1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Than A Tasteful Floccinaucinihilipilification, It's A Vengeful Cerulean

Discussion in 'Dear Diary' started by Banksy, Nov 5, 2016.

  1. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Markesot Ahli Dubur


    Yang dimaksud Markesot Ahli Dubur awalnya hanyalah pengetahuan tentang motor atau mobil.

    Markesot bilang untuk mengetahui ‘kebenaran’ mesin, kita tidak perlu membuka kapnya, memeriksa seluruh peralatannya, apalagi membuka-buka detailnya, menganalisisnya, mengukur-ukurnya, dengan metode dan kriteria yang tepat atau belum tentu tepat dengan fakta mendasar kebenaran mesin itu.

    Kebenaran mesin maksudnya adalah kualitas per onderdilnya, ketepatan penempatannya, presisi konstruksinya, kelancaran putarannya dan maksimalitas hasil kerjanya.

    Kalau mendengar kata ‘kebenaran’ kata Markesot jangan lantas hanya berasosiasi ke Kitab Suci, ucapan Nabi, buku filsafat atau pelajaran-pelajaran Sekolah dan Pesantren. Sebutir kacang juga hadir dengan dan karena kebenarannya sebagai butir kacang. Seekor cacing bertempat tinggal di dalam kebenarannya sebagai cacing. Sezarrah debu tak bisa beterbangan atau hinggap di tembok kalau tak disertai oleh kebenaran hakiki dan syar’i jasadiyahnya sebagai debu.

    Kebenaran bukan hanya berada di genggaman kaum Ilmuwan dan Ulama. Kebenaran adalah juga hakikat utama setiap makhluk hidup maupun benda-benda. Kebenaran tidak hanya melandasi bagaimana seorang kuli memanggul barang, tapi juga wajib adanya pada barang yang dipanggul, pada cara si kuli memanggul, pada cara kakinya berkuda-kuda dan melangkah, termasuk pada keputusan si kuli tentang di lokal lantai atau tanah sebelah mana ia memijakkan telapak kakinya dari langkah ke langkah.

    ***

    Kebenaran dalam ilmu bukan monopoli ilmuwan. Kebenaran kandungan Agama bukan kuasa Ulama.

    Kebenaran dalam negara tidak boleh didominasi oleh Pemerintah. Kebenaran dalam demokrasi bukan hanya milik para pakar demokrasi. Kebenaran yang dianugerahkan Allah untuk mengakari penciptaan semua makhluk adalah berada pada semua makhluk itu.

    Bahwa hampir setiap penguasa punya kebiasaan untuk merebut kebenaran umum dipersempit menjadi kebenaran lokal-subyektif mereka, itu adalah sumber konflik antara para penguasa dengan Tuhan.

    Dan Tuhan selalu membuka tangan lebar-lebar, mempersilakan makhluk-makhluknya siapa saja, di mana saja, kapan saja, untuk menyelenggarakan pertengkaran melawan Tuhan. “Barangsiapa mau setia kepada-Ku, setialah. Barangsiapa mau berkhianat kepada-Ku, berkhianatlah”.

    Jadi bagaimana kebenaran mesin motor atau mobil? Menurut Markesot “lihat duburnya”. Maksudnya tentu knalpotnya. Lihat apa yang keluar dari dubur motor itu. Asap hitam, asap putih, disertai jenis suara atau geraman tertentu.

    Kalau yang keluar dari dubur motor adalah tetesan-tetesan air, meskipun mungkin dibarengi sedikit asap, juga suara knalpot yang sopan dan rendah hati, maka itulah kebenaran mesin motor.

    Sejak Markesot memandu Sapron menata kebenaran mesin motor dan mobil, dan menegas-negaskan keluaran di duburnya, orang-orang di sekelilingnya menjuluki Markesot sebagai Ahli Dubur.

    ***

    Kalau Anda punya motor, menaikinya tiap hari untuk pulang pergi bekerja, mengantarkan anak ke sekolah, mengawal istri berbelanja, atau mungkin sebagian dari Anda memakai motor itu sesekali untuk pergi ke tempat yang Anda jaga jangan sampai diketahui oleh istri dan keluarga Anda, Markesot punya saran, meskipun tanpa menyetujui hal yang terakhir yang istri Anda tidak boleh tahu itu.

    Saran Markesot adalah, “naiki dan nikmatilah motormu, kuasai bagaimana mengendalikannya, pahami sedikit pengetahuan standard tentang mati hidupnya mesin, membesarkan mengecilkan saluran bensin, nyetel stasioner, bongkar pasang roda dan beberapa kebisaan elementer. Tetapi Anda tidak perlu mencari tahu terlalu jauh”

    “Tidak usah mencari pengetahuan tentang siapa saja nama orang-orang yang dulu bertugas memasang alat-alat sehingga menjadi motor Anda. Siapa penemu awal teknologi motor itu. Siapa pemegang hak patentnya. Namanya siapa, punya anak berapa, kelahirannya kapan, alamatnya di mana, di desa atau kota, RT RW RK berapa, hobinya mancing atau medsosan”

    “Apalagi mempelajari sampai detail tentang bahan logam apa saja yang dipakai untuk mengkonstruksi motormu. Sasisnya logam apa, bempernya, roda dan jerujinya, kaca spionnya dibikin sendiri oleh pabrik motor atau pesanan dari pabrik kaca. Kalau ternyata pesanan, siapa pemilik pabrik kaca itu. Modal perusahannya dari warisan keluarga atau pinjam uang dari Bank. Si pemilik perusahaan itu punya penyakit apa, sudah berobat ke dokter mana, pengobatannya medis modern atau tradisional”

    “Anda juga tidak perlu meneliti peta pasar motor internasional. Yang paling laku di Negara mana. Bagaimana sistem pembelian atau pengkreditan yang diselenggarakan. Ketika perusahaan motor itu mengeksport produk motor mereka ke sini, pakai nyogok pejabatnya atau tidak. Kalau nyogok, berapa. Nyogok sekali atau setiap kali memasok motor-motor. Yang disogok satu pejabat atau banyak, satu kantor atau banyak, satu pintu atau semua pintu. Bagaimana uang sogokan itu dituliskan di buku manajemen perusahaan, diletakkan di lajur CSR, zakat, infaq, shadaqah atau uang iseng atau apa klausul lainnya”

    “Adapun pejabat yang disogok, diteliti bagaimana penerapan uang sogokan itu dalam keuangan keluarganya. Apakah istri dan anak-anaknya tahu. Apakah uang haram itu dipakai untuk beli beras dan lauk untuk dimakan sekeluarga, serta dibelikan susu untuk diminum bayinya. Apakah sebagian uang sogokan itu dipakai untuk menyumbang pembangunan Masjid atau Gereja atau Kuil. Atau mungkin menyumbang khitanan massal. Dipakai untuk biaya umroh, membelikan semen dan genteng untuk pembangunan gedung Pesantren. Atau untuk membeli sekian ratus mushaf Al-Qur`an dan dibagi-bagikan ke Madrasah Penghapalan Qur`an. Dan banyak kemungkinan lagi, yang memerlukan seribu halaman lagi untuk dituliskan”

    ***

    Kata Markesot, penelitian dan pengetahuan yang berderet-deret dan bertumpuk-tumpuk di atas itu adalah wilayah kewajiban kaum ilmuwan dan para ahli Tafsir.

    “Kalian dan kebanyakan orang tidak menanggung kewajiban semacam itu, dan tetap berhak memakai motor, menaikinya, mendayagunakan dan menikmatinya”

    “Sebagian dari manusia dianugerahi oleh Tuhan kemampuan menggali ilmu sehingga mereka bekerja sebagai Ahli Analisis dan Interpretasi, alias Mufassir atau Ahli Tafsir. Kebanyakan manusia termasuk kita-kita ini mungkin memang tidak disuruh oleh Tuhan untuk menjadi Mufassir. Kita semua sekedar Mutadabbir. Orang yang ber-tadabbur. Orang yang men-tadabbur-I Al-Qur`an”

    Apakah mereka tidak men-tadabbur-i Qur`an, ataukah hati mereka terkunci?’ Tuhan memfirmankan itu di surah Muhammad kekasih-Nya. Firman itu berupa pertanyaan, padahal kan tidak mungkin Tuhan bertanya. Bentuk pertanyaan itu mestinya semacam retorika atau strategi komunikasi untuk lebih menonjok ke hati dan pikiran pihak yang difirmani”

    Kata Markesot, kalau tafsir, syaratnya adalah pencapaian kebenaran ilmu dan pengetahuan. Kalau tadabbur, kriterianya adalah bertambahnya kebaikan dan iman pada diri manusia.

    “Kalau tadabbur, ayatnya jelas di Surah Muhammad”, kata Markesot, “Kalau tafsir, saya belum tahu mana ayatnya, saya cari belum ketemu…”


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Tadabbur, Dubur, Knalpot Akhlaq


    “Kalian punya hak untuk mengucapkan, melakukan dan menikmati ‘Bismillahirrohmanirrohim’, ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannashir’, alfatihah seutuhnya, ayat-ayat apapun di surat apapun dan tentang apapun, tanpa kalian wajib tahu asbabun-nuzul-nya, asal-usul kalimat itu, ayatkah atau haditskah atau wisdom para Ulamakah. Yang menjadi ukuran adalah apa yang keluar dari dubur kehidupanmu”

    “Kalian sebagai tukang becak dan kuli pasar tidak tahu bahasa Al-Qur`an, tidak menguasai epistemologinya, tidak mungkin melakukan pembelajaran tentang asal-usul ayat ini itu, tidak mengerti Makiyah atau Maddaniyah, tidak paham Kitab apapun yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat itu, tidak pernah melihat atau mendengar apa yang ditulis dan dikatakan oleh para Ulama Ahli Tafsir. Tetapi wahyu Tuhan itu untuk kalian semua, tidak hanya untuk Nabi dan Ulama-Ulama penerus Nabi. Untuk setiap orang dari kalian, dan pasti berlaku untuk setiap detail kehidupan dan penghidupan kalian di tempat kerja, di rumah, di jalanan, di gardu, di warung, di tempat pemancingan, di jalur ronda malam dan di manapun”

    “Al-Qur`an dan kehidupan ini dihamparkan Tuhan tidak dikhususkan untuk Nabi dan Ulama, apalagi hanya untuk dikuasai dan dimonopoli oleh Ulama Tafsir. Kalian beli beras untuk makan anak istri saja belum tentu bisa, bagaimana mungkin pergi ke toko buku membeli Kitab Ulama”

    “Al-Qur`an dan kehidupan bukan monopoli Nabi dan Ulama. Beliau-beliaulah yang menyangga kewajiban untuk mengantarkan Al-Qur`an kepada kalian semua dengan bahasa, cara dan tawaran pelaksanaan yang semudah-mudahnya. Kalian juga sangat berhak, bahkan dianjurkan oleh Tuhan untuk bergaul seakrab-akrabnya dengan Kitab-Nya meskipun tidak benar-benar memahami bahasa dan maknanya. Yang penting kalian mencintainya, mempercayainya, melaksanakan dan menikmatinya”

    “Asalkan hasilnya adalah kalian menjadi lebih baik hidup kalian sebagai manusia, lebih dekat kepada Tuhan, lebih mencintai Nabi, Anbiya` dan Auliya` serta para Ulama yang sungguh-sungguh Ulama. Asalkan yang keluar dari knalpot kehidupan kalian adalah tetesan-tetesan air suci kesetiaan, pengabdian dan cinta kepada Tuhan. Itu saja ukurannya. Sangat sederhana. Tidak harus berilmu tinggi. Tidak wajib menguasai Al-Qur`an, karena Ulama yang paling Ulama pun mustahil menguasai Al-Qur`an. Mosok Al-Qur`an diturunkan untuk dikuasai. Yang harus dikuasai itu nafsu!”

    Demikian ‘fatwa’ Ahli Dubur.

    ***

    Dengan demikian mestinya sekarang sudah sangat jelas betapa pentingnya dubur. Ia memiliki kemuliaan khusus karena menjadi saluran pengetahuan untuk melihat seseorang sehat atau tidak.

    Jangan pernah meremehkan dubur, sebab kalau sampai ia ngambeg lantas pergi meninggalkanmu, bagaimana hidupmu nanti. Jangan pernah membuang dubur, sebab dia bukan gundukan yang bisa kamu potong, kamu gergaji kemudian kamu buang.

    Jangan pernah mengejek dubur. Cintailah dubur, meskipun bentuk cintamu tak perlu dengan menjilatinya. Hargailah kerendahhatian dan keikhlasan dubur, yang tidak merasa cemburu, iri, dengki atau dendam kepada mulut. Dubur tidak mempersoalkan nasib mulut yang selalu dipergaulkan dengan barang-barang yang enak dimakan dan diminum. Sementara nasib dubur sendiri justru sebaliknya.

    Markesot sangat sering wanti-wanti agar ummat manusia selalu tumbuhkan penghormatan dan apresiasi terhadap dubur. Penghargaan terhadap dubur adalah kewajiban semua bangsa, semua suku, golongan, marga dan manusia siapapun.

    Barangkali ada yang pernah tahu bahwa sesuatu yang keluar dari dubur Markesot pernah dibawa ke Laboratorium dan ditemukan kandungan Uranium. Dokter memvonis bahwa sisa usia Markesot tinggal 3,5 bulan lagi. Tubuh Markesot dimasukkan ke dalam “bendosa” dan hasil potretnya dari leher ke seluruh dada Markesot hitam legam pekat sehitam-hitamnya. Sudah tidak ada fungsi apapun padanya. Tinggal maut, kalau menurut batas ilmu manusia.

    Syukur Alhamdulillah belum pernah ada dan memang tidak ada dokter yang Tuhan. Tuhan hanya tunggal, hanya satu-satunya, ya Tuhan itu sendiri. Dokter wajib mendiagnosis, tapi keputusan final ada di tangan Tuhan. Andaikan ketika itu yang mendokteri Markesot ternyata adalah Tuhan sendiri, maka 3,5 bulan itu absolut. Untungnya dalam kehidupan ini tidak ada dokter yang Tuhan.

    Justru sesudah lewat 3,5 bulan badan Markesot menjadi sangat subur, sehat dan bahkan agak gendut, wajahnya nyempluk, sampai Markesot ngeri sendiri kalau berkaca. Akhirnya Markesot berpuasa sampai badannya normal lagi seperti semua.

    Cuma ada satu hal yang belum pernah diceritakan oleh Markesot, yakni selain kehendak Tuhan, apa yang ia lakukan sesudah vonis usia tinggal 3,5 bulan itu, sehingga batas waktunya tidak berlaku.

    ***

    Yang jelas, sesudah diperiksa di Lab, Markesot bersilaturahmi dengan barang keluaran yang lewat knalpotnya itu. Berkenalan baik-baik, saling menanyakan identitas dan latar belakang masing-masing, dilandasi dengan assalamu`alaikum dan wa’alaikumussalam, bersumpah saling menyelamatkan dan menjaga keamanan satu sama lain.

    “Apakah kamu disuruh Tuhan untuk memasuki badan saya?”, Markesot bertanya kepada Uranium.

    Uranium menjawab, “Benar-benar saya minta maaf karena terlena. Sore hari menjelang Maghrib hari itu saya kebetulan agak ngantuk, dan tiba-tiba saja saya dilemparkan masuk ke dalam leher dan dada Sampeyan. Ketika saya sadar, beberapa onderdil tubuh Sampeyan sudah terlanjur rusak dan hampir hancur sama sekali. Saya merasa berdosa. Saya tidak tega melihat badan Sampeyan sampai sangat kurus, turun 26 kg. Wajah Sampeyan menjadi persis Jrangkong. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya kan cuma benda”

    “Oo gitu”, kata Markesot, “Siapa yang melemparkan Sampeyan memasuki tubuh saya?”

    “Lha Sampeyan kan sudah tahu”, jawab Uranium, “kan Pasukan Sampeyan sudah menyelidiki sampai tuntas. Sampeyan sudah mencatat siapa inisiatornya, siapa korlapnya, berapa orang eksekutornya, kapan saya dilempar”

    “Memang sudah jelas. Tapi kan saya lebih lega kalau Sampeyan sendiri yang menginformasikan”

    “Nanti dulu. Saya perlu tahu Sampeyan marah atau tidak kepada saya? Sampeyan memaafkan saya atau tidak?”

    “Lho Sampeyan kan tidak salah. Yang salah yang melemparkan Sampeyan”

    “Tapi bagaimanapun saya adalah alat yang dipakai untuk membunuh Sampeyan”

    “Ah, ndak masalah. Sampeyan dengan saya sama-sama korban”

    “Sampeyan memaafkan mereka yang berusaha membunuh Sampeyan atau tidak?”

    “Ah, ya pasti memaafkan. Jauh sebelum mereka membunuh saya, saya sudah menghalalkan di depan Tuhan. Sudah memaafkan sepenuh-penuhnya di dalam diri saya. Malah saya tidak tega kepada mereka. Mereka juga korban dari kerendahan akhlaqnya, kelemahan mentalnya, kekalahannya melawan nafsu, dan terutama ketidakpahaman pengetahuan mereka terhadap saya. Andaikan saya kaya, pasti mereka masing-masing akan saya kasih rumah dan mobil”

    “Sebentar, sebentar”, Uranium menyela, “Saya heran kok badan Sampeyan bisa saya masuki? Kabar-kabarnya Sampeyan ini agak sedikit sakti dan punya pertahanan ilmu yang sukar ditembus”

    “Ah, fitnah itu”, jawab Markesot, “Yang bilang saya sakti itu pasti orang yang sayang kepada saya. Maka dia menakut-nakuti orang supaya saya aman. Dan lagi saya tidak punya pertahanan apa-apa. Sehingga juga pernah mempertahankan diri, dari serangan apapun, fitnah, salah paham, ancaman, pembunuhan maupun apa saja”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  4. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Revolusi Tlethong


    Markesot bilang kepada Sapron:

    “Aslinya yang saya bicarakan adalah Revolusi Tadabbur. Tapi rasanya terlalu muluk dan mengandung ancaman, terutama bagi orang yang tidak paham. Terlebih lagi bagi yang salah paham. Yang ancaman utama adalah bagi mereka yang menyembunyikan fenomena tadabbur, dalam rangka mempertahankan kekuasaannya atas para pemeluk agama. Jadi, kalau omong ke orang, bilang ini adalah Revolusi Tlethong

    “Maksudnya tlethong sapi, Cak Sot?”

    “Terserah. Sapi, kerbau, apapun”

    “Kok tlethong?”

    “Tidak setiap orang harus mempelajari riwayat sapi, segala sisi ilmu dan pengetahuan tentang sapi. Bahkan kebanyakan para peternak sapi juga tak sejauh itu harus memahami. Yang perlu mereka ketahui hanya sejumlah hal pokok: bagaimana memelihara sapi, apa makan minum sapi, bagaimana sapi malam sapi siang, intinya cukup mengetahui bagaimana menjadikan sapi bermanfaat bagi kehidupan”

    Sapron merespons, “Sudah sering saya bilang ke orang-orang bahwa mereka tidak harus memahami kalimat-kalimat Markesot secara keseluruhan, lebih tidak perlu lagi memahami kehidupan Markesot. Cukup ambil tlethong-nya Markesot, satu kata-katanya saja, satu kalimat atau beberapa kalimat Markesot, tanpa peduli pada kalimat-kalimat yang lain: kamu amat-amati, kamu pikir-pikirkan dan cari kegunaannya, misalnya untuk rabuk”

    Sapron mengatakan kepada teman-temannya, “Awalnya saya menyebut Cak Markesot itu ahli dubur. Ternyata lebih khusus lagi: beliau itu Ahli Tlethong

    “Markesot tidak usah dipahami secara menyeluruh sebagai seekor sapi. Cukup ambil sedikit tlethong-nya. Itu pun tak harus benar-benar paham tlethong itu apa. Asalkan tlethong itu membuat hidup kita lebih baik, hati kita lebih bersih, pikiran kita lebih jujur, mental kita lebih tangguh, iman kita menjadi lebih kuat dan dalam, kedekatan kita kepada Tuhan dan kekasih-Nya meningkat: itulah yang namanya tadabbur”

    “Cak Sot bilang tadabbur bukan segala-galanya. Perlu juga tafakkur. Kalau Tuhan berkisah tentang alam, saran-Nya adalah tafakkur, merenungkan, memikirkan, mendalami”

    “Kalau tadabbur, itu mencari dan menemukan manfaat, meskipun pengertiannya terbatas. Jadi kalau pakai terminologi dan metodologi dari Tuhan, kepada Kitab Suci itu tadabbur, kepada alam semesta itu tafakkur. Tafakkur itu untuk orang pandai, cendekiawan, sejumlah orang istimewa. Tadabbur itu untuk semua orang. Orang tidak harus pandai, tapi harus bermanfaat bagi sesamanya”

    ***

    Revolusi Tlethong yang kandungannya adalah Revolusi Tadabbur adalah mengupayakan agar sebanyak mungkin orang melakukan tadabbur Qur`an dalam hidupnya. Harus disebarkan kesadaran tentang pembiasaan tadabbur. Supaya orang tidak berabad-abad merasa jauh dari Tuhan, merasa awam dalam beragama, merasa tidak mengerti Kitab Suci Tuhan.

    Memang pernah suatu kali Sapron mengejar Markesot, “Kenapa kok Sampeyan sering mengulang-ulang dan menekan-nekankan pembicaraan soal Tadabbur?”

    Markesot menjawab, “Karena ummatmu sangat membutuhkan Revolusi Tadabbur”

    “Maksud jelasnya bagaimana?”

    “Saya harus bilang revolusi, meskipun prakteknya nanti cuma evolusi, itu pun bisa saja sangat lamban”

    “Kalau memang yang mungkin terjadi adalah evolusi, kenapa bilang revolusi?”

    “Kalau saya pakai revolusi, hasilnya evolusi. Kalau saya pakai evolusi, mungkin tidak ada hasilnya. Cari sembilan macam buah! Saya sebut Sembilan tapi siap yang didapatkan mungkin hanya satu dua buah. Kalau saya bilang temukan satu buah saja, mungkin tak kan pernah ketemu buah”

    “Ah, Sampeyan terlalu under-estimating masyarakat kita”

    “Nggak melihat rendah. Kita harus ambil standar sepahit mungkin dalam mengerjakan masa depan. Kesiapan utama adalah akan gagal. Kalau berhasil, tidak perlu persiapan setinggi atau sebesar persiapan untuk gagal”

    “Kelihatannya Cak Sot sudah agak paranoid, selalu merasa dikejar atau dikepung oleh kegagalan”

    “Ah, kamu berlagak pilon. Sejak dulu di Patangpuluhan kita kan tidak mengenal sukses, apalagi gagal. Bengkel motormu akhirnya kan tutup, tapi saya tidak pernah bilang itu gagal”

    “Mbok jangan sebut-sebut itu lagi, Cak Sot”

    “Lha malah kamu yang diam-diam merasa gagal. Kalau memang mau masuk tema sukses-gagal, saya katakan sebenarnya bengkel motormu itu sukses, maka bangkrut dan tutup”

    “Kok sukses?”

    “Lho kamu selama mbengkel kan sukses untuk jujur, tidak menipu konsumen, tidak morotin orang yang membengkelkan motornya. Kamu Sapron Bengkel, tapi tetap mengutamakan Sapron Wong. Kebanyakan orang kan mengutamakan Dadap Pedagang, menyisihkan Dadap Wong, Presiden Pedagang melupakan Presiden Wong. Juga posisi, fungsi-fungsi, jabatan dan kedudukan-kedudukan lain yang bermacam-macam. Kemanusiaan nomor sekian, bahkan boleh tidak berlaku”

    ***

    “Kenapa revolusinya Tadabbur? Kok bukan revolusi sosial, revolusi ideologi, revolusi mental, revolusi politik, revolusi nilai?”, Sapron mengejar.

    “Karena kata sosial sudah menjadi sangat relatif dan lama-lama tinggal teori. Komunalitas manusia makin terkikis, sosialitas antar manusia dipersambungkan terutama oleh kepentingan, bukan hakikat maiyah atau takdir kebersamaan hidup. Kepentingan masing-masing, atau kepentingan yang ketemu persambungannya satu sama lain, tapi substansinya tetap kepentingan”

    “Revolusi ideologi? Ideologi sudah semakin meninggalkan jiwa manusia. Ideologi semakin menjadi perangkat di tangan kepentingan”

    “Revolusi mental? Itu juga aksesori yang menawan dari kepentingan yang menyamar di sebaliknya. Revolusi mental mustahil dilakukan oleh manusia yang tidak pernah mengurus skala prioritas mental, bahkan tidak mengerti persis letak atau dimensi mental dalam konstruksi kejiwaan manusia. Mental, moral, intelektual, spiritual, bermacam-macam, dideret-deret, ditumpuk-tumpuk di rak-rak toko politik kepentingan”

    “Revolusi politik? Di mana politik? Apa politik? Kapan politik? Bagaimana politik? Semua itu bukan politik karena tanpa ‘kenapa politik’ dan ‘untuk apa politik’.”

    Politik adalah mandat penataan keadilan dan kalau bisa disertai kesejahteraan bagi yang memandati untuk dikerjakan oleh yang dimandati, karena mereka digaji sangat besar. Tetapi yang disebut politik saat ini adalah peluang lima tahunan bagi mandataris politik untuk mencari laba pribadi dan golongan, dengan cara menipu-daya para pemberi mandat, meracuni mereka, menyihir mereka, meninabobokkan mereka”

    “Revolusi nilai? Nilai apa? Sejak di Raport sekolah SD, ada daftar nilai-nilai, padahal yang dimaksud adalah deretan angka-angka. Angka bukan nilai. Angka itu rangka dasar materialisme. Seluruh pelajaran sekolah hingga undang-undang negara dan peraturan pembangunan, berisi angka-angka, bukan nilai-nilai”

    “Yang disebut nilai sesungguhnya hanyalah materialisme. Kejasadan. Kebendaan. Keduniaan. Kalau orang memahami nilai, ia mengerti bahwa alamat nilai tidak di dunia, karena nilai memperlakukan dunia sebagai jalan untuk memperjuangkan dan menabung nilai. Nilai tidak berada di lembaran uang, melainkan terletak pada cara uang diperlakukan. Nilai tidak terletak di harta benda, kekuasaan dan kemakmuran, melainkan beralamat di substansi perilaku per manusia terhadap benda-benda itu”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  5. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Dunia Bukan Tempat Membangun


    Tak henti-hentinya Markesot bicara tentang tadabbur. Terkantuk-kantuk Sapron mendengarkannya. Tapi karena kesetiaannya, Sapron sebisa-bisa selalu meresponsnya.

    “Dunia bukan tempat membangun, melainkan tempat mencari menemukan bahan-bahan bangunan”, begitu filosofi Markesot.

    “Lantas membangunnya di mana?”, Tanya Sapron.

    “Tidak di dunia”

    “Lha di mana?”

    “Pokoknya tidak di dunia yang ini”

    “Lha di dunia yang mana?”

    “Yang lain, yang sesudahnya”

    “Akhirat?”

    “Akhirat itu bukan nama, tapi pertanda. Aran. Tetenger. Inisial untuk memahami bahwa ada sesuatu sesudah akhir dunia”

    “Ada kehidupan yang lain sesudah kehidupan di dunia?”

    “Yang benar-benar kehidupan ya bukan yang di dunia ini. Kan cuma sebentar sekali. Manusia berjuang untuk memiliki dan membangun sesuatu, belum tentu berhasil, besok tiba-tiba tua dan mati. Jadi untuk apa memfungsikan dunia yang sangat sejenak ini sebagai ruang dan waktu untuk membangun sesuatu?”

    Sapron protes. “Wajar dong orang hidup di dunia, berkeluarga, mencari nafkah, memastikan sandang pangan papan. Punya rumah sendiri. Menyekolahkan anak-anak. Menggelar tikar persiapan untuk masa depan anak turunnya. Kalau bisa rumahnya yang nyaman dan bagus. Kendaraannya jangan butut-butut amat. Punya tabungan…”

    Markesot menjawab. “Itu bukan hanya wajar. Itu juga rancangan dan perintah Tuhan: ‘jangan lupa nasibmu di dunia’ tatkala kita menempuh perjalanan menuju Tuhan, sangkan-nya manusia sekaligus paran-nya”

    “Berarti kan membangun dunia dan tempatnya juga di dunia?”, Sapron mengejar.

    “Sekadarnya saja. Karena toh setiap manusia sebentar saja akan pindah dari dunia ke dunia berikutnya yang sama sekali tidak sama rumus dan konstruksinya dengan dunia yang ini”

    “Berhias sedikit selama singgah di dunia kan tidak salah?”

    “Lho dunia ini dirancang Tuhan memang untuk sekadar hiasan. Dunia ini dikonsep bukan sebagai substansi, melainkan ilustrasi. Ilustrasinya jangan melebihi dan mengalahkan substansinya. Itu bodoh dan pasti rugi sendiri. Apalagi karena terlalu mensubstansikan ilustrasi maka manusia melakukan korupsi, perebutan, penjajahan, perampokan, penindasan, penguasaan, sekadar untuk berhias beberapa saat. Dungu itu”

    “Kan sepanjang sejarah isi dunia selalu kelakuan manusia yang seperti itu, menindas, merampok, menipu, memperdaya, merekayasa, dari jalanan, kampung-kampung hingga Istana Negara”

    “Ya. Benar. Dungu memang”

    “Lha Cak Sot maunya mengubah sejarah ummat manusia yang sudah mengakar kedunguannya?”

    “Saya tidak punya kepentingan untuk mengubah apa-apa. Saya cuma mengungkapkan apa saja yang benar menurut saya. Dan yang benar menurut saya itu tidak mengikat siapapun. Benar untuk saya tidak harus benar bagi yang bukan saya”

    “Tapi saya repot menjawab banyak orang yang menanyakan tentang omongan Sampeyan”

    “Lebih baik repot menjawab daripada mencuri”

    “Bagaimana logikanya itu?”

    “Ya repot menjawab itu lebih baik daripada korupsi”

    “Ooo ini semacam sholat lebih baik daripada tidur…”

    Alhasil Sapron lupa bahwa seharusnya jangan menjawab atau merespons atau apalagi membantah Markesot.

    Dulu ada tokoh ludruk namanya Markuwat. Semua pelakon lain menyepakati untuk jangan sekali-kali mengajak omong Markuwat. “Kita omong sak-kecap, Markuwat omong rong-kecap. Kita dua-kecap, Markesot sepuluh kecap. Kita tandingi sepuluh kecap, markuwat kecap-kecap tanpa koma tanpa titik dan tanpa henti…”

    Jadi Sapron berpikir biarlah Markesot kecap-kecap semau-mau dia, akhirnya nanti toh akan berhenti sendiri.

    “Dunia ini”, kata Markesot, “sangat segera akan musnah. Atau kita sendiri terlalu cepat akan meninggalkannya. Dunia bukan rumah permanen, ia hanya rumah singgah. Dunia hanya terminal sementara, di mana manusia melakukan perjalanan menuju rumah sejati. Dan satu-satunya jalan untuk mencapai rumah sejati adalah perjuangan nilai, bukan perjuangan dunia”

    “Siapa yang percaya sama omongan Sampeyan, Cak Sot”, ternyata Sapron tidak tahan juga untuk tidak merespons.

    “Omongan saya tidak ada kaitannya dengan kepercayaan orang. Kalau omongan Tuhan, itu baru bermasalah pada orang yang tidak mempercayainya”, jawab Markesot.

    “Lha omongan Sampeyan hubungannya dengan apa?”

    “Ini semacam latihan menghadapi Malaikat besok-besok”

    “Mosok Malaikat bertanya sampai yang ruwet-ruwet begitu?”

    “Malaikat itu makhluk yang aslinya lembut, sehingga selalu bersikap detail. Mereka mendata kelakuan kita tidak hanya pada ekspresi jasad dan pergaulan sosial, tapi juga perilaku sejak di alam pikiran”

    “Kalau kepada orang bisa, metode komunikasi Malaikat bagaimana?”

    “Justru lebih mudah. Tidak perlu wawancara seperti kepada kamu dan saya. Malaikat cukup melakukan pendataan langsung dengan memeriksa munculan-munculan gelombang saraf-saraf otak mereka”

    “Malaikat juga bawa kalkulator untuk menghitung pembangunan angka-angka kita di dunia?”

    “Malaikat semua adalah supra-kalkulator, dan itu bukan fungsi utama mereka, sebab angka itu soal mudah. Yang substansial bagi para Malaikat adalah nilai. Terdapat beda serius dan mendasar antara angka dibanding nilai. Angka akan ditinggalkan di dunia oleh manusia, karena ia bukan kekayaan”

    “Lho kok angka bukan kekayaan. Kan kekayaan tidak berwujud kalau tidak dihitung dengan angka”

    “Kalau orang biasa seperti kamu biasanya menggunakan angka tidak untuk menghitung kekayaan, tapi utang”

    “Bukannya pejabat-pejabat tinggi dan pengusaha-pengusaha kaya juga tidak menggunakan angka untuk menghitung kekayaan mereka?”

    “Maksudmu?”

    “Kalau para petinggi Negara kan hanya tahu angka kurang, tidak mengenal angka lebih”

    “Itu bedanya dengan kamu. Pada hidupmu angka sangat sering tampil dalam kasus utang. Tapi pada tema kekayaan, angka tidak berguna, karena tidak ada kekayaan yang perlu dihitung”

    “Bukannya Sampeyan yang begitu itu, Cak Sot?

    “Lho bukan sombong ya, bagi saya yang kekayaan adalah nilai. Angka itu ilmu yang baik, tetapi ia membunuh manusia yang menyangka angka adalah nilai. Maka setiap angka harus dinilaikan. Uang harus diabadikan. Dunia harus diakhiratkan”

    Sapron memotong: “Nanti kalau terlalu banyak omong ruwet-ruwet tentang angka dan nilai Sampeyan bisa-bisa dituduh anti-angka lho, Cak Sot”

    Markesot menjawab, “Lho kan sejak dulu saya dituduh anti-dunia, bahkan anti-kehidupan. Itu sebabnya saya tidak punya tempat dalam kehidupan”

    “Mungkin tuduhannya dispesifikkan: Markesot frustrasi karena tidak punya tempat di masyarakat, tidak berada di titik koordinat manapun dalam kehidupan. Ia bukan penduduk legal di dunia, maka ia selalu rewel omongannya”

    “Lebih besar mana dunia dibanding manusia? Yang makro dunia ataukah manusia? Yang paling diciptakan di puncak kemuliaan, manusia ataukah dunia?”

    “Orang akan berargumentasi: manusia yang tidak punya peran dalam kehidupan dunia, ia adalah butiran debu di tanah. Dan karena Markesot hanya sebutir, maka ia boleh tidak ada. Tidak ada bedanya bagi dunia Markesot ada atau tidak ada”

    “Saya tidak perlu bermanfaat bagi dunia, kalau dunia menuntut saya bermanfaat baginya. Dunia hanya perangkat untuk manfaat akhirat saya. Dunia tidak boleh memenjarakan saya. Dunia jangan pernah berpikir mampu menyandera saya”

    “Orang akan melebar tuduhannya: Markesot terdesak ke pojokan tasawuf. Bicaranya meniru-niru filosofi kaum Sufi. Tapi Markesot bersufi-sufi ria itu sebabnya hanya satu: karena dia tidak punya dunia, dia miskin dan bukan siapa-siapa”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  6. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Wirid Makalah


    Ketika ditanya oleh Sapron kenapa seperti tak henti-hentinya mengungkapkan hal tentang tadabbur, Markesot menjawab: “Wiridan”

    “Kok wiridan?”, tanya Sapron, “Wiridan kan baca doa diulang-ulang, baca asma Allah atau entah apa lainnya dalam bahasa Arab”

    “Itu juga wiridan, ini juga wiridan”

    “Wiridan kan biasanya khusushan sesudah shalat atau bersila tengah malam, memutar biji-biji tasbih, umik-umik baca ini 1000 kali, baca itu 3333 kali dan yang semacam itu”

    “Itu juga wiridan, ini juga wiridan”

    “Wiridan kok seperti presentasi makalah, saat dan tempatnya juga tidak menentu, bahkan sambil methingkrang angkat kaki, bahkan diselai minum kopi”

    “Ini juga wiridan, itu juga wiridan. Garis lurus dari jiwa kita ke Allah, syukur dikabulkan muncul garis lurus dari Allah ke jiwa kita. Seperti garis sinar laser, bukan cahaya yang menyebar. Muatan garis lurusnya wirid, posisinya dzikir, membangun tegangan ingat kebersamaan dengan Allah, arusnya bisa dimuati pengharapan, keluhan, permohonan, pernyataan cinta dan kepasrahan total”

    “Wirid dan dzikir katanya spiritual, bukan intelektual”

    “Bangunan dan mekanisme wirid ditata secara intelektual. Apalagi dzikir. Mengingat. Memadatkan ingatan. Itu peristiwa di kepala. Menyatu nuansanya dimensinya dengan dada hati qalbu fuad shudur. Kalau mantapnya mengingat sesuatu 4444 kali ke hadapan Allah, itu juga pekerjaan sel-sel otak, hati tak bisa menghitung, sementara kepala tak paham cinta”

    “Wah, ndak cocok dengan yang dipahami umum, terutama para pengikut Thariqat

    “Kita perlu angkat topi kepada para pengikut Thariqat. Mereka hamba yang memperjuangkan kemuliaan dan cinta di hadapan Allah. Kelemahan mereka biasanya ada satu: menyangka hanya mereka yang berthariqat. Mengira wiridan hanya sebagaimana yang mereka tradisikan. Sehingga kurang waspada dan kurang mensyukuri sesungguhnya ada cara-cara tanpa batas untuk mencintai Allah. Tidak terbatas kata-kata yang diucapkan, tidak terbatas cara mengucapkan, tidak terbatas bahasa tubuh dan kulturalnya. Kebanyakan mereka hanya mengenal satu jenis aplikasi, dan mereka berpikir bahwa wirid dan dzikir sama dan sebangun dengan aplikasi yang mereka ketahui dan lakukan”

    “Jadi Sampeyan sebenarnya juga ahli-wirid, Cak Sot?”

    “Ahli wirid bukan pakar wirid. Ahli wirid maksudnya setiap jiwa manusia adalah rumah rohani, di mana masing-masing hamba yang dititipi jiwa oleh Allah itu menjadi tuan rumah. Kalau di dalam jiwanya berlangsung wirid dan dzikir, maka dia adalah tuan rumah wirid dan dzikir”

    “Wah, jadi kata ‘ahli’ itu kacau ya pemaknaannya?”

    “Rata-rata kata dikacau oleh pemaknaannya”

    “Wirid Makalah itu mungkin-mungkin saja ya?”

    “Lho apa yang tidak berdzikir: nafasmu, detak jantungmu, mengalirnya darahmu, berputarnya sel-sel terkecilmu. Tuhan memberitahukan bahwa semua yang di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya, shalat kepada-Nya, berdzikir dan wiridan kepada-Nya. Tidak hanya manusia dan makhluk hidup lainnya. Tapi juga gunung, angin, daun, embun, asap, ikan-ikan dan burung-burung. Bahkan burung disebut langsung oleh Tuhan sebagai contoh makhluk yang bertasbih dan sholat”

    “Lucu ya kambing berdzikir, anjing wiridan, angin semilir bertasbih, gunung menegakkan shalat…”

    “Allah menginformasikan bahwa mereka semua itu mengetahui caranya masing-masing untuk bertasbih dan melakukan shalat. Jadi kasihan kalau para pelaku Thariqat dan manusia yang rajin beribadah menyangka hanya mereka yang shalat dan tasbih kepada Allah. Lebih kasihan lagi kalau karena itu mereka lantas merendahkan orang-orang yang tidak melakukan seperti yang mereka lakukan. Mereka jadi sombong karena merasa lebih dekat kepada Tuhan dibanding siapapun saja yang bukan anggota Thariqat mereka”

    “Lebih lucu lagi kalau orang mendengar kata tasbih, yang muncul di benaknya adalah bulatan-bulatan benda kecil yang ditali, diikat, disatukan dalam suatu rangkaian bulatan”

    “Tuhan memberi ujian kepada manusia, Tuhan mengisi jiwa mereka dengan kesukaan kepada benda. Untuk diuji apakah mereka berhenti pada benda itu, tasbih butir-butir itu, atau menemukan bahwa hal itu hanya alat untuk rohani tasbih yang sejati kepada-Nya”

    “Jadi orang yang ndremimil mulutnya mengucapkan nama-nama Tuhan, sambil duduk di bawah pohon, dengan wajah melamun, ekspresinya tidak bersambung dengan lingkungannya – itu tidak pasti orang gila, atau orang frustrasi, orang ngengleng, tapi jangan-jangan dia sedang wiridan ya?”

    “Lho jangankan yang ndremimil dan duduk. Kalau orang membiasakan mengisi jiwanya dengan ingatan kepada Tuhan, ketika tertidur pun aliran darahnya, detak jantung dan keluar masuk nafasnya wiridan”

    “Kalau tercampur-campur dengan ingatan kepada yang selain Allah?”

    “Pasti tercampur. Memori di kepala manusia yang menggerakkan saraf-sarafnya dan mengaliri darahnya, pasti bermuatan hal-hal yang ia serap dan rekam dari peristiwa-peristiwa di dunia. Dan itu mereka bawa masuk ke ruang wirid mereka, untuk dilebur menyatu ke dalam ingatan kepada Allah”

    “O, jadi konsentrasi khusyuk kepada Allah tidak harus berarti membuang segala sesuatu yang selain Allah”

    “Lho kok dibuang. Dibawa, dipanggul, dimuat oleh otak, hati dan jiwa, kemudian ditumpahkan ke ruang dzikrullah, menyatu dengan Allah dan musnah. Apa saja musnah pada Allah. Bukannya dunia mengandung Allah, tapi Allah mengandung dunia. Jangan pernah bilang di dunia atau dalam kehidupan ada Tuhan. Terbalik. Di dalam Tuhan ada dunia dan kehidupan”

    “Memang sukar ya mengatur konstruksi kesadaran. Mentang-mentang kita percaya adanya Tuhan, lantas menganggap Tuhan adalah bagian dari kita. Kemudian Tuhan menjadi karyawan yang kita suruh siap memenuhi keperluan-keperluan kita. Tuhan kita angkat menjadi Kepala Dinas Pengabulan Doa”

    “Tidak perlu marah pada kenyataan itu. Tuhan memang menciptakan manusia dengan berbagai kelengkapannya termasuk kelemahan, minimalnya ilmu, sedikitnya pengetahuan, lalainya kesadaran dan konyolnya hitungan”

    “Tapi tetap saja menggelikan kalau melihat Sampeyan ndridhil omong seperti sedang mempresentasikan makalah ilmiah, tapi Sampeyan sebut itu wiridan”

    “Lho ndak usah perduli bentuknya. Seaneh apapun munculannya, bentuknya, formulanya, bunyinya, ekspresi tubuhnya, asalkan yang berlangsung di dalam jiwa manusia adalah ketekunan untuk mencintai-Nya, kerajinan untuk menyapa-Nya, disiplin untuk setia kepada-Nya, itu wiridan namanya”

    “Jadi wiridan tidak harus wudlu dulu, shalat, bersila, pegang tasbih, terus umik-umik bibirnya, bergerak-gerak tubuhnya ke kiri ke kanan ke depan ke belakang….”

    “Itu juga baik. Karena manusia memerlukan caranya masing-masing untuk mendorong jiwa maju lebih mendekati Tuhan”

    “Kalau ada yang caranya butuh bebauan atau wewangian untuk lebih mudah membangun suasana kejiwaanya, sehingga dia membakar kemenyan? Katanya itu syirik”

    “Kemenyan itu salah satu jenis tanaman ciptaan Tuhan. Kemenyan tidak ada kaitan dzatiyah dengan syirik akau kufur. Kasus kafir dan musyrik terletak di dalam jiwa manusia. Sudah pasti kemenyan bisa menjadi sebab yang dilewati atau dipakai manusia untuk syirik kepada Tuhan”

    “Memang banyak yang begitu tho?”

    “Tidak hanya kemenyan, juga mobil, uang, jabatan, harta benda, mall, sukses, reputasi, eksistensi diri dan apa saja bisa menyebabkan manusia menomersatukannya dengan menomerduakan Tuhan. Bahkan shalat, kesalehan, ketekunan ibadah, pun bisa membuat manusia menyembahnya, sehingga bukan lagi Tuhan yang dinomersatukannya. Tetapi letaknya syirik bukan di harta benda atau kemenyan, melainkan di dalam dismanajemen internal jiwa manusia”

    “Kalau bakar kemenyan untuk merangsang datangnya Setan atau Jin?”

    “Silakan Setan Jin Peri Perayangan Druhun Dimemonon Lengeng datang ke kita. Gunanya bisa untuk melaporkan kepada Tuhan bahwa mereka tidak mampu mengganggu kekhusyukan ibadah kita kepada-Nya. Mereka itu makhluk ciptaan Tuhan, kita bertoleransi dan mempersilakan mau apa saja, tapi jangan pernah menyangka bahwa mereka sanggup mempengaruhi iman kita kepada-Nya”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  7. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Menguras dan Menghimpun Tenaga Hidup


    Kepada orang yang jelas-jelas membunuhnya saja Markesot tidak benci, tidak mendendam, bahkan tetap santun dan menjunjung.

    Sapron heran, “Cak Sot kok bisa to dianiaya orang sampai tingkat hampir mati kok tidak marah, tidak dendam, malah lebih santun dan lebih menyayangi mereka yang mendholimi Sampeyan?”

    “Ah”, jawab Markesot, “Marah itu menguras tenaga. Dendam itu mengikis energi hidup. Kalau memaafkan itu menghimpun tenaga, bahkan Tuhan melipatgandakannya”

    Markesot memang sangat melindungi jangan sampai orang-orang yang membunuhnya itu tahu bahwa Markesot tahu mereka bunuh. Markesot tidak tega. Jangan sampai mereka merasa bersalah seumur hidup sehingga frustrasi.

    Kalau frustrasi, jangan-jangan nanti tidak bisa mengatasi. Lantas stress tiap hari. Depresi sewaktu-waktu. Tidur mereka tidak tenang. Mengigau. Bahkan bisa jadi terus ambil narkoba. Atau suka mengamuk.

    Di tengah-tengah proses Markesot sakit, terbakar dalamnya leher dada hingga perut sampai hitam legam luluh lantak, salah seorang pembunuh menelpon Markesot. Mungkin untuk ngecek keadaannya, sudah mati atau belum.

    Markesot menjawab telepon itu dengan riang gembira, meskipun tremor seluruh badannya. Markesot bersyukur dan berterima kasih beliau-beliau berkenan menghubunginya.

    “Mas”, kata Markesot, “Kapan-kapan mbok saya dikirimi mobil, jangan hanya knalpotnya, kan panas, nanti mlepuh tangan dan badan saya…”

    Juga tidak ada upaya Markesot untuk mem-pinter-i siapa dan kenapa ada orang-orang yang mengirim uranium ke dalam tubuhnya. Mem-pinter-i itu maksudnya menyelidiki, mendata, menganalisis, merangkumnya untuk dijadikan laporan kepada dirinya sendiri.

    Markesot cuma ambil ‘tlethong’ dari uranium itu, artinya: mencari dan menemukan manfaat dari pergaulannya beberapa minggu dengan uranium.

    Memang Sapron banyak dikejar oleh teman-temannya tentang uranium santet Markesot. Itu pengalaman nyata atau khayalan.

    Sapron menjawab yang tidak bisa kita bantah adalah fakta tentang hasil Lab, baik tentang uranium dalam ‘keluaran dubur’ Markesot maupun kondisi bagian dalam tubuh Markesot.

    Kemudian vonis Dokter bahwa hidup Markesot tinggal 3,5 bulan. Ditambah kenyataan kasat mata bahwa berat badannya turun sangat jauh karena mekanisme onderdil-onderdil dalam tubuhnya memakan lemaknya sendiri, karena makanan yang masuk tidak bisa diolah.

    “Apakah itu santet, tenung atau apapun, itu soal konsep dan cara pandang”, kata Sapron, “sampai sekarang tidak ada penjelasan medis yang bisa menjelaskan”

    Juga apakah peristiwa terjadi dalam sebab akibat yang temanya dendam pribadi, politik kelompok atau apapun, itu juga ranah penelitian, penyelidikan, analisis, tafsir kemudian hipotesis. Bisa ini bisa itu. Markesot tidak mengejar hal itu sama sekali, meskipun teman-temannya yang melakukan sampai seluruh faktanya ketemu.

    ***

    Yang jelas Markesot sendiri sembuh mendadak: suatu malam ia menghilang, paginya datang segar bugar. Besoknya mulai pulih tubuhnya, bahkan akhirnya menjadi gemuk.

    Sapron menjelaskan bahwa Markesot itu tidak penting untuk dijadikan bahan penelitian. Tidak ada perlunya mencari tahu apakah pengalamannya itu benar atau tidak, siapa yang menyantet seandainya itu santet, kenapa disantet, bagaimana latar belakang dan peta permasalahannya. Juga tidak perlu diteliti apa yang dilakukan oleh Markesot sehingga pagi itu ia menjadi segar kembali.

    “Kalau kita memperlakukan kehidupan dan omongan Markesot dengan pendekatan Ilmu Tafsir, akan mubadzir, menghabiskan waktu dan bisa bikin kepala kita pecah”, kata Sapron.

    “Umpamanya kita wawancara Markesot, bisa malah ruwet. Sebab jawabannya bisa polos, bisa taktis, bisa mbombong, bisa menghindari perdebatan sehingga membatasi pembicaraannya, dan banyak kemungkinan lain. Terlalu banyak sub-sub teori dan metodologi untuk mendata, menganalisis dan menyusun hipotesis.”

    Jangan pula pernah menyangka kita akan sampai pada konklusi tentang kehidupan Markesot. Karena di samping multidimensional, Markesot juga sangat dinamis segala sesuatunya. Markesot bukan barang mati yang kita otak-atik kita jadikan obyek dengan pisau teori yang kita siapkan. Alhasil, Markesot sebenarnya bukanlah Markesot, sementara karena ia bukan Markesot maka sesungguhnya itulah Markesot.

    ***

    Jadi, sekali lagi, Sapron menegaskan, bergaul dengan Markesot jangan menafsirkan, apalagi menafsir-nafsirkan. Sebab tafsir itu harus dilakukan dengan metodologi yang solid, pengetahuan yang lengkap, daya analisis secerdas mungkin, serta jujur objektif di semua alurnya.

    Hal semacam itu tidak mungkin berlaku untuk kebanyakan orang. Sama dengan dalam menjalani agama, bagaimana mungkin seorang pekerja bangunan, penjaja makanan, tukang parkir dan masyarakat di level itu lainnya sempat dan mampu melakukan pekerjaan tafsir.

    Tuhan menghamparkan pengetahuan, menanam ilmu di petanahan jiwa dan akal ummat manusia, menurunkan Kitab-Kitab Suci, tidak diperuntukkan hanya untuk orang pandai, kaum sekolahan, ahli analisis dan interpretasi.

    Semua itu dianugerahkan oleh Tuhan kepada semua manusia hamba-hamba yang Ia kasihi. Kepada para profesor dan doktor di gedung-gedung Universitas, hingga pedagang-pedagang di pasar kumuh, penduduk tepian hutan, perbukitan dan gunung-gunung yang terasing dari kebudayaan buku dan gebyar teknologi.

    Anugerah Tuhan itu tidak boleh dimonopoli oleh siapapun. Apalagi kalau memonopoli dengan merasa dirinya lebih tahu dari orang lain, lebih pintar dan terpelajar dari orang umum. Tuhan ‘dimiliki’ sendiri, mereka menjadi satu-satunya ‘agen’ yang berhak atas Tuhan, sorga dan neraka.

    Barang siapa taat kepadanya, akan dapat pahala dan masuk sorga. Barangsiapa tidak sama pandangan hidup dan keagamaannya dengan dia, maka akan diadzab oleh Tuhan dan masuk neraka.

    Orang-orang pandai yang bersikap seperti itu, sesungguhnya sedang mentuhankan dirinya, sehingga siapapun yang berpendapat harus sama dengan pendapatnya. Siapapun yang berlaku dan beribadah harus sama dengan cara dia berlaku dan beribadah.

    Tidak boleh ada cendekiawan yang menganggap bahwa ilmu hanya milik mereka dan yang bukan mereka adalah makhluk-makhluk bodoh. Tidak boleh ada ulama yang menganggap bahwa jalan untuk bertemu dan menyembah Tuhan harus melalui buku administrasi kekuasaan mereka.

    Tidak boleh ada siapapun, terserah apa pangkatnya, jabatannya, turunannya siapa, sekhusyuk apapun ibadahnya dan setinggi apapun ilmunya, yang mengumumkan bahwa Tuhan hanya bisa dicapai oleh ulama karena mereka mampu menafsirkan.

    Sehingga barangsiapa di antara orang-orang kecil, orang-orang bawah, orang-orang yang mereka sebut bodoh, yang ingin bersilaturahmi dengan Tuhan, menyampaikan cinta dan kesetiaan ibadah – harus melalui mereka. Hanya mereka yang mampu dan boleh menafsirkan Kitab Suci dan kehidupan. Orang-orang kebanyakan harus menjadi pengikut mereka, bukan pengikut Nabi. Orang-orang kebanyakan harus menyembah mereka, bukan menyembah Tuhan.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  8. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    “Bebendhu Tan Kasat Moto
    Pepeteng Kang Malih Rupo”



    Sebelum Markesot pergi, Sapron menyempatkan diri untuk memperoleh konfirmasi tentang satu hal. Yakni kenapa sekarang banyak bicara tentang dunia dalam manusia, bukan struktur sosial. Kenapa omong banyak tentang rakyat, bukan negara dan pemerintahnya.

    Memang tepat tengah malam Markesot meninggalkan rumah hitam Patangpuluhan. Tujuannya Sapron hampir memastikan: menuju suatu tempat untuk menemui Kiai Sudrun.

    Begitulah Markesot. Selalu sibuk dengan kecemasan dan rasa daruratnya sendiri atas dunia dan ummat manusia. Sementara dunia tenang-tenang saja tak kurang suatu apa, dan ummat manusia tidur dengan nyenyaknya.

    Bahkan dunia dan manusia tak kenal pula pada Markesot yang mencemaskannya. Kalaupun ada satu dua yang mengenalnya, mereka cueg-cueg saja, tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan, apalagi dengan kecemasan setingkat kecengengan Markesot.

    Beberapa saat yang lalu sambil menyiapkan sejumlah hal, pakaian, beberapa kertas sobekan, sebuah bungkusan kain kumal yang entah apa isinya, Sapron mendengar Markesot rengeng-rengeng lagu Jawa yang ia tembangkan dengan sangat buruk sekali:

    Bebendhu tan kasat moto, pepeteng kang malih rupo…”, itu diulang-ulang. Alhamdulillah hanya Sapron sendiri yang mendengarnya. Volume suara Markesot tidak sampai melebar-lebar ke telinga para tetangga. Sehingga Sapron tidak perlu menanggung rasa malu.

    Tembang itu dilantunkan oleh Markesot, bergantian dengan sebuah lagu yang Sapron ingat pernah dinyanyikan oleh orang yang tidak terkenal sama sekali, lagu itu juga tidak popular dan tidak laku:

    “Akhirnya akan sampai di sini
    Di amanat Ilahi Rabbi
    Orang-orang tak lagi bisa menanti
    Zaman harus segera berganti pagi

    Aku tangiskan teririsnya hati
    Para kekasih di dusun-dusun sunyi
    Terlalu lama mereka didustai
    Sampai hanya Tuhan yang menemani

    Ya Allah
    Sudah tak bisa diperpanjang lagi
    Kesabaran mereka, ketabahan mereka
    Sesudah diremehkan dan dicampakkan

    Akhirnya akan sampai di sini
    Di arus gelombang yang sejati
    Kalau perahu itu adalah tangan-Mu sendiri
    Tak akan ada yang bisa menghalangi”

    ***

    Sapron turut siaga kalau-kalau Markesot memerlukan sesuatu sebelum pergi dari rumah hitam.

    Sapron menggerundal lirih kepada dirinya sendiri.

    “Apa itu bebendhu tan kasat moto…. Kalau bebendhu ya kasat mata. Gempa. Longsor. Banjir. Gunung meletus. Badai puting beliung. Air laut meluap ke darat….”

    Pepeteng kok malih rupo… Kalau peteng ya gelap. Kalau gelap ya rupa apa saja tidak tampak. Berubah wajah kayak apapun kalau dalam kegelapan ya tidak kelihatan…”

    Akhirnya akan sampai di sini…. Di sini di mana. Dari dulu ya di sini. Sesekali ke sana, sananya tidak pernah jelas. Bahkan di sini di rumah hitam ini juga tidak jelas. Di amanat Ilahi Rabbi…. Amanat apa? Memangnya Markesot Nabi? Kok merasa diamanati Tuhan. Ayam juga diamanati Tuhan. Pohon juga diamanati Tuhan….”

    Orang-orang tak bisa lagi menanti… Siapa yang tak bisa lagi menanti? Orang-orang tenang-tenang semua, tertawa-tawa, cengengas-cengenges, tak kurang suatu apa. Kalau memang menanti, apa yang dinanti? Ratu Adil? Satrio Pinilih? Imam Mahdi? Mesiah? Kalau menanti laba atau uang lebih banyak, memang…. Tapi bukan yang serem-serem muluk-muluk seperti di syair lagu itu….”

    Zaman harus segera berganti… apanya yang berganti. Pager ganti handphone. Mesin ketik ganti komputer. Pejabat ganti preman. Pemimpin ganti gentho. Ulama ganti Gus. Kiai ganti Ustadz. Informasi ganti rerasanan. Komunikasi ganti penggelapan. Silaturahmi ganti pisuhan….

    “Aku tangiskan teririsnya hati…. Silakan dikulum-kulum dan ditelan sendiri sana tangismu…. Para kekasih di dusun-dusun sunyi…. Kan Sampeyan sudah siap-siap mau pergi entah ke kesunyian dusun atau hutan atau gunung…silakan”

    ***

    Walhasil di ruang kesetiaan Sapron kepada Markesot, terkandung ketidakpahaman, kesalahpahaman, kelelahan, rasa sebal, tapi juga penasaran, gairah untuk lebih menyelam, dan bermacam gejolak yang saling bertentangan, namun juga dorongan untuk menggumpalsatukan.

    Begitulah dzat yang bernama cinta.

    Ia penuh api, sangat membakar, tapi di ujungnya cahaya juga yang mempersatukannya.

    Ketika Sapron mengejar Markesot kenapa yang dipandang terutama manusianya dan bukan tatanan sosialnya, kenapa yang disentuh rakyatnya dan bukan negara dan pemerintahnya, jawaban Markesot lebih pelik lagi untuk bisa dipahami.

    “Di wilayah yang tidak saya pandang itu, adzab sedang berlangsung”, kata Markesot, “tak ada sesuatu yang bisa saya lakukan atasnya. Ada, tapi masih di tangan Tuhan. Ranah yang saya berpaling itu sedang dikepung oleh kegelapan. Yang saya perhatikan adalah sisa-sisa wilayah kemanusiaan yang mengandung benih masa depan. Yang saya datangi di ujung kegelapan malam adalah semburat fajarnya, yang akan segera menerbitkan matahari pagi”

    Aduh. Ini penyair remaja lagi, karya orang tua.

    Kok adzab sedang berlangsung. Adzab gimana. Kereta cepat sedang dibangun. Infrastruktur diratakan. Jutaan orang lalu-lalang menaiki pesawat, kereta, bis dan kendaraan pribadi. Mal-mal penuh sesak. Uang berputar menciptakan siklon di semua tempat.

    Satrio Piningit telah turun ke bumi dan memimpin negara. Segala yang dilakukannya selalu baik. Setiap langkahnya tidak ada yang buruk. Seburuk apapun tetap baik. Sesalah apapun tetap benar. Sebodoh apapun tetap pandai. Sebanyak apapun janji tidak dipenuhi, yang salah adalah janjinya, bukan yang berjanji.

    Rakyat sangat waskita dan cerdas memilih pemimpinnya. Pemimpin yang mereka pilih hampir semutu Tuhan itu sendiri. Negeri ini sudah tidak memerlukan tokoh apapun dan juru selamat sedahsyat apapun. Rakyat sudah menentukan dan mengangkat pemimpin yang mereka puja melebihi Tuhan, mereka junjung melebihi Nabi.

    Dajjal, Ya’juj Ma’juj, tak perlu dikawatirkan lagi. Konspirasi global, sindikat konglomerasi dari utara, rekayasa-rekayasa yang memasuki penyusunan Kabinet, yang mengatur lalu lintas modal, yang menentukan skala prioritas pembangunan, dan apapun saja yang diseram-seramkan itu, hanyalah isu dari orang-orang yang tidak mendapat bagian.

    Bangsa ini tidak takut kepada Dajjal, Iblis dan Setan, karena sudah dipimpin oleh Tuhan langsung. Bangsa ini tidak merindukan Imam Mahdi, Satrio Pinilih, Mesiah, Ratu Adil, karena pemimpin yang mereka pilih sudah sangat adil, sangat pinilih setiap gerak geriknya, sangat mesianistik kebijakan-kebijakannya. Pemimpin mereka sangat ‘mahdi’, sangat terbimbing, sangat dituntun oleh hidayah, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu.

    Bahkan Sang Pemimpin sudah menggerakkan revolusi mental, move on, dan berbagai macam gelombang besar sejarah, yang kalau bukan Tuhan, tak mungkin sanggup menyelenggarakannya. Sang Pemimpin bangsa ini can do no wrong, tak bisa salah. Dan siapakah itu kalau bukan Tuhan?

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  9. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Shirothol Mus-Takkim


    Tolong untuk sementara tidak usah peduli Markesot sekarang ini sedang pergi mencari Kiai Sudrun atau Syekh Klanthung atau Maulana Saridin atau monggo siapa. Tuhan melarang manusia untuk menganiaya dirinya sendiri, apalagi memecah kepala dengan mempelajari Markesot.

    Si Markesot itu kalau ditanya orang, menjawab sekenanya. Pertanyaan yang sama, ditanya oleh sekian orang, jawabannya berbeda-beda. Jalan kaki berpapasan ditanya “Ke mana Cak Sot?”

    Ia menjawab, “Ke Imogiri”

    Ditanya orang berikutnya menjawab, “Ke rumah teman”

    “Ke kuburan”

    “Ziarah”

    “Ke mana hayo”

    “Seperti biasanya”

    “Bisnis”

    “Cari warung”

    “Angin-angin”

    “Ada teman sakit”

    “Buang sebel”

    “Kondangan”

    “Mau pijat”

    “Ada janji”

    “Jalan aja”

    Ada seratus orang bertanya, seratus pula jawabannya. Semau Markesot. Terserah apa yang sedang ada di hati atau pikirannya. Sekeluarnya kata dari mulutnya.

    Apakah orang macam itu bisa dipercaya? Apakah jawaban-jawaban seperti itu peduli kepada pertanyaannya? Apakah itu sikap sosial yang jujur? Apakah itu apresiasi terhadap bebrayan? Apakah itu sopan secara silaturahmi?

    ***

    Pernah ada yang memberanikan diri menanyakan kepada Markesot kenapa kalau ditanya jawabannya selalu tidak sama.

    Sekadar pertanyaan sedang berjalan kaki mau ke mana, jawabannya tak menentu. Tidak konsisten. Tidak ada akurasi fakta. Itu semacam kebohongan yang berlapis-lapis dan terus-menerus.

    Itu baru tema elementer, sederhana, teknis, sehari-hari: berjalan dari suatu tempat ke tempat lain: terdapat ratusan jawaban dan ribuan dimensi, konteks, sisi, sudut, jarak. Jangankan lagi bicara tentang negara, mekanisme pemerintahan, lalu lintas politik, putaran-putaran sosial yang yang 99% tak tampak oleh mata.

    Tapi Markesot membantah, “Saya tidak ingat kapan, bagaimana, di mana dan soal apa saya berbohong”

    “Ke Imogiri?”

    “Memang saya ke Imogiri”

    “Ke rumah teman?”

    “Teman itu tinggal di Imogiri”

    “Ke kuburan?”

    “Bersama teman itu janji mau bareng ke kuburan”

    “Ziarah?”

    “Ke kuburan mosok belanja”

    “Tapi kan bisnis?”

    “Bisnis itu kesibukan berusaha dan bertransaksi. Ziarah itu membeli kemurahannya Allah”

    “Kok cari warung?”

    “Lelah naik turun tangga pemakaman, terus lapar”

    “Angin-angin?”

    “Mendaki sampai ke ketinggian itu olahraga juga, di alam terbuka, segar disapu-sapu angin”

    “Kok ada teman sakit?”

    “Teman yang saya datangi itu memang sedang sakit hati karena ditipu orang. Itu merugikan dagangnya serius dan mengguncang keluarganya”

    “Buang sebel?”

    “Kapan di dunia ini kita sempat tidak sebel, sehingga harus terus-menerus membuangnya?”

    “Kondangan?”

    “Teman yang sedang guncang itu meminta saya untuk datang, mungkin untuk mengeluh dan sedikit berbagi”

    “Mau pijat?”

    “Kata pijat itu terbuka, bisa berarti dipijat bisa juga memijat. Kalau ada teman punya masalah kan kita pijat-pijat hatinya supaya kendur, berkurang tegangannya”

    “Ada janji? Jalan aja?”

    “Lha ya janji ke rumah teman. Hidup ini juga sejak lahir hanya berisi pemenuhan janji. Nyicil membayar janji kepada Tuhan. Itu berat. Maka saya tidak mau merasakan berat atau ringan. Saya jalan saja. Banyak orang tidak memenuhinya. Kebanyakan orang bahkan tidak tahu dan tidak ingat bahwa mereka lahir dari perjanjian dengan Tuhan”

    ***

    Itu sekadar urusan satu garis pendek, teknis geografis pula: Patangpuluhan — Imogiri. Jangankan garis-garis panjang sejarah dan peradaban. Jangankan lagi garisnya lengkung, lipatan, putaran.

    Terlebih lagi saling-silang garis ruwet kebudayaan, rahasia sindikat politik, garis-garis abstrak jiwa manusia, rekayasa global, Raja memutuskan untuk mentuhankan Isa, Nusantara dikebiri jadi Indonesia. Tak terbayangkan biasnya.

    Tak terbatas. Tak terukur jarak antara kebenaran dengan yang mungkin dimuat dan disampaikan oleh informasi. Apapun metodenya. Secanggih apapun teknologinya. Sehalus apapun perangkat lunaknya. Serohani apapun persambungan frekuensinya.

    Seorang wartawan pernah tersesat ke Patangpuluhan dan entah atas dasar apa ia mewawancarai Markesot. Pasti tidak ada alasan jusnalistiknya. Mungkin wartawan itu, untuk membuat berita atau tulisan tentang Bulan Ramadlan, mencari seketemunya orang untuk dihimpun dan dirangkum. Yang diwawancarai ada Ulama, ada pengusaha, ada Takmir Masjid, ada pedagang pasar, ada tukang becak, dan Markesot termasuk golongan yang tidak jelas golongan dan kategorinya.

    “Kalau puasa, Bapak sukanya berbuka makanan apa?”, tanya si wartawan.

    Markesot menjawab sambil tidak paham kenapa dia ditanyai dan kenapa dia harus menjawab.

    “Pokoknya makanan apa saja asal tidak susah memakannya”

    “Maksudnya bagaimana itu, Pak?”

    “Misalnya daging, itu kan susah mengunyahnya”

    Lumayan panjang wawancaranya. Besoknya keluar di Koran: “Seorang penduduk Patangpuluhan menyatakan bahwa ia anti-daging…”

    Berita itu sangat merugikan Markesot. Sebab sesudah itu semua tetangga dan teman-teman kalau menawari atau mengirimi makanan ke Markesot, selalu hanya tempe, tahu, urap, paling jauh lontong.

    ***

    Itu baru kalimat yang lurus-lurus dan sangat elementer: “Pokoknya makanan apa saja yang tidak susah memakannya”. Sudah sedemikian jauh pembiasannya, penyelewengan, dan peralihan substansinya.

    Padahal hampir seluruh pengetahuan, ilmu, kebudayaan, politik, peradaban abad sekarang ini sejak lama dirancang dan dikendalikan oleh Takkim. Bukan shirothol mustaqim. Takkim itu suatu program strategis yang meracuni kurikulum Sekolah dan Universitas, media cetak dan tayang, internet, dan apa saja yang masuk ke otak penduduk bumi. Goal-nya: membalik hakikat kebenaran.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  10. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Tarikat at-Takkim-iyah


    Takkim itu membalik hakikat kebenaran bagaimana maksudnya?

    Pada masa sebelum Muhammad Saw lahir, melalui Raja yang sangat berkuasa Takkim menyebarkan pembalikan dan pembiasan: manusia dilantik jadi tuhan, aqidah dijungkirbalikkan, iman rasional digantikan oleh indoktrinasi pemahaman tentang Tuhan, Kitab Suci dirusak, diubah-ubah, dikurangi ditambahi, dipalsukan, yang sakral diprofankan, yang halal diharamkan, yang haram dihalalkan, preman diumumkan sebagai suci, orang baik di-Nabi-kan, dan berbagai macam penghancuran ilmu dan iman.

    Di masa Muhammad Saw dan sepeninggal Beliau hingga saat ini Takkim memupuk kemunafikan. Kalau permusuhan antara Muslim dengan Kafir, itu masalah sederhana dan relatif jelas garis-garis batas dan perseberangannya.

    Tapi kalau yang dominan adalah atmosfir kemunafikan, maka kaum Muslimin dan kaum Kafirin tidak bisa lagi berperang satu sama lain, bahkan sekadar mendata, mengidentifikasi dan memverifikasi, pun tak bisa. Yang terjadi akhirnya adalah perang brubuh, permusuhan yang silang sengkarut, multi-polar. Sampyuh.

    Kelihatannya utara ternyata selatan, dan setelah didata sebagai selatan ternyata barat, sesudah diincar sebagai barat ternyata timur, akhirnya tata ofensif dan defensif didasarkan pada fakta timur, ternyata utara. Merah bukan merah, hijau itu ungu, ungu samaran jingga, jingga berubah mendadak jadi kuning, kuning mengaku biru, biru diumumkan sebagai hijau, hijau ditutupi hitam, hitam dipasangi pemancar cahaya sehingga semua orang meyakini itu adalah putih.

    ***

    Kaum Muslimin hari-hari ini sedang asyik-asyiknya menikmati permusuhan di antara mereka, salah satu produk adu domba program strategis Takkim global. Islam dan Indonesia, khususnya Jawa, adalah barang mainan yang paling menyenangkan para “Takkimun”.

    Kaum Muslimin sangat lahap menjalani kebencian satu sama lain. Sangat merasakan sedapnya memaki dan mengutuk sesamanya. Sangat serakah menyelenggarakan travel biro pengiriman orang-orang Islam sesama mereka sendiri ke neraka. Sementara penduduk bumi yang bukan Muslim dibukakan jalan untuk membangun real estate di sorga.

    Di masa hidup Muhammad Saw kemunafikan dipupuk oleh Takkim tokoh Musailamah. Sempat dijuluki al-kadzdzab, si pembohong. Tetapi justru keturunannya sangat banyak di kalangan kaum Muslimin sendiri, sehingga Markesot pergi mengambil jarak sangat serius dari Negeri Kemunafikan yang secara bergantian diperintah oleh anak turun Musailamah sang Idola.

    Sepeninggal Muhammad Saw Beliau digambar-gambar citranya dengan ragam manipulasi. Dibangun sejumlah pengelompokan yang dipermusuhkan, sampai tingkat toh-darah dan nyawa ratusan ribu orang. Dan itu menimbulkan map dendam dan permusuhan sampai hari ini.

    Kaum Muslimin hari ini sangat rakus melahap permusuhan mak nyuss di antara mereka. Sebab Sang Takkim sudah membekali mereka selama berabad-abad dengan satuan-satuan ilmu, metodologi dan strategi bagaimana mendangkalkan pandangan mereka tentang Islam, AlQur`an dan Nabi mereka Muhammad Saw.

    Pembekalan untuk proyek pendangkalan dan penyempitan itu didasarkan pada idolatri dan pemujaan terhadap filsafat Yunani Kuno, ditemani Cina Kuno untuk fungsi ilustratif-estetiknya, serta dikawal Mesir Kuno diambil departemen Fir`aunnya.

    Islam dan Nusantara dilarang bangkit, jangan sampai kebesarannya disadari oleh orang-orangnya. Jangan sampai bangsa penghuninya terbangun dari tidur lelapnya. Jangan ada di antara mereka yang mulai bertanya: “Ah, mosok begini ini Islam. Ah, yang begini ini bukan bangsa Indonesia. Bukan NKRI. Bahkan bukan Negara”

    ***

    “Kalau saya terus-teruskan omong yang begini-begini, nanti kalian makin banyak tanya-tanya ke saya”, kata Markesot suatu saat.

    “Jangan main-main, Cak Sot”, salah seorang memprotes, “Kalau mengawali, wajib mengakhiri”

    “Kalau bercerita harus tuntas dong”

    “Tidak adil meninggalkan orang lain dalam keadaan otaknya terburai, protholprothol, karena tidak bisa menghimpun pemahamannya atas omongan Sampeyan”

    Tapi Markesot tidak peduli. Ia malah kemudian menyerbu mereka dengan pertanyaan dan terus mengejar jawabannya.

    “Apa gunanya kamu bertanya kepada saya. Seandainya saya bisa menjawab, tidak akan menghasilkan nilai apa-apa, tidak mengubah apa-apa. Tanya jawab dengan saya bisa merugikan kamu, tapi tidak memberi keuntungan apa-apa. Kenapa tanyanya tidak ke Tuhan saja, supaya langsung efektif terhadap hidupmu, nasibmu, masa depan anak-anakmu”

    Tanya apa ke Tuhan?

    “Ya banyak sekali”

    Misalnya?

    Markesot menemukan jalan untuk me-nylamur-kan mereka ke wilayah tema yang berbeda, sehingga mudah-mudahan mereka sejenak melupakan yang sebelumnya.

    “Sepanjang kita dilibatkan dalam hidup yang ini”, katanya, “Tuhan sangat serius menegas-negaskan soal pentingnya iman, aqidah, akhlaqul karimah, shirathal mustaqim, barokah dan adzab, ibadah terus-menerus, sorga dan neraka. Tapi bersamaan dengan itu Tuhan memberi pernyataan bahwa kehidupan di dunia ini sebenarnya hanya permainan dan senda gurau. Gimana dong”

    Sialnya Markesot sering mengemukakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tidak lantas mencoba ikut menjawabnya. Ketika orang lain tidak merasa memerlukan jawaban atau penjelasan tentang sesuatu hal, Markesot malah menguraikannya panjang lebar.

    Teroris sejati ya Markesot ini. Kerjanya mengganggu pikiran orang. Ngasih ‘pekerjaan rumah’ ke setiap orang yang berjumpa dengannya. Ninggali beban-beban pertanyaan, keraguan, penasaran, kebingungan, ganjalan, di dalam pikiran setiap orang.

    “Manusia diwajibkan selalu bersyukur. Dan tema syukur itu diseberangkan atau dipertentangkan dengan kufur. Siapa tidak syukur berarti kufur. Jadi, sedikit saja kita lalai bersyukur, kita jadi kafir. Mudah sekali kita terpeleset menjadi kafir. Sekarang banyak orang dan kelompok yang rajin mengkafir-kafirkan orang atau golongan lain. Padahal tak usah dikafirkan pun kita sudah lama pandai dan terbiasa untuk terpeleset jadi kafir.”

    “Saya sendiri ini contoh yang gamblang”, kata Markesot, “Kafir saya banyak pastinya, muslim saya belum tentu semua. Kalau orang mengkafir-kafirkan saya, malah mendapatkan tiga macam kerugian”

    Kok aneh. Kan tindakan pengkafiran itu bisa merupakan bentuk nahi munkar, memberi peringatan, mengkritik dan menganjurkan perubahan dan perbaikan pada yang dikafirkan. Kok malah mendapat tiga macam kerugian.

    “Pertama”, Markesot tidak peduli, “Kemungkinan besar Tuhan tersinggung perasaan-Nya karena ada makhluk yang mengambil alih hak-Nya. Kok lancang. Berani-beraninya. Melebihi Firaun”

    “Kedua, karena tudingan pengkafiran itu ungkapan budaya dan formula komunikasinya kebanyakan merupakan makian dan kutukan, maka bisa-bisa malah mengurangi dosa orang yang dikafirkan”

    “Dan ketiga, begitu saya dikafirkan, yang spontan muncul di hati saya adalah rasa geli, dan yang nongol di otak saya adalah rasa takjub kepada dekadensi pengetahuan orang yang mengkafirkan saya. Kok baru sekarang dia tahu bahwa saya kafir. Kekufuran adalah faktor dominan yang memenuhi hidup saya, sementara kemusliman merupakan minoritas. Itulah sebabnya tak berhenti saya berjuang untuk berbuat baik, demi mengimbangi dominasi kekufuran hidup saya”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  11. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    TKI-1


    Semakin kita mengafir-ngafirkan Markesot, semakin ia menertawakan kita. Kalau kita cari-cari contoh untuk memuji kemusliman dia, semakin ia demonstrasikan tindakan-tindakan yang membatalkan pemusliman kita atasnya.

    Semakin kita menafsir-nafsirkan Markesot, semakin parah ia berlaku dan berkata sesuatu yang semakin susah ditafsirkan. Semakin kita mempelajari Markesot, semakin pelik ia untuk dipelajari.

    Semakin kita menyimpul-nyimpulkan Markesot, semakin ia balik kecenderungannya sehingga menjauhkan kita dari kebenaran. Kalau kita menyimpulkan Markesot sangat sehat, ia berlaku sakit. Kalau kita simpulkan ia sakit, ia overacting menunjukkan tingkat kesehatan melebihi orang lain.

    Kalau kita simpulkan ia pandai, ia menyirami kita dengan kebodohan. Kalau kita simpulkan ia bodoh, ia lemparkan kita ke kegelapan untuk membuktikan bahwa kita tidak mampu memancarkan cahaya untuk menerangi kegelapan itu.

    Kalau tetap ngeyel dan bermaksud mengikuti jejak perjalanan Markesot mencari Kiai Sudrun, mudah-mudahan di tengah jalan dicegat oleh Pangeran Sabranglangit dan diperingatkan:

    “Kalau berjalan untuk mempelajari, balik sekarang. Kalau sekadar belajar dari, silakan terus”

    Coba dulu belajar dari lirik lagu yang sering direngeng-rengengkan oleh Markesot dengan sangat buruk secara estetik-musikal. Daripada menambah tumpukan masalah di kepala, mending ditadabburi saja. Itu pun tanpa berharap jauh-jauh bahwa hasilnya adalah tambahan iman dan kedekatan kepada Tuhan.

    Cukuplah sesudah mendengar syair itu muncul kegembiraan. Kalau tidak kegembiraan ya paling tidak terbit ketenangan. Kalau ketenangan masih terlalu mewah, minimal hadir situasi jiwa yang tidak terlalu galau, atau agak sedikit lebih menjauh dari keputusasaan.

    Kalau harus menafsirkan syair lagu Markesot itu, assalamu’alaikum sajalah, pamit dan salam mesra untuk Markesot. Tiga huruf Qur`an Alim dan Lam dan Mim saja tidak ada ahli yang paling tinggi ilmunya sanggup menafsirkannya. Semua angkat tangan dan menyatakan “hanya Allah yang mengetahui maknanya”.

    Iya lah. Wong Allah sendiri yang bikin susunan tiga huruf itu. Mosok Iblis punya kemungkinan untuk mencuri maknanya, sebagimana Iblis suka nyuri-nyuri nengok-nengok lembaran-lembaran Lauhul Mahfudh.

    Iblis masih lumayan bisa mbalap waktu, melampaui rentangannya, juga mampu memadatkan ruang dan meringkas keluasannya, sehingga bagaikan Maling Cluring ngindhik buku besar Lauhul Mahfudh.

    Lha manusia zaman sekarang memanjat pohon kelapa saja kakinya kram-krom-kram-krom krom-kram-krom-kram. Gitu kok sok memusuhi Iblis dan Setan. Mulutnya memekik-mekik anti Iblis dan Setan, padahal Iblis bertahta di dalam jiwanya dan Setan mengalir di darahnya.

    ***

    Beberapa kalimat lirik lagu Markesot saja akan bisa menyebabkan perkelahian antara beberapa orang yang mendengarkannya. Itu kalau mereka berpretensi untuk menafsirkannya, memahami peta batin dan rangkaian muatan nilainya.

    Silakan kalau mau bertengkar. Dengarkan lagunya yang menggelikan, baca kembali di memori otak kalimat-kalimatnya. Perlombakan kemampuan untuk menggambar rangkumannya. Pertandingkan kecerdasan untuk menemukan alurnya, kronologi muatannya, puzzling muatan-muatannya, konsistensi tematik dan disiplin kontekstualisasinya.

    Kalau pertengkaran menjadi perkelahian kemudian ada rencana untuk memuncakinya dengan bunuh-bunuhan, maka datanglah ke Markesot dengan cara pandang akademis yang diperoleh dari Sekolahan. Satu kata dari mulut Markesot bisa menjadi landasan untuk bertengkar. Itu baru satu kata. Belum satu kalimat. Belum lagi seluruh alam pikiran dan semesta batinnya. Belum lagi jagat kehidupan Markesot.

    Jangankan lagi Qur`an. Supaya hidup selamat, bertadabburlah. Di dalam tadabbur, mungkin diperlukan sedikit tafsir. Tapi kalau sudah coba menafsirkan, hendaklah dibatasi yang diperoleh itu adalah kebenaran penafsiran, belum tentu sama dengan kebenaran yang ditafsirkan.

    Kalau ingin menyebarkan kerusakan di muka bumi, berkelilinglah memaksakan hasil penafsiranmu sebagai kebenaran mutlak di depan siapa saja. Terapkan hasil penafsiranmu sama dan sejajar dengan kebenaran Qur`an. Jangan biarkan ada orang yang berbeda dari kamu. Karena kamu merasa bahwa kalau berbeda dari kamu berarti menentang Qur`an. Kalau menentang Qur`an berarti mendurhakai Tuhan. Dan kalau mendurhakai Tuhan berarti masuk neraka.

    Kalau ingin merusak silaturahmi sosial di bebrayan masyarakat, kalau ingin ummatmu terpecah belah, kalau ingin bangsamu saling menghancurkan satu sama lain, datanglah kepada mereka untuk memaksakan hasil-hasil penafsiranmu. Paksa setiap orang untuk meyakini bahwa setiap produk tafsirmu adalah kebenaran sejati sebagaimana firman Tuhan.

    Tapi kalau takut bertengkar, tidak berani berkelahi dan ngeri untuk bunuh-membunuh, maka berdaulatlah kepada Markesot.

    ***

    Lho kok berdaulat kepada Markesot.

    Ya. Kan sudah disentuh soal itu berulang-ulang. Tapi mungkin tetap saja tidak benar-benar diperhatikan. Berdaulat kepada Markesot sebagai bagian dari pembelajaran kedaulatan. Setelah itu satu persatu dan semua yang lain, kecuali kepada yang justru berdaulat atasmu. Tuhan namanya.

    Berdaulat kepada Markesot itu ekstremnya “bunuh Markesot di dalam dirimu”. Silakan mendengarkan omongannya, tapi jangan melakukan apapun karena mengikutinya. Silakan menghayati hidupnya dan menggali segala sesuatu darinya, tetapi jangan melangkah ke manapun dan untuk apapun kalau dasarnya adalah mematuhinya. Bodoh, memalukan dan menggelikan kalau ada orang kok taatnya kepada Markesot. Si Sarpon itu, umpamanya, bukan taat, tapi setia.

    Berdasarkan susastra dan retorika ayat di Kitab Suci, yang mutlak harus ditaati, pantas, tepat dan mumpuni untuk dipatuhi, hanya Tuhan dan Utusan-Nya. Yang lain, Wali, Maulana, Syeikh, Mursyid, Ulama, Kiai, Panembahan, Begawan, Brahma, Santo Santa dan sebagainya, relatif posisinya untuk ditaati atau tidak.

    Kalaupun di antara beliau-beliau itu ada yang ditaati, sebenarnya itu jalur ketaatan saja. Pangkal subjek yang sejatinya ditaati ya Tuhan dan Utusan-Nya itu. Bahkanpun kedua orang tua, perintah Tuhan kepada anak-anak adalah “berbuat baik” saja. Apalagi ustadz, tak ada kaitan apapun dengan ketaatan.

    Lebih-lebih presiden atau menteri-menteri dan para pejabat, mereka justru wajib taat kepada undang-undang negara. Mereka digaji untuk itu. undang-undang adalah tulang punggung kedaulatan rakyat. Hakikinya presiden dengan seluruh jajaran kepemerintahannya berposisi wajib taat kepada rakyat. Sebab rakyat yang pegang sertifikat hakiki kepemilikan Tanah Air yang di atasnya didirikan bangunan negara.

    Presiden adalah buruhnya negara, bukan kepala negara. Kalau presiden adalah kepala pemerintahan: masih masuk akal dan proporsional. Kalau pakai istilah sekarang, presiden adalah TKI-1, tenaga kerja Indonesia nomor urut satu. Bukankah Markesot sudah sejak lama menguraikan konteks ini, misalnya pemerintah bukan negara, pegawai negara bukan pegawai negeri, tidak ada bawahan patuh kepada atasan, karena yang atas maupun yang bawah berposisi sama untuk patuh kepada undang-undang?

    ***

    Nah, berdaulat kepada Markesot adalah jangan ditelan mentah-mentah uraiannya tentang negara dan pemerintah ini. Jangan membabi-buta percaya dan ngikut dia. Ambil jarak intelektual dulu, siapkan kejujuran akal dan kebersihan hati. Ajak teman-teman pelan-pelan berdiskusi tentang itu.

    Kalau menurut kalian itu salah, tak usah berjuang mengubahnya. Kalau itu benar, jangan tidak berjuang.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  12. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Mursyid Peradaban Dari Barat dan Utara


    Yang paling tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Patangpuluhan adalah wanti-wantiMarkesot kepada mereka: “Masing-masing kalian harus menaklukkan saya di dalam diri kalian. Haram hukumnya Markesot berkuasa atas pikiran kalian, mental kalian, hati dan sikap hidup kalian. Masing-masing dari kalian wajib berdaulat atas diri kalian sendiri”

    Beberapa teman pernah mendengar secara khusus:

    “Kalau oleh saya saja kalian bisa dijajah, bagaimana mungkin kalian berpotensi untuk menjadi patriot bangsa kalian. Kalau kalian terlalu gampang terpesona, kagum, takjub, sedikit-sedikit anyenyubyo, akan terkisis harga diri kalian, kemudian mental kalian akan menjadi sangat empuk untuk dimakan oleh orang lain”

    “Kalau oleh orang yang bukan siapa-siapa seperti saya ini kalian gampang terseret, maka gelombang besar global dari arah barat, kemudian dari utara, arus badai penguasaan atas seluruh dunia, sejak hampir delapan abad yang lalu – terlalu muluk dan berlebihan. Karena kalian sebenarnya cukup ditaklukkan dengan sejumlah peluru dan beberapa lembaran uang”

    “Maka kalian harus berdaulat atas diri kalian sendiri, agar siap juga mendaulati saya. Mengatasi saya di dalam diri kalian. Menjadikan saya hanya sebagai tambahan unsur, misalnya alat bercermin, di dalam diri kalian. Jangan sampai saya mendominasi kedalaman jiwa kalian”

    ***

    Sejumlah teman lain mencoba secara bertahap memahami bahwa yang dimaksud adalah, misalnya, “ambil tlethong Markesot saja dulu, kemudian dicoba di-daulat-i, diolah, diproduksi menjadi kegunaan, diasah menjadi manfaat”

    Markesot justru mungkin harus dilihat dulu sebagai lambang dari sesuatu yang biasa saja. Seseorang yang sama sekali tidak luar biasa. Mungkin bahkan simbol kerendahan. Karena toh kerendahan bisa berguna untuk pijakan mendaki ketinggian.

    Markesot adalah contoh keremeh-temehan, yang bisa bermanfaat untuk menggali bobot nilai kehidupan. Markesot adalah pertanda kebodohan. Dan temukanlah betapa kebodohan sangat menolong setiap manusia untuk merindukan, mencari dan menemukan sejatinya ilmu dan pengetahuan.

    Tapi bagaimana maksudnya berdaulat kepada Markesot?

    Mereka makin lama makin menyepakati untuk jangan sekali-sekali mempelajari Markesot. Cukup belajar dari tlethong-nya saja. Ambil sedikit tlethong itu, pandangi dengan kedaulatan ilmumu, gunakan dengan hak pribadimu untuk merabuki tanamanmu.

    Lupakan apa siapa bagaimana kenapa di mana Lembu Markesot.

    Barangsiapa mempelajari Markesot, ia akan terjajah olehnya. Barang siapa belajar dari atau kepada Markesot, sebagaimana kepada tlethong, ia akan memperoleh manfaat sesuai dengan kadar kedaulatan yang diterapkannya.

    ***

    Setiap murid memerlukan Guru. Masalahnya bagaimana murid yang justru baru akan belajar menapaki ilmu, bisa memiliki ukuran untuk menentukan apakah seseorang di hadapannya itu Guru atau bukan, layak di-meguru-i atau tidak. Sebagaimana setiap Salik yang hendak menempuh thariqat memerlukan seorang Mursyid.

    Mungkin orang-orang di sekitarnya memberi informasi bahwa itu ada orang alim saleh mendalam ilmu rohaninya sehingga disimpulkan ia adalah Mursyid. Atau orang-orang tertentu hadir ke banyak orang berlaku sebagai Mursyid. Tetapi bagaimana orang yang baru akan melangkah mencari bisa menentukan bahwa ada orang lain yang sudah menemukan?

    Tanda seseorang sudah menemukan adalah bukti adanya sesuatu yang ditemukan. Bagaimana mungkin orang yang belum pernah menemukan punya kemampuan untuk memastikan bahwa sesuatu itulah yang sudah ditemukan. Bukankah ia justru sedang akan mulai mengenali parameter tentang sesuatu yang ditemukan?

    Syukur kepada Tuhan andaikan yang mengaku Mursyid di hadapanmu itu memang sungguh-sungguh seorang dengan kualitas pengalaman yang panjang dan mendalam hingga selayaknya disebut Mursyid.

    “Sedangkan”, kata Markesot suatu malam, “yang berlangsung sekarang adalah tamu-tamu asing dari Barat dan Utara datang sebagai Mursyid Peradaban, dan kalian mempercayai mereka. Kalian merasa lebih rendah dari mereka. Kalian membungkuk-bungkuk kepada mereka. Bahkan iman kalian kepada mereka menggeser posisi iman kalian kepada yang sesungguhnya kalian butuhkan untuk diimani”

    ***

    Bangsa-bangsa dari Barat dan Utara datang ke sini untuk mempelajari bangsa kalian, tetapi kalian memperlakukan mereka sebagai Mursyid Peradaban, Guru Besar Kemajuan, Sang Pencerah Akal dan Kebudayaan, Profesor Ilmu dan Teknologi.

    Mereka datang membawa kegelapan berjangka, tetapi mengajarkan kepada kalian bahwa yang mereka bawa adalah Abad Pencerahan. Mereka datang menelanjangi jati diri kalian, mencopoti pakaian kebudayaan kalian, mengikis martabat kebangsaan dan kemanusiaan kalian. Tetapi kalian menyikapi mereka dengan puja-puji dan junjungan melebihi Nabi-Nabi kalian sendiri.

    Sekarang bahkan mereka tidak perlu datang ke sini untuk mempelajari. Cukup menggunakan frekuensi, penyerapan digital hingga balon-balon di angkasa. Yang mereka kirim untuk datang menyerbu dan tinggal bersama kalian adalah jutaan sampah-sampah buangan dari kampung halaman mereka. Yang tata budayanya jauh di abad belakang kalian.

    Hasilnya adalah penjajahan kepada bangsamu. Berabad-abad mereka mempelajarimu, menyerap segala hal tentang dirimu, fakta-fakta, data-data, karakter, kekayaan, kekuatan dan kelemahan. Kamu menjadi janda cantik bahenol yang ditelanjangi, kemudian ditiduri semau-mau mereka.

    Bangsamu dibikin bangga dilibatkan dalam kemewahan Peradaban Teknologi Informasi. Bangsamu merasa sedang melaju di jalan raya kemajuan dan kehebatan.

    Bangsamu meyakini sedang menguasai informasi dan menguasai dunia. Padahal bangsamu sedang dijadikan narapidana, sandera, konsumen total, disetir, dikendalikan, dianiaya dengan halusinasi, dibutakan melalui lampu-lampu yang menyilaukan kesadaran. Untuk akhirnya menjadi bodoh, tidak mengerti dirinya sendiri, kemudian dijajah, dirampok hartanya, disirnakan kepercayaan dirinya.

    Tapi bangsamu bangga dianiaya. Bangga diperbodoh. Merasa sukses padahal diperbudak. Yakin sedang menjalani puncak peradaban, padahal mereka adalah pelengkap penderita.

    Bangsamu kehilangan ukuran tentang hampir segala sesuatu. Bangsamu bangga ketika seharusnya malu, dan malu ketika semestinya bangga. Bangsamu melawan hal-hal yang sejatinya perlu ditaati, dan taat kepada sesuatu yang sewajibnya dilawan.

    Bangsamu adalah bangsa Muqallidin, pembebek yang menjijikkan. Bangsamu disembelih, tapi tidak sebagai Ismail.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  13. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Si Adzab Gentayangan


    Semua yang berada di lingkup atmosfer Patangpuluhan, entah yang masih tinggal di situ atau yang sudah bertebaran di berbagai pulau dan pelosok-pelosok, diam-diam mencatat bahwa tahun-tahun terakhir ini ada semacam gejolak perasaan atau gelombang batin yang tak menentu pada Markesot, yang menyangkut lingkungannya, manusia-manusianya, masyarakatnya, bangsa dan negerinya.

    Betapapun Markesot sangat menahan diri dan menyamarkan gejolak itu, tapi akumulasi nuansa jiwanya tampak mencerminkan hal itu semakin jelas. Misalnya, cukup lama ia seperti menghindar untuk menyebut kata ‘Indonesia’. Menggantinya dengan, misalnya ‘Nusantara’ atau ‘Negeri Khatulistiwa’.

    Saat-saat awal ia hanya mengambil jarak. Tahap berikutnya ia bungkam untuk berbicara tentang yang namanya ia ganti itu. Tidak mau menyebut nama presiden dan menteri-menteri. Bahkan kalau ada dua foto besar terpampang di tembok ruang dalam sebuah gedung atau kantor, Markesot langsung keluar.

    Ketika beberapa kali ada yang memberanikan diri bertanya, jawaban Markesot bermacam-macam.

    “Saya ini lemah. Hati saya cengeng. Perasaan terlalu mudah terjerumus ke dalam kesedihan. Tidak jelas kenapa tadi begitu saya masuk ruangan itu lantas batin saya menangis. Menangis sangat mendalam. Sehingga saya tidak tahan dan keluar”

    “Rasanya di dalam ruangan tadi ada semacam getaran atau aura atau mungkin wibawa yang luar biasa kuatnya, sampai rasanya saya mau pingsan. Jadi saya tidak kuat”

    “Saya ini penakut. Saya tidak berani makan nasi kalau saya tidak benar-benar yakin bahwa itu nasi. Saya tidak berani mengakui sesuatu kalau secara batin maupun akal saya tidak memperoleh keyakinan atas sesuatu itu. Yang kecil-kecil dan remeh saja saya takut untuk mengakui. Apalagi Tuhan, kiai, presiden, menteri atau yang besar-besar lainnya”

    “Kalian tahu saya ini boleh dikatakan tidak punya tempat yang jelas di peta kehidupan dunia. Saya tidak mampu meletakkan pantat saya di kursi, kalau menurut pemikiran saya itu bukan kursi. Saya seorang warga negara resmi, tapi sebagai warga saya kebingungan karena banyak sekali faktor yang membuat saya ragu-ragu apa benar ini negara”

    ***

    Mungkin ada yang masih ingat, ketika Sapron bertanya kenapa Markesot sekarang lebih banyak berurusan dengan manusia dan bukan konstruksi sosialnya, juga dengan rakyat tapi tidak negaranya, sebagaimana dulu-dulu: Markesot menjawab, “Saya menjauh dari wilayah adzab”

    Terus terang saja ketika mendengar jawaban itu diam-diam Sapron tertawa geli namun ditahannya. “Cak Sot itu kalau omong seakan-akan ia adalah warga Planet Berkah yang ulang-alik dari dan ke sorga, sehingga ia melihat yang di sini ini sebagai wilayah adzab. Padahal sebagian orang berpendapat bahwa hadirnya Markesot di bumi ini aslinya merupakan wujud adzab”

    Kalau masyarakat umum melihat kehidupan Markesot, apa kesimpulan mereka kalau bukan perwujudan adzab. Markesot adalah “adzab mlaku”, suatu istilah sebagaimana kalau orang kutu buku disebut “perpustakaan berjalan”. Atau contoh lain yang indah: Muhammad Saw adalah “Qur`an hidup”, atau Quran adalah “Muhammad literer”

    Apanya yang bukan adzab pada Markesot? Coba perhatikan: miskin, tidak punya harta benda apa-apa kecuali pakaian dan beberapa perangkat remeh lainnya. Tidak pernah maju, begitu-begitu melulu hidupnya. Tidak punya karier. Jangan tanya apakah Markesot punya masa depan, sedangkan cita-cita dan keinginanpun ia tidak punya.

    Markesot itu sebatang kara pun tidak. Ia sebatang lilin: menyala tapi tak bisa menerangi ruangan secara maksimal. Itu pun untuk menyala ia harus membakar dirinya sendiri. Dan lagi nyalanya sangat sebentar. Sungguh adzab. Markesot adalah “adzab gentayangan”.

    Cukup satu Markesot saja di bumi. Tidak. Di seluruh alam semesta cukup dia saja. Jangan sampai ada Markesot lain. Siapa tega melihatnya. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah berkenan membatasi jumlah makhluk semacam Markesot itu cukup satu saja.

    Si adzab gentayangan itu sudah makin udzur usianya. Tubuhnya makin lemah, padahal tak punya istri. Kulitnya makin keriput, padahal tidak punya tabungan. Rambutnya makin memutih, padahal tak punya anak. Jaraknya dengan maut makin mendekat, padahal tidak jelas asal-usulnya, masa silamnya, apalagi masa depannya.

    Ya ampun apakah Tuhan akan membiarkan dia mati nelangsa nanti. Menjalani kehidupan tanpa karier, tidak pernah mencapai sukses, tidak punya motor apalagi mobil, rumah kontrakan abadi, karyawan ya bukan, berkarya ya tidak. Walhasil apa namanya yang seperti itu kalau bukan adzab.

    Lelaki tua yang wajahnya penuh kerut-merut derita bernama Markesot ini ahli servis motor dan mobil, tanpa satu kali pun pernah punya motor, apalagi mobil. Terkadang kalau dia omong, bagaikan seorang filosof, tetapi filsafat makin tidak marketable dan para pakar filsafat tak satu pun mencatat nama Markesot.

    Markesot selalu menyebarkan kesan seolah-olah dia pengikut Nabi Muhammad Saw di bidang konsumsi: Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang. Padahal kasusnya bukan soal ilmu kesehatan atau ketinggian akhlaq terhadap ketersediaan pangan di bumi. Masalahnya adalah Markesot memang miskin, tidak lancar memperoleh makanan.

    ***

    Di zaman mudanya, tatkala Markesot masih lebih gelandangan dibanding sekarang, Markesot mengatur makannya dengan menyusun daftar sekian teman-temannya, kemudian menggambar map yang berisi titik-titik tempat tinggal mereka.

    Pagi bertamu ke sini, siangnya dolan ke sana, malamnya nongkrong di tempat teman berikutnya. Tentu tidak untuk terang-terangan minta makan, melainkan berspekulasi siapa tahu di tempat-tempat itu ia diajak makan, di rumah teman-temannya itu atau ditraktir ke warung.

    Besoknya, lusa dan seterusnya, sudah terdaftar nama teman-teman yang berbeda. Meskipun demikian memang sering tidak mudah mengatur hati dalam situasi miskin. Selalu ada unsur salah tingkahnya, rasa malu, atau seperti Markesot sedang membanting harga dirinya sendiri setiap kali mengharap dikasih makan oleh temannya.

    Suatu siang Markesot bertandang ke rumah salah seorang temannya. Membohongi dirinya sendiri pura-pura tidak ada urusan makan. Tapi diam-diam di pojok hati kecilnya memang ia ke situ untuk berspekulasi siapa tahu akan dikasih makan. Tuhan Maha Agung, ketika Markesot mengetuk pintu ternyata temannya sekeluarga memang sedang makan siang.

    Temannya sangat gembira didatangi Markesot dan langsung berdiri menyongsong kemudian mengajaknya bergabung makan siang dengan keluarganya. Markesot spontan menjawab: “Wah baru saja saya makan. Terima kasih. Saya minum saja…”

    Padahal dia sesungguh-sungguhnya sedang kelaparan.

    Di hari lain Markesot mendatangi temannya sedang latihan teater di sebuah gedung kesenian. Setelah pura-pura menikmati sejumlah adegan, Markesot mengajak temannya ke warung untuk makan. Dengan harapan temannya itu akan mentraktir, karena mustahil Markesot yang tak punya uang harus mentraktir.

    Temannya menjawab, “Saya sudah makan, nggak apa-apa saya ditinggal saja, kebetulan juga masih ada adegan yang harus saya latih”

    Akhirnya Markesot melangkah keluar gedung. Berjalan menyusuri jalanan, muter alun-alun, selama waktu yang kira-kira sama dengan keperluan makan di warung. Setelah itu ia balik ke gedung, acting seolah-olah ia kekenyangan habis dari warung.

    Maka kalau Markesot berkata “saya menjauh dari wilayah adzab”, si adzab berkata “biar aku yang mendekat kepadamu”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  14. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Agamaterialisme


    Memang bagi kebanyakan orang kemiskinan adalah bencana, dan kebanyakan orang menyimpulkan secara kolektif bahwa bencana itu mirip-mirip dengan adzab. Yah kira-kira hampir sama dan sebangun.

    Sementara itu orang tidak kebanyakan juga kelihatannya kurang berminat untuk mengurusi apakah antara adzab dengan bencana itu sama ataukah berbeda. Kalau sama, kok bisa sama, bagaimana konteks sebab dan akibatnya. Kalau tidak sama, seberapa jaraknya.

    Bencana, adzab, mushibah, celaka, sial, kemudian banjir, gempa, gunung meletus, badai, halilintar, petir, bercampur-aduk di dalam satu tabung makna. Ditambah lagi fakir, miskin, tak punya apa-apa, sengsara, berat, susah, sedih, derita, aib, malu.

    Kalau racun berwarna kuning, kebanyakan orang berasosiasi bahwa yang membunuh bukan hanya racun, tapi juga kuning. Kalau kemiskinan itu berat dan menderita, maka segala penderitaan dan semua yang berat disimpulkan sebagai bencana, akhirnya bencana dikonklusikan sebagai adzab.

    Manusia mengalami kelelahan untuk mengurai pengetahuan dan memilah gigir-gigir ilmu.

    Rentang jarak yang bisa sangat panjang antara keadaan miskin dengan adzab, ditekuk, dilipat-lipat, digumpalkan menjadi satu titik. Peradaban panjang materialisme membawa ummat manusia menyisakan satu pengertian makna: bahwa kemiskinan adalah adzab.

    Semua jenis kegiatan yang menghasilkan kekayaan harta benda, dianggap berkah. Segala perjuangan yang ujungnya adalah kebangkrutan keduniaan, dipahami sebagai adzab.

    Sehingga mereka bersedia dijajah asal tidak miskin. Bahkan harta milik sebuah Bangsa dirampok tidak masalah, asalkan penduduk Negara Bangsa itu disisakan sedikit untuk penghidupan keluarganya. Kemiskinan itu hina, sehingga lebih baik ikut Iblis asalkan kaya, daripada setia kepada Tuhan tapi disuruh bersabar dalam kemiskinan.

    ***

    Sampai-sampai membangun tempat ibadah pun tidak soal meskipun Setan yang membiayainya. Sehingga tidak perlu memverifikasi halal haramnya bantuan yang diberikan untuk pembangunan rumah ibadah itu.

    Kemiskinan di dunia dimaknai sebagai bencana yang membuat manusia merasa hina dan rendah. Tidak hanya rendah di hadapan sesama manusia, tapi juga di depan dirinya sendiri. Adapun di depan Tuhan, mereka merasa tidak ada bahan untuk mengukurnya. Tidak ada mata kuliahnya. Tidak ada universitas dan fakultasnya.

    Kehilangan martabat kemanusiaan tak masalah, asal tetap punya pekerjaan, bisa menghidupi keluarga dan memastikan kemakmuran. Tidak punya harga diri pribadi, harga diri kemasyarakatan dan kebangsaan, itu bukan persoalan, karena yang utama adalah tegaknya materialisme dalam kehidupan di dunia.

    Manusia dan bangsa jenis itu, benderanya adalah “Anti Kemiskinan”, bukan “Anti Pemiskinan”, karena mereka melihat kekayaan dunia sebagai benda, bukan sebagai bahan-bahan di dalam tugas akhlak. Jargon mereka “Anti Kebodohan”, bukan “Anti Pembodohan”, karena faktanya kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan dalam rangka anti-kebodohan ternyata adalah penumpukan kebodohan.

    Seolah-olah Nabi pamungkas junjungan mereka adalah orang yang kaya raya seperti kakeknya, Sang Raja Sulaiman. Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar bahwa junjungan mereka itu sangat sering mengganjal perutnya dengan batu agar tak terlalu merasa sedang lapar. Seakan-akan tak ada yang pernah menginformasikan kepada mereka bahwa luas rumah junjungan mereka itu panjangnya 4,80 X lebarnya 4,62 X tingginya 2,5 meter. Lebih sempit dari rata-rata kamar mandi mereka.

    Seolah-olah para pemuka masyarakat mereka menyembunyikan fakta bahwa kekayaan beliau dibagi-bagi ke kelompok-kelompok ekonomi kecil di seantero Madinah. Sehingga beliau sendiri menempuh pola hidup yang jauh lebih miskin dari kebanyakan manusia zaman sekarang.

    Kemudian miliaran pengikut beliau berabad-abad mengibarkan bendera “Anti Kemiskinan”. Dan kemiskinan yang dimaksudkan adalah pada konsep materialisme dan ideologi keduniaan.

    Mayoritas penduduk bumi adalah pemeluk Agamaterialisme.

    Tanpa penggambaran bahwa dunia adalah babak penyisihan, kemudian manusia maju ke babak-babak berikutnya, perdelapan final, perempat final, semifinal sampai final menjelang ketentuan final di depan gerbang Stadion Sorga dan Neraka.

    ***

    Seakan-akan Tuhan tidak pernah memberi pernyataan bahwa “Tidaklah Kuberikan ilmu kepada kalian kecuali sangat sedikit”. Sehingga mereka pasang standar bahwa manusia itu harus pandai, maka harus “Anti Kebodohan”.

    Ummat manusia di muka umumnya lalai dari penglihatan bahwa ‘audiens’ utama hidup mereka adalah Tuhan sendiri. “Innallaha Khobirun bima ta`malun”. Sesungguhnya Allah mengabarkan apa yang kalian lakukan. Allah penonton pentas dunia kita, Allah wartawan pengumpul data dan pemotret kelakuan kita, Allah redaktur penayang make up wajah kita. Kemudian Allah jaksa penuntut dan hakim kita.

    Kealpaan manusia atas fakta panggung dan audiens itu membuat mereka mampu gagah perkasa mementaskan kepandaian, dengan jargon “Anti Kebodohan”. Mereka tidak menyusun kurikulum pada konteks dan urusan apa kepandaian diperkenankan Tuhan untuk diperlukan dan digunakan. Itu pun dengan batas takaran kepandaian yang dilapisi baja kewaspadaan.

    Mereka juga tidak meneliti pada proporsi yang mana kebodohan sangat dibutuhkan oleh manusia demi keselamatannya. Manusia menyangka semakin ia tahu semakin baik dan selamat hidupnya. Manusia tidak mensimulasi kemungkinan-kemungkinan di mana kepandaian perlu dibatasi, sebagaimana kebodohan juga ditentukan kadarnya. Semua demi ketepatan letak keselamatan dalam konstruksi kehidupan yang disusun oleh Tuhan.

    Telinga manusia dibatasi jangkauan pendengarannya, agar ia tidak perlu menjadi kalap dan gila karena kesanggupannya mendengar omong-omong orang di jarak yang jauh.

    Mata manusia juga dibatasi hanya bisa melihat pada garis lurus, sebab kalau penglihatan bisa berbelok dan melingkar, maka pakaian orang lain tidak ada fungsinya. Dan kalau pakaian tidak berfungsi berarti semua orang telanjang. Dan kalau semua orang telanjang, peradaban dan kehidupan hanya berumur beberapa minggu.

    Demi keselamatan hidup manusia, Tuhan menentukan batas penglihatannya, pendengarannya, jasad maupun batinnya, pengetahuan dan ilmunya, kekuatan dan kesanggupannya. Allah Maha Penakar. Allah Maha Pakar Batas.

    Tetapi dasar manusia. Pada konteks di mana mereka butuh membatasi, mereka kejar ketidak-terbatasan. Pada konteks lain di mana mereka merdeka dari batas, mereka malah membatas-batasi.

    Hasilnya kebudayaannya, ketika mereka tidak punya jalan selamat yang lain kecuali memilih patuh, misalnya kepada sunnah dan qadar Tuhan, mereka malah memilih kebebasan dan demokrasi. Sebaliknya ketika Tuhan membuka kedaulatan bagi mereka, misalnya di wilayah pemikiran, kreativitas atau teknologi, mereka malah menjadi pembebek-pembebek kepada sesamanya.

    Mereka balik dunia dijadikan akhirat, akhirat diduniakan. Rohani dijasmanikan, sambil bingung bagaimana merohanikan jasmani. Materialisme dituhankan, Tuhan dimaterikan.

    Itulah yang oleh Markesot ditembangkan “bebendhu tan kasat mata, pepeteng kang malih rupa”. Agamaterialisme. Tampak seperti Agama, padahal materialisme. Tidak terasa materialisme, karena wajahnya Agama.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  15. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Relawan Adzab


    Sedahsyat-dahsyat pencapaian peradaban dan kecanggihan teknologi ummat manusia di abad ini, masih tertinggal jauh di belakang peradaban Irom “dzatil ‘imad” kurun Nabi Hud, ketinggian gedung-gedungnya ataupun panjang lebar runaway pesawat-pesawatnya.

    Pun belum mencapai sekadar teknologi komprehensif Piramida-nya dinasti para Fir`aun. Atau keakraban silaturahmi dengan makhluk-makhluk luar angkasa para penghuni Pulau Jawa. Atau bahkan pun dibanding penguasaan waktu dan kesemestaan ruang bangsa Maya dan Inka di kantung raksasa bawahnya pulau yang sekarang diklaim bernama Amerika.

    Dan semua itu hancur luluh lantak karena konflik dengan Tuhan. Disisakan sangat sedikit sehingga tidak sampai musnah total, untuk keperluan pembelajaran bagi para pembangun peradaban di abad-abad berikutnya. Yang hari-hari ini sedang bertahta di puncak keangkuhannya, hampir tiba di jurang kehancurannya.

    Dan kalau ukuran kemajuan dan ketertinggalannya, parameter kejayaan dan keterpurukannya, serta ketinggian dan kerendahan ke-adab-annya diambil dari Agamaterialisme, maka dalam skala sangat kecil: Patangpuluhan adalah simbol dari segala macam jenis kegagalan, ketertinggalan, keterpurukan, bahkan kekumuhan dan kehinaan.

    Tidak seserpih apapun yang kasat mata di Patangpuluhan yang lulus untuk disebut maju dan jaya. Supremasi cat rumahnya saja warna hitam. Tembok-temboknya lembab dan kusam. Tak ada tata rumah tangga yang biasanya diwakilkan kepada meja kursi tamu yang pantas. Almari-almari yang ganteng dengan benda-benda mejeng tak jelas gunanya. Ranjang kasur sprei bantal guling yang mencerminkan bahwa penghuninya cukup berbudaya.

    ***

    Tak ada. Tiada. Benar-benar tak ada gebyar dan tiada sesuatu yang bercahaya. Tamu-tamu yang datang pun makhluk kumuh dan rendahan, yang keperluan-keperluan kedatangan mereka tidak ada gaya, style, atau aura yang membanggakan.

    Tamu-tamu Patangpuluhan keperluannya komplet, tapi kelasnya rendahan. Misalnya orang-orang yang barusan kecopetan, dan itu biasanya kiriman dari Terminal Bus atau Stasiun Kereta Api, entah siapa yang mengirim mereka. Sampai hari ini tidak tertemukan siapa provokator yang yuwaswisu fi shuduri orang-orang susah itu agar njujug-nya ke Patangpuluhan.

    Rumah hitam Patangpuluhan adalah keranjang sampah.

    Yang paling rutin adalah orang datang dengan masalah psikologis dan rumah tangga. Kalau orang-orang gila, ngengleng, tidak berfungsi sejumlah saraf di otaknya, tidak dikategorikan sebagai tamu di Patangpuluhan. Mereka adalah kawan-kawan karib.

    Tampaknya memang situasi Patangpuluhan adalah tempat yang paling pelik untuk mengurai beda antara bencana dengan adzab.

    Karena yang datang kadang-kadang memaksa Markesot menjadi Kiai atau Dukun. Yang medukun bisa minta nomer, bisa konsultasi pesugihan atau pengasihan. Plus orang kesurupan.

    Yang menuduh Markesot adalah Kiai, datang dengan pertanyaan-pertanyaan pelik atau justru pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tidak perlu ditanyakan oleh setiap makhluk yang punya akal.

    Ada yang datang, angkat tangan ke jidat, tabik seperti prajurit kepada atasannya. Kemudian duduk dan melaporkan:

    “Saya berasal dari Kalimantan. Kuliah di Yogya. Orang tua saya bangkrut. Sudah hampir setahun saya terpaksa mencari uang sendiri untuk makan, tempat tinggal dan bayar kuliah. Beberapa minggu terakhir saya kelaparan. Saya datang ke kantor Palang Merah untuk menjual darah saya. Setiap saya kelaparan saya jual darah. Makin lama saya makin lemah. Sekarang kondisi saya bingung dan agak sedikit gila…”

    ***

    Kisah para tamu Patangpuluhan kalau ditulis bisa melahirkan beberapa puluh novel, beberapa ratus novelet, ribuan cerita pendek dan puisi-puisi yang susah dibatasi jumlahnya.

    Dan karena tidak mungkin ada sekian puluh novelis, sekian ratus penulis novelet, sekian ribu cerpenis serta kumpulan penyair ummat manusia dan masyarakat Jin yang jumlahnya tak terbatas, yang bisa berenang di gelombang samudera Patangpuluhan, maka urusan penulisan ini sebaiknya diabaikan saja.

    Yang perlu dikemukakan di sini sekadar penjelasan-terpaksa Markesot ketika dikiaikan oleh tamu-tamu yang datang bertanya tentang bencana dan adzab. Markesot sedikit tahu Alif tapi agak bengkong, tapi sejumlah orang mengira dia pintar ngaji dan paham agama.

    Bab nahwu shorof, ilmu balaghah, manthiq dan yang begitu-begitu Markesot hanya dengar-dengar, tapi sering ada tamu-tamu aneh yang berkonsultasi atau berdiskusi dengan Markesot soal ushulul-fiqh, aqidah, tasawuf, kenapa Nabi Muhammad kok rajin bertapa, kenapa Iblis ditugasi seperti itu, Sayidina Ali waktu ke Jawa Timur nginap di mana, kapan pas-nya Gadjah Mada bersyahadat, dan macam-macam lagi.

    Hal Kitab Kuning, Markesot melihat saja belum pernah, bahasa Arabnya sebatas Anta Antum Ente. Tapi ada orang-orang tersesat ke Patangpuluhan tanya-tanya ke Markesot soal adzab. Seolah-olah dia pakar adzab. Padahal bisa jadi adzab adalah Markesot itu sendiri. Sekurang-kurangnya relawan adzab.

    “Kalau dagang saya sukses, itu rejeki atau adzab?”, bertanyalah seorang tamu kepada Markesot. Dan Markesot merasa wajib menjawab.

    “Tergantung tiga faktor. Pertama, kekayaan yang Sampeyan hasilkan dari sukses dagang itu Sampeyan bikin menjadikan hidup Sampeyan lebih baik atau tidak, lebih bersyukur dan lebih dekat ke Tuhan atau tidak, lebih membuat keluargamu sakinah mawaddah wa rahmah atau tidak”

    Markesot diam-diam geli sendiri mendengar ucapan terakhir mulutnya itu. Dia tidak punya rumah, bagaimana mau sakinah. Tidak punya istri dan anak-anak, bagaimana mengalami mawaddah. Kalau rahmah memang melimpah, sebab Tuhan Maha Rahman Rahim, meskipun formula rahmah-Nya kepada Markesot di mata orang lain tampak seperti adzab.

    “Faktor kedua, asal-usul dan lalu lintas mekanisme semua aspek dalam pekerjaan dagangmu itu bersih atau tidak, halal atau makruh, haram atau syubhat, menurut hitunganmu Tuhan marah atau tidak, Robbun Ghofur atau tidak, Tuhan memaafkanmu atau tidak, kalau memang ada sesuatu pada dagangmu yang membuat Tuhan surut senyum-Nya”

    “Adapun faktor ketiga”, lanjut Markesot, “tertulis di Lauhil Mahfudh. Sudah tertera di halaman sekian di Kitab Agung karya Allah Swt itu bahwa sukses dagangmu itu dikehendaki Tuhan untuk suatu maksud dan rancangan”

    “Apa maksud dan rancangan Tuhan terhadap dagang saya?”

    “Saya belum membaca bagian yang menyangkut Sampeyan. Kapan-kapan saya cari waktu untuk membuka isi lembaran nasibmu di Lauhil Mahfudh”

    “Kapan kira-kira?”, tanya si tamu, seolah-olah sedang minta ketegasan hari apa Markesot bisa mampir ke rumah dia.

    “Ya nantilah. Saya sangat sibuk. Ya di dunia, ya di luar dunia, di banyak planet di alam semesta. Untuk Lauhil Mahfudh saya biasanya menyempatkan waktu khusus, karena urusannya langsung dengan karya Allah Swt. Kita harus suci, jiwa harus bening, hati jernih, pikiran kosong, dan jasad tidak berhadats”

    Si tamu terkagum-kagum. “Masyaallah, Sampeyan sering ya membuka-buka dan membaca Lauhil Mahfudh?”

    “Ya ndak terlalu sering. Kan saya sudah bilang hanya pada waktu-waktu yang khusus”

    “Sebelum ini banyak juga orang yang minta tolong untuk membuka Lauhil Mahfudh seperti saya”

    “Lumayan banyak. Dan saya selalu penuhi. Berdosa kalau saya tidak memenuhi permintaan sesama manusia. Jadi tidak bisa saya hitung jumlah persisnya saya membaca Lauhil Mahfudh. Yang pasti hanya satu, yaitu saya belum pernah berhasil, tidak pernah berhasil, dan tidak akan pernah, serta tidak akan diizinkan oleh Tuhan untuk mampu membaca Kitab Agung itu. Jadi kesimpulannya, saya tidak tahu. Jangankan yang urusan kecil seperti dagang Sampeyan ini. Lha wong setiap ada presiden terpilih, saya tidak pernah tahu itu berkah ataukah adzab”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  16. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Wali Klingsi


    Salah satu hal yang diincar untuk dikonfirmasikan kepada Kiai Sudrun oleh Markesot ya bab adzab ini.

    Tapi sekali lagi biarlah urusan Markesot dengan Kiai Sudrun nanti belakangan saja. Biarkan Markesot sudah menghilang. Mungkin juga sudah menemukan Kiai Sudrun. Biarkan saja. Sekadar Markesot saja pun sudah terasa seperti adzab yang memecah kepala, jangan pula ditambah dengan level adzab yang lebih tinggi.

    Lebih baik jangan pernah ketemu dengan Kiai Sudrun sepanjang hidup. Sebab dia tahu persis jumlah detail uangmu yang di dompet, di saku celana, di almari rumah, di bank, bahkan di balik kendit istrimu. Dan begitu ketemu, dia langsung minta duit. Dia pula yang menentukan jumlahnya. Kalau misalnya sejak sebelumnya sudah kita siapkan uang khusus untuk Kiai Sudrun, dia pasti menolak. Dia akan tunjuk uang yang jumlahnya lebih besar yang kita simpan.

    Dulu Neneknya Markesot diantar Markesot bertamu ke rumah Kiai Sudrun untuk menanyakan apa benar suaminya, yakni Kakek sambung Markesot, selingkuh dengan Jin. Nenek Markesot memang luar biasa pencemburu. Kalau pergi malam-malam dengan suaminya, lantas di dekat kuburan ada Kuntilanak atau Sundel Bolong, si Nenek ribut bukan karena takut ketemu hantu, tapi sibuk mengawasi jangan-jangan suaminya ada main dengan hantu itu.

    ***

    Pada kunjungan sebelumnya si Nenek pernah menyiapkan sejumlah uang untuk Kiai Sudrun, tapi ditolak dan Kiai Sudrun menyebut sejumlah uang sambil menuding arah dada Nenek. Ternyata memang Nenek bawa uang lumayan banyak diletakkan di dalam BH-nya, disisihkan sekadarnya untuk Sudrun. Akhirnya semua uang Nenek dikasihkan ke Kiai Sudrun.

    Kalau tidak karena curiga suaminya gendhakan dengan Jin perempuan, si Nenek tidak cenderung untuk menemui Kiai Sudrun lagi. Tapi apa boleh buat. Namun demikian karena pengalaman uang dalam BH dulu, si nenek kali ini agak salah tingkah begitu memasuki halaman rumah Kiai Sudrun. Spontan Nenek belok ke Musholla di depan sebelah kiri rumah Kiai Sudrun. Ia berwudlu, kemudian melakukan shalat.

    Tiba-tiba ketika si Nenek ruku` membungkukkan badan, tubuhnya disorong ke depan oleh Kiai Sudrun sambil berteriak — “Gak njaluk gaaaak!”. Saya tidak minta duitmu. Tidak. Begitu terjemahannya. Si Nenek terjerembab ke depan. Untung beliau petani tangguh yang badannya kuat dan sehat. Si nenek bangun terbata-bata sambil mendengar Kiai Sudrun tertawa terkekeh-kekeh dan berlari masuk rumahnya.

    ***

    Sebaiknya disebar suatu travel warning ke teman-teman dan siapa saja yang mungkin bisa dikasih tahu. Sekarang ini sedang susah-susahnya cari duit, jangan pula ketanggorKiai Sudrun untuk ia rampas uang kita.

    Kalau umpamanya ada yang terpaksa seperti Nenek Markesot tadi butuh ketemu Kiai Sudrun, datang saja sendiri. Jangan ajak teman, apalagi saudara atau famili. Nanti Kiai Sudrun bisa-bisa nyangoni bahan dan sumber konflik untuk pertengkaran sepulang kita dari rumahnya.

    Bayangkan kita diantar seorang kawan bertamu ke rumah Kiai Sudrun. Belum dipersilakan duduk, Kiai Sudrun sudah menuding-nuding kawan kita:

    “Harga lembunya sepuluh juta kok kamu bilang ke Bapakmu laku hanya tujuh juta?”

    Pernah ada Sekretaris Desa diajak temannya, Kiai Sudrun mendampratnya:

    “Uang bantuan desa kok malah kamu belikan semen dan kayu untuk ndandani rumahmu”

    Temannya Sapron dulu juga dimarah-marahi seolah-olah Kiai Sudrun itu Pakdenya:

    “Saya tidak suka sama kamu. Kamu ini pemarah. Temanmu di SMP sekarang jadi Bupati, sementara kamu tukang becak. Kenapa marah? Seharusnya Bupati itu yang frustrasi dan uring-uringan. Karena dia dicampakkan oleh Tuhan di kubangan yang banyak najisnya. Sedangkan kamu disayang Tuhan. Dilindungi dari malapetaka dunia. Kaki dan tanganmu disuruh menjalani ibadah tingkat tinggi tiap hari. Kok malah jadi pemarah”

    ***

    Sapron mengantarkan kakaknya sakit parah, perutnya mlembung besar, tersiksa luar biasa, sangat susah buang air besar. Badannya menyusut cepat. Beberapa kali ke dokter tidak ada yang bisa memastikan dia sakit apa. Mungkin karena ketika itu dokter belum punya alat teropong untuk melihat apa isi perutnya. Akhirnya menghadap ke Kiai Sudrun.

    Begitu melihat si pasien yang kurus pucat dengan wajah penuh derita, Kiai Sudrun malah tertawa terbahak-bahak. Keras dan lama sekali tidak berhenti tertawanya. Sapron disuruh membeli obat urus-urus. Kakaknya disuruh makan dulu sekuatnya kemudian minum serbuk itu.

    Dalam waktu tak ada satu jam kakak Sapron berlari mau ke belakang. Tidak bisa menahan ingin buang air besar. Sapron memapahnya dan mengantarkannya ke pakiwan. Sebentar kemudian Sapron ganti yang menderita. Ia mau mengucapkan kalimah-kalimah thayibah tapi pekewuh lha wong di dalam pakiwan. Mau tertawa juga ia tahan karena mungkin akan menyakiti hati kakaknya.

    Dari perut kakak Sapron pletok-pletok satu persatu keluar butiran-butiran klingsi, biji asam. Sapron dengan sabar dan telaten menemani perjuangan kakaknya, sambil diam-diam menghitung. 63 biji semua jumlahnya yang kost selama ini di dalam usus kakaknya.

    Lega hati mereka berdua. Kakak Sapron mulai tulus senyumnya. Bergegas Sapron menuntun kakaknya untuk bersegera melaporkan keadaannya kepada Kiai Sudrun serta menghaturkan beribu terima kasih. Tetapi sebelum masuk ke rumah, Kiai Sudrun sudah berdiri metenteng di depan pintu. Bertolak pinggang sambil masih tertawa-tawa kecil. Rupanya sudah memanggil dua becak pula.

    “Ayo!”, perintah Kiai Sudrun, “pergi ke toko kita. Tolong belikan saya mobil”

    ***

    Mau pingsan Sapron rasanya. Apa maksudnya membelikan mobil?

    “Mobil satu saja cukup”, teriak Sudrun dari atas becak. Sapron dan kakaknya di becak lainnya.

    Sapron tidak bisa menjawab. Gimana ini maksudnya.

    “Cukup satu mobil saja”, Kiai Sudrun mengulang, “tidak perlu 63 mobil. Klingsi kan murah harganya”

    Sapron berkeringat dingin, badannya gemetar. “Urusan klingsi saja kok imbalannya mobil”, Sapron menggerundal sendiri, “Dasar Wali Klingsi”

    Beli mobil pakai duit berapa Mbah, bukan sekadar pakai uang Mbah-nya siapa. Sapron frustrasi berat, sementara Kiai Sudrun nyanyi-nyanyi tertawa-tawa seperti anak belum masuk Sekolah Dasar.

    Alhasil becak meluncur beberapa kilometer, diarahkan oleh Kiai Sudrun. Berhenti di depan sebuah toko. Kiai Sudrun turun dan menyuruh mereka berdua pun turun.

    Sapron matanya kabur, pikirannya rusak, hatinya hilang. Setelah masuk toko mengikuti Kiai Sudrun baru pelan-pelan ia sadar bahwa ini adalah toko mainan anak-anak.

    Kiai Sudrun berjalan mantap seolah-olah ia pemilik saham mayoritas toko itu. Ia tidak melihat-lihat keliling, melainkan menuju ke suatu pojok yang sepertinya ia sudah tahu persis, bahkan seolah-olah ini semua adalah miliknya. Kiai Sudrun mengambil sebuah truk kecil terbuat dari kayu.

    Sapron terpana. Gusti Pengeran. Mobil-mobilan, truk-trukan. Belum sempat mengatur nafas Kiai Sudrun nerocos terus, “Terima kasih atas hadiah ulang tahun saya ke 67. Seharusnya hari ini saya masuk Gua, tapi demi klingsi, saya nunggu kedatangan kalian”

    Kemudian Kiai Sudrun menemui pelayan toko, minta tali, diikatkan ke bagian depan truknya. Lantas ia berlari keluar toko menyusur trotoar, menghambur menyeret truknya sambil berteriak-teriak riang gembira.

    ***

    Kelak, beberapa puluh tahun kemudian, ketika Sapron menceritakan pengalamannya itu kepada Markesot, seluruhnya sampai detail, Markesot terhenyak kaget.

    “Gua?”, kata Markesot, “Al-Kahfi. Ayat 67? ‘Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku’….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  17. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    ngiler.com


    Masih belum yakin untuk membatalkan keinginan ketemu Kiai Sudrun? Atau malah semangat untuk menangkap fenomenanya? Mau menafsirkan jenis kemakhlukannya? Mau meneliti dan menginterpretasi fenomena kasyaf-nya? Kiai Sudrun hanyalah lelaki tua yang dari tepian bibirnya selalu mengalir air liur tanpa henti-hentinya.

    Kiai Sudrun adalah ngiler.com.

    Ia berjalan, di dalam pagar tepi jalan ada kebun. Di kebun ada pohon mangga sedang berbuah. Ia yang badannya kecil kurus pendek meloncat-loncat, tangannya coba meraih salah satu buah mangga yang menggelantung ke luar pagar.

    Akhirnya Kiai Sudrun berhasil meraih mangga itu. Tapi segera tuan rumah pemilik kebun meneriakinya. Melarang ambil mangga dan menghardiknya. Kiai Sudrun gagal memakannya. Ia lemparkan ke dalam kebun, mengena ke pohon mangga yang ia ambil buahnya.

    “Ya sudah”, kata Sudrun sambil ngeloyor pergi, “kalau memang Pengeran (sebutan lokal untuk Tuhan) yang punya tanah dan pohon ini melarang saya menikmatinya, saya cari buah yang lain. Kebun milik Pengeran tidak ada batas keluasannya”

    Besok paginya pohon mangga itu rontok daun-daunnya, kering pohonnya, beberapa hari berikutnya mati.

    Sudahlah.

    ***

    Mau mendaftarkan diri agar Sudrun masuk, mengetuk pintu dan mengobrol dalam tidur kita? Mau melihat Sudrun main-main di beranda Masjid, buka sarung dan kencing ngathar diobat-abitkan di lantai tanpa ada bekas kencingnya?

    Mau disiksa oleh Sudrun mematikan semua lampu listrik di rumahmu dengan satu tepukan tangan? Gatal ingin menonton Sudrun meletakkan puntung rokoknya di atas rel sehingga keretanya terguling?

    Atau mau mendampingi dia tidur di pojokan guthekan Masjid, sarungnya tersingkap sehingga barangnya tampak?

    Makin malas dan bosan melihat dunia, manusia, masyarakat dan negara, sehingga mending mendengarkan ratusan kisah-kisah Kiai Sudrun? Dengan tujuan khusus agar orang-orang di sekitar kasih stempel sesat, musyrik, kafir, teman Setan dan calon penghuni neraka?

    Sementara lainnya mengklaim bahwa itu kisah-kisah khayal, tidak ilmiah, tidak realistis? Karena yang nyata adalah yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga dan tersentuh oleh perabaan?

    Apakah ada yang menyangka bahwa Kiai Sudrun punya keinginan, apalagi keperluan, untuk membuktikan dirinya? Untuk membela kebenarannya? Untuk mempertahankan martabat hidupnya? Coba jelaskan kepada Kiai Sudrun apa itu diri, apa kebenaran dan martabat hidup?

    Siapa pakar-pakar ilmu di muka bumi, ahli batin, jagoan kebijaksanaan, penguasa, sakti, mumpuni, orang besar, dukdeng, yang mewakili dunia untuk menguraikan hal itu? Berdoalah agar tidak membuka sarungnya, memancarkan kencingnya, atau mengambil dan menggenggam pisau panjangnya entah dari mana, kemudian ditusukkan ke dadamu, tanpa engkau terluka dan merasakan apa-apa.

    ***

    75 tahun sebelum terjadi luapan lumpur hingga menjadi lautan kecil di suatu wilayah, Kiai Sudrun bertempat tinggal di situ. Pada suatu sore ia berkata, “Nanti kalau lumpur muncrat dari perut bumi dan menenggelamkan daerah ini, saya tidak butuh ikut meminta ganti rugi”

    Di jengkal dan garis tanah tempat Kiai Sudrun berdiri itulah luapan lumpur berhenti. Kampungnya Kiai Sudrun tidak tenggelam oleh lumpur, namun daerah itu disebut Peta Terdampak. Karena penghidupan mereka terkena multi-efek dari perubahan geososial, geoekonomi, dan geokultural yang ditimbulkan oleh lumpur.

    Kiai Sudrun tidak termasuk di antara 13.200-an keluarga yang punya rumah baru berkat lumpur yang menenggelamkan rumah-rumah mereka, dengan harga lima kali lipat dibanding harga semula tanah dan rumahnya. Kiai Sudrun tidak terlibat dalam rezeki melimpah rumah baru, juga tidak terlibat dalam sikap kurang bersyukur dari ribuan orang yang dilimpahi rezeki itu.

    Alkisah terdapatlah satu makhluk Allah yang berasal dari suatu Planet luar bumi, diperintah oleh Ibunya untuk membangun rumah bagi 13.200-an keluarga itu, atau sekurang-kurangnya memberikan biaya agar mereka bisa mendirikan rumah-rumah yang lebih bagus dari sebelumnya.

    Makhluk itu ditimpa fitnah besar-besaran, ditindih kutukan besar-besaran dan dipenjara oleh kebencian besar-besaran. Hukum negara menyatakan ia tidak bersalah atas luapan lumpur itu, dan atas kepatuhan kepada Ibunya ia mengeluarkan uang triliunan untuk membangun rumah-rumah sebanyak itu. Dan yang diperoleh dari sedekah agungnya itu bukan rasa syukur dan ucapan terima kasih, melainkan kutukan, fitnah dan kebencian.

    ***

    Untunglah jika dilihat dari langit, ada Kiai Sudrun di wilayah itu. Meskipun tetap saja secara khusus para pengkufur nikmat yang kadar pengkhianatannya tinggi, sudah didaftar untuk memperoleh wabal dari hukum Tuhan.

    Ada yang pecah berantakan keluarganya, ada yang pabriknya diluluh-lantakkan oleh api, ada yang masuk penjara karena terbuka kedok kedhalimannya, ada pengusaha yang berubah menjadi karyawan pom bensin, ada yang sakit parah, dan bermacam-macam lagi.

    Khusus di wilayah itu dengan urusan lumpurnya, seorang makhluk Planet lainnya sejak awal menancapkan tonggak hukum Tuhan, bukan hukum negara, kepada semua yang terlibat: “Kalau kalian bersyukur, Kutambahi limpahan rahmat dari-Ku. Kalau kalian khianat, sesungguhnya siksa-Ku sangatlah dahsyat”

    Pancangan hukum Tuhan itu juga lambat atau cepat akan menimpa pelaku-pelaku negara, yang dalam persoalan lumpur bersikap tidak adil, lalim, mengambil keuntungan, dan tidak memperhatikan akhlaq kehidupan ciptaan Tuhan. Si makhluk kedua dari Planet itu juga menyatakan bahwa lulus tidaknya para penduduk lumpur di hadapan Tuhan di dalam meng-akhlaq-i masalah lumpur, akan menentukan bangkit atau hancurnya negara dengan sebagian rakyatnya.

    Ketika itu Kiai Sudrun yang mendorong dan memastikan pertemuan antara Presiden dengan perwakilan masyarakat yang kampung dan rumah-rumahnya ditenggelamkan oleh lumpur.

    Di waktu sekitar maghrib, di sebuah gardu pojok kampung tepian lumpur, Kiai Sudrun mendatangi salah satu anggota rombongan yang akan berangkat berunding dengan Presiden.

    “Jangan tidak berangkat. Sudah benar jalannya. Presiden menunggu tanpa terkait dengan protokol kepresidenan. Nanti Presiden hanya ikut runding, tapi bukan dia yang memimpin”

    ***

    Ada yang bertanya, kalau memang ada orang yang seaneh dan sesakti Kiai Sudrun, kenapa dia tidak bereskan kekacauan keadaan negara dan bangsa ini? Kenapa dibiarkan runyam berkepanjangan seperti ini.

    Kiai Sudrun aneh? Apanya yang aneh. Kiai Sudrun ya begitu itu. Kalau tidak begitu, malah aneh.

    Kiai Sudrun sakti? Mana ada yang sakti selain Tuhan? Apapun kekuatan, kehebatan dan kesaktian yang tampak ada pada manusia, Tuhanlah yang memilikinya.

    Kenapa tidak membereskan keadaan?

    Kiai Sudrun tidak pernah menciptakan dirinya sendiri. Tidak pernah mentakdirkan, merancang, dan menugasi dirinya sendiri. Untuk membereskan kekacauan ataukah untuk membangun keindahan, bukanlah Kiai Sudrun direktur utamanya. Bahkan Sudrun menjadi Sudrun bukan pula ia yang mengarsiteki dan mengaransirnya.

    Kalau ada yang menabrak Kiai Sudrun dengan tuntutan seperti itu, yang pasti ia dapatkan adalah ngiler.com.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  18. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Bimbingan Belajar Dajjal


    Hal lain yang diincar oleh Markesot untuk diserbukan ke Kiai Sudrun adalah kenapa sesudah era Nabi pamungkas Muhammad Saw Allah mengubah kebijakan-Nya. Baik policy dasarnya maupun detail regulasinya.

    Misalnya, pelaksanakan logika iman-berkah dan kufur-adzab oleh Allah sangat berbeda sebelum dan sesudah Nabi terakhir. Dulu kontan, sekarang bertahap, dicicil-cicil, bahkan ditunda hingga akhirat.

    Dulu kekufuran, pengkhianatan terhadap Maha Sangkan Paran bertabrakan langsung dengan tangan as-Syadid. Banjir bah, gempa, badai, pageblug, jutaan lalat menghisap darah memakan daging meremukkan tulang hingga kepala Raja Namrud dimasuki seekor lalat selama 400 tahun. Pokoknya Allah bersegera show of force.

    Rata-rata semua peradaban ummat manusia dihancurkan oleh Allah karena selingkuh dengan yang selain Allah. Sekarang Allah banyak hadir sebagai as-Shobur Maha Sabar, as-Syakur Maha Pensyukur. Allah tampak oleh manusia lebih mengedepankan ar-Rahman ar-Rahim, Maha Pengasih Maha Penyayang.

    Kalau memakai terminologi gender, sebelum Muhammad Saw Allah lebih bersikap ‘maskulin’, sesudah itu sampai sekarang lebih ‘feminin’, santun, mengayomi, melindungi, mengampuni, bahkan orang-orang yang mengkonstruksikan kelaliman internasionalpun seakan-akan malah ‘digendong-gendong’ oleh Allah.

    Taipan yang memperbudak politik nasional dininabobokan, dimanjakan. Pemimpin-pemimpin palsu, budak-budak pekatik-pekatik yang dipemimpin-pemimpinkan, jalan melenggang tanpa halangan apapun yang signifikan. Rakyat kecil dipermainkan hatinya, didustai pikiran dan pengetahuannya, dirampok hartanya, dikikis hak-haknya.

    Dan mereka yang melakukan itu seakan-akan tak akan bertemu dengan ketentuan Allah “barang siapa berbuat baik akan memperoleh balasan, barang siapa berbuat buruk akan mendapatkan balasan”

    Allah memang menyatakan “mereka melakukan tipu daya, dan Aku Maha Penipu Daya, biar Kukasih tenggang waktu sejenak….”

    Dan ratusan juta orang robek-robek hatinya, ambyar pikirannya, putus asa jiwanya menantikan berapa lama “amhilhum ruwaida” itu. Berapa generasi harus melewati kelahiran, kehidupan dan kematian untuk tiba pada era “wa makarallah”, zaman di mana Allah makar atas para penyelingkuh cinta-Nya, pengkhianat kemurahan-Nya serta pendurhaka hak-hak-Nya.

    ***

    Masalahnya para perampok hak-hak Allah di bumi, khususnya di wilayah perdelapan Khatulistiwa ini, berlaku seakan-akan mereka mendapat mandat dari hakiki eksistensi Al-Malik Al-Jabbar Al-‘Aziz Al-Mutakabbir dan banyak kuasa Allah yang lain, tanpa mendapatkan risiko apapun. Sekurang-kurangnya demikian batas yang bisa dilihat dan dipahami oleh keterbatasan ilmu manusia.

    Dengan modal keuangannya yang sangat dominan, dengan seluruh kelengkapan fasilitas kekuasaanya, perangkat keras maupun lunak, mereka menyandera mayoritas penduduk, melalui strategi yang membuat mereka yang disandera tak merasa disandera.

    Yang dipenjara malah merasa ditampung di rumah mewah. Yang ditindas malah merasa disayangi. Yang diperkosa malah merasa dicintai. Yang dirampok malah merasa disantuni. Yang dihina malah merasa bangga.Yang direndahkan malah merasa dijunjung. Yang dilecehkan malah berhimpun menjadi sahabat para peleceh.

    Pantaslah Markesot suka rengeng-rengeng:

    Terlalu lama mereka didustai
    sampai hanya Tuhan yang menemani


    Terlalu lama didustai, sampai tumbuh kesanggupan untuk ikhlas terhadap dusta, kebal terhadap dusta, sampai akhirnya mampu menyulap dalam khayalannya dusta-dusta itu menjadi seakan-akan anugerah.

    Ini semacam jaringan nasional dan internasional Bimbingan Belajar yang diselenggarakan oleh Dajjal. Atau semacam ‘Pesantren’ Kilat Dajjalisasi dan Dajjalisme.

    Dajjal?

    Siapa percaya Dajjal? Siapa percaya ada Dajjal?

    Itulah yang Markesot cemaskan sehingga dikejarnya Kiai Sudrun.

    Seluruh situasi dan keadaan ini sebenarnya merupakan wujud peremehan terhadap Tuhan. Tuhan dianggap tidak berkuasa, tidak bekerja, tidak berkehendak, tidak punya rancangan apa-apa, tidak menyusun Lauhil Mahfudh, bahkan pada hakikatnya seluruh perilaku mereka itu suatu pernyataan bahwa sebenarnya Tuhan tidak ada.

    Tuhan saja dianggap tidak ada. Apalagi Dajjal.

    Apalagi Markesot, yang sebenarnya tidak sukar dibuktikan bahwa ia belum pernah benar-benar ada, meskipun tidak bisa dikatakan bahwa ia aslinya tidak ada.

    ***

    Tahun-tahun terakhir ini bangsa santri Dajjal ini bahkan sangat mencintai dusta. Kangen kalau tak didustai. Mempertahankan kerinduan kepada pendusta. Mengangkat dusta sebagai pemimpin. Membelanya dengan sepenuh nyawa. Menegakkan Negara dengan Supremasi Dusta.

    Bagian dari bangsa yang sudah rutin dikursus oleh Dajjal, sebagaimana diketahui bersama sejak lama: menjadi sangat pandai untuk melihat kegelapan sebagai cahaya, menyangka neraka adalah sorga, meyakini kebatilan sebagai kebenaran, bahkan adzab dikira berkah.

    Jangankan mempelajari pemetaan dengan presisi tinggi untuk memilah yang mana rahmat yang mana barokah. Mereka para peserta kursus Dajjal bahkan bergembira ria ketika ditimpa adzab, dan kecewa bahkan marah tatkala dianugerahi barokah. Mereka berpesta pora membuang barokah dan membangun jaringan sahabat dan relawan adzab.

    Mata pandang para peserta didik Bimbingan belajar Dajjal ini memang dididik untuk jangan sampai memiliki spektrum dan perspektif untuk melihat adzab. Bebendhu-nya harus didesain tidak kasat mata. Kegelapan harus ditampakkan pada mereka sebagai cahaya. Penglihatan mereka hanya dilatih untuk melihat benda. Mereka dicanggihkan matematikanya, khusus untuk menghitung jumlah uang, serta membangun teknologi untuk memperluas kekuasaan dan penguasaan.

    Kalau ada penyair menulis, “sampai hanya Tuhan yang menemani”, mereka mentertawakannya.

    Tuhan menemani? Benarkah Tuhan menemani? Apakah mereka ingin dan mau ditemani oleh Tuhan? Apakah Tuhan sebegitu pentingnya? Bagi para santri Dajjal ini apakah Tuhan lebih urgen dibanding uang?

    Bahkan Tuhan ditantang, “Ayo Tuhan, silakan menemani mereka. Silakan. Seluruh tata kuasa, peta akses, ketersediaan modal, ada di genggaman tangan kami. Ayo Tuhan, silakan menemani wong cilik, kaum tertindas, mustadl’afin, madhlumin, ummat yang teraniaya. Bukankah mereka percaya bahwa doa orang teraniaya itu sangat manjur untuk Engkau kabulkan? Ayo, silakan kabulkan”

    ***

    Markesot sungguh rindu-dendam kepada Sudrun. Bagaikan terbang ia melacak keberadaannya.

    “Ya Allah
    Sudah tak bisa diperpanjang lagi
    Kesabaran mereka, ketabahan mereka
    Sesudah diremehkan dan dicampakkan


    Akhirnya akan sampai di sini
    Di arus gelombang yang sejati
    Kalau perahu itu adalah tangan-Mu sendiri
    Tak akan ada yang bisa menghalangi”


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  19. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Hidup Mati Berulang Kali


    “Aku berlindung kepada-Mu ya Allah, dari segala ingatan tentang rumah negaraku, beserta para pembantu rumahtangga yang kami bayar sangat mahal untuk merusak rumah kami, menaruh beban sangat berat ke hati kami, merancang pembangunan pecahnya kepala kami, menjual murah kekayaan kami dan menggadaikan martabat kebangsaan kami….”

    Markesot bergumam kepada dirinya sendiri, yang ia harapkan diterima oleh Tuhan sebagai doa.

    Ternyata Markesot sedang berjalan kaki menyusuri rel kereta api. Lurus, jauh, seakan berujung di cakrawala.Terutama sepanjang malam hari. Pada siang hari, ia terus berjalan hanya jika kiri kanannya sepi.

    Sangat jelas: jalan kaki menyusuri rel, dengan bunyi gerundalan dan doa seperti itu, apa lagi kalau bukan keputusan orang bingung, frustrasi.

    Atau putus asa. Atau gila.

    Kemungkinan besar Markesot sudah angkat tangan terhadap beban-beban permasalahan bangsa yang semakin kompleks, ruwet, silang sengkarut. Jangankan menyusun pikiran untuk menyelesaikannya. Sekadar menatapnya saja sudah pusing kepala. Apalagi merumuskannya, bisa retak kepalanya.

    Bahkan hanya coba menggambarnya saja, tidak ketemu garisnya, jarak ruangnya, lekuk-liku lipatan-lipatannya, ketidakteraturan kumpulan titik-titiknya.

    ***

    Tapi sudahlah. Keputusan yang paling masuk akal adalah melarikan diri entah berapa lama. Pergi, jalan kaki, menghindar dari wajah manusia dan setiap indikator negara, politik, kebudayaan, terutama pemerintah. Ngakunya mencari Kiai Sudrun untuk menumpahkan curahan hati.

    “Wahai Tuhan yang Maha Dermawan, kira-kira berapa lama lagi jatah waktu hamba untuk mengalami dan memprihatini komplikasi masalah-masalah ini. Sampai kapan hamba akan menanti perintah-Mu untuk turut mengatasi semua itu sebagaimana beberapa kali di waktu-waktu yang lalu. Sedangkan hamba bukanlah siapa-siapa yang layak mendapatkan perintah-Mu. Bahkan pun hamba bukan siapa-siapa di tengah manusia”

    “Kalau sampai habis jatah waktu hamba, dan belum apapun yang hamba lakukan untuk menolong keadaan ini, masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang waktu berikutnya dan berikutnya lagi? Sebab di dalam hitungan hamba, kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini memerlukan dua atau tiga kali hidupku”

    ***

    “Tidak terlalu menjadi masalah bagi hamba kenyataan bahwa ummat manusia dan bangsa tidak memiliki pemimpin. Sudah hamba kuatkan hati menyaksikan tanaman-tanaman tak bisa tumbuh karena tanahnya makin dirasuki narkotika dan airnya beracun. Melihat pohon-pohon kerdil karena dikuasai oleh benalu. Menatap kebun-kebun nangka yang kini ditanami cempedak. Memandang kambing dibedaki, dikostumi dengan celana, baju, jas, dasi dan sepatu, kemudian dijunjung dinaikkan panggung, dan diperkenalkan sebagai Satrio Piningit”

    “Hamba tangguh-tangguhkan hati untuk berada di tengah lalu lalang manusia hidup yang kehilangan proporsi, ketepatan, empan papan, pepantes, logika, ekspertasi, kematangan, kedewasaan. Hamba kuat-kuatkan bergaul dengan manusia-manusia yang tinggal jasadnya, tulang dagingnya, aksesori hedonisnya, ditambah sedikit perasaan yang kekeringan nurani dan akal yang hampir lenyap nalarnya”

    “Yang hamba sedang berjuang untuk kuat memanggulnya adalah kenyataan bahwa kebanyakan manusia sudah hampir total kehilangan pemahaman tentang Pemimpin, Kepemimpinan, Kasepuhan, Imam, Begawan, Punakawan, Panembahan, Ahlul-ahwal, Pawang, dan apa saja yang maqamat-nya menjaga keselamatan ummat manusia”

    “Karena kebodohan hasil keterperdayaan massal, mereka memilih, mengangkat, menjunjung dan mati-matian membela pendusta, penindas, perampok dan penipu, yang mereka sangka pemimpin. Hamba tidak tega melihat wajah-wajah mereka, hancur hati hamba membayangkan putra-putri mereka, anak cucu mereka, generasi demi generasi berikutnya, akan mengalami hidup yang bagaimana sesudahnya. Apakah jurang akan makin dalam, kubangan hidup makin busuk, kegelapan makin kelam, sampai akhirnya warna tinggal hitam”

    ***

    Begitulah. Kalau orang menyepi, ancaman pertama yang muncul adalah kecengengan. Kalau orang menyelinap ke jalanan-jalanan yang sunyi, dan yang ia panggul adalah kesedihan, jodoh yang mendatanginya adalah kecengengan. Mungkin yang terasa seperti kekhusyukan dan kedalaman, tapi sebenarnya ya kecengengan.

    Tapi ke mana pula tujuan Markesot pergi?

    Kalau Markesot sudah tahu ke mana, ia tak perlu melangkahkan kakinya. Ia berjalan justru untuk mencari tahu akan ke mana.

    Kan mencari Kiai Sudrun? Itu jelas. Tapi siapa bisa menunjukkan Sudrun ada di mana? Ia tidak bisa dicari di timur, barat, selatan ataupun utara. Juga tak bisa dikejar ke perut bumi atau di tembusan-tembusan angkasa. Bukan itu ukurannya.

    Andaikan saat ini jelas di mana Kiai Sudrun berada, jangan dipikir satu menit sesudahnya ia tetap berada di sana. Apalagi Kiai Sudrun itu jika berada di suatu tempat, ia bisa ada di tempat lain pula pada saat yang sama. Jangan marah, lebih baik meneruskan belajar fisika, ilmu gulungan ruang dan lipatan waktu, serta ketidakterbatasan semesta di mata benda dan otak manusia.

    Markesot pun tak cemas meski belum jelas tujuannya.

    Ah, tapi sebenarnya sangat terang benderang yang sedang dilakukannya: yakni melangkahkan kakinya. Terus melangkahkan kakinya, sampai pada suatu titik silang ruang dan waktu di mana ia akan menghentikan langkahnya.

    Manusia selalu sok tahu tentang tujuan hidupnya. Padahal alamat tujuan itu sudah tertera sangat gamblang di kandungan hati dan peta kesadaran pikirannya. Yang perlu dilakukan hanyalah terus melangkahkan kakinya.

    ***

    Yang tidak lazim adalah doa Markesot. “…masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang waktu berikutnya dan berikutnya lagi…?”

    Apa maksudnya ini? Nanti setelah mati mau hidup lagi? Mau kolusi dengan Tuhan supaya diberi kesempatan hidup tidak hanya satu kali? Kalau umpama iya, hidup yang kedua sebagai siapa? Tetap sebagai Markesot? Atau dititipkan kepada seorang bayi yang lahir sesudah kematiannya?

    Atau bukan jadi siapa, melainkan menjadi apa? Misalnya ular, kambing, burung elang, jin? Bagaimana kalau Tuhan kasih jatah kedua hidupnya Markesot tapi ditugasi menjadi prajurit Setan bawahan Panglima Iblis? Atau minimal Markesot lahir kembali sebagai hantu. Tapi kalau sekadar menjadi hantu, namanya tidak move on. Sekarang pun Markesot semacam hantu juga.

    Terus, coba dengar kembali, betapa sembrononya kalimat ini: “…sebab di dalam hitungan hamba, kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini memerlukan dua atau tiga kali hidupku….”

    Who do you think you’re, Cak Sot? Memangnya Sampeyan ini siapa? Nabi Isa? Ditarik sejenak oleh Tuhan dari medan perang, menunggu beberapa saat untuk dikembalikan menjadi Panglima melawan segala komplikasi dampak global Dajjal dan Ya’juj Ma’juj?

    Sedangkan Muhammad Saw kekasih Allah Swt, sedangkan seluruh Nabi dan Rasul, semua hamba-hamba suci dari Siti Maryam hingga Raden Syahid, hanya diberi jatah satu kali terlibat dalam kehidupan yang ini. Masih mending Nabi Nuh As dikasih durasi 900 tahun, padahal masterpiece ciptaan-Nya sendiri hanya 63 tahun.

    Jadi apa-apaan ini Markesot. Mau seperti Chairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”? Mau hidup mati hidup mati berulangkali? Memang ada skenario penciptaan seperti itu oleh Tuhan?

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  20. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Belajar Hidup Sesudah Mati


    Kemungkinan besar makhluk macam Markesot ini tergolong yang dimaksud Tuhan di dalam pernyataan dan informasi-Nya: “Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri, dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya”

    Kemudian, ”Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupannya di dunia, bahkan lebih loba lagi dibanding orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”

    Markesot melangkahkan kaki di tengah rel. Kalau dilihatnya di depan ada orang, ia segera menundukkan kepalanya. Pura-pura sibuk mikir dengan ekspresi wajah yang seolah sedang merenung. Ia berharap orang tidak menyapanya karena itu.

    Kalau ada kereta akan lewat, baik yang tampak jauh di depan, atau yang terasa getarannya dari arah belakang, Markesot menepi. Kalau ada sungai atau semacam lembah kecil, syukur ada rerimbunan pohon, ia bersembunyi. Ia khawatir di antara penumpang kereta api ada alumnus Patangpuluhan yang tak sengaja melihatnya, kemudian mengambil kesimpulan bahwa Markesot sudah semakin sempurna sakit gilanya.

    ***

    Markesot agak bingung memahami pemberitahuan dan teguran Tuhan: “dan sesungguhnya engkau telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah engkau tidak mengambil pelajaran untuk penciptaan yang kedua?”

    Ini maksud Tuhan berlakunya kapan? Kalau nasihat pembelajaran itu untuk dilaksanakan dalam kehidupan di dunia yang sekarang, “penciptaan yang pertama” itu maksudnya kapan? Dalam kehidupan yang sebelumnya?

    Kalau maksudnya adalah pada kehidupan yang sekarang, kenapa pakai kata-kata “penciptaan yang pertama”? Kenapa bukan, misalnya, “penciptaan di dunia”?

    Kalau ada penciptaan yang pertama, apakah itu berarti ada penciptaan yang kedua, ketiga, keseribu-lima-ratus dan yang berikut-berikutnya? Kalau Tuhan berkehendak ada penciptaan yang pertama, Ia berhak mutlak pula untuk menyelenggarakan penciptaan hingga ke berapa pun.

    Sebagaimana informasi dari Rasulullah Saw bahwa tadi malam Beliau diajak Malaikat Jibril untuk berisra`mi’raj. Sekarang kita tak sengaja menyimpulkan Rasulullah Saw berisra`mi`raj satu kali. Padahal tidak ada bagian dari informasi itu bahwa beliau berisra`mi`raj hanya satu kali. Andaikan ternyata beliau naik hingga langit tujuh seminggu dua kali, apa kita marah dan membantah?

    Ataukah “penciptaan yang pertama” itu maksudnya di dunia, dan yang kedua kehidupan di akhirat? Tetapi kalau manusia sudah menjalani akhirat di sorga ataupun neraka, apa perlunya pembelajaran dari dunia “penciptaan yang pertama”? Di sorga kita tidak berjuang dan belajar lagi, tinggal menikmati. Di neraka apalagi. Mustahil di neraka ada klub pembelajaran bersama.

    Jadi, belajar hidup sesudah mati yang ditegurkan oleh Tuhan itu maksudnya kapan? Kalau di akhirat kan tidak mungkin.

    ***

    Tuhan langsung yang menginformasikan: “Mereka tidak akan merasakan mati di dalam sorga kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka”

    Di sorga tidak ada kematian, jelas. Kholidina fiha abada. Kekal abadi. Meskipun kekal abadinya makhluk tetaplah relatif dan tergantung keputusan Tuhan yang mutlak kekal abadi-Nya.

    “Kecuali mati di dunia”? Apakah “di dunia” itu berarti hanya di bumi sini dan hanya sekali, yang sedang kita alami? Pelajarilah betapa besar dan agungnya alam semesta, kemudian tertawakanlah betapa tak seperseribu-debu-pun bumi kita. Perhatikanlah tak terjangkaunya ruang dan waktu oleh pengetahuan manusia, kemudian pikirkanlah bahwa Tuhan hanya mendayagunakan seperseribu debu yang bernama bumi, dan mengambil durasi kehidupan makhluk yang seper-tak-terhitung dari bagai tak berujungnya waktu.

    Kita manusia di bumi adalah makhluk besar kepala, merasa paling hebat dan paling pandai. Dan siapakah di antara manusia yang menjawab pertanyaan awal tadi: “dan sesungguhnya engkau telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah engkau tidak mengambil pelajaran untuk penciptaan yang kedua?” — kapan dan di mana berlakunya?

    Markesot nekat bermanja kepada Tuhan, ia bergumam : “Matikanlah hamba sekian kali….”

    Dan itu agak menjebak, karena di sebaliknya ada kalimat yang tidak Markesot ucapkan:

    “Hidupkanlah hamba sekian kali”.

    Karena bagaimana mungkin ada kematian bisa dilaksanakan jika tak didahului oleh kehidupan.

    “Terserah ketentuan-Mu ya Tuhan, berapa kali Engkau matikan aku sesudah sekian kali Engkau hidupkan. Terserah Engkau kau hidupkan aku sebagai siapa atau apa, di mana atau tak di manapun, tetap di bumi ini atau di salah satu satu triliunan bumi yang lain. Terserah Engkau pula kapan hal itu Engkau laksanakan. Langsung boleh, agak ditunda aku akan bersabar, belakangan pun aku bersedia”

    ***

    Belum diteliti apakah sejak Nabi Adam dulu sudah pernah ada manusia yang mengemukakan hal semacam itu kepada Tuhan.

    Sebenarnya perlu dicari maksud baiknya Markesot. Mungkin karena selama ia menjalani hidup di dunia yang sekarang ini ia merasa kurang berguna bagi sesamanya, sehingga ia melamar kepada Tuhan “give me the second chance”, beri hamba kesempatan kedua.

    Kalau agak muluk-muluk, mungkin Markesot menyimpulkan bahwa kompleksitas kerusakan yang dibangun oleh ummat manusia sudah sampai pada tahap di mana Markesot tidak mungkin mampu turut mengatasinya. Juga ia sudah semakin berumur. Tak ada waktu lagi untuk perjuangan dengan multisolusi peradaban yang kelihatannya memerlukan hidup tiga atau empat kali.

    Jadi tidak mudah juga untuk memastikan bahwa gagasan Markesot itu salah seratus persen. Kalau itu gila dan terlalu liar, lebih mendekati kebenaran. Lha Tuhan sendiri menyatakan dengan tegas, “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal tadinya kamu mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, dan akhirnya kepada-Nya kamu dikembalikan?”

    Kalau mati adalah ujungnya hidup, kalimat “padahal tadinya kamu mati” itu maksudnya bagaimana. Kalau “tadinya kamu tidak ada”, agak mudah dipahami.

    Lantas “…lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, dan dihidupkan-Nya kembali…” — itu hitungan angka padat — hidup, mati, hidup, mati — ataukah ia bisa berarti tanpa batas hitungan: hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati…baru mencapai final dan kita dilantik menjadi juara di sorga, atau menjadi makhluk kalah melawan dirinya sendiri di neraka.

    Dan sepertinya Markesot belum begitu cocok untuk disebut sebagai seorang musyrik yang berkata, sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Quràn: “Tidak ada kematian selain kematian di dunia, dan kami sekali-sekali tidak akan dibangkitkan”

    Dia bahkan agak rakus kebangkitan.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  21. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Para Filosof di Rongsokan Gerbong


    Menjelang tengah malam Markesot berhenti di sebuah stasiun dan kelihatannya akan bermalam di situ.

    Di sejumlah stasiun kereta api ada gerbong-gerbong lama yang terbengkalai. Dipakai sudah tidak layak, dibuang tidak ada tong sampah yang cukup untuk memuat gerbong kereta. Gerbong rongsok itu oleh sejumlah orang yang mengerti ilmu hidup biasanya dijadikan bermanfaat. Misalnya untuk tempat tinggal, untuk sementara waktu atau seterusnya kalau mungkin.

    Di dalam gerbong sampah itu mereka berteduh dari panas dan hujan. Untuk tidur jika malam. Atau untuk ngrumpi sesekali dengan sesama handai taulannya untuk saling mengungkapkan filosofi-filosofi kehidupan, kebijaksanaan, kesabaran dan ketabahan.

    Di antara para filosof itu ada yang bujangan, ada yang bersama keluarganya. Tujuan mereka berkomunitas di dalam gerbong rongsok itu antara lain untuk menjaga jangan sampai ada barang atau sesuatu yang tidak bermanfaat. Secara khusus mereka juga melaksanakan suatu wisdom, misalnya, melatih dengan lelaku total untuk ikhlas tidur di tempat yang semua manusia tidak mau tidur padanya.

    Mereka juga memakan makanan yang bisa dikatakan semua orang tak ada yang mau memakannya, dan itulah sebabnya mereka membuangnya karena dipahami sebagai sisa-sisa makanan. Mereka pun memakai pakaian yang hampir bisa dipastikan semua orang tak mau memakainya. Demikian pula dalam hal-hal lainnya.

    ***

    Komunitas filosof itu merasa kasihan kepada kebanyakan orang yang hidupnya sangat ringkih dan penuh ketergantungan. Hampir semua orang harus makan makanan sehat agar tidak sakit, sementara para filosof itu hampir tidak pernah sakit meskipun memakan makanan yang dibuang orang ke tong-tong sampah, yang sudah tidak segar, sudah basi dan sama sekali tidak enak rasanya.

    Para filosof heran kenapa orang baru bisa makan kalau makanannya enak dan segar. Kenapa penduduk bumi baru memakai pakaian kalau pakaiannya bagus, bersih, halus dan necis. Kenapa makhluk di dunia ini baru bisa tenang hatinya kalau sudah punya rumah sendiri, ruangan tertutup sendiri, ranjang tidur sendiri, kamar mandi sendiri. Kalau mereka masih menyewa, mereka merasa belum sukses hidupnya, bahkan merasa belum ‘jadi orang’.

    Komunitas filosof itu tidak bisa memahami kenapa untuk menjadi orang, makhluk-makhluk Tuhan mempersyaratkan bahan-bahannya adalah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, bahkan kekayaan dan kemegahan. Padahal semua itu tidak terlalu ada kaitannya dengan orang.

    Bahkan kabarnya dalam rangka memperjuangkan diri menjadi orang, para penghuni bumi ini merasa penting untuk menyakiti orang, membohongi orang, menganiaya orang, menindas orang, mencuri milik orang, menyingkirkan orang, sampai-sampai juga rela menyelenggarakan peperangan di antara sesama orang, membunuh berjuta-juta orang, dan semua itu tujuannya adalah agar menjadi orang.

    ***

    Demikianlah di dalam gerbong-gerbong buangan orang itu para filosof biasanya melepas lelah di bawah atap gerbong itu sesudah mencari sisa-sisa makanan sekitar restoran, mal, supermarket, atau rumah orang-orang kaya.

    Terus terang, kehidupan di gerbong-gerbong semacam itu adalah bagian sangat penting dari kehidupan Markesot berpuluh-puluh tahun. Tapi tidak perlu lantas berpikir atau apalagi menuduh sesungguhnya Markesot adalah seorang gelandangan. Apalagi hanyalah seorang gelandang.

    Orang hidup mungkin cuma sekali, dan sangat pendek waktunya, sehingga tidak perlu diluangkan untuk mendengar jawaban Markesot terhadap tuduhan bahwa ia gelandangan:

    “Memang cita-cita saya adalah menjadi gelandangan. Kalian keberatan? Dan karena keberatan itu maka kalian selalu mengganggu-ganggu saya, menanyakan ini-itu tak ada habisnya, minta tolong sana-sini tak ada ujungnya, tak ada batas jenis urusannya, tak ada kemenentuan ragam urusannya? Sehingga saya selalu harus mengalah, tidak pernah benar-benar punya waktu untuk menikmati cita-cita saya”

    Pastilah pandangan masyarakat umum sukar meletakkan pola pikir hidup Markesot itu dalam peta nilai yang mereka pakai secara umum sehari-hari. Dalam konsep sosial, filsafat kebudayaan atau tata nilai peradaban apapun sejak Nabi Adam hingga sekarang, tidak pernah ada fenomena bahwa seorang manusia hidup di bumi bercita-cita menjadi gelandangan.

    Cita-cita itu ya menjadi Kepala Gudang, sopir bis, teknisi mesin kapal, kasir Bank, semacam-semacam itu. Atau agak meningkat sedikit: jadi Camat, insinyur, dokter, ustadz, dukun, tabib, yang begitu-begitu. Atau minimal bercita-cita ingin menjadi Presiden, Menteri, Ketua Parlemen, Raja atau Ratu, orang terkaya se-Negara, syukur sedunia.

    ***

    Bercita-cita itu yang agak pantaslah. Cita-cita kok jadi gelandangan. Mestinya gantungkan cita-citamu setinggi langit, ini Markesot kok malah bercita-cita menjadi gelandangan, tidur di gerbong-gerbong rongsokan.

    Tapi bagi siapa saja yang sedikit mengenal latar belakang riwayat Markesot, hal itu agak sedikit bisa dipahami. Kira-kira yang dijadikan model oleh Markesot bab gelandangan itu kalau tidak Mbah Dul ya Gus Rur. Mereka berdua ini memang gelandangan kaliber besar.

    Mbah Dul ini orang cukup kaya, putra-putrinya beres sekolah dan gambaran masa depannya. Ketika anak-anaknya sudah berkeluarga semua dan mapan hidupnya, Mbah Dul menjual rumahnya, kemudian dibelikan tanah dan ia dirikan Masjid. Setelah Masjid berdiri, beres kepengurusannya, Mbah Dul menghilang jadi gelandangan.

    Benar-benar gelandangan. Benar-benar tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit. Kumuh. Kotor. Tidak pernah mandi. Jalan kaki terus siang malam entah ke mana saja. Kalau malam cari tempat di pojok luar pasar atau sudut bangunan untuk menggeletak.

    Makan minum cari di tempat sampah atau buangan makanan lainnya. Tidak pernah minta-minta atau mengemis, kecuali sesekali kepada orang yang ia pilih dengan pertimbangan yang ia sendiri yang tahu. Awal-awalnya kepalanya dikerudungi, mungkin khawatir dikenal orang. Tapi lama-lama kerudung ia lepas, karena toh wajahnya sudah menghitam, rambutnya gimbal dan seluruh penampilannya sudah bukan orang lagi.

    Kalau melihat hidupnya, sukar membayangkan Mbah Dul pernah melakukan shalat. Sayang seribu kali sayang di masa hidup Mbah Dul belum ada gerakan Takfiry, arus golongan orang beragama yang tugasnya khusus menjadi Dewan Juri iman orang lain, memberi semacam sertifikat bahwa orang itu kafir, musyrik, sesat, diadzab Tuhan dan masuk neraka.

    Andaikan ketika itu sudah ada arus global Takfiry, insyaallah ramainya kebencian dan pertengkaran di antara Kaum Muslimin bisa dimulai sejak dulu, tidak perlu menunggu lama sampai era saat ini.

    Memang semua itu indah dan menggiurkan. Tidak heran kalau Markesot terpesona untuk mengikuti jejak Mbah Dul.

    Tapi mengikuti jejak yang mana? Berkeluarga dan mencukupi putra-putrinya sampai mapan berkeluarga? Tidak. Membangun Masjid? Tidak. Yang ditiru Markesot hanya gelandangannya.

    ***

    Gus Rur? Beliau ini punya Pesantren. Menata segala sesuatunya, menyiapkan bangunan-bangunan untuk mengaji dan tempat tinggal para santri. Ustadz-ustadznya pun disiapkan infrastruktur penghidupannya.

    Pembagian tugas dan manajemen pembelajaran sudah diatur sedemikian rupa, sehingga Gus Rur merasa aman, kemudian menghilang, pergi jalan kaki tanpa membawa tas atau bekal apapun. Hanya pakaian yang dipakainya. Selebihnya, berideologi seperti ayam kampung, kucing liar atau burung-burung yang merdeka.

    Lha Markesot nggelandang tapi Pesantrennya mana?

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.