1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.

negara, pendidikan dan moralitas bangsa

Discussion in 'Education Free Talk and Trivia' started by ichreza, Mar 15, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ichreza M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 8, 2009
    Messages:
    838
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +8,787 / -0
    RUU Sisdiknas pasal 12 ayat 1 (a) ternyata tidak saja mengundang keberatan kaum Nasrani tapi juga sementara orang Islam sendiri. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan efektifitas pendidikan agama bagi peningkatan moralitas bangsa. Tulisan ini adalah tanggapan untuk tulisan Denny JA, Jawa Pos Kamis, 20, maret 2003.
    Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara ideologis negeri ini telah mendasarkan dirinya pada ketuhanan yang maha esa (Sila Pertama). Secara konstitusional negara memberi hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal 29). Dan pada prakteknya negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi atau departemen yang mengatur agama didirikan dan bahkan partai politik yang berdasarkan agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini menggunakan isu agama untuk kepentingan politik.
    Jika Pancasila difahami dalam bentuk piramida terbalik, maka sila :"Ketuhanan Yang Maha Esa", harus menjadi landasan segala sistim dinegeri ini. Dan jikapun difahami dalam bentuk struktur kerucut maka sila itu menjadi tujuan segala sistimnya. Oleh sebab itu negara Republik Indonesia secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara berketuhanan dan bukan negara sekuler.
    Moralitas bangsa
    Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, maka baik-buruk moralitas bangsa ini tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah. Ini berarti bahwa sistim dan kebijaksaan pemerintah disegala bidang harus senatiasa berdasarkan pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistim pendidikan nasional adalah salah satu dari sekian sistim yang berhubungan dengan pembinaan moral bangsa.

    Adanya pendidikan agama disekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan konstitusional. Bahkan harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga effektif dalam mendukung pembinaan moral (character building) bangsa ini.
    Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif maka diperlukan clinical remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama itu. Dan disini perlu melibatkan pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang pendidikan untuk metodologi.
    Seperti disinggung diatas, dinegeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini, rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan disekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya terlalu simplistik. Sama halnya dengan logika Gulliver Traveller, "jika sepatu anda kotor anda tidak perlu membersihkan karena nanti akan kotor lagi". Juga jika ekonomi negara ini mundur maka pelajaran dan fakultas ekonomi baiknya dibubarkan.
    Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variable agama saja. Bahkan variable-variable dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variable lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekruitmen pegawai, pembangunan supra struktur dan infra struktur dan lain sebagainya, selama ini tidak meletakkan peran agama secara proporsional.
    Korelasi bahwa "semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah moralitas bangsa", adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji sendiri bukan ukuran keimanan dan moralitas seseorang. Selain itu perlu dipertanyakan pula apakkah populasi pelaksanakan haji atau pengunjung gereja dan populasi yang melakukan tindakan amoral itu sama. Apakah para koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama.
    Korupsi, manipulasi, kolusi dan tindakan amoral lainnya sejatinya, adalah produk dari sistim yang tidak adil. Kotornya sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau pelajaran agama disekolah, tapi karena bobroknya sistim sanitasi yang dibangun pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan dan lain-lain adalah buah dari ketidak adilan sosial dan ekonomi.
    Sekarang marilah kita lihat negara Amerika atau negara Barat lainya. Ekonomi mereka maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Perayaan natal meriah, hari raya idul adha tidak boleh dilapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.
    Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5 waktu di sekolah. Kegiatan s*ks dikalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
    Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tidak jelas, ia berbeda dan malah bertentangan dengan arti akhlak dalam Islam. Agama direduksi menjadi convensi publik, tuhan telah lama mati. Seorang Muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil, misalnya melanggar hukum, tapi seorang gadis Amerika yang hamil diluar nikah tidak salah. Dimanakah letak kebebasan beragamanya?
    Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk ke dalam urusan publik. Bahkan pemerintah perlu memasukkan kedalam setiap sistim secara jelas. Prinsip keadilan harus ditegakkan, "segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan proporsinya." Pendidikan agama disekolah ditingkatkan dan kalau perlu ditambah.
    Dalam konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 13 ayat 1 yang memberi hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama masing, sudah cuku adil. Jika hak warganegara memperoleh pendidikan agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa diwajibkan belajar semua agama.
    Dengan sedikit modifikasi, naskah ini dimuat di Harian Jawa Pos, 26 Maret 2003
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.