1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Tales of Gaea: Children of The East

Discussion in 'Fiction' started by MaxMarcel, Mar 7, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    great...:matabelo

    ceritanya menarik, pacingnya pas, konfliknya...:matabelo

    saya jadi bingung mau komentar apa selain:top:

    tapi konflik batinnya agak kurang kerasa mungkin:iii:padahal trauma Sophie, masa lalu Ishtar kayaknya gelap banget...:matabelo

    beda kalau deskripsi battle/action yang wow:matabelo bikin saya iri:dead:

    tapi kalau menurut pengarangnya segitu juga udah cukup nggak masalah sih:ngacir:

    :maaf:

    saya tunggu lanjutannya kk:top:
     
    Last edited: Jul 2, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0

    Makasih udah baca ampe paling akhir. Tq juga buat komentarnya :beer:


    Iya, memang mau ngembangin konflik batinnya si Sophie kurang inspirasi ini. Kalo ada saran buat ngembanginnya akan sangat dihargai :D
     
  4. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter XI: Behind The Front Line

    Suara derap langkah kaki terdengar membahana begitu Ishtar melangkah keluar dari ruangan tabib. Didorong oleh rasa penasaran ia langsung berjalan dengan lincah melewati jalan-jalan benteng untuk melihat sumber suara tersebut.

    Ishtar cukup terkejut melihat pemandangan di depannya. Tampak tentara-tentara Aesyr memenuhi jalan utama benteng.

    “Menarik bukan, baru saja mereka menguasai benteng ini dan sekarang mereka sudah pergi.”

    Ishtar menoleh ke arah suara itu. Benevito tampak sedang bersandar pada dinding sebuah bangunan penjaga.

    “Aku menduga kau akan ada di sekitar sini.” kata pria itu datar.

    “Hey, Benevito. Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana mereka mau pergi?” tanya Ishtar sambil menunjuk gelombang tanpa akhir tentara Aesyr yang lewat di depan mereka.

    “Aku punya berita baik dan berita buruk. Kau mau mendengar yang mana duluan?”

    “Yang mana saja.” jawab Ishtar tidak peduli.

    “Baiklah. Pertama, aku baru saja mendapat surat dari raja. Ia memerintahkan kita untuk mempertahankan benteng ini. Tempat ini akan menjadi salah satu titik jalur suplai yang penting bagi aliansi. Kedua, kita merupakan penguasa tunggal benteng ini sekarang.”

    “Baiklah. . . Jadi apa berita buruknya?”

    “Bukankah sudah kukatakan? Kita ditugaskan untuk duduk manis menjaga benteng ini. . . Kita kehilangan kesempatan untuk ikut dalam penyerangan benteng Zergon!”

    Ishtar tertawa hambar, “Semua yang kau katakan merupakan berita yang sangat baik. Percayalah kau tidak akan mau berhadapan dengan benteng Zergon.”

    “Aku tidak percaya kau begitu skeptis. Aku dengar kabar bahwa jutaan tentara dan peralatan berat dari berbagai daerah akan didatangkan, semuanya spesial untuk menghancurkan benteng itu. Tidak ada salahnya bukan untuk berdiri di sana dan menyaksikan pasukan terbesar yang pernah dikerahkan kaum manusia melumat benteng itu?” protes Benevito.

    “Jujur saja. Aku tidak mau ada di sana. Zergon merupakan benteng terbesar dan terkuat di Kekaisaran Zar’goza. Percayalah, benteng itu sudah dihantam berkali-kali oleh berbagai pihak. Manusia, elf, goblin, tidak ada yang bisa menguasai benteng itu sepenuhnya. Benteng itu merupakan salah satu lokasi dengan pertahanan yang paling sempurna di seluruh Gaea Earth.”

    “Ya aku mengerti kalau bangunannya sempurna, tapi semua kekuatan itu hanya bergantung pada penjaga yang melindunginya.”

    Ishtar mendengus, “Untuk lokasi sepenting itu aku menebak akan ada sekitar dua puluh ribu penjaga elit Zar’goza di benteng itu. Dengan minimal tiga orang Warlord yang memimpin pasukan itu. Oh, apa aku sudah bilang kalo benteng itu merupakan pusat dari klan Ironscale?”

    “Baiklah, mereka juga punya tentara terlatih. Tapi mereka pasti tidak punya persediaan senjata yang melimpah untuk bertahan dari serangan yang lama bukan?”

    Ishtar hanya bisa menghela napas, “Benteng Zergon juga terkenal karena memiliki bengkel pandai besi terbesar di seluruh Kekaisaran. Aku yakinkan padamu, mereka bahkan punya cukup senjata untuk dibagi-bagikan ke seluruh pasukan Aesyr yang menyedihkan.”

    “Jadi kau mau mengatakan serangan aliansi akan gagal?” Benevito tampak terdiam sebentar, “. . . Tunggu! Dari mana kau tahu semua ini!?”

    “Aku hanya seorang wanita yang suka bepergian, tidak lebih dari itu.” kata Ishtar sambil tersenyum. Ia dapat melihat Benevito menaikkan sebelah alisnya. Wajahnya dipenuhi dengan tanda tanya dan rasa penasaran.

    “Oh ayolah. Kalau kita menjadi penguasa benteng ini, bukankah seharusnya kita ada di dalam benteng utama bukan berdiri di pinggir jalan seperti ini?” kata Ishtar sambil berjalan pergi.

    Benevito berteriak memanggilnya tapi Ishtar sama sekali mengabaikannya. Ia hanya terus berjalan dengan sebuah senyum usil di mulutnya.

    ***​

    Sementara itu, ratusan mil dari benteng Cataract, tepat di jantung Kekaisaran Zar’goza. Orienthrone, ibukota bagi kaum kirzka serta tempat dimana sang kaisar menarik benang-benang rencananya.

    Sebuah bangunan raksasa berbentuk kubah menjulang tinggi di tengah kota itu. Disanalah sang Kaisar tinggal. Dan saat ini ia tengah mengumpulkan seluruh bawahannya.

    Dadu sudah dilempar. Takdir jutaan jiwa akan ditentukan di tempat ini.


    “Tampaknya akan terjadi sesuatu yang besar. Bukan begitu Astlar?”

    Kyriakos, sang Warlord dari klan Ironscale tampak sedang berjalan bersama ajudannya di luar istana Kaisar.

    Ajudannya mendesis balik dengan bersemangat, “Ya, kudengar Kaisar memanggil hampir seluruh Warlord dan ketua klan yang ada di tanah timur. Sesuatu yang menarik akan terjadi di masa kita.”

    “Aku juga ingin sedikit kejelasan tentang semua kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini. Para manusia tiba-tiba memberontak di seluruh tempat. Ini pertama kalinya aku melihat hal seperti ini.”

    “Mungkin sang Kaisar sudah memutuskan untuk memperluas lagi kekuasaan kaum kita.” balas Astlar setengah bercanda.

    Sosok raksasa itu hanya menggeleng, “Kaisar memang suka melakukan keputusan yang tidak terduga. Tapi ia tidak akan bertindak sejauh itu. . . kurasa.”

    Mungkin aku tidak seharusnya memikirkan hal ini, pikirnya sambil menghela napas. Kyriakos berusaha mengalihkan pikirannya dengan pemandangan yang ada di depannya. Perlahan-lahan ia membiarkan udara sejuk memenuhi napasnya.

    Kyriakos menyapukan pandangannya pada pelataran istana. Mengagumkan, banyak sekali hal yang dapat diubah dengan sihir. Dengan takjub ia menikmati keindahan taman pada pelataran istana. Saluran-saluran pengairan yang dibuat dari batu putih menjalar di seluruh taman, seperti sebuah labirin dengan tanaman rambat dan teratai tumbuh di sepanjangnya.

    Pohon-pohon palem dengan ukuran yang tidak wajar dan rumput memenuhi pelataran, memberikan warna hijau dominan di tengah padang pasir Zar’goza. Pemandangan yang mengagumkan tersebut membuat Kyriakos berpikir. Dan semua keindahan ini merupakan hal yang mustahil untuk terbentuk secara alami kecuali dengan sihir. Ya, Kaisar memang terkenal sebagai salah satu penyihir terkuat di seluruh Gaea Earth.

    “Tuan, ada apa? Kau kelihatannya sedikit melamun.” tanya Astlar yang bingung dengan keheningan tuannya.

    “Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya saja tidak sering kita mendapatkan pemandangan seperti ini.”

    Astlar mengikuti arah pandangan Kyriakos dan berkata, “Ah, ya. Ibukota memang terasa penuh dengan kehidupan, jauh berbeda dengan tanah klan kita yang hanya terdiri dari batu dan pasir.”

    Kyriakos menarik napas dalam-dalam, “Aromanya penuh dengan kesejukan yang hidup. Hah, ini membuat kampung halaman kita terasa menyedihkan. Aku hanya bisa menghirup bau benda terbakar dan logam cair disana.”

    Terdengar suara langkah kaki yang langsung membuat Kyriakos dan Astlar menghentikan pembicaraan mereka. Tiga orang kirzka bersisik merah yang mengenakan mantel bertudung terlihat sedang berjalan mendekati mereka. Kirzka yang berdiri di tengah tampak berjalan lebih depan dan mengeluarkan aura karismatik yang familiar.

    “Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita bertemu, Ironscale.” sebuah suara bersahabat meluncur dari balik tudung kirzka itu.

    “Mungkinkah. . . Izdar?” kata Kyriakos sedikit terkejut.

    Kirzka yang berdiri di tengah menyibakkan tudungnya, menampakkan sesosok kirzka dengan pembawaan yang tenang tapi memancarkan pandangan yang tajam.

    “Izdar! Haha, aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu denganmu!” kata Kyriakos bersemangat. Ia melangkah maju dan menaruh tangannya pada bahu kawan lamanya sambil mengguncang-guncangkannya.

    “Tenanglah kawan besarku, tenanglah.”

    Kyriakos tertawa kecil sambil melepaskan pegangannya, “Jadi, bagaimana keadaanmu? Kulihat perang ini sama sekali tidak merubahmu.”

    “Aku masih orang yang sama, kawan.” katanya sambil merapihkan mantelnya, “Sepertinya panggilan Kaisar telah membuat jalan kita kembali bersilangan.”

    “Ah ya, kau juga disini karena pertemuan itu. Sepertinya sudah waktunya kita hadir di ruang rapat.”


    Kyriakos dan Izdar langsung berjalan ke arah ruang rapat dengan diikuti ajudan mereka. Suara langkah kaki mereka bergema ketika menapaki lantai marmer istana.

    “Jadi, bagaimana kabarmu?” tanya Kyriakos membuka pembicaraan.

    “Biasa saja. Putraku baru saja diangkat menjadi komandan. Istriku menginginkan anak lagi, anak perempuan. Ketua klanku ingin aku melatih lebih banyak penyihir. Ya begitulah, biasa saja.” kata Izdar sambil mengakhiri kalimatnya dengan menghela napas.

    Kyriakos tertawa kecil, “Masih direpotkan oleh kehidupan berkeluarga?”

    “Ya, dan kau masih hidup berkelana dengan liar bersama pasukanmu?” Izdar bertanya balik.

    “Ya begitulah.”

    “Kau harus memikirkan kemungkinan untuk menetap, kawan besarku.”

    “Maksudmu menikah, menjadi ayah, kehilangan kebebasan dan menetap?”

    “Kau tahu, sebenarnya tidak seburuk itu.”

    Kyriakos tertawa, “Entahlah, Izdar. Kurasa aku bukan tipe yang suka berkeluarga.”

    “Kau hanya belum menemukan pasangan yang tepat. Begitu kau menemukannya segalanya akan berubah.”

    “Seperti kau menemukan istrimu? Aku sudah melihat bagaimana dia melemparimu dengan mangkuk teh.” kata Kyriakos sambil mengakhiri kata-katanya dengan tawa.

    “Ada hari-hari dimana dia bersikap lebih baik.” jawab Izdar dengan sabar, “Lagipula kau tidak bisa memiliki keturunan tanpa pasangan.”

    “Ah ya ya. Aku akan memikirkannya. . . lain waktu.” jawab Kyriakos tidak peduli.

    ***​

    Dari balik jendela ruangannya ia dapat melihat seluruh kota Orienthrone, tapi kali ini pandangannya tertuju jauh ke langit. Ia memandang langit dengan penuh makna seolah ada sesuatu yang lebih dari pada apa yang ada di hadapannya. Tiba-tiba sesuatu mengganggu pikirannya. Ia dapat merasakan seseorang mendekati ruangannya.

    Ia mendengar suara pembicaraan yang singkat dari balik pintu ruangannya, diikuti suara berat pintu yang di buka. Ia dapat melihat siluet seorang kirzka mendekat dari balik tirai yang membagi tempat ia duduk dengan sisa ruangan yang ada. Kirzka yang masuk ke ruangannya sekarang berlutut dan membungkuk dengan dalam.

    “Kaisar, semua tamumu sudah hadir.” desis kirzka itu dengan hormat.

    “Persilahkan mereka masuk.” jawabnya tenang.

    “Baik, Kaisar.”

    Beberapa saat kemudian, satu per satu sosok-sosok berkuasa masuk ke dalam ruangannya. Para Warlord dan ketua klan dari seluruh tanah timur telah datang sesuai dengan panggilannya.

    Pejuang yang paling ganas, penyihir yang paling cemerlang, pemimpin yang paling karismatik. Mereka membungkuk dalam-dalam sebagai tanda kerendahan diri dihadapannya. Semua tunduk pada penguasa tanah timur Gaea Earth.

    “Angkatlah kepala kalian, anak-anakku.” katanya setelah melihat semua bawahannya satu per satu.

    Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya.

    “Dua abad seudah berlalu lalu sejak seluruh kaum kita mempercayakan tanah ini padaku. Dua abad aku berkuasa. Dua abad aku menjaga keutuhan tanah ini. . . Dan keutuhan ini masih akan terus kujaga sampai berabad-abad. Aku tidak akan menghianati kepercayaan kalian, yang sudah kuanggap anak-anakku sendiri. . .”

    Ia berhenti sejenak. Dari balik tirainya ia memperhatikan ekspresi serius bawahan-bawahannya satu per satu.

    “Sekali lagi kita semua dihadapkan pada sebuah konflik. Benang-benang rencana yang jahat telah ditarik, dengan jutaan jiwa terikat di antaranya. Seseorang sedang menarik benang-benang ini dan niatnya adalah untuk menghancurkan keutuhan Kekaisaran yang telah kujaga ini. . . Kekaisaran yang telah menjadi wadah bagi kita semua untuk menciptakan keamanan. Bukan hanya keamanan kaum kita, tapi keamanan seluruh Gaea Earth.” Ia mengucapkan kalimat terakhirnya penuh makna.

    “Para manusia tampaknya terbukti telah bersikap sangat lalai dan tidak terhormat. Mereka melupakan sumpah yang sudah diucapkan leluhur mereka ketika pertama kali menapakan kaki di tanah timur ini. Jutaan nyawa telah tersegel takdirnya karena tindakan egois raja-raja mereka.”

    Beberapa orang bawahannya tampak memberikan reaksi ketika ia mengucapkan kalimat tersebut.

    “Ini bukan kesalahan kalian, wahai klan Darkscale. Kalian telah melakukan tugas kalian untuk menjaga hubungan kaum kita dan manusia dengan baik. Manusia memang makhluk yang ambisius dan penuh emosi, kita tidak dapat memperbaiki hal itu.” katanya begitu memperhatikan ketidak nyamanan dari warlord dan ketua klan Darkscale.

    Seorang warlord klan Darkscale yang terbungkus jubah hitam langsung menunduk, “Kaisar yang terhormat, maaf kalau hamba menyela. Tapi tidak bisakah kita menyelesaikan permasalahan ini secara diplomatis?”

    Ia menyapukan tangannya, “Anakku, masalah ini telah menjadi terlalu rumit untuk diselesaikan langsung secara diplomatis. Mereka harus diberi pelajaran bersama dengan musuh kita yang sebenarnya. Tidak ada belas kasihan dan kematian terhormat bagi mereka yang berniat mengganggu keharmonisan Gaea Earth. . . Setelah semuanya dihukum, baru kita akan berdiplomasi dengan para manusia.”

    Para warlord dari klan Darkscale tampak menggertakkan gigi mereka dan mengepalkan tangan mereka. Ia tahu mereka merasa pedih. Kecintaan mereka pada manusia sekarang telah menjadi pedang bermata dua bagi mereka.

    Kenapa kalian memiliki hati yang ambisius dan mata yang buta, tindakan kalian telah membawa kehancuran diri kalian sendiri, sang Kaisar menghela napas dalam hatinya. Ia sendiri merasa kasihan pada para manusia yang terbawa keadaan dan menentangnya. Tapi pengalaman memerintah selama dua abad membuatnya memilih untuk bersikap tegas dan dingin.

    “Dalam beberapa minggu, kaum manusia akan mengepung benteng Zergon dan menggempurnya dengan seluruh kekuatan mereka. Disanalah kita akan melumpuhkan kekuatan mereka untuk selama-lamanya. . . Warlord Kyriakos, Warlord Izdar, dan Warlord Herve akan bertanggung jawab untuk pertahanan benteng Zergon. Sementara itu Warlord Kozak-”

    Seorang pembawa pesan tampak masuk terburu-buru dan membuat ia menghentikan kata-katanya. Napas yang tersengal-sengal dari pembawa pesan itu menandakan betapa penting berita yang dibawa.

    “Maaf mengganggu Yang Mulia Kaisar. Tapi hamba membawa berita penting. Para kaum dwarf di utara melaporkan serangan goblin dan orc dalam skala yang sangat besar. Dikatakan seluruh suku goblin dan orc sekarang bersatu dan sedang bergerak ke arah ibukota dwarf, Stierguld!” kata sang pembawa pesan dengan terburu-buru.

    Dalam sekejap keadaan tenang ketika rapat berubah. Para ketua klan dan Warlord saling bertukar pandang dengan cemas. Beberapa tampak terkejut dan beberapa tampak tidak percaya.

    “Tidak mungkin! Kaum goblin tidak pernah bersatu, begitu pula dengan kaum orc! Ini sama sekali tidak pernah terjadi sebelumnya!”

    “Bila mereka benar bisa bersatu. . . Akan sampai berapa banyak jumlah mereka!?”

    “Ini tidak bagus, bila kaum dwarf dikalahkan maka perbatasan utara Kekaisaran berada dalam bahaya.”

    Melihat kepanikan diantara bawahannya Sang Kaisar mengangkat kedua tangannya dan menciptakan keheningan lagi dalam sekejap.

    “Lawan kita tampaknya telah membuat langkah yang sama sekali tidak terlihat. Tapi tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua ini tidak lebih dari permainan anak-anak. . . Warlord Kozak, bawalah seratus ribu penjaga Kekaisaran untuk mengamankan keadaan kawan kita di utara. Yang lainnya tetap bersiaga dalam klan masing-masing sampai ada perintah dariku. Sekarang kalian boleh pergi.”

    Mendengar perintah dari Kaisar mereka, para Warlord dan ketua klan membungkuk hormat dalam-dalam kemudian pergi meninggalkan ruangan rapat. Begitu pemimpin terakhir melangkah keluar dari ruangan dan pintu kembali mengayun tertutup, Sang Kaisar langsung menghela napas berat. Sepertinya usahanya untuk menjaga kesatuan negerinya masih akan terus berlanjut, bahkan menjadi lebih berat sekarang ini.

    ***​
     
  5. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Dalam jangka waktu cepat Ishtar telah menggunakan kekuasaannya atas benteng Cataract dengan baik. Ia langsung memerintahkan agar bangunan utama benteng difungsionalkan dengan segera. Dan disinilah dirinya, ruangan rapat Cataract yang megah.

    “Jendral, persediaan makanan di dalam benteng cukup untuk tiga bulan. Persediaan air juga melimpah dan sangat mencukupi.” lapor seorang tentara pada Ishtar.

    “Terima kasih, kau bisa kembali ke posmu sekarang.” jawab Ishtar sambil tersenyum.

    “Apakah kita bisa yakin kalau makanannya ‘aman’?” balas Benevito dengan curiga.

    “Tenanglah Benevito, mereka juga makan makanan dari gudang yang sama. Tidak mungkin mereka meracuninya. Mereka juga tidak punya racun disini. Kalau mereka punya, sang Baron sudah menggunakannya dari awal.” jawab Ishtar tenang sambil merapihkan kertas-kertas laporan yang ada di meja.

    Benevito terdiam sejenak, ia tampak sedang melihat keluar melalui jendela.

    “Tapi harus kuakui tempat ini cukup mengagumkan. Sumber persediaan air di bawah tanah, arsitektur militernya yang hampir sempurna. Tapi kenapa benteng ini dapat jatuh secepat ini. . . Seakan seperti mereka memang menginginkan benteng ini jatuh.”

    Ishtar sekarang memandang Benevito dengan serius, “Pasukan elite mereka, pasukan sang Warlord mundur dari benteng ini ketika pertempuran tengah berlangsung. Kalau saja Warlord itu masih ada di sini aku yakin kita sudah merangkak pulang saat ini. Ini sedikit aneh. . . Mereka bukan tipe orang yang mundur begitu saja.”

    “Lapor, Jendral! Saat ini seluruh pasukan sudah menempati posnya masing-masing dalam benteng!” tiba-tiba seorang berpangkat komandan masuk ke dalam ruangan dan mengejutkan Ishtar.

    “. . . Terima kasih atas laporanmu. Kau boleh beristirahat sekarang.” balas Ishtar setelah terdiam sejenak. Komandan itu segera memberi hormat dan keluar dengan sikap jalan yang tegak.

    Ishtar langsung melorot di kursinya, mengatur sebuah benteng bukanlah pekerjaan yang ringan. Sambil menghela napas ringan ia mengistirahatkan pikirannya sejenak dan memandang kesekeliling. Ia terpaku pada lukisan yang menghiasi langit-langit ruangan bulat ini. Lukisan matahari yang mengobarkan lidah-lidah api di tengah langit biru. Awan-awan putih mengelilingi matahari tersebut dan tampak dua ekor naga mengitarinya dengan sayap terkembang lebar. Hal ini membuat Ishtar membatin. Mereka sungguh menyenangi seni. Kurasa kalau seseorang memiliki umur panjang dan tinggal di tengah gurun pasir, membuat karya seni merupakan satu-satunya pelepasan emosi.

    Tiba-tiba Ishtar menjadi berpikir. Saat ini ia tengah duduk melorot di kursi komandan benteng. Ia membayangkan tokoh-tokoh heroik dan karismatik, pelindung sebuah benteng penting ini. Mereka semua pasti pernah duduk di kursi ini, merencanakan strategi perang, dan membuat keputusan-keputusan sulit. Dan sekarang kursi kayu besar yang dilapisi kulit binatang ini sedang diduduki oleh dirinya. Hal ini membuat Ishtar merenung sejenak, menimbang-nimbang apakah ia cocok duduk di sini.

    Setelah lama merenung akhirnya Ishtar membuka mulutnya, “Kurasa sekarang tidak ada gunanya memusingkan kemenangan kita yang ganjil, Benevito. Kita masih punya banyak pekerjaan lain.”

    Benevito mengangkat sebelah alisnya, “Pasukan telah ditempatkan, suplai makanan sudah terjamin, tawanan perang sudah terkunci di ruang bawah tanah. Apalagi yang kurang?”

    Ishtar bangkit dari tempat duduknya, “Kau lupa gerbang selatan yang masih berlubang. Kirim surat ke kota terdekat untuk mengirim ahli bangunan dan bahan-bahannya.”

    “Ah, ya. Lubang besar itu atau lebih tepatnya bahkan sudah tidak ada ‘gerbang’ lagi. Ngomong-ngomong mau kemana kau?” kata Benevito melihat Ishtar yang sedang berjalan keluar ruangan, “Kembali ke pos medis para kirzka?”

    Ishtar tersenyum nakal, “Aku ingin sekali ke sana. Tapi kalau aku menginap disana terus menerus maka ruangan pribadi komandan benteng akan kosong. Sayang sekali kalau akomodasi sebaik itu dilepaskan.”

    ***​

    Ishtar menemukan dirinya di dalam sebuah ruangan mewah. Ia dapat merasakan ketegangan perang terangkat dari punggungnya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali keadaannya setenang ini? Pikir Ishtar dalam lamunannya selagi memandang awan-awan di langit.

    Sambil menguap lebar Ishtar menggeliat-geliat di atas ranjang. Ia meyapukan tangannya di atas bulu binatang yang menutupi seluruh permukaan ranjang tersebut dan bertanya-tanya dalam hati, bulu binatang apa yang saat ini sedang ia sentuh. Bentuknya yang tebal dan lembut sempat menimbulkan pikiran untuk membawa pulang ranjang tersebut bila semua konflik ini berakhir. Pikiran itu dengan cepat diusirnya jauh-jauh begitu ia sadar hal itu bukan ide yang bagus.

    Angin yang berhembus sekarang mencuri perhatiannya. Ishtar kembali memandang lewat jendela besar yang terbuka di depan ranjang. Melalui jendela itu ia bisa memandang hamparan luas gurun pasir dan langit di sebelah utara benteng.

    Sebuah ketenangan di tengah-tengah perang. Sudah hampir seminggu Ishtar menikmati suasana ini. Sophie sudah jauh lebih sehat, baik tubuh maupun pikirannya. Setidaknya ia tidak perlu khawatir Sophie akan berusaha membunuh salah satu dari tabib kirzka lagi.

    Ia berpikir hari-hari ini dapat menjadi sempurna. Sayang sekali kedamaian ini dirusak oleh suara ribut yang nampaknya tidak pernah berhenti. Ishtar melirik bayangan-bayangan hitam yang bergerak di padang pasir. Seperti kerumunan semut, tampaknya orang-orang tidak pernah berhenti datang dan pergi dari benteng ini.

    Ishtar sama sekali tidak keberatan dengan keramaian ini. Tapi terkadang barang bawaan mereka membuat Ishtar merasa terganggu. Keributan yang ditimbulkan ketika berbagai mesin perang di datangkan dari selatan menuju utara melewati benteng ini. Bukan hanya mengganggu telinga, tapi jejak yang ditinggalkannya juga menjadi pekerjaan tambahan. Jalan-jalan benteng yang rusak karena beban mesin-mesin tersebut harus segera diperbaiki.

    Ishtar menghela napas, pikiran-pikiran tersebut telah mengembalikan beban tanggung jawab dan perang ini ke punggungnya. Dengan malas ia memandang cahaya matahari yang mulai terik. Walaupun enggan untuk mengubah posisinya sekarang ia tetap mengetahui ada hal yang masih menjadi kewajibannya. Salah satunya adalah untuk memastikan orang-orangnya tetap selamat.

    ***​

    Ishtar berjalan mengelilingi lapangan di depan benteng utama dan melihat barisan-barisan tentara Cavaliar di sekitarnya. Keringat tampak bercucuran dari wajah-wajah yang dipandangnya. Mereka sama sekali tidak menyembunyikan ekspresi malas dalam latihan rutin ini.

    Ishtar membuka mulutnya dan berbicara dengan lantang, “Aku tahu kalian pasti merasa lelah dibawah matahari terik ini. Siapa yang mau bertempur dalam cuaca ini?”

    Untuk sesaat ia membiarkan kata-katanya mengambang di udara sebelum akirnya melanjutkan kata-katanya lagi, “Tapi musuh kita berbeda. Mereka hidup dalam lingkungan ini dan mereka sama sekali tidak peduli pada teriknya matahari. Mereka akan terus maju menyerang walaupun badai pasir menerpa. Dan di saat mereka datang kita harus sudah siap untuk memberi mereka perlawanan yang tidak dapat dilupakan. . . Baris pertama! Maju dan serang aku seperti kalian ingin membunuhku.”

    Ishtar perlahan-lahan menarik keluar pedangnya dan mengambil kuda-kuda bertahan. Ia bisa melihat tentara-tentara disekitarnya juga mulai menghunuskan senjata mereka. Mereka saling memandang satu sama lain dan dengan ditandai sebuah anggukan singkat mereka menyerbu ke arah dirinya.

    Pasir-pasir pada lapangan batu tersebut beterbangan ketika sepatu boot mulai menghantam tanah. Dengan tenang Ishtar menghadapi serangan anak-anak didiknya. Tanpa ada peringatan ia menendang segumpal pasir ke arah orang-orang yang mendekatinya. Ketika mereka sibuk melindungi mata mereka dan berusaha mendapatkan kembali penglihatan, Ishtar sudah melesat dan melumpuhkan mereka. Ia memukulkan gagang pedangnya dengan hati-hati, berusaha menjatuhkan anak-anak didiknya tanpa melukai mereka.

    Beberapa tentara berhasil dilumpuhkan Ishtar, hal tersebut tidak membuat latihan ini selesai. Tentara-tentara Cavaliar yang lainnya dengan cepat menghadang Ishtar dan mengayunkan pedang mereka. Ishtar menunduk untuk menghindari ayunan tersebut, dengan cekatan ia menangkap pergelangan tangan tentara itu dan membantingnya.

    “Jangan bertumpu pada apa yang kau pelajari di buku. Ini adalah pertempuran sesungguhnya. . .” kata Ishtar sambil melompat mundur untuk menghindari tusukan pedang.

    “Berpikirlah kreatif.” lanjutnya sambil melempar sarung pedangnya dan membuat seorang tentara tersandung.

    Ishtar terus menghindari serangan tentara-tentaranya dengan sempurna, ia seperti tidak tersentuh oleh serangan mereka. Selagi menyerang balik dan melumpuhkan mereka Ishtar terus memberikan nasihatnya.

    “Bila kau kalah dalam kekuatan, maka unggulilah lawanmu dengan akal. Bila kalian menang dalam jumlah maka unggulilah lawan dengan kerja sama.”

    Ishtar memandang kesekeliling dan melihat tidak ada lagi tentara yang berdiri tegak di dekatnya. Ia menghela napas kecil dan berkata, “Bangunlah dan kembali ke barisan kalian. Kalian masih sangat jauh untuk bisa bertahan dari serangan kirzka. Sekarang lari dua puluh kali keliling lapangan diikuti latih tanding sampai matahari berada di atas kepala kalian!”

    ***​

    “Tenanglah, Sophie. Tidak apa-apa.”

    Cailin tampak memegang kedua bahu Sophie. Sementara itu seorang tabib kirzka tampak menaruh botol-botol obat pada lemari di dekat ranjang Sophie.

    Sophie terus melempar pandangan tak bersahabat pada kirzka itu. Tapi walaupun Sophie menunjukkan sikap bermusuhan Cailin dapat merasakan tubuh Sophie sedikit gemetar. Mungkinkah gadis ini sedang ketakutan? Pikir Cailin.

    Setelah kirzka itu selesai merapihkan botol-botol obat pada lemari ia memandang Cailin dan Sophie secara bergantian dengan sorot lelah. Tanpa berkata-kata ia mengangguk pelan sambil berjalan keluar dari ruangan.

    “Sophie, tadi tidak sopan.” Tegur Cailin begitu ia mendengar suara pintu ditutup, “Ia selalu mengurus obat-obatanmu setiap hari dan kau memperlakukannya seperti orang jahat.”

    Sophie perlahan-lahan membuang mukanya.

    “Aku tahu kau merasa tidak nyaman dengan kaumku. Tapi setidaknya hargailah kami.” Kata Cailin dengan nada yang lunak, “Mereka juga bekerja keras meracik obatmu agar kau bisa kembali sehat.”

    “. . . Aku minta maaf.” Kata Sophie akhirnya, “Cailin. . . Apakah yang lainnya seperti dirimu?”

    “Tentu saja, kami semua memiliki penampilan seperti manusia tapi tetap mempertahankan cirri kirzka kami. Karena itulah kaum perempuan di kirzka biasa disebut setengah manusia.”

    “Bukan itu.”

    “Eh, kukira kau menanyakan hal itu. Kau kelihatan penasaran dengan penampilanku akhir-akhir ini.”

    Sophie menggeleng lemah sambil tersenyum, “Tidak, aku ingin bertanya. . . Apakah kirzka lainnya sama seperti dirimu, peduli dan lembut?”

    Cailin terdiam sejenak oleh pertanyaan itu sebelum akhirnya ia memandang Sophie dengan penuh makna, “Kau tahu Sophie, kami tidak jauh berbeda dari manusia. Beberapa dari kami lembut dan penuh pengertian, sedang yang lainnya bijak dan rendah hati, tetapi sebagian juga licik dan penuh niat buruk. . . Kau tidak bisa menilai seluruh ras begitu saja.”

    Ia mengakhiri kata-katanya sambil mengusap-usap kepala Sophie, “Kau tidak seharusnya berpikir terlalu berat sekarang.”

    Mungkinkah selama ini aku hanya terpaku pada masa laluku? Sophie merenung dengan dalam ke dalam hatinya. Sebuah perasaan yang berat seakan menyelimuti drinya. Selama ini aku tidak pernah benar-benar memaknai perkataan Jendral Ishtar. Tapi sekarang ia kelihatan sangat benar. . . Apakah aku benar-benar salah.

    ***​
     
  6. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Jauh di barat gurun pasir Zar’goza dan melewati pegunungan Greyshield berdirilah kota Mael’Felain, ibukota sekaligus jantung Kerajaan Harland. Kerajaan dengan kebijakan keras inilah yang menjadi perpanjangan kekuasaan Kekaisaran Zar’goza di barat.

    Bangunan-bangunan bertingkat dan menara-menara dari batu hitam tampak saling tumpang tindih di kota itu. Di tengah-tengah kota itu berdiri sebuah bangunan kubah sebagai pusat kebanggaannya. Sebuah pusat hiburan rakyat, pusat kebanggan yang penuh darah. Orang-orang mengenalnya dengan nama Blood’s Eye Arena.

    Sebuah tempat dimana budak dan kriminal dihadapkan dengan makhluk-makhluk buas dari seluruhpenjuru Gaea Earth. Sebuah tempat dimana seorang pejuang dapat menjadi dewa dari pertumpahan darah. Sebuah tempat dimana orang-orang mengelu-elukan pejuang yang paling ganas dan brutal, sebuah pujian bagi sang dewa Arena.

    Tapi bagi keluarga Clement, Arena tidak lebih dari hiburan semata. Dari tribun yang tinggi, Sang Raja muda tampak menyaksikan pertarungan maut para gladiator. Ia tampak tenang, bahkan kelihatan sedikit ignoran mengingat bahwa Kerajaannya saat ini sedang di desak oleh kerajaan-kerajaan tetangga.

    “Bagaimana perjalananmu, sepupu?” tanya raja muda tersebut tanpa menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang diseret-seret.

    Baron Moritz tampak berjalan dengan lesu dan menjatuhkan dirinya di atas kursi kosong, “Buruk, tapi setidaknya aku pernah mengalami sesuatu yang jauh lebih buruk lagi.”

    “Senang kau masih hidup, sepupu. Jumlah keluarga kita sudah tipis sekarang ini.” Katanya sambil tersenyum kecil.

    “Ya, ngomong-ngomong soal selamat. Apa kau mendapat suratku? Aku terkepung dan butuh bala bantuan. Di mana kau ketika aku membutuhkanmu, sepupu?” kata Moritz sambil merosot di kursinya.

    Moritz melirik sepupunya. Pria muda itu tampak terpaku dengan pertandingan di arena walaupun matanya memandang dengan bosan. Tubuhnya yang kecil dan kursinya yang terlalu besar membuat sang Raja tampak termakan oleh kursinya sendiri. Walau begitu pria kecil itu selalu mempunyai aura kuat akan kekuasaan yang dingin.

    Raja muda itu akhirnya membuka mulutnya. Ia meminta maaf tanpa mengubah ekspresi wajahnya sedikitpun, “Aku benar-benar minta maaf, yang tadi merupakan salahku. . . Keadaan sedikit kacau disini, komunikasi cukup terganggu.”

    “Jadi kau tidak mendapat suratku?” tanya Moritz lagi sambil mengangkat sebelah alisnya.

    Sang Raja muda kelihatan menggaruk kepalanya, “Aku mendapatkannya, tapi kau yang tidak mendapat suratku. Kekaisaran memerintahkan evakuasi secara berkala pada beberapa titik, tapi komunikasi sedikit terganggu. Kau hanya kurang beruntung.”

    “Kurang beruntung? Aku bisa saja mati! Untung saja aku hanya terdampar beberapa mil dari kota Mael’Felain kemarin. Lain kali bisa saja portal itu memindahkanku ke dalam batu. Kau sendiri tahu resikonya membuat portal dalam waktu singkat.” balas sang Baron dengan ketus dalam keadaan masih merosot di kursinya.

    Sang Raja menjawab dengan santai, “Tapi kau tidak mati bukan? Lagipula kau pernah mengalami yang lebih buruk dari ini. . . Kau tidak tahu betapa sulitnya peredaran informasi saat ini.”

    Sang Baron terdengar menghela napas panjang, “Baiklah, aku selamat. Terpujilah dewi Nyissa, semoga ular-ularnya makin gemuk. Jadi apa rencana kita selanjutnya, sepupu?”

    “Hmm, saat ini Kekaisaran sedang merencanakan sesuatu yang besar untuk mengusir seluruh penyerang dari tanah mereka. Mereka sama sekali tidak tertarik untuk memberitahu rencana mereka. Jadi kurasa mereka akan mengabaikan kita untuk sementara waktu.”

    “Jadi kau kembali memegang kendali atas seluruh tentara. Setidaknya kau tidak akan kembali mengirimku sebagai bala bantuan ke Zar’goza.”

    “Ya, tepat. . . Kita juga kehilangan bala bantuan dari Zar’goza. Ini sedikit menyedihkan. Sepertinya mereka juga ingin kekuatan mereka dalam keadaan utuh.” Kata sang Raja dengan nada kecewa.

    “Setidaknya mereka tidak membawa pulang peralatan perang mereka. Aku masih melihat sejumlah ballista dan trebuchet di sekitar dinding kota. Kita masih bisa menggunakannya untuk menghajar Liga Lombardo.”

    “. . . Ide bagus. Kau yang memimpin serangan.” Kata Sang Raja tiba-tiba dengan nada datar.

    “Apa!? Aku lagi!? Aku baru saja sampai di sini.”

    “Hey, pilihanku tidak banyak.”

    Moritz mengangkat kedua tangannya, “Baiklah, aku mengerti. . . Kau tahu, aku terlalu lembut padamu.”

    “Karena itulah aku menyuruhmu. Sekarang nikmati saja arenanya.”

    Moritz melirik sepupunya. Sebuah senyum kecil merekah di wajah yang sulit ditebak tersebut. Ia berpikir bagaimana sebuah senyuman kecil dapat mengubah kesan seseorang merupakan hal yang cukup mengagumkan.

    “Hey, sepupu. Tebak siapa yang kutemui beberapa saat lalu.” Kata Baron membuka percakapan lagi.

    “Beri aku petunjuk.” Balas sang Raja.

    “Hmm. Seorang wanita, cantik dan memiliki penampilan menarik.”

    “Istriku?” Sang Raja memandang Baron Moritz sambil mengangkat sebelah alisnya.

    Moritz tertawa kecil, “Bukan. Tapi ya, aku bertemu dengan istrimu di istana tadi dan ia wanita yang menarik. . . Seorang ahli pedang, Kievas, penampilan menarik.”

    Sang Raja Muda menjentikkan jarinya dengan perlahan, “Si murid ahli pedang itu. Wanita dengan rambut perak. Petarung dengan potensi besar, sayang sekali ia tidak tertarik menjadi tentara. . . Bagaimana kabarnya?” tanya sang Raja dengan nada tidak peduli pada akhir kalimatnya.

    “Sepertinya kau sedikit salah mengenai kemauannya untuk bertarung. Kejutan, dia sekarang merupakan Jendral perang dari Kerajaan Cavaliar. Dia bahkan membunuh tiga orang ksatria paling kuat yang kubawa.” Balas Moritz menggerutu.

    “Sepertinya kehilangan gurunya telah mengubah wanita itu. Kisahnya cukup ironis, ia pergi untuk menggantikan gurunya yang sudah tua ke Kievas dan berharap menjauhkan gurunya dari bahaya. Siapa sangka ahli pedang tua itu malah meninggal karena sakit ketika ia pergi.”

    “Ya dan setelah ia mengetahuinya ia jadi berkeliaran dan sulit dilacak. Padahal aku sangat ingin merekrutnya, terutama setelah pertunjukan keahliannya di Kievas.”

    “Tidak perlu terlalu dipikirkan, sepupu. Kau punya kesempatan untuk membujuknya menjadi salah satu ksatriamu, nanti. . . Bila ia bisa selamat dari serangan balik Kekaisaran.”

    ***end of chapter 11***
     
    Last edited: Jul 4, 2011
  7. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    wow..:matabelo

    Ishtar kayaknya jago banget ya:matabelo

    bangsa yang lain udah mulai muncul juga:matabelo makin seru kk:top:

    ---

    adegan Sophienya dikit banget ngomong2.. :p
     
  8. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter XII: The Reason

    “Aku tidak percaya hal ini. Mereka selalu saja berbuat ulah.” Ishtar tampak mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kesal.

    Perkamen-perkamen laporan yang berserakan di atas meja rapat kelihatannya telah menjadi sumber permasalahan Ishtar saat ini.

    “Tolong Benevito, jangan sekarang.” Kata Ishtar tegas tanpa menengok begitu Benevito mulai melangkahkan kakinya ke dalam ruang rapat.

    Untuk sesaat Benevito tampak berdiri tanpa suara di ambang pintu. Tapi detik berikutnya ia langsung masuk dengan tambahan masalah lagi, “Ishtar, persediaan suplai makanan benteng menipis terlalu cepat. Tentara-tentara aliansi yang melewati benteng ini banyak mengambil persediaan makanan kita. Dalam beberapa minggu persediaan kita bisa habis. Walaupun untungnya persediaan air kita masih berlimpah.”

    Ishtar tertunduk sambil memegangi kepalanya, “Tidak bisakah kau menulis surat ke aliansi dan meminta mereka melimpahkan suplai mereka kesini?”

    “Aku sudah melakukannya, hanya saja sepertinya jalur suplai agak tersendat. Ngomong-ngomong, apa yang mengganggumu?”

    Ishtar perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Benevito bisa melihat sorot lemah dari kedua bola mata merah Ishtar.

    “Kemarin malam ada sebuah kejadian besar. . . Setidaknya bagiku. Entah kenapa kebanyakan orang menanggapinya dengan enteng.”

    “Aku memang tidak mendengar rumor apapun dari orang-orang. Lanjutkan.”

    “Tiga orang tawanan dari penjaga Zar’goza ditemukan meninggal. Seseorang telah masuk ke sel tawanan dan menyayat tenggorokan para tawanan ketika mereka terlelap. . . Ini sungguh membuatku kesal. Aku tidak tahu apa saja yang dikerjakan para tentara di pos mereka. Bagaimana mungkin seseorang bisa masuk begitu saja ke sel tawanan tanpa ada yang menyadarinya. Mereka bahkan terlihat tidak peduli”

    Terdengar campuran nada sedih, kecewa, dan lelah ketika Ishtar menjelaskan keadaanya pada Benevito.

    “Kau menghukum tentara yang mendapat giliran jaga di ruang tawanan?” tanya Benevito sedikit curiga.

    “Mereka hanya kuperintahkan berpatroli di dinding benteng. . .”

    Benevito menghembuskan napas lega begitu mengetahui hukuman yang diberikan Ishtar ringan.

    “. . . dengan pakaian pelindung lengkap.” Tiba-tiba Ishtar melanjutkan kalimatnya.

    “Ishtar! Kau bisa membunuh mereka. Mereka akan terpanggang hidup-hidup di dalam baju besi itu.”

    “Jangan berlebihan. Hal terburuk yang bisa terjadi hanyalah pingsan karena udara yang terlalu panas.”

    Benevito terdiam sebentar sebelum ia menyadari hal sebenarnya yang mengganggu Ishtar, “Ishtar, kau tidak berpikir bahwa ajudanmu yang melakukan semua ini bukan?”

    “Tentu saja tidak.” Jawab Ishtar cepat-cepat, “Ia masih beristirahat di pos tabib.”

    “Kau yakin?”

    “Aku belum memastikannya, tapi ia pasti berada di sana.”

    “Sudah seminggu lebih sejak Sophie dirawat. Kalau tabib kirzka sebaik apa yang kaukatakan mestinya luka-lukanya sudah sembuh sekarang.”

    Ishtar tampak memandang Benevito dengan tidak percaya, seakang pria itu telah mengatakan sesuatu yang tidak sopan bagi Ishtar.

    “Apa kau mengatakan Sophie yang melakukan semua ini?” kata Ishtar dengan keras. Ia memandang tajam Benevito sekarang.

    Benevito membalas dengan tenang, “Tidak, bukankah hal ini yang mengganggumu dari awal?”

    Ishtar tak bisa berkata-kata. Ia tampak terkejut, seakan baru menyadari suatu hal yang penting.

    “A-aku mau memeriksa keadaan Sophie.” Katanya sambil bangkit dari tempat duduknya yang nyaman. Ia bisa merasakan keringat mengalir pelan di sekujur tubuhnya. Entah mengapa perasaan gugup mulai berkembang di dalam dirinya.

    “Benevito, aku minta maaf soal yang tadi. Aku hanya. . .”

    “Aku tahu, kau hanya mengkhawatirkan anak kesayanganmu.”

    “Terima kasih.” Kata Ishtar dengan pandangan mata yang melunak, “Ngomong-ngomong tolong bantu aku mengecek laporan yang lainnya. Semuanya ada di meja.” Lanjut Ishtar sambil berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan.

    “Tenang saja aku bisa mengurusnya.” Balas Benevito dengan santai.

    Ia langsung berubah pikiran begitu memandang tumpukan perkamen yang berserakan di seluruh meja.

    “Yang benar saja.”

    Benevito melongok keluar ruangan hanya untuk melihat kibaran jubah Ishtar yang menghilang di ujung lorong. Dengan malas ia kembali melirik ke arah meja rapat.

    “Ishtar, apa yang kau kerjakan dari tadi?” gumam Benevito dengan jengkel pelan-pelan.


    Tanpa memandang kebelakang Ishtar terus berlari. Pos-pos penjaga dengan cepat berlalu di balik punggungnya. Jantungnya berdegup dengan kencang, rasa penasaran dan khawatir yang dari tadi tertahan di dalam tubuhnya telah meledak keluar dan memberikannya tenaga lebih.

    Dalam keadaan dimana tubuhnya lebih waspada dari biasanya, mata Ishtar dengan cepat menangkap sosok familiar yang sedang berada di depan pos medis. Tudung putih yang dipakainya memang menutupi wajahnya, tapi bentuk tubuh dan ekor merah yang menjulur keluar merupakan ciri yang sangat di kenalnya.

    “Cailin!” panggilnya dengan segera.

    Sosok itu terlunjak kaget begitu mendengar namanya dipanggil tiba-tiba. Tudungnya melorot ke belakang dan ekornya menegang lurus kebelang. Sementara itu guci air yang sedang dibawanya tampak terguncang, menumpahkan sebagian isinya.

    “Je-Jendral Ishtar!” desisnya dengan terkejut.

    “Cailin, Sophie berada di dalam bukan? Dia masih tidur sekarang? Dia baik-baik saja?” Ishtar menyerang Cailin dengan serentetan pertanyaan tanpa jeda.

    Untuk beberapa saat Caillin hanya dapat memandang Ishtar dengan wajah terkejut. Sementara itu Ishtar terus menatap Cailin dengan penuh harap, ia bisa merasakan jantungnya berdegup makin keras.

    Perlahan-lahan Cailin memberikan reaksi. Ia mengerutkan dahinya dan tampak berpikir, “Sophie sudah meninggalkan tempat ini sejak kemarin. Kukira ia sudah kembali melapor kepadamu.”

    Ishtar menghembuskan napas lega, degup jantungnya mulai kembali normal. Tapi segera Ishtar menahan napasnya, ia baru sadar bahwa apa yang didengarnya tidak sesuai dengan keinginannya.

    “Luka-luka Sophie sudah sembuh, tapi sebenarnya ia masih butuh istirahat. Entah kenapa kemarin ia memaksa untuk keluar. Padahal aku sudah membujuknya untuk beristirahat lebih lama lagi sampai ia benar-benar kuat.”

    Ishtar tidak bisa lagi menyembunyikan kekhawatirannya. Wajahnya berubah pucat dalam sekejap.

    “Dia belum menemuimu?” tanya Cailin begitu melihat perubahan pada Ishtar.

    Ishtar menggeleng pelan, “Dia keluar kemarin katamu?” tanya Ishtar lemah.

    Cailing mengangguk sebagai balasan, sebuah bahasa tubuh yang langsung membenarkan ketakutan Ishtar.

    Ishtar mencoba berpikir sejernih mungkin di dalam kepanikannya ini, “. . . Cailin, tolong bantu aku. Bila kau bertemu Sophie, katakanlah bahwa aku mencari dirinya. Aku perlu dia datang kepadaku secepatnya.”

    “Baiklah, aku akan menyampaikannya bila. . . Jendral Ishtar?”

    Secepat kedatangannya yang mengejutkan, Ishtar sudah berlari pergi. Ia bahkan nyaris tidak sempat melambaikan tangannya pada Cailin.

    Kemana ia pergi? Kenapa ia tidak menemuiku? Apa ia menghindariku? Berbagai macam perasaan cemas mulai menyerang Ishtar dan menciptakan kabut berat di dalam hati kecilnya. Sophie, apa yang telah kaulakukan? Ada sesuatu yang salah disini. Bagaimana semua ini bisa terjadi?

    ***​

    Matahari sudah hendak mengucapkan selamat tinggal dan menggantung jauh di barat. Tanpa suara gadis itu memandangi bayangan-bayangan bangunan yang merentang jauh. Ia sudah menghabiskan banyak waktunya, duduk diam memeluk lututnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

    Keramaian tentara yang berlalu lalang disekitarnya sama sekali tidak membuat perasaan sunyi dalam dirinya pergi. Pikirannya hanya terpaku pada sebuah perasaan bersalah yang amat besar. Di dalam hatinya, rasa bersalah itu berkembang menjadi makin kelam dan membuatnya merasa kosong.

    Rasanya ia ingin sekali melarikan diri dari perasaan kosong ini dan menenggelamkan dirinya dalam pelukan orang yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Sebuah sosok yang akan mengusir seluruh kekhawatirannya. Wajah lembut yang akan memandangnya dengan penuh perhatian itu telah menjadi sesuatu yang ia rindukan teramat sangat.
    Ia berharap ia dapat menangis dan menceritakan segala kesalahan dirinya pada sosok itu. Tapi jauh di dalam hatinya ia tahu ia tidak layak mendapatkan perhatian itu. Mengetahui fakta tersebut membuat hati kecilnya seakan pecah berkeping-keping.

    Tanpa ia sadari matahari sudah tenggelam dan kegelapan telah menyelimuti dirinya. Tanpa ia sadari juga air mata telah mengalir keluar membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
    Sambil menahan lebih banyak perasaan tumpah dari dalam hatinya, ia bangkit dan mulai menyeret kakinya. Tangan kirinya masih sibuk menghapus air mata yang terus berlinangan, sedangkan tangannya menggenggam sebuah pedang dengan lemah.

    “Sophie!”

    Tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil oleh sebuah suara yang sangat familiar.

    Jendral Ishtar berlari ke arahnya, sorot matanya memandang Sophie dengan penuh perasaan yang dalam. Perasaan yang tidak layak diterimanya. Senyum lembut di wajah wanita itu hilang begitu ia menyadari ekspresi Sophie yang penuh kesedihan.

    “Sophie, ada apa?”

    Mendengar suara penuh kekhawatiran yang ditunjukkan pada dirinya itu membuat hati Sophie benar-benar hancur dan bersalah. Sentuhan lembut jemari Ishtar pada tangannya langsung menyadarkan dirinya.

    Dengan cepat ia melompat kebelakang dan menghindari atasannya itu. Untuk sesaat ia bisa melihat keterkejutan di wajah Ishtar. Ia hanya berharap suatu saat ia bisa menatap wajah itu lagi. Tanpa menoleh kebelakang sedikitpun ia berlari menjauh secepat yang ia bisa. Setelah merenungkan semuanya, inilah keputusannya.

    ***​
     
  9. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    “Sophie! Tunggu!” Ishtar berteriak sekeras mungkin sementara sosok Sophie mulai menghilang dari pandangannya.

    Jantungnya berdegup keras dan hatinya dipenuhi pertanyaan. Dengan sekuat tenaga ia mengejar sosok kecil itu. Berkali-kali sosok itu menghilang di balik gang-gang kecil lorong benteng. Adrenalin dalam tubuhnya semakin memburu ketika langkah kaki mereka berdua memecah kesunyian distrik-distrik terdalam dari benteng Cataract.

    Walaupun Ishtar telah berlari secepat yang ia bisa, tetap saja sosok Sophie terus lolos dari jangkauannya. Dan dalam satu momen sosok itu hilang sepenuhnya. Ia tidak dapat lagi menemukan Sophie kemanapun ia berlari.

    Ishtar terus memanggil nama ajudannya walaupun jauh di dalam hatinya ia tahu ia tidak akan mendapat balasan. Ia sama sekali tidak berhenti mencari Sophie. Ia menoleh ke setiap gang dan jalan pada bagian benteng yang sepi itu, tapi tetap ia tidak bisa menemukan gadis itu.

    Perlahan-lahan langkah kakinya melampat. Dengan lemah Ishtar bertumpu pada dinding bangunan benteng. Sambil mengepalkan tangannya ia merosot hingga terduduk di jalan kecil itu. Ia bisa merasakan kesunyian yang tidak nyaman menggantung disekelilingnya. Deru angin dan napasnya sendiri yang tersengal-sengal menjadi satu-satunya suara yang bisa ia dengar sekarang.

    Sophie benar-benar menghindariku. . . Kenapa? Ia tidak mungkin benar-benar. . . Tiba-tiba sebuah sensasi dingin yang menusuk menyerang dirinya. Entah mengapa ia mempunyai firasat sesuatu yang buruk akan terjadi.


    Ia terus mencari gadis itu hingga bintang-bintang sudah bersinar terang di langit gelap. Ishtar memandang sekeliling dan menyadari ia berada tidak jauh dari pos medis klan Darkscale. Mungkin aku bisa menanyakan Cailin lagi, Sophie kelihatannya cukup dekat dengan dirinya.

    Baru saja Ishtar hendak melangkahkan kakinya ke arah pos medis, sebuah suara memecah kesunyian malam. Walaupun sumber suara tersebut cukup jauh darinya, ia tetap bisa mengenali suara dentangan logam di tengah kesunyian malam. Dalam sekejap ia menjadi siaga, ia tahu dengan baik bahwa yang di dengarnya adalah suara pertarungan pedang.

    Sebelum ia sadar apa yang terjadi instingnya telah mengambil alih. Pasir-pasir beterbangan ketika sepatu bootnya melangkahi jalan sempit itu dengan cepat. Jemari tangannya sudah menyentuh gagang pedang, siap untuk melompat masuk ke dalam perkelahian.

    Tiba-tiba telinganya menangkap suara lagi. Sebuah teriakan. Suara teriakan manusia, seorang pria. Satu sisi hatinya bersyukur itu bukan suara teriakan Sophie, tapi hatinya yang lain tahu ada sebuah masalah di sana.

    Kakinya melangkah dengan cepat diantara jalan-jalan sunyi yang gelap gulita. Ia benar-benar berada di bagian benteng yang tidak lagi dihuni. Tidak ada cahaya obor ataupun cahaya lainnya dari bangunan yang ada di sisi jalan. Bulan yang bersinar redup hanyalah satu-satunya yang dapat membimbing Ishtar saat ini.

    Perlahan-lahan Ishtar memperlambat langkahnya. Matanya mulai menangkap sosok-sosok di tengah jalah sepi tersebut. Sepertinya butuh waktu lama sebelum ia benar-benar menyadari pemandangan di depannya. Mungkin lebih tepat karena sebenarnya ia tidak ingin menyaksikan pemandangan yang ada di depannya.

    Ishtar hanya bisa menahan napas. Tampak seorang kirzka tergeletak, jubah tabib putihnya ternodai oleh darah segar. Tidak jauh dari situ seorang tentara Cavaliar sedang merintih kesakitan. Tapi yang paling mengejutkan adalah ia juga melihat sosok Sophie disana.

    Gadis kecil itu terkulai lemas. Darahnya sudah membasahi jalan kecil berdebu itu. Ishtar dapat mendengar suara terbatuk lemah mengiang di telinganya.

    “Sophie!”

    Dengan panik Ishtar berlari mendekati sosok Sophie yang terbaring lemah itu. Ia dapat merasakan jantungnya sendiri berhenti berdetak begitu ia melihat seberapa parah keadaan Sophie.

    Tubuh kecilnya seakan baru saja dikoyak-koyak dengan sadis. Sebuah luka yang hanya bisa didapat dari tebasan kuat menganga di lengan kanannya. Sebuah pisau berdarah tampak hampir terlepas dari genggaman tangan kirinya. Sementara itu luka sayatan yang dalam membentang mulai dari dada kirinya hingga ke perutnya. Menyaksikan keadaan Sophie yang menyedihkan hampir membuat Ishtar kehilangan kendali dirinya sendiri.

    Sebuah suara rintihan kecil seakan menyadarkan Ishtar dari perasaan terlejutnya yang luar biasa.

    “Sophie! Bertahanlah, Sophie.” Teriak Ishtar sambil berlutut di samping ajudannya. Dengan hati-hati ia merangkul tubuh yang rapuh itu. Ia bisa merasakan ketakutan menjalar dengan cepat dalam hatinya ketika mengetahui betapa banyak kehidupan yang telah menghilang dari tubuh kecil itu.

    Perlahan-lahan Sophie tampak membuka matanya. Ia memandang Ishtar dengan lemah dan sebuah senyum kecil muncul di wajahnya, “Jendral Ishtar. . . Aku minta maaf.”

    “Diamlah Sophie, jangan banyak bicara. Kau harus menyimpan tenagamu untuk selamat.”

    Ishtar dapat mendengar suaranya sendiri yang bergetar. Sementara itu Sophie hanya menggeleng pelan sebagai balasan.

    “Aku minta maaf. Aku sudah menyusahkanmu terus menerus. Aku pasti telah menjadi beban bagimu. . . Kau. . Kau pasti membenciku.. .” kata Sophie lemah sambil memandang Ishtar dengan kesedihan mendalam.

    Ishtar tersentak kaget, ia sama sekali tidak menyangka hal ini, “A-apa yang kaukatakan Sophie? Aku sama sekali tidak membencimu. . . Aku sangat menyayangimu.” Katanya sambil mempererat pegangannya pada Sophie.

    Sophie tersenyum kecil, “Terima kasih, walaupun aku sama sekali tidak layak mendapatkan perasaanmu.”

    “Sophie, apa yang kaumaksud dengan itu?”

    “Selama ini kau benar. . . Kau selalu benar. Dan aku. . . Aku selalu dibutakan oleh masa laluku. Aku sudah mengetahui kebenarannya tetapi aku terus menolaknya. . . A-aku sungguh bodoh.”

    Tiba-tiba air mata mulai berguliran jatuh dari wajah Sophie, “A-aku sungguh egois selama ini. Aku sangat menyesal, Jendral. Aku benar-benar menyesal. . .”

    “Sophie. . .”

    “. . . Aku merasa tidak layak menghadapimu lagi. Aku telah menjadi beban untukmu selama ini dimana seharusnya aku yang meringankan bebanmu. Aku-”

    “Hentikanlah Sophie.” Ishtar tiba-tiba menenggelamkan Sophie dalam pelukannya, “Aku bangga padamu. . . Kau sudah melepaskan kebencianmu. Hatimu sudah bebas sekarang, Sophie. Dan ketahuilah. . . Aku selalu menyayangimu seperti keluargaku sendiri.”

    “Terima kasih. . .” jawab Sophie dengan lemah, tapi Ishtar dapat menangkap sebuah perasaan suka cita yang mendalam di kata-kata itu.

    “Sophie. . .” panggil Ishtar dengan cemas begitu ia menyadari kelopak mata Sophie mulai menutup.

    “Hangat. . .” bisik Sophie pelan, “Tubuhmu terasa sangat hangat. . . Apakah ini rasanya kehangatan keluarga?”

    “Ya Sophie, ya. . .” Ishtar tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Ia bisa merasakan air matanya mulai menggenang.

    “Ishtar. . . Aku selalu. . . Aku selalu menganggapmu sebagai ibuku. Kau selalu melindungiku dan menjagaku di jalan yang benar. . .” Suara Sophie berubah menjadi makin pelan.

    “Sophie. . . Tolong jangan pergi.” Ishtar memohon dalam bisikan.

    “Ishtar. . . Aku. . . Aku merasa sangat lelah. . .” bisik Sophie pelan.

    Untuk sesaat Ishtar tidak dapat menjawab apapun. Ia hanya menundukkan kepalanya dan terisak pelan-pelan. Tapi untuk satu kesempatan ia menguatkan hatinya dan membisikkan kata-kata perpisahannya.

    “Beristirahatlah Sophie, kau layak mendapatkannya.”

    Ishtar terus memeluk tubuh gadis itu ketika kehidupan secara pasti mengalir keluar dari dalamnya. Ia hanya bisa tersenyum lemah begitu memandang wajah Sophie. Gadis itu seakan-akan hanya sedang tertidur dengan tenang. Tanpa ia sadari, ia sudah menggendong tubuh gadis itu sambil melolong ke dalam kegelapan malam.

    Ia menangis dan meraung kepada langit menanyakan bagaimana ini semua dapat terjadi. Kesedihan dan pertanyaannya segera dijawab melalui sebuah suara rintihan kecil. Ishtar segera menyapukan matanya. Segera ia melihat tentara Cavaliar terluka yang dilihatnya ketika sampai sedang bersusah payah merangkak pergi.

    Kecurigaan dan rasa marah langsung menguasai dirinya dalam sekejap. Ia menginginkan jawaban dan penjelasan atas tragedi ini.

    ***​
     
  10. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Matahari pagi baru saja menampakkan wajahnya, tapi Ishtar sudah harus memecah hari itu dengan kematian. Perasaannya seakan kosong saat ini. Dari salah satu jendela benteng Ishtar memandang tanpa perasaan ke sebuah sosok yang tergantung di dinding benteng.

    “Ini sungguh tidak terduga.”

    Ishtar mengenali suara Benevito dengan mudah.

    “. . . Tidak ada dari kita yang menyangka seorang tentara maniak berkeliaran dalam keadaan mabuk setiap malam. Terima kasih pada Sophie sekarang ia tidak akan mengganggu siapapun lagi. Setidaknya ia tidak pergi dengan sia-sia.“

    Ia tahu bahwa Benevito hanya mencoba untuk menghiburnya. Ia tahu bahwa Sophie sudah pergi dengan senyuman di wajahnya. Tapi tetap saja ia merasa ada satu bagian di dalam hatinya yang telah terengut.

    “Maaf, Benevito. Tapi bisa kau tinggalkan aku sendiri? Aku hanya ingin sendirian untuk sekarang.” Balas Ishtar lemah.

    Benevito menghela napas, “Baiklah, aku mengerti. Tapi tolong jangan terlalu. . . termakan oleh kejadian ini.”

    “Terima kasih sudah mau mengerti.” Bisik Ishtar perlahan ketika Benevito berjalan menjauh dan meninggalkan dirinya sendirian.

    Ishtar kembali berbalik dan memandang melalui jendela, dimana langit biru membentang luas di angkasa. Seorang yang ia sayangi baru saja meninggalkan dunia ini. Semuanya demi harapan dirinya pada Sophie. Ia tahu Sophie pada akhirnya telah menjalani jalan yang tepat. Gadis kecil itu menyadari kesalahan dalam kebenciannya yang buta dan ia menjadi merasa bersalah di depan Ishtar. Itulah sebabnya Sophie menghindari dirinya. Sejauh ini Ishtar hanya dapat menarik kesimpulan tersebut. Tapi ia tahu ada sesuatu yang lain. Ada satu pecahan misteri yang tidak akan pernah ia ketahui.

    ***​

    Saat itu kegelapan dan atmosfer yang berat menggantung. Jemari kematian siap untuk menjerat jiwa Sophie.

    “Apa yang kaulakukan!?”

    Sosok kecil itu berteriak dengan marah dan heran ketika ia tanpa sengaja menyaksikan pembunuhan di depannya.

    Di depannya, tampak tidak terganggu ataupun terkejut oleh keberadaan Sophie merupakan seorang pria dengan seragam tentara Cavaliar. Ia tampak dengan santai mengelap noda darah di pedangnya menggunakan jubah putih korbannya. Sementara itu Sophie dapat mengenali sosok kirzka yang tergeletak di jalan sebagai salah satu tabib.

    Baiklah kalau kau yakin sudah cukup kuat. Ngomong-ngomong, kalau kau kebetulan bertemu dengan Sinder tolong beritahu bahwa aku butuh pucuk red grass. Sinder, dia yang biasa menaruh obat di ruanganmu. Kau pasti ingat. Ia sedang keluar mencari obat-obatan sekarang. . . Tapi kalau kau merasa enggan bertemu dengannya kurasa tidak apa. Aku akan memberitahunya sendiri. . . Kalimat yang diucapkan Cailin padanya sebelum ia meninggalkan pos tabib tiba-tiba terulang di dalam kepalanya. Ia langsung teringat akan sosok bersisik hitam yang sering kali mengurusi berbagai obat-obatan untuk dirinya.

    Pandangan sosok besar itu pada Sophie, satu kali tidak sengaja pandangan mereka bertemu dan Sophie bisa menangkap perasaan iba dan peduli di dalam mata kirzka itu. Sekarang mata itu memandang kosong tanpa kehidupan. Sophie dapat merasakan kemarahan berkobar jauh di dalam hatinya.

    “Kenapa kau membunuhnya!?” Sekali lagi Sophie berkata dengan keras pada pria di depannya.

    Pria itu seakan baru saja tersadar kembali akan keberadaan Sophie. Perlahan-lahan ia menengok ke arah Sophie. Wajahnya kelihatan memerah dan tampak sebotol anggur di tangan kirinya. Sophie terlonjak kaget begitu ia melihat wajah pria tersebut. Walaupun hanya ada cahaya bulan yang lemah, ia langsung mengingat wajah kapten yang mabuk pada penyerangan benteng.

    Entah didorong oleh perasaan apa. Tanpa ada peringatan Sophie sudah meluncur ke arah pria tersebut. Ia sudah menghunus pedangnya dan siap untuk menggunakan senjata tersebut.

    Pria mabuk itu langsung melempar botol anggurnya dan bersiaga begitu melihat reaksi Sophie. Dengan agak terhuyung ia mengambil ancang-ancang untuk bertahan.

    Sophie mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menebas orang tersebut. Ia sangat yakin bahwa pria mabuk tersebut akan kalah dalam sekali serangan.

    Tapi semua tidak berjalan sesuai harapan Sophie. Ia telah melupakan suatu hal penting. Tiba-tiba rasa sakit yang mendalam menusuk punggungnya. Ia merasa otot-otot di punggungnya seperti tercabik dan menegang. Dalam sekejap ia kehilangan kekuatannya. Ayunan pedangya mendarat dengan lemah dan ditangkis dengan mudah oleh si kapten.

    Sophie menggeram, berusaha menahan rasa sakit di punggungnya ketika pedangnya memantul akibat serangan yang gagal tersebut. Ia bisa merasakan punggungnya terbakar ketika otot-ototnya menegang.

    Walaupun pandangannya yang mengabur, Sophie bisa melihat kilauan logam di sudut matanya. Detik selanjutnya benar-benar mengejutkan dirinya. Sensasi rasa sakit yang diterimanya begitu luar biasa dan menguasai seluruh dirinya. Ia dapat merasakan logam dingin pedang si kapten menyayat dada dan perutnya.

    Tubuhnya terjatuh di jalan batu dengan keras. Sophie hanya bisa memandang sosok pria tersebut dengan penuh amarah dari bawah.

    “Ke-kenapa kau membunuh kirzka itu? Apa kau punya dendam terhadap mereka?” Tanya Sophie dengan getir sambil menahan rasa sakitnya.

    Pria itu akhirnya membuka mulutnya, “Kenapa? Kenapa kau tanya?”

    Untuk sesaat ia memandang ke langit dan tertawa, “Aku hanya tidak suka dengan mereka. Sebenarnya tidak ada alasan spesifik.”

    “Mereka tidak punya kesalahan padamu dan kau membunuh mereka!” kata Sophie dengan keras. Ia merasa pria ini telah membuatnya muak.

    “Ya, tepat aku hanya senang melakukannya.” Balasnya dengan agak terhuyung.

    Sophie merasa ia sudah mendengar cukup. Orang di depannya hanyalah seorang ******** dan jauh di dalam hatinya ia merasakan sebuah kemiripan dengan dirinya yang lama. Ia merasa muak dengan dirinya yang begitu membenci kirzka, tapi orang ini jauh lebih memuakkan lagi.

    “Kau lebih baik mati.” Desis Sophie. Ia mengumpulkan seluruh tenaga yang tersisa sambil menahan rasa sakitnya untuk mengayunkan pedangnya.

    Baru saja Sophie mengangkat pedangnya, ia mendengar suara daging terkoyak bergema di telinganya. Ia membuka mulutnya dan hendak berteriak. Tapi rasa sakit yang dideritanya seakan mencekat suaranya. Dengan takut ia menengok ke kanan dan menemukan tangannya sudah terkoyak. Sementara itu darah sudah mengalir deras dari luka-luka di tubuhnya dan menggenang di sekitarnya.

    Sophie sama sekali tidak berdaya ketika pria itu berlutut di sampingnya. Ia bisa mencium bau alkohol yang kuat dari hembusan napas pria itu. Tiba-tiba Sophie merasa sentuhan tangan yang kasar pada bagian pahanya. Keadaan telah menjadi jauh lebih buruk lagi. Sophie tahu pria ini akan berusaha menodai dirinya.

    Ia memalingkan wajahnya dari pria itu. Sebuah perasaan merinding menyerangnya begitu ia merasakan napas berat pria tersebut di lehernya. Walaupun ia merasa lemah dan kehilangan banyak tenaganya, Sophie tidak ingin dirinya ternoda. Apalagi oleh pria menjijikan macam ini.

    Sebagai perlawanan terakhirnya Sophie merentangakan tangan kirinya. Ia mencabut pisau yang tersimpan di ikat pinggangnya. Pria itu sama sekali tidak melihat hal ini. Dengan tenaganya yang tinggal sedikit Sophie menusukkan pisau tersebut ke arah rusuk penyerangnya.

    Samar-samar ia dapat mengengar teriakan kesakitan pria tersebut. Entah mengapa ia merasa sangat lelah sekarang. Ia ingin sekali memejamkan matanya, tapi tiba-tiba ia teringat pada seorang wanita yang ia anggap sebagai satu-satunya keluarga. Ia teringat pada orang yang ia simpan jauh di dalam hatinya, seorang yang menjadi sosok ibu baginya.

    Walaupun ia sudah pasrah menerima nasibnya sekarang, tapi ada sekelumit perasaan yang memberontak. Sebuah perasaan rindu yang memaksanya untuk terus membuka matanya.

    ***​

    “Ishtar, maaf aku mengganggumu.”

    Benevito tampak mengetuk pintu ruang istirahat komandan Benteng yang setengah terbuka. Dengan cepat Benevito melihat sosok Ishtar yang terbaring tidak semangat di atas ranjang. Wanita itu tampak sedang memainkan rambutnya sendiri dengan lesu.

    Dalam sebuah gerakan lambat yang terkesan amat malas, Ishtar menengok ke arah Benevito. Ia menatap Benevito untuk sesaat kemudian sorot matanya dengan cepat beralih ke arah seorang tentara yang berdiri di belakang si ahli taktik. Lebih tepatnya Ishtar memandang kotak kayu yang dibawa tentara tersebut.

    Benevito bergerak dengan tidak nyaman begitu menyadari perhatian Ishtar pada kotak kayu tersebut, “Ishtar. . . Aku merasa tidak enak tentang hal ini. Tapi-“

    “Aku tahu. Barang-barang Sophie, bukan?” Potong Ishtar dengan cepat, “Ya, taruh saja di dalam. Seseorang memang harus memutuskan nasib barang-barang gadis itu. . . Lagi pula tidak akan ada yang memakainya sekarang.” Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dalam sebuah gumaman yang sulit didengar.

    Tentara itu menurut dan menaruh kotak kayu tersebut di tengah-tengah ruangan. Benevito hendak menutup pintu ruangan, tapi ia berhenti sejenak.

    “Kau tidak perlu terlalu memaksakan dirimu. Aku tahu akan sedikit sulit untuk-“

    Ishtar hanya mengibaskan tangannya dan memberi isyarat pada Benevito untuk pergi. Dari sudut matanya ia bisa melihat Benevito menundukkan kepalanya dan menutup pintu.

    Begitu ia tidak bisa lagi mendengar suara langkah kaki Benevito dan pembantunya, Ishtar membuang napas keras-keras. Ia melompat turun dari ranjangnya dan duduk di depan kotak kayu tersebut.

    Ia merasakan sensasi aneh begitu melihat barang-barang milik mantan ajudannya tersebut. Hal tersebut seakan mengingatkan dirinya bahwa ada satu bagian di dalam jiwanya yang sudah kosong sekarang.

    Perlahan-lahan Ishtar mengeluarkan berbagai macam barang kepunyaan Sophie. Sebagian besar hanyalah pakaian dan seragam milik gadis itu. Beberapa benda pribadi seperti gelas dan sisir sederhana. Tanpa sengaja ia merasa jemarinya menyentuh sebuah benda logal di dalam kotak tersebut.

    Ishtar menarik keluar benda yang terdapat di balik buntalan pakaian tersebut. Rasa penasarannya segela menghilang. Cahaya matahari memantul lembut pada permukaan logam benda tersebut. Sebuah armlet perak dengan ukiran-ukiran linear seperti maze di permukaannya. Sebuah benda yang Ishtar kenal dengan baik.

    Aku benar-benar menghargainya. Tapi. . . Mungkin ini sedikit aneh, jendral. Tapi aku takut merusaknya. Aku sama sekali tidak bermaksud sombong, aku hanya takut pemberian itu lecet atau rusak. Pembicaraannya dengan Ishtar bertahun-tahun yang lampau seakan langsung diputar ulang di kepalanya begitu ia melihat benda tersebut.

    Ia ingat bagaimana wajah Sophie yang tersenyum lebar begitu ia memberikan armlet tersebut sebagai hadiah. Ia ingat bagaimana betapa bangganya ia ketika Sophie berhasil membereskan sebuah masalah mendadak ketika ia sedang pergi.

    Tiba-tiba ia merasa sesuatu menghantamnya. Sebuah gelombang perasaan yang sangat kuat dan tidak terbentuk. Dalam detik itu pun Ishtar mengeluarkan emosinya. Air matanya mengalir keluar dan ia terisak. Kedua tangannya menggenggam armlet itu dengan erat di dadanya. Ia merasa sedih dan kehilangan.

    Tapi di dalam perasaan kelam itu ia juga merasakan kebanggaan. Ia bahagia dengan bagaimana Sophie telah menjadi lebih dewasa. Ia merasa bangga bagaimana Sophie bisa membebaskan dirinya dari kebencian lama dan melihat lebih luas. Semua perasaan ini seakan memperkokoh sosok Sophie yang ia kenang.

    Di antara kepedihan dan kehilangannya, Ishtar menaruh perasaan sayangnya pada Sophie. Ia menyayangkan kepergian Sophie yang mendadak, tapi ia juga bahagia gadis itu pergi dengan tenang. Dan saat itu pula ia langsung merasa lebih baik. Sebuah kabut kelam di hatinya mulai memudar dan digantikan oleh matahari yang hangat.

    ***end of Act I***​
     
  11. giantskunk Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 11, 2010
    Messages:
    20
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +12 / -0
    moga sukses sampe jadi film =D
     
  12. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    haha. Selesai aja blom ud ngomong jadi film aja ini.
     
  13. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    ACT II: Guardian of The East, Master of The East, Wild Force of The East
    ~Several victories won't change the whole war~




    Chapter XIII: The Other Side

    Kyriakos memandang ke depan dan dapat melihat tempat kelahirannya. Sebuah gunung raksasa berdiri kokoh di hadapannya. Warna gelap mendominasi gunung yang memancarkan lidah api dari puncaknya tersebut.

    Di kaki gunung itulah berdiri benteng Ironflare. Cahaya matahari yang mengintip dari celah-celah gunung merambat masuk dan menampakkan keberadaan benteng yang seakan menyatu dengan gunung tersebut. Sinar tersebut telah menunjukkan dinding-dinding hitam yang tinggi dan kokoh. Tanpa ada matahari, orang-orang akan melihat benteng raksasa tersebut sebagai bagian dari gunung.

    Benteng Ironflare sudah menjadi pertahanan pertama Kekaisaran Zar’goza untuk ancaman di batas selatan kekuasaan mereka. Sudah berabad-abad klan Ironscale menghabiskan waktu untuk menyempurnakan pertahanan benteng ini.

    “Kalian membiarkan parit ini kosong?”

    Kyriakos menengok dan menemukan temannya Izdar dalam keadaan bertanya-tanya. Pandangan Warmaster dari klan flamesight itu tertuju pada parit-parit dalam yang berada di sepanjang dinding benteng.

    Kyriakos hanya tertawa pelan, “Biarlah itu menjadi kejutan bagi musuh.”

    “Hmmm. Aku bisa membayangkan kejutan tipikal kalian.” Jawab Izar sambil melirik lubang-lubang bulat yang tersusun secara rapih pada bagian dasar dinding. Warmaster itu juga melirik ornamen-ornamen kepala naga pada bagian atas dinding dengan curiga.

    Kyriakos hanya diam saja mendengar pendapat teman lamanya tersebut. Kau melihat ke arah yang salah. Katanya dalam hati.

    Tidak ada lagi percakapan yang terjadi diantara mereka berdua. Kyriakos hanya terus memacu tunggangannya dalam kesunyian menuju benteng Ironflare. Di hadapannya berdiri sebuah menara besar yang menjadi satu-satunya jalan masuk benteng. Di antara menara tersebut dan dinding benteng terdapat sebuah jembatan yang melintasi parit disekitar benteng.

    Dari dalam benteng tersebut Kyriakos dapat mendengar suara kesibukan yang familiar. Simfoni derak-derak logam yang menderu di sepanjang dinding benteng ketika para ahli mesin menyiapkan berbagai mesin perang.

    Suara bising tersebut membuat Kyriakos menengok ke belakang. Ribuan kirzka tampak berjalan di belakangnya. Mereka berasal dari klan Ironscale, Flamesight, dan Darkscale. Sepertinya kebisingan benteng telah menyadarkan Kyriakos akan betapa sepinya rombongan yang dipimpinnya. Ia bisa melihat segelintir ketegangan di mata mereka. Tidak peduli apakah mereka pejuang, penyihir, ataupun tabib. Semuanya tahu bahwa keadaan tanah timur saat ini sedang terancam.

    Kesunyian orang-orangnya telah mengingatkannya pada sebuah sosok. Sosok itu sebenarnya juga berada di sampingnya, hanya saja keheningannya sering membuat ia melupakan Warlord tersebut. Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan kedudukannya sebagai Warlord. Kirzka bersisik hitam tersebut hanya mengenakan jubah bertudung yang lusuh dan kotor dengan pasir.

    Kyriakos selalu berpikir senjata utama kirzka ini adalah hawa keberadaannya yang hampir tidak ada. Atau mungkin itu hanyalah kesan yang timbul karena kesunyian Warlord tersebut. Ia teringat fakta bahwa Herve sama sekali tidak pernah mengucapkan sepatah katapun sejak mereka memulai perjalanan. Bahkan sepanjang belasan tahun ia mengenal Warlord tersebut, ia bisa menghitung berapa patah kata yang diucapkan Herve.

    “Apa ada yang salah, Warlord Kyriakos?” Sebuah desisan yang menyerupai bisikan meluncur tiba-tiba dari balik tudung Warlord Herve.

    “Ah, tidak. Tidak ada apa-apa.” Kyriakos mendesis balik, sedikit terkejut dengan ketajaman insting Herve.

    “Hey, Herve.” Izdar tampak melongok, berusaha menatap Herve dari balik tubuh Kyriakos yang besar. “Bagaimana keadaan Etiqua?Aku sedikit khawatir mengingat setengah penduduk Etiqua merupakan manusia dan perang ini sedang berlangsung.”

    Herve tampak terdiam sebentar,baik Kyriakos dan Izdar tidak bisa membaca emosinya karena wajahnya yang sepenuhnya tertutup tudung.

    “. . . Sedikit tegang di antara kaum muda. Tapi selain perkelahian di bar ketika orang-orang dalam keadaan mabuk, semuanya cukup tenang.”

    Kyriakos bersyukur karena keadaan rombongan saat ini sedang sepi. Karena bila tidak, ia akan membutuhkan Herve untuk mengulang perkataannya berulang kali sebelum ia bisa menangkap bisikan tersebut.

    “Syukurlah kalau keadaannya tidak parah. Kurasa kalian orang Darkscale memang sudah terbiasa dengan manusia. Klan kami sering kali kedatangan manusia yang haus untuk belajar sihir. Aku tidak pernah terbiasa dengan mereka. Mereka memang dapat menjadi murid yang tekun dan agak berbakat. Tapi di luar itu kecerobohan mereka dalam sihir luar biasa menjengkelkan.” Izdar mengakhiri ceritanya sambil tersenyum, pikirannya sudah melayang pada kenangan-kenangan unik yang ia miliki.

    “Sebagai kepala pengajar akademi sihir kau pasti lega sudah berada jauh dari klanmu.” Kyriakos membalas cerita Izdar dengan nada sedikit mengejek.

    “Ah. . . Aku sama sekali tidak bisa terbebas dari tugasku sebagai guru. Penyihir yang datang bersamakusaat ini juga banyak yang merupakan murid-muridku. Mereka telah menjadi penyihir yang kuat. Tapi bahkan penyihir yang kuat tetap membutuhkan bimbingan dari gurunya.”

    Kyriakos hanya terdiam, ia tidak menyangka akan mendapat jawaban yang serius dari kawannya tersebut.

    “Lihat, kita sudah sampai.” Kata kirzka raksasa itu ketika ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

    Kyriakos dapat melihat ukiran gunung merapi pada pintu gerbang menara perlahan membelah. Gerbang menara di depan mereka mengayun terbuka dengan berat begitu rombongan Kyriakos mendekat. Di dalam ia dapat melihat puluhan hewan tunggangan kirzka yang diikat rantai menarik pintu tersebut dari dalam. Suara pecut berdesing ketika para penjaga menara memacu tunggangan mereka untuk membuka pintu logam setebal satu kaki tersebut.

    Panji-panji Kekaisaran dan klan Ironscale yang tergantung di langit-langit langsung berkibar begitu angin luar berhembus masuk. Ruangan di depan Kyriakos hanyalah sebuah aula luas yang kosong. Ia tahu aula ini diciptakan untuk memaksimalkan jumlah penjaga yang dapat ditampung. Bila gerbang menara luar ditembus, disinilah pertempuran langsung pertama akan mengambil tempat.

    Tanpa banyak bicara Kyriakos memimpin rombongannya keluar lewat gerbang dalam menara dan menyeberangi jembatan batu yang menghubungkan menara luar tersebut dengan benteng Ironflare.

    Ketika mereka kembali berada di luar, pemandangan dinding benteng yang membentang segera menyambut mereka. Batu-batu besar berwarna kehitaman bercampur baja yang menjadi bahan dasar dinding tersebut telah memberi kesan seakan dinding benteng tersebut merupakan bagian lainnya dari gunung.

    Dan bila mereka memandang lebih jauh, mereka dapat melihat dinding kedua yang jauh lebih tinggi dari dinding pertama. Empat buah menara besar berbentuk segi enam tampak memperkokoh dinding kedua.

    Di balik dinding kedua barulah benteng Ironflare berdiri dengan bangga. Punggung benteng tersebut menyatu dengan gunung dan menjalar ke atas mengikuti gunung tersebut. Karena hal inilah nama Ironflare diberikan, benteng ini dinamai sesuai dengan gunung yang ditungganginya.
     
  14. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    “Menyenangkan bukan memiliki ibukota klan disini.” Kata Izdar memecah kesunyian.

    “Apa maksudmu?” Tanya Kyriakos.

    “Mengetahui bahwa klanmu aman di dalam benteng mengagumkan ini. . . Pemukiman tempat tinggal klanmu terletak di bawah tanah, sementara itu dinding dan menara melindungi di permukaan.”

    “Izdar, percayalah. Tinggal di bawah tanah dan menghabiskan sebagian besar waktumu dengan menambang sama sekali tidak menyenangkan.”

    “Oh ya, kalau tidak salah klanmu memiliki ritual dimana hanya mereka yang telah mencapai kedewasaan yang dapat keluar dari kota.”

    “Bah, itu hanya omong kosong. Aku yakin ritual itu hanya akal-akalan untuk mendapatkan penambang murah. Intinya semua anggota klan Ironscale harus menghabiskan dua puluh tahun pertamanya dengan gaya hidup dwarf, memperbesar kota bawah tanah kami dan mencari emas.” Kata Kyriakos dengan nada tidak senang.

    Izdar tertawa pelan, “Kurasa hal seperti itu ada di setiap klan.”

    “Kalau tidak salah seluruh penyihir yang diakui di klanmu juga mempunyai kewajiban untuk mengangkat murid. Bukankah begitu?”

    “Ya, dan semakin diakui dirimu, semakin banyak murid yang harus kau tanggung.” Tawa Izdar dengan masam.

    “Setidaknya menyenangkan mengetahui seluruh kerja keras masa muda kami digunakan untuk hal yang dapat dilihat semua orang.” Kyriakos melirik patung naga penjaga yang berdiri tegak mengapit gerbang dinding.

    Patung batu raksasa setinggi dua belas meter tersebut pasti menghabiskan uang yang banyak. Ukirannya yang mendetail dan halus telah mengatakan bahwa pemahatnya adalah seorang ahli. Kyriakos dapat mengingat bahwa seringkali mereka mendatangkan ahli dari kaum dwarf untuk pengembangan benteng dan kota.

    “Izdar, pernahkah kau berpikir bahwa dwarf merupakan ras yang aneh.”

    Izdar menatap Kyriakos sambil mengangkat setengah alisnya.

    “Mengagumkan bahwa dinding setinggi puluhan meter ini ataupun patung-patung raksasa ini dibangun dengan bantuan seniman setinggi. . . Mungkin hanya selututku.”

    “Hmm. . . Kurasa itu semacam obsesi bagi mereka.” Jawab Izdar.

    Obrolan tersebut terus berlanjut ketika mereka berdua melalui gerbang benteng dan memasuki lapangan luar.

    Kyriakos menyempatkan dirinya untuk memandang tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi ini. Lapangan di hadapannya tampak sedikit berbeda dari yang ada di ingatannya, tapi walaupun begitu ia tetap mendapatkan perasaan familiar dari tempat ini.

    Ia biasa mengingat barisan penjaga Zar’goza yang berlatih tanpa henti di lapangan ini. Sekarang lapangan ini dipenuhi ballista, mesin yang dapat melontarkan panah-panah berukuran besar. Para penjaga tampak sibuk membawa anak panah dan menumpuknya di berbagai lokasi yang strategis.

    Tapi benda yang paling menarik perhatian adalah enam buah trebuchet dengan ukuran raksasa yang berdiri gagah di lapangan tersebut. Suara derak logam yang membahana berbunyi ketika para ahli mesin menyiapkan raksasa tersebut. Di samping tiap trebuchet raksasa terdapat tumpukan bola logam berduri, masing-masing dengan diameter 3 kaki.

    Sementara itu katrol-katrol kayu di sepanjang dinding terus menumpuk persediaan proyektil untuk mesin-mesin perang yang berjajar di sepanjang dinding pertahanan. Keranjang-keranjang anyaman kulit bergerak naik perlahan-lahan ketika bola-bola logam sudah memenuhi isinya. Kyriakos dapat melihat orang-orang dengan susah payah mengoperasikan katrol-katrol tersebut. Ia yakin kesibukan ini sudah berlangsung sepanjang hari.

    Di antara kesibukkan para penjaga, Kyriakos tiba-tiba menyadari sesuatu. Di antara gerbang benteng bagian dalam sekelompok kirzka tampak berjalan ke arah mereka dalam barisan rapih. Bendera-bendera gunung dan naga, lambang klan Ironscale berkibar tertiup angin dalam barisan itu. Tampak seorang kirzka muda dengan jubah putih memimpin barisan tersebut. Pemuda itu memancarkan suatu atmosfer kekuasaan yang lemah, layaknya sebuah berlian yang belum diasah.

    Kyriakos yang langsung mengenali pemuda tersebut langsung melompat turun dari tunggangannya. Izdar dan Herve juga melakukan hal yang sama, sepertinya mereka menyadari emblem klan Ironscale yang tersemat di dada sang pemuda.

    “Tuan muda Zhain, senang melihatmu baik-baik saja.” Kata Kyriakos sambil menunduk begitu pemuda tersebut mendekat.

    “Tidak perlu menunduk padaku, Warlord Kyriakos. Warlord Herve, Warmaster Izdar, terima kasih sebesar-besarnya aku sampaikan atas nama klan Ironscale. Senang kalian bisa datang untuk membantu. Kami benar-benar membutuhkan semua bantuan dari Kekaisaran bila seluruh aliansi memusatkan serangannya disini.”

    Kyriakos dapat menangkap nada lega yang tersembunyi di dalam kata-kata Tuan Muda Zhain.

    “Kami siap membantu saudara kami yang membutuhkan pertolongan. Dalam satu Kekaisaran Zar’goza kita adalah rantai yang tidak dapat dipecahkan.” Jawab Izdar ramah diikuti sebuah anggukan dari Herve.

    “Terima kasih, kami benar-benar menghargai bantuan kalian. Pasukan pengawas telah melaporkan keberadaan tentara manusia. Perkemahan mereka membentang luas dan cahaya api unggun mereka mengalahkan terang bintang di langit. Dalam tujuh hari mereka akan berada di depan benteng ini.” Zhain muda menjelaskan keadaan dengan singkat.

    “Tujuh hari. . . Kurasa tujuh hari lebih dari cukup untuk mempersiapkan benteng ini.” Kata Kyriakos.

    “Ya, sebenarnya kami hanya tinggal menempatkan persediaan proyektil. Seluruh peralatan sudah siap di posisinya masing-masing dan siap untuk digunakan.”

    “Bagus. Sekarang dimana kakekmu?”

    “Saat ini dia sedang menunggu di ruang rapat. Silahkan, ikuti aku.”


    Ketiga petinggi militer itu mengikuti Zhain muda ke dalam benteng Ironflare. Langkah kaki mereka bergema keras di lantai benteng yang terbuat dari batu marmer. Pilar-pilar raksasa tampak menghiasi sisi-sisi aula dan lorong di dalam benteng.

    Walaupun hanya ada sedikit jendela di dalam benteng tersebut, penglihatan mereka sama sekali tidak terganggu. Bahkan kehalusan ukiran pada pilar-pilar masih dapat terlihat jelas. Semua karena lentera-lentera yang tergantung di sepanjang langit-langit pada seluruh ruangan benteng.

    “Sebagian besar penjaga saat ini berada di luar. Hanya ada segelintir pasukan di dalam sini.” Zhain muda memecahkan kesunyian dalam benteng tersebut.

    Kyriakos hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan tersebut. Hal tersebut memang wajar mengingat para penjaga harus terus bersiaga di bagia terdepan benteng.

    Setelah menelusuri lorong-lorong benteng, akhirnya mereka sampai di ruang rapat. Sebuah ruangan sederhana dengan meja bundar di tengah-tengahnya. Tampak peta denah lengkap benteng Ironflare terbentang di atas meja. Mulai dari dinding-dinding di permukaan hingga jaringan terowongan dan kota bawah tanah di daerah ini dapat terlihat dalam peta tersebut.

    Di sisi paling ujung meja tersebut seorang kirzka yang sudah bungkuk duduk tenang sambil diapit penjaga-penjaganya. Kirzka tua itu tampak memejamkan matanya. Warna biru pada sisiknya telah memudar dan sisiknya sendiri bahkan sudah mengelupas di beberapa tempat. Di kepalanya sebuah mahkota emas bertakhtakan batu ruby duduk dengan bangga, memberitahukan semua orang bahwa ia adalah ketua dari salah satu klan terbesar di Kekaisaran.

    Dengan hati-hati Tuan muda Zhain mendekati sosok itu. Ia berlutut di sisinya dan perlahan-lahan membisikkan sesuatu ke telinga sang kirzka tua.

    Kirzka tua itu membuka matanya dalam sebuah gerakan yang amat pelan sebagai balasan. Ia memiliki sorot mata yang lemah, tapi semua orang dapat menangkap pengalaman yang berharga ratusan tahun di dalamnya. Pandangannya tajam dan seakan menerawang jauh, sebuah pandangan yang hanya bisa didapat melalui kekuasaan dan kepemimpinan yang lama.

    “Duduklah.” Kata kirzka tua itu dengan serak sambil mengulurkan tangannya dan menunjuk ke arah kursi-kursi yang kosong.

    Dengan patuh ketiga petinggi militer itu menempati bangku-bangku bulat berlapis kulit binatang ala ruang rapat Kekaisaran Zar’goza.

    “Selamat datang di Ironflare. Aku mengucapkan terima kasih atas kedatangan kalian. Kehadiran kalian akan sangat mempengaruhi kekuatan tumpukan batu ini. Seperti kekuatan benteng yang selalu terikat oleh kekuatan orang yang melindunginya.”

    Kyriakos dan kawanannya menunduk dengan khidmat sebagai balasan.

    “Mungkin cucuku sudah mengatakan mengenai besarnya kekuatan musuh yang bergerak ke sini.”

    “Ya, Tuan Muda Zhain sudah mengatakannya.” Jawab Kyriakos.

    Sang ketua klan mengangguk perlahan dan untuk sejenak tampak seperti melamun sebelum akhirnya mulai berbicara, “Banyak ahli taktik mengatakan bahwa kunci dari bertahan adalah mengunci pintu kita rapat-rapat. . . Tapi ini adalah tanahku dan aku akan mempertahankannya dengan caraku.”

    “Apa yang kaumaksud, tuan?” tanya Izdar dengan nada tertarik.

    Sang ketua klan menunjuk ke arah peta yang terbentang di atas meja rapat, “Untuk permulaan, aku ingin memecah mereka sebelum mereka sampai di depan halamanku. Aku ingin menghancurkan kekuatan mereka sebanyak mungkin selagi mereka terpencar di luar sana.”

    “Bagus, semakin cepat kita menghantam mereka semakin baik. Pimpinlah sesuai apa yang kaurencanakan, tuanku. Kami akan mengikuti perintahmu.” Jawab Kyriakos dengan antusias.

    “Senang melihatmu masih bersemangat seperti biasanya, Kyriakos. Kita membutuhkan semangat itu, karena besok kita akan menyerang mereka.” Balas sang ketua klan sambil tersenyum, “Menggunakan kompleks terowongan di bawah benteng ini kita dapat mengejutkan mereka. Para manusia itu tidak akan melihat serangan ini.”

    ***​
     
  15. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ishtar memfokuskan pandangannya pada boneka logam besar yang ada di hadapannya. Kedua tangannya terus mengayunkan pedang kayu ke arah boneka itu dengan gerakan bervariasi. Dalam ritme yang cepat Ishtar menusuk, mengiris, dan memutarkan pedangnya. Gerakan tangannya luwes dan lincah, tapi pada saat bersamaan juga penuh dengan kekuatan. Suara desingan logam dapat terdengar tanpa henti dalam ruang latihan tersebut. Kalau bukan karena rantai-rantai besi yang menahan boneka tersebut, pasti boneka itu sudah terseret ke ujung ruangan.

    Ditengah-tengah gerakan tersebut Ishtar melemparkan kedua pedang kayunya ke arah boneka latihan tersebut. Dengan keras pedang itu menghantam bagian kepala boneka dan terpental ke langit. Sementara kedua pedangnya masih berputar-putar di langit, Ishtar menerjang boneka tersebut dengan cepat. Ia mendaratkan serentetan tinju ke arah perut boneka tersebut dalam waktu singkat.

    Suara pedang latihannya yang jatuh berkelontangan langsung membuat Ishtar menghentikan gerakannya. Ia berusaha mengejar napasnya dan memelankan detak jantungnya. Perlahan-lahan Ishtar mengganti kuda-kuda bertarungnya dengan sikap berdiri yang santai. Ia meregangkan jemarinya yang terasa kebas akibat menghantam boneka logam di depannya.

    Sambil terus mengatur napasnya Ishtar berjalan menjauhi boneka tersebut. Ia bersandar pada dinding batu ruangan tersebut dan perlahan-lahan merosot hingga ia ada dalam posisi duduk dengan kaki menekuk.

    Ishtar mengamati ruangan itu untuk kesekian kalinya. Ruang latihan ini terletak di dalam ruang pribadi komandan benteng. Di tengah-tengah ruangan terdapat boneka logam dengan bentuk dasar manusia dengan tangan dan kakinya tertahan oleh rantai pada dasar dan langit-langit ruangan. Sementara itu di sisi lain ruangan terdapat target-target latihan panah dari jerami padat.

    Mungkin aku perlu melatih kemampuanku dalam memanah lagi. Sudah cukup lama sejak terakhit kali aku memegang busur. Ya terakhir kali. . . Ketika aku menyelamatkan. . . Ishtar langsung menghentikan pikirannya. Entah kenapa ia selalu merasa kesepian setiap kali mengingat sosok gadis kecil itu.

    Ishtar hanya dapat menghembuskan napas dengan berat dan bangkit berdiri, berusaha untuk mengusir kesunyian dalam dirinya. Tidak ada gunanya. Ia sudah pergi dengan damai dan aku masih memiliki tugas yang harus dipikul.

    ***​

    Di atas dinding batu yang dipenuhi denting logam, Izdar tampak bersandar dan memandang ke langit setengah melamun.

    “Kau kelihatan memikirkan sesuatu yang berat. Apa kau baik-baik saja?”

    Tanpa perlu menoleh Izdar dapat langsung menebak siapa yang menegurnya. Bayangan besar yang muncul dan langsung menutupi sinar matahari menjadi petunjuk utamanya.

    Izdar menghela napas, “Aku hanya sedikit. . . Sebenarnya aku sangat mengkhawatirkan putri bungsuku.”

    “Ah, putrimu yang kau kirim ke klan Darkscale untuk belajar ilmu penyembuhan? Kurasa aku pernah melihatnya sekilas di Cataract. . . Kalau kau begitu mengkhawatirkannya kenapa kau mengirimnya ke luar?”

    Izdar tampak menggaruk-garuk kepalanya, “Itu adalah ide istriku. Dia mengatakan anak itu terlalu dimanja. . . Aku pikir dia akan aman bila bersama para tabib. Tapi sekarang benteng Cataract sudah jatuh dan aku sama sekali tidak mendengar kabar mengenai dirinya.”

    “Ia akan baik-baik saja. Dan kau seharusnya tidak membiarkan pikiran macam ini membebanimu. Besok kita akan menyerang mereka dan aku membutuhkanmu dengan pikiran jernih.”

    “Kau benar. Aku seharusnya berkonsentrasi pada tugas di depanku. Tapi kau benar-benar tidak mendengar kabar apapun tentang keadaan benteng Cataract sekarang?” Izdar menambahkan pertanyaan dengan cepat.

    Kyriakos hanya mendesis jengkel, “Diamlah, Izdar.”

    Tiba-tiba sebuah suara langkah kaki menghentikan pembicaraan mereka. Kyriakos dan Izdar menengok ke arah suara tersebut dan menemukan seorang kapten penjaga berlari ke arah mereka.

    “Tuan, pasukan musuh bergerak lebih cepat dari perkiraan. Ketua klan telah memerintahkan serangan sergapan dilakukan secepatnya.” Desis kapten tersebut terengah-engah.

    Kyriakos mendengus, “Memang sudah saatnya manusia itu diberi pelajaran lagi.”

    “Jangan terlalu bersemangat. Kau hanya akan terjebak nantinya, Kyriakos.” Izdar membalas dengan tenang.

    “Tidak ada yang perlu ditakutkan dari manusia tersebut. Trik-trik sulap mereka hanyalah permainan anak-anak. Kau bersamaku, Izdar?”

    “Aku akan mengikutimu. Seseorang perlu mengawasimu punggungmu.”

    “Bagus.” Desis Kyriakos bersemangat.


    =========================

     
  16. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    err... Kyriakos udah pernah muncul di chap sebelumnya:???:

    kayaknya saya mulai agak lupa tokoh-tokohnya, yang baru muncul ma yg lama yg mana ya...:swt:
     
  17. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter Might of The Ironscale, Warlord yang bunuh scarab + desak mundur pasukan Aesyr :hammer
     
  18. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter XIV: A New Kind of Enemy

    Jauh di bawah permukaan pasir, pasukan-pasukan elite Zar’goza berbaris dalam formasi tempur yang sempurna. Gema langkah kaki yang bergerak seragam terus memantul di dalam lorong itu. Suara gemerincing logam yang berat selalu mengikuti gema tersebut.

    Sementara itu, pihak aliansi selatan sama sekali tidak menyadarinya. Mereka hanya dapat melihat lautan pasir di permukaan, tidak ada hal yang perlu mereka waspadai.

    Mereka tiba-tiba menyadari bahwa ada perubahan dalam tanah yang mereka pijak. Pasir-pasir seakan mengalir ke dalam satu titik dan menciptakan efek menghisap. Tidak ada yang melihat datangnya serangan tersebut.


    Kyriakos bisa merasakan matanya memberontak begitu cahaya matahari menusuknya. Ia mengangkat tangan kirinya sebagai gerak reflek. Suara pasir yang bergulir memenuhi kepalanya ketika ia memejamkan matanya.

    Pasir pada permukaan gurun langsung membanjiri lorong begitu jalan keluar terowongan dibuka. Kyriakos dapat merasakan lututnya mulai tergenang oleh pasir. Ia tahu pasti manusia di permukaan mulai menyadari ada sesuatu yang salah.

    Tanpa membuang waktu ia mulai berjalan melawan arus aliran pasir dan merangkak keluar menuju permukaan. Pasir-pasir seakan bergulir keluar dari pijakannya, memprotes berat tubuhnya yang tidak wajar. Tapi ia terus melangkah perlahan hingga akhirnya matanya bisa memandang lautan pasir yang merupakan permukaan.

    Inilah yang dinantikan dirinya. Setelah perjalanan selama bermil-mil dalam baju baja lengkap ia menginginkan pertarungan. Matanya yang masih belum terbiasa melihat setelah berjam-jam menghabiskan waktu di terowongan yang gelap. Ia hanya bisa melihat sosok-sosok kabur di sekitarnya tapi instingnya tidak pernah bergantung pada penglihatannya.

    Siluet seorang penunggang kuda tampak di depannya. Ia dapat mendengar suara ringkikan hewan tersebut dan tapak kaki di pasir yang berat. Sebelum penunggang tersebut sempat menyerang dirinya, Kyriakos sudah mengayunkan tangannya. Dengan cepat ia mencengkeram kepala penunggang tersebut dan menariknya dari tunggangannya.

    Suara melengking mengerikan terdengar ketika ia meremukkan helm perang beserta tengkorak penunggang tersebut dengan telapak tangannya. Tidak buruk untuk pemanasan, pikirnya.

    Kyriakos melepaskan pegangannya pada kepala yang sudah remuk tersebut. Pandangannya sekarang sudah lebih baik. Ia bisa melihat para manusia mengelilingi kelompoknya dari segala arah, sementara itu prajuritnya banyak yang masih berusaha keluar dari dalam terowongan.

    Ia mundur selangkah, kedua tangannya sudah menggenggam halberd yang terentang ke belakang. Perlahan-lahan sebuah seringai muncul dan menampakkan serentetan taringnya yang tajam. Inilah musuh yang kusuka, sederhana. Mereka melihatku dan langsung menghantamku dengan sekuat tenaga, berharap menang dengan kekuatannya yang lemah. Mereka sungguh sebuah lelucon.

    Ayunan halberdnya yang bertenaga langsung menyambar barisan musuh di depannya seperti halilintar. Tubuh-tubuh langsung terhempas tanpa nyawa dalam sebuah serangan. Dalam sekejap hawa kematian sudah berada di sekitar Kyriakos. Orang-orang berusaha menjatuhkan sang raksasa perang.

    Puluhan tombak dan pedang telah menghantam baju bajanya. Tapi lempengan baja yang tebal telah membuat mata tombak tersebut patah dan memantul. Dengan mudah ia memutar halberdnya dan membebaskan dirinya dari kepungan.

    Manusia yang sudah berjalan jauh dalam terik cahaya gurun tidak bisa berbuat banyak di bawah sergapan pasukan Zar’goza. Banyak dari mereka telah melepas baju pelindung karena panas dan bebannya. Dalam waktu cepat Kyriakos dan pasukannya telah membuat kekacauan besar.

    Dari atas tumpukan mayat manusia Kyriakos melihat para lawannya berlari mundur. Mereka berlari menuju barisan karavan yang kemungkinan besar berisi persediaan air dan makanan. Di sana mereka membuat barisan pertahanan, sebuah dinding pasukan bertombak dan perisai. Sementara itu di dari sudut matanya Kyriakos dapat melihat barisan karavan dan tentara manusia mendekat dari kejauhan.

    “Astlar!” Kyriakos memanggil wakilnya.

    “Ya, Tuan.” Astlar menyahut sambil berjalan ke arah Warlordnya.

    Kyriakos bisa melihat darah sudah membasahi baju baja dan pedang ajudannya.

    Ia mengangkat halberdnya dan menunjuk ke arah tentara manusia di sisi lain gurun, “Bawa sebagian pasukan dan serang mereka!”

    Astlar mengangguk, ia langsung mengambil sebuah terompet tanduk yang terselip di ikat pinggangnya dan meniupnya. Sambil mengangkat pedangnya ia meneriakkan perintah-perintah dalam bahasa kuno kirzka.

    Kyriakos menunggu hingga ia melihat Astlar berhasil mengumpulkan pasukan dan mulai berlari menyerang sisi lain musuh. Sekarang ia kembali memandang ke depan. Ia bisa melihat ketakutan di dalam musuh-musuhnya. Barisan-barisan tentara yang menjaga kereta-kereta kuda di belakang mereka tampak mulai goyah. Kaki mereka mencoba melangkah mundur walaupun tertahan oleh barisan di belakang.

    Pasukan-pasukan kirzka yang berdiri di sekitar Kyriakos juga menyadari hal yang tersebut. Sebagian dari mereka mulai memukul-mukul perisai dan mendesis, mencoba untuk membuat para manusia lebih gugup lagi.

    Raungan dari Kyriakos seakan menjadi aba-aba bagi pasukannya. Mereka semua berlari menerjang barisan perisai musuh. Kyriakos mengayunkan halberdnya ke barisan tersebut. Serpihan-serpihan kayu dan daging melayang diikuti suara derak patah yang melengking. Musuh-musuhnya terjatuh dengan senjata yang rusak ataupun anggota tubuh yang hilang.

    Selagi halberdnya masih dalam keadaan terayun, Kyriakos menggunakan tanan kirinya untuk mencabut pedang yang ada terikat di ikat pinggangnya. Dengan ganas ia menebas seluruh tentara yang tidak memilik perlindungan lagi. Dalam beberapa ayunan pedang barisan pertahanan tersebut sudah tidak ada lagi. Sekali lagi musuhnya terpecah, beberapa melarikan diri, beberapa melawan, dan beberapa tidak tahu lagi apa yang harus di lakukan.

    Kyriakos melangkahi tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa. Pandangannya terpaku pada kereta kuda di depannya. Ia menyarungkan kembali pedangnya yang sudah basah dengan darah dan mengangkat halberdnya tinggi-tinggi dengan dua tangan.

    Kereta kuda itu langsung remuk di bawah beban Halberd Kyriakos. Air menyembur keluar dari dalam kereta kuda tersebut. Ia dapat merasakan kesegaran yang mengguyur tubuhnya dan mencuci bersih darah yang menempel di baju bajanya. Ternyata kereta-kereta kuda tersebut berisi persediaan air. Ia bisa melihat pasukannya juga sedang membongkar kereta kuda lainnya. Sebagian besar dari mereka menyempatkan diri minum dari kereta kuda tersebut atau hanya bersenang-senang dan membuang airnya. Seakan ada tanggul yang bocor, air mengalir membasahi lading pasir dan mencuci kekotoran pertempuran yang baru saja terjadi.

    Awal yang cukup baik, kata Kyriakos dengan senang dalam batinnya.

    Pikirannya segera terpotong begitu ia mendengar bahasa yang asing di telinganya. Ia menoleh ke arah sumber bunyi itu. Tampak seorang dengan mantel bertudung dalam keadaan setengah merangkak tidak jauh darinya. Tangan manusia tersebut terentang ke arahnya, telapak tangannya terbuka dan mulutnya sedang merapal mantra dalam bahasa yang asing.

    Kyriakos tidak membiarkan orang tersebut menyelesaikan mantranya. Tanpa peringatan ia mengayunkan ekornya dengan kuat ke arah penyihir tersebut. Hasilnya adalah fatal ketika ekor berotot yang dilapisi pelindung baja tersebut menghantam rusuk si penyihir. Suara tulang yang remuk dapat terdengar jelas ketika dia terhimpit di antara sisa kereta kuda dan ekor Kyriakos. Kerasnya hantaman yang dia dapat bahkan membuat kereta kuda di sisinya terguncang. Dalam sekejap mantranya terhenti dan ia tercekat oleh darahnya sendiri.

    Mengingat fakta seorang penyihir hampir berhasil menyerangnya, Kyriakos memandang ke sekitar untuk melihat apakan masih ada bahaya yang tersisa. Ia hanya dapat melihat pasukannya yang sedang dalam keadaan santai, menyapu sisa perlawanan yang ada.

    Para penjaga Zar’goza menendang-nendang tentara manusia yang sudah terjatuh. Dan bila mereka mendapati sedikit gerakan keci saja, senjata mereka akan langsung merajam tubuh tersebut. Sementara itu tentara manusia yang bersusah payah melarikan diri dapat ditangani dengan mudah. Gurun pasir yang membentang luas ini telah memudahkan penjaga Zar’goza yang membawa crossbow. Tanpa ada halangan apapun sangatlah mudah untuk menembak seorang pejalan kaki.

    Rombongan para manusia yang hendak menyerang benteng Ironflare tampaknya membentang terlalu jauh. Musuh yang telah dilihat oleh pasukan pengawas Zar’goza sebelumnya kemungkinan hanyalah segelintir kecil tentara aliansi. Sementara pasukan inti aliansi pasti masih berada jauh di belakang dan baru akan sampai beberapa hari lagi.

    Di kejauhan ia bisa melihat rombongan-rombongan tentara manusia dengan karavan mereka. Masing-masing dengan jarak berjauhan. Sungguh merepotkan, butuh lebih banyak waktu untuk menghabisi mereka satu per satu. Musuh yang tersebar di mana-mana dalam jumlah kecil bukan salah satu hal favoritnya.

    Hmm. . . Bagaimana perkembangan kelompok Astlar sekarang? Aku belum melihat keadaannya. Baru saja Kyriakos hendak menengok ke arah kelompok aliansi yang diserang ajudannya, ia mendengar suara terompet tanduk. Tapi suara yang didengarnya sama sekali tidak familiar di telinganya. Suara terompet yang umumnya ia dengar selalu rendah dan membahana, tapi kali ini ia mendengar suara yang tinggi dan melengking. Sebuah nada yang dibunyikan hanya untuk perintah mundur.

    Kyriakos memutar tubuhnya dan memandang dengan tidak percaya. Pasukan yang di pimpin oleh ajudannya tampak berantakan. Mereka semua melarikan diri dengan tergesa-gesa. Tapi anehnya Kyriakos sama sekali tidak melihat tanda-tanda bahaya, walaupun perasaannya mengatakan hal yang berbeda.
     
  19. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Rombongan manusia yang seharusnya ditangani Astlar tampak sudah tidak berkutik lagi. Kereta-kereta kuda mereka juga sudah hancur berantakan. Ia tidak melihat satupun tentara musuh yang berdiri. Tapi pasukannya jelas-jelas sedang melarikan diri dari sesuatu.

    Sementara itu, suara terompet tanduk tadi juga menarik perhatian pasukan yang bersama dirinya. Mereka telah menghentikan kegiatan mereka dan sekarang tampak kebingungan. Para penjaga saling berpandangan, berharap salah satu dari mereka tahu apa yang terjadi.

    Kyriakos dapat mendengar terompet tanduk tanda mundur terus dibunyikan. Seharusnya ada sekitar lima ratus orang yang mengikutiku. Saat ini ada tiga ratus yang bersamaku, meninggalkan Astlar dengan dua ratus orang lainnya. Ia bisa menghitung pasukan-pasukan yang berlari ke arah posisinya dari kejauhan, tidak lebih dari tiga puluh orang.

    Tiba-tiba Kyriakos menangkap gerakan yang mencurigakan. Bayangan-bayangan hitam kelihatan merambat di sekitar puing-puing kereta kuda. Mencoba menangkap apa yang tengah di lihatnya, Kyriakos maju selangkah dan menyipitkan matanya. Ia takut terik matahari telah mempermainkan matanya.

    Ia bisa melihatnya, jelas tapi tidak dapat ia ketahui. Seperti asap atau kabut berwarna hitam yang merangkak dengan cepat di sekitar sisa-sisa karavan manusia. Tanpa peringatan, gumpalan-gumpalan asap hitam tersebut seakan melompat dan mengambil bentuk fisik.

    Pasukan kirzka yang tengah melarikan diri hanya berjarak tidak lebih dari dua puluh langkah dari dirinya, tapi sosok-sosok hitam tersebut mengejar dengan sangat cepat.

    Tubuh Kyriakos langsung bergerak sesuai insting bertarungnya. Ia mencabut sebuah tombak yang tertancap di tanah dan melemparkannya ke arah sosok hitam yang hampir meraih pasukannya. Sesaat sebelum sosok hitam tersebut mendapatkan salah satu tentaranya, tombaknya menghantam sosok tersebut dengan keras. Tubuh berwarna hitam yang sedang melompat tersebut langsung terhempas hingga berguling-guling di atas pasir.

    Pasukan-pasukan yang berada di sekitar dirinya seakan tersadar dari lamunan mereka akan kejagian aneh ini. Dalam waktu singkat terompet-terompet tanduk tanda menyerang langsung dibunyikan. Para pasukan kembali dalam keadaan siaga, atmosfer terasa memberat dan kekacauan yang sebenarnya dimulai.

    Pemandangan kelompok kirzka yang melarikan diri telah cukup mengalihkan perhatian Kyriakos dan pasukannya. Mereka tidak sadar bahaya sebenarnya lebih dekat dengan mereka di bandingkan kawanan lainnya. Walaupun Kyriakos gagal menyadarinya tepat pada waktunya, tapi ia sempat menangkap suara berkelebat yang tiba-tiba muncul disekitar dirinya. Dengan cepat ia menggenggam halberdnya dan memutar tubuhnya.

    Sosok hitam tersebut berada tinggi di atas kepalanya dan saat ini sedang meluncur ke arahnya. Kyriakos melompat mundur dan mengangkat halberdnya tinggi-tinggi. Sambil meraung ia mengayunkan senjatanya ke bawah, memukul makhluk itu tepat di kepala dan menghempaskannya ke tanah dengan kuat.

    Suara derak tulang yang remuk telah memberi keyakinan bagi Kyriakos bahwa lawannya bukan sesuatu yang layak ditakuti. Ia mengamati sosok hitam yang baru saja ia bunuh. Lebih mudah untuk mengamati makhluk tersebut setelah sekarang tergeletak mati, daripada ketika mereka masih berlari melesat dan melompat dengan cepat.

    Cukup sulit bagi Kyriakos untuk mengatakan apa sebenarnya makhluk tersebut. Secara sekilas makhluk itu kelihatan seperti serigala besar dengan panjang sekitar dua meter. Tapi bila ia memperhatikannya lebih seksama, makhluk itu menggunakan dua kaki untuk berlari dan memiliki tangan untuk menggenggam. Satu hal yang Kyriakos ketahui adalah bahwa makhluk ini bukan sekedar binatang. Walaupun makhluk seperti serigala tersebut memiliki taring-taring dan cakar yang tajam, mereka menggunakan senjata seperti belati dan perisai tembaga.

    Para penjaga Zar’goza tampak mengalami kesulitan menghadapi musuh baru mereka. Tapi bagaimanapun juga pejuang padang pasir ini tetap bertahan.


    Kyriakos tertawa sambil terus mengayun-ayunkan halberdnya dengan ganas, “Pertarungan yang bagus! Kalian memberikan permainan yang menantang!”

    Sebuah sapuan halberdnya langsung membunuh setengah lusin dari makhluk serigala tersebut. Tapi walaupun Kyriakos telah membunuh lusinan dari makhluk tersebut, mereka terus berdatangan secara berkala dalam gelombang-gelombang kecil.

    Salah satu dari makhluk tersebut berhasil menghindari senjara Kyriakos dan sekarang tengah melompat ke arah sang kirzka raksasa. Kyriakos langsung melepaskan halberdnya melihat bahaya tersebut. Tangan kanannya langsung menangkap leher makhluk tersebut, sementara tangan kirinya sudah mencabut pedang dan berusaha menghajar makhluk lainnya yang berdatangan.

    Bunyi melengking mengikis telinga Kyriakos ketika makhluk yang sedang dicekiknya memberontak dan mulai mencakar-cakar pelindung tangannya. Otot-otot tangannya menegang ketika ia berusaha untuk meremukkan tulang leher makhluk tersebut. Tapi sebelum ia mendengar suara derak tulang lawannya otot-ototnya sudah merenggang. Ia mengerang tertahan, sebuah logam dingin baru saja menusuk rusuknya.

    Baru beberapa detik ia tidak memperhatikan keadaan sekitar, salah satu dari makhluk serigala tersebut telah membenamkan belatinya menembus baju pelindung dan melukai Kyriakos.

    Sambil meraung ia mematahkan leher makhluk yang dicekiknya. Pada saat bersamaan ia memukul tengkorak makhluk serigala tersebut dengan gagang pedangnya. Makhluk itu terhuyung kebelakang dan langsung terjerembab begitu Kyriakos menimpuknya dengan mayat temannya. Ia meraih sebuah tombak yang tergeletak dan langsung menusuk makhluk yang terjatuh itu. Mata tombaknya dengan kasar menembus tubuh makhluk pertama dan mengoyak perut makhluk yang berada di bawahnya.

    Detik lainnya yang Kyriakos habiskan tanpa ayunan senjata dan setengah lusin makhluk serigala sudah melompat ke arahnya. Sang Warlord meraung keras dengan pedang terhunus, ia sudah siap untuk dilukai dan melukai lawannya.

    Tapi tanpa peringatan ketegangan tersebut langsung menurun. Kyriakos hanya bisa memandang dengan bingung ketika sosok-sosok serigala tersebut tiba-tiba terjatuh dan tidak bergerak lagi. Sebuah anak panah tampak mencuat melalui kepala makhluk-makhluk tersebut.

    “Kau terlalu kasar dalam bertindak.”

    Tiba-tiba bisikan suara dingin mendesis dengan pelan. Sebuah sosok hitam melompat dari atas reruntuhan kereta kuda dan mendarat di depan Kyriakos. Tapi kali ini merupakan sebuah sosok yang familiar bagi dirinya.

    “Terlalu lambat, Herve. Kenapa baru muncul sekarang?”

    “Kami selalu mengawasi terlebih dahulu sebelum terjun ke dalam pertempuran.” Balas Herve datar sambil mengisi ulang anak panah pada crossbownya.

    Sosok-sosok dengan jubah hitam panjang mulai bermunculan. Anak-anak panah ditembakkan dan belati-belati panjang terhunus. Herve dan rombongannya telah datang untuk membantu Kyriakos dan pasukannya.
     
  20. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    “Hmph! Kita hadapi mereka bersama kalau begitu.” Ajak Kyriakos begitu melihat makhluk seperti serigala tersebut terus berdatangan.

    Herve hanya menjawab dengan anggukan singkat. Tampaknya siang ini akan menjadi panjang bagi mereka berdua. Tumpukan mayat makhluk berbulu tersebut sudah mulai memenuhi pijakan Kyriakos. Pasir terus meminum darah mereka yang terjatuh dengan rakus dan tetap kelihatan haus, meminta lebih banyak air untuk ditumpahkan.

    Sambil meraung Kyriakos menerjang makhluk-makhluk tersebut dengan halberdnya. Pertarungan terjadi secara cepat dan ganas. Sang Warlord menyepak setiap makhluk yang melompat ke arahnya dengan ayunan halberdnya. Tangannya terkepal dan ia siap menggunakan kepalan tangannya bila ada makhluk yang lolos dari senjatanya.

    Di tengah-tengah keganasan Kyriakos Herve juga beraksi menghadapi makhluk serigala yang terlewatkan oleh sang raksasa tersebut. Dengan gerak reflek yang amat cepat Herve menambakkan serentetan anak panah sambil menunduk dan menghindari ayunan halberd temannya. Crossbow yang digunakan Herve sendiri berbeda dari crossbow pada biasanya. Crossbow tersebut memiliki mekanisme mesin yang rumit dan memungkinkan beberapa anak panah di tembakkan secara beruntun.

    Kyriakos dan Herve bekerja sama dengan amat baik. Sementara Kyriakos membunuh sebagian besar lawan mereka dengan ayunan halberdnya yang memiliki daya jangkau luas, Herve menghabisi mereka yang berhasil menghindar atau pun berada di luar jangkauan Kyriakos.

    Serigala terakhir yang masih berdiri meninggal di tempat setelah Herve menghujam jantungnya menggunakan belati panjang. Ia tidak sempat mengisi anak panah ketika makhluk tersebut menerjang.

    “Berkumpul semuanya!” Teriak Kyriakos begitu ia melihat tidak ada lagi lawan yang ada di sekitarnya.

    Sosok-sosok pejuang yang kelelahan perlahan-lahan mulai berkumpul di sekitar kedua Warlord tersebut. Penjaga-penjaga Zar’goza dengan baju baja yang terkoyak dan luka di sekujur tubuh mereka. Tentara-tentara ringan dengan jubah hitam panjang yang lusuh ternoda oleh darah. Jumlah mereka semua tidak lebih dari seratus orang.

    Sementara itu Kyriakos bisa melihat para pasukan manusia sudah mulai berdatangan dari segala arah. Dalam waktu singkat mereka akan terkepung.

    “Kita harus mundur sekarang.” Desis Herve pelan.

    “Semua pintu terowongan pasti sudah ditutup dari dalam sekarang. Kita hanya bisa mengikuti rencana awal.” Jawab Kyriakos menggeram.

    Sebuah suara derak yang menggelegar memotong pembicaraan mereka. Potongan-potongan besak kayu beterbangan ketika salah satu puing kereta kuda terangkat dan pecah. Sebuah tanduk hitam mengkilat tampak mencuat dari antara serpihan-serpihan kayu yang melayang.

    “Makhluk apa itu?” Desis Herve dalam bahasa kuno kaumnya.

    Seekor scarab bertanduk raksasa telah menampakkan dirinya. Kaki-kakinya yang panjang langsung menyapu potongan-potongan kayu dengan kasar dan meninggalkan pola aneh pada pasir. Seakan mengikuti kemunculan scarab raksasa tersebut, suara desiran pasir terdengar dari berbagai arah.

    Dataran bergetar, gunungan-gunungan kecil pasir tiba-tiba muncul dan pecah. Scarab-scarab raksasa menampakkan diri mereka dari bawah tanah, diikuti dengan suara dengung yang melengking.

    “Ini tidak terlihat bagus.” Bisik Herve pelan.

    “Bersiaplah, mereka datang.”

    Seakan memperburuk suasana asap-asap hitam mulai menjalar di kejauhan. Dari dalam asap-asap hitam tersebut makhluk-makhluk serigala melompat keluar dan bergabung bersama scarab dan pasukan manusia yang mendekat.

    Melihat musuh yang mendekat para penjaga Zar’goza mulai merapatkan formasi mereka. Badan agak membungkuk dalam posisi bertahan, siap untuk menerima hantaman yang datang. Senjata-senjata teracung, perisai terangkat, sementara crossbow dibidikkan melalui bahu penjaga terdepan.

    “Tidak ada jalan keluar.” Desis Herve sambil melihat ke sekeliling.

    “Biarkan mereka datang!” Geram Kyriakos.

    Seluruh pasukan telah siap untuk menyambut serangan besar. Mereka tahu satu-satunya jalan adalah dengan bertarung. Semangat juang berkobar terpancar dari api yang membara pada mata mereka. Rahang mereka terkatup rapat, menyisihkan teriakan perang untuk detik terakhir.

    Scarab-scarab raksasa menyapu pasir dengan cepat. Sementara makhluk-makhluk serigala melompat tinggi siap untuk menyergap dari udara. Pasir bergulir ketika para penjaga menguatkan pijakan kaki mereka, menunggu untuk sebuah benturan yang tidak akan terjadi.

    Diikuti suara menderu yang membahana pilar-pilar api membumbung ke langit dan membentuk tembok di sekitar barisan penjaga Zar’goza. Makhluk-makhluk serigala yang tadinya siap untuk menyergap dengan lompatanya langsung habis terbakar ketika menghantam pilar api tersebut. Bulu hitam mereka habis dan tubuh mereka tergantikan oleh abu.

    Para scarab berdengung melengking ketika berhadapan dengan pilar api tersebut. Tanduk mereka bergerak ke kanan dan ke kiri ketika mereka bergerak mundur menghindari api. Sementara scarab yang bergerak terlalu ke depan langsung terlalap oleh api. Tubuh raksasa mereka menciptakan suara seperti daging sapi yang sedang di panggang di atas panci panas dan menebarkan aroma seperti daging buruk yang terlalu lama di bakar.

    Ketegangan berubah menjadi kebingungan. Senjata yang tadinya digenggam dengan erat sekarang tergantung dengan longgar di tangan. Pilar api tersebut telah memisahkan para penjaga Zar’goza dengan lawan mereka.

    “Hmph, Izdar.” Kata Kyriakos pelan sambil mendengus.

    Seakan memenuhi panggilan Kyriakos, percikan lidah api tiba-tiba muncul di dekat Kyriakos. Dan ketika percikan itu hilang, Izdar sudah berdiri di tempat itu dengan delapan orang pengikutnya. Ia berdiri tegak sambil memegang tongkat sihirnya dengan kedua tangan. Tongkat tersebut terbuat dari perak dan berdiri lebih tinggi dari Izdar sendiri. Pada ujungnya sebuah batu berukira mata tampak berpendar terang dalam warna merah.

    Izdar memandang ke sekeliling, “Sepertinya keadaan mulai berada di luar kendali, kawan besarku.”

    Kyriakos menggeram, “Ya, tapi tidak lagi. Setidaknya setelah kau ikut bergabung. Kita hajar mereka sekarang?”

    “Bukan hal yang mustahil untuk menembus kepungan ini. Tapi mari kita tidak mengambil resiko lebih jauh.” Balas Izdar.

    Tiba-tiba salah satu penyihir yang bersama Izdar menyela dengan nada kelelahan, “Master, kita tidak bisa mempertahankan api ini lebih lama lagi.”

    Delapan orang penyihir berdiri di sekeliling Izdar. Kepala mereka tertutup tudung putih dan mereka semua melihat ke bawah. Masing-masing orang tampak menggenggam sebuah bola kristal yang menyala merah. Kyriakos dapat melihat bahwa cahaya merah yang berpendar pada bola kristal kedelapan penyihir tersebut mulai melemah. Demikian pula pilar-pilar api yang mengelilingi penjaga Zar’goza.

    Izdar langsung bertindak tanpa berbicara lebih jauh lagi. Ia menancapkan tongkat sihirnya pada pasir. Lidahnya mendesiskan sebuah bahasa yang amat kuno dan sakral. Dari dasar tongkatnya tampak sebuah cahaya merah seperti lidah api menjalar. Di atas permukaan pasir lidah-lidah api itu menjalar dengan cepat ke berbagai arah.

    Lidah api itu tampak berkembang seperti sebuah labirin yang hidup. Terus menjalar, bercabang, dan berkelok membentuk sebuah pola yang rumit pada permukaan pasir dimana para penjaga Zar’goza menapakkan kaki mereka.

    “Kau akan membawa kita semua ke dalam benteng?” Tanya Kyriakos.

    “Aku tidak kuat untuk membawa kalian semua ke dalam benteng, Aku hanya akan membawa kita menjauh, tempat yang aman, tapi tentu di luar dinding benteng.” Balas Izdar sambil tersenyum.

    Setelah Izdar mengatakan hal tersebut, garis tipis lidah api yang terbentang tersebut tiba-tiba berpendar terang sekali hingga Kyriakos sendiri harus menutup matanya. Ia merasa pasir-pasir pada telapak kakinya bergetar keras dan detik selanjutnya ia merasa kakinya tidak lagi menapak pada pasir tersebut. Seakan sesuatu kekuatan telah menariknya naik hingga ia tidak lagi menginjak daratan. Sebuah perasaan yang selalu ia rasakan ketika teleportasi, sebuah perasaan yang tidak pernah familiar dengan dirinya.
     
  21. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Setelah sebuah sensasi meninggalkan daratan yang sangat singkat, Kyriakos dengan canggung kembali mendapati kakinya menyentuh pasir. Begitu ia membuka kelopak matanya ia mendapati pemandangan yang familiar tapi tidak menyenangkan.

    “Izdar, sepertinya kau salah dalam bagian tempat yang aman.” Kata Kyriakos sambil menyiapkan Halberdnya.

    “Keadaan meleset jauh dari perkiraan, Kyriakos. Aku ingin memberitahumu tapi sayang aku sedang terburu-buru tadi.”

    Mereka berada tidak jauh dari benteng Ironflare. Dindingnya hanya berjarak satu mil dari mereka. Tapi benteng tersebut berada dalam keadaan dikepung. Panji-panji musuh sudah berkibar di sisi lain gurun pasir. Catapult-catapult sudah menembakkan batu-batu ke arah benteng. Menara-menara raksasa didorong, siap untuk menembus dinding pertahanan. Dan Kyriakos serta kawanannya berada tepat di tengah-tengah pasukan utama manusia dan benteng Ironforge.

    “Kurasa ide terbaik memang menghajar mereka semua hingga kita berada di dalam benteng.” Kata Kyriakos.

    “Kali ini kita tidak punya pilihan selain mengikuti idemu.” Balas Izdar sambil melemparkan bola-bola api ke arah tentara manusia yang mendekat.

    Kyriakos berdiri dengan tegak dan menunjuk ke arah menara pertahanan pertama yang merupakan jalan masuk benteng. Para penjaga Zar’goza langsung menangkap perintah Kyriakos dan membunyikan tanduk tanda penyerangan.

    Mereka beruntung karena sepertinya para manusia baru memulai pengepungan mereka dan daratan belum dibanjiri oleh tentara manusia. Dengan mudah Kyriakos memimpin di depan dan membuka jalan bagi pasukannya.

    Sementara itu Izdar dan Herve yang berlari pada bagian belakang dengan cepat menyadari ada yang mengikuti mereka. Bayang-bayang hitam tampak menjalar dengan cepat ke arah mereka dan makhluk-makhluk serigala melompat keluar dari dalamnya. Menanggapi hal tersebut, anak panah dan tombak-tombak api langsung meluncur ke arah makhluk-makhluk tersebut.

    Beberapa makhluk yang lolos dari serangan tersebut melompat langsung ke barisan belakang yang sama sekali tidak siap. Dengan sigap Izdar membuat gerakan di udara dengan tangannya. Pisau yang tadinya terselip pada ikat pinggang Izdar secara magis langsung tercabut keluar dan melayang, menebas tiga makhluk yang berada di udara dan siap untuk menerjang. Trik sihir Izdar yang hanya dimaksudkan untuk mematahkan serangan ditutup dengan cekatan oleh tembakan dari crossbow Herve.

    Dalam waktu cepat mereka bisa mencapai menara pertahanan pertama tanpa banyak hambatan. Para tentara manusia dan makhluk serigala langsung menghentikan pengejaran mereka begitu mereka berhadapan dengan menara yang menjulang tinggi. Para musuh yang belum sepenuhnya terorganisir itu menghindar bertemu dengan ratusan pasang mata crossbowmen yang berada di atas menara.

    Pintu gerbang menara tampak dibuka secepat mungkin begitu Kyriakos dan kawanannya mendekat. Beberapa orang penjaga segera keluar dan mengawal kedatangan mereka, mengawasi para musuh yang menahan diri dari kejauhan. Ketika melangkah memasuki menara Kyriakos menengok dan melihat seluruh rombongan masih dalam keadaan utuh.

    Di belakangnya ia bisa mendengar perintah-perintah diteriakkan dan pintu gerbang bergerak menutup dengan berat.

    “Izdar, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Kyriakos begitu ia menghampiri temannya tersebut.

    Belum sempat ia mendapat jawaban seorang kapten sudah menghampiri mereka.

    “Tuan. Master Clan mengharapkan kehadiran kalian di ruang rapat, secepatnya. Tolong ikuti aku.”

    “Aku akan menjelaskan semuanya di jalan. Kita harus bergegas sekarang, waktu telah menjadi sangat berharga sekarang.” Kata Izdar sambil menatap kawan besarnya.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.