1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Than A Tasteful Floccinaucinihilipilification, It's A Vengeful Cerulean

Discussion in 'Dear Diary' started by Banksy, Nov 5, 2016.

  1. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Semoga Yang Kaya Makin Kaya


    Sebelum masuk gerbong dan berjumpa dengan rekan-rekannya komunitas filosof, Markesot tak sengaja sudah menyiapkan semacam doa.

    “Ya Allah, jadikanlah orang-orang yang kaya menjadi semakin kaya, agar supaya kami semakin terjamin untuk mengais sisa-sisa makanan mereka”

    “Ya Allah, lapangkanlah jalan bagi para koruptor untuk melaksanakan hajat korupsinya, agar meningkat kesembronoan mereka terhadap harta bendanya, sehingga semakin terbuka pula peluang bagi kami untuk mencopet, menjambret, menggangsir atau syukur merampok rumah mereka”

    “Ya Allah, mudahkanlah jalan kami untuk mengurangi dosa-dosa para koruptor dan para perakus harta, dengan cara mengurangi kekayaan mereka meskipun hanya sedikit”

    “Terimalah pengorbanan kami, catatlah pencurian kami sebagai dosa. Tapi juga terimalah dosa-dosa ini sebagai wujud pengorbanan kami untuk memperjuangkan proses penyeimbangan distribusi rahmat-Mu, keseimbangan sosial ekonomi masyarakat, serta cicilan rahmatan lil’alamin”

    ***

    Di tengah komunitas komunitas filosof di gerbong-gerbong, bawah jembatan, ‘Wesel 16’ atau manapun tempat yang memungkinkan mereka berteduh sementara atau bersarang permanen, ada yang memanggil Markesot Kiai, saat lain dipanggil Tumenggung atau Kopral.

    Disebut Kiai karena Markesot paling sok mengait-ngaitkan apa-apa dengan Tuhan. Dipanggil Tumenggung karena Markesot yang paling bisa berhubungan dengan lingkungan sosial di luar komunitas mereka. Adapun Kopral, karena Markesot yang punya sambungan dengan titik-titik penting peta tokoh-tokoh lokal-regional-nasional yang masyarakat menyebutnya Preman, Gali, Korak, dari level Gentho, Dauri, Buto Kempung, Buto Mati, Tikyan dan seterusnya.

    Sebentar. Tadi disebut Wesel-16? Apa itu? Kereta api berjalan berdasar atau di atas atau mengikuti rel. Kapan rel digeser, kereta api ngikut.

    “Yang berkuasa selalu yang bawah”, kata Markesot, “kereta api yang di atas, bisa anjlog bisa terguling atau berjalan lancar, tergantung relnya. Problemnya, rel yang sangat dahsyat kekuasaannya ini, diatur dan taat kepada pegawai Stasiun….”

    Untuk memindahkan rel, digunakan Wesel yang digerakkan secara manual ataupun dengan menggunakan motor listrik, atau sekarang bisa pakai komputer digital. Jadi wesel itu bukan hanya kertas hijau-kelabu tanda pengiriman uang di jaman Mataram pasca-Majapahit. Wesel-16 artinya alat ke-16 di sebuah Stasiun untuk pengaturan rel.

    ***

    Tapi apa hubungannya dengan komunitas kaum filosof? Yang berkaitan dengan komunitas filosof bukan kereta apinya, juga bukan relnya, apalagi dengan weselnya. Hanya gerbong rusaknya.

    Para filosof tidak ada urusan atau kepentingan terhadap Perusahaan Kereta Api. Pertama karena perusahaan tidak butuh orang, yang dibutuhkan adalah uang sebanyak-banyaknya. Kedua, kereta api tidak mengaitkan diri dengan orang, yang ia butuhkan adalah penumpang. Itu pun tidak harus benar-benar penumpang, yang penting siapapun dan apapun saja yang membeli tiketnya.

    Bahkan kalau ada Jin membayar untuk memborong satu gerbong, di-support Setan membeli 200 tiket, tapi Jin dan Setan tidak naik kereta itu dan membiarkannya kosong: perusahaan kereta api tidak berkeberatan apa-apa. Malahan itu lebih baik dan aman bagi petugas kereta api maupun bagi para penumpang, daripada mereka duduk segerbong dengan anggota-anggota Jin dan Setan.

    Jadi Wesel-16 itu sekadar dipakai saja sebagai sebutan untuk memudahkan siapapun menemukan lokasi Las Vegas di dekat Wesel-16 itu.

    Lho kok Las Vegas? Di area sebelah Wesel-16 itu ada tempat perjudian, pelacuran, minuman keras, mungkin juga narkoba, bertaburan lelaki perempuan banci berkomunitas pada jam-jam tertentu, melaksanakan hajat-hajat mereka, pada tingkat ekonomi terendah.

    Ada gerumbul dedaunan yang sangat rimbun di beberapa sudut. Lelaki perempuan banci melaksanakan transaksinya di balik gerumbul daun itu. Kalau ada siapapun yang disuruh orang untuk menjadi Presiden, Gubernur atau Walikota strip Bupati, pertama-tama yang harus ia datangi adalah Wesel-16. Itulah usus terdalam kehidupan rakyatnya.

    ***

    Tetapi bukan Wesel-16 area yang didatangi Markesot malam itu. Setelah menyusuri rel sekian puluh kilometer, ia bermaksud menginap di Rumah Singgah kaum filosof, yakni gerbong rongsokan, yang mungkin di dalamnya bisa ia jumpai sejumlah kawan lamanya, atau mungkin banyak juga pendatang-pendatang baru yang Markesot belum mengenalnya.

    Sejak lama sejumlah filosof meminta kepada Markesot untuk diajari nyluring. Sebagaimana dimafhumi bersama, menjadi Maling Cluring adalah cita-cita paling ideal bagi kalangan tertentu di komunitas filosof.

    Keterampilan mencopet, umpamanya, sudah merupakan tingkat kecanggihan yang umum jangan meremehkan. Pada seorang pencopet, keprigelan jari-jari dan tangan, peletakan badan di tengah keramaian dan keluwesan seluruh batang tangan, kejelian terhadap posisi dan momentum, pendayagunaan kecepatan dan kehalusan, berani tanding melawan para pesulap level tertentu.

    Tetapi jurus copet masih tergolong rendah dalam konstelasi ilmu lelaku para filosof. Kalau jambret adalah gabungan antara kekurang-terampilan mencopet dicampur keberanian, mental nekad dan sedikit kebodohan.

    Meskipun demikian jangan abaikan ada pencopet kaliber internasional. Tidak sekedar korban beli tiket naik kereta api kemudian menggerayangi koper-koper dan tas-tas tatkala para penumpang tidur lelap. Atau sewa pakaian necis masuk Mal dan gedung-gedung fasilitas umum melaksanakan sejumlah ilmu sulap memindahkan uang atau perhiasan atau barang dari suatu koordinat ruang ke koordinat lainnya.

    ***

    Pencopet internasional punya modal besar. Ke kantor Imigrasi bikin passport. Membawa map berkas-berkas identitas ke Kedutaan Negara yang dimaksud untuk mendapatkan visa. Beli tiket pesawat ulang-alik. Selama sekian belas jam di pesawat menerapkan “innalladzina amanu wa hajaru wa jahadu”: sesungguhnya mereka yang beriman, berhijrah dan berjuang….

    Percaya bahwa sangu dan barang para pelancong lintas negara pasti lebih banyak dibanding penumpang kereta, bis atau kapal antar pulau. Berhijrah, bergerak pindah-pindah wilayah, tidak hanya dari Pasar Senen ke Pasar Beringhardjo, dari Stasiun Tugu ke Stasiun Gubeng, tapi dari Jakarta ke Sydney atau Abu Dhabi atau Seoul atau minimal Hongkong ulang-alik.

    Tetapi pencopet internasional semacam itu bukan minat umum komunitas filosof. Mereka eksklusif. Segmen sosiologisnya tertentu. Berasal dari sebuah wilayah Kecamatan di sebuah pulau. Tradisi budaya dan pendidikan sejak kanak-kanaknya mempersiapkan itu semua. Dan itu turun temurun.

    Maling Cluring, yang dimintakan aji-ajinya kepada Markesot, lebih sederhana dan pragmatis. Sasarannya adalah rumah, kantor atau bangunan-bangunan. Maling kelas rendah meng-gangsir, melubangi bagian bawah dari tembok rumah, berperang melawan cor-coran batu semen. Kelas di atasnya mendobrak pintu atau menjebol jendela. Kelas lebih canggih menggunakan keterampilan olah batang-batang besi kecil untuk membuka gembok dan rumah kunci.

    Maling Cluring cukup menggunakan cahaya untuk memasuki rumah atau ruangan berdinding. Asal ada cahaya melintas menyambung bagian dalam dan bagian luar, bisa di-cluring-i. Ada yang kemampuannya terbatas, cahaya harus berasal dari dalam keluar, baru ia bisa masuk. Semester di atasnya bisa cahaya dari luar. Atau asalkan ada cahaya.

    Markesot belum memenuhi permintaan Ilmu Cluring. Ia masih selalu menjawab: “Harus lulus dulu satu ilmu, baru mungkin mempelajari cluring”

    “Ilmu apa itu?”, mereka bertanya.

    “Ilmu tidak mencuri”, jawab Markesot.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Akik Fosil Tlethong


    Ketika Markesot bergeser dari jalur rel menuju ke gerbang rongsok, ada gelas plastik berisi kopi panas melayang mendatanginya. Mendekat ke arah mulutnya. Markesot mengambil dan memegangnya sambil tertawa kecil.

    “Masih saja anak-anak ini hobi sulapan”, gumamnya.

    Bermacam-macam cara makhluk Tuhan bersapa dan membangun kemesraan. Di komunitas kaum filosof lain pernah Markesot datang disuguhi gethuk dan dipersilakan, “Silakan dimakan Cak Sot, yang berwarna merah itu yang paling enak”

    Markesot mengambil yang merah, tapi sebelum dimasukkan ke mulutnya, salah seorang filosof bilang, “Yang merah Cak, kok ambilnya yang hijau….”

    Ternyata yang di tangan Markesot memang gethuk hijau. Dan Markesot langsung memasukkannya ke mulut dan memakannya. Sebab kalau dia tukar lagi, nanti disulap lagi warnanya: “Lho kok ambil yang kuning…lho kok malah makan yang coklat….”

    Begitulah cinta dan kasih sayang.

    Saat lain ketika Markesot datang menyapa hamba-hamba Tuhan di Wesel-16, seorang sahabat mempersilakan Markesot mandi-mandi. Padahal mandi bukanlah tradisi primer mereka maupun Markesot sendiri. Tapi untuk menghormati tawaran itu Markesot pun melangkah ke kamar mandi.

    Memang ada kamar mandi, semacam kamar mandi, di belakang salah satu gubug darurat mereka. Tapi tidak ada air di baknya. Markesot balik ke kerumunan para filosof dan bilang tidak ada air.

    “Jangan ngaco, Cak Sot”, kata salah seorang, “bak kamar mandi kita selalu penuh air. Kita bukan kaum gelandangan. Kita masyarakat berkelas”

    Ketika Markesot kembali ke kamar mandi, ternyata memang airnya penuh. Markesot menyiapkan diri untuk benar-benar mandi, demi silaturahmi. Tapi begitu pakaiannya dilepas dan Markesot mengambil gayung, tiba-tiba baknya kosong lagi.

    Markesot ingat pernyataan Tuhan: “Dan sekiranya ada suatu bacaan, yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, tentu AlQuran lah ia…. Sesungguhnya segala urusan adalah kepunyaan Allah”

    Kalimat kuasa Tuhan berlaku tidak hanya di masjid-masjid, rumah-rumah ibadah dan tempat-tempat lain yang merupakan satu-satunya wilayah yang dipahami oleh orang banyak sebagai tempat suci. Kesucian Tuhan berlaku di mana saja dan kapan saja Ia mau. Jangankan sekadar gethuk merah hijau, gelas melayang atau air pasang surut di bak kamar mandi. Gunung raksasa pun diguncang dan orang mati berorasi.

    ***

    Markesot menghirup kopi di gelas plastik itu sambil melangkah ke gerbong rongsok. Ada gemeremang di dalam. Sejumlah orang, kebanyakan perempuan, mengerubungi seseorang.

    Masyarakat umum menyebut perempuan-perempuan itu pelacur jalanan, sampah masyarakat, sekarang ditambahi gelarnya: diadzab Allah, calon penghuni neraka.

    Sungguh bodoh para pemberi gelar itu. Sepelacur-pelacur mereka ini mereka hanya melacurkan seonggok benda kecil titipan Tuhan, bukan melacurkan harta benda tanah air, martabat bangsa dan harga diri rakyat.

    Produser sampah memang masyarakat. Mereka mengutuk sampahnya, padahal itu produk mereka sendiri. Yang memproduksi sampah lebih hina dari sampah, sebab mereka pabriknya.

    Tuhan Maha Suci dan tak akan tak pernah menciptakan sampah. Orang-orang yang mendalami ilmu dan mengembarai hamparan pengetahuan, oleh Allah diberi kalimat “Robbana ma kholaqta hadza bathila”, wahai Tuhan sungguh tak sia-sia Engkau ciptakan semua ini.

    Tlethong lembu pun bukan sampah. Apa saja bukan sampah. Para penggede di antara manusia membeli akik fosil tlethong sangat mahal. Semua yang disampahkan oleh manusia, diawetkan oleh Tuhan diproses menjadi mutiara, berlian, intan, batu mulia.

    Kekasih yang paling dicintai oleh Tuhan digelari oleh para filosof dan pemakrifat kehidupan sebagai “Yaqut”. Dan semua yang bukan kekasih utama Tuhan berendah hati mengucapkan “wa nahna jami’an kal-hajar”, dan kita semua adalah batu-batu biasa.

    Diadzab Allah? Siapa nama Ustadz Syekh Kiai Ulama Mursyid yang menjabat sebagai Menteri Humas-nya Allah? Sekjen Akhirat? Kepala Takmir Neraka, yang memegang daftar calon-calon penghuninya? Atau siapa nama keponakan Tuhan, nak-ndulur Tuhan, atau mungkin besan-nya Tuhan, sehingga mulutnya membunyikan kalimat yang seharusnya hanya diucapkan oleh Tuhan?

    Tahu apa mereka tentang neraka dan sorga. Tentang sorga yang neraka dan neraka yang sorga. Tentang seolah sorga padahal neraka, seakan neraka padahal sorga. Tentang sorga yang diinformasikan sebagai neraka, dan neraka yang diiming-imingkan sebagai sorga. Tentang sorga dunia yang menjelma neraka, tentang neraka dunia yang diolah menjadi sorga.

    ***

    Markesot tahu jenis apa atau biasanya siapa yang dikerubungi seperti itu. Banyak orang datang untuk minta pesugihan, ingin sawab supaya kaya. Banyak pejabat datang ingin kamukten, maksudnya supaya lancar naik pangkat dan tambah kekayaan.

    Tapi mereka rata-rata ditolak. Yang diterima adalah yang disebut pelacur-pelacur jalanan. Siapa manusia di muka bumi yang berani-berani meletakkan kesimpulan di dalam pikiran bahwa ada perempuan yang menginginkan dan berjuang untuk menjadi pelacur? Apalagi bercita-cita menjadi pelacur jalanan?

    Kalau ada makhluk Tuhan yang berpikiran demikian, mari berdoa agar kita dipertemukan dengannya di bulak jalan, atau di manapun yang sepi, yang tidak banyak orang. Kita ketemu dia dan kita tampar mukanya. Kalau perlu kita ludahi wajahnya.

    Hati Markesot selalu tergeriap kalau melihat para pelacur jalanan. Jaga agar masyarakat terus menyebut mereka pelacur jalanan, agar rahasia kemuliaan mereka terjaga di depan Tuhan.

    Di semua khazanah Agama maupun ‘Agama’ pelacur jalanan selalu menjadi simbol ekstrem dari pengampunan Tuhan. Karena mengalah kepada anjing, memberikan minumannya pada kondisi ia di puncak kehausan, Tuhan mengampuni kesalahannya dan kontan mensorgakannya.

    Pun anjingnya. Puntadewa berdarah putih si Raja agung Amarta tidak bisa meneruskan perjalanan vertikalnya melampaui langit keenam. Anjingnya yang melenggang ke langit tertinggi. Anjing dan pelacur selalu berjodoh. Dua kata paling dihinakan oleh ummat manusia justru menjadi dimensi paling sakral pada amsal-amsal yang diturunkan oleh Tuhan.

    ***

    Markesot terkejut setengah mati ketika akhirnya melihat siapa yang dikerubungi oleh para pelacur itu. Hampir spontan ia berlari menghambur mendatanginya. Tapi Markesot menahan diri.

    Setelah situasi mereda dan memungkinkan, Markesot tidak tahan untuk menyapa: “Lho, Sampeyan kok ada di sini? “

    Orang di pojok itu kaget oleh suara Markesot. “Lha di mana kalau tidak di sini?”, sahutnya.

    “Kan sejak 41 tahun yang lalu Sampeyan sudah tidak di sini”

    “Ah Sampeyan ini. Yang namanya ada ya di sini. Kalau di sana belum tentu ada”

    “Maksud saya Sampeyan kan sudah mutasi”

    “Mutasi bagaimana”

    “Dipindah-tugaskan”

    Orang itu tiba-tiba marah. “Kamu ini buka-buka rahasia. Dasar intel kampung. Pergi sana, sana, semua pergi!”

    Orang itu mengusir semua yang tadi mengerubunginya. Semua yang ada di gerbong rongsok keluar ruangan, kecuali dia dan Markesot.

    “Maaf ya, maaf ya….”, kata Markesot sambil mengantarkan mereka turun dari gerbong.

    Ketika kemudian Markesot membalikkan badan untuk kembali ke orang itu, ia sudah tidak ada.

    Markesot tentu saja tidak kaget atau heran. “Beginilah kalau urusan sama akik fosil tlethong….

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  4. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Ilmu Maling


    Markesot sebenarnya tetap kaget juga oleh lenyapnya orang itu, meskipun ia mengenal perilakunya sejak dulu. Tapi ia berlagak tidak terkejut dan senyum-senyum saja. Ia menengok keluar pintu gerbong dan berkata kepada kerumunan orang di luar.

    “Minta maaf tunggu sebentar ya”, katanya, “Masih ada satu hal penting yang beliau bicarakan”

    Padahal orang itu sudah lenyap entah ke mana.

    Tidak usah berpikir seram-seram dan misterius. Bisa jadi itu “Ilmu Maling” biasa: menunggu, mencari dan menemukan momentum sepersekian detik ketika semua orang berlubang konsentrasinya atau lalai fokusnya, di situ si Maling meloloskan diri.

    Jangan disimpulkan beliaunya itu punya Aji Panglimunan, bisa menghilang, apalagi sampai dimusyrik-musyrikkan. Mohon jangan terlalu banyak tuhan-tuhanan yang gaduh memvonis-vonis menuduh-nuduh.

    Allah itu satu saja dan memang sungguh-sungguh dan sejatinya hanya Satu. “Aku ini Maha Ganjil, dan Aku menyukai semua yang ganjil”, demikian Ia menyatakan.

    Pantas Markesot suka mengganjil-ganjilkan diri, supaya ia dianggap ber-maqam di jalur keganjilan Tuhan.

    Suka mendadak hilang, atau berperilaku sedemikian rupa sehingga sejumlah temannya menyimpulkan bahwa ia berada di beberapa tempat sekaligus.

    Markesot berharap mereka akan menyimpulkan ia dikawal oleh semacam kesaktian atau keajaiban. Padahal yang diterapkannya sekadar Ilmu Maling yang mendayagunakan strategi momentum ruang dan waktu, serta psikologi keterlenaan manusia.

    ***

    Markesot pernah dimintai tolong oleh temannya salah seorang temannya di suatu kota kecil untuk mengobati anaknya. Markesot datang dan diinapkan di sebuah hotel setengah mewah yang menjadi berkurang kemewahannya karena ada tamu bernama Markesot.

    Sore hari ia dijemput. Tetapi temannya itu tidak bisa menemui Markesot di kamarnya. Sementara teman temannya Markesot menunggu di mobil yang ia setiri. Temannya mengetuk pintu kamar Markesot berulang-ulang tak ada jawaban. Tak ada bunyi-bunyi atau gejala apapun yang menunjukkan Markesot ada di kamar itu.

    Mungkin sudah keluar. Maka temannya ke resepsion. Tapi dijawab bahwa penghuni kamar itu belum menitipkan kunci, jadi mestinya masih ada di kamar. Maka temannya kembali ke kamar Markesot, mengetuk-ngetuk pintu lagi, membunyikan belnya berulang-ulang, tak ada jawaban juga.

    Akhirnya temannya Markesot balik ke mobil dan memberitahukan bahwa ia belum bisa ketemu Markesot. Sebaiknya menunggu sebentar. Beberapa saat kemudian temannya Markesot mencoba ke kamar lagi, tak ada jawaban lagi, ke resepsion lagi, jawabannya sama: si tamu kumuh itu belum keluar kamar.

    Maka dengan mulai putus asa temannya Markesot kembali ke mobil. Duduk di sebelah kiri temannya yang duduk di belakang setir. Agak pekewuh dan malu juga ia kepada temannya itu. Dia sudah mahal-mahal menyewa kamar hotel, Markesot sudah menempatinya, dengan harapan masalah anaknya siapa tahu bisa diatasi. Tapi ternyata Markesot sirna.

    ***

    “Maaf ya…”, ia mencoba mengemukakan rasa bersalahnya kepada temannya, dan bersikap sopan sedemikian rupa agar rasa bersalahnya itu terkurangi.

    “Tidak apa-apa. Kita coba sabar agak lebih lama”, sahut temannya.

    “Markesot memang begitu itu orangnya. Tidak bisa dipegang ekornya”

    “Apa dia berekor?”

    Temannya Markesot agak lega karena temannya tidak sekecewa atau semarah yang ia bayangkan. Malah bergurau.

    “Yaaah, semua bedhes pasti berekor”, jawabnya.

    “Berapa panjang kira-kira ekornya?”

    “Saya belum pernah mengukurnya, dan tidak akan pernah”

    “Markesot itu aslinya dari mana?”

    “Dia tidak asli”

    “Kalau gitu palsunya dari mana?”

    “Ya palsu”

    “Maksudnya?”

    “Paling ***”

    Rupanya jengkel betul hati temannya Markesot itu. Mereka berdua tertawa.

    Tapi tiba-tiba ada suara terdengar: “Kita ini nunggu apa kok ndak berangkat-berangkat?”

    Mereka berdua menoleh. Ternyata Markesot duduk di jok belakang. Tentu saja mereka terkejut, terutama teman temannya Markesot. “Memang bedhes ternyata. Kurang ajar”, ia menggerutu dalam hati.

    Akhirnya mereka pun berangkat. Markesot bertugas sebagai Dukun menangani masalah adiknya temannya temannya. Tentu saja bisa beres. Bukan karena Markesot punya kemampuan untuk membereskan. Tetapi karena Tuhan masih belum tega mempermalukan Markesot di depan teman-temannya.

    Mungkin saja Tuhan merasa kasihan kepada Markesot: jomblo, miskin, tidak pernah mencapai sukses di bidang apapun, tidak punya reputasi dan prestasi, tidak bahagia dan kesepian hampir sepanjang hidupnya hingga udzur usia.

    ***

    Meskipun temannya merasa sangat jengkel, tapi di tengah jalan pada suatu kesempatan ia berbisik kepada Markesot: “Cak Sot, wiridnya apa?”

    “Wirid apa?”, Markesot belum paham.

    “Supaya bisa ngilang”

    “Apa hubungannya ngilang dengan wirid?”

    “Ya terserah apa namanya, wirid, mantra, japa-japi, aji-aji”

    “Ah, mana saya tahu”

    “Lho tadi kok bisa ngilang?”

    “Ngilang gimana?”

    “Lha tadi Sampeyan saya cari bolak-balik tiba-tiba sudah ada di dalam mobil”

    Markesot tertawa. “Itu teknik Ilmu Maling”, jawabnya.

    “Ilmu Maling gimana?”

    “Ya ilmu maling. Mencari sela-sela peluang dalam rentang waktu dan peta ruang”

    “Ah, ya ndak lah”

    “Umumnya manusia tidak mampu berkonsentrasi konstan dan penuh. Selalu banyak lubang-lubangnya, jeda-jeda keterlenaan meskipun hanya satu sekon. Matanya, telinganya, saraf-saraf rasanya, tidak selalu stabil. Di situlah pintu yang dimasuki maling”

    Temannya tetap membantah. “Kan jarak dari kamar Sampeyan ke mobil cukup jauh. Kalau Sampeyan berjalan sepanjang jarak itu kan pasti ada yang melihat. Juga ketika Sampeyan membuka pintu mobil kemudian menutupnya kembali, pasti terdengar”

    “Buktinya tidak kelihatan dan tidak terdengar”

    “Berarti Sampeyan tidak berjalan dari kamar ke mobil, dan tidak membuka menutup pintu mobil, tapi entah bagaimana pokoknya tiba-tiba sudah ada di dalam mobil”

    “Tidak mungkin saya tiba-tiba berada dalam mobil. Harus berjalan melangkah dulu dan harus membuka pintu mobil, terus masuk, kemudian menutup pintu mobil. Pelan-pelan, lirih, sehingga tidak terdengar”

    “Sudah tho Cak Sot, mbok saya dikasih wiridnya”

    “Saya sungguh-sungguh tidak punya wirid yang kamu maksud”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  5. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Konflik Dengan Allah


    Bagusnya Markesot tidak usah mendongeng atau apalagi memamerkan sulap-sulap picisan kelas restoran dan café rendahan. Tidak usah mendemonstrasikan adegan online-offline kuno. Tidak akan ada yang bertepuk tangan, kasih aplaus, apalagi standing ovation.

    Ini zaman pasca-pasca-modern dan sudah menapaki ultra-degree pencapaiannya. Markesot move on lah. Jangan terlalu jadul. Sekarang ini andaikan Kiai Sudrun menggulingkan kereta api dengan sebuah tiupan, atau membakar Mal dengan lemparan pasir sacawuk, tidak akan ada orang yang heran atau kagum. Bahkan koran-koran, media cetak, media tayang, medmas dan medsos akan belok beritanya: ada orang musyrik sesat mulai sakit jiwa sehingga bermimpi merobohkan Mal raksasa.

    Markesot perlu sedikit tahu bahwa sekarang ini ia hidup di peradaban yang sama sekali berbeda dengan peradaban yang ia alami ketika hidup yang dulu. Kalau Markesot memang canggih, atau kalau perlu nge-bon Kiai Sudrun yang ia unggul-unggulkan: cobalah bikin banjir besar, gempa dahsyat, luapan air samudera, lima triliun tawon mengamuk menyerbu kota-kota seantero bumi, letusan 21 atau setidaknya 19 gunung sekaligus atau sekurang-kurangnya berurutan.

    Atau jenis kedahsyatan apa saja minimal seperti di zaman Raja Namrud, Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Sholeh, Nabi Luth dan lain-lainnya. Itulah yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh ummat manusia di era sekarang ini.

    ***

    Ummat manusia yang mendapat giliran menghuni bumi kali ini adalah jenis makhluk manusia yang paling tinggi hati. Merasa paling pandai dibanding manusia kurun-kurun sebelumnya.

    Mereka sedang merasa berada di puncak peradaban, dan diam-diam sangat meyakini bahwa yang sedang mereka capai ini sungguh-sungguh puncak prestasi segala jenis manusia yang pernah Tuhan ciptakan.

    Markesot sebenarnya juga tahu bahwa manusia penduduk bumi pergiliran ini hanya mengerti bahwa yang disebut adzab adalah peristiwa-peristiwa hardware. Yang kelihatan mata, yang terdengar telinga dan yang terasa oleh perabaan atau perasaan-perasaan jasad. Ya itu tadi: gempa, tsunami, gunung meletus, angin siklon anti-siklon, badai, longsor, banjir bandang, bebendhu, pageblug.

    Bagi manusia di bumi saat ini kehancuran akal sehat bukan bencana, apalagi adzab. Hancurnya logika itu persoalan remeh dibanding rumah ambruk. Ambruknya akhlaq, rusaknya mentalitas, gelapnya spiritualitas atau berbagai jenis penyakit jiwa lainnya, bukan masalah primer.

    Masalah utama yang mereka rasakan sebagai bencana atau adzab adalah tidak punya rumah, kendaraan, simpanan uang di Bank, pekerjaan tetap, laba terlalu sedikit, tidak punya akses untuk bareng-bareng merampok hak orang banyak, dan yang semacam-semacam itu.

    Posisi konflik dengan Allah, misalnya, bukan persoalan serius bagi kebanyakan manusia yang sekarang ini. Bawah sadar mereka diam-diam berpendapat bahwa toh aslinya Tuhan belum tentu ada, dan kalau nanti sudah mati kan semua selesai. Darah daging hancur dalam kuburan, jantung hati otak remuk dan menyatu dengan tanah. Selesai. Tak ada masalah apa-apa lagi.

    ***

    Dengan demikian andaikan pun Markesot bersekongkol dengan Kiai Sudrun mendorong para pengurus gunung untuk meletuskannya, bernegosiasi dengan pengelola laut untuk meluapkan airnya, tawar-menawar dengan panitia bumi untuk mengaduk lempengan-lempengannya, atau mempengaruhi penggembala angin untuk membadaikannya – jangan dipikir itu akan mengubah apa-apa pada manusia.

    Mereka berpikir toh semua mati. Selesai sudah. Bareng-bareng. Tak ada persoalan lagi. Ingat pun tidak. Namanya juga mati. Tiada.

    Jadi Markesot hendaknya mulai menyadari bahwa ia hidup di tengah lingkungan peradaban dan alam pikir golongan-golongan manusia yang sama sekali bukan seperti yang ia sangka atau bayangkan. Jangankan gempa bumi dan banjir bandang, sedangkan seandainya para Malaikat datang secara fisik ke bumi, mereka jangan disangka akan terkejut.

    Malaikat berbagi tiga-tiga per-Negara mendatangi manusia, umpamanya. Kehadiran mereka resmi dan protokoler. Mereka mewujud secara jasad dengan kostum yang diperhitungkan akan mempermudah manusia mengenali bahwa mereka Malaikat. Kemudian bertamu ke Istana-istana Negara dan Kerajaan. Menyampaikan sejumlah hal yang dibawa dari alam-malakut, misalnya.

    Markesot jangan pernah berpikir bahwa itu akan menjadi peristiwa shocking, berkaliber guncangan besar, yang menjadi headlines di media-media. Jangan ge-er. Berita yang akan tayang adalah sebutan bahwa sekelompok orang aliran sesat yang datang ke Istana karena putus asa. Atau itu adalah barisan sakit hati, kelompok yang tidak kebagian korupsi.

    Bisa-bisa mereka malah digebugin oleh rombongan Polisi, diusir atau ditangkap sebagai kelompok makar. Kecuali para Malaikat itu diizinkan untuk mengangkat istana dengan dua jari tangan kirinya, kemudian diperkenankan membanting Istana itu atau melemparkannya ke tengah laut atau ke kawah membara di puncak gunung.

    ***

    Kiai Sudrun pernah berbaring telentang di tengah jalan raya jalur hubungan antar kota. Ia kayal-kayal, menggerak-gerakkan kakinya seperti bayi, menangis sejadi-jadinya. Dan sekeras-kerasnya.

    Jalanan macet. Ratusan kendaraan dari dua arah berbaris sangat panjang tidak bisa meneruskan perjalanan. Masyarakat dari sekitar lokasi Sudrun kayal-kayal itu berdatangan dan berkerumun. Beberapa Polisi datang. Karena melihat yang telentang itu orang tua, maka Polisi bersikap sehalus-halusnya dan sesopan-sopannya.

    “Mbah ini kenapa?”

    Kiai Sudrun terus kayal-kayal dan menangis. Tentu saja Polisi tidak tahu siapa orang tua ini. Kebanyakan orang yang berkerumun juga tidak tahu. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang senyum-senyum melihat adegan itu.

    Masalahnya, bagaimana Polisi tidak bersikap sopan, lha tempat di mana Kiai Sudrun telentang kayal-kayal itu hancur aspalnya. Bongkahan batu-batu dan serpihan-serpihan aspal bertebaran seperti barusan ada mini-meteor jatuh dari langit menimpa jalan raya. Bahkan setiap kaki dan tangan Kiai Sudrun menyentuh lantai jalan, aspalnya hancur dan terlempar ke sana kemari.

    “Mbah ada apa ini? Kenapa menangis?”

    Para Polisi punya niat untuk mengangkut saja orang tua ini ke tepian jalan. Tapi mereka ragu-ragu karena menyaksikan aspal hancur dan belum bisa menyimpulkan peristiwa apa ini. Terutama siapa orang ini.

    Untung akhirnya Kiai Sudrun bangun berdiri. Ia berjalan ke pinggir jalan raya. Sambil terus menangis ia marah-marah: “Kalian semua ini keterlaluan. Dasar nggrangsang bondho kabeh, dasar matanya hanya dilatih untuk melihat duit. Dari pagi tadi Kanjeng Nabi datang ke sini, berkeliling melihat-lihat warung-warung kalian, lalu-lalang kendaraan, memperhatikan semua kegiatan kalian dengan penuh kasih sayang. Tapi tidak seorang pun dari kalian yang menyapa. Dasar menungso kedunyan kabeh

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  6. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Proposal Wabal Pra-Neraka


    Atau Markesot bikin proposal ke Allah, ditandatangani oleh Kiai Sudrun, agar Allah mempertegas ketentuan adzab-Nya kepada siapapun sesuai dengan kedurhakaan politik dan moral negara-negara manusia.

    Agar Allah menunjukkan kekuasaan absolut-Nya untuk melemparkan wabal atau balasannya atas perbuatan siapapun saja. Perbuatan baik akan memperoleh wabalberkah. Perbuatan buruk akan mendapatkan wabal murka dan adzab.

    Sudah lebih dari dua milenium, atau mungkin sejak Adam khalifah pertama, bahkan siapa tahu sejak sebelum ada keputusan Tuhan menciptakan Adam: sudah dituliskan ketentuan-ketentuan tentang berkah adzab dari Sang Maha Pencipta.

    Di dalam setiap ruang kependidikan agama, anak-anak yang belum detail-fasih mengucapkan za’ dzal dho’ dlot sin syin shot tsa’ oleh orang-orang tua mereka sudah dibikin hafal hukum dasar bahwa “kalau engkau bersyukur, akan Kutambahi nikmat, kalau engkau kufur akan kutimpakan adzab”. Sangat sangat jelas.

    Tidak sekali dua kali Tuhan melontarkan pernyataan: sesungguhnya Aku telah menyiapkan adzab yang menghinakan bagi mereka yang kufur. Disediakan minuman berupa air mendidih bagi mereka, disebabkan oleh kedurhakaan mereka. Telah pasti berlaku ketentuan adzab bagi siapa saja yang kufur. Adzab yang dahsyat, api yang menyala-nyala.

    Atas sebagian orang telah ditetapkan adzab atasnya. Secara khusus ditetapkan juga adzab yang keras kepada siapa saja yang terlibat penyiaran berita-berita bohong di media massa media sosial dan segala jenis media informasi lainnya. Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.

    Mereka akan mendapat giliran kebinasaan yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka. Dia-lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan yang saling bertentangan dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.

    ***

    Markesot sering bergumam di dalam dirinya sendiri, “Kalau aku ternyata adalah bagian dari golongan yang juga pantas untuk ditimpa adzab, ya timpakanlah ya Allah”

    Markesot sangat takut bahkan ngeri kepada adzab Tuhan, tetapi di sisi lain ada semacam kegembiraan kecil, bahwa hukuman juga berarti pembersihan. Kalau Markesot diadzab Allah, ditimpa wabal atau pembalasan Allah atas perbuatannya, pada posisi pra-neraka, itu adalah hal yang justru harus disyukuri, karena memerdekakannya dari dosa-dosa seiring dengan tahap-tahap pengikisan dosa-dosa itu oleh wabal-Nya.

    Kalau Markesot mengajukan proposal Wabal pra-Neraka, ia bukan sedang membenci dan mengutuk suatu golongan manusia dan memohon Tuhan menghancurkan mereka. Pengajuan Markesot itu harus berarti bahwa ia sendiri siap menanggung logika sebab-akibatnya.

    Semua dan setiap orang ingin dihindarkan dari adzab neraka dan ingin tergabung dalam golongan para kekasih Tuhan. Tetapi cinta Allah bukan sesuatu yang bisa dicapai dengan proses penguasaan, melainkan ditempuh dengan perjuangan kebaikan dan kesetiaan.

    Dan salah satu alasan atau sebab yang membuat Markesot ‘sangat bernafsu’ memohon wabal Allah sebenarnya adalah karena diam-diam kebanyakan manusia tidak takut-takut amat kepada neraka. Banyak pemeluk-pemeluk agama sangat serakah untuk minta masuk sorga, tapi perilaku dan keputusan sehari-hari mereka terutama dalam kehidupan bernegara mencerminkan bahwa aslinya mereka meremehkan neraka.

    Mereka concern kepada sorga karena sorga dianggap punya akses melimpah untuk memperoleh laba kekayaan dan kemewahan. Kekayaan yang dimaksud tentu saja kekayaan menurut konsep keduniaan mereka. Siapapun yang memperhatikan pola perilaku manusia di dalam mengurusi kehidupan bernegara dan perhubungan-perhubungan sosial mereka, akan menyimpulkan bahwa itu bukan tingkah laku makhluk Tuhan yang takut kepada neraka.

    ***

    “Jadi”, gumam Markesot, “Perkenalkanlah karakter neraka itu, ya Allah, kepada hamba-hambaMu yang punya potensi besar untuk kelak Engkau campakkan ke dalamnya. Supaya mereka agak merasa ngeri sedikit”.

    Masalahnya, jika ini tidak kurang ajar untuk menyebutnya masalah: ialah konsep tangguh dari Tuhan. Adzab pasti ditimpakan, tetapi ditangguhkan. Diulur sampai jangka waktu tertentu. Dan jangka waktu yang dimaksud itu berapa lama, merupakan rahasia Allah yang paling dirindukan oleh para pecinta-Nya untuk dikuakkan.

    Allah berfirman, “beri tangguhlah orang-orang kafir itu barang sebentar”. Tuhan Maha Besar. Allahu Akbar. “…barang sebentar….” Barang sebentar. Siapakah para ahli kasyaf yang mungkin dikasih bocoran oleh Tuhan tentang berapa lama “barang sebentar” itu.

    Kalau ada yang memperhatikan agak mendalam kenapa Markesot bersikeras dan begitu sungguh-sungguh melakukan perjalanan mencari Kiai Sudrun, antara lain dorongannya adalah “barang sebentar” itu. Meskipun Markesot siap-siap nanti Sudrun akan mentertawakannya dan menjawab:

    “Apa kau yakin ada Malaikat, entah Baginda Jibril atau siapapun Malaikat lainnya yang dimurahi oleh Allah dan dikasih tahu tentang ‘barang sebentar’ itu? Kalau kamu bisa memastikan dan menginformasikan kepadaku Malaikat siapa yang mengetahui hal itu, maka ada kemungkinan saya menanyakan kepada beliau….”

    Jawaban Kiai Sudrun itu nanti akan menghancurkan hati Markesot. Karena diam-diam memang terpikir olehnya untuk meminta Kiai Sudrun menanyakan kepada satu dua Malaikat yang paling dekat Tuhan, kenapa ada perubahan kebijakan sesudah lahir dan diutusnya Muhammad sebagai Duta Terakhir, khotamal-anbiya’.

    Kenapa adzab-adzab tidak kontan lagi. Kenapa hukuman-hukuman ditunda. Kenapa pembalasan terhadap para pengingkar nilai-nilai Tuhan diulur-ulur. Kenapa ada klausul “amhilhum ruwaida”.

    Bahkan begitu banyak pecinta Allah cepat dipanggil oleh-Nya. Kenapa begitu berurutan para penyetia tauhid tinimbalan, sementara manusia-manusia kacau balau akhlaqnya akalnya mentalnya malah ‘disuntik formalin’ sehingga awet hidup di dunia. Kenapa Allah terlalu membiarkan diri-Nya dilecehkan oleh banyak sekali golongan-golongan manusia.

    Diremehkan, dianggap tidak ada. Tidak diagendakan dalam tahap-tahap tujuan hidup. Tidak dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan, terutama yang besar-besar seperti program pembangunan oleh kebanyakan pemerintah yang secara terbalik-nilai menguasai negara dan menyandera rakyat yang memiliki negara.

    Alhasil, Markesot ini ge-er meletakkan dirinya seolah-olah ia ditugasi untuk mengelola dan menjaga nasib Bangsa dan Negara di mana ia hidup. Ia juga kurang bersabar terhadap irama kehendak Tuhan. “dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh”

    Jadi, Cak Sot, kenapa mempertanyakan policy tangguh-Nya, apa karena kurang yakin bahwa Allah itu Maha Tangguh?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  7. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Batas Syafaat


    Sedangkan Rasulullah Saw kekasih utama Allah dibatasi usulannya yang menyangkut neraka dan sorga, hanya sebatas hamba-hamba Tuhan yang mempercayai dan mencintainya.

    Pasti Rasulullah mencintai dan ingin menyelamatkan seluruh ummat manusia, tetapi Allah terapkan galengan-galengan: pecinta kekasih-Nya itu diselamatkan, tetapi para pelecehnya, penghinanya, lain masalah.

    Lho siapa Markesot, kok nekat mau menawar regulasi wabal? Ia tidak berjasa hidupnya, jangankan kepada ummat manusia, atau sekadar kepada lingkaran teman-temannya saja pun, bahkan Markesot tidak berjasa atas dirinya sendiri.

    Tuhan memegangi tangan kinasihnya itu dengan hak patent Syafaat, yang diberlakukan hanya untuk mereka yang mengikuti jejaknya. Selebihnya, hanya bisa ditangisi tiap malam hingga dini hari oleh beliau dalam sujud-sujudnya.

    Barangsiapa ittiba’ Rasul, ia memperoleh hak syafaat. Yakni hak untuk ditolong oleh Muhammad Saw berdasarkan aturan khusus dan hak prerogatif yang dianugerahkan oleh Allah Swt. Ditolong untuk diampuni dosa-dosanya yang tidak didapatkannya jika ia tidak berjalan di belakang langkah Rasulullah.

    Disyafaati untuk terhindar dari bahaya tatkala semestinya ia terkena bahaya. Disyafaati untuk laku jualannya lebih banyak pada posisi seharusnya hanya laku sedikit. Disyafaati untuk disembuhkan oleh Allah pada kondisi rasional yang semestinya tak sembuh. Atau disyafaati dengan terbukanya jalan keluar atas persoalan yang pada kondisi normal seharusnya tertutup jalannya.

    Memang meskipun berada di shaf paling belakang, sejak kanak-kanak Markesot mengambil keputusan pribadi untuk menjadi pengikut Muhammad Saw. Walaupun hanya secuil, berarti ia punya hak disyafaati juga. Tetapi khayal kalau ia membayangkan potensi syafaat itu ia terapkan ke tingkat penawaran terhadap aturan balasan Allah atas kelakuan manusia.

    ***

    Ada saat-saat di masa mudanya Markesot mengembara ke berbagai wilayah dimensi, peta spiritual, atlas budaya dan apa saja sekena-kenanya. Banyak madzhab, aliran, sekte, kelompok thariqat, bermacam-macam ‘gua’ kebatinan ia masuki. Beberapa kali pimpinan kelompok ini itu menawari Markesot untuk membaiatnya.

    Di sela pertemuan-pertemuan, kepada salah seorang di tempat itu, yang kelihatannya berposisi sama dengannya, Markesot bertanya:

    “Baiat itu apa?”

    “Itu ucapan janji iman dan kesetiaan kepada Allah”, dijawab oleh seseorang itu.

    “Saya yang dibaiat?”

    “Ya”

    “Sampeyan juga?”

    “Ya”

    “Siapa yang membaiat kita?”

    “Beliau Mursyid kita?”

    “Siapa beliau itu?”

    “Mursyid kita”

    “Mursyid itu apa?”

    “Yang menuntun jalan kita”

    “Kenapa beliau yang menuntun kita?”

    “Karena beliau ‘alim sehingga lebih mengerti jalan menuju Allah”

    “Sampeyan sudah tahu jalan menuju Allah?”

    “Belum”

    “Apalagi saya”

    “Makanya kita perlu dibimbing oleh Mursyid”

    “Bagaimana caranya kita yang belum tahu jalan ke Allah bisa menyimpulkan ada seseorang yang sudah tahu jalan ke Allah?”

    “Beliau kan Mursyid”

    “Bagaimana kita tahu bahwa beliau Mursyid?”

    “Kata semua orang di sini beliau itu Mursyid”

    “Waduh saya belum punya pengetahuan batin dan ke’aliman yang membuat saya bisa tahu beliau Mursyid atau bukan”

    “Semua orang di sini bilang begitu”

    “Kalau begitu semua orang saja yang membaiat Sampeyan”

    “Lho kok gitu?”

    “Kan Sampeyan percayanya kepada semua orang, bukan kepada yang disebut Mursyid itu”

    “Lho mereka semua percaya bahwa beliau Mursyid”

    “Makanya semua orang saja yang membaiat Sampeyan, kecuali beliau menyebut bahwa diri beliau itu Mursyid”

    “Memang saya pernah juga mendengar beliau menyebut diri beliau Mursyid”

    “Bagaimana caranya Sampeyan tahu dan menyimpulkan bahwa beliau Mursyid?”

    “Semua orang di sini percaya bahwa beliau memang Mursyid”

    ***

    Pembicaraan mereka berputar-putar melingkari garis dan titik-titik yang sama. Dan Markesot ternyata sangat menikmati. Mungkin karena hidup Markesot sendiri memang hanya muter-muter tanpa pernah mencapai suatu pencapaian.

    “Kenapa tho kita dibaiat?”, Markesot bertanya lagi.

    “Untuk menandai dan meneguhkan imanmu kepada Allah dan istiqamah jihadmu membela kebenaran Allah”

    “Pertanyaan saya: kenapa kita dibaiat?”

    “Untuk menandai dan meneguhkan iman kita kepada Allah dan istiqamah jihad kita membela kebenaran Allah”

    “Saya perjelas pertanyaan saya: bagaimana penjelasannya kok saya berposisi dibaiat dan Panjenengan berposisi membaiat?”

    “Untuk menandai dan meneguhkan iman kita kepada Allah dan istiqamah jihad kita membela kebenaran Allah”

    “Begini lho, kenapa kok orang itu yang membaiat kita?”

    “Untuk menandai dan meneguhkan iman kita kepada Allah dan istiqamah jihad kita membela kebenaran Allah”

    “Maksud saya, misalnya begini: kenapa bukan kita yang membaiat beliau, atau beliau yang kita baiat?”

    Markesot nyerocos.

    “Tapi terus terang kalau saya tidak akan pernah mau membaiat siapapun, sebab di depan Allah saya tidak mampu menolong orang yang saya baiat”

    Orang itu menjawab agak jengkel, “Ya mustahil lah Pak….”

    “Maksudnya?”, Tanya Markesot.

    “Tidak mungkin ada orang, sebodoh apapun dia, yang mau dibaiat oleh Njenengan”

    “Lho kenapa?”

    “Siapa yang percaya bahwa Njenengan seorang Mursyid”

    “Kok Sampeyan percaya bahwa beliau Mursyid?”

    “Kan jelas tanda-tandanya. Cara berpakaiannya saja sudah menunjukkan ke’aliman beliau. Belum lagi kefasihan bicaranya. Kalau ngimami shalat juga enak. Dan yang utama beliau pernah belajar di Arab”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  8. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Baiat Di Bawah Pohon


    Markesot meneruskan perjalanan, meninggalkan komunitas kaum filosof di gerbong rongsok. Cuma kali ini tidak meneruskan menelusuri rel, melainkan menuju sungai dan menyisir ke arah sumber mataairnya.

    Tatakala ia melangkah dan ingat bahwa tujuannya adalah mencari Kiai Sudrun, tiba-tiba ia kaget oleh dirinya sendiri.

    “Jangan-jangan saya sedang mencarinya karena diam-diam saya menganggap bahwa Kiai Sudrun adalah Mursyid saya…”, ia bergumam dalam hati.

    Jadi ingat ketika dulu-dulu ia selalu bersikap defensif dan punya naluri untuk mengambil jarak dari urusan kemursyidan. Muncul lagi bagaimana ia membakar-bakar pembicaraan dengan seseorang yang sama-sama akan dibaiat di suatu kelompok Jihad, kumpulan para pencari dan pejuang kebenaran.

    Mungkin karena waktu itu Markesot masih cukup muda, maka dialog dengan orang itu justru dinikmatinya, bahkan cenderung diulur-ulurnya.

    “Karena satu-satunya urusan dalam hidup saya adalah keselamatan di hadapan Tuhan, maka kalau memang harus baiat, hanya tiga pihak yang saya terima untuk membaiat saya”, kata Markesot.

    “Siapa?”, orang itu menjawab.

    “Tuhan, Muhammad dan saya sendiri”

    Orang itu bereaksi agak keras. “Kalau Tuhan dan Muhammad saya paham. Tapi kenapa Bapak sebut Bapak sendiri sebagai pihak yang membaiat Bapak?”

    ***

    Markesot senang oleh pertanyaan itu.

    “Lho kan saya dulu bersyahadat sendiri, karena saya sendiri juga yang bertanggungjawab kepada Allah atas hidup saya”, jawabnya, “Syahadat adalah baiat mendasar hidup saya, selebihnya adalah pembuktian”

    “Tetapi apa itu cukup? Kita tetap butuh pembimbing”

    “Saya sangat butuh pembimbing. Saya sangat butuh Tuhan, Nabi, Ulama, Kiai dan semuanya. Tetapi selain Allah dan Rasulullah, tidak ada yang bisa menolong saya di hadapan Allah. Tuhan menawarkan ampunan, dan Rasulullah memiliki hak prerogatif yang bernama syafaat untuk menolong nasib saya. Jadi kalau mau baiat lagi, saya dibaiat oleh Rasulullah saja”

    “Kan kamu tahu bahwa tidak mungkin saat ini Rasulullah membaiat kamu, maka harus ada pewaris beliau atau Waratsatun-Nabi yang melakukannya”

    “Siapa itu?”

    “Ya Mursyid kita ini”

    “Kok ndak Njenengan sendiri pewaris Nabinya?”

    “Kan saya awam”

    “Kalau beliau tidak awam?”

    “Beliau ‘alim, Ulama yang terpandang”

    “Ulama memang bisa mengukur siapa-siapa yang bukan Ulama. Tapi yang bukan Ulama seperti saya, dengan modal apa mengukur seseorang itu Ulama atau bukan, Mursyid atau bukan?”

    “Modal saya kepercayaan kepada beliau”

    “Saya juga percaya kepada beliau, tetapi sebatas yang saya ketahui tentang beliau, itu tidak mencukupi untuk memposisikan beliau membaiat saya”

    “Saya percaya sepenuhnya kepada beliau. Bapak terserah”

    “Andaikan beliau menyarankan agar saya membaiat diri saya sendiri sebagai salah satu perwujudan syahadat saya, mungkin saya mau. Tetapi kalau beliau membaiat saya, syaratnya beliau harus bisa menolong nasib saya di depan Tuhan, serta turut mempertanggungjawabkan perbuatan saya di dalam pengadilan Tuhan kelak”

    “Maaf Pak saya tidak mikir sampai ruwet-ruwet seperti itu. Yang penting saya percaya kepada beliau”

    “Apakah itu termasuk rukun iman Njenengan?”

    “Terserah”

    “Iman kepada Allah, iman kepada Al-Qur`an, iman kepada para Malaikat, iman kepada Nabi, iman kepada hari Kiamat, iman kepada qadla dan qadar — atau kepada Keadilan kalau di Syiah — kemudian iman kepada Mursyid. Jadi tujuh ya rukun iman Njenengan”

    “Ya jangan gitu, Pak”

    “Lho kan memang gitu”

    ***

    Markesot terus menyusuri sungai. Terkadang minggir dan naik ke tepiannya, saat lain berjalan di tengah atau pinggiran sungainya. Tidak berhenti meskipun gelap. Justru, kalau ‘memanjat’ ke mataair, Markesot lebih memilih kegelapan.

    “Andaikan Rasulullah bermurah hati mambaiat dan memberi perintah kepada saya, entah beliau hadir sendiri atau mewakilkan kepada entah siapa sahabat yang beliau percaya, maka itulah kenikmatan paling puncak dalam pengalaman seluruh hidup saya”, Markesot melamun.

    “Disuruh menguji diri dengan tidur sepuluh tahun di dasar laut pun saya mau dan ikhlas. Misalnya Rasulullah berkenan datang, berdiri di depan saya, kemudian langsung menempelengi kepala saya, biar sampai seratus kali tempelengan itu, saya bersyukur. Saya disuruh salto, terbang ke puncak pohon, berjalan selambat-lambatnya di atas air sungai, disuruh makan daun beserta dahannya, diperintah mengulum batu, disuruh topo nglowo, topo kungkum, atau tidak boleh makan minum sejak detik ini hingga saat kematian saya tiba, apa saja, apapun saja, saya akan sangat bahagia melakukannya”

    Ketika merasa agak lelah, Markesot sengaja beristirahat sejenak dan memilih sebuah pohon yang paling rindang untuk duduk di bawahnya. Kemudian ia mengkhayalkan bahwa ada makhluk langit tiba-tiba turun mendekatinya, terbang berputar-putar di atas kepalanya. Kemudian makhluk itu, yang ketika terbang hanya tampak seperti asap yang bergulung-gulung, ketika mendarat dan berdiri di depan Markesot, ternyata ia raksasa yang sangat besar.

    Jauh lebih besar dan perkasa dibanding kebesaran yang bisa dicapai oleh Prabu Kresna tatkala “duta” ke depan Balairung Istana yang diklaim oleh Para Kurawa. Raksasa putih sangat agung dan berwajah cahaya. Ketika cahaya wajahnya memancar, yang menyentuh Markesot adalah sebuah firman:

    “Sesungguhnya Allah telah ridla kepada orang-orang Mu`min yang menyatakan janji setia kepadamu di bawah pohon. Maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka, dengan memberi balasan kepada mereka berupa kemenangan yang dekat waktunya….”

    Membaiat dirinya sendiri untuk berjanji setia kepada Muhammad. Tetapi kalau beliau Muhammad yang membaiat, Markesot siap. Tapi jangan yang lainnya.

    “Kanjeng Nabi nyuruh saya melakukan apa?”, Markesot melamun, “berkeliling daratan lautan kota desa sawah kebun hutan belantara untuk menyebarkan gema cinta Panjenengan dan hidayah Allah? Mengkoordinasikan para pemegang sulthon untuk melongsorkan tanah dan menenggelamkan wilayah-wilayah yang dihuni oleh mereka yang menghina Allah dan meremehkan Panjenengan Kanjeng Nabi kami semua?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  9. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Naga di Pintu Depan Sorga


    “Perintahkan kepadaku, wahai Baginda Nabi, apa saja, apapun saja, saya akan lakukan dengan sepenuh hati”

    Markesot terus bergeremang sendiri.

    “Segala perintahmu, yang sukar, yang mudah, yang berat, yang ringan, hingga yang mustahil pun, saya berbahagia melaksanakannya”

    “Apa saja, wahai Rasul, karena perintahmu adalah perintah-Nya”

    “Asalkan jangan suruh saya menggenggam matahari di tangan kanan dan rembulan di tangan kiri, sebagaimana sumpah Baginda di depan Pamanda Abu Thalib”

    “Saya sudah tua, badan saya semakin lemah, tidak mungkin kuat lagi memanggul batu lebih dari satu kwintal di pundak bersangga punggung. Tetapi kalau Baginda suruh saya menjadi Don Kisot menyeret sekwintal demi sekwintal batu naik ke puncak gunung, akan saya lakukan meskipun sampai lumpuh, sehingga batu-batu itu yang bergantian menyeret badanku ke puncak gunung”

    Markesot yang lain yang berada di dalam diri Markesot tertawa terkekeh-kekeh mendengar suara batin Markesot.

    Sebenarnya, ada berapa Markesot di dalam Markesot?

    Semua Markesot sudah sejak awal dahulu kala menyepakati untuk tidak akan pernah menjawab pertanyaan semacam itu. Karena setiap Markesot yang terkandung di dalam Markesot punya jawaban yang berbeda-beda, meskipun sebagian seakan-akan sama.

    “Tetapi kalau Baginda mememerintahkan kepada saya untuk pergi mencluringi Istana dan memegang leher Baginda-Bagindaan yang duduk mengkudeta Singgasana, maka segera kulaksanakan dengan penuh riang gembira”

    “Saya tiup batu akik di jari-jariku dengan basmalah, kemudian kumasuki pantulan sinarnya, kemudian tinggal saya pilih mengendarai pantulan sinar yang mana di antara pancaran-pancaran cahaya berlian tajallillah yang jumlahnya tak terhingga”

    Terdengar suara tertawa mengejek dari salah satu Markesot yang sepanjang hidup Markesot tidak pernah menampakkan wajahnya. Yakni Markesot yang melihat dan mengawasi Markesot dari atas yang jauh.

    “Atau sekurang-kurangnya Baginda suruh aku berperang tanding, atau menyerbu batalyon demi batalyon tentara Negara, baik di markas-markas mereka atau di medan perang — percayalah wahai Baginda, bahwa itu akan saya patuhi dengan penuh gairah”

    “Ataukah saya harus memanggul karung satu ton pasir, berkeliling, kutaburkan, kulemparkan segenggam demi segenggam, sehingga setiap butiran pasir itu menyentuh tembok gedung-gedung itu berubah menjadi kobaran api. Ayo, saya mohon, instruksikan kepada saya wahai Baginda”

    “Atau saya hembuskan hawa, hawa, hawa, sampai mengepung dan memenuhi seantero Negeri. Hembusan hawa itu menjadi kendaraan bagi tebaran kekuatan sejati, sulthanhadiah dari langit, serta yang menyeruak dari lingkaran cakrawala sebulatan bumi”

    Sulthan yang membangunkan bangsa ini dari tidurnya, menegakkan kembali akal mereka, mensemestakan kembali jiwa mereka, memacu dan meneguhkan kembali keberanian tauhid mereka”

    “Wahai Baginda Rasul, makhluk-makhluk di sekitar hidup saya ini, yang di hutan atau sawah, yang di gunung atau kampung, yang di desa atau kota, yang di gedung atau jalanan, yang di pasar atau gardu, yang sedang bekerja atau terbaring, semuanya, semuanya, wahai Baginda, memerlukan ukuran-ukuran itu. Ukuran pada mata, telinga dan semua perangkat jasadnya. Ukuran bagi nilai-nilai yang sedang dijalaninya. Ukuran di ruangnya, maupun sepanjang waktunya….”

    ***

    Markesot ternyata akhirnya tidak kuat menampung dan memanggul kalimat-kalimatnya sendiri, hingga tertidur di bawah pohon itu. Tertidur tidak tergeletak di tanah, melainkan tersandar punggungnya di pohon.

    Andaikan ada yang menguntit perjalanan Markesot, ia akan baru tahu sejumlah hal padanya. Misalnya, rambut Markesot.

    Yang tatkala dikeluarkan dari persembunyian bungkus kepalanya, menggerai dan memanjang mencapai hampir pertengahan kakinya.

    Wajahnya yang kerut-merut, tidak sepadan dengan hitam legam rambut panjangnya. Seakan wajahnya menjalani kehidupan dan waktu sendiri, yang berbeda dengan yang dijalani oleh rambutnya.

    Terlebih lagi badannya. Dari leher hingga pergelangan kakinya. Keriput wajahnya yang mencerminkan ratusan tahun waktu, sangat tidak bersesuaian dengan badannya yang padat bening pegas seakan berusia dua atau tiga puluh tahun.

    Tiba-tiba Markesot terbangun dari tidurnya.

    Dari posisi terbaring ia langsung melesat berdiri dan pasang kuda-kuda. Baru kemudian kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, ke depan berkeliling hingga ke belakang.

    Ia baru menyadari bahwa kuda-kudanya bukan kuda-kuda tangan kosong, melainkan tangan kirinya menggenggam sesuatu, sebatang tongkat.

    Tongkat yang panjang hampir setinggi badannya. Tongkat kayu yang berkepala Naga.

    Naga? Apakah ini ada kaitannya dengan pasukan Naga yang sedang menyerbu Negerinya hari-hari ini dengan sangat gencarnya? Sedemikian gencarnya sehingga kebanyakan penduduk tidak menyadari bahwa mereka sedang diserbu. Bahkan serbuan Naga yang kasat mata dan cetho welo-welo pun tak disadarinya, karena di otak para penduduk itu telah disiapkan oleh Raja Naga suatu cara pandang yang menyimpulkan bahwa itu bukanlah serbuan Naga.

    ***

    Memang yang membangunkan Markesot dari tidurnya adalah tongkat yang meluncur menyerang kepalanya.

    Itu yang menyebabkan ia langsung melesat berdiri, dan merasa sedang menangkap lemparan tongkat itu, memegangnya dan mencari ke berbagai arah siapa gerangan yang menyerangnya.

    Tetapi ternyata bukan itu persis masalahnya. Bukan soal serbuan Naga dari Utara. Naga itu adalah Naga raksasa yang tinggal di pintu depan Sorga. Kepalanya di luar, badannya memanjang di bagian dalam sorga.

    Pada suatu sore ketika Naga Raksasa itu menguap, Iblis meloncat masuk ke dalam mulutnya. Kemudian berjalan menelusuri bagian dalam badan Naga. Menjelang tengah malam Iblis tiba di dubur Naga, dan melangkah keluarlah Iblis dari dalam tubuh Naga ke pelataran sorga.

    Semoga Markesot tidak bergeremang mengisahkan apa siapa dan dinamika eksistensi makhluk dahsyat yang ummat manusia mengenalnya sebagai Iblis. Manusia merasa tahu Iblis, dan pengetahuannya tentang Iblis sangat sedikit dan kecil dibanding kebencian mereka kepada Iblis.

    Bahkan berabad-abad manusia melakukan kesalahan dan dosa-dosa, sambil menyalahkan Iblis sebagai pihak yang menyebabkan mereka melakukan dosa-dosa itu. Setiap manusia bersalah, Iblis tertuduhnya. Kalau manusia melakukan kebaikan, Iblis dikutuknya: “Syukur Alhamdulillah kita dibebaskan Allah dari godaan Iblis”

    Mohon Markesot jangan persoalkan ini dulu. Cukup fragmen saja, bahwa sekeluarnya dari dubur Naga Raksasa itulah Iblis berjalan menuju tempat Adam. Tujuannya jelas: “Kan Allah menciptakan Khalifah di bumi, kenapa Adam kok malah di sorga?”


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  10. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Penyamaran Sang Wali


    Kalau ada orang tersenyum-senyum sendiri di tengah orang banyak, tanpa ada kaitan sosialnya, tentulah ia orang gila, atau sekurang-kurangnya orang yang melamun tapi tidak memperhitungkan ruang dan waktunya.

    Markesot tersenyum kecut dan merasa malu sendiri. Tapi ini kan di tepi hutan. Tidak ada orang lain. Ada sejumlah makhluk yang bukan manusia, tapi kan Markesot tidak terikat secara budaya dengan mereka.

    “Di tepi sungai ini dulu seorang Wali agung menyamar”, Markesot bergumam kepada dirinya sendiri lagi.

    “Ia pura-pura menjadi pembegal di jalanan. Berlagak menjadi orang jahat. Tujuannya adalah agar didatangi oleh orang yang tidak jahat. Beberapa bulan, dengan sangat tersiksa hatinya, ia menyamar sebagai perampok yang mengorbankan siapa saja, terutama yang kaya, yang lewat di jalanan itu”

    ***

    Sampai akhirnya segala puji bagi Tuhan yang maha mengetahui segala sesuatu, meskipun rahasia yang disimpan di lubuk hati manusia.

    Datang seorang Wali yang lain yang tidak hanya agung namun juga sakti. Si Wali sakti menghajarnya dan menaklukkannya dalam waktu yang sangat singkat. Karena memang si penyamar ini tidak mengerahkan kekuatan dan kesaktian apapun kepada Wali Sakti yang sudah dinanti-nantikannya untuk datang”.

    Sang Wali sakti menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Berkata kepada si penyamar bahwa ia punya peluang untuk dimaafkan, apabila sanggup menjaga tongkat itu, memegangnya tanpa jeda sejenak pun selama satu tahun penuh. Sang penyamar membungkukkan badannya dalam-dalam menyatakan kesanggupannya demi supaya dimaafkan. Kemudian si Wali sakti pergi, dan si penyamar berdiri, memegangi tongkat itu, tidak bergerak melewati malam dan siang”.

    Kenapa Markesot menyebut Wali yang pertama itu penyamar? Bukankah berabad-abad semua manusia menyebutnya Berandal atau Begal?

    Enam abad waktu belum cukup untuk membuat manusia berpikir bahwa sang Wali itu putra pejabat kaya. Untuk apa ia membegal pedagang-pedagang kecil di jalanan?

    Kalau penumpukan harta kekayaan adalah tujuan hidupnya, ia bukan hanya sudah kaya, tetapi bahkan sanggup, kalau mau: merampok harta-harta simpanan di Istana Kerajaan dan Kesultanan.

    Keris pusaka utama Kerajaan pernah dicuri oleh utusan seorang Raja dari timur tanpa para punggawa Kerajaan itu sanggup mempertahankannya. Wali Penyamar inilah yang kemudian dimintai tolong mengambilnya kembali dari Keraton ujung timur pulau. Ia menyamar sebagai Empu Keris di wilayah Kerajaan timur itu, sampai akhirnya Rajanya tertarik dan meminta dibikinkan pusaka-pusaka.

    Wali penyamar bisa keluar masuk Istana dengan bebas dan dipercaya. Sampai kemudian ia membuat Keris yang persis seperti Keris yang dicuri itu, kemudian menukarnya, tanpa sepengetahuan Raja. Dan membawa kembali Keris aslinya ke Kerajaan yang kehilangan Keris itu.

    ***

    Artinya, kalau si Wali Penyamar punya ambisi kekuasaan dan harta, sesungguhnya dengan mudah ia mengambil alih Singgasana Raja di Kerajaan yang manapun dan Kesultanan manapun.

    Tidak dengan perjuangan berat. Tinggal seperti orang memetik buah kelapa dengan menyuruh pohon kepala itu membungkukkan badannya sehingga buah kelapa bisa dipetiknya tanpa memanjat pohonnya.

    Jadi untuk apa dia repot-repot menjadi begal mengganggu dan menyengsarakan pedagang-pedagang kecil yang lalu lalang di bulak-bulak sepi, sedangkan ia — ketika Allah menyuruhnya — bisa mengubah pasir menjadi beras, atau beras menjadi pasir?

    Juga kalau tujuannya membegal adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia sakti dan tak terkalahkan, kenapa sasarannya adalah orang-orang kecil di jalanan? Kenapa ia tidak ambil alih saja Singgana Kerajaan, kemudian membuat semua prajurit penjaga Raja lumpuh dan pedang tombak kerisnya berjatuhan ke tanah?

    Tidak. Dan bukan. Ia bukan pembegal. Ia bukan Brandal, sebagaimana sejarah menjulukinya.

    “Sang Wali agung itu mendapat perintah untuk menyelamatkan sebuah Kerajaan besar yang pernah menguasai lebih sepertiga bulatan bumi”

    “Kerajaan itu kemudian perlahan-lahan menuju proses penghancuran yang disebabkan oleh pertengkaran di dalam Kerajaannya sendiri, maupun oleh datangnya secara besar-besaran pasukan-pasukan penyamun dari barat”

    “Sambil menata proses penyelamatan Kerajaan itu, termasuk tindakan besar-besaran untuk menyembunyikan harta kekayaannya di bawah tanah maupun di belakang codes, sandi-sandi atau passwords, yang ditulis secara samar di sejumlah Kitab — pada saat yang sama Wali penyamar juga merintis pendirian Kerajaan baru yang namanya bukan lagi Kerajaan, yang letaknya lebih mendekat ke lautan, yang segala sesuatunya diperbarui, dari sistem nilai kealam-semestaannya hingga konstitusi dan kebudayaannya”

    ***

    “Untuk melaksanakan tugas sejarah yang sangat berat, yang kadarnya sampai tingkat bedhol-nagoro, sang Wali penyamar merasa ia hanya sanggup apabila hati dan mentalnya dimantapkan oleh tangannya yang memegang sebuah tongkat, yang saat itu berada di tangan sang Wali sakti”

    “Tidak ada tongkat sakti. Yang ada adalah Allah Yang Maha Sakti. Dan terserah Ia akan meminjamkan kesaktian-Nya secipratan kepada tongkat Nabi Musa, Kiai Kolomunyengnya Sunan Ampel, Kiai Sangkelatnya Majapahit hingga Karebet, atau kepada pohon randu dan daun kelor”

    “Wali Penyamar itu merasa mantap berjalan dan berjuang kalau di tangannya ia genggam ujung nasab energi yang berusia ratusan tahun. Haul, quwwah dan sulthanmutlak hanya berasal-usul dari Allah, tapi sekurang-kurangnya ia merasa lebih yakin pada dirinya jika berada di area dan alur tiga hembusan hawa Allah itu”

    “Akan tetapi ia merasa mustahil mendapatkan tongkat itu apabila ditempuh dengan cara yang wajar, misalnya memintanya kepada Wali sakti. Maka akhirnya ia mencoba cara itu: menyamar jadi perampok. Dan didapatkannyalah tongkat itu”

    “Tuhan memperkenankannya untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas”

    “Namun betapa sedih hatinya, sesudah sekitar sedikit lebih dari 80 tahun, bangunan baru yang ia dirikan dirusak orang secara semena-mena. Tidak hanya oleh tahap-tahap penjajahan dari barat, tapi juga oleh penggerogotan dari dalam”

    “Kerusakan itu berlangsung abad demi abad, dan semakin hancur di abad mutakhir. Tahun-tahun ini, bulan-bulan ini, hari-hari ini, yakni bersamaan dengan tatkala Markesot bertugas pra-Patangpuluhan, kemudian saat-Patangpuluhan maupun pasca-Patangpuluhan — adalah puncak kehancurannya”

    Maka Markesot dengan ge-er pergi berjalan kaki menguak cakrawala. Seolah-olah ia ada faktor penting dalam persoalan itu. Padahal sangat mungkin Markesot bukanlah faktor.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  11. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Apakah Itu Suara-Mu?


    Tiba-tiba di tepian hutan itu terdengar suara teriakan yang sangat keras dan panjang.

    Sebagian makhluk mendengarnya sebagai suara guntur yang menggelegar. Sebagian yang lain mendengarnya berupa sapuan dahsyat badai yang melintas dan berputar-putar. Yang lainnya lagi mendengar campur baur suara berbagai macam binatang, dari harimau yang mengaum, lembu-lembu yang melenguh, ribuan burung berceloteh, ayam-ayam berkokok. Bahkan ada sebagian yang mendengar semacam suara terompet yang mengerikan dari arah langit, yang bercampur nada sangat rendah dengan nada sangat tinggi.

    “Apakah itu suara-Mu wahai Sang Hyang Sangkan Paran yang hamba senantiasa rindukan dengan seluruh kekerdilan hamba sepanjang perjalananku?”

    Markesot berbisik.

    Sesungguhnya semua manusia diam-diam punya keinginan untuk mendengar suara Tuhan secara langsung. Pada hakikatnya setiap jiwa manusia memendam kerinduan kepada asal-usulnya dan satu-satunya terminal akhir pengembaraan hidupnya.

    Andaikan boleh, setiap orang sangat bahagia apabila dikasih wahyu. Okelah hanya para Rasul dan Nabi yang diberi hak untuk mendapatkan wahyu Tuhannya. Para Auliyadihadiahi karomah, yang kadarnya lebih relatif dan tidak padat sebagaimana wahyu. Dan Markesot sebagai manusia biasa, sebagaimana miliaran manusia lainnya, kabarnya dibonusi ilham juga. Yang kualitasnya jangan sama sekali dibandingkan dengan wahyu atau karomah.

    Bahkan seniman-seniman yang tak mempercayai adanya Tuhan, kesibukan utamanya adalah mencari ilham, demi progresivitas kreatifnya.

    ***

    Wahai ilham, mal-ilham, wa ma adroka mal-ilham….

    Kiai Sudrun pernah menjelaskan kepada Markesot bahwa semua itu sebenarnya adalah rahmat. Rahmat Allah itu universal. Diberikan kepada siapa saja yang Tuhan maui, tanpa batasan identitas, golongan, muslim atau kafir. Para pencuri dan penjudi pun menerima rahmat. Para pelacur dan semua lelaki yang melacur pun mendapatkan rahmat itu berupa kenikmatan perzinahan sampai batas tertentu.

    Tetapi tidak setiap rahmat Tuhan diizinkan oleh-Nya untuk menjadi berkah yang disukai dan diridhoi oleh-Nya. Bahkan Kiai Sudrun sering dengan tertawa sinis menyapa Markesot dengan kalimat “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa ‘adzabuh”: semoga Tuhan menyampaikan kepadamu keselamatan, rahmat dan adzab.

    Kiai Sudrun menyindir apa yang sedang berlangsung di Negeri tempat tinggalnya Markesot. Yang penduduknya merasa sedang membangun rahmat, padahal sedang menumpuk-numpuk adzab. Merasa sedang memilih dan menjunjung berkah kepemimpinan, padahal sedang menggendong adzab.

    Kiai Sudrun dengan tenangnya bisa tertawa-tawa mengucapkan itu, padahal Markesot tegang, mbentoyong dan menahan amarah.

    Rahmat Tuhan ditaburkan bagai hujan yang menaburi seluruh hutan, desa dan kota-kota. Menimpa tetumbuhan, binatang dan manusia. Apabila rahmat itu berupa informasi dan tuntunan, disebut hidayah.

    Pada alam, hidayah sudah otomatis merupakan bagian alamiah dari habitatnya. Ke mana ayam melangkah dan mematuk-matuk, dibimbing oleh hidayah alamiah. Tetapi pada manusia, karena ia dan mereka adalah makhluk pengelola: hidayah itu diperlukan dalam suatu proses tawar menawar yang dinamis, antara pertimbangan dan keputusan manusia dengan perkenan atau kemauan Tuhan.

    ***

    Kebanyakan manusia tidak melibatkan diri di dalam proses dialektika tawar- menawar hidayah itu secara pro-aktif. Umumnya mereka hanya dididik untuk cara hidup jasadiyah dan materialisme, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat jarang merasakan atau menyadari ada dan hadirnya Tuhan.

    Tuhan terlalu abstrak bagi cara pandang mereka sehari-hari. Mereka memang bertahan percaya bahwa sesungguhnya Tuhan memang ada dan bekerja untuk mereka, tetapi itu sebatas kepercayaan. Kepercayaan yang tak ditemani oleh ilmu dan hikmah pengalaman, bisa berubah menjadi mitos. Mitos yang dipelihara terlalu lama, menjadi khayal atau takhayul.

    Jadinya posisi Tuhan di dalam kejiwaan kebanyakan manusia sesungguhnya terletak pada wilayah takhayul. Tapi mereka tidak berani keluar dari wilayah takhayul itu karena toh kebanyakan teman-temannya juga bertahan di situ. Omong sehari-hari menyebut Tuhan, bikin kumpulan-kumpulan juga melibatkan nama Tuhan. Bahkan bikin Negara dengan mencantumkan Tuhan di baris pertama kalimat-kalimatnya.

    Padahal pada praksis sehari-harinya Tuhan sangat jarang diperlakukan sebagai subyek yang riil. Bahkan lama-lama Tuhan hanya diambil namanya, untuk dimanfaatkan sebagai pengatas-namaan, kemudian akhirnya menjadi komoditas atau barang jualan untuk memperlebat pengaruh politik dan peningkatan lakunya dagangan-dagangan mereka.

    Tetapi masih lumayan Tuhan disebut-sebut, meskipun Tuhan sama sekali tidak butuh disebut-sebut. Bahkan ada kemungkinan Tuhan kecewa dan marah kalau nama-Nya disebut-sebut, dipakai-pakai, untuk perilaku yang pada hakikatnya menentang penyutradaraan-Nya atas kehidupan para makhluk di alam semesta, utamanya di bumi.

    ***

    Kenyataan-kenyataan seperti itu ditanggapi oleh Kiai Sudrun dengan lebih banyak tertawa-tawa. Berbeda dengan Markesot, yang meskipun sangat suka dan sering hampir selalu bercanda, tetapi tampak sebenarnya ia masih tegang.

    Kalau ditanya kenapa ia tegang? Markesot biasanya menjawab: “Tegang kadang-kadang, tapi tidak cemas. Yaaah saat-saat tertentu ada cemas sedikit-sedikit, tapi tidak cemas sampai segitu-segitunya”

    Atasan hidup Markesot hanya Kanjeng Nabi dan Allah sendiri. Kiai Sudrun bukan atasan, bukan Guru bukan Mursyid. Boleh dibilang Kiai Sudrun hanya rekanan-tanding. Sparring partner. Untuk berlatih ketahanan mental dan rohani dalam bertabrakan dengan kenyataan-kenyataan yang memuakkan, menjengkelkan dan memprihatinkan.

    Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa orang yang hidup karena dan untuk-Nya, tak disentuh oleh rasa takut dan kesedihan.

    Padahal Markesot bertahan jomblo semata-mata karena rasa takut yang berlebihan untuk berkeluarga. Dan sangat jelas ia selalu tampak sangat sedih memikirkan keadaan masyarakat dan negara.

    Markesot bukan tidak menyadari itu. Maka ia mengulangi pertanyaannya sehabis terdengar terompet agung di angkasa atas hutan belantara di mana ia berada:

    “Apakah itu suara-Mu wahai Sang Hyang Sangkan Paran yang hamba senantiasa rindukan dengan seluruh kekerdilan hamba sepanjang perjalananku?”

    Ternyata tidak ada jawaban apapun yang ia dengar atau rasakan. Markesot ge-er, dengan perjalanan sunyi menelusuri sungai dan memasuki hutan itu ia berharap akan meningkat software-nya: tidak hanya mampu memetik ilham, tapi juga ada kans untuk siapa tahu dianugerahi karomah oleh Sang Hyang, meskipun mustahil mendapatkan wahyu.

    ***

    Sedangkan bagi Markesot, itu semua tak lebih dari suara kesedihan yang mendalam dari lubuk jiwanya sendiri.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  12. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Baginda Kharmiyo bin Sulaiman


    Ada dua kemungkinan. Pertama, karena Markesot adalah putra seorang tokoh yang besar pengaruhnya di masyarakat, ia sengaja melakukan de-eksistensi dan menyembunyikan dirinya, karena toh tak mungkin mencapai atau apalagi melampaui kebesaran Bapaknya.

    Atau, kedua, justru karena ia anaknya orang besar, diam-diam ia juga mencari kebesaran itu. Pura-pura menampilkan diri sebagai orang yang tak punya ambisi. Berlagak jadi orang biasa, wong cilik. Alasannya Nabi Muhammad saja memilih menjadi ‘Nabi yang jelata’ dan menolak menjadi ‘Nabi yang Raja’ sebagaimana kakek moyangnya Raja Rasul Nabi Sulaiman yang agung — ketika Malaikat Jibril menyampaikan tawaran Tuhan kepadanya. Apalagi Markesot, yang bukan siapa-siapa dibanding Muhammad, yang andaikan pun ia besar toh tetap tidak besar juga.

    Jadi kenapa ia mengembara sampai ke tempat sepi seperti ini. Menyeram-nyeramkan diri dengan perjalanannya. Mengangker-angkerkan tema perjuangannya, padahal belum pernah jelas apa pula perjuangannya itu. Mensakral-sakralkan pemikirannya, imajinasi emosi dan rohaninya.

    Jangan-jangan dia berspekulasi siapa tahu dengan duduk di bawah pohon tepi sungai ini Sang Wali Penyamar akan mewariskan tongkat hadiah dari Sang Wali Sakti. Kan Markesot sampai termimpi-mimpi oleh tongkat itu. Kemudian berkhayal menggenggamnya, menggerak-gerakkannya seolah-olah ia Pendekar dari Gua Kegelapan yang siap tanding melawan entah siapa terserah khayalannya.

    Tapi memang Sang Wali Penyamar memberikan pertanda bahwa Negeri yang beliau bangun telah dirusak orang. Beliau telah merintis peralihan besar sejarah itu diam-diam sejak tahun 1398, diawali empat tahun kesunyian yang semua pengamat sejarah tak bisa mengetahui apa yang terjadi dalam rentang waktu itu. Dan sekarang, di abad 21 tahun 2016 menjelang puncak kegerahan, beliau menginformasikan : “Insyaallah Tuhan telah menyiapkan dan memasang sejumlah titah di sejumlah titik untuk membangun kembali perwujudan kebesaran Tuhan yang enam abad yang lalu aku ditugasi untuk membangunnya….”

    ***

    Hal-hal begini ini mungkin yang membuat Markesot merasa ge-er. Gagal berprestasi dalam kehidupan hampir di segala bidang, kerjanya hanya mengganggu-ganggu pikiran orang di sekitarnya. Ia menutupi kegagalan-kegagalannya itu dengan mengekspresikan berbagai jenis misteri dan perilaku aneh. Kemudian menghilang, ngakunya mencari Kiai Sudrun untuk melakukan beberapa rekonfirmasi tentang sejarah dan zaman.

    Sampai-sampai para Markesot yang lain di dalam dirinya mentertawakannya. Markesot beralasan bahwa biasanya Tuhan tidak memberi anak lelaki kepada orang besar yang istimewa, ia contohkan Nabi Muhammad sendiri. Dibantah oleh Markesot lainnya bahwa teori itu dibatalkan oleh fakta Daud-Sulaiman atau Ibrahim-Ismail dan Ishaq.

    Teori Markesot itu sebenarnya diam-diam ia gunakan untuk meneguhkan bahwa Bapaknya adalah orang besar yang istimewa. Sekaligus untuk menyebarkan permakluman bahwa ia jangan dituntut-tuntut untuk menjadi orang sebesar Bapaknya. Tapi sambil mengincar diam-diam siapa tahu ia akan punya kesempatan untuk juga menjadi besar.

    Ia menambahkan contoh bahwa Nabi Sulaiman sendiri tidak dikasih oleh Tuhan anak yang bisa meneruskan kebesarannya. Bahkan Baginda Sulaiman melakukan kesalahan fatal. Beliau menyatakan bahwa malam itu beliau akan bercinta dengan istri-istrinya entah 99, entah 70 entah 60 — silakan mengkonfirmasi jumlah itu dengan penelitian ke Kerajaan beliau untuk mewawancarai para narasumber di dalamnya, kalau perlu wawancara langsung kepada Baginda Sulaiman.

    Baginda mengatakan bahwa sesudah bercinta dalam semalam dengan sekian istri, kemudian masing-masing istri itu akan melahirkan putra-putri, karena beliau ingin melakukan regenerasi yang sebaik mungkin demi melestarikan prestasi peradaban yang memang teragung dan paling menggiurkan sepanjang sejarah.

    Kesalahan Baginda Sulaiman adalah tidak mendahului pernyataannya itu dengan kata dan etos ‘insyaallah’. Maka Allah mengkritiknya secara sangat keras dan radikal. Hanya seorang istri yang hamil, itu pun kemudian melahirkan anak yang cacat dan sangat lemah. Baginda Sulaiman lemas badannya di singgasana sambil memandangi bayi cacatnya. Baru kemudian memohon ampun dan bertobat kepada Tuhan.

    ***

    “Siapa bilang Baginda Raja Agung Sulaiman hanya punya satu anak cacat?”, dari dalam lubuk jiwanya Markesot yang lain membantahnya.

    Markesot yang duduk lunglai di bawah pohon termangu-mangu.

    “Kan beliau punya putra yang katanya bernama Baraya, yang sepeninggal beliau bertugas menjaga kekayaan Bapaknya yang luar biasa agar tetap menjadi sumber kesejahteraan rakyatnya sampai jangka waktu yang panjang di depan”

    “Ah, kata siapa”, bantah Markesot.

    “Bahkan Baginda Nabi Sulaiman juga berputra seorang Nabi pula, bernama Kharmiyo”, Markesot yang lain lagi menyahut.

    “Kharmiyo? Nama dari budaya itu. Nabi pula?”

    “Ya. Baginda Kharmiyo meneruskan duduk di singgasana Bapaknya, seorang Nabi, meskipun bukan seorang Rasul”

    “Aneh”, kata Markesot, “Saya sudah bertemu dengan hampir semua ahli sejarah, tak seorang pun pernah menyebut Nabi Sulaiman punya anak bernama campuran Arab dan Jawa mirip Jepang itu”

    “Beliau juga seorang Nabi. Insyaallah”

    “Kok insyaallah?”

    “Ya insyaallah dong. Mana kita tahu dan memang tidak mungkin ada landasan pengetahuan pada manusia untuk menyimpulkan seseorang itu Nabi atau bukan. Terutama untuk tokoh-tokoh yang didatangkan oleh Tuhan sebelum Nabi Muhammad. Kalau sesudahnya, mudah: pasti bukan Nabi, karena Muhammad dinyatakan oleh Tuhan sebagai Nabi pamungkas”

    “Dilihat kualitasnya kan kelihatan Nabi atau bukan”

    “Tidak. Kualitas hanya semacam ukuran yang dipahami oleh batas ilmu manusia. Akan tetapi seseorang itu Nabi atau bukan, tandanya hanya satu: Allah menyatakan seseorang itu Nabi atau bukan. Itu satu-satunya parameter”….

    ***

    Gaduh bin ribet perdebatan antara Markesot dengan Markesot. Padahal ini baru dua Markesot. Belum lagi kalau Markesot-Markesot yang lain ikut nimbrung. Ya kalau yang omong adalah Markesot yang matang dan arif. Tapi sejauh pengalaman selama ini, yang banyak nongol justru Markesot yang rewel, yang cengeng, yang sok, yang ngotot.

    Memang berapa jumlah Markesot di dalam diri Markesot?

    Pertanyaannya salah. Tidak hanya ada Markesot di dalam diri Markesot. Malah yang yang banyak justru Markesot yang di luar Markesot. Misalnya yang Markesot di masing-masing langit, masing-masing dimensi, masing-masing nuansa, masing-masing nilai. Belum lagi Markesot yang omong beda dengan Markesot yang mendengar. Markesot yang berjalan beda dengan Markesot yang merintis dan membukakan jalan, kemudian Markesot yang sudah sampai di ujung jalan.

    Jangan pula bertanya “Berapa Markesot yang di dalam dan Markesot yang di luar?”, sebab Markesot pasti menjawab: “Apa benar ada beda antara luar dengan dalam?”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Jul 18, 2018
  13. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Menshalawati Muhammad Yang Belum Lahir


    Siapa yang meyakini bahwa dirinya adalah hanya dirinya, bahwa tidak ada diri di dalam dirinya yang bukan sebagaimana dirinya yang diri, atau ribuan kalimat berikutnya apabila kalimat ini diteruskan — maka berhentilah mengikuti perjalanan Markesot. Konsentrasilah berjuang untuk menafkahi anak istri, membayar kredit, menyicil pelunasan hutang, meningkatkan taraf kehidupan, atau apapun yang lebih nyata dan urgen.

    Ambillah anjuran pertama Markesot tentang pilihan-pilihan bagaimana dan ke mana menempuh kehidupan. Yang pertama tentu sebagaimana kebanyakan orang: menempuh karier, menentukan profesi, membangun kesuksesan hidup di dunia, mengejar kekayaan sebanyak-banyaknya, pangkat setinggi-tingginya, reputasi, prestasi, gengsi, harga diri sosial, kemasyhuran atau popularitas, serta apa saja seperti yang hampir semua orang mengejarnya, berkompetisi untuk meraihnya.

    Alhasil, dunia adalah tempat berprestasi. Dunia adalah tujuan membangun kejayaan. Hidup di dunia untuk mengejar dunia. Karena akhirat belum tentu ada.

    Anjuran kedua adalah hidup berijtihad, menguak rahasia, membelah masa depan, mencari sesuatu yang tidak seperti yang sudah ada. Tidak murni dan total tak ada sebelumnya, tetapi bentuknya, formulanya, susunannya, komposisinya, aransemennya, racikannya, belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya.

    Istilah lainnya: jadilah Ahli Bid’ah. Belajar membikin sesuatu yang belum ada contoh sebelumnya. Misalnya membuat peci atau kupluk atau songkok, yang belum ada dan belum dipakai orang di zaman Nabi Muhammad, bahkan sejak Nabi Adam. Membuat pengeras suara, penerangan listrik, kendaraan bermotor, pesawat terbang, dan banyak kemungkinan lagi, yang Allah dan Nabi Muhammad tidak pernah memberinya tuntunan, melainkan cukup membatasi diri dengan menganjurkan “apakah kalian tidak menggunakan akal?”

    Yang kedua ini landasannya berbeda. Dunia adalah tempat menghimpun batu-bata dan modal-modal lain untuk membangun rumah abadi kelak di sorga. Jadi orang menemukan listrik tidak terutama untuk menerangi dunia dan ia mendapat royalti dari industrialisasinya. Ia menemukan dan membangun listrik dimaksudkan untuk menambah manfaat dan potensi jariyah, yang aplikasi substansialnya nanti di akhirat.

    Kalau dua pekerjaan di atas tidak mampu kita melakukannya, ya yang ketiga saja: pokoknya kerjakan apa saja yang membuat Ibu dan Bapak serta seluruh keluarga senang. Dengan catatan tentu saja jangan raih kesenangan dan kebahagiaan apa saja yang Tuhan tidak menyukainya. Apalagi kita sukses meraih berbagai kejayaan dunia yang menggembirakan keluarga, tetapi Tuhan benci dan marah.

    ***

    Markesot tidak berhasil melakukan satu pun di antara ketiganya. Sukses dunia ya tidak. Ijtihad dan bid’ah ya tidak kunjung berwujud. Menyenangkan keluarga ya keluarganya siapa, wong dia tidak berani berkeluarga.

    Maka Markesot sibuk berdebat dengan dirinya sendiri. Lebih jelasnya: Markesot sibuk berdebat dengan diri-dirinya atau berbagai dirinya sendiri.

    “Ah, mestinya ya kelihatan atau terasa, apakah seseorang itu Nabi atau Rasul atau Wali atau bukan”

    “Tidak. Meskipun menurut penilaian kita seseorang itu berkualitas Nabi, tetap tidak mencukupi untuk dijadikan bahan kesimpulan. Sebaliknya, meskipun menurut manusia seseorang itu bukan Nabi karena kadar kualitas ilmunya, mentalnya, akhlaknya dan apa saja, tetapi kalau Tuhan bilang dia Nabi, ya Nabi. Sebab rahasia dan aplikasi kehendak Tuhan itu tak terbatas, dan kita hanya tahu sangat sedikit”

    “Lho, untuk apa Tuhan menghadirkan seorang Nabi kalau di pandangan manusia orang itu tidak memenuhi syarat untuk disebut Nabi. Kan tidak efektif penerapan kenabiannya”

    “Ya kamu komplain langsung sana kepada Tuhan. Tapi jangan ajak saya. Karena bagi saya, itu semua terserah-serah Tuhan. Meskipun sekadar sebatang kayu atau seonggok batu, kalau Tuhan berfirman itu adalah Nabi, atau Rasul, atau bahkan pun Malaikat, saya percaya dan ngikut-ngikut saja”

    “Saya tidak komplain. Saya cuma berpendapat”

    “Pendapatmu tidak penting dan tidak berlaku untuk tema Nabi. Yang penting dan yang pasti berlaku adalah pendapat Tuhan. Kan Tuhan sudah sangat jelas mengumumkan kepada makhluk-makhlukNya: Wahai manusia, kalian punya kemauan dan Aku juga punya kemauan. Hendaklah kalian mengetahui bahwa yang berlaku adalah kemauan-Ku”

    “Kenapa sih kok kita berkepanjangan berbantah di antara kita yang toh hanya satu dan sendiri ini”

    “Kita tidak berbantah. Kamu yang membantah”

    “Tapi lha kok kamu bisa mengatakan bahwa Kharmiyo bin Sulaiman itu Nabi. Mana pernyataan Tuhan tentang itu?”

    “Tuhan hanya mengumumkan ada 25 Rasul, yang sekaligus juga Nabi. Semua Ulama bersepakat bahwa 25 adalah jumlah Rasul, tetapi jumlah Nabi tidak terbatas. Yang terbatas adalah bahan-bahan sejarah yang bisa kita pakai untuk menentukan siapa Nabi siapa bukan, dan berapa jumlah Nabi keseluruhannya. Tapi saya tidak peduli berapa jumlah Nabi selama sejarah manusia. Yang ada saja yang kita nikmati”

    “Tapi bagaimana kamu bisa bilang putra Sulaiman itu Nabi?”

    “Para pendahulu kita, para leluhur yang alim dan shaleh mengisahkan dengan menyebut beliau adalah Nabi dan Raja sebagaimana Bapaknya. Baginda Kharmiyo juga Raja besar, membawa rombongan besar berkeliling melakukan dakwah ke berbagai Negeri, Habsyah, Room, Turki, bahkan menembus Kerajaan Angin”

    “Aduh”, kata Markesot, “ternyata kamu lebih serem dari bayangan saya”

    “Ketika tiba di Mesir, Baginda Kharmiyo menemui Raja Hudan, yang kemudian segera meninggal pada usia 40 tahun, digantikan oleh putranya bernama Bulkiyo. Baginda Kharmiyo mengatakan bahwa di Kerajaan Bulkiyo tersimpan sebuah peti. Bulkiyo kaget oleh informasi Kharmiyo. Kemudian mereka mencari dan menemukannya”

    “Isinya emas permata intan berlian hadiah dari Baginda Sulaiman?”

    “Tidak. Isinya adalah sebuah buku besar, berisi ribuan kalimat-kalimat pepujian kepada Baginda Nabi Muhammad”

    “Lho kan Nabi Muhammad belum lahir?”

    “Begitu indahnya puisi-puisi puja-puji kepada Kanjeng Nabi Muhammad itu sehingga Baginda Bulkiyo menangis dan menyatakan begitu ingin dan rindunya ia kepada kekasih Allah di akhir zaman itu”

    “Ah, rindu kok kepada orang yang belum ada”

    “Kelak yang dahsyat dari rahmat Allah di muka bumi adalah cinta ummat manusia sedunia yang melebihi cinta mereka kepada apapun saja selain Allah, padahal mereka belum dan tidak pernah bertemu dengan yang sangat mereka cintai itu”

    Markesot terpana oleh Markesot.

    “Tidak penting masa depan, masa kini atau masa silam. Itu masalah teknis. Itu hal yang sangat mudah bagi-Ku, kata Tuhan. Cinta dan kerinduan sejati merangkum sebesar apapun ruang dan seluas apapun waktu. Menyatukan semua yang bercinta di satu titik tajalli….

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  14. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Kapitalisme Khawit Dan Ekor Balkadaba


    Setelah Markesot dibikin sedikit kaget dan terpana oleh Markesot jauh di kedalaman dirinya, sekaligus yang bertempat tinggal jauh di sebuah koordinat langit, ia memandang sekeliling. Pepohonan yang samar di tengah kegelapan, gerumbul daun-daun, satu dua bintang yang mengintip di antara dahan-dahan. Air yang bergemericik di sungai. Kepungan suara cengkerik di sana-sini, lintas suara sejumlah unggas.

    Markesot merasakan tempat dan lingkungan seperti inilah yang lebih memantulkan nuansa sorga. Bukan perkotaan yang gaduh. Bukan desa-desa yang tak percaya dirinya sendiri sehingga sibuk merindukan agar menjadi kota. Sehebat-hebat metropolitan di zaman ini tak ada sekuku-hitamnya kemewahan kota Sulaiman. Bahkan tidak bisa sekadar dibandingkan dengan Iram kota Hud yang bagaikan festival raksasa cahaya-cahaya.

    Mungkin dalam rangka menaklukkan kota Sulaiman itulah Baginda Kharmiyo bertapa di tempat-tempat sebagaimana yang dijelajahi oleh Markesot saat ini. Bukan menaklukkan kota itu sebagai kota, tetapi menaklukkan gagasan dan fakta metropolitan di dalam diri Baginda Kharmiyo sendiri.

    Ia harus berikhtiar agar Tuhan menganugerahkan semacam kebesaran dan keluasan wawasan di dalam jiwanya, agar tidak terpukau dan tenggelam di dalam kebesaran kota dan Kerajaan yang dibangun oleh Baginda Sulaiman Bapaknya. Kharmiyo sangat menyadari Tuhan tidak menganugerahkan kepadanya kebesaran yang dahsyat sebagaimana Bapaknya yang komplit: Lelaki perkasa, Raja teragung yang berdunia akhirat dan berakhirat dunia, atau yang dunianya akhirat dan akhiratnya dunia. Serta Nabi dan Rasul pula.

    ***

    Tetapi ia manusia. Sebagaimana Bapaknya adalah juga ‘hanya’ manusia, sebesar dan sehebat apapun ia.

    Manusia lebih besar dari dunia, sehingga manusia pantang kalah atau ditenggelamkan oleh dunia. Dunia berterima kasih kepada Tuhan yang telah berkenan menempatkan manusia untuk bertempat tinggal sementara di atas tanahnya. Dunia menangis berkepanjangan andaikan keputusan Tuhan tidak demikian. Dunia memohon-mohon agar manusia diletakkan padanya, sementara manusia tidak menangis andaikan Tuhan tidak menempatkannya di dunia.

    Manusia adalah ciptaan terbaik Tuhan, dan Ia bahkan tidak pernah menyatakan ada makhluk lainnya yang Ia sebut terbaik sebagaimana manusia. Baginda Kharmiyo tahu bahkan seandainyapun ia bukan putra Sulaiman, ia tetap makhluk terbaiknya Tuhan sebagaimana semua manusia yang lain.

    Tetapi ia punya kemungkinan untuk menjadi lebih baik apabila ia meluangkan waktu untuk bertapa di tempat yang nuansanya mendekati sorga: sungai-sungai yang mengalir, pepohonan yang berwarna hijau tua, berbagai macam keindahan, cahaya dan mata tajam sebagaimana yang dimiliki oleh para Huur, yang oleh manusia di dunia secara sembrono diterjemahkan dan dipahami sebagai Bidadari.

    Baginda Kharmiyo merasakan bahwa Nabi Nuh kakeknya pada generasi terdahulu yang jauh, mestinya di tempat-tempat seperti ini mencari kayu untuk membangun Kapal besar yang menggerbangi zaman dan segala sejarah ummat manusia.

    Baginda Nuh mestinya agak mustahil menjumpai kayu-kayu besar untuk bahteranya kalau tidak di kiri-kiri kanan Sabuk Bumi yakni Khatulistiwa. Beliau menjumpai satu kayu raksasa yang dikelilingi oleh tiga ratus kayu lainnya, yang berkerubung seakan-akan mereka adalah putra-putri kayu raksasa itu.

    ***

    Markesot tersenyum geli mengingat Khawit, putra Nabi Nuh, yang meminta bayaran kepada Bapaknya ketika disuruh oleh Nabi Nuh menebang dan memotong-motong kayu-kayu itu.

    “Bahkan anak seorang Nabi besar”, kata Markesot, “bisa melakukan sesuatu tanpa pikiran kejuangan. Mas Khawit malah menjadi salah satu pelopor kapitalisme”

    Nabi Nuh sangat sedih hatinya karena itu. Baginda Nuh hanya punya tiga biji makanan semacam apem untuk mengupah anaknya. Tentu saja Mas Khawit tidak terima, mana pantas kerja besar menebang dan memotong kayu-kayu raksasa hanya diupah tiga apem.Tetapi Bapaknya tidak punya apa-apa lagi dan hanya mengatakan bahwa apem itu tak akan pernah habis dimakan oleh Mas Khawit.

    Malaikat Jibril menyaksikan adegan itu dan tak tega hati kepada Baginda Nuh, sehingga memohon kepada Tuhan agar kalimat Baginda Nuh kepada Mas Khawit itu diwujudkan oleh-Nya. Bahkan Nuh seakan-akan direkrut oleh Allah sendiri untuk menjadi bagian terdekat dari ruh-Nya.

    Nuh ruh Allah, sebagaimana Isa. Musa juru bicara Allah. Ibrahim sahabat karib-Nya. Ismail sembelihan kesayangan-Nya. Dan tentu saja semuanya itu adalah dimensi-dimensi dari Muhammad kekasih-Nya.

    Bukankah beratus tahun Baginda Nuh disakiti oleh masyarakatnya dengan dituduh sebagai orang gila karena ajakan-ajakannya untuk memusatkan diri pada Tuhan yang Maha Tunggal. Sampai-sampai ia berdoa memohon adzab bagi para penghinanya itu, dan Tuhan mengabulkannya.

    Ketika segala sesuatunya dipersiapkan oleh Baginda Nuh untuk menyongsong adzab banjir bandang terbesar sepanjang sejarah itu, dan berhasil menemukan kayu-kayu yang diperlukan — anaknya sendiri bukannya bangga untuk bersama-sama berjuang. Malah me-malak Bapaknya.

    ***

    Mungkin anak turun Mas Khawit ini yang kelak berimigrasi ke dua tempat. Satu di wilayah Timur-Tengah, lainnya ke daerah Timur-Utara. Karena kondisi alam dan cuaca, anak turun Mas Khawit berkembang menjadi kumpulan masyarakat yang berbeda besar badannya, lebar sempit matanya, tetapi sama keserakahannya terhadap dunia.

    Meskipun beliau seorang Nabi dan Rasul, tetapi sifat kemanusiaan Baginda Nuh justru dipelihara oleh Tuhan: sakit hati, sesekali seperti putus asa, marah, sampai-sampai memohonkan adzab untuk para pendurhaka di sekitarnya. Bahkan kalau ada kisah-kisah bahwa setelah Bahtera mendarat seusai banjir, kabarnya Nabi Nuh sempat mabuk-mabuk, saking lega hatinya sesudah perjuangan yang teramat berat — rasanya itu manusiawi belaka.

    Belum lagi tatkala Kapalnya mulai siap, masyarakat sekitar beberapa malam melemparinya dengan tinja dalam jumlah yang sangat banyak, dan benar-benar membuat Kapal itu berbau sangat busuk. Belum lagi Iblis diam-diam ikut masuk kapal dengan berpegangan di ekor binatang Balkadaba. Dan tatkala banjir terjadi, Bahtera Baginda Nuh melaju, Iblis mengejek Baginda Nuh dengan sangat sinis.

    “Berapa orang yang ikut di kapalmu, Nuh?”, katanya.

    “Yaaah sekitar tiga ratus orang”, jawab Nabi Nuh ogah-ogahan.

    “Yang tidak ikut dan terkubur mati oleh banjir kira-kira berapa?”

    “Berpuluh kali lipat jumlahnya dibanding yang selamat di kapal ini”

    “Padahal 900 tahun kamu mengajak mereka untuk menyembah Tuhan, sayang sekali cuma dapat beberapa ratus orang”

    Baginda Nuh tersinggung kepada Iblis. “Itu jumlah yang sangat lumayan, kalau dilihat bahwa kamu sudah memasuki setiap janin di rahim para Ibu jauh sebelum aku bertugas”

    Kemudian Baginda Nuh mengusir Iblis dari hadapannya, meskipun tahu bahwa Iblis hanya bisa diusir dari dirinya, tapi tidak dari Kapalnya.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  15. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Mr Jongos Lilo Legowo


    Apakah Markesot sudah memasuki dan tenggelam setenggelam-tenggelamnya di alam khayal, karena — misalnya — hidupnya sudah pasti tidak kompatibel dengan dunia yang ia geluti sejauh ini?

    Kanker melumat akhlaq.

    Racun membakar hati.

    Narkoba membolak-balik susunan saraf otak.

    Rasul diperankan oleh perompak.

    Nabi diganti pedagang dan Tuhan meninggalkan Negara karena konstitusinya gugon-tuhon absolut.

    Pemerintah sudah mabuk berzina sambil menawarkan bangsanya untuk dizinahi oleh Buto, Rasekso, Denowo, juga Dajjal yang kini berkoalisi dengan Ya’juj danMa’juj yang menguasai dunia.

    Dan para pendukung proyek perzinahan ini membela Pemimpin Zina seratus kali lipat dibanding sejarah pembelaan ummat manusia kepada Agama, Nabi, Rasul bahkan Tuhan.

    Dan Markesot lari terbirit-birit.

    Markesot lari? Terbirit-birit?

    Berjalan jauh menelusuri rel, kemudian belok ke sungai, berhenti di tepi hutan, mendramatisasi dirinya sendiri, ngawang filsafat-filsafat yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri, mengkhayalkan berbagai keindahan masa silam, karena hanya melihat gelap gulita di arah depan?

    Pertanyaan-pertanyaan itu muncul kepada Markesot dari Markesot sendiri, yang tinggal di bagian belakang otaknya, yang kakinya berpijak di tengkuknya, wilayah outlet dari kegerahan jiwanya berpuluh-puluh tahun lamanya.

    ***

    Markesot menjawab, “Bagaimana kalau perjalananku ini untuk meminta izin sebagaimana 18 tahun yang lalu untuk sesuatu hal yang berkaitan dengan berbagai jenis frustrasi yang penuh kehinaan itu?”

    “Bangsa saya melakukan kesembronoan luar biasa sehingga melahirkan beribu-ribu pertanyaan masa depan, yang sepersepuluh saja tak mampu mereka jawab”

    “Bangsa saya menjalani hidup dengan penuh kelalaian dan keterlenaan sehingga menghasilkan permasalahan-permasalahan yang terlalu sedikit yang bisa mereka atasi. Dan tatkala mereka mencoba mengatasi yang hanya sedikit itu, ternyata malah menghasilkan jauh lebih banyak tumpukan permasalahan lagi”

    “Bangsa saya dengan tertawa-tawa dan canda-alpa menyaksikan dan mengalami perampokan besar-besaran atas harta kekayaannya. Sampai akhirnya tak mereka sadari yang lebih dikikis dan hampir dimusnahkan adalah martabat kemanusiaan serta harga diri kebangsaan mereka”

    “Bahkan hari-hari para Raseksa penzina sedang mengulurkan tangan sangat panjangnya untuk melatih dua golongan masyarakat di wilayah yang berbeda untuk berperang. Tanpa disadari dua golongan itu dilatih untuk siap beradu kekuatan, keberanian, kebrutalan, dan kekejaman. Nanti tatkala perang di lapisan bawah itu selesai, ribuan atau jutaan manusia bergeletakan – perampokan dan penjarahan akan tiba di garis mutlak”

    “Bapak-bapak mereka dirayu dengan rasa aman ekonomi, Ibu-Ibu mereka dipompa hatinya dengan kemewahan, anak-anak mereka diadu-domba. Sehingga para Raseksa penzina tidak perlu bekerja keras dan mengeluarkan biaya banyak: cukup keluarga bangsa saya sendiri yang menjadi mesin penghancur atas diri mereka sendiri”

    “Buta, tuli, dan kebodohan menguasai mereka. Tatkala bangun pagi, mereka temukan bahwa mereka adalah jongos-jongos”

    ***

    Selamatlah barangsiapa yang pada suatu posisi menyadari dirinya: “Lho, aku jongos to…aku budak to….

    Tetapi mungkin tidak demikian kebanyakan orang yang dijumpai oleh Markesot. Tatkala ada di antara mereka yang mengatakan bahwa mereka ini jongos, maka kebanyakan di antara mereka menjadi tersinggung, terhina dan marah. Mungkin yang bilang jongos itu dipukul, bisa jadi dibunuh, atau sekurang-kurangnya dibenci seumur hidupnya.

    Baginda Adam pasti tidak semudah itu diperdaya atau dibodohi oleh Iblis di sorga, andaikan si Iblis tidak menyamarkan wajahnya dengan wajah Malaikat dan berpakaian sebagaimana pakaian para Malaikat pada umumnya. Adam penghuni baru di sorga. Pengalamannya masih sangat minimal. Belum mengenal konstelasi para penghuni sorga dan belum hapal kecenderungan budaya mereka.

    Iblis sesudah lolos dari dubur Naga, ternyata masih menjumpai berjuta-juta Burung Merak yang merupakan Polisi sorga, berjaga di berbagai wilayah dan titik-titik. Memperdaya satu Naga tidak terlalu sukar, tetapi jutaan Burung Merak dengan tingkat kejelian mata dan kepekaan rasa sorgawi, bukanlah makhluk-makhluk Allah yang mudah dikelabui.

    Akan tetapi aslinya Iblis adalah Malaikat Kanzul Jannah, Sang Azazil, yang gelar-gelarnya sangat banyak di berbagai lapisan langit, Al-Khosyi’, Ar-Roki’, As-Sajid dan lain sebagainya. Bahkan ia sangat senior, yang Baginda Jibril pun dulu sering minta tolong kepadanya jika memiliki usulan atau keperluan kepada Allah. Azazil yang paling berani dan berderajat untuk menyampaikannya kepada Tuhan.

    Kemudian Allah memberinya tugas untuk memimpin densitas negatif, menjadi kegelapan untuk mengukur dan menguji kadar kualitas cahaya, termasuk bekerjasama memperjodohkan segala yang negatif dengan yang positif, dengan pengalaman triliunan tahun untuk ukuran manusia Bumi – maka bagi Azazil: Adam adalah “anak kemarin sore”.

    ***

    Akan tetapi Baginda Adam adalah akar peradaban ummat manusia. Tidak mungkin Allah membiarkannya bodoh dan tidak tahu diri seperti banyak dari anak-anak keturunannya.

    Sesudah Iblis memperdayainya, Baginda Adam langsung dicerahkan oleh kekhilafannya, menyadari ia telah sempat diperbudak oleh nafsunya, diperjongos oleh Azazil si laknat, yang dikontrak oleh Tuhan menjadi musuh ummat manusia hingga hari Kiamat.

    Baginda Adam memperoleh pelajaran mendasar tentang nilai dan perilaku kemakhlukan. Ia menyangka didatangi oleh Malaikat, karena sedemikian rupa penampilan dan kostum Iblis di depannya. Terlebih lagi amat sopan santun perilaku dan tutur katanya. Ekspresi Iblis penuh welas asih. Bahkan sempat beberapa kali menangis kepada Adam.

    Muncul semacam kengerian di hati Baginda Adam, anak turunnya kelak jangan sampai mengalami keterperdayaan seperti yang ia alami. Manusia diproses untuk menjadi jongos tidak melalui kekuasaan dan kekuatan, tidak karena dicambuki atau takut ditebas dengan pedang. Anak turun Adam dididik menjadi budak melalui perlambang-perlambang yang ditampakkan.

    Manusia diperbudak karena terlalu mudah kagum kepada pertunjukan kepandaian dan kecanggihan. Terlalu gampang takjub kepada pangkat, kesarjanaan, profesi tinggi, jabatan, iming-iming harta benda dan kemasyhuran. Manusia bahkan rela menjadi budak yang patuh kepada orang yang sekadar menjanjikannya makan lebih banyak, uang lebih bertumpuk, harta lebih melimpah, investasi yang sebesar-besarnya.

    Bahkan sangat banyak di antara mereka sanggup lilo legowo merelakan harga diri kemanusiaannya dan menyerahkan lehernya untuk dijadikan jongos, hanya karena takut tidak makan, takut tidak mampu membiayai sekolah anaknya, takut tidak bisa membeli motor dan gadget yang baru.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  16. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Monggo Mas Iblis Ngimami


    Perumpamaannya sederhana. Ada riuh rendah di sejumlah jalan dan gang di kampung. Seisi rumah beralih perhatiannya ke kegaduhan itu, sehingga kehilangan konsentrasi pada urusan rumahnya. Dan ketika itu masuklah permasalahan yang sebenarnya ke dalam rumah itu.

    Permasalahan itu bisa maling yang mengambil sesuatu. Bisa sekadar pengintai untuk memastikan pemetaan segala sesuatu di dalam rumah itu. Bisa penjahat yang tidak mengambil sesuatu langsung, melainkan mengganti kunci dan gembok pintu-pintunya. Atau melubangi dinding-dinding yang diperlukan di bagian-bagian yang tak kentara.

    Banyak sekali kemungkinannya. Bisa juga memasukkan cairan-cairan tertentu di bak-bak tempat mandi. Memasukkan serbuk-serbuk di saluran air minum. Menyemprotkan sesuatu di udara kamar anak-anak dan Ibu Bapak, dan yang disemprotkan disesuaikan dengan keperluannya. Generasi tua disemprot apa supaya mudah dimabukkan, dikaburkan matanya atau ditulikan sedikit pendengaran telinganya.

    Sedangkan untuk anak-anak, yang muda, remaja maupun kanak-kanak, mungkin tidak hanya disemproti asap-asap yang menaburkan sihir tertentu sesuai dengan desain besar para penjahat yang masuk rumah itu. Atau bisa juga di kamar anak-anak dikasih mainan-mainan baru yang mengasyikkan. Di komputer mereka dikasih aplikasi-aplikasi baru, games, atau olah animasi, atau apapun, yang membuat mereka merasa nyaman di dunia maya, sehingga menyangka bahwa yang maya itu adalah nyata.

    ***

    Di zaman dulu yang mengatur tipudaya kepada seisi rumah Bangsa itu datang dari Barat. Sekarang menyerbu dari Utara.

    Apakah yang Barat tidak merasa disaingi dan didesak oleh yang Utara. Tentu. Tetapi yang Barat sedang rendah daya tawar-menawarnya. Dan yang Utara juga memakai ilmu yang sangat lembut. Tidak menunjukkan permusuhan yang mencolok kepada Barat. Bahkan memberi peluang kerjasama.

    Maka Utara dan Barat secara bertahap menyepakati pembagian bilik-bilik rampokan mereka. Menyusun giliran kapan Utara dan Barat meniduri Ibu. Kalau Barat meniduri Ibu, Utara menghibur Bapak dengan dibelikan bahan bakar kendaraannya, atau diajak ke toko mainan kanak-kanak. Demikian juga sebaliknya.

    Seisi rumah memang sengaja ditakut-takuti oleh Utara maupun Barat dengan seliweran Palu, Arit dan bendera-bendera Merah. Keduanya berbagi irama agar kelalaian, kealpaan dan keterlenaan semua penghuni rumah bisa dipelihara dengan stabil dan konstan.

    Padahal kalau ada penghuni rumah itu yang sedikit saja berpikir, ia mestinya ingat bahwa tidak mungkin yang berseliweran itu akan menjadi fakta besar yang semembahayakan yang dikhawatirkan. Utara adalah Rajanya Palu dan Arit, tetapi sejak beberapa puluh tahun yang lalu yang digenggam di tangan mereka adalah Pisau Dapur yang sangat tajam.

    Kalau diandaikan itu adalah ideologi, Utara adalah Mbah-nya Komunisme, Empu-nya Palu dan Arit. Tetapi Utara memakai Palu dan Arit hanya untuk manajemen ke dalam negerinya, untuk menata soliditas top-down atas rakyatnya. Tetapi keluar, mereka menjajah seluruh Dunia dengan pegang pisau tajam kapitalisme, industrialisme, liberalisme atau Pasar Bebas.

    Padahal hakikatnya Pasar Bebas itu bertentangan dengan Palu dan Arit. Jadi para peserta Festival Merah Palu Arit itu mencoba-coba saja siapa tahu ada resonansinya, sambil menjalankan tugas dari Utara untuk menjadi pasukan yang menyamarkan keadaan, demi mempermudah petugas-petugas Utara meneguhkan penguasaannya atas rumah Bangsa itu.

    ***

    Sekarang ini perambahan Pasar Bebas sudah sampai taraf pemusatan kapital. Penanaman dan penguasaan modal mayoritas di berbagai mesin ekonomi sudah bisa dipastikan fix dan mapan. Ibarat keluarga, mawaddah wa rahmah-nya sudah merata, sehingga tinggal menata sakinah-nya.

    Sorga tidak harus ditunggu melewati kematian-kematian dan Hari Kiamat. Seluruh pantai utara Pulau Jawa sudah bisa dipastikan segera direklamasi, untuk menyusun kursi-kursi berderet, untuk duduk memandang pantai lepas hingga ke cakrawala. Penghuni-penghuni kaum fakir miskin yang tidak move on hidupnya dari abad ke abad lebih riil kembali saja dilemparkan ke hutan atau ke tong-tong sampah di tepi jalanan kota-kota.

    Yang dulu ditakuti sebagai Super Power atau kekuatan raksasa, sekarang sudah ompong. Saingan untuk reklamasi dunia itu tinggal satu, yakni sebuah wilayah imamah yang kalau dipandang dari Pulau Jawa, agak sedikit ke utara-timur dari Ka’bah. Itu tempat dihuni oleh masyarakat yang sebutannya Si-A, sementara di wilayah-wilayah lain di muka bumi ada ya Si-B, Si-C, Si-L, Si-M, hingga Si-Z.

    Seluruh penduduk dunia terutama yang menghuni lingkaran Nusantara Khatulistiwa harus dibikin benci kepada Si-A. Tapi sasarannya adalah kekuatan Negara yang dihuni oleh kumpulan Si-A ini. Lumayan berhasil. Si-A terus menerus dimusuhi oleh Si-S, si-W, Si-N dan banyak lagi. Permusuhan yang tak kunjung henti itu juga menguntungkan para pasukan Utara, karena semakin mereka bertengkar, semakin tidak memperhatikan keutuhan dan keselamatan rumah mereka sendiri.

    ***

    Walhasil, Bangsa yang saat ini Markesot ada di dalamnya benar-benar hampir tiba pada kesempurnaan percintaan mereka, sadar tak sadar, dengan Dajjal dari Barat, Ya’juj Ma’juj dari Utara, maupun Iblis yang muncul dari dalam diri mereka sendiri.

    Tidak ada masalah dengan beliau bertiga, asalkan jadi makmur. Bisa makan dan laba uang lebih banyak, bisa gemah ripah loh jinawi.

    Ini Bangsa yang sangat rajin mendekatkan dirinya kepada Tuhan, supaya rejekinya makin banyak. Sangat mencintai Nabi, rutin melakukan puja-puji kepada kekasih Allah itu, agar memperoleh syafaat, artinya bisa makin kaya harta.

    Jelasnya, kalau keadaan makin miskin, dengan rajin beribadah, berdzikir dan bershalawat, mudah-mudahan berubah menjadi kaya. Kalau sudah kaya, juga rajin beribadah, berdzikir dan bershalawat, supaya semakin bertumpuk kekayaannya.

    Mereka sangat menjunjung Agama, terutama simbol-simbolnya. Kalau Iblis mengirimkan utusannya ke tengah mereka, asalkan menjanjikan kekayaan dan harapan harta benda, maka utusan Iblis itu mereka kasih baju taqwa, peci, sarung dan surban, kemudian mereka ajak masuk rumah ibadah, dijunjung untuk berdiri di podium, agar memberikan tausiyah.

    Tidak penting isi tausiyahnya apa. Bahkan mereka juga tidak peduli arti kata tausiyah itu sebenarnya apa. Yang utama adalah penghormatan mereka kepada utusan Iblis itu merupakan investasi yang akan memantul kepada mereka efek-efek kapital dan akses kekuasaannya.

    Lebih dari itu, duta Iblis mereka persilakan untuk maju sendirian ke ruang Imaman. Dimohon untuk menjadi Imam. Tidak penting apakah si duta itu sama kepercayaan dan prosedur peribadatannya dengan mereka atau tidak, tapi pokoknya silakan mengimami. Kalau tidak bisa mengucapkan bacaan-bacaan atau kalimat-kalimatnya, tidak masalah, dicarikan jenis dan waktu ibadah yang tidak memerlukan ucapan yang dibunyikan.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  17. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Markesot Di-Demo


    Pikiran Markesot yang tadi ia perintah untuk mengolah Negara, Nagari, Negeri, Bilad, Baldatun Thayyibatun, Baladan Aminan, Baldatan Aminatan, mulai sedikit demi sedikit menyampaikan laporan.

    Yang bisa menjadi masalah adalah pikiran Markesot tidak begitu terdidik oleh pengalaman bersekolah. Jadi hasil kerjanya sangat belum tentu bisa diandalkan. Dan mungkin justru karena pikiran Markesot sering dituduh sebagai “pikiran yang kurang terdidik”, maka laporan awalnya tidak jernih, mengandung semacam sentimen psikologis. Malah mungkin ada muatan sakit hati dan rendah diri.

    Lihat saja awal kalimat yang diterima oleh Markesot dari hasil akalnya yang berpikir: “Salah satu sebab kerusakan masyarakat dan bangsa ini yang berlanjut-lanjut susah di-stop adalah kata belajar pindah ke atau berubah menjadi sekolah…

    Markesot memotong pikirannya sendiri: “Sebentar. Apa yang salah dengan belajar berubah menjadi sekolah?”

    Tapi kalimat potongan itu dipotong lagi oleh Markesot, “Kalian saya harap tak usah turut campur dulu, biar saya bereskan pikiran saya sendiri terlebih dulu”, ternyata dia memberi peringatan kepada Markesot-Markesot yang lain.

    “Sekarang ini Sekolah menjadi Tuhan”, pikirannya melanjutkan, “Eh maaf, Sekolah diposisikan melebihi Tuhan. Orang berani tidak bersembahyang, tapi tidak berani tidak Sekolah. Para orangtua belum tentu menegur anak-anaknya tidak melakukan shalat, tetapi mereka marah besar dan frustrasi kalau anak-anaknya tidak masuk Sekolah”

    “Sebentar, sebentar”, Markesot memotong lagi, “Kalau bisa tolong jangan dikait-kaitkan dengan Tuhan dulu, sebab saat ini saya masih punya banyak masalah dengan Tuhan”

    “Jangan khawatir”, jawab pikirannya, “saya juga sangat memikirkan itu dan selalu membantumu mencari jalan keluar bagaimana menemukan cara-cara agar kamu bisa membereskan masalahmu dengan Tuhan”

    “Hutang saya terlalu banyak kepada Tuhan”, Markesot meneruskan, “tumpukannya semakin tinggi dan makin meluas, sehingga menghitungnya saja saya tidak mampu, apalagi saya sangat tertindih di bawah tumpukan hutang-hutang saya kepada Tuhan”

    Pikirannya agak jengkel: “Soal hutang kepada Tuhan ini maksudnya PR yang baru untuk saya kerjakan atau bagaimana? Yang soal Negara, Nagari, Negeri, Bilad, Baldatun Thayyibatun, Baladan Aminan, Baldatan Aminatan baru awal saya laporkan hasilnya, sekarang kok malah dikasih PR baru. Tolong dihitung kembali apakah itu bukan kedhaliman dan scheduling yang buruk yang ditimpakan kepada saya?”

    “Ya ya ya…saya minta maaf”, jawab Markesot, “saya bukan mengejar-ngejar, saya hanya gugup oleh rasa bersalah dan hutang-hutang saya kepada Tuhan, dan sekarang saya bisa jatuh frustrasi oleh rasa bersalah saya kepada kamu. Mohon jangan marah atau mogok. Sebab kalau kamu meninggalkan saya, saya langsung berubah menjadi hewan….”

    Markesot sangat sedih mendengar protes pikirannya. Apalagi pikirannya ternyata belum selesai protesnya:

    “Sebenarnya sudah sangat lama saya mau menyatakan ini”, katanya lebih lanjut, “Ada dua hal. Pertama, terlalu banyak bidang-bidang permasalahan yang kamu timpakan ke saya untuk saya olah. Dari masalah orang-orang bawah yang sangat ruwet, pelunturan keJawaan, degradasi kebudayaan, keruntuhan mental, eksploitasi nasionalisme oleh pejabat-pejabat, kaburnya Negara dan Pemerintah, konspirasi global sejak menyebarnya perampok-perampok Eropa ke Afrika, Asia dan Amerika Latin, hingga Illuminati dan Freemason, ketoprak Timur-Barat Sosialisme-Kapitalisme dan Demokrasi-Komunisme, dari Auffklarung hingga Arab Spring, belum lagi pertengkaran-pertengkaran bodoh Kaum Muslimin berabad-abad, pemilu dan politik uang, segala macam masalah manusia dan dunia ditumpahkan kepada saya”

    “Ya ya saya minta maaf”, Markesot gugup.

    “Madzab-madzhab yang nama alirannya memakai nama Ulama-Ulama yang dulu mereka tidak pernah berpikir apalagi berniat untuk bikin madzhab. Apalagi lantas menjadi persekongkolan, korps, diinstitusionalisasikan, dipadat-padatkan dengan tajaman-tajaman kepentingan, yang akhirnya terjerembab juga pada kapitalisme tersamar”

    “Saya mengerti”, kata Markesot, “tapi tak usah diundat-undat dietrek-etrek sehingga menyakitkan hati dan kita semua”

    “Belum lagi soal Papa Kilo, Forum Pemancing, Klub Congklang, Ahlul Bid’ah wal-Jamaah, kreativitas dan akulturasi yang langsung distempel sebagai kesesatan, kesegaran berijtihad yang langsung diklaim sebagai dholalah, ditambah kehancuran kaum tani dan kapitalisme pejabat kementerian pertanian, beribu-ribu manipulasi dan kemunafikan dalam kehidupan ber-Negara”

    “Aduuuuh…”, Markesot mengeluh.

    “Yang kedua, banyak amat Markesot yang kasih-kasih perintah kepada saya. Mbok para Markesot bersidang dulu menyatukan gagasan dan mengerucutkan kesepakatan. Jangan semua Markesot perintah sendiri-sendiri ke saya. Markesot boleh banyak, tapi akal dan pikirannya kan cuma satu, meskipun satu-nya itu bercabang-cabang dan berdimensi-dimensi”

    Pikiran Markesot belum puas-puas juga menghardik Markesot.

    “Kamu suka menceramahi orang bahwa tidak boleh semua orang berpikir tentang semua hal, sebaiknya ada manajemen dan pembagian tugas di mana sebagian orang memikirkan sebagian hal. Ini malah kamu sendirian berpikir tentang semua hal. Dan untuk itu saya yang kamu siksa. Kamu ini penjajah. Kamu paksa saya kerja rodi. Kamu enak-enak tidur, saya yang harus menggiling mesin pemikiran selama kamu tidur. Dan setelah kamu bangun, kamu larang pula saya beristirahat”

    “Abracadabra…. Gusti Kang Moho Agung…”, Markesot ampun-ampun.

    “Kamu pikir pikiran tidak butuh istirahat. Akal juga punya kelelahan. Akal pikiran dibatasi oleh Tuhan. Tidak boleh diforsir. Tapi kamu memperlakukan saya seperti budak. Saya ini bukan jongos. Saya ditaruh oleh Tuhan di kepalamu justru untuk membantu dan meringankan hidupmu. Saya ini taat kepada Tuhan, bukan taat kepada kamu. Saya dipasang oleh Tuhan untuk menyelamatkan kamu, untuk memilih batas-batas, untuk memagari keterbatasan-keterbatasan, supaya hidup tidak celaka dan hancur gara-gara tidak mengerti batas”

    “Lama benar demo-mu…”, Markesot nyeletuk.

    “Hatimu enak. Tinggal ingin ini itu. Tinggal menuruti kehendak, kemauan, keinginan, nafsu, khayalan, imajinasi, lamunan. Hatimu bebas sebebas-bebasnya. Tuhan menyuruh kamu memasukkan iman supaya menemani hatimu. Tapi itu tidak cukup. Karena pengendalian dan tuntunan arah langkah hidup yang diajarkan oleh iman, harus saya terjemahkan dan saya rumuskan. Saya juga yang repot. Iman tinggal bersemayam, tapi saya yang bekerja keras untuk mengkonstruksi tuntunan iman itu. Harus begini, jangan begitu, segini saja, jangan sampai segitu, kendalikan jangan lampiaskan, di-rem jangan di-gas melulu, ditahan jangan dilepaskan sama sekali…. Iman tinggal kasih perintah, tapi saya yang harus menghitung, menggambar peta regulasinya. Dan itu sangat ruwet dan sama sekali tidak mudah. Iman tinggal kasih policy, tapi juklak-juknis yang complicated, dan itu saya sendirian yang menanggung. Saya lembur sepanjang siang dan malam, saya kerja rodi sepanjang zaman….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  18. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Bainal IT wal OT


    Markesot belum berhenti diomelin oleh pikirannya.

    “Masalah Negara, Nagari, Negeri, Bilad, Baldatun Thayyibatun, Baladan Aminan, Baldatan Aminatan, Khilafah, Imamah… atau apapun, itu sederhana dan tergolong mudah untuk saya kerjakan pemikirannya. Sementara ummat manusia-mu ini gaduh riuh rendah berkembang-kembang untuk menyulitkan diri mereka sendiri. Sementara yang mereka yakini justru sebaliknya: bukannya menyulitkan, melainkan memudahkan, mempermudah hidup mereka….”

    “Secara linier dan eksklusif, praktik teknologi dan budaya sehari-hari dari semuanya itu memang seperti memudahkan. Tetapi pada putaran keseluruhannya nanti, sesudah beberapa tahap, kemudahan-kemudahan teknologi itu melahirkan kesulitan-kesulitan sosial baru yang belum pernah mereka alami sebelumnya….”

    “Saya tadi baru mulai huruf-huruf awal dari soal Belajar dan Sekolah, Sampeyan sudah langsung interupsi, dengan ngundat-undat konflik Sampeyan dengan Tuhan. Saya tidak ada urusan dengan itu. Silakan Sampeyan bertengkar dengan Tuhan, saya tidak mau terlibat. Saya hanya petugas ya’malu ma yu`marun, yang sekadar mengerjakan apa yang diperintahkan. Saya tidak pernah tidak taat. Tetapi yang memerintah saya mestinya juga pakai ukuran.…”

    “Nanti tolong dijaga reaksi Sampeyan, jangan sembrono seperti tadi, kalau saya laporkan hasil penelitian saya tentang Revolusi Industri Keempat, Digital Technology, bainal IT wal OT, antara Information Tech dengan Operational Tech, pergeseran otomasi dari Kantor-kantor ke Pabrik-pabrik, revolusi pemudahan sekaligus radikalisasi pengambrukan, hari-hari dan malam-malam kehidupan manusia akan disibukkan oleh lalu lalang kejayaan dan kehancuran bersaling-silang, bahkan sudah tidak ada ikatan siang atau malam, ruang sudah diperas dan waktu sudah dilipat. Dan itu semua bukan terletak di masa depan. Bukan skala dekade. Apalagi kurun atau era. Ini sudah dan sedang berlangsung”

    “Manusia tidak mengerti apa yang mereka sedang hadapi. Mereka malah bangga, mabuk menikmati, tanpa kekhawatiran apa-apa. Ummat manusia ini sungguh-sungguh menyepelekan tuntunan Tuhan ‘hendaklah kalian melihat ke depan dengan bekal taqwa kepada-Ku’ di setiap simpul napas dan jangka penglihatan kalian”

    “Sungguh dahsyat bahwa makhluk manusia yang sangat diandalkan oleh Tuhan sebagai ahsanu taqwim ini, justru berada paling terbelakang di dalam memelihara kesadaran tentang nilai-nilai. Kalau ada di antara mereka mengemukakan nilai, lainnya menyebut ‘sok filosofis’. Kalau menuturkan hal-hal-hal rohani, mereka merespons sinis dengan kata ‘sok suci’. Kalau diomongin tentang perlunya perbaikan tata kelola antar manusia, dibilang ‘sok moralis’. Dan kalau dibilangi tentang contoh-contoh kehancuran, mereka menghardik ‘sok pinter’….”

    ***

    Markesot menghela napas sangat panjang. Ternyata meskipun sudah dikeluhkan oleh Markesot, pikirannya tak juga berhenti memprotes. Markesot mensabar-sabarkan hatinya untuk melapangkan diri mendengarkan pikirannya.

    Kesabaran hati mendengarkan pikiran itu tidak dikenal dalam kehidupan manusia modern maupun tradisional. Kosakata atau bahasa yang tersedia hanya ngudoroso, atau kalau modern curhat.

    Yang tradisional: roso-nya ngudo, dari wudo, bertelanjang diri, memperlihatkan semua keadaannya. Bagaimana ini. Yang dialami Markesot justru yang wudo itu pikirannya, dan roso-nya harus menampungnya, mengakomodasikan ekspresi pikirannya.

    Yang modern sama tidak detailnya. Bahasa jelasnya: yang modern maupun yang tradisional sama-sama tidak lengkap pengenalan atas dirinya sendiri. Terlalu banyak bernafsu melihat keluar dirinya. Apalagi sekarang ini sudah tidak ada tradisional maupun modern. Yang tradisional batal tradisionalitasnya dan yang modern batal modernitasnya dengan sebab yang sama, yakni memperbudak diri pada tuhan materialisme.

    ***

    Materialisme pun semakin tak paham. Apalagi kalau dipetakan dengan spiritualisme. Pokoknya Kitab Sucinya tidak tersambung antar halaman-halamannya. Setiap lembar lepas sendiri-sendiri. Ada lembaran ratusan ribu, ada lima puluhan ribu, dua puluhan ribu sampai yang terkecil yaitu ribuan. Yang lebih rendah angkanya dibikin dari logam.

    Semua lembaran kertas dan logam itu punya nama yang sama, yaitu Rupiah. Tetapi Bangsa yang Markesot hidup di dalamnya, yang diatur oleh Negara, malah tidak punya lembaran atau logam yang 1-Rupiah. Hahahaha. Bagaimana seribu lima ribu sepuluh ribu kok tidak ada satu rupiahnya.

    Bangsa temannya Markesot itu tidak berurusan dengan materialisme. Urusannya hanya dengan lembaran uang, mobil, gadget, deposito, pesta kuliner, tamasya alias studi banding, dan macam-macam lagi yang disadari bukan dengan istilah materialisme. Bahkan namanya sangat agamis. Wisata Umroh, wisata Ziarah Wali. Walinya siapa, ditentukan oleh Travel Biro. Penyewaan Bus Wisata mengambil keputusan bahwa itu Wali sedangkan yang sana bukan, sebab sukar dijangkau oleh Bis. Wali atau Bukan, Wali Siji, Wali Telu, Wali Limo, Wali Pitu atau Wali Songo, dirumuskan berdasarkan kelancaran transportasi.

    Bangsa yang ditemani Markesot itu kalau disebut kata ‘jasmani’ ingatnya lari pagi, olahraga jantung, lari di lapangan atau pakai mesin lari. Markesot pernah menggoda mereka, “Bapak-bapak, Ibu-ibu, Mas-mas, Mbak-mbak, jangan lari pagi, nanti jantungnya berpacu dengan cepat, irama detak jantung Panjenengan meningkat. Mestinya satu detik untuk dua kali bernafas, kalau lari malah bisa lima kali bernafas dalam satu detik. Itu rugi umur Panjenengan semua ini. Sebab hidup ini jatahnya dari Tuhan bukan lamanya waktu, bukan sekian tahun atau sekian windu. Melainkan jumlah detak jantung….”

    Tentu saja tidak ada orang bodoh di antara mereka yang percaya kepada Markesot. Apalagi yang pintar. Lebih tidak percaya lagi. Sebab orang pintar sangat dikuasai oleh rasa pinternya. Tuhan saja tertutupi oleh rasa pintar itu. Apalagi Markesot yang hanya sejenis gelandangan di muka bumi.

    ***

    Memang Tuhan sering mereka sebut-sebut, tapi yang dimaksud adalah tuhan menurut anggapan kepentingan mereka. Juga Malaikat, Iblis, Nabi dan Rasul, sangat banyak dikutip-kutip oleh mulut dan pena mereka. Tetapi itu kebanyakan merupakan ekspresi dari egoisme pendapat mereka masing-masing, per-individu, per-kelompok, madzhab, parpol, grup atau klub.

    Alhasil Tuhan, Nabi, Islam, Qur`an dan sekitarnya sangat ‘marketable’ bagi penyembah materialisme, kapitalisme dan industrialisme. Tuhan, Nabi, Islam dan Qur`an diakui ada dan dipromosikan maksimal asalkan menguntungkan secara kapital. Di dalam hati mereka terdapat rumus: apa gunanya Tuhan kalau tidak menambah kekayaan dunia saya, kalau tidak membuat laba saya bertumpuk, kalau tidak membukakan jalan kekayaan dan penumpukan harta benda.

    Mereka berseminar dengan tema “Fungsi Tuhan untuk Peningkatan Omset Perusahaan”. “Pembiasaan Shalat Dluha demi Peningkatan Laba Dagang Kita”. “Aktivasi Malaikat untuk Pemenangan Kompetisi Kapitalisme Rahmatan Lil’alamin”. “Berdagang Sebagai Tradisi Muhammad sehingga Diangkat Menjadi Nabi”. “Hifdhul Qur`an Sebagai Sumber Kesuksesan Dunia”. “Peningkatan Ibadah Sebagai Alat Pemacu Pembangunan”. Ha ha ha. Ibadah itu bukan pembangunan, pembangunan itu bukan ibadah.

    Begitulah puncak ilmu dan peradaban saat ini, pada masyarakat manusia yang Markesot mau-maunya menemani mereka.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  19. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Lemah, Bodoh dan Tergantung


    Setelah pikirannya merasa sedikit puas dengan protesnya, Markesot berharap akhirnya ia tuturkan juga laporannya tentang Negara, Nagari, Negeri, Keraton, Kerajaan, Kasultanan, Bilad, Baldatun Thayyibatun, Baladan Aminan, Baldatan Aminatan, Khilafah.

    Cuma Markesot khawatir Saimon akan mengganggunya, meskipun Saimon tahunya Markesot sedang tidur nyenyak. Sesekali Markesot berlagak mengigau, supaya Saimon yakin ia benar-benar sedang beristirahat.

    Sebenarnya sebagai Jin Saimon sedikit lebih tahu tentang gelombang dan suasana batin dibanding kebanyakan manusia. Saimon tidak bisa membaca persis, tetapi ia tahu sedang ada pergolakan di dalam pikiran Markesot, dan terkadang hal itu mengguncang jiwanya.

    Biasanya cukup mudah bagi Saimon untuk meraba, membaca sekadarnya kemudian merumuskan kembali apa yang bergolak di dalam batin manusia. Tetapi rohani Markesot ini, meskipun kelihatannya kosong, tetapi dindingnya berlapis-lapis. Tidak terlalu mudah menembusnya, bahkan pun tatkala Markesot sedang tidur.

    Bukannya Markesot tergolong manusia hebat, tetapi karena tidak banyak pekerjaan yang dilakukan Markesot dalam kehidupan dengan manusia, sehingga ia punya cukup banyak waktu untuk melakukan olah batin, jungkir balik batin, pelipatan dan penikungan batin, penyamaran dan peniadaan batin. Markesot bisa acting dalam tidurnya, seolah-olah ia tetap mengontrol panggung tempat pementasan berbagai macam lakon yang berlangsung di jagat batinnya.

    ***

    Beberapa puluh tahun yang lalu ada seorang Raja Besar yang di sekitarnya ada tak kurang dari 39 Dukun atau orang pintar atau penyangga dan pelindung rahasia yang secara konstan mengelilingi Sang Raja. Banyak kesengsaraan yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan Sang Raja, sehingga mendorong Markesot untuk berpikir menemui Dukun-Dukun itu. Untuk apa?

    Sang Raja sangat percaya dan relatif patuh kepada Dukun-dukun backingup nya. Kalau Markesot bisa bertemu, berdialog dan mempengaruhi alam pikiran si Dukun, dengan sedikit diprovokasi agar mengemukakan sesuatu kepada Sang Raja, ada kemungkinan akan lahir langkah-langkah yang sedikit atau banyak menguntungkan rakyat.

    Markesot bertandang menemui salah seorang Dukun inti Sang Raja, yang paling dipercaya di antara lain-lainnya. Beliau ini tinggal di sebuah desa jauh dari kota, dekat perbukitan, di area yang dulu dipakai Kerajaan Majapahit membangun sejumlah Pesanggrahan untuk menginap tamu-tamu khusus dari Luar Negeri.

    Tidak sengaja karena ketika mau berangkat ada seorang teman dari Kelompok yang menamakan dirinya Rakyat Berdaulat yang bertamu, enteng saja Markesot mengajaknya serta. Ketika sampai di jalanan depan rumah Dukun itu, tidak sukar untuk mengatur bagaimana caranya masuk. Karena toh tiap saat banyak tamu berdatangan. Markesot dan temannya hanyalah dua di antara mereka semua.

    Tetapi ketika mendapat giliran untuk menghadap, Markesot membisiki temannya: “Tolong kosongkan hatimu. Sisakan satu hal saja: bahwa Sampeyan sedang menemani saya tanpa mengerti apa-apa”. Tatkala mereka berhadapan dengan Sang Dukun, Markesot benar-benar harus berlaku sebagaimana seharusnya.

    Yakni, menjadi orang lemah, bodoh dan tergantung. Bertamu kepada Sang Dukun untuk mengeluhkan sesuatu hal, memohon petunjuk dan pertolongan. Markesot mencari apa yang akan dikeluhkan. Tapi bukan mengarang atau mengada-ada. Juga seluruh perilakunya bukan acting atau berlagak. Melainkan sungguh-sungguh menyurutkan dan mengkerdilkan diri sampai menjadi benar-benar lemah, bodoh dan tergantung.

    Sekurang-kurangnya harus sebatas itu getaran, aura dan gelombang dari Markesot yang sampai ke batin Sang Dukun. Markesot harus membangun dinding sangat tebal pada frekuensi komunikasinya, agar muatan-muatan batin dan alam pikiran yang membawanya ke Sang Dukun tidak terbaca sama sekali. Nanti secara bertahap sejumlah muatan inti akan Markesot ungkapkan, tetapi harus tetap dibungkus dengan bahasa dan getaran kelemahan, kebodohan dan ketergantungan.

    Setelah beberapa puluh kalimat dan sopan santun, Sang Dukun akan mempercayai identifikasi itu, sehingga kemudian tidak sengaja akan menurunkan kewaspadaannya. Dan kalau sudah pada tahap itu, Sang Dukun semakin tidak fokus untuk bisa waskita, jeli, peka dan lantip. Itulah momentum dan peluang bagi Markesot untuk melakukan subversi ide, pemikiran, usulan, meskipun tetap harus berwajah lemah, bodoh dan tergantung.

    ***

    Strategi utama di depan Sang Dukun pastilah harus menghiasi komunikasinya dengan pujian-pujian dan kekaguman kepada Sang Raja. Kemudian menyatakan lebih takjub lagi mengemukakan “pasti orang yang mendampingi Sang Raja adalah manusia istimewa setingkat Begawan, Panembahan, orang bijak yang meskipun seolah-olah berposisi seperti Punakawan, namun sesungguhnya beliau adalah pengendali ke mana angin berhembus, ke mana asap membubung, pengelola suhu kapan panas kapan dingin, bahkan membalikkan siang menjadi malam, dan sebaliknya….

    Karena dipuji maka Sang Dukun semakin kehilangan kewaspadaan. Memang ternyata dia lupa untuk kritis bahwa orang lemah, bodoh dan tergantung, tidak mungkin bisa menyusun kalimat-kalimat seperti itu, apalagi dengan muatan-muatan yang tidak terlalu bodoh.

    Markesot menambahi, “saya yakin semua pemimpin-pemimpin dunia diam-diam berguru kepada Sang Raja. Terutama hal-hal yang menyangkut manajemen cuaca dan pengenalan terhadap beribu jenis katuranggan.”

    Dasar-dasar pertimbangan Sang Raja memilih pembantu-pembantu di sekitarnya, memilih para Menteri dan Pejabat, sangat berbeda, bahkan terbalik, dibanding yang berlaku baku di seluruh dunia. Bahkan merasukkan prinsip ilmu dan cara memilih itu sehingga maresonansi sampai level paling bawah. Kerajaan kita ini benar-benar punya ilmu dan kawruh yang sangat khas dibanding Negara-negara di seluruh permukaan bumi. Itulah sebabnya Sang Raja tidak mungkin dilengserkan oleh siapapun, beliau berkuasa sudah sangat lama, sudah melebihi pendahulu beliau, dan rakyat sudah menetapkannya di dalam hati sebagai Raja seumur hidup….

    Akan tetapi sesuatu mendadak terjadi dan sangat mengagetkan Markesot. Angin cukup besar berhembus, berputar mengelilingi ruangan pertemuan mereka. Tentu saja sejuk sapuan angin itu, tetapi setiap kali melewati wajah Markesot, ia berubah menjadi panas. Beberapa kali kemudian malah menjadi semakin panas.

    Markesot langsung menoleh ke temannya yang duduk di sebelahnya. Tapi belum beberapa sekon, ia beralih melihat wajah Sang Dukun, karena terasa ada perubahan yang sangat membalikkan keadaan.

    Benar. Wajah Sang Dukun berubah tegang dan memancarkan kemarahan. Kedua tangannya melakukan gerakan-gerakan tertentu, kemudian berdiri dan berkata, “tolong pintunya ditutup sesudah keluar dari ruangan ini” — kemudian Sang Dukun berlalu masuk ke ruang dalam rumahnya.

    Markesot berdiri, diikuti temannya. Dan terus terang saat itu ingin langsung menonjok wajah temannya itu. Andaikan dia bukan Markesot.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  20. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Aktivisme Dukun


    “Daripada saya keburu kalap dan tidak sengaja membunuh Sampeyan, lebih baik sekarang Sampeyan terus terang saja tadi mikir dan mau ngomong apa kepada Pak Dukun”,

    Markesot geram benar kepada temannya, di perjalanan pulang.

    “Harap Sampeyan catat dulu, bahwa Sampeyan membuyarkan semua rencana kita. Sampeyan menyia-nyiakan perjuangan batin yang sangat berat untuk melaksanakan rencana itu. Kemudian yang terpenting adalah Sampeyan mempermalukan saya di depan Dukun itu”

    Temannya terdiam. Menutupi muka dengan kedua tangannya.

    “Sebenarnya saya sudah tahu semua yang bergolak di dalam pikiran dan niat di dalam batin Sampeyan yang penuh nafsu politik itu”, Markesot melanjutkan, “tapi yang saya minta adalah pengakuan, bukan tuduhan”

    “Pengakuan apa”, kata temannya, “Saya kan tidak bicara apa-apa, tidak melakukan apa-apa, hanya duduk”

    Markesot jengkel. “Jawaban Sampeyan itu bisa nambah masalah lho. Kita sudah terhina karena diusir. Jangan tambah lagi”

    “Tambah apa?”

    Markesot naik nada suaranya. “Sampeyan jangan berlagak bodoh. Sampeyan lebih berpengalaman dari saya. Sampeyan tahu bahwa untuk supaya kita tahu ayam, lantas ayamnya harus mengatakan kepada kita bahwa dia ayam. Matahari terbit tidak dengan melaporkan bahwa ia sedang terbit. Kalau ada orang marah, jengkel, sedih, atau senang, itu cukup terlihat dari susunan wajahnya, ekspresinya, pola-pola urat sarafnya. Kita bisa menemukan isi jiwanya meskipun hanya dengan melihat wajahnya. Dukun tadi tahu persis api panas yang bergolak di dalam hati Sampeyan, bahkan bisa akurat membaca niat Sampeyan, bahkan mungkin juga isi pikiran yang ingin Sampeyan kemukakan”

    Temannya menjawab, “Faktanya kan saya tidak omong apa-apa”

    “Fakta?”, sahut Markesot, “Jadi fakta manusia itu hanya pada bunyi mulutnya? Hati bukan fakta? Isi pikiran bukan fakta?”

    “Yang bisa dianggap fakta kan yang diungkapkan atau dilakukan”

    “Itu fakta bagi tape-recorder, bagi alat-alat perekam, bagi mesin. Tapi bagi manusia, terutama bagi manusia yang punya rohani yang bernama pikiran dan hati: yang lebih merupakan fakta justru adalah yang tidak diungkapkan”

    “Tapi yang boleh dihukum kan yang dikatakan atau dilakukan”

    “Kita sudah dihukum. Kita sudah diusir. Kita sudah mempermalukan diri kita sendiri. Sumbernya adalah fakta di dalam hati dan pikiran Sampeyan”

    “Tapi kan tidak saya ungkapkan”

    “Tapi kan Dukun dan saya bisa tahu meskipun tidak diungkapkan. Maka diketoklah palu hukuman. Itulah manusia. Itulah kedalaman pengetahuan manusia. Itulah kepekaan batin manusia. Itulah kewaskitaan jiwa manusia. Bukan Negara, bukan Jaksa, bukan Hakim, bukan Lembaga Hukum yang sangat dungu dalam melihat dan menilai manusia”

    “Isi hati dan muatan pikiran tidak termasuk ranah hukum”

    “Isi hati dan muatan pikiran adalah ranah hukum yang utama”

    “Tidak ada prinsip seperti itu”

    “Kalau begitu jangan pakai kosakata hukum. Cari kata sendiri”

    “Kenapa?”

    “Kata hukum itu milik Tuhan. Kalau mau pakai, gunakan juga apa kata Tuhan tentang hukum. Tuhan Maha Hakim. Hukum adalah presisi terlembut dari akurasi keadilan”

    “Itu bukan tanggung jawab saya. Saya tidak ikut memilih kata hukum yang digunakan oleh sistem Negara”

    “Lha kok Sampeyan memakai sesuatu yang Sampeyan tidak ikut menentukan? Mana kedaulatan Sampeyan? Katanya mau mengubah Negara dan manusia. Katanya kita ke Dukun itu untuk supaya bisa mempengaruhinya, kemudian diharapkan dia mempengaruhi Raja, agar melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengutamakan hak rakyat”

    “Tidak pada semua hal kita bisa berdaulat. Saya makan nasi tidak harus tanam padi sendiri. Saya minum tidak harus menyuling air sendiri. Saya bernegara karena sebelum saya lahir sudah ada Negara dan tidak ada peluang bagi saya untuk tidak berada di dalamnya”

    “Tapi kan bisa menolak sesuatu pada batas yang kita bisa. Kalau hukum Negara hanya melihat seseorang mencuri, kita tetap bisa menjadi manusia yang juga melihat kenapa dia mencuri”

    “Memang bagi hukum Negara, fakta adalah peristiwa bahwa seseorang mencuri. Apa sebabnya, apa motivasinya, apa yang memaksanya mencuri, bukanlah fakta bagi hukum Negara”

    “Kalau memang kita pakai hukum Negara, kenapa kita datang ke Dukun?”

    “Karena kita warga negara. Dan setiap warga negara menginginkan Negaranya menjadi baik untuk rakyatnya. Kita melihat masih sangat jauh dari baik. Maka kita cari hulunya. Kita temukan Raja dikelilingi oleh Dukun-dukun yang merupakan aspirator-aspiratornya. Maka kita menemui aspirator utama di antara Dukun-dukun itu untuk siapa tahu bisa kita pengaruhi”

    “Apakah Dukun ada dalam susunan konsep Negara?”

    “Tidak ada bagi Negara, tapi ada bagi kita, maka kita melakukan ini semua”

    “Sampeyan melakukan itu dengan konsep Negara atau konsep Dukun?”

    “Saya tidak mengerti ada konsep Dukun”

    “Yang kita datangi tadi kan Dukun”

    “Ya tapi yang kita lakukan adalah demi Negara supaya berguna untuk rakyatnya”

    “Tapi kan yang kita hadapi adalah Dukun, maka kita harus memahami habitat, konsep, jenis pandangan, ilmu dan kemampuan Dukun”

    “Kenapa kamu tidak bilang itu sebelum kita pergi ke Dukun?”

    “Karena Sampeyan lebih tahu dan berpengalaman dari saya”

    “Bagi saya yang kita lakukan tadi adalah mekanisme diskusi atau musyawarah”

    “Tapi diskusinya kan tidak dengan aktivis intelektual yang pedoman utamanya adalah bunyi mulut. Manusia dan Dukun tidak sesempit aktivis. Manusia dan Dukun selalu waspada kepada bunyi mulut, ungkapan kata-kata dan pernyataan-pernyataan eksplisit. Karena fakta utamanya tidak terletak pada kata-katanya, melainkan pada orisinalitas isi hati dan muatan pikirannya. Jadi seharusnya Sekolah dan Universitas mengajarkan dan melatih agar siswa dan mahasiswanya mengenali manusia dengan isi batin dan gejolak berpikirnya”

    “Ternyata kamu ini Dukun, Sot”

    “Sampeyan baru tahu sekarang? Dari dulu saya memang Dukun. Dukun itu artinya orang yang mengobati. Orang yang menolong sesamanya. Mengupayakan agar orang yang ditimpa masalah bisa keluar dari masalah. Bahwa wilayahnya macam-macam, itu karena perkembangan peta masalah manusia. Ada urusan bayi lahir, orang sakit, orang kehilangan barang, orang ingin bangun dari penderitaan, orang ingin gembira hidupnya”

    “Tapi kan ada juga Dukun santet, tenung, teluh, pelet….”

    “Sama dengan shalat. Ada shalat ikhlas, shalat pamrih harta, shalat peningkatan omset dagang, shalat naik jabatan, shalat kemunafikan, shalat pengasihan…itu semua tergantung pelakunya….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  21. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Terbodoh dan Paling Sombong


    “Kenapa kamu repot-repot menemui Dukun itu, kenapa tidak langsung saja kamu kerjain si Raja”, tiba-tiba terdengar suara Saimon.

    Tak sengaja Markesot membuka matanya. Saimon sudah duduk di sampingnya sambil tersenyum agak mengejek.

    “Bangsat tengik kamu, Mon”, kata Markesot.

    Markesot menarik nafas panjang. Kemudian duduk bersandar pohon di samping Saimon.

    Memang sangat memalukan pengalamannya dengan Sang Dukun waktu itu, bersama seorang tokoh Rakyat Berdaulat, yang rasa jengkelnya tidak pernah sirna sampai sekarang. Markesot sewot tak habis-habis. Itu orang terhadap arus batinnya sendiri saja tidak berdaulat. Apalagi terhadap sesuatu di luar dirinya, apalagi terhadap Sang Dukun, terlebih-lebih lagi terhadap Negara dan keadaan rakyatnya.

    Tapi yang salah ya Markesot sendiri. Dengan insiatifnya sendiri, biaya sendiri, segala sesuatunya ia tanggung sendiri, Markesot merasa dirinya penting, sehingga repot-repot mendatangi Sang Dukun. Merasa penting, karena Negaranya sendiri, Pemerintahnya, juga rakyatnya, tidak tahu menahu tentang dia, juga tidak membutuhkan iguh pertikelapa-apa dari Markesot.

    Andaikan Markesot berhasil sedikit mengubah jalannya nasib rakyat dengan inisiatif dialog dengan Dukun itu, Negaranya juga tidak untung apa-apa, rakyatnya juga tidak lantas berterima kasih kepadanya. Andaikan gagal, sebegaimana yang berlangsung, Negara dan rakyatnya juga cuek-cuek saja. Tidak ada faktor Markesot pada kehidupan mereka.

    “Kenapa kamu senyum-senyum?”, Markesot jadi tersinggung melirik wajah Saimon yang tersenyum-senyum.

    Saimon malah jadi tertawa. “Apakah sekadar tersenyum saja harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan”, jawabnya, “ummat manusia itu sedang mengidap penyakit jiwa model apa, sehingga oleh senyuman sesama makhluk Tuhan saja ia merasa tertekan”

    “Saya tidak tertekan. Saya tersinggung”, kata Markesot.

    “Di mana-mana yang namanya tersinggung itu lahir dari rasa tertekan oleh suatu hal”

    “Sekali lagi, saya tidak tertekan oleh senyumanmu. Saya…”, Markesot melambatkan suaranya, tetapi menekan-nekankan kata-katanya, “…tidak berkenan atas muatan hati dan pikiranmu yang menyebabkan kamu tersenyum”

    Saimon makin tertawa.

    “Di dalam peradaban Jin kata berkenan itu diucapkan tidak oleh pihak yang memiliki hak untuk berkenan, melainkan dikemukakan oleh pihak yang mengharapkan perkenan”

    Markesot menaikkan nada suaranya. “Saya tidak sedang berada dan terikat oleh peradaban Jin atau kebudayaan Manusia. Saya sedang berada di luar kedua wilayah itu. Saya sedang berbicara dengan satu makhluk, dengan aturan yang terserah-serah saya, atau terserah-serah dia, atau terserah-serah kesepakatan atau ketidaksepakatan antara kami berdua”

    Simon tetap santai. “Pakai aturanmu saja”, saya menyesuaikan diri, “sebab sejak semula niat saya ke sini adalah menyatakan simpati dan mungkin sedikit menolong, jika diperlukan”

    “Baik…”, tiba-tiba suara Markesot menjadi pelan dan serius, “Kalau kamu memang mau menolong saya, sekarang kamu pejamkan mata sebentar saja….”

    Saimon menjawab serius juga, “Mata yang mana?”, ia bertanya.

    “Ya matamu”

    “Lha iya yang mana. Yang luar apa yang dalam, yang atas apa yang bawah, yang kiri atau yang kanan, yang ini atau yang itu, yang sini atau yang sana, yang dekat atau yang jauh….”

    “Yang Asifiyah, yang Sulaimaniyah, yang kesatuan dari semua yang kamu sebut bertele-tele itu”

    “Sulaiman tuan kakek saya, tapi bukan Guru saya. Ibnu Barkhiyah bukan Buyut saya, bukan garis ke atas dan belakang saya….”

    “Jangan berlagak omong terlalu jauh. Kepada Mbah Qorin Al-Huda saja kamu tidak diterima menjadi muridnya”

    “Saya otodidak”

    Markesot tertawa terpingkal-pingkal. “Gayamu, Mooon, Jin kok pakai istilah otodidak segala. Sekalian kamu bikin Jaringan Jin Independen….”

    “Kelemahan manusia kan di wilayah presisi. Otak mereka goyang terus. Akal mereka belok-belok. Ilmu mereka miring, bahkan sering terbalik-balik. Kurang belajar lipatan, apalagi putaran”

    “Nggak usah ngritik manusia. Sekarang pejamkan mata”

    Saimon memejamkan mata.

    “Telunjuk tangan kirimu arahkan ke Gunung Liwanu”

    Sambil tersenyum Saimon mengangkat tangan kirinya dan menunjuk ke suatu arah.

    Markesot tertawa. Saimon spontan buka mata kembali dan agak kaget ternyata tidak ada gunung di arah yang ditunjuknya. Ia menoleh ke beberapa arah, ternyata Gunung itu terletak di arah belakang punggungnya.

    “Ah! Kamu sudah tua masih kampungan!”, kata Saimon, “main-koordinat, jumpritan lintang bujur, sulapan garis-garis penjuru. Itu permainan kanak-kanak di dunia kami masyarakat Jin”

    Markesot tertawa. “Kalian para Jin juga biasa menjadi objek Jailangkung permainan kanak-kanak di dunia manusia”

    “Oo itu Jin-jin dekaden yang sudah terbuang dari perkembangan peradaban Jin”, kata Saimon, “mereka sudah ketinggalan ilmu dan kebudayaan untuk mengikuti kemajuan budaya Jin, sementara masuk dunia manusia juga setengah-setengah kemampuannya”

    Markesot berkata serius: “Saya bukan mau ajak kamu main sulapan-sulapan picisan, Mon. Saya ini protes pada beberapa Pasukan Jin yang memang benar-benar bekerja dan digaji untuk mengacaukan akal masyarakat manusia. Kalian main-mainkan intelektualitas manusia. Kalian jebak-jebak pandangan ilmu manusia, terutama manusia kalangan menengah modern yang merasa lebih maju dan lebih hebat dibanding masyarakat manusia pada umumnya”

    Saimon juga menjawab serius. Dan ternyata panjang lebar.

    “Saya juga tidak setuju pada pasukan-pasukan bayaran itu. Tetapi saya juga paham kenapa mereka setengah terpaksa menjalankan itu. Mereka golongan Jin yang tidak mau belajar pada urutan kasepuhan Jin di dalam peta waktu penciptaan makhluk-makhluk dan alam semesta oleh Tuhan.

    Mereka tidak mengerti prinsip dasar tugas Buyut Iblis, akselerasi tahap-tahapnya, formula aplikasinya di setiap era sejarah, sehingga mereka salah identifikasi, salah pemetaan, dan akibatnya salah menempatkan diri juga. Tetapi saya juga berpikir salahnya manusia sendiri kenapa menyebarkan pandangan sampai berlaku global bahwa Iblis itu dongeng, Dajjal itu Buto, Ya’juj Ma’juj itu mitologi, bahkan Tuhan sendiri mereka remehkan.

    Mereka tidak sungguh-sungguh merasakan Tuhan di dalam mekanisme kehidupan mereka, maka yang mereka temukan adalah tuhan-tuhan artifisial, bahkan tuhan menurut karangan dan prasangka mereka sendiri. Kurun peradaban manusia saat ini dipimpin oleh golongan manusia yang paling bodoh namun sombong sepanjang sejarah manusia….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.