1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Edu-Flash Mengenai krisis ekonomi di amerika

Discussion in 'School and Campus Zone' started by lyneard, Aug 7, 2009.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. lyneard M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 29, 2009
    Messages:
    649
    Trophy Points:
    106
    Ratings:
    +463 / -0
    sedikit mengenai krisis ekonomi di Amerika,,

    Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang
    di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik
    terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu
    urusan kiat para CEO dan direkturnya.

    Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu
    lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu
    adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan
    labanya harus terus meningkat.

    Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang,
    sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

    Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para
    pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi
    dibanding waktu mereka beli dulu: untung.

    Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual
    saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian
    banyak.

    Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik,
    terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih,
    terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut:
    hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan
    seterusnya.

    Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan
    stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi
    kadang bisa rugi?

    Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa
    disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama,
    agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat
    bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen
    dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para
    CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden
    George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

    Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti
    tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus
    berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain.
    Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru
    ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil?
    Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah
    populernya hostile take over.

    Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk
    bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat
    jalan.

    Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para
    direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.
    Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah
    happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi
    happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

    Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan
    rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya.
    Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa
    membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

    Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa
    bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara
    lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS
    yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2
    triliun!

    Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu
    dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS
    dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

    Tapi, itu belum cukup.

    Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak
    cukup lagi: harus computerized!

    Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat
    harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah
    harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

    Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi
    perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat,
    dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang
    kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar
    kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

    Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli
    rumah?

    Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar?
    Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan
    alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar?
    Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa
    lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

    Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980,
    pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''.
    Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan
    menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari
    bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua
    tahun kemudian.

    Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan,
    asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang
    dimanfaatkan perbankan secara nyata.

    Begini ceritanya:

    Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam
    undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi
    syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski
    tidak sama).

    Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil
    mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan
    karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

    Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang
    terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai
    naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat
    orang yang bisa mendapat mortgage.

    Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk
    menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank
    bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para
    broker dan bisnis lain yang terkait.

    Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka,
    ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni,
    tahun 1986.

    Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:
    pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi
    pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli
    rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

    Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar
    biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
    Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua
    keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga
    terjamin.

    Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis
    menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang
    disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi
    dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus
    meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

    Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya:
    matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage,
    Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan
    kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama
    cicilan Anda belum lunas.

    Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah
    itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan
    rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu
    dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi
    dari rumah tersebut.

    Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman
    Brothers?

    Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena
    fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku
    bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan
    meningkatkan laba.

    Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas
    mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah.
    Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

    Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik
    rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah
    berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan
    kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh
    suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada
    kata takut dalam memberi kredit rumah.

    Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam
    undang-undang perbankan yang keras.

    Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.

    Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain''
    yang disebut investment banking.

    Apakah investment banking itu bank?

    Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas
    daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal:
    menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang,
    meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin,
    membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa
    lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan!
    Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking
    itu.

    Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman
    tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya
    kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:
    kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada
    orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.

    Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang
    menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya
    dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak
    sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

    Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya
    serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka
    lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak
    menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

    Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya
    orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang
    memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

    Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh
    besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang
    yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang
    bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

    Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
    mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan
    terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan
    pengeluaran.

    Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi,
    pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari
    mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa
    dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah
    dipikirkan jangka panjangnya.

    Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari
    10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita
    sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual
    rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan
    rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak
    yang gagal bayar.

    Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan
    rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu
    menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang
    beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti
    kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh
    semua.

    Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum
    ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.
    Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar,
    memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan
    masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

    Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau
    menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak
    USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara
    Indonesia dijadikan satu. [akhirnya 'terpaksa' disetujui setelah pasar saham
    seluruh dunia luruh akibat terkejut dg penolakan House of Representatives
    tgl 3 Okt 2008 waktu setempat./z]

    Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan
    rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang
    Indonesia yang ''menabung'' -kan uangnya di
    lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

    Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak
    banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura,
    Hongkong, atau Tiongkok.

    Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah
    satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok
    akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang
    berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa
    dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam
    jagung.(*)
    =====================================
    maaf klk repost....langsung del aja om mod klk repost..
    selamat berdiskusi
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. fat_279 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jan 15, 2009
    Messages:
    144
    Trophy Points:
    26
    Ratings:
    +138 / -0
    Oooooo...............

    Jadi intinya adalah menggemukkan diri sendiri dengan "memakan" apa saja yg ada di sekitarnya. Tetanga sebelah bekerja untuk "memakan" uang tetangga yg lain dan sebaliknya. :???:

    Wuh....... individualis banget
    begono noh, klo semua orang sama2 kaya :swt:
     
  4. Dinis M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Aug 1, 2009
    Messages:
    931
    Trophy Points:
    81
    Ratings:
    +139 / -0
    aduh kok gt c maw enak y sendiriii...
     
  5. DamnTwistedPerson M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Aug 30, 2008
    Messages:
    4,408
    Trophy Points:
    162
    Ratings:
    +2,712 / -0
    sedikit banyak sama kaya krisis moneter indonesia 1998, terlalu banyak investasi di sektor nonriil, yang keuntungannya blom pasti masuk, kaya sektor real estate

    dana terpakai keuntungan blom masuk penuh, lebih parah lagi dijaiin jaminan buat ambil dana atau kredit.
     
  6. Pumpkinz Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 23, 2009
    Messages:
    118
    Trophy Points:
    16
    Ratings:
    +1 / -0
    Bejat amat sistemnya negara kapitalis yah!
    Klo terbukti merugikan lalu knp PBB diam aja?

    Lalu kita sebagai negara yg berlandaskan agama, apa tindakan kita untuk melakukan kudeta kepada pemimpin negara ini yg terbukti mendukung dan menjalankan sistem itu???
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.