1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Tales of Gaea: Children of The East

Discussion in 'Fiction' started by MaxMarcel, Mar 7, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ketika seseorang terbangun dari tidur alangkah indahnya bila ia disambut oleh kicau burung dan udara gunung yang segar ditambah sinar matahari yang hangat. Setidaknya menurut dirinya itu adalah hal yang ideal. Jauh berbeda dari keadaannya saat ini.

    Ia membuka matanya dengan berat. Bau benda terbakar dan sinar matahari teriklah yang menyambut dirinya.

    Sang Baron menemukan dirinya berada di salah satu ruang pos penjaga dalam keadaan terduduk. Sekujur badannya terasa pegal dan letih, jubahnya lusuh dan ternoda dengan darah. Sambil menggerutu ia bangkit dan berjalan keluar ruangan.

    Pemandangan di luar tidak membuat harinya makin baik. Tampak mayat-mayat baik kirzka dan manusia bertumpukan di lapangan.

    “Selamat pagi, tuan. Kau mendapat tidur yang cukup?” tampak Eckhard sedang berjalan ke arahnya.

    “Tidak terlalu.” jawabnya dengan serak.

    “Kalau begitu cukup. Aku baru saja akan memerintahkan untuk membakar mayat-mayat sebelum mereka menyebarkan wabah penyakit.” balas komandannya.

    Tiba-tiba suatu sensasi menyengat muncul dalam diri sang Baron, sensasi yang disebut dengan kreativitas dan ide.

    “Tahan perintah itu. Kau boleh mengkremasi mayat para kirzka dan orang-orang kita. Tapi biarkan mayat pasukan Aesyr. Dan kumpulkan semua necromancer di ruang aula.”

    Eckhard hanya menggelengkan kepalanya, “Baiklah kalau itu keputusanmu.”

    “Oh ya, bagaimana keadaan pertahanan benteng saat ini?” tanya sang Baron sambil melihat ke arah gerbang.

    “Seperti yang bisa kau lihat.” balas sang komandan dengan singkat.

    Tampak lubang pada gerbang telah ditutup dengan menjajarkan beberapa buah gerobak secara melintang. Sejumlah tong dan kotak-kotak kayu tampak ditaruh di atas gerobak sebagai pemberat. Sementara itu terdapat meja-meja dan lemari yang sepertinya diambil dari ruang-ruang penjaga dan disenderkan pada gerobak sebagai perlindungan tambahan.

    “Benda itu tidak akan bisa bertahan lebih dari lima menit.” protes sang baron, “. . . Tapi setidaknya lebih baik dari pada tidak ada apa-apa.”

    “Tuan muda Clement.” tiba-tiba sang Baron mendengar ada yang memanggil dirinya dengan nama keluarganya. Seorang kirzka bersisik hitam dengan tubuh bungkuk yang diselimuti jubah putih tampak berjalan kearahnya. Dengan cepat ia mengenali kirzka itu sebagai penerjemah sekaligus pemandunya di sini.

    “Tuan, mungkin kau akan tertarik dengan hal ini.” desisnya.


    Si kirzka tua dengan cepat membawa Baron Moritz menelusuri jalan-jalan benteng hingga ia di hadapkan pada sebuah bangunan. Bangunan tersebut tidak jauh berbeda dari pos penjaga lainnya, hanya saja tampak bendera dengan lambang yang unik;

    Sebuah jantung terluka yang dirangkul oleh sepasang sayap naga hitam pekat. Digambarkan darah menetes turun dari luka-luka di jantung tersebut dan bunga-bunga berwarna hitam tampak tumbuh keluar dari rembesan darah.

    Baron Moritz memperhatikan detail-detail pada lambang di depan pos penjaga itu. Secara pribadi ia menganggap lambang tersebut sangat artistik.

    “Silahkan masuk, tuan muda.” desisan si kirzka tua menyadarkan Moritz dari lamunannya.

    Dengan mengangguk pelan sang Baron melangkah masuk ke dalam ruangan pos penjaga. Wangi tumbuh-tumbuhan yang cukup menyengat langsung menyita perhatiannya begitu ia memasuki ruangan. Tampak rak-rak kayu yang berisi botol-botol dan berbagai tanaman kering memenuhi ruangan.

    Dalam sekejap ia menyadari bahwa pemandunya telah membawa dirinya ke pos medis. Orang yang terluka, tabib, dan berbagai obat-obatan. Ruang penyembuhan. Pikirnya begitu melihat pemandangan di depannya.

    Kirzka-kirzka bersisik hitam tampak sibuk meracik obat dan mengobati tentara-tentara yang terluka. Kesibukan biasa dalam sebuah pos medis. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatian sang Baron.

    Diantara kesibukan kirzka-kirzka yang jangkung, tampak makhluk-makhluk yang lebih kecil berlalu-lalang. Tinggi mereka hanya dua kaki. Walaupun memiliki penampilan yang berbeda, entah mengapa makhluk ini tampak berhubungan dengan kirzka. Mahluk kecil ini memiliki ekor yang gempal dan kulit tidak bersisik berwarna hijau daun.

    Semua makhluk kecil di ruangan tersebut mengenakan mantel coklat bertudung yang sederhana. Mereka sibuk memanjat lemari dengan tangga dan memilah-milah botol obat kemudian berlari ke arah para tabib kirzka. Dengan menarik-narik jubah tabib untuk mendapat perhatian mereka, makhluk kecil itu memberikan botol-botol obat yang diperlukan.

    Kesan pertama sang baron adalah mereka makhluk mungil yang menggemaskan. Dan entah mengapa tiba-tiba sang Baron punya kebutuhan mendesak untuk menendang makhluk-makhluk kecil itu dengan alasan iseng.

    “Kaum Zel.” kata si kirzka tua tiba-tiba.

    “Maaf?” tanya sang Baron agak kaget.

    “Mereka. Makhluk kecil tersebut. Kaum Zel. Mereka merupakan kaum pembantu di bangsa kami. Dan tentu saja mereka bukan mainan.” jelas kirzka tua tersebut.

    “Oh ya tentu.” kata sang Baron, walaupun di hati ia sedang memperkirakan kemungkinan pikirannya sempat terbaca.

    “Tinggalkanlah mereka sendiri. Kita di sini bukan untuk mereka. Ikuti aku, manusia muda.” desis kirzka tersebut sambil berjalan menelusuri ruangan.

    Baron Moritz mengikutinya dengan cepat-cepat. Apa tadi ekspresi wajahku kelihatan? Pikirnya dengan heran bercampur takjub.

    Kirzka tua tersebut membawa sang Baron ke sebuah ruang dimana terdapat seorang kirzka yang terluka parah. Seorang kirzka bersisik merah dengan jubah penyihir yang sudah koyak terbaring sambil mendesis-desis dalam bahasa kuno bangsanya.Tampak beberapa tabib berdiri di sekitarnya dan berusaha mengobati luka-lukanya.

    “Salah satu dari sedikit yang selamat pada penyerangan tadi malam. Mungkin kau mau mengetahui apa yang terjadi.” jelas si kirzka tua.

    “Kalau begitu apa yang terjadi semalam?”

    Si kirzka tua berlutut di samping penyihir yang terluka dan mendesiskan pertanyaan dalam bahasa kaumnya. Terdengar sang penyihir balik berdesis dengan nada yang tidak dapat ditangkap sang Baron.

    “Ia mengatakan mereka diserang menggunakan sihir. Seluruh penjaga di bagian dinding dihabisi oleh sihir yang menjelma dalam bentuk locust, sedang penjaga di lapangan diserang oleh scarab.”

    Sang Baron menghela napas panjang, “Sihir. Ini akan menjadi masalah. . . Kapan dia bisa bertugas lagi?”

    “Maaf?” si kirzka tua tampak tidak menangkap maksud dirinya.

    “Dia” kata sang Baron sambil menunjuk penyihir yang terluka, “Kapan dia akan pulih?”

    Si kirzka tua tampak terdiam beberapa saat, “Dia tidak akan pulih, tuan muda. Luka yang dideritanya jauh berada di luar jangkauan obat-obatan kami.”

    Sang Baron menaikkan sebelah alisnya, “Kukira kalian yang terbaik dalam penyembuhan.”

    “Klan kami memang sangat maju dalam bidang pengobatan dan selalu menghasilkan tabib terbaik. Tapi bahkan kami tidak dapat mengobati luka karena sihir ini. Kami tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.” balasnya dengan lirih.

    “Hmm. . . Kita benar-benar kekurangan penyihir. . . Apakah kau tahu di mana sisa pasukan kirzka?”

    “Sebagian besar dari mereka ada di bangunan benteng utama.”

    “Bagus. Kau tahu siapa yang memimpin benteng ini sekarang? Aku ingin berbicara dengan dirinya.”

    “Ya aku tahu, dan aku khawatir kau tidak dapat berbicara dengannya.” kata si kirzka tua sambil mengangkat telunjuk jarinya.

    Sang Baron melihat ke arah yang ditunjuk dan menemukan sebuah tempat tidur. Sosok seekor kirzka yang wajahnya sudah ditutupi kain putih terbaring di atas tempat tidur tersebut. Bagus, komandan benteng sudah gugur juga. Gerutu dirinya dalam hati sambil berjalan ke arah jenasah tersebut.

    Baron Moritz langsung menyibakkan kain putih yang menutupi mayat kirzka itu. Tampak sang komandan benteng dengan luka menganga diantara sisik birunya. Tiba-tiba pandangan sang Baron jatuh pada telapak tangan komandan benteng. Ia sedang menggenggam sesuatu.

    Didorong rasa penasaran, sang Baron berusaha mengambil benda tersebut dari cengkeraman dingin mayat tersebut. Setelah menggunakan kekuatan yang kasar ia berhasil mengambil benda tersebut dan meninggalkan posisi tangan sang komandan benteng dalam keadaan yang aneh.

    Ia mengamati medali emas dengan lambang naga tersebut. Mungkin benda ini dapat dijual dengan harga yang tinggi. Pikirnya sambil menimbang-nimbang berat medali tersebut.

    “Tanda perintah Kekaisaran.” tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

    “Apa?”

    “Medali itu merupakan tanda perintah kekaisaran.” jelas si kirzka tua.

    “Ya, baiklah. Jadi apa artinya?” tanya sang Baron yang masih bingung.

    “Itu merupakan tanda kuasa untuk melakukan perintah atas nama kekaisaran.”

    “. . . Apa ini digunakan untuk memimpin pasukan?”

    “Ya, setidakanya itu salah satu kegunaannya.”

    “Apa aku bisa memberikan perintah pada pasukan benteng bila memegang medali ini?”

    “Tentu saja, orang yang memegang medali itu secara hierarki mendapat kekuasaan dari. . . Kau tdak berpikiran untuk memakainya bukan?” si kirzka tua tiba-tiba sadar ke mana pembicaraan mengarah.

    Sang baron hanya membalas dengan senyum licik.

    “Kau tidak boleh menggunakannya! Pengguna medali itu hanya mereka yang mendapat kepercayaan secara- Jangan pergi! Dengarkan ketika orang tua sedang berbicara!”

    “Percayalah padaku, aku akan memakainya untuk tujuan baik.” kata sang Baron sambil berlari keluar dari ruangan.

    ***
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ishtar sedang terduduk di dalam tendanya, seorang tabib tampak sedang merawat bahu kanannya yang terluka.

    “Sepuluh tahun dan aku belum pernah melihat yang seperti ini. Sepertinya lukamu menutup dengan cepat. Kau pasti memiliki tubuh yang sangat sehat.” kata tabib tersebut ketika melihat perkembangan pada bahu kanan Ishtar.

    Ishtar hanya membalas sang tabib dengan senyum lemah.

    “Kau akan pulih dalam waktu yang singkat.” kata tabib itu tiba-tiba sambil menepuk bahu kanan Ishtar.

    Dalam sekejap Ishtar langsung mengerang dengan keras. Ia tampak menunduk sambil memegangi bahunya.

    “Oh kurasa walaupun seseorang memiliki tubuh yang kuat, rasa sakit yang dirasakannya tetap sama saja. Kau akan baik-baik saja ngomong-ngomong.” kata si tabib dengan cepat-cepat sambil meninggalkan tenda. Ishtar hanya bisa menggerutu kesal sambil menahan rasa sakitnya ketika menyaksikan tabib tersebut kabur dari tendanya.

    “Jendral Ishtar, kau baik-baik saja?” tiba-tiba terdengar suara kecil yang familiar.

    Sophie tampak menyibakkan pintu kanvas tenda dan melangkah masuk. Di tangan kanannya ia menenteng sebuah poci tdan di tangannya yang lain ia membawa cangkir.

    “Aku membawakan teh.” jelasnya dengan singkat.

    “Terima kasih, Sophie. Kau sungguh pengertian.” kata Ishtar dengan senyum lemah.

    “Aku hanya ingin menjengukmu.” kata Sophie dengan sangat pelan, hingga Ishtar hampir tidak mendengarnya.

    Cepat-cepat Sophie menaruh poci yang ia bawa di meja dan hendak bergegas keluar.

    “Maaf, Jendral. Tapi aku ada keperluan lain.” entah mengapa Sophie juga seakan hendak melarikan diri.

    “Sophie, tunggu sebentar. Maaf bila mengganggumu, tapi bisakah kau menuangkan tehnya untukku? Agak sulit untuk melakukannya dengan satu tangan.” Ishtar menghentikan Sophie sambil tertawa lemah.

    Sophie berhenti tepat di depan pintu kanvas tenda. Dengan perlahan ia menengok ke arah Ishtar yang sedang melempar senyum padanya.

    Tanpa mengeluarkan satu patah katapun Sophie kembali berjalan ke meja dan menuangkan secangkir teh. Dengan hati-hati ia memberikan cangkir itu pada Ishtar.

    “Terima kasih, Sophie.” kata Ishtar sambil mengambil cangkir tersebut.

    Ishar membenamkan wajahnya pada cangkir tersebut. Ia terdengar sedang meniup teh panas pada cangkir tersebut. Tapi tiba-tiba Ishtar memandang Sophie dengan khawatir.

    “Ada apa, Sophie? Kau tidak sakit kan? Wajahmu tampak agak pucat.”

    Sophie tampak terkejut dengan perkataan Ishtar, “. . . Aku baik-baik saja. . . Kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkanku.”

    “Aku peduli dengan semua bawahanku.”

    “Maaf, Jendral. Tapi kau seharusnya lebih memperhatikan keadaanmu sendiri. Aku tidak layak mendapat simpatimu.”

    “Apa yang kaumaksud, Sophie?”

    Sophie tampak menundukkan kepalanya, rambut coklatnya turun dan menutupi wajahnya.

    “Aku tidak seharusnya mendapat perhatianmu. Karena kesalahanku kau menjadi terluka. Tapi. . . Tapi tetap saja kau. . .”

    “Tidak perlu dilanjutkan Sophie.” potong Ishtar, “Aku tidak pernah menyalahkan dirimu karena luka ini.”

    “Tapi kalau saja aku bisa mengandalikan diri, kau tidak akan menanggung akibatnya.”

    Ishtar hanya diam, untuk sejenak ia tampak menyeruput tehnya.

    “Kau tahu, Sophie. Sebenarnya kau melakukan hal yang benar.Dan tentang luka ini, ini merupakan kesalahanku sendiri.” kata Ishtar dengan tenang.

    “Aku bangga padamu Sophie. Tapi di sisi lain aku khawatir dengan perasaan dendammu terhadap kaum kirzka. Berjanjilah kau tidak akan kehilangan kendali dirimu lain kali.” Ishtar memandang Sophie dengan penuh perhatian.

    Sophie tampak masih menunduk setelah mendengar kata-kata Ishtar. Tapi akhirnya ia memperi respon, “Terima kasih, Jendral.” katanya dengan penuh perasaan.

    Ishtar tersenyum setelah mendengar balasan dari Sophie. Perlahan-lahan ia menaruh cangkir tehnya dan merangkul Sophie dengan tangannya yang masih sehat.

    Ishtar dapat merasakan Sophie sedikit melompat karena terkejut ketika ia mengalungkan tangan kirinya di pinggang Sophie. Tapi walaupun begitu Ishtar tetap menarik Sophie hingga dadanya menekan punggung Sophie. Dalam sekejap Sophie tampak tidak memberikan perlawanan. Ia hanya tenggelam dalam rangkulan Ishtar.

    “Sophie. . . Mungkin saat ini kau belum bisa melepas kebencianmu. Tapi aku berjanji, suatu hari aku akan membebaskan hatimu dari kekangan perasaan amarahmu.” bisik Ishtar dengan lembut di telinga Sophie.

    “Maaf, Jendral. Tapi kurasa hal itu sudah tumbuh kuat di hatiku.” jawab Sophie dengan lirih.

    “Aku berjanji, Sophie. Aku berjanji.” Ishtar kembali membisik di telinga Sophie dengan suara lembut yang menenangkan jiwa.

    Sepertinya kata-kata Ishtar telah membuat Sophie lebih tenang. Wajah gadis itu terlihat lebih damai sekarang. Seakan seseorang telang mengambil berat yang ada di bahunya. Sayangnya kedamaian ini tidak berlangsung lama.

    “Aku sama sekali tidak dapat mengerti seleramu, Ishtar.” tiba-tiba terdengar sebuah nada yang sangat familiar di telinga Ishtar.

    Sophie tampak terkejut dengan kedatangan pria ini. Sebaliknya Ishtar sudah menganggap gangguan darinya sebagai hal yang patut dimaklumi.

    “Apa keperluanmu hingga datang ke tendaku, Benevito?” kata Ishtar kalem sambil terus merangkul Sophie.

    “Maaf, mengganggu kesenanganmu tapi sepertinya kita akan sibuk.” kata Benevito seraya mengambil selembar perkamen dari balik jubahnya.

    “Apa itu?” tanya Ishtar.

    “Sebuah surat dari tetangga kita. Mereka meminta tolong kita untuk menyerang masuk ke dalam benteng Cataract. Walaupun sebenarnya lebih mirip ke ‘memaksa kita’.”

    Ishtar hanya tersenyum kecut, “Tidak mungkin, kita hanya akan ditendang keluar oleh sang Warlord.”

    “Tapi mata-mata mereka mengatakan bahwa Warlord Zar’goza sudah meninggalkan benteng.”

    “Oh, jadi itu sebabnya mereka sangat berisik kemarin malam. Kalau begitu kenapa mereka belum menjatuhkan benteng tersebut?” Ishtar tampak agak merenung.

    “Sepertinya para kirzka didukung oleh sekelompok manusia. Kemarin malam tentara Aesyr berhadapan dengan penjaga benteng yang terdiri dari manusia. Sepertinya bahkan mereka juga cukup untuk menendang keluar tentara Aesyr. Tapi tenanglah, dari info yang kudapatkan. Sebagian besar pasukan kirzka sudah dihabisi kemarin malam.” kata Benevito panjang lebar.

    “. . . Menarik. Kau pasti sudah mendapat lebih banyak berita, ceritakanlah padaku.”

    “Tentu saja. Dari yang kudengar, sepertinya pasukan manusia yang menjaga Cataract memiliki perlengkapan yang baik. Mereka bahkan punya sejumlah kavaleri berat, hal yang cukup jarang diantara kerajaan manusia karena biaya yang mahal.”

    “Kavaleri berat?” balas Ishtar sambil menaikan sebelah alisnya.

    “Ya, kavaleri berat. Tentara berkuda yang dapat melindas pasukan pejalan kaki dengan mudah. Tentara-tentara Aesyr yang selamat mengatakan pasukan berkuda itu juga melontarkan teriakan perang yang aneh. Untuk Clement dan Mount Thorn. Mereka meneriakannya terus selama pertarungan.”

    Dalam sekejap raut wajah Ishtar langsung berubah menjadi terkejut.

    “Kau mengetahui sesuatu tentang ini?” tanya Benevito begitu menyadari perubahan pada Ishtar.

    Ishtar menghela napas panjang, “Sepertinya ya. Kalau Clement yang mereka sebut sama dengan yang ada di pikiranku. Benevito, apa informasi yang kau dapat ada yang menyangkut bendera yang mereka kibarkan?”

    “Sebenarnya, ya ada. Dikatakan mereka mengibarkan bendera Kekaisaran Zar’goza dan bendera bergambar ular hitam yang melingkar.”

    “Ular hitam. . . Itu merupakan lambang keluarga Clement. Kalau begitu benar.” kata Ishtar sambil menunduk.

    “Jadi siapa itu, Clement?” tanya Benevito penasaran.

    “Mereka adalah keluarga yang menguasai kerajaan Harland. Kerajaan itu terletak di utara dan berbatasan langsung dengan Kekaisaran Zar’goza. Mereka terkenal untuk memerintah dengan dingin dan kejam. Kalau tidak salah Mount Thorn adalah salah satu daerah kekuasaan keluarga Clement.” jelas Ishtar dengan sungkan.

    “Apa maksudmu dengan dingin dan kejam?” tanya Benevito lebih lanjut.

    “Mereka terkenal untuk mengancam kerajaan-kerajaan tetangga dan mengumpulkan ‘retribusi keamanan’. Mereka juga menerapkan sistem gladiator untuk pelanggar hukum. Perbudakan di kerajaan itu berkembang dengan sangat subur. Banyak rumor tidak sedap beredar di antara keluarga Clement.”

    “Bagaimana kau tahu semua ini?” Sophie yang dari tadi diam tiba-tiba melontarkan pertanyaan.

    Ishtar kembali membuang napas, “Aku menghabiskan masa kecilku di Harland.”

    “Apa!?” teriak Sophie dan Benevito bersamaan.

    “Kalau mereka ada di antara pasukan Zar’goza, ini akan menjelaskan fenomena necromancy yang ada. Hanya mereka yang mungkin bertindak cukup kotor hingga memakai necromancy.” Ishtar kembali berbicara.

    “Menurutmu kita bisa mengalahkan pasukan mereka? Karena merekalah yang sekarang mengambil posisi sebagai penjaga benteng.” Benevito meminta pendapat Ishtar.

    “Kemungkinannya akan jauh lebih baik dari pada harus menghadapi seorang Warlord.” jawab Ishtar dengan tulus.

    “Kita akan menyerang lagi? Tapi Jendral, lukamu.” Sophie memotong, ia tampak khawatir.

    “Tenang saja, Sophie. Aku masih bisa memenangkan sebuah duel dengan satu tangan.” Ishtar berusaha menenangkan Sophie.

    “Baiklah kalau itu katamu.” kata Sophie dengan nada yang masih menandakan kekhawatiran.

    “Benevito, siapkan pasukan. Dan siapkan kudamu.” perintah Ishtar.

    “Baiklah, tentu- Tunggu sebentar! Apa maksudmu aku juga ikut?”

    “Tentu saja kau juga ikut. Lagi pula kau hanya takut dengan kirzka kan?” balas Ishtar tidak peduli.

    “Apa salahku.” keluh Benevito diam-diam.

    ==========
     
  4. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter VII: Under a Clement’s Sleeve

    “Kau yakin dengan ini, Jendral?” tanya Sophie.

    “Aku akan baik-baik saja, Sophie. Lagipula tidak baik untuk mengecewakan aliansi kita. Bisa tolong kau kencangkan ikatan di bahu kananku?”

    Sophie tampak ragu-ragu dengan perkataan Ishtar. Tapi akhirnya ia menurut, dengan hati-hati ia mengencangkan ikatan pada pelindung bahu Ishtar.

    “Maaf merepotkanmu, Sophie. Baju bajaku memang sedikit rumit.” kata Ishtar sambil tertawa pelan.

    “Tidak apa, memang sudah tugasku sebagai bawahan untuk membantumu. Malah aku heran, kenapa sebelumnya kau tidak pernah menyuruhku untuk membantumu memakai baju perang.”

    “Aku tidak tega kalau harus membuat gadis manis sepertimu repot untuk masalah sepele seperti ini.” kata Ishtar setengah bercanda.

    Sophie hanya mendengus mendengar candaan dari atasannya. Ia kembali berkonsentrasi pada tugas yang ada di hadapannya. Diam-diam Sophie bersyukur Ishtar merupakan tipe orang yang lebih suka melakukan pekerjaannya sendiri. Karena apa yang dikatakan Ishtar memang benar, baju bajanya cukup rumit. Terdapat berbagai sabuk untuk mengencangkan dan mengikat lempeng-lempeng pelindung.

    Setelah menit-menit yang membutuhkan keterampilan tangan, Sophie melangkah mundur dan melihat Ishtar. Sosok atasannya tampak gagah dan memancarkan keindahan tersendiri dalam baju perangnya. Walaupun demikian Sophie tetap merasa sedikit berat ketika ia melihat tangan kanan Ishtar.

    Pada tangan kanannya, Ishtar tidak memakai pelindung apapun kecuali pelindung bahunya. Hanya terdapat kain dari kemeja lengan panjangnya dan sebuah sarung tangan kulit yang menutupi bagian tersebut. Ishtar sendiri mengatakan tangan kanannya akan sakit bila terlalu banyak beban.

    Sepertinya Ishtar menyadari tatapan murung dari Sophie.

    “Tidak usah khawatir, Sophie. Tangan kananku sudah jauh lebih baik sekarang. Mungkin besok aku sudah pulih sepenuhnya.” kata Ishtar sambil menggerakkan tangan kanannya pelan-pelan, seakan hendak membuktikannya pada Sophie.

    “Tolong, Jendral. Kau tidak perlu melakukannya.” seru Sophie tergesa-gesa dengan takut.

    “Aku sedang tidak bercanda Sophie. Tanganku sudah hampir pulih berkat obat-obatan dari tabib. Aku hanya takut lukanya akan terbuka lagi bila beban di tangan kananku terlalu berat.” kata Ishtar lebih lanjut.

    “Baiklah bila itu katamu, Jendral.” terdengar sedikit nada lega dalam perkataan Sophie.

    Ishtar tersenyum. Dengan tangan kirinya ia mencabut salah satu pedang di sabuknya dan memutar-mutarnya dengan cekatan. Terdengar suara tebasan-tebasan yang mantap setiap kali Ishtar memutar pedangnya. Setelah merasa puas ia kembali menyarungkan pedangnya.

    “Ayo, Sophie. Benevito pasti sudah menunggu.” kata Ishtar bersemangat.

    ***​

    Tampak dinding-dinding benteng Cataract kosong, seakan sudah ditinggalkan penjaganya. Tapi diantara tumpukan batu yang kokoh itu terdapat sekelompok orang yang sepertinya sudah menunggu dengan sabar kedatangan tamu mereka.

    “Beberapa ribu orang. Kali ini lawan kita kelihatannya berat.” kata Eckhard sambil mengintip lewat celah dinding pertahanan.

    “Ya, mereka sedikit lebih berkelas dibanding tentara musuh yang kemarin.” komentar Baron Moritz sambil ikut mengintip.

    “Sepertinya pertempuran akan cukup imbang, setelah kita berhasil mengumpulkan seluruh pasukan kita ditambah sisa pasukan kirzka yang kau kumpulkan.”

    “Omong kosong, Eckhard. Aku akan menghabisi mereka semua dengan mudah. Seorang Clement selalu punya beberapa trik di balik jubahnya.” kata sang Baron dengan bangga.

    “Semoga trikmu bisa menyelamatkan kita semua.” komentar Eckhard.

    “Kalau trikku tidak bisa menyelamatkan kita, maka tentara bantuanlah yang akan menyelamatkan kita.”

    “Maaf?”

    “Aku sudah meminta bantuan pada Master Ansgar dan sepupuku beberapa hari yang lalu. Sebenarnya kita tidak butuh tentara bantuan dulu, tapi untungnya aku lupa untuk membatalkan permintaan itu.”

    Eckhard tiba-tiba menyadari kesalahan dalam rencana sang Baron, “Kita beruntung. Tapi tetap saja butuh waktu lama bagi mereka untuk melakukan perjalanan dari Harland ke sini!”

    “Tenang saja. Dulu aku meminta mereka untuk melakukannya dengan cepat. Jadi aku juga menyarankan agar mereka membuat portal.”

    “Baguslah kalau begitu.” kata Eckhard lega, “Kalau begitu untuk apa kita disini? Kita seharusnya sudah memposisikan diri.”

    “Tunggu sebentar, coba perhatikan pasukan musuh.”

    “Ya, ada apa?”

    “Kau lihat pemimpin mereka? Wanita berambut perak itu, entah kenapa sepertinya sosoknya familiar sekali.” kata Baron Moritz sambil terus mengintip dari celah dinding.

    “. . . Ya ya, kau benar. Sepertinya aku akan tahu satu atau dua hal kalau aku mengingat-ingat. Tapi intinya kita harus segera menyingkir dari sini!” Eckhard menarik paksa sang Baron ketika mengucapkan kalimat terakhir.

    ***​

    Di sisi lain dinding, pasukan-pasukan Cavaliar berjalan dengan penuh kewaspadaan. Mata mereka dengan hati-hati menelusuri dinding-dinding benteng secara berkala. Ketegangan makin meningkat ketika mereka mulai melangkahi jembatan dan tidak ada tanda apapun dari penjaga benteng.

    Ishtar sendiri menunggangi kudanya dengan berhati-hati. Berkali-kali kuda hitam tersebut meringkik gusar.

    “Apa pendapatmu, Benevito?” tanya Ishtar, ia merasakan ada sesuatu yang salah dalam keheningan benteng Cataract.

    “Dua kemungkinan. Satu, bentengnya memang sudah kosong. Dua, mereka menyiapkan perangkap.”

    “Aku khawatir ini merupakan perangkap. Kabur begitu saja bukanlah ciri-ciri tentara Harland. . . Setidaknya mereka selalu menyiapkan kejutan, bahkan bila mereka terpaksa mundur.”

    “Dan apa maksudmu dengan kejutan?” tanya Benevito curiga.

    “Seperti meledakkan seluruh benteng ketika kita masuk. Itu merupakan salah satu hobi baru mereka ketika Kekaisaran mulai mengekspor bahan peledak ke Harland.” kata Ishtar dengan ringan.

    “Mereka tidak mungkin meledakkan sebuah benteng yang vital bukan?” tanya Benevito sambil meringis.

    “Malah semakin kuat alasan mereka untuk melakukannya. Tapi tenanglah, aku punya firasat jebakan mereka tidak seperti itu kali ini.”

    “Kau sepertinya cukup akrab dengan kebiasaan tentara mereka. Apa kau pernah bekerja dalam kemiliteran Harland?” tanya Benevito dengan curiga.

    “Aku punya sejarahku sendiri. Dan kuharap kau mengerti kalau aku tidak mau membaginya denganmu.” Ishtar menolak menjawab pertanyaan Benevito dengan halus.

    “Jendral, apakah Harland tempat yang menyenangkan di masa kecilmu?” tanya Sophie tiba-tiba.

    Ishtar seakan memandang ke langit untuk sesaat, “Hmm. . . Aku hanya bisa bilang itu tempat yang keras untuk menjadi dewasa.”

    “Kau membencinya?”

    Ishtar hanya menggeleng pelan, “Bukan begitu. Tempat itu memang keras dan bahkan lebih sering berakhir kejam pada kehidupan. Tapi aku belajar banyak dari sana.”

    Sophie tampak termenung setelah mendengar perkataan Ishtar.

    “Jendral, gerbang masuk telah di barikade menggunakan barang-barang sederhana.” tampak beberapa pasukan hendak mengungkapkan pendapatnya begitu melihat keadaan.

    “Kalau kau memberikan perintah kami dapat membongkarnya dengan segera.” lanjut salah satu pasukan.

    Ishtar sekali lagi melihat dengan seksama benteng Cataract yang kelihatan kosong, “Baiklah, tapi lakukan dengan hati-hati.”

    “Siap, Jendral!” balas mereka bersamaan.

    Sekitar dua puluh orang langsung melangkah maju dari barisan, beberapa dari mereka tampak membawa kapak. Sementara itu Ishtar bersama sisa pasukannya menunggu dalam barisan.

    Dengan cepat mereka membongkar barikade yang menghalangi jalan. Salah satu tentara menarik jatuh sebuah kotak kayu pada barikade. Dengan suara keras kotak itu hancur dan pasir tampak mengalir keluar dari dalamnya.

    “Sial, pantas saja berat. Kotak-kotak ini diisi dengan pasir.” seru tentara itu begitu menyadari isi kotak tersebut.

    Walaupun sejauh ini tidak ada masalah, Ishtar tetap merasa sangat gusar.

    Tanpa ragu-ragu beberapa tentara mengayunkan kapak mereka untuk merusak barikade yang terdiri dari barang-barang berbahan kayu tersebut. Diikuti suara pecah pasir mengalir keluar dari retakan-retakan pada peti dan tong kayu.

    “Ini akan menjadi pekerjaan yang-!” tiba-tiba salah satu tentara tidak menyelesaikan kalimat yang diucapkannya. Sebuah pedang menembus tubuhnya.

    Tentara lainnya yang sedang membongkar barikade langsung menyadari hal tersebut. Mereka mulai berteriak untuk menyiagakan rekan-rekan mereka sambil menghunus pedang. Dari balik peti-peti yang sudah pecah, sosok-sosok tentara melangkah keluar.

    “Ghoul! Ada ghoul di dalam peti-peti kayunya!” teriak salah satu tentara Cavaliar.

    Suara-suara gertakan gigi yang familiar kembali bergema diantara kericuhan yang terjadi. Beberapa sosok ghoul tampak berdiri dengan pedang terhunus dan menyerang para tentara yang panik.

    Didorong oleh adrenalin dan perasaan khawatir yang mendalam, Ishtar segera menarik tali kekang kudanya. Terdengar derap tapal kuda dan suara langkah kaki yang mengikuti dirinya. Dengan cepat barisan depan pasukan Cavaliar yang melihat kejadian tersebut langsung waspada.

    Ishtar mengarahkan kudanya ke salah satu ghoul yang sedang memojokkan seorang tentara Cavaliar. Ghoul tersebut menengok dengan pandangan mata yang kosong begitu menyadari suara tapal kuda.

    Ishtar langsung menarik tali kekang kudanya dengan kuat. Kuda tunggangannya mengangkat kedua kaki depannya dan menendang ghoul tersebut tepat di wajah. Diikuti suara hantaman yang keras ghoul tersebut terpental dan jatuh ke dalam sungai.

    Melihat tentara itu sudah selamat, Ishtar beralih untuk menghabisi ghoul yang lainnya. Ia bersiap-siap untuk mencabut pedangnya. Tapi dengan cepat ia mengurungkan niatnya.

    Ishtar hanya dapat bernapas lega. Tentaranya dapat mengatasi serangan ghoul tersebut dengan cepat. Tampak beberapa orang terluka, tapi untungnya tidak ada yang serius.

    “Kapten! Berikan laporan!” teriaknya memanggil kapten pasukan terdekat.

    “Satu tentara gugur, sekitar lima orang terluka.” lapor kapten pasukan.

    Ishtar mengangguk, “lanjutkan pembongkaran barikade. Lakukan dengan kehati-hatian tinggi, kapten.” perintahnya.

    “Siap, Jendral!” dengan cepat sang kapten mengarahkan tentaranya untuk membongkar barikade secara terorganisir.

    Ishtar mengamati pekerjaan orang-orangnya. Diam-diam ia menyentuh di gagang pedangnya. Ia tidak bisa menghilangkan perasaan cemas dalam dirinya.

    “Salah satu trik mereka? Sepertinya tidak terlalu cemerlang.” Benevito tampak menghampiri Ishtar, begitu juga dengan Sophie.

    Ishtar tidak menjawab, ia masih mengawasi bagaimana tentaranya membongkar peti-peti kayu barikade satu per satu.

    “Jebakan mereka sepertinya dapat dipatahkan dengan mudah. Kau terlalu tegang, kejutan mereka hampir tidak berarti. Hanya satu wafat dan beberapa terluka, itu ringan.” Benevito mencoba berbicara dengan Ishtar.

    Ishtar menggeleng, “Jebakan itu memang bukan ditujukkan untuk mengurangi jumlah musuh.”

    “Kalau begitu untuk apa mereka repot-repot menaruh ghoul di dalam barikade mereka?”

    Terdengar suara keras ketika salah satu tong kayu dihempaskan ke tanah, hanya pasir yang keluar dari peti tersebut.

    “Mereka hanya menyisipkan ghoul diantara barikadenya. Mereka tidak perlu repot-repot menaruh seorang ghoul di setiap peti atau tong.” jawab Ishtar lemah.

    “Apa yang mau kau katakan?” Benevito tidak membutuhkan jawabannya, tiba-tiba ia seakan menyadari sesuatu.

    “Mereka hanya mengulur waktu. Apa itu yang kau maksud?” jawab Benevito dengan terkejut.

    Sebelum memberitahu apa yang ada di pikirannya pada Benevito, Ishtar kembali mengawasi tentaranya. Dua orang tentara tampak membuka salah satu peti kayu dengan paksa. Sebuah tangan yang telah membusuk tampak meraih keluar dari dalam peti, dengan cepat tombak-tombak langsung menusuk isi peti tersebut. Dengan lemah, sesosok mayat tentara Aesyr melorot keluar dari peti.

    Ishtar mengangguk lemah, “Kejutan ini ditujukan untuk membunuh waktu. Karena kita tahu ada ghoul di dalam barikade tersebut, kita terpaksa membongkar barikade tersebut dengan hati-hati. Sementara kita sibuk, mereka menyiapkan kejutan yang jauh lebih besar.”


    Pekerjaan para tentara Cavaliar yang penuh kewaspadaan terus berlanjut hingga matahari sudah menggantung tinggi. Ishtar melihat ke arah pasukannya.

    Sebelum pasukan musuh membunuh tentaranya, terik matahari Zar’goza sepertinya telah berusaha melakukan pekerjaan tersebut. Ishtar sudah membubarkan barisan tempur, tampak pasukannya beristirahat di sepanjang jembatan benteng.

    Stamina mereka telah terkuras walaupun tidak ada pertempuran. Wajah mereka tampak murung dan kelelahan. Sesekali mereka menghapus keringat di kening mereka dengan punggung tangan dan meneguk botol air mereka.

    Tiba-tiba seorang kapten berjalan ke arah Ishtar, “Jendral, sebentar lagi barikade lawan sudah sangat lemah. Kita dapat mendobrak sisa barikade sekaligus bila kau memerintahkan.”

    Ishtar hanya mengangguk mendengar hal itu, “Siapkan kembali pasukan.” perintahnya pada seorang tentara pembawa terompet.

    “Baik, Jendral!” jawab tentara itu dengan bersemangat.
     
  5. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Suara terompet bergema diantara kesunyian yang tidak nyaman itu. Dengan agak malas pasukan-pasukan Cavaliar mulai bangkit dan kembali membentuk barisan. Mereka tampak jenuh dan tidak lagi memiliki semangat tempur setelah menunggu di bawah terik matahari.

    Sempat terlintas di pikiran Ishtar untuk menghentikan penyerangan dan membiarkan pasukannya benar-benar beristirahat. Tapi dengan cepat ia mengurungkan niatnya. Bila aku membatalkan serangan hari ini, maka itu berarti pasukan keluarga Clement menang. Semua harus diakhiri hari ini.

    “Jendral, perintahmu?” kapten yang tadi memandang Ishtar dengan penuh harap.

    “Hancurkan penghalang jalan kita.” perintah Ishtar singkat.

    Sambil tersenyum kapten tersebut mengangkat tangannya dan memberikan isyarat bagi pasukannya. Tentara-tentara si kapten tampak sudah siap dengan senjata mereka di sekitar sisa-sisa barikade.

    Dengan teriakan yang penuh semangat mereka mendorong sisa barang-barang yang dijadikan barikade. Dengan suara keras berbagai barang seperti lemari, peti, dan tong kayu mengayun jatuh ke sisi dalam benteng secara bersamaan.

    Ishtar mengernyitkan dahinya. Ia tidak mengira kaptennya akan mengakhiri pekerjaan dengan sangat kasar.

    Tindakah para tentara telah meninggalkan sejumlah puing-puing kayu di lantai dan sebuah lubang yang menganga lebar, membuka jalan menuju benteng Cataract.

    Tampak sosok-sosok yang sudah mati berusahan menyeruak keluar dari puing-puing kayu. Tangan mereka menggapai-gapai udara dan tubuh mereka berusaha bangkit dari puing-puing barikade. Ayunan pedang dan tusukan tombak dalam sekejap melumpuhkan mereka, meninggalkan noda darah kotor diantara jalan-jalan batu.

    Melihat jalan telah terbuka, Ishtar memberi isyarat bagi tentara barisan depan untuk maju. Perlahan-lahan derap tapal kuda mulai bergema dan saling menimpa. Ishtar bersama pasukan berkuda Cavaliar mulai memasuki benteng dengan perlahan. Suasana yang dipenuhi ketegangan kembali menyerang, mereka sama sekali tidak tahu apa yang menunggu mereka selanjutnya.

    Hanya suara ringkik kuda yang memecah kesunyian. Lapangan yang ada di depannya tampak kosong tanpa ada satupun penjaga Cataract. Bahkan tidak ada pergerakan di dalam bangunan pos penjaga yang terletak di sisi kiri dan kanan lapangan.

    Perlahan-lahan Ishtar menunggangi kudanya mengelilingi lapangan tersebut. Satu-satunya jalan menuju benteng utama terletak di ujung kiri dan kanan lapangan. Secara logika dua jalan itu merupakan satu-satunya tempat musuh akan menyerang. Tapi tetap saja benteng kosong ini terlalu mencurigakan.

    Ishtar berbalik pada pasukannya.

    “Periksa pos-pos penjaga dan menara pengawas yang ada di sisi lapangan.” perintah Ishtar pada beberapa orang kaptennya.

    “Baik, Jendral.” jawab mereka.

    Dengan cepat pasukan-pasukan Cavaliar mulai memasuki bangunan-bangunan penjaga di sisi ruangan.

    “Bagaimana pendapatmu, Benevito?” tanya Ishtar pada Benevito.

    “Ini, terlalu aneh. Apa mungkin mereka mengulur waktu kita untuk melarikan diri?” Benevito tampak sedang berpikir.

    “Aku ragu mereka akan menyerah begitu saja pada tempat sepenting ini.” jawab Ishtar.

    “Cukup masuk akal. . . Apa yang mungkin mereka rencanakan?”

    “Itulah yang kutanyakan padamu.”

    “. . . Entahlah, bisa jadi apa saja. Aku sama sekali tidak punya gambaran akan rencana mereka.”

    “Mungkin lebih baik kau kutinggal saja di perkemahan. Lama-lama aku makin meragukanmu.” kata Ishtar sambil membuang napas dan menggelengkan kepalamu.

    “Kalau keadaannya sepi seperti kota hantu aku juga tidak tahu apa-apa. Dan lagipula aku memang lebih suka berada di kemah daripada harus bersusah-susah denganmu.” protes Benevito.

    Tiba-tiba Ishtar merasa ada seseorang yang menarik pakaiannya. Ia melihat Sophie berusaha mengatakan sesuatu padanya. Sophie tampak menatap dirinya dengan pandangan khawatir sambil menunjuk ke arah pos-pos penjaga.

    Dengan cepat Ishtar menyadari ada yang tidak beres. Entah mengapa sepertinya para tentara Cavaliar terdengar sibuk di dalam pos-pos penjaga. Ishtar melompat turun dari kudanya dan berjalan ke bangunan penjaga di sebelah timur.

    Sepatu bot Ishtar dan Sophie berderap di lapangan batu yang penuh pasir itu. Terdengar suara yang agak ribut dari dalam bangunan penjaga. Walaupun suara yang didengarnya bukan suara pertempuran tetap saja Ishtar tahu ada sesuatu yang tidak wajar.

    Dengan agak kasar Ishtar mendorong pintu besi pada pos penjaga hingga membanting terbuka. Ishtar tampak membeku di depan pintu karena terkejut. Hal yang sama juga terjadi pada pasukan Cavaliar yang berada di dalam pos penjaga.

    Betapa terkejutnya sang Jendral melihat pasukannya sedang tampak bersantai di dalam bangunan penjaga. Dari pemandangan yang ia lihat, Ishtar berani bertaruh pasukannya sedang sibuk bersantap dan minum anggur.

    “Apa yang kalian lakukan, prajurit?” tanya Ishtar pelan-pelan, walaupun demikian Sophie dapat mendengar nada bicara Ishtar agak bergetar.

    “Ehm, maaf Jendral. Kami hanya mencoba beristirahat sejenak.” ujar seorang kapten sambil mengelap noda anggur di mulutnya. Wajahnya sendiri tampak memerah, menandakan jumlah anggur yang sudah ia minum.

    “Dari mana kalian mendapatkan semua hidangan ini?” lagi-lagi Ishtar bertanya dengan pelan tapi ada nada marah yang tersembunyi.

    “Gudang-gudang dan meja mereka penuh makanan. Bahkan anggurnya masih dingin.” celetuk salah satu tentara yang tampaknya sudah mabuk.

    Ishtar hanya mengangguk penuh pengertian perlahan-lahan, “Dan apa kalian sudah memeriksa bangunan ini dengan teliti.” katanya sambil memberikan penekanan pada kata terakhir.

    “Aye, Jendral. Tidak ada apapun yang mencurigakan.” jawab kapten yang tadi.

    Ishtar tersenyum mendengar hal tersebut. Tapi selanjutnya ia menegur seluruh pasukan tersebut dengan nada tajam sambil mempertahankan senyumnya, “Kalau begitu kembali ke barisan kalian. Aku tidak menyuruh kalian untuk bersantai-santai. Bila tugas kalian sudah selesai melaporah.”

    “Baik, Jendral.” jawab seluruh tentara pelan. Merekapun keluar dari bangunan itu dengan langkah yang lesu.

    “Tinggalkan botol anggur itu, serdadu.” kata Ishtar tajam begitu mendapati salah satu tentara mencoba untuk membawa sebotol anggur bersamanya.

    Dengan tajam Ishtar memandangi satu per satu tentaranya keluar dari bangunan tersebut. Mereka hanya bisa menunduk begitu menyadari pandangan atasan mereka yang menusuk.

    Ishtar hanya bisa menghela napas begitu pasukan terakhir berjalan keluar dari bangunan penjaga tersebut.

    “Tiga puluh tentara, Sophie. Tepat satu kelompok ditambah kapten mereka melanggar moral militer dan. . .” tampaknya Ishtar sangat kesal sampai tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

    Sang Jendral hanya mengakhiri kalimatnya yang terputus dengan menghela napas, “Aku yakin pasukan di pos penjaga yang satu lagi juga sedang bersenang-senang. Tolong kembalikan mereka ke barisannya, Sophie.” pinta Ishtar pada Sophie.

    “Baiklah, Jendral Ishtar. Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Biar aku yang mengurusnya.” kata Sophie sebelum berlari ke arah bangunan penjaga di barat.

    Ishtar hanya menggelengkan kepala dengan lesu dan berjalan kembali ke kudanya.

    “Jadi apa yang terjadi? Kau baru memberi orang-orang itu semangat? Mereka tampak jauh lebih segar.” tiba-tiba Benevito menghampiri Ishtar.

    “Apa maksudmu?” tanya Ishtar.

    “Lihat, mereka tampak bahagia.” kata Benevito sambil menunjuk tentara yang baru saja kembali dari pos penjaga.

    “Apa kau buta. Mereka bukan bahagia, mereka mabuk.”

    Ishtar dan Benevito mengamati kelompok tersebut. Mereka tampak meragukan di atas kuda mereka. Wajah mereka memerah dan mereka bahkan tidak bisa duduk dengan tegak di atas kuda mereka. Bahkan sesekali terdengan suara cegukan dari antara kelompok tersebut.

    Ishtar menutup wajahnya dengan telapak tangannya, ia merasa letih melihat kelakuan pasukannya, “Aku tidak percaya mereka adalah orang yang sama dengan yang kulatih selama ini.”

    “Tidak usah berpikiran negatif. Setidaknya- Oh, lihat mereka.”

    Tampak kelompok yang memeriksa bangunan penjaga yang satu lagi kembali dari tugasnya. Dan mereka tampak lebih parah lagi dari kelompok yang pertama. Wajah mereka sepenuhnya merah dan mereka bahkan tidak bisa berjalan lurus lagi. Bahkan beberapa dari mereka tampak saling memapah sambil tersenyum linglung.

    Dari antara kerumunan orang mabuk tersebut tampak Sophie berlari ke arah Ishtar. Sophie tampak kehabisan napas dan bahkan agak ketakutan.

    “M-Mereka bilang tidak ada yang mencurigakan di bangunan itu. A-aku sudah menyuruh mereka kembali ke barisan mereka.” kata Sophie gemetaran.

    “Kerja bagus, Sophie.” kata Ishtar sambil mengusap-usap kepala Sophie. Mungkin menyuruh gadis seperti Sophie untuk mendisiplinkan sekelompok pria mabuk merupakan kesalahan. Sepertinya ia baru mendapat pengalaman yang menakutkan. Pikir Ishtar simpatik.

    Tiba-tiba Benevito membuyarkan pikiran Ishtar, tampak ia sedang berpikir.

    “Jadi tentara musuh meninggalkan kita suplai perbekalan mereka. Tapi untuk apa? Apa jangan-jangan makanannya diracuni?” kata Benevito dalam renungannya.

    Ishtar terhentak oleh kebenaran teori Benevito, “Setelah kau berkata demikian. Kedengarannya itu sangat masuk akal. Cepat seseorang panggilkan tabib! Aku ingin semua tentara yang mengambil makanan dan anggur dari dalam pos penjaga diperiksa!”

    ***​

    Tersembunyi dalam salah satu menara pengawas benteng Cataract. Baron Moritz dan Eckhard sedang mengawasi gerak-gerik pasukan Cavaliar.

    “Tabib!?” bisik Eckhard kaget, “Mereka benar-benar berpikir kita meracuni makanannya. Dasar sial, pasukan ordo Mount Thorn tidak serendah itu sampai harus menggunakan racun.”

    Sang Baron hanya terdiam sesaat, “. . . Sebenarnya kalau kita punya racun, aku sudah memerintahkan agar semua anggur diracuni.”

    “. . . Kau tahu, Tuanku. Sepertinya tidak ada batas dari kelicikanmu.”

    “Aku anggap itu pujian. . . Sepertinya sudah waktuku untuk bersiap di dalam benteng utama. Tolong urus langkah selanjutnya.” kata sang Baron sambil pergi dengan diam-diam.

    “Mengerti tuan.” jawab Eckhard tak peduli.

    ***​

    “Kurasa tidak ada yang salah dengan mereka. Kecuali fakta bahwa mereka dalam keadaan mabuk.” kata seorang tabib pada Ishtar. Tabib tersebut kelihatan sibuk membereskan peralatannya.

    “Terima kasih, maaf sudah merepotkan.” kata Ishtar pada tabib tersebut.

    Tabib itu hanya mengangguk dan berjalan kembali ke barisannya.

    “Sebuah trik lainnya untuk mengulur waktu?” tanya Benevito.

    “Entahlah, mungkin saja.” jawab Ishtar.

    “Di dalam taktik dikatakan. Apapun yang diinginkan musuhmu, lakukanlah kebalikannya. Jadi, ayo lanjutkan perjalanan kita. Sepertinya jarak kita dengan bangunan benteng utama sangat dekat, tapi entah kenapa perjalanan kita terasa sangat panjang.” komentar Benevito.

    “Kau benar, tapi tetap saja kondisi sebagian orang kita cukup memperihatinkan.” balas Ishtar sambil melirik ke tentaranya yang mabuk.

    Benevito hanya bisa mengangkat kedua bahunya setelah melirik lagi ke arah kedua kelompok pasukan yang mabuk, “Setidaknya hanya enam puluh pasukan yang tidak layak pakai. Tinggalkan saja mereka di sini dan kita bisa terus maju dengan sisanya.”

    “Ide bagus, Benevito.” puji Ishtar dengan bersemangat, “Sekarang aku hanya tinggal memberi perintah dan-“

    Ishtar menghentikan kalimatnya, sesuatu telah menyita perhatiannya. Tiba-tiba ia mendengar suara tapal kuda. Dengan bingung ia melihat sekeliling dan menyadari itu bukan suara dari pasukan berkudanya.

    Dengan cepat sumber suara tersebut menunjukkan diri. Diiringi dengan deburan pasir yang beterbangan, sekelompok penunggang kuda muncul dari jalan sebelah timur lapangan.

    Suara-suara desingan terdengar dari antara penunggang kuda tersebut.

    “Berlindung!” teriak salah satu tentara Cavaliar.

    Dalam jangka waktu singkat sejumlah anak panah berterbangan dan menghujani pasukan Cavaliar. Terdengar teriakan panik dan makian dari arah pasukan Cavaliar.

    Para serdadu sama sekali tidak siap menghadapi serangan tersebut. Dan ketika para pasukan Cavaliar hendak menyerang balik lawan mereka, kawanan penunggang tersebut sudah hilang. Suara tapal kuda terdengar di jalan sebelah barat. Mereka pergi secepat mereka datang.

    “Serangan sergapan?” tanya Benevito dengan agak panik.

    “Terlalu singkat untuk jadi serangan-“ sekali lagi Ishtar mendengar suatu hal yang akan membuatnya panik.

    “Mereka melarikan diri! KEJAR MEREKA!” terdengar teriakan dari antara pasukan Cavaliar.

    Dengan panik Ishtar berbalik ke arah suara tersebut. Sebelum Ishtar sadar akan apa yang sebenarnya terjadi, hampir seluruh pasukan berkudanya sudah bergegas mengejar penunggang misterius tersebut.

    “TAHAN PERINTAH ITU!” teriak Ishtar sambil menghentakkan tali kekang kudanya. Ishtar memacu tunggangannya untuk mengejar pasukan berkudanya sendiri.

    “Diam di tempat kalian! Kembali ke barisan!” ia berteriak memberi perintah.

    Tampak sekelompok pasukan menghentikan kuda mereka dan menengok ke arah Ishtar.

    “Kembali ke barisan utama dan diam di sana!” teriak Ishtar memberi perintah sementara ia sendiri terus memacu kudanya melewati mereka.

    Ishtar terus memacu kudanya. Dengan cekatan ia menarik kekang kudanya ke kiri untuk berbelok masuk dalam jalan di arah barat. Kudanya meringkik, ia bisa merasakan kaki-kaki tunggangannya sedikit terpeleset ketika ia memaksakan kudanya untuk berbelok.

    Dalam sekejap kuda jantannya sudah menyeimbangkan tubuhnya dan kembali melaju. Ishtar melihat gerombolan pasukan berkuda Cavaliar yang ada di depannya. Tampak sebagian di antara mereka mabuk dan sebagian lagi ikut karena terbawa suasana. Jadi itu gunanya anggur yang ditinggalkan musuh, Ishtar memaki dalam hati.

    “Berhenti! Kembali ke barisan utama! Ini perintah!” teriak Ishtar sekuat mungkin.

    Kira-kira dua lusin pasukan berkuda barisan belakang (yang tidak mabuk) langsung menengok dan menarik tali kekang kuda mereka.

    “Ke barisan utama!” kata Ishtar dengan cepat pada mereka selagi ia sendiri masih memacu kudanya.

    Ishtar bisa melihat lebih dari lima puluh pasukan berkuda melaju sekitar sepuluh meter di depannya.

    “Berhenti!” teriak Ishtar, tapi sepertinya mereka sudah terbawa semangat dan sama sekali tidak bisa mendengar dirinya.

    Baru saja Ishtar ingin berteriak sekali lagi, kelompok berkuda itu menghilang dari pandangan Ishtar dalam belokan lainnya. Melihat hal ini ia memacu kudanya lebih cepat lagi, ia menendang rusuk kudanya dengan keras.

    “Sekarang!” terdengar teriakan dari balik belokan.

    Mendengar suara yang asing tersebut Ishtar langsung menarik kekang kudanya dan berusaha berhenti. Kudanya meringkik kaget dan berusaha memperlambat langkahnya. Sementara itu terdengar suara gaduh dari balik belokan tersebut.

    Binatang itu baru bisa berhenti sepenuhnya ketika ia melewati belokan di depannya. Karena hal itu Ishtar bisa mengintip dan melihat apa yang terjadi di balik belokan tersebut.

    Tampak pasukan berkuda Cavaliar mencoba melepaskan diri dari formasi tombak yang mengepung mereka. Orang-orang dengan baju baja hitam tampak mengepung mereka dengan tombak teracung.

    Dari atas anak-anak panah meluncur ke arah mereka. Tampak orang-orang berjubah hitam berdiri pada atap bangunan yang terletak di sisi kiri dan kanan jalan. Manusia-manusia berpakaian hitam ini tampak mengibarkan bendera dengan simbol ular.

    Pasukan Harland. Desis Ishtar dalam hatinya sendiri.

    Melihat darah mulai mencuci jalan benteng yang berdebu, Ishtar tahu tidak ada harapan bagi orang-orangnya yang jatuh ke dalam jebakan musuh. Sambil memalingkan wajahnya dari pemandangan menyedihkan tersebut, Ishtar memacu kudanya untuk menjauh sebelum para pasukan musuh menyadari keberadaannya.


    Begitu ia kembali ke lapangan, tampak pasukan Cavaliar sudah berada dalam barisan. Ia melihat Benevito dan Sophie dengan cepat menghampiri dirinya.

    “Apa yang terjadi?” tanya Benevito dengan cepat.

    “Serangan sergapan, yang lainnya tidak dapat selamat.” jawabnya dengan letih.

    “Mereka mencoba untuk mengurangi jumlah kita.” kata Benevito sambil mengangguk-angguk.

    “Berapa banyak pasukan kavaleri kita yang selamat?”

    “Masih ada sekitar dua atau tiga ratus. Hanya sebagian yang terprovokasi dan sebagian kecil lagi kau selamatkan.” jawab Sophie dengan sedikit nada bangga di dalamnya.

    “Bagus, kita masih memiliki beberapa kartu kemenangan. Segera perintahkan seluruh pasukan untuk maju dalam formasi. Tidak ada yang bergerak sendiri kecuali ada perintah dariku.” balas Ishtar sambil memberi perintah.

    ***​
     
  6. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Derap langkah dan tapal kuda sepertinya menjadi satu-satunya suara yang mengisi kekosongan benteng. Pasukan Cavaliar mengetahui musuh mereka tengah menunggu dan mungkin sedang mengawasi mereka saat ini. Mereka telah mendapat pelajaran mereka, tidak ada yang mau jauh-jauh dari barisan bila ingin selamat.

    Ishtar melihat ke arah bangunan dan dinding-dinding yang mengapit sisi-sisi jalan. Ia tahu pemanah pasukan Harland bisa bersembunyi di mana saja, mencoba untuk mengeluarkan tembakan keberuntungan mereka dan mengambil nyawa komandan perang.

    “Mereka melakukan penyergapan setelah belokan di depan. Sekitar dua ratus orang, pemanah dan pasukan bertombak.” kata Ishtar sambil menunjuk ke belokan di ujung jalan.

    “Menurutmu mereka masih menunggu disana?” tanya Sophie.

    “Entahlah, umumnya mereka sudah melarikan diri. Tapi tidak ada hal yang umum ketika berhadapan dengan pasukan Harland. Mereka senang bermain tipu daya.” balas Ishtar.

    “Kalau begitu hanya ada satu jalan untuk mengetahuinya.” komentar Benevito.

    Ishtar bersama pasukan kavalerinya mengarahkan kuda mereka untuk melihat apa yang menunggu mereka setelah belokan tersebut. Tampak jalan batu yang sudah ternodai dengan cairan merah. Tubuh pasukan Cavaliar yang disergap sama sekali tidak terlihat.

    Dan sesuatu telah menunggu mereka di jalan berbatu tersebut. Di atas genangan-genangan darah, delapan puluh meter dari mereka berdiri pasukan kavaleri berat musuh. Panji-panji dengan bendera ular berkibar di belakang mereka.

    Kuda-kuda mereka seakan menggeram pelan sambil menghantamkan tapal kakinya. Baju baja hitam berduri-duri tampak melapisi penunggang serta kudanya. Ishtar tahu, pasukan macam ini dapat memberikan kejutan yang sangat keras pada tentara yang siaga sekalipun.

    Ishtar dapat mendengar bisik-bisik dan kesiagaan dari pasukan kavalerinya sendiri.

    “Jendral, kavaleri musuh. Apa perintahmu?”

    Ishtar sekali lagi mengamati kavaleri berat tersebut. Mereka tampak diam di tempat mereka berdiri, seakan menunggu pasukan Cavaliar untuk membuat gerakan selanjutnya.

    “Biarkan barisan kita maju hingga aku memberikan perintah untuk berhenti.”

    “Baik, Jendral.” jawab seorang kapten dengan agak ragu.

    Dengan penuh kewaspadaan, pasukan Cavaliar mulai maju selangkah demi selangkah.

    TIba-tiba Ishtar mengangkat tangannya dan memberi isyarat agar seluruh barisan berhenti.

    “Pasukan bertombak maju ke depan!” perintahnya.

    Pasukan-pasukan berkuda yang berada di barisan depan melonggarkan formasi mereka dan membiarkan tentara pejalan kaki melewati mereka. Dalam waktu singkat ratusan tombak sudah mengacung ke arah musuh.

    “Terus maju, bila musuh membuat gerakan segera berhenti dan rapatkan formasi.” perintah Ishtar yang berada di belakang barisan tombak.

    Selagi pasukan bertombak bergerak dengan perlahan dalam formasi mereka, Ishtar dan pasukan lainnya mengikuti dengan siaga dari belakang. Ishtar berdoa dalam hati, semoga tidak ada yang menjadi salah dalam keputusannya kali ini. Tapi baru saja pasukannya berjalan beberapa langkah, ia tahu sesuatu yang salah telah terjadi.

    Terdengar suara-suara yang asing. Tanpa peringatan sosok-sosok berkuda menampakkan diri dari balik bangunan-bangunan di sisi jalan. Dengan cepat pasukan berkuda tersebut melaju langsung ke barisan bertombak pasukan Cavaliar dalam sebuah barisan tipis.

    Pasukan-pasukan barisan depan Cavaliar langsung menyiagakan tombak mereka dan mengambil ancang-ancang untuk menahan tabrakan.

    Dalam sergapan tersebut, Ishtar menyadari sesuatu yang tidak wajar. Ia mengenali pasukan berkuda yang tiba-tiba melesat ke arah barisannya. Mereka adalah pasukan berkusa Cavaliar, setidaknya beberapa saat yang lalu.

    Tampak kuda-kuda lawan melesat dengan liar, mulut mereka dipenuhi busa dan cairan darah. Sedangkan pengendara mereka duduk dengan lunglai di sadel. Luka-luka fatal tampak menganga di tubuh mereka.

    “Bersiap untuk pertempuran! Semuanya siaga!” teriak Ishtar memberi perintah, ia sendiri langsung menghunus pedang dengan tangan kirinya. Ishtar mengetahui dengan baik kekacauan macam apa yang akan terjadi.

    Pada detik terakhir, kavaleri yang tidak mengenal rasa sakit tersebut sama sekali tidak memperlambat laju mereka. Dalam sebuah momen yang singkat pasukan kavaleri ghoul tersebut menghantam barisan bertombak dengan sangat keras.

    Layaknya gemuruh halilintar, kedua pasukan tersebut saling berbentrokan. Tombak-tombak patah dan tubuh-tubuh terpental karena dahsyatnya tabrakan dari kuda-kuda ghoul tersebut. Kematian bagi kedua belah pihak. Dalam satu momen yang luar biasa cepat tersebut barisan bertombak langsung menjadi kacau.

    Pasukan-pasukan garis depan banyak yang tergeletak, erangan dan rintihan penuh kesakitan terdengar dari mulut mereka. Sebagian tampak mengalami cedera dan patah tulang karena berusaha menahan kuda-kuda ghoul yang menghantam, sebagian gugur karena terhantam. Tujuan musuh mereka sudah terpenuhi.

    Kembali suara bergemuruh terdengar. Sangat dekat dari mereka. Bumi seakan bergetar begitu tapal-tapal kuda bertemu tanah. Diiringi suara tawa dan teriakan perang, pasukan kavaleri berat musuh menerjang. Memanfaatkan kekacauan yang terjadi dalam barisan tombak, kavaleri itu menyeruak dengan paksa.

    Berbagai senjata terayun dari ksatria-ksatria hitam tersebut. Dengan sangat mudah mereka menargetkan kepala dan tubuh bagian atas dari pasukan yang masih berdiri. Derak mengerikan dari tengkorak terdengar begitu sebuah flail mengayun dari salah satu kavaleri berat.

    Menyaksikan hal tersebut Ishtar tidak dapat tinggal diam. Bukan ide bagus untuk menghadapi mereka secara frontal, tapi pasukan berkuda adalah taruhan terbaikku. Pikir Ishtar dengan cepat.

    “Menyingkir dari sana!” teriaknya pada pasukan pejalan kaki yang ada di depannya.

    Sambil mengacungkan pedangnya Ishtar memberi perintah, “Tentara kavaleri, ikuti aku! Serang!”

    Dengan tangan kanannya Ishtar menghentakkan tali kekang kudanya. Kuda tersebut melesat melalui sisa pasukan garis depan. Dalam sekejap pasukan kavaleri berat sudah ada tepat di depan dirinya.

    “Hindari tabrakan langsung dengan kuda mereka! Serang mereka dari samping dan belakang!” teriaknya memberi perintah.

    Walaupun Ishtar mengatakan demikian, menghindari tabrakan kavaleri berat di tempat dengan ruang terbatas merupakan hal yang sulit. Ishtar dapat mendengar suara kuda-kuda yang meringkik kesakitan dan hantaman baja pasukan kavaleri. Puluhan kavaleri berat meluncur dan hampir mustahil untuk menghentikan mereka.

    Di hadapan Ishtar sendiri seorang kavaleri berat tampak sedang berpesta dalam kejayaan. Sambil tertawa ia mengayunkan kapaknya dan memotong dua orang sekaligus, sementara tapal kudanya menginjak-injak pasukan yang berusaha melarikan diri. Wajahnya tertutup oleh helm berornamen tanduk, tapi dari lubang-lubang pada helmnya Ishtar bisa melihat mata si penunggang yang bersinar kejam.

    Menyadari keberadaan dari Jendral musuh, penunggang dengan helm bertanduk tersebut segera memacu kudanya untuk menghadang Ishtar. Dengan brutal, kuda yang dilapisi pelat baja berduri tersebut melaju dan hendak menabrak Ishtar.

    Ishtar menarik tali kekang kudanya dan dengan manuver yang mengagumkan ia menghindari tabrakan dengan kuda lawannya. Tapi masih ada penunggangnya yang menyerang. Sebuah ayunan kapak yang kuat mengancam dirinya.

    Dengan mudah Ishtar menunduk ke samping kudanya dan menghindari serangan tersebut. Selagi menghindari serangan itu Ishtar mengayunkan pedangnya sendiri dan menyayat kaki belakang kuda lawannya. Sebuah luka yang dalam tertoreh pada bagian yang tidak dilapisi pelindung itu.

    Ishtar bisa mendengar suara benda berat yang menghantam lantai begitu ia kembali menegakkan tubuhnya. Ia tahu lawannya sudah roboh bersama kudanya.

    Ia kembali berkonsentrasi ke lawan yang ada di depannya. Dua orang pasukan kavaleri berat tampak bermanuver ke arahnya. Mereka tampak sigap dengan halberd mereka. Tapi tanpa peringatan beberapa buah tombak meluncur ke arah mereka.

    Mereka cukup sigap untuk mengangkat perisai dan menangkis lemparan tombak tersebut. Tapi sebuah tombak mengenai rusuk salah satu dari kuda mereka. Si penunggang kehilangan kendali kudanya dan berakhir dengan menabrak dinding benteng.

    Tanpa membuang kesempatan Ishtar melesat ke penunggang yang satu lagi. Penunggang itu tidak menyadari Ishtar karena ia sedang mengangkat perisainya dan tidak bisa melihat ke sisi. Begitu ia menurunkan perisainya, sebuah pedang langsung menggorok lehernya dan penunggang itu pun tumbang.

    Ishtar menyempatkan diri untuk melihat ke belakang setelah menghabisi lawannya. Tampak Sophie bersama beberapa pasukan kavaleri lainnya tengah mendukung dirinya dari belakang. Ishtar tersenyum tipis melihat hal itu.

    “Jendral, awas!” tiba-tiba Sophie berteriak dan mengejutkan Ishtar.

    Ketika Ishtar melihat ke depan, sudah ada seorang kavaleri berat tepat di hadapannya. Ia berusaha menghindari duri-duri pada pelat baja kuda lawannya, tapi Ishtar sedikit terlambat. Kuda berlapis baja tersebut menghantam sisi depan tunggangannya. Ia bisa mendengar suara-suara daging tercabik dan ringkikan penuh kesakitan.

    Pada detik itu ia tahu ia tidak bisa mengandalkan tunggangannya lagi. Tanpa pikir panjang Ishtar melompat dari kudanya. Dalam kesempitan, ia meraih tali kekang kuda yang baru saja menabraknya. Dengan kasar ia mendarat di punggung kuda lawannya.

    Ishtar mencoba merangkul leher kuda yang sedang melaju itu sebagai pegangan. Tapi sebelum ia bisa melakukan hal itu, si penunggang melakukan gerakan antisipasi.

    “Dasar perempuan gila!” teriaknya sambil menendang rusuk Ishtar.

    Ishtar merasakan kejutan yang luar biasa ketika sepatu bot baja penunggang itu menghentakkan rusuknya dengan keras. Dalam sekejap pegangannya terlepas. Untung saja dalam gerak refleknya yang cepat Ishtar berhasil mengaitkan lengan kanannya pada tali kekang kuda.

    Kuda tersebut meringkik kaget begitu ia merasakan tali kekangnya tertarik dengan keras pada satu sisi. Karena tidak bisa melawan gaya yang menariknya, kuda tersebut berlari miring hingga akhirnya berubah haluan seratus delapan puluh derajat.

    Ishtar mengerang kesakitan begitu lengan kanannya menghentak ketika menahan berat tubuhnya. Rasanya seakan seseorang telah menikam bahu kanannya dengan pisau yang dingin. Tapi Ishtar hanya bisa menerima rasa sakit itu. Ia tahu tubuhnya hanya beberapa senti dari tanah.

    “Dasar keras kepala! Cari kudamu sendiri, yang ini milikku!”

    Ugh, dia berisik sekali, tidak bisakah kau diam sedikit. Aku sedang kesakitan disini. Protes Ishtar dalam hati.

    Ishtar mendongak ke arah si penunggang kuda hanya untuk melihat sebuah tombak bermata tiga mengarah tepat ke dirinya. Sambil mengerang dan berteriak kesakitan dalam hati ia mengayunkan tubuhnya.

    Tepat pada waktunya tubuh bagian atas dirinya mengayun ke bawah perut kuda yang tengah berlari itu. Trident si penunggang menusuk tanah diiringi bunyi dentingan logam. Dengan cepat Ishtar meraih gagang trident tersebut dan menariknya hingga si penunggang kuda terpelanting jatuh.

    Ia mengayunkan tubuhnya dengan bertumpu pada lengan kanannya yang masih menyangkut di tali kekang kuda. Tanganku rasanya seperti mau lepas. Teriak Ishtar dalam hatinya sambil menahan rasa sakit.

    Ishtar bernapas dengan lega ketika ia sudah berada di atas sadel kuda. Sebuah rasa sakit tiba-tiba menyengat bahu kanannya ketika ia hendak menarik napas dalam-dalam. Ia melirik sedikit ke arah bahu kanannya. Tampak darah mengalir dan mengotori lengan kemejanya. Sial, lukanya terbuka lagi. Kutuk Ishtar sambil meringis diam-diam.

    Ishtar kembali berkonsentrasi pada medan pertempuran. Tampaknya pasukan kavaleri berat musuh sudah kehilangan momentum mereka. Mereka telah menghentikan serangan kuda mereka dan mulai berduel dari atas kuda mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah kehilangan tunggangan mereka dan harus bertarung di atas kaki mereka sendiri.

    Ishtar memegang tali kekang kudanya dengan erat. Kuda hitam tersebut mendengus dan mencakar-cakarkan tapalnya ke tanah. Ini pertama kalinya ia menunggangi seekor kuda untuk kavaleri berat.

    Dengan semangat baru Ishtar menghentakkan tali kekangnya dan mengarahkan kuda itu ke pertempuran terdekat. Ishtar menyadari kuda yang ia tunggangi ini berlari lebih pelan dari kuda rata-rata, tapi ia tahu dengan tepat kelebihan kuda macam ini.

    Ishtar menendang kuda tersebut dan memacunya lagi. Di depannya terdapat tiga pasukan Harland yang sudah kehilangan kudanya. Mereka mengayun-ayunkan flail dan kapak mereka, menghalau sekelompok pasukan Cavaliar.

    “Minggir!” teriak Ishtar.

    Tentara Cavaliar yang terkejut langsung menyingkir dengan panik. Sementara itu pasukan Harland yang memakai baju baja yang berat tidak dapat langsung menyingkir. Ishtar membiarkan kuda barunya menabrak ketiga ksatria Harland tersebut.

    Dimulai dengan hantaman bagian depan kuda yang dilapisi baja tersebut. Ishtar harus memeluk leher kudanya erat-erat bila ia sendiri tidak ingin terjatuh. Kuda tersebut seakan berlari dengan liar ketika menjatuhkan dan menginjak-injak tentara di depannya.

    Tadi cukup praktis, tapi kurasa aku tidak cocok menggunakan tunggangan seperti ini. Terlalu kasar untukku. Pikir Ishtar dalam hati sambil melepaskan pelukannya dari leher kuda tersebut.

    Ia melihat ke sekeliling. Menyaksikan sisa-sisa dari kekacauan yang timbul. Darah tampak benar-benar mencuci jalan berdebu ini. Mayat-mayat saling tindih menindih di sepanjang jalan, kebanyakan dengan tubuh yang remuk oleh tapal kuda.

    Sementara itu sisa-sisa kavaleri berat musuh tampak berkumpul di ujung jalan. Mereka kelihatan letih dan kehabisan napas. Jumlah mereka sudah tidak lebih dari sepuluh orang. Dan pasukan sisa ini tampak cukup panik dengan keadaan medan tempur.

    “Kita harus melarikan diri! Pasukan mereka masih banyak.”

    “Dimana komandan?”

    “Sepertinya dia tidak selamat. Percuma saja, mereka terlalu banyak! Mundur!”

    Dengan terburu-buru pasukan tersebut melarikan diri dan hilang dalam liku-liku jalan benteng.

    “Selamat, kau sudah menghancurkan kavaleri musuh.” terdengar sebuah suara rewel yang familiar.

    Ishtar menemukan Benevito sedang berkuda ke arahnya.

    “Dari mana saja kau?” tanya Ishtar secara spontan.

    “Ya. . . Aku bersembunyi di balik barisan pasukan pejalan kaki. Sudah kubilang tempatku bukan di depan.”

    “. . . Bagaimana keadaan kita sekarang?” tanya Ishtar.

    “Sebuah pertukaran yang adil. Kita mengamankan jalan ini. Tapi musuh sepertinya berhasil mengambil korban delapan kali lipat dari jumlah mereka sendiri. Mereka menembus beberapa baris tentara pejalan kaki sekaligus, tidak lupa menghancurkan sebagian besar pasukan kavaleri kita yang tersisa.” kata Benevito panjang lebar.

    “Sebanyak itukah korbannya?” kata Ishtar sambil memandangi tumpukan mayat di sepanjang jalan untuk kedua kalinya.

    Benevito hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan itu. Ia tahu itu bukanlah sebuah pertanyaan untuk dijawab.

    “Jendral Ishtar! Kau terluka!” sebuah suara familiar lainnya terdengar.

    Sophie tampak berlari-lari dengan sorot mata khawatir. Tampaknya letnannya sendiri juga telah kehilangan tunggangannya dalam pertempuran ini.

    “Hanya luka lama yang kembali terbuka. Kau tidak usah khawatir.” jawab Ishtar sambil berusaha untuk kelihatan setenang mungkin. Walaupun ia sebenarnya menyembunyikan rasa sakitnya sendiri.

    “Biar kupanggilkan tabib!” balas Sophie.


    “Tidak.” jawab Ishtar tegas, “Kau sendiri tidak terluka kan?”

    “Aku baik-baik saja.”

    Ishtar melihat Sophie memang sepertinya masih berada dalam kondisi yang baik.

    “Kalau begitu sudah saatnya kita melanjutkan kampanye ini.”

    “Jendral, lukamu perlu disembuhkan dulu. Tentara yang lain juga ada yang terluka parah.” Sophie bersikeras memprotes.

    “Dengarkan letnanmu, kita juga punya tentara yang terluka. Kita hanya perlu berhenti sejenak dan memulihkan diri.” Benevito tiba-tiba ikut menimpali perkataan Sophie.

    Ishtar memandang ke langit untuk sesaat, seakan sedang merenungkan sesuatu.

    Tanpa menolehkan pandangannya ia mengungkapkan keputusan akhirnya, “Perintahkan pasukan untuk terus maju. Mereka yang terluka dan tidak dapat bertarung akan tinggal disini bersama para tabib. Aku juga akan meninggalkan sekelompok pasukan disini untuk berjaga-jaga. . . Aku mau tipu daya musuh diakhiri secepatnya.”

    ***​
     
  7. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ketika matahari sudah mulai bergerak turun, pasukan Cavaliar menemukan diri mereka di depan bangunan benteng utama. Dinding-dinding yang mengelilingi bangunan itu tampak tak terjaga dengan pintu gerbang terbuka lebar.

    “Mereka ada di sini.” desis Ishtar pelan. Pasukannya telah berbaris di belakangnya, siap untuk mengakhiri hari mereka dengan kemenangan.

    Ishtar mengamati medan pertempuran terakhirnya, mengira-ngira apa yang mungkin menunggunya. Di hadapannya ia dapat melihat bangunan pertahanan terakhir benteng Cataract. Sebuah bangunan solid beratap kubah dengan menara-menara pertahanan di sisi-sisinya.

    Dinding pertahanan dalam setinggi lima belas meter dan sebuah lapangan luas di depan bangunan tersebut tampak memisahkan Ishtar dengan tujuannya. Tetapi gerbang dinding pertahanan itu sendiri terbuka lebar tanpa penjaga. Dan lapangan yang terbentang di antara benteng terakhir dan dinding tampak kosong.

    Ishtar menimbang-nimbang akan jebakan yang mungkin ada. Tapi pada akhirnya ia tahu hanya ada satu cara untuk memastikannya.

    Ishtar hendak memberi isyarat untuk maju, tapi tiba-tiba seseorang mengalihkan perhatiannya.

    “Jendral Ishtar. Maaf, erm aku tidak bermaksud untuk mengganggu.”

    Ishtar menengok ke arah suara tersebut dan melihat seorang pria muda dengan mantel tabib sedang menghampiri dirinya.

    “Jendral. Maaf, tapi aku merasa tanganmu perlu perawatan terlebih dahulu.” katanya dengan agak gugup.

    Ishtar menghela napas sambil tetap memandang ke arah pertahanan terakhir benteng Cataract.

    “Baiklah kalau kau memaksa. . .”

    Si tabib tersenyum lega mendengar kata-kata Ishtar.

    “Kau punya obat penghilang rasa sakit atau sejenisnya?”

    Tabib itu langsung mengacak-acak isi tasnya dan mengeluarkan sebuah botol labu kecil, “Aku memang mempunyainya, tapi-“

    Dengan cepat Ishtar mengambil botol tersebut tanpa peringatan, “Bagus, sekarang kembalilah ke posmu.”

    Tabib muda itu kelihatan memprotes, tapi Ishtar tidak menggubrisnya. Ia hanya mengangkat tangannya dan memberi isyarat untuk maju menyerang.
    last part of chapter 7
    ===========
     
    Last edited by a moderator: May 13, 2011
  8. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter VIII: The Noble’s Duel

    Dalam waktu singkat terompet-terompet perang membahana. Pasukan-pasukan Cavaliar menyerbu masuk melalui gerbang yang terbuka lebar di hadapan mereka.

    Ishtar dan Sophie memacu kudanya berdampingan diikuti dengan ketat oleh pasukan berkuda yang masih tersisa. Tanpa meneriakkan semangat mereka, mereka terus memacu kuda mereka dalam kecepatan yang wajar. Berusaha untuk tetap waspada pada detik-detik terakhir pertempuran.

    Baru saja ia setengah melintasi lapangan, sebuah suara berat dari depan menarik perhatian dirinya dan pasukannya. Pintu gerbang benteng perlahan-lahan mengayun terbuka. Dari dalamnya pasukan-pasukan berbaju hitam berhamburan keluar.

    Pasukan-pasukan itu membentuk formasi setengah lingkaran di depan pintu masuk benteng. Di barisan depan berbagai tombak dan perisai tampak berdiri dengan solid. Sementara itu pemanah-pemanah dan pengibar panji tampak bersiaga di belakang mereka.

    Ishtar mengangkat tangan kanannya, berusaha untuk memberi isyarat berhenti. Ia terhentak sendiri karena rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Sambil menggertakkan giginya sendiri ia kembali mengangkat tangan kanannya dan memberi isyarat untuk berhenti. Ia bisa merasakan darahnya mengalir dan membasahi baju di balik baju bajanya.

    Dengan menggunakan tangannya yang masih sehat ia menarik tali kekang kudanya sendiri ke samping. Ishtar berhenti ketika kudanya hanya berjarak empat meter dari barisan pertahanan pasukan Harland.

    Ia memandang barisan yang ada di depannya. Pasukan tersebut tampak tidak bergeming, jumlah pasukan Harland yang besar sama sekali tidak mengintimidasi mereka. Pasukan berseragam hitam tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan, tapi pandangan mata mereka juga tidak menunjukkan keinginan untuk bertarung.

    Ishtar memandang kebelakang dan melihat pasukannya juga menunjukkan pertanyaan yang sama di wajah mereka. Tiba-tiba sebuah suara langkah kaki yang pelan dari dalam benteng menjawab pertanyaan mereka semua.

    Seorang pria tampak berjalan keluar dari dalam benteng dan berdiri tepat di depan pintu masuk benteng, aman dalam lindungan pasukannya. Jubah mantel panjang dari bulu binatang yang dikenakannya berkibar pelan terkena hembusan angin.

    “Selamat datang di Cataract, utusan aliansi selatan!” pria itu membuka kedua tangannya lebar-lebar seakan sedang menyambut tamu. Nada bicaranya penuh kharisma tapi tetap terdengar kelicikan di antara kata-katanya.

    “Pertempuran ini telah memakan banyak korban di pihak kita berdua. Marilah kita berdiplomasi layaknya manusia yang beradab.” lanjut pria itu lagi dengan sopan.

    Ishtar membalas perkataan pria tersebut dengan jelas, “Bagaimana kalau aku menolaknya! Menyerahlah, kau sudah terpojok!”

    Mendengar perkataan Ishtar pria itu tampak menahan tawanya. Ia tersenyum lebar sebelum akhirnya menjentikkan jarinya dan berkata, “Coba lihat lagi, siapa yang sebenarnya terpojok.”

    Sebuah dentuman keras mengejutkan Ishtar, sebuah suara benda logam berat yang menghantam tanah. Gerbang dinding yang tadinya terbuka lebar sekarang sudah tertutup rapat.

    “Gerbangnya tertutup! Kita tidak bisa keluar!”

    “Siaga! Hati-hati terhadap sergapan!”

    Ishtar dapat mendengar kepanikan dan keterkejutan di antara orang-orangnya. Tapi di luar suara pasukannya ia dapat mendengar sesuatu yang lain sedang bekerja. Saat itu juga Ishtar langsung menyadari kebenaran yang sesungguhnya. Dirinyalah yang terpojok dan terperangkap.

    Suara-suara mengerikan yang tidak asing di telinganya bergetaran dari dalam tanah. Bumi seakan bergetar dan tanah bergerak. Diikuti dengan suara erangan kosong dan gertakan gigi, beratus-ratus tangan mulai meraih dari dalam tanah.

    Dibangunkan dari kuburan prematur mereka, beratus-ratus ghoul bangkit di sekeliling pasukan Cavaliar. Gigi-gigi yang menggertak dan tatapan mata yang haus darah segera mengepung Ishtar dan pasukannya.

    Kejutannya tidak berakhir di sana. Ribuan pasukan, kirzka dan manusia keluar dari persembunyian mereka. Dari jendela benteng pertahanan para pemanah menampakkan keberadaan mereka. Crossbow dan panah menyembul keluar dari lubang-lubang pertahanan pada benteng, siap untuk memberikan tembakan kematian pada targetnya.

    Sementara itu dari balik dinding-dinding yang awalnya kelihatan kosong, pasukan Zar’goza berjalan keluar dengan rapih dan bergabung dalam pengepungan. Panji-panji naga dan ular dengan cepat mengepung pasukan Cavaliar dari segala sisi.

    “Jendral Ishtar, kita terkepung.” kata Sophie dengan lirih.

    Ishtar menggeram kesal, ia telah jatuh ke dalam perangkap musuh tanpa menyadarinya. Pasukannya kalah jumlah satu banding dua, mereka dapat membantai dirinya beserta orang-orangnya dengan sangat mudah.

    Ishtar memandang dengan tajam pria yang berdiri di depan pintu masuk benteng. Dia kelihatan puas dengan keadaan ini.

    “Bagaimana? Apa kita bisa saling berdiplomasi?” kata pria tersebut dengan suara manis yang dibuat-buat.

    Ishtar menggeram, “Baiklah, apa tawaranmu?”

    Untuk sepersekian detik pria itu memperlihatkan kilatan mata yang licik sebelum berbicara, “Aku adalah Baron Moritz, penguasa Mount Thorn. Dan berdasarkan statusku sebagai seorang bangsawan, aku mengajukan duel pengadilan.”

    “Kau tidak punya hak untuk melakukannya.” balas Ishtar keras.

    “Tentu saja aku bisa melakukannya. Kebiasaan ini merupakan hal yang sangat tua dan sudah ada di dalam adat istiadat para bangsawan. Sebagai seorang berdarah biru aku dapat mengajukannya. Lagi pula bukan tempatmu untuk melawan.”

    “Apa itu duel pengadilan?” bisik Sophie bertanya.

    “Kebiasaan lama di antara para bangsawan. Secara sederhana mereka melakukan duel untuk menyelesaikan masalah dan memutuskan siapa yang benar. Pemenang mendapatkan semua yang dia inginkan. . .” Ishtar tampak menimbang-nimbang perkataannya sendiri untuk sejenak, sebelum akhirnya ia memandang Baron Moritz dengan mantap dan berkata, “Baiklah, aku setuju. Apa yang kauinginkan?”

    Kali ini sang Baron sama sekali tidak menyembunyikan seringainya, “Bila kau menang, aku akan pergi dari sini bersama pasukanku dan meninggalkan benteng ini untukmu. Dan bila aku menang, aku ingin kau bekerja untukku.”

    Ishtar sama sekali tidak terkejut mendengarnya, ia tahu pasti hal seperti ini akan muncul, “Kau ingin pasukanku menyerah untuk menjadi budakmu sendiri?”

    Sang Baron tampak tertawa mendengar balasan Ishtar, “Tidak, kau salah mengerti. Aku ingin kau. Ya, kau untuk menjadi bawahanku. Yang lainnya hanya pion tidak penting yang dapat digantikan.”

    “Kau pasti sudah kehilangan pikiranmu bila mengira aku mau berpihak denganmu.” tanya Ishtar dengan agak kaget.

    “Aku hanya sekedar mengambil kembali sebuah kartu as yang hilang.”

    “Apa maksudmu?” tanya Ishtar dengan curiga. Entah kenapa tiba-tiba muncul sebuah kekhawatiran bahwa ini akan mengarah ke masa lalunya.

    Sang Baron terdengar berusaha mengingatkan sesuatu pada Ishtar dengan nada penuh kemenangan, “Pengepungan kota Kievas delapan tahun yang lalu. Kau mungkin bisa melupakan keluarga Clement. Tapi kami tidak akan pernah melupakan pemain-pemain kami. . . Apa kita punya kesepakatan?”

    ***​
     
  9. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Sophie memandang Ishtar dengan penuh tanda tanya. Dalam sekejap sosok yang selalu dekat dengan dirinya terasa amat asing.

    “Sophie, kau sudah siap?” sebuah suara membuyarkan pikirannya.

    Sosok anggun tersebut memandang dirinya dengan penuh kepercayaan. Ia tidak pernah berhenti terpesona pada sosok atasannya yang kuat dan lembut pada saat bersamaan.

    “Aku selalu siap, Jendral. Tapi kau sendiri tidak berada dalam keadaan untuk bertarung.” Sophie menjawab dengan khawatir.

    Ishtar mendengus kecil mendengar hal itu, “Kau terlalu meremehkan kemampuan Jendralmu.”

    Perlahan-lahan Ishtar memandang ke arah orang-orangnya. Seluruh pasukan Cavaliar tampak menunggu dengan tegang. Sementara penjaga-penjaga Zar’goza sibuk memukul-mukul perisai dan menghentakkan tombak mereka, membuat sebuah seruan pertempuran yang berirama.

    Lapangan di depan pintu masuk benteng dibiarkan kosong untuk arena duel. Tampak tiga orang serdadu Harland berdiri di tengah lapangan. Masing-masing mengenakan baju baja hitam berat dengan berhiaskan ornamen-ornamen binatang buas. Suara napas yang berat dapat terdengar dari sela-sela helm perang mereka. Hanya melihat ke arah tiga serdadu tersebut dapat membuat para tentara mengigil takut.

    “Jangan biarkan penampilan mereka menipu, mereka hanya manusia biasa seperti kita. Sang Baron menginginkan duel tiga lawan tiga. Kita akan mengalahkan dia di permainannya sendiri.” kata Ishtar pelan pada dua orang yang berdiri di sisinya. Sophie dan seorang kapten Cavaliar tampak sigap dengan pedang terhunus. Merekalah yang akan membantu Ishtar memenangkan duel ini.

    Ishtar melangkah dengan tenang ke tengah lapangan. Sophie dan kaptennya juga mengikuti dirinya tanpa perlu diperintah.

    Melihat musuh mereka telah maju, para pasukan Zar’goza mulai mengeluarkan raungan perang. Mereka memukul-mukul perisai mereka dengan lebih liar.

    Ishtar mengerti dengan baik kebudayaan musuhnya. Apa yang dianggap sebagai hal yang tidak berperikemanusiaan bagi mereka, telah menjadi hiburan penuh kehormatan dan kejataan bagi musuhnya. Gladiator, hiburan yang tidak pernah bisa lepas dari Zar’goza dan keluarga Clement. Dan saat ini Baron Moritz telah membuat medan perang ini menjadi sebuah arena hiburannya.

    Dengan percaya diri Ishtar berdiri di depan tiga orang ksatria lawannya. Kedua bilah pedangnya sudah siap untuk menari. Walaupun ia agak kehilangan perasaan pada tangan kanannya. Obat penghilang rasa sakit yang ia minum secara diam-diam sepertinya bekerja dengan baik.

    Ishtar memandang ketiga lawannya. Ia bisa melihat sorot mata yang haus darah dari balik helm perang mereka. Sorot mata yang lebih sering Ishtar sebut sebagai ‘sorot mata pembunuh’.

    “Hari ini, musuh kita akan melawan tiga orang ksatria paling kejam dan buas di seluruh tanah Harland! Takdir mereka semua akan terikat dalam duel ini!”, Baron Moritz kedengaran sangat bersemangat dengan pertandingan ini. Pasukan Zar’goza bersorak sorai mendengar kalimat pembukaan dari sang Baron yang menandakan dimulainya duel.

    Detik selanjutnya merupakan keheningan. Hanya ada suara angin yang berhembus menyapu pasir. Ribuan pasang mata memperhatikan para petarung. Semua menunggu sebuah gerakan kecil yang akan memulai pertarungan.

    Desiran angin selanjutnya dan tanpa peringatan para ksatria hitam tersebut maju menerjang. Mereka mencegat tiap peserta dan menjadikan duel tersebut satu lawan satu.

    Seorang ksatria dengan tubuh yang besar dan bersenjatakan flail menghadang Ishtar. Ia mengayunkan flailnya ke arah Ishtar dengan kekuatan yang luar biasa. Ishtar melompat ke samping dan menghindari serangan tersebut. Flail tersebut menghantam lantai batu lapangan dengan suara yang memekakan telinga. Lantai batu tersebut pecah dan menerbangkan serpihan batu ke segala arah.

    Tanpa menunggu si ksatria menarik flailnya yang terbenam di lantai dan kembali mengayunkannya ke arah Ishtar. Seluruh serangannya kuat dan hampir mustahil untuk ditangkis, tapi Ishtar dapat dengan mudah menghindari ayunan-ayunan flail tersebut. Seakan sedang menari, Ishtar bermanuver dengan anggun diantara serangan-serangan ganas yang dilancarkan padanya.

    Di antara serangan-serangan itu Ishtar memandang dengan kedalam mata lawannya, disana ia dapat menemukan mata seekor hewan buas. Perlahan-lahan ia menatap orang tersebut dengan iba. Dia hebat, mengenakan baju pelindung seberat itu dan masih dapat melancarkan serangan yang kuat tanpa henti. Sayang sekali dia berada di pihak musuh. Mungkin dia bisa menjadi seorang ksatria yang terhormat dan mulia bila ia di pihakku.

    Dalam sebuah gerakan yang mengejutkan Ishtar melesat maju hingga jarak antara dirinya dengan lawannya tidak lagi ada. Dengan sekuat tenaga ia menusukkan kedua pedangnya pada badan ksatria tersebut.

    Ishtar dapat merasakan otot-ototnya menegang begitu ia mencoba untuk menembus baju baja lawannya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya hingga otot lengannya sendiri terasa seperti disengat duri-duri tajam.

    Diiringi dengan suara lengkingan logam, pedang Ishtar melesak masuk ke dalam baju baja ksatria tersebut. Darah merembes keluar dan membasahi bilah pedang Ishtar.

    Terdengar riuh rendah dari pasukan yang menonton. Ishtar bisa mendengar sorak-sorai pasukannya dan kekecewaan para penjaga Zar’goza.

    Serangan cepatnya terbukti berhasil, tapi di lain sisi Ishtar juga bisa merasakan darahnya sendiri merembes keluar dari bahu kanannya. Ia terlalu memaksakan tangannya yang terluka itu, sekarang ia merasa tangan kanannya sedikit gemetar. Mungkin ide menggunakan obat penghilang rasa sakit bukan keputusan terbijaknya.

    Sambil menghembuskan napas Ishtar menengadah untuk melihat wajah lawannya yang telah ia kalahkan. Ia langsung terlonjak kaget dengan napas tertahan. Sepasang mata masih menyorotkan kebuasan dari balik celah-celah helm perang si ksatria.

    Ishtar dapat mendengar gemerincing baja ketika ksatria tersebut membuat gerakan selanjutnya. Secara reflek ia langsung melompat mundur. Tanpa peringatan si ksatria telah mencabut pedangnya dan mengayunkannya secara horizontal. Gerakannya tersebut sungguh tepat waktu. Terlambat sepersekian detik saja dan serangan itu akan berakibat fatal.

    Penjaga Zar’goza kembali bersorak melihat salah satu juara mereka bangkit berdiri. Suara senjata yang dihantakan ke perisai kembali mengalun.

    Dengan tatapan tidak percaya Ishtar memandang lawannya tersebut. Ksatria itu saat ini sedang mencabut pedang Ishtar yang menancap di dada dan rusuk sampingnya. Aku akui dia memang seorang pria yang kuat. Tapi tidak ada orang yang bisa tetap berdiri tegak dengan luka seperti itu. Pikir Ishtar dengan gugup. Saat ini ia sama sekali tidak memegang senjata apapun. Kedua pedangnya tertinggal di tubuh musuhnya.

    “Kau pasti sudah mendengar tentang ‘berserker’. Pejuang serigala dari kaum-kaum liar di seberang pegunungan Greyshield. Bertarung sampai titik darah terakhir, para ‘berserker’ telah membawa istilah itu pada tingkat pengertian yang baru.” terdengar suara Baron Moritz diantara sorak sorai penjaga Zar’goza. Nadanya menunjukan suatu perasaan bangga bercampur keangkuhan.

    “Menyerahlah. Kau tidak mungkin mengalahkan pejuang-pejuang terkuat dalam keluarga Clement.”

    Tentu saja Ishtar tidak punya waktu untuk menanggapi ocehan sang Baron. Ia memandang ke arah rekan-rekannya dan menemukan mereka juga dalam kesulitan yang sama. Sementara itu ksatria lawannya mulai berjalan dengan perlahan ke arahnya dengan pedang terhunus. Ia perlu memikirkan sebuah tindakan, dan dalam waktu cepat.
     
  10. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Sementara itu lawannya tengah berjalan perlahan mendekati Ishtar. Darah mengucur keluar dari lukanya, tapi ia sama sekali tidak terpengaruhi oleh hal tersebut.

    Ishtar berlutut dan mencabut pisaunya yang terselip pada sepatu botnya. Ia mengambil kuda-kuda untuk melancarkan serangan cepat selanjutnya.

    Ketika ia sudah siap untuk menyerang, sesuatu menganggu konsentrasinya. Tanpa sengaja Ishtar melihat Sophie dan kaptennya yang sedang bersusah payah menghadapi lawan mereka. Dari wajah Sophie yang tampak kelelahan, ia tahu ajudannya tidak akan bertahan lama. Dengan cepat Ishtar mengubah taktiknya.

    Ia melesat maju dan masuk ke dalam jangkauan serangan lawannya. Tanpa ada basa-basi ksatria tersebut mengayunkan pedangnya dan mencoba untuk memotong Ishtar. Dengan licah Ishtar menghindari serangan-serangan tersebut. Hingga sebuah pukulan menyapu dengan menggunakan perisai tampak mengancam Ishtar.

    Dalam sebuah gerakan yang sangat cepat Ishtar melompat mundur sambil merendahkan tubuhnya. Ia mendarat dalam keadaan setengah berlutut dan sudah siap untuk membuat tolakan yang kuat. Ksatria tersebut sama sekali tidak memperkirakan gerakan Ishtar, tanpa disadarinya wanita itu sudah melompat ke arahnya. Sang ksatria yang pertahanannya sedang turun tersebut langsung mendapati sebilah pisau menusuknya di sekitar tulang belikatnya.

    Ksatria tersebut tampak sangat terkejut dan marah oleh serangan Ishtar. Sambil mengeluarkan raungan seperti binatang buas ia melangkah maju dan mengayunkan pedangnya secara horizontal.

    “Sophie! Menunduk sekarang!” teriak Ishtar tiba-tiba.

    Sebuah suara daging terkoyak dan lengkingan logam segera membuat bisu massa penonton.

    Tampak seorang ksatria membeku dalam posisinya. Kedua tangannya sedang mengangkat tombak tinggi-tinggi dan siap untuk menusuk Sophie yang sudah terjatuh di tanah. Perlahan-lahan ia terbatuk dan darah mengucur dengan deras dari antara celah-celah helm perangnya.

    Diikuti sebuah teriakan kesakitan yang menyayat telinga tubuh ksatria tersebut tiba-tiba bergeser dan terbelah tepat pada bagian perut. Ishtar telah mamancing ksatria lawannya untuk mengayunkan pedangnya dan memotong ksatria lainnya.

    Ishtar tidak berhenti bertindak sampai disitu saja. Sementara ksatria lawannya masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, Ishtar kembali melompat ke arah lawannya. Ia menggenggam pisaunya yang masih menancap di ksatria tersebut. Dengan kasar ia mendorong pisau tersebut menggunakan kedua tangannya dan mengoyak leher si ksatria.

    Diam-diam Ishtar menghela napas lega. Dan mungkin itu bukan hal yang semestinya ia lakukan. Ia langsung terkejut begitu merasakan hembusan napas dari arah lawannya. Ishtar menemukan bahwa ksatria tersebut masih hidup walaupun tubuhnya sudah terluka berat. Baju bajanya rusak disana-sini karena serangan Ishtar dan menampilkan luka menganga, ditambah lagi sebuah luka koyak mengerikan pada bagian lehernya.

    Tanpa peringatan ksatria itu mulai menyerang dengan liar. Ia meraung kemudian mengayunkan tangan dan pedangnya seraya mengejar Ishtar. Walaupun terkejut karena ksatria tersebut masih bisa bergerak walaupun lukanya sangat parah, Ishtar masih sempat menghindari serangan membabi buta tersebut.

    Serangan-serangan yang mengarah pada Ishtar tersebut lama kelamaan berubah menjadi serangan tanpa makna. Ksatria itu sekarang hanya mengayunkan pedangnya pada udara kosong dan menggapai-gapai langit. Dalam keheningan ia roboh tak bernyawa pada detik selanjutnya.

    Ishtar memandang ksatria tersebut dengan rasa iba. Beristirahatlah, kau menghabiskan seluruh hidupmu untuk pertempuran dan sekarang saat-saat pertempuranmu sudah selesai.

    Setelah mengucapkan penghormatannya pada lawannya yang sulit menyerah, ia menatap tajam ke arah sang Baron. Baron Moritz memandang balik Ishtar dengan pandangan penuh amarah, tangannya terkepal dengan kuat. Ia kelihatan marah dengan kegagalan ksatria terbuasnya.

    “Jendral Ishtar! Awas!” Sophie terdengar berteriak memperingati dirinya.

    Ishtar menengok dan menemukan ksatria terakhir telah berhasil membunuh kaptennya dan hendak menyerang dirinya. Sementara perhatian Ishtar tadi sempat terganggu, Sophie menghadang ksatria tersebut untuk mengulur waktu.

    Menyadari bahwa ia mungkin juga dapat kehilangan Sophie, Ishtar langsung memungut pedang besar milik lawannya yang sekarang sudah beristirahat dengan tenang.

    Ksatria terakhir itu mengayunkan voulgenya ke arah Sophie. Sophie nyaris tidak dapat menghindarinya. Memanfaatkan keunggulannya ksatria tersebut menendang Sophie pada perutnya dan membuat Sophie terpental sejauh empat kaki.

    Ishtar datang tepat pada waktunya untuk menyelamatkan Sophie. Ksatria tersebut sudah mengangkat voulgenya tinggi-tinggi dan siap untuk menyerang ketika Ishtar menghadangnya.

    Dengan cepat si ksatria mengubah haluan serangannya dan mengayunkan voulgenya secara vertikal ke arah lawan barunya. Ishtar menghindari serangan itu dengan melompat dan bersalto di udara sementara voulge tersebut menghantam lantai lapangan.

    Ksatria itu memandang dengan tidak percaya ketika Ishtar mendarat dengan mantap di atas sisi tumpul voulgenya. Wajah anggun Ishtar dan tatapannya yang tenang menjadi pemandangan terakhir sang ksatria. Karena detik selanjutnya kepalanya sudah menggelinding jatuh ke lantai.

    Seketika itu juga terdengar sorak sorai dari pasukan Cavaliar. Mereka kelihatan menjadi sangat bersemangat setelah melihat ketiga juara dari Harland tergeletak tanpa nyawa, sementara Jendral mereka dan ajudannya masih berdiri hidup.

    Ishtar memandang sang Baron dengan sebuah senyum tipis yang mencemooh. Wajah Baron Moritz tampak memerah karena menahan emosinya. Sepertinya kekalahan tiga orang juaranya merupakan sebuah harga mahal yang harus dibayar sang Baron.

    “Tuanku, Baron Moritz. Aku telah memenangkan duel ini dengan jujur dan sesuai persyaratanmu. Sekarang aku meminta kau untuk menyerah.” seru Ishtar pada sang Baron.

    Baron Moritz tampak menggigit bibirnya sendiri. Ia kelihatan tidak percaya dengan hasil duel yang sudah diaturnya.

    “Tuan, kuharap kau mau bersikap layaknya seorang pria terhormat dari keluarga Clement dan memenuhi janjimu sebagai seorang bangsawan.” seru Ishtar sekali lagi karena ia tidak mendapat jawaban.

    Dengan segera Ishtar mendapatkan jawaban, walaupun tidak seperti apa yang dia harapkan. Tiba-tiba sang Baron mengeluarkan senyumnya yang penuh kebengisan. Suaranya ketika memberi jawaban masih gemetar, tapi penuh dengan nada percaya diri.

    “Kau seharusnya tahu lebih baik, bahwa bangsawan dari Clement sangat jarang memegang janjinya. Terutama bila janji tersebut amat merugikan.”

    Ishtar terkejut mendengar hal itu, “Apa maksudmu!? Jangan bilang kau ingin mempermalukan dirimu lebih lanjut lagi, Baron penguasa Mount Thorn.”

    Baron Moritz hanya tertawa mendengar hal tersebut, “Kami memang tidak memiliki kehormatan, tapi kami selalu mempunyai kekuasaan dan kekuatan.”
    Seusai mengatakan hal tersebut sang Baron menjentikkan jarinya. Dengan serempak senjata-senjata penjaga Zar’goza kembali terarah pada pasukan Cavaliar.

    Di tengah ketegangan tersebut Ishtar dapat mendengar suara gemuruh datang dari dalam benteng. Suara gemuruh tersebut makin lama makin besar, hingga akhirnya sumber suara tersebut menampakkan diri.

    Ishtar menahan napasnya, ini pertama kalinya ia melihat makhluk tersebut secara langsung. Cakar-cakar yang setajam pedang, kulit sisik yang sekeras perisai baja, makhluk ini biasanya hanya diceritakan dalam kisah-kisah para pendongeng. Tapi makhluk ini baru saja berjalan keluar dari gerbang benteng Cataract.

    Lantai batu tampak langsung retak begitu ditapaki makhluk raksasa tersebut. Hembusan napas yang berat dari makhluk tersebut langsung menurunkan semangat tempur semua orang dan mengingatkan mereka pada kematian.

    Berdiri dengan dua kaki, tidak memiliki sayap, dan memiliki dua pasang tangan yang dipersenjatai cakar-cakar besar. Tidak salah lagi, makhluk setinggi lima belas kaki tersebut merupakan seekor naga tanah dewasa.

    Tampak sebuah belenggu baja terpasang di lehernya, makhluk ini merupakan naga yang sudah dijinakkan. Salah satu senjata paling mematikan pada masa itu. Sang Baron tampaknya masih memiliki kartu as lainnya dan yang satu ini tampak sangat lapar.
     
  11. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    ak dah baca, kk!!!
    karya hebat! top jempol :top: :top:

    nasib Ishtar ak pnasarn gt..
    ak pikir Chapter 8 part 3 itu dah tamat ceritanya. rupanya blom.. :haha:
    ah.. kk mang pintar buat org penasaran.. :hehe:
    :top: :sembah:
     
  12. XtracK M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Feb 22, 2011
    Messages:
    261
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +256 / -0
    ak dah baca, kk!!!
    karya hebat! top jempol :top: :top:

    nasib Ishtar ak pnasarn gt..
    ak pikir Chapter 8 part 3 itu dah tamat ceritanya. rupanya blom.. :haha:
    ah.. kk mang pintar buat org penasaran.. :hehe:
    :top: :sembah:
     
  13. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter IX: All Hope Is Not Lost

    Sore itu merupakan salah satu hari paling berdarah dalam ingatan Ishtar. Raungan perang menggelegar dari setiap sudut. Mereka yang ingin membunuh dan mereka yang ingin mempertahankan hidup. Pasukan Cavliar telah terdesak dan terkepung dari segala sisi. Tapi hal itu membuat mereka bertarung dengan semangat untuk bertahan hidup.

    Berbagai musuh menerjang dan menghadang Ishtar. Beberapa ghoul berjalan dengan terhuyung ke arah dirinya. Dengan cepat Ishtar berlari di antara kaum yang sudah mati tersebut sambil menghindari serangan mereka.

    Terdengar suara daging busuk yang tercabik begitu Ishtar mengayunkan pedangnya sendiri. Ia bergerak layaknya seekor burung elang yang menyerang mangsanya, cepat dan tidak terhentikan. Pedangnya bergerak seakan Ishtar telah menghembuskan nyawa kedalamnya. Pedang tersebut menari di antara musuh-musuh Ishtar, menangkis dan menyambar tubuh penyerangnya dengan mematikan.

    Tanpa ada jeda gelombang musuh yang lainnya terus menyambut Ishtar. Puluhan kirzka dan pasukan Harland berlari menerjang dirinya dengan senjata terhunus. Ishtar benar-benar menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya dalam pertempuran ini. Seluruh bagian tubuhnya bergerak dalam simfoni untuk menghadapi lawannya. Ia menghindari setiap serangan, melompat dari satu lawan ke lawan yang lainnya sambil menyayatkan pedangnya. Sepertinya tidak ada yang bisa menghentikan tarian mematikan wanita tersebut.

    Tubuh-tubuh berjatuhan satu demi satu setelah menghadapi sang Jendral. Kirzka terakhir yang menghadangnya jatuh dengan suara keras setelah Ishtar memotong lehernya. Ishtar bernapas dengan terengah-engah, baju pelindungnya ternoda oleh darah musuh dimana-mana.Tapi tidak ada kata istirahat untuk dirinya.

    Detik berikutnya Ishtar sudah kembali bergerak menghindari ayunan-ayunan kapak. Ia menunduk sementara sebuah kapak melayang tepat di antara rambut-rambutnya. Sementara itu tangannya membenamkan mata pedangnya pada kaki kirzka yang mengayunkan kapak tersebut. Raungan kemarahan dan rasa sakit terdengar dari antara taring-taring si kirzka. Raungan tersebut langsung terbungkam begitu Ishtar mengoyak perut si kirzka pada serangan berikutnya.

    Begitu Ishtar bangkit sebuah pedang besar sudah mengayun ke arah dirinya. Jarak mata pedang tersebut sudah begitu dekat dengan tubuh Ishtar. Ia tahu ia hanya bisa menghindar seadanya dan menerima sisa serangan yang akan menghantamnya. Tapi nasib baik masih berada di sisi Ishtar.

    Tentara yang mengayunkan pedang tersebut tiba-tiba berteriak kesakitan, arah ayunan pedangnya berubah hingga ia gagal melukai Ishtar. Tampak sebuah pedang menembus tubuhnya dari belakang. Ketika tubuh tersebut roboh tak bernyata, Ishtar dapat melihat sosok kecil Sophie di belakangnya.

    Ajudannya kelihatan lelah, tapi matanya masih memancarkan semangat. Ishtar tersenyum penuh terima kasih pada Sophie.

    “Kita hadapi mereka bersama, Jendral?” tanya Sophie sambil membalas senyum.

    “Ya, bersama.” bisik Ishtar sambil mengangkat pedangnya.

    Pada serangan berikutnya mereka berdua saling melengkapi. Serangan-serangan Sophie yang melumpuhkan dengan segera disambung oleh serangan Ishtar yang mematikan. Mereka berdua saling melindungi ketika berdampingan. Beberapa kali Ishtar menangkis serangan yang ditunjukan pada Sophie dan beberapa kali Sophie mematahkan serangan yang dilancarkan pada Ishtar. Dengan mudah penyerang mereka bertumbangan dalam sekejap.

    Ishtar dan Sophie berdiri berdampingan memandang musuh mereka. Para pasukan Harland dan penjaga Zar’goza tampak ragu untuk melangkah maju. Mereka menjaga jarak mereka dari Ishtar dan Sophie. Sayang sekali mereka menjaga jarak karena satu hal yang lebih mengerikan dari dua perempuan itu.

    “Awas!” tiba-tiba Ishtar merasa Sophie mendorong dirinya dengan sekuat tenaga. Ishtar bisa merasakan dirinya jatuh terjerembab ke lantai batu dengan Sophie di atas punggungnya.

    Tiba-tiba Ishtar merasakan hembusan angin yang keras dan sebuah suara ayunan benda berat. Dengan cepat Ishtar berbalik dan dapat melihat raksasa setinggi lima belas kaki berdiri tidak jauh darinya. Pandangan mata buasnya terarah langsung pada Ishtar.

    Naga tanah tersebut mengangkat kakinya dan hendak menginjak Ishtar, tepat ketika terdengar teriakan, “Serang! Serang sekarang!”

    Beberapa buah tombak melayang dan mengenai sisi kepala naga tersebut. Secara naluri makhluk raksasa itu mundur selangkah sambil mengangkat tangan-tangannya untuk melindungi kepalanya. Untuk sementara Ishtar kembali lolos maut.

    “Sophie, kau tidak a-!” Ishtar yang hendak menanyakan keadaan Sophie langsung terkejut begitu melihat keadaan ajudannya.

    Sophie berhasil mendorong Ishtar sehingga ia terhindar dari ayunan cakar naga tersebut. Tapi nasib Sophie tidak begitu baik. Punggungnya tampak terkoyak oleh cakar naga tersebut. Sebuah luka menganga lebar mulai dari bahu kiri Sophie hingga pinggang kanannya. Baju pelindung yang ia kenakan tampak robek seakan hanya terbuat dari kertas.

    “Sophie! Sophie!” Ishtar menarik Sophie dalam rangkulan kedua tangannya.

    Sophie hanya menjawab Ishtar dengan merintih kesakitan. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah menahan sakit yang luar biasa. Ishtar dapat melihat tangannya sendiri sudah basah kuyup oleh darah Sophie. Perasaan marah bercampur khawatir menguasai dirinya begitu melihat keadaan Sophie yang penuh penderitaan.

    “Bertahanlah disini, aku akan menyelamatkanmu nanti.” bisik Ishtar pelan di telinga Sophie.

    Dengan berat hati Ishtar menidurkan Sophie di lantai batu lapangan dan bangkit berdiri.

    Ia telah gagal lagi untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Ia memang berhasil menghabisi musuh pada sisinya, tapi tidak pada sisi yang lain. Pasukan Cavaliar di bagian lain benar-benar sedang dibantai oleh para penjaga Zar’goza. Tampak pasukan-pasukan Harland berjalan dengan tombak terhunus, menusuk mati tentara Cavaliar yang terluka tapi masih hidup.

    Sementara itu sebagian besar pasukan Cavaliar yang tersisa sedang berhadapan dengan naga. Para pasukan Cavaliar berlari menyerang di atas tumpukan mayat rekan-rekan mereka yang sudah menjadi korban keganasan sang naga. Semuanya berakhir sebagai serangan bunuh diri. Dengan mudah naga raksasa tersebut mengoyak mereka semua.

    [​IMG]
    Source: Magic the Gathering

    Harapan seakan sudah hilang dalam pertarungan ini, tapi Ishtar tetap memungut pedangnya. Ia hanya tahu bahwa ia harus berjuang hingga akhir atau semua kematian yang terjadi akan sia-sia.

    Tapi, di tengah-tengah keputusasaan tersebut harapan mulai lahir.

    Sebuah dentuman suara keras langsung mengejutkan semua orang di lapangan itu. Bahkan para penjaga Zar’goza yang sedang sibuk membantai langsung menolehkan kepalanya.

    Daun pintu gerbang luar yang solid tampak mengayun jatuh. Serpihan kayu-kayu dan debu beterbangan dan menutupi pandangan. Dari balik debu tersebut Ishtar mendengar sebuah suara yang familiar. Sebuah suara terompet.

    Dari balik kabut debu tersebut pasukan-pasukan manusia datang menyerbu masuk. Bendera benteng dan simpul tali tambang tampak berkibar menyertai mereka.
     
  14. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Sisa pasukan Cavaliar yang mestinya berada di perkemahan tampak datang sebagai bala bantuan. Dan pasukan tersebut dipimpin oleh orang terakhir yang diharapkan Ishtar. Benevito tampak melambaikan tangannya di antara pasukan bantuan tersebut.

    “Benevito? Sejak kapan dia pergi?” tanya Ishtar heran pada dirinya sendiri.

    Pasukan bantuan Cavaliar tersebut benar-benar mengejutkan penjaga Zar’goza. Para penjaga Zar’goza gagal membentuk barisan pertahanan dalam waktu singkat tersebut. Dalam jangka waktu singkat keadaan tampak berubah. Tapi pada kenyataannya tidak banyak perubahan yang terjadi dengan bala bantuan tersebut.

    Naga raksasa yang berdiri di tengah lapangan kini tampak tertarik dengan pasukan Cavaliar yang baru datang. Dengan langkah yang berat naga tersebut berjalan, membuat panik kedua belah pihak. Baik tentara Cavaliar maupun penjaga Zar’goza berlarian menghindari langkah makhluk raksasa tersebut.

    Dalam sekejap Naga tersebut sudah sibuk mengayunkan keempat cakarnya dan menerbangkan setiap gelombang pasukan Cavaliar yang berdatangan ke arahnya. Ishtar tahu ia harus melakukan sesuatu dengan naga tersebut atau semuanya akan benar-benar menjadi sia-sia.

    Ia tahu sekarang merupakan kesempatannya selagi naga tersebut sedang teralihkan perhatiannya. Ishtar berlari mengejar naga tersebut, beberapa orang tentara Harland mencoba menghadangnya. Tidak ada yang dapat menghentikannya, tanpa menghentikan langkahnya Ishtar menghabisi mereka.

    Pandangannya jatuh pada sebuah tali rantai yang menjulur dari belenggu leher naga tersebut. Ishtar berlari mendekati naga tersebut. Suara teriakan kematian dan tubuh yang terkoyak terdengar makin intens ketika ia mendekat.

    Ketika naga tersebut sedang mengayunkan cakarnya Ishtar melompat ke kaki sang naga. Ia meraih sebuah tombak yang tampak menancap di kaki naga tersebut. Dari situ Ishtar melompat lagi ke udara dan meraih rantai yang menggantung dari leher naga.

    Naga tersebut langsung menyadari beban tambahan pada belenggunya. Sambil meraung salah satu cakarnya berusaha meraih Ishtar. Bayangan besar cakar-cakar naga tersebut menggantung tepat di atas Ishtar. Ia menghunus pedangnya dan siap untuk melukai tangan naga tersebut bila berada dalam jangkauan pedangnya.

    Tapi lagi-lagi sebuah kejadian tak terduga kembali mengejutkan Ishtar. Tepat sebelum cakar naga tersebut dapat mencengkeram dirinya, ia melihat sebuah bola batu besar menghantam kepala makhluk raksasa tersebut. Bola batu tersebut pecah ketika memukul kepala sang naga dan membuatnya terhuyung.

    “Pasukan Oceanor! Cepat persenjatai trebuchetnya!” samar-samar terdengar teriakan pasukan Harland di medan perang.

    Ishtar bisa merasakan tali rantai yang dipegangnya mengayun kuat begitu ketika sang naga terhuyung. Dalam sekejap ia sudah mengayun tinggi ke langit. Ia bisa melihat bagaimana sosok-sosok yang bertarung di lapangan dengan cepat berubah menjadi figur-figur kecil.

    Untuk sepersekian detik Ishtar sudah berada di titik tertinggi yang dapat ia capai di udara. Sebelum momentum mengayunkan dirinya jatuh, Ishtar dapat melihat tiga buah kapal perang besar di sungai Serpent’s Tear. Trebuchet pada ketiga kapal tersebut tampak membombardir benteng Cataract.

    Belum sempat Ishtar mengamati pemandangan tersebut secara keseluruhan, ia sudah merasaka tubuhnya terhempas ke bawah. Begitu ia sadar begitu cepatnya ia terjun ke bawah, Ishtar dapat merasakan jantungnya berdetak dengan sangat cepat dan perutnya terasa terkocok.

    Dengan cepat figur-figur kecil yang dilihat Ishtar di udara berubah kembali menjadi besar. Ishtar memegang erat-erat tali rantai pada belenggu naga hingga pedangnya sendiri terjatuh. Angin terasa berhembus melawan dirinya dengan cepat sementara jantungnya terus berdegup di luar kendali.

    Semua perasaan adrenalin tersebut langsung berubah menjadi lebih parah begitu ia merasakan tangannya menghentak tali rantai yang ia pegang dengan erat. Ia dapat mendengar suara daging yang terkoyak dari tangan kanannya sendiri. Dalam sekejap ia bisa merasakan efek obat penghilang rasa sakitnya hilang.

    Ishtar mengerang kesakitan sementara tubuhnya masih mengayun-ayun seperti pendulum pada leher sang naga. Ia bisa merasakan tubuhnya gemetaran dan kekuatan seakan mengalir keluar dari dirinya.

    Begitu Ishtar dapat melawan rasa sakitnya dan membuka matanya, ia bisa melihat barisan taring-taring tajam di hadapannya. Ia baru menyadari keadaan dirinya. Tampaknya naga tersebut telah memutuskan bahwa mempunyai seseorang yang bergelantungan di lehernya merupakan gangguan. Salah satu tangan naga tersebut tampak menarik rantai belenggu yang menjadi pegangan Ishtar dan mengarahkan Ishtar ke mulutnya.

    Tentu saja Ishtar tidak terima dijadikan makanan naga. Walaupun tubuhnya masih dalam keadaan lemah, ia menendang salah satu taring naga tersebut dan menghempaskan tubuhnya menjauh. Ishtar menahan rasa sakitnya dan menarik rantai tersebut sehingga posisinya menjadi lebih tinggi.

    Begitu rantai tersebut kembali mengayun ke arah kepala naga tersebut Ishtar menggunakan berat badannya untuk mempercepat lajunya. Dengan sangat keras Ishtar menendang mata naga tersebut. Ishtar bisa mendengar suara yang menyerupai tabung air pecah.

    Suara raungan yang sangat keras membahana. Ishtar dapat merasakan kakinya basah oleh cairan yang agak kental, tampaknya ia berhasil memecahkan salah satu mata naga tersebut.

    Naga tersebut tampak mengamuk dan mencakar ke segala arah. Tanpa peringatan naga tersebut memutuskan rantai belenggu dengan menariknya. Sekali lagi Ishtar dapat merasakan dirinya terhempas ketika naga tersebut hendak mengayunkan rantai yang dipegang Ishtar ke tanah.

    Ketika naga tersebut mengangkat rantainya tinggi-tinggi, Ishtar melepaskan pegangannya dan melompat sebelum rantai tersebut menghantam tanah. Ia mendarat di punggung sang naga sementara naga tersebut mengayunkan rantai belenggunya dan melukai semua orang dalam jangkauannya.

    Ishtar meraih sebuah duri di punggung naga tersebut dengan tangan kirinya sebelum ia merosot jatuh. Ia dapat mendengar suara desing anak panah dan lemparan tombak yang diarahkan pada sang naga. Beberapa anak panah dan tombak tampaknya meleset dan terbang tepat di atas kepala Ishtar. Hal ini memberi Ishtar sebuah ide.

    Perlahan-lahan Ishtar mulai memanjat menggunakan duri-duri di punggung naga tersebut. Ia terus berusaha hingga akhirnya ia berada tepat di leher sang naga. Ketika naga tersebut menunduk untuk mengayunkan cakarnya sebuah tombak yang menyasar tampak melayang di atas kepala Ishtar. Dengan cepat ia melompat dan meraih tombak tersebut dengan tangan kirinya.

    Ia tersenyum kecil begitu merasakan tangannya menggenggam tombak tersebut. Sayang sekali karena naga yang terus bergerak, kaki Ishtar terpeleset ketika ia mendarat. Secara reflek Ishtar mengalungkan tangan kanannya pada salah satu duri punggung naga tersebut.

    Ishtar menghembuskan napas lega karena ia masih berada di leher naga tersebut. Tapi tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Dengan ngeri ia memandang bahu kanannya, darah tampak sudah mengalir dengan deras dari balik pelindung bahunya. Dan yang membuatnya takut adalah ia sama sekali tidak merasakan sakit lagi. Ia tahu ia harus mengakhiri semua ini dan cepat-cepat mencari tabib untuk Sophie dan dirinya sendiri.

    Tanpa menunggu Ishtar berdiri dan mulai berlari. Pandangannya tertuju pada bagian atas kepala naga tersebut. Ketika ia berdiri tepat di atas kepala sang naga, Ishtar langsung menghujamkan tombaknya dengan tangan kirinya. Sambil meraung ia terus mendorong tombak itu masuk.

    Darah memancar keluar layaknya sebuah mata air. Dalam sekejap Ishtar sudah bermandikan darah sang naga. Terdengar geraman pelan dari sang naga ketika makhluk mengagumkan itu jatuh roboh di atas tumpukan mayat korban-korbannya.

    Ishtar merasa pandangannya mulai kabur dan indera-inderanya menumpul. Ia hanya punya cukup tenaga untuk memegang erat tombaknya.

    “Ishtar! Ishtar! Kau dengar aku!”

    Ketika Ishtar membuka matanya ia dapat melihat Benevito sedang mengguncang-guncang tubuhnya sambil tersenyum lebar.

    “Benevito?”

    “Ishtar, kau berhasil membunuh naga tersebut! Kerja bagus!”

    “Apa yang-!” tiba-tiba Ishtar teringar akan sesuatu yang penting.

    “Pasukan Zar’goza sudah mundur ke benteng, tinggal masalah waktu sebelum kita memenangkan pertempuran ini!” Benevito terus mengoceh.

    Ishtar bangkit dengan secepat mungkin tanpa mempedulikan rasa nyeri di seluruh tubuhnya, “Sophie!”

    Benevito tampak bingung, “Eh apa maksudmu?”

    “Benevito, pimpin pasukan!” perintah Ishtar sambil berlari menjauh. Ia melangkahi semua mayat-mayat yang tergeletak di sepanjang lapangan. Yang ia tahu adalah ia harus membawa ajudannya ke tabib sekarang.

    Tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya Ishtar terus berjalan hingga ia sampai di tempat ia merebahkan Sophie. Ia dapat melihat tubuh kecil Sophie masih ada di sana.

    “Sophie!” Ishtar berteriak memanggil Sophie. Dengan cepat ia berlutut di samping Sophie. Ishtar masih dapat mendengar suara napas Sophie yang lemah.

    “Sabarlah aku akan mengeluarkanmu dari sini.” kata Ishtar sambil menggendong Sophie dengan tangan kirinya. Dengan secepat mungkin Ishtar berjalan menuju gerbang luar dinding, sementara pasukan Cavaliar bergerak menyerbu benteng utama.

    “Ishtar, mau kemana kau?” tiba-tiba Benevito berlari menghampiri Ishtar.

    “Menyembuhkan lukanya.” jawab Ishtar singkat.

    “Tentu saja. Tapi mau kau bawa kemana Sophie? Tabib kita ada di sini.” Benevito kelihatan bingung.

    “Tabib kita tidak akan mampu melakukannya. Aku akan membawa Sophie kepada 'mereka'.” jawab Ishtar sambil berjalan keluar dari gerbang sambil menggendong Sophie.

    "Apa kau mengatakan tabib kita payah? . . . Hei, tunggu dulu! Siapa yang kau maksud dengan mereka!?” Benevito makin heran dengan perkataan Ishtar.

    ***​
     
  15. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Ishtar berlari menjauhi medan tempur, sekarang ia berada di gang-gang kecil benteng. Pasti ada di sekitar sini, batinnya. Ia langsung bernapas lega ketika melihat sebuah bangunan dengan bendera jantung yang dirangkul sepasang sayap hitam.

    Tanpa pikir panjang Ishtar langsung menendang pintu kayu bangunan tersebut. Dengan suara keras pintu tersebut terbanting membuka dang mengejutkan orang-orang yang di dalamnya.

    Ruangan di depannya merupakan sebuah ruang penyembuhan. Tampak kirzka-kirzka bersisik hitam yang mengenakan jubah putih. Sedetik sebelum Ishtar masuk mereka tampak sibuk meracik obat, sekarang pandangan mereka semua terarah pada Ishtar.

    “Sub atris.” kata Ishtar dalam bahasa kuno begitu melihat kirzka-kirzka bersisik hitam dalam bangunan tersebut.

    “Sub atris, anakku. Masuklah.” tampak seorang kirzka tua yang badannya sudah bungkuk mempersilahkan Ishtar masuk.

    Ishtar melangkah masuk dengan Sophie yang masih ada di gendongannya, “Elder, tolong sembuhkan temanku.” mohon Ishtar pada kirzka tua tersebut.

    “Tentu saja. Kami tidak pernah menolak permintaan seorang anggota klan.” kata kirzka tua tersebut pada Ishtar. Setelah mengatakan hal itu ia langsung menoleh ke arah seorang kirzka yang sedang sibuk meramu obat, “Zarag! Cepat bawa gadis ini, berikan dia tiga teguk ramuan darah troll.”

    Seorang kirzka yang tampaknya masih muda langsung berjalan ke arah Ishtar. Ia mengulurkan kedua tangannya untuk membawa Sophie. Ishtar tampak ragu-ragu untuk sejenak.

    “Tidak apa, dia aman bersamaku. Aku akan merawatnya.” desis kirzka itu pelan.

    Aku tidak khawatir mengenai keamanan Sophie. Yang aku khawatirkan adalah jika Sophie sadar, ia akan langsung menikammu. Balas Ishtar dalam hatinya. Pada akhirnya Ishtar tetap menyerahkan Sophie pada kirzka tersebut.

    “Gadis itu akan baik-baik saja. Selama lukanya bukan karena kutukan atau sihir, ramuan darah troll akan menyembuhkan lukanya. Walaupun tentu saja perawatan lebih lanjut diperlukan.” kata kirzka tua tersebut begitu menyadari pandangan khawatir dari Ishtar, “Biarkan saja dia beristirahat disini untuk beberapa hari.”

    “Terima kasih banyak, Elder. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau aku tidak menemukan pos klan Darkscale ini.” Ishtar menghembuskan napas lega begitu mendengar perkataan si kirzka tua, “Kurasa aku harus pergi sekarang.”

    “Mau kemana kau, anakku?” tanya kirzka tua tersebut dengan lembut begitu melihat Ishtar bangkit.

    “Aku harus kembali ke medan perang, orang-orangku membutuhkanku.” jawab Ishtar singkat.

    Kirzka tua itu menggeleng, “Medan perang hanya tempat bagi mereka yang masih bisa mengayunkan pedangnya.”

    “Tapi, aku-“

    “Kau tidak boleh keluar, setidaknya sampai lukamu sendiri sembuh. Mau apa kau di pertempuran dengan luka seperti itu? Lukamu bahkan lebih parah dari gadis tadi.” desis kirzka tua itu, nadanya tiba-tiba menjadi keras. “

    “Ta-tapi. . .” tiba-tiba Ishtar merasa seperti anak kecil yang sedang dimarahi. Ia tahu kebenaran kata-kata kirzka tua tersebut. Tangan kanannya tampak lunglai dan meneteskan banyak darah.

    “Cepat duduk di sana!” kirzka tua itu menunjuk ke sebuah kasur yang kosong.

    Ishtar menurut dan duduk di sisi kasur tersebut. Si kirzka tua tersebut menghampiri Ishtar dengan ditemani oleh seorang kirzka lainnya. Di belakang mereka tampak sesosok makhluk mungil setinggi dua kaki berjalan mengikuti sambil membawa berbagai ramuan herbal.

    Suara gemerincing logam terdengar ketika salah satu kirzka tabib tersebut melepas pelindung bahu Ishtar. Sang tabib langsung mengatakan sesuatu dalam bahasa kunonya begitu melihat luka Ishtar. Dari nadanya ia tahu itu bukan hal yang bagus. Ia merinding sendiri ketika melihat luka di bahu kanannya.

    Tampak daging-daging di bahu kanannya robek seakan terkoyak. Ia bahkan bisa melihat tulangnya sendiri. Ishtar hampir pingsan karena shock, ia sama sekali tidak mengira lukanya sudah separah ini.

    Si kirzka tua hanya menggelengkan kepalanya, “Kalau tabib manusia yang menangani luka ini, mereka sudah pasti akan mengamputasi tanganmu.”

    “Elder, tolong katakan kau bisa mengobatinya.” Ishtar langsung merinding membayangkan kehilangan tangan kanannya.

    “Akan sedikit sulit. Tapi tabib klan Darkscale dapat menyembuhkan semua luka daging, selama bukan karena sihir atau kutukan.” balas sang kirzka tua sambil menganalisa luka Ishtar.

    “Shizar, bersihkan lukanya.” perintah si kirzka tua pada asistennya.

    Si asisten tampak mengambil sebuah botol kaca yang berisi cairan berwarna kebiruan dan menuangkannya pada luka Ishtar. Dalam sekejap Ishtar merasakan sensasi dingin yang menusuk tulang pada bahu kanannya.

    “Perlu kusiapkan ramuan darah troll?” tanya Shizar pada si kirzka tua.

    “Lukanya terlalu dalam dan lebar, kurasa dengan sisa ramuan kita yang tinggal sedikit tidak akan ada gunanya. Kita harus menggunakan sihir penyembuhan.” jawab si kirzka tua.

    “Baiklah kalau begitu.” desis Shizar sambil menggulung lengan jubahnya.

    “Tidak. Biar aku saja yang melakukan.” si kirzka tua tiba-tiba memotong.

    “Tapi, master. Kau akan menguras seluruh tenagamu.”

    “Kau belum berpengalaman untuk mengobati luka sedalam ini. Salah satu gerakan saja dan kau bisa menyebabkan kelumpuhan seumur hidup.”

    Sementara itu Ishtar hanya bisa duduk diam dan mendengarkan bagaimana kedua tabib tersebut membicarakan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada dirinya. Hal itu membuatnya makin gugup. Keringat dingin mulai membasahi keningnya.

    “Ini akan terasa sedikit aneh. Tapi tolong, jangan coba gerakkan tangan kananmu.” si kirzka tua memberi peringatan.

    Ishtar hanya bisa mengangguk dengan agak gemetaran.

    Si kirzka tua meletakkan kedua telapak tangannya di atas bahu kanan Ishtar. Ia memejamkan kedua matanya dan tampak berkonsentrasi keras. Perlahan-lahan cahaya lembut berwarna hijau memancar dari telapak tangannya.Ishtar dapat merasa sensasi geli pada bahunya, tapi ia tetap menahan diri untuk tidak menggerakkan tangannya.

    Ketika kirzka tua itu sudah selesai dengan sihirnya, Ishtar dapat melihat otot-ototnya yang terkoyak sudah menyatu kembali. Walaupun demikian lukanya masih belum menutup. Si kirzka yang bernama Shizar langsung maju dan mengoleskan ramuan pada luka di bahunya.

    “Luka yang fatal telah ditutup, sekarang kita hanya perlu menunggu.” kata kirzka tua tersebut dengan agak terengah-engah.

    “Kalau begitu aku bisa pergi sekarang?” tanya Ishtar sementara Shizar sedang membalut lukanya.

    “Siapa yang bilang kau boleh pergi untuk kembali melukai tubuhmu.” tegur si kirzka tua dengan keras, “Kau harus beristirahat dan memberi kesempatan pada tubuhmu untuk pulih.”

    Ishtar sama sekali tidak bisa mengatakan tidak. Sepertinya ia harus mempercayakan sisanya kepada Benevito.

    ***​
     
  16. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    “Kau yakin dia di sini?”

    “Aku sangat yakin, tuan. Aku melihat Jendral Ishtar berjalan ke arah ini tadi.” kata seorang tentara Cavaliar sambil menunjuk ke sebuah jalan kecil.

    “Baiklah kalau begitu. Kemana kira-kira Ishtar akan membawa Sophie.” Benevito tampak berpikir.

    Tiba-tiba pandangan Benevito terarah pada sebuah bangunan yang menyerupai pos penjaga. Tampak asap putih mengepul dari bagian atas bangunan tersebut. Tanpa pikir panjang ia langsung menghampiri bangunan tersebut dan membuka pintunya.

    Begitu membuka pintu bangunan tersebut, Benevito langsung tahu ia sudah bertindak salah. Oh sial salah pintu, sebaiknya aku cepat-cepat lari selagi masih bisa. Pikirnya begitu melihat bangunan tersebut dipenuhi kirzka.

    Tapi begitu Benevito hendak kabur sebuah suara familiar memanggil dirinya. Ia menoleh dan menjadi lebih terkejut lagi. Ishtar tampak sedang berbaring di dalam bangunan tersebut.

    “Ishtar! Apa yang kau lakukan disini!?” teriaknya dengan kaget.

    “Tenanglah Benevito.” Ishtar tampak berusaha menenangkah Benevito, “Masuklah, tenang saja mereka bersahabat.” tambah Ishtar begitu menyadari pandangan panik dari Benevito.

    “Ishtar. Apa yang kau lakukan disini!?” Benevito berlari menghampiri Ishtar sambil melempar pandangan curiga ke seluruh kirzka di ruangan itu.

    “. . . Beristirahat.” jawab Ishtar jujur.

    Benevito memang melihat Ishtar sudah melepaskan seluruh baju pelindungnya. Dan wanita itu memang kelihatan sedang beristirahat.

    “Jangan bilang, yang kau maksud dengan ‘mereka’ adalah tabib kirzka.” kata Benevito dengan tidak percaya.

    “. . . Sebenarnya memang begitu maksudku.”

    “Ishtar. Mereka musuh kita. Kau tidak bisa langsung mendatangi mereka dan meminta pertolongan secara cuma-cuma bukan?” bisik Benevito pada Ishtar.

    “Sebenarnya mereka memang membantu dengan cuma-cuma. Oh ya ngomong-ngomong, bawa pasukan kita yang terluka parah kesini. Aku yakin nyawa mereka dapat terselamatkan disini.”

    Benevito memandang Ishtar dengan tidak percaya, “Kau yakin mau mempercayakan orang-orang kita pada mereka. Aku tidak terlalu percaya dengan makhluk kadal ini.” kata benevito dengan nada sedikit tinggi.

    Dalam sekejap ruangan itu menjadi hening, Ishtar memecahkan keheningan itu dengan berkata, “Benevito. . . Mereka juga mengerti bahasa manusia.”

    Benevito menengok dan menemukan bahwa semua tabib kirzka sedang memandang dirinya.

    “Maaf, aku tidak bermaksud mengatakan begitu. . . Ya, kalian tahu. . .” dengan cepat Benevito kembali memandang Ishtar, “Mestinya kau bilang lebih awal.” bisiknya kesal.

    Ishtar tertawa kecil, sementara para tabib hanya menggelengkan kepala mereka dan kembali bekerja.

    “Tenanglah Benevito, klan mereka dalam keadaan bersahabat dengan manusia. Jadi kau tidak perlu khawatir. Ikuti saja perintahku dan bawa tentara yang lukanya parah kesini.”

    “Baiklah, kalau kau bilang begitu.” kata Benevito dengan agak ragu-ragu.

    “Oh dan satu hal lagi. Apa yang kau lakukan disini? Siapa yang memimpin pasukan?” tanya Ishtar dengan heran.

    Benevito tersenyum lebar, “Aku tidak perlu memimpin pasukan, para kapten dapat melakukannya sendiri. Aku hanya memberikan perintah untuk pengepungan. Musuh kita sudah kehilangan banyak pasukannya karena serangan trebuchet dari kapal-kapal Oceanor. Mereka memutuskan untuk masuk ke dalam benteng mereka dan mengunci rapat-rapat pintunya.”

    Ishtar memandang Benevito dengan sedikit jengkel, “Mereka bisa saja merencanakan sesuatu. Tidak bijak bagimu untuk meninggalkan pasukan begitu saja.”

    Benevito menjelaskan keputusannya pada Ishtar, “Percayalah padaku. Bila musuh kita sepintar yang mereka tunjukkan, mereka tidak akan berani untuk keluar dari benteng tersebut. Dan sementara itu, menurut perkiraanku tentara Aesyr akan datang menyerbu benteng ini tidak lama lagi. Kau lihat, bantuan dari Oceanor akan membuat pasukan Aesyr kembali percaya diri untuk menyerang. Yang perlu kita lakukan hanya menunggu mereka datang dan menyerahkan sisanya untuk mereka.”

    Ishtar tampak merenungkan perkataan Benevito, “Kuharap kau benar.”

    ***​

    “Cepat palang pintunya! Naikkan meja itu!”

    Tampak pasukan Harland dan penjaga Zar’goza sibuk memalangi gerbang benteng dengan berbagai barang yang berat. Sementara itu Baron Moritz tampak berjalan dengan terburu-buru memasuki lorong-lorong benteng.

    “Dasar sial. Pasukan Oceanor di saat seperti ini.” keluh sang Baron dengan kesal.

    Komandan Eckhard tampak berjalan di samping sang Baron, “Setidaknya trebuchet kita berhasil menenggelamkan satu kapal dan merusak dua kapal sisanya.”

    “Dan dimana bantuan yang kuminta! Mereka sangat terlambat.”

    “Ehm, tuan. Kau yakin pesanmu sampai pada mereka? Kau tahu, bisa saja pesanmu dicegat oleh pihak dari Liga Lombardo. Atau mungkin saja Raja Mahr’zal tidak bisa menyisihkan pasukan karena terlalu sibuk memerangi Liga Lombardo.”

    “. . . Setelah kau bilang begitu, itu memang masuk akal.” kata sang Baron sambil merenung, “Sayang sekali kita terpaksa mundur dari medan ini. . . Tapi rasanya aku melupakan sesuatu.”

    “Para necromancer di ruang bawah tanah.” kata Eckhard mengingatkan.

    Baron Moritz menjentikkan jarinya, “Ah, ya benar. Aku sama sekali lupa dengan mereka. . . Bawa sisa pasukan kita, bunuh mereka semua. Aku yakin tidak akan sulit, mereka cukup tidak berdaya tanpa ada mayat disekitar mereka.”

    “Dimengerti, tuan.” kata Eckhard sambil melangkah pergi.

    “Ingat jangan sampai ada yang selamat. Aku tidak ingin kabar mengenai necromancer ini sampai ke sepupuku.” kata Baron Moritz memperingatkan.

    “Raja Mahr’zal tidak akan mendengar sedikitpun tentang keberadaan mereka.” Eckhard mengatakan hal tersebut dengan penuh keyakinan sambil berjalan masuk ke dalam sebuah lorong gelap lainnya.



    **end of chapter 9**​
     
  17. ShinShirou M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Sep 28, 2010
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +24 / -0
    akhirnya part 3 ma 4 dah keluar

    ditunggu lanjutanyna :lalala:
     
  18. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Chapter X: An Old Wound

    Dari balik pintu gerbang yang telah hancur orang-orang berjalan keluar. Ratusan manusia dan kirzka ditangkap hidup-hidup sebagai tawanan perang. Benteng Cataract sudah jatuh sepenuhnya ke tangan aliansi.

    Ishtar bersandar di dinding benteng sambil mengawasi satu per satu penjaga Zar’goza dan pasukan Harland yang berjalan keluar. Semakin lama ia mengawasi para tawanan perang semakin ia menjadi gelisah. Dan pada akhirnya seorang pasukan Cavaliar datang melapor kepadanya, membawa ketakutannya pada kenyataan.

    “Lapor Jendral, kami sudah menyisir seluruh benteng. Sang Baron pemimpin musuh tidak dapat ditemukan dimanapun. Kami juga menemukan ruang bawah tanah benteng habis terbakar, penyebabnya tidak diketahui. ” kata si tentara sambil menunduk.

    Ishtar menggigit bibirnya sendiri mendengar hal itu, “Baiklah, kau bisa kembali ke posmu.” kata Ishtar pada tentara itu pada akhirnya.

    Baru saja Ishtar memikirkan kemungkian kemana hilangnya Baron Moritz, konsentrasinya terganggu oleh kehadiran seseorang.

    Ishtar menengok ke arah hawa keberadaan orang tersebut. Tampak seorang pria setengah baya dengan tubuh yang tegak. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan jubah panjang biru. Sebuah emblem bergambar makhluk berbadan singa dan berkaki ikan tersemat di bagian dada kanan jubahnya.

    “Jendral, aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu dua hari yang lalu.” kata pria tersebut dengan suara yang berat dan dalam ala pelaut.

    “Maaf, tapi aku tidak ingat pernah menolongmu. Tuan. . .?”

    “Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Tuan Harris, kapten dari kapal Sea Lion II. Kapalku pasti sudah karam di dasar sungai bila pasukanmu tidak mengalihkan perhatian para penjaga benteng.”

    “Ah.” Ishtar langsung teringat pada pemandangan yang dilihatnya ketika ia terlambung ke udara.

    “Sepertinya kau sudah ingat, Jendral. Ketahuilah bahwa seluruh awak kapal Sea Lion II berhutang nyawa pada dirimu dan pasukanmu.”

    “Tidak usah berkata begitu, kami hanya menjalankan tugas kami.” Ishtar sedikit merasa tidak enak dengan rasa terima kasih yang diterimanya.

    Kapten Harris memandang Ishtar sambil mengangguk-angguk. Dan dia terus memandang Ishtar untuk beberapa saat selanjutnya.

    “Maaf, tapi apa ada yang salah?” Ishtar memecahkan lamunan pria tersebut.

    “Oh, tidak. Tidak ada. . . Aku hanya tidak mengira Jendral Cavaliar yang memimpin serangan disini merupakan seorang wanita muda yang cantik. Sungguh pemandangan yang indah setelah pelayaran panjang.” kata pelaut tersebut sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.

    Ishtar langsung merasa wajahnya memerah. Ia menjadi tersipu malu mendengar perkataan si kapten.

    Melihat reaksi Ishtar sang kapten tertawa, “Maaf bila aku mengganggumu. Sebaiknya aku kembali memeriksa keadaan kapal. Aku mengharapkan kerjasamamu untuk selanjutnya.” kapten Harris berjalan pergi setelah mengatakan hal tersebut.

    “Kau tampak senang.” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Ishtar.

    Ishtar terlonjat kaget, dalam sekejap perasaan tersipunya hilang. Tampak Benevito bersandar tepat di sebelah dirinya. Ia tidak pernah terbiasa dengan keberadaan penasihatnya yang akhir-akhir ini selalu hilang dan muncul tiba-tiba.

    “Benevito, kau mengagetkanku. Tidak bisakah kau. . .”

    “Apa? Mengetuk pintu dulu?”

    “Sesuatu yang seperti itu kira-kira.”

    “Ngomong-ngomong, sepertinya Baronmu berhasil lolos.”

    Ishtar kelihatan tidak senang dengan perkataan Benevito, “Tolong jangan sebut dia Baron-ku. Sudah kuceritakan bukan, aku hanya bekerja satu kali saja sebagai tentara bayarannya. Dan itu sudah sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu, entahlah.”

    “Sepertinya dia sangat mengenang dirimu. Setidaknya dia masih menginginkan keahlianmu.”

    Ishtar menghela napas, “Tentu saja. Setelah perubahan yang kubawa ketika masuk ke medan perang, aku menjadi cukup terkenal dulu.”

    “Biar kutebak. Kau melakukan aksi salto melompat-lompat dan membunuh naga?” kata Benevito setengah bercanda.

    “Tentu saja tidak ada naga di Harland. Tapi, ya kau sudah punya gambaran bagaimana aku mengubah hasil pertempuran bagi keluarga Clement.”

    “Kau tahu, aku sedikit heran. Bagaimana ceritanya kau yang berasal dari daerah di seberang pegunungan greyshield bisa terdampar di daerah paling selatan tanah Zar’goza?” kata Benevito dengan nada penasaran.

    Sekali lagi Ishtar menghela napas, “Kita simpan saja cerita itu untuk lain kali, Benevito.”

    Ishtar bangkit dan berjalan meninggalkan Benevito sambil melambaikan tangan kirinya, “Aku mau melihat keadaan Sophie dulu. Sekalian melihat keadaan tentara kita yang terluka.”

    ***​

    Tampak keadaan di dalam pos klan Darkscale menjadi jauh lebih ramai sekarang. Sepertinya Ishtar telah berhasil membuat semua tabib menjadi sibuk. Seluruh kasur untuk istirahat sekarang terisi oleh tentara-tentara Cavaliar.

    Ishtar sendiri sebenarnya masih disuruh beristirahat dan belum diijinkan keluar oleh tabib kepala. Tapi ia berhasil memohon salah satu tabib untuk dibiarkan keluar, tentunya tanpa diketahui oleh tabib kepala.

    Dengan agak riang ia berjalan-jalan di sekitar ruangan tabib. Ishtar cukup menikmati waktu ‘istirahatnya’. Sosoknya yang anggun dan lembut dalam gaun putih menjadi pemandangan tersendiri di pos tabib itu.

    Ia kebanyakan menghabiskan waktunya untuk menguatkan hati tentaranya yang terluka parah. Ataupun menenangkan tentaranya yang terlalu histeris karena dirawat oleh tabib yang memiliki sederet taring tajam.

    Pagi itu Ishtar sedang menghibur seorang tentara Cavaliar yang tertusuk tombak di dada, ia kehilangan paru-paru kirinya. Ishtar meyakinkan pria muda itu bahwa ia masih berguna, setidaknya dia masih bisa bekerja di bagian suplai. Tentu saja tentara itu sama sekali tidak menganggap perkataan Ishtar menghibur. Dan ketika Ishtar mencoba meyakinkannya lagi insiden itu pun terjadi.

    Sebuah suara ribut dan teriakan dalam bahasa kirzka langsung mengejutkan seluruh ruangan. Sambil menghela napas dalam hati Ishtar langsung berjalan ke arah suara tersebut, kamar Sophie. Bila tebakannya tidak meleset, suara itu pertanda Sophie sudah siuman.

    Begitu Ishtar membuka pintu ruangan Sophie dirawat. Tampak seorang tabib kirzka sedang mencengkeram Sophie pada kedua tangannya sementara Sophie sendiri menendang-nendang dan memberontak. Sebuah pisau yang biasa digunakan para tabib dalam operasi tergeletak tidak jauh dari Sophie. Sebercak darah menodai pisau tersebut.

    “Tahan dia! Aku akan mencari tali atau obat penenang.” seorang tabib kirzka lainnya hendak berlari keluar ruangan. Ishtar bisa melihat pergelangan tangan tabib itu terluka.

    Ishtar dengan sengaja berdiri di depan pintu untuk menghalangi tabib itu, “Maaf, tapi kau tidak perlu keluar untuk mengambil tali ataupun obat bius.”

    “Apa kau bercanda? Gadis itu baru saja mencoba untuk membunuhku!”

    Ishtar memandang tabib kirzka itu dalam-dalam, “Tolonglah, biar aku yang mengatasi hal ini.”

    “. . . Baiklah.” jawab tabib itu pada akhirnya.

    Dengan cepat Ishtar berjalan kearah Sophie yang masih memberontak. Ishtar berusaha memanggil Sophie, tapi tampaknya gadis itu tidak mendengarnya karena terlalu sibuk menendang-nendang dan berusaha melepaskan diri.

    Setelah menghela napas Ishtar mengulurkan tangan kirinya dengan kuat ia menarik wajah Sophie sehingga gadis itu menatapnya secara langsung.

    “Sophie, tenanglah.” katanya dengan tegas.

    Sophie kelihatan mendapatkan lagi kendali dirinya. Gadis itu memandang Ishtar dengan penuh tanda tanya, “Jen-Jendral? Apa yang kaulakukan disini? Apa yang sebenarnya terjadi?”

    “Tenanglah Sophie, kau aman disini.” jawab Ishtar lembut.

    “Aman?” kata Sophie dengan keraguan besar sambil memandang kasar para tabib kirzka, “Kenapa mereka ada di sini?”

    “Kau seharusnya lebih berterima kasih pada penyelamatmu, Sophie.” kata Ishtar menasehati.

    “Apa maksud-? Lepaskan aku!” teriak Sophie begitu sadar bahwa ia masih dikekang oleh seorang kirzka.

    “Berhentilah bergerak! Kau hanya akan membuat lukamu semakin lebar!” desis kirzka tersebut dengan keras.

    Tiba-tiba Sophie kembali merasakan sakit yang ia lupakan. Ia tidak lagi melawan dan mulai merintih kesakitan.

    “Lepaskanlah dia.” perintah Ishtar pada tabib kirzka yang mencengkeram Sophie.

    “Tapi bagaimana kalau dia mengamuk lagi?” tanya tabib tersebut.

    “Cepatlah lepaskan dia! Kau takut bila ada seorang gadis kecil yang mengamuk?” Ishtar mengatakan begitu walaupun ialah yang paling tahu bahwa Sophie bisa saja membunuh salah satu dari para tabib kirzka.

    “Baiklah. . .” dengan ragu si tabib melepaskan pegangannya.

    Dalam sekejap Sophie jatuh dalam keadaan berlutut. Ia kelihatan meraih punggungnya yang kembali berdarah.

    Si tabib terdengar mendesiskan sesuatu dalam bahasanya kemudian baru berbicara dalam bahasa manusia, “Sudah kuperingatkan kau hanya membuat lukanya terbuka.”

    Tabib tersebut maju dan hendak merawat luka Sophie. Tapi ia segera berhenti begitu melihat pandangan Sophie yang liar.

    “Jangan sentuh aku.” kata Sophie dengan tajam.

    “Sophie, hentikanlah! Lukamu tidak akan sembuh kalau kau terus melawan.” Ishtar berkata dengan keras.

    “Dia benar.” tambah si tabib.

    Perkataan Ishtar tampaknya tidak berpengaruh bagi Sophie. Saat ini pikirannya hanya terpusat pada kebencian lamanya. Bahkan luka di punggungnya juga tidak mengalihkan dirinya dari perasaan marah. Bagi Sophie yang ada didepannya sama saja dengan pembunuh yang dilihatnya dua belas tahun yang lalu.

    Dari sorot mata Sophie, Ishtar tahu bahwa apapun yang dilakukannya tidak akan banyak berpengaruh. Dan ini meninggalkan Ishtar dengan pilihan yang sangat minim.

    Tanpa ragu-ragu Ishtar memukul bagian belakang leher Sophie. Sophie tampak kaget tapi ia tidak bisa mengatakan apapun karena detik selanjutnya ia sudah tidak sadarkan diri.

    “Tolong, obati lukanya lagi.” pinta Ishtar dengan sopan pada si tabib.

    Tabib tersebut tampaknya juga terkejut akan tindakan Ishtar, tapi dengan cepat ia sadar akan pekerjaanya.

    “Ya, tentu saja.” jawabnya.

    “Maaf, merepotkan.”

    “Tidak apa, bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi.” balas si tabib sambil memeriksa luka Sophie.

    “Ada apa ribut-ribut? Kalian membuat resah semua penghuni.” terdengar sebuah suara yang telah termakan waktu.

    Ishtar dan si tabib menengok. Si kirzka tua tampak berdiri di depan pintu. Ishtar hanya bisa menunduk dan meminta maaf sekali lagi sambil menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi. Si kirzka tua hanya mengelus dagunya sendiri selagi mendengarkan penerangan Ishtar.

    “Kurasa itu cukup merepotkan. Hal ini akan buruk bagi kesehatan gadis kecil itu sendiri.” desis kirzka itu setelah mendengarkan penjelasan Ishtar.

    “Elder, apakah kau punya saran untuk masalah ini? Aku sudah sama sekali kehabisan ide.” jawab Ishtar dengan jujur.

    “Hmm. . . Aku sama sekali tidak tahu mengenai Equor. Tapi Kaisar memang selalu bekerja dengan tersembunyi. . . Kalau dia memiliki trauma terhadap tentara kirzka. . . Sebenarnya ada satu gagasan yang terlintas di pikiranku.”

    ***​

    Sebuah rumah yang diselimuti lidah api. Tubuh-tubuh tak berdosa yang ada di bawah kakinya. Bayangan-bayangan kampung halamannya yang hancur kembali menghantui mimpi Sophie.

    Ia dapat merasakan keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhnya. Napasnya menjadi tidak teratur dan jantungnya berdegup kencang. Sebuah rasa sakit perlahan-lahan menyerang punggungnya. Awalnya seperti ada benda kasar yang menggores punggungnya. Tapi perasaan itu berubah, sekarang ia merasa seperti ada pisau yang menusuk punggungnya. Lama-lama rasa sakit di punggungnya makin besar.

    Sophie terbangun dari tidurnya sambil mengerang keras. Punggungnya terasa panas luar biasa. Apa yang ada di hadapannya terlihat samar-samar.

    Tiba-tiba Sophie merasa sesuatu menyentuh kulit punggungnya. Perasaan sakit yang dideritanya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh sensasi sejuk yang menyelimuti tubuhnya.

    Napasnya perlahan-lahan menjadi normal. Pandangannya pun mulai kembali. Walaupun begitu entah mengapa Sophie merasa sangat lemah. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya masih berkabut.

    Ketika Sophie mengangkat kepalanya ia dapat melihat seseorang sedang menyodorkannya semangkuk air. Melihat air pada mangkuk tersebut langsung mengingatkan dirinya akan rasa haus di tenggorokannya. Dengan cepat Sophie langsung menyambar mangkok tersebut dan menegak isinya.

    Ia merasa jauh lebih baik setelah membasahi tenggorokannya. Sekarang Sophie dapat melihat dengan jelas orang yang ada di depannya.

    Perempuan itu memandang Sophie dengan senyuman ramah. Rambut panjangnya yang hitam berkilau tampak diikat ke belakang agar rapih. Usianya sepertinya hanya beberapa tahun lebih tua dari Sophie.

    Dari manapun Sophie melihat, perempuan ini tampak seperti layaknya manusia biasa. Tapi pandangan Sophie terpaku pada satu hal yang ganjil. Perempuan tersebut memiliki pupil yang pipih seperti mata buaya atau kadal, seperti mata kirzka.

    Sophie tidak dapat melepaskan pandangannya dari mata tersebut. Tapi anehnya ia tidak merasakan amarahnya bergejolak ketika memandang mata tersebut. Ia hanya menurut dalam kebisuannya ketika perempuan itu mendorong tubuhnya dengan lembut untuk kembali tidur. Dengan hati-hati ia menarik selimut untuk menyelimuti tubuh Sophie.

    Terdengar sebuah suara merdu dari mulut wanita itu. Sophie sama sekali tidak mengerti bahasa yang diucapkannya. Tapi alunan merdu itu membuat Sophie mengantuk. Perlahan-lahan ia memajamkan matanya lagi. Ia kembali tertidur tapi kali ini tidak ada mimpi buruk yang menghantuinya.
     
  19. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    “Jadi ini idemu, elder? Aku sama sekali tidak menyangka.”

    Ishtar tampak sedang berbicara dengan tabib kepala di ruangannya. Botol-botol dengan berbagai ukuran dan isi berjajar dengan rapih pada lemari di sisi-sisi ruangan.

    “Ya, kita sangat beruntung memiliki Cailin disini. Dia merupakan bantuan yang sangat besar. Bukan begitu, Cailin?” kata sang tabib kepala sambil menoleh ke arah seorang wanita yang sedang membawa poci teh.

    Ishtar melihat wanita itu menuangkan teh untuknya, “Terima kasih.”

    Wanita itu tersenyum kepada Ishtar kemudian berbalik ke arah gurunya, “Master terlalu melebih-lebihkan. Kemampuanku masih jauh lebih rendah dari yang lainnya.”

    Ishtar dapat mendengar aksen yang aneh ketika Cailin berbicara dalam bahasa manusia. Sepertinya ia baru akhir-akhir ini belajar menggunakannya. Hal ini membuat Ishtar memiliki sebuah pikiran. Dan untuk membuktikan pikirannya Ishtar sedikit memiringkan tubuhnya.

    Tampak sebuah ekor kadal menjulur dari balik rok Cailin. Ekor bersisik merah tersebut tampak bergerak-gerak dengan penuh gairah. Sepertinya pujian dari kepala tabib telah menyenangkan dirinya.

    “Cailin, kau bukan berasal dari klan Darkscale?” tanya Ishtar setelah memposisikan dirinya lagi.

    Pertanyaan tersebut dijawab oleh sang kepala tabib, “Tidak. Cailin berasal dari klan Flamesight. Ayahnya menitipkan dia di sini untuk belajar mengenai penyembuhan.”

    “Kira-kira begitulah.” jawab Cailin dengan riang.

    “Maaf membuatmu repot, Cailin. Andai saja Sophie bisa ditangani oleh tabib lainnya.” kata Ishtar sambil menghela napas.

    “Tidak masalah, ia anak yang baik. Tapi master, kenapa hanya aku yang boleh masuk ke ruangannya?”

    Sang tabib kepala tampak meminum tehnya dulu dengan perlahan sebelum menjawab pertanyaan Cailin.

    “Gadis kecil itu memiliki kenangan buruk yang berhubungan dengan kaum kita. Hal itu membuat ia menjadi lepas kendali setiap kali ada kirzka yang berada dekat dengannya.” jawab sang kepala tabib dengan tenang sambil menghirup aroma tehnya.

    “Eh? Tapi aku juga kirzka.” balas Cailin dengan bingung.

    “Gambaran yang membuat gadis itu panik adalah makhluk besar bersisik dengan cakar dan taring tajam. Untungnya diluar gambaran itu, gadis itu tidak akan merasa terancam.”

    Sebuah kunci seakan terbuka di pikiran Ishtar begitu mendengar hal tersebut.

    “Ah. Karena itulah Sophie tidak mengamuk ketika Cailin ada di ruangannya. Karena perempuan kaum kirzka sama sekali tidak memiliki ciri-ciri tersebut.” ucap Ishtar dengan bersemangat.

    Cailin tampak bingung dengan pembicaraan Ishtar dan kepala tabib, “Apa maksudmu? Tapi biar bagaimanapun aku adalah seorang kirzka. Maksudku, mana ada manusia yang mempunyai ekor, atau mata seperti ini, atau taring." katanya seraya memeluk ekornya sendiri. Sepertinya ia merasa sedang disisihkan dari sisa kaumnya.

    Ishtar memegang bahu Cailin dan tersenyum, “Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. . . Aku percayakan Sophie padamu.”

    “Uhh, baiklah.” jawab Cailin walaupun ia sendiri masih belum terlalu mengerti apa yang terjadi.

    “Cailin kurasa sekarang waktunya kau melihat keadaan gadis itu lagi.” perintah sang kepala tabib tiba-tiba.

    “Baik, master. Kalau begitu aku permisi dulu.”

    Cailin menundukkan kepalanya kepada Ishtar dan kepala tabib sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

    “Elder, apakah menurutmu cara ini dapat bekerja. Maksudku, aku agak khawatir dengan keamanan Cailin.”

    “Hanya cara ini yang terpikirkan olehku. Setidaknya gadis itu tidak menjadi liar lagi bukan?”

    “Kuharap cara ini dapat berhasil. . .” kata Ishtar sambil merenung.

    ***​

    Cailin berjalan ke arah ruangan Sophie sambil bersenandung riang. Ia tahu pujian dari gurunya memang berlebihan, tapi tetap saja ia tidak bisa berhenti bangga.

    “Cailin! Kau mau ke ruangan gadis liar itu lagi?” terdengar seseorang memanggilnya dalam bahasa kaumnya.

    “Gadis itu tidak liar, Zarag. Yang dilakukannya hanya tidur dengan tenang.” balas Cailin pada tabib yang memanggilnya.

    “Baiklah terserah padamu. Aku hanya mau mengingatkan, kalau terjadi sesuatu berteriaklah. Kami akan langsung menolongmu.” kata Zarag sambil melambaikan tangannya.

    “Kau tidak perlu memberitahuku hal seperti itu.” balas Cailin sambil mendengus.

    Tanpa mempedulikan Zarag lebih lanjut, Cailin langsung masuk ke dalam ruangan Sophie. Betapa terkejutnya ia begitu melihat gadis itu sudah sadar dan sedang berusaha bangkit dari kasurnya.

    “Kau sudah sadar rupanya.” kata Cailin sambil menghampiri Sophie.

    Gadis itu menengok kearah dirinya, pandangannya tampak sayu. Ia berusaha turun dari kasurnya tapi tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan.

    Dengan panik Cailin langsung bergegas ke sisi gadis itu. Ia membantu gadis itu berdiri tepat pada waktunya.

    “Kau baru saja sadar, tidak baik untuk memaksakan diri.” kata Cailin dalam bahasa manusia sambil kembali menidurkan gadis itu.

    Gadis itu menatap dirinya dalam-dalam dengan pandangan yang lemah, “Kau-“

    Cailin menaruh jari telunjuknya pada bibir gadis tersebut sebagai isyarat agar ia tidak berbicara, “Kau baru saja bangun, tubuhmu masih lemah. . . Ah! Kau pasti lapar. Tunggu sebentar, aku akan segera membawakan makanan.”

    Cailin langsung bergegas keluar ruangan begitu menyadari gadis itu belum makan apapun selama tiga hari. Dengan cepat ia mengambil makanan dari ruang penyimpanan. Cailin kembali sambil membawa beberapa potong roti bakar dan keju. Ia menemukan gadis itu memandang makanan yang dibawanya dengan sorot kelaparan.

    Gadis itu langsung menyambar roti yang dibawa Cailin tanpa peringatan. Cailin hanya bisa tersenyum melihat gadis itu makan dengan lahapnya.

    “Ehm, mungkin kau sebaiknya makan dengan perlahan.” Cailin lama-lama khawatir dengan cara gadis itu makan, tapi tampaknya gadis itu sama sekali tidak mendengarnya.

    “Kau bisa saja tersed-“

    Belum selesai Cailin berbicara, gadis itu tampak terbatuk-batuk.

    “Sudah kubilang kan.” katanya sambil mengambil mangkuk air yang sudah ia sediakan sebelumnya.

    Perlahan-lahan Cailin membiarkan gadis itu minum.

    “Merasa lebih baik sekarang?” tanya Cailin dengan ramah.

    Perlahan-lahan gadis itu mengangguk dan berbicara dengan pelan, “Terima kasih. . .”

    Untuk kedua kalinya gadis itu memandang Cailin dalam-dalam.



    Sophie terus memandang wanita di depannya dalam-dalam. Ia tidak merasakan bahaya dari wanita itu. Tapi tetap saja ia tidak bisa memalingkan pandangannya dari mata wanita itu. Wanita itu menatap balik dirinya dengan ramah. Tapi tetap saja ia melihat keganjalan dalam mata wanita itu.

    Matanya sama dengan mata orang-orang yang menghancurkan kampung halamannya dua belas tahun yang lalu. Tapi ia tidak menemukan ketakutan ataupun amarah dalam dirinya ketika memandang ke dalam mata itu.

    Tiba-tiba mata itu memandang dirinya dengan khawatir, “Ada apa? Apa ada yang salah? Lukamu terasa sakit lagi?”

    Sophie membuang muka, “Ti-tidak. . . Aku baik-baik saja. . .” jawabnya dengan lemah. Ia merasa tidak kuat memandang balik tatapan penuh perhatian itu dengan rasa curiga.

    “Ah, aku perlu mengganti perbanmu. Tunggu sebentar di sini.”

    Wanita itu berjalan keluar dari ruangan dengan agak tergesa-gesa, seakan seluruh perhatiannya teralihkan oleh Sophie. Saat itu juga, sesuatu langsung menarik perhatian Sophie. Ia dapat dengan jelas melihat sebuah buntut kirzka menjulur dari balik rok wanita itu.

    Untuk sesaat Sophie menemukan gejolak dalam hatinya. Wanita itu. . . seorang kirzka? Orang yang dari tadi membantuku ternyata memang seorang kirzka? Dia menolongku. . ? Tidak pasti ada kesalahan. . . Tidak mungkin. . .

    Di tengah pikirannya Sophie dapat mendengar suara pintu mengayun terbuka. Wanita itu tampak membawa gulungan perban sambil bersenandung riang.

    “Kau akan merasa jauh lebih nyaman setelah aku mengganti perbanmu.”

    Sekali lagi Sophie memandang kedalam mata wanita itu dan ia hanya dapat menemukan keramahan. Batinnya menjadi makin terganggu melihat hal itu. Sophie hanya bisa memandang kosong dan membiarkan wanita itu membuka bajunya.

    “Mungkin rasanya akan sedikit sakit. Tolong tahan, ya.”

    Sophie tidak terlalu memperhatikan apa yang dilakukan wanita itu. Pikirannya sedang bergemuruh sendiri.

    “Kau. . . Seorang kirzka?” pada akhirnya ia berhasil juga mengucapkan hal yang mengganggunya.

    “Hmm. . . Ya, memangnya ada apa?” wanita itu tampak sibuk membuka perban lama Sophie.

    “Kau. . . Kenapa kau menolongku?” tanya Sophie dengan suara tercekat.

    “Kenapa?” wanita itu terdengar bingung, “Karena kau terluka.”

    “Hanya karena itu? Kau menolongku hanya karena itu?”

    “Hanya karena itu. Memangnya diperlukan alasan lain untuk menolong orang?”

    Sophie tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

    “Ahhh. . . Lukamu masih belum menutup dengan benar. Mungkin butuh waktu yang agak lama. . .” wanita itu terdengar kecewa.

    “Kau tadi bilang kau merupakan kirzka. . .”

    “Ya, memangnya ada apa dengan kirzka?”

    “. . . Kau tidak seperti mereka.”

    Wanita itu memiringkan kepalanya dan memandang dirinya dengan penuh tanda tanya, “Apa maksudmu aku tidak mirip dengan mereka? Aku sama saja dengan kaumku yang lainnya.”

    “Kau tidak. . .” Sophie menundukkan kepalanya, ia tidak mampu lagi mengucapkan kalimat selanjutnya.

    “Oh ya!” tiba-tiba wanita itu berseru seakan melupakan sesuatu yang penting, “Aku yakin ada seseorang yang sangat gembira bila tahu kau sudah sadar.

    Sambil melempar senyum riang wanita itu berlari keluar ruangan. Beberapa saat kemudian sebuah sosok yang sangat familiar tampak berlari masuk ke dalam ruangan.

    “Jendral Ish-!”

    Sophie sangat terkejut melihat sosok atasannya. Tapi Ishtar sama sekali tidak memberinya kesempatan kesempatan. Tanpa peringata ia langsung memeluk Sophie dan mengusap-usap rambutnya.

    “Ahaha, hentikan. Tolong berhenti.” kata Sophie sambil tertawa.

    Ishtar berhenti memeluk Sophie dan memandang gadis itu dengan sebuah senyuman, “Senang melihatmu baik-baik saja.”

    “Kau juga, Jendral. Walaupun sepertinya kau melukai dirimu lagi.” kata Sophie sambil tersenyum, ia dapat melihat tangan kanan atasannya yang diperban.

    Ishtar mendengus kecil sambil terus tersenyum, “Setiap kemenangan membutuhkan pengorbanan.”

    “Kemenangan? Maksudmu pertempurannya sudah berakhir?” tanya Sophie dengan bersemangat.

    “Tentu saja, Sophie. Setidaknya untuk sementara. . . Tapi kau tidak usah memikirkan hal itu. Sekarang kau sudah berada di tempat yang aman.”

    Sophie tiba-tiba menyadari bahwa ia sama sekali tidak tahu dimana ia saat ini. Ia memandang kesekeliling tapi sama sekali tidak mendapat petunjuk, “Jendral. Sebenarnya tempat apa ini?”

    “Kau berada di pos medis benteng Cataract, Sophie.”

    “Pos medis? Benteng Cataract?”

    Ishtar mengangguk sambil tersenyum.

    “Apakah itu artinya. . . Pos medis milik kirzka?”

    Ishtar terus tersenyum dan mengangguk.

    “Tolong biarkan aku keluar dari sini.” kata Sophie datar sambil melompat dari kasurnya.

    “Hentikan, Sophie.” Ishtar menahan Sophie agar ia tidak keluar dari kasurnya.

    Sophie berusaha melawan dan ketika melakukannya matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Ishtar. Ia merasakan wanita itu memandangnya dengan rasa kecewa yang amat luar biasa. Dalam sekejap Sophie membeku karena pandangan itu.

    Wanita yang selalu menjadi sosok terdekatnya memandang dirinya dengan lemah. Tiba-tiba ia menjadi merasa dipenuhi perasaan bersalah.

    “Sophie. . . Apa kau masih belum bisa melepaskan masa lalumu?” Ishtar bertanya dengan nada sedih yang mendalam.

    Ia hanya bisa menunduk dan diam saja. Sophie dapat melawan dan memberontak bila seseorang memandangnya dengan amarah ataupun rasa benci. Tapi hatinya serasa teriris bila seseorang memandang dirinya dengan penuh kekecewaan dan kesedihan.

    Sophie dapat merasakan jemari Ishtar yang lembut perlahan-lahan menyentuh tangannya dan meremasnya.

    “. . . Cailin, perawatmu. Dia bersikap baik padamu bukan? Kau tahu dia kirzka bukan? Apa kau masih berpikir bahwa mereka semua jahat? “

    “Maaf. . . Aku, tidak. . . Maaf. . .” Sophie terus tertunduk, katakatanya seakan tercekat di tenggorokannya.

    Tanpa peringatan Ishtar menarik Sophie hingga Sophie mengistirahatkan kepalanya di bahu Ishtar.

    “Tidak. Maaf, aku yang salah. Aku tidak seharusnya memaksakan sesuatu padamu.”

    Sophie dapat merasa Ishtar mulai mengelu-elus kepalanya.
    “Sophie, kau masih ingat pembicaraan kita sebelum penyerangan pada benteng ini.”

    Ia tidak menjawab pertanyaan Ishtar. Ia hanya diam dan merasakan kehangatan dari atasannya.

    “Suatu saat lukamu akan sembuh. Waktu akan menyembuhkannya. . . Baik luka di punggungmu ataupun luka di hatimu, keduanya akan tersembuhkan. . .”


    Ishtar perlahan-lahan menutup pintu ruangan Sophie. Ia tidak ingin suara pintu itu membangunkan ajudannya. Dan begitu ia menengok ia melihat Cailin sudah menunggunya di luar.

    “Dia sedang tertidur lagi.” jawab Ishtar pelan ketika melihat pandangan Cailin yang penuh rasa penasaran.

    “Oh, begitukah? Memang efek samping dari ramuan darah troll seperti itu.” jawab Cailin penuh pengertian.

    Ishtar mengatakan apa yang diketahuinya, “Ya aku juga tahu. Ramuan itu mempercepat regenerasi tubuh. Sementara itu regenerasi membutuhkan banyak tenaga. Dan salah satu cara untuk mempertahankan tenaga adalah dengan tidur. Jadi maklum kalau peminum ramuan itu mudah merasa mengantuk.”

    Cailin tampak takjub dengan perkataan Ishtar, “Kau tahu sungguh banyak. Aku bahkan hanya tahu sebagian dari itu. . . Uhm, dari mana kau bisa tahu sebanyak itu? Aku jadi merasa sedikit iri.”

    Ishtar jadi tersenyum geli begitu melihat reaksi Cailin. Ekornya yang tadinya bergerak penuh semangat berubah menjadi lesu setelah mengucapkan hal tersebut. Murid sang kepala tabib itu menundukkan kepalanya, tangannya tampak meremas-remas roknya sendiri.

    “Cailin, kau baru saja belajar pengobatan dan ilmu yang kaudapat masih sedikit. Sedangkan aku sudah punya banyak pengalaman bersama klan ini. Tapi bila kau belajar terus kau bisa menjadi tabib yang hebat.” Ishtar berusaha menghibur Cailin yang tampak kecewa.

    “Benarkah begitu?” Cailin mengangkat kepalanya, wajahnya tampak cerah.

    “Tentu saja, Cailin.” balas Ishtar dengan ramah. Sepertinya ia tipe orang yang cepat berubah perasaannya, pikir Ishtar begitu melihat perubahan sikap Cailin yang cepat.

    Cailin tersenyum dengan wajah cerah lagi. Ekornya mulai bergerak-gerak penuh semangat. Ishar hanya bisa tersenyum lemah melihat hal ini.

    “Ngomong-ngomong Cailin, aku harus pergi sekarang. Tolong jaga Sophie untukku.”

    Cailin menjawab dengan semangat, “Percayakan saja padaku. Aku akan menjaga gadis itu dengan sebaik mungkin.”

    “Ah, maaf ya merepotkanmu.” kata Ishtar sambil berjalan pergi.

    Diam-diam ia menghela napas. Aku sangat ingin berada di sini. Sayang sekali masalah perang tidak pernah bisa menunggu.
     
  20. 4me M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 1, 2010
    Messages:
    564
    Trophy Points:
    126
    Ratings:
    +2,810 / -0
    Ceritanya bagus. ak suka. ga da kelanjutannya kh ini. Act II ditunggu deh. ;[
     
  21. MaxMarcel M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    536
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +2,847 / -0
    Thanks ya udah baca :beer:

    Ceritanya bakal selalu di update pelan2 koq. Sabar aja.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.