1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Pendidikan Adalah Hak Segala Bangsat

Discussion in 'Fiction' started by sssssssst, Mar 14, 2017.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. sssssssst Members

    Offline

    Joined:
    Dec 7, 2016
    Messages:
    1
    Trophy Points:
    16
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +0 / -0
    AWAL MULA


    Hoaaahmm… Suara Ibu melengking di depan pintu kamarku bak sirine peringatan tsunami. Aku terbangun dengan jantung berdegup kencang. Ada apa dengan hari ini? Kenapa pagi ini berbeda? Aku terduduk lemas, mencoba untuk menormalkan kembali detak jantung yang masih kencang.

    Ibu mengingatkanku bahwa hari ini adalah hari ujian masuk SMA. Ya, aku mulai ingat! Ujian masuk SMA. Setelah sekian lama libur, setelah sekian lama terbiasa dengan pagi yang malas, setelah terbiasa dengan pagi yang penuh dengan mimpi-mimpi, hari ini aku kembali kehilangan ketenangan pagi.

    Yup! Ini dia masalah besar yang akan aku hadapi setiap hari. Ya, sekolah ini akan menjadi musuh besarku di hari-hari esok. Bayangkan! Shalat Shubuh yang diwajibkan oleh agamaku saja gak bikin ibu sebegitu antusiasnya membangunkanku, tapi ujian masuk SMA ini telah membuat pagiku kuawali dengan kepanikan seperti ini.

    Suara Ibu masih kudengar sayup-sayup. Beliau terus berbicara kepadaku yang terduduk lemas di depan TV tabung produksi Tahun 1988 yang dibeli Almarhum Ayahku dulu. Mataku masih berkunang-kunang, otakku masih padam layaknya layar TV ini. Kesadaranku belum sepenuhnya pulih dari keterkejutanku pagi ini.

    Ibu masih saja berteriak di dapur, berpacu dengan suara wajan di atas kompor. Nasi goreng sedang diolah ibu, sementara Beliau masih saja terus menjerit kepadaku untuk segera mandi dan bersiap-siap menuju ujian masuk SMA ini. Oke, aku mencoba untuk berbakti kepada orang tua, kuambil handukku dan lenyap ke dalam kamar mandi.

    Adegan di kamar mandi tidak bisa kuceritakan dalam tulisan ini karena mengandung pornografi, aku takut nanti terjerat Undang-Undang Pornografi.

    Kita skip aja.

    Kini aku telah berpakaian rapi sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh SMA tempat aku mendaftar, dan yang paling penting sesuai dengan standar yang dipersyaratkan Ibu. Nasi goreng telah terhidang di meja. Sarapan hari ini kulewatkan dengan ditemani wejangan-wejangan dari Ibu. “Nanti sebelum menjawab soal jangan lupa berdoa, soalnya dibaca yang jelas supaya gak salah paham, dan seterusnya…”. Kenikmatan nasi goreng ini membuatku tak fokus dengan ucapan-ucapan Ibuku.

    Oke, aku telah siap untuk berangkat. Dengan berjalan kaki, aku menuju halte di pinggir jalan besar sambil mengingat kembali wejangan-wejangan dari Ibu tadi di rumah. Lama aku mengingatnya, tapi yang kuingat hanya kalimat “mau jawab apa kamu nanti? Kemarin-kemarin gak pernah belajar. Nanti kalau kamu gak lulus di sekolah itu gimana?” Terus, apa lagi ya? Ah… Aku tak ingat!

    Oh iya! Tadi Ibu juga nyuruh supaya gak lupa berdoa sebelum menjawab soal. Berdoa? Malu ah, Shubuh yang jadi kewajiban aja tadi gak kulaksanakan, sekarang disuruh berdoa, mau ditaruh dimana mukaku di depan Tuhan?

    Yup! Halte, angkot udah stand by seolah-olah memang menunggu kehadiranku, baru saja kudaratkan pantatku di bangku angkot yang kulitnya telah robek ini, sang angkot langsung melaju dengan pasti. Penghuni angkot ini didominasi oleh remaja-remaja seusiaku yang memiliki tujuan sama denganku. Ya, SMA Negeri 1, SMA favorit di daerahku. Untuk mendaftar ikut ujiannya aja punya standar nilai UN SMP. Jadi yang ikut ujian seleksi masuk SMA ini memang anak-anak yang memiliki nilai UN tinggi, termasuk aku. Aku selalu bersyukur kepada Tuhan karena telah dikaruniai mata yang sehat, sehingga sewaktu UN lalu, samar-samar aku bisa melihat jawaban Rina yang duduk di sebelahku walaupun jaraknya lumayan jauh. Alhasil, nilai UN ku tinggi.

    Di tengah perjalanan,aku baru ingat kalau aku tidak memiliki uang sepeserpun di dalam kantung. Aku teringat nasehat Ibu agar tetap berpikir tenang dalam menghadapi soal. Yup, Ibu memang selalu hebat dalam menasehati. Aku mencoba untuk berpikir tenang. Bagaimana cara aku membayar ongkos angkot ini?

    Angkot telah berhenti. Kernet telah mengambil kuda-kuda di depan pintu, mengutip ongkos dari siswa-siswa yang turun. Aku duduk paling ujung, maka aku keluar paling akhir. Tenang!

    Aku keluar dengan tenang, “Makasih Bang Ya?” Ucapku.

    “Iya, sama-sama… Enak aja makasih-makasih doing! Ongkosnya mana!” Teriak si Kernet.

    “Lho? Pake ongkos Bang?” jawabku

    “Ya iyalah! Kamu kira Kami pekerja Sosial! Mana! Ongkos!” Bentaknya sambil mengelus-elus jempol dengan telunjuknya.

    “Yaaah… bang, kalo tau bayar, saya gak naek angkot Abang tadi. Tadi saya memang mau jalan kaki rencananya kemari. Tapi Abang tadi manggil saya, “ayo dek, 1 orang lagi, masuk”, gitu kan tadi kata Abang, Saya kira angkot ini memang udah dicharter sama sekolah ini buat ngantar anak-anak yang mau ujian di sini. Saya gak ada duit Bang. Abang periksa aja ni kantong saya kalo gak percaya.” Jawabku sambil mengeluarkan kain dalam kantong celanaku.

    “Oi, Jon! Ayo! Jalan!” Teriak Supir Angkot ke kernetnya.

    “Bentar Bos!” Jawabnya.

    Abang kernet merogoh kantongku bagian belakang, dia gak menemukan duit sepeserpun.

    “Ya udah! Pergi sana Lu!” Bentaknya sambil nampar pipiku.

    Ctas! Uh! Sialan! Dikiranya gak pedis apa ditampar gitu! Dasar orang gak berpendidikan, seenaknya aja nampar anak sekolah kayak aku ini. Memang pipi ini gak seberapa sakit, tapi hati ini yang sakit. Hati ini pedih menahan malu karena ditampar di tempat umum seperti ini, dilihatin orang banyak. Kuingat-ingat lagi nasehat Ibuku supaya percaya diri dalam menghadapi soal. Oke, persetan dengan malu, yang penting ongkosku gratis. PD aja lagi, kayak kata Ibu.

    Ini dia, sekolah ini, sekolah impian remaja di daerahku. Aku berdiri mematung menyaksikan kemegahan gedung sekolah ini dari depan gerbangnya.

    Sekian dulu, kira-kira bagus gak kalo kulanjutin cerita ini?
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.