1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

La pazienza è la virtù dei forti

Discussion in 'Dear Diary' started by ___Renata___, Dec 1, 2017.

  1. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Salah satu "risiko", atau mungkin lebih tepatnya "konsekuensi logis", bagi perempuan yang kuliah di
    Fakultas Teknik Sipil dan kemudian berkarier di bidang konstruksi itu adalah "mau nggak mau akan terpapar maskulinitas".

    Ya iyalah, sedari dulu, dunia teknik sipil 'kan, didominasi oleh laki-laki, selalu dipenuhi aroma maskulinitas.

    Sejak masa perkuliahan aja, aku udah bisa merasakan hal tersebut. Tetapi, Alhamdulilllah, dulu itu ya,

    lingkaran pertemananku sewaktu kuliah di Teknik Sipil terdiri dari "orang-orang yang berenergi positif". Baik yang perempuan
    maupun yang laki-laki. Meskipun faktanya sih, 90% teman sefakultasku pada saat itu adalah laki-laki.



    Pada masa silam, konon ya, pernah berlaku stereotype yang dilekatkan kepada para perempuan yang
    menyandang status sebagai "cewek teknik". Mereka cenderung dideskripsikan sebagai perempuan yang dekil, kelaki-lakian,

    tidak becus dandan, malas mandi, tidak pernah melakukan perawatan tubuh, nggak mau jaga image.

    Kalau berdasarkan kesaksian dari para seniorku sih, stereotype di atas tersebut, pada kenyataannya,

    memang terjadi di sejumlah tempat. Zaman dahulu kala, "cewek teknik" yang ditugaskan di proyek, punya kecenderungan
    tampil "seadanya banget" (kalau nggak dibilang "kumuh/kucel") dan sering pula berperilaku seenaknya.

    Nah, zaman 'kan udah berubah. Masa silam, perempuan yang berprofesi sebagai polwan, biasanya itu
    berpenampilan "sangat ala kadarnya". Tapi kalau sekarang? Udah banyak banget yang bening-bening, 'kan? Contohnya aja,
    Mbak ****** ******* dan Mbak *** *********, mbak-mbak polwan "kenalan" si Bloody Handsome.


    :hihi:
    Begitu pula yang terjadi pada "cewek-cewek teknik masa kini". Udah nggak zamannya lho, perempuan

    yang berkarier di bidang konstruksi terlihat seperti "(oknum) cewek teknik masa silam" yang berpenampilan dekil dan slebor.

    Cuma, ya tentu aja, ada konsekuensi logisnya. Karena kami (aku dan teman-teman cewek yang lain)
    terlihat sebagai "para perempuan yang peduli penampilan", otomatis kami pun mesti kuat iman dan juga pinter menjaga diri.



    :yahoo:
    Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, most of my colleagues (and my bosses) have always been respectful,

    helpful, and protective of me. Ah, there were situations where I was the only female worker with no other females around.
    And so I was like, "Hoping for the best, preparing for the worst". But none of them acted out of line.

    Some of my closest colleagues (e.g., Wicak' and Dody) have always protected me from others almost

    as if I were their own little sister. Once upon a time, Wicak' was so furious because a new guy said something inappropriate
    to me. That guy might've thought he was being funny, but for Wicak', it could be seen as harassment.

    In response to that situation, Wicak' was willing to take the risks "to do what was needed to be done".




    Hal lainnya yang sangat-sangat-sangat pula kusyukuri hingga saat ini, biarpun sedikit banyak aku juga

    telah terpapar maskulinitas, untungnya sih ya, aku nggak pernah terlihat kelaki-lakian dan nggak kehilangan naluri femininku.

    Rambutku masih selalu kubiarkan tumbuh memanjang. Paling tidak, sampai sepunggung lah. Di antara
    teman sepergaulanku/teman komunitas, nggak banyak lho, perempuan yang masih tahan berambut panjang. Hanya aku,
    Mbak Suci (meski udah berhijab, si Mbak Cantik rambutnya tetap panjang), Ajeng, dan Mbak Anselma.

    :malu1:
    Setiap kali si "Kakak Ketemu Gede"-ku itu iseng menyanyikan potongan lirik lagu "Sweet Child o' Mine",

    pada bagian "Her hair reminds me of a warm safe place where as a child I'd hide..." maka bisa jadi, alam bawah sadarnya
    sedang menggiringnya untuk mengingatku. "Idih, ge-ernya amits-amits bangets!" Ih, masalah buat lo?!

    :mandi:
    Aku juga peduli banget dengan "head-to-toe body treatment". Kalaupun aku nggak sempat nyalon, ya

    digantikan dengan creambath sendiri di rumah. Terus, supaya bentuk tubuhku tetap terpelihara dengan baik, ya mesti mau
    menyempatkan diri bersimbah peluh, melakukan exercises seperti plank dan juga latihan kardiovaskular.



    Selain itu, meski aku dibilang sedikit banyak udah terpapar maskulinitas, aku tetap beranggapan bahwa

    "perempuan yang sebenar-benarnya perempuan" adalah perempuan yang sebisa mungkin terampil memasak. Alhamdulillah,
    hingga saat ini, kemampuan memasak yang aku miliki, bukan sekadar sreng-sreng-sreng ala kadarnya.


    "Si Pria Beruang yang Super Belagu" itu pun udah pernah melihat dan merasakan sendiri kebenaran dari
    pernyataanku tersebut. Dia memang masih terlalu angkuh untuk sudi memuji keterampilan memasakku, tapi nggak apa-apa,
    yang penting 'kan, dia udah beberapa kali melahapku... huiiieshh, maksudku, melahap hasil masakanku.




    :suram:
    Namun, aku akui, untuk sejumlah hal, seleraku mungkin bisa dikatakan "tidak girly". Misalnya aja yah,

    entah kenapa, aku tak pernah bisa menyukai the so-called boyband atau girlband, dari mana pun itu, Barat ataupun Timur.
    Jadi, jika ada teman-temanku yang ngomongin boyband/girlband, ya aku cenderung tidak nyambung.

    Bukan karena "rasa benci", lho ya! Bukan pula karena aku menganggapnya "buruk secara musikalitas".

    Melainkan karena sampai detik ini, tak pernah ada boyband maupun girlband yang mampu membuatku

    tergetar atau terikat secara emosional. Lah, semasa kuliah di Teknik Sipil, teman-temanku didominasi pria. Tak ada satu pun
    dari mereka yang menyukai boyband atau girlband. Lalu, aku bertemu dengan si Bloody Handsome.

    Tiap kali kami berkendara berdua, tiada satu pun lagu boyband atau girlband dalam playlist di mobilnya.
    Dengan demikian, dari waktu ke waktu, selera musikku pun sedikit demi sedikit mulai terkontaminasi oleh selera musiknya.




    (Dua lagu di atas itu adalah contoh lagu-lagu lawas yang dulu sering kali diputar ketika kami berkendara

    bersama. Dua lagu yang jelas-jelas "sangat tidak girly", tetapi anehnya, lebih bisa kunikmati. Itu belum seberapa. Dia masih
    punya segudang lagu yang agresivitasnya beberapa kali lipat lebih ganas dan aku justru menyukainya.)


    :nangis:
    :hoho:
    Contoh lainnya perihal terpapar maskulinitas adalah aku cenderung nggak menyukai beragam tayangan

    film atau drama seri yang dimaksudkan untuk bikin ba-per penontonnya. Si Ajeng sering bercerita, dia berulang kali 'nangis
    sesenggukan, tersedu-sedu, guling-gulingan di jalan... eh, nggak deng.. setelah nonton drama tertentu.



    Di lain pihak, aku lebih suka menyimak aksi Sarah Lezito, yang aku yakin akan bikin banyak pria terpana.





    :malu2:
    Betapa pun ada bagian dalam diriku yang telah terpapar maskulinitas, aku tetap seorang perempuan

    yang pada waktunya nanti, sangat mungkin akan menangis haru ketika, Insya Allah, Papa (sebagai wali nikahku) menjabat
    tangan teman hidupku pada saat akad nikah. Siapa si "teman hidup" yang kumaksud? Wallahu A'lam.



    *Tautan-tautan YouTube-nya telah diperbarui.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jan 5, 2023
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Catat dulu di sini untuk tambahan pengingat:
    Utang puasa tahun lalu masih tersisa 5 hari lagi. Ramadhan makin dekat, utang puasa belum juga lunas.
    Mudah-mudahan aja, bisa lunas seluruhnya.
     
    • Thanks Thanks x 2
    Last edited: Apr 15, 2020
  4. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Dalam post-ku beberapa waktu lalu, pernah kuceritakan perihal side project yang
    diberikan oleh si "Kakak Ketemu Gede"-ku (aka "The Landlord", aka "sang Juragan Segala Macam").
    Aku tidak mendapatkan kebijakan bekerja dari rumah. Cuma libur berselang-seling.

    Supaya hari-hari liburku bisa tetap produktif, dia pun memberikanku side project.


    Apabila side project darinya itu sanggup kuselesaikan dengan sempurna, dia akan

    memberikan "insentif dalam jumlah yang lebih dari lumayan" untukku. Kenyataannya memang begitu.

    Tiap kali berkas yang telah selesai itu kuserahkan, dia langsung membayarku tunai.


    Eh... kata Bu Raden, heish.. maksudku, kata si Bu Fitri, jikalau si Juragan, beneran

    masih memendam hasrat dan rasa padaku, ya mestinya dia tak akan memperlakukan aku seperti itu.

    :yareyare:
    Maksud si Ibu, jika si Makhluk itu masih menyandarkan harapannya padaku, ya dia

    enggak akan membayarku dengan uang tunai, bagai "sang pemberi order dan sang penerima order".



    :bloon:
    Oh, 'gitu ya, Buk? Saya maklum dah. Persepsi Ibu 'kan, persepsi khas tante-tante.

    Kalau aku (sebagai seorang gadis belia) melihatnya dari perspektif yang berbeda.

    Hingga saat ini, faktanya 'kan, aku dan "sang Juragan Segala Macam" itu, tidak/belum terikat di dalam
    ikatan pasutri yang legalitasnya diakui secara hukum Islam maupun hukum formal.

    Side project yang dia berikan untukku adalah "kerja otak" yang rumit, memerlukan
    konsentrasi tingkat tinggi dan juga ekstra ketelitian. Enggak boleh sampai ada kesalahan sedikit pun.


    Nah, aku mengerjakannya 'kan, di waktu liburku yang berselang-seling?! Mestinya,
    kalau nggak harus mengerjakan side project itu, aku bisa tidur, menonton film, mendengarkan rekaman
    dalam format vinyl, atau berendam di baththub sambil berkhayal macam-macam.


    :hihi:
    Nggak perlu tau lah, saya berkhayal tentang apa. Yang jelas, khayalan saya pasti

    "akan jauuuh lebih jorok" ketimbang khayalan dari Bu Fitri. Ya iyalah, selama ini 'kan, bidang pekerjaan
    saya adalah konstruksi. Kadang, dihadapkan dengan medan kerja yang berlumpur.

    Kalau sampai kena cipratan lumpur atau sampai belepotan lumpur, ih jorok banget.




    Supaya Bu Fitri tak tergiring untuk melamunkan hal yang enggak-enggak, ya udah,

    aku teruskan penjelasanku. Manakala "sang Juragan Segala Macam" itu memberikan side project untuk
    kukerjakan, berarti bisa dikatakan, dia secara sadar telah merenggut waktu liburku.


    :voodoo:
    Lah, tentu mesti ada kompensasinya, 'kan? Ya iya, dongs! Jika dia tidak memberi

    kompensasi untukku dalam bentuk apa pun, berarti dia sengaja mengeksploitasi diriku, melakukan apa
    yang disebut sebagai l'exploitation de l'homme par l'homme. 'Ngerti nggak, Buk?!

    Ah, situ 'ngertinya cuma "Je t'aime... moi non plus.. Tu vas, tu vas et tu viens..."




    :oii::malu1:
    Andaikata aku berstatus sebagai bininya, tentu kompensasinya tak usahlah berupa

    uang tunai. Dia cukup menggertakku, "Kalau Mama nggak mau bantuin Papa, ya udah... nanti, Papa
    tidak mau kelonan sama Mama. Silakan Mama kelonan dengan buntelan pakaian!!"

    :nangis:
    Istri mana yang nggak akan panas dingin "diancam" seperti itu? Apalagi kalau tipe

    suaminya seperti dia, tipe laki-laki ganas dan menyeramkan, yang akan selalu sanggup menghadirkan
    petualangan batiniah dan lahiriah nan menggetarkan yang didambakan perempuan.

    Jika cincin darinya sudah dia sematkan di jari manisku, dan nama kami berdua pun

    telah tercatat di Kementerian Agama, tentu aja, dia nggak perlu membayarku setiap kali dia meminta
    bantuanku. Sebagai bininya, Insya Allah, aku akan berusa-ha-ha-ha membantunya.

    If I were his wife, I would make him super satisfied in bed... I mean, I would help

    him as much as I could. It is obligatory for the good wife to serve her husband, isn't it?#InsyaAllah

    :sepi:
    Tapi... tapi... saat ini, kayaknya, statusku paling tinggi, cuma "on-off girlfriend" aja.


    Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kompensasi yang paling rasional, ya hanya

    uang tunai. Walaupun Bu Fitri bilang, situasinya kok, bagaikan antara "sang pemberi order dan sang
    penerima order", ya udah, tak apalah, Yang penting 'kan, bukan order bermaksiat.



    :hot:
    Tiba-tiba aja ya, aku jadi teringat peristiwa pada sekian tahun yang lalu. Ketika itu,

    si Ajeng, yang baru datang di markas kami, melenguh... maksudku, mengeluh. "Duh, capek banget
    kerja. Kalau aja, setiap aku bangun tidur, udah ada segepok duit di dekat bantal..."

    :apa:
    Si Bloody Handsome spontan berujar, "Na'udzubillah min dzalik. Istighfar, Ajeng..."


    Kami semua yang mendengar ucapannya itu sempat terdiam, belum memahami

    ke mana sih, arah dari perkataannya tersebut? Ternyata... yang dia maksudkan adalah: perempuan
    yang setiap bangun tidur tau-tau ada duit di bantalnya, 'kan "perempuan titik-titik".


    :pusing:
    :hoho:
    Setelah kami paham dan menangkap makna kalimatnya tersebut, ya tertawalah

    kami nggak berhenti-berhenti. Sedangkan Ajeng jadi salah tingkah banget nggak karuan. Si Ajeng itu
    kalau dalam keadaan low-batt, sering kali nggak menyadari apa yang dia ucapkan.

     
    • Thanks Thanks x 2
    • Like Like x 1
    Last edited: Jun 25, 2023
  5. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    :apa:
    Si Ratih mengirimkanku sebuah video yang "edan banget-banget". Video yang berisi rangkaian

    rekaman aneka kegiatan formal Bu Fitri (dalam sejumlah acara/momen berbeda). Entah, didapatkan dari mana, tetapi
    yang jelas, sang perekam video tersebut bisa dipastikan bukanlah si "Kakak Ketemu Gede"-ku.

    Isi dari video itu sih, sebenarnya normal-normal aja... jikalau kita menontonnya tanpa audio.

    Namun, begitu kita menyimaknya secara full (lengkap dengan audio-nya), nah, barulah akan terasa unsur kegilaannya.

    'Gimana enggak, dalam video tersebut, si Bloody Handsome iseng banget menambahkan efek
    dialog dan suara yang tidak karuan. Di sejumlah scenes, tampak Bu Fitri sedang bercakap dengan orang di sebelahnya.

    Kata Ratih, pada video aslinya, nggak terdengar jelas, apa aja sih yang lagi diomongin Bu Fitri.



    :facepalm:
    Eh, oleh si Bloody Handsome (dibantu Ratih), rangkaian scenes itu ditambah-tambahin dengan

    dialog-dialog super aneh plus tiruan suara batuk Om Tukul (yang 100% pasti bikin kita tertawa nggak berhenti-berhenti).

    Edannya, semua kegilaan itu bisa mengalir alamiah tanpa ada script/naskah/skenario apa pun!


    Udah 'gitu, yang mengisi suara Bu Fitri adalah si Bloody Handsome (yang sehari-hari, karakter

    suara dia itu sebetulnya terdengar berat, maskulin, laki banget, bisa bikin cewek-cewek berfantasi yang enggak-enggak).

    Dalam hal meniru-nirukan suara Bu Fitri, dia menggunakan teknik falsetto yang dikombinasikan

    dengan "suara aslinya yang berat dan laki banget". Aku haqqul yaqin deh, nggak mungkin nggak bakal bikin kita tertawa
    gila-gilaan saat menyaksikan rangkaian scenes-nya. Si Ratih aja sampai nyaris pipis di celana.

    Jadi, dalam video yang udah dipermak habis-habisan itu, suara Bu Fitri terdengar campur baur.

    :XD:
    Awal adegan saat si Ibu ngomong, si Bloody Handsome mengisi suara secara falsetto. Eh, tidak lama kemudian, suara

    Bu Fitri, tiba-tiba langsung terdengar sebagai suara bariton (suara laki yang nge-bass banget).



    Dialognya pun dibikin super absurd. Seorang kakak perempuanku yang ikut menyaksikan video

    tersebut bersamaku, terus-terusan tertawa nggak karuan, sampai-sampai berurai air mata. Padahal, kakakku tergolong
    manusia yang cenderung berpembawaan serius, bukan tipe yang bisa dengan mudah tertawa.

    Ada beberapa adegan (direkam beberapa waktu silam, sebelum terjadi wabah) saat si Bu Fitri

    batuk secara sopan sambil menutupi dengan tangan. Oleh si Bloody Handsome, adegan-adegan batuk itu iseng banget
    ditambahin "suara batuk aneh a la Om Tukul". Kalian tau 'kan, batuk si Om Tukul kayak apa?

    Kalau belum tau, coba deh, tonton rekaman acara Empat Mata (dan versi yang diperbaharui).




    Ketika aku tanyakan pada si Ibu ihwal rekaman tersebut, Bu Fitri ngakunya sih, belum nonton.

    Tapi, aku kok nggak percaya, ya?!! Soalnya, saat aku dan si Ibu ber-video call, wajah si Ibu itu terus-terusan manyun.
    Cemberut, kelihatan seperti menahan rasa jengkel akibat ulah si Bloody Handsome dan Ratih.

    :ehem:
    Namun, bukannya meluapkan ekspresi kemarahan, Bu Fitri malah dengan sok bijaknya bilang,

    "Andai dia bercanda'in aku kayak 'gitu... nggak apa-apa. Jasa dan kontribusinya terlalu besar kalau dibandingkan dengan
    segala keisengannya. Lumrah, jika seorang keponakan ingin ngisengin Tantenya tersayang..."


    :hot:
    Puiiih. Keponakan dari mana, Buk?! Pake tersayang-tersayang, itu apa pula maksudnya?! Bikin

    aku naik darah aja. Aku pun mencoba "memprovokasi" si Ibu dengan mengatakan bahwa orang-orang terdekatku yang
    ikut menyaksikan video itu bersamaku, semuanya pun menilai, "akting" si Bu Fitri lucu banget.


    Eh, Bu Fitri langsung merespons dengan serangan balasan yang membuatku terdiam. "Lebih lucu lagi kamu. Stevie 'kan

    udah jatuh ke pelukanmu.. kalian pernah bersama, bertahun-tahun... Lah, kok malah lepas?!"

    "Mestinya, dia 'kan, 'tinggal kamu sayang-sayang' aja, kamu perlakukan dengan perilaku yang
    dia inginkan. Ngikutin irama psikologis yang dia mainkan aja, kamu nggak mampu. Menurutku, lucu banget sih. Haha..."



    :suram:
    By all accounts, that handsome bloke is a lovable man. Many girls people always consider him

    a dependable person. He is always a reliable friend for his fellows. He is the kind of guy who always knows what to say
    when someone's down. He is a natural funny man. But he is also... "a natural heartbreaker".

     
    • Thanks Thanks x 3
    Last edited: May 9, 2020
  6. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Rekor baruku: mengemudikan Honda CR-V 1.5L CVT Prestige,
    jarak jauh Jogja-Jakarta, cuma 6,5 jam. Sehari sebelumnya, ada oknum om-om
    (pertengahan 30-an) yang mencoba cari-cari perkara denganku.


    :merah::boong:
    Ah, tipe laki-laki berduit, yang mungkin di otaknya selalu aja ada

    pikiran bahwa semua perempuan nggak akan mampu menolak pemberian uang.

    Nggak aku tanggapi, nggak kuceritakan pula kepada Bu Hasnah.


    :voodoo:
    Ulah pria semacam itu, sialnya, nggak terlepas dari ulah sebagian
    oknum kaum perempuan yang dengan gampangnya bisa mengabaikan harga diri
    (secara sadar atau tidak) dengan menerima "kebaikan laki-laki".


    Akhirnya, banyak kaum pria yang menggeneralisasi perempuan.




    Karena kemarin itu 'kan, aku lagi menjalani penugasan bersama

    Bu Hasnah, ya aku mencoba untuk nggak merusak suasana. Jika aku ceritakan,
    jangan-jangan malah bakal nambah-nambahin permasalahan aja.

    :apa:
    Eh, nggak tau 'gimana, kok ya Bu Hasnah akhirnya bisa tau juga.
    Atasanku itu pun nggak tinggal diam dan langsung bersiap mencari si oknum itu.


    Yah, tetapi sayangnya, kami mesti buru-buru kembali ke Jakarta.

    Kami 'kan berada di Jogja tidak dalam rangka halan-halan, tetapi

    sehubungan dengan menjalani penugasan dari tempat kerja. Kami bekerja, agar
    memiliki penghasilan halal, sehingga harga diri kami selalu terjaga.



    Supaya kami punya keberanian untuk menolak apa pun bentuk

    pemberian dengan motif-motif mencurigakan dari pihak-pihak tertentu, terutama
    dari oknum pria yang "memberi karena menginginkan sesuatu".




    Malam harinya sebelum berangkat, lah, nggak disangka-sangka,

    Pak Afif (driver Bu Hasnah) ditelepon oleh kerabatnya. "Urusan gawat darurat",
    dan dia pun diharapkan agar segera datang ke Blitar, Jawa Timur.

    Nah, itu artinya, dia nggak mungkin bertugas sebagai driver yang
    akan mengantarkan Bu Hasnah dan aku ke Jakarta. Sebagai bentuk tanggung

    jawabnya, Pak Afif pun sempat akan mencarikan sopir pengganti.

    :yareyare:
    Bu Hasnah menolak dengan alasan "kurang nyaman rasanya jika
    menempuh perjalanan jarak jauh dengan disopiri oleh pria yang nggak dikenal".

    Namun, Pak Afif diizinkan pergi ke kampung halamannya di Blitar.



    Keesokan paginya, setelah mandi, shalat Shubuh, dan sarapan,

    aku dan Bu Hasnah pun meninggalkan penginapan. Awalnya, beliau yang akan
    menyetir mobil. Mungkin beliau nggak enak untuk menyuruh aku.

    Di sisi lain, aku juga merasa nggak enak apabila aku sama sekali

    nggak berkontribusi di dalam perjalanan pulang. Akhirnya, aku menawarkan diri,
    biar aku aja lah yang berada di balik kemudi. Insya Allah, mampu.

    :yahoo:
    Alhamdulillah, ya aku memang bisa. Seperti yang aku sebutkan

    sebelumnya, cuma membutuhkan waktu 6,5 jam. Tiada terjadi insiden apa pun.

    Hanya singgah sebentar untuk "memborong beraneka oleh-oleh",

    mengisi bahan bakar, dan sebelum waktu Ashar, kami sudah memasuki Jakarta.



    Semula, aku berniat mengantarkan atasanku itu hingga ke rumah

    beliau dan selanjutnya, aku pulang sendiri ke rumah baruku. "Lah, kamu udah
    punya rumah sendiri?" Alhamdulillah, sudah sejak bulan lalu, Bu.

    Beliau kemudian bilang, mendingan ke rumahku aja dulu lah, nanti
    setelah itu, biar beliau sendiri yang akan mengemudi menuju ke kediamannya.


    :makasih-g:
    Bu Hasnah ikut merasa senang dan bersyukur. Begitu beliau tau

    bahwa rumahku tersebut berlokasi cuma kurang lebih 1 kilometer aja dari wilayah
    permukiman si Bloody Handsome, eh, beliau makin bersyukur lagi.

    Supaya nggak salah persepsi, aku menjelaskan, dana pembelian

    rumahku itu, mutlak berasal dari hasil tabungan pribadi dan bantuan keluargaku.
    Bukannya karena "dibiayai" atau dibelikan oleh laki-laki mana pun.


    Pertimbanganku memilih rumah di situ juga semata-mata karena

    lingkungannya (Insya Allah) aman, nyaman, asri, teratur, beradab. Lokasinya
    pun dekat dengan rumah Mama-Papa dan rumah kakak tertuaku.

    :hihi:
    Jadi, bukan didasarkan atas keinginanku supaya selalu berdekatan

    dengan si Bloody Handsome. Meskipun rasanya, Insya Allah, banyak untungnya
    rumahku tak jauh dari rumahnya dan rumah keluarga Mbak Suci.


     
    • Thanks Thanks x 3
    Last edited: Jan 7, 2021
  7. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    :dingin:
    Berabad-abad sudah... heeeiiiyyaahhh lebay banget... maksudku, dua tahun sudah, diary ini

    nggak aku pedulikan. Selain karena kesibukan bekerja, masih ditambah dengan menjalani perkuliahan
    di salah satu prodi magister sebuah PTN. Cuaapek dan pusyiing, secara fisik dan mental. Ya,
    salahku sendiri, siapa suruh kuliah lagi? Tapi meski berat dan meletihkan, tetap tabah kujalani.



    I don't want to regret my youth in my old age (if Allah SWT, God Almighty, allows me to

    live long and experience old age), "Why did I so foolishly waste my precious youth in the past?" I've
    seen a lot of people around who frequently regret not doing some good things in their youths
    or squandering a "golden opportunity that never seems to come again." Such regrets are even more
    excruciating than their remorse for all the bad, silly, stupid, or useless things they have done.

    Therefore, I shouldn't waste every "excellent and reasonable chance" that can make me better than

    I was previously. Since I still have lots of youthful energy to do many positive things in my
    single life (in the sense that I don't yet have the obligations to take care of my husband and children),
    I must strike while the iron is hot. Ang pagkakataon sa buhay ay madalang dumating. Kapag narito na,
    ating samantalahin. Habang may buhay, may pag-asa. Though it's easier said than done, I'll

    do my best or die trying. It must, of course, be accompanied by a prayer to Him: "Allahumma ahsin
    'aaqibatanaa fil umuuri kulliha wa ajirnaa min khizyid dunyaa wa 'adzaabil aakhirah. Aamiin."

    :malu1:
    Until now, I have realized that I may not be worthy enough of the title "perempuan shalihah"

    or "high-quality Muslimah" (since, admittedly, I have not yet met the ideal criteria of a pious Muslimah).

    However, that does not make me ignore or underestimate "how important it is to fulfill all

    the obligations of the devotional acts He has commanded." I believe in myself and have faith in my
    capabilities to make every effort to improve myself, but all of that is not good enough if I
    do not complement and perfect it with my sincere and intense prayers. I must humbly ask Allah SWT
    to invariably give me direction, strength, knowledge, encouragement, guidance, assistance, refuge,
    and His blessings. I will do my part to the best of my ability and leave the results to Him.

    Just because I have not yet become a woman who meets the "shalihah Muslimah criteria"

    doesn't necessarily make me give up and think that I can never be a shalihah Muslimah. In getting to
    the ideal state that I aspire to, I know that I've got to go through a number of stages, which surely will
    "take time." But in essence, all of that will not be too burdensome to do, since, instinctively,

    I have a spiritual need to feel close to Him. By praying five times a day and living a good life according
    to His guidance, I can gain a feeling of closeness to Him, which does make me feel sheltered.



    :lulus:
    Alhamdulillah, tinggal beberapa bulan lagi, Insya Allah ya, pemirsa (nggak tau kenapa, kata

    "pemirsa" selalu terasosiasikan secara otomatis dengan sang pesohor yang pernah mempromosikan
    satu merek malkist; dan poster promosi bergambar si Teteh itu, secara iseng banget dibingkai di "wall
    of fame" teras belakang di paviliun rumah si Bloody Handsome-ku tersay... heeeiiiyyaaah...),
    segala kerepotanku berkaitan masa studi S-2 itu pun akan segera tuntas secara memuaskan.

    Tinggal menunggu Hari-H wisudanya aja. Tetapi... di sisi lain, sungguh sayang seribu sayang,

    "penantian lainnya di kehidupanku" sama sekali tiada kejelasan, hingga ketika aku membuat tulisan ini.



    Jikalau aku sampai merasa perlu menyempatkan diri kembali menulis di sini, itu karena ada

    hal-hal yang terjadi pada 2021 s/d pertengahan tahun lalu, dan mau nggak mau, mesti aku utarakan
    dalam upayaku meng-counter beragam cerita dari pihak-pihak yang terlibat pada waktu itu.



    Seperti halnya pada masa perkuliahan S-1 dulu, pada masa perkuliahan magister ini pun aku

    berkenalan (atau diperkenalkan) dengan banyak orang baru. Yah tentunya, nggak semua dari mereka
    otomatis menjadi "teman-temanku" dalam artian yang sebenarnya. Tetap mesti selektif lah.

    Namanya juga dunia perkuliahan S-2, sebagian besar diisi oleh orang-orang yang nggak hanya sudah

    bekerja, tetapi banyak pula yang sudah "setengah mapan", dan bahkan yang sudah mapan.
    Bukan "masa perkuliahan" namanya kalau sampai nggak dikotori... heiishaaah, maksudku, "terdistorsi"
    oleh pernak-pernik berkaitan dengan episode-episode cinta antara sepasang pria dan wanita.

    :voodoo:
    Aku sudah berusaha bertekad pada diri sendiri, "Fokus aja kuliah yang bener!! Nggak usyah

    mempersulit keadaan dengan hal-hal lain!" Apalagi, aku juga memiliki beban tugas dan tanggung jawab
    yang nggak main-main di pekerjaanku. Mesti mondar-mandir, menangani dua proyek besar
    bidang konstruksi. Bukan sekadar "duduk di belakang meja". Kebayang nggak 'tuh, stresnya?



    Lah, biarpun udah mempersetankan dan memper-iblis-kan segala hal terkait "cinta-cintaan",

    tetap aja, ada momen-momen aku didekati para pria yang mencoba mengadu nasib untuk berasmara.
    Yah, siapa tau, aku berminat menjadi "teman dekat", atau bahkan, menjadi "teman hidup".


    Sebenarnya, jikalau sebatas flirting kecil-kecilan, mungkin nggak terlalu jadi masalah buatku.

    Nggak sreg, tinggal dihalau aja. Udah, beres. Perkathokannya, maksudku, persuwalannya... heeeiisshh,
    maksudku, persoalannya, terdapat sejumlah oknum yang dengan syangat syerius menyampaikan "niat
    baiknya" untuk meminangku. Baru kenal sebentar aja... syat syet syat syet, ngajak nikah.


    Wajar aja sih, mahasiswa prodi pascasarjana rata-rata 'kan, sudah berkarier, berpenghasilan,

    dan mungkin juga memiliki sejumlah aset, sehingga level kepercayaan diri mereka jelas jauh lebih tinggi
    ketimbang para mahasiswa prodi S-1 yang masih bergantung pada biaya dari para orangtua.

    Bagaimanapun, aku 'kan, sama sekali nggak sedang mencari jodoh di kampus. Sayangnya,

    para oknum luwak tersebut seolah nggak peduli. Aku teringat cerita-cerita Mbak Suci. Si Mbak Cantik itu
    dulu juga pernah mengalami hal yang nggak jauh beda. Niat serius kuliah S-2, tetapi mesti menghadapi
    "naluri primitif" makhluk-makhluk di kampus sebuah PTN (aku dan Mbak Suci se-almamater)

    yang "bergentayangan mencari cinta sejati". Apalagi, pada saat itu, si Mbak belum berhijab.


    Sekali waktu, aku pernah bilang, dia mirip-mirip Наки́пова Гульжа́н Жанаберге́новна, atlet

    jiu-jitsu Kazakhstan. Atau kalau versi Indonesia-nya, mirip sang aktris legendaris yang telah mendapat
    cult status; the one and only: Tante Evayanti Arnaz. Tante Eva sudah bermain film bioskop
    sejak dekade 1970-an, tetapi, "pesonanya tetap aja stabil", bahkan hingga saat ini, ketika beliau sudah
    berhijrah dan berhijab. Beberapa waktu lalu, aku dan teman-teman perempuan yang lainnya

    menonton dua film lawas: Serbuan Halilintar dan Membakar Matahari, di bioskop privat (yang
    sama sekali bukan "bioskop-bioskopan") yang terdapat di area guest house kepunyaan kedua orangtua
    si Bloody Handsome. Tante Eva Arnaz terlihat cuuaaaantiiik bangetss di kedua film tersebut.


    Padahal biasanya 'kan, penampilan "orang-orang jadul", yang ketika itu, dianggap cantik dan

    ganteng, justru sering bikin kita geleng-geleng kepala, atau "agak geli-geli aneh gimana gitu" ngeliatnya
    (nggak bermaksud body shaming). Tetapi Tante Eva Arnaz "lain daripada yang lain". Aku aja
    yang cewek asli dan berorientasi heteroseksual, secara objektif mengakui pesona beliau pada masa itu.



    Yang kumaksudkan perihal "Mbak Suci mirip Наки́пова Гульжа́н Жанаберге́новна atau mirip

    dengan Tante Evayanti Arnaz", bukan dalam konotasi "foto copy-an" atau "clone"-nya dan bukan pula
    dalam artian doppelgänger. Semua perempuan diciptakan-Nya dengan pesona masing-masing. Yang
    kumaksud sebenarnya adalah terkait dengan ciri-ciri fisik: rambut hitam legam, lebat panjang
    terurai, wajah cantik manis enak dilihat, 'en body putih mulus semlohai. Gitu loh, maksudnya.

    Eh, si Mbak malah gantian bilang bahwa aku punya kemiripan dengan... beeep, disensor, yah.
    Supaya objektif dan agar aku tidak terkesan ngaku-ngaku, biar si Mbak aja lah yang menceritakannya.

    Aku dan Mbak Suci berbeda suku dan latar belakang keluarga. Tapi kami berdua sama-sama

    menganut "ideologi rambut panjang". Bukan sekadar panjang sebahu, tapi panjang sepunggung, atau
    bahkan, panjang hampir sepinggang. Secara teratur di-trim agar kondisi rambut tetap sehat,
    dan juga menjalani segala bentuk maintenance yang dibutuhkan (dan sebisa mungkin nggak memakai
    bahan-bahan kimiawi) agar kualitas rambut panjang kami senantiasa terawat. Repot banget?

    Nggak praktis? Ya, jelas aja lah. Mana mungkin "kecantikan tetap terjaga, tanpa adanya perawatan"?

    Pernah juga mendengar sindiran sinis di belakang layar dari sejumlah oknum, "Ya, kalau kita sih, nggak
    mungkinlah berambut panjang kayak gitu, soalnya banyak kerjaan yang mesti diurus." Seolah
    para perempuan yang berambut panjang seperti kami berdua adalah "para pemalas yang hanya bisa

    dandan dan nggak punya kerjaan lain". Kalau Mbak Suci, nggak mau ambil pusing dan sama
    sekali nggak mau menanggapi. Lain halnya denganku yang sempat esmosi dan "bikin konferensi pers":
    "Berani nggak, ngomong langsung di depan saya?! Nanti saya kasih bingkisan satu per satu!"

    :malu2:
    Mengancam mereka? Ah, nggak, 'tuh. Coba kalimatku itu dicermati dengan saksama. Yang

    namanya "ancaman" tentulah ada pihak yang diancam dan ada diksi yang beraroma tindak kekerasan.
    Di kalimatku itu sama sekali nggak ada satu pun hal yang bisa memenuhi unsur "ancaman".


    Sebetulnya, nggak semua "ancam-mengancam" itu berkonotasi jelek. Mbak Suci dan Lintang
    pernah mengintroduksi makanan rakyat jelata yang namanya "trancam". Irisan kacang panjang segar,
    tauge panjang segar (kedua bahan itu boleh juga sih, direbus sebentar), daun kenikir rebus,

    kangkung rebus, rajangan ketimun segar, daun kemangi segar, dan dicampurbaurkan dengan parutan
    kelapa muda yang dibumbui beraneka bahan. Mirip urap dan anyang, tetapi lebih enak lagi.

    Aku juga diajari teknik memasak menu pendamping sayur trancam, yakni asem-asem ikan sembilang.

    Ikan sembilang itu adalah sejenis lele yang hidup di air laut, dan patilnya pun cukup beracun.



    Bu Hasnah (atasanku), Mbak Amelia (seniorku di proyek), dan Hilda (rekan sekantorku dulu)
    sering mengatakan, perempuan yang berambut hitam lebat panjang terurai, cenderung menjadi target
    favorit para pria dengan berbagai motif masing-masing. Ditambah lagi, kalau raut wajah dan tubuh dari
    si perempuan terlihat sangat serasi dan klop dengan style rambut panjangnya. Udah, deh.


    Ya 'kan, kebanyakan laki-laki di dunia ini berambut pendek. Jadi, secara naluriah, setiap kali

    mereka ("yang orientasinya straight") berjumpa atau melihat perempuan cantik berambut hitam lebat
    panjang, langsung bikin mereka seolah-olah "kesetrum", dan bangkitlah insting kelelakiannya.

    Itu yang disebut "opposite attract". Pria cenderung akan tertarik pada perempuan yang berpenampilan
    fisik sangat, sangat, sangat berlawanan, ataupun berbeda 180 derajat dengan si pria ybs.

    Nggak cuma soal rambut panjang, tetapi juga payudara, pinggul, bokong, dan warna suara.

    Banyak perempuan yang langsung jatuh mental saat ngomongin soal rambut. Pinginnya sih,

    manjangin rambut, tapi apa daya, rambutnya nggak lurus (entah sekadar ikal atau berambut keriting).
    Dalam persepsi mereka, rambut panjang yang menarik kaum pria, hanya tipe rambut lurus.


    Padahal, laki-laki pun bisa sangat terpesona dengan perempuan yang berambut nggak lurus.

    Teman-temanku di proyek, yang sering nggak basa-basi dalam mencela perempuan, ehh... malahan
    klepek-klepek melihat video Datuk Sheila Majid yang berambut keriting, meski keriting buatan.



    Di komunitas atau lingkar pertemanan kami, dulu pernah beberapa kali terjadi, cewek-cewek

    yang semula berambut panjang, tiba-tiba memutuskan untuk berambut pendek. Yah, itu memang hak
    asasi setiap orang. Tapi sayangnya, nggak semua ketupusu... heeeiiiyyyaaah... maksudku, keputusan
    mengganti gaya rambut secara ekstrem itu berujung pada hasil yang memesonakan publik.

    Misalnya aja yang dulu terjadi pada Rita. Rita itu cewek betulan yah, bukan "Rita alias Parto"
    yang ada terlihat di film jadul Warkop, Gengsi Dooong. Kami teman-temannya, sangat menyayangkan,
    udah bagus-bagus berambut panjang, justru dipotong segitu pendeknya. Akhirnya 'kan, jadi

    kelihatan "lucu... tapi dalam konotasi aneh". Bixzon sampai tegaaa banget bilang, "Rita kenapa malah
    jadi mirip Rachmat Kartolo [penyanyi dan aktor Indonesia masa lampau], ya?" Ehh, si Fajar
    (sering iseng dipelesetkan oleh teman-teman menjadi "Jar-wo") ikut-ikutan ngeledek, "Nggak, ah. Rita
    sekarang udah mirip Hamid Arief [aktor lawas yang sering tampil di film-film Benyamin]." Terus terang
    aja, banyak di antara kami yang sampai tertawa guling-gulingan, nggak berhenti-berhenti,
    karena mendengar perkataan dari kedua oknum tersebut. Hahat banget mereka (waktu itu).

    :ohno:
    :hoho:
    Rita sendiri keliatan malu banget, bangets, bangetss... dan sepertinya cukup terpukul secara

    emosional. Pada saat itulah, si Bloody Handsome datang. Setelah mencermati situasi, dia pun langsung
    menyatakan sikapnya. Dengan tegas, dia mengecam keras candaan si Bixzon dan Fajar itu.



    :oii::gaswat::gaswat:
    "Kalau Rita sampai kenapa-kenapa, lu berdua urusan sama gua!" (Nggak kayak gitu juga sih,

    ngomongnya. Si Bloody Handsome nggak pernah memakai kata-kata "lu" dan "gua" ataupun
    variannya "lo" dan "gue" dalam aktivitas berkomunikasi. Tetapi kurang lebih, ya seperti itulah.) Dia juga

    memarahi kami semua yang justru beranggapan bahwa candaan niradab seperti itu "lucu".

    Yang mesti digarisbawahi, kemarahannya itu sama sekali nggak diekspresikan dalam bentuk

    ancaman apa pun yang mengarah pada tindak kekerasan. Bixzon dan Fajar memahami hal tersebut.
    Kalau si Bloody Handsome terkesan "mengancam", konteksnya dalam bentuk "sanksi sosial".



    Andaipun iseng bercanda memirip-miripkan seorang teman dengan orang lain, yah janganlah

    menghina, seperti memperolok-olok "tragedi salah potong rambut, jadi mirip artis tahun 1980-an" yang
    dialami oleh si Rita. Masa', cewek disama-sama'in dengan Rachmat Kartolo dan Hamid Arief?

    Rachmat Kartolo dan Hamid Arief, keduanya itu sudah berpulang ke Haribaan-Nya. Sangatlah

    tidak layak menjadikan orang-orang yang sudah berpulang sebagai bahan candaan. Kita boleh-boleh
    aja menertawakan adegan-adegan lucu dari orang-orang yang sekarang ini udah nggak ada (sewaktu
    kita menyaksikan film-film yang mereka bintangi) dan boleh-boleh aja menirukan jokes atau
    quotes lucu yang dulu mereka buat (itu pun mesti memperhatikan materi jokes-nya). Dalam
    situasi tertentu, bisa dimaklumi pula bila kita menceritakan hal-hal buruk dari orang-orang yang
    telah berpulang, sepanjang dalam konteks "berusaha mengambil pelajaran ataupun hikmah", supaya

    kita tidak akan ikut melakukan berbagai hal negatif, seperti yang dulu pernah mereka lakukan.

    :keringat:
    Tapi, sebisa mungkin, tidak usah membawa-bawa orang-orang yang udah nggak ada, dalam

    candaan kita. Bagaimanakah perasaan kalian bila orang-orang tercinta dan terkasih kalian yang sudah
    berpulang, eh, seenaknya dijadikan bahan candaan oleh pihak-pihak lain? Tersinggung, 'kan?



    Sebagaimana kita ketahui, kemarahan yang "efeknya bisa sangat sangat mengerikan" adalah
    kemarahan dari manusia seperti si Bloody Handsome itu. Dia punya pengaruh, wibawa, dan kekuatan,

    tapi justru jarang terlihat marah, nggak pernah memaki dengan kata-kata kasar/kotor, rekam
    jejaknya relatif bersih dan terjaga/nggak tercela, nggak pernah ngibul, dan nggak pernah petantang-

    petenteng, nggak adigang-adigung, "nggak merasa sok yang paling hebat atau sok jagoan".

    Mungkin sejumlah orang beranggapan, "Ah, elah, cuma soal kayak gitu aja nge-gas. Sumbu
    pendek banget, sih!" Yah 'kan, standar etika dan etiket setiap orang pastilah berbeda-beda. Ada yang
    menganggap segala hal di dunia, boleh-boleh aja dijadikan bahan lelucon atau bahkan ejekan.

    Entah yang terkait "ranah-ranah sensitif" seperti suku, ras, agama, orangtua, keluarga, atau

    soal kecacatan seseorang, kondisi finansial seseorang, atau soal musibah, bencana, kemalangan yang
    dialami orang lain, dll, dsb. Mereka yang menganut prinsip "serba boleh" jelas nggak akan peduli pada
    perasaan atau ketersinggungan orang lain. Kalau ada yang tersinggung, masa bodo amatlah.

    Nah, si Bloody Handsome nggak seperti itu, yah. Di kehidupan nyata, dia bisa punya banyak

    teman, kolega, pengikut, dan anak buah ("yang berenergi positif", bukan yang tergolong toxic people)
    karena dia tidak akan pernah membuat candaan level rendah yang bisa mengusik ranah-ranah sensitif
    pihak lain. Jelaslah, prinsip itu menjadikan banyak orang menaruh respek dan merasa segan.

    Aku udah lebih dari 10 tahun mengenal dia. Bukan hanya kenal sepintas, aku bahkan pernah

    pacaran... atau mungkin lebih tepat untuk dikatakan: "menjalin kedekatan emosional ala cerita zaman
    Oma-Opa kita pada masa kolonial sebelum kemerdekaan". Pacaran, yang sama sekali nggak dicemari
    dengan aktivitas seksual secara langsung atau tidak langsung. Meski kami mengalami momen
    putus-nyambung lagi-putus-nyambung lagi nggak karuan, kehormatan dan kesucianku sebagai wanita

    masih terjaga. Aku (dan juga perempuan-perempuan syaithon... heeeiiissshhh... maksudku,
    perempuan-perempuan syantik dan syeksi lainnya, yang berada di sekitarnya) tidak pernah dihinakan
    dan diperlakukan secara bejat atau yang merendahkan harkat dan martabat keperempuanan.

    Kalau soal bercanda, dia juga sering bercanda. Kalau soal candaan yang "gila banget", dia pun
    punya kemampuan alamiah dalam menghadirkan "berbagai jokes aneh yang membengkokkan logika".

    Tanyakanlah kepada cewek-cewek di dunia nyata yang pernah/sering berinteraksi dengannya,
    (puuiiihhh!) hal-hal apa sih, yang sering bikin mereka merasa kangen padanya? Pastilah salah satunya
    perihal "berbagai lelucon spontan yang mengagetkan dan nggak diskenariokan sebelumnya".

    Hebatnya, semua leluconnya itu tidak pernah sekali pun gagal bikin ketawa. Meskipun begitu,

    dia selalu berpegang pada kode etik dalam bercanda. Tidak akan bikin jokes yang "menyerang ranah-
    ranah sensitif", dan nggak pernah bikin sexist jokes yang mengarah pada pelecehan seksual.

    Eh, perihal "berbohong", sebetulnya dia "nggak sepenuhnya bersih". Beberapa waktu lalu, aku,
    Yuvi, dan Dinda ikut bantu-bantu Bu Retno membereskan sejumlah dokumen. Secara nggak terduga,

    aku menemukan sejumlah fotokopian identitas si makhluk itu. Walaupun udah bertahun-tahun
    lamanya aku mengenal dia, ternyata... aku telah terkelabui soal usia. Usia dia sebenarnya... hanyalah
    terpaut dua tahun lebih tua dibandingkan usiaku. Jiyaaabaaang bayiiikkk... jauuuuh lebih muda
    dibandingkan dengan "usia fiktifnya" yang selama ini dia nyatakan padaku. Si Mbak Lilian mengatakan,

    yang sempat teperdaya seperti itu bukan cuma aku aja, dia juga. Tapi "kebohongan" yang seperti itu,
    sebatas "kebohongan lisan yang sifatnya guyonan" aja, 'kan? Lain soal, bilamana kebohongan
    tersebut dilakukan dalam bentuk "pemalsuan kartu identitas kependudukan atau dokumen-dokumen

    resmi negara seperti ijazah dan buku nikah". Atau, jika seseorang 'ngaku bujangan dan belum
    nikah, padahal sudah/pernah menikah dan punya anak pula. Nah, barulah hal itu termasuk kejahatan.



    Alhamdulillah, si Bixzon dan Fajar termasuk tipe para pria sportif. Mereka langsung meminta

    maaf kepada Rita secara gentle. Tetapi... biar gimana juga, insiden itu ternyata bikin si Rita jadi baper.

    Belakangan, Ajeng (yang memang udah berteman lama dengan Rita sejak SD) menceritakan
    kepadaku, "Kalau masalah kita ledekin dan ketawa'in, dalam sehari dua hari, Rita udah melupakannya.

    Yang bikin dia baper banget, sampai nangis-nangis nggak bisa tidur [lebay banget, ih], adalah
    sikap pasang badan yang si Stevie perlihatkan itu. Si Rita bilang, tidak pernah ada sebelumnya, laki-laki

    di luar keluarga, yang secara genuine dan nggak cari muka, membela Rita seperti yang Stevie lakukan.
    Biasanya Rita cuma sering menemukan pembelaan yang terkesan menjilat, nggak tulus, atau
    ada pamrih-pamrih tertentu dan terselubung dari laki-laki di sekitar kehidupannya." Jujur aja ya, betapa

    pun cerita Ajeng itu "terdengar heroik", nggak tau kenapa, aku malah nggak gitu suka mendengarnya.

    :hot:
    Cemburu sih, enggak, cuma gemes aja. Jadi ingat, aku pernah membaca postingan seorang

    Bu Dokter Gigi muda terkait si Bloody Handsome. "Kirain kebaikannya itu cuma buat aku. Eh, ternyata
    dia ngasih kebaikan yang sama pada semua orang." Mungkin, si Bu-Dok diemut-emut... heeiiiyyaahh...
    salah, salah... abaikan, ya! Maksudku, Bu-Dok-Gi-Mud (Bu Dokter Gigi Muda) seolah merajuk,
    "Kenapa kebaikanmu itu nggak dikhususkan buat aku sendiri aja, sih? Yang lain nggak usah ikutan lah."




    Sebelum aku mengungkapkan hal-hal lain yang nggak seharusnya aku ungkapkan di sini, akan
    lebih baik apabila aku fokus pada poin awal tentang hal yang mendasariku kembali menulis di thread ini.


    I initially did not want to write about those moments (which I should surely not be proud of)

    that happened while I was pursuing a master's degree in the last two years. The moments when I had
    to reject the love or marriage proposals of my three male fellow students, who continuously

    (though, of course, not simultaneously) expressed their great admiration for me. I, however, changed
    my mind after several close friends and "informants" of mine showed me some of what they described
    as "post-breakup posts" by those three men I've mentioned above. Well, it's ridiculous if they
    used the expression "breakup," as I had never been in a love relationship with any of those three men.

    What then became quite a serious problem was that each of those two men who'd been bold
    enough to propose to me implicitly claimed that it was as if I'd happily opened the door of my heart to

    them at first. At least, that's what some of their posts indicate, and I've saved the screenshots and
    screen recordings as proof so that neither the two nor anyone else could accuse me of "distorting the
    facts." I'd indeed had chit-chats or random conversations with them (and the other guy), and
    I'd often spontaneously laughed or even burst out laughing at their "trivial or silly jokes" at

    certain moments. That's all, only to that extent (even though other people might wrongly read that
    camaraderie as the reflection of a "special closeness" between those three men and me). No matter
    how exciting our friendly moments were, they've never made me fall in love with, or intend to have
    a romantic relationship with, any of the three. A thing called "love" typically begins with an
    attraction, progresses to the phase of a feeling of caring, and then the seeds of love begin to bloom.

    :hihi:
    How could I possibly accept the marriage proposals from those three men if I never felt love,
    affection, and passion for
    them? After all, it'll be difficult and impossible for me to commit to any one of
    them or any other man in the marriage bond if I'm constantly thinking about the man I love.




    Si oknum X menerapkan taktik gerilya. Nggak langsung secara tiba-tiba mengajakku menikah.
    Tapi, betapa pun omongannya selalu bersayap-sayap, aku nggak terlalu bodoh untuk bisa menangkap
    maksud sebenarnya. Dan pada akhirnya, instingku terbukti benar. Dia mau datang ke rumah,
    menghadap Mama-Papa, dan bermaksud melamarku. Aku mengatakan "secara sopan, tetapi tegas",
    bahwa "aku bukanlah perempuan yang tepat untuk menjadi istrinya". Ya, keliatannya sih, dia
    bisa menerima penolakanku itu dengan lapang dada. Nggak tau deh, kalau di belakang layar, dia nangis
    guling-gulingan atau memaki-maki aku yang dengan "kejam" tega menghancurkan impiannya.

    Lain halnya dengan si oknum Y dan si oknum Z (huruf-huruf itu bukan merupakan inisial-inisial

    dari nama-nama mereka). Karena pada dasarnya, secara kasatmata, mereka berasal dari strata sosial
    yang bertingkat-tingkat jauh lebih tinggi dibandingkan level keluargaku pada saat ini; dan dari

    segi penampilan masing-masing, kukatakan secara objektif, "Mereka layak tayang dan layak pajang",
    mereka pun haqqul yaqin bahwa sangatlah mustahil jika aku sampai menolak lamaran mereka
    (momen-momen ngelamarnya tentu nggak berbarengan lah ya!). Eh, ternyata... aku tegasz menolak!




    Kalau soal "menolak lamaran laki-laki yang sangat serius ingin menikahi", bukan aku aja yang

    pernah mengalami (dan penolakan-penolakan itu bukan yang pertama kali kulakukan). Ajeng, Dinda,
    Bu Retno (yang mirip Monica Bellucci), dan Mbak Suci pun pernah mengalami momen-momen
    tersebut. Mereka semua itu, bukan kebetulan, adalah para perempuan keturunan suku Jawa.

    Mbak Suci pernah bilang, ada ungkapan dalam Bahasa Jawa, "Lanang menang milih, wadon
    menang nolak", yang artinya kurang lebih: "Laki-laki (pada hakikatnya) bisa memilih perempuan mana
    pun, sedangkan perempuan bisa menolak pria mana pun (yang melamarnya)". Dia ceritakan
    pula padaku soal sejumlah penolakan yang pernah secara tegas dia lakukan. Karena terkait hal privat,
    nggak akan aku kisahkan detailnya. Kalau melihat kebahagiaan pernikahan yang kini si Mbak
    nikmati bersama dengan suami beserta dua putra kembarnya, itu mesti melalui sejumlah perjuangan,
    doa, kesabaran, dan kesetiaan yang tidak bertepi. Salah satunya, ketika dia tegas menolak
    lamaran pria-pria lain, meski ketika itu, dia pun tengah terombang-ambing dalam ketidakjelasan situasi.

    :oii::wuek:
    Beberapa kali aku pernah mendengar oknum-oknum yang dengan puedess-nya mengatakan,
    "Perempuan yang merasa sok kecakepan, dan dengan belagunya menolak lamaran pria baik-baik yang
    kepingin menikahinya, ujung-ujungnya malah dapat suami yang tua atau setengah manula."


    Lah, kalau memang sang perempuan merasa tidak sreg dengan si laki-laki yang melamarnya,
    masa' iya, sang perempuan ybs mesti memaksakan diri menerima lamaran itu?!! Coba kita bahas dari

    perspektif "manusia dewasa". Dalam pernikahan, biasanya akan ada aktivitas persetubuhan.

    Bagi laki-laki, nggak gitu penting yang namanya "rasa sayang dan cinta", asalkan si perempuan punya

    daya tarik dari segi wajah dan tubuh, "yang bisa bikin si laki-laki terangsang secara seksual".
    Tetapi untuk si perempuan, nggak sesederhana itu. Untuk dapat menikmati persetubuhan (yang halal
    dan legal dalam konteks hubungan pasutri), ya mestilah diiringi dengan keterlibatan perasaan.

    Wajib ada "perasaan sayang, cinta, gairah, mengasihi, kekaguman, respek" (yang genuine,

    bukan yang dibikin-bikin) kepada sang suami. Tanpa itu semua, persetubuhan pasutri yang semestinya
    menyenangkan, eh, justru akan menjadi momen yang sangat, sangat nggak mengenakkan
    dan berujung pada trauma psikologis. Seorang perempuan bisa aja "memaksakan diri" (atau dipaksa)
    menikahi laki-laki, yang sesungguhnya sampai kapan pun, sama sekali nggak diinginkannya.

    Setelah melakukan hubungan pasutri, mungkin aja hamil, melahirkan, dan punya anak. Tapi,

    namanya juga "didasari atas keterpaksaan", kehidupan pernikahan menjadi nggak bermakna, hambar,
    dan hati pun akan dijejali dengan perasaan, "Yah... udah telanjur nikah... mau gimana lagi?!"



    Sebagai perempuan, aku punya hak penuh untuk mendapatkan pernikahan yang bisa kujalani
    tanpa adanya rasa keterpaksaan. Kalian yang perempuan, bisa membayangkan (atau mungkin pernah
    kalian alami), betapa akan terasa sangat, sangat tidak nyaman bila mesti berdekatan dengan
    laki-laki yang nggak kalian kenal, ataupun "tidak kalian inginkan untuk berdekatan dengannya". Sekadar

    terpaksa duduk berdua atau berdempet-dempetan aja, pasti udah merasa risih banget, 'kan?

    Apalagi kalau sampai terpaksa seranjang berdua, dan si laki-laki yang sama sekali nggak kalian sukai itu
    kepingin menciumi, meraba, menjamah, dan menikmati tubuh kalian. Na'udzubillahi min dzalik.


    :nangis:
    Ya Allah, jauhkanlah hamba, sejauh-jauhnya, dari keadaan seperti itu. Aamiin. Pernyataanku
    di atas memang konteksnya adalah "suami istri yang halal-legal". Tapi jujur deh, kalau si suami adalah

    sesosok laki-laki yang sama sekali nggak kalian sukai, nggak kalian kehendaki, dan nggak bisa
    menghadirkan cinta tulus serta perasaan nyaman dan aman di hati, apa iya, kalian sanggup bertahan
    menjalaninya?! Kalaupun ada yang bisa bertahan, alasannya cenderung nggak jauh-jauh dari:
    "demi anak", "nggak sampai hati bikin malu orangtua", "nggak mau jadi bahan gosip", dll, dsb.



    Kayaknya mesti aku ceritakan deh, sekelumit (sedikit aja lah ya!) proses PDKT yang dilakukan

    oleh si oknum X, si oknum Y, dan si oknum Z, saat mereka menjadi "rekan-rekan kuliah", sewaktu aku
    menjalani perkuliahan S-2 di sebuah PTN dalam ± dua tahun terakhir ini (sebentar lagi lulus).

    Seperti aku nyatakan di bagian-bagian awal post ini, para perempuan yang berambut hitam,

    lurus, lebat, sehat terawat, dan panjang terurai hingga melewati punggung, cenderung menjadi "target
    favorit" para pria straight. Ketiga oknum tersebut pun menjadikan keadaanku yang berambut panjang
    sebagai "bahan pembuka percakapan" dalam proses mendekatiku. Nggak masalah juga, sih.

    :blink:
    Oknum X bilang, "Wah, aku senang banget, hari gini, masih bisa nemu'in cewek seperti kamu

    yang punya rambut panjang terawat." Oknum Y lain lagi, pura-pura bertanya tentang tips perawatan,
    karena sang adek perempuan rambutnya bermasalah (katanya sih; benar atau nggak, aku nggak tau).

    :tampan:
    Entahlah yah, aku seperti mendeteksi hal itu nggak lebih dari strategi akal-akalan si oknum Y.
    Masa' iya, soal itu mesti dia tanyakan padaku? Dari segi penampilan, cara berpakaian, cara ngomong,

    karier dan pekerjaan, hingga kendaraan/SUV yang dipakainya; semua jelas-jelas "menunjukkan siapa
    dirinya atau seperti apa status sosialnya". Mungkin, puluhan tingkat lebih tinggi di atas level keluargaku.

    Perihal rambut adeknya bermasalah (kalau itu memang benar), semestinya gampang banget

    mencari solusi nyata di dokter-dokter terbaik atau salon termahal, tanpa harus menanyakan kepadaku.



    :sayangku:
    Selanjutnya, si oknum Z. Nah, si Pak Oknum satu ini, ternyata juga menjadikan style rambut

    panjangku sebagai materi pembuka proses PDKT. "Mamah aku, dari dulu sukaaa banget sama cewek
    yang cantik, manis, berambut panjang, penampilannya bersih, maintenance-nya bagus. Kapan-kapan,
    kamu dateng dong, ke rumahku. Mamah pasti akan lebih sayang ke kamu, daripada ke aku."


    Metode flirting seperti itu (yang membawa-bawa sang mama/orangtua perempuan), sepintas

    terdengar sangat manis. Sayangnya, kegombalan yang kayak gitu 'tuh, udah sering banget kudengar,
    sedari aku masih seorang siswi SMP, hingga lulus S-1, dan kemudian bekerja/berkarier. Bagaimanapun,
    aku masih bisa menghargai lah, karena setidaknya (ketika itu), dia nggak pernah melancarkan
    gombalan level rendah/niradab seperti "memuji sensualitas". Matanya pun tidak nyalang memandangi
    bagian-bagian tubuhku. Biarpun ya bisa aja dalam hati, dia sesungguhnya memendam nafsu.

    Saat aku membicarakan hal tersebut bersama teman-teman sekomunitas di guest house (kepunyaan

    keluarga si Bloody Handsome), banyak cewek yang ternyata juga pernah terkena gombalan
    "mamah aku pasti akan lebih sayang ke kamu daripada ke aku". Para pelakunya, tentu berbeda-beda.

    Tetapi Mbak Suci, Aya atau Izumi-chan (istri dari kakak kembar si Bloody Handsome; karena

    Aya memang adalah keturunan Jepang-USA, aku sebut seperti itu aja lah ya), Mbak Alicia (istri dari
    adik suaminya Mbak Suci) mengungkapkan, suami mereka masing-masing, nggak pernah
    menggunakan metode flirting seperti itu. Begitu pula si Bloody Handsome tersay... heeeiiiiyyyaaahhh..

    Dia nggak pernah melontarkan gombalan tersebut padaku. Para pria itu, semua bersaudara,

    dalam arti, punya relasi kekerabatan. Tidak cuma "persaudaraan secara formal" atau hanya
    sebatas tercantum dalam silsilah keluarga; kelihatannya, mereka juga berbagi tips, taktik, dan strategi
    canggih dalam banyak hal, termasuk soal metode flirting yang efisien, efektif, dan tidak klise.

    :patahhati:
    Saat mengetik kalimat-kalimat tadi, ada tebersit rasa syedih. Ketiga perempuan di atas sudah
    menemukan jalan-jalan kebahagiaan dengan para suami dan putra-putri mereka masing-masing. Aku

    masih aja harus berjuang dan berdoa, entah hingga kapan. Padahal, sang target, hilir mudik
    di kehidupanku. Selalu bertemu, sering berbincang berjam-jam tapi belum kuasa kugenggam.



    "Lah, kalau memang udah ngebet banget kawin dan punya anak, kenapa juga, mesti belagu,
    sok-sokan nolak lamaran laki-laki yang serius mau nikahin kamu?" Ada lagi yang ngomong, "Udah gila,

    kali ya, ada kakap-kakap kayak gitu, mau ngelamar pula, mestinya tuh mau aja lah dinikahin.

    Daripada menunggu seseorang...
    yang mungkin sama sekali nggak peduli meski kamu menunggunya.
    Pas ada peluang
    , bukan hanya satu, dua, tapi bahkan ada tiga, malah di-lepeh semuanya..."

    :oii::gigit:
    Heh, situ kali yang gila. Mana mungkin sih, aku sudi nikah dan kelonan sama kakap-kakap?!!


    Nih, aku kasih tau situ, yah! Kalau ada kakap-kakap, jangan dinikahin, apalagi sampai kelonan

    sama mereka. Dijamin nggak bakal bisa merem melek orgasme. Yang ada, justru sekujur tubuh bisa
    jadi amis nggak karuan. Bahagia, enggak; dirubung laler, iya! Kalau situ pas bertemu dengan
    kakap merah (yang udah mati tapi masih tergolong segar), langsung dieksekusi aja jadi pepes kakap,
    escabeche (kakap asam manis ala Filipina), atau kakap woku belanga (kuliner Sulawesi Utara).

    Ngerti ora, Son? Nggak ngerti cara masaknya? Ah, kepriben, Son, hari gini nggak bisa masak?

    Ya udah, situ boleh kursus sama aku, aku ajari sampai bisa. Tapi biaya kursusnya nggak murah, yah!


    Nah, kalau situ ketemu kakap putih, kepalanya dibikin gulai kepala kakap (badannya juga bisa

    diolah menjadi gulai). Di sekitar Pasar Baru, ada rumah makan Medan yang signature dish-nya adalah
    gulai kepala kakap. Enak luar biasa, tetapi harganya kurang bersahabat dengan kantong rakyat jelata.

    Tapi ya, Son, jika situ berminat kursus memasak gulai kepala kakap, bisa belajar sama aku.

    Nggak usah bayar juga nggak apa-apa. Soalnya aku pun dulu berbulan-bulan belajar sama Mbak Suci.

    Meskipun si Mbak perempuan Jawa, anehnya, dia itu jago banget bangets memasak banyak

    hidangan non-Jawa, dan kualitas cita rasanya pun 100% autentik. Alhamdulillah, dia tidak pelit berbagi
    ilmu, termasuk pula ilmu memasak. Untungnya, aku punya banyak resep (terutama resep-resep dari
    Filipina dan Sulawesi Utara) yang belum si Mbak ketahui, sehingga dia juga bisa belajar dariku.

    :merah::glek:
    Gulai kepala kakap sering dimakan dengan nasi hangat, burung punai goreng, pucuk labu, dan
    sambal udang (bukan sambal goreng udang) yang rasanya uasyem pedes. Ngiler banget 'kan, Son?!

    Mangkanya, mendingan situ serius belajar masak aja 'gih, ketimbang ikut campur urusanku!



    Beberapa bulan lampau, ada kejadian lucu. Selama ini, Papa belajar akupunktur pada seorang
    sinshe. Biasanya, Mama-Papa yang mendatangi rumah sinshe tersebut. Tetapi, suatu hari, sinshe itu

    dan anaknya lah yang mampir ke rumah kami. Nggak berapa lama kemudian, secara mengejutkan, si
    Bloody Handsome dan team-nya datang. Mereka semua berkonvoi dengan tujuh SUV hitam.

    :apa:
    :hoho:
    Para satpam/petugas security di area kompleks permukiman kami pun langsung keluar, siap

    siaga kalau sampai terjadi apa-apa. Ada tujuh kendaraan taktis yang para penumpangnya adalah para
    pria yang ber-body tinggi gede, tegap kekar, V-taper atau V-Shaped Body, berpakaian hitam.


    Ya 'kan, dalam persepsi publik, konvoi SUV dengan pasukan seperti itu identik dengan penggerebekan.



    Ternyata... mereka sekadar singgah dan sekaligus mengantarkan banyak sekali bahan pangan berupa
    daging, sayur mayur, 'en buah-buahan segar untuk keluargaku. Bukan kami aja sih, yang mendapat

    pemberian itu. Aku nggak bisa merasa ge-er. Teman-teman kami sekomunitas pun kebagian.

    Yah, namanya juga "cuma singgah mengantarkan upeti bahan pangan", si Bloody Handsome
    nggak bisa berlama-lama di rumah kami (semua anggota pasukannya pun menunggu di luar). Tetapi,

    si Bloody Handsome sempat berbincang ± 20 menit dengan Mama, Papa, Om Sinshe, dan putrinya.
    Aku malah tidak diajak ngomong. Dia dan pasukan pun kembali ke "garnisun militer" mereka.

    Setelah momen tersebut, Papa menanyakan pada Om Sinshe perihal pengamatan beliau terhadap si

    Bloody Handsome. Sinshe akupunktur yang sudah sepuh itu bukan seorang paranormal, dukun sakti,
    cenayang, ataupun tukang ramal. Boro-boro sanggup "meramal kejadian pada masa depan",
    sekadar menebak skor pertandingan sepakbola pun, nggak bisa. Tapi, beliau mampu membaca energi
    yang ada pada seseorang. Dan beliau mengatakan, energi si Bloody Handsome relatif bersih.

    Bukan pengguna narkoba, bukan peminum, bukan penjudi, bukan pezina, dan bukan maling.

    Seberapa validkah kebenaran pernyataan beliau? Wallahu a'lam bishshawab. Tapi beliau menegaskan,

    manusia diciptakan dalam keadaan bersih dan lurus. Jika seorang manusia sampai melakukan
    hal-hal yang kotor dan menyimpang, tubuh manusia itu sendiri yang justru akan "mengumumkannya".

    Manusia bisa aja bikin pencitraan, tapi gesture/gerak-gerik tubuh, sorot mata, ekspresi wajah,

    nggak akan pernah bisa bohong. Nah, Alhamdulillah ya, pemirsa, hasil pengamatan batiniah Om Sinshe
    terhadap si Bloody Handsome, pada saat itu dan sejauh ini, nggak menjadikan kami kecewa.


    Karena sinshe itu bukan seorang dukun, beliau bertanya pada Papa, apa si Bloody Handsome
    merupakan "calon menantu"? Aku sudah sempat berpikir bahwa Papa akan menjawab, "Insya Allah".


    :facepalm:
    Eh, Papa malah bilang, "Wallahu a'lam". Sempat kesel juga, tapi jawaban Papa memang nggak keliru.

    Sampai sekarang, sama sekali nggak ada kejelasan apa pun. Masa' iya, mau sok mengeklaim?

    :yahoo:
    Yang Maha Mengetahui perihal siapakah sebenarnya kelak sang calon pendamping hidupku ya,
    hanya Allah SWT. Aku cuma bisa sebatas "berusaha keras memperjuangkan keinginanku, yang diiringi

    dengan doa kepada-Nya". Pun mengenai bagaimana hasilnya nanti, kupasrahkan kepada-Nya.
    Yah, mau gimana lagi lah, aku benar-benar nggak bisa memastikan apa pun terkait semua itu.


     
    • Like Like x 2
    Last edited: Jan 16, 2023
  8. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    :hihi:
    After looking at some old photographs, I thought I'd have to write a few hilarious stories about

    my hot and pretty bestie, Miss Ajeng Angelique Anjelita Ajojing. Uhm, that's certainly not her full name. It
    occurred to me since it appeared to be somewhat rhymed, and in real life, Ajeng loves to perform a go-go
    dance (or, in Indonesian, people often call it "ajojing"). Years ago, Ajeng and I watched Irisan-irisan Hati,
    an old Indonesian flick set in the mid-1960s, on an Indonesian TV station. At the time, she

    was staying a few weeks at my house (or, to be exact, "at my family's house," since I did not have my
    own yet). There was a memorable and thrilling scene showing several young Indonesian female students
    doing a go-go dance accompanied by the stomping of music that played on a turntable (the only available
    audio recording format in that era was the phonograph or vinyl record). Abruptly, an unknown
    person knocked on the door of the room. All of the girls looked quite tense and immediately stopped their

    activities. Ajeng and I could see the anxiety on their faces. They thought the masses from
    left-leaning organizations (or the authorities) were conducting a raid on people who disobeyed the prohibition
    of all forms of Western popular culture. As written in history, during 1964–1965, the Indonesian government
    (which many consider "left-oriented") imposed severe restrictions, or perhaps more precisely "bans," on

    Western popular cultures, such as music, movies, books, comics, and Western fashion styles.

    "The left-wingers" were eager to support that policy since they ideologically wanted to devour

    and finish off "anything associated with Western cultures." Ordinary people who didn't enjoy the backing of
    "important persons" had to be extremely careful if they wanted to listen to Western music.

    Irisan-irisan Hati was made and released in the 1980s. Some might scoff at the flick scene
    I mentioned above as part of the New Order regime's propaganda. But I once read the true story of Koes
    Bersaudara. One day in the mid-1960s, just months before one of the darkest and bloodiest
    tragedies in this nation's history, a high-ranking Indonesian Navy officer invited the band when he intended
    to hold a house party. During the party, several guests asked the band to perform a song by
    The Beatles, "I Saw Her Standing There." While the band was performing the requested song, a group of
    "left-leaning people" outside went ballistic, claiming that the Koeswoyo Brothers had violated the
    Indonesian government's ban on "imperialist music that was not representative of the Indonesian identity."

    :???:
    I somewhat think that, more or less, their true story seemed to inspire the Irisan-irisan Hati flick scene.




    Mbak Suci and I have talked about it. Even though she is a devout Muslimah and adheres to

    conservative values, she (surprisingly!) has extensive knowledge of popular cultures from various countries.
    She frequently discusses many issues with Miss Francoise, a "libertarian" French girl, in English.

    In the midst of our talk, tickling questions arose: Had the heavy and loud bands whose songs'

    lyrics carried "anarchist, leftist, or socialist messages" (such as Assück, Boikot; a Spanish left-wing band;
    Capitalist Casualties, Liberteer, Misery Index, or Molotov Solution) already existed at the time,
    would those left-wingers in Indonesia have considered the music and songs from those bands "contrary to
    the nation's identity and personality"? Let's imagine that there had been an Indonesian band
    performing repertoire from the aforementioned foreign heavy bands at the time. Would those Indonesian
    band members have also been jailed, as the Koeswoyo Brothers were? Since my two questions
    were based on imaginary situations in the past, she replied with assumptions. She assumed that had such

    bands existed in the early to mid-1960s, and Indonesians could've listened to their records, most ardent
    Indonesian left-wingers would've praised the bands' songs rather than harshly criticizing them.

    Why so? She had soberly researched those heavy and loud bands' songs (although not in the

    form of "scientific research"). It turned out that most, or at least "many," of their songs' lyrics seemed to
    be on the same path as leftist ideology. "However, those bands have musical genres that are
    far more 'extreme' than The Beatles had. Most people find death metal, deathgrind, grindcore, deathcore,
    hardcore punk, or crustcore songs 'hard to listen to.' Furthermore, the musicians' appearances
    in those bands seem—we, 'the common people,' may say—'slovenly.' Meanwhile, as we all know, the first
    president of this country was a 'man who always loved to dress neatly.' I don't think he'd put up with the

    shabby and untidy appearances of the musicians in those heavy bands," Mbak Suci explained.

    When I discussed that with Mr. Bloody Handsome, he agreed to some degree with her opinion,
    only differing in one aspect. The man told me that, in fact, many anarchists hate communism or Marxism

    since, in general, Marxist communists always want to establish a communist state. In contrast,
    the anarchists believe that any communist state tends to be authoritarian, oppress their citizens subtly or

    openly, and never hesitate to eliminate any people who disagree with them, even if they were
    initially considered "comrades in arms." He then gave me educational lectures about the Great Purge in the
    Soviet Union and the horrific massacres of nearly a quarter of Cambodia's population that the
    Khmer Rouge (the militarized communist party of Cambodia) committed. Speaking about banning Western
    cultures, what did happen in Cambodia after the fall of Phnom Penh in 1975 was even more terrible. The
    Khmer Rouge prohibited not only the selling, ownership, and broadcast of recordings perceived
    to be influenced by Western music. The Maoist regime also cleansed Cambodia of anything they considered
    "decadent Western culture." They brutally executed many Cambodian singers and musicians.



    :onegai:
    After watching Irisan-irisan Hati, Ajeng became pretty addicted to go-go dancing..It inspired me

    to embed the Indonesian word "ajojing" in her name. Ajeng Angelique Anjelita Ajojing. I dared to give her

    such a "weird set of monikers" since she never minds or always seems to allow me to do so.

    Even so, I will never mock or make fun of the "Ajeng" name (which I am aware many other

    women in Indonesia use) by changing it into inappropriate puns. Insya Allah, I am also careful never to
    offend her by making jokes about her parents', siblings', stepparents', and stepsiblings' names
    or the traditional titles and family names. Throughout the years, Miss Ajeng has had a special

    bond with me among my hundreds of female friends. (Mbak Suci also has a "personal closeness" with me
    but specifically relates to "adult matters" that are "sensitive and progressive," which are impossible for me
    to freely discuss with Dek Ajeng because she is still an "inexperienced and innocent" little girl.)

    Even though Dek Ajeng and I come from "very different backgrounds," we do have a lot in common and a
    "unique closeness" toward each other. I believe we share affinities for several things as well.


    :kuning::glek::keringat::gigit::stress:
    Before I continue, I've got to warn you not to twist my statement above. Alhamdulillah, we're

    both heterosexually oriented; hence, our "closeness, love, and affection" should be seen as just a female's
    sincere and genuine friendship. For those of you guys who are dirty-minded, shame on you!



    God Almighty witnesses that Miss Ajeng and Renata are still young virgins. There is, however,

    one thing that sets me apart from her (at least in the last few years). Many people know that I have an
    overwhelming passion and perhaps also a never-ending passionate desire for someone who is
    always the subject of my myriad writings. Many people around me are also probably aware that it is not
    easy to realize my dreams of marrying and building a happy family with that man. I've still got to overcome
    numerous roadblocks and tear down some barricades. After all, Insya Allah, I will not give up

    on turning all my dreams into reality. I pray to Allah SWT that I will still be given the strength to fight with all
    I have until the last drop of my blood has left me. La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim.

    On the other hand, in recent years, Ajeng has seemed to have no special person at all worth

    fighting for. Even worse, on a number of occasions, she has implicitly expressed her disinterest in marriage.

    Ajeng, well, just like myself, was frequently approached by men looking for a hot wife. She'd
    once had an "intense love affair"—or, better yet, a "romantic relationship"—with her then-office colleague

    before (unfortunately) they parted ways. Ajeng was emotionally devastated by their breakup.

    It made her seek solace in overindulging in delectable cuisine. Nowadays, many womanizers or

    flirtatious men often tease her and say Ajeng bears some resemblance to Miss Adinda Indah. Well, I think
    those men would be "pretty shocked" if they found out that until a few years ago, before Ajeng underwent
    brutal physical training under Mr. Bloody Handsome's intense guidance, she almost physically
    bore a resemblance to Homer Simpson. D'oh! Fortunately, she's always been surrounded by helpful people.

    Had Ajeng not had the awareness to change her almost abysmal state, she would've probably
    been considered Homer Simpson's twin sister. Alhamdulillah ya, Miss Ajojing has passed those gloomy days.

    Ajeng has regained her ideal body weight and left behind the dark days of being overweight.



    Karena aku tidak boleh menyemeleme... heeeiiiyyaah... maksudku, menyelewengkan sejarah,

    aku mesti berbesar hati menyatakan bahwa Ajeng itulah yang terlebih dulu mengenal si Bloody Handsome.
    Untungnya sih, perkenalan tersebut tidak berlanjut ke hubungan cinta penuh nafsu dan berahi.


    Si Bloody Handsome rupanya selalu menganggap si Cewek Bangor ituyang saat ini agak-agak

    mirip dengan Adinda Indahsebagai "sang adik kecil yang mestilah dia lindungi dari berbagai mara bahaya".

    :malu1::oii::gaswat:
    Aneh. Bisa-bisanya, ada buaya yang ngaku-ngaku mau melindungi cewek dari mara bahaya.

    Bila aku nyatakan bahwa Ajeng itu bangor (atau bandel banget), yah kenyataannya, memang

    dia bangor. Sejak tahun lalu, rumah tersier keluarga si Bloody Handsome telah rampung direnovasi menjadi
    guest house yang luar biasa luas, megah, nyaman, dan juga multifungsi. Kami, cewek-cewek,
    jadi sering berkegiatan dan menginap pula di situ, dengan menaati prosedur yang ditetapkan.

    Lobby/lounge di guest house itu pun adem dan nyaman banget. Saking nyamannya, Ajeng sampai-sampai

    beberapa kali ketiduran di sofanya. Padahal 'kan, sangat tidak pada tempatnya dia tidur di situ.
    Kami merasa nggak enak sama Bu Retno "Bellucci" sebagai penanggung jawab guest house. Nggak enak

    pula jika ada pihak keluarga si Bloody Handsome yang melihat Ajeng rebah terkapar di sofa.

    Akhirnya, beberapa di antara kami pun mengadakan permufakatan yang mungkin bisa dibilang jahat, tetapi

    semata untuk memberi shock therapy pada Ajeng supaya dia nggak pernah lagi tidur di lobby.



    Ayu punya ide kejailan yang agak-agak sadistis. Dia mempersiapkan sejumlah aksesori berupa

    beberapa cincin akik yang gede-gede seperti yang dulu sering kita lihat dikenakan oleh Mbah Tessy Srimulat,
    dan bandul lonceng/klénéngan yang biasa dipakaikan di leher sapi. Bayanginnya aja udah lucu.

    Nggak butuh waktu lama untuk mengeksekusi rencana itu. Keesokan harinya, saat dia datang,

    Ajeng lagi-lagi dengan enaknya merebahkan diri di sofa yang ada di lobby guest house. Yah, namanya juga
    cewek bangor, biar kata udah dinasihati, tetap aja bangor. Kami semua bertambah yakin untuk memberikan
    shock therapy. Setelah Ajeng dipastikan terlelap, aksesori-aksesori itu segera kami pasangkan.


    Seakan belum cukup, Yuvi membalurkan bedak putih yang cukup tebal di area wajah Ajeng. Semua itu pun

    bisa berjalan lancar karena si Miss Ajojing tidur nyenyak bagaikan seekor kuda betina yang diberi anesthesia.

    Hampir 25 menit, kami biarkan dia tidur, untuk selanjutnya, Yuvi dan Ayu membangunkannya.

    Cara mereka membangunkan pun bikin Ajeng panik. Seolah-olah ada banyak tamu VVIP yang baru aja tiba
    di guest house. Ya jelas aja Ajeng kaget banget dan kelabakan (kasian juga sih, sebenarnya).

    Kedua matanya masih kriyep-kriyep, penampilannya nggak karuan seperti habis main ketoprak.
    Di lehernya menggelayut klénéngan sapi. Di seluruh jari jemari kedua tangannya terpasang cincin-cincin akik

    yang gede-gede. Wajahnya pun, aduhai menor bangets karena berbalurkan bedak putih tebal.

    Kami kemudian berkumpul di area salah satu taman (di guest house, area tamannya memang

    ada banyak). Ajeng berdiri termenung di pinggiran kolam ikan. Mbak Vies yang kebetulan melintas, langsung
    shocked dan ber-istighfar berulang kali ketika melihat penampilan Ajeng yang sungguh luaaar biiiyaaasaaah.

    Luar biasa eksyotis. Dengan kata lain: "gemblung". Gebleg-nya, Ajeng masih belum menyadari.

    :ngambek:
    :hoho:
    Kami semua sampai susah payah berusahahaha untuk nggak tertawa. Dia baru mulai ngamuk,
    sewaktu dia akan menggunakan smartphone-nya dan melihat kesepuluh jari tangannya dihiasi gemerlapnya
    cincin-cincin bermata batu-batu akik yang berukuran jumbo. Eh, bukannya serem, kemarahannya itu malah
    jadi lucu karena diiringi bunyi "klining-klénéng" kalung lonceng sapi yang bergelayut di lehernya.


    Ya udah, kami pun udah nggak sanggup menahan tawa. Ditambah lagi melihat wajahnya yang
    putih mulus, tapi... "putih"-nya itu dalam konotasi "mirip muka Bagong yang biasa tampil di wayang orang".

    Berbedak putih secara overdosis, tebal nggak karuan. Ampyun, dah! Kami hahat banget, ya.



    Alhamdulillah, sebelum Ajeng menjadi makin beringas dan nggak terkendali, Mbak Suci datang.
    Si Mbak Cantik membawa hand truck/troli dorong yang memuat seember gede ikan beong dan ikan gabus,
    dalam kondisi segar, siap olah. Rencananya, cewek-cewek di guest house mau masak bareng.


    Bikin mangut ikan beong khas Magelang. Hidangan yang puedesss, tapi enak banget bangets bangetsz itu,

    anehnya, hingga kini, hanya ada di Magelang, nggak bisa kita temukan di kota-kota mana pun
    di Indonesia. Kedua mertua Mbak Suci punya ranch pribadi yang membudidayakan berbagai unggas, ikan,
    rusa, dan berbagai hewan lainnya. Pokoknya, sumber pangan dan protein hewani (yang halal).
    Ikan beong yang berasal dari Kali Progo di Magelang itu memang masih susah untuk dibudidayakan dalam
    skala besar. Tapi di ranch mereka ada kolam-kolam pembesaran/pemeliharaan ikan tersebut.

    Kemudian, ikan-ikan gabusnya (gabus segar ya, bukan dalam wujud ikan asin) akan kami olah

    menjadi gabus santan cabé hijau. Nggak hanya itu. Di guest house juga ada stok rajungan yang sangat
    melimpah. Akan kami masak menjadi karé rajungan ala Tuban. Udah pernah coba? Karé rajungan Tuban
    pun adalah hidangan yang puedes, tapi enak bangets. Seakan masih belum cukup, Mbak Vies
    juga menawarkan sejumlah manyung/ikan jambal, yang bisa diolah menjadi mangut atau dimasak dengan
    cabé hijau. Rencana memasak aneka sajian yang membangkitkan selera tersebut, sepertinya
    menjadikan Ajeng sedikit terhibur. Yah, bagus, deh. Jadi, dia nggak akan tergoda dan terjerumus mencari
    hiburan yang tidak senonoh. Karena Ajeng tergolong spesies cabé-vora, semua kuliner pedes (tapi dijamin
    nggak akan bikin perut mules) dan lezat itu, seolah udah langsung bikin dia ngécés tiada henti.


    Sekadar membayangkannya aja, membuat nafsu makan pun menggelora dan meronta-ronta.


    Memangnya ada, masakan yang puedesss, tetapi dijamin nggak akan bikin perut mules? Ya kan, masakan

    apa pun itu, sangat tergantung dari resepnya dan keahlian sang juru masaknya. Semua sajian
    di atas, komposisi resepnya dari Mbak Suci, dan selama ini, track record si Mbak sebagai chef andal selalu
    terjaga. Nggak pernah terjadi, masakannya sampai membuat sakit orang yang memakannya.

    :unyil:
    Yah, sebenarnya, terdapat "potensi mudarat" di balik kelezatan semua masakannya. Apa itu?

    Kemungkinan pertambahan berat badan! Masakan yang puedesss dan lezat, cenderung bikin

    orang "kalap"dalam menyantapnya. Nambah lagi dan lagi. Penangkalnya cuma satu. Jangan pernah malas
    berolahraga. Olahraganya pun mesti yang efektif membakar kalori dan bisa menambah massa otot tubuh.
    Renang, weight training, calisthenics exercises, pilates, main bola basket, voli, atau lawn tenis.

    "Maunya sih, gitu. Tapi, di mana kami bisa melakukan itu semua? Gimana caranya?" Iya juga,

    ya? Aku bisa dengan ringannya memberi saran-saran seperti di atas, karena hingga kini, aku masih punya
    akses-akses untuk opsi-opsi tersebut. Di guest house, semua fasilitas untuk hal-hal itu, lengkap tersedia.

    Bagaimana dengan kalian yang tidak punya akses? Ya udah, gini aja, deh. Kalau, Insya Allah,

    aku bisa nikah dengan si Bloody Handsome, kalian boleh ikutan menikmati fasilitas olahraga di guest house.



    Sebagaimana Mbak Vies, Mbak Suci juga sempat shocked sewaktu melihat penampilan Ajeng

    "yang sangat brutal dan abnormal". Meski terlihat pingin ketawa, si Mbak Cantik punya naluri keibuan yang
    mau tidak mau membuat kami semua (yang menjadi penyebab Ajeng berpenampakan seperti itu) terharu.

    "Ya Allah. Sini, sini, 'Jeng... kasian banget kamu, aku bantu cuci mukanya..." Tetapi Ajeng menolak, karena

    dia ingin memperlihatkan hasil kebiadaban-ku, Yuvi, Dinda, dan Ayu pada si Bloody Handsome.



    :facepalm:
    Harus aku akui, Ajeng tidaklah seplontos... eh, apa iya, ada area plontos pada diri Ajeng? Heeeiiiyyyaahh...

    malah jadi ngelantur begini... maksudku, Ajeng tidaklah sepolos seperti yang kami perkirakan.

    Dia sangat cerdik, dengan tetap membiarkan kondisinya yang simpang siur dan porak poranda

    (karena kami isengi) secara apa adanya, nggak diutak-atik, sehingga bisa dia perlihatkan sebagai bukti valid.
    Ajeng kemudian langsung mengirimkan laporan pada "Komandan Batalyon". Nggak paké lama
    (karena hari itu memang hari libur, dan "Komandan" pun sedang berada di markas), si Bloody Handsome
    segera datang. Udah deh, dia langsung memarahi semua oknum yang terlibat menjaili Ajeng.

    Yang lucu, enggak tau kenapa, dia seperti berusaha keraaas supaya jangan sampai melihat ke arah Ajeng.

    Kalau dia sampai ngeliat, sepertinya dia pun secara naluriah bakalan ikut menertawakan Ajeng.



    Even though he firmly expressed his annoyance at our "ridiculous acts" and thought we'd gone
    too far in pranking Ajeng, he didn't use harsh or dirty words when scolding us, "the four mischievous girls,"

    who had to be held responsible. Since he gave Ajeng such ardent defense and support, Ajeng perceived
    herself as incredibly important to him. Ajeng was so smug at the time, as if she had no fault whatsoever,
    that she forgot that she was actually the one who forced us to prank her. We had to do those
    things to teach her a lesson she would never forget. The four of us thought it was pretty inappropriate (in
    terms of decency) for an adult girl like Ajeng to sleep on the couch in the guest house lobby.

    :oii::malu1::onsen::mandi::centil:
    He told us, "I don't refute your opinion. It's just that if you girls intend to teach her a lesson,

    you all must have 'competency' as good teachers. Such a wicked lesson will only instill resentment in her."

    What he said was not wrong. A few weeks ago, we, the girls, saw Full Metal Jacket in a private
    cinema, which is located at the guest house. I still remember the scenes when a soldier named Gomer

    Pyle was hazed and brutally beaten with bars of soap wrapped in towels by his comrades since
    he often made mistakes that resulted in them also bearing the punishment from their drill instructor. As
    you may be aware, "collective punishment policies" are frequently used in military training. "If
    someone makes a mistake, all of his comrades will be punished." Although he didn't take revenge on his
    comrades for what they did, that didn't mean he was all right with it. In the end, he shot dead
    the drill instructor, who was the cause (directly or indirectly) of his woes during his miserable military training.



    Pembelaan yang diperlihatkan si Bloody Handsome kepada Ajeng, benar-benar bikin Ajeng jadi

    besar kepala. Sikap belagu-nya pada saat itu, sungguh sangat menjengkolkan (saking menjengkelkannya).

    Yang kasian 'tuh, si Ayu. Untuk pertama kalinya, dia merasakan "pengalaman yang menggetarkan hati dari

    seorang laki-laki". Dimarahi si Bloody Handsome (tapi bukan dalam bentuk "kekerasan verbal").

    Sebelumnya, aku udah memberikan advis pada si Ayu (setelah Ajeng mengadukan kami pada

    si Bloody Handsome), "Yu, pas Stevie nanti mulai menginterogasi kita semua, kamu bilang aja kalau kamu
    cuma ikut-ikutan aku." (Meskipun faktanya, si Ayu itulah yang punya ide perihal "cincin Tessy
    dan klénéngan sapi". Bahkan, dia jugalah yang menyanggupi untuk menyiapkan semua aksesori tersebut.)

    Si Ayu itu 'kan (bukan si Ayu yang sepupu Lintang), termasuk "anak baru" di komunitas kami

    (dia berasal dari inner circle atau klik-nya si Ursula dan Riske). Kalau aku bilang sih ya, mendingan dia tetap
    jadi "anak baik", jangan seperti aku, Dinda, Yuvi dll dsb, yang udah kadung di-cap oleh si Bloody Handsome
    sebagai cewek-cewek yang terindikasi bandel, jail metakil, mesti selalu diawasi dan didisiplinkan,
    agar jangan sampai salah jalan. Eh, si Ayu malah menolak nasihatku tersebut secara halus (tetapi tegas).

    :terharu:
    :hoho:
    Yang terasa menggelikan, setelah si Bloody Handsome mengomelinya, Ayu téh, malah terlihat

    merasa amat bersalah, resah, dan gelisah. Ayu sampai bertanya dalam Bahasa Jawa pada si Mbak Cantik,
    "Njur piyé iki, Mbak?" Mbak Suci berusaha menenangkannya dengan menjelaskan, pro-tap yang berlaku di
    komunitas memang seperti itu. Bila ada yang sengaja melakukan kesalahan, ya akan dimarahi.
    Jika seandainya, Ajeng secara keterlaluan menjaili Ayu, nah, Ajeng pun pasti dimarahi si Bloody Handsome.

    Dengan ketentuan, bila TKP-nya berada di wilayah kekuasaan si Bloody Handsome dan selama
    sang oknum pelaku pelanggaran adalah perempuan yang masih lajang/bukan kekasih pria mana pun/belum
    bersuami. Tetapi, andai TKP-nya berada di luar yurisdiksi, dia tidak punya wewenang. Atau, bila
    para perempuan seperti Mbak Suci dan Izumi-chan "melakukan kejailan di luar batas", si Bloody Handsome

    sama sekali nggak berwenang memarahi mereka. Mesti dilaporkan kepada suami mereka masing-masing.



    Betapa pun syerem dan tegasnya dia memarahi kami berempat yang terlibat, yah, kalau kami

    renungkan secara mendalam, memang tidaklah selayaknya kami menjaili si Ajeng, yang notabene adalah
    teman kami, sebegitu kedjam. Apalagi, si Bloody Handsome mengatakan hal-hal yang bikin kami terdiam.

    Menjaili atau mengisengi manusia yang sedang tertidur maupun terbaring tidak berdaya (entah

    tidur alamiah, semaput, atau dalam pengaruh bius total medis/anesthesia), meski hanya untuk lucu-lucuan
    atau "untuk memberikan pelajaran", pada hakikatnya, sama aja dengan menginjak-injak nilai kemanusiaan.

    Beberapa tahun lalu, pernah ada suatu kasus, seorang pasien perempuan yang tengah berada
    dalam pengaruh anesthesia (walaupun bukan bius total) digerayangi oleh oknum pria juru rawat di sebuah

    rumah sakit. Karena sang pasien itu nggak sedang dibius total, ya dia masih bisa menyadari bahwa dirinya
    sedang dilecehkan secara seksual (dalam bentuk diraba-raba) oleh si oknum pria perawat itu.

    Semua manusia berpikiran waras pasti akan merasa geram terhadap pelecehan tersebut, 'kan?

    Nah, kalau kami berempat sepakat berpendapat bahwa pelecehan terhadap pasien perempuan
    yang sedang berada di dalam pengaruh anesthesia itu adalah sangat, sangat, sangat tidak bermoral, kami

    berempat (yang telah menjaili Ajeng) mestilah jujur mengakui bahwa tindakan iseng kami terhadap Ajeng
    adalah sangat, sangat, sangat keliru, tidak etis, dan bahkan bisa pula dibilang: "tidak bermoral".

    :yahoo:
    Alhamdulillah, persoalan itu bisa selesai secara baik-baik. Kami pun saling meminta maaf serta memaafkan.

    Ajeng nggak lagi tidur di sofa lobby guest house. Dia 'nggelar koran di lantai... eh, nggak deng.



    Kali-kali aja, ada yang mengatakan, "Uueeeiiiittssss, komunitas kaum moralis memang kepingin

    selalu keliatan beda. Segala macam nggak boleh. Ini itu serba nggak etis. Ini itu melanggar etika dan etiket.
    Dikit lagi semua berubah deh, jadi manusia-manusia penjelmaan malaikat-malaikat tanpa dosa.
    Kalau kita mah apa, cuma setan-setan jalang dan iblis-iblis kotor. Tapi, nggak munafik dan nggak sok suci."


    Komentar macam itu, ya memang baru sebatas pengandaian. Tidak berarti aku ber-su'udzon,

    atau mengidap paranoia, atau berdelusi bahwa akan ada orang-orang yang berkata seperti pernyataan di
    atas tersebut. Tetapi, bukan berarti pengandaian yang kubuat itu sama sekali nggak berdasar.

    Fakta yang sebenarnya, kami sekomunitas, hanya ingin menjalani bentuk kehidupan yang sehat, nyaman,

    aman, bersih lahir batin, terhindar dari hal-hal toxic. Lebay banget jika disebut: "kaum moralis".



    Pada bagian-bagian awal postingan ini, udah aku ungkapkan bahwa si Ajeng pernah mengalami
    "keterpurukan emosional" setelah jalinan asmaranya dengan seorang pria rekan sekantor kandas di tengah

    jalan. Kasian banget banget, Ajeng itu, ya. Semua karena dia berasal dari latar belakang yang
    dianggap "nggak biasa". Mami dan Papi-nya telah berpisah sedari dia masih kecil, dan kini telah berkeluarga

    kembali dengan pasangan mereka masing-masing (Ajeng punya Mami Sambung, Papi Sambung, dan Adik-
    adik Sambung). Ajeng dan seorang kakaknya dibesarkan oleh sang Eyang. Pihak keluarga dari
    kekasih Ajeng (kekasih masa silam) "nggak memberi lampu hijau" atas hubungan mereka. Yah, nggak bisa
    menyalahkan siapa pun. (By the way, aku menuliskan sekelumit kisah privat ini, sudah melalui persetujuan

    Ajeng.) Masa-masa suram itu pun menyebabkan Ajeng "mengambil rute pelarian yang tragis".

    Dia kemudian "terbenam dalam pola makan yang keliru" sehingga konsekuensinya, mengalami
    masa-masa berkelebihan berat badan dan degradasi pesona fisik. Mbak Suci juga setelah mengandung dan
    melahirkan, pernah mengalami kenaikan bobot tubuh yang (kata si Mbak) "sangat signifikan". Tetapi, kalau

    aku bilang sih yah, kondisi si Mbak pada waktu itu relatif normal-normal aja deh, nggak sampai
    "separah" kondisi Ajeng. Karena aku pernah melihat kondisi Mbak Suci saat itu dengan mata kepalaku, aku
    bisa memberikan penilaian objektif (tanpa sedikit pun bertendensi "memberi pernyataan palsu
    yang terkesan menjilat"). Sejujurnya aku nyatakan yah, penambahan berat badan yang waktu itu dialami
    si Mbak, sebenarnya malah menjadikan tubuhnya terlihat "sintal atau bahenol". Ya 'kan, tinggi
    badan Mbak Suci, jelas di atas rata-rata tinggi badan mayoritas perempuan Indonesia. Aku sering dibilang
    jangkung, tapi tinggi badan dia, satu atau satu setengah senti lebih unggul dari tinggi tubuhku.

    Bagaimanapun, setiap orang punya preferensi objektif terkait berat badan ideal. Bagi si Mbak,

    kelebihan bobot yang pada masa-masa itu pernah dia alami, menjadikan dirinya "terasa beraaat" dan juga
    membuatnya merasa sangat nggak nyaman dalam berkegiatan sehari-hari. Alhamdulillah, dia
    telah sukses melalui semua itu. Sekarang, sesudah menjalani berbagai latihan fisik yang brutal
    dan berkesenimbungan (di bawah arahan suaminya), penampilan Mbak Suci malah "jauh lebih menggoda"
    ketimbang penampilannya sebelum mengandung dan melahirkan. Lain halnya, dengan yang dulu dialami si
    Ajeng. Dia sendiri mengakui bahwa fase itu adalah "salah satu fase tergelap dalam hidupnya".



    Aku masih sangat mengingat momen-momen toxic, ketika Ajeng mencaci maki dirinya sendiri.

    Dia merajuk atau mengeluh, tetapi dalam bentuk merendahkan diri serendah-rendahnya, secara hiperbolis.

    Saat itu, kami yang cewek-cewek sedang berkumpul. Nggak ada seorang pun yang menghina,

    meledek, menyindir, atau menyinggung-nyinggung soal kondisi tubuh Ajeng yang makin "mekar diguncang
    prahara" (meminjam satu judul film jadul). Ehh, Ajeng sendiri yang malah "merasa insecure".

    :nangis:

    "Kalian semuanya cantik-cantik, syeksi-syeksi, bohay-semlohai, bening-bening, 'en pinter-pinter.

    Lah, kalau aku?!! Cantik? Enggak! Seksi? Jelas enggak! Bodi udah semakin kayak buntelan! Pinter? Enggak!
    Bisa masak? Nggak!! Bisanya cuma makan, tidur. Ada cowok yang mau sama aku? Mustahil!"

    Orang disebut berkarakter "toxic", tidak cuma jika dia suka mencela atau menghina orang lain.

    Tapi juga bila dia suka menghina dan merendahkan dirinya sendiri (seperti yang dilakukan Ajeng waktu itu).

    Sesekali, kita memang mesti menertawakan kebodohan atau kekurangan diri kita. Tapi, bukan

    dengan cara-cara yang membuat kita memandang diri sendiri sebagai manusia yang sangat nggak berarti.
    Kalau kita menilai diri segitu hina dan rendahnya, gimana pula orang lain mau menghargai kita?




    Yang bikin aku dan teman-teman lain terkesan, Mbak Suci dan Tante Mariana meng-counter

    omongan toxic Ajeng itu dengan analogi-analogi cerdas dan cerdik. Mbak Suci bilang, "Tapi, kamu [Ajeng]
    nggak pernah mendapatkan Razzie Awards, 'kan? Itu berarti orang-orang nggak menganggap
    kamu berkualitas rendah." Moviegoers pasti udah tau dong, Razzie Awards atau Golden Raspberry Awards
    adalah anugerah "penghargaan" untuk hal-hal yang dianggap jelek banget bangets di industri

    perfilman Hollywood. Nah, bukan kebetulan, dulu, sewaktu Ajeng masih berstatus siswi SMP, dia memang
    pernah membintangi sejumlah FTV. (Beneran yah, bukan dalam konotasi ngeledek!) Meskipun
    bisa dikatakan "cuma sebagai figuran", faktanya, Ajeng pernah beberapa kali ikut syuting FTV.

    Ajeng nggak berlanjut menjadi selebritas karena sang Eyang tercintanya melihat "ada banyak

    mudarat di balik kegemerlapan semu dunia kaum pesohor". Bagaimanapun, citra diri si Ajeng yang pernah
    menjadi "seleb kecil-kecilan" tetap melekat kuat di benak banyak orang (yang mengenalnya).

    Analogi yang dibuat Mbak Suci terkait Razzie Awards itu, mampu bikin Ajeng sedikit tersipu-sipu
    dan cengengesan. Kemudian, Tante Mariana memberi analogi yang nggak kalah menariknya. Pada tahun

    1975, beredar lagu dari Prambors Vocal Group berjudul "Bingung". Lagu itu sempat menjadi
    OST film lawas berjudul Remaja Salah Potong Rambut. Eh, salah, deng. Aku terbawa nostalgia
    "momen ngenes yang dulu dialami si Rita". Salah, ya. Nggak ada film Indonesia yang judulnya seperti itu.


    :hihi:
    Maksudku, lagu tersebut pernah ditampilkan di film berjudul Remaja 76. Udah pernah nonton?


    Kemungkinan besar, kalian akan menjawab: "Belum, 'tuh." Memang bukan tergolong film lawas Indonesia

    yang memorable. Tapi, si Bloody Handsome-ku tersay... heeeiiiiyyaaahhh... lagi menceritakan
    soal Ajeng, kok yah, aku malah masih sempat-sempatnya mengungkapkan isi hati. Jadi, begini, walaupun
    Remaja 76 tergolong film langka, si Bloody Handsome punya kaset-kaset video Betamax-nya
    (versi "rilisan resmi" dan juga versi rekaman dari program jadul TVRI, Film Cerita Akhir Pekan).

    Film analog itu pun kemudian dikonversi ke format digital sehingga bisa kami tonton. Saat lagu

    "Bingung" diedarkan pada tahun-tahun segitu, tidak bisa menjadi top hits. Tetapi, satu dekade berikutnya,
    lagu tersebut "kualitasnya di-upgrade habis-habisan". Judul lagu pun diganti menjadi "Madu dan Racun".

    Hasilnya, sukses besar. Sangat, sangat populer di masyarakat dan masih dikenang hingga kini.



    Nah, makna yang tersirat dari analogi itu, "hal yang mungkin dianggap kurang menarik, masih

    berpeluang untuk menjadi menarik, asalkan yah, ada tekad kuat serta usaha keras untuk mengubahnya."

    Untunglah, si Bloody Handsome bersedia meng-handle problem Ajeng tersebut. Alhamdulillah,

    dalam waktu sembilan bulan aja, Ajeng pun secara bertahap bertransformasi menjadi "Ajeng yang baru".

    :oii::pusing:
    Meski tetap mesti melalui "berbagai episode yang nggak karuan". Kesuksesan itu makin menaikkan pamor

    si Bloody Handsome. Banyak perempuan lajang yang patah arang dan pesimistis, seolah-olah,
    di dunia ini hanya ada dikotomi berupa "pria yang bazingan" atau "pria yang orientasinya belok". Saban kali,
    kita selalu disuguhi berita-berita "para pria yang tega menganiaya istri mereka masing-masing."


    Padahal, Insya Allah, akan selalu ada "pria-pria lurus yang bukan toxic people". Sebagaimana, Insya Allah,

    akan senantiasa banyak pula perempuan yang baik-baik, yang istiqamah berada di Jalan-Nya.

    Yah, memang, sekadar "sanggup mengubah dan memperbaiki kondisi tubuh perempuan yang

    berkelebihan berat badan" belum bisa dijadikan suatu kesimpulan akhir bahwa si Bloody Handsome adalah
    contoh pria yang baik. Kita tetaplah mesti mencermati citra kebaikannya itu dari hal-hal lainnya.



    Beralih ke cerita lain dari si Miss Ajojing. Suatu hari, pada tahun lalu, Ajeng merasakan "baterai

    kehidupan di dalam dirinya nyaris habis". Dia pingin memperbincangkan banyak hal pribadi, khusus dengan
    si Bloody Handsome, yang entah sedang berada di mana gerangan pada waktu itu. Si Bloody Handsome
    punya reputasi: tidak mau berkomunikasi secara langsung dengan cara apa pun menggunakan
    smartphone. Bila terpaksa harus berkomunikasi, mesti via Mbak Vies sebagai aspri/sespri-nya.

    Saking kepinginnya berbincang, Ajeng menanyakan pada Bu Retno "Bellucci" ihwal keberadaan

    si makhluk tersebut. Setelah memperoleh jawaban, dia langsung ngambil cuti beberapa hari, nekat terbang
    ke Bali, tanpa ditemani siapa pun. Begitu mendarat, dia segera ngesot ke resort... heeiiisshh...

    maksudku, Ajeng pun segera menuju ke sebuah resort yang dipunyai para kerabat si Bloody Handsome.

    Ajeng berpikir sederhana, kalau sedang tugas atau bepergian ke Bali, makhluk itu pastilah akan

    menginap di resort tersebut, tak mungkin akan "tidur di emperan toko aja" seperti halnya saran Om Dono
    (yang bisa kita dengarkan di salah satu rekaman lawak lawas Warkop). Eh, ternyata si makhluk
    yang dicari-cari, tidak berada di kota tempat resort milik kerabatnya berlokasi. Rupa-rupanya, Ajeng salah

    menangkap info dari Bu Retno "Bellucci". Si Bloody Handsome, secara spesifik, sedang intens berkegiatan
    di kota Bangli. Bu Retno "Bellucci" memang bilangnya, "Lagi ada di Bangli," sedangkan si Ajeng
    mendengarnya, "Lagi ada di Bali..." Salah memahami seperti itu menggambarkan betapa blank-nya Ajeng.

    :pusing:
    :hoho:
    Yang nggak kalah absurd, saat Ajeng memutuskan nekat menyusul ke Bangli. Namanya juga

    "sedang dalam kondisi low batt". Udah diberitahukan alamat temporer si Bloody Handsome, eh, dia malah
    nyasar ke tempat lain. "Salah orang" pula. Untung aja, ada Inge dan Grace (adik-adik sepupu
    Bloody Handsome) yang ikut "mengawal" sehingga Ajeng bisa terhindar dari hal-hal yang nggak diinginkan.

    Cerita Inge ihwal Ajeng yang "salah orang", bikin kami semua tertawa gila-gilaan nggak karuan.



    Dari Bali, nggak langsung pulang ke Jakarta, tetapi terbang dulu ke Yogyakarta dan melakukan
    perjalanan buaya darat ke sejumlah kota. Dalam momen lain (di luar momen-momen perjalanan di atas),

    Ajeng menceritakan sesuatu padaku. Saat berada di bandara, jelang penerbangan Bali-Yogya,
    eh, Ajeng bisa-bisanya mengeklaim (secara nyebelin bangetsz!) bahwa dia menggelayutkan tangannya di
    lengan si Bloody Handsome. Miss Ajojing bilang, "Persis scenes akhir di film Blackhat [film yang sebagian
    proses syutingnya dilakukan di Jakarta, pada beberapa tahun silam], sewaktu Tang Wei [yang
    adalah seorang cewek Asia] menggandeng mesra Chris Hemsworth [yang ialah seorang pria Kaukasia]."


    Dia pun memanas-manasi dengan menyanyikan lagu lawas bertema "bergandengan tangan".


    :aghh:
    Setelah aku menyekelidik... heeeiiiiyyyaaahh... ojo dicekeli... heeiisshh... maksudku, menyelidiki
    seberapa valid kebenaran cerita Ajeng dengan mengonfirmasikannya pada Mbak Vies, ternyata, ceritanya

    itu cuma sebatas khayalan. Untung aja ya, aku nggak sempat terpancing untuk bersikap julid.

    Ada lagi cerita Mbak Vies lainnya. Ketika itu, si Bloody Handsome beserta para staf pribadinya,

    beberapa anak buahnya, ditambah lagi dengan Ajeng (sang penumpang gelapz, yang sebenarnya, di luar
    rencana), berkonvoi dengan beberapa SUV, mubeng-mubeng ke sejumlah tempat. Bertemu
    dan bertamu ke important persons yang bukan para koruptor. Sewaktu melewati kota Semarang, sempat
    ingin singgah, makan-makan di salah satu resto yang ada di Jalan Pemuda. Ternyata, resto itu
    telah berpindah lokasi. Yah udah, akhirnya mencari resto lain. Ajeng dan cewek-cewek lainnya (para staf

    pribadi si Bloody Handsome) memutuskan leyeh-leyeh di salah satu resto makanan cepat saji.


    Lain halnya si Bloody Handsome + para pria sangar dan syerem. Mereka mendatangi resto lain
    (di area yang sama dengan resto cepat saji itu). Lucunya, kedatangan mereka langsung membangkitkan

    kecurigaan seisi resto. Begitu masuk resto, makhluk-makhluk yang terlihat buas itu, duduknya
    pun berpencar. Seolah akan "melakukan aksi penangkapan atau penggerebekan". Udah gitu, banyak yang
    memakai tas selempang, nggak ubahnya penampilan para reserse yang melaksanakan tugas.




    Beberapa kali, Ajeng menyatakan sebentuk permohonan. "Eh, Cyin, andaikan akhirnya nanti, Insya Allah,

    kamu yang nikah sama Stevie, aku jangan kamu buang, yah?" Permohonan, yang terkadang,
    terus terang aja... bikin aku syedih. Lah, iya kalau benar aku yang dipilih. Gimana kalau dia milih yang lain?
    Ajeng pun tau, bukan aku aja yang sedang menanti. My sworn enemy dan kompetitorku juga.

    Di sisi lain, aku membayangkan pula, andai aku bisa bersanding dengan si makhluk itu, apa iya, aku akan

    mampu dengan ikhlas menerima Ajeng dan membiarkannya masuk di kehidupan kami berdua?

    Ini bukan dalam konteks seksual, lah ya! Ajeng hanya nggak mau kehilangan suasana persahabatan yang

    tulus, hangat, tanpa kepura-puraan, dan selalu menjadikan hari-harinya terasa jauh lebih hidup.

    Opsi paling rasional dari hal di atas adalah, ya, kita sama-sama berserah diri kepada Allah SWT, memohon

    agar Dia menggerakkan kita untuk memilih "takdir-takdir kehidupan yang bisa ikhlas kita jalani".
    Andaikata tidak mendapat yang kita inginkan, Dia tetap memberi bentuk kehidupan yang bisa kita syukuri.

     
    • Like Like x 2
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Mar 12, 2023
  9. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    :lulus:
    Since I graduated and officially now hold a master's degree (Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin), there
    have been "significant changes" in my life. Unfortunately, at least until recently, no one of them has been

    career-related yet. I must feel grateful to Allah for undergoing all that physically and mentally
    exhausting process, though. As I've made it through that challenging phase, I can say that an auspicious
    beginning has started for me. However, since I'm just an ordinary woman, it's only natural that
    I sometimes complain about s
    ituations that don't somewhat match my expectations, like what
    happened a few weeks ago. Instead of getting a job promotion right away, I (for the umpteenth time!)
    got a marriage proposal from "someone who's secretly had a crush on me for years." Gosh!

    Why did it have to be the unwanted man who'd been seriously proposed to me rather than my
    special someone, whom I've been fond of and dreamed of throughout the years? After all, "Bude Ajeng"

    never tired of reminding me that the situations in which I can still dream and strive to make my
    dreams come true are positive t
    hings that I should always be grateful for. Matur nuwun, "Bude". (Puiihh!)

    When I was a civ
    il engineering college girl, the "unwanted man" I'm going to write about was
    one of my seniors. After years of not communicating, he suddenly contacted me. He began by sincerely
    congratulating me on my graduation. I responded by thanking him politely. I, however, was a bit surprised
    and asked, "How do you know that I've just graduated from my master's degree program?"

    The man said that he's maintained his network of friends among our college alumni and has also secretly

    followed my Instagram account (albeit "under a pseudonym"). He asked questions related to my work.

    We then spent several minutes online chatting, telling each other about our respective careers.



    I consented to engage in the conversation since I harbored not the slightest suspicion that he'd eventually
    propose to me. After successfully engaging me in an unsuspicious early-stage chat, he started
    asking me about "personal matters."
    He was inquisitive about whether I had a man I'd been engaged to

    and planned to marry soon (in other words, a confirmed future husband). Since he'd just claimed to have
    been a longtime and faithful follower of my Instagram account, I thought he should've seen some of my
    posts featuring Mr. Bloody Handsome, though I could say that there are not any single photos
    with intimate poses between the two of us. Anyone doesn't have to be smart to understand that he's the

    man I adore and love. What's more, I often write Instagram captions that implicitly state that.

    I could've answered my senior's question with a firm answer:
    "Yes!" so he'd lose interest in me
    and end our conversation in the twinkling of an eye. Sadly, I lacked the confidence to lie and pretend that

    I was about to give up my single life soon. I didn't have any right to usurp God's authority by
    claiming or saying that Mr. Bloody Handsome would be the "man of my destiny." I decided to answer his
    question briefly but prudently: "Well, I still want to focus on my career." As I said that, the shadow of the

    face of the man I love and care about suddenly flashed before me. I was filled with a deep sadness since
    I couldn't yet say for sure that he'd be the only one who'd marry me. On the other hand, my

    answer raised excitement in my senior, as if he'd just received a "precious gift from Heaven."



    He
    then declared his earnest desire to marry me, saying, "Ya kalau 'gitu, kita jadian aja, yuk?
    Aku nggak ngajak kamu pacaran kayak pacaran-nya ABG atau anak-anak SMA. Udah banyak
    pria yang hanya berani ngegombalin kamu, tapi nggak ada satu pun yang punya nyali halalin kamu, 'kan?
    Aku sangat siap untuk menjadi 'seorang suami plus bapak yang baik dan bertanggung jawab'.

    Kamu nggak perlu kerja nyari duit. Dandan aja yang cantik. Nanti, biar 'suami kamu yang nyari nafkah'."

    (Or, I could say in English: "If so, would you mind being my wife? We don't need to go through dating like

    teens. I believe that many men must've flirted with you, but none of them had the guts to
    propose to you. Forget them all. As you can see, I am capable of becoming a good husband and father.
    Yo
    u don't even have to work hard anymore since your husband will always provide for you.")



    I admitted that I would've almost told him, "You should drop that bad idea. It will never work.

    There's not a chance you'll be my husband. How could I possibly betray the man I love?" Since he was
    my senior, I chose to tell him tactfully that, as I'd said before, "I still want to concentrate on my career."

    I appreciated all his sincere and good intentions toward me, though. However, if, in the future,

    he still tried hard to ask me to be his lovely wife, well, I'd undoubtedly never respond to him again, period.



    :hulk:
    Kenapa pula mesti aku ceritakan hal itu? Yah, suka-suka aku. Kalau kau tak suka, tak usahlah

    kau baca. Aku menuliskannya bukan untuk memamerkan pada khalayak ramai bahwa "aku telah menolak
    lamaran seorang pria". Tujuan utama menulis di platform ini, ya hitung-hitung untuk latihan meng-counter

    serangan dan klaim dari para oknum yang sudah kukecewakan atau kuhancurkan harapannya.

    Tujuan lainnya adalah untuk menyadarkan seseorang. Agar sang pria itu menyadari, ada banyak pria lain

    yang sangat, sangat, sangat menginginkan untuk bisa memiliki sesosok ciptaan-Nya nan indah,
    tetapi "si dia
    yang mesti disadarkan tersebut" malah seolah acuh tak acuh. Padahal, jika sosok nan indah
    itu sampai jatuh ke pelukan pria lainnya (amit-amit!), si dia pun pasti akan terguncang secara emosional.



    Ada sejumlah hal yang ingin kukomentari setelah aku berkali
    -kali mencermati tulisan Mbak Suci.
    Misalnya aja soal penggunaan browser. Aku baru mengetahui, ternyata ragam tulisanku di thread ini akan
    terlihat lebih rapi bilamana dibaca menggunakan browser Mozilla Firefox dengan PC atau laptop.




    Bagiku, yang naman
    ya "bersih, rapi, dan berestetika tinggi", nggak hanya penting, tapi "sangat penting".

    Karena hal itu mutlak berkaitan dengan kepribadian. Kalau untuk "hal-hal kecil dan remeh" aja, Anda tetap
    selalu terlihat bersih dan rapi, hal tersebut jelas merefleksikan seperti apakah kepribadian Anda.

    Hampir mirip dengan kebersihan suatu properti atau rumah pribadi. Bilamana kamar mandi dan
    toiletnya selalu dalam kondisi sangat bersih, kering, nggak lembap, diberi pengharum ruangan secukupnya,
    hal tersebut mencerminkan bahwa si pemilik rumah atau properti itu adalah seseorang yang peduli dengan
    kebersihan dan kesehatan. Demikian pula dengan dapurmu. Eh, salah. Mbak Suci dan si Ajeng

    pernah bilang, di dalam masyarakat Jawa, ungkapan "dapurmu" bisa diartikan sebagai bentuk
    makian. Kalau 'gitu, aku ganti aja dengan "dapur Anda". Apabila dapur Anda selalu terjaga kebersihannya,
    meskipun selalu digunakan untuk aktiv
    itas memasak setiap hari, berarti Anda peduli kesehatan.



    Ihwal "ungkapan berbahasa Jawa yang bisa disalahpahami", Bude Vini (Tante dari Mbak Ninuk,
    yang udah dikisahkan Mbak Suci di utas diary-nya), atau sang "Mamak Psikologis" si Bloody Handsome

    pernah menceritakan suatu hal. Pada suatu ketika, si Bloody Handsome ikut di dalam bus pariwisata yang
    membawa sejumlah civitas akademika dari satu PTN. Salah satunya, Bu Dosen Pascasarjana.


    Sewaktu si Bloody Handsome berbincang dengan si Bu Dosen itu, tiba-tiba, ada perkataannya

    yang bikin Bu Dosen Pascasarjana tersinggung luar biasa. Ya iyalah. Biasanya, 'kan, di luar, eh, tau-tau di
    dalem, udah 'gitu nggak berkoordinasi dulu. 'Gimana nggak ngamuk, coba? Heeeiiiiyyaaahhh...


    Maksudku 'gini lho, biasanya, mereka halan-halan di luar (luar negeri). Eh, tau-tau, nggak pake

    ngomong dulu, dikeluarin di dalem. Yang dikeluarin itu adalah energi dan duitnya, digunakan untuk belanja
    dan halan-halan di tempat wisata, di dalam negeri. Jadi, bukan ngomongin withdrawal method.


    :apa:
    :onegai:
    "Lah, kok situ udah tau tentang withdrawal method segala?" Ya, memangnya kenapa? Masalah buat lo?!

    Yang d
    ilarang agama 'kan, "melakukan aktivitas seksual apa pun di luar nikah" (baik "pranikah"
    maupu
    n "setelah menikah, dengan orang lain yang bukan pasangan sah"). Ihwal mempelajari
    hal-hal yang terkait dengan seksualitas (secara ilmiah) nggak han
    ya "diperbolehkan", malah "dianjurkan".



    Baiklah, pemirsa. Kembali lagi soal konflik horizontal antara si Bloody Handsome dan Bu Dosen

    Pascasarjana itu. Satu kata dalam Bahasa Jawa yang membuat si Ibu murka adalah "bawuk". Bu Dosen
    S-2 yang orang Jawa tersebut memaknai kata "bawuk" itu sebagai kata yang amat vulgar ("organ intim
    perempuan"). Karena aku bukan perempuan dari etnis Jawa, jujur aja, aku baru tahu hal itu.


    Si Bloody Handsome pun diome
    li Bu Dosen habis-habisan. "Dasar kamu Ursus arctos horribilis!
    Ursus maritimus! Ailuropoda melanoleuca! Melursus ursinus! Tremarctos ornatus!" Maklum deh, namanya
    juga Dosen Pascasarjana, perbendaharaan
    kosakata makiannya pasti beda jika dibandingkan
    dengan perbendaharaan kosakata makian khas rakyat jelata. Setelah ia mereguk kepuasan... maksudku,
    setelah si Ibu puas memaki
    -maki, si Bloody Handsome diturunkan paksa dari bus pariwisata,
    dengan sangat tidak hormat, di tepi jalan. Eh, sebelum bus pariwisata tersebut melaju, sang Ibu Dosen
    ingin memberi salam perpisahan yang takkan terlupakan: "Dasar kau Phascolarctos cinereus!"



    Detail kejadiannya mungkin t
    idak seperti itu. Aku cuma merekonstruksi peristiwa tersebut dalam
    bentuk drama
    tisasi. Soalnya, Bude Vini menceritakan hal itu dengan mata berkaca-kaca. Hingga saat ini,

    beliau "terpisah" atau "nggak diperbolehkan bertemu dengan sang putra kandungnya". Walaupun kami
    di guest house mengetahui detail permasalahannya, kami bersepakat takkan menceritakannya
    di medsos, "supaya nggak semakin memperkeruh situasi". Beberapa waktu lalu, aku pernah membaca
    berita-berita ihwal satu kasus, yang rasanya agak-agak mirip deh, dengan yang tengah dialami Bude Vini.

    Bedanya, kasus Bude Vini tersebut memang semenjak awal, sengaja nggak diekspos ke publik.

    Bude Vini menganggap si Bloody Handsome sebagai sang putra psikologisnya. Walau demikian,
    tetap ada batasan perihal non-mahram yang nggak boleh dilanggar. Cerita si Bloody Handsome sungguh

    menyentuh naluri keibuan Bude Vini. "Kasian banget sih, Stevie sampai diturunin di tepi jalan." Padahal,
    kalau mau tau ya, si Bloody Handsome sendiri pun dulu pernah beberapa kali menurunkan aku
    di tepi jalan. Saat itu, level kedewasaanku belum seperti sekarang. Sering kali aku bertengkar dengannya
    ketika kami sedang semobil berdua. Biasalah, di mana-mana, yang namanya cewek, kalau ngamuk, ya
    cenderung akan ngerujak pasangannya, dengan "tingkat kepedasan yang buaaas dan ganas".

    Alhamdulillah ya, dia termasuk tipe pria dengan level kecerdasan emosional yang tinggi. Biar kata diomelin
    sama ceweknya ini secara sangat beringas, dia nggak pernah terpancing ataupun menganiaya.

    :merah::keringat:
    Aku cuma diturunin di tepi jalan. Disuruh pulang jalan kaki. Ya, jelas aja lah, aku tidak berdaya.

    Akhirnya, mau nggak mau, dengan terpaksa, aku memadamkan bara api kemarahan di dalam hatiku ini.



    Bude Vini mengatakan, kata "bawuk", di Yogyakarta dan sekitarnya, bukan kata yang vulgar.

    B
    uktinya, ada sandiwara boneka TVRI Yogyakarta berjudul Kuncung Bawuk. Budayawan Umar Kayam

    (yang dulu berperan sebagai Bung Karno di film Pengkhianatan G30S/PKI dan juga di film Djakarta '66)
    pernah juga menulis sebuah cerpen legendaris berjudul "Bawuk" (yang kebetulan, berkaitan pula dengan
    seputar peristiwa 1965). Judul cerpen itu
    ternyata sama sekali nggak pernah dipermasalahkan.

    "Divisi provost" kami (dalam tanda petik), termasuk pula Bu Retno "Bellucci", Mbak Vies (yang
    udah bertahun-tahun menjadi as-pri dan ses-pri si Bloody Handsome), dan Mbak Suci (beserta suaminya)

    merasa sangsi dengan kebenaran cerita si Bloody Handsome itu. Kalau soal kesalahpahaman
    terkait kata "bawuk" mungkin memang pernah terjadi. Namun, perihal "dia sampai diturunkan di tepi jalan
    dari bus pariwisata", kayaknya, cuma bisa-bisanya dia aja. Track record dia nggak seperti itu.



    Kalau boleh ber
    terus terang yah, tanpa diiringi prasangka buruk, aku pernah agak-agak sedikit
    'gimana-'gimana 'gitu dalam menyikapi "kedekatan emosional yang terlihat aneh" di antara Bude Vini dan
    si Bloody Handsome-ku tersay... heeeiiiisssyaaahhh... aku nggak boleh mengeklaim dia udah jadi milikku.

    Maksudku 'gini lho ya, biar kata Bude Vini mendapatkan predikat "Bude", beliau itu sama sekali
    tidak keliatan seperti "bude-bude tua yang udah berumur, memudar, berlemak, atau kendor di sana sini".

    (Bukan berarti aku bertujuan melakukan body shaming, ya.) Meski si Bloody Handsome sering menyebut
    beliau dengan sapaan "Mak" atau "Mamak", faktanya, Bude Vini 'kan, pernah jadi pramugari.

    Yah, biar 'gimana juga, yang namanya "mantan pramugari" udah terkondisikan sebagai perempuan yang
    well-kept atau well-groomed. Walau beliau udah 48 tahun, masih bening, syantik, dan syeksyi.


    Mungkin akan selalu ada yang julid dan mencela beliau, "Ah, percuma aja. Sekarang statusnya
    nggak punya suami, 'kan? Mendingan juga saya. Biar badan kayak kebo, masih punya suami." Wueeiiits,

    jangan takabur deh, 'bo! (situ sendiri 'kan yang tadi bilang mirip kebo?) Setiap saat, status Anda bisa aja
    berubah dalam sekejap mata. Jangan mencela para perempuan yang berstatus single moms.



    Tapi, bi
    ar 'gimana juga, sebagai perempuan biasa ("yang nggak biasa-biasa aja"), kadang aku
    punya kecurigaan dan insting menyekelidik... heiiiyyyaaah, maksudku, menyelidiki. (Nyekeli yang itu, nanti,

    kalau aku udah dihalalin. "Kapan?" Ah, tak tau lah aku. Yang pasti, kau tak boleh ikut-ikutan nyekeli.) Dulu,
    pernah tebersit curiga dalam hati terhadap Bude Vini, "Mamak Psikologis" si Bloody Handsome.

    Suatu hari, aku (didampingi Ajeng) pernah mengungkapkan kecurigaanku itu kepada Bu Re
    tno.

    Lah, nggak tau 'gimana, ketika aku sedang sangat antusias berkata-kata, tau-tau Bude Vini udah berada

    di belakangku. Situasinya persis adegan jadul Srimulat. Lagi ngomongin seseorang, eh... yang diomongin
    diam-diam muncul di belakangnya. Saat itu, tiba-tiba ada yang memeluk tubuhku dari belakang.

    Ternyata Bude Vini yang memeluk tubuhku. Perasaanku berubah seketika menjadi jengah dan
    sekaligus juga takut. Tapi, beli
    au malah tertawa-tawa. "Kalau kamu punya kecurigaan, ya ngomong dong
    secara langsung sama Bude. Jangan ngomongin Bude di belakang layar." Eh, Ajeng malah langsung ingin

    meninggalkanku. "Maaf Bude, saya mesti buru-buru ngejar flight sore ini." Ngejar flight apa'an.

    :hot:
    Paling juga, dia mesti bolak-balik nyetir pickup, nganterin material bangunan. Koral split, pasir, semen, dll.




    Bude Vini meminta Ajeng supaya jangan pergi dulu. Beliau kemudian mengatakan, "
    Andaikan
    Stevie itu orangnya seperti...
    [menyebutkan nama seorang slebor, eh, maksudku, seorang selebritas pria

    yang merupakan seorang penyanyi, dan diketahui telah menzinahi banyak perempuan], Bude nggak sudi
    disebut 'Mamak' sama dia. Kalian 'ngerti 'kan, Bude punya satu anak laki, tapi Bude nggak boleh ketemu.
    Bude percaya pada suatu ungkapan dalam Bahasa Jawa: 'Ibu-Bapak polah, anak kepradah'."


    "Artinya, kalau Bude sampai berani berbuat macem-macem yang dilarang agama, perbuatan

    itu nantinya [di masa depan], akan bisa berakibat membahayakan atau menyusahkan anak Bude. Anak
    nggak akan menanggung dosa-dosa orangtuanya, tapi anak bisa 'terkena konsekuensi buruk' dari semua
    perbuatan orangtuanya. Jahat banget lah namanya, kalau Bude sampai melakukan perbuatan dosa yang
    nantinya, akan bisa menyusahkan nasib anak Bude. Stevie pun pasti sangat paham hal itu..."

    :nangis:
    :hoho:
    Kami semua terdiam. Ajeng kemudian buka suara. Saking gugupnya, dia sampai sempat salah
    ngomong, "Saya minta maaf, Mbak." Bude Vini malah dipanggil "Mbak". Bu Retno dan Bude Vini tertawa.


    Eh, omongan Ajeng selanjutnya bikin aku geregetan banget. "Sebetulnya... saya enggak mau ikut-ikutan.
    Tapi, tapi... saya diajak sama dia ini [sambil melirik aku]." Dasar kampret
    ngidam dodol! Posisi
    aku jadi terpojok. Yah, aku langsung meminta maaf pada Bude Vini atas "kecurigaanku yang berlebihan".



    Nah, yang sama sekali nggak aku sangka-sangka, selain memaafkan aku dan Ajeng, Bude Vini
    mengatakan bahwa
    "kecurigaan dan kewaspadaan" justru wajib selalu ada, "asalkan jangan memfitnah".


    Be
    liau menambahkan, "Ya, kalian memang mesti punya kecurigaan. Stevie itu laki-laki dewasa, straight.

    Bude Vini perempuan dewasa, straight. Pastilah punya nafsu biologis. Kami pun nggak terikat pernikahan.
    Si Stevie bukan suami orang, saya bukan bini orang. Ada peluang 'titik-titik', 'kan?" Aku terdiam.

    Menurut Bude Vini, dengan adanya kecurigaan dan kewaspadaan dari orang-orang lain, Insya Allah, akan
    menciptakan kondisi yang menghalangi dan menghindarkan peluang terjadinya perbuatan dosa.

    :hihi::facepalm:

    Ajeng secara polos berkomentar, "Aduh, aduh... masak si anak punya keinginan begitu sama

    Mamak-nya? Katanya, Bude Vini udah jadi Mamak-nya Stevie. Kalau sampai titik-titik, nanti incest, dong.
    Eh, iya, lupa. Biarpun 'Mamak', tapi bukan Mamak kandung. Ya, memang boleh nikah, sih..."

    Bu Retno dan Bude Vini pun kembali tertawa. Aku jadi jengkel banget sama Ajeng. Rasanya, aku kepingin
    menggendong Ajeng ke arena female mud wrestling yang lumpurnya berasal dari bekas kubangan badak.
    Tapi aku nggak sudi bergula
    t sama dia. Aku ceburkan aja di situ, biar dia guling-gulingan sendiri.

    Sikap dan ekspresi jutek yang aku perlihatkan pada Ajeng, rupa-rupanya, tidak berkenan di hati Bude Vini.
    Beliau sih, nggak memarahiku, hanya menga
    takan secara lembut, "Ih, Ajeng jangan kamu jutek'in dong.
    Kasihan 'kan dia. Udah cantik
    , seksi kayak Ariana Dugarte. Kamu mesti bersyukur punya teman selevel."

    Sebenarnya, aku mau nunjukin pada Bude Vini, foto-foto Ajeng beberapa tahun lalu, saat dia
    masih mirip Homer Simpson dan Baby Huey. Semua bukti digital i
    tu ada tersimpan dalam smartphone-ku.
    Tapi kalau aku lakukan
    itu... malah menjadikan aku terlihat sebagai wanita yang tidak dewasa.

    :aghh:
    Lagian kamu juga sih, Nyong! Ngapai
    n sih, kamu mesti memanggil Bude Vini "Mamak" segala.



    By the way, kata "Nyong" itu bukan abreviasi dari kata "monyong", ya! Di Tanah Leluhur Papa

    di Sulawesi Utara sana, para pemuda lazim disapa dengan kata "Nyong". Jadi, kata itu bukanlah makian.



    Bera
    lih ke hal lain, masih terkait postingan Mbak Suci yang lalu. Perihal followers IG. Dulu, saat
    Mbak Suci pensiun dari IG, followers organiknya jauh lebih banyak daripada followers organikku.
    Si Mbak punya 5.100-an real followers, aku baru punya 4.000-an (setelah setahun lebih kami aktif di IG).


    Sampai saat ini, real followers-ku telah melampaui "angka psikologis" 50.000. Nggak seberapa,

    kalau dibandingkan dengan para selebgram. Tapi paling tidak, udah lolos berbagai audit IG followers yang
    menggunakan beragam Instagram Audit Tools. Andai saja Mbak Suci dulu nggak pensiun dini,
    kemungkinan besar, real followers dia pasti udah segitu. "Hari 'gini masih bangga dengan jumlah followers?
    Memangnya jumlah followers IG bisa buat beli beras?" Ya, kau jangan pakai perspektif itu lah.


    :oii::pusing:
    Tak usah kau bilang itu, aku pun tau. Kau pakailah perspektif lain untuk bisa paham maksudku.

    Suka atau tidak suka, jumlah real followers IG bisa digunakan untuk mengukur daya tarik fisik perempuan.

    Kalau kita mau jujur, para perempuan bikin akun IG untuk memperlihatkan pesona diri mereka.
    (Terlepas dari "perdebatan benar atau salah" dengan perspektif agama, ya.) Terus terang aja, para pria

    akan berminat menjadi followers akun IG seorang perempuan, bilamana mereka tertarik dengan pesona
    fisik si perempuan tersebut. Udah dari sananya dan udah dari dulu, pria adalah makhluk visual.

    Kalau kau itu perempuan yang bukan salep seleb terkenal ataupun influencer, tetapi kau punya
    real followers pria yang banyak, berarti penampilan dan pesona fisik kau dianggap "menarik" oleh mereka.
    Terlebih lagi, kalau kau itu paham benar teknik pengambilan foto, dan elok pula dalam berpose.



    Aku teringat satu scene film Liar Liar yang menyindir perihal "apa yang ada di benak para pria".

    Laki-laki bisa aja 'kan berbusa-busa ngomong di hadapan perempuan, "Inner beauty itu jauh lebih penting
    daripada outer beauty. 'Beauty is in the eye of the beholder'. Cewek yang
    pinter lebih menarik
    daripada cewek yang cantik. Nggak apa-apa kamu jadi gemuk atau gendut, aku malah jadi makin suka."

    :jotos
    Tapi kemungkinan besar, isi otak mereka
    tidak akan jauh berbeda dengan adegan di bawah ini.




    Ada satu cerita Mbak Suci terkait akun medsos. Sebetulnya, si Bloody Handsome dan sepupu-sepupunya

    yang pria (termasuk si Mas-nya Mbak Suci) bukan tipe pria yang suka bermedia sosial. Mereka tumbuh di
    lingkungan
    yang sangat maskulin. Laki banget. Meski punya daya tarik fisik yang sangat kuat,
    mereka tidak akan sudi meng-upload foto diri di IG. Mereka juga sangat menghindari girly things, hal-hal
    yang "khas cewek banget" atau feminin (seperti diary, baik konvensional maupun online diary).

    Kita bisa memperdebatkan pendapat mereka
    itu secara panjang lebar. Namun, secara pribadi,
    dalam ha
    ti kecilku, aku bisa menyetujui pilihan sikap mereka. Jujur aja, andaikata si Bloody Handsome itu
    sampai kecentilan punya diary atau akun IG yang memamerkan foto-foto dirin
    ya, hal tersebut
    pasti bikin aku kecewa da
    n akan langsung berhenti total "memujanya". Andai dia sampai jadi kayak 'gitu,
    image dia sebagai "pria maskulin dan laki banget" pun akan langsung luntur, seluntur-lunturnya.


    Tapi kalau punya akun medsos yang digunakan "cuma untuk memantau situasi", ya, bolehlah.




    Mbak Suci mengisahkan, si Mas-nya itu (sewaktu ia masih berstatus "calon suami Mbak Suci")

    dulu pernah meminjam akun medsos si Bloody Handsome, tetapi secara sengaja nggak memberitahukan
    si Mbak. Selanjutnya, si Mas-nya pun "berkomentar yang agak-agak mesra 'gitu". Yah, karena Mbak Suci
    mengira yang berkomentar mesra itu adalah si Bloody Handsome, si Mbak jadi marah banget.


    :kuning::gaswat:
    Dilabraklah si Bloody Handsome, "Jangan kurang ajar, ya! Tega banget, mau 'nikung saudaramu sendiri!"

    Untungnya, si Mas-nya langsung menyelesaikan kesalahpahaman tersebut. Si Mbak pastinya malu, dong.

    Yang kemudian jadi lucu banget, si Mas-nya Mbak Suci itu akhirnya udah nggak lagi meminjam
    akun si Bloody Handsome
    (dan juga sengaja nggak memberitahukannya pada Mbak Suci). Lah, si Mbak

    tetap menyangka akun tersebut masih dipinjam si Mas-nya. Suatu ketika, Mbak Suci secara polos banget
    menulis komentar yang ditambahi kata candaan "suamiku", ditujukan pada calon suaminya itu.


    Padahal, akun itu sudah dipegang kembali oleh si Bloody Handsome. Nah, si Bloody Handsome
    kemudian merespons dengan sepengetahuan dan sepersetujuan si Mas-nya Mbak Suci, "Istighfar, Mbak.
    Aku tak akan pernah menikung komandanku." Ya, jadi malu banget-banget-bangetlah si Mbak.

    Aku justru tersen
    yum, sangat terharu mendengar cerita itu, karena hal tersebut menunjukkan
    "sikap konservatif sejati" Mbak Suci. Tau sendiri 'kan, zaman makin edan. Banyak cewek yang enteng aja
    menyebut "laki orang" dengan sebutan "suamiku", "sayangku", "cintaku". Ada lagi perempuan

    yang mau-maunya meladeni sapaan mesra dari para pria yang sudah punya bini sah (dan bahkan anak).



    Setiap Juni, si Bloody Handsome itu berulang tahun. Tapi, udah beberapa tahun terakhir ini, dia
    nggak pernah lagi merayakan ultah-nya. Dia juga tak mau lagi mengucapkan selamat ultah kepadaku dan
    siapa pun. Bukan berarti dia terpengaruh paham radikal, fanatik, atau apalah itu, karena tidak merayakan

    ultah. Ya, cuma karena dia udah nggak berminat aja. Dia nggak pernah mencela mereka yang
    hingga kini tetap merayakan ultah (termasuk aku dan teman-teman kami lainnya). Aku sempat mengira,

    momen ultah-nya pada minggu lalu hanya terlewati begitu aja. Lah... ternyata tidak seperti itu.

    Berhubung pada pekan lalu dan tanggal itu, aku pikir tidak ada acara apa pun di guest house terkait "ultah
    si Bloody Handsome", ya udah, aku mau tidur di rumah aja. Ketika jam 12 malam lewat berapa 'gitu, pas
    aku baru merem sebentar, tau-tau si Ajeng menghubungiku. "Eh, buruan Cyin... kamu datang
    ke sini [ke guest house]. Ada yang mesti kamu lihat..." Sepertinya, "sesuatu yang sangat penting sedang
    terjadi". Karena penasaran, aku buru-buru melepas daster. Jadi telanjang lah. Heeiissshhh... jangan kalian

    coba-coba berfantasi. Lagi pula, bukan di hadapan siapa pun dari kalian aku akan buka-bukaan.

    :malu1:
    Daripada ngelantur, kuperjelas ya, kalimatku. Jadi, pada tengah malam itu, aku langsung cepat
    berganti busana. Tak elok lah bila kudatang ke guest house han
    ya mengenakan daster tipis tanpa lengan.
    Si Bloody Handsome pasti akan menang banyak, langsung nyut-nyutan melihatku. Tapi yang lainnya akan
    menganggap aku sebagai "perempuan yang berkualitas rendah dan tak mengerti tata krama".

    Mesti pakai busana yang pantas. Mesti sisiran rambut biar aku tak macam orang baru bangun tidur. Pakai
    riasan wajah yang tipis-tipis aja. Barulah berjalan kaki ke guest house. Setibanya aku di sana...
    duh, hampir naik pitam pula rasanya aku ini. Terlihat ada Anggi "Reberbs" dan "Tante Ketemu Gede-nya".

    Dua makhluk yang selama ini, sebetulnya hampir nggak pernah datang ke guest house. Sekalinya muncul,
    bikin aku jengkel. Soal si tante tersebut, agak syusyah juga bikin nama samarannya. Yah 'kan,

    tak boleh aku tuliskan nama asli dia di sini. Aku ikuti kode etik Mbak Suci, "Kalau bisa ya, jangan tulis nama
    asli siapa pun di medsos, andai mesti bercerita tentang hal-hal pribadi yang agak-agak sensitif."

    Yang pasti, si tante itu bukan si tante yang kemarin diceritakan Mbak Suci di postingannya, ya!


    Bukan pula "sang Ratu Ayu dari Kayangan" yang juga sering kali si Mbak kisahkan di utas diary-nya. Nah,
    lebih baik kusebut dia sebagai "Aunty Nis-Syi" aja. Daripada kusebut dia dengan nama samaran
    "Tante Nessie". Nanti malah salah paham, mengira aku samakan dia dengan Nessie, monster Loch Ness.

    Nah, si monster Loch Ness itu... heeiiiyyaahh... maksudku, Aunty Nis-Syi berdua dengan Anggi
    sampai bela-belain beranjangsana ke guest house (lewat tengah malam pula!) demi bisa merayakan ultah
    si Bloody Handsome. Ceritanya, mereka berdua mau ngasih kenyutan-kenyutan 'gitu deh... heeeiisssh....
    yang kumaksud, mereka mau memberi suatu kejutan, yang akan bikin hati berdenyut-denyut.

    :hot:
    Mereka juga membawa sejumlah hidangan yang sungguh bersahaja untuk si Bloody Handsome. Ada ikan
    bawal air tawar goreng, ayam kampung ungkep goreng, perkedel kentang, tumis kangkung, serta sambal
    cabe hijau. Udah, itu aja. Aunty Nis-Syi jujur mengakui, kemampuan memasaknya, ya hanya

    segitu. Yang bikin aku jadi panas, si Bloody Handsome terkesima dengan persembahan sesederhana itu.



    Ada hal mengejutkan lain yang membuat aku tidak habis pikir. Aku saksikan dengan mata kepalaku sendiri,
    si Aunt
    y Nis-Syi menghubungi dan berkomunikasi langsung dengan "sang Ratu Ayu dari Kayangan". Pada
    lewat tengah malam itu, "rival terkasihku tersebut" memang tak kulihat berada di guest house.

    Aku bisa mendengar dengan jelas hal-hal yang kedua tante genit itu perbincangkan. Entah ada
    "nota kesepahaman dan kesepakatan" atau "aliansi strategis" apa antara mereka berdua, tapi yang pasti,
    "sang Ratu Ayu dari Kayangan" seolah memperbolehkan si Aunty Nis-Syi dan Anggi "Reberbs" merayakan
    ultah si Bloody Handsome. Toh, hanya makan malam bersama, bukann
    ya mau bikin wild party gila-gilaan.

    Dari yang dapat kudengar, "sang Ratu Ayu dari Kayangan" pun udah bikin rencana merayakan
    atau memperingati ultah si Bloody Handsome, nggak peduli meski jelas-jelas udah dia larang. Kedua tante
    genit
    itu pun tertawa-tawa centil dan sensual. Anggi "Reberbs" juga. Ajeng pun jadi ikut-ikutan.



    Kau sudah pernah nonton film Nagabonar (versi jadul yang asli, bukan versi reborn)? Ah, kalau
    film itu kau tonton lagi, kau akan l
    ihat, ada adegan-adegan pertempuran antara pasukan si Jenderal (tapi,
    "jenderal jadi-jadian") Nagabonar melawan pasukan Belanda (lebih tepatnya, "pasukan NICA"). Dulu, aku
    menonton film itu (
    yang telah direstorasi) dengan si Bloody Handsome. Berduaan saja lah, ya.

    Di f
    ilm Nagabonar versi jadul itu, terdapat satu ucapan "Jenderal" Nagabonar yang kukenang.

    Ada adegan pasukan NICA menembaki si Nagabonar dengan Stokes mortar 81mm. Tembakan pertama,
    tak kena. Tembakan kedua, barulah kena—atau "sepertinya tepat sasaran", karena Nagabonar langsung
    lenyap dari pandangan. Ketika anak buahnya mencari-cari, cuma terlihat topi besar Nagabonar.

    Meski tak terlihat sosoknya, terdengar suara sang jenderal berseru, memanggil anak buahnya.
    Seorang anak buahnya perlahan mengangkat topi itu. Tampaklah kepala Nagabonar. Masih hidup, bahkan
    segar bugar. Berteriak panjanglah jenderal kita itu dengan gusar, "MONYEEEEET KALIAAAN
    !!!"

    :aghh:
    Nah, ekspresi jengkel macam itulah yang terlintas dalam kepalaku, ketika Aunty Nis-Syi tertawa-tawa genit
    dengan "sang Ratu A
    yu dari Kayangan" (walau secara online), si Anggi "Reberbs", dan Ajeng.



    Selepas acara makan bersama pada lewat tengah malam
    itu, lah, bukannya langsung pulang,
    Aunty Nis-S
    yi malah berkata, "Setahu aku, di sini [di guest house] udah ada [ruang] karaokenya. 'Nyanyi
    sama aku, yuk. Aku kasih yang spesial banget deh, buat kamu [maksudnya, lagu spesial]..."

    Eh, si Bloody Handsome merespons, "Kenapa mesti di karaoke?" Aku paham maksudnya. "Jika memang
    mau menyanyikan lagu spesial, kenapa mesti kau nyanyikan di ruang karaoke?" Si Aunty Nis-Syi langsung
    menimpuk si Blood
    y Handsome dengan bantal kecil. Dari cara si tante tertawa, keliatan banget
    dia merasa gemes sekaligus mungk
    in agak malu. Perkataan si Bloody Handsome tadi, punya dua makna.

    "Kenapa mesti di karaoke?" merujuk pada tempat. "Kenapa mesti di
    -karaoke?" merujuk pada perbuatan.



    Saat ber-karaoke, ada sebuah lagu jadul dan menyayat hati yang dinyanyikan si Aunty Nis-Syi.
    Lagu tahun 1996, "Mungkinkah Terjadi", ket
    ika dia masih mahasiswi. Awalnya, aku sempat merasa aneh.


    Lirik lagu itu 'kan tentang perselingkuhan (meskipun diperhalus dalam bentuk "kasih tak sampai"). Padahal,
    dia sendiri bilang, "pernikahannya kandas karena dia diselingkuhi". Aku ikut bersimpati. Ternyata,
    lirik lagu tersebut udah dia modifikasi, jadi terdengar ngenes bangetsss.
    "Kau banyak yang menyayangi...
    aku banyak yang menyenangi... tapi hanya kau yang kukasihi di hati...
    " Banyak perempuan yang sayang
    sama si Bloody Handsome. Aunty Nis-Syi pun banyak yang menyenangi. Dia punya puluhan ribu followers

    (khususnya pria) yang "memujanya" di IG dan TikTok. Dari waktu ke waktu, para followers itu cuma bisa
    memuji cantak cantik cantak cantik aja. Pas si Anggi memperkenalkan si Bloody Handsome pada si Aunty,
    dan kemudian intens ber
    interaksi, baper-lah si Aunty. Yang aneh, Aunty Nis-Syi itu seorang light smoker,
    sadar diri bahwa ia cant
    ik, alisnya disulam, genit, tapi pedes banget kalau udah ngerujak orang.

    Si Bloody Handsome tak mampu membantah kenyataan bahwa Aunty Nis-Syi memang cantik,
    tetapi dia tidak menyukai hal-hal negatif pada diri si Aunt
    y. Sebaliknya, Aunty Nis-Syi (dulu) sering mencibir
    para pria yang terlihat religius. Tapi, si Aunty bukan atheist atau agnostic. Semula, dia sinis banget melihat
    si Bloody Handsome yang berusaha berada di Jalan-Nya. Eh, lama-kelamaan, malah jadi suka.

    Karena dia adalah tipe pria
    yang bisa membuktikan: Ucapan dan perbuatannya tidak saling bertentangan.

    Aunty Nis-Syi melihat perbedaan yang kasatmata. Pria lain memuji, dengan motif terselubung:

    Pada akhirnya hanya ingin meniduri si Aunty. Si Bloody Handsome memperbaiki hal-hal dalam diri si Aunty,
    tanpa pernah memperlakukan si Aunt
    y sebagai "objek seksual" semata. Sama persis dengan
    yang dia lakukan padaku sedari dulu. Hal itulah yang bikin Aunty Nis-Syi "baper sebaper-bapern
    ya". Puiihh!




    Berlanjut ke lagu lawas berikutnya, "I Won't Forget You". Liriknya, aduhai, sungguh amat menda
    yu-dayu.
    Kata Anggi, Aunty Nis-Syi sengaja menyan
    yikan lagu itu untuk menyindir si Bloody Handsome.

    Lagu lainnya yang Aunty Nis-Syi nyanyikan adalah "Hey Stephen" (atau "Hey Steven", biar sesuai dengan
    nama depan si Bloody Handsome). Meski aku benci sama tante itu, suaranya ya lumayan lah.


    Yang bikin kami semua (termasuk aku) sangat shocked, setelah lagu itu tuntas dinyanyikan Aunty Nis-Syi,
    s
    i Bloody Handsome dengan ekspresi dingin bilang, "Aku beri tau kau, ya. Steven sudah punya istri sah."

    Aunty Nis-Syi, Anggi, aku, Ajeng, beserta Dina (jangan keliru dengan si Dinda, yah), Bude Vini,
    dan Bu Retno (yang pada dini hari itu belum tidur, dan ikut berada di ruang karaoke guest house) terdiam.

    Aku menangis dalam hati. Aunty Nis-Syi pun berubah jadi singa, sangat marah pada si Bloody Handsome,
    "Kau itu kukira baik, ternyata psycho
    ! Bikin aku jadi terlihat pathetic dan sangat bodoh! Kau nikah dengan
    siapa pun, tak ada urusan aku! Tapi jangan kau bikin aku terhina macam ini, di depan banyak orang, dan
    di rumah kau pula!" [maksudnya, di guest house] Aslinya, rujakan Aunty Nis-Syi pedes banget,
    dengan satu logat di Sumatra. Bu Retno bertanya, "Maksudnya 'gimana sih, Masé?" Si Bloody Handsome
    menjawab bahwa Steven memang sudah menikah, punya bini sah keturunan Jepang bernama Aya (atau
    Izumi-chan). Memang benar, 'kan? Jabang Bay
    iiiiik... itu kakak kembar kamu, Nyong! Si Aunty
    yang udah sempat menjelma sebagai singa jadi-jadian, berubah kembali ke sosok aslinya. Terdiam malu.

    (Momen tersebut ada rekamann
    ya. Saat aku dan yang lain menyaksikannya kembali, kami pun tertawa.)



    Berhubung udah mendekati pukul setengah t
    iga dini hari, Bu Retno menawarkan Aunty Nis-Syi
    dan Anggi "Reberbs" agar meng
    inap saja deh di guest house. Mereka berdua nggak mau. Tetapi mereka
    tiba-tiba aja sama-sama mengaku "mendadak nggak sanggup 'nyetir", saking shocked-nya dengan prank
    yang dibikin si Bloody Handsome itu. Yah, terpaksa, si Bloody Handsome mesti men
    yopiri SUV
    kepunyaan Aunt
    y Nis-Syi. Di-back up oleh SUV lain, yang dikendarai si Dina (untuk kendaraan pulangnya).

    Dua SUV itu beriringan dari wilayah Selatan ke wilayah Timur Jakarta. Aku dan Ajeng tidak bisa

    ikut karena mesti buru-buru tidur, biar tidak klenger saat berkegiatan di tempat kerja kami masing-masing.



    Beberapa hari kemudian, si Blood
    y Handsome dikabari Anggi dan juga putra Aunty Nis-Syi. Si Aunty mesti
    menjalani opname di salah satu RS. Si Blood
    y Handsome malah seperti bersikap masa bodoh.
    Dia baru mau datang menjenguk, "hanya beberapa jam menjelang masa bed rest Aun
    ty Nis-Syi selesai".

    :lempar:
    Berhari-hari seolah tidak peduli, eh, dia baru muncul pas si Aunt
    y bersiap keluar dari RS. Ya, "Tante Singa"
    marah, dong. Tambah ngamuk saat si Bloody Handsome bilang, "Kita tidak usah bertemu lagi.

    Soalnya, aku baru kenal seseorang yang jauh lebih baik daripada kau. Penjelasannya semua ada di sini..."

    Dia memberikan sebuah DVD-R pada Anggi, karena si Blood
    y Handsome tau, Aunty Nis-Syi tak akan sudi
    menerimanya. Habis itu, dia pergi 'gitu aja. Saat Aunty Nis-Syi tiba di rumahnya, DVD-R itu pun
    dibuka dan diamati bersama Anggi
    (rumah Anggi memang berada di depan rumahnya). Di dalam DVD-R
    itu ada satu folder: "She's much better than you are". Kata si Anggi,
    isi folder tersebut ternyata foto-foto
    Aunt
    y Nis-Syi sendiri, sewaktu dia sedang mengenakan mukena dan hijab, yang diambil dari akun IG-nya.

    Menurut Anggi, boleh jadi, itu semacam "nasihat yang haluuus". Bukan sok menggurui supaya
    si Aunt
    y "hijrah" atau apa pun sebutannya. Bukan itu tujuannya. Cuma saling mengingatkan, hidup mesti
    ada keseimbangan. Untuk dunia dan untuk akhirat. Masih ada satu folder lainn
    ya: "Untuk Sebuah Nama".


    Isin
    ya? Sebuah cover version dari satu lagu tahun 1990-an, "Don't Take the Girl", dinyanyikan
    sendiri oleh si Blood
    y Handsome. Demikian pula musiknya, dia mainkan sendiri. Tapi... liriknya dimodifikasi,
    disesuaikan dengan kisah Aunty Nis-Syi. Lagu "Don't Take the Girl" itu s
    yediiiiih bangetsss. Banyak laki-laki
    baik tua maupun muda yang bisa 'nangis mendengarnya. Bukan lagu berlirik gombal "gunung 'kan kudaki,
    lautan kuseberangi", atau "belahlah dadaku", atau "hanya kau-lah satu-satunya yang kucinta".

    Kalau bisa memahami Bahasa Inggris, yah, kalian pasti bisalah menangkap kesedihan yang kumaksud itu.

    Nah, lagu cover "Don't Take the Girl" untuk Aunt
    y Nis-Syi, liriknya dimodifikasi jadi dua kali lipat lebih sedih.
    Kira-kira bisa disimpulkan, "Tante Singa... kau mesti sembuh. Masih banyak hal yang mesti kau
    lakukan. Hidupmu masi
    h sangat dibutuhkan banyak orang, terutama, putra-putramu..." Rayuan kampret
    macam itu bikin si Aunty 'nangis terus, nggak berhenti-berhenti. Lucunya, dia sok tegar di IG dan TikTok.



    Sebagai penutup: "Selama
    t Idul Adha 1444 Hijriah. Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT. Aamiin."



     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jul 8, 2023
  10. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    :makasih-g:
    Aku berikan satu pemberitahuan dulu: Begini, kalau kau berpikir tampilan postingan di thread ini
    terlihat kurang rapi, ya cobalah kau membacanya dengan memakai Mozilla Firefox dan juga pergunakan PC
    atau laptop. Insya Allah, terlihat rapi. Tapi jika kau tak peduli kerapian, tak usah turuti saranku.



    "
    Brambang Asem" is a well-known traditional vegetable dish to Javanese people. The main ingredients are
    fresh sweet potato
    leaves, cayenne peppers and bird's eye chili, tamarind, shallots, and palm
    sugar. Don't forget to add shr
    imp paste and salt to taste. People usually eat this proletariat dish with warm
    rice and pieces of fried tempe bacem as accompaniments. The "bacem" is the cooking techn
    ique of boiling
    with pa
    lm sugar and other spices, and the "tempe I'm referring to above" is not the common
    soybean tempe we often see da
    ily but the distinctive tempe made from the pulp of bean curd production.



    Some years ago, Mr. Bloody Handsome and I visited my mother's old country, the Ph
    ilippines.
    Mom's extended fam
    ily lives in the City of Makati. Please don't take my statement mistakenly. The visit of
    Mr. Bloody Handsome and me there was not
    in the context of our honeymoon. People know that until now
    we haven't yet been married, and I cannot even be sure who w
    ill be the lucky woman he will choose as his
    wife. At the
    time, we consisted of two groups. He was with his relatives, and I was with mine.

    Following our trip to the Philippines, we all went to Malaysia. Mr. Bloody Handsome has some kin living there,
    just
    like Mbak Suci and her spouse. Besides shopping and sightseeing, we also had time to taste Malaysian
    specialties. One of them was the famous "Nasi Lemak." There was a rib-tick
    ling story about it.
    Several female kin of
    Mr. Bloody Handsome told me they were "thoroughly impressed with me" since they
    considered me a "young, gorgeous, and blithesome girl who never seems to be sad or angry."

    A
    lthough their sincere statement made me feel flattered, I saw Mr. Bloody Handsome wearing
    an expression like he was enduring annoyance. It was as if he'd wanted to tell them, "Sisters, you shouldn't

    b
    e easily fooled by her appearance. None of you have ever been around her when she was livid. If you all
    knew how terribl
    e it'd be when this sweet kitten abruptly turns into a wild and ferocious lioness,
    you'
    d probably regret praising her like that!" Frankly, I was worried and sweating bullets that he'd tell bad
    t
    hings about me to them. Alhamdulillah, Thank God, he is not the kind of mean man who'd
    have the heart to humiliate people, particularly women, in public. Instead of revealing my "dark side and
    c
    ontroversial behaviors" to several female kin of his, Mr. Bloody Handsome just kept silent.



    :mandi:
    H
    is female kin also told me that I'm fortunate and should always be grateful to Allah SWT for
    hav
    ing physical attractiveness, such as a tall and marvelous body shape, thick and long black hair, fair skin,
    and a pair of large and well-proportioned breasts. Because if I did not, there'd be men who'd make indecent
    jokes us
    ing the term "Nasi Lemak" and laugh at me, especially if they found out I am not a
    native Malaysian and do not comprehend the slang commonly used there. I in
    itially didn't understand what
    they meant by that until one of them explained that "some Malaysian people widely use the
    phrase 'Nasi Lemak' and
    its variant 'Nasi Lemak 50 sen' as slang for women's small breasts."

    In general, food vendors
    in Malaysia sell Nasi Lemak in a form that—at first glance—is indeed similar to the
    shape of a woman's breast, which
    is small in size. Few years before, I had an experience that
    also related to an expression referr
    ing to women's breasts. At the time, I made a road trip with Mbak Suci,
    Mbak V
    ies, and our other female friends using several cars to some regions in Central Java.

    Whe
    n we stopped at a town, a man smiled and greeted us kindly, "Sugeng sonten, Mbak..." Without any
    susp
    icion, Mbak Suci and Mbak Vies (who both understand Javanese well—though Mbak Vies,
    just
    like me, is a woman of Minahasan descent) responded kindly too. I also followed what the two did. But
    shortly after, the man returned to greet us: "Sugeng, Mbak-Mbak. Sugeng. Sugeng. Sugeng."
    Sudden
    ly, Mbak Suci and Mbak Vies seemed to realize something was wrong with his "polite expression."

    They both rebuked the man in Javanese and threatened to report him immediately to security

    if he didn't leave us alone. He looked quite scared, "not expecting to be met with resistance," and hastily
    left us. When I asked why they'd drastically changed their attitude like that, Mbak Suci replied that the word
    "sugeng" that the man had repeated
    ly said "implicitly referred to women's breasts." Besides having a literal
    meaning of "good," the Ja
    vanese word "sugeng" is a widely-known Javanese slang for the phrase "susune
    ageng," or "big boobs." At the time, we a
    ll wore tight t-shirts (Mbak Suci had not yet worn the
    hijab as she does nowadays), wh
    ich indirectly showed off the shape and size of our respective large boobs.



    If you think that only men often use indecent expressions that refer to body parts of their opposite gender,

    you are dead wrong. One day, Mr. Bloody Handsome and I (accompanied by Ajeng) shopped
    for loads of books at wholesale prices at a place. After returning from there, Ajeng asked us to accompany

    her to buy fried horn plantains. While we were waiting in line to order those, several young and
    gorgeous women meaningfully smiled when they saw Mr. Bloody Handsome. They glanced at

    the fresh horn plantains in the corner, whispered to each other, and then burst out laughing. I was starting
    to feel somewhat suspicious of their behavior. Suddenly, an employee there accidentally dropped a spatula
    on the floor. One of the women turned out to be a "latah," or a "person who'd subconsciously
    utter an obscene word or phrase if something had startled her" (there is no English equivalent for the word
    "latah"). She screamed and repeatedly said, "Ehh, pisang tanduk si bule, pisang tanduk si bule,
    pisang tanduk si bule [or the whitey's horn plantain, which refers to, excuse me, the phallus]."




    Another d
    ish that Mr. Bloody Handsome and I also tasted when we and our relatives were visiting Malaysia
    was "patin tempoyak." "Tempoyak"
    is a traditional condiment made from ripe (or overripe)
    durian flesh mixed with salt and then fermented for several days. In Indonesia, "tempoyak" is quite popular
    among ethnic Malays and Sumatran people. People most commonly cook "tempoyak" with fish
    (both freshwater and seawater fish), shrimp, or prawns. At the time, Mr. Bloody Handsome had only tasted
    ver
    y little of the "patin tempoyak." I've known the man for years and have been quite aware
    that he is not the kind of man who would criticize food (espec
    ially the halal and hygienic ones).

    :yahoo:
    He believes that food is a gift from Allah SWT, God Almighty. This principle sometimes reminds
    me a
    lot of what Mesut Özil, a famous German footballer, did when Atlético Madrid fans threw a piece of
    bread at h
    im during one Europa League match. Instead of getting angry, cursing harshly, or trying to beat
    them up, he took the bread, repeatedly kissed it, and touched it on his forehead before placing it on the
    ground. He did that as a clear mark that he believed it was inappropriate to waste food. Many
    people, whether the spectators in the stadium or those watching the footage of that moment,
    sympathized with what he did. Well, regarding the "patin tempoyak" above, Mr. Bloody Handsome frankly
    expressed his reluctance to eat that exotic dish. Unlike most Indonesians, I can never eat durian. However,
    I could enjoy the "patin tempoyak" with gusto. Mr. Bloody Handsome is always fond of durian,
    but at the time, he immediately lost his appetite when he saw what "tempoyak" looked like. What made me
    smile was that even though he didn't like the "patin tempoyak," he didn't insult it in the slightest. He realized
    that speaking negatively about the dish could've deeply hurt the feelings of those who love it.




    Perihal "brambang asem", Bu Retno "Bellucci" pernah menceritakan satu peristiwa yang terkait

    dengan makanan itu. Jadi, duluuu bangetsss (saking "dulu banget"-nya...), si Bloody Handsome bersimpati
    pada seorang perempuan. Suatu ketika, dia ingin mengenyut si nona itu... heeiiishhh... salah...
    maksudku, dia ingin mengejutkan si nona tersebut. Secara mendadak dan tanpa disangka-sangka, dia akan

    tiba-tiba muncul di rumah si nona. Aku kecam keras strategi macam itu. Lah, ngana 'kan belum tau, Nyong,
    seberapa kuat mental itu parampuang yang sampai bikin ngana bersimpati (atau "jatuh hati").


    :pusing:
    :hoho:
    'Gimana coba, kalau saking kagetnya melihat kehadiranmu yang secara tiba-tiba di rumahnya,

    eh, dia malah langsung klenger di tempat? Kau bisa dituduh macam-macam oleh orang-orang di sekitarnya.
    Terus, berdatanganlah itu rombongan wartawan dan para reporter beserta kru stasiun televisi. Selanjutnya,

    kau diberitakan media massa dan elektronik: "Seorang pemuda indo, tinggi-besar, kekar, dan tampan, telah
    menghipnotis seorang gadis belia nan lugu hingga pingsan." Sudah kau pikir semua itu, Nyong?

    Kata Bu Retno, waktu itu, beliau bersama Dina diajak si Bloody Handsome pergi ke kota tempat sang nona
    berdomisili. Supaya nggak akan dicurigai "Divisi Provost", yang punya banyak mata dan telinga.

    Si Bloody Handsome juga membawakan banyak oleh-oleh buat si nona itu. Beragam makanan,
    puluhan CD dan DVD impor/orisinal, sejumlah "tas militer" (tetapi yang cocok dipakai para perempuan), dan
    banyak lagi yang lainnya. Bu Retno bilang, "Ada beberapa box gede." Entah apa yang telah si nona berikan
    sampai-sampai si Bloody Handsome "kemasukan setan" membawakan oleh-oleh sebanyak itu.




    Ketika tiba di TKP, Bu Retno-lah yang turun dan memantau situasi. Biar tak dicurigai warga sekitar kompleks
    perumahan si nona itu. Kalau si Bloody Handsome yang celingak-celinguk, pasti mencurigakan.


    Aksi surveillance yang dilakukan Bu Retno, ternyata "berujung pada fakta yang mengejutkan".

    Beliau memberi kesaksian, ada sesosok pria yang baru saja memasuki rumah sang nona. Bu Retno melihat
    dengan jelas wajah si pria itu. Si Bloody Handsome pun lantas menjelajah dunia maya, mencari-cari sejenak
    dan menunjukkan satu akun IG pada Bu Retno. Beliau langsung mengiyakan, "Ya... dia itu yang aku lihat."

    Seketika, si Bloody Handsome memberi perintah: "Abort mission!" Tidak jadi ke rumah si nona.

    Si Bloody Handsome, Bu Retno, dan Dina segera meninggalkan kota itu. Yang terasa aneh banget buatku,

    kata Bu Retno, pria yang mendatangi rumah si nona tersebut, pada hakikatnya, "bukanlah pria yang punya
    potensi untuk menjadi kekasih atau suami sang nona". Dilihat dari mana pun, sangat mustahil
    .



    Ya kalau 'gitu, kenapa pula si Bloody Handsome langsung memutuskan untuk "abort mission"?


    Bu Retno menjawab pertanyaanku dengan "kalimat-kalimat yang bersayap dan multitafsir". "Perempuan itu
    sudah pernah 'diingatkan' Masé ['panggilan sayang' beliau pada si
    Bloody Handsome] agar selektif di dalam
    memilih teman. Kita boleh kenal dengan siapa pun, tapi wajib selalu ekstra berhati-hati di dala
    m
    menjadikan seseorang sebagai teman atau sahabat karib. Nah, Mbak-nya itu kayaknya lebih memilih untuk
    tetap mempertahankan pertemanannya dengan pria tersebut. Yo wes, kalau begitu. Mbak-nya punya hak
    untuk menentukan jalan hidupnya. Masé memang bukan siapa-siapa bagi si perempuan itu..."

    Bu Ret
    no menambahkan, "Sejak hari itu sampai sekarang ini, dia mungkin menganggap Masé
    melakukan 'ghosting'. Ya, ndak apa-apa, karena ndak ada opsi bijak lainnya. Kalau Masé berhasil menyuruh
    dia supaya jangan lagi bertema
    n dengan orang itu dan si Mbak-nya pun kemudian ndak mau lagi berteman
    dengan yang bersangkutan, ada kemungkinan, orang itu jadi sangat sakit hati dan bisa mencelakakannya."

    "Masé baru tau
    [pada hari itu] bahwa ternyata pertemanan mereka berdua, telah sedemikian
    akrabnya. Orang itu terlihat amat bebas berada di rumah si Mbak-nya, padahal, Mbak
    -nya tinggal sendiria
    n.
    Jikala
    u si Mbak-nya berdomisili di kota yang sama, Insya Allah, Masé sanggup 'melindunginya'.
    Nah, faktanya 'kan, ndak 'gitu?" Setelah sekian lama berlalu, suatu saat, ada berita duka terkait si nona itu.


    Tapi, bukan si nona yang kenapa-kenapa. Bukan dia. Bu Retno "Bellucci" udah sempat mengira, Masé akan
    bertakziah ke keluarga si nona atau sekadar berbelasungkawa via dunia maya. Ternyata tidak.

    Sebegitu kejamkah si Bloody Handsome? Boleh jadi, perempuan itu beranggapan si Bloody Handsome udah
    nggak punya kepedulian sedikit pun padan
    ya. Benar-benar "ghosting 100%". Yang sebetulnya
    terjadi... bikin aku terharu. Bu Retno (dan Mbak Vies) menceritakan, si Bloody Handsome melakukan Shalat
    Ghaib (shalat jenazah untuk orang lain yang berada di tempat jauh) untuk anggota keluarga si
    nona itu meski pada ken
    yataannya belum pernah mengenal secara langsung. Shalat jenazah adalah fardhu
    kifayah, artinya "bila sudah ada orang-orang yang men-shalat-kan, pihak lain tak wajib lagi men-shalat-kan".

    Namun, si
    Bloody Handsome tetap men-shalat-kan dengan Shalat Ghaib. Biar 'gimana juga, ia
    pernah punya rasa simpati yang teramat besar pada sang nona. Kenapa nggak datang saja secara jantan,
    bertakziah ke rumah keluarganya? Tak bisa. Hal itu berpotensi menciptakan kesedihan baru bagi sang nona.
    Mudaratnya amat besar. Menghindari mudarat, wajib diutamakan ketimbang mencari manfaat.

    Terus... apa hubungannya dengan "brambang asem"? Menuru
    t Bu Retno, "brambang asem"
    selalu mengingatkan si Bloody Handsome kepada si perempuan itu. Betapa pun si Bloody Handsome punya
    reputasi sebagai "laki-laki yang terbukti sanggup meng-upgrade kualitas diri dari begitu banyak perempuan",

    ada satu nona yang tak jadi dia upgrade, karena sang nona itu tak mau kehilangan temannya.

    Mungkin bagi si nona, temannya itu adalah realitas, sedangkan si Bloody Handsome "sosok yang tak jelas".



    Aku paham banget, pria memang diciptakan seperti itu. Di dalam kehidupan, selalu ada situasi:

    "Whose side are you on? Are you on my side or his?" Jika si perempuan yang dia sukai terindikasi bersikap:
    "I am on his side!" (meski tak diucapkan), ya sudah. "Good luck then. I wish you all the best!"

    :malu1::oii::voodoo:
    Lain halnya kalau si perempuan bersikap: "I've been and will always be on your side, but someone else has

    forced me to be on his side..." Si pria akan rela berjuang mati-matian membela si perempuan.



    Kita tinggalkan saja cerita di atas. Mari beralih ke cerita selanjutnya. Tetapi, kau mesti aku peringatkan dulu:
    "Fasten your seatbelt, please. This one is gonna be hardcore!" Jadi, 'gini ya, ada aja orang-orang julid yang

    mencemooh si Bloody Handsome: "Ih, senangnya kok, cuma sama tante-tante..." Jujur, deh,
    aku pun pernah berasumsi seperti itu. Di kemudian hari, asumsiku terbukti nggak sepenuhnya benar. Bahwa
    si Bloody Handsome tertarik pada "para perempuan berpenampilan atraktif yang berusia jauuuuh lebih tua",
    ya, memang nggak salah juga, sih. Tetapi ibaratnya "seorang tentara berkualifikasi Ranger yang terampil di

    medan tempur darat, laut, dan udara", si Bloody Handsome itu adalah laki-laki dewasa straight
    yang "punya ketertarikan alamiah pula pada gadis belia yang usianya lebih muda" (seperti aku lah, ya), dan
    "pada para perempuan yang sedikit lebih tua—tapi disparitas usianya tak lebih dari lima tahun".

    Syarat utama yang tak bisa ditawar-tawar: mereka, baik yang udah tante-tante maupun yang

    masih belia, nggak boleh berstatus sebagai bini orang. Si Bloody Handsome tidak akan berhubungan dengan
    bini orang. Dia sendiri pasti akan murka kalau (nanti, saat dia sudah pun
    ya istri sah, entah siapakah itu) ada
    pria lain yang berani coba-coba mendekati atau mengganggu bininya. Bakal dibikin 'nyesel hidup, 'tuh orang.


    Tetapi bukan dengan cara-cara yang bisa dijerat hukum. He has brains and brawns. Dia bukan
    pria yang bengak dan lolo, macam si Santino Corleone yang temperamental itucepat panas, tapi "bodoh".



    Kalian yang punya bini muda... heeeiiisssh... maksudku, kalian yang saat ini, merasa istri kalian
    masing-masing masih muda (berusia antara 25 tahun hingga 35 tahun), sudah pernahkah membayangkan

    bagaimana penampilan istri kalian masing-masing itu kelak, saat mereka memasuki usia 40-an?

    Kau enak 'kali mencela si Bloody Handsome itu sebagai penyuka tante-tante, seakan ia adalah
    pria berselera rendah. Padahal, sejauh yang kuketahui, semua tante usia 40-an di sekitar kehidupannya itu,

    terlihat well-groomed, peduli penampilan, cantik, seksi, tak ada yang mengalami kelebihan bobot tubuh, dan
    paham betul bagaimana menyiasati pertambahan usia. Ya, semoga aja, istri-istri kalian itu pun,
    nantinya, saat memasuki usia 40-an, bisa seperti itu. Untuk kalian ketahui ya, tidak mudah bagi perempuan
    mempertahankan pesona fisik begitu mulai melewati usia 40-an. Kau bisa lihat sendirilah itu nanti. Kalau ada
    para tante usia 40-an yang masih terlihat bening nian, cantik, seksi memikat, berarti mereka sangat paham
    bagaimana cara merawat tubuh serta penamp
    ilan, dan tidak malas mengimplementasikannya.

    :nangis:
    Terus terang aja deh, tak bisa lah aku ini kalau disuruh berpura-pura suka pada para tante hot dan bahenol
    di sekitar kehidupan si Bloody Handsome itu. Tapi aku berusaha-ha-ha adil sejak dalam pikiran.



    Beberapa hari lalu, Tante Yolla beserta suaminya, Om Erwin, berkunjung dan menginap pula di
    guest house (karena "ada hal-hal yang akan didiskusikan" dengan si Bloody Handsome). Tante Yolla adalah

    tante dari pihak Ibunda Stevie (sengaja tidak kutulis "si Bloody Handsome", oleh sebab ada kata "Ibunda").

    Nah, kami semua sangat terkesan pada Tante Yolla karena beliau ramaaah bangeeeetttss dan
    suka pula bercerita banyak hal. Ada sebuah kisah masa lalu si Bloody Handsome yang secara khusus beliau
    tuturkan hanya padaku. Kalau selama ini kita ketahui CIA sering merilis declassified documents

    setelah 50 tahun (membolehkan publik membaca berbagai dokumen yang sebelumnya tak boleh diketahui),
    Tante Yolla mengungkapkan suatu rahasia, yang terjadi kurang dari sepuluh tahun yang lalu. Tante Yolla itu

    punya seorang teman. Teman beliau—sebut saja "Tante S"—punya rekan seprofesi, sebut saja "Tante A",
    berstatus ibu lajang dengan satu putra (ketika itu). "Kalau udah nyebut-nyebut soal 'tante', iih,
    pasti, deh, akan ada hubungannya sama Stevie..." Aku belum tuntas bercerita, sudah kau potong ceritaku.

    Kau itu tak tau apa-apa. Jangan suka cepat menyimpulkan. Belajar dulu sana! Tante S sering bercerita soal
    Tante A pada Tante Yolla. Setelah beberapa kali sesi perbincangan serius, Tante Yolla pun ingin
    memperkenalkan si Bloody Handsome pada Tante A (dengan perantaraan Tante S). Tujuannya apa? Yah,

    supaya Tante A "tak sampai terjatuh ke lubang kekecewaan yang sama untuk kedua kalinya".

    Tetapi, bukan untuk dijodohkan sama si Bloody Handsome. Sekadar agar Tante A "bisa punya
    teman berbincang yang memberi pengaruh positif". Sebentar, tiba-tiba, kok aku jadi keringetan ya. Padahal,
    suhu AC di kamar, 24 derajat Celcius. Mesti aku turunin dulu, biar makin dingin. Atau, lepas pakaian aja, biar
    membeku sekalian... heeeiiiisssyaahh... Baiklah, kita lanjutkan. Seperti kunyatakan sebelumnya
    pada postingan di atas, udah dari sananya, pria adalah makhluk visual. Nah, karena "secara visual" Tante A
    terlihat indah dan karena si Bloody Handsome pun adalah pria straight sejati, dia tidak menolak
    niat Tante Yolla yang ingin memperkenalkannya (via Tante S) pada Tante A. Asyik
    ya, Nyong!



    Pada hari itu, Tante Yolla dan keponakannya tersebut (si Bloody Handsome) sudah berada di

    suatu tempat. Meski mereka berdua belum sempat janjian dengan Tante S, toh, Tante S dan juga Tante A
    bisa terlihat dari jarak beberapa meter. Saat si Nyong kita itu baru bersiap akan mendatangi mereka berdua,
    Tante Yolla tiba-tiba teringat pada "sesuatu hal". Beliau lupa memberitahu si Bloody Handsome
    bahwa Tante A adalah seorang female daily smoker (tak diketahui, apa termasuk light smoker
    atau malah, heavy smoker). Pada saat itu, kata Tante Yolla, "Stevie keliatan banget berada di dalam suatu
    dilema. Di satu sisi, dia tak suka sama female daily smoker. Tetapi di sisi lain, Tante A terlihat sangat manis,
    cantik, dan penuh pesona." Akhirnya, si Bloody Handsome memilih untuk tidak jadi berkenalan
    dengan si Tante A. Pilihan sikap si Nyong kita semata-mata didasari atas preferensi pribadinya.

    Preferensi bisa dilatarbelakangi alasan subjektif, alasan objektif, dan bisa pula penggabungan dari keduanya.


    Sebagai perempuan straight, aku cenderung takkan mau mem
    ilih pria berkumis. Bukan karena
    didasari atas alasan kebencian, melainkan karena preferensi pribadiku aja. Namun, aku juga tidak menyukai
    para pria yang babyface. Lebih nggak suka lagi sama yang babihutanface. Yang aku suka banget, ya, tipe,
    si Bloody Handsome itu. Punya facial hair di dagu dan kedua pipi, tapi nggak usah pakai kumis.

    Lebih gemesin, tiap kali dalam kondisi light stubble. Jadi serbaguna. Bisa buat marut wasabi sampai es batu.



    Beberapa bulan berlalu setelah si Bloody Handsome "menolak diperkenalkan dengan Tante A",

    eh, Tante Yolla secara serius memintanya "agar Tante A segera didekati". Sebab kalau nggak 'gitu, Tante A
    terindikasi akan menja
    lin hubungan dengan seorang pria, yang bisa mendatangkan masalah bagi si Tante A.

    Sepertinya, saat itu, si Bloody Handsome merasa tak tega. Terlebih, Tante Yolla memaparkan

    fakta-fakta tidak terbantahkan terkait pria yang mendekati Tante A. Tapi, si Bloody Handsome
    nggak bisa 'gitu aja langsung mendatangi Tante A, mengajaknya berkenalan, dan menjalin hubungan. Mesti
    menggunakan operasi intelijen dan "main halus" supaya tidak terlihat seperti sedang menikung.

    Diadakanlah suatu operasi senyap dengan kode "Operation Naysayer", terinspirasi dari rasa keberatan para
    teman Tante A, yang jauh dari dalam lubuk hati, menentang si Tante A menjalin hubungan asmara dengan
    sang pria pilihannya itu. Kenapa juga mesti dinamakan Operation Naysayer?! Yah, masa mesti
    dinamakan Operasi Dawet Ayu atau Operasi Gemblong, sih? Sebenarnya, si Bloody Handsome
    sudah sempat akan menamakannya "Operation Midnight Climax 10 Meitheamh", yang terinspirasi dari salah
    satu operasi jadul CIA. Akhirnya, tidak jadi, karena terdengar agak-agak 'gimana-'gimana 'gitu.
    Di atas kertas, Operation Naysayer semestin
    ya akan sukses. Eh, saat operasi itu dieksekusi setengah jalan,
    tau-tau ada info valid A1: "Tante A udah positif." Maksudnya, positif akan menikah dengan si pria pilihannya.

    Di atas kertas sepertinya sukses. Eh, ternyata mentah. Em-ji-el, mau 'gimana lagi? Kertasnya pun terpaksa
    dijual deh, jadi bungkus gorengan. Ya salam. Kasi-ha-ha-ha-ha-ha-han banget kamu, Nyong...

    "Tega banget sih, menertawakan kepedihan seseorang yang selama ini udah sangat berjasa bagi kamu..."

    :malu2:
    Idiih... siapa juga yang menertawakan. Aku hanya ikut menyatakan kepri-ha-ha-ha-ha-tinanku.



    Kau dan kau dan kau dan kau
    mungkin bertanya: "Ngapain ribet sih, sok pake operasi intelijen
    segala macem. Kalau bener-bener suka, ya tinggal lamar aja, terus nikahin, deh. Se-simple itu malah dibikin
    jadi muter-muter ke sana kemari..." Aku mesti ber-istighfar dulu, biar nggak terpancing marah.

    Begini yah, para ketek komodo! Kau mesti tau, ada banyak nian hal di dunia ini, yang tak akan
    sedemikian gampangnya kau bereskan dengan cara sat-set-sat-set seperti yang mungkin selalu ada di otak
    kau itu! Hei, bisa kau jelaskan padaku atau tidak, apa itu "feasibility study", "environmental impact analysis"
    (terkait dengan kelayakan satu pro
    yek ataupun bidang usaha), dan "fundamental analysis" (terkait dengan
    investasi saham jangka panjang)?! Kalau kau tak tau, ya, salah kau sendiri. Belajar dulu sana!
    Kau jangan terlalu polos dalam menyikapi hidup ini. Mau mewujudkan niat baik pun, mesti ada

    hitung-hitungannya secara cermat. Jangan sampai merugikan orang lain. Jangan pula merugikan diri sendiri.

    Yang bikin si Bloody Handsome jauh berbeda dengan rata-rata pria di bumi ini: Dia sama sekali
    bukan tipe pria yang "hajar dulu, urusan lainnya belakangan". Bukan pula tipe pria yang "menggampangkan
    skenario masa depan". Banyak pria yang pernah kudengar mengatakan: "Niat saya 'kan, baik.
    Masa iya, nggak aka
    n dibantu Tuhan? Soal yang lain-lain? Ya, 'gimana nanti aja lah... dipikirkan kalau sudah
    benar-benar terjadi." Pendapat itu tak sepenuhnya salah tetapi hanya berlaku secara kasuistik.

    Yang namanya "berpasrah diri kepada-Nya secara benar" itu adalah: Kepasrahan, yang mesti didahului oleh
    banyak pertimbangan rasional. Bukan: "Ya 'gimana nanti aja," melainkan: "Nanti ke depannya bagaimana?"
    Seorang laki-laki baru layak disebut dewasa, manakala ia mempunyai pola pikir yang seperti itu.



    Sebagaimana Tante S, Tante Yolla pun (meski nggak kenal langsung dengan Tante A) merasa
    kecewa terhadap pilihan yang—pada akhirnya—diambil si Tante A. Toh, Tante Yolla berusaha untuk realistis.


    Biarpun si Bloody Handsome sedari awal mau diperkenalkan dengan Tante A—dan berhasil menarik si Tante

    ke dalam lingkar pergaulannya—sepertinya, yah, nggak akan banyak berpengaruh. Tante A itu
    tampaknya ingin selekas mungkin mendapat suami. Ada satu "kebohongan legendaris" (dalam tanda petik),
    yang dulu iseng dilakukan si Bloody Handsome. Dia mengaku kelahiran 1988. Padahal dia lahir setelah 1995.

    :facepalm:
    Dan banyak banget yang sempat percaya (termasuk aku) dia lahir pada 1988. Aneh, 'kan? Biasanya orang
    memanipulasi umur agar menjadi lebih muda. Lah, dia malah sebaliknya. Tujuannya "taktis dan pragmatis",
    supaya dia leluasa berkenalan dengan para perempuan yang lebih tua, tanpa dianggap sebagai berondong.

    Badannya tinggi gede. Itunya juga gede... heeeiiiissshhh... maksudku, suaranya. Saat tertawa,
    suara tawanya adalah "tawa pria dewasa", bukan suara tawa bocah atau ABG. Cobalah, Tante
    cari itu satu lagu jadul di YouTube berjudul "Saman Doye", dari The Black Brothers, dan cermati suara tawa
    pada lagu tersebut. Hampir 11-12 dengan suara tawa si Bloody Handsome (lebih buas dia sih).

    Ada satu cewek cantik, manis, dan mungil bernama Irma di komunitas kami, yang entah kenapa, selalu aja
    berpikiran ngeres tiap kali mendengar lagu itu. "Pas nanti, Stevie sayang-sayangan sama bininya, kayaknya
    dia bakal terus tertawa buas seperti itu, ketika bininya lagi 'kewalahan'." Maksud lo apa, Cyin?!!!

    Seandainya si Bloody Handsome adalah kelahiran 1988, disparitas usianya dengan Tante A, ya
    bisa dianggap nggak terlalu jauh lah. Faktanya 'kan, nggak 'gitu. Pada waktu itu, ia baru berusia awal 20-an,
    sedangkan si Tante A sudah berusia akhir 30-an (jelang 40-an). Perihal "syarat-syarat normatif
    bagi seorang calon suami", seperti "mampu memberi nafkah lahir-batin kepada si istri", si Bloody Handsome
    akan sangat, sangat, sangat sanggup memenuhinya—termasuk jika: "Tante A punya standar
    kehidupan atau gaya hidup tersendiri". Insya Allah, Tante A nggak bakalan "turun kelas". Nah, masalahnya,

    si Tante A—kemungkinan besar—akan mengatakan pada si Bloody Handsome, "Kau itu terlalu muda untuk
    menjadi suamiku, Sayang..." (Puiihh!) Si Tante mungkin tidak akan cukup kuat menghadapi "gunjingan julid"
    dan stigma sosial bahwa dia bersuamikan "seorang laki-laki yang masih berstatus daun muda".


    Hal itu mungkin baru sekadar asumsi atau hipotesis. Bisa aja si Tante A malah akan langsung bilang: "Iya."



    Hari-hari berlalu dan kehidupan tetap berjalan. Tante Yolla sempat mengira si Bloody Handsome akan cepat
    melupakan Tante A. Ya, si Tante itu udah jadi bini sah orang lain, 'kan? Mau menanti apa lagi?!

    Pada suatu ketika, sang pe
    muda pujaan kita itu bepergian mengawal Ibunda tercinta dan juga
    Tante Yolla. Ikut serta pula dua saudara sepupunya, putra dan putri Tante Beatriz. Sang sepupu pria, Keef
    (nama panggilan dari Keith) dan sang sepupu perempuan, Pam (nama panggilan dari Pamela).

    Ada satu frasa atau idiom populer dala
    m Bahasa Inggris: "It's a small world." Sering kali digunakan sewaktu
    kita secara tak sengaja dan sama sekali tanpa pernah diperkirakan, bertemu dengan seseorang (atau lebih)
    yang kita kenal. Hal itulah yang dialami s
    i Bloody Handsome. Tante Yolla menceritakan padaku,
    saat mereka semua beristirahat sejenak sembari minum teh dan kopi di sebuah tempat terkenal, eh, tanpa
    disangka-sangka, terlihatlah sosok Tante A dengan lima temannya. Si Bloody Handsome, yang sebelumnya
    sedang antusias bercerita tentang sesuatu hal pada Ibunda dan sanak saudaranya, mendadak
    terdiam begitu ia melihat "sang bidadari yang pernah singgah di hati". (Aku istighfar dulu biar nggak esmosi.)

    Baiklah, kita lanjutkan! Perubahan suasana hati sang keponakan itu, rupanya terbaca jelas oleh Tante Yo
    lla.
    Hal yang sama juga dirasakan Keef dan Pam. Mereka secara sukarela ikut membantu si Bloody Handsome
    ketika dia menjalankan Operation Naysayer (terkait Tante A) sebagaimana kuceritakan di atas.
    Hanya sang Ibunda yang tak mengetahui karena (saat itu) beliau tak diberitahukan perihal kisah si Tante A.



    Yang terasa menyedihkan (hahaha!), Tante A sama seka
    li tak menyadari bahwa di tempat itu
    ada "an affluent, good-looking, physically strong, sturdy, righteous, intelligent, half-British and half-Javanese
    young man" yang tampaknya sedang berusaha dengan tabah "menelan irisan-irisan nestapa".

    Sungguh sangat mengha-ha-ha-ha-ha-ha-rukan, ya? Kasi-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-han sekali dirimu, Nyong...

    :hihi:
    Ah, laki-laki memang begicu. Sewaktu si perempuan "masih belum ada yang punya", si laki-laki
    sok-sokan belagu jual mahal. Ketika pada akhirnya, si perempuan dinikahi pria lain, nah, baru mewek dah lo!
    Tapi... kalau sampai 'nangis sih, nggak lah ya. Nggak bakalan. Si makhluk yang satu itu sangat
    angkuh untuk sampai meneteskan air mata kepiluan hanya karena urusan cinta dan perempuan. Tak akan!

    Apalagi, si Tante A pada saat itu berstatus bini orang. Sangatlah hina apabila si Bloody Handsome berhasrat
    padanya. Ada satu gombalan overrated, "Rindu itu berat, kamu takkan kuat menanggungnya,
    biar aku aja." Padahal sih ya... ada yang lebih hardcore daripada itu: "Selalu berusaha berpikir dan bertindak

    rasional supaya tak memperturutkan nafsu itu berat. Manakala ada pria yang sanggup secara
    konsisten menerapkannya tanpa cela, terpujilah sekali ia." Meminjam istilah Mbak Suci, si Bloody Handsome
    itu doyan sedoyan-doyannya pada para perempuan dewasa nan memesona. He is as strong as an ox. Dia
    berstamina dan bertenaga kuda, badak, gajah, beruang, gorila, gabungin aja semua jadi satu.
    Ihwal pesona? Jelas terlihat secara kasatmata. Tapi dia takkan pernah sudi menghamba pada nafsu berahi.



    (Sejumlah kesaksian berikut ini aku dapatkan dari Keef dan Pamela.) Momen "perjumpaan sepihak" dengan
    Tante A pada waktu itu, tidak memicu si Bloody Handsome melakukan tindakan aneh apa pun.
    Tidak ada ekspresi kesedihan akibat "patah hati, putus cinta, ditinggal kawin, cinta bertepuk sebelah tangan,
    kasih tak terbalas" atau apa pun ungkapannya. Toh, momen itu membuat ia mencari pelarian.


    Si Bloody Handsome berinisiatif mempelajari banyak hal yang pada saat itu belum dikuasainya.


    Salah satunya adalah teknik-teknik bersepeda antimainstream: freestyle MTB, freestyle BMX, serta flatland
    BMX. Jujur deh, dia sempat menganggap remeh semua itu. Dia lebih condong ke motor ber-CC besar atau
    motor retro ketimbang MTB atau BMX. Namun, kisah Tante A, seketika mengubah segalanya.

    Agar aku jangan berpanjang kata mendeskripsikan ihwal apa itu freestyle MTB, freestyle BMX,
    dan flatland BMX, kalian cermatilah video-video di bawah ini. Menurut Keef, sesungguhnya, di Indonesia ada
    cukup banyak freestylers yang jago banget. Tetapi, karena alasan privasi, mereka enggan mengekspos diri.
    Keef termasuk di antara mereka. Oleh sebab itu, s
    i Bloody Handsome "berguru" kepada Keef.


    "Aktivitas belajar mengajar bersepeda freestyle" tersebut pun didokumentasikan dalam bentuk
    foto dan video oleh Pamela. Sewaktu aku menyaksikan rekaman fase-fase awal si Bloody Handsome belajar
    bersepeda freestyle, aiih, tak tega sekali rasanya. Dandanannya kereeen banget. Tubuh tinggi tegap dibalut
    kemeja flanel lengan panjang navy blue dan memakai tactical pant. Sayang, skill-nya nol besar.

    Lebih disayangkan lagi, pada masa itu, aku sedang di-"persona non grata"-kan olehnya. Yah, jujur aku akui,
    memang salahku sendiri. Tetapi 'kan, paling tidak, kalau aku ada di sisinya, aku tau cara menyemangatinya.
    Toh, Tante A yang "menciptakan getar-getar sendu di hati", syudah jadi bini orang (waktu itu).

    Agar dia jangan sampai dengan pilu menyenandungkan satu lagu lawas: "Aku insan biasa/yang
    selalu tersisih/Jangankan dalam percintaan/di dalam bersepeda pun, aku gagal/Tante A, kau telah menikah/
    Tante A, di sini aku merana/Bersepeda ku tak becus/Bersepeda jatuh terus/Jangankan dalam percintaan/di
    dalam bersepeda pun, aku gagal..." (Terinspirasi lirik lagu 1980-an, "Di Balik Rindu Ada Dusta".)

    Setelah sebulan (di sela-sela berbagai aktivitas utamanya), si Bloody Handsome cuma sanggup
    menguasai teknik-teknik: footjam tailwhip, wheelie, G-spot... hiiiiieeeeeesssyaahhh... maksudku, G-Turn 180,
    dan nose manual. Tak paham?! Ya, kau belajar dulu sana! Atau kau carilah sendiri di YouTube.

    Tetapi untuk teknik freestyle lainnya: bicycle backflip (jungkir balik dengan sepeda), handstand
    (kedua tangan bertumpu pada dua setang sepeda, posisi kedua kaki menghadap ke atas), dan bunny hop

    (bersepeda sambil melompati rintangan) dia tak mampu melakukannya dengan baik (saat itu).

    Dari percobaan melakukan jungkir balik dengan sepeda sebanyak 48 kali... tiada yang berhas
    il.



    Bagaimanapun, dia selalu adalah seorang pria yang rasional dan realistis. Memahami keterbatasan diri. Saat
    dia merasa tak mampu lagi, ya sudah. Dia terima itu. Tak seperti para losers yang ingin selalu

    terlihat berada di posisi teratas, meski jelas-jelas berkualitas rendah. Pria dewasa bisa mengakui keunggulan
    kualitas diri pihak-pihak lain, "tanpa harus merasa kalah". Di atas langit, selalu ada langit, 'kan?!

    Meski pada saat itu dia jelas "kalah kelas" dibandingkan dengan Keef, Giz, Aidan, dan si Mas-nya Mbak Suci,
    yah, dia 'kan masih punya buanyaak keahlian lainnya. Bisa 'nyetir bus Scania (atau merek bus lainnya), bisa
    'nyetir truk, bisa mengendarai berbagai motor yang ber-CC gede. Sedikit banyak, terampil pula
    mengutak-atik mesin kendaraan dan alat-alat elektronik rumahan. Pintar mencari uang secara halal dan juga
    tak bodoh di dalam mengelolanya. Tak punya utang, tak pernah "besar pasak daripada tiang".


    :malu1:
    Uh, aku baik banget ya, Nyong? Aku tak merendahkanmu. Aku
    malah membela harga dirimu.
    Kapan pun kau tanya: "Pada siapa kau berpihak?", aku selalu memihakmu. (Syarat dan ketentuan berlaku.)



    Dua bulan berlalu, luka-luka di hati pun perlahan mulai sirna. Kata Pamela, si Bloody Handsome
    sepertinya "sukses mengenyahkan bayang-bayang Tante A". Sayang seribu sayang, meski bayang-bayang
    sang tante tersayang bisa hilang, orangnya tetap ada. "Ujian keteguhan iman" bisa kapan aja menghampiri
    si Bloody Handsome. Dalam Bahasa Inggris ada satu idiom: "Speak of the Devil", yang dipakai
    jika kita sedang 'ngomongin seseorang, eh, tau-tau si orang yang diomongin itu muncul secara tak terduga.

    Suatu ketika, si Bloody Handsome dan slagorde kami tengah menjalankan "operasi teritorial" di
    sejumlah teritori. Menjelang adzan Ashar, mereka rehat sejenak untuk shalat. Pam melihat seorang wanita,

    dan mengatakan pada si Bloody Handsome bahwa si wanita itu mirip dengan Tante A. Si Bloody Handsome
    membantah dengan nada datar. Logikanya, Tante A (saat itu) pastilah sedang hamilton. Si wanita itu, tidak.

    Allah SWT Maha Kuasa. Nggak lama setelah si Bloody Handsome membicarakan Tante A, eh,
    terlihatlah sesosok perempuan, yang sedang mengandung, berjalan pelan, persis di depan dirinya dan Pam.

    "Siapa dia? Tante A?" Bukan. "Lalu siapa?" Si perempuan yang sedang hamilton itu, tak lain adalah Tante A.

    :bloon:
    :hulk:

    "Lah, tadi kata kamu, bukan dia?" Kau diam, yaaah! Jangan banyak tanya! Speak of the Devil.
    Si Bloody Handsome lagi 'ngomongin "setan", eh, tau-tau "setan"-nya benar-benar muncul secara tiba-tiba!

    'Gini lho, bukan berarti aku menghina si Tante A yang cantik, manis, putih, mulus, dan mungkin juga, sering
    menjuarai ratu ini dan itu, lomba 'nyanyi, lomba masak, lomba panco, gulat, tinju, angkat besi,
    dan lain-lain.
    "Idih, masa Tante A ikut lomba begituan?" Siapa yang bilang dia ikut "lomba begituan" dodol?!!
    (Aku tak sedang ber-monolog. Sekadar latihan sebelum menghadapi kecerewetan Ajeng nanti.)

    Aku hanya bermaksud "memosisikan" si Tante A (pada waktu itu), seolah sebagai "setan" bagi
    si Bloody Handsome. Tante itu binor, hamilton pula. Mesti diposisikan sebagai "setan" yang wajib dia hindari.
    Bila dia malah memosisikan binor sebagai "bidadari", yah si Bloody Handsome itu yang "setan".



    Pamela mengatakan padaku, si Bloody Handsome menatap ke arah si Tante A, yang terus aja
    melangkah, hingga berangsur-angsur menghilang dari pandangan mata. Ekspresi si Bloody Handsome tetap
    dingin. Datar. Tidak sepatah kata pun dia berko
    mentar. Tiada kecewa, tak ada tetes air mata.

    Perkataan Pamela itu mengingatkanku pada suatu adegan di film jadul Italia, Malèna. Karakter
    utama dalam film itu adalah seorang pria belia (menjelang remaja), yang semula terobsesi, tetapi kemudian
    bisa dikatakan "jatuh cinta", secara tulus dan manusiawi, pada seorang tante cantik dan seksi.

    Premis film tersebut sebenarnya menarik. Sayang, film itu dijejali banyak adegan seksual dan ketelanjangan,
    yang sebetulnya nggak perlu. Ada adegan emosional saat si pria belia mengintip si tante cantik yang sedang
    didatangi seorang laki-laki yang memasok makanan untuknya. Sebagai "imbalan", si laki-laki itu
    seakan "diperbolehkan" si tante untuk "memangsa" dirinya. Sang pria belia yang mengintip momen tersebut
    langsung merasa sedih sekali. Amat nelangsa. Berkaca-kaca, hingga meneteslah air matanya.

    Sang pria belia itu seperti memahami, sang tante pujaan hati dengan sangat terpaksa, menghinakan dirinya
    macam itu, karena sang tante "mesti bertahan hidup". Dia memang "tak punya opsi lainnya".


    Nah, situasi yang dialami si Tante A, ya jelas nggak sama dongs dengan adegan film Italia itu.
    Tapi, mungkin aja, siapa tau, si Bloody Handsome merasakan kegetiran hati yang tidak jauh berbeda ketika
    menyadari si Tante A sudah hamilton. "Kenapa sampai hamilton?" Ya, karena ada aktivitas intim pasutri lah.

    Kau kira hanya karena main congklak atau ular tangga berdua?! Pamela mengatakan, momen
    tersebut seolah menjadi "titik balik" bagi si Bloody Handsome. Dia mesti sepenuhnya "melepaskan" Tante A,
    meski jejaknya di dalam hati tak akan bisa hilang... (Pu
    iihh!) Tentu, tak sedramatis final scene pada film itu.

    Situasi yang dirasakan si pria belia di film Italia itu, ngenesss bangets. Sedari awal hingga akhir,

    dia sama sekali nggak mungkin menjangkau si tante cantik pujaannya. "Dilihat dari jalur mana pun" tak ada
    peluang yang bisa menjadikannya "memiliki si tante". Cobalah kalian saksikan rangkaian scenes di bawah ini.


    Si pria belia cuma bisa memendam perasaan. Sekalinya dia bisa berduaan dengan si tante, eh,
    justru dalam momen "pertemuan terakhir".
    Lain halnya dengan si Bloody Handsome. Secara logika rasional,
    dia pernah punya sejumlah peluang, andai dia "ingin bersama dengan Tante A".
    Tapi 'kan dia menolak, saat
    Tante Yolla akan memperkenalkannya pada Tante A (dengan perantaraan Tante S). Ya udah.

    Pam bilang, beberapa hari kemudian, si Bloody Handsome kembali berhasrat mencoba melakukan sejumlah
    adegan tidak senonoh... hiiiiiieeessyaaahhh... maksudku, adegan berbahaya dalam bersepeda.



    Di atas tadi sebelumnya sudah kuceritakan, si Bloody Handsome tak bisa melakukan beberapa
    teknik freestyle "secara benar": bicycle backflip, handstand, dan bunny hop. Meski dia udah berusaha keras
    mencoba berjungkir balik dengan sepeda (hingga 48 kali!), tetap tak bisa. Untung tidak cedera.
    Padahal, upper body-nya bagus. Sangat kuat. Yah 'kan, dia juga termasuk "anak calisthenics".


    [​IMG]
    Ilustrasi bicycle backflip. Jangan mencoba teknik berbahaya ini kalau tak didampingi freestyler berkompeten!


    Kata Mbak Suci, si Mas-nya (suami si Mbak) dan Keef amat yakin, sebenarnya si Bloody Handsome punya
    kemampuan fisik sama dengan mereka. Jadi, pastilah bisa melakukan teknik-teknik tersebut. Jika selama ini
    banyak peminat freestyle di Indonesia tidak mampu melakukan bicycle backflip dan handstand,
    ya, karena mereka seperti mengabaikan pentingnya kekuatan dan kelenturan fisik. "Anak freestyle", seperti
    nggak merasa perlu untuk menjalani weight training dan calisthenics secara berkesinambungan. Di lain pihak,
    "anak calisthenics" rata-rata punya fisik yang sangat kuat, tapi tidak banyak yang meminati freestyle biking.

    Setau aku, di Jakarta dan sekitarnya lebih banyak "anak calisthenics" daripada "anak freestyle".

    Momen "perpisahan" dirinya dengan si Tante A (walau mereka sebenarnya belum pernah bersatu!), seperti

    membuat si Bloody Handsome ingin meluapkan semua beban psikologisnya dengan melakukan
    teknik-teknik freestyle biking yang amat menantang dan berbahaya. Saat dia kembali mencoba
    (atau percobaan yang ke-49), lagi-lagi gagal. Baru deh (dengan izin Allah SWT), pas percobaan yang ke-50,
    dia bisa melakukan bicycle backflip dengan sangat baik dan sempurna! Alhamdulillah. Tapi... pada percobaan
    yang ke-51 s/d ke-60, kembali gagal. Tidak apa-apa. Toh pada sesi-sesi latihan berikutnya, dia
    (sekali lagi, dengan izin Allah SWT) mulai memahami bagaimana "memadukan antara teknik dan kekuatan".


    [​IMG]
    Ilustrasi bunny hop. Agar bisa melakukan lompatan sempurna ini, kau mesti latihan calisthenics.





    Kenapa hal itu baru bisa aku ketahui pada minggu lalu?! Ya, karena kisah Tante A tersebut pun
    baru resmi dinyatakan "declassified" atau "officially stated to no longer be secret" pada minggu lalu, setelah
    Tante Yolla mengungkapkannya. Beliau nggak melarangku untuk menceritakannya asalkan aku
    "bisa menahan diri untuk tidak menuliskan nama asli Tante A". Berhubung sudah "declassified",
    si Bloody Handsome pun tak ragu memamerkan kemampuan freestyle biking-nya di lapangan guest house.
    Selama bertahun-tahun, skill-nya tersebut seakan dia sembunyikan dari kami, sebagaimana dia
    menyembunyikan rasa simpatinya pada Tante A. Ah, jatuh cinta... berjuta indahnya... puuiihh!


    [​IMG]
    Ilustrasi handstand di atas sepeda. Thanks to Tante A, si Bloody Handsome kini sudah bisa melakukannya.
    Karena "berpisah" dengan Tante A, dia mencari pelarian dengan serius berlatih freestyle biking.


    Akhir pekan lalu, aku habiskan di guest house bersama teman-teman perempuan lainnya. Pagi
    hari (masih terasa dingin!), saat cewek-cewek lagi duduk-duduk minum teh atau kopi sambil 'ngemil kue-kue,
    laah, si Bloody Handsome malah seperti mengadakan "machtsvertoon" (unjuk kekuatan). Tidak pakai baju,
    nggak pakai celana... heeeiiisssyyyaaahhh... yang kumaksud, tak memakai celana pendek, tetapi memakai
    green army tactical pant. Mengadakan aksi-aksi freestyle biking, menggunakan BMX dan MTB
    (secara bergantian). Diiringi lagu-lagu penolak kegalauan. "Part Two" dari No Use for a Name,

    "Starve" dari Rollins Band, "Dawn of a Golden Age" dari Roadrunner United, "Cannonball" dari The Breeders,
    "Ride with Me" dari Blackeyed Susan, "10 Seconds Down" dari Sugar Ray. Lalu, "Bassgod" dari Yellow Claw,

    "California über alles" dari Six Feet Under (lagu kenangan sembilan tahun silam... ketika si Bloody Handsome
    mengingatkanku bahwasanya "ignorance and naivety would bring great damage"—dan dia ternyata benar!),
    "Your Mistake" dari Fear Factor
    y, "Get Out" dari Madball, "Kill the King" dari Megadeth, "Why
    Can the Bodies Fly" dari Pungent Stench, "No Good at Goodbyes" dari Gridiron, "Orgasmatron"
    dari Sepultura ("versi yang telah diedit"), "Moshing Crew" dari Suicidal Angels, "The Boys Are Back in Town"

    dari Thin Lizzy, "Terpentin" dari Böhse Onkelz, "Funky Cold Medina" (versi instrumental), dan lain-lain. Yang
    jelas, lagu-lagu pengiring atraksi topeng monyet pada pagi hari itu... maksudku, lagu-lagu yang
    mengiringi "aksi-aksi berbahayanya" pada pagi itu terdengar catchy dan groovy di telinga kami.




    Biar 'gimana pun, aku menganggap dia belagu banget. Ya memang sih, aksinya itu dia lakukan
    di lapangan guest house, yang notabene adalah properti milik sendiri, nggak mengganggu ketertiban umum.
    Tapi kenapa juga melakukannya di depan cewek-cewek? Kau ingin bikin mereka terpesona, ya?

    Apa kau pikir aku ini akan ngiler-ngiler 'gitu, saat melihat kau unjuk kebolehan bersepeda secara
    ekstrem sambil pula kau bertelanjang dada? Idih, aku ini bukan ABG yang akan dengan mudahnya kau bikin
    terpesona. Kau salah, kalau mengira aku akan seperti itu, yaaah! Paling-paling, malamnya, aku
    akan mengalami "mimpi-mimpi mendebarkan yang multitafsir". Paginya, mesti mandi keramas.


    Tapi, nggak salah juga sih kalau dia bertelanjang dada. Yah 'kan, dia laki-laki straight,
    maskulin.
    Lagipula aksinya memang enak dilihat. Dia itu good-looking, baik dari segi wajah maupun tubuh. Sayangnya,
    dia lupa. Perempuan pun bisa berfantasi pada pria. Akan menyedihkan andai kasih tak sampai.



    Perempuan tidak boleh bertelanjang dada di depan orang lain. Aku jadi ingat saat Irma ngerujak seseorang.
    Irma itu mungil, tapi bisa "sangat biadab kalau pas ngerujak". Suatu saat, Irma merasa sangat muak pada

    seorang yang secara fisik disebut "pria", tapi karakternya padede (lembek banget) dan menye-menye pula.
    Kalau menggalau di medsos, amit-amit bangets. Irma secara sadis berkomentar, "Pake be-ha aja lu sana!"

    Saat Irma diingatkan agar jangan sekasar itu, dia beralasan, oknum itu pun mulutnya beracun.
    Irma bilang, si oknum adalah "paket komplit pria yang toxic". Suka mengeluh dan sekaligus suka menghina.
    Bininya sendiri dijelek-jelekin. Orangtua bininya dimaki-maki. Padahal kalau nggak ada orangtua bininya, yah,
    "anak-anak yang katanya dia sayangi itu", juga nggak bakalan ada. Irma bilang, sebenarnya, semua orang
    di circle juga muaaak sama oknum itu. Kalau udah cerai, mungkin bisa dianggap wajar memaki eks-mertua,
    atau eks-pasangan. Lah, dia 'kan "masih terikat pernikahan"?! Semua orang jadi nggak respek.

    Kenapa si pria itu disuruh pakai be-ha, bukannya pakai rok? Irma beralasan, cuma cewek yang pakai be-ha.
    Laki-laki normal nggak akan sudi. Nah, "rok" tidak selalu identik dengan cewek. Di Skotlandia, ada "rok" yang
    namanya "kilt". Tapi para pria pemakai kilt, nggak akan pernah dianggap sebagai: "Nggak laki".

    Pasti ada orang yang mengatakan pendapat Irma itu "seksis". Tetapi, Irma tidak peduli. Dia punya standar

    tersendiri perihal bagaimana seharusnya seorang pria bersikap dan berperilaku. Dia bersikukuh,
    nggak selayaknya laki-laki terlihat padede, menye-menye, dan "bermulut racun" karena semua itu "domain"
    para perempuan. "Cengeng, nyinyir, judes, julid, dan ngerujak" adalah karakter natural cewek.




    Setelah kurang dari dua tahun, pernikahan yang kedua Tante A itu pun, tak bisa diselamatkan.
    Walau hal itu sedikit banyak telah diperkirakan sebelumnya oleh para teman dekat Tante A, toh, Tante Yolla
    bilang, tidak ada seorang pun dari mereka tega menyalahkan Tante A. Semuanya ikut prihatin.

    Lalu, bagaimana dengan sang "pemuja rahasia" Tante A? Semula dia tetap bersikap konsisten,
    nggak peduli lagi dengan urusan pribadi Tante A. Tapi, Tante Yolla bilang, ada "Ibu sesepuh dari daerah asal
    Tante A", yang entah 'gimana ceritanya, kenal si Bloody Handsome. Mungkin saat mereka bercakap-cakap,
    si Bloody Handsome (secara sengaja atau tidak) pernah berkisah perihal Tante
    A pada Ibu itu.
    Ceritanya terlalu ruwet untuk dapat aku ungkapkan di sini. Yang jelas, kata Tante Yolla, si Bloody Handsome
    kini dihinggapi sebentuk perasaan bersalah karena dulu dia pernah "menolak diperkenalkan dengan Tante A".


    Lagu "The Day I Met You" pada video di atas, mungkin mirip Victorinox Swiss Army Knife, ya.

    Sederhana, tetapi efektif. Saat kami di Makati, si Bloody Handsome memainkan gitar dan menyanyikan lagu
    itu, di depan cewek-cewek Filipina—kerabatku serta teman-teman mereka—yang bening, cantik, fashionista,
    tapi sekaligus... "sempat mengira dia belum disunat" (karena mukanya bule!). Di Filipina, walau
    bukanlah negara Muslim, mayoritas prianya dikhitan. Kalau dianggap belum sunat, ada aja yang ngeledekin.

    Kau tak percaya? Datanglah kau ke sana. Begitu mengetahui background si Bloody Handsome, ya, mereka
    pun jadi malu sendiri. Sewaktu dia memainkan dan menyanyikan lagu itu, cewek-cewek sampai
    terharu, mengeluarkan sapu tangan dan tisu.
    "Buat 'nyeka air mata?" Buat 'ngelap keringat. AC-nya mati...



    Mungkin aja, dia juga akan
    menyanyikan lagu itu untuk Tante A: "Andai saya bisa menyimpan
    satu hari saja untuk selamanya, saya akan menyimpan hari saat saya melihat Tante A dari jarak beberapa

    meter di tempat itu. Saya akan mendatanginya, berkenalan, 'menjalin interaksi' sehingga dia akan terhindar
    dari segala penderitaannya karena salah melangkah..." Tante A pun menyambut dengan air mata berderai,
    "Genggam tanganku, Sayang. Bantu aku, agar aku bisa terbebas dari belenggu nestapa ini..."

    :hot:
    Semoga tidak akan pernah ada yang terinspirasi mengangkat kisah kasih di atas ke layar lebar.

    Jangan sampai para penonton yang semula dalam kondisi waras, berangsur-angsur berubah menjadi rusak
    mental dan jiwanya akibat melihat adegan-adegan dekaden dan berkualitas rendah macam itu.



    Pada bagian-bagian awal tulisan ini, udah aku ceritakan bahwa dia itu nggak mau mengonsumsi
    patin tempoyak saat kami berada di Malaysia. Eh, setelah si Ibu sesepuh (yang sedaerah dengan Tante A)

    bilang bahwa si Tante A doyan banget patin tempoyak (dan aneka masakan lainnya yang juga
    menggunakan tempoyak, khas dari "satu provinsi di Sumatra"), si Bloody Handsome sekarang

    malah jadi ikut-ikutan suka. Lidah memang tak bertulang. Mungkin, saat dia melihat kepala-kepala ikan yang
    ada di masakan patin tempoyak itu, dia seperti melihat wajah si Tante A. Tunggu aja, Nyong. Sebentar lagi

    mungkin ada info valid A1 bahwa Tante A itu doyan pete, jengkol, ceker ayam, dan segala hal
    yang selama ini tidak sanggup kamu konsumsi. Semoga kau bisa ikut menyukai semua itu, ya!

    Namun, Tante Yolla tidak berpikir sampai sejauh itu. Beliau meyakini sikap si Bloody Handsome
    itu lebih dilatarbelakangi perasaan bersalah. Sejak dulu, dia punya track record sebagai "laki-laki yang sangat
    bertanggung jawab". Pria bukan hanya mesti dipegang omongannya, tapi juga wajib dilihat rekam jejaknya.

    Selama ini, dia terbukti bertanggung jawab menaungi dan melindungi para ibu lajang (beserta putra-putrinya
    masing-masing), tanpa pamrih apa pun. Dia punya hubungan personal dengan begitu banyak
    perempuan (termasuk aku), tapi semua hubungan itu tak pernah dikotori dengan aktivitas seksual apa pun.
    Bahwa dia mungkin bisa menjengkelkan untuk sejumlah hal, ya, itu adalah fakta manusiawi yang tidak akan
    dia ingkari. Aku kembali mengutip perkataan "si mungil bengal", Irma: "Untuk anjing-anjing bermasalah, kita
    mesti minta bantuan Om Cesar Millan dalam menanganinya. Tapi untuk perempua
    n yang punya segudang
    permasalahan, mintalah bantuan Kak Stevie." Ucapan Irma itu selalu agak-agak kontroversial.


    :keringat:
    Jika ada perempuan yang lagi datang bulan dan mood-nya jelek, dia bisa aja salah tafsir, 'kan?
    Mengira Irma menyamakan anjing dengan manusia. Padahal, bukan itu maksud si Irma. Dia sendiri pernah

    dibantu "Kak Stevie" (Puiiihh! Najis banget!), sewaktu Irma mengalami "suasana genting di dalam hidupnya"
    (beberapa tahun lalu). Atau, yang lebih ekstrem, kasus Bu Retno. Beliau datang dalam kondisi
    yang secara psikologis "babak belur, hancur lebur, porak-poranda, remuk redam, dsb". Setelah
    intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan si makhluk itu, perlahan-lahan (dengan izin Allah SWT), beliau

    mendapatkan kembali semangat hidup dan "bisa menata ulang masa depannya". Kalau untuk
    kasus hardcore aja, sanggup dia
    tangani dengan sangat baik, apalagi sekadar menangani para perempuan
    paruh baya yang "manja, kolokan, genit, pemarah, penakut, cengeng, cerewet, dan lain-lain".



    Sedikit banyak, aku sudah punya gambaran jelas perihal Tante A. Sayang, si Tante sepertinya
    lupa pada satu nasihat: "If you don't learn from your mistakes, you're doomed to repeat them!" Ha
    l itulah
    yang—menurut Tante Yolla—sangat disesalkan oleh teman-teman Tante A. Kasihan juga, sih.


    Terlepas dari kecemburuan apa pun, sebagai sesama perempuan, aku "mencoba bersimpati"

    pada Tante A. Wahai Tante A, semestinya pria yang kau seriusi itu adalah pria seperti si Bloody Handsome,
    bukan para pria yang seolah terlihat "layak tayang" dan lihai bermanis kata, tapi sesungguhnya
    hanya ingin bersenang-senang di ranjang. Nanti pas bosan, kau pun dicampakkan. Atau tipe para pria yang
    cuma suka sama "si Emak", tapi nggak akan sudi untuk peduli dengan "anak-anak si Emak". Mereka seolah
    "sayang, cinta, mau menerima Tante apa adanya". Tapi, sesungguhnya mereka menerapkan

    teori cinta seperti Hukum Gossen I. Si Bloody Handsome itu layak tayang, layak pajang, dan layak sanding,
    sekaligus pula mempunyai keunggulan yang—aku yakin banget—tak dimiliki para pria yang tengah membidik
    Tante. Insya Allah, dia bisa membantu menyelesaikan "permasalahan serius yang Tante alami

    dalam beberapa tahun ini". Paling tidak, bisa mengupayakan adanya a win-win situation. Aku tau dari mana?
    Wueeiiitts, narasumber dan informanku mesti dirahasiakan identitasnya lah ya. Hal lain yang sangat penting,
    s
    i Bloody Handsome pun, Insya Allah, akan sanggup merejuvenasi Tante. Tante tau, apa itu "rejuvenasi"?!
    "Raju... reju..." Oh, berarti belum tau. Kalau "rajungan" tau, dong? "Ya tau, sih. Tapi, apa hubungannya?"


    :hi:
    'Gini, ya. Kalau aku bilang sih, Tante mirip rajungan.... Jangan 'nangis dulu. Yang kumaksud itu,
    Tante dan rajungan sama-sama disukai si Bloody Handsome. Saking suka bangets sama rajungan, dia pun

    sampai memiliki buanyak tempat pembudidayaan rajungan. Merambah pula ke tambak udang dan kepiting.
    Bukan sebagai sumber nafkah (belagu bangets), sekadar untuk dikonsumsi keluarga besarnya.

    Nah, begitu sudah menyenangi sesuatu, dia akan sangat serius dan berkomitmen penuh. Balik
    lagi perihal "rejuvenasi". "Rejuvenasi" artinya peremajaan. "Merejuvenasi" berarti "melakukan peremajaan".
    Kalau kita cermati track record-nya selama ini, dia selalu sukses merejuvenasi para perempuan (khususnya,
    yang merasa udah nggak muda lagi) sehingga semangat mereka kembali bangkit meluap-luap.

    "Lah, kok situ justru seperti berusaha menjodohkan si Stevie dengan Tante A?" Pertanyaan itu
    menunjukkan Anda nggak memahami makna implisit yang kusampaikan. Nggak 'pa-'pa. Nanti juga paham.
    Aku iba pada si Tante A. Perempuan bisa berpura-pura benci, tapi tak akan pernah bisa berpura-pura cinta.
    Perempuan bisa saja berpura-pura sedih, tapi tidak akan pernah bisa berpura-pura berbahagia.



    Meskipun kau sungguh menjengkelkan, kau itu selalu kumasukkan dalam tiap doaku yang baik.
    Semoga, kau dan orang-orang sepertimu selalu mendapatkan penjagaan penuh dari Allah SWT. Dijaga-Nya
    sehingga tak akan pernah sampai terjerumus atau tergelincir ke jalan-jalan yang salah. Aamiin.



     
    • Like Like x 5
    Last edited: Jul 16, 2023
  11. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    [​IMG]
    (Bila kau ingin tampilan postingan ini terlihat rapi, kau bisa membacanya dengan memakai browser
    Mozilla Firefox dan perangkat PC/Laptop. Tapi kalau kau tak suka kerapian, abaikan saja saranku.)


    A few hours ago, I watched the Catatan Si Boy trailer on YouTube. It is a remake of the 1987
    film of the same name and based on a popular radio drama (or "sandiwara radio," as we Indonesians often
    ca
    ll it) that aired regularly on Prambors Radio (a well-known Jakartan radio station formerly located in the
    Menteng area) in the mid-eighties. I bel
    ieve "today's generation" is unfamiliar with "radio drama."

    But back
    then, in the 1980s, when home entertainment options were not as plentiful as today,
    radio dramas were always Indonesian people's favorites. I've watched or seen the 1987 version of Catatan
    Si Boy severa
    l times. Whether on TV when some Indonesian TV channels (such as FLIK TV and Sinema
    Indonesia) broadcas
    t it or on the big screen in a private cinema in the guest house that belongs
    to Mr. Bloody Handsome. Catatan Si Boy revolves around a "good-looking" (by the standards of the time)
    Indonesian young man,
    the only wealthy businessman's son (Mas Boy has a kid sister, though), who leads
    a college life while having some kind of "love relationship" with, at least, two different women (of course, not
    simu
    ltaneously). That's it; nothing more than that. What differs slightly from most of the main
    protagonists in Indonesian films at the time is that Mas Boy is depicted as a somewhat righteous
    young man who always carries out his re
    ligious obligations. There are a few scenes showing him performing
    ob
    ligatory prayers for Muslims. Even in the cabin of his luxury car (or rather, his parents' car, since he's still

    in college and doesn't yet have any income to buy such a luxury car), we can see "tasbih," or
    Islamic pra
    yer beads, hanging (which seems to indicate that he always remembers Allah SWT).



    Another thing that also makes him different from "most male characters that always captivate
    women's attention in Indonesian films at the time" is his awareness to exercise regularly (though
    it is limited
    to jogging in the morning and lifting weights with a barbe
    ll, which I think looks too light to be able to increase
    muscle mass effectively). In a few scenes, we can see
    that Mas Boy's family has a swimming
    pool (I have no
    idea whether it is in their backyard or beside their house). Although it is not as enormous
    as
    the swimming pool in Mr. Bloody Handsome's guest house, the swimming pool in Mas Boy's family's big
    fanc
    y house shows that, at least, he loves to swim or "may swim frequently." We can also see
    a scene showing Mas Boy and one of his male close friends practicing boxing at the boxing gym.

    We
    ll, that scene, I believe, is required since one of the verses of Catatan Si Boy's theme song
    refers to h
    im as a "jagoan"—an Indonesian colloquial word equivalent to "tough guy" in English. People in

    "machismo" society will never refer to you as a real "tough guy" if you lack combat skills. In other words,
    you are not a "tough guy" if you cannot fight your opponent physically and defend yourself.




    There is a scene that depicts
    the aggressiveness of Mas Boy in fighting. While driving his BMW,

    he witnesses two street thugs on a motorcycle snatching a woman's jewelry. Though he doesn't yet know
    the woman, he tries to help her by chasing those guys to get her jewelry back. The two men try to flee
    to a restaurant. Even so, Mas Boy continues chasing after them as if he had the spirit of a crime-fighting
    superhero in comic books. There, he beats the two street thugs "merc
    ilessly," including rubbing some spicy
    sambal right in the eyes of one of them. He then takes the woman's jewelry, returns it to her,
    a
    nd compensates the restaurant owner for inevitable damages caused by his vigilante action.

    Although we can call his action "vigilantism," many women are likely to sympathize with Mas Boy.
    Furthermore, in another scene from the film, Mas Boy politely declines a "sexual invitation" from a woman

    he assists. Most women, I suppose, adore a good-looking man with such a charming demeanor.



    Unfortunately, in other scenes, we see Mas Boy as nothing more than a young man who's very
    naive, ignorant, or we can even call him "foolish." He may be a good-looking young man who attracts a lot

    of girls or women and makes them crazy about him. But on the other hand, some things make him look all
    brawn and have no brains. Even though the Catatan Si Boy's theme song refers to him as "jagoan lagipula
    pintar," or a "tough badass and sharp-witted or intelligent guy," a few scenes show otherwise.

    Miss Vera's ex-boyfriend, Jeffry (who st
    ill feels hurt after breaking up with her and once got into
    a fight with Mas Boy in the discotheque restroom), challenges him to a duel in one place. Jeffry gives a

    letter to Miss Ocha—one of Mas Boy's college friends—and asks her to deliver it to him. It states: "Boy.
    Kalau lu memang jantan, gua tunggu di 'taman parkir Menteng' [gedung parkir Taman Menteng], jam 12
    malam!" ("Boy. If you are not a sissy, meet me at the Menteng parking lot at midnight!") He must come
    alone (or he can't bring any of his companions). Ridiculously, he takes the challenge for granted!


    [​IMG]
    Gosh! A man of his caliber should know the aphorism, "Choose your ba
    ttles wisely. Fight for what matters!"

    He doesn't seem in the leas
    t bit suspicious that Jeffry would be mischievous or devious. When
    Mas Boy realizes Jeffry brings his bodyguards to gang up on him and beat him up, Mas Boy tells himself,
    "Good grief! This situation could get me in trouble. I could die here! But I am not scared! I believe Allah is
    with me." I invariably pay tribute to a man who has high self-confidence and believes that Allah
    is always with him. But what Mas Boy decides in that scene is very wrong and illogical. Instead
    of embroiling in the unequal duel that would result in his being ganged up on and beaten up by several men,
    he should make a clever escape in his
    BMW. What he then gets is not worth what he sacrifices.

    He is beaten, battered, and bruised. He only gets a "compliment" from Jeffry, "Memang lu jantan, Boy."
    (or "You're indeed a virile man.") Eugh. That kind of "compliment" should come from a woman, not a man.

    What are the advantages for a heterosexual man to get such a "compliment" from other men?

    Straight men will be pleased and flattered to receive compliments about "virility" if they hear them only from
    women (particularly the gorgeous or attractive ones). Let me give you two hypothetical futures.


    [​IMG]
    Imagine if, in
    the future, Allah SWT, God Almighty, eventually permits Miss Renata to marry Mr.

    Steven, "Bloody Handsome," and the two then engage in a series of "amorous congresses" so that Mrs.
    Renata can obtain "all the things she's been desiring and looking for." She'd subsequently praise him for his
    vitality and virility in bed, kiss him lustfully, and give him a genuine compliment: "You are such a TIGER!"
    Logically, he'd feel proud, and the following nights, he'd be more "brutally enthusiastic," giving or showering
    her with all the "satisfaction, pleasures, and excitement she craves"—by any means necessary.

    It'd undoubtedly make the entire world smile, wouldn't it? Or, if the "slim but hot" Tante A finally

    gets to meet Mr. Steven, "Bloody Handsome," and is impressed by his very masculine traits and behavior
    —awakening millions of wild imaginations in her—so that Tante A subconsciously compliments him: "You are
    such a roguishly handsome stud, Honey!" (Although they haven't had any sexual activity yet.) I
    guess, in re
    turn, he'd praise her as a stunning woman who remains charming despite having been divorced
    twice. Then they both laugh, walking under an umbrella together in the pouring rain. Since the rain is getting
    heavier, he gives up the umbre
    lla for Tante A to use herself. Arriving at the parking lot, he opens
    the door of his Maserati for Tante A. Why does it have to be a Maserati? Well, because Bu Retno "Bellucci"

    always affectionately calls him "Masé," and he also has the financial ability to own the car. He then enters it
    and sits behind the wheel. He removes his soaked clothes, revealing his well-built and muscular upper body,
    and stares at Tante A. She blushes and smiles at him. Fellas, throw all your dirty thoughts away!

    What happens next is that he changes into a clean and dry raglan shirt and then drives Tante A

    home. A few hours later, she lays restlessly on her bed alone, shedding tears while humming Taylor Swift's
    "Hey Steven." Though I also shed tears while writing the above hypothetical situation, I believe that if that
    were to happen, it'd still make half the world grin. However, I might look for someone who can do "ruqyah"
    on him since it could be that "some evil spirits have been residing within him" that might've made
    him besotted with Tante A. Don't get me wrong; I'm not slandering Tante A. I just realized that Tante A is

    so hot and charming that many demons and ghosts "might also be crazy about her." Since they are spirits,
    they might've infiltrated Mr. Bloody Handsome's body to establish a "love relationship" with her.



    Kemarin dulu, aku berurusan dengan Irma. Dia mempertanyakan, kenapa aku tak menyebutkan
    statusnya kini sebagai "ibu lajang dengan satu putri" dalam tulisanku?! Ya kukatakan bahwa dia 'kan, hanya

    "figuran". Pada postingan sebelumnya itu, tak ada urgensinya bagiku untuk menuliskan perihal detail dirinya.

    Yang jadi fokus utama adalah sosok Tante A. Tapi, kalau Irma ngebet bangets ingin kuceritakan,
    aku sama sekali tak keberatan menuliskan tentang dirinya. Jadi, 'gini ya, pemirsa, temanku Irma

    adalah a single mom with a daughter. Namun, dia dan putri tunggalnya tak bermukim di cluster perumahan
    pribadi di samping guest house. Secara jujur, dia mengakui bahwa pernikahannya kandas karena sejak awal
    tidak didasari oleh rasa cinta satu sama lain. Dia hanya mencoba menjadi anak yang patuh pada

    "kehendak kedua orangtua dan adat istiadat keluarga besar" meskipun berujung pada kepahitan.



    Irma itu manis, cantik, mungil (tapi, tidak terlihat tipis dan tidak pula tepos, lah ya), dengan tinggi
    "hanya" 160 cm. Sejatinya, aku tak menganggap Irma sebagai "bahaya laten" atau sosok yang berpotensi
    untuk "mengancam atau bahkan menghancurkan impianku". Nah, sayangnya dia sering menjalani berbagai
    "momen Before Sunrise" dengan si Bloody Handsome. Hal itulah yang kadang menjadi "duri dalam daging".


    "Maksudnya?" Kau dan kau dan kau. Pernah menonton film Before Sunrise? "Belum, soalnya..."


    Heeeiiisshhh... heeeiiisshhh... tak usah pula kau curhat sama aku. Nanti ujung-ujungnya kau pun
    malah akan coba-coba mengajak aku jalan bareng. Aku hanya mau bilang, Before Sunrise adalah satu film

    1990-an yang dipenuhi dengan adegan perbincangan antara seorang pria dan seorang wanita. Banyak pria
    yang tak pernah meng-upgrade kemampuan berkomunikasi mereka. Padahal kami, kaum Hawa,
    suka sekali berbicara atau bercerita panjang lebar. Kau dan kau dan kau dan kau mungkin heran,
    mengapa si Bloody Handsome selalu disukai oleh begitu banyak perempuan. Hanya karena dia good-looking
    dan berduit? Oh, aku sering bertemu dengan para pria, yang seolah dengan bangga memakai papan nama
    di dada bertuliskan "saya orang kaya". Toh, nggak banyak perempuan yang secara tulus tertarik
    pada mereka (selain para perempuan tipe gold digger). Kenapa bisa begitu?! Karena para pria itu
    tak punya keterampilan bercakap yang sanggup memikat perempuan. Si Bloody Handsome adalah seorang
    "great conversationalist" dan juga "great storyteller". Tau artinya? Seorang laki-laki straight yang senantiasa

    menyenangkan saban kali diajak berbincang, dan juga seseorang yang terampil menyajikan beragam cerita
    dalam perbincangan. Sosok pria yang seperti itu 100% dijamin tidak akan pernah membosankan.

    [​IMG]
    Para pria lainnya, secara menyedihkan malah berdalih dan membuat apologi: "Ah, kami memang
    tida
    k pinter ngomong dan tak mau banyak bicara. Bagi kami 'tuh, mendingan sedikit bicara, banyak kerja!"

    Kenapa apologi macam itu kukatakan "menyedihkan"? Ya karena hal tersebut menunjukkan bahwa mereka
    bahkan tidak sanggup membedakan antara "banyak omong" dengan "terampil berkomunikasi". Padahal, di

    dalam dunia kerja ada yang namanya "presentasi", "taklimat", "pelatihan", atau "negosiasi" yang jelas-jelas
    tidak akan mungkin bisa terselenggara dengan optimal jikalau Anda tidak becus berkomunikasi secara layak.

    Lain soal, apabila definisi "bekerja" yang Anda yakini sebatas "kerja otot yang bukan kerja otak".



    Si Bloody Handsome saat ini udah bukan lagi sebagai "pekerja" sebagaimana aku dan kalian. Dia
    berstatus "seseorang yang mempekerjakan banyak orang". Bukan lagi hanya mempekerjakan ART, tukang
    kebun, drivers, petugas security, dsb, yah! Dia mempekerjakan banyak pegawai. Aku tak tau pasti, berapa

    jumlah karyawan yang bekerja di "imperium" bisnisnya. Tapi, bisa kuberikan sedikit gambaran. Kini, si Ajeng
    bekerja dan berkarier di salah satu dari beberapa unit bisnis sekunder (bukan unit bisnis utama) yang dimiliki
    si Bloody Handsome. Kata Ajeng perusahaan itu mempekerjakan para pegawai dan pekerja hingga 550-an.
    "Orang semua, 'tuh?!" Nggak lah. Campur sama anoa, kebo bule, tarsius, trenggiling, dan luwak.
    (Pertanyaan bodoh macam itu tak usah kujawab secara panjang lebar. Toh tidak bakalan ngerti.)



    Kepiawaian berkomunikasi secara verbal bikin si Bloody Handsome disenangi begitu banyak orang
    (terutama cewek-cewek). Bagaimanapun, cara dia berkomunikasi, tentu sangat jauh berbeda dengan cara
    berkomunikasi para pria yang ngondek, feminin, atau melambai. Mungkin ada aja sebagian dari kalian yang
    dengan sinis bilang: "Laki-laki yang jago ngomong panjang lebar sama perempuan, ya, cuma 'laki-laki yang

    belok'." Jika kau sampai berkomentar picik macam itu, kemungkinan kau "mainnya kurang jauh", atau kau
    "lagi menghibur diri", oleh sebab tak ada cewek yang mau berbincang panjang lebar dengan kau.

    [​IMG]
    Ak
    u ulangi lagi, kaum perempuan udah dari sananya membawa sifat-sifat dasar: suka berbicara,

    gemar bercakap, dan doyan berkisah panjang lebar. Bagaimana mungkin kau akan bisa memikat
    banyak perempuan kalau kau tidak punya kemampuan berbahasa yang baik dan kemahiran bercer
    ita yang
    menarik? Kau mungkin selalu menepuk dada sebagai "seorang pria intelek dan berwawasan seluas samudra
    yang mengetahui segala hal". Toh, kalau kau tak sanggup mengungkapkan atau menyampaikan
    kualitas isi kepala kau dalam bentuk cerita yang memikat, cewek-cewek pun
    tidak akan berminat,
    karena mereka menganggap kau sebagai "sang pria membosankan, dengan kehidupan monoton". Jika kau
    punya kecerdasan linguistik dan communication skills yang terlatih, kau pastilah akan mampu meng-counter
    argumen perempuan—tidak peduli mau sepintar, secerdik, sebrutal, atau secerewet apa pun dia.

    Dan si perempuan itu nantinya akan selalu merindukan momen beradu argumentasi dengan kau.



    Reputasi si Bloody Handsome sebagai "a great conversationalist" (dan juga "a great storyteller"),
    diakui pula oleh Irma. Keterampilan berkomunikasi seperti itulah yang sudah terbukti sangat, sangat, sangat
    menghibur Irma, ketika Irma sedang mengalami guncangan psikologis pada beberapa tahun lalu.

    Irma berkeluh kesah memakai "bahasa perempuan" yang feminin (bahkan cenderung pesimistis)
    dan "penuh derai air mata". Si Bloody Handsome secara sobirin... maksudku... secara sabar menyimak dan
    menampung luapan emosi Irma. Begitu Irma terlihat sudah kehabisan tenaga (tidak bisa lagi berkata-kata),

    si Bloody Handsome mulai menyampaikan pendapatnya dengan menggunakan "bahasa laki-laki"
    yang maskulin, menyemangati, memotivasi, tapi sama sekali tidak bertujuan untuk "menggurui".

    Dia nggak mengatakan "segalanya akan baik-baik saja", yang terdengar sebagai perkataan klise.
    Yang dia katakan: "Agar keadaan bisa berubah menjadi baik, segala hal yang menjadi sumber persoalanmu
    mesti diurai untuk dicari solusinya. Kalau kamu mencari bahu untuk bersandar, maaf saja, aku bukan orang
    yang tepat, karena kalau ada perempuan cantik bersandar di bahuku, akan bikin 'organ vitalku' nyut-nyutan
    [maksudnya 'jantung' yah, jangan pula kautafsirkan yang lain!]. Tapi kalau kamu mencari teman yang mau
    diajak terlibat secara aktif dan bisa memberi kontribusi positif dalam penyelesaian masalah, Insya Allah, aku
    siap 24 jam, kecuali kalau pas ketiduran. Asalkan kamu berada di jalan yang benar, aku berada di pihakmu.

    Mark my words: Anyone who messes with you will have their head ripped off! [Jangan dimaknai
    secara harfiah!] If they want to mess with me, they'll mess with the best!" [Belagu at its finest!]

    Irma jujur mengakui, semula dia hanya menerima kebenaran perkataan si Bloody Handsome itu

    sebesar 50% aja. Irma beralasan: "Kita hidup di dunia yang dipenuhi para pria tukang tipu, tukang bohong,
    yang selalu terlihat jagoan banget dalam hal berjanji tetapi sekaligus pula bazingan nian dalam hal realisasi."
    Eh, belakangan, Irma bersaksi dengan menyebut Nama-Nya, Alhamdulillah, "Kak Stevie" bisa membuktikan

    semua omongannya. Jelas aja Irma jadi klepek-klepek. Toh dia bilang, "Aku taulah siapa aku ini."

    Seolah ada garis demarkasi: "Aku cuma boleh berteman, tak boleh sampai jatuh cinta sama dia."


    [​IMG]
    Irma sendiri selalu mengatakan bahwa "dia
    tidak akan mau lagi berumah tangga". Persoalannya,
    perempuan cenderung bertindak atas dasar perasaan. Betapa pun dia ngomong "A", tetapi apabila hati dan
    perasaannya nyaman dalam kondisi "Z", ya dia pun dengan mudah akan berganti ngomong "Z".




    Pada pertengahan Desember 2016, Irma merasakan
    titik terendah dalam kehidupannya. Proses
    perceraiannya dipenuhi drama-drama yang sangat melelahkan. D
    itambah lagi muncul "masalah besar" saat
    Irma mengurus pembuatan ser
    tifikat tanah di BPN. Kelebihan luas tanahnya sebanyak 75 m2 dipersoalkan,
    sehingga semua tahapan yang telah susah payah dia jala
    ni pun menjadi mentah kembali. Masih
    buanyak lagi permasalahan berat lainnya. Bertubi-tubi. Saking parahnya, Irma pun sampai bilang,
    "Waktu itu, aku udah hampir gila beneran." Orang-orang cuma menghibur dengan perkataan "Sabar, ya..."
    Secara normatif, maksud mereka baik, tetapi karena terus dijejali dengan "sobar-sabar-sobar-sabar" (tanpa
    ada seorang pun yang sanggup memberi solusi real dan logis) malah jadi bikin Irma kian depresi.

    Tekanan psikologis itu pun mencapai kulminasi ketika dia dibikin jengkel oleh si Bloody Handsome.

    Langsung meledaklah "gudang amunisi tangisan" yang ada dalam diri Irma. Nah, itulah sisi gelap

    si Bloody Handsome. Selain amat mahir bikin para perempuan ceria, tertawa, dan berbahagia, dia juga jago
    bangets bikin para perempuan merasa bersalah, kesel, sedih, meratap-ratap, resah dan gelisah,

    mendesah, merintih-rintih... heeiiiiiisssyaaah... bukan dalam konotasi "yang itu" lho ya! Pokoknya,
    pada waktu itu, Irma udah sempat berniat untuk tidak akan pernah mau lagi bertemu si Bloody Handsome.
    Sedemikian jengkelnya Irma, sampai-sampai si Bloody Handsome dimaki-makinya habis-habisan.




    Irma pun pulang ke rumahnya, langsung tidur, seperti nggak akan bisa bangun lagi. Letih secara

    fisik dan mental. Makin tercabik-cabik hatinya dengan sikap si makhluk itu. Yang nggak diketahui Irma, pada
    malam harinya, si Bloody Handsome, Elias (sepupu pria si Bloody Handsome), serta Marius (salah seorang

    teman di slagorde/komunitas kami) datang ke rumah Irma. Setelah berbincang sejenak dengan Papa Irma,
    mereka bertiga langsung bergerak cepat membereskan sebuah persoalan berat yang udah bertahun-tahun

    tidak jelas solusinya. Selepas Shalat Isya, "para gerilyawan revolusioner itu" melajukan SUV mereka dengan
    kecepatan tinggi menuju ke dua kota (dalam satu malam). Bertemu langsung dengan sejumlah pihak VVIP.
    Udah menjadi rahasia umum, selalu ada aja oknum-oknum yang punya mentalitas: "Kalau bisa kita persulit,
    kenapa juga mesti kita permudah?!" Toh, mereka bertiga "memegang kartu as para oknum itu".


    [​IMG]
    Setelah tidur, molor semalaman di kasur macam orang mati suri, pagi harinya, si Irma terbangun
    oleh satu "serangan fajar". "Ya, ampun! Jadi... Stevie sama Irma itu..." Kau jangan punya pikiran gila yang
    macam-macam! Irma terbangun, ya karena dia itu dibangunkan Mama-nya. Beliau menginformasikan, ada

    "satu persoalan berat" yang, Alhamdulillah, telah berhasil dibereskan. Begitu Irma tau permasalahan itu bisa
    terpecahkan karena usaha keras si Bloody Handsome, Elias, dan Marius, yah, Irma pun menjadi
    merasa sangat, sangat, sangat bersalah karena kemarin siang, sudah memaki-maki makhluk itu.

    Irma menghubungi Bu Retno "Bellucci", meminta saran beliau. Bu Retno b
    ilang, "Ya, datang aja,
    'ngomong langsung sama Masé. [Kebetulan pas hari Sabtu.] Sebelumnya, Mbak Irma sudah sering datang
    kemari, 'kan?! Bersikap biasa. Ndak usah cemas. Insya Allah, Masé itu bukanlah pendendam..."



    Karena disemangati beliau, akhirnya Irma berani datang. Waktu itu belum ada guest house, yah.

    Begitu dia sampai di rumah tersier keluarga si Bloody Handsome, Irma segera "menghadapnya".
    Si Bloody Handsome yang sebelumnya masih tertidur, bergelantungan
    tidak karuan di atas pohon, langsung
    terbangun saat melihat ada sosok perempuan menyegarkan. "Ya salam... terbangun? Terbangun apanya?
    Lagian kenapa juga mesti tidur di atas pohon?!" Aku beri tau yah, kalian para cabe giling dan bumbu semur!
    Yang namanya "laki-laki" sebaiknya punya pengalaman beradaptasi dengan banyak hal, s
    ituasi, dan kondisi.

    Supaya punya menta
    litas yang tangguh. Nggak padede dan menye-menye. Belajar tidur di tempat-tempat
    yang tidak nyaman, bisa
    menjadi salah satu metode survival training. "Tidur di pohon kayu, bangun di pagi

    hari ketika Irma tiba-tiba datang. Berarti morning wood. Begicu 'kan, istilahnya?!" Tante-Tante, yuk ikut aku!
    Mau pada ngerasain 'kan, betapa nikmatnya guillotine choke dan arm triangle choke? Buruan sini!

    Si Bloody Handsome turun dari atas pohon. "Nyut-nyutan atas bawah" melihat si Irma. Eh, yang
    kemudian terjadi malah "seakan berlawanan dengan yang dikatakan Bu Retno". Reaksi si Bloody Handsome
    justru terlihat (seolah)
    tidak bersahabat: "Kaupikir, dengan kaudatang memelas macam itu, aku jadi kasian
    sama kau? Tidak, Sayang! Tidak!" Semula aku sama sekali nggak percaya makhluk itu ngomong
    begitu. Tapi, Bu Retno membenarkan cerita Irma. Ketika Irma udah tak tau lagi apa yang mesti
    dia katakan, tiba-tiba aja, Ibunda Irma datang menyusul bersama putri tunggal Irma (yang saat itu, masih

    balita). Irma bilang, putri tercintanya ketika itu dalam kondisi terus menangis, mencari dirinya. Si dedek kecil
    tersebut termasuk anak balita yang apabila ngambek, nggak mudah ditangani. Irma pun seperti
    kewalahan menenangkan putrinya itu. Lah, secara nggak disangka-sangka, si Bloody Handsome
    "sok ikut-ikutan memersuasi" si dedek balita. Hey, taukah kau arti "memersuasi"? Jangan sampai kaub
    ilang
    kata itu diambil dari "bahasa ikan lele". Awas kau! "Memersuasi" termasuk kosakata Bahasa Indonesia baku
    yang artinya: "Membujuk" (secara halus). Aneh bin ajaib, Irma bilang sang putri tunggalnya pun

    berangsur-angsur berhenti menangis, karena dia tertarik dengan tindakan persuasif "Om Stevie".

    Ibunda Irma mengatakan pada si Bloody Handsome, "Cobalah kaugendong dia [putri tunggal Irma], Nak."
    Menggendong atau "mengekspresikan sayang" pada anak kecil dari orang lain mesti mendapat persetujuan
    orang terdekat si anak, yah. Entah itu dari kedua orangtuanya atau dari kakek-neneknya. Begitu
    si Bloody Handsome mulai menggendong si dedek kecil itu, dan mencoba mengajaknya pula berkomunikasi,
    putri tunggal Irma tersebut, seketika, tertawa-tawa ceria. Ibunda Irma jadi sangat, sangat, sangat terharu.
    Momen itu direkam Irma dengan smartphone-nya. Irma pun semakin tambah merasa bersalah.


    Para ibu lajang mana pun (atau para wanita yang sudah bercerai dengan suami masing-masing),
    cenderung akan langsung bersimpati kepada seorang pria yang terlihat "secara tulus bisa menyayangi anak
    kandung si ibu tersebut" (dan si anak juga terlihat nyaman bersama pria itu). Padahal, si Bloody Handsome
    nggak sedang memacari Irma, tidak pula sedang melakukan pendekatan asmara. Jadi, tindakan

    si Bloody Handsome itu jelas bukanlah dalam rangka "cari muka" demi bisa meraih simpati Irma.



    Suatu ketika, si Anggi "Reberbs" bercerita padaku. Dulu, Aunty Nis-Syi pernah sampai "mengusir"
    si Bloody Handsome sembari marah-marah. Ya, begitulah MaNULa. "Mama Nis-Syi Uring-uringan karena dia
    Lapar." Lapar akan rasa cinta, perhatian, kasih sayang, dan segala bentuk perlakuan baik dari seorang pria.

    Dari a high-value man yang bisa memberi secara tulus (tapi nggak 'nolak kalau si Aunty mau ngasih imbalan
    hal-hal yang mulus... heeiiiiisssyaaah...). Nah, "edan"-nya, si Bloody Handsome punya 1001 cara

    efektif untuk bikin sang "singa jadi-jadian" yang lagi "salah obat" itu tidak berkutik. Pada satu hari,
    si Aunty marah karena si Bloody Handsome menolak mentah-mentah satu keinginannya. Padahal, si Aunty

    udah "ngebet bangets sampai ke ubun-ubun". (Kau mesti belajar memahami kalimat dengan pikiran bersih,
    jangan berprasangka yang tidak-tidak!) Saking marahnya, Aunty Nis-Syi pun "merujak" si Bloody Handsome
    dengan kata-kata puedessss yang level kepedasannya mencapai 1.000.000 SHU (Skala Scoville).

    Karena Anggi selalu punya "naluri jurnalisme", yah, direkamlah adegan kemarahan yang sungguh
    sangat tidak senonoh itu. Eh, yang mengejutkan, si Bloody Handsome (seolah-olah) menanggapi
    dengan "kemarahan" pula—
    tetapi sepenuhnya menggunakan Bahasa Jerman. Anggi dan si Aunty jelas aja

    sama sekali nggak paham sedikit pun. Kata Anggi, baru kali itu si Bloody Handsome "membalas kemarahan
    Aunty Nis-Syi dengan ekspresi kemarahan pula". Sebelum-sebelumnya, makhluk itu tidak pernah
    terpancing sedikit pun manakala si Aunty "meluapkan keganasannya". Dia selalu saja merespons
    kemarahan si Aunty secara sangat elegan. Tegas, tanpa perlu beringas. Tidak pernah memakai kekerasan,
    baik verbal maupun non-verbal. Tau-tau, dia memberikan counter-attack yang terdengar sangar.

    Saking seremnya, Anggi dan (terutama) si Aunty langsung shocked. Mereka pun sampai terdiam
    cukup lama. Sampai kemudian akhirnya, putra si Aunty tiba dari sekolah bersama seorang teman SMA-nya.
    Karena telah mengenal si Bloody Handsome (dan nggak keberata
    n
    bila dia menjadi "sahabat terkasih" bagi
    sang Mama), putra Aunty Nis-Syi pun menyapanya dengan ramah—sambil melakukan fist bump
    dan soul handshake. Si Bloody Handsome tak dianggapnya sebagai "Om", tetapi sebagai teman.

    Anggi bilang, pada siang itu, putra si Aunty sebetulnya membawa pula tiga bungkus nasi Padang.
    Salah satu, akan diberikan untuk sang Mama. Tapi, Aunty Nis-Syi menolak (karena lagi ngambek). Ya udah,
    akhirnya sebungkus nasi Padang itu diberikan kepada si Bloody Handsome, yang kemudian memakannya di
    teras depan rumah bersama putra si Aunty dan teman sekolahnya. Selagi mereka makan, Anggi berinisiatif

    mengirimkan potongan rekaman video ketika si Bloody Handsome (seolah) marah dalam Bahasa
    Jerman. Dikirim ke Elias di markas "Divisi Provost" untuk diterjemahkan. Sembari menanti kiriman

    video balasan, Anggi pun iseng mengintip ke teras. Momen makan siang itu sebenarnya sih, agak terlambat
    bagi si Bloody Handsome. Udah pukul dua siang lebih. Si Aunty terlalu
    menuruti hawa nafsu (nafsu amarah)
    sehingga dia lupa sama sekali nggak menyediakan makan siang untuk sang "tamu istimewanya".



    Tak berapa lama kemudian, masuk kiriman video balasan dari Elias. Yang mengejutkan dan juga

    lucu banget, respons si Bloody Handsome dalam Bahasa Jerman—yang seolah-olah amat marah—ternyata
    "sama sekali tidak mengandung unsur kekerasan verbal apa pun". Tak ada kata kotor, hinaan, atau makian.
    Selain memberi terjemahan, Elias juga menyertakan transkripsi dari ucapan si Bloody Handsome

    dalam Bahasa Jerman (agar Anggi dan si Aunty pun bisa mengecek dengan bantuan translator).

    Jadi, si Bloody Handsome kurang lebih mengatakan: "Dari tadi pagi aku belum makan. Kirain pas

    aku datang ke sini [rumah si Aunty] langsung dikasih makan pakai nasi hangat, sambal cabe hijau, dan lauk
    ayam kampung ungkep goreng. Kalau pas nggak masak ayam, ya pakai perkedel, kerupuk, tempe goreng,
    atau tahu goreng pun, akan sangat aku syukuri. Eh... kau itu bukannya 'ngulek sambal cabe hijau di cobek,
    malah 'ngulek sambal di mulut." [Kiasan atau sindiran, karena Aunty Nis-Syi secara teramat sadis
    "merujak" si Bloody Handsome dengan kepedasan tinggi.] Aslinya, 100% dalam Bahasa Jerman.

    [​IMG]
    Jujur ya, aku nggak bisa berbahasa Jerman—sama dengan Anggi dan si Aunty. Toh, ada hal-hal
    menarik pada momen "kemarahan pura-puranya" itu. Si Bloody Handsome menggunakan idiom:

    Das fünfte Rad am Wagen sein." Kata Elias, idiom itu setara dengan "third wheel" di dalam Bahasa Inggris
    (yang maknanya sering merujuk pada "orang lain yang tak diinginkan"). Frasa lengkap yang digunakan oleh
    si Bloody Handsome itu adalah: Ich möchte nicht das fünfte Rad am Wagen sein." Nah, karena mendapat

    penjelasan dari Elias, Anggi bisa memahami maksud ucapan si Bloody Handsome terkait dengan
    "third wheel" tersebut. Yang menarik, hal itu ada hubungannya dengan si Aunty. Pada beberapa
    hari sebelumnya, si Bloody Handsome bertemu secara tidak sengaja dengan si Aunty dan Anggi, di sebuah
    hotel bintang lima. Mereka berdua menghadiri satu acara bersama para teman sosialita. Ketika si Aunty lagi
    bercakap dengan seorang pria (sekadar bersosialisasi), tau-tau si Bloody Handsome muncul di hadapannya.
    Kata Anggi, reaksi si Aunty kaget bangets—mirip "seorang bini yang tertangkap basah laki-nya".


    Padahal, si Bloody Handsome bersikap biasa-biasa aja. Seolah tidak mau ambil pusing. Ternyata,
    "momen menangkap basah si Aunty" itu baru dia manfaatkan sebagai amunisi pada saat krusial. Ketika dia

    melancarkan satu counter-attack (sewaktu si Aunty "ngamuk"). Ada lagi ungkapan berbahasa Jerman yang
    si Bloody Handsome gunakan: Alles hat ein Ende, nur eine Wurst hat zwei." Elias bilang, frasa itu janganlah

    dimaknai secara literal. Padanan dalam Bahasa Inggrisnya adalah "nothing lasts forever." Biasanya frasa itu
    digunakan saat ingin mengakhiri sesuatu, tetapi dalam konteks candaan. Seakan, si Bloody Handsome ingin
    menyatakan bahwa dia akan menutup buku terkait si Aunty. Penyebabnya, yah, si Aunty sendiri.

    Setelah peristiwa itu, si Bloody Handsome tak lagi datang ke rumah Aunty Nis-Syi. Alhamdulillah...
    Menghilang begitu saja? Menghindari si Aunty? Sayangnya enggak. Anggi mengatakan, si Bloody Handsome
    dan segenap rombongan ketopraknya... heiiisshh... maksudku... bersama dengan beberapa staf pribadinya
    mengadakan perjalanan biznes ke sejumlah negara. Mengunjungi kota-kota yang terdengar sangatlah asing
    bagiku: Krakow, Dubrovnik, Bratislava, Vladivostok, dsb. Bukan dalam rangka membuang duit atau sekadar

    halan-halan dan berfoto untuk selanjutnya di-upload deh ke IG, biar dikagumi netizen. Tidak, Sayang! Tidak!


    Begitu mengetahui hal itu, si Aunty merasa bersalah karena dulu mengasari "sahabat terkasihnya". (Puiiihh!)
    Dia yang pada dasarnya kesepian, makin kesepian lagi. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia menyanyikan satu

    lagu (yang sekaligus direkam): "This Ain't Over". Hasil rekamannya pun langsung dia kirimkan kepada "sang
    korban kebrutalannya ngerujak itu". Eh, nggak sia-sia! Si Bloody Handsome mau kembali rutin mengunjungi

    rumah si Aunty. Mungkin, untuk menagih cicilan peralatan dapur yang belum Aunty Nis-Syi lunasi.



    Pada 29, 30, dan 31 Desember 2016—berlanjut hingga 9 Januari 2017, si Bloody Handsome dan
    sejumlah orang dari slagorde kami mesti melaksanakan sejumlah operasi teritorial yang halal, legal, rasional,

    dan tentunya sangat, sangat, sangat menguntungkan secara finansial. Di dunia ini, ada banyak orang yang
    menampakkan diri sebagai orang berada tetapi sama sekali nggak jelas sumber pendapatannya.


    Alhamdulillah, "sang pemuda tersayang kita tersebut" bukanlah tipe orang seperti itu, ya! Seluruh
    sumber pendapatannya terang benderang, dan dengan izin Allah SWT, akan bisa dipertanggungjawabkan di
    dunia dan di akhirat. Oleh sebab dari rangkaian aktivitas itu ada pula yang kebetulan "sejalan dengan proses
    penuntasan beberapa permasalahan memusingkan yang dialami Irma", maka Irma, putri tunggalnya, serta
    kedua orangtuanya diajak ikut. Pada 28 Desember 2016 siang, mereka pun berangkat ke Bogor.


    Tapi, Irma menyebutnya sebagai "mBogor". Bukan bertujuan menghina, melainkan sebagai satu
    penghormatan pada Bu Retno yang (karena orang Jawa) menyebut kota/pulau berawalan "B" dengan cara
    pelafalan yang unik. Misalnya aja, "mBogor", "mBandung", "mBali". Banyak jasa Bu Retno kepada si Irma.

    Bogor yang kumaksud di sini, Bogor betulan, ya! Bukan "Bogor setengah"—seperti kata Om Kasino Warkop
    dalam rekaman kaset lawak jadul Dokter Masuk Desa, yang sampai bisa bikin greges-greges itu!




    Keesokan harinya, 29 Desember 2016, sejak pagi hingga malam, Irma—yang didukung penuh si
    Bloody Handsome, Elias, Zees, dan Marius—berusaha memutus mata rantai suatu persoalan ruwet lainnya.
    Meski belum bisa dituntaskan pada hari itu, setidaknya jalan-jalan penyelesaian mulai terbuka. (Belakangan,
    kasus itu mampu dibereskan pada Maret 2017.) Ada fakta menarik ihwal si Marius. Dulu—tanpa bermaksud
    membuka luka lama—dia pernah terlibat dalam "konflik berbahaya" dengan si Bloody Handsome.


    Alkisah, terjadi perselisihan antara Marius dan Ajeng. Namanya juga "gadis cengeng", Ajeng pun
    mengadukan hal itu pada si Bloody Handsome. Yah, si Bloody Handsome diketahui amat sangat melindungi
    Ajeng. Maksudnya, si Ajeng itu dia anggap sebagai "lindung atau belut yang mesti dilestarikan". Ya, karena

    bahasa yang dipakai Ajeng mungkin adalah bahasa spesies lindung (bukan bahasa yang dipahami manusia)
    konsekuensinya terciptalah satu kesalahpahaman. Marius ngomong "Alpha", Ajeng menafsirkannya sebagai
    "Theta". "Kenapa 'itunya' aku sampai dibawa-bawa dalam tulisan kamu? Aku malu, 'kaan..." Ya salam. Aku
    bilang "Theta", malah diartikan yang lain. Heish, duduk sini kau! Belajar alfabet Yunani sama aku!

    "Bu Guru, yang ini apa namanya?" Yang mana? Oh... itu namanya Omicron. "Bu Guru, yang ini

    apa namanya?" Yang itu namanya Epsilon. "Bu Guru, Mas Pacar-nya handsome and hot. Siapa namanya?
    Aku boleh ikut join, nggak?" Ya Allah. Lindungilah hamba-Mu yang lemah ini agar jangan sampai terjerumus
    melakukan perbuatan yang bisa dikaitkan dengan pasal-pasal penganiayaan dalam KUHP. Aamiin.

    Bicara soal Yunani, mau tidak mau mengingatkanku pada mitologi Yunani. Ada karakter bernama
    Helen of Troy. Sesosok perempuan cantik yang sedikit banyak menjadi pemicu Trojan war (perang Troya).


    Nah, Ajeng pun (saat itu) bisa dibilang mirip Helen of Troy. Ajeng-lah yang menyebabkan Marius

    dan si Bloody Handsome sempat berkonflik. Yang syerem bangets, Marius punya anak buah yang tersebar
    di segala penjuru (pulau, provinsi, wilayah). Luar biasa ban
    yak pula. 'Gimana jika sampai terjadi showdown?
    Si Bloody Handsome dan Marius bisa aja tetap wolés. Tapi anak buah mereka 'kan, belum tentu.

    [​IMG]
    What was diverting was that Ajeng had often teased me for years by saying that "I was similar

    to Helen of Troy"—whose attractiveness, sexiness, and seductiveness would drive loads of men to destroy
    each other. But then it turned out that she was the one who almost created a terrible bloodbath. Had Elias
    and their confreres not immediately stepped in or intervened, there could've been massive news coverage
    that year regarding the clash between Marius' and Mr. Bloody Handsome's men. It'd seriously tarnish their
    reputation, wouldn't it? Nothing "dreadful" happened, however. Marius and Mr. Bloody Handsome remain
    comrades to this very day. They've eschewed all forms of brutality and violence. Alhamdulillah...



    Besoknya pada 30 Desember 2016, adalah hari yang (mungkin) menghadirkan kepedihan dalam
    hati si Bloody Handsome. Bukan disebabkan oleh terjadinya peristiwa memalukan atau musibah apa pun itu,
    tidak pula terkait dengan Irma. Sayangnya, Irma enggan bercerita secara mendeta
    il kepadaku. Dia merasa
    "punya utang nyawa pada Kak Stevie". Yang aneh, si Bloody Handsome tidak sudi "memaki" hari tersebut.

    Karena bisa aja, ada pihak yang justru menyunggingkan senyum bahagianya pada saat itu. Mereka berhak
    menikmati kebahagiaan yang mereka cari—terlebih kebahagiaan yang memang berasal dari-Nya.

    Kata Irma, si Bloody Handsome terlihat seperti mengalami luka-luka batiniah yang menyebabkan

    timbulnya "pendarahan parah dalam jiwa". Tapi, karena dia adalah seorang laki-laki yang selalu menjunjung
    tinggi "harga diri dan maskulinitas", yah, dia pun tak akan sudi menunjukkan kesedihan apa pun.


    Analoginya mirip adegan hardcore di film Rambo III, saat si Mas Rambo melakukan "kauterisasi"
    (bukan "kateterisasi", yah). "Kauterisasi" adalah tindakan membakar luka untuk menghentikan pendarahan.
    Mas Rambo yang perkasa terluka, mengalami pendarahan, sendirian, tidak ditemani siapa pun. Tapi toh dia
    sama sekali nggak 'nangis. Takkan sudi meneteskan air mata. Tidak, Sayang! "Kauterisasi" memang bukan
    untuk menyembuhkan luka. Tujuannya adalah menghentikan pendarahan. Agar bertahan hidup.


    [​IMG]
    Kenapa mesti bertahan hidup? Ya, karena dia berkomitmen menyelamatkan eks
    -komandannya!
    Perbedaan mendasar antara pria sejati dengan pria bangké, bisa dilihat dari usahanya mematuhi komitmen.
    Boleh jadi, peristiwa G-30-Des '16 (Getir 30 Desember '16) "menghantam keras" relung-relung jiwa dan hati
    si Bloody Handsome. Tapi, dia bukan pria sentimental yang akan berurai air mata dan hancur hanya karena
    kekecewaan apa pun. Dia punya sejumlah ko
    mitmen dan tujuan hidup, yang mesti dia tunaikan.

    Meskipun hari itu sangat berat secara psikologis bagi "Kak Stevie" (Puihh! Aku kok nggak senang,
    yah, mendengar "panggilan sayang" dari Irma untuk si makhluk itu...), dia tetap berkomitmen 100% untuk

    membantu Irma. Mereka berdua (bersama Elias dan Bu Retno) menyambangi rumah seseorang yang bisa
    efektif berperan sebagai "katalisator dalam penyelesaian pembuatan SHM properti Irma di BPN".
    Bukan berarti mereka bermaksud "mengambil langkah di luar prosedur resmi". Mereka tetap aja

    mengikuti prosedur yang telah diberlakukan. Alhamdulillah, ada solusi yang bisa melegakan Irma.

    Selepas itu, Elias pun mesti "berpisah jalan" dengan mereka. Kehadirannya sudah dinantikan oleh
    "Divisi Provost". Berhubung "masih pagi", Irma ingin mengajak Bu Retno "Bellucci" dan si Bloody Handsome
    halan-halan, muter-muter mBogor. Toh tidak ada acara lainnya. Pada awalnya, Bu Retno nggak mau. Irma
    udah tak ingat lagi secara persis, apa alasan Bu Retno pada waktu
    itu. Tapi akhirnya, beliau mau ikut serta,
    karena si Bloody Handsome nggak mau jika acara halan-halan keliling mBogor itu cuma berduaan
    dengan Irma. Bahaya jika ketauan "anak provost". Apalagi, kalau ketauan aku. Bahaya bangets!



    Ada hal-hal lucu, seru, dan bahkan nyaris menimbulkan satu haru biru dalam momen halan-halan
    itu. Semula, Irma jalan berdampingan dengan si Bloody Handsome. Sebagaimana telah kunyatakan di atas,
    Irma termasuk "perempuan berpostur mungil". Tingginya "hanya" 160 cm. Sangat njomplang dibandingkan
    si Bloody Handsome yang berpostur tegap-natty-menjulang, dengan tinggi 188 km... maksudku... 188 cm.


    Seperti yang udah pernah ditulis Mbak Suci, "natty" itu adalah tubuh tegap kekar, yang terlihat natural. Jadi,

    sama sekali tidak menggunakan performance-enhancing drugs atau human growth hormone. Tak memakai
    suntikan anabolic steroids, tak mengonsumsi suplemen, nggak pakai susuk berlian, nggak suntik Botox, dan
    alisnya pun nggak disulam. Eh... abaikan tiga hal yang terakhir itu karena nggak ada korelasinya.



    Beberapa tahun silam, ada satu program di channel AFC (kini telah berganti nama menjadi AFN):
    Wonderful Indonesia Flavours. Bintang utama acara tersebut adalah Chef Rinrin Marinka. Secara bergantian
    didampingi oleh salah satu dari dua chef pria Kaukasia. Kalau kita saksikan video di atas, jelaslah terlihat ada
    perbedaan tinggi tubuh antara Chef Marinka dan si Chef pria bintang tamu. Tetapi perbedaa
    n itu
    "tak mendatangkan kesan buruk apa pun". Nah, lain halnya tatkala si Bloody Handsome berjalan
    berdampingan dengan Irma (dan diikuti Bu Retno "Bellucci" di belakang mereka). Irma bilang, pada saat itu,
    semua mata seolah menatap dia dan si Bloody Handsome. Awalnya Irma merasa bangga. Meski dia janda,
    bisa berjalan berdampingan dengan "Kak Stevie". Mirip "sang pawang dengan si beruang". Tetapi kemudian

    si Bloody Handsome cepat menyadari, bila dia terus berjalan berdampingan dengan Irma, bisa menciptakan
    persepsi negatif publik, khususnya bagi Irma. Orang-orang yang berpikiran ngeres akan beranggapan: Irma
    adalah "korban" si Bloody Handsome. Mereka berdua akan dipersepsikan sebagai pasangan, tapi
    dalam konotasi tidak senonoh. Hal itu bisa merugikan citra diri Irma sebagai perempuan baik-baik.

    Irma pun ganti berjalan berdampingan dengan Bu Retno "Bellucci"—diikuti si Bloody Handsome di
    belakang mereka. Setelah lima menit berjalan, Irma menoleh ke belakang. Lah, kok jarak "Kak Stevie" agak
    jauh dengan dia dan Bu Retno? Ketika Irma tanyakan, si Bloody Handsome menjawab sekenanya. Namun,
    belakangan Irma menduga, agaknya "Kak Stevie" itu sengaja sedikit menjauh karena dia tidak mau melihat
    pinggul-pinggul serta bokong-bokong Irma dan Bu Retno, yang bergoyang kanan kiri ketika sedang berjalan,
    ataupun dua pasang betis mereka (pada saat itu, Bu Retno belum berhijab seperti sekarang ini).


    [​IMG]
    Sedari dulu aku tau banget, dia terindikasi menyukai perempuan yang mem
    iliki betis padi bunting.
    Ada masanya, aku berbusana kerja berupa blazer dan rok selutut. Tiap kali dia menjemputku selepas kerja,
    dia pasti menyuruhku duduk di kursi belakang mobilnya, karena dia tidak bisa berkonsentrasi mengemudikan
    mobil bila aku duduk di sampingnya. Yah iyalah. Ujung pahaku terlihat. Apalagi sepasang betisku.
    Tetapi kau jangan samakan dia dengan Ken Arok yang nyaris semaput karena terpesona melihat keindahan
    sepasang betis halus mulus Ken Dedes. Secara teknis Ken Arok itu bisa dikatakan "pebinor". Dia membunuh
    Tunggul Ametung—suami Ken Dedes—saking udah ngebet kepingin memiliki "Tante" Ken Dedes.



    Di satu lokasi, si Bloody Handsome, Bu Retno, dan Irma berpencar sejenak. Irma ingin membeli

    jajanan/makanan; "Kak Stevie" serta Bu Retno membeli beberapa majalah. Pada akhir Desember 2016 itu,
    masih banyak majalah (yang legal dan normatif) yang terbit di Indonesia. Eh, nggak disangka, ada seorang
    bapak-bapak bulukan—bandot tua—yang dengan sangat kurang ajar mencoba menggoda Irma.

    Untunglah dari kejauhan, si Bloody Handsome melihat momen yang tidak menyenangkan itu dan
    segera menghampiri Irma. Oknum yang tadinya mau 'nempel-'nempel ke Irma, dengan cepat langsung dia

    halau pergi. Sambil digertaknya pula: "I'm Batman." (Eh, nggak déng. Yang itu, bisa-bisanya aku aja.) Irma
    mengatakan, dia sempat merasa ketakutan banget akan terjadi bentrokan fisik karena si Bloody Handsome
    memperlihatkan gesture: "lu jual, gua beli" (bahkan "lu jual, gua borong"). Tak hanya sok-sokan.

    Ibarat kata, kalau udah menyatakan "berani beli dan berani borong", dia pasti punya "daya beli".
    Dalam konteks kasus di atas, Insya Allah, dia punya bekal hand-to-hand combat. Kau dan kau dan kau pun
    mesti punya 'dikit-'dikit kemampuan itu. Tidak usah muluk-muluk berkhayal jadi Master Wong Fei Hung, atau
    Jason Bourne. Cukup jadi orang biasa, tapi punya nyali dan bisa membela bini kau, jika ada yang coba-coba
    mengusiknya. "Membela"-nya pun mesti memakai akal, teknik, strategi, dan kekuatan. Jangan sampai, kau
    yang malah babak belur jadi korban luka-luka akibat dihajar orang yang mengusik bini kau itu. Ingatlah pula,

    kau jangan kebablasan menghajar dia sampai mati, karena ada ancaman hukuman bui menanti.

    Alhamdulillah, sang bandot bulukan itu ternyata sama sekali tak punya nyali. Dia buru-buru pergi.

    Sewaktu Bu Retno datang dan diceritakan Irma ihwal momen tersebut, beliau pun meminta supaya mereka
    bertiga lekas meninggalkan tempat itu. Bisa saja 'kan, orang tadi memanggil teman-temannya?!!

    (Catatan: Bukan peristiwa itu yang bikin si Bloody Handsome ingin melupakan 30 Desember '16.)

    Si Bloody Handsome mematuhi instruksi Bu Retno. Namun, malam harinya sekitar jam sembilan,
    secara diam-diam dia mengajak Irma kembali ke tempat tersebut—dengan di-back up "anak-anak provost"

    (dalam tanda petik). Tujuannya apa? Hanya ingin tau, apakah sang bandot bulukan itu memang orang situ
    atau bukan. "Dari hasil olah TKP" didapat informasi bahwa "dia bukan orang situ". Ya udah kalau 'gitu. Irma
    cuma nyaris sial aja. Untung ada "Kak Stevie". Ya, 'kan Cyin?! Berbunga-bunga, 'kan lo?!! Puiihh!
    Menurut Irma, "momen kembali mendatangi tempat itu pada malam hari", ada untungnya juga.
    Dia pun bisa terhindar dari mengalami berbagai trauma psikologis seperti dihantui rasa ketakutan.

    Eh, yang kemudian dihantui justru si Bloody Handsome. "Pasti deh, dia dihantui sama Tante A."

    Udah ngomongnya kenceng, salah lagi. Bukan! Makanya, jangan asal mangap kau itu! Si Bloody Handsome
    dihantui oleh
    Mbah Buyut A. "Lah, fotonya itu kok foto Tante A?" Ya 'kan, suatu saat, dia juga bakalan jadi
    Mbah Buyut (Insya Allah). Aku tidak menghina si Tante A, tetapi justru mendoakannya. Agar dia
    bisa panjang umur hingga dia jadi Mbah Buyut. Sungguh baik hati dan mulia banget 'kan, aku ini?


    Beberapa hari lalu, Irma datang ke guest house (dan juga menginap) bersama putri tunggalnya.
    Setelah si dedek kecil terlelap di kamar, Irma pun segera menemui si "Kak Stevie"-nya, yang ternyata udah

    dalam kondisi bertelanjang dada. Ya, Irma jadi pingin ikutan dong. Maksudku, saat itu, si Bloody Handsome
    sedang bermain gitar sambil menyanyikan lagu-lagu, di bawah pohon mangga yang terus berbuah tak kenal
    musim. Mungkin, dia mengimajinasikan buah-buah mangga yang bergelayutan dan beg
    itu menggoda untuk
    dipetik itu sebagai bagian dari pesona Tante A. Dinyanyikanlah lagu "Woman", versi Ian McNabb.
    Karakter suara si Bloody Handsome, yah memang agak-agak mirip dengan si penyanyi tersebut.

    Irma terharu. "Begitu dalamnya perasaan 'Kak Stevie' terhadap Tante A". Aku yang mendengar

    cerita Irma perihal momen malam itu, juga ikut terharu. Luar biasa. Segitu gilanya kamu, Nyong!

    Si Bloody Handsome tidak menyadari bahwa Irma mengintipnya. Kalau sampai tau, ya, mungkin
    dia akan kaget, marah, dan bisa aja—saking paniknya telah diintip cewek—dia pun bikin Visum et Repertum.
    Kalau lagi panik, pikirannya 'kan, bisa aja, mendadak oleng ke sana kemari. Setelah dia tuntas melantunkan

    "himne mbelgedes" untuk Tante A, si Bloody Handsome mulai membawakan "May You Always".



    [​IMG]

    Ihwal kata "child" dalam lirik lagu itu mesti dipahami dengan makna konotatif, ya! Jangan dengan

    makna denotatif. Pengertian "child" di dalam "May You Always" adalah: "Perempuan yang sebenarnya telah
    berusia dewasa (seperti si Tante A dan "Tante-Tante lainnya" itu), tetapi masih aja kolokan kayak anak ular,
    manjanya kebangetan—'ngalahin kemanjaan Capybara yang sedang mengalami puber kedua, cengengnya

    pun amit-amit, sama persis dengan buaya muara betina yang masih ABG. Pas lagi ngambek, eh, langsung
    'ngesot-'ngesot dah, kayak singa laut genit yang minta perhatian." Sok galak, tega 'ngusir. Tapi begitu udah
    ditinggal beneran, langsung mewek-lah berhari-hari, menggalau sembari terus-terusan meratap: "Kau... bisa
    membahagiakan, menceriakan. Kau... bisa menggembirakan, memesonakan... aku... ingin
    menyayangimu
    dan kausayangi... aku... ingin bila terjaga, kau di sampingku selamanya...." Anehnya, si Bloody Handsome

    sangat bergairah pas ketemu sama yang model-model seperti itu. Tipe favorit untuk dia tangani.

    Irma haqqul yaqin: "Kalau Kak Stevie akhirnya bisa berkenalan dengan Tante A dan mereka pun

    menjalin interaksi intensif (meski nggak pacaran), yakin deh, Tante A nggak akan peduli lagi dengan semua
    laki-laki cap tempe bongkrek yang ngegombalin dia." Ah, kau itu sebetulnya nggak lagi 'ngomongin Tante A,
    tapi diri kau sendiri, 'kan? Secara implisit aku paham, kau udah tidak sudi meladeni para pria yang kau bilang
    "cap tempe bongkrek" itu, karena selalu ada "Kak Stevie". Kasihan... si Tante A kau bawa-bawa.

    [​IMG]
    Meski Tante A mungkin nggak sudi dikasihani, aku secara tulus merasa iba padanya. Tante tau?!
    Berdasarkan kesaksian valid "anak-anak provost", si Bloody Handsome sudah ratusan kali berada di tempat
    yang sama dengan Tante (bahkan posisinya dekat dengan Tante), tapi Tante sama sekali tidak menyadari.
    Lain kali, pas Tante halan-halan ke mana pun, pertajam itu naluri dan perasaan. Kalau melihat pohon gede,

    selidiki, itu pohon betulan, atau si Bloody Handsome yang lagi nyamar. "Kenapa dia tidak mendatangi Tante
    secara langsung?" Ya ndak tau, kenapa tanya saya? Tanya sendiri sama orangnya sana! Tapi Elias pernah

    berkata, "Stevie bisa dengan amat mudah diterima masuk ke dalam kehidupan Ibu itu. Namun, jika Stevie
    terkesan tidak mau buru-buru 'memberi keseriusan yang diminta si Ibu', kemungkinan besar si Ibu itu akan
    hancur, sehancur-hancur-hancur-hancurnya." Dalam hati kubilang, "Ih, lebay banget." Tapi Tante Yolla pun

    berpendapat senada dengan Elias. Keliatannya ada perbedaan perspektif. Si Bloody Handsome ingin masuk
    ke kehidupan Tante A "untuk membereskan sejumlah persoalan besar Tante A". Di lain pihak, Tante A ingin
    bilang, "Kalau kau memang serius mau membantu aku, yah, kau mesti menjadi suamiku dulu..."



    Aku berharap pada Allah SWT: "Semoga, tiada satu pun dari kita yang salah melangkah. Aamiin."






     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 2
    Last edited: Nov 12, 2023
  12. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Seperti biasa aku berikan satu pemberitahuan: "Kalau kalian ingin tampilan postingan ini terlihat rapi,
    kalian bisa membacanya dengan memakai browser Mozilla Firefox dan perangkat PC/Laptop. Bukan berarti
    aku mendikte hal yang mesti kalian lakukan. Bila kalian tidak suka kerapian, tak perlu ikuti saranku."



    As I've prev
    iously written here, Mr. Bloody Handsome eventually expressed "reluctance"—if not
    "outright refusal"—when Tante Yo
    lla (his aunt from his mother's side) sought to introduce him to Tante A.
    That was because Tante Yolla suddenly stated something crucial that she'd forgotten to tell him: "Tante A
    was probably a female daily smoker" (albeit Tante Yo
    lla had no idea whether Tante A was a light or heavy
    smoker). Tante Yolla said to me that the brawny stud faced a dilemma. He was in a pretty pickle.

    [​IMG]
    Tante A was a comely and flirty aunt in her late 30s. She was gorgeous—fair-skinned, long-haired,
    s
    lim, and "looking quite fresh or fit" for a woman her age (perhaps because "she routinely hoed the land,
    plowe
    d the rice field, drew water from the well in the backyard of her home—and in her leisure time, she
    might often participate
    in light flyweight boxing matches"). The young Steven, an exceptionally intelligent,
    righteous, strapping, rugge
    dly good-looking, and "dangerous" heterosexual half-British and half-Javanese
    man in his early 20s, was mightily s
    mitten with such a chic woman like her. He is, nevertheless, vigorously
    opposed to female smokers. It's not that he despises them; it's just that he has his preferences (as other
    people do). He adores girls and women who look clean, natural, well-groomed, and smell nice or refreshing.
    It's understandable if he'd ins
    tinctively avoid any g
    irls or women who don't fit his standards, right?



    He's always practiced a clean lifestyle. He doesn't smoke, drink, do drugs, or engage in premarital
    or extramarital sexual activity. The bloody handsome heartthrob has no tattoos, doesn't pierce his ears or

    wear earrings, and never wears any necklaces or other jewelry (except a tactical military watch on his right
    arm). If you think he's such a "bespectacled nerd, dweeb, or geek who's physically weak," you're gravely
    mistaken. Since he was in his late teens, he's been exercising regularly. Even though he's we
    ll-built and tall,
    he's never taken "performance
    -enhancing drugs" or growth hormones. The man has also never used any
    protein supplements in the slightest. He only consumes halal, hea
    lthy, nutritious, clean, and natural foods.

    Maybe I can sa
    y that his ideal male body role model is a famous statue of a farmer man in the Menteng
    neighborhood of Central Jakarta. (P
    lease bear in mind that I state this in jest!) You, the Jakartans, must
    be fa
    miliar with a statue of a well-built, muscular, and "natty" (but not "juicy") farmer man carrying a rifle
    with a bayonet attached to
    the end of the muzzle. As we know, farmers certainly never go to the gym to
    undergo any exercises with various sophisticated equipment regularly. They never consume protein powder
    supplements to gain, repair, or bulk up muscles. Those farmer men get protein o
    nly from the natural daily

    foods they eat. They build their physiques naturally. Even so, they can look muscular and sturdy.



    [​IMG]
    I somewhat have a hun
    ch
    th
    at if Tante A had discovered that the young Steven had declined to
    be introduced to her because she appeared to be a female da
    ily smoker, she would've been highly irritated
    and offended. Perhaps she would've expressed her anger and displeasure as if she were a "conceited lady"
    who always thinks she is stunningly beautiful by declaring, "I won't even want to meet, be introduced to, or
    talk to a closed-minded youngster like you who judges a smoking woman as someone bad! No matter how
    bloody handsome you are, stud!" The angry Tante A, however, might've
    immediately fallen silent

    had Mr. Bloody Handsome told her, "Darling Aunty A. If only you were not a smoking woman, I
    would without the slightest hesitation give you a perfect score for your charm and attractiveness."


    Tante A might've realized that what the sturdy stud stated was something sincere. She could also

    have perceived that although "he stared at her in admiration," he still had the guts to express something
    in Tante A that he considered awful or less than ideal. Had the stud brought his acoustic guitar, he would've
    played and sung several songs that would've left Tante A stunned, speechless, and fascinated.


    "If so, could you imagine what songs the young Steven might've performed before Tante A?" It

    could've been Lenny Wolfe's "Tante Emma" (a German song). "Tante Emma, wo bist du geblieben? Bist
    du etwa für immer von uns geschieden? Keine schönen Gespräche mehr. Darum kam ich doch gern her.
    Ich vermisse dich so sehr." Or, since I'm sure that the stud knew Tante A didn't at all speak German, he

    would've performed songs in English or Indonesian, such as the acoustic version of Tesla's "A Lot to Lose,"
    the acoustic version of Gribs' "Saling Percaya," the acoustic version of Anthrax's "Safe Home," or another
    song of Anthrax en
    titled, uhm, I forget its title. "Is it 'Startin' Up a Posse'? I think Tante A would've been

    pleased had he performed it before her." Are you out of your mind? He's a high-value man who won't say
    harsh, rude, or
    dirty words to any woman. If she had wished to hear the song, she should've called me
    and asked me to perform it before her eyes. Had Tante A wanted the hardest, she would've gotten the

    hardest! As a "civilized woman," I would've made a "few adjustments to its lyrics" so that she would've felt
    more emotionally attached to the song. Nevertheless, I'd face severe consequences if I dared to perform

    a "song with such indecent words" for Tante A. It could make her riled up to no end or be upset beyond
    measure. Tante A would probably take turns to sing that song for me—with an expression full of rage. My
    other companions and Mr. Bloody Handsome would reprimand me as the culprit or "guilty party."



    However, "due to c
    ircumstances," I think it would've been better for him to perform the acoustic
    version of Skid Row's
    "I Remember You" (
    with the lyrics adjusted). He could've implicitly used the song to
    "poke fun at her smoking hab
    its." She would've been mesmerized "without realizing he was criticizing her."
    "How good would he have been at performing songs acoustically? As far as I know, Stevie never had the

    appearance of a rock musician or vocalist." Hey! That's because he doesn't want to don clothes that don't
    create an impression of elegance. A man
    like him will never "wear earrings, necklaces, or bracelets," "have
    an odd or tacky haircut," or "have tattoos on his body." He can, however, play the guitar or perform many
    ear-catching songs or ballads acoustica
    lly. His voice is exceedingly pleasing to the ear—not discordant—and
    tremendously masc
    uline. Since Mr. Steven is a man of British descent whose mother tongue is English, he
    has exce
    llent pronunciation when singing English songs. No matter whether they are on AE or BE.

    He's not a professional guitarist. But his guitar-playing skills can be said to be quite good—although
    they may still be "inferior" compared to the skills of Ajeng, which are almost on par with those of a female

    guitarist from Brazil, Larissa Liveir. That's not surprising because Ajeng does have a formal music education
    background. I couldn't say that Ajeng resembled Larissa Liveir several years ago because she was a little

    overweight. Alhamdulillah, Mr. Bloody Handsome—her "ideological older brother"—was concerned and could
    motivate her. He acted as a personal trainer for her physical training, so Ajeng has since transformed into
    an attractive woman. All right. Back to Skid Row's "I Remember You," which I mentioned above.

    S
    ince Tante A was born in the late 1970s and spent her adolescence from the late 1980s to the
    mid-1990s, she must've heard "I Remember You." (Unless, "she'd been
    living under a rock.") Let's look at
    the lyrics of the song: Woke up to the sound of pouring rain/The wind would whisper and I'd think of you/
    And a
    ll the tears you cried that called my name.../And when you needed me, I came through.../I paint
    a picture of the days gone by/When love went b
    lind, you would make me see/I'd stare a lifetime into your
    eyes/So
    that I knew that you were there for me.../Time after time, you were there for me.../Remember
    yesterday/
    Walking hand in hand/Love letters in the sand... I remember you/And through the sleepless
    nights, through every endless day/I'd wanna hear you say, "I remember you"/We spent the summer with
    the top ro
    lled down/Wished ever after would be like this/You said, "I love you, Baby..." without a
    sound/I said,
    "I'd give
    my life for just one kiss..."/"I'd live for your smile, and die for your kiss..."




    Part of the above song lyrics indicates that "kissing a woman" (on her lips) is an activity that many
    heterosexual men love and tend to want to do. But most of them honestly say that they immediately lose
    interest when they find out "the woman is a smoker." One of the main reasons "why most men don't like

    female smokers" is that they seem to think that a smoker's mouth smells unpleasant. Even men who are
    attracted to female smokers (or male smokers who say that "they wouldn't mind if women smoked") are
    more likely not to kiss those women on the lips unless they're willing to clean their mouth area first.

    [​IMG]
    Let me give you one example of a situation that any man in this world co
    uld ever find themselves
    in. A man meets an "incredibly stunning woman" and establishes a relationship
    with her. He can always feel
    alive when he sees her smile. In the lovesick state, the man often sings "I Remember You": "I'd give my

    life for just one kiss. I'd live for your smile, and die for your kiss." He ultimately marries this lovely woman
    because of his intense feelings for her. However, when he's about to engage in sexually stimulating activity
    by kissing her (on the lips), he immediately smells a "horrible odor" from her mouth. It's not because she
    forgot to brush her teeth after eating strong-smelling food (such as dog fruit or stinky bean dishes), but it
    turns out that she's a "female daily smoker," a thing he—surprisingly—hasn't known before. Suddenly, the
    poor man feels like he's lost his zest for life. He then stares miserably into the ceiling while humming Saigon
    Kick's "Come Take Me Now": "Lord, come take me now. I feel that it's over. I feel that it's over."



    Aneh tapi nyata, beberapa bulan setelah "sang pemuda belagu" itu menolak diperkenalkan dengan
    Tante A, si
    Bloody Handsome Heartthrob "kedatangan Mbak Ninuk bersama putri tercintanya". (Aku mesti
    berhati-hati menceritakan hal ini, karena agak-agak sensitif.) Jadi, keluarga besarnya menyelamatkan Mbak
    Ninuk serta sang putri yang Tuli. (Sebutan yang memang disarankan di Indonesia untuk "saudara-saudari

    kita yang berkebutuhan khusus terkait keterbatasan pendengaran" adalah "Tuli", dengan huruf "T" kapital.
    Meski ungkapan "tunarungu" dipersepsikan "sopan", mereka justru "jauh lebih sreg" disebut "Tuli".)

    Nah, dulu pada masa-masa awal Mbak Ninuk dan putrinya baru menetap di rumah tersier keluarga
    si Bloody Handsome (rumah tersier dan area di sekitarnya itu kini berubah menjadi kompleks guest house),
    Mbak Ninuk pun pernah berstatus "a female smoker" (berkategori "moderate smoker") dan peminum kopi.
    Untungnya dia sama sekali tak pernah mengonsumsi "mirasantika". Secara jujur Mbak Ninuk mengakui, dia
    sampai terjerumus ke dalam "smoking habits" itu karena dia ingin melarikan diri sejenak dari rasa stres dan

    kegundahan terkait berbagai persoalan berat yang dialami. Semula, "smoking habits"-nya tak dia tunjukkan
    secara terang-terangan. Yah biar 'gimana juga, Mbak Ninuk masih mempunyai perasaan sungkan.



    Hingga pada suatu hari, si Bloody Handsome mengingatkan (dan menyarankan) agar Mbak Ninuk

    beserta sang putri bersilaturrahim mengunjungi rumah para kerabatnya di beberapa kota. Betapa pun dulu
    pernah ada "perselisihan keluarga yang amat sangat menyakitkan hati Mbak Ninuk". (Aku tidak bisa terlalu

    jauh menceritakannya, yah.) Akhirnya, Mbak Ninuk dan putrinya pun diantarkan si Bloody Handsome. Ikut
    pula Bu Retno dan Mbak Vies, sang aspirin... heiiissshaahh... maksudku sang aspri merangkap sang sespri
    Big Boss. Kalian yang punya prasangka tak senonoh terhadap Mbak Vies, aku sarankan untuk secepatnya
    bertobat nasuha. Mbak Vies sama sekali bukanlah tipe sekretaris "Selamat pagi, Boss—Sudah pagi, Boss"

    yang mungkin aja kalian curigai punya "hubungan gelap yang panas" dengan si Bloody Handsome.

    [​IMG]
    "Jadi... yang namanya Stevie itu punya aspri dan sespri? Jangan-jangan..." Jabang bayik. Kenapa

    Tante tau-tau bisa muncul di sini?! Mana cuma pakai daster 'gitu! "Aku... aku kebetulan pas lagi jalan-jalan
    pagi. Sambil menghafal tabel periodik kimia." Oh, begicu. Adék ini SMA-nya di mana, yah? Sekarang, udah
    kelas berapa? "Aku baru kelas satu SMA, Kak..." Anak '90-an sok 'ngaku-'ngaku masih SMA, yah, keliatan
    banget lah 'ngibulnya. Masa pakai istilah "kelas satu SMA"? Coba, Dék, kausebutkan, apa aja unsur kimia

    pada Golongan VI A? "Aku belum hafal, Kak." Yah, kauhafalkan ini: O (oksigen), S (sulfur atau belerang),
    Se (selenium), Te (telurium), Po (polonium), dan Lv (livermorium). Unsur livermorium ini, dulunya, disebut
    sebagai Uuh (ununheksium). "Kayaknya syusyah dihafal, Kak." Ya, kaupakailah "donkey bridge". Kaubikin
    frasa dengan huruf-huruf dari unsur-unsur itu. "Aduuuh. 'Gimana ya? O-S-Se-Te-Po-Lv... Ah, iya! Aku tau:
    'Orang Syantik Senangnya Telanjang Polos secara Live'." Yaa salaam... siswi macam apa kau ini?!!

    "Aku 'kan, masih belia nian, Kak. Mesti rajin belajar, sambil jalan-jalan. Biar nggak stres 'gitu lho..."

    Udah ibu-ibu masih aja suka bohong! Situ lagi belajar dan jalan-jalan pagi, apa lagi 'nguber Stevie?!!
    Lagian, jangan su'udzon sama mereka berdua. Aku kasih tau! Mustahil ada "hubungan gelap yang panas"
    antara Mbak Vies dan si Bloody Handsome. Aku tau persis siapa Mbak Vies itu. Kami berdua sama-sama

    perempuan Kawanua (meski tentulah berbeda fam). Kalaupun si Mbak itu sampai "berhubungan" dengan
    si Bloody Handsome, ya pasti di dalam ruangan yang terang benderang dan bersuhu sejuk, karena Mbak
    Vies tak suka kegelapan dan juga nggak betah banget kalau merasa kegerahan. "Jadi... Mbak Vies sama

    si Stevie itu..." Kalau iya, terus kenapa, Tante? Situ kepingin ikutan gabung sama mereka berdua?! Berani
    bayar berapa?! Tante minta pelayanan macam apa?! Yaa salaam! Amit-amit bangettsss! Kenapa aku jadi
    kayak "mami
    -mami"?!! Naudzubillah min dzalik. Semua gara-gara Tante! Dasar situ kéték komodo!

    Wajahnya mendadak 'ngenes bangets. Dinyanyikanlah lagu Potret: "Kauhina diriku.... aku diam..."

    Oh, asmara yang terindah mewarnai bumi. "Lagunya bukan yang itu!" Bodo amat. Situ yang cari perkara.
    'Gini, yaah! Mbak Vies adalah perempuan baik-baik! Maksud dari pernyataan "mereka berhubungan dalam

    ruangan terang benderang dan sejuk", yah itu terkait "relasi atasan dan bawahan yang sangat normatif".
    Manusia-manusia normal tentu nggak akan berkegiatan normatif dalam suasana bergelap-gelapan.



    Demi kemaslahatan bersama, k
    ita tinggalkan sajalah si ibu-ibu biang kérok macam dia, yah! Fokus
    kembali lagi ke cerita Mbak Ninuk. Ada hal nggak menyenangkan dalam kunjungan silaturrahim itu.

    Sungguhpun Mbak Ninuk dan putrinya "tak terang-terangan diusir", beberapa kerabatnya bersikap seakan
    amat keberatan bilamana mereka berdua berlama-lama di rumah sanak saudaranya tersebut. Alasannya,
    ada beberapa di antara mereka yang sedang pula menantikan kedatangan "teman-teman dekat" mereka
    masing-masing. Mereka seakan khawatir jika para teman dekat itu sampai mengetahui kondisi putri Mbak

    Ninuk tersebut. Bisa-bisa, teman-teman dekat itu pun "akan berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan".
    Secara me
    dis, kondisi Tuli memang dapat "disebabkan oleh faktor keturunan". Sayangnya, banyak orang

    yang serampangan meyakini bahwa ketika di satu keluarga ada seseorang yang Tuli, maka bisa saja, bila
    mereka menikahi seseorang dari keluarga tersebut nantinya berpotensi menghasilkan anak yang Tu
    li pula.
    Mbak Ninuk bilang, meski dia "bisa memaklumi", yah, dia tetap aja marah, sedih, dan tersinggung.

    [​IMG]
    Harga diri seorang ibu serta "ketersinggungan" Mbak Ninuk menjadikannya langsung meninggalkan
    rumah itu bersama sang putri. "Saking marahnya", sampai-sampai Mbak Ninuk seakan lupa menghubungi
    si Bloody Handsome, Bu Retno, dan Mbak Vies yang sebetulnya baru akan menjemput si Mbak dan sang
    putri pada sore atau malam harinya. Mereka bertiga memang "cuma mengedrop sebentar" karena mesti

    menuntaskan proses pembelian dua unit bus gede Scania. Satu unit bus bahkan akan dikemudikan sendiri
    oleh si Bloody Handsome. Tiba-tiba, aku jadi teringat satu cerita Irma. Alkisah, beberapa tahun lalu, Irma
    beserta keluarga besarnya mudik ke Sumatera. Lah, secara kebetulan, si Bloody Handsome pun bersama
    dengan beberapa anggota keluarga besar dan staf pribadinya, mesti melakukan rangkaian aktivitas biznes
    di sejumlah kota di Sumatera. Si Bloody Handsome sekaligus ingin menyapa para "konstituen"-nya. Bukan
    terkait politik. "Konstituen" dia itu, ya... nggak jauh-jauh dari "para komodo, biawak, dan buaya lumutan".
    Kata Irma, "Di sela-sela jadwal kegiatannya, Kak Stevie mau juga menyempatkan diri mengunjungi tanah
    leluhurku. Yang bikin kami sekeluarga terkesan, dia bisa cepat akrab dengan sanak saudara kami."

    "Sang Makhluk Eksentrik yang Jarang Ada" itu menjajal mengemudikan satu bus gede—yang kaca
    depannya dipasangi tameng. Menurut Irma, buanyak bus antarprovinsi di Sumatera yang kaca depannya

    dipasangi tameng (atau teralis besi) biar nggak jadi sasaran pelemparan batu. Syerem bangets, yah! Toh,
    para kerabat Irma takjub. Irma hebat, bisa memiliki teman seorang pria good-looking, berwajah Kaukasia

    yang mahir nian mengemudikan bus gede. Cerita Irma lainnya bikin kesel. "Kak Stevie pun secara khusus
    dan incognito menyambangi desa atau dusun Tante A." Betapa pun keselnya aku pada "perilaku kedanan
    macam itu", yah, secara etis hal tersebut bukan hal tercela. Tante A itu 'kan "bukan lagi bini orang."
    "Apa
    tujuannya si dia mengunjungi dusun saya?!"
    Ya ndak tau. Jangan tanya saya, Buk! Pada saat dia sedang
    berjalan-jalan secara incognito itu, eh, dia sempat bertanya,
    "Daerah sini udah ada yang beli, belum ya?"
    meniru ucapan logat Banyumasan si Paijo alias Joy di film Warkop, Gengsi Dooong (dalam scene mandi di
    sungai). Irma dan para saudara sepupunya tertawa terus-terusan. Ah elah. Lagak kau itu, Nyong!



    Balik lagi ke kisah nyata yang pernah dialami Mbak Ninuk. Setelah Mbak Ninuk dan putri tercintanya
    meninggalkan rumah para kerabat, mereka berdua berjalan, seolah tanpa tujuan. Alhamdulillah, Bu Retno

    secara tiba-tiba menelepon Mbak Ninuk. Begitu si Mbak menjelaskan (via telepon) perihal apa yang terjadi
    di rumah sanak saudaranya itu, Bu Retno, Mbak Vies, dan tentunya, si Bloody Handsome Heartthrob pun
    merasa terkejut, terenyuh, bersimpati—dan langsung memutuskan untuk segera menjemput Mbak Ninuk
    dan putrinya. Kalau boleh kukatakan, "ada satu hal yang lucu". Si
    Bloody Handsome justru dilarang keras
    ikut oleh beberapa orang di tempat bus gede (yang urusan pembeliannya udah dituntaskan). Di atas tadi,
    telah kutuliskan ihwal pembelian dua bus Scania. Nah, yang melarangnya ikut itu adalah dua orang pamen
    (perwira menengah) TNI AD, yang merupakan kerabat Mbak Suci. Penyebabnya, khawatir dia malah jadi
    esmosi terhadap sanak saudara Mbak Ninuk. Bisa aja, dia nekat mendatangi mereka. Saking esmosi-nya.
    Mungkin juga, dia dihinggapi sebentuk "perasaan bersalah", karena dialah yang menyarankan Mbak Ninuk
    dan putrinya bersilaturrahim. Pada akhirnya, sang "Beruang Pujaan Wanita" itu memang tidak ikut.

    Rupa-rupanya, momen tak menyenangkan yang dialami Mbak Ninuk dan sang putri tercintanya itu
    juga—sedikit banyak—"memukul perasaan" si Bloody Handsome Heartthrob. Tampaknya, dia pun merasa
    "sangat kecewa dengan sikap para sanak saudara Mbak Ninuk". Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, dia

    seakan ingin selekas mungkin sampai agar Mbak Ninuk dan putrinya bisa segera menenangkan diri.

    Dari dua bus Scania yang gres itu, salah satunya dikemudikan olehnya. Baik Bu Retno, Mbak Vies,

    maupun Mbak Ninuk, semuanya memberi kesaksian serupa. "Masé 'ngebut di jalan tol dengan kecepatan
    tinggi [meski tetap memperha
    tikan faktor keselamatan]. Bawa bus-nya alus banget tapi sekaligus sangar.
    Dia juga paham aturan tak tertulis di jalan raya soal kendaraan besar seperti bus dan truk". [Terka
    it kode
    lampu se
    in yang berlaku: "Menyalip sambil sein kanan, atau menyalip sambil sein kiri."] 'Ngebut-nya bagai
    dikejar setan. (Maaf ya, Tante, bukan berarti aku 'ngomongin situ.) Saking 'ngebut-nya, jarak ratusan km
    yang secara normal memakan waktu 10 jam-an, bisa ditempuh hanya dalam 6,5 jam—termasuk istirahat
    untuk shalat dan makan malam. "Edan"-nya lagi, makhluk itu mengemudikan bus tersebut secara penuh,

    tanpa digantikan oleh driver cadangan. Dia hanya dibantu oleh "Mbah" Wiryono, sebagai navigator.

    Dia tak memakai doping apa pun. Tidak, Sayang! Tidak! Cukup memandangi deretan foto Tante A
    yang cengengesan, nyengir genit, manis, manja, manipulatif, menatap syahdu, p
    ilu, memendam nafsu...
    Diletakkan di area dashboard. Saat "Mbah" Wiryono bertanya dalam Bahasa Jawa, "Menika sinten, 'nggih,
    Brother?", langsung dijawabnya secara serius, "Adhi kelas kula nalika kula taksih SMA." (Mudah-mudahan,
    aku nggak salah tulis, yah, karena aku bukan orang Jawa.) "Si perempuan yang ada di foto-foto itu siapa

    sih, Brother?" Dijawab dengan jawaban khas biawak, "Dia adik kelas, sewaktu saya masih SMA." Padahal,
    ketika Tante A menjelang lulus SMA, si Bloody Handsome pun bahkan belum lahir! Kegilaan yang sungguh
    tidak bertepi. Kalau biasanya di badan samping bus besar diberikan tulisan "Doa Ibu" atau "Harapan Ibu",
    mungkin aja, nantinya dia pun memberi tulisan besar di kanan dan kiri badan bus Scania itu: "Doa Tante",
    "Harapan Tante", atau "Tante di Hatiku". Ya salaam. Kalau udah 'gitu, semua orang akan berpikiran tidak
    senonoh, mengira bus itu adalah "bus maksiat pengangkut daun-daun muda piaraan tante-tante".




    Mbak Ninuk menceritakan padaku, setelah momen silaturrahim yang berantakan nggak karuan itu,
    dirinya merasa terguncang secara emosional. Sampai-sampai dia pun seakan tak peduli lagi dengan image
    sebagai perempuan yang mesti selalu tampak "anggun, sopan, dan takkan berperilaku apa pun yang bisa

    mengundang persepsi negatif publik". Mbak Ninuk (ketika itu) seperti tidak merasa perlu menyembunyikan
    "smoking habits"-nya. Di antara sekian banyak perempuan yang bermukim di rumah tersier milik keluarga

    si Bloody Handsome tersebut (dan juga area sekelilingnya—semisal beberapa paviliun), Bu Retno-lah yang
    pertama kali mengetahui. Yah, beliau kaget bangets, dongs. Toh Mbak Ninuk seperti nggak peduli.

    "Kalau nantinya Masé sampai tau, nggak suka, dan mungkin kemudian mengusir aku dan anakku,

    yo wes lah... aku dan anakku akan tau diri. Kami udah biasa, nggak dikehendaki siapa pun..." Tak berapa
    lama setelah Mbak Ninuk bilang begitu, si Masé yang diomongin pun datang, memasuki ruangan itu. Kata
    Mbak Ninuk, reaksi si Masé pun sama dengan reaksi Bu Retno. Terkejut—tak menyangka si Mbak adalah
    seorang "female smoker". Ajaibnya, meski si Masé tak menyukai para "female smokers", dia tak marah.
    Dia tetap wolés, bersikap biasa-biasa aja. Nggak menegur, nggak mengomeli, tidak berkomentar apa pun
    perihal fakta yang baru diketahuinya tentang "smoking habits" Mbak Ninuk. Si Masé cuma menyampaikan
    bahwa dia baru aja secara resmi mengikat kontrak (atau mempekerjakan) dua pengajar profesional yang
    secara bergantian akan mengajari putri tunggal Mbak Ninuk dalam banyak hal. Berkomunikasi, membaca,

    menulis, dsb. Mbak Ninuk diminta untuk ikut pula aktif terlibat dalam program belajar mengajar itu.

    Yang bikin si Mbak terharu dan berlinang-linang air mata, si Masé menyatakan "akan berkomitmen

    penuh menjadikan putri Mbak Ninuk itu sebagai perempuan yang tidak akan diremehkan siapa pun, meski
    si gadis kecil itu terlahir dalam kondisi berkebutuhan khusus". Pokoknya, selama tiada orang lain yang mau
    peduli pada putri Mbak Ninuk tersebut, si Masé lah yang akan bertanggung jawab atas segala sesuatunya
    hingga dia dewasa dan mandiri. Terkecuali jika eks-suami si Mbak "mau benar-benar berubah", atau kalau

    Mbak Ninuk dinikahi pria lain, barulah si Masé akan melepas tanggung jawab tersebut. Ya, iya dong, mesti
    begicu aturan mainnya, Cyin! Sungguh sangat mengherankan, si Masé sama sekali tidak memberi syarat

    apa pun kepada Mbak Ninuk yang mesti dipatuhi—termasuk pula perihal "smoking habits" si Mbak.



    [​IMG]
    Setelah beberapa bulan, Alhamdulillah, ada perkembangan yang kian menggembirakan terkait putri
    tunggal Mbak Ninuk. Si gadis kecil itu ternyata termasuk seorang yang mesti kita katakan "a fast learner".

    Kendatipun masih berada pada usia "prasekolah", dia terlihat sangat menyukai dan bisa menikmati semua
    rangkaian proses belajar mengajar. Karena ikut mendampingi sang putri, Mbak Ninuk pun jadi memahami

    dan lambat laun dia mahir pula menggunakan Bahasa Isyarat. (Kini, putrinya bersekolah di sebuah SLB B,
    serta mendapat ragam pendidikan tambahan la
    innya di rumah—sebagaimana komitmen si Masé.)

    Lalu 'gimana dengan "smoking habits" Mbak Ninuk? Nah, ada satu momen yang menjadi titik balik.
    Alkisah, pada suatu ketika, putri Mbak Ninuk terjangkit penyakit tifus. Si Mbak meyakini, hal itu disebabkan

    oleh jajanan yang dikonsumsi putrinya. Ya, si putri pun harus menjalani rawa
    t inap di RS selama sepekan.
    Momen tersebut seakan kembali menjadi "ajang pembuktian" bagi si Bloody Handsome Heartthrob dalam
    melaksanakan komitmen. Dia yang mengurus segala sesuatunya dari A-Z, kendatipun si putri Mbak Ninuk
    jelas bukan darah dagingnya, dan dia sama sekali tak menjalin hubungan asmara dengan si Mbak.

    Tak sekadar menanggung seluruh biaya perawatan, dia juga ikut menunggui si adék kecil itu di RS.

    Lah, si Mbak jelas jadi baper bangets, dongs! Pas dia menanyakan: "Kenapa Masé sampai mau bersusah
    payah, rela berkorban biaya, waktu, dan tenaga demi mengurus anakku? Padahal, ayah kandungnya pun
    seolah tak peduli!", s
    i Bloody Handsome (kemungkinan besar, dengan ekspresi yang—seperti biasanya—
    sok terlihat seperti "sang laki-laki berdara
    h dingin") menjawab datar bahwa dia sangat paham, putri Mbak
    Ninuk adalah "penyemangat utama dalam kehidupan si Mbak". Mbak Ninuk punya hak memiliki anak yang
    sehat. Yang akan bisa menjadi teman dalam menjalani keseharian dan masa depan. Jadi, saat sang putri
    berada dalam kondisi sakit, wajib disembuhkan. Si Bloody Handsome "merasa sangat bertanggung jawab"
    karena si Mbak dan sang putri "secara de facto dan de jure" bermukim di rumah tersier milik keluarganya.
    Dia mah, orangnya 'gitu. Jangan kata manusia, Insya Allah, binatang piaraan dia pun, senantiasa dia urus
    sebaik-baiknya. Hal itulah yang membedakan dia dengan "para pria bangké cap tempe bongkrék".

    Sewaktu Mbak Ninuk sedang terharu dan merenungi kebaikan hati si Masé tersebut, si Masé-nya,

    secara tak terduga mengatakan bahwa putri Mbak Ninuk juga punya hak memiliki seorang ibu yang sehat,
    yang bisa diteladani, yang dijadikan seorang role model, dan yang akan mendampinginya dalam menjalani
    "kesunyian di dunia yang ramai ini". Udah. Cuma 'ngomong begicu aja. Sama sekali tak menyinggung soal
    "smoking habits" si Mbak. Sebagai seorang perempuan etnis Jawa, Mbak Ninuk tentu memahami "nasihat
    halus dan implisit" seperti itu. Sungguhpun si Masé jelas-jelas "berwajah sangat Londo", dia half-Javanese.

    Memahami kultur dan kehalusan budipekerti ala orang Jawa. Kalau "mesin waktu" itu ada dan si Masé bisa
    kembali ke zaman Pangeran Diponegoro, haqqul yaqin, dia pastilah menggabungkan diri seketika di barisan
    beliau dan Kiyai Madja. Kalaupun ikut dibuang VOC ke Tondano, Minahasa, yah, nggak apa-apa. Mungkin,
    si Masé akan berjumpa denganku, seorang gadis Minahasa, dan kami pun menikah. Sekadar berimajinasi.
    (Toh ada fakta sejarah bahwa para pria dan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang diasingkan VOC ke
    Tondano, akhirnya berjodoh dengan para perempuan asli Minahasa, dan lahirlah subetnik Jawa Tondano.)

    Terkait "nasihat halus dan implisit" si Bloody Handsome pada Mbak Ninuk, si Mbak bilang kepadaku, hal itu
    menjadikannya berpikir serius selama berhari-hari. Perkataan si Masé memang tidak bisa dibantah.


    Mbak Ninuk baru memahami, ternyata "pada masa-masa itu", si Masé sesungguhnya sama sekali
    tak menyukai "smoking habits" si Mbak. Sampai kapan pun, sikapnya pada para "female smokers" nggak

    akan pernah berubah. Tidak akan mau membenarkan. Tidak, Sayang! Tidak! Biar 'gimana juga, dia tetap
    punya "belas kasihan" dan kepedulian pada mereka. Nah, selain itu, dia menguasai "teknik bermain halus"
    dengan perempuan. Bila ketidaksetujuannya itu dia perlihatkan secara "zakelijk" atau saklek pada si Mbak,
    yah, Mbak Ninuk (sebagai perempuan Jawa) boleh jadi akan langsung sakit hatibahkan, antipati. Tetapi,
    karena disampaikan secara halus (dan pada momen krusial yang sangat tepat pula!), nasihat itu ternyata

    bisa sangat efektif mengubah si Mbak. Alhamdulillah, si Mbak secara bertahap mulai memperbaiki diri, dan
    karena dilakukan dengan penuh kesungguhan, usaha keras Mbak Ninuk pun bisa berhasil dengan sukses.

    Dalam beberapa tahun ini, dia berstatus "a female ex-smoker"tanpa pernah mengalami relapse.



    [​IMG]
    Lain lagi dengan kisah Aunty Nis-Syi. Anggi menceritakan, si Aunty itu pun pernah menjadi seorang
    "female smoker". Namun berbeda dengan Mbak Ninuk, penyebab Aunty Nis-Syi sampai "terjerumus", ya
    karena salah pergaulan aja. Sebenarnya aku ingin bercerita panjang lebar tentang hal itu. Tapi, aku belum
    'ngomong sama Anggi. Biar 'gimana juga ada etiket yang mesti kuperhatikan kalau aku ingin mengisahkan
    hal-hal tertentu tentang orang lain. Yang jelas, meski menggunakan cara-cara yang luar biasa tak karuan,

    selama berbulan-bulan pula, si Bloody Handsome mampu mengikis habis "smoking habits" si Aunty. Walau
    Aunty Nis-Syi berkali-kali mengalami relapse dan selalu ngamuk tiap kali diingatkan agar konsisten berhenti,
    si Bloody Handsome tidak pernah sudi menyerah. Betapa pun si Aunty itu tergolong "kepala batu", toh, si
    Aunty tidak berdaya. Nanti deh, kalau si Anggi tak keberatan ya, akan aku kisahkan panjang lebar.



    Kesuksesan Mbak Ninuk dan Aunty Nis-Syi bertransformasi menjadi para "female ex-smokers" itu,
    mungkin bisa kukatakan sebagai bukti bahwa: "Lingkar pergaulan punya efek luar biasa." "Who you spend
    time with" influences "the person you eventually become." "Who you are with" can elevate you "as much
    as it can bring you down." "Qui cum canibus concumbunt cum pulicibus surgent." Jikalau "kautidur dengan

    anjing", kau pun akan "bangun dengan kutu-kutu anjing menempel di badanmu". "If you danced with the
    devil, the devil would never change. The devil would change you instead." Bila kau nekat berasyik masyuk
    dengan iblis, sampai kapan pun, iblis tak akan berubah menjadi malaikat. Justru iblis yang akan mengubah
    kamu menjadi pengikutnya. Tetapi kalau kita bisa berada dalam lingkar pergaulan yang positif (tidak toxic)

    dan menjalin kedekatan personal dengan makhluk eksentrik seperti si Bloody Handsome, Insya Allah, kita
    akan bisa menyerap berbagai kebaikan, yang sangat, sangat, sangat berguna bagi kehidupan kita.

    'Gimana 'tu, dengan Tante A? Bisa nggak, dia seperti Mbak Ninuk dan si Aunty? Mestinya sih, bisa.
    Bilamana si Bloody Handsome berhasil memasuki Tante A... heeeiiiisssssyyaahh... gemblung... gemblung!
    Maksudku, andaikata si Bloody Handsome berhasil memasuki kehidupan Tante A—dan Tante A juga mau

    mengubah diri menjadi lebih baik—Insya Allah, dia akan bisa menghilangkan "smoking habits"-nya. Tetapi,
    beberapa waktu lalu, Irma memberi info: "Keliatannya, Tante A terindikasi tengah berpacaran dengan pria
    lain. Diperlihatkan secara demonstratif di medsos pula." Oh, ya udah kalau 'gitu. Pacaran aja sana.
    You get what you deserve. Mungkin pria itu yang akan mengubah Tante A menjadi lebih baik, ya?!

    Tapi, baru sekadar "mungkin" lho! Secara pribadi, aku bukanlah tipe perempuan yang akan dengan
    mudah menerima ajakan berpacaran dari pria mana pun. Terlebih, jika aku nggak punya "data intelijen A1

    terkait rekam jejaknya". Malahan, pada beberapa tahun terakhir, bukan lagi sebatas "ajakan berpacaran",
    melainkan udah sampai pada level "lamaran pernikahan". Tidak ada respons positif dariku. Tidak, Sayang!
    Sering kali kita dengar para perempuan bilang: "Laki-laki itu yang dipegang omongannya!" Eh, banyak nian

    perempuan yang malas meneliti rekam jejak para pria. Asal udah bertemu sesosok pria yang dinilai "layak
    tayang" dan seolah "terlihat baik", ya udah. Nggak mau mikir apa-apa lagi. Tidak tau soal "red flags"-nya,
    "buta sama sekali" terkait track record-nya. Laki-laki bisa kita harapkan untuk "dipegang omongannya" bila
    kita sedikit banyak mengetahui dan memahami rekam jejak sang laki-laki tersebut. Tapi, ya 'gitu deh, ulah
    sebagian kaumku. Beragam kemalangan mereka kerap disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri.



    [​IMG]
    Aku teringat cerita Bu Retno "Bellucci" perihal sang nona dengan metafora "brambang asem" yang
    telah aku ceritakan pada postingan-ku yang lalu. Karena Bu Retno tau banget track record si Masé, beliau
    meyakini jika si Masé udah "sedemikian berniat"-nya pingin meng-upgrade si nona itu, Insya Allah, si nona
    pun akan mengalami sejumlah perbaikan drastis dalam kehidupannya. Beliau seperti amat menyayangkan
    mengapa si nona lebih memilih temannya? Eh, si Masé justru seakan membantah beliau. "Yang berkuasa
    untuk mengubah manusia itu cuma Allah SWT." Meski dia—pada akhirnya—mesti "berpisah jalan" dengan

    sang nona itu, bukan berarti lantas kehidupan sang nona tidak akan ter-upgrade. Kata Bu Retno, si Masé
    tak sudi jika dia sampai dikultuskan. Mungkin aja, "teman yang dipertahankan si nona itu" selama ini selalu
    bisa "memberi berjuta-juta kebahagiaan dan keceriaan"—yang memang didamba-dambakan oleh si nona.
    Tapi kalau si Masé meng-upgrade si nona, boleh jadi, si nona merasa terbebani. Ya, 'kan, "meng-upgrade
    diri agar berubah menjadi lebih baik" berarti "mestilah bersedia melepaskan diri dari zona nyaman".

    Toh, orang akan memilih yang dia sukai. Terlepas dari benar atau salah, rasional atau tak rasional.



    Aku mau membahas sedikit perihal "lingkar pergaulan". Seperti yang telah kunyatakan di atas tadi,
    "lingkar pergaulan (atau 'dengan siapa sajakah Anda berteman') akan sangat menentukan Anda nantinya

    akan menjadi apa dan siapa". Dulu, aku, Irma, Ajeng, dan Nella pernah mendiskusikan hal tersebut, yang
    kami kaitkan dengan si Bloody Handsome Heartthrob. Meski Irma selalu menyebutnya: "Kak Stevie", toh,
    pada hakikatnya, Irma berusia lebih tua beberapa tahun. Irma itu sebetulnya adalah teman Mbak Rachel

    (kakak perempuan sekaligus kakak tertua dari "Kak Stevie"). Sudah berteman semenjak masa kecil, belia,
    remaja, hingga saat ini. Meski selalu diselingi dengan "pertemanan jarak jauh"—karena "Kak Stevie" mesti
    bersekolah serta bermukim di Inggris, Jerman, dan Amerika. Ya, kalau kami (meminjam ungkapan Mbak

    Suci) bukan di Amerika, melainkan "Ah, mriki mawon" (Ah, di sini-sini aja). Sedikit banyak, Irma tau persis
    bahwa "Kak Stevie" tidaklah terlahir sebagai seorang pria yang hebat dan serbabisa melakukan ini dan itu,
    tetapi sama aja dengan para bayi laki-laki lain di dunia ini. Kehidupannya pun dimulai dari angka nol.

    Ketika kita melihat si Bloody Handsome sekarang "memiliki banyak kemampuan dan keterampilan",
    ya, karena dia tumbuh dalam keluarga besar dan lingkar pergaulan yang, Alhamdulillah, sangat konstruktif.
    Dia pernah berada pada fase-fase "tidak bisa, tak becus, tak mengerti, masih hijau, tak berpengalaman".

    Nah, oleh sebab "lingkungan dan lingkar pergaulannya sangat positif serta konstruktif"—ditambah lagi, dia
    punya karakter "anti-status quo" (atau seseorang yang merasa nggak betah jika hidupnya cuma 'gini-'gini
    aja dari waktu ke waktu), dia pun terus-menerus meng-upgrade diri agar menjadi lebih berkualitas.

    "Héléh, kata siapa hidupnya dimulai dari angka nol? He was born with a silver spoon in his mouth."

    [​IMG]
    Hey! Coba kau berdiri di situ. Tak usah pula kau bergaya begitu! Aku ini bukan mau memotret kau!
    "Kamu mau apa, Cyin?!" Jangan kau sok akrab sama aku. Siap, yaaah! Aku mau kasih kau sarapan pakai
    sajian khas Korea: 뛰어 옆 차기. "Wih. Kedengarannya enak bangets! Boleh 'nambah, ya?" Boleh!




    Pada satu hari, Irma mengatakan, "Kak Stevie itu body-nya mirip dengan body Greg O'Gallagher."
    Aku merespons, "Mungkin, sekilas bisa dibilang mirip. Tetapi secara esensi, jauh berbeda." Ya, berhubung
    Irma bukanlah seorang praktisi weight lifting exercises—alias awam tentang hal itu—dia belum mengetahui
    istilah-istilah "natty", "juicy", atau "fake natty". Toh Irma bersikeras ihwal kemiripan body tersebut.


    Sampai pada satu ketika, Irma pun kedatangan seorang Namboru-nya (Irma bilang padanan kata
    "Namboru" adalah "Tante" atau "Bude"). Nah, be
    liau itu adalah perempuan yang lama berkiprah di dunia

    kecantikan dan kebugaran/physical exercises. Pernah menjadi personal trainer (khusus untuk perempuan)
    pula. Dia tanyakan pada Namboru-nya, soal kemiripan tubuh "Kak Stevie" dengan body Greg O'Gallagher.

    Irma punya sejumlah foto dan video saat "Kak Stevie" dalam kondisi shirtless (bertelanjang dada). Bukan
    diambil pada momen-momen tidak senonoh apa pun, yah! Gila aja, lo! Sejumlah foto dan video itu diambil
    sewaktu "Kak Stevie" bermain basket 5 on 5 (dengan para sepupu pria) di lapangan guest house.


    Namboru-nya mengatakan, Greg O'Gallagher itu keren bangets, tetapi tampilan body-nya mungkin
    akan dicurigai sejumlah pihak: "Tidak sepenuhnya natty." Kenapa begitu?! Karena area deltoids, trapezius,
    dan pectorals-nya (area pundak, bahu, dan dada) "terlihat tebal". Lain halnya dengan tampilan body "Kak
    Stevie". Meski sama-sama kekar dan muscular, area deltoids, trapezius, dan pectorals-nya terlihat natural
    dan tak setebal seperti yang ada pada Greg O'Gallagher. Nah, kalangan awam tak paham soal itu.


    Toh, kita sebaiknya tak menuduh Greg O'Gallagher tanpa menyertakan "bukti ilmiah" apa pun, ya.

    [​IMG]
    Tapi, ada satu tips sederhana dari Namboru si Irma untuk membedakan "natty" dan "juicy"/"fake

    natty". Mereka yang "natty", fokus utamanya adalah: "Kesehatan, kekuatan, serta stamina tubuh." Jadi,
    mereka umumnya akan secara total menghindari gaya hidup apa pun yang tak sehat. Berolah raga, 'kan,
    bertujuan biar tubuh menjadi kuat + sehat. Apa artinya, udah capek-capek latihan fisik, eh, malah dirusak
    dengan "smoking habits atau mengonsumsi mirasantika"?! Para praktisi "aliran natural" takkan sudi

    pula mengonsumsi zat-zat apa pun yang dapat berisiko membahayakan kesehatan tubuh mereka.

    Nah, mereka "yang tak natural", fokus utamanya semata-mata adalah soal "penampilan". Selama
    tubuh mereka itu senantiasa terlihat besar, kekar, dan juga bisa dipamer-pamerkan, yah peduli setan soal
    kesehatan. Mereka tak takut menggunakan Performance-Enhancing Drugs (seperti anabolic steroids) dan

    Human Growth Hormone karena mereka yakini akan bisa bikin tubuh mereka besar dan kekar. Tujuannya
    cuma sebatas itu aja! Perkara beragam risiko yang kelak mengancam kesehatan mereka, bodo amat lah.
    Jadi, tidak heran, kalau mereka tetap aja menjalani gaya hidup yang tak sehat dalam keseharian mereka.
    Penggunaan PED dan HGH yang sangat, sangat, sangat berisiko tinggi bagi kesehatan aja berani mereka

    lakukan, apalagi sekadar smoking habits dan mengonsumsi mirasantika. Yang penting, penampilan!



    Hal lain yang juga sebenarnya teramat sangat menarik untuk kukisahkan, tetapi sayangnya punya
    "sensitivitas tinggi" adalah terkait Bude Vini yang, Alhamdulillah, kini telah mendapatkan a win-win situation.

    Aku sekilas pernah menceritakan persoalan beliau di sini. Dalam kondisi terpisah dengan putra tunggalnya,
    sosok yang sanggup menghibur beliau, yah, "sang makhluk eksentrik", lucu, dan "agak-agak gila" itu. Ada
    sebuah lagu lawas Shaggydog, "Kamu di Hatiku", yang sering kali dia perdengarkan kepada beliau.



    Belakangan, dia (bersama beberapa teman slagorde kami) memainkan serta merekam musik lagu
    "Kamu di Hatiku" itu. Setelah rampung, Bude Vini pun mengisi vokalnya. Cover version Bude Vini tersebut
    terdengar sangat menyayat hati. Bude Vini sudah sedemikian pasrahnya. Beliau cuma berharap, diizinkan
    menghadiri momen-momen penting putranya: wisuda, pernikahan, dan kelak, saat sang cucu lahir.

    Alhamdulillah, relasi antara Bude Vini dan "makhluk eksentrik" itu bukan "hubungan level rendah ala

    tante dan berondong". Nggak bakalan ada ceritanya, seorang berondong bisa membantu menyelesaikan
    persoalan rumit si tante! Dalam pikiran berondong cuma ada keinginan meniduri, meniduri, dan meniduri si
    tante. Sukur-sukur bisa morotin hartanya! Persetan itu cinta! Pas bosan, si tante ya ditinggal! Nah, karena
    Kak Stevie sama sekali bukanlah spesies berondong (biarpun berusia jauuh lebih muda dari Bude Vini), dia
    secara senyap—tetapi sangat terencana dan terkoordinasi—bersedia membantu beliau mencarikan solusi.

    Jadi, dia nggak cuma good-looking dan pinter genjrang-genjreng, tapi selalu punya otak yang bisa dipakai.
    Walaupun tentu tidak mudah dan "jelas-jelas membutuhkan banyak pengorbanan dalam segala hal", toh,
    semua rangkaian usaha keras itu tidaklah sia-sia. Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, kini beliau bisa bersama lagi
    dengan si putra tercinta—ikut bermukim dengan beliau di cluster perumahan samping guest house.

    [​IMG]
    Udah, yah. Aku hanya bisa bercerita sebatas itu. Agar tak merusak hasil kerja Kak Stevie tersay...



    "Ya... kok, cuma segitu? Terusin lagi, dongs, ceritanya..." Yaa salaam! Kenapa pula si Balak Enam

    ini datang lagi! Tante mau dengar cerita apa lagi?!! "Yah, yang rahasia-rahasia 'gitu deh..." Oh, jadi, Tante
    mau agar aku menceritakan rahasia-rahasia Tante?!! Ya udah, kalau 'gitu! Baiklah. Pemirsa, mohon simak

    baik-baik. Saya akan menceritakan... "Bukan itu maksudku... ihik... ihik..." 'Nangis macam apa itu?! Suara
    Tante pas lagi 'nangis malah mirip suara hyena betina yang 'nangis, 'habis kalah rebutan singkong. "Mana
    ada hyena doyan singkong?!" Ya Tante pakai kostum hyena dong! Jangan tanggung-tanggung kalau mau
    nyamar. "Aku punya singkong sendiri! Tidak akan sudi rebutan singkong!" Lieber Gott! Jadi... Tante punya
    singkong?! 'Tuh, Nyong! Dia bikin pengakuan. "Bukan itu maksudku... ihik... ihik..." 'Gitu aja, terus.

    Tapi daripada dia terus di sini, aku ceritakan hal lain yang tak begitu sensitif. Pada satu fase krusial,
    Bude Vini dan si Bloody Handsome (serta Om Jotham, kerabatnya, yang menjadi pilot—dibantu oleh satu
    co-pilot) terbang ke satu kota, menggunakan satu helikopter perusahaan milik keluarganya. Kenapa mesti
    gaya-gayaan pakai helikopter segala? Bukan gaya-gayaan! Ada alasan logis terkait hal itu. Mau tidak mau,
    mesti naik helikopter! Hey, Tante, ke sini kau! "Kurang ajar! Manggil orang seenaknya!" Yah, aku 'tu harus

    panggil Tante apa? "Panggil 'Mami', 'kan bisa!" Yaa salaam... jadi... Tante ini... rupanya seorang "Mami"?!
    "Aduuh. Hahat banget kamuh! Bukan 'Mami' yang 'gituan, tauk!" Dia yang minta dipanggil "Mami", eh, dia
    juga yang ngamuk. 'Gini, yah! Aku yakin kalau soal naik pesawat terbang, Mami pasti udah sangat sering.

    Tapi, Mami udah pernah naik helikopter apa belum? "Gaya helikopter? 'Dih, pertanyaannya terlalu pribadi!"
    Aku memang mesti banyak-banyak istighfar jika menghadapi tante-tante yang model-model begini.

    [​IMG]
    Ditanya baik-baik, apa dia udah pernah naik helikopter, eh, malah dibelokin jadi soal gaya helikopter.


    Ya udah. Aku mencoba berprasangka baik. Mungkin aja yah, Mami sampai oleng seperti ini karena

    dia belum sarapan. Nah, sarapan dulu sana. Di guest house ini selalu ada sate, gule, tongseng. Makanlah
    sepuasnya sampai kenyang. "Aduh. Mami tidak bisa makan yang berat-berat seperti itu. Biasanya, Mami
    kalau pas sarapan, makan buah." Ya udah, kalau 'gitu. 'Tuh, di meja ada buah nangka, kesemek, nanas,
    'abisin semua, dah! "Aduh. Biasanya Mami makan satu pisang Cavendish sama dua salak gading."

    Ya salam! Kamu bisa kenal di mana, Nyong, sama tante-tante yang kayak 'gini?!! Sarapannya aja,
    milih yang brutal macam itu! Aku nggak sabar banget jadinya! Maaf ya, Mami. Aku tak mau menanggung
    dosa dengan memberikan sarapan seperti yang Mami minta. Tapi aku masih berbaik hati. Ini ada sebuah

    pisang muli dan dua butir kelengkeng. Nah, bawa pulang sana! "Tapi... tapi... kenapa... aku malah dikasih
    yang seperti ini... ihik... ihik..." Udah ya, Mami Sayang. Pacaran aja sana kau! Jangan ganggu Kak Stevie

    yang kami semua sayangi. Dia memuja, mengasihi, dan bersimpati pada Mami. Nih, aku kasih lagu untuk
    Mami: "Oh, Tuhan... dia sayang Mami, rindukan Mami, mengasihi Mami... eh, Mami-nya blo'on..."



    Dialog absurd di atas sekadar dialog imajiner. Bukan berarti aku udah nggak waras, yah, melainkan
    aku cuma mencoba membayangkan jika pada akhirnya, aku terpaksa mesti berinteraksi dengan Tante A.

    Paling banter kami berdua hanya akan terlibat dalam perkelahian kata-kata. Tante galak; aku buas ganas.
    Tidak mungkin lah ya, kami berseteru secara fisik. Tante pasti akan kalah karena dia jarang berolah raga.
    Aku dan cewek-cewek lainnya di guest house, selama ini mendapat pelatihan serius hand-to-hand combat
    secara rutin dari "Sensei Stevie" serta para Sensei/instruktur lainnya. Materi yang diajarkan bukanlah yang
    muluk-muluk macam "pelatihan untuk pendekar" karena kami takkan sanggup. Hand-to-hand combat-nya

    merupakan penggabungan antara Krav Maga, Systema, dan juga Eskrima—"bela diri jalanan" dari Filipina,
    Tanah Leluhur Mama. Nah, "Sensei Stevie", orangnya mah, 'gitu. Demen banget mengusik zona nyaman
    kami, para perempuan. Kalau yang lainnya 'kan cuma bisa ngomong besar: "Perempuan harus tangguh",
    "perempuan harus kuat", "perempuan harus berani, cerdik, dan cerdas", bla-bla-bla-was-wes-wos-fa-fi-fu.
    Yah sebatas itu aja. Tanpa memberi pembekalan "bagaimana menjadi perempuan tangguh, kuat, berani,
    cerdik, dan cerdas". Lain dengan "Sensei Stevie". Beda kelas. Jika dia bilang: "Kau mesti begini!", yah, dia
    akan dengan sangat serius mengupayakan dan memfasilitasi pula cara-caranya. Begicu lho, Mami.



    Semalam, secara tak terencana, aku, Irma, dan Ajeng mengadakan "a live acoustic jam session".
    Kami bertiga menyanyi—aku dan Ajeng berduet, memainkan gitar akustik—membawakan lagu Helloween,
    "Number One", untuk Sensei kami tersayang. Siapa tau, dia akan mengamb
    il keputusan penting terkait si
    Tante A yang te
    rindikasi berpacaran dengan pria lain. "Sensei Stevie" nggak usahlah merasa sedih.

    [​IMG]

    (Screenshot lirik lagu di atas kuambil dari postingan-nya. Ya, dia pun udah mengambil fotoku untuk
    dijadikannya sebuah poster raksasa seukuran pintu rumah. Semua jadi berpikiran yang tidak-tidak.)

    Selepas itu, kami juga membawakan lagu Frente!, "Open Up Your Heart and Let the Sunshine In".
    Bu Retno "Bellucci", Bude Vini, Dina, dan Mbak Vies turut pula bernyanyi. Meriah banget deh. Seolah kami
    memberi pesan: "Jika yang lain tak mampu menghargaimu, kami semua di sini menghargaimu..."

    Eh, Ajeng sepertinya ketularan energi Tante Ayang oleng nggak karuan. Dia pun memprovokasi

    "Sensei Stevie": "Kamu sudah dirayu segini banyak perempuan yang bening-bening, masa sih, nggak bisa
    kamu balas?! Kehabisan kata-kata?!! Apa salah tingkah?!" Bener-bener kutu kupret cewek satu itu!

    Toh, "Sensei Stevie" akhirnya merespons. Mbak Vies mengambilkan dua gitar akustik sang Sensei.
    Tetapi aku sempat kecewa. Masa yang dia bawakan malah lagu "Here Without You" dari 3 Doors Down?!!
    Kenapa 'milih yang menye-menye 'gitu?! Ternyata... aku salah. Dia hanya memainkan intro dan sekelumit
    lagu itu, untuk selanjutnya "menghajar kami semua tanpa ampun" dengan membawakan lagu-lagu ganas
    secara akustik. Bermain gitar sambil bernyanyi dengan suara maskulin—seperti seorang "instruktur militer"
    yang tengah memberikan rangkaian instruksi dengan suara menggelegar, pada para tentara di satu kamp
    pelatihan pasukan khusus. Seperti yang telah aku nyatakan di bagian awal tulisan ini, skills permainan gitar

    si Ajeng (yang punya background pendidikan musik formal), jauuh lebih mengungguli skills "Sensei Stevie".
    Akan tetapi, apabila Ajeng bermain gitar sembari menyanyikan lagu di depan para pria, justru para pria itu
    cenderung akan merasa minder bangets, terutama yang sama sekali tak becus bermain gitar. Lain halnya
    manakala "Sensei Stevie" memainkan gitar sambil menyanyikan lagu di hadapan para perempuan.


    Secara jujur, dia mengaku kalah kelas dibandingkan Ajeng. Perbendaharaan lagunya, yah mungkin
    "hanya" sekitar 100-an—itu pun mayoritas lagu-lagu lawas. Toh, cewek-cewek (kecuali, yang lagi "celeng",
    atau terkena gejala "tetelo", maksudku... "teler-teler-oleng") cenderung terpesona seketika pada aksinya.
    Semalam, dia membawakan tiga lagu secara akustik. Satu lagu dekade '90-an: "This Love", dari Pantera;

    satu lagu akhir dekade '80-an: "The Ballad", dari Testament—yang liriknya sangat filosofis—dan satu lagu
    awal dekade 2000-an: "Walk with Me in Hell", dari Lamb of God. Versi asli "Walk with Me in Hell", mungkin,
    akan susah dicerna telinga awam. Apalagi cewek-cewek yang tak familier dengan genre metalcore.

    [​IMG]
    Namun, begitu dia bawakan dalam versi akustik, uh, terpesonalah kami dibuatnya. Cobalah kaucari
    sendiri, contoh-contoh versi akustik lagu itu di YouTube: "Walk with Me in Hell acoustic guitar cover". Yang

    membedakan, "Sensei Stevie" mahir memainkan lagu itu dengan gitar akustik, dan juga menyanyikannya,
    dengan suara yang sangar. Mungkin, karena dia sering meminum "gerusan biji kedondong" plus "mahkota
    nanas" (mungkin, ya!) sehingga bisa punya suara sesadis itu. Kalau hanya membaca judulnya, "Walk with
    Me in Hell", boleh jadi, lagu tersebut mudah disalahpersepsikan sebagai "lagu setan". Padahal, sih ya, lagu
    itu sebenarnya lagu cinta nan tulus, dari seorang suami pada istrinya.
    Simak aja liriknya: "Take hold of my
    hand, for you are no longer alone. Walk with me in hell." "Hell" yang dimaksud itu, bukan "neraka" secara

    harfiah, melainkan kiasan dari kehidupan yang berat—dipenuhi berbagai kesulitan. "Genggamlah tanganku,
    karena kamu tak lagi sendiri, ada aku yang akan menjadi pelindungmu. Berjalanlah bersamaku, tidak usah
    cemas, 'neraka kehidupan ini' (metafora dari 'kepedihan hidup') akan kita lalui (dan atasi) berdua."

    Bagaimanapun, statement sedahsyat itu, hanya akan punya arti yang amat mendalam, bila yang
    menyampaikannya adalah laki-laki yang rekam jejaknya terjaga baik. Nah, karena "Sensei Stevie" sampai

    sejauh ini memiliki rekam jejak yang mengesankan, lagu yang dia bawakan tersebut ikut punya efek yang
    menggetarkan. Namun, bila statement macam itu dinyatakan oleh "para Don Juan KW", "tukang 'ngibul",
    "para pria bangké cap tempe bongkrék", kita pun akan muak, mual, dan muntah mendengarnya.




    Ada perkataan Irma yang bikin aku terenyuh: "Andai suatu hari nanti, Tante A tak lagi memesona

    seperti masa kini—entah karena 'salah perawatan' atau 'mengalami tragedi' seperti Jacqueline Durand dan
    Brooklinn Khoury—rasa-rasanya para pria yang suka bilang 'cantak-cantik-cantak-cantik' tak akan
    mau lagi

    memuji si Tante. Cuma 'Kak Stevie' aja yang kuyakin bangets akan bersikap berbeda..." Yah, kukatakan,
    aku nggak sependapat karena statement Irma itu terdengar seperti satu "cult of personality", atau kultus

    individu a
    lias "sanjungan yang lebay". Irma tetap aja keukeuh: "Rekam jejak akan selalu berbicara, Cyin!
    Dia udah terbukti sering 'turun tangan' ketika yang lain 'lepas tangan'. 'Menolong dan membantu', dengan
    filosofi lirik lagu 'Kasih Ibu': 'Hanya memberi, tak harap kembali.' Nggak banyak yang seperti dia."

    [​IMG]
    Heeiiiiiissh! Nggak lah. Di dunia ini—Insya Allah—akan selalu ada para pria seperti dia. Persoalannya,
    para pria yang baik tak selalu bisa memberikan kebaikan mereka—karena orang yang ingin d
    ibantu, justru
    "mem
    ilih jalan yang sangat bertolak belakang". Kata Elias, "Stevie pernah 'secara diam-diam' bermukim di
    satu rumah [milik Mbak Ve], yang terletak di kompleks rumah Tante A. 'Bertetangga' selama tiga minggu,

    tanpa disadari Tante A." Terus kenapa dia tidak memunculkan diri?! Tampang + body, ada. Duit pun ada.
    Pokoknya, sangat layak tayang. Apa lagi yang dia tunggu? Buruan kawin dah sana! Eh, Elias menjelaskan,
    "Analoginya begini. Stevie baru akan turun ke hutan dan rimba yang terbakar jika dia sudah yakin mampu
    memadamkan hingga tuntas. Dia takkan bertindak tanpa kalkulasi matang dan perencanaan—yang justru
    akan membuat area hutan dan rimba yang terbakar, kian meluas." [Ini bukan lagi 'ngomongin "hutan dan
    rimba" Tante A!] "Yang jadi fokus utama Stevie, bukan ingin berpacaran atau cinta-cintaan dengan si Ibu.
    Ada hal-hal sangat serius dan berpotensi bahaya, yang sepertinya tak pernah disadari si Ibu itu." Yah tapi
    semua yakin, Tante A akan kesengsem habis-habisan, terus 'ngomong, "Sayang, nikahilah aku..."


    [​IMG]
    Kendati, Tante A sekarang dalam kondisi "agak-agak blo'on", terindikasi pacaran dengan orang lain.

    "Sensei Stevie" bukan
    tipe pria yang akan bilang, "Jalanin aja, liat 'gimana nanti..." Dia mengetahui
    satu hal utama yang menjadi "titik lemah" Tante A. Nggak usah aku tulis panjang lebar di sini. Aku berikan
    kata kuncinya aja: "impulsif". Beragam permasalahan, sering bermula dari karakter impulsifnya itu.



    Semoga, Allah SWT selalu menghindarkan kita dari tempat, waktu, dan s
    ituasi yang salah. Aamiin.



     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Nov 12, 2023
  13. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    (Unggahan ini akan bisa terlihat rapi kalau kalian baca memakai PC/laptop dan browser Mozilla Firefox.)



    [​IMG]
    As far as I know, un
    til a few years ago, "Sensei Stevie" was not in the slightest a "young stud who
    could properly cook," nor did he feel the need to be able to. But the presence of the "White De
    vil"—oops, I
    mean the presence of "Tante
    A, the She-Devil"—in his life seemed to have changed everything. Although,
    odd
    ly enough, believe it or notat least to this dayshe's never been vis-à-vis with him. The two haven't
    ye
    t directly communicated. "Sensei Stevie," however, has constantly shadowed Tante A. He's used "some
    sophis
    ticated and ingenious methods" so that the flirtatious and irascible aunty hasn't yet realized that her
    ardent admirer has put her under surve
    illance. When push comes to shove, he will decisively decide.

    We
    all know that many people around us are willing to make drastic changes when they are in love.
    These
    individuals willingly go to great lengths, do many arduous or even tedious things they've never done
    before (or wou
    ldn't do at all!), and surprisingly, all of a sudden take a fancy to things they veritably despise
    or consider "awfully terrible" only to please that special someone they love. Well, "
    it's all for the sake of their
    passionate love." What "Sensei Ste
    vie" has experienced is utterly different. Instead of "changing himself in
    the name of love" in the period when he fe
    ll head over heels for Tante A, the bloody handsome and sturdy
    young stud just started to make significant changes in his life and has solemnly (or even "brutally") learned
    a lot of new hardcore sk
    ills after all the "clandestine operations" to approach Tante A failed miserably.



    For most people who've known "Sensei Stevie" for a long time, this failure feels rather strange since
    he has an unshakeable reputation as a "master negotiator" and a "charismatic and good
    -looking stud who's
    never failed to win over the heart of any girl or woman he has his eye on." Even though he's never been a

    womanizer, everybody knows he's always been a conqueror of women's hearts par excellence. "Sang Ratu
    Ayu Kayangan," Aunty Nis-Syi, and me are three perfect examples of "strenuous targets" he's managed to
    subdue. Some quite believed that "approaching Tante A wouldn't be at all a big deal for him." Just because

    he is significantly younger than her, that doesn't mean he is less experienced. He has reached a high level
    of maturity faster than many other young people his age. Having observed and scrutinized the social media
    activities of Tante A, I can say that "Sensei Stevie" has clearly surpassed her in "maturity, accountability,
    reasoning ability, self-control, sense of responsibility, self-awareness, commitment adherence, and ability to
    resolve conflicts or complex problems." With those kinds of "outstanding qualities," Insya Allah, it is almost
    impossible for any hot girl or woman not to be attracted to or deeply infatuated with him—Tante A would be
    no exception. Nonetheless, things didn't go his way. Hahahaha! If there hadn't been reliable information that
    she'd suddenly marry, the young stud would've easily inveigled her into becoming his woman. Well, "days go
    by, and life goes on." He had to cope with the fact that Delilah—I mean, Tante A—might not be a "woman

    worth fighting for." Let her choose her way and bear all the consequences, including the bitter ones.

    Unfortunately, about two and a half years later, Tante A did indeed have to swallow the bitter pill that

    resulted from her decision. "Sensei Stevie" and some people had predicted it before she married. However,
    instead of "being proud that his prediction turned out to be a hundred percent accurate," or "blaming her
    for her recklessness in choosing a husband," or "laughing at her," "Sensei Stevie" seemed to be very sorry
    that her (second) marriage had to fail and, again, end in divorce. He wished he could've prevented it. Had
    he not outright refused Tante Yolla's offer to introduce him to Tante A (through the intercession of a friend
    of Tante A) and then befriended her, Tante A might've spared the unfortunate fate that befell her. Even if
    Tante A insisted on marrying the man of her choice, "Sensei Stevie" wouldn't stand in her way. He would
    never condemn a person's legal marriage, nor would he regret that any children were born from it. He's not
    a man who'd meddle or interfere in other people's affairs. When there was no other logical option for her

    but to get a divorce, so be it. It would've been detrimental if she'd stayed in a "toxic relationship." He only
    acutely regretted that she couldn't be quite tactful when she decided to divorce. Had she befriended him or
    even developed a "close connection"
    with him (though not in the form of a love relationship), his analytical,
    logical, methodical, tactical, calculating, prudent, thoughtful, and "always making good decisions based on

    facts and reason rather than feelings or emotions" personality and traits would've rubbed off on her.



    [​IMG]
    We women admit that sometimes, part of us finds it amusing to see how most men react when their
    hearts seem to break. Some wa
    il and cry like infants. Others express their desolation by posting crestfallen
    and disconsolate statuses that match their feelings on social media. Guys with musical talents might take
    their acoustic gu
    itar and then play it while singing weepy songs as if they'd never find another woman again
    for the rest of their lives. (One of the songs that I think will be the choice of those broken-hearted people is

    a "not-suitable-for-minors" song by CeeLo Green, track number 3 on the album The Lady Killer, which quite
    surprisingly won "Best Urban/Alternative Performance" at the 2011 Grammy Awards.) But "Sensei Stevie"
    didn't react like the foregoing examples. Instead, the bloody handsome hotshot swallowed down the pain or
    emptiness of losing the pale and cocky coquette—heeiiiissyah, I mean, losing Tante A—and felt that slab of
    heartbreak slide down his throat and lock it all away. Although a stone-cold stud of his caliber could've taken
    his Kalashnikov rifle and fire
    d it brutally to express all his "anguish, anger, or disappointment" at the decision
    Tante A had rashly made, he
    didn't do it. Fellas, I hope you do not misunderstand what I am writing.

    He's not a man with a
    mental disorder who'd commit a mass shooting! The rifle I'm referring to here
    is an airso
    ft rifle whose use will always comply with applicable legal procedures. In spite of the fact that he
    owns loads of legal replicas of automa
    tic rifles or airsoft rifles, he'll only use them for recreational or sporting
    purposes (e.g., airsof
    t wargames or "MilSim"a portmanteau for "military simulations") at several locations.
    A
    ll participants involved in those events must always equip themselves with personal protective gear.

    However, if "Sensei Stevie" had the authority to acquire and use an automatic rifle (as a real soldier),

    he might use it in "dopper exercises" (or live-fire training). Imagine he was an indomitable soldier in a special
    forces unit training the "ferocious but whiny" Tante A, who happened to be a novice. She'd be crawling in a
    muddy field, and he'd mercilessly shower her with shots using live ammunition (instead of showering her with
    love as she has always desired) to ensure that she'd take her training seriously and become accustomed to

    being shot at "before facing true enemies in the war zone"—as shown in the video illustration below.




    I once wrote about a story of how he seriously learned freestyle biking. In some ways, this might be

    due to the "disappointment" he felt when Tante A suddenly decided to get married while he was developing
    "tactics and strategy to approach her." A few days ago, it became known that at that time, he wasn't only
    learning freestyle biking (until he mastered it very well). On one occasion, Elias told me, Ajeng, Irma, and
    Dina that the young Stevie was also "secretly" learning and practicing military cooking techniques or "cooking
    under the conditions of a guerrilla war." Elias said that one day, a saucy woman joked with "Sensei Stevie,"

    "You know, there's only one Steven Seagal movie I love, Under Siege. The movie is considered successful
    and was also critically acclaimed. In Under Siege, he played 'Casey Ryback.' Although he's a highly trained,

    skilled, and lethal SEAL soldier, the Navy demoted him to a cook since he beat up an 'incompetent officer'
    who drew up the terrible strategy for a military operation, which led to the tragic deaths of his fellow SEALs.
    Though Ryback 'officially serves only as a cook,' he's the one who knows how to defeat all the mercenaries
    who take control of the U.S. Navy battleship Missouri. You're not Mr. Ryback, nor do you have to become
    him. However, since your first name is Steven, why don't you do what Steven Seagal did? He played the
    character of a badass SEAL who is also highly skilled at cooking. Imagine that this world is a movie. You've
    gotta play the character of a handsome, straight, and sharp-witted hotshot who's not only well-experienced,
    well-built, and masculine but also has good cooking skills." Of all that, I only interested in one thing: Who the

    hell was a "saucy woman" whom Elias meant? Elias, however, refused to reveal the woman. Damn!



    [​IMG]
    Yang pasti, "si oknum perempuan tersebut" bukan Tante A, karena Tante A tidak teramp
    il memasak,
    dan sepengetahuanku selama mengamati dan mencermati beragam aktivitasnya di du-may, dia tak pernah

    memamerkan kemampuannya perihal memasak. Padahal, dia tipe "tante-tante yang doyan pamer". Jikalau
    dia pinter memasak, yah, pasti akan dia pamerkan. Kenyataannya 'kan, tidak. Tidak, Sayang! Tidak!


    Oleh sebab dia ndak pacak masak, yah mustahil bila dia menasihati siapa pun agar belajar memasak.

    Lagi pula, aku mendapatkan info valid A1 bahwa "salah seorang di inner circle Tante A" pernah bilang:
    "Tante A adalah contoh khas tipe perempuan penyuka kisah cinta dan romantisme ala dongeng Cinderella."

    Tipe Putri Syantik Manja yang selalu memimpikan sang "Pangeran Kodok" yang akan bisa memanjakannya.
    Yang 'ngomong 'g
    itu, orang dari inner circle Tante A, lho ya! Meski dia termasuk "inner circle", bukan berarti
    nggak akan "membicarakan di belakang layar". Pemuja dongeng Cinderella mustahil akan menyukai film-film

    ala Under Siege. Biarpun Tante A termasuk anak '90-an, aku nggak yakin dia udah nonton film Under Siege,
    atau bakalan sudi untuk menontonnya. Hingga detik ini, aku belum tau, siapakah itu "a saucy woman" yang

    dimaksudkan oleh Elias. Namun, ya aku terpaksa mesti sependapat dengan "si oknum perempuan misterius
    tersebut", bahwa Under Siege (produksi 1992) adalah "satu-satunya film Steven Seagal yang layak tonton".

    Tapi, yah itu tadi, ibu-ibu macam Tante A tidak akan berminat menontonnya. Genre film yang akan menarik
    perhatiannya—kemungkinan besar—cuma film cinta-cintaan. Nggak 'pa-'pa juga, sih. Toh, tiap orang punya

    preferensinya masing-masing. Tante A seakan memaknai "cinta" sebagai: "Bahagia, bahagia, dan bahagia."
    Tidak boleh sampai ada duka atau bahaya—terutama "bahaya yang terkait dengan urusan finansial".

    Aku tidak sedang sok bikin asumsi, tetapi sekadar mengutip perkataan orang dari inner circle Tante A.



    Pada akhirnya, dengan izin Allah SWT, sang "Steven di dunia nyata" pun ternyata mulai secara serius
    mempelajari teknik memasak agar dia bisa sejajar dengan Casey Ryback yang diperankan Steven Seagal di
    film Under Siege. Dalam perkembangannya, kemampuan "Sensei Stevie" malah lebih hardcore dibandingkan

    kemampuan Casey Ryback (yang di film Under Siege digambarkan sebagai "tentara terlatih, tetapi didemosi
    menjadi juru masak") untuk sejumlah hal. Yah 'kan—sejauh yang bisa kita ketahui—aktivitas Casey Ryback

    dilakukan di dapur yang bisa kita katakan "modern" (di kapal induk). Lain halnya dengan "Sensei Stevie". Dia
    memilih memfokuskan dirinya untuk mempelajari "teknik memasak dalam situasi darurat serta dalam kondisi
    yang penuh dengan keterbatasan". Jangan kalian bayangkan, dia belajar memasak di dapur modern.

    Di dalam institusi TNI, selalu ada yang namanya "Batalyon Perbekalan". Akronimnya pun bermacam-
    macam. Di kesatuan Marinir disebut "Yonbekpal" (Batalyon Perbekalan dan Peralatan). Di kesatuan Kostrad

    disebut "Yonbekang" (Batalyon Perbekalan dan Angkutan). Pada masa kini—lazimnya—Batalyon Perbekalan
    mempunyai unit-unit truk militer yang difungsikan sebagai "Randurlap" (Kendaraan Dapur Lapangan).

    Toh, konsepnya selalu adalah "Dapur Modern" dengan berbagai peranti memasak yang mirip dengan
    yang terdapat di food trucks—yang menjual makanan untuk umum. Nah, hal yang dipelajari "Sensei Stevie"
    bukan teknik memasak di mobile kitchen seperti itu. Dia belajar "bagaimana teknik memasak apabila berada

    di dalam situasi darurat atau dalam kondisi mesti bertahan hidup, dengan peranti seadanya dan bahan baku
    mentah yang mungkin tak ideal". Mulai dari teknik membuat api unggun di tempat terbuka (yang bisa untuk

    memasak secara efektif, tetapi sangat minim asap pembakaran), teknik memasak memakai tabung bambu
    ataupun tempurung/batok kelapa (dan bahkan, teknik memasak dengan membungkus bahan baku mentah
    dengan daun dan tanah liat untuk selanjutnya dipendam di dalam bara api), hingga teknik menyembelih dan

    menguliti berbagai jenis unggas ataupun hewan memamah biak (ruminansia). "Ya ampun, menyembelih?!!"
    Hey, kau sok berkomentar: "Ya ampun, Ya ampun", tetapi tetap aja, saban kali makan daging dan unggas!
    Beragam daging (halal) yang kalian santap itu semuanya pastilah telah melalui proses penyembelihan.

    Elias bilang, pada dasarnya, "Sensei Stevie" merasa tak sampai hati bila harus menyembelih binatang.
    Toh, "ketidakberhasilan operasi intelijen/klandestin terkait Tante A", seolah menjadikan "Sensei Stevie" mesti
    mencari sejumlah "pelarian emosi yang positif". Dia berusaha mempelajari banyak keterampilan yang ketika

    itu tidak/belum dikuasainya. Jadi, "kekecewaan" (jika memang boleh dikatakan sebagai "kekecewaan") yang
    bisa jadi dia rasakan sama seka
    li tak akan mungkin sanggup mematahkan ataupun menghancurkan dirinya.
    Apa Tante pikir dia bakal 'nangis Bombay guling-gulingan sambil meratap-ratap? Tidak, Sayang! Tidak!

    Ia pun bukan bocah kecil yang akan marah-marah jika ada hal yang tak sesuai dengan keinginannya.



    Betapa pun kini dia punya keterampilan memasak, dia tetap membatasi diri agar tidak sampai terlihat
    seperti para chef profesional. Fokus dia adalah memasak di ruang terbuka dalam situasi darurat, atau dalam
    kondisi sedang bergerilya "yang mesti berhadapan dengan banyak keterbatasan". Dia udah tau teknik-teknik
    mengawetkan daging atau makanan lainnya, saat tak ada lemari es, atau saat tak bisa menetap permanen

    (tanpa sekadar menjadikan daging itu sebagai dendeng atau daging asap). Dia udah 'ngerti teknik membuat
    pisau darurat bila sama sekali tidak ada pisau. Bisa menyembelih unggas apa pun dengan teknik yang benar
    sehingga unggas itu mesti mati sepenuhnya dalam hitungan kurang dari lima menit. Jika mesti menyembelih
    hewan-hewan ruminansia (ataupun hewan-hewan berkaki empat yang dagingnya halal dikonsumsi), dia juga
    menguasai teknik-tekniknya sehingga hewan itu pun akan bisa mati sepenuhnya kurang dari 10 menit. Yang
    namanya "menyembelih hewan" memang: a dirty job. Yes, it's a dirty job but someone's gotta do it!



    Aku teringat satu cerita Mbak Suci. Si Mbak Cantik pernah berkisah ihwal si Mas-nya (suaminya) yang
    tanpa henti memotivasi supaya "Sensei Stevie" mau serius mempelajari keterampilan memperbaiki beragam
    peranti elektronik. Sebelumnya, "keterampilan elektronik" si Bloody Handsome Heartthrob, ya cuma sebatas
    merakit PC. Kalau sekadar merakit PC dari nol, Alhamdulillah, aku dan Mbak Suci pun mampu melakukannya

    dengan baik (dalam arti: PC yang kami rakit itu pastilah bisa berfungsi secara layak) walau kami perempuan.
    Tetapi, begitu kami dihadapkan pada kerusakan alat-alat elektronik rumahan seperti TV, DVD/Blu-ray player,
    blender, kulkas, AC, dll, kami pun tak bisa memperbaikinya. Semula, "Sensei Stevie" berpikiran praktis: "Jika

    ada alat elektronik yang rusak, kenapa mesti repot? Tinggal dibawa aja ke service center yang resmi. Andai
    tidak bisa lagi diperbaiki, tinggal beli yang baru. Toh, uangnya ada. [Ada beneran. Bukan sesumbar!]"

    Biar 'gimana juga, si Mas-nya Mbak Suci mengingatkan bahwa "laki-laki sebaiknya punya keterampilan
    teknik yang mumpuni dalam bidang mesin (otomotif/kendaraan) dan alat-alat elektronik". Yah soalnya, 'kan,
    bidang-bidang tersebut sangatlah jarang dimengerti dan dipahami para perempuan. Hal-hal yang nggak bisa

    dilakukan para perempuan, udah semestinya dan selayaknya sanggup dilakukan dengan baik oleh para pria.
    Sangat logis, sih yah. Untuk urusan mesin dan otomotif, Alhamdulillah, "Sensei Stevie" memiliki "keterampilan
    yang lebih dari sekadar lumayan". Meski dia bukan seorang mekanik profesional, toh, dia bisa mengutak-atik
    mesin (dalam konteks "memperbaiki atau mengatasi beraneka ragam permasalahan hingga tuntas").

    Lah, kenapa keterampilan dalam bidang elektroniknya malah nyaris nggak ada? Sayang banget, 'kan?

    Sebagai seorang perempuan, aku memaknainya dengan perspektif yang berbeda. Manakala seorang
    pria mempunyai berbagai keterampilan (atau menguasai sejumlah hal di dalam kehidupan) yang tidak dimiliki
    Kaum Hawa, yah, sesungguhnya sang pria itu dapat dikatakan—sedikit banyak—sudah memiliki posisi tawar

    (bargaining position) yang kuat. Kita tau lah, pria akan mudah terperangah, terpesona, dan kagum seketika
    pada para perempuan yang tidak cuma pinter dandan dan merawat badan, tetapi juga sangat cekatan dan
    terampil melakukan hal-hal seperti: memasak, menjahit, mengurus rumah, dan mengelola keuangan.


    Di lain pihak—sudah bukan rahasia lagi—perempuan pun akan langsung kesengsem, baper luar biasa,
    dan jatuh hati pada para pria yang nggak hanya good-looking, religius, pinter, dan punya sifat positif lainnya,
    tetapi juga menguasai banyak keterampilan yang "laki banget" (atau skills yang jarang dipunyai perempuan)
    semisal: bisa memperbaiki mesin-mesin kendaraan yang sedang bermasalah, mampu mereparasi peralatan

    elektronik yang rusak sehingga kembali berfungsi normal, mahir mengemudikan berbagai macam kendaraan
    —wabil khusus yang cenderung
    tidak bisa dikemudikan oleh Kaum Hawa (speedboat/motorboat, bus besar,
    double-decker, truk, tronton, trintin, trinton—sebutan "trintin" dan "trinton" bukan candaan, ya; trintin punya
    tiga as roda dan trinton punya empat as roda), piawai mengendarai beraneka jenis "motor laki" atau "motor
    yang ber-CC besar", hingga menguasai sejumlah keterampilan sekunder/tersier lain seperti memainkan gitar

    (akustik dan elektrik) sambil menyanyikan lagu, melakukan freestyle biking, ball juggling, mengelas besi/baja,
    memanjat pohon kelapa atau pohon lontar, sampai membuat "mural dinding yang berestetika tinggi".




    Masa-masa berlatih memperbaiki berbagai peranti elektronik itu, bukan baru dilakukan "Sensei Stevie"

    setelah momen "mission aborted" terkait Tante A, melainkan udah sejak beberapa tahun sebelumnya. Nah,
    pada hakikatnya, sang Pemuda Langka Pujaan Kaum Hawa tersebut tergolong seorang "fast learner". Tapi,
    yang agak-agak disayangkan, dia sempat mengabaikan "pentingnya kesungguhan serta konsistensi latihan".
    Padahal, "practice makes perfect" dan "repetition builds perfection".
    Sanga
    tlah jarang ada suatu hal di dunia
    ini yang begitu sekali aja telah bisa kita kuasai, akan seterusnya kita kuasai tanpa mesti berlatih secara rutin.
    Paling hanya keterampilan mengendarai sepeda roda dua dan berenang.
    Selama tubuh kita tidak mengalami
    gangguan, kita akan sanggup melakukan dua hal itu hingga akhir hayat, meskipun tak diiringi dengan latihan.
    Namun, untuk hal-hal dan aneka keterampilan lainnya, mutlak memerlukan latihan yang mesti dijalani.



    [​IMG]
    Ada baiknya, aku membahas sedikit tentang "betapa penting berlatih secara serius dan teratur", yah.

    Misalnya aja, 'gini: Kalian para perempuan seperti aku, pasti kepingin memiliki tubuh yang tidak hanya

    sehat, bugar, tapi bisa pula terlihat proporsional dan seksi. Kodrat perempuan, udah dari sananya seperti itu.
    Jujur deh, para pria pun (yang 100% berorientasi straight, seper
    ti si Makhluk Handsome Bloody Handsome)
    seolah "lebih terpukau pada keseksian tubuh wanita"—ketimbang kecantikan wajahnya semata-mata.


    Tak berarti mereka mengabaikan kecantikan wanita. "Cantik" itu penting banget tapi "mesti sepaket".

    Katakanlah, walau mereka bisa terpesona pada kecantikan, toh cenderung akan cepat bosan jika kecantikan
    perempuan tersebut tak dilengkapi dengan kondisi tubuh yang menggairahkan. Kalau para pria itu mau jujur,
    hal tersebutlah yang sedari dulu selalu ada dalam isi otak atau pikiran mereka. Sampai sekarang ini, statusku
    terkait dengan si makhluk yang "amat sangat menjengkelkan" itu "nggak jelas atau masih belum jelas". Aku
    sama sekali belum bisa menyatakan bahwa dia itulah yang akan menikahiku. Ada buanyak perempuan yang
    berada di sekitar kehidupannya, tapi aku nggak tau: Siapa sih, yang sesungguhnya di-"spesial"-kan? Namun,
    entahlah ya, ada kesan kuat, dia seolah tak akan pernah rela jika sampai "melepaskanku" begitu aja.

    Apa karena (dari hari ke hari) di akun IG-ku selalu ada aja gerombolan luwak dan biawak yang begicu
    antusias menyanjung-nyanjungku dengan pujian cantak-cantik-cantak-cantik dan seksi-seksoy-seksi-seksoy?
    Nah, ada beberapa sumber tepercaya (dari sebuah "detasemen" di "slagorde" kami) yang meyakinkan aku
    bahwasanya "faktor pesona fisik"—tak sekadar dilihat secara objektif dari segi paras tetapi juga dari "kondisi
    tubuh nan menggairahkan"—di dalam
    diriku itulah yang selalu bikin si Makhluk Handsome Bloody Handsome
    tersebut seolah mesti berpikir ribuan kali jika mesti melepaskanku. Dalam dunia laki-laki dewasa, ada sebuah
    adagium: "Melepas seorang perempuan yang 'sekadar cantik' tidak akan sesulit melepas perempuan cantik

    yang sekaligus bertubuh menggairahkan." Kita bisa berdebat panjang lebar, hingga berbusa-busa mengenai
    hal tersebut. Toh, tak akan mengubah fakta bahwa banyak pria yang berpikiran macam itu. Kriteria "wanita
    cantik" yang dianggap ideal bagi kebanyakan dari mereka, ya, "cantik wajahnya dan seksi body-nya".


    Sekadar "cantik" tetapi "tak bertubuh menggairahkan", lambat laun akan bikin mereka merasa bosan.

    Perihal perawatan wajah, banyak perempuan masa kini yang telah mempunyai kesadaran tinggi. Ada

    tipe konservatif macam aku: "Cuma memilih metode natural seperti lulur atau masker wajah yang alamiah."
    Ada pula yang "berani mengambil risiko" dengan memakai metode-metode yang tidak natural seperti serum
    wajah, "tanam dan tarik benang", suntik Botox—atau bahkan prosedur operasi seperti facelift. Pada intinya,
    untuk urusan merawat wajah, "rata-rata perempuan udah nggak perlu dibilangin lagi lah". Tetapi, lain halnya
    begitu menyangkut urusan "perawatan bentuk tubuh". Kebanyakan perempuan—yang aku ketahui—seakan
    udah langsung drop duluan dan malas bangets, bangets, bangets jikalau mereka harus menjalani pola hidup
    sehat, bersih, dan mesti mengalokasikan waktu untuk melakukan latihan fisik yang terkonsep secara teratur.
    Padahal, 'gimana mungkin, kau bisa memiliki tubuh seksi tanpa mau bersusah payah berolah raga?! Bahkan,
    para perempuan cantik yang semula bertubuh seksi pun, dapat dengan mudah berubah menjadi amburadul
    tidak karuan begitu mereka tergoda menjalani pola hidup tidak sehat dan mulai malas latihan jasmani.



    Di dunia, berlaku konsep kehidupan: "Banyak hal yang mesti diiringi dengan latihan keras dan teratur."


    Ingin fasih berbahasa asing secara bagus dan lancar? Ya, mau tak mau mesti "memacu diri" berlatih
    berkomunikasi secara berkesinambungan—baik lisan maupun tulisan—dengan native speakers. Kalau hanya

    mempelajari grammar/tata bahasa, mungkin bisa aja kita lakukan secara autodidaktik atau cukup mengikuti
    pelajaran yang diberikan di sekolah. Namun, untuk bisa mencapai level "fasih dalam bercakap dan menulis",
    ya, mestilah melalui latihan berkomunikasi terus-menerus secara aktif dengan para native speakers. Banyak
    kisah nyata di Indonesia, orang-orang yang selalu mampu mendapat nilai bagus dalam ma-pel atau mat-kul
    Bahasa Inggris—sedari SMP (bahkan, mungkin sedari SD), SMA, hingga lulus perguruan
    tinggi. Toh, kendati
    mereka tak bisa dikatakan "buta Bahasa Inggris", tetap aja, mereka tak sanggup berbahasa Inggris secara

    lancar dan benar. Dulu, Bu Retno "Bellucci" pernah mengatakan padaku, banyak para perempuan/ibu lajang
    di area guest house (termasuk pula beliau) yang semula sama sekali tak becus berbahasa Inggris. Padahal,
    semasa masih sekolah hingga lulus S-1, nilai mereka dalam ma-pel dan mat-kul Bahasa Inggris tidak pernah

    jelek. 'Dikit-'dikit sih 'ngerti, tapi... kalau mesti 'ngomong/menulis dalam Bahasa Inggris, macet parah. Andai
    dipaksakan, ujung-ujungnya, akan amburadul tidak karuan—dengan kesalahan gramatikal di sana sini.

    Yang kadang menjengkelkan, ada aja orang yang mencoba menafikan atau menyangkal "pentingnya
    mematuhi ketentuan gramatikal di dalam berbahasa Inggris". Mereka sering bilang: "Ah, salah grammar aja
    paké diributin segala macam. Yang bulé, wolés
    -wolés aja 'tuh, kalau kita salah grammar." Seakan-akan para
    bulé atau native English speakers tersebut adalah "manusia-manusia nan mulia yang tak mungkin mencela".

    Padahal, kalau mau jujur—paling tidak berdasarkan pengalaman selama ini (baik di lingkungan kerja maupun
    di lingkar pergaulan, termasuk di guest house, yang dari waktu ke waktu, selalu aja dikunjungi banyak bulé),
    para orang asing itu sering "menjadikan kemampuan berbahasa Inggris orang Indonesia sebagai salah satu
    tolok ukur untuk mendeteksi kualitas inteligensi atau latar belakang pendidikan yang dimiliki". Bila kau mampu
    menunjukkan pada mereka bahwa kau bisa berbahasa Inggris secara baik, dan tak mengabaikan ketentuan
    gramatikal, bulé-bulé itu (yang pada dasarnya, "meremehkan orang Indonesia") akan merasa segan.

    Terlebih, apabila kau bisa pula memahami "syllables and word stress rules" saban kali kau berbincang.



    [​IMG]
    Bila kalian mengira para native English speakers itu semuanya pasti akan "100% bersikap wolés-wolés
    aja" terhadap kesalahan tata bahasa Inggris yang kalian buat (baik lisan maupun tulisan), eits, aku beri tau,
    kalian salah besar! Berdasarkan pengamatan dan pengalamanku selama bertahun-tahun, bulé-bulé tersebut

    memang bisa "bersikap relatif lembut, lunak, atau sangat memaklumi" ketika menyikapi kesalahan grammar
    yang dilakukan orang-orang Indonesia dalam berbahasa Inggris,
    dengan catatan, orang-orang Indonesia itu
    adalah golongan yang mereka anggap "nggak bisa mengakses/menjangkau pendidikan tinggi" (para pekerja
    "kerah biru" atau para pekerja kasar/informal). Nah, untuk golongan tersebut, para native English speakers

    itu memang bisa "bersikap wolés-wolés aja". Kendatipun belepotan, asal bisa 'nyambung, yo wés lah.

    Namun jangan salah yah, di sisi lain, bulé-bulé atau para native English speakers itu bisa sangat sadis
    dan bengis saat mencela kesalahan gramatikal dalam Bahasa Inggris yang dilakukan orang-orang Indonesia

    yang mereka anggap berasal dari "golongan elite", jelas-jelas menikmati berbagai privilese, dan mampu pula
    mengakses pendidikan tinggi. Mereka mungkin tak akan mencela terang-terangan dengan perkataan: "Your
    English sucks!" (American English), a
    taupun: "Your English is pretty bad!" (British English). Sama aja dengan
    kebiasaan orang di Indonesia, kebanyakan dari mereka cenderung hanya akan mencela "di belakang layar".
    "Ah, masa iya, sih?!! Situ tau dari mana?!" Hey, aku udah beberapa kali yah, melihat secara langsung ketika
    beberapa ekspatriat (yang juga merupakan native English speakers) mencela orang-orang Indonesia.

    Sebagai satu contoh valid, kurang lebih sepekan lalu, aku mendengar seorang ekspatriat dari Amerika

    Serikat dan seorang ekspatriat AS keturunan Jepang (bukan Airi-chan, lah ya) lagi asyik bangets 'ngomongin
    orang-orang Indonesia yang "memiliki gelar akademik" tapi bikin postingan dalam Bahasa Inggris di med-sos
    dengan kalimat yang tidak memedulikan aturan huruf besar, huruf kecil, tanda baca, preposisi, dll. Misalnya,
    kalimat bertata bahasa ngawur nggak karuan atau yang tidak diakhiri titik. Bagi para native English speakers,
    hal tersebut bukan hal yang bisa dianggap remeh. "Bila orang-orang itu tak mampu menjangkau pendidikan

    tinggi, yah wajarlah jika mereka tak bisa berbahasa secara layak. Tapi mereka 'kan, sarjana semua."

    Dalam kultur "rakyat jelata Indonesia", membuat kalimat yang tak diawali huruf besar dan tak diakhiri
    titik (ataupun tak memedulikan tanda baca dan ketentuan tata bahasa) dianggap bukan masalah. Tapi bagi
    para native English speakers atau ekspatriat terdidik (yang bukan level "turis sandal jep
    it"), "ketidakpedulian
    soal grammar" akan mereka anggap sebagai cerminan bahwa Anda adalah "an uneducated person".

    Kalaupun para native English speakers itu tak bisa disebut "mencela", yah "mengkritik secara pedas".
    Mereka mengatakan kepadaku (dalam Bahasa Inggris), sejatinya, mereka itu bukanlah bermaksud menjadi
    "grammar Nazi(s)". Mereka hanya tak habis pikir dan mengerti, serta amat sangat menyayangkan, kenapa
    banyak orang Indonesia yang berdu
    it—yang dengan sombong memasang papan nama di dada bertuliskan:
    "Saya Orang Kaya"—dan sangat bisa mengakses pendidikan tinggi, justru nggak mampu berbahasa Inggris

    secara layak. "Mereka punya banyak uang, bisa sekolah setinggi-tingginya. Mengapa privilese tersebut tidak
    mereka manfaatkan?! Mereka punya gelar akademik, merasa berstatus sosial yang tinggidan pasti takkan
    sudi memakai produk KW. Dari hari ke hari, mereka ingin terlihat elite dan berkelas, sebab mereka 'berbeda'
    dengan rakyat jelata. Tetapi, kualitas berbahasa Inggris mereka sedemikian buruk sehingga native speakers
    seperti kami sulit untuk percaya bahwa mereka adalah insan-insan terdidik dan berkelas!" Kalian yang aktif di

    platform Instagram, mungkin udah pernah mengetahui tentang eksistensi sebuah akun nan menghebohkan
    bernama "English Busters Indonesia". Hingga ketika tulisan ini kubuat, akun itu—dan seluruh postingannya—
    masih ada, kendati dalam dua tahun belakangan, nggak aktif. Aku termasuk yang yakin, akun itu sepertinya
    dikelola oleh seorang (atau mungkin lebih, yah) penutur jati Bahasa Inggris. Cara berbahasanya khas native
    English speaker. 11-12, tak jauh beda dengan "Sensei Stevie". Terutama saat mengoreksi kesalahan.

    (Meski dia tentunya sama sekali tidak pernah ikut menjadi bagian dari "admin" akun tersebut, lah ya.)

    Jikalau kalian mencermati, yang sering menjadi "target" akun IG "English Busters Indonesia" itu selalu
    adalah akun-akun selebritas, influencers, serta akun-akun dengan jumlah followers, setidaknya, puluhan ribu.
    Dengan kata lain: "Golongan yang—seolah-olah—dianggap elite di dunia maya." Dua tahun lalu, tatkala akun
    "English Busters Indonesia" tersebut masih aktif, followers IG-ku (followers organik yah, bukan followers halu
    dari hasil membeli, atau kloning akun!) baru sekitar 35 ribu. Jujur aja, sekali dua kali, aku juga pernah secara
    nggak sengaja membuat kesalahan minor terkait tata bahasa Inggris dalam caption postingan IG-ku.


    Toh, pada masa-masa itu, kesalahan gramatikal (walaupun minor) di dalam unggahan akun IG-ku itu

    nggak sempat dikritik akun IG "English Busters Indonesia". Apa karena jumlah followers-ku baru 35 ribu-an?!
    Belum menyentuh angka 50 ribu? Bisa jadi, yah. Tapi yang jelas, ke
    tika itu, ada Makhluk Handsome Bloody
    Handsome yang secara sigap langsung mengoreksi caption postingan IG-ku, hanya beberapa menit setelah

    aku mengunggahnya. Nah, enak banget 'kan, "memiliki" seseorang yang selalu punya rasa kepedulian tinggi
    yang tulus? Dia mengoreksiku bukan karena
    dia adalah seorang grammar Nazi, melainkan karena dia seolah
    tak akan pernah rela jika aku "terlihat bodoh" akibat kesalahan minor—terkait tata bahasa—yang kulakukan.

    Aku sangat, sangat, sangat bersyukur saat dia mau mengoreksiku. Sayangnya, di Indonesia, banyak orang
    yang marah-marah dan ngamuk jika orang lain mengkritik atau mengoreksi kesalahan grammar-nya.


    "Wueits. Si Paling Jago Bahasa Inggris udah bersabda. Iya deh, cuma lu yang paling pinter sedunia!"

    Padahal, kita sejatinya akan "naik kelas", bila "ada orang lain yang secara tulus bersedia memperbaiki
    kekeliruan atau kekurangsempurnaan yang kita lakukan" dan "kita pun berbesar hati menerima koreksinya".

    Beberapa bentuk koreksi darinya yang tidak akan pernah kulupakan adalah ketika dia menyuruhku memakai
    idiom "the lights are on, but nobody's home" (menggantikan kalimat lainnya pada caption postinganku) agar
    nada postinganku tak terdengar kasar. Pernah pula dia memerintahkanku mengubah satu frasa di postingan
    lainnya dengan menggunakan idiom "a visit from Aunt Flo" supaya kalimatku jangan terdengar vulgar.



    Kalian udah tau 'kan, apa yang dimaksud dengan "idiom"? Kalau lupa atau belum tau, ya kuingatkan:

    "Idiom" adalah bentuk ungkapan yang memiliki makna kiasan, atau makna yang tidak boleh diartikan secara
    harfiah. Makna dari idiom bahkan sering kali "bisa sangat jauh melenceng" dari arti harfiahnya. Misalnya aja,

    suatu hari, aku dan Ajeng bertanya pada para bulé/ekspatriat yang sering menyambangi (dan menginap di)
    guest house (yah tentulah menggunakan Bahasa Inggris secara penuh): "What are the things that impress

    you most about Stevie?" atau: "Are there things Stevie did that you'll never forget for the rest of your life?"
    Jawabannya, jelas beraneka ragam. Ada cewek-cewek bulé yang mengatakan: "I admire him greatly for his
    courage, healthy lifestyle, and 'never give up' attitude."
    Ada lagi: "We can always have 'healthy arguments'
    with Stevie for hours. Though we each have our own 'unshakable points of view,' he's someone with whom

    you can always have a 'heated conversation' without getting hurt..." Ada juga sesosok perempuan cuantiks
    dari Republik Czech (teman baik Mbak Rachel), ras Kaukasia, tipe Red-hot Mama seperti Mbak Suci, 'gitu lah
    (dalam konteks: "pesona fisik"), yang menceritakan ihwal si Handsome Bloody Handsome. Sang perempuan
    itu secara panjang lebar dan "dengan sinar mata berbinar-binar", berkisah banyak hal tentang dirinya.

    [​IMG]
    Kalian tau nggak, Republik Czech itu di mana? Sampai awal dekade 1990-an, negara itu (di Indonesia)
    masih disebut sebagai Cekosekolovikivia... heeiiiiiiiiyyaaah... malah ketelingsut begini. Maksudku, Cekoslovakia
    (atau Cekoslowakia). Sekarang ini, udah berubah menjadi dua negara: Repub
    lik Czech serta Slowakia.

    Di dua private cinema(s)—yang berada di guest house kepunyaan si "Sensei Stevie"—telah sering kali
    diputarkan film-film lawas (sebagian masih hitam putih) produksi Cekoslovakia. Antara lain: Dita Saxova, The
    Shop on Main Street (mendiang Soe Hok Gie sempat menyebut kedua film itu di diary-nya yang dibukukan),

    Closely Watched Trains (ketika Oma dan Opa—dari pihak Papa—masih berstatus mahasiswi dan mahasiswa
    pada dekade 1960-an, kedua beliau pernah hampir aja menonton film itu pada event Pekan Film Mahasiswa

    di kampus UI Rawamangun, kendati akhirnya, mereka nggak jadi datang), hingga Loves of a Blonde.

    Yang menarik, sewaktu si Ibu Bulé itu bercerita, dia menggunakan idiom "an elephant never forgets".
    Tentunya dia nggak lagi 'ngomongin gajah, atau sedang menyama-nyamakan "Sensei Stevie" dengan gajah
    (dalam hal bentuk tubuh). Lagian apa yang mau disamakan? "Sensei Stevie" itu hingga kini bentuk tubuhnya
    "V-Taper". Tinggi, menjulang, tegap, atletis, muscular, "natty", dan terlihat maskulin. 'Gimana bisa kaubilang

    dia "mirip gajah"?!! Di Indonesia, sebutan "gajah" sering kali dipakai sebagai satu bentuk body shaming pada
    "orang-orang yang berkelebihan berat badan". Sampai-sampai ada sebuah ungkapan: "Banyak wanita yang

    menyukai lagu-lagu Tulus. Tetapi, ada dua lagu yang seolah nggak ingin mereka dengarkan atau nyanyikan.
    Lagu 'Gajah' dan lagu 'Jangan Cintai Aku Apa Adanya'." Padahal, kedua lagu itu punya lirik positif, ya?!

    "Ya, meski Stevie memang nggak mirip gajah, dia pasti punya 'kan, belalai aduhai kayak gajah 'gitu."
    Jabang bayik! Tante kenapa tau-tau udah ada di atas pohon?! "Aku lagi 'metik mangga buat sarapan. Nanti,
    kalau udah selesai, pindah ke pohon jambu air."
    Yaa salaam! Bisa-bisanya manjat pohon cuma pakai daster!
    Mana belum potong rambut... kusut, semrawut, awut-awutan, nggak karuan... [Maksudku, karena Tante A
    belum mandi, nggak sisiran, dan rambutnya pun—mungkin—udah lama tidak di-trim, jadi terlihat amburadul.

    Kalian jangan memaknai kalimatku dengan pikiran ngeres dan tidak senonoh!] "Kauhina diriku... aku diam..."
    Heiissyah! Nggak usah bikin drama! Buruan turun dan langsung pulang sana! Udah punya pacar baru, masih

    aja nekat 'nguber Stevie. "Aduh, aduh, habis 'gimana, ya? Tak sangka, setelah aku jumpa Stevie, nyatanya
    orangnya sangatlah menarik. Kupikir-pikir, daripada diambil perempuan lain, ya... mendingan aku yang ambil
    kesempatan ini. Terus, aku kenalan dengannya. Dengan alasan, 'tau dari teman'. Langsung aja, aku bilang:

    'aku suka', begitu deh... ihihihihik... yihihihihaa..." [sambil tertawa genit kayak kuda betina sehabis dikawinin.]
    T'rus pacar yang selama ini s'lalu situ pamerin mau dikemana'in, Buk?! "Bak, Buk, Bak, Buk! Enak aja kamu

    manggil! Panggil aku: 'Mami'!" Mami nggak punya niat untuk bertobat?! "Aduh. Bukan 'Mami' yang begituan!
    Hahat kamu. Benci, aku!" Hih, kenapa jadi ngondék?! "Benci, aku! Benci, aku!" Heisyah! 'Gini ya, maksudku,
    Mami... heish... aku panggil Tante aja, Tante mesti bertobat dari masa lalu. Pacar Tante mau dikemana'in?!
    "Tidak masalah buatku. Urusan sama pacar yang lama, itu belakangan... ihihihihihik... yihihihihihaa..."

    [​IMG]
    Tante pikir yang kayak begitu lucu, ya?! Menurut Tante, lucu?! Nggak lucu sama sekali! Masalah yang
    serius, malah dibecandain. Tante nggak tau apa, bahwa selama ini Tante udah salah jalan?! Nggak tau, ya?!
    Stevie itu kasian banget sama Tante. Dia mau—dan Insya Allah sanggup—membantu membereskan segala
    kesulitan yang Tante alami. Lah, Tante bukannya belajar dari pengalaman, justru bikin lagi "kesalahan baru".

    Jika memang Tante merasa baik-baik aja dengan "kesalahan baru" yang Tante buat itu, yah, terserah! Tapi,
    Tante mesti konsisten dengan pilihan tersebut dan "bersiap-siap menanggung konsekuensinya"! Lah, kenapa
    sekarang Tante masih coba-coba pingin bertemu Stevie?! Jangan libatkan dia dalam "kesalahan baru" Tante!
    Untuk Tante ketahui ya: Nasi sudah menjadi bubur. Tante lagi-lagi "salah jalan". Semua menyesalkan hal itu.
    Ini bukan ramalan paranormal atau penerawangan mbelgedes apa pun. Ada hal-hal yang semestinya Tante

    ketahui sedari awal tetapi malah nggak Tante ketahui. Semua merasa iba pada Tante. Eh, Tante-nya blo'on.
    "Kesalahan baru" yang Tante bikin itu akan membawa konsekuensi fatal! Jauh lebih mengenaskan, dan juga
    berpotensi pada "sejumlah musibah yang berdarah-darah"! Jika sampai benar-benar terjadi, seorang seperti
    Stevie pun—yang sangat bersimpati dan begitu peduli sama Tante—udah nggak akan bisa menolong Tante!
    Kenapa mukanya Tante jadi 'ngenes 'gitu?! Mewek dah sana!
    "Orang tua diomelin... ihik... hik... hik...
    Orang tua diomelin... ihik... hik... hik... orang tua diomelin... kauhina diriku... aku diam..."
    Heeeiiiisyah!

    "Eh, itu tangganya kenapa kamu bawa pergi?! Aduh... aduh... 'gimana turunnya ini?! Mana pohonnya
    tinggi bangets, sampai 10 meter begini... Aduh. Hahat banget kamu, Cyin..." Di luar dugaan, Tante A nekat
    turun, sambil merosot. Selamat sih, sampai di bawah, tanpa cedera. Cuma... dasternya nyangkut di pohon,
    dan orang-orang di sekitar yang melihat kondisi tak senonoh dari Tante A, langsung pingsan semua...



    Alhamdulillah... aku segera terbangun dari mimpi jahanam tersebut. Ternyata, secara nggak sengaja,
    aku tertidur sejenak ketika sedang mengetik. Ya udah, aku lanjutkan aja lagi kisah perihal idiom "an elephant
    never forgets" di atas tadi. Makna idiom itu kurang lebih adalah: "Kita tidak akan melupakan perbuatan baik,

    ataupun perbuatan buruk yang pernah dilakukan orang lain pada diri kita." Nah, si perempuan ekspatriat dari
    Republik Czech itu bercerita, bahwa dia takkan mungkin sanggup melupakan kebaikan "Sensei Stevie".

    Terus terang yah, cerita si Ibu Bulé tersebut sangat menarik. Tapi berhubung agak-agak sensitif 'gitu,
    tidak akan kukisahkan di sini. Saat itu, aku berkomentar, "I don't know, ma'am. Your story reminds me of a
    memorabl
    e scene where Don Vito Corleone tries to persuade a landlord in the movie The Godfather Part 2,
    though, of cours
    e, there must be differences in where you were, what the big problems you had, and how
    Stevie handled them." Si Ibu itu tertawa senang karena aku "bisa menangkap makna implisit dari ceritanya".
    Ia pun merespons pernyataanku: "How could we ever forget that scene?" dan kemudian menirukan ucapan
    Don Vito—berdasarkan terjemahan dalam Bahasa Inggris, di film itu. Para die-hard fans The Godfather Part
    2, pasti ingat scene itu dan hafal pula terjemahan ucapan Don Vito. (Dialog aslinya, sebagaimana kalian lihat

    pada video di bawah ini, terjadi dala
    m Bahasa Italia. Tapi ada English subtitle-nya, ya!) "Do me this favor. I
    won't forget it. Ask your friends in the neighborhood about me..." Aku ikut pula menirukannya, sehingga aku
    dan si Ibu itu secara bersamaan mengucapkan: "They'll tell you I know how to return a favor..." Si Ibu Bulé
    kembali tertawa. Yah—mau nggak mau—aku jadi ikutan tertawa, dongs. Ajeng terdiam dan terpana karena

    dia belum nonton film itu. Saking penasarannya, dia pun sampai berusaha mencarinya di du-may. Eh, malah
    salah download. Yang Ajeng unduh itu malah film parodi tidak senonoh The Godfather. Dodol banget!




    Bu Retno "Bellucci" menceritakan ketika, dahulu, be
    liau dan para perempuan di guest house belumlah
    sanggup berkomunikasi secara lancar menggunakan Bahasa Inggris. Di antara mereka itu, ada yang pernah
    mengikut
    i kursus Bahasa Inggris dengan janji muluk: "Dijamin akan bisa 'ngomong Inggris secara fasih." Eh,
    tetap aja, nggak bisa. Udah bayar mahal, hasilnya nol. Sampai kemudian, Takdir
    -Nya pun mempertemukan
    mereka dengan "Sensei Ste
    vie" (meski prosesnya tak secara bersamaan). Mereka melihat peluang dan tak
    menyia-nyiakan makhluk
    itu—seorang native English speaker—yang lalu didaulat menjadi sang "guru" dalam
    berlatih berkomunikasi. Hasilnya? Alhamdulillah. Dari sekitar 20-an perempuan yang bermukim di situ, semua
    kini mampu berbahasa Inggris secara layak. Ya, minimal CEFR level B2. Unikn
    ya, ada beberapa perempuan
    di guest house yang baru mulai berlatih berkomunikasi secara intens dalam Bahasa Inggris pada usia 30-an.

    Banyak orang sering bilang, "Jika kita udah umur 30-an, otak ini bakalan susah untuk 'diajak belajar' bahasa
    asing." Padahal, semua tergantung tekad masing-masing, dan siapa pula sang "guru yang dijadikan sumber
    rujukan untuk belajar". Buktinya, Bu Retno dan para perempuan di guest house berhasil meng-upgrade diri,

    sekaligus "menjungkirbalikkan anggapan tersebut". Mereka sanggup berbahasa Inggris secara penuh.

    Metode yang digunakan "Sensei Stevie" sungguh ajaib atau sangat, sangat, sangat nonkonvensional.
    Untuk membangkitkan kepercayaan diri "murid-murid tercintanya" (heeiiiiiyyaah!), dia justru sering membuat
    kalimat (baik lisan maupun tertulis) dengan sejumlah kesalahan gramatikal yang disengaja untuk selanjutnya
    dikoreksi oleh "para muridnya" tersebut. Jika koreksinya benar, dia akan memuji—dengan aneka pujian yang
    aneh, sangat antimainstream, tetapi pasti langsung bikin perempuan mana pun itu berbunga-bunga hatinya,
    terhanyut pula perasaannya.
    Hanya spesies "buaya lumutan" dengan pengalaman tempur dan jam terbang
    sangat tinggi macam dirinya, yang sanggup bikin perempuan termehek-mehek tak karuan.
    Memahami, juga
    menguasai be
    ragam metode, kiat, siasat, muslihat, taktik, teknik, trik, modus operandi, atau segala strategi
    "serangan brutal" (dalam arti positif) yang terstruktur, terkalkulasi, cermat, dan tanpa terlihat artifisial.

    "Jam terbang" itu sekadar istilah, ya. Bude Vini pernah berprofesi sebagai seorang pramugari. Hingga
    beliau "sudah nggak terbang lagi" pun, masih ada aja para pilot atau pramugara yang coba-coba mendekati
    (dalam arti: ingin memacari, atau bahkan menikahi) beliau. Meski Bude Vini udah berusia 48, beliau itu masih
    terlihat cantik bangets dan tubuhnya pun sangat, sangat seksi—tipe bahenol-bahenol semlohai 'gitu, deh ya.
    "Sensei Stevie" sering kali membuang muka jika bercakap dengan Bude Vini—mungkin supaya nggak tergiur.
    Heeiisshaah! Tapi sikap semacam itulah yang bikin kami, para perempuan, menaruh respek padanya.

    [​IMG]
    Nah, Bude Vini sering bilang, biarpun para pilot dan pramugara yang mendekati beliau itu banyak nian
    yang secara harfiah punya jam terbang tinggi, toh,
    "jam terbang mereka di darat" perihal menaklukkan hati

    dan memahami perempuan, jelas-jelas kalah telak dibandingkan dengan "jam terbang, pengalaman tempur
    di berbagai medan juang, dan kemampuan ofensif, intelijen, serta operasional" yang dimiliki "Sensei Stevie".
    Teknik atau strategi PDKT yang dipakai para "awak udara"
    itu, selalu mudah dibaca dan diprediksi Bude Vini.
    Zaman udah bergan
    ti, eh, mereka masih aja memakai cara-cara lama nan usang, nggak kreatif babar blas.
    Nggak jauh-jauh dari "mengirim bunga, cokelat, hadiah ini dan itu"—disertai ucapan manis tetapi k
    lise.

    Cewek-cewek usia ABG yang masih lugu, naif, dan bisa dikatakan blo'on, atau "para perempuan yang
    belum pernah mengenal laki-laki" bisa aja dibikin klepek-klepek dengan bentuk sogokan macam itu. Tapi para
    perempuan berkelas (yang udah ditempa kerasnya kehidupan), mustahil terbuai dengan hal tersebut.



    Pernah pula, suatu ketika, ada oknum yang berusaha keras mencitrakan dirinya sebagai seorang pria
    islami/religius demi bisa meraih simpati Bude Vini. Betapa pun Bude Vini belum bisa berhijab secara istiqamah
    hingga kini, toh, beliau punya kepribadian yang cukup religius dan tetap mengakui bahwa berhijab hukumnya
    wajib bagi para Muslimah dewasa. Ya, tidak jauh berbeda denganku (beserta pula para perempuan di guest
    house) yang sampai sekarang belum sanggup sepenuhnya berhijab—tetapi kami takkan pernah menentang
    kewajiban yang Allah SWT tetapkan tersebut. Kendati Bude Vini pernah berprofesi sebagai pramugari, beliau
    (Alhamdulillah) tidak pernah terjerumus ke dalam hal-hal maksiat apa pun. Dengan reputasi seperti itu, tentu
    para pria yang kesengsem pada beliau, ada yang mencoba mendekati beliau, dengan membuat "pencitraan
    yang dibungkus dalam citra religius". Toh, Bude Vini bukanlah seorang "anak kemarin sore" atau perempuan
    naif atau blo'on yang dapat dengan gampangnya dikelabui dengan "taktik amatiran" seperti itu. Sang oknum
    pilot tersebut sok-sokan memakai diksi yang sangat religius. Padahal, aslinya... dia suka memegang-megang
    para pramugari yang bisa "dimangsanya" (dan boleh jadi, "lebih gila lagi!"). "Religius" macam apa itu?!

    Jika "perkataan dan perbuatan
    tidak bisa sejalan", yah, udah bisa dibilang sebagai salah satu red flag.

    Ada pula, oknum pilot lainnya yang seolah baik bangets, ramah, dsb. Eh, saat dia mulai dekat dengan
    Bude Vini, si oknum itu dengan lancang dan seenaknya, mencoba menggenggam tangan beliau. Yah, beliau
    pun dengan tegas menolak dan nggak mau lagi bertemu. Pria yang boleh melakukan sentuhan fisik apa pun
    pada perempuan, hanya pria yang berstatus sebagai suami sahnya! Perempuan yang punya harga diri, yah
    tentulah akan berpendirian seperti itu. Saat Bude Vini mencoba menelusuri status sang oknum pilot laknat itu
    didapati suatu fakta bahwa oknum itu sudah punya bini sah dan tiga anak. Pria yang bisa tega mengkhianati
    keluarganya—main gila dengan perempuan lain—jelas bukan pria baik-baik yang diharapkan Bude Vini.



    Sang Makhluk Handsome Bloody Handsome tentulah tidak layak disejajarkan dengan para oknum itu.
    Meski mungkin dari perspektif primitif laki-laki heteroseksual, dia pun memiliki ketertarikan alamiah pada sosok
    wanita seperti Bude Vini, dia tidak pernah memperlakukan beliau (dan para perempuan lain) sekadar sebagai
    "objek seksual". Alih-alih, dia justru "mengangkat derajat dan harkat keperempuanan beliau" dalam berbagai
    hal yang dia realisasikan. Bude Vini diberikannya pekerjaan yang bisa menjadikan beliau memiliki kebanggaan
    (dan tetap punya penghasilan bulanan yang lebih dari cukup) kendati tidak lagi berprofesi sebagai pramugari.
    Beliau pun ikut bermukim permanen di satu hunian di cluster perumahan, di samping guest house—bersama
    Mbak Ninuk dan sang putri tercintanya (yang notabene sanak saudara Bude Vini). Sang Makhluk Handsome

    Bloody Handsome, sedari awal, sanggup pula "mengisi kekosongan hati beliau secara normatif". Dia mampu
    menjadi teman berbincang yang menyenangkantanpa perlu memacari Bude Vini. Nggak sekali pun pernah
    ada "momen pegang-pegangan" (atau "momen ngeres lainnya"). Nggak pernah ada itu panggilan "Sayang"
    yang dari hari ke hari, kian lama kian terdengar klise sehingga makin kehilangan pula makna sejatinya.

    [​IMG]
    Mungkin kalian pernah mencermati ya, terlalu sering, orang bilang: "Soyang-Sayang-Soyang-Sayang".

    Sekali waktu, aku pernahnggak sengajamenonton sinetron yang tema utamanya adalah perselingkuhan.
    Tau nggak? "Para tukang selingkuh" itu senan
    tiasa menghamburkan kata "Sayang". Di kehidupan nyata pun
    buanyak pula kisah manis nan berujung tragis. Diawali dengan sesumbar: "Soyang-Sayang-Soyang-Sayang",
    pada akhirnya, toh, terjadi
    tindakan KDRT, perselingkuhan, penelantaran, perceraian—bahkan pembunuhan.
    Bude Vini bilang kepadaku, meski sang Makhluk Handsome Bloody Handsome itu nggak pernah menyatakan
    "Sayang" pada Bude Vini (dalam bentuk apa pun), dia itulah yang—dengan izin Allah SWT—terbukti sanggup
    menuntaskan "labirin persoalan mahaberat dan rumit", yang selama bertahun-tahun ini dialami beliau.

    Tanpa gembar-gembor apa pun, dia mampu menunjukkan diri sebagai "a true savior" bagi Bude Vini,
    manakala pria-pria lainnya cuma bisa berperan sebagai "Pangeran Kodok" (yang hanya menggombali be
    liau,
    hanya menawarkan hal-hal artifisial—dan juga delusional—tanpa sedikit pun bisa memberi "solusi nyata" atas
    segala permasalahan atau penderitaan lahir batin yang seolah tak berujung, yang Bude Vini rasakan).



    Biar 'gimana juga, bukan berarti makhluk itu selalu aja identik dengan "keberhasilan". Dia pastilah juga
    pernah merasakan kegagalan—yang disebabkan karena dia seolah lupa memelihara keterampilan yang telah
    dia kuasai. Misalnya, perihal "keterampilan mereparasi peranti elektronik"—yang sekelumit udah aku kisahkan
    di bagian-bagian awal postingan ini. Beberapa tahun lalu, satu hari saat momen iftar Ramadhan yang dihadiri
    teman-teman cewek salah seorang kakak perempuanku, ada suatu kejadian tak terlupakan. Pada waktu itu,
    si Makhluk Handsome Bloody Handsome tersebut menyambangi rumah kedua orangtuaku—saat aku belum

    bermukim di rumah pribadiku seperti sekarang ini—membawakan beberapa peti dan keranjang buah-buahan
    segar beserta bahan-bahan makanan siap saji lainnya. Sejatinya, dia hanya mampir, tidak mau ikutan acara
    iftar (khusus cewek-cewek) di rumah Mama-Papa. Kendatipun demikian, dia masih meluangkan waktu untuk
    berbincang dengan kami sekeluarga. Eh, tiba-tiba aja, sang kakak perempuanku bilang, "Aduh, TV [32 inch]
    di ruang tengah, nggak bisa nyala..." Nggak apa-apa, sih. Toh, masih bisa memakai TV lainnya dulu.

    Namun, "jiwa kepahlawanan" si Makhluk Handsome Bloody Handsome langsung tergugah. Dia bilang,
    jika diizinkan, dia akan memperbaiki TV tersebut. Bukan kebetulan, di SUV-nya selalu ada berbagai perkakas
    teknik dan juga pernak-pernik elektronik yang disimpannya di dalam beberapa kotak eks-amunisi dari Pindad.

    Semula aku bangga bangets, sang pujaan hati bisa mengatasi permasalahan itu. MacGyver cuma dongeng,
    "si dia" adalah sosok nyata. Lah... pas TV-nya udah dibongkar, dia justru seperti kebingungan sendiri.

    Belakangan aku baru tau, hal memalukan semacam itu sampai bisa terjadi, karena dia jarang berlatih
    "mengutak-atik peranti elektronik". Punya skills, tetapi jarang diimplementasikan, ya lambat laun bisa terkikis.
    Atau jika skills terkait teknologi itu tidak di-upgrade, akan kesulitan bilamana menjumpai kasus spesifik.

    Sejujurnya, aku sempat merasa syedih, malu, bercampur jengkel. "Ya Allah... How could he go from
    hero to zero in a matter of minutes?" Bagaimanapun, dia tetap punya solusi. Dihubungilah "komandan"-nya,
    suami Mbak Suci—via telepon. Dia dan si Mas-nya Mbak Suci itu pun lalu terlibat di dalam percakapan serius,
    memakai Bahasa Jerman, sembari sesekali memperlihatkan "jeroan" TV 32 inch tersebut. Setelah diskusi itu
    tuntas, ekspresi wajahnya terlihat amat lega, seolah baru aja mendapatkan satu pencerahan. Dia kemudian
    menghubungi Zees, meminta agar dibawakan sejumlah komponen elektronik baru yang dia butuhkan.

    Setengah jam kemudian, Zees pun tiba. Kedatangannya hampir pula bersamaan dengan rombongan

    cewek-cewek (para teman kakak perempuanku) yang menghadiri momen iftar Ramadhan kala itu. Ya udah,
    naluri "buaya lumutan" Makhluk Handsome Bloody Handsome bergelora seketika. Dia langsung pasang aksi,

    memperbaiki TV 32 inch yang mati total itu sambil berbincang dengan Zees—lagi-lagi dalam Bahasa Jerman.
    Lah, cewek-cewek yang bening-bening itu bengong semua, dongs! Nyaris ngiler-ngiler pula. Heeiiisshh!

    Untung aja, mereka belum datang saat momen ketidakberdayaan-mu sebelumnya tadi, yah, Nyong!

    Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin... setelah dengan sangat cekatan sat-set-sat-set memperbaiki TV 32 inch
    yang mati total tersebut, dia pun sukses "menghidupkan kembali" peranti elektronik itu. Toh, alih-alih memilih
    melanjutkan aksi tebar pesona berkepanjangan di hadapan cewek-cewek dalam momen iftar Ramadhan, dia
    memutuskan kembali ke "markas garnisun" (dalam tanda petik!) bersama Zees. Yah 'kan, sudah memasuki
    10 hari terakhir Bulan Suci Ramadhan. Dia, Zees, dan para pria lainnya mau menjalani i'tikaf di masjid.

    (Hingga kini, TV 32 inch yang direparasinya itu masih berfungsi, belum pernah mengalami kerusakan.)



    Balik lagi ke urusan masak-memasak. Kali ini berhubungan dengan perspektif pribadi yang diyakininya.

    Secara jujur dia mengakui, dia adalah tipe pria konservatif yang akan selalu menyanjung "perempuan
    yang terampil memasak". Dia tak akan sampai hati memandang rendah perempuan yang tak becus masak

    (seperti Tante A mungkin, ya?), tapi dia tak akan pula membiarkan perempuan mana pun yang dinaunginya
    terus-menerus berada dalam kondisi yang tak bisa atau tak becus masak. 'Ngerti nggak, maksudku?!


    Jika dia "memimpin perempuan", dia sama sekali bukan tipe pria yang akan memanjakan perempuan
    tersebut. Dia akan menaungi, melindungi, menafkahi, serta "melaksanakan segala tanggung jawab normatif
    yang berlaku di dunia ini". Dia tidak akan mengasari, menghina, menganiaya—atau melakukan hal-hal terkait
    tindak kekerasan pada perempuan—dalam bentuk apa pun itu. Nah, yang pasti akan "sangat membedakan
    dia dengan pria-pria lainnya",
    dia tidak akan mengabaikan kewajiban mendidik perempuan dalam banyak hal,
    dan—sebisa mungkin—akan berusaha mengubah hal-hal yang nggak ideal dalam diri si perempuan tersebut.
    Biar yang tadinya "blo'on, malas gerak, dan t
    idak becus", bisa berubah menjadi "pintar, gesit, dan terampil".
    Supaya yang semula "terliha
    t tidak elok atau tidak proporsional", bisa bertansformasi menjadi "memesona".
    Agar yang dulu "terjebak di dalam bad habits", bisa meninggalkan dan "menggantinya dengan good habits".
    Hingga kini, kendat
    i dia belumlah berstatus sebagai seorang "suami", dia selalu konsisten menetapkan "garis
    komando kebijakan" tersebut. Seluruh perempuan di guest house (yang berada dalam tanggung jawabnya)
    tiada satu pun yang nggak becus masak (atau terkait dengan melakukan hal-hal kewanitaan lainnya).




    Di guest house itu selalu ada pasokan beragam buah segar secara rutin. Di antaranya adalah: aneka

    jenis durian. Mbak Rachel dan suaminya punya perkebunan durian di sejumlah wilayah. Pun demikian halnya
    dengan Om Zev dan Tante Lana. Sayangnya, aku nggak sanggup makan buah durian. Padahal, stok durian
    selalu melimpah ruah. Untunglah, Bu Retno "Bellucci" bisa menyiasati hal tersebut—dengan cara menjadikan
    durian yang berlebih itu sebagai es krim dan tempoyak. Aku pernah menulis ya, perihal "Sensei Stevie" yang
    semula sama sekali nggak doyan patin tempoyak, eh, karena ada "faktor X", sekarang justru menyukainya

    (besar kemungkinan, karena hidangan berbahan tempoyak adalah kesukaan Tante A). Beberapa waktu lalu,
    aku melihatnya sedang memandangi buah-buah durian yang melimpah di guest house. Mungkin, dia sedang
    membayangkan Tante A... Maksudku, mungkin aja suatu ketika, rambut panjang Tante A itu tiba-tiba mesti
    dipotong habis karena salah treatment. Supaya tumbuh rambut baru yang sehat, ya, mesti dihabisin.

    Nah, saat rambut Tante A baru tumbuh, pasti akan terlihat spiky atau jabrik-jabrik begitu, 'kan, yah?!
    Mirip bangets dengan buah durian. "Kauhina diriku... aku diam..." Heeeiiiiisyah! Bikin kaget aja! Tante kenapa

    datang lagi ke sini?! Mana bawa gerobak ketoprak begitu... Oh, Tante sekarang udah jadi tukang ketoprak?!

    "Siapa yang jadi tukang ketoprak?!" Eh, jualan ketoprak pakai gerobak itu pekerjaan halal. Tante nggak usah
    minder. Bikinkan aku setengah porsi aja, Buk! "Aku ini bukan tukang ketoprak, tauuuk! Pas aku baru datang,

    udah ada gerobak ketoprak di depan gerbang... hik... hiks... hiks..." Idiih, nggak usah mewek 'gitu, keuleus.
    'Ngomong-'ngomong, wig-nya baru, ya?! "Siapa yang paké wig?!! Aku nggak pernah paké wig! Rambutku ini,
    asli! Hik... hik... hiks... berulang kali... aku mencoba... selalu untuk mengalah..." Getar seluruh jiwa, tercurah
    saat itu. "Aku bukan lagi nyanyi lagu 'Kemesraan', tauuuk!" Ya, Tante juga, sih. Kenapa muncul lagi?!



    [​IMG]
    Kata si Irma (dan Tante Yolla)—setelah mencermati segala sesuatunya—kemungkinan besar "Sensei
    Stevie" mesti kembali "berpisah jalan" dengan Tante A. Soalnya, ada "sejumlah info intelijen, valid, level A1",
    yang sangat, sangat, sangat tidak enak tentang Tante A. Bukan info yang diperoleh dari aktivitas Tante A di
    med-sos, yah! Berbeda dengan kalangan awam, "Sensei Stevie" tak akan dapat terkelabui ataupun kegocék
    dengan "penyesatan" yang dibikin Tante A. Yang pasti, 'gini: Tante A nyata-nyata sudah tidak peduli dengan
    satu nasihat: "If you don't learn from your mistakes, you're doomed to repeat them!" Persoalan yang lama

    belum jelas penyelesaiannya. Lah, tanpa sama sekali dia sadari, dia justru akan "menjerumuskan dirinya" ke
    permasalahan baru, yang nantinya, "bakal lebih ganas lagi efeknya". Sungguhpun "Sensei Stevie" bersimpati
    luar biasa padanya, dia tetap seorang pria yang amat rasional. Dia jelas tidak akan mungkin bisa membantu
    saat sosok yang ingin dibantu pada kenyataannya malah mengambil rute yang sangat berlainan arah.

    Irma berimajinasi, mungkin aja, adegan seperti pada video di bawah ini akan terjadi—tapi dalam versi
    yang berbeda. Ya, kukatakan, nggak bakalan kayak 'gitu juga 'kali. "Sensei Stevie", mungkin, memang akan
    memandangi Tante A dari jauh dengan penuh rasa sesal. Bukan karena tak bisa mendapatkan atau memiliki
    Tante A, melainkan karena Tante A lagi-lagi salah langkah—dan blo'on-nya—dia tak menyadari hal itu.



    Lagian, jangan sampai momen "Go get 'em, Tiger!", seperti di akhir Spider-Man 2 terulang! Awas aja!



    Toh, aku yakin, niat baik apa pun itu takkan pernah sia-sia—meski belum bisa atau bahkan tidak akan
    pernah bisa direalisasikan. Terlepas dari kecemburuan dalam bentuk apa pun itu, secara normatif, aku tetap
    berharap semoga Allah SWT menghindarkan keburukan dan menggantinya dengan kebaikan. Aamiin.


     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 3
    Last edited: Nov 12, 2023
  14. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    (Unggahan ini akan bisa terlihat rapi kalau kalian baca memakai PC/laptop dan browser Mozilla Firefox.)



    [​IMG]
    I often mention a guest house
    in this diary thread. The guest house is next to a large plot of land—
    so far, there are no
    buildings on it—and right next to it is a splendid but eco-friendly three-story abode (with
    a couple of two-story annexes, an outdoor baske
    tball court, and some green areas) where "Sensei Stevie"
    coz
    ily resides. Since a few months ago—Alhamdulillah—he has successfully acquired the new status of legal
    owner of
    the guest house after his elder sister, Mbak Rachel, who had previously legally owned it, handed
    over ownership to him in exchange for several pala
    tial houses and properties in other cities he gave her and
    her husband. Long before
    that, he'd converted one of those two-story annexes into a highly sophisticated
    music and recording studio—which assure
    dly is equipped with many musical instruments—so that he and all
    people he cons
    idered his "comrades" (and his "closest people") could make musical recordings there.

    He honestly admitted that he'd deliberately converted one of the two-story annexes of his house into
    a music and recording studio after hearing that an unsee
    mly incident had happened to Ajeng and me when
    we were both in another studio (which
    did not belong to him, his relatives, or his comrades). Although Ajeng
    and I are not so-ca
    lled "professional singers or musicians," we often record many cover versions of songs
    in some reco
    rding studios (just for personal enjoyment, including giving those songs to "Sensei Stevie" so
    he ca
    n listen to them and may praise our efforts). It was a shame we both had to experience that thing in
    the goddamn bloody place I mentioned above. Alhamdulillah; we have "Sensei Stevie," who always has the
    moral du
    ty and responsibility of protecting us. The instinct to defend the dignity and honor of women that
    has always existed w
    ithin the gutsy hotshot was distinctly visible. Ajeng and I (and many of our comrades)
    witnessed his decisiveness, vigilance, ingenuity, and gallantry in responding to the unpleasant incident.

    Instead of beating up those impudent men (who outrageous
    ly teased Ajeng and me) until they were
    severely injured, "Sensei Stevie"
    assisted by his truehearted, nimble-witted, and valiant comradeschose
    several utterly elegant methods, w
    ithout fear of being charged for "breaking any criminal laws in Indonesia,"
    yet very forcefu
    lly and had a frightening effect that'd make those who'd messed with Ajeng and me realize
    that we all despised their deeds. Jerks, you messed with women you should never have messed with!



    Nevertheless, he s
    till admonished the two of us for always being vigilant and vastly careful. As far as
    possible, we bo
    th—as decent women—"must never get personally involved with married men." We women
    must not behave so foolis
    hly that married men (or "any other men we don't want") might misinterpret our
    kindness or good-natured amiab
    ility. The bloody handsome stud subsequently told Ajeng and me about the
    tragic true stories of "some empty-headed women" who misera
    bly dared to cross the line and shamelessly
    had "forbidden love or in
    timate relationships" with other people's husbands. Those mindless women seemed
    to ignore the possibility that the disgraceful acts they committed would eventually be the main causes of the
    misfortune and disaster in the
    ir lives. Even if their closest people or relatives reprimanded them for living the
    "wrong life," those women ridiculously wouldn't have the strength or the courage to put an end to the wrong
    relationship. Some even would try to look for "far-fetched justifications" that they never had any intention to
    steal someone else's husband, nor had they ever told the "man with whom they had an
    illicit relationship" to
    divorce or leave his first wife. If so, why did they feel the need to h
    ide their relationship from the man's first
    wife? They wouldn't dare answer that question because, deep down in their hearts, they admitted that they
    couldn't justify their wrong deeds, and they did essentially realize the consequences they had to bear.

    Having a "love relationship w
    ith a married man without his wife's legal consent" is always dead wrong.
    Some may say such a relationship w
    ill give you "pleasurable sensations." But it is invariably momentary. On
    the other side, you'll always risk hurting yourself. You'll always feel like you're doing "something repulsive."
    In fact, you're indeed doing "somet
    hing repulsive," since what you're doing will bring irreparable damage to
    his wife and children. Your beloved relatives and children (if you have any) w
    ill also suffer the consequences
    of it. No matter how nea
    tly or cleverly you and the "someone else's husband you say you love" keep your
    illicit relationship under wraps from his wife, trust me, someone will find out you're such a homewrecker and
    "
    the news will soon spread everywhere." People, your colleagues, and close friends will scorn you. You also
    have to face
    the fury of his wife and children. Not all "women whose husbands cheat on them" will only cry
    or lament their sad fate. Instead, many will ruthlessly beat, violently persecute, or even brutally murder any
    "shameless slutty b
    itch"—oops, pardon my French—who becomes the third party in their household.


    Or, even if the hurt wife only looks resigned to accep
    ting her sad fate and will never seem to commit
    physical violence against the husband's mistress,
    it could be her father, mother, brother(s), sister(s), or any
    relatives who love and care about her who'd take unexpected firm actions. E
    ither towards the jerk husband,
    the husband's kept woman, or both. It'd be rea
    lly terrible if any of the hurt wife's closest people or relatives
    thought or jumped to the conclusion
    that "lessons not learned in blood are soon forgotten." They might (or
    would) ignore the law and commit acts of violence to show the disgust that the husband's mistress has hurt
    a mother and wife she shou
    ld never have hurt. Or, they might perpetrate any "unforeseeable acts" against
    the unfaithful husband that'd surely make him wish he'd never been born. Do not mess with anyone whose
    people have the capacity to reta
    liate. Beware of the consequences, dear! Don't let love blind you!



    Every sane woman who does not want to be blinded and imprisoned by love or "walk down the wrong
    path by having an affair o
    r illicit relationship with a married man" has probably heard an old saying: "You're
    playing w
    ith fire if you indulge in an extramarital affair!" Even if they've never heard that one, they might've
    received some other advice with similar meanings from their parents, relatives, or teachers. As long as they
    have reason and conscience,
    it shouldn't be complicated to grasp and implement in their daily lives.

    I hope you don't take
    this the wrong way. What I mean here isn't about a "legal love relationship" or
    marriage between a s
    ingle woman and a married man who has obtained the consent—without coercion—of
    his first wife and their family. If that is the case (and what is more, no one feels wronged by
    it), we all have
    no right to interfere w
    ith their choice because it does not violate either the Islamic or Indonesian law.



    An example of it (in Indonesia) was the consensual-bigamous marriage of Mr. Affandi, an Indonesian
    fore
    most expressionist painter. His first wife had "some rational personal considerations" when she advised
    him to marry another woman. A
    lthough Mr. Affandi initially rejected his wife's "strange-sounding advice," he
    agree
    d on one condition: "You must search for a single woman whom you consider worthy to be my legal
    second wife." Mr. Affand
    i's first wife eventually managed to find a single woman who fit her criteria, and he
    subsequen
    tly "married the woman without any coercion or intimidation toward her and with the consent of
    his firs
    t wife." In other words, "all parties had consented." Time has proven that his consensual-bigamous
    marriage could survive w
    ithout significant turmoil. The first wife treated the second wife as her "sister," and
    she sincere
    ly loved and nurtured the children born to her as if they were her own. The three didn't have to
    hide the bigamous marriage. I've seen several photosfrom some articles in old Indonesian magazines
    showing the unfeigned harmony between Mr. Affandi's two wives. Though for some it may sound "too good
    to be true," the story above was not a myth or "fairy tale." You can examine the truth of it yourself.

    It's common knowledge that "things done openly have different outcomes or results than those done
    be
    hind closed doors." The life of "sharing a husband in peace, amity, understanding, and harmony," as
    Mr. Affand
    i's two wives happily lived for years, is nearly impossible to experience for every woman who risks
    themselves by being entangled in an "
    illicit relationship with someone else's husband" or becoming a "secret
    wife in an unregistered marriage." They won
    't even dare show any photographs of their "lover" or husband.
    The married man with whom they have an
    illicit relationship won't allow them to do so since it will jeopardize
    his career, job, or reputation. What's funny is
    that "when that unpleasant situation makes their self-esteem
    feel trampled," those women may confide in people they trust. Of course, it may unintentionally reveal their

    illicit relationship with the man. Things will go wrong. They'll inevitably regret picking the "wrong path."



    [​IMG]
    A
    ll right. We're back to continuing the story of an "unseemly" incident that Ajeng and I experienced
    a
    t the goddamn music and recording studio. Apart from firmly advising that Ajeng and Renata—two single
    decent women—should never "go in for the f
    lirtation of a man we suspect has a spouse," "fall into any illicit
    rela
    tionships with any married man," or "marry anyone else's husband without the consent of his wife and
    their family," "Sensei Stevie" also affectingly regretted that if we both wanted to improve our musical talents
    and sk
    ills by practicing instruments, singing, or recording songs in that goddamn music studio, we should've
    discusse
    d it with him before so that he could've analyzed and investigated its reputation. What if he'd then
    decided that Ajeng and I must never go to
    that place because he'd found certain "bad things" that could've
    serious
    ly brought unpleasant situations to Ajeng and me or put us at risk? Since "Sensei Stevie" has always
    been a respons
    ible leader par excellence, the man would've sought the "best, safest, and grooviest ways"
    for Ajeng and me to fulf
    ill our needs or desires safely and comfortably—without worrying about unexpected
    "demoralization" or any disturbance from other pa
    rties. As an "old-school man with conservative views," he
    has stric
    tly adhered to the principle of "how important it is to be a man of his word who can always be relied
    on" throughout the years. He has vehemently applied the conception of "leading by example" as well.



    My statement above is not an unsubstantiated claim, excessive praise, or unwarranted flattery. Days
    later, the bloody handsome hotshot started to fu
    lfill his promise to us by converting a two-story annex in his
    house area into a music and recording studio
    that is not only sophisticated but could also make us safe and
    snug. Some of our co
    mrades have said that the music and recording studio almost resembles a studio on
    Jl. Sawah Kurung, Bandung
    managed by an Indonesian metalcore band, Burgerkill. Neither Ajeng nor
    I have e
    ver been there. But judging from Google Maps, what our comrades have said is not exaggerated.
    The difference is
    that the music and recording studio of "Sensei Stevie" is a two-story building, while the one
    in Bandung has a three-story facade. Apart from that, right next to the studio in the area of his residence,
    there is a "small-yet-breathtaking" cafeteria that always provides lots of free food—such as siomay (made
    f
    rom free-range chicken meat, saltwater fish, or prawns), bakso sapi, bakwan Malang, batagor, pempek,
    otak-otak, kuotie, gyoza, rujak, asinan, various
    types of chips, fresh fruit, fresh drinks or juices, and so on.
    A
    ll of them are "halal and hygienic food, MSG-free, with no preservatives, artificial sweeteners, or addictive
    substances added." Since "Sensei Stevie" is a well
    -experienced man in dealing with many girls and women,
    he has a good sense of "what women want or adore" and knows what foods they will usually go for or be
    fond of exac
    tly. Even though "food has no gender," most siomay lovers—for example—are females.





    I have to write this with a heavy heart: If he'd managed to get Tante A and "the
    y'd finally married,"
    the coquette could've been exceedingly happy to pursue her singing hobby and enthusiastically made lots of
    record
    ings there instead of just "doing karaoke" as she has always done for years. "Sensei Stevie" would've
    rearranged songs his irascible "inamorata" loves, played a
    ll the instruments for the musical accompaniment,
    and also recorded them—just
    like what Mr. Dave Grohl did on the Foo Fighters' eponymous debut LP.

    After "Sensei Stevie" could've completed
    the entire process of the musical accompaniment recording,
    Tante A,
    the She-Devil, would've recorded the vocals. Although he's not yet been a professional musician,
    he wo
    uld've not had much difficulty playing the songs that she would've wanted to sing since—as far as I
    know—most of the songs she
    likes are just "mainstream pop songs" whose musical compositions are, I can
    say, "utterly simple." You guys who follow the development of contemporary Indonesian popular music may
    s
    till remember the songs "Hancur Hatiku" and "I Just Wanna Say I Love You," whose lyrics only repeat one
    se
    ntence over and over again. Tante A might've covered Potret's "Diam" (whose musical composition will
    immediately remind us of Weezer's "Say It Ain't So"), yet she would've sung only a sentence of its lyrics:
    "Kauhina diriku... aku diam..." (w
    hich she would've used to make fun of me or to express her "victory," as
    she'd succeeded in hooking and marrying "Sensei Stevie"). On other occasions, the chivalrous man might've
    sung "ce
    rtain songs" in English or other foreign languagessuch as German, French, or Spanish—that she
    co
    uld've not sung quite well. The Cougar would've probably only been the backing vocalist (or would've just
    g
    iven "obscene moans," as we can hear in Guns N' Roses' "Rocket Queen"). Over time, the two might've
    been tempted to fo
    rm a "male and female singing duet"—just like the famous Sonny and Cher, Anang and
    Krisdayanti, or Oma Irama (
    it was indeed the name the singer had used before he changed it into "Rhoma
    Irama") and Inneke Kusumawati (not to be confused w
    ith the 1990s actress, Inneke Koesherawati).

    Never
    theless, if "Sensei Stevie" and "Delilah" hadn't formed a "singing duo" and made commercial LP
    recordings, many believe they would've become a love
    y-dovey and sensational "older woman-younger man
    coup
    le" like Cher and Richie Sambora. Or, since "Sensei Stevie" is a tall (188 cm), athletic, well-built, and
    naturally muscular half-Caucasian good-looking stud and "Delilah" is a woman in her late
    40s whose height is
    approximately 1
    65 cm, people would've strongly associated the two with Jason Momoa and Lisa Bonet, or
    Younes Bendjima (though he doesn't have Caucasian blood) and Kourtney Kardashian (before they sp
    lit up
    and Ms. Kardashian even
    tually married Blink-182's drummer, Travis Barker). Or, since "Sensei Stevie" is a
    man who has masculine imagery and can play guitar pretty well—just like The Misfits' former guitarist, Doyle
    Wolfgang von Frankenstein—some would've equated "Sensei Stevie" and his "Delilah" with an eccentric rock

    star couple: Doyle Wolfgang von Frankenstein and The Agonist's former vocalist, Alissa White-Gluz
    (who's now Arch Enemy's vocalist). But I harbor doubts about whether "Delilah" could sing metalcore songs.
    When she was streaming live on TikTok and interacting wi
    th her "fans," which were sometimes interspersed
    by a fe
    w "absurd moments" when she pissed off or was quite offended by their comments or queries, I'd
    heard her "weird laughter" several times, which reminded me of the distinctive laugh of Mr. Asmuni Srimulat,

    an Indonesian legendary comedian. It's unlikely a tetchy middle-aged woman with a laugh like that could be
    on par with "female hardcore, metalcore, deathcore, deathgrind, grindcore, or death metal vocalists," right?
    At most, she could only eloquently imitate the female moan that'd stir up men's wild imagination: "Aaahhh,"
    at the beginning of The Agonist's "...and Their Eulogies Sang Me to Sleep," as you can watch here.



    Hell! I can't bloody believe I'm willing to write such bloody hypothetical situations about "Sensei Stevie"
    and the "bloody Cougar," that if those had occurred, would unequivoca
    lly have had such bloody devastating
    effects on me! Damn you, "Delilah," for bloody making a sexy innocent gir
    l like me put this in writing!



    [​IMG]
    Alhamdulillah, segala "kecemasanku" atas hal-hal terkait "Delilah" alias Tante A tersebut, yang sempat
    (sedikit banyak) menjadikan aku senewen, jengkel, merasa "terancam", dsb itu kini sirnalah sudah. Tante A

    telah memilih jalan dan takdir kehidupannya. Sungguhpun selama bertahun-tahun "Sensei Stevie" senantiasa
    bersimpati, dan bahkan telah membuat blueprint (atau perencanaan matang) yang akan dia gunakan untuk
    membantu menuntaskan berbagai permasalahan besar yang dialami Tante A, semua tak ada gunanya lagi.

    Begitu Tante A telah memilih rute perjalanan kehidupannya, ya, selesai sudah. "Sensei Stevie" tak akan sudi
    melakukan interferensi dan intervensi (terkait persoalan besar Tante A—setelah perceraiannya yang kedua),
    dalam bentuk apa pun itu. Ajaibnya, "Sensei Stevie" tetap bersikap sangat biasa-biasa aja menyikapi semua
    hal tersebut. Dia bahkan tidak menganggap bahwa hanya dia yang punya kemampuan membantu Tante A.
    Yah, bisa jadi, kebahagiaan, keceriaan, ketenangan, kedamaian—dan terutama: "berbagai solusi nyata atas
    segala permasalahan si Tante", akan segera Tante A dapatkan dari "sang dewa penolong" p
    ilihannya.

    Kesimpulannya: "Sensei Stevie" tetaplah berprasangka baik, bahwasanya Tante A akan baik-baik saja.



    Sayangnya—menurut "beberapa komandan lapangan"—semua prasangka baik "Sensei Stevie" terkait
    Tante A selalu meleset. Beberapa tahun lalu kala Tante
    A baru menikah untuk kedua kalinya, "Sensei Stevie"
    juga berprasangka atau berharap yang baik-baik seperti
    itu. Toh, kenyataannya justru berbeda 180 derajat.
    Para "komandan lapangan" itu mengatakan padaku, sejatinya "Sensei Stevie" telah mengetahui betul bahwa
    akan muncul "hal-hal yang tak beres" yang akan sangat menyusahkan Tante A di kemudian hari. Perjalanan
    Tante A akan seperti: "She wants everything, but unfortunatelly, she will lose everything." (And indeed, she

    almost lost everything.) "Sensei Stevie" seolah-olah sudah mencermati dan membaca gelagat: Alih-alih akan
    bisa mendapatkan hal-hal indah dan kebahagiaan yang ia dambakan, eh, si Tante justru "berisiko kehilangan
    segalanya". (Se
    tidaknya, "mesti kehilangan sejumlah hal berharga, yang sebelumnya telah dia miliki".)

    "Lah, kok bisa-bisanya si Stevie itu mengeklaim sanggup menuntaskan permasalahan berat Tante A?!
    Padahal, semua prasangka baiknya ihwal si Tante atau segala harapan baiknya agar si Tante bisa mendapat
    kebaikan, ternyata selalu meleset. Sekadar berharap yang baik-baik aja, nggak terwujud! Kok, mala
    h belagu
    sok-sokan mampu membantu Tante A segala macam?! Pfft! Ya memang sih, yang namanya 'berkoar-koar'
    ata
    u sesumbar omong kosong itu gratis, nggak perlu bayar. Tapi, yah jangan diborong juga keuleus!"

    Begini, yah! Jikalau jam terbang kau
    itu masih rendah, belajar dulu sana kau, Dodol! "Prasangka baik"
    dari "Sensei Stevie" perihal si Tante tersebut adalah "perwujudan sikap normatif dan elegan dari seorang pria
    terhadap seorang perempuan ketika mereka mesti berpisah jalan". Aku nggak akan menjelaskannya secara

    panjang lebar karena otak kau itu mungkin tidak bisa mencernanya. Aku beri contoh dengan satu lagu lawas
    yang pernah populer pada masanya: "Before the Next Teardrop Falls". Kau simaklah lagu itu, dan juga

    cermati liriknya dengan saksama. Lirik lagu tersebut—secara implisit—menggambarkan, kendatipun sang pria
    sebenarnya mengetahui—atau paling enggak, "punya firasat"—bahwa si perempuan sudah membuat pilihan
    yang salah, toh, sang pria tetap aja mengharapkan supaya si perempuan blo'on itu mendapatkan kebaikan.

    "If he brings you happiness/then I wish you all the best/It's your happiness that matters most of all."

    Perhatikan bait selanjutnya: "But if he ever breaks your heart/If the teardrops ever start/I'll be there

    before the next teardrop falls." Kemudian bait berbahasa Spanyol yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa
    Ingg
    ris menjadi: "If he loves you truly and brings you happiness/then I wish the best for you two/But if he
    makes you cry, you can talk to me/And I will be with you when you are sad." Tetapi, statement macam
    itu
    tak bisa begitu aja d
    iterapkan di kehidupan nyata. "Sensei Stevie" bukanlah pria bodoh yang akan sok-sokan
    menjadi pahlawan kesiangan dengan menampung curhat dari "bini orang", entah siapa pun itu (kecuali yang
    berstatus "mahram", yah—atau para perempuan sedarah yang dalam agama tidak pernah boleh dinikahi—

    itu pun mesti dilihat dulu seperti apa materi curhat-nya). Dia sering menegaskan ketidaksukaannya terhadap
    para suami yang tega mengkhianati istri dan anak-anak mereka, serta para perempuan yang tega merusak

    rumah tangga orang lain. Meskipun para oknum perempuan itu mungkin berkilah: "Saya 'kan, nggak berniat
    merebut suami siapa pun. Saya tidak akan pernah menyuruh pria yang saya cintai untuk meninggalkan bini
    dan anak-anaknya." Ya, tetap aja, kalau hubungan itu sama sekali tak mendapat izin dan restu dari istri sah
    beserta anak-anaknya (tanpa pemaksaan—ataupun keterpaksaan), Anda jelas melakukan kezaliman!

    "Anda nggak tau, berpoligami tanpa memberi tau atau meminta izin istri pertama itu sah hukumnya!"

    Hey, jika Anda melaksanakan shalat dengan mengenakan pakaian yang dibeli dari harta yang haram,

    Anda pun bisa aja mengatakan: "Shalat saya sah!"—hanya karena Anda merasa "semua syarat sah shalat"
    telah Anda penuhi. Atau bila Anda berpuasa Ramadhan sejak Shubuh hingga Maghrib, tetapi saat tiba waktu
    berbuka, Anda mengonsumsi hidangan yang diperoleh secara tidak halal, Anda pun bisa mengatakan bahwa
    puasa Anda itu "sah"—hanya karena Anda pikir "syarat sah puasa telah Anda penuhi" (misalnya, tak minum
    dan tak makan apa pun). Tetapi yang dimaksudkan "sah secara hukum" itu baru sekadar "telah memenuhi

    syarat atau petunjuk teknis pelaksanaan". Padahal, yang namanya "ibadah" akan terkait pula dengan aspek
    "berserah diri", yang tentunya akan berujung pada "mengharapkan Ridha dan Restu-Nya". Nah, bagaimana
    mungkin Anda akan mendapatkan Ridha dan Restu-Nya, jikalau ibadah yang Anda lakukan itu malah disertai

    kebatilan atau bercampur dengan kezaliman? Anda mau berapologi: "Ah, yang penting, sah", begitu?!

    Kalaupun tak terhindarkan berpoligami, lakukan secara adil, sesuai dengan yang disyaratkan oleh-Nya.
    Lawan dari "adil" itu apa, sih?! Ya, "zalim" lah! Apabila pernikahan kedua malah "menghancurkan" pernikahan
    sebelumnya,
    itu namanya sudah melakukan kezaliman! Jika istri dan anak-anak kalian berdua menolak tegas
    keinginan Anda untuk menikah lagi, ya, sudah kalau begitu. Batalkan keinginan Anda. Sebagai "kepala rumah
    tangga yang bertanggung jawab" Anda mesti, atau bahkan wajib menjadikan mereka prioritas utama Anda.

    Anak-anak kalian itu tak pernah memilih Anda sebagai ayah mereka. Toh, ketika kenyataannya, Anda sudah
    ditakdirkan-Nya menjadi ayah mereka, jadilah ayah yang tidak akan mengkhianati mereka
    dan ibu mereka.
    Lain soal jikalau istri dan anak-anak kalian, tanpa keterpaksaan, mengizinkan dan merestui Anda berpoligami,

    serta Anda pun memiliki semua hal yang menjadi syarat mutlak untuk "mengelola dua keluarga" secara adil.
    Jika kehidupan berpoligami Anda kemudian terbuk
    ti tidak bermasalah, barulah itu bukan poligami yang zalim.
    Semua bisa melihat, semua istri dan anak Anda hidup rukun-sejahtera, dalam suasana kekeluargaan.

    [​IMG]
    Apakah itu berarti, aku bisa menerima konsep "berbagi suami"?! Hey, bukan begitu maksudku, lah ya!

    Pernikahan yang kucita-citakan dan kukehendaki dalam kehidupanku, hanyalah pernikahan monogami.

    Andai suatu saat nanti, suamiku menyatakan keinginannya untuk berpoligami, kemungkinan besar, aku akan
    merespons secara lembut, tapi tegas: "Tidak, Sayang! Tidak!" Mungkin, sambil mengasah military machete,
    hand-forged bone cleaver, Kitory meat cleaverataupun menimang-nimang M48 tactical commando knife.

    "Aduh, buat apa?!" Buathukmu sempal! Ya, untuk menunjang aktivitasku dalam hal memasak, lah! Jika aku
    pada waktunya nanti, diminta suamiku untuk mengolah kepala kambing utuh menjadi sajian istimewa seperti
    bacem kepala kambing atau brongkos kepala kambing, mau tidak mau, aku akan memakai perkakas

    yang tajam. Kau bisa bikin bacem dan brongkos kepala kambing? Nggak bisa?! Belajar dulu sana kau!



    Kalau bicara ihwal "berbagi suami", yah aku mesti "ekstra berhati-hati menyikapinya". Karena di dunia
    ini, memang ada "kehidupan poligami yang nyata-nyata dilakukan secara konsensual—tanpa keterpaksaan",

    atau "tak dilakukan secara zalim dan sembunyi-sembunyi". Selain contoh dari maestro pelukis Affandi—yang
    telah kutuliskan di bagian-bagian awal postingan ini—ada pula beberapa contoh valid poligami konsensual dari
    orang-orang yang bukan beragama Islam. Seperti pernikahan dengan dua istri yang terjadi di Bali, atau
    pernikahan dengan lima istri di AS, atau pernikahan dengan delapan istri di Thailand—yang ada di
    video hanya tujuh—ataupun pernikahan dengan delapan istri di Brazil. Terlepas dari keyakinan mereka,
    dan kendatipun contoh-contoh valid itu sukses bikin aku 'ngelap keringat, toh jika pernikahan dengan banyak
    istri memang terjadi secara konsensual dan tidak ada gejolak membahayakan saat mesti berbagi suami, ya

    aku tidak bisa mencaci mereka. (Di luar konteks keyakinan agamaku, ya!) Kalau para perempuan itu secara
    konsensual menyetujui kehidupan berbagi suami—tanpa ada yang sakit hati, ya udah, itu hak mereka. Toh,
    mereka berstatus sebagai "istri-istri sah", bukanlah sekadar berstatus "bini simpanan atau istri gelap". Publik

    pun mengetahui secara terang benderang. (Tapi bukan berarti aku punya niat berbagi suami, lah ya!)

    Yang mutlak takkan bisa aku setujui adalah: poligami zalim, atau poligami secara sembunyi-sembunyi.
    Atau poligami yang tetap aja nekat dilakukan, kendati udah 'ngomong pada istri pertama dan anak-anaknya,
    dan ternyata mereka sama sekali tidak mengizinkan. Macam mana akan bisa adil kalau satu pihak terzalimi?!
    Menikah hukumnya sunnah. Poligami yang adil, bisa dibilang "mubah". Artinya: tidak diperintahkan, tetapi bila
    memang sanggup menjalaninya secara adil, ya diperbolehkan. Nah, poligami zalim adalah dosa besar.

    Aku pun tidak bisa menyetujui perilaku mereka yang tak berpoligami, tapi di sisi lain, suka berselingkuh
    atau berzina di sana sini. Pernah, suatu ketika, Mbak Vies, Mbak Yui, dan juga Mbak Lilian—para staf pribadi
    dan tepercaya "Sensei Stevie"—mencer
    itakan padaku (nggak secara bersamaan) ihwal sebuah insiden yang
    cukup serem, saat mereka bertiga sedang mengikuti perjalanan biznes sang Big Boss. Dengan mata kepala

    masing-masing, mereka menyaksikan seorang oknum ayah yang dilabrak dua putranya oleh karena si ayah
    itu diketahui suka main perempuan—dan bahkan, sampai "menularkan penyakit kotor" pada ibunda mereka.
    Tau dari mana? Lah, kedua putranya sendiri yang mengatakan hal-hal tersebut sambil berteriak-teriak. Salah
    satu dari remaja tanggung itu sampai mendamprat si ayah dengan kalimat yang amat luar biasa kasar: "Lu
    sering koar-koar sama kami: 'Cuma binatang yang punya bini lebih dari satu!'. Yah iya, lu itu memang cuma
    punya satu bini, Mama kami. Tapi kami udah tau, lu ternyata sering 'titik-titik' sama 'titik-titik' di mana-mana.

    Mama sampai ketularan penyakit, gara-gara lu! 'Titik-titik', lu!" Kalau para petugas keamanan gedung itu tak
    buru-buru berdatangan, mungkin aja akan terjadi pertumpahan darah. "Itu cerita bener, atau hasil 'ngarang
    bebas?! Sekarang banyak orang suka 'ngarang cerita: 'Eh tadi itu ya, pas saya lagi naik KRL, begini-begitu...

    begini-begitu...' Atau: 'Tadi itu, saya 'ngobrol sama sopir taksi, begini-begini... begini-begitu...' Situ nggak lagi
    mendongeng atau 'ngibulin orang-orang, 'kan?!" Terus terang, kendati aku jengkel karena kau berprasangka
    aku sedang berdusta, toh, sikap kritis kau yang seperti itu memang nggak salah. Jangan percaya begitu aja
    pada cerita yang kita baca di med-sos. Tetapi cerita dari para staf pribadi "Sensei Stevie" tersebut sangatlah
    dapat kupercaya. Selain rekam jejak mereka masing-masing (sampai sejauh ini) tidak tercela, cerita mereka
    itu belakangan diperkuat dengan kesaksian senada dari "rival" terberatku: "Sang Ratu Ayu Kayangan", yang
    mengikuti perjalanan biznes di kota tersebut oleh sebab dia adalah mitra joint venture "Sensei Stevie".

    Ada satu hukum alam yang sangat unik di dunia ini. "Secerdik atau serapi apa pun Anda berselingkuh,
    ujung-ujungnya, pas
    ti akan ketahuan oleh pasangan sah Anda." Catat baik-baik. "Tancapkan" di otak Anda.
    Uniknya pula, para perempuan yang nggak pernah belajar teknik intelijen sekali pun, seolah selalu aja punya
    jutaan cara untuk membongkar perselingkuhan suaminya. "Sensei Stevie" sangat memahami ihwal prosedur
    ISTAR (Intelligence, Surveillance, Target Acquisition, and Reconnaissance)—baik teori, maupun penerapan di
    lapangan. Para perempuan yang diselingkuhi suami, yah, mungkin hanya mengandalkan naluri mereka. Toh,
    ajaibnya, istri-istri tersakiti itu bisa melacak suami mereka serta menangkap basah perselingkuhannya.
    Yang tentu akan menyedihkan, saat proses tertangkap basah itu sampai diketahui oleh anak mereka.




    [​IMG]
    Terkait lagu "Before the Next Teardrop Falls" di atas tadi, aku takkan menafsirkannya sebagai bentuk
    "pernyataan menye-menye" dari seorang pria untuk sang perempuan blo'on yang amat dia kasihi, tapi udah
    begitu belegug-nya (oops!) mengambil keputusan yang sangat keliru. Si pria seakan sedang berbicara sendiri
    dalam hati. Di satu sisi, sang pria itu berusaha bersikap realistis dan tak akan sudi kekanak-kanakan mencaci
    perempuan tercintanya. Ia memang melepaskan si perempuan. Tetapi logika yang bersemayam dalam hati
    kecilnya seolah menginformasikan bahwa si perempuan terindikasi kuat "akan mengalami ketidakbahagiaan".

    Tak semua pria sanggup membuat prognosis yang, pada akhirnya, terbukti 100% akurat. Kita mesti melihat
    kualitas pria tersebut. Dengan cara apa? Yah, dengan mencermati rekam jejaknya selama ini, lah ya!



    Cermatilah bagaimana dia memaknai dan menyikapi situasi/permasalahan. Kemudian, perhatikan pula
    "bagaimana sikapnya dalam menyelesaikan persoalan". Mampukah berpikir secara logis, dan menindaklanjuti
    secara rasional? Nah, sampai sejauh ini, aku senantiasa melihat "Sensei Stevie" sebagai seorang pria yang—
    kendatipun masih sangat muda dari segi usia—memiliki keterampilan berpikir yang mencerminkan rasionalitas
    seorang pria dewasa. Dia bisa dengan jernih dan objektif membaca situasi, memahami permasalahan, serta
    berusaha memfokuskan diri pada solusi atau penyelesaian (alih-alih mengeluh berkepanjangan). Kenapa aku
    mesti memakai kalimat "sampai sejauh ini"? Ya sejujurnya, aku terinspirasi satu postingan Mbak Suci.

    Dalam satu tulisannya, si Mbak Cantik itu kurang lebih menyatakan: "Ketika kita memberikan penilaian
    terhadap siapa pun, mesti selalu diiringi dengan evaluasi supaya penilaian kita tersebut bisa dibilang objektif."

    Oleh sebab yang namanya "manusia", bisa berubah, 'kan? Kita hanya bisa menilai "sejauh yang kita ketahui
    hingga kini". Selanjutnya, "penilaian kita itu mesti dievaluasi secara berkala dan berkesinambungani". Dengan

    demikian, jika saat ini kita memuji seseorang atau membenci seseorang, kita mempunyai argumentasi yang
    bijak dan rasional berdasarkan penilaian objektif yang selalu kita evaluasi. Bukan sekadar "dilandasi rasa suka
    atau rasa tak suka". Cara berpikir manusia yang ingin dikatakan "sudah dewasa", ya mesti seperti itu.

    "Prasangka baik" atau "harapan yang baik-baik" dari "Sensei Stevie" untuk "Tante Pemarah" tersebut

    juga merefleksikan sikap "Sensei Stevie" yang berusaha agar tidak terjebak ke dalam perilaku "playing God"
    (atau dengan lancangnya, berperilaku seolah-olah jauh lebih mengetahui ketimbang Sang Maha Mengetahui)
    dalam menyikapi "nasib dan masa depan" Tante A. Sungguhpun "Sensei Stevie" memiliki "sejumlah kalkulasi

    logis yang didasari pada data valid yang sangat bisa dipercaya" perihal tragedi yang—sangat mungkin—akan
    kembali dialami si Tante, toh, "Sensei Stevie" tetaplah meyakini kebenaran ucapan: "Wallahu a
    'lam." Kendati
    dia telah membuat sebentuk prognosis tentang si Tante, ya Sang Maha Penentu tetaplah Allah SWT.



    Oh, iya, kakak-kakak perempuanku mengingatkan ketidaktepatan dalam hal sebutan "Sensei Stevie".
    Mestinya: "Stevie-sensei" karena di dalam Bahasa Jepang, kata "sensei" mesti diletakkan di belakang, bukan

    di depan nama seseorang. Meski di sejumlah negara, memang banyak nian instruktur martial arts (bela diri)
    yang diberi gelar "Sensei" di depan nama masing-masing. Bagaimanapun—bagi kakak-kakak perempuanku

    yang cantik jelita itu—hal tersebut jelas adalah salah kaprah. Lalu, apa responsku? Ya, bodo amatlah.

    [​IMG]
    Eh... nggak 'gitu, deng. Aku sangat menghargai kepedulian kakak-kakakku yang terkasih. Cuma, kata
    "sensei" yang aku gunakan itu sebenarnya bukan merujuk pada Bahasa Jepang, melainkan diambil dari kata
    dalam Bahasa Inggris, "sensible". Aku menyukai kata sifat "sensible" tersebut. Masalahnya begini, kalau aku
    menyertakan kata "sensible" di depan nama si dia—sehingga menjadi "Sensible Stevie"—rasa-rasanya, akan
    ada aja "orang Indonesia yang kemampuan memahami Bahasa Inggrisnya belum cukup baik" (tidak berarti

    aku sok meremehkan siapa pun, yah!) yang mungkin secara serampangan mengartikannya sebagai "Stevie
    yang sensitif" (dalam artian: baperan, 'dikit-'dikit marah, ngambek, dsb). Begitu pula, jika aku menggunakan
    kata "sensei" tersebut sesuai dengan aturan Bahasa Jepang, "Stevie-sensei". Banyak orang Indonesia yang
    boleh jadi akan memelesetkannya menjadi "Stevie Sensi" atau "Stevie yang sensi". Padahal, dia sama sekali
    bukan tipe pria yang baperan atau sensitif. Saat mesti "berpisah jalan" dengan Tante A pun, "Sensei Stevie"

    menyikapinya dengan sangat biasa-biasa aja. Ya, iyalah. "Hilang satu, tumbuh datang seribu." Heiish!

    Sebagai solusi, aku sengaja memberi dua tanda petik setiap kali aku men
    ulis sebutan "Sensei Stevie".
    Walaupun "salah kaprah", toh, memang kusengaja karena aku punya argumentasi logis terkait hal itu. Ihwal
    kata "sensible" yang aku kaitkan dengan "si dia", hal tersebut tidaklah berlebihan. Beberapa hari lalu, pasutri

    "kembar" (tapi "kembar jadi-jadian"), Om Izul dan Tante Izel, mengunjungi guest house. Mereka berdua itu
    sejatinya telah menyatakan kesanggupan untuk membantu "Sensei Stevie" dalam menyelesaikan persoalan

    Tante A. Sewaktu aku berbincang dengan Tante Izel, beliau mentertawakanku, oleh karena aku "membaca"
    prahara Tante A itu dengan menggunakan perspektif api kecemburuan yang amat dahsyat. Padahal, Tante
    Izel bilang, fokus "Sensei Stevie" itu ya, mutlak hanyalah ingin membantu "menuntaskan dua permasalahan
    besar" yang dialami Tante A. Jadi, menurut Tante Izel (secara garis besar) ada dua persoalan sangat serius
    menimpa Tante A. "Persoalan X" (sebagai akibat dari perceraiannya yang kedua) serta "Persoalan Y" (yang
    tampaknya belum, atau bahkan tak disadari Tante A—meskipun "Persoalan Y" ini sangat berbahaya).



    Nah, ciri-ciri "a sensible man" dalam diri si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu bisa terlihat jelas,

    saat dia menyikapi kasus-kasus rumit Tante A tesebut. "Sensei Stevie" berpikir dengan kepala dingin, sangat
    logis, dan dengan tegas mengedepankan rasionalitas (alih-alih membiarkan dirinya "terbuai atau dihanyutkan

    oleh hal-hal sentimental beserta segala omong kosong romantisme cinta dangkal"). Dia punya satu kalkulasi:
    "Persoalan X" Tante A itu mutlak hanya akan bisa menemukan "a win-win situation", jika Tante A tak terlibat

    hubungan asmara dengan siapa pun—termasuk dengan "Sensei Stevie". Nah, masalahnya, Tante A seakan
    masih punya naluri berasmara yang meluap-luap. Tante Izel mengatakan, "Yang bikin ruwet itu kalau Stevie
    datang dan memasuki kehidupan si A [karena beliau sebaya dengan Tante A, ya beliau cuma menyebutkan

    nama, tanpa memakai predikat 'Tante'], kami semua yakin si A mutlak akan langsung dilanda badai asmara
    yang tidak karuan. Hal itu manusiawi. Si A berstatus janda dua kali, banyak digunjingkan orang, dan bahkan,
    dihina, direndahkan, dan dinista. Lah, jika dia sampai didatangi a high-value man seperti Stevieyang masih

    single, straight, muda, pinter, perkasa; good-looking atas-bawah-depan-belakang; punya background bagus;
    punya masa depan yang tidak suram; punya religiositas baik/tak sekadar pencitraan; dll., dll., masa iya, sih,

    si A akan dengan bodohnya menyia-nyiakan kehadiran Stevie begitu aja?! Si A punya reputasi sebagai sosok
    wanita yang sangat impulsif. Jika dia melihat pakaian, tas, atau sepatu yang bagus dan berkelas, pasti akan

    langsung ingin memilikinya. Lah, apalagi jikalau dia kedatangan seorang Stevie. Bakalan langsung dia pegang
    erat-erat, biar jangan sampai terlepas dari genggamannya. Akal sehat si A pastilah akan menyadari seketika
    bahwa: jika dia bisa memiliki keponakanku itu [Tante Izel adalah tante dari pihak ibunda "Sensei Stevie"], hal
    itu akan langsung membungkam siapa pun yang sering merendahkannya.
    Dia cukup meng-upload satu foto
    dirinya bersama Stevie—tak usahlah dalam 'pose mesra yang provokatif'—dan mereka semua yang selama
    bertahun-tahun menghina si A akan mati gaya, merasa dongkol luar biasa, dan tak habis pikir:
    'Bisa-bisanya,
    jendes dua kali 'ngedapetin Barang Bagus seperti itu?!' Jika sebelumnya mereka suka sekali menggunjingkan
    si A dan selalu mentertawakan nasib yang dialaminya dengan penuh kegembiraan, semua itu akan berubah

    menjadi kedengkian dan kedongkolan karena si A bisa mendapatkan Stevie—sang pria limited edition."



    [​IMG]
    Apa yang dikatakan Tante Izel tersebut tak jauh berbeda dengan yang apa selama ini dikatakan Elias.
    Jadi, penyebab utama "Sensei Stevie" tak pernah bertemu/bertatap muka dengan Tante A (hingga si Tante

    mungkin tidak pernah menyadari bahwa ada a high-value man yang akan bisa membantunya), yah, karena
    sifat impulsif Tante A itu. "Sensei Stevie" punya kesanggupan nyata untuk menemukan "a win-win situation"
    dari "Persoalan X" si Tante A. Sayangnya, agar blueprint penyelesaian persoalan itu dapat direalisasikan, tak

    boleh sama sekali "dicemari atau terdistorsi dengan hubungan asmara". Bagi perempuan seimpulsif Tante A
    yang masih ingin mereguk manisnya cinta untuk memuaskan dahaganya (puiihh!), hal tersebut bukanlah hal
    mudah untuk dilakukan. Sampai "saat-saat terakhir", sebelum "Sensei Stevie" terpaksa mesti mengucapkan:
    "Auf Wiedersehen, liebe Tante A..." sang Makhluk Handsome Bloody Handsome itu masih berencana untuk

    memberikan dua aktivitas yang bisa menjadi kesibukan membanggakan bagi si Tante sehingga mengalihkan
    si Tante dari "gejolak puber ke-2000"-nya. Di antara sekian banyak unit biznes yang dimiliki makhluk itu, ada
    unit-unit usaha peternakan dan perikanan (yang berskala besar). Nah, Tante A semula akan diberikan karier
    dan pekerjaan di sana. Tadinya sih, aku mengira "Sensei Stevie" mungkin akan menjadikan Tante A sebagai
    perempuan yang akan mengurus kambing, sebagaimana si ibu cantik pada video ilustrasi di bawah ini.


    Tapi, nggak mungkin, deh ya. "Sang Emak Manja Berkulit Super Sensitif" macam Tante A, tidak akan

    bisa melakukan pekerjaan seperti itu. Kalaupun sehari aja dipaksakan mengurus kambing, bisa-bisa dia bakal
    gatal-gatal seminggu, atau bahkan—bukan tidak mungkin—korengan sebulan. Perempuan lemah macam dia
    tidak mempunyai daya tahan kuat seperti si ibu cantik pada video di atas. Paling-paling, Tante A hanya akan

    diberikan karier dan pekerjaan "9-to-5" oleh sang pemuda "limited edition" pemujanya itu. Tujuannya ya biar
    dia punya kesibukan yang membanggakan, sehingga dia nggak akan ngelamunin hal-hal yang ngeres.

    "Kenapa bukan di unit usaha yang lainnya?!" Yah, mau di mana? Di perusahaan mesin konstruksi dan
    alat berat? Atau di perusahaan pelayaran? Jangan, deh ya. Risiko stresnya besar. Nanti, bisa-bisa si Tante A
    hanya akan marah-marah terus, tiap kali dia tampil live di med-sos. Bisa mempertakut para fans-nya.



    "Karier lain" untuk Tante A yang menimbulkan tanda tanya besar bagiku adalah: Guru TK atau PAUD.

    Kalau menurut Tante Izel, sebenarnya "Sensei Stevie" udah mempersiapkan posisi itu untuk Tante A.

    Sembari menunggu penuntasan "Persoalan X" Tante A (sampai dia bisa mendapatkan "a win-win situation"),
    dan agar pikirannya nggak terus "dikotori" hasrat untuk memiliki "Sensei Stevie", yah, si Tante akan dijadikan
    sebagai guru di sebuah TK elite—atau PAUD lainnya—milik keluarga besar si makhluk tersebut. Kamu nggak

    salah, Nyong?! Emak-emak segalak dan se-temperamental itu akan kamu jadikan guru TK?! Yaa saalaaam!
    Aduh... aduh... 'gimana coba, kalau dia mesti menghadapi murid-murid bandel ketika dia lagi 'ngajar?!

    Yah, Tante A pasti akan 'ngamuk dan marah habis-habisan, lah! Aku tak habis pikir dengan ide gilamu
    itu. Kendatipun si Tante mungkin bakal menyangkal bahwa dia adalah "perempuan pemarah", toh, seantero

    jagat raya telah mengetahui karakter temperamentalnya. Aku pun bukan seorang perempuan yang lembut.
    Kemarahanku pun bisa teramat sangat kejam dan tak terperikan (pada kondisi dan situasi tertentu). Tetapi,
    Insya Allah, ya, anger management-ku masih mendingan lah, ketimbang anger management si Tante. Aku

    mempunyai batasan: Choose your battles wisely. Some things are worth fighting for, others are not. I must
    not waste my precious time, breath, and energy "fighting for something that's not worth fighting for."


    Mungkin dia akan memarahi murid-murid TK di tempat dia mengajar: "Kalian kok, bandel banget sih?!
    Bu Gur
    u lagi 'ngomong tauk! Kalian malah bercanda sendiri! Keluar kalian dari kelasku! Dasar tuyul-tuyul kecil
    kurang ajar!" Yah, namanya juga mereka masih kecil, betapa pun bandelnya, kalau dimarahi macam itu, ya
    bakalan takut bangets dan 'nangis, lah. Tapi, itu baru sekadar asumsi atau hipotesisku. "Sensei Stevie" tidak
    mungkin akan mengam
    bil satu langkah yang malah menimbulkan permasalahan. Bisa aja, karakter Tante A
    berkebalikan dengan yang aku imajinasikan. "Sensei Stevie" pasti punya alasan rasional terkait hal
    itu.



    [​IMG]
    Toh, sebagaimana kita ketahui bersama, rencana itu hanya
    tinggal rencana. Huahahahahahahahaha!
    Si Irma bilang, Tante A
    itu, secara sekaligus, mendapatkan "kesialan" dan "keberuntungan". "Kesialannya"?!
    Begini. Ada seorang Stevie yang bersimpati pada Tante A, dan dengan izin Allah SWT, si Stevie
    itu pun akan
    sanggup membantunya. Eh, akhirnya
    tidak jadi karena Tante A udah kadung memilih jalan hidupnya sendiri.
    "Keberuntungannya"? Ya, karena Tante A sama sekal
    i belum pernah mengenal Stevie, takkan ada "episode
    jatuh cinta", yang nan
    tinya, berujung pada patah hati. Si Tante terhindar dari menyanyikan lagu sedih ini,
    dengan hati pilu, bagaikan disayat sembilu: "It's got what it takes, so tell me, why can't this be love?"



    Beberapa waktu lalu, Mbak Vies melaksanakan ibadah umrah ke Tanah Suci, Makkah Al-Mukarramah,
    bersama dengan rombongan keluarga besarnya, dari Manado, Tomohon, dan Bolaang Mongondow. Semua
    dibiayai "Sensei Stevie". "Pakai duit halal?" Ya, iyalah, hay! Bukan berarti Mbak Vies di-spesial-kan, melainkan
    memang prosedur itulah yang berlaku di wilayah komando kekuasaan "Sensei Stevie". Bi-idznillah, komandan
    yang akan membiayai dan memfasilitasi siapa pun yang memang ingin beribadah umrah. Duitnya ada—ada

    beneran yah, bukan cuma sesumbar omong kosong atau mesti ngutang dulu!—tinggal diatur aja kapan siap
    berangkat? Karena telah berkoordinasi dan direncanakan, yah rombongan Mbak Vies pun berangkat dengan

    rombongan keluarga Om Jotham dan Tante Beatriz. Nah, selama si Mbak beribadah umrah, yah, tentu ada
    kekosongan jabatan aspri (dan sespri) "Sensei Stevie". Om Jotham dan Tante Beatriz "meminjamkan" satu

    staf mereka, Mbak Ayi, untuk menjadi aspri—merangkap sespri—ad interim. Mbak Ayi seorang single mom
    dengan satu putri. Sepintas, saat dia sedang berhijab, Mbak Ayi mirip dengan pembaca berita di satu media
    (atau portal berita?), Teteh Geok Mengwan (namanya unik, tapi orangnya cantik). Namun, saat dia sedang
    tak berhijab (cuma temporer, saat berada di guest house), dia justru mirip Tante Rini S. Bono muda.


    [​IMG]


    Semestinya, Mbak Ayi dan putrinya itu sudah pulang, setelah Mbak Vies
    tiba kembali di tanah air. Eh,
    thanks to Ajeng (yang udah bikin "drama tidak karuan"), sekarang Mbak Ayi dan putrinya menjadi menetap

    permanen di guest house atas persetujuan Om Jotham dan Tante Beatriz. Selain menjalani remote working
    (di bidang usaha kedua beliau tersebut), Mbak Ayi pun punya profesi baru, sebagai seorang guru TK. Posisi
    itulah yang telah dipersiapkan untuk Tante A. Tapi, yah, begitulah. "Auf Wiedersehen, liebe Tante A!"





    Beberapa hari lalu, aku dan cewek-cewek di guest house menyanyikan beramai-ramai, yang sekaligus
    direkam secara profesional, satu lagu yang indah, "Afterglow", yang dirilis pada dekade 1990-an. Toh, aku

    tidak yakin, Tante A familier dengan lagu ini, meski dia mengalami masa remaja pada tahun-tahun tersebut.
    Proses rekaman yang dilakukan di studio musik dan rekaman milik sang komandan kami itu meriah bangets.
    Musik pengiringnya udah pernah dimainkan dan direkam beberapa waktu lalu. Ya, kami tinggal mengisi vokal
    secara bergantian dan kemudian Bu Retno "Bellucci" yang melakukan proses mixing-nya. Hasilnya luar biasa
    keren. Lagu itu memang sengaja kami nyanyikan dan rekam demi menyemangati sang komandan tercinta,

    meskipun kami semua sudah paham betul, dia sama sekali bukanlah tipe pria yang punya urat galau.

    Apabila satu hal memang harus dihentikan, ya sudah. Masih banyak hal lain yang mesti dia kerjakan.




    Bagaimanapun, Insya Allah, semua niat baik dan usaha untuk melakukan kebaikan tidak akan sia-sia.



     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 3
    Last edited: Mar 24, 2024
  15. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Unggahan ini akan bisa "terlihat rapi", bila kalian baca memakai PC/laptop dan browser Mozilla Firefox.
    S
    ilakan refresh halaman thread diary-ku ini, bila ternyata ada gambar yang tak bisa tampil sempurna,
    atau bilamana hanya terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] itu dan klik reload image.



    [​IMG]
    A few days ago,
    the "Regimental Commander" and his wife told Ajeng, Dina, Dinda, Irma, Yuvi, and
    me a funny story about Tante A and "her now-former most ardent admirer." Huahahahahahahaha... oops!

    Although there've been no moments between them both as those of The Flash and his love interest
    Iris West have
    that may hurt our hearts, or it is not a tearful story of heartbreak between the two
    that will make a man sing whiny songs and, on the other hand, will make us women burst out laughing, the

    undeniable fact that the "quixotic feelings," I mean, the "platonic feelings" of "Sensei" Stevie's for Tante A
    have gone away is such a rib-tickling comedy. Yet I surmise he won't feel blue by that. "Righty tighty, lefty

    loosey." When a battlefield is no longer worth fighting for, he must relinquish his grip on it. One day, the
    "Regimental Commander and Mrs. Comandanta" unexpectedly met "Sensei Stevie" at a place. At the time,
    "Sensei Stevie" was accompanied by Mbak Vies and Mbak Lilian (his confidantes), along with an aide, three
    "lieutenants," and several "muscles." Please don't take my statement mistakenly. You have to understand

    that it's natural for a "big boss" like him to carry out his activities accompanied by his trustworthy staff and
    truehearted "muscles." I deliberately chose the word "muscles" rather than "bodyguards" (the two have
    the same meaning in English, though) since Indonesians seem to associate "bodyguards" with "bourgeois
    arrogance" or with the affluent people who lack the ability to defend themselves from any attackers.

    Just because there are va
    liant people guarding "Sensei Stevie" doesn't mean he is a pathetic coward
    who doesn't know how to protect
    himself. He is neither a "Mama's Boy," a spoiled man, nor a mollycoddle
    who grew up ge
    tting excessive pampering from his parents; thus, they hire several strong individuals who'll
    bravely guard the son whenever he conducts his activities outside the house. "Sensei Stevie" is a perfect
    example of a self-reliant man who has always been fiercely independent. Un
    like many men his age (in their
    late 20s)—or even many men in their 30s, 40s, and older—"Sensei Stevie" knows how to take responsib
    ility
    fo
    r all his acts. He does not always seek his dearest parents' guidance, authority, permission, or approval
    abou
    t what he should and shouldn't do. He lets them know whatever he is doing and will never ignore their
    advice if the
    y notice something is wrong, but that doesn't mean he loses his right to initiate or decide things
    independently. As a well-educated man with proven ability and experience to solve problems, he will not only
    act after getting his parents'
    instructions and directions or let them dictate and control him in every aspect.
    He invariably has fu
    ll authority to determine what he considers best. These make him utterly different from
    most men, who remain in the shadow of their parents, cannot break away from their influence, or can
    never escape their fam
    ily name. They are "unable to make decisions without consulting their parents first."
    Whenever those spoon-fed men try to achieve so-called "accomplishments," most people will surely belittle,

    ridicule, scoff at, disrespect, feel disgusted, or even show contempt for them. Most people perceive that
    it is not the mollycoddles who make efforts using their intelligence and personal skills, yet their parents are!
    Some ma
    y not be able to stop themselves from making harsh or confrontational comments to those men:
    "Once incompetent whippersnappers, you'll always be incompetent whippersnappers. You all are a bunch of
    fatuous nincompoops!" Despite his privileged background, Alhamdulillah, "Sensei Stevie" has never been one

    of those spoiled men. He is very aware of how important it is to be a "strong man," not only physically but
    also intellectually, mentally, spiritually, and financially. He is a prime example of an astute man who is not
    only intelligent academically but also quick-witted and agile in dealing with life's challenges or problems.



    I've got to be straight with you: There were times when I could not comprehend why such an "elite

    guard unit" still accompanied a man like him on some occasions. He is an imposing figure, standing at 188
    cm tall. "Sensei Stevie" is athletic, well-built, vigorous, naturally muscular, doesn't look like a "pretty boy,"
    and has hand-to-hand combat skills, making him an intimidating presence whenever he walks into a room.
    Prior to living his businessman life and managing some companies and multipl
    e business units, he'd had the
    experience of being a "muscle" for his nuclear family, kinship group, or comrades. In the past, there were
    some "urgent situations" when he and I inevitably had to "travel together without anyone accompanying or
    guarding us." He could, however, protect me at his finest so that no one would dare mess with me. One of
    the logical reasons he has a guard unit is to follow the unwritten rules that apply in the business world: "You

    often have to prove that you're cut from the same clothes as your business partners." It means, equality
    is a preferred principle in the business world. You have to speak the language your colleagues do. You can't
    look inferior to them in many ways. If you have to deal with or intend to form a good partnership with any

    business partner with a paramilitary unit—oops—I mean, a "guard unit," you'd better have your own.



    Since "Mr. Regimental Commander and Mrs. Comandanta" intended to see a newly released movie at
    a cinema, they enthusiastically asked if "Sensei Stevie," Mbak Vies, Mbak Lilian, and all his elite "Praetorian

    Guard" could join the two. At first, he didn't in the slightest refuse their polite request (although there are
    two sophisticated private cinemas in his guest house, each with a capacity of 15 audience seats, and
    perhaps, I can say, "much more comfortable than any public cinemas in Indonesia"). As far as I know,
    the sturdy and intrepid hotshot has been the "brains of the outfit" for years. He is known for being the
    quintessential leader, a trustworthy man everyone looks up to for direction, and an amiable figure. Besides
    invariably maintaining his affability and heartiness, he's earnestly cultivated a genuine sense of camaraderie
    and healthy networking relationships with his blood brothers, clans, comrades-in-arms, connections, allies,
    seniors, associates, peers, and informants. Just as he's always created a warm, outgoing, affectionate, or
    intimate atmosphere among his female sympathizers or the goddamn single, pleasure-seeking, coquettish
    cougars—I mean, middle-aged women—who conspicuously show admiration and adoration for him.



    As they were walking towards the cinema, one of the "lieutenants" abruptly said to "Sensei Stevie":

    "Jam 10. C10." (In English: "10 o'clock. C10.") According to "Mr. Regimental Commander," the meaning
    o
    f this phrasewhich is not easy for ordinary people to comprehend—is: "Look over there, at 10 o'clock
    from your position [
    in front of you, slightly to your left]. There's our ex-extrication ops target." Some in our
    co
    mmunity often use the funny expression "C10" (from the chemical formula for the organic compound
    "Adamantane," C
    10H16) if they unexpectedly see someone with whom they once had a personal closeness
    or even a romantic rela
    tionship but must have parted ways. In Indonesian, "Adamantane" is referred to as
    "Adamantana." It sounds similar to the phrase "ada mantan" (without the "-a"), or more or less the English
    equivalent, "There's your ex over there." What's even funnier is that when we pronounce "C10" in English

    ("C ten"), it'll sound almost similar to the Indonesian curse word "Setan" (or in English, "Satan"). For some,
    an ex-lover might be "in a sense analogous to Satan the Accursed," whom they must resist or avoid.

    [​IMG]
    What then became the question: Who was "Satan the Accursed"—oops, I mean, the ex-extrication

    ops target—whom one of the "lieutenants" of "Sensei" Stevie's was referring to? As I could've guessed, the
    person was none other than the wife of, whoopsy, I almost wrote something dangerous! I'd better write it

    as follows: As I could've guessed, the person was none other than Tante A. Even though I've been acutely
    aware of something awful she's been hiding or the enormous secret she's been keeping, I shouldn't divulge

    it here. I don't want to be such a vicious woman who has the heart to injure anyone's reputation. After all,
    sooner or later, "someone other than myself will eventually reveal it." It will be just a matter of time.



    All right. That day, Tante A—with her several companionsapparently also intended to see a movie
    at the same cinema building. "Mrs. Comandanta" told us that Tante A proudly walked as if she'd been a

    pempek model. "Kauhina diriku..." I apologize. I should've written "model" instead of "pempek model" since
    "pempek model" is a variant of pempek, an iconic savory dish from Palembang, South Sumatra. Even
    though I am not a Palembangese woman, I possess skills I am proud of in making pempek (and many

    other Palembangese dishes) with authentic taste. If you don't believe me, then let's prove it! Prepare all
    the raw ingredients I need, determine the cooking place, and don't dare blink an eye when I cook it!

    When it comes right down to cooking skills, it's been clear beyond a doubt that mine are far superior

    to Tante A's. Even if it may sound conceited, my statement is irrefutable. I'm not sure Tante A can "cook"
    in the true sense of the word (not just "cook instant food"). "Kau... kauhina diriku... aku diam..." I won't
    apologize for blatantly stating that. Tidak, Sayang! Tidak! What I've just averred is not a personal insult but
    an indisputable statement. Tante A has a "lot of free
    time." Why doesn't she learn to cook seriously?

    Yet I should correct my sentence about her: Tante A confidently strutted around as if she'd been on
    a catwal
    k, demonstrating clothing during a fashion show. Ajeng imagined the moment might've been even

    "more exciting" if this 1980s song had accompanied it. But I had to disagree with her about that. Let's
    take a look at part of the lyrics of the song: "Wajah berbinar-binar ceria (a cheerful sparkling face)/senyum

    manis menghiasi senja (a sweet smile lights up the twilight)/di antara bunga-bunga rindu (amidst the flowers
    of long
    ing)/kucium harum napasmu (I smell the fragrance of your breath)..." Based on information that I
    judge to be "
    100% accurate," until this very day, Tante A still cannot get rid of her smoking habits.

    How could it be possible that a smoker like her has such fragrant and refreshing breath? Even though
    Tante A always brushes her teeth regularly, chews mint gum after smoking, rinses her mouth, or gargles

    with any brands of mouthwash, her breath will never be as fragrant and fresh as the refreshingly fragrant
    breath of women who never smoke like me, Mbak Suci, Ajeng, and our other female comrades, or women
    like Mbak Ninuk and Aunty Nis-Syi who've succeeded in quitting their smoking habits unconditionally (without
    experiencing a relapse). By the way, "Sensei Stevie" no longer allows me to call that sexy and flirty Aunty

    (puuiiiihhh!) by the pseudonym I purposely created, "Aunty Nis-Syi." Maybe it will always make him think of
    someone he should forget forever, though he might find it quite hard to erase the memories of her.



    I think the most appropriate song to accompany the moment when Tante A acted as if she'd been

    "walking on the catwalk" is another old song that was popular in Indonesia circa late 1988. I first heard
    that song when Mbak Vies, Ajeng, "Sensei Stevie," and I were about to visit Om Indro Warkop's residence

    in the Kayu Putih area of East Jakarta to politely ask him to sign an "ultra-rare vinyl record" (in near mint
    condition!) entitled Mana Tahaaan by the Indonesian comedy troupe, Warkop Prambors. I'd surprisingly
    obtained the vinyl record at a place when I was on an "assignment in a province outside Java." The twin
    brother of "Sensei Stevie" and his wife Izumi-chan have a hideout, I mean, a "safe house" around Jl. Kayu

    Putih. Just as the four of us had arrived, two men guarding the "safe house" informed us that Om Indro
    Warkop seemingly had many personal guests at his residence. In the end, after careful consideration, we
    decided to abandon our intention of asking him to sign the vinyl record since it's not proper for us to intrude

    on someone's private time or event, right? Especially not with someone we don't yet know personally.

    On the way back to our "military" base, "Sensei Stevie" turned on the radio in his SUV to listen to the

    radio program of Camajaya (pronounced "Kamajaya") on 102,6 FM. It is a Jakartan radio station that has
    been broadcasting since the early 1970s and often plays nostalgic songs, whether in Indonesian or English,
    which other radio stations hardly ever play. After some tracks, we heard the one I've written above.

    The big, black SUV carrying the four of us should've headed to southern Jakarta if "Sensei Stevie"

    hadn't said that Camajaya FM's studio is on Jl. Kayu Putih. Ajeng became curious to know what the radio
    station's studio was like. Since he couldn't stand the excessive whining of that childish, spoiled, immature,
    and
    cloying little girl (or he might also prevent Ajeng from throwing a tantrum and later deciding to go on
    a "hunger strike"), he had to comply with her insistent demand. We then returned to Jl. Kayu Put
    ih, only to
    stop on the side of the road right in front of the radio station building. He, however, staunchly refused her

    wish to have a look inside the studio, as there was no urgency or any reason for any of us to do so.

    The pre
    viously mentioned song has invariably reminded me of the moments of that day. Although I
    ce
    rtainly did not experience the 1980s, based on some old magazines I've read in the frabjous two-story
    library in the guest house area, the song was quite popular circa late 1988. TVRI—as the only TV station at
    the time in Indonesia—and many Indonesian radio stations often played it. Why
    did I think this 1980s song
    would've been perfectly suitable as an illustration song regarding the moment when Tante A walked towards
    the cinema, as I've written above? That was because in one part of the song's lyrics, it states, "Jalannya

    seperti pengantin sunat." According to Irma, there was a friend of Tante A's (I'll call her "Tante X") who—
    unbeknownst to Tante A—made such a contemptuous remark: "Idih... idih... lebay banget! Jalannya kayak
    pengantin sunat!" when she saw Tante A's way of walk
    ing, which she considered unnatural or exaggerated.
    "Tante X" also has good companionship with one of Irma's elder sisters. "Pengantin sunat" is a tradition in
    some regions of Indonesia. I don't yet know the proper equ
    ivalent of the term in English. Maybe "Tante X"
    use
    d that slur since she thought the way Tante A walked resembled the unnatural way of walking of a boy
    who'd just undergone the circumcision process. However, I had another opinion. Since Tante A is a woman,

    she certainly has no phallus. The way she walked wasn't because she'd just undergone a circumcision but
    because she'd just climbed a tree full of weaver ants (or caterpillars) and some had accidentally sneaked
    into her clothes, creeping wildly through her body. My utterances had Irma and the others laughing a lot. I
    shushed those lasses since "Mr. Regimental Commander and Mrs. Comandanta" were still with us.



    How did "Sensei Stevie" react when he found out that "Delilah, the Coquettish Cougar" was also at

    that place? Despite his "bizarre proclivity" for older and mature women (if I can call it a "bizarre proclivity"),
    he took a firm stand by canceling his willingness to see the movie with "Mr. Regimental Commander and

    Mrs. Comandanta." It was as if "Delilah" had become the "bane of his existence," though she previously
    might've been the "object of all his desires." (Puuiiihhh!) He strongly believed he should not be in that place.
    However, "Sensei Stevie" allowed Mbak Vies, Mbak Lilian, and the "Praetorian Guard" to join the two.


    What'd you've done if you'd been in their position at the time when "he a
    llowed you all to leave him"?

    What's very interesting is that all of them, without any compulsion, chose to remain loyal to their "big

    boss" instead of seeing the movie at the cinema. They have stood for "Sensei Stevie" for years, and they
    will always do so. On the other hand, they all know they can invariably rely on his "unwavering loyalty and

    support." In the end, "Mr. Regimental Commander and Mrs. Comandanta" decided to quit their intention to
    see the movie since they were utterly impressed by the firmness of "Sensei Stevie"—who'd never involve

    himself with any married women—and also by the uncontrived and fervent solidarity amongst them.

    [​IMG]
    If I'd been there at that moment, I would've encouraged "Sensei Stevie" like he's often encouraged
    me for many years: Lass den Kopf nicht hängen! Lassen Sie zurück, was Sie verlassen sollten."
    Then I might've added: „Sie hat nur Interesse an deinem Geld." Yet he migh
    t've disproved the charge and
    wo
    uld've given "logical reasons" why it was "untrue." Afterward, he might've advised me not to calumniate
    and defame the "Coque
    ttish Cougar." I would've been stunned and rolled my eyes in vexation. Well, then I
    wo
    uld've better uttered the words my people in Makati often say: "Ang lahat ng nangyayari sa mundo ay
    may dahilan. Laban lang! Lahat ng sumusuko ay hindi mananalo!" But since "Sensei Ste
    vie" is not a Filipino,
    he must not grasp it. I would've better used another approach by showing h
    im two videos. I would've said,
    "I've been practicing hard for months, and I've since been quite good at dancing like they do.
    " He
    might
    've thought I would plan to perform that sexually exciting dance before his very eyes, so he would've
    hurriedly nixe
    d it. But I would've told him, "My spouse is the only man who could enjoy my dancing, dear."
    Just as even I've been able to imitate passionate moans in this song w
    ildly, my spouse is the only man
    who cou
    ld hear them. Since "that strapping, good-looking lad has not been my spouse yet," he has had no
    rights. But "he has every right to amaze Miss Renata" by performing this song (and also this 1990s
    song
    ), which I am pretty sure "only a few Indonesians are familiar w
    ith and could perform properly."



    Mbak Suci once recounted in her diary thread that one evenin
    g, Mbak Vies, "Sensei Stevie," and I
    decided to eat at a little sukiyaki eatery on Jl. Purwodadi, Menteng. We, however, eventually had to
    give up our intention since I unexpectedly saw a man also heading to the place. A man who was my fellow
    student when I pursued my master's degree program and later brazenly determined to propose to me. At

    first, there was tension between us because "Sensei Stevie" still insisted on eating sukiyaki there. He told us
    he wanted to sate his hunger. On the other hand, the situation at the time made Mbak Vies and me a little
    nervous that "Sensei Stevie" might do "something unexpected" to the man who had proposed to me... We
    were bo
    th worried, as if we'd known that "something could be wrong" with the behavior of "Sensei Stevie"
    in insisting on eating at the place. He cou
    ld've talked to that man, and that man could've taken his remarks
    amiss. If the altercation between them had started and the situation had escalated—or someone had even
    gone ballistic—there could've been an uncontrollable fistfight or such a brutal brawl that would've grievously

    ravaged the place. With his hand-to-hand combat skills, "Sensei Stevie" is a "deadly weapon." What if
    he'd severely beaten up the man he might consider a potential rival in getting me as his future lovely wife?

    Although machismo society may view such things as "pretty acceptable and understandable," they could've
    precipitated a series of retaliatory violence or, even worse, criminal law cases. Some would've blamed me if

    that'd happened, since I was the one who asked "Sensei Stevie" and Mbak Vies to eat at that little sukiyaki
    eatery, and I was undoubtedly the woman who was the source of the conflict between the two men.

    Mbak Vies then tried to offer a solution. Why didn't we all return to our "military" base in southern
    Jakarta? "Sensei Stevie" could sate his hunger by eating a dozen skewers of mouthwatering Sate Padang
    w
    ith "pieces of ketupat and savory cowhide crackers" at a place that is quite famous and considered
    one of the best throughout Jakarta
    . Or, we cou
    ld eat here. Or here. If it'd been still daytime, we all
    could've eaten in this place (which is only open until late afternoon). He then responded as if he'd wanted
    to dispel our fears tha
    t he would've perpetrated any "unforeseeable acts" against the man who'd proposed
    to me
    by saying, "Girls. You two are the Kawanuans. As far as I know, the people who own and manage
    the place [pointing towards that sukiyaki eatery] are also the Minahasans or Kawanuans. A man like me will
    never ruin your families' good names under the nose of anyone else." He reasoned that even if he could've
    talked to the man who'd once proposed to me (but I firmly rejected it), he would've encouraged him. Later,
    we bot
    h discerned that he wasn't serious about his utterance. Mbak Vies burst into laughter after he'd said
    something satirical to me. He is a man who can always make girls and women laugh with real finesse.



    Mungkin, akan ada aja orang yang mencemooh sikap tegas si Makhluk Handsome Bloody Handsome
    yang menghindari sepenuhnya Tante A yang kini berstatus binor: "Ah, lebay banget... Biasa aja keuleus..."
    Hey, tau nggak kalian, ketegasannya bersikap secara "hitam-putih" semacam itu, mendapatkan respek dan
    rasa salut luar biasa dari banyak orang. Kalau Tante A udah jadi binor, ya udah, tenggelamkan... heiisyah...
    maksudku, tinggalkan! Tiada gunanya lagi "ikut memikirkan", bersimpati, mau membantu, atau apa pun itu.
    Ya, iyalah, hay! Dalam banyak hal, sok menolong bini orang itu justru bisa dianggap sebagai "blunder fatal",
    berisiko disalahtafsirkan, dan ujung-ujungnya, akan mendapat hujatan sebagai "pahlawan kesiangan".

    Andaipun, mau nggak mau terpaksa mesti menolong si binor, ya, sekadar untuk hal-hal normatif atau
    gawat darurat—menyangkut "hidup atau mati". Misalnya, ada pasutri jalan berdua. Tiba-tiba, diganggu oleh
    para penjahat. Si laki ternyata nggak punya hand-to-hand combat skills, yang bisa ia gunakan secara efektif
    untuk menghajar mereka dan melindungi si bini. Saat si laki coba-coba melawan para penjahat, eh, ia malah
    babak belur hingga semaput karena dihajar mereka secara brutal. Nah, apabila,
    Qadarullah, "Sensei Stevie"
    melewati tempat tersebut dan melihat momen itu, barulah dia boleh, atau bahkan wajib membantu si binor.

    Karena dia punya hand-to-hand combat skills nan mumpuni, Bi-idznillah, dia akan menghajar mereka.

    [​IMG]
    Itu pun jangan langsung main hajar aja. Mest
    i ada "adegan tindak kekerasan mereka" yang direkam
    atau
    divideokan sebagai alat bukti. Bisa aja, 'kan, si binor itu malah 'ngomong bahwa "Sensei Stevie" adalah
    termasuk dari para penjahat tersebut? Ketika para penjahat itu udah klenger semua, yah, dia mesti selekas
    mungkin menghubungi pihak kepolisian supaya "aksi heroik" itu tidak dicurigai sebagai aksi setting-an, seperti
    aksi heroik setting-an Om Kasino di film Saya Suka Kamu Punya. (Amati mulai menit 15:45).

    Pernyataanku di atas itu bukanlah khayalan di siang bolong atau imajinasi kosong melompong, lah ya!
    Qadarullah, Irma pernah mengalami aksi heroik "Sensei Stevie", saat Makhluk Handsome Bloody Handsome

    itu berhasil menghalau pergi seorang bandot bulukan yang tak punya malu dan tak tau diri menggoda Irma.
    Bu Retno "Bellucci" pun telah berkali-kali "dibentengi" si Masé (sebutan sayang beliau untuk "Sensei Stevie"),
    dari gangguan tidak senonoh oleh oknum-oknum yang matanya jelalatan seketika saat melihat beliau.

    "Lah, situ sendiri? Pernah mengalami aksi heroiknya, nggak?" Kaubaca postingan-ku ini dari awal, yah!




    Ada hal menarik terkait konsistensi "Sensei Stevie" di dalam bersikap tegas menghindari para binor itu.

    Sebagaimana kalian yang mendoakan dan turut bersimpati pada rakyat Palestina, kami pun demikian.
    Elias menceritakan, saat dia, "Sensei Stevie", dan beberapa orang akan melaksanakan Shalat Ghaib (Shalat

    Jenazah untuk para korban yang wafat di Gaza, Palestina), banyak sekali para "komandan lapangan" serta
    "anak buah" mereka yang ikut shalat, meski tanpa diperintahkan. Begitu pula sewaktu penggalangan donasi
    (untuk saudara-saudari kita, wabil khusus anak-anak tak berdosa di sana). Mereka pun tak mau ketinggalan
    menyumbang sesuai kemampuan masing-masing. Nah, salah satu hal yang menjadikan mereka semua itu

    ikut serta, ya karena sedari dulu dan sampai sejauh ini, rekam jejak "Sensei Stevie", Elias, dan para leaders
    itu masih terpelihara dengan baik. Penyaluran donasinya bisa dilihat secara terang benderang oleh siapa pun
    (dan sejauh ini, tak pernah terjadi penyelewengan dana). Para leaders itu nggak cuma selalu melaksanakan
    ibadah dalam bentuk ritual, tetapi juga selalu punya kepedulian sosial, dan tidak mengabaikan nilai-nilai moral
    yang fundamental. Bukan berarti mereka seolah dengan sombong menyatakan: "We are holier than thou."
    "Sensei Stevie" dan yang lainnya itu sangat menyadari ihwal pentingnya prinsip "leading by example".


    Respek yang sebenar-benarnya ("genuine respect") dari para "anak buah" hanya akan didapat kalau

    para leaders itu selalu bisa dipegang omongannya, senantiasa terjaga rekam jejaknya, dan juga berpegang
    pada moralitas (atau sistem nilai fundamental yang berlaku). Jika Makhluk Handsome Bloody Handsome itu
    diketahui tetap berdekat-dekat dengan binor, mustahil dia bisa mendapat respek dari para "anak buah"-nya.
    Meski ada yang bilang "lebay", ketegasannya menjauhi Tante A terbukti sangat diapresiasi di slagorde kami.
    Dia punya batasan yang nggak akan dia langgar. Dia adalah laki-laki heteroseksual 100%. Secara manusiawi
    (atau secara naluriah), lumrah b
    ila "kelelakiannya tergetar" pada para perempuan cantik-seksi, kendati yang
    menyandang status "bini orang" sekalipun. Wajar pula apabila dia membincangkan hal tersebut. Toh, hanya
    sebatas itu. Tak ada hal apa pun yang bisa ia jadikan justifikasi untuk "berdekat-dekat dengan binor". Sama
    saja dengan kita, perempuan. Tiada pembenaran apa pun untuk "berdekat-dekat dengan laki orang".

    Sungguhpun demikian, berdasarkan perkataan Elias dan Marius, selalu ada aja aset intelijen dan agen
    lapangan yang memasok info valid A1 perihal Tante A pada "Sensei Stevie". Artinya, biarpun "Sensei Stevie"
    udah takkan sudi lagi mengamati si Tante, dia tetap aja bisa mengetahui pergerakan si Tante. Baik sewaktu
    Tante A sedang berkeliaran di berbagai tempat di dalam negeri, maupun tatkala Tante A keluyuran di negeri
    jaran... heeisyaah... maksudku, negeri jiran. Selalu ada yang menyuplai info perihal "di mana, dengan siapa
    aja, dan berperilaku seperti apa". Yang lucu, kata Marius, kendati postur serta penampilan Tante A itu, bisa

    kita bilang, "pasaran bangets", tetap aja mudah terdeteksi. Mau 'nyamar bagaimanapun takkan bisa. Di sisi
    lain, postur tubuh dan penampilan "Sensei Stevie" jelas sangat berbeda dengan rata-rata orang Melayu dan
    Asia. Ya, iyalah, hay! An attractive half-Caucasian man! Ajaibnya, dia malah nggak mudah terdeteksi.

    Toh, seluruh info valid A1 tersebut tak akan sudi ditindaklanjuti. Seolah dia abaikan, berlalu begitu aja.




    [​IMG]
    Dalam beberapa hari terakhir ini, aku sering bercakap dengan Bude Vini. Aku ikut pula merasa senang
    melihat semangat dan gairah hidup beliau kini seakan "meningkat ribuan kali lipat" karena beliau bisa kembali
    bersama dengan putra tercinta. Aku udah pernah yah, sekelumit bercerita perihal Bude Vini, yang selalu aja
    didekati oleh para oknum pilot, pramugara, ataupun orang-orang yang pernah bersinggungan dengan beliau
    semasa beliau masih menjadi pramugari pesawat. Aku dan banyak perempuan lainnya acap terinspirasi tiap

    kali kami melihat para perempuan usia 40-an seperti: Bu Retno "Bellucci", Bude Vini, Bu Ina, si Aunty (yang
    udah nggak boleh lagi aku sebut sebagai "Aunty Nis-Syi", karena bisa disalahtafsirkan), dan "Sang Ratu Ayu
    Kayangan" (dengan sangat terpaksa, aku mesti menuliskannya pula). Meski berusia 40-an, penampilan dan
    pesona wajah serta tubuh mereka masih sangat terpelihara dengan baik. Alamiah pula, tidak pakai suntikan

    Botox, nggak pakai prosedur "tanam benang atau tarik benang", nggak pakai "prosedur artifisial". Dulu, aku
    pernah berprasangka, si Aunty alisnya disulam. Ternyata, sama sekali tidak. Ya, dapat kukatakan: "Cantik
    Asli", bukan "Cantik Imitasi"
    . Mereka semua pun amat sangat serius di dalam latihan jasmani sehingga
    pesona natural dan keindahan tubuh mereka masing-masing masih sangat terlihat meski udah 40-an.



    Bude Vini menceritakan awal mula si Masé (beliau ikut menggunakan panggilan sayang dari Bu Retno

    "Bellucci" untuk "Sensei Stevie") menuntaskan permasalahan "keterpisahan Bude Vini dengan putranya" itu.
    Alkisah, ada seorang oknum pilot yang sangat kesengsem dan berhasrat pada Bude Vini. Dia sampai berani
    sesumbar bisa memberi nafkah Rp60 juta/bulan, rumah pribadi (yang SHM-nya bahkan akan dialihnamakan
    atas nama Bude Vini), serta menyewa seorang pengacara top untuk menangani kasus be
    liau dan putranya
    (yang tentunya, pengacara itu akan meminta bayaran ratusan juta). Toh, Bude Vini menolak dengan tegas
    karena sang oknum pilot tersebut udah punya istri dan anak, sehingga Bude Vini hanya akan berstatus "bini
    gelap atau istri simpanan". Oknum laknat itu berdalih, "rumah tangganya udah dingin", tetapi dia nggak bisa
    menceraikan istrinya karena "akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak-anak mereka". Ah, itu 'kan, dia
    yang 'ngomong! Para oknum suami yang tega mengkhianati anak-bini, akan mencoba mencari pembenaran
    atau berbagai alasan A-Z, 'ngomong wasweswosfafifu, demi membungkus perilaku bazingan mereka.


    Beliau sangat meyakini, poligami yang zalim pasti akan berujung pada nasib buruk dan kesengsaraan.
    Mau dibikin seromantis apa pun, zalim tetaplah zalim. Suatu saat, si oknum suami bisa aja akan sakit keras,
    terpuruk secara finansial dan ekonomi, atau terbelit berbagai musibah. Kalau udah 'gitu, baru deh, dia akan

    menyesal luar biasa, karena udah tega mengkhianati istri dan anak-anaknya. Dalam keterpurukan, dia pasti
    akan memaki si istri gelap sebagai pembawa sial atau sumber bencana. Atau kemungkinan lain: si istri gelap
    yang justru sakit keras atau tertimpa berbagai kesengsaraan. Kalau udah 'gitu, mana mau si oknum suami
    bertahan bersamanya? Mending 'nyari yang baru. Orang-orang tak akan menganggap si istri gelap sebagai
    korban, melainkan sebagai pihak yang telah ikut berkolaborasi dalam poligami zalim secara diam-diam.




    Sedikit intermeso. Salah satu hobi unik "Sensei Stevie" adalah mengoleksi t-shirts/longsleeves/raglans/
    jerseys dar
    i klub-klub bola basket serta sepak bola/hoodies/jaket. Impor + orisinal. Ada pula artefak-artefak
    terlarang, yang terpaksa disimpan oleh Bu Retno. Apa itu? Jerseys voli, basket, dan sepak bola bekas pakai
    yang "dihibahkan" oleh beberapa oknum ratu ilmu hitam... heiiiiissh... maksudku, para pevoli, pebasket, dan
    pesepakbola wanita di berbagai daerah di Indonesia dan juga di beberapa negara. Orisinal, udah "dilegalisir",
    atau ditandatangan
    i langsung oleh cewek-cewek tersebut. Meski makhluk itu nggak pernah meminta, malah
    cewek-cewek itu yang seakan resah dan gelisah, jika tidak memberikan suvenir padanya. Kampret bangets!
    Toh, komandan "
    divisi provost" menegaskan bahwa menyimpan "benda-benda terkutuk" seperti itu berisiko
    "disalahpahami orang lain". Yah, akhirnya, semua itu
    disimpan di kediaman Bu Retno—di cluster perumahan
    di samping guest house. Nah, untuk artefak-artefak tak berbahaya, sebagian kec
    ilnya, sengaja dipamerkan
    di studio musik dan rekaman m
    iliknya (udah kukisahkan pada postingan-ku yang lalu). Ada satu t-shirt yang
    menarik perhatianku oleh sebab tulisan di t-shirt impor itu: "A people that elect corrupt politicians, imposters,

    thieves and traitors are not victims.. but accomplices." Atau: "Orang-orang yang memilih para politisi korup,
    para oknum yang bertopeng pencitraan palsu/dicitrakan sebagai 'orang baik'—padahal jahat luar biasa, para
    maling dan pengkhianat rakyat, maka nantinya, jika mereka mendapat kesengsaraan yang disebabkan oleh
    pilihan salah mereka, yah, para pemilih bodoh itu pun tidak bisa disebut 'korban', tetapi 'kaki tangan'."


    [​IMG]

    Balik lagi ke cerita Bude Vini. Kalau beliau sampai dengan bodohnya mau menerima tawaran si oknum
    pilot laknat tersebut untuk menjadi istri gelap, ya, beliau bisa dibilang "telah ikut berkolaborasi dalam poligami
    zalim/poligami yang d
    ilakukan secara sembunyi-sembunyi". Jika pada saatnya nanti beliau tertimpa musibah
    akibat poligami zalim dengan oknum pilot laknat itu, ya beliau tak bisa menyebut diri sebagai "korban".



    Toh, boleh jadi karena Bude Vini memang cantik dan seksi bangets (jikalau diungkapkan dengan idiom
    masa kini: "nggak ada obatnya"—yang maknanya, akan bikin pria menggelepar-gelepar dan megap-megap,
    hingga akan susaaaaah bangets melupakan beliau), si oknum pilot laknat itu pun masih nekat 'nguber.

    Bude Vini tetap tak sudi. Harga diri beliau sangat tinggi. Bude Vini bukan seorang wanita "gold digger",
    bukan perempuan materialistis yang dengan hinanya menyerahkan diri pada si pria asal si pria bisa menjejali
    duit dan harta untuknya. Oleh sebab oknum pilot laknat itu kian lama kian tak tau diri, dan kian menjadi-jadi,
    ya, "Sensei Stevie" pun langsung mengambil tindakan tegas, demi melindungi sang "Mamak Psikologis"-nya.
    Bukan dengan tindakan reaktif seperti yang dilakukan Santino Corleone, yah! "Sensei Stevie" bukan tipe pria

    yang bengak dan lolo, cepat panas tapi bodoh. Meski si oknum pilot laknat sok-sokan petantang-petenteng,
    sok banyak duit, atau beranggapan "perempuan mana pun akan bisa dia dapatkan", toh, pada hakikatnya,
    dia itu ya, tetap aja "seorang pekerja" atau lebih lugas lagi, "seorang buruh". Betapa pun "menterengnya",
    di dalam konteks "perburuhan" dia tetap "seorang buruh yang bekerja pada majikan". Nah, "Sensei Stevie"
    levelnya adalah level majikan atau seseorang yang mempekerjakan ribuan pegawai. Meski mungkin kau tak
    percaya, toh, nggak akan sedikit pun mengubah fakta tersebut. "Sensei Stevie" membicarakan masalah itu

    dengan salah satu pihak VVIP, majikan si oknum pilot laknat yang udah mengusik Bude Vini. Entah 'gimana
    prosesnya, yang jelas, oknum pilot laknat itu lantas ciut nyali, tak pernah berani lagi mendekati beliau.



    [​IMG]
    Ada "a blessing in disguise" dari peristiwa itu. "Sensei Stevie" pun jadi mengetahui permasalahan pelik

    perihal "keterpisahan Bude Vini dengan putranya" (yang sebelumnya, memang tidak pernah beliau ceritakan
    pada si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu). Dia pun menawarkan bantuan—apabila beliau berkenan.

    Semula, Bude Vini merasa sangat skeptis. Terlebih lagi, "Sensei Stevie" mengatakan, persoalan itu lebih baik
    diselesaikan dengan jalan negosiasi sehingga bisa didapatkan "a win-win situation", alih-alih lewat jalur hukum
    sebagaimana yang selama ini selalu dibayangkan Bude Vini. Ya, karena jika posisi beliau "lemah", beliau pun
    pasti akan kalah di pengadilan. Mau memakai jasa 1000 pengacara ternama pun tidak akan menang.

    Saat Bude Vini "tak tahu apa-apa lagi", beliau dinasihati Bu Retno "Bellucci". Kata Bu Retno, meski
    solusi yang ditawarkan si Masé itu ibaratnya masih terdengar seperti "membeli kucing dalam karung" (dalam
    arti, belum bisa dipastikan keberhas
    ilannya), tetap jauh lebih baik ketimbang "aksi para kucing garong" yang
    selama ini Bude Vini alami dari para oknum pramugara dan pilot yang meski udah punya anak-bini masih aja

    mengejar-ngejar beliau. Mereka semua hanya bisa menyogok dengan hadiah ini dan itu atau bermanis kata
    yang berbunga-bunga tanpa pernah bisa menghadirkan solusi nyata yang akan menghilangkan derita.

    Bude Vini mengakui hal itu. Mereka hanya sanggup menunjukkan kualitas diri sebagai sang "Pangeran
    Kodok", yang dari waktu ke waktu, cuma merangkai kata manis yang malah terdengar sangat memuakkan

    atau hanya menghibur dengan perkataan "sobar-sabar-sobar-sabar", "Nanti ketika anak itu udah besar, dia
    juga akan mencari ibunya", "Kamu tak sendirian, ada buanyak yang senasib dengan kamu", dll, dsb. Udah.
    'Gitu aja. Kalau Bude Vini meminta saran solusi nyata, yah, mereka cuma bisa plonga-plongo, tak tau mesti
    'ngomong apa. Atau saat ada yang sok menawarkan solusi nyata, diiringi pamrih-pamrih yang bikin muntah.
    Dengan kurang ajar dan tak berperasaan, si oknum mengatakan, "Udahlah. Kalau Mama mau 'nikah sama

    ayah, ayah janji deh, nanti Mama akan ayah kasih anak yang baru..." Jahanam bangets, 'kan?! Dia berpikir
    Bude Vini akan sebegitu gampangnya melupakan putra tercinta hanya karena "ada anak yang baru"!

    Lagi pula, takkan mungkin beliau memercayai janji seseorang yang telah tega mengkhianati anak-bini!



    Dengan Izin dan Ridha Allah SWT, Sang Maha Kuasa, Bi-idznillah, "Sensei Stevie" (didukung sejumlah

    pihak berkompeten) sanggup menghadirkan "a win-win situation", terkait persoalan rumit Bude Vini tersebut.
    Berhubung persoalannya sangat sensitif (dan agar aku tidak "merusak" hasil kerja "Sensei Stevie"), aku tak
    akan menceritakan detailnya. Yang jelas, Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, sang ibu dan putra tunggalnyayang

    sempat terpisah (atau dipisahkan) selama beberapa tahun itu—kini telah kembali berkumpul bersama.

    Momen tak terlupakan bagi Bude Vini adalah: sewaktu beliau menantikan kedatangan putra tercinta di
    bandara. Begitu beliau melihat si Masé berjalan sembari menggandeng sang Adék Kec
    il kita itu (yang diiringi
    pula rombongan "unit paramiliter elite" si Masé), ya Bude Vini pun langsung menangis sejadi-jadinya. Antara
    merasa legaaaa bangets, terharu luar biasa, senang, bahagia, dan bersyukur pula kepada Allah SWT.

    Toh, dalam "situasi nan penuh air mata haru" seperti itu, sang Makhluk Handsome Bloody Handsome
    tetap tidak kehilangan naluri kegilaan dan sense of humor-nya (yang absurd!). Dalam perjalanan pulang dari
    bandara menuju ke "markas besar", dia sengaja memutar sejumlah lagu, yang bikin Bude Vini kian terharu.
    Antara lain, lagu ini dan lagu ini. Bude Vini terus menangis bersama sang putra, yang ikut pula menangis

    (seakan bisa merasakan luapan rindu dari Mama tercinta). Eh, ketika lampu lalu lintas sedang merah, entah
    'gimana prosesnya, tau-tau pengemudi telah berganti. Si Masé secara diam-diam digantikan Yuvi. Pas Bude
    Vini bertanya sesuatu... lah, yang menjawab kenapa malah Yu
    vi?! Kata Yuvi, momen saat itu lucu bangets
    sampai dia tertawa tanpa henti. Si Masé udah berganti mobil, "pergi ke tempat lain secara misterius".




    Salah satu hal yang luar biasa kukagumi dari "ikatan persaudaraan dan kekerabatan di keluarga besar
    sang Makhluk Handsome Bloody Handsome itu" adalah terdapatnya "budaya saling menginspirasi" di antara
    mereka semua. Alih-alih "bersaing sengit" dan "saling jor-joran secara menjijikkan", mereka justru selalu aja

    "saling mendukung satu sama lain di dalam kebaikan". Beberapa hari lalu, Mbak Ayi dan putrinya, Bude Vini
    dan putranya, aku dan kedua putriku: Ajeng dan Dina (heeiiiiissshhh... pemalsuan nasab itu namanya, ya!),
    menyambangi griya nan luas, sejuk, nyaman, dan asri kediaman keluarga Mbak Suci (yang hanya berjarak

    beberapa langkah kaki dari area guest house). Si kembar (kedua putra Mbak Suci dan suaminya) kini makin
    terlihat ganteng bangets. Saban kali aku memperhatikan si kembar—yang berparas Kaukasian nan rupawan
    itu—aku selalu berkata dalam hati, "Insya Allah, aku pun sebenarnya bisa punya anak-anak seperti ini kalau

    aja, 'Sensei Stevie' dan aku..." Sayangnya, perempuan nan berhasrat bersanding dengan sang makhluk itu
    bukan cuma aku. Toh, setidaknya, pada saat ini, sudah tiada lagi ruang dalam dirinya untuk Tante A.

    "Lah, katanya si Stevie itu cuma akan membantu menyelesaikan permasalahan Tante A, takkan sudi
    bila terlibat hubungan asmara dengan si Tante?" 'Gini, yah. Aku amat sangat yakin pada konsistensi ucapan

    "Sensei Stevie". Persoalannya terletak pada sang Nyi Blorong itu. Bisa aja 'kan, ia pakai jurus ngesot-ngesot
    sambil mewek, "Jangan tinggalkan Dédék. Dédék butuh Kak Stevie..." Biar 'gimana juga, aku ini perempuan
    dengan insting kuat yang sering kali terbukti di kemudian hari. Apalagi... aah, siapa pula ini yang menelepon!
    Ya, halo?! "Kauhina diriku... aku diam..." Bloody hell! Bisa-bisanya Tante Bluwex tau nomor teleponku!


    Nggak, deng. Itu hanya imajinasiku. Toh, aku berharap si Tante akan baik-baik aja. Ya soalnya, 'kan,

    dia udah memilih rute perjalanan kehidupan yang ibaratnya "one-way ticket". Betapa pun nantinya mungkin
    akan terjadi hal-hal yang nggak menyenangkan,
    dia akan sangat kesulitan untuk mencari jalan keluar.




    Kedua putra kembar Mbak Suci dan suaminya itu kini memiliki kesenangan baru: "kemping di halaman
    belakang griya mereka" (yang memang luas bangets). Ada momen yang bikin aku terharu. Putra Bude Vini
    terlihat sangat antusias dengan tenda kemping besar tersebut. Oleh karena usianya tak terpaut terlalu jauh

    dengan si kembar (berbeda dengan putri Mbak Ayi yang menjelang masuk SMP), si kembar pun mengajak
    putra Bude Vini, ikut masuk ke dalam "properti mereka". Sedari awal, si kembar memang dikondisikan untuk
    berbahasa Inggris terlebih dulu—sebelum nantinya belajar berbahasa Indonesia. Jadi, pas mereka bercakap
    dengan putra Bude Vini, mereka melakukannya di dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah, putra Bude Vini bisa

    pula merespons sepenuhnya dengan Bahasa Inggris—karena dia disekolahkan di sekolah yang berkurikulum
    Cambridge. Belakangan, putri Mbak Ayi pun ikut nimbrung bersama mereka. Alhamdulillah, dia pun sanggup
    berkomunikasi secara lancar menggunakan Bahasa Inggris. Bude Vini dan Mbak Ayi terlihat bahagia dengan
    keharmonisan di antara anak-anak itu, yang tidak artifisial dan nggak dibuat-buat. Ketika Bude Vini bertanya
    pada putra tunggalnya apakah dia mau dibelikan tenda kemping seperti itu, sang putra hanya memandangi
    beliau dengan sinar mata berbinar-binar sambil menyeringai lucu, meski tidak menganggukkan kepala.


    Hal itulah yang bikin aku terharu. Putra Bude Vini terlihat berminat, tetapi tak mau merepotkan beliau.

    Si Masé kuceritakan periha
    l momen tersebut. Selanjutnya—tanpa mesti bertele-tele—sat-set-sat-set,
    dia segera berkoordinasi dengan komandan "batalyon perbekalan" slagorde kami dan mengurus pengadaan

    tenda-tenda kemping model baru tersebut. Ada lahan kosong luas (dalam artian: "belum didirikan bangunan
    apa pun di situ"), ditumbuhi belasan pepohonan besar, yang menghadirkan suasana asri, sejuk, dan sangat
    layak dijadikan lokasi kemping bagi anak-anak di komunitas guest house. Mama mereka masing-masing pun
    boleh ikut serta sambil pula mengawasi. Yang pasti, tenda anak laki dan anak perempuan dipisah, ya!


    Lahan tersebut mengantarai atau menjadi lahan yang menyekat guest house dan kediaman si Masé.




    Aktivitas kemping itu menggugah pula minat kami—cewek-cewek yang masih lajang dan belum punya
    anak. Apalagi setelah kami melihat video-video di YouTube. Berkemah dengan "tenda kemping model baru"

    di lahan yang hijau penuh pepohonan nan rindang pada saat hujan deras. Keliatannya asyik bangets, yah?!
    Eh, "Sensei Stevie" merespons secara singkat tetapi menjengkelkan: "Tidak, Sayang! Tidak!" Ajeng sempat
    memprotes karena area berkemah untuk kami 'kan, masih ada. Toh, si Masé seolah tak tergoyahkan. Aku

    tak berkomentar. Tetapi... bukan berarti aku tak punya siasat. Sore harinya, aku menghubungi pihak ranch
    milik keluarganya. Memesan ikan sogili segar, daun woka (daun palem hutan—orang Sulawesi pasti tau lah),
    dan sejumlah karkas burung dara—tanpa kaki dan kepala. Selepas Shalat Shubuh, pesananku pun tiba. Aku
    bergegas mengolah semua itu. Memasak sajian hardcore (karena cuma segelintir perempuan aja yang bisa
    memasaknya): ikan sogili woku daun dan juga burung dara goreng mentega khas Oriental. Berhubung akhir
    pekan, aku langsung menyajikan hasi
    l masakanku kepadanya. Dia tidak memujiku. "Tidak, Sayang! Tidak!"
    Bagaimanapun, aku merasa bangga karena dia terlihat lap-lep-lap-lep, menyasau semua yang kumasak itu.
    Mendingan begitu, 'kan?! Daripada para suami yang pura-pura memuji masakan istri setinggi langit, tetapi...

    di dalam hati kecil, mereka mengatakan masakan bini mereka nggak enak bangets. Alhamdulillah, diplomasi
    kuliner yang kulakukan itu membawa hasil positif. Ya, oleh karena dia amat sangat menyanjung perempuan

    yang terampil memasak ("sebenar-benarnya memasak"), dia terlihat terkesima dengan hasil kerjaku.

    [​IMG]
    Alhamdulillah. Dia bersedia mengakomodasi niat kami—para gadis belia—untuk berkema
    h di lahan itu.



    Semoga Allah SWT segera menggantikan "hal-hal yang menyedihkan dan yang tidak menyenangkan"
    yang tengah dialami hamba-hamba-Nya ("di mana pun itu, dalam bentuk apa pun itu") dengan hal-hal baik

    apa pun itu, yang akan bisa kita syukuri. Semoga pula Dia menjagamu. Menjaga kita semua. Aamiin.


     
    • Like Like x 4
    • Thanks Thanks x 3
    Last edited: Mar 24, 2024
  16. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Unggahan ini akan bisa terlihat rapi jikalau kalian baca memakai PC/laptop dan browser Mozilla Firefox.
    Bilamana cuma terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] tersebut dan klik reload image.



    [​IMG]
    As I mentione
    d in my previous post, I have "triumphantly" melted "Sensei" Stevie's heart with such
    c
    ulinary diplomacy by cooking the mouthwatering deep-fried squabs in butter sauce and sogili woku daun,
    two excee
    dingly delectable dishes that—I must proudly say—"only a few girls or women can cook." The
    Eng
    lish equivalent of "sogili" is "eel" or, to be precise, "giant mottled eel" (Anguilla marmorata), and "woku"
    refers to a typical Minahasan spice that the Minahasan people commonly use for cooking dishes made from
    meat, poultry, or fish. The Minahasans have trad
    itionally known two specific cooking techniques. The first is
    "woku daun," w
    hich means "cooking meat, fish, or poultry with 'woku' and wrapping them in leaves"—the
    frequen
    tly used ones are "daun woka" or "palm leaves." Yet, if those palm leaves are hard to find, we can
    always subst
    itute them with fresh banana leaves. Another "woku" cooking technique in Minahasan cuisine is
    "woku belanga," wh
    ich means "cooking with 'woku' spices in a 'belanga' or cooking pot." Uh. I almost forgot
    about another well-known cooking technique: "masak buluh," or cooking in a bamboo tube. We can also use
    this technique to cook "sogili woku." Of course, we have to name the dish sogili woku bambu. For us city
    folk, "woku belanga" (cook
    ing using "woku" spices in a cooking pot) seems to be the only affordable option
    whenever we wan
    t to cook the Minahasan "woku" dishes in our "conventional home kitchen" (since only a
    handful of people like "Sensei Stevie" and all his extended family are lucky enough to possess many large
    and spacious prope
    rties that make it possible to cook outdoors). The late Indonesian journalist and culinary
    enthusiast Bondan Winarno once wrote about the sogili woku daun, wh
    ich he praised as "exceptionally
    delicious." He was, however, a little mistaken when he stated that the "woka" leaves are such "forest fern
    leaves." The English equivalent of "daun woka" is "footstool palm leaves." In some regions of Indonesia,
    footstool palm (Livistona altissima or Livistona rotundifolia) is called "palem serdang." I th
    ink one of the main
    reasons w
    hy the Minahasans (or Sulawesi people) often use dried "daun woka" or footstool palm leaves to
    wrap food is because the trees of footstool palm thrive throughout the Sulawesi forests. One of the most

    popular dishes using "woka" leaves as wrappers is Nasi Kuning Manado (Manadonese yellow rice).

    However, instead of calling it "yellow rice" in English, my Mama prefers to call it "turmeric rice" (since

    the yellow color of the dish comes from the use of turmeric). This yellow rice wrapped in "woka" leaves is a
    perfect example of food acculturation. Yellow rice (or turmeric rice) is a popular traditional rice dish in Java.
    Since the people who manage the food vendor wanted the Javanese yellow rice to suit the Sulawesi people's
    tastes, they must've decided to make "some adjustments." As a result, we know that in Manadonese

    yellow rice, the delectable side dishes used are a hard-boiled egg (rather than a few sliced omelets), small
    chunks of curried beef, shredded cakalang or skipjack tuna (rather than kering tempe—or sweet and savory
    deep-fried sliced tempe that we commonly find in Javanese yellow rice), a sprinkle of fried shallots, and hot

    sambal, served on "woka" leaves. As a native Minahasan man, my father said the Manadonese yellow rice
    is a "vastly clever fusion of two cultures." In my Mama's old country, the Philippines, the "woka" is called
    "Anahaw." Many Filipinos even consider the "Anahaw" leaf the national leaf of the Philippines and a symbol
    of resourcefulness for them. Besides using the "Anahaw" leaves for wrapping food, Filipinos usually utilize
    them for thatching, making hats, fans, and other household items. One of the well-liked Filipino cakes that
    "Sensei Stevie" and I tasted when we were pretending to be on our honeymoonI mean, when we were
    "broadening our horizons and making some new friends by exploring several regions in the Philippines"—was
    the sticky rice cake wrapped in dried "Anahaw" leaves, ak
    in to two traditional sticky rice cakes from
    Sulawesi: Dodol Amurang (also known as Dodol Kenari) and Dodol Gorontalo. Interestingly enough, in

    some regions of the Philippines, dodol is also referred to as "dodol" (and its variants "dudol" or "dudul"). If I
    may be as brutally honest as possible, I can never take more than one bite of any variant of dodol.



    [​IMG]
    It doesn't mean that I am a "picky eater with sophisticated tastes" or a "conceited woman who only

    fancies such expensive foreign victuals" and, on the other hand, will rigidly refuse to consume any "working
    class foodies," "proletariat dishes," or "ordinary people's meals and drinks." It's just that I tend not to eat
    any foods or imbibe any drinks with a "high sweet content." However, just because Dodol Gorontalo is not
    "something I can take more than one
    bite of" doesn't mean I "despise" Gorontalese culinary delights. Even
    though I'm a woman of Minahasan and F
    ilipino descent, which means I have no Gorontalese background, I
    am proficient in cooking tasty Gorontalese dishes such as binte biluhuta, ilabulo, or bilendango.


    Since many of my Papa's relatives—whether from his paternal or maternal line—have lived in other

    regions of Sulawesi, such as Bolaang Mongondow and Makassar, my family and I have gradually become
    familiar with their halal and mouthwatering dishes. Just so you know, as the females in my extended family
    have always conditioned themselves to be highly skilled at cooking, it's no surprise that my elder sisters and
    I also possess the skills to cook those regions cuisine. One of the Makassarese culinary delights I am sure
    many of you don't know how to cook or have never yet tasted is coto kuda, or delicious horse meat soup,
    which is qu
    ite famous in the Jeneponto region. I "hate" having to say that before "Sensei Stevie" came into
    my "lonely life," it wasn't easy for me and our family to get fresh horse meat that was rightfully from horse

    breeding (or from "horses that people raised and bred specifically for their meat" and not from "horses that
    people had used for racing or pulling carriages until they could no longer use the strength of those poor sick
    or old creatures"). There is an interesting story in my life that has to do with "horse meat." It happened in

    times of struggle when the sturdy lad had to fight hard to win the sympathy and trust of my parents.



    Even though
    my dearest father is not an "intelligence agent" or "former intelligence agent" like
    Jack Brynes' character in the old flick Meet the Parents
    , who
    'll conduct impromptu lie detector tests
    on any man who tries to get close to his love
    ly daughter(s), he is also not the type of permissive dad who'll
    "easi
    ly allow any man to ask out any of his daughters on a date or have a romantic relationship with." I still
    vividly remember when "Sensei Stevie" first came to our house. Instead of being able to ask me out or only
    have a personal an
    d intimate conversation with me on the front porch, the sturdy and charming lad had to
    endure a series of "brutal interrogations" and "inhospitable attitudes" from my father. Most men (even the

    bravest or the most persistent ones) would immediately give up after facing such "terrifying moments," but
    that wasn't the case with "Sensei Stevie." He still had the guts to come to our house in the following days

    to meet his alluring and voluptuous girl, and he wasn't afraid or jittery in the least bit to face my father's
    "unfriendly behavior." Instead of taking offense, "Sensei Stevie" said to me that if he'd been in my dearest
    father's position, he would've unquestionably acted just like him and be protective of his daughter(s) in the
    sense that he would've thoroughly investigated the historical antecedents, track records, or reputations of
    any man who tried to approach her (or them, if he had more than one daughter—from one wife, needless
    to say, since he took my father as an example). As I've written in this thread, "Sensei Stevie" is a "great
    conversationalist," a "master negotiator," and highly skilled at breaking the ice or overcoming awkwardness

    when communicating with anyone else. Although the strapping and handsome lad was much younger, less
    experienced, or not quite emotionally mature than he is today, he could still create a good impression with
    his intellect, "perspicacity," sharp-wittedness, and manners towards people, especially the older ones.



    [​IMG]
    One day, when the adorable lad visited our house and wanted to meet me, he had to face my Papa,
    who showed such a "fierce attitude" or an unwelcoming gesture as if to say, "I won't let you meet Renata.

    You'd better go home, son." However, since our family is "civilized" and, what's more, "Sensei Stevie" was
    already on the front porch, my Mama invited him to sit on one of the chairs. That afternoon—a few hours
    before his arrival—our family had received a large quantity of lemang (a typical Minangkabau savory sticky
    rice cake cooked in bamboo) and spicy beef rendang from one of my father's close colleagues. Mom then
    served some of the chewy lemang, spicy beef rendang, and a jar of lemon tea to "Sensei Stevie." She'd
    purposely left our living room door ajar so I could hear what they and the handsome lad were talking about,
    but Papa found o
    ut and promptly slammed closed it. Most "inexperienced men" would immediately break
    down inside, seeing the uncompromising firmness that Papa displayed without further ado. If a "whiny man

    with no excellent communication or persuasion skills" had to deal with such situations, I'm sure he'd feel
    hopeless. He might sing this old song in his heart while his eyes filled with tears (hahaha....) as he thought
    all his efforts to get the lovely girl wouldn't meet with her parents' approval. If you expect "Sensei Stevie" to
    behave like that, you're wrong. Dead wrong! He wasn't such a whiny mama's little boy. Even if the lad had

    felt dissatisfied, he would've known many wisest ways to deal with it. He didn't express his disappointment
    at what'd happened in any silly way. He wouldn't glare at Papa with a sour attitude, either. Instead, the lad

    might've hummed a cheerful tune to himself in his bitter heart to cheer himself up. The following day, he
    and I sat vis-à-vis in a restaurant near my campus and were fully engaged in an intimate conversation. I

    asked him if he was "offended" by my father's attitude. What quite amazed me (but also annoyed me!)
    was that the lad said Papa was only "carrying out his obligations." As a good father, he must always protect
    me, his beautiful, voluptuous, attractive, charming, short-tempered, and naïve youngest daughter. A good

    father should always be alert, "suspicious," and even thoroughly investigate any man who tries to approach
    his daughter(s), no matter how good, polite, affluent, and bright the man may seem. In addition, Papa has
    realized that there've been many lads or men—which means "Sensei Stevie" is not the only one—who fall

    head over heels for his youngest daughter. Papa only behaved as "any good father would in their position,"
    prioritizing his little girl's safety above all else. The Handsome would've been "somewhat disappointed" if my
    father hadn't behaved like he'd done that day. "Sensei Stevie," however, subsequently said something that
    infuriated me: While he was not in the least aggrieved by my father's "inimical attitudes," he confessed that
    he would've been a b
    it irritated or displeased if Papa hadn't let him taste and enjoy the tasty lemang, spicy
    beef rendang, and a jar of cold lemon tea, as all of them looked tempting. In other words, the lad did not

    in the least romanticize the disappointment of not being allowed to meet and converse with his captivating
    inamorata. He admitted that "his focus was much more on the delicacies on the table." Oh, fudge!

    After enthusiastically enjoying a few pieces of lemang accompanied by several cuts of spicy beef
    rendang (as if he were the "Tasmanian Devil who hadn't eaten in days") and imbibing a few glasses of cold,
    sour-sweet, and refreshing lemon tea (as if he were a lone traveler who is "parched with thirst" in a barren

    desert), "Sensei Stevie" seemed to be saying goodbye to my parents as it was almost time for the Maghrib
    prayer. Papa breathed a sigh of relief as if to say, "Thank God. You're finally leaving our house, son." He,

    however, couldn't say goodbye to me since Papa strictly forbade me to see the lad. The big SUV he was
    driving (which belonged to his parents since, at the time, he was not yet a "big boss" like he is now) left our
    house. The funny thing was, at around half past eight in the evening, after our family had performed the

    Isya prayer and prepared for dinner together, we suddenly heard "Sensei Stevie" say "As-salamu 'alaikum"
    on the front porch. My parents answered his greeting while perhaps wondering: What's the matter with the
    lad coming back? Seemingly, "none of his belongings were left in our house." Or maybe he wanted to ask
    Renata out? When I was about to rush to meet the sturdy lad and welcome him with my radiant smile,
    Papa prevented me from doing so. My parents eventually met the lad, asking what made him come back.
    The sturdy lad politely said he'd forgotten to give Ms. Renata some things she'd ordered him to buy.

    He should've given her those things when he'd just arrived at our house this afternoon. He looked

    chagrined, like maybe he was kicking himself for not behaving like a professional seller who could invariably
    maintain the customer's trust. We know that "dissatisfied customers are bad for business." It was just that,
    he cleverly reasoned, since he was "too busy enjoying the lemang and beef rendang served to him on the

    front porch, his focus was suddenly distracted, and he forgot to give her the things she'd ordered." At first,
    my father thought that "Sensei Stevie" was trying to give, well, you know, "some bribes or gifts with certain

    strings attached" (such as to melt the heart of a woman or the woman's parents), as is the cliché strategy
    that most men often rely on. My mom told me that, at the time, Papa firmly said he wouldn't be willing to
    accept those "suspicious gifts" and required the lad to get out of his sight. However, instead of feeling hurt,
    gazing at them lugubriously, and quickly leaving our house since Papa seemed to consider his presence such
    an intrusion, the Handsome explained patiently and persuasively that the things he brought were things Ms.

    Renata had told him to buy using her money, not his. At this point, what else could my parents do? Like it
    or not, they had to call their daughter to the front porch to confirm the truth of what he'd just said.



    [​IMG]
    As I was coming to the handsome and vigorous lad, I could barely hold back my laughter since I saw
    what he'd unloaded from his SUV, or rather, his parents' big SUV. There were four sacks of "kacang Tuban"

    or Tubanese peanuts. In Indonesianparticularly Javanesecuisine, Tubanese peanuts have always been
    the ultimate choice for the main ingredient in making "highly superior peanut sauce." There was also a large
    sack of fresh mangoes. Although each mango is only the size of a tennis ball (or the size of an adult's fist),
    the quality and taste are excellent, whether unripe, medium-ripe, or fully ripe. There were also five dozen
    trays of duck eggs, which I had no idea why he called "balut eggs," that—of course—surprised my parents
    and me, given that balut eggs are not halal food. For those who do not yet know, balut eggs are fertilized
    poultry eggs (especially duck eggs) that will hatch in less than a week. When you boil them, you get hard-
    boiled eggs with duck embryos inside, and you can even see their feathers! Filipinos consider balut eggs an
    exotic delicacy, although they are also popular in Cambodia and Vietnam (where Vietnamese refer to them
    as "Hot Vit Lon"). We later discovered that those eggs he brought were not balut eggs—as he'd said—but
    just fresh and raw duck eggs and "uncooked typical Lombok sa
    lted eggs." The lad told my parents that I'd
    once informed him that duck eggs in Tagalog are called "balut." Good God! How could I say something like

    that? However, I didn't argue with the lad before my parents since it could've tarnished his reputation. If he
    and I had quarreled, they would've defended me and never allowed him to come to our house again.

    As for the things he brought for us, frankly speaking, I did not make any "detailed buying and selling

    transactions" with him in the proper sense. I only said that "whenever he, the Handsome, found any food
    ingredients that were of excellent quality but 'quite scarce or hardly ever seen' in the traditional markets of

    Jakarta, I asked him to pay for the purchase first, bring them to my family's house, and then I'd reimburse
    him for all he'd spent." In the hope of not escalating the situation, I intentionally didn't tell my parents about
    it. Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, what happened next was that they invited him to have dinner with us.


    That was because my parents sincerely applied noble Eastern culture, which is also in line with Islamic
    culture, regarding "receiving guests" or hospitality towards those who come to our home in peace and have

    no suspicious or evil intentions. Even though—at the time—Papa couldn't still be "friendly" towards him, this
    didn't necessarily make Papa lose his objectivity in thinking. Since the Handsome could act politely instead of
    displaying "rude or disrespectful behavior," there was no reason for Papa not to invite him to have dinner at

    our house. It's just that Papa hasn't allowed the Handsome yet to eat in our family dining room. Instead,
    my parents had dinner in the living room with him. Well, some might say it was "utterly ridiculous," but the
    Handsome could still "take advantage of this moment to try to approach them." That night (based on the

    conversation I overheard from another room since I wasn't in the living room with the three), he talked to
    them about many themes (while eating and after eating), ranging from light things like my father's favorite
    music genres, such as jazz fusion and progressive rock, to macroeconomic issues, global situations, sports

    news, and culinary things. Until, at one moment, the three talked about "horse meat." The Handsome said
    that his male cous
    in's girlfriend (i.e., Mbak Suci) has been skilled at "cooking delectable horse meat dishes"
    (although horse meat is not a popular food ingredient in Java). The same goes for Ms. Irma,
    his childhood
    female friend, who "specializes in cooking typical horse rendang from North Sumatra," her native origin.

    Papa said that while all his lovely daughters (Renata and her sisters) have good skills in cooking horse meat,
    we often have had difficulty obtaining proper horse meat in Jakarta. The Handsome then agreed to provide
    fresh horse meat from his fam
    ily's horse farm, which means "horse meat not from former working horses,
    such as former carriage or race horses." The Handsome cou
    ld fulfill his promise. He also introduced me to
    Mbak Suci and Ms. Irma. The
    three of us have since befriended and shared our cooking techniques.



    I feel very grateful to have personal closeness with Mbak Suci. The bond of companionship between

    us (since she was single until now that she is married and has a couple of healthy and handsome identical
    twin sons) even resembles a sincere sisterly bond. Although Mbak Suci is one hundred percent a Javanese
    woman, many people (including my elder sisters and relatives) have mistakenly thought she is a Minahasan
    or Kawanuan woman s
    ince her physical characteristics, I can say, are "quite different from most Javanese
    women in general." Like my elder sisters and me, she is a fair-skinned woman with a sharp nose and long,

    thick black hair. Don't get me wrong. I am not saying there are rarely fair-skinned and sharp-nosed female
    Javanese—and on the other hand, I am not saying all female Minahasans must be fair-skinned and sharp-
    nosed since I've seen and met many Minahasans who don't have fair skin and a sharp nose. I am saying
    that most people tend to immediately associate a "person with certain or typical physical characteristics"
    with an ethnic group, race, or another entity that commonly shares those characteristics. Let me give you
    another example. When we look at Tante A, at first glance, she looks like a woman from Tokyo. Yet, when

    we see Tante A closely, she is nothing more than a woman, or rather, a middle-aged woman we usually see
    walking around or hanging out in Little Tokyo, Blok M, Jakarta.
    "Kauhina diriku... aku diam..." Heeiiiiiissyaaah!
    Verdammte Scheiße! Kannst d
    u nichts anderes sagen? "Haaah? Kenapa kau... kaubilang aku mirip sagon?!"
    Was zum Teufel ist falsch mit dir? "Mondar-mandir?! Jangan kausinggung masa lalu ketika aku nge-dugem!"
    It's my fault. I shouldn't have communicated with Tante A in German, a language she doesn't understand.

    I inadvertently made her reveal "unseemly experiences," which she'd kept under wraps all this time.



    "Lah... di atas tadi itu 'kan, kau menyatakan 'menjalin pertemanan dengan Mbak Suci dan Irma'. Ah,
    kenapa kau hanya menyatakan rasa syukurmu karena mempunyai kedekatan personal dengan Mbak Suci?!
    Terus terkait Irma, 'gimana? Apa dia kamu anggap sebagai teman yang 'cuma kenal sepintas lalu'?"

    [​IMG]
    Masalahnya 'gini. Mbak Suci udah "menemukan kebahagiaan" bersama dengan El Comandante-nya.

    Lain halnya dengan si Irma. Status dia saat ini adalah: "seorang ibu lajang, dengan satu anak". Biar 'gimana
    juga, kendati dia selalu aja bilang: "Aku sudah tidak akan mau 'nikah lagi, mau fokus 'ngurus anakku!", tetap

    selalu ada kemungkinan dia jatuh hati pada sang Makhluk Handsome Bloody Handsome. Tiap aku tanyakan
    (meski cuma secara iseng): "Irma sayang yah, sama Stevie?" jawabannya selalu aja bersayap atau nggak

    tegas: "Apa sih, kamu itu!" sembari mencibirkan bibirnya. Padahal Irma sendiri bilang, dia termasuk "spesies
    perempuan BTL" (atau "Batak Tembak Langsung") yang selalu zakelijkbicara blak-blakan tanpa basa-basi

    dan bahkan, cenderung pedes bangets jika dia sampai 'ngerujak orang. Kalau Mbak Suci itu sering kali dikira
    Gadis Kawanua atau perempuan Minahasa jelita yang penuh pesona, aku malah melihat Irma mirip dengan
    perempuan Filipina seperti Jeanelle Castro. Ya, tipe perempuan berparas Asia Melayu 'gitu lah.




    Toh, karakter "BTL" itu seolah mendadak lenyap, setiap kali Irma ditanya soal apakah dia punya rasa
    sayang terhadap makhluk itu. Padahal sih yah, andaipun Irma menyatakan "menyayangi makhluk tersebut"
    takkan ada masalah apa pun, sah-sah aja. Si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu 'kan, secara faktual
    belum punya bini atau sekadar calon bini sekalipun yang telah resmi dia lamar. Beberapa kali, aku menggoda
    Irma dengan mengatakan: Bilamana diperbandingkan dengan Tante A, ya, si Irma jelas terlihat mempunyai
    keunggulan absolut. Irma cantik, jauh lebih muda dan bugar, gaya hidupnya lebih sehat, terampil memasak,
    dan selera film/musiknya pun tidak njomplang dengan selera "Sensei Stevei". Biasanya, Irma hanya terdiam
    tanpa mau menanggapi perkataanku. Tetapi, pada hari-hari berikutnya, kita akan melihat si Irma berdandan
    atau berpenampilan lebih cantik dan menggairahkan daripada hari-hari sebelumnya. Kampret bangets, 'kan?!
    Lebih kampret lagi, meski udah terlihat cantik, seksi, dan hot bangets, eh... tau-tau, kok ya, muncul jerawat
    kecil di wajahnya. Bila Irma adalah tipe "perempuan yang malas merawat diri", yah, mungkin akan dianggap
    amat lumrah jika wajahnya berjerawat. Tetapi dia itu adalah "a high maintenance woman". Tipe perempuan
    yang mustahil mengabaikan perawatan tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kalau tiba-tiba aja, Irma
    sampai punya jerawat kecil di wajahnya, tak pelak lagi, itu adalah "jerawat cinta". Seakan mengonfirmasikan
    ada perasaan yang teramat mendalam, terpendam
    di lubuk hatinya, tak kuasa untuk dia ungkapkan.



    Dalam relasi pertemanan, sangat lazim terjadi yang namanya "memengaruhi" ataupun "dipengaruhi".
    Yah, jujur aja, aku pun mendapatkan begitu buanyak pengaruh positif selama menjalin pertemanan dengan
    Mbak Suci. Kami sama-sama "Anak Teknik Sipil", punya minat besar dalam gastronomi—kendati kami bukan
    tipe cewek-cewek doyan makan atau tukang jajan yang berkelebihan berat badan. Sama-sama mempunyai
    kemampuan yang "lebih dari sekadar lumayan" dalam hal menyanyi. Sama-sama "Anak Selatan". Kami pun
    adalah tipe para perempuan yang jaga image, sangat serius ihwal body maintenance, menjaga penampilan,
    dan sangat menyadari ihwal pentingnya arti pesona diri. Sama-sama mengakui bahwa "latihan jasmani yang
    keras dan berkesinambungan adalah sesuatu yang tak boleh dihindari jika kita ingin memiliki tubuh nan sehat
    dan terlihat molek, menggiurkan, memesona". Aku dan si Mbak Cantik punya program latihan (atau training
    regimen) masing-masing, yang meski berbeda, toh, esensinya tetaplah senada. Begitu Mbak Suci berstatus
    sebagai seorang istri, dia diajari El Comandante-nya berbagai latihan fisik yang jauh lebih keras. Seperti, pull-
    ups suami istri (couple pull-ups), weighted push-ups, termasuk pula beraneka latihan beban (weight training)
    yang berat—tetapi terstruktur dan sangat efektif. Setelah dia menjalani masa kehamilan kembar, persalinan,
    dan menyusui, si Mbak Cantik sempat mengalami penambahan berat badan hingga ± 20 kg. Menurut Irma
    (berdasarkan info-info valid A1 yang dia dapatkan), Tante Alibaba... heeiiiiisyaaah... maksudku, Tante A pun

    rupanya—setelah masa kehamilan pertamanya—pernah mengalami kelebihan bobot tubuh hingga beberapa
    kuintal. "Kau... kauhina diriku... aku diam..." Eh,
    iya... aku salah. Maklum, deh. Aku cuma melihat foto-foto
    masa lalu Tante A yang Irma berikan. Aku tak tau pasti, berapa kelebihan bobot yang Tante A alami.

    Namun—berdasarkan foto-foto tersebut—tampaknya, Tante A mengalami penambahan berat badan
    yang jauh lebih signifikan ketimbang yang pernah dialami Mbak Suci. Kendatipun si Mbak mengenang masa-
    masa "berkelebihan berat badan" itu sebagai masa-masa kelabu baginya, toh, jujur aja, secara objektif aku
    bisa katakan—tanpa sama sekali bertendensi menjilat: Mbak Suci tidak sampai mengalami degradasi pesona
    fisik dan penampilan yang parah bangets sebagaimana yang dulu pernah dialami Tante A. Mungkin aja yah,

    bagi Tante A, masa-masa itu terasa sangat membekas di hati sehingga dia pun jadi terobsesi menguruskan
    badan, yang sayangnya, tak diimbangi dengan latihan jasmani yang keras seperti yang dilakukan Mbak Suci
    (di bawah pengawasan langsung suaminya). Konsekuensinya, meski terlihat slim, Tante A bisa aku katakan:
    "underweight". Beda jauuuuuuh dengan Mbak Suci, yang tubuhnya kini malah makin terlihat seksi, semlohai,
    dan kencang (tidak lembek). Mereka berdua sama-sama sukses menurunkan kelebihan berat badan, tetapi

    secara objektif, kualitasnya jelas terlihat njomplang bangets. Bagaikan antara bumi dan langit. Yang tambah
    bikin nggak karuan, Tante A punya "smoking habits". Sampai sejauh ini, tiada satu pun "orang terdekatnya"
    yang sanggup mengubah atau memotivasi agar dia mau menjalani pola hidup yang bersih dan sehat.

    "Kenapa situ jadi lancang?! Sok-sokan mencampuri penampilan si Tante!" Hey, 'gini yah, situ mestinya
    bisa membedakan antara "lancang mencampuri" dengan "memberikan kritik
    yang konstruktif"! Tidak semua
    pujian boleh Anda maknai sebagai hal positif. Tak semua kritik mesti Anda anggap sebagai "serangan". Yang
    kunyatakan di atas itu bukan sebagai bentuk "body shaming", melainkan sekadar "tamparan ringan" supaya
    Tante A bisa merenung bahwa "pesona dirinya sesungguhnya masih bisa lebih ditingkatkan"—kalau dia mau.

    "Kau... kautampar diriku... aku diam..." Yaa salaam! "Tamparan"
    itu sekadar metafora, Buk! Situ, 'kan, tipe
    perempuan kurus, tinggi, langsing, dada rata. Nah, biar situ nggak sampai ngamuk seperti Bu Misae Nohara
    (sebagaimana potongan adegan komik Crayon Shin-chan di bawah ini), situ semestinya mulai "merejuvenasi
    diri secara serius", supa
    ya tubuh tetap kencang memesona meski menjelang memasuki usia manula. Tidak
    perlu menjadi sekekar Ana Cozar atau segolongan dengan Vladislava Galagan. Cukup mengadopsi 1/10
    (sepersepuluh) aja dari training regimen yang dilakukan Cassandra Martin ataupun Anlella Sagra.

    [​IMG]



    Ada lagi "hal tertentu lainnya dari Mbak Suci" yang kucoba untuk kuaplikasikan dalam hidupku. Selama
    ini, si Mbak Cantik menjalani suatu aktivitas yang unik dengan El Comandante-nya. Jadi, Mbak Suci acap kali,
    secara sengaja, menyisipkan sejumlah kesalahan minor terkait tata bahasa (baik Bahasa Indonesia maupun
    Bahasa Inggris) dalam ragam aktivitas menulisnya di dunia maya. Oleh sebab sang suami Mbak Suci adalah
    "a highly educated man" yang punya kepedulian terhadap penggunaan bahasa secara tertib, Mbak Suci pun
    pastilah akan mendapatkan koreksi—kendati kesalahan gramatikal minor itu adalah kesalahan yang memang
    dibuat secara sengaja. Selanjutnya, Mbak Suci mesti menjalani "hukuman pendisiplinan" yang variatif.

    Si Mbak mengatakan, di dalam sesi pengoreksian kesalahan tersebut, si Mas-nya seperti memberikan
    perkuliahan yang—ajaibnya—justru sangat menarik, alih-alih membosankan. Ketika Mbak Suci menjalani sesi

    "hukuman pendisiplinan" pun, dia mendapatkan "hal-hal menyenangkan", alih-alih "hukuman" dalam konotasi
    yang buruk atau dalam arti harfiah. Setelah mendengar cerita si Mbak, yah, aku jadi tertarik untuk mencoba
    menerapkannya pada "Sensei Stevie". Aku pun sengaja menyisipkan sejumlah kesalahan tata bahasa minor
    dalam postingan di dunia maya. Masa iya sih, sang Makhluk Handsome Bloody Handsome itu nggak peduli?!
    Lah, ternyata... dia sama sekali tidak peduli! Tidak, Sayang! Tidak! Mbak Vies, Irma, Lintang mengomentari:
    "Pemakaian 'must've' di postingan kamu itu kayaknya nggak pas, deh. Semestinya 'kan, blablabla..."

    Yah, aku jelaskan tujuanku membuat kesalahan gramatikal itu—sambil mewanti-wanti mereka semua
    agar "jangan ada satu pun yang memberitahukan makhluk tersebut dan memintanya untuk mengoreksiku".
    Yang kukehendaki: Kalau si Makhluk Handsome Bloody Handsome mengoreksiku, ya, itu benar-benar 100%
    karena dia memantau pergerakanku di dunia maya atas dasar kesadaran dan inisiatifnya sendiri. Jadi, ketika
    pada akhirnya dia mengoreksiku, hal itu adalah manifestasi dari rasa tanggung jawabnya yang natural, yang
    tidak akan membiarkan aku melakukan kekeliruan tanpa ada koreksi. Kepedulian yang kuharapkan itu adalah
    kepedulian yang orisinal, bukan artifisial. Jikalau dia nggak mau peduli, ya, udah! Aku mesti menerima. Walau
    aku memang menginginkan atau membutuhkan perhatiannya, aku tak mau mengemis perhatiannya.



    Suatu ketika, di satu proyek konstruksi yang sedang kukerjakan, rekan-rekan kerjaku mentertawakan
    satu postingan IG story dari seorang perempuan. Si perempuan itu "memamerkan" percakapannya dengan

    "laki-laki terkasihnya". Si perempuan mengeluh: "Kok, seharian ini, nggak ada pesan masuk dari kamu, sih?"
    Eh, si pria merespons: "Ini aku baru aja, mau 'ngirim pesan..." diiringi dengan gombalan klise—khas tipe pria
    yang ingin bersikap romantis. Tetapi berhubung kemampuannya tak ada, miskin imajinasi, minim kreativitas,
    dan tidak memiliki kecerdasan linguistik memadai, yah, jadi malah terasa garing bangets. Toh, si perempuan
    malah seakan sangat berbunga-bunga, mendapat balasan dari "sang laki-laki terkasihnya". Bagi rekan-rekan

    kerjaku, si perempuan itu adalah contoh nyata "seorang perempuan blo'on". Dia amat naif, tidak tau bahwa
    respons yang semacam itu menunjukkan bahwa sesungguhnya, si perempuan itu "bukanlah prioritas utama
    bagi si pria tersebut". Para rekan kerjaku seolah punya "radar yang sangat akurat". Aku berkata dalam hati,
    "Oh, ternyata yang berlaku di dunia laki-laki, seperti itu, yah?! Bila perempuan sampai 'mengemis perhatian',
    si perempuan hanya akan mendapatkan 'perhatian' yang artifisial dan tak tulus. Aku mesti waspada!"

    Nah, oleh sebab itulah, aku melarang Mbak Vies, Irma, dan Lintang memberitahukan "Sensei Stevie".
    Untunglah, mereka bisa memahami. Sayangnya, aku lupa mewanti-wanti si Ajeng. Pada suatu malam, kami
    yang perempuan berkumpul di bangunan ruang makanyang biasanya dipergunakan sebagai ruang makan

    bagi para tamu di guest house. Menikmati hidangan sambil melihat puluhan ikan koi, beraneka corak
    warna, hilir mudik di kolam yang mengelilingi ruang makan itu
    dan dihiasi pula oleh suara air terjun

    buatan. Meski udah memasuki akhir tahun, terkadang malam hari terasa panas. Nggak 'pa-'pa juga, sih ya.
    Kami jadi bisa menikmati segarnya es buah ala Es Buah PK, Yogyakarta. Salah satu materi perbincangan
    pada waktu itu adalah pentingnya penggunaan sports bra, bilamana perempuan melakukan olahraga.



    Sewaktu kami sedang asyik berbincang, "Sensei Stevie" datang menghampiri Bu Retno "Bellucci", dan
    bercakap sejenak, berkaitan dengan urusan administratif guest house. Setelah tuntas, dia mendatangi kami,
    sekadar berbasa-basi, menanyakan apa sih, yang lagi kami bicarakan?! Aku yang merasa jengkel karena dia
    seakan tidak mau peduli padaku, menjawab judes: "Kami lagi 'ngomongin payudara, Mas. Kenapa? Si Masé
    kepingin, yah?! Bilang terus terang! [Maksudku, kepingin pula berbincang dengan kami.] Kamu 'ngerti nggak,
    payudara itu apa?" Cewek-cewek yang lain mulai cekikikan. Eh, si Masé merespons "provokasiku" itu dengan
    smash maut yang luar biasa telak: "Payu piro?" Yang 'ngerti Bahasa Jawa langsung terbahak nggak karuan.
    Toh, hal itu ibaratnya sekadar cumbuan pembuka... heeiiiiyaah... maksudku, serangan pembuka. Dia masih
    "menghajarku dengan bombardemen lanjutan"yang seketika membuat semua perempuan di situ tertawa

    guling-gulingan. Oleh sebab aku yang jadi "korban", "serangan brutalnya" itu takkan kujelaskan di sini.

    [​IMG]
    Sebelum gelak tawa nyaris kian menggila, Ajeng secara tak terduga, mengungkapkan ihwal kesalahan
    gramatikal yang kubikin di dunia maya. Dia menyesalkan kenapa si Masé tak peka dan tak mau mengoreksi
    sejumlah kekeliruan tata bahasa yang dibikin Renata. (Ajeng benar-benar nggak tau perihal kesengajaanku.)
    Terus terang, aku kesal bangets karena Ajeng udah "merusak skema yang kurancang". Tetapi belakangan,
    aku berterima kasih atas ulah Ajeng itu. Si Masé mengatakan, dia sebetulnya senantiasa memantau semua
    aktivitasku (dan cewek-cewek lainnya). Jadi, dia tau persis tentang kesalahan gramatikal yang kubikin.

    Nah, hal yang menyebabkan dia tidak sudi sedikit pun mengoreksiku, ya, karena selama ini, dia selalu
    "mengamati serta mengomparasi kualitas berbahasa Inggris-ku di dunia nyata dan dunia maya". Sejak dulu,
    berdasarkan observasinya, tidak sekali pun aku pernah membuat kesalahan gramatikal (seperti penggunaan
    must've yang salah) dalam perbincangan di dunia nyatasebagaimana yang telah sengaja aku bikin.


    Kalau aku tersua memakai Bahasa Jerman di med-sos, maka bisa dipastikan itu han
    ya gaya-gayaan,
    oleh sebab di dunia nyata, aku sama sekali tidak becus berbahasa Jerman. Mungkin aja, adegan dalam film
    Inglorious Basterds di bawah ini akan terjadi, meski dalam bentuk dan situasi berbeda. Lain halnya bilamana
    aku menggunakan Bahasa Inggris di med-sos. Siapa pun di dunia nyata bisa menguji kemampuanku. Kalau
    ingin mengetahui kualitas berbahasa asing seseorang, ya, mesti dibuktikan dengan percakapan, 'kan? Selalu
    ada orang yang ingin menguji, apakah Anda "memang bisa betulan" atau "cuma 'ngaku-'ngaku bisa".


    Sampai sejauh ini, si Masé menilai keterampilan berbahasa Inggris-ku di dunia nyata masih amat baik.

    Jadi, ketika dia menjumpai ada sejumlah kesalahan gramatikal minor pada postinganku di dunia maya
    (termasuk di utas ini), dia mulai mencurigai hal itu adalah kesengajaanku yang ingin mengadopsi taktik Mbak
    Suci (yang selama ini, si Mbak gunakan dalam "permainan pasutri bersama suaminya"). Penjelasannya bikin
    aku terharu sekaligus legaaa bangets. Rupanya, selama ini, dia tetap aja memperhatikanku. Dia cuma tidak
    mau mengikuti permainan yang aku mainkan. Tidak, Sayang! Tidak! Ya, iyalah, hay! Faktanya sampai detik
    ini, dia dan aku bukan pasutri. Aku pun belum tau soal siapa perempuan yang akan diperistri olehnya.

    [​IMG]
    Kalau bicara soal "permainan", dia pun seakan berteka-teki melalui sejumlah lagu yang dimainkannya.
    Berm
    ula dari lagu ini: "A million miles in between us couldn't change things, that's a promise from
    the heart..."
    Bera
    lih ke lagu ini: "I'm so young and you're so old... this my Darling, I've been told!"
    Usai mempertimbangkan secara rasional, hatinya pun tertambat: "When I'm safely in your arms, there
    I find my sanctuary!"
    Hingga akhirnya, dia berhenti: "I'll be goin' home tonight and everything will

    be all right... 'cause when I open up the door, you'll be waitin'..." Mungkinkah "nama yang menjadi
    pemberhentian terakhirnya" adalah seorang perempuan yang bernama seperti judul lagu ini?!

    [​IMG]

    Entahlah. Yang jelas, semua lagu di atas dia bikin cover versions-nya sendiri. Ada yang dia nyanyikan
    dan bawakan secara akustik. Ada pula yang musik pengiringnya dibantu dimainkan oleh beberapa comrades
    yang bersimpati padanya. Semua lagu cover versions itu direkam di studio yang ada di kediamannya.


    "Cinta yang hilang kini pu
    n datang kala jumpa dengannya/Yang pudar dan nyata bagai lukisan/Stevie
    hadir bagai matahari di hati ini/
    Usia takkan berarti, saat aku jatuh hati/Dunia terasa kembali lagi.../Usia
    senja atau muda, untuk cinta tiada beda, cinta tembus ruang serta waktu..."
    Yaa salaam! Si Balak Enam ini

    kenapa datang lagi ke sini?! Ada keperluan apa Saudara datang kemari? "Saudara saya nggak ikut..." Bukan
    itu maksudku, Buk! Bloody hell! Ah, rupa-rupanya, rutinitas latihan menggebuki serta menendangi "a human
    dummy punching bag" di guest house selama ini, udah tiba saatnya kuimplementasikan di kehidupan!



    [​IMG]





    Yang lucu, meski penjelasan "Sensei Stevie" bisa kuterima dan melegakanku pula, eh, malah si Ajeng
    yang seolah terlihat belum merasa puas. Aneh, bisa-bisanya gadis kecil selugu dan sepolos dia, punya nafsu
    besar yang menggelegak dan tak terpuaskan... heiiiiiiyaah... maksudku, si Ajeng itu justru menganggap aku
    masih harus diberi "hukuman pendisiplinan", sebagaimana yang Mbak Suci dapatkan dari suaminya. Namun,
    Irma langsung menolak pendapat nyeleneh Ajeng tersebut. Secara implisit, si Irma seolah nggak rela jikalau
    "Kak Stevie"-n
    ya itu memberiku sebentuk "hukuman pendisiplinan". Oh, iya. Aku hampir lupa menceritakan,
    beberapa waktu lalu, Ajeng dan Irma—"meskipun nggak janjian"—sama-sama mewarnai rambutnya. Ajeng
    (kata Irma) jadi terlihat mirip Maria Selena. Sayangnya, Ajeng udah lama nggak bermain bola basket.


    Dulu, "Sensei Stevie" dan aku pernah mengajari Ajeng "bermain bola basket secara layak". Meskipun
    tak berbarengan. Aku yang mengawali dan disempurnakan oleh "Sensei Stevie". Kendati aku bukan seorang

    pebasket wanita profesional, ya, kemampuanku (Insya Allah) tak akan sampai memalukan atau memilukan.
    Mama Tercintaku pun bisa bermain bola basket. Orang-orang Filipina sangat menyukai olahraga bola basket,
    jauh melebihi kesukaan mereka pada cabang olahraga lainnya di dunia ini. Nah, oleh karena Ajeng terindikasi
    udah tidak becus lagi bermain bola basket ("Sensei Stevie" pun mengetahui hal itu), akhirnya "Sensei Stevie"
    menjatuhkan "hukuman pendisiplinan" bagiku (meski jelas nggak melalui jalur persidangan Mahmilub), dalam
    bentuk: "Renata mesti kembali mengajari Ajeng bermain bola basket secara layak". Semula, Ajeng menolak
    dan mempertanyakan, kenapa pula dia sampai harus berlatih bermain bola basket denganku segala?!

    Ya, aku nggak mau kalah, dongs! Aku pun menolak. Berdasarkan pengalamanku, melatih si Ajeng itu
    terasa bagaikan melatih beruang. Kesenggol 'dikit, dia langsung jatuh menggelundung, terguling-guling.
    Kalau boleh memilih, mendingan aku diberikan "hukuman pendisiplinan" dalam bentuk lain aja lah, Say! Irma
    pun kumat gilanya. Dia memersuasi Ajeng, "Kalau bini pertama dan kedua bisa main basket, masa iya, bini
    ketiga malah nggak becus main sama sekali?" Ajeng langsung buru-buru bilang, "Iya deh, aku mau!"


    Pada akhirnya, "Fiat justitia ruat caelum." Aku terpaksa menjalani "hukuman pendisiplinan" yang telah
    ditetapkan "Sensei Stevie". Melatih Ajeng bermain bola basket secara layak hingga, paling tidak, dia sanggup
    melakukan "dribbling"—dengan tangan kanan dan kiri, "shooting" (wabil khusus "lay-up shoot"), dan "pivot".

    Asalkan ketiga teknik dasar tersebut bisa dia lakukan secara luwes, udah cukup lah. Eh, rupanya, aktivitasku
    melatih Ajeng itu membuat Mbak Ayi tertarik ingin ikut berlatih. Pun demikan halnya dengan Bude Vini.


    Mereka turut serta berlatih. Alhamdulillah—setelah sebulan berlalu—mereka (termasuk Mbakyu Ajeng)
    kini telah lumayan bisa bermain bola basket secara layak (di lapangan basket guest house). Aku, Mbak Suci,
    Mbak Vies, Mbak Lilian, Irma, Dina, Yuvi dkk bisa lebih punya pilihan dalam bermain 5-on-5 basketball.



    Ada satu ungkapan: "You are what you consume." Maknanya, tentulah bisa kita perluas, tak sebatas
    mengonsumsi makanan dan minuman, tetapi juga hal-hal lain yang biasa kita konsumsi. Mulai dari lagu-lagu,

    film, buku, atau beragam output dari proses interaksi dengan sejumlah individu di lingkaran pertemanan kita.
    Aku ingat ucapan dosen mat-kul Mekanika Tanah saat perkuliahan S-1: "Jikalau kalian merasa berpendidikan,
    ya, kalian itu semestinya mengonsumsi hal-hal yang merefleksikan bahwa kalian adalah orang-orang terdidik.
    Jangan cuma mengikuti tren, mode, atau arus kehidupan di masyarakat." Nah, yang dosenku katakan, kok

    senada seirama dengan "Sensei Stevie". Ketika Mbak Ayi meminta rekomendasi film-film apa aja yang layak
    tonton, Makhluk Handsome Bloody Handsome itu menyodorkan film-film Alejandro González Iñárritu kepada

    si Mbak. Masih ditambah dengan film-film British dari genre "kitchen sink realism" dan film-film Italia bergenre
    "Neorealismo" atau "Italian neorealism". Si Mbak terkesima dengan film Amores perros. Kata Irma, Tante A
    dulu mestinya menonton film itu berulang kali, biar si Tante nggak salah jalan. Tapi, "udah terlambat".

    Terkait dengan buku, konon—berdasarkan penelitian—"dari 1.000 orang di Indonesia, cuma ada satu
    orang yang rajin membaca". Nah, Irma mencoba membuktikan: "Seberapa valid hal tersebut?" Ia bertanya
    kepada sekitar 100 orang (teman kantor, teman sekolah, dan circle-nya) perihal buku apa aja sih yang udah
    mereka baca selama tahun ini? Ternyata, sinyalemen "minat baca orang Indonesia rendah" memang nggak
    bisa dikatakan keliru. Teman-teman Irma yang berkacamata pun sangat sedikit yang rajin membaca.

    [​IMG]
    Sangat jauh berbeda dengan "Kak Stevie" tersayangnya... heeeiiiyaaah! Meski hingga kini makhluk itu
    tak berkacamata minus atau plus—dengan kata lain, visus atau ketajaman penglihatannya masih primadia
    justru terbukti dan tervalidasi sebagai: "Seorang pembaca buku yang punya disiplin dan militansi tinggi." Saat
    Irma menanyakan perihal buku-buku apa sajakah yang udah "Kak Stevie" baca pada tahun ini, jawabannya
    sungguh amat menggetarkan hati. Ada baiknya aku tuliskan satu per satu, siapa tau kalian berminat.


    The Productive Muslim: Where Faith Meets Productivity. Arkian,The Divine Reality: God, Islam & The
    Mirage of Atheism.
    Kemudian buku berbahasa Jerman, Ein Hof und elf Geschwister: Der stille Abschied vom

    bäuerlichen Leben in Deutschland. Disusul oleh buku Behind the Beautiful Forevers: Life, Death, and Hope in
    a Mumbai Undercity. Diteruskan dengan The Chile Project: The Story of the Chicago Boys and the Downfall
    of Neoliberalism. Jangan berhenti sampai di sini karena masih ada buku Fool Me Once: Scams, Stories, and

    Secrets from the Trillion-Dollar Fraud Industry. Ditambah The Red Hotel: Moscow 1941, the Metropol Hotel,
    and the Untold Story of Stalin's Propaganda War. Beralih ke buku Limonov: The Outrageous Adventures of
    the Radical Soviet Poet Who Became a Bum in New York, a Sensation in France, and a Political Antihero in
    Russia. Kalau kepala kalian mulai merasa berdenyut karena pusing, ya, sudahilah menyimak daftar ini.

    Namun, sebaliknya, jika isi kepala dan naluri intelektual kalian justru mulai "terangsang", aku lanjutkan.
    Aku awali dari buku People Who Eat Darkness: The True Story of a Young Woman Who Vanished from the

    Streets of Tokyo—and the Evil That Swallowed Her Up. Lanjut ke The Woman They Could Not Silence: One
    Woman, Her Incredible Fight for Freedom, and the Men Who Tried to Make Her Disappear. Beralih ke buku

    How Not to Kill Yourself: A Portrait of the Suicidal Mind. Disusul Crash Landing: The Inside Story of How the
    World's Biggest Companies Survived an Economy on the Brink. Istirahatkan otak sejenak dengan membaca
    buku The Cat's Meow: How Cats Evolved from the Savanna to Your Sofa. Ketika isi kepala mulai segar, kita

    coba menyimak buku How the French Invented Love: Nine Hundred Years of Passion and Romance.

    Sebetulnya, yang namanya "orgasme" itu nggak melulu cuma akan manusia dapatkan dari "aktivitas
    menyenangkan yang melibatkan sang lingga dan yoni". Membaca buku nan berkualitas tinggi pun, akan bisa
    membuat isi kepala kita "orgasme". Oleh sebab itu, aku akan tuntaskan daftar buku yang direkomendasikan
    "Sensei Stevie". Kalian bisa mencoba membaca buku A Woman of No Importance: The Untold Story of the
    American Spy Who Helped Win World War II. Berlanjut ke A Day in the Life of Abed Salama: Anatomy of a

    Jerusalem Tragedy. Jika kalian masih kuat, teruskan dengan When Crack Was King: A People's History of a
    Misunderstood Era dan The Main Enemy: The Inside Story of the CIA's Final Showdown with the KGB. Lalu,
    Judgment at Tokyo: World War II on Trial and the Making of Modern Asia, dan The Sisterhood: The Secret
    History of Women at the CIA. Setelah relaksasi, "kita bikin otak bekerja" dengan membaca Foolproof: Why

    Misinformation Infects Our Minds and How to Build Immunity, dan Secrets of Giants: A Journey to Uncover
    the True Meaning of Strength. Sebagai "selingan" bolehlah kita nikmati Double Cross: The True Story of the
    D-Day Spies. Untuk membuat kita lebih bisa mensyukuri ihwal arti kehidupan, Deep Down Dark: The Untold
    Stories of 33 Men Buried in a Chilean Mine, and the Miracle That Set Them Free boleh kita jadikan referensi
    berharga. Jika kau belum puas, tambahkan dengan First to the Front: The Untold Story of Dickey Chapelle,

    Trailblazing Female War Correspondent. Selesai. Buku-buku itulah yang si dia baca selama setahun ini.



    [​IMG]
    Yang sangat unik, Makhluk Handsome Bloody Handsome itu nggak mengeklaim dirinya sebagai sosok
    "intelektual yang berselera supercanggih" atau apa pun sebutannya. Dia membaca banyak buku, ya karena
    dia "merasa dirinya masih bodoh", sehingga mesti di-upgrade secara teratur dari waktu ke waktu. Walaupun
    banyak orang akan secara objektif mengakui bahwa dia pintar, dia tetap selalu "merasa masih bodoh". Nah,

    kemampuan untuk "merasa masih bodoh" itulah yang menjadikan dia nggak berhenti belajar. Seperti halnya

    dalam ibadah. Meskipun kadar religiositasnya tinggi (yang Insya Allah, bukan pencitraan palsu), dia masihlah
    memiliki kesadaran diri atau kerendahan hati untuk nggak akan pernah takabur menganggap dirinya sebagai
    manusia yang lebih mulia ketimbang manusia lain. Dia meyakini, jika kita istiqamah berada di Jalan-Nya yang
    Lurus, kita pastilah akan mendapat kebahagiaan di akhirat kelak. Bagaimanapun, oleh sebab yang namanya
    "manusia biasa" bisa khilaf, terjerumus, ataupun "tersesat di jalan yang salah", ya kita pun wajib senantiasa
    memohon kepada-Nya agar menghindarkan kita dari segala jenis perbuatan yang mencelakakan kita.


     
    • Like Like x 6
    Last edited: Jan 7, 2024
  17. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Unggahan ini akan bisa terlihat rapi jikalau kalian baca memakai PC/laptop dan browser Mozilla Firefox.
    Bilamana cuma terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] tersebut dan klik reload image.



    [​IMG]
    As
    a high-value young, handsome, and astute stud who owns and manages several companies and
    ma
    ny halal, legal, and highly profitable business entities, it is no wonder that "Sensei Stevie" often travels
    abroad. As far as I know, if Indonesians could visit one or more countries on vacation, they'd take the
    opportun
    ity to wander the streets, spend their money on fancy or luxury items, eat some exorbitant food
    at famous
    Michelin-starred restaurants, and "most importantly," take photos or videos of their activities,
    which they'd then upload on several social media platforms in the hope that their friends and fo
    llowers would
    admire these "achievements." We should also not rule out the poss
    ibility that they'd willfully do so to arouse
    envy and jealousy among their arch-rivals, as if to say imp
    licitly, "I am superior to you. Embrace that fact!"
    People, expressis ver
    bis, most likely post their photos or videos on social media platforms to make others
    envious or feel inadequate. I am no exception (oops!) since, to this day, I still regularly upload many photos
    o
    r videos of mine on my Instagram account for the sake of, well, I honestly admit, showing my superiority
    over m
    y nemeses. When we talk about "Sensei Stevie," he is a man who will never behave like any of the
    above. He has been, and I hope he will always be, the antithesis par excellence of most Indonesians.

    If
    you ask most Indonesians "which countries they'd like to visit or have visited" (apart from Saudi
    Ara
    bia for the Hajj or Umrah pilgrimage for Muslims), the answers almost always range from neighboring
    co
    untries such as "Malaysia, Singapore, Thailand, Australia, and the United Arab Emirates," to East Asian
    co
    untries such as "South Korea or Japan," and Western countries such as "England, France, Italy, and the
    United States." The handsome hotshot is thoroughly different. According to reliable information in the form

    of written documents, photos, and video recordings or video footage that I "legally obtained" from primary
    sources, i.e., Bu Retno "Bellucci" (his trusted aide), Mbak Vies "Har(d)ini" (his secretary-cum-confidante),
    and Mbak Lilian (his accountant-cum-bookkeeper), "Sensei Stevie" has visited more than 45 countries on

    different continents (and 135 cities within those countries). What is very interesting is that most of his visits
    to those countries were not jus
    t tourist visits. He, along with his family, had been living in England for years
    before moving to Indonesia. While living there, his parents often took him and his siblings to travel to many

    countries. The journeys were not only to enjoy the luxury of their lives as affluent people with an unbridled
    zest for life and unstinting joie de vivre. Mbak Rachel's and the Steven twins' parents organically introduced
    them to the business world from an early age. They wanted their lovely daughter and handsome twin sons

    to absorb or internalize their parents' entrepreneurial spirit and mindset by seeing them make big but halal
    and legitimate money—in the hope that Steven and his siblings would gain financial knowledge and invariably
    have the confidence to take advantage of any reasonable opportunity with unwavering determination.



    As per Mbak Rachel's account of her handsome younger twin brothers, the youngest has had unique

    characteristics and distinct qualities since he was a toddler. In contrast to the eldest, who was obedient and
    never behaved in such a way that'd overwhelm her or their parents, the youngest has been well-known for
    being shrewd, mischievous, stubborn—and sometimes quite annoying—but strangely enough, has also had
    many ways of "making people have intense feelings of affection for him." Like most siblings, Mbak Rachel
    often engaged in silly squabbles with her younger twin brothers, especially the youngest. No matter how
    fierce, talkative, or argumentative she was as the eldest sister, she'd wind up feeling upset and crying after
    an argument with the youngest twin. Before Mbak Rachel complained about the youngest twin's behavior to
    their parents, the youngest twin cleverly persuaded her in various ways. His heartfelt apology and sincere

    gestures were enough to "melt her heart." However, a few days later, she and the youngest got into other
    sibling squabbles, arguing over trivial things, from who got to use the bike to the last piece of Millionaire's
    Shortbread
    (a typical British dessert) made by their mother. Mbak Rachel recounted it to me while smiling

    amusedly. Even so, she told me seriously, the youngest twin's behavior (arguing with her, making her cry,
    and then apologizing to her) was not in the slightest the same as the rude behavior of abusive men. Unless
    you've been dwelling under a rock, you must've heard or read news about domestic violence (or violence
    against women) perpetrated by men. We are assuredly concerned and sympathetic to all the victims.


    Unfortunately, many of them seemed to "forgive the perpetrators with ease." These poor women

    assumed the men who've abused them—whether physically, verbally, or both—would "drastically change
    their behavior." Yet, the perpetrators later repeated their misbehavior again and again, even though they'd
    (manipulatively) apologized, kneeled and cried in front of the woman, given expensive gifts, begged for a
    chance to atone for their mistakes, and seemed willing to turn into a prince of a fairy tale who'd treat their
    spouse like a princess. Mbak Rachel averred that even though her handsome youngest brother may come

    across as rugged and "infuriating" (in the sense that the lad has the "natural tendency to do things that'd
    make her or anyone vex, argue with—or at least, shoot him an exasperated look"), he was never and will
    never be the kind of heartless man who has the heart to hit, beat, or mistreat any woman. I responded
    to her firm statement, "Excuse me, sis. I'm afraid I disagree with you." Mbak Rachel stared at me with an
    expression of utter shock, as if she hadn't expected there was wicked conduct in her youngest brother that
    she wasn't aware of. I told her that it'd be immensely naive, "injudicious," or ridiculous for her handsome
    youngest brother—whom I've been passionately in love withif he rigidly adhered to the principle that "he

    would never beat any woman in all circumstances with no exception." What if the lad were in a hazardous
    situation like Frank Castle (a.k.a. "The Punisher") is in
    when a man and two women brutally attack
    him since Frank wants to free Ms. Amy Ben
    dix, whom they're holding hostage? Or, what if he were in such
    a critical circumstance as John Wick experiences
    when a highly skilled and ruthless hitwoman named

    Ms. Perkins is about to assassinate him? In situations like the above, it'd unquestionably not be wise for him
    not to defend himself. If Steven were in such circumstances and he didn't have any reasonable non-violent
    options, he had every right to hit the woman who intended to seriously harm him—or come at him with any
    lethal weapon. It'd be farcical if he instead tried to persuade the woman by saying, "If another woman, not

    you, attempted to harm me, she'd fall helpless under my blow or succumb to my kicks within seconds. But,
    Nona, honestly speaking, I've never met a woman with such a strong physical attraction like you. It would

    be the biggest regret of my life if I didn't get to know you more intimately." Mbak Rachel laughed out loud
    at my explanation, for she recognized the typical persuasive style of her youngest brother. She teased me
    by saying that her youngest brother and I mus
    t've engaged in many heated arguments, yet we've always
    managed to work through our disagreements and maintain a strong relationship. Since I am an independent
    and strong-willed woman with an effervescent personality and endearing pertinacity who will always stand

    for what I believe in, he must've used "lulling ways" to persuade or calm me down. She was right.



    [​IMG]
    "Sensei Ste
    vie" has a wealth of experience and expertise in dealing with peevish or perverse women.
    I've lost count of how often I've quarreled with the handsome hotshot using "7 dirty words" or swearing
    in several languages, whether in English, Indonesian, Spanish, Dutch, Minahasan, Tagalog, Sundanese,

    or Javanese. (Although I haven't been fluent in Javanese and Sundanese, I at least have a comprehensive
    vocabulary of profanities in both languages. Thanks to Mbak Suci. Whoopsy! Since I have a career in the
    construction sector and am often on project sites where the male workers sometimes don't heed ethics or
    casually curse in Javanese or Sundanese, my knowledge of profanities in both languages is utterly helpful.
    "Bapak-bapak dan Akang-akang pekerja proyek," don't you dare mess with me!) The thing that invariably
    makes me feel so incredibly guilty that I shed tears every time I remember those "silly but also memorable
    moments with the handsome hotshot" is that no matter how cruel, spinning out of control, or "merciless" I
    was in our altercations, he never responded to my deeds with physical abuse or any offensive utterances.
    No one was around us during those moments, but God was the Witness. He saw what did happen between
    a damsel and her significant other, including every time the crème de la crème of good-looking lads
    coaxed
    his mesmerizing sweetheart through the maze of her feelings
    until she went from being upset and

    on the verge of tears to smiling, thrilling at what he'd said, feeling at peace, and regaining her poise.



    Since he came from a high-class family that'd never leave him lacking in any necessities or comforts,

    coupled with "sophisticated skills or an extraordinary talent to get any pretty girls he wants to be with," and
    perfected with his "keen intellect, elegant appearance, good manners, and cultivated tastes," it'd be natural

    for him if he chose to live his life as a "man devoted to the pursuit of pleasure." But that was not the story.
    Instead, he (along with his male cousin, who years later eventually married Mbak Suci) unexpectedly chose
    to enroll in the Indonesian Military Academy in Magelang, Central Java. Despite this, he and his male cousin
    could never convince their respective parents to grant them permission or blessings to pursue a career and
    serve in the Indonesian military. I think the reasons are vastly logical. The two lads are clearly of Caucasian
    descent, as seen by their physical looks. While most male Indonesian military academy cadets are between
    165 cm and 175 cm (above average for most Indonesian men), the two are nearly 190 cm tall. Mbak Suci
    said other reasons tha
    t might've made things difficult for them if they'd studied at the Indonesian Military
    Academy. They are "good-looking, strong, and healthy lads coming from privileged backgrounds" with good

    postures, muscular bodies (or V-taper physiques), and a deep baritone voice typeexuding confidence and
    charisma. When they walk into the room, people will turn their heads towards them—the "brutal truth" that

    could've grievously alienated them from other male Indonesian military academy cadets. However, she also
    revealed an "intriguing poss
    ibility." If her significant other (Steven's male cousin) had engaged to her at the
    t
    ime, and the only "obstacle" was the concerns of the parents about the alienation that the two lads might
    experience if they studied at the Akmil Magelang, Insya Allah, many of her relatives who have studied there
    and have now served in the Indonesian military would've gladly guaranteed the safety of them both.




    The young Steven ultimately studied at a vocational program (at an Indonesian state college) while

    working to gain experiences and key skills. When some (including me, frankly speaking) started to think he'd
    on
    ly be an affluent lad who didn't seem to have the "motivation to pursue higher education" as he's indeed
    had various pr
    ivileges from his family, surprisingly, after graduating from a vocational program, he decided
    to study at a well-known university in the US. During his stud
    y abroad program, he made a conscious effort
    to network and build profitable friendships with locals and other international students. It not only helped him

    improve and ace his American business English skills since AE differs quite significantly from BE—his native
    tongue—in many ways (and there were times when he had to struggle with understanding some idiomatic
    phrases in the US), but also opened up opportunities for business partnerships and future success. It's all
    proved to be a valuable investment in his business activities. Following his graduation, he promptly pursued
    a master's degree in Germany, which then made me realize that the saying "long-distance relationships

    don't work" was true! In deinem Fall werde ich eine Ausnahme machen, aber werde nicht übermütig!



    Mbak Rachel mengisahkan pula satu hal menarik lainnya. Kendati kini sang adik bungsunya itu memiliki
    suara "deep baritone"yang terdengar berat, sangat maskulin, dan laki bangets—pada masa kecilnya dulu,

    si bungsu sempat memiliki tipe suara soprano. Jadi, ada masanya, si Adék Kecil yang imut-imut itu bersuara
    nyaring atau melengking tinggi. Tetapi jangan salah yah, lagu-lagu yang sering dia nyanyikan tidaklah seimut
    perawakan fisiknya pada masa itu. Alih-alih menyanyikan "Dur dur d'être bébé !", "MMMBop" (euuuugh!),
    "Twinkle Twinkle Little Star", ataupun "Head, Shoulders, Knees, and Toes", eh... dia malah jago bangets
    menyanyikan lagu-lagu yang sebenarnya belum bole
    h dikonsumsi anak-anak seusianya. Mbak Rachel bilang,
    saudara-saudara sepupu, kawan-kawan sepermainan, dan circle mereka-lah (baik Americans, maupun Brits)
    yang "mesti bertanggung jawab" oleh sebab telah memengaruhi selera musik kedua adik kembarnya.

    Lagu-lagu yang sang Makhluk Handsome Bloody Handsome itu sering nyanyikan pada masa kecilnya,
    amat sangat berbeda dengan "lagu-lagu normal" yang lazim dinyanyikan "anak-anak manis seusianya" yang
    dilahirka
    n menjelang akhir dekade '90-an, sebagaimana aku dan sebagian kalian. Mbak Rachel menunjukkan
    sejumlah rekaman video masa kecilnya bersama si kembar—dalam bentuk camcorder tapes yang tentunya
    telah didigitalisasi. Aku saksikan adegan-adegan ketika si Adék Lucu Menggemaskan menyanyikan "
    Holiday
    in Cambodia
    " (versi Lȧȧz Rockit
    yang vokalnya melengking-lengkingbukan versi Dead Kennedys), "Nice
    Dreams
    " (
    yang dulu di Indonesia, awal '90-an, cukup populer di kalangan metalheads), serta "Antisocial"
    versi Anthrax—yang dinyanyikan dalam Bahasa Perancis! Lah, 'gimana ceritanya, dia bisa menyanyikan lagu
    itu?! Kata Mbak Rachel, dulu semasa di elementary school, atau di Inggris
    disebut sebagai "primary school",
    ada seorang guru perempuan—masih cukup muda
    —yang sejatinya bukanlah guru Steven, tetapi terindikasi
    "menyayangi" adik bungsu Mbak Rachel itu (bukan dalam konotasi seksual, yah). Si ibu guru termasuk BTL,
    tetapi bukanlah "Batak Tembak Langsung" (seperti Irma) melainkan "Belgia Tembak Langsung" oleh karena
    dia adalah seorang perempuan keturunan Belgia. Nah, Bahasa Perancis adalah salah satu "bahasa resmi" di
    Belgia, sehingga tidaklah mengherankan bila si Ibu Guru Tercinta yang Manis tersebut... heeiiiiiiyaaah... fasih
    berbahasa Perancis. Dia berkewarganegaraan Inggris, berdomisili di London, dan selalu aja bolak-balik antara
    Birmingham, London, Cardiff, dan Ipswich. Tersebab Bu Guru itu mempunyai relasi pertemanan yang cukup
    karib dengan keluarga Mbak Rachel, ya lambat lau
    n dia punya kedekatan personal dengan si bungsu.

    Di Inggris sana, bahasa-bahasa asing yang diajarkan di primary school, biasanya yah, adalah Bahasa
    Perancis, disusul Bahasa Spanyol, dan Bahasa Jerman. Orang-orang dari kelas
    menengah dan kelas atas di
    kota-kota besar di Inggris (termasuk keluarga Mbak Rachel) pada
    umumnya mengerti (bahkan menguasai)
    Bahasa Perancis. Bagaimanapun, untuk mendapatkan kemampuan berbahasa Perancis,
    ya tetap aja mesti
    melalui proses belajar. Singkat cerita, si Bu Guru tersebut, secara privat dan informal (di luar job description-
    nya), mengajari Mbak Rachel beserta si kembar. Nggak butuh waktu lama, si bungsu pun langsung menjadi
    "a teacher's kampr...", heiiish, maksudku, "a teacher's pet" atau murid yang paling disayangi dan mendapat
    perhatian teristimewa dar
    i ibu guru mereka. Bukan karena dia yang paling pinter, melainkan karena dia yang
    "paling luar biasa cerewet menanyakan ini dan itu". Ajaibnya, sang Bu Guru pun jadi sering bercerita banyak
    hal pada si bungsu. Lama-kelamaan, menjurus ke cur-hat pribadi. Tentu, bukan untuk mendapat solusi. Ya,
    iyalah, hay. Tidaklah mungkin seorang perempuan dewasa akan memperoleh solusi dari seorang anak
    yang
    masih duduk
    di bangku primary school. Yang bikin Bu Guru jatuh hati (atau "jatuh sayang") pada si bungsu
    tersebut, ya, karena si bungsu selalu aja sanggup menjadi seorang pendengar yang "baik", "antusias", dan
    "sangat terampil memberikan respons
    yang meluluhkan hati". Bakatnya sebagai "buaya lumutan", agaknya
    udah mulai terlihat sejak kecil. Si Bu Guru itu terlihat bahagia bangets, setiap kali ceritanya direspons dengan
    derai tawa yang natural atau ungkapan-ungkapan naif (dan terkadang blo'on) dari seorang anak kecil.




    [​IMG]
    Nothing lasts forever. Waktu berlalu sampai akhirnya, si Bu Guru tersebut pun mesti menjalani bentuk
    kehidupan yang baru—dan setahun kemudian, Mbak Rachel sekeluarga hijrah pula ke Indonesia. Perpisahan
    dengan sang "Ibu Guru Tercinta yang Manis dan Sangat Mengasihinya Sepenuh Hati dan Jiwa", pasti bukan

    suatu momen yang bisa dibilang menyenangkan bagi si "Buaya Kecil" atau "Komodo Junior" itu. Kendatipun,
    "cinta kasih" di antara sepasang insan yang memiliki disparitas usia sangat jauuuuuh itu, paling-paling, hanya
    sebatas "cinta Platonik" (atau, rasa cinta kasih yang sama sekali tak menyertakan nafsu berahi sedikit pun),
    toh, tetap aja, dia merasakan separuh jiwanya pergi. Puiiihhhhh! Pernyataanku itu bukanlah sekadar asumsi,
    ataupun hipotesis ngawur yang tidak berpijak pada data dan fakta. Mbak Rachel sendiri yang menceritakan,

    dari ketiga bersaudara, hanya si bungsu yang seolah tak bisa dengan mudah melepaskan "ikatan emosional
    yang tulus" dengan Ibu Guru mereka. Nah, si bungsu mengekspresikan "rasa kehilangannya" dalam bentuk
    menyanyikan lagu-lag
    u yang sungguh tak terbayangkan oleh Mbak Rachel—dan Steven yang sulung.

    Bisa-bisanya, seorang anak yang berstatus murid primary school—belum disunat pula!—menyanyikan
    lagu-lagu perpisahan yang mendayu-dayu nian. Ada "Streets of Broken Hearts" (coba deh, kalian simak

    lirik lagunya pada bagian: "But those were empty promises... and now I live the lonelinessss...", yang mesti
    dinyanyikan deng
    an vokal yang tinggi bangetsss!). Ada "Summer Luv" ("Why do I have to lose the one I
    searched so long to find?"
    Hiiih, gombal bangets, Nyong!). Ada "Lonely Boy" (yang lirik lagunya "terpaksa"
    mesti Mbak Rachel modifikasi dulu—karena jelas-jelas bermuatan "offensive words"). Ada "The Last Song"
    (
    "When I lost my way, you were my light," Heiish. Was she truly the light who illuminated your way? "When
    others wronged me, you did me right..." Bangun kau, Nyong! How could you say such hurtful words to the

    people who've always loved and taken care of youa "wayward and rebellious" pre-teenagerjust because
    there was an alluring female teacher who treated you with somewhat excessive affection? Eh, iya. Kamu itu
    ceritanya lagi meratapi "cinta pertamamu". Udahlah, Sayangku.
    Ditinggal pergi, bukan berarti dia bakal balik
    lag
    i!). Ada "Nobody Knows" ("I carry a smile when I'm broken in two... and I'm nobody without someone
    like you..."
    Jang padede bagitu, Nyong. Ngana bilang aja bagini: "Ibu Gur
    u Cantik... Kita pe sayang, kita pe
    rindu, kita pe cinta, cuma pa ngana. Ngana beking sanang kita pe hati... jang beking kita pe hati tapukul..."
    "Heiyah, percuma. Dékné ora bakal mudeng," kata Ajeng. Kalau si Ibu nggak 'ngerti, "Ibu-ibu" lainnya akan

    langsung bisa secara gesit menangkap "kode keras" yang seperti itu!). Lagu lainnya, "Walking After You"
    (versi OST dari film bioskop The X-Files yang dirilis 1998, "
    If you'd accept surrender, I'll give up some more,
    weren't you adored?"
    , jauuh
    lebih mendayu-dayu daripada versi asli di album The Colour and the Shape).
    Ada pula "Shy Diane", yang meski sama sekali bukan lagu perpisahan,
    bikin Mbak Rachel sedih bangetsss,
    tiap kali menonton video rekaman camcorder saat adik bungsunya (yang saat itu masih kecil) menyan
    yikan
    lagu tersebut. Karena penasaran, ya aku iseng menyaksikan videonya. Jabang bayik. Beneran bikin 'nangis.
    Bagai kisah pilu kasih tak sampai a die-hard fan pada idolanya. Hahaha... (oops!) Kasian kau, Nyong!



    Mbak Rachel menceritakan hal menarik lainnya yang kian membuatk
    u iba pada si adik bungsunya itu.
    Alkisah, seperti umumnya anak laki-laki lainnya yang mengalami transformasi fisik dalam masa pertumbuhan
    (atau menjelang pubertas), si Adék Kecil pun tidak terkecuali. Dia mesti menghadapi kenyataan berubahnya
    karakter suara—secara natural. Kata si Mbak, ada masanya Steven uring-uringan karena dia nggak bisa lagi
    menyanyikan lagu-lagu dengan nada tinggi. Kalau dipaksakan, kualitas nyanyiannya malah terdengar hancur
    lebur, porak-poranda, simpang siur, amburadul tidak karuan. Yang membuat aku terharu, betapa pu
    n Mbak
    Rachel masih menyimpan beberapa rekaman video camcorder yang ada korelasinya dengan hal itu, dia tak

    mau menunjukkan satu pun padaku. Seolah ingin melindungi adik bungsunya itu agar tak kutertawakan. Ya,
    soalnya, kualitas vokal si Adék—pada masa transformasi fisiknya tersebut—benar-benar tidak karuan.

    Belakangan, Makhluk Handsome Bloody Handsome itu justru sangat-sangat-sangat mensyukuri ihwal

    perubahan karakter vokalnya. Ia mulai menyadari, tipe suara "deep baritone"-nya yang terdengar maskulin,
    berat, dan "laki bangets", ternyata laksana "senjata canggih dan sangat mematikan", yang luaaaaaar biasa

    ampuh untuk bikin para perempuan—yang berorientasi seksual straight—terpesona, klenger, mabok, lunglai,
    klepek-klepek tak berdaya. "Ah, lebay banget. Situ menyanjung Stevie seperti itu karena situ 'ada hati sama
    dia'! Saya sih, nggak percaya statement situ!" Tidak apa-apa. Ketika Anda meragukan pernyataan saya, itu

    artinya Anda bisa bersikap kritis dan takkan mudah memercayai apa yang Anda baca. Memang seharusnya
    seperti itu. Bagaimanapun, saya berdoa kepada Sang Maha Kuasa, agar Dia berkenan menunjukkan bahwa
    pernyataan saya di atas itu sama sekali bukanlah bentuk kebohongan. Semoga aja, Dia menciptakan situasi
    ketika Anda (yang perempuan) bertemu dengan si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu dan Anda pun
    mesti terlibat percakapan dengannya—sehingga Anda akhirnya mengakui kebenaran statement saya.



    "Ah, kenapa mesti bawa-bawa nama Tuhan segala?! Lebay!" Oh, 'gitu, yah?! Baiklah, aku akan pakai
    Bahasa Setan dan Iblis yang akan langsung Anda pahami: Semoga aja, akan ada situasi, ketika Anda (yang
    perempuan) sedang mengalami patah hati yang sangat parah, kehilangan rasa kepercayaan diri yang kronis
    dan seolah takkan bisa menemukan pria baik mana pun. Qadarullah.... eh, penganut Bahasa Setan macam

    Anda pastilah kepanasan mendengar ungkapan islami seperti itu, yah? Aku ganti aja diksinya: Sewaktu Anda
    (yang perempuan) tengah mengalami keterpurukan emosional yang parah, seakan antipati terhadap segala
    hal yang "beraroma cinta-cintaan", eh... tau-tau, Anda berjumpa dengan Steven-ku Tersayang. Anda yang

    sebelumnya sinis bangets, mencibir pernyataanku di atas perihal pesona dan kualitas diri Steven, mendadak
    terkesiap, terpana, dan tertegun ketika dia tiba-tiba aja, bertanya sesuatu pada Anda, dengan suara "deep
    baritone"-nya, yang sungguh mematikan. Demi melihat penampilannya, dari ujung rambut (rambut kepala!)
    hingga ujung kaki, yang aku haqqul yaqin, pasti akan Anda nilai "100% good-looking"—terlepas dari apa pun
    preferensi pribadi Anda—serta mendengar suara maskulinnya, nan seketika membangkitkan imajinasi tergila

    atau terliar (yang sejatinya, selama ini diam-diam bersemayam dalam diri Anda)... tanpa Anda sadari, Anda
    pun akan 'ngeces tiada henti, 'ngiler-'ngiler, nggak karuan. Sehabis Anda berbincang sejenak dengannya, dia

    berterima kasih dan berpamitan pada Anda. Lantas, Anda merasa seperti "ada sesuatu yang dicabut paksa
    dari dalam diri Anda". Dada Anda pun seketika terasa sesak, tetes air mata mengalir, tak tertahankan. Hari-
    hari Anda pun tak akan pernah lagi sama. Anda meratap, andai Steven-ku Tersayang yang bersuara "deep

    baritone" (dan akan Anda interpretasikan sebagai: "suara kebapakan") menjadi milik Anda. Yang melindungi,
    menafkahi lahir batin sehingga Anda pun merasa tercukupi, mengeloni dan meninabobokan Anda di ranjang,

    setelah kalian berdua bermandikan peluh (puuuiiiiiiihhh!), sembari menyanyikan "Flesh and Blood" di telinga
    Anda dengan suara mautnya, "Flesh and blood needs flesh and blood, and you're the one I need..."


    [​IMG]
    Kemudian, Anda tersadar dari lamunan, Steven-ku Tersayang itu, bukan milik Anda... hahahahahaha!



    "Ah, kenapa bahasa yang Anda gunakan kejam sekali?" Hey, aku sebelumnya menggunakan bahasa

    yang sangat normatif, memohon kepada Dia Yang Maha Kuasa agar "bilamana ada orang yang meragukan
    statement-ku, sudilah kiranya Dia menunjukkan, bahwasanya statement-ku sama sekali bukan kebohongan,
    bukan impian kosong melompong." Bukan pula hasil 'ngarang bebas. Eh, malah dibilang, "Ah, lebay. Kenapa
    mesti bawa-bawa nama Tuhan segala?!" Kalau begicu, aku ganti dengan Bahasa Setan dan Iblis—yang bisa
    Anda pahami. Aku mah, "bisa main halus, bisa juga main kasar". Paham kau?! Jawab! Kenapa diam?!

    "Kauhina diriku... aku diam... ihik... orang tua diomelin... aku udah tua malah diomelin..." Yaa salaam!
    Padahal, aku udah sebar kepiting yuyu di segala penjuru biar si Pawang Tuyul ini tidak akan bisa dekat-dekat
    lagi denganku! Ih, masih datang aja! Ada perlu apa, Tante?! "Orang udah tua diomelin... mentang-mentang

    kamu itu cantik, depan belakang seksi, putih-mulus." Heh, kenapa situ jadi 'nyanjung-'nyanjung aku macam

    itu?! Jangan gila 'gitu ya, Buk! Aku ini perempuan straight 100%! "Aku juga straight, tauk! Ihiks... orang tua
    malah disangka sekong..." Situ bisa nggak sih, sehari aja, nggak 'ngelantur dan nggak oleng ke mana-mana
    kayak 'gitu?! Statement-ku di atas itu bukan buat Tante. Situ udah punya lekong lagi, 'kan?! Mustahil Steven

    akan mengajak berbincang andaipun dia "secara tidak sengaja bertemu dengan situ". Aib besar baginya bila
    dia sampai bodoh menjalin hubungan asmara dengan binor, atau "perempuan mana pun yang terkonfirmasi
    udah punya pasangan", meskipun "sang perempuan baru sebatas berpacaran dengan seorang pria".


    Setelah melalui proses pendewasaan diri, sikapnya kini cenderung "hitam putih". Jikalau dia mendapati
    seorang perempuan (siapa pun orangnya, termasuk aku!) resmi memperlihatkan kekasihnya ke publik, yah,
    selesai sudah! Sebagai pria yang "menikmati inflasi perempuan" atau "berkelebihan stok pilihan" (puuiiiiihhh!),
    ego kelelakiannya terlalu angkuh untuk "mengharapkan cinta" dari perempuan mana pun yang udah terlihat

    nyaman dengan pria lain. Lain soal, jika si perempuan terkonfirmasi sebagai lajang. Masuk itu barang.

    "Jadi.... maksud kamu... barangnya dia... barangnya dia... masuk ke..." Bukan 'gitu maksudku, Buk!

    Hadeuh! Aku nggak perna
    h bisa 'nahan emosi kalau ketemu Tante Oleng satu ini! Frasa "masuk itu barang"
    telah menjadi satu idiom populer di masyarakat. Dulu, Elias pernah bikin analogi menarik: "Steven baru akan
    turun ke 'hutan dan rimba yang terbakar', saat dia sudah yakin sanggup 'memadamkan hingga tuntas'. Dia

    tidak akan bertindak tanpa kalkulasi matang dan perencanaan—yang malah akan membuat area hutan dan
    rimba yang terbakar, kian meluas." Ucapan itu pun tak boleh diartikan secara harfiah. "Kaubakar hutanku...

    aku diam..." Nah, bagus, Buk! Terusin gilanya, yah! Bisa-bisanya 'ngaku punya hutan. Paling juga potongan
    lakban warna hitam yang ditempel. Dari dulu 'kan, gundul... nggak bisa tumbuh bulu. "
    Maksud kamu apa?!"
    Heeeiiiiiisyaah, 'nyamber aja! Aku itu sedang 'ngomongin kucing-kucing Sphynx punya Kak Steven!




    Ketika banyak nian orang mengglorifikasi lagu-lagu (atau film-film) bertema perselingkuhan, hubungan
    gelap, dan pengkhianatan terhadap pasangan sah, dia malah acap menyanyikan—sembari memainkan gitar
    akustiknya—lagu "Unanswered Prayers" dengan harapan biar nantinya, jika dia berstatus sebagai suami,
    dia senantiasa sanggup bersetia pada istri tercinta. Kalian yang nggak membenarkan "perselingkuhan dalam
    pernikahan" pastilah akan bisa "terkoneksi seketika" dengan lirik lagu/balada antimainstream tersebut.

    [​IMG]
    Laki-laki bukan cuma dipegang omongannya, tetapi mesti pula dicermati rekam jejaknya. Banyak pria
    yang bisa membawakan (atau bahkan menciptakan) lagu-lagu romantis. Toh, jika track record-nya gombal,
    belepotan noda dan cela dalam memperlakukan perempuan, yah keromantisannya pun hanya akan bernilai
    selevel "barang rongsokan atau kaleng rombeng tajam berkarat, yang akan melukai Anda, membuat Anda

    terpapar Clostridium tetani penyebab tetanus". Alhamdulillah, sejauh ini, dia bukan tipe pria seperti itu.

    Mungkin aja selama ini Anda merasa skeptis, takkan percaya bahwa sosok pria seperti Don Draper,

    karakter utama di dalam serial TV Mad Men (yang ber-setting awal dekade 1960-an, hingga akhir 1970-an),
    seorang pria yang penampilan serta suaranya bikin klepek-klepek para perempuan, akan bisa Anda temukan
    di kehidupan nyata, di bumi Indonesia kita tercinta (heiiiisshah...). Kenyataannya, Qadarullah, laki-laki seperti

    itu beneran ada. Ya, salah satunya, Kak Steven Bloody Handsome. Secara objektif, aku bisa terpukau pada
    vokal/tipe suara dan sekelumit kharisma nan tersua dalam diri Mas Don Draper. However, since I am
    (according to many people's sincere assessments) an "attractive young woman" who has firmly adhered to
    a clean and health
    y lifestylein other words, "I have proudly practiced teetotalism (abstaining from alcohol),
    hav
    e never smoked, done drugs, or engaged in 'any form of sexual activity outside of legal marriage' (not
    eve
    n just 'petting without sexual penetration' or 'non-penetrative sexual acts'), and have vehemently stuck
    with my workout routine," I will certainl
    y never choose Mas Don Draper as a man I adore or idolize, as
    the lifestyle he adopts is clearly at odds with mine. Mana bisa ia berlari jarak jauh seperti Kak Steven?


    [​IMG]




    Aku akan mengajak kalian semua "belajar sejarah", ya. Semenjak masa-masa awal perjumpaan dan

    perkenalanku dengan Kak Steven Bloody Handsome "I can't help it if you look like an angel", langsung
    tercipta banyak sekali momen indah, edan, mengejutkan, tidak diskenariokan, di luar nalar, absurd, dll, yang

    tidak akan mungkin bisa terlupakan. Meski saat itu aku masih jauh lebih polos dibandingkan aku saat ini, toh,
    aku tak terlalu polos ataupun bodoh untuk bisa menyadari bahwa sang "partner berasmaraku" yang baru ini
    adalah seorang pria yang amat jauh berbeda dari "korban-korbanku sebelumnya". Dia adalah tipe pria yang

    tak akan sudi melakukan "copy and paste" dari berbagai perilaku romantis klise yang bertebaran di dunia ini.
    Ketika kebanyakan pria akan berusaha melakukan sentuhan fisik padaku, manakala aku "memberikan sinyal
    penerimaan cinta dari mereka", entah dalam bentuk memeluk, mengecup mesra, membelai (yang pastinya
    akan selalu berujung dengan penolakan tegas tanpa tedeng aling-aling dariku karena aku nggak segampang

    itu untuk bisa seenaknya aja mereka pegang atau sentuh), eh, si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu
    justru mampu menunjukkan pesona, karakter, dan kualitasnya tersendiri sebagai "a high-value man".


    Alih-alih cuma menelan mentah-mentah berbagai definisi "cinta dan romantisme" dari sumber-sumber

    picisan, dangkal, dan banal, ataupun meniru-meniru secara menyedihkan dan menggelikan berbagai adegan
    cinta yang tersua dalam "produk-produk hiburan komersial"—yang dimaksudkan untuk membuat insan-insan
    kesepian larut, tenggelam dalam khayalan, sehingga mereka akhirnya malah menangisi getirnya kenyataan,

    si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu justru memperlihatkan "berbagai perilaku ajaib dan sensasional"
    yang nggak pernah kudapatkan dari "korban-korbanku sebelumnya". Misalnya aja, dia meminta supaya aku
    membolehkannya datang ke rumah, untuk memperkenalkan dirinya pada Mama-Papa dan seluruh kakakku.

    Konsekuensi logis dari "menjalin hubungan denganku", ya, mestilah mau berbaur dengan keluargaku.

    Padahal, "korban-korbanku sebelumnya" langsung ciut nyali begitu mereka mengetahui "Papa galak".




    [​IMG]
    Sayangnya, pada masa-masa awal perkenalan kami itu, aku masih dihinggapi sebentuk kekhawatiran.
    Tanpa hent
    i bertanya kepada diriku sendiri: Will the astute, strapping, and good-looking lad who has "brutally
    aroused my feelings," "excited my passions and emotions," "exhaustively melted my heart," and "intensely

    made it bloom, flutter, and smile at the same time so that I have surrendered and fallen head over heels in
    love with hi
    m" be strong enough to withstand my dearest Papa's uncompromising firmness or inhospitable
    attitudes? Sebagaimana sebagian kalian ketahui, background
    -ku adalah "a woman of Minahasan and Filipino
    descent". Udah bukan rahasia lagi, kedua entitas itu diketahui "kebarat-baratan". Mama dan Papa pun tidak
    mengingkari fakta tersebut. Yah, memang 'gitu. (Meski tentu ada hal-ha
    l yang melatarbelakanginya.)



    Namun demikian, Papa adalah seorang kepala rumah tangga yang sangat-sangat-sangat konservatif.
    Soal pendidikan atau teknologi, boleh mengikuti masyarakat Barat. Toh, beliau menentang "budaya permisif

    dan pergaulan bebas". Saking tegasnya, Papa selalu mewaspadai pria mana pun yang mendekati kami (aku
    dan semua kakak perempuanku). Sikap Papa itulah yang (dulu) membuatku belum mengizinkan Kak Steven
    berkunjung ke rumah kami. Aku hanya berpikir pragmatis. Si Makhluk Handsome Bloody Handsome—sesuai
    sebutanku tersebut—adalah seorang pria "limited edition", jarang ditemukan di pasaran, nggak bakal diobral.
    Atau, ibarat kata: "Barang bagus yang takkan dilepas perempuan mana pun yang bisa menggenggamnya."
    Adalah "dosa tak berampun" bagiku bila dia sampai terlepas hanya karena sikap Papa yang keras. Akhirnya,
    sembari aku mencari cara atau menyiapkan strategi untuk meluluhkan sikap keras Papa, aku meminta sang
    pujaan hati bersabar. Akan tiba waktunya kubawa dia ke rumah, dan kuperkenalkan pada keluargaku.


    Eh, alih-alih mematuhi atau mengikuti instruksi yang telah kubuat, dia justru bertindak di luar skenario.
    Pada suatu malam, sewaktu aku dan kakak-kakak perempuanku sedang menyaksikan film di ruang keluarga
    rumah kami, secara tiba-tiba, telepon rumah berdering. (Masihkah kalian punya telepon rumah?!) Walaupun

    sempat mengejutkan kami, rasa-rasanya semua dari kami beranggapan: "Ah. Paling juga salah sambung!"
    Toh, salah seorang kakakku bergegas menjawab panggilan telepon itu, biar nggak terus-menerus berdering.
    Yang mengagetkan, dia mengatakan padaku, "Buat kamu, nih. Dari dosen..." Padahal, aku sama sekali tak
    pernah memberikan nomor telepon rumah kami pada dosen mana pun—di satu PTN tempatku kuliah (S-1).
    Begitu aku merespons di telepon, terdengar suara "deep baritone" si Makhluk Handsome Bloody Handsome

    yang menyapa sang perempuan terkasihnya. Meski aku sempat menyoal dari mana dia mengetahui nomor
    telepon rumah kami, oleh sebab tak sekali pun aku pernah memberitahukannya, dia dan aku segera terlibat
    "perbincangan bilateral jarak jauh". Setelah mendekati satu jam, kakak perempuanku—yang tadi menjawab

    panggilan telepon tersebut—mulai merasa curiga, dan berbisik-bisik dengan kakak-kakakku yang lain. Kenapa
    Adék Bungsu ini telepon-teleponan mesra bangets, terus-terusan diiringi derai tawa renyah, dengan seorang

    pria bersuara berat dan terindikasi berusia jauh lebih tua?! Apa pantas seorang dosen pria telepon-teleponan
    dengan mahasiswinya sampai semesra itu?! Seorang kakakku berinisiatif membangunkan Mama-Papa, yang
    memang sudah tidur pada waktu itu, agar melihat langsung "perilaku gendheng" sang putri bungsu mereka.

    Mama-Papa muncul di ruang keluarga rumah kami tepat saat aku kembali berderai tawa karena Kak Steven
    mengisahkan satu "anekdot yang sangat berbahaya bagi seorang gadis polos sepertiku", terkait mata kuliah
    Struktur Beton Bertulang. Ketika aku menyadari "Komandan Provost keluarga kami" terlihat marah, aku pun
    segera mengakhiri "perbincangan bilateral jarak jauh" (yang kejenakaannya masih terasa hingga kini).


    Pada malam itu juga, aku langsung menjalani "sidang kode etik" keluarga kami. Aku diminta mengaku
    secara jujur: "Sudah berapa bulan?!" Heeeiiiiissshh... maksudku, aku ditanya, sudah berapa bulan mengenal
    dan menjalin hubungan cintah mesrah, terlarang, terkutuk, terjahanam dengan si Om itu?! Apakah betul dia
    adalah dosenku?! Semua itu gara-gara kamu, Nyong! Bisa-bisanya, kamu 'ngaku-'ngaku sebagai "dosenku".
    Kakak-kakakku pun memintaku memberikan foto-foto—atau video—yang bisa menjadi bukti-bukti valid (dan

    meyakinkan), bahwasanya sang pria yang berteleponan denganku bukan spesies bapak-bapak atau om-om
    "yang usianya jauuuh lebih tua dariku". Kujawab, "Aku nggak punya video atau fotonya..." Padahal sih yah,
    bohong bangetsss. Sedari masa-masa awal aku berjumpa, berkenalan, dan intens berinteraksi dengan sang
    Makhluk Handsome Bloody Handsome itu, aku udah geregetan, tak kuasa menahan diri untuk tak memfoto
    dan memvideokan dirinya. Ada "sebuah foto bersezarah"—yang proses pengambilan fotonya dilakukan oleh
    teman SMA-ku, Ursula—saat aku secara tiba-tiba, memeluk Kak Steven (yang sedang duduk) dari belakang
    tanpa sama sekali dia perkirakan. Secara objektif, hasilnya bagus bangets-bangets-bangets! Eh, Kak Steven

    justru mengecam "perilaku tak senonoh" itu. Selama berhari-hari, dia terus "memarahi dan mengingatkanku
    supaya aku jangan mengikuti arus permisivisme yang ada di masyarakat". Bila aku tetap ndableg, aku akan

    dia "unfollow" tanpa ampun. Belakangan, aku mendapat info-info valid: Idealismenya itu berlaku menyeluruh
    "pada perempuan mana pun yang dekat dengannya". Dia jelaslah berbeda dengan pria kebanyakan.


    Akhirnya—untuk memupus prasangka buruk—aku ajak kakak-kakakku bertemu langsung dengannya.
    Malam itu, aku laporkan padanya via telepon (bukan telepon rumah) perihal "huru-hara yang terjadi" karena
    ulahnya yang tadi iseng 'ngaku-'ngaku sebagai dosenku. Singkat cerita, demi "merehabilitasi nama baikku" di
    mata keluargaku, aku mengatur pertemuan dengannya—yang juga akan dihadiri oleh kakak-kakakku.



    [​IMG]
    Setelah Hari-H, Jam-J, serta lokasi pertemuan ditetapkan, aku dan kakak-kakakku pergi ke tempat itu
    (aku pun sebelumnya telah menelepon Kak Steven, mengonfirmasikan jadi atau tidaknya pertemuan kami).
    Akhirnya, aku dan kakak-kakakku tiba di lokasi sesuai titik koordinat yang telah disepakati. Eh, kakak-kakakku
    langsung shocked sejadi-jadinya... tersebab yang menyambut kami sambil tersenyum ramah, justru adalah
    seorang pria paruh baya, yang berpenampilan keras-kasar-sangar, seperti karakter Marcus Alvarez dalam
    Sons of Anarchy (dan "spin-off"-nya, Mayans M.C.). Beliau adalah Pak "Tam" (waktu itu aku pun tak kenal,

    atau belum kenal dengan beliau), yang belakangan kuketahui sebagai kepala bengkel spesialis motor ber-CC
    gede di bengkel milik Zees. Saat kakak-kakakku (dengan paksa) mengajakku pergi dari situ, beliau buru-buru
    bilang bahwa beliau diminta Kak Steven "berjaga di situ", karena makhluk tersebut sedang membeli mangga
    (sembari menunjuk ke arah para penjual buah, tidak jauh dari situ). Nggak berapa lama, dia datang, sambil
    diiringi teman-temannya yang membawa beberapa plastik berisi mangga segar dalam jumlah banyak.

    Toh, dia lalu "mengusir" mereka semua, supaya bisa berbincang privat denganku dan kakak-kakakku.
    Dia mengawali perbincangan dengan memberikan berkilo-kilo buah mangga itu pada ak
    u dan kakak-kakakku.
    Sembari tersenyum puas "penuh kemenangan", aku katakan pada kakak-kakak perempuank
    u bahwa si pria
    bersuara "deep baritone"yang mereka curigai sebagai "bapak-bapak atau om-om"—ternyata masih muda

    bangets, 'kan? Tinggi-gede (gede yang natural, tanpa menggunakan HGH ataupun PED), good-looking, dan
    yang terpenting, berminat padaku. Eh, makhluk itu tetap nggak kehilangan keisengannya. Dengan memakai
    Bahasa Indonesia ngawur (seperti para ekspat yang tidak/belum bisa berbahasa Indonesia), dia berbincang

    dengan kakak-kakakku. Karena kami fasih dan lancar bercakap dalam Bahasa Inggris, seorang kakakku pun
    mengatakan agar Makhluk Handsome Bloody Handsome itu menggunakan Bahasa Inggris aja. Tau nggak?!
    Dia malah iseng 'ngaku-'ngaku nggak bisa berbahasa Inggris. Meski nggak berambut pirang, dan nggak pula
    "berkulit pucat", toh, paras gantengnya 'kan, tipe muka bulé bangets. Keisengannya berperan sebagai sang
    "ekspatriat blo'on yang berpendidikan rendah" sedemikian meyakinkan (dan menjengkelkanku!). Dia katakan
    pada kakak-kakakk
    u, "En, saya orang suka sekali sama ini Renata... Tapi, saya tidak mau jadi mualaf. Saya
    en, udah bilang sama ini Renata kemarin di telepon... saya tidak mau disunat..." (Dengan "logat mbelgedes

    bulé blo'on" seperti di film-film jadul Si Pitung dan sekuelnya.) Kakak-kakakku cuma terdiam. Tidak tau mesti
    'ngomong apa. Tak lama kemudian, seorang temanny
    a datang, membisikkan sesuatu. Eh... dia menjawab,
    dengan ekspresi pura-pura marah—dan tetap memakai logat mbelgedes: "Ah, tidak bisa begitu! Saya orang
    mesti Shalat Ashar berjamaah dulu..." Salah seorang kakakku tertawa secara spontan, diikuti kakak-kakakku
    yang lain. Aku justru gemessssssssssssssss bangets. Ak
    u timpuk dia dengan kertas yang udah diuwel-uwel,
    saking merasa jengkel dengan ulahnya. Ya, iyalah, dia itu 'kan, udah Muslim sejak lahir, udah disunat.




    [​IMG]
    Meski ada banyak hal ingin kuceritakan, saat ini lebih baik aku bercerita tentang hal-hal yang berkaitan
    dengan tema postingan-k
    u kali ini. Alkisah, beberapa waktu lalu, sang Makhluk Handsome Bloody Handsome
    bersama orang kepercayaannya melakukan rangkaian aktivitas pertunjukan ketoprak... heiyaah, maksudku,
    rangkaian aktivitas biznes-nya dengan para VVIP (yang pastinya, tak selevel denganku, karena siapalah aku
    ini dibandingkan mereka. Kauhina diriku... aku... idih, kenapa pula aku ikutan-ikutan si Balak Enam itu?!), dan
    juga sekaligus melakukan pemantauan situasi lapangan secara incognito terkait dengan "feasibility study dari
    profitable projects, yang diajukan para stakeholders". Di sela-sela aktivitas itu, secara tidak terduga, mereka

    (wabil khusus Zees, Pascal, dan Ibpara anggota tim lapangan) bertemu Kak Harini Sondakh, yang sedang
    menjalani proses syuting sebuah program kuliner salah satu stasiun TV. Zees bilang, "Ib dan Pascal kepingin
    berfoto bersama [Kak] Harini..." Sayangnya, keterampilan atau "jam terbang" mereka soal "mendekati dan
    berinteraksi dengan para perempuan" parah bangets-bangets-bangets! (Mereka sendiri mengakuinya.) Nah,
    supaya mereka jangan sampai melakukan hal blo'on dan memalukan—sebagaimana adegan film ini—Ib
    dan Pascal meminta agar Kak Steven Bloody Handsome mau "membuka jalan". Semula, ia menolak karena
    fokus utamanya saat itu adala
    h "feasibility study". Lah, tiba-tiba aja ia berubah pikiran setelah Pascal dan Ib
    mengatakan bahwa Kak Harini "memiliki kesamaan dengan Renata dan Mbak Vies". "Sama-sama keturunan
    Minahasa, good-looking, dan piawai bermain bola basket." Sewaktu tiga serangkai itu ingin menghampiri

    Kak Harini, eh, tau-tau Lieke—yang baru datang—bilang, "[Kak] Harini, 'kan, udah punya pacar..." Seketika,
    "El Comandante Steven", si "Pimpinan Operasi Intelijen", memerintahkan: "Abort... abort mission!"


    Mungkin aja banyak di antara kalian yang akan menganggap sikapnya yang "hitam putih" itu "lebay".

    "Aiih, sampai segitunya... biasa aja keuleus! 'Kan, cuma ingin berfoto dengan public figure. Yang penting itu,
    mintanya secara baik-baik, sopan, dan nggak aneh-aneh!" Toh, dia tak sependapat. Jikalau si public figure
    adalah perempuan yang terkonfirmasi telah menikah, atau mempunyai pacar/kekasih/calon suami, ya, mau
    tak mau, para pria seperti mereka wajib berhati-hati. Kagumi aja si perempuan dari jauh, tidak perlu berfoto
    berdua dengannya, betapa pun si public figure nan memesona itu mengizinkan. Lebih baik bersikap hati-hati,
    daripada kita meremehkan segala sesuatunya, tetapi kemudian malah merusak kehidupan orang lain.



    Eh, kendati udah panjang lebar menasihati para anak buahnya secara tegas, lah... kok ya, dia malah
    melakukan perbuatan yang berisiko disalahtafsirkan. Memainkan lagu-lagu yang sebagian liriknya dimodifikasi

    sehingga "jadi agak-agak mencurigakan"—karena ada terdengar nama "Harini" yang disebut-sebut. Namun,
    kami yang cewek-cewek seketika teringat. Yuvi punya nama asli (atau nama lengkap) yang ada "Arini"-nya.

    Lain lagi dengan Mbak Vies. Beberapa waktu lalu, dia mendapatkan tambahan nama "Hardini" dari Makhluk
    Handsome Bloody Handsome itu. Sebelumnya, Mbak Vies punya nama tambahan "Gerasimova" pemberian
    si Ratu Ayu Kayangan (sang rival terberatku!), tersebab saban kali si Mbak mengikat rambutnya, dia terlihat
    mirip Yulia Gerasimova. Aku pun nggak mau kalah. Kuberinya nama tambahan "Aryati". Karena apakah?
    Tak akan kukisahkan di sini. "Biar menjadi rahasia Kak Steven, aku, dan Mbak Vies." Belakangan, Mbak Vies
    membuat nama tambahan untuknya sendiri. Sebagai seorang "janda muda, cantik, tanpa anak" (yang dulu
    pernah jadi korban KDRT—sebelum akhirnya bisa diselamatkan Kak Steven dan slagorde kami), tidak punya
    seorang jua sanak saudara di Jawa, menjalan
    i kerasnya kehidupan sebagai anak rantau nan sebatang kara,
    Mbak Vies sering kali merasa nelangsa. Namun, dia sama sekali nggak ingin kembali berumah tangga.

    Nah, kegalauan Mbak Vies itu—yang tidak jarang pula, diiringi dengan deraian air mata—selalu dihalau
    oleh Makhluk Handsome Bloody Handsome, si "big boss" yang mempekerjakannya sebagai aspri dan sespri

    (awas, jangan kalian fitnah macam-macam!). Dihalau dengan cara-cara efektif dan terhormat—tanpa mesti
    melakukan sentuhan fisik. Nggak perlu menggenggam tangan, merangkul, memeluk, atau menc
    ium.


    Kak Steven hanya melakukan pendekatan elegan nan tepat sasaran. Dia mengutip ungkapan populer
    (dalam Bahasa Inggris): "The same boiling water that softens the potato hardens the egg. It is about what

    you are made of, not the circumstances. The same fire that melts the butter hardens the steel. The same
    air that softens crackers hardens bread." Kita selalu punya pilihan. Situasi (atau takdir) bisa bikin kita lembek

    (bahkan hancur lebur), atau justru "membuat kita tangguh, tahan banting, dan nggak cengeng". Mbak Vies
    sangat-sangat-sangat termotivasi dengan perkataan dari big boss-nya (yang belagu bangets itu!), karena si
    big boss sama sekali bukan tipe "orang yang cuma bisa omong gede, tanpa bisa mengimplementasikan apa
    yang dia katakan". Pada Oktober 2019, Kak Steven Bloody Handsome pernah mengalami kecelakaan—saat
    'ngebut menaiki motor Harley—yang bisa dikatakan parah bangets. Aku pun sampai 'nangis sehari-semalam
    tak karuan. Toh, peristiwa itu tak bikin dia hancur. Dia bisa bangkit, saat orang lain memilih menyerah.




    Nah, "kata kunci" dari wejangan si Mbah Dukun Kak Steven di atas adalah: "harden" atau "hardens".


    [​IMG]


    Singkat cerita, akhirnya, Mbak Vies ingin memakai kata "harden" untuk dijadikan nama tambahannya,
    biar dia "ketularan menjadi tangguh dan tahan banting" seperti big boss-nya. Eh, sang big boss tidak setuju,
    tersebab nama tambahan "Harden" bisa dijadikan "candaan brutal" oleh Renata dan Irma, para perempuan
    bandel yang tak cuma suka bermain bola basket, tetapi rajin pula menonton serta mengikuti perkembangan
    Liga Bola Basket dunia—wabil khusus: NBA. Di NBA itu, ada seorang pemain Afro-Amerika, James Harden,
    yang mudah dikenali dari facial hair-nya yang amat lebat. Sebagai perempuan tulen, Mbak Vies ya, pastinya
    tak mungkin punya bulu-bulu lebat di wajah. Toh, aku dan Irma bisa aja mengait-ngaitkan dengan bulu-bulu

    area-area lain di tubuh si Mbak. Mbak Vies tertawa tidak karuan mendengar "kekhawatiran" sang big boss
    oleh karena Mbak Vies tau perihal "rekam jejak kegilaan absurd nan membahayakan" yang aku dan si Irma

    miliki. Dulu ada satu pertandingan ekshibisi bola basket 5-on-5 antara slagorde kami dengan slagorde lainnya
    (di lapangan basket guest house). Sejatinya, pertandingan itu berlangsung "ganas dan badak bangets". Ya,
    karena aku melihat Kak Steven Bloody Handsome mengenakan sepasang "basketball arm sleeves"—seperti
    yang selalu dikenakan Jonas Valančiūnas di berbagai laga NBA, aku pun iseng menyemangati Kak Steven
    dengan teriakan, "Jonas... Jonas... Jonas..." (Ya, 'kan, mukanya sama-sama bulé, dan postur mereka pun
    menjulang, tinggi-gede. Jadi, keisenganku meneriakinya dengan nama "Jonas", masih ada relevansinya lah.)
    Kendati tinggi Kak Steven "cuma" 188 cm, dia terlihat lebih "sterk" dibandingkan "Kak Jonas" (yang bertinggi
    lebih dari dua meter). Eh, ula
    h isengku itu akhirnya diikuti cewek-cewek lainnya, termasuk cewek-cewek yang
    berstatus "para pendukung tim lawan". Teganya kalian berkhianat! Toh, para pemain di lapangan malah jadi
    tertawa terus-menerus, tiap kali terdengar teriakan untuk Kak Steven (dari segala penjuru tribun penonton):

    "Jonas... Jonas... Jonas..." Jadi, sebagai tindakan preventif, supaya "kegilaan absurd"-ku itu jangan sampai
    menimpa Mbak Vies, nama tambahan "Harden" pun difemininkan menjadi "Hardini" oleh Kak Steven.



    Masalahnya, bila nama "Hardini" dilantunkan atau dinyanyikan—apalagi oleh Kak Steven yang berlidah
    bulé (atau a native English speaker), yah jadinya akan terdengar sebagai "Arini" atau "Harini". Sebagaimana
    jika para penutur Bahasa Indonesia mengucapkan kata baku "standardisasi", yang selalu terdengar sebagai
    "standarisasi" (huruf "d"-nya terlebur). Kemarin dulu itu, ia menyanyikan sejumlah lagu sembari memainkan
    gitar akustiknya. Mulai dari "Within You'll Remain"—yang liriknya dimodifikasi dari "Wo aini... I love you...
    Wo aini.... I need you...", menjadi "Arini/Har(d)ini... titik-titik... Har(d)ini... titik-titik... we could be two lovers

    from the past... and the future is our chance..." Kemudian lagu "Sleep", yang lirik lagunya pun dimodifikasi
    dari "Hey there you, way out there in the distance, can you hear me? Are you there?" menjadi "Hey Arini"/
    "Hey Har(d)ini, way out there in the distance, can you hear me? Are you there?" Uuuh! Kami, cewek-cewek

    —yang tampaknya, bukanlah "sasaran tembak utama terkait lagu-lagu maut itu"—langsung ikut merasakan
    "efek beracunnya" (yang seketika bikin "teler nggak karuan") begitu kami dengar dia menyanyikannya. Yah,
    macam mana kami tak ikut terbuai? Suaranya "deep baritone", ekspresinya pun sedingin es. Kamprets-nya,
    saat Yuvi "Arini" dan Mbak Vies "Har(d)ini" sedang salah tingkah, "total mati gaya"—tidak tau mest
    i berbuat
    apa untuk meresponsnya, tiba-tiba aja Kak Steven bikin "manuver membingungka
    n" dengan membawakan
    satu balada tahun '70-an, "Memory Motel". Liriknya mest
    i dimodifikasi, bukan "Hannah honey", melainkan
    "Lyla honey" (karena Kak Steven punya saudara sepupu bernama Hannah). Begitu tau nama "Lyla" disebut
    berulang kali di lagu "yang terdengar jadi sepuluh kali lipat mendayu-dayu" itu—ditambah lagi liriknya berubah
    drastis (dari "you're just a memory" menjadi "she's more than a memory"), Mbak Vies seketika menyadari,
    big boss-nya itu sedang menjalankan sebuah "psychological warfare" yang terstruktur dan terencana. Makin
    bisa dipahami setelah ia melanjutkan aksinya denga
    n membawakan "The Beauty of Who You Are", yang
    aku yakin bangets, sangat-sangat-sangat tidak familier di telinga kalian. Lagu "berlirik bandel" yang "lumayan
    enak" itu, langsung berubah menjadi "luar biasa enak dan menggairahkan" begitu dibawakan olehnya. Meski
    hanya dinyanyikan sembari memainkan gitar akustiknya, ia terbukti sanggup memesona kami semua.


    [​IMG]


    Yang terpenting, dia tak melanggar kode etiknya yang takkan mengusik binor atau kekasih siapa pun.
    Lirik "Memory Motel" pun dia modifikasi (meski konsekuensinya, tak bisa dipublikasikan tanpa minta izin pada
    pemegang Hak Cipta) menjadi perihal "berbelanja dengan Yang Tercinta di Pasar Lewisham, Inggris".




    Momen di atas menjadi terang benderang makna filosofisnya setelah aku dan yang lain menyaksikan,
    cara ia menangani dan menuntaskan "rangkaian permasalahan berbahaya seseorang". Ya Allah, ya Rabb...
    Irma
    yang dulu pernah mengalami problema serupa, sampai 'nangis tidak karuan dan ikut pula merasa lega
    begitu dikabari bahwa "segala keruwetan yang seakan mustahil ada solusinya" kini telah terselesaikan.

    Semoga segala kebaikan yang kau dan kita semua tana
    m bisa berbuah kebaikan pula pada saatnya.


     
    • Like Like x 5
    Last edited: Feb 3, 2024
  18. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    [​IMG]
    Unggahan ini akan bisa terlihat rapi jikalau kalian baca memakai PC/laptop dan browser Mozilla Firefox.
    Bilamana cuma terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] tersebut dan klik reload image.




    After performing the Fajr prayer in congregation at the guest house prayer room, Mbak Vies asked if
    I wanted to join her in making "tongseng, gulé, and sate kambing." We
    ll, it wasn't hard to guess for me; it
    must've bee
    n her boss who asked her, respectfully and without coercion, to make those three tasty typical
    Javanese
    mutton dishes. The handsome hotshot might've felt, I can say, a soupçon of inappropriateness
    or
    a tinge of awkwardness and discomfort if he'd ordered me to do so since I haven't yet held the status
    of "his legal spouse." Even so, if he was wi
    lling to contemplate, such feelings were still much better than the
    remorse he'd
    later have from marrying the wrong woman and living a bland marriage that he never aspired
    to. In the present circumstances—since Mr. Steven is st
    ill unattached—every time he is at a moment when
    he feels "
    it is inappropriate to ask any single woman who is not his wife, female staff, subordinate, maid, or
    chef he professiona
    lly employs to cook particular delicious dishes he craves" (though he knows for sure that
    the woman is highly ski
    lled at cooking such dishes), he still has the choice and many chances to change this
    situation by approaching and lega
    lly marrying her. If he succeeds, he can subsequently ask his lovely better
    half to cook an
    y "delectable dishes he wants and is fond of" without feeling that it is "inappropriate."



    Imagine if he someday eventually chose to marry someone other than me. That woman might only

    act as a halal and legal sexual partner for him in bed or in other places he wants—wherever it is possible to
    engage in sexual activities. It'd be, however, a big question whether she could bring him the great sense of

    satisfaction and optimal pleasure he always seeks and requires. If it's inappropriate for me to talk over
    an
    d imagine, "What'd he do to his wife in 'their private and intimate moments' if he married someone other
    than me?" let me talk about it from a different point of view. We adults know that "married life will not only
    revolve around wife-husband sexual intercourse activities." Imagine if he realized that his newly married wife
    couldn't cook well or, much worse, didn't want to learn to cook in any way. He is not a man with an "I live
    to eat" attitude who won't give a damn about unhealthy food intake, which could lead to obesity and other
    related diseases. The Handsome comprehends that bad foods or bad eating habits could negatively affect
    his health an
    d might wreck his sexual drive, which—of course—would be very detrimental if he intended to
    enter a married life later. He is aware that if he followed the wrong dietary regimen and always ate large
    amounts of food despite not being physically hungry, he'd ultimately lose his physical attractiveness. If this

    happened, he could no longer play basketball or engage in many other activities while shirtless, displaying his
    magnificent masculinity and stunning natural muscular body shape. A high-value man like him will invariably

    focus on avoiding "silly missteps" that might sorely jeopardize his achievements or every positive aspect of
    his life. However, The Handsome is still an ordinary human being who will relish the delicious meals served to
    him. Whenever someone who holds a special place in his heart—whoever she is—cooks something tasty for
    him, it will easily gladden his heart, just as he has experienced and enjoyed over the years. I have no idea

    how the situation would be when he couldn't obtain such a "happy feeling of having a wife who is not only
    exceptionally good in bed but also always ready to cook many mouthwatering dishes for him" if he foolishly
    married someone other than me. But I have a strong feeling he'd have to feel a pang of misery and a stab
    of regret for not choosing me, a "physically fit, impeccably groomed, voluptuous, toothsome, well-spoken,

    trustworthy, cultivated, compassionate, and irresistible woman with top-notch cooking skills." A woman who
    is quick on the uptake and "always realizes that the material things she owns will not define and determine
    her worth." Someone who—God willing—will not only be skilled at presenting a series of exciting, wild, crazy,
    unforgettable, and addicting lovemaking moments with her virile, handsome, and vigorous husband but also
    possesses expertise in cooking many extraordinary foods that will replenish his vitality and endurance.



    [​IMG]
    "Pfft! Is it necessary for you to compliment yourself?" Do you wanna mess with me, numbskull?
    Do you feel it's necessary to react with deep-seated dislike, frustration, hostility, and vexation to what I've

    just said? Who the bloody hell are you, huh? I freaking don't mind if you're such a person who can only feel
    comfortable and find peace of mind by always "pathetically pitying yourself, putting yourself down, beating

    yourself up, or grieving your old self," nor will I freaking dictate to you what's good and what's not, or what
    things you'd better do! Hell! I usually don't want to waste time responding to ignorant comments like that.
    As I'm not a child anymore, I've learned a lot to brush off doltish remarks and focus on noteworthy things.
    It's just that I pity anyone who can't see that there are many benefits and positive impacts if, every once
    in a while, we don't hesitate to give compliments, praises, or appreciation to ourselves, as long as they all
    align with the truth or remain in line with reality, and to acknowledge our strengths or positive attributes,
    since they can "effectively boost our self-esteem or make us feel more confident and attractive."



    Nowadays, some Indonesians, especia
    lly those who've held the status of a wife, often use a popular
    expressio
    n to justify their incompetence when it comes to cooking: "Yang namanya 'menikah' adalah untuk
    membangun rumah tangga, bukan rumah makan."
    An English equivalent of that phrase is: "When a man
    and a woman eventually decide to unite their love in a legal partnership, their goal should be to build a great

    and successful marriage, not to open and run a restaurant." The incompetent wife will always use such an
    expression of self-defense whenever her husband desperately asks her to cook (or "learn to cook").

    [​IMG]
    Many women also use other expressions to defend themselves, such as "cooking is a basic skill that

    both men and women must have." While it may sound like "there's nothing wrong with this statement," you
    don't have to be a genius to grasp that they seem to imply that cooking is not an obligation or responsibility

    they must fulfill. What's funny and strange is that many of them—who are migrants or immigrants—often
    say that one of the main reasons why they always make time to return to their hometown during Eid al-Fitr
    or other religious holidays (no matter how troublesome, inconvenient, fatiguing, and stressful the journey
    towards their hometown would be) is because "they miss their respective mothers' tasty cooking." Some
    men trie
    d hard to argue that there is nothing wrong if women can't or don't want to cook. When they were
    st
    ill bachelors, they consistently positioned themselves as the "brave or persistent defenders of any women
    and wives who were incompetent at cooking." The ridiculous thing is that when those men end up marrying

    a woman who cannot cook well—and every time the wife tries to cook something for her husband, the
    result will always be "something that tastes strange or unpleasant"—they grumble their annoyance,
    "Damn!
    What've I done to deserve a life with a woman like this?" When the wife inquires whether there is anything

    wrong with the flavor of her cooking, the husband may pretend to smile while falsely complimenting that his
    wife's cooking is perfect. "Perfectly unappetizing! Savorless!" Of course, he'll only say it in his heart.



    As I expresse
    d my brutally honest opinion, Mbak Vies "Hardini" couldn't help but burst into laughter,
    for she understood the ironies of what I'd co
    nveyed. Her gorgeous Kawanuan face lit up with amusement.
    She and I then deftly prepared all the ingredients for the unplanned, spur-of-the-moment cooking activities.

    When I asked Ms. Secretary-cum-Confidante of Mr. Steven's about what made her handsome boss all of a
    sudden ask her to cook the delectable typical Javanese "tongseng, gulé, and sate kambing," surprisingly,
    she answered that she didn't know what his intentions and hidden agendas precisely were. His true motives
    were a mystery to us. El Comandante Steven just politely asked Mbak Vies "Hardini": If it was not a hassle,
    would she mind cooking those three mutton dishes for him, given that she has the proven excellent cooking
    skills to do so? Mbak Vies "Hardini," needless to say, happily consented to cook all that her handsome boss

    asked. However, if he wouldn't mind, she asked for his permission to let the lovely Ms. Renata help her in
    the guest house kitchen since Ms. Renata is a skilled, well-trained, and experienced female cook with a high
    level of expertise in cooking a lot of local and international delicacies. What made Mbak Vies "Hardini" smile
    amusedly was that her handsome boss seemed to harbor some doubts over her sincere statement. "How
    could it be possible that a Kawanuan woman with no Javanese heritage like Ms. Renata has been proficient
    in cooking Javanese dishes?" Mbak Vies "Hardini" answered his question solemnly, though she did know he
    was only kidding her: "Just like the lovely Ms. Renata,_I'm a Kawanuan woman._I have no Javanese blood,
    either.__However,__given that Ms. Renata and I have had good relationships and close companionships with
    Javanese women such as Mbak Suci,_Bu Retno 'Bellucci,'_Lintang,_Mbak Ninuk,_Bude Vini,_and Bu Ina,_or
    some 'half-Javanese and half-other ethnicities women' such as Mbak Lilian,
    _Dinda,_and Yuvi,_who are highly

    skilled at cooking mouthwatering typical Javanese culinary delights,_it is not surprising that Ms. Renata and I
    have gradually mastered its cooking techniques.__Our current companions,__or any people we've chosen to
    be around and hang out with us,_reflect 'who we are today and who we will become tomorrow.' They will all
    shape our personalities;__we will adopt many of their traits,__and vice versa.__Ms. Renata and I wouldn't be

    highly_skilled_at_cooking_Javanese_culinary_delights,__and it'd_be_difficult for us_both to learn and master its
    cooking techniques if we only befriended or spent our days mostly with those who don't like cooking."

    Ms. Secretary-cum-Confidante of Mr. Steven's reminded her boss that he's successfully changed or

    improved her and other women under his care and protection—including Ms. Renata. He's been capable of
    handling problems and "ameliorating our worries, woes, grievances, past dumb mistakes, or even our pain,
    devastation, and suffering." As a result, Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, we've since courageously and thrivingly
    explored the talents or self-potentials within us, so we've been able to present our respective best versions
    as women. The situation would've been different if the man had never met us or come into our lives.



    [​IMG]
    I thought the handsome hotshot must've been proud that the many lessons he has taught us, a
    ll his
    lovely protégés, throughout the years have successfully transformed us into "high-skilled women." Though

    facing some challenges that often made us women want to give up as we felt we could never walk through
    the storm, his "tough and thorough efforts to improve our skills" have led to a successful outcome.



    Subjek utama tulisanku kali ini berkaitan dengan hal-hal atau ragam kejadian yang secara tak terduga

    dapat berpengaruh besar pada jalannya kisah dan alur kehidupan. Mbak Vies mengizinkan aku mengisahkan
    "tragedi kehidupannya pada masa lalu" apabila ada pelajaran yang bisa diambil. Bagaimanapun, untuk tetap

    menjaga privasinya, aku hanya akan bercerita seperlunya aja. Pada beberapa tahun lalu, Mbak Vies pernah
    menjalin satu hubungan serius dengan seorang ekspatriat berkewarganegaraan Amerika Serikat. Sayangnya
    (tanpa bermaksud menyesali yang udah terjadi, yah!), betapa pun si bulé tampan itu udah cinta mati sama

    Mbak Vies, atau dengan kata lain "si Mas Pacar itu udah bersedia diajak memasuki jenjang pernikahan", eh,
    pada akhirnya, Mbak Vies justru memilih keputusan pahit, untuk menyudahi hubungan asmaranya tersebut.
    Penyebabnya karena ada sejumlah oknum teman si Mbak (yang kini udah tidak akan sudi dianggap sebagai
    "teman" lagi!) yang terus memengaruhinya agar dia tak melanjutkan jalinan cinta dengan kekasihnya.

    Mereka mengatakan, sang ekspatriat terkasih Mbak Vies itu, "levelnya terlalu tinggi" untuk Mbak Vies.
    Si Mas Pacar tersebut udah jelas 100% produk impor, punya gelar Master dari satu kampus elite di AS. Mas

    Pacar pun berasal dari sebuah keluarga kaya raya di AS, yang oleh (eks) teman-teman Mbak Vies dikatakan
    sebagai "vieux riche atau old money". Kata mereka, Mbak Vies itu, 'kan, "hanya" sarjana S-1 dari satu PTN

    di Indonesia. Mereka pun mengatakan, kelas sosial dan kemapanan finansial keluarga Mbak Vies, njomplang
    banget se-njomplang-njomplang-nya. (Meski tak berarti, si Mbak berasal dari keluarga berkekurangan, yah!)
    Belum lagi perbedaan kultur antara keduanya. Jadi, (eks) teman-teman Mbak Vies—beberapa di antaranya,

    juga sesama perempuan Kawanua—memperkenalkan Mbak Vies dengan seorang pria keturunan Minahasa.
    Kata mereka, "Udah, deh. Mending yang pasti-pasti aja. Menikah sama 'orang seberang' [maksud mereka,
    'orang dari suku lain'] bakal berantem terus, apalagi ['nikah] sama bulé kaya. Kalau nekat, kamu nanti akan
    diinjak-injak harga dirinya, dikibulin, diselingkuhin. Ujung-ujungnya, kamu ditinggal pergi... bla bla bla..."



    Singkat cerita, kendatipun baru berkenalan—serta lima bulan berpacaran—sang pria itu udah langsung
    ingin menikahi Mbak Vies. Setelah melalui sejumlah pertimbangan, si Mbak mengiyakan lamaran itu. Terlebih

    lagi, jikalau mereka menikah, Mbak Vies bisa kembali menetap di Minahasa. Sebelumnya, semasa kuliah S-1
    yang berlanjut dengan berkarier di dunia kerja, Mbak Vies bertahun-tahun bermukim di Surabaya. Makanya,
    tak mengherankan, dia fasih dan lancar berbahasa Jawa serta tidak keberatan mendapat panggilan "Mbak",
    kendati dia nyata-nyata 100% perempuan Kawanua. Mbak Vies mengatakan, selama masa perkenalan dan
    pacaran yang singkat itu, dia sama sekali tak melihat ada "red flags" apa pun dari sang pria tersebut.


    Setelah prosesi akad nikah, satu per satu, terungkap belang si oknum itu. Sewaktu lamaran, dia udah
    menyanggupi untuk berkhitan. Menjelang akad nikah, saat ditanya Mbak Vies (dan pihak keluarga besar), si
    oknum itu menjawab dia telah berkhitan. Eh... begitu mereka berdua mulai tinggal serumah sebagai pasutri,

    barulah terungkap, dia sebenarnya belum berkhitan. Kendatipun Mbak Vies jelas merasa dibohongi, saat itu,
    Mbak Vies masih berusaha memaklumi alasan si oknum itu yang mengatakan: karena waktunya mepet dan
    "dia pun punya banyak kesibukan yang tidak bisa ditunda sebagai seorang pengusaha", akhirnya, dia belum

    sempat dikhitan. Terkait "urusan keyakinan/keimanan", nggak akan aku bahas lebih lanjut di sini, yah!



    Yang menjadi masalah serius adalah perilaku toxic si oknu
    m itu. Pada bulan-bulan awal pernikahan,
    si oknum bisa menunjukkan diri sebagai "seorang suami yang sangat menyayangi Mbak Vies", bertanggung

    jawab penuh "memberikan uang bulanan yang jumlahnya lebih dari cukup", dan bahkan, selalu memberikan
    banyak bantuan pada keluarga si Mbak, meski mereka sama sekali tidak pernah memintanya. Sampai pada
    suatu hari, Mbak Vies mendapatkan info-info valid A1 bahwasanya (eks) suaminya "suka main perempuan"
    atau berzina di mana-mana. Para pemasok info itu justru adalah orang-orang yang punya fam sama (kalau
    di Minahasa, "marga" disebut sebagai "fam") dengan (eks) suaminya. Mereka amat bersimpati pada Mbak

    Vies dan takkan pernah sudi membenarkan perilaku bejat (eks) suaminya. Untuk mengonfirmasi kebenaran
    info-info A1 itu, Mbak Vies mendatangi satu lokasi dan menangkap basah perbuatan (eks) suaminya.

    Namanya juga seorang istri, yah tentu Mbak Vies sangat-sangat-sangat marah melihat perilaku bejat
    (eks) suaminya. Eh, yang kemudian terjadi, malah Mbak Vies
    yang dianiaya oleh (eks) suaminya. Pada hari
    terkutuk dan terlaknat tersebut, Mbak Vies—yang seumur-umur nggak pernah sekali pun dikasari Papa-nya,

    kakak dan adik laki-lakinya, atau siapa pun itu sanak saudara laki-laki di keluarga besar—justru mendapatkan
    penganiayaan kejam oleh seorang pria yang berstatus sebagai suami sahnya, di hadapan perempuan yang

    menjadi "partner berzina" si suami! Mungkin aja, banyak di antara kalian yang akan berpikir, Mbak Vies pasti
    segera melaporkan tindakan KDRT (eks) sua
    minya itu pada kepolisian, membuat visum et repertum, dan
    menggugat cerai. Malangnya, Mbak Vies—dan keluarganya—kemudian mesti menghadapi kenyataan pahit,

    bahwa ternyata "situasinya tidak sesederhana itu". Walau Mbak Vies tak melarangku menceritakannya, aku
    rasa, hal itu udah masuk wilayah privat Mbak Vies sekeluarga, sehingga tak layak kuungkapkan di sini.



    Selama beberapa bulan, Mbak Vies berada dalam situasi penuh ketidakpastian. Ingin selekas mungkin
    bercerai, tetapi bila dia sampai melakukannya, dia mesti menghadapi sejumlah konsekuensi, yang jelas-jelas

    "akan bisa membahayakan dirinya sekeluarga". Bagaimanapun, Allah SWT tidak akan pernah dengan kejam
    membiarkan satu musibah terjadi, tanpa ada "penangkalnya". Hal tersebut disadari Mbak Vies. Secara tidak

    terduga sama sekali, Qadarullah—pada satu hari yang bersuasana suram, kelam, dan muram—tiba-tiba aja
    kediaman keluarganya di Minahasa sana kedatangan tamu-tamu dari jauh. Vini dan suaminya. Vini ini bukan
    Bude Vini, melainkan Vini yang merupakan teman/kakak seniorku, semasa kami kuliah S-1 Teknik Sipil.

    Ada sebuah ungkapan dalam Bahasa Inggris: "It's a small world." Tersebab Vini berteman denganku,
    sejak masa perkuliahan S-1, yah dia akhirnya mengena
    l pula si Makhluk Handsome Bloody Handsome. Nah,
    Qadarullah, ketika Kak Steven mengam
    bil program Master Kung Fu di Jerman, Vini (yang waktu itu baru aja
    menikah) ikut
    mendampingi suaminya yang juga mengambil program Master di sana, meskipun alma mater
    Kak Steven dan suami Vini berbeda, yah. Akhirnya, terbentukla
    h persekongkolan... heeiiiiiiiisssh... maksudku,
    aliansi biznes strategis. Sepulang dari sana, mereka mengantarkan para rekan semasa perkuliaha
    n tersebut,
    menyambangi beberapa objek pariwisata di Indonesia. Begitu mereka mendarat di Bumi Sulawesi, dan mulai
    merencanakan penyelaman di Bunaken dan Wakatobi (saking lihainya Kak Steven melakukan "agitasi dan
    provokasi" pada bulé-bulé itu, biar mereka jadi tertarik untuk menyelam di sana), Vini dan suaminya sengaja
    singgah di rumah Mbak Vies (sekeluarga) di Minahasa—karena ternyata mereka berdua bersahabat dengan

    salah seorang kakak perempuan Mbak Vies. Secara teknis, kedatangan Vini dan suami, bisa dibilang, "nggak
    terjadi pada waktu yang tepat", tersebab Mbak Vies sekeluarga sedang terbelit persoalan yang rumit.



    Sejatinya, pada siang itu, si Makhluk Handsome Bloody Handsome hanya mengedrop Vini dan suami,
    yang artinya, dia bahkan sama sekali tidak ikut bertamu di rumah Mbak Vies sekeluarga. Penyebabnya, yah
    karena dia ingin mengunjungi rumah-rumah para kerabat Papa—di Minahasa sana. Dia mah, orangnya 'gitu.
    Betapa pun pada waktu itu dan hingga kini, sama sekali tidak ada kejelasan apakah dia akan memperistriku,

    toh, dia tetap sosok a high-value man nan senantiasa menjunjung tinggi arti "keluarga", termasuk "keluarga
    besar". Terlebih ada satu kultur di Indonesia, bila kita mengunjungi satu wilayah, tetapi kita tak mau singgah
    ke kediaman sanak saudara, kerabat, rekan, atau kolega yang bermukim di wilayah itu, bisa-bisa kita malah

    dianggap sombong. "Mentang-mentang ya... Anda itu orang yang duitnya melimpah, tak sudi mengunjungi
    rumah kami yang sederhana dan bersahaja..." Pernah, suatu ketika, ada beberapa temannya, dari Provinsi
    Tawi-Tawi di Filipina (kendati, pada wakt
    u itu, mereka menetap di San Juan, Metro Manila), mengundangnya
    untuk mengunjungi kampung halaman mereka itu. Eh, dia beneran menyempatkan diri untuk pergi ke sana.

    Padahal, Mama—yang dilahirkan dan dibesarkan di Filipina—belum pernah ke provinsi tersebut. Atau momen
    lainnya, ketika dia bersama para staf pribadinya (Mbak Vies, Mbak Lilian, Bu Retno "Bellucci") dan juga para

    staf umumnya mengunjungi Negeri Beruang Merah. Meski aktivitas utama mereka berlangsung di Moscow
    dan St. Petersburg, toh, dia tetap mau mengunjungi rumah para koleganya di Vladivostok. Nah, kalau dia
    rela mengunjungi teman-temannya, dia pun rela mengunjungi sanak saudara kami di Minahasa sana.



    Tapi, aku tak boleh mengabaikan dugaan, bisa aja, Buaya Lumut
    an itu punya satu motif terselubung
    (bukan berarti aku ber-su'udzon padanya!). Dia melihat satu realitas. Aku dan kakak-kakak perempuanku itu
    adalah para perempuan Kawanua berparas elok dan bertubuh molek menggiurka
    n yang akan selalu dengan
    mudah memesona para pria (yang straight). Mungkin aja orang bilang, "Ah, itu 'kan, karena Mama mereka
    adalah perempuan Mestiza Filipina, bukan semata-mata karena mereka Kawanua." Orang-orang Filipina bisa
    diklasifikasikan ke dalam beberapa kriteria. Ada "Mestizo" (untuk pria) atau "Mestiza" (untuk wanita), yang

    mengacu kepada "mixed-race people"—seperti halnya Mama dan keluarga besar kami di Makati sana. Oleh
    karena Filipina pernah menjadi koloni Spanyol dan Amerika Serikat, "mixed-race people" adalah keniscayaan.

    Ada pula "Moreno" (untuk pria) atau "Morena" (untuk wanita), sebutan yang ditujukan pada "para Filipinos
    yang berwajah Mela
    yu dan berkulit coklat". Istilah lainnya untuk "berkulit coklat" adalah: "Kayumanggi". Ada
    pula "Chinito" (untuk pria) atau "Chinita" (untuk wanita), yang ditujukan kepada "orang-orang Filipina dengan
    wajah percampuran Melayu-Oriental". Kita tak bisa mengatakan, "satu golongan lebih superior dari golongan

    lainnya", lah ya! Walau pada kenyataannya, pola pikir superioritas itu memang ada di masyarakat, toh,
    pada akhirnya, "Beauty is in the eye of the beholder." Uniknya, klasifikasi seperti di atas itu tersua pula pada
    orang-orang Minahasa. Salah satu hal utama yang bisa kita bilang sebagai "persamaan" adalah "stereotype

    kebarat-baratan"—yang senantiasa melekat kuat pada (sebagian besar) orang Minahasa dan Filipina.

    [​IMG]
    Bagaimanapun, sang Paduka Yang Mulia, Makhluk Handsome Bloody Handsome, pujaan kita semua,
    tau persis, yang namanya "perempuan Kawanua masa kini" cenderung diidentikkan dengan perempuan nan
    cantik memesona. (Bukan berarti menganggap para perempuan dari entitas lain "inferior", yah!) Oleh sebab
    itu, aku punya dugaan kuat, bisa jadi, dia mengadakan safari politik bawah tanah mengunjungi para kerabat
    Papa di sana, untuk mengetahui langsung, "Seperti apakah para perempuan Kawanua sanak saudara Nona

    Renata dan kakak-kakaknya, di tanah leluhur mereka?" Toh, dia menceritakan kepadaku, hal-hal yang paling
    berkesan baginya selama kunjungan tersebut adalah berbagai sajian (halal) yang dihidangkan oleh para Om

    dan Tanta kami (orang Minahasa melafalkan kata "Tante" sebagai "Tanta"). Fokusnya, seakan lebih tertuju
    pada ragam hidangan itu, alih-alih pada pesona surgawi para perempuan Kawanua. Tak mau mengaku, ya?

    Nggak apa-apa. Kita tak bisa sok-sokan menebak, atau menghakimi isi pikiran siapa pun, 'kan?! Sungguhpun
    demikian, ceritanya terkait kuliner Minahasa (yang halal) itu sangat menghibur dan sekaligus menginspirasiku
    untuk memasakkan sajian-sajian lezat yang pernah dia nikmati di sana. Misalnya, saat berada di Mapanget,

    salah satu wilayah di Manado, dia disuguhi: sayur bunga pepaya, ayam ganemo ("ganemo" adalah sebutan
    orang Minahasa untuk daun melinjo), sayur kusi pisang ("kusi pisang" = jantung pisang), ikang mujair bakar

    rica (di Minahasa, kata "ikan" dilafalkan sebagai "ikang", dan bahkan, "ikang" dipakai untuk menyebut segala
    jenis makanan yang berbahan dasar daging; ada "ikang ayam", "ikang sapi", dll), dan juga kolombi santang
    (keong danau kuah santan). Plus pisang goroho (menyerupai "asetnya", heiiiiiyah!) dan sambal roa.



    Setelah Kak Steven berada di hotel (tempat rombongan menginap), Vini dan suami pun menceritakan
    perihal masalah amat serius yang menimpa Mbak Vies sekeluarga. Sebagai salah satu langkah penyelesaian

    yang mau tak mau mesti diambil, ya, keluarga Mbak Vies mesti menjual aset-aset berupa tanah dan kebun
    untuk mendapatkan uang. (Aku tidak akan menceritakan detail permasalahan tersebut.) Vini dan suami pun
    meminta kesediaan si Makhluk Handsome Bloody Handsome supaya ikut berpatungan—bahkan kalau perlu,
    dia menghubungi para kolega kelas kakapnya dan melakukan aksi "fundraising". Lah... yang menjengkelkan,
    makhluk tersebut menolak usulan Vini dan suami! Secara jujur Vini menceritakan kepadaku, saat itu, dia dan

    sang suami merasa sangat-sangat-sangat kecewa dengan sikap Kak Steven yang terkesan sama sekali tak
    punya simpati, empati, dan kepedulian pada nasib Mbak Vies—seorang perempuan korban KDRT yang ingin
    selekas mungkin bercerai dengan si oknum suaminya. Perceraian itu hanya akan bisa terjadi jika urusan duit

    dalam jumlah amat sangat luar biasa besar teratasi. Batu sandungan tersebutlah yang menjadi penghalang
    bagi Mbak Vies. Sampai-sampai, sekadar melaporkan tindakan KDRT yang dialaminya (dari si oknum suami)
    pun dia tak bisa. Si oknum suami mengancam akan melaporkan balik si Mbak dan keluarganya, ihwal urusan
    duit dalam jumlah yang sungguh tak main-main. Jika tak ditolong akan berujung pada perkara pidana. Mbak
    Vies sekeluarga itu sama sekali tak mengemis-ngemis minta uang. Agar bisa menolong mereka,
    ya, dengan
    membeli secara tunai aset-aset kepunyaan mereka. Sedemikian mengenaskannya situasi pelik yang mereka
    alami. Lah, si Makhluk Paling Beruang, maksudku, si Makhluk Paling Berduit—"yang duitnya nggak berseri"—
    yang secara logika sederhana, akan bisa dengan mudah menjadi "sang penyelamat bagi Mbak Vies", malah
    seolah tidak punya kepedulian sedikit pun! Huh! Dia justru membicarakan rencana penyelama
    n berikutnya di
    Telaga Biru Samares, Biak Numfor dan berenang di Kali Biru, Raja Ampat dengan bulé-bulé. Selama ini,
    dia punya reputasi sebagai pria
    yang tidak sekadar "mapan", tetapi juga "sangat bertaring secara finansial".
    Terlihat pula sangat religius, tidak pernah su
    di ikut-ikutan arus keburukan. Sering juga mengingatkan teman-
    temannya sesama "old money", agar senantiasa memiliki "sens
    itivitas sosial" (atau apalah itu sebutannya).
    Eh, pas ada tragedi yang dialami Mbak Vies, makhluk itu seakan tak mau peduli. "Dasar pembohong!"


    [​IMG]


    Aku membayangkan, seperti apa kejengkelan yang dirasakan Vini dan suaminya. Mungkin aja, nggak
    jau
    h berbeda dengan ekspresi dongkol Misae Nohara seperti pada potongan komik Crayon Shin-chan di atas
    itu, ya?! Toh, betapa pun geregetannya, kita mest
    i ingat: "What you see is not always what it seems!" Apa
    yang Anda lihat, tak selalu sejalan dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Janga
    n terburu-buru mengambil
    kesimpulan. Things ma
    y not be as they appear at first glance, since there may be more to a situation than
    meets the eye. To full
    y understand a convoluted matter, we must "peel back the layers" and uncover the
    underlying truth rather tha
    n always heedlessly trusting our initial perceptions. "It requires critical thinking and
    a willingness to challenge our beliefs." Vini and her hubby judged Steven without knowing all the facts.




    Beberapa hari kemudian, ketika Vini dan suaminya udah beranggapan bahwa nggak ada bantuan apa
    pun yang bisa mereka harapkan dari si Mas Beruang Menjengkelkan itu, eh, secara tak terduga, si makhluk

    tersebut—bersama dengan "satu unit task force khusus yang telah dia bentuk"—tiba-tiba aja... mendatangi
    kediaman Mbak Vies sekeluarga. Mbak Vies menceritakan satu ha
    l yang lucu—sekaligus mengharukan. Saat
    Mbak Vies pertama kali melihat makhluk tersebut.... Mbak Vies langsung teringat Mas Pacar bulé-nya.




    Kak Steven Handsome Bloody Handsome memperkenalkan dirinya—dan juga, satu per satu anggota
    timnya—kepada Mbak Vies sekeluarga. Dalam momen itu, dia memasang "setelan wajah nan ramah" serta

    gesture "bersahabat" yang tulus, bukan artifisial. Eh, Mbak Vies malah susah payah menahan tangis. Setiap
    kali si Mbak memandang makhluk tersebut, bayang-bayang masa lalu pun sontak berseliweran di benaknya,

    membangkitkan kembali berjuta-juta rasa penyesalan, yang selama ini, bersemayam dalam hati Mbak Vies.
    Rasa sesal yang tak bertepi itu seakan terus-menerus berteriak pada Mbak Vies, "Mengapa kau dulu begitu
    bodohnya meninggalkan seorang pria berkualitas 'berlian orisinal bernilai tinggi', demi seorang pria berkualitas
    'xuping' [perhiasan imitasi], yang ujung-ujungnya, malah menzalimi dan menyengsarakan hidupmu?"



    Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, kedatangan si Makhluk Handsome Bloo
    dy Handsome pada siang hari itu
    (bersama "satu unit task force khusus"-nya) terbukti menjadi langkah awal dari penyelesaian silang selimpat

    permasalahan Mbak Vies. Kak Steven bukan cuma membeli secara tunai aset-aset milik keluarga Mbak Vies
    (sesuai jumlah yang diinformasikan Vini dan suaminya) biar mereka dapat selekasnya memutus mata rantai
    masalah keuangan yang tak karuan dengan (eks) suami Mbak Vies. Kak Steven menyiapkan pula beberapa
    pengacara profesional untuk berjaga-jaga jika ada masalah lainnya yang muncul. Untuk mendampingi Mbak

    Vies hingga dia memperoleh Akta Cerai dari Pengadilan Agama—dan terbebas sepenuhnya dari si oknum itu
    dalam bentuk apa pun—Kak Steven meminta bantuan para kerabatnya: Om Rechab, Tante Floria, beserta
    Mbak Anselma. "Kenapa bukan dia ajah yang turun tangan secara langsung?! Kenapa mesti minta bantuan
    Om, Tante, dan sepupunya? Anda terus menceritakan Stevie—yang Anda puja-puji setinggi langit—sebagai
    'seorang laki-laki yang sangat hebat atau bisa ini dan itu'. Kalau dia beneran hebat, kenapa dia malah kayak
    pria bocah yang mesti selalu dibantu?! Pfft! Hebat dari mananya?!" 'Gini, yah, para gembel yang terhormat!
    Kalian punya hak untuk bersikap kritis. Walau demikian, jika kalian tidak memahami situasi yang sebenarnya,
    semestinya pertanyaan kalian itu nggak diiringi dengan opini atau asumsi. Biar bagaimanapun, pada saat itu,
    secara hukum, Mbak Vies masih berstatus sebagai istri dari seseorang (meski udah "pisah rumah"). Sangat
    kontraproduktif (dan bahkan, bisa dibilang "bodoh") jika Kak Steven (sebagai laki-laki asing yang tidak punya
    "hubungan kekerabatan" dengan Mbak Vies), dengan naifnya, sok-sokan turun tangan secara langsung! Dia
    bisa aja dicurigai (atau bahkan dituduh!) oleh pihak (eks) suami Mbak Vies, sebagai "laki-laki yang diam-diam
    menjadi pacar gelap atau selingkuhan Mbak Vies". Untuk menyelesaikan masalah rumit, kita mesti memakai
    metode "seperti menarik rambut dalam tepung". "Rambutnya jangan sampai putus, tepungnya jangan pula
    berantakan." Atau ungkapan lainnya, "Ikannya dapat tertangkap, tetapi kolamnya tak sampai keruh."




    [​IMG]
    Bi-idznillah (atas Kuasa Allah SWT), permasalahan Mbak Vies, akhirnya bisa dituntaskan sepenuhnya.
    Yang lucu, Vini yang udah sempat sebegitu teganya (semata-mata karena ketidaktahuannya) mengunggah

    beragam postingan med-sos dengan narasi yang agak-agak ofensif dan intens "menyerang" ketidakpedulian
    "Sensei Stevie", langsung dihinggapi "a sense of guilt and shame" tatkala dia mendapat info: "Sensei Stevie"

    adalah "sang auctor intellectualis yang mengakhiri penderitaan Mbak Vies." Masih ada lagi kejutan besar lain,
    yang sama sekali tidak diperkirakan Mbak Vies sekeluarga. Begitu Mbak Vies memperoleh "kebebasan" dan

    "kemerdekaannya", dia beserta perwakilan keluarga (plus pihak pengacaranya) diminta "Sensei Stevie" agar
    menghadiri satu pertemuan penting di sebuah tempat—untuk membahas satu permasalahan lainnya.

    Dalam pertemuan tersebut, "Sensei Stevie" secara amat sangat mengejutkan menghibahkan seluruh
    aset tanah dan kebun yang sebelumnya sudah dia beli secara tunai dari keluarga Mbak Vies dan sempat dia
    "miliki sejenak". Dihibahkan tanpa syarat apa pun. "Masa iya, sih? Too good to be true, deh!" Nah, aku pun

    sempat berpikiran serupa. Toh, segala kecurigaan atau syak wasangka tersebut, pupus dan sirna oleh fakta
    adanya "bukti-bukti hitam di atas putih dan berkekuatan hukum". Jadi, proses hibah itu tidak sekadar "hibah

    secara lisan", yah! Terdapat poin-poin yang menyatakan bahwa "Sensei Stevie" atau siapa pun yang punya
    ikatan pernikahan dan kekeluargaan dengannya, tidak akan bisa menggugat kesepakatan hibah yang sudah
    dibuat pada hari itu dan tak bisa pula meminta imbalan, baik secara material maupun imaterial dalam bentuk
    apa pun pada Mbak Vies sekeluarga. Artinya, segala celah serta kemungkinan "persengketaan" di kemudian

    hari, telah "ditutup serapat-rapatnya" dalam kesepakatan hibah tertulis tersebut. Melibatkan para pengacara
    dan saksi-saksi dari pihak "Sensei Stevie" beserta pihak Mbak Vies. Dilengkapi dokumentasi video pula.

    Ada juga poin-poin yang menegaskan bahwa "sumber-sumber dana yang digunakan untuk pembelian
    aset-aset tersebut" sama sekali bukan dari hasil tindak kriminal, entah itu penipuan, pencurian, penggelapan,
    pencucian uang, korupsi, pemerasan, perjudian, penyelundupan, human trafficking, biznes ilegal, riba—atau

    hal-hal apa pun yang dapat dikategorikan sebagai: "tindakan melanggar hukum negara dan agama". Apabila
    di kemudian hari, katakanlah, ada kasus hukum apa pun yang dikaitkan dengan "pihak pembeli dan pemberi
    hibah", maka hal itu sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab "pihak pembeli dan pemberi hibah". (Hanya
    sebatas pengandaian, yah, bukan berarti sedari awal, ada "hal-hal tak beres yang berpotensi menjadi kasus
    hukum". Poin itu meyakinkan pihak Mbak Vies bahwa tidak ada "unsur kejahatan", atau perbuatan melawan
    hukum, apa pun itu, terkait seluruh proses pembelian dan hibah yang dilakukan pihak "Sensei Stevie".)




    "Aih, masa iya, si Stevie-mu itu sama sekali nggak mengharapkan apa pun dari hibah yang prosesnya
    membutuhkan dana gede 'dalam satuan sembilan angka nol rupiah'? Pfft! You're talking absolute nonsense!

    Hari 'gini ada orang yang mau membantu tanpa sama sekali mengharap imbalan?! Jangan naif, deh!"

    [​IMG]
    It seems like you live in such a freaking capitalistic and materialistic mindset, which leads to a freaking
    stupid wa
    y of thinking that makes it hard for you to believe that as long as the world turns, there will always
    be benevolent, honest, good-hearted, unselfish, kind, and genuine individuals, such as "Sensei Stevie," who
    will extend a helping hand to "those in deep trouble, dire situations, or desperate need" without any thought
    of receiving something in return, any desire for reciprocation, or any ulterior motives. Eh, tetapi Anda nggak
    sepenuhnya keliru. Aku yakin, dia pastilah mengharapkan imbalan dari kebaikannya tersebut. Namun, bukan
    Mbak Vies dan keluarganya atau manusia mana pun di dunia ini yang dia harapkan untuk memberi imbalan.

    Imbalan yang dia inginkan adalah yang berasal dari Sang Maha Pembalas Kebaikan, sebagaimana Janji-Nya
    dalam QS 35:29 dan QS 64:17, yang aku dan Mbak Vies yakini pula kebenarannya. Walaupun Anda merasa
    skeptis, toh, di surat hibah itu ada poin yang membuat dia mustahil "minta imbalan pada Mbak Vies".



    Terjawablah sudah, mengapa sang Makhluk Handsome Blood
    y Handsome itu menolak ketika Vini dan
    sang suami memintanya ikut berpatungan dan menghubungi para kolega kakap untuk membeli secara tunai
    aset-aset yang dimiliki keluarga Mbak Vies. Rupanya si Mas Beruang Menjengkelkan itu udah punya rencana
    tersendiri. Dia bisa aja melibatkan Vini dan suami beserta para kolega kakapnya untuk membeli aset-aset itu

    secara tunai. Namun, belum tentu mereka semua akan ikhlas, rela, atau dengan mudahnya menghibahkan
    kembali aset-aset tanah ataupun kebun yang telah mereka beli tersebut, kepada keluarga Mbak Vies.

    Nah, karena pada akhirnya, dia itulah yang menjadi sang pembeli tunggal, yah, dia nggak perlu minta
    izin siapa pun untuk menghibahkan kembali aset-aset yang sempat dia beli (dan miliki sejenak). "Kenapa dia
    nggak langsung 'ngasih bantuan dalam bentuk uang tunai?! Kenapa juga mesti pakai 'proses beli dan hibah',

    yang ribet dan muter-muter macam itu?! Pfft!" Heh, isi kepala kau itu yang muter-muter tak karuan, Dodol!
    Dia memilih cara tersebut demi menjaga muruah (kehormatan atau harga diri) Mbak Vies sekeluarga!

    Dengan menjual aset-asetnya, Mbak Vies sekeluarga mendapatkan uang tunai, legal, dan halal, yang

    langsung mereka gunakan untuk menuntaskan permasalahan yang dibikin oleh si eks suami Mbak Vies. Jadi,
    mereka tak mendapatkan uang sekadar dari belas kasihan siapa pun. Walau mereka "babak belur", "hancur

    lebur", "luluh lantak" karena permasalahan Mbak Vies, toh, harga diri dan kehormatan mereka tetap terjaga
    atau terpelihara. Setelah segala persoalan itu dapat tertuntaskan, dia menghibahkan kembali aset-aset yang
    dibelinya dari keluarga Mbak Vies, oleh karena si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu ingin memberikan
    hal-hal yang, Insya Allah, mampu (secara efektif) "memulihkan kondisi psikologis mereka sekeluarga". Hibah
    tanpa syarat—yang sama sekali tak pernah diperkirakan Mbak Vies—membuat dirinya amat sangat terharu.
    Mbak Vies sempat merasa hidupnya 'ngenesss bangets. Dia mengalami KDRT, pernikahannya gagal total,
    keluarganya pun seolah mesti "mendadak miskin" karena terpaksa harus menjual banyak aset, akibat Mbak
    Vies "salah pilih suami". Ketika dia bercerita kepadaku, aku menyemangatinya—secara berkelakar: Sekarang
    si Mbak tidak sedih lagi, 'kan? Mas Pacar bulé yang du
    lu terpaksa Mbak putuskan, udah "diganti" dengan
    sesosok Mas Bulé lain yang fresh. Masih muda, half-British and half-Javanese, good-looking, dan uda
    h jelas,
    terbukti berkualitas tinggi. Aku menggoda si Mbak dengan satu pertanyaan, "Bagaimana jika kita 'berbagi'?"

    Eh, wajahnya langsung bersemu merah, sebelum akhirnya dia menjawab, "Janganlah. Aku udah tidak mau
    'nikah lagi. Lagi pula, laki-laki sebaik si Masé itu, mesti dapat istri yang terbaik pula." Bikin aku terharu.



    Betapa pun "Sensei Stevie" punya karakter iseng dan acap kali secara sengaja membikin kita jengkel,

    toh, sejatinya, dia adalah tipe "pria yang bisa sangat serius dan tak akan pernah bercanda", kalau dia mesti
    berhadapan dengan kondisi dan situasi yang memang wajib untuk diseriusi. Ada pula satu hal urgen lainnya,

    yang semula "seolah terabaikan" oleh Mbak Vies sekeluarga. Karena ada fakta bahwa eks suami Mbak Vies
    diketahui "suka main perempuan", maka Mbak Vies—tidak bisa tidak—wajib "menjalani prosedur Pap smear
    serta pemeriksaan medis yang terkait dengan Sexually Transmitted Disease atau Penyakit Menular Seksual"
    agar andaikata dia tertular hal-hal yang membahayakan kesehatannya, bisa sedini mungkin ditangani. Meski
    Mbak Vies bilang selama "pernikahan singkatnya" itu si (eks) suami selalu menggunakan pengaman (karena
    yang bersangkutan "masih belum siap punya anak"), toh, lebih baik, dia memeriksakan diri. Ada buanyaaak
    contoh kasus tragis, termasuk pula yang melibatkan para "public figures" di Indonesia, dari para perempuan
    yang mengidap kanker serviks sebagai akibat ulah pasangannya yang "suka main perempuan"—kendatipun

    riwayat aktivitas seksual yang tidak sehat dari pasangan bukan satu-satunya penyebab kanker serviks, yah!
    Alhamdulillah, sungguhpun Mbak Vies sempat menangis semalaman sebelum dia menjalani seluruh prosedur
    pemeriksaan medis tersebut, ternyata, hasilnya negatif semua. Secercah bahagia dalam lautan duka.



    "Mbak Vies yang Anda ceritakan itu, seperti apa orangnya? Cantik?" Tidak sekadar cantik, tetapi juga
    bertubuh molek, sebagaimana umumnya perempuan Kawanua yang peduli penampilan. Jika saja Mbak Vies
    dulu mendapat izin dan restu dari Mama tercinta untuk mengikuti pemilihan "Nyong dan Noni Manado", atau
    "Waraney dan Wulan Minahasa", banyak yang yakin Mbak Vies pastilah unggul mutlak dari para perempuan
    peserta yang mengikuti kedua ajang tersebut. Walaupun si Mbak selalu merendah, kalau aku juga ikut pada
    kedua ajang kecantikan itu, dia haqqul yaqin, aku akan jauh mengungguli dia (heiiyaah...). Masalahnya, aku

    "Anak Teknik Sipil", yang meski "punya kepedulian sangat-sangat-sangat tinggi pada kecantikan dan pesona
    diri sebagai perempuan", toh, aku tidak pernah sekali pun berminat mengikuti kontes-kontes seperti itu. Aku
    justru meminati female CrossFit games. "Cantik, seksi, tetapi juga kuat", jauh lebih aku inginkan.


    "Mbak Vies itu bisa memasak?!" Tidak sekadar "bisa". Dia memiliki keterampilan memasak pada level
    superior. Jadi, tidak seperti rata-rata perempuan masa kini yang hanya bisa srang-sreng-srong ala kadarnya,
    cuma sanggup menggoreng bahan makanan siap saji, ataupun mest
    i bergantung sepenuhnya pada bumbu
    instan. Terus terang, ya, meskipun aku "sangat pantas berbangga diri" dengan skills memasak yang kumiliki
    selama ini, toh, aku tak pernah merasa gengsi untuk belajar pada Mbak Vies—memasak beragam hidangan
    tradisional Minahasa, yang (dulu) belum aku ketahui teknik memasaknya. Mulai dari sayur daun pangi (daun
    kluwek) versi halal, sayur saut (atau lebih baik aku pakai nama lainnya: sayur kotey, berhubung Irma punya
    kerabat bernama "Saut") yang terbua
    t dari batang muda pisang kepok (di Minahasa disebut pisang sepatu)
    yang dimasak denga
    n daging ayam kampung, sayur daun leilem versi halal yang bisa menggunakan daging
    ayam kampung atau sapi (bahkan, bisa juga menggunakan daging kelinci), hingga sayur daun gedi.




    "Di atas tadi, Anda menulis panjang lebar, dalam Bahasa Inggris, menyatakan bahwa yang namanya
    perempuan mesti cantik, pinter dan jago masak, atau apalah itu, biar disayang suami. Lah, kalau Mbak Vies
    cantik plus superior dalam memasak, kenapa pula dia malah mengalami KDRT dan sampai bercerai?"


    [​IMG]
    Ada bagusnya juga pertanyaan seperti itu, meski kau ternyata, tak sepenuhnya memahami tulisanku
    pada bagian-bagian awal postingan ini. Yah, bagaimanapun, aku nggak bisa marah karena faktanya, hingga

    sekarang ini, kemampuan berbahasa Inggris rata-rata orang Indonesia (termasuk kemampuan memahami)
    masi
    h berada di level low proficiency. Walaupun aku telah berusaha menulis dalam CEFR level C1-C2 dan
    secara tertib mematuhi kaidah gramatikal dengan sebaik-baiknya, toh, akan ada aja yang keliru memahami.

    Jadi, 'gini, yah! Pada tulisanku di bagian-bagian awal postingan ini, aku sama sekali tidak menyatakan bahwa
    "perempuan mesti cantik, pinter, dan jago masak biar dia disayang suami". Aku pun sama sekali tak pernah
    menyatakan bahwa "perempuan mesti cantik plus superior dalam memasak, agar dia tak mengalami KDRT,
    atau agar dia jangan sampai mengalami perceraian". Kalau kaubaca dengan teliti, aku cuma menyampaikan
    bahwasanya banyak pria (termasuk si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu!) yang akan kecewa jikalau
    sang istri ternyata tak becus memasak (ata
    u lebih parah lagi, "tak punya kemauan belajar memasak"). Bila
    sekadar tak becus masak, tetapi masih ma
    u diarahkan untuk meng-upgrade diri, Bi-idznillah, "Sensei Stevie"
    akan sanggup memotivasinya habis-habisan dengan berbagai teknik ata
    u bahkan shock therapy nan brutal,
    yang mungkin bisa bikin perempuan kewalahan, tetapi sekaligus pula, bergairah. Dia punya track record dan
    kualifikasi nan mengesankan terkait hal itu.
    Namun, kalau ternyata, dia sampai (amit-amit) jatuh ke pelukan
    seorang perempuan blo'on, kepala bat
    u, yang tak pernah mau meng-upgrade diri, dan mengultimatumnya:
    "Kamu mesti mau menerima aku apa adanya... jangan suruh aku belajar ini dan itu..." nah, aku belu
    m tau
    akan seperti apa jadinya?! Sukses meng-upgrade banyak perempuan, eh, gagal membina bini sendiri!

    Ada banyak sua
    mi yang dengan gagahnya selalu bilang pada sang istri: "Nggak masalah kalau kamu
    sama sekali nggak bisa masak. Nggak masalah kala
    u kamu sekarang jadi agak gemukan. Aku terima kamu
    apa adanya. Aku mencintai tidak cuma kelebihanmu, tapi juga kekuranganmu..." Sang istr
    i pun dengan naif,
    tanpa kecurigaan apa pun, memamerkan sikap sang suami. "Suamiku itu super. Dia sangat pengertian, dan
    nggak pernah menuntutku mesti bisa begini-begitu..." Nah, yang tak diketahui ole
    h si istri, di belakang layar,
    banyak oknum suami
    yang sering menumpahkan kekecewaan dan kejengkelannya, terkait kondisi sang istri!
    "Bini gua itu, yah, udah body-nya makin bunder kayak gentong, nggak becus masak pula!" Coba deh, Anda
    melepaskan diri dari zona nyaman. Amati dan cermati perilaku suami Anda di luar rumah. Jangan kaget, jika
    Anda melihat suami Anda di luar rumah ternyata bisa sangat tega menggunjingkan kekurangan Anda!



    Penyebab utama Mbak Vies sampai mengalami KDRT, ya, karena dia mengetahui si eks suaminya itu
    "suka main perempuan". Oknum itu marah karena kebejatannya dipergoki Mbak Vies. Dia melakukan KDRT

    pada Mbak Vies, karena malu, topeng pencitraannya sebagai "suami teladan" terbongkar. Mbak Vies sangat
    sadar, "perilaku macam itu mustahil sembuh". Pasti akan terjadi lagi, lagi, dan lagi. Dia pun menggugat cerai
    (kenda
    ti harus berdarah-darah dalam prosesnya). Sangat bodoh jikalau Mbak Vies tetap bertahan bersama
    pria yang nggak layak dia pertahankan. Tinggalkan! Kini Mbak Vies berada dala
    m proteksi "Sensei Stevie".
    Andai si Mbak tiba-tiba ingin menikah dengan pria lainnya, "Sensei Stevie" sama sekali tak akan menghalangi
    keinginan tersebut. Lain halnya, ketika Mbak Vies benar-benar sudah tidak mau menikah lagi, tetapi ada pria
    yang nekat mengganggu atau mengusik si Mbak, ya, pria itu akan berurusan dengan "Sensei Stevie".

    Sebelum Mbak Vies dipekerjakan "Sensei Stevie" menjadi aspri dan sespri-nya—yang bergaji lebih dari
    lima kali UMP DKI Jakarta 2024 (karena berprofesi dobel: aspri dan sespri)—si Mbak berkarier di perusahaan
    Tante Floria. Ihwal proses Mbak Vies akhirnya bekerja pada "Sensei Stevie", kapan-kapan kukisahkan.



    Ada satu hal inspiratif yang didapatkan "Sensei Stevie" semasa dia melibatkan diri dalam penyelesaian
    permasalahan Mbak Vies. Tersebab pada saat itu, Makhluk Handsome Bloody Handsome tersebut acap kali
    melewati wilayah Woloan di Tomohon, muncul ketertarikannya pada rumah panggung kayu bongkar pasang

    yang memang banyak dipasarkan di sana. Dia kemudian intens mempelajari semua hal yang berkaitan
    dengan "wooden knock-down houses". Kini di sisi kiri guest house (di area cluster perumahan para ibu lajang
    dan putra-putri masing-masing), dibangunlah tiga unit rumah panggung kayu bongkar pasang. Nggak hanya
    itu, di lahan kosong milik kedua orangtuanya, yang berlokasi di sebelah kanan rumah "Sensei Stevie" (bukan

    lahan kosong satunya lagi—yang posisinya mengantarai rumah "Sensei Stevie" dan guest house), dibangun
    pula tiga unit rumah panggung kayu. Ide-idenya dipadupadankan dari bermacam sumber. Nanti deh ya, bila
    telah rampung sepenuhnya dan acara pengguntingan pitanya... heiiiiiiyaah... maksudku, momen peresmian,
    acara selamatan, dan juga housewarming-nya telah dilakukan, akan aku ceritakan tentang itu semua.





    Pada hari ketika aku dan Mbak Vies memasak di dapur guest house itu, Mbak Vies bercerita perihal

    satu hal yang masih ada kaitannya dengan postinganku sebelumnya. Jadi, secara tak terduga dan sungguh
    nggak terencana sama sekali, Mbak Vies, Mbak Lilian, Mbak Yui, Bu Retno "Bellucci", serta big boss mereka
    kembali bersua, atau lebih tepatnya: "berada di satu lokasi/tempat yang sama dengan Kak Harini Sondakh"
    (ya, karena tak ada komunikasi apa pun di antara mereka, tak bisa kita sebut "bertemu"). Sebagai sesama
    perempuan Kawanua—dan sesama anak rantau dari Minahasa—secara naluriah, si Mbak ingin menghampiri
    Kak Harini untuk berkenalan, berbincang sebentar, dan juga berfoto bersama, jika Kak Harini tak keberatan.
    Mbak Vies mengajak mereka semua mendatangi Kak Harini. Nah, bagaimana reaksi sang big boss mereka?
    Dia tidak melarang, tapi dia tidak mau ikut mendatangi. Alasannya, karena Kak Harini diketahui sudah punya
    kekasih. Reaksinya nggak jauh beda dengan reaksi yang dia tunjukkan terkait momen "ketika Ib dan Pascal

    ingin berfoto dengan Kak Harini" (sebagaimana udah kuceritakan pada postinganku sebelumnya, ya). Mbak
    Yui "Marinka" (sang lawyer) mengatakan, "Aku di sini aja, deh, supaya pas VVIP-nya udah datang dan siap
    memulai meeting di gedung yang beliau tetapkan, ya setidaknya Komandan kita ada yang membersamai."

    (Pada saat itu, El Comandante Steven dan para staf pribadinya, telah dijadwalkan bertemu sejumlah pihak.)
    Mesk
    i sang big boss udah memberikan izin dan restu, eh, akhirnya malah tiada seorang pun dari Mbak Vies,
    Mbak Lilian, atau Bu Retno "Bellucci" yang tega meninggalkan Komandan. Mbak Vies bilang sesuatu padaku,
    yang bikin aku terenyuh (saat kutanyakan kenapa dia dan yang lain tak jadi berkenalan dengan Kak Harini),

    "Aku, Bu Retno, dan [Mbak] Lilian punya utang budi dan bahkan, bisa dibilang: 'utang nyawa' pada si Masé.
    Dia tidak pernah merasa berjasa pada kami, apalagi sampai mengungkit-ungkit kebaikannya. Nggak pernah.
    Hal itu bikin kami makin merasa berutang budi, dan tidak tega jikalau kami mesti meninggalkannya..."




    Alih-alih dipuji, Mbak Vies justru "dimarahi" El Comandante Steven yang mengingatkan bahwa si Mbak
    dan yang lainnya itu adalah: "para perempuan merdeka". Mbak Vies mempunyai independensi mutlak untuk
    berkenalan dengan siapa pun—asalkan tetap memperhatikan norma/sistem nilai yang berlaku di masyarakat
    (dan sepanjang "si orang yang diajak berkenalan tersebut" juga nggak keberatan untuk berkenalan). Alasan
    El Comandante Steven tidak mau ikut serta Mbak Vies (dan yang lain) menghampiri dan berkenalan dengan

    Kak Harini pada saat itu, semata-mata, karena El Comandante Steven berusaha mematuhi code of honor
    atau code of conduct yang dia yakini. Bukan karena dia tidak suka, ataupun antipati sama Kak Harini.

    Malah aku yakin, di dalam hati El Comandante Steven pasti ada sebentuk ketertarikan nan manusiawi

    pada Kak Harini, ketika dia mengetahui: "Kak Harini mahir bermain bola basket". Artinya, dia punya hobi dan
    minat yang sama dengannya ihwal "permainan bola basket". Yah, paling tidak, aku asumsikan seperti itulah.

    Mbak Rachel bilang, sang adik bungsunya itu pernah meminta tanda tangan (entah di jersey atau di poster)
    pada seorang pebasket di WNBA, Kelsey Plum (dan, mungkin juga, "berfoto bersama")—beberapa tahun
    lalu. Tapi, pada saat
    itu, Kelsey Plum belum punya pasangan. Jadi, El Comandante Steven tak melanggar
    code of conduct apa pun.
    Apabila seorang perempuan terkonfirmasi/terindikasi tela
    h mempunyai pasangan,
    baik yang berstatus "suami" maupun "masih sebatas pacar", maka seorang pria wajiblah berhati-hati. Andai

    sang pria—ma
    u tidak mau—mesti berinteraksi atau mendatangi si perempuan ybs, ya, cuma untuk "hal-hal
    normatif" dan "situasi darurat". Nah, bagi El Comandante Steven, "berkenalan" (pada saat itu), sama sekali
    belum memenuhi kriteria "normatif dan darurat". Ada barikade dalam kehidupan yang bisa dia terabas—dan

    bahkan, dia hancurkan—serta ada pula, barikade-barikade kehidupan yang takkan pernah boleh dia terobos.
    Untuk pelipur lara hati (heiiiyaah...), El Comandante Steven sering memainka
    n "Through the Barricades",
    dan versi fingerstyle-nya. Dulu sih, nggak bisa. Setela
    h diajari Ajeng, eh, malah jadi jago bangets!

    Laki-laki adalah makhluk teritorial. Laki-laki dewasa paham teritori mana aja yang tak boleh dia masuki.




    Bu Retno "Bellucci" mengisahkan satu peristiwa terkait "momen berfoto bersama seorang selebritas".

    Ketika itu aku tidak berada di sana. Alkisah, sang Makhluk Beruang Pujaan Kaum Hawa tersebut "membuka
    jalan" bagi anak-anak perempuan para kolega yang berasal dari beberapa daerah, agar bisa berfoto dengan
    seorang public figure/selebritas perempuan. Tidak bisa kusebutkan inisialnya karena cenderung akan mudah

    ditebak siapa orangnya. Semuanya, satu per satu, berfoto dengan si Nona X itu. Cuma si Makhluk Beruang
    yang tidak mau. Setelah sesi berfoto bersama tuntas, si Nona X secara mengejutkan, minta waktu sekadar
    lima menit aja untuk berbincang dengan makhluk itu. Bu Retno ikut mendampingi sembari mengaku sebagai

    "supervisor", dan Kak Steven sebagai "anak buah" beliau. Si Nona X menanyakan, kenapa Mas Bulé seperti
    tak sudi berfoto bersama dengannya?! Bu Retno menjawab, ada code of conduct, yang memang melarang
    pegawai pria berfoto dengan bini/pacar orang—atau siapa pun yang aka
    n disalahpahami. Nah, si Nona X itu
    telah diketahui publik se-Indonesia bahwasanya dia "menjalin hubungan dengan pria Y" (sesama selebritas).

    Yang mengejutkan, si Nona X merespons, "Itu 'kan, hanya pacaran anak muda, Bu. Sekadar jalan bareng,
    nggak tau 'gimana ke depannya." Bu Retno langsung paham gelagat: si Nona X sedang memberikan "kode

    sangat keras". Kode yang "sekode-kodenya". Naluri Bu Retno seakan berkata, beliau dan Kak Steven mesti
    selekasnya pergi dari situ. Beliau mengelabui si Nona X dengan merendahkan kualitas Kak Steven serendah-

    rendahnya. "Dia ini mukanya memang bulé banget, tetapi ndak bisa 'ngomong Énggrés. Gajinya hanya lima
    juta per bulan, belum punya rumah sendiri, ndak bisa 'nyetir mobil, dll, dsb...." Tujuan beliau itu, yah, biar si
    Nona X, yang selalu berpenampilan modis dan glamor, akan langsung kehilangan selera. Lah, kamprets-nya,
    si Nona X malah keliatan sama sekali tidak memercayai ucapan Bu Retno. Secara jujur, Bu Retno mengakui,
    "radar pendeteksi laki-laki" di dalam diri si Nona X bagus dan akurat. Ketika si Nona X mulai terlihat jutek dan
    mungkin sedikit lagi bakal berubah menjadi singa, Bu Retno pun menyudahi percakapan dan akan mengajak
    Kak Steven meninggalkan tempat itu. Eh, Kak Steven yang sejak tadi cuma diam aja, tiba-tiba mengatakan
    sejumlah hal dengan ekspresi yang datar, tetapi ajaibnya langsung bikin si Nona X tertawa jumpalitan.



    Setelah membaca dan mencermati situasi, aku jadi sering iseng berimajinasi secara liar. Si Nona X itu,
    bertinggi tubuh ± 160 cm (agak-agak mirip dengan si Irma, Ifa, dan Dinda). Anda
    i dia berpasangan dengan
    El Comandante Steven
    yang tingginya menjulang (hingga hampir 190 cm) dan mereka berdua pun tampil di
    hadapan publik, mungkin aja, orang-orang akan langsung teringat pada sepasang insan dari Kyrgyzstan dan
    Kazakhstan: Askat Osmonov dan Danel' Dauletzhan. Kami yang kecewa hanya bisa gigit-gigit ulekan.



    [​IMG]




    Belakangan sidang "Mahkamah Militer" slagorde kami menyatakan, "The way El Comandante Steven
    responded to Non
    a X could've made her put the wrong interpretation on it (or enormously flattered) since it
    was so brutally seductive and kinky that it almost crossed the line and breached the code of honor to which

    he has vehemently adhered." Apalagi, setelah momen berjuta rasa tersebut, postingan med-sos si Nona X
    terlihat ba-per dan mendayu-dayu bangets (kendati mesti kuakui, dia lumayan cerdik dengan menggunakan
    "kalimat-kalimat bersayap yang multitafsir"). Ketika El Comandante Steven "mendapat peringatan", ataupun
    dinasihati oleh "anak-anak provost" slagorde kami, yah, reaksinya cuma "inggah-inggih-inggah-inggih".

    Toh, karena level keisengannya itu adalah "level alien"—atau, "bukan level manusia biasa"—dia malah

    menyanyikan (sembari memainkan gitar akustiknya) lagu-lagu menyayat hati yang pada akhirnya ditafsirkan
    seolah dia merasa "kehilangan" Nona X. Puuiiiiihh! Mulai dari "More Than a Memory" ("When you're finding

    things to do not to fall asleep... 'cause you know she'll be there in your dreams... that's when she's... more
    than a memory..."), lal
    u "Givin' Yourself Away" ("You know I'm running through your blood... you need
    me like a drug, and you can't live without me!"),
    hingga "I'll Be There for You" ("Her center's sweet, her
    beauty is rare... when we walk down the street, people stop and stare!"). "Anak
    -anak provost" jelas curiga.
    Lah, respons
    nya enak aja, "Semua itu bukan untuk Nona X, melainkan hanya untuk Comandanta Renata,"
    dengan ekspresi yang sedemik
    ian meyakinkan. Saat aku berpikir, dengan cara apa ya, aku membalas sikap
    manisnya, eh,
    dia tak merasa menyanyikan lagu-lagu itu untukku. "Semua itu untuk Dinda seorang..." Saat
    pernyataannya bikin Dinda resah dan bertanya-tanya, El Comandante terus aja bermanuver: "Lagu-lagu itu,
    ditujukan pada Dék Lyla di sana yang terkadang merasa sendiri dan terabaikan..." Walaupun menjengkelkan
    dan bikin kami gemesss, ya, dia tetap punya kesadaran untuk takkan mendekati somebody else's lover dan
    takkan mengambil keuntungan material dan seksual apa pun dari perempuan yang dekat dengannya.



    Semoga, kita dapat senantiasa bersikap konsisten. "Tetap berada di kehidupan nan bersih dan lurus."


     
    • Like Like x 4
    Last edited: Feb 24, 2024
  19. ___Renata___ M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 4, 2014
    Messages:
    878
    Trophy Points:
    152
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +606 / -2
    Unggahan ini akan bisa terlihat rapi jikalau kalian baca memakai PC/laptop dan browser Mozilla Firefox.



    As I rem
    inisce about my exquisitely beautiful childhood and upbringing, I realize that I often
    had no benchmarks to measure how well or consistently I'd adhered to certain principles and values (of a
    "pre
    -teenager") I'd expected to uphold. For example, while in primary school, I had vowed, resolved, and
    promise
    d myself that I would never again buy any snacks, meals, or drinks from my school canteen, even
    thoug
    h it'd had a good reputation or seemed quite hygienic. What triggered it was a feeling of disquiet that
    had f
    illed me for days. The story that my father told my siblings and me about the three daughters of his
    co
    lleague had flustered me enough. The doctor had to hospitalize them simultaneously due to a hepatitis A
    infection. Those poor little girls developed sore muscles, severe stomach pain, and jaundice (or yellowing of

    the skin and whites of the eyes). My dear parents cleverly took advantage of the momentum to warn my
    elder sisters and me about the dangers of consuming "food and drinks we do not know for sure about the
    quality of the ingredients used, how people made them, and the standard of their hygiene." We must be
    mindful of what we consume to avoid contracting infectious diseases such as hepatitis A, salmonellosis, and
    typhus. Well, for an "innocent female primary schooler like myself," whose stance was still, you know, a bit
    shaky, I'd initially pretty much managed to uphold vehemently and implement consistently all those firm
    determinations I'd made. In other words, I'd successfully maintained my resolution for the first few days to

    "refrain from buying and consuming snacks, meals, or drinks from the school canteen." What made it a lot
    easier was that our dear mom is highly skilled at cooking and has capabilities of making many snacks.

    One of them that we, her daughters, have
    liked the most is her homemade mushroom crackers, or
    wha
    t Filipinos call "mushroom kropek." As Indonesia and the Philippines are cognates, Indonesian shares
    so many similarities with Tagalog in vocabulary. "Kropek" (or crackers) has the same meaning as "kerupuk"

    in Indonesian. For most women today, making homemade snacks like mushroom crackers isn't something
    they'd enjoy (and I'm pretty sure they'd have difficulty making them). They'd, however, usually justify their
    inab
    ility to do so by saying this: "Pfft! Why bother making them ourselves when we can easily buy them?"
    My, oh, my. I hate to have to say this: "I pity those women." It may not have crossed their minds that a

    woman's excellent culinary skills can straightforwardly capture a man's heart. Most men are fully conscious
    that many women nowadays, even though "smart, lovely, and sexually attractive," aren't good at cooking.
    Or, even if an alluring woman looks like she "can cook," truth be told, "she is not much of a cook." She can
    only cook simple or boring dishes that won't make a deep impression. Once men meet a woman who is not
    only "sharp-witted, devout, sophisticated, gorgeous, in good shape, attractive, and possesses an immense
    sexual attraction," but also "looks deft and is supremely skilled at cooking," theylike an arrow shot from a
    bow—will think of her as the antithesis par excellence of most women. She's one of the rare ones.

    "Pfft
    ! I am who I am. I live my life for myself! I do not need 'affirmation,' 'praise,' or 'admiration'
    from any man or anyone else. I will never conform to others' expectations and standards! The man I want
    is just a man who's willing to accept me as I am, and he knows how to appreciate my inner beauty!"

    Everyone is free to choose or determine their
    life path based on the perspective they believe in. Yet,
    when you've eventua
    lly found a "man who accepts you as you are," we can say he's willing to make many
    sacrifices for you. He could've chosen any other woman, but he chose you instead. Do you think the story

    will stop right there? As your husband, he'll continually ask himself, although he may not tell you, "What are
    the good things I'll receive from her in return after I've been willing to sacrifice for her?" If you said, "True

    love doesn't expect anything in return," I'd then strongly suggest you slap your cheeks repeatedly, walk out
    of your house, and try to make some new friends—in a positive way—so that you can "wake up from your

    prolonged daydreams" and realize that reality is not as beautiful as the corny love stories in novels, films, or
    popular dramas you've consumed throughout the years in your effort to find respite from all the mundane
    realities of your life.__Have you ever heard the sayings "two things that can make your husband happy are
    your abilities to keep his 'stomach full' and his 'balls' empty"_and_"a 'well-fed and well-satisfied' husband is a
    happy one"? The key to a "happy husband" is having an incredible wife who always stands for him and can
    satisfy his appetite and desires. On the other hand, the key to a "wife's happiness" is having a high-value
    husband, or "El Comandante," whom you can invariably rely on. The one who is excellent in bed—I mean,
    at providing for all the family members' needs and improving his wife's and descendants' life qualities.



    I distinctly reca
    ll when I successfully flabbergasted The Handsome as I brought him savory snacks I
    made fro
    m the fresh oyster mushrooms he'd given me before. If you don't yet know, "Sensei Stevie" and
    his family have side businesses (or not the prime ones of theirs) in many fields, including agriculture, animal

    husbandry, fisheries, and plantations. On that day, he came to our residence. He gave me and my family
    fresh oyster mushrooms (harvested from his oyster mushroom farms) in large quantities. Maybe the
    handsome stud thought that I could onl
    y process them into stir-fried mushrooms at most. A few days later,
    I visite
    d his eco-friendly house, bringing crackers I made myself from the oyster mushrooms he'd brought
    us days before. At first, the lad didn't be
    lieve "I could make such savory snacks." I said that if he harbored
    some do
    ubts, I could prove it (as long as I had free time). I'd process the oyster mushrooms into savory
    mu
    shroom crackers before his eyes. "Don't dare blink an eye when I make it, dear!" If you're interested in
    learn
    ing how to make such savory oyster mushroom crackers, this video is worth checking out.



    One of my classmates at primary school was Reti. She's the daughter of a diplomat, was born in the

    US, and had been living there for years before she and her family moved to Indonesia. Even though many
    of my classmates had thought she was a little bit snobbish (as she came from an elite and wealthy family)
    or extra p
    icky about her friendships and looked too Western-minded (and I somehow don't think they were
    wrong—oops!), Miss Reti got along quite we
    ll with me because I was the one who could converse entirely in
    Eng
    lish with her. Thanks to me, our other classmates could then gradually accept Reti, and we've all since
    built sincere camaraderie over the years. However,
    like two sides of a coin, no matter how good she'd been
    to me, Reti (without rea
    lizing it) had also become an "evil little girl who'd almost drowned me in the mire of
    regret." One day, our school canteen started serving a menu of "chicken noodles and spicy beef meatball

    noodles with chewy brisket and a delicious broth," precisely when I'd been trying my best never to come to
    that place again—as I'd struggled to maintain my resolution of not consuming anything that I didn't know

    for sure about the quality of the ingredients used or the standard of its hygiene. Apart from my mother's
    homemade savory oyster mushroom crackers that I've mentioned earlier, she'd also always packed foods
    for her daughters—that consisted of other homemade snacks—
    in our school lunch boxes (which had never
    been the same from one day to the next, so that, instead of "getting bored," my elder sisters and I would

    enthusiastically guess and expect what she'd make for us tomorrow; the wisdom and ingenuity of a mother
    that has invariably made us immensely proud of her), such as "coxinha" (or the Brazilian croquette), fried
    stuffed tofu, croissant, Minahasan "lalampa," "panada," "lumpia" (fried spring rolls filled with minced
    beef, chicken eggs, an
    d bamboo shoots), "dynamite lumpia"one of the most famous snacks of Mom's
    native country—and many more. Even so, I couldn't resist Miss Reti
    's "devilish persuasions." I'd eventually
    yielded to her demands and often accompanied that loquacious girl in eating meatballs and chicken noodles
    there. Reti sa
    id they'd taste much better if we enjoyed them with my mother's homemade snacks, which
    Reti had sincerely always praised as "exceptionally tasty," as complements or additional dishes. I couldn't

    agree more, and I reciprocated by thanking her wholeheartedly. However, I realized that some part of me
    always seemed to shout in anger at Reti for making me fail to observe the commitments I'd made.


    Reflecting on that period, I can't help but laugh at how inconsistent I was as a primary schooler. One

    day, I was utterly annoyed and disappointed by my inability to be consistent. But the next day, when Reti
    asked me to go to the school canteen and eat meatballs there, I justified "yesterday's wrongdoing" in stride
    and tried hard to convince myself that it wasn't a big deal since I hadn't experienced anything awful.


    Nevertheless, m
    y mom's story about "hepatitis A can cause the human body to turn yellow" left me
    feeling worried and imagining it with worrisome images. Yet I wasn't as naive as Nohara Shinnosuke—a.k.a.

    Crayon Shin-chan—is in interpreting things, which "often deviates too far from the actual circumstances," as
    show
    n in the comic excerpt below (albeit when I read it for the very first time in my primary school days, I
    hadn'
    t in the least bit grasped the meanings of the scene, which adults could easily make sense of).

    [​IMG]
    Bilamana cuma terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] tersebut dan klik reload image.



    While most Indonesian people born in the early or late 1990s have probably been more familiar with

    manga (or many Japanese comic characters), my elder sisters and I have been avid fans of American and
    European comic books since we were little girls. We grew up reading them. Mom is an architect with a keen
    interest in drawing. She is not a painter and may never want to be, but she has a knack for drawing that is

    aesthetically pleasing and well-proportioned. Her drawings and sketches are always exceedingly good. Many
    individuals often boast about "their passion for drawing or painting" and share their works on social media.
    They seem, however, to disregard "how important proportion is" blatantly. My experience has shown me
    numerous drawings or paintings with noticeable disproportions. Our dear mom's never been like that.

    Drawing and sketching in proportion are the skills Mom has mastered or excelled at. She won't

    find any difficulties whenever she aims to achieve a lifelike quality in her work. Mom has such well-honed
    eyes and visual prowess to effortlessly capture and transfer the details of her subjects onto paper. We can

    easily see an equivalence between "what Mom represents in drawings and what we perceive in reality." She
    often playfully remarks that her exceptional artistic talent is not an "aptitude that came out of nowhere" but
    developed through her deep interest in reading and paying attention to many American or European comic
    books. Since childhood in the Philippines, she's had a peculiar habit of collecting such things. Apart from that,
    our father is a civil engineer who grew up in the 1970s and 1980s. He enjoys reading comic books as well.
    Furthermore, he still keeps loads of classic, hard-to-find, or out-of-print Indonesian gems from the past,
    even though his attentiveness to collecting comic books hasn't been as extensive as our lovely mom's.
    While they both have a strong affinity for comic books, our father would only buy them occasionally.

    He reca
    lls the golden era when comic book rentals sprang up throughout Jakarta. Rather than being
    familiar with American and European superheroes or characters, many Indonesians, ranging from primary

    schoolers to adultsspecifically, "comic book connoisseurs"had been more conversant with Indonesian
    superheroes, superheroines, or even villains in many Indonesian comic books they'd frequently read.



    Since Papa has kept those treasured possessions in our family library and our parents always allow us
    —their lovely daughters—to read any of his old and hard-to-find Indonesian comic books, my elder sisters

    and I "have slowly become emotionally attached to many of the characters found in them." For example,
    Tira. She is one of the few female superheroes in Indonesian comic books. It's been a few months since
    I've binge-watched or hooked on a web series adapted from this gorgeous, breathtaking, captivating, and
    "bodacious"—or "attractive and sexy"—female protagonist. In the original comic version, Tira's real name is
    "Susi." However, the creators of Tira web series opte
    d to change it to "Suci (Larasati)," which immediately
    conjures up an image of Mbak Suci, who has been known as "Suci Ristyasari" on this forum for more than
    ten years. Even though, as Mbak Suci has averred in her diary thread, the name "Ristyasari" is not her real
    name but a pseudonym or no
    m de guerre she has chosen for "particular reasons" (or "specific purposes").
    Those who've watched the whole Tira web series and rea
    d the original comic version can notice a striking
    difference in her costumes. In the original comic version, as shown in one of the comic book covers below,

    Tira dresses in an enticing, tight red outfit and is "tremendously seductive" to most men (the heterosexual
    ones, of course). She has
    black, thick, long hair, fascinating derriere, tantalizing big boobs, wears thigh-high
    boots, and brazenly displays her first-rate silky, alluring white thighs, causing men to swoon in desire.


    [​IMG]

    Bilamana cuma terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] tersebut dan klik reload image.

    Following the trend of many previous superhero characters, Tira also wears a black eye mask. What
    is funny is that in one of the Tira comic books I've read, several of her dumb-jerk opponents are mistaken

    for the black eye mask she wears. They think she's wearing the thing since she has acne or pimples.



    Tira's appearance in the web series has reminded me of Miss Jessica Jones. I teased Mbak Suci

    by saying that if a moviemaker had wanted to create a web series of Tira based on the comic version, with
    her tight and sensual costume, they would've "unequivocally chosen Mbak Suci" since she has the physical
    characteristics that'd perfectly suit it. She facetiously told me that, unbeknownst to me, she'd been playing
    such a role. Yet, in private adult
    videos that she made with her husband, only for their consumption.



    [​IMG]
    Bilamana cuma terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] tersebut dan klik reload image.

    Tira, however, is not the first female superhero wearing such a black eye mask and "sexy outfit" that
    displays some of her white, silky thighs in Indonesian comic books. In the 1950s, a long time before Tira's

    emergence, Indonesian people were familiar with Putri Bintang, a local superheroine whose appearance will
    inevitably make us strongly associate her with Wonder Woman. What seems utterly ridiculous and doesn't
    make sense to most of us—though I know "we should never take any superhero characters seriously"—is
    that Putri Bintang wears high heels. How could she possibly move so nimbly while wearing such things? It,
    of course, wouldn't be practical in any fight she has to engage in. As you can watch in this video, many
    women often easily slip when they walk wearing high heels. Ah, let me reiterate: We should never take any

    superhero characters seriously, since I suppose their purpose is solely trying to quench comic book readers'
    fantasies and imaginations. Perhaps since the majority—if not all—of superhero comic artists and creators
    are males. They do believe that if they don't "sexualize" female superhero characters, consumers, who are
    predominantly men, will be less likely to purchase and read them. Yeah, men are visual creatures.




    [​IMG]

    Bilamana cuma terlihat tulisan [ IMG ], klik kanan pada tulisan [ IMG ] tersebut dan klik reload image.

    There is another superheroine with some "similarities" to Tira in appearance. She is Walet Merah (or,
    in English, The Red Swallow), who appears regularly in the comic book series of an Indonesian superhero,
    Lamaut, whic
    h is a portmanteau of "Laba-laba Maut" and—to be frank—is the blatant rip-off of Spider-Man.
    Regarding Om Lamaut, I reca
    ll what Mbak Suci has explained. Despite having a civil engineering background
    (as I do), she possesses a "strong passion for linguistics." She speaks proficiently and fluently in English,

    Indonesian, Javanese (in different regional dialects), Sundanese, and Minangkabau (since her mother-in-law
    is of Sumatran descent). She knows a little Arabic and has now been learning German with the guidance of
    her spouse. I even ofttimes catch her conversing with two Japanese women, Aya or Izumi-chan (Steven's
    sister-in-law) and Airi-chan (Aya's sister, who lives in one of the two-story annexes around the guest house

    area with her son), entirely in Japanese. Humbly, Mbak Suci usually says she is "merely trying to improve
    her N3 level of Japanese." (On another occasion, Mbak Suci half-jokingly said Aya and Airi-chan would
    effortlessly understand any of what she'd tried to convey—although some sentences weren't grammatically
    correct—but she must struggle to understand theirs.) A
    ll right. I'll continue talking about Lamaut. Mbak Suci
    to
    ld me that most Indonesians might immediately construe "maut" as a synonym for the word "kematian"
    (or, in English, "death"). What they don't often realize is that the word "maut" in Indonesian can also mean

    "mengagumkan" or "luar biasa" (the equivalent word in English is "amazing"). It means the name "Lamaut"
    or "Laba-laba Maut" is essentially an Indonesian translation of "The Amazing Spider-Man." I almost forgot.
    This Wale
    t Merah I'm talking about must not be confused with "another Walet Merah," who appears in the
    Panji Tengkorak comic series, which isn't superhero-themed. Walet Merah, in the Lamaut comic series, is a

    young Indonesian female journalist with the original name "Luana." For some reason, I somehow have the
    strong impression that her costume is "almost indistinguishable" from Tira's. They both have stunning and
    well-proportioned body shapes that enhance their attractiveness. Walet Merah wears a black eye mask, as
    Mbak Tira does. When I was still in primary school, I read a Crayon Shin-chan comic book—which tells the
    stor
    y of his Papa "preparing for hemorrhoid surgery." As I mentioned earlier at the beginning of this post,
    I hadn't graspe
    d the meanings of Shin-chan's wild imagination, which depicts a woman wearing a black eye
    mask and a costume similar to Walet Merah's and Tira's, treating his Papa as if he were "her pet."




    Beberapa waktu lalu, aku bermimpi yang aneh dalam tidurku terkait Tante A. Penyebabnya, mungkin
    karena aku tertidur sewaktu menyaksikan satu fil
    m produksi Belanda berjudul De Oost (The East). Kira-kira,
    setelah adegan para serdadu Belanda (yang semuanya bulé, tanpa seorang pun Londo Ireng) tengah jajan
    pecel pincuk, seperti dapat kalian lihat di potongan video ini. Setting-nya memang di Indonesia. Nah,
    kamprets-nya, adegan tersebut, tau-tau aja, masuk ke dalam mimpiku. Jadi, aku seperti sedang menonton
    film tersebut di salah satu dar
    i dua bioskop pribadi yang berada di guest house. Ada adegan Tante A—yang
    berjualan pecel d
    i sebuah warung dengan papan nama bertuliskan: "Pecel Tante Antje" (atau "Tante Ance")
    karena cerita fil
    m itu berlangsung pada dekade 1940-an, ketika Indonesia masih menggunakan ejaan lama.
    "Mengapa dia memakai nama 'Antje', alih-alih nama lahirnya?" Ya, saya ndak tau. Kenapa situ tanya saya?!
    Jang banyak batanya ngana, kal
    u te mau dapa tampeleng! Ora usah kakéan takon! Tak kepruk 'ndas-mu,
    klenger kowé! Sampai sekarang, aku masih jengkel bangetsss dan nggak habis pikir. Laah, kok bisa-bisanya,

    si Tante genit, pemarah, dan cengeng itu hadir di mimpiku! Apalagidi mimpi burukku tersebutaku sempat
    merasa kasihan bangets padanya karena semua tentara Belendes yang jajan pecel pincuk di warungnya itu
    mengatakan bahwa pecel bikinannya tidak enak rasanya. Tante A 'nangis sambil bilang, "Kauhina pecel-ku...

    aku diam..." Di potongan adegan film De Oost tersebut ada terlihat kapten Raymond Pierre Paul Westerling,
    komandan Depot Speciale Troepen Belanda, bazingan tengik, penjahat perang yang tanpa perikemanusiaan
    membantai ribuan rakyat Celebes (Sulawesi). Para korban itu bukanlah termasuk "kombatan". Mereka tidak

    bersenjata, dikumpulkan di lapangan, dan dihabisi nyawanya satu per satu. Dalam kode etik militer, di mana
    pun itu, perilaku tersebut akan dianggap bentuk kepengecutan, biadab, dan amat sangat menjijikkan.



    Namun, adegan di mimpiku sangatlah berbeda. Komandan para tentara Belendes itu datang, dengan
    mengendarai jip militer. Karena melihat semua anak buahnya lagi mengerumuni "Pecel Tante Antje", yah dia
    pu
    n menjadi penasaran. Tante A langsung menyambut, secara genit: "Mari, Meneer." Si Belendes blo'on itu
    melihat satu baskom dan bertanya, "Ini nama apa, hah?!" Tante A menjawab,
    "Oh, itu empal eike, Cyin..."
    Maksudnya, empal gepuk buatannya. Karena dia ndak pacak masak, bentuk empalnya terlihat aneh.

    Si Belendes merasa curiga. "Ah, kenapa empral semprul ini 'kliwir-kliwir'?! Kelihatannya tidak segar lagi!
    Kamu ekstremis mau coba meracuni Tentara Kerajaan, hah?" Dia mengatakan demikian sambil mengokang
    pistolnya (agak-agak mirip adegan film De Oost pada potongan video di atas). Eh, alih-alih ketakutan, Tante

    Antje justru mengatakan, "Kau... kauhina empal-ku... aku diam..." Adegan berikutnya kian tak masuk akal.
    Mereka berhadapan. Si Belendes mengarahkan pistolnya kepada Tante A. Lah, bukannya jadi syerem yang
    'gimana-'gimana 'gitu,,mereka berdua malah menari cha-cha seperti adegan di film Setan Kredit.

    Situasi bertambah amburadul tidak karuan karena wajah-wajah para tentara Belendes tersebut, mulai
    membengkak—sebagaimana momen alergi di film Hitch ini—oleh karena para tentara itu, tadi sempat
    mengonsumsi empal (yang katanya si Belendes itu "kliwir-kliwir") beserta pecel pincuk bikinan Tante A.


    Namanya juga "mimpi dalam tidur", yang sama sekali tak terencana, dan sangat mungkin ada terjadi
    ha
    l yang disebut sebagai "anakronisme". Entah 'gimana, tau-tau aja datanglah satu truk REO M35 penuh
    berisi sepasukan tentara bersenjata AK-47, yang dipasangi bayonet. Padahal, senapan serbu AK-47
    itu tak
    digunakan oleh militer Kerajaan Belanda (mereka menggunakan M1 Garand serta Mannlicher M1895).

    Adegan dalam mimpiku itu makin gendheng lagi setelah pemimpin pasukan dalam truk tersebut turun.
    Dia adalah Comandante Steven. Bila kalian saksikan potongan video film De Oost di atas, yah, sorry to say,
    nggak ada satu pun dari para tentara bulé Belanda di adegan itu yang good-looking. Begitu pun yang tersua
    dalam mimpi absurd-ku. Jadi, sewaktu Comandante Steven yang berwajah sangat bulé dan good-looking itu
    mendatangi para tentara Belendes tersebut, ya langsung kebantinglah mereka semua. Aku tak mengetahui
    apakah Comandante Steven juga termasuk anggota Speciale Troepen. Yang jelas, dia kemudian "mengusir

    seluruh tentara Belendes, yang tadi sempat jajan pecel pincuk dan empal kliwir-kliwir buatan Tante A".



    Yang menarik, ketika Tante A akan berterima kasih—atas "aksi heroik" dari Comandante Steven itu—
    si Makhluk Handsome Bloody Handsome sama sekali tidak menanggapi. Tidak, Sayang! Tidak! Dia bergegas
    menaiki truk REO M35 dan langsung meninggalkan TKP. Mimpiku terhenti sampai di situ—atau aku tidak bisa
    mengingat lagi, apa adegan selanjutnya. Yang kudeskripsikan ini pun jelas nggak sama persis dengan mimpi
    dalam tidurku karena mustahil dan tak masuk akal bila aku bisa mengingat mimpiku secara mendetail.

    Saat kuceritakan mimpi amburadul itu, Yuv
    i bilang, di kesatuan Depot Speciale Troepen memang ada
    seorang tentara bulé Belanda yang di kemudian hari, berpihak pada Republik Indonesia. Beliau adalah Rodes
    Barendrecht Visser (Barendrecht adalah satu kota di Belanda)—yang belakangan berkontribusi sangat besar
    dalam pembentukan pasukan komando pertama Indonesia. Per
    ihal film De Oost, Yuvi pun, entah bercanda
    atau serius, punya pengalaman mimpi nan unik. Ketika aku curiga, mimpinya itu mungkin aja terkait dengan
    "beberapa adegan hot yang 'gimana-'gimana 'gitu", seperti sejumlah adegan dalam film itu yang melibatkan
    aktris Denise Aznam, Yuvi langsung tertawa tanpa henti. Dia menjelaskan mimpinya itu hanyalah berisikan
    adegan dia bermain futsal bersama "Sensei Stevie" dan para tentara Depot Speciale Troepen, yang desersi
    karena muak dengan Westerling. Aku nggak percaya. Tawa Yuvi seperti punya "makna terselubung".




    Terkait dengan "ujian konsistensi", ada cerita baru dari si Irma. Pada suatu hari, Comandante Steven
    menangani satu permasalahan yang dialami Irma. Bukan kebetulan, berbarengan pula dengan penyelesaian
    administratif dari beberapa urusan Bude Vini. El Comandante mendampingi mereka berdua saat mendatangi
    sejumlah tempat. Nah, entah untuk yang ke berapa kalinya, makhluk itu kembali bersua tanpa berkata-kata
    (atau "berada di satu area yang sama, tanpa terjadi proses komunikasi, betapa pun itu sekadar menyapa")

    dengan "sosok yang tak boleh didekatinya". Karena pada hakikatnya, Irma dan Bude Vini yang "membawa"
    si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu bepergian, maka tentulah, kita sama sekali tak bisa mengaitkan

    "momen kebetulan tersebut" dengan "pola pikir konspiratif yang berujung pada asumsi bahwasanya momen
    kebetulan itu bisa aja terjadi secara terencana atau disengaja". Meskipun El Comandante bisa dengan dingin
    menyikapi situasi tersebut secara konsisten dan sama sekali tak tergoyahkan—dalam artian, dia nggak akan
    sedikit pun "tergoda untuk melanggar code of conduct yang dia junjung tinggi selama ini", eh, justru si Irma
    yang jadi penasaran dan seakan-akan "tertantang untuk mengubah ketegasan bersikap" makhluk itu.

    Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin—berdasarkan kesaksian Irma—konsistensi dan ketegasan "Sensei Stevie"

    tetaplah sekeras baja. Namun demikian, Irma nggak menjelaskan perihal detail kejadiannya. Hal itu seketika
    membangkitkan naluri investigasi yang ada dalam diriku. Comandante Steven sering kali mengingatkan kami

    supaya senantiasa menyisakan ruang-ruang kewaspadaan pada diri kita masing-masing. Bukan tak mungkin
    (berdasarkan realitas yang terjadi di kehidupan), cerita nan terdengar bagus, ternyata adalah hasil fabrikasi.
    Pemberian sesuatu dalam jumlah signifikan dari seseorang yang kita anggap sangat baik dan tulus, ternyata
    memiliki pamrih-pamrih tertentu yang nantinya malah merugikan kita. Atau kita tak boleh mengesampingkan
    kemungkinan, bisa aja, sumber pemberia
    n tersebut, berasal dari hasil tindak pidana, seperti pencucian uang
    dan korupsi. Mesti ada kejelasan hitam di atas putih yang berkekuatan hukum, sebagaimana proses hibah
    dari El Comandante pada Mbak Vies sekeluarga—seperti kukisahkan dalam postingan-ku sebelumnya.




    Atas dasar itulah, aku pun berusaha mengonfirmasi kebenaran cerita si Irma tersebut pada Bude Vini
    yang juga ikut menjadi saksi mata perihal momen kemampuan "Sensei Stevie" membuktikan konsistensinya
    pada saat itu. Bude Vini tidak cuma membenarkan apa yang dikatakan Irma, tetapi beliau pun mengungkap
    sejumlah hal lain—yang tak dikatakan Irma padaku. Pada momen ujian konsistensi "Sensei Stevie" tersebut,
    Irma mengatakan, "Nggak ada salahnya berkenalan dengan perempuan yang udah punya pacar sekalipun.

    Yang penting, si perempuan itu belum menikah, atau berstatus sebagai binor. Tidak usah terlalu kaku dalam
    berprinsip... bla-bla-bla... dll., dsb., wasweswosfafifu..." Bude Vini menceritakan, argumentasi si Irmayang

    sepintas lintas terasa "cukup masuk akal"langsung "dihantam dengan bombardemen argumen yang logis"
    dari si Masé (Bude Vini termasuk ke dalam barisan para perempuan nan senantiasa menyebut Comandante
    Steven dengan "si Masé", sebagai "panggilan sayang"). Meskipun Irma itu sejatinya adalah tipe perempuan

    yang pinter 'ngomong dan juga sangat nyelekit 'en puedesss kalau dia udah 'ngerujak orang, toh, dia nggak
    sanggup "menghantam balik" El Comandante. Bude Vini bilang, salah satu dari perkataan si Masé yang bikin

    beliau sangat terkesan adalah sebuah istilah militeristik di dalam bahasa Jerman: „Ruhm-oder-Grab-Auftrag",
    atau "glory-or-grave-mission". Apabila seorang perempuan—secara sangat sadar dan tanpa paksaan—telah
    memperlihatkan kemesraannya secara terbuka dengan seorang pria, dalam konteks "pacar atau pasangan"
    (walau belum menikah secara resmi), maka, yah kita anggap saja, sang perempuan ybs udah menyatakan

    dirinya bersedia menjalani "a glory-or-grave-mission", dalam perjalanan hidupnya. Mungkin aja, sekali waktu,
    kalian pernah menyaksikan adegan film, kala seorang komandan pasukan sedang memberikan briefing pada
    para anggota pasukannya. "Saya peringatkan. Misi kita kali ini sangatlah berbahaya.Tidak ada kepastian kita
    akan kembali dengan selamat. Tidak, Sayang! Tidak! [Heiiiyaaah! Nggak bakal 'ngomong 'gitu, keuleus!] Bila
    ada di antara kalian yang merasa ragu atau takut, saya izinkan untuk mundur!" Nah, ketika para tentara itu
    tetap ikut di dalam misi tersebut, ya, artinya mereka secara sadar udah bersedia mengambil one-way ticket
    (atau "tiket yang hanya berlaku sekali jalan") dengan segala risiko, termasuk yang terburuk sekalipun.

    Demikian pula seorang perempuan yang, dengan sadar, menunjukkan kemesraannya secara terbuka
    pada seorang pria (dalam konteks, "pacar atau pasangannya"). Kita sebaiknya menganggap, si perempuan
    "telah memutuskan mengambil tiket sekali jala
    n untuk takdir dan masa depannya", sehingga dia seakan tak
    pernah berpikir untuk meninggalkan pacar/pasangannya. Sangat mungkin, di antara keluarga besar mereka,
    telah ada pembicaraan serius ihwal rencana pernikahan mereka. Sepasang insan itu pun, bisa aja selama ini

    udah sangat sering berbincang perihal hari depan dan perwujudan mimpi-mimpi indah mereka berdua.

    Dalam situasi demikian, jelas sangat kontraproduktif bilamana Comandante Steven nekat "berkenalan

    dengan perempuan (siapa pun dia!) yang secara faktual dan kasatmata telah mengikatkan dirinya dan juga
    perasaannya—atas nama cinta—pada pria lain". Untuk apa membuang-buang waktu yang sangat berharga
    dengan sia-sia hanya demi masuk ke dalam kehidupan "seorang perempuan yang telah berketetapan untuk
    menjalani sisa hidupnya bersama sang pria pilihannya"?! Mungkin aja, ada yang
    bilang, "Aih, lebay bangets!
    'Kan cuma berkenalan dan berteman. Kita mesti memperluas pergaulan." Ada benarnya, sih. Namun, yang

    namanya "berkenalan" dan kemudian dilanjutkan dengan "berteman", acap kali menjadi "pintu masuk" bagi
    banyak orang untuk mengembangkan relasi tersebut hingga ke tahap-tahap yang mungkin aja tidak pernah
    mereka perkirakan dan kehendaki sebelumnya. Terlebih lagi jika kita kaitkan dengan rekam jejak spektakuler
    si Makhluk Handsome Bloody Handsome selama ini. Laki-laki nggak cuma mesti bisa dipegang omongannya,
    tetapi wajib pula kita pelajari dan cermati track record-nya. Dia termasuk spesies Buaya Lumutan, yang bisa
    dengan relatif mudah menjadikan banyak perempuan rela membuka pintu hatinya untuk dia masuki, betapa
    pun para perempuan itu sejatinya mempunyai preferensi masing-masing ihwal sosok "pria idaman mereka",

    atau betapa pun para perempuan itu, pada mulanya, tidaklah berniat menjalin hubungan dengannya.



    Jangan sampai situasi di lagu ini terjadi. Jangan sampai pula si perempuan menyanyikan lagu ini.
    Dalam suasana hati yang bercampur aduk—resah sekaligus penasaran—si perempuan tanpa henti bertanya
    dalam hati: "Apa jadinya... bila kau... ada di antara aku dan dia?" Untunglah—sampai sejauh ini—si Makhluk
    Handsome Bloody Handsome tetap bisa mengedepankan rasionalitasnya, nggak akan sud
    i dijajah perasaan
    melankolis perihal cinta.
    Di film The Big Short, Michael Burry memainkan drum track lagu "By Demons Be
    Driven" dari Pantera, saat dia berusaha menjaga kewarasannya. Lain halnya dengan "Sensei Stevie".


    Dia lebih memili
    h memainkan drum tracks dari lagu-lagu nan mendayu-dayu seperti lagu ini ataupun
    lagu ini sembari memutar-lempar stik drum sebagaimana bisa kalian cermati di lagu ini dan lagu ini. Ada
    beberapa rekaman video, sewak
    tu dia memainkan drum tracks tersebut. Yang gemblung, lokasi permainan
    drum tracks itu berada di sebuah ruang luas terbuka (di salah sat
    u properti miliknya) dan dihiasi background
    beberapa hyper-realistic murals dari "wajah-wajah perempuan yang mesti dia lupakan". Mural tersebut
    dia buat bersama Yuvi dan Reginaseorang teman kam
    i lainnya. Secara jujur, mesti aku katakan, Yuvi dan
    Tante Regina itulah yang pada dua tahun belakangan mengajari makhluk itu membuat hyper-realistic murals
    karena mereka memang memiliki skills mumpuni terkait hal tersebut. Dulu, dia pernah "mencoba bik
    in mural
    berwajah Tante A". Oleh sebab makhluk itu belum memahami tekniknya, yah, hasilnya pun amburadul tidak
    karuan. Wajah Tante A malah jadi terlihat tidak ubahnya seperti dalam satu adegan film lawas ini.

    Pada hakikatnya,
    El Comandante mengawali kehidupannya dari angka nol. Dia sama aja dengan para
    pria lainnya di dunia ini, pernah mengalami masa-masa sebagai bayi dan balita yang tak bisa apa-apa, mesti
    bergantung sepenuhnya pada kedua orangtuanya. Mesti menjalani proses belajar, dari waktu ke waktu. Jika
    sekarang dia terlihat "punya banyak kemampuan dalam berbagai hal", yah, itu karena dia termasuk spesies
    pria yang takkan sudi berada dalam kondisi status quo atau menjalani hidup tanpa meng-upgrade diri. Tidak
    dapat bermain gitar? Dia pelajari secara autodidaktik, dan belajar pada banyak orang—termasuk Ajeng. Tak
    becus bermain drum? Dia belajar pada suami Mbak Suci. Skills diperoleh dari pengalaman dan belajar.


    Kemampuan nan memikat dalam berkomunikasi da
    n berinteraksi pun, dia dapatkan dari pengalaman.



    Bude Vini adalah sosok perempuan cantik memikat. Sangat seksi da
    n memesona. Kendati kini, beliau
    berusia 48 tahun, banyak pria yang klepek-klepek pada daya tarik beliau, yang seola
    h tidak ada obatnya itu.
    Masih ada banyak pria yang kesengsem atau mabuk kepayang pada Bude Vini, sampa
    i ingin memiliki beliau.
    Beliau itu mantan pramugari. Cantik, seksi, alami, tanpa disuntik Botox, tanam/tarik benang, Pico laser, dsb.
    Pernah ada satu oknum pilot yang mengirimkan berbagai hadiah mahal ini dan itu disertai rayuan berbahasa

    Inggris, yang jika diperhatikan sekilas, sangat bagus untaian kata-katanya, dalam CEFR Level C2 (atau level
    tertinggi dalam berbahasa Inggris). Toh, Bude Vini bukan "anak kemarin sore nan cantik, tapi blo'on". Beliau

    tau persis, di kehidupan nyata, kemampuan berbahasa Inggris si pilot dogol itu masih di level B1 atau A2.
    Kalau dia harus berbincang dengan native English speakers, pasti akan selalu diselingi momen plonga-plongo,
    atau ketersendatan. Artinya, rayuan maut keminggris itu artifisial. Entah buatan orang lain, hasil copy-paste,
    atau dibikin dengan bantuan translator, beragam aplikasi bahasa, serta teknologi Artificial Intelligence.

    Nah, jikalau untuk hal mendasar seperti itu aja si oknum "nggak sanggup memberikan yang orisinal",
    ya, bagaimana mungkin perempuan berkualitas tinggi seperti Bude Vini akan bisa terpesona dan jatuh hati?!
    Siapa p
    un punya hak keminggris asalkan tak memanipulasi kenyataan, baik langsung maupun tak langsung.
    Buat apa gaya-gayaan jika bertentangan dengan kemampuan? Apa dia kira Bude Vini akan bisa dia kelabui?
    Sangat jauh berbeda dengan Comandante Steven—yang punya jam terbang tinggi dan jutaan pengalaman
    "di berbagai medan juang". Kualitas nggak akan pernah bohong. Bude Vini masih sangat ingat momen saat
    beliau bersua untuk pertama kalinya dengan makhluk itu (ketika beliau sekadar ingin menengok Mbak Ninuk

    dan putri semata wayangnya—yang bermukim di properti milik "Sensei Stevie"). Pada awalnya, beliau cuma
    berbasa-basi dengan makhluk itu. Eh, akhirnya malah berlanjut asyik bercakap hingga nyaris dua jam.

    Padahal, si Bude Cantik baru berjumpa dan diperkenalkan dengan sang Buaya Lumutan pada hari itu.

    Dalam perkembangannya, makhluk itu pun, Bi-idznillah, sanggup membuktikan dirinya sebagai "seorang pria
    yang tak hanya memikat dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi dengan lawan jenis, tetapi juga sanggup
    menghadirkan solusi nyata (bukan sekadar teori dan wacana), atas sejumlah permasalahan mereka".



    Beberapa waktu lalu, aku membaca utas diary Mbak Suci terkait kehamilan keduanya. Selama ini, aku
    menahan diri agar nggak menulis tentang berita bahagia itu sebelum si Mbak sendiri yang mengabarkannya.
    Ya iya, dongs, tata kramanya mesti seperti itu. Alasan Mbak Suci nggak langsung menyiarkan berita perihal

    kehamilannya yang kedua itu cukup bikin aku terenyuh. Dia menyadari, di komunitas guest house, ada para
    janda muda yang belum memiliki anak. Agar tak membawa kesedihan bagi mereka, dia bersikap low profile.

    Toh, kehamilan kedua bagi si Mbak Seksi itu, belakangan menyadarkan Comandante Steven bahwa ada hal
    yang semestinya dia lakukan sebagai El Comandante—terhadap mereka yang selama ini dinaunginya.

    Akhirnya, sekian bulan lalu, dia membuka kesempatan bagi para ibu lajang di komunitas guest house,

    yaitu Mbak Vies, Yuvi, dan juga para janda muda lainnya yang belum punya anak untuk mengikuti program
    pembekuan sel telur atau "egg freezing". Selagi mereka itu "belum berusia 30-an", masih memiliki sel telur

    yang sehat dan berkualitas. Semula, Comandante Steven berniat "menanggung segala sesuatunya"—dari A
    sampai Z, wabil khusus, terkait pembiayaan. Namun, pihak provost mengingatkan, jikalau seperti itu, artinya
    dia pula yang kelak mesti membuahi satu per satu para perempuan yang mengikuti program tersebut. Atau
    orang-orang yang tak memahami duduk perkaranya, akan berasumsi seperti itu. Padahal, para janda muda
    itu 'kan, masih berpeluang "memulai hidup baru dengan para pria pilihan mereka masing-masing". Nah, agar
    tidak ada kesalahpahaman di kemudian hari, program egg freezing itu dibuatkan landasan hukumnya.



    Sebagai manusia biasa, kita tak akan pernah mampu meramal Takdir-Nya. Bagaimanapun, kita tetap
    selalu diwajibkan berusaha seoptimal dan semaksimal mungkin. Program pembekuan sel telur adalah bentuk

    ikhtiar manusiawi yang setidaknya, "secara teknis akan dapat memperpanjang peluang seorang perempuan
    perihal mempunyai anak biologis, yang dikandung dan dilahirkannya". Meskipun kini, para perempuan seperti
    Mbak Vies dan Yuvi (aku cuma menyebutkan mereka berdua karena mereka tak keberatan jika kuceritakan
    di berbagai postingan med-sos), seolah "nggak akan mau menikah lagi", toh, mereka tetap aja punya naluri
    keibuan. Mereka tetap para perempua
    n normal, yang punya naluri untuk bisa mempunyai keturunan.



    Setiap kali melihat dua anak laki-laki sehat dan tampan berwajah Kaukasia (kedua putra kembar Mbak
    Suci dan suaminya), aku selalu merasa senang dan terinspirasi. Para janda muda di komunitas guest house

    yang nggak memiliki anak dari pernikahan terdahulu mereka masing-masing pun, aku rasa, ikut pula merasa
    terinspirasi. Pada umumnya, berdasarkan pengalaman di kehidupan nyata, bila seorang bulé atau keturunan
    ras Kaukasia menikah dengan seorang dari ras Asia, anak-anaknya akan cenderung tampan (yang laki-laki),

    atau cantik (yang perempuan). Kendati derajat kemuliaan di Sisi-Nya tak akan bergantung dari bentuk rupa,
    aku sering ka
    li terhibur melihat perempuan Asia mempunyai anak-anak yang berwajah bulé/Kaukasia.



    Suasana Ramadhan kali ini penuh diwarnai banyak kesibukan yang menyenangkan dan menenangkan
    hati. Meski kini, aku belumlah menjadi seorang istri siapa pun yah, aku berkesempatan untuk "memasakkan

    beragam hidangan yang bisa dinikmati oleh si Makhluk Handsome Bloody Handsome itu", saat makan sahur
    dan ketika berbuka puasa. Mulai dari tempe mendoan, lauk-pauk lezat khas Nasi Kandar George Town,
    bihun bebek rebung Vietnam, opor ayam kampung khas Kudus, soto daging sapi plus lobak (kendati aku
    tak menyukai lobak) yang cuma ada di Bandung, chicken schnitzel Jerman—yang anehnya justru dia
    maka
    n dengan sambel ulek, kue putu bambu Medan, hingga rujak buah, beserta es daun jati. Semua
    itu (semua proses memasak yang aku lakukan di dapur guest house) ada rekaman videonya, agar dia bisa

    mabuk kepayang dua dimensi. Artinya, 'ngiler pada masakan, dan 'ngiler pula melihat juru masaknya.


    Resep-resep masakan itu kupelajari dari Mbak Suci—kecuali resep kue putu yang kupelajari dari Irma.



    Sejak sebelum Ramadhan, ada dua orang "pendatang baru" yang secara intens menyambangi, atau
    bahkan, menginap di guest house. Mereka adalah para kolega dari rival terberatku, si "Ratu Ayu". Tersebab
    aku tidak leluasa menyebutkan nama-nama mereka, yah, kusebut aja sebagai "Tante X" dan "Tante MST".
    Tante X, sebaya dengan si "Ratu Ayu", adalah seorang ibu lajang 40-an (dengan tiga orang putri). Sebelum
    berkarier di Indonesia, dia berkarier di satu negara besar Eropa. Dia mesti hijrah ke Indonesia karena alasan
    tertentu yang tidak bisa aku jelaskan secara panjang lebar di sini. Yang pasti, salah satunya agar dia jangan
    sampai hidup terpisah atau berjauhan dengan tiga putrinya. Tante MST adalah seorang perempuan Oriental
    dan "orang kepercayaan Tante X". Aku nggak akan bercerita lebih lanjut, karena background Tante MST itu
    nggak banyak kuketahui. Yang jelas (berdasarkan kesaksian Mbak Vies), sempat ada huru-hara "employee

    poaching" (atau, "pembajakan SDM") yang sangat serius terkait mereka. Sebelumnya, hal itu ditangani oleh
    suami Mbak Suci (sebagai pemegang saham terbesar dari sebuah perusahaan hasil joint venture dengan El

    Comandante dan si "Ratu Ayu"). Si "Ratu Ayu" berniat merekrut Tante X, untuk berkarier di perusahaan itu,
    sekaligus supaya si Tante X "tidak sampai kehilangan hak asuh atas tiga putrinya". Masalahnya, "kepergian"
    Tante X dari perusahaan tempat dia berkarier sebelumnya itu, "diikuti juga" oleh Tante MST—sebagai "sang

    tangan kanannya". Jika tak disikapi secara ekstra hati-hati, akan bisa berpotensi merusak relasi suami Mbak
    Suci dengan para kolega VVIP dari perusahaan itu. Nah, supaya proses hijrahnya si Tante X dan Tante MST

    nggak sampai dimaknai sebagai "employee poaching", mesti ada rangkaian negosiasi serta tindak lanjutnya.
    Berhubung Mbak Suci mulai menjalani kehamilan keduanya, proses negosiasi dan sebagainya itu pun diambil
    alih sepenuhnya oleh "Sensei Stevie". Yang akan kuceritakan, bukan tentang seluk-beluk hal tersebut.




    Kalau aku perhatikan, karakter wajah Tante X itu, mirip dengan penulis Indonesia, Mbak Marchella FP.
    (Meski Mbak Marchella jauh lebih muda.) Yang menarik, Tante X punya skills bermain gitar yang menurutku

    setara dengan keterampilan yang dimiliki Ajeng. Pada suatu dini hari, sambil menantikan waktu makan sahur
    (dalam suasana yang dingin bangets, sehabis hujan), Tante X menantang "Sensei Stevie" untuk melakukan

    "guitar battle". Si Tante memainkan versi fingerstyle dari lagu-lagu tempo dulu seperti, "Sweet Child o' Mine",
    "Patience", "When the Children Cry", "You're All I Need" (dari White Lion), beserta lagu-lagu dari Firehouse.

    Si Makhluk Handsome Bloody Handsome membalas dengan memainkan versi fingerstyle dari sejumlah lagu
    yang mungkin, amat tidak familier bagi kebanyakan orang Indonesia. Diawali dengan "Mahal Pa Rin Kita".
    Begitu tuntas dia mainkan, Bu Retno "Bellucci", Bude Vini, Tante X, Irma, dan si "Ratu Ayu", secara hampir
    serempak menanyakan perihal judul lagu tersebut. Nah, dia menjawab singkat: "Rin", alih-alih menyebutkan

    judul lagu sesungguhnya. Sangat cerdik. "Mahal Pa Rin Kita" itu artinya: "Aku masih mencintaimu".

    Kalau dia sebutkan judul lagu itu apa adanya berikut pula terjemahannya, sama aja dengan memberi
    "umpan lambung" untuk kami—dan pasti akan gesit kami sambar. Lagu berikutnya yang dia mainkan adalah
    satu lagu yang kerap kali kunyanyikan. Toh, tak kukira dia dapat membawakan versi fingerstyle-nya dengan
    sangat baik. Ajeng pun tak pernah mengajari memainkan lagu itu. Setelah usai dan pertanyaan perihal judul
    lagu pun muncul, dia membuat disinformasi. Kata dia, judul lagunya "Iso-isone Awakmu Nglarani Aku".

    Eh, yang mendengar kok, ya, langsung terkecoh pula, dan mencarinya di dunia maya! Versi asli dari lagu itu
    bisa kalian simak di video ini. Selanjutnya, dia memainkan versi fingerstyle lagu "Days Gone By" yang
    kamprets-nya, malah bikin mata kami berkaca-kaca. Dia lalu mengganti instrumen dengan gitar elektrik
    dan langsung menghajar kami dengan memainkan lagu lawas ini. Banyak yang tak familer dengan lagu

    tersebut, tetapi langsung jadi penasaran—tersebab aku, Yuvi, dan Irma terpancing menyanyikannya.

    Arkian, dia memainkan sebuah lagu yang terdengar familier, tetapi semua dari kami lupa atau tak tau

    judulnya. Hanya dia mainkan part gitarnya tanpa menyanyikan sebagian besar liriknya—kecuali pada bagian:
    "Makanlah... telan... lumatkan hancur hati ini..." Setelah bagian yang dia nyanyikan itu di-googling, ternyata,
    lagu Netral yang berjudul "3 Dini Hari". Dia mengernyitkan dahi. Seingat dia judul lagu itu adalah "Hardini".

    Mbak Vies yang punya nama tambahan "Hardini" menjadi salah tingkah atas ulah boss-nya tersebut. Eh, si
    "Ratu Ayu" dan Tante X mengatakan mereka mengenal seorang perempuan seusia mereka yang bernama
    asli Hardini. Seketika, kedua Tante itu, secara tajam dan tanpa basa-basi, mengemukakan "teori konspirasi"
    mereka. Bukan Buaya Lumutan namanya, kalau nggak tau cara "menghantam balik argumen perempuan",
    secara elegan tetapi mematikan, sehingga mereka tidak berkutik sama sekali. Saat itu, baru pukul setengah

    satu dini hari. Kami pun terlibat di dalam percakapan seru hingga pukul tiga dini hari, menjelang sahur.



    Catatan 16 April: Karena aku mendapatkan masukan yang "cukup mengejutkan" dari sejumlah pihak,
    wa
    bil khusus dari El Comandante, tampaknya "ada hal-hal tertentu yang masih harus menunggu klarifikasi"
    agar
    tidak menimbulkan salah penafsiran. Sebelumnya, di tulisan ini, aku menyertakan video-video ilustrasi
    per
    ihal seorang perempuan Asia yang menikah dengan seorang pria Kaukasia dan mereka mempunyai dua
    anak yang berwajah bulé/Kaukasia (si perempua
    n itu bukan Mbak Suci, yah). Sebelum ada klarifikasi terkait
    "sesuatu yang masih dipertanyakan", akan lebih baik bila video-video ilustrasi itu tak lagi aku sertakan.



    Sudah memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Semoga kita akan bisa mengisinya untuk beribadah, ya.



     
    • Like Like x 4
    • Thanks Thanks x 4
    Last edited: Apr 16, 2024

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.