1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Ressha

Discussion in 'Fiction' started by deJeer, Jan 18, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. deJeer Administrator
    Head Admin

    Offline

    Watching You

    Joined:
    Sep 7, 2009
    Messages:
    16,916
    Trophy Points:
    335
    Ratings:
    +32,900 / -3
    RESSHA
    Oleh R.B.S. deJeer

    Menikmati perjalanan dengan kereta api membuat hatiku tenang. Duduk di pinggir jendela adalah tempat kesukaanku. Jika harus ada pertanyaan kemana atau di manakah tempat terindah yang di ingin aku tuju, kemanapun aku pergi asalkan ada dia di sampingku, itulah tempat terindahku. Dia yang sekarang ada di sampingku, Si Onyetku, Arian. Wajahnya yang sok acuh itu seringkali membuatnya mendapatkan masalah dan selalu aku yang membantu menyelesaikannya. Aku sangat paham dia hanya mencoba menyembunyikan gangguan kecemasannya pada orang lain. Mungkin kondisi itu yang menciptakan aku sebagai pengasuhnya meski dia lebih tua dariku.

    “Gimana kalau kek gini?” ucap Arian menyodorkan sket gaun pernikahan padaku.

    “Em, bagus sih. Tapi aku gak mau keliatan segendut itu,” aku menggembungkan pipiku. Arian menyobek sket itu, meremasnya, membuatnya terbang melewati jendela kereta.

    “Yang gak gendut di kamu itu cuman idung kamu. Gak ngenakin banget buat digambar,” Arian mulai menggambar lagi tanpa hasrat untuk menatapku. Entah mengapa dari awal pertemuan kita, ia tak pernah mau menggambar wajahku. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. Kelakuannya tak pernah berubah sedari awal pertemuan kita. Saat itu liburan panjang sekolah. Tanganku terinjak olehnya saat ingin menaiki rumah perosotan wahana bermain. Aku hanya bisa menangis karena kebodohannya. Namun aku merasakan kelembutan darinya saat ia mengelus dan menuip jemariku. Apa yang aku tahu, aku hanyalah seorang gadis yang masih memakai seragam putih merah. Dan apa yang aku tahu, dia menjadi murid pindahan di sekolahku. Aku tak bisa berhenti menertawakannya saat ia mengenalkan dirinya di depan kelas. Michael Arian Keramidas. Kera! Itu alasanku memanggilnya Onyet. Arian duduk di sampingku karena saat itu aku juga tak memiliki teman semeja. Kita sekelas meskipun dia dua tahun lebih tua dariku.

    Dua jam berlalu setelah jam pulang sekolah namun papaku belum datang menjemput. Teringat kotak bekal makanku masih tertinggal di kelas. Belum sejengkal kakiku memutar arah, hidungku terhantam oleh benda keras. “Sakit!” teriakku kencang.

    Arian mengambil yoyo miliknya yang terlepas dari tali. Ia lebih mementingkan mainannya itu daripada mencoba menolongku. Sambil menangis aku memukul bahunya. Arian hanya diam memandang wajahku. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya untuk mengelap hidungku.

    “Jangan terlalu banyak gerak. Hidung kamu bisa makin mengempis kehabisan darah,” Arian menunjukkan darahku yang tertempel di sapu tangannya, “lihat aja besok. Kalau hidung kamu bisa maju beberapa centi, besok kamu harus bawain aku bekal.”

    Aku terdiam saat Arian menyodorkan kotak bekal makanaku, antara sebal ia menghina hidungku yang mungil dan kelakuannya yang misterius. Arian naik ke sepedanya lalu berhenti di sampingku. “Sepeda kamu,” aku menahan tawa melihatnya memakai sepeda perempuan berwana pink itu.

    “Sebenarnya aku gak mau orang asing naik sepeda ini. Tapi Cheryl bilang buat mengatar kamu pulang.”

    “Cheryl?” tanyaku.

    “Bentar lagi hujan. Kelas 6 udah tahu kan kalau kehujanan bisa bikin kamu demam?”

    Kejadian itu masih melekat dalam pikiranku sampai saat ini. Ditambah lagi hujan datang saat ia mengatakan sepeda itu milik Cheryl, mendiang kembarannya yang meninggal beberapa hari sebelum ia pindah sekolah. Semilir angin yang menyibak rambutku membuat mata ini ingin terpejam. Raut wajah Dino yang tertidur di kursi depanku terlihat sangat lucu. Anak sekecil itu masih lucu-lucunya. Mungkin saja beberapa tahun lagi ia bisa menjadi sosok yang menyebalkan seperti Arian.

    “Maaf,” Arian berhenti menggambar dan tatapan matanya ke arah Dino. Ia tersenyum lalu menggenggam tanganku erat. Waktu serasa terhenti bersama berhentinya laju kereta.

    “Makasih ya, kita turun di sini,” ucap Mbak Maria yang baru saja kembali dari kamar kecil. Ia menggendong Dino, “senang berkenalan dengan kalian. Nomor saya sudah disimpan kan? Kalau ada waktu, main ya ke rumah saya.”

    “Iya, Mbak. Hati-hati di jalan yah,” senyumku pada Mbak Maria.

    “Oh ya, Mbak. Ini kenang-kenangan dari kami,” Arian menyodorkan sket wajah Mbak Maria dan Dino, “maaf kalau kurang bagus.”

    “Ah, ini bagus banget kok,” Mbak Maria menerima pemberian Arian, “nanti bakal saya pajang di rumah. Saya duluan ya. Beneran saya tunggu loh.”

    “Iya, Mbak,” senyumku menutup percakapan kita.

    Aku dan Arian hanya terdiam tanpa kata menunggu berjalannya kembali kereta ini. Hanya ada sunyi di antara kita hingga aku memutuskan untuk memulai pembicaraan, “aku…”

    “Aku yang salah. Maaf,” mata Arian tampak berkaca.

    “Onyet, kamu kenapa lagi?” meskipun aku tahu apa yang ia pikirkan, aku mencoba memberikan kepura-puraanku.

    “Aku memang gak pernah bisa kasih yang terbaik buat kamu,” Arian tak memandangku.

    “Kamu udah kasih semua yang terbaik buat aku kok. Aku bersyukur Tuhan udah beri lebih dari separuh hidupku bersama kamu,” kusandarkan tubuhku di bahu Arian. Separuh hidupku. Aku tak tahu kapan ajal akan menjemputku. Namun lebih dari separuh hidupku telah aku lalui bersama Arian. Arian, seorang pria yang sangat aku cintai dan aku yakin ia juga sangat mencintaiku. Setelah kematian saudari kembarnya, aku sangat paham dalamnya kesepian yang ia rasakan. Yah, karena aku juga anak tunggal dalam keluarga kecilku.

    Hal yang memadati pikiran Arian bermula saat senior kampus menyatakan perasaannya padaku beberapa tahun silam. Arian mendorongku untuk menerima cinta senior kita. Kejadian itu berakhir menjadi pertengkaranku dengan Arian setelah aku menamparnya. Kita tak saling tatap saat Arian mengantarku pulang. Dia benar-benar tak mengerti perasaanku, itu yang menyelimuti pikirku saat itu. Berapa lama waktu yang telah kita lalui bersama? Berapa banyak kisah yang telah kita jalani? Tahukah kau seberapa besarnya rasa sayangku padamu? Apa kau tak memiliki perasaan yang sama terhadapku? Penuh sesak pertanyaan yang ingin aku lemparkan padanya. Kita terdiam tanpa kata hingga Arian menghentikan laju mobilnya.

    “Maaf, Nyet,” Arian menghapus air mataku.

    “Nyet, aku tuh gak butuh maaf dari kamu. Aku cuma butuh waktu buat ngeyakinin diriku kalau selama ini aku udah salah. Ternyata kamu memang gak pernah lihat aku sebagai perempuan. Pernah gak sih kamu ngehitung jarak terjauh antara kita? Pernah gak sih kamu gunain hati kamu buat meraba kalau ada cinta dalam kedekatan kita?”

    “Nyet,” Arian menghela napas, “sepertinya aku gak perlu ngejelasin apapun karena aku yakin kamu udah punya jawabannya. Aku punya alasan kenapa aku hanya diam selama ini.”

    “Cinta itu gak butuh alasan, Nyet. Aku cuma pengen kita jalanin semuanya bersama.”

    Jalani bersama. Yah, aku berpikir seperti itulah cinta. Tersadar kereta telah melaju meninggalkan lamunan masa laluku. Aku menikmati posisi nyamanku bersandar di bahu Arian. Arian kembali menggambar sket gaun pengantin. Aku berharap laju kereta ini tanpa henti, seperti kisah kita yang kuharap tiada ujung. Cahaya langit keemasan itu menyadarkanku akan kehadiran senja. Andai aku bisa membuat waktu ini terhenti. Sketchbook Arian di pangkuanku memecah lamunanku.

    “Nanti aja kamu bukanya. Eee, Nyet. Sepi itu memang menyebalkan yah. Buat aku yang gak bisa memberikan keturunan, aku rasa aku juga membosankan,” Arian tertawa kecil.

    “Nyet,” air mataku seketika menetes saat ia membahas alasan yang dulu aku tak ingin dengarkan.

    “Aku pernah mimpiin aku dan Cheryl bermain bersama anak dan pasangan kita di sebuah taman yang penuh canda tawa. Tapi impian itu pupus saat penculik bedebah itu membunuh Cheryl. Aku juga pernah mimpiin aku dan kamu memberikan cucu yang diidam-idamkan papa kamu. Lagi-lagi mimpi itu hanyalah kesemuan belaka.”

    Bibir ini tak sanggup mengucap. Mungkin genggaman tanganku mampu menceritakan perasaan yang tak mampu aku deskripsikan saat ini. Kereta terhenti. Aku rasa harapanku untuk kereta ini tiada henti melaju tak terwujud.

    “Aku yakin papa kamu udah nungguin. Salam buat beliau yah, Nyet,” Arian tersenyum lalu memelukku erat. Aku masih belum bisa mampu menerima kenyataan ini. Arian enggan memandang langkahku pergi. Namun aku harus melangkah pergi.

    Kereta yang membawa Arian semakin samar dan perlahan menghilang dari pandanganku. Kubuka sketchbook Arian. Kurasa ia salah memberikan sketchbook padaku, aku belum pernah melihat ini sebelumnya. Sebuah dongeng tentang bidadari yang aku cintai, itulah yang tertulis di halaman pertama. Tak kuasa air mata ini meluap saat kusadari selama ini ia diam-diam menggambar wajahku. Bahkan ia sempat mencuri kesempatan untuk menggambarku yang tertidur di kereta beberapa saat lalu. Hingga akhirnya kubaca sebuah halaman yang aku yakin baru tadi ia menulisnya;

    Aku paham bahwa masih banyak lembar yang tersisa. Mungkin tak sebanyak kisah yang ingin aku lalui bersamanya. Namun aku paham jika kisah kita harus terhenti di lembar ini. Sebuah lembar di mana aku belajar memahami ketulusan untuk mencinta. Kekosongan lembar yang akan dihadapi bukanlah karena aku ataupun kamu. Jika hidup adalah ujian, kekosongan itu hanyalah persoalan waktu. Selamat tinggal kisahku. Kisah Si Kera Arian dan bidadari Aliyana. Aku, yang menutup pintu hatiku hanya untukmu.

    Tubuh ini tak kuasa menahan gravitasi. Lutut dan tangisku menghantam bumi seketika. Aku mencintainya. Ya, sangat mencintainya. Namun aku juga mencintai papaku. Seorang papa yang telah berjuang sendirian menuntunku hingga sebesar ini. Apalah kuasaku saat papa menginginkan seorang cucu dariku. Orang bilang, cinta adalah pengorbanan. Apakah keputusanku untuk memenuhi keinginan papaku adalah sebuah pengorbanan?

    “Ressha,” suara papa memecah kegalauanku. Ressha, sebuah nama yang hanya papa seorang menyebutnya. Aliyana Ressha Malika, nama yang diberikan oleh sepasang kekasih penikmat kereta. Bukti sebuah cinta antara Alif Sudharmono dan Nakae Yuri.

    Kuseka air mataku. Dua pria telah ada di hadapanku, papaku yang terduduk di kursi roda, dan seorang dokter yang merawat papaku selama aku bekerja di kota lain bersama Arian. Pria itu adalah calon suami pilihan papaku. Mungkin Tuhan ingin mengatakan bahwa inilah cara aku berterima kasih padanya yang telah mengorbankan waktunya untuk papa. Meski aku tak bisa mengucapkan salam terakhir untuk Arian, aku yakin rindu ini akan menemani setiap langkahnya. Terima kasih atas semua kasihmu, kau yang telah mengisi lebih dari separuh hidupku.

    ~END~​


    writer's note:
    ressha adalah sebutan untuk kereta tanpa dipertanyakan apa mesin penggeraknya. biasanya memakai 2 mesin. sebutan umum untuk kereta transportasi di jepang adalah kisha dan densha.
     
    • Like Like x 1
    • Setuju Setuju x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. dreamanzie Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Apr 19, 2011
    Messages:
    80
    Trophy Points:
    32
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +46 / -0
    Agak sedih ya baca ini.

    Teringat teman pernah ngomong begini semenjak dia putus sama pacarnya,
    "Kita itu kadang gak ngerti gimana cara cinta bekerja, Bro. Entah dia cuma jadiin
    kita wadah penempa, atau jadiin kita dermaga yang kapan aja bisa disinggahin.
    Everyone have a function"
     
    • Like Like x 1
  4. deJeer Administrator
    Head Admin

    Offline

    Watching You

    Joined:
    Sep 7, 2009
    Messages:
    16,916
    Trophy Points:
    335
    Ratings:
    +32,900 / -3
    nah..
    tiap orang punya porsi dan peran masing" bagi hidup seseorang.
    itu sih yang bakalan dijadiin acuan ilmu tulus dan ikhlas :p
     
  5. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    wah ceritanya nyedihin juga, sudah lama pacaran tapi ujung-ujungnya dijodohin juga :ogcuriga:
    ya, bagus ceritanya kak.
     
  6. Lazt_stand M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Aug 15, 2009
    Messages:
    4,286
    Trophy Points:
    193
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +3,432 / -0
    pengalaman pribadi bang cok admin nih keknya :lol:

    masih terkezut kok strukture crita bs mirip2 sm punyaku dari zaman baheula, mungkin kita memang sama :peluk:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.