1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Sayang Kalau Dibuang

Discussion in 'Fiction' started by mabdulkarim, Mar 30, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Jumat, 12 Oktober 899
    Setelah semua anak Panzer pulang, di ruangan guru STM Panzer sedang berlangsung rapat yang bertujuan membahas nasib STM Panzer. Rapat tersebut diikuti para guru, Ki Dang dan Panji sebagai Kepsek STM Panzer mencoba menanyakan kepada mereka apakah mereka mendukung STM Panzer Yabar bubar atau tidak. Hasilnya seperti Panji duga, 80% mendukung pengalihan tanah STM Panzer ke pemerintah Yabar dengan dalih anak Panzer tidak mungkin memenangkan perlombaan meskipun ada kemungkinan menang. Mereka ingin secepat mungkin pindah ke Wenker demi masa depan yang lebih cerah.

    Setelah membahas soal nasib Panzer, Panji menanyakan kepada para guru apa yang harus mereka lakukan kepada tank STM Panzer yang terbengkalai pengerjaannya di gedung praktek. “Pak, sebaiknya tank tersebut kita kasih saja ke Wenker buat diselesaikan jika STM Panzer sudah resmi jatuh ke tangan Arjuna,” usul Daeng kepada Panji.

    “Ide yang bagus, Daeng,” ujar Panji. “Tapi bagaimana jika anak Panzer menang di lomba sehingga STM Panzer tetap bertahan? Kalian harus tahu kalau di dunia ini semua kemungkinan bisa terjadi walaupun itu kecil!”

    “Benar apa yang dikatakan Pak Panji. Kita harus punya rencana cadangan jika STM Panzer tetap bertahan!” ujar Andi dengan suara lantang. Andi diketahui merupakan orang yang ingin STM Panzer tetap bertahan meskipun ia tidak berkonstribusi dalam pengumpulan pembayaran hutang Panzer. Selain Andi, ada beberapa orang yang menginginkan STM Panzer Yabar bertahan contohnya saja guru olahraga STM Panzer, Udin yang sekarang melatih tim futsal anak Panzer agar bisa menghadapi tim futsal pemerintah Yabar di hari Rabu. Perbedaan tersebut membuat Panji menghargai mereka dan Panji merasa bahwa perbedaan adalah sesuatu yang wajar di dunia ini dan harus dihormati.

    Akhirnya, terjadi diskusi panjang antara guru-guru dan Kepsek yang menghasil keputusan untuk melanjutkan proyek tank jika seandainya anak Panzer menang di lomba. Jika tidak, tank bakal dikirim ke Wenker bersamaan dikirimnya semua guru Panzer Yabar. Diskusi selanjutnya membahas nasib buku-buku yang ada di perpustakaan, barang di gudang dan komputer-komputer baik yang di lab bahasa maupun lab komputer jika Panzer Yabar resmi dibubarkan. Guru-guru mengusulkan kepada Panji untuk memberikan komputer, barang-barang gudang dan buku-buku kepada Wenker. Ide tersebut disetujui Panji dan ia akan berkordinasi dengan Arundaya Xavier, Kepsek STM Panzer Wenker setelah tanah Panzer Yabar resmi menjadi milik Arjuna jika seandainya itu terjadi.

    Pada akhir rapat, Panji mengatakan bahwa orang-orangnya Arjuna akan mendatangi STM Panzer pada hari Senin guna mempersiapkan perlombaan dan Panji mengharapkan para guru dan satpam mau mendukung acara ini dan mendukung tim yang mereka jagokan. Secara resmi, pihak intansi sekolah tidak memihak siapapun dikarenakan dalih Panji yang mengatakan bahwa nasib sekolah ini sudah 100% di tangan anak-anak Panzer semenjak mendiang Rendi memberikan buku rekening akun Panzer kepada anak Panzer. Perlu diketahui bahwa intansi Panzer punya dua rekening; rekening anggaran sekolah yang dipegang Panji dan akun khusus pembayaran hutang Panzer yang ada di tangan Eka.

    Rapat dibubarkan dan semua guru pergi meninggalkan STM Panzer. Hanya Ki Dang dan Panji yang masih ada di Panzer Yabar dan di sore menjelang jam 5, mereka berjalan di sekitar lorong-lorong STM Panzer untuk memeriksa kondisi gedung-gedung STM Panzer pada sore cerah ini.

    Di tengah perjalanan mereka, Ki Dang merasa ingin menanyakan sesuatu yang seharusnya ia tanyakan dari dulu pada Panji yang kebetulan berjalan di sebelah kanannya, “Pak Panji, mengapa anda mendukung tanah STM Panzer Yabar menjadi milik pemerintah? Bukannya itu berarti anda mengkhianati mendiang Rendi?”

    “Ah, Kidang Semesta dengarkan saya dulu. Saya mendukung STM Panzer Yabar bubar karena merasa itulah jalan terbaik dari permasalahan STM Panzer saat ini. Ketahuilah Ki Dang bahwa STM Panzer sekarang selain terbelit masalah hutang, Panzer Yabar juga mengalami penurunan murid baru dari tahun ke tahun dan anggaran sekolah makin lama makin menurun saja,” tutur Panji. “Oleh karena itu, saya rasa tepat jika Panzer Yabar berakhir di akhir tahun ini daripada tidak sama sekali karena ada awal pasti ada akhir, ada sehat pasti ada sakit, ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan ada lahir pasti ada mati. Itulah hakikat dari hidup, baik manusia maupun sebuah intansi yang bernama sekolah,” tutur Panji panjang lebar. “Semoga Rendi di alam sana bisa mengerti kondisi STM Panzer jika dibiarkan begini terus!”

    “Dan Ketahuilah Kidang, jika negara adalah fasilitator kesejahteraan masyarakat maka sekolah adalah fasilitator pendidikan bagi masyarakat. Oleh karena itu jika fasilitator sudah tak baik maka masyarakat juga kena dampaknya. Dan jika bubarnya Panzer Yabar itu baik bagi anak Panzer maka alasan tersebut harus saya ambil,” tukas Panji. Mendengaromongan Panji yang sedikit bijak walaupun terselip kata-kata yang berlawanan dengan apa yang ia dukung, Kidang menjadi terkesima dan bertambah rasa hormatnya kepada Kepsek STM Panzer tersebut. Mereka kembali melanjutkan berkeliling STM Panzer dan setelah puas berkeliling, Panji mengajak Ki Dang makan malam di suatu restoran makanan barat.

    ****
    Minggu, 14 Oktober 899

    Di siang itu, Kosim pergi ke Imalia bersama Eka dan Guntur dengan menaiki angkot. Kondisi fisik Kosim sudah pulih sedia kala setelah pertarungan melawan Otong tempo Jumat lalu meskipun masih ada bekas luka di mukanya.Musuh kedua Kosim tak lain adalah Eri, ketua OSIS Imalia. Selama perjalanan menuju Imalia, Eka menjelaskan siapa Eri dan apa kekuatannya kepada Kosim. Mendengar lawannya pernah menjuarai perlombaan karate se-konfederasi, bukannya takut malah si Kosim bertambah asanya untuk melawan gadis berambut pendek tersebut. Kosim tak mempermasalahkan ia harus melawan lawan yang basisnya beda dengan silat, ia malah suka dengan ide melawan lawan di luar silat yang bisa menambah pengalamannya sebagai petarung.

    Sesampainya di depan Imalia di siang itu, Kosim, Eka, dan Guntur yang mengenakan jaket STM Panzer pergi ke pos satpam dan disana, mereka minta izin kepada satpam agar diizinkan masuk. Berbeda dengan pos Panzer, pos Imalia lebih bagus bentuk bangunannya dan modern ketimbang sekolahnya Eka dan kroninya. Maklum, Akademi Imalia berdiri 7 tahun setelah Panzer Yabar berdiri.

    Setelah mendapatkan izin satpam Imalia yang kebetulan akrab dengan Bosnya Guntur, mereka bertiga memasuki area akademi Imalia. Mereka bertiga berjalan menunjuk suatu tempat dimana Kosim bakal bertarung, gedung olahraga Akademi Imalia. Eka dan Guntur berjalan di depannya Kosim agar Kosim tak nyasar.
    Melihat pemandangan gedung-gedung sekolah Imalia yang jumlahnya ada 4 dan bertingkat 4 lantai, Kosim ingat kejadian ketika ia mencoba masuk ke Imalia. Dia langsung menceritakan hal tersebut kepada Eka dan Guntur. Mereka berdua cukup penasaran bagaimana bisa Kosim mencoba masuk ke Imalia.

    Singkatnya, Kosim waktu baru pertama kali datang ke Yabar mencoba mencari sekolah yang bagus dan ketika mengetahui Imalia itu sekolah bagus, ia mencoba untuk mendaftarkan diri. Pada saat Kosim pergi ke Imalia, ia berhasil lolos dari pos satpam gara-gara rambut Kosim yang sedikit panjang membuat para penjaga mengiranya perempuan. Kosim masuk ke dalam area Imalia dan pergi ke tempat pendafaran Imalia yang ada di ruang tata usaha. Dan disanalah Kosim baru tahu kalau Imalia itu sekolah perempuan. Kosim tak menyadari kalau sekolah yang ia datangi itu sekolah perempuan padahal sudah jelas-jelas ada tulisan sekolah perempuan di gerbang masuk Imalia. Setelah diusir satpam, Kosim pun tak pernah pergi ke Imalia lagi. Seraya Kosim mentukas ceritanya, Eka dan Guntur tertawa bahak-bahak. Mereka tak menyangka kalau pesilat terkuat STM Panzer Yabar dapat melakukan hal sekonyol itu.

    Suasana Imalia kala itu cukup sepi mengingat hari ini adalah hari libur yang merupakan hari dimana semua penghuni asrama diperbolehkan keluar dari area sekolah seharian ini. Sesampainya di depan gedung olahraga, Eka membuka pintu gedung yang tak terkunci dan Kosim melihat musuhnya Kosim yang sudah mempersiapkan diri untuk bertarung dengan melakukan pemanasan.

    Eri dengan baju karatenya yang berwarna putih berdiri di atas matras putih yang cukup besar ukurannya. Cukup memungkinan matras tersebut sebagai tempat pertarungan Kosim dan Eri.Di sekeliling matras banyak anak Imalia yang mayoritas temannya Eri ingin menonton pertarungan ketua OSIS mereka dengan anak Panzer. Mereka yakin ketua OSIS Imalia bakal mengalahkan Kosim dengan sekali gerakan. Eka membawa Kosim kehadapan Eri dan memperkenalkan lawannya yang sudah disebut-sebut Eka kepada Eri kemarin. Kemarin tepatnya sore hari, Eka bersama Guntur pergi ke Imalia dan meminta Eri untuk menjadi lawan Kosim demi STM Panzer. Dengan baik hati, Eri menerimanya tanpa meminta syarat yang aneh-aneh.

    “Jadi, Kak Eri, ilmu beladiri apa saja yang anda kuasai?” tanya Kosim yang di depan hadapan Eri.

    “Karate dan sedikit ilmu Judo,” jawab wanita tersebut. Mendengar Eri menguasai Judo, Kosim tak gentar dan dengan semangat membara ia berani menghadapi Eri. Melihat sabuk yang dikenakan Eri berwarna cokelat, Kosim pun bertanya, “Kak Eri, apa maksud dari sabuk cokelatyang anda kenakan?”

    “Oh ini,” kata Eri sambil memegang sabuknya dan menjelaskan apa maksud dari sabuk yang ia pakai.

    “Ah, kalau saya sih sabuk hitam. Nih,” kata Kosim dengan bangga sambil memperlihatkan ikat pinggangnya yang berwarna hitam kepada lawannya.

    “Sim, itu sabuk celana. Bukan sabuk beladiri,” ujar Eri yang merasa tahu Kosim sedang bercanda padanya. Kosim hanya senyum-senyum sendiri sambil meraba-raba kepalanya.

    Eka menjelaskan aturan pertarungan kepada Eri dan Kosim. “Oke, pertarungan akan berlangsung selama 5menit. Yang menang adalah orang yang bisa membuat musuhnya tak sanggup untuk melanjutkan pertarungan. Jika pertarungan terus berlangsung sampai melebihi 5 menit, pertarungan dianggap imbang,” jelas Eka sambil membaca sebuah buku kecil yang merupakan buku coret-coretannya. “Mengerti?”

    Dengan serentak mereka menjawab, “Mengerti.”

    Eka langsung menepuk tangannya dan berkata, “Bagus”

    Eka dan Guntur duduk di pinggir matras membaur dengan anak-anak Imalia yang kira-kira jumlahnya ada sekitar 50 orang.

    Kosim dan Eri saling menghadap satu sama lain lalu memberi hormat dengan membungkukkan badan. Setelah itu, mereka berdua memasang kuda-kuda dan bersiap menyerang jika pertarungna sudah dimulai. Seperti biasa, Kosim memasang kuda-kuda yang pernah ia pakai sewaktu melawan Otong. Sedangkan untuk Eri ia memakai kuda-kuda Neiko-Ashi-Dachia yaitu kuda-kuda yang kedua kakinya ditekuk ke depan dan dijinjitkan ke depan kaki belakang telapak kaki tetap menempel pada lantai. Tumpu kaki depan dijadikan titik berat pada kuda kuda ini. Neiko-Ashi-Dachia merupakan sikap kuda-kuda yang paling sering digunakan Eri setiap kali pertarungan.

    Eka memegang stopwatchdan berteriak, “Pertandingan dimulai,” Dan Guntur pun langsung memukul gong kecilnya.

    Tanpa menunggu lawannya menyerang dirinya, Eri langsung menghembaskan Zuki atau pukulan ke dada Kosim. Kosim merespon dengan menangkisnya dengan tangan kirinya. Awal-awal pertarungan didominasi serangan dari sang atlet karate kepada pesilat tersebut. Jikalau Kosim mendapat kesempatan menyerang, pastinya Eri bakal menangkisnya dengan Ukedan susah bagi Kosim untuk mengunci pergerakan lawannya.

    Kosim terkena Geri atau tendangan dari kaki kiri Eri yang cukup keras sehingga membuat ulu hati Kosim merintih. Kosim menahan rasa sakitnya dan mengeluarkan seluruh kemampuan silatnya untuk menandingi kemampuan Eri yang levelnya sudah tingkat Konfederasi. Jika ada pukulan mengenai Kosim, pastinya akan berbekas karena kekuatannyaEri melebihi kekuatannya Kosim. Padahal ototnya si Kosim lebih sedikit berbentuk dibanding Eri yang tak sama sekali berotot.

    Beberapa banting keras ala Judo dilakukan Eri pada Kosim ketika Kosim lengah sedikit. Beruntung Kosim dibanting di atas matras yang empuk ini karena jika ia dibanting di atas tanah, mungkin bantingannya lebih sakit dibanding bantingan di atas matras.

    Kosim tak mau ia diserang terus. Dengan mengandalkan kelincahannya, ia dapat menimbangi lawannya yang power-nya melebihi dirinya. Kosim menghindari Geri ataupun Zuki karena daya hantam Eri lebih kuat dibanding musuh sebelumnya, Otong. Bisa bahaya kalau ia terkena pukulan atuapun tendangan bertubi-tubi dari atlet karate tersebut yang bisa menyebabkan penyakit organ dalam. Lain halnya dengan Eri, karateka tersebut menghindari serangan balik dari Kosim jika serangannya bisa ditepis oleh pesilat tersebut. Serangan balik merupakan cara yang sering digunakan Kosim karena bagi Kosim, seorang pesilat harus bertindak jika diserang oleh musuhnya.

    Merasa tak nyaman bertarung menggunakan jas sekolah, Kosim pun langsung melepas jasnya dan membuangnya ke muka Eka. Jas Kosim langsung menyangkut di kepalanya Eka. Jas Kosim yang nyangkut di palanya Eka langsung dibuang Eka ke muka orang yang ada di sebelahnya, Guntur yang kala itu sedang membaca sebuah novel, Carita Bitoru. Jas tersebut langsung Guntur taruh ke pangkuannya dan ia kembali melanjutkan membaca buku pinjaman perpustakaan tersebut dengan serius.

    Eka cukup terkejut melihat anak buahnya membaca sebuah roman, padahal yang ia tahu Guntur itu tidak suka membaca. Dan ketika melihat judul buku yang dibaca Guntur adalah Carita Bitoru, ia bertambah terkejut. Eka penasaran kenapa anak buahnya mau membaca buku fiksi biografi tersebut?

    “Tuyul, tumben sekali kau membaca buku novel! Ada gerangan apa yang membuat lo mau membaca Carita Bitoru?” tanya Eka yang matanya fokus melihat pertandingan.

    Tuyul tersebut yang sedang membaca melirik Bosnya dan ia pun menjawab, “Ya Bos, enak juga ya nih buku.”

    “Sudah sampai mana?”

    “Pas Bitoru di penjara! Kasihan ya, polisi di penjara gara-gara intrik besar politik Yabar padahal aslinya Bitoru hanya menjalankan tugas negara,” kata si Guntur yang menaruh empati pada tokoh utama novel yang ia baca. “Eh Bos, beneran ini cerita nyata?”

    “Ya,” jawab Bos Guntur tersebut.”Cerita Bitoru diadaptasi dari buku harian Bitoru, polisi Yabar yang mengubah geopolitik Yabar di tahun 870-an. Buku tersebut ditulis oleh Patih Ayudha karena menanggap kisah Bitoru perlu diceritakan kepada banyak orang ya walaupun gue nggak yakin ada tidaknya kepenting pemerintah di ceritanya Bitoru.” Eka mengakhir omongannya dan kembali fokus memperhatikan pertandingan sementara Guntur kembali membaca bukunya.

    Tensi pertarungan makin lama makin naik. Tak ada satupun dari para pertarung baik Eri maupun Kosim mampu membuat lawannya tersungkur di matras. Mereka sama-sama tangguh dan ketangguhan mereka membuat pertarungan ini makin menarik saja. Para pendukung Eri terus menyoraki nama ketua OSIS mereka agar Eri makin bersemangat. Sementara itu di kubu Kosim, Eka dan Guntur tidak menyoraki Kosim agar terus bertarung karena mereka sudah sibuk sendiri dengan urusan masing-masing. Tapi mereka percaya bahwa Kosim bisa menang melawan atlet karate tersebut walaupun waktu hanya tersisa 30 detik lagi.

    “30 detik lagi,” seru Eka kepada para pertarung agar mereka segera menyelesaikan pertarungan ini supaya tak seri.

    Batin Kosim merasa terguncang mendengar ia hanya punya 30 detik untuk melakukan teknik kunci kepada lawannya padahal sekarang lawannya sedang leluasa bergerak dan menyerangnya. Baginya, ada satu cara untuk membuat Eri langsung terkapar di matras tanpa perlu melakukan kuncian; teknik kotor seperti menyerang mata atau leher yang cukup brutal. Tapi cara itu sangat dihindari Kosim mengingat sekarang bukanlah pertarungan antara hidup dan mati, ini hanya pertarungan dalam rangka latihan saja. Jika ia dalam pertarungan hidup dan mati, mungkin cara tersebut bakal ia lakukan.

    Pertarungan terus berlangsung dengan tensi yang makin tinggi saja. Para pertarung tak mau menujukkan kelemahannya dan terus menunjukan kemampuan terbaik mereka pada musuh yang pada akhirnya berakhir seri setelah Eka berteriak, “Waktu habis dan pertarungan ini dinyatakan seri.”

    Kosim dan Eri langsung menghentikan pertarungan ditengah pertempuran sengit mereka. Mereka kemudian bersalaman dan pergi berlawanan arah ke pinggir matras. Kosim terlihat ada beberapa memar yang berwarna biru di muka dan badannya terlihat loyo gara-gara terkena Geri atau Zuki dari Eri. Rasa sakit yang ada di ulu hatinya masih terasa sampai sekarang. Sedangkan muka cantik Eri tak terlihat memar ataupun luka semacamnya, hanya saja tangan dan kakinya Eri agak sedikit sakit dan pegal gara-gara menahan serangan-serangan silatnya Kosim. Tak berani Kosim menyerang muka ataupun badan dari lawannya karena ia tak sanggup melakukan hal itu pada wanita. Jika saja Eri laki, mungkin nasibnya bakal sama kayak Otong.

    Eri duduk di pinggir matras dan langsung dikerubungi anak Imalia sementara Kosim langsung dihampiri Eka dan Guntur. Mereka terlihat capek dan lesu. Dalam waktu 5 menit, mereka mengeluarkan hampir seperempat energi untuk bertarung dan bisa dibilang, Kosim adalah satu-satunya lawannya yang ia tak bisa kalahkan walaupun ia mengeluarkan energi sebanyak itu. Dan bagi Kosim, terakhir ia mengeluarkan seperempat energinya untuk bertarung hanya dalam pertarungan melawan Otong.

    Terlihat Eri merebahkan tubuh di atas lantai kayu gedung olahraga dan anak-anak Imalia memberinya makanan serta minuman yang dapat membantu ketua OSIS tersebut mendapatkan kembali tenaganya. Lain hanya dengan Kosim, ia hanya tiduran di atas lantai dan tak ada yang mau menawarinya minuman ataupun makanan karena baik Guntur maupun Eka tahu kalau pesilat tersebut sedang puasa Daud.

    Merasa perlu melakukan sesuatu untuk Kosim, Guntur pun menawarkan sesuatu, “Kosim, mau gue pijit?”

    “Tak,” tolak Kosim yang terlihat sangat kelelahan.

    “Mau gue bekam?” tawar Guntur yang omongannya mulai ngelantur.

    “Tak,” tolak Kosim untuk kedua kalinya.Sepertinya dia mulai kesal.

    “Kalau gitu mau diakupuntur?” tanya lagi Guntur bercanda.

    “Emangnya saya sakit rematik sampai diakupuntur!” celetuk kesal si Kosim.

    “Sudahlah, Tuyul.Jangan ganggu Kosim,”kata Eka sambil memperhatikan kondisi Kosim; letih dan loyo.“Lagi pula bagaimana lo bisa melakukan bekam atau akupuntur jika lo kagak punya alatnya?” Pertanyaan tersebut hanya membuat Tuyul cengengesan saja.

    Sesambil ia tiduran di lantai kayu, Kosim meminta Eka untuk memberikan hasil evaluasi kepadanya. Dengan tanggap, Eka mengeluarkan buku coret-coretannya dari tasnya dan membacakan apa yang ia catat selama pertarungan. Ia menjelaskan kepada Kosim bahwa yang membuat Eri kuat hanya serangan pukulannya keras dan menyakitkan, kokoh badannya, dan cukup kecepatan mengantisipasi serangan lawan cukup baik. Sedangkan Kosim unggul di kelincahan dan fleksibilitas. Eka kembali mengingatkan Kosim untuk melatih otot-ototnya agar power-nya bisa naik.

    “Terima kasih atas sarannya dan… siapa lawanku selanjutnya?” tanya Kosim penasaran.

    Eka hanya tersenyum dan menjawab, “Tenang, lawan terakhirmu adalah lawan terbaik dari segala pesilat di Yabar! Siapkan saja mental dan fisikmu pada hari Selasa sore di lapangan Tabet.”

    Mendengar lawannya sepertinya lebih tangguh dari Eri dan Otong, Kosim tertarik untuk mengetahui siapa lawannya. Ia tak sabar untuk berhadapan dengan musuh pamungkasnya sebelum berhadapan dengan Jaka dan untuk itu, Kosim akan bertekad untuk latihan fisik seperti push up dan sit up setelah badannya sudah bugar.

    ****
    Di Minggu sore yang cerah ini, Arjuna bersama beberapa pengawalnya pergi menunjungi tempat latihan tim pemanah yang bakal mengikuti lomba. Tempat tersebut terletak di lapangan barak militer Yabar yang ada di Majoraan. Di sana, para Bhayangkara yang sedang latihan menyambut Arjuan dengan suka cita.

    Seharian ini, Arjuna menghabiskan waktu untuk kampanye di samping pekerjaannya sebagai Bhre. Nampak terlihat wajah lelah di mukanya Bhre.

    Setelah bersalam-salaman dengan para Bhayangkara tersebut yang bejumlah 6 orang, Arjuna ingin menunjukan kemampuan panahnya kepada para pemuda tersebut. “Ketahuilah semua, saya ini bisa memanah papan tersebut tanpa perlu melihat,” kata Arjuna sambil menunjuk papan panah yang jaraknya kira-kira 50 meter dari tempatnya berada.

    Arjuna memberi perintah kepada pengawalnya untuk menutup matanya dengan kain hitam. Para Bhayangkara menunggu dengan antusias untuk melihar kemampuan memanah Bhre Yabar yang disebut-sebut 99% akurat tembakannya walaupun matanya ditutup.

    Pengawal Bhre Yabar langsung memberikan busur yang terbuat dari kayu kepada Bhre. Dengan mata yang ditutup kain hitam, ia menarik anak panahnya dan mengarahkan ke papan panah. Tanpa perlu bantuan, ia bisa mengetahui dimana letak papan targetnya.

    Angin sore yang berhembus kecang dan Bhre menahan tali busurnya untuk menunggu waktu yang tepat untuk menembak. Setelah angin kencang berlalu, Bhre Yabar menaikan sedikit busur ke langit dan melesatkan panahnya. Semua mata tertuju pada panah tersebut yang melesat kencang di udara. Bhre langsung melepaskan penutup matanya agar melihat hasil tembakannya.

    Dengan cepat panah tersebut mengarah ke papan target namun sayang, panah tersebut mengenai badan burung yang sedang lewat. Burung tersebut langsung terjatuh di lapangan dan sepertinya burung tersebut sudah mati. Bhre kecewa karena tembakannya bukannya menancap ke papan malah ke burung. Tak mau pikir panjang, ia bersama para pengawalnya yang diikuti para Bhayangkara dari belakang langsung menghampiri mayat burung tersebut agar mengetahui jenis burung apa yang Bhre tembak.

    Bhre terkejut bukan main ketika melihat burung yang ia tembak bukan lah burung sembarang. Burung yang ia tembak merupakan jenis burung langka –yang bebas berkeliaran di langit–dan dilindungi negara-negara konfederasi termasuk Yabar. Sesuai hukum yang berlaku di semua negara anggota konfederasi; barang siapa yang membunuh burung tersebut, diganjar hukuman 20 tahun penjara dan di denda Er500.000,00.

    Mengetahui apa yang ia lakukan, Bhre langsung panik dan takut kalau media atau rivalnya tahu apa yang ia perbuat. Maka dari itu, Bhre langsung memerintahkan Bhayangkara untuk menutup mata dan menyuruh para pengawalnya untuk segera mengubur burung tersebut. Ia tahu kalau negara anggota konfederasi lain tahu dirinya membunuh burung yang dilindungi, bisa-bisa ia bisa dituntut konfederasi untuk mundur mengingat konfederasi bisa menjatuhkan sanksi kepada negara anggota yang melanggar aturan yang berlaku. Sanksi yang paling menakutkan bagi anggota konfederasi adalah perang dan bagi Bhre, perang melawan konfederasi sama saja bunuh diri.

    Setelah burung tersebut dikubur, ia meminta kepada semua pihak agar melupakan kejadian ini. Semuanya menuruti apa yang dikatakan Bhre dan Bhre berjanji bakal memberikan apa yang mereka inginkan.

    Dan yang diinginkan mereka adalah Bhre memanah lagi meningat tembakannya tadi meleset. Dengan senang hati, Bhre menerima permintaan tersebut.

    Bhre kembali dipasangkan kain hitam di matanya oleh para pengawalnya dan dengan cepat, ia melesatkan tembakan ke papan panah. Panah tersebut yang melesat kencang di udara menancap di tengah-tengah papan panah tersebut. Melihat hal itu setelah kainnya ia lepas, Bhre langsung melakukan selebrasi dan bakal mentraktir cendol kepada semua orang yang menonton aksi memanahnya.
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Selasa, 16 Oktober 899
    “Oke, Kosim. inilah musuh terakhir dan terkuat dari segala lawan yang kau hadapi,” kata Eka sambil memperlihatkan lawan terakhirnya kepada Kosim.

    “Iya sih ini musuh terakhir tapi…KENAPA MESTI KIDANG?” celetuk Kosim dengan lantang melihat Ki Dang berdiri di depan hadapannya. Ki Dang terlihat telanjang dada dengan mengenakan celana hitam sedangkan Kosim mengenakan baju seragamnya meningat ia baru saja selesai bersekolah. Badan Kidang yang tegak terlihat berbentuk layaknya binaragawan.

    Kosim pergi sendirian ke lapangan Tabet yang saat ini kondisinya cukup sepi. Di sana, ia bertemu dengan Eka dan Guntur yang membawa Ki Dang ke hadapannya. Lapangan Tabet merupakan lapangan ramput yang sering dipakai penduduk sekitar untuk bermain bola tarkam. Dari lapangan ini terlihat beberapa gedung-gedung pencakar langit yang ada di daerah Tabet. Selain ada anak Panzer di situ, ada juga beberapa anak kecil yang sedang bermain sepak bola 20 meter dari tempatnya Kosim dan ada Shaka yang sedang latihan melempar tombak di pinggir lapangan.

    “Ki Dang dulunya orang militer dan bisa dipastikan kemampuan silatnya sangat sakit,” kata Eka seraya melihat badan Ki Dang yang berbentuk dan berlumuran keringat. “Ki Dang, bisa kau tunjukan kepada Kosim ilmu silatmu?”

    “Tentu saja,” katanya lalu ia berjalan menunju pinggir lapangan. Eka, Guntur, dan Kosim bingung apa yang mau dilakukan kakek-kakek tersebut. Kosim terlihat mukanya ada beberapa bekas luka yang ia dapat dari pertarungan melawan Eri dan Otong.

    Di pinggir lapangan, Kidang mengambil sesuatu dari tasnya. di sebelah tasnya terdapat tas milik Eka, Kosim, dan Guntur. Ternyata yang diambil Kidang adalah kerisdan golok. “Untuk apa ia mengambil itu?” gumam Kosim seraya melihat satpam Panzer tersebut berjalan ke tempatnya Kosim.

    Di depan hadapan Kosim, Ki Dang langsung kuda-kuda kanan depan dan sebelum ia memulai menunjukan kemampuanya, ia berkata pada Kosim, “Kosim, akan ku tunjukan seberapa kuat saya!”

    Ki Dang langsung mengeluarkan jurus-jurus silatnya yang sangat cepat, sangat cepat sampai ketiga anak Panzer tersebut harus memperhatikan jeli gerakannya karenanya sepuluh gerakan bisa setara dengan sepuluh detik. Kidang sangat lincah gerakannya, sangat lincah bagaikan kijang. Sekali-sekali, Kidang mencoba menusuk dadanya dengan golok dan ajaib, tak terlihat golok tersebut mampu menusuk dadanya Kidang dan hal itu tentu mengejutkan ketiga anak Panzer tersebut. Benar-benar kemampuan mengagumkan dari sosok Kidang yang gerakannya seperti orang menari tapi mematikan, sangat mematikan sampai-sampai Kosim merasa dirinya tak mampu menandingi kesakitan dari veteran militer Nusatoro tersebut. Butuh 10 orang seperti Eri, Kosim, Otong, Edah, Made, dan Noprirf untuk bisa mematikan orang sakti tersebut. Dan jika Jaka berhadapan dengan Kidang, mungkin Kidang-lah yang bakal keluar jadi pemenang. Dalam kehidupan Kidang, ia hanya pernah kalah sekalidalam beradu silat dan itupun lawannya adalah Mahapatih Modo. Selain itu, ia selalu menang bertarung melawan semua makhluk kecuali kecoa. Untuk melawan kecoa, Kidang harus memakai obat serangga atau senapannya.

    Eka tak pernah membayangkan kalau ilmu silat Kidang setinggi itu dan ia berspekulasi bahwa ilmu silat Kidang bisa saja melebihi ilmu silat dari Jaka. Benar-benar malapetaka bagi Kosim yang harus menghadapi lawan yang lebih kuat dari lawannya yang akan ia hadapi esok hari. Harusnya ia memilih lawan yang kekuatannya tak melebihi Jaka.

    Kidang berhenti menunjukan aksi silat sakitnya dan berkata dengan bangga kepada anak Panzer, “Ah, itu hanya 1/3 dari kekuatan saya. Kalau saja saya masih muda, mungkin aksi silat ini hanya 1/5 dari kekuatan saya!”

    “1/5!” kejut semua anak Panzer.

    “Ya,” katanya. “Kosim, apakah kau siap melawan saya?”

    Dengan badan gemetaran, Kosim berkata, “O..oke!”

    Kidang tersenyum dan ia langsung melempar semua senjatanya ke tanah. Dengan mengenakan topi satpamnya, ia siap bertarung melawan pesilat terbaik STM Panzer tersebut. Eka mengeluarkan stopwatch-nya dari saku bajunya sementara Guntur pergi ke pinggir lapangan dan mengambil gong kecilnya. Sebelum pertarungan dimulai, Kidang masang kuda-kuda kanan depan sementara Kosim memakai kuda-kuda yang pernah ia pakai sewaktu melawan Eri dan Otong.

    Eka menjelaskan aturan mainnya kepada mereka berdua. Aturannya sama seperti aturan yang dipakai Eri melawan Kosim. Setelah Kosim selesai bertarung melawan Eri, Eri terkesima dengan kemampuan tarungnya Kosim dan mau melawan Kosim secara cuma-cuma jika Eka memintanya.

    “Oke semua, apakah kalian siap?”tanya Eka.

    “Siap,” jawab mereka dengan tegas. Kosim terlihat sudah tenang dan bersiap menunjukan kemampuan terbaiknya dalam bertarung melawan Kidang walaupun dirinya tak yakin ia bisa menang tidak melawan Kidang. “Minimal seri seperti lawan Eri”, pikir Kosim.

    “Mulai!” teriak Eka dan Guntur yang berdiri di sebelahnya memukul gong kecil.

    Belum sempat Kosim menyerang, Ki Dang langsung melepaskan tinjuan keras ke leher Kosim. Namun, langkahnya terhenti karena Ki Dang mengalami nyeri otot akut di badannya sehingga Ki Dang menoleh ke Eka dan berkata, “Eka, saya mengaku kalah saja. Nyeri otot saya kambuh!”

    Ki Dang meninggalkan arena pertarungan dan duduk di pinggir lapangan untuk meredakan nyeri ototnya yang mendadak kambuh. Sesakti apapun pesilat tetap tak bisa menghindari nyeri otot jika tidak melakukan pemanasan terlebih dahulu.

    Mendengar Kidang mengaku kalah, Eka langsung menangkat tangan Kosim setinggi-tingginya dan berteriak, “Kalau begitu pemenangnya adalah Kosim!”
    Kosim senang ia bisa menang tanpa harus babak belur bertarung melawan Kidang. Namun, Kosim merasa kalau ia tak bertarung melawan Kidang maka apakah ia bisa bertarung esok hari melawan Jaka? Mungkin, pikir Kosim. Kalau saja ia bertarung melawan Kidang mungkin ia bakal mengalami luka berat dan bakal kesusahan mengeluarkan kemampuan terbaiknya pada esok hari. Yang penting sekarang adalah meningkatkan kemampuan fisik agar power-nya lebih besar dibanding sebelumnya.

    “Kosim, besok adalah hari penentuan STM Panzer dan siapkan dirimu untuk melawan Jaka. Gue yakin Kosim pasti bisa mengalahkan tuh orang!” kata Eka memberi semangat pada Kosim.

    “Terima kasih, Kak. Tapi.. Apakah Kak Eka sudah bersiap untuk hari esok?” tanya Kosim.

    Eka tersenyum tipis dan seraya melipatkan tangannya ia berkata,”Tenang Kosim, gue dan tim gue sudah berlatih main tarik tambang setiap sore hari. Dan di sore ini, gue bakal pergi ke tempat biasanya gue latihan tarik tambang bersama tim gue!”

    “Oh, bagaimana dengan anda, Kak Tuyul?” tanya Kosim seraya melirik Guntur yang berdiri di sebelah Eka. “Apakah anda sudah siap beradu lari melawan orangnya Arjuna?”

    “Siap dong,” katanya dengan bangga. “Besok, akan gue tunjukan kemampuan terbaik gue sebagai pelari terbaik Panzer Yabar!”

    Kosim melirik ke belakang dan melihat Shaka sedang latihan melempar tombak. Sudah 20 kali Shaka melempar tombak sejauh 50 meter dan yang mengenai papan sasaran hanya 10 tombak saja, sisanya meleset. Dalam perlombaan esok hari, Shaka akan melempar 20 tombak dan harus mengenai papan sasaran lebih banyak dibanding musuhnya. Jika seandainya poin lempar Shaka sama seperti lawannya, maka juri akan memberikan tambahan tombak untuk dilempar sampai ada perbedaan poin. Maka dari itu, Shaka harus mengingkatkan kemampuan melempar tombaknya agar bisa menandingi musuhnya yang disebut-sebut media massa sebagai jagonya melempar tombak di Bhayangkara yang selalu tepat mengenai targetnya.

    Merasa ingin mencoba melempar tombak, Kosim langsung menghampiri Shaka dan meminta kepada Shaka untuk mengajarinya cara melempar tombak. Dengan senang hati, Shaka mau mengajari teman sebangkunya bagaimana cara melempar tombak.

    “Oke Kosim, pegang erat tombak kecil yang kau pegang. Setelah itu kau berjalan beberapa langkah ke belakang dan langsung kau lempar tombakmu dengan sekuat tenaga!” kata Shaka dan Kosim langsung melakukan apa yang dikatakan temannya. Ia berjalan beberapa langkah ke belakang dan langsung ia lemparkan tombaknya setinggi-tingginya ke arah papan sasarannya.

    Tombak tersebut melesat kencang dan tak sengaja mengenai burung yang sedang terbang melandai. Burung tersebut terjatuh di tanah dan ketika Kosim dan Shaka memeriksa burung tersebut, burung tersebut sudah mati tertusuk tombak. Karena kebingungan jenis burung apa yang ia bunuh, Kosim memanggil Eka dan Guntur yang membantu Ki Dang menghilangkan nyeri ototnya.

    “Ehm, sepertinya ini burung langka,” kata Eka seraya memegang dagunya. “Kalau nggak salah kalau bunuh burung langka bisa diganjar 20 tahun penjara dna denda Er500.000,00!”

    “Apa!” kejut Kosim dan ia menjadi panik. Ia takut kalau dirinya bakal menghabiskan waktu mudanya di penjara. “Apa yang harus ku lakukan, Kak Eka?” tanya si Kosim pada Eka.

    “Kubur saja tuh burung secepat mungkin sebelum ada Bhayangkara lewat!” jawab Eka. “Dan tenang Sim, gue dan semua anak Panzer yang ada di sini tak bakalan melaporkan lo ke Bhayangkara.”

    “Terima kasih Kak. Tapi, bagaimana dengan dia?” tanya Kosim sambil menunjuk Kidang yang duduk di bangku jauh dari tempat Kosim berada. “Dan mereka?” tunjuk Kosim ke anak-anak kecil yang sedang main sepak bola.

    “Tenang saja, Sim. Kidang sedang sibuk meregangkan ototnya sementara mereka sedang bermain sepak bola,” ujar Eka mencoba menenangkan Kosim.

    “Bagaimana anda tahu kalau mereka tidak memperhatikan saya membunuh burung ini?”

    “Gampang…” kata Eka lalu ia menyahut anak-anak yang bermain bola tersebut, “Hoi kalian, kalian tidak lihat ini orang membunuh burung langka kan?”

    Mereka semua menggeleng kepala seraya berkata, “Nggak, Kak. Tapi sekarang sudah tahu.”

    “Oke, lupakan saja kejadian tersebut. Mengerti kalian semua?” tanya Eka pada anak-anak kecil yang polos tersebut.

    “Baik kak, kami bakal melupakan semua kejadian ini,” kata anak-anak tersebut lalu mereka kembali melanjutkan bermain bola.

    “Tuh lihat Kosim, mereka tak tahu kalau kau membunuh burung ini.”

    “Iya sih tapi…”

    “Ah, sudahlah, Sim,” potongya sambil memegang pundak kiri Kosim. “Mereka masih bocah dan tak paham masalah seperti ini. Dan kalau bisa, kau cepat kubur nih Aves sebelum ketahuan orang!”

    “Baiklah, Kak,” kata Kosim dan ia langsung menggali kuburan kecil dengan menggunakan tangannya. Setelah mengubur burung tersebut, Kosim bersama Shaka, Eka, Guntur, dan Kidang pulang dari tempat tersebut.Esok hari akan menjadi hari yang menentukan bagi anak Panzer dalam usaha mempertahankan sekolah mereka.
     
  4. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Rabu, 17 Oktober 899

    Di pagi ini yang cerah, Eka bersama tim tarik tambangnya berdiri di atas kubangan lumpur dandi depan hadapan mereka, ada tim Bhayangkara yang sama seperti mereka, telanjang dada dan hanya mengenakan celana olahraga saja. Yang membedakan mereka hanyalah warna celana dan badan mereka. Jika Eka dan kroninya memakai celana olahraga STM yang berwarna hitam maka para Bhayangkara tersebut mengunakan celana olahraga cokelat. Mereka terlihat tidak menggunakan terompah ataupun sepatu alias telanjang kaki. Untuk badan, badannya Bhayangkara terlihat kekar dan berbentuk dibanding timnya Eka. Mereka bersiap akan menarik tambang yang tergeletak di atas kubangan lumpur setelah wasit meniup peluit.

    Tempat berlangsungnya tarik tambang terletak di dekat empang STM Panzer. Tarik tambang merupakan lomba yang pertama kali akan dilombakan pada perlombaan ini. Di sekeliling kubangan lumpur ada banyak penonton yang didominasi anak Panzer, Bhayangkara, guru-guru dan masyarakat yang tertarik menonton lomba. Lomba ini dibuka untuk umum dan masyarakat boleh keluar masuk ke STM Panzer. Acara perlombaan akan berlangsung dari 7.00 sampai jam 15.00. Acara pembukaan sudah berlangsung tadi dengan upacara pembukaan dari Panji dan Arjuna. Setelah upacara selesai, pertandingan tarik tambang akan segera dimulai dan sekarang, Arjuna sudah tidak ada di STM karena ia pergi ke daerah Maraju, Yabar barat untuk berkampanye.

    Dari hari Senin pagi sampai Selasa malam, orang-orangnya Arjuna yang berjumlah 100 orang diterjunkan untuk mempersiapkan perlombaan. Mereka yang mengubah lapangan Panzer menjadi lapangan futsal, tanah di depan gedung 3 menjadi lapangan bulutangkis, dan lain-lain termasuk kubangan berlumpur yang dipakai untuk tarik tambang.

    Di luar Panzer, banyak pedagang berjualan karena banyak masyarakat yang berlalu-lalang memasuki Panzer demi menonton perlombaan. Kondisi seperti ini membuat Bhayangkara terpaksa menutup jalan karena jalanan dipakai semua pedagang untuk berjualan, termasuk di antaranya Otong tukang mie ayam.

    Wasit menaruh sebongkah batu besar di tengah kubangan lumpur dan menjelaskan kepada para peserta bahwa siapa tim yang bisa menarik tali tambang sampai tim lawan menyentuh batu, maka tim tersebut bakal didaulatkan sebagai pemenang. Setelah menjelaskan, wasit meminta kepada kedua tim untuk bersiap karena pertandingan akan segera dimulai.

    Kedua tim langsung bersiap dengan menangkat tali tambang yang cukup panjang ukurannya dan bakal memulai menarik tali jika wasit sudah meniup peluit. Kenapa harus Tarik tambang di atas lumpur? Arjuna berpikir jika tarik tambang di atas tanah itu sudah biasa dan tidak mengasyikan. Oleh karena itu, Arjuna meminta kepada Panji untuk membuat lomba tarik tambang di atas lumpur agar yang berbadan besarlah yang bisa memenangkan lomba. Walaupun anak Panzer berbadan kecil sedangkan lawannya badannya kekar berotot, Eka dan kawan-kawannya tak mau kalah dalam pertandingan tarik tambang ini. Mereka sudah berlatih tarik tambang setiap hari menjelang perlombaan. Pria berkacamata hitam tersebut yakin mereka bisa mengalahkan Bhayangkara.

    Wasit meniup peluit dan masing-masing tim menarik tali tambang tersebut dengan arah yang berlawanan. “Ayo, ayo, ayo!” sorak anak-anak Panzer dengan lantang agar ketua OSIS Panzer Yabar dan timnya bisa bertambah semangatnya dan terbukti, sekarang semangat mereka naik beberapa persen dari sebelumnya.

    Akibat tarikan kuat dari para personil Bhayangkara, neberapa anak Panzer terpleset dan terjatuh sehingga posisi tim Panzer mulai terdesak. Eka yang memimpin timnya ikut terpleset dan terjatuh namun dirinya masih memegang erat tali tambang yang ditarik kuat oleh lawannya. Aura gelap mulai keluar sedikit dari Eka yang mencoba bangkit berdiri dan hal itu membuat nyali musuhnya mulai menurun. Walaupun begitu kondisi Eka sudah terdesak dan jika mereka tak segera menarik tali, mereka bakal kalah.

    Melihat kondisi seperti ini, José menghela nafas dan menyanyikan lagu yang bisa membuat anak Panzer semangat, “La la la la…. La la la la. La la la la la.” Nyanyian tersebut dinyanyikan José dengan suara lantang. Mendengar nyanyian José yang nggak jelas maknanya, banyak anak Panzer ikut-ikutan José bernyanyi dan menjadikan mereka seperti paduan suara sehingga terpaksa José pergi berdiri di depan kerumunan anak Panzer dan memimpin paduan suara agar nyanyiannya bisa dikontrol. Nyanyian tak jelas tersebut yang bertujuan menyemangati tim Eka dan cukup berhasil menaikan semangat pria berkacamata hitam tersebut dan kroninya.

    Merasa tersaing, para Bhayangkara yang berdiri di seberang kubangan lumpur memutuskan untuk menyanyi yang lagunya tak jelas seperti anak Panzer,“Tong…Tong…..Tang…Ting….Ting…Ting..Eeee…Ahh...” Nyanyian mereka lebih lantang dari mereka meskipun lebih nggak jelas dari nyanyian anak Panzer. Seorang personil Bhayangkara berdiri di depan para Bhayangkara dan memimpin jalannya paduan suara.

    Anak-anak Panzer –yang semuanya memakai baju olahraga dengan baju berwarna cokelat– dan para Bhayangkara –yang berseragam Bhayangkara– saling beradu paduan suara dengan melantangkan suara, bernyanyi lebih lama dan heriok sehingga membuat masyarakat, pihak yang netral juga bersorak mendukung kubu mana yang paduan suaranya bagus selain menonton acara tarik tambang.

    Melihat saingan mereka nyanyiannya lebih lantang dan heriok, Eko dengan semangat yang menggila berteriak dengan keras, “Ayo lebih heriok kawan-kawan, ayo!Meskipun gue nggak tahu arti dari lirik yang kita nyanyikan!” Teriakan tersebut membuat anak Panzer menaikan intonasi suara mereka dan bernyanyi lebih heroik dari sebelumnya. Mahesa yang selalu membawa tape recorder-nya langsung menyalakan benda tersebut dan keluarlah lantunan instrument oksetra yang membuat paduan suara dadak Panzer mirip paduan suara yang professional.

    Nyanyian tersebut membuat Eka dan timnya menjadi bersemangat dan mereka langsung melangkah ke belakang seraya menarik tali tambang sekuat mungkin demi menenangkan pertandingan. Tim lawan tak mau kalah, mereka menjadi bersemangat gara-gara nyanyian suporter mereka dan memberikan perlawanan sengit kepada tim Eka.

    Ketika menyadari lawan mereka bernyanyi memakai lantunan okestra, para suporter Bhayangkara merasa perlu memakai lantunan alat musik untuk mengiringi nyanyian mereka. Maka dari itu, beberapa Bhayangkara pergi ke mobil Bhayangkara yang mereka parkirkan di lapangan parkir Panzer dan mengambil 5 set biola yang disimpan di bagasi mobil. Entah kenapa bisa ada alat musik seperti itu di dalam mobil patroli Bhayangkara.

    Lantunan biola yang indah tersebut menyemarakkan nyanyain suporter Bhayangkara sehingga suporternya tim Eka merasa tersaingi dan mencoba meningkatkan kelantangan nyanyian mereka.

    Adu tarik tambang dan paduan suara berakhir sesaat pihak Panzer berhasil menarik tali sekuat mungkin sampai pihak Bhayangkara tertarik dan tarikan tersebut membuat tim lawan melewati batu besar tersebut. Penyebab Bhayangkara kalah gara-gara semangat membara dari Eka dan teman-temannya serta aura gelap dari pria berkacamata hitam tersebut.

    Pihak Panzer berhasil memenangkan satu perlombaan dari 13 perlombaan pada pagi ini. Eka dan timnya langsung melakukan selebrasi dengan raut muka bahagia.Setelah melakukan selebrasi di atas lumpur, mereka langsung menyalami satu per satu anak Panzer untuk mengungkapkan rasa terima kasih karena sudah menyemangati mereka sampai anak-anak Panzer pada serak suaranya. Sementara itu, pihak tim lawan Panzer tertunduk lesu dan berjalan menunju para Bhayangkara yang sepertinya siap menghibur mereka.

    Melihat anak muridnya menenangkan lomba , Panji yang duduk di sebuah bangku kayu di pinggir lapangan –yang sudah diubah menjadi lapangan futsal– bersama Kidang –yang sedang meminum jamu kuat– pun menghela nafas lalu berkata,”Ini baru permulaan anak Panzer, perjuangan kalian masih panjang…”

    ****
    Pertandingan futsal dan badminton dimulai di waktu yang sama; jam 8.00. Pertandingan futsal diadakan di lapangan Panzer sementara badminton diadakan di depan gedung tiga STM Panzer. Anak Panzer terbagi menjadi dua kubu dan kedua kubu tersebut bakal dikhususkan mendukung Panzer di salah satu perlombaan.

    Perlombaan futsal berlangsung cukup seru. Para pemain futsal Panzer yang badannya kalah besar dibanding tak mau menyerah begitu saja kepada tim lawan yang sudah menyetak 2 gol ke gawang Panzer pada menit-menit awal. Mereka terus memberikan perlawanan sengit pada musuh sampai menit-menit terakhir. Kelincahan dan kecepatan mereka menjadi senjata andalan Panzer dalam menghadapi para Bhayangkara. Para pendukung dari kedua belah pihak terus memberikan dukungan walaupun tak sampai dukungan paduan suara.

    Pada akhirnya, Panzer mengalami kekalahan kecil dengan skor 5-6 padahal anak Panzer itu pertahanannya seperti tank Panzer. Kekalahan ini adalah kekalahan pertama tim futsal Panzer selama tahun ini. Mungkin karena musuh mereka sekarang berbeda dengan biasanya maka kemampuan terbaik mereka bisa diredam para Bhayangkara. Kekalahan tersebut membuat Eka yang baru saja selesai mandi di toilet Panzer harus turun tangan untuk menyemangati mereka yang terlihat seperti orang yang tak punya harapan hidup.

    Di tempat lain, Ronald Sueb memberikan perlawanan sengit kepada lawannya di arena badminton. Dengan raketnya, ia bisa melesatkan semua serangan yang diarahkan ke areanya. Dibanding lawannya, Ronald lebih lincah, cepat, dan kuat dalam hal pukulan kok. Latihan yang cukup keras setiap sore membuat kemampuanya meningkat tajam dari sebelumnya. Akhirnya, pertandingan bulutangkis dapat dimenangkan Ronald. Skor tim Panzer dengan tim pemerintah sekarang adalah 2:1 dan masih ada 10 pertandingan lagi. Eka dan semua anak Panzer berharap mereka bisa unggul terus sampai lomba berakhir.

    Lomba selanjutnya adalah lempar tombak yang diadakan di lapangan Panzer yang habis dipakai pertandingan futsal. Sementara itu di ruang kelas XI-I, lomba masak sedang berlangsung. Kelas XI-I diubah sewaktu Selasa sore menjadi tempat pertandingan masak oleh orang-orangnya Arjuna.

    Bahan-bahan masakan seperti rempah-rempah dan daging sudah disediakan oleh pihak Arjuna di suatu meja yang berwarna putih. Juri lomba masa ada dua orang; Arundaya Xavier, Kepsek Panzer Wenker dan Whisnu Bagaskara, pencinta kuliner terkenal seantero Nusatoro. Mereka berdua diundang secara khusus oleh Panji untuk menjadi juri lomba masak Panzer. Walaupun Arundaya bukanlah pencinta makanan, pria berkursi roda dengan kepala plontos tersebut berjanji bakal memberikan penilaian yang kritis terhadap makanan yang bakal ia coba meningat dirinya adalah profesor sebelum dirinya menjadi Kepsek Wenker.

    Pertandingan tersebut agak tertutup dan hanya mengizinkan 10 orang suporter tiap tim saja untuk masuk ke ruangan kelas XI-I dengan alasan bisa sumpek ruangan jika kebanyakan orang.

    Tiap tim diberi para juri 60 menit untuk memasak dan mereka bebas memasak makanan apa saja dengan menggunakan bahan yang sudah disediakan.

    Melihat semua peserta masak sudah siap, Whisnu bersama Arundaya yang berdiri di depan langsung berteriak, “Pertandingan dimulai!”

    Para peserta langsung mengambil bahan masak dan mulai menyalakan kompor masing-masing. Kali ini, Mahesa dan gengnya bakal memasak nasi goreng Panzer dengan resep baru. Sedangkan tim Bhayangkara bakal memasak seafood dengan resep yang mereka telah buat di hari-hari sebelumnya.

    Sementara itu di lapangan, Shaka beradu dengan perwakilan Bhayangkara dalam lomba lempar tombak. Kali ini, lemparan Shaka cenderung tidak meleset dan selalu mengenai papan saran yang jaraknya sekitar 50 meter dari tempat Shaka berdiri. Hal ini menyebabkan Shaka dapat memenangi pertandingan dengan skor yang tak jauh beda dari musuhnya, 15-14. Kemenangan tersebut membuat pria berkulit hitam langsung ditraktir Eko makan mie ayam Otong karena sesuai dengan janji Eko, “Kalau lo menang lomba, mau 5 mangkok mie ayam gue bayarin!” Janji si Eko pada Shaka sebelum pertandingan lempar tombak dimulai.

    Saat ini, Otong kerepotan melayani banyaknya pembeli yang bertambah banyak gara-gara efek perlombaan STM Panzer Yabar. Jika hari biasa Otong hanya memakai 4 meja saja untuk berdagang, kali ini ia terpaksa menambah jumlah meja sampai 9 meja dan meminta bantuan teman-teman perguruannya untuk membantu melayani pembeli. Selain Otong, para Pedagang lain yang baru menggelar dagangannya di jalanan depan sekolah Panzer cukup sibuk melayani para pembeli yang makin lama makin banyak. Para pedagang baru tersebut umumnya adalah pedagang makanan yang pergi ke Panzer setelah mendengar diadakannya perlombaan olahraga Panzer. Para pembeli yang merepotkan mereka umumnya murid Panzer dan anggota Bhayangkara yang merasa lapar. Jumlah Bhayangkara yang mengikuti lomba dan mendapat tugas menjaga Panzer sekitar 150 personil.

    “Enak sekali makan mie ayam di pagi ini,” kata Shaka sambil melahap mie ayamnya. Ini sudah mangkok ke-2 hari ini dan kelihatannya ia masih kuat melahap beberapa mangkok lagi. “Eh, nih orang makan apa sampai kuat makan dua mangkok mie ayam?” pikir Eko sesambil melihat Shaka. “Kalau begini terus duti gue bisa habis!”

    “Shaka, enggak sakit tuh perut makan mie ayam terus?” seloroh Kosim yang duduk di sebelah kanannya Shaka.

    “Nggak,” geleng kepala jawara pelempar tombak tersebut. “Masih kuat makan berapa mangkok lagi sampai puas!”

    “Hoi Shaka, jangan bikin perut lo menjerit gara-gara kebanyakan makan mie ayam. Gue sarankan sudah cukup makan mie ayamnya!” saran Kosim yang peduli dengan nasib teman sebangkunya. Ia tak ingin kalau temannya dibawa ke rumah sakit hanya gara-gara kebanyakan makan mie ayam Otong.

    “Ah Baiklah Sim,” kata Shaka yang akhirnya menuruti saran dari Kosim. Eko lega gara-gara ia tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk makannya Shaka.

    “Kosim,” sahut seseorang kakek dan ketika Kosim menoleh ke kakek-kakek tersebut yang duduk di depannya dan kebetulan semeja dengannya. Kakek-kakek tersebut tak lain adalah Kidang dan di sebelah kanannya Kidang ada Jaka Tingkir yang baju dan celannya hitam pekat. Kepala pengawal tersebut sedang melahap mie ayamnya yang kebetulan Kidang belikan untuknya. Dari tadi, Kosim tak menyadari kalau di depannya ada Ki Dang gara-gara mengobrol sama si Shaka.

    “Maha guru Kidang, enak rasanya nih mie ayam,” seru Jaka seraya tersenyum setelah menghabiskan mie ayamnya.

    “Bagus, kalau mau tambah silahkan saja. Entar saya yang bayar.”

    “Terima kasih, Maha Guru,” katanya lalu Jaka yang tidak bertopeng meminta Otong untuk membuatkannya mie ayam (lagi).

    Merasa penasaran siapa orang yang menyebut Kidang sebagai “Maha Guru”, Kosim pun bertanya kepada manula tersebut,”Ki Dang, siapa pria kekar tersebut? Kenapa dia menyebutmu ‘Maha guru’?”

    “Jaka Tingkir, keponakan dari Joko Tingkir dan Joko Tingkir itu anak didik murid saya di Nusatoro,” jelas Ki Dang. “Jaka menemui saya sekitar 3 tahun lalu untuk berguru langsung kepada guru dari semua guru-guru sehingga ia bisa menyebut saya sebagai ‘Maha guru’. Kami berdua cukup akrab dan sewaktu Jaka mempersiapkan diri untuk melawanmu, dia memintaku menjadi gurunya tapi aku menolak dengan alasan cepat masuk angin kalau latihannya di bawah kaki gunung. Iya kan, Jaka?” tanyanya sambil merangkul pundaknya Jaka.

    “Eh iya Guru,” jawab si Jaka. “Guru, itu yang rambutnya kayak pendekar namanya Kosim?”

    “Ya benar Jaka,” jawab Ki Dang seraya mengangguk. “Kosim, ini adalah Jaka Tingkir. Lawanmu pada hari ini!”

    Jaka langsung mengulurkan tangannya kepada Kosimdan ia memperkenalkan dirinya pada Kosim, “Jaka Tingkir, kepala pengawal Bhre Yabar!”

    Melihat musuhnya ada di depan matanya, Kosim berusaha tetap tenang dan bersikap seperti biasanya. Ia bersalaman dengan Jaka dan berkata, “Abdul Kosim, murid kelas X-I STM Panzer Yabar!”

    “Kosim, kita akan bertarung pada jam 1 siang. Apa kau siap?” tanya Jaka seperti orang menantang.

    “Siap!” jawabnya meskipun aslinya ia takut bertarung dengan orang yang menguasai seperempat ilmu silatnya Ki dang.

    Di tempat lain tepatnya di lapangan Panzer, perlombaan lari akan segera dimulai. Para pelari akan berlari di Track yang ada di sekeliling lapangan. Track tersebut dibuat oleh orang-orangnya Arjuna dan sekali belari di Track tersebut sama saja menempuh 1 km meningat lapangan Panzer cukup besar ukurannya.

    “Tuyul, apakah kau bisa berlari mengitari lapangan ini yang jarak tempuhnya 1 km?” tanya si Eka layaknya pelatih menanyakan kondisi anak buahnya.

    “Tenang saja Bos. Gue sering latihan lari tiap sore hari,” jawab Guntur sambil melakukan pemanasan di pinggir lapangan. Setelah selesai melakukan pemanasan, Guntur bersama musuhnya bersiap lari di garis start dengan crouching start. Wasit langsung menembakan pistol ke langit dan mereka berdua langsung berlari secepat mungkin. Melihat Guntur berlari di lintasan, Eka dan suporter Panzer Yabar langsung menyoraki Guntur agar berlari lebih cepat dibanding lawannya.

    Lawannya Guntur badannya ramping dan cepat larinya sehingga ia bisa membalap Guntur. Guntur tak mau kalah. Guntur terus berlari dan berlari layaknya Tuyul dikejar massa satu kampung, menurut Eka yang memperhatikan lari anak buahnya.

    Larinya yang seperti Tuyul membuat musuhnya Guntur berpikir bahwa lawannya bukanlah manusia, tapi makhluk halus. Sehingga ia merasa bahwa tak mungkin baginya menang melawan Guntur dan pada akhirnya, Guntur berhasil sampai di garis akhir sebelum lawannya tiba.

    Eka langsung menghampiri Guntur dan berkata, “Bagus sekali Tuyul. Kau berhasil menunjukan kemampuan terbaikku!” Pujinya seraya mengelus-elus Tuyul. Guntur tidak terlihat berang atau marah disebut Tuyul karena dia sudah merelakan nama jelek tersebut menjadi panggilannya.

    “Terima kasih, Bos,” ujar Guntur seraya tersenyum. “Bisa nggak kita makan-makan kayak Shaka dan teman-teman?”

    “Tidak bisa Tuyul karena sekarang lomba masih berlangsung. Bisa saja kita kalah kalau kita senang-senang sekarang!”

    ****
    “Waktu masak sudah habis,” teriak Whisnu di depan hadapan para peserta lomba. Para peserta berhenti memasak dan melalui perwakilan, mereka memberikan masakan mereka kepada juri-juri untuk dinilai.

    Mahesa dan timnya memasak nasi goreng yang diberi nama “Nasi Goreng STM Panzer Yabar next level”. Sedangkan tim Bhayangkara memasak udang saus tiram dan mereka tak memberi nama masakan mereka.

    Whisnu dan Arundaya mengambil masakan Bhayangkara untuk dinilai terlebih dahulu. Mereka mengunyah daging udang tersebut dan Arundaya berkomentar, “Ehm, dagingnya cukup empuk dan rasa pedasnya menyerap sampai ke dalam. Dilumuri saus tiram menambah enaknya udang ini. Kulit udangnya bisa dimakan dan rasanya enak! Oh ya, satu lagi. Baunya cukup harum nih makanandan lebih enak dibanding restoran-restoran seafood pada umumnya!” Komentar Whisnu tak jauh beda dari Arundaya dan mereka memberi nilai 95 untuk masaknya Bhayangkara.

    Setelah menghabisi makanan Bhayangkara, Whisnu dan Arundaya mencoba mencicipi makanannya anak Panzer. Satu suap sudah masuk ke mulut mereka dan serentak, mereka berkata, “ENAK!” Tangisan keluar dari air mata mereka dan mereka langsung menegak botol susu yang disediakan Mahesa dari tadi di mejanya Juri.

    “Ini…Ini mengingatkan saya dengan masakan almarhum ibu saya ketika saya masih kecil,” ujar Whisnu seraya menangis ketika memakan nasi gorengnya. “Belum pernah ada yang bisa membuat nasi goreng seenak buatan ibu saya. Dan makanan ini membangkitkan memori masa kecil saya ketika saya pulang dengan luka parah setelah nge-track motor bareng anak-anak alay di sore itu. Sesaat saya pulang, ibu saya mengobati saya dan setelah itu, dia membuat nasi goreng dan makanan tersebut adalah makanan terenak yang saya pernah makan sebelum saya memakan makanan ini. Ibu!!!” teriaknya sambil terisak-isak.

    Sama seperti Whisnu, Arundaya menangis gara-gara ia mengingat kenangan masa lalunya ketika ia memakan masakan calon istrinya yang meninggal sebelum perkawinan. Mungkin Mahesa dan kawan-kawan harus membuat peringatan kepada orang yang memakan nasi goreng bahwa barang siapa memakan nasi goreng Panzer next level, bakal dihujani kenangan masa lalu yang indah.

    Mereka langsung memberikan komentar tentang masakannya tim Mahesa. Mereka sangat suka dengan paduan rasa pedas dengan rasa manis yang menyerap di setiap butir nasi goreng. Bau harum dari nasi goreng Panzer lebih daripada nasi goreng yang pernah dibuat anak Panzer ketika berjualan di Majoraan. Potongan timun, ayam, dan semacamnya cukup banyak di nasi goreng tersebut.

    Setelah berdiskusi lama, para juri memberi anak Panzer nilai 100. Padahal aslinya mereka mau memberi nilai 1.000 tapi sistem penjurian ini melarang juri memberi nilai di atas 100. Sepertinya Mahesa dan kedua kawannya benar-benar punya bakat memasak yang bisa mengebrak dunia masak. Mungkin saja mereka bisa membuat resotran jika seandainya mereka tidak sreg bekerja sebagai teknisi tank.

    Atas kemenangan tersebut, anak Panzer berhasil mengantongi 4 kemenangan dari 5 perlombaan yang sudah diadakan. Perlombaan panah dan panjat pinang akan segera dimulai di siang hari ini.

    Perlombaan panah diadakan di lapangan Panzer sedangkan panjat pinang diadakan di bekas tempat tarik tambang yang masih berlumpur.

    Pertandingan panah berlangsung sengit dan pada akhirnya, Parja harus mengakui pemanah Bhayangkara yang lebih unggul dalam memanah karena setiap tembakan pemanah tersebut selalu tepat sasaran. Sementara itu di panjat pinang, para anak Panzer yang menjadi peserta berlomba-lomba memanjat pinang untuk mendapatkan TV LCD yang ada di atas pohon pinang sebelum saingan mereka mendapatkan benda tersebut. Perjuangan anak Panzer berlangsung sulit meningat pinang yang mereka panjang cukup licin karena dikasih pelumas. Akhirnya, perjuangan anak Panzer berakhir sudah setelah Bhayangkara bisa mendapatkan TV tersebut terlebih dahulu sebelum anak-anak Panzer. TV LCD tersebut dikasih ke Bhayangkara secara cuma-cuma karena berhasil menenangkan pertandingan panjat pinang.

    Di lain tempat, perlombaan angkat besi baru dimulai ketika lomba panjat pinang selesai. Orang yang menjadi wakil Panzer berusaha sekuat mungkin menangkat barbell yang beratnya mencapai 20 Kg. Perlombaan tersebut diadakan di kelas X-I dan para juri dari organisasi angkat besi Yabar siap memberi penilaian kepada para peserta. Para suporter baik dari pihak Panzer maupun Bhayangkara terus memberi dukungan kepada jagoan-jagoan masing-masing.

    Jika anak Panzer kesusahan menangkat barbel tersebut, personil Bhayangkara yang menjadi saingannya anak tersebut terlihat mudah ketika menangkat barbel. Akhirnya, Bhayangkara berhasil memenangkan lomba angkat besi dan membuat skor Panzer-Bhayangkara/Arjuna adalah 5-4. Perlombaan selanjutnya akan dilanjutkan setelah jam istirahat selesai. Jam istirahat berlangsung dari jam 12.00 sampai jam 13.00. Istirahat tersebut dimanfaatkan anak Panzer untuk berkordinasi satu sama lain demi memenangkan perlombaan-perlombaan selanjutnya.
     
  5. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Perlombaan kembali dilanjutkan setelah jam istirahat selesai. STM Panzer terlihat bertambah ramai karena makin banyak masyarakat yang berkunjung ke STM Panzer untuk melihat perlombaan. Masyarakat cenderung netral di perlombaan ini. Mereka tidak mendukung Panzer ataupun timnya Bhayangkara karena tak ada untungnya mereka mendukung tim-tim tersebut.

    Perlombaan yang segera dimulai adalah tembak-tembakan di game, catur, monopoli, dan silat. Pertandingan tersebut yang cenderung tak memakan banyak tempat dilaksanakan serentak. Pertandingan tembak-tembakan dilaksanakan di lab komputer, catur di kelas X-III, monopoli di kelas XII-II, dan silat di kelas XII-III. Keempat pertandingan tersebut tidak dibuka untuk publik meningat keempat pertandingan tersebut tidak jelas waktu selesainya kapan. Jadinya masyarakat hanya bisa jalan-jalan di sekitar Panzer saja.

    Di lab komputer, Panjul, Eko dan 6 anak STM Panzer bersiap bertarung dengan 8 anggota Bhayangkara di game tembak-tembakan. Sama seperti game-game FPS, tugas mereka adalah menghabisi tim lawan di suatu hutan yang ada di dalam game. 16 komputer dinyalakan admin, orang yang bertanggung jawab untuk mengawasi jalannya pertandingan agar peserta tidak melakukan kecurangan. Game yang mereka pakai adalah simulator khusus yang hanya dimiliki pihak militer negara-negara konfederasi dan mainnya mesti ada jaringan internet.

    Tim Panjul sudah berlatih bermain game semacam ini di Warnet tiap malam hari. Mereka rela menghabiskan waktu semalam untuk meningkatkan kemampuan kerja sama dan pengalaman sehingga mereka bisa mengalahkan tim musuh.

    Game dimulai dan tim Panjul langsung menyisiri hutan dan waspada jika musuh menyerang mendadak. Panjul sebagai kapten tim mengintruksikan kepada timnya lewat pesan game kepada teman-temannya untuk berjalan hati-hati di medan hutan seperti ini. Panjul dan kawan-kawan sudah sering bertempur di hutan (dalam game) sehingga mereka tahu harus apa jika bertempur di medan hutan.

    Mereka terus menyusuri hutan dan mengawasi pohon-pohon yang bisa saja menjadi sarang sniper musuh. Di game ini, semua pemain bisa menjadi sniper, mata-mata, dan lain-lain jika punya senjatanya.

    Keadaan hutan di game sangat mirip dengan hutan asli. Grapich-nya terlihat sangat mulus dan setara dengan game-game FPS barat padahal buatan konfederasi.

    Selama 20 menit (dalam game padahal aslinya 10 menit), kondisi hutan berlangsung tenang dan ketenangan tersebut berakhir ketika kepala Eko ditembak musuh dari atas pohon. Kepala Eko hancur karena di-headshot musuh dan membuat Eko tak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia hanya bisa duduk mengamati teman-temannya tembak-tembakan dengan musuh dari layar komputernya.

    Panjul dengan pengalamannya menggeluti dunia FPS dari kelas 6 SD, ia dapat memberikan komando-komando yang cukup membantu timnya melawan serangan dadakan ini. Para Bhayangkara yang punya kemampuan tembak-menembak saja terlihat kewalahan menyerang musuh mereka padahal mereka yang pertama kali menyerang.

    5 prajurit Bhayangkara terbunuh akibat serangan sementara hanya 4 orang dari tim Panjul yang mati. Bhayangkara mundur dan tim Panjul mengejar mereka sampai sungai. Kondisi seperti ini membuat kapten tim Bhayangkara menyuruh satu personilnya untuk menjadi decoy untuk memancing musuh ke suatu tempat yang bakal menjadi kuburan anak-anak Panzer.

    Panjul dan timnya melihat ada salah satu personil Bhayangkara berjalan di dekat mereka. Tak mau membuang kesempatan mereka langsung mengejar decoy tersebut meskipun darah mereka tinggal 50%. Ketika mengejar decoy tersebut, Panjul teringat apa yang ia lakukan sekarang mirip dengan apa yang ia lakukan dulu. Ia ingat ketika ia bersama timnya mengejar satu personil musuh di hutan dan akhirnya, Panjul dan timnya dibabat habis oleh musuh.

    Merasa ia harus mencegah kejadian seperti itu terulang, Panjul mengirim pesan kepada dua temannya untuk mengikuti decoy tersebut. Sementara itu Panjul dan satu anak buahnya bakal berjalan mengikuti mereka dari belakang sehingga jika kedua temannya diserang, ia dan anak buahnya bakal segera bertindak.

    Decoy tersebut membawa kedua anak Panzer kesuatu tempat di pinggir sungai dan di sana, para Bhayangkara keluar dari sarang dan menembaki kedua anak Panzer tersebut. Melihat kedua anak buahnya sedang terancam, Panjul bersama satu anak buahnya memasuki semak-semak dan berjalan secara sembunyi-sembunyi lalu menyerang tiba-tiba para Bhayangkara.

    Para Bhayangkara mulai kewalahan dan terpaksa melempar granat ke arah Panjul. Panjul dan 3 temannya terkena granat dan langsung mati yang membuat kemenangan lomba tembak-menembak jatuh pada Bhayangkara. Harusnya mereka melempar granat dari tadi biar cepat menang.

    Kekalahan tersebut membuat Panjul menepuk kepalanya dan ia bergumam-gumam tak jelas karena malu bisa kalah melawan Bhayangkara padahal ia dan teman-temannya itu jago main FPS. Ia berharap lomba lain yang sedang berlangsung dapat dimenangkan anak Panzer.

    Di ruang X-III, Manguri sedang bermain catur melawan seorang personil Bhayangkara dan gerak-gerik mereka diawasi wasit yang berasal dari organisasi catur konfederasi. Manguri terlihat senyum-senyum sendiri ketika melihat lawannya bingung mesti bergerak kemana karena banyak pionnya yang sudah dibabat oleh Manguri. Tinggal 3 atau 4 lagi, Manguri bisa membuat raja lawannya checkmate. Waktu pertandingan sudah berjalan selama 20 menit.

    Melihat anggota Bhayangkara kelamaan berpikirnya, akhirnya wasit memaksanya untuk segera bertindak sebelum ia di diskualifikasi karena ada aturan yang mengatakan bahwa pemain harus segera bergerak sebelum 5 menit berlalu. Bhayangkara tersebut terpaksa menggerakan pion prajuritnya padahal ia tak mau menggerakan pion tersebut.

    Kesalahan pun tercipta. Ratu Manguri langsung melahap pion tersebut dan….”Checkmate,” seru Manguri dan lawannya langsung tertunduk lesu. Wasit langsung mendaulat Manguri sebagai pemenang perlombaan ini.

    Sementara itu di kelas XII-II, Karyo sedang bertarung dengan perwakilan Bhayangkara dalam permainan monopoli. Pemenang monopoli adalah orang yang bisa menguasai banyak propeti ditiap kelompokyang ada di papan dan jumlah uangnya lebih banyak setelah 90 menit berlalu. Saat ini, Karyo sudah menguasai 2 kelompok sementara lawannya hanya menguasai 1 kelompok saja. Pertandingan sudah berlangsung selama 45 menit dan tinggal menunggu siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

    ****
    Melihat Jaka memasang kuda-kuda tengah, Kosim mengikuti kuda-kuda lawannya. Mereka bersiap untuk bertarung jika salah satu dari mereka menyerang duluan. Di pertandingan silat ini, tidak ada wasit ataupun aturan. Pemenang pertarungan ini adalah pemain yang bisa membunuh lawannya. Ruangan kelas yang mereka pakai cukup luas karena semua barang seperti meja dan bangku di tumpuk ditumpuk di belakang kelas sehingga mereka bebas untuk bermanuver.

    Kosim yakin ia bisa mengalahkan Jaka meskipun dirinya menyadari kepala pengawal tersebut lebih kuat darinya. Jaka tidak membawa senjata seperti keris ataupun pistol karena di pertandingan ini pesilat tidak diperkenakan membawa senjata.

    Melihat lawannya menunggu diserang, Jaka menghela nafas dan langsung mengayunkan tinjuan tangan kiri ke mukanya Kosim. Kosim langsung menepisnya dan balik menyerang dengan mengayunkan kaki kanan ke mukanya Jaka. Semua serangan balik Kosim dapat ditangkis Jaka.

    Jaka menghempaskan pukulan keras ke muka Kosim tapi pesilat Panzer tersebut dapat menyanggah serangan tersebut. Kosim langsung menyerang balik dengan mengarahkan serangan ke bagian leher Jaka namun serangan tersebut bisa ditepis lawan.

    Mereka saling bertarung dan Kosim mengeluarkan 100% kemampuannya untuk menandingi Jaka. Sementara itu, Jaka hanya mengeluarkan 60% kemampuannya untuk bertarung. Gerakan tarung mereka sangat cepat untuk ditangkap mata biasa. Setiap gerakan mereka mirip orang menari tapi yang bedakannya adalah mereka menari untuk membunuh satu sama lain.

    Bagi Kosim, ini adalah pertarungan paling berat di kehidupannya sementara bagi Jaka, pertarungan ini tak lebih dari permainan saja. Kesaktian Jaka membuat Kosim harus mengeluarkan semua jurusnya agar kesaktian tersebut bisa ia hancurkan. Sekarang, power-nya Kosim lebih besar dibanding beberapa petarungan lalu. Hal ini berkat latihan fisik Kosim setiap malamnya yang dibimbing oleh teman sekamarnya, Abdullah.

    4 menit berlalu dan Jaka mulai kewalahan menghadapi Kosim yang lebih lincah darinya. Jaka terpaksa mengeluarkan jurus rahasianya, pukulan pamungkas untuk meredam kelincahan perantau tersebut. Kosim terkena pukulan pamungkas di perutnya dan ia terpental beberapa meter dari tempat ia bertarung.

    Kosim berusaha bangkit namun ketika ia bangkit, mengalir banyak darah dari mulutnya. Ia tak memperdulikan hal itu dan dirinya langsung berlari secepat mungkin ke arah lawannya yang kekar. Melihat pesilat Panzer berlari ke arahnya, Jaka tersenyum dan ia mengeluarkan jurus rahasia keduanya yang hanya ia pakai untuk melawan teroris, cipedes. Jurus cipedes langsung ia keluarkan dengan menghempaskan kaki kanannya ke kepala Kosim. Kosim terjatuh dan sebelum badannya menyentuh tanah, Jaka memukul badan Kosim 10x dan setelah itu, ia membiarkan Kosim tersungkur di lantai.

    Kosim yang badan dan kepalanya berlumuran darah bangkit dan dengan sisa tenaganya, ia kembali menyerang Jaka. Kosim menghempaskan sanggahan ke dagu Jaka dan untuk mengelabui lawannya, ia melakukan sapuan ke kaki musuhnya.

    Jaka berhasil menghindari sapuan tersebut namun ia terkena sanggaannya Kosim. Berhasil menyangga dagu lawannya, Kosim punya kesempatan melakukan tusukan pada tenggorokan lawannya dan ia langsung melakukannya.
    Jaka terkena tusukan tersebut dan Kosim langsung mundur beberapa langkah agar ia bisa menyiapkan serangan selanjutnya. Melihat lawannya mundur, Jaka langsung bertindak dengan menghempaskan tendangan gajul. Tendang tersebut mengarah ke ulu hati Kosim dan membuat Kosim muntah darah. Tendangan tersebut lebih keras dibanding tendangannya Eri sehingga tendangan tersebut bisa membuat korbannya muntah darah.

    Kosim berhasil menyeimbangkan diri sehingga dirinya tak terjatuh setelah menerima tendangan gajulnya Jaka. Kosim kembali menyerang Jaka dan serangannya kali ini sangatlah ganas. Ia berani mengarahkan tendangan ataupun pukulan ke arah kemaluan lawannya namun sayang sekali, lawannya bisa menangkis semua serangan tersebut dan giliran Jaka yang menyerang Kosim.

    Jika Kosim butuh 20 serangan lagi untuk menumbangkan kepala pengawal tersebut, maka Jaka hanya perlu 2 serangan lagi untuk melumpuhkan Kosim dan mengunci gerakannya. Kosim tahu hal itu dan oleh karena itu, ia berhati-hati jika dalam melakukan serangan balik agar musuh tak melakukan serangan sesaat serangan balik dilaksanakan.

    Ketika serangan jurus cipedes Jaka berhasil dihindari Kosim, Kosim langsung membeset betis kiri Jaka dan Jaka langsung tumbang. Jaka yang tersungkur di lantai berusaha bangkit namun Kosim tak akan membiarkannya. Kosim langsung melakukan kuncian ke badannya Jaka namun Jaka mencoba mengelak.

    Kosim gagal mengunci pegerakan Jaka dan Jaka bangkit lalu ia kembali bertarung melawan anak Panzer tersebut.

    Jaka melancarkan serangannya dengan mengarahkan pukulan ke dagunya Kosim namun sayang, Kosim berhasil menangkisnya dan dia menghempaskan tebasan ke lehernya Jaka. Jaka langsung mengelak serangan tersebut dan ia melancarkan tebangan ke leher Kosim.

    Kosim langsung tumbang dan sepertinya, ia tak bisa melanjutkan bertarung karena ketika ia mencoba bangkit, pesilat asal Pakuan tersebut langsung terjatuh.

    Melihat lawannya sudah sekarat, Jaka menghampiri Kosim dan menangkat kepala Kosim setinggi perutnya. Tak mau membuang waktu lagi, Jaka langsung menghabisi nyawa Kosim dengan memukul keras lehernya Kosim. Kepala pengawal tersebut langsung melempar mayat Kosim sejauh mungkin dan Jaka-lah yang menang di perlombaan silat ini.
     
  6. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Kosim dan Jaka melepas Oculus Rift dari kepala masing-masing. Setelah itu, mereka melihat di layar LCD –yang jaraknya 10 meter dari tempat mereka– ada tulisan “Game over”. Mereka bertarung silat dengan menggunakan simulator silat dan untuk menggunakannya, mereka harus mengenakan Oculus Rift dan baju khusus berwarna hitam yang bisa mendeteksi tiap gerakan mereka. Selain itu, mereka harus berdiri di atas papan khusus yang bisa mendekteksi setiap langkah mereka.

    Dengan menggunakan simulator, pesilat dapat mengeluarkan kemampuan terbaiknya tanpa perlu melukai lawan atau dirinya sendiri. Simulator tersebut merupakan buatan konfederasi dan yang menggunakannya hanyalah Bhayangkara dan militer konfederasi. Simulator ini tak ada efek sampingnya dan meningkatkan 2x lipat kemampuan tarung para pesilat. Hal ini membuat para pesilat di konfederasi selalu mengidamkan untuk menggunakan simulator seperti ini yang mahal harga sekali dipakai.

    Baju yang mereka kenakan punya kemampuan sensor sehingga ketika mereka bergerak, karakter dalam simulator bakal ikut bergerak. Mereka tak perlu bertarung beneran karena yang mereka perlukan hanyalah gerakan saja. Mereka tinggal menyerang musuh yang ada di Oculus Rift.

    Karakter dalam simulator merupakan model dari kedua petarung tersebut yang sudah dibuat khusus oleh pihak Yabar. Kedua karakter tersebut sangat mirip dengan karakter aslinya dan grapich 3D terlihat sangat realistik sehingga pertarung kedua karakter game tersebut terlihat seperti pertarungan sungguhan. Dan darah yang mengocor dari luka karakter dalam simulator sangat mirip dengan darah asli.

    Setelah melepas baju khusus tersebut dan memberikannya kepada wasit, Jaka menoleh ke Kosim yang sedang melepas bajunya. “Wah Kosim, tangguh sekali kau bisa bertarung habis-habisan melawanku!” puji Jaka kepada Kosim.

    “Terima kasih,” kata Kosim seraya memasang senyum tipis. “Tapi anda terlalu kuat untuk saya. Anda memang layak untuk menang!”

    “Terima kasih Kosim,” ujar Jaka. “Dan Kosim, apakah kau tertarik bertarung lagi denganku?”

    “Tidak,” tolak Kosim yang takut bertarung melawan kepala pengawal tersebut.

    Kosim dan Jaka keluar dari ruangan tersebut. Jaka berjalan menuju toilet dengan muka senang karena bisa menang lawan Kosim sedangkan Kosim berjalan menuju tempat Eka berada dengan muka lesu. Ia menyesal karena kalah bertarung melawan Jaka padahal Eka dan Guntur sudah berusaha mencarikan lawan yang bagus untuk dirinya. Ia tak tahu harus mengatakan apa kepada Eka tapi yang pasti, dia harus menjelaskan kepada Eka kenapa ia kalah.

    Kosim sampai di tempat Eka berada, bangku pinggir lapangan. Eka terlihat duduk bersama Ronald, Manguri, dan Guntur. Mereka semua terlihat sedang memakan es cendol yang mereka beli di tempat para pedagang berjualan. Melihat kedatangan, Eka bertanya dengan rasa penasaran, “Gimana sim hasil pertandingannya?”

    Dengan lesu Kosim menjawab, “Kalah saya. Jaka Tingkir terlalu tangguh untuk dikalahkan meskipun dalam dunia game!”

    “Ah,” kata Eka sambil menepuk dahinya. “Sekarang skor kita dengan Arjuna 6-6. Sekarang nasib STM Panzer tergantung kepada Karyo yang masih bermain monopoli melawan Bhayangkara!”

    “Oh ya Sim, mau lihat duit banyak nggak?” tanya Eka sambil memangku sebuat tas gendong. “Kalau mau duduk di sebelah gue.”

    Kosim menjadi penasaran dan ia langsung duduk di sebelah kanannya Eka. Eka menghabiskan cendolnya dan menaruh mangkuk cendolnya di bawah bangku. Setelah itu, Eka langsung membuka tasnya dan terlihat banyak uang di dalam tas tersebut.

    Melihat uang sebanyak itu, Kosim terkejut bukan main. Ia belum pernah melihat satu tas terisi penuh dengan uang dalam hidupannya. Dengan penasarannya ia bertanya, “K-Kak Eka, ada berapa Erak di tas ini? Dan dari mana anda bisa mendapatkan uang ini?”

    “Er10.554.300,00! Ini uang hasil kerja keras kita selama ini,” jelas Eka. “Kita akan bayar langsung ke Bhre Arjuna karena entar sore, dia bakal datang ke sini!”

    “Eka, bagaimana kalau kita kalah dipertandingan ini? Mau kita apakan uang sebanyak itu?” tanya Manguri seraya menghabiskan cendolnya.

    “Ah, Manguri,” sahut Ronald yang juga memakan cendol. “Kita harus percaya kalau kita bakal menang karena jika bukan kita, siapa lagi?!”

    “Benar apa yang dikatakan Kak Ronald. Kita harus percaya kita bakal menang!” ujar Eka. “Kalau misalnya kita kalah, kita bisa bicarakan nanti!”

    “Oke. Dan Eka, misalkan kita sudah bayar tunai hutang kepada Bhre, sisa uangnya mau kita apakan?” tanya Manguri.

    “Kita korupsi!” jawab Eka seraya tersenyum lebar. “Entar semua dapat jatah!”

    Semua terdiam mendengar jawaban seperti itu. Melihat teman-temannya hanya diam saja, Eka tertawa dan berkata, “Nggak, nggak. Itu cuma candaan saja! Mana mungkin gue mau korupsi uang hasil kumpulan anak Panzer!”

    “Yang jelas, uang sisanya bakal kita bagi-bagi secara adil kepada anak Panzer yang sudah berusaha keras dalam mengumpulkan uang pelunasan hutang,” tukas Eka sambil melipat tangannya.

    Kosim melihat jam tangannya sudah menunjukan jam 14.30. Ia melihat lapangan dan bekas-bekas tempat perlombaan seperti kubangan lumpur sedang dibereskan orang-orangnya Arjuna. Sore nanti bakal ada konser penutupan yang sudah disiapkan Arjuna dan Panji untuk menutup lomba ini. Acara penutupan bakal dihadiri Arjuna dan perlu diketahui ia tak bisa kampanye di sekolah karena ada hukum yang melarang calon pemimpin untuk berkampanye di area-area tertentu dan salah satunya adalah sekolah.

    STM Panzer yang ramai hanyalah jalannya sementara dalamnya tidak. Hal ini di karenakan tidak ada acara yang menarik lagi dan kemungkinan ramai lagi bakal terjadi ketika konser berlangsung. Konser bakal dihadiri band-band ternama di Yabar dan band dari STM Panzer. Bhre mau mengelontorkan puluhan ribuan erak untuk membuat konser seperti ini karena ia merasa dirinya bakal menjadi pemenang.

    Eka menutup resleting tasnya dan ia menaruh tas tersebut dipangkuannya. Ia bersantai-santai menikmati siang menjelang sore ini bersama teman-teman seperjuangannya.

    Anak-anak Panzer dan Bhayangkara yang menjadi supporter pergi meninggalkan STM Panzer dan mereka semua mencari makan di tempat para pedagang berkumpul yang membuat Panzer menjadi sepi.

    Suasana sepi tersebut berakhir ketika pintu kelas XII-II dibanting Karyo dan Karyo berlari-lari di lapangan dengan girang sambil berteriak, “Gue menang!” Karyo berhasil menenangkan perlombaan monopoli setelah 90 menit berlangsung. Dia memonopoli semua aset propeti dan jumlah uangnya lebih banyak dibanding lawan sehingga wasit mendaulatnya sebagai pemenang. Dengan ini, skor Panzer-Bhayangkara adalah 7-6 dan itu mengartikan STM Panzer Yabar adalah pemenang perlombaan ini.

    Melihat Karyo begitu, Eka berlari menghampirinya dan menanyakan apakah benar ia menang. Setelah mendapat kepastian menang dari Karyo, Eka dan teman-temannya senang bukan main. Mereka semua berlari-lari di lapangan seperti Karyo sehingga menanggu orang-orangnya Arjuna yang sedang mempersiapkan konser. Mereka ditegur para pekerja tersebut sehingga kegiatan gila tersebut mereka hentikan dan akhirnya, mereka memilih untuk diam di bangku.

    Ketika Eka menoleh ke gerbang, ia melihat Arjuna datang memasuki sekolah dengan pengawalan 30 orang. Arjuna berjalan melihat-lihat kondisi Panzer sambil ditemani Panji yang menemaninya ketika Bhre Yabar tersebut tiba di Panzer Yabar.

    “Kesempatan yang bagus,” kata Eka lalu ia pergi menghampiri Arjuna dengan membawa tas gendongnya. Ketika Eka berdiri di depan hadapan Arjuna, Arjuna, para pengawalnya, dan Panji menghentikan langkahnya.

    Melihat seorang anak Panzer berkacamata hitam berdiri di depan Bhre, para pengawalnya langsung menatap anak tersebut dengan penuh kewaspadaan. Eka langsung mengulurkan tangannya kepada Bhre untuk meminta bersalaman. Walaupun ia tak suka dengan Arjuna, ia merasa harus menghormati Bhre karena ia itu orang yang lebih tua darinya dan seorang pemimpin Yabar. Bhre tersenyum dengan bersalaman dengan Eka.

    Setelah itu, Bhre melihat anak tersebut memakai kacamata hitam. Merasa tersaingi, ia pun berkata kepada pengawalnya yang ada di sebelah kirinya, “Pengawal, kacamata hitam!”

    Pengawal tersebut memberikan Bhre kacamata hitam yang biasa dipakai jenderal-jenderal dan langsung ia pakaikan di kedua matanya. Setelah itu, ia bertanya kepada Eka, “Ada apa anak Panzer? Ada urusan apa dengan saya?”

    Eka langsung menyondorkan tasnya yang berisi uang tunai sebesar Er10.554.300,00 dan dengan senyuman tipis ia berkata, “Bhre, uang tunai Er10.504.300,00 sudah ada dan kami sudah memenangkan perlombaan ini! Sekarang, terimalah uang ini dan lunas sudah hutang Panzer!”

    “Eh, anak Panzer, apakah benar kalian menang lomba?” tanyanya sambil menyeringai. Jarang-jarang Bhre mau menunjukan mimik seperti itu kepada orang biasa.
    “Memang benar anak Panzer memenangi perlombaan ini, pak Bhre,” seru wasit pertandingan monopoli yang berjalan ke arah Bhre bersama beberapa wasit lainnya. “Mereka menang 7-6 melawan tim anda!”

    Bhre terkejut dan berteriak, “Tidak mungkin!”

    “Bhre inilah yang terjadi, terimalah!” kata Panji sambil menepuk pundak kiri Bhre. “Sesuai dengan janji anda, Bhre harus menerima uang anak Panzer dan tidak jadi mengambil tanah Panzer sebagai pelunasan hutang!”

    Bhre tak tahu harus apa. Ia memilih untuk tenang dan menghela nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Arjuna menyadari bahwa dirinya sudah kalah dan rencananya tak mungkin bisa direalisasikan. Dan ia berpikir mungkin ini karma karena ia merencanakan sesuatu yang mengorbankan banyak orang termasuk anak Panzer. Seharusnya, sebagai pemimpin ia tak boleh merencanakan sesuatu yang bisa mengorbankan kepentingan rakyat walaupun rencana tersebut dapat menguntungkan rakyat jika seandainya berhasil. Dengan terpaksa, ia tersenyum dan menerima tas tersebut lalu menyuruh pengawalnya untuk menghitung jumlah uang yang ada di dalam tas tersebut.

    Selagi para pengawal menghitung uang tersebut dengan menggunakan ilmu matematika dan kalkulator, Eka dihampiri Kosim, Manguri, Ronald, dan Guntur. Mereka semua berdiri di depan hadapannya Bhre dan menunggu hasil dari penghitungan uang pelunasan mereka versi para pengawal.

    Sementara itu, Jaka yang baru saja pergi jalan-jalan bersama Kidang menghampiri Bhre. Ia langsung memberi hormat pada Bhre lalu pergi masuk ke dalam barisan para pengawal.

    “Bhre, benar apa yang dikatakan anak Panzer. Uangnya Er10.504.300,00 dan ada sisanya loh!” seru pengawal Bhre setelah para pengawal menghitung semua uang anak Panzer salam 10 menit.

    Dengan memasang muka murung, Bhre berkata dengan lesu, “Oh bagus. Dan sekarang, bawakan dokumen tersebut kepada saya!”

    Pengawal yang disuruh Bhre langsung segera melaksanakan perintah Bhre dan setelah pengawal tersebut membawakan dokumen –yang ada tandatangan Modo, Kosim, Ronald, Panji, dan Daeng– kepada Bhre. Bhre langsung memperlihatkan dokumen tersebut dan ia langsung meminta kepada pengawalnya untuk memberikannya golok.

    Di depan hadapan anak-anak Panzer, ia langsung melempar dokumen tersebut ke langit dan memotong dokumen tersebut sampai 4 potong. Setelah itu, ia dengan besar hati berkata, “Selamat murid-murid Panzer Yabar, hutang sekolah kalian lunas dan tanah sekolah kalian tak jadi kami ambil!”

    “Pengawal, berikan uang sisanya kepada anak berkacamata hitam tersebut!” perintah Bhre kepada pengawalnya. “Dan satu lagi, bersihkan sampah bekas kertas tersebut. Sebagai orang pemerintah, kita tak boleh membuang sampah sembarangan apalagi di depan hadapan rakyat!”

    Para pengawal langsung melakukan apa yang diperintahkan Bhre dan anak Panzer terlihat senang bukan main melihat Bhre merusak dokumen yang selama ini Bhre rawat sebaik mungkin agar tidak rusak. Eka diberikan uang sisa uang pelunasan hutang oleh para pengawal dan ia bersama anak-anak Panzer lainnya akan membagi-bagi hasil secara rata.

    Bhre dan para pengawalnya pergi ke lapangan untuk memeriksa persiapan konser sementara Panji menghampiri Eka dan anak-anak Panzer. Dia langsung menepuk pundak kiri Eka dan dengan senyum tipis ia berkata, “Selamat Eka dan anak-anak Panzer Yabar, usaha kalian berbuah hasil juga ya!”

    Bukannya senang malah mereka berlima memasang ekspersi orang bingung dan Eka pun bertanya, “Anda ini Panji Samudra ya?”

    “Iya,” jawab Panji dengan senyum tipis.

    “Tapi…Bukannya Pak Panji itu mukanya selalu datar dan tak pernah tersenyum?” tanya lagi Eka.

    “Emang orang yang dingin dan datar mukanya seperti saya nggak boleh tersenyum?” celetuk Panji sambil nyengir.
     
  7. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Senin, 3 September 899

    “Bhre, ini dokumen peralihan tanah Panzer yang sudah ada di tangan kita!” kata si Ayudha sambil menaruh dokumen peralihan tanah Panzer di mejanya Bhre.

    Melihat dokumen tersebut yang baru saja datang setelah menempuh beberapa hari dari kantornya Mahapatih, Bhre mengambil dokumen tersebut dan membacanya. Selagi Bhre membaca dokumen tersebut, Ayudha berdiri di depan mejanya Bhre dan menunggu reaksi dan Arjuna.

    “Ah, jadi gini ya,” kata Arjuna setelah membaca dokumen tersebut. “Oke, kita ikuti permainan Mahapatih.”

    “Apa maksudmu, Bhre?” bingung Ayudha.

    “Baca saja ini dokumen,” ujar Bhre seraya memberikan dokumen tersebut kepada Ayudha. Ayudha membaca dokumen tersebut dan setelah itu, ia berkata, “Bhre, Mahapatih memberikan kita syarat-syarat yang cukup mengganjal rencana kita seperti; Ronald Sueb, Eka Jaya, Abdul Kosim, dan Daeng Mattawang tak boleh meninggal. Jika salah satu dari mereka meninggal, maka dokumen ini dinyatakan tak sah! Apakah anda merasa Mahapatih tahu rencana kita?”

    “Tenang saja, Ayudha. Saya yakin betul walaupun Mahapatih orang cerdas dan sakti, dia pasti tak akan bisa menguak rencana kita. Itulah yang dikatakan Noprirf kepadaku beberapa waktu yang lalu,” tutur Bhre. “Ia menjamin bahwa rencana rahasia kita tak akan bisa di-intercept pihak manapun termasuk intel Nusatoro karena kau mesti tahu kalau kualitas Adjuva dan intel Yabar sudah setara dengan telik sandi Nusatoro!”

    “Oke Bhre. Jika kau berkata seperti itu maka redalah rasa khawatir saya,” kata Ayudha serambi mengelus dadanya. “Rencana tersebut tak boleh gagal. Kalau gagal bisa mampus kita!”

    “Betul itu, Patih. Rencana tersebut harus bisa direalisasikan karena sudah direncanakan matang-matang sejak 4 tahun lalu,” kata Bhre sambil menopangkan tangan di dagunya. “Rencana tersebut harus bisa dilaksanakan apapun caranya!”

    ****
    Minggu, 11 November 899

    “Bhre, Kau kalah Pemilu!” teriak Ayudha di depan hadapan Bhre yang sedang duduk di kursi kerjanya. “lihat saja surat resmi dari badan penanganan Pemilu!” katanya seraya menunjukan sepucuk surat resmi dari badan penangan Pemilu kepada Bhre.

    Bhre dengan tenang membuka surat tersebut dan membacanya. Dalam surat tersebut tertulis bahwa Arjuna hanya mendapatkan 43% suara masyarakat Yabar sedangkan rivalnya, Cakra mendapatkan 57% suara masyarakat. Hal itu menandakan bahwa Arjuna akan dicabut gelar Bhrenya dan memberikannya kepada Cakra pada tanggal 20 November 899. Ada dua hal yang membuatnya kalah di Pemilu; 1) Ia dan timnya kalah di perlombaan Panzer Yabar (pengaruh 40%) 2) rakyat Yabar sudah bosan dengan rezim Arjuna (60%). Pengaruh kuat kepercayaan rakyat Yabar di era modern seperti ini cukup membuat Arjuna kehilangan banyak suaranya.

    “Bhre, kalau kayak gini maka rencana kita gagal sudah. Tanah Panzer tak bisa kita dapatkan dan sekarang, jabatan kita akan hilang! Kalau saja kau tidak meremehkan mereka pastinya sekarang kita bisa dapat tanah Panzer dan jabatan kita tetap bisa dipertahankan. Dan pastinya, rencana kita bakal bisa kita wujudkan!” jelas Ayudha panjang lebar dengan kesal.

    “Tenang, Ayudha. Tenang,” kata Bhre mencoba menenangkan Patihnya. “Kau harus tahu kalau ada masa dimana rezim kita bakal berakhir dan sekaranglah era kita berakhir.”

    “Ada waktu dimana yang menang menjadi yang kalah dan yang kalah menjadi yang menang. Dan saat inilah kita, pihak yang sering menang menjadi pihak yang kalah. Yang hanya bisa kita lakukan hanyalah mengikhlaskan semua yang terjadi,” sambung Bhre seraya menopangkan tangan di dagunya. “Dan saya akan bertemu dengan raja-raja untuk membahas rencana kita, rencana memberontak dan memperluas wilayah negara anggota!”

    Arjuna dan 20 raja-raja di konfederasi secara rahasia merencanakan pemberontakan untuk memperluas wilayah karena wilayah mereka sangat kecil. Rencana tersebut sudah mereka rencanakan sejak 892 dan untuk merealisasikan rencana mereka, mereka membangun kekuatan militer lebih kuat dari sebelumnya. Bhre ingin tanah Panzer untuk dijadikan markas militer Yabar karena tanah Panzer Yabar sangat strategis untuk mobiliasi pasukan ke kota Pakuan, ibu kota dari kerajaan Pakuan dan jika kota Pakuan jatuh, wilayah-wilayah Pakuan lain bisa direbut dengan mudah oleh militer Yabar. Perlu diketahui bahwa Pakuan itu adalah kerajaan kedua terkuat militernya di konfederasi dan jika Pakuan runtuh, pihak Nusatoro bakal terancam kekuatannya.

    Untuk mendapatkan tanah Panzer dengan mudah, Arjuna menawarkan uang pinjaman kepada Rendi di tahun 897 dengan bunga 0% dan ia yakin 100% kalau pihak Panzer tak bakalan bisa membayarkan hutang tersebut sebelum tank mereka jadi. Maka dari itu, ia meminta para Adjuva secara diam-diam menyabotase proses pembuatan tank dan membuat proses membuatan tank menjadi lebih lambat dari rencana pihak Panzer. Hal itu Adjuva lakukan sampai bulan Juni 899.

    Dalam peningkatan kekuatan militer, Arjuna sering kali ditanyai Mahapatih kenapa Yabar meningkatkan militer dan Bhre hanya menjawab, “Untuk memodernisasi militer Yabar!”

    Selain alasan imperialis, pemimpin negeri kelapa merah tersebut ingin mengembalikan kejayaan Yabar dengan menguasai wilayah-wilayah yang pernah diduduki kerajaan Yabar, kerajaan yang pernah berkuasa dari tahun 600 sampai 830 yang pada akhirnya digantikan oleh republik Yabar.

    Kerajaan Yabar pernah menguasai sebagian besar wilayah bagian barat pulau Yawana dari tahun 790 sampai 830. Tahun-tahun tersebut disebut rakyat Yabar sebagai “masa keemasan Yabar”. Saat itu, kerajaan Yabar sangat disegani seantero kepulauan khatulistiwa sebelum Nusatoro muncul. Kejayaan tersebut akhirnya berakhir ketika Pakuan bersama kerajaan Paribu dan Gelang menginvansi Yabar besar-besaran sampai raja Yabar menyerah tanpa syarat. Kekalahan tersebut menyakitkan hati rakyat Yabar dan muncul yang namanya “revolusi kelapa merah” yang diprakasai Bhre pertama Yabar, Bima. Revolusi tersebut berhasil menumbangkan kerajaan dan berdirilah yang namanya republik Yabar.

    Selama ini, pemerintah Yabar membiayai modernisasi kerajaan-kerajaan sekutunya dikarenakan Yabar merupakan negara terkaya diantara anggota konfederasi lainnya. Selain itu, Bhre Arjuna didaulat sebagai pemimpin para raja-raja sehingga Arjuna-lah yang membuat keputusan kapan waktu yang pas untuk memberontak atau tidak.

    Arjuna punya rencana jika seandainya tanah Panzer berhasil ia dapatkan dan terpilih lagi menjadi Bhre, ia bakal mengobarkan perang dengan Pakuan dan konfederasi di tahun 902. Di tahun tersebut Bhre menghitung kekuatan Yabar dan sekutunya sudah cukup untuk menandingi konfederasi.

    Namun rencana perang melawan konfederasi tak akan pernah terjadi. Setelah Arjuna kalah di perlombaan Panzer, rasa ingin memperluas wilayah mulai mengikis dan ia berpikir jikalau Yabar berperang melawan Pakuan, apakah rakyat Yabar akan mendukungnya? Dalam suatu perang, peran rakyat sangat penting karena jika rakyat tak mendukung pemerintah, jalannya perang pasti terhambat. Dan akhirnya ia memutuskan untuk mempupuskan niat imperialis tersebut. Ia merasa jika seandianya perang berkobar, ekonomi Yabar yang sudah makmur akan hancur dalam beberapa bulan saja padahal untuk membuat Yabar kaya butuh waktu selama 16 tahun.

    Ketika ia bertemu dengan 20 raja di kraton Tulang Awang, ia meminta kepada para raja-raja untuk menurungkan niat berperang melawan konfederasi karena ia yang dianggap pemimpin akan hilang kekuasaannya pada tanggal 20 November 899. Arjuna membiarkan kepada raja-raja tersebut apakah mereka masih mau berperang atau tidak jika Yabar tak lagi menjadi mitra militer mereka. 20 raja tersebut berdiskusi satu sama lain dan menghasilkan suatu keputusan, keputusan untuk menuruti perintaan Bhre karena mereka merasa bakal kalah telak melawan konfederasi jika Yabar tak ada disisi mereka.

    Setelah Arjuna turun dari jabatannya, Cakra naik tahta dan langsung merefromasi borkrasi dan hukum Yabar. Jabatan Patih diisi teman dekat Cakra yang kebetulan pamannya Jaka, Joko Tingkir. Jaka Tingkir diangkat Patih menjadi Senopati Bhayangkara Pancon sedangkan Cahyono didaulat sebagai Rakryan Temenggung pengganti Wirajuda.

    Cakra mengubah tata cara Pemilu yang membuat ia tak bisa mengikuti Pemilu lagi jika seandainya ia sudah menjadi 2 kali di pemerintahan sebagai Bhre. Ini berguna untuk mencegah seorang Bhre dari sikap otoriter yang cenderung seperti monarki dibalik tirai demokrasi. Mengingat ia bisa melanggeng ke kursi Bhre berkat anak Panzer, Cakra memberikan hadiah Er24.500,00 kepada Eka sebagai tanda terima kasihnya. Uang tersebut dibagi-bagi ke anak Panzer dan mereka memanfaatkan uang tersebut untuk keperluan pribadi mereka seperti beli cendol, bayar kontrakan, dan merakit motor.Untuk Kosim, uang tersebut dimanfaatkannya untuk mengontrak subah kontrakan kosong yang ada di dekat masjid.

    Setelah STM Panzer lunas hutangnya, kegiatan belajar mengajar kembali seperti biasa. Guru-guru yang tadinya punya niat ingin cepat pindah dari Panzer terpaksa mengurungkan niatnya dan mereka kembali mengajar seperti biasa. Pelanjutan pembuatan tank kembali dilanjutkan Daeng atas perintah Panji untuk segera menyelesaikannya. Hubungan Panji dengan anak-anak Panzer yang tadinya memanas menjadi sedikit baikan setelah kejadian perlombaan. Setelah mangkat dari jabatan, Ayudha, Arjuna, dan Wirajuda memutuskan untuk pensiun dan mengikati masa tua mereka bersama cucu-cucu di rumah masing-masing.
     
  8. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Kamis, 22 November 899

    Saat ini STM Panzer sedang dilanda hujan es. Semua murid yang mau keluar sekolah karena sekarang sudah masuk waktu istirahat kedua terpaksa mengurungkan niat mereka melihat hujan es seperti ini. Jarang-jarang terjadi hujan es di wilayah tropis seperti Yabar yang ukuran esnya seperti es batu buatan kulkas. Angin bertiup sangat kencang dan udara di siang ini cukup dingin sehingga anak-anak Panzer mesti memakai jas mereka jika tak mau masuk angin.

    Banyak anak Panzer yang duduk-duduk di lorong gedung untuk menonton hujan es. Terlihat Kosim dan Shaka duduk di lorong depan kelas mereka. “Aduh, mau pergi ke Warteg tapi malah hujan es!” keluh Kosim.

    “Iya Sim, gue juga mau ke Warteg tapi takut kepala kena es kalau pergi ke sana,” ujar Shaka yang duduk di dekat Kosim.

    “Shaka, kenapa hujan es bisa terjadi? Apa ada kaitannya sama global warming?” tanya Kosim seraya memandangi lapangan.

    “Entahlah. Dan yang pasti, ini baru pertama kalinya gue melihat hujan es!” seru Shaka sambil melihat baskom merah yang ditaruh Eka di tengah lapangan. Baskom tersebut digunakan Eka untuk mengumpulkan es yang bakal ia gunakan untuk membuat es buah. Saat ini, Eka dan Guntur sedang belanja di suatu mini market untuk mempersiapkan bahan untuk membuat es buah. Mereka nekat pergi ke tempat tersebut di tengah hujan es ini. Eka jago membuat es buah dan ia bertekad untuk menjadi juragan es buah di Yabar walaupun tahta juragan sedot tinja ada ditangannya.

    Sementara itu, Ronald yang berdiri di tengah lapangan sedang memainkan raket listriknya yang digunakannya untuk memukuli es-es yang mengarah ke dirinya. Hal itu ia lakukan untuk meningkatkan kemampuan main badmintonnya padahal tak ada lomba yang bakalan ia hadapi.

    Hujan es ini akan segera berakhir sekitar 4 menit lagi dan Manguri –yang sedang meminum teh hangat–duduk di kursinya yang ada di depan pintu perpustakaannya. “Harusnya hujan es ini minum wedang jahe tapi ya yang ada hanyalah teh saja. Ya sudahlah,” kata Manguri lalu ia meneguk botol minumnya yang berisikan teh hangat.

    Ketika hujan es mau berakhir, muncul seseorang yang berdiri di depan pintu gerbang Panzer dan ia berteriak, “Panzer Yabar, aku kembali!” Melihat orang tersebut, Ki Dang yang baru saja bangun dari tidurnya langsung mengambil senapan dan ketika ia keluar dari pos, ia langsung menodongkan senapannya ke orang tersebut sambil berteriak, “Mati saja kau, Setan!”

    Orang tersebut terkejut dan berteriak dengan ketakutan, “K-Ki, mau apa kau? Jangan bunuh say-“

    “DIAM KAU, RUH MATI PENASARAN!” teriak satpam tersebut dan langsung saja pelatuk senapan ia tekan. Orang tersebut sepertinya pasrah saja jika ditembaki veteran militer Nusatoro tersebut.

    “Aduh! Kenapa nggak nyala?” tanya saptam tersebut pada dirinya seraya melihat senapannya tak mengeluarkan peluru. “Oh ya. Saya lupa ngisi peluru! Ruh, tunggu ya di sini. Gue mau ngisi peluru perak dulu!” kata Kidang lalu ia berjalan menuju posnya.

    “Emang gue ini Vampir apa sampai pakai peluru perak!” celetuk orang yang dianggap ruh penasaran oleh Kidang.

    Melihat orang tersebut, Ronald dan anak-anak Panzer langsung berteriak, “AH!!! Ada ruh mati penasaran!” mereka langsung berlarian kesana-kemari layaknya melihat monster menyerang kota.

    Sambil berlari ke sana kemari di lorong gedung 1, Eko mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. “Halo, ini dengan pihak rumah sakit jiwa Golgrol ya?” tanyanya sambil gemetaran.

    “Ya. Ada perlu apa ya?” tanya seseorang yang suaranya seperti suster.

    “Bisa minta 1 kamar tidak?”

    “Bisa. Tapi kenapa anda meminta kamar? Memangnya ada yang sakit jiwa di pihak keluarga anda?”

    “Tidak, Sus. Saya yang merasa terkena gangguan jiwa karena melihat ada kepala sekolah saya masuk ke sekolah padahal aslinya ia sudah mati!” jawab si Eko. “G-Gentayangan!”

    Suster tersebut langsung menutup teleponnya dan merasa penelpon yyang menghubunginya rada sinting.”Suster!!! Jangan tutup teleponnya! Jarang-jarang gue nelepon sama cewek,” jerit Eko menyadari teleponnya diputus oleh suster Golgrol.

    Anak-anak Panzer terus berlarian kesana-kemari sampai Panji keluar dari ruangan kerja dan menenangkan mereka. Melihat ada orang yang rupanya mirip Rendi, Panji tak terlihat ketakutan dan pergi menandatangi orang tersebut. Kidang yang sudah siap menembaki orang tersebut dengan peluru perak dihentikan langkahnya oleh Panji. Panji memboyong orang tersebut ke pinggir lapangan dan duduk di sana. Kidang dan anak-anak Panzer pergi ke tempat tersebut dan disanalah Panji akan menjelaskan siapa orang tersebut yang rupanya mirip Rendi. “Tenang semua, dia ini bukan ruh atau pun setan seperti kalian bayangkan. Ini adalah Rendi Cempaka! Kepsek kalian yang selama ini masih hidup!” jelas Panji di depan hadapan anak Panzer dan Kidang yang duduk di atas tanah –yang ada beberapa butir es bekas hujan es.

    Mereka bukan terkejut main mendengar penjelasan tersebut. “Bu-bukannya Kepsek itu sudah mati di laut?” tanya Kosim kepada Panji dengan tergagap-gagap.

    “Tidak, Kosim. Itu hanya kebohongan semata saja yang kami berdua rencana untuk melancarkan operasi yang diperintahkan Mahapatih!” beber Rendi. Kosim dan semua anak Panzer serta Kidang bingung apa yang dimaksud dari Rendi. “Pak Rendi, apa perintah Mahapatih kepada kalian?” tanya Kidang yang sangat penasaran.

    Rendi dan Panji mulai menceritakan kepada mereka apa yang sebenarnya terjadi.

    “Sehari setelah Ayudha memberi tahu soal dokumen pengalihan tanah kepada Rendi, Mahapatih mengirim surat rahasia kepada Rendi untuk melaksanakan yang namanya videoconference pada hari Sabtu, 8 September. Kami segera mempersiapkan apa yang Mahapatih minta dan pada hari Sabtu, kami diberi tahukan Mahapatih bahwa Yabar diperkirakan akan melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap konfederasi,” tutur Panji. “Mahapatih Modo merasa ia tak bertindak sembarangan karena ia tak punya bukti cukup kuat dan pihak konfederasi tak bisa mengganti pemimpin negara anggota selain menggunakan cara militer yang merupakan opsi terakhirnya. Oleh karena itu, Modo merasa ia perlu menurunkan Bhre lewat rakyat dan ketika Bhre memintanya untuk membuatkan surat pengalihan tanah Panzer, muncul ide dibenaknya dan dengan sengaja Modo membuatkan dokumen tersebut.”

    “Ide tersebut adalah menurunkan Bhre dengan mengalahkannya di konflik Panzer. Oleh karena itu, Mahapatih meminta saya untuk pura-pura mati dan bersembunyi di luar Yabar. Selama di luar Yabar, saya sering kontak dengan Panji untuk mendiskusikan setiap rencana yang bakal dilakukan Panji –yang saat itu sudah bisa dekat dengan Bhre,” sambung Rendi. “Menurut Mahapatih, hanya Panji yang bisa melakukan apa yang disebut ‘menusuk dari belakang tanpa ketahuan’ secara efektif karena Panji itu bisa menyembunyikan emosinya secara total.”

    “Saya sengaja untuk melakukan hal yang kontra dari tindakan yang diambil kalian untuk mendekati si Bhre. Tak apa dimusuhi semua anak Panzer karena apa yang dilakukan untuk mendapatkan subsidi lagi!” beber Panji.

    “Su-Subsidi?” bingung anak Panzer dan Kidang.

    “Mahapatih menjanjikan akan memberikan subsidi lagi kepada Panzer dan 50 batang emas 24 karat kepada kami berdua jika seandainya Bhre turun dari jabatannya,” jelas Rendi kepada anak Panzer dan Kidang. “Oh ya, kami juga sudah memperkirakan kalian, anak-anak Panzer mau mengumpulkan uang buat melunasi hutang tanpa perlu campur tangan kami! Sesuai dengan rencana kami, anak Panzer pasti bersungguh-sungguh mengumpulkan uang untuk melunasi hutang sampai akhirnya terkumpul Er10.504.300,00 bahkan lebih!”

    “Dan mulai saat ini, anak Panzer tak usah bayar uang SPP karena subsidi sudah berjalan,” ujar Rendi kepada anak Panzer. Anak Panzer senang bukan main mendengar mereka tak perlu membayar uang SPP lagi. “Jabatan Kepsek tetap dipegang Panji dan saya tidak akan menjabat di STM Panzer dikarenakan sudah waktunya saya keluar dari Panzer!” sambung Rendi yang membuat anak Panzer dan Kidang kaget.

    Anak-anak Panzer dan Kidang mengajukan banyak pertanyaan kepada Rendi kenapa ia harus meninggalkan Panzer? Padahal mereka sudah lama tidak bertemu dengan Kepsek nyetrik tersebut. “Tak bagus bagi STM Panzer jika dipimpin saya terus. Saya juga merasa sudah waktunya mundur karena Panji pernah berkata bahwa setiap ada waktu naik pasti ada waktu turunnya. Dan saya merasa Panji lebih bagus ketimbang saya sehingga jabatan Kepsek Panji sewaktu saya bersembunyi di hutan layak dipertahankan,” jelas Rendi kepada anak-anak Panzer dan Kidang. “Saya akan memilih fokus bekerja sebagai pengusaha dan kebetulan saya sudah menemukan pasangan hidup ketika bersembunyi di hutan,” katanya sambil tersenyum-senyum sendiri.

    “Siapa pak? Manusia apa hewan?” seloroh Shaka kepada Rendi.

    “Manusia lah!” jawab Rendi yang merasa tersindir. “Dan secepatnya, kami berdua bakal menikah! Kalian semua pasti saya undang di acara pernikahan saya!”

    “Pak Rendi, apa maksud dari ‘menusuk dari belakang tanpa ketahuan’?” tanya Kosim kepada Rendi.

    “Sim, menusuk dari belakang tanpa ketahuan adalah melakukan sesuatu yang bisa merugikan patner kerja kita demi keuntungan pribadi. Hal itu dilakukan Panji dengan mengusulkan lomba melawan Panzer kepada mantan Bhre Arjuna dengan format yang aneh karena Panji merasa Panzer bisa saja menang melawan Arjuna jika lomba yang dilombakan itu sudah biasa dilakukan anak muda. Benarkan Panji?” tanya Rendi kepada Panji dan Panji pun menangguk.

    Para guru-guru –yang baru saja selesai makan siang di ruang guru– keluar dari ruangan dan ketika melihat ada sesosok Rendi yang sedang duduk di pinggir lapangan, mereka langsung panik seperti orang habis melihat setan. Melihat para guru-guru panik, Panji berdiri dan menghampiri mereka untuk menenangkan mereka. Panji menjelaskan kepada mereka apa yang sebenarnya terjadi dan setelah mendapatkan menjelasan tersebut, panik mereka langsung berhenti dan mereka langsung meminta maaf kepada Rendi karena menanggapnya sebagai ruh gentayangan.

    “Oke. Sepertinya penjelasan ini sudah dan saya sendiri belum makan siang. Ada yang mau makan siang bareng saya sekarang?” tanya Rendi kepada Kidang dan anak-anak Panzer.

    Semua menangguk setuju dan Rendi langsung menepuk tangannya seraya berkata, “Bagus, ayo kita makan siang di Warteg di sisa waktu istirahat ini!”

    Eka dan Guntur baru saja kembali dan ketika mereka melihat ada Rendi yang duduk di pinggir lapangan bersama anak-anak Panzer, Panji, guru-guru dan Kidang, mereka terkejut berteriak, “Setan!” Mereka langsung melempari batu ke Rendi sampai Kidang dan anak-anak menghentikan mereka dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Eka dan Guntur langsung minta maaf kepada Rendi dan Rendi memaafkan mereka walaupun ia terluka sedikit di kepala gara-gara lemparan batu. Akhirnya, 271 anak Panzer, Kidang, dan Panji ditraktir Rendi di Warteg yang ada di dekat Panzer Yabar. Warteg tersebut langsung habis semua persediaan makanannya gara-gara semua makanannya dilalap habis anak Panzer.

    Dengan subsidi yang diberikan Mahapatih, Panji dan Rendi berharap STM Panzer Yabar bisa semaju Panzer Wenker atau kalau bisa lebih di tahun selanjutnya, 900.

    Kelapa Merah Tamat
     
  9. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Penjelasan: Hatarx itu secara tidak langsung lanjutan dari Kelapa Merah dengan mengambil tokoh utama Eka. Di versi naskah ane ceritanya agak beda seperti latar belakang keluarga Eka. Tapi biar jadi sequel Kelapa Merah disesuai aja kalau begitu :iii:
    tunggu dulu... biar jadi versi lain aja. Alternatif Panzer biar bisa dibandingin enakan Kelapa Merah apa Hatarx:iii: (secara pribadi ane lebih milih Kelapa Merah)
    Ketika Realita dan Fantasi tercampur…

    Aku langsung menoleh ke belakang. Serasa dipanggil, tapi tak ada orang di balikku. Aku merasa suara tadi itu suaranya Guntur, tapi ke manakah ia pergi?


    Ah, paling perasaan saja.


    “Sepi,” gumamku melihat sekeliling koridor gedung I ini. Baru saja aku keluar dari toilet setelah menunaikan hajat besarku dan tak kusangka sudah sesore ini. Sore di penghujung November ini sejuk udaranya, enak, tapi tak sesejuk pagi hari tadi. Langit yang kejinggaan yang cerah ini cukup indah panormanya kalau dilihat-lihat.


    “Sore seperti ini mungkin bagus untuk menyatakan perasaan kepadanya,” gumamku sambil tersenyum kecil.


    Jauh di depan terlihat Kepsek dan Kosim berbincang satu sama lain, di depan pintu ruangan kepala sekolah. Terlihat asyik mengobrol mereka berdua, tanpa memandang lagi status murid dan kepala sekolah. Langkah kakiku kupercepat. keinginan bergabung dengan mereka cukup kuat, tapi….


    “Ke mana mereka pergi?” gumamku kebingungan melihat Kepsek dan Kosim menghilang layaknya terbawa angin. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?


    “Eka…” panggil seseorang yang seharus sudah tak ada lagi di dunia ini, suara Kakekku. Suara panggilan tersebut bercampur dengan ibuku yang sudah wafat dari dulu.


    Badanku langsung gemetaran. Darah berdesir cepat. Bulu kudukku tegak dan kuberlari sekencang mungkin. Aku sempat menoleh ke belakang tapi tak ada orang.


    Tadi itu apa ya?!
     
  10. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Jam terus bergerak di samping waktu terus berjalan. Ada pepatah kalau mau hidup itu harus maju ke depan, jangan lihat ke belakang terus. Jadikanlah masa yang telah berlalu sebagai pelajaran untuk ke depan.


    Aku tengah berjalan di tengah kegelapan buta ini. Berjalan di jalan yang lurus merupakan istilah bagi orang-orang yang selalu melakukan kebaikan seperti menolong sesama, memberi makan yang lapar, dan bersedekah. Tapi tak selamanya orang baik itu hidupnya lurus. Terkadang hidup itu kejam sehingga memaksa mereka berbelok sedikit tapi tak berlangsung lama. Itulah filosofi hidup sebenarnya; Hidup harus lurus tapi boleh belok sedikit asalkan tetap menjadi orang yang benar. Benar dalam artian moral.


    Di ruangan gelap ini, aku bisa melihat apa yang ada di sekelilingku; kosong. Sedikit menurunkan kepala, aku melihat kuberdiri ini gelap lantainya. Layaknya di luar angkasa, aku sepertinya berada di ruangan hampa. Entah di mana aku berad-


    “Bos, lepas kacamatamu bos!” seru seseorang sesaat ruangan ini mendadak menjadi terang. Aku melihat ruangan tempat kuberada ini banyak barang layaknya sapu ijuk, tumpukan kayu tua, pipa-pipa besi berkarat, tumpukan kardus bekas, dan meja-meja kayu yang tak terpakai. Ah, aku baru ingat. Beberapa saat lalu aku sedang berkhayal ria di ruangan hampa ketika ruangan ini gelap gulita. Dasar.


    Kacamata hitam ini kulepas. Mencoba menoleh ke belakang dan melihat sesosok makhluk tingginya berkisar 140 sentimeter. Ia berbaju STM Panzer dengan setelan berwarna coklat tua dan orang tersebut tak lain Guntur Wulun yang kepalanya gundul seperti gundulnya kepala tentara baru masuk barak.


    “Bos, saya sudah memasangkan lampu baru,” ujar Guntur menunjuk-nunjuk ke atas dan ternyata ada lampu di atasku ketika aku mendongak.

    Guntur merupakan anak buah satu-satunya yang aku miliki semenjak baru masuk sekolah ini. Kesetiaannya membuatnya mengikutiku ke mana saja kecuali kalau ia punya acara tersendiri. Ia menjadi anak buahku semenjak aku menolongnya saat ia dikeroyok preman. Setelah aku bersama Ellena mengalahkan mereka semua, Guntur menghampiriku, mengatakan terkesima kepadaku, dan meminta dengan keras untuk dijadikan sebagai anak buahku, asisten bahasa kerennya. Awalnya aku menolak permintaannya dengan halus, tapi ia terus memaksaku. Baru pertama kalinya aku melihat ada orang minta jadi anak buah. Dengan terpaksa aku menerimanya.


    “Bagus,” puji aku kepadanya lalu kembali memasang kacamata hitam ini. “Guntur, ayo kita ambil tangga buat mengganti jam kelas kita!” ajakku seraya melangkah keluar.


    “Aktifkan!”gumamku.


    “Baiklah, Bos,” Guntur membawa tangga yang tadinya ia pakai buat mengganti lampu gudang. Aku bersama Guntur pergi ke gudang ini untuk mengambil tangga yang bakal digunakan untuk mengganti baterai jam kelas kami. Mungkin saja kami bisa memakai meja atau kursi kelas sebagai pengganti tangga, tapi aku kurang suka mengotori meja atau kursi. Fungsi mereka adalah sebagai alat pembelajaran, bukan tumpuan naik turun!


    Kami melangkah keluar dari gudang ini untuk kembali ke kelas. Sepi. Lorong ini sepi dari orang-orang dan enak untuk berlari-lari kesana-kemari layaknya bocah. Sayangnya aku sudah berusia 18 tahun, malulah kalau lari kecuali kalau kondisi darurat. Aku mendongak dan melihat langit terlihat cerah. Cahaya matahari cukup terik dan panas. Aku lebih suka cuaca berawan ketimbang cuaca cerah yang panas karena cuasa berawan biasanya lebih sejuk suhunya.


    “Sampai juga di kelas,” lega Guntur lalu membuka pintu kelas. Sesampai di dalam kelas, aku melihat di belakang kelas ini ada teman-temanku sedang sibuk dengan urusan mereka seperti berbicara satu sama lain, main kartu, main petasan, dan main merco- Tunggu dulu, mengapa mereka main mercon di kelas? Bisa-bisa kelas ini terbakar! Kalau kebakaran bisa bahaya karena sekolah ini belakangnya hutan dan dekat rumah penduduk sehingga jika terjadi kebakaran maka bakal banyak korban berjatuhan!


    “Hoi, Kenapa kalian main mercon di kelas?” sergahku sambil berjalan menghampiri mereka. “Bisa terbakar ini kelas kalau kalian main api!”


    Marah aku melihat mereka bermain mercon. Apakah mereka tak tahu konsenkuensi bermain api dalam ruangan tertutup? Kebakaran. Semua anak yang main mercon ketakutan melihat aku dan pandangan mereka ke aku seperti pandangan melihat raja setan. Entah kenapa mereka ketakutan. Sampai sekarang aku belum tahu kenapa orang-orang takut melihatku kalau marah.


    “Ma-Maafkan kami, Ketua!” mohon ampun mereka dengan badan gemetaran layaknya hamba yang melakukan kesalahan pada tuannya.


    “Ya, ya. Aku maafkan. Dan sudah kubilang berkali-kali bahwa aku bukan ketua kalian lagi!”


    Mereka menangguk mengerti dan berhenti bermain mercon lalu kembali tempat duduk masing-masing dan bermain kartu.


    Seperti yang diketahui semua anak sekolah ini, dulunya aku ini merupakan ketua OSIS periode 898-900, ketua kelas 11, dan ketua berandalan STM Panzer Yabar yang terkenal seantero dunia berandal Yabar. Aku pernah terlibat dalam usaha mengumpulkan uang untuk mencegah sekolah ini jatuh ke pihak Pemerintah karena masalah hutang. Usaha tersebut berhasil dengan intervensi opisisi, Dyah Cakra atau yang sekarang disebut Bhre Cakra, dan mengakibatkan Bhre Arjuna yang berkuasa 20 tahun terpaksa menyerahkan tahtanya ke Cakra. Hal sepertinya aneh bagi orang awam, tapi inilah yang terjadi di Yabar, sebuah negera Repulik yang merupakan negara bagian dalam Konfederasi Nusatoro.


    Banyak hal-hal yang aneh di dunia ini yang sulit diterima logika dan itulah dunia; ada yang bisa dijelaskan secara logika dan ada juga yang tak bisa dijelaskan seperti wanita cantik pasangannya lelaki berwajah yang bisa dikatakan laki-laki lain ‘aneh’. Contoh seperti ini tidak bisa diterima logika para lelaki tampan yang masih tak punya pasangan. Aku sendiri tak mempermasalahkan hal ini karena aku tak pernah tertarik berurusan dengan masalah percintaan dan semacamnya, untuk saat ini.


    Aku berjalan ke depan kelas dan membantu Guntur memasangkan jam kelas. Sesampainya di depan kelas, aku menaiki tangga yang sudah disiapkan oleh Guntur dan menggantikan baterai jam.


    Jam mati dan waktu jam tersebut berhenti. Jam alam semesta berhenti waktu alam semesta berhenti dan jika itu terjadi maka seluruh aktivitas yang dilakukan makhluk hidup berhenti. Apakah itu bisa terjadi? Entahlah. Dan menghentikan waktu sendiri tidak bisa dilakukan makhluk hidup karena mereka tak punya kemampuan melakukan penghentian waktu. Hanya yang Maha kuasa saja yang punya kemampuan seperti itu. Lagi pula waktu itu adalah sesuatu yang berharga dan barang siapa yang tak bisa memanfaatkan dengan sebaik mungkin, orang tersebut akan menyesal kelak seperti orang yang tidak mengumpulkan makanan ketika musim gugur, ia bakal menyesal ketika musim dingin karena persediaan makanannya tak mencukupi untuk musim dingin.


    Ehm, mungkin menarik kalau waktu berhenti. Kalau waktu berhenti maka aku berada di garis di mana masa lalu dan masa depan saling berhadapan. Tunggu dulu, kalau semisalnya aku anologikan seperti itu maka waktu sekarang juga sama seperti waktu berhenti. Padahal penganalogian seperti itu salah karena waktu berhenti sama dengan pergerakan persekon nol sedangkan ketika waktu bergerak sama dengan pergerakan persekon +. Lumayan juga ilmu sains yang aku pelajari dari Kak Manguri.


    Menghentikan waktu adalah keinginan seseorang yang tak bisa menghadapi cepatnya waktu yang bergerak menuju masa depan dan keinginan untuk tak melepaskan masa lalu. Menghentikan waktu. Menarik tapi mustahil bagi aku, Eka Jaya, anak dari Okto Wirdhana bin Lutfhi Butana bin Budi Hekasana bin …… Aduh, aku lupa siapa nama kakek dari kakek Lufhi.
     
  11. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    “Ehm, kayaknya enak,” gumamku seraya memandangi tukang es krim lewat jalanan yang ada di depan STM Panzer.


    “Woi!” seru tukang es krim yang mengetahui aku memandanginya. “Naksir sama saya?” tanya tukang es krim dengan nada agak kasar.


    “Tidak, saya masih normal!” jawabku menggeleng-geleng kepala dua kali. “Es krimnya masih banyak ya?”


    “Iya,” jawab tukang es tersebut seraya menghentikan laju sepedanya. “Mau beli?” tanya tukang tersebut bersemangat. Sepertinya semangat hidupnya akan muncul ketika ada orang yang mau membeli barang dagangnya.


    Nggak,” jawabku menggeleng.


    Tukang es krim mukanya langsung cemberut dan langsung mengayuh sepedanya di pinggir jalanan yang cukup ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Aku bersama Guntur berdiri di depan gerbang STM Panzer untuk menunggu angkutan umum yang bakal lewat. Hari ini seperti kemarin; Eko, adik tiriku yang juga ketua OSIS sekolah ini, memakai motorku untuk keperluannya yang aku tak ketahui.


    “Bos, kenapa Bos mengamati tukang es krim?” tanya Guntur yang berdiri di sebelahku.


    “Iseng,” jawabku.“Guntur, mau tidak bantu aku buka program konseling umum?”


    “Eh, kenapa Bos mendadak mau buka program konseling?” tanya Guntur dengan penasarannya.


    “Aku tertarik mempelajari kehidupan sosial manusia yang bermacam-macam dan cukup unik,” jawabku tersenyum.“Kalau kau mau membantuku, datang ke lapangan Tabet pada jam 9 pagi pada hari Minggu, kau mau?”


    “Oke,” jawabnya sambil menangguk-angguk.


    ***

    Manusia adalah makhluk sosial dan dalam kehidupan bersosial, manusia akan menghadapi berbagai rintangan kehidupan dan cobaan hidup. Cobaan hidup bermacam-macam seperti cobaan bangkrut perusahaan, tidak ada uang buat biaya kuliah, listrik diputus PLN mendadak dan sebagainya. Manusia terkadang butuh saran atau meminta nasehat kepada orang yang mereka bisa percaya dan itulah mengapa aku membuat kemah di pinggir lapangan ini.


    Aku ingin mendengar cerita orang-orang yang sedang kena masalah dan mencoba membantunya dengan memberikan solusi. Untuk itu, aku bersama asistenku membuat satu papan di dalam kemah ini sehingga kemah ini seperti ada dua ruangan. Papan ini digunakan untuk melindungi identitasku dan asistenku karena kami takut terkenal hanya karena membuka konseling gratis ini, alasan yang sedikit aneh menurut orang lain, sepertinya. Selain itu, papan ini dilengkapi dengan alat pengubah suara sehingga ketika aku memberikan saran kepada klient, suara aku disamarkan layaknya kesaksian para penjual ilegal di TV. Papan ini terlihat seperti kayu jika dilihat dari sudut pandang tempat klient, tetapi sebenarnya papan ini adalah sebuah kaca dan melalui kaca ini, aku bisa melihat muka klient dan apa yang dilakukan klinetku.


    Setelah selesai mengatur kemah ini, aku bersama asistenku masuk ke kemah ini lewat pintu belakang. Sebelum masuk ke kemah ini, aku dan Guntur memasang spanduk di depan kemah ini yang bertuliskan “Konseling Tabet: menerima konseling orang-orang yang terkena masalah. Tidak dikenakan biaya dan rahasia dijamin.”


    Konseling ini dibuka pada jam 9 pagi dan ditutup pada jam 5 sore. Selagi menunggu klientdatang,aku menghabiskan waktu dengan membaca koran sedangkan Guntur mendengarkan musik dari ponselnya. Di kemah ini terdapat lampu neon yang kami pasang dan lampu tersebut listriknya berasal dari kable yang sumbernya dari rumah pak RT. Aku bisa mendapatkan listrik ini secara cuma-cuma setelah memainkan game buatanku, homofon dan homograf, dan membuatnya takjub.

    Setelah berjam-jam aku tunggu, akhirnya muncul klient pertama dan klient tersebut seorang kakek-kakek yang bernama Yunus bin Zakaria. Kakek-kakek tersebut terlihat memakai baju sederhana dan sepertinya dia orang kaya, terlihat dari lengan kirinya ada jam tangan mewah. Ah, klient pertamaku! Akan aku kerahkan semua kemampuan menguruiku kepadanya!


    “Oke, jadi anda mau konseling apa?” tanyaku kepadanya dengan suara disamarkan. Lucu juga ya suaraku kalau disamarkan layaknya suara penyanyi cilik di odong-odong depan rumahku.


    “Saya mau curhat saja,” jawabnya lirih.


    “Boleh saja,” kataku seraya memperhatikan gerak-gerik kakek-kakek yang duduk di kursi bangku.


    “Guntur, catat semua perkataan dari kakek-kakek tersebut,” bisikku kepada asistenku. Hal ini kulakukan untuk mencari solusi jika seandainya kakek tersebut dipenghujung menanyakan solusi.


    Asistenku terlihat bersiap mengetik dengan menggunakan notebook yang ia bawa dan sepertinya Yunus bin Zakaria mau mulai bercerita. “45 tahun lalu ketika saya masih sekolah dasar, saya bertemu dengan seorang anak sepantara saya yang memikat hati saya. Rambut bergaya Twintail[1] membuat saya tertarik kepadanya.”


    “Saya yang setiap harinya bermain sepak bola bersama teman-teman sekampung selalu melihat perempuan tersebut setiap saya melewati para perempuan yang sedang bermain ayunan,” sambung kakek-kakek tersenyum yang terlihat tersenyum tipis. Ah, pasti dia senang mengingat masa lalunya yang indah. “Ketika saya ingin mengutarakan perasaan saya, saya melihat anak tersebut sudah tak main lagi di tempat yang biasa ia bermain.Teman-temannya bilang kalau ia pindah bersama keluarganya,” sambung kakek-kakek tersebut. Oh, kasih sekali masa lalumu, Kek.


    “Dan 4 bulan setelah perempuan ber-Twintail tersebut menghilang, ia kembali muncul di depan hadapan dengan status sebagai saudara tiriku. Walaupun ia menjadi saudara tiriku, aku masih menyimpan perasaan kepada dia,” tutur Yunus sedikit memerah mukanya. Tunggu dulu! Bukannya itu mulai sedikit brocon([2]?


    “Tahun demi tahun perasaan ini bukannya hilang malah bertambah saja,” katanya seraya tersenyum. Wah, bahaya nih masa lalu orang ini.“Dari SD sampai SMA, saya dengan adik saya yang Twintail tersebut selalu sama kelasnya dan seiring waktu berjalan, kemanisan dari adik tiri saya semakin bertambah saja,” sambung Yunus. “Ketika kelas 11, Saya bertanya kepada adik saya bagaimana perasaannya kepada saya dan ia menjawab bahwa ia suka saya sebagai kakaknya walaupun ada perasaan spesial di hatinya,” katanya seraya menggosok-gosok kedua telapak tangannya.Waduh, udah mulai bahaya nih ceritanya.


    Siscon, Brocon, sebentar lagi incest,” gumam Guntur menyeringai sembari mengetik. Aku setuju denganmu, Asisten!

    “Sesaat saya naik kelas 12, saya menemukan bahwa adik tiri saya bukan anak kandung dari bapak tiri saya,” tutur Yunus lalu menghela nafas. “Adik tiri saya merupakan anak pumut dari tong sampah dan setelah mengetahui hal ini, keluarga saya mengubah status adik tiri saya menjadi anak angkat keluargaku.” Wah, sudah membingungkan nih ceritanya.


    “Setelah ayah tiriku meninggal, perempuan ber-Twintail tersebut menjadi bekas adik angkatku dan aku membantunya untuk mencari siapa orang tua kandungnya. Pencarian tersebut memakan waktu 10 bulan dan kami berhasil menemukan orang tua kandung dari bekas adik angkatku,” sambung Yunus.“Beberapa bulan setelah selesainya pencarian tersebut, aku dan dia resmi menjadi suami dan istri sampai sekarang. Saat ini rambutnya sudah memutih dan tetap ber-Twintail.”Aku bingung sama cerita dari Yunus bin Zakaria. Ceritanya sedikit klise layaknya sinetron.


    “Jadi, gimana skenario sinetron yang saya tadi ceritakan?” tanya Yunus yang mendadak berubah ekspersi mukanya.


    Apa? Tadi itu cerita karangannya? Sialan. Kukira ceritanya asli! Aku melihat Guntur dan sepertinya dia juga ikut terkejut mendengar cerita yang tadi diutarakan klient itu hanya karangan belaka. Tapi hebat juga ya orang tersebut memasang ekspersi muka ketika bercerita. Aku saja terkadang ekpersinya datar ketika bercerita padahal seorang pencerita harus bisa memasang ekspersi muka saat ia menceritakan suatu cerita. Aku penasaran siapa ia? Sutradara sinetron atau penulis skenario?


    “Bagus .Tapi agak klise,” jawabku lewat mik. Mik ini membuat suaraku samar-samar.“Ngomong-ngomong anda ini sutradara sinetron apa penulis skenario?”

    “Sutradara sinetron sekaligus penulis skenario. Selain itu, saya juga sutradara film-film percintaan yang mutunya sudah diakui oleh masyarakat dan pengamat!” jawabnya sembari melipat tangannya, bangga.“Judul skenario yang saya buat adalah ‘Cinta Twintail’ dan akan segera tayang beberapa bulan lagi jika skenario ini disetujui produser!”


    “Oh. Bagus tapi saya rasa anda perlu memperbaiki jalannya skenario yang anda buat karena ada beberapa hal yang agak klise dan membingungkan,” saranku kepadanya.


    “Terima kasih,” katanya seraya bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan tempat ini.


    Setelah kepergian sutradara sinetron tersebut, Guntur pun bertanya kepadaku, “Bos, apa saya hapus saja tulisan yang baru saja saya ketik?”


    “Terserah,” jawab singkatku. Mendengar jawabanku, asistenku langsung menghapus cerita yang baru saja ia tuliskan di notebooknya.


    Hari ini kami hanya mendapatkan satu klient dan itupun bukan klient mau konseling, tapi hanya seorang sutradara yang minta pendapat soal skenario sinetronnya. Semoga minggu depan aku bisa mendapatkan klient yang betul-betul orang yang mau minta saran pada kehidupannya.


    Di dunia ini ada beberapa macam cerita berdasarkan medianya; cerita tulisan, cerita visual, dan cerita omongan. Cerita tulisan adalah cerita yang diceritakan oleh penulisnya lewat rangkaian kata-kata dan untuk mencegah kesalahpahaman, penulis harus menggunakan kaidah bahasa yang baik. Cerita visual adalah cerita yang memvisualisasi cerita seperti theater dan seni drama semacamnya.Untuk cerita omongan adalah cerita yang dijelaskan oleh pencerita dengan omongan seperti dongeng sebelum tidur yang diceritakan ibu kepada anaknya.


    Aku sendiri lebih suka cerita tulisan ketimbang cerita visual atau cerita omongan karena cerita tulisan lebih jelas katanya daripada cerita omongan yang tergantung pada kefasihan bercerita si pencerita. Untuk cerita visual aku kurang suka karena cerita visual sedikit membatasi khayalan sang pembaca seperti novel yang diadaptasi ke film pada umumnya. Walaupun begitu, bagus atau tidaknya cerita visual itu tergantung dari sutradara yang mengatur pertunjukan. Semakin banyak membaca semakin besar pengetahuan yang didapat sang pembaca dan inilah yang menjadi keunggulan cerita tulisan dari cerita visual atau cerita omongan.


    “Guntur, kau lebih suka film atau novel?” tanya aku kepada asistenku yang sedang membereskan isi kemah ini. Kami memutuskan untuk menutup kemah ini ketika mentari terbenam.


    “Tergantung, Bos,” jawab asistenku. “Kalau genre aksi dan petualangan lebih condong ke film tapi kalau cerita kehidupan sehari-hari lebih ke novel.”


    “Aku mengerti,” ujarku seraya menepuk pundak Guntur dan pergi melangkah keluar kemah ini. Selera orang memang beda-beda ya!
     
  12. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Cerita&Jawab
    Kehidupan manusia seperti sebuah cerita panjang yang dimulai dari saat manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Makanya ada pepatah ‘hari kemarin adalah halaman yang sudah ditulis dan hari esok adalah lembaran putih yang akan segera ditulis’ sebagai penganalogian dari kehidupan manusia. Latar dari kehidupan dunia adalah dunia dan sudut pandangnya memakai orang pertama tokoh utama.


    Berbicara soal dunia, dunia terbagi menjadi 4: dunia realita, dunia maya, dunia gaib, dan dunia khayalan. Dunia realita adalah dunia di mana aku berada kemarin dan sekarang.Dunia maya adalah dunianya internet yang sebenarnya tak ada. Dunia gaib adalah dunia para makhluk gaib dan dunia khayalan adalah dunia yang ada di imajinasi manusia. Dunia maya dan khayalan tercipta dari dunia realita sedangkan dunia gaib diciptakan oleh sang khalik berserta dunia realita ini.


    Hari esok…. Oh ya, hari esok. Hari esok tak bisa dimasukan keempat dunia yang aku sebutkan karena hari esok adalah lembaran putih dan lembaran putih berarti suatu yang belum ada alias tidak ada. Ketiadaan tersebut akan menghilang setelah diisi oleh waktu yang disebut sekarang.


    “Hari esok,” gumamku seraya melihat langit biru di siang ini.Langit biru bagaikan lautan lepas. Sayang yang membedakan mereka media dan medannya serta luasnya.

    Burung-burung berterbangan kesana-kemari, pesawat terlihat terbang menuju ke bandara internasional Yabar yang ada di utara Yabar, awan-awan putih bergerak mengikuti arah angin dan angin bergerak ke timur di mana mentari terbit dari sana.


    “Woi, Eka! Kenapa kau duduk di atas genteng sekolah?” teriak Kepsek Panji lewat megafonnya dari tengah lapangan. Aku melihat di lapangan banyak anak STM Panzer dan sepertinya mereka terkejut melihat aku duduk di atas genteng sekolah. Masa kesendirianku akhirnya berakhir juga.


    “Berfilosfi ria, Pak,” jawabku sambil merenggangkan badanku yang agak kaku. “Di sini enak buat lihat pemandangan hutan sekolah, kampung padat penduduk, gedung-gedung, dan tentu saja langit! Mau tidak bergabung denganku, Pak?”


    “Tidak!” sergahnya Kepsek Panji lewat megafonnya tapi ekspersi dan intonasinya datar, inilah salah satu ciri khas dari Kepsek kedua STM Panzer ini.“Kau turun sekarang atau saya cabut internet sekolah ini!” ancam Kepsek yang mengejutkanku lagi semua anak STM Panzer.


    “Jangan!!” teriakku mulai berjalan turun atap gedung dua dengan tangga.“Tidak ada internet, tidak ada hidup!” ujarku seraya menuruni tangga.Saat ini,kebutuhan pokok manusia ada tiga: sandang, pangan, dan papan tapi aku percaya suatu hari nanti, kebutuh pokok manusia ada empat: sandang, papan, pangan, dan internet. Aku percaya kalau 80% aktivitas manusia empat puluh – lima puluh tahun ke depan bakal terhubung total dengan internet. Saat ini, koneksi internet adalah barang penting bagi orang-orang kota tak terkecuali aku. Dengan internet, semua yang dulunya memakan waktu berjam-jam dan berhari-hari sekarang hanya butuh beberapa menit bahkan puluhan detik.


    Setelah aku turun dari tangga ini, aku langsung meminta maaf kepada Kepsek Panji dan menjelaskan alasan kenapa aku naik ke genteng(lagi),”Saya sedang membuat pemikiran hebat dan butuh tempat yang cocok untuk membuat pemikiran hebat.Jadinya saya naik ke genteng sekolah dan menemukan pemikiran-pemikiran hebat yang saya tak bisa temui di beberapa tempat!” Penjelasanku membuat Kepsek Panji menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, “Eka, sudah enam belas kali kau naik ke genteng semenjak kau kelas 11 dan kau selalu menggunakan alasan yang sama ketika saya menyuruh kamu turun. Sudah waktunya kau mengakhiri tindakan konyol ini!”


    “Tidak mau,” tolakku menggeleng-geleng kepala layaknya mendengar lantunan dangdut koplo. Kalau aku taknaik ke genteng, di manakah kubisa menemukan pemikiran hebat? Di toilet? Ah, opsi terburuk dari terburuk karena toilet adalah tempat nista di strata sosial manusia walaupun setiap insan berakal membutuhkannya.


    Panji melipat tangannya, paham maksudku. “Eka, ikut ke kantorku?” pintanya seraya berjalan menuju kantornya yang ada di gedung satu.



    Aku pun mengikutinya dan ketika aku melihat ke belakang, banyak anak-anak pergi keluar sekolah untuk jajan mengingat sekarang sudah waktunya istirahat.


    STM Panzer didirikan tahun 881 dan status sekolah ini adalah sekolah negeri. Uang sekolah ini berasal dari Pemerintah Pusat tapi uang tersebut tak mengalir ke sekolah ini dari tahun 889 sampai eranya Panji dimulai dikarenakan adanya kasus tawuran yang tak bisa diselesaikan oleh Kepsek Rendi. Terlalu lemah si Rendi memimpin, berbeda dengan wakilnya yang dingin dan mampu menurunkan tensi tawuran sekolah ini yang dikenal dengan sekolah laskar tawuran terbaik seantero negara.


    Luas sekolah ini sekitar empat hektar dan seperempat luasnya dipakai untuk area sekolah. Sisanya dibiarkan menjadi hutan dan hutan tersebut sudah ada sebelum kakek buyutku dilahirkan ke dunia pada tahun 690. Di tengah hutan STM Panzer ada suatu gedung besar yang dipakai siswa Panzer untuk praktek seperti membuat misil tank, baja tank, mesin tank, mesin mobil militer, dan lain-lain. Di STM Panzer ada empang yang warna airnya cokelat layaknya kali perkotaan dan bisa sebagai untuk kolam pemancing atau tempat buang hajat kalau semua toilet penuh.


    Hutan STM Panzer merupakan hutan lindung Yabar dan Konfederasi sehingga hutan ini tak boleh ditebangi oleh pihak siapapun. Selain itu, pihak mana pun tak dibolehkan memburu hewan-hewan yang ada di dalam hutan walaupun hewan yang ada di hutan semuanya hewan jinak seperti sapi dan monyet.


    Jika aku masuk dari gerbang Panzer, maka akan terlihat tiang bendera tingginya kisaran empat meter menjulang ke langit dan mengibarkan bendera negeri ini; tujuh strip merah dan enam strip putih. Di dekat tiang bendera ada papan majalah dinding atau yang biasa disebut Mading. Mading sekolah digunakan untuk menaruh berita-berita penting seperti pengumuman liburan. Di depan hadapan tiang bendera ada lapangan rumput luas yang cukup teratur ilalangnya. Biasa kami, siswa Panzer, upacara bendera di tempat tersebut dan jadi lapangan huru-hara kalau ada yang menyalakan api kerusuhan.


    Di belakang tiang bendera ada sebuah gedung memanjang ke timur yang biasa disebut gedung satu dan tersambung oleh dua gedung; gedung dua dan tiga. Gedung dua terhubung ujungnya dengan gedung satu dan tiga yang menjadikan ketiga gedung Panzer akan terlihat seperti huruf T dari langit mengingat gedung dua merayap ke selatan. Tak ada konspirasi tingkat tinggi dari membentukan ketiga gedung tersebut mirip huruf T dikarenakan gedung-gedung Panzer di susun seperti itu gara-gara insinyurnya kebetulan bernama Thosin Widodo menginginkan meninggalkan sebuah legacy kepada sekolah ini.


    Semua cat tembok gedung berwarna hijau muda dan warna cat ini diperbarui tahun kemarin, sesaat mangkatnya Kepsek Rendi.


    Beberapa puluh langkah ke selatan dari gedung tiga terdapat toilet. Tak perlu dijelaskan apa fungsi toilet. Toilet STM Panzer dulunya ada satu saja tapi sekarang sudah ditambah menjadi empat toilet. Semua toiletnya menggunakan WC jongkok dan tingkat menjijikannya setara dengan toilet-toliet umum di terminal angkutan trans negara bagian.


    Jauh di barat terdapat sebuah mushola. Tak kecil ukurannya tapi tidak terlalu besar. Bisa menampung 5 saf dengan kapasitas 40 orang jamaah. Tempat peribadatan tersebut bertingkat satu dirawat dengan baik-baik oleh Rohis Panzer yang salah satu diantara anggotanya ada temanku juga adik kelasku, Abdul Kosim, ahli silat yang sering berkelahi dengan anak Panzer dan preman jikalau melihat kemungkaran.

    ***

    Aku bersama Kepsek Panji berjalan di lorong ini. Guntur yang biasanya mengikutiku sekarang tidak karena dia sedang sakit panas sehingga ia terpaksa beristirahat di rumah selama 2 hari. Sepi juga ya kalau tidak ada Guntur tapi enak juga sih karena pergi sendirian kesana-kemari jadi lebih mudah dan fleksibel.


    Sesampainya di dalam ruangan Kepsek, aku diperkenankan Panji untuk duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya. Aku duduk di kursi ini lalu melihat di sekeliling tempat ini. Ah, masih ada saja dipan dekat pintu yang pernah dipakai mantan Kepsek Rendi untuk tidur. Panji memberikan aku secangkir teh hangat yang baru saja ia buat. “Terima kasih pak,” aku seraya meminum teh ini. Rasanya manis dan enak!


    Setelah aku menghabiskan teh ini, aku pun bertanya kepada Kepsek berkacamata tersebut yang dari tadi memperhatikanku dari tempat duduknya, “Pak Panji , kenapa anda membawa saya ke ruangan ini?”


    “Eka, aku dengar kau suka bermain game otak?” tanya Panji bersandar di kursi panasnya. Pertanyaan Kepsek serius tapi ekspersi mukanya tetap datar. Kalau tidak datar muka dan suaranya, bukan Kepsek Panji namanya!


    “Ya,” jawab singkatku. Game otak adalah game yang memakai akal dan menguras pikiran seperti game homofon dan catur. Game seperti ini tidak direkomendasikan bagi orang-orang yang tidak suka berpikir panjang.


    “Kalau begitu apakah kau mau bermain game yang aku buat?” Tantang Kepsek seraya mengepalkan tangannya di atas meja.


    “Boleh saja,” terimaku dengan tersenyum tipis. Apapun game-nya, saya akan terima dan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkannya. Asal jangan yang aneh-aneh permainannya seperti lompat dari gunung pakai sarung.


    “Oke,” Panji seraya mengambil beberapa lembar kertas putih dari laci mejanya. “Kita akan bermain game yang aku beri nama game Cerjab yang berarti cerita dan jawab,” ujar Panji sembari memotong-motong kertas lembar menjadi 4 lembar dengan penggaris besi dan gunting.


    “Cara main game Cerjab dengan menuliskan cerita dan pertanyaan di 5 kertas yang berbeda. Jawaban dari soal tersebut harus dituliskan di 5 kertas yang berbeda untuk menghindari pengelakan dari lawan,” tutur Panji seraya memberikan aku 10 lembar kertas yang sudah ia potong.“Ceritanya boleh bermacam-macam tapi jangan terlalu panjang.”


    “Pemenang game ini adalah orang yang mendapatkan poin lebih banyak dari lawannya. Poin bisa didapatkan pemain jika ia berhasil memenangkan satu sesi game!” jelas Panji. “Jadi, apa kau tertarik main game ini?” tanya Kepsek seraya memegang dua pulpen dan memutar-mutarnya.


    “Boleh saja,” jawabku. Kepsek memberikan pulpennya kepadaku. Pulpen ini sepertinya berasal dari hotel mengingat ada tulisan ‘hotel Ayolali’. Ah, aku sudah lama tak ke hotel Brianganpura tersebut yang berbintang 3.


    Aku langsung menuliskan lima buah cerita dan soal di lima kertas yang berbeda. Setelah selesai, aku langsung menuliskan jawabannya di 5 buah kertas yang berbeda. Untuk menandainya, aku memberikan kode seperti A1 untuk soal dan cerita sementara A2 untuk jawaban. Hal ini tidak dijelaskan Kepsek karena sepertinya Kepsek sudah tahu kalau aku akan memakai menanda pada cerita.


    “Oh ya, sekalian kasih penanda kode seperti A1 dan A2!” ujar Kepsek seraya menulis.


    “I-Iya,” kataku dengan sedikit terkejut. Benar juga ya pikiranku, Kepsek juga pakai kode di cerita.


    Setelah selesai menuliskan cerita, soal, dan jawaban, aku menaruh sepuluh kertas ini di tengah meja. “Kau sudah selesai, Eka?” tanya Kepsek mencoba akrab sambil menulis di kertasnya. Entah ia menulis cerita, soal atau jawaban.


    “Sudah, Pak,” jawabku.


    “Bagus,” ujar Kepsek seraya berhenti menulis. “Berikan kertas cerita kepada lawan dan untuk kertas jawaban tetap dipegang sang penulis sampai lawan memberikan jawabannya!”


    “Oh ya. Kalau jawaban tidak mirip dengan jawaban penulis tidak apa-apa asal masih nyambung dengan jawaban asli,” tutur Kepsek seraya memberikan 5 buah kertas kepadaku dan aku pun memberikan 5 buah kertas cerita kepadanya. “Kamu yang mulai!” ujar Kepsek dan akhirnya, pertarunganku melawan Kepsek yang gelar sarjananya doktor akhirnya dimulai!


    Aku mengambil salah satu kertas cerita dan lantas membacanya, “Cerita B1: Seekor pengembala tak berkeluarga membawa 20 ekor domba ke sebuah padang rumput pada siang hari. Ketika pengembala tersebut mau pulang ke rumahnya pada sore hari, ia diserang gerombolan pasukan berkuda barbar. Ia tak bisa melawan gerombolan tersebut dan ia dibawa gerombolan barbar ke markas mereka. Mereka tak hanya membawa pengembala tersebut tapi mereka juga membawa semua domba pengembala tersebut. Semua domba tersebut jumlahnya makin berkurang saja tiap kali jam makan tiba karena orang-orang barbar tersebut memakan daging para domba dan menjadikan kulit domba-domba sebagai selimut.”


    “Pada suatu tengah malam, semua pasukan berkuda barbar yang berjumlah 10 orang tidur lelap setelah pesta pora dan sang penggembala pun mencoba melarikan diri dengan menggosokan batu tajam pada ikatan tali mati di tangannya,” sambungku. “Pertanyaannya: setelah berhasil melepaskan diri, apa yang akan dilakukan sang penggembala? Mengambil kuda pasukan Barbar dan melarikan diri atau mengambil dombanya yang tersisa 3 ekor dan melarikan diri dengan kudanya atau ada lagi jawaban selain 2 opsi tersebut yang lebih bijak?”


    “Jawab pertanyaan tersebut, Eka,” ujar Kepsek sembari membetulkan kacamatanya. “Waktu hanya 3 menit dari sekarang!” Kepsek lalu menaruh stopwatch di tengah meja.


    Waktuku 3 menit dan pertanyaan cerita ini lumayan susah sih. Aku harus mengambil satu jawaban dari opsi yang ada di soal atau membuat jawaban tersendiri. Aku harus cepat membuat jawaban karena waktuku hanya 3 menit. Jika aku tak segera menemukan jawaban maka Kepsek akan menang, sepertinya.


    Ehm, jika aku menjadi penggembala tersebut maka aku akan pergi mengambil kuda dan pergi meninggalkan tempat tersebut secepat mungkin sebelum orang-orang barbar tersebut mengetahui aku melarikan diri. Tapi bagaimana dengan domba? Jika domba tersebut dibawa maka aku bisa menggunakannya sebagai investasi di desa karena aku ini seorang yang tak punya sanak keluarga seperti yang dikatakan awal paragraph “Seekor pengembala tak berkeluarga”. Pasti itu kata antara sengaja sebagai jebakan Panji atau tidak. Panji itu selain doktor, ia orang yang pintar dan ahli membuat rencana sistematis. Ia pernah berkomplotan dengan pihak oposisi untuk menjatuhkan Bhre Arjuna dan menguntungkan pihak STM Panzer secara tak langsung. Orang seperti Panji perlu diwaspadai pergerakannya termasuk dalam permainan.


    Jawaban yang menurutku benar dan terbaik belum tentu benar karena yang dicari adalah jawaban paling bijak. Dan bijak di sini entah menurut pandanganku atau pandangan Panji. Jika aku pakai pandangan Panji mungkin jawabannya akan tepat tapi bisa saja tidak karena Panji bisa saja memakai pandangan bijakku. Jawaban bijak menurutku adalah penggembala tersebut harus kabur dengan menggunakan kuda sambil membawa 2 ekor domba karena aku berpikir jika seandainya ia pulang ke desanya dengan keadaan miskin lagi sebatang kara, hidupnya akan susah. Tapi dengan membawa 2 ekor domba, ia bisa merawat kedua domba tersebut dan berjuang lagi membangun kehidupannya.


    Ehm, sepertinya aku butuh jawaban yang mewakili semua jawaban yang kemungkinan keluar mengingat waktu tinggal 1 menit lagi. Aku tak boleh panik karena jika aku panik, musuh akan tertawa dalam hati. Yang paling penting sekarang tenang dan tetap berpikir untuk mencari jawaban yang tepat.


    “Eka, waktumu sudah habis,” kata Kepsek yang dari tadi memperhatikanku. “Silahkan utarakan jawabanmu!”


    “Oke, Pak,” ujarku seraya menghela nafas terlebih dahulu sebelum memberi tahu jawabanku. “Saya rasa penggembala tersebut setelah berhasil terlepas dari tali harus mengambil dua dombanya secara diam-diam karena kedua domba tersebut bisa ia gunakan sebagai investasi di kampungnya. Ia hanya bisa mengambil dua karena tangannya tak bisa memegang tiga domba sekaligus.”


    “Setelah berhasil mengambil domba, penggembala tersebut harus mengambil kuda milik orang barbar dan pergi meninggalkan tempat tersebut,” pungkasku seraya tersenyum. Semoga jawaban ini bisa mewakili semua jawaban yang bisa dikeluarkan!


    Panji pun mengambil kertas jawaban dan menyerahkannya kepadaku. Aku terkejut ketika membaca kertas jawaban karena jawaban aku dengan jawaban asli sedikit melenceng. “Lumayan tapi kurang tepat,” ujar Kepsek sembari melihatku membaca kertas jawaban. “Eka, bacakan jawaban aslinya!” perintah Kepsek dan aku pun langsung membaca isi kertas, “Jawaban A2: penggembala tersebut harus kabur secepat mungkin sebelum para prajurit barbar tersebut menyadari kalau tawanan mereka kabur.”


    “Jawabanmu tadi banyak kejanggalan seperti membawa domba sambil berkuda. Bagaimana bisa seorang penggembala membawa domba sambil berkuda layaknya seorang yang sudah terlatih berkuda? Kan tidak dijelaskan di cerita kalau dia bisa berkuda atau tidak!”


    “Iya sih. Tapi kalau tidak menceritakan apakah ia bisa berkuda atau tidak berarti itu kesalahan anda!” ujarku. “Kepsek harusnya menuliskan apakah ia bisa menunggangi kuda atau tidak!”


    “Tapi sudah terlanjur,” kata Kepsek sembari tersenyum tipis. Jarang-jarang ia tersenyum tipis. “Plothole tersebut memang kesengajaan tapi bukan berarti jawaban anda itu bisa dibenarkan karena ceritanya yang ambigu!”


    “Berarti jawaban saya salah,” tanyaku kepadanya.


    “Tidak tapi bisa dibilang kurang tepat,” jawabnya seraya mengoyang-goyangkan jari telunjuk kanannya. “Jawaban dicari adalah jawaban yang bijak dan jawaban bijak adalah jawaban yang saya tuliskan! Jawaban tersebut merupakan jawaban bijak karena penggembala tersebut harus sepecatnya kabur dan jika ia mengambil kuda, bisa saja orang-orang barbar terbangun akibat hentakan kuda. Selain itu, ia tak perlu mengambil domba karena bisa saja larinya menjadi lambat karena membawa domba entah 2 atau 1!” Oh, aku mengerti kenapa Kepsek sengaja membuat plot hole.


    “Jadi saya dapat poin atau tidak?” tanyaku kebingungan.


    “Tidak karena kurang tepat dan tidak terlalu mirip dengan jawaban asli. Kalau mirip 11-12 mungkin masih bisa dapat poin,” tutur Kepsek. “Kau harus memperhatikan apakah di soal cerita ada plothole atau tidak karena plothole itu bisa saja merupakan jebakan yang disiapkan lawan!” Wah, masukan yang bagus dan aku harus lebih teliti lagi dalam menganalisa cerita. Aku sudah kehilangan kesempatan mendapatkan poin dan selanjutnya aku harus membuat jawaban yang lebih mendekati jawaban asli!


    “Terima kasih dan silahkan pak Kepsek ambil kertas cerita saya,” kataku mempersilahkan Kepsek mengambil kertas.


    “Cerita E1: Pedagang mie ayam ditemukan tewas di dalam atap rumah. Di sekitar lokasi kejadian perkara tak terdapat senjata tumpul atau senjata tajam dan ruamh yang di tempati pedagang tersebut kosong layaknya orang baru mau pindahan. Pedagang tersebut tak punya keluarga ataupun teman. Ia juga tak punya kasus dengan rentenir ataupun preman. Pedagang mie ayam tersebut mempunya luka kecil di lutut kaki kirinya dan polisi tak menemukan luka lain di sekujur tubuh mayat tersebut. Pedagang mie ayam tersebut juga tak memakai obat-obatan terlarang dan semacamnya,” baca Kepsek lalu ia menghentikan sejenak untuk mengambil nafas. “Pertanyaannya: Mengapa pedagang tersebut bisa tewas? Apakah ia bunuh diri? Dibunuh? Atau mati sendiri karena sudah takdir?”


    “Jawab itu, Pak,” kataku sembari tersenyum-senyum sendiri. Semoga ia tak bisa menebak dengan benar karena aku memberikan 3 opsi dan ketiga opsi tersebut sama-sama berkontradiksi satu sama lain.


    Kepsek tersebut mengutup matanya selama satu menit. Ehm, apa mungkin dia berpikir secara serius dengan menutup matanya agar ia bisa mendapatkan konsentrasi? Bisa jadi dan cerita ini adalah cerita yang paling mudah aku buat.


    “Jawabannya adalah infeksi luka!” jawab Kepsek setelah 30 detik berpikir dan jawaban ini cukup mengejutkanku mengingat ia hanya butuh waktu singkat untuk menjawab. “Dalam cerita ini tak disebutkan apakah pedagang terinfeksi atau tidak pada luka yang ia punya. Alibi mati karena infeksi luka cukup kuat mengingat tak disebutkan ia terluka karena apa!”


    “Oh, coba anda baca jawaban ini,” ujarku seraya memberikan kertas jawaban pada Kepsek. Kepsek membuat lipatan kertas tersebut lalu membaca isinya, “Pedagang mie ayam tersebut mati karena takdir.” Setelah membaca kertas jawaban tersebut, Kepsek pun bertanya kepadaku, “Dengan jawaban tersebut saya mendapatkan poin kan?”


    “Tidak Pak,” jawabku menggeleng-geleng kepala. “Anda tak menyebutkan secara spesifik pedagang mie ayam tersebut mati karena takdir atau dibunuh jadinya anda tak berhak mendapatkan poin!”


    “Eka, takdir itu tak hanya mati sendiri, tapi dibunuh atau bunuh diri itu juga takdir!”meng elak Kepsek, seraya membetulkan kacamatanya.


    “Tapi anda tetap tidak bisa mendapatkan poin karena dalam jawaban anda tak disebutkan apakah pedagang tersebut mati karena sudah saatnya mati atau dibunuh,” balasku. Inilah yang aku nantikan: kesalahan yang dibuat lawan dalam menjawab pertanyaanku. Pertanyaanku cukup sederhana tapi jawabannya bisa dibantah jika tak menyebut salah satu opsi yang diberikan.


    “Oke deh. Saya gagal mendapatkan poin,” kata Kepsek sembari melipat tangannya. “Mau minum teh dulu sebelum kita lanjutkan permainan?” tawar Kepsek kepadaku.


    “Boleh saja,” terimaku dengan senang hati. Permainan ini menguras pikiran dan dengan minum teh, pikiranku bisa aku tenangkan. “Yang dingin ya!”
     
  13. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Lari & Kabur
    “Bagaimana tehnya?” tanya Kepsek seraya memutar-mutar pulpen di tangannya.

    “Segar dan manis,” jawabku setelah meneguk teh ini.

    “Bagus,” ujar Kepsek. “Jadi kita bisa lanjutkan permainan?” tanya Kepsek seraya menaruh pulpennya di atas meja.

    “Tentu,” jawabku sembari tersenyum tipis.

    “Oke,” kata Kepsek lalu ia mempersilahkan aku mengambil kertas cerita baru.

    Aku mengambil kertas cerita dan membaca isi dari cerita ini, “Cerita C1:Rudi Gunawan, seorang pedagang cendol jalanan mendekam di penjara akibat memukul pejabat pemerintah gara-gara pejabat tersebut tidak membayar cendolnya. Ia dipenjara selama 15 tahun akibat perbuatannya yang melecehkan pejabat dan keluarganya yang miskin bertambah miskin saja. Pertanyaannya: apakah sah ia kabur atau melarikan ini dari penjara?”

    “Eka, apakah kau bisa jawab pertanyaan tersebut?” tanya Kepsek sembari melihatku.

    Ehm, ini pertanyaan lumayan sulit bagiku. Pasalnya kata ‘sah’ di sini tidak jelas merujuk pada sah macam apa. Entah sah di mata hukum atau di mata sosial atau lain! Kalau aku ambil salah satu dari sah di mata mana maka kesempatan aku mengelak tidak ada. Kasus di penjara karena memukul pejabat atau bangsawan sering terjadi di kerajaan-kerajaan yang ada di Konfederasi. Biasanya orang memukul pejabat karena alasan tidak suka dan melampiskannya dengan memukul pejabat tersebut. Menurutku,memukul pejabat untuk melampiaskan emosi itu salah walaupun pejabat tersebut bejat. Selain itu, memukul karena pelanggan tersebut tidak bayar salah karena sebagai pedagang seharusnya Rudi bisa meredam emosinya dan berbicara baik-baik kepada pejabat tersebut. Hanya saja di cerita tak dijelaskan apakah Rudi menjelaskan kepada pejabat tersebut atau tidak. Ada saja kemungkinan ia sudah menjelaskan tapi tidak digubris oleh pejabat tersebut padahal pejabat itu orang kaya tapi kenapa tidak mau mengeluarkan uang untuk membayar cendol? Bisa saja dia lagi krisis, hahaha. Oh ya, hukuman 15 tahun menurutku terlalu berat. Mungkin hukuman 10 bulan adalah tepat dan hukuman 15 tahun hanya untuk orang yang ingin membunuh orang nomer satu seperti raja, presiden, dan sultan.

    Kalau menurutku, Rudi layak untuk lari dan kabur karena ia tak pantas mendapatkan hukuman sepanjang itu. Tapi berbicara tentang hukum, hukum itu harus ditegakan secara seadil-adilnya oleh orang yang tepat dan peraturan yang adil karena jika tidak, makna dari hukum yang sebenarnya akan hilang.

    Jawaban paling tepat kemungkinan adalah salah di mata hukum secara kasat mata tapi jika memakai mata hukum secara luas, Rudi tak berhak dipenjara selama itu dan dia perlu dibebaskan. Selain itu menurut logika, Rudi tak berhak untuk dipenjara selama itu.

    “Eka, waktumu sudah habis dan apa jawabanmu?” tanya Kepsek seraya meminum secangkir the. Sepertinya tehnya belum habis isinya.

    “Jawabanku cukup sederhana: Sah di mata Rudi tapi tidak bagi hukum!”

    “Ehm, boleh sih jawabannya,” ujar Panji, menyandarkan kedua tangannya di dagunya. “Coba kau lihat jawaban dari kertas jawaban C1.” Kepsek seraya menyerahkan kertas jawaban kepadaku. Aku membuka kertas ini dan membacanya. Jawaban di kertas ini tak terlalu berbeda dengan jawabanku. Hanya saja yang membedakannya adalah kata-katanya. Berbeda-beda tapi satu, itulah peribahasa yang bisa menggambarkan jawabanku dengan jawabnya Kepsek.

    “Bagus Eka. Kau berhasil mendapatkan satu poin,” Kepsek seraya menepuk kedua tangannya. Entah kenapa Kepsek senang ketika aku mendapatkan poin. Bukankah seharusnya ia marah atau kesal sedikit mengetahui aku mendapatkan poin lebih banyak darinya? Mungkin Kepsek bukan orang seperti itu. Sepertinya Kepsek Panji orangnya suka melihat musuhnya lebih hebat darinya karena bisa memotivasinya untuk melebihi musuhnya.

    “Eka, menurutmu cara untuk melarikan diri dari penjara paling tepat apa?”

    “Ehm, menyuap petugas atau menunggu remisi?” tebakku. Ehm, cara menyuap memang cara kotor tapi menunggu remisi? Ah, itu hanya berlaku di daerah Yabar dan di daerah lain tidak ada namanya remisi. Yang ada hanya mengampunan atau pembebasan dari Raja atau Sultan. Berbicara soal Raja atau Sultan, gelar pemimpin Yabar sendiri adalah Bhre padahal Yabar itu wilayah republik. Ehm, agak susah membahas wilayah-wilayah negara bagian konfedarasi seperti Yabar yang berbeda sendiri dengan negara-negara bagian lain.

    “Ehm, cara seperti itu bisa saja untuk melarikan diri dari penjara dengan halus dan lumayan efektif tapi ada lagi beberapa cara untuk kabur dari penjara seperti membuat kerusuhan di penjara, pemboman penjara, dan penyerangan penjara,” tutur Panji. “Hanya saja cara seperti ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang kriminal. Orang yang tidak kriminal layaknya Rudi mesti menunggu remisi!”

    “Eka, apakah kau tahu peristiwa kerusuhan besar penjara Jorong di tahun 890?” tanya Panji kepadaku.

    “Tahu. Peristiwa berdarah yang mengakibatkan 60% Bhayangkara tewas dan 70% tawanan dari tawanan biasa sampai tawanan berbahaya melarikan diri. Peristiwa tersebut merupakan aib besar dari Bhayangkara Yabar karena Jorong itu selain penjara terbesar di Konfedarasi, Jorong juga merupakan markas pusat dari Bhayangkara Yabar. Maka dari itu, Bhre Arjuna memindahkan penjara Jorong ke suatu tempat yang baru di lautan agar tak terjadi kerusuhan di markas Bhayangkara tersebut. Tak diketahui secara pasti siapa dalang dari peristiwa kerusuhan tersebut!” jawabku. “Apa aku benar?”

    “Ya,” Panji menganguk lalu menepuk tangannya. “Waktu itu kau berumur sekitar 7 tahun dan aku berusia 40 tahun. Aku mendengar dari petinggi-petinggi Yabar sekarang bahwa peristiwa tersebut masih menjadi tanda tanya walaupun sudah dikerahkan Adjuva, pasukan intel Yabar dan telik sandi Nusatoro!” tutur Panji. “Ah, sudah 9 tahun peristiwa itu berlalu dan akan menjadi 10 tahun ketika bulan November tiba.”

    “Pak, kita sudahi bahas Jorong,” aku mengingatkannya. “Giliran anda sekarang!”

    “Oke. Tapi kau tahu tidak kalau aku diundang untuk mengikuti peringatan 10 tahun Jorong?” tanya Kepsek seraya mengeluarkan undangan dari lacinya.

    “Pak, sekarang baru tanggal 8 September 900 dan peristiwa Jorong masih 2 bulan lagi!”

    “Iya sih. Tapi apa salah kalau undangan datang lebih awal daripada datang pas dekat tanggal peringatannya?” tanya Kepsek sembari memasukan undangannya ke laci meja.

    “Iya juga sih,” kataku seraya melihat hutan STM dari jendela yang ada di belakang kursi Kepsek. “Pak, ayo kita lanjutkan permainan ini yang sudah terhenti sekitar 2 menit!”

    “Oke,” Kepsek lalu membetulkan kacamatanya. “Tapi sebelumnya izinkan aku bertanya satu lagi. Bolehkan, Eka?”

    “Tentu saja, Pak,” jawabku. Ehm, sepertinya Kepsek mencoba menunda-menunda gilirannya. Ada gerangan apa sehingga ia mau menunda gilirannya? Bukankah lebih baik ia mengejar ketertinggalannya dengan tidak menunda gilirannya?

    “Eka, menurutmu lari dan kabur itu persamaannya apa?” tanya Kepsek yang sepertinya mengujiku.

    “Persamaan dari lari dan kabur adalah sama-sama melarikan diri. Dan perbedaannya adalah lari itu tingkatannya di atas kabur sedangkan kabur itu cabang dari pekerjaan berlari,” jawabku.

    “Aku tak bertanya soal perbedaan tapi tak apa kau menjelaskan perbedaan dari lari dan kabur,” ujar Kepsek.“Eka, berikan aku kertas cerita! Kita mulai permainan!”

    Kertas cerita kuberikan kepada Kepsek dan ia memulai membaca, “Cerita D1:Seorang pria terdampar di suatu pulau kecil di tengah samudra. Pria yang berusia 18 tahun tersebut bernama Wito dan Wito sendiri tak punya kemampuan apapun selain membuat cerita. Pulau tempat ia terdampar merupakan pulau tropis dan di pulau tersebut tak ditemukan hewan apapun. Di pulau tersebut hanya ada beberapa pohon kelapa dan pisang. Pertanyaannya: bagaimanakah Wito bertahan? Apakah ia bisa bertahan sampai 2 bulan?”

    “Ehm, pertanyaan yang cukup menantang,” kata Kepsek seraya menutup kedua matanya. Ia terlihat seperti orang yang tidur ketika ia berkonsentrasi berpikir dan semoga pertanyaan ini jawabannya meleset seperti pertama. Kalau jawabannya mirip sedang jawabanku, aku harus cari cara mengelak jika ada celah untuk melakukannya.

    “Aku sudah tahu jawaban yang tepat apa!” ujar Kepsek membuka kedua matanya. “Wito bisa bertahan hidup selama 2 bulan bahkan lebih karena manusia itu punya kemampuan untuk beradaptasi. Wito bisa memanfaatkan kelapa untuk diminum dan pisang untuk dimakan. Ketika kedua sumber makanan tersebut habis, Wito bisa memakai pohon kelapa dan pisang sebagai kapal untuk pergi meninggalkan pulau kecil tersebut karena jika Wito menunggu kapal lewat, belum tentu ada yang lewat.”

    “Ehm, coba Kepsek lihat jawaban di kertas ini,” aku seraya memberikan kertas dengan senyuman mengejek. Aku tak berani mengejek Kepsek secara terbuka, ha-ha-ha.

    “Oke,” Kepsek mulai membaca kertas tersebut. “Jawaban yang ada di kertas ini adalah Wito harus makan pisang dan kelapa untuk bertahan hidup. Selama ia memanfaatkan kedua buah tersebut, ia harus membuat kapal dengan pohon kelapa dan pisang.”

    “Jawabanku tak jauh berbeda dengan jawaban kertas ini dan dengan ini skor kita sama, 1-1,” ujar Kepsek secara tidak langsung membanggakan diri walaupun ekpresinya datar.

    Aku mencoba mencari cara untuk mengelak tapi aku bingung dengan apa aku membantah jawaban Kepsek. Jawaban Kepsek cukup valid dan tak punya celah strategis untuk dibantah. Ehm, mungkin sudah saatnya aku mengganti rencana untuk memenangkan permainan ini.

    “Kepsek Panji!” seru seorang yang baru saja membuka pintu setelah diketok sekali. Orang tersebut tak lain guru bahasaku yang bernama Andi Gagak. “Rapat akan segera dimulai!”

    “Eka, sepertinya kita harus menunda permainan ini,” ujar Kepsek seraya memainkan jemarinya di meja. “Kita akan main lagi Senin depan. Apa kau mau? Kalau tidak berarti permainan ini seri dan tak seorang pun menang atau kalah sehingga kamu tak bisa naik ke atas genteng sekolah!”

    “Saya mau,” terimaku sambil tersenyum menantang. “Saya akan mengalahkan kau, Kepsek!”

    “Semangat bagus anak muda,” ujar Kepsek merapikan kertas-kertas cerita dan jawaban. “Saya akan taruh kertas ini disuatu brangkas yang kuncinya anda pegang,” jelas Panji sambil menunjuk brangkas yang ada di dekat lemari kayu dan Panji pun memberikan kunci brangkas kepadaku. “Kunci tersebut Eka yang pegang dan nomernya saya yang pegang. Brangkas tersebut hanya bisa dibuka jika kunci dimasukan ke brangkas dan dimasukan nomer. Hal ini saya lakukan agar menjaga kerahasian kertas cerita dan jawaban!” Wah, niat sekali Kepsek sampai melakukan hal seperti ini.

    “Eka, kertas yang kita gunakan mau diapakan?” tanya Kespek. Ehm, sepertinya Kepsek sudah tahu harus apa tapi ia tetap bertanya kepadaku seolah-olah ia tak tahu. Dasar Kepsek.
    “Simpan saja Kepsek. Siapa tahu anda atau aku perlu itu suatu saat,” saranku. Entah mengapa aku merasa kertas cerita itu bisa digunakan di hari esok walaupun yang bisa memainkan game.

    “Ehm, saran yang bagus,” ujar Panji lalu memasukan semua kertas cerita dan jawaban di suatu kotak yang sepertinya kotak bekas biskuit lebaran. Kepsek membawa kotak tersebut ke dalam brangkas dan memintaku untuk membantunya mengunci brangkas tersebut.

    Brangkas tersebut cukup besar ukurannya dan mungkin ukurannya setengah dari brangkas emas di toko-toko. Entah kenapa ada barang tersebut di ruangan bekas Kepsek Rendi ini.

    Setelah memasukan kotak tersebut ke dalam brangkas tersebut, aku diperkenankan keluar oleh Kepsek. Di depan pintu masuk ruangan Kepsek, aku memutuskan untuk pergi keluar sekolah untuk jajan mengingat sekarang masih masuk waktu istirahat meskipun sudah masuk 5 menit terakhir. Kunci brangkas aku masukan ke dalam dompet dan aku menjaganya sebaik mungkin karena tahu Cerjab kedua akan datang segera, entah kapan hari dan tanggalnya.
     
  14. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Sugesti & Saran
    “Lama kita tak berjumpa, Guntur,” sapaku melihat asistenku menghampiri tempat dudukku dan duduk di sampingku mengingat Guntur adalah teman sebangkuku. “Sudah sembuh betul kau, Guntur?”

    “Sudah, Bos,” asistenku seraya menaruh tas di atas meja. “Selama aku sakit, apa yang terjadi di sekitarmu?”

    “Seperti biasa; Kosim, murid 11-2 melawan preman-preman di jalanan untuk melindungi yang lemah, tawuran antara sekolah yang selalu dimenangi pihak kita, dan pelajaran yang sedikit membosankan,” tuturku sambil melentangkan kedua tangan di atas meja.

    “Ehm, sepertinya tak ada yang menarik selama aku sakit,” Guntur seraya merapikan rambutnya yang sedikti berantakan. Rambutnya sedikit dan cendrung sedikit botak menurutku.

    “Guntur, apakah kau tahu nama panjang dari Eri,” tanyaku mencoba mencari tahu apakah ia tahu atau tidak nama panjang dari teman dekat kita berdua yang tak lain mantan ketua OSIS Imalia.

    Guntur menggeleng tak tahu. “Nama panjangnya adalah Ellena Rudi dan ia dipanggil “Eri” karena nama tersebut merupakan nama terkenalnya di internet,” jelasku yang teringat kejadian ketika Eri menyebutkan nama aslinya kepadaku padahal aku kira Eri itu nama aslinya. Eri merupakan teman baik kami berdua yang satu tingkat dengan kami, kelas 12 dan bersekolah di sekolah yang semuanya perempuan, Imalia.

    “Oh, pas kapan dia mengatakan nama aslinya kepadamu, Bos?” tanya Guntur penasaran.

    “Kemarin sore ketika aku ketemu dengannya di trotoar sehabis pulang sekolah,” jawabku. “Guntur, apakah kau mau main permainan yang aku buat?”

    “Permainan apa, Bos?” tanya asistenku yang tertarik dengan permainan buatanku.

    “SdS, Sugesti dan Saran,” jawabku sambil menyila tangan di atas meja. “Mau main?” tawarku tersenyum tawar.

    “Tentu saja, Bos,” terima Guntur. “Jelaskan cara mainnya!” pinta Guntur dengan bersemangat.

    “Cukup mudah, Guntur. Kau hanya perlu memberikan sugesti kepadaku sampai aku terlena dalam sugestimu dan kau akan memberi saran ketika aku memberikan suatu contoh permasalahan!” jelasku.

    “Eh, saya masih kurang mengerti, Bos,” ungkap Guntur yang kebingungan. Ehm, mungkin aku harus memperjelas cara mainnya dan memberi contoh. Terkadang orang baru paham kalau diberikan contoh.

    “Contohnya begini; A menceritakan suatu permasalahan kepada si B dan si B akan memberikan suatu sugesti atau saran kepada si A. Cerita permasalahnya jangan panjang-panjang dan boleh fiksi,” jelasku dengan gamblang. “Kamu mengerti sekarang?”

    “Oke. Tapi bukannya sugesti dan saran itu sama?”

    “Sama dalam satu tujuan: memberikan pendapat. Tapi secara spesifik beda karena saran itu adalah umum dalam memberikan pendapat seperti kepala desa memberikan saran kepada lurah di suatu musyawarah. Sedangkan sugesti tidak karena sugesti biasanya digunakan untuk menggerakan hati orang seperti seorang ahli psikologi memberikan sugesti kepada klientnya,” jelas aku sejelas mungkin. Semoga otaknya Guntur bisa mengerti apa yang aku katakan.

    “Oh, aku mengerti,” Guntur memukul telapak tangan kirinya sambil menangguk. “Tapi Bos, apakah kau sudah pernah bermain permainan yang anda buat?”

    “Belum,” jawabku sembari menangguk. “Permainan ini baru teorinya saja semenjak aku buat beberapa hari lalu dan baru mau diterapkan sekarang.”

    Guntur menangguk. Ia sepertinya terlihat ragu-ragu dengan permainanku. Wajar saja asistenku begitu karena permainan ini sepertinya akan memakan waktu dan Guntur adalah tipikal orang tak suka menghabiskan waktu dalam permainan-permainan seperti ini. Ia lebih suka bermain permainan fisik seperti sepak bola atau futsal. “Sepertinya permainan tersebut akan susah dimainkan, Bos,” ujar Guntur secara halus tidak mau bermain game-ku.

    “Oke, oke,” kataku seraya melihat arlojiku untuk melihat jam berapa sekarang. Ah, terasa sekali rasa nostalgia melihat arloji peninggalan Kakek Lutfhi. Aku mendapatkan arloji ini ketika terakhir kali aku berkunjung ke rumah Kakek yang ada di daerah Briangan di tahun 896. Kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa arloji ini diberikan kepadanya dari kakeknya di tahun 845 ketika umurnya 12 tahun dan ada cerita dari Kakek Lutfhi bahwa arloji ini dibuat sendirian oleh kakeknya Lutfhi di tahun 790. Ah, meningat Kakek Lutfhi membuatku sedikit sedih karena ia sudah meninggal di tahun 898 dan aku tak sempat pergi ke pemakamannya gara-gara sibuk mengurusi ujian nasional. Semoga Kakek tidak sedih di alam sana karena aku tidak mengikuti pemakanannya.

    “Wah, Bos. Arloji ini dari tahun berapa?” tanya asistenku melihat arloji antik ini. Sepertinya baru pertama kali Guntur melihat arloji tua ini.

    “Dari tahun 790. Sudah 110 tahun umur jam antik,” jawabku melihat sekelilingku. Ehm, kelas ini sudah penuh dengan murid. Sepertinya semua murid sudah berada di kelas dan beberapa menit lagi bel masuk akan berbunyi.

    “Wah, tua sekali,” kagum Guntur atas arloji yang aku pegang di tangan kiriku. “Tidak susah merawat arloji itu, Bos?” tanyanya penasaran sambil menunjuk jam kecil ini. “Mahal tidak perawatannya?”

    “Tidak terlalu dan juga tidak mahal,” jawabku dengan santai.

    “Mahal atau murah tergantung orangnya, Bos,” berpendapat Guntur. Wah, tumben sekali asistenku bisa berpandangan seperti itu.

    “Apa Bos setuju kalau kaya dan miskin itu tergantung pandangan orang atau kelompok kan?”

    “Benar itu,” setuju aku. “Kaya dan miskin tergantung pandangan pemerintah. Pemerintah Yabar memandang orang miskin itu pendapatannya dalam sebulan dibawah 40 erak sedangkan orang kaya pendapatnya diatas 1.450 erak. Untuk pemerintah pusat, orang kaya pendapatan perbulan 1.440 erak sedangkan miskin 35 erak sebulannya. Kalau versi internasionalnya orang kaya pendapatannya perbulan 700 dozh yang setara dengan 1.400 erak sedangkan orang miskin 40 dozh yang setara dengan 80 erak meningat 1 dozh setara dengan 2 erak.”

    “Beda ya pusat sama daerah. Apalagi yang internasional!” ujar Guntur. “Kenapa bisa beda ya, Bos?”
    “Kondisi daerah, masyarakat, dan ekonomi membuat adanya perbedaan. Pemerintah pusat memakai rata-rata dari semua daerah yang ada di Konfederasi,” jawab setahu aku.

    Kaya dan miskin. Orang miskin memandang orang kaya itu tamak dan iri dengan mereka sedangkan orang kaya memandang orang miskin itu sampah. Itulah yang aku lihat dari perbedaan tersebut tapi apa yang aku lihat ini hanya penglihatan sempitku padahal tidak semuanya punya pandangan seperti itu. Beberapa temanku yang termasuk golongan orang kaya suka menolong orang miskin sedangkan yang miskin berjuang untuk masuk ke golongan orang mampu, golongan yang bisa dibilang tidak miskin,tapi tidak kaya.

    Golongan orang mampu menurutku terbagi menjadi 3: golongan mampu ke bawah, ke atas, dan normal. Golongan mampu normal adalah golongan yang bisa mempertahankan pendapatan mereka di saat krisis ekonomi. Golongan ini biasanya pendapatan perbulanannya 500 erak. Golongan mampu ke atas adalah golongan yang sering di salah artikan oleh masyarakat luas sebagai orang kaya padahal mereka tidak kaya karena pendapatan mereka belum bisa stabil seutuhnya dan tidak bisa di pastikan apakah bisa meningkat atau tidak. Yang pendapatannya 1.000 erak perbulan. Golongan mampu ke bawah adalah golongan yang bisa dikatakan rawan terkena imbas krisis ekonomi yang membuat mereka jatuh miskin. Golongan ini biasanya pendapatannya antara 70 dengan 400 erak.

    Terkadang yang golongan mampu ke bawah mendapatkan bantuan pemerintah padahal sebenarnya mereka tidak layak tapi mau bagaimana lagi. Mereka terancam miskin dan dengan bantuan pemerintah Bhre Cakra, mereka bisa terhindar dari kemiskinan.

    **
    Sepulang dari sekolah, aku pulang ke rumah dan bergegas untuk cepat-cepat mandi. Ah, segar juga mandi setelah seharian di sekolah. Jarang-jarang aku mandi setelah sekolah. Biasanya main dulu baru 2 jam kemudian baru mandi! Sehabis mandi, aku langsung menyalakan komputer kamar ini dan bersiap untuk mengomentari film. Mengomentari film adalah hobiku dan setiap aku berkomentar tentang isi film, aku selalu memasukan video tersebut ke dalam internet untuk memberi masukan kepada orang lain yang ingin menonton film. Setiap aku mengomentari film, aku selalu menjelaskannya bagian-bagian terpenting di film seperti penokohan tiap karakter, jalan cerita, pengambilan sudut kamera, CGI, dan lain-lain. Biasanya aku mengomentari film pada malam hari tapi meningat pada malam ini aku punya acara di luar, aku terpaksa membuat video di sore ini. Aku tak mau membuat video pada besok atau lusa untuk menghindari penyakit lupa yang sering menyerang manusia pada umumnya.

    Cukup banyak yang suka video-video komentarku dan subscribe-ku mencapai 13.000 orang. Banyak orang yang berterima kasih kepadaku setelah menonton video komentarku yang cukup membantu orang-orang. Kasus seperti ini adalah kasus di mana sugesti dimainkan dan permainan sugesti dan saran terinspirasi dari hobi ini meskipun harus aku sadari permainan ini hanya teori saja dan tidak asyik jika dimainkan. Yang asyik dimainkan kalangan seperti Guntur itu monopoli legendaris STM Panzer. Siapa ya sekarang yang megang papan tersebut? Terakhir kali yang megang itu Eko setelah ia mendapatkannya dari Kosim. Kosim berhasil mendapatkan papan tersebut dariku karena papan tersebut adalah bagian dari ketua berandalan STM Panzer. Jika ada yang mengalahkan ketua berandalan di permainan monopoli maka ia berhak untuk mendapatkan gelar ketua berandalan sekaligus papan tersebut. Papan monopoli tersebut sudah ada semenjak sekolah ini ada.

    “Waktunya mengomentari film,” kataku seraya memakaikan kain sarung di kelapaku layaknya ninja. Aku melakukan hal ini untuk mencegah diriku terkenal di dunia maya. Bahaya kalau aku jadi artis di dunia maya. Bisa-bisa orang-orang mencoba mencari tahu data pribadiku. Sudah cukup terkenal di dunia berandalan di Nusatoro!

    “Kamera sudah. Kain sudah. Mikropon penyamar suara sudah. Mulai!” aku seraya menekan kamera yang ada di depanku. Sudah 20 kali aku melakukan hal ini dan beruntung, aku belum dikatakan orang gila dengan berpakaian seperti ini. Mungkin kalau aku keluar dari rumah ini ke sekolah dengan mengenakan sarung ninja di muka, aku bisa dikatain oleh anak-anak ‘orang gila’. Cukup Eko saja yang pernah dikatain seperti itu! Dia pernah dikatain anak-anak ‘orang gila’ ketika ia mengendarai motor ninja dengan sarung ninja di muka ke sekolah.
     
  15. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Koboi & Pengemis
    “Mas,” dengan suara melas seorang pengemis kakek-kakek seraya mendekatiku. Aku dan asistenku yang sedang berdiri di depan gerbang STM Panzer menunggu angkot lewat dihampiri pengemis. Pengemis itu compang-camping bajunya. Ia memakai topi petani. Wajahnya memasang ekspersi melas. Mulut terbuka dan giginya yang mulai rontok terlihat. Pengemis tersebut tak mengenakan sandal dan sepertinya ia berjalan di jalanan menahan rasa panas yang menjalar di aspal pada sore ini.Tangan kanannya mengadah dan memegang mangkok kecil. Terlihat isi mangkok tersebut kosong pertanda ia belum dapat uang hari ini atau uangnya ia simpan di tempat lain.

    “Kasihan,” Guntur mukanya murung dan sepertinya ia iba, kasihan, dan tidak tega kepada pengemis tua tersebut. Asistenku mengambil uang dari saku baju dan memberikan sekitar 1 erak kepada pengemis tersebut.

    “Terima kasih,” jawab pengemis tersebut. Pengemis tersebut kemudian mengadahkan tangannya kepadaku dan… “Umur anda berapa?” tanyaku kepadanya.

    “70 tahun, Mas,” jawabnya.

    Ehm, cukup tua. Wajar saja ia umur segitu, rambutnya saja sudah memutih. Aku kasih uang tidak ya? Kalau aku kasih takutnya dia itu bukan orang miskin tapi orang kaya. Banyak kasus seperti ini terjadi di perkotaan dengan orang dari kampung mengemis dan pulang ke kampungnya dengan membawa hasil mengemis yang kira-kira mencapai 1.200 erak perbulan. Ehm, mungkin lebih baik aku kasih saja karena usia 70 tahun sudah masuk usia tidak produktif. Tapi…. Bisa saja ia ini orang yang kaya di kampung. Mungkin aku harus bertanya dengannya? Jika ia bohong, aku bisa lihat gerak-gerik matanya. Biasanya kalau orang bohong pandangan matanya tidak menatap penanya.

    “Kakek, anda ini sebatang kara atau tidak?” tanya aku sambil melipat tangan. Guntur sepertinya heran kenapa aku bertanya ini. Tenang Guntur, kau tahu apa yang aku lakukan ini tujuannya baik bagiku.

    “Iya, Mas,” jawabnya. Matanya menantapku dengan padangan orang lemah. Apakah ia bohong? Entahlah. Aku pernah dengar kalau orang yang ahli berdusta pandangan matanya tidak berubah-ubah. Cara ini gagal tapi masih ada cara lain; mendengar detak jantung. Aku pernah membaca kalau jantung bakal berdetak kencang kalau berbohong tapi masalahnya adalah mana mungkin aku berani memegang dada kakek-kakek tersebut.

    “Ehm, Bos,” Guntur berdeham. Sepertinya Guntur memberi kode kepadaku untuk segera memberi uang kepada pengemis tersebut. Sabar Guntur, kalau saja kau adalah aku mungkin kau tahu kenapa aku tidak buru-buru memberikan uang kepada pengemis!

    “Ini Pak,” aku seraya mengeluarkan uang sebesar 10 erak kepada pengemis tersebut. “Lumayan buat makan hari ini.”

    “Terima kasih, Mas,” pengemis tersebut tersenyum dan mendoakan aku agar dilimpahkan rezeki. Setelah itu, ia berjalan meninggalkan tempat ini. Pengemis tersebut memasukan uang pemberianku dan asistenku ke dalam tas ponselnya…. Eh!! Dia punya kantong ponsel?! Tunggu, kantongnya terlihat kusam dan lusuh. Dari modelnya bisa aku simpulkan itu model tahun 895. Mungkin saja dia mendapatkan tas ponsel tersebut dari keranjang sampah. Lagi pula aku tak boleh langsung buruk sangka kepada setiap pengemis yang mendatangiku.

    “Bos, kenapa anda tak langsung memberikan uang kepada pengemis tersebut?” tanya penasaran anak buah setiaku.

    “Aku takut dia menjadi pengemis sebagai pekerjaannya. Bukan karena keterpaksaannya,” tuturku sambil memandangi lalu-lalang kendaraan. “Sering terjadi kasus seperti ini di kota metropolitan layaknya Yabar, Briangan, dan Nusatoropura. Orang-orang dari luar datang untuk bekerja menjadi pengemis dan setelah mendapatkan uang yang gajinya melebihi pegawai kantor, mereka kembali ke kampung dengan menjadi orang kaya.”

    “Tapi nggak semua pengemis begitu,” sela Guntur sedikit emosi. Sepertinya dia bersimpati pada semua pengemis. Tak peduli apakah pengemis jadi-jadian atau tidak. Orang seperti ini adalah orang yang sering menjadi sasaran orang-orang tak benar. Terlalu kasihan dan iba kepada orang bisa berdampak negatif seperti terlalu sombong dan kasar. Itulah mengapa berlebihan itu tidak baik dari segi mana pun. Baik saat makan, bekerja, maupun bermasyarakat.

    “Iya,” setuju aku sedikit mengerutkan kening. “Memang ada pengemis yang benar-benar miskin dan membutuhkan uluran tangan kita tapi gara-gara pengemis-pengemis dari kampung itu, kita tak bisa bedakan mana yang butuh dan mana yang tidak. Lagi pula, memberikan uang kepada pengemis itu tidak baik karena mendidik mereka menjadi peminta-minta padahal mereka masih sehat raganya. Orang buta saja bekerja menjadi penjual kerupuk!”

    “Oleh sebab itu, lebih baik memberikan sedekah kepada pihak-pihak yang tahu orang mana yang miskin dan membutuhkan seperti badan penanganan zakat Yabar!” sambung aku. Ah, cape juga kalau menjelaskan sesuatu panjang lebar. Entar beli air minum kalau melewati pedagang minuman. “Apa kau mengerti, Guntur?” aku seraya menatap tajam kepada Guntur.

    “Me-Mengerti,” jawabnya sedikit ketakutan. Uh, lucu juga kalau anak buah setiaku ini ketakutan.

    “Kenapa kalian berdua masih ada di sini?” seru seseorang dari belakang. Suaranya seperti aku kenal. Suara seorang veteran dan satpam. Serentak Aku dan Guntur menoleh ke belakang dan orang yang berseru itu tak lain Kidang, satpam STM Panzer yang berusia 58-60 dan bekas veteran Nusatoro. Pernah berteman baik ia dengan Mahapatih Modo sewaktu di masa pelatihan militer. Jangan pernah meremehkan satpam tersebut! Ia orangnya garang, master silat, gesit dalam bekerja, dan berani memajang semua senpi di posnya yang dulunya dipakai saat perang. Tak masalah memasang senpi-senpi tersebut di pos satpam, tidak melanggar aturan sekolah ataupun negara selama tak digunakan untuk menyerang orang tak bersalah.

    “Kenapa kalian belum pulang? Semua siswa dan guru Panzer sudah pulang tapi kalian belum? Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” tanya Kidang heran.

    “Menunggu angkot, Ki Dang!” jawab singkatku. “Dari tadi angkot yang lewat penuh semua.”

    Kidang melirik ke jalanan. Ia melihat angkot-angkot yang lewat penuh dengan penumpang. Kalau saja ada becak atau ojek lewat, mungkin kami sekarang sudah ada di jalan arah rumah. “Kalian tidak bawa kendaraan?” tanya satpam tua tersebut, tangannya terlihat dilipat di dadanya yang berbentuk. Umurnya memang sudah lanjut tapi ototnya tetap kekar layaknya para pendekar. Selain itu, kemampuannya setara dengan 10 prajurit elit Nusatoro.

    “Motor saya disita Bhayangkara gara-gara adik saya ugal-ugalan di depan kantor Bhayangkara kemarin sore,” jawabku. Aib! Itu Aib keluarga, Ka tapi tak apalah, berita motorku disita sudah menyebar luas di sekolah. Awas kau Eko, akan aku minta kau belikan aku motor baru kalau motorku tak kunjung kembali!

    “Kalau saya sering menumpang sama Bos Eka kalau naik motor dan dibayarin kalau naik angkot,” jawab anak buahku. “Enak kalau mengikuti Bos setiap hari. Dibayarin terus biaya transportasi, makan, dan lain-lain!” Jujur sekali kau, Guntur.

    “Oke…” Kidang seraya melirik bus kota yang ditumpangi banyak anak SMA. Mereka terlihat bersenjata dan sepertinya mereka mau tawuran ke daerah SMA 1, SMA yang ada di dekat STM Panzer dan Imalia. Kebanyakan anak-anak SMA, SMK, dan STM yang mau pergi tawuran membajak bus kota. Berbeda dengan STM Panzer yang hanya membajak truk kosong. Itupun kami harus memberikan uang transportasi kepada supirnya sebagai uang bensin. Kasihan kalau supir habis bensin gara-gara mengantar kami.

    Kidang menyeringai, sepertinya ia punya suatu ide. Ia pun bertanya kepada kami, “Kalian mau naik bus itu tidak?”

    “Oh, Tidak, tidak,” tolak aku sambil menggeleng-geleng. “Aku tak mau melawan mereka semua. Aku tak setangguh anda atau Kosim ataupun para berandalan STM yang bisa melawan banyak orang!” Meskipun aku ini pernah menjadi ketua berandalan, aku tak pernah memukul orang. Setiap kali aku mau memukul orang, dia langsung ketakutan dan minta ampun kepadaku.
    “Kalau saya lawan mereka, apa kalian ingin naik bus tersebut?” tanya Kidang mengelus-elus kumis putihnya.

    Aku dan Guntur kaget. Aku tak bisa membayangkan kalau Kidang melancarkan tinjuan dan kepertan kepada puluhan anak-anak SMA tersebut yang bersenjatakan gir motor, katana, dan golok. Lagi pula mana mungkin Kidang melawan mereka dengan statusnya sebagai satpam STM Panzer dan juga kerabat dekat Mahapatih Modo. Kalau ia melakukan itu, ia pasti dihukum Kepsek Panji dan dimarahi Mahapatih karena tak pantas seorang veteran Nusatoro menyerang anak SMA.

    “M-Mana mungkin Kidang melakukan itu!”

    “I-iya,” setuju Guntur dengan omonganku.

    “Akan saya tunjukan kemampuan seorang veteran,” ujar Kidang tersenyum seraya kembali ke posnya. Kami tak tahu apa yang ia lakukan di sana. Apa ia kembali karena ingin melanjutkan tidurnya atau ingin menonton pertandingan bola? Kami tak tahu. Kidang terlihat menutup jendelanya dan menarik tirai sehingga kami tak bisa melihat apa yang dilakukan Kidang.

    Sekitar 4 menit kemudian, Kidang kembali dengan penampilan berbeda. Ia tampak memakai wig kribo yang rambut hitam. Memakai kacamata hitam. Memakai jenggot palsu yang tebal. Memakai baju satpam yang berbeda dengan yang ia kenakan tadi dan tidak berlogo sekolah ini. Wajahnya loreng-loreng seperti tentara. Jika ada orang yang tak mengenali Kidang dalam waktu lama, kemungkinan ia tidak akan bisa mengenali penyamaran si Kidang.

    Dengan membawa senapan laras pendek, Kidang berlari tengah jalan layaknya orang gila. Laju bus kota tersebut terhenti sesaat Kidang berdiri di depan bus tersebut dan menembaki langit dengan membabi buta. Orang-orang baik itu pengemudi dan pejalan kaki ketakutan. Mereka panik dan beberapa dari para pejalan kaki berlarian kesana-kemari sedangkan beberapa lagi menonton aksi dari Kidang. Sepertinya beberapa orang terheran-heran dari mana satpam tersebut mendapatkan senapan. Selain itu, ada juga yang merekam aksi ‘koboi’ Kidang. Apa yang sebenarnya mau dilakukan saptam tua tersebut? Bakal terancam karir dan nyawa Kidang kalau Bhayangkara datang menangkapnya.

    “WOI! JANGAN MENGHALANGI JALAN KAMI KALAU TIDAK MAU MAMPUS!” sergah seorang anak SMA yang berdiri di pintu bus. Sepertinya orang tersebut komandan dari anak-anak SMA tersebut. Terlihat dari penampilannya yang menunjukan ia senior dan biasanya senior itu komandan di tiap tawuran.

    “Kalau masih sayang nyawa, TURUN DARI BUS ITU!!” ancam Kidang seraya menembaki langit layaknya pembajak atau teroris. Puluhan peluru terbuang sia-sia dari tembakannya.

    Anak-anak SMA yang ada di bus terlihat ketakutan. Mereka tahu kalaupun mereka melawan Kidang, banyak dari mereka bakal mati. Kalau mereka turun dari bus tersebut, nyawa mereka bakal aman tapi tawuran mereka bakal tertunda dari waktu yang sudah ditentukan. Mereka masih punya opsi menabrak Kidang tapi jika mereka lakukan hal tersebut, Kidang mungkin sudah tewas dan mereka terancam masuk penjara. Pada akhirnya, mereka lebih memilih membebaskan bus tersebut dan pergi ke tempat mereka tawuran dengan berjalan kaki.

    Kidang berhenti menembaki langit. Entah semua orang takjub atau heran kepada Kidang. “Ayo, masuk!” seru Kidang kepada kami, sambil menunjuk bus tersebut.

    “Te-Terima kasih,” ujarku pura-pura tidak mengenalinya. Aku dan Guntur menaiki bus tersebut. Kosong dan kotor. Wajarlah, habis diisi banyak pejuang-pejuang tawuran yang kebiasaannya barbar dan vandalisme. Supir bus terlihat sedikit gemetaran badannya dan ketakutan. Mungkin saja ia begitu karena hari ini dihadirkan dua kejadian yang mengancam nyawa dan pekerjaannya; anak-anak tawuran membajak busnya dan seorang saptam gila menghalangi busnya berjalan.

    Beberapa penumpang menaiki bus ini. Supir bus terlihat mulai tenang. Dari jendela, aku melihat Kidang menghilang. Ke mana dia pergi? Kembali ke posnya? Mungkin. Kalau ia kembali ke dalam pos tersebut, pastinya ia sudah kembali menjadi satpam STM Panzer, bukan satpam gila. Semoga Kidang tidak ditangkap karena perbuatannya.
     
  16. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Kuda & Bhayangkara
    “Bapak?” kejut aku melihat sebuah mobil sedan –yang tak terlalu mewah– masuk ke garasi rumah ini. Aku menghentikan aktivitas menyapu halaman depan rumah (yang merupakan hobiku) dan menghampiri bapakku datang. Bapakku baru saja pulang dari luar negeri dalam urusan kerjanya, usaha sedot WC dan penyewaan toilet. Di luar negeri, ia baru saja memberikan trining kepada wirausahawan muda tentang bagaimana bisa berjaya dalam pekerjaan dunia toilet. Ia tak hanya punya usaha dunia toilet tapi ia juga punya usaha di dunia es teler, es buah, dan mie ayam yang tersebar di seluruh wilayah Konfederasi. Bapakku disebut-sebut sebagai pengusaha terkaya ke-10 seantero Konfederasi Nusatoro.

    Pintu mobil depan tersebut terbuka. Seseorang keluar dengan mengunakan jas hitam yang mewah. Rambutnya terlihat pendak ikal. Memakai kacamata minus tak terlalu tebal. Berjenggot hitam pendek seperti aku. Bentuknya tidak terlalu berbeda denganku. Orang tersebut tak lain adalah bapakku tercinta. Satu-satunya orang tuaku yang masih ada. Aku langsung bersalaman kepadanya. “Eka, aku dengar motormu disita dan menjadi aset Bhayangkara. Apa itu benar?” tanya Bapakku mencoba memastikan kebenarannya.

    “Iya,” jawabku tak bersemangat. Aku bercerita kenapa motor tersebut bisa disita dan juga keteledoran Eko secara kronologi. Selain itu, aku juga menjabarkan apa yang terjadi di Yabar dan rumah selama 6 minggu ia keluar negeri.

    “Dasar Eko. Ia sudah membuat 4 buah motor disita Bhayangkara gara-gara perilakunya! Anak macam apa dia!” kesal Bapakku sambil mengepalkan tangannya. Sepertinya kalau Eko pulang dari tugas kelompoknya, ia bakal dimarahi habis-habisan. Eko, kuatkan mentalmu ya! Soalnya kalau Bapak marah bisa habis-habisan dicaci maki dan dicemooh. Ah, jadi ingat aku waktu Bapak memarahi aku habis-habisan gara-gara mempimpin tawuran. Hampir setiap kali aku pulang tawuran selalu dimarahi Bapak dan baru sekarang aku taubat dari dunia tawuran! Anak nakal. Benar-benar nakal aku! Wahai anak cucuku, jangan meniruku kalau kalian terlahir ke dunia ini!

    “Jadi selama ini kamu pulang pergi, Eka pulang pergi naik angkot bareng Guntur?” tanya Bapakku.

    “Iya, Bapak!” jawab aku. Bukannya aku sudah jelaskan tadi soal pulang pergi naik angkot?


    “Kalau begitu mau tidak kau naik kuda?” tawar bapakku, sambil tersenyum tidak jelas.

    “Kuda? Bapak, sekarang bukan zaman kuda itu superior. Sekarang zamannya teknologi, Bapak, teknologi!!”

    “Tapi kuda hemat bensin mengingat bensin semakin lama semakin mahal saja,” timpal bapakku. Secara ekonomi keluargaku memang kaya raya tapi kami sedikit menekan pengeluaran. Kami hanya memakai 20% dari penghasilan untuk mengeluaran dan 40% untuk usaha. Sisanya ditabung untuk keperluan mendatang.

    “Tapi ingat, Bapak, bahwasanya biaya perawatan kuda itu mahal!” jelas aku.

    “Tenang, Eka. Aku sudah mendapatkan perawat kuda yang murah,” ujar Bapakku dengan santainya. Oh, aku tidak suka dengan ide ini, Bapakku. Sepertinya Bapakku harus disadarkan kalau motor itu lebih baik dari kuda baik dari kecepatan maupun perawatannya.

    ***
    “Fursan, jalan!” Aku seraya menarik kudaku untuk terus berlari. Fursan, itulah nama kuda hitam yang diberikan bapakku. Kuda ini cepat larinya tapi masih kalah cepat dengan motor ninja lamaku. Kuda ini berasal dari kepulauan tenggara Nusantoro, kepulauan yang konon penghasil kuda-kuda terbaik di Konfederasi.

    “Ehm, cepat sekali kau belajar, Eka,” ujar bapakku yang berdiri di pintu masuk arena pacuan kuda dan memperhatikanku menunggangi kuda di pekarangan luas rumah. Pekarangan ini 1/4 tanahnya diubah menjadi lapangan pacu kuda. Aku yang ada di rumah ini terus setiap harinya tak menyadari kalau pembangunan di belakang rumah itu merupakan pembangunan lapangan pacu kuda. Entah sejak kapan ayahku merencanakan pembangunan lapangan pacu ini.

    Luas dari rumah ini termasuk halaman depan dan pekarangan mencapai 1/3 dari luas sekolah STM Panzer yang luasnya 4 hektar. Aku diajari bapakku bagaimana cara menunggangi kuda. Setiap intruksinya aku turuti dan inilah hasilnya; bisa menunggangi kuda.

    “Bapak, bagaimana cara menghentikan kuda ini?” teriak aku sambil menunggangi Fursan yang berlari-lari memutari track. Di saat aku memanggilnya, bapakku malah mengingat masa lalunya, “Ah, Aku jadi ingat dengan kakekku yang ingin menjadi pemelihara kuda. Tapi nasib berkata lain. Ia malah menjadi seorang ilmuwan. Oh, Kakek, malangnya nasibmu tak melihat cucumu punya 12 ekor kuda.”

    “BAPAK!!” teriak aku, mulai takut aku dengan kecepatan kuda ini. “Fursan, berhenti!!”
    ***
    Matahari bersinar teriak di pagi ini. Udara pagi ini kadang sejuk kalau matahari tertutup awan tapi kadang pula panas kalau terik matahari mengenaiku. “Maju!!” Perintahku kepada Fursan dengan menarik tali. Fursan mempercepat derapannya. Cukup cepat lari kuda ini di jalan raya. Mungkin larinya kalau diukur sekitar 40 km perjam. “Bos, saya sedikit takut!” seru asistenku yang duduk di belakangku, memegang erat badan (tepatnya perut ia memegang). Badannya cukup kecil sehingga kuda ini mampu membawa aku dan asistenku ke mana saja dengan cepat.

    Sepanjang perjalanan, aku diperhatikan banyak pengendara dan orang-orang di trotoar. Sepertinya ini baru pertama kali mereka melihat ada anak sekolah naik kuda (apalagi yang naik itu anak STM Panzer). Selain itu, mereka sepertinya terpukau dengan kecepatan kuda ini melewati beberapa motor dan mobil di jalanan ini. Beruntung pagi ini tidak macet.

    Bapakku memaksaku untuk pergi ke sekolah dengan kuda, begitu juga dengan Eko. Hanya saja adik tiriku tak mau dan memilih naik angkot saja. Malu berat sepertinya si Eko kalau dilihati orang kalau pergi ke Panzer Yabar dengan kuda.

    Ada alasan yang membuat Bapakku bersikeras menyuruhku naik kuda ke Panzer; ia punya mimpi waktu kecil melihat keturunannya dengan gagahnya naik kuda ke sekolah. Impian aneh tersebut membuat logikanya tak berjalan soal perawatan kuda itu mahal. Tak apalah, dia orang kaya raya.

    Sesampainya di lampu merah, kuhentikan langkah kuda ini. Aku melihat Guntur bisa bernafas setelah ketakutan menaiki kuda ini. Harusnya dia naik angkot saja kalau tak terbiasa naik kuda tapi dia memaksakan diri untuk mengikuti ke mana aku pergi. Benar-benar anak buah keras kepala!

    Aku mengelus-elus kepala Fursan dan sepertinya kuda ini senang aku mengelus-elus kepalanya, terlihat dari reaksi goyangan kepalanya. Halus juga bulu hitam dari kuda ini. Dimandikan setiap harinya membuat bulu dari kuda ini menjadi bersih dan tentu saja yang memandikannya adalah aku. Kulakukan hal jarang dilakukan para pemilik kuda demi meningkatkan koneksi bantin dengan kudaku. Aku melatih Fursan untuk datang kepadaku jika aku bersiul. Selain itu, aku mengajari Fursan untuk mengamuk jika ia ditunggangi secara paksa oleh orang yang belum mendapati izinku.

    “Hei Eka,” seru seseorang. Aku menoleh kesana-kemari dan menemukan orang yang memanggilku. Orang tersebut tak lain adalah Johan Rudianto, kakak dari Ellena atau Eri. Entah kapan terakhir kali aku bertemu dengan kakaknya. Johan terlihat duduk di atas kursi pengemudi mobil Bhayangkara, sendirian dan berseragam Bhayangkara. Warna seragam tersebut cokelat seperti seragam sekolahku tapi warnanya lebih muda dibandingkan cokelat STM Panzer yang lebih tua. Celananya warnanya hitam, membawa pistol dan keris di sabuknya. Mukanya yang sedikit tampan berbalut rambutnya tipis ala tentara di atas kepalanya menunjukan ia baru saja melewati masa-masa ujian masuk. Ia terlihat sendiri di mobil yang dilengkapi GPS dan radio komunkasi tersebut. “Wah, anda sudah diterima di Bhayangkara ya,” seruku dengan ramah.

    “Iya. Lumayan susah tes masuk Bhayangkara,” kata pria yang mengendarai mobil polisi berwarna hitam. Menurutku mobil Bhayangkara Yabar itu termasuk paling keren dan canggih dibandingkan mobil-mobil Bhayangkara daerah lainnya.

    “Naik kuda ke sekolah?” ia mengamati kudaku. Sepertinya Kak Johan terpana dengan kuda hitamku. “Seperti zaman-zaman kerajaan saja ya!” ujarnya sambil tersenyum ramah.

    “Sekarang masih zaman kerajaan buat Konfederasi, Kak. Tapi versi modernnya!”

    “Iya, iya,” paham Kak Johan menangguk-angguk tahu. “Oh ya, Eka. Bagaimana hubunganmu dengan adikku satu-satunya?” tanyanya dengan menyeringai.

    “Tidak ada yang spesial,” jawabku datar dengan ekspersi datar. “Tak ada hubungan khusus antara kami. Hanya sebatas teman yang saling membantu.” Iya benar, hanya sebatas teman. Aku selalu menghindari hubungan spesial dengan perempuan, tapi tak ada jaminan ke depan kalau pandanganku akan berubah. Zaman berubah dan manusia pasti akan berubah jika pandangannya bak falsafah negara tak mampu mengimbangi atau berhadapan dengan tantangan zaman. Lagi pula pacaran untuk apa? Kalau menurutku hampir setiap pacaran itu selalu berhubungan dengan nafsu dan nafsu bisa menjerumuskan pemuda dan pemudi ke jurang zina. Beruntung aku belum pernah dan hampir semua orang STM Panzer senasib denganku.

    Mendengar jawabanku, si Johan tetap menyeringai sambil berkata, “Oh, begitu ya.”

    Lampu hijau menyala. Johan sesempatnya melambaikan tangan kepadaku di saat ia menancap gas mobil dan menutup jendela mobil ketika mobil tersebut melaju kencang bersamaan dengan kendaraan-kendaraan lain. “Fursan, maju!!” seruku menarik tali dan Fursan berlari dengan kencang, mengagetkan Guntur yang dari tadi tertidur selama lampu masih merah.

    “Bos!!!” Guntur berteriak-teriak tidak jelas sambil memegang erat pinggangku. Ketakutan dia sama larinya Fursan.

    ***
    “Jadi kuda baik ya, Fursan,” aku mengelus-elus kepala Fursan. Aku dan Guntur sampai di sekolah sebelum bel berdering. Beberapa anak STM terkejut melihat aku menaiki Fursan. Mereka sepertinya tak pernah menyangka aku, orang paling menakutkan di STM Panzer menaiki seekor kuda hitam layaknya Senopati. Mungkin kharismaku bakal bertambah di mata mereka gara-gara kuda ini, ha ha.

    Fursan aku taruh di belakang toilet STM Panzer. Aku mengikatkan Fursan dengan pohon durian ini supaya dia tak berkeliling-keliling di sekolah ganas ini. Guntur membantuku menyediakan persediaan makanan berupa rumput yang berasal dari lapangan sekolah dan air minum di sebuah batang bambu yang aku potong dengan golok yang aku pinjam dari Kidang. Tentu saja air minum ini setara dengan air minum manusia karena aku tak mau Fursan sakit gara-gara minum air kran atau minum air empang sekolah yang jorok bin menjijikan.

    “Kalau ada orang asing mencoba melepaskanmu, tendang saja perutnya!” ujar aku memberi tahu Fursan. Fursan menangguk-angguk mengerti walaupun ia seekor kuda. Aku dan Guntur meninggalkan Fursan sendirian. Semoga Fursan tak apa-apa. Aku sudah memberi tahu soal Fursan kepada Kidang dan memintanya menjaganya dan memberinya minum. “Tenang saja, Eka. Ketika aku baru menjadi prajurit, aku berada di divisi kavaleri yang waktu itu masih kuda. Jadinya saya sudah sering main, bergulat, dan merawat kuda di istal militer!” tuturnya dengan penuh percaya diri.

    ***
    “Siapa itu?” bertanya-tanya anak-anak Panzer melihat ada seorang saptam, muda, mukanya sedikit baby face (kontras dengan Kidang yang mukanya sangar bin menakutkan) dan bugar fisiknya bersandar di gerbang masuk. Sepertinya saptam tersebut merupakan satpam baru. Kidang mengatakan kepadaku bahwa satpam tersebut bernama Susanto Perkasa. Namanya Susanto karena waktu ia dalam kandung, ibunya berencana menamai anaknya Susan kalau perempuan tapi nasib berkata lain, yang terlahir itu laki-laki. Ibunya tetap kukuh dengan nama Susan dan bapaknya terpaksa menambahkan ‘to’ di belakang nama ‘Susan’ agar anaknya nanti tak dicemooh orang-orang karena namanya terlalu feminin.

    Panji merekrut saptam baru karena merasa tugas satpam seorang yang ditanggung Kidang terlalu berat. Kidang sendiri didaulat sebagai kepala satpam di STM ini sehingga mau tak mau Susanto harus menuruti apa yang dikatakan Kidang termasuk membelikannya mie ayam Otong yang ada di dekat STM Panzer ini. Selain menjadi satpam, Susanto juga bertugas membersihkan toilet dan kelas menjelang magrib meningat STM Panzer belum punya Office Boy.

    Saptam kumis, itulah julukan yang diberikan kepada pria asal Briangan tersebut meningat ia berkumis lebat layaknya tukang bakso depan rumahku. Ia cukup baik kepada semua orang termasuk aku meskipun ia diejek-ejek anak-anak STM. Susanto juga termasuk jago bersilat tapi tetap saja kemampuannya masih dibawa Kidang. Susanto harus banyak belajar dari Kidang jika mau menjaga sekolah ini dari segala ancaman baik dari dalam maupun luar.
     
  17. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Nepotisme & Ayam

    “Sepi,” aku menoleh kesana-kemari sambil berjalan di lorong sekolah ini. Semua orang sudah pulang termasuk Guntur yang terpaksa pulang mendahuluiku karena ibunya memintanya untuk membantu masak di dapur. Benar-benar anak baik ya si Guntur! Jagalah ibumu baik-baik wahai asistenku!


    Aku melihat arlojiku sudah menunjukan jam 4.30 sore. Sepertinya aku terlalu lama buang air besar dan tak bagus kalau aku membiarkan Fursan sendirian terus. “Eka,” seru seseorang dari belakang, suaranya cukup aku kenal dan sepertinya…. Yap, seperti aku duga. Orang memanggilku Kepsek Panji. “Mau melanjutkan Cerjab?” tanya Kepsek, langkah kakinya bergerak mengarah ke tempat aku berada.


    “Tentu. Kita selesaikan permainan ini dan aku akan mengalahkanmu, Kepsek!” jawabku dengan percaya diri yang cukup tinggi. Jangan terlalu sombong ya wahai diriku! Orang sombong biasanya hebat-hebatnya di awal-awal dan hancur di akhir. Itulah yang terjadi pada orang-orang sombong di kancah dunia dan tercatat dalam sejarah.


    “Kalau begitu ikut saya ke ruangan,” Kepsek seraya berjalan ke ruangan kepala sekolah.


    “Tapi sebelum itu, saya mau melihat kuda saya terlebih dahulu.”


    “Oke. Kau punya 4 menit dan segera kembali. Kalau tidak permainan akan saya anggap ditunda sampai hari yang tak ditentukan,” ujar Kepsek dengan dingin lalu meninggalkan aku sendirian.


    ***

    “Oh, sudah selesai kau urusanmu?” tanya Kepsek melihatku membuka pintu ruangannya. Kepsek terlihat sedang menuangkan sirup pada suatu gelas kaca yang kelihatannya cukup mahal dan mewah. Sirup yang ia tuang itu sirup jeruk dan sepertinya enak diminum kalau ditambahkan es batu.


    “Sudah, Pak,” jawabku dengan sesopan mungkin, sedikit menangguk.


    “Berarti kita sudah bisa membuka brangkas,” ujarnya menunjuk brangkas yang sepertinya tetap terkunci semenjak Cerjab. Aku bersama Kepsek membuka brangkas tersebut. Beruntung aku selalu membawa kunci brangkas tersebut di dompetku. Kalau saja tidak, mungkin aku harus kembali ke rumah bersama Fursan untuk mengambil kunci.


    Kepsek membereskan kertas-kertas cerita Cerjab di meja. Selagi ia membereskan, ia mempersilahkanku meminum sirup tersebut. “Bisa kasih es ini minuman?” pinta aku kepada Kepsek, dengan sesopan mungkin. Kepsek membuka kulkas kecil yang ada di dekat mejanya. Isi dari kulkas mini tersebut diantaranya ada sirup melon dan jeruk, penyimpanan es batu, air mineral, dan teh manis. Ehm, sepertinya enak kalau di kelasku ada kulkas. Hanya saja kalau seandainya ada kulkas di kelasku, teman-temanku mungkin bakal menggunakannya sebagai tempat penyimpanan makanan seperti mereka menggunakan dispenser kelas untuk minum kopi dan makan mie. Bisa dipertimbangkan menaruh kulkas di kelas meningat anggaran kelas cukup banyak dan kalau kurang, bisa pakai duitku.


    Dua buah es batu dituang ke dalam minumanku. Kepsek mempersilahkan aku meminum sirup ini yang suhunya menjadi dingin. “Bagaimana? Enak?” tanyanya mengamatiku. Aku menjawab dengan menangguk. Sirup diberikan Kepsek enak sekali. Aku belum pernah menikmati sirup seperti ini sebelumnya. Aku penasaran di mana ia mendapati sirup jeruk ini dan memberanikan diri bertanya, “Kepsek, dari mana anda mendapat sirup jeruk yang barusan dituang di gelasku?”


    Dengan santainya ia menjawab, “Dari tetangga yang baru datang dari luar negeri.” Pantaslah sirup ini rasanya beda dari sirup-sirup yang pernahku minum. Lagi pula aku tak pernah menyangka sirup yang tak berseragam tersebut berasal dari mancanegara.


    “Jadi Eka, bagaimana kalau kita mulai permainan ini?”


    “Mulai saja Pak. Tujuan aku ada di sini hanya untuk mengalahkan anda!” ujarku dengan mantap.


    Dengan mukanya yang datar, ia memberi nasehat kepadaku, “Jangan terlalu gegabah sebelum sesuatu dimulai, telaten dalam melakukan sesuatu, dan tetap rendah diri setelah melakukan sesuatu!”


    “Baik, Pak,” paham aku mengangguk. Nasehat akan menjadi ingatan atau tulisan semata jikalau tidak diterapkan. Di dunia ini ada ratusan ribu bahkan jutaan macam nasehat dari berbagai bahasa, suku, dan bangsa. Semua nasehat punya maksud bagus tapi masalahnya adalah mayortias manusia –termasuk aku diantaranya– bebal dan keras kepala sehingga nasehat itu masuk kuping kanan keluar kuping kiri.


    Permainan Cerjab dimulai. Kepsek memberi aku giliran pertama. Aku mengambil selembar kertas yang digulung dan membacanya, “Cerita A1: Seorang Camat melantik beberapa pejabat di kecamatan yang tak lain saudara-saudaranya. Saudara-saudaranya memiliki kemampuan administrasi sangat baik dan tingkatan penyelewangan uang negara berkurang. Pertanyaannya adalah apakah nepotisme itu dibolehkan?” Sedikit ambigu ini pertanyaan. Maksud “nepotisme itu” merujuk ke mana? Pertanyaan ini sebetulnya mudah karena ceritanya seperti soal cerita di ulangan matematika tapi masalahnya adalah ambigunya. Sepertinya Kepsek sengaja membuat soal ini ambigu untuk membuatku kebingungan. Benar-benar cerdik kau, wahai Kepsek!


    “Eka, waktumu sudah habis,” seru Kepsek yang dari tadi memukul-mukul mejanya dengan kelingking kanannya, sambil menghitung waktu dengan jam tangannya. “Apa jawabanmu?”


    Psywar telah dilancarkan Kepsek. Tenang. Tetap tenang Eka walaupun jawabannya sedikit dualisme di pikiranku. Ah, aku jawab semampu saja lah, “Kepsek, jawabannya adalah Nepotisme dibolehkan asal orang yang kita percayai itu punya kemampuan.”


    Kepsek menghela nafas, entah pertanda ia mengakui jawabanku benar atau tidak. Ia mengambil memberikan kertas jawaban A1, A2 kepadaku dan memintaku untuk membacakannya. “Jawaban dari A1 adalah nepotisme kadang boleh kadang tidak tergantung orang yang mau diberi jabatan itu punya kemampuan tidak.”


    “Tapi Eka, nepotisme itu masuk KKN: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang mengarti bahwa nepotisme itu sama buruknya dengan korupsi dan kolusi!”


    “Tidak selalu pak. Tak selamanya nepotisme buruk seperti korupsi dan nepotisme. Hanya saja nepotisme diartikan buruk jikalau terlalu sering mengutamakan kerabat seperti pemberian jabatan, dan bebas dari tuntutan hukuman,” ujar aku berpendapat.


    “Yang pasti jangan nepotisme dalam bidang peradilan dan birokrasi pemerintahan republik atau saja agar rakyat tak kesal. Kalau mau nepotisme bagusnya di perusahaan atau pemerintahan kerajaan saja yang kekuasaan penuhnya dipegang atasan atau raja,” tutur Kepsek. Matanya melirik sedikit ke jam dinding.


    “Ah? Kenapa tidak boleh,Pak?Nepotisme di birokrasi? Kalau dalam peradilan 100% setuju saya karena keadilan harus diterapkan tanpa pandang bulu, baik dari golongan apapun termasuk raja,” ujarku dengan penuh penasaran. Hampir seluruh wilayah Konfederasi menerapkan hukum tanpa pandang bulu. Jadinya kalau ada Raja melakukan tindakan melanggar hukum menurut daerahnya atau Konfederasi, ia bisa di penjara, didenda jutaan erak atau dihukum mati dengan tiga kali tembakan pistol tepat di jantung. Di Konfederasi terdapat tiga tingkat hukuman: kelas rendah, menengah, dan berat. Mencuri, tawuran, maling ayam dan kuda (Fursan!!), dan melanggar lalu lintas termasuk kelas rendah. Kelas rendah biasanya hukumannya seperti denda 10.000 erak atau dipenjara sebulan atau paling lama 4 tahun. Aku pernah didenda 50.000 erak gara-gara terlibat tawuran. Menabrak orang dengan kendaraan apapun sampai mati –termasuk sepeda dan kuda di antaranya, membunuh orang, dan korupsi termasuk kelas menengah. Hukuman kelas menengah biasanya penjara minimal 10 tahun sampai seumur hidup dan denda jutaan erak. Beruntung aku belum pernah masuk kelas hukuman menengah. Untuk kelas berat biasanya yang masuk kategori ini adalah membunuhan masal, pembunuhan pejabat, dan membom fasilitas umum. Hukumannya tentu tembak mati. Ah, hukum memang terkadang tak adil dan bermata dua jika mementingkan satu golongan saja. Mungkin diantara ketiga kelas tersebut akan berubah jika pertemuan besar antara para patih dan raja dengan Mahapatih Modo dan Maharaja bulan November menghasilkan aturan baru. Kebetulan di akhir bulan November STM Panzer seluruh kelas pergi ke pusat untuk wisata, hore!!


    “Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan baik daerah maupun negara. Jika nepotisme terjadi di birokrasi, akan terjadi kecurigaan masyarakat dan bisa bahaya kalau kecurigaan tersebut tumbuh menjadi teori-teori konspirasi yang dapat memainkan kepercayaan masyarakat walaupun diambilnya dari kerabat yang punya kemampuan,” tutur Kepsek dengan penuh kebijaksanaannya. “Ketika rakyat tidak percaya pemimpin mereka, akan timbul pemberontakan yang besar dimotori oknum-oknum.”


    Aku mengangguk-angguk mengerti. Kepsek cukup bisa berpikiran seluas itu dalam dunia kekuasaan dan pantaslah ia menjadi pembicara politik di koran-koran ternama di Yabar. Ahli politik, ahli hukum, ahli sejarah, dan ahli keuangan merupakan pekerjaan sambil Si Kepsek selain menjadi kepala sekolah STM Panzer Yabar dan pengusaha mebel.


    Ah, senang diriku mendapatkan poin 2-1. Semoga Kepsek gagal mendapatkan poin ketika gilirannya tiba dengan mendapatkan cerita dan soal yang susah. Aku telah membuat beberapa cerita yang cukup rumit dan soalnya bisa membuat pusing kepala. Hanya saja aku lupa kode ceritanya!


    “Kepsek, silahkan ambil kertas cerita,” persilahkan aku tersenyum tipis, sedikit berharap Kepsek gagal menjawab ceritaku.


    Kepsek mengambil salah satu kertas di tengah meja –yang tadi acak-acak Kepsek sebelum permainan di mulai dan bagianku dengan bagiannya berbeda tempat, hanya dipisahkan beberapa sentimeter saja. Perlahan ia membuka lipatan kertas tersebut lalu membacanya, “B1: Jodi Hermawan atau lebih dikenal Jodi mempunyai perternakan ayam kampung yang jumlah ayam jantannya sekitar 530 ekor sedangkan betinanya 460 ekor. Selain itu, Jodi punya 40 karyawan yang bertugas merawat ayam-ayamnya. Setiap bulannya, perternakan ayam Jodi bisa menghasilkan omset sebesar 12.000 erak versi penghasilan burtonya dan nettonya sebesar 4.000 erak. Setiap tahunnya terjadi peningkatan harga jual ayam sebesar 0.5% semetara waktu lebaran sebesar 12.5%. Sedangkan tingkatan permintaan masyarakat tiap bulannya sebesar 400 ekor ayam dan 1.000 butir telur sedangkan dilain pihak meningkatan jumlah ayam hanya sekitar 2,5%. Itupun kalau tidak ada wabah seperti flu burung yang dapat memangkas peningkatan jumlah ayam. Tingkatan inflasi yang mempengaruhi harga beli ayam sebesar 50 erak satu ekornya. Yang menjadi pertanyaannya adalah siapa nama bapak dari Jodi…Eh?”


    Kepsek terperanjat membaca pertanyaanku. Mematung. Rasakan itu Kepsek! Pertanyaan tersusah yang pernah aku buat di Cerjab. Peluang benar jawabanmu hanya 5-10%, berbeda dari sebelumnya yang mencapai 60-70%. Pastinya Kepsek akan kelabakan berpikir siapa nama bapak Jodi karena tak ada sedikitpun hint dari cerita yang aku buat. Kepsek pastinya tak akan bisa mengelak atau menganggap soal ini tidak sah karena dalam aturan yang ia pernah jabarkan tak pernah melarang lawan membuat soal berbeda dari ceritanya. Setiap permainan yang baru dibuat biasanya masih punya kelemahan dan salah satunya Cerjab. Kelemahan dari Cerjab itulah yang aku manfaatkan. Kepsek tak akan memakai cara seperti itu atau balas dendam mengingat ia tak akan bisa membuat cerita lagi selama permainan Cerjab belum keluar pemenangnya.


    Kepsek masih terdiam. Berpikir dia dengan keras, tapi tak nampak dari tampangnya yang datar dan dingin, sepertinya ia masih menjaga kehormatannya. Aku mengeluarkan arlojiku dan menghitung waktu Kepsek berpikir. Psywar akan aku lancarkan…


    “Kepsek, waktumu tinggal 120 detik lagi,” ujarku dengan menyeringai, sambil menunjuk arloji berkali-kali. Paniklah Kepsek, panik! Biar aku dapat kenangan indah ketika keluar dari STM; melihat Kepsek hebat ini panik.


    Detik demi detik berlalu. Sudah 120 detik terlewat dan Kepsek –yang dari tadi tak terlihat panik ataupun stres– dengan tenangnya mulai bersiap menjawab. Kemungkinan benarnya kecil sekali. Aku sendiri lupa siapa nama bapaknya Jodi.


    “Nama dari bapaknya Jodi itu Agung Prawaka!” tebak Kepsek, Entah benar atau tidak jawabannya. Sepertinya ia memikirkan siapa namanya Jodi berdasarkan nalarnya dan instingnya saja.


    Aku mengambil kertas jawabannya B2. Tersenyum sedikit aku melihat jawaban yang tertera di kertas ini. Kepsek tetap tenang melihat aku tersenyum. “Jawaban saya benar tidak, Eka?” tanya Kepsek memastikan.


    “Nama bapak dari Jodi tak lain Alexander Smith Nugroho,” jawab aku tersenyum puas.


    “Eh, nama anak sama bapak beda jauh. Si Jodi itu anak pumutan ya?” terheran-heran si Kepsek dengan nama bapaknya Jodi yang lebih kebaratan. Aku menulis namanya bapak Jodi asal-asalan, tak peduli lokal atau bule.


    “Terserah saya mau menulis apa,” jawabku menyeringai, merasa superior. “Tak ada larangannya di aturan Cerjab.”


    Tampang Kepsek mungkin tenang, tapi aku meyakini kalau di dalam sanubarinya ia kesal kepadaku karena membuat soal yang tak ada sangkut pautnya dengan cerita. Selain itu, mungkin Kepsek berpikir untuk menambah aturan baru di Cerjab, untuk mencegah kejadian seperti ini terjadi lagi. Tak apalah ia mengubah aturan, yang penting poin aku saat ini masih aman.
     
  18. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Mayoritas & Candi

    “Baiklah, Eka. Untuk sementara kau menang, tapi akan aku susul kau dan menungguli permainan ini di akhir,” ujar Kepsek penuh percaya diri, setelah tertinggal denganku.


    Tak boleh lengah Eka. Tak boleh! Kepsek Panji bisa saja membalas kekalahan yang bisa dikatakan hina ini, tapi dalam Cerjab, faktor hoki dan analisalah yang menentukan suatu kemenangan, bukan fisik lagi emosi. Aku mengambil kertas cerita tanpa perlu diperintahkan lagi. Kertas lipatan ini ku-buka perlahan-lahan dan membaca isinya, “Cerita D1; Dalam sidang OSIS STM Panzer bulan ke-11 tahun 887 periode 887-888, sebagian golongan mayoritas menolak rencana pembuatan acara pentas seni. Acara Pensi sendiri didasarkan idenya ketua OSIS saat itu, Liliek Gunawan, yang membuat Pensi dengan bantuan SMA 1. Mayoritas menolak menurut Liliek karena mereka tak suka dengan rival sekolah mereka, tapi Liliek berdalih jika mereka bekerja sama dengan sekolah tersebut, hubungan panas antara kedua sekolah berandalan tersebut bisa mereda. Yang menjadi pertanyaannya; apakah golongan minoritas seperti Liliek bisa melaksanakan Pensi atau tidak?”


    887, 6 tahun setelah STM ini berdiri. Tahun segitu aku belum lahir dan aku merasa soal ini diambil dari kejadian yang sebenarnya. Tentu saja jawaban sudah tertulis di sejarah STM Panzer ini. Sayangnya, aku yang mantan ketua OSIS ini tak tahu kejadian tahun 887. Aku bukanlah database yang bisa mengingat kejadian-kejadian yang terjadi di OSIS sekolah ini! Yang aku tahu, Pensi sekolah hanya pernah digelar 4x semenjak sekolah ini berdiri, tapi aku tak ingat secara pasti tanggal-tanggal terjadinya Pensi. Keempat Pensi tersebut diselenggarakan oleh STM Panzer sendiri, bukan bantuan dari pemerintah Yabar. Apakah ada Pensi lagi yang diadakan STM Panzer dengan bekerja sama pada pihak sekolah lain? Aku tak ingat. Apa mungkin dalam buku tebal bertuliskan “OSIS STM Panzer” yang selalu ada di laci meja ketua OSIS punya data tentang kejadian di tahun 887? Mungkin saja. Ah, aku ingat nama-nama ketua OSIS yang ada di sekolah ini. Setiap foto ketua OSIS dari awal tahun sampai sekarang dipajang di ruangan, dari hitam putih sampai berwarna. Lain halnya dengan ruangan ini. Di ruangan ini hanya ada dua foto Kepsek saja, Kepsek Rendi yang memimpin dari 881 sampai akhir 899 dan Kepsek Panji dari akhir 899 sampai sekarang. Itupun Panji dulu menjabat sebagai Wakapsek dari Pak Rendi menjabat.


    “Eka, waktumu tinggal 60 detik lagi,” meningatkan Kepsek, sedikit mencoba psywar dia!


    Waktuku terbatas. Aku harus menentukan apakah minoritas faksi Liliek menang melawan mayoritas gerombolan barbar Panzer? Dari sudut kacamata hitamku, aku menilai kekuatan mayortias Panzer tentulah yang menang karena mereka bisa mengintimidasi ketua OSIS jika mereka tak puas. Hal seperti ini pernah terjadi pada ketua OSIS 897-898 yang ingin menghentikan kebiasaan tawuran. Ketika tawuran yang berdarah-darah dianggap lumrah, kebiasaan menjadi tradisi dan tradisi suatu kelompok atau kaum akan susah dihentikan walaupun tradisi tersebut merugikan atau jelek di mata orang yang berilmu, seperti halnya tawuran…. Tunggu dulu! Jikalau semua kebijakan ketua OSIS yang dianggap bertentangan dengan pandangan mayoritas pasti gagal, apakah ini mengindikasikan kebijakan Liliek tak terlaksana? Mungkin. Minoritas sering kali mengalah dari mayoritas, tapi ada kalanya minoritas menang melawan mayoritas. Dan ini membuatku dilema karena bisa saja Liliek dan pengikutnya dapat merealisasikan idenya. Tapi yang menjadi pertanyaan jika seandainya itu terjadi; bagiamana bisa mereka menang melawan mayoritas?


    Pernah ada cerita pasukan Kebo Tarik dari kerajaan Singdom –kerajaan pendahulu Nusatoro– dengan pasukan sekutu yang berjumlah 49.000 personil dapat membantai habis 124.203 prajurit Yabar yang melancarkan agersi demi memperluas wilayah di tahun 792. Saat itu Kerajaan Yabar sedang dipuncak-puncaknya dengan menguasai separuh pulau ini, tapi kejayaan tersebut pudar setelah raja mereka meninggal saat memimpin penyerangan tersebut. Raja penurus tak cakap dan akhirnya, pasukan koalisi dipimpin Singdom berhasil merebut semua wilayah Yabar dan Raja Yabar waktu itu menyerah di tahun. Kekalahan pahit tersebutlah yang membuat revolusi Kelapa Hijau di tahun 820 terjadi. Tentu saja cerita tersebut tak ada kaitannya dengan jawabanku tapi memberi sedikit pengaruh kepada penentuan jawabanku; minoritas tak selalu kalah.


    “Eka, waktumu sudah habis,” seru Kepsek seraya menepuk tangannya. “Jadi, jawabanmu apa?” tanyanya dengan kedua tangan digenggam, sedikit bersandar di kursi panasnya.


    Aku langsung memutar otak. Berpikir dengan cepat dan menemukan jawaban yang pas, logis, dan memungkinkan menjadi jawaban yang benar. Ada dua jawaban dipikiranku, kalah atau menang, tapi hanya satu yang benar menurut sejarah. Skors tak masuk opsiku karena aku menilai walaupun sidang tersebut diskors 1 minggu, tetap saja akan keluar hasilnya.


    Ketika jawaban muncul di kepalaku, aku langsung mengutarakannya, “Jawaban dari cerita A1 adalah Liliek gagal karena tak mungkin ia bisa meyakinkan mayoritas anak STM Panzer yang egonya cukup tinggi.”


    Kepsek langsung mengambil kertas jawaban lalu membacanya,”A2: Liliek berhasil meyakinkan sebagian besar anak STM Panzer. Akan tetapi, ego mereka pada akhirnya menang sehingga mau tak mau Liliek terpaksa menuruti keinginan mereka; mengadakan Pensi sendiri tanpa bantuan siapapun!”


    Aduh. Aku tak terpikiran dari tadi kalau ada opsi mengadakan Pensi sendiri. Seharusnya aku mengetahui semua kemungkinan sebelum mengutarakan jawaban! Menyesal aku jawabanku salah. Poinku masih unggul tapi Kepsek punya dua kesempatan lagi untuk mengejar ketertinggalan sementara aku tinggal satu kesempatan. Harus aku manfaatkan sebaik mungkin kesempatan terakhir! Kalau tidak aku harus berpisah dengan kebiasaan duduk di atas genteng sekolah.


    “Eka, menurutmu apakah minoritas layak mengalah bagi mayoritas seperti kasus penyebaran wabah sehingga orang yang sudah kena harus dibunuh untuk mencegah penyebaran wabah?” tanya Kepsek mengujiku.


    “Menurutku iya. Karena mereka harus dikorbankan demi mencegah lebih banyak korban yang berjatuhan,” jawabku mantap. “Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwasanya tindakan tersebut adalah jalan terakhir jikalau golongan yang terkena wabah tersebut tak bisa diobati karena belum ditemukan obatnya. Minoritas dan mayoritas harus bisa akur walaupun berbeda dari segi apa saja karena perbedaan itu adalah hakikat kehidupan dunia.”


    Kepsek terkesima dengan jawabanku. Dia menepuk tangan tiga kali. “Bagus Eka. Bagus sekali pemikiranmu,” ujar Kepsek tersenyum tipis. Sedikit tersipu aku. Jarang sekali Kepsek memuji anak didiknya juga tersenyum. Sekali ia memuji, pastinya sasarannya Kak Manguri yang sudah alumi dan anak-anak yang berbeda tingkah lakunya dari kebanyakan anak Panzer.


    “Bagaimana dengan kasus mayoritas menekan minoritas? Yang kuat menekan yang lemah dan menerkamnya?” tanya lagi Kepsek, mengujiku lagi pemikiranku.


    “Itulah hukum alam; kuat menghancurkan lemah, yang lemah dihancurkan yang kuat. Tapi hukum ini relatif karena yang lemah bisa mengalahkan yang kuat seperti ekspansi Dakian di tahun 720 yang pasukannya kecil dibanding musuh, tapi mereka dapat menaklukan 10% dunia dalam waktu singkat,” jawab mantap aku. Negara Dakian adalah negara yang terisolasi semenjak abad ke-1 dan membuka diri saat ekspansi besar-besaran dilancarkan mereka. Bangsa Dakian sedikit berbeda dari bangsa lainnya. Postur mereka dua meter keatas, kepintaran mereka di atas rata-rata bangsa-bangsa lain, dan umur mereka relatif panjang. Tapi sayangnya, populasi mereka sedikit; sekitar 2.300.000 jiwa. Dan lagi pula, angka kelahiran negara Dakian cendrung rendah dibanding negara-negara maju lainnya.


    “Eka, bangsa Dakian waktu itu dipimpin Kaizerh Hetazania Dakian. Dengan kekuatan sekitar 90.000 prajurit dan teknologi canggih yang belum dimilik bangsa mana pun, ia dapat menguasai banyak wilayah, mengeksplorasi sumber daya alam secara masal untuk kebutuhan industri negara, dan disegani bangsa-bangsa barat, terutama bangsa imperialis Levtxsan. Dakian waktu itu bukanlah bangsa lemah walaupun berlindung dibalik tembok tinggi. Mereka hanya menunggu untuk menyerang balik. Tak benar jika kau mengatakan bangsa Dakian itu lemah!” tutur panjang Kepsek, mengelak pertanyaanku. Benar apa yang dikatakan. Walaupun negara mereka dikelilingi tembok yang menangkis serangan bangsa-bangsa lain, mereka membangun perabadan yang benar-benar tak tersentuh budaya bangsa lain sehingga mengagetkan dunia ketika melihat ironclad dan senapan mesin Dakian. Bangsa Dakian membuktikan untuk menang perang, suatu negara harus punya teknologi lebih canggih dibanding rival atau lawannya.


    Tank, granat, kereta api, dan mobil ditemukan Dakian sementara radio, komputer, listrik, dan nuklir ditemukan Amrik dan negara-negara Levtxan. Bagaimana dengan Konfederasi Nusatoro? Sampai saat ini belum ada penemuan yang mengubah atau mempengaruhi peradaban manusia. Kalaupun mempengaruhi peradaban manusia, pastinya dari kalangan militer dan politik, bukan ilmu pengetahuan. Kalaupun ada hanya sebatas ilmu infrastruktur dan perkanalan kota.


    Zaman sekarang, negara Dakian masih tetap eksis walaupun kalah di perang akbar Dakian II di akhir abad ke-8 berkat gabungan koalisi negara-negara Levtxsan dan negara-negara jajahan Dakian. Negara Dakian dengan sistem pemerintahan konfederasi klan-klan menjadi negara terkuat di dunia dalam sektor ekonomi dan teknologi setelah perang akbar dunia II selesai di tahun 840 –Dakian ikut perang ini, dengan bergabung dengan aliansi Levtxsan dalam berperang dengan negara fasis. Negara tersebut juga berprestasi di bidang olahraga layaknya sepak bola dan basket.


    “Terima kasih sudah mengingatkanku,” ujar aku membungkuk sedikit, menghaturkan rasa terima kasih kepadanya. “Idealnya yang kuat melindungi yang lemah.”


    “Benar. Yang kaya mengkasihani yang miskin, yang pintar mengajari yang miskin, dan seterusnya. Indah benar jika semua orang seperti itu. Sayang yang berlaku seperti itu hanya sedikit,” kata Kepsek berpendapat. Benar itu Kepsek. Di dunia ini ada orang kaya dan miskin untuk saling mengimbangi seperti laki dan perempuan, gelap dan terang, dan lain-lain yang saling berlawanan tapi berkaitan!



    Kepsek mengambil kertas cerita. Dan ketika ia mau membuka lipatan tersebut, ia berkata,”Eka, sepertinya ini giliran terakhirku karena sebentar lagi mau Magrib.” Kepsek seraya menunjuk jam dinding yang jarum pendeknya mulai mendekati angka 6 sedangkan jarum panjangnya menunjuk angka 11 yang berarti sudah 5.50 sore. “Apa kau mau menunda final battle kita yang waktunya masih belum ditentukan?”


    Aku menghela nafas lalu menjawab, “Tentu. Dan di final battle, saya akan mengalahkan anda!”


    “Tapi, Eka. Apa yang terjadi jika di akhir final battle imbang?” tanya Kepsek meminta pendapatku. Seharusnya dia sudah tahu apa yang harus ia lakukan jika terjadi situasi seperti itu, tapi ia tetap demokratis dan mendengarkan pendapat orang lain. Mata Kepsek kala bertanya terlihat setengah terbuka, pertanda sudah lelah seharian bekerja.


    “Kita akan adakan satu babak lagi dengan membuat cerita dan soal baru. Jika masih seri maka kita tambah lagi babaknya seperti halnya bulu tangkis,” usulku dengan memperhatikan segala aspek yang mungkin terjadi. Cerjab adalah permainan menarik dan bagus. Pastinya akan laku di kalangan berintelek. Tapi sayang, Cerjab harus disempurnakan lagi sehingga tak terjadi soal dengan cerita tak berkaitan seperti kasus bapaknya Jodi siapa. “Apakah anda setuju dengan usul saya?”


    “Tentu,” jawab singkat Kepsek. Terlihat ia mengepalkan kedua tangannya di atas meja.


    Permainan kembali berlanjut. Kepsek membuka lipatan kertasnya, lalu membacanya dengan suara lirih yang khasnya, “C1: Seorang raja berniat membuat candi untuk mendiang ibunya yang baru saja meninggal dunia. Ia ingin membangun sebuah candi. Tak perlu besar tapi indah, kata raja tersebut. Raja tersebut memerintahkan 20.000 tukang bangunan untuk membangun sebuah candi tepat di dalam hutan. Lokasi tempat pembangunan candi jauh dengan pegunungan.Yang menjadi pertanyaannya berapa bulan candi tersebut dibangun?”


    Kepsek langsung berpikir keras, terlihat dari keningnya yang mengerut. Soal ceritaku mirip soal-soal matematika, tapi tak ada satu rumus matematika yang aku ketahui untuk menyelesaikan persoalan ini. Ini adalah soal logika dan penalaran. Candi sendiri tak selalu makam bak piramida. Candi itu konotasinya luas, mulai dari kuil pemujaan dewa, tempat mandi, sampai gerbang pun bisa dimanakan candi. Sekarang, jarang sekali ada kerajaan yang membangun candi semenjak banyak kerajaan di barat wilayah Konfederasi beralih menjadi Islam dan masuknya bangsa-bangsa imperialis Levtxsan di abad ke-4. Candi zaman sekarang pun ukurannya tidak semegah zaman dulu, tapi tetap indah dan mengagumkan.


    Cahaya kejinggaan menyinari jendela. Angin sepoi-sepoi membuat gorden berombak. Arloji menunjukan jam 5.53 yang mengartikan 3 menit telah berlalu. “Kepsek, waktumu sudah habis,” ujarku menyeringai sambil menunjuk-nunjuk arloji.


    Kepsek menghela nafas sedikit. Ia meletakkan kedua punggung tangannya di atas dagunya. “Sekitar 10 bulan meningat orang yang membangun candi tersebut sangat banyak walaupun letaknya di hutan,” jawaban Kepsek dengan penuh keyakinan. “Candi dapat dibangun dengan batu bata yang pembuatannya bisa dikatakan sulit di zaman sekarang padahal zaman dulu mudah meningat dulu sumber daya masih melimpah ruah. Batu bata di pasangkan menggunakan isi dari telor ayam sebagai pengganti semen mengingat dulu telor ayam juga masih banyak. Wajar sajalah kalau pembuatan candi pemakaman cukup 10 bulan.”


    “Banyak candi sekarang yang ada di atas pegunungan tapi tersembunyi dalam lebatnya hutan. Ini mengartikan walaupun tidak dekat sungai, candi bisa dibangun,” tambah si Kepsek. “Selain itu, pembuatan candi cukup mahal dan biasanya hanya kerajaan-kerajaan kaya saja yang mamtu membuat banyak candi. Perlu diingat pembuatan candi biasanya dilakukan di masa-masa damai karena jikalau candi dibangun saat perang, musuh bisa saja menyerang pembangunan candi.”


    Menakjubkan jawaban dari Kepsek. Sepertinya ia paham betul seluk beluk dari candi-candi kuno. Tapi aku berharap jawabannya salah. Aku mengambil kertas jawaban dan membaca isi jawaban C1, “Pembangunan candi memakan waktu sekitar … 9-10 BULAN!!” Kaget aku membaca jawabanku. Tak kusangka jawaban si Kepsek benar padahal aku kira jawabannya adalah 1 tahun mengingat pembangunan candi itu lama.


    “Kita seri sekarang, Eka,” ujar Kepsek dengan muka datarnya menepuk pelan kedua tangannya.


    “Iya, Pak.”


    “Apa kau siap untuk kalah, Eka?”


    “Tentu saja siap. Dalam pertarungan dan permainan, manusia harus siap kalah atau menang. Jika menang jangan jenawa, jika kalah jangan stress,” tuturku. “Kecuali kalau kalahnya terlalu besar.”


    “Bagus sekali pepatah tersebut. Apa kau yang membuat pepatah tersebut?” tanya Kepsek penasaran.


    “Tentu saja tidak. Pepatah ini kudapat dari Kidang.”


    “Oh….” Paham Kepsek. “Eka, kenapa kau masuk ke sekolah ini?”


    Pertanyaan tersebut sedikit mengagetkanku. Entah kenapa Kepsek mendadak bertanya seperti itu? Ah, biarlah. Aku akan jawab dengan sejujur-jujurnya. “Aku masuk sekolah ini karena ingin menjadi anak STM,” jawab aku dengan senyum ramah. Sedikit teringat aku ketika Kepsek Rendi juga menanyakan hal ini dan aku menjawab dengan versi lain.


    “Eka, Eka,” Kepsek sedikit menggeleng-geleng kepalanya, “Kau punya intelektual yang tinggi, cerdas, dan bagus dalam memimpin suatu organisasi. Aku rasa tak cocok kau bersekolah di sekolah kacung negara ini.”


    Kacung negara? Bahasa amat kasar untuk julukan STM Panzer ini. Kesal sedikit aku mendengar seorang Kepsek memanggil sekolah yang dipimpinnya dengan bahasa yang kasar, apalagi dia memanggil tanpa merasa bersalah seperti orang menghina saja. “Intelektualku belum keluar sebelum naik ke kelas 3. Sebelum kelas 3, aku masih nakal dan liar seperti anak-anak Panzer lainnya!” ujarku sedikit keras intonasinya.


    “Eka, kau harus tahu bahwa bakat harus dikembangkan di guru yang tepat. Dan aku rasa bakatmu bakal sia-sia kalau aku menjadi tukang reparasi mobil militer. Lagi pula kau dari keluarga kaya raya dan nilai praktekmu tak terlalu bagus,” tutur Kepsek sambil membaca catatannya yang diambil dari laci meja ini. “Dan aku ingin tahu sebenarnya kau ingin jadi apa?”


    Aku terdiam sebentar. Berpikir mau jadi apa aku sebenarnya. Ketika jawaban tersebut sudah ditemukan, aku pun menjawab dengan sedikit tersipu, “Dulu waktu aku TK, aku pernah bermimpi menjadi presiden.” Jarang sekali aku tersipu. Hanya 2 cara agar aku tersipu; ditanya suka sama siapa dan mau jadi apa kalau sudah besar.


    Kepsek tertawa bahak-bahak. Tak pernah aku melihat Kepsek tertawa. Kalaupun ia tertawa, paling hanya tersenyum tipis saja. Tawanya kali ini mirip orang-orang yang tak berilmu karena biasanya orang yang berilmu tertawa dengan senyuman. “Eka, kau berpikir bisa menjadi presiden di negeri yang kepala negaranya adalah maharaja dan mahapatih? Tidak. Paling kau bisa menjadi mahapatih. Itupun kau harus kuat posisi di kemiliteran Nusatoro!


    “Jikalau kamu ingin sekali menjadi presiden, kau harus menggulingkan pemerintahan monarki dan menggantinya menjadi pemerintahan presidensial layaknya negara-negara demokrasi. Dan jika kau melakukan hal tersebut, kau akan dicap sebagai pemberontak dan dihukum mati jika tertangkap!”


    Aku ikut tertawa, padahal aslinya aku malu mengungkapkan impian tersebut. Aku berangan-angan jadi presiden karena presiden merupakan pemimpin tertinggi suatu negara dan pastinya keren menjadi orang nomer satu di negara. Tapi sayang, ketika aku beranjak remaja, aku mengetahui bahwa negara ini tak memakai sistem presidensial. Aku pernah punya keinginan mengubah sistem negara ini menjadi demokrasi layaknya negara-negara maju, tapi kembali kuketahui bahwa sistem demokrasi belum tentu berjalan dengan baik di daerah Konfederasi ini. Ada waktunya suatu negara berubah menjadi demokrasi atau kerajaan. Oleh karena itulah aku mengganti cita-citaku menjadi mahapatih. Cita-cita tersebut pudar sesaat aku mengetahui bahwasanya menjalankan roda suatu negara amat sangat susah dibandingkan memimpin kelas ataupun mitra organisasi sekolah. Selain itu, menjadi mahapatih harus siap mental baik tekanan dari internal pemerintahan maupun publik.


    Cita-cita anak-anak bermacam-macam seperti ingin menjadi insinyur, dokter, dan ilmuwan yang merupakan pekerjaan yang cukup sulit diraih. Guru-guru SD pasti bilang, “Banyak belajar ya, Nak. Insya Allah, cita-cita kamu terkabul!”



    Tapi seleksi alam terjadi. Cita-cita yang diimpikan memudar seiring bertambah umur karena menghadapi berbagai kenyataan hidup; kesulitan ekonomi, otak dan bakat tak mendukung, dan orang tua punya pandangan berbeda soal profesi anaknya. Beralih mimpi adalah solusi bagi mereka–seperti diriku– atau pasrah akan nasib. Orang-orang yang sekarang bekerja sebagai dokter, pilot, dan insinyur biasanya adalah orang-orang yang berhasil memperjuangkan mimpi, demikian juga dengan para pemain bola profesional dan para olahragawan.


    Ada juga yang sukses dipekerjaan lain padahal tujuan awalnya tidak sama. Itulah peribahasa yang sering kudengar dari Bapakku; pintu kesuksesan akan dibuka oleh Tuhan jikalau hambanya telah berusaha semaksimal mungkin dan dikehendaki olehNya.


    “Itu dulu, Pak. Sekarang saya ingin menjadi teknisi,” ujarku sambil ikut tertawa kecil.


    “Eka, Eka. Aku sepenuhnya yakin bahwa kau tak ingin menjadi teknisi atau pekerjaan semacam itu,” ujar Kepsek dengan senyum tipis. “Eka, beritahu apa yang kau cita-citakan?!” tanyanya dengan nada mendadak serius, paling serius yang pernah aku dengar dari mulutnya.


    Aku mulai terdesak. Terpaksa aku harus memberi tahu keinginanku sebenarnya.
     
  19. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Stres & Nasi Goreng


    Stres, itulah tekanan mental yang dialami tiap manusia, baik rendah atau tingginya tingkatan stres dan pastinya, kebanyakan manusia yang sudah beranjak remaja mulai mengalami gejala ini, baik tinggi mau rendah. Aku membagi stres menjadi 4 bagian: stres tingkat rendah dari 0 sampai 20, stres tingkat menengah dari 21 sampai 50, stres tingkat tinggi dari 51 sampai 75, dan stres kelas berat dari 76 sampai 100. Stres tingkat rendah itu merupakan stres tidak terlalu berbahaya dan tak terasa rasa stresnya. Kalau stres tingkat menengah itu stres yang sudah mulai terasa dan pemasalahannya cukup sepele seperti menentukan gerak bidak catur. Untuk stres tingkat tinggi biasanya membuat kepala pusing dan kebingungan. Tingkatan seperti ini agak berbahaya dan disarankan untuk segera merilekskan diri supaya gangguan mental bisa ditekan. Kalau stres kelas berat sudah sangat berbahaya dan biasanya orang yang sudah masuk tingkatan ini masuk rumah sakit jiwa karena mentalnya sudah tidak kuat.


    Aku yang membuka konseling di lapangan Tabet pada hari Minggu selalu menerima klient yang mengutarakan permasalahan pribadi. Mayoritas klientku anak SMA –baik laki dan perempuan–dan pengusaha kecil. Buat anak SMA perempuan biasanya mereka meminta solusi permasalahan cinta yang dihadapi. Biasanya masalah hubungan antar kekasih. Lain halnya dengan anak SMA laki, mereka cenderung meminta solusi bagaimana caranya untuk meraih prestasi gemilang, meskipun ada beberapa yang meminta solusi percintaan. Untuk para pengusaha biasanya mereka stres soal penghasilan mereka yang makin lama makin menurun seiring hari berjalan. Ada kalanya anak SMP datang ke tempat ini dan konsultasi masalah PR. Konsultasi seperti itu tetap dilayani meskipun aku tak suka mengingat banyak pelajaran SMP yang sudahku lupakan. Semua konsultasi aku (dengan bantuan Guntur) akan dilayani, baik itu cinta sampai masalah perdagangan, asal jangan konsultasi masalah suami-istri yang sudah masuk ranah dewasa.


    Permasalahan yang bisa dibilang paling sulit bagiku adalah permasalahan soal hutang. Ada kejadian seorang pengusaha kecil, punya enam anak dan istrinya sudah lama wafat, pergi ke tempatku meminta saran tentang usaha nasi uduknya yang terancam bangkrut dikala para rentenir mulai mencari-carinya karena modal usahanya berasal dari pinzaman bunga. Dia mengatakan bahwa ia sudah bingung dan stres berat karena tak tahu harus apa. Mendengar ceritanya membuatku ikutan stres, stres karena bingung apa jawaban yang tepat untuk permasalahnya. Stres yang dialami pengusaha kecil tersebut berkisar angka 70-76 sedangkan aku berada di angka 45-50.


    Aku berpikir pemasalahan pengusaha ini adalah konsenkuensi meminjam dari rentenir. Ada pepatah anonim abad ke-7 yangku dapati dari bapakku sewaktu kecil. Pepatah ini bisaku katakan cukup bijak;


    Kalau tak mau bunga, hindarilah berhutang.

    Kalau tak mau mabuk, hindarilah arak.

    Kalau tak mau berzina, hindarilah berduaan.

    Kalau tak mau dicemooh, hindarilah mencemooh.

    Kalau tak mau dihancurkan, hindarilah menghancurkan.

    Kalau tak mau kehilangan, janganlah memiliki.

    Kalau tak mau kekenyangan, hindarilah keserakahan.

    Kalau mau kesenangan, bersiaplah untuk kesedihan.

    Kalau mau kemenangan, bersiaplah untuk kekalahan.

    Kalau mau perdamaian, bersiaplah untuk peperangan.

    Pepatah tersebut masih relevan sampai sekarang kecuali larik ke-5 yang kurang terbukti di era modern sekarang. Yang paling menarik menurutku adalah larik ke-6. Larik tersebut mengartikan bahwa kalau mau memiliki harus siap untuk kehilangan karena itulah hakikat dari mempunyai sesuatu layaknya harta, orang tercinta, fisik, dan pangkat. Solusi kalau tak siap kehilangan adalah mengikhlaskan. Jika berani mengikhlaskan sesuatu yang hilang, tentu tak akan stres skala besar. Terbukti cara tersebut berguna saat aku kehilangan orang-orang yang kucintai.


    Kembali ke permasalahan pengusaha tersebut. Solusi belum terpikir di kepalaku. Aku berpikir jika aku menjadi orang tersebut, apa yang aku harus lakukan? Tentu saja meminjam pinzaman dari orang lain dan membayar pinzaman lama akan memperpanjang rantai hutang. Kalau rantai hutang tak terputus, hidup bakal terprosok ke jurang kehancuran, kehancuran atas ekonomi keluarga dan aku yakin kalau ini terjadi, anak-cucunya bakal terancam sengsara. Ini masalah agak runyam. Teori dengan praktek lapangannya bisa saja bertolak belakang. Hampir setiap klient yang sudah menerapkan solusiku berhasil semua. Aku tak boleh membuat solusi yang membuatnya kecewa. Sudah cukup pengusaha ini susah hidupnya. Jangan sampai aku menambah bebannya.


    “Guntur, menurutmu solusi orang ini apa?” tanyaku meminta pendapat Guntur.


    Guntur terlihat kebingungan, terlihat dari ia yang menggigit kuku jemari keliling kirinya. Dari tadi ia memandangi lewat layar pengusaha kecil tersebut yang membawa anak-anaknya yang masih belia. Pengusaha kecil tersebut bernama Edo Gunawan. “Guntur?” panggilku suara lirih. “Apa kau dengar pertanyaanku?”


    “Dengar, Bos,” katanya yang baru sadar aku bertanya kepadanya, suaranya sedikit tak bersemangat, mungkin pengaruh cerita Pak Edo. “Saya bingung mau jawab apa. Kalau saya jadi dia, pasti sudah depresi dan lari kesana-kemari untuk menghindari rentenir.”


    Memang benar apa yang dikatakan Guntur. Kondisi seperti Pak Edo rentan lari kesana-kemari untuk menghindari rentenir atau kabur ke tempat terpencil, tapi cara-cara tersebut tak dilakukannya. Menurut cerita Pak Edo, ia selalu menjual barang-barang untuk membayar hutangnya, tapi pelaknya, hutangnya Edo masih banyak –sekitar Er 50.000,00 setelah barang-barangnya banyak dijual. Yang tersisa di kamar kontrakannya hanya keranjang kasur yang sudah lusuh dan radio yang dibelinya tahun 880. Sungguh menyedihkan.


    Kondisi Pak Edo dan keluarganya sudah dikatakan rumit. Runyam untuk diselesaikan menurutku. Jika Pak Edo mencari pekerjaan pastinya susah mengingat ia hanya berijazah SD dan di Yabar pekerjaan seperti office boy pun perlu ijazah minimal SMA/MA. Kalaupun Pak Edo meminjam modal lagi untuk berjualan dan bekerja keras semampunya, tak ada jaminan bakal balik modal malah kemungkinan merugi cukup luas. Hanya satu peluang Pak Edo: kerja di suatu tempat yang pasti mendapatkan gaji dan pekerjaan tersebut ialah buruh pabrik. Hanya saja yang jadi persoalannya adalah Pak Edo tetap diincar para rentenir sampai hutangnya lunas. Ibaratkan gaji Pak Edo di pabrik pasta gigi sebulannya mencapai 400 erak, maka butuh sekitar puluhan tahun untuk melunasi hutangnya!


    Orang biasanya bakal bekata “Sabar, ini cobaan” tapi orang-orang seperti Pak Edo dalam hati berkata “Sudah tak kuat lagi saya, ya Tuhan!” Tuhan tak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya, itulah kalimat yang selalu aku dengar dari segala tempat baik di masjid maupun rumah. Aku tahu itu dan yakin Pak Edo bisa melewati ini. Aku lah yang menjadi penentu jalan apa yang akan diambil Pak Edo dengan solusiku. Kemungkinan solusiku tak akan diterapkan sangatlah kecil karena dari tampangnya sudah sangat pasrah dan berharap banyak kepadaku. Orang-orang seperti Pak Edo biasanya akan memilih bunuh diri karena tak tahu harus apa dan aku salut kepada orang-orang seperti Pak Edo yang tetap sadar di tengah kondisinya seperti ini.


    “Aduh,” hela nafasku sambil mengerutkan kening. Mumet pikiranku mencari solusi paling tepat dalam masalah seperti ini. Guntur juga ikutan pusing. Sepertinya baru pertama kali dalam hidupku aku stres seperti ini padahal stres tertinggiku terjadi ketika ujian nasional.


    Aku berpikir jikalau aku memberikannya uang tiga perempat tabunganku sebesar Er 50.000,00 untuk melunasi hutangnya, takutnya Pak Edo itu penipu. Walaupun buruk sangka itu tak dibolehkan dalam agama, aku tetap harus waspada dengan orang-orang asing termasuk klinetku. Ada satu cara yang muncul di pikiranku, tapi cara ini butuh bantuan dia. Apakah dia bersedia membantuku? Semoga.


    Aku berjalan keluar tenda ini melalui pintu belakang. Klinetku tak menyadari aku pergi. Matahari terlihat berada di barat, mulai perlahan-lahan tenggelam. Sepertinya sudah kisaran jam 4 dan itu benar menurut arlojiku. Ponsel aku buka dan mencoba menghubungi dia.


    Setelah 10 menit aku berdiskusi dengannya, aku kembali ke dalam tenda. Guntur melirik aku ketika masuk ke tenda, ia sepertinya bingung apa yang sebenarnya aku lakukan. Biarlah Guntur tak tahu, nanti dia tahu apa yang tadiku lakukan.


    “Pak Edo, apakah anda mau bekerja menjadi pegawai sedot WC?” tawarku suara samar-samar dengan menggunakan alat pengubah suara ini.


    Pak Edo langsung menangguk meski sedikit bingung tampangnya, sepertinya dia kaget dengan tawaranku. “Ke-Kenapa anda menawari saya kerja?” bingung Pak Edo sambil mengelus-elus anaknya berumur sekitar 5 tahun yang duduk dipangkuan Pak Edo.


    “Untuk meringankan beban anda keluarga anda,” jawabku. “Gaji anda dalam sebulan akan diberikan 500 erak dan bapak saya akan bertanggung jawab melunasi hutang ada jika anda bekerja sebagai pegawai sedot WC dan juga pengurus kuda kediaman Okto Wirdhana pada hari Sabtu-Minggu.”


    Pak Edo terkejut bukan main. Ia merasa apa yang aku katakan tadi hanyalah omong kosong belaka, tapi aku membuktikannya bahwa itu benar dengan menunjukan diriku kepadanya dan memberikannya ponselku yang sudah terhubung dengan bapakku. Pak Edo hampir pingsan mengetahui bahwa apa yang kukatakan ini benar. Ia langsung sujud syukur sambil menangis bahagia dan berterima kasih kepadaku bersama anak-anaknya yang dipaksa bapaknya ikutan. Sepertinya apa yang dikatakan Pak Edo jujur seadanya.


    Sebenarnya cara yang aku lakukan ini bukan solusi, tapi jalan keluar dari permasalahnya. Sebenarnya ada solusi tapi aku tak mau utarakan kepadanya karena solusinya isinya jelek-jelek semua seperti kabur dari Yabar dan memasulkan identitas, menjual anak kepada sindikat hitam, mencari pekerjaan yang menghasilkan banyak uang seperti narkoba atau membunuh, atau menjual organ, atau juga kawin dengan janda kaya. Kalau saja bapakku bukan orang kaya atau tipe penolong, pasti sampai sekarang aku kebingungan mencari solusi. Kalaupun ada solusi lain yang bagus, tentu akan aku utarakan kepadanya saat itu.


    Itulah kisah sekelumit permasalahan rumit yang pernah aku hadapi. Aku berharap nanti ke depannya tak memakai cara itu lagi karena tak enak sama bapakku. Tapi sepertinya cara tersebut bakal kupakai lagi jikalau solusinya sudah tidak diketemukan dan kasusnya mirip Pak Edo.


    Setiap aku pergi ke tempat konsultasi, macam-macam buku kubawa untuk membantuku saat membuat solusi seperti buku masalah cinta, masalah sekolah, dan ekonomi. Ah, bekerja untuk membantu orang tanpa pamrih memang melelahkan. Ada keinginan untuk berhenti membuka konsultasi karena sudah lelah, tapi aku akan merasa bersalah karena orang-orang akan mencari-cari tempat konsultasi yang gratis dan tempat konsultasi yang paling bagus serta gratis ada di tempatku. Aku bisa mengatakan seperti itu karena beberapa minggu lalu, ada koran yang membuat artikel tentang keberadaan tempat konsultasiku dan kata puji dapat ditemukan banyak di artikel tersebut. Walaupun begitu, tetap saja identitasku dan Guntur belum ketahuan publik. Hanya Bapakku, diriku sendiri, ketua RT daerah ini, dan Guntur saja yang tahu siapa yang menjalankan tempat ini.


    Ada kalanya aku meliburkan tempatku seperti hari ini. Di siang hari ini, aku bersama Guntur pergi ke festival masak di lapangan Tabet. Festival masak ini biasanya diadakan sebulan sekali dan menjadi tempat ramai yang penunjungnya berasal baik dari dalam Yabar maupun luar. Semua lahan lapangan Tabet digunakan untuk stan-stan dan dari 20 stan yang ada di tempat ini, ada satu yang dipakai teman-temannya Kosim untuk berjualan nasi goreng yang mereka namakan “Nasi Goreng Panzer”, nasi goreng dengan racikan orisinal yang dibuat anak-anak Panzer.


    Teman-temannya Kosim, Mahesa, Made, dan Hanny, anak-anak kelas sebelas yang sekelas dengan Kosim menjadi koki amatir di festival ini. Mereka bertiga adalah pencipta Nasi Goreng Panzer. Gerakan kedua tangan mereka saat memasak nasi goreng sangatlah indah dan berimbas dengan makanan yang mereka buat. Stan STM Panzer ini cukup ramai dikunjungi orang-orang dan pekiraan kasarku stan ini dapat menghasilkan uang sebensar 6.000 erak meningat satu porsi nasi goreng seharga 5 erak.


    Di samping ketiga koki tersebut di stan ini, ada Kosim dan ketiga temannya yang ikut membantu dengan menjadi pelayan, pencuci piring, dan pemasok bahan makanan. Di stan ini ada empat koki yang satunya bukan dari kalangan Panzer. Orang tersebut adalah Rina, ia merupakan siswi sekolah tata boga di daerah Yabar utara yang membantu Kosim dan kawan-kawan dengan imbalan 30 erak. Rina bisa ikut membantu mereka berkat bantuan aku dan Guntur. Rina merupakan teman dekatku dan kami bertemu setahun kemarin saat kami lewat sekolahnya.


    Ada cerita pertemuan aku dan Guntur dengannya cukup menarik; Ketika kami sedang berjalan kaki di sekitar sekolah tata boga Yabar untuk pergi ke kolam renang, aku dan asistenku melongo tak percaya melihat Elephs maximus Hamaradasius berlari sambil mengamuk-amuk di jalanan. Elephs maximus Hamaradasius adalah spesies gajah asal Hamarada, negara yang terletak di daratan Interlevtx, sebuah daerah penghubung benua Levtxsan dengan Azia. Elephs maximus Hamaradasius merupakan spesies Gajah terbesar dan terganas di dunia ini. Berat mereka setara dengan dua gajah lokal Nusatoro dan mereka dikenal mesin perang paling menakutkan kala Hamarada menginvansi Levtxsan. Pernah ada kisah ksatria Levtxsan menunggangi kudanya berlari menyerang gajah tersebut tanpa rasa takut, kode ksatrianya benar-benar ia taati. Baju zirah kelas beratnya menjadi sasaran empuk gajah Hamarada dan terpental jauh ksatria tersebut dengan hempasan belalai panjang Elephs Hamaradasius. Gajah Hamarada hanya mau tunduk dan dijinakan dengan orang-orang Hamaradadan itulah kenapa di setiap kebun binatang yang ada gajah tersebut, selalu adapetugas asal Hamarada yang berkulit cokelat kehitaman, mirip kulit orang-orang di pulau tertimur Konfederasi.


    Kembali ke dalam ceritaku; orang-orang di jalanan panik melihat amukan gajah tersebut yang kemungkinan kabur dari kebun binatang. Hentakannya keempat kakinya mengetarkan pinjakanku layaknya gempa kecil. Kami ikutan tegang dan berlari terbirit-birit seperti yang lain. Di tengah Guntur mempercepat langkahnya, ia kesandung batu dan terjatuh. Insting menolongku langsung keluar dan aku berlari menolongnya, tapi sayang, aku ikut terjatuh dengan tersandung batu bata. Aku mencoba bangkit, tapi kaki kananku bagian lututnya terluka, cukup banyak darah keluar dari lutut ini, membuatku merintih kala mencoba berdiri. Kutukanku menyertai orang yang membuang batu bata ini; rambutnya bakal kribo kalau ia tidak kribo. Kalau semisalnya sudah kribo, bakal lurus rambutnya.


    Gajah tersebut makin mendekat. Kami mulai pasrah kalau diinjak sampai hancur. Tapi kepasrahanku pudar setelah seseorang perempuan berambut lurus panjang sepinggul berbaju sekolah tata boga –yang sama seperti seragam SMA biasanya, putih abu-abu– menghampiriku. Pandangannya dingin. Matanya terlihat setengah yang terbuka–mirip orang mengantuk saja–dan datar mukanya kala aku menatapnya. Tak pernah aku melihat wanita seperti itu sebelumnya. Ia menangkat badanku dan membantuku berjalan aku bangkit. Ia juga menggendong Guntur yang kala itu sudah pingsan. Ringan sepertinya berat Guntur. Empat puluh kilogram prediksiku.


    Perempuan tersebut membawa kami berdua ke dalam sekolahnya. Ia bersama teman sekamarnya mengobatiku dan memperkenalkan diri masing-masing setelah kami berdua benar-benar pulih. Cerita pertemuan kami dengan Rina cukup aneh menurutku. Sama halnya dengan pertemuanku dengan Ellena dan Kosim. Aku bertemu Ellena saat ia membantuku dengan sukarelanya melawan para preman yang mengeroyok habis-habisan Guntur karena mirip asistenku. Kejadian ini terjadi waktu aku kelas 10. Untuk Kosim, aku berkenalan dengannya ketika aku dan ratusan anak Panzer mencari celana dalam Kepsek Rendi yang menghilang dari toiletnya sewaktu Kepsek pertama tersebut buang hajat. Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan bulan Agustus 899 dan tak bisa dilupakan olehku sampai detik ini.


    Keempat koki yang sedang memasak tersebut mengenakan celemek di samping menggunakan baju bebas, kontras dengan para pelayan yang mengenakan baju cokelat seragam Panzer. Ketiga koki Panzer dan Rina sangat pandai meracik nasi goreng. Kemampuan mereka mungkin setara dengan koki-koki di restoran-restoran yang ada di mal. Kalau mereka masak lain, belum tentu enak. Pengecualian buat Rina yang ahli memasak apa saja jenisnya bahkan hidangan penutup pun bisa dibuatnya.


    Kemampuan memasak Rina membuatnya disegani satu sekolah dan digandeng-gandeng pihak sekolahnya sebagai calon koki kelas internasional. Selain ahli memasak, ia cerdas, cantik, badannya tinggi langsing mirip model, kulitnya putih, dan pintar dalm bidang akademis. Kelihatannya Rina punya segalanya tapi ada satu kekurangannya; susah untuk diajak bicara. Bukan karena ia punya gangguan penginderaan, tapi ia cenderung pendiam dan bicara hanya yang penting-penting saja seperti Kepsek Panji. Ke mana ia pergi selalu ditemani Dina, teman sekamar di asramanya.


    Dina selalu bertindak sebagai juru bicaranya Rina karena ia dan temannya cukup akrab atau bisa dibilang sangat akrab. Mungkin hanya Dina saja yang enak diajak bicara panjang lebar bagi Rina. Terlihat Dina sedang duduk di depan stan dan menghitung uang di buku kecilnya. Ehm, sepertinya dia ikut andil bekerja di stan ini sebagai petugas kasir. Oh, Dina mengayunkan tangannya kepadaku. Pasti perempuan berjilbab cokelat tersebut merasa diperhatikan aku dan asistenku. Kami membalas sapaan tangannya.


    Rina dan Dina bergabung dalam acara masak yang diikuti Kosim dan kawan-kawan di awal tahun ini. Ceritanya Kosim mencari koki tambahan untuk membantu usaha teman-temannya. Karena di STM Panzer tak ada yang bisa masak nasi goreng seenak trio –sebutanku kepada para pencipta nasi goreng Panzer, terpaksa aku meminta bantuan Rina. Rina dengan senang hati membantuku dan kolaborasi Rina dengan trio cukup bagus menurutku saat memasak. Dina pun ikut membantu Panzer atas permintaan Rina yang tak mau sendirian. Dina bisa jadi pemegang kasir disebabkan tak ada jatah lagi untuknya selain pekerjaan menerima pembayaran.


    Selain stan STM Panzer, ada beberapa stan yang menjual beraneka macam makanan mulai dari kue kering sampai soto ayam. Banyak orang yang berdatangan ke stan ini dan sepertinya semua stan kewalahan menerima banyaknya pelanggan. Aku dan Guntur datang ke festival ini bukan hanya ingin melihat stan Panzer, tapi kami juga ingin menikmati nasi goreng buatan anak-anak Panzer. Sudah lama aku tak makan nasi goreng terlezat tersebut, tak bisa kulupakan bagaimana rasa nasi goreng tersebut; gurih, pedasnya pas, dan enak.


    “Nasi gorengnya tiga piring!” seru aku dengan nyaring kepada pelayan. Aku memesan tiga piring karena rasanya tak kenyang kalau memakan satu piring saja. Butuh dua piring untuk mengisi perut ini yang lapar sejak waktu makan siang tiba. Kalau untuk Guntur cukuplah satu piring. Tubuh kecil seperti dia kalau makan banyak-banyak bisa sakit!


    Kosim mendengar seruanku. Tersenyum sedikit dia melihat aku dan Guntur. Pria sedikit berkumis tersebut langsung berteriak kepada para juru masak, “Tiga piring untuk Ketua Panzer!” Ah, Kosim. Aku bukan lagi ketua OSIS Panzer tapi tetap saja mereka memanggapku sebagai ketua. Sepertinya gelar “Ketua Panzer Yabar” akan melekat kepadaku sampai aku dewasa dan bekerja.


    Para koki melirik ke tempat aku berada, sepertinya mereka senang karena aku datang di siang ini. Senyum tipis menghiasi wajah para koki terkecuali Rina yang datar dan dingin terus mukanya sesaat melirikku. Biasa jadi Rina dan Kepsek punya hubungan darah tapi sayangnya, Dina pernah berkata kepadaku bahwasanya Rina itu yatim piatu semenjak umur 10 tahun karena kebakaran rumahnya yang mengakibatkan 50% tangan kiri punya luka bakar. Itulah kenapa si Rina baju yang berlengan panjang terus untuk menutupi lukanya. Setelah kejadian tersebut, Rina sebatang kara dan bertahan hidup dengan menjadi koki di Warteg kecil di daerah Yabar pusat. Kemampuan masaknya membuat pihak sekolah tata boga Yabar memasukannya ke dalam sekolah tersebut setelah Rina lulus dari SMP.


    Aku teringat dulu aku pernah suka dengan Rina beberapa hari setelah bertemunya, tapi sekarang sudah tidak lagi. Rasa tersebut hilang seiring waktu berjalan dan sepertinya itu yang dinamakan orang-orang sebagai cinta monyet. Aku pernah mengalami beberapa kali tapi lama-kelamaan hilang seperti kepada Ellena waktu kelas 10. Wajar kalau umur-umur sepertiku masih bisa berubah karena remaja itu masih tak seimbang dalam segi apapun, baik dalam mental maupun jiwa. Aku tak pernah mengutarakan perasaan ini kepada siapapun –termasuk Guntur– dan kubiarkan pendam dalam hati. Mungkin aku termasuk golongan pemuda yang takut menyatakan perasaan. Lagi pula, kalaupun aku menyatakan perasaan, apakah mereka juga suka denganku dan aku ini juga bukan tipe suka berpacaran. Jadi, menyimpan perasaan menurutku adalah solusi terbaik untuk diri sendiri.


    Sambil menunggu nasi gorengku jadi, aku melihat-lihat pemandangan di sekitarku, pemandangan orang-orang yang sedang makan dan menunggu. Di dekatku ada sesosok berjas hitam, kepalanya ditutupi tudung jasnya, badannya cukup besar dan tinggi untuk ukuran orang Yabar, mirip orang Dakian. Dari sekujur tubuhnya keluar aura gelap. Wajahnya tidak terlihat secara jelas dan terlihat ia sedang membaca buku sambil menunggu pesanannya tiba. Bukunya berjudul ‘Permainan Dunia’. Ehm, sepertinya itu buku baru. Entah jenisnya buku konspirasi, novel, atau pelajaran. Yang jelas judulnya menggugah rasa penasaranku. Akan aku cari ke toko buku selepas makan siang.


    “Ini pesanan anda, Ketua Panzer,” ujar Kosim tersenyum tipis bak pelayan. Ia meletakkan tiga piring nasi goreng di atas mejaku dari nampannya.


    “Terima kasih, Kosim,” aku tersenyum kepadanya. “Semoga sukses usahanya.”


    “Amin,” Kosim seraya pergi meninggalkan tempat ini dan kembali bekerja.


    Dua nasi goreng di meja ini terlihat lezat dan enak. Porsi nasi goreng tiap piring cukup banyak. Tampilan makanan ini cukup elok dan mewah seperti buatan restoran pada umumnya. Belum aku menyentuh nasi ini dengan sendokku, kumelihat Guntur sudah melahap dengan lahap jatahnya. Dasar Guntur. Pasti dia sudah lapar dari tadi.
     
  20. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Archangels& Final

    “Kak Eka,” seru seseorang dari belakang. Aku berserta Guntur langsung menoleh dan melihat Kosim berlari dengan santainya menghampiriku di lorong gedung ini. Kosim terlihat membawa beberapa buku seperti buku pelajaran dan perpustakaan. Ada perihal apa yang membuat Kosim menyamperiku di tengah jam istirahat pertama ini?


    “Ada perlu apa?” tanyaku melihat Kosim berdiri di depan hadapanku. Tingginya hampir setara denganku, mungkin perbandingan tinggi kami sekitar 2-3 sentimeter. Kulit dia terlihat cokelat kehitaman, mirip dengan aku, tapi dia lebih hitam. Mungkin karena ia sering latihan silat di tengah teriknya surya. Latihan silatnya cukup berat; menaiki gunung, menuruni lembah, dan berlari dua belas putaran di lapangan Panzer ketika pagi hari. Latihan berat tersebut membuahkan hasil; kemampuan tempurnya naik sekitar 6 %. Ini menunjukan bahwa untuk mewujudkan keinginan, harus disertai usaha seberat apapun jika ada niat.


    “Saya mau bertanya; Archangles itu apa?” tanyanya penasaran memperlihatkan tulisan “Archangles” di buku perpustakaan yang berbahasa Enggris.


    Aduh, aku tidak jago bahasa asing. Kalau aku katakan kepada Kosim aku tidak bisa bahasa Enggris, kehormataan sebagai seniorku terancam hilang di mata junior. Dan jikalau aku bertanya kepada Guntur, pastinya dia tak akan bisa menjawab mengingat kualitas bahasa asingnya sama jeleknya dengan Bosnya. Ehm, Archangles, pasti dari kata Angles; malaikat atau bidadari. Kalau tidak salah aku pernah bertanya dulu sama temanku yang merupakan penterjemaah, dia menjelaskan kepadaku bahwa Archangles itu mbahnya dari mbahnya malaikat.


    “Kosim, Archangles itu mbahnya malaikat,” jawabku sedikit gugup. Sedikit tidak yakin jawab ini benar.


    “Oh. Terima kasih, Kak,” ujarnya dengan senyuman polos lalu ia kembali ke kelasnya dengan berjalan di lorong yang ramai ini. Sepertinya Kosim tidak terlalu memahami bahasa Enggris mengingat ia berasal dari kampung dekat Brianganpura. Dulunya Kosim pesantren dan ilmu agamanya cukup tinggi seperti fiqih, tafsir, dan hadist. Aku dan beberapa anak Panzer sering belajar agama darinya. Kehidupannya sebaik anak petani lada di desanya yang bisa dibilang miskin tak membuatnya lemah. Ia pergi merantau ke Yabar untuk mencari kehidupan baru dan berkat membuka stan nasi goreng, ia mendapatkan uang 20% dari penghasilan stan tersebut mengingat ia adalah manajer stan STM Panzer. Ia pernah bercerita kepadaku bahwasanya ia masuk pesantern yang ada di kampungnya karena waktu ia ikut pesantern kilat ketika SD di sebuah pervilaan, ia mengikuti acara pentas musik islami bersama grupnya yang diadaakan di gedung serba guna dan saat grupnya tampil, lampu diskotek pun menyala Kosim pikir kalau setiap pesantern itu punya lampu diskotek, dan pemikiran tersebut melenceng jauh dari kenyataan yang ia terima.


    Keesokan harinya, Kosim menghampiriku di kelasku pada saat istirahat pertama. Dengan kesalnya, Kosim memberi tahu aku bahwa ia dimarahi guru Enggris karena menulis terjemaahan Archangles dengan mbah-mbahnya malaikat di judul artikel Mading. Oh, aku baru mengerti kenapa Kosim membuka buku-buku perpustakaan berbahasa Enggris tersebut. Rupanya ia sedang membuat artikel yang kebetulan bertemakan “Archangles”. Kata gurunya Kosim, Archangles berarti malaikat-malaikat yang utama seperti Jibril atau Gabriel.


    “Makanya, Sim. Kalau menerima informasi yang baru, jangan langsung anggap benar seperti Archangles versi aku itu mbah-mbahnya Malaikat. Kau harus telusuri kebenarannya karena di dunia ini hanya ada dua macam jawaban; yang benar dan salah,” ujarku menasehati Kosim.


    “Baik, Kak. Dan juga kalau anda tak tahu jangan jawab karena jawaban tersebut menyesatkan dan menyesatkan orang adalah tindakan tidak marah!” ujarnya sedikit ketus. “Di dunia ini ada 4 macam golongan: orang tahu dan tahu apa yang dilakukannya, orang tidak tahu tapi tahu apa yang dilakukannya, orang tahu tapi tidak tahu apa yang dilakukannya, dan orang tak tahu dan juga tidak tahu apa yang dilakukannya. Kak Eka masuk golongan kedua;tidak tahu tapi tahu bahwasanya anda tidak tahu!”


    “Ya, saya tahu itu. Dan kesalahan ini adalah kesalahan kita berdua. Jadi lebih baik jangan saling menyalahkan,” ujarku sedikit kesal dengan Kosim, tapi kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakannya benar. Aku bersalah dan kesalahan seperti ini tak boleh terulang lagi. Manusia boleh salah, tapi mereka punya akal untuk mencegah kesalahan terulang lagi.


    “Jadi Kosim, festival hari Minggu tempo dua hari lalu dapat berapa?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.


    “8.000 erak!” jawab singkatnya. “Alhamdullih, penghasilannya dibanding festival bulan kemarin yang penghasilannya 6.590 erak.”


    Festival masak di Tabet dilaksanakan tiap pertengahan bulan dan acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian wilayah Tabet. Biasanya acara masak tersebut dimulai dari jam 9 pagi sampai 4 sore. 20% dari penghasilan dimakan Kosim, 20% dibagi rata kepada teman-temannya sebagai uang jerih payah, 5% buat dana festival, dan sisanya untuk anggaran bulan depan. Kosim dan kawan-kawannya tak hanya mengikuti festival di Tabet tapi juga di Majoran dan Eancol di Yabar utara, dan Kaembangan di Yabar barat. Pantas saja anak-anak perantau seperti Kosim, dan Made serta Rina yang sebatang kara bisa terpenuhi kebutuhan hidupnya bahkan melebihi cukup. Kenapa bisa aku bilang melebihi cukup? Karena Kosim mampu membeli laptop gara-gara keuntungan penjualan nasi goreng STM Panzer dan Rina dapat membeli beberapa buku masakan yang ia impor untuk menambah khazanah pengetahuannya. Ehm, sepertinya Kosim bagus jadi manejar restoran tapi kenapa ia masuk sekolah ini yang difokuskan menjadi teknisi? Mungkin apa yang dikatakan Kepsek benar waktu itu benar.


    “Kosim, apa cita-citamu?” tanyaku mendadak mengalihkan pembicaraan lagi.


    Kosim terkejut. Kalau saja ada Guntur di sebelahku tentu ia akan ikut terkejut. “Eh, k-kenapa mendadak bertanya seperti itu, Kak?” tanyanya mulai menenangkan dirinya.


    “Hanya penasaran,” jawab pendekku. “Salah tidak kalau aku bertanya seperti ini?”


    Ia menggeleng, pertanda tidak salah. “Oke, akan saya beri tahu,” katanya lalu menghela nafas terlebih dahulu. “Cita-cita saya dulu waktu SD mau menjadi fisikawan, tapi cita-cita tersebut berubah menjadi penghulu ketika SMP. Sekarang cita-cita saya sudah berganti menjadi teknisi. ”


    “Tapi Kosim, kau punya pontensi dalam manajemen restoran dan semacamnya,” ujarku memberi pendapat. “Prospek dunia manajemen lebih besar dibanding menjadi teknisi.”


    “Mungkin apa yang dikatakan Kak Eka ada benarnya,” katanya sedikit tersenyum tipis. “Tapi saya sudah kelas 2 di sekolah ini dan apakah masih ada peluang menjadi manajer?”


    “Di akhir kelas 3, siswa diberikan tiga pilihan oleh sekolah: tetap menjadi teknisi ,mencari pekerjaan lain, atau pergi ke perguruan tinggi. Jadi kamu bisa menjadi manajer restoran nasi goreng tanpa perlu kuliah karena menurutku, kuliah hanya formalitas saja. Orang-orang yang tidak SMA saja bisa sukses dan kaya raya karena kerja keras mereka!”


    Kosim mengerti, terlihat dari raut mukanya. “Sepertinya peluang saya membuka usaha restoran bisa terwujud mengingat Made, Mahesa, dan Hanny juga sepertinya condong untuk keluar dari jalur,” ujarnya tersenyum tipis sambil melipat tangannya. “Kak Eka, menurutmu boleh tidak aku dan teman-temanku kalau sudah lulus membuka usaha nasi goreng dengan memakai nama ‘Nasi Goreng Panzer’?”


    “Tentu saja boleh. Yang buat nasi goreng seperti itu kan kalian,” jawabku spontan. “Aku rasa Kepsek mungkin setuju-setuju saja kalau kalian memakai nama ‘Panzer’.”


    “Ada yang memanggil saya?!” tanya seseorang dari pintu kelas ini dengan lantangnya. Semua yang ada di kelas ini termasuk aku menoleh dan terkejut melihat melihat orang yang berdiri di tengah pintu kelas ini tak lain Kepsek Panji. Hebat juga telinga Kepsek bisa mendengar aku menyebut namanya.


    Semua terdiam melihat Kepsek. Kepsek melirik aku dan berkata dengan nada dingin khasnya, “Sore nanti, babak Pamungkasdimulai!” Semua yang mendengar bingung maksud Kepsek apa dam hanya aku saja yang mengerti maksudnya. Mungkin orang-orang di kelas ini –termasuk Kosim– mengira aku akan berkelahi dengan Kepsek. Ah, kalian mengkhayal terlalu tinggi mengira kedua orang tipe balik layar ini bertarung secara fisik. Kalau kalian mengkhayal Kosim bertarung melawan Kidang mungkin bisa terjadi dan itu pernah terjadi setahun yang lalu tapi sayang, waktu itu Kidang encok duluan sebelum melesatkan serangannya.


    Kepsek menghilang. Pasti dia sudah pergi meninggalkan tempat ini. Sore ini adalah final battle atau bisa juga babak pamungkas. Aku berharap diriku bisa menang supaya aku bisa duduk di atas genteng sekolah lagi seperti biasanya.

    ***

    Sore di pertengahan Oktober akan berlangsung pertarungan pamungkasku. Setelah dimulainya Cerjab di bulan September, akhirnya permainan Cerjab akan berakhir hari ini dan babak pamungkas akan segera kuikuti setelah kubuka pintu ini. “Permisi,” seruku dengan sopan sambil membuka perlahan pintu ruangan Kepsek.


    “Oh, Eka,” ujar Kepsek melihatku masuk, ia terlihat sedang membersihkan mejanya yang berantakan akan kertas-kertas kerjanya. “Silahkan duduk setelah kita buka brangkas.”


    Brangkas kami buka bersama-sama. Sepertinya pembukaan berangkas ini akan menjadi yang terakhir mengingat aku tak punya hak lagi membuka brangkas bersamanya setelah Cerjab selesai.


    “Ayo kita mulai permainan ini,” kata Kepsek Panji dengan mantapnya setelah membereskan kertas. Giliran pertama Cerjab final ini adalah aku. Kalau aku berhasil, kemungkinan memenangkan permainan ini cukup tinggi tapi jika aku gagal, persentasenya berhasil bakal menurun.


    “Eka, boleh tidak giliran pertama Cerjab saya duluan?” pinta Kepsek sedikit menggemparkan mentalku. Aku tak pernah menyangka ia bakal meminta giliran pertama dan dalam aturan Cerjab, tak dijelaskan apakah lawan boleh meminta giliran terlebih dahulu atau tidak. Ehm, kalau Kepsek duluan mungkin lebih aman mengingat aku bisa tahu skor setelah ia menjawab. Jika ia salah kemungkinan menangku besar tapi jika dia berhasil, aku harus mengejar ketertinggalan nanti.


    Aku mengizinkan Kepsek mengambil giliranku. Dengan sedikit raut senyuman tipis di mukanya, ia mengambil kertas soal dan membacanya, “C1:Beberapa tank dikerahkan oleh Raja Hadazal untuk melindas bayi-bayi yang masih menangis-nangis setelah ditemukan para tentaranya. Raja Hadazal bermimpi bahwa tahtanya akan direbut dari bayi-bayi yang lahir di bulan ini dan maka dari itu, ia memerintahkan para tentaranya untuk membunuh semua bayi dengan menaruh para bayi di jalanan dan menyiapkan satu tank MBT untuk melindas semua bayi tersebut sampai hancur. Pertanyaannya adalah siapa supir tank MBT?!”


    Kepsek terpanjat membaca soal C1 yang sama karakteristiknya dengan soal bapaknya Jodi. Déjà vu? Bisa dikatakan iya. Ehm, aku tak pernah mengira diriku membuat dua soal yang sama karakteristiknya. Kalau ada Cerjab lagi dan tak ada larangan membuat soal seperti ini, aku akan menjadikan jenis soal ini sebagai senjata andalanku. Oh ya, bagaimana nasib Cerjab kelak? Mungkin Kepsek akan membahasnya diakhir.


    Jika kemarin Kepsek mengerutkan kepalanya dan pusing berpikir sewaktu mencari jawaban siapa bapaknya Jodi, kali ini tidak. Ia terlihat lebih tenang dan kelihatannya Kepsek bisa berpikir lebih jernih memikirkan siapa supir tank MBT tersebut. Walaupun berpikir sejernih apapun, tetap saja akan susah siapa supir dari tank tersebut dan bisa aku bilang bahwa soal ini lebih sulit dibanding menebak siapa bapaknya Jodi. Kemungkinan tebakannya Kepsek benar hanya sekitar 1%.


    “Kepsek, waktumu sudah habis. Dan apa jawabanmu?” tanyaku menyeringai setelah melihat waktu berpikirnya sudah habis menurut arlojiku.


    Kepsek dengan tenang mulai menjawab, “Yang menjadi supir tank tersebut adalah Udin Setiawan!” Entah jawaban Kepsek asal tebak atau tidak. Yang pasti aku akan cek kebenarannya dengan melihat jawaban yang aku tulis.


    “Nama dari pengemudi tank yang melindasi tank adalah Qorja Halaza,” ujarku membaca kertas jawaban ini. Yes!! Poin seri masih aman dan akan kuubah dengan kemenanganku nanti di babak pamungkas ini.


    Kepsek tak terlihat berubah ekspersinya. Mestinya kalau orang biasa sudah lesu mukanya, masam atau lebih-lebih sedih karena gagal di giliran terakhirnya. Orang seperti Kepsek adalah tipikial yang dalam menangani masalah berat karena ia dapat tenang, tak panik, atau mengeluh. Ia menyimpan itu semua di dalam dirinya sampai masalahnya dapat diselesaikan. Dia terdiam sambil bersandar dengan santainya dan terlihat kedua kelopak matanya. Mungkin dia sedang menenangkan diri atau beristirahat sebentar. Akan aku tunggu dia membuka matanya untuk melanjutkan permainan ini.


    30 detik berlalu. Kepsek membuka matanya dan memerintahkanku untuk melanjutkan Cerjab yang sebentar lagi akan selesai jikalau aku berhasil. Aku mengambil kertas cerita terakhir dan membacanya, “E1; Seorang murid bernama Ali. Ia pintar, berprestasi, dan pandai berdiskusi juga berorganisasi. Suatu hari, Ali berdebat dengan gurunya soal sejarah dinosaurus. Gurunya beranggapan bahwa dinosaurus hidup setelah zaman es, tapi Ali menyangkal pendapat gurunya dan melontarkan argumennya dinosaurus hidup sebelum zaman es. Pendapat Ali memang benar dan yang menjadi pertanyaannya; apakah etis seorang murid mengurui guru?”


    Ehm, etis tidak? Bisa aku bilang tidak etis karena walaupun guru itu salah, tetap saja murid jangan menguruinya. Lebih baik guru mengingatkan guru kalau ia salah atau menyimpang dan sebaliknya, guru mengingatkan muridnya. Kalau mau mengurui guru, siswa harus lulus dulu dan menurutku etis bagi murid tersebut mengurui guru dengan syarat ilmu melebihi gurunya.


    “Tidak etis!” Itulah jawabanku.


    Kepsek berdesah sebentar. Ia mengambil kertas jawaban dan membacanya, “E2;jawaban dari E1 adalah tak etis seorang murid mengurui gurunya.”


    “Selamat, kau menang!!” ujar Kepsek dengan datarnya sambil bertepuk tangan pelan.


    Hore!! Senangnya diriku bisa mengalahkan Kepsek dalam permainan buatanya. Tak pernah aku bayangkan laga pamungkas ini cukup mudah soal-soalnya padahal di awal Cerjab, soal-soal yang disajikan Kepsek cukup susah menurutku. Kemenangan ini adalah kemenangan yang kurang berkesan. Kalau saja cerita di akhir-akhir cukup susah, pasti akan menjadi kemenangan yang memorial.


    Di balik kesenangan ini, aku menunggu Kepsek berbicara tentang nasib dari Cerjab, tapi ia malah terdiam, menyandar di kursinya, dan mengepalkan tangannya sambil memperhatikanku. Dengan terpaksa, aku yang mulai bertanya tentang nasib permainan buatan Kepsek ini, “Pak, bagaimana nasib Cerjab? Apa anda tertarik memperkenalkan permainan ini di kalangan murid-murid?”


    “Eka, Cerjab masih belum sempurna seperti sepak bola tanpa adanya gawang di lapangan. Maka dari itu, saya akan menyempurnakan Cerjab ini sampai benar-benar sempurna. Terima kasih telah bermain dengan aku, Eka,” Kepsek mengulurkan tangannya kepadaku. Kami berdua bersalaman. “Kalau sudah selesai, secepatnya saya publikasikan.”


    Kami berdua membereskan kertas-kertas bekas permainan Cerjab yang berserakan di atas meja dan menaruhnya di dalam kotak. Kepsek mengatakan kepadaku bahwa kertas-kertas ini akan digunakannya untuk merevisi permainan Cerjab. Ia juga menambahkan bahwasanya ia akan membuat aturan pemain tak boleh membuat soal yang karakteristiknya sama. Aduh, sepertinya kejadian soal siapa bapaknya Joni dan supir tank tak akan terjadi lagi.


    Aku beranjak dari kursi ini setelah melihat jam di arlojiku sudah menunjukan jam 5 tepat. Langkah kakiku mengarah ke pintu tapi sesaat aku mau membuka pintu ini, Kepsek memanggilku, “Eka! Ada yang tertinggal.”


    Tertinggal? Sepertinya aku tak meninggalkan barang apapun di mejanya atau terjatuh di lantai. Untuk mengetahui maksud Kepsek, aku menoleh dan melihat Kepsek memegang sebuah buku, buku yang sudah tak ada di pasar dan dibredel pemerintah.


    “Ini hadiah atas kemenanganmu,” katanya seraya memberikan buku ini kepadaku. “Kau sudah punya buku ini?”


    Aku menggeleng. “Pas hari Minggu, saya mencari-cari buku tersebut tapi sayang, sudah dilarang peredarannya oleh Bhre Cakra dan Mahapatih Modo.”


    “Tentu saja ini buku dilarang. Isinya cukup berbahaya bagi semua pemerintahan, entah itu republik, monarki, yang bejat pemimpinnya ataupun bijaksana, pasti akan membredel buku ini,” tutur Kepsek.


    Buku ini seperti buku lain, buku konspirasi tingkat tinggi dan ajaran untuk tak mempercayai pemerintah. Tapi yang membuat buku ini dibredel adalah cara-cara untuk memberontak dengan berbagai cara. Dan juga penulis buku ini sepertinya memakai nama pena, terlihat dari namanya, Joes van Jones. Selain itu, Penerbit buku ini merupakan penerbit baru dan bisa dibilang keberadaannya masih misterius. Itulah sekelumit informasi buku ini yang hanya berumur 7 hari di toko buku, tapi laku keras di kalangan para pencinta konspirasi. Ehm, sepertinya Kepsek sudah tahu kemungkinan aku menang cukup besar semenjak kemarin dan menyiapkan buku punyanya sebagai hadiah. Atau mungkin dari dulu ia sudah tahu aku yang akan menang? Entahlah. Yang pasti malam ini mungkin aku bakal bergadang untuk membaca buku setebal 320 halaman ini, buku Permainan Dunia.
     
  21. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Fursan & Jamal

    Pagi hari di Sabtu perhujung bulan Oktober ini, aku berjalan-jalan bersama Fursan. Matahari pagi tak terlalu panas dan udara di jalan raya ini cukup sejuk menurutku. Lalu-lalangan kendaraan tak terlalu sering lewat, membuatku nyaman menunggangi Fursan. Derapan kaki Fursan lambat. Kasihan kuda hitam ini kalau aku perintahkan berlari terus.


    “Apa itu?” gumamku melihat ada sesosok makhluk berpunuk satu dan ditunggangi orang yang memakai baju putih seperti kebanyakan orang Arab. Mukanya ditutup dengan kain sarung dan di kepalanya terdapat serban. Eh, tunggu dulu! Kenapa ada unta di Yabar? Apakah ada festival budaya Arab di Yabar? Bisa jadi. Mungkin sebaikanya aku bertanya dengan orang Arab jadi-jadian–mana ada orang Arab makai sarung sholat buat penutup muka. Ketika aku mau bertanya, orang tersebut langsung mempercepat derapan untanya. “Oh, kau mau balapan? Oke, aku terima,” gumamku menyeringai lalu memerintahkan Fursan mempercepat langkahnya.


    Kuda dan unta saling beradu cepat di jalan raya ini. Para pengendara mobil, motor, dan orang-orang di trotoar hanya melongo melihat balapan antara Jamal,unta dalam bahasa Arab, dan kuda. Tak pernah aku mengira pagi hari ini aku akan balapan, apalagi balapannya dengan unta. Unta lawan kuda? Pastinya kuda dalam adu cepat, tapi dalam adu ketangguhan di gurun, unta lah yang menang karena habitat asli mereka. Itu hanya teori saja, belum tentu Fursan bisa menang melawan Jamal tersebut.


    “Cepat, Fursan!” perintah aku kepada Fursan. Fursan mempercepat derapannya dan sepertinya kecepatan kuda ini kalau diukur dengan kecepatan motor mencapai 30 km/jam. Fursan terlihat menjulurkan lidahnya, pertanda ia kehausan tapi aku percaya, ia bisa menahan hausnya sampai aku pulang ke rumah siang ini.


    “Aih, unta tersebut masih depan. Cepat juga derapannya,” desahku melihat sainganku berada di depanku.


    “Sebentar lagi ada pertigaan dan lampu merah,” gumamku. Di jalanan tempat aku dan unta tersebut balapan ini, lurus dan tak berkelok-kelok sehingga cocok buat balapan dan pada malam minggu, sering tempat ini menjadi arena balapan motor liar.


    Derapan Fursan makin cepat, secepat kebutan motor-motor di jalanan ini. Aku dan Fursan mulai menyusul unta tersebut. Penunggang unta tersebut menoleh dan matanya seperti sedikit aku kenal, tapi di mana ya? Ah, sudahlah. Yang jelas mata penunggang jamal tersebut mengisyaratkan ia tersenyum. Oh, pasti orang tersebut menantangku untuk mempercepat kudaku. Oke, aku terima tantanganmu.


    Di jalanan raya seperti ini biasanya ada paku yang ditebar di tengah jalan oleh oknum tak bertanggung jawab dan aku yakin, dengan tapal yang digunakan Fursan, rasa sakit tusukan paku bisa dihindari. Di sisi lain, kecepatan Fursan sudah mencapai titik maksimumnya. Kalau aku mempercepat derapannya, takutnya akan menyiksa kuda hitam ini. Tenang Fursan, aku tak akan memaksamu kalau kamu tak kuat!


    Kecepatan unta tersebut terlihat mulai melambat. Ehm, pasti unta tersebut sudah mencapai titik lelahnya mengingat unta memang bukan bintang yang suka berlari cepat seperti kuda. Lagi pula aku bingung bagaimana unta tersebut bisa cepat larinya? Ah, sudahlah. Aku dan Fursan berhasil mendekati unta tersebut. Penunggang unta tersebut menoleh ke belakang dan melihatku dengan pandangan orang puas. Entah siapa yang ada di balik sarung tersebut. Yang jelas rasanya aku sangat mengenalinya.


    Lampu lalu lintas mulai terlihat. Fursan yang sudah mendahului unta tersebut mulai memperlambat langkahnya. Jikalau aku tetap mempercepat derapan Fursan, pasti akan susah mengerem kuda ini saat sudah dekat pertigaan jalanan.


    Fursan berhenti berderapnya ketika aku melihat lampu lalu lintas berwarna merah. Kuda hitam ini terlihat menjulur-julurkan lidahnya. Aku mengelus-elus kepalanya dan ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat penunggang unta tersebut menghentikan derapan untanya dan terlihat unta tersebut biasa saja. Tak terlihat ia kehausan. Itulah keunggulan dari spesies Camelur.


    Penunggang unta tersebut melambaikan tangannya kepadaku, pertanda ia mencoba akrab denganku. Aku balik melambai. Kami berpisah setelah lampu lalu lintas berubah menjadi warna hijau.


    ***

    Pada siang hari, aku kembali ke rumah dan membawa Fursan ke kandangnya. Ketika aku masuk halaman rumahku yang sangat luas, aku melihat kerumunan di dekat kadang kuda. Kerumunan tersebut seperti orang yang sedang memotong hewan. Apa yang mereka potong? Kuda? Sepertinya tidak mengingat Bapak tahu kerugian menyembelih kuda; harga kuda berkali-kali lebih malah daripada kambing. Orang-orang yang ada di kerumunan tersebut tak lain orang-orangnya Bapakku yang tinggal di sini. Biasanya mereka bekerja sebagai pengurus kuda, perawat kebun, dan sebagainya. Dari antara mereka ada Edo Gunawan, klientku yang bisa dibilang permasalahnya cukup rumit dan sekarang, hutangnya sudah dilunasi Bapakku dan sebagai ganjarannya, Pak Edo bekerja dengannya selama 10 tahun.


    Ehm, kira-kira apa yang mereka sembelih dan siapa yang menjadi tukang penjagalnya? Untuk menghilangkan rasa penasaran ini, aku mencoba pergi ke kerumunan tersebut setelah menaruh Fursan di kadang dan… “Oh, tidak,” aku mengeleng-geleng dengan raut kaget melihat yang menjadi penjagalnya tak lain Abdul Kosim dan yang dipotongnya adalah seekor unta. Ini baru pertama kalinya aku melihat unta dipotong. Tunggu dulu, rasanya aku pernah melihat muka unta tersebut, tapi dimana ya?


    Kosim memotong unta tersebut dengan golok dan rasanya ia cukup ahli menjagal hewan-hewan kurban. Orang-orang yang mengerumuni pemotongan tersebut ternyata sedang membantu Kosim dengan memotong daging-daging unta tersebut. Ehm, bagaimana ya rasanya daging unta?


    “Oh ya, ini untuk untuk apa ya?” tanyaku kepada orang-orang di sini.


    “Buat entar malam,” jawab Kosim singkat. Seperti biasa, Kosim memakai peci hitam kebanggaannya.


    “Kosim, kenapa kamu memotong unta. Dan juga kenapa kau ada di rumah ini?” tanyaku penasaran. Pertanyaan tersebut baru saja terlintas di otakku.


    “Saya diminta Pak Oktober untuk memotong unta dan menyiapkan nasi goreng STM Panzer versi nasi goreng unta,” jawabnya sambil tersenyum tipis. Pak Oktober, itulah nama panggilan bapakku meningat ia lahir di bulan Oktober dan merasa nama panggilan seperti itu lebih keren dibanding nama aslinya. Nasi goreng STM Panzer versi unta? Anehnya. Dan lagi pula aku bingung bagaimana bisa Bapakku meminta Kosim untuk membuatkan nasi goreng Panzer… Membuat? Kosim tak bisa memasak nasi goreng dan yang bisa hanyalah Rina, Mahesa, Made, dan Hanny. Apakah mereka ada di sini? Akan aku tanyakan kepadanya setelah bertanya bagaimana bisa Bapakku memintanya memotong unta.


    “Kosim, bagaimana Bapakku memintamu memotong unta? Apakah kalian berdua mengenal satu sama lain?”


    “Aslinya aku tak mengenalnya. Tapi Pak Oktober mengenal aku, Rina, Kepsek, dan semua orang yang dekat dengan Kak Eka melalui anak buah anda, Guntur,” jawabnya. Oh, aku baru tahu kalau Guntur berkomplotan dengan Bapakku. Pantas saja ia lumayan akrab dengan Bapakku. Tak apalah Guntur jadi anteknya Bapakku. Asal jangan jadi antek setan saja itu sudah cukup.


    “Oh, Mahesa, Made, dan Hanny tidak bisa hadir, mereka ada acara. Hanya Rina saja yang bisa memasak,” jawabnya mengenai pertanyaan yang dari tadi menjadi menghantuiku.


    “Kosim, dalam rangka apa Bapakku ingin nasi goreng unta?”


    “Tanya saja dengan orangnya,” jawab Kosim mulai sedikit tidak suka denganku. Sepertinya ia terganggu. Oke, lebih baik aku pergi ke rumah dan mencari Bapakku.


    Aku masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang dan masuk ke area dapur. Dapur rumahku terbilang luas, sama seperti rumah-rumah orang kaya raya lainnya. Tapi yang membedakannya adalah dekorasi dapur ini bisa dibilang tak bisa karena memakai dekorasi sederhana, tak seperti rumah orang yang kaya yang memakai hiasan-hiasan yang mahal dan mewah. Memperkecil pengeluaran sekecil mungkin, itulah filosofis Bapakku mengingat pemakaian barang-barang mewah itu perawatannya juga mahal.


    Orang-orang yang di dapur ini sedang sibuk satu sama lain. Sepertinya mereka sibuk mengurusi bahan makanan dan ada dua orang yang terlihat akrab di mataku, Rina. Rina terlihat memberi intruksi kepada para pembantu, intruksinya susah untuk ditelaah bagiku dan ia seperti kepala koki di suatu restoran. Jarang sekali melihat pemandangan Rina yang biasanya diam berbicara lantang seperti jenderal memberi komando kepada bawahannya. Tunggu dulu? Kenapa hanya Rina saja? Ke mana Dina, teman yang selalu menemaninya?


    “Rina, ke mana Dina?” tanyaku kepadanya saat ia sedang lengang.


    “Dina sedang ada pekerjaan di sekolah. Ia tak bisa menemaniku sekarang dan juga aku ingin mandiri,” jawabnya dingin sambil melipat tangannya. Baru pertama kali aku melihat ia tak bersama teman yang selalu menemaninya. Ada pepatah kalau teman tak akan menemanimu selamanya.


    Aku mencoba bertanya kepadanya apakah bisa membuat nasi goreng Panzer dengan daging unta. “Tentu saja bisa,” jawabnya mantap. “Aku sudah mempelajari bumbu-bumbu yang dipakai orang-orang Arab dalam memasak unta. Akan aku padukan dengan resep nasi goreng Panzer.”


    Ah, aku tak mengerti maksud dari Rina. Maklum, masak saja hanya bisa nasi saja. Aku hanya menganguk-angguk saja ketika Rina menjelaskan bahan-bahan yang bakal ia pakai untuk membuat nasi goreng unta. Ilmu masaknya sudah masuk tingkat profesional, para pembantu yang rata-rata sudah tua saja hanya bisa mengangguk-angguk tak mengerti ketika Rina memberikan komandonya. Rina yang memberi intruksi dengan Rina yang pendiam berbeda jauh, kontras menurutku. Suaranya cukup berat, berbeda dengan pekiraan orang yang mengira suara Rina lembut atau cempreng seperti Dina.


    “Mengertinya?” tanyanya tajam setelah menjabarkan cara-cara memasak nasi goreng daging unta. Aku menjawab dengan anggukkan di samping tak mengerti penjabarannya yang cukup detail.


    Rina menjelaskan bahwa nasi goreng unta ia buat karena Bapakku akan kedatangan tamu penting dari Arab pada malam ini, pangeran Arab! Kenapa Bapakku tak memberi tahu aku perihal kedatangan tamu dari Arab? Apa ia mengira tak penting memberi tahu aku? Sepertinya. Pantas saja rumah ini di depannya dirias seindah mungkin ketika aku datang.


    ***

    “Nasi goreng unta,” gumamku melihat piring yang berisi nasi goreng dengan daging unta. Baru pertama kali aku melihat daging unta bekas bertanding dengan Fursan akan kumakan. Biasanya aku melihat nasi kebuli kambing.


    Kosim memberi tahu aku beberapa saat lalu sebenarnya ia adalah penunggang unta yang menantang aku bertanding. Kosim sengaja menyamar jadi orang badui Arab agar aku tak mengenalinya. Unta yang ia tunggangi tersebut merupakan unta pemberian Bapakku. Unta tersebut diberikan dua minggu lalu dan Bapakku memintanya untuk merawat jamal tersebut sebaik mungkin sebelum dipotong. Kosim sering menjadi tukang jagal hewan di kampungnya, itulah penjelasannya yang mencerahkan penasaranku.


    Saat ini aku, Rina, Kosim, dan Bapakku makan di satu meja. Seharusnya ada Eko tapi ia malah pergi ke kampung untuk mengunjungi makam ibunya (ibu aku dan Eko berbeda. Dengan kata lain Eko itu adik tiriku mengingat Bapak punya dua istri). Sayang sekali kau Eko, tak bisa memakan nasi goreng jenis baru ini.


    “Ehm, sepertinya enak,” kata Bapakku melihat nasi gorengnya di depan matanya. Ia melirik sedikit ke Rina yang sibuk menyantap masakan buatannya. Bapakku mulai memasukan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Mulai mengunyah dia. Rautnya bahagia memakan nasi goreng jenis baru ini.


    “Eka, aku setuju kalau kau jadikan Rina sebagai mantuku,” ujarnya sambil tersenyum, setelah menelan apa yang ia kunyah tadi. Aku, Kosim, dan Rina terkejut. Kosim terlihat menahan tawa, Rina tersipu mukanya dan menyembunyikan malunya dengan sedikit menundukan kepala, sedangkan aku tetap datar mukanya, berusaha untuk tetap keren.


    “Kalau kau penasaran kenapa aku mengizinkan kau menjadikan Rina sebagai mantu karena dia pintar masak –melebihi kepintaran ibuku, cantik, manis, pintar, jago berbahasa asing, dan membaca doa sebelum memasak seperti ibuku,” tuturnya membuat Rina bertambah tersipu. Memang benar nenekku–yang sekarang menjadi gitaris band metalnya di kampung– memang pintar masak, melebihi kedua almarhum ibuku.


    Bapakku berhenti berbicara dan kembali melanjutkan makan. Rina mencoba untuk kembali tenang. Raut mukanya sedikit merah, pertanda kalau kemungkinan besar ia suka sama aku. Ehm, pertanda bagus mengingat aku merasa masih suka dengannya dan aku baru sadar pada hari ini, semenjak aku terpikat lagi dengannya ketika ia yang biasanya pendiam memberi perintah layaknya komandan kepada para pembantu, sangat aktraktif! Orang yang sedang suka dengan lawan jenisnya pasti akan memandang pujaan hatinya lebih cantik atau tampan dari sebelumnya, dan inilah yang terjadi padaku lagi. Sepertinya apa yang diucapkan para pujangga romatis dadakan teman-temanku sewaktu SMP ada benarnya walaupun mereka sering dicampakkan wanita yang mereka sukai dan tentu saja teman-temannya yang tak mengerti perasaan mereka–diantaranya ada aku.


    Kalau aku mengatakan perasaan ini kepadanya, bisa saja aku akan menjadi pria ke tiga puluh sembilan yang ditolaknya–versi Dina tiga puluh sembilan, tak diketahui sebenarnya berapa pria yang pernah ditolak Rina– dan itu tak akan terjadi selama aku tes berapa lama perasaan ini bertahan.

    ***

    Tamu penting bapakku tiba pada jam 7 malam dengan pengawalan lumayan ketat oleh pengawal pangeran dan Bhayangkara. Aku bisa melihat rombongan tersebut masuk ke pintu rumah dari jendela kamarku yang berada di lantai 2. Bapakku bilang kepadaku bahwasanya aku lebih baik di kamar saja karena takut mengganggu pertemuannya. Pertemuan Bapakku dengan pangeran tersebut bertujuan untuk mempelancar keluarnya izin membuka dagangan makanannya di wilayah Arab. Bapakku sudah membuka beberapa warung mie ayam dan sop buah di wilayah Levtxsan. Ia mulai melirik wilayah Arab dan berencana membuka restoran nasi goreng di sana. Nah, untuk menyukseskan rencananya, ia meminta Kosim dan Rina membuatkan nasi goreng Panzer versi daging unta agar bisa mengesankan pangeran tersebut. Tentu saja Bapakku sudah menyiapkan uang imbalan yang pas atas jasa mereka berdua. Aku berpikir apakah Bapakku berniat membuat restoran nasi goreng ala Panzer? Entahlah. Hanya Tuhan dan Bapakku saja yang tahu.


    Tak terlihat ada pers di luar. Mungkin mereka merasa tak penting meliput atau memberitakan kedatangan pangeran Walid, anak Raja Arab ke-7 dan terbungsu menurut informasi yang aku dapat dari Bapakku.


    Kosim dan Rina ikut bersama Bapakku dalam pertemuannya di ruangan tamu. Selain menjadi pembuat nasi goreng daging unta, mereka menjadi penterjemah tambahan kalau sang penterjemah lupa satu-dua kata. Kosim setahuku menguasai tiga bahasa: bahasa Nusatoro, bahasa Briangan, dan Arab. Sedangkan di sisi lain, Rina menguasai lima bahasa;Nusatoro, Levtxsan-zand (bahasa latinnya benua Levtxsan-zand), Enggris, Arab, dan Espanyol. Kalau aku? Hanya 1 bahasa saja yang aku bisa. Tanpa menguasai bahasa asing, tak bisa diriku melihat luasnya dunia. Itulah yang aku tekankan kepada diriku untuk terus belajar bahasa asing agar bisa melihat sisi lain dunia ini!


    “Untuk menghabiskan waktu di malam minggu ini akan aku habiskan membaca buku ini,” gumamku lalu membuka buku Permainan Dunia. Hampir 70% aku selesai membaca buku ini. Dari semua lembaran di buku ini, hanya lembaran terakhir yang sangat memikatku karena di lembaran terakhir, hanya ada ribuan angka tak teratur secara pencacahan, baik aku lihat dari vertikal maupun horizontal.


    “Apa maksud dari angka-angka ini?” bingung aku sambil memgigit ibu jari tangan kananku melihat lembaran terakhir buku ini. Angka-angka ini sepertinya merupakan suatu kode yang dibuat si penulis. Entah kode dibuat asal atau ada maksud tertentu. Kalau ada maksud tertentu, jelas akan menarik untuk dipecahkan.


    Selain lembaran akhir, ada satu paragraf yang tak bisa aku lupakan sampai sekarang dari buku ini;


    Dunia berdusta kepadamu.

    Dunia kejam kepadamu.

    Kejamnya dunia harus dibalas kekezaman juga.

    Disertai dengan kedustaan.

    Air tuba dibalas dengan tuba juga.

    Itulah hukum keseimbangan dunia.

    Hukum keseimbangan? Ada aksi ada reaksi, itulah contoh paling mudah mengenai hukum keseimbangan. Apa maksud dari penulis? Menebar kebencian? Dan teorinya juga salah karena keseimbangan adalah positif negatif, kanan kiri, atas bawah, dan semacam. Sepertinya penulis tak lulus mata pelajaran sains. Atau mungkin keseimbangan yang ia maksud seperti tambah sama dengan tambah, minus sama dengan minus, positif sama dengan postif? Sepertinya.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.