1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Mengenal agama Shinto lebih dekat

Discussion in 'Education Free Talk and Trivia' started by Roefy, May 22, 2010.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Roefy Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 31, 2009
    Messages:
    52
    Trophy Points:
    61
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +1,118 / -0
    Pengantar

    "Shinto selama ini dikenal sebagai salah satu agama asli yang dianut oleh sebagian besar penduduk Jepang saat ini. Agama ini percaya pada banyak Tuhan, menyembah matahari sebagai Tuhan tertinggi dan percaya bahwa kaisar Jepang adalah keturunan langsung dari Dewa Matahari atau Amaterasu Omikami "

    Penjelasan seperti ini mungkin adalah yang paling umum yang bisa kita didapatkan tentang Shinto. Selengkapnya tentang agama ini mungkin tidak akan banyak bisa kita dapatkan, terlebih lagi artikel yang berbahasa Indonesia. Berangkat dari rasa penasaran yang besar, membuat saya mencoba untuk membuat tulisan kecil tentang agama kuno dan primitif ini, yang ternyata cukup susah. Kesulitan terbesar yang saya alami dalam menulis artikel ini adalah ketiadaan sumber atau buku semacam ajaran atau buku suci yang bisa dijadikan acuan karena buku semacam itu memang tidak dikenal dalam agama Shinto.

    Kesulitan lain adalah masalah kenetralan isi tulisan. Mencoba memahami, mengerti dan mencoba menjelaskan agama dan kepercayaan orang lain memang tidak mudah. Fanatisme agama kadang menghalangi kenetralan dari suatu tulisan. Demikian juga dengan tulisan ini. Tanpa mengurangi rasa hormat pada penulis lainya yang telah bersusah payah menulis artikel sejenis, bersama ini saya mencoba menuliskannya sebatas yang saya ketahui saja. Kebetulan karena saya dibesarkan di masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berakar dari animisme dan dinamisme, sepertinya semua "keanehan" agama ini relatif lebih mudah saya fahami dan mudah mudahan bisa menjadi pelengkap dari tulisan lain yang telah ada.

    Dari berbagai tulisan yang ada tentang agama Shinto, umumnya ada empat sumber umum dipakai dipakai sebagai dasar penulisan yaitu.

    1. Pertama sumber luar (asing) yang banyak ditemukan pada sejumlah buku atau site seperti wikipedia misalnya, menjelaskan dengan cukup detail tentang agama ini.
    2. Kedua, ajaran Shinto menurut versi negara terutama saat agama ini ditetapkan sebagai agama resmi jaman Meiji dahulu. Doktrin dan ajaran mulai ditulis yang sepertinya lebih difokuskan pada ajaran kesetiaan pada negara dan kaisar.
    3. Ketiga, sumber dari lembaga pendidikan seperti Encyclopedia Shinto.
    4. Dan yang terakhir adalah sumber dari masyarakat itu sendiri.

    Dari keempat sumber itu, saya lebih tertarik dan lebih senang untuk memakai sumber terakhir karena sepertinya merupakan penjelasan yang paling mendekati situasi riil yang ada. Tulisan selanjutnya di bawah ini sebagian besar memakai refferensi yang terakhir yaitu masyarakat umum.

    SEJARAH


    Shinto mempunya sejarah yang cukup panjang dan tua yaitu dimulai dari masa Jomon Period (11.500-300 BC) ada indikasi masyarakat jaman itu sudah menjalankan ritual Samanisme yang mirip dengan ritual Shinto sekarang. Kemudian pada masa Kofun Period (250-552 CE) mulai ditemukan catatan yang lebih lengkap tentang kepercayaan ini. Kuil kuno Ise dan kuil Izumo Taisha yang terletak di barat daya dan di timur laut kepulauan Jepang adalah beberapa di antara kuil yang dibangun pada masa ini dan masih berdiri hingga kini. ( Sumber : Wikipedia ) Menurut catatan sejarah, tempat suci agama Shinto pada awalnya kebanyakan tidak memiliki bangunan apapun dan pendirian bangunan ini dimulai karena pengaruh dari agama Buddha yang mulai masuk pada masa itu.

    Kemudian pada masa Restorasi Meiji, Shinto ditetapkan menjadi agama resmi negara namun setelah perang dunia kedua Jepang, status Shinto sebagai agama negara berakhir karena Jepang beralih menjadi negara sekular dan agama dianggap tidak lebih sebagai kegiatan budaya.


    Shinto adalah istilah / kata baru

    Shinto berasal dari kata Shin dan To, yaitu kombinasi dua huruf kanji yang berarti Jalan Kami atau jalan Tuhan/Spirit. Beberapa buku mungkin menerjemahkannya dengan arti Jalan Dewa. Nama ini mulai dipakai pada abad ke 6, bersamaan dengan kedatangan agama Buddha, untuk membedakan dengan jelas agama lama dengan agama baru. Jadi jelas sekali, kalau masyarakat Jepang dulu menjalankan kepercayaannya apa adanya dan tanpa nama atau istilah apapun.



    SHINTO DAN AJARANNYA


    Tidak mengenal ajaran apapun

    Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim, seperti musim panen, roh, spirit dll. Sejak awal sebenarnya secara natural manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang disebut dengan nama Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara, festival dll. Dari sinilah sepertinya agama Shinto berawal.

    Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, umumnya tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari, demikian juga halnya dengan agama Shinto. Jadi agama ini sama sekali tidak memiliki buku khusus ataupun kitab suci yang harus dipelajari sehingga pelajaran ataupun ceramah agama dan sejenisnya tentu saja tidak ada. Disamping itu Shinto juga tidak mengenal istilah nabi yang berfungsi sebagai "founding father" karena dari awal agama ini muncul secara alami di masyarakat.

    Jadi kalau saya coba memberikan rangkuman awal tentang agama Shinto, maka bisa ditulis sebagai berikut :

    1. Tidak mengenal ajaran apapun
    2. Tidak mengenal kitab suci
    3. Tidak mengenal nabi, orang suci ataupun tokoh agama sebagai pemimpin dan penyebar agama
    4. Tidak mengenal kiblat atau arah sembahyang
    5. Tidak mengenal lambang sebagai identitas agama. Sebagian orang mungkin memakai Torii atau pintu gerbang sebagai icon Shinto. Icon tentu saja tidak sama dengan simbol dan disamping itu bangunan Torii ini juga dipakai pada beberapa kuil Buddha di Jepang

    Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan Kaisar sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai agama resmi negara dan Kaisar sebagai "Living God" atau dewa yang hidup di dunia. Yang jelas tidak ada catatan tertulis pada buku atau kitab suci tentang hal tersebut.


    Sinto adalah pemuja leluhur ?

    Cukup banyak artikel yang menyebutkan Shinto sebagai agama yang menyembah leluhur. Pendapat yang kurang tepat tentu saja. Kuil Shinto sama sekali tidak berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk leluhur kecuali beberapa kuil tertentu yang termasuk kelompok Imperial Shinto seperti Yasukuni adalah perkecualiannya. Ritual dan upacara kematian hampir sebagian besar dilakukan dengan memakai tata cara agama Buddha dan hampir semua tempat pemakaman di Jepang adalah milik kuil Buddha.

    Hubungan antara Buddha dan Shinto di Jepang cukup unik. Mereka seakan berbagi peran dan tugas. Untuk upacara yang bersifat "keduniawian" seperti peresmian gedung dan perusahaan baru, berdoa untuk lulus ujian, pernikahan dll kebanyakan orang akan menggunakan ritual Shinto sedangkan untuk upacara yang bersifat "akhirat"atau "Nirvana" mereka akan menggunakan ritual agama Buddha. Jadi apakah berarti antara Sinto dan Buddha adalah dua agama yang saling berhubungan dan bekerja sama di Jepang ? Tentu saja tidak. Shinto dan Buddha adalah dua agama yang jelas berbeda, namun bagi masyarakat umum, ritual kedua agama ini dilakukan nyaris tanpa dibedakan sama sekali atau dilakukan dengan bergantian.


    Tidak mengenal ritual mengorbankan binatang

    Upacara ritual dengan mengorbankan binatang sepertinya adalah umum ditemukan pada kepercayaan masyarakat lama. Sebagian kecil wilayah di Indonesia mungkin mengenal tradisi menanam kepala kerbau sebagai ritual untuk pembangunan atau peresmian banguanan baru.. Namun pada kepercayaan semacam ini sama sekali tidak dikenal dalam tradisi Shinto. Hal ini tentu saja cukup menarik karena bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan tradisi animisme umumnya.

    Kuil tanpa agama



    SHINTO ADALAH AGAMA ?

    Dari sekilas uraian saya di atas sepertinya mungkin bagi sebagian pembaca sudah cukup untuk membuat kesimpulan kecil bahwa Shinto bukanlah suatu agama namun hanyalah suatu budaya atau kebiasaan saja. Apalagi kalau kita memakai kriteria umum yang dipakai untuk menggolongkan suatu kepercayaan bisa disebut sebagai agama yaitu memiliki nabi sebagai penerima wahyu serta memiliki kitab suci yang memuat ajaran ataupun petunjuk lengkap dari kepercayaan tersebut, jelas Shinto tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Hal ini juga sepertinya sudah disadari oleh orang Jepang dari awal yang bisa kita lihat dengan sangat jelas dari bahasa yang mereka pergunakan.

    Dalam bahasa Jepang, dikenal kata Bukkyo yang artinya ajaran Buddha. Jadi kata Kyo yang artinya ajaran dipakai juga untuk ajaran lain seperti KirisutoKyo (ajaran Kristen), IsuramuKyo (ajaran Islam) dll, sedangkan kata Shinto sama sekali tidak ditambahkan dengan akhiran Kyo. Kata Kyo juga sekaligus berarti agama, sehingga sebutan agama Shinto sendiri sebetulnya kurang tepat, karena dalam bahasa Jepang sama sekali tidak tidak dikenal kata ShintoKyo ataupun ShinKyo.

    Bahkan kata Shinto itu sendiripun hampir tidak pernah disebut ataupun digunakan dalam percakapan sehari hari. Sebutan ini yaitu "Agama Shinto" hanya umum digunakan oleh orang asing. Demikian juga dengan nama tempat ibadah Shinto yang disebut dengan Jinja dalam bahasa Jepang namun kalau diterjemahkan ke dalam bahasa asing akan menjadi Shinto Shrine (kuil Shinto). Nah bingung kan ! Bagi orang Jepang sendiri sepertinya tidaklah membingungkan. Mereka menjalankannya apa adanya tanpa pernah dipusingkan dengan istilah ataupun sebutan, agama atau kebiasaan, agama wahyu atau agama kuno.

    Jadi atas dasar pemahaman sepertinya inilah yang menyebabkan hampir tidak ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto ketika ditanya tentang agama. Mereka umumnya akan menjawab dengan jawaban yang nyaris seragam yaitu tidak menganut agama apapun alias tidak beragama. Jadi sedikit janggal ketika istilah Agama Shinto malah populer di luar Jepang dan sampai sekarang pemahaman kebanyakan orang asing ataupun banyak buku yang menulis bahwa mayoritas orang Jepang adalah beragama Shinto sedangkan Shinto sama sekali tidak pernah dianggap sebagai agama oleh "umatnya"sendiri.. (Baca : Jepang, negara tanpa agama )

    Shinto adalah pemuja alam ?

    Sebagian orang sependapat unutk menyebutkan Shinto sebagai (agama) pemuja alam. Sebutan ini sepertinya yang paling tepat untuk dipakai menurut saya. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena dipercaya ada Kami yang berdiam di dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman dulu akan taat dan tidak merusak tempat alam atau bahkan kadang dengan jalan tidak memasuki hutan, gunung bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang bersemayam di tempat tersebut.

    Salah satu contoh kecil dari penghormatan yang tinggi kepada tumbuhan adalah pada saat makan yaitu hormat terhadap makanan khususnya beras. Sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang pantang untuk menyisakan nasi bahkan dimakan sampai butir terakhir karena dianggap tidak menghormati Spirit yang hidup di dalamnya. (Kepercayaan Indonesia lama, khususnya di Jawa dan Bali juga mengenal ritual penghormatan untuk padi atau beras sebagai tempat bersemayam Dewi Sri atau Dewi Uma).

    Dengan konsep kepercayaan yang sangat sederhana seperti ini bisa dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya. Sekedar catatan tambahan, saat ini tempat yang bisa dihuni di Jepang hanyalah 30 % dari luas dataran yang ada, selebihnya, 70% masih berupa gunung dan bukit. Walaupun angka ini tidak menjelaskan secara langsung hubungan antara kedua variabel ini secara ilmiah, namun sepertinya menurut saya tidak lepas dari konsep ini. Kuil Shinto juga umumnya selalu dipenuhi dengan sejumlah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Bukan pemandangan yang aneh di negara ini kalau seandainya suatu kali Anda akan melihat sebuah pohon besar yang tumbuh gagah tepat di tengah jalan serta sebuah kuil kecil didekatnya yang berdiri entah sejak kapan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.

    Di beberapa kuil seperti Sumiyoshi Taisha di Osaka contohnya, memiliki tradisi upacara tanam padi pada setiap bulan July dan tradisi yang sudah berumur sangat tua ini masih dilestarikan hingga kini walaupun masyarakat disekitar kuil sebagian besar sudah tidak masih berprofesi sebagai petani. Untuk menjaga agar tradisi ini tetap lestari, beberapa petak sawah masih tetap dipertahankan. Ini adalah salah satu konsep perlindungan alam atau sawah yang unik. Di beberapa daerah lain, upacara semacam ini juga bisa ditemukan.


    KONSEP TUHAN MENURUT SHINTO


    Polytheisme ?

    Tradisi Shinto mengenal berbagai nama Tuhan yang dalam bahasa mereka disebut dengan istilah Kami atau Kamisama. Kamisama ini bersemayam atau hidup di berbagai ruang dan tempat, baik benda mati maupun benda hidup. Pohon, hutan, alam, sungai, batu besar, bunga atau bahkan nasi yang kita makanpun adalah tempat bersemayamnya para Kami sehingga wajib untuk dihormati. Penamaan Tuhan dalan kepercayaan Shinto bisa dibilang sangat sederhana yaitu kata Kami ditambah kata benda. Tuhan yang berdiam di gunung akan menjadi Kami no Yama, kemudian ada Kami no Kawa (Tuhan sungai), Kami no Hana (Tuhan bunga) dll yang semuanya harus dihormati dan dirayakan dengan perayaan tertentu.

    Jadi inti dari konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu : " Semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atau kekuatan jadi wajib dihormati" Apakah Spirit atau kekuatan itu adalah "Satu" atau banyak, sepertinya tidak terlalu penting bagi kepercayaan lama. Yang jelas sumber dan tempat tinggal Spirit yaitu hutan, gunung, sungai atau laut mempunyai pengaruh langsung dalam kehidupan orang atau masyarakat sehingga harus dijaga, dipelihara dan dihormati. Banyak pendapat yang mengatakan, seni Ikebana atau merangkai bunga misalnya berkembang pesat di Jepang karena salah satunya dilandasi oleh konsep Shinto tentang Spirit atau Tuhan yang bersemayam pada bunga serta tumbuhan yang harus dihormati.

    Pada masa Restoresi Meiji (1868-1912), mulai berdiri banyak sekte baru dari Shinto seperti contohnya Tenrikyo dan Kenkokyo yang biasanya digolongkan sebagai agama baru atau Shinshūkyō. Salah satu keunikan dari Shinto baru ini adalah menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme. Jadi pada sekte ini istilah Tuhan Gunung, Tuhan Pohon dan seterusnya adalah diharamkan. Mereka juga memiliki pendiri yang diakui sebagai guru atau nabi dan juga mempunyai ajaran layaknya agama modern yang juga mulai berkembang saat itu yaitu Kristen. Ajarannya umumnya sangat sederhana serta lebih banyak membahas tentang etika dan perbaikan prilaku bukan dogma atau doktrin, jadi sepertinya lebih dekat ke arah ajaran Buddha atau Confucianisme.

    Jadi ungkapan bahwa agama Shinto mengenal banyak Tuhan sepertinya juga tidak sepenuhnya tepat, karena Shinto juga mengenal banyak sekte atau aliran. Seiring dengan perkembangan jaman, pemahaman orang terhadap Tuhan juga sepertinya berubah. Ajaran Shinto tentang Tuhan juga sepertinya tidak luput dari perubahan tersebut. Selengkapnya saya tulis di bagian bawah.


    Hubungan antara manusia dan Tuhan

    Hubungan antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik karena polanya cendrung tidak bersifat vertikal, dari atas ke bawah namun lebih banyak berpola horisontal. Kami hidup dan berada di gunung, hutan, laut atau di tengah perkampungan penduduk yang ditandai dengan berdirinya kuil penjaga desa. Jadi konsep Tuhan di atas atau langit dan manusia di bumi sepertinya kurang tepat untuk kepercayaan Shinto. Mikoshi atau Dashi sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai ramai selama festival di kuil mungkin adalah salah satu contoh menarik. Simbul Tuhan atau "Kereta Tuhan" ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan, dibenturkan, dinaiki beramai ramai bahkan tidak jarang diduduki pada bagian atapnya oleh beberapa orang selama proses prosesi. Hal yang cukup aneh menurut saya. "Apakah Tuhannya orang Jepang tidak marah ?"

    Namun keheranan saya terjawab karena dari info yang saya dapatkan dari rekan Jepang mengatakan bahwa konsep kutukan, bencana dan kemarahan oleh Kami sepertinya kurang populer dalan mythiolgi Jepang. Jadi pada kasus bencana alam seperti gempa bumi, angin topan, banjir atau gagal panen yang umum terjadi cendrung tidak akan dikaitkan dengan kemarahan atau kutukan dari Tuhan karena "salah perlakuan", dilupakan dan tidak disembah dll.


    Dewa Matahari

    Bagaimana dengan Dewa Matahari atau Amaterasu Omikami ? Ini mungkin adalah bagian yang paling menarik karena paling banyak disebut dalam pembahasan tentang agama Shinto namun nyaris tidak mudah "ditemukan" dalam situasi riil. Shinto tidak mengenal tradisi pemujaan patung, jadi altar utama kuil tidak akan ditemukan gambar ataupun arca apapun. Satu satunya kuil yang saya ketahui khusus dibangun untuk menghormati dewa ini adalah Ise Jingu yang merupakan kuil milik keluarga kerajaan.



    Catatan :

    Kata "Kami" sebetulnya mempunyai arti yang cukup komplek. Ada beberapa kata lain sebagai terjemahannya (menurut kamus), yaitu : god, lord, heaven, father, godness, divine, creator, deity, providential, spiritual dll. Dalam percakapan sehari hari kata Kami juga kadang berarti di atas, berkuasa, superior dihormati karena kemampuan dan ilmunya dan sejenisnya. Sehingga seorang ekspart atau ahli dan dihormati di bidang tertentu, tokoh olah raga dan sebagainya juga kadang disebut dengan "Kami". Sedangkan tambahan kata "Sama" adalah sebutan hormat untuk nama orang, pengganti kata "San, Chan atau Kun". Dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam dunia bisniss dikenal istilah "Pelanggan adalah raja". Karena raja dianggap sebagai Kamisama di Jepang, maka pelangganpun mendapat sebutan dan perlakuan yang sama. Jadi service dan pelayanan konsumen atau pelanggan dalam budaya Jepang ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi dan terhormat. Catatan tambahan ini saya buat untuk menerangkan bahwa kata Kami atau Kami Sama mempunyai arti yang luas dan beragam yang artinya tergantung dari konteks kalimatnya.




    KONSEP SORGA, NERAKA DAN ALAM AKHIRAT

    Konsep sorga dan neraka ataupun ajaran tentang kehidupan alam akhirat sepertinya adalah hal yang umum ditemukan pada ajaran agama ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto sepertinya memiliki tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep tentang sorga dan neraka hampir tidak disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa dilihat dari hampir tidak ditemukannya ada ritual upacara kematian pada tradisi Shinto. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan tata cara agama Buddha dan sisanya menggunakan ritual Kristen. Kuburan dan tempat makam juga umumnya berada di bawah organisai kedua agama tersebut.

    Sepertinya ritual Shinto lebih difokuskan pada kehidupan duniawi atau kehidupan sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya keselaran antara manusia dengan alam sekitarnya.



    KONSEP DOA DAN SEMBAHYANG

    Tidak mengenal konsep ibadah

    Kepercayaan Shinto di Jepang sepertinya kurang populer dengan konsep ibadah yaitu menyembah dengan tujuan memuji dan mengagungkan kebesaran Kami atau Tuhan. Mereka cendrung lebih dekat dengan konsep "doa" yaitu menyembah dengan tujuan "meminta sesuatu" kepada Tuhan seperti agar lulus ujian, diterima bekerja di perusahaan tertentu, dikaruniai kesehatan, umur panjang dan berbagai permintaan yang bersifat duniawi. Dengan konsep ini tentu saja ibadah bukanlah sesuatu yang wajib dan menjadi keharusan. Kebanyakan tempat ibadah di negara ini, baik Jinja ataupun Tera (Buddha) adalah berfungsi juga sebagai tempat wisata. Jadi kebanyakan pengunjung menjadikannya saat berwisata sekaligus sebagai kesempatan untuk berdoa. Jadi orang yang datang ke kuil dengan niat dari awal untuk ibadah sepertinya sangat jarang ditemukan. Namun aktivitas keseharian yang sangat sibuk membuat aktivitas wisata semacam ini hampir tidak memungkinkan untuk dilakukan dalam banyak kesempatan.


    Berdoa cukup setahun sekali

    Secara umum biasanya kebanyakan dari mereka akan meluangkan waktu untuk berdoa di akhir atau awal tahun baru. Jadi berdoa atau sembahyang dilakukan cukup setahun sekali saja. Sehingga bukanlah pemandangan aneh kalau perayaan tahun baru di negara ini cendrung sepi dari hinggar bingar pesta atau perayaan karena kebanyakan penduduk khususnya golongan muda melewatkan pergantian tahun di kuil dengan berdoa. Biasanya mereka yang tidak sempat berdoa pada malam pergantian tahun akan melakukannya sehari setelah itu, yaitu tanggal 1 Januari. Suasana kuil menjadi jauh lebih padat dan sesak dibanding perayaan sebelumnya, khusunya untuk kuil kuil utama atau terkenal. Puluhan bahkan ratusan ribu orang yang datang memenuhi kuil tertentu bukanlah pemandangan yang aneh dan kondisi ini berlangsung selama beberapa hari. Inilah yang mungkin paling membedakan perayaan tahun baru di Jepang dengan di belahan dunia lainnya. (Baca : Keunikan perayaan tahun baru di Jepang ). Situasi ini juga sepertinya memberikan sedikit gambaran bahwa kehidupan masyarakat Jepang yang sama sekali tidak peduli dengan agama sepertinya kurang begitu tepat karena setidaknya setahun sekali mereka akan menyempatkan diri untuk sembahyang.


    Tata cara berdoa menurut Shinto

    Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh ******* Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).

    Walaupun aturan tata cara berdoa ini bisa disebut baku namun sama sekali tidaklah bersifat mengikat. Berdoa tepat di depan altara utama, dari halaman kuil, dari luar pintu gerbang, dilakukan tidak dengan mencakupkan tangan namun membungkukan badan atau bahkan tidak berdoa sama sekali bukanlah masalah sama sekali.


    KUIL SHINTO

    Shinto adalah suatu agama yang unik. Statusnya sebagai agama sering dipertanyakan dan cendrung digolongkan sebagai tradisi atau kebiasaan belaka. Namun uniknya memiliki kuil atau tempat ibadah dalam jumlah yang sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Kuil Shinto atau Jinja dalam bahasa Jepangnya adalah "tempat ibadah orang Jepang.". Jadi disini saya sengaja tidak memakai difinisi "tempat ibadah untuk agama Shinto" karena pengertian umat Shinto sendiri sebenarnya sangat tidak jelas atau tidak pernah ada. Apakah orang Jepang yang berdoa di kuil Shinto adalah bergama Shinto, saya yakin jawabannya (kemungkinan) adalah tidak.


    Terbuka untuk semua orang

    Kuil Shinto menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbul dan doktrin agama. Semua orang bisa bebas untuk datang baik untuk tujuan berdoa maupun tidak berdoa. Dalam hal etika dan tata cara berkunjung ke tempat ibadah, sepertinya tidak ada yang lebih bebas dan sederhana dibandingkan dengan mengunjungi kuil Shinto. Hampir semua bagian dalam areal kuil bisa dimasuki ataupun difoto tanpa ada larangan ataupun pertanyaan apapun apalagi pertanyaan yang menjurus pada hal agama.


    Sederhana dan menyatu dengan alam

    Berbeda dengan kuil Buddha, atau Tera yang cendrung megah besar dengan ornament dan koleksi barang berharga dan barang seni melimpah, Kuil Shinto atau Jinja cendrung adalah kebalikannya. Bangunannya cendrung sangat sederhana dan menyatu dengan alam. Dalam altar utama hampir kosong melompong, tidak ada arca, patung atau benda tidak ada benda apapun yang harus disembah sebagai perwujudan Tuhan. Dalam literatur sering disebutkan bahwa di dalam altar terdapat tiga benda utama yaitu cermin, pedang dan permata sebagai simbul dari refleksi diri, kekuatan dan cahaya. Namun ketiga benda itu hampir tidak akan terlihat karena tidak dipajang dengan posisi biasa. Kebanyakan masyarakat umum sepertinya tidak pernah terlalu peduli dengan hal ini. Yang paling mudah terlihat hanyalah guntingan hiasan kertas putir dan sebuah kotak besar tempat menampung uang logam yang dilemparkan peziarah sebelum berdoa yang terletak tepat di depan altar utama.

    Banguan kuil umumnya tidaklah besar atau bahkan bisa jadi sangat kecil tidak lebih dari satu meter namun arel kuil bisa jadi sebaliknya karena seluruh gunung ataupun hutan adalah termasuk areal kuil itu sendiri. Di beberapa kuil tertentu yang terletak di atas gunung, di tengah laut, danau ataupun tempat yang sulit di jangkau, biasanya akan dibuatkan banguan atau kuil lain di tempat yang mudah di jangkau. Jadi kuil ini berfungsi sebagai penghubung ke kuil utama jadi peziarah tidak perlu susah payah mendaki gunung atau men yang berjumlah sampai ribuan tangga, seperti Kuil Kotohiragu yang memiliki 1.368 tangga. Konsep sepertinya cukup unik dan sepertinya jarang ditemukan pada kepercayaan atau agama lain.


    Pintu gerbang yang unik

    Salah satu ciri yang sangat khas dari Jinja adalah bangunan pintu gerbangnya yang terdiri dari dua tonggak kayu atau batu (sekarang kebanyakan berbahan beton bertulang) yang biasanya berwarna jingga. Bangunan ini yang disebut Torii ini bisa ditemukan hampir disetiap sudut dan pelosok Jepang bahkan di tempat terpencil, di puncak gunung ataupun di tengah hutan, di tengah goa atau bahkan di tengah atau dasar laut Klik berbagai photo. Pintu gerbang ini juga kadang di bangun tidak persis di depan kuil namun beberapa ratus meter dari kuil utama sebagai bertanda bahwa tidak jauh dari tempat itu berdiri sebuah kuil Shinto.

    Namun ada satu hal yang perlu dicatat disini adalah setiap Jinja pasti memiliki Torii namun tidak semua kuil yang berpintu gerbang Torii adalah kuil Shinto (Jinja). Hal ini disebabkan karena ternyata pintu gerbang model ini juga di adopsi oleh beberapa Tera atau kuil Buddha sehingga sama sekali sekali lagi tidak bisa disimpulkan bahwa bangunan berpintu gerbang Torii pasti berarti kuil Shinto.


    Kuil penjaga desa

    Biasanya di tengah pemukiman penduduk berdiri satu kuil yang berfungsi sebagai kuil penjaga daerah yang sebagai tempat ibadah umum oleh penduduk daerah tersebut. Anggapan sebagian orang asing yang mengatakan bahwa orang Jepang hanya akan berdoa di kuil penjaga yang ada di wilayah atau desanya sendiri dan tidak akan berdoa di kuil penjaga desa atau tempat lain, sepertinya adalah anggapan yang kurang tepat. Kalau dikaitkan dengan perayaan upacara kuil (matsuri) hal itu mungkin saja benar karena umumnya hanya penduduk desa yang bersangkutan hanya akan ikut perayaan yang diselenggarakan di desanya sendiri dan tidak akan ikut di perayaan kuil desa lain. Namun dalam hal berdoa setahu saya, sepertinya batasan seperti itu tidaklah ada.


    Tidak ada pembangunan tempat ibadah baru

    Satu hal lagi yang paling menarik dari Shinto adalah hampir tidak pernah adanya pendirian kuil baru di dalam negeri. Semua bangunan kuil ataupun Tera (untuk agama Buddha) yang ada sekarang ini adalah banguan lama atau kuil baru hasil renovasi dari kuil lama. Sehingga bukan pemandangan aneh kalau pemukiman kota baru hampir bersih dari banguan tempat ibadah Shinto maupun Buddha namun yang ada dan mudah ditemukan justru adalah bangunan gereja atau bahkan mungkin mesjid.





    FESTIVAL DAN PERAYAAN

    Festival dan perayaan atau yang dikenal dengan nama Matsuri dalam bahasa Jepang adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ritual Shinto. Bagi masyarakat umum, matsuri dianggap tidak lebih dari perayaan budaya tahunan belaka. Masing masing kuil mempunyai matsurinya sendiri sendiri dan tiap kuil ataupun daerah yang satu dengan daerah yang lain mempunyai keunikannya perayaannya sendiri sendiri. Perayaan matsuri yang bersifat nasional seperti halnya hari raya agama yang kita kenal sama sekali tidak dijumpai di Jepang.

    Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar bulan July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan kalender masehi. Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi festival dipastikan akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak. Beberapa kuil tertentu khusunya untuk daerah Kyoto umumnya masih menyelenggarakan matsurinya menurut kalender aslinya jadi dipestikan perayaan akan berlangung pada hari kerja. Hal yan aneh tentu saja menurut tradisi Jepang modern.

    Beberapa festival tertentu yang bisa disebut sangat megah yang melibatkan peserta dalam jumlah besar dan tentu saja tidak ketinggalan jumlah penonton yang bisa mencapai jutaan orang. Empat dari sepuluh perayaan besar yang bisa saya catat adalah Gion matsuri Kyoto, Tenjin matsuri Osaka, Kishiwada matsuri Osaka, Kanda matsuri Tokyo dan Takayama matsuri Takayama.

    Kebanyakan dari perayaan ini mempunyai umur atau sejarah yang sangat tua dan panjang serta sudah dijalankan secara turun temurun sejak ribuan tahun dan hampir tanpa terputus sama sekali kecuali ketika masa perang dunia kedua. Seiring perkembangan jaman, waktu dan peran serta warga menjadi semakin terbatas sehingga peran serta penduduk luar desa atau daerah sering sangat diharapkan. Sebagai contohnya adalah perayaan terbesar di Jepang yaitu Gion Matsuri yang melibatkan banyak penduduk luar daerah atau bahkan orang asing pada setiap event tahunannya. Hari perayaan juga kebanyakan sudah disesuaikan mengikuti perkembangan jaman yaitu dilangsungkan pada akhir pekan, seperti yang sudah saya tulis di atas.



    KANUSHI DAN MIKO

    Di sekitar areal kuil umumnya kita akan menjumpai beberapa gadis muda berpakaian lebar sangat rapi menutup sampai mata kaki. Mereka adalah orang yang mengabdikan diri untuk kuil dan dinamai dengan sebutan Miko. Pakaian dan penampilan mereka sangat mudah dibedakan karena berpenampilan sederhana dengan atribut warna putih dan rok (biasanya) merah dan rambut hitam mengkilat diikat lurus kebelakang.. Link photo. Mereka umumnya bertugas sebagai penjual tiket masuk, penjual Omamori (jimat keberuntungan), menyapu, menjaga kebersihan kuil, menari atapun memimpin upacara tertentu.

    Status untuk menjadi seorang Miko haruslah masih gadis jadi profesi ini cendrung hanya dijalankan selama beberapa tahun saja dan harus mengundurkan diri setelah berkeluarga. Satu catatan kecil yang perlu saya tulis adalah status mereka sebagai pelayan kuil atau milik Kamisama, jadi mencoba menyentuh atau mengajak kenalan adalah sangat tidak umum dilakukan.

    Sedangkan pendeta pria disebut dengan nama Kannushi yang bertugas tidak lebih dari pemimpin atau penyelenggara upacara ritual saja. Karena Shinto tidak mengenal ajaran maka tugas sebagai penceramah agama, khotbah dan sejenisnya tentu saja tidak ada.



    EMPAT KELOMPOK SHINTO

    Secara umum Shinto bisa dikelompokkan menjadi 4 bagian atau kelompok. yang masing masing mempunyai keunikannya tersendiri. Jadi pengetahuan awal saya tentang Shinto yaitu sebagai agama yang mempercayai Kaisar sebagai keturunan Dewa Matahari ternyata mengambil referensi hanya dari satu sumber saja dan masih banyak lagi keunikan lainya yang tidak saya ketahui. Adapun masing masing kelompok itu antara lain. (Sumber utama diambil dari Wikipedia)

    1. Imperial Shinto (Kyūchū Shinto atau Koshitsu Shinto)
    Shinto kelompok ini sangat eksklusif dan tidak umum ditemukan. Memiliki beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh negeri. Nama kuil ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll. Kuil Shinto kelompok ini selain berfungsi sebagai tempat untuk memuja Kami juga berfungsi sebagai tempat memuja leluhur khususnya keluarga kerajaan.

    2. Folk Shinto (Minzoku Shinto)
    Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya pulau Jepang dan cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto kelompok ini. Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua, legenda, hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di daerah Okayama, Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik karena dibangun untuk menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro. Disamping itu Shinto kelompok ini juga mendapat pengaruh yang kuat dari agama Buddha, Konfucu, Tao dan ajaran penduduk local seperti Shamanism, praktek penyembuhan dll. Kuil kelompok ini biasanya mudah dibedakan dengan kuil lainya karena adanya sejarah pendirian kuil yang unik. Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan kuil yang penuh dengan ornament dan pernak pernik kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah pendiriannya yang memang berkaitan dengan binatang tersebut.

    3. Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto)
    Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai saat ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari Sect Shinto ini cukup unik karena memiliki ajaran, doktrin, pemimpin atau pendiri yang dianggap sebagai nabi dan yang terpenting biasanya menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme. Shinto golongan ini sepertinya jarang dibahas ataupun kurang dikenal oleh kebanyakan orang. (asing) sehingga konsep monotheisme dari Shinto aliran baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.

    4. Shrine Shinto (Jinja Shinto)
    Saat ini hampir sebagian besar dari kuil yang ada di Jepang termasuk kelompok ini, yang semuanya tergabung dalam satu organisasi besar yaitu Association of Shinto Shrines. yang menghimpun sekitar 80 ribuan kuil di seluruh negeri. Kebanyakan orang Jepang hanya membutuhkan tempat untuk berdoa namun di lain pihak tidak mau terikat dengan ajaran atau doktrin tertentu. Jadi sepertinya dari semua kelompok Shinto yang ada, kelompok terakhir inilah yang sepertinya paling mudah untuk diterima serta paling banyak pengikutnya.

    Sebetulnya ada lagi kelompok lain yaitu Ko Shinto yaitu Shinto Tua yang memuat tentang meditasi dan penyembuhan (healing) seperti yang tertulis di Wikipedia namun dalam tulisan ini saya cendrung lebih senang membaginya menjadi empat kelompok saja karena lebih mudah difahami.


    SHINTO DI MASA SEKARANG

    Sangat menarik tentu saja karena di saat kebanyakan masyarakat modern dan "beradab" mulai meninggalkan kepercayaan kuno semacam Animisme (baca: Shinto), masyarakat Jepang justru tetap setia mempertahankan dan melestarikannya. Ditengah gencarnya serbuan agama baru yang salah satunya menawarkan monotheisme sebagai salah satu isu utamanya sepertinya kurang begitu menarik minat kebanyakan orang Jepang.. Mengapa Shinto masih tetap eksis di Jepang, beberapa alasan yang bisa saya kemukakan adalah sebagai berikut :

    Menerima ajaran baru tanpa harus membuang kepercayaan lama

    Konsep monotheisma salah satu contohnya sepertinya dewasa ini sudah diterima secara luas oleh kebanyakan orang Jepang. Namun cara pererimaan konsep baru ini tergolong unik, yaitu bukan dengan cara membuang kepercayaan lama namun cukup hanya "memperbaiki dan merevisi" konsep polyteisme saja. Mereka sudah mengenal konsep Kami yang artinya Tuhan. Karena ajaran Shinto yang tidak "mengenal ajaran", buku kitab suci dan juga nabi atau pemimpin agama, membuat mereka mudah beradaptasi mengikuti perkembangan terbaru, termasuk dengan "seenaknya" mengganti polyteisme menjadi konsep monotheisme. Sebutan Tuhan Pohon, Tuhan Bunga ataupun Tuhan Batu sekarang ini hanya tinggal sejarah saja yang sudah lama ditinggalkan. Jadi pada masa sekarang ini beberapa misi penyebaran agama baru yang masih mengandalkan monotheisme sebaga isu utama sepertinya hampir tidak berguna sama sekali dan menurut saya metode ini hanya cocok di diterapkan pada masa lalu. Dalam masyarakat modern sepertinya Jepang, sepertinya tidak ada orang yang masih menganggap matahari sebagai Tuhan.

    Mirip dengan transkrip Hindu kuno yang menyebutkan "Hanya ada satu Tuhan tapi orang bijaksana menyebutkannya dengan banyak nama". Sepertinya konsep ini dimiliki juga oleh Shinto. Dewasa ini Kata "Kami Sama" seakan sudah menjadi sebutan baku untuk kata Tuhan dan sepertinya untuk agama baru semacam agama Kristenpun harus "mengalah" dengan memakai terjemahan yang sama untuk menunjuk kata Tuhan. Shinto saat ini kebanyakan disebut sebagai No Religion, yaitu suatu konsep baru yaitu "bermoral dan beretika tanpa harus beragama atau Percaya pada Tuhan tanpa harus beragama"


    Shinto dianggap menjunjung tinggi kebebasan

    Kebebasan yang dimaksud disini adalah dalam arti luas khususnya dalam hal agama dan kepercayaan. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya bahwa tidak ada keharusan bagi seorang pemeluk Shinto untuk mendatangi kuil dan juga tidak ada keharusan untuk berdoa atau sembahyang di dalamnya dan dilain pihak mereka juga bisa bebas memasuki atau bahkan berdoa di tempat agama lain tanpa hambatan karena Shinto sendiri tidak memiliki ajaran untuk mengharuskan ataupun melarang hal itu. Hal ini sering dianggap sebagai salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh ajaran agama baru.

    Orang Jepang sama sekali tidak membutuhkan agama dan sepertinya Shinto sangat sesuai dengan keinginan mereka karena dari awal Shinto itu sendiri bukanlah agama dan kuil itu sendiri sering dianggap sebagai simbul kebebasan yaitu bebas dari simbul, doktrin dan dogma agama.


    Menjunjung tinggi toleransi

    Ketaatan yang tinggi terhadap suatu agama atau kepercayaan bisa melahirkan kefanatikan. Kefanatikan dalam satu sisi bisa bermakna positif namun bisa juga sebaliknya. Karena agama di Jepang dianggap tidak lebih dari kebiasan, tradisi atau budaya semata maka sifat fanatik yang berlebihan terhadap agama tertentu khususnya Shinto nyaris tidak ada. Agama apapun bisa berkembang dengan bebas dan damai di negara tersebut tidak terkecuali. Pluralisme agama sepertinya nyaris diterima tanpa ada hambatan berarti. Banguan kuil Buddha dan Shinto yang berdekatan lokasi satu sama lain mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu contoh kecil. Namun yang paling menarik mungkin adalah komplek kuil Nikko di Jepang utara. Di tempat ini kita bisa menemukan kedua kuil ini berdiri dalam areal yang sama. Kompek kuil tersebut sangat terkenal karena termasuk warisan dunia (World Heritage Site). Namun tentu saja bukan karena faktor toleransi agama, tempat ini dijadiakan warisan dunia namun karena keindahannya. Keindahan ditambah toleransi, sepertinya merupakan paduan yang lengkap.


    Kepercayaan lama dirasa lebih memahami permasalahan mereka sehari hari

    Selain "kebebasannya", agama ini juga diterima secara luas karena dirasa lebih dekat atau lebih "memahami" permasalahan mereka sehari hari. Misalnya berbagai festival atau upacara budaya yang ada seperti festival tanam padi, pergantian musim, meresmikan rumah baru atau bahkan ritual peluncuran produk baru untuk kasus yang lebih modern. Kemudian konsep "Omamori" atau jimat keberuntungan, lulus ujian, mendapat pekerjaan, usaha lancar dll dirasa lebih dekat dengan kehidupan riil yang tentu saja dilarang dan diharmkan oleh agama baru. Kehiduapan mereka sehari hari tampaknya sudah sangat ketat dengan batasan norma dan aturan sehingga sulit rasanya kalau harus ditambah dengan aturan baru dalam hal kepercayaan dan agama.





    PENUTUP

    Sebagian besar yang saya tulis di atas adalah Shinto dalam penjelasan sederhana yang umum dijalankan oleh masyarakat kebanyakan. Pemahaman orang asing tentang Shinto sepertinya sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Jepang tentang agama ini. Kata Shinto kadang jauh lebih komplek dari yang dibayangkan karena secara tidak langsung juga bersentuhan dengan politik sehingga membuat kebanyakan orang Jepang enggan untuk memakai kata ini. Apa itu Shinto ? Saya yakin orang Jepang sendiri akan bingung untuk menjawabnya.

    Sebagai penutup, saya coba menuliskan pendapat seorang rekan Jepang mengungkapkan sebuah teori menarik tentang alasan ketoleransian mereka yang tinggi terhadap berbagai agama baru. Disebutkan bahwa "Orang Jepang pada dasarnya sudah mengenal banyak Tuhan, jadi sepertinya sama sekali bukan masalah besar untuk menambah satu Tuhan lagi dari agama lain. Kalau kami dari awal hanya mengenal satu Tuhan, mungkin yang ada penolakan, benturan, kerusuhan atau bahkan perang besar pada setiap penyebaran paham atau agama baru". Cukup menarik juga untuk sekedar direnungkan.

    http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_shinto.html
     
  2. auli123 M V U

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Aug 2, 2008
    Messages:
    9,198
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +16,206 / -0
    closed.. jgn hikin trit mengenai SARA
     
    • Like Like x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.