1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Kupu-kupu Kawat

Discussion in 'Motivasi & Inspirasi' started by kiefs, Jul 22, 2010.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. kiefs M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Jun 8, 2009
    Messages:
    1,192
    Trophy Points:
    131
    Ratings:
    +747 / -0
    Gadis kecil itu bernama Nirina. Usianya mungkin 8 atau 9 tahun. Wajahnya , putih kepucatan, dengan tatap mata yang sayup. Tetapi, ia suka tersenyum. Dan ketika itu, tatapannya jadi berbinar seperti matahari di cerah pagi hari. Ia duduk di kursi roda yang dapat dilipat, yang disepuh krom mengilat, dengan tempat duduk kulit yang dilapis sebantal tipis. Sepasang kakinya kecil, dan lumpuh. Kata dokter, ia mengidap polio. Sudah berbilang tahun.

    Setiap pagi hari, setelah dimandikan suster dan sarapan, Nirina suka duduk sendirian di taman. Ia menyenangi taman di depan rumah yang cukup besar itu. Meski taman itu sendiri tidak luas, tetapi di sana Nirina merasa teduh, dinaungi dedaunan sebatang pohon ketapang bujang, dan ditemani berbagai macam tumbuhan bebungaan. Di sanalah ia suka bercengkerama dengan mereka, dedaunan dan bebungaan, kumbang dan kupu-kupu, serta kekadang lebah dan belalang.
    Kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau terbang,
    tidakkah sayapmu, merasa lelah.
    Lihatlah, kupu-kupu itu terbang kian kemari.
    Mengepak-ngepakkan sayapnya bagai menari-nari.
    Sebentar terbang rendah, sebentar terbang tinggi.
    Sayap-sayapnya berkilauan, di latar dedaunan selepas hujan, serta pelangi sesayup pandangan.
    Hendak ke manakah engkau gerangan?


    Belakangan ini Nirina paling suka melihat kupu-kupu itu; entah kenapa. Entah karena warnanya cantik, kuning jingga dengan tepi disaput coklat muda; dan terlebih ada rona sepasang mata coklat tua kehitaman di sepasang sayapnya. Entah karena terbangnya lincah namun gemulai bagai menari-nari di angkasa. Entah karena kupu-kupu itu lebih jinak daripada lainnya, karena ia suka terbang di dekat-dekat Nirina. Entahlah. Yang jelas, menurut pengakuan gadis kecil itu, ia merasa kupu-kupu itu seperti adiknya sendiri.

    “ Karena aku melihatnya lahir.” akunya suatu kali.

    “Nina melihat kupu-kupu itu lahir? Kapan?”

    “ Tiga hari yang lalu.”

    “ Bagaimana dia lahir?”

    “ Dia keluar dari gulungan daun yang lebar itu. Apakah kupu-kupu anaknya daun? Pantas saja sayapnya lebar-lebar seperti daun.”

    “ Kupu-kupu bukan anaknya daun. Daun bergulung itu kadang-kadang tempatnya kepompong. Orangtua kupu-kupu ya kupu-kupu juga.”

    “ Kepompong itu apa?”

    “ Kepompong itu adalah kupu-kupu yang sedang dieram.”

    “ Oo, jadi seperti ayam, dong. Jadi di dalamnya ada telur?”

    “ Ng “, bukan. Tapi ulat.”

    “ Ulat? Hii “. Kok ulat? Bukan telur?”

    “ Ng “, iya. Tadinya sih sebelum jadi ulat juga pada mulanya sebutir telur; tapi keciiil sekali. Setelah jadi ulat, dia makan daun sepuas-puasnya sampai gemuk. Nah, setelah itu baru bikin kulit kepompong dari air liurnya, kadang-kadang bergulung di dalam gulungan daun cukup lebar. Itu nantinya rumah tempat kepompong mengeram diri di dalamnya, biar hangat, supaya bisa berubah jadi kupu-kupu cantik nantinya.”

    Tapi, mendengar uraian panjang-lebar itu, Nirina tampak melongo. Entah takjub, entah heran, entah tak . Ia kemudian berkomentar ringkas,

    “ Kok susah ya mau jadi kupu-kupu?” yang lalu dilanjutkannya dengan pertanyaan, “Lantas, bapak-ibunya ke mana?”

    “ Ya, bapak-ibunya setelah bertelur, terus pergi.”

    Nirina lalu tampak terdiam. Wajahnya pun berubah murung.

    “ Seperti papa dan mama Nina, ya.”

    Papa dan mama Nirina sepasang orangtua yang sibuk. Mereka jarang ada di rumah. Papanya Nirina seorang arsitek, dan karena itu ia sering bertugas keluar daerah mengunjungi proyek-proyek tempatnya bekerja. Kalau pun ada sesekali ia berhehari di rumah, ia tetap bekerja dengan komputernya, atau paling tidak di depan meja-gambarnya. Mamanya Nirina lain lagi. Dia tamatan sebuah akademi bahasa asing, dan karena itu dia kemudian mengajar di beberapa tempat kursus. Sebenarnya pekerjaannya itu tidaklah cukup menyita waktu, tapi kemudian sang mama melanjutkannya arisan bersama temannya sembari berdagang beberapa produk berjaringan. Karena itulah dia juga tak jarang akhirnya pulang malam.

    Entahlah, bagi Nirina, apakah itu semua benar kondisi yang memaksa bagi mereka, atau mereka sendiri memaksakan diri? Tentu Nirina sendiri tidak mengerti hal semacam itu. Yang jelas, bertahun belakangan ini Nina sering merasa sepi. Sejak ia mengenal arti pergi. Sejak ia dapat merasa seperti ada sesuatu tak dapat pulang kembali.

    “ Kamu harusnya lebih memperhatikan Nina.”

    “ Papa juga, dong. Jangan semua ditimpa sama mama saja.”

    “ Papa “˜kan banyak kerjaan, belum lagi harus sering keluar daerah.”

    “ Itu dia, alasan saja “˜kan? Sebenarnya papa mau menghindar “˜kan?”

    “ Menghindar apanya; memang pekerjaan papa yang menuntut demikian.”

    “ Mama juga sibuk, bukan papa doang.”

    “ Sibuk apaan! Cuma arisan, keluyuran, terus ke mall!”

    “Enak saja! Papa pikir kerjaanku cuma keluyuran? Kalau aku enggak ikut kerja, dari mana duit buat berobat Nina, coba. Dari mana aku bisa beli gelang dan perhiasan-perhiasan ini, coba. Menunggu dari kamu? Enggak bakalan. Aku sudah capek! Aku heran, katanya arsitek, katanya sering tugas keluar kota; tapi kok masih kere. Pada ke mana duit yang kamu dapet?!”

    Nirina tidak jarang mendengar percakapan papa dan mamanya dalam nada tinggi dan kadang melengking seperti itu. Kadangkala terdengar seperti bunyi gedombrangan semacam benda yang jatuh atau mungkin pecah. Entah di kamar tidur, entah di ruang makan, entah di ruang tengah, kadang di ruang tamu, atau bahkan di garasi. Sesungguhnya Nina tidak begitu mengerti apa mereka bicarakan sambil bersitegang seperti itu; Nina merasa sedikit-banyak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Hampir di setiap mendengar percakapan semacam itu, Nina selalu ingin berkata papa dan mama tidak usah terlalu mencemaskan dirinya. Dia tidak apa-apa, kok. Dia mendukung bahkan bangga dengan kesibukan papa dan mamanya itu, karena dengan itulah mereka nanti mendapatkan uang membeli makanan, biaya berobat, untuk guru Nina, untuk biaya suster, membeli boneka dan mainan, membeli kalung mama, untuk papa main golf, dan sesekali biaya mereka jalan-jalan. Memang Nina selalu merasa sepi ditinggal sendiri, tetapi lama kelamaan Nina telah mulai belajar menyibukkan diri. Tetapi gadis kecil itu selalu merasa tidak punya kesempatan. Pada waktu-waktu seperti itu, ia tidak boleh keluar dari kamarnya.

    Tetapi sore itu gadis kecil itu bersedih. Di pangkuannya tergeletak kupu-kupu itu.

    “ Kenapa kupu-kupu itu, Nina?”

    “ Sayapnya patah.” jawab sebutir kristal cair menggelinding dari sudut matanya. “Tadi ada orang rame-rame di jalan sana, berteriak-teriak ribut, bunyi letusan, orang-orang berlarian, dan kupu-kupu ini terinjak oleh orangbersepatu bot.”

    “ Ada demonstrasi?”

    Gadis kecil itu mengangguk; ia sudah cukup tahu maksud kata itu; terimakasih kepada televisi. Belakangan ini jalanan di depan rumah ini memang sering dilalui orang ramai berdemonstrasi karena dari sini mudah untuk mencapai beberapa tempat penting di kota ini. Mahasiswa, buruh, petani, nelayan, karyawan; semua. Mereka berbebondong datang di pagi menjelang siang, lalu tidak jarang sore jadi tempat lewat pelarian; lari ketika kemudian mereka dikekejar aparat kesetanan. Kadang malah ada bersembunyi ke dalam taman ini. Bermacam-ragam tingkah-laku mereka ketika lewat. Spanduk lebar dengan berbagai macam tulisan, sudah pasti tidak ketinggalan. Yel-yel memekakkan, tali plastik pembatas barisan, serta tak jarang sembari membawa peralatan semisal jerigen dan panci dan wajan, serta aksi-aksi serupa teaterikal para dramawan. Dalam banyak kesempatan, keramaian itu memang dapat jadi pemandangan menggairahkan, meski lelama juga akhirnya menimbulkan kebosanan; dan ketakutan ini dikuatirkan mamanya gadis kecil itu. Karena itulah mamanya sering berpesan bila ada demonstran, Nina harus dibawa masuk. Tetapi, hari itu agaknya tidak ada yang memperhatikan, sehingga ketika terjadi keramaian seperti itu tidak ada membawa Nina masuk kembali ke dalam rumah (“˜Suster itu?”, mungkin begitu tanyamu; kebetulan ketika peristiwa itu terjadi sedang berada di dalam kakus, sedang mules sakit perut sehingga dia cukup lama berada di sana; dan kebetulan pula Bi Ijah sang pembantu sedang belanja ke warung Bang Rohim berjarak sekitar 320 meter dari rumah itu. “˜Serangkaian kebetulan sungguh mengherankan”, komentarmu sembari tersenyum miring).

    Sampai kemudian ada kupu-kupu di pangkuan gadis kecil itu.

    “Bagaimana kupu-kupu itu sampai berada di pangkuanmu?”

    “Diterbangkan angin.”

    “Kupu-kupu malang (dalam ngiang “˜kupu-kupu yang lucu”™). Lihatlah, sepasang sayapnya patah, sebagiannya remuk; tapi dia masih hidup, tapi dia tidak akan bisa terbang lagi. Kalau sudah begitu, dia tak akan bisa bertahan lama, dia akan segera mati, Nina.”

    “ Tapi, aku tidak ingin kupu-kupu itu mati. Dia baru berumur lima hari.”

    “ Tapi, kupu-kupu memang ditakdirkan berumur pendek, Nina. Dari beberapa jam, sampai beberapa hari; meski tanpa terinjak sepatu bot.”

    Gadis kecil itu terdiam. Guliran butiran bening sekarang menjadi anak sungai, turun lewat tebing-tebing landai, tapi mengering di ujung dagu.

    “ Kupu-kupu ini jadi seperti Nina, ya? Dia pun jadi lumpuh, tanpa sepasang sayap yang utuh. Apakah Nina akan berumur pendek juga, seperti kupu-kupu ini?”

    “ Tentu saja tidak, Nina!” terkejut, mendapatkan analogi Nina tentang dirinya dan kupu-kupu itu. “Kamu akan berumur panjang, dan kelak pasti akan sehat kembali. Kamu kelak akan dapat berjalan-jalan, ke mana pun kamu ingin pergi. Kamu kelak pasti akan dapat menari, bahkan berlari. Kamu bukan kupu-kupu, Nina; kamu adalah anak manusia yang ditakdirkan berumur panjang, bertahun-tahun yang lama.”

    “ Apakah sayap kupu-kupu ini dapat tumbuh lagi?”

    “ Tumbuh lagi? Rasanya tidak, Nina. Sayangnya tidak.”

    “ Kalau begitu, Nina juga begitu “˜kan?”

    “ Begitu bagaimana?”

    “ Kaki Nina tidak akan dapat tumbuh lagi, “˜kan?”

    Terdiam.

    “ Tetapi, Nina, kita manusia harus selalu berusaha. Wajib. Kita tak boleh mengalah pada keadaan yang membelenggu kita. Kita harus melawannya, mengalahkannya. Bukankah kamu juga begitu? Sekarang kamu sudah mulai berlatih berjalan dengan menggunakan kerangka penopang kaki itu; itu adalah bentuk perlawanan kamu, Nina. Kalau kamu terus berani melawan belenggu itu, kelak kamu pasti akan sehat kembali; dapat berjalan, menari, dan berlari.”

    Tetiba bibir gadis kecil itu tersenyum, perlahan.

    “Kalau begitu, kupu-kupu ini pasti juga bisa, bukan?”

    “Apa maksud kamu, Nina?”

    “Aku tahu, kupu-kupu ini pasti bisa. Ya, pasti bisa; seperti Nina. Tolong dong ambilin kawat di dapur. Kawat yang paling halus, ya.”

    “ Untuk apa?”

    “ Ambilin aja, deh. Jangan lupa gunting dan lem sekalian.”

    Dan ketika kawat dan gunting itu sudah berada di pangkuannya, gadis kecil itu pun kemudian sibuklah. Dia menggunting kawat itu dua potong sejengkal, ditekuk-tekuknya, lalu diguntingnya pula rok yang sedang dikenakannya menjadi dua perca kecil, setelah itu mulailah dia merekatkan potongan kain itu pada kawat itu. Lalu diambilnya kupu-kupu itu dan sepasang sayapnya yang patah itu pun lalu dilumurinya dengan lem pada bagian bawahnya, dengan maksud nanti akan ditempelkannya kawat dan perca tadi; tetapi Nina baru tahu betapa rapuhnya sayap kupu-kupu ketika sepasang sayap itu justru luruh ketika diluluri lem. Tapi ia tampak tidak kehilangan akal, dengan gunting segera dipotongnya sepasang sayap kupu-kupu itu hingga hampir di pangkalnya, untuk kemudian ujung kawat kedua sayap buatan tadi memasing ditusukkannya pada sisi badan dekat pangkal sayap kupu-kupu itu. Sekilas kupu-kupu itu mengejang terkejut. Namun Nirina justru tersenyum, sekali ini tampak puas, mengira kupu-kupu itu merasa senang dengan sayapnya yang baru.

    “ Terbanglah, terbang.” katanya pada kupu-kupu itu sambil mengacung-acungkannya pada kedua telapak tangannya. “Kamu jangan menyerah kupu-kupuku. Terbanglah, terbang. Kamu harus berjuang; seperti aku.”

    Dan ajaibnya, kupu-kupu itu pun terbang! Bersama desir angin yang lewat, kupu-kupu itu terbang kian kemari, mengengepakkan sayapnya bagai menenari, sebentar terbang rendah sebentar terbang tinggi. Sesayapnya yang berlapis kawat dan potongan rok gadis kecil itu, berkilauan dilatar dedaunan selepas hujan, serta pelangi sesayup pandangan. Maka Nirina pun berteriak riang, bertepuk tangan dengan gembira, dan tanpa sadar menghehentakkan kedua kakinya. “ Hore! Hore!”

    Sejak kejadian itu, Nirina makin rajin saja pergi ke taman dan bermain dengan kupu-kupu itu. Tetapi kali ini ia selalu berusaha berjalan dengan kerangka penopang kaki, dibantu tongkat penyangga. Ia berusaha melupakan kursi roda itu. Ia ingin menunjukkan pada sang kupu-kupu, ia juga bisa; meskipun ia tidak pernah tahu kupu-kupu itu telah kuganti dengan yang baru. ***
     
    Last edited: Jul 22, 2010
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. subharkah M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 17, 2009
    Messages:
    256
    Trophy Points:
    37
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +281 / -0
    Wow... Nice Story...:siul:
    Kasihan banget tu adik kecil...
    Tapi bagus ma semangatnya dia...:top:
     
  4. benih M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 11, 2009
    Messages:
    482
    Trophy Points:
    141
    Ratings:
    +2,288 / -0
    nice story kk

    :top: banget
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.