1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Than A Tasteful Floccinaucinihilipilification, It's A Vengeful Cerulean

Discussion in 'Dear Diary' started by Banksy, Nov 5, 2016.

  1. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Ta`dib dan Kepala Dinas Tipudaya

    Wajah Markesot tampak memancarkan kegairahan yang berbeda, ketika dan sesudah mendengar kisah tentang Rombongan-Alkisah dan Bapak Menuntun Anak berjalan lurus ke Hajar Aswad.

    “Rupanya bukan hanya teman-teman saya ini”, Markesot membisiki dirinya sendiri, “Saya sendiri pun diam-diam lebih siap dan senang kalau ada makanan yang sudah jadi, tinggal mengangakan mulut dan mengenyamnya”.

    Bagaimanapun pada setiap orang selalu ada rasa malas kalau dikasih bijinya saja, harus menanam, berjuang menumbuhkan, menyirami, memelihara dan menjaga kesehatan tanaman. Seluruh anak-anak Bangsa dan generasi muda di jaman mutakhir ini dihanyutkan oleh arus yang menanamkan pembiasaan untuk konsumtif, dan sangat sedikit prosentase pembiasaan untuk kreatif.

    Pendidikan yang mereka terima sehari-hari, di Sekolah maupun di kehidupan sehari-hari, adalah menelan makanan matang. Bahkan makanan mentah pun sering dipaksakan untuk disuruh telan. Anak-anak Bangsa tidak dibukakan pintu kemungkinan ke hari depan bahwa ada ‘matang’ yang berbeda, ada ‘formula matang’ yang tidak sama dibanding yang pernah ada, ada cakrawala di depan, bukan hanya ada tanah yang dipijak oleh telapak kaki sekarang ini.

    Maka Markesot berpendapat, tetap penting membawa anak cucu dan para jm untuk memutari ‘Daurah’, recycling, menjalani langkah ke depan yang kelihatannya lurus namun sebenarnya berkeliling. Berkeliling tidak hanya kanan ke kiri atau kiri ke kanan. Melainkan bisa tak terbatas daur arahnya, belakang ke depan dan depan ke belakang, termasuk menapaki derajat dan lintang arah yang tak terbatas jumlahnya.

    “Maka biar saja mereka menulis, membaca dan mendengarkan sesuatu yang membuat mereka merasa sedang makan keremangan dan menelan kegelapan”, Markesot berpikir, “kalau perlu lebih lama dan lebih panjang mereka merasakan itu. Karena anak cucu dan jape-methe menjadi anak cucu dan jape-methe justru karena mereka bukan “bukan anak cucu dan jape-methe”. Sebab otak mereka dianugerahi ‘aql oleh Allah. Otak mereka bukan otak ayam atau kambing. Otak mereka berwujud gumpalan misteri dengan puzzling milyaran urat syaraf, bukan bentang lulang lembu atau kerbau”.

    Kalau nanti mereka tidur ngorok lagi, Markesot akan tidak hanya meledakkan cambuk, tapi mungkin akan mengangkat rumah mereka dipindahkan ke tempat yang jauh, sehingga teman-temannya terbangun di bawah atap langit.

    ***

    Kita sedang basah kuyup oleh hujan deras, sehingga sebelum duduk bersama bercengkerama dan belajar melanjutkan hidup — diperlukan mencuci sejumlah pakaian dulu, menyeterika beberapa lainnya, kemudian berpikir ulang untuk memilih baju yang mana yang akan kita pakai, sesudah mengalami perubahan pandangan-pandangan.

    Sudah jelas semakin banyak kemudlaratan zaman yang diawali dengan kata, sehingga untuk mengatasinya kita perlu berunding ulang dengan setiap kata, setiap makna dan nilai. Yang seolah-olah paling gampang adalah kita bersama-sama menyingkir ke daerah yang sejauh mungkin dari peradaban rimba yang sedang berlangsung, mencoba babat alas kembali, menata tanah dan tetanaman lagi, memperbanyak kerja dan berpuasa dari kata-kata yang kita angkut dari peradaban yang kita tinggalkan.

    Akan tetapi keputusan menyingkir secara fisik dan teritorial semacam itu adalah sikap yang kurang jantan, tidak mencerminkan ketangguhan, dan merugi secara pencarian ilmu. Maka kita “lompat masuk” atau sekurang-kurangnya tidak “lompat keluar” dari wilayah kehidupan yang sangat membebani dan menyiksa. Kita terus terjang hujan deras dan terus mengarungi rimba belantara, tetapi tetap dengan tak berhenti memperbarui diri kita, pandangan hidup kita, pertimbangan-pertimbangan kita secara akal, mental, emosi dan rohani.

    ***

    Sekarang bahkan kutambahkan kata-kata baru buat anak cucuku dan para jm dari Padhangmbulan Jombang. Itu pun belum akan kukemukakan secara menyeluruh, hanya mengambil penggalannya yang kita perlukan pada tahap ini.

    Terhadap para Guru dan siswa di Sekolah Padhangmbulan, diterapkan halaqah ilmu kehidupan di luar jam-jam pelajaran, yang bernama Ta’dib. Ini suatu proses yang terbalik dari yang bisa dilakukan dan dialami oleh mereka yang mengajar maupun yang belajar.

    Para Guru kulakan pengetahuan, atau mengambil rangsum dari Pusat Pendidikan Nasional satu dua kilogram bahan yang disebut ilmu, kemudian disalurkan secara bertahap kepada murid. Para siswa, puluhan siswa di seantero Negeri, adalah ember yang dituangi barang-barang, cairan yang bernama ilmu pengetahuan, yang dipersilahkan untuk langsung diminum, ditelan, dipercaya, dimasukkan ke dalam aliran darah, dan menjadi bagian terpenting dari kehidupan mereka.

    Dalam proses Ta’dib mereka tidak dituangi, tapi justru diproses untuk kosong kembali, baru kemudian digali kemungkinan-kemungkinan dari dalam diri mereka masing-masing. Kemungkinan itu bisa bakat, kecenderungan, potensi, susunan faktor-faktor yang ditakdirkan Tuhan pada diri setiap orang. Bisa juga sisa-sisa ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang sudah mengendap, sudah mengalami sublimasi di dalam proses hidup mereka.

    Di dalam proses penggalian, para siswa diajak mengembarai berbagai kemungkinan memahami, menafsirkan, menganalisis, mendalami, menghayati, sekaligus membiasakan diri bersentuhan dengan berbagai macam output atau hasil multi-pemahaman itu.

    Satu-satunya yang kita izinkan untuk dituangkan adalah informasi dan bahan-bahan dari Tuhan yang terpapar di Kitab Suci. Itu pun dibarengi dengan kejernihan memahami dan ketahanan mental untuk tidak geram terhadap hasil pemahaman yang tidak sama atau apalagi yang bertentangan.

    ***

    Ta’dib itu, supaya tidak menjadi kelas pembelajaran bahasa, maksudnya “pem-beradab-an”. Proses pembelajaran, tidak harus pengajaran, untuk menjadi manusia beradab.

    Manusia melangkahkan hidupnya harus dengan seluruh kelengkapannya. Kelengkapan itupun bukan barang jadi dan tidak pernh final. Ada proses perapuhan, tahap pengelupasan, daun menguning dan tumbuh semai baru yang hijau, tahap kematian-kematian dalam waktu yang bersamaan dengan itu muncul kelahiran-kelahiran baru.

    Maka secara irama dan tahap, Ta’dib dibangun dan dijalani melalui tahap Ta’lim, dari tidak atau belum tahu menjadi tahu. Tafhim, dari belum paham menjadi paham. Ta’rif, tahu, paham tapi belum benar-benar mengerti, sehingga memerlukan tahap ini. Kemudian Ta’mil atau Taf‘il, banyak orang tahu dan paham, bahkan berhasil mengerti, tapi belum tentu bisa atau mampu melakukannya. Dan puncaknya Takhlis. Tahu paham mengerti dan bisa, tapi tidak ikhlas mengerjakannya.

    Ternyata di antara tahapan-tahapan itu terkandung seluruh persyaratan segala ilmu dan pengetahuan, yang tradisional maupun yang modern, yang bumi maupun langit, yang sekolahan maupun yang pasar, yang metropolitan maupun yang sawah ladang. Di dalam kemenyeluruhan Ta’dib kehidupan, tidak ada satu hal pun yang tidak berkaitan dengan hal yang lain. Sebab akibat, kausalitas, hulu hilir, pangkal ujung, dunia akhirat, semua bersambungan satu sama lain.

    Dan ternyata pula, sekedar menempuh jarak antara tidak atau belum tahu menuju tahu saja, setiap anak manusia sudah tercampak ke dalam hutan belantara dan diguyur hujan deras hampir tiada taranya. Ternyata seluruh persoalan peradaban, kebudayaan, politik, ummat, masyarakat, rakyat, negara, golongan, kelompok, klub, juga individu per orang, kasusnya adalah ketidaklulusan ujian di antara tidak tahu ke tahu.

    Anak cucuku dan para jm sebaiknya mencatat, bahwa yang sesungguhnya terjadi tidak hanya kasus tidak lulus ujian untuk tahu, tetapi sesungguhnya kehidupan di dunia ini dikuasai oleh sekelompok dan sejaringan penjajah penipu pendusta yang salah satu program utamanya adalah membuat sebanyak mungkin penduduk dunia untuk jangan sampai tahu.

    Variasinya bukan hanya jangan sampai tahu, tapi juga tahu terbatas saja, tahu yang sebenarnya bukan tahu, seakan-akan tahu, ketidaktahuan atas tahu dan tidak tahu atas ketidaktahuan.

    Bingung? Berhentilah membaca. Sobeklah kertas dan buang tulisan ini. Berhentilah mencari pengetahuan tentang hidupmu sendiri. Bersegera mendaftarlah kepada para penguasa pendusta penjajah penipu, baik untuk terus ditipu asal dikasih makan, atau engkau akan naik pangkat menjadi bagian dari sistem dusta. Syukur engkau diangkat menjadi Kepala Dinas Tipudaya.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Al-Browsingul Karim

    Anak cucuku dan para jm sudah tahu bahwa ini meja dan itu kursi. Tetapi engkau pasti juga memahami bahwa sebutan meja dan kursi itu tidak berlaku bagi orang lain di luar lingkaran perjanjian kelompokmu. Dan yang paling pasti nama meja dan kursi itu tidak berlaku bagi meja dan kursi itu sendiri.

    Apakah engkau tahu? Apa yang kau ketahui? Apakah engkau benar-benar tahu? Seberapa kadar tahu-mu? Bagaimana menilai apakah engkau benar-benar tahu atau sebenarnya yang kau pikir tahu itu ternyata tak tahu? Kalau engkau merasa tahu, apakah itu juga berarti engkau yakin bahwa engkau tahu?

    Apakah bagi yang bukan dirimu engkau benar-benar tahu? Ataukah diam-diam sebagian dirimu merasa tahu tetapi sebagian yang lain menuduh sebenarnya engkau tahu? Tahukah engkau bahwa hubungan antara tahu dengan dirimu ini bisa kita salami dan temukan detailnya, micro nanonya, sampai tak terhingga?

    Dari mana engkau tahu? Dari siapa engkau berubah dari tidak tahu menjadi tahu? Apakah benar kau bisa percaya siapapun atau apapun yang memberimu tahu? Apakah kau tahu tentang yang memberimu tahu sehingga kau yakini tahu-mu itu sebagai sungguh-sungguh tahu? Bagaimana kalau tahu-mu itu hasil dari kebohongan orang yang tahu tidak sebagaimana yang kau tahu? Atau tahu-mu itu produk dari dusta orang yang memberimu tahu?

    Anak cucuku dan para jm, ini pertanyaan bisa berkembang secara deret hitung dan bisa membengkak secara deret ukur. Tahukah engkau bahwa tahu-mu bisa jadi merupakan bagian yang paling rendah dan rentan dari tidak tahu-mu?

    ***

    Anak cucuku dan para jm jangan omong seperti sahabat-sahabatmu yang kurang pergaulan bahwa “kalimat-kalimat sangat filosofis…” — Nanti malah timbul masalah dan pertengkaran antara engkau dengan kata filsafat, filosofis, falsafi, failasuf.

    Baiklah engkau mendarat di bumi, memilih contoh yang bersahaja. Engkau dikasih tahu oleh Gurumu tentang sesuatu. Apakah Gurumu itu tahu karena dirinya sendiri atau ia juga dikasih tahu oleh Gurunya sebagaimana ia mengasih-tahumu? Gurunya Gurumu itu dikasih tahu oleh siapa? Oleh Gurunya juga?

    Kalau nasab tahu-mu itu kita gambar, kau tahu dikasih tahu oleh Gurumu yang dikasih tahu oleh Gurunya yang dikasih tahu oleh Gurunya, oleh Gurunya, Gurunya, Gurunya, sampai berapa jauh dan panjang? Seberapa mungkin terjadi distorsi, pembiasan, pembengkokan, penyelewengan bahkan pembalikan dari tahu-nya Guru yang jauh di atas Gurumu itu dengan tahu-mu?

    Itu baru soal tahu. Belum tahap paham, mengerti, bisa dan mau hingga ikhlas. Anak cucuku dan para jm hidup di dalam dan bersama masyarakat dunia yang sudah menggenggam pemahaman, sudah memiliki pengertian, sudah melatih kebisaan, bahkan sudah sangat melakukan baik ikhlas atau tak ikhlas — namun sesungguhnya masih belum selesai persoalannya dengan soal tahu.

    Tentu saja hidup ini tidak menuntut sebegitu detail, jernih dan mendalam atas apapun. Akan tetapi anak cucuku dan para jm akan lebih terang benderang menempuh masa depan apabila mengerti bahwa engkau semua ini merupakan bagian dari hutan belantara ketidaktahuan dan hujan deras ketidakpahaman.

    ***

    Baiklah anak cucuku dan para jm ambil jalan pintas saja: engkau sedang memasuki dunia maya?

    Dari dunia yang engkau sendiri menyebutnya “maya” itulah engkau mengambil “tahu” tentang segala sesuatu yang kau yakini tidak “maya”. Apakah engkau tahu siapa yang memberimu tahu itu di dunia maya? Bagaimana caramu meneliti bahwa yang memberimu tahu itu bisa engkau percaya untuk mengubahmu dari tidak tahu ke tahu?

    Mungkin sejumlah data teknis yang kasat mata dan bisa diverifikasi secara wadag dan akademis, tidak sedemikian besar bahayanya bagimu. Tetapi niat di balik penyebaran data itu, pamrih, kepentingan, subversi, provokasi dan berbagai kemungkinan politik dan penguasaan, di belakang sesuatu yang engkau yakini bahwa engkau tahu itu — seberapa tahukah engkau?

    Engkau masuk dan bangga menjadi bagian dari semesta maya. Apakah di dalamnya engkau subyek ataukah obyek? Apakah tahu-mu dari dunia maya itu berposisi jernih sebagai pengetahuan itu sendiri, ataukah merupakan bagian dari suatu susunan irama informasi yang di terminal tertentu nanti engkau baru tahu bahwa engkau sedang dijebak?

    Engkau bangga karena engkau merasa menjadi pelaku Era Informasi dan Komunikasi? Apakah engkau berposisi sebagai pengambil keputusan tentang nilai-nilai yang disebarkan? Ataukah engkau adalah narapidana yang dikurung di dalam sel-sel yang sebenarnya tertutup, tapi seolah-oleh penuh keterbukaan oleh penyebaran nilai-nilai?

    Engkau merasa sebagai bagian dari suatu pergaulan global internasional, padahal menu makanan minuman informasi yang tersedia di sel-sel penjaramu direncanakan dengan seksama, strategis dan terukur, dan engkau mengenyamnya dengan lahap dan penuh kebanggaan?

    Ataukah engkau sebenarnya adalah pasien yang dipersilahkan minum “pil” sehari sepuluh kali, yang engkau tak benar-benar mengerti apakah yang engkau minum itu alat penyembuhan ataukah racun yang membunuh sejumlah faktor mendasar dari otak, akal dan jiwamu?

    Kalau data dan fakta tentang labirin dan detail ini itu di dunia, sepanjang engkau memegang metodologi selengkapnya untuk memverifikasi, memfilter dan menemukan tetesan esensial dan substansialnya, tentu sangat berguna. Tetapi bagaimana kalau yang kau makan dan minum di sel-sel itu diam-diam menanamkan nilai ke dalam mesin berpikirmu? Ke jalannya darah nilai-nilai kehidupanmu?

    Merasukkan benih-benih baru ke tanah dan akar kejiwaanmu? Atau minimal mengikis pepohonan nilai yang seharusnya jangan sampai terkikis, dan menumbuhkan tanaman prinsip dan pola pandangan yang semestinya jangan sampai tumbuh kalau engkau ingin tidak terjebak oleh kehancuran di hari esokmu?

    ***

    Bukankah engkau sedang disandera di tengah kegelapan hutan belantara dan diguyur oleh hujan sangat deras yang engkau kewalahan untuk tahu? Apalagi paham? Apalagi mengerti? Apalagi bisa atau mampu mengantisipasinya? Apalagi ikhlas untuk sepanjang hidup memperjuangkannya?

    Jika anak cucuku dan para jm dikepung oleh kegelapan, engkau harus berlatih membangkitkan cahaya dari dirimu sendiri. Jika ditindih oleh kepalsuan, engkau tak berhenti mendekatkan diri agar disahabati oleh Yang Sejati. Jika terbuntu langkah dan tak berdaya, engkau tidak pernah memisahkan diri dari Yang Maha Pembuka dan Maha Berdaya.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  4. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW

    Khatam sudah 41 tulisan dibacakan. Cocoknya sekarang “khataman”.

    Tapi sebentar. Kok 41 tho? Dulu di awal katanya 33, satuan angka populer terutama dalam dunia wirid. Kemudian berubah jadi 40. Apakah itu disesuaikan dengan “jagat” Patangpuluhan? “Mistik” 40-an? Akhirnya malah jadi 41. Dari khazanah apa ini 41?

    Tanpa memperlihatkan kepada 40 sahabat-sahabatnya, aslinya Markesot sangat kelelahan dengan 41 tulisan itu. Legalah sekarang. Fajar semakin mempertipis kegelapannya. Pagi segera tiba. Kelelahan itu membuat Markesot menguras ruang kepalanya, lantas mengisinya dengan hal-hal yang enteng.

    Enteng gimana misalnya, Sot? Dongeng anak-anak. Yes. Dongeng anak-anak. Seakan diperintah, berpuluh-puluh dongeng langsung mengalir masuk ke dalam pikiran Markesot. Ia tersenyum-senyum sendiri, tapi ia tahan agar tak kelihatan.

    Memang Markesot dulunya adalah seorang pendongeng.

    Pernah dulu sebelum zaman Patangpuluhan ia mendongengkan kisah, atau mengisahkan dongeng, terserahlah mana yang tepat, tentang Joko Lanjaran. Awalnya seolah ada kemiripan dengan Joko Bodho, tapi sangat berbeda.

    Sama-sama disuruh Simboknya pergi ke pasar untuk membeli kacang, juga sama-sama membeli bijihnya. Tapi si Bodho hanya membeli 1 kacang, sedangkan si Lanjaran memborong 41 bijih kacang.

    Bodho dimarahi Simboknya kok cuma beli sebijih kacang. Kemudian dibuang di kebun belakang. Ternyata langsung tumbuh, memanjang dengan sangat cepat menembus langit. Si Bodho memanjatnya. Ternyata sulur kacang yang memanjang ke langit itu berakhir di sebuah taman sangat indah. Ternyata taman itu bagian dari sebuah Kerajaan Dewa-Dewi.

    Si Bodho terpana tapi juga bengong. Ketika dengan wajah bodoh ia menoleh ke kanan kiri kemudian memandang semua arah, mendadak di belakangnya muncul seorang Dewi yang sangat cantik jelita. Pastilah si Bodho tidak sanggup menggambarkan tingkat keindahan yang ia tidak pernah menjumpai sebelumnya.

    Dan ternyata Sang Dewi itu melamarnya. Menggandeng tangannya, mengajak menemui Raja Dewata dan Permaisuri, yakni Bapak dan Ibunya. Singkat kata beberapa saat kemudian Joko Bodho dilantik menjadi Putra Mahkota di Keraton Kahyangan.

    ***

    Siapapun yang mendongengkan kisah ini biasanya mengakhiri dengan sejumlah pemaknaan dan hikmah. Misalnya bahwa manusia tidak boleh merendahkan orang bodoh. Karena sebodoh apapun, seseorang akan berangkat ke masa depan dengan nasibnya. Dan yang disebut nasib ini tidak memiliki kewajiban untuk setia atau menuruti pemikiran dan rancangan manusia. Nasib adalah sebuah rahasia yang asal usulnya dari langit.

    Oleh penguasa langit, kebodohan manusia bisa dikawinkan dengan nasib yang indah. Sementara orang pandai bisa saja dikawinkan justru dengan nasib yang buruk dan berat. Para pendongeng atau penutur kisah biasanya menyimpulkan bahwa jarak antara nasib dengan kepandaian sangat jauh dibanding jarak antara nasib dengan kejujuran.

    Adapun siapa penguasa langit yang menggenggam hak mutlak untuk menentukan nasib manusia, bergantung kepada pengenalan manusia di bumi atas entah siapa di langit sana. Pengenalan itu bisa melalui informasi yang didapatkan dari pengalaman peradaban manusia berabad-abad. Bisa diperoleh dari penelitian dunia batin. Bisa diambil dari informasi Agama. Bahkan bisa juga dipetik dari kemerdekaan berkhayal.

    Ada juga pemaknaan yang sifatnya mempertanyakan dan mengkritik. Misalnya Joko Bodho adalah lambang keputus-asaan rakyat kecil, yang selama hidup bergenerasi-generasi selalu diperdaya oleh orang-orang pandai. Selalu dikibuli. Dijadikan alas kaki. Diinjak. Dimanfaatkan ketika diperlukan, kemudian dibuang ketika sudah tidak produktif sebagai alat kepentingan orang pandai.

    Maka si Bodho adalah figur eskapistik. Tokoh fiktif. Produk khayal orang-orang yang kalah. Semua pemaknaan dan hikmah itu beredar dan berputar-putar terus melewati rentang waktu dan mengendarai kurun demi kurun. Sampai kemudian tiba zaman di mana seluruh faktor itu: Joko Bodho, kacang, bijih, Dewi, kahyangan, nasib, penguasa langit, rakyat kecil, dan semua yang terkandung dalam bangunan kisah dan dongeng itu — diletakkan di tataran paling bawah, bahkan dipendam, dikubur, sesekali diingat dengan ejekan dan pikiran yang merendahkan.

    ***

    Bisa jadi karena itu maka Markesot tidak pernah menuturkan kisah Joko Bodho, melainkan Joko Lanjaran. Tentu banyak lagi kisah-kisah lain: Kinjeng Dom, Thok-thok Kerot, Kasan Kusen, Rojo Tikus, Joko Kendhil, Man Dolin, dan banyak lagi.

    Adapun Joko Lanjaran pulang dari pasar membawa 41 bijih kacang. Sampai di rumah, Simboknya tidak ada. Entah ke mana, mungkin sedang membantu nutu pari di salah satu rumah tetangga. Ketika Si Lanjaran berjalan sekitar rumah mencari Simboknya, kakinya terantuk tanah brongkalan. Ia terjatuh, bungkusan bijih kacangnya tumpah ke tanah.

    Sebagaimana dalam kisah Joko Bodho, bijih kacang itu langsung bersemi dan tumbuh. Tentu lebih teateral, karena jumlahnya 41. Si Lanjaran terpana, tapi juga panik. Melihat sulur-sulur kacang begitu banyaknya menjulur naik ke atas, menuju angkasa, menggapai langit, dengan pergerakan yang sangat cepat. Si Lanjaran melompat ke salah satu sulur. Dan tanpa memanjat ia terikut pergerakannya naik, terus naik.

    Tak pernah terbayangkan si Mas Lanjaran ini akan terbang sangat tinggi melewati seluruh hamparan galaksi-galaksi, sehingga tiba di langit lapis dua. Pergerakan kacang tak berhenti. Tapi ketika menuju lapis langit tiba, Si Lanjaran melihat bahwa yang naik bersamanya tinggal 31 sulur. Yang 11 berhenti di langit lapis dua. Seterusnya Si Lanjaran melihat lagi tanpa mengerti maknanya: tinggal 21 tatkala akan menyentuh langit lapis tiga. Kemudian tinggal 11 menjelang langit 4, dan tinggal sulur kacang yang ia naiki sendiri naik hampir mencapai langit lapis lima.

    Kabarnya ada tujuh lapisan langit. Berarti masih ada dua langit lagi. Beberapa saat Si Lanjarang menatap ke wilayah yang diperkirakannya menuju arah lapis langit yang keenam dan ketujuh. Kemudian ia melihat dirinya sendiri. Menatap kakinya, sehingga tampaklah ruang maha luas yang tadi dilewatinya. Si Lanjaran merasa ngeri. Sangat ngeri. Ia sendirian di tempat yang ia sama sekali tidak paham dan tak pernah ia mimpikan atau bayangkan. Maka mendadak Si Lanjaran pingsan.

    “Karena Joko Lanjaran kehilangan kesadaran, maka terpaksa saya gantikan”, kata Markesot melanjutkan kisah dongengnya.

    Ketika itu salah seorang yang mendengarkan mengejar, “Lantas bagaimana, Cak Sot? Sampeyan terus ke mana? Kan Sampeyan gandholan sulur kacang yang sudah tidak bergerak lagi”

    Markesot menjawab, “Ya saya tetap di sini sama kamu”

    “Lho, katanya di langit kelima”

    “Untuk sampai ke langit berapapun kamu tidak harus pergi ke mana-mana, cukup masuk ke dalam dirimu sendiri. Karena seluruh jagat raya adalah bagian dari dirimu”

    “Lho mosok yang sangat besar merupakan bagian dari yang sangat kecil”

    “Yang kecil itu benda. Kalau kamu hanya badan, darah, daging, tulang, kamu kecil. Maka Tuhan memuaikan manusia dengan nafsu. Kemudian Tuhan kasih yang lebih besar dari pemuaian nafsu sehingga mampu menguasainya, yaitu kerjasama antara hatimu dengan akalmu. Sesudah itu kamu ditawari oleh Tuhan untuk mengisi hatimu dengan iman dan mengolah akalmu dengan kreativitas yang berupa mujahadah, ijtihad dan jihad. Kalau kamu berhasil dengan perjuangan iman dan jihad-ijtihad-mujahadah dalam kehidupanmu, maka Tuhan menghormatimu dengan anugerah karomah. Lima kan jumlahnya? Para Nabi, Rasul dan kekasih-kekasih rahasia Allah dibukakan langit lapis enam. Sedangkan yang mendapat undangan khusus ke lapis tujuh adalah yang termulia dari ahsani-taqwim, yakni Mr. VVVVVIP Muhammad SAW”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  5. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Rendah Diri dan Sombong

    Jadi khataman apa tidak ? Yang bagus ya khataman, untuk merayakan tuntasnya 41 tulisan, serta untuk syukuran 40 orang bertemu kembali sesudah berpisah sekian puluh tahun.

    Tapi khataman bagaimana? Ketika tulisan ke-41 dibacakan, semua teman-teman Markesot sudah sepenuhnya tertidur lelap. Khataman dengan siapa, sedangkan 40 orang itu semua nyenyak dan mengorok.

    Lho, jadi tulisan ke-41 tadi siapa yang membaca? Kalau semuanya tidur, kemungkinan yang membacanya tinggal Markesot, orang ke-41. Jadi satu-satunya jalan: bertanyalah kepada Markesot.

    Tapi apa ada yang tahu Markesot? Memangnya siapa dia itu? Di mana tempat tinggalnya? Apa identitasnya? Keturunan siapa? Atau tak usah jauh-jauh cari sejarahnya. Memahami kata-katanya saja susah bagi kebanyakan orang. Mana mungkin bisa menemukan manusia-Markesot?

    Markesot jelas dulu seorang pendongeng. Sekarang jangan-jangan sesungguhnya ia adalah dongeng itu sendiri. Jangan-jangan Markesot adalah tokoh di dalam dongeng yang didongengkan oleh si Dongeng itu sendiri.

    ***

    Yang salah memang Markesot sendiri, yang sejak kecil hidup tidak jelas. Waktu kanak-kanak hingga hampir dewasa di desanya dulu tiap malam Markesot berada, tinggal, bersembahyang, mengaji dan tidur, di Langgar-nya Wak Mad.

    Sebenarnya tidak persis seperti itu. Markesot tidak pernah tampak duduk berjajar dengan anak-anak lainnya menghadap dampar atau bangku rendah menghadap ke Al-Quran. Setiap waktu mengaji, Markesot menghilang. Aslinya ya cuma melarikan diri. Sembunyi di luar tembok dekat jendela. Kalau ada yang bertanya Markesot mengaku sedang menyimak anak-anak mengaji dari kejauhan.

    Padahal memang pemalas. Atau tidak berbakat mengaji. Atau rendah diri. Atau tidak berselera. Atau entah apa. Yang jelas kalau semua sudah selesai ngaji selepas Isya, sesudah anak-anak bermain gobak sodor, jumpritan, jenthik atau kekehan: baru dia nongol.

    Agak aneh bahwa Wak Mad, kiai dusun itu, tatkala semua anak-anak mengaji nderes, tidak pernah menegur atau menanyakan di mana Markesot. Termasuk kalau beliau berjalan naik Langgar menuju Imaman, beliau tak pernah peduli ada Markesot atau tidak. Padahal kata banyak orang, Wak Mad dan Markesot itu ber-nasab sama, entah di mana posisi antara mereka di susunan pohon anak-turun dari nenek-moyang mereka.

    Mungkin Wak mad diam-diam memperhatikan bahwa Markesot disukai oleh teman-temannya di Langgar. Terutama karena kebiasaannya untuk mendongeng, menuturkan dongeng-dongeng, menjelang semua anak-anak tidur berjajar di tikar dalam Langgar setiap malam. Wak Mad mungkin diam-diam menghargai manfaat Markesot atas teman-temannya dan semua penghuni Langgar karena dongeng-dongengnya.

    Wak Mad kayaknya tidak tahu bahwa sering-seringnya anak-anak di Langgar itu semua tertidur sebelum dongeng Markesot selesai.

    Padahal inti dongeng adalah ujungnya. Ditambah resonansi berpikir dan imajinasi sesudahnya. Sebagaimana Wayang Kulit, ujungnya adalah munculnya Wayang Golek: golekono, golekono, carilah maknanya, carilah nilai dan hikmahnya.

    Mungkin pengalaman anak-anak tertidur sebelum tuntasnya kisah itu yang menyebabkan Markesot dendam diam-diam. Sehingga sangat suka menyebarkan teka-teki, melemparkan sesuatu yang tidak jelas, yang posisinya adalah pertanyaan-pertanyaan, godaan-godaan, yang sama sekali tidak disertai gejala, pertanda atau pintu untuk menemukan jawabannya.

    ***

    Memang semua kisah yang didongengkan selalu mengandung muatan keteladanan akhlak yang baik, kemuliaan manusia, contoh daya juang, keindahan silaturahmi, bercahayanya kebersamaan kemanusiaan dan bermacam-macam lagi. Dongeng tidak kalah dari pelajaran Sekolah. Dari memori dongeng-dongeng banyak manusia berkembang menjadi pemimpin yang baik, setidak-tidaknya menjadi manusia yang memiliki kebijaksanaan dan ilmu hikmah, yang sangat menjadi dasar bagi setiap langkah dan keputusan yang diambilnya.

    Sampai kemudian tiba era modern yang memenjarakan dongeng di dalam pemahaman yang merendahkannya.

    Dongeng dibedakan dengan kenyataan. Di dalam Ilmu Sejarah misalnya, yang fakta adalah yang diungkapkan oleh orang Sekolahan, dengan berbagai alasan metodologisnya yang disebut ilmiah. Sedangkan dongeng, Babat, kisah-kisah yang metodologi modern buta matanya untuk sanggup melihat dan memahaminya, disebut khayalan atau reka-reka yang sebenarnya tidak pernah ada.

    Sejak kanak-kanak Markesot sering tertawa sendiri, “Hahaha, khayalan yang tidak pernah ada… seolah-olah mereka pernah ada…seakan-akan ada yang benar-benar ada…”

    Ketika mulai dewasa Markesot menjelaskan bahwa direndahkannya dongeng itu merupakan salah cara untuk memisahkan bangsa kita dari sejarahnya. Menghapus masa silamnya. Mengubur peradaban yang pernah dicapai oleh para leluhur. Sehingga bangsa kita menjadi kosong pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Berikutnya bangsa kita menjadi tidak percaya diri. Dengan kata lain, bangsa kita menjadi tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bisa dibanggakan di dalam sejarah nenek-moyangnya.

    Maka dijajahlah bangsa kita dengan semena-mena. Bangsa kita, melalui kurikulum pendidikan Sekolah dan Universitasnya, melalui media massa, melalui jalur informasi apa saja, percaya bahwa kebesaran pernah diraih oleh tiga peradaban besar: Mesir kuno, Yunani kuno dan Cina kuno. Adapun bangsa kita sendiri sejak dahulu kala adalah budak-budak jajahan bangsa lain.

    Bangsa kita dibikinkan Negara, padahal sesungguhnya itu bentuk penjajahan yang sangat dikendalikan dari luar. Bahkan kaum cerdik pandai sangat pintar merendahkan bangsanya sendiri, menyimpulkan bahwa Ibu-Bapak mereka adalah orang-orang bodoh karena tidak pernah bersekolah seperti mereka.

    Bangsa kita adalah bangsa yang tidak percaya diri, tetapi sombong dalam kerendah-diriannya, dan sangat bangga bahwa mereka rendah diri. Bangsa kita marah kalau ada yang bilang bahwa mereka hebat, karena yang hebat haruslah bangsa-bangsa yang bukan mereka.

    ***

    Itu kata Markesot. Bahasa jelasnya: dongeng Markesot. Siapa yang percaya?

    Markesot selalu bersikap pesimis dan berpikir negatif. Kenapa teman-temannya itu setia kepadanya?

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  6. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Hanya Allah, Selebihnya Hanya Dongeng

    Ternyata 41 itu romantisme dari masa kanak-kanak Markesot.

    Dulu Wak Mad kalau bikin Yasinan di Langgar selalu berjumlah 41. Dibagi-bagi sesuai dengan peserta yang datang. Kalau 10 orang, maka setiap orang membaca 4 kali Yasin, kecuali Wak Mad yang membaca 5. Kalau kemampuan dan kecepatan baca mereka berbeda-beda, dirundingkan ada yang dapat 1 atau 2 atau 3 atau berapapun yang layak.

    Tapi sampai Wak Mad meninggal, Markesot tidak pernah mendapat penjelasan kenapa 41. Kok tidak 40 atau 33. Atau tak usah pakai jumlah-jumlah, yang penting ikhlas semampunya. Markesot sudah mencoba bertanya kepada banyak orang pinter tapi tidak ada yang jelas jawabannya. Akhirnya Markesot mencari sendiri, membayang-bayangkan sendiri dan mendongeng-dongengkannya kepada dirinya sendiri. Sebagaimana dikisahkan dalam dongeng Markesot Joko Lanjaran tentang pencapaian 41 hamba Allah pada batas yang berbeda-beda, berdasarkan sub-sub satuan 41.

    Dongeng, bukan? Apalagi ungkapannya selalu dengan kata-kata besar, bahasa muluk-muluk. Coba baca kembali:… cahaya, kegelapan, dunia Jin, Indonesia, banci, hutan belantara, hujan deras, kanker, zigzag, ketidaklayakan, aurat, kulit mangga, brutal, pendamai, doa dan dosa, jamaah maiyah, perhimpunan njarem, jape-methe, tajalli, peta diri….entah apa lagi.

    Dideret-deret disusun-susun menjadi orkestra panjang penderitaan, lagu-lagu keluhan, puisi-puisi ratapan, kecengengan-kecengengan dongeng yang didongengkan oleh tokoh di dalam dongeng.

    Terkadang, kepada orang tertentu, Markesot berkata: “Yakinlah bahwa semua yang kuomongkan adalah dongeng. Rajinlah makan batu, karena sungguh batu bukanlah dongeng”.

    Kepada orang yang berbeda, Markesot menambahkan: “Kalau suatu hari hidupmu dipenuhi batu dan rumahmu ditimpa batu, tak ada masalah bagimu, karena toh batu adalah makananmu”.

    ***

    Mereka disihir oleh Markesot seakan-akan datang dengan membawa tulisan masing-masing. Membacakannya satu demi satu. Apakah itu benar-benar terjadi? Teman-teman Markesot itu kerasukan Jin. Dan Jin-nya tak lain tak bukan adalah Markesot sendiri.

    Di tengah itu ia gila, meledakkan cambuk, tertawa-tawa sinting seperti yang mereka kenal dahulu kala di Patangpuluhan. Akan butuh waktu cukup lama bagi 40 orang itu untuk menyimpulkan apakah sehari semalam itu berada dalam keadaan jaga ataukah tidur.

    Kalau tidak jelas jaga atau tidur, sadar atau tak sadar, dua kemungkinannya. Majdzub, kalau positif, sebab mereka dijadikan medium atau wadah atau penyalur dari energi positif. Atau kangslupan, kalau negatif, karena yang ngangslupi adalah hantu yang bernama Markesot.

    Apakah kalau ditarik garis ke atas, dari Markesot, akan sampai ke Malaikat Jibril? Mana mungkin. Kalau sampai ke Iblis, bisa jadi, meskipun tidak ada yang sekarang bisa memastikannya.

    41 tulisan yang berisi omong besar dan festival kesengsaraan bangsa itu sudah pasti berasal dari dongeng Markesot sendiri.

    Tetapi hanya setan dan hantu-hantu yang sesekali mendengarkan kata-kata Markesot itu. Siapa percaya?

    Lihatlah keluar jendela sana. Tengoklah jalanan yang makin ramai dan macet oleh kendaraan-kendaraan. Pandanglah gedung-gedung makin banyak. Itu adalah tanda-tanda kemajuan bangsa.

    Tataplah bangunan-bangunan tinggi. Makin banyak dan makin tinggi mengancam langit. Apa itu kalau bukan meningkatnya peradaban.

    Tontonlah televisi, bacalah koran-koran dan majalah, bergabunglah memasuki medsos, media sosial, media silaturahmi terbaik tercanggih tanpa ada yang akan lebih canggih lagi.

    Bukalah internet. Kelilingkanlah penglihatanmu, tebarkan pendengaranmu, lengkapkan kesadaranmu. Apa yang kurang dari Negara dan Bangsa ini? Makin maju. Makin makmur. Makin canggih. Makin bergerak ke depan.

    Nikmatilah kiprah para pemimpin Bangsa dan Negara, yang tegas, yang profesional, yang mumpuni, yang merupakan pilihan terbaik dari segala pilihan yang pernah dilakukan sepanjang sejarah.

    Markesot saja yang tidak pernah bergerak ke depan. Markesot beku di masa silam. Mandeg ditinggalkan oleh waktu.

    Siapa yang paham kalimat Markesot kecuali setan dan hantu?

    Maka sampai Markesot dewasa, kemudian menua, sampai ketika ia mengundang teman-temannya ke Patangpuluhan, semua 40 orang itu seperti diseret masuk oleh Markesot ke dalam dunia dongeng.

    Padahal mereka sudah menemukan hidupnya masing-masing. Berkeluarga dengan sukses. Bekerja dan berkembang. Berkarya dan berprestasi. Mungkin hanya karena sopan santunlah sajalah mereka memenuhi permintaan Markesot untuk berkumpul di Patangpuluhan.

    Lambat atau cepat mereka akan terbangun dari mimpi dan kerasukan sehari semalam. Tatkala matahari terbit nanti dongeng Markesot akan berakhir, sihir Markesot akan sirna, khayalan Markesot akan lenyap.

    ***

    Tetapi sampai matahari hampir terbit, mereka masih tidur nyenyak. Sehingga tidak ada pertanyaan pada mereka siapa yang membaca tulisan ke-41. Nanti kalau mereka bangun belum tentu juga ada yang ingat tulisan ke-41, apalagi tentang siapa yang membacanya.

    Lebih dari itu, siapa bilang tulisan ke-41 adalah tulisan yang dibacakan pada urutan ke-41? Atas dasar ukuran apa dan berpedoman pada teori teknis redaksional yang bagaimana? Bagaimana kalau tulisan yang dibacakan pada urutan ke-15 sebenarnya adalah tulisan ke-1, sementara yang dibacakan pada urutan ke-18 fungsinya adalah tulisan ke-41? Atau berbagai macam kemungkinan dan acakan yang lain?

    Markesot pernah memberi pertanyaan: “Ketika Baginda Adam diturunkan dan tiba di Bumi, itu pas hari apa? Juga tatkala Ibunda Hawa menyusul, kaki beliau menginjak tanah Bumi pertama kali pada siang atau malam hari?”

    Di kesempatan lain Markesot melontarkan banyak pertanyaan lain yang bisa dipastikan dia sendiri tidak mampu menjawabnya. “Berapa tinggi badan Nabi Khidlir? Lebih tinggi mana dibanding Nabi Musa? Berapa luas bahtera Nabi Nuh? Berapa panjang landasan runaway pesawat di zaman Nabi Hud? Berapa jumlah Aji-aji yang dikuasai oleh Nabi Sulaiman? Bagaimana bunyi dialog antara Nabi Ibrahim dengan api Firaun yang membakarnya?”

    Kebanyakan makhluk kasat-mata di Bumi terlalu meyakini bahwa hari adalah benar-benar hari, bahwa angka adalah hakiki angka, atau bahwa ruang dan waktu adalah sungguh-sungguh ruang dan waktu. Mereka mengira Surat Al-Hadid adalah mata kuliah besi, atau Al-Baqarah adalah firman buat para Cowboys.

    Peradaban teknologi dan kebudayaan dibangun dengan pilar angka, padahal toh lenyap di infinitas. Tuhan menganugerahkan kemerdekaan seolah tanpa batas, padahal kemerdekaan adalah alat untuk menentukan batas, tapi kemudian batas-batas dibatalkan oleh ketidak-terbatasan atau ketiadaan batas.

    Segala sesuatu, apapun, jagat raya, alam semesta, hanyalah satu. Hanyalah tunggal. Hanyalah Sang Maha Tunggal. Sang Hyang Maha Tunggal menggeliat, meregang, menghembuskan maha-nafas, berlagak memuaikan dirinya, menciptakan konsep 1, 2, 3, 4, milyaran, trilyunan, sampai tak terhingga. Dan semua regangan-Nya memerlukan waktu sangat lama untuk menemukan sesungguhnya mereka semua hanya bagian dari Tunggal.

    Bagian-bagian amat sangat kecil yang tak berarti dari Sang Maha Tunggal. “Hanya Allah”, kata Markesot, “selebihnya hanya dongeng”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  7. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    41

    Karena tidak bisa mendapatkan bahan apapun tentang 41, maka si-41 justru sangat dan selalu hadir dalam kesadaran maupun bawah sadar Markesot, sejak kanak-kanak hingga dewasa.

    Melakukan apapun, pergi ke manapun, bertemu dengan siapapun, spontanitas Markesot adalah 41. Kalau masuk hutan ia selalu menyempatkan diri untuk berhenti di berbagai tempat, hanya untuk menghitung pohon hingga jumlah 41. Lewat jalanan, ia seperti orang kurang lengkap ingatan menoleh sana menoleh sini, menghitung 41 warung, 41 tiang listrik, 41 motor, 41 wanita muda, 41 setengah tua, 41 nenek-nenek. Semua ia hitung.

    Kalau belum beres hitungannya wajah Markesot tampak panik seperti akan ada gunung meletus. Setiap kali selesai hitungannya, bercahaya matanya, gembira seperti sedang khataman Qur`an. Dan di antara semua yang tampak mata yang dihitungnya, yang paling membuat mripatnya berbinar-binar dan bibirnya tersenyum-senyum adalah tempat sampah, gelandangan, pengemis, pengamen, batu atau kerikil yang berceceran, serta segala sesuatu yang segelombang dan sederajat dengan dirinya.

    Terus terang kadang-kadang bergerak-gerak menghitung sesuatu entah apa yang orang di sekitarnya tak bisa melihat. Terkadang perilakunya menunjukkan bahwa ia tidak sendirian menghitung sesuatu. Saat-saat tertentu Markesot tampak seperti sedang omong-omong dengan teman di kiri-kanannya. Dan yang paling tidak diketahui adalah bahwa sebenarnya Markesot sendiri sedang dihitung.

    ***

    Dihitung oleh siapa? Bagaimana mungkin pertanyaan itu bisa dijawab. Markesot saja tidak jelas ada dan tidaknya, apalagi yang menghitungnya. Bahkan tidak bisa dipastikan berapa sebenarnya jumlah Markesot. Mungkin ia dihitung: Markesot-1, Markesot-2, Markesot-3…sampai minimal 41.

    Markesot sebagai angka saja tidak menginformasikan sesuatu yang pasti. Apalagi Markesot sebagai apa: manusia atau hantu? Jin atau setan? Jangan pula bertanya Markesot sebagai siapa. Sebab “siapa” adalah ruangan yang paling komplit kandungan nilainya.

    Itulah sebabnya umumnya ummat manusia merasa kelelahan, sehingga mempersempit dan menyederhanakan dirinya menjadi Insinyur, Ustadz, Budayawan, Saudagar, Presiden, Pedagang, Menteri, Kuli, Staf Ahli, Komisaris, dan macam-macam lagi. Padahal semua hasil simplifikasi dan penyempitan ini bukanlah “siapa”. Paling jauh ia sekedar “apa”.

    Markesot pernah bercerita tentang ciptaan Allah yang paling indah, amat dicintai dan sangat disayang, yang Allah memberinya nama Nur Muhammad. Se-zarrah dari Nur Muhammad ditiup oleh Allah ke Bumi mewujud jadi Muhammad bin Abdullah, yang diberi jatah hidup dan tugas amat sangat sejenak, 63 tahun ukuran Bumi.

    Yang hanya se-zarrah itu keindahannya menghapus seluruh keindahan jagat raya. Kebesarannya mengerdilkan seluruh alam semesta beserta isinya. Si Zarrah ini memulai membangun peradaban Bumi begitu usianya memasuki 41 tahun. Allah menuturkan kepastian, di Surah 41 ayat 41, bahwa siapa saja yang melakukan pengingkaran terhadap Qur`an-Nya sesudah kitab kedermawanan Allah ini mendatanginya, maka di depan langkahnya ia ditunggu oleh celaka dan bencana.

    Itu pasti. Tinggal soal waktunya yang disimpan Allah di laci rahasia-Nya. Sebab Allah menamai kumpulan rahmat firman-Nya ini dengan nama-Nya sendiri: Kitabun ‘Azizun. Dengan nama yang sama pula Allah menggelari cipratan di Bumi dari se-zarrah Nur Muhammad yang dilahirkan oleh Ibu Aminah dan Bapak Abdullah.

    Allah, Muhammad, Al-Qur`an Segitiga Cinta. Tiga titik dalam satu bulatan cinta. Tiga yang satu, satu yang men-tiga. Maka pada hakekatnya 33, 40, 41 atau angka berapapun adalah Tunggal. Di awal dan di akhir, hanya Tunggal. Di antara Tunggal Awal dan Tunggal Akhir dibentang gelembung besar panjang yang berisi puisi-puisi cinta dan dongeng-dongeng yang indah.

    ***

    Berapapun adalah tunggal. Yang terbatas maupun yang tak terbatas, dikandung oleh Yang Maha Tunggal. Markesot menghitung-hitung dan menikmati 41 di mana-mana untuk menemukan dan meneguhkan Tunggal di dalam jiwa kehidupannya.

    Coba kalau 7 ayat Al-Fatihah digelindingkan berputar 5 kali, sesudah itu pada putaran ke-6 ayat ke-6 atau ke-41 kalau dari awal: ternyata adalah maqam makhluk manusia yang memanggul tugas kekhalifahan: “Ihdinash-shirothol mustaqim”. Hidup manusia berposisi doa, berposisi belum atau sedang. Sedang berjuang sepanjang hidup hingga hijrah melalui maut, untuk mendapatkan ridha Allah.

    Jadi di dalam urusan diridlai atau tidak diridlai oleh Allah, masuk sorga atau neraka, tersesat atau tidak tersesat, bersertifikasi Muslim atau Kafir, tidak ada manusia yang bisa memastikan dan dipastikan. Tidak berposisi untuk menuduh Kafir, bahkan tidak berposisi untuk meyakini diri Muslim. Pada ketukan ke-41 putaran ayat-ayat Ibu Qur`an, semua manusia berada di tahap “Ihdinash-shirothol mustaqim”.

    Markesot “GR” mencari koordinat Surah ke-41 pada ayat ke-53, romantisme tahun kelahirannya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

    Ia menepuk dadanya sendiri di depan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri: “Salahkah saya meminta 40 orang sahabat-sahabat, menjadi 41 dengan saya, berkumpul di Patangpuluhan? Bukankan sudah jelas Surah dan Ayatnya?”

    Padahal Qur`an itu setiap huruf adalah semua huruf, setiap ayat adalah semua ayat, setiap bagian adalah pusat, setiap titik adalah bulatan. Surah apa saja ayat mana saja merupakan petunjuk, ilmu dan hikmah bagi tema apapun saja dalam kehidupan ummat manusia, dari sate kikil hingga Illuminati, dari upil hingga Bank Dunia, dari gathulhingga konglomerat Cina.

    ***

    Jadi, sesudah wudlu, syukur shalat likulli thayyibah, buka saja Al-Qur`an sebisamu, seikhlasmu, sambil pejam mata pun malah lebih pasrah karena bebas dari pretensi pandangan mata.

    Temukan dirimu dalam bukaan dua halaman yang kau peroleh di Qur`an itu. Cerdasi perlambang-perlambangnya, peka terhadap ada-mu padanya, beban masalahmu dan jalan keluarnya. Atau masukilah pakai cara apapun asalkan sopan kepada Al-Qur`an, berterima kasih kepada Rasulullah dan berakhlak kepada Allah.

    Biasa “yasinan”? Periksa ayat ke-41: “Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan”. Coba lihat-lihat lagi, benarkah Bangsamu tidak memerlukan “Bahtera Nuh”, atau antisipasi semacam itu dalam formula apapun, besok, atau mungkin hari ini, bahkan sejak beberapa waktu kemarin? Apa kamu pikir keadaan Bangsamu baik-baik saja? Apa kamu sudah matang menilai, apakah yang menguasai Bangsamu itu Negara ataukah Pemerintah?

    Kalian kan orang-orang Mu`minum, kaum beriman. Bener beriman kepada Allah? Jangan-jangan patuh kalian kepada berhala-berhala: uang, harta benda, jabatan, akses, konglomerat yang membiayai pembelian kursimu?

    Bisakah kalian memastikan bahwa yang tertera di ayat ke-41 Al-Mu`minun ini tidak akan terjadi pada kalian: “Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka (sebagai) sampah banjir maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim itu”.

    Berhentilah memperlakukan rakyatmu jadi sapi perah kepentingan golonganmu. “Sapi Betina” ayat ke-41 sudah sangat lama melenguh: “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran)…dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  8. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Markesot Masuk Dunia Maya

    Seperti dongeng, pertemuan di Patangpuluhan itu diakhiri tanpa adanya Markesot. Sengaja menghilang, sebagaimana kebiasaannya dulu, atau bagaimana, belum jelas.

    Teman-teman Markesot yang berkumpul itu kelelahan karena nonstop saling mendengarkan pembacaan karya di antara mereka hampir semalaman. Pagi itu beberapa di antara mereka yang khusyuk semalaman, justru masih tidur pulas.

    Lainnya yang semalaman lebih banyak tidur karena lelah dan malas mendengarkan, sudah duluan bangun, dan bersiap untuk kembali ke tempatnya masing-masing.

    Salah seorang bercerita kepada temannya bahwa semalam sambil setengah tidur samar-samar ia mendengar, entah beneran atau entah mimpi, Markesot berkata:

    “Kali ini masalah yang mengancam Bangsa dan Ummat kalian jauh melebihi apa yang sering kalian diskusikan, bahkan melampaui tingkat yang kalian pernah bayangkan. Bangsa kalian sedang benar-benar dihancurkan, dan alat utama penghancuran itu adalah Bangsa kalian sendiri. Ummat kalian sedang sungguh-sungguh dirusak, dan alat utama perusakan itu adalah Ummat kalian sendiri. Hari ini kadar kehancuran dan kerusakan yang dicapai adalah bahwa Bangsa dan Ummat kalian tidak menyadari bahwa mereka sedang dihancurkan dan dirusak. Bangsa dan Ummat kalian hanya punya waktu beberapa tahun untuk mulai menyadari itu”

    Temannya merespon, “Kapan Markesot tidak omong yang serem-serem. Dan kalau memang benar demikian, kenapa sekarang dia justru menghilang?”

    ***

    Sebenarnya mereka tidak menganggap bahwa Markesot benar-benar menghilang. Biasalah kelakuan orang itu, sejak dahulu kala mereka mengenalnya. Terkadang pergi mendadak entah ke mana, kemudian datang juga tiba-tiba. Markesot tidak pernah bilang dia dari mana, semua orang lainnya juga tidak pernah menanyakannya.

    Awal-awalnya ada yang bertanya. Begitulah pergaulan. Sewajarnya saling menyapa dan bertanya. Tapi sesudah menghilang, kalau ditanya “dari mana”, Markesot menjawab dengan tersenyum “dari mata turun ke hati”. Saat lain menjawab “dari Bandung ke Surabaya”. Kalau pas cemberut wajahnya, Markesot menjawab “dari sono ke sini”. Atau bahkan “dari dunia ke akherat”.

    Ada yang beranggapan bahwa Markesot memang sok misterius. Lainnya merasa tidak punya hak untuk tahu. Lainnya lagi berkesimpulan bahwa Markesot tidak lengkap etika interaksinya, tidak informatif dan tidak punya imajinasi bahwa mungkin saja teman-temannya perlu tahu ke mana dia pergi.

    Tetapi ketika teman-teman itu satu per satu didesak jadwalnya untuk segera meninggalkan Patangpuluhan, lama-lama mereka berpikir bahwa Markesot kambuh penyakitnya. Ia pasti menghilang entah ke mana, sebagaimana dulu. Ia yang meminta mereka datang, ia juga menyambut kedatangan mereka, tapi tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk pamit sebagaimana normalnya orang bertamu-tamuan.

    ***

    Tapi memangnya apa yang normal pada kehidupan Markesot? Coba saja amati rumah hitam Patangpuluhan ini. Sewanya saja sepersepuluh dibanding harga umum. Yang punya rumah orang Jawa tapi warganegara dan tinggal di Selandia Baru. Datang dua-tiga tahun sekali, tidak butuh uang, sehingga sewanya tak pernah dinaikkan.

    Selandia baru tergolong Negeri Sorga, makmur, cukup adil pengelolaan kebersamaannya, tidak punya masalah dan tidak pernah bikin masalah dengan masyarakat lain di Bumi. Entah bagaimana Si Jawa Prambanan itu dulu bisa sampai ke Selandia Baru. Sesekali ia ‘mudik’ untuk klangenan, merasakan kembali ‘kampung halaman’, datang ke Patangpuluhan, melihat-lihat, menikmati salah satu bagian dari jiwa masa silamnya yang terbawa sampai sekarang dan kapanpun.

    Beberapa kali malah Si Jawa Sepuh itu kasih biaya ke Markesot untuk memperbaiki beberapa hal di rumah Patangpuluhan: temboknya yang lembab, kamar mandinya yang kacau, mengganti meja kursi bambu yang sangat tidak layak pakai, dan beberapa hal lagi. Apakah itu normal? Di mana ada empunya rumah yang menyewakan rumahnya sebegitu murahnya, bahkan memberikan biaya perbaikannya?

    Hanya fakir miskin jenis Markesot yang mendapatkan anugerah seperti itu. Semua teman Markesot tahu bahwa memang rumah itu kosong puluhan tahun lamanya sebelum disewa oleh Markesot. Jadi si Selandia Baru itu senang bukan main Markesot berkenan menyewa rumahnya. Sebab aslinya memang tidak ada siapapun sudi menyewanya. Bukan hanya karena buruknya keadaan rumah itu, tetapi terutama karena tempat itu adalah sarang hantu.

    ***

    Ah, bukan. Bukan sarang hantu. Mana ada hantu mau bersarang di rumah hitam Patangpuluhan. Hantu kelas bawah, kasta rendah, mungkin. Dan lagi, hantu apa dan siapa maksudnya? Energi liar? Ruh orang tidak ikhlas mati? Anak turun Iblis?

    Hantu dari sekitar Yogya? Apa Mbah Petruk, Kiai Gringsing, atau Syekh Jumadil Kubro itu hantu? Atau Parpolo di keraton Merapinya. Jeyeng Westhi Parangwedang, Buto Kepolo Prambanan, Mbok Bereng Parangtritis, Rajeg Wesi Plered, Nyai Panggung Kotagede? Apa perlunya beliau-beliau ini ke Patangpuluhan? Apa menariknya Patangpuluhan? Mereka sudah mapan di palenggahan masing-masing bersama komunitasnya.

    Apalagi yang jauh-jauh. Apakah karena di Yogya banyak pendatang dari berbagai daerah, maka masyarakat hantu juga mendistribusikan pasukannya untuk mengawal para perantau itu? Bolobatu Blambangan, Endrayaksa Magetan, Lancur Blora, Lowar Subang, Kuru Bogor, Pujongga Pujonggi Kediri, Telubrojo Cilacap, Wirasul Waringin Bali, Korep Ponorogo, Trenggiling Wesi Majenang, Sido Kare Pacitan, Duduk Warih Labuhan dan sekian ratus komunitas hantu lainnya?

    Apakah ada kaitan ‘genekologis-historis’ antara mereka itu dengan Komandan-komandan Batalyonnya Iblis di seantero Bumi: Komandan Tsabar, Komandan Dasim, Al-A’war, Miswath, Zaknabur? Atau sekedar sayap-sayap jauh atau ranting dari dahan-dahan Kaum Jin Global: Jan, A’mir, Ifrith, Arwah? Atau komunitas hantu-hantu yang menyebar itu sebenarnya semacam bangsa jajahan dari kolonial-kolonial dunia maya: Hudais, Hudavis, Jalnabur, Biter, Mansud, Qafandar, Akwariya Zawal, Wahhar, Tamrih, Matkun, Ruhaa, Wasuth, Khanzab, Haffaf, Zalinbur Zalitun, Tsabur, Walhan, Lagus, Abyad, Awan dan Watsin?

    Ataukah karena sejatinya Markesot adalah bagian dari masyarakat maya itu? Sehingga sebenarnya Markesot bukannya menghilang atau pergi tanpa pamit. Mungkin Markesot tetap ada di Patangpuluhan, tetapi nyelip di salah satu lipatan gelombang yang teman-temannya tidak bisa melihatnya dengan pandangan jasad?

    Dan si Bapak dari Selandia Baru itu sesungguhnya adalah rekanan Markesot sesama hantu? Sehingga membayar sewa rumah Patangpuluhanpun selama ini bukan pakai uang manusia, melainkan mungkin dupa, kemenyan, bawang campur tanah kuburan, atau entah apa.

    Semakin jelas: apa yang normal pada kehidupan Markesot? Kenyataannya maya. Realitas hidup Markesot adalah Dunia Maya. Pantas dia tidak pernah mau beli gadget, tidak mau masuk internet, alergi kepada medsos, pergi menjauh dari media massa.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  9. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Pintu Tanpa Kunci
    Rumah Tanpa Isi


    Sungguh tidak normal kehidupan Markesot dan rumah hitam Patangpuluhan. Yang didengar lamat-lamat semalam oleh salah seorang temannya, bahwa Bangsa kita sedang benar-benar dihancurkan, dan alat utama penghancuran itu adalah Bangsa kita sendiri, bahwa Ummat kita sedang sungguh-sungguh dirusak, dan alat utama perusakan itu adalah Ummat kita sendiri — termasuk omongan normal atau tidak normal dari Markesot?

    Teman-teman Markesot sudah tidak bisa jenak lagi berdiskusi-diskusi. Mereka tergegas harus balik ke daerahnya masing-masing. Mereka punya kehidupan mereka masing-masing. Punya tanggung jawab kepada keluarganya. Punya kesibukan di tempat kerja. Punya program-program dengan masyarakatnya. Mereka harus kembali ke wilayah itu.

    Biarlah Markesot si Manusia Maya dengan dunianya yang juga maya sekarang mendadak hilang menuju dunia lain yang lebih maya lagi. Tidak ada nomer handphone di tangan Markesot untuk bisa dihubungi. Namanya juga dunia maya, mana ada handphone, frekwensi, BTS, provider, GPRS-3G-LTE, browsing, unduh, unggah…memangnya Ande-ande Lumut, diunggah-unggahi oleh Trio Kleting.

    Kalau memang bab penghancuran Bangsa dan perusakan Ummat itu merupakan persoalan yang sangat mendesak, nanti kan pasti Markesot mengirim surat lagi. Itu manusia masih berada di kebudayaan perangko, amplop, yang dilem pakai ludah, kotak surat dan kring-kring bunyi bel sepeda Pak Pos.

    Salah seorang teman Markesot yang tinggal di seberang pulau jauh nyeletuk, “Saya anggap saja Markesot mendadak dipanggil oleh Kiai Sudrun ke dunia mega-maya, sebagaimana janji sama Menteri batal karena dia mendadak dipanggil oleh Presiden. Saya harus segera ke airport. Kalau ada teman-teman yang nanti kebetulan ketemu beliaunya, mohonkan saya pamit kembali ke anak istri”

    ***

    Teman-teman lain jadi ingat. “Iya ya. Markesot terkadang bercerita tentang orang yang namanya Kiai Sudrun, tapi tidak pernah jelas juga siapa Drun Drun Sudrun itu”

    “Orang Maya bercerita tentang tokoh maya”, sahut teman lain.

    “Hasilnya membuat kita termaya-maya secara sangat maya”

    “Padahal sepuluh tahun terakhir ini kita yang sudah enak-enak hidup nyata, diseret dan dihanyutkan oleh Peradaban Maya, teknologi maya, globalisasi komunikasi maya. Sampai akhirnya segala yang maya itu menjadi lebih nyata dari kenyataan hidup kita”

    “Sekarang baru kita sadari bahwa sejak jauh sebelum ada teknologi maya, kita sudah termaya-maya oleh kemayaan Markesot. Sebenarnya mana yang benar-benar maya atau benar-benar nyata: dunia jasad dan manual kita, dunia teknologi maya, ataukah maya-nya Markesot dan Kiai Sudrun? Maya yang ini harus pakai perangkat lunak dengan perangkat kerasnya, memerlukan telpon genggam, smartphone, Tap Tip Tup, Pad Pid Pud, browsang-browing, Mbah Gugel…”

    Cukup banyak di antara teman-teman Markesot yang berkumpul di Patangpuluhan itu yang memang merasa canggung dengan kondisi rumah hitam Patangpuluhan, yang mungkin rumah-rumah di zaman Ratu Sima atau Ratu Saba masih lebih layak huni. Ya ampun, untuk mandi masih tetap harus menimba dulu. Itu pun sekarang jorongan alias saluran air dari sumur ke kamar mandi sudah tidak selancar dulu.

    Tempat sabun saja tidak ada. Odol sudah dilipat-lipat, diplenet-plenet sampai tinggal konsepnya tanpa ada odolnya. Mandinya masih pakai cibuk atawa gayung. Ini sastra Melayu klasik: gayung bersambut. Gayung plastik sudah sobek dan pecah sepertiga. Wahai Tuhan seru sekalian alam, peradaban sudah sampai ke shower, bathup, wastafel, closet, shampoo, conditioner….Markesot masih beralamat di peradaban byar-byur, ndodok, dengan lubang buangan air besar yang agak sedikit lebih sopan dibanding jumbleng.

    Itulah sebabnya konsep keluarga itu penting. Markesot tidak pernah berkeluarga. Sehingga hidupnya tidak pernah berkembang menuju peradaban yang manusiawi. Lelaki yang tidak beristri akan selalu bodoh bagaimana mandi, bagaimana buang air kecil dan besar, bagaimana kramas, bagaimana menyeterika baju, bagaimana menghindari gambar pulau-pulau di kaos, aduuuuh apalagi deodorant dan parfum.

    Itu baru di dalam rumah. Belum lagi nanti peradaban di luar rumah: jas, dasi, baju batik, sepatu, kapan baju dimasukkan ke dalam celana, di mana beli sabuk yang normal sehingga bukannya memakai cambuk dililitkan di pinggangnya.

    ***

    Ada dua kemungkinan. Markesot tidak berbakat hidup bersama dan di tengah manusia di Bumi. Atau memang dia bukan makhluk Bumi.

    Pintu rumah kok tidak pernah dikunci. Sesekali pintu tertutup, tapi tidak dikunci, dan memang tidak ada kuncinya. Bisa dibuka oleh siapa saja, jam berapa saja. Ada satu bagian yang dianggap oleh semua teman yang tinggal di Patangpuluhan sebagai kamarnya Markesot. Pintu kamar itu juga tidak ada kuncinya. Di dalam kamar juga tidak normal. Tidak ada almari pakaian, tempat tidur, rak buku, meja tulis, atau apa lah untuk pantas-pantas disebut kamar. Di lantai pojok hanya ada tikar plastik, dengan bantal kayu potongan dari dahan pohon sebelah, serta tumpukan barang-barang entah apa yang tidak pernah jelas karena ditutupi oleh jaket Markesot.

    Kamar Markesot lembab. Temboknya berlumut-lumut yang ia gores-gores agar terasa sebagai lukisan abstrak ekspresionis. Pyan atau lapis anyaman bambu di bawah genting sudah sejak dulu dijadikan properti tikus-tikus untuk karya instalasi yang alamiah. Ada jendela di bagian kamar itu, tempat lompat Markesot kalau pergi menghilang di tengah malam.

    Rumah hitam, rumah Patangpuluhan, rumah tanpa peradaban. Rumah tak ada isinya. Rumah tanpa barang-barang yang pantas dipandang mata. Rumah yang hampir tak ada isinya kecuali rangsangan untuk berputus asa dan iba bagi siapa saja yang memasukinya.

    Bisalah dipahami kenapa pintu-pintu rumah itu tak ada kuncinya. Karena tidak ada calon maling yang dungu sehingga merancang untuk mencuri sesuatu di dalam rumah itu. Satu-satunya yang bisa dicuri adalah Markesot itu sendiri. Dan adakah di muka Bumi ini pencuri tak punya otak yang ingin mencuri benda yang bernama Markesot?

    Salah seorang teman Markesot pernah berpendapat, “Markesot itu epigon Sufi Nasrudin Hoja yang kalau ada maling masuk rumahnya malah bersembunyi, karena merasa malu kepada si malang: tidak ada barang apapun yang layak dicuri”.

    Tapi dibantah oleh teman lain, “Saya kira tidak ada kaitannya. Markesot memang miskin. Kalaupun dia Sufi, itu karena memang miskin”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  10. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Markesot Mencari Kiai Sudrun

    “Dari dulu kita tahu”, celetuk Tonjé, katakanlah demikian nama salah seorang teman Markesot itu, “kalau dia menghilang, ya ke mana lagi…”

    “Ke mana memangnya?”, Kasdu, sebut begitu nama teman lainnya.

    “Cari Kiai Sudrun”

    Tonjé tersenyum. “Pergi jalan kaki menjadi gelandangan kumuh, menyusuri jalanan selang-seling rel kereta api”

    “Merasa sedang menyamar jadi gelandangan kumuh, padahal memang aslinya gelandangan kumuh”

    “Kumuh, kumal, kemproh”

    “Mencari Kiai Sudrun, di pesanggarahan di tengah hutan belantara”

    “Di hutan belantara yang dirasakan atau dia anggap sebagai keraton”

    “Dianggap keraton oleh Markesot atau oleh Kiai Sudrun?”

    “Oleh keduanya. Karena sama-sama tokoh Dunia Maya”

    Tonjé dan Kasdu tertawa bersama-sama.

    ***

    Semua teman-teman Markesot sudah satu persatu meninggalkan rumah hitam Patangpuluhan, kecuali Tonjé dan Kasdu. Tanpa satu pun bertemu dan pamit kepada tuan rumah, karena sesudah pertemuan maya, Markesot menghilang ke dunia yang lebih maya lagi.

    Tapi the show must go on. Kehidupan harus diteruskan. Entah berat atau ringan tetapi mereka harus meninggalkan Patangpuluhan, kembali ke kehidupan nyata. Terserah yang mana sebenarnya yang nyata dan yang maya. Mereka sudah merdeka diputar-putar diombang-ambingkan oleh Markesot untuk menghayati kebingungan di antara nyata yang maya dan maya yang nyata, yang terus berganti-ganti hakekat dan syariatnya.

    Hanya Tonjé dan Kasdu yang tampaknya masih agak santai-santai di Patangpuluhan. Mereka tidak terlihat akan harus segera pulang. Tapi seandainya meninggalkan Patangpuluhan, sebenarnya belum tentu jelas juga pulang ke mana. Katakanlah kalau ‘ke mana’-nya jelas, yang tidak jelas adalah konsep ‘pulang’-nya.

    Di antara teman-teman yang lain, dua orang ini yang paling ‘tidak profesional’. Mungkin tidak tepat-tepat amat disebut demikian. Kurang mapan, mungkin? Dari segi profesi, mereka kerjanya sangat swasta, atau swastanya swasta. Tidak bisa disebut sebagai pekerja yang mandiri, dengan bisa usaha atau penghidupan yang tertentu. Mandiri mereka berdua ini maksudnya hidup dari hari ke hari dengan serabutan dan spekulatif.

    ***

    Tonjé dan Kasdu duduk-duduk di kursi bambu jebol-jebol di beranda Patangpuluhan. Celetak-celetuk, terkadang tertawa, kemudian diam, masing-masing terhanyut dalam lamunannya.

    “Tapi kali ini mungkin serius lho dia mencari Kiai Sudrun itu”

    “Apa kamu tahu apa beda antara serius dan main-main dalam perilaku Markesot?”

    “Saya yakin kali ini Markesot serius dalam pengertian seriusnya kebanyakan orang”

    “Kebanyakan orang kan seriusnya juga ternyata main-main”

    “Saya tidak berbicara tentang kebanyakan orang. Saya berbicara tentang Markesot”

    “Kan tidak mungkin bicara Markesot kalau tanpa komparasi di tengah kebanyakan orang”

    “Tapi fokus saya Markesot, bukan kebanyakan orang”

    “Di Patangpuluhan kita sejak dulu sudah sama-sama melihat bahwa hancurnya bangsa kita tidak terutama terletak pada gagalnya managemen pengelolaan negara, tidak pada kekayaan bumi rahmat Tuhan menjadi adzab bencana, tidak terletak pada budaya korupsi total, atau tidak pernah tercapainya harapan untuk masyarakat adil makmur. Itu semua hanya akibat. Karena sebab utamanya adalah manusia bangsa kita sudah tidak memiliki pagar yang jelas antara serius dengan main-main, antara baik dengan buruk, antara benar dengan salah, antara mulia dengan hina, antara malu dengan bangga…”

    “Saya ini omong tentang Markesot mencari Sudrun, tidak mempersoalkan Negara dan Bangsa”

    “Lho mana mungkin Markesot mencari Kiai Sudrun kalau tidak membawa tema dan keprihatinan tentang negara dan bangsa?”

    “Lha memang itu yang tadinya mau saya katakan. Tapi kamu mendahului. Kamu berkomunikasi tanpa irama. Dialog teater saja pakai progresi dan eskalasi”

    “Gini saja. Anggap saya mewakili kebanyakan orang”

    “Maksudmu?”

    “Kebanyakan orang tidak kenal teater, apalagi progresi dan eskalasi”

    “Tapi kan hidup mereka pakai progresi dan eskalasi, meskipun mungkin tidak menyadarinya”

    “Itu namanya tidak kenal. Tidak tahu. Tidak mengerti. Kebanyakan orang hanya terhanyut oleh progressi alam bercampur dengan eskalasi keadaan-keadaan zaman. Sebagian mereka beruntung karena nasib alamiahnya bagus dan keadaan zaman melemparkan mereka ke tempat yang tidak terlalu menyengsarakan. Tetapi kebanyakan dari kebanyakan orang hidup menjalani spekulasi dan perjudian nasib habis-habisan”

    “Kita termasuk yang mana?”

    “Kita tidak berada pada semuanya. Jadi orang kebanyakan yang susah dan malas. Jadi orang kesedikitan ya tidak punya keistimewaan apa-apa”

    “Kok kesedikitan?”

    “Banyak kebanyakan, sedikit kesedikitan”

    “Tidak jelas ya bahasa kita”

    “Tidak konsisten”

    “Tidak logis”

    ***

    Tonjé dan Kasdu termangu-mangu lagi.

    Sesungguhnya diam-diam ada yang mengganjal dalam hati mereka berdua. Memang rata-rata teman-teman Markesot itu berlagak cueg terhadap tidak adanya Markesot ketika mereka harus pulang. Tapi semakin mereka pergi menjauh dari Patangpuluhan, semakin terasa ada sesuatu yang tidak selesai. Ada sesuatu yang belum benar-benar terisi di dalam jiwa mereka. Sehari semalam bersama Markesot itu pun seperti mimpi sejenak melayang-layang di dunia maya. Bahkan mayanya maya.

    Ketika tadi malam Markesot mendadak berlaku seperti orang gila dengan ledakan cambuk dan suara tertawanya, sebenarnya diam-diam mereka menyadari bahwa bukan perilaku Markesot itu titik urusannya. Melainkan sesuatu di belakangnya, yang melahirkan ledakan pada kadar yang tinggi dan mendalam.

    Dan kemudian Markesot tiba-tiba menghilang, mungkin ada beberapa kemungkinan yang membuatnya mengambil keputusan itu. Bisa sederhana saja: Markesot sejak dulu memang takut pada adegan perpisahan. Tidak tahan hati untuk berupacara pamit-pamitan.

    “Mudah-mudahan Markesot mencari Kiai Sudrun untuk meminta izin, atau sekurang-kurangnya minta pertimbangan”, Tonjé nyeletuk.

    “Soal apa?”, Kasdu menyahut.

    “Kudeta”

    “Yesss!”

    “Lho kok yes?”

    “Kudeta to?”

    “Ya”

    “Lha ya itu bahasa sono-nya yesss!”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  11. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Informasi Bakul, Bakul Informasi

    Tonjé dan Kasdu merasakan kegairahan baru dengan kata ‘kudeta’ dan siap merayakannya, bahasa jelasnya: mengkhayalkannya. Tiba-tiba datang seorang tamu. Berjalan memasuki halaman rumah hitam Patangpuluhan dengan langkah jlong-jlong-jlong sangat gagah bak Raden Werkudoro.

    Sayangnya penampilan tamu itu sama sekali tidak kompatibel dengan kegagahan langkahnya. Secara keseluruhan ia sangat kumuh. Rambutnya gimbal, tidak pernah kramas minimal tiga tahun. Hanya pakai kaos, sangat kotor dan bercampur bolot. Celananya tidak lulus disebut celana, karena robek di sana sini, terutama di bagian pantatnya. Tidak pakai alas kaki.

    Tapi wajahnya ceria. Mulutnya tersenyum lebar. Sorot matanya penuh keyakinan. Gerak-gerik tubuhnya mencerminkan optimisme.

    Tonjé dan Kasdu setengah terpana.

    Tidak sepenuhnya terpana, karena selama mereka di Patangpuluhan di zaman dulu tamu-tamu yang demikian sangat banyak ragamnya. Mereka sangat terbiasa menemui bermacam-macam keadaan manusia.

    Sambil melihat dan menunggu si tamu berjalan, Kasdu berbisik: “Ini kira-kira Nabi Khidlir apa Sunan Kalijaga?”

    Tonjé menjawab: “Insyaallah sejenis Kiai Sableng”

    ***

    Tak bisa nyeletuk lebih jauh, si tamu langsung duduk di salah satu kursi bambu jebol di beranda itu. Ia menjatuhkan pantatnya dengan penuh kelegaan. Wajahnya menoleh ke berbagai arah, menatap-natap ke genting, belok ke daun-daun pohon Waru, mampir langit sekilas, kemudian kedua matanya menyorot tajam ke Kasdu dan Tonjé berganti-ganti.

    Mereka berdua tidak menanggapi si Bolot dengan tembakan sorot mata yang sama. Kasdu dan Tonjé memang menanggapi dengan membalas menatap mata si Bolot, tapi dengan urat syaraf wajah yang longgar, dengan bibir yang sedikit tersenyum. Sedikit saja. Untuk memenuhi sopan santun.

    “Sopan santun tuan rumah”, mendadak si Bolot berkata, “kalau melihat di halaman rumahnya ada tamu, maka ia berdiri untuk menunjukkan penerimaannya, kalau perlu berjalan menyongsongnya”

    Tonjé dan Kasdu berpandangan.

    Tonjé menjawab, “di Patangpuluhan tidak ada tamu. Semua yang di sini adalah tuan rumah”

    “Maka pintu rumah Patangpuluhan tidak pernah ditutup, tidak ada kunci atau gemboknya”, Kasdu menambahkan.

    Si Bolot lompat tema, “Cak Sot mana?”

    Sebelum dijawab ia berdiri, melangkah ke arah pintu, masuk ke ruang depan. Tangan si Bolot bertolak pinggang. Ia memeriksa berbagai arah di dalam ruangan. Kemudian tertawa terbahak-bahak.

    “Kok ada tivi di sini?”, si Bolot meledak tertawanya, “Hari gini, kok masih nonton tivi”

    Tonjé dan Kasdu saling bertatapan lagi.

    “Cara memahami kalimat orang tidak waras sangat mudah”, kata Kasdu, “tinggal dibalik. Hari gini kok tidak nonton tivi”

    “Tamu bolot itu datang tidak untuk berseminar”, sahut Tonjé, “pernyataannya bukan makalah. Jadi tidak perlu memberi tanggapan”

    ***

    Terdengar suara Bolot lagi, “Cak Sot selalu kasih pengumuman ke mana-mana, bahwa kita jangan terperdaya oleh sesuatu yang ngakunya mengurusi informasi, padahal bakulan”

    “Bakulan?”, Tonjé berbisik.

    Bolot yang menjawab dari ruangan, “Orang terkesan seolah-olah informasi adalah urusan nilai, pengetahuan dan ilmu, padahal itu dagang. Memang tivi tidak bisa hidup kalau tidak sambi bakulan. Tapi kalau yang diperdagangkan adalah informasi, maka informasi harus disunat berdasarkan beberapa kepentingan. Pertama, kepentingan untuk memilih mana yang laku mana yang tidak laku. Akibatnya kehidupan yang diinformasikan menjadi tidak utuh. Ketidakutuhan informasi yang disuguhkan terus menerus akan melahirkan generasi yang disinformatif. Ilmu dan pengetahuannya seperti hantu pincang, hanya punya kaki satu, matanya pun sebelah, keputusan-keputusan hidupnya pun hanya pecahan-pecahan”

    Tonjé dan Kasdu tak henti bertatapan karena heran pada Bolot. Ini gelandangan atau Dosen?

    “Masih untung kalau sekedar tidak utuh”, Bolot melanjutkan, “kalau informasi dipotong-potong, dijungkir-balikkan muatannya, ditambahi sini dikurangi sana, berdasarkan kepentingan politik golongan yang membiayai tivi, maka semua pemirsa tivi menjadi masyarakat bloon yang tiap hari ditipu-tipu, dikibuli, diperdaya, dibuli, dikempongi”

    Tonjé tidak tahan untuk tidak bereaksi. “Sebenarnya yang di tivi memang informasi. Siapa bilang bukan informasi. Memang kita semua ini dijadikan narapidana oleh para bakul informasi, dicekoki dengan informasi-informasi bakulan…”

    Kasdu memotong: “Kamu serius mau mengemukakan makalah sanggahan?”, kemudian ia berteriak, “Bolot! Ini ada seorang pakar yang menyiapkan sanggahan”

    “Sanggrahan?”, Bolot menjawab dari dalam, “Sudah tutup”

    Tonjé tertawa. “Informasi dalam jarak beberapa meter saja biasnya sebegitu jauh. Sanggahan menjadi Sanggrahan”

    “Kemungkinan telinga si Bolot itu yang tidak waras”

    “Atau artikulasi bicaramu yang tidak fix, sehingga informasimu bias”

    Si Bolot teriak dari dalam, “Diskusi apa itu? Kok seperti orang tidak punya kerjaan. Sempat-sempatnya mikir sampai yang begitu-begitu”

    Tonjé dan Kasdu hampir berbarengan tertawa. Bagaimana ini. Gelandangan pakaian sobek-sobek, pantatnya kelihatan, rambut gimbal, tidak mandi bertahun-tahun, mengkritik orang lain tentang pekerjaan, seakan-akan ia direktur perusahaan bangunan.

    “Kalau saya wajar omong apa saja”, Bolot melanjutkan, “saya ngritik tivi, karena saya tidak punya tivi. Saya ngritik negara, karena saya tidak punya kartu identitas. Saya tidak harus mengerjakan apapun di kantor apapun, tidak ada istri dan anak untuk dipikirkan. Saya hanya gelandangan, jadi saya punya waktu sangat lapang untuk bicara apapun, mengkritik siapapun, merenungi apapun yang besar-besar maupun sampai yang kecil-kecil, huruf, garis, lekuk, titik, koma, semau-mau saya”

    ***

    Tiba-tiba Tonjé berdiri dari duduknya. Meraih rangselnya. Mengambil satu dua lembar pakaian. Kemudian pergi masuk menemui Bolot. Tangan Bolot diseret ke ruang dalam sampai ke belakang.

    “Kamu mandi sekarang”, ia mendorong Bolot masuk ke kamar mandi, ia tutup pintu. Bolot menatap Tonjé dengan wajah agak ragu.

    “Cepat mandi”, Tonjé setengah membentak, “Ini celana dan kaos. Kamu pakai. Mandinya yang lama. Minimum lima kali lipat dari biasanya orang mandi. Itu sudah sangat cepat kalau diukur kamu sudah tidak pernah mandi lebih dari tiga tahun”

    Kemudian Tonjé keluar mengambil bongkahan batu bata. Masuk lagi. Melemparkan batu bata itu ke dalam kamar mandi melalui atas pintu. “Ini untuk sikat gigi”

    Kemudian Tonjé ke depan lagi dan membisiki Kasdu. “Sepertinya saya ingat orang ini pernah bertamu ke sini zaman dulu mencari Markesot. Gayanya sama. Pakaian gembel tapi perilakunya perlente. Ketemu Markesot seolah-olah mereka sesama Direktur Bank”

    “Sebentar, saya coba ingat-ingat”, kata Kasdu.

    “Saya melakukan seperti yang dulu Markesot lakukan: menyuruhnya mandi, memberinya pakaian. Ketika itu Markesot memberinya fatwa bahwa Bolot harus mulai bekerja. Markesot dulu bilang ‘kamu ini bisa jadi Guru SD, tapi mungkin semua SD tidak punya kemampuan untuk menerima kamu’.”

    “Ya, ya…saya ingat”, Kasdu menyahut, “setelah diikat disuruh kerja, dikasih sangu, kemudian Bolot pergi, tapi satu jam kemudian ia balik lagi. Markesot agak marah, langsung berdiri bertolak pinggang, membentak ‘Lho kok kamu balik lagi?’. Bolot menjawab, ‘Waduh, saya masih kangen sama Sampeyan, Cak Sot’. Markesot lemas. Karena itu berarti nanti ia harus ngasih sangu lagi”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  12. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Kelas Sufi Bolot

    Sebaiknya jangan ada yang berpikiran bahwa Mr. Bolot ini tokoh fiksi, figur khayalan, atau pelakon karangan sebagaimana dalam drama atau novel.

    Saya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga Ia mendatangkan makhluk jenis Bolot ini ke rumahmu. Ikut mendidik anak-anakmu. Sesering mungkin. Syukur tinggal di rumahmu. Alhamdulillah kalau ndungsel-ndungsel dan menguntitmu ke mana saja. Ya Tuhan kabulkanlah harapanku. Apabila ada yang tidak setuju dan menolak doaku, saya tingkatkan permohonan saya kepada Tuhan agar mendatangkan kepada tokoh lain yang lebih kumuh, lebih gila dan liar dibanding Bolot.

    Terus terang yang paling urgen bagi ummat manusia zaman sekarang ini adalah membongkar kembali konstruksi pikiran dan pola pandangnya terhadap kehidupan.

    Supaya besok tidak kaget, ketika saatnya tiba.

    ***

    Sesudah Bolot pergi membawa sangu patungan Tonjé dan Kasdu, dua teman Markesot ini berpikir apakah gelandangan perlente ini nanti akan balik lagi ke Patangpuluhan sebagaimana dulu ketika bertamu kepada Markesot?

    Ternyata iya. Kasdu langsung bilang, “Markesot tidak ada. Sejak kamu datang tadi Markesot juga tidak ada. Kan kalau saya tanya kenapa kamu balik lagi ke sini, alasanmu pasti karena masih kangen kepada Markesot, to?”

    Karena sudah pakai celana dan kaos dan berpenampilan normal, Bolot menjawab lebih gagah dibanding ketika pertama datang tadi.

    “Apa bedanya ada Markesot atau tidak?”, katanya, “Apakah untuk bertemu Markesot harus ada Markesot?”, dan berkepanjangan, “Hidup ini arahnya cuma satu, yakni bertemu dengan Tuhan. Tapi apakah untuk berjumpa dengan Tuhan maka Tuhan harus ada di depan kita, tampak di pandangan mata kita, duduk di sini ngopi bersama?”

    Benar-benar berkepanjangan.

    “Apakah untuk naik haji harus naik kapal atau pesawat ke Mekah? Orang gila keturunan siapa yang mengharuskan saya beli tiket ke Arab? Sedangkan celana dan kaos saja belum tentu ganti tiga tahun sekali. Siapa bilang untuk berthawaf saya harus berada di Masjidil Haram dan mengelilingi Ka`bah dengan kaki jasad saya? Siapa tahu Pemilik Ka`bah terharu melihat gelandangan seperti saya lantas suatu saat membawa Ka’bah ke saya untuk saya thawafi? Atau bagaimana kalau ternyata sebelum saya berthawaf malahan Ka`bah itu sendiri yang duluan menthawafi saya?”

    Tonjé dan Kasdu berpandangan satu sama lain dengan tersenyum dan penuh kesabaran.

    “Hajar Aswadnya ikut sekalian bersama Ka`bah mendatangi kamu apa nggak?”, Kasdu menyela.

    “Itu hak asasi dia”, jawab Bolot, seolah-olah ia seorang Sufi agung campur cendekiawan modern, “Kan Tuhan menyatakan bahwa kalau saya mendatanginya selangkah, Ia menghampiri saya sedepa. Kalau saya setengah meloncat kepada-Nya sedepa, Ia merapat ke saya sepenggalah. Hajar Aswad mungkin sudah dibisiki oleh beberapa Malaikat tentang sialnya hidup saya. Orang dari negeri jauh secara ruang maupun waktu. Jauh dari Kanjeng Nabi. Tempatnya sangat di seberang, waktu kelahiran saya juga sangat terlambat dibanding masa hidupnya Kanjeng Nabi. Bukankah karena itu maka rasa sayangnya Kanjeng Nabi kepada saya berlipat-lipat dibanding kepada para sahabat yang hidup bareng beliau waktu itu di Mekah atau Madinah? Lha saya kan di Blitar…”

    ***

    Tonjé menyela, “Kamu ini sedang senang atau sedih? Sedang merayakan keadaanmu atau meratapi?”

    “Apa bedanya perayaan dan ratapan untuk orang seperti saya. Kesenangan tidak mau mendatangi saya, maka kesedihan pun saya usir dari hidup saya. Kalau kesedihan mau tinggal bersama saya, harus nikah dulu dengan kesenangan di dalam diri saya. Kalau tidak, saya tolak kedua-duanya. Jangan main-main dengan Pendekar dari Blitar”

    “Memangnya kenapa kalau main-main dengan Pendekar dari Blitar?”, Kasdu bertanya.

    “Ya ndak apa-apa. Pokoknya jangan gitu aja. Tidak pakai sebab atau karena atau maka. Hidup cuma sekali kenapa direpotkan oleh sebab dan karena dan maka. Tiap hari, tiap minggu, bulan, tahun, tiap siang dan malam saya berjalan, berjalan, berjalaaan, menthawafi dunia. Orang-orang itu cuma mengelilingi Ka`bah tujuh kali saja bangga dan merasa berprestasi. Kalau diukur dengan pencapaian orang menthawafi sorga, berapa ratus ribu kali saya sudah menthawafinya”

    “Tapi kan bukan Ka`bah”, celetuk Tonjé, “yang kamu lakukan selama ini kan berjalan ke mana-mana di jalanan, alasannya karena tidak punya tempat tinggal. Sedangkan orang berthawaf kan beribadah”

    “Jadi melangkahkan kaki dan menggerakkan badan siang malam ini bukan ibadah? Apa namanya kalau bukan ibadah? Tuhan kasih kaki, saya pakai untuk berjalan. Tuhan kasih saya badan, saya gerakkan. Bukan ibadah bagaimana? Kalian pikir saya berjalan kaki ada tujuannya selain mensyukuri bahwa saya punya kaki dan badan? Kalian pikir saya melangkahkan kaki untuk mengejar uang, harta, cita-cita, karier, pangkat, jabatan, kemasyhuran, atau apa saja yang menghina kaki dan badan? Saya berjalan karena Tuhan menciptakan saya berkaki, maka Tuhan senang hatinya kalau saya berjalan. Saya berjalan di dunia, tapi tidak menuju dunia. Saya berjalan di atas bumi, tapi tidak untuk memiliki bumi. Saya berjalan menyusuri alam semesta, tanpa pernah saya punya pikiran untuk menguasainya, apalagi menaklukkannya. Saya berjalan karena hidup adalah terus berjalan sampai saatnya nanti saya tidak lagi bisa berjalan”

    ***

    “Yaaa tapi bumi dan alam semesta kan tidak sama dengan Ka`bah”, Tonjé menyela lagi, “Beda dong orang berjalan menyusuri jalanan seperti kamu dengan orang mengelilingi Ka`bah”

    “Memang beda”, jawab Bolot, “tapi tidak berbeda. Sudah sangat jelas bahwa itu berbeda. Yang satu halaman dalam Masjidil Haram dengan Ka’bah di tengahnya. Yang saya jalani ini ya mana saja yang mungkin saya melangkahkan kaki. Tapi kalau kalian memakai alasan bahwa Ka`bah itu rumah Tuhan, memang sebelah mana dari jagat raya ini yang bukan rumah Tuhan. Memang ada bedanya rumah Tuhan yang ini dengan rumah Tuhan yang itu. Tidak sama rumah Tuhan yang di sana dengan rumah Tuhan yang di sini. Tapi kan semua rumah Tuhan. Bahwa Tuhan menyebut Ka`bah sebagai rumah-Nya, itu kan strategi geografis untuk mempersatukan ummat manusia yang mencintai-Nya. Tetapi kenyataan hakikinya ‘semua’ dan ‘setiap’ adalah rumah Tuhan. Bahkan Tuhan juga berumah di dalam dada saya..”

    “Sejak kapan Tuhan berumah?”, Kasdu menggoda.

    “Tuhan menyebut Ka`bah sebagai rumah-Nya itu kan cara untuk menyesuaikan diri dengan batas pengetahuan dan ilmu yang Ia sendiri tentukan bagi manusia. Bahasa jelasnya, adaptasi terhadap kedunguan manusia, meskipun Tuhan sendiri yang mentakdirkan manusia itu dungu, berilmu hanya sangat sedikit”

    “Termasuk kamu?”

    “Pasti lah. Karena saya sangat tahu betapa dungu dan tak berartinya saya, maka saya tidak sudi menghiasi hidup saya dengan keindahan dunia. Saya terima celana dan kaos dari Sampeyan tadi bukan karena saya memerlukannya, tapi sebagai kewajiban menjalankan sopan santun kepada sesama manusia. Aslinya saya pengin-nya telanjang bulat seratus persen. Cuma saya kasihan kepada orang-orang sekitar yang melihat saya. Saya tidak tega kepada anak-anak kecil dan siapa saja yang nanti pasti menyangka saya orang gila, sehingga merendahkan dan memain-mainkan saya. Saya suka dianggap gila, saya merasa nikmat untuk dimain-mainkan. Tetapi saya kerepotan berdoa kepada Tuhan agar mengampuni mereka”

    “He”, Kasdu memotong, “Kamu kok tidak jadi Dosen saja to? Kok malah nggelandang seperti ini. Padahal rasa-rasanya kamu layak bikin Kelas Sufi lho. Atau apa saja lah. Yang penting hidupmu berguna”

    “Lho siapa manusia di dunia ini yang menginginkan ada manusia berguna? Yang mereka maui adalah orang yang memberikan keuntungan kepada mereka, terutama keuntungan dunia, uang, harta, jabatan, akses dan yang sejenis itu. Yang dimaksud guna atau manfaat sekarang ini adalah keuntungan dunia. Sangat memalukan. Jadi saya tidak mau terlibat sedikit pun. Nol. Total”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  13. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Apa Yang Perlu Direnungi Dari Nasib?

    Sepeninggal Bolot, Tonjé dan Kasdu termangu-mangu.

    Sejak tinggal di Patangpuluhan dulu mereka, ratusan kasus seperti Bolot ini yang diam-diam mengganjal di hati mereka. Kalau sesekali mereka bertemu teman lain, tetangga atau siapa saja di muka bumi ini, selalu berkesimpulan bahwa Bolot itu karangan. Khayalan. Kelakar.

    Kali ini pun ternyata mereka tetap termangu-mangu. Termangu-mangu itu bentuknya adalah wajah melamun. Kalau ada tamu lagi datang, pasti menuduh mereka sedang berkhayal. Mungkin merenungi diri dan nasib mereka masing-masing.

    Padahal untuk apa nasib direnungi? Apa yang perlu direnungi dari nasib?

    Tuhan bekerja menjalankan takdir-Nya, memproduksi nasib manusia dan apa saja ciptaan-Nya. Takdir atas angin, menghasilkan nasib angin. Pun nasib ayam, sehelai bulu, setetes embun, segundukan kecil gunung, hamparan ruang yang menggendong masyarakat galaksi, apa saja.

    Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu, ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.

    Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari awal hingga akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.

    Ada peradaban suatu masyarakat yang menyimpulkan perasaan dan pengalamannya bahwa jarak sangat jauh antara awal ke akhir penugasan yang ini hanyalah “mampir minum”. Ada ribuan orang yang duduk bersama semalam suntuk memenuhi pikirannya dengan cinta kepada Tuhan dan Rasul-Nya sehingga terasa seperti tak ada satu jam. Dan sebagian dari mereka yang memasuki alam keTuhanan, sedikit bisa merasakan “ka-lamhin bil-bashar”, sekejapan mata.

    Apa yang perlu direnungi dari nasib mampir minum sekejapan mata? Kecuali kebodohan merasakan sekejapan mata itu seakan-akan 40 hari 40 malam, karena tak mengerti apa yang harus dikerjakan oleh jiwanya dalam sekejapan mata itu.

    ***

    Jadi Tonjé dan Kasdu termangu-mangu sama sekali tidak karena merenungi nasibnya di dunia. Tuhan sudah sejak semula menuliskannya di lembaran-lembaran kertas agung kehendak-Nya yang Ia jaga dengan amat sangat seksama.

    Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.

    Nasib Tonjé tidak baik. Nasib Kasdu tidak buruk. Nasib Markesot tidak gimana-gimana. Tidak ada ukuran-ukuran semacam itu. Lebih bodoh lagi adalah perbandingan nasib. Kepiting tidak merenungi nasibnya yang tak bisa terbang. Burung elang tidak menyesali nasibnya kok tidak dijadikan ayam yang disantapnya. Panas tidak mencemburui dingin. Bumi tidak dengki kepada langit. Malaikat tidak meratapi eksistensinya yang tanpa nafsu, meskipun juga tidak perlu kasihan kepada manusia yang kebanyakan di antara mereka hancur lebur hidupnya oleh nafsu.

    Bahkan yang kaya tidak ada alasan untuk menyimpulkan ia lebih sukses dibanding yang miskin. Sebab hidup di dunia tidak ada kaitannya dengan pencapaian dunia. Yang berkarier memuncak dengan jabatan, pangkat, kemasyhuran dan harta benda, tidak perlu bodoh untuk menganggap yang lain yang tidak mencapai itu semua berada di bawahnya, di belakangnya atau di tempat lain yang marginal.

    Pun yang saleh alim khusyu sangat religius ahli wirid pakar ibadah dan apapun, sama sekali dilarang dungu untuk merasa lebih mencapai keberhasilan dibanding yang lain.

    ***

    Kalau kesalehan dipentaskan sebagai sukses hidup di dunia, menjadi cacatlah kesalehan itu. Apalagi harta pangkat karier kekayaan yang dianggap pencapaian dunia, maka merosot jadi lebih rendahlah ia dibanding dunia.

    Shalat khusyu bukan pencapaian dunia, melainkan tabungan akhirat. Akhlak yang baik bukan citra keduniaan, melainkan batu-bata jalanan ke sorga. Uang banyak adalah pencapaian dunia, sedangkan manfaat uang itu adalah sukses akhirat. Harta bertumpuk menjadi keberhasilan dunia atau akhirat bergantung pada pengolahan kompatibiltasnya, ke keduniaan atau ke akhirat.

    Silahkan memilih apa saja yang membuatmu bergerak mendekat ke Allah dan membuat Allah mendekat kepadamu. Tidak peduli kegembiraan atau kesengsaraan, asalkan membuat Tuhan dan engkau berdekatan. Tidak peduli uang sedikit atau banyak, rumah besar atau kecil, mobil atau sepeda, hafal Qur`an atau tidak, jadi presiden atau kuli pasar, hidup mapan atau gelandangan, apapun saja, asalkan engkau olah menjadi alat untuk mendekatkan jarak antara Tuhan denganmu.

    Jadi, masih heran dan tidak pahamkah kepada Bolot?

    ***

    Maka Bolot tidak aneh. Apalagi bagi Tonjé dan Kasdu. Pengalaman Patangpuluhan mereka dulu membuat mereka terlatih menghadapi, melayani, mengatasi segala jenis manusia dan berbagai macam persoalan yang mereka bawa.

    Kalau ada yang menyebut Bolot itu gelandangan yang gila, mudah-mudahan itu sekedar basa-basi bahasa yang berlaku sementara waktu di bumi, mohon jangan mendalam dan mendasar. Nanti kamu kaget disapa olehnya di kehidupan berikutnya.

    “Jangankan Bolot”, kata Tonjé, “saya yang masih tampak normal ini saja kesepian di tengah tetangga dan masyarakat”

    “Kenapa?”, tanya Kasdu, “karena mereka tidak paham?”

    “Ya lah. Karena apa lagi kalau bukan karena itu”

    “Apa mereka harus paham kamu?”

    “Ya ndak harus”

    “Apa masyarakat punya kewajiban untuk memahami hidupmu?”

    “Ndak juga”

    “Jadi?”

    “Ya nggak apa-apa. Ini soal kesepian aja”

    “Kenapa kesepian?”

    “Karena hidup saya tidak sama dengan mereka”

    “Kalau gitu ya bikin hidupmu sama dengan hidup mereka”

    “Nggak mau”

    “Kalau gitu jangan kesepian”

    “Apa kesepian itu dilarang?”

    “Nggak juga. Cuma tidak usah dikeluhkan”

    “Siapa yang mengeluh”

    “Lha kamu?”

    “Saya cuma omong. Cuma membunyikan mulut tentang kesepian. Itu tidak berarti saya tertekan oleh kesepian. Juga tidak berarti saya menolak kesepian”

    “Kalau gitu jangan diomongkan”

    “Apakah mengomongkan kesepian itu salah”

    “Tidak. Saya juga kesepian, tapi tidak omong”

    “Kenapa tidak?”

    “Sebab kalau kesepian saya omongkan, ia batal. Kalau saya keluhkan, ia najis”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  14. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Peradaban Bayi-Bayi

    Orang yang menjalani hidup di jalan keinginan, cukup berbekal nafsu, ditambah sedikit ilmu yang kompatibel dengan nafsunya itu. Tapi orang yang melakoni kehidupan mencari yang ia butuhkan, bekal yang ia perlukan sejak awal adalah ilmu.

    Bayi adalah tahap manusia ketika sama sekali masih belum mengerti beda antara keinginan dengan kebutuhan. Bayi ditemani staf-stafnya Tuhan untuk menunjukkan kepada Ibunya apa yang ia butuhkan, tapi si bayi itu sendiri tidak mengerti bahwa itu kebutuhan.

    Kasdu dulu mendengar Markesot pernah nyeletuk, “Sekarang ini sampai dewasa manusia tidak belajar membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Rancangan pembangunan, kreasi kebudayaan dan teknologi, hampir seluruh sisi peradaban ummat manusia di abad ini, menunjukkan sangat jelas ketidakmengertian pelaku-pelakunya bahwa yang mereka bangun dengan gegap-gempita itu bukan kebutuhan, melainkan keinginan.”

    “Yang berlangsung sekarang ini adalah peradaban bayi-bayi. Bayi tidak bisa disalahkan, meskipun ia membanting gelas, melempar Ibunya dengan piring, atau bahkan membakar rumah. Bayi tidak percaya, atau tepatnya, belum paham, ketika dikasih tahu bahwa yang ia lakukan adalah perusakan dan penghancuran”.

    “Saya sudah bersumpah kepada diri saya sendiri”, kata Markesot, “tidak akan ngasih tahu apa-apa kepada bayi. Bayi memimpin masyarakat, menjadi kepala negara, menyusun pasal hukum, mendaftari para calon penghuni neraka, menjadi pemegang urusan hal-hal yang ia muati dengan keinginan dan nafsunya. Tidak. Saya tidak akan senggol mereka. Kecuali hal itu menjadi bagian dari tagihan Tuhan kepada saya kelak di akhirat, saya tidak akan sentuh. Dan apakah itu tagihan atau bukan, saya tidak punya pengetahuan kecuali Tuhan menginformasikannya kepada saya”.

    ***

    Ada saat-saat Kasdu dan Tonjé menyesali bahwa dalam hidup yang cuma sekali dan sebentar ini mereka kenal Markesot.

    Pergaulan dengan Markesot membuat pandangan hidup mereka jadi kacau. Kehidupan di dunia ini menjadi tampak berbeda. Sangat berbeda. Dunia ternyata bukan kampung halaman. Bukan rumah. Bukan tempat di mana manusia membangun kemapanan dan kejayaan. Dunia ini hanya area kerja bikin batu-bata, untuk bangunan rumah mereka kelak di kampung halaman yang sejati.

    Ada saat di mana pandangan itu membuat hidup mereka menjadi tegar, tangguh dan tenang. Tapi di saat lain muncul situasi di mana mereka seperti ditimpa kesedihan dan rasa putus asa.

    “Ngawur orang-orang itu”, Tonjé nyeletuk.

    “Siapa? Ngawur bagaimana?”, Kasdu bertanya.

    “Kebanyakan orang yang mengenal saya menyimpulkan bahwa hidup saya ini serabutan dan spekulatif”

    “Bukannya memang begitu?”

    “Saya menjalani hidup tidak dengan spekulasi, melainkan dengan iman yang jelas, kepercayaan yang teguh kepada kehidupan”

    “Maksud orang-orang itu kamu tidak punya pekerjaan yang pasti sebagaimana umumnya orang”

    “Berani dan meyakini bisa hidup tanpa pekerjaan yang pasti, apa artinya itu selain mencerminkan iman yang total kepada Tuhan”

    “Mungkin mereka tidak tega melihat anak istrimu kalau kamu tidak punya profesi yang jelas”

    “Istriku mau kawin dengan saya justru karena kagum kepada keberanian dan iman saya itu”

    “Apakah iman kepada Tuhan berarti hidupmu bergantung kepada kemurahan Tuhan melulu?”

    “Lho tapi saya selalu bekerja keras”

    “Kerja apa?”, Tonjé tertawa keras, “kerja apaan?”

    ***

    “Ya seketemunya. Pokoknya kerja keras. Tidak tergantung satu jenis pekerjaan. Saya bekerja keras melangkah dari pekerjaan satu ke pekerjaan yang lain, yang kebanyakan tidak saling berhubungan. Selesai satu pekerjaan, cari pekerjaan berikutnya”

    “Itu namanya tidak punya pekerjaan tetap”

    “Kan yang utama pekerjaan, tetap atau tidak tetap itu soal lain”

    “Semua orang menyimpulkan bahwa lelaki, apalagi suami, terlebih lagi seorang bapak atau kepala keluarga, haruslah punya pekerjaan tetap”

    “Di mana ada pekerjaan tetap untuk saya? Saya tidak mau jadi anak buah, juga tidak mau jadi boss. Satu-satunya kemungkinan hanya saya mengbossi diri saya sendiri dan menganakbuahi diri saya sendiri”

    “Terus letak orang selain kamu di mana?”

    “Ya di hadapan saya di setiap pekerjaan. Saya butuh sebanyak mungkin orang untuk berunding, tawar menawar, bertransaksi, atau juga tolong-menolong, dalam posisi tidak sebagai boss atau anak buah”

    “Apakah menjadi anak buah atau menjadi boss itu salah?”

    “Sama sekali tidak. Cuma saya tidak sanggup berada di posisi seperti itu. Saya sekeluarga butuh makan dan mengawal masa depan anak-anak saya, dan saya bekerja keras untuk itu, tapi hanya bisa di luar posisi boss atau anak buah”

    “Tapi sudah menjadi kesimpulan umum bahwa setiap lelaki harus punya pekerjaan tetap. Di situ letak harga diri hidupnya”

    “Pekerjaan tetap kamu apa?”

    “Nggak ada juga sih…”

    ***

    Mereka berdua tertawa berkepanjangan. Tonjé dan Kasdu sadar benar bahwa hidup mereka memang paling kacau dibanding teman-teman sesama jebolan Patangppuluhan.

    “Tapi kan tidak sekacau Markesot”, kata Kasdu.

    “Markesot itu bukan kacau”, kata Tonjé, “tapi pengecut”

    “Kok pengecut?”

    “Tuhan bilang harta dan anak adalah fitnah dalam kehidupan di dunia. Maka dia tidak beristri tidak beranak. Mau enaknya sendiri”

    “Saya sepertinya mengerti pertimbangan Markesot”

    “Gimana”

    “Kan Tuhan juga, melalui Nabi-Nya, menentukan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah hiasan. Dan hiasan yang terindah adalah istri yang salehah, keluarga yang sakinah”

    “Terus?”

    “Markesot ngeri untuk punya istri dan anak, atas dua pertimbangan. Pertama, bisa saja punya istri salehah dan membangun keluarga sakinah. Tapi anak-anak kita besok-besok? Apa kita jamin bisa juga? Belum lagi cucu? Cicit?”

    “Di situ itu gunanya iman dan kepasrahan kepada Tuhan”

    “Markesot khawatir seluruh anak-cucunya sampai turunan keseratus keseribu pun masih membawa risiko tanggungjawab Markesot. Kalau cicitnya besok-besok melakukan kedhaliman, Markesot ikut menanggung dosanya. Karena hidup ini mengendarai waktu, di dalam ruang. Hidup ini akseleratif, struktural dan historis, dari belakang maupun ke depan”

    “Markesot memang ruwet”

    “Pertimbangan yang lain yang membuat Markesot tidak berkeluarga lebih mengerikan. Tuhan menyuruh kita berproses menyatukan diri dengan-Nya. Kita harus tidak eman kehilangan apapun asalkan diterima bertauhid kepada-Nya. Kehilangan rumah dan harta benda, bisa kita tanggung. Tapi kehilangan anak istri, demi penyatuan dengan Tuhan, berani kamu?”

    “Oo itu yang yang Markesot takut”

    “Ada tokoh besar menyatakan ‘Wahai dunia, jangan coba rayu-rayu aku, sebab aku sudah mentalak-tiga kamu’. Markesot bertanya, talak tiga itu termasuk ke anak dan istrinya atau tidak? Markesot waktu itu membisiki saya: ‘Tokoh itu punya dua putra. Yang satu diracun oleh istrinya, yang lain dipenggal kepalanya oleh musuhnya’. Berani kamu menantang dunia untuk menganggapnya kecil dan meninggalkannya?”

    “Lho tapi kalau Markesot jadi panutan, semua orang lantas tidak kawin, tidak berkeluarga, mandeg dong polulasi dan peradaban manusia?”

    “Itu sudah saya tanyakan kepada Markesot dulu”

    “Apa jawabnya?”

    “Itu namanya kiamat. Alhamdulillah. Semakin cepat kiamat tiba, semakin segera jelas keadaan kita. Daripada hidup di dunia menantikan akhirat di dunia yang tanpa akal, penuh penghuni sakit jiwa, dan disiksa oleh bangunan-bangunan kemunafikan yang tak ada hentinya”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  15. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Begini Ini Indonesia?
    Begini Ini Negara?


    Akhirnya Tonjé dan Kasdu pun kembali ke keluarganya. Tinggal rumah hitam Patangpuluhan, tenggelam ke lubuk terdalam di lautan kesunyian.

    Pas mereka mau pergi, Sapron, seorang yang sejak awal tinggal di Patangpuluhan dibawa oleh Markesot dari dusun, muncul. Ketika teman-teman Markesot berkumpul, Sapron tidak tampak. Begitulah masyarakat rumah hitam Patangpuluhan, tidak punya akhlak, datang tidak permisi, pulang tak pamit.

    Siapa Sapron?

    Kalau Markesot lenyap ke mana, semua berpikiran mirip-mirip. Yaaa di sekitar mengejar Kiai Sudrun.

    Siapa Sudrun? Lapisan-lapisan tertentu masyarakat Patangpuluhan bertanya-tanya.

    Kiai Sudrun? Kiai?

    Belum pernah jelas Sudrun itu Kiai apa. Guru ngajinya dulu, atau Mursyid thariqatnya, atau orangtua yang mengasuh Markesot di masa kanak-kanak. Yang paling mendekati kebenaran kelihatannya ya mereka berdua adalah sahabat sesama gelandangan.

    Seorang warga rumah hitam asal Madura, dulu, pernah mengatakan hati-hati kepada sebutan Kiai. “Jangan samakan dengan Ulama”

    Dia menjelaskan kalau sebutan Ulama itu berdasarkan kualifikasi ilmu dan akhlak seseorang, dan yang melegalisasikan keulamaan seseorang adalah Tuhan sendiri. Tapi kalau Kiai, asal seseorang disebut Kiai oleh sekumpulan manusia, atau bahkan oleh hanya seorang, maka ia sah menjadi Kiai. Bahkan tidak hanya seseorang, segala sesuatu bisa digelari Kiai: hewan, benda, pohon, keris, akik, gamelan, dan apa saja.

    Jadi jangan terpesona kepada Kiai Sudrun. Jangan dimistik-mistikkan, diklenik-klenikkan, diseram-seramkan, dihantu-hantukan, dijin-jinkan, diwali-walikan, apalagi dimalaikat-malaikatkan.

    ***

    Markesot mencari Kiai Sudrun itu mungkin sekedar peristiwa psikologi biasa. Peristiwa konsultasi, atau urusan tanya jawab pengetahuan yang normal-normal saja. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ternyata Kiai Sudrun itu khayalan Markesot belaka. Markesot meracuni orang-orang di sekitarnya dengan bisik-bisik khayalan tentang seorang tokoh misterius.

    Mungkin Markesot sudah memuncak frustrasinya. Keadaan sudah semakin darurat, tapi kok sampai hari ini tidak ada instruksi apa-apa ke Markesot.

    Perintah? Perintah untuk apa? Untuk mengatasi keadaan? Untuk mengamuk? Untuk triwikrama? Untuk menggalang massa dan memaksakan Revolusi? Untuk menggulingkan Pemerintahan?

    Atau untuk seperti dulu melaksanakan Ilmu Sirep kepada Raja agar ia legowo untuk lengser? Untuk menggedor pintu-pintu, gedung-gedung, kantor-kantor dan Istana, membentak, menggeram, berteriak, memekik, dan merombak secara hampir total semua tatanan ini dari kekacauan yang makin menjadi-jadi?

    Apakah Markesot sedang bermimpi mengumpulkan jutaan orang, diajak mengangkat tangan, menengadahkan kepala, membuka lebar telapak tangan mereka ke langit, kemudian di langit tiba-tiba tertera tulisan:

    “Begini ini Indonesia?”

    Markesot menggerutu seolah sedang menjawab tulisan di langit:

    “Ratusan tahun aku mengenali Indonesia, dan yang begini ini bukanlah Indonesia”

    “Indonesia adalah anak bungsu Bangsa Indonesia. Tapi Indonesia yang ini bukanlah Indonesia yang saya kenal sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh Bangsanya”

    Kalau lembaran tulisan ini bermurah hati memberi ruang, maka tidaklah cukup untuk memuat festival gerutuan Markesot.

    “Bangsa yang begini bukanlah bangsa Indonesia. Manusia yang begini, bukanlah manusia Indonesia. Tata kelola alam dan kehidupan yang begini, bukanlah tata kelola Indonesia. Kebudayaan dan peradaban yang begini, bukanlah kebudayaan dan peradaban Indonesia”

    Mosok begini ini Negara?”

    “Yang akarnya begini, bukanlah akar Negara. Yang batang pohonnya begini, yang dahan rantingnya begini, yang daun dan bunganya begini, bukanlah Negara. Maka tidak begini pulalah buah yang dihasilkan oleh tata Negara”

    “Negara kok dikuasai oleh Pemerintah yang diupahnya. Negara kok dimiliki oleh pejabat-pejabat yang digajinya”

    “Pemerintah kok mengaku mereka adalah Negara”

    “Rakyat kok bawahannya Pemerintah. Rakyat kan pemilik tanah air, yang mendirikan Negara dan mempekerjakan Pemerintah”

    Kemudian suara Markesot sedikit mengeras, meskipun tetap dalam lingkup gerutuan dan mimpi ke dalam dirinya sendiri:

    “Wahai Bangsa, bangunlah dari tidur lelap akal pikiran kalian. Keluarlah beramai-ramai dari penjara besar yang mengurung kalian. Jebollah tembok-temboknya”

    ***

    Tetapi memangnya siapa Markesot?

    Kalau sesekali dunia menoleh kepada Markesot, dunia sinis bergumam: “Who do you think you are?”

    Bisa apa dia? Nunggu-nunggu dawuh seolah-olah dia kakang-kawahnya Ratu Adil. Seakan-akan dia Master of Civilization. Lagaknya seperti Pendekar Zaman.

    Coba tanyakan kepada Sapron, yang sudah hidup mengawal Markesot hampir 40 tahun: apa yang pernah dicapai oleh Markesot selama rentang waktu itu? Apa prestasinya? Apa reputasinya?

    Dia pikir Negeri Khatulistiwa ini akan hancur kalau tidak ada dia. Disangkanya Bangsa Khatulistiwa ini ada yang mengenalnya. Memang ada sih sedikit-sedikit samar-samar sesekali terdengar nama Markesot. Tetapi ia bukan siapa-siapa. Markesot bukan faktor.

    Markesot benar-benar sama sekali bukan faktor.

    Tetapi Sapron hafal, jangan sampai pernyataan seperti ini terdengar oleh telinga Markesot, sebab itu akan menjadi peluang baginya untuk berpanjang-panjang menjawabnya, bahkan memperlebar-lebar argumentasinya.

    “Kalau Nabi Musa memukulkan tongkatnya dan lautan terbelah, menurut kalian faktor utama peristiwa itu adalah Nabi Musa ataukah tongkatnya?”

    Jangan pancing Markesot untuk berceramah.

    “Bukan kedua-duanya. Nabi Musa, apalagi sekedar tongkatnya, adalah sekedar alat dari faktor yang menjadi asal-usul dan pencapaian peristiwa laut terbelah itu. Hanya alat. Hanya pelengkap penderita. Bukan subyek utama. Subyek utamanya adalah Sang Maha Faktor”

    Jangan kasih panggung kepada Markesot.

    “Banjir penenggelam dua pertiga Bumi bukan karya Nabi Nuh. Hujan meteor, super-gempa, badai pelibas peradaban, bukanlah bikinan Nabi Luth. Nabi Ibrahim tidak sakti sehingga tak terbakar api, dan bukan Ibrahim pula yang memasukkan seekor lalat ke dalam kepala Raja Namrud, dan membuat lalat itu menghuni kepalanya selama 400 tahun”

    Jangan menyia-nyiakan waktu dan energi hidupmu dengan membukakan peluang kepada Markesot untuk menyiksa telingamu.

    “Masyarakat yang mendustakan ajaran Allah yang diperintahkan untuk disampaikan oleh Nabi Sholeh, pada hari Kamis mendadak berwarna kuning wajah mereka. Jumatnya berubah merah. Sabtu esoknya menghitam pekat, sebelum dilindas dan dimusnahkan seluruhnya pada hari Minggu. Nabi Sholeh bukanlah tukang sulap agung melebihi Houdini atau Chris Angel yang bermain-main warna pada wajah manusia”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  16. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Kemewahan Sebagai Barang Mainan

    Lebih 40 tahun Sapron dijejali oleh ceramah-ceramah Markesot. Isi kepala, dada dan perut Sapron adalah ceramah Markesot. Bahkan setiap helai rambutnya, setiap butiran darahnya, bermuatan ceramah Markesot.

    Mengalirnya darah di tubuh Sapron itu sendiri seakan-akan adalah ceramah Markesot. Gerak alirannya, speed-nya, iramanya yang tercermin pada dinamika cepat lambat kembang kempis jantungnya. Bahkan kotoran di antara kuku kaki dan daging jari-jari Sapron tidak lain tidak bukan adalah ceramah Markesot. Tausiyah Markesot. Mauidhah-hasanah Markesot. Makalah simposium Markesot. Artikel dan puisi Markesot. Mampuslah Sapron dimarkesoti sepanjang dan hampir seluruh kehidupannya.

    Akan tetapi Sapron terus dan tetap setia kepada Markesot.

    Mungkin karena terikat secara persaudaraan sejak masa kanak-kanaknya di dusun dulu. Markesot tukang dongeng, Sapron salah satu audiensnya di Langgar dulu.

    Tetapi ternyata sampai Sapron mengikutinya di Patangpuluhan, hidup Markesot tetap saja mendongeng dan mendongeng.

    Jelas Sapron tidak mempersoalkan itu. Sejarah nasib membawanya ke situ, entah bagaimana prosesnya dulu. Sapron sendiri tidak punya prestasi apa-apa, tapi sekurang-kurangnya ia punya cinta dan kesetiaan kepada Markesot. Dan karena sejarah cinta dan persaudaraan sejati itu maka ia selalu memaafkan Markesot dan tidak menuntut apa-apa.

    Apalagi jelas Markesot tidak pernah bicara apapun tanpa ada Tuhan di dalamnya. Markesot tidak pernah melakukan apapun yang bermuatan keperluan pribadinya. Markesot tidak pernah meminta apa-apa untuk dirinya sendiri kepada siapapun kecuali Tuhan. Markesot tidak pernah mengganggu orang, menyakiti orang, mengemis kepada orang. Markesot tidak pernah mengejar harta, jabatan, membangun karier atau pencapaian-pencapaian apapun yang sifatnya keduniaan.

    Bagi Sapron Markesot hanya semacam gelandangan. Dan karena gelandangan tidak ada alamatnya di peta masyarakat dan di buku urusan pemerintahan kecuali untuk diremehkan dan dihardik, maka Sapron diam-diam merasa terhormat dan bangga untuk menjadi penjaga dan pengawal seorang gelandangan.

    Kalau suatu hari Markesot marah di jalanan karena orang ngawur mengendarai mobil atau motor, atau petugas pom bensin mengkorupsi volume literan jualannya, atau ada preman mentang-mentang, atau apapun saja — Sapron yang jaga-jaga. Markesot dikenal sebagai orang yang sehari-harinya lembut dan agak pendiam. Tapi sewaktu-waktu ia mendadak sangat tegas, bisa membentak-bentak siapa saja termasuk orang-orang berdasi.

    Tapi terus terang sebenarnya tulang punggung keberanian Markesot adalah adanya Sapron. Kalau terjadi perkelahian benar, Sapron yang bertandang. Markesot marah kepada Tentara yang menendang seorang sopir gara-gara salah parkir, Tentara itu tidak berani bertindak apa-apa kepada Markesot, karena memperhitungkan ada lelaki gagah gempal di belakang Markesot. Ya Sapron itu.

    Markesot yang berlagak, Sapron yang jaga-jaga. Tidak seorang pun berpikir bahwa sebenarnya Markesot tidak sehebat dan sepemberani itu. Rumusnya sederhana, kalau Markesot sendiri, ia sangat lembut. Kalau ada Sapron, mendadak tegas.

    ***

    Sapron, pemuda gagah tidak jelas nasibnya sebagaimana Markesot, tuan rumah permanen rumah hitam Patangpuluhan. Seorang lelaki yang kesetiaannya boleh dikatakan membabi-buta kepada Markesot sejak dulu kala. Terkadang Sapron ini yang diminta mengantar Markesot boncengan motor, kemudian tak pulang beberapa lama. Kalau teman-teman menanyakan kepadanya, “Ron, Markesot kamu antar ke mana?”

    Sapron menjawab, “Minta turun dari motor di dekat rel kereta luar kota sana, saya tidak tahu lantas ke mana dia”

    Sapron rajin melukis kaligrafi kalau malam, siangnya makelaran apa saja: motor, barang-barang, kadang mobil. Sapron mewarisi ilmu dan keterampilan otomotif dari Markesot. Bahkan pernah disewakan tempat kecil untuk buka bengkel motor, tapi bubar.

    Sapron pintar mesin, mengerti manusia pada umumnya, tetapi tidak memahami manusia yang datang kepadanya membawa motor rusak. Sapron tidak tahu kalau mereka lebih senang ditipu daripada disikapi secara jujur dan murah hati.

    Kalau ada motor rusak datang, seharusnya Sapron mendramatisir dan menyeram-nyeramkannya. “Wah, Pak, ini butuh waktu antara lima hari sampai seminggu. Spare part ini dan ini dan ini harus ganti….”

    Sapron bodoh. Ia periksa motor, ia tidak menemui kerusakan, hanya perlu pembenahan dan fixing. Sapron menyentuh beberapa onderdil, diini-itu beberapa saat, kemudian motor jadi fix dan jrong. “Sudah beres, Pak”.

    “Berapa biayanya, Pak?” si empunya motor menjawab.

    “Ah, wong cuma nyentuh-nyentuh sedikit kok”, jawab Sapron, “nggak usah biaya Pak, Sampeyan bawa saja”

    Sapron tidak memperoleh upah dari kerjanya karena kemurahan hati dan rasionalitas berpikirnya. Juga tidak mendapat laba dari pembelian onderdil-onderdil baru yang mestinya bisa dikarang-karang, karena toh umumnya pengguna motor tidak paham-paham amat atas liku-liku mesin motornya. Sapron bukan pedagang. Apalagi kapitalis. Ia jenis petani pengabdi.

    Tidak berarti Sapron orangnya kalem dan halus. Sesungguhnya tidak ada siapapun di sekitar Markesot yang tidak usil, punya kecerdasan yang aneh, sangat suka berkelakar dan keputusan-keputusan hidupnya sering menyimpang dari kebiasaan umum.

    Suatu siang Sapron menjemput Markesot di Stasiun Kereta. Sapron berlari menuju Markesot yang barusan turun kereta, membelah-belah kerumunan sambil teriak-teriak: “Cak Sot! Cak Sot! Ampun…ampun…”

    “Lho kenapa?”, Tanya Markesot.

    “Mohon saya jangan dimarahi, Cak Sot”

    “Ah, ada apa. Kapan saya pernah marah”

    “Bener lho ya, jangan marah”

    “Ada apa, ada apa”

    “Mercy-nya Cak Sot hilang…memang tadi saya parkir agak jauh di luar sana, barusan saya cek kok hilang. Gila benar maling-maling sekarang ini”

    Markesot kaget dan terpana. Wajahnya pucat mendadak. Sorot matanya kosong. Sesaat kemudian pingsan, tubunya roboh, ditangkap Sapron dan satu dua orang di sekitarnya. Kemudian diangkat keluar menerobos kerumunan orang.

    Ada yang menawarkan kepada Sapron untuk diantarkan ke kantor kepolisian terdekat, lapor Mercy dicuri orang. Lainnya menawarkan membayar taksi untuk membawa Markesot ke Rumah Sakit. Tapi Sapron menolak dengan halus dan mengucapkan terima kasih. Sapron hanya membawa Markesot ke sebuah pojok, mendudukkan di bongkahan batu bersandar pagar. Sapron memijit-mijit kepala Markesot. Markesot memejamkan mata dan mungkin saja ia tertidur.

    Beberapa lama kemudian ketika orang-orang sudah tidak berkerumun lagi, mereka berdua akhirnya tidak menjadi perhatian sekitarnya, Sapron diam-diam mengambil motornya, memboncengkan Markesot dan menghilang dari komunitas kecil yang tadi ikut gugup oleh teriakan Sapron “Mercy-nya Cak Sot hilang!”

    Apa maksudnya mobil Mercy hilang dicuri orang? Atas dasar fakta sejarah yang mana dan bagaimana sehingga Markesot berkemungkinan punya mobil Mercy? Untuk apa Sapron teriak-teriak berlagak kehilangan mobil mewah? Pencitraan di komunitas Stasiun? Iseng-iseng memperindah kehidupan dengan khayalan di kalangan sesama orang miskin? Atau teknik pameran sosial agar masyarakat menyangka mereka orang kaya?

    Semua itu mungkin. Tapi yang pasti adalah bahwa kemewahan tidak pernah berperan lebih dari barang mainan di mulut Markesot dan komunitasnya.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  17. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Wali Negeri Khatulistiwa

    Sesungguhnya sudah bulat hati Markesot: nanti tepat tengah malam ia akan pergi mencari Kiai Sudrun, menelusuri jejaknya terserah sampai ke mana, tapi harus ketemu.

    Tak peduli ia harus menembus gelombang apapun, menunggangi malam atau siang, menjejakkan kaki di koordinat waktu di depan atau belakang. Tapi wajib ketemu. Kali ini tidak bisa tidak.

    “Kalau saya harus menyeberangi lautan untuk menemukan Kiai Sudrun, tujuh samudera akan saya arungi”, tekad Markesot, “tetapi berhubung saya tidak bisa berenang, maka saya akan bernegosiasi dengan laut, agar semua lautan bersedia untuk tidak rewel kalau saya lewati mereka tanpa berenang”

    Kalau ingat hal rembug dengan laut ini Markesot tertawa sendiri. “Banyak orang terkagum-kagum kepada kisah tentang orang berjalan di atas air. Banyak tokoh bangsa Dayak ketika Perang Sampit melaju dari berbagai arah berkumpul di suatu tempat arah utara barat Sampit, banyak di antara mereka tidak menyeberangi sungai-sungai besar dengan perahu, melainkan dengan berlari di atas air”.

    ***

    “Ada legenda tentang Ibu Maliàh yang dondom atau menjahit pakaian dengan jarum benang di dek sebuah kapal yang akan mengantarkan ratusan jamaah haji. Pak Kiai mengantarkan santri-santrinya sampai memasuki kapan. Dijumpainya si Ibu Maliàh sedang mengucapkan kalimat-kalimat wirid sembari dondom. Pak Kiai mengingatkan Maliàh bahwa makhraj dan tajwid ucapannya banyak yang salah. Maliàh langsung berhenti wiridan. Ketika Pak Kiai sudah kembali ke pelabuhan di pantai untuk nguntapke kapal melaju, tiba-tiba ada orang terjun dari kapal, berlari di atas air, menuju Pak Kiai. Orang itu langsung bertanya kepada Pak Kiai: Pak Kiai, Pak Kiai, Sampeyan tadi belum mengajari saya bagaimana wirid yang benar…”

    “Ternyata orang itu adalah Maliàh. Pak Kiai langsung pingsan”.

    Markesot selalu tersenyum ketika teringat kisah-kisah yang orang menyimpulkan itu kisah sakti. Padahal itu soal keakraban persaudaraan dengan alam. Itu soal tawar-menawar, saling murah hati di antara manusia dengan alam. Sepertinya itulah gunanya Tuhan menentukan di antara para Rasul dan Nabi, terdapat Baginda Raja Sulaiman.

    Bahkan karena Markesot tidak berenang, ia mengupayakan semacam pengumuman yang meminta, mengimbau, atau kalau terpaksa ya memaksakan, agar semua makhluk penghuni laut dari jenis apapun, menyepakati suatu permakluman untuk membiarkan Markesot melintasi samudera dengan sarana apapun saja.

    Dengan kapal, perahu, jalan kaki dan berlari di atas permukaan air laut, menaiki kuda setengah terbang, mesin kecepatan, alat strategi lintas ruang, teknologi peringkas jarak.

    Atau mungkin tidak menggunakan semua itu. Terserah Markesot. Toh ia tidak mengganggu kenyamanan hidup dan keamanan lingkungan perkampungan maya serta walayah gelombang di mana para makhluk itu bertempat tinggal. Ia cuma mau ketemu Kiai Sudrun.

    Tidak tertutup kemungkinan Markesot tidak melangkahkan kaki. Bahkan tidak pun berdiri. Tak pula duduk bersila. Malahan mungkin berbaring saja. Melintasi lautan yang terbentang dan hutan belantara yang terhampar di alam semesta dalam diri Markesot sendiri.

    Sesekali mampir singgah di dalam mimpi orang-orang yang tidak mempercayai apa yang ia lakukan. Markesot hadir dalam mimpi-mimpi mereka dan menuturkan sejumlah gangguan atau godaan.

    Terserah Markesot. Main transformasi-deformasi, pemadatan-pemuaian, kasat mata tak kasat mata, menyatai maya memayai nyata, biarkan saja. Yang penting ia mau ketemu Kiai Sudrun.

    ***

    “Mana Kiai Sudrun ini?”, jiwa Markesot meronta.

    “Mana Wali Qutub Negeri Khatulistiwa?”

    “Wabah penyakit tiada tara. Maut tak bisa ditunda, tetapi kehancuran mungkin bisa dilompati…”

    Tak kan berhenti Markesot sebelum menemukan Kiai Sudrun. Andaikan pun untuk itu Markesot harus melintas planet-planet, pun galaksi-galaksi kalau memang diperlukan, atau memergoki Kiai Sudrun di pojok-pojok perkampungan Jin, di perpustakaan digital di hutan-hutan, mengejar persembunyiannya di ke dalam setetes embun.

    Markesot akan mengajukan pensiun dini dari penugasan di Bumi, kalau Negeri Khatulistiwa dibiarkan terus tanpa penjaga. Tanpa penyangga arasy. Tanpa pengawas. Tanpa pengontrol. Tanpa pemelihara keseimbangan. Tanpa orang-orang tua yang berentang tangan dalam rahasia. Tanpa hikmah Leluhur. Tanpa pelaksanaan amanah Auliya.

    Sudah terlalu cukup bagi Markesot dan sudah usai usia kesabarannya untuk menyaksikan rakyat Negeri Khatulistiwa terkatung-katung menjalani darma zaman dengan bekal kebutaan batin dan ketulian rohani. Markesot tidak sanggup membiarkan terlalu lama masyarakat Negeri Khatulistiwa tenggelam dalam kegelapan dan kegelapan tentang tiga hal: Kepemimpinan, Ukuran dan Kemunafikan.

    Krisis Kepemimpinan.

    Kehilangan Ukuran-ukuran.

    Dan menyempurnanya Kemunafikan.

    ***

    “Kenapa tujuh belas Gardu Penjagaan Khatulistiwa kosong tanpa penjaga hampir dua puluh tahun terakhir. Ke mana para Wali? Lari dan bersembunyi di mana Wali Qutub-nya? Mana formasi koordinator regional penjagaan Negeri Khatulistiwa?”

    “Kalau tidak ada kepemimpinan di Langit Keempat, yang meresonansikan hidayah dan mendistribusikan nilai, tidaklah adil untuk mengharapkan ada kepemimpinan di Negeri Khatulistiwa yang berada di langit bawah kepengasuhannya. Ke mana ini Kiai Sudrun?”

    “Sampeyan ini Pemuka Regional Kaum Wali. Sampeyan bukan hanya zuhud, istiqamah ajeg permanen pada kepatuhan kepada Allah, diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa”

    “Sampeyan membawahi aparat-aparat dan staf-staf untuk melaksanakan tugas menjereng bumi yang bulat menjadi seperti tikar raksasa. Sampeyan dipasang untuk berhak turut memusyawarahkan proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan pemanasan suhu permukaan Bumi, mengatur panas dinginnya gunung, mengendalikan angin, mendistribusikan asap, pergerakan lempengan-lempengan Bumi, menakar keharusan gempa, mempergilirkan letusan gunung-gunung”

    “Ataukah Sampeyan sedang sibuk membantu para Malaikat mengangkat Arasy, untuk ditata kembali karena ada rencana reformasi kemakhlukan dari Tuhan? Atau Sampeyan sedang bersujud di Langit Keenam, menunggu sertifikasi qudroh sebagaimana yang dianugerahkan kepada Guru Besar Khidlir? Izin Allah untuk berdasarkan pengetahuan tentang putaran waktu dan makrifat bergulirnya zaman, Sampeyan boleh mencekik atau memuntir leher sejumlah Pemimpin di muka bumi, utamanya di Negeri Khatulistiwa?”

    “Bukankah Tuhan Maha Tak Terperi Ilmu-Nya dalam kemaha-andalan membagi tugas kepada para staf dan makhluk-makhluk-Nya? Bukankah Rasul Pamungkas saja pun tak memperoleh perkenan sejumlah hal yang Tuhan perkenankan kepada Baginda Khidlir?”

    “Apakah kali ini ada rancangan khusus?”

    “Perkenan untuk membocorkan Kapal Tanah Air, mengganti Nakhodanya, menyusun aturan-aturan baru, bahkan membikinkan Kapal baru karena yang ada sekarang sudah tidak mungkin berlayar tanpa bergoyang dan berguncang? Kemudian Sampeyan tegakkan Pagar Zaman itu, menguak masa silam, menggali kekayaan simpanan, untuk menyiapkan kesejahteraan bagi anak-anak cucu-cucu bangsa Negeri Khatulistiwa ini yang kekayaan buminya dikikis habis oleh Bapak-Ibu dan Kakek-Nenek mereka?”

    Inilah saat-saat Markesot menjadi cengeng dan sangat tertekan oleh dirinya sendiri. Markesot tenggelam oleh banjir yang berasal dari aliran dan kucuran airmatanya sendiri.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  18. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Tak Ada Cita-Cita Yang Tercapai

    Markesot mencoba membangkitkan hatinya, dengan memunculkan kembali keyakinannya sejak lama bahwa dalam kehidupan di dunia yang sangat sejenak ini, belum pernah ada cita-cita yang tercapai.

    Belum pernah ada, bahkan tak kan pernah ada. Tidak juga pada para Rasul dan Nabi. Bahkan tidak terjadi pada makhluk yang paling dicintai oleh Tuhan semesta alam.

    Nanti dulu.

    Kalau sekedar cita-cita menjadi presiden, pengusaha sukses, tokoh berprestasi, orang kaya dan yang semacam-macam itu, sangat mudah mencapainya. Apalagi di zaman sekarang ini, di mana siapa saja dianggap pantas menjadi apa saja. Di zaman di mana ukuran yang berlaku adalah kepentingan pihak yang berkuasa, yang menguasai modal dan perangkat-perangkat sejarah.

    Tetapi yang begitu-begitu itu namanya bukan cita-cita, melainkan ambisi. Jelasnya, ambisi pribadi. Kita punya seratus piring nasi hari ini dan jutaan piring nasi untuk makan sampai ke masa depan, sementara orang lain hari ini belum pasti akan bisa makan sepiring nasi — itu bukanlah pencapaian cita-cita.

    Itu sukses karier pribadi. Dan karier pribadi itu memalukan di tengah sesama makhluk di jagat raya, apalagi di hadapan Maha Pencipta dan Pemilik Sejati segala sesuatu.

    ***

    Bahkan seandainya pun sukses yang dicapai tidak hanya berlaku pribadi, melainkan berlaku se-Negara atau se-Dunia, tetapi terbatas pada kemakmuran, sandang pangan beres, transportasi lancar, papannya gedung-gedung pencakar langit, sampai pun bisa berkomunikasi dengan teman di kutub utara memakai jari-jari sambil buang air besar, ditambah merebaknya balon-balon maya di atas kepulauan Nusantara — itu bukan pencapaian cita-cita. Itu teknologi dan peradaban yang tidak berlaku lagi begitu jantung manusia berhenti berdetak.

    Segala sesuatu yang dibatasi oleh mati, bukanlah sukses. Sukses adalah suatu pencapaian yang melampaui maut, yang abadi melintasi kematian, mengalir hingga titik simpul di mana awal dan akhir menyatu.

    Dan peradaban ummat manusia, meskipun mereka berbekal Kitab-kitab Suci maupun khazanah-khazanah post-post-post-modernisme, yang batas pengetahuannya menyimpulkan bahwa yang disebut kehidupan adalah yang di dunia, dan yang di luarnya atau sesudahnya disebut kematian – maka merekalah makhluk yang paling gagal, atau minimal yang terendah pencapaian ilmu dan lelakunya.

    Kemakmuran sungguh-sungguh tidak bisa menjadi parameter primer dari sukses kehidupan. Indonesia anak bungsu yang sedang online hari-hari ini, dibekali oleh Bangsa yang melahirkannya dengan pedoman sangat sederhana namun sanggup mengantarkan mereka menuju sukses sejati dan abadi. Yakni: Adil Makmur.

    Bukan Makmur Adil. Kalau kemakmuran ditempuh sebagai tujuan utama, semua peradaban menjalaninya melalui jalan ketidakadilan. Sebaliknya jika keadilan yang ditempuh, maka kemakmuran akan menemukan karakternya yang lebih luas dan multidimensional bagi manusia dan kemanusiaan.

    Keadilan adalah kemakmuran yang sejati. Kemakmuran yang berdiri sendiri, akan selalu melanggar keadilan, dan sibuk mengembangkan ilmu dan metode untuk mengkamuflase ketidakadilan supaya tampak sebagai keadilan.

    Lelaku adil melampaui mati, kemakmuran sia-sia karena setiap orang hanya punya satu kepastian: menunggu giliran mati. Dan manusia benar-benar akan mati kalau ilmunya menyangka bahkan meyakini bahwa yang disebut mati itu sungguh-sungguh mati.

    Maka Indonesia yang merasa sedang membangun kehidupan dengan mentuhankan kemakmuran, aslinya sedang menempuh kematian yang sejati, sebelum tiba si “ajal”, yakni yang mereka sangka kematian.

    ***

    Markesot selalu tampak sangat santai, penuh kelakar dan senda gurau, sepanjang ia berada di tengah orang banyak. Tapi perhatikan begitu ia sendiri, Markesot tampak sebagai manusia yang hidupnya menangis.

    “Kenapa Nabi Muhammad Saw yang amat sangat dicintai Allah, dijamin sorganya, menjadi orang agung yang sangat utama dalam sejarah ummat manusia, tiap malam berjam-jam menangis dalam sujudnya?”, Markesot pernah terpaksa menjawab pertanyaan seolah-olah ia seorang Kiai.

    “Karena cita-cita pribadi itu sangat mudah tercapai, apalagi bagi beliau yang segala sesuatunya dijamin oleh Tuhan. Tetapi Kanjeng Nabi tidak pernah mengakui kepentingan pribadi itu sebagai atau menjadi cita-cita. Yang rasional untuk disebut cita-cita adalah akhlak mulia ummat manusia yang menghasilkan keadilan di bidang apapun di antara mereka. Dan beliau menangis tiap malam karena tahu persis bahwa cita-cita itu tidak akan pernah tercapai selama kehidupan di dunia”.

    “Terjadi peperangan besar yang pangkalnya adalah istri dan menantu beliau, yang gelombang rasa sakitnya njarem sampai di zaman sekarang ini. Apa sejatinya rahasia dibalik ketentuan Tuhan bahwa makhluk masterpiece bernama Muhammad bin Abdullah ini justru dituliskan oleh-Nya untuk punya dua cucu, yang satu diracun istrinya sendiri dan yang lainnya dipenggal kepalanya, bahkan jenazahnya diseret menempuh jalanan bergerunjal yang sangat jauh?”

    “Siapakah di antara kita, yang bukan Nabi bukan Wali bukan Ulama bukan Kiai bukan tokoh bukan siapa-siapa ini yang dianugerahi Allah penderitaan batin melebihi Baginda Muhammad? Apakah istrimu bertengkar dengan menantumu? Apakah cucumu diracun oleh istrinya dan satunya dipenggal kepalanya?”

    “Masuk sorga itu pasti bagi Muhammad, tetapi ia mengisi malam-malamnya dengan tangis. Masuk sorga adalah pencapaian pribadi, dan Baginda Muhammad tidak bergembira-ria merayakan itu. Sebab hinalah bagi kepribadian beliau untuk bangga dan gembira oleh pencapaian pribadi. Yang disebut cita-cita oleh Baginda Muhammad adalah keadilan akhlak ummat manusia di Bumi, perkebunan luas rahmatan lil’alamin, yang buahnya adalah kemakmuran rohani dan bonus kemakmuran jasmani”.

    “Tetapi beliau manusia mulia, dengan software rohani paling canggih, tak cukup dikostumi geniousitas, mengerti dan melihat dengan terang benderang bahwa tidak ada cita-cita yang tercapai selama hidup di dunia. Kakek Adam ditikam oleh derita melalui tangan Qabil yang membunuh Habil kakaknya. Dan Baginda Muhammad hampir tak punya muatan apapun di dalam dadanya kecuali dua hal. Pertama, Allah. Kedua, kesedihan yang sangat mendalam atas ummatnya di masa depan. Sampai detik-detik hijrah beliau dari alam yang ini ke alam berikutnya dihiasai oleh ratapan Ummatiii…ummatiii”

    ***

    Markesot tidak pernah punya pencapaian sukses pribadi apapun dan ia memang tidak mempedulikannya. Malam ini ia berangkat mencari Kiai Sudrun untuk memproses cita-citanya.

    “Apakah banjir yang menenggelamkan ummat Nabi Nuh adalah cermin kegagalan dakwah Nabi Nuh? Juga apakah bencana-bencana besar yang menghancurkan masyarakat Nabi Hud, Nabi Shaleh atau Nabi Luth adalah ‘raport merah’ yang membuktikan kegagalan perjuangan beliau-beliau?”

    “Jelas bahwa cita-cita para Rasul itu tidak tercapai, tetapi itu tidak sama dengan kegagalan…”

    Demikian tausiyah ‘Ustadz’ Markesot.

    Jelasnya, demikian cara Markesot menghibur dirinya sendiri, membesar-besarkan hatinya yang layu.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  19. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Tidak Tega Kepada Nabi Isa

    Bagaimana mungkin Markesot bisa tahan untuk tidak mencari Kiai Sudrun. Hatinya sangat lemah. Ia tidak tega kepada Indonesia khususnya, dan kepada seluruh Bangsa Negeri Khatulistiwa umumnya.

    Anak bungsu yang bernama Indonesia ini sedang sangat yatim seyatim-yatimnya. Hampir sama sekali tidak ada yang memperhatikannya, tidak ada yang sungguh-sungguh mengurusi sandang pangan papannya, tidak ada yang mengayomi hatinya, mendidik pikirannya dan melindungi jiwanya.

    Untung saja Indonesia ini anak yang tangguh, berkat bakat liarnya yang luar biasa. Kekurangan-kekurangan dalam penghidupan tidak bisa membuat mereka merasa benar-benar kekurangan. Ketidakcukupan bisa mereka cukup-cukupkan. Kalau ada uang seterbatas apapun di tangan mereka, mereka selalu bilang cukup. Kalau uangnya kurang dari itu mereka tetap saja bilang cukup. Dan kalau secara nalar uang di tangan mereka sebenarnya sama sekali tidak cukup, mereka bilang “bismillah dicukup-cukupkan”.

    Andaikan terjadi kiamat kecil, tanah di bumi kering kerontang, angin merobohkan semua pepohonan, gempa meluluhlantakkan tempat-tempat tinggal mereka, air sembunyi ke dalam perut bumi, panas matahari membakar ubun-ubun dan seluruh jiwa mereka, percayalah mereka adalah kumpulan manusia yang tertangguh di seluruh permukaan Bumi. Dan bekal ketangguhan serta daya hidup mereka adalah “bismillah”.

    Penderitaan sudah puluhan tahun geleng-geleng kepala karena tidak sanggup membuat mereka menderita. Kesengsaraan merasa miris untuk bergaul dengan mereka karena ujung-ujungnya si kesengsaraan ini ditertawakan oleh mereka. Mereka juara tersenyum dan tertawa dalam kontes peradaban di dunia.

    Mereka diyatimkan seyatim-yatimnya oleh Lembaga Negara, oleh konstitusi dan sistem yang diberlakukan oleh segelintir orang, oleh managemen nasional yang menamakan dirinya pembangunan, perkembangan, kemajuan, move on. Bahkan dieksploitasi. Nama mereka dijadikan ayat legalisasi proyek-proyek kepentingan pribadi dan golongan. Mereka diperdaya oleh pidato-pidato dan pernyataan-pernyataan. Dikibuli oleh informasi. Dijebak dalam komunikasi. Dibodohi pengetahuannya dan dikempongi akalnya.

    Mereka memilih dan menggaji sejumlah orang diangkat jadi Pemerintah untuk menangani keadilan dan kemakmuran mereka, tetapi pada kenyataannya Pemerintah yang selalu mereka tolong. Mereka menambal setiap kebocoran yang ditimbulkan oleh Pemerintahnya. Mereka dan anak cucu mereka yang membayar utang-utang rakus ngawur yang diselenggarakan oleh Pemerintahnya.

    Mereka memilih dan membayari Pemerintah yang tidak bekerja untuk membentang peluang seluas-luasnya bagi pekerjaan dan penyejahteraan mereka. Mereka harus kreatif mencari, menemukan dan membangun pekerjaan mereka sendiri, kemudian Pemerintah datang terus menerus untuk mengawasi mereka, menghisap pajak demi pajak di setiap langkah mereka.

    Kalau mereka melakukan kesalahan, Pemerintahnya bertindak setegas Malaikat yang tidak pernah bersalah. Kalau Pemerintah yang salah, mereka harus memaklumi, memaafkan, meskipun tanpa Pemerintah mereka minta maaf.

    Di segala bidang Pemerintah yang mereka pilih menjalankan ketidakpercayaan kepada rakyatnya, mengawasi usaha mereka, mengincar kemungkinan pemerasan dan penghisapan, mencurigai kreativitas mereka, mengontrol identitas dan perilaku mereka.

    Pemerintah pilihan mereka sangat rajin menunjukkan tindakan-tindakan yang dasarnya adalah ketidakpercayaan kepada mereka, seolah-olah si Pemerintah itu pihak punya kualitas dan akhlak yang bisa dipercaya.

    ***

    Akan tetapi ketangguhan mental dan kedahsyatan daya hidup mereka ternyata tidak mengurangi rasa tidak tega Markesot.

    “Saya bukan pejuang kemakmuran hidup di dunia”, kata Markesot, “konsentrasi saya adalah berlangsung tidaknya keadilan. Keadilan adalah gelombang yang sanggup melampaui waktu, arus nilai ruh yang memancar dari dalam jiwa manusia. Manusia memasuki keabadian dengan tiket keadilan, sebagian dari kesejahteraan, tapi tidak dengan kemakmuran”

    Maksudnya?

    “Keadilan itu rohaniah utuh. Kesejahteraan ini separo jasad separo roh. Kalau kemakmuran itu materialisme, dan materialisme itu lebih pendek usianya dibanding umur manusia yang menikahinya…”

    Banyak orang biasanya tidak mau terus mendengarkan penjelasan Markesot kalau sudah mulai ruwet. Markesot itu, kata sebagian orang, tampil seolah-olah seorang Sufi, tapi jangan dipercaya, sebab itu semata-mata karena ia miskin. Supaya tidak terlalu rendah diri oleh kemiskinannya, maka ia berlagak sufistik.

    Kalau boleh berterus terang, Markesot menjelaskan tentang adil makmur, menatap kasunyatan hidup termasuk memotret fungsi peradaban para Rasul dan Nabi dari sisi dan jarak pandang yang berbeda, fungsi pertamanya adalah menghibur dirinya sendiri.

    Ya dirinya sendiri yang miskin itu.

    Tetapi kalau dia kita tabrak dengan pernyataan itu, Markesot akan lincah menjawab bahwa hiburan yang terbatas dan berhenti untuk diri sendiri adalah hiburan yang curang. Hiburan yang tidak fair, tidak rasional, tidak ilmiah. Alih-alih hiburan sejati.

    “Kecuali”, Markesot memperkuat alasannya, “apabila manusia sanggup menciptakan dirinya sendiri, membangun fasilitas alam semesta sendiri, membeber bumi dengan kesuburan dan kekayaannya sendiri, kemudian menjalani hidup pun ia sendiri. Tapi kan tidak? Mana mungkin itu terjadi”.

    ***

    Maka sebaiknya perluas kesabaran menghadapi jenis makhluk seperti Markesot ini. Anggaplah ia tlethong lembu yang menjijikkan, tapi siapa tahu ia bisa berguna untuk dijadikan rabuk bagi tanaman di kebun atau sawah kita.

    Dengarkan saja. Siapa tahu ia termasuk yang Tuhan maksudkan di dalam rekomendasinya kepada ummat manusia, bahwa tanda orang yang mendapatkan hidayah adalah yang mendengarkan perkataan-perkataan, kemudian memilih yang terbaik untuk diwujudkan menjadi lelaku.

    Hal-hal tentang Adil Makmur itu menghibur Markesot semata-mata karena membukakan harapan atas masa depan Negeri dan Bangsa Khatulistiwa. Kalau Tuhan tidak menggariskannya untuk turut membangkitkan dan mengalami kenikmatan realitas Adil Makmur Negeri Nusantara, sekurang-kurangnya yang Markesot mimpikan tentang itu sendiri sudah sangat indah.

    Dan sesudah Markesot mempersembahkan jiwa dan kehidupannya untuk niat mulia bagi Negeri dan Bangsa Khatulistiwa, tercapai atau tidak, maka nikmatnya berniat mulia itu sah untuk menjadi hak pribadinya.

    Markesot pernah berkata, “Saya tidak punya kekuatan dan ilmu untuk mengatasi masalah-masalah bangsa kalian, sebagaimana kalian juga tidak memiliki bekal-bekal jasmani rohani yang mencukupi untuk mengatasi masalah-masalah kalian”.

    “Bahkan sekedar merumuskan komplikasi dan multi-lipatan masalah saja kalian semakin kelabakan. Lebih dari itu semakin lama kalian semakin tidak merasakan dan mengetahui bahwa sebenarnya kalian sedang dikungkung oleh masalah-masalah”

    “Kalian tertawa-tawa dan hidup sangat tenang, bermain-main, bertamasya, berpesta, bersorak-sorak, seolah-olah kalian tidak sedang menghadapi sesuatu yang tingkat penghancurannya sangat tinggi dan serius.”

    Sungguh tidak normal. Markesot yang hidupnya penuh kesedihan dengan pergi ke mana-mana dengan wajah yang penuh kesunyian, merasa tidak tega kepada Bangsa yang hidupnya penuh senyum dan tawa, yang tenang, optimis, dan tidak mencerminkan kecemasan apa-apa untuk hari ini maupun masa depannya.

    Pernah ada yang mengajukan kepada Markesot pertanyaan yang agak mendalam, terutama apa maksudnya tidak tega kepada Bangsa Negeri Khatulistiwa. Markesot menjawab,

    “Jangankan kepada Bangsamu, kepada Nabi Isa saja pun saya tidak tega. Tuhan sudah pasti tidak marah kepada beliau, tetapi jangan dipikir beliau sendiri tidak mendalam kesedihannya merasakan posisinya”.

    “Lho aneh. Kan beliau itu Nabi, pasti Tuhan menganugerahinya kekuatan, keistimewaan dan perlindungan.”

    “Ya tapi kan beliau manusia seperti kita semua. Tuhan menciptakan manusia untuk saling menyayangi dan tidak tega satu sama lain.”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  20. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Markesot Patah Hati

    Rasa tidak tegaan yang terlalu cengeng dan bekal hidup berupa rasa bersalah di dalam jiwanya kepada Tuhan yang terlalu dimendalam-mendalamkan, membuat Markesot mengambil kuda-kuda rohani dan takaran sosial seolah-olah ia seorang Nabi, atau sekurang-kurangnya seorang Wali.

    Tetapi sama sekali tidak dengan bekal ilmu, kekuatan mental, kualitas rohani dan kecerdasan sejarah sebagaimana layaknya Tuhan menganugerahkan kepada utusan-utusan-Nya. Markesot bahkan bukan orang istimewa yang memiliki keunggulan atas sesama orang awam pun. Markesot tidak punya keunggulan ilmu, pengetahuan, kepandaian atau kehebatan-kehebatan apapun.

    Aslinya terus terang bahkan Markesot tidak cukup berpendidikan. Di Pesantren hanya satu-dua tahun, sekadar diajari alif ba ta ditambah beberapa mahfudlat dan satu dua ayat dan hadits. Jangan sekali-sekali mempersoalkan apakah dia belajar Kitab Kuning, mengetahui khazanah ilmu-ilmu agama dari abad ke abad, atau apakah dia mengerti nahwu sharaf. Sebab jawabannya sangat terang benderang: sama sekali tidak.

    Sesekali ada yang mempersoalkan kenapa dengan penguasaan yang sangat minimal atas hal-hal yang menyangkut Agama kok dia sering bicara tentang Kitab Suci, sirah Nabi, hadits Rasul dan yang sekitar-sekitar itu. Markesot menggerundal:

    “Lha wong Nabi Muhammad saja diumum-umumkan sebagai Nabi annabi al-ummiyyi atau disebut buta huruf. Apalagi saya. Untungnya ke-ummiyyi-an Nabi itu melindungi beliau dari informasi yang artifisial, membentengi beliau dari pengaruh dan potensi peniruan atas ilmu-ilmu yang sudah ada sebelumnya, serta memerdekakan beliau dari intervensi dan kontaminasi bahan-bahan yang mengepung beliau dari lalu lintas komunikasi dan informasi sejarah. Kebutahurufan beliau itu membuat semua yang terungkap dari diri beliau selalu otentik, orisinal, asli, sejati, baik yang berasal dari pengajaran dan wahyu Tuhan maupun yang diperkenankan Tuhan lahir dari ketajaman berpikir dan kecerdasan akal beliau”

    ***

    Akan tetapi Markesot lupa bahwa tak akan ada seorang pun yang berpandangan bahwa yang ia ceritakan tentang Nabi Muhammad itu juga merupakan fenomena yang terjadi pada dia. Markesot bukanlah apa-apa, apalagi siapa-siapa.

    Untung Markesot tidak berkata atau berlaku berlebihan, juga sama sekali tidak mengikat siapapun yang mendengarkannya, sehingga ia tidak sampai dituduh sebagai Nabi palsu. Ia tidak peduli dipercaya atau tak dipercaya. Ia mengungkapkan sesuatu tapi tidak berkeberatan orang yang mendengarkan menolaknya. Ia tidak mempengaruhi siapa-siapa. Tidak menghimpun orang untuk jadi anak buahnya. Ia hanya berteman dan sangat kuat mengikatkan tali persahabatan dan persaudaraan.

    Dan yang paling menyelamatkan nasib sosial Markesot adalah karena seseram apapun ia bicara, di ujungnya hampir selalu ia meremehkan dan mentertawakan sendiri semua yang diungkapkannya. Markesot termasuk pakar dalam hal mengejek diri sendiri. Sangat pandai berkalakar, melucu dan merendahkan dirinya. Sepandai ia menjunjung setiap orang di sekitarnya, meskipun terkadang junjungan yang ia lakukan diam-diam mengandung ejekan dan kritisisme yang sangat menohok namun tak dirasakan oleh yang bersangkutan.

    Markesot tidak menjadi masalah bagi siapapun, karena toh kebanyakan orang tidak pernah benar-benar mempercayainya. Terkadang Markesot tampak seperti seorang yang terdidik secara modern, tapi barangsiapa berpengalaman dalam pendidikan modern, tidak mungkin mempercayainya. Di saat lain Markesot kelihatan seperti seseorang yang berasal dari perguruan tradisional yang misterius dan penuh dimensi, tapi siapapun yang di dalam dirinya terdapat pengalaman dan pengetahuan tradisional, takkan tergiur oleh Markesot.

    Sehingga ketika Markesot diketahui sedang bersiap-siap sangat serius untuk pergi mencari Kiai Sudrun, kebanyakan orang di sekitarnya juga tidak terpesona. Itu hanya semacam angin lalu dan isu enteng-entengan saja.

    ***

    Padahal Markesot sendiri sebegitu dramatis dengan tekadnya mencari Kiai Sudrun, yang katanya demi keselamatan masa depan Bangsa Negeri Khatulistiwa.

    “Aneh-aneh”, kata seorang sahabatnya Sapron yang kebetulan datang ke Patangpuluhan, “Apa itu Negeri Khatulistiwa. Khatulistiwa kan sabuk bumi. Tidak hanya melintasi kepulauan Nusantara, tapi mengelilingi seluruh bulatan bumi. Negeri Khatulistiwa mestinya ya meliputi seluruh jalur tengah bumi”

    “Biar saja, biasa, Cak Sot selalu melebih-lebihkan atau menganeh-anehkan sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa saja”, sahut Sapron.

    “Kenapa sih dia seperti enggan menyebut kata Indonesia?”

    “Nggak ah. Kadang-kadang Cak Sot menyebut Indonesia juga kok”

    “Apa karena nama Indonesia itu bukan bikinan bangsa yang bernama, atau dinamai, atau menamakan diri Indonesia?”

    “Ah, Cak Sot tidak pernah bicara begitu-begitu. Mungkin karena sangat sedih karena dia patah hati kepada Indonesia. Tapi Cak Sot memang suka bikin istilah-istilah sendiri. Dia sering mengecam saya, ‘Pron, kamu ini saya kasih tahu kok tidak mengaku…”

    “Lho…”

    “Ndak tahu asal-usulnya. Kata mengaku itu maksudnya percaya”

    “Ah, ndak lucu”

    “Saat lain Cak Sot bilang ‘Saya ini cemburu pada stang piston mobil ini’. Yang dimaksud cemburu itu curiga”

    “Ah, ndak mutu. Itu main-main tapi tidak lucu”

    “Sampai sekarang saya belum mampu menafsirkan kenapa kata ‘percaya’ diganti ‘ngaku’ dan kata ‘curiga’ diganti ‘cemburu’… Mungkin ada hubungannya dengan ulang-alik kemunafikan yang parah antara denotasi dengan konotasi dalam pemahaman bahasa kita”

    ***

    Kapan-kapan siapa saja yang kebetulan berjumpa dengan Sapron, tolong tanyakan apa maksudnya “ulang-alik kemunafikan yang parah antara denotasi dengan konotasi dalam pemahaman bahasa kita”, dijamin Sapron tidak paham. Paling-paling itu copy-paste dari mulut Markesot. Dan jangan lupa, Markesot sendiri kemungkinan besar juga tidak paham. Mulutnya bisa jadi asal mecothot saja.

    Namun demikian Markesot sangat bersungguh-sungguh dengan niatnya mencari Kiai Sudrun. Ia menjadi sangat dramatis di dalam dirinya sendiri, meskipun sang Negeri Khatulistiwa tidak tergerak sehelai rumputnya pun oleh dramatika jiwa Markesot.

    Markesot merasa hatinya kosong. Ia menemukan dirinya adalah jiwa yang ruangnya hampa. Tak berisi apa-apa kecuali dua hal. Yakni seonggok kesedihan rasa bersalah kepadaTuhan, pikiran yang penuh sesak oleh rumusan permasalahan Negeri Khatulistiwa. Serta pendaran-pendaran gelombang kerinduan yang perih dan penantian yang amat sunyi atas hadirnya kasih sayang dan pertolongan Tuhan terhadap Bangsa Negeri Khatulistiwa.

    Padahal Bangsa yang menghuni Negeri Khatulistiwa tidak merasa ada apa-apa dan tiap siang dan malam tertawa-tawa saja.

    Tapi Markesot bagaikan penyair remaja. Bajunya angin, celananya bumi, topinya langit, jaketnya alam semesta. Tak sehelai rambut pun di kepalanya yang ia potong, seakan-akan merupakan pertanda waktu hingga entah kapan nanti ia akan memergoki Kiai Sudrun di suatu titik silang antara ruang dan waktu.

    Seolah-olah Kiai Sudrun itu siapa. Padahal Bangsa Negeri Khatulistiwa pun kebanyakan tak mengenalnya dan tak pernah mendengar namanya.

    “Kiai Sudrun silakan seandainya Sampeyan bisa memadamkan listrik seluruh kota dengan satu tepukan tangan, saya akan tetap kejar. Tidak akan membuat saya mengurungkan tuntutan terhadap tanggung jawab Sampeyan, meskipun kabarnya Sampeyan bisa menggulingkan kereta api dengan meletakkan sepuntung rokok di relnya, atau mampu merontokkan bebuahan seluruh kebun dengan hentakan kakinya, serta bahkan pun sanggup membakar gedung-gedung besar dengan sorot mata, itu tak akan membatalkan gugatan bumi langit saya kepada Sampeyan…”

    Ampun. Ampun. Siapa paham bicaranya Markesot itu.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  21. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,086 / -93
    Dilarang Memahami Markesot


    Sapron mengatakan kepada temannya bahwa pernyataan terbaik yang pernah diungkapkan oleh Markesot selama puluhan tahun ia bergaul dengannya adalah “Dilarang memahami Markesot”.

    “Kok dilarang?”, temannya bertanya.

    “Mungkin aslinya Cak Sot menganjurkan agar siapa saja tidak harus atau tidak perlu mencoba memaham-mahami omongan dia”

    “Lha ya kok redaksinya berbunyi ‘dilarang’?”

    “Supaya lebih mencolok perhatian. Kan orang zaman sekarang tidak bisa tersentuh oleh anjuran. Larangan saja banyak dilanggar kok”

    “Apa haknya melarang-larang orang?”

    “Kita ambil saja sisi positifnya: Cak Sot ingin melindungi semua orang agar jangan terjebak keruwetan pikiran gara-gara mencoba memahami penjelasan-penjelasannya”

    “Kalau orang dilarang memahami, kenapa dia omong?”, temannya terus bertanya.

    Sapron meladeni semampu-mampunya.

    “Cak Sot pernah ngobrol sama saya. Kata dia omongan itu seperti tanaman. Masuknya kata, kalimat atau susunan makna dari mulut orang ke telinga dan otak atau roso kita itu bersifat seperti bermacam-macamnya biji tanaman”

    “Ah, sok filosofis memang ya dia itu”, sela temannya.

    “Kata Cak Sot orang hidup tidak bisa mengelak dari filsafat, meskipun tidak setiap orang perlu menjadi ahli filsafat. Narik becak saja harus ada landasan filsafatnya, yang tercermin pada pemahamannya kenapa dia narik becak, niatnya apa, manfaatnya apa. Filsafat itu kan akar ilmu. Kalau kita narik becak tanpa fisolofi hidup yang jelas, misalnya niat mensyukuri anugerah badan sehat atau mencari nikmatnya membanting tulang untuk menghidupi anak istri, kita jadi mudah lelah”

    “Memang Cak Sot pernah mengalami narik becak?”

    “Bukan di situ letak masalahnya. Tapi pada keputusan filosofis setiap orang ketika melakukan sesuatu. Terserah apa narik becak, menanam jagung, membengkeli motor, menjahit topi, membangun gedung, mendirikan pabrik, atau apapun, pangkal filosofinya itu yang akan ikut menentukan segala sesuatu yang akan terjadi pada dia, di luar takdir Tuhan”

    “Lha maksudnya omongan itu sama dengan benih tanaman itu apa?”

    “Kalau ada kata-kata atau kalimat-kalimat yang masuk ke otak kita, sifatnya berbeda-beda. Ada yang langsung bisa dinikmati. Ada yang seperti rumput, nunggu dua tiga hari baru tumbuh maknanya. Ada yang tiga empat bulan baru berbuah seperti jagung. Ada yang bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, seperti pohon jati, baru orang yang dimasuki kata-kata itu menemukan maknanya”

    “Ya, paham kalau cuma itu. Tapi siapa yang mengurusi tumbuh tidaknya, bersemai tidaknya, atau berbuah tidaknya kalimat-kalimat itu menjadi makna hidup?”

    “Saya juga pernah menanyakan itu kepada Cak Sot. Kata dia yang menentukan ya akal pikiran orang itu sendiri. Kalau dia membiasakan otaknya bekerja, ya mungkin akan dapat makna. Tapi kalau dia malas memutar otaknya, apalagi sampai akal pikirannya membeku, ya kata dan kalimat yang masuk itu akan hanya menjadi sampah”

    “Kan tidak mungkin otak membeku”

    “Ya mungkin tidak sampai beku, tapi nganggur. Kata anak sekarang, tidak loading. Mesin berpikirnya karatan”

    “Tapi buktinya banyak orang pikirannya biasa-biasa saja bisa sukses hidupnya. Banyak orang tidak pinter bisa kaya. Banyak orang tidak intelektual tapi berperilaku baik, sementara yang pandai-pandai malah sibuk dengan kesombongannya sebagai orang pandai”

    “Itu bab berikutnya”

    “Apakah makna itu penting? Apakah pemahaman terhadap kehidupan itu perlu? Buktinya pemimpin-pemimpin kita makin lama makin tidak dipersyarati oleh matangnya pemahaman terhadap kehidupan. Orang bikin Sekolahan dan Universitas, tapi di puncaknya mereka memilih pemimpin tertinggi dengan tidak mempedulikan hasil Sekolahan dan Universitas. Pemimpin tertinggi kita makin lama makin kurang berpendidikan, baik pendidikan sekolahan maupun pendidikan kehidupan yang di luar itu dan lebih luas dari ilmu persekolahan”

    “Ternyata diam-diam kamu terpengaruh oleh omongan-omongan Markesot juga rupanya”

    “Ndak dong. Tidak perlu seorang Markesot untuk menemukan kenyataan seperti itu. Kuli-kuli pasar saja tahu bahwa makin lama pemimpin-pemimpin itu makin tidak bermutu, makin tidak jelas ukuran untuk layak menjadi pemimpin”

    “Cak Sot sangat banyak bicara tentang kepemimpinan. Tapi yang kita bicarakan sekarang kan justru dilarang memahami Markesot, terlebih-lebih lagi bab kepemimpinan”

    “Kalau dilarang memahami ya mending tidak usah mendengarkan”

    “Lho dengarkan saja, itu lebih menguntungkan”

    “Ndak nalar kamu ini”

    “Kita memang tidak perlu mendengarkan, apalagi memahami. Cukup mesin memori otak dan perasaan jiwamu saja yang mendengarkan, kita bisa tetap main gaple”

    “Gimana itu…”

    “Cak Sot pernah menasihati saya, ‘Kamu tidak perlu berpikir. Wakilkan kepada otakmu untuk berpikir, dan ucapkan di batinmu terima kasih kepada Tuhan yang telah selalu memperbantukan gelombang akal-Nya membantu otak kita untuk mengolah nilai-nilai”

    “Aduh filsafat lagi”

    “Maka puluhan tahun saya dengarkan terus apa saja yang nyerocos dari mulut Cak Sot. Dia pernah membisiki mungkin kalimat-kalimatnya bukan almari besi yang berisi emas berlian intan dan tumpukan uang. Mungkin ada di antara seribu kalimatnya, terdapat satu kata atau kalimat yang ternyata adalah kunci untuk membuka almari besi itu”

    “Ya kalau ya. Kalau tidak?”

    “Ya siapa tahu ya”

    “Sangat spekulatif dong”

    “Semua hal dalam hidup ini ya spekulasi, kecuali yang sudah terjadi. Padahal begitu terjadi, ia langsung menjadi masa silam. Yang kita hadapi setiap detik adalah sesuatu yang kita belum tahu, sehingga posisi kita selalu adalah spekulasi. Lha supaya spekulasi itu tidak membosankan dan membuat kita putus asa, kita wujudkan menjadi usaha terus-menerus, kerja keras dan doa kepada Tuhan”

    “Doa ya kepada Tuhan, mosok kepada tukang patri”

    “Lho jangan lupa ada lho sejumlah orang yang memperlakukan Cak Sot seperti Tuhan. Butuh warungnya laku datang ke Cak Sot, bukan berdoa kepada Tuhan”

    “Ah, itu kan cuma minta urun doa, minta bantuan agar Cak Sot juga ikut mendoakan”

    “Tapi nanti kalau warungnya tetap tidak laku Cak Sot yang disalahkan, karena mustahil dia berani menyalahkan Tuhan”

    “Memang sih banyak orang datang ke Kiai atau Ulama, tapi muatan di dalam hatinya adalah ‘medukun’. Diam-diam memperlakukan Kiai itu sebagai dukun. Jadi konstruksi hubungannya berbeda dengan hubungan Kiai-Santri yang seharusnya. Kalau Kiai-Santri itu urusan pembelajaran hidup menuju dan dalam lingkup ridlo Tuhan. Kalau ‘medukun’ itu membawa hajat yang semestinya dibawa langsung ke Tuhan, tapi dibawa ke Kiai, karena menyimpulkan bahwa si Kiai itu orang dekatnya Tuhan”

    “Jelas sekarang bahwa meskipun kamu tampaknya banyak membantah Cak Sot, tapi kamu diam-diam menjadi murid tekun-nya Markesot”

    “Itu jelas fitnah. Saya tidak pernah paham kepada Markesot”

    “Makanya tadi saya bilang ke kamu pernyataan ‘Dilarang Memahami Markesot’, supaya kamu merasa lebih aman. Untuk apa memahami Cak Sot. Dia cuma Ahli Dubur”.


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.