1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic red_rackham Stories Collection ~ [Orific][Cerpen][Fanfic]

Discussion in 'Fiction' started by red_rackham, Jun 23, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. leroux M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Oct 20, 2010
    Messages:
    3,169
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +5,351 / -0
    cerpen yang lampu benar2 wah..

    terasa banget..imajinasinya...:top:

    wah ternyata si aku yang bikin kaget
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Proyek Eksperimen LCDP: Balas Dendam Itu Gurih!





    Sudah hampir 20 tahun berlalu sejak aku mengalami kejadian yang membuat seluruh hidupku jungkir-balik tidak karuan. Berarti sudah 20 tahun juga aku menerima nasib dan berusaha menjalani hidup baruku ini dengan lapang dada.

    Meski harus kuakui, aku merindukan saat-saat dimana semuanya begitu normal dan biasa-biasa saja.

    Yah....memang benar kata orang. Manusia itu baru sadar dia memiliki sesuatu yang berharga kalau sesuatu itu sudah tidak dimilikinya lagi.

    Begitu pula denganku.

    Tadinya aku selalu berpikir hidupku sebagai seorang pemuda siswa SMA biasa sangat membosankan. Tidak terhitung berapa kali aku berharap suatu hari hidupku akan berubah menjadi lebih menarik dan tidak membosankan seperti waktu itu.

    Ketika akhirnya harapanku itu terkabul, aku sama sekali tidak menduga kalau akhirnya akan seperti ini.

    Yah....apa boleh buat. Yang sudah terjadi...terjadilah.

    Aku meregangkan tubuhku sambil membuka mulutku dan berkata.

    “Nyaaaw~!”

    Aku lalu mulai menjilati cakar dan tubuhku sendiri yang berbulu hitam pekat. Aku melakukan ritual ‘mandi’ yang selalu kulakukan setiap pagi. Sambil ‘mandi’, aku memandangi sekelilingku.

    Saat ini aku tinggal di sebuah gang sempit diantara dua buah ruko yang berdiri berdampingan. Tempat inilah yang sudah kujadikan sebagai ‘rumah’ selama 10 tahun belakangan ini. Sebelumnya aku selalu hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

    Hidup sebagai kucing memang tidak mudah.

    Terkadang aku harus berhadapan dengan maut, seperti anjing liar yang berniat mencabik-cabikku, anak-anak nakal yang ingin menangkap dan menjadikanku sasaran lemparan batu, dan tentu saja bahaya terlindas kendaraan bermotor ketika aku menyeberangi jalan. Ah...untuk bahaya yang terakhir sih, tidak terlalu masalah. Kalau ingin menyebrangi jalan protokol, aku tinggal jalan diatas jembatan penyebrangan saja.

    “Pagi!”

    Aku memalingkan wajahku dan melihat seekor kucing gemuk berbulu oranye-belang putih, berjalan menghampiriku.

    “Pagi juga,” balasku malas.

    “’Gimana kabarmu pagi ini? Sudah makan?” tanya kucing gemuk itu sambil duduk di sampingku, diatas tong sampah besar yang menempel di dinding ruko.

    Aku menggelengkan kepala.

    “Belum. Memangnya kenapa?” tanyaku sambil memuntahkan satu-dua bola bulu, hasil dari menjilati tubuhku sendiri.

    “Ha~! Kebetulan kalau begitu. Aku juga belum. Apa kau mau ikut aku? Ada tempat makan baru di dekat sini. Pemiliknya seorang wanita paruh baya yang ramah dan suka memberi kucing makanan enak,” ujar temanku itu sambil menjilati bibirnya sendiri. “Bagaimana? Mau ikut tidak?”

    Aku berpikir sejenak.

    Tidak ada salahnya mengikuti temanku dan melihat seperti apa tempat makan baru yang dia temukan. Kalau memang pemilik tempat makan itu suka memberi makanan enak, kupikir itu akan jadi lebih baik.

    Setidaknya itu lebih baik daripada mengais-ngais tempat sampah di samping restoran fast-food di seberang jalan. Yah...memang aku sering mendapatkan makanan enak disana karena selalu saja ada orang bodoh yang menyisakan banyak makanan yang dibelinya, lalu membuangnya begitu saja.

    “Oke...aku ikut deh. Tunjukkan padaku dimana tempatnya,” ujarku sambil meregangkan tubuh sekali lagi.

    Temanku, si kucing gemuk langsung berbalik dan berjalan dengan langkah berat. Sambil berjalan mengikutinya, aku membiarkan pikiranku berkelana ke masa lalu.

    Ke masa ketika aku masih jadi manusia.

    Ke masa ketika aku menemukan bando terkutuk itu dan akhirnya jadi seperti ini.

    ****

    Semua ini berawal ketika aku sedang mencari hadiah untuk temanku dekatku. Daripada teman, sebenarnya sih aku lebih senang menyebutnya ‘calon’ pacarku. Kenapa calon? Karena aku belum menyatakan cintaku padanya. Bukan karena tidak berani, tapi karena aku merasa belum ada waktu yang tepat untuk menyatakannya.

    Dan kebetulan datanglah waktu yang sangat tepat ini.

    Hari ulang tahunnya besok.

    Nah, aku sudah merencanakan akan memberikan sesuatu yang sederhana namun berguna dan (kuharap) akan selalu dia gunakan. Setelah berpikir cukup lama, aku tetap tidak bisa memutuskan dan akhirnya pergi ke toko aksesoris di pusat perbelanjaan di tengah kota.

    Toko aksesoris itu menjual barang-barang bagus dengan harga yang murah, sehingga tempat itu cukup terkenal di kalangan gadis-gadis. Aku sudah bertanya pada beberapa gadis-gadis teman sekelasku dan mereka semua merekomendasikan tempat itu.

    Yah....meski aku agak ragu karena mendengar rumor miring tentang pemilik toko itu, yang katanya suka makan daging kucing mentah. Rumornya sih itu ritual wajib untuk menjaga ‘Aji Penglaris’ yang dipasang di tokonya.

    Tapi aku tidak percaya soal yang begituan, karena kurasa itu hanya rumor miring yang dihembuskan oleh pesaing pemilik toko aksesoris itu, yang iri karena kemajuan bisnisnya yang terlalu pesat.

    Setelah berganti kendaraan umum sebanyak 2 kali, akhirnya aku sampai di depan toko aksesoris itu.

    Jelas saja toko ini laku keras. Pemilik toko ini benar-benar memperhatikan aspek estetika dalam menampilkan barang dagangannya...pikirku sambil mengamati bagian depan toko.

    Di etalase toko tampak terpajang manekin yang mengenakan berbagai macam contoh aksesoris yang dijual di toko tersebut. Selain manekin, aksesoris-aksesoris yang terbuat dari logam dan batu mulia tiruan tampak ditata seakan-akan toko itu adalah sebuah toko perhiasan mahal. Jelas-jelas tatanan seperti itu membuat orang penasaran dan tertarik untuk masuk ke dalam toko tersebut.

    Ketika aku masuk ke dalam, rupanya toko itu cukup ramai. Ada banyak sekali pengunjung yang sedang membeli atau sekedar melihat-lihat aksesoris yang dijual di toko tersebut.

    “Selamat datang~!”

    Suara sapaan itu membuatku terkejut dan langsung berbalik.

    Begitu berbalik aku melihat seorang wanita paruh baya yang tersenyum padaku. Wanita itu mengenakan celemek yang dibordir dengan pola-pola bunga. Dari pakaiannya aku tahu dia bekerja di toko ini.

    “Ada yang bisa kubantu?” tanya wanita itu lagi dengan suara ramah.

    “Erh....aku mencari hadiah untuk..ehm..pacarku,” ujarku agak terbata-bata. Memang terasa agak aneh kalau seorang pemuda datang ke toko aksesoris seperti ini, sehingga aku merasa tidak nyaman dan agak salah tingkah.

    “Ah~! Kebetulan sekali. Aku tahu sesuatu yang bagus untuk pacarmu itu,” ujar si wanita penjaga toko itu dengan ramah. “Ayo ikuti aku.”

    Aku langsung mengikuti wanita itu ke sudut lain toko, tepatnya ke gudang di belakang toko, dimana dia membongkar beberapa buah kotak hingga akhirnya dia menemukan yang dia cari.

    Sebuah bando berwarna merah dengan hiasan bunga mawar, yang kurasa akan cocok sekali kalau dikenakan oleh ‘calon’ pacarku nanti.

    “Ini dia. Ini benda yang pasti cocok sekali untuk pasanganmu. Ya. Mawar merah selalu disukai gadis-gadis,” ujar wanita itu lagi sambil tersenyum manis.

    Aku mengambil bando itu dan mengamatinya.

    Yah...harus kuakui bando ini cantik sekali dan kurasa akan sangat pantas berada di kepala gadis idamanku itu. Sekilas terlihat bando ini benar-benar seperti sebuah barang mahal. Ketika aku memegangnya, bando ini sama sekali tidak terasa seperti terbuat dari plastik, bahkan benda ini rasanya terbuat dari permata atau semacamnya. Karena bando itu terlihat bening, berkilau, dan jelas terlihat sangat mahal.

    “Euh...aku tidak yakin aku sanggup membayar benda semahal ini...” ujarku dengan nada ragu.

    “Wah. Tidak perlu khawatir. Itu benda tua dan sudah lama sekali tidak laku terjual. Jadi akan kuberikan harga khusus yang sesuai dengan kantongmu anak muda,” ujar wanita paruh baya itu lagi.

    Aku masih ragu dan menimang-nimang bando itu di tanganku.

    “Ehm...aku tidak tahu apakah benda ini cocok untuknya...” ujarku lagi.

    “Tidak mungkin tidak cocok anak muda. Coba kau kenakan sendiri dan lihat apakah kira-kira bando itu akan cocok dipakai oleh pasanganmu nanti,” ujar wanita paruh baya itu lagi sambil menunjuk ke arah kaca rias besar di sampingku, lalu mengambil bandonya dari tanganku.

    Yang terjadi selanjutnya benar-benar konyol, sekaligus merupakan awal dari semua penderitaan yang akan kualami nantinya.

    Aku membiarkan wanita itu meletakkan bando itu di kepalaku, dan ketika dia selesai melakukannya, wanita itu berjalan mundur sambil tersenyum puas. Tadinya aku yakin kalau dia tersenyum puas karena telah mengerjaiku, tapi aku segera sadar kalau senyumannya itu bermaksud lain.

    “Nah...bando itu rupanya cocok sekali denganmu,” ujar si wanita paruh baya itu sambil terus tersenyum lebar.

    Ketika bando itu berada di kepalaku, segalanya langsung berputar-putar dan aku merasa pusing.

    A....apa-apaan ini!??? Seruku dalam hati.

    Tidak lama kemudian aku terjatuh ke lantai. Tapi sebenarnya aku tidak sedang ‘terjatuh’, lebih tepatnya tubuhku menyusut dengan cepat hingga aku merasa seakan-akan aku sedang jatuh. Aku lalu terbaring tidak berdaya di lantai dan hanya memandangi si wanita paruh baya dengan tatapan lemah.

    Kemudian aku tidak sadarkan diri.

    Ketika aku sadar lagi, aku sudah tidak lagi jadi manusia.

    Aku sempat panik setengah mati ketika menyadari aku sudah berdiri dengan empat kaki, seluruh tubuhku berbulu, punya ekor panjang berbulu, sepasang telinga yang mencuat dari kepalaku, dan satu-satunya suara yang bisa kubuat dengan mulut berkumis tipisku adalah: “Nyaaaw~!”

    AKU SUDAH JADI KUCING!!!???

    “Nah....sudah kubilang kalau bando itu cocok sekali denganmu,” ujar si wanita paruh baya di depanku sambil tersenyum lebar, kali ini senyumannya tidak lagi terlihat ramah, tapi terlihat begitu jahat dan mengerikan. Wanita itu lalu mengulurkan tangannya ke arahku, bermaksud untuk menangkapku. Sorot mata wanita itu terlihat liar, buas, dan........lapar...........!?

    Tiba-tiba dalam benakku aku teringat rumor miring mengenai pemilik toko aksesoris ini yang suka makan kucing untuk menjaga agar sihir di tokonya tidak hilang. Bagimana kalau wanita paruh baya ini adalah si pemilik toko yang memang benar suka makan kucing?! Bagaimana kalau kucing-kucing yang dia makan sebenarnya adalah orang-orang malang sepertiku?! Bagaimana kalau.....

    Aku tidak sempat berpikir lagi karena tangan si wanita sudah mencengkram tubuhku dengan begitu erat, hingga aku nyaris tidak bisa bernafas. Aku berusaha berontak tapi percuma saja, cengkraman tangan wanita itu bagaikan cengkaraman penjepit baja. Aku sama sekali tidak bisa bergerak.

    “Sssst.....tenanglah ‘pus sayang. Tidak perlu berontak seperti itu. Aku akan merawat dan memeliharamu dengan baik,” ujar wanita itu sambil terus menyunggingkan senyum jahatnya. Dia lalu menambahkan dengan suara berbisik yang parau dan serak. “Tentu saja sampai kau berakhir di meja makanku....”

    Mendengar ucapannya, aku langsung mengerahkan seluruh tenaga ‘kucing’ yang kumiliki dan menggigit jarinya, lalu mencakar wajahnya yang terlalu dekat dengan kedua cakarku.

    Karena terkejut, wanita itu melepaskan tangannya dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Aku berlari secepat yang kucing bisa dan dengan segera aku berada jauh diluar toko aksesoris terkutuk itu.

    Dengan telinga kucingku yang jauh lebih peka daripada telinga manusia, aku bisa mendengar si wanita gila itu melontarkan sumpah serapah dan makian ke arahku.

    Tapi aku tidak peduli dan terus berlari sekuat tenaga.

    ****

    Yah...pokoknya cerita selanjutnya tidak terlalu bagus untuk didengar.

    Hidupku jadi tidak karuan setelahnya.

    Aku segera mendatangi rumahku, hanya untuk dikejar dengan sapu oleh ibuku sendiri. Maklum, ibuku alergi dengan kucing dan ayahku tidak suka ada binatang berbulu di dalam rumahnya. Aku lalu berbalik dan pergi ke rumah ‘calon’ pacarku, hanya untuk diusir karena aku mencuri ikan di dapur, padahal itu kulakukan karena lapar. Ketika aku kembali lagi kesana, ‘calon’ pacarku itu malah mengusirku dengan lemparan kerikil.

    Ironis sekali kan?

    Tentu saja aku tidak menyerah begitu saja dan berniat mendatangi lagi toko aksesoris milik wanita paruh baya gila itu. Apa niatku itu terdengar bodoh? Memang. Tapi aku berharap aku bisa menemukan sesuatu petunjuk untuk bisa mengembalikanku lagi jadi manusia.

    Kalau wanita penyihir gila itu bisa mengubahku jadi kucing, seharusnya ada cara agar aku bisa kembali jadi manusia lagi.

    Sialnya....ketika aku sampai disana, toko itu sudah disegel oleh polisi dan si wanita gila itu kabarnya sudah dipenjara. Dari orang-orang yang menonton acara penangkapan itu, aku mengetahui kalau si wanita gila itu dituduh sudah membunuh dan menyembunyikan mayat seorang pemuda. Pakaian pemuda itu ditemukan di ruang belakang tokonya, tapi tubuh si pemuda yang dibunuh tidak pernah ditemukan.

    Belakangan aku tahu kalau pemuda yang dimaksud itu adalah aku. Tentu saja tubuh si pemuda itu tidak akan ditemukan, karena dia masih hidup, hanya saja bukan dalam bentuk ‘pemuda’ lagi.

    Sejak saat itu aku terus berusaha bertahan hidup sebagai seekor kucing.

    Aku harus amat sangat bersyukur kepada Tuhan karena setidaknya aku masih hidup. Karena beberapa hari setelah toko itu disegel, aku menerobos masuk dan menemukan tumpukan tulang kucing, serta tumpukan pakaian yang disembunyikan di dalam sebuah bak plastik besar di belakang toko.

    Kupikir itu tumpukan pakaian milik orang-orang yang dijadikan kucing, dan akhirnya disantap.

    Melihat tumpukan itu, baru kali itu aku merasakan darahku bergolak dan aku baru tahu kalau ‘dendam’ itu terasa begitu mengerikan....sekaligus menyenangkan karena aku jadi bersemangat.

    “Oi~! Jangan bengong terus. Kita sudah sampai nih!”

    Seruan si kucing gemuk berbulu oranye-putih itu langsung membuatku terbangun dari lamunanku.

    Aku langsung memandang berkeliling dan terkejut melihat kerumunan kucing yang sudah berkumpul di sekitarku. Mereka sibuk bicara dan mengobrol hingga tidak menyadari kami berdua datang. Tapi salah satu diantara mereka, seekor kucing besar berbulu abu-abu langsung melompat turun dari tumpukan bata di pinggir lorong dan menyapa kami berdua.

    “Wah...nambah lagi. Kalau begini terus nanti jatahku berkurang banyak,” gerutu kucing itu sambil memandangi kami berdua dengan tatapan jengkel dan dengan bulu tengkuk berdiri tegak. Jelas dia tidak bermaksud baik.

    Benar saja, kucing itu langsung menerkamku yang berbadan lebih kecil dibandingkan temanku, si kucing gemuk. Dia pikir aku pasti jauh lebih lemah dan mudah dikalahkan.

    Tapi dia memilih lawan yang salah.

    Hanya dalam waktu singkat aku berhasil mengalahkannya dan mengusirnya. Kurasa kehidupan keras yang kujalani selama 20 tahun sebagai kucing jalanan membuatku jadi petarung yang handal...setidaknya diantara para kucing.

    “Seperti biasa...kau kuat sekali untuk ukuran tubuh sekecil itu,” puji temanku sambil menjilati tubuhnya, tapi kemudian kedua telinganya berdiri tegak dan dia berbalik sambil berseru gembira. “Nah~! Itu dia makanan kita datang~!!!”

    Benar saja, pintu belakang toko yang sedari tadi dipenuhi kucing itu mendadak terbuka dan sesosok manusia melangkah keluar dengan dua piring besar di tangannya.

    “Saatnya makan anak-anak~!”

    Manusia itu berseru riang sambil meletakkan piring besar yang dia bawa, yang rupanya berisi potongan daging ayam dan sapi. Tentu saja baunya sedap sekali dan tanpa menunggu aba-aba, semua kucing yang ada disana langsung menyerbu piring itu. Termasuk diriku.

    Aku langsung makan dengan lahap. Maklum saja, aku sudah lapar sekali.

    “Makan yang banyak dan cepat gemuk ya~! Aku jadi tidak sabar untuk menikmati kalian semua~!”

    Tadinya aku tidak peduli dengan ucapan si manusia itu. Tapi begitu dia mengatakan hal itu. Aku langsung terdiam dan berhenti makan seketika.

    Perlahan-lahan aku menengadahkan wajahku dan terpaku ditempat.

    Wajah manusia itu sangat familiar bagiku, begitu juga dengan suaranya.

    Di hadapanku saat ini, berdiri sesosok wanita paruh baya yang mengenakan celemek penuh aksesoris berbagai bentuk dan warna. Sosok yang tidak pernah akan kulupakan selamanya. Sosok wanita penyihir gila pemakan kucing yang sudah menghancurkan hidupku.

    Tadinya aku sudah melupakan kejadian itu dan membiarkan hidupku mengalir apa-adanya. Tapi detik ini juga, aku bisa merasakan darahku kembali bergolak dan api dendam yang kukira sudah lama padam, mendadak berkobar hebat di dalam tubuhku.

    KETEMU JUGA KAU!!!!!

    Aku menjerit dalam hati penuh rasa benci, dendam, dan kemarahan.

    Sudah 20 tahun aku berkelana dari kota ke kota untuk menemukan dimana wanita gila itu ditahan, tapi akhirnya aku tidak menemukannya. Siapa sangka orang itu rupanya ada di kota ini dan cukup sinting untuk membuka toko aksesoris lagi, dan kurasa.....dia masih cukup sinting untuk tetap suka makan kucing.

    Tanpa sadar aku nyengir lebar, persis seperti tokoh Chessire Cat di cerita Alice in Wonderland.

    Kucing tidak bisa nyengir? Siapa bilang? Toh aku sedang melakukannya. Ya, aku benar-benar nyengir lebar ketika melihat sosok orang yang kubenci itu kini ada di depan mataku.

    Saatnya balas dendam! Pikirku penuh kebencian.

    ****

    Malam itu juga aku akan melaksanakan rencanaku.

    Kebetulan sekali, sama seperti sebelumnya, si pemiliki toko itu memang tinggal di tokonya sendiri yang merangkap sebagai tempat tinggalnya. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengikutinya sampai ke rumahnya.

    Kurasa jadi kucing itu ada enaknya juga.

    Maling sehebat apapun dalam menyelinap tidak ada yang sehebat seekor kucing, karena aku sama sekali tidak menimbulkan suara apapun ketika aku menyelinap masuk ke dalam tokonya tadi sore. Aku lalu bersembunyi di tumpukan kardus yang diletakkan di gudang belakang toko dan menunggu hingga malam tiba.

    Ketika matahari akhirnya terbenam dan toko akhirnya tutup, aku segera keluar dari tempat persembunyianku.

    Sekilas aku menoleh ke arah jendela gudang yang berteralis baja.

    Cahaya bulan purnama yang dingin dan pucat tampak memancar melewati jendela.

    Bulan purnama? Bagus sekali! Ujarku gembira dalam hati.

    Ketika bulan purnama, kekuatanku akan memuncak dan ini akan membuat usaha balas dendamku menjadi jauh lebih mudah. Kalaupun wanita tukang sihir gila itu mencoba menggunakan kekuatannya, aku bisa dengan mudah meredamnya dengan kekuatanku sendiri.

    Saatnya bangun! Penyihir jelek!

    Aku bergumam dalam hati sambil melepaskan apa yang selama ini kutahan selama tahun-tahun panjangku menjadi seekor kucing.

    Dalam waktu singkat tubuhku membesar berkali-kali lipat. Awalnya hanya sebesar seekor anjing, tapi itu tidak cukup, tubuhku terus bertambah besar dan kekar hingga akhirnya aku tumbuh lebih besar daripada seekor kerbau. Ukuran tubuhku kini sudah jauh lebih besar dari harimau atau singa manapun di dunia ini.

    Yah. Ada hikmahnya juga aku bertahan hidup jadi seekor kucing selama 20 tahun lebih.

    Apa kau tahu kalau seekor kucing hidup lebih panjang dari umurnya yang seharusnya, kucing itu sudah bukan ‘kucing’ lagi?

    Itulah yang terjadi padaku. Setelah menjalani tahun ke-15 sebagai seekor kucing, tiba-tiba saja aku merasa berbeda dan begitu kuat. Ketika aku menyadarinya, tahu-tahu saja aku bisa berubah jadi kucing raksasa seperti ini.

    Aku merasa bersyukur dengan kekuatan aneh yang kumiliki ini, karena aku bisa melampiaskan dendam yang kumiliki ini dengan lebih mudah lagi.

    Sambil menggeram rendah, aku mengayunkan ekorku yang kini sudah bertambah jadi 3 buah ke rak kaca yang ada di dekatku.

    Suara ribut ketika aku memecahkan rak aksesoris itu langsung membuat si wanita penyihir pemakan kucing terbangun dari tidurnya. Menyadari kalau ada orang yang masuk ke dalam tokonya dan sepertinya berniat merampok, wanita itu langsung turun ke lantai bawah sambil menggenggam keris pusaka, sumber kekuatannya.

    Wanita itu berniat untuk menghukum berat siapapun orang bodoh yang nekat merampok tokonya itu dengan sihir yang dia miliki.

    Tapi begitu dia sampai di tokonya, wanita penyihir itu melongo tidak percaya karena melihat sesosok kucing raksasa berbulu hitam pekat tampak berdiri dengan pose mengancam.

    “Apa yang....!?”

    Sebelum penyihir itu sempat bicara sepatah katapun, aku menerkamnya hingga dia melepaskan senjata pusakanya dan terjatuh di lantai. Tanpa basa-basi aku menekankan cakar kiriku ke atas dadanya, membuat wanita penyihir itu tidak bisa bergerak.

    “Kita bertemu lagi! Apa kau masih ingat aku!?”

    Seruku dengan suara geraman rendah, hingga kata-kataku jadi agak sulit didengar. Maklum saja, kucing memang tidak seharusnya bicara bahasa manusia.

    Kedua mata wanita penyihir itu terbelalak lebar.

    “Ya! Aku adalah korban terakhirmu yang kau jadikan kucing dan nyaris kau santap!!” geramku lagi sambil menekan cakarku lebih keras lagi. Wanita penyihir itu menjerit kesakitan ketika merasakan tulang-tulang rusuknya mulai berderak mengerikan. “Apa kau tahu bagimana rasanya derita hidup seorang manusia yang diubah jadi kucing?!! Aku diusir keluarga dan ‘calon’ pacarku sendiri, terpaksa hidup di jalanan, makan makanan sisa, bertarung sampai hampir mati hanya untuk sepotong makanan busuk, dikejar-kejar anjing dan orang-orang sinting yang ingin membunuhku hanya untuk bersenang-senang!!! Apa kau tahu bagaimana rasanya?!!”

    Wanita itu menjerit lebih keras ketika aku menekan cakarku lebih keras lagi. Kurasa aku baru saja meremukkan dua atau tiga tulang rusuknya.

    “A....ampun! Ampuni aku!! Aku....aku....aku minta maaf!!” seru wanita penyihir itu dengan suara lirih karena kesakitan. “Kumohon jangan bunuh aku!!!”

    Aku langsung tertawa terbahak-bahak hingga mulutku mengeluarkan suara yang sangat aneh dan janggal untuk seekor kucing. Tanpa pikir panjang aku menghantamkan sebelah cakarku ke tangannya dan meremukkan tangan rapuh wanita penyihir itu seketika.

    Wanita itu menjerit lagi.

    Aah....jeritannya bagaikan musik yang indah di telingaku.

    “Am...ampuun!!! Ja...jangan bunuh aku!! Kumohon!!! Aku.....aku bisa mengubahmu kembali jadi manusia kalau kau mau!!!” pinta wanita malang itu sambil menahan rasa sakit di tangan dan dadanya.

    Seketika itu juga aku terkesiap dan tanpa sadar melepaskan cakarku dari dada dan tangannya yang sudah remuk. Aku terdiam begitu mendengar ada kesempatan bagiku untuk kembali jadi manusia.

    “Be.....benarkah?” tanyaku dengan suara bergetar penuh harap. “Kau benar-benar bisa melakukannya???”

    Tapi wanita penyihir itu tidak menjawab, dia malah bangun dan melesat dengan cepat mengambil keris pusakanya. Dia lalu menikamkan senjata sihir itu ke sisi kiri tubuhku.

    Aku meraung keras karena rasa sakit tidak tertahankan dari tusukan benda itu, kemudian aku terhuyung-huyung ke samping lalu jatuh menimpa rak-rak kaca lainnya.

    “Rasakan itu kucing busuk!!! Siapa memangnya yang mau mengubahmu lagi jadi manusia? Setelah bertahun-tahun menghilang dari hadapanku, tidak kusangka kau berubah jadi kucing sebesar ini!!!” seru wanita penyihir itu dengan suara melengking sambil menjilati kerisnya yang berlumur darahku. “Daging yang empuk dan luar biasa banyak! Aku bisa pesta pora seminggu penuh kalau begini!”

    Wanita itu melangkah ke depanku dengan gaya penuh kemenangan, seakan-akan dia sudah berhasil mengalahkanku.

    Tapi dia salah.

    Peraturan pertama dalam pertarungan dengan seekor kucing: Kalau lawanmu belum mati atau berbalik lalu kabur, kau belum benar-benar menang!

    Lagipula apa yang wanita gila itu pikirkan? Memangnya keris kecil seperti itu bisa mengalahkanku hanya dengan satu tusukan?

    Begitu dia ada tepat di depan wajahku dan mengangkat kerisnya tinggi-tinggi, aku mengayunkan sebelah cakarku dan membuatnya terbang ke sisi lain toko, menghantam rak kaca, lalu tergolek tidak berdaya.

    Dengan lemah, wanita itu memandang ke arahku yang berjalan mendekatinya dengan tatapan penuh nafsu membunuh.

    “A........a........a.........ampuni....a....ak....aku.......” pinta wanita itu lagi.

    Tentu saja aku tidak mau mengampuninya. Tadinya aku sempat berpikir untuk membiarkannya hidup kalau dia mau mengubahku jadi manusia lagi. Tapi sepertinya sia-sia saja. Wanita ini benar-benar gila!

    “Mengampunimu? Bagaimana ya???” ujarku sambil nyengir lebar.

    Kemudian aku membuka mulutku lebar-lebar dan mencabik tubuhnya jadi dua dalam sekali gigitan. Darah segar langsung membasahi lantai dan wajahku, tapi aku sama sekali tidak merasa jijik. Aku menikmatinya.

    Aku menikmati gurihnya ‘rasa’ balas dendam yang sedang kulakukan ini.

    Tidak butuh waktu lama sampai aku selesai melahap habis seluruh tubuh wanita penyihir itu. Kini yang tersisa dari wanita-penyihir-gila-penikmat-kucing itu hanyalah genangan darah dan keris yang tadi dia gunakan untuk melukaiku.

    Aku menjilati bibir dan gigiku sendiri, menikmati rasa dari apapun yang tertinggal disana.

    Ah....ngomong-ngomong daging manusia itu memang gurih sekali ya. Seharusnya aku lebih sering lagi makan daging manusia, ujarku dalam hati sementara aku nyengir lebar dan memandangi bulan purnama yang bersinar pucat di langit.

    ****

    ~FIN~

    red_rackham 2011

    Also available in HERE
     
    • Thanks Thanks x 1
  4. araishi93 M V U

    Offline

    Joined:
    Jun 20, 2011
    Messages:
    0
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +102 / -0
    Waaaaaw,,
    ceritanya menarik kak..
    Tapi, sayang si "Aku" ga bisa kembali jadi manusia,
    malah jadi kucing besar pemakan manusia..:dead:

    Akhir yang sadis, :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  5. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Agustusan 2011: Pahlawan Dibalik Jeruji Besi

    Agustusan 2011: Pahlawan Dibalik Jeruji Besi

    Tanggal tujuh belas Agustus.....

    Tanggal yang bersejarah bagi bangsa Indonesia.

    Tanggal yang bahkan dianggap sakral oleh sebagian orang dan disebut-sebut memiliki banyak makna selain sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

    Tanggal yang merepresentasikan hasil perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan yang telah direnggut oleh bangsa asing selama lebih dari 3,5 abad.

    Tanggal yang menandakan bahwa pada akhirnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang bebas, lepas dari tekanan para penjajah rakus yang bercokol bagai parasit di atas bumi pertiwi.

    Setidaknya itulah makna tanggal 17 Agustus bagi hampir seluruh warga yang tinggal di zamrud khatulistiwa ini.

    Tapi tidak bagiku.

    Bagiku tanggal 17 Agustus adalah momok menakutkan yang ingin sekali kuhindari. Kalau bisa, aku ingin sekali menghapuskan angka 17 dari kalender bulan Agustus, meski aku sadar itu tidak mungkin terjadi. Kecuali kalau aku pergi ke masa lalu dan membunuh atau mengancam siapapun yang membuat kalender itu agar menghapus tanggal 17 dari bulan Agustus. Tapi sekali lagi aku menyadari itu hanyalah khayalan belaka. Tidak mungkin jadi kenyataan.

    Aku menghela nafas lagi sambil memandang langit di balik batang-batang baja yang kokoh membatasi antara diriku dan dunia luar.

    Sudah hampir 3 bulan ini aku tinggal di tempat ini. Tempat yang bagi sebagian orang merupakan sebuah momok menakutkan, hingga mereka bersedia menghalalkan segala cara untuk menghindari tempat ini. Tapi tempat ini juga merupakan semacam ‘villa pribadi’ bagi sebagian orang yang punya cukup uang untuk menikmati fasilitas tidak masuk akal yang seharusnya tidak ada disini.

    Ya.

    Tempat ini bernama penjara.

    Dan karena aku ada disini, tentu saja itu artinya aku adalah seorang narapidana. Tapi aku bukan seorang narapidana biasa....aku adalah seorang terpidana mati.

    MATI.

    Kata-kata yang menakutkan bagi setiap orang, termasuk diriku.

    Memang semua orang pada akhirnya akan mati, tapi akan lebih tidak menakutkan kalau kita tidak tahu kapan kita akan mati. Kalau kita sudah tahu kapan kita akan mati....yah......rasanya luar biasa menakutkan.

    Mati.

    Ya.

    Pada tanggal 17 Agustus nanti nyawaku akan berakhir.

    Berhubung di Indonesia tidak ada hukuman gantung, sudah bisa dipastikan aku tidak akan berakhir di tiang gantungan. Mungkin nyawaku nanti akan berakhir di tangan regu tembak atau dokter yang akan menyuntik mati diriku.

    Kalau bisa sih...aku pilih mati disuntik karena sepertinya aku tidak perlu lama-lama merasa sakit....atau mungkin aku tidak akan merasakan sakit sama sekali.

    Sayangnya aku tidak bisa memilih jalan kematianku sendiri. Pengadilan yang akan memutuskan bagaimana aku mati nantinya.

    Untuk kesekian kalinya hari ini, aku kembali menghela nafas panjang.

    Kalau sudah begini...rasanya hidup juga sia-sia. Apapun yang kulakukan sekarang rasanya percuma saja karena toh 5 hari lagi, aku akan mati.

    Sekilas aku melirik ke arah kalender yang tergantung di sel tahananku yang kecil dan gelap.

    Tanggal 12 Agustus....ya.....hidupku tinggal 5 hari lagi.

    Kalau berita acara pengadilan yang kuterima itu benar....maka aku akan mati pada tanggal 17 Agustus 2011, tepatnya pada pukul 18.00, tidak lama setelah matahari terbenam.

    Hah....lucu sekali kalau nyawaku harus berakhir akibat suatu perbuatan yang tidak pernah kulakukan.

    Terorisme....teroris....

    Itulah stigma yang dilekatkan pada diriku ketika mereka menyerbu rumahku dan memenjarakan diriku. Kemudian tidak lama kemudian...mereka memutuskan untuk menghukum mati diriku.

    Hanya karena sebuah paket nyasar yang sampai di rumahku 3 bulan yang lalu. Harusnya sejak awal aku langsung mengembalikan paket itu ke perusahaan jasa pengiriman barang yang mengirimnya. Tapi apa boleh buat....kemalasanku waktu itu berakibat fatal.

    Aku sama sekali tidak tahu paket nyasar itu berisi ratusan butir amunisi dan beberapa kilogram bahan peledak berdaya ledak tinggi.

    Gara-gara menerima paket itu, aku jadi dikait-kaitkan dengan jaringan terorisme yang sedang marak menjalankan aksinya di Indonesia. Memang wajar orang berpikiran seperti itu, tapi jadi tidak wajar kalau aku tiba-tiba saja dituduh menjadi dalang dibalik peristiwa pemboman yang mengakibatkan nyawa puluhan orang melayang beberapa bulan yang lalu.

    Media massa juga tidak membantu. Mereka mengipasi berita dan rumor-rumor yang beredar di masyarakat mengenai diriku hingga pada akhirnya orang-orang mengenalku sebagai seorang teroris ahli bom.

    Hah! Padahal aku sama sekali tidak tahu menahu soal bom dan alat-alat pembunuh semacam itu. Toh aku ini hanya tamatan SMA yang bekerja sebagai buruh pabrik. Tahu apa aku soal bom, terorisme, radikalisme, dan semua isme-isme lainnya? Kalaupun aku tahu, aku tidak peduli. Yang kupedulikan tiap hari adalah bagaimana aku bisa makan besok tanpa diusir dari rumah kosku.

    Sekali lagi aku menghela nafas panjang.

    Menggerutu, mengumpat, mengomel, atau berargumen sendiri sudah tidak ada gunanya. Apapun yang kulakukan dan kukatakan, hukuman itu sudah ditetapkan. Kecuali ada suatu keajaiban....aku hampir pasti tidak akan bisa melihat matahari terbit pada tanggal 18 Agustus nanti.

    “Kenapa murung?”

    Aku menoleh karena ada yang memanggil dan berhadapan dengan teman sesama narapidana di penjara tempatku dikurung.

    Diantara semua narapidana di penjara ini, dialah satu-satunya orang yang menyapaku dan mau berbicara denganku. Semua narapidana yang lain berusaha menghindar dan enggan berinteraksi dengan orang yang nyawanya tinggal kurang dari seminggu ini. Hanya narapidana bernama Alvin ini yang sering berbicara denganku.

    “Gimana ga murung? Bentar lagi gue bakalan mokat....” balasku sambil bersandar ke pintu sel yang dingin dan keras. “Emangnya enak mikirin nyawa gue bakal dicabut 5 hari lagi?”

    “Yah....aku bisa paham sih....tapi kan masih ada waktu 5 hari lagi. Siapa tahu pengadilan berubah pikiran dan akhirnya membebaskanmu,” balas Alvin dengan santainya. Kadang-kadang aku ingin sekali menghajar orang ini karena sifatnya yang santai dan cengengesan itu. Lagipula...waktu 5 hari itu akan terasa berlalu cepat sekali kalau kau ada dalam posisiku.

    “Loe kira gue ini tajir mampus sampe bisa nyuap hakim dan jaksa pengadilan?!” bentakku sambil memukul jeruji besi di belakangku. “Cuma duit yang bisa bikin gue bebas dari semua fitnah ga masuk akal ini!! Dan GUE INI KAGAK PUNYA DUIT, TAHU!!!!”

    Alvin mengangkat kedua tangannya dan tersenyum kecut mendengar seruanku.

    Tapi apa yang kukatakan ini tidak salah. Sejak awal aku ditahan, pengadilan seakan-akan berusaha memastikan kalau aku adalah seorang teroris, seorang jenius gila pelaku pemboman, seorang ******** yang seharusnya mati di tiang gantungan....atau di lapangan tembak.....Apapun yang kukatakan, saksi apapun yang dihadirkan, fakta apapun yang ditampilkan, sama sekali tidak membuat putusan pengadilan goyah. Tentu saja kecuali aku punya cukup uang untuk memutar balikkan fakta pengadilan dan menggoyahkan putusan absolut mereka.

    Tapi berhubung aku tidak punya uang....semua perjuanganku sia-sia saja. Seakan-akan aku ini cuma tumbal untuk memuaskan rasa ‘keadilan’ masyarakat atau segelintir orang saja. Sama sekali tidak ada keadilan untukku.

    “Yah...kalau sudah begini sih kamu cuma bisa berdoa saja,” ujar Alvin lagi sambil duduk di lantai, tepat di sampingku. Pria bertampang menyebalkan itu lalu mendongak ke arahku. “Setidaknya kau sudah sempat berusaha mati-matian untuk membela diri. Kalau itu semua tidak berhasil...yah...apalagi yang bisa kau lakukan selain berdoa pada Tuhan?”

    Aku menggeram lagi dan ingin sekali mengamuk. Tapi aku juga sadar Alvin benar.

    Kekuatan apalagi yang kumiliki untuk mempertahankan nyawa dan kemerdekaanku kalau sudah begini? Tidak ada. Satu-satunya kekuatan yang bisa kuandalkan saat ini hanyalah kekuatan dari Tuhan dan mentalku sendiri.

    Kalau kupikir-pikir....hebat juga aku tidak jadi gila atau memutuskan bunuh diri setelah semua yang kulalui ini. Aku baru tahu sekarang kalau aku bermental baja. Mungkin daripada buruh pabrik, dari dulu aku sebaiknya melamar jadi tentara saja.

    Yah......tapi itu lagi-lagi hanyalah angan-angan kosong.

    Toh sekali lagi aku mengingatkan diriku sendiri.....nyawaku tinggal 5 hari lagi.

    “Tapi aku tetap berpendapat kalau kau belum boleh menyerah hingga tiba waktu eksekusi itu.”

    Tiba-tiba Alvin berbicara lagi sambil berdiri dan memandang keluar jendela sel yang dilapisi jeruji baja yang kokoh dan tebal. Ketika melakukan itu, sekilas dia terlihat begitu sedih, aku sempat penasaran kenapa. Tapi ucapannya berikutnya membuat rasa penasaranku menguap begitu saja.

    “Sifat pantang menyerah, gigih, dan percaya pada kekuatan Tuhan adalah 3 sifat yang dulu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka. Bukankah begitu?” tanya Alvin sambil nyengir lebar. “Sebagai bangsa Indonesia harusnya kau juga punya sifat seperti itu dong! Mau jadi apa bangsa ini kalau orang-orangnya sepertimu semua? Apa kata dunia?”

    Aku mendengus kesal dan menyikut pinggang pria itu.

    “Jiaaah! Emangnya loe kira lo siapa? Bung Karno? Sok banget loe nyeramahin gue kayak gitu!” balasku sambil tertawa pelan. “Loe harusnya kagak jadi napi ‘vin! Loe harusnya jadi jendral atau politisi kalo loe jago ngomong kayak gitu!”

    Alvin lalu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku dan aku ikut tertawa bersamanya. Dia lalu berdiri dan pergi meninggalkanku sambil melambaikan tangannya dengan riang.

    Aku tersenyum tipis.

    Seperti kata Alvin tadi. Aku belum boleh menyerah kecuali kalau aku sudah berdiri di lapangan tembak dengan regu penembak mati ada di depanku. Sampai saat itu tiba...masih ada harapan....meski harapan itu sangat kecil sekali.

    Tuhan....jangan biarkan aku mati begitu saja!

    ****

    Hari berikutnya kulalui seperti biasanya.

    Aku berusaha melakukan aktivitasku di penjara seperti biasanya, tanpa memikirkan kalau jatah hidupku sudah berkurang 1 hari lagi.

    Kalau sudah begini...aku jadi sangat paham bahwa setiap hari itu berharga. Sekarang aku jadi heran sendiri kenapa dulu kulihat ada banyak orang yang menyia-nyiakan hari-harinya yang berharga itu dengan berbuat jahat. Seakan-akan jatah hidup mereka itu tidak terbatas.....padahal mereka bisa saja mati sewaktu-waktu.

    Seperti biasanya, aku memilih aktivitas berkebun sebagai bagian dari ‘program rehabilitasi’ di penjara. Meski tahu kalau ini semua sia-sia saja karena keahlian yang kupelajari ini akan kubawa ke liang kubur, aku tetap melakukannya dengan tekun dan sungguh-sungguh.

    Setidaknya kalaupun aku mati nanti, aku sudah membantu memberikan kehidupan pada tanaman-tanaman hias dan herbal yang kutanam ini.

    Sambil bersenandung pelan, aku menyirami tanaman-tanaman yang kurawat dengan hati-hati sejak 3 bulan yang lalu. Beberapa tanaman sudah mulai tumbuh dengan baik, meski akan makan waktu beberapa bulan lagi sampai ada yang berbunga atau ada yang bisa dipanen. Tapi aku senang.

    Tidak disangka pekerjaan remeh seperti ini bisa sangat menyenangkan, karena hanya disaat inilah aku merasa seperti orang bebas.....orang merdeka.

    “Hm?”

    Tiba-tiba aku bergumam pada diriku sendiri ketika menyadari ada yang tidak biasa. Aku lalu berdiri dan memandang ke sekelilingku.

    Kecuali beberapa orang napi yang menekuni program yang sama denganku, aku tidak melihat sosok Alvin. Pria itu juga memilih program rehabilitasi yang sama denganku dan dia biasanya selalu ada di kebun sebelum aku datang. Tapi hari ini aku tidak melihatnya sama sekali.

    “Heran....kemana tuh orang?” tanyaku pada diriku sendiri. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya dan meneruskan pekerjaanku.

    Berbeda denganku yang masuk penjara karena fitnah...Alvin dipenjara karena suatu perbuatan kriminal kelas berat. Sayangnya dia sendiri tidak mau menceritakan perbuatan kriminal macam apa yang sudah dia lakukan. Yang pasti dia sudah ada di penjara ini cukup lama akibat perbuatannya itu.

    Kadang-kadang aku heran dengan sikap napi lain yang terkesan menghindari Alvin. Aku sih tidak tahu apa alasannya karena baik Alvin maupun napi lainnya enggan bicara padaku. Kalau aku paksa dia bercerita, Alvin selalu mengatakan kalimat yang sama.

    “Ah. Aku tahu yang kulakukan dulu itu benar-benar salah dan aku siap menanggung akibat dari perbuatanku itu. Aku bahkan siap menebus nyawaku untuk membayar akibat perbuatanku dulu.”

    Tapi pria itu tidak pernah menceritakan perbuatannya padaku dan hanya tersenyum kecut setelah mengucapkan kalimat itu.

    Orang yang aneh....

    Aku bergumam sendiri kalau mengingat-ingat sikap Alvin yang terkadang terasa sangat misterius itu.

    ****

    Peristiwa itu datang begitu saja tanpa kuduga sama sekali.

    Hanya 2 hari sebelum aku dihukum mati, tiba-tiba saja datang surat panggilan dari pengadilan untukku.

    Tadinya aku hampir yakin kalau itu adalah panggilan pengadilan yang pada akhirnya akan memutuskan bagaimana nyawaku akan diakhiri.

    Apakah di tangan regu tembak atau di tangan seorang dokter?

    Aku sudah pasrah saja ketika aku digiring keluar penjara dengan pengawalan super-ketat dan duduk di kursi terdakwa dengan kawalan pasukan khusus bersenjata lengkap.

    Tadinya aku sudah membayangkan wajah hakim dengan tenangnya mengetuk palu kematian untukku dan berkata. “Hukuman mati saudara adalah hukuman tembak!”

    Tapi alih-alih kalimat yang menentukan akhir nyawaku, aku malah mendengar sebuah kalimat yang benar-benar membuatku melongo. Sebenarnya sih hakim sudah bicara panjang lebar mengenai pasal-pasal dan sebagainya, tapi aku abaikan semuanya karena aku hanya mendengar kalimat akhirnya.

    “.....dengan ini pengadilan memutuskan untuk menangguhkan hukuman mati saudara sampai ada bukti-bukti lebih lanjut mengenai keterlibatan saudara dengan....”

    Kalimat selanjutnya tidak kudengar sama sekali dan kuanggap tidak penting.

    Hanya sepotong kalimat saja yang kudengar dengan jelas.

    “...pengadilan memutuskan untuk menangguhkan hukuman mati saudara....”

    Hanya sepenggal kalimat yang bagi orang lain terdengar sangat sederhana, tapi bagiku sepotong kalimat itu berarti segalanya.

    Spontan aku langsung turun dari kursi terdakwa yang kududuki sejak tadi dan bersujud pada Tuhan.

    Kekuatan Tuhan itu memang ada!!

    Alvin benar! Aku belum boleh menyerah sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan nyawa dan kebebasanku.....kemerdekaanku! Sama seperti para penjuang kemerdekaan pada jaman dahulu!

    Tapi aku lalu sadar kalau aku belum boleh bergembira berlebihan.

    Pengadilan hanya menangguhkan hukuman matiku. Memang itu artinya aku tidak jadi mati di hari kemerdekaan Indonesia, tapi tetap saja aku masih terancam hukuman mati.

    Hanya saja keputusan ini memberikanku peluang dan harapan untuk bisa hidup.....dan aku sudah tidak peduli lagi meski aku harus menghabiskan lebih banyak waktu di penjara. Yang penting nyawaku tidak jadi dicabut 3 hari lagi!

    Dengan perasaan gembira, aku bangkit dan kembali duduk di kursi terdakwa dengan tenang.

    ****

    Ketika aku kembali ke penjara aku langsung mencari-cari sosok Alvin.

    Tapi anehnya aku tidak bisa menemukan dimana dia berada.

    Karena penasaran, aku berjalan ke blok sel lain, tempat pria itu ditahan. Harus kuakui, selama 3 bulan berada disini aku tidak banyak berkeliaran ke blok-blok lain. Bukan hanya karena aku merasa itu tidak perlu, tapi juga karena aku takut dengan napi lain di penjara ini. Yah...mau bagaimana lagi...sebagian dari mereka bertampang sangar dan jelas terlihat tidak bersahabat.

    Tapi setelah berputar-putra cukup lama dan tidak menemukan sosok Alvin, aku jadi memberanikan diri dan bertaya pada seorang napi di blok itu. Kebetulan sekarang ini jam bebas dan para napi boleh keluar dari selnya.

    “Ma...maaf...apa ada napi yang bernama Alvin di blok ini?” tanyaku pada seorang napi botak bertato yang duduk di depan pintu selnya.

    Napi itu memandangiku dengan tatapan heran, lalu menoleh ke arah teman-temannya di dalam sel.

    Aku langsung mendapat kesan kalau dia enggan bicara denganku.

    “Emangnya loe ga tau ya?” tanya teman pria botak itu dari dalam sel.

    “Tau apa?” balasku bingung.

    “Alvin udah ga disini lagi,” jawab napi itu.

    “Eh? Yang bener? Emangnya dia udah bebas?” tanyaku lagi.

    “Bebas?” tanya si napi botak. Dia lalu menghela nafas panjang sambil menatapku dengan tatapan sedih. “Dia ga bebas. Dia udah mati.”

    Aku seakan-akan mendengar suara gelegar guntur dalam kepalaku.

    “Ma...mati? Ko...kok bisa?” tanyaku dengan nada terbata-bata.

    “Emangnya loe ga tau? Alvin itu sama kayak loe, terpidana mati. Cuman dia ga dapet perpanjangan nyawa kayak loe. Emangnya lo bener-bener ga tau siapa dia? Dia itu Alvin ‘Si Tukang Potong’, pembunuh berantai yang udah bunuh orang selusin lebih!” ujar si napi botak. “Udah lama gue denger dia bakalan dihukum mati, tapi ga tau kapan. Baru sebulan yang lalu gue denger hukuman matinya itu udah pasti dan bener aja..... dia mati ditembak algojo 3 hari yang lalu, kalo ga salah sih dia ditembak pas tengah malam.”

    Ketika aku mendengar ucapannya, aku terdiam.

    Selama aku mengenalnya....tidak sekalipun Alvin mengeluh soal hukuman matinya. Aku bahkan tidak tahu kalau dia itu juga seorang terpidana mati seperti diriku. Terlebih soal Alvin yang ternyata adalah seorang pembunuh berantai.

    Alvin yang kukenal adalah orang yang santai, periang, cengengesan, dan terkadang menyebalkan. Tapi meski demikian, dia adalah orang yang selama ini berusaha meringankan beban pikiranku. Dia juga yang selalu memberiku semangat untuk tetap menjalani sisa hidupku dengan tegar dan tenang, meski sebenarnya nyawanya sendiri juga tidak lama lagi akan hilang.

    Sambil berjalan meninggalkan blok sel tempat Alvin dulu ditahan, aku terus terdiam.

    Itu artinya pertemuanku dengan Alvin 3 hari yang lalu itu adalah pertemuan terakhirku dan hari itu juga adalah hari terakhirnya bisa melihat matahari.

    Aku lalu berhenti berjalan.

    Ucapan terakhir Alvin kembali terngiang di telingaku.

    “Sifat pantang menyerah, gigih, dan percaya pada kekuatan Tuhan adalah 3 sifat yang dulu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka. Bukankah begitu? Sebagai bangsa Indonesia harusnya kau juga punya sifat seperti itu dong! Mau jadi apa bangsa ini kalau orang-orangnya sepertimu semua? Apa kata dunia?”

    Aku terdiam dan tersenyum miris dalam hati.

    Bagi orang lain Alvin hanya seorang pembunuh berantai terpidana mati, yang nyawanya berakhir di lapangan eksekusi.

    Tapi bagiku dia adalah seorang pahlawan yang keberadaannya tidak tergantikan.

    Dialah orang yang membuatku menyadari betapa berharganya arti hidup, ketika mengetahui kalau hidup ini akan berakhir.

    Dia juga orang yang dengan semangat 45-nya, terus memberiku semangat agar tegar menghadapi cobaan yang sedang kualami ini.

    Aku lalu memandang ke langit, kearah Sang Saka Merah Putih yang berkibar di langit biru.

    Dengan sepenuh hati aku memberi hormat, bukan untuk sepotong kain merah-putih yang ada di tiang itu, tapi untuk jiwa tegar seorang pahlawan yang telah gugur di bumi pertiwi.

    Alvin! Kau adalah seorang pahlawan!

    ****

    ~FIN~


    Also available HERE
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Pembela Kebenaran

    Pembela Kebenaran

    Hai.

    Namaku Andrian Hermansyah.

    Kali ini aku ingin menceritakan sebuah pengalaman menakjubkan yang pernah kualami dalam hidupku. Pengalaman yang tidak pernah kulupakan dan tentu saja, telah mengubah hidupku selamanya.

    Oke. Biar tidak terlalu banyak basa-basi, sebaiknya langsung saja kumulai ceritanya.

    Seperti biasanya, hari itu aku juga melakukan pekerjaan yang sudah kugeluti selama 5 tahun terakhir ini. Pekerjaan yang biasanya tidak akan dilakukan oleh orang biasa. Pekerjaan yang terkadang sangat berbahaya dan menantang maut, sehingga satu kesalahan kecil saja bisa membuatku terbang ke surga...atau ke neraka...

    “Hari ini akan kupastikan kau kalah, hai Masked Knight!”

    Di hadapanku sekarang, berdiri seekor makhluk yang tampaknya merupakan campuran antara manusia, bebek, dan ikan lele. Jelas sekali makhluk itu bukan sesuatu yang bisa kalian temui setiap hari, tapi bagiku, itu adalah sosok makhluk yang biasa berdiri menantangku.

    “Aku tidak akan pernah kalah dari makhluk-makhluk jahat sepertimu, dasar utusan Death Slum!” balasku sambil memasang pose siap tempur. “Sekarang sebelum kau kuhajar, lepaskan wanita itu!”

    Aku menunjuk ke arah seorang wanita kantoran yang didekap oleh si monster bebek-lele dengan tangannya yang bebulu dan berlendir. Wanita itu tampak sangat ketakutan dan tampak akan pingsan sewaktu-waktu. Wajar saja, tidak ada orang waras yang tidak ketakutan kalau bertemu, apalagi sampai disandera oleh monster sejelek itu. Sungguh jelek nasib wanita kantoran itu hari itu.

    “Ahahahaha....!!!! Tidak akan kulepaskan!” balas si monster bebek-lele. “Wanita ini calon yang sempurna untuk tumbal bagi Death Slum!”.

    Aku menghela nafas.

    Selalu saja begini!

    “Kalau begitu! Bersiaplah untuk menghadapi kemarahanku!”

    Aku berseru sambil berlari ke arah si monster. Monster bebek-lele itu tampak terkejut karena aku mengabaikan wanita kantoran yang sedang dia sandera. Tapi tentu saja aku tidak berniat menghajar monster itu tanpa menyelamatkan si wanita.

    Dengan gerakan cepat, aku menendang kepala si monster bebek-lele, lalu menyambar si wanita dari dekapan si monster dan segera membawanya menjauh.

    “Pergilah!” perintahku sambil mengibaskan tangan. Si wanita kantoran langsung mengangguk dan mengambil langkah seribu.

    Begitu aku yakin wanita itu sudah aman, aku kembali berpaling ke arah si monster.

    Habis kau sekarang!

    Diam-diam aku tersenyum dibalik helm berat dan tebal yang kukenakan.

    Tanpa basa basi aku mengambil pose untuk melancarkan serangan maut. Sebelum si monster bebek-lele sempat menghindar atau menyerang, aku segera berlari ke arah monster jelek itu dan melompat.

    “Terima ini!! TENDANGAN MAUT~!!!”

    Aku berseru nyaring sambil melancarkan tendangan andalanku ke arah dada si monster bebek-lele. Tentu saja tendanganku kena telak dan membuat si monster terjengkang ke belakang, lalu jatuh terguling di tanah. Monster bebek-lele itu tampak mengerang kesakitan, lalu terdiam.

    Mati kau! Ujarku dalam hati.

    Aku tahu tendanganku itu pasti akan membuat monster apapun yang berhadapan denganku, tidak berkutik setelah mencicipi rasanya.

    Begitu si monster bebek-lele berhenti bergerak, aku langsung berbalik memunggungi tubuhnya yang tergeletak di tanah.

    Sambil berkacak pinggang dan menengadah ke arah langit, aku berseru keras “Kejahatan akan selalu takluk oleh kebenaran! Selama ada kejahatan, aku, Masked Knight, tidak akan berhenti berjuang hingga titik darah penghabisan.”

    Ya. Aku tahu. Memang kata-kataku itu terdengar sangat...sangat memalukan, belum ditambah lagi poseku yang terlihat bodoh ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus mengatakan itu dan berpose seperti ini, setiap kali aku berhasil mengalahkan lawan-lawanku.

    Yak ini bagus sekali! Lagi-lagi lancar!

    Dalam hati aku benar-benar gembira karena semua ini telah berakhir.

    ****

    Aku masih berdiri dengan pose memalukan itu selama beberapa menit sampai akhirnya aku mendengar suara tepukan keras dan seruan.

    “CUT~!!!!”

    Aku langsung mendesah dan berbalik menghadapi kru film yang menyambutku dengan tepukan tangan. Aku membalas tepukan tangan mereka dengan lambaian dan segera berjalan menghampiri si monster bebek-lele yang sedang melepas kepalanya.

    “Kerja bagus seperti biasa,” ujar pria di balik kostum monster jelek itu.

    Aku ikut membuka helm berat dan pengap yang kukenakan, kemudian balas tersenyum ke arahnya.

    “Kau juga. Kerja bagus, Rudi,” balasku sambil membantunya berdiri. Kostum monster bebek-lele itu memang berat dan tebal sehingga dia agak sulit berdiri, tapi berkat itu dia juga hampir tidak merasakan sakit ketika aku sungguh-sungguh menendangnya tadi.

    Hah? Apa?

    Kalian pikir aku ini benar-benar seorang pembela kebenaran berkekuatan super bernama Masked Knight?

    Jangan konyol!

    Yang seperti itu sih hanya ada di film dan anime saja!

    Mana ada manusia super seperti itu di dunia ini!

    Aku ini bekerja sebagai seorang suit aktor, seorang pemeran pengganti yang mengenakan kostum pahlawan super dan memperagakan adegan-adegan aksi yang kadang sangat berbahaya. Ah. Kadang-kadang aku juga seperti si Rudi, ganti mengenakan kostum monster kalau Rudi sedang memerankan Masked Archer, rekan sekaligus rival dari Masked Knight.

    “Ada rencana apa sepulang kerja?” tanya Rudi sambil berkutat melepaskan diri dari kostum monster konyolnya.

    Sambil membantu menarik kostum monster yang terlalu ketat menempel di tubuhnya, aku menjawab “Tidak ada. Memangnya kenapa?”

    “HAH! Akhirnya lepas juga!” seru Rudi ketika dia akhirnya bisa melepaskan diri dari kostumnya. Dia lalu menjawab pertanyaanku. “Eh...gimana kalau kita mampir ke warteg Bu Joni di samping stasiun nanti malam. Aku lapar nih.”

    Sambil bercanda, aku menepuk kepalanya.

    “Bukannya tadi kau baru saja menghabiskan 2 box jatah makan siang kita?” ujarku sambil nyengir lebar. “Kalau lebih gendut dari ini, nanti kau benar-benar nyangkut di dalam kostum monster atau pahlawanmu loh.”

    Rudi balas menyikut pinggangku sambil tertawa. Tentu saja aku tidak merasakan sikutannya karena pinggangku masih tertutup kostum armor Masked Knight yang terbuat dari plastik tebal dan berat.

    “Nah. Ayo kita pulang!” ajak Rudi sambil menenteng kostum monster bebek-lele yang dikenakannya tadi.

    Aku tersenyum dan berjalan mengikutnya, sambil berusaha melepaskan kostumku yang juga berat dan pengap.

    Makan di warteg Bu Joni di samping stasiun ya? Sudah lama juga tidak mampir disana. Kuharap nanti bakwan udang dan lalap jengkolnya masih ada.

    ****

    Baiklah.

    Seharusnya malam itu aku dan Rudi bisa makan di warteg Bu Joni dengan tenang dan damai. Tapi sepertinya aku sedang dihinggapi pembawa sial. Aku juga tidak ingat semalam aku mimpi apa hingga aku mengalami hal sesial hal yang kualami waktu itu.

    Baru saja kami berdua mulai makan di warteg yang cukup besar itu, tiba-tiba saja 3 orang pria berotot dan bertampang sangar masuk ke dalam warteg. Tadinya sih aku cuek-cuek saja karena preman seperti mereka memang banyak mangkal di sekitar stasiun. Mereka memang biasa makan di warteg-warteg yang banyak dibuka di sekitar stasiun. Tapi kali ini ketiga orang pria itu sama sekali tidak berniat untuk makan.

    Baru saja mereka masuk ke dalam warung makan Tegal itu, tiba-tiba dua diantara mereka langsung mengeluarkan pisau lipat yang disembunyikan di balik jaket kulit mereka.

    “Semuanya diam di tempat! Kalau ga ada yang mau mampus, jangan ada yang macam-macam!!”

    Salah seorang pria sangar yang berkepala botak berseru pada semua pelanggan warteg itu sambil mengacung-ngacungkan pisaunya, siap untuk menyembelih siapa saja yang tidak mematuhi ancamannya.

    Oh...sial!

    Aku mengumpat dalam hati sambil memandangi sekelilingku. Semuanya terdiam dan tampak ketakutan. Seorang tukang ojek yang baru saja akan menyantap makanannya bahkan membeku ditempat dengan sendok setengah jalan memasuki mulutnya.

    Tidak ada yang berani bergerak ketika ketiga orang bertampang sangar itu mulai mengancam satu persatu pelanggan untuk menyerahkan semua harta bendanya.

    “Ssst....Andri....gimana nih?” bisik Rudi yang duduk di sampingku. Dia juga tidak berani bergerak, takut ditusuk atau disabet oleh pisau para perampok itu.

    “Diam saja! Bersyukurlah ini bukan hari gajian, jadi uang di dompet kita tidak banyak...kalau handphone....ah...relakan saja ponsel jangkrik milikmu itu!” bisikku sambil melirik ke arah para perampok. Rudi tampak jengkel tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

    Dengan tampang jengkel campur pasrah, Rudi mengeluarkan semua miliknya. Mulai dari ponsel tua, dompet tebal berisi bon tagihan, dan jam tangannya.

    Aku juga melakukan hal yang sama. Hanya saja dompetku tidak tebal karena bon tagihan. Meski uangku tidak banyak dan ponselku bukan ponsel mahal, tapi tetap saja jengkel sekali rasanya melihat orang lain dengan seenaknya merampas hartamu.

    Sialnya justru di saat seperti inilah aku benar-benar berharap kalau diriku adalah Masked Knight. Dengan kekuatan super yang dimiliki tokoh khayalan itu, aku pasti bisa dengan mudah membekuk para perampok itu.

    “Kyaa~! Hentikan!!”

    Aku terkesiap ketika mendengar jeritan seorang gadis. Dengan segera aku menoleh dan melihat ketiga perampok bertampang sangar itu mengelilingi seorang gadis cantik. Mereka tampaknya tidak puas dengan harta yang dimiliki gadis itu dan berniat berbuat yang tidak-tidak.

    Nekat juga mereka. Padahal warteg ini berada di pusat keramaian. Kalau gadis itu mulai menjerit-jerit, sudah pasti akan ada banyak warga yang datang menyerbu sambil membawa berbagai macam senjata.

    “DIAM! Jangan menjerit lagi kalau ingin wajah manismu itu tetap utuh!!”

    Salah seorang perampok itu mengancam si gadis dengan menempelkan pisaunya ke wajah gadis malang itu. Seketika itu juga si gadis langsung terdiam. Air mata menggenangi wajahnya ketika si botak, yang sepertinya pimpinan ketiga perampok itu, mulai menggerayangi tubuhnya.

    Aku menggeram dalam hati dan mengepalkan tanganku dengan dipenuh kebencian.

    Benci pada diriku sendiri karena tidak punya cukup keberanian untuk menghentikan mereka. Aku hanya bisa terdiam dan menyaksikan gadis malang itu mengalami hal yang seharusnya tidak dialami gadis manapun.

    Tiba-tiba saja gadis itu memandangiku.

    Tatapan mata dan wajahnya yang terlihat benar-benar ketakutan membuat jantungku berhenti berdetak sedetik, lalu berdetak lagi lebih keras. Adrenalin mulai membanjiri darahku. Membuat emosiku mulai memanas sekaligus membuat otakku mulai tidak bisa berpikir dengan baik. Sebelum akal sehatku

    “Baiklah! Sudah cukup! Dasar perampok brengsek!!!”

    Tiba-tiba saja aku berdiri sambil menggebrak meja, membuat piring dan gelas yang ada di atas mejaku berderak nyaring. Suara itu membuat semua orang di dalam warteg, termasuk ketiga perampok itu memandangiku dengan tatapan marah.

    “Apa katamu!!?”

    “Kubilang... Sudah cukup! Dasar perampok brengsek!!!”

    Begitu aku berkata begitu, ketiganya langsung berbalik dan melepaskan si gadis malang yang sedang mereka permainkan. Lalu kutu ampus, HA!?"ya, kupret! KAu ngiku dengan pisau teracung. Dengan gaya sok garang, pria itu menepuk pipiku, masih sambil memesalah seorang dari tiga perampok itu langsung mendatangiku dengan pisau teracung. Dengan gaya sok garang, pria itu menepuk pipiku, masih sambil memegangi pisaunya di dekat wajahku.

    “Jangan coba-coba ya, kutu kupret! Kau mau mampus? HA!?”sekn marah.

    teg, termasuk ketiga perampok itu mem gelas yang ada di atas mejaku berderak nyaring. Suara itu

    Peraturan pertama dalam pertarungan melawan orang bersenjata: ‘Jangan takut dengan senjatanya!’

    Tanpa pikir panjang aku menepis tangan si perampok yang memegang pisau di depanku, kemudian mengangkap dan memuntir lengannya hingga pisaunya terlepas dari genggaman. Tanpa berhenti bergerak aku menjegal kaki preman itu hingga dia kehilangan keseimbangan. Tentu saja aku tidak langsung melepaskan tangannya, aku justru membalikkan tubuhku, lalu melakukan judo throw hingga hingga tubuh perampok amatir itu membentur meja dan tidak sadarkan diri.

    “Keparat!!!”

    Si botak yang berbadan paling besar diantara teman-temannya, langsung menyerbu ke arahku sambil mengayun-ayunkan pisaunya. Dia tampak tersenyum penuh kemenangan karena merasa yakin bisa mengalahkanku yang tidak bersenjata.

    Salah besar!

    Peraturan kedua dalam pertarungan melawan orang bersenjata: ‘Kalau kau tidak punya senjata, ciptakan sendiri senjatamu!’

    Melihatnya menyerbu ke arahku sambil mengayunkan pisaunya ke arahku, aku langsung mundur selangkah dan mengambil piring makanku. Lalu tanpa berpikir, aku melemparkan piring kaca, yang masih berisi campuran lalap jengkol dan bakwan udang itu, ke arah lawanku.

    Tentu saja perampok botak itu sama sekali tidak menyangka akan dilempar dengan piring, sehingga dia tidak sempat menghindar.

    Piring kaca itu pecah tepat di kepala si botak itu dan membuatnya menjerit kesakitan sambil memegangi kepalanya. Pisau yang tadi dia genggam tanpa sadar dia lepaskan begitu saja ketika dia menahan rasa sakit akibat dilempar piring makan.

    Dasar bodoh! Ujarku dalam hati melihat tingkah lawanku.

    Melihat kesempatan emas itu, aku langsung melesat ke depan dan mendaratkan sebuah tendangan telak ke dahi si perampok botak itu.

    “Makan nih!!! TENDANGAN MAUT~!!!!”

    Tanpa sadar aku menyerukan seruan khas ala Masked Knight ketika melayangkan serangan penghabisannya.

    Tendanganku membuat si perampok botak terjungkal ke belakang, membentur tembok, dan merosot ke lantai. Tentu saja dia sudah tidak sadarkan diri ketika dia terjungkal kebelakang. Meski kekuatan tendanganku tidak sehebat Masked Knight, sang tokoh pahlawan khayalan itu, tapi aku tahu tendanganku lebih dari cukup untuk membuat lawanku itu tidur pulas 2 hari 2 malam.

    Huh! Rasakan! Ujarku sambil mendengus ke arah si perampok botak yang terkapar di lantai.

    “AWAS!!”

    Seruan dari belakang membuatku tersentak dan berputar, hanya untuk bertemu dengan tinjuan keras dari satu-satunya lawanku yang tersisa.

    Untung saja hanya tinjuan. Kalau itu pisau, aku pasti sudah bertemu dengan penciptaku. Biar begitu, tinju perampok itu membuatku terlempar ke belakang dan menghantam meja. Membuat meja kayu itu jatuh ke lantai beserta apapun yang ada diatasnya.

    “Keparat!!! Mampus kau!!!”

    Si perampok itu lalu lalu mengambil pisau yang dijatuhkan temannya dan menerjang ke arahku yang masih berusaha bangkit. Aku bisa melihat serangannya, tapi tubuhku tidak cukup cepat untuk bereaksi.

    Sial! Tidak sempat!

    Aku nyaris pasrah ketika melihat pisau berkilat itu mengarah ke arah dadaku.

    Berhubung aku belum pernah ditusuk, aku tidak tahu seperti apa rasanya. Tapi kurasa itu bakal sakit sekali. Dalam hati aku berdoa semoga rasanya tidak sesakit yang kubayangkan, karena aku sudah tidak bisa menghindar lagi.

    “AGH!??”

    Tiba-tiba si perampok itu terhempas ke belakang, ketika Rudi menghantam kepalanya dengan botol besar kecap dan saus tomat. Kedua botol kaca itu langsung pecah di kepala si perampok dan membuatnya pingsan seketika. Perampok malang itu langsung ambruk di lantai dengan wajah berlumur kecap, saus tomat, dan darahnya sendiri.

    “Waw! Nyaris saja!”

    Rudi menghela nafas lega sambil melemparkan potongan botol yang masih dia pegang. Dia lalu menoleh ke arahku.

    “Tidak apa-apa?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya.

    Aku mengangguk dan menerima uluran tangannya. Setelah aku berdiri tegak, aku langsung menoleh ke arah si gadis malang yang tadi nyaris jadi korban pelecehan seksual.

    “Kau tidak apa-apa?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya.

    Gadis itu masih tampak shock dan memadangiku dengan tatapan bingung. Baru beberapa saat kemudian gadis itu menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.

    “Apa?” tanyaku spontan.

    “KEREN~!!”

    Tiba-tiba gadis itu berseru sambil berdiri, dan tanpa kuduga sama sekali, langsung memelukku. Membuat wajahku langsung memerah seketika dan jantungku nyaris loncat keluar dari mulut.

    Kalau aku punya penyakit jantung, mungkin aku akan mati sekarang.

    “Curang!”

    Aku mendengar Rudi berseru protes di belakangku.

    Sepertinya si gadis itu mendengar seruan Rudi dan dia langsung melepaskan pelukannya. Berbeda denganku yang tampak malu setengah mati, dia malah terlihat sangat bersemangat. Gadis itu lalu menggenggam kedua tanganku, sekali lagi dia mengulangi ucapannya.

    “KEREN! Keren sekali!”

    Aku langsung berpikir gadis itu jadi gila gara-gara nyaris diperkosa. Biasanya dalam situasi seperti ini, gadis yang baru saja diperlakukan seperti itu akan pingsan, menangis, atau paling tidak tampak ketakutan. Tidak langsung bersemangat seperti gadis yang satu ini.

    Dan lagipula....apanya yang keren?

    “Tendangan barusan itu...bukannya itu Jurus Tendangan Maut milik Masked Knight? Luar biasa sekali kau bisa menggunakannya untuk mengalahkan perampok-perampok itu!” puji si gadis.

    HA?!

    Baiklah...Aku makin bingung.

    “Kau yakin kepalamu tidak apa-apa?”

    Aku malah bertanya pada si gadis.

    Gadis itu balas mengangguk dengan penuh semangat.

    “Tentu saja tidak apa-apa!” balas si gadis. “Ngomong-ngomong! Namaku Ayu Permata. Kau pasti penggemar berat serial Masked Knight. Sampai-sampai kau hapal dengan gerakannya seperti itu!”

    Aku terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.

    Ucapan dan tingkah gadis ini benar-benar tidak masuk akal!

    “Benar nona! Temanku si Andri ini memang penggemar Masked Knight. Lebih dari sekedar penggemar malah. Dialah aktor dibalik kostum pahlawan super itu! Ah! Ngomong-ngomong, perkenalkan, aku Rudi. Aku ini aktor dibalik kostum Masked Archer loh!”

    Sebelum aku sempat mengatakan apapun, Rudi sudah memperkenalkan dirinya dan diriku, dengan menambahkan kenyataan bahwa kami berdua adalah seorang suit actor. Aku ingin sekali menghantamkan piring ke kepala temanku itu, tapi kuurungkan niatku karena Ayu, si gadis aneh itu langsung mengguncang-guncangkan tanganku yang sedari tadi dia genggam dengan erat.

    Wajahnya yang berbinar-binar membuatnya terlihat sangat manis di mataku. Sekali lagi wajahku langsung memerah karena malu.

    “Hebat! Hebat! Aku ini penggemar berat aksimu!” seru Ayu sambil menatapku lekat-lekat. Dia langsung menambahkan dengan nada bersemangat “Tidak pernah kubayangkan suatu hari aku akan diselamatkan oleh pemeran kostum Masked Knight yang kukagumi!!”

    Aku tidak tahu lagi harus berkata apa pada gadis yang satu ini.

    Satu hal yang langsung kusadari dari si gadis.

    Dia itu sepertinya maniak berat tokusatsu, atau film-film superhero lainnya.

    “Ehm.....maaf menganggu....tapi perampok-perampok ini mau diapakan?”

    Aku, Rudi dan Ayu langsung menoleh dan melihat bu Joni, si pemilik warteg ini berdiri kebingungan sambil memandangi ketiga perampok yang terkapar tidak sadarkan diri di lantai.

    “Panggil polisi saja. Biar mereka yang urus,” ujarku sambil berjalan dan hendak mengambil ponselku yang tergeletak diatas meja, bersama barang-barang milik pelanggan yang lain.

    “Terima kasih karena telah menyelamatkanku. Kau benar-benar seorang Pembela Kebenaran!”

    Ucapan tulus penuh semangat dari Ayu membuatku terpaku ditempat.

    Aku? Pembela Kebenaran?..... Tidak buruk juga.

    ****

    Selesai. Sekian ceritaku.

    Apa?

    Kau ingin tahu kelanjutannya?

    Baiklah.....tapi berhubung ceritanya akan panjang sekali....jadi kusingkat saja.

    Intinya setelah pertemuanku yang benar-benar tidak terduga dengan Ayu, aku jadi jatuh cinta dengan gadis nyentrik itu. Terutama setelah Ayu sering sekali datang berkunjung ke lokasi syuting dan menggangguku. Meski Ayu seringkali bertingkah kekanakan dan jalan pikirannya kadang tidak masuk akal, tapi dia gadis yang baik dan penuh perhatian.

    Yah. Berkat dia juga aku jadi tetap semangat menjalani pekerjaanku sebagai suit actor. Meski dulu aku sempat merasa malu karena pekerjaanku ini tidak normal dan menurutku tidak ‘bergengsi’, tapi sekarang aku menikmatinya.

    Akhirnya setelah berhubungan selama kurang-lebih 1,5 tahun, aku memberanikan diri melamar Ayu.

    Tidak terduga, gadis itu langsung menerima lamaranku tanpa pikir panjang dan tidak lama kemudian kami pun menikah. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai 2 orang putra yang kini sudah berumur 6 tahun dan 4 tahun.

    Saat ini aku benar-benar bahagia. Hidupku terasa sudah lengkap sekarang.

    Tapi tahukah kalian apa yang membuatku paling bahagia?

    Ketika aku menceritakan kisah ini kepada kedua anakku dan bertanya “Kalau kalian sudah besar, kalian mau jadi apa?”

    Tahukah kalian apa jawaban mereka?

    Kedua anakku itu menjawab dengan riang “Aku ingin jadi Pembela Kebenaran seperti ayah~!”

    Kalian tidak akan bisa membayangkan betapa bangganya aku saat itu.

    ****

    ~FIN~
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. araishi93 M V U

    Offline

    Joined:
    Jun 20, 2011
    Messages:
    0
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +102 / -0
    Cerita Pahlawan dibalik jeruji bagus kk,:top:
    pesannya dapet banget,,,
    Salut dengan Alvin...!!!:terharu:

    Cerita Pembela kebenaran juga seru kk,:top:
    ceritanya bagus, dari seorang suit actor hingga menjadi pahlawan yang sebenarnya.

    :makasih-g: cerpennya kk,
    sangat menghibur:cheers:


    :maaf:
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Perpustakaan Glanvnore


    Pada awalnya aku sama sekali tidak percaya akan keberadaan perpustakaan ajaib itu. Tapi setelah aku melihat dan merasakan ‘keajaiban’ perpustakaan itu, barulah aku percaya kalau tempat seperti itu memang benar-benar ada di dunia ini.

    Glanvnore.

    Itulah nama perpustakaan yang akhir-akhir ini sering dibicarakan oleh orang itu. Perpustakaan itu konon bisa muncul dimana saja dan kapan saja, sehingga hampir tidak ada orang yang tahu lokasi pasti dari perpustakaan gaib itu. Kata orang perpustakaan itu bahkan bisa berpindah tempat hanya dalam hitungan jam saja.

    Dari rumor yang sering kudengar, di dalam perpustakaan itu tersimpan buku-buku dalam jumlah yang nyaris tidak terbatas. Konon buku-buku yang ada di dalam perpustakaan Glanvnore merupakan buku-buku yang telah ditulis jauh di masa lampau dan buku-buku yang akan ditulis jauh di masa depan. Dengan kata lain, perpustakaan itu tidak mengenal waktu dan konon bisa muncul di masa depan, atau masa lalu. Bahkan ada yang mengatakan kalau perpustakaan itu bahkan tidak mengenal dunia dan bisa saja muncul di dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia tempat kita tinggal saat ini. Aku bahkan pernah mendengar cerita tentang orang yang keluar dari Glanvnore dan mendapati dirinya berada di sebuah dunia asing, dimana terdapat banyak kereta besi tanpa kuda melaju kencang di jalan-jalan dan sebuah burung besi raksasa melintas di langit.

    Memang kalau hanya mendengarkan rumor dan cerita yang beredar saja, sulit rasanya untuk mempercayai kalau perpustakaan ajaib itu benar-benar nyata.

    Tapi percayalah. Perpustakaan itu ada.

    Kalau tidak, untuk apa saat ini aku ada di tengah-tengah padang tandus seperti ini?

    “Panas.....”

    Aku menggerutu sambil melirik ke arah langit.

    Hari ini benar-benar panas. Dua buah matahari yang bersinar di langit seakan-akan menertawakan tingkah konyolku yang berjalan di atas tanah bersuhu lebih dari 50 derajat celsius ini.

    Sudah 4 hari aku berjalan mengitari padang tandus tanpa kehidupan ini, hanya untuk memastikan kebenaran informasi yang belum lama ini kuterima dari sumber terpercaya.

    Informasi itu tidak lain adalah informasi mengenai keberadaan perpustakaan Glanvnore. Konon perpustakaan gaib itu kini sering muncul di padang tandus ini. Hanya saja informasi yang kudapat tidak menyebutkan dengan jelas KAPAN dan DIMANA pastinya perpustakaan itu akan muncul.

    Kalau kupikir-pikir lagi...rasanya aku seperti dibohongi saja....

    Aku menggerutu dalam hati sambil berhenti berjalan dan memandang ke sekelilingku. Tapi tidak ada apapun sejauh mata memandang, kecuali hamparan padang tandus kering kerontang dengan beberapa buah bukit karang menjulang tinggi. Tidak satupun hewan atau tumbuhan yang bisa tumbuh di tempat terkutuk semacam ini. Sepertinya satu-satunya makhluk hidup konyol yang ada di sini adalah aku seorang.

    “Sial!” Aku mengumpat sambil melemparkan barang bawaanku ke tanah.

    Aku sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan, sehingga kuputuskan untuk berhenti dan melanjutkan perjalanan lagi pada malam hari.

    Dengan cepat aku membongkar tasku dan mengeluarkan peralatan untuk membuat tenda. Dalam waktu singkat, sebuah tenda kecil berkapasitas 1 orang sudah berdiri di tengah-tengah padang tandus itu.

    Di dalam tenda, aku segera berbaring dan memejamkan mata. Berharap hari ini cepat berlalu dan malam segera tiba agar aku bisa melanjutkan pencarianku yang tampak minim harapan ini.

    ****
    “Demi Tuhan! Apa yang....!?”

    Aku sama sekali tidak percaya dengan yang kulihat sekarang.

    Saat ini aku sedang berdiri memandangi sebuah lorong panjang yang nyaris tidak berujung. Di sisi kiri dan kanan lorong tempatku berdiri ini terlihat deretan rak buku yang begitu tinggi sehingga puncak rak tersebut nyaris tidak terlihat. Dan tentu saja di rak buku tersebut tersusun buku-buku dalam berbagai ukuran dan bentuk. Saking banyaknya aku hampir yakin kalau jumlah buku di rak-rak itu sudah lebih dari cukup untuk mengisi lautan.

    Aku menampar pipiku sekali.........dua kali.........tiga kali.......dan setelah tamparan yang keempat, kini aku yakin bahwa sekarang aku tidak sedang bermimpi.

    Aku benar-benar berada di tempat yang kucari-cari selama 4 hari ini.

    “Perpustakaan Gaib...Glanvnore...” gumamku dengan suara lirih.

    Aku memegangi kepalaku yang terasa sakit karena saat ini aku sedang bingung setengah mati. Aku ingat sekali semalam aku berkemah di tengah padang tandus. Tapi saat ini aku dan kemahku berada di dalam perpustakaan ajaib itu.

    Meski sedang kebingungan setengah mati, aku sebenarnya juga gembira setengah mati, karena aku berhasil mencapai tujuanku.

    Sambil berusaha menenangkan diri, aku sekali lagi mengamati ke sekelilingku.

    Sejauh mata memandang yang ada hanya lautan rak kayu yang dipenuhi buku. Perlahan-lahan aku mulai melangkahkan kaki menyusuri lautan rak buku di sekitarku.

    Pikiranku terus melayang kemana-mana.

    Sejujurnya aku bukan maniak buku atau seorang treasure hunter, aku hanyalah petualang biasa yang punya semangat tinggi untuk menjelajahi tempat-tempat yang tidak pernah dijamah orang lain. Jadi sebenarnya kecuali hanya sekedar untuk memastikan bahwa perpustakaan Glanvnore itu benar-benar ada, aku tidak punya tujuan untuk mencari ilmu, informasi, atau buku tertentu dari perpustakaan gaib itu.

    Jujur saja, aku kurang suka membaca buku. Menurutku membaca buku itu hanya buang-buang waktu saja dan membosankan. Daripada duduk diam membaca buku, aku lebih baik berkelana dan berpetualang saja.

    Tapi berhubung aku sudah sampai disini, tidak ada salahnya aku coba membuka salah satu buku di sekitarku.

    Buku yang akan kubuka itu bersampul kulit tebal dan ditulis dengan bahasa yang sama sekali tidak kukenal. Hurufnya, kalau bisa dibilang huruf, merupakan campuran garis-garis saling tumpang-tindih yang membentuk pola tertentu.

    Buku apa ini? pikirku sambil membuka lembaran buku itu perlahan-lahan.

    Tapi apa yang terjadi selanjutnya sama sekali tidak akan kulupakan.

    Begitu aku membuka buku itu, aku langsung bisa melihat apa isinya.

    Maksudku....ISI dari buku itu benar-benar muncul di sekitarku.

    Ratusan makhluk mirip jamur raksasa bermata satu dan bermulut lebar langsung muncul begitu saja di kiri dan kananku. Makhluk-makhluk yang tidak jelas darimana asalnya itu tampak bergoyang-goyang dan satu hal yang pasti....mata mereka menatapku dengan pandangan lapar.

    “OH SHIT!”

    Aku mengumpat sambil mencabut pedangku dan tanpa pikir panjang, berlari menembus kerumunan makhluk-makhluk itu sambil mengayunkan pedangku kesegala arah, berusaha memotong apapun yang nekat menghalangi jalanku.

    Dengan susah payah, akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari monster-monster jamur itu. Sambil mengatur nafasku yang sudah putus-putus, aku bersandar ke rak di belakangku.

    “Apa itu barusan!?” seruku pada diriku sendiri.

    Makhluk-makhluk mengerikan tadi tiba-tiba saja muncul ketika aku membuka sebuah buku.

    “Jangan-jangan....”

    Aku bergumam sendiri sambil berdiri lalu berbalik dan mengambil sebuah buku lain bersampul logam di rak yang berada paling dekat denganku.

    Aku menelan ludah ketika memegangi buku berat dan tebal itu.

    Kalau dugaanku benar....maka.....

    Perlahan-lahan aku membuka buku itu.

    Dan DUGAANKU BENAR!

    Begitu aku membuka buku bersampul logam itu, sosok-sosok manusia timah langsung bermunculan di sekitarku. Mereka memiliki wujud yang beragam dan sepertinya memegang alat-alat pertukangan...hanya saja bentuknya absurd dan mengerikan.

    Tanpa pikir panjang aku menerjang ke arah manusia timah terdekat dan menjatuhkannya dengan pedangku. Tapi gara-gara aku nekat mengayunkan pedangku ke tubuhnya, pedangku langsung terbelah dua.

    Tapi aku tidak peduli.

    Prioritas utamaku sekarang adalah melarikan diri!

    Tanpa berpikir sama sekali, aku menyingkirkan para manusia timah itu dari jalanku. Beruntung latihan fisik yang rutin kujalani membuatku cukup kuat untuk melawan mereka, meski tidak untuk waktu yang lama.

    Setelah berjuang mempertahankan nyawaku cukup lama, aku sekali lagi berhasil lolos dari maut dan bersembunyi di sederetan rak buku yang tampak tersusun melingkar.

    Aku duduk diam dan merenungi semua kejadian yang baru saja kualami. Sayangnya otakku serasa macet karena masih shock dengan dua kejadian tidak masuk akal barusan.

    “Sialan! Tempat macam apa ini!?” seruku pada diriku sendiri sambil berbaring di atas lantai, yang anehnya, ditumbuhi rumput tebal.

    Tadinya kupikir akan hebat sekali kalau aku bisa menemukan perpustakaan ajaib ini. Tapi sekarang aku jadi menyesali keputusan dan tekad gilaku untuk bisa mencapai perpustakan Glanvnore ini. Karena rupanya isi perpustakaan ini sama sekali berbeda dengan yang kubayangkan sebelumnya.

    Sepertinya rumor-rumor jelek dan menyeramkan tentang perpustakaan Glanvnore ini memang benar....tempat ini lebih mirip NERAKA daripada sebuah surga bagi pecinta buku.

    Kalau beberapa hari yang lalu keinginan terbesarku adalah untuk masuk ke dalam perpustakaan Glanvnore, sekarang keinginan terbesarku adalah untuk KELUAR dari perpustakaan terkutuk ini.

    Begitu aku berpikir demikian, semangat juangku bangkit lagi.

    Aku langsung berdiri dan memandang ke sekelilingku.

    Tadi aku sudah cukup lama berlari menjelajahi labirin rak-rak buku ini tapi sama sekali tidak terlihat tanda-tanda jalan keluar. Namun tentu saja aku tidak akan menyerah begitu saja.

    Biar begini-begini, aku ini terkenal sangat gigih dalam berjuang dan pantang menyerah begitu aku sudah memutuskan sesuatu.

    “Baiklah! Sudah saatnya aku pergi dari tempat terkutuk ini!!!” sekali lagi aku berseru pada diriku sendiri.

    “Wah...kenapa buru-buru pergi?”

    Tanpa terduga, aku tiba-tiba mendengar suara seseorang dari belakangku.

    Secara refleks aku berbalik dan mengacungkan pedangku, lupa bahwa senjata itu sudah patah dan nyaris tidak berguna.

    Aku terkejut ketika melihat seorang kakek tua berdiri di hadapanku. Umur kakek misterius ini tampaknya sudah sangat tua hingga seluruh rambut dan janggut panjangnya sudah berwarna putih semua. Wajahnya juga dipenuhi keriput, meski kedua matanya masih memancarkan semangat hidup yang luar biasa.

    “Siapa kau!” seruku sambil memandang ke arah kakek tua itu dengan tatapan penuh selidik. Belajar dari dua pengalaman burukku barusan, aku jadi curiga kalau kakek ini juga monster seperti yang muncul dari buku tadi.

    “Hohoho....tidak perlu bersikap tegang seperti itu. Aku bukan orang jahat,” ujar kakek itu sambil terkekeh dan mengelus janggut panjangnya. “Aku Curio, penjaga perpustakaan ini. Nah anak muda...selamat datang di Glanvnore, pusat informasi lintas-dunia.”

    “Pusat.....apa!?”

    Spontan aku langsung balas bertanya begitu aku mendengar nama lain dari perpustakaan Glanvnore itu.

    “Hohoho....Pusat informasi lintas-dunia. Tempat ini adalah gudang informasi yang memuat segala sesuatu yang ada di dunia-dunia dalam alam semesta ini. Glanvnore ini adalah tempat dimana kau bisa ‘melihat’ dan ‘merasakan’ informasi mengenai duniamu dan dunia lainnya,” ujar kakek tua bernama Curio itu dengan maksud menjelaskan, meski sudah jelas kalau aku masih tidak paham. “Disini semua buku ‘hidup’ dan memiliki ‘kehidupannya’ sendiri. Kurasa kau pasti sudah ‘melihat’ dan ‘merasakan’ sendiri informasi yang tersimpan dalam 1-2 buku disini.”

    Aku mengangguk sambil menggeram pelan. Yang jelas informasi yang baru saja ‘kulihat’ dan ‘kurasakan’ sama sekali tidak menyenangkan. Informasi itu baru saja mencoba membunuhku.

    “Jadi....sebenarnya tempat apa ini?” tanyaku, meski tadi si kakek sudah menjelaskan apa sebenarnya perpustakaan Glanvnore ini. Sayangnya aku masih belum paham karena semua ini masih terasa sangat tidak masuk akal dan tidak nyata.

    “Hohoho....kau masih bingung?” tanya kakek Curio sambil berjalan mendekati sebuah rak. Dia lalu mengambil sebuah buku dan membukanya sebelum aku sempat melakukan apapun.

    Begitu si kakek membuka buku yang dia pegang, tiba-tiba pemandangan di sekitarku berubah begitu saja. Dalam sekejap aku dan si kakek sedang berada di tengah medan pertempuran dahsyat. Ratusan orang berpakaian aneh dan bersenjatakan tongkat panjang yang sesekali melontarkan bola-bola api, tampak bertempur dengan sengit. Ratusan benda-benda besi bergerak dengan ganas sambil sesekali melontarkan semacam bola api yang bisa meratakan sebuah rumah dalam sekali tembak.

    “APA INI?!” seruku sambil tiarap, berusaha melindungi kepalaku dari sambaran sebuah bola api yang baru saja melintas.

    “Ini contoh dari informasi yang disimpan di Glanvnore. Kalau aku tidak salah ini adalah potongan informasi mengenai peristiwa perang besar yang terjadi di sebuah dunia bernama Gaea, atau Bumi,” ujar kakek Curio dengan tenangnya. Dia lalu menambahkan sambil menoleh padaku. “Jangan khawatir. Kalau kau bersamaku, ‘dunia’ ini tidak bisa melukaimu.”

    Meski dia bilang begitu, aku tetap saja tidak percaya. Masalahnya tadi monster jamur dan manusia timah yang muncul dari buku, sudah berusaha membunuhku dan membuat pedangku patah.

    “Aku mengerti! Sekarang hentikan semua ini!” seruku dengan nada memohon.

    Si kakek tersenyum dan menutup buku yang dia pegang. Seketika itu juga kami kembali lagi ke tengah lautan rak buku perpustakaan Glanvnore.

    “Hohoho....bagaimana anak muda?” tanya kakek itu lagi.

    Bagaimana apanya?! Gerutuku dalam hati.

    “Bukankah ini menarik? Hanya dengan membuka lembaran-lembaran kertas ini, kau bisa mendapatkan informasi mengenai sesuatu yang belum pernah kau lihat, atau bahkan tidak pernah terbayangkan sama sekali,” ujar kakek Curio sambil tersenyum lebar. “Tentu saja hanya di Glanvnore saja buku bisa seperti ini. Kalau di duniamu atau dunia lain, informasi yang ada di dalam buku tidak akan melompat keluar dan jadi nyata seperti tadi. Tapi tetap saja. Di dalam setiap buku yang ada di seluruh alam semesta ini, terdapat sebuah dunia di dalamnya. Dunia yang mungkin saja dianggap tidak nyata di alam semesta ini, tapi nyata di alam semesta lainnya.”

    Aku semakin bingung. Ini semua benar-benar membuat kepalaku pusing tujuh keliling.

    Tapi setidaknya aku paham satu hal.

    Dalam setiap buku terdapat sebuah dunia. Dunia yang berwujud rangkaian kata-kata dan terkadang, rangkaian gambar-gambar saja.

    Meski aku tidak terlalu suka buku, terkadang aku memang membaca kalau sedang bosan. Harus kuakui, terkadang aku kagum dengan cara seorang penulis menuangkan dunia dalam pikirannya. Malah kadang kupikir para penulis itu bisa melihat dunia yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa.

    Sambil berpikiran seperti itu, aku bertekad akan membaca lebih banyak buku lagi. Dengan catatan aku bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.

    “Oke...oke...aku mengerti. Harus kuakui...aku jadi penasaran dengan isi buku-buku yang ada di tempat ini. Tempat ini memang sangat menarik dan menakjubkan, tapi jujur saja...aku ingin pulang,” ujarku sambil memandang ke arah lautan buku yang tersusun rapi di rak. “Apa kau bisa menunjukkan padaku dimana jalan keluarnya?”

    Kakek Curio langsung tersenyum ramah ketika aku bertanya seperti itu.

    “Pintu keluar? Hohohoho....Mudah saja. Dari tadi pintu itu sudah ada di belakangmu,” ujar si kakek sambil terkekeh.

    Aku langsung berbalik dan benar saja. Sebuah pintu raksasa tiba-tiba saja sudah berdiri kokoh di belakangku, seakan-akan pintu itu sudah ada disana sejak lama. Meski aku yakin 100% tadi di belakangku sama sekali tidak ada apa-apa.

    Begitu melihat pintu itu, aku langsung menarik nafas lega.

    Akhirnya aku bisa pulang. Tapi sebelum aku pulang, aku harus membawa sesuatu dari tempat ini sebagai bukti kalau aku pernah datang ke perpustakaan Glanvnore.

    Baru saja aku berniat meminta sebuah buku sebagai kenang-kenangan, si kakek Curio sudah menyodorkan sebuah buku padaku. Seakan-akan dia bisa membaca pikiranku.

    “Hohoho...bawalah buku ini sebagai kenang-kenangan. Buku ini berisi informasi menarik yang sangat sesuai untuk duniamu. Ambilah,” ujar kakek Curio sambnil terkekeh. “Dengan buku itu, kau akan mengetahui banyak hal menarik dari duniamu.”

    Aku langsung menerima buku itu dengan senang hati.

    “Terima kasih banyak...” ujarku sambil menerima buku pemberian kakek Curio. Buku itu sangat tebal dan berat serta bersampul kulit berwarna hitam. Tulisan di sampul buku itu ditulis dengan tinta perak yang sangat kontras dengan warna sampulnya.

    Tapi begitu aku membaca tulisan yang tertera pada sampul buku itu, aku terdiam.

    Dunia Aglarim: Awal dan Akhir.

    “Apa?!” seruku kaget setengah mati.

    Aglarim adalah nama dunia tempatku tinggal sekarang. Dan kalau judul buku ini sesuai dengan isinya, maka kalau aku membaca buku ini, aku bisa mengetahui awal terjadinya Aglarim dan tentu saja.....bagaimana dunia ini akan berakhir.

    Menyadari bahwa aku sedang memegang sebuah benda yang sangat luar biasa, tanganku tanpa sadar bergetar karena takut sekaligus gembira.

    Ini.....ini benar-benar harta karun sekaligus senjata mematikan! Seruku dalam hati.

    “Kakek apa benar aku boleh....menerima.....buku........ini?!”

    Ucapanku melambat ketika aku mengalihkan pandanganku dari buku yang kupegang. Seketika itu juga aku langsung melongo.

    Bagaimana tidak? Tahu-tahu aku sudah berada di tengah padang tandus, tempatku tidur semalam. Lautan rak buku yang ada di dalam perpustakaan Glanvnore sudah tidak terlihat lagi, atau dengan kata lain, aku sudah tidak berada di dalam perpustakaan gaib itu.

    Aku berdiri mematung cukup lama sampai hembusan angin dingin membuatku tersadar.

    Apa ini semua mimpi?! Seruku dalam hati. Tapi sayangnya berat buku Dunia Aglarim: Awal dan Akhir yang sedang kupegang membuatku sadar kalau ini semua bukan mimpi.

    Sekali lagi aku menatap ke buku yang sedang kupegang.

    “Oke....saatnya aku pulang dan mulai membaca buku ini,” ujarku pada diriku sendiri.

    ****
    Sudah lewat 20 tahun sejak aku berhasil mencapai perpustakaan Glanvnore dan mendapatkan harta karun berupa sebuah buku tebal.

    Meski sudah kubaca entah berapa ribu kali, tetap saja aku kagum sekaligus takut dengan isi buku yang kuterima dari kakek Curio itu.

    Kakek Curio memang benar tentang keberadaan sebuah dunia di dalam sebuah buku.

    Buku berjudul Dunia Aglarim: Awal dan Akhir ini benar-benar memuat segala sesuatu mengenai duniaku sendiri. Mulai dari bagaimana dunia ini berawal, hingga bagaimana dunia ini akan berakhir. Semuanya tertulis dengan singkat, padat, namun sangat jelas hingga terasa tidak masuk akal. Tidak seperti buku ramalan yang isinya belum tentu akan terjadi...semua hal yang tertulis di buku yang kumiliki ini benar-benar akan terjadi.

    Kalau saja aku belum pernah masuk ke perpustakaan Glanvnore, aku pasti menganggap semua yang tertulis di buku ini tidak nyata. Sayangnya tidak banyak orang yang percaya dengan isi buku yang berhasil kubawa pulang dari perpustakaan gaib itu.

    Hampir semuanya menganggapku gila atau menganggap isi buku ini hanya bualan belaka.

    Yah...aku tidak menyalahkan mereka.

    Yang pasti sejak kembali dari perpustakaan Glanvnore, hidupku berubah. Aku berhenti jadi petualang dan putar haluan menjadi seorang pedagang buku. Kupikir ini pekerjaan yang sangat menarik, karena selain bisa mendapatkan uang aku jadi bisa mengetahui lebih banyak lagi dunia di dalam buku-buku yang kujual.

    Tapi ada satu pertanyaan yang terus mengusikku selama puluhan tahun ini. Pertanyaan ini muncul setelah aku merenungi perkataan kakek Curio, sang penjaga perpustakaan Glanvnore.

    Aku ingat sekali si kakek tua itu berkata begini.

    “Di dalam setiap buku yang ada di seluruh alam semesta ini, terdapat sebuah dunia di dalamnya. Dunia yang mungkin saja dianggap tidak nyata di alam semesta ini, tapi nyata di alam semesta lainnya.”

    Gara-gara itu, aku jadi punya satu pertanyaan besar yang mungkin tidak akan terjawab oleh siapapun di dunia ini.

    Apakah dunia tempatku tinggal ini memang sebuah dunia ‘nyata’....ataukah dunia bernama Aglarim beserta isinya ini hanyalah sebuah dunia dalam sebuah buku?

    Pertanyaan itu terus terngiang dalam kepalaku ketika aku mendongak ke atas, ke arah siapapun yang mungkin sedang ‘menyaksikan’ informasi mengenai diriku dan duniaku ini.

    Ke arah pembaca lain, di dunia lain, di alam semesta lainnya.

    Kepada kalian....kuucapkan: Selamat Membaca, ujarku dalam hati sambil tersenyum lebar.

    ****

    ~FIN~
     
    • Like Like x 1
  9. DieraHasiakan M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    996
    Trophy Points:
    212
    Ratings:
    +13,591 / -0
    Abis baca cerita pertama, apa tadi judulnya, mm Fatamorgana: Spiral Staircases ya?

    Baca-baca-baca, ternyata nyeritain indonesia masa depan yak? ada bandung nya segala :XD:
    tapi lumayan lah imajinasi nya. lumayan tinggi.
    tapi kalau boleh jujur, saya kurang suka fantasi sejenis begitu, tentang elf atau makhuk begitulah...
    saya sih lebih suka ceritan robot2an kalau untuk masa depan.

    Nice story bro, lain waktu saya baca cerita yg lain nya :top:
     
  10. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :top:

    Kalau mecha dan robot2an masa depan....coba baca short story saia yang berjudul:
    Everyday Adventure
     
    • Thanks Thanks x 1
  11. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Sahabatku Seekor Kucing?!

    Pertama kali aku melihatnya adalah ketika aku pulang sekolah.

    Ketika itu aku sedang bersepeda melewati jalan yang biasa kulewati setiap hari. Biasanya sih jalanan itu selalu ramai, terutama pada sore hari. Tapi entah kenapa hari itu jalanan itu tampak sepi. Tidak ada seorangpun yang berjalan di jalan itu.

    Wah....tumben sepi? ujarku dalam hati.

    Aku mempercepat laju sepedaku.

    Jalanan lurus yang di kiri-kanannya ditumbuhi pepohonan lebat itu terkadang membuatku takut. Apalagi di saat seperti ini.

    Suara desir dedaunan yang ditiup angin seakan-akan terdengar seperti bisikan gaib di telingaku. Membuat bulu kudukku berdiri dan aku jadi semakin takut. Apalagi ketika aku teringat kalau aku pernah mendengar cerita seram yang berkaitan dengan jalan ini.

    Aduuh....kenapa sepi sekali sih! keluhku dalam hati sambil mati-matian memacu sepedaku melewati tanjakan.

    Jalanan yang kulalui ini memang terkadang menyebalkan. Meski jalannya sudah diaspal halus, tapi entah kenapa jalan yang naik-turun melewati bukit-bukit itu tetap dibiarkan apa adanya. Kadang aku heran kenapa jalanan ini tidak dibuat rata saja, setidaknya itu akan membuatku lebih mudah melewatinya setiap hari.

    Ketika akhirnya aku sampai di puncak tanjakan, aku berhenti sejenak. Dari tempat ini, kota kecil tempatku tinggal bisa terlihat cukup jelas. Deretan bangunan berbagai bentuk dan warna tampak berdiri tegak, menghiasi langit yang masih berwarna biru cerah karena belum terlalu tercemar oleh polusi udara.

    Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

    Benar-benar pemandangan yang indah,
    gumamku dalam hati.

    Kemudian aku menoleh ke samping.

    Di sisi kiri dan kanan tanjakan tinggi ini sengaja dibuat semacam pelataran yang lumayan luas, serta dilengkapi bangku-bangku taman yang terbuat dari beton. Pelataran itu biasanya ramai saat sore ketika orang-orang sekedar berjalan-jalan menikmati sore, sambil menikmati pemandangan indah matahari terbenam dari puncak bukit ini.

    Tapi anehnya....hari ini hampir tidak ada orang. Hanya ada setidaknya 6 orang saja yang sedang bersantai di pelataran itu. Meski begitu, aku langsung menarik nafas lega begitu melihat kalau di tempat ini masih ada orang lain.

    Kemudian...aku melihatnya.

    Sosok itu terlalu mencolok untuk bisa diabaikan, sehingga mau tidak mau pandanganku terpaku ke sosok misterius itu.

    Sosok yang kumaksud itu tidak lain adalah seorang gadis kira-kira seumuran denganku, tapi bertubuh agak mungil dan berwajah manis, meski terlihat agak murung. Gadis itu tampak bersandar pada pagar pengaman sambil memandang menewarang ke arah kota. Jarak gadis itu tidak terlalu jauh dariku sehingga aku bisa mengamati penampilannya, yang benar-benar menarik perhatian itu, dengan jelas.

    Satu hal yang membuat gadis itu benar-benar mencolok adalah rambutnya. Rambut gadis itu berwarna putih bersih seperti salju dan memiliki panjang yang mengagumkan, panjang rambut gadis itu hampir melebihi pinggangnya. Gadis itu tampak mengenakan seragam SMA, sama seperti yang kukenakan. Hanya saja dia tampak mengenakan syal beludru berwarna merah yang tampak sangat kontras dengan warna rambutnya. Sosok gadis misterius itu benar-benar membuatku melongo. Dalam arti yang sesungguhnya.

    Mulutku tanpa sadar terbuka dan aku yakin ekspresiku pasti terlihat seperti orang idiot. Tapi sosok gadis itu benar-benar menawan, sekaligus sangat misterius. Meski harus kuakui, dia sangat cantik sekali. Bahkan aku yang sama-sama perempuan saja kalah cantik, padahal aku ini tergolong siswi yang populer dengan kecantikannya di sekolah.

    Rambut hitamku yang cuma sebahu jelas-jelas kalah dengan pesona rambut putih gadis itu. Tapi sayangnya tubuh gadis itu agak mungil dan sepertinya belum berbentuk. Aku jadi sedikit bangga karena itu.

    Tanpa sadar, aku terus memandangi gadis misterius itu.

    Gadis misterius berambut putih itu sepertinya sadar kalau dia sedang dipandangi. Dia perlahan menoleh ke arahku.

    Kemudian gadis itu tersenyum manis.

    “Hai.”

    Sapa gadis misterius itu dengan suara merdu, masih sambil tersenyum manis.

    Tanpa sadar aku langsung balas menyapanya “Hai juga.”

    “Sedang istirahat?” tanya gadis itu lagi.

    Aku mengangguk mengiyakan.

    “Ya...tapi cuma sebentar aja. Lumayan capek juga mengayuh sepeda dari bawah sana,” balasku sambil menunjuk ke arah jalanan tempatku datang tadi, yang berada di kaki bukit.

    Gadis misterius itu tertawa kecil.

    “Sudah pasti kau lelah. Tanjakan bukit ini lumayan panjang dan curam,” ujar gadis itu lagi. “Ah. Ngomong-ngomong, siapa namamu? Namaku Felis.”

    “Aku Aisyah,” balasku singkat sambil tersenyum.

    “Aisyah? Nama yang bagus,” puji Felis sambil membalas senyumanku.

    Dia lalu berhenti bicara dan memandang ke arah mataku sejenak, lalu memandang ke arah rambut putihnya. Sepertinya dia sadar kalau dari tadi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari rambutnya.

    “Penasaran?” tanya gadis misterius bernama Felis itu, sambil memainkan rambut panjangnya. Kilau matahari senja yang berwarna keemasan tampak terpantul dari rambutnya, membuat sosok Felis semakin menawan, sekaligus misterius.

    Tanpa sadar aku mengangguk dan berbicara sebelum sempat kucegah.

    “Tentu saja. Enggak tiap hari bisa ketemu orang sepertimu,” ujarku dengan polosnya.

    Felis kembali tertawa lagi. Dia lalu berjalan mendekatiku.

    “Rambutku begini ini asli loh. Bukan dicat atau wig,” ujarnya sambil menarik beberapa helai rambutnya, untuk menunjukkan kalau rambut putihnya itu asli.

    Asli?! Tapi kok warnanya bisa putih begitu ya? Tanyaku lagi dalam hati karena penasaran. Sialnya, aku keceplosan mengatakan apa yang kupikirkan itu.

    “Asli?! Tapi kok warnanya bisa putih begitu ya?” tanyaku pada gadis itu.

    Gadis misterius itu kembali tersenyum manis. Tapi jawabannya akan membuatku makin terperangah.

    “Yah...mau bagaimana lagi. Aku kan bukan manusia....”

    Begitu dia mengatakan itu, jantungku langsung berdebar kencang. Aku hampir saja mengambil langkah seribu kalau gadis berambut putih panjang itu tidak segera bicara lagi.

    “Aku ini seekor kucing,” ujarnya sambil nyengir lebar, memperlihatkan gigi taringnya yang berjumlah lebih banyak dari manusia normal.

    ****

    Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kudengar dan kulihat, kalau dia tidak benar-benar menunjukkan kalau dia bukan manusia. Bukan hanya memiliki rambut panjang berwarna putih dan taring-taring tajam di mulutnya, kalau mau Felis bahkan bisa memunculkan sepasang kuping kucing dan ekor kucing di tubuhnya.

    Dan dia benar-benar melakukannya tepat di depan mataku!

    Begitu dia melakukan itu, seketika itu juga aku langsung percaya kalau dia benar-benar bukan manusia, melainkan semacam jelmaan seekor kucing...atau kucing jadi-jadian yang bisa berubah jadi manusia.

    “Oke...jadi kau ini kucing?” tanyaku sambil memijat batang hidungku. Kebiasaan yang selalu kulakukan setiap kali aku mulai pusing.

    Felis mengangguk bersemangat.

    “Benar. Aku ini kucing~!” sahutnya sambil nyengir lebar.

    Kepalaku langsung terasa semakin berputar-putar. Semua ini terasa tidak nyata dan tentu saja tidak masuk akal. Tadinya kupikir ini mimpi, sampai kutampar pipiku sendiri dan rasanya lumayan sakit. Jadi kesimpulannya...ini semua nyata!

    “Oke...kalau kau ini kucing...kenapa kau bisa berubah jadi manusia!?” tanyaku sambil memandangi gadis-kucing itu.

    “Emangnya salah kalau kucing bisa berubah jadi manusia?” tanya Felis dengan polosnya.

    TENTU SAJA SALAH!

    Aku berseru dalam hati, tapi untung kali ini aku tidak keceplosan teriak di depan Felis.

    “Erhm...jadi kau ini sejenis kucing ajaib begitu?” tanyaku lagi. Meski aku masih takut berhadapan dengan makhluk yang tidak jelas ini, aku memaksakan diri bertahan. Walaupun akal sehatku sudah dari tadi berusaha menyeretku menjauh dari hadapan Felis.

    Mendengar pertanyaanku, Felis tampak berpikir sejenak.

    “Bukan tuh. Aku ini kucing biasa. Enggak ada yang istimewa,” balas Felis. Aku nyaris protes kalau Felis tidak buru-buru menambahkan ucapannya lagi. “Tapi emang di malam gerhana bulan kayak begini, kami para kucing kadang-kadang bisa berubah jadi manusia. Kami sih enggak tahu kenapa bisa begitu. Tapi menyenangkan sekali jadi manusia. Ada banyak hal yang bisa kulakukan pas jadi manusia, tapi enggak bisa kulakukan pas jadi kucing. Aku benar-benar bersyukur deh kami punya kekuatan aneh begini.”

    Aku langsung memegangi kedua kepalaku.

    Ini semakin tidak masuk akal saja! Seruku dalam hati.

    “Tapi kekuatan aneh kami ini hanya bertahan 2 hari saja,” ujar Felis lagi dengan nada agak muram. Dia terdiam sejenak sebelum berbicara lagi dengan nada sedih. “Dan kalau kami balik lagi jadi kucing...kami lupa hampir semua yang terjadi saat jadi manusia...jadi rasanya pengalaman jadi manusia itu seperti mimpi aja. Jadi kayaknya percuma aja aku merasakan enaknya jadi manusia kayak begini.”

    Aku terdiam mendengar ucapannya.

    Ketika aku melihat ekspresi wajah Felis, aku jadi paham kenapa dia tampak muram. Felis merasa senang menjadi manusia dan sepertinya enggan kembali menjadi seekor kucing.

    Aku mendengus jengkel ketika suatu pikiran terlintas dalam benakku.

    Ketika seekor binatang seperti kucing merasa senang ketika menjadi manusia, sebaliknya manusia malah lebih senang menjadi binatang. Bahkan banyak juga yang senang sekali bersikap jauh lebih rendah dari binatang.

    Tiba-tiba aku berdiri dan membuat Felis tersentak kaget. Aku lalu memegang kedua tangannya dan berkata dengan suara tegas.

    “Jangan sedih Felis! Malam ini kita akan bermain sepuasnya! Aku jamin kau akan merasakan pengalaman yang tidak akan pernah kau lupakan selamanya!” ujarku sambil menepuk dadaku dengan penuh percaya diri, lalu menambahkan sambil mengedipkan sebelah mataku. “Serahkan padaku!”

    Felis langsung tersenyum manis begitu mendengar ucapanku, lalu mengangguk penuh semangat.

    ****

    Pada akhirnya kami berdua menghabiskan malam hari dengan berjalan-jalan mengelilingi kota. Aku mengajak Felis pergi ke tempat-tempat bermain yang biasa kukunjungi.

    Felis tampak begitu senang ketika aku mengajaknya ke pusat perbelanjaan. Gadis yang mengaku sebagai ‘kucing’ itu tidak henti-hentinya berlarian kesana-kemari dan menanyakan hampir segala sesuatu yang dia lihat. Penampilan Felis yang jelas sangat mencolok membuatnya jadi pusat perhatian di tempat itu, ditambah lagi tingkahnya yang tidak bisa diam itu.

    Mungkin karena dia memang benar-benar seekor ‘kucing’, Felis hampir tidak bisa menahan diri setiap kali mencium atau melihat makanan yang dipajang di etalase restoran. Berkali-kali aku harus menghentikan gadis itu agar tidak menyerbu masuk ke dalam restoran dan membuat keributan. Hingga akhirnya aku putuskan untuk membawanya makan di salah satu restoran fast-food yang terkenal murah dan enak.

    Begitu aku mengajaknya masuk, Felis hampir menangis saking bahagianya.

    Aku tersenyum geli melihat tingkah Felis yang benar-benar seperti orang ‘udik’. Meski Felis sering membuat keributan dan menarik perhatian, tapi aku bisa maklum. Toh sepertinya ini pertama kalinya dia datang ke mall.

    Selesai makan, aku kembali mengajaknya berkeliling dan akhirnya kami berdua mampir di toko aksesoris dan pernak-pernik kecil yang cukup terkenal di pusat perbelanjaan itu. Aku lalu membelikan Felis sebuah kalung sederhana dengan bandul berbentuk seekor kucing gemuk yang sedang nyengir lebar. Felis sempat cemberut ketika aku memilihkan kalung itu untuknya, tapi kemudian gadis itu menerimanya dengan mata berbinar-binar ketika melihat kalau aku juga membeli kalung yang sama.

    Setelah pergi ke pusat perbelanjaan, aku mengajak Felis berjalan mengelilingi kota. Gadis itu tetap tampak bersemangat meski aku sudah mulai lelah dan mengantuk.

    Kurasa memang benar kucing itu paling aktif di malam hari.

    Sepanjang jalan, aku baru menyadari kalau ada sosok-sosok asing yang sebelumnya tidak pernah kulihat. Mereka semua memiliki warna rambut yang mencolok. Ada yang berwarna putih seperti Felis, ada juga yang berwarna coklat terang, ada yang abu-abu, ada juga yang hitam tapi bercorak putih, bahkan ada yang sangat nyentrik dengan warna kuning tua bercampur putih dan hitam.

    “Ah...mereka semua juga kucing loh.”

    Itu jawaban yang diucapkan Felis ketika aku bertanya-tanya siapa sebenarnya orang-orang bergaya nyentrik itu.

    Tentu saja aku makin melongo karena jelas jawaban Felis itu sangat tidak masuk akal. Tapi mengingat sekarang ini aku sedang memberikan tumpangan pada gadis jelmaan seekor kucing, aku percaya 100% pada ucapan Felis.

    “Sama sepertiku. Mereka juga bisa jadi manusia hanya malam ini saja,” jelas Felis sambil memandangi seorang gadis berambut pirang-belang-putih. “Kalau malam ini sudah berakhir...kami semua akan balik lagi jadi kucing biasa.”

    Ketika dia mengatakan hal itu, dia terdengar sedih.

    “Felis...” ujarku.

    Tiba-tiba Felis menepuk pundakku.

    “Belok kanan!” seru gadis itu tiba-tiba.

    Spontan aku langsung membelokkan setang sepedaku dan berbelok tajam ke arah jalan di kananku.

    “Kita mau kemana?” tanyaku penasaran sambil terus mengayuh sepeda.

    Felis hanya tersenyum dan berkata “Tenang aja. Aku mau menunjukkan sesuatu yang hebat. Sesuatu yang istimewa bagiku dan kayaknya sih bakal jadi istimewa bagimu juga.”

    “Apa itu?” tanyaku makin penasaran.

    Tapi Felis tidak menjawab dan hanya tertawa kecil.

    Jalanan yang ditunjukkan Felis rupanya menanjak cukup tajam, hingga akhirnya aku tidak kuat mengayuh dan akhirnya kami berdua berjalan kaki. Tentu saja aku berjalan sambil menuntun sepedaku.

    Setibanya kami di puncak tanjakan, Felis berjalan keluar dari jalan raya, ke arah kerimbunan hutan kecil yang tumbuh liar di kiri jalan.

    Awalnya aku ragu untuk mengikutinya, tapi akhirnya Felis berhasil mendesakku untuk mengikutinya.

    Setelah merantai sepedaku di tiang lampu di samping jalan, aku berjalan mengikuti Felis menembus semak-semak dan kerimbunan hutan.

    Kami berjalan cukup lama hingga akhirnya hutan kecil itu berakhir dan kami sampai di sebuah tanah lapang berumput yang rupanya ada di puncak bukit.

    “Kita sampai~!” seru Felis dengan nada riang sambil berjalan ke tengah lapangan.

    Aku makin bingung karena di lapangan ini sama sekali tidak ada apa-apa.

    “Tempat apa ini?” tanyaku kebingungan.

    Felis berputar di tempat, lalu memandangku dengan tatapan gembira. Gadis itu lalu menunjuk ke arah langit. Aku mengikuti arah yang dia tunjuk, lalu terdiam.

    Bulan sudah naik sampai tepat diatas kepala dan warna bulan benar-benar indah.

    Akibat gerhana bulan, bulan purnama kali ini berwarna merah terang. Tidak hanya itu, karena langit yang sedikit berkabut dan dingin di malam hari, tampak lingkaran halo di sekitar bulan. Membuat suasana malam terasa semakin indah, sekaligus terasa ‘mistis’.

    “Ini adalah satu-satunya tempat di kota ini, dimana kita bisa melihat bulan dan langit dengan sangat jelas,” ujar Felis sambil berjalan menghampiriku. “Ini tempat spesial bagiku. Setiap kali aku sedih atau kecewa, aku selalu menyendiri disini. Tempat ini jauh sekali dari keramaian jadi tidak ada polusi udara, suara, dan cahaya disini.”

    Aku menutup mataku.

    Felis benar.

    Tempat ini benar-benar tenang dan membawa rasa damai.

    Suara hiruk-pikuk kota yang biasanya selalu kudengar, kini digantikan oleh suara desir angin, dedaunan, dan suara serangga malam yang bersahut-sahutan.

    Suara-suara alam itu membuat hati dan pikiranku jadi lega dan terasa tenang.

    Tanpa sadar aku duduk di atas rumput dan memandang menerawang ke arah kota yang bisa terlihat dari tebing di depan. Kota kecil nan sibuk itu tampak berkilauan karena lampu-lampu jalan, rumah, dan gedung yang menyala sepanjang malam.

    Meski ini sudah hampir tengah malam, entah mengapa aku merasa enggan untuk pulang.

    “Felis. Ini benar-benar tempat yang indah dan damai. Terima kasih karena sudah membawaku ke tempat seperti ini,” ujarku sambil menoleh ke arah Felis yang berdiri di sampingku.

    Gadis itu tersenyum manis sambil membungkuk ke arahku.

    “Tidak, harusnya aku yang berterima kasih, Aisyah. Berkat dirimu, malam ini benar-benar terasa sangat istimewa,” balas Felis sambil tersenyum. Tapi kemudian senyumnya jadi terkesan sedih.

    Gadis berambut putih panjang itu lalu berbisik di telingaku.

    “Maafkan aku. Tapi sudah saatnya kau pulang, Aisyah. Meski aku ingin sekali bersamamu sampai besok pagi, tapi ini saatnya kita berpisah.”

    Aku hendak protes karena aku juga masih belum mau berpisah dengan Felis. Tapi tiba-tiba saja aku merasa luar biasa mengantuk, dan tanpa sadar aku tertidur.

    Sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku, sayup-sayup aku mendengar suara Felis.

    “Terima kasih banyak, sahabat manusiaku, Aisyah.”

    Lalu semuanya gelap.

    ****

    Aku terbangun keesokan harinya dengan perasaan bingung.

    Kenapa bingung? Tentu saja bingung karena aku tiba-tiba saja sudah berada di atas kasurku yang empuk. Padahal terakhir kali kuingat, aku sedang berdiri bersama Felis di sebuah padang rumput kecil di puncak bukit.

    Tapi aku tidak bisa lama-lama bingung karena aku harus segera mandi, ganti baju, lalu pergi ke sekolah. Sayangnya di sekolahpun pikiranku tidak bisa tenang. Bayangan Felis terus tergambar di benakku. Jadi aku memutuskan untuk kembali ke tempat pertama kali aku bertemu dengan Felis, yaitu di puncak jalan tanjakan yang biasa kulalui setiap pulang sekolah.

    Sayangnya aku sama sekali tidak bisa menemukan sosok Felis di tempat itu. Sambil menahan rasa kecewa akupun pulang dan mencoba lagi lain waktu.

    Tapi tidak peduli berapa kalipun aku mengunjungi tempat itu atau berapa lama aku menunggu disana...Felis tidak pernah datang.

    Kini sudah lebih dari 2 bulan sejak aku pertama kali bertemu dengan Felis, gadis ‘kucing’ misterius itu. Kalau kuingat-ingat lagi. Rasanya pertemuanku dengan Felis terasa seperti sebuah mimpi yang singkat, namun indah. Satu-satunya yang membuatku yakin 100% kalau itu semua bukan mimpi adalah kalung dengan bandul berbentuk seekor kucing gemuk warna putih yang kupakai. Kalung itu kubeli ketika aku dan Felis bermain di pusat perbelanjaan, dan kami berdua mengenakan kalung yang sama.

    Aku mendesah lesu.

    Hari inipun aku menunggu di taman kecil di puncak tanjakan yang akhir-akhir ini jadi sering kukunjungi. Rasanya seperti sudah jadi kebiasaan saja aku menyempatkan diri duduk di taman dan memandangi kota berhiaskan cahaya matahari tenggelam yang berwarna kemerahan.

    Sampai akhirpun aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Felis....

    Masih banyak hal yang ingin kubicarakan dengan gadis itu. Masih banyak hal yang ingin kukatakan. Dan masih banyak hal lain yang ingin kulakukan bersamanya. Meski pertemuan kami terasa kelewat singkat, tapi aku merasa diantara kami berdua telah terjalin sebuah ikatan persahabatan.

    Jujur saja, aku merasa sedih karena sepertinya kami tidak bisa mempertahankan ikatan persahabatan itu.

    Aku baru saja berniat untuk pulang ketika tiba-tiba aku melihat seekor kucing anggora berbulu putih tampak berdiri memandangiku dari seberang jalan. Tadinya aku tidak terlalu peduli sampai aku memperhatikan kalung kucing yang dia kenakan.

    Bandul kalung itu tampak berbentuk seekor kucing gemuk berwarna putih.

    Begitu melihat bandul kalung itu, aku langsung terbelalak dan tanpa sadar berlari ke arah kucing itu.

    Entah karena kaget atau apa, kucing anggora putih itu langsung melarikan diri. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari mengejarnya.

    Felis! Itu pasti Felis!

    Aku terus berseru dalam hati sambil berlari mengejar kucing itu, tidak peduli kemana dia pergi. Aku bahkan rela memanjat pagar rumah orang atau menerobos lubang besar di tembok beton untuk mengejar kucing putih itu.

    Keinginanku untuk bertemu dengan Felis lagi benar-benar mengalahkan akal sehatku. Aku terus berlari mengejar kucing itu hingga akhirnya aku sampai di tanah lapang berumput yang ada di puncak bukit. Tempat terakhir kali aku melihat Felis.

    Sambil terengah-engah karena terus berlari nyaris tanpa henti, aku memandang ke sekelilingku. Kucing anggora putih itu sudah menghilang dan tidak kelihatan lagi jejaknya.

    Kecewa karena aku gagal bertemu dengan Felis untuk entah kesekian kalinya, aku sudah tidak tahan lagi.

    Tanpa sadar air mata mengalir di pipiku dan akupun terduduk, kemudian mulai menangis tanpa suara.

    Aku tidak tahu berapa lama aku menangis. Yang pasti ketika akhirnya aku merasa lebih tenang, matahari sudah tenggelam dan bulan purnama sudah mulai menampakkan wujudnya.

    Sudahlah...kalau kami emang tidak ditakdirkan untuk bertemu lagi. Aku bisa menerimanya. Setidaknya kenangan indah itu masih tersisa dalam benakku....

    Aku bergumam dalam hati sambil menarik nafas panjang dan berbalik, siap untuk pulang.

    Tapi baru saja aku berjalan beberapa langkah, aku mendengar suara tawa kecil dari belakang. Suara tawa itu sangat familiar di telingaku. Suara tawa itulah yang ingin kudengar lagi selama 2 bulan terakhir ini.

    Aku langsung menghapus bekas air mata di wajahku, lalu berbalik dan berseru gembira.

    “Felis~! Akhirnya kita bertemu lagi!”

    ****

    ~FIN?~
     
  12. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    [Tantangan Horor]: Mereka Yang Tertidur Dalam Kegelapan

    Aku tidak suka dengan segala sesuatu yang berbau horor atau supranatural.

    Bukan! Bukan karena aku penakut!

    Tapi ada alasan yang sangat bagus kenapa aku membenci hantu, setan, dedemit dan makhluk-makhluk gaib sejenis.

    Aku ini termasuk orang yang dikaruniai (atau dikutuk) memiliki indra keenam yang sangat peka, atau dengan kata lain....aku bisa melihat makhluk-makhluk gaib tersebut dengan sangat jelas.

    Percayalah. Itu bukan sesuatu yang menyenangkan....setidaknya bagiku.

    Karena kemampuanku ini, aku tidak hanya bisa melihat saja tapi bisa juga berinteraksi dengan mereka. Terkadang memang tidak jadi masalah kalau kebetulan aku bertemu dengan makhluk gaib yang bersikap biasa saja. Tapi akan jadi masalah kalau kebetulan aku bertemu dengan makhluk gaib yang berniat jahat atau sekedar usil.

    Seperti saat ini.

    Saat ini aku berjalan di tengah hutan lebat yang berada cukup jauh dari tepi kota tempatku tinggal. Langit sudah gelap dan satu-satunya benda yang membantuku berjalan tanpa tersandung adalah sebuah senter LED yang menyala dengan cahaya putih terang.

    Kalau kau bertanya kenapa aku berada di hutan seperti ini malam-malam, jawabannya pasti akan terasa aneh di telingamu.

    Aku sedang membantu seseorang untuk menemukan benda yang dia hilangkan. Ehm...daripada seseorang. Akan lebih bagus kalau kukatakan dia itu ‘mantan’ orang.

    Kenapa mantan? Karena tidak ada orang yang bisa berjalan menembus kerimbunan hutan selebat ini tanpa suara sama sekali dan dengan kaki tidak menapak ke tanah.

    Dengan kata lain...saat ini aku sedang bersama arwah orang mati, atau lazim sekali disebut hantu.

    “Masih berapa jauh lagi??” tanyaku pada arwah itu.

    Sang arwah yang berwujud seperti seorang anak perempuan berambut hitam panjang, langsung menoleh ke arahku dan tersenyum manis padaku. Dia lalu menunjuk ke arah kerimbunan pohon di depannya.

    “Masih jauh?” tanyaku lagi.

    Hantu anak kecil itu mengangguk mengiyakan.

    Aduuh.....yang benar saja! Aku sudah berjalan menembus hutan selama 1 jam dan kita belum sampai?!

    Aku menggerutu dalam hati.

    Pasti kalian bertanya-tanya kenapa aku mau repot-repot membantu hantu itu. Jawabannya mudah: kalau aku tidak membantunya, dia akan menghantuiku seumur hidupku.

    Aku sih tidak terlalu kerepotan seandainya dia hanya menakut-nakutiku dengan wujudnya yang agak imut itu. Sialnya hantu anak kecil seperti dia biasanya mampu mengakibatkan terjadinya fenomena poltergeist, seperti barang-barang berpindah sendiri, suara ketukan dan gesekan di rumah, suara langkah kaki tanpa wujud, suara tawa anak kecil, dan yang paling parah....perabotan berat seperti lemari dan kasur di rumah bisa berada dalam posisi terbalik.

    Kalau aku tinggal sendiri sih tidak terlalu masalah, tapi masalahnya aku tinggal dengan paman dan bibiku. Mereka selalu ketakutan setengah mati setiap kali hal-hal berbau paranormal terjadi di rumah mereka gara-gara diriku.

    Karena tidak mau membuat mereka repot, ribut, dan mungkin terkena serangan jantung....aku memutuskan untuk membantu anak ini menemukan barangnya yang hilang di hutan ini. Kalau tidak karena alasan itu, mana ada remaja umur 15 tahun yang cukup gila untuk pergi ke hutan malam-malam begini. Normalnya sih di jam-jam seperti ini aku sudah tidur di rumah atau nongkrong bersama teman-temanku di mall.

    Aku mendesah lagi. Tapi aku jadi penasaran....barang apa yang sebenarnya dia hilangkan di tempat seperti ini?

    Suasana hutan yang gelap dan nyaris sunyi senyap membuatku merinding. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara langkah kakiku yang kikuk saat berjalan menembus hutan, serta suara desir angin yang sesekali berhembus diantara pepohonan. Sesekali aku melihat mata-mata hewan-hewan malam yang tersembunyi diantara rimbunnya pohon dan semak di hutan lebat ini. Tapi mereka semua membisu dan tidak bersuara sama sekali.

    Jelas ini tidak normal.

    Bulu kudukku langsung berdiri semua dan aku langsung merinding hebat.

    Firasatku langsung terasa sangat tidak enak.

    Kalau tubuhku sudah bereaksi seperti ini....biasanya di dekatku ada makhluk-makhluk gaib yang seharusnya tidak kulihat atau kutemui.

    Aku berhenti sejenak dan memandang berkeliling. Tapi aku tidak melihat apapun di sekitarku. Aku mengarahkan senterku ke segala arah tapi tidak ada apa-apa sama sekali.

    Mungkin hanya perasaanku saja....gumamku sambil mengusap tengkuk leherku.

    Aku lalu memandang lagi ke depan.

    Si hantu anak kecil juga berdiri dan memandangiku dengan tatapan heran.

    “Ah. Tidak ada apa-apa. Aku hanya lelah jadi ingin istirahat sejenak,” ujarku berbohong pada hantu kecil itu.

    Hantu gadis kecil itu lalu tersenyum padaku.

    Haaah....kalau dia masih hidup, anak itu pasti manis sekali. Sayang dia sudah mati....keluhku pada diriku sendiri. Dalam kondisi seperti itu, dia mau tersenyum semanis apapun, orang yang melihatnya minimal akan lari terbirit-birit...atau bahkan langsung pingsan ditempat.

    Bukannya apa-apa...tapi wujud hantu gadis itu tidak bisa dibilang utuh lagi.

    Sebagian wajahnya sudah hancur dan hanya menyisakan sisa-sisa wajahnya yang dulu pasti manis. Tubuhnya juga sama saja. Lubang-lubang besar tampak di sekujur tubuh hantu gadis itu, menandakan kalau kematiannya itu bukan kematian yang wajar. Dari balik lubang itu aku bisa melihat organ-organ dalamnya yang sudah rusak dan membusuk.

    Sungguh pemandangan yang sangat tidak enak dilihat. Kalau aku tidak terbiasa melihat makhluk gaib serupa dirinya, aku pasti sudah muntah-muntah setiap kali melihat sosok hantu gadis itu.

    Tiba-tiba saja si hantu berhenti bergerak. Dia lalu menoleh ke arahku dan memandang ke arahku dengan satu-satunya mata yang tersisa, sementara matanya yang lain sudah tidak ada ditempatnya. Perlahan-lahan hantu itu menunjuk ke arah semak-semak lebat di depannya.

    “Ada apa? Apa disini kau menjatuhkan benda yang kau cari?” tanyaku pada hantu gadis itu sambil menyorotkan cahaya senterku ke arah semak-semak lebat di depannya.

    Hantu gadis itu mengangguk lagi dan menunjuk-nunjuk ke arah semak-semak di depannya itu dengan penuh semangat. Dia lalu memberi isyarat agar aku segera menerobos semak-semak itu dan mulai mencari.

    Aku menepuk wajahku dan menghela nafas.

    Ini akan jadi pekerjaan yang melelahkan sekali....

    Untungnya aku sudah mempersiapkan beberapa peralatan untuk pekerjaan ini. Aku langsung meletakkan tas yang kubawa dan mulai mengeluarkan isinya.

    Untuk menerobos semak-semak berduri semacam itu tentu saja tidak bisa dengan tangan kosong. Aku mengeluarkan sepasang sarung tangan karet yang tebal, sebuah parang, dan head lamp, senter dengan ikat kepala, agar tanganku bebas bergerak saat menerobos semak berduri itu.

    “Dimana tepatnya benda itu terjatuh?” tanyaku pada si hantu gadis.

    Gadis yang tadinya manusia itu lalu melayang ke tengah-tengah kerimbunan semak berduri di depanku dan menunjuk ke bawah.

    “Di situ?” tanyaku lagi.

    Hantu gadis itu mengangguk dengan semangat.

    Tanpa basa-basi lagi aku berjalan dengan susah payah menerobos semak-semak berduri di depanku. Untung tadi aku sengaja memilih mengenakan celana kargo tebal dan baju lengan panjang, kalau tidak tangan dan kakiku sudah dipenuhi goresan berdarah. Perlahan aku mulai berjalan mendekati si gadis hantu sambil menebas jalinan dahan-dahan semak yang tumbuh sangat rapat.

    “Sebelah mana?” tanyaku pada hantu gadis kecil itu lagi.

    Hantu itu kembali menunjuk ke bawah dan tersenyum lagi dengan wajahnya yang sudah rusak.

    “Baiklah. Jangan kemana-mana! Aku akan segera kesana!” ujarku sambil terus membuka jalan dengan parangku.

    Ketika aku mulai mendekati gadis hantu itu....tiba-tiba saja pijakan kakiku menghilang.

    Bukan....bukan menghilang, tapi begitu aku menginjak semak-semak di depanku, tiba-tiba saja sebuah lubang besar menganga di bawah kakiku.

    Ap..!?

    Aku tidak sempat berseru ataupun melakukan apapun karena aku langsung jatuh ke lubang gelap itu. Sesaat sebelum aku terjatuh ke dalam lubang tersebut.....sekilas aku melihat senyum jahat tersungging di wajah rusak si hantu gadis kecil.

    Hal terakhir yang kuingat...atau lebih tepatnya kudengar....adalah suara tawa anak perempuan yang terdengar sangat puas.

    ****

    Ketika aku terbangun lagi, hal pertama yang kurasakan adalah rasa sakit di sekujur tubuhku.

    Aku tidak tahu seberapa dalam aku terjatuh karena tadi aku langsung pingsan pada hantaman pertama.

    Gelap total.

    Aku sama sekali tidak bisa melihat apapun. Sama sekali tidak ada cahaya di sini.

    Aku mulai ketakutan.

    Perlahan-lahan aku menyentuh head lamp yang kukenakan di kepala, tapi aku langsung merasakan kalau senter itu sudah rusak parah. Aku mencoba menyalakan benda itu tapi tentu saja gagal.

    Gawat! Aku berseru panik dalam hati. Gawat! Gawat! Gawat!

    Aku langsung kebingungan. Tapi kemudian sebuah benda berat di kantung celanaku langsung membuatku tersadar. Aku mengambil benda itu yang tidak lain adalah ponselku. Dengan segera aku menyalakan layar ponsel itu dan menjadikannya sebagai sebuah senter.

    Aku lalu menyorotkan cahaya layar ponsel itu ke segala arah dan segera mengetahui dimana aku berada.

    Rupanya aku jatuh ke dalam sebuah gua bawah tanah.

    Untung saja lantai gua ini terbuat dari tanah yang gembur dan cukup empuk, kalau ini gua kapur, aku pasti sudah mati. Atau paling tidak patah tulang.....

    Aku bergumam dalam hati sambil menyoroti lubang tempatku terjatuh tadi. Lubang itu rupanya tidak tegak lurus. Itu menjelaskan kenapa aku tidak terluka parah meski terjatuh ke dalam gua yang tampaknya cukup dalam ini.

    Sambil menggigit ponselku, aku mencoba memanjat ke atas melalui lubang tempatku terjatuh.

    Tapi sayangnya aku gagal. Dinding lubang itu ternyata terbuat dari batuan licin dan berlumut, sehingga hampir tidak ada pegangan kokoh agar aku bisa merayap naik ke atas.

    Setelah jatuh merosot ke bawah beberapa kali, aku akhirnya menyerah.

    Bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini?

    Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri sambil memandangi lubang tempatku terjatuh tadi. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu dan menggetok kepalaku sendiri.

    Bodohnya aku!

    Aku berseru sambil memandang ke arah layar ponselku penuh harap. Aku berharap di sana terdapat paling tidak satu garis di tanda indikator sinyal ponselku. Tapi harapanku sirna ketika aku melihat tanda silang di indikator tersebut. Artinya di bawah sini sama sekali tidak ada sinyal telepon.

    Sial! Aku mengumpat dalam hati sambil menendang dinding gua dengan keras.

    Aku menelan ludah.

    Suasana gua yang gelap total membuatku ketakutan.

    Samar-samar aku bisa mendengar suara-suara bisikan yang kuharap hanya ilusi yang dihasilkan oleh ketakutanku akan kegelapan pekat yang menyelimuti tubuhku. Sayangnya suara bisikan itu bukannya makin samar atau menghilang, tapi justru semakin nyaring terdengar. Sampai-sampai aku merasa di sekelilingku ada ratusan sosok tanpa wujud yang sedang mengamatiku dan saling berbisik.

    Aku langsung berputar ke segala arah dan menyorotkan cahaya layar ponselku ke seluruh bagian gua.

    Kosong.

    Tidak ada apa-apa.

    Tapi suara bisikan itu tidak juga hilang dan terus berputar di sekelilingku.

    Sambil mengepalkan tangan dan mengabaikan suara bisikan itu, aku menyorotkan layar ponselku ke depan lalu mulai berjalan menyusuri lorong gua. Ketika berjalan, aku jadi menyadari ini bukan gua alami, melainkan gua buatan. Sesekali aku melihat beberapa rangka kayu lapuk yang dulu digunakan untuk memperkuat dinding dan langit-langit gua. Sekilas aku juga melihat benda-benda seperti helm bekas, sekop tua berkarat, lentera tua yang tergantung di salah satu rangka, dan benda-benda lain yang cukup lazim terlihat di sebuah tambang.

    Tempat apa ini? tanyaku pada diriku sendiri.

    Tiba-tiba aku terdiam.

    Aku baru menyadari kalau suara bisikan misterius tadi sudah hilang. Sekarang semuanya sunyi senyap. Anehnya aku makin ketakutan ketika menyadari tidak ada lagi suara apapun di sekelilingku, kecuali suara langkah kaki dan degup jantungku.

    Tanpa tahu arah aku terus berjalan. Kalau melihat jam yang terpampang di layar ponselku, saat ini hampir tepat tengah malam. Waktu yang paling kubenci karena makhluk-makhluk gaib yang paling tidak ingin kutemui justru aktif pada tengah malam hingga menjelang subuh.

    Aku hanya berdoa dalam hati kalau disini tidak ada yang seperti itu.

    Kalau tidak aku pasti sangat kerepotan. Meski tidak bisa membunuhku secara fisik, tapi mereka bisa membunuhku secara mental. Cukup sekali aku bertemu makhluk gaib yang bisa membuatku seperti orang ling-lung selama 3 hari berturut-turut, aku tidak mau bertemu dengan yang seperti itu lagi.

    Tiba-tiba saja aku tersandung sesuatu dan terjatuh.

    “Aduh!” seruku kaget.

    Dengan segera aku bangkit dan meraih ponselku, lalu menyoroti benda apa yang membuatku terjatuh.

    Aku tersentak kaget.

    Benda yang membuatku terjatuh adalah mayat seorang anak kecil yang terbaring di tanah. Mayat itu pasti sudah berada di tempat ini untuk waktu yang sangat lama karena yang tersisa dari tubuh anak kecil itu hanyalah tulang belulang.

    Sambil menelan ludah, aku berputar dan menyoroti sekitarku dengan lampu dari layar ponselku.

    Kalau aku tidak terbiasa melihat yang beginian, aku pasti pingsan atau minimal menjerit histeris.

    Di sekitarku tampak banyak sekali mayat-mayat anak kecil yang juga sudah membusuk dan meninggalkan tulang-tulangnya saja. Mereka semua tampaknya mati dalam kondisi mengenaskan. Beberapa mayat tampak tidak utuh, entah apa sebabnya, sementara yang lain terbaring dalam posisi yang tidak wajar.

    Apapun yang menyebabkan mereka semua terbunuh sudah membuat mereka tersiksa sebelum mati.

    Aku menutup mulutku dengan sebelah tangan. Dalam benakku langsung terbersit satu pikiran.

    Jangan-jangan ‘benda’ yang dimaksud hantu yang menuntunku kesini adalah mayat-mayat ini!? Apa hantu itu ingin aku menemukan tubuhnya?!

    Aku menelan ludah lagi.

    Entah mengapa suara bisikan-bisikan gaib yang tadi kudengar, sekarang kembali terdengar lagi. Perlahan-lahan suara bisikan itu berubah menjadi suara tawa sekelompok anak kecil yang sedang bermain-main. Sayup-sayup aku bahkan mendengar mereka menyenandungkan sebuah lagu. Awalnya lagu itu terdengar sayup...tapi lama kelamaan semakin keras sehingga saat ini aku serasa seperti dikelilingi oleh puluhan anak kecil yang berputar sambil bernyanyi riang. Hanya saja mereka semua tidak terlihat.

    Aku menutup telinga. Berusaha mengabaikan suara nyanyian itu dan kembali berjalan menyusuri gua.

    Aku tidak tahu apakah aku bisa keluar dari gua ini. Tapi yang pasti aku harus terus maju kalau aku tidak mau mati dan membusuk seperti mayat anak-anak malang yang kulihat tadi.

    Kemudian langkahku terhenti karena jalan di depanku berakhir begitu saja. Gundukan tanah dan bebatuan tampak berserakan menutupi jalan hingga tidak mungkin bagiku untuk terus maju. Aku harus berbalik dan mencari jalan lainnya.

    Tapi baru saja aku akan berbalik, tiba-tiba aku mendengar suara gemeretak yang tidak menyenangkan di belakangku. Suara yang seharusnya tidak terdengar di dalam lorong gelap dan menyeramkan ini.

    Aku menelan ludahku dan kembali merinding hebat.

    “Kakak~! Ayo main~!”

    Tiba-tiba aku mendengar suara riang seorang anak kecil dari belakang punggungku. Begitu mendengar suara itu, sekujur tubuhku kaku. Aku mulai gemetar karena ketakutan.

    “Kakak~! Ayo main~!”

    Suara itu terdengar lagi dari belakang punggungku. Kali ini suaranya terdengar semakin dekat.

    Aku sama sekali tidak berani berbalik atau menoleh ke belakang.

    “A....apa maumu?! Kenapa kau menjebakku di tempat seperti ini?!” seruku tanpa berani menoleh ke belakang, karena aku sudah bisa menduga apa yang akan kulihat kalau seandainya aku sampai melakukan itu.

    “Kakak~! Ayo main~! Teman-temanku sudah menunggu~!”

    Aku makin ketakutan begitu mendengar ajakan si pemilik suara itu.

    Te....teman-teman......gumamku dalam hati dengan gemetar karena ketakutan. Jelas sekali ini sama sekali tidak bagus.

    Benar saja.

    Aku langsung merasakan sesuatu yang dingin dan keras menyentuh pundakku. Aku nyaris tidak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhku dipaksa berbalik oleh suatu kekuatan yang tidak terlihat.

    Begitu aku berbalik, sebuah pemandang mengerikan langsung menungguku.

    Sosok-sosok anak kecil tampak berdiri di depanku. Sialnya mereka semua sudah tidak ada yang utuh. Wajah dan tubuh mereka sudah rusak berat dan terlihat membusuk. Entah kejadian macam apa yang telah menimpa mereka saat mereka masih hidup, hingga membuat wujud hantu mereka sampai seburuk ini. Tapi berbeda dengan sebelumnya. Kali ini mereka tidak terlihat transparan.

    MEREKA TERLIHAT PADAT!!!

    Ketika aku tidak sengaja menyorotkan sinar dari layar ponselku ke arah tempat aku menemukan mayat-mayat anak kecil tadi. Mayat-mayat itu sudah tidak ada.

    Tidak perlu waktu lama hingga aku menyadari bahwa mayat-mayat itulah yang ada di depanku sekarang!

    Oh tidak! Ini sangat tidak baik! Seruku panik dalam hati. Jantungku langsung terasa berpacu 3 kali lebih cepat dan sekujur tubuhku mendadak gemetaran tidak karuan. Ini sangat tidak baik! Sungguh sangat tidak baik! Sialan!!!!

    Sosok-sosok mengerikan itu tampak menyeringai dengan wajah mereka yang sudah tidak utuh lagi sambil menyenandungkan lagu ceria, namun liriknya terdengar sangat mengerikan karena sudah diubah sedemikian rupa sehingga mencerminkan keadaanku sekarang.

    Tek kotek kotek kotek~!

    Anak ayam turun ke lubang~!

    Mati satu tinggal berapa?

    Tek kotek kotek kotek~!

    Mati satu....mati semua~!


    Mereka terus mengulang-ulang lagu mengerikan itu sambil berjalan mendekat dengan perlahan dan dengan langkah terseok-seok, bahkan ada yang sampai merayap karena kedua kakinya sudah hancur karena membusuk.

    Tangan-tangan mungil mereka yang rusak dan tampak mengerikan terulur ke arahku, berusaha menggapai tubuhku.

    Spontan aku langsung melompat mundur, hanya untuk menabrak tumpukan tanah dan bebatuan di belakangku. Dengan panik aku langsung memutar tubuhku dan mulai menggali dengan kedua tanganku. Tentu saja itu sia-sia karena mustahil aku bisa menggali lapisan tanah dan batuan yang runtuh itu tanpa bantuan alat berat.

    Tapi aku tidak peduli.

    Aku harus segera melarikan diri dari tempat mengerikan ini!

    “Kakak mau kemana? Ayo main~!”

    Seorang anak dengan kepala terpelintir ke belakang akhirnya berhasil meraih pundakku dan menempelkan tubuhnya yang setengah hancur dan berbau busuk ke tubuhku. Aku langsung muntah dan mengibaskan tanganku, membuat hantu anak itu terjatuh.

    Tapi dengan segera anak-anak yang lain langsung meraih tubuhku, mencakar, menggaruk, dan mencengkram sekujur tubuhku dengan tangan-tangan mungil mereka yang mengerikan.

    Mereka sudah berhenti bersenandung dan kini bersorak dengan kompak sambil terus menyeringai lebar.

    “AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~! AYO MAIN~!”

    Suara anak-anak itu bergema di lorong gua dan membuat kedua telingaku sakit. Tapi aku sudah tidak bisa lagi berteriak ataupun bergerak karena tangan-tangan hantu anak-anak yang mengerubuti tubuhku sudah sampai ke leherku.

    Aku bisa merasakan salah satu dari mereka melingkarkan jemarinya yang tinggal tulang ke leherku dengan sangat erat, hingga aku tidak bisa bernafas apalagi berbicara.

    Aku berusaha berontak, tapi anak-anak yang lainnya sudah menahan tangan, kaki, dan tubuhku, hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.

    “Kakak....kami sudah tidur lama sekali dibawah sini....kami kesepian....”

    Sialan! Rupanya aku dibawa kesini hanya untuk dibunuh! Seharusnya aku tidak pernah menuruti permohonan hantu anak kecil ini.....sesalku tanpa daya.

    Tapi penyesalanku sia-sia saja ketika melihat hantu anak kecil yang mencekik leherku tersenyum lebar. Sosok hantu yang mencengkram leherku itu tidak lain adalah hantu yang pertama kali menuntunku sampai ke tempat ini.

    “Makanya....temani kami tidur disini......”

    Hantu itu berkata lagi sambil mengeratkan cengkramannya di leherku.

    Kesadaranku langsung hilang perlahan-lahan. Semuanya jadi terlihat merah dan kabur, serta berputar-putar. Sensasi melayang mulai terasa ketika seluruh organ tubuhku menjerit karena kehabisan oksigen.

    Aku tahu tidak lama lagi aku akan mati.

    Tapi aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku hanya pasrah dan menutup mataku ketika aku merasakan kegelapan di sekitarku merenggut jiwaku. Aku membiarkan kegelapan itu merenggut dan menyelimuti tubuhku yang mulai dingin.

    Dan kemudian.........aku jatuh tertidur dalam kegelapan pekat.

    ****

    Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur dalam kegelapan. Aku bahkan tidak tahu apakah aku benar-benar sudah mati atau belum karena semuanya gelap dan aku tidak bisa merasakan atau melihat apapun.

    Yang pasti tiba-tiba saja aku melihat sebuah cahaya di kejauhan.

    Kalau dari buku-buku tentang supranatural yang pernah kubaca....cahaya di kejauhan dalam kegelapan pekat seperti ini bisa berarti dua hal.

    Satu: Itu cahaya menuju alam kehidupan.

    Dua: Itu cahaya yang akan menuntunku ke ‘dunia sana’.

    Tapi aku tidak peduli kemana cahaya itu akan menuntunku. Aku langsung mengangkat tanganku dengan susah payah, berusaha menggapai cahaya di kejauhan itu.

    Sedikit lagi....gumamku sambil terus berusaha meraih cahaya temaram itu.

    Sedikit lagi.....

    Sedikit lagi.....

    ****

    Tiba-tiba aku terbangun dan langsung duduk.

    Dengan bingung aku memandang ke sekelilingku dan aku terkejut bukan main ketika aku tahu-tahu sudah berada di dalam kamarku lagi.

    “APA?!” seruku bingung setengah mati.

    Kepalaku langsung pusing karena aku masih tidak mengerti....apa yang sebenarnya telah terjadi.

    Hantu anak kecil itu.

    Gua bawah tanah.

    Sosok-sosok mayat hidup anak-anak yang mengerikan.

    Kegelapan.

    “Mimpi?!” tanyaku pada diriku sendiri. “Tapi itu semua terlalu nyata!”

    Dengan ngeri aku memandangi sekujur tubuhku yang dipenuhi bekas-bekas cengkraman tangan yang berwarna kemerahan. Ukuran bekas cengkraman tangan itu kurang lebih seukuran tangan anak kecil.

    Aku langsung menelan ludahku.

    Kemudian aku menyadari sesuatu dan langsung menoleh ke samping.

    Sesosok anak kecil, dengan wajah hancur dan tubuh berlubang-lubang karena membusuk, tampak berdiri di samping tempat tidurku. Dia lalu tersenyum manis dengan wajahnya yang setengah rusak, lalu menghilang begitu saja.

    Aku tertegun.

    Hantu gadis itu pertama kali muncul beberapa hari yang lalu dan mulai menghantuiku lalu membuat berbagai macam fenomena poltergeist terjadi di sekitarku. Hantu itu berkali-kali mengirimkan pesan bahwa dia ingin aku membantunya menemukan benda yang dia hilangkan di hutan.

    Aku langsung ingat kalau aku bermaksud membantunya malam ini.

    Karena itulah aku sudah mengenakan pakaian lapangan dan menyiapkan semua perlengkapan yang mungkin kubutuhkan di ranselku. Tapi karena tadi aku lelah setelah siang hari berolahraga berat di sekolah, aku memutuskan untuk tidur sejenak.

    Tapi rupanya aku malah tertidur pulas dan malah bermimpi aneh....yang kurasa bukan sepenuhnya mimpi.

    Aku mendapat kesan kalau mimpi buruk itu adalah pesan dari si hantu, dan aku langsung paham apa maksudnya.

    Oleh karena itu, begitu matahari terbit keesokan harinya, aku langsung menghubungi seorang anggota tim SAR kenalanku dan meminta bantuannya untuk memanggil teman-temannya dan membawa peralatan yang memadai.

    Kenalanku itu sempat kebingungan saat aku menjelaskan maksudku, tapi dia tetap mau membantuku dan pada akhirnya datang bersama teman-temannya.

    Begitu mereka datang, aku langsung memandu mereka menembus kerimbunan hutan di tepi kota tempatku tinggal. Tanpa ragu aku menuntun para tim SAR itu untuk menemukan tempat aku terjatuh dalam gua bawah tanah di mimpiku.

    Dan rupanya tempat itu memang nyata!

    Gua itu benar-benar ada dan ketika para tim SAR menjelajahi gua itu, mereka menemukan penemuan mengejutkan sekaligus mengerikan.

    Di dalam gua itu terdapat banyak sekali mayat. Rupanya tidak hanya mayat anak kecil, tapi mereka juga menemukan cukup banyak mayat pria dewasa yang semuanya mengenakan seragam tentara asing.

    Sama seperti mayat anak-anak kecil yang ditemukan dalam gua itu, mayat para tentara itu juga ditemukan dengan kondisi mengenaskan dan jelas mereka semua juga mati dengan tidak wajar.

    Aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di dalam gua itu. Yang jelas mereka semua sudah tertidur dalam kegelapan gua itu selama puluhan....bahkan mungkin ratusan tahun. Wajar saja kalau arwah anak-anak kecil itu menderita dan akhirnya ingin segera dibebaskan dari belenggu yang menjerat arwah mereka.

    Sambil mengamati para tim SAR, dibantu warga setempat, mengeluarkan mayat-mayat itu dari gua, aku mendoakan agar arwah anak-anak itu segera mendapat ketenangan. Sambil memejamkan mata, aku berdoa dengan sungguh-sungguh.

    Ketika aku melakukan itu, tiba-tiba aku merasakan hembusan angin sejuk dari belakang, disertai suara bisikan lembut.

    Terima kasih.......

    Aku langsung membalikkan badan dan terdiam.

    Di depanku kini berdiri sekelompok anak kecil, laki-laki dan perempuan, yang tersenyum ceria. Mereka tidak lagi terlihat mengerikan seperti yang kulihat dalam mimpiku semalam, malah mereka tampak bercahaya dan terlihat imut dengan pakaian sederhana yang mereka kenakan. Semuanya menatapku dengan tatapan gembira.

    Sambil tertawa riang, mereka berbalik satu persatu dan berlari ke arah hutan, lalu menghilang begitu saja.

    Aku menghembuskan nafas lega ketika mengetahui semuanya sudah berakhir.

    Arwah penasaran anak-anak kecil malang, yang mati mengenaskan dalam gua bawah tanah itu, kini sudah terbebas dari belenggu yang menahan jiwa mereka. Kini mereka semua akhirnya bisa beristirahat dengan tenang dan tidak lagi bergentayangan di dunia, dan tentu saja...itu artinya aku akhirnya terbebas dari gangguan mereka.

    Kalian sudah lama tertidur dalam kegelapan yang dingin dan menyeramkan....sudah sepantasnya kini kalian tidur dalam cahaya yang hangat dan nyaman. Sambil tersenyum lebar, aku berkata dalam hati.

    Semoga kalian bisa beristirahat dengan tenang.

    ****

    ~FIN~
     
    • Thanks Thanks x 2
    • Like Like x 1
  13. DieraHasiakan M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Oct 24, 2010
    Messages:
    996
    Trophy Points:
    212
    Ratings:
    +13,591 / -0
    beres baca kurir bintang..nah kalau yg satu ini seru menurut saya.
    kerasa suasana luar angkasa nya..

    :top:
     
    • Thanks Thanks x 1
  14. gecd M V U

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Apr 21, 2009
    Messages:
    5,566
    Trophy Points:
    227
    Ratings:
    +47,280 / -1
    baru baca yurika
    jadi teringat elfen lied:top:
    endingnya bagus tapi di part 3 terasa ganjil dan saya jadi mempertanyakan tingkat kecerdasan dan common sense si yurika ini
     
    • Thanks Thanks x 1
  15. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Pegadaian Semesta: Pertukaran Setara?

    “Kami bisa memberikan apapun padamu, asalkan kau mau menggadaikan sesuatu yang kurang lebih setara dengan apa yang kau minta. Sebut saja. Uang? Ketenaran? Kekuasaan? Bakat? Apapun itu kami bisa memberikannya.”

    Rendra hanya bisa terbaring lemah sambil mendengar ucapan yang terdengar tidak masuk akal itu. Pemuda itu memandangi seorang gadis asing yang berdiri di kamarnya.

    Gadis cantik dan seksi itu berdiri dengan tampang cuek. Dia sama sekali tidak merasa bersalah meski sudah seenaknya masuk ke dalam kamar Rendra tanpa permisi. Bukannya meminta maaf, gadis itu malah mengatakan hal yang tidak masuk akal.

    “Apa?” tanya Rendra setelah terdiam cukup lama.

    “Aduuh! Masa kau tidak mengerti ucapanku tadi? Aku bilang kami bisa memberikan apapun yang kau minta, asal kau menggadaikan sesuatu yang bernilai setara dengan permintaanmu itu.” protes si gadis seksi sambil menunjuk ke arah Rendra. “Apa terlalu lama di rumah sakit membuat otakmu jadi kurang beres?”

    “Jangan sembarangan bicara! Tubuhku memang lemah, tapi otakku tidak!”

    Rendra langsung tersinggung begitu si gadis berkata seperti itu. Dia sadar kalau dirinya menderita penyakit langka yang mengacaukan sistem kekebalan tubuhnya, sehingga Rendra harus dirawat beberapa bulan di rumah sakit, setiap kali penyakitnya kambuh. Meski demikian, Rendra memang memiliki otak yang cerdas dan bakat musik yang luar biasa.

    “Siapa kau ini?! Seenaknya saja masuk ke kamar orang!” seru Rendra geram sambil meraih bel pemanggil perawat di samping bantalnya. “Akan kupanggilkan suster dan satpam biar kau diusir dari sini?!”

    Ancaman Rendra rupanya cukup ampuh.

    “Oke. Maafkan aku kalau perkataanku tadi sudah menyinggung perasaanmu. Jadi jangan tekan tombol itu, oke? Aku tidak mau dapat masalah,” ujar si gadis sambil menunjuk ke arah tombol bel di tangan Rendra. “Mungkin penawaranku tadi terlalu tiba-tiba, jadi kau bingung. Namaku Rena dari Pegadaian Semesta. Salam kenal, Rendra Irwansyah.”

    Rendra terkejut ketika gadis itu menyebut nama lengkapnya, padahal dia sama sekali belum sempat menyebutkan namanya.

    “Darimana kau tahu namaku?!” balas Rendra semakin curiga.

    Rena langsung menunjuk ke arah pintu masuk kamar Rendra.

    “Dari papan nama yang ada di depan pintu kamarmu,” sahut Rena. “Oke. Sebelum kau semakin bingung, aku datang karena diutus Manajer Pegadaian Semesta untuk menemuimu. Katanya kau ingin menggadaikan sesuatu di tempat kami ya?”

    Rendra semakin terkejut ketika mendengar nama Pegadaian Semesta disebut dua kali oleh gadis misterius itu.

    Pegadaian Semesta? Tidak mungkin....
    gumam Rendra dalam hati.

    Dia memang pernah mendengar cerita dan rumor mengenai Pegadaian Semesta, tempat untuk menggadaikan apapun untuk mendapatkan apapun yang diinginkan seseorang. Tapi selama ini Rendra yakin kalau Pegadaian Semesta itu hanya sekedar urban legend di kotanya. Dia tidak pernah menyangka kalau tempat itu sepertinya benar-benar ada.

    “Ah! Kau tidak percaya dengan ucapanku ya?” ujar Rena sambil berjalan mendekati tempat tidur Rendra. “Kalau begitu ayo ikut aku ke Pegadaian Semesta. Nanti kau akan paham kalau sudah bertemu manajerku.”

    Sebelum Rendra sempat mengatakan atau berbuat apapun, Rena tahu-tahu meraih tangan Rendra. Genggaman tangan Rena yang hangat dan lembut membuat jantung Rendra berdebar kencang.

    Sedetik kemudian seluruh dunia seakan-akan berputar dan melebur. Pemandangan kamar rumah sakit di sekitar Rendra, tiba-tiba meleleh begitu saja dan digantikan dengan sebuah ruangan luas. Ruangan itu dipenuhi bangku-bangku kayu dan sebuah meja resepsionis besar di ujung ruangan. Tempat itu mengingatkan Rendra dengan sebuah bank....atau pegadaian.

    “A....apa!!?” seru Rendra kaget setengah mati, apalagi setelah menyadari kalau dirinya sudah berdiri tegak dengan kedua kakinya. Padahal selama sebulan ini dia bahkan tidak sanggup berdiri tanpa bantuan orang lain.

    “Selamat datang di Pegadaian Semesta!”

    Rena langsung berseru sambil membungkuk memberi hormat. Gadis itu lalu menunjuk ke arah meja resepsionis.

    “Pergilah kesana dan temui manajerku,” desak Rena.

    Karena shock dan bingung setengah mati, Rendra menurut saja dan berjalan ke depan meja resepsionis. Di balik meja itu sudah berdiri seorang pria tinggi dan tegap, dengan rambut hitam yang disisir rapi. Ekspresi wajah pria itu terlalu datar hingga Rendra nyaris mengira kalau pria itu adalah sebuah manekin.

    “Selamat datang di Pegadaian Semesta, Rendra Irwansyah. Aku tahu kenapa kau ada disini.”

    Rendra terkejut bukan main. Dia belum memperkenalkan diri, tapi pria misterius di hadapannya ini sudah menyebutkan nama lengkapnya.

    “Perkenalkan, ini Alex. Dia manajer tempat ini. Silahkan katakan apapun keinginanmu, nanti dia yang akan menjelaskan prosedur pegadaian ini padamu,” ujar Rena dengan riang.

    Rendra menelan ludahnya. Semua ini terasa tidak nyata. Tapi kalau ini mimpi, semua ini terasa terlalu nyata. Rendra sudah mencoba mencubit tangannya sendiri dan cubitannya memang terasa sakit.

    “A....anu...tempat apa ini?” tanya Rendra.

    “Pegadaian Semesta. Tempat kau menggadaikan milikmu untuk mendapatkan apapun keinginanmu,” sahut Alex dengan nada terlalu datar, sehingga Rendra merasa sedang bicara dengan sebuah robot.

    “Ehm....kenapa aku bisa ada disini?” tanya Rendra lagi.

    “Karena kau memohon dalam hati agar bisa datang ke Pegadaian Semesta ini,” sahut Alex lagi. “Apa aku salah?”

    Rendra terkejut mendengar ucapan Alex, karena dirinya memang pernah berharap kalau Pegadaian Semesta itu benar-benar nyata, sehingga dia bisa mewujudkan keinginannya.

    Sambil menelan ludahnya lagi, Rendra bertanya pada Alex.

    “Apa benar di tempat ini aku bisa menggadaikan apapun yang kumiliki....walaupun itu bukan dalam bentuk fisik....seperti bakat atau kecerdasan misalnya?”

    “Benar. Kau bisa menggadaikan apapun disini. Barang-barang berharga, organ tubuh, bakat, jiwa. Apapun yang kau miliki bisa kau gadaikan untuk ditukarkan dengan sesuatu yang kau inginkan,” jawab Alex. “Jadi...Rendra Irwansyah, apa kau bersedia menggadaikan sesuatu yang kau miliki, untuk mendapatkan tubuh sehat yang tidak pernah kau miliki? Supaya kau bisa bersama dengan Yulia Irawati, gadis yang kau cintai?”

    Kali ini Rendra terkejut bukan main, hingga dia tersentak mundur ke belakang. Bukan hanya Alex bisa menebak apa yang dia inginkan, tapi dia bahkan bisa menebak siapa orang yang paling Rendra cintai.

    “Ba...bagaimana kau tahu soal itu??!!” seru Rendra kaget. Wajahnya langsung pucat seketika.

    Yulia Irawati adalah teman sejak kecil dan merupakan gadis yang dicintai Rendra. Sudah lama Rendra menyukai gadis itu, tapi dia tidak berani mengungkapkan perasaannya karena terganjal kondisi tubuhnya yang sakit-sakitan. Karena itulah Rendra menginginkan tubuh yang sehat dan normal, sehingga dia bisa mengungkapkan perasaannya pada Yulia.

    “Jangan pikirkan darimana aku tahu soal itu. Jadi....bagaimana?” balas Alex tanpa emosi. “Memberikanmu tubuh yang tidak bisa sakit adalah sesuatu yang mudah bagiku. Asalkan kau menggadaikan sesuatu yang setara dengan itu.”

    Rendra terdiam begitu mendengar ucapan Alex. Meski dia masih tidak percaya dengan ucapan pria itu, tapi dia benar-benar menginginkan tubuh yang sehat. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Rendra mengambil keputusan.

    “Baiklah. Aku menginginkan tubuh sehat yang tidak bisa sakit seperti ucapanmu tadi,” ujar Rendra. Kemudian dia buru-buru bertanya pada Alex. “Apa yang harus kugadaikan untuk mendapatkan permintaanku itu?”

    Sebelum Alex sempat bicara, Rena sudah menepuk pundak Rendra.

    “Berhubung tubuh sehat yang tidak bisa sakit itu harganya cukup mahal, kurasa kau bisa menggadaikan bakat atau kecerdasanmu. Sebenarnya sih kau bisa juga menggadaikan jiwa atau masa depanmu. Tapi itu tidak kami rekomendasikan,” ujar Rena sambil mengacungkan telunjuknya. “Kalau aku sih, aku akan menggadaikan bakatku. Kau kan punya bakat musik yang luar biasa. Kenapa tidak menggadaikan itu saja?”

    Rendra terdiam cukup lama ketika mendengar ucapan Rena. Dia memang memiliki bakat alami untuk memainkan hampir semua jenis alat musik. Tapi dia jarang sekali bermain musik karena kondisi tubuhnya yang lemah. Rendra berpikir kalau bakatnya itu cukup pantas digadaikan untuk membayar kesehatannya.

    Sambil menarik nafas panjang, Rendra akhirnya memutuskan pilihannya.

    “Aku akan menggadaikan bakatku untuk mendapatkan tubuh yang sehat!”

    Tanpa mengubah ekspresinya sama sekali, Alex mengangkat sebelah tangannya dan menjentikkan jarinya. Suara jentikan jarinya bagaikan suara letusan senapan, hingga Rendra menutup kedua telinga dan memejamkan matanya karena kaget.

    “Pertukaran sudah terlaksana. Nikmatilah tubuh sehat yang tidak bisa sakit itu.”

    Suara Alex terdengar bergema di dalam benak Rendra. Saat itu juga dia kehilangan kesadarannya.

    *****

    Ketika Rendra membuka matanya lagi, tahu-tahu dia sudah kembali ke ruangan tempatnya dirawat. Pemuda itu memandang sekelilingnya dengan bingung, kemudian tatapannya terpaku ke sosok gadis yang duduk di pinggir jendela.

    Gadis itu berambut coklat dengan panjang sebahu, serta memiliki mata hitam yang berkilat penuh semangat. Gadis itu tidak lain adalah Yulia Irawati, sosok gadis yang dicintai Rendra.

    “Ah. Sudah bangun? Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Yulia sambil berbalik menatap Rendra.

    “Buruk....rasanya aku baru saja bermimpi aneh....” gumam Rendra sambil mengusap wajahnya.

    “Mimpi aneh? Seperti apa mimpinya?” tanya Yulia penasaran.

    “Yah. Aku didatangi seorang gadis cantik dan seksi, lalu dibawa ke sebuah ruang pegadaian yang entah ada dimana. Lalu aku ditawarkan untuk menggadaikan bakatku dengan tubuh yang sehat,” jawab Rendra jujur. “Aneh sekali kan?”

    Yulia tertawa kecil mendengar ucapan Rendra. Gadis itu lalu menarik kursinya dan duduk di samping tempat tidur Rendra.

    “Memang aneh. Kurasa minum obat membuatmu berhalusinasi yang aneh-aneh,” balas Yulia sambil mengulurkan potongan apel yang tadi sedang dia kupas. “Nih, biar kondisimu cepat membaik.”

    Rendra meraih potongan apel itu dan dengan cepat memakannya.

    “Therimua ghasih....” ujar Rendra dengan mulut penuh.

    “Hei! Makan dulu baru bicara!” celetuk Yulia.

    Rendra buru-buru menelan apel yang dia makan dan mengulangi ucapannya. “Terima kasih”

    “Sama-sama,” balas Yulia sambil tersenyum manis.

    Untuk beberapa saat, keduanya tiba-tiba saja terdiam.

    “Yulia. Bolehkah aku bertanya padamu...” ujar Rendra dengan nada ragu.

    “Hah? Tentu saja boleh!” sahut Yulia spontan.

    “Aku benar-benar berterima kasih sekali karena kau selalu menemaniku setiap kali aku dirawat seperti ini,” ujar Rendra sambil memandangi gadis itu. “Tapi apakah selama ini kau merasa....terpaksa....atau....kerepotan....setiap kali menjagaku? Maksudku....karena aku, kau jadi tidak punya banyak waktu untuk bergaul dengan teman-temanmu.”

    Yulia langsung mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyentil dahi Rendra cukup keras, hingga membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.

    “Jangan konyol! Aku sama sekali tidak merasa terpaksa atau kerepotan! Aku malah senang karena bisa selalu berada disamping orang yang kucintai seperti ini!”

    “Hah?!” sahut Rendra spontan begitu mendengar ucapan Yulia. “Kau bilang apa tadi?!”

    Yulia langsung menyadari kalau dia baru saja mengucapkan isi hatinya. Gadis itu langsung buru-buru berdiri dan membalikkan tubuhnya.

    “Lu...lupakan saja ucapanku tadi! Ah! Coba lihat jam berapa sekarang! Waktu besuk sudah berakhir! Saatnya aku pulang!” seru Yulia sambil buru-buru menyambar tasnya yang diletakkan diatas meja. Gadis itu lalu berlari ke arah pintu kamar dan menoleh sekilas ke arah Rendra. “Sampai besok!”

    Rendra melongo melihat sikap Yulia. Tapi setelah Yulia pergi, barulah pemuda itu menyadari kalau gadis itu tadi keceplosan mengatakan perasaannya. Begitu menyadari hal itu, Rendra langsung merasa melayang. Kali ini bukan karena pengaruh obat yang dia minum, tapi karena dia benar-benar merasa luar biasa senang.

    Rendra lalu memandangi langit diluar jendela kamarnya.

    “Pegadaian Semesta.....seandainya saja mimpi tadi itu benar-benar nyata....aku pasti sudah bisa keluar dari rumah sakit sekarang...” gumam Rendra pada dirinya sendiri. “Apa boleh buat. Mana ada tempat yang menyediakan pelayanan pegadaian semacam itu. Ada-ada saja!”

    Pemuda itu lalu memejamkan matanya dan segera tertidur.

    *****

    “Ini sungguh sebuah keajaiban!” seru Yulia.

    “Yah...begitulah,” sahut Rendra singkat. Baginya ini bukanlah sebuah keajaiban, tapi karena dia sudah menggadaikan sesuatu di Pegadaian Semesta.

    Namun bagi Yulia, kesembuhan Rendra yang begitu tiba-tiba adalah sebuah keajaiban. Bagaimana tidak? Sehari sebelumnya Rendra masih terbaring lemah di rumah sakit, tapi hari ini dia sudah benar-benar sehat. Dokter yang menangani Rendra saja sampai heran dengan kesembuhannya yang terlalu tiba-tiba.

    “Kenapa bisa begitu? Tadi saja dokter sampai memaksamu untuk melakukan pemeriksaan lengkap!” ujar Yulia sambil memandangi Rendra dengan seksama. “Mana ada orang yang tiba-tiba sehat dalam waktu sehari!”

    Rendra mengangkat bahunya. Dia sebenarnya ingin menceritakan tentang pertukaran yang dia lakukan di Pegadaian Semesta. Tapi pada akhirnya dia mengurungkan niatnya. Rendra sebenarnya tidak menyangka kalau transaksinya di Pegadaian Semesta itu benar-benar terjadi. Tadinya dia pikir semua itu hanya mimpi belaka.

    “Yah. Kurasa yang namanya keajaiban itu memang ada” balas Rendra. Dia benar-benar bahagia. Bukan hanya karena kondisi tubuhnya yang membaik secara tiba-tiba, tapi karena saat ini dia sedang berjalan bersama Yulia.

    “Ah! Jangan konyol!” balas Yulia sambil menepuk pundak Rendra. “Tapi biar bagaimanapun, aku ikut gembira karena kau sudah sembuh sekarang. Nah, mulai saat ini kau harus menjaga kesehatanmu.”

    “Iya. Iya. Aku tahu. Aku akan menjaga kesehatanku,” ujar Rendra dengan santai.

    Sikap Rendra membuat Yulia menyikut pinggang pemuda itu, hingga Rendra mengaduh kesakitan.

    “Jawabanmu terdengar sangat tidak serius,” gerutu Yulia. “Aku tidak mau kau sampai masuk rumah sakit lagi!”

    Rendra langsung tersenyum mendengar ucapan Yulia. Rendra merasa gembira sekali karena Yulia benar-benar mengkhawatirkan dirinya.

    “Oke! Oke!” ujar Rendra sambil nyengir dan menutup sebelah matanya lalu mengangkat sebelah tangannya. “Mulai sekarang aku berjanji untuk selalu menjaga kesehatanku dan berusaha agar tidak membuatmu repot lagi! Bagaimana?”

    Yulia langsung mendengus dan memalingkan wajahnya. Rendra berani sumpah kalau dia sekilas melihat rona merah di wajah Yulia.

    “I...itu lebih baik!” seru Yulia singkat. Gadis itu lalu menarik lengan Rendra, hingga membuat jantung pemuda itu berdetak 3 kali lebih kencang. “Ayo! Karena kau sudah sehat sekarang, kenapa kita tidak jalan-jalan dan mampir ke beberapa tempat sebelum pulang?”

    Tanpa berpikir sama sekali, Rendra langsung menyahut “Tentu saja! Kenapa tidak?”

    Ucapan Rendra membuat Yulia langsung berseri-seri. Gadis itu lalu berjalan cepat sambil menarik Rendra menyebrangi sebuah persimpangan jalan di depannya. Rendra dengan segera menyamakan langkahnya agar bisa mengimbangi kecepatan Yulia.

    Sekilas ketika dia tengah melewati rambu lalu lintas yang ada di pinggir jalan, Rendra menangkap ada sesuatu yang salah pada lampu yang menyala di rambu lalu lintas itu.

    Hijau? gumam Rendra dalam hati.

    Butuh waktu beberapa detik sampai Rendra menyadari apa artinya itu. Sayangnya ketika dia menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Sebuah bayangan hitam-besar, tampak melesat cepat ke arah dirinya dan Yulia.

    “Hah?”

    Rendra hanya sempat mengucapkan sepatah kata sebelum seluruh dunia terasa runtuh dan kemudian kehilangan kesadarannya.

    *****

    Ketika Rendra sadar kembali, dia tahu-tahu sudah dikelilingi oleh banyak orang. Ekspresi wajah orang-orang yang mengerumuninya itu bercampur antara takjub, takut, heran dan mual.

    Perlahan-lahan Rendra berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi anehnya, tindakannya itu membuat orang-orang di sekelilingnya langsung bergerak menjauh, bahkan ada yang langsung lari.

    Ada apa ini? tanya Rendra dalam hati.

    Sambil mengerang pelan, Rendra bangkit dengan bertumpu dengan kedua tangannya. Pemuda itu lalu tertegun melihat pemandangan di sekitarnya. Seluruh aspal tempatnya berbaring tadi tampak berwarna merah karena darahnya sendiri. Rendra lalu memandangi tubuhnya yang juga berlumuran darah.

    Apa yang terjadi.....pada....ku....?

    Perlahan-lahan Rendra ingat apa yang baru saja terjadi padanya. Dia dan Yulia tadi sedang berlari menyebrang jalan, tapi mereka tidak menyadari kalau lampu lalu lintas masih berwarna hijau. Tapi setelah itu semuanya kabur. Rendra lalu melihat sebuah truk yang tampak parkir melintang di tengah jalan. Seketika itu juga, Rendra menyadari apa yang telah terjadi pada dirinya.

    Dia dan Yulia baru saja ditabrak truk!

    “YULIA!!!”

    Rendra langsung berlari menghampiri kerumunan orang yang berkumpul di satu sisi jalan. Jantung Rendra nyaris berhenti saat itu juga, ketika mendapati Yulia terbaring di atas aspal dengan luka parah di sekujur tubuhnya.

    “YULIA!!!” sekali lagi Rendra memanggil nama gadis itu.

    Sayangnya Yulia sudah tidak bisa mendengar panggilan Rendra. Tapi Rendra tahu kalau gadis itu masih hidup.

    “Apa yang kalian lakukan!? Kenapa bengong saja!!! Panggil ambulans!!!!!” jerit Rendra sambil memeluk tubuh Yulia.

    Beberapa orang disekitar Rendra tampak buru-buru mengeluarkan ponsel masing-masing. Sementara itu Rendra terus berusaha memanggil nama Yulia. Rendra saat itu tidak bisa memikirkan apapun kecuali Yulia.

    Yulia!! Jangan tinggalkan aku!!!

    *****

    Rendra berjalan mondar-mandir di dalam lorong rumah sakit. Baru tadi siang dia pergi meninggalkan tempat ini, tapi sekarang dia harus kembali lagi ke tempat itu.

    Pikiran Rendra semakin tidak karuan, terutama karena kondisi Yulia sudah sangat kritis saat datang ke ruang UGD. Hal itu membuat hati pemuda itu terasa diiris-iris. Menyaksikan gadis yang dia cintai meregang nyawa di depan matanya adalah sesuatu yang mengerikan.

    Tapi di sisi lain Rendra juga bertanya-tanya, kenapa dia selamat tanpa luka sama sekali? Padahal pakaiannya tampak robek-robek tidak karuan dan berlumuran darah.

    Kenapa aku bisa selamat!? Aku yakin aku juga tertabrak truk itu! Pakaianku juga jadi tidak karuan seperti ini! Darah juga ada dimana-mana! Tapi kemana semua luka yang seharusnya kuderita? Rendra bertanya pada dirinya sendiri.

    Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka di belakang Rendra. Pemuda itu langsung berbalik dan berhadapan dengan seorang dokter yang bertampang murung.

    “Dokter! Bagaimana kondisi Yulia?!” seru Rendra tanpa basa-basi.

    “Kau harus tabah. Kami sudah berusaha....tapi dengan kondisi separah itu, dia mungkin tidak akan bertahan sampai besok pagi. Kami sudah menghubungi orangtuanya melalui nomor telepon yang kau berikan tadi. Mereka akan segera sampai disini,” ujar dokter itu sambil berjalan melewati Rendra dan menepuk pundak pemuda itu dengan lembut. “Pergilah ke sisinya. Aku yakin dia ingin bertemu denganmu.”

    Alih-alih menuruti perkataan dokter itu, Rendra justru berlari melintasi lorong lalu menghambur keluar dari rumah sakit. Begitu sampai diluar, Rendra langsung berseru sekuat tenaga.

    “KALAU KALIAN MENDENGARKU!!!! DATANGLAH PADAKU!!! PEGADAIAN SEMESTA!!!”

    Rendra menunggu cukup lama. Dia mengabaikan tatapan heran dan takut dari orang-orang di sekitarnya. Tapi tidak terjadi apa-apa.

    “Sialan! Kenapa ini bisa terjadi!!??” seru Rendra marah bercampur sedih. Air mata kesedihan mulai mengalir di pipinya. Dia tidak sanggup membayangkan dirinya akan kehilangan Yulia.

    “Loh? Kau datang kesini lagi? Ada apa?”

    Tiba-tiba Rendra mendengar suara familiar di belakangnya. Dengan segera dia berbalik dan mendapati dirinya sedang berhadapan dengan Renda dan Alex. Pemuda itu juga menyadari kalau dirinya tahu-tahu sudah berada di dalam ruangan Pegadaian Semesta.

    “Kalian!!” seru Rendra sambil bergegas menghampiri Alex. “Apa aku bisa menggadaikan sesuatu untuk orang lain?! Apa aku bisa?!”

    “Tentu saja bisa. Selama apa yang kau gadaikan dan yang kau minta itu setara,” ujar Alex dengan datar. “Tapi sebelum kau meminta apapun, biar kuberitahu sesuatu padamu. Kejadian yang baru saja menimpa Yulia itu adalah sesuatu yang tidak terelakkan.”

    “Apa maksudmu?!” seru Rendra heran.

    “Ehm...begini. Beberapa saat setelah kau datang ke Pegadaian Semesta, gadis yang bernama Yulia itu datang ke tempat kami. Dia berniat untuk menggadaikan masa depannya dengan kesembuhanmu. Aku sudah berusaha mencegahnya, tapi dia bersikeras untuk melakukan pertukaran itu,” ujar Rena sambil berjalan mendekati Rendra. “Jadi kami menukarkan masa depannya untuk mendapatkan tubuh yang tidak bisa sakit milikmu itu. Tubuhmu itu tidak akan pernah sakit dan terluka. Tidak peduli separah apapun penyakit dan luka yang akan kau derita, tubuhmu itu akan segera pulih dalam waktu singkat.”

    Rendra tersentak kaget dan mundur perlahan.

    “A...apa? Ja...jadi?!”

    “Benar. Tubuhmu itu hasil pertukaran yang dilakukan oleh Yulia. Hanya saja dengan menukarkan masa depannya, itu artinya dia menukarkan nyawanya sendiri. Gadis itu sudah kehilangan masa depannya, jadi dia itu bisa mati dalam waktu dekat,” sahut Alex tanpa emosi sama sekali. “Ternyata kematiannya terjadi terlalu cepat. Sayang sekali.”

    Rendra langsung berang dan merenggut kerah baju Alex.

    “Kurang ajar!!! Kembalikan masa depannya!!!” bentak Rendra.

    “Tidak bisa. Dia harus menebus sendiri apa yang dia gadaikan,” balas Alex singkat.

    Ucapan Alex membuat Rendra nyaris menghajar pria itu, untung saja Rena buru-buru mencegahnya.

    “Jangan mengamuk dulu! Kau masih punya kesempatan untuk menyelamatkan nyawanya!” seru Rena sambil meraih tangan Rendra. “Ingat! Tubuhmu itu hasil pertukaran yang dilakukan Yulia. Itu artinya kau masih bisa menggadaikan bakatmu untuk kesembuhannya!”

    Begitu mendengar perkataan Rena, Rendra langsung melepaskan kerah baju Alex. Ekspresi wajah pemuda itu langsung berubah menjadi lebih cerah.

    “Be...benarkah?! Apa aku benar-benar bisa melakukan itu?! Apa dengan menggadaikan bakatku, aku bisa menyelamatkan nyawanya?!” tanya Rendra penuh harap.

    “Tentu saja,” ujar Rena sambil nyengir lebar. “Yang perlu kau lakukan adalah meminta pada kami.”

    Rendra tidak perlu berpikir dua kali untuk melakukan transaksi kali ini.

    “Aku akan menggadaikan bakat musikku supaya Yulia kembali sehat dan bisa bersamaku lagi!” ujar Rendra.

    Begitu mendengar ucapan Rendra, Alex langsung mengangkat sebelah tangannya. Pria itu lalu menjentikkan jarinya dan suara letupan keras itu kembali terdengar. Suara itu kembali membuat Rendra menutup kedua telinga dan matanya. Kemudian suara Alex kembali terdengar menggema di dalam kepalanya.

    “Pertukaran sudah terlaksana. Nikmatilah sosok Yulia yang sudah sehat kembali.”

    Rendra langsung membuka matanya dan segera berlari masuk ke dalam rumah sakit, lalu menghambur ke dalam ruang UGD tempat Yulia berada. Tapi sesampainya dia di ruangan itu, Rendra terpaku ditempat.

    Di ruangan itu terdapat beberapa orang perawat, seorang dokter, serta kedua orang tua Yulia. Orang tua Yulia tampak menangis sedih, sementara dokter yang menangani gadis itu tampak muram.

    Seketika itu juga Rendra sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Kepalanya langsung berputar-putar. Dia lalu menatap ke arah dipan, ke arah sosok Yulia yang terbaring kaku, dengan sepotong kain putih yang menutupi wajahnya.

    Tidak! Tidak! TIDAK!! Ini tidak mungkin terjadi!! Aku baru saja meminta agar nyawanya bisa diselamatkan! Ini tidak mungkin!!

    “YULIA!!” seru Rendra pilu sambil berlari menghampiri tubuh Yulia yang sudah kaku.

    “Tidak usah teriak-teriak. Aku tidak tuli!” ujar Yulia dari balik kain putih yang menutupi wajahnya. Gadis itu lalu bangun perlahan-lahan.

    Seketika itu juga, semua orang yang ada di ruangan itu terlonjak kaget. Salah seorang perawat malah langsung pingsan. Tapi Rendra justru menghambur ke arah Yulia dan memeluknya, tanpa mempedulikan kalau di sampingnya ada orang tua dari gadis itu. Rendra tidak bisa menahan rasa bahagia karena harapannya benar-benar terwujud. Yulia benar-benar kembali sehat! Seluruh luka di tubuh Yulia kini sudah menghilang, meski bercak-bercak darah masih memenuhi tubuh gadis itu.

    “Hei! Lepaskan! Disampingmu itu ada ayah dan ibuku! Dasar bodoh!” seru Yulia sambil berusaha melepaskan pelukan Rendra. Tapi pada akhirnya dia malah balas memeluk tubuh Rendra dengan lembut. “Aku senang kau selamat. Tadinya kupikir kau akan mati bersama diriku. Tapi rupanya apa yang kuminta Pegadaian Semesta itu benar-benar terwujud ya.”

    Rendra mengangguk. Dia benar-benar bersyukur karena Pegadaian Semesta itu benar-benar nyata. Tapi ketika Rendra memeluk tubuh Yulia, dia merasakan ada sesuatu yang salah dengan tubuh gadis itu. Perlahan-lahan Rendra melepaskan pelukannya.

    “Yulia? Apa kau tidak merasa ada yang aneh dengan tubuhmu?” tanya Rendra sambil meraih pergelangan tangan gadis itu.

    “Hah? Apa maksudmu?” balas Yulia keheranan. “Aku baru saja bangkit dari kematian dan seluruh lukaku sembuh seketika. Apa kau pikir itu tidak cukup aneh?”

    Rendra masih terdiam dan perlahan-lahan wajahnya menjadi pucat ketika menyadari apa yang salah pada tubuh Yulia. Dengan suara bergetar, pemuda itu berkata pada gadis yang dia cintai itu.

    “Yu....Yulia.....tanganmu dingin. Nadimu tidak berdenyut. Dan ketika memelukmu tadi....a....aku tidak mendengar suara detak jantungmu....” ujar Rendra terbata-bata karena shock. “A...apa yang terjadi pada tubuhmu?!”

    Yulia hanya bisa melongo ketika mendengar perkataan Rendra.

    *****

    “Apa maksudnya ini!!!??”

    Rendra berseru keras sambil menggebrak meja resepsionis di depannya. Pemuda itu benar-benar jengkel karena merasa dipermainkan oleh Alex, sang manajer Pegadaian Semesta.

    “Kenapa? Bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan?” tanya Alex dengan nada datar seperti biasa. “Yulia Irawati sudah sehat kembali, bahkan bangkit dari kematiannya. Apa itu tidak cukup? Kalau itu tidak cukup, kau harus menggadaikan lebih banyak benda lagi.”

    Rendra ingin sekali melompat ke balik meja resepsionis itu dan menghajar Alex hingga babak belur, tapi dia masih berusaha menahan diri.

    “Tenang...tenang! Jangan marah-marah begitu dong,” ujar Rena dengan santai.

    “Apa yang sebenarnya kalian lakukan pada Yulia?! Dia memang hidup kembali dan sudah sembuh dari semua lukanya! Tapi kenapa tubuhnya tetap ‘mati’?! Jantungnya tidak berdetak, nadinya tidak berdenyut, dan tubuhnya terasa dingin?!” seru Rendra pada Rena.

    Rena langsung terlihat salah tingkah. Begitu mendengar ucapan Rendra.

    “Ehm...begini....ada.....sedikit masalah waktu kau meminta agar Yulia sehat kembali. Kau tahu? Saat kau selesai melakukan pertukaran dengan kami, gadis itu baru saja meninggal. Tapi berhubung kami tidak bisa membatalkan kontrak denganmu, jadi kami berikan gantinya. Yulia tetap kami bangkitkan kembali dari kematian, tapi tidak sepenuhnya ‘hidup’, berhubung harga nyawa seseorang itu mahal sekali dan hanya bisa dibayar dengan nyawa, atau yang setara. Bakat yang kau gadaikan tentu tidak cukup untuk membayar nyawa gadis itu,” ujar Rena dengan nada ragu, tapi dia lalu nyengir lebar. “Yah, lihat sisi baiknya! Dengan tubuh yang seperti itu, kau kan jadi abadi. Dan berhubung Yulia juga tidak sepenuhnya ‘hidup’, dia juga tidak bisa mati lagi dengan cara biasa. Bukankah itu bagus sekali?”

    Rendra langsung menggebrak meja lagi dengan marah.

    “Apanya yang bagus?! Kami jadi seperti monster sekarang!!!” bentak Rendra lagi, tapi kali ini suaranya mulai bergetar karena sudah bingung, apakah ingin marah atau ingin menangis.

    “Apa kau ingin mendapatkan tubuhmu dan nyawa Yulia kembali?”

    Tiba-tiba Alex berbicara dengan nada datarnya yang khas.

    “Hah?” balas Rendra.

    “Kalau kau menggadaikan 100 tahun pengabdianmu dan pengabdian Yulia padaku, aku akan mengembalikan kondisi tubuhmu dan nyawa gadis itu seperti semula. Tapi tentu saja setelah masa pengabdian kalian berdua berakhir,” ujar Alex sambil menatap mata Rendra.

    Rendra membalas pandangan Alex dengan tatapan marah bercampur pasrah. Pemuda itu akhirnya menunduk lesu dan berkata dengan nada muram. “Ba.....baiklah....aku akan menggadaikan 100 tahun pengabdianku dan Yulia untukmu.....”

    Mendengar ucapan Rendra, Alex langsung mengangkat sebelah tangannya ke udara. Sambil menjentikkan jarinya dengan keras, Alex berbicara lagi. Tapi kali ini Rendra berani sumpah kalau dia mendengar nada gembira atau penuh kemenangan dalam nada bicara pria itu.

    “Selamat datang di Pegadaian Semesta, Rendra Irwansyah dan Yulia Irawati. Selamat menikmati waktu 100 tahun pengabdian kalian pada kami berdua.”

    Dengan ngeri Rendra menyaksikan senyum menakutkan terukir di wajah Alex.

    *****

    ~FIN???~

    Also available at K.Com

    Akhirnya thread ini saia update juga setelah tenggelam di dalam lautan thread2 baru lainnya.
    Semoga cerpen terbaru saia ini bisa memuaskan hasrat membaca kalian semua :peace:
     
    Last edited: Nov 3, 2011
  16. lawren M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jun 4, 2009
    Messages:
    428
    Trophy Points:
    222
    Ratings:
    +8,683 / -0
    loh, koq nanggung?apa sih arti dari senyumannya itu?
     
    • Thanks Thanks x 1
  17. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Nanggung? Ini namanya cliffhanger ending :fufufu:

    Silahkeun mengartikan sendiri maksud dari senyuman itu :fufufu:
     
    • Thanks Thanks x 1
  18. lawren M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jun 4, 2009
    Messages:
    428
    Trophy Points:
    222
    Ratings:
    +8,683 / -0
    :hehe: seneng bner sama ending yg ngegantung..
    btw itu part 2 koq ada bagian dari part 1 juga?

    oh ya, agak ga ngerti yang bagian Rendra nuker bakat musiknya untuk nyelametin Yulia,
    apa itu berarti pergadaian Rendra yg sebelumnya (bakat musik Rendra untuk kesehatannya) dianggap batal, digantikan oleh pergadaian Yulia untuk kesehatan Rendra?
     
  19. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    :fufufu: saia memang seneng ending yg bikin penasaran orang yg baca.

    Ups! Sudah saia edit. Kemarin pas copas dari page saia di k.com kayaknya ke copy juga part 1-nya.

    Betoel. Pegadaian yg dilakukan Rendra sebelumnya belum terlaksana krn Yulia juga menggadaikan masa depannya untuk mendapatkan kesehatan Rendra.
     
  20. red_rackham M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jan 12, 2009
    Messages:
    757
    Trophy Points:
    76
    Ratings:
    +355 / -0
    Surga Buku

    Rasa penat dan lelah mendera tubuh serta pikiranku. Maklum saja, setiap hari aku harus menempuh perjalanan selama 3 jam pulang-pergi ke tempat kerjaku. Belum lagi ditambah kemacetan yang terjadi sepanjang jalan, serta tumpukan pekerjaan yang selalu menyapaku setiap pagi di kantor.

    Tapi semua itu akan segera lenyap ketika aku pulang ke rumah. Rumahku memang bukan sebuah rumah mewah yang besar, namun aku sangat mencintai rumah itu.

    Kenapa?

    Tentu saja karena di dalam rumah berukuran sedang itu, tersimpan sebuah sanctuary khusus hanya untukku. Tempat dimana aku bisa mengistirahatkan pikiranku dari segala kesibukan dunia nyata. Tempat dimana jiwa dan pikiranku bisa lepas dari tubuhku dan pergi mengunjungi dunia-dunia lain yang (mungkin) tidak pernah terbayangkan orang lain.

    Sambil tersenyum aku berjalan ke kamar belakang rumahku. Dengan sebuah kunci, aku membuka pintu dan masuk ke dalam surga kecil milikku itu. Begitu aku masuk ke dalam, aku disapa oleh rak-rak tinggi berisi ratusan buku yang sudah aku koleksi selama bertahun-tahun. Ketika masuk, aku seakan-akan bisa mendengar mereka semua berbisik pelan kepadaku.

    “Baca aku!”

    “Aku ini menarik loh. Ayo buka tubuhku!”

    “Ceritaku pasti menarik, ayo ambil aku!”

    Mendengar bisikan-bisikan pelan di sekelilingku itu, senyumku semakin lebar. Inilah surgaku. Sanctuary-ku. Tempat pikiranku beristirahat. Inilah perpustakaan pribadi miliku. Tempat pertama yang kubuat ketika aku membangun rumahku. Tempatku melarikan diri dari realitas dunia ini.

    Aku duduk di sofa empuk yang sengaja kusediakan di tengah-tengah ruangan. Sambil duduk aku memandangi deretan buku-buku yang terus berbisik kepadaku. Tiba-tiba pandanganku jatuh ke sebuah buku tua di deretan buku di rak yang ada di hadapanku. Tanpa buang waktu, aku mendekati rak itu dan menarik buku tua itu dari tempatnya.

    When The Earth Spinning Backwards

    Itulah judul buku yang kuambil. Buku itu memang sebuah buku berbahasa inggris dan dari sampulnya, buku itu lebih tua dari rata-rata buku yang ada di perpustakaan ini. Aku tidak terlalu ingat kapan aku membeli buku itu, tapi kurasa buku itulah yang akan kubaca dan kujelajahi. Sambil tersenyum aku kembali duduk dan membuka buku itu.

    Ketika aku membuka buku tua itu, seperti biasanya dunia di dalam buku itu langsung melompat keluar dan terlihat dengan jelas di depan mataku. Seolah-olah aku benar-benar masuk ke dalam buku tersebut.

    Perlahan-lahan aku menjelajahi dunia di dalam buku dan semakin tersedot masuk ke dalam buku tua itu. Buku yang sedang kubaca ini menceritakan tentang kisah sekelompok ilmuwan yang menyadari kalau putaran bumi semakin lama semakin lamban, dan mulai bergerak berlawanan arah dengan yang seharusnya. Cerita yang sungguh aneh dan terkesan tidak masuk akal. Tapi cara sang penulis menuangkan dunia dalam pikirannya di buku ini sungguh luar biasa. Aku benar-benar tersedot ke dalam pergulatan pikiran dan perjuangan para tokoh-tokohnya.

    Hingga aku sama sekali tidak sadar kalau aku sudah tidak berada di dalam perpustakaan pribadiku lagi. Ketika aku akhirnya beristirahat sejenak dan menutup buku tua itu, aku terperanjat karena melihat perpustakaan kecil milikku...tiba-tiba saja sudah berubah menjadi sebuah perpustakaan yang luastnya sungguh tidak masuk akal.

    Sejauh mata memandang, yang kulihat hanyalah deretan rak buku yang menjulang tinggi ke langit. Rak-rak buku itu tampak dipenuhi oleh buku yang jumlahnya tidak terhitung karena saking banyaknya. Aku hanya bisa terngaga melihat keajaiban yang tiba-tiba muncul di depan mataku ini.

    Dimana ini? Kenapa aku bisa ada disini?

    Dengan bingung aku bangkit dari sofa dan mulai menjelajahi tempat ajaib yang tidak masuk akal ini. Ketika aku berjalan menyusuri rak-rak buku, aku menyadari kalau aku tidak mendengar suara bisikan-bisikan seperti yang biasa kudengar di perpustakaanku.

    Aku jadi penasaran dan berhenti di depan sebuah rak. Di rak yang berada sejajar dengan pandanganku, aku melihat sebuah buku tebal yang sampulnya tampak unik karena seperti terbuat dari kaca atau kristal.

    Karena penasaran, aku mengambil buku itu dan bermaksud untuk membacanya. Tapi sebelum aku sempat membuka buku itu, tiba-tiba aku mendengar seseorang menegurku.

    “Aku tidak akan membuka buku itu kalau aku jadi kau.”

    Aku langsung berbalik dan berhadapan dengan seorang kakek tua dengan janggut panjang berwarna putih. Meski di sudah terlihat sangat tua, tapi kedua mata kakek itu masih memancarkan semangat hidup yang luar biasa.

    “Kenapa?” tanyaku heran.

    “Buku itu berisi dunia yang lebih baik tidak kau lihat, kalau kau masih ingin kewarasanmu terjaga,” ujar kakek tua itu sambil tersenyum. Dia lalu membungkuk dan memberi hormat dengan gaya bangsawan. “Selamat datang di Perpustakaan Glanvnore, pusat informasi lintas-dunia. Namaku Curio, penjaga perpustakaan ini.”

    Aku memandangi kakek itu dengan tatapan bingung.

    “Perpustakaan....Glanvnore?”

    “Betul. Tempat ini merupakan gudang informasi, dimana kau bisa ‘melihat’ dan ‘merasakan’ informasi apapun yang ada di dalam buku di sini,” ujar kakek Curio. “Dari ekspresi wajahmu kau sudah tahu kalau setiap buku memiliki dunianya sendiri.”

    Aku mengangguk pelan karena itu memang benar.

    “Aku memang bisa melihat dan menjelajahi dunia yang ada dalam buku. Tapi kenapa aku bisa sampai disini?”

    “Itu karena kau membawa buku yang sudah lama aku cari,” ujar kakek Curio sambil menunjuk ke arah buku di tanganku.

    “Ini?” tanyaku sambil mengangkat buku berbahasa asing yang tadi sedang kubaca.

    “Benar. Kalau kau mau memberikan buku itu padaku, aku akan memberikan hadiah yang sangat menarik,” ujar kakek Curio sambil menarik sebuah buku tipis bersampul merah dari rak di sampingnya. “Ini adalah buku yang membuatmu bisa membaca buku apapun di perpustakaan ini. Yang perlu kau lakukan hanya membuka buku, lalu pikirkan apa yang ingin kau baca. Maka halaman buku ini akan terisi dengan informasi atau cerita yang kau inginkan.”

    Aku menerima buku tipis itu dan menyerahkan buku tua yang kubawa. Ketika menerima buku milikku, kakek Curio tampak berseri-seri. Dia lalu tersenyum padaku dan berkata, “terima kasih banyak. Nikmatilah buku itu.”

    Tiba-tiba saja aku tersentak dan tahu-tahu saja aku sudah berada di perpustakaan pribadiku.

    Mimpi?

    Aku lalu menyadari kalau buku tua yang tadi kubaca, sudah berganti dengan sebuah buku tipis bersampul merah. Seketika itu juga aku sadar kalau kejadian tadi itu bukan mimpi.

    Penasaran dengan ucapan kakek Curio, aku langsung membuka buku tipis itu sambil memikirkan cerita yang ingin kubaca. Rupanya buku ini memang buku ajaib! Halaman yang kubaca tiba-tiba saja dipenuhi tulisan yang tampak digoreskan dengan tinta hitam.

    Ketika melihat kejaiban itu, aku kembali tersenyum.

    Buku ini akan menjadi surga kecilku yang baru.

    *****

    ~FIN~

    Dibuat demi mengikuti lomba Surgabukuku 1st Birthday Giveaway!

    :fufufu:
     
  21. hanamaru MODERATOR

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Mar 18, 2009
    Messages:
    4,882
    Trophy Points:
    237
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +94,604 / -0
    manteps ceritanya, tadi baru baca satu ceritanya, yang Fatamorgana: Spiral Staircases, sayang cuman 4 part yah. sebanarnya kalau au dibuat lebih panjang lagi ane yakin situ bisa kan. yah setidaknya bisa 20 part -an (ngawur... :lol:), sayang kalau ceritanya dipaksakan selesai 4 part. Bisa di explore lagi tuh kedalaman ceritanya.
    Mungkin ane masih rada gago lihat nama characternya, soalnya pake nama indonesia banget. Udah kena pengaruh nama barat sama jepang keknya nih ane. Jadi lihat nama indonesia jadi rada asing :malu:
    Karakter "aku" kalo bisa dijelasin lebih detail lagi, misalnya rambutnya gimana, pakainnya gimana, mata dll, jadi pembaca bisa membayangkan gimana sih bentuk si "aku" ini.
    segitu dulu, mau lanjut baca..
    akhirnya ane taruh di notepad and disimpan di player mp4 ane, biar bisa dibaca sambil tidur , mantaps.. :matabelo:
    keeps update ya bos.. :top:

    btw, mo nanya, di SF ini bisa post cerita horor/suspend gak yah, buatan sendiri ... :malu:, gak tahu mo nanya dimana soalnya.
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Nov 13, 2011
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.