1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

People liberalisasi pers indonesia

Discussion in 'Education Free Talk and Trivia' started by ichreza, Feb 20, 2011.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ichreza M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 8, 2009
    Messages:
    838
    Trophy Points:
    191
    Ratings:
    +8,787 / -0
    [FONT=&quot]Liberalisasi pers Indonesia dan jasa mahasiswa[/FONT]
    [FONT=&quot]Oleh[/FONT]​
    [FONT=&quot]Hermawan Sulistyo[/FONT]​
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Reformasi politik telah membuahkan berbagai perubahan, antara lain dalam dunia pers Indonesia. Atas tekanan politik terus menerus selama dua tahun terakhir, pemerintah terpaksa melakukan liberalisasi pers. Pada saat Gus Presiden Dur 'naik tahta', jumlah SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang dikeluarkan Deppen telah melonjak dari hanya sekitar 600 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, menjadi lebih dari 1.700 buah. Patut dicatat, kelonggaran tersebut bukan karena 'kemurahan hati' pejabat Presiden BJ Habibie, melainkan karena tekanan publik secara terus menerus.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Setelah Gus Presiden Dur membentuk Kabinet Persatuan Nasional, Departemen Penerangan malah dibubarkan. Suatu kebijakan liberalisasi luar biasa karena berdasarkan asumsi bahwa 'penerangan bukanlah urusan pemerintah, melainkan urusan rakyat'. Suatu kebikan yang 'buntutnya' masih belum selesai, terutama implikasi dilikuidasinya Deppen. Akibat dari semua perkembangan tersebut, kini Indonesia termasuk negara-negara yang kehidupan persnya paling liberal di seluruh dunia, kecuali untuk muatan pornografi.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Kilas balik[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Ketika kaum intelektual dan mahasiswa mulai bergerak untuk mendorong reformasi, pers Indonesia belum memberikan kontribusi apapun. Kondisi umum hingga paruh pertama tahun 1998 menunjukkan, pers masih takut-takut terhadap rezim Orde Baru di bawah Soeharto.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot][Ketika pada awal reformasi gerakan mahasiswa sudah marak, hanya HU Suara Pembaruan (di halaman 11) yang secara rutin dan sistematik memberitakan rangkaian demonstrasi tersebut. Suatu 'kebijakan' pemberitaan yang dilakukan secara diam-diam tetapi tetap berkali-kali mengundang 'telepon' pihak penguasa pada waktu itu. Selain rangkaian pemberitaan ini, media massa lain (terutama media cetak) hanya secara sporadis memberitakan atau menganalisis (melalui pemuatan artikel-artikel opini) gerakan reformasi, yang merupakan perlawanan terhadap rejim Soeharto.][/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Tentu saja, pernyataan ini tidak menyangkut beberapa kelompok kecil pekerja pers yang lebih menempatkan dirinya sebagai aktivis politik, seperti para wartawan muda yang tergabung dalam AJI (Asosiasi Jurnalis Independen).[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Tidak mengherankan jika 'pers alternatif' menjadi media pemberitaan dan wacana yang dicari-cari publik, sekali pun khalayak pembacanya masih sangat terbatas. Untuk kalangan atas, misalnya, Tempo Interaktif menjadi bahan bacaan alternatif. Bagi kalangan menengah, majalah D&R sesekali menyentak dengan isi yang mengguncangkan rezim. Kasus pemuatan gambar Pak Harto dalam kartu King, misalnya, menjadi kasus poliitik nasional.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Di kalangan bawah Jakarta, HU Inti Jaya menyediakan wacana 'pemberontakan' yang dicari-cari publik di kelas tersebut. Namun, bagi kalangan 'pergerakan' yang mengawali dan mengujung-tombaki gerakan reformasi, barangkali tidak ada medium alternatif yang paling dicari-cari seperti X-pose. 'Selebaran-selebaran' lain seperti X-pose cukup banyak, tetapi tidak ada yang memiliki pengaruh luas dan mendalam seperti selebaran ini. Kebanyakan 'selebaran' tersebut memanfaatkan virtual world internet. Selain Tempo Interaktif, media virtual lain yang berfungsi sebagai pers alternatif dan banyak diakses dari luar negeri ialah Kabar Dari Pijar (KdP-Net).[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Tentu saja, berbagai media di atas belum termasuk lusinan email mailing list, yang secara signifikan ikut mewarnai wacana reformasi. Salah satu ruang mailing list yang paling digemari ialah Apa Kabar, yang diasuh oleh John McDougall. Begitu pentingnya sarana internet bagi pembentukan wacana pengetahuan mengenai gerakan reformasi (baca: gerakan mahasiswa) sehingga mayoritas kalangan Departemen Luar Negeri AS (State Department) percaya, bahwa 'gerakan mahasiswa Indonesia dirancang dan dikoordinasikan melalui internet'. Bagi 'aktivis gerakan' mahasiswa, atau bahkan engaged scholars (intelektual yang melibatkan diri dalam aktivitas politik sesuai hati nuraninya) yang terjun ke dalam kancah pergerakan menentang rezim Soeharto, pandangan seperti yang dianut analis State Department-nya Amerika itu menggelikan.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot][Yang pasti, sebagian aktivis mahasiswa menggunakan telepon umum (koin maupun kartu telepon), sementara kalangan intelektual yang ekonominya jauh lebih mapan dibanding mahasiswa menggunakan telepon genggam atau seluler (handphones) untuk komunikasi mereka. Penolakan terhadap penggunaan ponsel untuk kalangan mahasiswa, kadangkala terasa berlebihan. Di Yogya, misalnya, sama sekali 'tabu' bagi mahasiswa demonstran untuk membawa-bawa ponsel sewaktu melakukan aksi.][/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Selain masih sangat mahal, penggunaan internet bagi mahasiswa dan bahkan sebagian besar engaged scholars) menyita waktu. Padahal, waktu merupakan 'barang mewah' ketika proses politik bergulir sangat cepat. Seorang aktivis reformasi yang sesungguhnya tentu tidak punya waktu lagi untuk berjam-jam di depan komputer dan bermain-main di dunia maya. Sebaliknya, mereka yang mampu dan bisa melakukan hal itu, dipastikan 'revolusioner' hanya dalam pemikiran dan gagasan, dan bukan dalam kenyataan hidup 'yang sesungguhnya'.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Namun, muncul dan berkembangnya asumsi sebagaimana dianut oleh State Department AS tersebut dapat dipahami. Mereka yang melihat Indonesia dari luar dan mendapatkan informasi up-to-date melalui medium tersebut seolah-olah menonton suatu grand designs, rancangan gerakan besar, yang luar biasa. [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Gagasan-gagasan yang seolah-olah diterapkan pada kenyataan di lapangan. Jika kemudian kenyataan di lapangan terjadi seperti yang didiskusikan di internet, para 'penonton' akan percaya bahwa medium maya inilah sarana utama, dan barangkali satu-satunya, yang 'menggerakkan' mahasiswa atau kaum 'intelektual terlibat'.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    Dua tahap liberalisasi

    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Sementara itu pers, khususnya media massa cetak, baru mulai 'bergerak' ketika roda reformasi telah berputar dan jarum sejarah tak bisa diputar balik. Setelah liberalisasi awal di bawah Habibie, pers mulai berani dan (bersama-sama dengan partai politik) ikut 'menumpang' gerbong reformasi. Lama kelamaan, pers (sekali lagi, bersama-sama parpol) bahkan 'mengambil alih' peran mahasiswa dalam posisi avant garde (garda depan) dalam perubahan-perubahan penting yang dialami bangsa kita.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Secara umum, liberalisasi pers dapat dibagi menjadi dua tahap. [/FONT]
    [FONT=&quot]Tahap pertama berlangsung di bawah pemerintahan Habibie, dan tahap kedua berlangsung setelah naiknya Gus Dur di kursi kepresidenan. Pada tahap pertama, setidaknya lima fenomena tampak menonjol. Pertama, melonjaknya minat publik terhadap berita-berita politik dan ekonomi yang berkaitan dengan politik. Kedua, tumbuhnya media TV sebagai sumber berita alternatif yang lebih cepat dan terpercaya dibanding media cetak. Ketiga, munculnya keberanian pers untuk melawan rezim penguasa. Keempat, berkembangnya pers partisan, terutama yang terkait dengan kelompok politik tertentu. Kelima, melonjaknya jumlah media massa, terutama media cetak, untuk memenuhi kehausan publik akan berita-berita ekonomi-politik.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Gejala pertama, yaitu meningkatnya kebutuhan publik akan sumber berita, merupakan hal yang fenomenal. Tidak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, publik begitu antusias mencari-cari berita politik, sebagaimana yang terjadi sepanjang dua tahun era reformasi. Reformasi telah menjadi sarana pendidikan ekonomi-politik publik yang sangat efektif. Sekali pun dilanda krisis ekonomi, masyarakat umumnya masih bersedia menyisihkan uang mereka untuk membeli koran atau majalah.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Fenomena kedua sangat jelas tampak dari berlomba-lombanya semua stasiun TV untuk menayangkan berita-berita atau ulasan politik, baik melalui pemberitaan langsung (straight news) maupun sebagai talk shows atau wawancara dengan narasumber politik. Kecepatan dan daya tarik audio-visual TV telah mengalahkan media massa cetak. Namun, begitu banyaknya informasi politik yang harus ditampung, ditambah dengan kenyataan bahwa tidak semua orang memiliki 'kemewahan' waktu untuk menonton TV telah membuat media audio-visual ini menjadi suplemen ketimbang komplemen media cetak.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Karena negara melemah, maka muncul fenomena ketiga, yaitu meningkatnya keberanian pers untuk melakukan kritik terhadap rezim pemerintahan Habibie. Kekuasaan telah terfragmentasi sedemikian rupa sehingga membuat pemerintahan Habibie tidak mampu untuk menjaga sumber kendali atas pers. Tanpa dikehendaki, pers telah melakukan liberalisasi dari dalam dirinya sendiri. Elemen-elemen status quo di dalam dunia pers sedikit demi sedikit, namun, melalui proses yang relatif cepat, tersingkir oleh unsur-unsur yang jauh lebih progresif. Suatu proses yang berjalan seiring dengan tersingkirnya elemen-elemen pro status quo dalam dunia politik di luar pers.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Tetapi, fragmentasi dan pergulatan kekuasaan juga menghadirkan fenomena keempat dalam dunia pers, yaitu munculnya pers partisan. Banyak pemain politik lama maupun baru yang percaya, memegang kendali atas pers (sekecil apapun pengaruh media tersebut) berarti memegang salah satu sumber utama kekuasaan politik. Fenomena ini didorong oleh liberalisasi politik, khususnya dalam hal pembentukan partai-partai politik baru. Para 'pemain lama' pun, termasuk militer, ikut 'bermain' dalam lahan pengendalian arah pemberitaan, baik melalui cara-cara 'klasik' dengan menguasai media yang sudah ada, maupun dengan membiayai penerbitan baru.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Semua fenomena di atas mendorong munculnya fenomena terakhir, yaitu melonjaknya jumlah media massa. Sebagai lahan ekonomi, pers juga menghadirkan peluang emas di tengah-tengah krisis ekonomi. Format baru yang paling mencolok adalah tabloid berita mingguan. [Patut dicatat, bahwa tabloid keluarga Mutiara, yang terbit hingga tahun 1987, adalah pelopor format 'tabloid' ini. Juga harus dicatat bahwa istilah 'tabloid' di Indonesia semata-mata merujuk pada format media, dan tidak sebagaimana pengertian istilah tersebut di dunia Barat, yang lebih merujuk pada isi suratkabar 'kuning'.][/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Struktur produksi dan harga untuk format ini sangat berbeda bandingkan dengan format-format 'tradisional' seperti suratkabar harian dan majalah mingguan. Harga jual tabloid, dengan tiras terjual (sold) tertentu dan retour yang rendah sudah mampu membuat usaha penerbitannya mencapai break even point tanpa iklan. Padahal, krisis ekonomi telah menghancurkan dunia periklanan.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden, suhu politik mereda jauh sekali dibandingkan tahap liberalisasi pers sebelumnya. Masa pemerintahan RI di bawah Gus Presiden Dur inilah yang merupakan tahap kedua liberalisasi pers. Tahap yang diwarnai oleh kejenuhan publik akan proses politik dan harapan yang semakin kuat akan pulihnya perekonomian nasional, dan terutama, ekonomi rakyat. Titik jenuh telah terlampaui, dan minat publik terhadap informasi politik pun semakin berkurang pula.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Sebagai akibat perubahan pemerintahan dan, terutama suhu politik nasional, satu demi satu penerbitan rontok dan menghilang dari peredaran. Dalam tahap liberalisasi kedua ini tidak ada satu pun penerbitan yang tirasnya tidak turun. Bagi penerbitan yang tidak mampu mengubah konsep penerbitannya, dan hanya mengandalkan straight news berupa hot news, sementara modal kerjanya hanya pas-pasan, tidak ada jalan lain kecuali mengucapkan 'wassalam' kepada para karyawannya. Usai sudah masa bulan madu pers sebagai sarana informasi politik dengan pers sebagai wilayah usaha ekonomi. Satu dua penerbitan berusaha bertahan, dengan sedikit mengubah konsep pemberitaannya. Contoh yang paling jelas ialah suratkabar Rakyat Merdeka.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Dampaknya pada kebijakan[/FONT]

    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Pers yang tak bisa diatur pemerintah --kemudian pemerintah yang tak mau mengatur pers-- menyebabkan isi pemberitaan harus 'diperhitungkan' oleh para pembuat kebijakan. Tak terkecuali para perumus kebijakan luar negeri Indonesia. Sepanjang proses reformasi, barangkali contoh yang paling mencolok adalah kasus Timor Timur (Timtim), meskipun banyak kasus lain yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan. Kasus Timtim akan dijadikan bahan penutup di bawah, sementara kasus-kasus lain akan ditinjau lebih dahulu.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Liberalisasi pers tidak hanya membawa implikasi bagi kehidupan pers domestik, dalam kaitannya dengan dunia internasional. Pers asing pun termasuk pihak yang memetik keuntungan, berupa penyampaian berita-berita yang akurat, komprehensif, dan mendunia. Saluran TV CNN yang jaringan pemberitaannya paling luas di dunia, misalnya, menayangkan secara langsung 'penghinaan' yang dilakukan oleh para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR di Senayan. Yang termasuk dalam tindakan 'penghinaan' itu ialah memukuli dan menendangi boneka bergambar wajah Soeharto di atap gedung. Rumors politik tingkat tinggi menyebut, konon, peristiwa inilah yang mendorong Pak Harto untuk mengambil keputusan lengser dari kursi kepresidenan.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Cepatnya proses perubahan selama reformasi juga mengharuskan para diplomat yang menjadi wakil-wakil RI di luar negeri menaruh perhatian sepenuhnya terhadap kondisi di tanah air melalui isi pemberitaan media massa domestik maupun asing, selain tentunya mengandalkan sumber-sumber berita 'tradisional' bagi tugas-tugas diplomatik mereka. Hilangnya satu-dua informasi yang disampaikan oleh media massa tersebut dapat berakibat fatal bagi fungsi tugas-tugas mereka. Di bawah kondisi pers yang arahnya belum pasti, dan selanjutnya 'diliberalisasikan', masyarakat Indonesia di luar negeri pada umumnya, dan para diplomat Indonesia pada khususnya, sangat mengandalkan sebanyak-banyaknya informasi yang bisa diperoleh.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Di dunia internasional, kasus Timtim menjadi pokok berita yang sangat kontroversial. Terutama sekali ketika rakyat Timtim memutuskan untuk memilih opsi merdeka --diluar kontroversi seputar keputusan Habibie untuk memberikan opsi merdeka tersebut-- dan kenyataan di lapangan menunjukkan penghancuran Timtim oleh milisi pro-integrasi. Reaksi dunia, sebagaimana disampaikan oleh seluruh isi dan angle pemberitaan media massa asing, ialah kemarahan dan kecaman luar biasa kepada bangsa, khususnya pemerintah Indonesia.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Sebaliknya, media massa dalam negeri umumnya masih memuat isi pemberitaan dan ulasan yang menyinggung nasionalisme, dalam pengertiannya yang paling tradisional. Suatu sudut pandang dan sikap yang semakin mengental dengan rentetan peristiwa selanjutnya yaitu kehadiran pasukan Interfet dan sikap keras Australia terhadap Indonesia. Bertentangan dengan sudut pemberitaan dan analisa pers asing tentang situasi Timtim, hanya sedikit pers Indonesia, termasuk yang paling kritis sekalipun, yang bersikap seperti counterparts asing mereka. Jika ulasan dilakukan secara kritis, disampaikan secara sangat hati-hati dan halus.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Para diplomat Indonesia, yang harus melakukan tugas-tugasnya secara 'kocar-kacir' selama lebih dari dua dekade untuk membela mati-matian posisi Indonesia dalam kasus Timtim, tampaknya mengambil sikap 'jalan tengah', sebagaimana arus yang hadir dalam pers domestik Indonesia. Sikap umum yang timbul lebih tampak sebagai reaktif ketimbang proaktif, atau melakukan langkah-langkah diplomatik yang bersifat preemptive. Hasil akhir kasus Timtim sekarang sudah jelas, dan sama jelasnya bahwa fungsi diplomatik jajaran Deplu kita kedodoran, antara lain karena 'mengikuti', atau sejalan dengan mainstream pers nasional.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Masa pemerintahan Gus Dur masih empat tahun lebih. Masa yang cukup lama begi perubahan-perubahan lebih lanjut di dunia pers nasional dan pers asing yang melakukan fungsi profesional mereka di Indonesia. Para aktivis pro-demokrasi sangat berharap, bahwa pers mendatang mampu menjadi pilar keempat dari masyarakat yang demokratis. Pers sendiri masih harus membuktikan bahwa mereka secara ekonomis mampu bertahan hidup dan secara politik semakin menjauhkan diri dari sikap-sikap partisan. Pers yang profesional adalah pers yang non-partisan. Tetapi, sebelum menuju ke arah sana, sesungguhnya pers hampir melupakan sejarah yang baru saja lewat. Tanpa keringat, airmata dan darah mahasiswa, pers tidak akan menikmati kebebasan seperti yang dijalaninya sekarang. Karena itu, sudah selayaknya pers ikut memikirkan nasib para 'pahlawan reformasi' yang sesungguhnya, yaitu mahasiswa, yang banyak diantaranya bahkan tak bisa meneruskan kuliah karena tidak mampu membayar uang kuliah.[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Pers bukan politisi, yang selain 'biasa berbohong' juga tak mengenal rasa terimakasih (tak seorang pun 'wakil rakyat' yang duduk di MPR/DPR menyuarakan nasib mahasiswa yang terancam putus kuliah karena tak mampu). Mengapa tidak ada perusahaan penerbitan yang menyisihkan beasiswa bagi para aktivis mahasiswa, atau sekadar membuka Dompet Kepedulian Mahasiswa jika mereka mengaku tak punya uang untuk memberikan beasiswa itu dari kantong perusahaannya sendiri? ***[/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]'Pengamat politik' Hermawan Sulistyo saat ini adalah sekaligus dosen UI dan peneliti LIPI. Ia mendapatkan PhD-nya dari Arizona State University, AS, bidang sejarah. Selain itu Kikiek --nama panggilannya-- juga menjabat Direktur Eksekutif Research Institute for Democracy and Reform. [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Tanggapan-tanggapan atas tulisan beliau bisa dikirim langsung ke alamat sulistyo@satunet.com. [/FONT]
    [FONT=&quot]versi cetak artikel ini kirim artikel ini ke teman[/FONT][FONT=&quot][/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]Copyright © 1999-2000 satunet.com Hak Cipta dilindungi undang-undang. Tidak diperkenankan mereproduksi seluruh maupun sebagian tampilan dan/atau isinya dalam bentuk maupun media apapun tanpa ijin tertulis dari satunet.com [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot] [/FONT]
    [FONT=&quot]*****[/FONT]
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.