1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Other Than A Tasteful Floccinaucinihilipilification, It's A Vengeful Cerulean

Discussion in 'Dear Diary' started by Banksy, Nov 5, 2016.

  1. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Hijrah Maiyah

    Rasulullah saw tidak bisa mengatasi tantangan di Mekkah, maka beliau berhijrah ke Madinah. Kita tidak mampu mengatasi masalah di negeri ini, maka kita berhijrah ke Maiyah.

    Untuk diketahui, tulisan ini, mungkin juga berikutnya, merupakan lanjutan alur tema Darurat Aurat, tapi secara teknis diberi judul yang lebih mendekatkan kepada muatan khususnya.

    Dalam Perang Uhud pasukan Islam kalah. Tetapi letak kekalahannya tidak terutama pada kekalahan dari musuh, sampai Rasulullah terluka dan dievakuasi ke sebuah celah di bukit Uhud, sampai-sampai Punggawa Uhud menawarkan untuk menggugurkan batu-batunya untuk menumpas pasukan musuh.

    Letak kekalahan pasukan Islam di Uhud adalah karena mereka memenangkan nafsu dan mengalahkan dua hal lainnya: pertama perhitungan rasional Rasulullah agar mereka jangan turun bukit, meskipun musuh sudah lari tunggang langgang. Kedua, kepatuhan dan kepercayaan kepada Rasulullah disekunderkan dari pendapat dan nafsu mereka untuk menuruni bukit.

    Maiyah kalah kalau parameternya adalah kekuatan politik, ekonomi dan militer. Bahkan di ranah media maya pun musuh berkeliaran bebas menghardik membuli memfitnah. Tetapi itu bukan kekalahan meskipun juga belum kemenangan, jika parameternya adalah Perang Badar: “Kita baru saja pulang dari sebuah peperangan kecil, dan sekarang memasuki peperangan besar”. Yakni perang melawan nafsu.

    Nafsu? Apa itu? Konteksnya apa saja? Skalanya seberapa? Dalam konteks Maiyah nafsu adalah seluruh himpunan semangat untuk mengubah zaman, namun tidak memverifikasikan dirinya kepada muhasabah ‘aqliyah, perhitungan akal. Ialah “misbah”, cita-cita suci, niat dan visi jauh ke depan yang dibersamai oleh sunnatullahdan qudrotullah, tapi masih mengutamakan formula dan imajinasi “karepku”, bukan tekun mempelajari “kehendak-Ku” minimal “kehendak-Nya”.

    Kalau engkau Rasul Nabi atau Auliya’ullah, bisa langsung bersesuaian “misbah”mu dengan “kehendak-Nya”. Tapi warga Maiyah adalah al‘Ummiyyin, kita awam dan faqir ‘inda-Hu. Koordinat kita pada titik aktivasi “zujajah”. Pembongkaran mesin akal dari kemapanan dan kebekuan hasil pendidikan zaman.

    Maiyah mendidik diri sendiri untuk yang disebut Sabrang “sudut pandang, sisi pandang, jarak pandang, dimensi pandang, perspektif pandang”. Melakukan pelatihan dan pembelajaran “berpikir linier, zigzag hingga spiral dan siklikal”. Namun tetap dalam maqamat yang disebut Kiai Tohar “kita orang biasa, dengan kesaksian dan gerakan orang biasa”.

    Orang Maiyah tidak rendah diri untuk menemukan dirinya tidak berdaya atas sesuatu hal, dan tidak menjadi mungguh menyangka dirinya berdaya atas hal lain. Orang Maiyah tidak memfokuskan pandangan dan gerakannya pada perjalanan dirinya sendiri, melainkan pada Tuhan dan penugasan-Nya.

    Tetapi itu tidak berarti mengabaikan pembenci yang bebas merdeka menginjak martabatnya. Sebab orang Maiyah pelaku tauhid, bergerak menyatukan diri dengan Maha Sangkan dan Maha Paran. Maka martabatnya orang Maiyah yang diinjak adalah martabat Sang Maha Sangkan dan Sang Maha Paran itu sendiri.

    Tidak karena si Boss bermurah hati “Sopir, tak perlu kejar penjambret itu, dia butuh makan, kita masih bisa beli spion”, sesudah spion mobil Boss dijambret – maka pada penjambretan kedua si sopir menoleh ke Boss “nggak apa-apa ya Boss, saya nggak usah kejar penjambret itu, dia butuh makan dan Boss masih bisa beli spion”.

    Maiyah menghadapi era sejarah penjambretan massal, nasional dan global. Mereka sendiri juga korban penjambretan. Kalau pakai parameter Uhud, Maiyah tidak punya kemampuan militer untuk meringkus masyarakat kelas penjambret. Tetapi kalau pakai kriteria Badar, orang-orang Maiyah yang mengalir bergelombang bergenerasi-generasi, sudah, sedang dan akan menuju kemenangan.

    Maiyah tidak ikut menjambret, meskipun tidak sanggup menangkap dan mengalahkan kaum penjambret. Maiyah tidak mampu menyelesaikan masalah nasional bangsa dan negerinya, tetapi minimal mereka tidak menjadi masalah, apalagi menambah masalah kepada rakyat dan diri mereka sendiri.

    Sesungguhnya tidak tepat-tepat amat disebut bahwa Maiyah tidak mampu menyelesaikan masalah penjambretan nasional. Maiyah memegang teguh suatu prinsip bebrayan horisontal, suatu pilihan watak dan akhlak untuk tidak “usil” kepada siapapun saja, sebesar apapun masalahnya. Masyarakat korban jambret belum pernah secara jahriyah atau transparan dan tegas memberi mandat kepada Maiyah untuk bergerak meringkus kelas penjambret.

    Masyarakat korban jambret dan Negeri Jambret itu sendiri tidak benar-benar menganggap ada Maiyah, ada orang Maiyah, ada manusia Maiyah, ada Pasukan Maiyah. Jangankan lagi diapresiasi, dihargai atau dipercayai. Dan andaikanpun masyarakat korban jambret mengamanati Maiyah, orang-orang Maiyah baru akan bergerak sesudah lulus tabayyun secara vertikal. Tuhan menegaskan “kalian punya kehendak, Aku punya kehendak, yang berlaku adalah kehendak-Ku”.

    Itulah sebabnya kupersilahkan Maiyah memasuki ruang dalam rumah sejarahku. Itulah sebabnya “saya” ku“aku”kan hingga saat tertentu. Kusingkap sedikit auratku.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    20 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Ajaran Kulit Mangga

    Itulah sebabnya salah satu agenda Hijrah Maiyah adalah mewajibkan diri memasuki ranah sejarah Muhammad sebagai manusia dengan segala segi dan gejolak kemanusiaannya.

    Itulah sebabnya Syekh Nursamad jauh sebelum dipersatukan dengan Maiyah dituntun Allah untuk berkonsentrasi pada penulisan “Sirah Rasul”, karena berabad-abad ummat manusia terlalu ditenggelamkan hanya di dalam lautan teks hadits, dan sangat sedikit mengetahui, menghayati, menikmati, mendalami dan mentakjubi kisah-kisah Muhammad sebagai manusia.

    Itulah sebabnya Kiai Tohar selalu sangat bersikeras mempelajari kepribadian budaya Muhammad, psikologi manusia Muhammad, geniusitas dan kebersahajaan pribadi Muhammad. Karena Kiai Tohar tidak bisa terus-menerus menyaksikan para pengikut Muhammad meremehkan manusia-Muhammad, menilai hampir semua adegan perjuangan beliau dengan take for granted “namanya juga Nabi”, “toh dia Nabi”, “lha wong Nabi”.

    ***

    Sebagaimana semua sunnatullah, ilmu yang lurus-lurus hanyalah sebagian kecil. “Aurat” inilah yang sebagian besar manusia dan orang-orang sekolah tidak memperhatikannya, meskipun mereka selalu mengalami di dalam kehidupan nyata mereka.

    Darurat Aurat ku”pause”kan pada tulisan ini, anak cucuku dan para jm kuajak masuk ke dalam rumah, menengok dunia luar dari jendela dalam. Kemudian kutuntaskan Daurat Aurat kembali sampai seri tulisan ke-40: berpuncak di Kepastian Wabal dan Fathu Maiyah.

    Perhatikan milyaran pengikut Muhammad yang bergenerasi-generasi hingga sekarang diam-diam sebenarnya tidak memerlukan Muhammad. Coba perhatikan. Ada (1) ajaran Allah dititipkan Muhammad. Ada (2) pelantikan Allah atas kenabian dan kerasulan Muhammad. Dan ada (3) manusia Muhammad.

    Para Ulama hanya sibuk memperkenalkan yang pertama dengan yang kedua sebagai pakaian, jubbah atau emblim. Yang disampaikan terutama hanya ajaran-ajaran yang toh dari dan milik Tuhan, di mana kenabian dan kerasulan digunakan untuk legitimasi dan pemantapan hati pengikutnya. Pada hakekatnya, karena yang sampai hanya ajaran, sebenarnya Tuhan menitipkannya kepada bukan Muhammad juga tidak masalah. Andaikan Tuhan memutuskan bahwa yang dititipi adalah Marzuki, Kruschev atau Kardjo, tidak ada persoalan yang timbul.

    Kalau kita pakai lagi idiom mangga dan pelok, maka pengikut Muhammad hanya menikmati paket irisan mangga dari Tuhan, terserah siapa yang disuruh membawanya ke ummat manusia. para pengikut Muhammad tidak waspada bahwa inti makna sejarah mangga adalah pada peloknya. Karena pekerjaan ummat manusia adalah Ta’dib: berkebun peradaban dan bercocok tanam kebudayaan di muka bumi, menanam, menyirami, memelihara, menjaga, hingga memetik buah hasil panennya, dengan bersabar diuji oleh hama-hama, cuaca buruk dan para pencuri – tapi untuk kemudian menanam lagi dan menanam lagi.

    Itupun, sekedar untuk mengingatkan orang Maiyah, bahwa milyaran pengikut Muhammad itu tidak benar-benar menikmati manis dan sedapnya mangga. Semakin banyak pemimpin agama yang menyaring buah mangga dengan disisakan hanya serat-serat fiqih dan dimensi hukumnya. Seolah-olah agama hanya berdimensi hukum, tanpa terapan muamalah kebudayaan yang mengamankan dan memberi nikmat. Seolah-olah agama hanya tombol pencetan on-off yang menggerakkan atau menghentikan milyaran robot-robot pengikut Muhammad.

    Yang dititipkan oleh Tuhan lewat Muhammad bukan hamparan sawah ladang, melainkan pagar-pagar, tembok-tembok, dinding-dinding, batasan-batasan yang penuh trauma dan dikte, dakwah yang menakutkan, tabligh yang mengerikan, ancaman neraka dan syarat yang hampir mustahil terpenuhi untuk mendapatkan sorga. Bahkan para pengikut Muhammad tidak diberi pembiasaan menghayati keputusan dimensi Wajib dan kemuliaan Sunnat. Karena domainnya hanya “Halal-Haram”.

    Semakin hari, semakin lama, semakin udzur zaman dan peradaban, akhirnya semakin terjelaskan bahwa dari Tuhan, melalui Muhammad, yang sampai ke ummat kebanyakan bukan ‘daging’ mangga, melainkan kulitnya. Ibadahnya kulit, pemikirannya kulit, analisisnya kulit, tafsirnya kulit, pelaksanaannya juga kulit. Padahal daripada memberi dan menyebar kulit mangga yang hanya sangat sedikit manusia, kenapa tidak membagi-bagikan pelok saja dari Al-Quran, agar milyaran pengikut Muhammad itu bercocok tanam mangga peradaban.

    Maka sekali lagi salah satu paket hijrah Maiyah adalah memulai sungguh-sungguh belajar mempelajari, mendalami, menghayati, hingga insyaallah mentakjubi kemanusiaan Muhammad, karakter luar biasa Muhammad sebagai manusia, kasih sayang sosialnya, kemurahan hatinya, kelembutan sikapnya, jiwa kedermawanannya, kecenderungannya yang sangat tinggi untuk memudahkan proses kehidupan setiap manusia, dan berpuluh-puluh tonjolan karakter beliau.

    Para pengikut Muhammad tidak cukup hanya makan mangga, atau seratnya, atau ternyata kulitnya, tanpa menghayati asal usul mangga. Tidak bisa makan nasi tanpa ingat para petani yang menanam padi. Tidak bisa makan buah apapun tanpa mengapresiasi tukang-tukang kebunnya.

    Tidak sopan dan tidak berakhlak orang Maiyah menikmati makanan minuman tanpa menghayati asal-usulnya, memahami susah payah, suka duka, gembira dan derita, riuh rendah dan kesengsaraan orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan berat hingga makanan dan minuman itu menjadi ada dan dinikmati.

    Semakin para pengikut Muhammad menghayati kehidupan manusia-Muhammad, semakin meningkat karakter rahmatan lil’alamin mereka.

    Semakin mereka mengerti dan seolah mengalami sendiri kualitas kemanusiaan Muhammad — meskipun itu juga berasal dari Tuhan — semakin mereka menemukan yang dipilih menjadi Puncak Universal Kenabian semua Nabi dan puncak Managemen Global segala Rasul: adalah memang harus beliau. Harus beliau. Tidak bisa Kardjo, tidak mungkin Kruschev dan mustahil Marzuki.

    Demikian juga hakikinya dialektika Maiyah dengan para pelakunya.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    21 Pebruari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  4. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Melatih Ketidaklayakan Mendidik Ketidakpantasan

    Ini semacam dongeng sebelum tidur buat anak cucuku dan para jm. Kita tergeletak berjajar di lantai Langgar. Lampu sudah dimatikan, kuharap di tengah dongengku jangan tiba-tiba kudengar ada yang mengorok. Memang suaraku kubikin agak pelan, karena orang-orang yang di luar Langgar tidak memerlukan dongeng ini. Meskipun demikian jangan sampai terjadi nanti aku mendongeng berkepanjangan, ternyata kalian sudah tidur semua.

    Pada zaman dulu ada seorang pengurus tertinggi sebuah negeri yang memilih para staf atau punggawa-punggawanya menggunakan Ngelmu Katuranggan.

    Turangga artinya kuda. Para pemelihara kuda meneliti dan memahami bermacam-macam karakter kuda, kecenderungannya, bakatnya, staminanya, daya juangnya, mentalnya dan seluruh unsur-unsur kejiwaan dan jasadnya. Peta pemahaman terhadap kuda ini ternyata kemudian bisa diterapkan secara relatif kepada keberagaman manusia.

    Sebuah negeri punya urusan yang beraneka-aneka. Pertanian, perekonomian, politik, kebudayaan, pertahanan dan berpuluh pembidangan lainnya. Si pengurus tertinggi negeri itu tidak sekedar mengidentifikasi para bawahannya berdasarkan ciri pribadi atau kecenderungan karakternya. Tetapi juga mempetakan perjodohan setiap orang dengan urusan-urusan yang harus ditangani bersama.

    Perjodohan tidak berlangsung hanya antara lelaki dengan wanita. Bisa juga antara manusia dengan hewan peliharaan. Antara setiap orang dengan arah dan mata angin, dengan jenis rumah, dengan susunan pintu, tembok, kamar dan susunan depan belakangnya timur baratnya. Apakah itu takhayul? Klenik? Gugon-tuhon? Khurafat?

    ***

    Jawabannya: ya.

    Kalau yang memberlakukan pola-pola itu tidak mendasarinya dengan dua hal. Pertama, pengetahuan yang dibangun dengan penelitian, baik secara ilmiah modern maupun secara titen-tradisional. Ia memilih dan mempercayainya secara buta dan dengan keyakinan yang tanpa nalar. Kedua, pemahaman bahwa Allah menciptakan besar kecil, atas bawah, arah-arah, panas dingin, kemarin dan besok, jasad dan udara, juga antara apapun dengan apapun — semua itu dengan suatu konsep. Tuhan menyusun itu semua dengan kemauan yang jelas. Tuhan menempatkan, menjauhkan, mendekatkan, menempelkan, merenggangkan, antara apapun dengan apapun. Semua itu empan-papan dan dengan maqamat yang terang benderang di pandangan Penciptanya.

    Termasuk gagasan Tuhan tentang anomali. Tentang perkecualian dan pengecualian. Illalladzina… kecuali mereka yang….

    Dan pengurus tertinggi negeri yang kuceritakan ini sangat berhati-hati membaca jodoh tak jodoh itu. Sangat waspada terhadap ketepatan, kelayakan, kepantasan. Misalnya ketika semua teori komunikasi meyakini rumusan bahwa seorang petugas hubungan masyarakat adalah orang yang fasih berbicara, yang lancar mengemukakan sesuatu, yang mumpuni kadar kemampuannya untuk merangkum dan merangkai masalah-masalah — si pengurus tertinggi negeri ini melakukan yang sebaliknya.

    Ia memilih punggawa komunikasi yang agak gagap, yang sangat lamban bicaranya, yang ekspressi wajah dan sorot matanya tidak sedap dipandang, yang setiap tampil selalu menghabiskan waktu yang panjang untuk informasi yang sedikit dan pendek.

    Tentu saja pilihan ilmu dan metode yang terbalik itu bisa dilatarbelakangi oleh maksud baik ataupun oleh niat buruk. Tetapi bukan itu tekanan pembicaraan kita. Yang kita beber adalah batas pengertian tentang kelayakan, kepantasan, ketepatan, empan-papan.

    ***

    Puluhan tahun ia mengurusi seluruh aspek negeri itu dengan pemahaman Katuranggan. Tidak sangat berhasil, tapi juga tidak bisa disebut gagal. Tidak selalu benar, dan bahkan banyak salahnya. Tidak pasti baik, bahkan sangat mudah orang mencari buruknya.

    Tetapi minimal ia meletakkan lembu untuk menarik gerobak. Kerbau untuk membajak sawah. Memakai wuwu atau jala untuk menjaring ikan, meskipun ia tidak tertutup pada kemungkinan pukat harimau dan kapal besar pengeruk ikan. Dalam mengurusi segala sesuatu, ia selalu sangat berhati-hati meletakkan orang atau sesuatu, berdasarkan pemahaman Katuranggan, ditambah Ngelmu Pranotomongso. Ilmu tentang momentum. Tentang ketepatan waktu, di sisi ilmu tentang ketepatan ruang dan isi ruang.

    Sesudah yang saya ceritakan ini, berikut-berikutnya ada pengurus tertinggi negeri yang lain yang tidak berpendapat bahwa ketepatan itu perlu. Atau minimal pengurus tertinggi yang ini punya pandangan progresif bahwa ketepatan, kelayakan, kepantasan dan empan-papan tidak selalu terikat pada ilmu baku Katuranggan dan Pranotomongso.

    Ada sesuatu yang tampak tidak tepat tapi kemudian malah menghasilkan ketepatan. Bahkan ada ketidaktepatan yang justru merupakan suatu jenis ketepatan. Orang yang pekerjaan sehari-harinya menyabit rumput dan menggembalakan kambing dijadikan ketua nelayan. Jago rally motor diberi tanggung jawab nyetir truk antar kota. Bahkan orang yang badannya sakit-sakitan disuruh jadi ketua perguruan silat, hafidh Quràn diamanati jadi kepala teknologi.

    Sejak itu penduduk seluruh negeri dibiasakan untuk melihat, merasakan dan mengalami banyak hal yang tidak empan-papan. Masyarakat dilatih untuk memaklumi ketidaktepatan. Rakyat dididik untuk terbiasa menelan ketidakpantasan.

    Sejak itu sampai hari ini semua orang terbiasa memaafkan pelanggaran-pelanggaran hahekat hidup. Terbiasa memaklumi jagoan pasar menjadi wakil rakyat. Terlatih untuk permisif untuk ibarat orang shalat berjamaah: diimami oleh orang yang dalam keadaan najis mugholladloh.

    Sejak itu rakyat tidak merasa heran melihat siapapun menjadi apapun. Kursi pemimpin, Kiai, pejabat, tokoh dan apapun yang tinggi-tinggi boleh diisi oleh siapapun tanpa hitungan kelayakan, kredibilitas, hak ilmiah, proporsi nalar atau pola logika ekspertasi, kepantasan budaya maupun kelayakan sosial.

    Sejak itu budak boleh jadi raja, raja tak mengherankan ketika melorot jadi budak. Sejak itu kebun-kebun buah dititipkan kepada kera-kera. Sejak itu kumpulan perampok dipasrahi mengamankan gudang dari maling-maling.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    Yogya 22 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  5. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Empat Huruf Yang Mengatasi Demokrasi dan Tuhan

    Kekuatan besar dunia terus mempermainkan ummat manusia dengan melemparkan hati dan pikiran mereka di sungai-sungai isu yang berganti-ganti: Islam musuh baru sesudah komunisme, Arab Spring, Islam teroris, provokasi terencana untuk membuat Kaum Muslimin sedunia bermusuhan, kemudian beberapa level isu, bom pura-pura hingga tema Wandu.

    Kuharap anak-cucuku dan para jm tak usah membawa pembicaraan kita ini ke lapangan Indonesia dan dunia. Ini bisik-bisik pribadi, aku kepada anak cucu dan para JM. Dunia dan Indonesia sangat kuat dan berkuasa. Maka kalian kalau bisa berupaya agar jangan sampai dikuati dan dikuasai. Kalian harus kuat dan berkuasa atas diri dan kehidupan kalian sendiri.

    Kalau bisa jangan sampai terhanyut dan tenggelam oleh tipu daya global atau nasional apapun. Maka selalu kutuliskan secara khusus dan berkala berbagai hal untuk itu, syukur menjadi bekal untuk tidak terjajah oleh beribu tipu daya yang membanjiri kiri kananmu. Semata-mata buat anak cucuku dan Jamaah Maiyah.

    Sebenarnya jadwalku hari ini meneruskan ‘PR’ lanjutan tulisan terutama perang terhadap kata dan simpul-simpul masyarakat Jin. Tetapi alangkah menderitanya hatiku hari ini!

    Hidup di dunia yang diciptakan sangat indah oleh Tuhan namun dibusukkan dan dikumuhkan oleh peradaban ummat manusia yang penuh ketidakadilan dan keserakahan. Dan aku tersandera untuk turut meramu obat untuk penyakit-penyakit yang seharusnya tak perlu ada. Ikut mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang sesungguhnya bisa tidak usah ada. Dipaksa berkata, menyusun kalimat, menguraikan dan menjelaskan berbagai hal-hal yang semestinya tidak perlu ada penjelasan apa-apa.

    Hidup puluhan tahun di tepian jauh alam semesta dilepas oleh Tuhan dengan tugas untuk mengembara mencari kunci demi kunci untuk membuka pintu-pintu rahasia-Nya. Untuk meraba apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh-Nya. Mendengarkan bisikan-bisikan kesunyian untuk menemukan apa hakekat kemauan-Nya, bagaimana alur skenario-Nya, apakah sudah mendekati babak final skrip-Nya, ataukah masih jauh jauuuh di seberang cakrawala.

    Tiba-tiba hari ini aku harus menuliskan sesuatu yang sangat merusak keindahan yang sudah terbangun sangat lama di kedalaman jiwaku. Dunia dipenuhi oleh sampah-sampah hasil kerusakan akhlak, oleh kemalasan dan kegelapan berpikir, oleh barang-barang dan peristiwa-peristiwa hina produk dari keserakahan manusia, serta oleh berbagai jenis kekonyolan, kesempitan dan kedangkalan — yang awalnya terasa menggelikan, kemudian menyebalkan, dan akhirnya memuakkan.

    Mendadak aku diinstruksikan untuk menulis tentang Wandu. Betapa sengsaranya hatiku.

    ***

    Wandu itu banci. Banci itu kelamin syubhat. Kemudian sebenarnya tidak ada kelamin syubhat, tapi ditakhayuli oleh api nafsu yang menyamar sebagai hak alamiah. Lantas diambil alih oleh akulturasi budaya di mana manusia tidak memiliki kontrol apapun untuk memahaminya dan untuk menghindari terjebak terkurung dan diaduk-aduk oleh hakekat pembiasaan budaya itu.

    Bahkan kemudian dilegitimasi oleh kekuasaan politik melalui legalitas hukum. Dan sesungguhnya apa yang ditandatangani dan disebar-sebarkan itu tidaklah ada kaitannya dengan politik dan hukum, melainkan berhubungan dengan niat perapuhan atas suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Perapuhan, pemecah-belahan, pengkebirian intelektual dan mental. Dan pangkal hajat yang tersembunyi di belakang itu semua adalah skenario perampokan harta, penjambretan kekayaan bumi di wilayah yang skala dan titik-titik koordinatnya sudah digambar di lembar kertas perencanaan penjajahan.

    Akhirnya hari ini semua orang di sekitarku senegara beserta beberapa masyarakat di beberapa negara target lainnya, disibukkan oleh empat huruf yang heboh. Empat huruf yang dibiayai oleh persatuan bangsa-bangsa untuk disosialisasi secara khusus sejak Desember dua tahun kemarin hingga September tahun depan. Empat huruf yang di sejumlah negara besar di muka bumi semua orang harus berpendapat sama tentangnya.

    Empat huruf yang barangsiapa tidak menyetujuinya maka ia akan dihina dan dihardik. Empat huruf yang lebih tinggi kekuasaan nilainya dibanding Demokrasi dan Freedom of Speech. Empat huruf yang dibela total oleh Hak Asasi Manusia. Empat huruf yang hakekat kehadirannya bahkan “harus dipatuhi oleh Tuhan”…. Empat huruf yang mengubah sejarah penciptaan makhluk-makhluk dan alam semesta. Empat huruf yang menambah lembaran catatan bahwa dulu Tuhan tidak hanya menciptakan Adam dan Hawa, tapi juga Hawa dan Syahba, serta Adam dan Karta.

    ***

    Ummat manusia semakin tidak percaya dan tidak merasa perlu meneliti batas dan jarak antara sunnatullah atau ciptaan otentik alamiah dengan gejala budaya, interaksi kultur, fenomena akulturasi dan pergesekan pengaruh di dalam kebudayaan kolektif manusia. Tidak bisa dan tidak mau memperhatikan dan melihat perbedaan antara setan dari luar dengan setan dari dalam dirinya sendiri, “alladzi yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas”. Tidak mampu dan tidak bersedia menemukan pilah dan garis-urai antara ruh dengan nafsu, antara semangat hati dengan gejolak api, antara cinta dengan kebinatangan, antara kesucian dengan pelampiasan.

    Maka ummat manusia, terutama yang terpelajar, sudah tidak memerlukan pertimbangan mendasar tentang apa yang harus dijalankan dan apa yang wajib tidak dijalankan. Apa yang layak dijunjung dan apa yang seharusnya dihentikan. Apa yang bermasa depan untuk dianjurkan dan diaktivasikan secara sosial, serta apa yang tidak bisa ditumbuhkan, tidak akan memuai menjadi pohon dan daun-daun, serta sama sekali tidak akan pernah berbuah manfaat apapun bagi kehidupan.

    Para aktivis empat huruf itu tidak menemukan apapun di dalam dirinya kecuali segumpal benda yang berhakekat maut, segumpal sosok semu atau sekepulan asap khoyal yang baginya itu merupakan kekayaan tertinggi dalam hidupnya. Ia lindungi sisa kekayaan itu dengan kotak baja hak asasi manusia. Bahkan ia takut kehilangan gumpalan asap itu kalau beberapa saat saja ia menoleh melihat apa sebenarnya asal-usul semua itu. Juga merasa akan kehilangan cinta semu yang berperan sangat nyata di hati takhayulnya itu jika ia menatap cakrawala masa depan yang jauh, tak usah masa depan dan regenerasi seluruh ummat manusia — bahkanpun sekedar masa depan dirinya sendiri dengan pasangannya.

    ***

    Jika aku punya hak dan boleh memilih, takkan kutuliskan hal ini. Maka jika aku menuliskannya, tidaklah sama sekali kumaksudkan untuk para empat huruf, bahkan juga tidak untuk masyarakat, bangsa atau ummat manusia.

    Aku menulis hanya untuk anak-anakku cucu-cucuku. Maka kubikin tidak gamblang, tidak mudah dicerna, tidak seperti mangga yang sudah kukuliti kuirisi dan kusuguhkan di atas meja.

    Aku menyampaikan kepada anak-anak cucu-cucuku bukan buah mangga, melainkan pelok, bijih-nya. Tidak untuk dimakan, melainkan untuk ditanam di sawah ladang akal pikiran, untuk diperkebunkan di semesta wawasan ilmu dan pengetahuan, untuk disirami dengan kecerdasan dan disuburkan dengan menjaga persambungan dengan Maha Sumber Ilmu.

    Ya Khuntsa.

    Ya Mukhonnats.

    Ya ayyuhal AlMukhnitsin.

    Ya Luthy…. orang menyebut mereka Qoumu Luth, alias Luthy…. Tapi aku tak setuju sebutan itu. Mereka bukan kaum Luth, karena Nabiyullah Luth yang ma’shum tidaklah sama sekali mengajarkan kedangkalan, kesempitan, kesepenggalan dan kekonyolan itu.

    Bahkan Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang oleh Allah disandera dalam cinta yang berupa ujian hakiki alami berpotensi lebih besar untsa-nya atau dzakar-nya, feminitas atau maskulinitasnya — bukanlah warga empat huruf.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    23 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  6. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Managemen keAdaman dan keHawaan

    Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para jm memastikan pemahaman bahwa “empat huruf” itu tidak sama dengan Mukhonnats, Wandu atau Banci. Sama sekali berbeda.

    Banci itu keadaan, yang menjadi identitas. Sepanjang tidak ditulari secara budaya, maka Banci Mukhonnats Wandu adalah kehendak alamiah Tuhan. Di empat nomor tulisan ini kita belajar pengelolaannya, ke dalam diri yang bersangkutan, maupun penanganan secara sosial.

    Tetapi “gay”, “lesbi”, “bisex” dan “transgender” bukan keadaan, bukan identitas, melainkan perbuatan atau perilaku sosial. Jadi “empat huruf” itu tidak menjelaskan identitas, melainkan perilaku.

    Tidak ada masalah kita lelaki, perempuan atau banci. Yang menjadi masalah adalah ketika lelaki dan perempuan berhubungan s*ks tidak dalam pernikahan. Apalagi berhubungan s*ks sesama jenis, dengan benda, dengan hewan, batang pisang atau tiang kayu, atau beramai-ramai berjenis-jenis.

    Kalau masalah yang timbul hanya terhadap hukum, moral atau norma sosial, masih tidak terlalu mengancam kehidupan. Tapi kalau masalahnya adalah konflik dengan kemauan Tuhan, anak cucuku dan para jm tolong jangan anggap ringan.

    ***

    Yu Sumi, wanita yang kelelaki-lekakian, adalah seniorku dulu di desa. Guk Urip, lelaki yang kewanita-wanitaan, juga senior era berikutnya. Dan Mas Bardi, lelaki gagah berbadan besar gempal tapi kewanita-wanitaan, adalah juga senior hidupku di salah satu tempat perantauanku.

    Tuhan menginformasikan bahwa Ia menciptakan makhluknya dengan potensi maskulinitas dan feminitas dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan Ia sebut “syu’uban wa qaba’il”, yang selama ini diterjemahkan menjadi “bersuku-suku dan berbangsa-bangsa”, meskipun ketika ayat itu turun belum ada konsep atau perumusan tentang bangsa.

    Syu’ub dan qaba’il tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan bangsa atau rumpun bangsa. Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa karena negaranya pun tiga, padahal sesungguhnya mereka satu qabilah, atau satu bangsa, atau bahkan satu suku atau sub-bangsa. Semua itu sangat relatif. Dan bagaimana pemetaan ciptaan Tuhan itu dipahami tidak dengan mempelajari konsep dasar dari Tuhan, tetapi disimpulkan berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia. Yang besok dibatalkan sendiri. Lusa dilanggar sendiri. Seminggu berikutnya diingkari, dibantah dan dikutuk sendiri.

    Mohon diingat oleh anak cucuku dan para jm, ini bukan tafsir, dan aku pun tak memenuhi syarat untuk menjadi mufassir. Ini sekedar pesan pribadi kepada kalian, yang lebih baik tak usah didengar oleh khalayak umum, agar tidak menambahi potensi perbedaan dan pertentangan.

    Demikianlah ummat manusia bermain-main dengan arca dan patung-patung pemikiran dan khayalannya sendiri. Patung bukan satu-satunya bentuk berhala. Justru mayoritas berhala dan pemberhalaan bertebaran di peta pengetahuan dan pilihan ilmu kaum cendekiawan. Terutama di hamparan hasil teknologi kebudayaannya. Abad 20-21 adalah peradaban ummat manusia yang jumlah Latta-Uzzanya hampir tak bisa dihitung. Hampir seluruh arca yang diberhalakan itu dikostumi dengan pakaian-pakaian agama, dijubahi dikerudungi dengan performa kesucian Tuhan dan Nabi-Nabi.

    ***

    Karena kemalasan berpikir, meneliti dan menganalisis, maka kumpulan-kumpulan manusia bisa suatu hari keluar rumah dengan senjata tajam dan acungan tangan-tangan serta teriakan pekikan yang menyebut nama Tuhan — dengan penuh kegagahan dan keperkasaan membakar sebuah patung, karena mereka tidak belajar untuk mengetahui bahwa arca yang perlu dibakar sesungguhnya terletak di dalam dismanagemen berpikir mereka sendiri.

    Apa yang kutuliskan ini mutlak tidak diperlukan oleh teman-teman kita sesama makhluk hidup yang hampir mustahil memahami bahwa letak berhala-berhala yang mereka musuhi itu berada di dalam akal mereka sendiri. Maka aku hantarkan nilai-nilai ini kepada anak-anak cucu-cucuku agar jangan kelak menjadi keledai zaman yang mengulang-ulang ketidakmengertian dan memasuki lobang-lobang ketidakpahaman sampai ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan seperti tak ada kemungkinan bahwa ribuan kali itu akan tidak bertambah dan diteruskan.

    Anak-anak cucu-cucuku sudah hafal bahwa letak kekufuran, kemusyrikan, bid’ah, keterpelesetan aqidah dan kesesatan dari garis tauhid, tidaklah berada di luar diri. Tidak di kota ataupun desa. Tidak di bunyi ataupun sepi. Tidak di perempatan jalan atau di toko-toko besar. Tidak di perkampungan atau gedung-gedung tinggi. Tidak di negara atau di rumpun suku-suku hutan belantara. Tidak di dalam atau di luar masjid dan tempat-tempat ibadah ataupun persangkaan-persangkaan ubudiyah yang lain.

    Melainkan terletak di dalam akal dan hati masing-masing. Terletak di dalam ketidaktepatan atau ketepatan tujuan utama kehidupan. Terletak di dalam lingkup niat dan hajat. Terletak di dalam diri. Terletak di dalam diri. Jadi ambil pedang dan obor, berlarilah menghamburlah ke dalam diri sendiri, tebas kebatilan akalmu dengan pedang dan bakar kebodohan pikiran diri sendiri dengan api.

    ***

    Yu Sumi di dusunku, seorang Hawa yang keAdam-Adaman, sampai akhir hayatnya tidak bisa menemukan kepenuhan Hawa dalam dirinya, tapi juga hal itu tidak lantas membuatnya berprasangka bahwa dirinya adalah Adam.

    Tuhan menciptakan di dalam diri Adam terdapat potensi Hawa, yakni kelembutan, kasih sayang, keluwesan. Adam melambai hatinya kepada Hawa dan anak-anaknya, bahkanpun kepada Qabil sesudah membunuh Habil kakaknya. Tetapi hati melambai Adam tidak diekspresikan keluar melalui tangan dan gerak tubuh yang melambai. Karena Adam diajari Tuhan untuk waspada dan mengerti bahwa hidup adalah menata batas-batas.

    Hawa juga memiliki unsur ke-Adam-an di dalam dirinya. Dan sebagaimana Adam, Ibu Hawa menjaga batas bahwa ekspresi sosialnya harus mengutamakan ke-Hawa-annya dan mengelola ke-Adam-annya untuk konteks-konteks tertentu di dalam metode pergaulan sosial.

    Semua lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah Hawa yang mengandung Adam. Keduanya dan masing-masing adalah Khalifah, dan yang pertama-tama mereka khalifahi adalah managemen internal dirinya sendiri, sebelum banyak omong dan menghamburkan orasi-orasi tentang negara, demokrasi dan apapun keluar dirinya.

    Lelaki bukan hanya kegagahan dan kekerasan, karena ia juga dibekali Tuhan kelembutan dan kasih sayang. Wanita bukan hanya kelembutan dan kasih sayang, karena Tuhan juga membekalinya dengan ketegasan dan kekerasan. Tidak ada anti-kekerasan. Yang ada adalah anti-kekejaman. Tulang belulang wajib keras. Daging, otak, jantung dan paru-paru wajib lembut. Darah wajib cair.

    Tidak ada radikalisme, yang ada adalah radikalitas pada batas dan ukurannya. Kalau karena sakit tertentu kaki harus diamputasi, maka harus diterapkan tindakan radikal memotong kaki. Kalau api menguasai cahaya hati, maka dibutuhkan keputusan radikal untuk memadamkan api. Kekerasan diperlukan untuk prosedur membuat anak dan mengabdi kepada sunnah regenerasi. Tetapi kekerasan kelamin laki-laki harus diperjodohkan dengan kelembutan hatinya kepada istri.

    Managemen keAdaman dan keHawaan di dalam diri setiap manusia memerlukan sekaligus kelembutan dan kekerasan. Kepada nafsu syahwat harus keras dan radikal untuk mengatur batasan-batasannya. Itulah sebabnya aku tuturkan kepada anak-anak cucu-cucuku tentang Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    24 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  7. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Ahlul Glugu wal Kayu

    Yu Sumi memakai celana atau sarung seperti lelaki. Pakai kaos, berjalan gagah seperti Werkudoro, tangannya kokoh memegang arit, bendo, parang dan terkadang pedang jika diperlukan. Yu Sumi memanjat kelapa tinggi dengan langkah naik yang sangat kuat, perkasa dan tangguh. Yu Sumi mengurai sabut kelapa dengan jari-jarinya dan memecah batok kelapa dengan pojok jidatnya.

    Sketsa sosok Yu Sumi ini kututurkan untuk anak cucuku dan para jm. Jangan sampai dibaca oleh yang bukan kalian, sebab mungkin ini memalukan dan bisa jadi menjadi bahan tertawaan. Sebagaimana aku, kalian tidak cukup terpelajar, bukan cendekiawan, tidak berbudaya modern dan metropolitan. Kita orang dusun yang telapak kaki kita terlalu dekat ke tanah. Muatan dada kita adalah hati petani, sedang di kepala kita tidak ada unsur intelektualitas kelas manusia modern.

    Yu Sumi, yang Hawa, lebih kuat dari kebanyakan lelaki di desa saya.

    Tetapi ia tidak melirik, melotot atau mengincar wanita-wanita, gadis-gadis atau Adam-Adam yang keHawa-hawaan di desa. Yu Sumi tidak menjadi lesbisch lesbong lesboa atau lesung. Sampai meninggalnya di usia hampir 60 tahun Yu Sumi tidak mencintai wanita, apalagi mencintai lelaki, tidak berpacaran, tidak nikah. Yu Sumi bekerja keras.

    Yu Sumi mengisi hidupnya dengan bekerja, bekerja, bekerja dan bekerja hingga kelelahan kemudian tertidur. Yu Sumi tidak punya kekayaan dunia. Tidak punya pekerjaan tetap. Tidak punya warung usaha atau apapun. Yu Sumi tidak cukup waktunya untuk memenuhi permintaan para tetangga untuk membelah kayu, mencangkul dan nggaru nyingkal sawah, untuk melakukan berbagai macam pekerjaan yang orang menyebutnya pekerjaan kasar dan rendahan.

    Ya Ampun ya Salam alangkah kasar orang yang menciptakan istilah pekerjaan dan kasar. Dan alangkah tidak punya kelembutan siapa saja di antara masyarakat yang menyebut pekerjaan Yu Sumi adalah pekerjaan rendahan. Alangkah bodoh manusia yang menyebut Yu Sumi memanjat pohon kelapa dan membelah kayu-kayu besar adalah pekerjaan kasar.

    ***

    Itu pekerjaan keras. Memerlukan kekuatan dan kekerasan. Karena tidak mungkin membelah kayu glugu dengan kelembutan. Betapa pentingnya kekerasan dalam bagian-bagian tertentu dari kehidupan. Istilah pekerjaan kasar berasal dari manusia yang berhati kasar, yang diam-diam merindukan kelembutan namun tak kunjung mendapatkannya. Istilah pekerjaan rendahan bersumber dari orang-orang yang kenyataan martabatnya rendah, yang merindukan ketinggian derajat namun tak pernah memperolehnya.

    Yu Sumi wanita yang kuat dan keras, namun kekerasannya ia tumpahkan ke pohon kelapa dan kayu-kayu, tidak kepada sesama wanita. Yu Sumi juga lembut dan mendalam cintanya, namun kedalaman cinta itu ia kembalikan secara diam-diam dan sunyi kepada sumbernya. Yu Sumi adalah hardworker di dunia, namun di dalam dirinya ia adalah pengasih dan kekasih Tuhan, tanpa ia puisikan, tanpa ia tasawufkan, tanpa ia romantisasikan dengan label Agama Nusantara, Agama Pohon Kelapa, Ahlul Glugu wal Kayu atau apapun.

    Yu Sumi dikatakatain sejumlah orang di dalam hatinya, namun tak pernah pengkatakataan itu dikatakatakan melalui mulut mereka. Yu Sumi diejek-ejek oleh sejumlah anak-anak kecil yang melihatnya sebagai keanehan: perempuan kok sarungan, wanita kok memanjat kelapa dan membelah kayu-kayu. Tetapi tak usah Tuhan, Yu Sumi yang tak sekolah dan tidak nyantri pun cukup untuk mengerti bahwa anak-anak tidak berdosa dengan ejekan-ejekannya itu. Dan Yu Sumi tidak pernah bodoh untuk marah kepada anak-anak itu. Sebagaimana Tuhan pun tidak menghukumi atau menghardik anak-anak manusia yang belum ‘aqil (sanggup menggunakan akal) baligh (mampu menyampaikan kebaikan).

    ***

    Yu Sumi sangat bermanfaat hidupnya bagi para tetangga. Yu Sumi pekerja sangat keras, rajin, tekun dan anti-kemalasan. Masyarakat desa tidak terpelajar tapi sepanjang hidup Yu Sumi mereka menjaga aurat. Bahwa posisi khuntsa, kehadiran mukhannats Yu Sumi adalah aurat yang harus mereka lindungi bersama. Tidak dibuka-buka. Tidak didiskusipublikkan. Tidak dimedsosmedsoskan. Tidak menjadi agenda pemikiran dan undang-undang. Tidak dilebailebaikan dengan bermacam akrobat ilmu dan pengetahuan, tidak dilebihlebihkan dengan pernyataan-pernyataan dan ideologi.

    Dan Yu Sumi menolong masyarakat dengan mengalah secara sosial dan mentransendensikan secara keTuhanan, meskipun untuk melakukan semua itu Yu Sumi tidak memerlukan pengenalan tentang berbagai kata dan istilah yang mumbul-mumbul muluk-muluk khas manusia dan peradaban modern yang merasa dirinya pandai dan paling hebat.

    Yu Sumi secara naluriah sangat mengerti satu hal. Bahwa eksistensinya adalah rahasia Tuhan, di mana ummat manusia tidak sanggup menanggung dengan ilmunya, tidak sanggup menyangga dengan pengetahuannya. Yu Sumi secara sukma dan jiwa tahu bahwa ia adalah rahasia Tuhan. Pusat berkah atau celakanya terletak pada posisi nafsu seksualnya.

    Dan Yu Sumi punya harga diri kemanusiaan yang sangat tinggi, karena memang demikian Tuhan menentukan makhluk satu ini sebagai ahsanu taqwim, sebagai masterpiece ciptaan-Nya, sehingga Tuhan memilih dan melantiknya sebagai khalifah-Nya, sebagai wakil-Nya. Yu Sumi mengetahui itu semua karena ia belajar dengan caranya sendiri, berdasar posisi sosialnya sendiri, serta membatasi diri pada kerahasiaan ketentuan Tuhan yang ia pagari dengan waspada dan seksama di tengah pemetaan sosial masyarakatnya.

    Karena mengerti tingginya derajat sebagai manusia, Yu Sumi dengan sangat radikal menumpas nafsu seksualnya. Berat pada tahun-tahun pertama. Tapi segera Yu Sumi menemukan bahwa untuk melawan nafsu hanyalah diperlukan satu lompatan kecil di dalam jiwa dan mentalnya. Nafsu *** tidak seram bagi Yu Sumi. Tidak muluk-muluk dan tidak berkuasa atas dirinya.

    Yu Sumi cukup tekan knop “off” dalam maintenance mentalnya. Sampai akhirnya sang nafsu putus asa untuk berani-berani “on” di dalam diri Yu Sumi. Apalagi setiap kali sang nafsu mencoba nakal menggodanya, Yu Sumi ambil nafsu itu dari dalam dirinya, dicabut, dikeluarkan, digenggam dengan tangan kirinya, ia pelototi dan ia banting pecah berkeping-keping di tanah terjal desa kami.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    25 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  8. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Pandai Kepada Diri Sendiri

    Kalau Yu Sumi mengerti apa itu kewajiban, terutama kewajiban kepada Tuhan, salah satu kemungkinannya adalah ia akan menjadi ahli ibadah.

    Ia merasa eman kalau sedikit saja mengurangi ibadahnya. Ia tidak melewatkan satu jam semenit sedetik pun untuk beribadah. Tidak ada yang lebih mulia dari beribadah kepada Tuhan. Tidak ada yang dipuji Tuhan melebihi hamba-Nya yang mengisi siang dan malam dengan ibadah.

    Akibatnya Yu Sumi akan didatangi oleh semacam ujian. Ia sangat mungkin menjadi seseorang yang karena tekun ibadahnya maka ia punya naluri untuk membandingkan dirinya dengan orang lain berdasarkan kerajinan ibadahnya.

    Tahap berikutnya ia memperoleh sub-ujian bahwa ia merasa dirinya lebih dekat kepada Tuhan dibanding orang lain yang kurang beribadah, terlebih lagi dengan orang yang tidak beribadah. Rasa lebih dekat kepada Tuhan itu bisa memperanakkan rumusan atau gambaran bahwa yang rajin beribadah berderajat lebih tinggi dibanding yang tidak beribadah.

    Rasa lebih tinggi itu bisa mengurangi jarak pergaulan Yu Sumi dengan orang lain yang tidak setekun ia ibadahnya. Kemudian bisa berkembang menjadi rasa meremehkan orang yang tidak beribadah, berikutnya merendahkan, berikutnya lagi bisa menjadi cibiran yang merendahkan, meskipun hanya di dalam hati. Dan kalau tidak hati-hati, Yu Sumi bisa sampai pada suatu anggapan yang berkembang menjadi pendapat yang diyakini, bahwa sesungguhnya yang lebih berhak hidup di dunia adalah orang yang tekun beribadah dan dekat dengan Tuhan.

    Pandangan itu bisa memuai menjadi keputusan sosial untuk memusuhi siapa saja yang tidak beribadah. Memusuhi bisa membengkak menjadi keyakinan untuk membuang, membunuh atau memusnahkan. Tuhan adalah Maha Tuan, semua manusia adalah abdinya. Barangsiapa tidak beribadah, maka ia bukan abdi. Dan siapa saja yang bukan abdi, ia tidak berhak hidup di bumi Tuhan. Sehingga harus diusir atau disirnakan.

    ***

    Semua ummat manusia di peradaban apapun meyakini secara mantap dan hampir absolute bahwa anak-anak manusia harus berpendidikan, berkebudayaan, harus belajar membaca dan menulis, harus mencari ilmu dan pengetahuan.

    Juga Yu Sumi. Tapi yang kukatakan kepada anak cucuku dan para jm ini tak perlu dibawa-bawa ke para tetangga. Mereka tidak memerlukan pikiran seperti ini. Mereka sudah beres hidupnya, tidak ada manfaatnya semua yang kukatakan kepada anak cucu dan para jm ini.

    Mungkin Yu Sumi sebaiknya berpendidikan seperti mereka. Ia harus mengerti hak dan kewajiban. Ia wajib mempelajari Islam, membaca Al-Quràn dan menjalankan peribadatan. Akan tetapi berdasarkan seluruh sejarah Yu Sumi, dan berlaku khusus untuk Yu Sumi, aku harus menyimpan di laci rahasiaku bahwa kewajiban-kewajiban itu kemungkinan besar malah membahayakan hidup Yu Sumi.

    Sebab di samping ada peluang besar bahwa dengan itu semua Yu Sumi menjadi manusia sombong-agama dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang di sekitarnya — yang juga sangat penting adalah kemungkinan bahwa sesudah ia menjadi ahli ibadah: kadar kerja kerasnya pasti berkurang.

    Yu Sumi akan menjadi lebih banyak omong, sedikit kerja. Banyak omongnya pun isinya adalah muncul dari tinggi hati, merasa lebih suci, yakin lebih dekat kepadaTuhan dibanding semua orang. Mungkin sesudah menjadi ahli ibadah Yu Sumi menjadi punya masalah dengan memanjat kelapa dan membelah kayu. Di samping energinya mengecil untuk kerja keras, mungkin saja bekerja memanjatkan kelapa untuk tetangganya sangat kecil nilainya dibanding satu sujud dalam shalat.

    Dan kalau karena kecerdasannya pada akhirnya Yu Sumi menjadi benar-benar pandai mengaji dan tahu banyak ilmu, mungkin ia akan diminta mengajar di sana-sini. Ia menjadi sibuk, dan akhirnya kehilangan keterampilannya untuk bekerja. Pada akhirnya ia bisa menjadi Ustadz atau Ustadzah tidak karena ilmunya melainkan karena tidak punya kemampuan untuk bekerja.

    Tentu kehidupan mengandung kemungkinan tak terbatas. Namun terang benderang bahwa Yu Sumi dilindungi oleh Tuhan dengan formula eksistensinya, dengan keawamannya, dengan kebutahurufannya, dengan ketidakmampuannya atas ilmu dan kepandaian, dan mempertapakannya dalam kesibukan memanjat kelapa dan membelah batu.

    Maka Tuhan tidak mentakdirkan Yu Sumi kawin dan beranak. Karena akan bisa menjadi masalah orientasi bagi anaknya. Hampir mustahil anaknya, jika ada, akan mampu dan mau memanjat kelapa dan membelah kayu, karena zaman dan lingkungannya sudah berubah.

    Teknologi berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya adalah manusia kehilangan dirinya, manusia menjadi luntur kemanusiaannya, manusia menurun kemampuan bekerjanya. Bahkan manusia bukan hanya mewakilkan pekerjaan ini itu kepada robot dan onderdil teknologi industri. Bahkan sudah cukup lama menjadi robot dan onderdil teknologi dan obeng tang catut industri.

    ***

    Akan tetapi Guk Urip kawin dan punya anak, sekarang bahkan sudah mulai lahir cucu-cucu. Mas Bardi juga kawin, meskipun tidak punya anak.

    Siapapun yang pernah ketemu dengan Guk Urip dan Mas Bardi, langsung tahu bahwa mereka melambai. Bahkan sangat melambai. Dan itu tidak karena akulturasi, tidak karena penularan dari siapapun, tidak karena pengaruh lingkungan budaya.

    Tetapi Guk Urip dan Mas Bardi tidak terlalu bodoh atas dirinya sendiri. Mereka melakukan reformasi ke dalam dirinya sendiri, jiwa maupun jasadnya.

    Sama dengan apapun dalam kehidupan, sesuatu direformasi, ditemukan proporsi dan harmoninya. Ada besi yang dipotong atau disambung. Ada kayu yang digergaji atau disusun beberapa batang. Ada cairan yang ditambah atau dikurangi volumenya. Ada gas yang dipadatkan atau dikurangi kepadatannya.

    Ada logam yang diambil sedikit dan logam lain diambil banyak. Ada sesuatu yang dipacu dan lainnya dikontrol. Ada laju yang di-gas dan pada momentum tertentu di-rem. Ada sesuatu yang dilampiaskan dan lainnya dikendalikan. Ada ini itu yang dihitung batas perkembangannya sementara yang lain justru dipacu kesuburannya.

    Memang demikianlah kehidupan. Juga diri setiap manusia sendiri adalah bagian, bahkan yang utama, dari kehidupan. Ada sesuatu dalam diri manusia yang perlu dikendalikan, ditahan, dipuasakan, dibatasi atau bahkan mungkin dihilangkan, misalnya daging tumbuh yang tidak pada tempat dan proporsi alamiahnya.

    Dan managemen diri semacam itulah yang dilakukan oleh Guk Urip dan mas Bardi. Apalagi Yu Sumi.

    Kalau engkau menyangka hidup ini isi utamanya adalah hak, dan itu menjadi landasan utama dari perilakumu, menjadi hulu-ledak dari kelakuanmu, menjadi dasar pikiran untuk mengambil keputusan menuju masa depanmu — aku tidak akan mempersalahkanmu. Tidak akan membantahmu. Juga tidak mengecam atau menghardik dan mengutukmu.

    Hanya dua kata yang kalau kau minta, aku bisikkan ke telingamu: “Tunggulah waktu”.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jam
    27 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
    Last edited: Apr 17, 2018
  9. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Di Tengah Hutan Belantara Indonesia dan Dunia

    Buat anak cucuku dan para jm yang kita sama-sama belum tahu, kita ditertawakan kalau ada orang di luar rumah kita yang mendengar dialog-dialog bodoh dan konyol kita. Maka belajarlah menyimpan. Ada sesuatu yang sebaiknya kita sosialisasikan, ada sesuatu yang lain, termasuk omong-omong kita ini, yang lebih afdhal kalau berlangsung di antara kita saja.

    Indonesia sudah fix segala sesuatunya. Dunia ini seluruhnya sudah hampir tidak ada persoalan. Hanya kita saja yang masih perlu belajar hal-hal tertentu dan mempelajari hal-hal lain. Anak cucuku dan para jm tahu bahwa di dunia di luar rumah kita seringkali ada tulisan yang “oleh” (nama) ku tapi bukan aku yang menulis. Ada tulisan “ku” 20-30 tahun yang lalu tapi disebar seolah aku menulis kemarin sore. Ada banyak akun-akun “ku” yang bukan aku.

    Ada banyak video hasil editan orang-orang yang berniat baik yang aku dipertengkarkan dengan ini itu, diadu-domba soal macam-macam yang aku tak pernah memaksudkannya untuk beradu dengan siapapun. Semua yang kuomongkan adalah untuk anak cucu dan para jm, dengan bahasa dan konteks untuk anak cucu dan para jm, dengan nuansa, dimensi, urgensi dan tajaman-tajaman untuk anak cucuku dan para jm.

    Tetapi salah secara pemikiran, rendah secara rohani dan remeh secara mental, kalau dari kedhaliman kepada kita itu hasilnya pada diri kita adalah kemarahan, dendam, niat pembalasan, atau apapun yang mencerminkan kelemahan dan ketidakmatangan diri. Lebih hina lagi dan salah kelola kalau karena hantaman-hantaman dan penganiayaan kepada kita lantas mengurangi kadar kasih sayang kita semua kepada ummat manusia. Terutama kepada mereka yang melalimi kita.

    Dunia ini kita serap ilmu, hikmah dan makrifatnya, tetapi kita tidak mempersoalkan dunia dan tidak punya soal dengan dunia. Apalagi Indonesia, yang tidak kenal kita, yang tidak tahu ada kita, dan anak cucuku hendaknya jangan kasih tahu bahwa ada kita. Bukan karena kita menolak silaturahmi, tetapi karena kita tidak mampu berbuat apa-apa kepada dan untuk Indonesia.

    Kita hidup tidak di arena peradaban manusia. Kita berada di tengah hutan belantara. Di mana setiap orang bisa melakukan apa saja tanpa tanggung jawab. Di mana siapa-siapa yang harus bertanggung jawab, bukan bertanggung jawab atas dasar keharusan hidup untuk bertanggung jawab, melainkan dipilih berdasarkan kepentingan pihak yang menuntut tanggung jawab.

    Kita beralamat di tengah hutan rimba di mana setiap makhluk boleh berteriak, menuding, memaki dan memfitnah, tanpa terbentur oleh tembok tanggung jawab. Hutan belantara tidak memerlukan tembok. Siapapun bisa melakukan kecurangan, kekufuran, kedhaliman dan penggelapan, tanpa kawatir akan mendapatkan akibat apa-apa. Sebab hutan belantara tak ada batas nilainya, tidak ada perjanjian antar makhluk-makhluknya, tak ada tata ruang dengan aturan-aturannya. Hukum bisa ditegakkan untuk mencelakakan. Negara bisa dibangun untuk menyamarkan perampokan. Bahkan agama bisa dikerudungkan sebagai pakaian untuk pencurian dan penipuan.

    ***

    Aku beserta anak cucuku dan para jm ini hina papa, tidak memiliki apapun yang bisa kita berikan kepada Indonesia dan dunia. Karena Indonesia dan dunia semakin berkembang menjadi hutan belantara.

    Bahkan kita mengaku saja bahwa karena kebelantaraan habitat yang mengurung kita, maka kepada diri kita sendiripun kita tidak punya apa-apa untuk kita berikan. Kita hanya penyadong kedermawanan Tuhan. Kita pengemis berderajat sangat rendah di depan pintu gerbang Istana Tuhan. Itu pun permohonan kita belum tentu dikabulkan, karena belum cukup persyaratan hidup kita untuk berhak mendapatkan kemurahan dari Tuhan.

    Dari detik ke detik siang malam sepanjang tahun sejauh-jauh jatah waktu, kehidupan kita tergantung absolut pada kasih sayang Tuhan. Jika ada sedikit kelebihan berkah-Nya kita akan cipratkan kepada Indonesia dan sedekahkan kepada dunia, untuk lega-lega dan GR perasaan kita sendiri, sebab Indonesia dan dunia tidak kurang suatu apa, sehingga tidak memerlukan apapun dariku beserta anak cucuku dan para jm.

    Maka jangan sampai aku beserta anak cucuku dan para jm menjadi masalah bagi hutan belantara. Dan kita berjuang tanpa henti agar hutan belantara pun tidak menjadi masalah bagi kita. Kegelapan hutan tidak membuatmu kehilangan arah, karena engkau belajar memancarkan cahaya dari dirimu. Keliaran belantara tidak membuatmu takut dan keder, karena keberanian tidak terletak di hutan melainkan di dalam susunan saraf rohanimu sendiri.

    Ketidakberaturan rimba tidak membebanimu, karena kalau engkau menemukan, menyadari dan memuaikan kebesaran dirimu, maka hutan belantara engkau genggam di tanganmu, engkau olah di mesin pikiranmu, dan engkau jinakkan di semesta rohanimu.

    Tetapi jangan lupa, engkau hanya menempuh batas untuk mengatasi dirimu sendiri di tengah hutan belantara. Tetapi itu tidak pasti berarti engkau sanggup mengatasi hutan belantara itu pada skala hutan dan kebelantaraannya.

    Jangankan hutan belantara. Bahkan pun bagi Indonesia dan dunia: sudah jelas kita tidak punya ilmu, daya dan kuasa untuk bisa mengatasi masalah-masalahnya. Maka sekurang-kurangnya kita jaga diri agar jangan pernah menjadi masalah bagi Indonesia dan dunia. Kita sudah sangat bersyukur bahwa Tuhan menciptakan kita, meletakkannya di tanah Indonesia, di permukaan bumi dan di pinggiran dunia.

    Jangankan menjadi masalah, meminta apapun jangan. Kalau diberi, kita pertimbangkan sepuluh kali putaran. Kalau ada hak-hakku beserta anak cucuku dan para jm, kita lihat kemashlahatan dan keutamaannya untuk kita ambil atau tidak. Sekedar menerima hak-hak yang disampaikan pun jangan lakukan tanpa perhitungan kasih sayang. Apalagi sampai menagih hak, mengejar hak, meneriakkan hak, mendemonstrasikan hak, mengibar-ngibarkan hak: mari anak cucuku dan para jm berlindung kepada Tuhan dari kerendahan dan kefakiran mental semacam itu.

    Dari cn kepada anak-cucu dan jm
    28 Februari 2016

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  10. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Interupsi Markesot

    Masih tersisa empat belas tulisan lagi untuk dibacakan. Tapi rupanya Markesot sudah tidak bisa menahan diri melihat perkembangan situasi di ruangan itu bersama empat puluh orang teman-temannya.

    Mendadak ia berdiri.

    Markesot melepas ikat pinggangnya, yang ternyata adalah cambuk. Berjalan keliling ruang, terkadang melompat ke berbagai arah. Tertawa. Panjang. Sesekali sampai terguncang-guncang.

    Kemudian terdengar suara ledakan-ledakan, memecah kesunyian di ruangan itu. Markesot meletus-letuskan dan meledak-ledakkan cambuknya.

    Seperti pesta mercon. Atau deretan bunyi semacam tembakan-tembakan senjata api. Ada yang seperti suara mercon banting, tiba-tiba di sela-selanya ada ledakan agak besar. Semua bercampur aduk dengan suara tertawa Markesot.

    Suara tertawa Markesot terkadang menggelikan, di saat lain mengerikan. Seperti tertawa orang yang sedang menjumpai sesuatu yang sangat lucu, tapi kemudian tiba-tiba suara tertawa itu berubah aneh, seakan berasal dari dunia yang lain yang asing sama sekali bagi yang mendengarnya.

    Tertawa Markesot berganti-ganti mengungkapkan rasa lucu, kegembiraan, kesedihan, putus asa, atau campur aduk antara berbagai macam situasi jiwanya.

    ***

    Tentu saja empat puluh orang yang berada di dalam ruangan itu kalang kabut.

    Tujuh orang di antara mereka, dikagetkan oleh letusan dan ledakan bertubi-tubi itu ketika sedang duduk tertib dan khusyu’. Tetapi kekagetan itu tidak membuat mereka beranjak. Mereka hanya menggerakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya, sambil memejamkan mata dan menundukkan kepala.

    Masalahnya, tiga puluh tiga orang yang lain sedang tidur pulas ketika ledakan itu memecah kesunyian di ruangan itu. Reaksi mereka bermacam-macam ketika mendadak mereka dibangunkan oleh festival letusan dan hantaman ledakan itu.

    Ada yang langsung terduduk, wajahnya kebingungan, matanya kosong menoleh ke kiri dan kanan. Ada yang dari posisi berbaringnya langsung berdiri dan memasang kuda-kuda silat seakan-akan sedang diserbu mendadak oleh Pendekar Kedung Prewangan, bertiga dengan Kiai Singorodra dan Mbah Kalibuntu.

    Bahkan ada yang dari keadaan tidur, dalam hitungan sekon langsung melompat keluar ruangan dengan tangannya memutar-mutar kalung rantai besi yang diambil dari lingkaran pinggang di balik bajunya.

    Sebagian dari mereka ada yang kaget oleh ledakan-ledakan, duduk dengan mata masih tertutup, sesaat kemudian tidur berbaring lagi. Yang lebih hebat lagi, beberapa orang hanya membuka matanya sejenak dengan sedikit menggerakkan kepala, kemudian tidur lagi.

    Dan yang paling hebat dari empat puluh orang itu adalah mayoritas di antara mereka yang sama sekali tidak terusik oleh mercon atau tembakan, letusan atau ledakan, sekali atau berkali-kali. Mereka sangat tenang. Nyenyak tidurnya tak terusik. Telinganya kebal, gendangnya dilapisi oleh semacam plastik tebal hasil teknologi modern.

    ***

    Padahal cukup lama bunyi tembakan dan mercon itu terdengar menyiksa ruangan. Bahkan ada saat-saat ledakan cambuk Markesot itu menggelegar seperti datang dari langit. Lebih dekat dibanding suara letusan gunung yang justru terdengar agak sayup dari kejauhan.

    Terasa sekali ada ledakan yang sejatinya bukan suara ujung cambuk yang dihentakkan oleh tangan yang kokoh perkasa, melainkan ledakan kawah amarah jauh dari kedalaman jiwa Markesot. Seluruh jagat raya termuat di dalam ruh manusia. Ledakan yang khusus itu seakan-akan adalah gabungan antara kemarahan dari pusat Bumi dan halilintar sambutan persetujuan dari langit.

    Ledakan pada tingkat itu mestinya terdengar dari luar ruangan rumah perkumpulan empat puluh orang itu. Tapi mungkin juga tidak sama sekali.

    Itu bergantung pada sikap udara di dalam ruangan itu serta di luar rumah. Kalau udara berkemauan untuk menghantarkan suara itu, maka yang di sekitar ruang itu akan mendengarnya. Tapi kalau udara terikat oleh keputusan untuk tidak menghantarkannya ke luar rumah, dan cukup mengedarkan suara itu di dalam ruangan rumah saja, maka demikianlah yang terjadi.

    Sikap dan keputusan si Udara itu untuk menghantarkan suara atau tidak di sebuah skala ruang, bergantung pada perjanjian yang dilakukannya dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan suara itu. Bergantung pada perjanjian, atau pada kepatuhan udara kepada ini atau itu.

    Termasuk jika udara mengambil keputusan sendiri berdasarkan kedaulatannya sendiri. Letusan-letusan, ledakan-ledakan dan suara tertawa Markesot sedang menggaduhi ruangan, belum ada waktu untuk mendiskusikan tema di sekitar keputusan si Udara. Termasuk dengan siapa dan apa saja ia berkonstelasi, menyelenggarakan perundingan dan mengambil keputusan. Atau siapa yang dipatuhi oleh Udara.

    ***

    Kegaduhan itu kemudian berakhir pada satu bunyi ledakan sangat keras, menggelegar disertai gemerincing.

    Sesudah ledakan terakhir yang bergemerincing itu, Markesot berdiri di salah satu pojok ruang, bertolak pinggang. Wajahnya meringis. Kemudian tertawa lagi tapi tidak sungguh-sungguh, suara tertawa yang tidak berasal dari unit mesin yang memproduksi tertawa dari dalam diri Markesot.

    Tapi akhirnya tertawa Markesot itu terputus mendadak. Markesot berwajah sangat serius. Matanya menatap ke depan. Berkeliling sorot mata itu menimpa satu per satu wajah demi wajah di ruangan itu, kemudian berhenti dan macet di tubuh-tubuh bergeletakan yang tidur sangat pulas. Dan itu adalah mayoritas di antara empat puluh sahabat-sahabat Markesot.

    ***

    Mereka orang-orang yang sangat bahagia hidupnya. Istiqamah dalam ketenteraman. Jantungnya terus menjalankan irama secara stabil, tidak terganggu oleh peristiwa apapun di sekitar mereka.

    Ritme ngorok mereka sangat mandiri. Nafas seratus persen teratur keluar masuknya. Hati mereka tenang bagai ruang hampa. Pikiran mereka tak bergeming oleh apapun saja. Secara keseluruhan jiwa mereka bagaikan pertapa. Duduk di tikar ketenteraman, mentalnya tegak teguh bagaikan pilar-pilar baja raksasa.

    Andaikan ada gempa besar, didahului oleh letusan amarah gunung, kemudian banjir lahar dingin bercampur asap amat panas dari neraka yang dibocorkan ke permukaan bumi, mereka tidak berubah sedikit pun dari ketenteramannya.

    Mungkin mayoritas inilah yang dimaksudkan oleh Tuhan tatkala memanggil hamba-hambaNya: “Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Pengasuhmu dalam keadaan meridloi dan diridloi. Ayo kalian berhimpunlah ke dalam golongan-Ku dan masuklah ke dalam sorga-Ku”.

    ***

    Sambil menatap wajah-wajah mereka dan merenungi kedalaman suasana yang beberapa jam ini tadi berlangsung, Markesot mengeluh kepada dirinya sendiri:

    “Ternyata begini ini dunia. Tidak sejauh ini aku menyangka tentang remehnya manusia. Dan kehidupan yang Tuhan kehendaki ini ternyata jauh lebih bersahaja. Sampai setua ini tetap saja aku salah kuda-kuda….”

    Sesungguhnya yang terjadi bukanlah Markesot menginterupsi pembacaan tulisan-tulisan dan suasana di ruangan itu, tetapi aslinya Markesot sedang menginterupsi proses pemikiran dan penghayatan hidup di dalam dirinya sendiri.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  11. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Tidur Sebagai Cara Membaca

    Apaan itu si Markesot meledak-ledakkan cambuk? Memangnya film silat. Kisah khayalan para pendekar. Di abad ke berapa lelaki memakai cambuk digulung melingkari pinggangnya difungsikan sebagai sabuk. Apa di abad 21 ini masih ada romantisme Kiai Sabuk Tampar, yang melawan halilintar dengan meletuskan gemerincing ujung cambuk ke angkasa.

    Apaan itu berlari-lari sambil tertawa-tawa. Perilaku siapa yang seperti itu selain ekspressi orang tak waras. Orang dewasa di zaman kapanpun dalam sejarah, tidak lazim berperilaku seperti itu. Anak-anak kecil pun tidak mengekspresikan kebebasan kekanak-kanakannya dengan berlari-lari sambil tertawa-tawa, kemudian berhenti bertolak pinggang memelototkan mata ke berbagai arah.

    Andaikan Markesot hanya tokoh fiktif, tidak sepantasnya juga untuk diberi adegan menggelikan semacam itu. Tidak ada novel, skrip teater, tradisional ataupun modern, yang mengarang pelakon yang kalau bicara seolah-olah seorang filosof. Kalau berkomunikasi sering memakai bahasa orang terpelajar, tapi berperilaku layaknya gelandangan yang tidak berpendidikan.

    Atau preman setengah-setengah yang sok sakti dengan senjata tajam, meskipun tajamnya hanya di rangkaian besi-besi kecil di ujung cambuk.

    ***

    Pertanyaan, penilaian dan pernyataan seperti itu sama sekali tidak bisa disalahkan pada siapapun yang melihat Markesot.

    Akan tetapi andaikan ada yang benar-benar berjumpa dengannya, mohon tidak usah melontarkannya kepada Markesot. Bahkan sinar mata dan pancaran wajah siapapun jangan membuat Markesot mendengar bahwa di dalam hatinya berbunyi pertanyaan dan pernyataan seperti itu. Markesot jangan dipancing untuk meluncurkan puluhan argumentasi untuk menjelaskan dan membela apapun yang ia lakukan.

    Dan hendaknya dimafhumi oleh siapapun saja bahwa yang sanggup melawan argumentasi Markesot hanyalah Markesot sendiri.

    Sudahlah diterima saja ia apa adanya. Daripada nanti kerepotan sendiri harus mendengarkan Markesot menguraikan panjang lebar tentang “Ilmu Peta Diri”, di mana ia menjelaskan karakter dan perilakunya secara amat sangat gamblang dan benar-benar tak terbantahkan. Mending mengalah dan bertoleransi saja menerima Markesot sebagaimana sejatinya dia.

    Toh dia tidak akan minta ditraktir makan. Ia pantang numpang tinggal di rumah siapapun. Mustahil akan melamar minta pekerjaan. Pasti tidak akan mengganggu siapapun dan di manapun. Terlebih lagi sangat-sangat mustahil ia merayu untuk dijadikan menantu siapapun yang punya anak gadis secantik apapun.

    Direlakan dan dilupakan saja cambuk itu, ledakannya dan tertawa gilanya. Toh memang benar Markesot mengumpulkan empat puluh anak-anak, teman-teman, orang-orang, atau entah bagaimana tepatnya menyebut mereka, di Patangpuluhan.

    Mengumpulkan, berpesan sesuatu kepada masing-masing, semacam ‘PR’, untuk saling menghidangkannya satu sama lain dalam pertemuan yang disepakati. Yakni setiap yang hadir harus membawa tulisan, dua tiga sampai empat halaman. Tidak ada batasan. Masing-masing berdaulat untuk menentukan apa yang ditulisnya. Bebas bentuknya. Tidak dipersyarakatkan bermutu tidaknya.

    Markesot bukan Guru mereka, senior mereka atau tokoh ini itu yang mereka segani. Bahkan kalau bicara level sosial, mereka rata-rata lebih tinggi pencapaian sosialnya dibanding Markesot. Lebih jelas pekerjaannya, jelas pangkat dan jabatannya, jelas sukses ekonomi dan kariernya. Sementara Markesot boleh dikatakan tidak bisa dicatat apa prestasinya.

    Jadi kenapa mereka tidak berkeberatan diminta berkumpul dan dikasih ‘PR’ oleh Markesot?

    Itu tidak ada hubungannya dengan peran, fungsi, level sosial, prestasi, reputasi, kewibawaan, apalagi kekuasaan dan ketinggian derajat. Mereka juga bukannya segan, apalagi patuh, kepada Markesot.

    Mereka beramai-ramai datang dari berbagai tempat berkumpul di Patangpuluhan didorong oleh satu sebab yang sangat sederhana. Kalau bersama Markesot mereka selalu gembira. Bertahun-tahun di waktu yang lalu hampir tiap hari mereka bergaul dengan Markesot, yang terutama mereka dapatkan adalah kegembiraan dan semangat hidup. Rasa tenteram, hati ringan menghadapi segala sesuatu. Tenaga hidup serasa berlipat-lipat. Jiwa dan mental tetap kokoh kuat meskipun menghadapi persoalan-persoalan seberat apapun.

    ***

    Jadi kenapa tiba-tiba Markesot marah-marah? Memenggal proses, berlaku gila, bikin suara-suara letusan, tertawa-tawa, menghentikan pembacaan tulisan-tulisan yang mereka telah membuatnya dengan tidak mudah? Kenapa?

    Yang paling terganggu adalah tujuh orang yang sejak awal tadi intensif mendengarkan tulisan demi tulisan, mengajaknya masuk ke berbagai wilayah-dalam persoalan-persoalan. Kenapa dipotong oleh Markesot? Apa dia tidak suka, tidak setuju atau menilai bahwa karya-karya itu kurang memenuhi syarat?

    Atau karena kebanyakan pendengarnya tidur? Bahkan ada yang mengorok terang-terangan. Ada yang belum tuntas mendengar satu tulisan sudah tergeletak badannya. Siapa tahu ia memang capek? Karena perjalanan sangat jauh di seberang pulau ke Patangpuluhan? Bukankah tidur adalah solusi yang paling benar dan tepat untuk capek? Ajaran apa yang menganjurkan badan capek diatasi dengan mendengarkan filsafat dan pemikiran?

    Siapa juga yang bisa memastikan bahwa orang yang tidur adalah orang yang terputus hubungannya dengan suara dan peristiwa di sekitarnya? Apakah ada orang yang tidur total? Apakah jantung pernah tidur? Apakah darah pernah berbaring? Apa sesungguhnya yang terjadi pada hati seseorang tatkala tubuhnya tidur? Apa pula yang berlangsung pada pikirannya?

    Apakah pikiran pernah tidur? Apakah pikiran pernah tidak bekerja? Siapa yang pernah menyempatkan diri berwawancara dengan pikirannya masing-masing, tentang apa yang dilakukannya ketika tidur?

    Bukankah Markesot sendiri yang sering menyeret-nyeret semua di sekitarnya ke wilayah imajinasi dan eksplorasi probabilitas seperti itu? Apakah Markesot menyangka tiga puluh tiga teman yang tidur itu dipastikan terputus hubungannya dengan tulisan-tulisan yang dibacakan?

    Bagaimana kalau ternyata mereka mendengarkan sambil tidur? Mendengarkan dalam tidur? Mendengarkan dengan cara tidur? Bukankah pernah ada dua Kepala Negara mengadakan pembicaraan resmi dan salah satunya tidur?

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  12. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Universitas Patangpuluhan

    Agak berlebihan-lah tujuh orang itu. Memang bisa saja ada kemungkinan seseorang tidur tapi mendengar dan belajar. Ada perangkat-perangkat tertentu di dalam sistem kesadarannya yang tetap bekerja meskipun resminya ia sedang tidur.

    Markesot sendiri ketika dituduh oleh sejumlah orang bahwa ia seorang pemikir, ia membantah.

    “Saya bukan pemikir. Sama sekali bukan. Sebab yang berpikir adalah akal saya yang mendayagunakan otak. Yang mengerjakan pemikiran bukanlah saya, melainkan kerjasama jasad otak di bawah ubun-ubun saya, dengan pendaran magnet hidayah dari Tuhan yang menembus batok kepala saya”.

    Tapi lupakan itu. Biasa, Markesot sok makrifat. Juga yang tidur dan mengigau biarkan terus menjalani kedaulatannya untuk tidur dan mengigau. Tujuh teman Markesot ini tadi sudah dicampakkan masuk ke ‘hutan belantara Indonesia dan Dunia’, tiba-tiba diputus arus listriknya oleh Markesot. Kalang kabut hati dan pikiran mereka. Sampai terengah-engah nafas di dada mereka.

    Berdasarkan urutan tulisan-tulisan, hutan belantara itu harus segera diteruskan dengan ‘Hujan Deras Tidak Basah Kuyup’, ‘Bismillah Lompat Masuk’, ‘Persaudaraan dengan Hujan’, ‘Tuhan Berakibat Sorga’, ‘Hujan Berputar-putar Abadi’ dan seterusnya. Semua itu tak sengaja bersambung tema dan nuansanya satu sama lain.

    Tidak karena kencan untuk itu. Tetapi karena empat puluh orang itu memang bertahun-tahun mengalami pembiasaan penyatuan hati. Seberagam apapun pikiran, kesibukan pekerjaan dan pengalamannya, tetapi mereka selalu menyatu di area jiwa yang lebih dalam.

    Kalau Markesot seenaknya menghentikan kesatuan rangkaian itu, bisa merusak irama, komposisi dan aransemen urat-urat saraf tujub orang yang sudah sangat khusyuk sejak awal tadi.

    ***

    Salah satu dari tujuh orang itu tidak tahan untuk tidak protes kepada Markesot. Tetapi sebelum mulutnya membuka, dilihatnya Markesot malah tertidur di pojok ruang. Mendadak saja tidur lelap sambil duduk. Padahal gema ledakan cambuk dan suara tertawanya belum lenyap dari telinga tujuh temannya.

    Tujuh teman itu berpandangan satu sama lain. Kemudian bersama-sama mereka tertawa terpingkal-pingkal.

    Sangat bahagia. Memang beginilah Universitas Patangpuluhan. Suasananya. Nuansanya. Pola interaksinya. Komposisi nilai-nilainya. Dimensi-dimensi yang baku, yang baru, yang mengejutkan, yang aneh, yang liar. Iklim Universitas Patangpuluhan menyeret setiap penghuninya untuk menemukan yang paling hidup dari kehidupan. Yang paling luas dari keluasan dan paling dalam dari kedalaman.

    Universitas Patangpuluhan seakan punya ‘kedung kahuripan’ atau sumber daya hidup yang sangat sukar ditemukan di universitas yang secara resmi benar-benar universitas. Bukankah orang-orang di Pasar Patangpuluhan pun mafhum bahwa rumah hitam di belakang area pasar itu sama sekali bukan gedung Sekolah, apalagi Universitas. Melainkan tempat mangkalnya orang-orang atau entah siapa saja yang tidak jelas.

    Rumah hitam yang pintunya tak pernah ditutup. Yang orang-orang berdatangan tanpa ukuran waktu, siang, malam, tengah malam, menjelang Subuh, sesudah subuh, terus-menerus. Orang-orang kecopetan di Stasiun Kereta atau Terminal Bus parkir di situ. Orang-orang frustrasi mau bunuh ini itu mendarat di bawah pohon waru depan rumah hitam itu. Orang sakit, orang gila, gelandangan dari luar kota, macam-macam makhluk lainnya, bercengkerama di naungan kehitaman rumah itu.

    ***

    Mungkin terasa agak muluk-muluk. Tapi memang ciri komunitas Markesot adalah pendidikan kedaulatan diri. Menemukan sejarah diri. Asal usul diri. Sangkan diri dan paran diri. Dari mana diri ke mana diri. Tidak dibatasi ‘pakai’ Tuhan atau tidak.

    Tidak disarankan untuk memilah antara alam dengan kebudayaan. Tidak diharuskan untuk memulai sejarah itu dari kurun sebelum alam diciptakan. Boleh cukup dimulai dari Ibu Bapaknya, atau klan keluarganya, suku-nya, atau ‘wiwitan’ kebangsaannya.

    Bahkan masing-masing berdaulat untuk melandasi tulisannya dari pandangan yang sesubyektif apapun. Misalnya bahwa dulu setiap manusia menciptakan dirinya sendiri, sehingga sejak awal hingga akhir kelak ia menggenggam hak asasi dirinya sendiri.

    Manusia punya kebebasan untuk memenggal asal-usulnya dengan kedua orang tuanya, termasuk dengan manusia yang pertama dahulu kala. Manusia berdaulat untuk mengklaim hak asasinya dan tidak ada urusan atau ikatan dengan kewajibannya kepada sesama manusia, alam lingkungannya serta bumi tempat tinggalnya.

    Empat puluh orang yang berkumpul di Patangpuluhan itu sepenuhnya berdaulat atas diri dan setiap keputusan yang diambilnya. Kedaulatan diri itu nanti mungkin berjumpa dengan nilai-nilai, dengan benar atau salah, rasional atau tidak nalar, baik atau buruk, pas atau melenceng, bermanfaat atau sia-sia. Dan bermacam nilai-nilai lainnya. Tapi itu nanti. Sekarang urusannya berdaulat atas diri masing-masing terlebih dulu.

    ***

    Siapakah sebenarnya empat puluh orang, empat puluh teman, empat puluh anak itu?

    Barang siapa pernah sedikit tahu gambaran sosok Markesot, mestinya bisa mengidentifikasi juga siapa empat puluh makhluk yang berada di sekitarnya.

    Markesot mungkin bisa menjadi salah satu contoh tipologis manusia Negeri Katulistiwa. Manusia-manusia komplit meskipun kebanyakan masih pada tingkat potensial-embrional. Orang yang secara alamiah memiliki ragam bakat, multi-talent, komprehensif dan luwes mengatasi pembidangan-pembidangan. Terampil untuk melakukan banyak hal sekaligus. Secara keseluruhan sebenarnya tinggal satu-dua langkah bagi mereka ini untuk menjadi seperti yang di jaman dulu pernah digambarkan sebagai “manusia seutuhnya”.

    Markesot sendiri sangat komplit, sampai-sampai tidak jelas yang mana yang Markesot.

    Bukan tipologi manusia spesialistik, meskipun tidak berarti di dalam proses hidup mereka harus kalah dengan jenis manusia-spesialistik. Tapi sekaligus ragam bakatnya itu bisa justru menjadi halangan banyak di antara mereka. Mampu melakukan banyak hal, sehingga sukar menentukan satu hal untuk ditekuni. Akhirnya tidak mencapai satu hal pun, karena banyak bakatnya itu dilakukan semua tapi setengah-setengah.

    Terus terang, meskipun tolong tidak usah diucapkan ini dengan menyolok di depan siapapun saja, sesungguhnya bagi pandangan umum: Markesot termasuk contoh manusia yang gagal seperti itu. Tampak mampu melakukan banyak hal, tapi ternyata tidak ada satu halpun yang ia fokus dan tekun.

    Jadinya Markesot tidak mencapai dan tidak menjadi apa-apa.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  13. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Ilmu Peta Diri

    Padahal Markesot sendiri yang, sejak di Universitas Patangpuluhan dulu sok-sok berteori-teori mengkategorikan manusia. Markesot sering mengemukakan, dalam konteks itu, empat macam manusia.

    Yakni manusia yang tahu banyak tentang banyak hal. Manusia yang tahu sedikit tentang banyak hal. Manusia yang tahu banyak tentang sedikit hal. Dan manusia yang tahu sedikit tentang sedikit hal.

    Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan dan permakluman orang-orang yang terlanjur mengenal Markesot, Markesot adalah manusia jenis pertama. Markesot tahu banyak tentang banyak hal, sehingga gagal memilih yang mana di antara banyak pengetahuan itu yang ditekuninya.

    Tahu, mengerti, bisa, mau, mengerjakannya dan sukses. Markesot pasti tahu, tapi belum tentu mengerti, belum teruji bahwa dia bisa, dan jelas dia tidak pernah benar-benar mengerjakannya, sehingga Markesot tidak mencapai sukses apa-apa.

    Banyak di antara empat puluh teman-teman Markesot itu malah lebih berhasil mencapai sukses dibanding Markesot. Ada yang nyata menjadi tokoh masyarakat, pejabat, pemuka organisasi, pengusaha cemerlang, pemimpin di bidang keagamaan, penulis yang merajalela karyanya, bahkan ada yang aktif sebagai dukun. Dan beragam lagi sukses mereka, dibanding Markesot yang tak pernah berhasil menjadi apa-apa atau siapa-siapa di kalangan masyarakatnya.

    ***

    Padahal, meskipun skalanya sangat lokal, Markesot adalah penggiat kemajuan hidup di hampir segala bidang. Pembelajaran intelektual, penekunan spiritualitas, pendidikan politik, kritisisme ke-Negara-an dan ke-Pemerintahan, perambahan dan pendalaman ideologi-ideologi, eksplorasi teknologi bahkan multi-teknologi, dari stasioner mesin motor hingga pendistribusian dan negosiasi penjadwalan hujan, dan bermacam-macam lagi pekerjaannya.

    Markesot memang sangat berbakat teknologi, mesin, listrik, otomotif, logika fisikanya luar biasa, memahami mesin pesawat dan arloji mini atau filosofi “balase sepur” atau rel kereta api, sama bagusnya.

    Tetapi Markesot tidak mencapai eksistensi apa-apa. Tidak menjadi engineer. Tidak punya patent penemuan teknologi apa-apa. Tidak menjadi kepala montir di bengkel mobil. Tidak menjadi teknolog. Tidak menjadi kepala unit atau apalagi Direktur bidang teknologi apapun. Tidak menjadi tokoh kunci di pabrik mobil. Tidak apapun dan siapapun.

    Markesot pernah menjelaskan secara sangat teknologis metode bagaimana menghentikan bocoran lumpur yang meluap-luap dari perut bumi menjadi danau. Tetapi karena tidak ada yang bertanya kepadanya, tidak ada yang meminta tolong kepadanya, bahkan pun tak ada yang sekedar bertanya saja kepadanya, maka dia diam saja.

    Markesot tahu semua itu sebabnya adalah karena memang tidak ada siapapun yang mengerti siapa dia. Tidak ada yang pernah mengidentifikasi dan mengukur kemampuan-kemampuannya. Hasilnya adalah tidak ada siapa-siapa yang percaya kepadanya. Markesot merasa sangat menderita. Khususnya bab luapan lumpur itu. Bukan karena ia tidak dikenal, apalagi dipercaya. Tapi karena ia tidak tega melihat suatu kemudlaratan yang menimpa banyak manusia, namun ia tidak pernah mendapatkan perintah untuk menolong mengatasi keadaannya.

    ***

    Markesot juga seorang pejalan rohani yang istiqamah luar biasa. Ahli wirid dan pelaku thariqat yang mengerikan perjalanan hidup yang ditempuhnya. Terutama tanggungjawab tauhidnya. Tetapi Markesot tidak punya Klub Dzikir. Tidak memimpin Kelompok Komunitas Wirid. Jangankan menjadi Mursyid, Syekh ini Maulana itu.

    Setiap orang yang ketemu Markesot, melihat sosoknnya, pakaiannya, wajahnya, cara komunikasinya, lingkungan pergaulannya, tidak akan percaya kepadanya kecuali membayangkan Markesot adalah seorang makelar serabutan di Pasar. Tidak ada tanda-tanda keunggulan apapun yang tercermin di segala sisi penampilannya. Tanda kecerdasan ya tidak ada. Kearifan, kematangan, kepandaian, kecanggihan, keterampilan, apapun lah.

    Markesot tidak memancarkan cahaya yang membuat orang merasakan bahwa ia seorang yang linuwih. Aura ya tidak. Wibawa ya tidak jelas. Benar-benar tidak ada yang layak diharapkan dan diandalkan dari penampilannya.

    Padahal Markesot puluhan tahun lamanya berkeliling ke banyak tempat sebagai seorang penggiat sosial. Di berbagai peristiwa ia mampu memagnet banyak orang. Menyerap dan menghimpunkelompok-kelompok masyarakat untuk diajak melakukan berbagai jenis kebaikan bersama.

    Bidang garapnya pun ragam dan luas. Yang berkaitan dengan kerjasama penghidupan ekonomi. Kebersambungan sosial. Kreativitas budaya. Pendalaman rohani. Keterdidikan intelektual. Bahkan penanganan psikologi. Pengupayaan kesehatan badan. Eksplorator penggalian kedalaman tenaga batin. Pengobatan terhadap situasi benci dan bentrok kolektif. Serta bermacam-macam lagi pengelolaan sosial yang jumlah bidangnya berbanding lurus dengan jenis permasalahan yang muncul di masyarakat.

    ***

    Tetapi, meskipun demikian, hasil puncak dari beratus kegiatan Markesot itu adalah pertanyaan umum: “Markesot? Siapa itu? Apa kegiatannya? Kok tidak eksis?”.

    Sehingga kalau ada yang menanyakan “bagaimana Markesot menilai dirinya sendiri berdasarkan cara pandang Ilmu Peta Diri yang Markesot sendiri yang sering memakainya untuk menjelaskan manusia dan masyarakat?”, Markesot pasti menjawab: “Lihatlah seluruh hidup saya, maka akan kelihatan contoh manusia yang paling gagal dari cara pandang itu”.

    Markesot sendiri yang dalam banyak kesempatan selalu menunjuk dirinya sendiri untuk menjelaskan contoh orang gagal, orang tidak sukses, orang tidak berpestasi dan tidak punya reputasi. Tidak perlu lantas siapapun memberinya stempel “merendahkan diri untuk menaikkan derajat”. Sebab toh tidak ada fakta apa-apa tentang level tinggi posisi sosial Markesot. Fakta membuktikan bahwa ia memang bukan orang yang sukses. Tidak ada padanya sesuatu yang bisa diandalkan apalagi dibanggakan.

    Hanya saja ke manapun Markesot pergi, di manapun ia berada, orang-orang disekitarnya entah bagaimana menjadi bergembira, sehingga mereka sangat menyayangi Markesot. Sampai-sampai ada orang yang menikahkan anaknya pun minta Markesot untuk memberi ular-ular alias nasehat perkawinan.

    Tentu saja sangat mudah bagi Markesot. Ia berpidato “Pokoknya pengantin berdua dan siapa saja para hadirin di sini, kalau mau selamat, enak dan bahagia: jangan ada yang menjalani hidup seperti saya”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  14. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Allah Bertajalli Padamu

    Untungnya empat puluh anak-anak teman-teman orang-orang itu sudah terdidik di Universitas Patangpuluhan untuk melihat sesama manusia tidak berdasarkan sukses gagalnya, kaya miskinnya, pejabat bukannya.

    Yang utama adalah cinta mereka kepada Markesot. Sejarah kasih sayang dan komitmen batin di antara mereka, setelah bertahun-tahun berinteraksi di Patangpuluhan.

    Mereka menyepakati satu hari di tengah “liburan panjang akhir minggu”. Tidak mudah menemukan satu hari bersama itu, tapi juga tidak sulit-sulit amat. Sebagian mereka yang sebenarnya tidak bisa, akhirnya bisa hadir, dengan cara “memanjang-manjangkan liburan akhir minggu”.

    Tempat pertemuan mereka di kampus pembelajaran mereka dulu, yakni markas rumah hitam Patangpuluhan. Meskipun banyak dari mereka adalah sarjana berbagai Universitas, tapi mereka menyebut Patangpuluhan juga Universitas. Kalau ditulis, pakai ‘…’ tanda petik, supaya tidak menyombongkan diri. Tapi mereka mengalami bahwa di Universitas formal tempat kuliah, mereka menghimpun pengetahuan plus sedikit metodologi. Sementara di Patangpuluhan mereka mengembarai ilmu.

    Mempelajari ilmu dan belajar menghidupkan ilmu. Mereka menghormati Ilmu Sekolahan di Universitas, tapi menyempurnakan prosesnya dengan melatih Ilmu Kehidupan di Patangpuluhan. Di kampus mereka mendalami suatu pembidangan pengetahuan fakultatif, di Patangpuluhan mereka melatih praksis ilmu komprehensif.

    Di Patangpuluhan mereka mengalami pengetahuan dan ilmu, data-data dan fakta, keadaan dan situasi, kenyataan dan nuansa, garis-garis resmi dan kemungkinan dimensi-dimensi. Di Patangpuluhan mereka bergaul hanya dengan buku, lembaran kertas dan huruf-huruf. Melainkan mempelajari kehidupan secara darah daging, ‘nggetih’, ngaw-ruh. Tidak hanya mengukur panjang lebar, tapi menyelam. Tidak hanya menghitung jumlah orang miskin, tapi menangis dan marah. Tidak hanya mentransfer statistik data keuangan negara dan rakyat, tapi mengelola amarah, rasa geram, mungkin juga dendam. Tapi apapun itu yang didalami dan dialami, tetap diletakkan pada landasan cinta sejati kepada bangsanya, ummat manusia, jagat raya dan terutama Maha Penciptanya.

    ***

    Empat puluh orang yang berkumpul di markas Patangpuluhan itu disebut anak-anak ya bisa, karena lepas dari perbedaan usia, mereka memang seperti anak-anak Markesot yang tinggal bersama di rumah hitam Patangpuluhan tiga era sebelum sekarang. Mereka tidak hanya duduk di depan meja membalik-balik lembaran buku-buku, tapi juga mempelajari kegembiraan dan kesedihan, menyelami bayangan kebahagiaan dan fakta kesengsaraan.

    Disebut orang-orang, karena mereka sekarang memang sudah “menjadi orang”, sesudah di Patangpuluhan dulu belajar dan berlatih menjadi orang. Apakah ketika itu mereka belum orang? Sudah, tetapi belum orang yang mampu melihat hewan di dalam dirinya. Belum orang yang sanggup menemukan semacam dimensi malaikat di dalam jiwanya. Belum orang yang memiliki Peta Ilmu Diri untuk mengidentifikasi ragam himpunan potensi di dalam dirinya.

    Kalau pembelajaran tentang potensi jasadiyah mungkin tidak terlalu sulit. Apa yang padatan, yang cairan, yang uapan, yang kosongan, yang hampaan. Atau yang tanahan, kayuan, logaman, airan. Atau bumian, gunungan, angkasaan, langitan. Serta berbagai termonologi lainnya. Itupun masing-masing satuan masih terus bisa diperdalam, didetail, dimikrokan dinanokan. Hingga ke ada yang terkecil. Ke ada yang tiada. Kemudian takjub kepada tiada yang sejatinya ada.

    Itu baru jasadiyah. Belum yang uluhiyah dengan keindahan mikro mulukiyah-nya dan makro rububiyah-nya. Orang-orang Patangpuluhan menikmati syair-syair ekstra indah tajallullah atau lirik-lirik dendang lagu Allah yang ber-tajalli.

    Orang patangpuluhan belajar mengidentifikasi diri-nafsiyah, diri-ruhiyah, diri-fikriyah, diri-sirriyah atau diri-wujudiyah. Orang Patangpuluhan bercengkerama dan bercanda dengan aku-badan aku-mental aku-sukma aku-nyawa aku-jiwa, bahkan aku-roso aku-tan-ono aku-sirno aku-mukswo. Sampai samar-samar tampak Aku Tan Kinoyo Ngopo Aku Tan Keno Kiniro.

    Tuhan menyatakan bahwa manusia Ia beri hidayah, Ia pinjamkan kaki-Nya kepada orang itu untuk berjalan. Ia pinjamkan tangan-Nya untuk bekerja. Ia pinjamkan mripat-Nya untuk melihat dan telinga-Nya untuk mendengar.

    Maka si manusia meletakkan dirinya terus menerus di jalan pembelajaran, mengasah kepekaan, memperhalus kewaskitaan tentang kapan Allah seolah-olah ber-tajalli padanya. Maka kepada semua engkau, amati momentum tatkala Allah ber-tajalli padamu.

    Nanti pemetaan itu akan bergambar-gambar hingga tak tampak gambar. Berwajah-wajah sampai tak berwajah. Berbagan-bagan seolah bukan bagan. Langit dan Bumi berganti, diri dan Diri berseliweran dalam kesadaran dan peran.

    ***

    Di Universitas Patangpuluhan kata ‘orang’ disebut dengan disiplin yang tinggi untuk secara dinamis dan irama cepat tempo tinggi menyetiai batas-batas yang tak terkira antara orang benar atau orang-orangan, manusia sejati atau kepalsuan dan pemalsuan, antara denotasi yang didera oleh konotasi, hingga ke konotasi yang justru memproses pematangan denotasi berikutnya.

    Markesot mempersiapkan orang-orang Patangpuluhan untuk berdialektika dalam fungsi Dzat, Sifat, Isim dan Jasad, yang keseluruhannya merupakan Af’al. Kinerja agung selama pengelolaan diri di alam semesta. Tuhan fa’-‘alun lima yurid. Allah maha bekerja melaksanakan kehendak-Nya. Manusia bekerja meresonansi kinerja Allah itu pada posisi cipratan, pantulan, gema dan gelombang.

    Markesot mempersiapkan itu semua di Universitas Patangpuluhan dengan hanya membukakan pintunya kemudian melempar sejumlah kode dan simbol-simbol arah di tepian jalan, di pepohonan, di bebauan dan atmosfir sepanjang perjalanan anak-anak Patangpuluhan.

    Markesot bukan guru yang hidup dengan murid-muridnya. Bukan Kiai dengan santri-santrinya. Mereka semua di Patangpuluhan maupun di terminal Suluk, terminal Shirath, terminal Syari’, terminal Thariq, serta berbagai terminal berikutnya sampai hari ini, adalah teman-temannya, sahabat-sahabatnya. Yang ia temani berproses menjalani pendidikan dan kehidupan yang diselenggarakan oleh Tuhan.

    Dan akhirnya, ketika anak-anak itu, orang-orang itu, teman-temannya itu, berkumpul di Patangpuluhan di hari akhir minggu yang dipanjang-panjangkan, Markesot ternyata menemukan sangat banyak kegagalan di era Universitas Patangpuluhan.

    Sehingga dia melepas cambuk dari pinggang di balik bajunya dan ber-acting seperti orang gila.

    Mereka yang menyayangi Markesot mengatakan, “Markesot keluar jadzab-nya”. Bahkan ada yang ngawur berkhayal, “tunggu saja nanti kambuh Wali-nya”. Padahal itu perilaku yang meskipun tidak lazim tapi tetap ada penjelasan rasionalnya.

    Sebenarnya Markesot sedang mengaduh. Sebenarnya itu rintihan, tapi ditutupi dengan kegagahan suara ledakan cambuk. Sebenarnya Markesot sedang merasa kesakitan, karena jiwanya terluka.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  15. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Perhimpunan nJarem Nasional

    Semua tulisan yang sudah dibacakan sebelum Markesot menginterupsi, maupun yang tersisa, sebenarnya memang yang demikian itu yang diharapkan oleh Markesot. Tetapi ternyata itu membuat dirinya makin merasakan njarem, di hatinya maupun tubuhnya.

    Sangat jelas sebabnya. Tulisan-tulisan itu memang lahir dari rasa njarem masing-masing penulisnya, meskipun njarem kolektif ini belum disadari oleh teman-temannya. Mereka ini cocoknya mungkin berkumpul di dalam Perhimpunan NjaremNasional.

    Ungkapan-ungkapan yang lahir tidak dari hati yang kebal. Karena di Universitas Patangpuluhan memang disepakati bahwa mereka melarang diri mereka sendiri untuk memasuki, mempelajari, melatih dan memperkembangkan Ilmu Kebal. Baik Kajiwanmaupun Kanuragan.

    Komunitas Patangpuluhan menemukan bahwa upaya pengkebalan badan itu menyinggung perasaan Tuhan. Ilmu Kebal berposisi menolak sunnah atau tradisi hukum alam yang diregulasi oleh Tuhan bagi makhluk manusia. Salah satu dimensi keindahan hidup manusia antara lain adalah rasa sakit, meskipun jangan sampai memproduksi rintihan yang berlebihan dan ratapan yang berkepanjangan.

    Rasa sakit mungkin membawa manusia pada ketidakseimbangan struktur kejiwaan. Tapi bersamaan dengan segala sesuatu yang menyakitkan, sudah disediakan juga perangkat dan metode untuk menawarnya. Sakit badan atau hati tidak perlu membawa manusia ke kelumpuhan tubuh atau sakit jiwa, karena ia adalah bagian dari kelengkapan “sebab musabab”, untuk dikelola oleh manusia menuju ketangguhan, kedewasaan, kematangan dan kesaktian.

    Ketangguhan tidak sama dengan kekebalan. Kedewasaan tidak sama dengan kebebalan. Kematangan tidak sama dengan fatalisme. Dan kesaktian adalah kekuatan rahasia yang disimpan oleh Tuhan di dalam diri manusia, di luar kekuatan alamiahnya. Kalau pakai Kitab suci, kekuatan alamiah itu disebut “quwwah”, sedangkan kesaktian itu “sulthan”.

    ***

    Tuhan mengizinkan “sulthan” untuk dilantikkan sebagai pinjaman resmi dari-Nya kepada manusia, sesudah berbagai tahap ujian, perjuangan, tawar-menawar kewajiban dan hak antara manusia sebagai pelaku kehidupan dengan Tuhan sebagai Maha Pelaku segala lakon yang dikehendaki-Nya.

    Maka di kalangan para pejalan ilmu lelaku di Patangpuluhan, mereka memberanikan diri berdoa memohon kepada Tuhan, “La haula wa la quwwata wa la sulthana illa billahil ‘aliyyil ‘adhim”, sebagai dorongan ekstra di tengah riyadlah perjuangan mereka membangun kemanusiaannya.

    Dari “quwwah” menuju “sulthan” terhampar luasnya kemungkinan bekerja selama waktu yang tersedia, di ruang sempit yang bernama dunia, yang sama sekali bodoh untuk menjadikannya sebagai tujuan perjuangan.

    Kenyataan-kenyataan sosial membuat njarem. Tipu daya negara dan pasar bebas membuat njarem. Pencitraan eksistensi dan kemunafikan para pemimpin membuat njarem nasional dan internasional. Adzab Tuhan berupa ketoprak kepemimpinan, sandiwara ketokohan atau kepalsuan negara dan pemalsuan pemerintahan, menimbulkan njarem massal.

    Kenapa di media-media komunikasi ummat manusia dan bangsa Negeri Katulistiwa tidak ada atau sekurang-kurangnya tidak ditonjolkan tema tentang kepemimpinan, apalagi kepemimpinan sejati? Karena sistem yang sedang diterapkan harus menghindari dan menghalangi munculnya Pemimpin Sejati.

    Kenapa kesadaran tentang sejarah dan penghormatan kepada Leluhur diupayakan agar semua orang terutama generasi muda meremehkannya? Karena hal itu merupakan penghalang besar bagi pola penjajahan yang sedang dijalankan. Kalaupun ada yang mendasar dan mendalam secara nilai dari masa silam bangsa Negeri Katulistiwa, harus dirumuskan dengan istilah yang meremehkan, menyempitkan dan membuat rendah diri, yakni: kearifan lokal.

    Kenapa wacana tentang kemunafikan tidak boleh dibiarkan menjadi trending-topicpada suatu jangka waktu yang melebihi batas strategi kaum penjajah? Karena kesadaran, detail dan komprehensi ilmu tentang kemunafikan akan membuka aib-aib besar para stake-holders kekuasaan, bisa merusak tananan, membubarkan mekanisme yang sudah ditata secara seksama.

    Akal bulus politik, hipokrisi kebudayaan, manipulasi agama, penipuan-penipuan kata dan bahasa melalui pelembagaan gagasan dan ideologi — dari demokrasi, liberalisme, moderat, fundamentalisme, radikalisme, madzhab, sekte, trend dan berbagai macam hologram pikiran lainnya — membuat njarem, linu-linu, pegal-pegal, rasa lumpuh, remuk redam.

    Himpunlah data-data teknis, statistik, bagan-bagan, jurnal-jurnal atau bentuk apapun dari media massa, dunia maya, buku-buku, perpustakaan dan apapun, untuk memperoleh pengetahuan teknis mengenai itu semua. Lakukanlah pendataan sebagaimana kaum terpelajar di dunia dan Negeri Katulistiwa. Tetapi di tulisan yang manapun di sini tidak akan kutambahi rasa njarem nasional-globalmu dengan membeberkan hal-hal semacam itu.

    ***

    Aslinya selama hidup Markesot sendiri hampir tak pernah berhenti merasakan njarem. Dan sebenarnya ia meminta teman-temannya berkumpul di Patangpuluhan ini tak lain tak bukan semata-mata untuk melaksanakan semacam niat jahat menjebak mereka semua agar menyatu dalam kebersamaan njarem.

    Dan ketika kemudian ternyata empat puluh orang itu memang datang dengan njarem-nya masing-masing, akibatnya Markesot malah menjadi lebih parah njarem-nya. Sumbangan njarem dari seluruh Negeri Katulistiwa yang dihimpun di rumah hitam Patangpuluhan itu jelas membuat tidak selalu stabil menjaga citra kematangan dan ketenangannya.

    Markesot tidak terus-menerus bisa berpura-pura bahwa ia seolah-olah bagian dari kehidupan modern abad ini. Tatkala rasa njarem-nya tak tertahankan, keluarlah perwujudan bahwa belum tentu ia murni keturunan Homo-Sapiens. Muncullah manusia purba yang selama ini acting memperkenalkan dirinya sebagai Markesot. Atau andaikan bukan manusia purba, sekurang-kurangnya ia bukan manusia asli Bumi. Mungkin ia transmigran dari entah planet apa di tatasurya tetangga matahari atau dari belahan galaksi jauh di sana.

    Gilanya muncul. Liarnya ketahuan. Cambuk keluar dari balik kostum sandiwaranya. Ledakan-ledakan aneh memecah udara. Suara tertawa-tawa yang susah diidentifikasi itu impressi dari sesuatu yang lucu, atau ekspresi dari kegembiraan. Tapi bukankah kandungan tawa itu lebih banyak rasa deritanya?

    Salah seorang teman Markesot membisiki sebelahnya. “Sesungguhnya keliaran Markesot tadi menunjukkan bahwa ia adalah manusia sejati. Dia orang biasa. Penderitaan jiwanya dan ekspresi komunikasinya relatif sama dengan kita semua dan rata-rata orang….”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  16. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Untuk Anak-cucu dan Jape-methe

    Tidak ada manfaatnya memperdebatkan apakah Markesot itu gila atau waras. Hahahaha…kalau glundhung-pringis pastilah selalu pringisan tertawa. Tetapi hantu kaki-tiga yang karakternya sangat serius pun jadi tertawa: Astaga…makhluk-makhluk yang mengira dirinya waras, padahal mereka semakin tidak waras, mempertanyakan waras-gilanya Markesot?

    Wahai logika hancur. Wahai kemanusiaan kikis. Wahai akal dari Tuhan yang didayagunakan untuk mengakali. Wahai sistem tipudaya. Wahai regulasi perampokan. Wahai budaya birokrasi pengutilan. Wahai peradaban kemunafikan. Wahai semut dan harimau pun punya kepemimpinan, dan ummat manusia kekasih Sang Pencipta melecehkannya. Wahai kumpulan makhluk rendah diri. Wahai para khalifah tanpa martabat, tak punya harga diri, tak ngerti muru’ah. Kalian meyakini diri kalian waras?

    Hanya demi sopan santun saja Markesot membatasi tertawanya melihat makhluk-makhluk GR di salah satu lingkup seputaran Katulistiwa yang heboh dan gaduh. Makhluk-makhluk kesayangan Tuhan yang menyangka diri mereka waras, hidup di Negeri yang waras, menjalani budaya, hukum dan politik waras, bangga sedang mengemis “gemah ripah loh jinawi” dari Kerajaan Ya’juj dan Ma’juj, demi mewarisi dan membebani penganiayaan ke masa depan, yang anak-cucu mereka tak kan sanggup menanggung hutang-hutang dari kakek-neneknya sendiri.

    Wahai inilah Markesot, seekor makhluk purba, jangan sebut seorang. Wahai inilah aku makhluk asing, hadir sebagai tamu liar yang tak diundang di bumi. Dulu kutitipkan pernyataan ini melalui seseorang untuk menyebarkannya:

    “kalau memang tak bisa
    kau temukan wilayahku
    biarlah aku yang terus berusaha
    mengetuk pintu rumahmu

    kalau tak bersedia engkau
    menatap wajahku
    biarlah para kekasih rahasia Allah
    yang mengusap-usap kepalaku”

    Sebagaimana sia-sia warga Patangpuluhan itu mencari kebenaran tentang siapa nama Bapak dan Ibunya Nabi Khidlir, beliau masih sugeng atau sudah meninggal, tinggi badannya berapa, apa benar orang sakti dari kelamnya rahasia ini memutar Masjid Hagia Sophia, mengubah arahnya menjadi menghadap Kiblat, hanya dengan menempelkan telapak tangannya di salah satu tiang Masjid, kemudian menggeser seluruh bangunan raksasa itu.

    Apa benar Nabi Idris sengaja ninggal sandalnya di dekat pintu sorga bagian dalam. Apa benar babi tercipta dari gajah dan tikus tercipta dari babi pada saat Nabi Nuh kerja keras menakhodai kapal agung penyelamat peradaban kaumnya yang beriman. Apa benar Iblis bergerilya memasuki sorga melewati mulut naga yang menguap di depan pintu sorga, kemudian menelusuri lorong tubuh panjang naga itu, kemudian keluar bersama tinjanya, dan ekor naga itu berada di dalam sorga. Dengan begitu ia bisa mensubversi pemindahan Adam dari sorga ke tempat yang seharusnya, yakni bumi.

    Mungkin ada yang lebih jauh lagi menanyakan apa hubungan Markesot dengan tinja naga, dengan gajah babi tikus, dengan kerudung Nabi Khidir dan terompah Nabi Idris, demi Tuhan seru sekalian alam itu adalah pertanyaan yang paling bodoh dan sia-sia. Mahasiswa-alam Patangpuluhan dulu pernah memperdebatkan sebenarnya yang benar itu Zulaikha sangat mencintai Nabi Yusuf ataukah Nabi Yusuf yang sangat naksir Zulaikha.

    Perdebatan itu terhenti oleh Markesot. “Saya tidak punya data tentang cinta. Yang saya pelajari hanya pisau yang dipegang oleh abdi-dalem Kerajaan yang tak sengaja mengiris tangannya sendiri, karena takjub terpesona menatap betapa gantengnya wajah Nabi Yusuf. Pisau itu saya simpan dan ada di tangan saya”

    Kemudian Markesot mengambil tasnya. Memasukkan tangan kanannya ke dalam tas itu. Ia keluarkan lagi dalam keadaan tergenggam.

    “Kalian pejamkan mata”, kata Markesot, “hati kalian masing-masing memohon ampun keada Tuhan. Supaya jiwa kalian bersih, dan mripat kalian diperkenankan Tuhan untuk mampu melihat pisau ini”

    Kemudian sesudah teman-temannya diziinkan Markesot membuka matanya, Markesot pelan-pelan membuka genggaman tangannya. Di telapak tangan itu ada gambar pisau kecil, hasil goresan fulpen murahan.

    “Ini pisaunya di tangan saya”, kata Markesot.

    ***

    Berhentilah mempelajari pisau di tangan abdi-dalem Keraton di jaman hidupnya Nabi Yusuf. Ini keadaan masih njarem dan semakin tidak waras. Jangan mengharapkan apapun dengan pedoman seolah-olah ini zaman waras.

    Sumbangan nasional njarem itu membuat Markesot merasakan kembali kegagalan hidupnya. Jelasnya: kegagalan subversi Markesot di bumi. Tulisan demi tulisan yang dibacakan itu seperti mengejek dan menjelentrehkan hamparan dan daftar kegagalan Markesot. Bagaimana tidak. Mungkin gagal tidak di jagat Patangpuluhan, melainkan gagal di dunia dan Negeri Katulistiwa.

    Tulisan-tulisan itu tidak ada masalah bagi Universitas Patangpuluhan. Tetapi itu kegagalan besar bagi masyarakat dunia dan bangsa Negeri Katulistiwa.

    Itulah sebabnya sejak awal Markesot menekankan: “Tuliskan sesuatu, apa saja, tanpa syarat dan batas, untuk anak cucumu dan sesama Jape-Methe, sesama pembelajar di Kosmos Patangpuluhan. Sekali lagi, tulisanmu itu untuk anak cucumu entah sampai turunan keberapa, serta untuk Jape-Methe”.

    Sebagian temannya bertanya, “Jape-Methe itu apa, Cak Sot?”

    Markesot menjawab, “Mungkin kalian pikun atau dulu lalai selama sesrawungan di Patangpuluhan. Jape-Methe itu bocahe dhewe. Kalian selama di Patangpuluhan kan orang kampung, bukan orang kota. Orang kampung di Patangpuluhan membaca “b” menjadi huruf apa, “c” “h” “d” “w” berubah jadi huruf apa. Itu kan password peradaban kampung kalian sendiri dulu. Jape-methe adalah sesama kita di jagat raya kita. Sesama teman di lingkup Patangpuluhan”

    “O iya ya, saya lupa….”, kata si pikun.

    “Kamu singkat saja Jape-Methe menjadi jm. Kelak, jm akan punya kepanjangan yang bukan Jape-Methe”

    “Apa itu?”

    “Saya bilang kelak. Kok ditanyakan sekarang”

    “Baik, Boss. Tapi saya nanya kenapa tidak J dan M huruf besar?”

    “Tidak usah ‘j’ dan ‘m’ besar. Kecil saja. Jawabannya ada enam ribu enam ratus enam puluh enam. Tapi ambil satu saja. Misanya karena kita tidak besar dan hanya kagum kepada Kebesaran Tunggal, yakni yang ada pada Tuhan sendiri”

    “Biasanya kalau singkatan ditulis huruf besar semua, Cak Sot”

    “Biasanya siapa? Biasanya pada atau bagi siapa? Untuk sejumlah hal kita sudah bermurah hati untuk mengakomodasi dan menyesuaikan diri dengan dunia dan bangsa Negeri Katulistiwa. Tetapi untuk hal-hal tertentu setiap kita boleh memilih kata, bahasa, idiom, cara berpikir, metoda analisis dan pola-pola pandang berdasar kedaulatanmu masing-masing. Jadi tak harus JM. Bisa jm saja”

    “Tapi nanti orang tidak paham bahwa itu dua huruf singkatan dari dua kata?”

    “Orang siapa? Orang di dunia? Orang dari Bangsa Katulistiwa? Itu semua wasiat untuk anak cucumu sendiri dan kepada sesama jm. Orang di dunia dan di Negeri Katulistiwa tidak harus paham, bahkan tidak perlu membaca wasiat itu. Kalian pikir mereka pernah benar-benar apa yang mereka katakan, yang mereka baca dan dengar?”

    “Kalau anak cucuku dan Jape-Methe juga tidak paham bagaimana?”

    “Berarti bukan anak cucumu dan bukan jm. Berarti mereka belum manusia merdeka. Belum manusia berdaulat”

    “Merdeka dan berdaulat dari apa?”

    “Belum memerdekakan diri dari dari kebiasaan ummat manusia dan bangsa Negeri Katulistiwa, dalam hal cara berpikir, pola konsumsi komunikasi, teknik penyerapan serta pengambilan keputusan tentang hulu hilir pangkal tujuan hidup”

    “Jawaban Sampeyan bisa agak lebih sederhana, Cak Sot?”

    “Belum merdeka dari tradisi kesempitan. Belum merdeka dari naluri berhubungan dengan sesuatu hanya untuk peka terhadap keuntungan yang diambil. Belum merdeka dari subyektivisme yang merugikan diri sendiri…”

    “Masih mewah bahasa Sampeyan, Boss”

    “Belum merdeka dari kebiasaan masuk kebun hanya berpikir memetik buahnya, tidak ingat biji buahnya, proses ketumbuhan pohonnya, perkawinan akarnya dengan tanah, keterkaitan tanah dengan seluruh sifat bumi, ketergantungan bumi terhadap sunnah alam semesta dan kehendak Penciptanya”

    “Sedikit agak lebih sederhana, Cak Sot”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  17. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Aktivasi Akherat di Dunia

    Terjadi omong-omong serius antara Markesot dengan anggota Perhimpunan Njarem Nasional.

    “Puluhan tahun kalian menikmati semua yang enak-enak dari saya. Yang nyaman-nyaman, yang sedap-sedap, yang menggembirakan dan meringankan hidup kalian. Dan itulah kesalahan besar dalam hidup saya”

    “Bukankah menggembirakan orang, meringankan beban orang, memberi keamanan dan kenyamanan, adalah sedekah yang terbaik, Cak Sot? Kenapa itu kesalahan?”

    “Karena saya kurang mengantarkan kepada kalian pelatihan dan pengalaman bagaimana menjadi manusia yang selalu siap memberi kenyamanan, kegembiraan dan keringanan”

    “Kan hidup kita yang miskin dan serba kekurangan di Patangpuluhan dulu dengan sendirinya merupakan pelatihan untuk menjadi manusia yang siap menyamankan orang lain?”

    “Apa kemampuan menyebar kegembiraan selalu dilatihkan dengan kemiskinan dan penderitaan?”

    “Tidak juga. Tapi nyatanya selama di Patangpuluhan kita belajar dari pengalaman-pengalaman itu”

    “Siapa bilang di Patangpuluhan dulu kita miskin dan menderita?”

    “Lho memangnya kaya dan bahagia?”

    “Kebahagiaan tidak selalu berada dalam sebab-akibat dengan kekayaan. Juga penderitaan tidak harus selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Kalau begitu cara pandang kita, Patangpuluhan dulu bukan Universitas, tapi lebih cocok Usaha Dagang”

    “Kan semua masyarakat hampir seratus persen menyepakati bahwa sukses adalah kaya harta, memuncak karier, syukur termasyhur. Yang disebut kebahagiaan ya begitu itu”

    “Kamu juga berpendapat begitu?”

    “Tidak juga sih. Tapi kan jelas di Patangpuluhan dulu kita miskin”

    “Tapi tidak menderita”

    “Ada yang tidak, tapi Cak Sot mungkin tidak tahu ada juga yang merasa menderita karena semua yang di rumah hitam itu miskin”

    “Apa tanda-tandanya kita dulu miskin?”

    “Makan tidak pasti”

    “Terus?”

    “Tidur menggeletak di sembarang tempat yang lowong”

    “Oke”

    “Seluruh kondisi rumah sangat tidak sepadan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Tembok-temboknya lembab. Kamar hanya ada dua untuk puluhan orang. Kamar mandi terlalu tradisional, harus menimba sendiri-sendiri dari sumur. WC-nya memalukan. Sampai-sampai dijadikan parameter, kalau ada artis atau tokoh-tokoh bertamu, dan berhasil buang air besar di WC kita, berarti lumayan insan kamil dia”

    “Ya”

    “Bagaimana tidak miskin. Pintu depan, samping dan belakang tidak ada kuncinya. Bisa dibuka oleh siapa saja dan kapan saja. Itu tanda sangat gamblang bahwa tidak ada apa-apa di dalam rumah itu yang menarik hati para pencuri untuk mengambilnya”

    “Oke”

    “Pintu depan ringsek, kayunya semakin pecah dan bolong. Kita ganti pintu dengan kayu yang tidak lebih baik atau mahal. Tetangga sebelah merasa kita sedang memamerkan kemampuan finansial dengan mengganti pintu. Maka dia perbarui pintu-pintu dan jendela-jendela rumahnya, dengan harga mungkin sepuluh kali lipat dari harga pintu kita”

    “Ya”

    “Kita tidak tahu kalau sedang bersaing dengan tetangga. Sampai kemudian ketika pagar depan kita lengkapi tali-talinya, tetangga sebelah itu merestorasi pagar bambu menjadi pagar tembok dengan hiasan yang mewah. Kesadaran tentang kompetisi materialisme itu kemudian membuat kita mengambil keputusan untuk mengecat rumah Patangpuluhan dengan hitam penuh. Tembok hitam. Pintu hitam. Jendela hitam. Kaca hitam? Mana ada kaca. Deretan level-level untuk pentas teater juga hitam. Seterusnya baju kita celana kaos dan semua pakaian kita menjadi hitam. Mungkin juga hati kita”

    “Oke”

    “Oke ya oke ya oke ya….”

    “Apakah kita menderita oleh itu semua?”

    “Tidak sih”

    “Tidak ada penderitaan di dunia. Hanya njarem

    Njarem juga bisa menjadi penderitaan”

    Njarem itu lucu. Itu semacam rasa sakit yang berbasa-basi”

    “Itu kalau hanya njarem. Yang kita alami ini juga keseleo, kecethit, bengkak”

    “Menjadi kesengsaraan kalau yang keseleo pikiranmu, yang kecethit hatimu, yang bengkak mentalmu”

    “Tapi meskipun yang keseleo hanya badan, sakit juga”

    “Sakit, tapi bukan penderitaan….”

    Kemudian Markesot omong panjang tanpa memberi peluang kepada teman-temannya untuk menyela.

    “Penderitaan terjadi hanya di Akhirat kelak kalau pengelolaan kita salah atas dunia. Maka mulai pertemuan hari ini bikin simulasi kesengsaraan. Hanya simulasi beberapa saat. Itu pun sekedar dengan pergi jauh ke belakang. Melompat jauh ke wilayah-wilayah di balik produksi keenakan, kenyamanan, kesedapan dan kegembiraan itu”

    “Dan wilayah itu adalah wilayah pelatihan kanuragan-kajiwan yang sangat panjang. Yang berat dan sengsara. Yang hampir-hampir tak tersangga dan setiap saat dibanting oleh rasa putus asa. Pelatihan-pelatihan yang bisa sangat mengerikan agar kita pantas menjadi aktivis kehidupan sejati Akhirat”

    “Tetapi harus saya ulang dan ulang lagi: tidak ada penderitaan di dunia. Karena selama yang terasa seolah-olah penderitaan itu membawamu kepada ingatan bahwa kau telah berbuat benar, kemudian Akhirat tampak di depan kesadaranmu – penderitaan itu berubah menjadi gizi kesehatan. Sepanjang manusia mengaktivasi Akhirat dalam proses perjuangan hidupnya, maka ujung tetesan hasilnya adalah Kalimah Thayyibah. Dan Kalimah Thayyibah meringankan yang berat, mencerahkan yang gelap, membukakan yang buntu, menggembirakan yang tadinya serasa sengsara”

    “Dunia ini hanya diklat beberapa sesi. Maka pun tidak ada sukses di dunia. Semua bangunan peradaban, kekayaan materialisme dan kejayaan-kejayaan pembangunan Kerajaan dan Negara, adalah tipuan sesaat, artifisialisme dan tipu daya hologram dalam waktu. Karena beberapa saat berikutnya akan kalian tinggalkan dan meninggalkan kalian”

    “Kalau kalian tidak pernah tuntas mengalami yang orang-orang menyebutnya kesengsaraan dunia, sebagai agenda-agenda pelatihan untuk aktivasi kehidupan sejati yang disebut Akhirat, yakni keabadian sesudah ujung dunia — saya bertanya: kenyamanan apa yang bisa kalian wasiatkan kepada anak cucu dan sesama jm? Biji apa yang kalian lempar ke masa depan untuk mereka tanam di kebun-kebun peradaban yang akan datang?”

    “Ayo sekarang bangun semua”, Markesot mengakhiri, “kita lindas dan siksa jiwa kita dengan pemandangan-pemandangan njarem berikutnya. Lompat masuk ke arena hujan deras. Pelajarilah pergerakan dan jurus-jurus untuk memasuki sela-sela di antara derasnya air hujan. Kalian terus-menerus dihujani, maka sekarang berlatih agar kalian punya kemampuan untuk mengguyurkan hujan derasnya Tuhan”

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  18. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Hujan Deras Tidak Basah Kuyup

    Apakah aku menganjurkan agak anak cucuku dan para jm untuk menjauh dari hutan belantara yang berisi semakin banyak ketidakberadaban manusia? Mengajak mereka untuk menghindar, untuk pergi dengan sikap sok suci, atau bahkan meninggalkannya? Atau sekurang-kurangnya menjaga diri agar steril dari lingkungan ketidakberadaban itu?

    Sama sekali tidak.

    Bahkan tidak juga mengajak untuk mengutuk dan membenci. Apalagi secara emosional dan terburu nafsu merancang suatu bangunan negara atau pemerintahan baru yang disangka akan lebih baik dari yang dilawan.

    Mungkin menganjurkan untuk melawan dengan perhitungan yang benar-benar terukur. Atau kalau sangat kecil kemungkinan untuk melawan, sekurang-kurangnya menjaga diri sendiri semampu-mampunya untuk tidak menjadi bagian dari ketidakberadaban itu. Tetapi anak cucuku dan para jm bertanya bagaimana mungkin kita diguyur hujan dangat deras tanpa menjadi basah kuyup?

    Bagaimana mungkin menghindari budaya pencurian di kantor? Bagaimana mungkin aku mengelak dari domino korupsi struktural yang sudah berlangsung seperti aliran darah yang mengalir dan menjadi tulang punggung kehidupan di kantor? Yang budaya vertikal horisontal antar petugas-petugasnya, atasan dan bawahannya, sudah hampir tidak mungkin menghentikan sistem pencurian bersama? Yang bahkan aturan dan undang-undangnya disusun berdasarkan kepentingan untuk memudahkan permalingan bersama itu?

    Anak cucuku dan para jm menyatakan bahwa ia akan terpental jika tidak bergabung di dalam kultur sistemik permalingan itu. Ia tidak akan bisa berkembang. Atau bahkan dimutasi, dipindahkan ke daerah-daerah terjal, atau kalau kadar perlawanannya meningkat, ia akan dipecat, meskipun prosedur teknis dan performanya tidak terlihat sebagai pemecatan.

    ***

    Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana aku akan pergi selain di bawah hujan deras itu? Wilayah mana yang bisa aku tinggali dan pekerjaan apa yang bisa kujalani yang berada di luar area hujan deras itu?

    Negara berubah menjadi pasar rimba penghancur semua yang lemah. Ideologi menjadi topeng, agama berpusat pada kemunafikan, kemanusiaan diputus talinya dari belakang dan ke depan. Kesucian rakyat dilacuri sampai benar-benar menjadi pelacur.

    Peradaban yang pilarnya adalah Ksatria diambil alih oleh Raksasa. Jalan menjadi tujuan. Tuhan dijadikan faktor produksi dan promosi. Kitab Suci dibuka dicari ayat-ayat yang diletakkan pada tempat yang tidak seharusnya, karena gunanya firman Tuhan adalah untuk meneguhkan pengambilan keuntungan harta benda dunia.

    Pengurus negara yang berkewajiban melindungi dan menyejahterakan rakyat yang mengamanatinya berlaku sebaliknya: menyusun sistem manajemen pemiskinan. Pemerintah yang diperintah oleh rakyatnya untuk mengelola tanah airnya, melakukan penggadaian dan penjualan besar-besar tanah dan air, isi daratan dan muatan lautannya. Penguasa yang digenggami kekuasaan malah dikuasai oleh penguasa lain dan menandatangani surat-surat penguasaan oleh penguasa lain itu atas harta benda rakyatnya.

    Peradaban yang penghuni mayoritasnya adalah pengemis dan minoritasnya perampok. Setiap warga mayoritas belajar di sekolah demi agar bisa mendaftar ikut merampok, kemudian jika gagal mereka menadahkan tangan semoga memperoleh sedikit atau banyak cipratan dari hasil-hasil rampokan.

    Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana kami akan pergi? Sampai berapa lama kami mampu bertahan tak ikut merampok, dan hingga kapan kami dengan keluarga-keluarga kami bertahan lapar demi tidak menjadi pengemis? Hujan deras di mana-mana dan semakin deras. Desa-desa menjadi kota, dan kota-kota menjadi hutan belantara.

    ***

    Pemimpin besar kami, kata engkau anak cucuku dan para jm, menyebutkan bahwa hidup ini diciptakan Tuhan dengan ummat manusia menjadi wakil kepengurusan-Nya agar kita semua saling mengamankan, saling memperjanjikan dan mengundang-undangkan suatu tatanan dan aturan untuk menjamin keamanan satu sama lain.

    Keamanan nyawa, keamanan martabat dan keamanan harta.

    Kami tidak sanggup menjaga titipan harta kekayaan Tuhan ini dari cengkeraman dan penguasaan golongan-golongan makhluk yang menyelenggarakan program pengambilalihan kekayaan Tuhan itu dari kami. Bertahap-tahap selama ratusan tahun titipan-titipan Tuhan itu lepas dari tangan kami, dan Tuhan tidak menghalangi semua itu terjadi.

    Kekayaan titipan Tuhan semakin kikis dan di ambang sirna. Dan demi supaya masih bisa bertahan hidup, sebagian besar dari kami merelakan musnahnya martabat kemanusiaannya. Kami hidup di tengah rakyat, masyarakat dan ummat yang sudah mengikhlaskan ambruknya martabat, asalkan nyawa tidak hilang dan masih sekedarnya memperoleh sisa harta yang semakin kikis.

    Penjajahan demi penjajahan, dengan bentuk dan formula yang terus diperkembangkan dan dimatangkan, sampai tahap di mana kebanyakan manusia tidak lagi mengetahui bahwa mereka sedang dijajah. Tidak hanya penjajahan yang samar dan tak kasat mata, sedangkan penjajahan yang terang benderang berwujud penjajahan pun sudah tidak dipahami sebagai penjajahan.

    Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana kami akan pergi? Ke manapun kami melangkah, tak bisa lolos dari guyuran air hujan yang deras dan semakin deras.

    Anak cucuku dan para jm menagih kalimatku “sederas-deras air hujan, sela-sela kosong di antara titik-titik hujan masih lebih luas dibanding jumlah volume seluruh air guyuran hujan”.

    Anak cucuku dan para jm mempertanyakan mana mungkin berjalan di bawah derasnya hujan, bisa tidak basah kuyup?


    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  19. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Rimba Gelap di Depanmu Loncat Masuk!

    Anak cucuku dan para jm kemarin kuajak memasuki rimba hutan belantara dan menembus hujan deras peradaban Abad 21, dunia dan Indonesia.

    Kemudian anak cucuku dan para jm menagih kalimatku “sederas-deras air hujan, sela-sela kosong di antara titik-titik hujan masih lebih luas dibanding jumlah volume seluruh air guyuran hujan”.

    Anak cucuku dan para jm mempertanyakan mana mungkin berjalan di bawah derasnya hujan, bisa tidak basah kuyup?

    Jangan sampai didengar oleh para tetangga, ini sebatas kalimat buat anak cucuku dan para jm bahwa jawaban untuk tagihan dan pertanyaan itu, juga beribu pertanyaan yang lain — terletak pada hidupku.

    Jangan sampai anak cucuku dan para jm meniru aku, atau apalagi sepenuh-penuhnya bertekad mengikuti jejakku. Sebab engkau semua bukan aku. Sejarahmu akan berkembang tidak seperti sejarahku. Juga aku bukan panutanmu. Bukan sebagaimana nabi atau para pemimpin yang diikuti oleh sebagian ummat manusia.

    Jika kukatakan kepada bahwa “jawabannya ada pada hidupku” tak berarti hidupku ini penting, khas atau istimewa. Tidak sama sekali. Ini sekedar informasi bahwa jawabannya ada pada hidupku. “Ada pada” tidak sama dengan “hidupku”. Yang satu unsur atau muatan, yang lain wadahnya.

    Mohon tetap diingat bahwa muatan maupun wadahnya itu tak ada di lingkup dunia dan Indonesia, sekurang-kurangnya mereka tidak melihatnya. Oleh karena itu semua omong-omong kita lingkupnya sebatas aku dengan anak cucuku dan para jm.

    Engkau semua tidak berkewajiban untuk mempelajari atau mengakui wadahnya, tetapi kalau memang memerlukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, setidak-tidaknya carilah itu di muatannya. Tengoklah, jenguklah, masukilah, telusurilah, telitilah, selamilah, temukan tetesan-tetesan nilainya, butiran-butiran maknanya.

    Jika engkau melakukannya, tekanan makna dan manfaatnya tidak terletak pada “aku” nya, melainkan pada penemuan “jawaban” nya. Kalau hidupmu menuju masa depan yang remang-remang nanti tidak terkait dengan “jawaban” itu, maka si “aku” menjadi lebih tidak engkau perlukan lagi.

    ***

    Sesuatu memasuki hatiku dan merasuki kepalaku, dan itu membuat jari-jari tanganku menulis:

    rimba gelap di depanmu
    loncat masuk! dan bukan berpikir
    kapal di belakangmu musnah terbakar dan api terus
    bernyala-nyala
    api terus berkobar, menjilat-jilat, meremuk masa silammu…

    Kemudian itu disebut puisi. Kutulis pada 1973, kelak pada 1993 diterbitkan bersama puisi-puisi lain menjadi sebuah buku. Jangan dipersoalkan dulu apakah itu puisi atau bukan. Yang kututurkan kepada anak cucuku dan para jm hanyalah sezarrah “jawaban” di antara padang pasir jawaban-jawaban yang lain.

    Kalimat-kalimat itu titik loncat di belakangnya adalah peristiwa kapal dibakar atas perintah seorang Panglima Perang ketika memasuki Spanyol. Keputusan itu merupakan buah strategi mental bagi para prajurit untuk memojokkan mereka hanya di satu kemungkinan: maju! Tandang. Melangkah ke depan. Tidak ada kemungkinan lain.

    Ada kalimat “dan bukan berpikir”, bagaimana maksudnya? Apakah kita diperintahkan untuk menjalani sesuatu tanpa pertimbangan pikiran? Tidak modern dan tidak ilmiah kalau bertindak tanpa landasan pemikiran. Dan bukanlah manusia kalau sepak terjangnya tidak bertulang punggung akal.

    Hakikinya “dan bukan berpikir” berlaku pada satu dua detik pengambilan keputusan. Proses berpikir bisa membuat keputusanmu lebih matang, tapi bisa juga karena hidup ini tak kan selesai dihitung dan dipikir, maka tahap-tahap berpikirmu itu justru bisa menjadi serimpetan penghalang yang membuatmu tidak jadi melangkah. Atau bahkan tidak pernah melangkah.

    Sebagian anak cucuku dan para jm hidupnya termangu-mangu, karena langkah yang direncanakan tidak pernah matang dalam pikiran. Akhirnya ia berubah menjadi pemikir yang perjalanan hidupnya bukan perjalanan, melainkan ketermangu-manguan.

    ***

    Terkadang engkau bisa berlaku seperti seorang arsitek yang setiap langkah ke depannya dihitung dulu dengan seksama dan sesempurna mungkin. Kondisi tanah tempat ia akan mendirikan bangunan, lingkungan sekitar tanah itu, bentuk bangunannya, detail-detailnya, dan yang terutama ia tidak akan pernah menghitung semua itu jika tidak terlebih dulu tersedia dana untuk membiayainya.

    Sebagian dari urusan hidupmu bisa engkau kelola dengan cara arsitek. Tapi aku menduga sebagian besar dari keharusan-keharusan perjuanganmu sama sekali tidak bisa engkau jalankan dengan cara itu. Engkau bisa memikirkan dan memperhitungkan segala sesuatu yang akan engkau kerjakan, tetapi ada beribu kemungkinan lain yang mustahil dijangkau oleh sangat terbatasnya kemampuan pikiranmu.

    Bahkan para arsitek, pun para penguasa dan pengendali kehidupan di bumi, tidak ada yang mengerti persis apa yang akan terjadi lima menit yang akan datang. Gedung-gedung tinggi ambruk oleh gempa atau oleh korupsinya sendiri. Para penguasa, Kaisar, Raja, Presiden, pengusaha, ambruk, kecuali yang Tuhan membiarkannya dengan maksud tertentu, istidraj atau alat hidayah. Dan tidak berarti yang dibiarkan itu bebas dari wabal-Nya. Hanya soal pergiliran waktu, pada interval di dan antara dunia dengan akherat.

    Kebanyakan di antara anak cucuku dan para jm bukanlah arsitek kehidupan dunia, terlebih lagi ada Maha Pekerja dan Maha Arsitek Agung yang sejatinya sangat dominan akses dan peranannya. Engkau kebanyakan adalah pejalan kehidupan, dengan api membakar hangus di belakangmu, dan rimba gelap di depanmu. Aku menyaksikan juga bahwa engkau berani mengambil keputusan “loncat masuk!”, dengan mental yang engkau menyebutnya bukan hanya tekad tapi “nekad”. Engkau meloncat masuk dan memperkembangkan aji-aji dan kecanggihan silatmu untuk “bismillah” menjalani apa yang engkau sedang dan akan jalani.

    Anak cucuku dan para jm beralamat di “min haitsu la yahtasib” dan betapa dahsyatnya itu jika diterjemahkan di dalam struktur urusan-urusan, dipahami dalam konstruksi langkah-langkah, dan besoknya ditemukan di dalam fakta teknis yang ternyata bisa sangat sederhana.

    Tapi meskipun demikian aku tahu engkau masih terganjal oleh pertanyaan “bagaimana caranya berjalan di dalam kegelapan rimba, bagaimana langkahnya supaya tidak basah kuyup di tengah hujan deras?”.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  20. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Persaudaraan dengan Hujan

    Markesot aslinya agak mengantuk juga mendengar beberapa sisa tulisan teman-temannya. Tapi agak bergairah lagi melihat beberapa yang terakhir, karena mulai menyentuh peristiwa yang lebih kongkret dan sehari-hari.

    Memang ketika meminta tulisan “untuk anak cucu dan jm” mereka masing-masing, Markesot ada kecolongan bicara “pokoknya total merenung sampai tingkat mati”, atau bahasa lain “mati merenung”, khusus ketika mendalami sesuatu. Akibatnya banyak di antara mereka tidak tahan oleh hasil kerjanya sendiri.

    Markesot diam-diam mengkritik dirinya sendiri. “Nggak usah berlebihan nuntut orang. Hidup di jaman ini nggak ngerti apa-apa nggak masalah, asal bisa makan, punya rumah, kendaraan dan bisa menyekolahkan anak. Pinter tidak wajib, ilmu gela-gelo thilang-thileng juga tidak apa-apa, asal dapat laba uang lebih banyak. Bahkan tak punya harga diri juga jalan terus, asal mampu menawar-nawarkan diri, ndusel-ndusel ngrampek-ngrampek mlipir-mlipir ke siapa-siapa yang pegang akses, menjilat-njilat pihak yang dibutuhkan….”

    ***

    Anak cucuku dan para jm sudah mengerti bahwa kalau Tuhan menciptakan alam semesta ini hanya benda atau materi, maka tidak rasional dan tidak adil untuk menuntut orang tidak basah kuyup ketika berjalan di bawah hujan lebat.

    Kalau kehidupan ini hanya yang padat dan cair yang tampak oleh mata, maka tidak masuk akal untuk meminta pakaian tetap kering ketika orangnya diguyur hujan deras. Kalau untuk mengkonsep kehidupan ini Tuhan hanya bikin barang satu dua tiga dimensi, maka kehujanan harus basah, kena api harus terbakar dan dipukul harus tergeser atau bahkan harus merasa sakit.

    Kalau tidak ada yang seolah tak ada, kalau segala sesuatu indikator kenyataannya hanya panca indera, kalau yang bisa dilihat didengar dan diraba adalah satu-satunya fakta, kalau yang tak terlihat tak terdengar tak teraba volume atau jumlahnya atau ranahnya hanya sangat sedikit dibanding yang terlihat terdengar teraba, dan bukan sebaliknya, maka hujan deras harus mengakibatkan basah kuyup.

    Bahkan Tuhan tidak hanya menciptakan langit yang berjumlah tujuh. Apakah Tuhan tidak Akbar sehingga kesanggupan penciptaannya hanya tujuh lapis langit. Sedangkan di setiap langit terkandung ketidakterbatasan yang tak terbatas. Jangankan sekedar peta antara terbatas dengan tidak terbatas. Sedangkan tak terbatas itu sendiri jumlahnya tak terbatas.

    Kalau kehidupan ini hanya lever, yang padanya tak ada hati yang semesta keluasannya tak bisa dibatasi. Kalau segala yang diciptakan ini tanpa ruh, tanpa dimensi, tanpa nuansa, tanpa beda jauh antara rasa dengan roso, tanpa nurani dan tidak sama dengan sanubari, tanpa aku yang bukan saya, tanpa engkau yang bukan kamu, tanpa tampak langit yang sebenarnya bukan langit, tanpa badan yang bukan tubuh bukan jasad, tanpa ruh yang bukan nyawa bukan jiwa bukan sukma, tanpa rahasia tanpa sir tanpa misteri tanpa ghoib tanpa ghorib, bahkan tanpa hidup yang sebenarnya mati dan mati yang hidup — maka berhentilah pada kesadaran sangat lokal bahwa kehujanan itu basah kuyup.

    ***

    Bahkan alkisah ada sebuah rombongan musik: di awal tahun 2000-an diminta pentas di sebuah lokasi terkenal nasional. Mereka bersama gamelan dan alat-alat modernnya diletakkan di panggung terbuka beratap langit. Sementara sebuah kelompok lainnya yang termasyhur, oleh Panitia dilindungi di bawah payung panggung besar.

    Rombongan atap langit ini tidak disentuh oleh air tatkala sekitarnya hujan lebat. Sementara grup masyhur yang berada di panggung dengan atap besar kokoh, malah diguyur hujan habis-habisan.

    Tentu sama sekali bukan karena ‘Rombongan-Alkisah’ ini memiliki kesaktian untuk tidak basah kuyup oleh hujan deras. Yang terjadi sangat sederhana. Arus hujan dari angkasa ke bumi dibikin tidak lurus dari atas ke bawah. Melainkan miring. Sehingga memasuki panggung kelompok terkenal itu.

    Anak cucuku dan para jm tahu hujan tidak mengguyur seantero bumi. Hujan adalah paket dengan batas, yang bisa luas bisa sempit. Bahkan suatu curah hujan di suatu wilayah, hanyalah sepenggal kecil dibanding luasnya permukaan bumi. Dan jika dibandingkan dengan betapa luasnya alam semesta, maka sebuah curah hujan itu tak tergambar kecilnya oleh ujung pena yang terkecil.

    Panggung terbuka Rombongan-Alkisah berada di luar batas lokal hujan itu, sementara kelompok terkenal itu berada di dalam lingkup perbatasan antara hujan dengan tidak hujan.Rombongan-Alkisahitu tidak tahu-menahu dan tidak pernah merencanakan apapun, apalagi memiliki kemampuan dan kesaktian ini itu. Bahkan sudah merelakan mereka akan terguyur hujan, karena tidak dilindungi oleh panggung besar seperti kelompok di belakangnya.

    Kemudian ternyata hujan tak menyentuh mereka. Apakah yang melatarbelakanginya? Apakah ada urusan moral? Misalnya persepsi bahwa penyelenggara acara itu melakukan diskriminasi, kelompok terkenal itu dibikinkan pelindung hujan, sementara Rombongan-Alkisah dikasihkan bulat-bulat kepada hujan? Sampai hari ini Rombongan-Alkisah itu tidak mencatat momentum sejarahnya di awal 2000-an itu dengan mencantumkan kata diskriminasi, pelecehan, ketidakadilan atau apapun.

    Mereka hanya bersyukur dan takjub kepada manajemen Tuhan.

    ***

    Mungkin mereka membawa atau mempekerjakan seorang Pawang Hujan? Demikian juga penyelenggara acara itu pun ternyata memang menyewa seorang pawang yang mumpuni dan kelas paling pakar?

    Dan Sang Pawang sesudah peristiwa hujan itu bergegas khusus menemui mereka untuk membungkukkan badannya, hampir seperti menyembah, untuk minta maaf dan mengakui bahwa ilmu kepawangannya tidak ada apa-apanya dibanding Pawang yang dibawa oleh Rombongan-Alkisah itu.

    Tetua Rombongan-Alkisah merangkul pawang itu, mengajak minum kopi bersama, dan mempersaudarainya. Kemudian dengan hati-hati menjelaskan bahwa kelompok mereka tidak bawa pawang, tidak pernah kenal pawang hujan, sehingga selama lebih 4000 kali pementasannya tidak pernah menggunakan pawang.

    Bahkan Rombongan-Alkisah tidak pernah memiliki keberanian untuk menolak hujan. Mereka selalu berpendapat bahwa hujan itu baik dan tidak hujan juga baik, sepanjang kita menyimpulkan bahwa hujan dan tidak hujan terjadi hanya karena Tuhan mengizinkan atau tidak menghalanginya untuk terjadi.

    Di antara sekian ribu pemanggungan Rombongan-Alkisah, ada beberapa kali turun hujan, meskipun alhamdulillah tanpa bicara apapun: hujan tidak pernah menghalangi para hadirin untuk tetap bersama Rombongan-Alkisah itu, tidak membuat mereka pergi dari acara. Rombongan-Alkisah mengajak hadirin untuk mempelajari hujan, asal-usulnya, kehendak yang menurunkannya, baik buruknya bagi mereka, akibat-akibatnya dan apa saja yang terkait dengan turunnya hujan.

    Puncak pencapaian diskusi tentang di bawah guyuran hujan biasanya adalah keikhlasan menerima hujan. Kemudian kesadaran baru bahwa hujan punya banyak fungsi. Misalnya menyaring siapa saja yang niat-niat baiknya sedemikian mendasar dan besar sehingga tidak bisa dibatalkan atau dihalangi oleh hujan. Bahwa hujan menjadi cermin bagi ketangguhan atau kerapuhan badan dan mentalnya. Bahwa hujan membuat mereka lebih kuat mentalnya, lebih meningkat daya berpikirnya, lebih sublim rohaninya, serta sangat jelas mengikis kecengengan hatinya.

    Rombongan-Alkisah itu mengalami bahwa ketika ribuan orang di depannya itu bersama mereka mencapai ketepatan sikap terhadap hujan, mencapai kejernihan ilmu tentang hujan, mencapai keluwesan jasad dan perasaan terhadap hujan, atau mencapai nikmatnya hujan di antara pergaulan mereka dengan Tuhan dan alam — maka hujan kemudian bersikap kooperatif. Puncak kesadaran ribuan orang itu membuat hujan berhenti sesudah mengguyur 4-5 menit, bersabar dan toleran kepada ribuan sahabat-sahabat barunya. Menunda hajatnya. Menyingkir ke area di sekitarnya. Atau berpuasa beberapa jam dari haknya untuk mengguyur.

    Nanti sesudah ribuan hadirin itu dengan Rombongan-Alkisah berdoa bersama dan acara diakhiri, pelan-pelan atau langsung, hujan turun kembali.

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     
  21. Banksy M V U

    Offline

    Spraying Around

    Joined:
    Sep 21, 2011
    Messages:
    3,151
    Trophy Points:
    248
    Ratings:
    +101,090 / -93
    Bukan Sorga Berakibat Tuhan

    Anak cucuku dan para jm jangan sampai mendramatisir dan menseram-seramkan kisah kecil tentang Rombongan-Alkisah dan hujan. Mereka bukan siapa-siapa selain Salikin, pencari kebenaran Allah, dan ‘Abidin, pelaku pengabdian kepada Allah melalui ibadah kepada-Nya maupun pelayanan kepada sesama makhluk-Nya, tak terbatas hanya kepada manusia.

    Anak cucuku dan para jm tidak mengenal kultus, apalagi kepada individu. Hanya mengenal dan mengerjakan pengabdian kepada Tuhan, asal-usul dan tujuan akhir kita semua. Pengabdian dengan cara dan bentuk yang kita patuh kepada ketentuan-Nya. Dan jika ada wilayah muamalah di mana kita dimerdekakan oleh-Nya untuk kreatif membangun dan memformulasikan pengabdian kita, harus tetap waspada tidak sampai menabrak batas syariat-Nya.

    Kita semua melayani lantai rumah yang kotor, kita menyapu. Kita melayani piring sehabis dipakai makan, kita pususi. Kita melayani hujan, kita pahami dan ajak berdiskusi. Kita melayani seluruh alam semesta, khususnya bumi yang kita diamanati, dengan landasan dan pedoman menaburkan rahmat bagi mereka semua. Kalau kita tidak mampu bergerak menyebarkan rahmat, minimal kita jadi debu, yang berkohesi dengan trilyunan debu lain, agar manusia bisa punya landasan yang kokoh untuk membangun jalanan, rumah dan gedung-gedung.

    Anak cucuku dan para jm hanya ciptaan Tuhan yang rendah di hadapan-Nya. Tinggi atau rendah derajat kita, mulia atau hina martabat kita, tidak kita pedomankan kepada apapun dan siapapun kecuali kepada kemauan-Nya, konsep yang ditata oleh-Nya, nilai dan susunan yang dikelola oleh-Nya. Anak cucuku dan para jm tidak menuding dan menuduh sesamanya. Tidak sibuk menilai kiri kanannya. Tidak menghardik, membunuh atau memusnahkan.

    ***

    Anak cucuku dan para jm selalu belajar dan mempelajari batas-batas pembagian peran antara engkau semua dengan Pencipta. Neraka sangat mengerikan dan kita takuti, tetapi tidak karena takut neraka maka kita tidak melawan Tuhan. Kita tidak mememerangi Tuhan tidak karena apapun selain karena Tuhan itu sendiri, yang hadir ke jiwa, hati dan akal kita melalui berbagai formula tajalli-Nya.

    Sorga sangat menggiurkan dan kita idamkan. Namun bukan karena keterpesonaan kepada sorga kita mencintai-Nya. Bukan karena pamrih masuk sorga kita mengabdi kepada-Nya. Sorga dan neraka adalah akibat dari pilihan perilaku kita. Tetapi sorga dan neraka terlalu kecil dan remeh dibanding semesta agung percintaan kita dengan-Nya.

    Kita sangat percaya, yakin dan merasa nikmat kepada Tuhan. Bukan kita sangat percaya, yakin merasa nikmat kepada sorga. Tuhan berakibat sorga, bukan sorga berakibat Tuhan. Tuhan mencintai hamba-Nya yang mencintai-Nya maka ditempatkan si hamba itu di sorga. Tidak ada peristiwa hamba Tuhan mencintai sorga maka sorga menempatkannya di Tuhan.

    Tuhan menciptakan trilyunan matahari dan benda planet bulat-bulat, tapi tidak diberi akal. Tuhan menciptakan batu-batu dan gunung, pepohonan dan binatang, tanpa anugerah akal. Hanya manusia, maka mereka dikhalifahkan oleh-Nya di bumi, dengan terlebih dahulu ditanam “chips” pada dirinya yang berupa akal.

    Akal itu sendiri bukan pikiran bukan otak, tetapi soal ini anak cucuku dan para jm bisa cari waktu yang khusus untuk mendalaminya. Hal akal ini dituturkan dalam konteks bahwa pandangan manusia tentang sorga dan mereka dan apapun yang dialaminya di dunia maupun informasi-informasi dari Tuhan — sangat bergantung pada pengelolaan akal mereka.

    ***

    Mekanisme mesin akal itulah yang memahamkan manusia pada logika tentang segala sesuatu. Tentang dialektika logis. Tentang skala prioritas. Tentang batas segala sesuatu. Tentang matrix wajib sunnah mubah makruh haram. Tentang jangka pendek jangka menengah jangka panjang. Tentang substansial dan parsial. Tentang pokok dan cabang. Tentang tata ruang dan tata waktu. Tentang sangat penting, penting, agak penting, tidak penting. Tentang atas dan bawah. Tentang pohon, dahan, ranting, daun, bunga dan buah. Dan apa saja yang merupakan persyaratan wajib dalam menjalani kekhalifahan.

    Kalau ranting dipahami secara pohon, ruwetlah kehidupan. Kalau mahdloh dinilai sebagai muamalah, silang sengkarutlah kehidupan beragama. Kalau kasus lokal tidak diketahui konteks nasional dan latar belakang globalnya, bertengkar-tengkarlah rakyat suatu negara. Kalau tokoh-tokoh ummat manusia tidak mampu memilah antara lautan dengan ombak, antara Kitab Suci dengan tafsir, antara Tuhan dengan berhala, antara api dengan panas, antara gula dengan manis, antara manusia dengan kemanusiaan, antara fungsi dengan robot, dan seribu macam ketidakpahaman yang lain, maka sesungguhnya peradaban sedang bergerak menuju jurang untuk bunuh diri bersama-sama.

    Anak cucuku dan para jm aku harapkan tidak bertengkar berdebat ribut riuh rendah tentang sorga dan neraka, tentang Tuhan dan patung, tentang masalah-masalah apapun yang besar-besar, apabila engkau semua belum maksimal menggunakan mesin ilahiyah akalmu.

    ***

    Sedangkan tentang hujan, sebagian dari anak cucuku dan para jm, pengetahuannya tidak pernah berkembang sejak Guru SD dulu mengajarinya. Bahwa hujan adalah air laut yang menguap, kemudian uap itu disapu ke sana kemari semau-mau angin, dan nanti ketika suhu menurun, sel-sel uap itu bergabung satu sama lain berkelompok-kelompok, menyebabkan bobot baru, maka gravitasi menariknya ke bumi, menjadi curah hujan.

    Sebagian engkau menyangka bahwa hujan adalah atau hanyalah titik-titik air yang jumlahnya sangat banyak, berjamaah terjun ke bawah dan membasahi bumi. Sebagian engkau membatasi pemahamannya bahwa hujan hanya benda. Engkau tidak mempelajari bahwa hujan mungkin hanya peristiwa ludah. Cairan yang diludahkan. Oleh siapa? Kenapa? Bagaimana? Untuk apa? Untuk siapa? Kok turun sekarang, tidak tadi atau nanti? Kok di sini, tidak di sana? Kok yang ini basah kuyup, yang itu sedikit basah, yang sana malah kering?

    Daur I - Maiyah - Cak Nun
     

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.