun nyata bahwa setiap diri bukan hanya diri, melainkan berdenyar-denyar banyak diri yang lain di sekitar diri, sesungguhnya pelarian semacam itu tetap merupakan pelanggaran terhadap satuan-diri yang dulu diperjanjikan dengan Allah sebelum mereka dilegalisir eksistensinya oleh-Nya.

    Sebenarnya tak kurang-kurang Allah mengingatkan mereka: “Apakah kamu akan membunuh dirimu sendiri, hanya karena bersedih hati oleh kenyataan bahwa mereka tidak beriman kepada-Ku?”

    Markesot dan Saimon bahkan cenderung tidak kuat hati untuk mendengar peringatan itu. “Kalau Aku mau, dengan mudah Ku-bikin mereka beriman kepada-Ku. Tetapi Aku melakukan yang Aku kehendaki”.

    ***

    Sudah sangat lama mengendap sesuatu di lubuk jiwa Markesot, bahwa sama sekali tidak mudah membantah pernyataan Buyut Iblis tatkala Allah menginformasikan akan menciptakan manusia hibrida baru, yakni Bopo Adam, untuk menjadi Khalifah di bumi: “Untuk apa Engkau menciptakan manusia, yang toh pekerjaannya hanya merusak alam dan menumpahkan darah”.

    Beratus-ratus tahun Markesot menyaksikan, mengalami, bersedih dan menangisi kenyataan yang sangat kuat bahwa pernyataan itu benar adanya. Hampir seluruh peradaban ummat manusia berisi apa yang dikhawatirkan oleh Buyut Iblis itu: perusakan alam, penindasan terhadap bumi, tanah, air, udara, cuaca, musim, waktu, apa saja. Dan semua itu memuncak justru seirama dengan peningkatan kepandaian manusia, sampai seolah-olah lebih selamat andaikan ummat manusia bertahan bodoh.

    “Bertasbih kepada-Ku apa saja semua yang ada di langit dan di bumi”, demikian Allah membuat aturan permanen. Tetapi kepandaian dan kekuasaan manusia mengubah semua itu dengan melakukan penaklukan terhadap alam. Manusia menundukkan alam tidak dalam regulasi sunnatullah, melainkan dalam gagasan agar seluruh isi alam dijadikan budak-budak oleh manusia.

    Kekuasaan dan ambisi manusia memaksa awan, hujan dan musim melanggar jadwal tasbih dan shalat mereka yang Allah sudah tentukan. Nafsu pembangunan manusia memaksakan suatu pembagian tugas antara tanah, air, udara, keluasan dan kesempitan, nafas dan kesesakan, kesejukan dan panas, yang menabrak kesabaran evolusi sunnah Tuhan, sehingga seluruh proses yang manusia menyebutnya dengan kemajuan dan kejayaan itu sesungguhnya sedang membunuh anak cucu mereka sendiri, serta menyiapkan kuburan-kuburan bagi generasi penerus, bahkan sebelum mereka lahir.

    Alam semesta, khususnya bumi, bertempat tinggal di suatu himpitan yang sangat sempit antara kepastian dari Tuhan dengan peluang kemungkinan yang dibukakan kepada ummat manusia. Tuhan menguakkan pintu kemerdekaan bagi manusia, yang dibekali dengan prinsip “rahmatan lil’alamin”, sementara manusia Jawa sendiri mengijtihadinya secara polos menjadi “mamayu hayuning bawono”.

    Tetapi kemudian lahirlah manusia modern yang menempati bumi dengan bersikap dan berlaku sebagai tuhan-tuhan atas alam. Bahkan atas sesamanya. Manusia modern itu lahir dan dilahirkan oleh dirinya sendiri, tidak oleh garis sunnah Tuhan. Mereka memenggal sejarah. Meresmikan secara amat curang bahwa asas kehidupan adalah manusia. Asal-usul dan titik akhir tujuan kehidupan adalah kemauan manusia.

    ‘Aqidah dan ideologi mereka adalah humanisme. Manusia adalah pusat dari apa saja. Manusia adalah pusar. Manusia adalah awal dan akhir. Manusia adalah pusat kehendak. Manusia adalah asal-usul dan sangkan paran. Manusia adalah tuhan itu sendiri. Hak asasi kehidupan ada di genggaman mereka.

    Itulah sesungguhnya yang melatarbelakangi beliau Wali Penyamar “Iqamil Bilad”, membangun Negeri di perlintasan abad 14-15, karena beliau melihat Negoro akan hilang toto, dan deso akan tidak lagi mowo-coro.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  8. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Aneh, Bodoh atau Mabuk


    “Sejauh saya perhatikan, ada tiga kemungkinan tentang manusia”, kata Saimon, “aneh, bodoh atau mabuk”

    Markesot tidak mendengarkannya.

    “Atau mungkin gabungan dari ketiga kemungkinan itu”, Saimon meneruskan, “pertama aneh, karena cenderung berlaku tidak sebagaimana dirinya. Kemudian manusia adalah makhluk yang kadar intelektualitasnya sangat tinggi, namun sangat suka menggunakan kebodohannya. Dan akhirnya memilih posisi dan situasi mabuk, mungkin karena terlalu lama tidak berhasil meneguhkan diri pada dirinya sendiri”

    Markesot turun ke sungai. Mengambil air dengan tangannya, mengusapkannya pada sekeliling leher, kemudian dada, punggung dan seputaran badannya.

    Simon terus nyerocos. Tampaknya ia yakin bahwa meskipun tampak tidak memperhatikan, tapi sebenarnya Markesot mendengarkannya.

    “Manusia adalah makhluk kemungkinan yang dihimpit oleh dua makhluk kepastian. Yang satu hamba Tuhan yang amat setia menjalankan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan untuk menjaga keselamatan manusia. Lainnya hamba yang juga legowountuk mengerjakan segala macam keburukan untuk menghancurkan manusia”

    “Yang satu menyebarkan cahaya, lainnya mengepungkan kegelapan. Kedua jenis limpahan yang dititipkan oleh Tuhan itu mereka sebarkan dengan konsisten, tanpa jeda, tanpa mengendor, tanpa sela, sejak diciptakannya Adam hingga hari Kiamat kelak tiba. Kedua makhluk penghimpit itu sangat patuh kepada Pemerintah mereka”

    “Manusia diletakkan di antara keduanya, dibekali akal dan hati, disediakan untuk mereka iman dan hidayah, serta ditugasi untuk mengelola kedua jenis limpahan itu, agar disusun secara dinamis menjadi semacam jalan atau jembatan, yang ujungnya nanti harus Tuhan itu sendiri, sebagaimana titik keberangkatannya”

    “Manusia tidak diberi peluang untuk menolak cahaya, meskipun ada kemungkinan untuk mengingkari atau memunggunginya. Manusia juga tidak diberi kemampuan itu mengusir kegelapan atau apalagi menghilangkannya. Mungkin bisa menyibak atau menyingkirannya pada ruang dan waktu tertentu, tetapi tidak akan pernah sanggup melenyapkannya”

    “Andaikan manusia mampu melenyapkan kegelapan, akibatnya cahaya menjadi tidak hadir sebagai cahaya. Andaikan manusia sanggup melingkupi dirinya hanya dengan cahaya, risikonya ia tidak menemukan kenikmatan cahaya, sebab hal itu memerlukan rentangan jarak yang di seberangnya adalah kegelapan”

    “Cahaya adalah dan hanyalah cahaya. Ia tidak bermakna apa-apa jika sendirian sebagai cahaya. Kegelapan juga adalah dan hanyalah kegelapan. Ia bukan bahaya yang mengancam siapapun dan apapun jika ia sendirian sebagai kegelapan. Tuhan menciptakan manusia untuk mengawinkan antara cahaya dengan kegelapan dengan formula, ramuan, racikan, komposisi, aransemen dan semacam strategi yang unik”

    “Keunikan itu banyak menyiksa manusia selama ia menjalani jabatan dan tugasnya sebagai manusia di alam dunia, tetapi ia akan menemukan dan mengalami indahnya keunikan itu sesudah melangkahkan kakinya ke kehidupan berikutnya yang lebih lembut, lebih luwes, lebih kristal, lebih glepung, atau bahkan lebih ‘tiada’ — jika manusia mengukurnya dari tradisi dan hukum materialisme di kehidupan jasad dunia”

    “Ketika Tuhan memandu kehidupan manusia agar berjuang melangkah dari kegelapan menuju cahaya, manusia menyangka itu adalah suatu jalanan panjang di mana kegelapan ada di belakang punggung, sementara cahaya ada di depan langkah ke depannya. Padahal sesungguhnya yang manusia alami adalah putaran-putaran dan dialektika yang terus menerus di mana cahaya dan kegelapan itu seakan-akan sedang

    melakukan siklus demi siklus percintaan yang tak terbatas panjang dan lamanya….”

    Markesot mencuci wajahnya, kedua lengannya, mengusap-usap rambutnya, membersihkan bagian dalam dan luar telinganya, kemudian merendam kakinya.

    Saimon tidak berhenti.

    “Jika manusia memasuki kontinuitas percintaan panjang itu — yang berawal dari kegelapan dan yang nun di ujung sana adalah masih keremang-remangan — maka ia terlepas dari konsep kemarin, sekarang dan besok. Ia terbebas dari kesadaran materiil yang bahasa dan kata menyebutnya sebagai Dunia dan Akhirat”

    “Akan tetapi kebanyakan manusia adalah pemalas kerja rohaninya. Mungkin ummat manusia sangat rajin dan tekun membangun pekerjaan-pekerjaan jasad, yang menghasilkan peradaban kemegahan, kemewahan dan kegagahan. Tapi mereka rata-rata tidak memiliki kekhusyukan yang memadai untuk mempekerjakan roh-nya, untuk mengaktivasi dimensi malakut-nya”

    “Kebiasaan buruk itu membuat mereka hanya sibuk menghimpun sesuatu yang tidak berguna kecuali sesaat pada kehidupan mereka. Membuat mereka menghabiskan waktu untuk menumpuk-numpuk sesuatu yang mereka sangka kemajuan dan kejayaan, namun pasti akan meninggalkan mereka atau mereka yang meninggalkannya. Bahkan mempercepat kehancuran mereka. Memperpendek jatah waktu dan detak jantung jasad mereka”

    “Sebab terhadap pengetahuan dan ilmu yang jasadiyah dan kasat mata saja mereka terlalu banyak salah sangka. Manusia adalah makhluk yang paling rendah pengertian dan kemampuannya untuk membedakan antara kemajuan dengan kemunduran, antara kejayaan dengan kehancuran, antara langit dengan bumi, antara jasmani dengan rohani, bahkan antara Dunia dengan Akhirat”

    Markesot melangkah naik dari sungai ke tepiannya. Tidak langsung ke pohon di mana ia tadi bersandar. Melainkan ke tempat beberapa langkah agak di belakang pohon itu.

    Saimon seperti Jin gila omong terus tanpa henti dan tanpa responden atau audiens.

    “Manusia adalah makhluk yang paling dimanjakan oleh Penciptanya. Dibikin dengan derajat tertinggi. Ahsanu taqwim. Masterpiece. Dicintai oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga Syaikhona Kanzul Jannah yang mengemukakan pendapat objektif tentang manusia, dibentak dan dimarahi oleh Tuhan, kemudian diusir dan diberi jabatan baru sebagai Iblis”

    “Posisi manja dan dikasihi secara istimewa itu membuat manusia jadi lemah jiwanya, sempit kreativitas akalnya, dangkal pekerjaan pikirannya, cengeng hatinya. Mudah lalai. Kurang sungguh-sungguh dalam menjalani sesuatu. Sudah belajar dan bersekolah hampir separuh waktu, tapi ujungnya selalu menganga mulutnya, galau perasaannya, dangkal dan pendek jangkauan mesin berpikirnya, kelaparan jiwanya, sehingga semakin tua semakin haus pencerahan, nasihat, tausiyah, fatwa, tuntunan, ceramah, pengajian dan semua yang sejenis dengan itu, yang sebenarnya membuat mereka makin lemah dan mudah lalai”

    “Sampai akhirnya Buyut Iblis yang transaksi penugasannya berakhir di Hari Kiamat, sekarang sudah merasa cukup waktu untuk tidak perlu lagi mengupayakan godaan-godaan atau provokasi apapun kepada manusia. Bahkan akhirnya Buyut Iblis merasa amat kasihan kepada manusia. Sebab manusia sudah berhasil membangun kemampuan untuk menghancurkan nama baiknya di depan Tuhan, melebihi margin atau batas target yang Buyut Iblis dulu menggariskan….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  9. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Fitnah Zaman


    Saimon menuduh, sekurang-kurangnya menilai, bahwa makhluk yang bernama manusia itu aneh, karena cenderung berlaku tidak sebagaimana dirinya. Apa maksudnya?

    Markesot tidak menanyakannya. Bahkan tidak tampak bahwa ia peduli terhadap pidato panjang Saimon. Markesot berdiri tegak, dengan dua tangan terjatuh ke bawah, wajahnya lurus menghadap ke arah selatan, sedikit sebelah kanannya gunung yang berdiri tegar dalam keremangan.

    Berdirinya seperti orang yang sedang siap-siap melakukan sembahyang. Tapi menghadap ke selatan? Sembahyang apa itu, kalau yang dipandang nun jauh di depan adalah laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, si Nawangwulan, atau Nyi Roro Kidul, si Nawangsih?

    Dulu pernah ada fitnah zaman yang menyangkut tokoh laut selatan ini. Yakni tatkala Gunung Merapi diwajibkan untuk mengalami kesedihan yang mendalam. Ketika ia dijadwal oleh pengurus dari Langit untuk merayakan hajatnya, mengekspresikan kemurahan hatinya, menyampaikan titipan kesejahteraan dari Tuhan kepada manusia penduduk di sekitarnya — mulut Merapi harus menghembuskan asap panas, yang manusia di sekitarnya menyebutnya “wedus gembel”.

    Asap itu harus dipanasi enam kali lipat dari suhu air mendidih, dan hembusannya harus meluncurkannya dengan kecepatan separuh dari lajunya pesawat terbang. Yang membuat Merapi sangat bersedih adalah bahwa ia harus turut mengantarkan sahabat karibnya, seorang Sepuh yang sareh dan cerdas, untuk berpindah tugas dan maqam dari dunia yang hina dina ini beralih ke wilayah tugas berikutnya.

    Merapi minta izin untuk menunggu sampai Mbah Sepuh itu selesai bersembahyang Isya di Masjid yang beliau dirikan, kemudian beliau pulang ke rumah, menuju dapur, mengambil kendi dan meminum airnya. Dengan perasaan yang penuh rasa tidak tega, hembusan asap Merapi melibas jasad Mbah Sepuh, sementara Baginda Izrail menarik nyawa beliau untuk diaplikasikan dalam penugasan yang baru.

    Meskipun Merapi berhasil untuk tidak membakar jasad beliau yang dibungkus oleh kulitnya, tidak membakar sehelai rambut beliau pun, bahkan tidak merobek atau meluluhkan sarung maupun baju batik beliau — tetapi Merapi, karena kegalauan hatinya, tidak waspada untuk memperhitungkan ke arah mana tubuh Mbah Sepuh dirobohkan.

    Sudah bisa dilaksanakan sesuatu rencana bahwa badan Mbah Sepuh roboh ke tanah dalam keadaan bersujud. Tetapi kurang diwaspadai arahnya. Merapi menyesal setengah mati sampai menangis berhari-hari, ketika dilihatnya Mbah Sepuh ternyata bersujud menghadap ke arah selatan. Sebenarnya sangat mudah bagi Merapi untuk membuat hembusan asapnya di dapur rumah Mbah Sepuh itu berputar sedemikian rupa sehingga mengubah sujud beliau menjadi bergeser ke arah kiblat. Tetapi itu menyalahi sunnah Tuhan.

    Kenapa menyalahi hukum dan perintah Tuhan? Karena kalau sekumpulan asap diarahkan atau diputar ke arah yang berbenturan dengan shaf-shaf gelombang asap secara keseluruhan, itu berarti anomali atau curian keajaiban. Dan itu bukan otoritas Merapi.

    Di dalam manajemen sosial, dimungkinkan tindakan kolusi dan nepotis, tetapi di antara sesama makhluk tidak ada hak untuk melakukannya. Hanya Tuhan yang memiliki hak itu. Nepotisme dan kolusi tidak pasti sesuatu yang buruk, karena faktornya bukan pada peristiwa itu sendiri, melainkan pada proporsi pelaku-pelakunya. Hubungan Cinta Segi Tiga antara Tuhan, Muhammad dan para pengikutnya dalam beberapa hal bersifat nepotistik dan kolusial: seorang hamba yang semestinya masuk neraka, bisa menjadi masuk sorga, apabila ditawar oleh Muhammad kepada Tuhan, berdasarkan kadar dan kualitas timbal balik cinta di antara ketiganya. Itu yang dinamakan syafaat.

    Sebagaimana tindakan membunuh, misalnya. Jangan pernah menyimpulkan bahwa Baginda Izroil adalah pembunuh massal, dengan rekor tertinggi dari segala macam peristiwa pembunuhan di segala zaman. Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan adalah Dzat yang maha kejam karena mentakdirkan Gunung untuk meletus dan menelan ribuan jiwa, merusak rumah-rumah dan apa saja di wilayah letusan itu.

    Manusia harus belajar proporsi otoritas, logika dan sebab akibat antara Tuhan dengan makhluk-makhluknya. Kalau ada seorang anak perempuan diperkosa beramai-ramai, kemudian dibunuh, dimutilasi dan dibuang di dalam hutan — jangan menantang kehidupan dengan sesumbar: “Mana Tuhan kalian? Kenapa Ia tidak mampu melindungi perempuan itu dari perkosaan dan pembunuhan?”

    Tetapi memang banyak sekali manusia yang berhitungnya adalah memahami hidup di dunia ini adalah segala-galanya. Di dunia inilah babak penyisihan hingga babak final dan pengumuman kejuaraannya. Kebanyakan manusia tidak serius mendengarkan kata “akhirat”, “sorga” atau “neraka”. Sehingga tidak bisa tersentuh oleh kenyataan bahwa perempuan yang diperkosa itu oleh Tuhan bukan hanya tidak dihitung dosa dan kesalahannya. Lebih dari itu ia diangkat sangat tinggi derajatnya di kehidupan berikutnya, ditempatkan berdekatan dengan para Rasul, Nabi, Auliya dan para kekasih Allah lainnya.

    Bagi siapa saja di antara manusia yang tidak menghitung bahwa hidup di dunia ini sekadar jalan pendek yang ditempuh, sekadar rumah singgah sementara, sekadar peluang perjuangan untuk membangun kehidupan yang sejati dan mendirikan rumah yang abadi — disarankan agar jangan berbuat baik, karena toh tidak ada akselerasinya ke rentang waktu yang panjang ke depan. Dianjurkan untuk merampok saja sebanyak-banyaknya, kalau perlu membunuh dan memusnahkan apa saja sesuai dengan ambisi dan nafsunya. Toh tidak ada Tuhan, tidak ada akhirat, tidak ada dosa, tidak ada dialektika antara sekarang dengan kelak, tidak ada kausalitas antara Dunia dengan Akhirat.

    Tetapi bagi manusia yang menjalani hidupnya dengan perhitungan panjang Dunia dan Akhirat, hendaklah tetap santun, sayang dan menolong siapa saja meskipun mereka tidak percaya kepada Tuhan dan akhirat. Sebab pertolongan dan kasih sayang para pengikut Tuhan akan mengendarai resonansi dan alunan gelombang dinamika cintanya hingga ke kesejatian dan keabadian. Tidak hanya kholidina fiha, tidak hanya kekal. Tapi bahkan juga abada. Abadi.

    Merapi yang menyesali telah berlaku sembrono sehingga Mbah Sepuh bersujud menghadap ke selatan, dimuliakan Tuhan karena penyesalannya. Bahkan Tuhan menyiapkan hiburan bagi hatinya sejak jauh-jauh zaman sebelumnya dengan firman “Kebaikan bukanlah menghadapkan wajahmu ke Timur atau ke Barat. Akan tetapi kebaikan adalah beriman kepada Tuhan, hari kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya….”, dan seterusnya.

    Bereslah urusan Merapi dengan Tuhannya. Sebagaimana Gunung Uhud yang menawarkan kepada Nabi Muhammad untuk menggugurkan batu-batunya agar menimpa mereka yang melukai pundak dan leher Baginda Nabi. Beliau Muhammad menolaknya, kecuali itu adalah perintah Allah. Tetapi tawaran Uhud itu sudah membuat Tuhan memuliakannya.

    Al-Uhudu jabalun yuhibbuna wa nuhibbuhu”, kata Rasulullah. Uhud adalah gunung yang mencintai kita, dan kita mencintainya. Maka, “Al-Merapi jabalun yuhibbuna wa nuhibbuhu….

    Tetapi yang disebut “fitnah zaman” di atas adalah sebagian orang-orang yang berada jauh dari Merapi bertanya: “Ooo jadi Mbah Sepuh itu bersujud ke arah selatan karena menyembah Kanjeng Ratu Kidul?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  10. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Perbudakan Pancaindra


    Begitu entengnya manusia membuka mulut. Begitu mudahnya manusia menggerakkan bibir. Begitu gampangnya manusia mengekspresikan pendapatnya. Sampai-sampai akalnya diam-diam memprotes. Kenapa tidak pernah diajak bermusyawarah dalam proses pengambilan keputusan. Tentang segala sesuatu yang akan dinyatakan keluar darinya, kepada sesama manusia dan mungkin didengarkan oleh tidak sedikit manusia lainnya. Bahkan Malaikat dan Iblis pasti mendengarnya. Jin bisa ya bisa tidak. Kalau Tuhan, jangan dipertanyakan: Beliau mendengar segala yang diungkapkan maupun yang disembunyikan.

    Hanya karena Mbah Sepuh dipanggil Allah pada posisi bersujud ke arah selatan, manusia dengan enteng menyikapinya dengan sinis: “Ternyata menyembah Nyai Roro Kidul ya?” Itu pun tidak benar-benar tahu Nyai Roro Kidul itu apa atau siapa. Tidak melacak itu kenyataan ataukah dongeng. Tidak pernah mencari tahu kenapa ada Nyai, ada Nyi, ada Nyi Roro Kidul, ada Kanjeng Ratu Kidul. Pokoknya apa saja yang masuk lewat telinganya, cukup dirunding langsung dengan mulutnya, dan kemudian mulut ditugasi untuk melontarkannya.

    Jangankan berpikir kreatif, misalnya sekali-kali mulut yang disuruh mendengarkan dan telinga yang ditugasi menyatakan pendapat. Sekadar mengelola organisasi pancaindra saja tidak maksimal. Manusia sangat mudah ditipu, diperdaya, dibikin kagum dan terpesona, diseret, dikendalikan dan akhirnya diperbudak. Cukup lewat pancaindra.

    Pendayagunaan pancaindra itu pun dipersempit. Misalnya bukan mengeksplorasi seluas mungkin segala sesuatu yang bisa diakses oleh pancaindra. Melainkan pancaindra hanya ditunggangi untuk menyentuh dan mendapatkan apa yang diinginkannya, kepentingannya, nafsunya, ambisinya. Mata hanya dipakai untuk melihat uang dan harta benda. Telinga hanya dipakai untuk mencari bunyi-bunyian yang menghibur, karena pemilik telinga itu selalu berada dalam keadaan yang kesepian. Kalaupun pakai otak untuk berpikir, penggunaannya hanya untuk menghitung laba materi. Kalau laba, lantas lupa diri. Kalau rugi, hasilnya galau dan frustrasi.

    Sesekali melebar sedikit keluar dari pancaindra. Manusia menyebutnya indra keenam. Kalau seseorang merasa punya indra keenam, dalam waktu singkat ia akan menjadi sombong, merasa lebih dan unggul dibanding manusia lain. Sementara manusia-manusia lain juga menyambutnya dengan riang gembira: kalau ada orang dianggap punya indra keenam, ia segera diperlakukan seperti Nabi, bahkan seperti Tuhan.

    Kasihan benar kehidupan manusia. Oleh Tuhan diistimewakan, malah jadi paling tidak istimewa. Oleh Tuhan sangat disayang, malah banyak yang jadi pengkhianat atau penyelingkuh Tuhan. Oleh Tuhan sangat diunggulkan dan dimanjakan, malah akhirnya menjadi paling inferior.

    Secara keseluruhan keadaan manusia dengan peradaban dan kebudayaannya, terutama dengan perpolitikannya, sangat diprihatinkan oleh para Malaikat, menjadi tertawaan di kalangan masyarakat Jin, bahkan oleh energi-energi liar yang manusia menyebutnya hantu, manusia cenderung dipermainkan.

    Karena pengenalannya kebanyakan sangat rendah atas dirinya sendiri yang sebenarnya sangat dimuliakan Tuhan, maka kecenderungan utama budayanya adalah mencari kambing hitam, untuk dijadikan sasaran kesalahan setiap kali ada sesuatu yang negatif yang menimpa mereka. Kapan saja mereka melakukan kesalahan, yang disalahkan adalah Setan atau Iblis. Kalau ada koruptor, disebut budak Iblis. Para pelaku Mo-Limo, judi, mabuk, melacur, madat dan maling: disebut orang-orang yang tergoda oleh Setan. Pokoknya apa saja yang buruk pada manusia, yang salah adalah Iblis dan Setan.

    Kebanyakan manusia juga tidak peduli-peduli amat terhadap Iblis dan Setan itu sama atau tidak, beda atau tidak, sekeluarga atau se-suku atau entah bagaimana posisinya. Kebanyakan manusia sangat malas belajar. Tuhan mengajari mereka berdoa: “Aku berlindung kepada Pengasuhnya manusia, Rajanya manusia, Tuhannya manusia, dari keburukan Setan yang bersembunyi, yang membisik-bisikkan kejahatan ke dalam dada manusia, dari golongan Jin dan manusia…..”

    Banyak manusia yang sangat rajin membaca doa itu, tetapi malas memahaminya. Mereka berdoa demi kepentingan keselamatannya, tetapi keselamatannya itu ditujukan untuk menjadi landasan bagi tercapainya keuntungan dan kesejahteraan dunia. Mereka malas untuk sedikit saja memasuki muatan kalimat yang diajarkan langsung oleh Tuhan dengan kalimat-kalimat yang sangat gamblang.

    Kalimatnya jelas: “yang membisik-bisikkan kejahatan ke dalam dada manusia, dari golongan Jin dan manusia ”, tetapi tetap saja yang mereka tuduh adalah makhluk-makhluk di luar diri mereka. Atau tetap saja Setan itu disimpulkan sebagai makhluk lain di luar diri mereka. Padahal sangat terang benderang di kalimat itu bahwa yang disebut Setan itu berasal dari keadaan tertentu di dalam diri Jin atau manusia.

    Tentu saja di dalam pernyataan-pernyataan lain dari Tuhan, ada formula-formula atau parameter-parameter yang dimensi dan konteksnya berbeda tentang Setan. Tetapi itu juga tidak penting bagi kebanyakan manusia. Yang penting di dalam tradisi budaya kebanyakan manusia: kalau sesuatu itu baik maka itu diaku sebagai jasa manusia. Kalau sesuatu itu buruk, maka yang salah adalah Setan atau Iblis, dan itu bukanlah manusia.

    Mungkin itu merupakan “fitnah zaman” yang lebih besar dan lebih serius dibanding yang menimpa Mbah Sepuh. Atau juga merupakan contoh dari yang diungkapkan oleh Saimon bahwa kebanyakan manusia “cenderung berlaku tidak sebagaimana dirinya”.

    Sampai-sampai pada suatu malam Markesot menggurat-guratkan pensilnya di atas kertas:

    Puisi buat Iblis
    Yang manusia tak perlu baca
    Sebab kutulis puisi ini bukan untuk mereka
    Sehingga tak kususun-susun dalam trauma aturan-aturan
    Tak kupuitik-puitikkan, tak kuindah-indahkan
    Dengan semangat jiwa sakit yang tak berkesudahan

    Puisi ini buat Iblis, as-Sajid yang tangguh
    Yang bertugas melatih keseimbangan hidup
    Yang menebar kegelapan demi cahaya
    Yang firman Tuhan mengutuknya, tanpa pernah
    Manusia menyelami kandungan rahasia hati-Nya

    Boleh juga dibaca oleh setan-setan, yang manapun
    Besar, cerdas, licin, tekun, atau yang kerdil atau lumayan
    Yang bersedih meratap-ratap sepanjang zaman
    Sebab tak dianugerahi kemungkinan kecuali menjadi setan

    Meskipun berterima kasih tak disuruh jadi manusia,
    yang hidupnya sangat memalukan

    Wahai Iblis kusaksikan andhap-asor-mu, takdzim-mu
    Kepada Muhammad makhluk pertama sesepuh kita bersama
    Allah mengabulkan permintaanmu untuk hidup sampai kiamat
    Bersegeralah meralat dan memohon kematian
    Daripada berurusan dengan manusia
    yang cengeng dan menjijikkan

    Wahai Baginda Smarabhumi, Ya Roki’ waya Sajid
    Tinggalkan aku, kami semua ummat manusia, tinggalkan
    Kami tak memerlukanmu lagi untuk menempuh kehancuran
    Kami asfala safilin tak berwajah, rasa malu kami kepadamu
    tak terperikan
    Sebab kasih sayang para Nabi, kami balas
    dengan pengkhianatan.


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  11. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Berendah Hati kepada Cahaya


    Setiap kali manusia selesai mandi pagi hari dan berkaca, melihat wajahnya, pikirannya bergumam: “Inilah aku”

    Padahal itu wajahnya, bukan dirinya. Manusia tidak bisa membedakan antara dirinya dengan alat yang mengantarkan kehadirannya. Alat itu diperlukan berbeda jika ruang, waktu dan dimensinya berbeda. Tetapi manusia dengan penuh rasa aman meyakini bahwa yang tampak di kaca itu adalah dirinya.

    Di sekolah dan universitas di mana manusia digiring ramai-ramai untuk belajar, tidak ada kuliah pembelajaran yang membedakan antara diri dengan kehadiran. Antara diri-sejati dengan alat-hadir. Antara truk dengan muatannya. Jangankan yang jauh-jauh seperti memilah antara lukisan dengan warna dan guratannya. Antara puisi dengan kata dan susunannya.

    Apalagi kalau lebih jauh. Menemukan renggangan antara Muhammad dengan manusianya, dengan kenabiannya, dengan kerasulannya, dengan ka-mahbub-an dan ke-habib-annya, serta berbagai koordinat dan silang hakikat lainnya. Sedangkan antara apa bagaimana Nabi dengan siapa kenapa di mana Rasul saja tidak diurus dengan cukup tekun oleh kebanyakan manusia.

    Bahkan ummat manusia yang selama peradaban mutakhir di abad 21 ini merasa diri mereka adalah makhluk paling maju, paling pandai, paling sukses, paling hebat dan tertinggi pencapaiannya — memaksa Tuhan harus punya nama. Meyakini bahwa yang disepakati untuk disebut Tuhan itu punya kebutuhan untuk bernama. Tuhan diidentifikasi dan didaftar dengan kewajiban untuk ada namanya.

    Seolah-olah yang mereka sebut Tuhan itu adalah bagian dari sosialitas manusia. Bagian dari komunitas, bebrayan dan paugeran manusia. Tuhan diletakkan di bangku dan kursi paling depan, dengan kewajiban dan hak sebagaimana para makhluk. Kebanyakan manusia berpendapat bahwa yang mereka sebut Tuhan itu membutuhkan nama dan wajib patuh kepada tatanan budaya manusia dan taat kepada struktur berpikir manusia.

    Andaikan Tuhan merasa jengkel kepada manusia, kemudian meniadakan semua makhluk-Nya, dari Nur Muhammad, para Malaikat, alam semesta, Jin dan manusia, sehingga tidak ada apapun selain Ia sendirian — lantas Ia punya nama: siapa yang akan menyapa-Nya?

    Kemudian Tuhan berkehendak untuk dalam sekejapan mata mengadakan kembali semua makhluk itu, lantas memperkenalkan diri-Nya “Aku lah Allah”: apakah itu karena Ia benar-benar bernama Allah, ataukah sekadar berlaku memberi nama kepada para makhluk agar ada inisial untuk menyapa dan menghadirkan-Nya dalam kesadarannya?

    Dan pada saat yang sama, kepada makhluk-makhluk lainnya di petak ruang waktu dan dimensi yang nun jauh dan tidak dikenal sama sekali oleh makhluk di Bumi, tidak bolehkah Ia memperkenalkan diri-Nya tidak dengan ism Allah? Dan ada miliaran nama lagi yang Ia memperkenalkan kepada miliaran komunitas makhluk-makhluk di ujung lain galaksi, di seberang dimensi, atau di luar dimensi?

    Apakah ia benar-benar bernama Allah? Ataukah sekadar menyayangimu dan hadir sesuai dengan limitasi yang Ia tetapkan untukmu? Adakah seserpih saja kemungkinan bagi makhluk untuk mengetahui-Nya? Meskipun sebagian ummat manusia mengatakan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Robbahu”, barangsiapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya, apakah mereka pikir itu berarti sungguh-sungguh mengenal-Nya?

    Apakah Tuhan? Siapakah Tuhan? Di manakah Tuhan? Apa yang Tuhan lakukan sekarang? Apa maknanya Tuhan adalah awal dan akhir, dulu dan kelak, sangkan dan paran, pangkal dan ujung?

    Kebanyakan manusia masih menyangka bahwa mereka bisa menemukan Tuhan dengan merumuskannya: apa, siapa, bagaimana, di mana, kapan, kenapa. Padahal Tuhan adalah sumber segala apa, asal-usul segala siapa, mataair segala bagaimana, asal-usul segala di mana, dan hulu hilir segala kenapa.

    Tuhan memuat apa siapa bagaimana di mana kenapa. Bukannya apa siapa bagaimana di mana kenapa memuat Tuhan.

    Di antara manusia ada yang sangat beriman dan sangat mencintai Tuhan, sehingga mereka marah kalau ada yang menyebut-Nya dengan kata Tuhan, Yehova, Manitou, Hyang Wenang, Hyang Widi, Hyang Tunggal atau kata apapun. Mereka hanya mengizinkan sebutan dengan kata Allah.

    Kemudian membikin kategori dan lajur formulir. Bahwa Muslim adalah yang menyebut-Nya Allah. Yang lain-lain, yang menyebut Tuhan, Hyang Tunggal atau Manitou, bukan Muslim. Benar-benar manusia itu sangat lucu dan mengharukan. Mereka pikir Tuhan perlu punya nama, seolah-olah Ia punya sahabat-sahabat, famili, handai tolan dan komunitas, yang memerlukan KTP-Nya.

    Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang meletakkan Tuhan sebagai bagian dari dirinya, bukannya ia merupakan bagian dari Tuhan. Tetapi memang Tuhan sendiri yang menetapkan limitasi kesadaran dan terbatasnya pengetahuan itu pada manusia. Bahkan di Negeri yang Markesot singgah padanya, terdapat kelucuan nasional massal yang benar-benar mengharukan.

    Penduduk di Negeri itu berebut harta, kedudukan dan eksistensi. Setiap harta, jabatan dan eksistensi yang didapatkannya, entah melalui “fastabiqul khairat” atau hasil menjegal, mencuri, menganiaya, menipu, memalsukan diri dengan pencitraan, atau dengan apapun — mereka percayai sebagai bagian dari jati diri mereka.

    Jati diri. Sejatinya diri. Diri yang sejati.

    Mereka berpikir diri sejati mereka adalah wajahnya, kekayaannya, jabatannya, status sosialnya, reputasi kariernya, sukses profesinya. Wahai Allah yang tiada siapapun dan apapun yang mengenal-Mu kecuali Engkau sendiri, maafkan kekonyolan penduduk Negeri singgahan Markesot.

    Ampunilah makhluk-makhluk ciptaan-Mu yang malas belajar. Yang menyangka dirinya bukanlah dirinya, tetapi malah meyakini bahwa kehadiran materiilnya adalah diri sejatinya. Sebagaimana mereka juga tidak kunjung mampu membedakan bahwa tajalli-Mu bukanlah Engkau, bahwa kehadiran-Mu bukan Maha Diri-Mu.

    Ampunilah kami semua, batu-batu padas, kerakal-kerakal kasar dan tajam untuk melukai sesama, kerikil-kerikil yang kerdil, yang tidak pernah mengetahui apapun kecuali materi, materialitas dan materialisme.

    Ampunilah kami semua yang memenuhi kehidupan dengan kesombongan dan gedherumongso. Yang tidak berendah hati kepada tak terbatasnya kemungkinan, kepada dimensi, kepada cahaya….

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  12. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Iblis Tidak Butuh Pengikut


    Pada suatu malam, manusia Jokam, melenyapkan dirinya, menghadirkan Syekh Kanzul Jannah ke dalam jasadnya. Ia merentangkan kedua tangannya naik ke langit. Kemudian ambruk seluruh tubuhnya. Bersimpuh. Tengkurap memeluk bumi. Merintih-rintih. Memekik-mekik. Meratap-ratap:

    “Aku tidak mengerti
    Sungguh-sungguh aku tidak memahami
    Ngomong apa dan pergi ke mana kalian ini
    Makhluk bumi bicara panjang lebar sampai langit
    Dari langit omong tak habis-habis sampai bumi
    Tema kalian itu-itu saja: Iblis Iblis Iblis Iblis Iblis…
    Yang di bumi teriak Iblis, sejauh cakrawala memekik Iblis
    Tapel-Tapel, makhluk-makhluk manusia
    Merasa diri Malaikat
    Anut grubyug mengutuk Iblis
    Yang berbuat buruk menyalahkan Iblis
    Yang berbuat baik berlaku Malaikat”


    “Dari corong-corong kehidupan kalian selalu terdengar:
    Iblis terkutuk. Terkutuklah Iblis
    Iblis laknat. Terlaknatlah Iblis
    Wahai manusia, akulah Iblis
    Ketahuilah bahwa aku tidak butuh pengikut
    Apalagi pengikut yang bernama manusia
    Bukankah kalian sejak dulu semua tahu
    Bahwa aku tidak setuju Tuhan menciptakan kalian
    Aku tidak menyepakati rancangan Tuhan
    Untuk menciptakan para perusak alam
    Yang gila penganiayaan dan pembunuhan
    Jadi alangkah lucu tuduhan
    Bahwa kalianlah yang aku inginkan
    Kalianlah yang terjebak olehku
    Tanpa aku menginginkan kepatuhan kalian
    Aku sama sekali tidak butuh pengikut
    Aku bukan makhluk yang tidak percaya diri
    Sehingga mabuk untuk ingin diikut-ikuti
    Aku tidak butuh manusia
    Jadi kenapa kepadaku kalian menghamba
    Dan ketika kemudian kalian terperosok dan sengsara
    Kalian mengkambing-hitamkanku sebagai penyebabnya”


    “Kalian diadu-domba oleh sesama kalian sendiri
    Tetapi karena kalian malas belajar membaca keadaan
    Maka akulah yang terus-menerus kalian salahkan
    Kalian dibikin bertengkar terus-menerus
    Kuman-kuman dirasukkan ke dalam kepala kalian
    Bakteri-bakteri kejahatan dibenamkan ke
    dada kalian
    Bahkan di lidah, mata dan telinga kalian
    Manusia di antara kalian sendiri
    Yang menciptakan Kerajaan Siluman
    Kerajaan Rahasia
    Yang Istananya disembunyikan
    Di balik pandangan mata kalian
    Yang undang-undangnya dipasang
    Di ruang berpikir kalian sendiri
    Sehingga prajurit-prajuritnya adalah kalian sendiri
    Sehingga kalian bukan kalian lagi”


    “Kalian tak mengerti apa dan siapa
    Yang menguasai seluruh perilaku kalian
    Kalian bergembira ria menggiring diri kalian
    Beramai-ramai berjalan menuju jurang kehancuran
    Dan alangkah rendah pertahanan akal kalian
    Sehingga tak mengerti bahwa sedang dihancurkan
    Apalagi kalian menyangka bahwa yang disebut kehancuran
    Adalah ambruknya gedung-gedung
    Adalah padamnya penerangan
    Adalah menyampahnya makanan
    Atau air yang tinggal comberan
    Wahai manusia itu bukan kehancuran
    Itu pintu gerbang kematian dan kemusnahan”


    “Adapun sesungguhnya
    Kehancuran sedang berlangsung
    Di dalam kepalamu
    Di dalam dada dan jiwamu
    Di dalam kesesatan pikiranmu
    Di dalam bekunya akalmu
    Di dalam kubangan kotor hatimu”


    “Wahai sungguh kusesali kenapa kuseret Adam dari sorga
    Sehingga dicampakkan ke hutan belantara di bumi
    Mestinya kubiarkan manusia tinggal di sorga
    Merdeka dari hati
    jahat dan pertengkaran yang bodoh
    Dulu aku bilang sama Tuhan: ‘Beri aku tangguh waktu sejenak’
    Ternyata sekarang segalanya sudah cukup
    Manusia tak lagi perlu didorong dan dikawal
    Untuk melakukan perjalanan massal
    Ke jurang kehancuran
    Yang berpuncak pada ketidakmengertian tentang kehancuran”


    “Dan aku, sehina-hinanya diriku
    Sudah ribuan abad aku berusaha menjadi Iblis yang patuh
    Iblis yang teguh dengan tugasnya
    Iblis yang konsisten dan jujur dengan patrap-nya
    Wahai Tuhan, mohon perintahkan kepadaku
    Untuk berhenti dari peran rahasia yang sangat konyol ini
    Sesudah Bumi dibikin oleh manusia
    Tak bisa kembali kepada diri bumi
    Mungkinkah manusia kembali
    Kepada diri manusianya lagi?”


    Kiranya itulah yang dimaksud Saimon “manusia berlaku tidak sebagaimana dirinya.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  13. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Makhluk Gagal Akal


    Markesot melakukan berbagai macam gerakan dan pose-pose badan, tangan, leher, kaki dan kepala, kemudian berakhir dengan bersila. Merapatkan kedua tangannya di depan dada. Dan berkata:

    “Mon, minta tolong mulutmu diistirahatkan sebentar saja. Beberapa saat. Saya memerlukan keadaan senyap yang paling permukaan, karena perlu memasuki kesunyian yang lebih dalam….”

    “Gayamu…”, Saimon menyahut.

    “Jangan mengajak berkelahi”, kata Markesot lagi, “Saya sudah sangat sabar membiarkanmu ngomyang mengigau begitu panjang, sampai khayalan-khayalanmu bab Iblis dan semuanya. Saya kan tidak memprotesmu. Sekarang saya cuma perlu tidak ada bunyi beberapa jenak saja”

    “Khayalan bagaimana maksudmu?”

    “Tolonglah, Mon. Jangan memancing debat atau duel. Semua juga tahu bahwa kamu tidak tahu apa-apa tentang Iblis”

    “Jangan terlalu meremehkan. Setiap kali Baginda Muhammad memanggil Iblis untuk keperluan pembelajaran dan workshop sahabat-sahabat beliau, dan kemudian pasti Iblis selalu mematuhi Baginda dan memenuhi timbalan beliau — hampir saya selalu ngintippertemuan mereka”

    “Oooo”, sahut Markesot, “Jadi kamu keturunan Buyut-buyut yang dulu nakal mengintip Lauhil Mahfudh….”

    “Tidak ada hubungannya. Saya tidak pernah memikirkan apalagi mempersoalkan nasab saya. Itu kan keperluan administratif saja. Manusia saja yang kebanyakan suka gila nasab. Mengaku-ngaku keturunan Nabi Muhammad, Sunan Kalijaga, Mbah Petruk, Kiai Gringsing, Yai Jumadil Kubro, Nambi, Trunojoyo… macam-macam. Padalah dalam buku administrasi langit, semua kan didaftar sebagai keturunan Adam….”

    Saimon tertawa terbahak-bahak.

    “Tidak ada gunanya mengejek, Mon”, kata Markesot.

    “Sudah jelas benih segala konsep ilmu dan apapun saja dalam kehidupan adalah tauhid, satu menyebar menyatu, siji nyawiji siji, wahhada yuwahhidu tauhidan wahidan ahadan…. Lha kok manusia bangga sebagai pecahan-pecahan, kepingan-kepingan….”

    “Sudah tho Mon….”

    “Dan kepingan itu dikukuhkan sebagai dirinya, sebagai identitasnya. Hobi amat manusia memecah-mecah dirinya menjadi serpihan-serpihan, madzhab-madzhab, golongan-golongan, kelompok-kelompok. Masing-masing golongan bersikap egois dan posesif terhadap manusia dan massa. Menyumbangkan perusakan atas bumi dan lingkungan, kemudian di antara golongan dengan golongan saling gontok-gontokan, bersaing, bertabrakan, berbunuhan….”

    “Saimon, saya sudah tahu itu semua”, Markesot makin jengkel, “tidak usah kasih mau’idhoh hasanah kepada saya. Kamu telan sendiri tausiyahmu. Kamu makan sendiri fatwa dan nasihatmu. Pecah dirimu menjadi dua, yang satu bagian menceramahi, lainnya diceramahi….”

    Saimon semakin menjadi-jadi tertawanya.

    “Saya ngomong macam-macam ini sebenarnya untuk membuktikan kegagalan hidupmu”

    Markesot tersentak oleh pernyataan Saimon itu.

    “Apa maksudmu?”, ia mengejar.

    “Bagaimana kok sekian ratus abad manusia bersekolah dalam kehidupan, hasilnya sangat tidak memadai”

    “Tidak memadai bagaimana jelasnya”

    “Kebanyakan manusia yang memenuhi Bumi di belahan Barat, Utara, Selatan, bahkan juga semakin banyak di Tengah, Timur dan Selatan, gagal bersilaturahmi dengan Tuhan. Akhirnya mayoritas mereka menyembah makhluk Tuhan, yang dituhan-tuhankan, dipatung-patungkan sebagai tuhan. Secara wadag dipatungkan, secara batin dan pikiran diberhalakan”

    “Ya. Terus”

    “Bagaimana mungkin pikiran manusia sanggup menerima bahwa Tuhan bisa dilihat, didengar, digambar, bahkan diikat dan dibunuh. Termasuk kedahsyatan penerimaan akal manusia bahwa Tuhan menjadi Tuhan setelah dilantik oleh seorang Raja. Belum lagi Tuhan dilahirkan, berasal-usul dari yang bukan dirinya. Kemudian menebus kesalahan ummat manusia, seolah-olah ada Tuhan lain yang lebih berkuasa dan menuntut tebusan”

    “Oke terus. Tapi hati-hati bicara”

    “Yang paling parah adalah Tuhan dianggap punya musuh besar, kompetitor yang mengancam-Nya, yang kekuasaannya bukan kekuasaan Tuhan, yang Kerajaannya ada tersendiri di luar Kerajaan Tuhan. Tetapi tuhan yang lain itu pekerjaannya selalu menyebarkan gangguan dan kekacauan di wilayah Tuhan. Dan dipercaya terdapat kemungkinan bahwa Tuhan bisa saja kalah oleh Tuhan yang lain”

    “Saya akan simpan kalimat-kalimatmu itu hanya untuk saya”

    Saimon terus membombardir.

    “Kalau saya sebut manusia adalah makhluk gagal produk, berarti saya menyalahkan Penciptanya. Paling tidak bisa kita pakai bahasa bahwa ini adalah Manusia Gagal Akal”

    “Silakan dituntaskan”, Markesot menahan rasa jengkelnya.

    “Jadi ketika saya omong banyak tentang Iblis, saya bukan berkhayal. Mungkin kalimatnya adalah karangan saya, tetapi muatannya saya yakin memang demikian. Kecuali bagi manusia yang gagal akal. Sampai-sampai Buyut Iblis curhat kepada Baginda Muhammad:“

    “Wahai Muhammad Bagindaku
    Entah bagaimana caranya, tolonglah aku
    Beritakan kepada ummatmu dan semua manusia
    Agar berhenti mempersaingkanku dengan Allah
    Wahai Muhammad yang aku kagumi
    Muhammad yang aku takjub kepadamu
    Muhammad yang aku segan, aku menunduk
    Aku membungkuk di hadapanmu
    Muhammad yang sakti mandraguna
    Yang tak tertandingi oleh Jabarala, Makahala, Hasarapala
    Pun Hajarala yang sigap dan perkasa
    Serta siapapun tokoh jagat raya yang Allah sucikan
    Muhammad yang amat sangat indah dan lembut
    Yang menghuni lubuk terdalam dari asal-usul cinta

    Mohon sampaikan kepada Beliau Allah subhanahu wata’ala
    Bahwa benar-benar aku sudah sangat lelah
    Oleh perilaku manusia….”


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  14. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Visi-Misi Iblis


    “Mon”, kata Markesot, “Saya bermurah hati memberimu tangguh beberapa jenak lagi untuk mengoceh dan mengigau, sebagaimana Tuhan memberikan tangguh kepada Buyut Iblis sampai Hari Kiamat. Silakan diteruskan. Tetapi kamu tidak punya hak apa-apa terhadap reaksi saya, apakah saya setuju atau tidak, itu bukan urusanmu”

    Saimon menjawab, “Saya juga tidak peduli pada reaksimu. Saya sedang menikmati pengangen-angen saya tentang penderitaan Iblis”

    “Hahaha… penderitaan Iblis”, Markesot tertawa dan menyahut.

    “Iblis melampiaskan curahan hatinya kepada Baginda Muhammad, awal cahaya dan pionir segala makhluk sesudahnya:

    “Hampir tak tersisa sesuatu di Bumi
    Yang tidak dirusak oleh manusia
    Bumi, tanah, hutan, gunung, air
    Terutama diri mereka sendiri
    Mereka heboh menciptakan kesehatan
    Yang membuat jasad mereka makin sakit-sakitan
    Iman membuat mereka terkurung dalam kesempitan
    Dan untuk itu semua wahai Bagindaku Muhammad
    Aku yang mereka salahkan
    Padahal terus terang aku sudah berhenti menjalankan tugas ini
    Sejak berakhir masa jabatan Baginda Muhammad di Bumi
    Sebab bagi hakikat jiwaku yang Allah anugerahkan
    Untuk apa menetap di Bumi jika tak ada Baginda padanya
    Dulu awalnya aku menolak Adam di Bumi
    Karena rasa putus asa oleh manusia-manusia sebelumnya
    Tapi tatkala Allah menurunkan ruh-Nya berupa Baginda
    Yakni Muhammad yang keindahannya luar biasa
    Aku menjadi jenak dan merasa nikmat bertugas di Bumi
    Tetapi ketika kemudian Baginda dipindah-tugaskan
    Apa lagi di Bumi ini yang bisa diandalkan
    Di dalam bercinta tak ada yang melebihinya
    Di dalam silaturahmi tak ada lagi yang kusegani
    Jika harus bertempur hanya Baginda yang tak ada tandingan
    Sehingga kini aku tidak perlu melakukan apa-apa lagi
    Wahai Baginda Muhammad cahaya bergelombang cahaya
    Hanya Baginda yang satu-satunya yang dipandang oleh Allah
    Hanya Baginda yang bisa menolong hamba
    Hanya Baginda yang berhak memohonkan kepada-Nya
    Agar tugasku yang penuh kehinaan ini diakhiri saja
    Semua kerusakan di bumi tak memerlukan hamba
    Sedikit saja nafsu manusia sudah berlebihan
    Untuk pada suatu saat membuat bumi ini luluh lantak
    Sesungguhnya hamba sangat mencintai manusia
    Dan cintaku kepada mereka hanya bisa
    dikalahkan
    Oleh takjubku kepada Tuhan dan kagumku kepada Baginda
    Tetapi tak henti-henti mereka menghina Tuhan
    Terus-menerus mereka mempersaingkanku dengan Tuhan
    Menyangka aku memiliki susunan kekuatan
    Dan
    kekuasaan yang mampu menandingi Tuhan
    Wahai Baginda pangkal segala keindahan dan kemuliaan
    Aku ini Iblis, hamba ini Iblis
    Sepenuh-penuhnya berada di dalam genggaman kuasa Allah
    Inniii akhooofulloooh
    Sebenar-benarnya aku takut kepada-Nya
    Sedalam-dalamnya aku patuh kepada perintah-Nya….”

    “Pada suatu hari”, Saimon bernarasi, “Satu Malaikat diutus oleh Allah untuk menemui Iblis. Menyampaikan perintah agar Iblis pergi sowankepada Baginda Nabi Muhammad. Dan kewajiban Iblis dalam pertemuan itu adalah untuk membeberkan semua rahasianya, strategi akulturasinya, sistem sosialisasinya, serta peta rancangan peperangannya terhadap manusia”

    Saimon kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Markesot masih tetap bersabar atas perilaku sahabatnya itu.

    “Bagaimana mungkin”, Saimon melanjutkan, “Manusia yang katanya dianugerahi keunggulan akal, tidak berpikir logis terhadap kejadian itu”

    “Apa maksudmu?”, Tanya Markesot.

    “Hubungan apa dan dengan nilai bagaimana sebenarnya yang ada di antara Allah dengan Iblis?”

    “Kamu tanya kepada saya atau kepada manusia?”

    “Kepada manusia”

    “Kalau begitu silakan dijawab sendiri, sebab manusia sangat sibuk membangun Dunia, sehingga tidak punya waktu untuk mengurusi pertanyaan-pertanyaan seperti itu”

    “Kalau Iblis adalah pendurhaka kepada Allah, bagaimana mungkin Allah memberinya perintah dan Iblis mentaatinya?”

    “Jawab sendiri”

    “Kalau memang Iblis adalah musuh Allah, sehingga juga merupakan musuh Muhammad dan ummat manusia, kenapa Iblis bersedia disuruh Allah membukakan kepada Muhammad rahasia-rahasianya untuk menghancurkan manusia?”

    “Jangan menyangka itu kebenaran yang terbenar”

    “Kalau memang di dalam hati Iblis terdapat niat untuk menghancurkan manusia, kenapa ia mau membuka rahasia strategi penghancuran manusia yang dirancangnya? Bukankah itu merupakan ancaman yang bisa menggagalkan visi-misinya?”

    “Jangan berpikir bahwa yang kamu ungkapkan itu tak terbantahkan”

    “Kalau sewaktu-waktu Allah bisa memanggil Iblis, memberinya perintah, kemudian Muhammad pun menerima sebagai tamu yang akan menolong ummat manusia dengan menguakkan cara-cara bagaimana manusia dihancurkan, apakah itu suatu peta permusuhan?”

    “Ya. Sepanjang belum kau temukan kebenaran berikutnya”

    “Kalau memang Iblis adalah musuh Tuhan, Muhammad dan ummat manusia, kenapa manusia yang penuh keterbatasan dan kelemahan yang dilepas untuk melawan kedahsyatan Iblis? Kenapa Tuhan tidak menumpasnya saja? Atau Muhammad meladeninya saja langsung, duel face to face, dan pasti Muhammad yang akan keluar sebagai pemenangnya?”

    “Sesekali coba itu semua kamu jawab sendiri”

    “Saya tidak butuh jawaban”, kata Saimon, “Saya hanya ingin menikmati tidak bergunanya akal manusia.”


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  15. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Ya Imamal ‘Alamin


    Saimon melihat Markesot bersila, wajahnya menunduk, mulutnya tertutup, napasnya semakin lama semakin tak terlihat melalui gerakan bergelombang dari dalam dada dan perutnya.

    Saimon tersenyum. Markesot sudah tidak berada di situ. Sudah pergi entah ke mana. Sudah tidak berada di jasadnya yang bersila. Sudah keluar dari dinding kasat-indra tanpa merobeknya.

    Markesot sedang berpuasa dari jasadnya. Meletakkan pancaindranya dalam diam, dan memasuki keheningan. Keheningan tidak berada di hutan, di tepi sungai, di bawah pohon. Juga tidak bisa ditampung oleh wadag-nya.

    Nun di angkasa sangat jauh, menggelombang suara pepujian yang menyapakan cinta dan kemesraan.

    Shalawat dan salam kepadamu, wahai Duta Agung Sang Pencipta. Cinta dan kesetiaan kepadamu, wahai Penyebar Kabar Gembira ke seluruh alam semesta

    Nun di angkasa amat jauh. Yang mripat materiil manusia tak sanggup menjangkaunya. Apalagi mengukur jaraknya. Karena pada walayah itu bukan jarak namanya, pun bukan jarak sebagaimana yang dipahami oleh benda.

    Tak ada pendaran udara atau sapuan angin yang membawa suara itu sehingga mungkin bisa didengar di bawah pohon tepian hutan dan sungai itu. Saimon pun tak bisa mendengarnya, namun ia dengan saksama mendengarkannya.

    Taburan kabar gembira ke seluruh alam semesta. Merasuki hamparan tanah di seluruh permukaan Bumi. Menjadi benih. Bersemai menjadi tetumbuhan, tetanaman, pepohonan. Pendaran cinta yang menikahi Bumi hingga ke kedalamannya. Galih-galih unggulannya melingkar dan menyatu dengan khatulistiwa.

    Tanah, air, udara, kayu, logam, satuan-satuan, persenyawaan, komposisi, ramuan, racikan, gabungan, harmoni, keseimbangan, putaran daurah, dan semua detail ciptaan, menyatu dalam siklus siang malam kebersamaan, mengolah kehamilan rahmat jika malam, dan kelopak-kelopaknya merekahkan sunnah-Nya sepanjang siang.

    Matahari mengayominya dengan kehangatan yang terukur. Rembulan menyelimutinya dengan kesenyapan yang bermuatan cinta. Cahaya dan kegelapan bergiliran dan bekerja sama mengasuh Bumi beserta semua penghuninya.

    Terimalah cintaku wahai Panglima Perjuangan, berkenanlah atas kesetiaanku wahai Penolong Kebenaran

    Perjuangan untuk menjaga mizan, membangun penyeimbangan dan keseimbangan dalam hal apapun saja. Perjuangan untuk tidak mentidakkan apapun. Untuk tidak membuang apapun dari segala jenis makhluk-Nya. Karena Allah sudah memastikan secara kokoh bahwa Ia menciptakan apa saja kecuali kesia-siaan.

    Maka makhluk-Nya Ia dorong, Ia tarik, Ia giring untuk mengembarai kebenaran di semua semestanya, agar menemukan kesadaran dan ketakjuban untuk men-tasbih-iNya dan mengucapkan “Wahai Allah, sungguh tak ada yang sia-sia ini semua Engkau ciptakan”.

    Tak ada buangan. Tak ada sampah. Tak ada sisa. Tak ada apapun yang bathil. Tak ada mubadzir. Tak ada yang diciptakan oleh-Nya tersingkir. Segalanya diletakkan oleh Allah dalam Gelembung Daur raksasa, yang luasnya tak terukur oleh amat sedikitnya ilmu manusia.

    Semua makhluk-Nya berputar mengikuti duriyah Daur itu. Bergerak dan digerakkan secara amat lembut. Menari gembira dengan dan di dalam gerakan yang sedemikian halusnya sehingga tak terasa. Semua, siapa dan apa saja, yang telah ridla, bergabung di dalam tarian itu, mengalami percepatan yang amat lamban, dan perlambanan yang sangat cepat.

    Mereka tidak disifati oleh lambat atau cepat, mereka tidak berada dalam jauh atau dekat. Karena lambat dan cepat, serta jauh dan dekat, adalah bagian dari tarian cinta yang mereka terayun-ayun bagai mimpi di dalamnya.

    Bertasbih kepada-Nya semua yang di Langit maupun yang di Bumi”.

    Sungguh Ia Maha Perkasa, Maha Akurat dan Maha Presisi.

    Wahai siapa gerangan di antara manusia yang memecah-mecah kebenaran. Yang mewujudkan pecahan-pecahan itu menjadi padatan baru, yang dipertentangkan dengan padatan-padatan yang lain, padahal sebenarnya ia berasal dari satu keutuhan kebenaran?

    Wahai siapa itu beberapa golongan manusia yang melukai hati Tuhan dengan membanting tempayan agung Cinta sehingga terkeping-keping? Kemudian kepingan mereka benturkan melawan kepingan yang lain. Pecahan mereka adu dengan pecahan yang lain. Serpihan dipertengkarkan dengan serpihan yang lain? Wahai siapa itu beberapa golongan di antara manusia yang mencederai kesetiaan di dalam satu-nya kebersamaan semesta?

    Terimalah cintaku wahai Panglima Perjuangan, berkenanlah atas kesetiaanku wahai Penolong Kebenaran

    Wahai Baginda Muhammad tolonglah kebenaran yang sedang terluka parah di Bumi. Bersama Jibril Baginda melintas-lintas di angkasa sangat tinggi. Ronda di seantero galaksi-galaksi. Mengayun-ayunkan langkah demi langkah cahaya. Kain jubah Baginda berkibar-kibar menyentuh planet-planet dan satelit.

    Dan menangis bahagialah setiap yang disentuh oleh jubah Baginda. Wahai perkenankan jiwa rindu hamba terbang mengejar ujung paling belakang jubah Baginda. Tidak terutama untuk mencapai kegembiraan hati hamba pribadi, melainkan untuk menyentuhkan tangis airmata dan peluh darah, yang mengucur dari luka-luka kebenaran di Bumi yang hamba huni.

    “Wahai Baginda yang bersama Jibril Al-Muhaimin diperjalankan melintasi jagat raya pada bagian yang paling indah dari segala keindahan

    Wahai Baginda yang kanugrahan kawruh dan tuntunan, yang semua manusia hanya mampu tidur tatkala jejak kawruh itu melintasi wilayah mereka

    Wahai Baginda yang berdiri menegakkan sembahyang, dan seluruh penduduk Langit bermakmum berbaris bershaf-shaf di belakang Baginda

    Wahai Baginda Imam Sembahyang yang tiada tara, wahai Baginda pemuka Sujud yang keindahannya menghanguskan semua kata, wahai Baginda Sang Panglima, wahai Imamal ‘Alamin….”



    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  16. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Jalan Sunyi (Cak Nun - Kiai Kanjeng)

    Akhirnya kutempuh
    Jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu
    Sendiri di lubuk hati
    Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
    Cinta yang takkan kutemukan bentuknya

    Kalau memang tak bisa engkau temukan wilayahku/ biarlah aku yang terus berusaha mengetuk pintu rumahmu/ kalau memang tak sedia engkau menatap wajahku/ biarlah para kekasih rahasia allah yang mengusap-usap kepalaku

    Mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu/ Mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu/ Ambilah ambillah... akan kumintakan izin kepada Allah yang memilikinya/ Sebab toh bukan diriku ini yang kuinginkan dan kurindukan

    Akhirnya kutempuh
    Jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu
    Sendiri di lubuk hati
    Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
    Cinta yang takkan kutemukan bentuknya

    --------
    Indeks Lagu Kiai Kanjeng




    Nikmati dan resapi lagu-lagu lainnya dari Kiai Kanjeng dan Cak Nun di Indeks Lagu Kiai Kanjeng.
     
  17. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Hari Raya di Langit


    Hari Raya di langit adalah ketika engkau bermakmum shalat di belakang Rasulullah.

    Rasulullah meng-Imam-imu bersama jamaah yang tak kan pernah kau ketahui jumlahnya.

    Fa sholla kullu man fis-sama`i wa antal-Imam”.

    Bersembahyanglah setiap dan semua yang di Langit, dan Rasulullah imamnya.

    Ketika engkau tinggal di ruang sempit yang bernama “hidup di Bumi”, engkau merasa cemburu karena makmum Baginda Muhammad hanya para penduduk Langit. Itu karena engkau terbiasa mendengar dikotomi Bumi dan Langit. Padahal Bumi adalah seperseribu debu yang merupakan bagian juga dari kebesaran semesta yang engkau sebut Langit.

    Maka meskipun engkau masih bertugas menghuni Bumi dan menjalani jenis kehidupan yang paling sempit, dangkal, artifisial, di mana engkau terapung-apung di tengah gelembung-gelembung hologram: cita-citakanlah agar diperkenankan berhari raya di Langit.

    Sebaiknya engkau tidak usah terlalu percaya dan mantap atas apa yang kau sangka realitas, sementara dengan mudah dan semberono engkau meremehkan segala sesuatu yang kau sangka dongeng.

    Akan lebih efektif kalau engkau tidak terlalu bangga atas segala sesuatu yang kau pelajari dan alami dari kebudayaan di Bumi. Perolehan-perolehanmu dari bangku Sekolah, buku-buku, kabar-kabar, data-data dan fakta yang kau pikir itu sungguh-sungguh data-data dan fakta. Atau semua pendapatan dari khayalan, yang berpuluh-puluh tahun pembelajaranmu tidak menyediakan metode verifikasi untuk menemukan identifikasi yang manakah khayal, yang bagaimanakah imajinasi, yang seperti apa perohanian. Apalagi tradisi panggraita, kawaskitan dan mukswa, telah kau buang dan tinggalkan.

    Ketika engkau berada dan menjadi bagian dari shaf-shaf yang menghampar amat sangat luas melebihi luasnya seribu alam semesta, yang tepian semua arahnya tak terjangkau oleh pandanganmu, meskipun engkau sudah menjadi penghuni Sorga — itulah saat menyesali dan mentertawakan diri-Bumimu, diri-wadagmu, serta berbagai macam diri yang selama ini kau sejati-sejatikan.

    Semua makhluk Langit seluruh bagian dan lapisan berjajar, berbaris, seakan Allah sendiri sedang melukis lingkaran-lingkaran cakrawala, yang tepiannya adalah keremangan. Bukan karena cahaya tak mencapainya, tetapi karena sesorga-sorganya para makhluk, tetaplah berada di dalam margin-sempitnya kemahaluasan Allah.

    Ketika Baginda Muhammad mengucapkan “Allahu Akbar” dengan suara yang membahagiakan seluruh unsur yang darinya semesta Langit disusun, lantas beliau bersujud, dan engkau bersama para makmum semua melanjutkannya dengan “Allahu Akbar”, dengan suara yang sangat sunyi namun menggemuruh, sehingga seakan-akan Langit itu berdinding, dan seolah-olah dinding-dinding langit itu bergetar oleh “Allahu Akbar” — itulah puncak Idul Fithri.

    Meskipun itulah Sidratul-Muntaha, meskipun itulah batas akhir kebahagiaan cinta semua makhluk, namun itulah Hari Raya yang sebenarnya. Engkau tidak lagi berada pada kesadaran tentang jarak, yang membuatmu bertanya “Apakah sembahyang ini benar-benar kualami? Kapan ini? Dan Di mana?”

    Karena Sujud Agung bersama Imamul ‘Alamin Baginda Nur Muhammad, tidak dimuat oleh ruang dan tidak mengendarai waktu. Sebab ruang dan waktu justru merupakan bagian yang paling shaleh dari peribadatan abadi Baginda Cahaya Amat Terpuji. Ruang turut bermakmum pada beliau, waktu ikut bersujud di kandungan Sembahyang Cinta beliau.

    Ruang hanyalah alat sementara, dan waktu hanyalah jalan sejengkal untuk ditempuh manusia agar tiba kembali di Kesadaran Sejati. Manusia perlu mulai belajar bahwa alamat kehidupan sejatinya tidak di suatu koordinat dalam ruang, dan tidak pada suatu jengkal di antara rentang rasa yang ia sangka waktu.

    Manusia berasal usul dari Kesadaran Sejati, diberi peluang sejenak untuk menatap dan membaca Kesadaran Sejati itu, sambil dibimbing untuk melangkah, untuk melakukan perjalanan melingkar, untuk sampai kembali ke asal-usulnya, yakni Kesadaran Sejati itu sendiri. Manusia tidak bertempat tinggal di ruang dan waktu, melainkan di kesadaran.

    Kesadaran tidak dimuat oleh kepalanya, oleh gelombang akal, struktur pikiran atau susunan dan komposisi saraf-saraf otaknya, meskipun sebagian dari kesadaran itu meruang di kalbunya.

    Manusia juga tidak perlu memikirkan tempat tinggalnya, karena hanya ada satu rumah yang ada dalam kehidupan, yakni kemurahan Allah itu sendiri, yang manusia tidak punya kemungkinan untuk keluar atau minggat darinya.

    Manusia tidak perlu mencemaskan, tidak perlu takut atau sedih atas kehidupannya, asalkan ia berkonsentrasi pada tugasnya, yakni berjuang sebentar menggerakkan Cinta yang hulu Kesadaran Sejati menuju hilir yang juga Kesadaran Sejati.

    Itulah mudik yang sejati. Itulah mudik yang sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya mudik.

    Itulah perjalanan menuju udik. Atau yang kebudayaan manusia, karena pengetahuannya yang linier dan datar, menyebutnya kembali ke udik. Kampung halaman adalah pencapaian sejengkal dari perjalanan ke udik. Menyatu kembali dengan keluarga sanak famili adalah terminal paling sederhana dari perjalanan ke udik.

    Kenapa manusia hari ini memelihara kebodohan dengan menjadikan kata ‘udik’ sebagai bahan ejekan, sebagai lambang keterbelakangan, sebagai simbol ketertinggalan?

    Betapa hanya sepetak pencapaian kebudayaan ummat manusia. Betapa hanya sejengkal jangkauan peradaban ummat manusia. Betapa makin kerdil pengetahuan dan ilmu manusia.

    Ummat manusia dengan kemegahan modernitas beserta ribuan ekspresi kemewahannya, kenapa begitu sukar menemukan bahwa kehidupan ini tidak terdiri atas belakang dan depan, juga tidak terbagi menjadi dulu dan sekarang dan esok.

    Bahkan kiri kanan atas depan hanyalah inisial. Waktu bukanlah tali yang memanjang menjulur lurus dari kegelapan di belakang dan keremangan di depan. Ruang bukanlah kekosongan yang berdinding ketak-terbatasan.

    Wahai Baginda Nur, alangkah sulitnya menginformasikan bahwa hidup ini melingkar. Bahwa kehidupan ini bulatan. Bahwa ‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un’ adalah bulatan wajah kehidupan, yang bahkan tanpa kematian….”


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  18. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Banyak Men-Satu Semua Men-Tunggal


    Ketika Markesot bergerak sangat pelan dan diam-diam mendekat ke barisan shaf paling belakang dari jamaah langit Imamul ‘Alamin Baginda Rasulullah saw ia dikejutkan oleh sosok yang tiba-tiba ada di depannya. Sosok itu mendorong dan melemparkan Markesot ke arah belakang dari mana sebelumnya ia bergerak.

    Markesot terbanting di lantai kekosongan dan terjerembab di depan dinding hampa kesenyapan. Ia sungguh tak berdaya. Tak disangkanya di wilayah yang bergelimang kemuliaan dan penuh kesucian ini ia mendapatkan perlakuan yang semena-mena.

    Lebih kaget lagi ternyata yang berdiri di hadapannya, yang barusan melemparkannya, adalah Kiai Sudrun.

    “Kiai…”, spontan ia menyapa. Sudrun tidak menjawab. Hanya berdiri gagah di depannya sambil bertolak pinggang.

    “Maaf Kiai”, Markesot mengulang sapaannya sambil terbata-bata berusaha bangun, duduk dan ta’dhim kepada Kiai Sudrun.

    “Hebat amat kamu, Sot”, akhirnya Sudrun berbicara.

    “Maaf, Kiai, saya tidak paham”

    “Kamu hebat. Serba hebat. Perjalananmu balapan dengan irama, langkahmu melampaui waktu, pergerakanmu merobek tembok, kata-katamu terlalu panjang sehingga melewati batas napas manusia…”

    “Kalimat Kiai barusan juga terlalu panjang…”

    “Diam!”

    “Untuk memahami kata-kata panjang Kiai saya harus merobohkan pagar irama dan memperlebar ruang…”

    “Tutup mulut!”

    “Maaf Kiai…”

    “Di Langit Empat ke atas tidak ada demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, kemerdekaan berekspresi, freedom of speech, sama rasa sama rata, egalitarianisme, atau ukuran-ukaran lain yang berlakunya hanya di langit terbawah di mana materialisme yang rendah dan hina masih diberlakukan”

    “Begitu ya Kiai…”

    “Diam”, Sudrun membentak lagi, “Di sini berlaku fakta dan wujud ‘inna akromakum ‘indallahi atqakum’, bukan lagi sebagai simulasi, abstraksi, halusinasi, perkiraan, muhasabah pikiran, dhonn, sangka-sangka, kiro-kiro, tembung jare, kulak jare dodol jare…”

    “Terlalu panjang, Kiai…”, Markesot terloncat kata-katanya.

    “Tutup mulut”

    “Maaf Kiai”

    “Ngapain kamu ke sini? Mau ikut makmum shalat?”

    “Maunya begitu…”

    “Tidak usah jawab”, Sudrun memotong, “sembahyangmu di Bumi. Tugasmu di bawah sana. Tidak di atas sini”

    “Saya bukan naik ke atas sini, Kiai. Saya cuma memejamkan mata dan melamun…”

    “Kamu tahu artinya diam? Jangan menjawab? Tutup mulut?”

    “Tahu, Kiai”

    “Kamu masih menjawab juga”

    Markesot merapatkan bibirnya.

    “Bumi sedang melewati Ramadlan. Kamu belajar berpuasa. Kamu masih belum bisa berpuasa. Kamu belajar diam. Belajar memperpendek panjang. Belajar men-satu-kan banyak. Belajar meng-hanya-kan semua. Belajar menyepikan ramai. Belajar mensenyapkan keriuhan. Kamu bertugas menemani manusia-manusia yang napasnya sangat pendek, yang pandangannya sejengkal, yang daya pendalamannya dangkal, yang tidak mengerti gelombang dan lipatan”

    Markesot menahan mulutnya.

    “Kamu berhenti cengeng. Stop melankolik. Jangan terlalu rohani, supaya Bumi tidak terbakar atau kau yang menguap. Jangan masuk terlalu ke lubuk, jangan terbang terlalu tinggi, jangan buka ruang terlalu lebar, jangan melipat-lipat waktu, jangan mengulur-ulur kata di depan siapapun yang belum akan sanggup memahaminya”

    Markesot terpana oleh apa yang sedang dialaminya.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  19. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Singgasana Cinta


    Markesot tidak benar-benar bisa dengan saksama mendengarkan serbuan kata-kata Kiai Sudrun. Sebab ia sungguh termangu-mangu oleh yang dialaminya.

    Ia memang memutuskan untuk pergi mencari Kiai Sudrun. Sejauh apapun akan ia tempuh. Menelusuri jalanan, lorong dan tepian yang tak dilewati orang. Ia masuk dan keluar, turun dan naik, muncul dan menghilang, menempuh lorong-lorong, rel kereta, sungai, hutan, gelap dan kesenyapan.

    Keluar masuk dirinya, menyisir nuansa, meraih-raih cakrawala, menempuh segala satuan sunyi dan sepi, mencari Kiai Sudrun, untuk melarikan diri, agar mendapatkan jalan untuk kembali. Sungguh tak diduganya bahwa di sini Kiai Sudrun memergokinya, dan membentak-bentaknya.

    “Untuk apa kamu buang-buang waktu ke sini”, Kiai Sudrun memarahinya lagi.

    “Karena sudah cukup lama waktu saya di Bumi terbuang-buang percuma juga”, jawab Markesot.

    “Kamu boleh menjawab”, kata Sudrun, “sepanjang saya memperbolehkanmu menjawab. Tapi kamu tidak boleh menjawab kapan saja saya melarangmu menjawab”

    “Baik, Kiai”

    “Sekali lagi tidak ada hak atau kewajiban di sini, apalagi demokrasi yang miring dan maniak hak, tanpa mengungkap bahwa kewajiban lebih utama dan merupakan asal-usul haknya hak”

    “Paham, Kiai”

    “Di sini bukan wilayah dialektika antara kewajiban dan hak. Di sini pasca kewajiban dan hak. Di sini bukan arena perjuangan, melainkan tempat yang lebih tinggi yang diperuntukkan bagi makhluk-makhluk Tuhan yang sudah menyelesaikan dan lulus menjalani perjuangan”

    “Terima kasih atas penjelasannya, Kiai”

    “Di sini bukan wilayah. Di sini adalah semesta walayah, arena haqqullah, tanpa dialektika dengan bathil. Tidak ada kebatilan. Tidak ada perjuangan menyebar kebenaran dan mencegah kebatilan. Itu sudah harus selesai di Bumi. Dan itu adalah arena tugasmu yang belum selesai. Kamu harus segera kembali ke Bumi”

    “Mohon perkenan Allah agar suatu saat saya dibukakan pemahaman atas hal itu, Kiai”

    “Kamu masuk ke arena yang meskipun kamu bisa sedikit memahaminya, tetapi belum diizinkan dan belum saatnya untuk memiliki pemahamannya”

    “Tidak mengerti, Kiai”

    “Andaikan pun kamu mengerti, jangan dulu mengerti”

    “Lebih tidak mengerti lagi, Kiai”

    “Kamu belum berada pada tahap untuk diperkenankan mengerti, sehingga semengerti apapun, kamu belum mencapai sejatinya mengerti”

    “Saya merasa terlempar, Kiai, di antara kemungkinan mengerti dengan tidak mungkin mengerti”

    “Di semesta yang kamu mencuri untuk datang kemari, tidak ada lagi yang namanya kemungkinan. Yang menghampar di sini adalah kepastian. Di sini tidak ada rentang ruang dan waktu untuk mengambil pilihan, karena di sini adalah ujung segala pilihan. Di sini tidak ada kemerdekaan memilih, karena kemerdekaan hanya diperuntukkan bagi makhluk yang masih berproses mencari kepastian”

    “Yang ini agak samar-samar, Kiai”

    “Bahkan di sini tidak ada keadilan. Tidak ada kedholiman atau diktatorisme. Kedholiman dan diktatorisme hanya sebuah kutub, yang berseberangan dengan kutub kemerdekaan. Sedangkan di sini hanya ada satu kutub yang namanya Haqqullah. Di sini tidak diperlukan keadilan, karena keadilan adalah jalan yang harus ditempuh oleh makhluk yang masih sedang berjuang. Sedangkan di sini Sang Maha Adil sudah bersinggasana dalam kepastian yang absolut”

    “Bisa membayangkan, Kiai”

    “Di semesta ini penduduknya tidak lagi memerlukan perjalanan untuk mencapai keadilan, kebenaran, kebaikan atau keindahan. Setiap koordinat dan posisi yang manapun yang dihuni oleh siapapun di sini, adalah adil, benar, baik dan indah. Ini adalah Singgasana Cinta, dan kamu, Markesot, baru awal belajar bercinta”

    Sebelum Markesot menanggapi, tiba-tiba terdengar suara Kiai Sudrun membentak sangat keras dan lantang:

    “Pergi kamu dari sini!”

    Serasa sirna Markesot dari dimensi.

    Setiap koordinat dan posisi yang manapun yang dihuni oleh siapapun di sini, adalah adil, benar, baik dan indah. Ini adal

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  20. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Pertahanan Terhadap Domba


    Dulu kalau Kiai Sudrun membentaknya, Markesot sering-seringnya hanya tertawa. Cara Sudrun mentransfer ilmunya bisa dengan cara yang bermacam-macam. Marah, diam, menghilang, berlaku gila, tertawa tidak wajar, tidur dengan dengkuran yang aneh atau berlebihan. Atau banyak cara lagi.

    Tapi ternyata di tempat itu ketika Sudrun membentak dan mengusirnya, Markesot tidak bisa tertawa. Ini memang sungguh bukan wilayah kehidupan seperti biasanya.

    Sebenarnya kalau disebut Markesot merasa ketakutan oleh bentakan Sudrun yang sangat lantang dan memantul-mantul, tidak juga. Ia hanya seperti disihir. Dan mungkin pingsan. Kesadarannya tersisa hanya sangat sedikit dan tipis.

    Markesot terlempar oleh suara lantang Sudrun itu ke suatu wilayah lain yang entah di mana. Tapi tanpa sengaja ia bergerak balik ke tempat semula. Dan anehnya ternyata Kiai Sudrun tidak marah melihat ia nongol kembali.

    “Kenapa kamu kembali lagi ke sini?”, Sudrun bertanya. Dengan suara lunak. Tidak seperti sebelumnya.

    “Maaf Kiai”, jawab Sudrun, “Saya tidak tahu bahwa saya kembali ke sini. Saat ini bahkan saya tidak bisa membedakan antara kembali dengan pergi. Apakah di semesta ini masih ada orang yang pergi, atau kembali?”

    Kiai Sudrun tertawa terkekeh-kekeh.

    “Bukankah pergi hanya dilakukan oleh makhluk yang belum sampai, Kiai?”

    Kiai Sudrun semakin terkekeh-kekeh.

    “Apalagi kembali. Jangankan di sini, Kiai, sedangkan di Bumi pun tidak ada kembali. Yang ada hanya pergi”

    Sambil tersisa tertawanya, Sudrun menjawab:

    “Itu yang membuatmu kurang betah di Bumi. Orang yang hidup di Bumi memang harus mempelajari dan membawa dirinya naik ke kesadaran Langit. Tetapi tetap harus dengan irama Bumi. Itu kelalaianmu. Kamu meraih-raih kesadaran Langit, sehingga sering kakimu tidak seirama dengan kehidupan di Bumi. Kamu terjungkal-jungkal, atau Bumi mentertawakanmu”

    “Apakah selama menghuni Bumi, seseorang hanya boleh mencari, tanpa boleh menemukan?”

    “Perjalanan mencari selalu sampai di tahap-tahap penemuan. Saya tahu kamu sudah cukup banyak menemukan, tetapi yang kamu sering lupa adalah keharusan untuk bertahan pada kesabaran mencari”

    “Sejujur-jujurnya saya selama ini merasa sudah sangat bersabar, Kiai”

    “Kamu sangat sabar untuk dirimu sendiri, tapi kamu sangat tidak sabar untuk tugasmu. Kamu tidak diperkenankan untuk menemukan sendiri. Penemuanmu harus penemuan bersama”

    “Bersama domba-domba yang membosankan itu, Kiai?”

    “Itu kalau kamu lihat dirimu sebagai penggembala”

    “Sebenarnya saya tidak terlalu berani menggembalakan domba-domba, Kiai. Karena saya sudah sangat lama mengalami betapa berat dan susahnya berbicara kepada kambing. Jangankan mengantarkannya untuk paham. Berbicara saja pun seperti memukul udara tanpa pernah berhasil menyentuhnya…”

    Kiai Sudrun kembali terkekeh-kekeh.

    “Saya omong cahaya, kambing pahamnya bohlam. Saya bicara gelombang, kambing menyangkanya lautan. Saya kemukakan lukisan, kambing mengambil garisnya. Saya jelaskan tentang manusia, kambing menangkap terutama tulang dan dagingnya…”

    “Setahu saya kamu dikerubungi banyak orang karena kesanggupanmu untuk memadatkan persoalan. Menguraikan sesuatu yang ruwet menjadi sederhana. Menjelaskan sesuatu yang berlapis-lapis menjadi bersahaja”

    Ganti Markesot tertawa getir. “Itu ada benarnya, Kiai. Tetapi di ujungnya kambing-kambing berkeyakinan bahwa faktanya adalah sederhana. Padahal yang sederhana adalah cara saya menyampaikan faktanya. Fakta kehidupan itu sendiri sangat ruwet dan jauh dari sederhana”

    Kiai Sudrun terkekeh-kekeh lama. “Maka kamu harus segera pergi dari sini, temui domba-dombamu kembali. Kamu tidak harus berhasil. Tapi sekurang-kurangnya kamu membuktikan sampai saat berakhirnya tugasmu, bahwa kamu sanggup bertahan hidup bersama masyarakat domba, kambing maupun manusia”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  21. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Pujangga Bumi yang Putus Asa


    Ta’qid : Jika Allah sendiri yang dengan sangat mendalam berterus terang mengumumkan cinta-Nya kepada Baginda Nur Muhammad, siapakah di antara makhluk-makhluk-Nya yang tidak?

    Markesot melayang-layang menyeberang dari keluasan memasuki kesempitan.

    Ketika tadi Kiai Sudrun membentak dan mengusirnya, Markesot tak merasakan apa-apa. Tapi begitu ia merobek dinding keluasan dan memasuki kembali ruang sempit di mana Bumi bersemayam, ternyata tumbuh semacam rasa jengkel dan sedikit amarah di dalam jiwanya.

    Markesot meluncur sangat cepat menuju jasadnya, dan rasanya begitu nanti menyatu dengan diri-Buminya, ia akan memekik sekeras-kerasnya, mungkin juga akan melompat-lompat, berguling-guling, menendang-nendang dan memukul-mukul sejadi-jadinya.

    Akan tetapi mendadak ia urungkan gejolak jiwanya, ketika ia melihat apa yang sedang terjadi pada Saimon di bawah pohon itu, di pinggir sungai tepian hutan. Markesot melayang turun dengan bersembunyi dari getaran dan suara. Ia masuk ke jasadnya tanpa ada tanda atau gejala apa-apa. Karena jangan sampai Saimon mengetahuinya.

    Saimon memang terlanjur terseret oleh melankoli Markesot. Untung Saimon tidak termasuk di dalam ruang kewenangan Kiai Sudrun.

    Karena bersahabat sudah sangat lama, dan hubungan persaudaraan antara Saimon dengan Markesot sudah terlanjur dipenuhi rasa simpati dan kasih sayang, maka dalam sejumlah peristiwa mereka saling menyeret atau saling terseret.

    Sunyi senyap tubuh Markesot yang bersila di bawah pohon, membuat Saimon akhirnya surut dan terserap memasuki sikap khusyu. Tulang punggung Markesot tegak lurus ke langit. Wajahnya menghadap tepat ke depan. Kedua tangannya rebah oleh gravitasi, seakan lunglai, tapi berjaga. Kedua matanya terpejam. Sangat jelas bahwa Markesot sedang tidak berada pada jasadnya.

    Ribuan helai daun membisu. Udara sangat berhati-hati agar gerakannya sedemikian pelannya supaya tak mengusik kesenyapan. Cahaya menahan diri pada remang-remang. Hanya langit yang tak bisa menyembunyikan wajahnya. Bagai layar animasi. Sangat perlahan berubah-ubah warnanya.

    Segalanya seakan-akan diam dan beku. Padahal sebaliknya. Bumi sedang menari gembira. Seluruh bulatan besar kecil di lingkup gelembung semesta, bahkan sela-sela di antara bintang-bintang, planet dan satelit, pun bebatuan liar yang melintas-lintas menerobos-nerobos bagai kanak-kanak yang sedang bermain — memuncak kegembiraannya.

    An-Nuqmah, yang bersinggasana di atas gunung api raksasa, wajah kuning tembaganya berpendar-pendar memantulkan cahaya Baginda Nur Muhammad. Pendaran-pendaran warna wajahnya seakan sebuah koreografi, suatu komposisi tarian yang seribu koreografer Bumi tak sanggup menandinginya.

    Jika Allah sendiri dengan sangat mendalam berterus terang mengumumkan cinta-Nya kepada Baginda Nur Muhammad, siapakah di antara makhluk-makhluk-Nya yang tidak? Siapakah yang bersedia bodoh untuk tidak menikmati puncak segala Cinta, sebagaimana Sang Maha Pencipta kepada masterpiece ciptaan-Nya?

    Panglima Haffun, koordinator Hamilin wa Hafidhin di sekeliling Arasy, mengangkat tinggi-tinggi tasbih-nya, menaikkan volume suara tasbihat-nya, bahkan menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya, tanpa mengganggu keseimbangan dan ketenangan seluruh Arasy yang dikelilingi dan dikepungnya dengan cinta.

    Sang Malaikat Airmata, Ad-Dam’u, Shohibud-Dam’ah, Dzu Dam’iyyah, menangis menjadi-jadi. Tangisnya menjadi nyanyian, mengiris-iris bagai biola, sesekali melengking bak seruling para Pujangga di Bumi yang putus asa. Adapun Baginda JIbril, bersama Sembilan Menteri Jagat Raya lainnya, berjajar di shaf pertama di belakang punggung Baginda Nur Muhammad.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.