1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.

Edu-Flash mengapa pelajaran bahasa indonesia terasa gersang?

Discussion in 'School and Campus Zone' started by ichreza, Feb 25, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ichreza M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 8, 2009
    Messages:
    838
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +8,787 / -0
    [FONT=Arial, Helvetica, sans-serif]Beberapa orang beranggapan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia gersang dan membosankan karena beban kurikulum terlalu banyak, buku teksnya memang begitu, dan guru pembinanya kurang profesional. Benarkah demikian?[/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]Beberapa orang beranggapan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia gersang dan membosankan karena beban kurikulum terlalu banyak, buku teksnya memang begitu, dan guru pembinanya kurang profesional. Benarkah demikian?[/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]Harian Umum Republika pernah membuat tulisan yang menarik, yakni Pelajaran Bahasa Indonesia Gersang dan Membosankan. Bila dicermati, memang tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pelajaran Bahasa Indonesia saat ini gersang dan membosankan. Beberapa bukti dapat ditunjukkan di sini. Pembelajaran kosakata, ungkapan, bentukan kata, beragam jenis kalimat yang kering dan membosankan. Misalnya, tampak pada tugas atau perintah: gunakan kata-kata berikut ini untuk membuat kalimat yang benar, gunakan awalan dan akhiran berikut ini secara tepat, ubahlah kalimat aktif menjadi kalimat pasif, ubahlah kalimat langsung menjadi tak langsung, dan buatlah kalimat tanya yang jawabannya telah tersedia di bawah ini.[/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]
    Pembelajaran menulis atau mengarang juga kurang bervariasi. Yang paling sering, siswa (SD-SMU) dilatih untuk membuat karangan dengan kerangka karangan yang telah disediakan atau terkadang mengarang bebas, atau berlatih menulis bermacam-macam paragraf. Pembelajaran menulis pun akhirnya tetap kering dan membosankan. Pembelajaran membaca juga hanya sekitar menjawab pertanyaan dari bacaan yang telah disediakan. Pola pembelajaran membaca umumnya didominasi oleh tugas seperti itu, tidak bervariasi. Pembelajaran berbicara juga kurang menantang siswa untuk lebih berkreasi, misalnya hanya berlatih berpidato, memberi sambutan, dan berdiskusi yang kaku serta kelihatan artifisial. Bagaimana dengan pembelajaran menyimak? Hampir tidak mendapat perhatian, apabila diban-dingkan dengan pembelajaran aspek dan keterampilan berbahasa yang lain. Sementara itu, pembelajaran apresiasi sastra juga tampak kurang mendapat tempat dan sering dipengaruhi oleh selera guru. Artinya, bila guru yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang berminat terhadap bidang sastra, bisa dipastikan apresiasi sastra hanya mendapat perhatian sekadarnya.
    [/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]
    Mengapa potret buram pembelajaran Bahasa Indonesia, sebagaimana dicontohkan di atas, bisa terjadi sehingga kurang menantang dan cenderung gersang serta membosankan? Bila kita mau mencermati secara kritis dan realistis, sesungguhnya gersang dan membosankannya pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia bukan karena faktor kurikulum, buku teks, dan guru yang kurang profesional.
    [/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]
    Kurikulum (sejak Kurikulum 1968 sampai Kurikulum 1994, dan bahkan draf akhir Kurikulum 2004) secara terang-terangan menyatakan bahwa tujuan akhir pembelajaran Bahasa Indonesia hakikatnya adalah agar siswa terampil berbahasa Indonesia (membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara) dan gemar melakukan apresiasi sastra. Bagaimana dengan kesan bahwa kurikulum terlalu padat? Bila dilihat selintas, kurikulum memang padat. Akan tetapi, bila dicermati dan ditata, kemudian diurutkan dan disinkronkan, beban kurikulum Bahasa Indonesia tidak padat. Sebagai contoh, sejak SD, SMP, dan SMU pembelajaran kalimat berita sudah ada. Mengapa hanya kalimat berita saja belum tuntas sampai SMP sehingga perlu dipelajari lagi di SMA? Bagaimana dengan buku teks? Buku teks Bahasa Indonesia umumnya memang belum mewujudkan pesan kurikulum secara optimal. Akan tetapi, dalam batas tertentu kekurangan-kekurangan yang ada dalam buku teks bisa diatasi oleh guru. Kalau begitu, bukankah guru Bahasa Indonesia memang kurang profesional? Memang ada guru Bahasa Indonesia yang kurang profesional antara lain disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang tidak relevan (bukan lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia) dan guru malas mengembangkan diri menjadi guru bahasa Indonesia yang profesional.
    Adakah faktor strategis yang menyebabkan pembelajaran Bahasa Indonesia gersang dan membosankan seperti yang terjadi saat ini? Tentu ada dan faktor strategis itu selama ini kurang mendapat perhatian kita semua. Apakah faktor itu? Tes dan sisem pengujian. Mengapa tes dan sistem pengujian mengondisikan pembelajaran Bahasa Indonesia gersang dan membosankan? Berdasarkan beberapa penelitian, Soedijarto (1989), Shepard (1990), dan Koretz (1991), perilaku guru dalam mengajar dan siswa dalam belajar sangat dipengaruhi oleh isi dan bentuk tes.
    [/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]
    Tes yang diberikan pada akhir semester dan terlebih-lebih tes yang diberikan pada Ujian Akhir Nasional (UAN, dahulu EBTANAS) itulah yang akan sangat mempengaruhi perilaku siswa dalam belajar dan guru dalam mengajar. Apa yang ditanyakan dalam setiap butir tes pada UAN tahun lalu, itulah yang akan menjadi acuan siswa dan guru dalam belajar dan mengajar tahun berikutnya. Dengan demikian, bila tes yang diberikan pada siswa hanya menggali pengetahuan dengan cara pilihan ganda, jawaban singkat, atau ditambah uraian yang hanya lima butir, materi yang diajarkan oleh guru dan dipelajari siswa tidak akan jauh dari isi tes itu. Bahkan para penulis buku teks juga terpengaruh oleh isi dan bentuk tes ‘standar’ yang biasanya keluar dalam UAN. Karena itu, tidak mengherankan bila pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi gersang dan membosankan, mengingat pendidikan di sekolah kita saat ini hanya cenderung menyiapkan anak didik mengahadapi ujian dan bukan menyiapkan mereka untuk memasuki kehidupan.
    [/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]
    Kalau saja kita mau belajar dari negara tetangga, sebagai bandingan, keadaannya tentu bisa menjadi lain. Di Malaysia, misalnya, dalam Ujian Akhir Nasional Bahasa Melayu untuk tingkat SMA (1995), soal yang diberikan kepada siswa terdiri atas tiga bagian, yakni (1) mengarang, (2) merumuskan masalah dari suatu kasus dan mencari alternatif pemecahannya, dan (3) menjawab pertanyaan atau analisis kasus bahasa. Untuk mengerjakan bagian pertama, mengarang disediakan waktu 90 menit, bagian kedua, dan ketiga disediakan waktu 120 menit. Dari tiga bagian itu, bobot tertinggi pada mengarang disusul merumuskan masalah, dan menjawab pertanyaan atau analisis kasus bahasa.
    [/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]
    Tes mengarang, diawali dengan pernyataan, misalnya, “kini film dengan berbagai tema banyak ditayangkan di bioskop dan televisi”. Berdasarkan pernyataan itu, siswa kemudian menulis karangan sekurang-kurangnya 350 kata, yang isinya memaparkan bagaimana pengaruh film terhadap remaja. Untuk tes bagian kedua, merumuskan masalah, diawali dengan kutipan dari buku, majalah atau koran. Dari kutipan itu, siswa diminta untuk merumuskan masalah dan bagaimana pemecahannya (tidak lebih dari 120 kata). Selanjutnya, pada bagian terakhir, menjawab pertanyaan dan analisis kasus bahasa, hanya ada tiga soal dan semuanya bertumpu pada bacaan baik berupa penggalan wacana maupun puisi. Dari setiap penggalan wacana atau puisi, dimunculkan empat sampai lima pertanyaan yang menuntut siswa menguraikan jawabannya secara panjang lebar. Di sini, yang sangat menarik, tidak ada satu pun soal pilihan ganda atau jawaban singkat. Ingat, sebaik-baik soal pilihan ganda peluang untuk menebak tetap besar, dan ini tidak mendidik.
    [/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]
    Seandainya tes mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diberikan kepada siswa kita, terutama dalam UAN, seperti di Malaysia, kegiatan pembelajarannya sehari-hari tentu akan lain. Beragam kegiatan mengarang pasti akan menonjol, demikian juga berlatih merumuskan masalah dan mencari alternatif pemecahanya. Demikian juga analisis kasus-kasus bahasa yang selalu terkait dengan konteksnya (wacananya) akan mendapat perhatian guru setiap hari. Akibat lebih lanjut, pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi lebih hidup, problematis, menarik, mendorong siswa berpikir logis dan sistematis serta menantang kreativitas siswa sehingga tidak gersang dan membosankan.
    [/FONT]
    [FONT=Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif]H Drs. Suyono, M.Pd.
    pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
    Universitas Negeri Malang
    [/FONT]​
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.