1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Official Short Story Fiesta ~ Mari Menulis Cerpen dan Membuat Antologi Bersama

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, May 17, 2015.

  1. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    first blood dolo

    ===

    Apakah Mereka Gila?

    Sebelum aku pulang menuju kampung halaman saudaraku, aku hanyalah seorang lulusan Universitas yang sedang bermalas-malasan. Meski demikian, sepanjang hari kuhabiskan dengan mengakses internet dan berinahteraksi dengan lumayan banyak orang lewat media sosial. Melalui media serupa, aku menyalurkan hobi seperti menulis, menggambar dan bermain musik.

    Meski demikian, setelah sekian lama aku menggeluti bidang tersebut, aku sama sekali tidak terkenal. Ya mungkin ukuran terkenal atau tidak itu relatif. Maksudku, dari sekian lama aku mengenyami rutinitas ini, aku nyaris tidak pernah mendapat dukungan yang memadai, bahkan untuk ukuran diriku yang sekedar menjalaninya sebagai hobi—sama sekali tidak dibayar. Mungkin hal ini disebabkan oleh diriku yang entah tidak berbakat maupun relatif pendiam di kancah media sosial.

    Entahlah masalah bakat, beberapa orang dibilang berbakat tapi menurutku mereka jelek, dan kadang aku dibilang berbakat pada karyaku yang sebenarnya jelek juga. Ada yang dibilang jelek tapi menurutku malah sangat bagus. Hal ini cukup memusingkan. Tapi ya, dari sisi lain, kecenderunganku untuk menyendiri bahkan di dunia maya mungkin menjadi suatu faktor mengapa aku sama sekali tidak terkenal.

    Aku sendiri, di dunia nyata orangnya pendiam. Memang aku cenderung lebih aktif berbicara di dunia maya dan tengah menjalin persahabatan dengan beberapa orang di sana, namun akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang meresahkan, setiap kali aku membuka media sosial dan memperhatikan tingkah laku mereka yang ada di sana. Awalnya aku tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi, namun lama-kelamaan hal tersebut membuatku jengah.

    Hal tersebut terkadang kulihat sebagai suatu yang diutarakan seorang hilang akal. Apakah mereka sedang begitu stress dengan kehidupan nyata, ingin menumpahkan segala rasa frustrasi dengan mengirimkan hal-hal bodoh? Masih mending sih apabila mereka mengatakan isi hati mereka apa adanya, namun ketika aku melihat seorang katak tolol yang berdiri di atas dua roda.

    ...dan aku melihat katak itu berulang kali....

    Aku sungguh benci katak itu.

    Aku sungguh benci deretan gambar yang menyumpahi diriku karena tidak menuruti keinginannya.

    Aku sudah muak melihat gambaran manusia setengah hewan.

    ...dan aku tidak ingin melihat lagi gambar fanart suatu game yang terinspirasi Earthbound itu. Sudah terlalu sering kulihat dan hal itu sungguh mengesalkan.

    Lantaran krisis kepercayaan diriku dan keinginanku untuk melenyapkan banyak hal yang tidak mengenakan dari daftar kirimanku di sosial media, aku berhenti mengikuti sejumlah orang. Hal itu kulakukan beberapa hari sebelum pulang ke tempat saudaraku. Setelah sampai di sana, dengan akses internet yang seadanya, rasanya terlalu repot meladeni orang-orang seperti mereka lagi—aku nyaris hampir tidak pernah mengakses sosial media .

    Di sana terdapat orang-orang yang mengumbar masalah, mengatakan segala yang tak penting dan mengirimkan banyak hal bodoh. Memang ada segelintir yang membuka suatu diskusi yang mendalam tentang topik tertentu, dan beberapa yang lain membagikan keberhasilan mereka dalam dunia nyata. Itulah hal-hal yang sebenarnya ingin kutemui dalam tempat itu.

    Namun, setelah berada di tempat ini, dimana terdapat orangtuaku dan saudaraku—mereka yang peduli padaku saat semua orang di internet sama sekali tak acuh—aku merasa, mungkin menghabiskan waktu sekian lama untuk bersosilisasi di internet, dengan mereka yang kemungkinan besar tak akan peduli—akan membuatmu gila.

    Apakah mereka gila? Sebagian dari mereka jelas gila, tapi hal tersebut bukan salah mereka seutuhnya. Banyak dari kita yang harus menahan segala jahiliah itu dalam kehidupan nyata bila ingin terhindar dari masalah, dan dunia maya memberikan kebebasan untuk mengumbar hal-hal sinting yang terdapat dalam benak kita setiap saat, selama ada akses internet.

    Mungkin orangtuaku, adik dan kakakku gila dan mungkin saudaraku juga gila semua, namun kami hidup dalam suatu komunitas yang mengekang kegilaan tersebut—menjamin suatu hidup yang tenang nan nyaman. Namun bila ditelisik lebih lanjut, yah, mungkin soal kedekatan, aku dengan keluargaku tidak begitu sering berbagi kisah. Tapi, soal peduli, aku rasa mereka akan peduli, serta-merta karena sesama keluarga.

    Namun, soal mereka yang berada jauh di sana, lewat dunia maya—aku sendiri tidak tahu seberapa pedulikah aku pada mereka, dan seberapa pedulikah mereka padaku. Mungkin bila mereka bertemu langsung denganku dan menunjukkan hasil kerja mereka padaku, dan seterusnya aku membagikan benih kerja kerasku juga, pasti perjuanganku selama ini tak akan sepi pengunjung.

    Setelah sumpah serapah yang kulontarkan sedemikian rupa, aku ingat, beberapa dari mereka lumayan sering mengadakan pertemuan di dunia nyata. Alasan membangun koneksi dan semacamnya. Untukku sendiri, hal tersebut sangat melelelahkan lantaran saat itu aku sibuk kuliah, dan jika aku tidak sibuk pun, aku lebih nyaman menyendiri.

    Aku sangat terbebani jika harus berhubungan dengan banyak orang pada saat bersamaan. Yang membuatku bertanya-tanya, jika kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh koneksi yang dimilikinya—aku akan langsung menyerah begitu saja.

    Namun, bila hal yang lebih penting daripada itu adalah keahlianku dan kebolehanku dalam satu atau lebih hal, aku akan tetap berjuang. Yang kuinginkan bukanlah deretan asal ramai, namun segelintir kecil orang yang dukungannya akan sangat terasa bagiku.

    Karena aku sendiri dan mereka banyak, mungkin akulah yang gila.

    Tetapi, jikalau kegilaanku akan menghasilkan sesuatu, aku akan meninggalkan media sosial segera mungkin.

    Setelah kupikir lagi, saat berada di sana, aku merasa tidak berarti sebagai manusia. Aku kesepian. Kerja kerasku sama sekali tak membuahkan apa-apa.

    Mungkin saja, hal tersebut terjadi lantaran aku tidak bekerja secara resmi, hanya serabutan tak serius yang tak dibayar.

    Bila aku dapat pekerjaan yang cocok dan dihargai di sana, selain mendapat uang aku juga akan merasa berharga sebagai manusia. Tak akan lagi aku harus mencari pengakuan pada masyarakat media sosial yang juga mencari pengakuan sepertiku, dan alhasil mereka tak akan peduli pada orang lain, selain diri mereka sendiri dan orang lain yang sedang peduli pada mereka.

    Tapi, ini bukan posisiku untuk mendikte, aku juga termasuk yang tak peduli dengan orang lain tapi terus menerus mengemis pengakuan.

    Mungkin hal ini pertanda bahwa aku ini memang sudah gila.

    Ataukah pertanda bahwa sudah saatnya bagiku untuk serius mencari kerja.
     
    • Like Like x 2
    • For The Win For The Win x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    what if you're right and they're wrong?

    keknya klo masalah gitu saya rada2 related jg. keknya tergantung situ mw gimananya. klo kepaksa sosialisasi jg keknya ndak baik jg.
     
    • Like Like x 1
  4. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    pendapat pribadi sih klo soal sosialisasi yg adem aja deh :hihi: jadinya bisa mayan banyak waktu buat animu game dsb.

    tapi ya intinya klo ad sosial gitu pengen be yourself aja.
     
  5. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    iseng2 ah... uda lama ga ke sini. fic ini benernya pernah saya post di tempat lain haha... moga2 aja masih masuk kriteria celeng fiesta

    Title: Hewan Penjaga
    Genre: Slice of Life


    Dear Diary,

    masih ingatkah kau bahwa aku sangat takut dikejar anjing? Dan dulu aku pernah diberi tips oleh temanku yang sekaligus tetangga, bahwa 'kalau ga lari, anjing ga bakalan ngejar'? Ya, yang mengucapkan itu memang bisa dibilang pakarnya hewan penjaga itu. Dia memelihara anjing sampai dua ekor, yang satu berwarna coklat dan satu lagi hitam besar, galak pula (entah betul-betul besar atau karena tubuhku yang masih kecil).

    Pokoknya, hari ini aku mendapat kenangan dan sekaligus kesempatan untuk membuktikan kalimat itu. Ternyata dia memang benar. Sepulang sekolah tadi, Ria mengajakku bermain ke rumahnya. Sebenarnya aku cukup malas, tapi karena dia terus-menerus meminta disertai dengan hasutan-hasutan maut jadi akhirnya aku pun terlena dan menurutinya.

    Setelah turun dari angkutan umum, kami pun harus berolah raga sedikit. Di bawah siraman sinar matahari siang, kami yang memakai seragam merah putih berjalan kaki di komplek perumahan. Sesekali tangan kami jail memetik bunga atau daun-daun di depan rumah yang penghuninya tidak terlihat, entah tengah pergi atau tidur. Lalu menganalisa bunga itu bagai peneliti handal hahaha....

    Singkat cerita, olah raga siang itu memang cukup menyenangkan, sampai akhirnya kami menjumpai sebuah rumah yang pintu pagar garasinya terbuka lebar. Seorang laki-laki muda tengah mencuci mobilnya. Dan tidak jauh dari lelaki itu berkeliaranlah si hewan penjaga berkaki empat. Hewan itu terlihat tidak diikat, bebas lari ke mana saja.

    Serentak aku dan Ria berhenti.

    "Gede banget," kata Ria. "Mana gue takut anjing lagi."

    "Ada jalan laen ga?" tanyaku.

    "Ada tapi jauh trus harus muter. Gimana nih? Apa kita muter aja, ya?"

    Yah, bila memang harus mengambil jalan memutar rasanya cukup malas juga. Siang ini memang cerah, jalan-jalan juga menyenangkan. Tapi kalau harus lama-lama kena sinar matahari bisa bikin badan kering kayak ikan asin, dong. Untungnya, aku yang mempunyai ingatan tajam ini, langsung teringat pada nasihat dari si pakar.

    "Tenang," kataku dengan penuh percaya diri mengikuti gaya si pakar. "Kalau ga lari, anjing ga bakalan ngejar."

    Gayaku memang kurang meyakinkan, sih. Tapi setelah menghasut dengan beberapa kalimat tambahan, akhirnya Ria mau juga mencoba melewati rumah itu. Dengan gerakan super hati-hati dan langkah tanpa suara seperti ninja, kami mulai menyeberangi garasi.

    Ternyata... tepat saat kami sudah melewati garasi, anjing itu menggonggong. Reflek kami menoleh, dan hewan penjaga itu tengah menghampiri kami dengan langkah-langkah super cepat. Singkat cerita, kami pun lari sekencang mungkin sambil memadukan suara 'aaaaaaaaaaaa' di siang bolong. Untungnya anjing itu berhenti mengejar saat kami telah melewati depan gang.

    Di tengah napas yang memburu dan panasnya siang hari, aku terpaksa harus mendengar ocehan Ria. Bukan cuma ocehannya saja, tapi aku juga sempat menyesal karena terlalu percaya pada si pakar.

    Siang pun akhirnya berlalu dengan damai bila mengesampingkan aku dan Ria yang di kejar anjing. Tiba sore hari, aku sudah mulai berjalan pulang ke rumah. Saat tengah berjalan kaki di komplek perumahan rumahku, aku bertemu dengan seseorang yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas dikejarnya diriku siang ini oleh anjing, ya, dia adalah si 'pakar'.

    Dengan memburu seperti senapan mesin, aku langsung protes. "To, lu bohongin gue, ya? Lu bilang kalo ga lari, anjing ga bakalan ngejar. Tadi gw ketemu anjing, uda ga lari, tetep aja dikejar."

    Eh, dia malah balik bertanya. "Hah? Lah waktu ngejar lu, tuh anjing lari kagak?"

    Bagaikan mendengar petir di siang bolong. Suaranya cetar membahana. 'kalo ga lari, anjing ga bakalan ngejar' Ternyata memang tak ada yang salah dari kalimat itu. Semua anjing pasti akan lari bila mengejar.
     
    • Like Like x 4
    • Setuju Setuju x 1
  6. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    awal2 nya mayan tapi akhir2 ternyata garing juga lol :lol:

    oh well, good work bt attempt nya :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. irsyam Members

    Offline

    Joined:
    Feb 12, 2015
    Messages:
    1
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +2 / -0
    Salam kenal mod,
    boleh gabung ga min? ane baru belajar nulis dikit-dikit,,
    klo uda jadi tulisannya di post dimana?
    makasi ya,,
     
    • Like Like x 2
  8. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    silahkan silahkan :xiexie:
    di post disini aja, asal sesuai tema aja :hmm:
     
    • Like Like x 1
  9. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    The Suicidal Youko
    Genre : Depresi
    Warning : Bad ending

    Hal terakhir yang kuingat sebelum membuka mata hari ini, adalah kenyataan bahwa aku mati tertabrak truk.

    Kejadiannya berlangsung di sore hari sepulang sekolah. Hujan yang turun lebat membuat pandangan mataku tak jernih, dan tanpa sadar membuatku berada di tengah-tengah jalan raya. Entah bagaimana, tiba-tiba saja disampingku sudah muncul dua buah lampu kabut yang menyilaukan. Bersamaan dengan suara klakson yang terdengar nyaring, tubuhku terlempar ke udara. Kepala membentur badan truk dengan keras, dan seluruh tubuh terseret jauh diatas aspal. Dan kurasa, aku tak perlu menceritakan apa yang terjadi setelahnya.

    Meski demikian, kini aku terbangun di kamarku. Tanggal 20 Juni yang tertera pada kalender meja menunjukkan bahwa aku terbangun tepat pada hari kematianku.

    Apa Tuhan sedang mempermainkanku? Aku tak begitu paham.

    Tetapi, meski ini merupakan kesempatan bagiku untuk dapat hidup kembali dan menghindari kematian, kurasa aku tak begitu peduli. Aku akan tetap menjalani kehidupanku sama seperti sebelumnya, membiarkan diriku tewas tertabrak truk.

    Aku amat ingin menghabisi kehidupanku sendiri. Sungguh, aku amat menginginkannya. Entah sudah sejak kapan otakku dipenuhi oleh keinginan untuk menghabisi nyawaku sendiri. Sepuluh kali? Dua puluh kali? Aku tak tahu lagi berapa kali keinginan itu muncul – aku bahkan tak dapat menghitungnya lagi.

    Satu hal yang pasti adalah kenyataan bahwa aku tak pernah benar-benar bisa melakukannya, dan aku tak mengerti mengapa.

    Mmn.

    Mengapa keinginan bunuh diri ini muncul? Mengapa aku tak pernah bisa melakukannya?

    Sebab, sejauh yang kutahu, hidup ini tidaklah berarti apapun.

    Hidup ini tidaklah adil, dan akan selalu demikian. Aku mengerti. Aku paham akan hal tersebut. Aku bahkan bisa merefleksikan hal itu dengan pengalaman pribadiku sendiri – dan mungkin itu yang membuatku tak menginginkan kehidupan ini. Mungkin.

    Sejak dulu, aku selalu bersikap baik pada semua orang. Aku amat senang melakukannya – bahkan sebelum aku mengetahui dengan pasti mengapa aku melakukannya.

    Saat orang-orang di sekitarku membutuhkan bantuan, aku selalu menjadi yang pertama menolong. Saat temanku menangis tiada henti karena ditinggal kekasihnya, aku yang selalu hadir kala semua orang pergi menjauh. Saat melihat seseorang yang dibentak habis-habisan oleh seniornya, aku yang berkelahi denga sang senior. Keinginanku untuk selalu membela menolong mereka yang membutuhkan bantuan muncul begitu saja. Mmn. Ibarat insting berburu yang dimiliki seekor harimau, keinginanku untuk membantu seseorang muncul tanpa rangsangan.

    Aku percaya bahwa menolong seseorang yang sedang dilanda kesulitan merupakan tugas seorang manusia sebagai insan sosial. Kelak, mereka mereka semua akan melakukan hal yang sama untukku, bukan?

    Harapan itulah yang membuat hidupku hancur. Kala melihat orang-orang yang kutolong balik berbuat jahat padaku, aku hanya bisa diam tertunduk.

    Dikhianati.

    Semua hal yang telah kulakukan, nyatanya berubah menjadi boomerang yang balik menyerangku. Aku hanya bisa terdiam kala orang-orang yang pernah kutolong menertawakanku pada masa-masa sulit hidupku. Sebagai contoh, saat aku dicemooh teman-teman sekelas karena percobaan fisika yang kulakukan gagal total, mereka tidak ikut merasa prihatin dan malah ikut menertawakanku. Ketika aku membela seseorang yang dikasari oleh seniornya, orang yang pernah kutolong malah balik memusuhiku. Bahkan tak jarang mereka ikut berbuat kasar padaku, dan lama-kelamaan, aku menjadi terasing di dunia ini.

    Padahal, awalnya kupikir aku akan mendapatkan bantuan yang sama kala aku menolong seseorang. Nyatanya, semuanya salah besar.

    Hidup selalu tidak adil. Karena itulah, aku membenci kehidupan ini.

    Dan semain hari, kebencianku semakin memuncak. Aku benci pada dunia, dan pada diriku yang tak bisa melakukan apapun selain melempar senyum palsu pada para pengkhianat tersebut.

    Seiring berjalannya waktu, aku tak bisa melakukan apapun selain menerima kenyataan bahwa semua hal yang sudah kulakukan selama ini hanyalah sebuah kesia-siaan. Aku tak bisa lagi menolong siapapun yang membutuhkan. Jika aku tak mau dicap sebagai orang udik, mau tak mau aku harus mengikuti arus. Menerima. Menerima kenyataan bahwa aku tak bisa lagi menolong seseorang.

    Aku bukanlah aku yang kukenal lagi. Aku…tak tahu siapa diriku lagi.

    ***​

    “Mengapa aku selalu ingin membantu seseorang?”

    Pertanyaan itu muncul di sore hari kala aku berniat untuk menabrakkan kembali diriku pada truk. Pertanyaan yang mungkin sulit untuk kujawab, namun sebenarnya itu merupakan hal dasar yang ada pada manusia – atau setidaknya, itulah yang kupikirkan.

    Sekelompok burung yang terbang berdampingan…

    Sepasang kucing yang sedang bercengkrama…

    Seorang ibu yang mendorong kursi roda untuk anaknya yang lumpuh…

    Setiap kali melihat pemandangan seperti itu, hatiku terasa hangat untuk suatu alasan. Saling membantu. Mmn. Aku membantu seseorang bukan karena aku kuat. Tidak. Nyatanya, aku membantu seseorang karena aku merasa amat lemah. Saking lemahnya, aku bisa menangis berhari-hari hanya karena dibentak oleh seorang senior.

    Karena aku mengerti bagaimana pahitnya setiap hal kecil yang kualami, aku tak ingin melihat seseorang mengalami hal yang sama. Mmn. Aku mengerti bagaimana rasanya dicaci maki atau ditinggal sendiri. Karenanya, kala melihat seseorang yang dicaci maki, aku selalu ingin menghibur orang tersebut. Kala melihat seseorang terjatuh, aku yang selalu berusaha menolong. Kala melihat seseorang sendirian, aku selalu ingin menemaninya.

    Aku akan melakukan apapun agar tak melihat pemandangan tersebut.

    …meski untuk akhirnya, aku tetap mengalami semua hal tersebut.

    Dan karena aku amat rapuh, kini aku berjalan menuju kematian – hanya karena apa yang kuinginkan tidaklah sesuai dengan harapan.

    Mungkin ini merupakan tindakan bodoh, berusaha menghabisi nyawa sendiri hanya karena sebuah hal konyol. Namun menjustifikasi kuat rapuhnya seseorang atas dasar kekuatan pribadi hanya akan membuatku lebih rapuh. Maksudku, sesuatu yang mungkin bisa diterima oleh seseorang, belum tentu bisa diterima oleh orang lain. Sesuatu yang mungkin sebuah hal enteng bagi seseorang, belum tentu enteng untukku.

    Kala sekalli-dua kali bercerita pada sahabat dekat soal kegelisahanku ini, berkali-kali aku mendengar jawaban yang mengatakan bahwa apa yang kualami hanyalah sebuah hal enteng – yang bisa dilalui tanpa perlu bertindak gila. Dan saat aku benar-benar membutuhkan bantuan, mereka menghilang. Entah mengapa, mungkin aku hanyalah benalu yang mengganggu kehidupan mereka.

    Aku butuh bantuan. Sungguh. Sadar bahwa tak ada bantuan yang datang kala aku membutuhkannya benar-benar membuatku sedih. Dan tanpa seorangpun yang menolong, kurasa wajar jika pada akhirnya hal ini terjadi : keinginan bunuh diri yang kuat, yang muncul berkali-kali tanpa bisa kubendung.

    Aku sungguh rapuh. Ahaha, sungguh seorang yang rapuh.

    Berjalan perlahan, aku tak sadar sejak kapan hujan mulai turun. Kakiku berhenti di persimpangan jalan tepat dimana aku akan mati tertabrak truk.

    Aku takkan pernah tahu mengapa hari berulang kembali. Kurasa, aku tak perlu lagi mengetahuinya. Karena untuk kali ini, aku akan benar-benar mati atas keinginanku sendiri. Tuhan akan tahu, bahwa kini aku memang menginginkan kematian. Ia tak perlu lagi mengulang hari ini…

    Tubuh yang basah oleh hujan yang turun, luka hati yang tak lagi dapat terobati…

    Dan saat lampu merah menyala, tepat pada saat penyeberang jalan tak boleh lagi melintas…

    Aku, Mori Youko, 16 tahun, memejamkan mata, bersiap untuk melompat ke tengah jalan.

    ***​

    Truk itu melintas dengan cepat. Cahaya lampu terpancar darinya, melintas menembus kabut yang muncul disela-sela hujan.

    “Ah…”

    Truk itu, itu adalah truk yang seharusnya membunuhku. Aku seharusnya sudah melompat ke jalan raya dan berada di akhirat sekarang. Meski demikian, tubuhku sama sekali tak bergerak. Waktu masih berjalan, dan aku masih bernapas.

    Memikirkan hal itu, tanpa sadar lampu telah berubah hijau. Seruan bapak-bapak dibelakangku yang menyuruhku untuk cepat bergerak membuatku melangkah, dan aku tiba di seberang jalan tanpa luka apapun.

    Percobaan bunuh diriku kembali gagal.

    Bahkan kala aku mati pun, aku kembali ke tanggal kematianku dan kembali hidup untuk suatu alasan. Tuhan benar-benar sedang mempermainkanku.

    Ahaha…

    Ahahahaha…

    Aku tak bisa mati, dan harus terus hidup dalam penyesalan. Kutukan macam apa ini? Apa ada hal yang diinginkan Tuhan atas kehidupanku ini?

    Mengapa aku harus terus hidup?

    Tiba di rumah tanpa suatu luka apapun, kupikirkan hal itu di dalam kamar. Lama kelamaan, aku tertawa sinis untuk suatu alasan yang entah apa. Kemudian, tawa itu berubah menjadi jeritan keras, sebelum kembali berubah menjadi tangisan.

    Aku…

    Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Aku hanya ingin bisa kembali bernapas lega.

    Tolonglah aku.

    Siapapun…

    My apologies. I wanna make a bittersweet ending. But it ended up as a bad ending :iii:
    and...yeah. pengalaman pribadi. meski sebenernya masih bersambung. Maybe next I'll post the true ending of the story lol :haha:
     
    • Like Like x 2
    • For The Win For The Win x 1
  10. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    eh it's pretty nice actually, gw jadi keinget ma film groundhog day dimana mc nya terjebak pada hari yang sama trus hingga dia jadi depresi dan mau bunuh diri tapi hari tsb kembali berulang

    barulah pas dia mulai tersadar akan arti hidupnya dan terlahir kembali sebagai manusia baru, itu hari akhirnya tak berulang kembali.

    anyway feel nya mayan dapet di sini, gut job. kadang2 kerasa kek pgw ngebaca tulisan'e franz kafka pas dolo. well, beda nya ada di cara penuturan nya sih, si kafka lebih pake simbolisme dan deskripsi yg rada abstrak seperti dia menyembunyikan kesedihannya sehingga dia bisa berteriak leluasa lewat tulisan.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Well, actually, endingnya mau ddibikin kek gitu sih :lol:

    tapi jadi'e malah kepanjangan mod :keringat: bisa2 tar malah jadi orific daripada flashfic :lol:

    btw, thanks :hmm: film groundhognya yang mana ya btw, oshiete :hihi:
     
  12. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    coba gugel aja groundhog day :bloon:
     
  13. moonrabbit Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 11, 2016
    Messages:
    31
    Trophy Points:
    7
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +4 / -0
    Demi Yupiter, apakah mereka kafir?

    “Hei hoo ….

    Demi Yupiter

    Hei hoo ….

    Koyak sang penakluk membawa namamu.

    Hei loo ….

    Tundukkan musuh dengan kemarahanmu.”

    Suara nyanyian dan genderang perang menggema di sepanjang barisan klan. Kami menghentakkan kaki dengan ritmis sambil meraung dan berteriak. Mata kami merah, air liur kami berjatuhan, dan otot kami membesar dua kali lipat berkat ramuan tetua.

    Aku yang berada di barisan depan melihat lawan tidak mau kalah ribut. Mereka ikut berteriak, menghentakkan perisai, dan mengangkat tinggi panji-panji mereka. Dunia bergemuruh. Asap debu mengepul tinggi, permukaan bumi bergetar, dan batu kerikil bergelindingan.

    Saat matahari tepat di atas ubun-ubun, semua genderang perang berhenti berkumandang. Terompet sangkakala ditiupkan dan semua klanku berteriak, “Bunuh!”

    Layaknya gelombang tsunami, kami berlari dengan barbar dengan pentungan terangkat. Semangat perang kami menggelora bagai topan badai.

    Barisan lawan tidak bergeming. Seseorang yang menaiki kuda dan memakai helm sikat terbalik berteriak, “Panah!” dan ribuan anak panah yang terlihat seperti garis rintik hujan pun naik dan turun menghujam kami.

    Tidak ada satu pun di klanku menghiraukan panah. Otot kami terlalu keras dan kekar untuk dapat tertusuk lidi-lidi itu. Kami tetap berlari layaknya babon ngamuk.

    “Legiun!” teriak orang yang menaiki kuda. Pemanah lari ke belakang. Legiun yang berjubah besi maju dan menutup formasi dengan perisai.

    Peduli setan dengan perisai. Kami berlari kencang dan menubruk musuh dengan brutal. Tubuhku menghantam keras, saling beradu dengan perisai mereka dan mengeluarkan suara tumbukan memekakkan telinga. Tidak ada satu pun musuh yang mampu menahan kekuatan kami. Mereka terpental ke udara dengan perisai penyok. Formasi mereka hancur. Klan kami meringsek masuk dan menghancurkan semuanya. Kami menyapu formasi mereka layaknya angin puyuh.

    Seorang centurion menghunus pedang ke arahku. Aku mengelak sambil mengayunkan gadaku dan kepalanya putus terlempar ke udara layaknya bola bisbol. Kucabut panah dari mayat dan kutusukkan ke mata prajurit di kiriku. Dia pun berteriak kesakitan dan jatuh bersimbah darah.

    Legiun tombak di belakang barisan mulai menusukkan tombak panjangnya. Aku putar gadaku sekali dan semua tombak mereka patah berceceran layaknya mainan.

    Aku lalu melompat dan menerjang barisan penuh musuh. Ayunan gadaku melempar tubuh mereka ke udara. Tendanganku meruntuhkan formasi mereka layaknya domino. Akutertawa terbahak-bahak melihat mereka lemah seperti tikus curut.

    Pasukan berkuda yang mereka banggakan datang. Seluruh tubuh mereka tertutup jubah besi. Tangan mereka memegang perisai salib dan tombak sepanjang dua depa, dua kali lebih panjang dari gadaku.

    Pasukan berkuda menyerang dari sayap kanan. Aku mengelak tusukan tombak dan kupukul badan kuda yang menghadangku. Kuda itu meringkik dan penunggangnya jatuh tersungkur ke tanah. Aku tidak mengira kuda mereka selemah anjing kampung. Temanku bahkan menang beradu tubruk dengannya.

    Uratku meregang, nadiku berdenyut keras. Kuda mereka kuangkat sekuat tenaga dan kulempar. Mereka berteriak ketakutan sebelum tergencet kuda dan darah segar menyembur keluar. Tubuh mereka persis seperti gelas, rapuh dan gampang pecah.

    Inilah yang mereka dapatkan jika berani menantang dewa kami. Kematian, kehancuran, dan keputus asaan.

    Awan gelap menutupi medan perang. Tubuh kami basah bukan dengan hujan, tetapi dengan darah. Lolongan kematian terdengar dari segala arah. Beberapa orang kuinjak agar teriakannya berhenti.

    Mereka punya dewa sendiri, tetapi apa yang telah dewanya berikan? Tubuh kurus, kulit putih pucat, otot kecil, dan perisai tipis. Kini aku melihat formasi mereka pecah dan semuanya kabur naik bukit layaknya pecundang. Sungguh dewa sesat. Dewa lemah yang tidak pantas dihormati!

    Kami berteriak meraung sekali, “Hidup Klan Koyak,” lalu mengejar mereka dengan garang. Beberapa musuh angkat tangan. Mereka menjatuhkan senjata, perisai, dan panjinya. Kami tidak memberi ampun dan membunuh semua yang terlihat. Mereka semua kafir dan pantas mati.

    Aku sampai di atas bukit dan bersorak penuh kemenangan. Sebuah kemenangan mutlak untuk klanku. Namun begitu mataku turun dan melihat pemandangan yang tersingkap di balik bukit, aku pun tertegun. Lautan manusia terlihat sejauh mata memandang. Jumlah mereka sepuluh kali lebih banyak dari kami. Ada jenderal bermahkota daun keemasan dan menaiki kuda elit di belakang barisan. Kaesar mereka datang ikut perang!

    Mereka punya dongkrak kayu raksasa yang melemparkan bola api raksasa. Mataku bergetar ketakutan dibuatnya. Bagaimana alat semegah itu bisa dibuat manusia? Itukah dewa mereka?

    Apalagi tanah yang kupijak berwarna hitam. Hidungku mencium bau pekat minyak bumi. Demi Yupiter! Aku tidak percaya tikus-tikus kecil ini membuat jebakan. Mereka menipu kami dengan pasukan tumbal.

    Begitu bola api jatuh, lidah api pun keluar. Tanah-tanah meledak dan merekah mengeluarkan ledakan api.

    Semua orang berteriak kesakitan. Api tidak pandang bulu. Dia meluas ke seluruh medan pertempuran dan melahap semua yang terlihat dengan kejantanannya.

    Aku meraung kesakitan. Api mulai memakanku. Panas menusuk sela-sela tubuhku. Asap merasuk tiap hirup nafasku.

    Walau aku telah berusaha kabur, tetapi semuanya telah menjadi bubur. Mataku meluruh. Pandanganku menghitam dan pikiranku memudar. Gagak-gagak hitam berdatangan dan semua berputar. Alam menghitam layaknya malam tanpa bulan.

    Aku telah gugur dari medan perang.

    Aku tidak takut mati. Kami dijanjikan Valhalla oleh dewa, tempat semua ksatria beristirahat dalam damai. Kami akan diberikan makanan, bidadari, dan kekuasaan di sana.

    Namun mengapa sekarang aku melayang tanpa batas? Mengapa semuanya hitam?

    Aku berteriak, “Dewa, aku tidak melihat tanda-tanda kehadiranmu.”

    “Mana Valhala yang kau janjikan? Tunjukkan cahayamu. Aku sudah berjuang demi namamu.”

    Namun semuanya gelap, tetap hitam tanpa makna. Doaku tidak terjawab dan yang menantiku hanya ketiadaan.

    Aku segera menyesal meratapi nasibku.

    Buat apa aku berperang? Buat apa aku mengorbankan hidupku?

    Jika ternyata dewa tidak pernah ada.

    Saat ini yang kuinginkan hanya kembali ke desaku.

    Galia.

    Newbie minta komen ya :bye:
     
    • Like Like x 2
    • For The Win For The Win x 1
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    komen time :yahoo:

    first, high_timehigh_time
    uuh, melihat gila atau tidaknya seseorang dari ativitas internet. well, internet emang bikin seseorang jadi gila pengakuan, sama seperti kek mod :lol:

    well, maybe for some. I don't really know what the people are thinking on the internet, but the do becomes crazy at some points.

    yah, buatku sendiri, aku paling males ketemu orang yang kek mod gambarin sih :lol: and well, I try not to care. Amat disayangkan kalo waktuku abis ama orang2 pencari perhatian di inet :yareyare:

    anyay, this is good :hmm:

    terus, temtembubutemtembubu
    the hell :lol:

    okelah, inti cerita yang simpel cukup bikin saia ngakak :lol: good job :top:

    last is moonrabbitmoonrabbit
    inti cerita yang bagus, tapi deskripsinya kebanyakan :swt:

    well saya gak begitu suka tipe cerita action ato epic kek gitu sih. n ditambah pacingnya yang kurang halus, jadinya banyak saya skip di bagian deskripsi :iii:

    coba trik ini deh kalo nulis action, siapa tau berguna :

    http://forum.idws.id/posts/28094028/

    oke, komen done. saatnya gebuk ican :rokok:
     
    • Thanks Thanks x 1
    • For The Win For The Win x 1
  15. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    thx buat opini tentang ceritanya :sembah:

    mohon maaf sampe sekarang gw blom bisa nulis sesuatu lagi gara2 kebanyakan ngegim lol :XD:

    anyway mungkin deadline bisa diperpanjang sampe 1 juli, jadi yang mau dikelarin ceritanya ya nyantai aja dulu bikin dikit2 sampe situ rasa pas. :bloon:

    bt sisanya ntar bakal gw komen deh pas gw lagi senggang nunggu cooldown pas main soccer spirits.
     
  16. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    sori ini gw gk gitu nyaman sama deskripsinya jadinya gw skip.

    kalo misalnya gak banyak embel2 mungkin bisa gw baca sampe selesai
     
  17. merpati98 M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Jul 9, 2009
    Messages:
    3,486
    Trophy Points:
    147
    Ratings:
    +1,524 / -1
    The Kingdom We’ve Built Ourselves

    “Come with me. I will make you happy.”

    He offered his hand. His expression looked very sincere. There was a hint of doubt in her eyes though she slowly took his hand to accept the proposal. She would go with him. And she would be happy.

    They went as she vowed for her happiness.

    .

    He was a very gentle man. He always treated her as if she was some piece of glass that could break with the slightest touch. It made her life very boring. He didn’t permit her to do almost anything. He was afraid she would get hurt, whether physically or mentally.

    But she supposed she was happy.

    Maybe.

    .

    “Do you feel happy right now?”

    “What is happiness?”

    If she had to describe her feelings, then it was like overeating. She should feel grateful she could still eat even when she did nothing. Many people in the world had to work hard just for that.

    However she couldn’t shake the feeling of emptiness in her heart. You know, you didn’t dream forever. And she needed to wake up now.

    .

    “I guess I failed to make you happy.”

    He smiled sadly. She shook her head as she took his hand. She grasped his hand between her fingers. Tightly. She looked at him in the eyes, pleading him to not feel disappointed.

    “You make me happy.”

    He stared down at their linked hands. “Maybe. But it wasn’t the true happiness.”

    She separated herself from him and glanced away. “You did make me happy. Never doubt that.”

    “Yeah.”

    .
    .
    .

    “Come with me. I will make your life interesting.”

    He roughly pulled her hand. She let him though, let him did her as he please. She knew he would fail without doubt, but she couldn’t pass the chance just like that. If he somehow could bring the color to her life, she won’t complain much.

    They went as she vowed for her happiness.

    .

    Her life really became interesting. Whether in a good way or bad way. It was like riding an endless roller coaster. Even when she was tired, even when she wanted to quit, the attraction never stopped for her to catch her breath. And what could she do except going along, enjoying the excitement as much as she possibly could?

    Her blissful dream seemed so far away now. She wondered if he would notice her discomfort and stopped them all at once.

    .

    He never did.

    “I’m sorry. You are just not interesting anymore for me.”

    He said bluntly as he dumped her back to her place. She knew he was rude. She didn’t expect him to be this bad though. She got up and cleaned herself from his lingering scent. She knew he won’t be the last one of that type.

    But…

    She supposed he did give her what his promised. He brought enough glaring color to her life. He just never bothered to give her the other color types.

    .
    .
    .

    “I understand what you were going through. And I’ll make them understand too. That’s why, will you come with me?”

    He grabbed her hands, sharing his warm with her as he asked. She was pretty sure he didn’t really know what he was talking about; nevertheless she nodded and let him take her away. If there was just a bit of truth in his statement, it was enough reason for her to take the opportunity.

    They went as she vowed for her happiness.

    .

    He did understand her. Maybe partly, maybe wholly. She wasn’t sure. She didn’t really know who she was actually, so she couldn’t really refute him. But at least he made an effort to know her.
    He was nice. He introduced many color to her life. More than she thought she would get.

    .

    He gave his good bye at least. “Thank you for everything.”

    She didn’t understand why he was the one who said that. But she understood he was leaving. Like any other. He was no different. Well. He had done what he said he wanted to do.

    He went as she vowed for her happiness.

    .
    .
    .

    She waited for the next man. Silently, inside the beautiful cage that he created. He was her first, the one who always have her every time. Other guys could whisked her away, swept her off her feet. But no one could do it like he did.

    Since he was the original.

    (real title: what we talk about when we talk about fanfic, question: what is fanfic?)


    kabur sebelum kena timpuk karena maksain tema:ngacir:
     
    • Like Like x 2
    • For The Win For The Win x 1
    • Setuju Setuju x 1
  18. moonrabbit Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 11, 2016
    Messages:
    31
    Trophy Points:
    7
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +4 / -0
    Thx dah comment:top:
    aku gak suka action sih. serasa waste of time kalo bukan film. Cuman suka menulis scene yang kebayang di kepala aja.
    Gak mengerti juga kenapa ada embel-embel.

    Walau ada beberapa pemakaian koma yang bikin bingung di awal. aku menikmatinya.
    Namun endingnya aku gak suka. entah kenapa gak suka cerita yang berbau :suram:
    semua orang gila.
    orang gila itu gak sadar dirinya gila.
    any way lama gak ol gara2 mendadak dapat silla-linmay-sammy-blackivy-hiro barengan. aku sial atau beruntung? jadi bingung milih yang mana yang dinaikin kalo semuanya grade S. mendadak cost prajurit yang lama dah gak kepake jadi tiba-tiba gak muat.:mental:
     
  19. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    ngakak jokenya maksa amat :lol:
    kirain ttg apa gitu ceritany.

    yaampun ceritamu :swt::swt:
    bikin yg ceria kenapa :swt:

    saya suka siih cerita deskripsi perangnya dsbnya.
    lumayan bagus :top:

    ini cerita apa :swt:
    ndak ngeh
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  20. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    this is very interesting story tho

    awalnya gk nyangka ini bakal pk english, tapi tulisannya bisa dinikmati.

    mungkin mengupas tema yang sebenarnya agak klise macam cinta2an tapi overall gw enjoy sih penuturannya.

    hatsukoi no chikara ftw
     
    • Like Like x 1
  21. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    itu cinta2an ya :lol::lol:
    enth karena saking vaguenya, saya malah kebayang itu di scene kedua si cewe dirape lagi karena diblg diperlakukan rough dsb. :swt:

    mohon penjelasannya ini authornya :swt:
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.