1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.

Information Hukum Menolak Lamaran dan Ortu Yang Memaksa Menjodohkan Anaknya

Discussion in 'Motivasi & Inspirasi' started by jinjun, Feb 25, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. jinjun Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jun 13, 2014
    Messages:
    17
    Trophy Points:
    1
    Ratings:
    +0 / -0
    Kali ini kita akan membahas tentang Hukum Menolak Lamaran dan Ortu Yang Memaksa Menjodohkan Anaknya-Menerima atau menolak pinangan dari seseorang sama-sama hak seorang wanita yang di kupas oleh Johanes Chandra Ekajaya. Bahkan pinangan Sa’ad bin Abi Waqqash ra. kepada janda mendiang Mutsanna bin Haritsah tidak langsung diterima. Kecuali setelah melalui berbagai proses panjang yang tidak mudah.

    Ketika seorang wanita merasa tidak sreg dengan keadaanl aki-lakiyang meminangnya, tidak ada yang salah. Baik alasan itu bersifat syar’i, maupun bersifat pribadi. Menurut Johanes Chandra Ekajaya sebab ketika seorang wanita memutuskan untuk menerima pinangan itu, resikonya yaitu untuk selanjutnya, dirinya hidup di bawah suaminya. Dia harus hidup bersamanya, taat, tunduk dan patuh kepada suaminya. "Bahkan surganya ditentukan oleh bagaimana sikapnya kepada suaminya," ungkap Johanes Chandra Ekajaya

    Menurut Johanes Chandra Ekajaya, kalau seorang wanita merasa tidak nyaman dengan seorang calon suami, tentu di masa berikutnya akan menjadi problem berat. Dan ini adalah soal selera, di mana Islam justru sangat memperhatikan kebebasan seorang wanita untuk memiliki selera dengan tipe laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya.

    Johanes Chandra Ekajaya - Di dalam syariah Islam, Hukum Menolak Lamaran dan Ortu Yang Memaksa Menjodohkan Anaknya !! Seorang ayah dilarang untuk untuk memaksakan jodoh untuk anak wanitanya. Apalagi sekedar seorang calon suami, di mana lamarannya itu sangat tergantung dari penerimaan pihak calon istri. Maka calon istri punya hak dan wewenang sepenuhnya untuk menerima sebuah lamaran atau menolaknya. Baik dengan alasan yang masuk akal bagi pelamar maupun tidak. Sebab bisa saja faktor penolakannya itu merupakan hal yang tidak ingin disebutkan secara terbuka.

    Johanes Chandra Ekajaya menambahkan bahwa ada hadits yang menyebutkan akan terjadi fitnah bila seorang wanita menolak lamaran laki-laki yang shalih, tentu harus dipahami dengan lengkap dan jernih. Hadits itu bukan dalam posisi untuk menetapkan bahwa sebuah lamaran dari laki-laki yang shalih itu haram ditolak. Tidak demikian kandungan hukumnya.

    Sebab kalau demikian,Hukum Menolak Lamaran dan Ortu Yang Memaksa Menjodohkan Anaknya, bagaimana dengan lamaran seorang laki-laki shalih kepada seorang puteri raja atau pembesar, di mana kedua tidak sekufu atau memang tidak saling cocok satu dengan yang lain? Apakah puteri raja itu berdosa bila menolak lamaran dari seorang yang tidak disukainya?

    Bahkan di dalam syariah Islam, seorang wanita yang sudah menikah namun merasa tidak cocok dengan suaminya, masih punya hak untuk bercerai dari suaminya. Apa lagi baru sekedar lamaran dari laki-laki yang sudah punya istri pula.

    Dari Ibnu Abbas ra.: Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: Wahai Rasulullah, Aku tidak mencelanya dalam hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran dalam Islam. Maka Rasulullah SAW berkata padanya, Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab, Ya. Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit, Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak.

    Agar tidak menjadi fitnah, tentu ada cara penolakan yang halus dan lembut, tanpa menyinggung perasaan, namun si pelamar itu bisa menerima intisarinya, yaitu penolakan. Sehingga fitnah yang dikawatirkan itu tidak perlu terjadi.

    Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



    لَاتُنْكَحُالْأَيِّمُحَتَّىتُسْتَأْمَرَوَلَاتُنْكَحُالْبِكْرُحَتَّىتُسْتَأْذَنَقَالُوايَارَسُولَاللَّهِوَكَيْفَإِذْنُهَاقَالَأَنْتَسْكُتَ

    “Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)

    Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    الثَّيِّبُأَحَقُّبِنَفْسِهَامِنْوَلِيِّهَاوَالْبِكْرُيَسْتَأْذِنُهَاأَبُوهَافِينَفْسِهَاوَإِذْنُهَاصُمَاتُهَا

    “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421)

    Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha:

    أَنَّأَبَاهَازَوَّجَهَاوَهِيَثَيِّبٌفَكَرِهَتْذَلِكَفَأَتَتْالنَّبِيَّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَرَدَّنِكَاحَهَا

    Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)

    Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak (tidak sah).”

    Penjelasan ringkas dari Johanes Chandra Ekajaya:

    Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.

    Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan kepadanya kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun mudharat diniah(keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan adalah adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.

    begitulah informasi yang didapatkan Johanes Chandra Ekajaya, Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan. Karena bagaimanapun juga si wali biasanya lebih pengalaman dan lebih dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Menurut Johanes Chandra Ekajaya, tanda izin dari wanita yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.

    wallahu’alam bish shawab
    Johanes Chandra Ekajaya

    Kunjungiportal berita baru
     
    Last edited: Mar 11, 2016
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.