1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Than A Tasteful Floccinaucinihilipilification, It's A Vengeful Cerulean

Discussion in 'Dear Diary' started by Banksy, Nov 5, 2016.

  1. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Muhammad Tidak Kuno

    Muhammad tidak pernah disebut “kuno”, meski kita punya Mercedes paling mutakhir, superkomputer, serta segala jenis teknologi yang paling dibangga-banggakan. Muhammad tidak pernah dikategorikan sebagai manusia masa silam dengan muatan nilai-nilai dekaden, meski kita telah memiliki apa pun yang melambangkan pencapaian-pencapaian kontemporer.

    Monggo Maiyahan, Mari Bermaiyah, Ayo Maiyahan!
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Sebab Hancurnya Bangsa

    Hancurnya bangsa tidak terutama terletak pada gagalnya manajemen pengelolaan negara, tidak pada kekayaan bumi rahmat Tuhan menjadi adzab bencana, tidak terletak pada budaya korupsi total, atau tidak pernah tercapainya harapan untuk masyarakat adil makmur. Itu semua hanya akibat. Karena sebab utamanya adalah manusia bangsa kita sudah tidak memiliki pagar yang jelas antara serius dengan main-main, antara baik dengan buruk, antara benar dengan salah, antara mulia dengan hina, antara malu dengan bangga.

    Monggo Maiyahan, Mari Bermaiyah, Ayo Maiyahan!
     
  4. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Dagang Informasi

    Orang terkesan seolah-olah informasi adalah urusan nilai, pengetahuan dan ilmu, padahal itu dagang. Memang tivi tidak bisa hidup kalau tidak sambi bakulan. Tapi kalau yang diperdagangkan adalah informasi, maka informasi harus disunat berdasarkan beberapa kepentingan. Salah satunya, kepentingan untuk memilih mana yang laku mana yang tidak laku. Akibatnya kehidupan yang diinformasikan menjadi tidak utuh. Ketidakutuhan informasi yang disuguhkan terus menerus akan melahirkan generasi yang disinformatif. Ilmu dan pengetahuannya seperti hantu pincang, hanya punya kaki satu, matanya pun sebelah, keputusan-keputusan hidupnya pun hanya pecahan-pecahan.

    Monggo Maiyahan, Mari Bermaiyah, Ayo Maiyahan!
     
  5. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Tidak Membandingkan Nasib

    Yang kaya tidak ada alasan untuk menyimpulkan ia lebih sukses dibanding yang miskin. Sebab hidup di dunia tidak ada kaitannya dengan pencapaian dunia. Yang berkarier memuncak dengan jabatan, pangkat, kemasyhuran dan harta benda, tidak perlu bodoh untuk menganggap yang lain yang tidak mencapai itu semua berada di bawahnya, di belakangnya atau di tempat lain yang marginal. Pun yang saleh alim khusyuk sangat religius ahli wirid pakar ibadah dan apapun, sama sekali dilarang dungu untuk merasa lebih mencapai keberhasilan dibanding yang lain.

    Monggo Maiyahan, Mari Bermaiyah, Ayo Maiyahan!
     
  6. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Doaku Dosaku

    Di sebuah forum salah seorang hadirin menggugatku dengan nada sangat keras dan geram.

    “Pada tahun 1994 Saudara menulis puisi yang berjudul ‘Doa Mohon Kutukan’. Anda sangat kejam dan mengambil keputusan yang sangat tidak masuk akal.”

    Karena mendadak, aku sangat panik dan langsung serasa ditimpa rasa bersalah yang mendalam.

    “Di mana-mana di segala zaman manusia itu kalau memohon kepada Tuhan ya rejeki, berkah atau kebahagiaan. Kok Anda memohon kutukan! Bagaimana nalarnya?”

    Aku yang memang seorang penakut jadi berkeringat dingin.

    “Andaikanpun yang Anda mohon itu kutukan kepada diri Anda sendiri, tetap tidak masuk akal bagi saya. Apalagi yang Anda lakukan ini menyangkut ratusan juta rakyat Indonesia yang hidupnya kebingungan tanpa ada ujungnya. Kita ini bangsa yang dahsyat sekarang menjadi konyol. Kita ini kumpulan manusia-manusia yang multitalent tapi sekarang serabutan mengerjakan hal-hal yang bertukar-tukar keahlian. Kita kaya raya tapi jadi pengemis. Kita bermental tangguh tapi sekarang cengeng dan terlalu mudah kagum sehingga gampang dikendalikan oleh orang lain. Ini semua gara-gara Anda memohon kutukan, dan sampai hari ini kita semua hidup remang-remang bahkan gelap pekat seperti terkurung di bawah kutukan langit….”

    Aku benar-benar merasa ambruk. Hatiku remuk redam. Aku berteriak-teriak, memekik-mekik sampai telingaku kaget sendiri, sehingga terbangun mendadak. Terbangun, meloncat dari ranjang, posisi berdiri dengan kuda-kuda silat, seolah-olah aku pernah tahu apa-apa tentang silat.

    ***

    Tentu saja aku tertawa geli sendiri menemukan diri berdiri dengan posisi yang tidak jelas apakah itu epigon Bruce Lee, Jacky Chan, Jet Lee, Uwais atau Wak Sampan pendekar Brudu. Untung tak ada siapapun ketika itu. Maka kutoyor kepalaku sendiri, kemudian langsung aku berlari ke kamar kerja, mencari puisi “Doa Mohon Kutukan”, yang ternyata tidak ada. Sungguh buruk dokumentasi hidupku. Pun tak terpikir untuk browsing, karena di samping aku tidak terbiasa dengan dunia internet, juga tidak pernah punya naluri untuk menyangka bahwa di dunia maya itu ada puisiku.

    Akhirnya setelah kuhubungi, seorang teman menolong memberi teks puisi 1994 terkutuk itu. Aku baca berulang-ulang sambil mengutuk diriku sendiri.

    Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat agar pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya.

    Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri.

    Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia, serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya menanam pohon-pohonMu yang baru.

    Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya ketulusan hati, kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia.

    Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini makanan bagai kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan, asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu.

    Jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah. Potonglah sepuluh batangku, kemudian tumbuhkan sepuluh berikutnya, seratus berikutnya, dan seribu berikutnya, sehingga lubuk jiwa beribu-ribu hambaMu menjadi terang benderang karena keikhlasan.

    Jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan dibutuhkan kekalahan para hambaMu yang lain, maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia menundukkan wajahnya di hadapanMu.

    Jika untuk mengusir muatan kedunguan di balik kepandaian hambaMu diperlukan kehancuran pada hambaMu yang lain, maka hancurkan dan permalukan aku, asalkan kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakir di hatinya.

    Jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya, maka sengsarakanlah aku.

    Jika jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku, maka unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku.

    Jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu adalah penyadaran akan kegelapan, maka gelapkan aku, demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu.

    Demi Engkau wahai Tuhan yang aku tiada kecuali karena kemauanMu, aku berikrar dengan sungguh-sungguh bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang kudambakan, bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan, serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang kuhauskan.

    Demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat, hidupku hanyalah tanpa henti memandangMu sampai kembali hakikat tiadaku.

    (1994)

    Pelan-pelan kubaca kembali, kupelajari lagi, kuselami hingga huruf demi huruf. Untuk menghormati orang yang memprotesku, kuletakkan diriku sebagai orang terkutuk yang membuat doa terkutuk.

    Di setiap awal langkah, apapun dalam kehidupan ini, yang kutuding dan kucari kesalahannya adalah diriku sendiri. Nanti pelan-pelan kurenungi Doa Mohon Kutukan itu. Tetapi dasar sikapku adalah bersiap mengakui bahwa doaku adalah dosaku.

    Dan akhirnya, dengan rasa sedih dan penuh keprihatinan, saya temukan betapa banyak kesalahan dan kebodohanku, namun sementara supaya aku kuat menanggung beban rasa dosaku: kuambil lima saja.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    1 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  7. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Belajar Alif Ba Ta Agamaku

    Ya Tuhan raja diraja semesta alam, inilah dosa-dosa dalam ‘Doa Mohon Kutukan’ ku. Jika berkat kemaha-dermawanan-Mu ada bagian dari ini semua yang Engkau tak anggap sebagai dosa, itu adalah bonus rizki dari-Mu. Tetapi demi menjaga rasa aman hatiku dari kemaha-kuasaanMu, kupilih rasa dosa ini, agar bertambah linangan airmataku ke hadirat-Mu.

    Pertama, ‘Doa Mohon Kutukan’ itu sama sekali bukan puisi. Itu hanya deretan kata dan kalimat dari orang yang bingung dan tidak kuat menanggung kesedihan atas keadaan bangsanya. Sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai puisi atau karya seni. Itu hanya muntahan hati yang frustrasi.

    Mudah-mudahan jangan lagi ada yang mengkategorikan aku sebagai penyair, seniman, apalagi budayawan. Namun jika ada yang terlanjur menyebutku sebagai budayawan, kudoakan Allah meningkatkan derajat sorganya di akhirat, serta menambahkan limpahan kesejahteraan dan kebahagiaan beliau sekeluarga serta ummat pengikutnya.

    Tidak kusertakan doa agar Tuhan mengampuni dosa dan kesalahannya, sebab aku tidak akan pernah menuduh siapapun sebagai pelaku dosa. Selalu kuyakini orang yang bukan aku sebagai calon penghuni sorga.

    ***

    Kedua, kalimatku tidak tegas mengemukakan kandungan maksud atau hajatnya. Misalnya “Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat…” — seharusnya dilengkapi menjadi: “Dengan sangat kumohon kutukanmu kepadaku ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat…”. Kata “kepadaku” kenapa tidak aku cantumkan.

    Seharusnya aku tuliskan statement yang lebih tegas dan transparan kepada Tuhan bahwa aku bersedia dikutuk oleh-Nya demi kesembuhan penyakit-penyakit yang fantastis pada Negara dan Bangsaku. Komplikasi permasalahan, campur aduk segala macam racun, lipatan-lipatan problem, silang sengkarut permasalahan, yang jangankan akan disembuhkan, bahkan pun kewalahan semua ilmu manusia untuk mendata dan merumuskannya.

    Seharusnya kupakai bahasa yang lebih sederhana, bahwa aku bersedia hancur demi keselamatan bangsaku.

    ***

    Ketiga, doa itu juga sangat kecil kemungkinannya untuk didukung oleh teman-temanku maupun ummat dan masyarakat umum. Ia tidak kompatibel dengan alam pikiran kebanyakan orang dari bangsaku. Nilai-nilai yang melahirkan doa itu bukan sekedar tidak sama dengan keyakinan dan pilihan sikap hidup kebanyakan orang, terutama para pemimpin dan kaum terpelajar. Bahkan banyak yang bertentangan. Sebagian malahan amat sangat berbalikan.

    Sehingga tidak terjadi akumulasi energi, tidak terdapat penghimpunan tenaga doa yang bisa menyentuh langit. Misalnya kalimat-kalimat “…merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya…”, “…Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan…”, “…diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah…”, “…maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia…”, “…Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini makanan bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan…” dlsb.

    Itu hampir semuanya bertentangan dengan kelaziman sikap hidup manusia modern yang mengutamakan perjuangan mencapai eksistensi, pembangunan citra, pengagungan kehidupan yang ini dengan skala prioritas kemenangan, kejayaan, kesejahteraan dan kebahagiaan dunia.

    Hampir sama sekali tidak mungkin ummat manusia Abad 21 yang sudah sangat puas dan bangga oleh kemegahan dan kemewahan dunia, di mana maut diyakini dan dirasakan sebagai tragedi — percaya ada makhluk di antara mereka yang bersedia dimatikan oleh Allah untuk menjadi cicilan ongkos bagi kehidupan masyarakatnya. Bersedia untuk kalah dan dikalahkan demi kemenangan bangsanya. Atau bersedia ditindih oleh penderitaan dan kesengsaraan demi keselamatan Negara dan kemakmuran rakyatnya.

    Tidaklah bisa dipercaya oleh manusia bangsa-bangsa masa kini bahwa ada seseorang di antara mereka mau meniadakan dirinya sendiri, membuang eksistensinya sendiri, mempuasai karier dan kemungkinan kejayaannya sendiri — untuk disedekahkan kepada syarat rukun yang diperlukan untuk sembuhnya sakit mental, akal dan hati bangsanya dan terutama para pemimpinnya.

    ***

    Keempat, ungkapan yang secara tidak tepat aku tuliskan sebagai doa dan kubentuk seakan-akan puisi itu — sangat mencolok mencerminkan ketidak-mengertianku atas diriku sendiri. Ketidak-tahuan atas kekecilan dan kekerdilanku.

    Sehingga dengan kandungan kesombongan batin aku memimpikan keadaan-keadaan yang sedemikian ideal untuk bangsaku: “…agar pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya…”, “…untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri…” dst, dst.

    Betapa dungunya, betapa pungguknya doaku yang merindukan rembulan yang berupa perkenan kabul dari Tuhan. Seolah-olah sedemikian bersahajanya konsep penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk oleh Tuhan. Seolah-olah perikehidupan ummat manusia itu baru dimulai kemarin sore tatkala Adam diciptakan mungkin sekitar tak sampai seratus ribu tahun silam. Seakan-akan para Malaikat tak pernah punya pengalaman mengurusi makhluk-makhluk pra-Adam 18 milyar tahun sebelumnya.

    Seakan-akan para Malaikat itu tidak pernah matur kepada Tuhan “untuk apa Engkau ciptakan manusia, yang toh kerjanya cuma merusak bumi dan menumpahkan darah”. Seakan-akan tidak pernah ada kreativitas yang menyangkut fenomena keaktoran Iblis. Kok tiba-tiba aku berdoa kepada Tuhan dengan cara berpikir sesederhana orang beli kacang di pasar.

    Alangkah tak pahamnya aku tentang Agama dan otoritas absolut Tuhan.

    ***

    Dan kelima, sangat memperjelas betapa aku tidak paham Agama. Apalagi Agama yang disebut Islam. Tulisan “Doa Mohon Kutukan” itu bisa disalahpahami oleh orang-orang yang sama-sama tidak paham Islam sebagaimana aku — sebagai doa konyol yang bukan hanya tidak dikabulkan oleh Tuhan, melainkan bahkan malah bisa jadi mencelakakan Negara dan Bangsa Indonesia.

    Mereka bisa dengan sembrono menyimpulkan bahwa gara-gara doa terkutuk itu Bangsa kita disesatkan oleh Tuhan. Tidak kunjung ditolong untuk keluar dari masalah-masalah, malahan diperparah. Akal sehatnya diruntuhkan sehingga salah parah dalam memilih pemimpin dan senantiasa berlaku salah arah dan salah langkah. Harga diri ambruk, mental tumbang, logika hancur, semakin banyak orang yang bodoh-kwadrat: tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa mereka tidak mengerti.

    Dan senyata-nyatanya aku sendirilah urutan pertama bodoh-kwadrat itu. Semoga masih ada sedikit ampunan Allah kepadaku. Sekarang saya thimik-thimik mulai belajar alif ba ta Agama sambil menatap-natap dari jauh orang-orang yang mengabar-ngabarkan sebagai Islam.

    Dan ya Tuhan…lihatlah dalam sejarah ketidakpahamanku itu kemudian kutulis pula “Doa Mencabut Kutukan”…..

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    1 Pebruari 2016


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  8. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Si Brutal dan Si Pendamai

    Salah seorang saudaraku, sepulang dia dari merantau beberapa tahun di dalam dan luar negeri, perilakunya agak merepotkan kami sekeluarga. Baik benturan-benturannya dengan kami sekeluarga, juga dalam kaitannya pergaulan dengan para tetangga dan penduduk sekampung.

    Kalau kuingat-ingat, problem saudaraku itu bukan berasal dari rumah kemudian di bawa keluar rumah. Melainkan bersumber dari keadaan kampung, lantas dibawa masuk ke rumah.

    Saudaraku pertama cuma mengeluh soal-soal kepemimpinan desa, ketidak-adilan kepemerintahannya, kekacauan sosial dan budayanya, pembodohan dalam pendidikan, serta kelunturan akhlak masyarakatnya. Tahap berikutnya bukan hanya mengeluh sebatas di dalam keluarga. Ia juga protes, bahkan terkadang sampai tingkat melawan dan memberontak dalam susunan pengelolaan desa.

    Hal itu membuat semacam pertentangan antara pemerintah dan masyarakat desa dengan keluarga kami. Saudara saya itu sering dengan geram mengatakan bahwa penduduk kampung ini ditimpa ketidakadilan dan kelaliman dalam waktu yang terlalu panjang tanpa pernah ada solusinya.

    Tentu saja pemerintah desa dan tokoh-tokoh lainnya tidak melihat keadaan sebagaimana saudara saya simpulkan. Bagi mereka semua ini baik-baik saja. Tidak ada yang perlu diubah, tidak perlu ada perombakan di bidang apapun. Rakyatpun umumnya kalau diajak bicara soal perlunya perubahan, tersimpulkan bahwa perubahan yang mereka kehendaki sangatlah sederhana: bagaimana bisa ikut kaya dan sejahtera sebagaimana pemimpin-pemimpin mereka.

    ***

    Kalau aku melihat saudaraku itu dari sisi keharusan kami sekeluarga untuk terlebih dulu menemukan kesalahan dan kekurangan kami sendiri, maka rasanya perkembangan sikap dan perilaku saudaraku itu semakin lama memang semakin tidak bisa kami tolong.

    Di luar soal-soal ketidakadilan dan runtuhnya moral sosial itu, entah ia belajar apa, bergaul dengan siapa, dipengaruhi oleh aliran nilai apa, aku kurang mengerti. Ia berubah, sangat berubah, bahkan hampir terbalik dari yang aku kenal padanya dulu. Ibadahnya meningkat pesat, tapi perilakunya sungguh tidak kami pahami.

    Sebenarnya saudaraku itu cerdas, tetapi mungkin karena semacam kegugupan sosial, ia punya kecenderungan untuk lebih memilih berpikir sempit dan dangkal di dalam memandang kehidupan. Ia pandai, tetapi mungkin karena rendah hati maka ia lebih sering memilih ketidak-pandaiannya di dalam bersikap dan berperilaku.

    Ibarat perang, saudaraku itu hampir selalu salah merumuskan siapa musuhnya, atau pada wilayah apa sasaran pemberontakannya.

    Sepak terjangnya sangat dipengaruhi, dan anehnya dipersempit, oleh rasa ke-beragama-an dan kebiasaan ibadahnya yang tekun dan khusyu. Mungkin karena itu Tuhan menjadi sangat primer di dalam kesadarannya, sehingga manusia dan semua yang selain Tuhan menjadi sekunder.

    Tampak jelas ia sangat mencintai Tuhan, para Malaikat dan Nabi-Nabi serta Rasul-Rasul. Sampai sering tak tersisa cinta di hatinya untuk sesama manusia. Kepada Tuhan saudaraku itu sangat lembut, sedangkan kepada manusia yang tersisa adalah kekerasan dan kekasaran.

    Di samping kecerdasan intelektual dan ketinggian spiritualnya, ia juga bermental tangguh. Penuh keberanian. Kadar keberaniannya sedemikian rupa sampai bisa mencapai tingkat kebrutalan. Tidak hanya kepada orang lain, para tetangga dan penduduk sekampung, tapi juga kepada kami keluarganya sendiri ia sangat berani, keras, kasar dan terkadang brutal.

    Munculnya keberanian saudaraku itu sehari-hari berupa sikap marah-marah, mengutuk-ngutuk, bahkan dengan berteriak-teriak, selalu menyalah-nyalahkan tanpa bisa mendengarkan suara apapun selain suara dari dalam kemarahannya dirinya sendiri.

    Ia menghabiskan, menumpahkan dan melampiaskan semua kemarahan, kebrutalan dan segala yang buruk-buruk dan menyakitkan itu kepada kami sekeluarga, kepada masyarakat sekampung terutama para penggedenya, bahkan seakan-akan kepada semua penghuni dunia.

    Adapun yang tersisa padanya berupa kelembutan dan ketakutan, ia persembahkan kepada Tuhan.

    ***

    Sering aku berkesimpulan bahwa saudaraku itu punya cinta dan benci. Cintanya kepada Tuhan, bencinya untuk kami semua. Andaikan aku ini paham Agama, tentu aku bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi jelas bahwa semua penduduk kampung, lebih dari aku sendiri, tahu bahwa aku tidak paham Agama.

    Dan saya sungguh menyesal kenapa aku tidak pernah benar-benar belajar Agama. Sebab di dalam seluruh bangunan sikap saudaraku itu bercampur aduk tema kedhaliman sosial, ketidakadilan pemerintahan, ketuhanan dan ibadah. Meskipun terus terang terkadang berpikir sebaliknya: jangan-jangan kalau aku lebih mempelajari Agama dan lebih tekun beribadah, lantas aku menjadi seperti saudaraku ini?

    Benar-benar aku kebingungan. Dulu ada salah satu saudara kami yang lain, yang cenderung punya kedekatan dengan saudaraku yang brutal ini. Tetapi beliau meninggal beberapa waktu yang lalu.

    Beliau dijunjung orang sekampung sebagai tokoh perdamaian dan kebebasan, karena bukan sekedar beliau selalu akrab bergaul sangat dekat dengan semua tetangga dan penduduk di kampung. Tetapi juga beliaulah jembatan antara masyarakat dengan keluarga kami. Demikian kesimpulan masyarakat atas peranan beliau. Kalau saudaraku itu Si Brutal, saudara kami yang almarhum adalah Si Pendamai.

    Akan tetapi terus terang di luar itu aku punya pandangan yang agak berbeda. Beliau almarhum ini sebenarnya justru kurang dekat dengan kami sekeluarga. Kalau sesekali beliau pulang, beliau selalu membuka pintu lebar-lebar kepada perilaku saudaraku itu. Beliau selalu memanjakannya, sehingga ia merasa benar dengan sikapnya. Sesungguhnya diam-diam aku tidak pernah benar-benar merasa aman dengan pola sikap saudara kami itu: di rumah ia selalu membela si brutal, tetapi di luar beliau suka ngobrol di rumah para tetangga atau di gardu-gardu menceritakan kelemahan dan kekurangan saudara brutal kami itu. Sering aku mengalami sendiri betapa mereka semua sampai tertawa terbahak-bahak memperbincangkan saudaraku.

    Sebagaimana almarhum selalu memanjakan dan memaklumi perilaku saudara kami, beliau juga selalu membuka pintu lebar-lebar bagi segala kecenderungan masyarakat dan pemerintahan di kampung. Beliau disukai dan dipuji oleh saudaraku, beliau juga disenangi dan dijunjung oleh orang sekampung. Penempatan diri semacam itu sebenarnya hanya mengulur waktu dan memperparah keadaan. Tidak ada perbaikan pada saudaraku, tak ada pula di masyarakat dan pemerintahan. Tidak ada perubahan di dalam rumah kami, tak ada pula di dalam kehidupan penduduk dan pemerintahan kampung kami.

    Yang ingin kubisikkan ke telingamu adalah kenyataanku hari ini. Bahwa aku tak bisa mengakselerasi pengambilan sikap almarhum Si Pendamai, malahan aku cemas jangan-jangan akan tergeser diriku ini ke kecenderungan Si Brutal.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    3 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  9. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Pancasila Oreng Madura

    Kalau engkau merasa lelah oleh sesuatu di sekelilingmu atau mungkin malah di dalam dirimu yang samar-samar, yang remang-remang, yang beribu tafsir meliputinya, sehingga engkau memerlukan seminggu dua minggu, sebulan dua bulan atau bahkan setahun dua tahun untuk pada suatu saat tiba-tiba menemukan apa yang engkau cari — berikut ini kututurkan kepadamu sesuatu yang sebaliknya, yang gamblang segamblang-gamblangnya.

    Seorang Bapak asal Madura lama tinggal di Saudi Arabia menjadi pelayan Haji, guru Sekolah Dasar dan pedagang serabutan, tatkala balik dan mau menghabiskan masa tuanya di Pulau Madura — ia tersinggung kepada petugas Kecamatan. Ia merasa dianggap tidak lagi hapal Pancasila oleh pegawai Negara itu.

    “Sampiyan jangan meremehkan saya”, katanya agak keras nadanya, “jangan dipikir saya sudah berubah menjadi orang Arab, terus Sampiyan curigai tidak hapal Pancasila”.

    “Maaf ini test standard saja, Pak, untuk setiap warga yang akan memperbarui KTP”, jawab pegawai Kecamatan, “anak-anak kecil sekarang ini banyak yang tidak hapal Pancasila, kami khawatir orang-orang tua juga lupa Pancasila”.

    Si Bapak menaikkan volume suaranya. “Pancasila itu hidup mati saya, jiwa raga saya, syariat dunia akherat saya. Siapa saja yang meragukan bahwa saya tidak hapal Pancasila, saya anggap itu nantang carok sama saya!”

    Pegawai kecamatan mencoba menenangkan. “Begini saja Pak, daripada kita nanti bertengkar sungguhan, lebih baik Bapak langsung sebut saja urut-urutan Pancasila….”

    Belum selesai kalimat si pegawai, Bapak Madura kita langsung dengan tempo sangat cepat menyebut Pancasila: “Satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji, Pak”

    “Lhaaa ya thooo, Sampiyan tidak hapal Pancasila”.

    “Tidak hapal bagaimana, kurang apa, sudah saya sebut satu persatu Pancanya Sila….”

    “Yang Bapak sebut tadi itu Rukun Islam, bukan Pancasila”

    Si Madura membantah. “Lhooo Pancasila itu ya Rukun Islam, Rukun Islam itu ya Pancasila”

    “Ya ndak to Pak. Pancasila sendiri, Rukun Islam lain lagi”.

    “Lho bagaimana Sampiyan ini. Kalau Pancasila tidak sama dengan Rukun Islam, `dak mau saya!”

    “Lho kok ndak mau? Itu wajib bagi setiap warga Indonesia. Kalau Rukun Islam itu urusan kita sebagai orang Islam”.

    “Tidak bisa. Pancasila adalah Rukun Islam, Rukun Islam adalah Pancasila. Hidup ini harus jelas dan tegas. `Dak bisa kaki kanan saya berjalan pakai Pancasila, kaki kiri saya melangkah dengan Rukun Islam”.

    Si pegawai mencoba mengendorkan situasi. Ia tersenyum diramah-ramahkan kemudian bertanya, “Tapi maaf ya Pak, katanya Bapak punya istri dua….”

    “Ya memang!”, si Madura menyahut spontan, “Mukeni dan Samiatun. Tapi mereka sudah satu dalam hati saya”.

    “Tapi kan tetap dua”

    “Dak bisa. Mukeni ya Samiatun, Samiatun ya Mukeni. Sampiyan ini `dak tahu cinta rupanya”.

    Akhirnya si pegawai Kecamatan merasa bahwa ia tidak akan sanggup memperpanjang perdebatan dengan jenis orang seperti ini. Pasti akan nambah masalah, tidak mungkin mengurangi atau apalagi menyelesaikan masalah.

    “Sebentar, Pak. Tolong tunggu sebentar saja di sini”.

    Ia pamit. Berdiri, melangkah ke arah ruang dalam kantor Kecamatan. Menemui Pak Camat langsung.

    Ternyata agak lama. Si Bapak Madura hampir saja naik pitam, ia sudah sempat pukul-pukul meja. Kalau si pegawai lebih lama lagi nongolnya, mungkin dari memukul-mukul meja meningkat menjadi menggebrak-gebrak meja, dan kecil kemungkinan untuk tidak memuncak menjadi menendang-nendang dan memecah meja.

    Hampir saja ia lakukan itu, kalau saja tidak tiba-tiba ternyata Pak Camat sendiri yang keluar menemuinya.

    Pak Camat menemuinya, mengulurkan tangan menyalaminya, menyapa dengan satu dua kata Bahasa Arab, si Madura hanya menjawab “shadaqallahul’adhim!”.

    Tetapi diam-diam si Bapak Madura ini agak mulai melunak hatinya. Ia merasa terhormat karena Pak Camat sendiri berkenan langsung menemuinya. Bahkan kemudian ia terheran-heran, Pak Camat mengajaknya pergi dengan mobilnya. Ia agak salah tingkah.

    Ternyata ke rumah seorang Kiai tidak jauh dari Kantor Kecamatan. Harap dimafhumi di Pulau Madura di setiap RT ada Musholla, di setiap RW ada Masjid dan di setiap Kelurahan ada Pesantren. Bapak Madura ini merasa lebih terhormat lagi karena akan bertemu langsung dengan Pak Kiai, apalagi ia ke situ bersama Pak Camat.

    Alhasil mereka berdua berjumpa Pak Kiai. Ditemui di ruang tamu Pesantren. Dua orang santri menangani konsumsi untuk mereka. Pak Camat menyeret Pak Kiai ke pojok agak jauh, kemudian mereka berbisik-bisik. Si Bapak Madura terkejut karena tiba-tiba terdengar Pak Kiai tertawa terbahak-bahak.

    Mereka berdua bergeser ke kursi tamu, duduk bertiga berhadapan. Pak Kiai kontak sambil masih agak tertawa bertanya kepada si Bapak Madura: “Coba Sampiyan sebutkan Pancasila….”

    Si Bapak Madura langsung memamerkan pengetahuan dan hapalannya tentang Pancasila. “Pancasila satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji”.

    Pak Kiai tertawa lagi dan memuji Si Bapak Madura. “Shadaqallahul’adhim. Benar sekali Sampiyan ini”.

    Pak Camat yang kaget. “Lho kok benar?”

    Pak Kiai tertawa lagi. “Sampiyan ini sejak jadi Camat malas belajar. Tapi biasa Pemerintah memang begitu. Kalau rajin belajar itu namanya Santri, bukan Pemerintah”.

    “Saya tidak mengerti, Pak Kiai”, kata Pak Camat.

    “Lhoooo Allah Maha Benar dan benar juga yang dikatakan Bapak tadi itu. Pancasila yang pertama itu syahadat, artinya bersaksi bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Nomer dua kita shalat tiap hari lima kali untuk mendidik diri kita agar menjadi manusia yang adil dan beradab. Nomer tiga organisasi-organisasi masyarakat dan terutama partai-partai politik harus bersatu memberikan seluruh niat baiknya untuk membangun Negara. Parpol-parpol itu kita beri hak untuk menjadi arsitek dibangunnya sistem Negara. Untuk itu mereka harus menjaga Persatuan Indonesia, jangan bersaing untuk kepentingan, jangan menang-menangan satu sama lain, jangan mementingkan golongannya masing-masing untuk berkuasa. Sebab Sila keempat adalah bangunan Negara, milik Rakyat yang dipimpin oleh Permusyawaratan dan Perwakilan. Kalau empat Sila itu tidak terpenuhi, mana mungkin bangsa kita mencapai cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Duh-aduuuh, mestinya Sampiyan Pak Camat yang omong begini. Kalau saya ini Kiai tugasnya kan Nahwu Shorof. Lha Sampiyan Nahwu Shorof `dak tahu, Pancasila juga `dak ngerti….”

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    5 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  10. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Hati Telanjang Kepada Tuhan

    Setelah dua puluh satu tahun putus asa
    Sesudah hampir meledak dada dan pecah kepala
    Tersisa hati telanjang kepada-Nya
    Setelah dua puluh satu tahun salah sangka
    Sesudah kebusukan demi kebusukan
    Tak kunjung sampai ke puncaknya
    Tergeletak jiwa tak berdaya di hadapan-Nya

    Berdengung-dengung tanpa henti di kepalaku
    Siapa yang menghaturkan “Doa Memohon Kutukan” itu
    Selain hamba bodoh penganiaya diri sendiri
    Yang Tuhan mengasihaninya
    Yang para Malaikat memprihatininya
    Yang Para Nabi dan Rasul menangisinya
    Dan Iblis Setan mentertawakannya

    Hambalah itu yang lalim kepada diri hamba sendiri
    Hamba si hina dina
    Hamba kafir yang takabur
    Fakir yang putus asa
    Menindihkan gunung ke punggungnya
    Menimpakan alam semesta ke pundaknya
    Membesar-besarkan diri dengan tanggungan yang tak sanggung disangganya

    Berdengung-dengung memecah kepalaku
    Kibriya’ taruh di atas kepala seluruh berat beban dunia dan alam semesta
    Keangkuhan mempertahankan tegaknya pohon-pohon-Mu di dunia
    Wahai Tuhan Mutakabbir yang takabbur adalah jubah-Mu
    Betapa sederhana yang Engkau tunggu dari hamba-Mu
    Padahal di dalam nurani dan akalku, nasehat-Mu amat sederhana
    Bertindaklah semampumu saja. Tak usah berjuang membela-Ku
    Karena engkaulah yang membutuhkan keselamatan di depan kuasa-Ku

    Wahai Maha Dermawan, terimalah kesombonganku sebagai penghaturan kesetiaan
    Terimalah putus asaku sebagai batas perwujudan cinta
    Terimalah tangis cemas hamba, kecemasan dalam keyakinan hamba
    Bahwa siapapun saja yang menggerakkan kaki dan tangannya
    Untuk menumbangkan pohon-pohon-Mu, Engkau akan lumpuhkan gerakannya
    Engkau giring agar mereka bertabrakan dengan patung-patung batu
    Dengan berhala tahayul dan monumen materi, bangunan mereka sendiri

    Wahai Maha Merdeka, Engkaulah sumber dan asal usul
    Segala ilmu yang mereka namakan ‘demokrasi’ dan ‘independensi’
    Di mana setiap hamba bukanlah dirinya, melainkan wujud perbuatannya
    Tak ada pahala tak ada dosa selain dari perbuatannya sendiri
    Tetapi apabila mereka bersekutu menutupi kemerdekaan absolut-Mu
    Engkau perkecil jumlahnya, Engkau kacaukan perkumpulannya
    Engkau pecah belah karena tidak adil pikirannya

    Wahai Rahman cinta-Mu meluas tak terhingga
    Wahai Rahim yang kasih sayang-Mu mendalam tiada tara
    Sepenuh-penuhnya hak-Mu segala santunan atau kutukan
    Semata-mata milik-Mu kegembiraan atau kesengsaraan
    Lumpuh hatiku menyaksikan para pemakan bangkai
    Yang menikmati penderitaan saudara-saudarinya sendiri
    Tetapi kuyakini keadilan dan pembalasan-Mu

    Engkau lumpuhkan kaki para pendusta persaudaraan
    Para pemalsu wajah dan para saudagar cinta
    Para penunggang keledai kesetiaan dan kuda kepatuhan
    Jika Rabiah memuaikan badannya hingga memenuhi neraka
    Takkan Engkau biarkan mereka memenuhi bumi, kota dan desa pasar dan jalanan, kantor, gedung-gedung, darat dan lautan
    Karena dengan mudah Engkau perluas neraka-Mu

    Engkau potong tangan mereka yang menghina ketulusan-Mu
    Engkau robek-robek tirai dusta dan tipu daya mereka
    Engkau putus-putus dan obrak-abrik tali jaringan kebohongan semesta mereka
    Demikianlah hamba bertelanjang hati
    Cukup sudah kesabaran-Mu atas para penyelingkuh cinta-Mu
    Takkan lagi Engkau perkenankan keleluasaan
    Bagi kebudayaan, politik dan peradaban yang bertakabur kepada-Mu

    Engkau sesakkan nafas para pelakunya, Engkau bikin cemas hati mereka
    Engkau buntu pikiran mereka, Engkau macetkan mesin syirik lingkar katulistiwa
    Engkau buka kedok kebodohan para cerdik pandai
    Engkau lunglaikan dan bumerangkan setiap rumusan rekayasa
    Engkau kuakkan semua yang mereka rahasiakan
    Engkau hentikan setiap kereta pemerintahan manusia
    Yang tidak mengantarkan para penumpangnya ke rumah ridlo-Mu

    Wahai maha pencipta, maha penata, maha penghampar karya agung
    Jauhkanlah kemenangan dari hamba-hamba yang tak menghamba
    Yang menegakkan keunggulan dengan modal kehinaan
    Wahai gelapkan gedung-gedung mereka
    Runtuhkan kantor-kantor mereka
    Nerakakan rumah-rumah mereka
    Ambrukkan tembok-tembok mereka

    Wahai demikianlah puncak karier hamba
    Hamba pengemis yang berjongkok di depan gerbang-Mu
    Hamba persembahkan ketidakberdayaan dalam perjuangan
    Hamba haturkan keterpurukan dalam peperangan
    Hamba pasrahkan tak terusirnya putus asa dalam iman
    Hamba tangiskan ketidaksabaran dalam penantian
    Sisa kekhalifahan hamba tinggal hati yang telanjang

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    Yogya 5 Pebruari 2016.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  11. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Anak Asuh Bernama Indonesia

    Engkau tidak perlu mubadzir menghabiskan umur menunggu rasa kecewa dan kecele oleh kehidupan, tidak perlu berpanjang-panjang melewati jalan kebingungan, kubangan frustrasi atau padang pasir keputusasaan — untuk mempercayai dan memakai berikut ini dalam kehidupanmu:

    “Bahwa keberhasilan dan kebahagiaan hidupmu tidak terutama tergantung pada keadaan-keadaan yang baik atau buruk di luar dirimu, melainkan tergantung pada kemampuan ilmu dan mentalmu menyikapi keadaan-keadaan itu”.

    Misalnya engkau masih muda, jalanan ke masa depan masih jauh dan kau lihat ada banyak matahari berjajar di cakrawala, tetapi keadaan di sekitarmu rusak binasa tak terkira, penuh penyakit akut, bertaburan racun dan segala macam zat negatif yang membunuh akal, batin, mental dan bahkan jasadmu.

    Atau engkau sudah tua, udzur dan siap-siap berhijrah ke kehidupan yang berikutnya. Tetapi keadaan yang telah kau temani berpuluh-puluh tahun bukan bertambah baik, melainkan bertambah hancur luluh lantak. Engkau sekeluarga bersama istri dan anak-anak cucu-cucumu mungkin tidak sangat mendasar penderitaannya. Tetapi masyarakatmu, Negaramu, kebudayaan dan peradaban yang mengepungmu, sama sekali bukan bahan-bahan yang enak dikenang nanti sejak di kuburan hingga ke alam barzakh.

    ***

    Engkau masih muda belia atau sudah tua renta terkurung oleh posisi di mana engkau tak bisa berbuat apa-apa atas situasi-situasi di sekelilingmu. Keadaan yang jauh lebih rusak dari yang pernah engkau pelajari atau bayangkan tentang kerusakan. Situasi gila yang lebih gila dari segala kegilaan yang pernah engkau saksikan dan pahami.

    Susanana kemanusiaan, suasana politik, kebudayaan, bahkan yang kelihatannya sudah dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, yang lebih hina dan rendah dibanding segala kehinaan dan kerendahan yang pernah engkau gambar di alam pikiran dan pembelajaran hidupmu.

    Karena engkau orang yang bersungguh-sungguh dalam memikirkan dan merenungi segala sesuatu, maka engkau merasa sangat tertekan oleh — misalnya — situasi dunia di mana manusia mengagung-agungkan negara dengan meyakini bahwa ia lebih berkuasa dari kuasa Tuhan.

    Para penguasa mendewa-dewakan jabatannya sambil mempercayai bahwa kekuasaannya melebihi hakekat pergantian siang dan malam. Negara dan para penguasa yang duduk di singgasana menyangka dirinya berposisi di atas para Nabi dan Rasul yang resonansi amanat di tangannya berlaku sampai hari kiamat.

    Bahkan mereka berpikir bahwa Tuhan bukan hanya tidak berkuasa atas diri mereka, lebih remeh dari itu: Tuhan bisa diperdaya, dimanfaatkan, ditunggangi, diregulasi, dimanipulir, diperalat, dijadikan properti kamuflase, pemalsuan dan penggelapan. Tuhan diangkat menjadi Kepala Dinas pengabulan doa, merangkap Kepala Divisi Intelegen yang tugasnya menyembunyikan kejahatan para penguasa, atau menutupi aib-aib mereka.

    Itulah sebabnya mereka sangat percaya diri untuk menyelenggarakan penjajahan tak henti-hentinya, dengan menggenggam nama Tuhan dan seluruh staf-Nya di seluruh alam semesta sebagai alatnya.

    Mereka menerapkan tipu daya yang terus menerus di-upgrade metode dan strateginya, dengan mengolah, membolak-balik, merekayasa dan memanipulir nilai-nilai Tuhan, ajaran-ajaran-Nya, kalimat-kalimat-Nya, untuk kepentingan pragmatis kepenguasaan mereka atas seluruh aset kekayaan bumi.

    Mereka menjalankan proyek pembodohan sangat massal di seluruh permukaan bumi, melalui sekolah-sekolah dan universitas-universitas atau lembaga-lembaga kependidikan di luarnya, terutama juga melalui media massa, memanfaatkan kelemahan mental para petinggi negara, menunggangi inferioritas karier kaum cerdik pandai, serta mempermainkan rahasia keserakahan dunia para pemimpin agama.

    ***

    Suasana rusuh seperti itulah yang dalam waktu yang terlalu lama meracuni ruang batin kemanusiaan sangat banyak orang, termasuk saudaraku yang beberapa kali kuceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya. Jiwa saudaraku itu terbakar di setiap siang dan membara di setiap malam, sehingga hidupnya dipenuhi oleh kemarahan dan terkadang amukan.

    Pernah aku omong sangat pribadi dengan saudaraku itu. “Kau mau apa? Kamu bunuh semua orang dholim itu dari Istana Negara hingga Balai Desa? Berapa jumlah mereka? Berapa tahun atau berapa puluh atau ratus tahun yang kau perlukan untuk membunuhi mereka satu per satu, atau sepuluh per sepuluh, atau dengan bom-bom dahsyat seratus per seratus? Sedangkan temanmu kemarin melakukan bom bunuh diri dan hanya dirinya sendiri yang mati oleh bom yang disandangnya?”

    Saudaraku itu sangat yakin akan kewajiban “nahi munkar”, mencegah atau melawan segala kemunkaran, penjajahan, ketidakadilan, kecurangan, penipuan massal oleh media-media komunikasi. Seberapa skala yang ia mampu? Sekampung? Sekecamatan? Sekabupaten seprovinsi? Atau dari Sabang hingga Merauke? Atau di seluruh permukaan bumi?

    Seberapa banyak mesiumu? Bagaimana strategi perangmu? Sudah tepatkah pengenalanmu terhadap peta medannya? Sudah kau hitung kekuatan musuh-musuhmu? Sudah kau pilah berapa orang di berbagai level dan segmen yang wajib dibunuh, yang cukup dipotong tangan atau kakinya, yang hanya dipenjara, atau yang masih bisa kau ajak memasuki kebenaran yang kau yakini? Mana draft pemetaan perang yang kau selenggarakan?

    Atau kau sekedar akan menyelenggarakan revolusi, atau mungkin lebih lunak: reformasi? Atau penggal kepala kedhalimannya saja: kudeta? Siapa nanti tokoh nomer satu pemerintahanmu? Siapa saja menteri-menteri dan pejabat-pejabat kuncimu? Mana, perlihatkan kepadaku susunan kabinetmu.

    ***

    Aku akan mencari waktu untuk membeberkan apa yang kumaksudkan itu secara lebih rinci, sekaligus meluas dan mendalam. Tetapi hari ini aku titip dua pertanyaan kecil, untuk kau bawa dan olah dalam pikiranmu, atau kau buang — itu sepenuhnya merupakan kedaulatanmu.

    Seberapa jauh, seberapa luas, seberapa menyeluruh, seberapa mendasar kelak Tuhan melalui staf-Nya menagih tanggung jawabmu tentang semua hal-hal besar yang membuatmu jadi pemarah dan pengamuk itu.

    Bagaimana kalau mulai nanti malam engkau coba elus-elus dengan kelembutan hatimu dan kejernihan pikiranmu kata-kata berikut ini: “Indonesia adalah salah satu dari sekian anak asuhmu”.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    Yogya 7 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  12. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Khoiron? Yaroh
    Syarron? Yaroh


    Kalau Allah bikin pasal “Siapa melakukan kebaikan meskipun sezarrah akan memperoleh balasannya, dan siapa yang melakukan keburukan meskipun sezarrah akan memperoleh balasannya” — menurutmu bagaimana prosedur dan eksekusi teknisnya?

    Apakah kalau engkau memukul seseorang maka sesaat berikutnya engkau akan dipukul secara sepadan dan di tempat yang sama, entah siapa yang memukul? Apakah kalau aku mengutil sejumlah uang maka sesaat berikutnya aku akan kehilangan uang sejumlah yang sama? Apakah kalau seseorang menyakiti hati seseorang lainnya maka mendadak berikutnya ia juga akan disakiti hatinya entah oleh orang yang ia sakiti atau oleh lainnya?

    Dalam hal ini perlu dicatat atau syukur bisa dirumuskan beberapa hal. Apakah suatu perbuatan jahat akan meresikokan pembalasan perbuatan jahat yang sama jenis dan kadarnya? Apakah asal-usul pembalasan kejahatan adalah sama dengan sasaran kejahatan sebelumnya? Siapa yang berhak menjadi pelaku pembalasan kejahatan?

    Berapa lama pembalasan atas kebaikan atau kejahatan itu akan terjadi? Langsung? Beberapa jam kemudian? Besok atau lusa atau minggu depan? Atau bulan depan, tahun depan, sepuluh tahun lagi, kelak beberapa waktu sebelum si jahat mati, ataukah kelak di akherat?

    Apakah lamanya waktu berbanding lurus dengan tingkat atau kadar kejahatan yang diperbuatnya? Apakah semakin tinggi nilai kejahatan yang diperbuat akan dibalas semakin cepat, ataukah justru semakin lambat? Apakah lambat atau cepatnya pembalasan atas kejahatan berbeda antara kejahatan pribadi dengan kejahatan lembaga, institusi, kelompok, atau bahkan misalnya yang dilakukan secara struktural oleh kelompok penguasa di sebuah negara?

    Apakah balasan atas kejahatan yang bersifat kontan atau tunda itu berkaitan dengan jenis kejahatannya, kadarnya, jenis karakter dan sejarah pelaku kejahatan itu, ataukah ada kriteria-kriteria tertentu yang tidak mungkin diketahui dan dirumuskan oleh pikiran maupun kehendak manusia — termasuk kemauan pihak yang dijahati?

    Masih banyak lagi liku-liku, lipatan-lipatan, putaran dan tikungan, detail, labirin, dimensi-dimensi yang samar, serta berbagai titik atau simpul fenomena nilai beserta anomali-anomalinya, yang mungkin perlu dicari, meskipun mungkin banyak yang tak kan pernah bisa dipetakan dan dirumuskan.

    ***

    Apakah orang yang rajin berbuat baik tidak memperoleh balasan kecuali kebaikan juga di dalam lingkup waktu yang sama dengan perbuatan baiknya?

    Bagaimana kalau ternyata banyak fakta bahwa orang yang berbuat baik justru mendapat balasan keburukan yang bahkan berlipat-lipat? Bahkan kenyataan itu tidak berakhir sampai tiba kematiannya? Lebih dari itu: kebaikan-kebaikannya tak pernah ditorehkan di lembaran sejarah pada ingatan orang banyak, dan justru ia dicatat secara sangat seksama sebagai orang buruk?

    Apakah orang yang hidupnya bermanfaat baik secara sosial dipastikan mendapatkan manfaat-manfaat kebaikan juga dari lingkungan sosialnya, pada interval waktu yang sama antara produk manfaatnya dan pendapatan manfaatnya dari semua yang ia beri manfaat?

    Bagaimana kalau terdapat sangat banyak contoh dalam kehidupan bahwa sampai ia tinggal nama di nisannya, tidak dicatat oleh siapapun produksi-produksi kemanfaatannya? Dan jika pun ada fakta kemanfaat itu dalam kehidupan masyarakat luas: namun tidak dikaitkan dengannya sebagai pelaku kebaikan yang penuh manfaat?

    Apakah orang yang memperbuat kemashlahatan kepada sesama manusia dan rajin beribadah kepada Allah, konstan menjaga iman dan akhlaknya, tidak memperoleh nasib apapun kecuali kemudahan hidup, kemakmuran rumah tangga, kemudahan usaha, citra sosial yang baik, sukses perjuangan hidupnya dan senantiasa mendapat perlindungan dari Allah dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh sesama manusia?

    Bagaimana kalau engkau sendiri mengalami bahwa ketekunanmu menyebarkan kemashlahatan itu tidak membuat orang banyak mempercayaimu? Bahwa kekhusyukan dan kerajinan ibadahmu tidak membuatmu punya citra baik di mata khalayak ramai?

    Karena, misalnya, bagi masyarakat sekelilingmu orang baik adalah orang yang suka bagi-bagi uang, menyumbang pembangunan masjid atau rutin berbuka puasa dengan anak-anak yatim di Bulan Ramadlan, meskipun uang yang dibagi-bagi itu adalah hasil pencurian atas hak kekayaan dan harta masyarakat yang menjunjung-junjungnya?

    ***

    Dan orang-orang yang berbuat keburukan, merugikan orang lain, menyebar kemudharatan, menaburkan penderitaan dan menyebabkan kesengsaraan banyak orang — apakah mereka tidak akan menjumpai apapun kecuali langkah yang keserimpet-serimpet, perjalanan hidup yang penuh kesulitan, bertemu dengan yang serba mencelakakannya, jauh dari kegembiraan dan kebahagiaan, dan akhirnya terjerembab dalam kehancuran?

    Bagaimana kalau engkau justru dikepung oleh kenyataan-kenyataan sosial bahwa orang-orang macam itu malah dijunjung dan dipuja-puja oleh masyarakat? Baik karena disinformasi maupun karena rusaknya logika berpikir masyarakat? Bagaimana kalau para penjahat politik, para perampok harta rakyat yang tak kentara, para perusak akal sehat dan penghancur logika itu justru dilantik oleh pandangan umum sebagai pahlawan?

    Apakah orang atau kelompok yang menganiaya, yang menjajah, yang menipudaya, yang menginjak-injak hidup banyak orang, hidupnya akan terbanting-banting, jatuh dan terjerembab, terlunta-lunta, sengsara hatinya, ambruk keluarganya, kemudian mati dalam keadaan yang terhina

    Bagaimana kalau permukaan bumi ini sangat banyak dihuni oleh pelaku-pelaku kelaliman structural dan penggerak-penggerak system pembodohan danpemiskinan, yang kehidupan keluarganya kasat mata sakinah mawaddah warahmah gemah ripah loh jinawi?

    Sebaliknya mereka yang dianiaya, dijajah, direndahkan, ditipu dan dihina, disongsong oleh keberkahan hidup, justru tidak sehat raganya, sakit-sakitan tubuhnya, uring-uringan jiwanya, sama sekali tidak sakinah keluarganya, jauh dari sejahtera penghidupannya, perjuangan hidupnya seolah dihindari oleh kemudahan, bahkan luluh lantak terbengkalai dan terjerembab karier hidupnya?

    ***

    Sedangkan referensi dari Tuhan sangat efisien: yang berbuat baik akan yaroh, yang berbuat buruk juga yaroh. Ya. Hanya yaroh. “Ia melihat” (hasil perbuatannya).

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    Februari 8 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  13. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Kehancuran Tanpa Ralat

    Bagaimana kalau engkau naik motor bersama istri dan dua anak kecilmu, motormu diserempet mobil. Motormu rusak di atas 50%. Istrimu luka agak parah. Anak bayimu gegar otak ringan. Kakaknya Alhamdulillah tidak terkena suatu apa.

    Mobil yang menyerempetmu itu dikendarai oleh anak petinggi negara. Karena menyerempet motormu, mobil itu tak bisa dikendalikan sehingga menabrak pohon. Salah seorang penumpangnya meninggal dunia. Beberapa yang lainnya luka ringan. Kecuali sopirnya yang sakit parah dalam dadanya karena terbentur setir.

    Polisi yang bertugas akhirnya tahu punya siapa mobil itu. Juga tahu bahwa yang meninggal adalah salah seorang putra pejabat negara itu. Ini peristiwa serius. Tidak ada manusia siapapun di muka bumi ini yang mau kehilangan anggota keluarganya. Apalagi karena kecelakaan. Itu mengubah secara sangat mendasar dan hampir total susunan pikiran, atmosfir batin dan struktur kesadaran siapapun yang mengalaminya.

    Maka kemudian dalam proses penanganan hukum kecelakaan itu, harus engkau yang disalahkan. Segala pemutarbalikan dan manipulasi fakta berlangsung dan terasa sebagai perjuangan kebenaran, demi membela anak yang mati. Subyektivisme dan kepentingan sepihak menjadi alur utama proses hingga ke pengadilan.

    ***

    Engkau tidak punya saksi kecuali pernyataanmu sendiri tentang yang engkau alami. Tak seorang pun yang ketika itu berada di tempat kejadian bersedia terlibat bersaksi. Karena berbagai macam sebab: tidak mau terlibat kasus hukum. Tidak mau menjadi saksi yang jujur tapi nanti oleh kekuasaan aparat hukum dan pengadilan malah dituduh memberikan kesaksian palsu.

    Serta berbagai sebab dan latar belakang yang lain: trauma terhadap budaya hukum negara kita. Tidak mau habis waktu untuk terseret proses hukum. Sedangkan untuk cari nafkah sehari-hari saja sudah membuat hatinya hampir pecah dan pikirannya buntu.

    Bagi khalayak ramai, peristiwa kecelakaan semacam itu tidak ada urgensinya untuk dipelihara dalam ingatan. Begitu kegaduhan di jalanan itu berlalu, mereka pelan-pelan atau bahkan langsung melupakannya. Jangankan serempetan antara mobil dengan motor. Meskipun ada ratusan bom, walaupun ada uang trilyunan dicuri oleh Pemegang Amanah Rakyat, biarpun ada Pembesar Negara omong besar dan janji besar kemudian bohong besar dan ingkar besar, pun sudah tidak menjadi ingatan utama masyarakat.

    Publik sudah selalu melupakan segala sesuatu yang sangat besar, bahkan yang ajaib, yang dalam segala teori ilmu, pengetahuan dan pengalaman sejarah: mustahil dilupakan. Keajaiban sudah beralih ke wilayah lupa itu sendiri. Rakyat negeri ini lupa secara ajaib, acuh tak acuh secara ajaib, salah sasaran menyembah secara ajaib, salah tembak kutukan secara ajaib.

    Sepanjang sejarah sejak Nabi Adam ada dua mesin manusia: akal sehat dan akal tidak sehat. Di abad terbaru ini ada mesin canggih ketiga: yakni akal ajaib. Sedemikian ajaibnya akal bangsa terutama negeri ini sampai-sampai yang tertinggal hanyalah keajaiban, sedang akalnya hilang.

    Dominasi keajaiban dan hegemoni lupa serta hampir sirnanya logika dan kesadaran membuat rakyat, masyarakat, publik, kelompok, bahkan per manusia, membuat mereka sama sekali tidak bisa membedakan lagi mana hak mana kewajiban. Mana atas mana bawah. Mana kiri mana kanan. Mana baik mana buruk. Mana benar mana salah. Mana mulia mana hina. Mana malu mana bangga.

    Bahkan sudah menjadi sangat samar-samar perbedaan antara Tuhan, Satria Piningit, Imam Mahdi, Ratu Adil, Preman, Boneka dan Robot. Sudah direlakan secara akal pikiran maupun kejiwaan bahwa seorang budak dilantik sebagai Nabi. Seorang badut dilantik sebagai Rasul. Seorang Kumprung dinobatkan sebagai Dewa. Seorang Pekatik dijunjung sebagai Raja.

    ***

    Dan engkau, sehabis peristiwa serempetan itu, meringkuk dalam kesengsaraan hidup, tanpa ada batas kapan kira-kira ujungnya.

    Engkau didenda, atau dihukum kurungan. Motormu tak tercover karena kau tak punya biaya. Pekerjaanmu terbengkalai. Keluargamu ambruk. Istri dan anak-anakmu bekerja dan hidup darurat. Ada di antara familimu bersimpati dan sedikit-sedikit menolongmu. Tapi sebagian besar dari saudara-saudara sedarahmu menghindar dari kewajiban untuk menolong. Atau karena mereka sendiri tak kalah susah dan repotnya dengan hidup mereka masing-masing.

    Peran-peran sosialmu di masyarakat jadi mandeg. Di takmir Masjid. Di Paguyuban itu. Sejumlah fungsi keorganisasian jadi macet. Nama baikmu terbelah. Sebagian teman-teman, tetangga-tetangga dan masyarakat umum bersimpati kepadamu. Tetapi tak kurang di antara mereka yang turut menyalahkanmu, menegasi eksistensimu, bahkan mensinisimu dan membuangmu dari peta hati dan kesadaran mereka.

    Posisimu yang terpuruk dalam kehidupan dunia, yang hanya satu kali ini, tidak pernah dilihat, diperhatikan, apalagi direspon atau dibela oleh siapapun. Kehancuran tak diralat oleh bangunan nilai kehidupan ummat manusia, meskipun di Negara Hukum. Sampai usiamu tua, sampai dipanggil Tuhan ke rumah aslimu, sejarah dan ingatan masyarakat tetap mencatatmu sebagai orang yang bersalah dan cacat hukum.

    Dan mereka yang melalimimu, yang mencampakkanmu sekeluarga ke lembah yang gelap, dicatat oleh sejarah sebagai figur yang sebaliknya. Mereka orang menang. Mereka orang yang sukses. Mereka orang yang kaya dan sejahtera. Sekian bersaudara ada yang menjadi pejabat negara, ada yang menjadi tokoh cendekiawan, ada yang menjadi ustadz, ada yang menjadi pengusaha kaya raya. Pengusaha kaya raya ini pada suatu hari mengeluarkan biaya untuk merenovasi masjid tempatmu dulu menjadi anggota takmirnya, menjadi masjid baru yang lebih besar dan jauh lebih megah.

    Dan salah satu anakmu menjadi muadzdzin di masjid itu. Anakmu yang lain menjadi karyawan di perusahaan si kaya raya itu.

    Apa katamu? Bagaimana bunyi orasi pikiranmu dan nyanyian di hatimu?

    Engkau sukses atau gagal? Engkau kalah atau menang?

    Apa itu sukses? Apa itu menang?

    Kalau engkau sukses, nikmatilah sukses. Kalau engkau menang, kenyamlah menang. Kalau engkau gagal dan kalah, siapa yang menolongmu?

    Tuhan. Tuhan pasti menolong setiap hamba-Nya yang berposisi akhlak untuk ditolong. Tapi kapan? Bagaimana bentuknya? Seberapa interval waktunya? Sama atau tidak dengan bentuk atau wujud yang kau bayangkan tentang kemenangan dan kesuksesan?

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    Yogyakarta 9 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  14. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Berzigzag Rally Panjang Motor Nasib

    Kalau engkau merasa berjaya dan menang, aku wajib mengajakmu memasuki makna kejayaan dan kemenangan yang lebih inti dan sejati. Terus menerus tanpa henti meng-inti dan men-sejati.

    Kalau engkau merasa gagal dan kalah, aku wajib, sebagaimana yang kulakukan atas diriku sendiri, menghajarmu dengan kesadaran yang lebih pedih dan menyakitkan tentang kegagalan dan kekalahan.

    Atau kita lakukan sesuatu yang lain sama sekali. Macet pekerjaan fisik, kita beralih ke rohani. Rohani lumpuh, pindah ke berpikir. Berpikir buntu, pindah ke keringat. Keringat membuat kita terengah-engah, gendong anak, diayun-ayun dengan lagu derita yang penuh kesedihan namun diam-diam menumbuhkan kegembiraan yang aneh.

    Dan seterusnya. Kita bertarung melawan dinamika diri kita sendiri. Kita taklukkan jiwa kita sendiri. Kita atur mental kita, mesin berpikir kita, lalu lintas hati kita. Kita khalifahi pengalaman hidup ini sampai muncul samar-samar kehadiran dan keterlibatan Sang Penyayang di setiap sekon perjuangan kita.

    Aku tidak menganjurkan dari tengah kesulitan hidupmu itu engkau mencariku atau siapapun, mencari siapapun di luar dirimu, kecuali tajalli-nya Allah dan berlangsungnya peran syafaat kekasih kita bersama Muhammad, dari era Nur hingga zaman bin Abdullah menuju kelak Nur kembali.

    Engkau memperingatkan dirimu sendiri. Engkau menceramahi dirimu sendiri. Engkau menasehati dirimu sendiri. Di dalam galih jiwa dan akal pikiranmu, engkau meneguhkan bahwa keadaan yang mengerikan itu sama sekali tidak harus menjadi beban bagi hidupmu. Karena menurut janji Kekasih kita, beban hidupmu hanyalah sebatas yang engkau sanggup menyangganya.

    Engkau wanti-wanti dirimu sendiri: cukuplah engkau tekuni pencarian dirimu di dunia sampai kelak berjumpa dengan-Nya, cukupkan engkau tingkatkan pembuktikan kasih sayang dan tanggung jawabmu kepada keluarga, betapapun sulitnya itu, bahkan seringkali serasa mustahil. Dan jika pikiran membawamu mengembarai bahkan memasuki neraka dunia yang mengerikan itu, bersegeralah memohon ampun kepada Tuhanmu, kemudian mewakilkan masalah itu kepada-Nya.

    Engkau tetapkan undang-undang sosial di dalam dirimu, bahwa satu kesalahanmu jauh lebih besar dari seribu kebenaranmu. Sejumput keburukanmu mensirnakan segunung kebaikan yang kau lakukan bertahun-tahun.

    ***

    Hingga satu jam sebelum tengah malam, jelas bagimu bahwa untuk berikhtiar bagaimana membayar hutangmu, engkau harus menunggu besok pagi. Apalagi masalah-masalah lain yang juga membelitmu: bagaimana mungkin di tengah malam buta bisa engkau lakukan upaya-upaya membereskannya, sedangkan hal itu menyangkut orang ini dan orang itu yang saat ini sedang tidur nyenyak bersama keluarganya.

    Sementara sudah kau pejam-pejamkan mata, tak kunjung bisa kau masuki ketidaksadaran dan tidur. Jangankan nyenyak. Seluruh files masalahmu tidak mau surut, terus menempel di benakmu ketika engkau tak bisa tidur maupun ketika terkadang setengah tidur.

    Akhirnya engkau tenggelam sampai ke dasar laut kesadaran hidupmu. Engkau tergeletak tak bisa bangun. Tergeletak dan entah bagaimana tiba-tiba saja muncul kata “cinta” di dalam pikiranmu. Cinta itu memuai, membengkak, membesar, hingga memenuhi seluruh ruang pikiranmu. Engkau marah karena tersiksa dan merasa aneh. Engkau pukul-pukul cinta itu, engkau tendang-tendang, engkau cabut dari dirimu dan Engkau usir keluar dirimu.

    Ternyata ia menjadi sosok. Tergeletak di sisimu. Engkau termangu-mangu menatapnya. Muncul silang sengkarut pertanyaan-pertanyaan, serabutan ketidakmengertian.

    Setelah engkau mengalami kehidupan di muka bumi lebih 60 tahun, engkau menemukan di kedalaman yang sunyi dari samudera kalbumu, bahwa persaudaraanku dengan siapapun yang berdasarkan hubungan darah, kalah tinggi kemuliaan nilainya dibanding persaudaraan yang bersumber dari kesamaan iman. Kemudian ternyata persaudaraan iman kalah tinggi, pun kalah mendalam, dibanding persaudaraan yang kandungannya adalah cinta sejati.

    Apa-apaan ini? Mungkin seluruh kompleksitas masalah dan kebingungan hidupmu sedang mengidentifikasi, menyusun, merumuskan dan merangkai bangunan nilainya sendiri, tanpa engkau kehendaki.

    Tentulah persaudaraan sedarah yang bermuatan kesamaan iman dan kesatuan cinta sejati adalah harmoni yang paling sempurna, pada ukuran keterbatasan manusia. Tetapi persaudaraan kesedarahan bisa retak oleh tiadanya keseimanan dan apalagi kecinta-sejatian. Bahkan persaudaraan keseimanan ternyata pula bukan hanya bisa menghancurkan persaudaraan kesedarahan, lebih dari itu bahkan sejarah membuktikan fakta-fakta kebencian, pertengkaran, pengkafiran, pemusyrikan, perang, pembunuhan, bahkan peniadaan dan pemusnahan di antara saudara-saudara seiman, meskipun di antara mereka ada yang saudara sedarah.

    Akan tetapi pertalian antar manusia, bahkan pun tidak dengan sesama manusia, melainkan dengan makhluk-makhluk lain umpamanya hewan atau jin — yang kandungan utamanya adalah cinta sejati: selalu masih menyisakan ruang bagi persaudaraan kesedarahan maupun keseimanan.

    Apa ini?

    Apakah beberapa Malaikat sedang membantumu mempetakan masalah-masalahmu? Ataukah jiwamu sedang meracau? Ataukah ketidakberdayaan mentalmu sedang memaksa pikiranmu untuk melamun kesana kemari tanpa bisa Engkau kendalikan?

    ***

    Aku tahu yang Engkau maui dan nanti-nantikan adalah jawaban frontal atas problem-problemmu. Suatu cara penyelesaian yang pragmatis, efektif, syukur efisien.

    Tetapi alam gaib jiwamu malah membawaku ke dasar laut abstrak, selama Engkau tak bisa tidur menunggu pagi tiba. Apakah itu yang disebut jalan keluar melingkar? Strategi siklikal? Mungkin pola spiral antara sebab ke akibat dan antara akibat menuju pengubahan akibat menjadi sebab baru yang lebih menyelematkan hidupmu?

    Ataukah Tuhan sedang menginstruksikan kepada staf-Nya untuk memboncengkanmu naik Motor Nasib untuk berzigzag dalam rally-rally yang panjang? Itu pun melajunya sangat berat untuk melaju karena lapangan dan jalanannya di dasar laut?

    Engkau pusing kepala olehnya atau pelan-pelan belajar menikmatinya?

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    10 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  15. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Simpul-Simpul Masyarakat Jin

    Aku sudah menyiksamu dengan menghamparkan kebuntuan, kesulitan, kemustahilan, beban-beban berat untuk pikiran, bahkan masih kuincar banyak tema lain untuk melumpuhkan hatimu.

    Masih kusiapkan “pekerjaan rumah” tentang mempelajari cinta dan belajar mencinta, tentang beda antara dunia dengan cakrawala, bagaimana membangun dunia tidak berbatas tembok tapi berdinding cakrawala, tentang betapa aku engkau dan siapa saja tidak akan bisa bersembunyi dari waktu.

    Engkau hidup di sebuah peradaban dengan budaya komunikasi yang sangat heboh dan riuh rendah dengan kata dan kata dan kalimat dan kalimat. Padahal engkau dan semuanya sudah, sedang dan akan semakin punya masalah dengan setiap kata.

    Ada konflik dan pertentangan serius antara pikiranmu dengan setiap kata. Ada peperangan yang tak pernah engkau sadari dan tak pernah engkau cari solusinya di dalam hubunganmu dengan setiap kata. Setiap kata. Setiap kata dari beratus-ratus ribu kata. Setiap kalimat dari beribu-ribu kalimat.

    Negaramu semakin hancur oleh satu kata dibantu oleh beberapa kata. Masyarakatmu ambruk oleh sejumlah kata. Harga dirimu dan semuanya luntur dan berproses untuk menjadi musnah oleh tidak dipertahankannya sejumlah kata. Engkau dan kalian semua diperdaya oleh kata, oleh pejabat-pejabat pemerintahan dan para pengklaim otoritas Negara yang cukup menggunakan sekumpulan kata. Martabat dan hartamu digerogoti, digangsir, dirongrong, dikikis semakin habis oleh saudara-saudaramu sendiri yang memperbudak dirinya menjadi petugas-petugas kata, kalimat, idiom, ungkapan dan aransemen pemahaman.

    Engkau dan semua berada di ambang kemusnahan harta tanah air dan bisa jadi dirimu sendiri dan semuanya. Harta dirampok, martabat diinjak-injak dan dimakamkan, tinggal tubuh dan nyawa bergentayangan. Nyawapun nanti tak berguna, tatkala engkau dan semuanya sudah berfungsi penuh sebagai robot-robot, sebagai budak-budak, pekathik-pekathik, hamba-hamba sahaya yang tuhanmu bukan Tuhan.

    Jadi sebaiknya hari ini aku bercerita kepadamu tentang Jin.

    ***

    Beberapa saat engkau mengambil jarak dari dirimu sendiri, dari Negerimu, dari masyarakatmu, dari seluruh kosmos kehidupan sehari-harimu. Bahkan mengambil jarak dari keyakinan imanmu yang sudah diubah oleh muatan-muatannya yang dijejalkan oleh kenyataan-kenyataan dunia yang mengepungmu.

    Senang sekali hatiku malam itu sekumpulan Jin datang bertamu. Baru pertama kali ini mereka bertandang khusus secara agak resmi. Ada geli-geli dan lucunya, tapi mengasyikkan dan menimbulkan kegairahan khusus.

    Aku tidak jarang bertemu dengan para Jin ini itu, dari berbagai simpul, area, kelompok, bahkan sekte. Berpapasan di suatu lintasan. Terkadang bersapaan atau mengobrol barang beberapa kalimat, menanyakan keadaan masing-masing. Sesekali saling berbagai pengalaman dan data-data.

    Sebelum aku teruskan jangan lupa Kitab Suci anutan hidupmu menyebut manusia selalu belakangan sesudah Jin. “…yang mengipas-ngipas hati manusia, dari Jin dan manusia….” Bahkan dasar, asal mula dan sangkan-paran kehidupan manusia ini pun bersama-sama masyarakat Jin terikat oleh batas pengabdian “…tidak Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku….”

    Sesekali luangkan waktu pergi sowanlah kepada Baginda Nabi Rasul Sulaiman, sambil melirik-lirik museum Kraton beliau yang ketapel Bapak beliau terdapat di dalamnya. Juga seruling terindah Baginda Daud, yang kalau beliau meniupnya, maka seluruh makhluk langit dan bumi memberhentikan waktu dan melapangkan sepi senyap untuk mendengarkan dan menikmatinya.

    Sampai-sampai junjunganmu kekasihmu Muhammad saw menyesali kenapa suara seruling itu mendadak berhenti, tatkala beliau berjalan lewat di sebuah perkampungan. “Kemana perginya suara seruling kakekku Daud….” Kiranya cukuplah seandainya kelak sorga hanya berisi tanah dan air dan sawah dan ladang, asalkan terdengar suara seruling leluhur kita bersama itu.

    ***

    Bertamulah ke rumah istana Baginda Sulaiman, ajak sahabatmu yang memiliki ilmu dan pengetahuan — yang bukan sebagaimana yang dipahami oleh umum dan awam — tentang alam, tentang ruang, waktu, gelombang dan zarrah, dari bongkahan gunung hingga yang paling nano.

    Atau kalau sebagaimana aku, engkau merasa tidak pantas untuk diperkenankan oleh Allah bertatap muka dengan Baginda Raja Diraja itu, maka cukuplah engkau duduk, jongkok, atau berjalan lalu-lalang di seputar halaman Istana beliau. Siapa tahu beliau sedang bercengkerama dengan hewan-hewan kecil, dengan semut dan berbagai serangga.

    Atau siapa tahu beliau sedang bermain memperagakan silat jurus-jurus puncak dengan Garuda, Macan dan Naga. Lihat di sebelah sana Baginda Sulaiman sedang berbicara khusus kepada Naga yang meringkuk melingkarkan panjang tubuhnya di hadapan beliau. Entah apa yang beliau katakan kepada Naga itu sambil bertolak pinggang. Dan lihat itu Baginda kemudian mendatangi Garuda yang sakit-sakitan, Baginda mengelus-elusnya, memijit-mijit bagian tertentu dari kaki, cakar dan paruhnya, kemudian meniupkan hawa entah apa ke seluruh badannya.

    Engkau harus lincah dan sanggup pada kilatan waktu yang sama dan sangat singkat: melihat ke berbagai arah. Kalau perlu ke seluruh arah. Pandang itu hasil kerja Asif bin Barkhiyah, yang mengalahkan Ifrith pendekar kelas utama masyarakat Jin. Ifrithmemerlukan interval waktu antara Baginda Sulaiman duduk di kursi singgasana hingga beliau berdiri. Sementara Asif memerlukan waktu cukup sepersekian sekon lebih singkat dari sekedipan mripat beliau, untuk memindahkan Istana Ratu Bulqis.

    ***

    Ah, tapi itu sekedar bahan jadul untuk sangu kalau-kalau diperlukan di tengah perjalananmu. Kau butuh mengembara dengan semangat jiwamu, tidak berhenti di dunia dan meresmikan dalam pikiranmu bahwa dunia ini hilir atau terminal akhir dari hidupmu. Engkau butuh berjalan jauh mendekat ke cakrawala.

    Jadi apa hajat sekumpulan Jin itu bertamu?

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    11 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  16. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Mempelajari Cinta Dan Belajar Mencintai

    Setengah mati engkau membanting tulang mencari nafkah untuk keluargamu. Mulia sudah engkau di hadapan Tuhanmu. Jadi kenapa engkau datang kepadaku?

    Yang ada padaku hanya cinta.

    Engkau bilang bahwa engkau mencari dan menunggu solusi atas masalah-masalah. Mu’min sudah engkau ini. Hamba Tuhan yang memperjuangkan keamanan. Keamanan diri dan keluargamu dari masalah-masalah. Dan kelak kau perjuangkan juga keamanan ummatmu, masyarakat dan bangsamu, keamanan dari kemiskinan, keamanan dari kehancuran martabat, keamanan dari batas kemerdekaan di hadapan Tuhan.

    Tapi kenapa engkau datang kepadaku? Yang tergeletak di meja tamuku tidak hanya cinta, tetapi lebih abstrak dan bikin pecah kepala: cinta sejati.

    Tentu saja itu terlalu muluk. Engkau mendambakan penyelesaian praktis, aku hanya mampu siapkan siksaan.

    Itupun dilematis. Kalau engkau sebut ‘cinta’ saja, itu sudah terlalu dipersempit, dibiaskan, disalahsangkakan, terlalu dipasti-pastikan atau dipadat-padatkan, atau sebaliknya ia terlampau dimitologisasikan, dikhayal-khayalkan, didramatisir atau dilebai-lebaikan, berujung di perkawinan tahayul, perceraian LGBT.

    Sedemikian rupa sehingga kalau engkau coba mengkritisinya, membenahinya, mengukur jarak antara denotasi dengan konotasinya, hasilnya tidak lain kecuali menambah pembiasannya, bahkan melahirkan kemungkinan-kemungkinan salah sangka baru, yang memecah belah hati antara manusia.

    ***

    Sementara ketika setengah terpaksa aku pakai istilah yang agak mewah, yakni cinta sejati, aku meyakini engkau akan menemukan ia lebih memerdekakan penafsiran dan penghayatan.

    Daripada engkau menggenggam dunia tanpa cakrawala, kelak engkau akan tahu bahwa yang lebih nyata adalah meraih cakrawala meskipun tak mendapatkan dunia.

    Akal yang paling minimalpun mengerti atau sekurang-kurangnya memiliki naluri untuk peka bahwa sudah pasti dunia ini akan meninggalkanmu dan engkau sendiri pasti meninggalkannya. Untuk pergi atau pindah ke mana?

    Ke suatu wilayah yang untuk sementara kita sebut cakrawala.

    Sekurang-kurangnya ia terbiarkan abstrak, tidak mudah diterap-terapkan, tidak gampang dipakai-pakai. Ia lebih cenderung dekat ke ‘tiada’, dan saya lebih memilih itu, daripada terlanjur mengambil ‘nyata’ yang ternyata belum pernah benar-benar nyata.

    Lebih serasa hidup dengan ‘tidak’ yang benar-benar ‘tidak’, daripada ‘ya’ tetapi pada hakikinya tidak ‘ya’. Ibarat orang dalam Agama, saya memilih posisi “la ilaha”, posisi tidak atau belum menemukan (ada dan berperan-Nya) Tuhan, daripada terlalu bermantap-mantap “illallah” padahal pada kenyataannya ternyata bukan Tuhan yang disembah, sehingga masih dan tetap sanggup membenci, menyakiti atau bahkan membunuh sesama manusia.

    ***

    Terkadang aku terdorong untuk menjelaskan cinta sejati itu misalnya melalu pembedaan sangat mendasar antara ‘cinta’ dengan ‘mencintai’.

    Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Suatu situasi yang bergulung-gulung di batas kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah keputusan social. Mencintai adalah perilaku, langkah perbuatan kepada yang bukan dirimu. Bentuknya tidak lagi seperti yang ada di dalam dirimu. Ia sebuah dinamika aplikasi keluar diri, bisa berupa benda, barang, jasa, pertolongan, kemurahan, dan apapun sebagaimana peristiwa sosial di antara sesame manusia.

    Engkau bisa mencintai meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan mencintai bisa engkau ambil energinya dari nilai-nilai sosialitas yang bermacam-macam. Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa kenikmatan bebrayan, bisa toleransi, empati, simpati, partisipasi dan apapun. Atau engkau ambil landasan dari Tuhan: aku tetap mencintainya, menjalankan kebaikan kepadanya, meskipun di dalam dirimu sudah tak tersisa rasa cinta yang eksklusif kepadanya.

    ***

    Engkau bisa memasuki kedalaman makna cinta dan mencintai dengan berpindah-pindah pintu untuk memasukinya. Engkau bisa menyelami lubuk-lucuk cinta dan mencintai dengan merangsang terbukanya berbagai pori-pori nilai untuk engkau buka dan masuki.

    Cinta itu suatu potensi, suatu keadaan, sebuah situasi batin, mungkin berujud ruang yang membutuhkan waktu, atau bisa jadi ia terasa sebagai energi atau teralami sebagai semacam frekwensi. Seluruh kemungkinan itu terletak di dalam diri manusia, ia ada dalam kesunyian dirinya, ia belum fakta bagi selain dirinya.

    Adapun ‘mencintai’ adalah sikap sosial. Keputusan dari dalam diri ke luar diri dan untuk yang bukan dirinya sendiri. Apabila ‘cinta’ diaplikasi menjadi tindakan ‘mencintai’, maka begitu ia mensosial: wujudnya, bentuknya, formulanya, prosedurnya, nada dan iramanya, sudah ‘bukan’ cinta itu sendiri. Sang cinta ada di balik itu semua.

    Mencintai itu wajahnya seakan tak ada hubungannya dengan cinta, karena ia bisa berupa kerja keras membanting tulang di pasar dan jalanan untuk keluarga. Ia bisa berujud kepengasuhan dalam keluarga, kepemimpinan dalam bermasyarakat, kearifan mengurusi kesejahteraan rakyat.

    Bahkan bisa berwujud undang-undang, kreativitas teknologi, serta apapun saja yang dikenal oleh manusia sehari-hari tanpa mereka pernah menyadari bahwa itu semua bersumber dari keputusan dan tindakan mencintai.

    ***

    Ada kalanya suatu masalah diselesaikan tidak dengan berhadapan dengan masalah itu. Bisa juga dengan berpindah konsentrasi, memikirkan atau melakukan sesuatu yang lain sama sekali dan tak ada kaitannya dengan masalah itu.

    Semakin engkau berkenalan dengan sifat-sifat kehidupan yang hampir tak terbatas keluasannya dan tak terukur kedalamannya, semakin engkau lincah dan kreatif untuk tidak berhenti mengurung diri atau dikurung oleh ruang sempit masalah yang sedang merundungmu.

    Nanti, di tengah-tengah istirahat dari gegap gempita perjuangan duniamu, di tengah riuh rendah peperangan melawan masalah-masalahmu, engkau duduk bahkan tergeletak dengan nafas terengah-engah.

    Tiba-tiba, semoga, engkau di sapa oleh ‘cinta ilahiyah’, ia tiba-tiba saja hadir seakan sebuah sosok yang terbaring di sisimu. Ia menerbangkanmu dari dunia yang hampir bikin pecah kepalamu. Engkau dibawa menyelam ke lubuk ‘uluhiyah’ atau melebar meluas ke semesta ‘rububiyah’, di mana segala fakta pemuaian, pertumbuhan, harmoni, pernikahan-pernikahan pada inti universalitasnya, dan apapun saja yang merupakan indikator persatuan, penyatuan, kebersatuan, kemenyatuan, manunggal, nyawiji, dan apapun saja kumpulan huruf-huruf yang dibangun dan disusun untuk nilai dan makna — datang mendaftarkan diri mereka masing-masing, satu persatu dan bersama-sama, kepada ilmu dan pengetahuanmu.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    12 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 5, 2018
  17. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Gelap Jadi Cahaya, Beban Jadi Penyangga

    Pada dua belas tulisan sebelum ini aku banyak menuturkan sesuatu yang sengaja baru besok atau lusa aku tuntaskan. Semacam ‘pekerjaan rumah’ yang mungkin membuat pikiranmu ruwet dan kusut.

    Kalau anak cucu dan para jm pusing kepala dan geram oleh alur kacau omonganku, tolonglah bersabar pada orang tua yang mulai pikun dan udzur. Maka beliau-beliau yang lain siapapun tak perlu mendengarkan atau membaca ocehan kakek kepada anak cucunya ini.

    Seorang kakek terkadang mungkin memang sengaja bicara tak beraturan. Menjebak-jebak. Berhenti padahal masih koma. Sengaja suatu tema dipotong, kemudian belok ke gang-gang yang seakan tak ada kaitannya dengan tema utama. Pemilihan tema-temanya, lompatan-lompatan dari tema ke tema, kadar tabungan penghayatan suatu tema sebelum besok nyicil tabungan berikutnya, tata kepenulisannya, pertimbangan berpikirnya, irama penelusurannya, format redaksionalnya, serta berbagai macam aturan kepenulisan lainnya — semata-mata membatasi diri pada keperluan internal keluarga anak cucu dan para jm.

    Jika itu mengganggumu atau bahkan menyiksamu, berhentilah membaca dan tinggalkan tulisan ini. Jauhilah aku dan Maiyah, sebab aku dan Maiyah tidak mengikat siapapun. Aku dan Maiyah tidak harus ada dalam kehidupan ini. Aku dan Maiyah belum tentu disyukuri adanya, dan memang sama sekali tidak harus. Aku dan Maiyah pun tidak ditangisi oleh siapapun tiadanya.

    Kalau ada yang mencurangi tulisan-tulisanku untuk anak cucuku ini, misalnya melemparkannya keluar Maiyah, memotong-motongnya, atau meletakkannya pada alam pikiran umum yang tidak tepat untuk itu, atau apapun bentuk pencurangannya — tidak akan berurusan denganku. Tidak akan mendapat akibat apapun secara langsung dariku. Juga tidak diidentifikasi atau didata apapun yang menjadi akibat dari pendhaliman itu. Tidak diamati, apalagi disyukuri atau disesali.

    ***

    Apabila ada yang menjahati tulisan-tulisan buat anak cucuku ini, termasuk tulisan dan karya apapun dariku, sudah ada yang mengurusinya. Kejahatan itu dilakukan oleh siapapun, yang mencintai atau yang membenci, dari segmen apapun, dari level yang manapun, termasuk jika itu dilakukan oleh anak-anak cucu-cucuku sendiri di Maiyah — hanya akan memperoleh akibat, entah berupa penghargaan atau pembalasan, entah pahala atau adzab, yang berasal dari asal usul tulisan-tulisan ini sendiri. Yakni yang bukan aku.

    Karena tulisan-tulisan ini bukan karyaku. Bukan hak milikku. Bukan kreativitasku. Bukan hasil dari kemampuanku. Bukan produksi dari perjuanganku. Melainkan ada pemiliknya, yang menitipkannya melalui aku, kepada anak-anak cucu-cucuku. Baik anak cucu yang sekarang, maupun siapa saja yang pada akhirnya menjadi anak-anak dan cucu-cucuku.

    Aku mensyukuri jika akibat itu berupa tambahan kemudahan hidup, berkah kesejahteraan, kekuatan dan ketenteraman hidup. Aku juga tidak pernah membayangkan, mengharapkan, memimpikan atau menanti-nantikan jika akibat dan pembalasan itu berupa proses perapuhan, menyusutnya rejeki, terjatuh dan ambruknya sesuatu yang sudah dibangun, sakit jasad, kehilangan sesuatu yang sangat dibutuhkan, atau apapun. Itu semata-mata urusan pemilik tulisan-tulisan ini beserta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.

    ***

    Salah satu sebab logis dari sudah, sedang dan akan terjadinya balasan yang baik maupun yang buruk itu, antara lain karena tulisan ini dititipkan atas dasar situasi ketidakberdayaan.

    Aku tidak disuruh menulis untuk merayakan kegembiraan dan kebahagiaan. Karena siapapun yang sedang mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan, tak perlu melonjak-lonjak, melompat-lompat sambil berteriak-teriak mengibarkan perasaannya. Titipan tulisan ini berasal dari kesedihan, penderitaan, kesengsaraan, keteraniayaan dan kelumpuhan sejarah.

    Itu semua berlangsung dalam skala kecil individu-individu, lingkar keluarga, area kemasyarakatan, juga wilayah yang lebih luas, misalnya negara dan dunia yang jika engkau berpikir apa kemauan Tuhan menciptakan semua ini: berisi kemudlaratan yang kadarnya jauh melebihi kemashlahatan. Terapannya pada manusia, personal maupun kolektif, adalah kebingungan, kecemasan dan kesedihan.

    Aku tidak dititipi tulisan yang sumbernya adalah keadilan, melainkan ketidakadilan. Bukan bermata air dari keceriaan, melainkan keterpurukan. Bukan dari keindahan, melainkan kekumuhan. Bukan dari pancaran cahaya, tapi kegelapan – meskipun jangan lupa bahwa ilmu yang berasal usul dari kegelapan itu fokus perjalanan yang ditujunya adalah justru cahaya.

    Aku tidak diperintahkan untuk mengantarkan nyanyian-nyanyian sukses, lukisan keberhasilan dan tercapainya kejayaan dan kemewahan. Perintah kepadaku adalah mengajak anak-anak cucu-cucuku untuk menggali, meneliti dan menemukan bangunan kehidupan sebagaimana yang sejak awal mula dulu dikehendaki oleh yang memerintah itu — meskipun bahan-bahan yang tersedia adalah kompleksitas permasalahan-permasalahan yang secara ilmu apapun tampak mustahil diatasi.

    ***

    Aku dititipi perjuangan bersama engkau semua anak-anak dan cucu-cucuku. Perjuangan yang meskipun engkau dikepung oleh kegalapan, tapi engkau tetap sanggup menerbitkan cahaya dari dalam dirimu.

    Meskipun engkau terbata-bata di jalanan yang sangat terjal, engkau tetap mampu menata kuda-kuda langkahmu sehingga keterjalan jalan itu bergabung ke dalam harmoni tangguhnya langkah-langkahmu.

    Meskipun engkau ditimpa, ditindih, dihajar dan seakan-akan dihancurkan oleh beribu beban dan permasalahan, tetapi engkau justru menjadi anak-anak cucu-cucuku yang mengubah jalanan itu menjadi rata bagi semua orang. Beban-beban itu menjadi tenaga masa depan yang dinikmati semua orang. Dahsyatnya permasalahan yang memerangimu itu menjadi bahan bakar yang kau sebar ke seantero bumi sehingga digunakan oleh semua orang untuk bangkit dan tegak membangun hari-hari esoknya.

    Sudah semakin banyak jumlah anak-anak cucu-cucuku yang kulihat sanggup mengubah kegelapan menjadi cahaya, beban menjadi tenaga, tindihan menjadi penyangga, derita menjadi gembira.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    Yogya 13 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  18. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Perang Terhadap Kata

    Apakah engkau menemukan dan merasakan bahwa tulisan-tulisanku terlalu menyeretmu ke daerah antah barantah yang tak jelas ujung pangkalnya? Mencampakkanmu ke dalam hutan belantara yang bersemak-semak berimbun-rimbun tak jelas barat timur dan selatan utaranya?

    Anak cucuku dan para jm mohon memafhumi bahwa tulisan ini bukan untuk publik, melainkan hanya buat kalian. Publik atau masyarakat umum, utamanya kaum cerdik pandai, sudah khatam dulu-dulu, sehingga tidak butuh ini. Anak cucu dan para jm yang masih harus belajar dan terus menerus belajar.

    Ataukah engkau menyangka aku melemparkanmu ke seberang cakrawala, di mana setiap kata tak engkau pahami maknanya, apalagi susunan dan maksudku di belakangnya? Atau sebagian dari engkau berpikir bahwa aku menerbangkan pikiran, hati dan jiwamu ke angkasa yang tanpa kiri kanan atas bawah? Ke langit yang semakin engkau tembus semakin sirna rumusannya?

    Sudah pasti akan aku turuti reaksi dan kemauan sesaatmu. Aku akan ada bersamamu di ruang yang terbatas, di atas tanah yang bisa dipijak secara sederhana, di dalam utusan yang lurus-lurus dan datar-datar saja.

    Meskipun demikian sebelumnya aku titip satu pertanyaan: yang kau sebut hutan belantara, seberang cakrawala, angkasa tanpa kiri kanan dan langit yang tak ada rumusannya itu — bukankah memang di situlah hidupmu berada? Coba engkau diam sesaat, pelan-pelan tengok dan rasakan kiri kananmu. Bukankah engkau memang sedang berada di kepungan urusan-urusan yang setelah beberapa langkah kau tempuh: engkau terbuntu oleh hutan belantara yang remang dan gelap? Engkau terkatung-katung secara tidak masuk akal seakan-akan berada di seberang cakrawala?

    Engkau mendengar ada yang disebut masyarakat, negara, hukum, demokrasi, pembangunan, pasar uang, pilkada, pejabat, ulama, ustadz, preman, pengaturan harga, jembatan jebol dan kereta cepat, dan seribu fakta lain — bukankah itu semua adalah angkasa ketidakjelasan, langit ketidakmenentuan, seberang cakrawala yang jauh dari masuk akal, serta senyata-nyatanya hutan belantara?

    ***

    Baiklah kita belok ke jalanan kecil sejenak, nanti kita akan kembali ke jalanan utama yang terjal dan bergerunjal-gerunjal itu.

    Sebenarnya yang utama bukanlah jalan yang mana dan yang bagaimana. Yang kita upayakan adalah di jalanan apapun kita tetap memperjuangkan kedekatan hati di antara kita, sekaligus kedekatan kita bersama kepada pangkal jalan dan ujung jalan. Engkau tahu, pangkal dan ujung jalan itu Satu.

    Maka langkah pertama memasuki jalanan kecil itu adalah, menurutku, adalah dengan mengubah kata “aku” dengan “saya”, kata “engkau” dengan “anda”. Pilihan kata, sebutan atau panggilan ini sangat menentukan rasa dekat atau jauh di antara kita. Bahkan mengendalikan dimensi makna dan nuansa setiap yang tersambungkan di antara kita, baik kata maupun tali silaturahmi yang lain.

    Apakah engkau merasa lebih dekat padaku kalau kusebut diriku “aku” dan kusebut dirimu “engkau”? Pada yang kurasakan, kata “aku” itu kerelaanku memasukkanmu ke dalam diriku yang lebih dalam. Ibarat tamu, kujamu engkau tidak di beranda, melainkan di ruang dalam, bahkan sesekali kutuntun engkau memasuki kamar pribadiku.

    Kupanggil engkau dengan “engkau” karena yang kupanggil bukan sekedar seseorang, bukan sekedar orang di antara orang-orang, bukan sekedar warga dari suatu negara dan bagian dari masyarakat atau institusi atau golongan. “Engkau” yang kupanggil adalah engkau yang di dalam, yang lebih pribadi, yang mungkin agak kau bungkus dengan selubung rahasia.

    ***

    Akan tetapi mungkin sekali bukan itu yang berlangsung di antara kita. Dengan “engkau” dan “aku” bisa jadi engkau malah menjadi merasa asing. Dan akibatnya mungkin membuatmu terlempar akan menjauh dariku.

    Komunikasi bahasa dan perhubungan kata dalam pergaulan sosial yang kita alami selama ini mungkin membuat aku-engkau itu menimbulkan semacam eksklusivitas. Kita jadi merasa kurang santai, kurang akrab, kurang dekat, kurang sehari-hari, kurang ‘egaliter’ kata anak-anak sekarang. Kenapa gerangan ini? Bagaimana mungkin tindakan komunikasi yang memakai kata yang paling privat justru menghasilkan kejauhan sosial? Apa yang menyebabkan seorang manusia yang memasukkan saudaranya ke ruang yang terdalam dari jiwanya, menghasilkan hal yang sebaliknya?

    Ternyata kita punya masalah besar dan serius dengan kata. Ternyata perhubungan sosial dan interaksi kebudayaan kita justru terancam jadi merapuh atau minimal menjadi tidak pernah matang nilainya, justru oleh alat utamanya. Kata adalah salah satu instrumen andalan untuk menyelenggarakan bebrayan dan membangun silaturahmi. Dan terbukti kata itu pulalah yang potensinya sangat tinggi untuk merusaknya.

    Hari-hari ini engkau bergaul dengan ummat manusia di seluruh dunia melalui terutama kata di media massa, media sosial, hutan rimba dunia maya, persambungan lewat aplikasi mengobrol tertulis dengan kerja jari-jari. Muwajjahah atau berjumpa wajah dengan wajah berkurang mungkin sampai hampir 90%. Padahal dalam interaksi muwajahah langsung pun kita masih punya persoalan dengan kata, kalimat, ungkapan, istilah dan idiom.

    Jangan bicarakan dulu akibat baik atau buruk hutan rimba maya itu dengan persoalan tanggungjawab, kejujuran, kebenaran, ketulusan, membengkaknya hak dan menyusutnya kewajiban. Jangan dulu. Itu tema yang seribu kali lebih besar dibanding urusan “satu kata” yang sedang kita selami sekarang ini.

    ***

    Silahkan engkau menggambar, mempetakan dan mensimulasikan jika kupanggil engkau dengan “anda” atau “kamu” atau “ente” atau “antum” atau “kowe” atau “elu” atau “koen” atau “you” bahkan aku melarikan diri menghindari resiko sehingga memanggilmu dengan namamu, atau “jij” atau “siro” atau “sira” atau “ndiko” dan apapun sangat banyak kemungkinannya. Alias sangat tinggi ketidakpastian dimensi silaturahminya. Sangat luas ketidakmenentuan nuansanya.

    Apa yang kau pilih. Kepadamu aku menyebut diriku “aku” ataukah “saya” ataukah “kami” ataukah “ana” ataukah “ane” ataukah “reang” ataukah “alfaqir” ataukah “kawulo” ataukah “hamba Allah” atau kata apapun barangkali engkau punya gagasan. Semoga engkau menemukan fakta bahwa sesungguhnya engkau dan aku, kita dan masyarakat, sesungguhnya sedang berada dalam situasi perang terhadap kata. Bahkan negara dan koalisi negara-negara di muka bumi ini menindasmu, merampokmu, menipumu, memperdayakanmu, memiskinkanmu, dengan alat paling ampuh, yaitu kata.

    Dari cn kepada anak cucu dan jm
    Yogya 14 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  19. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Maiyah lil’Alamin

    Tidak tega hati saya selama dua minggu ini Jamaah Maiyah saya kasih pelok (bijih) padahal ternyata mereka masih belum merdeka dari kebiasaan makan buah mangga manis dari saya.

    Selusin lebih saya kasih tulisan-tulisan yang bersifat bijih pelok, yang bukan untuk dikonsumsi sebagai makanan, melainkan untuk ditanam dan menunggu waktu tidak sebentar untuk berbuah pada diri mereka masing-masing.

    Selama ini memang kalau ketemu, saya langsung kasih buah mangga. Buah mangga dari kebun saya. Kebun yang saya sendiri mempersiapkan dan mengolah tanahnya. Pohon mangga yang saya sendiri yang menanamnya. Kemudian saya sendiri yang menjaganya dari hama-hama dan maling-maling. Kemudian saya memetiknya, mengulitinya, mengirisinya, meletakkannya di piring, akhirnya saya suguhkan kepada Jamaah Maiyah.

    Mereka tinggal memakannya, menikmatinya dan bergembira. Andaikan para Jamaah Maiyah tak punya gigi pun mangga saya tetap bisa ‘diakses’ oleh mereka. Untuk mendapatkan mangga itu mereka tidak harus membayar, tidak harus menyewa kursi untuk duduk menikmatinya, tidak harus mendaftarkan diri dan mengemukakan identitasnya.

    Tanpa syarat apa-apa. Bahkan tidak harus mencuci piring tempat mangga itu. Setelah kenyang mereka boleh langsung pulang. Boleh tidak menyapa saya. Boleh tidak berterima kasih. Juga tidak dilarang untuk bercerita kepada keluarga dan para tetangganya bahwa mangga yang tadi mereka makan adalah beli di pasar, atau dikasih orang lain yang bukan saya.

    Lebih dari itu mereka tidak dihalangi untuk mengambil mangga saya sebanyak-banyaknya, tidak hanya yang dimakan di tempat. Ia tidak diawasi untuk membawa keranjang atau karung. Memasukkan mangga sebanyak-banyaknya, diangkut pergi kemudian dijual di pasar. Selama berinteraksi dengan masyarakat di pasar, para jamaah Maiyah juga sangat merdeka untuk tidak sekedar menyembunyikan asal-usul mangga jualannya itu — ia bahkan punya peluang besar untuk meng-ghibah-i saya, ngrasani, mendiskreditkan nama saya, memanipulasi, bahkan pun menjelek-jelekkan dan memfitnah.

    Kreativitas dagang dan eksistensialisasi lain juga terbuka. Ambil mangga dari rumah saya dua tiga karung, kemudian dibawa ke pasar, dicampur dengan mangga yang diambil dari kebun atau rumah yang lain. Kemudian dijual dengan promosi bahwa itu adalah mangga saya.

    Silahkan. Kebun saya adalah Maiyah lil’Alamin.

    ***

    Jamaah Maiyah berdaulat penuh untuk berterima kasih atau durhaka. Untuk jujur atau curang. Untuk menyebarkan mangga dari saya dengan pemasaran akhlaqul karimah atau marketing kedhaliman. Jamaah Maiyah menggenggam kedaulatan untuk memperlakukan saya sebagaimana adanya atau semestinya, atau menganiaya saya, mendhalimi saya, mencurangi saya, memanipulasi saya atau apapun.

    Kebun mangga saya tidak berpagar. Sama sekali tidak ada pagarnya. Jika ada, Malaikat dan para Nabi boleh ambil mangga kapan saja dan berapapun saja. Juga para Jin, druhun dimemonon lengeng, maling-maling, penganiaya, pemakan bangkai sesame dan siapapun. Andaikan ada yang benar-benar datang ke Maiyahan kemudian membunuh saya dan memakan bangkai saya, itu juga sama sekali bukan urusan saya.

    Itu semua hanya satu dimensi kenyataan dan kemungkinan di semesta raya Maiyah lil’alamin. Saya lempar pelok-pelok Perang Terhadap Kata, Alif Ba Ta Agamaku, Gelap Menjadi Cahaya, KehancuranTanpa Ralat dan seterusnya. Itu pelok-pelok. Silahkan telan. Tidak perlu dikunyah, sebagaimana kalau makan mangga. Silahkan bawa ke pasar, karena pasar penuh oleh manipulator. Pasar adalah hutan belantara. Ambillah mangga saya, bikin oplosan juice mangga campur cyanida, solar, ingus dan air kencingmu.

    Bahkan sebagian jamah Maiyah adalah kaum Jin, yang bertamu ke Kadipiro. Dan saya menunggu saat menceritakan itu semua di tulisan entah keberapa nanti. Sebab Maiyah lebih mudah dipahami dengan teori dan ilmu Jin. Maiyah tidak bisa dipahami oleh manusia-manusia pasar, penghuni hutan belantara, makhluk-makhluk yang skala hidupnya hanya sebatas kepentingan subyektifnya sendiri, yang Hati-nya tidak Telanjang, yang Perusak dijunjung sebagai Pendamai, yang rajin ber-Doa dengan modal Dosa, yang merasa punya Cinta tapi tak pernah belajar Mencintai.

    Bukankah semua pelok-pelok itu sudah saya sodorkan kepadamu? Dengan catatan sebagaimana engkau membaca AlQuran: jangan menyangka bahwa untuk mempelajari Sapi engkau membaca dan memperdalam Surah Al-Baqarah? Mengira bahwa Surah Al-Fil adalah bab pelajaran sekolah tentang Gajah? An-Naml adalah bahan-bahan biologis tentang Semut?

    ***

    Jika tulisan adalah buah, sejak akhir 1960-an saya berkebun mangga, manggis, salak, blimbing, apel dan bermacam buah yang lain. Itu salah satu bagian dari perjalanan panjang saya, jika ada Jin yang memahami maksud “jawaban semua pertanyaanmu terdapat dalam sejarah hidup saya”.

    Bebuahan macam-macam yang saya sebar-sebar melalui hampir 70 buku dan ribuan tulisan lain dalam berbagai macam bentuk itu hanya buah. Sangat jarang ada yang berpikir bahwa di belakang buah itu ada pohon, daun, bunga, dahan, ranting, akar, tanah, kebun, pulau, hak dan kewajiban atas tanah, komposisi tanah, sebab musabab kebun bisa diperkebunkan, dan beribu hal lagi.

    Berdasar pengalaman itu, yang di dalamnya ada persoalan-persoalan Indonesia dan dunia, ada Orla Orba Reformasi semu, ada Arab Spring, ada Huntingtonisme, ada pseudo-Demokrasi, ada materialisme, individualisme, kapitalisme, industrialisme, ada jembatan-jembatan ambrol dan pembangunan kereta cepat, ada semuanya dan semuanya — maka akhirnya saya bikin pagar-pagar di kebun-kebun saya.

    “Saya” untuk masyarakat, publik, Indonesia dan dunia, saya ganti “aku”. Saya persilahkan hanya kepada anak-anak cucu-cucu saya dan para Jamaah Maiyah kapan saja memasuki kebun-kebun saya. Saya menulis hanya untuk kalian, tidak sebagaimana peruntukkan ribuan tulisan saya sebelumnya. Kalau “saya”, berarti engkau mungkin temanku yang kuterima mengobrol di halaman rumah atau di beranda. Tapi “aku” adalah saudara kesayangan yang saya persilahkan masuk ke dalam rumah saya, bahkan sesekali saya ajak masuk bilik pribadi saya.

    Kalau ummat manusia, bangsa Indonesia atau Ummat Islam, hubungannya dengan saya adalah sebagai konsumen, minta yang cocok-cocok dan yang enak-enak. Jamaah Maiyah juga berhak minta yang cocok dan yang enak, tapi bagi saya lebih dari itu. Jamaah Maiyah adalah pejuang, pemeluk teguh nilai-nilai, pembalajar yang tekun, pencari kebenaran Allah yang sungguh-sungguh.

    Tetapi sesudah “saya” tidak maksimal manfaatnya, kemudian “aku”ku kepada Jamaah Maiyah malah membuatmu muntah-muntah karena kalian terbiasa oleh “saya” — maka sudah saya lihat di depan nanti audiens atau tujuan ibadah saya bukanlah ummat manusia di dunia, bukan bangsa Indonesia, bukan Ummat Islam dan Jamaah Maiyah, melainkan Tuhan dan Kanjeng Nabi. Saya tunggu hingga tulisan ke 40 nanti.

    Adapun anak cucuku adalah bagian dari diriku sendiri yang beribadah kepada Tuhan dan bercinta dengan Kanjeng Nabi.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    17 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  20. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Darurat Aurat (1)

    Tahukah engkau kenapa dalam tulisan-tulisan pribadiku kepada anak cucuku dan para jm tak kusebut nama, lembaga, pihak, atau identitas-identitas resmi lainnya?

    Kenapa tak kujelaskan peta teknis permasalahannya, momentum, waktu dan wilayah kejadiannya? Kenapa kupakai kata atau idiom yang umum, universal, steril dan terkait seolah-olah hanya dengan sesuatu dan makhluk yang antah berantah?

    Kenapa kupakai idiom si Brutal, si Pendamai, si Perusak, Saudara, serta kosakata-kosakata yang berlaku abstrak? Kenapa ketika misalnya aku tuturkan tentang ketidaklayakan atau ketidakpantasan, tidak kuproyeksikan secara kongkret ke suatu dataran realitas? Apa maksudnya itu? Ekspertasi kah? Kredibilitas pejabat kah? Keahlian dalam kepemimpinan kah?

    Kenapa tidak kubeberkan fakta sebagaimana adanya? Bukankah “ungkapkan kebenaran, meskipun pahit”? Betapa gagah dan indahnya ungkapan itu. Bagaimana kalau kepahitan itu membuahkan amarah, dendam dan pertengkaran? Akibatnya kebenaran tak sampai, malah bertambah kemudlaratan? Bagaimana kalau pertengkaran itu bukan antar orang seorang, bahkan tak cukup antar kelompok, tetapi antar golongan yang besar, antar jumlah puluhan juta masyarakat?

    Dari satu juta orang, berapa orangkah yang memilih pahit di antara rasa-rasa yang lain. Kalau engkau ambil keputusan minum jamu yang sangat pahit untuk dirimu sendiri, tak ada persoalan dengan siapapun saja. Tetapi kalau jamu pahit itu engkau cekokkan ke mulut orang, dan kalau jumlah orang yang dicekoki jamu itu berpuluh-puluh juta, menurutmu apa yang bisa terjadi?

    Kakiku boleh pincang dan jidatmu boleh nonong, dan kita terima kepahitan itu dengan legowo dan ikhlas. Akan tetapi bolehkah orang-orang yang berpapasan dengan kita menyapa kita dengan si Pincang dan si Nonong? Bolehkah mereka menyebarkan berita bahwa kakiku pincang dan jidatmu nonong?

    Suatu saat engkau dan aku mungkin terpeleset mencuri sesuatu dari tetangga. Kemudian setengah mati kita minta maaf dan mengembalikan barang yang kita curi. Pun kita rela kita dipecat dari jabatan kita karena mencuri, bahkan juga kita jalani hukuman. Lantas kita mati. Siapkah keluarga kita mendengar pergunjingan orang-orang di gardu-gardu di warung-warung bahwa almarhum itu dulu pencuri. Bahwa almarhum dulu itu melakukan sejumlah perusakan. Bahwa almarhum dulu merintis pembiasaan pada masyarakat untuk menerima ketidaklayakan dan ketidakpantasan?

    Apa pula katamu jika ternyata keluarga kita dan semua pendukung kita tidak tahu bahwa kita pencuri. Atau hanya tahu sebagian dari kasus pencurian yang kita lakukan. Atau keluarga kita menjaga semacam pertahanan psikologis dan pagar martabat keluarga, sehingga sengaja atau tak sengaja selalu tidak mengakui bahwa kita dulu melakukan kesalahan-kesalahan.

    Pertahanan psikologis dan martabat itu bahkan membuahkan inisiatif untuk membengkakkan upaya-upaya pencitraan tentang nama baik kita, namun sebagian besar bertentangan dengan fakta yang kita jalani ketika hidup dulu. Bahkan keluarga kita memonumenkan jasa-jasa kita yang sebenarnya mengandung manipulasi sejarah. Keluarga kita membangun arca wajah dan badan kita untuk mengabadikan kepahlawanan kita dalam sejarah yang sebenarnya mengandung kepalsuan dan pemalsuan.

    Itu baru masalah engkau dan aku. Sekedar di antara engkau dan aku saja sudah penuh Darurat Aurat. Buah simalakama. Kalau kebenaran tidak dibuka, berdosa karena membuka aib aurat. Sementara kalau kebenaran harus diaurati, ditutupi, keluarga kita dan masyarakat akan buta selama-lamanya.

    Padahal sejarah memuat ratusan bahkan ribuan kepalsuan dan pemalsuan, yang disembunyikan atau justru diresmikan secara kelembagaan. Buku Sejarah terdiri atas ribuan lembaran yang bertuliskan pembiasan fakta, pembalikan, distorsi, pengurangan dan penambahan, pengadaan yang tidak ada dan pentiadaan yang ada. Tak usah 700 atau 400 tahun yang lalu. Tak usah 100 atau 50 tahun silam. Bahkan tak usah 10 tahun kemarin: hari ini pun, dan besok pagi, berita-berita sudah diolah dan harus melewati mesin-mesin pemalsuan, pengkufuran dan kemunafikan.

    Tidak usah merambah skala-skala besar rekayasa Kapitalisme, Sosialisme dan Islam musuh baru. Tak usah dakwah demokrasi penguasaan kilang-kilang minyak di negeri-negeri kelas dua dan tiga. Tidak usah sampai ke Illuminati dan Freemason. Tidak usah sampai perjudian dan perbotohan pemilihan Kepala Pemerintahan, dengan segala domino-domino rahasia di balik program-program pembangunan.

    Cukup yang kecil saja, misalnya Bedug dan ziarah kubur. Engkau mempertengkariku karena tak setuju pada dua hal itu. Padahal pangkal mulanya dulu terbalik, justru Kiai panutanmu yang menganjurkannya, sementara Kiaiku tidak mencenderunginya. Dan setiap hari kita bertengkar seolah-olah kita sedang mempertahankan nyawa dari maut, seolah kita saling mempertahankan kekayaan sebuah benua.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    18 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  21. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Darurat Aurat (2)

    Engkau dan aku terseret-seret penuh siksa dan derita antara kuburan ke Barzakh karena ternyata tak terkira hamparan dan tumpukan dosa-dosa kita selama hidup di dunia. Masih pula ditambah penderitaan tanpa penyelesaian menyaksikan keluarga kita bertengkar berperang tak habis-habisnya di permukaan bumi. Dendam dan kebencian membara di dalam dada semua golongan anak turun kita.

    Anak-anak cucu kita saling lempar melempar caci maki, fitnah, dhonn, klaim dan segala macam jenis api kebodohan. Mereka bermusuhan dengan merasa saling mempertahankan kebenaran. Padahal kebenaran yang mereka maksud adalah kebenaran jadi-jadian yang direkayasa dan dicuciotakkan ke pikiran mereka. Kita merasa sangat sengsara rohani, melebihi nenek moyang anjing-anjing yang meratapi anak cucunya berebut tulang.

    Anak cucumu yang inti justru tidak menjadi pengikutmu, karena mereka yakin bahwa sangat banyak pengikutmu yang sebenarnya mengibarkan bendera, ajaran dan nilai yang dulu bukan itu yang engkau kibarkan. Demikian juga anak turun intiku menyendiri dan menjauh dari gegap gempita orang-orang yang mengenal dirinya dan dikenal umum sebagai pengikutku. Karena anak turun intiku itu mengerti dan setia kepada warisan-warisan orisinal dariku.

    Namamu dan namaku disebut-sebut, dikibar-kibarkan, dijadikan pangkal segala gerakan, program, penghimpunan dana dan apa saja yang mungkin mereka lakukan. Padahal gerakan yang mereka kerjakan bukanlah kontinuasi bukan resonansi bukan alur lanjutan dari nilai-nilai yang dulu kita tuturkan dan sebarkan.

    Engkau yang melakukan perjalanan pendamaian di pelosok-pelosok, kini malah dikibarkan di altar sejarah sebagai tokoh eksklusivisme dan radikalisme, bahkan rasisme. Sementara aku yang tak pernah mendamaikan siapa-siapa, bahkan seringkali lingkungan yang kudatangi justru kemudian menjadi pecah dan bertengkar, kini diumumkan sebagai figur utama perdamaian antar ummat manusia.

    Itu baru engkau dan aku. Sekali lagi, baru engkau dan aku. Engkau dan aku yang bukan siapa-siapa. Yang dunia tidak merasa kehilangan ketika kita mati, dan tidak merasa kita ada tatkala kita hidup. Baru engkau dan aku. Belum ribuan silang sengkarut lainnya yang skalanya besar, yang nasional dan global.

    Siapkah keluarga kita yang hidup di dunia apabila disebutkan siapa namaku dan siapa namamu sebenarnya? Jelaskah di pandanganmu apa yang mungkin akan terjadi jika lembaran sejarah menyebut nama kita dengan fakta-fakta riil yang menyertainya?

    Sekedar auratmu dan auratku, sudah menyimpan bara darurat yang kita ngeri membayangkannya. Belum lagi Indonesia dan NKRI, belum lagi Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur dan Megawati. Bahkan apa yang ada dan sedang bergulir di lingkup kecil Istana hari ini saja pun engkau harus mengauratinya. Sebab kebanyakan rakyat Indonesia lebih siap menyangga ketidaktahuan daripada pengetahuan.

    Yang darurat aurat bukan hanya orang, tokoh atau figur. Juga fakta peristiwanya, substansi kejadiannya, hakekat peta masalahnya, lapisan-lapisan fakta samar di belakangnya.

    Maka engkau kukasih pelok, bukan mangga.

    Sebab aku tidak sedang berbicara kepadamu tentang orang, tentang tokoh, tentang pejabat, tentang pemimpin dan apapun yang dari atas sana banyak menyebarkan kegelapan dan penggelapan ke atap-atap rumah pengetahuanmu.

    Pelok yang jangan dimakan tapi harus engkau tanam adalah hakekat persoalan dalam kehidupan. Lika-liku kenyataan. Lapisan-lapisan nilai. Jarak sangat jauh antara yang engkau ketahui dengan realitas yang sebenarnya. Suatu hakiki ilmu dan pengetahuan tentang probabilitas tak terbatas dalam perikehidupan manusia, yang kreativitasnya di abad ini sedang meningkat naik ke puncak kemunafikan, hipokrisi dan pemalsuan.

    Kemunafikan yang kumaksud itu bukan sekedar peristiwa di dalam psikologi individu per manusia. Kemunafikan sudah diterjemahkan ke dalam sesuatu yang disebut dan kemudian dipercaya sebagai ideologi, visi missi, landasan pemikiran, program masa depan, bahkan Undang-undang, Surat Keputusan, Peraturan, bahkanpun sudah dieksplorasi ke dalam Buku-buku Pelajaran, informasi Media, kemudian melebar hingga obrolan di warung kopi, bengkel-bengkel motor dan tepian perempatan jalan.

    Anak cucuku dan para jm untuk sementara tambahkan kata “pseudo” di depan setiap kata yang kau ingat. Pseudo-demokrasi, pseudo-Indonesia, pseudo-kepemimpinan, pseudo-halal dan banyak lagi. Bahkan ada kata, idiom dan nama-nama sosial yang engkau tandai semacam “X” dengan kata “bukan”. Misalnya bukan-negara, bukan-liberalisme, bukan-terorisme, bukan-madzhab dan lain sebagainya.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    19 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.