1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic L-AI

Discussion in 'Fiction' started by temtembubu, Apr 14, 2013.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    wih gile, ternyata ceritanya dewa penulisan memang dewa penulisan :top:

    well, ceritanya sih memukau :matabelo:

    soal komen indepth, tarsok :lalala:

    hahahah soalnya belom kepikiran mau komen darimana, tapi keren deh ceritanya~
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    Bab 5 -=Anna=-
    hasil bertapa 2 hari di antara buku2 dan xml + java :keringat:
    Semoga berkenan :maaf:

    08:23 AM, sambil memandang layar ponsel, aku berbaring di sofa ruang tamu. Sudah lewat sekitar satu setengah jam dari saat aku menelepon Ken. Dia sedang apa ya? Tidak ada kabar lagi, semoga semuanya berjalan baik-baik saja. Aku meletakkan ponsel di meja sebelah sofa, sambil memandang langit-langit.

    Yah, seharusnya memang segalanya berjalan baik-baik saja. Yang mereka butuhkan hanyalah mengambil chip AERIOS dan memasukkannya ke komputer. Lagipula, chip itu memang dirancang seperti memory card jadi bisa juga dimasukkan ke ponsel jaman sekarang yang sudah canggih. Petunjuk cara penggunaannya juga sudah kujelaskan dalam buku panduan yang sekarang menjadi arsip lembaga PPTM.

    “Ibu Anna, ada di rumah?”

    Hm? Suara itu, pasti si tante bawel. Tumben sepagi ini? Kali ini aku harus protes, film rekomendasinya kemarin benar-benar membosankan.

    “Ibu Anna sedang apa? Ada waktu luang? Ibu Anna tahu tidak, Pak Tono yang buka warung di gang sana?”

    Ya ampun, baru saja aku membuka pintu, sudah diserbu segudang pertanyaan. Yah, tapi itu memang sudah ciri khasnya. Mungkin aku malah akan bingung bila si tante tidak mengoceh dalam waktu lebih dari satu menit.

    “Ya, kebetulan pagi ini ada sedikit waktu luang.” Aku lupa apa saja yang tadi ditanyakan si tante, jadi kujawab apa yang kuingat.

    Ternyata bukan hanya kedatangan si tante yang terlalu pagi saja yang terasa aneh. Penampilan si tante kali ini juga sedikit aneh. Dia sudah berdandan, seperti ingin mengajakku pergi ke suatu tempat.

    “Ibu Anna tahu Pak Tono? Yang buka warung di gang depan.”

    “Umm… Pak Tono yang botak? Ya, aku tahu. Setiap minggu aku suka beli telur di sana, harganya murah. Ada apa?”

    “Adiknya Pak Tono, Danu, tadi pagi terlibat pertengkaran. Dia luka parah waktu dibawa pulang rumah, akhirnya meninggal.”

    Spontan aku membelalakkan mata, tentu saja hampir tidak percaya dengan berita itu. Setahuku, Danu itu anak yang baik. Dia suka membantu orang, juga bukan tipe orang yang suka terlibat perkelahian. Tapi bila si tante yang menyampaikan kabar, maka bisa dikatakan 99% kemungkinan berita itu benar. Meskipun bawel dan suka merekomendasikan film-film aneh, tapi dalam bergosip dia selalu menyampaikan kabar yang akurat.

    “Tante Eta mau ke sana? Aku ikut, tapi tunggu sebentar, ya. Aku harus ganti baju.”

    Setelah mendapat persetujuan dan kesediaan si tante untuk menunggu, aku segera mempersiapkan diri. Tidak sampai 10 menit, aku sudah kembali menemui si tante di luar rumah.

    “Dia berkelahi karena apa?” Pertanyaan itu kuucapkan dengan susah payah karena harus menyisihkan napas di sela-sela berjalan cepat, berusaha menyeimbangkan langkah-langkah si tante.

    “Kurang tahu juga. Ada yang bilang waktu melerai pertengkaran, tanpa sengaja dia juga kena imbasnya.”

    Anak yang malang. Kalau tidak salah, usianya baru 20 atau 21, masih muda tapi memiliki semangat kerja yang tinggi. Katanya, setiap pagi dia sudah berangkat untuk membuka warung di sebuah sekolah di Petamburan. Hmm… sekolah, ya. Apa orang-orang yang bertengkar itu anak sekolah? Yang benar saja! Mana mungkin anak sekolah bertengkar sampai bunuh-bunuhan begitu.

    “Sudah ramai,” kata tante Eta seraya menudingkan telunjuknya ke rumah Pak Tono.

    “Ya. Pak Tono itu ternyata populer.”

    Bukan hanya ibu-ibu rumah tangga saja yang terlihat, tapi beberapa lelaki juga tampak berlari memasuki rumah itu. Sesekali terdengar teriakan histeris wanita. Eh, tunggu! Ada yang tidak beres dengan situasi itu.

    “Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di sana.” Tanpa menunggu tanggapan dari si tante, aku sudah berlari menghampiri keramaian.

    Setelah berhasil menembus kerumunan ibu-ibu yang hampir semuanya bergetar ketakutan, akhirnya aku menyaksikan juga penyebab keributan itu. Pertengkaran antar beberapa lelaki di mana salah seorang sedang mencekik Pak Tono dan yang lain berusaha menolong lelaki botak itu. Bukan cuma kejadian itu yang mengejutkanku, tapi juga karena aku sadar bahwa orang yang mencekik Pak Tono adalah Danu.

    Apa dia tidak jadi mati? Atau- dia kerasukan?

    Tingkah Danu memang seperti orang kesurupan. Matanya memandang liar pada Pak Tono, seolah-olah dia sangat ingin mematahkan leher lelaki itu. Mulutnya terbuka, menunjukkan deretan gigi mematikan yang sering kali dia usahakan supaya bisa menancap di leher Pak Tono. Untung banyak orang yang menahan kepalanya, meskipun begitu, Danu terlihat memiliki tenaga yang luar biasa kuat.

    Pertunjukan menegangkan. Sayang aku harus membagi perhatian pada hal lain. Ponsel di saku celana jins-ku bergetar. Ternyata dari Ken.

    “Halo? An? Kau di mana?”

    Ah ya, dia pasti bingung karena mendengar keramaian dan teriakan histeris ibu-ibu.

    “Di rumah Pak Tono,” jawabku berusaha tenang, lalu kulanjutkan dengan sedikit ragu. “Tadinya ingin melayat.”

    “An, dengar!” katanya tergesa-gesa. “Kamu harus kemali ke rumah! Aku akan sampai sebentar lagi, ada yang ingin kuceritakan.”

    “Aku yakin kamu tahu, aku tidak akan menurut sebelum kamu cerita,” balasku tegas.

    Bisa kubayangkan wajah Ken yang kesal tapi pasrah.

    “Dugaanmu benar, LAI bisa menular,” kata Ken, terdengar pasrah. “Sekitar satu jam lalu, Satrio menggigit dua orang. Seorang korbannya meninggal di tempat dan sudah diurus petugas. Tapi yang seorang lagi dalam keadaan kritis. Namanya Danu, dia dibawa pulang ke rumahnya di Kebon Jeruk. Jadi-”

    Begitu rupanya, sekarang aku tahu nama hantu yang merasuki Danu. Aku jadi bisa mengendalikan diri dan mulai berpikir tenang.

    “Oh ya, Ken. Aku lupa memberitahumu,” aku langsung memotong cerita Ken. “Adik Pak Tono bernama Danu, sekarang dia memang bangkit seperti orang kesetanan.”
    Tiga detik, hanya itu waktu yang dihabiskan Ken untuk diam. Aku yakin dia terkejut.

    “Jadi, keributan itu-“ Ken tidak bisa meneruskan kalimatnya, dia pasti shock.

    Saat berkata lagi, dia sudah terlihat lebih tenang. “An, aku sedang dalam perjalanan ke sana bersama polisi dan tentara. Sebaiknya kamu kembali ke rumah, biarkan petugas keamanan setempat yang menahannya.”

    “Maksudmu aku harus menyerahkan masalah yang disebabkan oleh aplikasi buatanku ke orang lain?” aku berkata sambil melirik pergelutan antara Danu dan para lelaki yang mencegahnya.

    Entah sudah berapa lama keributan terjadi, kelihatannya semakin tak terkendali. Mereka yang menahan Danu tampak mulai lelah. Akhirnya seorang hansip yang dari tadi berusaha menarik-narik tubuh Danu, mengambil kursi dan menghantamkan benda itu ke kepala Danu.

    Anak itu terjatuh di lantai, tubuhnya kejang-kejang seperti robot rusak. Dia mulai berusaha mengangkat tubuh tapi kepalanya seperti tidak mau lepas dari lantai. Jeritan ibu-ibu semakin terdengar histeris sebelum mereda dan dilanjutkan dengan hipotesa-hipotesa aneh. Ada yang bilang anak itu kesurupan, ada juga yang mengatakan hal tidak masuk akan seperti Danu kena ayan dan sebagainya.

    Ken mendesah kesal. “Ini tidak seperti cerita dalam permainan atau novel atau pun televisi. Cerita-cerita seperti itu sudah diatur oleh pembuatnya. Sekarang sebaiknya kamu menjauh dari sana.”

    “Ah ya, pembuat. Bisa mengatur apa saja, kan? Aku pembuat AERIOS, jadi akan kuatur dia,” jawabku tak kalah galak dengannya lalu kuputuskan sambungan telepon.

    Aku tahu bahwa Ken pasti cemas setengah mati, tapi aku juga tidak bisa tinggal diam melihat cacat aplikasi buatanku beraksi seenaknya. Pertama, aku harus menyingkirkan orang-orang supaya tidak menjadi korban saat AERIOS kembali beraksi. Kedua, semuanya akan kuserahkan pada Ed. Kuketikkan beberapa baris perintah untuk Ed di ponsel yang sudah kumasuki chip EDWARD.

    “Apa!? Jadi dia akan mengamuk lagi?” aku pura-pura berteriak di telepon untuk menarik perhatian orang-orang.

    Berhasil. Wajah-wajah cemas mereka melihat ke arahku.

    “Ya, ya. Aku tahu, akan kusampaikan pada mereka,” aku melanjutkan sandiwara lalu pura-pura menutus telepon.

    “Dari suamiku dia bekerja lembaga penelitian,” aku masuk dalam tahap mengarang cerita. “Dia bilang kalau Danu terkena virus langka. Virus itu bisa membuat orang mati jadi hidup lagi seperti zombie.”

    Serentak mereka menahan napas, terkejut dan terlihat tidak percaya.

    “Dia memberitahuku cara untuk mencegah zombie itu pulih lagi. Aku akan menjalankan yang dikatakannya, sementara itu sebaiknya kalian menjauh dari sini. Polisi juga sedang dalam perjalanan ke sini.”

    Beberapa dari mereka ada yang menurut dan segera meninggalkan rumah Pak Tono, tapi beberapa yang sedikit berani malah menawarkan bantuan-bantuan.

    “Aku akan baik-baik saja,” jawabku. “Lagipula asistenku sudah sampai.”

    Mereka mancari-cari makhluk yang kukatakan sebagai asisten. Tatapan bingung mereka berhenti pada seekor golden terrier yang menghampiriku.

    “Kalian mau meninggalkan kami supaya bisa bekerja dengan tenang, kan?” kataku sambil memasang senyum manis
     
  4. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    uwaaaaaah, lanjutannya...............

    kepotong TT_TT kenapa rata" cerita keren mesti dipotong pas lagi adegan hotnya huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu, apa memang itu yang bikin pembaca jd penasaran ya

    tapi keren nih, apa yang akan terjadi ya dengan pertempuran seekor terrier melawan Danu yang dikuasai aerios~ wkwkkw...

    duh untung ini fiksi ya, kalo ga sih ngeri amat, sekalian aja LAInya ke BSD -___________________________-
     
    • Like Like x 1
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    mbak mbembem :matabelo:

    lupa aku belum baca chapter terbarunya :matabelo:

    sekarang jojo nya udah sampe di rumah warga, wahaa, apalagi nih kira2 yang akan terjadi :matabelo:

    plotnya udah nyambung, penokohan juga nonjok banget bikin greget :XD:

    sayang lanjutannya entah kapan nih :sedih:
     
  6. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    thx buat komen2 nya :hihi:
    maap klo apdet nya lama :maaf: penulisnya terlalu sibuk leveling di RL
    semoga berkenan :maaf:
    Bab 5 -=Anna=-
    Ada kalanya kebaikan orang malah jadi merepotkan. Menolak bantuan dari para orang baik sangat menyita waktu, kenyataan terburuklah yang kuterima. Tepat saat aku berhasil mengusir orang-orang dan menutup pintu, Danu sudah berhasil memulihkan dirinya. Sekarang dia sedang jongkok di tengah ruangan, seperti katak, memperhatikanku.

    Berlaga seperti jagoan di depan orang lain memang mudah, tapi saat menjalankannya tidak semudah yang diharapkan. Aku harus tegar dan tetap berpikir tenang meskipun jantungku tidak menurut, terus-terusan memukul dadaku. Setidaknya aku memiliki kartu as, Ed bersamaku, berdiri di sampingku dan akan memastikan keselamatanku. Saat ini hanya itu yang bisa membuatku sedikit tenang.

    Jarak antara aku dan Danu terpaut sekitar lima langkah, cukup ruang untukku bergerak bebas bila dia mengamuk. Tapi dia tidak melakukannya. Kenapa? Padahal aku sudah mempersiapkan Ed akan membalas bila Danu menyerang.

    Sorot mata Danu memang berbeda dari yang kulihat saat menyerang Pak Tono. Bila sebelum ini pandangannya terlihat liar tak terkendali, kini pandangan itu terasa kosong, tidak terlihat akan melakukan sesuatu. Bukan cuma itu, sikap Danu bahkan sangat berbeda dengan Satrio padahal keduanya sama-sama dikuasai AERIOS. Aneh. Apa dia menungguku melakukan sesuatu? Atau dia sudah tahu apa yang kurencanakan?

    Aku tidak bisa lama-lama beradu pandang dengannya. Dia dikuasai AERIOS tentu lebih bisa menjaga kesigapan daripadaku yang bisa merasa pegal.

    Baiklah.

    Aku putuskan mengambil risiko. Dengan super hati-hati, aku maju satu langkah mendekati Danu. Hal di luar dugaan kembali terjadi. Anak itu ikut mengambil satu langkah, tapi untuk mundur lalu menggeram seolah-olah berusaha mengusirku.

    Baik EDWARD maupun AERIOS, keduanya sama-sama memiliki sifat dasar seperti hewan. Meskipun aku tidak melihat sifat binatang dari Satrio, tapi seperti yang sudah kukatakan tadi, Danu sama sekali tidak seperti Satrio. Sikap Danu bisa kuketahui dengan pasti apa maksudnya, dia sedang mengancam akan menyerang bila aku sedikit lebih dekat lagi dengannya.

    Kenapa dia tidak ingin didekati? Apa karena dia tidak mau dipukul lagi atau…

    “Ed!” perintahku seraya menudingkan telunjuk ke arah Danu.

    Ed memang selalu kularang menggigit, tapi untuk kali ini aku mengijinkannya. Tebakanku benar, sesuatu telah mengubah tingkah Danu, dan sekaligus sangat menguntungkanku. Anak itu sekarang hanya memperhatikanku. Dia tidak bereaksi apa-apa saat Ed melesat lalu menerkam tangannya. Barulah setelah taring-taring Ed menancap, anak itu mengerang dan berusaha membebaskan tangannya.

    Kekuatan manusia memang lebih besar daripada seekor golden terrier. Ed tidak berhasil mempertahankan giginya tetap menancap, dia terlempar tapi berhasil mendarat dengan mulus. Untungnya Danu jadi seperti melupakanku. Yah memang sudah bisa dipastikan, setelah menerima serangan dia pasti merasa nyawanya terancam. Dia akan berusaha melindungi diri dan mengusir si penyerang.

    Dengan gaya seperti hewan, Danu mulai menerkam Ed, tapi tangan-tangannya hanya disambut oleh udara. Danu memang lebih kuat dan cukup lincah untuk ukuran manusia yang bergerak seperti katak, tapi Ed jauh lebih lincah karena beridiri di atas empat kaki memang sudah kodratnya.

    Sesuai dengan perintah yang kuberikan. Karena tidak mungkin kekuatan seekor golden terrier bisa mengalahkan kekuatan manusia, jadi aku harus memanfaatkan kegesitan Ed. Setelah mengigit dia hanya perlu menghindari serangan-serangan dari Danu untuk mengulur waktu. Sambil sesekali melihat layar ponsel, aku menunggu waktu berlalu yang terasa sangat lama.

    Bila perhitunganku tepat, aku bisa membereskan Danu bahkan sebelum Ken tiba. Tapi bila salah sekali pun, aku yakin Ken akan tiba tepat waktu sebelum sesuatu yang buruk terjadi padaku. Setidaknya keyakinan itu yang membuatku tetap tegar.

    17 menit 34 detik, tiba-tiba Danu berhenti bergerak, tubuhnya terkulai dan tergeletak di lantai. Inilah saat yang kutunggu sekaligus menjadi momen di mana aku mempertaruhkan segalanya. Dengan cepat aku mengetikkan beberapa perintah di ponsel. Selanjutnya tinggal berharap segalanya lancar sambil menunggu reaksi Danu saat dia kembali bangkit.

    Dan benar saja, anak itu kembali bangkit. Masih dengan gaya katak, tidak, mungkin sekarang lebih tepat dikatakan gaya anjing duduk. Karena dia memasang sikap yang sama dengan Ed. Duduk dan melihatku dengan pandangan polos.

    “Siapa namamu?”

    Secara serentak, Ed menyalak dan Danu menjawab dengan benar seperti manusia berbicara, “EDWARD.”

    Bab 6 -=Kennedy=-
    Bersama iring-iringan polisi dan tentara, Ken memarkir mobilnya di depan rumah Pak Tono. Untungnya jalan di depan rumah itu cukup lebar dan panjang, jadi bisa menampung mobil-mobil mereka.

    Orang-orang terlihat berkerumun memenuhi halaman rumah itu. Mereka segera memberi jalan untuk para polisi dan tentara yang hendak memasuki tempat kejadian perkara. Sementara para petugas memasuki rumah, Ken masih mencari-cari istrinya di antara orang-orang yang berkerumun.

    “Kennedy,” Anthony memanggil.

    Ken menoleh, Anthony sedang berdiri di ambang pintu masuk rumah Pak Tono. Lelaki jangkung itu menunjuk ke dalam rumah dengan ibu jarinya. Tahu bahwa yang dimaksud Antony adalah Anna berada di dalam, Ken segera berlari memasuki rumah. Banyak orang yang ingin masuk bersama Ken, tapi dihadang oleh polisi.

    Di dalam, Ken segera disambut dengan senyum oleh istrinya. Senyum kemenangan karena Anna mengetahui kecemasan Ken. Wanita itu sedang duduk di sofa panjang sambil membelai rambut tembaga Ed yang meringkuk di sebelahnya. Sesuatu yang tidak disangka Ken adalah, di sebelah Ed, berbaring seorang lelaki muda dan kurus, juga meringkuk di sofa dengan gaya sama seperti Ed.

    “Dia tidak akan mengigit,” kata Anna menjawab kebingungan orang-orang di sekelilingnya.

    “Anak itu yang bernama Danu?” tanya Karin seraya menunjuk anak muda yang kurus itu.

    Sama seperti yang lain, polisi wanita itu hampir tidak percaya dengan matanya sendiri. Mayat hidup yang mereka temui sebelumnya terlihat sangat liar, bahkan lebih liar daripada hewan buas sekali pun.

    Anna tidak memberi jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’, malah bertanya pada anak lelaki itu. “Siapa namamu?”

    Lelaki itu mengangkat kepala, memperlihatkan wajahnya yang memelas lalu menjawab, “EDWARD.”

    Jawaban itu tidak berarti apa-apa bagi hampir semua orang selain Ken dan Antony. Ken menghampiri lalu memegang pundak istrinya, merasa lega karena wanita itu baik-baik saja dan berhasil menangani Danu. Anna menyambut Ken dengan senyum bangga.

    “Nyonya, bisa kau jelaskan apa yang terjadi?” tidak mau terus basa-basi, Letjen Steven bertanya.

    Anna menarik napas panjang, “Ceritanya sangat panjang.”

    Tahu bahwa tidak mungkin lagi menyimpan rahasia tentang EDWARD dan AERIOS, wanita itu melirik Ken. Ken membalasnya dengan anggukan kecil. Setelah menerima persetujuan, Anna menceritakan semua tentang LAI. Mulai dari kerja sama dengan Ken dalam membuat EDWARD, mencoba aplikasi itu ke peliharaannya, hingga membuat AERIOS untuk diajukan ke PPTM, dan diakhiri oleh pertemuannya dengan Danu yang sedang mengamuk.

    “Karena sifat dasar LAI adalah membajak, jadi kugunakan EDWARD untuk membajak AERIOS. Dengan begitu aku bisa memerintah anak ini. Aku menyuruh orang-orang menunggu di luar supaya tidak menjadi korban bila perkiraanku meleset. Selain itu, mereka pasti akan menentang bila melihat Ed menggigit Danu.”

    “Bila kalian yang membuat kecerdasan untuk LAI dan sudah mencoba, seharusnya kalian memberi peringatan pada kami bahwa aplikasi itu bisa menciptakan mayat hidup yang buas seperti ini. Sekarang Satrio entah di mana dan apa yang akan dilakukannya juga kami tidak tahu. Dia sudah memakan banyak korban,” kata Letjen Steven.

    Anna melihat tajam ke Letjen Steven. “Kata-katamu seperti ingin melempar tanggung jawab. Sejak awal aku dan Ken tidak menyarankan agar LAI dimasukkan ke manusia, terlebih lagi manusia hidup. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Satrio sampai kalian bisa mendapat sampel tubuhnya. Lagipula harusnya kalian bisa mencari Satrio. Di mana chip AERIOS?”

    Letjen Steven dan yang lain terkejut mendengar jawaban ketus dari Anna. Wanita itu seperti tidak gentar meskipun berhadapan dengan sosok periwra tinggi TNI yang sangat jelas mengenakan pakaian dinasnya. Letjen Steven dan para ilmuwan tidak bisa berkata apa-apa, bukan hanya karena tidak bisa membalas perkataan Anna, tapi juga karena merasa bersalah menggunakan manusia untuk eksperimen.

    “Hilang,” jawab Ken. Anna menoleh tidak percaya. “Sampel tubuh Satrio juga tidak berhasil didapat. Kami sudah nyerah mencarinya. Tapi kamu pasti punya cara, kan?”

    Anna diam, mulutnya terkatup rapat, tatapannya tajam mengarah ke lantai. Sikap yang selalu dilihat Ken saat istrinya sedang berpikir keras.

    “Kamu bilang Satrio menggigit dua orang?” Anna kembali melihat suaminya.

    “Ya. Budiman dan Danu.”

    “Ada sample dari Budiman?”

    Ken mengangguk mengerti lalu menghampiri Antony dan yang lain. “Anna butuh sample dari Budiman,” jelas Ken. “Untuk menganalisa apa saja yang dipelajari AERIOS.”
    Seakan takut pada Anna, orang-orang hanya berani melirik wanita itu sesaat lalu kembali memperhatikan Ken. “Kita bisa menggunakan laboratorium sederhana di rumahku, selain itu Anna juga butuh laptop-nya.”

    Mereka mengangguk mengerti lalu mulai membubarkan diri. Letjen Steven dan Karin segera memberi perintah-perintah pada bawahannya, sementara Profesor Ryan dan Antony kengikuti yang lain ke luar rumah.

    “Ken,” kata Anna seraya menarik lengan suaminya.

    Ken menoleh. Seperti tahu apa yang akan dikatakan istrinya, ia hanya mengangguk dan menjawab singkat, “Aku juga merasakan hal yang sama.”
     
  7. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Halo kak Tembu... :hi:
    Aku baru baca nyampe chap 2.1 (mau ngelanjutin baca tapi mata udah sepet, mo tidur dulu. hehe)
    Mau komen dikit aja mumpung masih anget. Kalo komennya besok, aku takut lupa. hehe

    waw.... ih... waw... ih...ih... :kaget:

    yang di atas bukan apa2, aku cuma pengen nulis gitu aja... :lol:

    Tulisan rapi (banget malah), ceritanya pun mengalir dengan indah (beneran deh, bukannya aku pengen lebay), emang sih kayaknya ceritanya lempeng gitu (mungkin nanti si percobaan bakal menggila dan si Ken yang bakal berusaha menghentikannya -nggak tau juga sih, lha wong aku baru baca dikit. hehe), tapi ceritanya udah cukup buat mancing penasaranku untuk baca lanjutannya.

    Penulis yang budiman, tolong dilanjutin ya ceritanya. :dandy:

    ngomong apaan sih aku ini? :lol:

    abaikan saja kak... abaikan aku... dan biarkan aku menjadi angin sendu dimana bunga dan rumput liar bernyanyi di bawah sinar rembulan... aku hanyalah kerang yang bermimpi untuk menjadi ikan...

    Cukup... sudah cukup... aku tak mau berpuisi lagi...

    Ehem. Kip nulis ya kak. :dandy:
     
  8. Blance Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 7, 2014
    Messages:
    72
    Trophy Points:
    22
    Ratings:
    +18 / -0
    wahhhh...lanjutannya makin bikin penasaran.. ditunggu lanjutannya kk >.<
     
  9. kakampreto M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Oct 26, 2013
    Messages:
    393
    Trophy Points:
    32
    Ratings:
    +139 / -0
    Aku udah baca sampe yg paling baru. Aku nggak pengen komen apa2 karena daku begitu menikmati ceritanya.
    Yang jelas, aku akan selalu setia menunggu kelanjutan ceritanya kak. :dandy:

    Cinta itu adil...
    Karena cinta tidak pandang bulu...
    Jika cinta itu pandang bulu, bagaimana dengan mereka yg tak berbulu...
    Tapi karena cinta tak pandang bulu, maka kau tak perlu menumbuhkan bulu...
    Rindu adalah cinta yg berbulu...
    Bulu adalah cinta yg merindu...

    Itulah cinta... cinta itu adil dan tak berbulu... :angel3:
     
  10. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    yah terpaksa kepotong :kecewa: krn penulis nya tarsok mao cari inspirasi dulu :hoho:

    thx komennya :hihi:
    diusahakan untuk lanjut secepat nya kok om :hihi: moga2 ga sampe 1/2 taun buat apdet lg :lol:

    thx kk kampret buat komennya sampe pake puisi segala :hihi:
    ini lg diusahakan buat lanjut kok :hihi:

    thx buat komennya kk :hmm:

    aiiihh... kok nda mau komen apa2 :sedih1 komen bilang penulisan nya cantik kek gt
    thx uda baca + tinggalin puisi :hihi: kk kampret romantis jg yah, suka bikin puisi
     
  11. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    semoga berkenan :maaf:
    Bab 6 Part 2 -=Kennedy=-
    Ken bersama Antony sibuk mempersiapkan sample tubuh Budiman. Sesekali Ken melirik istrinya yang serius mendengarkan Profesor Ryan bercerita.

    “Dengan chip LAI di tangan Satrio, kita tidak bisa melakukan apa pun selain mencari dan menangkapnya dengan paksa,” jelas Profesor Ryan.

    “Tapi Satrio tidak terekam sedang mengambil chip itu. Bisa saja sebelum Satrio datang chip itu sudah tidak ada,” kata Anna.

    “Tidak mungkin nyonya. Sekretaris-ku sudah berjaga di sana semalaman, bahkan sampai kamera dirusak oleh Satrio. Bila chip itu sudah tidak ada sebelum Satrio datang, Silvia pasti sudah melapor. Wanita malang, padahal dia sekretaris paling rajin yang pernah kumiliki.”

    “An,” Ken memanggil. Anna menoleh. “Sudah selesai.”

    Wanita itu mengangguk lalu mulai bekerja dengan laptop-nya. Dengan cekatan ia menghubungkan kabel-kabel data ke laptop lalu mulai mengetik beberapa perintah. Dalam sekejap ruangan menjadi sepi, semuanya memperhatikan Anna menganalisa kode-kode di laptop.

    Bola mata Anna bergerak bergantian, membandingkan kode-kode yang didapat dari Danu dengan Budiman. Tidak sulit mendapat data dari tubuh Danu, karena anak itu sudah dikuasai EDWARD. Dengan adanya chip EDWARD maka Anna bisa segera membuat kumpulan data yang didapat LAI dari tubuh inangnya.

    Akhirnya wanita itu mengangkat wajah dari laptop, melihat Ken yang bertanya melalui pandangan matanya. “Tidak banyak yang tersisa dari Danu,” kata Anna menjawab tatapan Ken. “Hampir semua informasi AERIOS hilang karena sudah dibajak EDWARD. Yang masih bisa terbaca hanya satu hal, sekaligus kesamaan antara Danu dan Budiman. AERIOS memerintahkan semua inangnya mati bila orang yang bernama Didin Prianto sudah mati. Siapa itu?”

    “Nama asli Satrio,” Antony menyahut.

    “Kabar gembira!” seru Profesor Ryan. “Tidak peduli seberapa banyak Satrio sudah menularkan LAI, jika kita berhasil membunuhnya maka segalanya akan beres.”

    “Tunggu dulu!” Ken menyela. “Setelah menggunakan Satrio sebagai bahan percobaan dan gagal, sekarang profesor mau membunuhnya? Tidakkah terpikir oleh profesor untuk menyelamatkan Satrio dari gangguan parasit LAI?”

    “Kennedy, coba kau lihat kenyataan. Dia sudah bukan Satrio lagi, LAI sudah mengusainya. Tidak ada lagi Satrio yang kita kenal. Dia sudah menjadi AERIOS dan tidak ada bedanya dengan binatang yang menggunakan emosi dalam melakukan sesuatu. Kau lihat sendiri, bukan? Mayat-mayat hidup itu?”

    “Satrio berbeda. Mereka sudah mati saat LAI mengambil alih tubuhnya, sedangkan Satrio masih dalam keadaan hidup. Dia masih hidup, seharusnya kita bertanggung jawab menyelamatkannya.”

    Profesor Ryan menggeleng sambil menggeram kesal. “Hasilnya tetap sama. Tidak ada yang tersisa darinya selain sifat binatang.”

    “AERIOS masih menyisakan namanya.”

    Jawaban dari Ken membuat Profesor Ryan terkejut. “Aku tidak tahu kenapa AERIOS melakukannya,” lanjut Ken. “Padahal memberi perintah seperti itu malah bisa menjadi kelemahannya.”

    “’Yang paling saya inginkan adalah mempunyai anak buah yang banyak. Kalau saya punya anak buah banyak, semua orang akan takut sama saya.’”
    Ruangan itu menjadi sunyi. Semua menoleh ke Antony, orang yang mengucapkan kalimat tadi.

    “Bila tidak salah ingat, Satrio pernah berkata begitu,” Antony menjawab kebingungan orang-orang.

    “Maksudmu,” Ken menanggapi. “AERIOS memberi perintah itu untuk mencegah penghianatan?”

    “Tidak ada alasan lain yang kurasa cocok.”

    “Sebentar! Sebelum dibahas lebih jauh,” Profesor Ryan menyela. “Bisa kalian jelaskan dari mana kesimpulan itu?”

    Ken menarik napas panjang. “LAI diprogram untuk menjalankan kegiatan berdasarkan prioritas. Prioritas utama adalah melaksanakan perintah. Bila LAI tidak menerima perintah, maka dia akan menjalankan prioritas kedua, melakukan apa yang paling diingikan inangnya. Sebelum Satrio dikuasai LAI, aku pernah menanyakan hal apa yang paling dia inginkan. Satrio menjawab persis seperti yang diucapkan Antony.”

    “Maksud kalian,” ujar Profesor Ryan. “Satrio bermaksud membuat anak buah yang banyak dengan cara menularkan LAI ke orang lain. Lalu, supaya tidak ada anak buahnya yang berhianat, AERIOS memberi jaminan dengan memerintahkan semua anak buahnya akan mati bila Satrio sudah mati. Benar begitu? Berarti Satrio benar-benar harus dibunuh!”

    Mata Profesor Ryan menatap tajam pada Ken. Lelaki gempal itu sudah mempersiapkan argumen balasan bila Ken menolak. Ternyata Ken tidak mengungkapkan penolakan. Meskipun bertentangan dengan nuraninya, tapi Ken tidak bisa menemukan pembelaan untuk Satrio.

    “Aku mungkin tidak sejenius kalian,” suara keras Letjen Steven tiba-tiba terdengar. “Tapi dari pembicaraan kalian, aku berkesimpulan Satrio akan mencari korban lain. Apa benar?”

    Tiga ilmuwan mengangguk bersamaan. Letjen Steven mengumpat seraya mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia menghubungi markas angkatan darat, memberi beberapa perintah. Tapi sepertinya semua tidak berjalan mulus seperti yang diinginkan perwira tinggi itu. Belum juga memutus telepon, Letjen Steven sudah kembali mengumpat sambil membanting ponselnya ke lantai.

    “Birokrasi!” serunya. “Padahal di luar sana seorang pembunuh sedang mencari mangsa, tapi bantuan keamanan belum bisa diturunkan karena harus mengurus ijin dulu! Apa para pejabat itu tidak pernah berpikir kalau penjahat tidak pernah mengurus ijin untuk berbuat kriminal!”

    “Kita hanya perlu menemukan Satrio kemudian membunuhnya, bukan?” kata Profesor Ryan. “Untuk membunuh satu orang yang tidak bersenjata seharusnya tidak dibutuhkan banyak personil.”

    “Apa profesor lupa, Satrio, meski sendirian, dia bisa menembus keamanan di gedung PPTM,” balas Antony. “Ditambah lagi, kita tidak tahu apa yang sekarang sedang dilakukan Satrio. Mungkin saja selama kita berbicara di sini, Satrio sudah menularkan LAI ke orang-orang.”

    Laboratorium itu menjadi sunyi. Imajinasi dalam berbagai versi tergambar di benak mereka, membayangkan Satrio dan anak buahnya sedang menyerang kota. Seperti di film-film, para zombie sedang memburu manusia untuk ditulari virus. Sayangnya, kenyataan lebih buruk daripada di film. Bila di film, zombie-zombie itu terlihat idiot dan mudah dibunuh, di kenyataan, Satrio memiliki kekuatan supernatural. Ditambah lagi, zombie yang mereka hadapi saat ini memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi, membuat makhluk itu sulit dibunuh.

    Letjen Steven menghampiri Anna. “Sebagai pembuat kecerdasan pada LAI, nyonya pasti memiliki dugaan langkah-langkah yang akan dilakukan Satrio. Atau setidaknya anda bisa mencarikan ide supaya kita bisa membunuh mayat-mayat hidup itu dengan mudah. Akan sangat sulit bila harus memenggal mereka satu per satu.”

    Anna diam, matanya melirik Ken sesaat. Meski tidak mengucapkan apa-apa, Ken tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh istrinya. Wanita itu sedang berusaha tegar dihadapan orang lain.

    “Kau benar, aku tahu cara yang lebih mudah,” jawab Anna, tapi wanita itu tidak memandang Letjen Steven. Ia melihat makhluk yang sedang duduk di dekat kaki perwira tinggi itu.

    Letjen Steven mengikuti arah pandangan Anna. Ia terkejut saat melihat Ed ada di sebelahnya. Mata hewan itu melihatnya, di mulut Ed terselip ponsel yang tadi dibanting.
    “Apa-apaan binatang ini!” seru perwira tinggi itu.

    Anna tersenyum samar, “Dia diprogram untuk mengembalikan barang milik orang lain yang tertinggal. Kau membanting benda itu ke lantai, lalu berjalan meninggalkannya. Ed berpikir bahwa kau menjatuhkan benda itu.”

    “Nyonya, tolong jangan main-main. Kita sedang diburu waktu. Pemikiran anda sangat kami butuhkan sekarang.”

    “Aku tidak main-main,” balas Anna seraya mengambil ponsel di mulut Ed. “Maksudku melirik Ed bukan memberitahu tentang ponselmu setelah dibanting, tapi karena jawabannya adalah Ed. Bila kita bisa memasukkan EDWARD ke tubuh orang-orang yang terinfeksi AERIOS, maka kita bisa mengendalikan mereka, seperti yang kulakukan pada Danu. Dengan begitu kita bisa dengan mudah membunuh orang-orang itu.”

    Ide yang seharusnya sudah bisa disadari sejak awal, tapi ternyata tidak ada yang berpikir demikian hingga Anna mengatakannya. Terlalu banyak yang terjadi, membuat mereka sulit berpikir jernih.

    “Benar,” Antony menanggapi. “Dibandingkan harus memenggal, akan lebih mudah memberi injeksi ke mereka. Kita juga bisa menggunakan senapan bius, jadi bisa dilakukan dari jarak yang cukup jauh.”

    “Kita tidak bisa lebih lama lagi di sini,” suara Karin menyela.

    Semua melihat polisi wanita yang sedang membaca sesuatu di ponselnya. Tanpa ditunjukkan oleh Karin, semua sudah tahu apa yang ditampilkan di layar ponsel itu.

    “Berapa orang?” tanya Letjen Steven.

    “Empat. Baru itu laporan yang masuk.”

    Meski sudah bisa diduga, tapi tetap menimbulkan kengerian. Kurang dari tiga jam, empat bukanlah jumlah yang sedikit. Selain itu empat hanyalah laporan yang masuk, entah sudah berapa korban AERIOS sebenarnya.

    “Di mana saja?” Letjen Steven bertanya lagi.

    “Masih di area yang sama. Sekitar Petamburan dan Jatibaru.”

    “Kita tidak bisa menunggu bantuan, terpaksa bergerak dengan pasukan seadanya. Kalian siapkan EDWARD supaya bisa kami gunakan,” tegas Letjen Steven pada Ken dan dua ilmuwan lainnya. “Aku akan menunggu kalian sambil mengawasi keadaan dari jembatan layang Jatibaru.”

    Setelah memberi perintah, perwira tinggi itu mengajak anak buahnya segera bergegas. Lalu terdengar suara sirene tanda mereka mulai meninggalkan rumah Ken.

    “Kita harus membawa hewan ini ke PPTM,” ujar Profesor Ryan.

    “Aku tahu,” jawab Anna, sekali lagi wanita itu melirik Ken sesaat lalu mulai memberi perintah pada Ed.

    Sikap Anna terlihat wajar bagi orang lain, tapi tidak untuk Ken. Ilmuwan itu tahu bahwa istrinya sedang menangis di dalam hati. Menggunakan EDWARD supaya bisa membunuh Satrio sama saja dengan membunuh EDWARD, berarti juga membunuh Ed. Hewan kesayangan yang bahkan kematiannya empat tahun lalu tidak bisa diterima oleh Anna. Kini wanita itu harus membiarkan Ed mati, bukan hanya itu, ia juga harus membunuh hewan itu dengan tangannya sendiri.

    Anna selesai memberi perintah, Ed langsung tergeletak tidur di dekat kaki Antony. Ken segera menghampiri dan mengangkat hewan itu.

    “Aku dan Anna akan menyusul,” kata Ken pada yang lain. “Kalian bisa siapkan alat-alatnya dulu di sana.”

    Semua mulai membubarkan diri, kecuali Antony. “Kalian tidak butuh bantuan?”

    Ken menggeleng. “Kami hanya perlu menyiapkan laptop dan chip Edward. Kau duluan saja.”

    Antony mengangguk lalu menyusul yang lain.

    “An,” panggil Ken saat para tamunya sudah pergi.

    “Apa aku melakukan kesalahan?” renung Anna. Suara wanita itu bergetar, menahan tangis agar kata-katanya bisa didengar jelas oleh Ken. “Menggunakan teknologi dan akal untuk menghidupkan yang sudah mati. Apa itu salah? Bila memang salah, kenapa Tuhan mengijinkan manusia mengembangkan teknologi? Kenapa Tuhan memberikan akal pada manusia?”

    Wanita itu sudah tidak sanggup menahan air matanya. Ia mulai terisak dan membiarkan pipinya basah. Saat ini Ed memang masih tertidur, tapi hidupnya hanya tinggal menghitung jam sebelum berakhir.

    Ken melihat Ed, wajah hewan itu terlihat damai dalam gendongannya. “Aku tidak melihat ada yang salah. Tuhan mengijinkan karena ada kebaikan di dalamnya. Hanya saja, selama ini kita membohongi diri sendiri, meyakinkan diri bahwa Ed benar-benar hidup padahal dia tidak berbeda dari mayat hidup.”

    “Ya, kau benar,” kata wanita itu hampir seperti berbisik. Tangan-tangan Anna mulai merapikan laptop, meski pandangan matanya menerawang entah ke mana.

    Ken sadar, kesedihan yang ia alami bersama istrinya adalah hukuman atas kebodohan mereka. Meski begitu, dalam hati Ken masih berharap bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Ed. Ya, semua itu tidak mustahil. Ada satu pertanyaan yang berputar di kepala Ken sejak melihat rekaman kegiatan Satrio pagi tadi. Ia yakin bahwa jawaban pertanyaan itu bisa menyelamatkan Ed.
     
  12. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    wis lama ra mampir (dah lama ga mampir; bs.Jawa yg sptnya kelas bwh hahahaha)

    hmmm, keren as usual ni Bubu-sannn, saya sih udah stuck di bidang fic (lagi) ;_;

    jd saya main2 saja huhuhuhuhu...
     
  13. Seven_sideS M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jan 19, 2014
    Messages:
    258
    Trophy Points:
    17
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +140 / -0
    ahahahha saya menanti kedatangan ficnya temtembubutemtembubu -san ni... sudah iseng2 online lg saya sekarang hihihihih
     
    • Thanks Thanks x 1
  14. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    maaf2, blm sempet post lagi. sudah hampir kelar sih
    nanti klo kesibukan yg sekarang uda berkurang saya usahain mulai update lagi :maaf:
     
  15. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Reopen by TS request :siul:
     
    • Thanks Thanks x 1
  16. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    BAB -=7=-
    Anna
    Lanjutannya setelah beberapa tahun absen, semoga berkenan :maaf:
    “Dari mana Satrio bisa tahu tempat chip AERIOS disimpan?”

    Aku terkejut mendengar kalimat itu. Refleks kupalingkan pandangan ke Ken yang sedang mengemudi. Dia benar, sewajarnya tidak mungkin ada anggota peneliti yang memberitahu di mana chip itu disimpan ke Satrio, tempat penyimpanan benda seperti itu pasti sangat rahasia.

    Dari cerita mereka, pagi tadi Satrio sendirian berjalan menuju laboratorium tanpa tersesat lalu merusak laci tempat chip di simpan. Semua hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah tahu tempat. Aku yakin Ken tidak mengatakan pertanyaan itu ke yang lain, karena mungkin ada orang dalam yang harusnya bertanggung jawab atas masalah ini.

    “Maksudmu, ada seseorang yang memberi tahu satrio? Atau…” sejujurnya aku sangat ragu mengatakannya, tapi sepertinya kemungkinan kedua ini lebih masuk akal. “Seseorang memerintahkan Satrio berjalan ke sana?”

    “Berjalan. Ungkapan yang lebih cocok. Jadi sebenarnya chip itu disimpan oleh seseorang, lalu orang itu memerintahkan Satrio ke sana supaya seolah-olah Satrio yang mengambil. Tapi kita tidak bisa melupakan Silvia, dia tidak memberi laporan chip itu hilang. Atau mungkin…”

    Sudah berlalu beberapa detik, Ken masih belum melanjutkan kalimatnya. Bagian ini yang paling kubenci. Bila mendapat pemikiran bagus, Ken akan langsung tenggelam ke dunia antah-berantah sampai lupa melanjutkan kalimatnya.

    “Atau apa?” tanyaku dengan suara sedikit keras untuk mengembalikan Ken ke dunia nyata.

    “Seseorang membawa chip itu dengan seijin Silvia.”

    Benar juga, cara sederhana dan masuk akal. Jadi wajar kalau Silvia tidak memberi laporan chip itu hilang. “Lalu untuk menutup mulut Silvia, si pelaku membunuhnya?”

    Ken masih melihat jalan di depan, tapi dia mengangguk tanda setuju. “Orang yang bisa meminjam chip itu sudah pasti memiliki hubungan dengan project ini dan berkedudukan tinggi, tidak mungkin Silvia akan memberi ijin pada petugas biasa.”

    “Jadi, kemungkinannya berapa orang?”

    “Tiga. Profesor Ryan, Antony, Letjen Steven. Kita juga masih bisa mempersempit pencarian. Supaya bisa meminjam chip itu tanpa diketahui yang lain selain Silvia, orang itu harus meminta ijin di luar jam kerja. Orang-orang pasti sudah pulang, hanya tersisa petugas jaga yang tidak tahu tentang chip itu.”

    “Jadi kita tinggal mencari tahu apa saja yang mereka lakukan kemarin malam.”

    “Antony terus bersamaku. Dia juga menginap di rumah. Kalau Profesor Ryan dan Letjen Steven, aku tidak tahu apa yang mereka lakukan kemarin malam.”

    Iya. Antony juga tidak membawa mobil. Sepertinya agak sulit bila dia tengah malam pergi ke PPTM dengan angkutan umum atau taksi. Ditambah lagi dia harus keluar rumah tanpa sepengetahuan yang lain, dan mustahil Ed tidak menyadari ada orang keluar rumah malam-malam. Jadi bisa dibilang dari tiga orang itu hanya Antony yang paling bersih.

    “Menurutmu, kenapa seseorang harus repot-repot melakukan hal seperti ini?”

    “Entah.”

    Jawaban sangat singkat dari Ken. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Ya, sama sepertiku. Sedih dan sakit rasanya. Menciptakan aplikasi yang bisa membuat makhluk mati jadi terlihat seperti hidup, bukan maksud kami untuk membuat pasukan zombie yang mencabut nyawa manusia. Kenyataan ini terlalu menyakitkan untukku dan pasti Ken juga merasakannya.

    Bila benar seseorang sengaja mencuri chip itu dan melakukan ini semua, apa yang dia inginkan? Menguasai dunia seperti motif-motif konyol para penjahat di cerita fiksi? Atau sekadar iseng yang tak terbendung? Bukankah seharusnya semua manusia memiliki perasaan? Jadi kenapa orang itu tega melihat banyak orang mati karena ulahnya?

    “Ken.” Aku benar-benar ingin marah, tapi tak bisa karena aku juga punya bagian dari bencana ini. “Kita akan menemukan pelakunya, bukan?”

    “Ya. Setiap manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tidak akan membiarkan si pencuri lolos.”

    Terimakasih. Sayangnya aku tidak bisa mengucapkan itu terang-terangan, tapi aku yakin Ken tahu apa yang kupikirkan. Dia selalu tahu. Jawaban itu membuatku sedikit tenang. Hanya dengan mendapatkan chip itu kembali adalah satu-satunya cara supaya Ed tidak perlu dikorbankan. Ingin sekali aku menoleh kebelakang, melihat Ed yang tengah berbaring tidur. Tapi kuurungkan niat itu, aku pasti akan menangis melihatnya.

    Gedung BPPT sudah terlihat. Tidak memakan waktu lama untuk perjalanan kami karena para polisi sudah menghalau mobil lain untuk memberikan jalan. Jadi kami terhindar dari macet. Gedung itu tidak menyeramkan. Tapi bila berpikir bahwa mungkin saja nyawa Ed akan berakhir dalam gedung ini, aku jadi takut untuk memasukinya.
    Ken memarkir mobil di basement, dia segera keluar dan membuka pintu kursi penumpang untuk mengambil Ed. Masih di dalam mobil, aku menarik napas panjang berusaha terlihat setegar mungkin sebelum keluar dari mobil. Sambil menggendong Ed, Ken menunjukkan jalan menuju elevator. Pintu elevator terbuka, sekali lagi aku menarik napas dalam-dalam sebelum melewati pintu elevator.

    Setelah melewati beberapa aula dan lorong, kini ruangan serba putih menyambutku. Mirip seperti tempat-tempat penelitian di televisi. Sarang dari orang-orang jenius yang sering membuat masalah. Para ilmuwan membuat eksperimen dan gagal, lalu berujung pada pemusnahan manusia secara masal. Hampir sama dengan yang kualami sekarang, dan dengan sedih harus kuakui bahwa kali ini aku adalah bagian dari para pembuat masalah, jadi sudah sepantasnya aku berada di sini.

    Aku mulai melangkah memasuki laboratorium tak berpintu. Tanpa ada yang memberitahu pun sudah bisa ditebak bahwa di ruangan inilah seharusnya chip AERIOS disimpan. Antony dan Si Tua Gendut sudah menunggu kami. Banyak peralatan yang terlihat familiar tapi tidak kuingat namanya, sudah siap di atas meja putih di tengah ruangan.

    Ken memberi isyarat supaya aku menghidupkan laptop. Jadi kulakukan apa yang dia minta. Kuletakkan laptop di meja putih yang kosong, lalu mulai bekerja. Kuketikkan perintah seperti yang dilakukan AERIOS, memerintahkan semua makhluk yang terinfeksi EDWARD akan mati bila Ed mati. Tapi ada sedikit perbedaan.

    Aku melihat Ken dan yang lain. “Setiap makhluk yang terinfeksi EDWARD akan langsung tertidur sampai saat Ed diperintahkan untuk mati.”

    Mereka mengangguk setuju. Lalu tanpa bicara mulai mengambil alat-alat dan bekerja. Aku melihat mereka berkali-kali mengambil darah Ed. Setelah itu aku bosan bila hanya memperhatikan orang lain bekerja jadi kuarahkan mataku pada hal-hal lain.

    Di ruangan ini banyak sekali benda yang sebenarnya ingin sekali kuutik-utik. Hampir semua sisi tembok ruangan ini diselimuti oleh laci-laci dengan kode pengaman. Sebuah laci dengan pintu terbuka dan penyok, sangat menyita perhatianku. Pasti itu laci tempat menyimpan chip yang mereka ceritakan tadi siang.

    “Seharusnya segini sudah cukup,” suara profesor gendut terdengar.

    Aku kembali memperhatikan mereka. Profesor itu tengah menutup sebuah kopor hitam, di sebelahnya tergeletak dua kopor yang sama dalam keadaan tertutup.

    “Aku dan Antony akan ke jembatan layang Jati Baru. Di sana Letjen Steven sudah menunggu,” lanjut profesor, berbicara pada Ken. “Kau dan istrimu tunggu di sini, bila Satrio sudah terinjeksi kami akan mengabari.”

    “Perintah untuk membunuh Ed sudah kumasukkan di komputer itu,” sambung Antony sambil mengarahkan telunjuknya ke tombol merah di samping rajang tempat Ed terbaring. “Berikut dengan peringatan bila Satrio sudah berhasil dikuasai EDWARD. Kalian hanya perlu menekan tombol merah itu.”

    Harus kuakui, dari dulu aku tidak pernah suka warna merah. Ditambah lagi setelah kejadian ini. Sepertinya aku memang ditakdirkan menjadi musuh warna pemberani itu.

    Ken mengangguk mengerti, lalu profesor tua dan Antony pergi bersama tiga kopor hitam. Sekarang hanya tinggal aku dan Ken di ruangan ini. Tidak dapat berkata apa-apa. Ken duduk di salah satu kursi di sisi meja tempat mereka bekerja tadi. Sedangkan aku hanya ingin bersama Ed menjelang akhir hidupnya.

    Sepertinya sudah tidak mungkin menyelamarkan Ed. Meski kami tahu bahwa ada orang lain yang menjadi dalang dari musibah ini, tapi tidak ada yang bisa kami lakukan untuk mencari pelakunya. Waktu terlalu singkat. Bila aku dan Ken mengatakan kecurigaan kami, mungkin malah akan terjadi keributan sementara Satrio di luar sana akan terus mencari korban berikutnya.

    Seandainya saja ada satu cara untuk mencari petunjuk lain. Tapi apa? Aku tidak bisa memikirkan cara apa pun. Semua jalan seperti tertutup.

    Aku menghela napas. Mungkin sebaiknya pasrah untuk saat ini. Menyelamatkan Ed sudah hampir mustahil. Memikirkan bahwa bisa menyelamatkan Ed malah membuatku semakin kesal pada diri sendiri. Ya, Ed sudah mati empat tahun yang lalu. Tidak ada yang perlu diselamatkan lagi.

    Kuulurkan tangan merahin rambut-rambut sewarna tembaga Ed. Masih terasa lembut, sangat lembut untuk menjadi milik seekor mayat hidup. Aku mulai membelainya dari kepala, moncong, dan giginya yang selalu bersih, juga…

    Ternyata tidak selalu bersih. Ada sesuatu terselip di antara giginya. Benda kecil hampir seukuran kuku, tipis, dan berwarna hijau. Kuambil benda itu, sepertinya tidak asing. Sepintas seperti memory card untuk ponsel. Tapi berwarna hijau? Pengamatanku terhenti, mataku terbelalak karena akhirnya mengenali benda itu. Chip hijau dengan tulisan berwarna emas 4312105.

    “Ken! Ini…” hampir sudah tak bisa mengatur tubuhku, tanganku memegang chip dan bergetar dengan sendirinya.

    Ken melihat benda itu, tidak terkejut atau senang, melainkan bertanya-tanya. Mungkin dia bingung karena perubahan sikapku yang tiba-tiba.

    “Aku yakin ini chip AERIOS!” seruku seraya tak sabar memasukkan benda itu ke laptop.

    “Dari mana kamu dapat itu?”

    “Ed. Benda ini terselip di mulutnya.”

    Aku sangat yakin chip itu sudah masuk dengan benar di memory reader, tapi kenapa laptop-ku tidak menunjukkan respon apa-apa? Ku keluarkan chip itu lalu menggosok-gosokkan ke pakaian untuk membersihkan sebelum mencoba lagi, tapi hasilnya tetap sama.

    “Kenapa?” Ken tiba-tiba sudah berada di sampingku.

    “Chip ini tidak bisa dideteksi.” Kukeluarkan lagi benda itu dan menunjukkannya pada Ken. Mustahil bila chip itu rusak. Aku yakin sudah membuat chip itu tahan air, kecuali bila Ed mengunyahnya. Tapi tidak ada tanda-tanda Ed melakukan itu.

    Ken mengambil lalu mengamati chip itu. Seperti menyadari sesuatu, raut wajah Ken terlihat berubah.

    “An,” katanya cepat-cepat. “Kamu tetap di sini. Aku harus pergi ke tepat mereka.

    Setelah berkata begitu, Ken segera berlari meninggalkan ruangan bersama dengan chip itu.

    “Untuk apa?” teriakku.

    “Menangkap si Pelaku,” jawab Ken sebelum sosoknya tak terlihat lagi.
     
  17. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Komentar dulu ya:ehem:

    Ceritanya agak mirip cerita resident evil hanya dengan pengurangan alur pertarungan. Ceritanya thriller bisa membawa nuansa yang cukup menakutkan. Sip untuk ceritanya :peace:
     
    • Thanks Thanks x 1
  18. temtembubu M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 8, 2010
    Messages:
    598
    Trophy Points:
    111
    Ratings:
    +1,934 / -3
    makasih udah mau baca and tinggalin jejak :hihi:
    etoooo... sebenernya gw pengen mengutamakan misteri daripada thriller nya, tapi yang berasa malah thriler:shock1:
    buat ceritanya memang terinpirasi dari resident evil :malu
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.