1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

FanFic Something To Believe [Korean Artist]

Discussion in 'Fiction' started by pippo09, Aug 15, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. pippo09 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 1, 2010
    Messages:
    1,235
    Trophy Points:
    266
    Ratings:
    +9,748 / -0
    Sepatah kotorkata dari eke.

    Trit ke tiga di SF ini. :haha:
    Saya minta maaf jikalau trit lama terbengkalai. Saya janji akan menyelesaikannya secepat mungkin :maaf:. Beberapa waktu lalu minat saya pada menulis berada pada tingkat dibawah paling dasar(?). Yang menyebabkan semua fanfic saya terbengkalai. *sok penting :jotos


    salam menulis dari eke. :kisss:

    nb: nama tempat/jalanan mungkin ada nyatanya di korea. Tapi gambaran jauh atau bahkan tidak sama dari aslinya. >.<
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Aug 23, 2011
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. pippo09 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 1, 2010
    Messages:
    1,235
    Trophy Points:
    266
    Ratings:
    +9,748 / -0
    ~Something To Believe~
    Genre : Romance

    [​IMG]

    Cast :

    ~ Park Boo Young as Shin Je Won
    [​IMG]

    ~ Jo Kwon as Jo Kwon
    [​IMG]

    Index
    Prolog
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Aug 15, 2011
  4. pippo09 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 1, 2010
    Messages:
    1,235
    Trophy Points:
    266
    Ratings:
    +9,748 / -0
    PROLOG

    Internasional Seoul Hospital, 20 Agustus 2009

    Aku mengerjab, mencoba mengumpulkan kesadaranku. Hampir semenit, hingga akhirnya kudengar suara cempreng berteriak kencang sekali.

    1Eomma! Dia sudah sadar!”

    “Sayang...” desah wanita yang sepertinya dipanggil Eomma oleh si suara cempreng tadi. Dia membelai wajahku lembut. Aku hanya diam, menikmati belaian yang rasanya begitu kurindukan. “Akhirnya…kamu sadar sayang.” suaranya serak. Mataku bergerak, ingin melihat wajahnya. Tapi dia dengan gerakan cepat memelukku erat. Tubuhnya bergetar hebat. Aku yakin dia tengah menangis. Ingin rasanya menepuk-nepuk punggungnya, tapi tangan dan otakku saat ini tidak bersatu.

    “Biarkan dokter memeriksanya dulu.” Laki-laki dengan kemeja polos hitam yang lengannya tergulung berantakan memegang pundak wanita yang masih menangis dipundakku, setengah menarik.

    Aku diam mengamati kehebohan yang terjadi dalam ruangan dengan dinding bercat putih ini. Hanya manik mataku yang bergerak mengikuti alur gambar yang terpangpang dihadapanku. Aku tidak mengingat siapa mereka. Aku tidak tahu kenapa bisa terbaring disini. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka begitu terlihat sedih dan bahagia dalam waktu bersamaan. Aku tidak mengerti, kenapa rasanya tubuhku begitu bodoh. Tidak ingin mengikuti perintahku. Tidak ingin berkerja sama denganku. Aku juga tidak mengerti, kenapa rasanya ada perasaan sakit sekali. Seperti ada yang hilang. Dan hal yang paling bodoh yang aku tidak pahami adalah… aku… tidak tahu siapa namaku. Kenapa aku bisa tidak tahu namaku sendiri?

    Catatan : 1. Eomma = Ibu
     
    Last edited: Aug 15, 2011
  5. pippo09 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 1, 2010
    Messages:
    1,235
    Trophy Points:
    266
    Ratings:
    +9,748 / -0
    Chapter 1

    “Kau dulu pintar sekali. Juara kelas.” Ucap Jokwon sedikit teriak. Aku memutar bola mata, sedikit terganggu dengan ucapannya.

    Aku ingat sekali kalimat itu. Karena hampir setiap saat rasanya orang-orang disekelilingku mengatakannya, berulang-ulang. Sampai terkadang dalam mimpi pun aku mendengar peri-peri mimpi membisikiku hal yang sama. Wajar saja jika mereka mengatakan –mengejeki tepatnya- seperti itu. Karena dua tahun lalu aku yang katanya dulu sangat cerdas, bahkan mengikat tali sepatupun tidak tahu.

    Mungkin jika ada orang yang melihatku sekarang. Setelah dua tahun kecelakaan naas yang membuatku harus kehilangan hampir seluruh ingatanku itu. Mereka tidak akan menyangka aku sudah berusaha keras selama kurung waktu dua tahun. Mengenal diriku dan mengenal tubuhku yang hingga kini masih agak kaku kukendalikan. Kala itu, aku seperti kembali ke masa anak-anak. Harus belajar membaca, berbicara, dan berbagai hal lainnya yang tidak dilakukan lagi oleh orang dengan umur 23 tahun.

    “Kenapa?”

    Aku bergeming, tidak menanggapinya.

    “YA!” Dia mengguncang tubuhku hingga daguku yang tadinya beralaskan lutut mendadak melayang-layang di udara. Terguncang sempurna.

    “Tidak ada apa-apa kok, Jagi.” Aku mengecup bibir tipisnya sebentar lalu mencubit pipinya. Ia tidak berekspresi. Aku tertawa geli melihat matanya. Hal yang paling aku suka adalah matanya. Kenapa? Karena matanya selalu bercerita.

    “Kenapa menciumku?” Tanyanya dengan jari telunjuk mengarah ke bibirnya.
    Aku menganga sempurna mendengar pertanyaan Jokwon barusan. Mendadak waktu seperti terhenti. Otakku tumpul. Buku-buku jariku membeku. Aku.. KENAPA AKU MENGECUPNYA?

    Dengan gerakan cepat aku mundur, menabrak kursi belajar yang memang tidak jauh dari ranjang tempatku dan Jokwon duduk. Melihat ke arah kanan dan berlari meraih ganggang pintu. Sedetik sebelum aku membuka pintu, tangan dengan kulit putih pucat menggengam erat tanganku. Aku mendongak dengan gerakan sangat lambat, sedikit takut. Dan saat pandanganku bertemu dengan manik mata pemilik tangan itu, jantungku berdetak kencang. Apa ini? ADA APA DENGANKU?

    Aku menekurkan kepala dalam-dalam. Menyembunyikan rona merah di pipiku. Aku sangat malu. Setelah sekian lama aku akhirnya merasa mempunyai teman, aku malah melakukan hal yang memalukan. Benar-benar memalukan.

    Dia menarikku dalam dekapannya. Menepuk-nepuk pundakku. Cukup lama sampai akhirnya Ia melepas pelukannya. Masih dengan tangan tergantung di pundakku, Ia menghela napas berat. “Mungkin tadi saat kau mengecupku, di ingatanmu.. aku masih pacarmu.” Ucapnya pelan sekali. Saking pelannya ditelingaku hanya terdengar seperti bisikan.

    Aku bungkam. Bukan sengaja. Hanya saja bibirku kelu karena menanggung malu yang bukan main. Bagaimana bisa aku seceroboh itu, terhanyut dalam ingatan masa lalu yang buram?

    ***​

    Klik. Klik. Klik.

    Suara klik tidak berhenti mengaung dari ponsel di tanganku. Setengah jam aku memencet tombol bergambar ponsel merah secara berkala, hingga membuat layarnya mati-nyala.

    Ada perasaan khawatir yang menyeruak tidak stabil saat mengingat kebodohanku tadi sore. Aku masih tidak paham. Bagaimana bisa tubuhku bergerak tanpa berpikir sebelumnya? Oke. Kuakui, aku memang mempunyai pribadi ‘melakukan sebelum berpikir’. Tapi tetap saja tidak masuk akal sekali kecupan sepihakku tadi!

    Kring~

    Hanya terdengar sekali suara dering telpon tua yang aku stel sebagai nada panggil masuk. Dengan kaget aku melihat history panggilan masuk. Nama Jokwon tertera paling atas. Aku menggeleng sambil menepuk dahi. Aku tidak sengaja me-reject telponnya. Satu lagi kebodohanku hari ini.

    To : JoKwon

    Mianhae. Tadi aku tidak sengaja me-reject telponmu.
    Mianhae juga untuk tadi sore.
    Aku bingung bagaimana menjelaskannya pdamu.
    Yang jelas ..aku benar-benar tidak bermaksud menciummu…


    Aku tersedak melihat kata terakhir yang kuketik. Membuat isi perutku bereaksi aneh, seperti ingin muntah. Sekali lagi aku menggeleng keras. “Aniyo. Aniyo.” Kilahku pada kekosongan. Aku menghapus hampir separuhnya, menyisakan baris pertama. Setidaknya aku sudah minta maaf.

    Kring~

    Tak lama setelah aku mengirim sms, Jokwon menelpon. Kubiarkan tiga kali berdering. Baru akhirnya kuangkat.

    Yeobseyo.” Jawabku dengan suara dibuat-buat imut.

    Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara kresek-kresek di seberang.

    “Yeobseyo.” Ulangku, penasaran.

    Masih tidak ada jawaban.

    “Yeob..”

    “Jeewon-ah. Datanglah ke rumah makan di dekat rumahmu. Aku kesepian makan sendiri disini. Ppalli! Arraso? ”

    Tut. Tut. Tut.

    Belum sempat aku menjawab, sambungan telpon sudah terputus. Dasar tukang paksa, rutukku dalam hati. Dia selalu seperti itu, memutuskan sepihak. Jaket hijau tebal aku kenakan dan syal putih aku lilitkan di leher. Aku melirik angka digital yang tertera di arlojiku. 19.00. sejam lebih cepat dari waktu makan malam biasaku.

    Hawa dingin menampar wajahku saat aku membuka pintu. Dan salju yang bertumpuk-tumpuk menyambut setiap langkahku. Butuh waktu 10 menit berjalan dari rumahku untuk sampai ke rumah makan. Baru separuh jalan, tubuhku sudah menggigil hebat karena suhu yang di bawa normal.

    “Jeewon-ah”

    Aku mendongak. Di depan rumah makan Jokwon melambai heboh ke arahku. Aku tidak menanggapi, hanya berjalan cepat. Ingin segera menghangatkan diri.

    “YA!”

    Jokwon sekali lagi meneriaku. Saat masuk tadi aku melewatinya tanpa menoleh. Membuat wajahnya tertekuk hebat tapi tetap terlihat lucu.

    Meja rendah berwarna coklat tua berbaris tiga rapi memanjang, memenuhi ruangan. Di setiap meja tersedia kompor yang merekat, terbenam ke bawah meja. Bantal segi empat tipis berwarna merah polos tersusun di dekat meja. Di ujung ruangan sebelah kanan, gantungan tinggi dengan berbagai warna celemek begitu mencolok saat baru masuk di rumah makan ini.

    Aku mengambil posisi duduk di meja bagian dalam, jauh dari pintu masuk. Sementara Jokwon mengekoriku dibelakang. Wajahnya sudah tidak muram lagi. Mungkin melihat meja makan sedikit membuatnya lebih bahagia. Setelah celemek biru tua kukenakan, aku duduk di atas bantal dengan kaki bersilang. Dia duduk tepat dihadapanku –di sebarang meja- dengan celemek berwarna orange. Asal sekali selera warnanya.

    “Apa sudah ingin memesan?” Tanya wanita dengan kepala terbungkus kain biru. Dia menenteng buku kecil dan pulpen.

    Aku tersenyum. “Ne. Jokwon, kau ingin makan apa?” Jokwon membisu. Kepalanya miring, tidak menghadap ke arahku. Masih marah rupanya.

    “Hmm. Dakgalbi dua porsi.”

    “Dakgalbi.. dua porsi.” Ulang ahjumma tadi dengan sabar.

    “Hmm..”

    “Doenjang jjigae.” Sahut Jokwon cepat. Aku hampir tersedak mendengar suaranya. Dia lapar? Sampai berteriak seperti itu.

    “Minumannya?”

    “Soju.”

    Setelah mengulang semua pesanan, ahjumma itu tersenyum sebelum beranjak masuk ke dalam dapur.

    “Marah?” Aku mencondongkan tubuhku ke depan ke arah kanan. Ingin melihat wajah Jokwon yang sedari tadi tidak jua menatapku.

    “Ani.” Jawabnya singkat dengan mata masih betah menatap ke luar. Aku mengembungkan pipiku, sedikit kesal dengan responnya. Kusandarkan tubuhku pada dinding yang setengahnya dibaluti kayu. Ikut menikmati pemandangan salju yang turun bergumpal-gumpal seperti kapas. Keheningan selama beberapa menit menggeroti kami. Sampai ahjumma yang sama membawakan pesanan makanan pun, kami masih berdiam ria.

    Aku mengambil penjepit lalu memencet-mencet daging ayam tipis yang sudah diletakkan di atas pemanggang oleh waiter tadi.

    “YA! Ngapain kau?” Jokwon merebut penjepit tadi dari tanganku. Tidak membuatku marah. Malah aku tersenyum sumrigah.

    “Kenapa tersenyum?” Matanya yang sipit membulat. Aku tartawa.

    “Ehem..” Dia berdehem, kebiasannya sekali.

    Gunting besar kugenggam, tidak sabar ingin memotong daging-daging itu.

    “Seram sekali.” Ejek Jokwon membuatku iseng mengacungkan gunting ke arahnya. Kepalanya mundur cepat. “YA!” aku cekikan mendengar teriakannya. Memang asyik sekali mengerjainya.

    Jokwon mengambil daun lalu menaruh di atasnya nasi, daging yang sudah dipotong-potong kecil dan ssamjang dengan sumpit. Aku mengikuti gerakannya dengan kaku. Sumpah! Selama aku hidup –dua tahun maksudku- aku tidak pernah makan makanan seperti ini. Tadi aku asal saja menyebut nama makanan. Bingung darimana munculnya.

    “Nih.” Jokwon mengulurkan daun yang sudah terbungkus rapi ke arahku. Aku menatapnya lalu menatap bungkusan daun itu bergantian, berkali-kali. “Makanlah.” Dengan gerakan cepat didorongnya makanan itu, membuatku otomatis membuka mulut.

    “Woah! Enak!” mataku berbinar-binar menikmati sensasi setiap gigitan. Aku mengangkat ke dua jempol ke arahnya. “Gomawo. Jokwon-ah.”

    Dia tersenyum, manis sekali. “Ini makanan favoritmu.”

    Omo!.. Jjinja?” Ternyata ini makanan favoritku. Pantas saja aku memesannya tanpa ragu.

    Hampir setengah jam kami berkutat dengan makanan. Sampai akhirnya perutku sudah tidak sanggup lagi menerima suapan Jokwon dan memutuskan untuk pulang.
    “Hahh! Gomawo Jokwon-ah.” Teriakku riang saat perjalanan pulang. Dia memaksa untuk mengantarku pulang. Yah, aku terima-terima saja.

    “Sama-sama.” Dia memandang langit dengan tangan dibenamkan di kantong jaketnya.

    Aku meliriknya sebentar. “Apa dulu kau selalu sekeren ini Jokwon-ah?”

    Tidak ada jawaban. Aku menoleh dan Jokwon tertinggal dibelakang. Kami terpisah dua atau tiga langkah. Dia menatapku dalam.

    “Apa .. kau mengingat sesuatu?”

    “Entahlah. Hanya saja jika aku di dekatmu atau memikirkanmu beberapa potongan ingatan terlintas di pikiranku. Sadar atau tidak.” Aku berbalik, memunggunginya. “Walaupun terkadang ada rasa perih setiap aku mengingat, tapi aku ingin mengingat kenangan-kenangan itu. Semuanya.” Ucapku mantap lalu kembali melangkah.

    Suara derap langkah dengan cepat terdengar dibelakangku. Lalu mendadak ada yang menubruk tubuhku. Membuatku oleng ke depan. Namun segera berdiri tegak lagi setelah di masing-masing sisi tubuhku muncul tangan yang kemudian bergerak memeluk erat tubuhku. Jokwon membenamkan wajahnya pada pundak kananku.

    “Boleh aku memintamu untuk tidak mengingatnya?”

    ***​

    Keterangannya ntar saya tambahin. xD
     
  6. shitadevi Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Oct 16, 2010
    Messages:
    25
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +3 / -0
    hmm blom ada kelanjutan nya hehhee penasaran :)
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. pippo09 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 1, 2010
    Messages:
    1,235
    Trophy Points:
    266
    Ratings:
    +9,748 / -0
    Chapter 2

    “Boleh aku memintamu untuk tidak mengingatnya?”

    Aku.. bingung harus mengatakan apa. Apa aku harus bertanya ‘Kenapa’ padanya? Atau aku harus diam dan mematuhi permintaannya?

    “Mianhae.” Ucap Jokwon sebelum akhirnya kudengar derap langkahnya yang cepat. Menjauh. Meninggal keheningan perih yang menggulung di sekitar.

    Apa ingatanku begitu buruk untuknya hingga dia memintaku untuk tidak mengingatnya? Apa diingatannya aku begitu jahat hingga dia tidak sudi aku menjelma menjadi ‘penjahat’ kenangannya lagi? Apa aku dulu begitu memuakkan? Apa dulu .. apa dulu.. apa dulu.. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan tapi semua tertahan di kerongkonganku. Membeku. Dibekukan oleh ketakutanku pada diriku sendiri. Mungkin ternyata aku begitu takut pada kenyataan masa lalu. Mungkin.. aku si pengecut kenyataan.

    Aku mendongak. Menahan air mata yang sudah menggenang di sudut mata. Permintaannya… terasa begitu menyakitkan. Sangat.

    ***

    “Gwenchana?”

    Aku mengangguk mendengar pertanyaan eomma. Aku tahu aku berbohong, karena jelas aku tidak baik-baik saja. Aku patah hati.

    “Aku tidak yakin kau baik-baik saja.”

    Segera kuputar arah dudukku yang tadi menghadap TV ke arahnya. Ia tengah di dapur, entah sedang apa. Kupangkukan daguku di sandaran sofa. Memerhatikan wajahnya dan setiap geriknya.

    “Sepertinya memang sedang tidak baik.” Ia tersenyum. Penuh pengertian.

    Perasaan lesu menyerangku seketika. Seorang eomma memang tahu segalanya, batinku.

    “Tidak ingin cerita?” Dia menimpali lagi seraya berjalan keluar dari dapur. Mengambil posisi duduk di dekatku. Aku tidak segera berbalik. Masih menimang-nimang apa harus cerita padanya atau tidak.

    “Kalau tidak mau cerita juga tidak apa.” Lagi-lagi dia melemparkan senyum malaikatnya.

    “Hmm… Apa dulu aku pernah berbuat kesalahan yang tidak termaafkan?" Aku melihat matanya penuh harap. Entah apa yang aku harapkan. Yah, aku mungkin ingin menjadi baik?

    “Setiap orang punya sisi jahat. Jeewon, eomma, appa dan semua orang pernah melakukan hal yang buruk..” Dia berhenti sejenak. Menarik tanganku lalu menggenggamnya. Tangannya begitu dingin. Seperti takut akan sesuatu.

    “Aku lebih suka kalau eomma jujur.” Ucapku akhirnya setelah lama keheningan menyelubungi kami.

    Ia tidak menjawab. Malah melempar tatapan pilu. Membuat wajahku seperti ditampar. Ditampar kenyataan. Apa yang sebenarnya orang-orang sembunyikan dariku? Apa dulu pernah membunuh lantas tidak seorangpun ingin aku mengingatnya? Hah! Benar-benar menakutkan!

    “Ti.. Tidak.. Eom.. Eomma jujur sayang.”

    Aku tahu itu bohong. Tapi kubiarkan –sekali lagi- orang menyuruhku untuk tidak mengingat. Apa kali ini aku harus menguburnya? Benar-benar menguburnya? Tapi aku… ingin… benar-benar ingin mengingat semuanya. Terutama tentang aku dan Jokwon.

    ***

    “YA!”

    “Hah? Oh my God. Kau sudah seratus persen seperti ahjumma-ahjumma.” Jokwon mengusap-ngusap dadanya. Mungkin kaget.

    “Apa kau dulu sering mengataiku perempuan jalang?”

    “HAAH?” Mulutnya menganga.

    “Aku hampir gila karena sudah tiga hari ini mendengar suaramu meneriaku jalang! Mana kepalaku sakit sekali. Arghh!” Aku memegang kepalaku frustasi. Kepalaku benar-benar sakit saat suaranya menggila di pendengaranku. Seperti bisikan-bisikan setan.

    “Jee..jeewon apa kau mengingat sesuatu?”

    “Menurutmu? Aku tidak tahu apa itu disebut ‘mengingat’ bagimu. Tapi… apa… apa itu… meneriaku… pe.. perempuan jalang. MWO? PEREMPUAN JALANG?” Aku murka. Aku yakin dia pernah meneriaku seperti itu. Omo! Membayangkannya saja membuat otot-otot di otakku mengejang hebat. Bagaimana bisa aku –anggap saja- yang begitu setia bisa diteriaki jalang? Jelas disini ada yang salah!

    “Ya.. ya.. ya…” Jokwon mundur, menjauh. Hah! Dia takut rupanya. Apa sekarang dia takut setelah kedoknya terbongkar?

    “Wae? Wae? Wae?”Aku maju. Hingga jarakku sangat dekat dengannya. “Kau takut sekarang?”

    “Aniyo.” Ia memundurkan tubuhku. Tapi aku maju lagi, menantangnya. “Arraso. Arraso. Aku minta maaf karena dulu pernah mengataimu perempuan jalang. Aku benar-benar emosi saat itu.” Jelasnya frustasi.

    “Kenapa sampai hati mengataiku perempuan jalang?” Aku menekankan pada kata perempuan jalang.

    Dia menggeleng keras. “Aku tidak akan memberitahukanmu. Tidak akan pernah!”

    Tubuhku mundur perlahan. Jokwon ingin meraih lenganku tapi aku tepis.

    “Kau keterlaluan, Jokwon.” Lirihku. “Kau tahu… aku benar-benar ingin mengingatmu. Aku ingin mengingat tentang kita dulu. Aku ingin tahu apa yang membuat kita putus. Aku ingin tahu… apa yang kau suka. Apa yang kau tidak suka. Apa hobbymu. Aku ingin tahu semua itu. Tapi kenapa… kau.. bahkan eomma sekalipun. Tidak membiarkan aku mengingatnya? Kenapa Jokwon-ah? Apa aku yang dulu tidak patut diingat?” Aku putus asa dengan semua ini. Kenapa semuanya jadi begitu rumit setelah aku bertemu dengan Jokwon? Seingatku dua tahun yang aku jalani selama ini aman-aman saja. Yah, walaupun tanpa seorang teman.

    Bukan aku menyesali pertemuan ini. Hanya saja… aku merasa begitu bodoh. Berharap banyak padanya. Berharap dia akan menjadi tiang ingatanku. Membantu membangun ingatanku. Aku hanya bisa berharap padanya, karena sebenarnya aku tahu eomma dan appa sejak lama berbohong. Aku tahu mereka telah menyembunyikan banyak hal. Salah satunya adalah aku tahu… mereka bukan orang tua kandungku.

    “Tidak. Bukan begitu..” Jokwon menarikku dalam pelukannya lalu menempelkan dagunya di kepalaku. Tubuhku mengikutinya begitu saja. Tidak menolak. Mungkin karena hatiku begitu sakit hingga tidak mampu lagi mengelak.

    “Apapun yang kau mau akan aku berikan Jeewon-ah. Tapi tidak dengan ingatanmu. Aku tidak bisa.” Suaranya parau dan bergetar. Lalu kurasakan ada yang basah di rambutku. Apa Jokwon menangis?

    “Kenapa?” Gumamku pelan. Dan Jokwon membisu. Mungkin dia tidak mendengarku? Atau dia pura-pura tidak mendengar?

    Aku menjauhkan tubuhku. Dan seperti dugaanku Jokwon menangis. Ada air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya. Aku mengulurkan tangan, meraih wajahnya yang mungil. Lalu mengusap air mata disana. Penuh perasaan.

    “Mianhae Jokwon-ah. Aku tetap ingin mengingatnya. Sepahit apapun itu. Aku ingin mengingatnya. Semuanya.” Ucapku yakin sambil melihat matanya. Mencari persetujuan di matanya. Walaupun aku tahu itu sia-sia. Karena dia tidak akan membiarkanku mengingatnya.

    ***​

    astaga bangetlah. saia lupa ternyata chapter 2 gk dipost. :keringat:
    Keterangannya ntar saya tambahin. xD
     
  8. pippo09 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 1, 2010
    Messages:
    1,235
    Trophy Points:
    266
    Ratings:
    +9,748 / -0
    Chapter 3

    Seoul Grand Park hari ini tidak begitu ramai. Mungkin karena pohon sakura yang menjadi khas dari tempat ini tengah dalam keadaan tak layak pandang. Alias tanpa bunga indahnya. Aku menyapu tumpukan salju di atas bangku panjang taman dengan tangan kananku yang terbungkus. Lalu mendudukkan tubuhku.

    Sudah sebulan berlalu sejak pertemuanku yang terakhir dengan Jokwon di rumahnya. Aku tidak pernah lagi melihatnya… bukan, aku yang memang sengaja tidak ingin melihatnya. Ada rasa kecewa yang menggunung di hatiku. Hingga membuatku tidak ingin melihatnya. Tapi.. terus terang saja aku merindukannya.

    “Melamun saja kerjamu.”

    Aku mendongak. Lalu dengan cepat berdiri dari dudukku. Mundur selangkah.

    “Apa kabarmu?”

    Tanganku bergetar hebat mendengar suara tenornya menanyakan kabarku.

    “Kenapa?” Tubuhnya yang jangkung bergerak maju. Tangannya melayang ingin meraih pipiku yang mendadak panas.

    “ANDWE.” Aku berteriak kencang lalu menepis kasar tangannya. Mendadak aku sulit bernapas. Sesak. Diiringi kepalaku yang berdenyut hebat. Serangan sakit kepala yang selalu berhasil ingin membuatku muntah. Tapi siapa lelaki ini? Kenapa dia dengan gagahnya mengundang sakit kepala yang merisaukan ini?

    “Gwenchana?”

    “ANDWE!!!” Aku mendorong tubuhnya. Entah setan apa yang merasuki sistem saraf otakku. Yang jelas tubuhku sangat menolaknya. Setiap mendengar suaranya kepalaku ingin pecah.

    “Ada apa?”

    “BERHENTILAH BICARA!” Aku menutup kedua telingaku lalu menjongkok. Ini gila! Ini gila! Kepalaku benar-benar sakit.

    Dia menuruti permintaanku. Mungkin hampir sepuluh menit dia tidak bersuara. Membuat saraf-saraf di otakku menenang. Dan aku akhirnya berani mengangkat kepalaku. Ketika mata kami bertemu sedetik kemudian dia berpaling. Tapi aku masih menatapnya. Matanya yang sendu dan bibirnya yang penuh. Tidak asing. Dimana aku pernah melihatnya?

    Aku berdiri masih dengan mata terarah padanya. Yah, kepalaku masih sedikit berdenyut tapi sudah tidak sehebat tadi. Aku hanya bingung, bagaimana bisa ada orang lain selain jokwon, berhasil membuat kepalaku berdenyut seperti tadi? Padahal aku yakin… hanya Jokwon seorang yang special di ingatanku.

    Mulutnya bergerak. Seperti ingin berbicara. Tanganku bergerak menutup kedua telingaku. Aku kaget dengan tindakanku barusan. Spontanitas yang sangat tidak sopan! Aku dengan segera menarik kedua tanganku. Menyembunyikannya dibalik saku jaketku. “Maaf” Ucapku sedikit menunduk lalu berbalik meninggalkannya.

    ***

    Sejak bertemu dengan lelaki jangkung itu aku jadi sering bermimpi aneh. Aku bermimpi Jokwon dan lelaki jangkung yang kutemui di Seoul Grand Park terlibat pertengkaran hebat. Aku tidak ingat apa yang mereka pertengkarkan. Tapi aku ingat sekali Jokwon menampar seseorang. Entah siapa. Dan lelaki jangkung itu marah. Benar-benar sebuah mimpi.

    Aku berjalan santai ke stasiun bus terdekat dari rumah sakit. Sejak kejadian mendadak sakit kepala di Seoul Grand Park beberapa hari yang lalu aku jadi harus sering-sering lagi beramah tamah dengan bangunan berbau obat itu. Bukannya sok, tapi aku benar-benar tidak suka bau obat.

    Kuurungkan niatku untuk segera pulang. Aku berbelok ke kanan, menjauh dari stasiun yang tadi sudah kelihatan di depan. Berjalan tanpa arah cukup lama sampai akhirnya sebuah toko di ujung jalan menarik perhatianku.

    Bau roti seketika menyengat indera penciumanku saat masuk ke salah satu toko roti di pinggir jalan. Kutarik kedua tanganku yang sepanjang jalan kusematkan dalam saku jaket. Sepertinya toko roti ini baru. Karena seingatku, sebulan lalu toko ini menjual aksesoris wanita serba pink.

    Kulayangkan pandanganku mengitari lekuk toko ini. Lemari kaca transparan setinggi dada berdiri menggiurkan, mengelilingi hampir seluruh sisi ruangan. Dibaliknya pelayan dengan kemeja putih berlengan pendek dan celemek coklat tua menyambut ramah. Empat meja bundar menyebar tidak beraturan ke kiri dan lima meja segi panjang yang di atasnya tersedia berbagai macam roti terletak teratur di sebelah kanan. Sementara tepat ditengah –selurus dengan pintu masuk- dibiarkan kosong. Tidak banyak prabot yang menghias. Hanya ada beberapa pot bunga besar dengan tanaman yang menjulang tinggi yang disisipkan di setiap sudut. Beberapa diantaranya jatuh layu namun tetap terlihat segar. Konsep yang disuguhkan minimalis tapi modern, khas toko roti.

    BAKK.

    Baki yang tadi kupegang tergeletak di lantai. Disampingnya beberapa potong roti berserakan. Aku berjongkok seraya menelungkupkan kedua tanganku di kepala. Bagian belakang kepalaku rasanya habis terkena benda tumpul. Sakit dan nyeri bukan main. Sial! Kenapa penyakit ini jadi sering datang sih!

    “Anda tidak apa-apa?” Seseorang merangkulku. Mungkin salah satu pelayan disini.

    Berkali-kali aku menelan ludah, menahan sakit.

    “Anda tidak apa-apa?” Kali ini dengan suara berbeda. Lebih ringan.

    Aku ingin sekali berteriak ‘AKU SANGAT APA-APA’. Tapi untuk berbicara satu katapun aku tidak sanggup. Ini lebih menyakitkan dari ditusuk jarum berkali-kali selama perawatan dulu.

    “Jeewon-ah!”

    Ah, Jokwon! Aku tahu itu suaranya. Saat aku berusaha mendongak, kepalaku diserang sakit yang teramat sangat. Membuat tubuhku lunglai lalu terjatuh ke lantai. Telinga kananku yang menempel di lantai menangkap hentakan kencang sepatu. Semakin keras bunyi hentakan, semakin keras pula pukulan-pukulan di kepalaku.

    “Jeewon-ah!”

    Bagian atas tubuhku melayang sebentar lalu kembali terbaring di pangkuan Jokwon. Dengan kepala miring lunglai, aku memandang kosong ke segerombolan kaki.

    “Jeewon-ah! Gwenchana?” Dia memalingkan wajahku ke arahnya. Pandanganku sudah tidak begitu jelas. Namun aku masih bisa melihat disana ada wajah risau yang entah kenapa membuatku bahagia.

    Jokwon menepuk-nepuk pipi kiriku, tiga kali. Saat tepukan ke empatnya, pandanganku memburam. Kelopak mataku berat, ingin segera tertidur.

    ***

    Tuk Tuk Tuk~

    Ketukan di kaca mobil memaksaku membuka mata. Mencoba bergerak tapi ketukan berirama yang menyakitkan menyerang kepalaku lagi. Aku melirik ke kanan. Kudapati seorang anak perempuan kecil tengah menempelkan wajahnya ke kaca. Wajahnya terlihat penyek karena terlalu rekat merapat ke kaca. Aku menahan tawa.

    Pintu mobil terbuka. Manik mataku mengarah ke kiri. Jokwon muncul dari balik pintu, buru-buru masuk ke dalam mobil. Dia mengosok-gosok kedua tangannya yang dingin. Semenit. Sampai akhirnya dia menggenggam kendali mobil. Sebelum men-stater dia menoleh ke arahku. Dan kusambut dengan senyum tipis.

    “Gwenchana?”

    Aku hanya tersenyum. Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Dia mengusap kepalaku pelan. Dan lagi-lagi hanya bisa kubalas dengan senyum.

    Suara deru mobil memecah keheningan. Ah! Anak kecil itu. Aku menoleh dan kulihat anak kecil tadi berlarian ke arah wanita yang kuperkirakan adalah ibunya. Aku tersenyum. Tidak ada yang lebih indah dari berjalan digenggam tangan ibu bukan?

    Aku jadi teringat dengan lelaki jangkung itu. “Jokwon-ah.” Panggilku lemah.

    “Hmm?” Jokwon berbalik sebentar lalu kembali fokus dengan kemudinya.

    “Apa dulu pernah ada seseorang diantara kita? Maksudku… ada orang ketiga?”

    “Hah?” Sekali lagi kulihat wajah kaget sama seperti sebulan lalu. Dan dengan segera aku mengendapkan pertanyaanku di kerongkonganku. Aku tahu akan percuma bertanya padanya. Tapi tanpa dijawab olehnya, aku tahu. Bahwa lelaki itu orang ketiga. Ah! Kenapa jadi cinta roman yang berbau sinetron sih? Cinta segitiga? Aku tertawa dalam hati. Ini sangat imut.

    “Mau makan dulu?” Jokwon membuka suara setelah setengah jam kami berdiam-diaman. Aku menggeleng. Walaupun aku tidak pernah makan dari kemarin tapi napsu makanku sedang berada pada tahap yang sangat rendah.

    “Jadi kita langsung pulang? Atau ke rumah sakit?” Suaranya terdengar hati-hati saat menyebut rumah sakit. Dia sudah menanyakan hal itu berkali-kali sesaat setelah aku sadar dari pingsanku tadi. Dan aku sudah menolaknya berkali-kali pula. Cukup sekali sehari saja aku ke rumah sakit. Kalau mereka tahu aku mendadak pingsan, kupastikan aku akan dikurung di salah satu kamar disana. Aku tidak mau!

    Mataku memicing dan dengan segera dia memperbaiki duduknya. “Tidak apa-apakan kalau kita berputar-putar dulu barang tiga puluh menit? Setelah itu aku ingin pulang.” Pintaku sambil memencet tombol on pada radio. Suara Jinwoon salah satu penyanyi boyband 2AM menyahut. Aku bingung. Bagaimana bisa aku tahu itu suara Jinwoon?

    Dia tertawa pelan. “Apa sekarang kau sedang bingung karena tiba-tiba tau ini suara Jinwoon?” tanyanya membuatku terkejut. Dia cenayang?

    “Kok tahu?” kuperbaiki dudukku. Penasaran.

    “2AM salah satu boyband kesukaanmu. Yah, kesukaanku juga. Salah satu penyanyi ada yang mirip dengan namaku. Jokwon. Bahkan wajahku juga hampir sama. Dulu kau sering sekali memperkenalkanku pada teman-temanmu sebagai Jokwon 2AM. Dan mereka dengan bodohnya minta tanda tanganku. Hahaha”

    Aku ikut tergelak. Benar-benar bodoh! Mereka jelas berbeda! Heh? Tunggu. Wajah Jokwon 2AM seperti apa ya?

    “Tapi tidak apa-apa. Karena aku suka.” Dia berdehem. Kebiasaannya. Dan aku menoleh ke arah kanan. Menyembunyikan wajah yang aku yakin bersemu merah. Aku tersenyum tertahan. Dengan sudut mataku kulihat Jokwon juga sedang tersenyum malu. Ah imutnya.

    “Sudah sampai.” Sahutnya kencang membuatku terlonjak kaget. Tadi aku sempat tertidur. Dia keluar dari mobil dan berlari ke arah pintu mobil dekatku. Aku menatapnya dari balik kaca. Sedang apa dia? Diluar pasti sangat dingin.

    Dia membuka pintu mobil dan menunduk menyambutku. Lihat! Betapa imutnya dia. Aku lagi-lagi tersenyum malu. Dia memegangku. Mungkin takut kalau aku oleng lagi.

    “Tidur yang nyenyak ya.” Ucapnya pelan. Aku mengangguk patuh. “Mimpi indah.” Wajahnya bergerak maju. Kecupan di dahi. Mataku membulat. Tubuhku mematung. Cukup lama sampai akhirnya aku sadar kalau mobil Jokwon sudah berderu dan bergerak meninggalkanku.

    “Good night.” Mimpi indah juga.

    ***

    Aku mengerjab. Mencoba mengumpulkan cahaya pada mata.

    "Kau pikir ini baik untuk dia?”

    Aku menoleh. Lelaki jangkung yang kutemui di Seoul Grand Park itu lagi! Kulihat sekitar. Aku berada pada ruangan yang tidak begitu besar dengan barang-barang yang isinya serba putih. Hah! Ini mimpi. Aku berada dalam mimpi itu lagi.

    "Aku sudah putus asa, Changmin.”

    Suara Jokwon. Aku tahu. Makanya dengan segera aku kembali ke percakapan itu. Keputusasaan jelas tergambar di wajah mungilnya. Kenapa? Ada apa Jokwon?

    "Aku tidak! Aku tidak akan meninggalkannnya sampai dia sadar!”

    Lelaki jangkung yang dipanggil Changmin tadi menarik kerah baju Jokwon. Aku ingin maju –melerai pertengkaran aneh mereka- namun mendadak aku terpelanting ke belakang. Aku menatap tidak percaya sesuatu yang tidak nampak itu. Ada separator di ruangan ini. Memisahkan aku dan mereka bertiga. Tunggu. Bertiga? Kulihat wanita yang terduduk dengan tangan terikat di atas ranjangan dengan pandangan kosong. Dia…

    "Kau mau mati, hah? Kau ingat kemarin dia nyaris menusukmu dengan pisau? Aku bahkan sudah tidak bisa mengendalikannya lagi. Dia sudah benar-benar gila” Jokwon menepis tangan lelaki jangkung itu – aku lebih nyaman memanggilnya begitu. Kemudian menepuk-nepuk kerah bajunya yang tadi dicengkram. Seperti menghapus debu darisana.

    "Aku tidak gila, Bodoh! Kalian yang gila! KALIAN! HAHAHAHA”

    PLAAK~

    Tanganku meraih udara. Menarik tubuhku hingga terduduk. Napasku berburu. Kurasakan pelupuh membias disetiap centi tubuhku. Aku bermimpi hal yang sama lagi. Tapi kali ini berbeda. Percakapan dalam mimpi ini sudah jelas. Dan itu membuatku semakin takut.

    Aku bangkit dari tempat tidur. Menuju buffet bercermin yang terletak dekat dengan pintu masuk kamar mandi. Kulihat pantulanku. Ada garis hitam yang begitu kelihatan di bawah mataku. Yah, akhir-akhir ini memang aku susah tidur. Obat tidur pun tidak mampu membuatku terlelap dengan nyaman. Mungkin karena aku begitu takut bermimpi hal itu lagi.

    Kurenggangkan tubuhku. Lalu berjalan ke kamar mandi. Aku belum cuci muka. Tepat sebelum pantulanku di cermin berakhir aku mematung. Hampir semenit aku mematung dengan degupan jantung yang kencang. Ini bertanda buruk. Aku mundur selangkah. Lalu berbalik dengan perlahan ke arah cermin. Masih wajah yang sama. Masih dengan rambut sebahu yang acak-acakan. Masih piyama tidur biru muda bercorak boneka pororo yang sama. Tapi.. tapi.. ekspresinya. Disana… ada ekspresi yang tidak kukenal. Aku belum pernah melihat senyuman menyeringai itu.

    ***

    nampaknya fanfic korean tidak begitu diminati disini. :haha:
    sapapun yang baca mohon keripik pedasnya. :centil:
     
    Last edited: Nov 26, 2011
  9. gagigvgego Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Nov 13, 2011
    Messages:
    30
    Trophy Points:
    6
    Ratings:
    +1 / -0
    ternyata kl dibaca penasaran ya :D
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.