1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Fairy's Tale - Short Stories Collection

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Mar 7, 2014.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Kay, berhubung para sesepuh sudah bikin satu trit untuk kumpulan cerita mereka, jadinya saia juga pengen ikutan. salahkan waluyo untuk hal ini :rokok:

    hemm, disini sih isinya cuma kumpulan cerpen aja. mudah2an punya cukup banyak waktu buat compile semua cerpen yang sudah saia buat :hiks:

    Beberapa cerpen yang saya input disini merupaka cerpen yang diikutkan dalam lomba bulanan Writer's Road to Legend Anthology, jadi saya harapkan untuk cerpen2 tersebut silakan berkomentar langsung ke trit ybs. also, saya gak akan post cerpen yang sedang diikutkan lomba Writer's Road to Legend Anthology kedalam trit ini - tidak selama periode lomba masih berlangsung.

    =================================================

    page 1 :
    - The Moonlights' Birthday
    - My Life, My Mother's Life, and Jakarta
    - Sumirno and Smirnov
    - We Can Always Meet
    - The Virus
    - Memories
    - Fighting the Monster
    - Secarik Kertas
    - Wish

    page 2 :
    - Faraway Home
    - Dismantle
    - Sylvia's Feeling
    - Writer's Road to Legend Anthology Season 6
    - My Monologue

    page 3
    - Operation Martabak
    - What Teddy Hides
    - Catatan Dalam Jurnal Ayah
    - Eden lake
    - Haunted
    - Farewell Melody

    page 4
    - Midwinter Sky
    - The Repeating 6 April
    - Reason

    page 5
    - Badut Kampus
    - Time
    - Pion-pion Kecil
    - The Chocolate You Promised

    page 6
    - The Undead Tale
     
    • Thanks Thanks x 3
    • Informatif Informatif x 1
    Last edited: Mar 26, 2016
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    diikutin di celeng sebelah :hmm:

    The Moonlights' Birthday
    Genre : Drama, SoL

    “Mereka terlalu banyak!!”

    “Sisi kiri pertahanan jebol, Kapten!”

    “Medis! Aku butuh petugas medis!”

    Teriakan-teriakan itu terdengar seperti pisau yang menyayat kulit.

    Sial, aku tak tahan lagi dengan itu semua. Berhari-hari, ah, tidak. Bebulan-bulan berada di garis depan membuatku gila. Dilihat dari segi manapun, desa ini tak bisa lagi dipertahankan. Kami kalah jumlah, kalah perlengkapan, kalah persenjataan, dan kami juga tidak memiliki sihir. Meski demikian, Jenderal Ars ingin agar kami tetap bertempur. Dia gila! Dia ingin membunuh kami semua!

    Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Pertempuran ini benar-benar menguras seluruh isi pikiranku. Suara meriam, erangan kematian, jeritan komando, letupan musket, akh, aku sudah tak tahan lagi. Pasukan penyihir Balaghaan tetap merangsek masuk hari demi hari. Kami, pasukan Odessa, sudah dipastikan akan musnah bila terus begini.

    “Sersan! Sersan Irina!”

    Sebuah lengan menarik pundakku saat aku tengah sibuk menembaki pasukan Balaghaan dengan sepucuk musket. Urf tampak dihadapanku saat aku menoleh.

    “Sialan, Urf! Apa kau tak lihat aku sedang sibuk?”

    “Maafkan aku, sersan! Perimeter sebelah kiri kita hancur! Musuh menyerbu dengan kekuatan penuh!”

    Akh, brengsek! Laknat!

    “Ikut aku!”

    “Siap!”

    Sedikit berlari, aku segera pergi memeriksa perimeter sebelah kiri. Dan aku baru melangkah beberapa detik saat suara sebuah meriam terdengar amat dekat, membuatku ambruk ke tanah.

    “Sersan Irina!”

    Ukh, pandanganku kabur.

    Didepanku, samar-samar kulihat dua orang prajurit yang hendak membantuku. Keduanya rontok oleh letupan peluru angin yang muncul tak lama setelahnya.

    Para penyihir Balaghaan itu, mereka tak pernah kehabisan peluru. Mereka mengubah angin menjadi benda padat yang bahkan lebih tajam dari peluru yang kami miliki. Sedangkan kami hanya dibekali peralatan usang dengan amunisi terbatas.

    Jelas sudah, kami berada diambang kehancuran.

    Menoleh kebelakang, tubuh Urf juga terbujur kaku dengan luka di dada dan perut.

    Semuanya kacau balau.

    Sial…

    Aku ingin bangkit, bergerak, tetapi kakiku…kakiku rasanya sakit sekali. Samar-samar kulihat pecahan bola meriam bersarang di kaki kananku. Aku tak mau menyerah. Kucoba bangkit perlahan, hanya untuk kembali ambruk. Kucoba kembali, dan aku tetap ambruk. Kucoba lagi dan lagi, namun tetap tak bisa.

    Aku sudah roboh.

    Aku tak bisa bangkit bahkan untuk berdiri sekalipun.

    Sial…



    Apakah semuanya akan berakhir disini? Apakah aku akan mati disini?

    Aku masih belum menginginkan semua ini selesai. Harapanku, mimpi-mimpiku, semuanya, aku masih ingin mewujudkannya.

    Dan juga, aku masih ingin bertemu dengannya.

    Bergabung dengan tentara, ah, apakah aku melakukan hal yang benar?

    Kedua tanganku kemudian bergerak perlahan, menyusuri saku baju dan mengambil sebuah liontin berwarna keemasan. Benda tersebut selama ini selalu menemani perjalananku - teman yang selalu ada dalam situasi terburuk sekalipun.

    Dengan tangan gemetar, kubuka mata liontin tersebut. Didalamnya terdapat selembar foto dengan gambar seorang gadis berambut hitam panjang berdiri bersebelahan dengan adik lelakinya. Keduanya tampak tersenyum senang.

    Dan melihatnya, aku juga ikut tersenyum. Foto itu, liontin itu, mungkin selama ini kedua benda itulah yang membuatku tetap bertahan ditengah semua kekacauan ini.

    Rentetan peluru, ledakan meriam, dan jeritan kematian masih terdengar jelas. Tapi entah bagaimana, firasatku mengatakan bahwa semua ini akan segera berakhir.

    Setidaknya bagiku.

    ***​

    “Kakak, hei kakak,”

    Ah, suara itu lagi.

    “Ini sudah siang. Ayo cepat bangun.”

    Sambil mengucek mata, aku bangkit dari tempat tidurku. Disampingku, Arvin tampak berdiri dengan tatapan polos. Cahaya matahari sudah masuk melalui jendela kamar ini. Jauh kulihat diluar sana, orang-orang sudah tampak lalu lalang di jalanan desa.

    Eh, betul-betul sudah siang!

    “Bo…bodoh!” Kataku panik. Segera aku terjun dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Saking paniknya, pintu kamar mandi kututup keras-keras.

    Ampun…

    ………

    Namaku, Irina Moonlight.

    Di rumah kecil ini, aku tinggal bersama adikku, Arvin Moonlight. Kami tinggal berdua karena kedua orang tua kami sudah meninggal sepuluh tahun lalu. Untuk bertahan hidup, aku bekerja sebagai tukang kebun di perkebunan paman Rudolf, seorang saudagar yang terkenal di seantero desa. Arvin membantuku dengan bekerja di sebuah pabrik mainan.

    Meski jujur, aku tak ingin ia bekerja. Karenanya, setiap hari aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, berharap agar Arvin bisa sekolah dan menjadi sosok yang berhasil di masyarakat kelak.

    Dan syukurlah, kini usahaku hampir membuahkan hasil.

    “Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi? Arvin?” Jeritku dari kamar mandi.

    “Aku melakukannya tiga kali! Ampun! Kakak ini, lusa nanti usiamu sembilan belas tahun, dan masih saja kau ceroboh begini.”

    “Cerewet kau!” Gerutuku. “Ah, sialan! Aku bisa terlambat bekerja!”

    “Kau terlambat hampir setiap har-“

    “Oh, diamlah!” Teriakku memotong. Tak lama suara Arvin yang tertawa kecil dapat kudengar dari balik kamar mandi.

    “Aku berangkat. Oh, ya, terima kasih untuk sepatu baru ini. Keren sekali lo.”

    Aku tersenyum. Sepatu yang ia maksud adalah sepatu pemberianku yang menjadi hadiah ulang tahunnya beberapa hari lalu.

    “Sarapan sudah siap di meja makan.”

    “Mmm,” Jawabku. “Jangan terlalu memaksakan diri. Sekolah dimulai dua minggu lagi.”

    “Aku mengerti, kak.” Katanya lagi. “Berangkat!”

    “Ya, sampai jumpa sore nanti!”

    Setelahnya, suaranya tak terdengar lagi, berganti dengan suara langkah kaki dan pintu yang tertutup.

    Pagi ini mungkin aku akan dimarahi oleh paman Rudolf. Terlambat hampir setiap hari, rasanya merupakan sebuah keajaiban saat kupikirkan bagaimana aku bisa bertahan dengan pekerjaan ini.

    Ah, bagaimanapun, ini merupakan pagi yang indah.

    ***​

    Tiba di rumah paman Rudolf, aku sudah kehabisan napas. Kupikir paman Rudolf akan memarahiku saat melihatku tiba dengan napas tercekat.

    “Maaf, aku-“

    Paman Rudolf tak menatapku sama sekali. Ia asyik dengan lembaran koran yang ia pegang. Awalnya kupikir ia begitu marah hingga ia tak mau melihatku. Tapi saat aku mulai masuk ke dalam rumahnya dan melihat beberapa orang yang juga tampak gelisah, hatiku mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan ini semua.

    “Anu, maafkan aku. Ada sedikit masalah-“

    “Ah, Irina! Sedang apa kau disini?”

    “Sedang apa?” Kataku keheranan. “Sedang, bersiap bekerja, kan?”

    “Kau belum tahu, Irina?” Salah seorang pembantu paman Rudolf berkata dengan wajah gelisah. Aku menggeleng, melongo. Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi disini.

    “Negeri Odessa, kita, kita semua akan terlibat peperangan.”

    Eh?

    Terlibat peperangan? Siapa? Dengan siapa?

    “Negeri sihir, Balaghaan, pagi ini menyerang Odessa dengan kekuatan penuh.”

    Mendengar kata Balaghaan terucap, tubuhku seketika terasa lemas.

    “Wajib militer mulai diberlakukan hari ini.” Kata sang pembantu lagi. “Semua lelaki berusia 15 sampai 35 tahun harus ikut menjadi tentara.”

    Lima belas sampai tiga puluh lima tahun…

    Pikiranku langsung tertuju pada Arvin. Sepatu yang kuberikan padanya itu merupakan hadiah ulang tahunnya yang kelima belas.

    “Tak ada pekerjaan mulai hari ini, Irina. Kami sepertinya akan berhenti beroperasi selama perang ini berlangsung.”

    Aku menelan ludah.

    Balaghaan adalah negeri angkuh yang bersekutu dengan iblis, sehingga beberapa penduduknya bisa mengendalikan sihir angin. Pemimpin negeri tersebut akhir-akhir ini berseteru dengan pemimpin negeri Odessa mengenai lahan subur di perbatasan utara Odessa. Balaghaan menganggap lahan tersebut milik mereka karena lahan tersebut merupakan tempat transit bagi penyihir-penyihir mereka. Pemimpin Odessa, bagaimanapun, beranggapan bahwa lahan itu adalah miliknya karena disana sudah tertancap bendera Odessa. Permasalahan keduanya kian meruncing ketika salah satu penyihir negeri Balasghaan mengendalikan angin dan merusak pos perbatasan milik negeri Odessa, menawan para penjaga pos perbatasa yang bertugas didalamnya.

    Penduduk Odessa tahu tentang itu semua. Kami tahu bahwa sewaktu-waktu perang akan berkecamuk.

    Tapi, aku masih tak bisa menerimanya. Terlebih ketika kusadari bahwa Arvin harus ikut wajib militer.

    ***​

    “Makanlah, kak.”

    Semangkuk bubur sudah tersaji diatas meja makan, namun aku tetap duduk terpaku. Nafsu makanku sudah hilang sejak berita peperangan ini muncul.

    “Kak,”

    Kenapa ini semua terjadi?

    Arvin hanyalah anak yang lemah. Semenjak kehilangan kedua orang tua kami sepuluh tahun lalu, ia tak bisa berhenti menangis. Karenanya, sejak saat itu pula aku berjanji bahwa aku akan menjaga Arvin baik-baik, dan memastikannya bahagia. Aku bahkan rela seumur hidup menjadi tukang kebun, asalkan aku bisa melihatnya sekolah dan hidup lebih baik.

    Tetapi saat semuanya berjalan lancar, bencana ini datang.

    Apakah takdir kami sedemikian buruk? Aku bertanya pada diriku sendiri karena aku tak tahu kemana lagi aku harus menumpahkan kekesalanku. Aku tak bisa melakukan apapun selain menyalahkan takdir yang menimpa kami.

    Apaka…

    “KAK!”

    Eh? Apa? Kenapa?

    Tampak dihadapanku kini sosok Arvin yang menatapku tajam. Tangannya mengepal cukup kuat untuk beberapa waktu, sebelum suaranya kembali terdengar, “Makanlah. Bubur itu sudah dingin.”

    Ah, ia mengkhawatirkanku.

    Tersenyum pahit, aku mulai mengambil sendok.

    Satu suapan…

    Dua suapan…

    Tidak. Tidak bisa. Aku tak tahan dengan ini semua. Dan entah bagaimana, air mataku tiba-tiba menetes dengan sendirinya.

    “Kak, kenapa kau menangis.”

    Kenapa?

    Sialan! Dia tak mengerti situasinya!

    “Semuanya akan baik-baik saj-“

    “Bagaimana mungkin semuanya akan baik-baik saja? Dungu?!” Teriakku sambil menghentakkan kedua telapak tangan diatas meja. Salah satu tanganku menggenggam sendok kuat-kuat.

    Arvin tampak terkejut. Ia menatapku sedikit ketakutan.

    “Dengarkan aku baik-baik! Aku sudah berjuang selama sepuluh tahun ini hanya untuk bisa membuatmu tetap hidup dan menjalani hidup yang lebih baik. Sekarang, setelah semua jerih payahku ini, semuanya hampir berhasil, dan tiba-tiba berita ini muncul! Bagaimana mungkin semuanya akan baik-baik saja?”

    “Kakak, tenanglah.”

    “Diam!” Jeritku. “Dengar, aku takkan membiarkan harapan ayah, ibu, dan harapanku musnah hanya karena perang bodoh ini! Tidak! Tidak akan! Jika para tentara itu berniat membawamu, mereka harus melakukannya setelah melangkahi mayatku!”

    Aku mungkin berteriak ibarat sosok yang sedang dirasuki iblis. Bagaimanapun, aku tak bisa lagi menahan semuanya.

    Arvin tak menjawab. Ia mungkin kehilangan kata-kata untuk membalas semua yang kulemparkan padanya. Aku sendiri kembali duduk, mengambil sendok, dan mulai menghabiskan bubur yang ada di mangkuk dengan kecepatan tinggi. Tak kupedulikan lagi rasa bubur itu yang seharusnya cukup enak.

    Setelah bubur itu setengah habis, kulempar sendok yang kugenggam jauh ke lantai, sebelum kemudian menundukkan kepala dalam-dalam.

    Terisak.

    “Kak,”

    “Padahal kerja kerasku sudah membuahkan hasil. Aku bahkan sudah membelikanmu tas dan pakaian baru untuk sekolahmu. Tapi kenapa…”

    Arvin kembali tak menjawab. Namun, perlahan aku dapat merasakan tangannya yang merangkul pundakku. Mengusapnya perlahan.

    “Semuanya akan baik-baik saja, kak.”

    Aku tak bisa menjawab apapun lagi dan hanya terus menangis.

    Yang kuinginkan darinya adalah pergi ke sekolah, bukan ke medan perang.

    ***​

    “Tolong, berilah kami waktu sedikit lagi,”

    Kedua tentara yang berada di depan pintu rumah tampak melongo, saling menatap satu sama lain.

    “Aku akan memberitahunya saat dia bangun. Tolonglah, beri kami sedikit waktu lagi. Kami…kami tak punya siapa-siapa lagi.” Kataku lagi, memelas. Tak sampai sepuluh detik kemudian ketika salah satu dari mereka menyerahkan sepucuk surat padaku. Aku menerimanya dengan perasaan campur aduk.

    “Nyonya,” salah satu dari mereka yang bertubuh pendek berkata perlahan. “Kami turut menyesal harus memisahkan anda dengan-“

    “Esok pagi!” Rekannya memotong. “Pastikan ia, Arvin Moonlight, menerima dan menandatangani surat itu, atau kami akan menyeret kalian ke kamp kerja paksa.”

    Aku mengangguk. “Terima kasih atas kemurahan hati anda, tuan.”

    Aku sedikit membungkuk, berterima kasih. Kedua tentara tersebutu perlahan pergi meski aku dapat mendengar percakapan mereka setelahnya.

    “Tidakkah kau bersimpati pada mereka, Eldrain?” Kata si tentara bertubuh pendek. “Mereka yatim piatu. Aku mengenal mereka dari Tuan Rudolf. Mereka orang yang baik.”

    “Jika kita bersimpati, lalu kapan kita melaksanakan tugas?”

    ………

    Pintu rumah ini kututup perlahan. Berjalan dengan langkah gontai, aku tiba di kamar dengan kepala berat.

    Surat panggilan ini, akh, bagaimana aku bisa memberikannya? Aku tak mau memberikan Arvin pada para tentara. Aku masih ingin bersamanya. Dan juga, aku masih punya janji yang belum kutepati, bahwa aku harus membuatnya hidup bahagia.

    Memegangi kepalaku, kini aku membenamkan wajahku di meja kayu di samping tempat tidur.

    Ayah, ibu…

    Apa yang harus kulakukan?

    Aku masih ingin bersamanya. Dia satu-satunya keluarga kita yang tersisa.

    Akan lebih baik kiranya jika aku saja yang pergi, dan membiarkan ia tetap tinggal. Aku menyayanginya lebih dari apapun.

    Perlahan, aku beranjak, melangkah perlahan ke kamarnya. Dapat kulihat Arvin yang tertidur pulas saat pintu kamarnya kubuka perlahan.

    Dan yang muncul di benakku saat itu adalah, bahwa aku ingin terus melihatnya hidup damai di desa ini.

    Memejamkan mataku perlahan, aku menarik napas dalam-dalam.

    ……

    …baiklah, kurasa memang itu yang harus kulakukan.

    Kuputuskan bahwa aku akan pergi menggantikannya.

    ***​

    Meninggalkan sepucuk surat di meja kamarku, aku meninggalkan rumah di pagi buta. Yang kutulis didalamnya lebih merupakan catatan yang berantakan daripada sebuah surat.

    Di awal surat tersebut, aku meminta maaf padanya karena pergi tanpa memberitahunya apapun, karena mengambil keputusan egois. Aku sadar bahwa aku begitu naïf, bahwa aku tak ingin kami terpisah, namun aku tetap pergi. Tapi kuceritakan pula bahwa takkan ada jalan keluar dari desa ini. Bahkan jika kami berdua berencana untuk kabur, takkan ada jalan untuk lari.

    Kuceritakan pula padanya tentang saat-saat sulit setelah orang tua kami meninggal dalam kecelakaan, tentang bagaimana kami meminta makanan dari satu rumah ke rumah lainnya hanya untuk mencegah kami kelaparan. Kadang, aku hanya memiliki makanan yang hanya cukup untuk dimakan olehnya.

    Lalu saat dimana aku mulai bekerja, saat dimana ia mulai kutinggalkan sendiri selama beberapa waktu, saat dimana ia memanggilku kakak yang tidak bertanggung jawab karena sering meninggalkannya sendirian di rumah,

    Semuanya, aku menceritakan semuanya.

    Termasuk harapanku padanya saat ini, bahwa aku ingin ia tetap hidup. Karena itulah aku mengambil keputusan ini. Aku tak ingin semua yang kulakukan untuknya berakhir sia-sia. Apapun akan kulakukan untuk membuatnya tetap hidup. Apapun.

    Meski aku harus mati di medan perang sekalipun, kelak, aku takkan punya penyesalan lagi.

    Melamunkan hal itu, aku tersenyum.

    Saat tiba di markas tentara, kubilang pada komandan tentara tersebut semua maksud kedatanganku. Semua harapanku, cita-citaku.

    “Pastikan ia tak pernah pergi ke garis depan.” Pintaku pada sang komandan. “Sebagai gantinya, aku bersedia memberikan nyawaku.”

    Sang komandan menatapku tajam, dan aku menatapnya dengan tatapan mata yang sama. Setelahnya ia tersenyum kecil.

    “Adikmu akan baik-baik saja.”

    “Ah,” aku sedikit lega mendengarnya. “Benarkah?”

    “Mm, aku janji.”

    Ah, syukurlah.

    “Kakak!”

    Eh? Arvin?

    “Penyusup!” teriak salah seorang tentara. Seorang lainnya berteriak, “bagaimana anak itu bisa sampai kesini?”

    Arvin, kenapa ia ada disini?

    “Apa yang kau lakukan kak?” Teriaknya. “Kembali sekarang juga!”

    “Arvin…”

    “Kembali!”

    ………

    Entah bagaimana ia muncul disini. Dua orang tentara tampak menahannya untuk pergi lebih jauh, namun ia berhasil menembusnya.

    Berlari padaku, ia memelukku erat-erat, bilang padaku bahwa aku tak boleh pergi dan semacamnya. Tentu saja aku menolak. Salah satu diantara kami harus pergi.

    “Pulanglah, Arvin.”

    “Kau pulang! Idiot, naïf, memangnya kau pikir aku bisa hidup tenang jika kau tak ada?”

    Ia terus mencecarku dengan perintah untuk pulang. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi utnuk menjawab semua itu. Menoleh kepada komandan, aku memohon padanya untuk mengusirnya pergi.

    Komandan mengabulkannya. Dua orang tentara lantas menggendongnya pergi. Saat aku melihat Arvin meronta-ronta, perasaanku seperti hancur lebur. Aku tak tega melihatnya diperlakukan kasar oleh para tentara.

    “Pastikan kau kembali!”

    Eh?

    “Kau harus kembali!”

    Arvin…

    Aku sontak menoleh mendengarnya. Arvin, ia kemudian melempar sebuah benda padaku.

    Sebuah liontin.

    “Arvin…”

    “Itu untuk ulang tahunmu, kak!” Serunya. “Jika kau berniat pergi, pastikan kau membawanya kembali padaku! Aku akan memberikannya tepat di hari ulang tahunmu!”

    “Arvin!”

    Kutatap liontin itu dalam-dalam. Sebuah liontin berwarna keemasan. Saat kubuka mata liontin tersebut, sebuah foto tampak didalamnya. Itu adalah foto kami berdua di depan rumah, beberapa saat setelah kami membangun rumah kami yang baru.

    Ia masih memiliki foto itu...

    Bodoh...

    “Pastikan kau kembali dengan selamat!”

    “Mmm!” Teriakku. “Aku akan kembali!”

    Sosoknya terus tampak dihadapanku, meski kemudian suaranya memudar. Kedua tentara yang memanggulnya membawanya jauh, dan kian jauh.

    ***​

    Dan setelahnya, liontin itu menjadi teman dalam perjalananku sebagai tentara. Melewati hutan, gunung, rawa, melewati berbagai macam kesedihan dan penderitaan, aku tak pernah putus asa. Liontin yang menemaniku itu, aku harus mengembalikannya pada Arvin. Hal itulah yang membuatku tetap tegar, meski kematian menungguiku setiap waktu.

    Membuka mataku, disekelilingku kini tampak pasukan tentara Balaghaan yang sedang bergerak. Beberapa dari mereka mendapatiku masih bernapas, dan menodongkan senjata mereka padaku yang berupa tongkat sihir dan senapan angin.

    Duduk, diam, menatap para pasukan itu menodongkan senjatanya padaku, aku bisa mendengar salah satu dari mereka berteriak, “No prisoners!”

    Aku tahu apa arti kata-kata itu. Artinya, kurang lebih, takkan ada seorangpun dari kami yang boleh hidup.

    ………

    Jadi, inilah akhirnya.

    Arvin…

    Maafkan aku karena aku tak bisa memenuhi janjiku.

    Menatap langit luas, aku tersenyum lebar. Aku tak pernah tahu langit akan tampak sangat indah.

    Tak lama, aku kembali memejamkan mata.

    Yang muncul di benakku kemudian adalah sosok Arvin yang mengenakan seragam sekolah, muncul dari ujung jalan. Ia berjalan kearahku sambil melambaikan tangan.

    Aku membalas lambaian tangannya.

    Tersenyum.

    Dan setelahnya, beberapa benda tajam menghantam dadaku, pundakku, pipi, dan kepalaku dengan kekuatan maha dahsyat.

    Meninggalkan memori tentang Arvin jauh di lubuk hatiku.
     
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    My first Challange here :hmm:

    My Life, My Mother's Life, and Jakarta
    Genre : Drama, Family

    Aku mendapati masalah yang sama di hampir setiap waktu. Ejekan.

    Sejak kecil aku memang terkenal sebagai anak yang super aktif. Ibuku sering bercerita bagaimana aku di saat umurku yang masih empat tahun sering menceburkan diri ke kali untuk mandi ketimbang menggunakan air bersih yang ada di drum dekat kompor minyak. Lebih segar dan mengasyikkan, meski malamnya sering tubuhku terasa gatal, membuat ibuku harus mencari warung yang masih buka di malam hari untuk mencari talk salycil.

    Kondisi lahir tanpa ayah yang umum terjadi di ibukota yang dulu bernama Batavia ini membuat ibuku menjadi orangtua yang teramat sabar dan tegar, dan meskipun aku bandel luar biasa, ibu tak pernah mengeluh. Pernah suatu ketika aku bermain bola dengan kawan-kawanku di lapangan sempit, dan bola yang kutendang nyasar masuk ke rumah susun tetangga. Aku yang paling berani masuk rumah tetanggaku yang terkenal galak. Kalau dimarahi, biar kumarahi balik tetanggaku itu. Toh kami sedang bermain, dan lagipula, lapangan tempat kami bermain bukan hanya miliknya seorang. Kawan-kawanku memintaku agar waspada,
    tapi aku santai-santai saja.

    “Anak haram! Goblok! Main seenaknya saja!” Tetanggaku ngamuk luar biasa saat aku dengan santainya nyelonong masuk rumahnya tanpa permisi atau mengucapkan Assalammualaikum, dan kubalas kata-katanya dengan kata-kata yang kurang lebih sama. Tak terima, tetanggaku menjewerku dan menemui ibuku yang baru pulang mencuci baju di rumah Sigit, kawanku yang memiliki tiga mobil. Di rumahku tetanggaku itu masih saja marah-marah dan memarahiku luar biasa, menasihatiku ini, itu, ini, itu, lalu memanggilku najis. Sialan! Ibuku saja tak pernah memanggilku seperti itu. Yang lebih mengesalkanku, ibu hanya diam dan mengalah.

    “Apa Irwan salah bu?” Tanyaku saat ibu menyetrika pakaian SD ku satu-satunya, dan ibu hanya tersenyum.

    “Irwan, Jakarta itu keras. Ibu merantau dari Bandung hendak mencari ilmu, tapi inilah yang ibu dapat. dicela, dihina. Kelak kau harus bisa lebih baik dari ibu. Ibu akan selalu mendukungmu, nak.” Begitulah kata ibu, dan meskipun waktu itu aku sama sekali tak mengerti, aku tak mau bertanya dan hanya diam.

    Di sekolah, meski sering diejek oleh teman-temanku sebagai anak tukang cuci yang tak punya ayah, aku tak pernah menangis. Aku malah dengan lancang akan menendang siapapun yang mengejekku seperti itu. Suatu hari kawanku Anton bilang padaku bahwa ayahku adalah perwujudan hanoman yang sekarang menghilang entah kemana. Kebetulan pada saat itu aku sedang menggenggam koin logam, dan karena kesal, koin logam itu segera kulempar padanya, dan mengenai matanya. Masalah antara aku, ibuku, dan keluarga Anton kemudian baru selesai setelah ibuku datang ke sekolah dan menandatangani surat perjanjian diatas materai dengan disaksikan pak kepala sekolah. Dan kembali aku mendengar celotehan tak sedap dari ibu Anton waktu itu, “Dasar anak tak punya bapak!”

    Aku tak pernah tahu darimana kawan-kawanku itu tahu bahwa aku tak memiliki ayah. Mungkin orang tua mereka yang sering memperhatikan, aku tak tahu pasti. Dan meski banyak yang menjauhiku kala itu – dengan alasan karena disuruh oleh orang tua mereka, aku tak ambil pusing. Kata-kata ibuku selalu terngiang di telingaku, bahwa “Inilah Jakarta.”

    Waktu aku masuk SMP, keadaan malah lebih aneh lagi. Biaya sekolah SMP yang besar membuat ibuku tak lagi mampu memberikanku uang jajan. Jangankan jajan, ibuku kadang harus meminjam uang untuk membeli air dari mang Soleh, penjaja air bersih yang datang setiap hari setiap jam enam pagi. Untung aku dan ibuku tinggal di bantaran sungai, sehingga untuk MCK, kami bisa menggunakan WC umum jika tak punya air bersih.

    Sigit masuk SMP yang sama denganku, dan karena ibuku bekerja pada ibunya, kami berteman akrab. Sigit dikabarkan punya pacar yang cantik. Resti, namanya. Beberapa gadis juga mendekatiku waktu itu, namun ketika aku bilang bahwa aku akan teramat jarang menemani mereka pergi ke mall-mall besar – terlebih setelah kuberitahu mereka aku tak punya telepon genggam seperti kebanyakan anak SMP lainnya – mereka semua pergi menjauh. Salah seorang temanku lalu tahu bahwa aku tak punya ayah, dan keesokan harinya, saat tiba dikelas aku dapat melihat sebuah tulisan di papan tulis dengan besar, “Irwan anak haram.” Penasaran dan gusar, kucari siapa tersangkanya hingga sore datang, meski tak pernah kutemukan. Sakit? Memang, tapi inilah Jakarta, tak seindah apa yang terlihat dari luar.

    Sebelum lulus SMP kudengar kabar bahwa pacar Sigit hamil, dan orangtua Sigit memarahi ibuku habis-habisan. “Gara-gara putramu kami jadi menanggung malu!” Padahal itu semua bukan salahku. Aku tahu kemana Sigit pergi sehabis pulang sekolah. Tepat tiga rumah dari sekolah kami, sebuah warnet dengan tulisan “Total Net” yang terpampang jelas tampak megah berdiri. Sering aku diajak Sigit main ke warnet tersebut, namun karena ibu tak pernah memberiku uang jajan, aku selalu menolak. Kalaupun aku menerimanya, itupun hanya sekali saja saat guru Bahasa Indonesia kami memberi tugas penelitian. “Adapun datanya, cari saja di warnet,” katanya. Aku sebetulnya lebih memilih perpustakaan ketimbang warnet, tetapi penjaga perpustakaan selalu menutup perpustakaan jam tiga sore – terkadang setengah tiga – meskipun jadwal tutup perpustakaan adalah jam empat, dan itu tak memberiku banyak pilihan. Aku masih ingat saat aku, Sigit, dan Resti mengerjakan tugas kelompok bersama di warnet itu. Aku sibuk mencari data, sementara Sigit dan Resti asyik berciuman sambil menonton video P*rn*. Dasar! Tak berguna! Gerutuku. Aku tak begitu tahu betapa masih kecilnya kami saat Sigit asyik bermesraan dengan Resti. Yang kutahu adalah kami merasa masing-masing dari kami sudah cukup umur untuk memaklumi kesalahan masing-masing. Operator warnet tahu akan hal itu, tapi apa pedulinya? Sigit kan bukan anaknya.

    Semenjak kejadian itu aku menjadi amat enggan pergi ke warnet. Saat kuceritakan apa yang kulihat pada ibuku, ibuku hanya bilang, “Nak, inilah Jakarta,” yang diikuti dengan sebuah nasihat agar aku jangan sampai salah jalan seperti ibuku dulu.

    ”Kau harus jadi anak baik.”

    Definisi baik di pikiranku masih belum jelas kala itu, tapi aku berkesimpulan bahwa salah satunya adalah dengan jangan berpacaran di usia dini. Sigit menikah selepas lulus SMP. Keluarganya pindah rumah entah kemana, dan ibuku kehilangan pekerjaan. Namun tidak untuk waktu yang lama karena kemudian seseorang membeli rumah lama Sigit dan kembali mempekerjakan ibuku.

    Masuk SMA, ramai diberitakan di televisi bahwa tawuran pelajar di Jakarta sudah masuk level meresahkan. Terakhir kudengar beberapa siswa SMA terluka kena parang dan clurit. Satu orang malah dikabarkan tewas. Masih kata berita-berita itu, banyak warga yang mengeluhkan maraknya siswa yang kini sudah seperti preman jalanan. Kesana kesini sudah seperti prajurit siap perang, menenteng belati, gear motor, bambu yang terkadang runcing, samurai, beberapa bahkan membawa bom minyak. Bilamana bertemu siswa dari SMA yang berbeda, mereka akan saling curiga. Dan anehnya, hanya dari tegur sapa yang kelewat aneh, hubungan mereka berubah menjadi hubungan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di masa perang dingin. Setelah menggali sekutu di masing-masing pihak, tinggal menunggu waktu saja untuk saling serang. Dan jika bukan para siswa begundal itu yang membubarkan diri, maka polisi akan turun tangan, dan dari situ kadang-kadang tawuran juga berubah menjadi pelajar lawan pelajar lawan polisi.

    “Zaman kakek muda dulu, anak seusiamu pergi kemedan perang, melawan musuh, melawan Londo. Kami berjuang, bersatu untuk melawan penjajah. Eh, kamu sekarang sudah besar malah tawuran. Mau jadi apa kamu nak?” Begitulah kakek Syuaib, penjaga surau, sering bercerita, dan dalam hati aku sering mengadu, “yang jelas tidak akan jadi kakek.” Zaman sudah berubah. Tak ada lagi penjajah, dan tinggal dalam romantisme masa lalu tidak ada dalam kamus hidupku.

    Ibuku sangat sedih saat tahu aku ikut tawuran massal dan pulang dengan muka lebam, sambil gelisah dan bersembunyi di kolong kasur karena beberapa polisi mengejarku bahkan sampai wilayah bantaran sungai ini. Bagaimanapun, waktu itu jiwa mudaku berontak saat mengetahui rekan kami dipukuli dan dirampas motornya. Pada akhirnya aku sadar bahwa dendam dan kekerasan hanya membawa kesengsaraan saat ibuku berkelit luar biasa pada polisi dan mengatakan bahwa aku tidak ada di rumah ini. Ibu bertanya padaku mengapa aku melakukannya, jadi berandalan dan ikut tawuran. Aku menjawab bahwa aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Ibuku amat lemah dalam menasihati, dan terkadang aku membutuhkan ketegasan sosok seorang ayah untuk membimbing hidupku.

    “Bagaimana kalau kau dilarikan ke rumah sakit? Atau ke penjara?”

    “Itu resiko Irwan, bu.” Jawabku. “Teman-temanku dalam kesulitan, dan aku harus membantu.”

    “Itu tidak benar, nak…”

    “Bu!” kataku setengah membentak, “Bahkan anggota DPR saja bisa tawuran di Senayan!” Mendengarnya ibu menghela napas panjang.

    “Nak,” katanya kemudian. “Ibu menaruh harapan besar padamu. Jika kamu gagal di usia sedini ini, apa yang bisa membuat ibumu ini bangga? Ayahmu sudah meninggalkan ibu bahkan sebelum kami menikah, dan hanya kau yang kumiliki, nak.”

    Aku terdiam sesaat, dan ibu kembali berbisik lembut.

    “Semakin hari kota kita ini semakin hancur saja. Tawuran, korupsi, banjir, kekeringan, macet, gembel, penculikan, pemerkosaan, kau hidup di tempat yang keras. Ibu mencoba menantang kota ini dulu, dan gagal. Ibu tidak akan memaksamu untuk ikut menantang kota ini juga, tapi kau kini hidup didalamnya. Kau harus kuat. Demi keluargamu, demi ibu, dan demi dirimu sendiri, nak.”

    Mendengarnya, aku tersentuh. Sejak saat itu aku bertobat. Aku tidak lagi ikut tawuran. Dan dengan uang hasil menjual keripik, akhirnya aku lulus juga. Aku tak pernah merasa risih menjual keripik di sekolah meskipun teman-temanku banyak yang mencemooh dan menganggapku ketinggalan zaman, kuno, dan lain-lain yang seharusnya membuatku minder. Aku tak pernah begitu mengerti apa yang membuat mereka merasa risih padaku. Memang aku masih tak punya handphone, tak suka berjalan-jalan ke mall, dan lebih sering makan di warung mie sambil diguyur hujan ketimbang makan di pizzan hut di ruangan ber-AC, tapi bukankah pergaulan tak dinilai dari materi? Akh, lupakan. Itu semua tak penting lagi karena masa-masa SMA sudah berakhir.

    Entah keajaiban apa yang membuatku memiliki biaya dan melanjutkan studi ke universitas. Salah seorang guruku di SMA merekomendasikanku masuk salah satu universitas negeri di Depok melalui jalur beasiswa. Aku diharuskan tinggal di asrama, jadi untuk sementara kutinggalkan ibuku di bantaran sungai. Ibuku menangis saat aku akan berangkat kuliah di hari pertama, dan bilang agar aku hati-hati dan tidak salah jalan, dan selalu berdoa. Sebelum aku berangkat naik bus, ibu menyelipkan uang seratus ribu ke tanganku. Aku berkali-kali menolak, tapi ibu tidak mendengarkan.

    Untuk pertama kalinya aku memiliki handphone, dan aku mulai mengenal banyak hal. Juga, kini sudah jarang sekali orang memanggilku “anak tanpa bapak.” Di usiaku kini tampaknya orang-orang sudah mulai mengerti arti tata krama.

    Dunia universitas penuh sesak oleh para idealis, dan bukannya simpati, aku malah muak pada mereka. Bagaimana mungkin mereka meninggalkan kuliah demi berteriak-teriak di bundaran HI? Orang tua mereka pasti kaya raya. Pernah suatu kali aku diajak ikut demo, dan meskipun harus menempuh perjalanan jauh dan bolos kuliah, aku memutuskan ikut hanya karena penasaran bagaimana rasanya. Ketua BEM berteriak-teriak di sepanjang bundaran HI, berkoar-koar mengenai berbagai masalah – yang paling sering dibahas kurang lebih masalah korupsi dan mundurnya presiden. Setelahnya, tak ada yang berubah. Kami bubar setelah membuang sampah dimana-mana.

    Sebelumnya saat kami berangkat kami bisa melihat seorang pengemis duduk di tepi jalan Sudirman, mengulurkan tangan dan mangkuk plastik. Saat kami pulang, aku masih bisa melihatnya. Kuputuskan untuk turun dari bis sejenak dan memberikannya sisa air minum yang menjadi jatah konsumsi kami selama berkoar-koar ria. Sampai sekarang aku tak pernah mengerti mengapa aku melakukannya, tapi aku merasa lega jika mengingatnya.

    Rekanku dari fakultas Hukum juga pernah pergi berdemo dengan mahasiswa se-Indonesia lainnya di depan gedung DPR RI dengan masalah kenaikan harga BBM. Ibarat zombie yang kelaparan, mereka menggedor-gedor pintu gerbang gedung tersebut. Setelah pintu gerbang runtuh, mereka bersorak ria ibarat tentara menang perang, dan setelahnya tensi yang ada menurun. Aku tak pernah mengerti apa yang ia inginkan. Harga BBM memang tak jadi naik, tapi kurasa ia hanya ingin merubuhkan gerbang masuk gedung DPR saja seperti yang senior-seniornya lakukan di tahun 1998.

    Aku sempat menelpon ibuku dan berterus terang padanya bahwa aku bolos kuliah beberapa kali demi ikut demo, dan ibuku menjawab, “Nak, kau sudah memiliki tingkat kecerdasan yang melampaui ibumu kini. Tapi jangan sampai kau lupakan bahwa ibumu disini hanya ingin kau sukses dan hidup lebih baik. Jika menurutmu dengan demo bisa membuat semuanya lebih baik, lakukanlah.”

    Sejak saat itu aku berhenti demo dan fokus pada kuliah.

    Tiba saat dimana aku lulus. Ibu dengan memakai pakaian terbaiknya datang ke kampusku dan menemaniku wisuda. Ia tampak amat bahagia saat fotoku terpampang di meja kecil kamarnya. Sempat satu atau dua kali aku kebingungan mencari kerja, saat kemudian aku kembali bertemu dengan Sigit yang menjadi penjaga sekolah di SMP tempat kami sekolah dulu. Ia bilang bahwa sekolah tersebut kini membutuhkan seorang guru Bahasa Indonesia. Setelah berbasa-basi dengan kepala sekolah, ia setuju untuk memberiku pekerjaan.

    Tiba kembali di bantaran sungai yang keruh itu, aku melangkah. Kulihat ibuku yang kini sudah tampak tua tetap setia menyiapkan sambal goreng dan opor ayam kesukaanku. Kompor minyaknya baru saja ia matikan. Senyum sumringah muncul di bibirku, bukan hanya karena aku sadar kini aku telah menaklukan kerasnya hidup dan bergaul di kota ini, tetapi juga karena kini takkan ada lagi yang menyebutku “Irwan si anak haram.” Mulai besok, aku akan dipanggil “Pak Guru Irwan.”

    Aku berjalan perlahan, menghampiri ibuku.“Bu,” kataku perlahan, “Aku sudah pulang.”

    original link
     
    Last edited: Mar 7, 2014
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    dicabe ama merpy-chan :swt:

    Sumirno and Smirnov
    Genre : military, comedy

    “Letnan Luke, Letnan Mac, lima menit!”

    “Yeah, lima menit, boys.”

    Entah untuk alasan apa aku ikut bersorak, tapi para anggota baru ini pasti masih gugup, jadi mungkin dengan berteriak, aku bisa memecah tensi yang ada. Meski pada kenyataannya teriakanku sama sekali tidak berguna. Sersan Irwin, sang anggota termuda, terus-menerus mengelap popor senapannya, sementara Sersan Johnson berdoa komat-kamit.

    Empat orang akan terjun ke sebuah desa di negara yang aku tidak kenal betul : Indonesia. Operasi kali ini memiliki tujuan menyelamatkan seorang sandera penting, dan karenanya operasi ini diberi sandi “Saving Captain Ryan.” Mirip judul film, memang, tapi masa bodoh. Steven Spielberg boleh saja menggugat kami, tapi kami punya senjata dan dia hanya punya roll film. Kami akan menang kalau dia main kasar.

    “Jadi anggota US 10th Recon Division, semua bisa gabung. Tak ada bonus, tunjangan, gaji sering telat dibayar, tapi setiap momennya muuaaantaaaaaaapp.“

    “Berhenti ngoceh, Mac.”

    Yang baru saja memotong kata-kataku adalah rekanku, Letnan Luke. Perawakannya yang tinggi besar, berotot, dan brewokan membuatnya lebih mirip beruang hutan daripada seorang komandan operasi. Ya, betul. Yang akan memimpin operasi Saving Captain Ryan ini adalah dia, si beruang.

    “OK, semua personel, cek senjata, amunisi, dan perlengkapan. Pastikan juga parasut kalian terpasang dengan baik.”

    DIbelakang si beruang, aku ikut membuka mulut, menirukan kata-kata si beruang tanpa suara. “OK, semua personel, cek senjata, amunisi…” dan lain-lain. Seolah tahu sedang diejek, si beruang menoleh. Aku senyum sambil menonjolkan gigi.

    “Kau ada masalah denganku, Mac?”

    Aku menggeleng. Si beruang, setelah menggerutu dan mencibir macam-macam, kembali berbalik dan melanjutkan. Cukup bercanda, bisikku dalam hati. Saatnya serius.

    “Letnan Luke,”

    “Ya, Irwin?”

    “Kenapa operasi ini dinamakan Saving Captain Ryan?”

    Hahaha, pertanyaan yang sudah kutunggu. Dan jika si beruang ini tidak bersedia menjawab, aku akan dengan senang hati menjawabnya.

    “Saving Captain Ryan, ya, pertanyaan bagus.” Karena Letnan Luke menjawab, jadi aku memutuskan diam saja.

    “Semua dimulai setahun lalu. Untuk pertama kalinya sejak perang Irak, Pemerintah AS memberi perintah penculikan.”

    Ya, perintah penculikan itu, aku masih ingat. Si bedebah itu mengirim Luke dan aku ke neraka.

    ***

    “Mac! Hei, Mac, bangun!”

    Luke tidak mengerti bagaimana ngantuknya aku setelah 16 jam mengawasi tanah pertanian di lembah hijau sialan ini. 16 jam, dan itu bukan waktu yang sebentar. Tidur empat jam tidak bisa menggantikan rasa lelahku.

    “Kau tidur delapan jam! Sialan, pulas amat!”

    “Ah, delapan jam?”

    “Lihat. Ini sudah malam. Giliranmu mengawasi area. Bangunkan aku jika target sudah didapat.”

    Tanpa sempat, dan tanpa berniat meminta maaf, aku segera beranjak merapikan laras senapan dan menyiapkan bidikan. Senapan yang kupegang merupakan salah satu senapan tercanggih di dunia, Sniper Mauser .25 with ACOG sight, bolt-action system. Hulu ledaknya yang tinggi bahkan bisa menembus pelat baja setebal 10mm, atau menembus lapisan tank bahkan hingga ke pusat tanki bahan bakarnya. Tapi tak perlu kuceritakan banyak-banyak mengenai senapan, karena yang lebih penting lagi adalah target kami, seorang teroris dengan nama sandi Smirnov.

    Aku tidak pernah tahu mengenai Smirnov. Luke juga tidak tahu. Komandan kami bilang bahwa Smirnov merupakan seorang mesin genosida, seorang maniak, anjing gila, dan karenanya seseorang – atau mungkin dua orang – perlu menyeretnya ke pengadilan internasional, dan bahwa dua orang itu adalah Luke dan aku, anggota US 10th Recon Division.

    Didepan mataku terpampang dengan jelas sebuah rumah warga dan area pertanian padi. Perlahan aku menggeser senapan ke kiri. Tak ada pergerakan. Ke kanan, lapangan padi kosong. Sialan! Smirnov benar-benar licin! Tiga hari ini ia membuat kami mengejangkan urat. Tiga hari dari tanggal misi, dan masih belum ada pergerakan dari Smirnov sama sekali. Brengsek!

    “Anvil 0-1, Pusat Komando disini. Bagaimana keadaan disana? Apakah kau sudah dapatkan Smirnov?”

    Luke mengerang. Aku tahu ia sudah malas menjawab radio dari pusat komando, jadi aku memutuskan menggantikannya.

    “Pusat Komando, disini Anvil 0-2. Negative. Aku ulang, negative. Kami belum mendapatkan apapun dari Smirnov.”

    “Belum dapat apapun? Ini sudah tiga hari! Apa saja yang kalian lakukan disana? Ngopi?”

    “Maaf Pusat Komando, tapi kami benar-benar belum menemukan apapun. Saat pagi kami hanya mendapati beberapa petani di sawah, serta sejumlah bebek. Keadaan menjadi sepi di siang, sore, dan malam hari.”

    “Sialan! Si Smirnov itu…”

    “Pusat Komando, izin untuk bertanya.”

    “Silakan, 0-2.”

    “Smirnov itu, ciri-ciri orangnya seperti apa? Kami akan melakukan pencarian kembali hingga besok malam. Kami curiga ia menyamar menjadi—“
    Aku tak meneruskan pesanku, karena kini kudapati pergerakan di lensa senapanku.

    “0-2, bisa kau teruskan? 0-2? 0-2, bisa kau dengar aku?”

    Seorang petani. Seseorang dengan baju warga sipil. Mungkin ia memang hanya petani, tapi tetap saja aku harus waspada. Yang ada di pikiranku adalah bahwa Smirnov bisa saja menyamar menjadi petani lokal. Dengan dugaan itu aku memutuskan untuk membidik lensa senapanku tepat mengarah ke dada sang petani sambil terus memperhatikan gerak-geriknya.

    “0-2, kau masih disana?”

    “Pusat Komando, kita teruskan ini nanti. Aku ada pergerakan. Out.”

    Radio kumatikan. Sambil tetap memperhatikan sang petani misterius, aku menendang tubuh Luke, berkali-kali hingga ia bangun.

    “Nnggg, apa sih?”

    “Kita ada pergerakan.”

    “Masa?”

    Luke segera beranjak bangun, menggenggam senapannya, membersihkannya dari tanah, mengokang, membidik, mengecek laras dan peluru, mengokang lagi, meniup lensa, mengokang lagi, dan kembali membidik. Aku menoleh padanya kesal.

    “Kamu heboh banget deh.”

    Tanpa mengacuhkan rasa kesalku, ia bertanya polos. “Apa yang kita dapat?”

    “Ultraman.”

    “Serius, goblok!”

    “Lihat tuh,” aku menunjuk. Luke melihat ke tempat dimana aku menunjuk. Awalnya dengan mata telanjang, lalu dengan lensa senapannya. Ia kemudian menarik napas panjang sesaat setelah mengintip lensa senapannya.

    “Itu petani, Goblok! Kau tembak dia, kau jadi orang yang akan kubawa ke pengadilan internasional. Argh, berhenti bercanda, dungu!”

    “Luke,” kataku sambil tetap mengintip lensa. “Selalu waspada setiap saat.”

    “Bego!“ Luke menggerutu, kembali mengomel kesana kemari, tentang petani, tentang Smirnov, tentang Pusat Komando, dan terutama tentang misi menyebalkan ini.

    “Kalau sampai nanti pagi Smirnov tidak muncul, aku lebih baik membatalkan mi—“

    “Sshh.”

    Luke diam, ogah-ogahan. Aku menyuruhnya diam bukan tanpa alasan karena kemudian aku mendengar sebuah kata yang sangat penting untuk misi ini.

    “^&%*(&*$# Sumirno, Sumirno -#$#@#, I love you Sumirno. Sumirno good boy.”

    “Kau dengar itu, Luke? Aku tak tahu bagian lain yang aku dengar, tapi Sumirno?”

    “Sumirno…” Luke bergumam perlahan. Beberapa saat kemudian ia menatap mataku tajam. Aku yang mengerti maksud Luke segera saja membidik senapanku ke arah petani tadi yang kini berteriak-teriak, ah, bukan, lebih menyerupai bernyanyi keras-keras. “Sumirno, Sumirno,” begitu katanya.

    “Smirnov! Sumirno, Smirnov. Betul! Itu pasti Smirnov!”

    “Kena kau!” bisikku perlahan. Sumirno, mungkin begitulah caranya orang-orang di negeri ini memanggil Smirnov.

    “Petani itu pasti bodyguardnya. Sialan!”

    “Bisa kulumpuhkan jika mau.” Bisikku. Luke menjawab bahwa kita tak bisa melakukannya. Terlalu terekspos, katanya.

    “Kita harus tetap menjadi hantu. Mac, coba kau dekati target kita dari sisi kanan, aku akan melindungimu dari sini. Aktifkan radio.”

    “Segera laksanakan.” jawabku, meski dalam hati aku menjerit, “Kenapa aku sih? Dasar beruang panuan!”

    Kuturuni bukit penuh pepohonan ini. Alot, tanah yang kulalui benar-benar terasa alot dan basah. Tiba di area pertanian, aku merunduk.

    “Bodyguard masih disana. Aku tak bisa mendekat. Bagaimana kalau kita lumpuhkan saja?”

    “Negative, Mac.” Luke menjawab lewat radio. “Kita tak bisa menembak warga sipil. Lanjutkan dengan merangkak.”

    Susah payah aku mendekat, dan kini aku juga harus merangkak. Bagus. Dasar beruang goblok.

    “Merangkak, dimengerti.” Jawabku. Ogah-ogahan aku tiarap dan merangkak melewati batang-batang padi yang sudah tinggi, berusaha berada sedekat mungkin dengan Smirnov.

    “Mac, ini pasti hari keberuntungan kita. Bodyguard menjauh! Tak ada rintangan apapun antara kau dengan Smirnov. Dia ada di sebuah gubuk di sebelah kananmu, 35 derajat ke selatan. Cek kompasmu.”

    “Aku mengerti. Aku mendapat visual dari target.”

    “Tak ada penghalang, Mac! Serbu!”

    Aku bangkit, melihat sekeliling. Aman!

    Inilah saatnya balas dendam! Aku akan menghajar Smirnov habis-habisan setelah ini usai! Tiga hari mengintai, tanpa cukup makan, minum, bahkan tanpa buang air. Sialan! Smirnov harus membayar untuk ini semua.

    Sesaat setelah menyusup dengan cepat, aku tiba di lokasi. Pintu gubuk segera kubuka dengan cepat, namun dengan tetap tidak menimbulkan kegaduhan. Senapan segera kutodongkan, bersiap menghadapi yang terburuk. Smirnov mungkin bersenjata, dan aku tak mau tewas ditangannya.

    Segera aku mengecek setiap sudut ruangan. Tidak ada pergerakan manusia sama sekali. Misterius. Kemana Smirnov lenyap?

    “Tok…tok…petoook…”

    “Sumirno,” kembali aku mendengar suara sang petani. Panik, aku segera bersembunyi di salah satu sudut gubuk yang paling gelap.

    “Mac, bodyguard kembali! Kau harus sembunyi!”

    Bodoh. Betul-betul sersan bodoh. Aku sedang sembunyi, dan aku sangat memerlukan keheningan. Luke si beruang dengan polosnya malah menghubungi radioku. Dungu! Segera kumatikan radio dan kubuang ke tanah.

    Sang petani membuka gubuk. Aku sudah siap dengan pisauku. Jika ketahuan, akan kutusuk leher sang petani hingga tewas.

    Sang petani kemudian menggenggam sang ayam. “Ah, Sumirno, I love you, my boy. Sumirno, %^$%#@, *&*&^ %#!@ ^%()-* Sumirno.”

    “Tok…petooookk…”

    “Sumirno, Sumirno…”

    “Petookkk!”

    Sang petani tampak mengelus-elus sang ayam sambil berkata Sumirno berkali-kali. Aku menatap adegan itu sambil menelan ludah, pahit. Mungkin hanya dugaanku saja, tapi, apa mungkin Smirnov yang kami cari itu, seekor ayam?

    ***​

    “Apa maksudmu ia seekor ayam? Bisakah kau berhenti bercanda?”

    “Luke, aku serius! Smirnov yang kita cari, ia hanya seekor ayam. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana sang petani memanggil namanya berkali-kali.” Gerutuku.
    Aku memang senang bercanda, tapi aku tahu kapan saatnya bercanda dan serius.

    “Masa iya Smirnov itu ayam? Akh, ini misi apa sih?”

    Aku garuk-garuk kepala sesaat. “Luke, bisa kau cek pusat komando untuk keterangan lebih lanjut? Benarkah ayam kampung ini Smirnov yang kita cari?”

    “Ah, sial.” Katanya. Setelahnya dapat kudengar baik-baik percakapan radio yang terjadi antara Luke dengan pusat komando.

    “Pusat komando, masuk. Disini Anvil 0-1.”

    “Silakan, Anvil 0-1.”

    “Pusat komando, kami berhasil menemukan Smirnov. Anu, Smirnov itu manusia?”

    “Apa maksudmu? Jangan bertanya yang tidak-tidak!”

    “Smirnov yang kami temukan, ia—“

    “Berhenti bertanya! Kalian menemukan Smirnov, segera bawa dia ke Landing Zone. Demi tuhan, ini sudah tiga hari. Kami akan menjemput kalian disana.”

    “Ya, tapi—“

    “Sersan, kau bawa Smirnov keluar dari sana hidup-hidup. Ia akan tinggal di penjara untuk waktu yang lama. Jika kalian gagal, maka kalian yang akan tinggal di penjara. Pusat komando selesai. Out.”

    “Pusat komando, tapi…pusat komando, masuk! Damn!”

    Aku menghela napas panjang. Ini benar-benar tidak masuk akal. Kami berdua harus membawa ayam ke zona pendaratan?

    “Luke, bagaimana?”

    Dapat kudengar Luke menghela napas panjang. “Bawa dia keluar dari sini, Mac. Low profile.”

    Segera aku mendekati sang ayam. Dengan sebuah pistol di tangan, aku berbisik. “Smirnov, aku akan membawamu pergi. Kalau kau berisik, lihat nih.” Kataku mengacungkan pistolku. Ayam itu masih diam. Kurasa ia takut dengan pistol yang kutodongkan di kepalanya.

    Perlahan, kurangkul sang ayam. Sambil tetap dengan pistol terpasang di kepalanya, aku bergegas keluar. Namun beberapa saat kemudian Smirnov berkokok keras, membuatku panik.

    “Mac, suruh dia diam!”

    “Smirnov! Hei! Diam atau kutembak kau. Lihat pistol ini, sialan. Kau mau kutembak?”

    “Petoookk. Tok, tok, petookk!”

    Smirnov tetap saja berisik. Aku tak berpengalaman degan ayam, jadi aku terus saja mengancamnya dengan harapan ia berhenti berkokok. “Akan kutembak kau! Akan kutembak kau sialan!”

    “Sumirno?”

    “Mac, ada musuh di arah jam dua, segera keluar dari sana!”

    Aku menoleh kebelakang. Samar-samar sosok petani itu tampak dimataku, membuatku panik dan segera berlari. Smirnov sialan! Dia membuatku ketahuan.

    “Mac, kau ketahuan! Kita lari! Plan B, kawan. Plan B!”

    “Aku mengerti, Luke.”

    Dari belakang sang petani berteriak-teriak tak karuan, marah. Kenpa ia tak menembakku aku juga tak tahu, tapi ini kesempatan bagus untuk kabur. Perlahan dapat kudengar ia berteriak dalam bahasa yang tidak aku kenal. “***! Bangsat! Wong edan! Maling! Maling!” kurang lebih itu yang kudengar, tapi aku tak tahu apa artinya.

    “Luke, carikan rute teraman untuk lari.”

    “Aaahh, belok ke timur dan naik keatas bukit. Ayo, kawan. Sepertinya makin banyak saja warga yang bermunculan.”

    “Bajing luncaaatt!” Kembali terdengar teriakan sang petani gadungan. Aku sedikit menoleh ke belakang, dan astaga, sejak kapan para warga menjadi sedemikian banyak?

    Kuikuti nasihat Luke, belok dan naik ke atas bukit. Yang menghadangku kemudian adalah rumah-rumah warga yang makin banyak. Beberapa warga yang ada melihatku lugu. Namun mereka segera menunjukkan amarah setelah mendengar sang petani berteriak. Bangsat! Aku harus kabur.

    “Sialan, Luke. Makin banyak musuh. Aku terjebak.”

    “Ah, lanjutkan lari ke timur. Aku akan menemuimu disana.”

    “Maliiinngg!”

    Teriakan itu kembali terdengar. Aku tak tahu kenapa, tapi teriakan-teriakan itu terasa lebih menyeramkan dari desingan peluru. Lucu, aku dilatih untuk tidak takut apapun, tapi aku merasa ngeri dengan teriakan-teriakan para warga yang mengejarku. Kurasa kini aku mengerti mengapa kakekku sering merasa ketakutan dengan teriakan Banzai saat Perang Dunia dulu.

    Smirnov tak berhenti bersuara. Ia terus saja berkokok atau bernyanyi. Kembali kuketuk-ketuk pistolku ke kepalanya. “Smirnov! Jangan buat aku naik darah! Kau benar-benar bisa kutembak!”

    “Petooookk!!”

    “Luke, ini menyebalkan. Aku akan membunuh Smirnov.”

    “Jangan, Mac. Nanti misi kita akan sia-sia!”

    “Kalau begitu akan kutembak penduduk-penduduk jahat itu!”

    “Negative, Mac. Dilarang menembak warga sipil. Terus berlari, kawan.”

    “Damn!” Tanpa bisa melakukan apapun lagi, aku terus berlari. Beberapa benda mulai beterbangan. Sandal, batu, aku yakin benda-benda itu takkan bisa membunuhku, tidak seperti peluru AK-47, tapi entah mengapa itu mengerikan.

    “Mac, kau bisa lihat aku didepan?”

    Aku menoleh sedikit ke kanan saat melewati jalanan yang cukup lebar. Ya, Luke tampak dihadapanku, sekitar seratus meter dari tempatku berada.

    “C’mon, Mac. Ayo!”

    “Yeah!”

    Luke mulai menodongkan Mauser miliknya ke arah warga. “Diam ditempat! Berhenti! Diam ditempat kataku!”

    “Maliiing!”

    “Mac, mereka tak takut senapan?”

    “Baru tahu? Lihat, si Smirnov juga!”

    Luke menggeram, lalu ikut berlari denganku. Disekeliling kami berbagai benda terus beterbangan. Sapu, sandal, baju bekas yang lebih mirip lap pel, dan yang terakhir aku melihat wajan. Sialan! Aku tak menyangka bodyguard Smirnov begitu banyak. Meskipun mereka lumpuh karena tak punya senjata, mereka tetap menakutkan.

    “Anvil 0-1, bagaimana kondisi kalian?” Tiba-tiba saja Pusat Komando memanggil. Mendapat panggilan dari Pusat Komando di saat seperti ini benar-benar menyebalkan.

    “Pusat Komando, kami diserang musuh dalam jumlah besar! Kuulang, musuh dalam jumlah besar!”

    “0-1, tetap tenang. Kami tak bisa mengirim bantuan udara sekarang.” Kata Pusat Komando lagi, dan pernyataan itu membuatku menggerutu dalam hati. “Kalau begitu tak usah memanggil, idiot!” Gerutuku.

    “Maliiing! Maliing ayam!”

    “Mac, terus berlari kawan!”

    “Petoookk!”

    Ah, sial! Aku benar-benar ingin menembak si Smirnov ini. Membawa ayam yang kini kupegangi kakinya benar-benar menjengkelkan. Smirnov mungkin menderita, bergoyang terus-menerus dengan kepala dibawah. Tapi masa bodoh. Aku ingin ini segera berakhir.

    “Mac, sebelah sini!”

    Luke melompat melewati sebuah semak-semak, dan segera tiarap. Aku ikut langkahnya meskipun aku tak percaya tindakannya bisa menyelamatkan kami. “Tetap diam, Mac.” Katanya. Aku mengangguk.

    Para warga yang mengejar kami berhenti, kebingungan. Dapat kudengar mereka berdiskussi dari balik semak-semak. “Sampean nang kono, aku nang kene! Maling Uancuk!”

    Sekali lagi, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi ajaib! Para warga itu menjauh dari tempat Luke dan aku sembunyi. Untuk pertama kalinya aku mempertaruhkan kepercayaanku padanya, dan ia berhasil mendapat kepercayaanku.

    “Mac, lihat keadaan!”

    “Aye!” jawabku mantap. Dengan pistol teracung aku bangun, bangkit. Para warga sudah tak ada.

    “Aman, Luke.”

    “Bagus!”

    Luke ikut bangun, melangkah sedikit, dan masih dengan Mauser di tangannya, ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Situasi benar-benar menguntungkan. Para musuh membelakangi kami sehingga kami bisa lari.

    “Peetttoooookkkk!”

    “Sialan, Smirnov! Mac, bisakah kau suruh dia diam?”

    “Aku sudah mengancamnya! Kau kan tahu dia tidak takut sama pistol!”

    “Kau todong seekor ayam dengan pistol?"

    "Ya."

    "Bego!”

    Luke melepas jam tangan miliknya, dan dengannya ia mengikat mulut Smirnov. Smirnov kini tak bisa bicara, tapi mungkin juga tak bisa bernapas.

    “Nah, begini caranya.”

    “Dia bisa mati, tolol!”

    “Ah, dia akan baik-baik saja.” Luke tersenyum. Ia baru akan kembali berjalan ketika sebuah benda menghantam kepalanya.

    “Shit!” Aku menoleh ke kiri, dan beberapa warga tampak dihadapan kami. “Maliiinnggg!”

    Luke jatuh tersungkur dengan kepala berdarah, meski ia masih sadar dan belum pingsan. Aku segera menyeretnya.

    “Maliing! Maliiing!”

    “Luke, aku harus menembak mereka!”

    Luke tidak menjawab. Ia memegangi kepalanya yang berdarah sambil mengerang kesakitan. Kehabisan ide dan panik, aku terus menyeretnya. Para warga bergerak makin mendekat.

    “Mac…kau…kau tinggalkan saja aku…”

    “Apa?”

    “Tinggalkan saja aku, kau harus bawa Smirnov pergi!”

    “Tidak mungkin!” Jawabku. Perlahan kurangkul tubuhnya. Kuangkat dan kubopong ia. “Kita melakukan ini bersama, Luke! Ayo!”

    “Mac, tinggalkan aku! Kau bisa tertangkap!”

    “Diam dan percaya saja padaku, Luke!”

    Dengan Luke di punggungku, aku berlari sekuat tenaga. Berbagai benda masih beterbangan di sekitar kami, sialan! Yang terakhir datang pada kami adalah kotoran kuda. Untung saja mereka masih belum menembaki kami.

    Beberapa saat kemudian kurasakan sebuah benda menusuk kakiku. Aku mengerang, sakit sekali.

    “Mac, kakimu kena! Tinggalkan saja aku Mac! Tinggalkan aku, kau harus bawa Smirnow pergi dari sini!”

    “Ya ampun, Luke, kau diam saja, sialan!”

    Untuk pertama kalinya aku merasa aku dan Luke ibarat saudara yang harus saling melindungi. Kami tak bisa mati disini. Luke bilang kakiku terkena sabetan pisau yang dilempar. Dalam keadaan normal aku mungkin takkan bisa berjalan, namun kini dengan tekad membara, aku membawa Luke dan Smirnov lari. Aku dan Luke harus selamat! Kami tak boleh mati disini!

    “Mac, kau…”

    Aku tak menjawab. Beberapa saat kemudian kami melewati sebuah bukit kecil. Itu jalan keluar kami, pikirku. Kami akan meluncur menuruni bukit, dan berlari secepat mungkin.

    Tiba di tepi bukit, segera saja aku melempar tubuh Luke meluncur menuruni bukit landai tersebut. Aku menyusul beberapa saat kemudian. Tubuhku terasa amat sakit saat bergesekan dengan tanah dan bebatuan kasar di bukit landai. Aku tak peduli lagi.

    Kami tiba di dasar tak lama kemudian, dan kembali aku membopong Luke. Sementara di sekitar kami teriakan Maling terus terdengar, lengkap beserta berbagai benda yang masih melayang disekitar kami.

    “Ayo, Luke!”

    “Maliiingg!”

    Kami kembali bergerak menjauh. Para warga tampaknya tak ada yang menyusul kami dengan meluncur menuruni bukit landai. Ini kesempatan bagus. Kami bisa lari agak jauh.

    Tetapi baru saja aku berjalan sekitar lima meter, sebuah sepeda motor menghadang kami bertiga. Sang warga yang mengendarainya tersenyum menang.

    “Technical inbound! Luke, mati kita!”

    “Technical? Para warga itu punya tank?”

    “Bukan tank, Luke.”

    Sang pengemudi sepeda motor mendekati kami, melihat kami senang, mengelus-elus motornya, dan tersenyum. Aku masih menatap sang pengemudi dengan waspada.

    “Hello mister. Ojek, mister?”

    Aku melongo. Apa yang dilakukan sang warga? Mengancamku?

    “Ojek?”

    “Luke, kau tahu apa itu ojek? Aku mengerti apa itu hello dan mister, tapi ojek?”

    Kuletakan Luke di tanah. Sang pengemudi berusaha menyalami kami sambil kembali menyapa. “Ojek, mister. Let’s go!”

    “Mac, sabotase!”

    “Dimengerti, Luke.”

    Kutinju sang pengemudi sepeda motor. Ia jatuh pingsan dengan wajah penuh senyum. Kunci motornya masih menggantung. Nice.

    ***​

    “Pusat komando, disini 0-2, masuk!”

    “0-2, silakan!”

    “Pusat komando, kami berhasil lepas dari kejaran musuh. Sekarang kami mendekati Landing Zone dengan kendaraan musuh dari selatan, ganti.”

    “Dimengerti. Kru, perhatikan arah selatan. Anvil 0-1 dan 0-2 datang memakai jip musuh!”

    “Bukan, bukan Jip.” Jawabku kesal sambil berusaha menyeimbangkan kemudi sepeda motor tua ini. Naik sepeda motor tak pernah menjengkelkan seperti sekarang. Biasanya aku sering kebut-kebutan di Manhattan, tapi sepeda motor yang kupakai kali ini benar-benar rongsokan. Pasti kendaraan ini tak pernah di servis.

    “Dimengerti, waspadai tank musuh datang dari selatan.”

    “Bukan tank!”

    “Err, kuda?”

    “Kami datang menggunakan…”

    “Toookk! Took! Petoookkkkk!”

    “Mac, Smirnov!” Luke berteriak. “Tali jam tanganku lepas.”

    “Sialan, aku tak bisa bergerak. Aku mengemudikan ini. Bisa kau buat dia diam, Luke?”

    “Petoookkk!”

    Dapat kudengar suara kokangan pistol dari arah belakang, dan beberapa saat kemudian terdengar Luke bersorak. “Smirnov, diam atau kutembak kau!”

    “Petoookkk!”

    “Smirnov! Bangsat! Aku tak main-main.”

    Luke benar-benar goblok! Beberapa saat sebelumnya ia antusias mengajariku bagaimana membuat Smirnov diam. Kini ia mengikuti cara lamaku yang jelas-jelas tak berhasil, benar-benar sersan goblok.

    “Petoookkkk!”

    “Smirnov bangsat! Lihat pistol ini! lihat!”

    “Luke, bangsat! Itu cara lama. Kau bilang cara itu tidak berhasil!”

    “Ada ide lain?”

    Aku diam sejenak. “Well, bagaimana kalau—“

    Syut! Sebuah batu kembali terbang di sampingku, dan itu benar-benar membuatku kaget.

    “Incoming! Mac, motor arah jam enam!”

    “Maliiinnggg ayaamm!”

    “Lebih cepat, Mac! Lebih cepat!”

    “Aku tahu!”

    Aku tancap gas. Para warga ini benar-benar ngotot. Kini mereka mengejar kami dengan sepeda motor. Luke menggenggam pinggangku erat-erat saat aku menuruni jalan berbatu. Landing Zone tinggal lima ratus meter ke utara.

    “Maliiing!”

    “Luke, coba tembak mereka, sialan!”

    “Tak bisa, Mac!”

    “Apa salahnya kau hiraukan hukum…”

    “Aku tak bisa membidik mereka! Sialan, Mac! Aku lebih ingin menembak mereka daripada kau!” Luke menggerutu. Tak lama kudengar suara senapan yang dibuang ke tanah.
    “Pergi saja, Mac. Pergi!”

    Aku mengangguk dan makin menancap gas. Para warga tertinggal cukup jauh.

    “0-2, apa itu tadi? RPG?”

    “Musuh dibelakang kami, Pusat Komando. Siap-siap, kami akan tiba dalam 30 detik!”

    “Dimengerti.”

    “Aku lihat helikopter kalian.” Kataku saat kini kudapati sebuah helikopter Black Hawk Stealth terbang rendah, bersiap memawa kami pergi. “Mendaratlah! Kami datang menggunakan sepeda motor!”

    “Siap.”

    Aku semakin tancap gas, sementara teriakan-teriakan maling terdengar makin menjauh. Tiba di sebuah pantai yang cukup luas, helikopter jemputan kami tampak meraung.

    “Anvil 0-1 dan 0-2, kami senang melihat kalian!”

    “Simpan itu untuk nanti, Pusat Komando. Kami masih belum aman.”

    Helikopter tersebut makin mendekat. Dapat kulihat beberapa orang kru berteriak. “Ayo, cepat! Kita pergi dari sini!”

    Aku tersenyum kecil sambil memberhentikan motor. Tepat saat Luke dan aku baru turun dari sepeda motor, para musuh kembali berteriak dari arah belakang. “Maliiing!”

    “Sial!” kataku kemudian. “Pusat Komando, musuh dibelakang!”

    “Cepat kesini!”

    Beberapa buah batu kembali terlempar, membuatku panik. Aku tak mau kepalaku menjadi sasaran lemparan batu. Meski aku takkan mati, tapi tetap saja batu yang menghantam kepala itu mengerikan.

    Smirnov terus berteriak, dan Luke masih mengerang karena kepalanya bocor. Segera kubopong Luke yang memegangi Smirnov. Dengan terseok-seok, kami segera memasuki helikopter. Komandan misi, Kapten Ryan, segera menarik kami berdua begitu kami tiba di ambang pintu helikopter.

    “Kapten Ryan!”

    “Ayo, nak! Naik!”

    Luke naik terlebih dahulu. Aku baru memegangi badan pintu helicopter ketika sebuah benda keras menghantam kepalaku. Sial. Aku kena.

    “Mac is hit! Mac kena!”

    “Bawa dia naik!”

    “Maliiinnggg!”

    “Aarrgghh!” Kapten Ryan menarik tanganku naik helicopter. Tiba di dalamnya, helikopter inipun segera naik. Deru mesinnya terdengar dengan jelas di telingaku. Para musuh yang mengejar kami tampak kecil kini. Makin lama makin kecil, dan semenit kemudian, yang tampak dimataku hanya lautan luas.

    Semua selesai. Semua sudah berakhir. Perburuan Smirnov selesai.

    “Haha…hahaha…kita berhasil!” Teriakku. “Luke, kita berhasil kawan. Kita akan pulang!”

    “Ya, kawan. Senangnya.”

    “Mana Smirnov? Mana target kita?” Kapten Ryan memotong kesenangan kami. Luke menggeliat. Ia mengeluarkan tangan kanannya. Smirnov masih menggantung terbalik. Ia sekarat.

    “Ini?”

    “Ya, ini. Orang disini memanggilnya Sumirno.”

    Kapten Ryan melongo untuk sesaat, memperhatikan Smirnov, sang ayam yang kini tampak sekarat. Ia menghela napas panjang, lalu menepuk keningnya.

    “Kenapa, kapten?”

    “Kalian berdua benar-benar tentara goblok! Mana mungkin ini Smirnov? Smirnov itu teroris, bukan ayam!”

    “Ini Smirnov, pak! Aku kan sudah coba konfirmasi lewat radio, dan kau bilang jangan banyak bertanya!”

    “Aduh! Benar-benar tentara idiot! Akan kupotong gaji kalian!”

    Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kubiarkan Luke melakukan diskusi.

    “Pak, Smirnov yang kita cari, apa benar ada di negara ini? Kami mengintai tiga hari, tak ada pergerakan Smirnov sama sekali! Hanya ini yang paling mendekati. Sumirno, para warga memanggilnya.”

    “Kalian payah! Dungu! Lihat surat perintah ini! ini ada foto Smirnov!”

    Kapten Ryan menunjukkan kepada kami sebuah surat perintah yang ia dapat. “Kolonel Lewis, ia yang memerintahkanku menangkap Smirnov ini! Sekarang, apa dia mirip dengan ayam kampung ini? Argh, bego!”

    “Anu, pak.” Kataku kemudian. “Bukannya itu, Elvis Presley?”

    “Hah?”

    “Itu Elvis Presley, pak. Penyanyi era 70-an, kan ya?”

    “Masa iya?”

    Sang kapten menatap foto itu kikuk. Ia tak mungkin tahu Elvis Presley. Ia hidup dalam negeri teletubies! Elvis Presley baginya mungkin sama saja dengan kami berdua.

    “Hei, kamu, tanggal berapa sekarang?” Tanyanya lagi padaku.

    “Err, tiga April?”

    “Tiga April?”

    Tanpa diduga-duga sebuah telepon datang. Kapten Ryan segera meraih telepon genggamnya.

    “Kapten. April mop! Haha, kena kau, Ryan. Tahun lalu kau menjahiliku, sekarang aku yang menjahilimu. Smirnov yang kau cari itu tak pernah ada. Jangan marah ya, haha!” Terdengar suara Kolonel Lewis dari telepon yang berbunyi nyaring. Kenapa Kapten Ryan membuat teleponnya berbunyi nyaring aku juga tidak tahu, tetapi hal itu membuka kenyataan yang ada, bahwa misi berburu Smirnov itu tidak pernah ada. Smirnov tidak nyata.

    “Anu, Kolonel…”

    “Ya, Kapten. Sekarang segera pulang, liburanmu sudah usai. Out.”

    Wajah Kapten Ryan mendadak memerah. Ia segera menghela napas panjang. Luke, aku, dan beberapa kru lain menatapnya tercengang.

    “Kita dikutuk.” Katanya kemudian. Ia lalu menatap Sumirno, sang ayam sekarat, yang kini kami tahu ternyata bukanlah Smirnov.

    “Peristiwa ini akan membawa perang bagi AS dan Indonesia. Ah, malangnya aku.”

    “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

    Kapten Ryan menatap sang ayam yang sudah hampir meninggal, lalu kembali menghela napas. “Kita harus kembali. Kita harus kembalikan ayam ini.”

    “Kapten, ke arah warga-warga gila itu?”

    “Pilihan apa yang kita punya?”

    “Aku tidak kembali ke sana. Kau saja, Luke.”

    “Mac!”

    “Luke, ini gila!” Kataku menggeleng. Aku tak mau kembali ke neraka itu. Itu semua omong kosong.

    “Mac, kita harus kembalikan ayam ini!”

    “Aku lebih suka menggorengnya. Argh, sial. Kenapa kita terjebak misi bodoh ini?”

    “Pokoknya kkita harus kembalikan ayam ini.”

    “Tidak mau!”

    “Mac!”

    Aku tetap kokoh pada pendirianku. Aku tak mau kembali. Itu mengerikan.

    “Ini salahku, tanggung jawabku.” Kata Kapten Ryan kemudian, memecah kebuntuan antara aku dan Luke. “Aku yang akan mengembalikan ayam terkutuk ini.”

    “Kapten?”

    Kapten Ryan memberi sinyal untuk kembali kepada pilot. Ragu-ragu sang pilot menurut. Tiba kembali di Landing Zone, para warga masih menunggu dengan marah.

    “Nah, dengarkan aku, kalian berdua.” Kapten Ryan kembali berkata. “Ingatlah kita semua.”
    Ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil. “Remember us. Kalian ceritakan apa yang terjadi disini. Ceritakanlah kepada Amerika, apa yang dilakukan Kolonel Lewis. Dan juga…” ia memotong kata-katanya sejenak. Beberapa kru helikopter tampak sedih.

    “Katakan pada istriku, bahwa aku mencintainya.”

    “Kapten!”

    “Selamat tinggal, anak-anak.”

    “Kapteeennn!” Luke dan para kru ikut berteriak. Sang kapten tersenyum sebelum keluar dari helicopter dengan Sumirno di tangan. Hal yang terakhir kulihat sebelum helicopter ini kembali terbang adalah seorang warga yang meninju Kapten Ryan hingga roboh. Aku tak begitu suka terhadapnya, namun melihat pemandangan itu tetap saja menyakitkan.

    ***

    “Remember us! Begitulah apa kapten Ryan.” Luke menyudahi ceritanya pada para anggota baru yang kini menatap Luke dengan mata berbinar.

    “Remember us, tentang apa yang kita alami, tentang apa yang terjadi.”

    “Cerita yang menyedihkan.” Irwin terhenyak perlahan sambil menggenggam senapannya kuat-kuat. Sang pilot kembali berteriak. “Tiga puluh detik!”
    Luke tersenyum kecil. “Sekarang, kita akan terjun disini. Kita akan menyelamatkan Kapten Ryan dari penjara paling mengerikan disini. Nusa Kambangan. Semua siap?”

    “Yaaa!” para anggota baru berteriak antusias. Luke tersenyum. aku tak menghiraukannya dan segera membuka pintu helicopter.

    “Sekarang!” Sang pilot berteriak. “Go!”

    “Untuk Kapten Ryan.” Kataku perlahan, tersenyum, dan segera terjun dari helikopter. Aneh, Luke dan lainnya tak segera menyusul. Segera saja aku menghubunginya lewat radio.

    “Luke, ayo cepat turun.”

    “Anuu, Mac…”

    “Apa?”

    Terdengar Luke dan anggota lainnya berteriak. “April mop!”

    Aku hanya bisa melongo di udara.

    original link
     
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Cerita romance yang pertama kali dibikin :hmm:

    We Can Always Meet
    Genre : Romance, Horror

    Robbie…

    Ingatkah kau tentang hari itu? Rumah sakit, taman bunga, dan salam perpisahanmu?

    ………

    Robbie…

    Kapan kita bertemu lagi?

    ***​

    “Blam!”

    Ia membanting pintu besi itu keras-keras dan segera menahannya dengan tubuhnya. Hanya berselang beberapa saat, ribuan dentuman keras terdengar dari arah belakang pintu itu. Blam! Blam! Ribuan tangan-tangan lapar menggedor-gedor pintu dengan ganas. Para kanibal buas itu benar-benar ngotot. Mereka tak tahu kapan harus berhenti dan terus saja mengejar kami sejak kami keluar dari kantor polisi yang dibakar masal demi memusnahkan sebagian dari mereka.

    “Mary! Ambil sesuatu! Pintu ini takkan bertahan lebih lama!”

    Aku tahu, Robbie. Tapi apa? Yang tampak dihadapanku hanyalah kegelapan – jika bukan nyala api yang besar di kejauhan. Ini ruangan terbuka, tak ada apapun disini.

    “Mary!”

    Aku masih melirik ke kiri dan ke kanan dengan panik. Pandangan mataku liar, mencari sesuatu yang entah apa itu, untuk dijadikan palang pintu. Tak menemukan apapun, aku bersorak. “Robbie, tak ada apapun disini. Aku tak bisa melihat dengan jelas.”

    Robbie makin menguatkan tubuhnya dan mulai berteriak sambil mengejangkan otot-ototnya. Sesaat kemudian baru kusadari bahwa linggis yang sudah dua hari ini kugenggam juga bisa menjadi kunci darurat. Engsel pintu segera kuhalangi oleh linggis tersebut, membuat pintu itu kembali tak bisa terbuka – setidaknya untuk beberapa waktu.

    “Tahan disini, Mary!” Robbie segera berlari dan mulai meraba-raba, mencari sesuatu di kegelapan. Aku hanya bisa menuruti perintahnya. Kira-kira semenit kemudian – yang bagiku terasa seperti setahun – ia kembali tampak dihadapanku dengan mendorong sebuah lemari tua. Bagaimana cara dia menemukan lemari tua tersebut aku tak tahu pasti.

    “Arrgghh!” Mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mendorong lemari tersebut ke arah pintu, Robbie bersorak. Seluruh ototnya mengejang. Meski Robbie sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, lemari itu bergerak amat lamban.

    “Robbie, cepat!” Jeritku. Engsel pintu besi ini sudah hampir roboh, dan jika itu terjadi, tamatlah riwayat kami.

    Robbie terus berteriak. Cukup lama baginya untuk membawa lemari itu ke depan pintu sementara aku menahannya.

    “Mary, menyingkir dari situ!” Teriaknya tak lama kemudian. Aku menurut dan segera pergi. Hanya beberapa saat saja setelah engsel pintu itu roboh, dan lemari itu tiba di posisi yang seharusnya. Berhasil, para monster itu terkunci. Pintu ini takkan bisa didobrak.

    “Bangsat! Mayat ********! Brengsek!” Untuk beberapa saat, Robbie mencaci maki tak karuan.

    Aku bernapas terengah-engah, menjatuhkan diri dan duduk diatas lantai. Hari yang amat melelahkan. Semenjak kantor polisi tempat kami mengungsi diserbu para mayat hidup, kami tak bisa menemukan tempat sembunyi lagi. Beberapa orang yang kami temui tak mau berbagi tempat tinggal, dan itu memuakkan. Di dunia yang kacau balau ini, kepercayaan menjadi sesuatu yang amat mahal. Kini, sudah dua hari kami tak tidur hanya untuk menghindari kejaran para mayat itu, sebuah terror tiada akhir.

    Puas mengutuk, Robbie segera merebahkan diri disampingku. Suara napas panjangnya dapat dengan jelas kudengar. Sementara dari kejauhan dapat kudengar suara teriakan ketakutan, raungan mayat-mayat hidup, atau suara senapan yang berbunyi. Hanya dengan mendengarnya, seluruh tubuhku gemetar. Itu semua mengerikan! Aku tak ingin lagi mendengar semua itu!

    Robbie melirik jam tangannya. “Dua jam lagi, Mary.” Katanya. “Dua jam lagi kita akan keluar dari kota terkutuk ini.”

    Aku tak menjawab.

    Sehari tiga kali helikopter patroli SAR akan menyisir seluruh kota, mencari penghuni yang selamat. Dua jam dari sekarang, patroli pertama akan mengudara. Meskipun begitu aku hanya bisa duduk diam dan menangis.

    Robbie bangun tak lama kemudian. Mungkin karena melihatku yang terisak, kini kurasakan tangannya merayap melingkari pundakku. Ia juga mendorong kepalaku agar jatuh di pundaknya.

    “Semua sudah selesai, Mary. Tenanglah.”

    Aku menggeleng dan tetap tak bisa berhenti menangis. Aku tahu Robbie akan selamat, tetapi tidak denganku. Bekas gigitan di telapak tangan kiriku takkan mengizinkanku keluar dari kota ini hidup-hidup.

    “Kita akan selamat, Mary.”

    “Bukan kita…” aku berkata lirih, membuat Robbie melirik padaku dengan mata bertanya.

    “Kau…”

    “Maksudmu?”

    Aku melepaskan diri dari tangan Robbie yang masih membelai rambutku, dan bergerak menjauh.

    “Mary?”

    “Jangan dekati aku, Robbie!” Teriakku, dan sontak itu membuat Robbie terkejut. “Kau akan pergi sendiri.”

    “Mary! Apa maksudmu?” Robbie yang makin penasaran terus berjalan mendekat, membuatku kian panik dan terus menjauh.

    Sesaat kemudian ia berhasil menggenggam tanganku. Kurasakan perih yang luar biasa saat Robbie mencengkram tanganku kuat-kuat, membuatku meringis perlahan dan menggigit bibir bagian bawah. Robbie mencengkram tanganku tepat di tempat dimana bekas gigitan itu ada.

    Ia tampak amat terkejut untuk beberapa saat. Dan saat ia menoleh ke arah tanganku, barulah ia sadar mengapa aku tak bisa keluar dari kota ini.

    “Mary…”

    Aku tak kuasa untuk kembali menahan tangis, dan mengangguk. “Aku terinfeksi, Robbie. Aku takkan bisa keluar dari sini.”

    Perlahan Robbie melepaskan genggaman tangannya dan berjalan menjauh, masih dengan mata tak percaya. Aku menarik kembali tanganku yang terluka, yang kini kugenggam perlahan. Sesaat kemudian aku menundukkan kepala. Di pikiranku berkecamuk berbagai hal.

    “Pergilah…Robbie. Menjauhlah, sama seperti yang kau lakukan dulu…”

    Tanpa melihat Robbie kembali, aku berjalan perlahan menuju tepian atap gedung. Mobil rusak, api, mayat-mayat hidup, polisi dan tentara yang kewalahan, serta warga sipil yang disantap hidup-hidup tampak amat kecil dihadapanku. Diujung gedung ini kurasakan angin berhembus kencang, membuat rambutku yang terurai sebatas punggung berkibar kuat. Sekali lagi, dan mungkin untuk terakhir kalinya, kutatap wajah Robbie yang melongo menatapku.

    “Aku mencintaimu, Robbie…”

    Akan sangat menyakitkan bagiku untuk terjun dari gedung bertingkat ini, tapi jika aku tidak mati karena jatuh, aku juga kelak akan mati oleh penyakit ini.

    Aku menghirup napas panjang. Tinggal satu langkah lagi, dan semuanya selesai. Waktuku di dunia sudah selesai.

    “Mary!”

    Terdengar Robbie berteriak, dan berlari ke arahku. Namun semua sia-sia saja karena aku sudah melangkahkan kakiku.

    Semuanya sudah usai.

    Sudah selesai…

    Akhir yang tak terlalu buruk…

    ***​

    “Mary!”

    Kurasakan sebuah cengkraman yang kuat menahan tubuhku, dan itu menyelamatkanku. Robbie menggenggam pergelangan tanganku erat, membuatku terkatung-katung di udara.

    “Mary, kau idiot! Jangan lakukan itu, bangsat!”

    Melihat wajah Robbie yang amat tak menginginkanku mati, juga menyadari betapa mengerikannya berada di udara seperti ini, niatku untuk mengakhiri hidupku menjadi kandas. Kini kugenggam erat tangan Robbie dengan seluruh kekuatanku. Takkan kulepaskan.

    Dan Robbie juga tak mengendurkan kekuatannya. Ia menarikku keatas sekuat tenaga, dan berhasil. Kini kami berdua kembali berguling diatas atap. Jantungku berdebar kencang, sementara Robbie menarik napasnya sambil sesekali tersengal. Jauh di pintu masuk, suara raungan lapar dan pintu yang dihantam berkali-kali terus terdengar.

    “Robbie, maafkan ak-”

    Sebuah pukulan mendarat di pipiku dengan keras. Robbie menamparku kuat-kuat, membuatku amat tersentak.

    “Kau pikir aku akan senang dengan kepergianmu, hah? ********! Goblok! Apa yang ada di otakmu? Aku tak mau kehilanganmu! Aku masih ingin bersamamu!”

    Ia mengumpat dengan berbagai macam makian yang membuat telinga maupun hatiku menjerit, dan yang paling menyakitkan adalah kata-katanya yang terakhir. Mendengarnya, aku tak tahan untuk kembali menangis.

    “Kau pikir…”

    “Sudah, hentikan!” Jeritku, dan segera aku memeluknya kuat-kuat. “Aku mencintaimu, Robbie. Aku melakukan hal yang selama ini selalu kau lakukan padaku!”

    Perlahan, tangan Robbie mulai mengitari punggungku dan membelai rambutku.

    ***​

    “Satu jam lagi, Mary.”

    “Mmm.” Aku berbisik sambil terus meletakkan kepalaku di pundak Robbie. Tanganku tetap menggenggam lengan Robbie yang terasa amat hangat. Para kanibal yang masih menggedor-gedor pintu itu tak lagi kami pedulikan. Aku yakin pintu itu takkan terbuka.

    “Robbie,”

    “Ya?”

    Kucengkram lengan Robbie makin kuat. “Tiga tahun terakhir bersamamu benar-benar sangat menyenangkan.”

    Robbie tersenyum, dan tak lama kemudian ia mengecup keningku. Aku merasa amat nyaman saat bibir Robbie menyentuh kulit keningku, meskipun kini seluruh tubuhku terasa dingin dan mengigil.

    “Maafkan aku jika semuanya harus berakhir seperti ini.”

    “Semuanya belum berakhir, Mary,” katanya lagi. “Jangan bicara seolah kau akan meninggalkanku hari ini,”

    “Aku harusnya sudah meninggalkanmu. Sudah sejak lama…”

    Kuceritakan padanya saat-saat dimana kami bertemu pertama kali melalui sebuah pertemuan yang unik, sama seperti yang biasa kutemui di film drama. Saat-saat dimana situasi masih amat normal, tanpa mayat hidup, tanpa kepanikan disana-sini, bagi kebanyakan orang mungkin itu merupakan saat-saat yang sempurna untuk memulai kehidupan. Bagiku, untuk mengakhiri.

    Sudah sejak kecil aku mengidap hemophilia. Aku terpaksa berhenti sekolah saat aku masih di sekolah dasar karena aku tak kuat lagi bergerak. Ayah sudah meninggal, dan ibu hanya sesekali datang menjengukku. Dalam kondisi itu, kurasa hidup dan mati takkan terlalu berbeda. Aku tak pernah takut akan kematian kala itu – sesekali aku malah mengharapkannya.

    Hingga seorang lelaki seusiaku datang ke rumah sakit itu, hanya gara-gara salah makan, lucu sekali.

    Kami bertemu melalui perkenalan yang singkat, hanya karena ranjang kami bersebelahan. Ia menceritakan berbagai macam hal yang ia alami di luar sana, dan itu amat membuatku penasaran akan dunia luar. Darinya, aku mengenal apa itu senyum, apa itu tertawa, dan apa itu bahagia. Tiga hari kemudian, saat ia pulang ke rumah, aku juga menyadari apa arti kehilangan. “Jika kita memejamkan mata kita, kita bisa selalu bertemu,” Itulah kata-kata perpisahan yang ia ucapkan padaku.

    “Aku tak pernah menyangka kau akan datang kembali seminggu kemudian. Saat semua orang tampaknya sudah menyerah dengan keadaanku, hanya kau yang selalu datang menemaniku. Kau tahu, aku amat bahagia…”

    Sejak saat itu aku menjadi amat takut akan kematian, dan aku amat menginginkan hidup. Harapan mulai muncul untukku, dan harapan itu semakin menguat setiap kali Robbie datang menjengukku. Aku ingin hidup. Aku ingin terus ada disamping Robbie. Meskipun dokter yang menanganiku mengatakan bahwa umurku takkan lebih dari satu tahun, aku amat ingin menikmati masa-masa itu bersama Robbie. Dan sejak saat itu juga, aku mulai mengenal Tuhan, karena sejak itulah aku berdoa – doa yang benar-benar datang dari lubuk hatiku – untuk pertama kali dalam hidupku.

    “Hei Robbie,”

    “Hm?”

    “Aku rindu kue ulang tahunku. Rasanya sungguh manis,” kataku sambil mengenang blackforest yang dihiasi lilin dengan angka sembilan belas, yang ia beli untukku dengan hasil gaji pertamanya. Meskipun aku dilarang mengonsumsi makanan yang terlalu manis, namun kue itu tetap kumakan dengan lahap. Lagipula itu merupakan kue perayaan ulang tahun pertamaku – setidaknya itulah yang kuingat. Prediksi dokter yang menyatakan bahwa aku akan meninggal kurang dari setahun terbukti salah. Tuhan mengabulkan doaku, dan aku amat bersyukur. Betul-betul aku bersyukur.

    “Andai kau ingat betapa belepotannya mulutmu waktu itu,”

    “Kau yang sembarangan menyumpal mulutku,”

    “Agar kau cantik,” candanya, membuatku membenamkan kepalaku kian dalam ke pundaknya. Sejenak, semuanya tampak berputar dihadapanku. Tenggorokanku gatal. Jalan napasku tiba-tiba saja amat terganggu, membuatku batuk beberapa kali. Robbie menatapku sambil menyiagakan senjatanya, tapi aku masih bisa tersenyum.

    “Aku masih manusia, Robbie,” kata-kataku membuat Robbie tersenyum dan memelukku erat.

    “Aku tahu.”

    “Apa wajahku tampak seperti mayat hidup?”

    Kurasakan Robbie menggeleng. “Hanya pucat sedikit.”

    “Pucat…ya?”

    Robbie membenamkan kepalaku makin erat. “Tetaplah bersamaku,”

    Aku mengangguk.

    Kembali kuceritakan padanya berbagai macam hal, terutama saat-saat dimana setahun lalu ia mengajakku berjalan-jalan di taman di depan rumah sakit. Untuk pertama kalinya ia mengatakan padaku bahwa ia ingin terus ada disampingku. Ia mencintaiku, dan ingin agar aku mencintainya juga. Dan meskipun aku belum pernah tahu bagaimana rasanya dicintai lelaki, aku amat senang. Aku juga masih bisa merasakan hangat bibirnya saat ia mengecup bibirku untuk pertama kali di taman itu. Rasanya, saat itu aku ingin waktu berhenti.

    “Hei, Mary,” katanya kemudian sambil mendorongku, dan menatap wajahku dalam-dalam.

    “Ya?”

    “Apa aku menyakiti perasaanmu? Apa kau sudah memaafkanku?”

    Aku menunduk sesaat, untuk kemudian kembali membenamkan wajahku di dadanya.

    Enam bulan berselang semenjak Robbie menyatakan cintanya padaku, dan tiba-tiba saja ia berhenti menjengukku. Tak ada kabar, tak ada pesan, tak ada jejak darinya sama sekali. Meski begitu aku tetap menunggunya, karena aku yakin Robbie akan datang. Dan tepat sebulan lalu, ia kembali menjengukku. Hanya saja, ia datang bersama seorang gadis yang mengaku sebagai tunangannya.

    Apalagi yang bisa kulakukan selain menangis?

    Robbie mengatakan bahwa ia terpaksa melakukannya karena desakkan orang tuanya yang menginginkan ia menikah dengan wanita normal. Ia juga bilang bahwa ia akan terus mencintaiku meskipun tak bisa bersamaku. Ia tetap berjanji akan membiayai pengobatanku, karena menurutnya, kesembuhankulah yang terpenting. Robbie terus mendoktrinku bahwa aku harus sembuh, melanjutkan hidupku, dan menemukan hal-hal yang kelak membuatku bahagia. Kembali ia berjanji akan terus mencintaiku. Saat itu aku sama sekali tak ingin mendengarnya. Itu semua menyakitkan.

    Sore itu, Robbie mengucapkan selamat tinggal. Saat ia melangkah keluar kamar, aku kembali kepada kenyataan bahwa Robbie bukanlah untukku. Aku tak bisa memilikinya, karena aku hanyalah orang yang tak sempurna dimatanya. Aku merasa amat bodoh saat ia mengelus-elus rambutku sebelum melangkah pergi.

    Dalam kondisi itu seorang suster berteriak-teriak panik, mendorong seorang pasien diatas ranjang beroda yang awalnya kukira merupakan korban tabrak lari. Malam harinya, aku tak mau makan, tak juga aku mau untuk tidur. Kondisiku memburuk. Aku hanya ingin menyakiti diriku sendiri. Tak lagi kupedulikan obat-obatan yang masih tergeletak di meja makan.

    Beberapa saat kemudian seorang suster tiba-tiba muncul di depan pintu. Untuk menghindari tegurannya, aku segera pura-pura tidur. Namun demikian, tak kudengar suara langkah kaki khas sang suster, melainkan hanya suara kaki yang diseret diatas lantai. Dan beberapa saat kemudian, teriakan rasa takut.

    Aku segera berbalik, dan tampak dimataku sang suster yang menjulurkan tangannya padaku disertai raungan dan wajah penuh darah. Aku bergidik, ketakutan. Beberapa orang sepertinya – yang kemudian dinamai sebagai mayat hidup – segera melahap para pasien yang tersisa di ranjang di sekitarku.

    Robbie muncul tak lama kemudian dengan menggenggam sebuah pistol. Beberapa suara tembakan terdengar dengan jelas.

    ***​

    Matahari sudah terbit.

    Aku mengerjipkan mataku. Rasanya sedikit silau saat sinar matahari yang hangat bergerak masuk menembus retina. Terdengar suara beberapa helikopter yang meraung-raung di angkasa, membawa pasukan-pasukan SAR militer yang bersenjatakan lengkap. Kutatap deretan helicopter tersebut, banyak sekali.

    “Robbie, sudah tiba saatnya.” Bisikku sambil berdiri. “Matahari masih akan terbit besok. Ini mungkin yang terakhir bagiku, namun kau harus tetap hidup.”

    Robbie tak menjawab dan hanya memelukku erat, dan aku masih bersyukur aku masih bisa menyadari hal itu, meski tubuhku kini sudah tak bisa merasakan sentuhan tubuhnya.

    Sesaat setelah melepaskanku, Robbie merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari saku tersebut. Dibukanya kotak itu perlahan. Didalamnya terdapat dua buah cincin emas yang tampak mengkilat.

    “Mary,”

    Kurasakan napasku terhenyak. Aku betul-betul terkejut.

    “Aku ingin kau menikah denganku.”

    “Robbie…”

    Tanpa menunggu apapun, Robbie segera memakaikan cincin itu ke jari manisku. Ia lalu mengecup keningku dalam-dalam, dan kembali memelukku.

    “Aku mencintaimu, Mary,”

    Aku tersenyum bahagia, mengangguk.

    “Aku tahu kau selalu mencintaiku.”

    Sebuah helikopter mendarat tak lama kemudian, membuat kami saling melepaskan diri. Beberapa tentara turun dan mengamankan area. Sang komandan segera turun dari helikopter dan menghampiri kami berdua. Melihat tanganku yang sudah tergigit, ia menggeleng.

    “Tak bisa membawanya,” ia mengacungkan telunjuknya padaku. “Sudah berapa lama ia tergigit?”

    Robbie mengatakan sesuatu pada sang komandan, tapi aku tak bisa mendengar kata-katanya dengan jelas. Semua di sekelilingku terasa berputar kembali, dan telingaku juga terasa berdengung. Tiba-tiba saja aku dapat merasakan suara detak jantungku sendiri yang makin melemah. Tubuhku kini terasa amat dingin, jauh lebih dingin dari yang kurasakan sejam yang lalu.

    “Ro…bbie…”

    Robbie menoleh, dan dengan panik ia mengguncang-guncang tubuhku. Samar-samar, kembali kudengar sebuah suara.

    “-ry!”

    “Robbie,” suaraku amat parau. Kurasa aku tak bisa bertahan lebih lama.

    Tampak mata Robbie yang berbinar, menatap sang komandan, dan menunduk dalam-dalam sambil menangis. Sang komandan masih menatapnya dengan kedua tangan menggantung di pinggangnya.

    “Akan kulakukan.” Robbie kembali berkata. “Aku sendiri yang akan melakukannya.”

    Sang komandan mengangguk perlahan, menghela napas, dan menepuk pundak Robbie. “Aku turut menyesal, nak.”

    Masih terisak, Robbie mengangguk perlahan. Ia menyeka air matanya sebelum kembali menatapku dan tersenyum. Perlahan ia membisikkan sesuatu di telingaku.

    “Sampai bertemu lagi, Mary.”

    “Ya.” Kataku. Kembali sebuah senyum mengembang di wajahku.

    “Aku mencintaimu.”

    “Aku juga mencintaimu, Robbie,”

    Lalu Robbie mengecup keningku untuk terakhir kali. Sesaat, kami saling membalas senyuman sebelum kemudian Robbie mengacungkan pistol yang digenggamnya tepat di depan kepalaku.

    “Aku akan merindukanmu,”

    Aku tersenyum.

    “Jika kita menutup mata kita, kita akan selalu bertemu.”

    Hal yang terakhir kulihat darinya adalah senyumnya, sebelum kemudian aku menutup mata, penuh kedamaian. Wajah Robbie tampak amat jelas meski kini mataku tertutup. Wajah Robbie yang selalu kusayangi, dan yang selalu menyayangiku.

    Itulah hal terakhir yang kuingat, sebelum kemudian sebuah logam kecil memukul keningku dengan kekuatan maha dahsyat.

    ***​

    Robbie…

    Ingatkah kau tentang hari itu? Rumah sakit, taman bunga, dan salam perpisahanmu?

    Meskipun kini kita terpisah jauh, aku akan setia menunggumu disini, di alam penuh kedamaian ini.

    Karena kau kekasihku, Robbie.

    Karena aku mencintaimu…

    original link
     
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Niatnya prequel dari we can always meet, tapi males lanjutin :swt:

    The Virus
    Genre : Thriller

    “Namanya Tyler Garcia, professor dari Harvard University. Aku bekerja dengannya sudah hampir lima tahun. Beliau benar-benar seorang jenius.”

    John terus bercerita mengenai koleganya di tempat dimana ia bekerja kini – suatu tempat di pedalaman Afrika. Meski aku bosan mendengarnya, aku harus menahan diri demi sebuah headline di The Daily Scientific News. Sudah jenuh aku mendapatkan namaku terpampang di halaman tengah buletin lokal murahan, dengan bos murahan, dan gaji yang murah pula. Berita-berita tentang pemanasan global, ancaman badai, dan profil benda-benda luar angkasa mungkin sudah terlalu umum bagi kebanyakan orang, dan itulah yang selama ini kubuat : artikel murahan. Kini aku ingin reputasiku naik, dan dengan menelusuri temuan Professor Garcia, aku yakin bisa mendapatkannya. Setidaknya, aku lima puluh persen yakin, karena kenyataannya editorku sangat pilih-pilih. Jika ia sudah suka dengan seseorang, sebut saja Michael, ia akan lebih memperhatikan artikel buatannya ketimbang buatanku. Sableng. Editor murahan.

    “Konferensi pers akan dimulai empat jam lagi. Anda bisa ikut kami melihat-lihat fasilitas terbaru kami kalau anda mau, tuan Owl.”

    “Oh, ayolah John, jangan terlalu formal denganku,” kataku. “Kau kan rival sekolahku dulu, panggil saja aku Joseph.”

    John tersenyum kecil. “Bukan rival, tetapi sahabat baik.” Jawabnya. “Aku masih dalam jam kerja. Sudah kewajibanku menjaga situasi tetap formal.”

    “Ahaha, kau ini sama saja seperti dulu.”

    John tersenyum. “Jadi, bagaimana tuan Owl? Ini bisa jadi berita bagus untukmu.”

    “Mungkin besok, John.” Sanggahku. “Aku butuh istirahat dan konsentrasi untuk konferensi pers nanti.”

    John tampak sedikit kecewa dengan jawabanku, tapi ia hanya bisa mengangguk. Tiba didepan gerbang masuk bertuliskan “The Hoover Corp.”, kami berpisah.
    “Kabari saja staff kami jika anda butuh sesuatu, tuan Owl.” Katanya. Aku mengangguk.

    “Dan jika anda butuh jemputan, anda tahu nomor telepon saya, kan?” Candanya. Meskipun begitu John tetap menyodorkan sebuah kartu bertuliskan namanya. John Steel, staff researcher. “Semoga hari anda menyenangkan.” Katanya lagi.

    “Terima kasih, tuan professor doctor Steel.” Kataku tersenyum, menggoda. John membalas senyumanku sambil menepuk punggungku pelan dengan telapak tangannya.

    John masih sama seperti dulu. Lembut, santun, berwibawa. Terjun ke dunia penelitian malah makin membuatnya beradab, tidak sepertiku.

    Ia mulai berjalan berbalik arah. Beberapa orang yang memakai jas laboratorium segera menghampirinya sambil membawa catatan-catatan yang tersusun diatas papan clipboard.

    Jujur saja, aku amat terkesan dengan pelayanan yang diberikan perusahaan farmasi ini. Bukan hanya menghasilkan obat-obat berkualitas, pelayanan mereka terhadap para tamu juga sangat sempurna. Jamuan makan siang dan fasilitas antar jemput, bagi para wartawan sepertiku ini adalah surga. Di Inggris, kadang aku malah harus menambal ongkos naik bis untuk membuat liputan.

    The Hoover Corp mendapat reputasi yang baik akhir-akhir ini. Setelah berhasil menemukan obat untuk mengobati berbagai jenis kanker, kini rumor yang berkembang menyatakan bahwa perusahaan itu telah menemukan obat untuk melawan Ebola, penyakit yang masih menjadi momok menakutkan di Afrika. Pengumuman resmi akan berlangsung empat jam lagi, dan aku bangga bisa berada disini meski hanya sebagai reporter kacangan.

    Hotel Macata, hotel tempatku menginap, jaraknya hanya sekitar satu mil dari fasilitas farmasi berlantai tiga ini – yang entah kebetulan atau apa, tampak amat kontras dengan kondisi hutan lebat dan pemukiman padat juga kumuh disekelilingnya. Dengan sisa waktu empat jam, kuputuskan untuk berjalan kaki menuju kesana. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berjalan kaki ditengah rimbunnya pepohonan di Afrika. Unik. Tanah tempatku berjalan belum diaspal, dan bukannya risih, aku malah menyukainya.

    Beberapa warga lokal tampak disekitarku. Beberapa tersenyum dan menyapaku ramah dengan Bahasa Inggris yang seadanya, seperti “Hello Mister,” atau “Good Day,” atau malah “Bonjour,” namun kebanyakan hanya lewat dan acuh. Tak lama aku berjalan, sebuah pemandangan menarik perhatianku – seorang kakek-kakek yang menjulurkan kedua tangannya ke langit dan berteriak-teriak. Dibelakangnya seorang wanita kribo paruh baya tampak menggoncang-goncangkan tubuh sang kakek, dan berteriak-teriak. Penasaran, aku segera menghampiri keduanya.

    Sang kakek berbicara dengan bahasa lokal yang sama sekali tak kumengerti artinya. Aku segera menyahut, “Hei, kakek, apa yang anda lakukan?”
    Namun sang kakek tak menjawab. Ia terus menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berteriak-teriak. Kulitnya yang hitam legam tampak mengkilat.

    “Halo? Kakek?”

    “Dia tidak berbicara bahasa Inggris,” Sang wanita yang menemaninya kemudian menyahut dalam bahasa Inggris yang amat kumengerti. “Maafkan aku, apa pamanku mengganggumu?”

    “Tidak juga,” kataku. “Apa yang terjadi? Mengapa ia menari seperti ini?”

    “Ia tidak menari. Ia berdoa.”

    “Berdoa?”

    “Kambing-kambing kami, semuanya mati tadi pagi. Pamanku bilang bahwa iblis sedang berjaya dan mengutus pasukan Babutu.”

    “Babutu?”

    Sang wanita mengernyitkan dahinya. “Sepasukan simpanse yang menyerang siapapun dengan buas, termasuk manusia, untuk dijadikan makanannya.”

    Aku tertawa geli, entah karena mendengar nama makhluk itu yang lucu atau karena diluar dugaanku, ternyata orang-orang Afrika ini masih tertinggal jauh dari peradaban. Disaat orang-orang sudah mulai berbicara melalui hologram, orang-orang ini masih percaya dengan makhluk mitologi. Mereka benar-benar polos.

    “Apanya yang lucu?” sang wanita menyahut. Aku segera berhenti tertawa.

    “Nyonya, di dunia ini tidak ada naga, tidak ada Pegasus, tidak ada phoenix. Lalu apa yang membuat anda percaya makhluk itu ada?”

    “Apa maksud anda?”

    Aku berhenti tertawa dan berdehem. “Nyonya, belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan keberadaan makhluk-makhluk legenda seperti itu, bukan?”

    Pertanyaanku dijawab dengan tatapan sinis sang wanita. “Tuan Inggris,” katanya kemudian. “Anda baru tahu sedikit tentang Afrika.”

    Aku terhenyak, tertegun. Merasa telah menyinggung perasaan sang wanita, aku segera meminta maaf, yang dibalas sang wanita dengan mencibir setengah menggerutu. Sementara itu sang kakek terus berteriak-teriak ke langit tiada henti. Benar-benar tak waras.

    Sebagai permintaan maaf, aku menyodorkan kartu namaku. Karena masih diacuhkan, kukeluarkan dari dompetku dua lembar uang satu Euro. Sang wanita masih cemberut meski kemudian ia menyambar uang tersebut.

    Begitulah cara kami, orang Inggris, bernegosiasi.

    ***

    Jepretan kamera terus tampak di aula yang cukup lega ini saat Professor Garcia berjalan menuju podium. Diluar dugaanku, ternyata ia tak begitu tua. Dari wajahnya kutaksir usianya baru pertengahan 30-an. Sejenak ia meminum air dari gelas kecilnya sebelum memberikan keterangan bahwa ia dan timnya telah menemukan obat untuk penyakit Ebola.

    “Konsep dasar dari obat ini adalah semacam virus pada fosil manusia purba yang baru kami temukan di sebuah gua di Sierra Leone. Kami sempat menguji coba virus tersebut pada simpanse percobaan, dan hasilnya sangat memuaskan. Para simpanse yang tidak diberi virus kondisinya makin melemah dan mati karena Ebola, sedangkan mereka yang kami suntikkan virus tampak tetap sehat.” Ia berdehem sejenak, dan tepuk tangan riuh terdengar.

    Salah seorang wartawan, seorang gadis muda, mengacungkan tangan dan berdiri. “Professor, bagaimana cara kerjanya sehingga virus itu bisa menyembuhkan penyakit Ebola?”

    “Ah, pertanyaan yang bagus,” Professor tersenyum. “Virus yang kami namai Type-36 ini bekerja dengan memakan virus yang menyerang tubuh, sehingga yang tersisa hanyalah virus kanibal yang menurut perkiraan kami, akan dengan mudah ditumpas oleh sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tak ada lagi penyakit yang tersisa. Benar-benar bersih.”

    “Menurut perkiraan? Anda tampaknya tak yakin?”

    “Sebetulnya untuk tahun ini, obat ini masih dalam tahap penelitian. Kami masih akan terus menyempurnakannya. Rumor yang berkembang sudah menyebar terlalu dini, dan itu amat mengganggu. Karena itulah aku menyelenggarakan konferensi pers ini untuk memberikan keterangan resmi.”

    “Professor, mari kita kesampingkan masalah rumor dan fokus pada obat yang anda temukan.” Seorang lelaki berkacamata disampingku berteriak lantang. Meski sangat tidak sopan mendoktrin professor seperti itu, professor tak bergeming dan hanya diam. “Mengenai obat itu sendiri, adakah efek sampingnya?”

    “Sejauh ini hanya lelah. Para simpanse yang kami beri virus ini tampak kelelahan untuk beberapa saat, dan keesokan harinya mereka kembali aktif dan lincah, bahkan lebih lincah dari sebelum diberi Type-36.”

    Was, wes, wos, terdengar beberapa decak kagum dari para audiens.

    “Professor, terkait rumor yang beredar di masyarakat bahwa ada beberapa simpanse yang menyerang ternak-ternak mereka, apakah menurut anda hal ini ada kaitannya dengan simpanse percobaan yang dikabarkan lepas dua hari yang lalu?” Seseorang bermata sipit dengan aksen Inggris yang terbata-bata juga ikut bertanya, dan pertanyaannya membuatku cukup terkejut. Rumor serangan simpanse yang baru kudengar tadi siang ternyata sudah beredar bahkan sampai ke kalangan wartawan. Terlebih, aku baru tahu jika ada simpanse percobaan yang lepas.

    “Tidak, tidak, tak ada hubungannya sama sekali,” jawab sang Professor. “Kami memang kecolongan mengenai simpanse percobaan tersebut, tapi semua orang melakukan kesalahan, bukan? Kami akan pastikan bahwa simpanse-simpanse yang lepas itu akan kami dapatkan secepatnya. Lagipula, serangan Babutu…” Professor jenius ini juga tahu tentang Babutu, “itu hanyalah rumor yang tidak didasari fakta ilmiah.”

    Beberapa pertanyaan kembali bermunculan, namun aku tak begitu tertarik untuk menyimaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang kususun hampir semuanya sudah diajukan para wartawan lain, dan aku hanya tinggal menulis keterangannya saja.

    Sesi konferensi pers sore itu diakhiri secara mendadak saat John tiba-tiba muncul dengan wajah tegang, dan masih dengan wajah tegang pula ia membisikkan sesuatu pada sang professor. Begitu mendengarnya, sang professor buru-buru meninggalkan aula dengan panik. Beberapa wartawan memasang wajah penasaran, gelisah, dan beberapa jelas-jelas bertanya apa yang terjadi.

    Tidak denganku. Aku baru akan melakukan hal yang sama saat tiba-tiba kudengar suara John yang memanggilku dari kejauhan. Anehnya, kini ia memanggilku dengan nama depanku.

    “Ya ampun John, kau sedang dalam jam kerja.” Kataku saat John tiba dihadapanku.

    “Maafkan aku, Joseph,” katanya panik. “Joseph, ini darurat…”

    “Bicaralah yang tenang, John.” Kataku menggerutu. Dari kejauhan tampak dua orang yang memakai pakaian formal dan jas hitam menahan laju Professor Garcia dengan paksa. Ketiganya terlibat pembicaraan yang tak terlalu mengenakkan. Aku berusaha melihat lebih jelas, namun lalu-lalang orang-orang amat mengganggu.

    “Siapa mereka, John?”

    “FBI.”

    “FBI?” tanyaku keheranan. “Apa yang dilakukan FBI disini?”

    “Konspirasi tingkat tinggi.” Ia menoleh dengan panik pada agen-agen FBI yang kini menyeret Professor Garcia. Beberapa wartawan penasaran dengan apa yang terjadi, dan segera saja lampu blitz kamera beterbangan. Petugas keamanan segera menghalangi para wartawan dan mengusir mereka, meskipun para wartawan itu tetap saja ngotot. Suasana menjadi gaduh.

    “Dengarkan aku, Joe. Amerika, mereka memaksa kami menghentikan produksi karena…”

    John berhenti sejenak, membuatku bertanya, “Karena apa, John?”

    “Mereka menganggap organisasi kami teroris, John. Mereka mengetahui insiden lepasnya para simpanse ini, dan dengan alasan tersebut mereka berusaha menutup perusahaan kami. Aku yakin sebenarnya mereka hanya ingin menguasai asset kami.”

    Aku semakin kebingungan dengan perkataan John. Apa hubungannya perusahaan farmasi ini dengan tindakan terorisme?

    “Virus yang ditemukan professor, sebenarnya virus itu sangat berbahaya. Virus itu bisa mengubah perilaku inangnya menjadi ganas, menjadi kanibal! Dengan dalih itu, mereka menuduh kami membuat senjata biologis. Meski kami berusaha menutupi kenyataan itu sedemikian rapat, tapi dengan lepasnya para simpanse percobaan kami, situasi menjadi buruk. Akh, sial!” John mengutuk. “Kenapa semuanya bisa jadi begini?”

    Aku geleng-geleng kepala. “Aku tak mengerti, John.”

    “Joe, jika virus ini jatuh ke tangan Amerika, apa yang akan terjadi dengan dunia ini? Kau tahu apa yang mereka lakukan dengan virus flu burung atau SARS, bukan? Kau sebar virusnya, dan kau ciptakan obatnya. Untung besar! Si kaya bertahan hidup, si miskin digiring ke surga. Begitulah Amerika!”

    “John, itu belum terbukti benar. Lagipula, kenapa kau beritahu itu padaku? Aku wartawan. Apa kau tak takut aku akan angkat bicara?”

    “Lalu pada siapa aku harus bicara? FBI? Hanya kau yang bisa kupercaya, Joe, itulah sebabnya aku mengundangmu kemari.”

    Aku menghela napas panjang sambil garuk-garuk kepala. “Baiklah. Kau mau aku melakukan apa?”

    John merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak besi kecil. “FBI akan memeriksa seluruh staff di perusahaan ini, dan jika itu terjadi, maka virus ini juga akan jatuh ke tangan mereka. Aku tak mau itu terjadi. Sekarang, aku minta tolong padamu Joe. Kau bawalah sampel vir…” John memotong sejenak, dan kembali meneruskan kata-katanya di waktu hampir bersamaan. “…sampel obat ini. Hanya ini yang bisa kuselamatkan. Kami tahu ini akan terjadi, dan kami sudah menyiapkan scenario terburuk.”

    “Kalian gila!” Kataku. “Kau mengirimku kesini untuk menjadi kurir? Apa sebenarnya yang-“

    “Pilihan apalagi yang kami punya?” potong John. “Orang-orang bergantung pada kami untuk bisa terus hidup.”

    Aku menghela napas panjang, tak menyangka keadaan akan menjadi seburuk ini. “Apa skenario yang kalian siapkan?”

    John menatap ke langit-langit, sedikit sedih, namun ia kembali menatapku.

    “Kami akan menghancurkan fasilitas ini Joe. Kami juga sudah siap memusnahkan semua sampel yang ada. Agen-agen rakus Amerika itu takkan mencurigaimu karena kau hanyalah wartawan. Professor Garcia mungkin akan ditahan untuk sementara, tapi tidak dengan para staffnya.”

    Aku menghela napas panjang, sebal, tak suka. “Baiklah, lalu?” kataku ogah-ogahan.

    “Besok subuh, temui aku di danau Tumbi, sebelah selatan hotel tempatmu menginap. Professor telah bilang padaku untuk meneruskan penelitian dan mengambil alih tugasnya secara rahasia. Aku harus meneliti virus ini lebih lanjut, Joe.”

    Kembali aku menghela napas. “John, dengarkan aku, kawan. Jika virus ini memang berbahaya, mengapa tidak dimusnahkan saja?”

    “Dan menghancurkan harapan banyak orang akan obat yang bisa mengembalikan kehidupan mereka? ah, tidak Joe.” Ia kembali menggeleng. Dari raut wajahnya aku sadar ia amat jengkel dengan pertanyaan-pertanyaanku, meskipun ia tahu aku hanya ingin memastikan semuanya aman.

    “Joe, kau tahu kan? Seumur hidupku aku ingin mendedikasikan hidupku untuk kemanusiaan. Demi kehidupan dan kesehatan orang-orang.”

    “John, kau bukan Tuhan. Hidup dan mati manusia hanya Tuhan yang menentukan.”

    “Ini bukan saatnya berdebat, Joe! Kau mau melakukannya atau tidak? Itu saja!” John berkata kesal, sedikit berteriak. Aku sebetulnya tidak ingin melakukannya, tapi melihat kekacauan yang semakin menjadi, ditambah beberapa agen FBI yang juga muncul dari pintu masuk, aku mengulurkan tanganku.

    “Berikan padaku!”

    John menepuk kotak besi itu ke tanganku. “Terima kasih, Joe. Ingat, besok subuh, danau Tumbi, selatan hotel Macata.”

    “Ya, ya, aku mengerti.”

    Kini jelaslah sudah bagiku bahwa perusahaan ini tak sekuat apa yang terlihat dari luar. Kesampingka masalah konspirasi, perusahaan ini bahkan tak mampu mengendalikan keamanan kelinci percobaannya. Akibatnya malah lebih hebat lagi. Konspirasi tingkat dunia, dan kau tahu apa? Aku terlibat didalamnya. Betapa kini aku telah menjadi orang VIP.

    John kembali mengatakan sesuatu yang membuatku makin hilang simpati. “Aku sudah mengontak pasukan milisi FFA untuk mengendalikan situasi dan mengamankan para simpanse yang lepas.” Katanya, merujuk pada milisi Freedom For the African, yang biasa kukenal dengan sebutan FFA. Sudah setahun lebih, FFA menjadi headline di kolom berita internasional.

    “Apa yang kau lakukan dengan teroris?”

    “Percayalah padaku, Joe. FFA bukan teroris. Aku tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi disini dibandingkan kau!”

    Dan John segera melangkah menjauh. Beberapa anggota FBI menghentikannya. Dengan pikiran kalut, aku segera keluar dari aula itu. Rekan-rekanku sesama wartawan tak ada yang mengikutiku. Mereka masih asyik meliput berita, yang kupikir juga akan menjadi headline yang bagus – bahkan lebih bagus daripada rencana awal tulisanku.

    Tapi itu pulalah yang menyelamatkanku. Karena kemudian, di perjalanan kembali ke hotel, beberapa orang bersenjata menyerbu fasilitas tersebut. Aku hanya berdiri terpaku saat kemudian kudengar rentetan letupan senjata dari gedung itu. Beberapa wartawan keluar bersimbah darah, tapi aku yakin kebanyakan dari mereka tewas.

    Itu membuatku ngeri! Aku tak mau melihatnya lagi! Segera aku berlari menjauh.

    ***

    Rentetan suara senapan kembali terdengar dari kejauhan, dan tampak dari jendela hotelku beberapa nyala api di berbagai tempat, termasuk fasilitas The Hoover Corp. yang kini terbakar habis. Selepas aku pergi, milisi FFA menyerbu tempat itu, membuat kontak senjata dengan agen-agen FBI, dan membakar fasilitas tersebut. Logikaku menyatakan bahwa dengan terbakarnya fasilitas itu, tak ada bukti yang bisa diklaim oleh pemerintah Amerika, dan karenanya Amerika tak bisa mengambil keuntungan dari virus tersebut. Nun jauh di Amerika sana, CIA akan menganggap insiden tersebut sebagai serangan teroris.

    Kini aku mengerti kata-kata John. FFA bukanlah orang-orang jahat. Itu pulalah yang muncul di pikiranku saat aku keluar dari hotel. Kudapati seseorang yang menenteng senjata laras panjang menegurku. Dari model senapannya, aku tahu itu senapan Rusia. Awalnya aku terkejut, namun diliuar dugaanku, ternyata pria berkulit hitam itu sangat ramah. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama David Mbaba, tapi aku bisa memanggilnya Dave.

    “Jadi Dave, bagaimana situasi diluar sana? Kabarnya kalian melakukan kontak senjata dengan FBI?”

    “Ya, cukup menyenangkan.” Aku tak mengerti bagaimana sebuah kontak senjata bisa menyenangkan baginya. Ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemejanya, menyulutnya sebatang. “Anda mau?” tawarnya, tapi aku menjawab bahwa aku tidak merokok.

    “Dave, aku ada ide bagus,” ujarku sambil terus berjalan. Kini kami mulai menembus hutan yang cukup lebat, sehingga suara langkah kaki kami kini berbaur dengan nyanyian serangga dan kera-kera liar. “Bagaimana kalau kau yang antarkan kotak besi ini pada John, sementara aku mencari taksi ke bandara dan pulang ke Inggris?”

    “Ide yang bagus,” jawabnya. “Sayangnya aku ditugaskan untuk menjaga keselamatan anda,” Dave mengokang senjatanya, dan entah mengapa ia segera berbalik. Terdengar suara letupan senjata tak lama kemudian. Aku menutup telinga, berteriak, dan menunduk. Dan saat aku berbalik tampak dimataku tiga ekor simpanse yang tertembus peluru tepat di kepalanya.

    “Gila!” Spontan aku berteriak. “Apa itu?”

    “Babutu, tuan Owl. Itu semua simpanse hasil eksperimen.”

    “Ya Tuhan. Berapa banyak simpanse yang lepas?”

    “Tuan Steel bilang sepuluh, dan akan terus bertambah.”

    “Apa maksudnya bertambah?”

    “Sesuatu tentang infeksi, gigitan, saliva, atau semacamnya. Aku tak begitu peduli sih. Lagipula aku dibayar sebagai milisi, bukan peneliti.”
    Aku bergidik. “Setelah kupikir-pikir lagi kurasa aku tidak jadi mencari taksi. Itu ide buruk.”

    “Tentu,” jawab Dave, dan ia mengajakku basa-basi. “Bayangkan, Tuan Owl, andai saja virus ini jatuh ke tangan orang-orang Amerika, apa yang akan terjadi? Beruntung Tuan Steel bertindak cepat. ”

    Kami tiba di tepian danau Tumbi tak lama kemudian. John belum ada, dan suasana tampak sangat sepi. Dave bersiul perlahan, beberapa kali. Beberapa saat setelahnya sosok-sosok bersenjata mulai bermunculan, entah darimana. Aku sedikit bergidik, ngeri. Tapi menurut John mereka bukanlah orang-orang jahat.

    “Joe,” seseorang menyapaku, dan bukan orang yang asing. “Syukurlah kau selamat.”

    “John, itu kau?” sosok John tampak samar-samar terlihat. Hanya ketika ia berjarak dua meter dariku barulah aku tahu ia betul-betul John.

    “John, kau tak apa-apa? Apa yang terjadi dengan yang lainnya?”

    “Mati,” ujar John muram. “Professor mati saat berusaha kabur, ditembak FBI. Staff lainnya tak bisa keluar hidup-hidup dari bara api. Hanya aku dan orang-orang ini yang selamat.” John menunjukkan padaku beberapa staff lain. Aku tampak kecewa untuk sesaat.

    “Kau sampai melakukan ini semua, John?”

    “Aku melakukan hal yang benar untuk kemanusiaan.”

    Aku diam sejenak, dan masing-masing dari kami terlibat lamunan dalam. John kembali berkata tak lama kemudian. “Joe, sebentar lagi FBI akan tiba disini. Apa kau bawa barangnya?”

    “Ya, John.”

    Aku segera membongkar tasku dan mengambil benda yang dimaksud. Sebuah kotak besi dengan panjang sepuluh sentimeter dan berdiameter sekitar dua sentimeter.

    “Ah, ya, ini. Terima kasih, Joe.”

    Aku mengangguk. “Apa rencanamu selanjutnya?”

    John tersenyum. “Rencanaku, Joe?”

    Aku tertegun bingung. Sebuah letupan senjata terdengar tak lama kemudian, membuat punggungku terasa begitu sakit. Aku jatuh, tersungkur ke tanah. Baru pertama kali kurasakan rasa sakit sedemikian hebat.

    John tersenyum menang melihatku meringis kesakitan.

    “John…”

    “Joe yang malang. Kasihan sekali kau.” Ia tersenyum sinis, menatapku dengan tatapan jahat.

    “Ke…kenapa? Bukankah kita…”

    “Teman?” John kembali berkata, masih tersenyum sinis. “Bukan, Joe. Kita Rival, dan kau tak pernah bisa menang dariku.”

    Sebuah helikopter kemudian tampak mendekat dari kejauhan, dan mendarat. “Tuan, konsumen kita sudah datang!”

    “Kita lakukan transaksi di dalam helikopter! FBI akan datang beberapa saat lagi!”

    Aku tak bisa bergerak. Aku ingin menghentikannya, bedebah itu! Tapi, aku tak bisa bergerak.

    Seseorang tampak keluar dari helikopter. Dari balutan bajunya bisa kubilang ia jenderal tentara, dan kaus dalamnya yang berwarna putih dengan garis-garis biru, akh, dia orang Rusia.

    “Tuan Medvedev, tentunya anda sudah lihat sendiri keganasan virus ini, bukan?” John melindungi kepalanya dari hembusan angin yang diakibatkan putaran baling-baling helikopter tersebut sambil bersorak kepada sang jenderal Rusia. Ia menyalaminya. “Ini baru simpanse, dan jika virus ini diinjeksikan kepada manusia, anda bisa menjadi Tuhan.”

    Sang jenderal menjawab sambil tersenyum, “Barang yang bagus. Manhattan akan hangus dalam seminggu dengan senjata ini.”

    “Ya tentu.”

    “Baiklah, tuan Steel. Kau bawa barangnya?” Orang itu berteriak.

    “Ya, tuan!” John berteriak.

    “Berikan padaku!”

    “Berapa banyak yang mau kau beri padaku?”

    “Lima milyar Dollar AS?”

    “Tawaran yang bagus, tapi aku masih akan menaikkan harganya. Dan bagaimana jika kita lakukan transaksi di dalam helikopter? FBI akan kemari dalam sepuluh menit.”

    Perlahan, aku mendapatkan kekuatanku untuk kembali merayap. Meski mataku tak bisa lagi menangkap bayangan John, atau jenderal Rusia itu, atau milisi FFA, aku tetap tak menyerah untuk bergerak. Beberapa saat kemudian kurasakan sebuah kaki yang menempel di punggungku. Di kepala bagian belakangku, ujung laras senapan terasa begitu dingin.

    “Haruskah kubunuh dia?”

    “Tak perlu!” John berteriak. “Biarkan dia mati dengan perlahan. Jangan sia-siakan peluru kita.”

    Sang Afrika menendang kepalaku dan mencibir, “dasar budak liberalis!”

    Aku mengerang, kecil. Mataku terasa makin tertutup saat kemudian helikopter itu mengapung, terbang menjauh. Dan saat itu aku merasa bahwa itulah akhirnya, akhir dari semua cerita hidupku.

    “Sebelah sini!”

    Samar-samar, dari kejauhan kudengar seorang wanita berteriak sambil mendekat padaku. Wanita itu, wanita yang sebelumnya kutemui dan mengatakan sesuatu tentang Babutu. Ia dan beberapa orang desa menghampiriku dan membalut lukaku. Aku tak ingat apa-apa lagi setelahnya. Tubuhku terasa lemas sekali.

    original link
     
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Tiga cerpen dalam satu kisah :lalala:

    Memories : a Trilogy
    Genre : romance

    Operasi?”

    Aku mengangguk.

    Wajah Tomoe tampak murung saat aku memberitahu padanya apa yang terjadi di rumah sakit. Dokter Takuya bilang bahwa terapi yang kulakukan selama ini tidak pernah benar-benar menyembuhkanku, dan satu-satunya jalan bagiku untuk sembuh adalah operasi.

    Sejujurnya aku tak mau melakukannya. Aku merasa sudah sehat. Secara umum, tak ada yang salah dengan kondisi tubuhku. Aku masih bisa bekerja dan masih bisa melakukan aktivitasku di rumah dengan baik – mengepel lantai, menyapu halaman, semuanya masih bisa kukerjakan. Aku tak mengerti mengapa dokter, lalu bos dan teman-temanku di kantor amat bersikeras menyuruhku untuk melakukan terapi dan pengobatan tetek bengek lainnya. Belum lagi Kanae, tetangga sebelah rumah yang cerewet. Ia selalu datang setiap hari untuk mengecek apakah aku sudah minum obatku atau belum. Alih-alih terbantu, aku merasa kesal. Pil-pil pemberian dokter Takuya rasanya pahit bercampur asam. Aku yakin pil-pil itu terbuat dari apa yang seharusnya menjadi racun serangga. Dan sialnya, Kanae selalu memaksaku untuk meminum obat-obat itu.

    Satu lagi alasan yang membuatku tidak mau melakukan operasi itu adalah kata-kata temanku. Ia pernah bercerita bahwa dari setiap operasi medis yang berhasil, kemungkinannya hanyalah satu banding dua. Artinya, hanya 50% dari setiap pasien yang menjalani operasi medis yang berhasil selamat. Aku sebetulnya tak terlalu peduli jika aku mati, tetapi jika aku tak selamat, Tomoe pasti amat kesepian.

    Tomoe masih memasang wajah murung, berbaring di ranjangnya dengan piyama putih bergaris. Jemari tangannya masih menggenggam erat sebuah sapu tangan yang kuberikan padanya saat bermain di taman ria enam bulan lalu. Entah kenapa aku tak suka pada sapu tangan itu. Sangat tak suka, meskipun Tomoe tak pernah melepaskannya dari genggamannya.

    Kembali kutatap wajah Tomoe yang tak berubah. Tetap murung dan sedih. Kutarik napas dalam-dalam.

    “Aku takkan menjalaninya, Tomoe. Aku akan menghentikan pengobatanku, agar aku bisa lebih lama bersamamu.” Kataku sambil beranjak duduk disamping tempat tidurnya. Wajah Tomoe tampak basah dan pucat oleh keringat.

    “Kau harus melakukannya, Sousuke.” Tomoe menjawab dengan suara yang hampir habis karena lemas. “Kau harus sembuh, agar kau bisa terus hidup. Ingatlah semua mimpi-mimpimu.”

    “Mimpi-mimpiku, hidupku, semua itu takkan berarti tanpamu, Tomoe.”

    Mungkin aku berkata gombal, tapi hanya itulah yang kuinginkan kini – terus berada disamping Tomoe. Pada upacara pernikahan kami pun, kami berjanji untuk selalu menemani dan selalu bersama dalam suka maupun duka, dan dalam sehat maupun sakit. Aku punya alasan kuat untuk terus bersama Tomoe.

    “Satu-satunya yang kuinginkan kini hanyalah bersamamu.” Kataku lagi.

    Tomoe diam sesaat, batuk, dan kembali diam menatapku dalam-dalam dengan pandangan mata khawatir. Napasnya tampak tersengal menahan rasa sakit yang beberapa bulan terakhir ini menerpa tubuhnya. Ah, damn! Jelas sudah. Aku takkan menjalani operasi itu. Lebih baik aku menghabiskan uangku untuk mengobati Tomoe.

    Tomoe sendiri selalu bersikeras bahwa ia baik-baik saja. Ia tidak pernah sadar bahwa ia merupakan pembohong yang buruk, dan aku tak suka melihatnya pura-pura sembuh. Hanya dengan melihat wajahnya saja aku tahu bahwa ia sakit keras – dan semakin lemah setiap harinya. Bagiku, itu semua mengerikan. Melihat seseorang yang kau sayangi terbaring lemah di tempat tidur tanpa bisa melakukan apapun, kurasa itu hal terburuk di dunia ini.

    “Uhuk, uhuk,” Tomoe kembali batuk selama beberapa saat, sebelum kembali berbicara perlahan, “Sousuke, kau harus melakukan operasi itu, kau—“

    “Jangan bicara lagi, Tomoe. Sudahlah, istirahatlah.” Aku memotong cepat, merapikan selimutnya yang terlipat di beberapa bagian. “Aku ingin kau sembuh.”

    “Lalu kau sendiri bagaimana?”

    “Aku bisa melalui ini semua. Aku…aku sudah sembuh.” Jawabku tersenyum. Meski jujur ada sedikit rasa takut yang tak bisa kujelaskan saat kuucapkan kata-kata itu, namun aku terus-menerus meyakinkan diriku bahwa aku sudah sembuh. Ya, aku sudah sembuh. Seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa aku bisa bekerja, bisa menjalani kehidupanku, dan bahagia. Apalagi yang kutakutkan?

    Rambut Tomoe yang panjang sepunggung tampak basah oleh keringat dan menutupi sebagian wajahnya. Perlahan kembali kuusap rambutnya kebelakang, dan melihat sang gadis yang menatapku lugu diatas tempat tidur, aku tak tahan untuk mengecup keningnya, membuat Tomoe tersenyum kecil.

    “Sousuke, kau tahu? Kau pembohong yang buruk.”

    “Menurutmu begitu?”

    Masih tersenyum, Tomoe mengangguk. Ia tak sadar betapa ia lebih buruk dariku dalam urusan bohong membohong. Konyol. Haha.

    Aku tertawa kecil sambil terus mengelus rambutnya, sama seperti yang biasa kulakukan saat aku menonton bioskop bersamanya, atau membaca buku di taman, atau bermain di tepi pantai, atau saat aku memeluknya erat-erat.

    “Tomoe, percayalah padaku. Kita bisa melaluinya. Kau harus sembuh agar kita bisa terus bersama.”

    Tomoe tetap diam. Wajahnya lugu menatap langit-langit sambil tersenyum kecil.

    “Kurasa tak ada jalan bagi kita untuk bersama, Sousuke. Salah satu…uhuk, uhuk,”

    “Tomoe, sudahlah. Percayalah padaku.” Sejujurnya aku tak suka mengulang kata-kata, namun Tomoe selalu keras kepala.

    “Sousuke, kau juga sudah tahu, kan? Salah satu dari kita harus pergi,” Tomoe masih menatap langit-langit. Jemariku perlahan berusaha menggapai tangannya. Dapat! Aku berhasil menggenggam telapak tangannya yang kini mulai terasa dingin.

    Tomoe terkesiap, menoleh padaku, dan tersenyum lucu. Dapat kurasakan genggaman tangan yang erat darinya.

    “Dan jika perpisahan itu terjadi,” Tomoe kembali bicara ini itu tentang perpisahan. “Aku ingin kau yang terus hidup.”

    “Jangan bicara macam-macam, Tomoe.” Meskipun aku amat geram, aku tetap berusaha tersenyum sebisaku. Tomoe kembali menggeleng saat aku kembali mengatakan padanya untuk percaya padaku, bahwa kami masih bisa melalui semuanya dan terus bersama. Aku tak menyerah dan terus berusaha menghiburnya, tapi Tomoe juga tak mau mengalah.

    “Kau ini selalu keras kepala, Tomoe. Tak bisakah kau percaya padaku sekali ini saja?”

    “Sousuke,” Tomoe kembali memasang wajah lugunya. Jemarinya menggenggam telapak tanganku makin erat, dan diluar dugaanku, ia mengecupnya. Aku terpaku melihatnya, terenyuh. Segera saja kurangkul tubuh mungilnya.

    “Sousuke, aku selalu percaya padamu. Tak pernah sekalipun aku meragukanmu. Hanya saja…”

    “Hanya saja apa, Tomoe?”

    Napas Tomoe tersengal saat berusaha menjawab pertanyaanku, dan ia baru tenang setelah aku melepaskan pelukanku darinya. Kuberikan ia segelas air minum agar ia tenang. Ada semacam perasaan perih saat kulihat Tomoe berusaha bangkit dari tidurnya dengan amat lambat, lalu meminum air dengan susah payah, berhenti sesaat untuk bernapas, batuk, dan kembali minum. Ia bahkan tak bisa meminum segelas air dengan lancar.

    “Tomoe, tak ada perdebatan lagi. Kau harus sembuh. Aku akan menghentikan pengobatanku dan fokus untuk kesembuhanmu. Bagaimanapun aku ingin kita tetap bersama.”

    “Sousuke,“

    Tomoe tampak berusaha untuk tetap terjaga dan fokus pada apa yang ia ingin katakan. Tangan kanannya memegangi dadanya yang mungkin terasa amat sakit.

    “Sousuke, kau sendiri sudah tahu bahwa itu tidak mungkin, bukan?”

    Aku menyibak rambut panjangku kebelakang, menarik napas panjang saat Tomoe kembali berusaha berkata bahwa kami tak bisa bersama lagi.

    “Kau seharusnya menerima kenyataan yang ada, Sou—“

    “Kita bisa tetap bersama, Tomoe!”

    Aku membentak. Hilang sudah kesabaranku dengan sikap keras kepalanya yang tidak pernah berubah semenjak kami bertemu pertama kali di SMA. Dan mungkin karena bentakanku yang terlalu keras, Tomoe kini tampak terkejut. Terlebih kini aku menatapnya dengan mata yang hampir terlempar keluar.

    Kini napasku tak beraturan, penuh dengan rasa kesal padanya. Meski kemudian, rasa kesal itu perlahan berubah menjadi penyesalan saat kulihat Tomoe menundukkan kepalanya perlahan. Isak tangisnya terdengar samar-samar ditelingaku.

    Tetapi aku enggan meminta maaf. Aku ingin ia menyadari apa kesalahannya. Akh, tidak. Ia tidak salah. Yang kuinginkan adalah ia bisa mengerti apa yang kuinginkan.

    Tomoe memalingkan wajahnya, menatap ke arah meja dan menyimpan gelas yang kini sudah kosong. Sambil melakukannya, ia juga menatap sebuah miniatur bianglala yang berdiri di meja.

    Ia tersenyum sesaat. Diputarnya miniatur bianglala tersebut, dan ia tersenyum makin lepas. Kurasakan kini ia kembali menggenggam jemariku. Aku tersenyum, dan sambil kini beranjak duduk persis di sampingnya, kutempelkan kepalaku di kepalanya. Tak lama, Tomoe memeluk tubuhku hangat, dan menaruh kepalanya di pundakku.

    “Ingat saat terakhir kali kita naik bianglala, Sousuke?”

    ***​

    “Tomoe, jangan ajak aku kesana lagi. Itu…itu mengerikan.”

    Tubuhku masih gemetar. Aku masih tak tahan dengan sosok drakula, zombie, dan werewolf yang ada di rumah hantu terkutuk itu. Rumah hantu terkutuk! Sialan! Aku harap para pemeran hantu di rumah hantu itu juga ikut terkutuk, menjadi sama seperti zombie yang bahkan tak bisa bicara. Memalukan, memang. Aku takut oleh sosok yang bahkan sulit bicara itu.

    “Tomoe?”

    Tomoe menoleh, tersenyum. “Kau bilang apa, Sousuke?”

    Tomoe sama sekali tak mendengarkanku. Ampun, gadis itu. Percuma saja aku mengeluarkan tenaga untuk memelas dan memohon yang baru kulakukan.

    “Bisa kau ulangi lagi”

    “Apa?”

    Tomoe menunjuk telinganya, dan menggeleng, dan tersenyum. Sepasang earphone tampak menutupi lubang telinganya. Aih, sejak kapan earphone itu terpasang? Kurang ajar. Tomoe pintar sekali menggoda perasaanku jika sudah menyangkut hal-hal kecil seperti ini.

    Didorong rasa kesal, segera saja aku menghampirinya. Tomoe diam saat aku meraih pipinya. Terkejut.

    “Kau tahu, Tomoe? Kau sangat cantik malam ini.”

    Tomoe menatapku dalam-dalam, dan perlahan kuulurkan jemariku makin dalam, makin dalam ke lehernya. Ia masih diam melongo, terlebih saat kini kudekatkan wajahku ke wajahnya hingga aku bisa merasakan desah napasnya.

    “Sousuke?”

    Aku tersenyum. Tomoe perlahan menutup matanya, mengira aku akan menciumnya untuk pertama kali. Dugaannya salah karena kemudian kuarahkan jemariku ke telinganya. Kucabut earphonenya yang masih menggantung.

    “Hei!”

    Berhasil. Hahaha. Ia takkan bisa lagi berpaling saat aku berbicara. Kusimpan earphone itu di saku mantelku – aku takkan mengeluarkannya lagi.

    “Sousuke, kembalikan dong.”

    “Hei, Tomoe, kau dengar apa yang kubilang tadi?”

    “Ya, aku dengar! Kembalikan earphone itu! Sousuke!”

    “Kalau kau dengar, coba ulang.”

    “Urgh,” Tomoe menggerutu. “Ayo kembalikan!”

    Tomoe berusaha meraih earphone yang ada di saku mantelku, namun aku segera meraih kedua lengannya sebelum ia meraih apa yang ia inginkan. Tomoe diam saat kini kami berdiri berhadap-hadapan, lagi.

    “Tomoe,”

    Tomoe terkunci. Ia diam tak bisa bergerak, atau lebih tepatnya enggan bergerak. Kurasa ia ingin menikmati momen-monen romantis ini.

    “Y…ya, Sousuke?”

    Aku tersenyum kecil. “Kau cantik.”

    Wajah Tomoe memerah, dan ia tersenyum kecil. Namun beberapa saat kemudian ia segera melepaskan diri dari genggamanku. “K…kau bilang apa? Ini kan tempat umum. Bodoh!”

    Aku tersenyum menang. Kuacak-acak rambut Tomoe yang kini tampak cemberut.

    Di arah timur dari tempat kami berada, sebuah bianglala raksasa yang amat cantik tampak berdiri kokoh. Setiap ruangan di bianglala tersebut memiliki lampu yang bercahaya berwarna-warni bila tampak dari luar. Tinggi bianglala itu mungkin sekitar seratus meter. Siapapun bisa melihat seluruh kota dan langit luas dari puncak bianglala itu.

    Aku tersenyum. Saat kutarik tangannya yang hangat, Tomoe tampak makin terkejut. Lebih terkejut dari saat aku mengatakan padanya bahwa ia cantik.

    “Kita mau kemana?” Tanyanya. Aku menunjuk ke arah bianglala sambil terus berlari. “Bianglala, Tomoe. Kita akan melihat bintang-bintang.”

    “Bintang-bintang?”

    Aku mengangguk.

    Tomoe sering bercerita bagaimana almarhum ayahnya dulu bekerja di observatorium, dan Tomoe kecil selalu diajak ayahnya melihat bintang-bintang saat malam tiba. Kadangkala ia teringat akan ayahnya, dan jika itu terjadi, tempat yang tinggi adalah tempat paling pas baginya untuk menenangkan diri. Menurutnya, tempat tinggi merupakan tempat terdekat untuk berada dekat dengan bintang-bintang di langit luas – tempat yang bisa membuatnya tenang. Aku ingin ia berada dalam kondisi setenang mungkin saat aku melamarnya.

    Ya, melamarnya.

    Aku sudah lama mengenal Tomoe. Sudah tujuh tahun. Aku tak menyangka sebuah hubungan yang awalnya kukira akan selesai dalam tiga bulan terus bertahan hingga tujuh tahun. Makin lama berada dekat Tomoe, aku makin menyadari bahwa ia amat berarti bagiku. Belahan jiwaku, begitu yang kurasakan dalam diri Tomoe. Karenanya, aku berniat untuk melamarnya malam itu, agar kami bisa terus bersama.

    ***

    Ada aku, Tomoe, dan seorang lainnya dalam bianglala yang kami naiki. Bianglala ini berputar perlahan, membawa kami makin keatas. Aku tak keberatan dengan adanya sang penumpang misterius. Jaraknya dengan Tomoe dan aku berada cukup jauh, jadi kurasa tak ada masalah jika aku berbicara dengan nada normal untuk meyakinkan Tomoe agar bisa menjadi istriku. Aku yakin sang orang ketiga tak bisa mendengar suara kecilku saat aku melamar Tomoe, selama aku tak berteriak, tentunya.

    Jantungku berdebar kencang saat kusadari bahwa langit penuh bintang sudah tampak dari jendela dihadapan kami, namun Tomoe tampak rileks, tersenyum lepas sambil menatap keluar jendela seolah tanpa beban. Di saku mantelku, tanganku bergetar hebat, menggenggam erat-erat sebuah kotak cincin berwarna merah marun. Dan hanya tinggal menunggu mulutku memanggil namanya bagi cincin emas ini untuk tampil dihadapan Tomoe. Aku begitu gugup, sampai-sampai dapat kurasakan tanganku basah oleh keringat. Kutarik napas dalam-dalam, mengaturnya sedemikian mungkin agar aku merasa nyaman. Hirup, buang. Hirup, buang. Sekali lagi kutatap Tomoe yang masih tersenyum melihat langit.

    “Tomoe, ada yang ingin—“

    “Langit yang indah.”

    “Eh?”

    Tomoe terus terpaku menatap langit penuh bintang itu. “Hei, Sousuke, terima kasih kau sudah membawaku naik bianglala ini. Aku merasa…amat nyaman.”

    “Oya?”

    Tomoe menoleh padaku dan mengangguk tersenyum. Ia beranjak perlahan dan menarik lenganku, berusaha agar aku bisa menatap pemandangan langit bercahaya bersamanya. Saat aku berdiri disampingnya, kurasakan kepalanya menyentuh pundakku.

    Dan perasaanku menjadi semakin campur aduk, meski kini Tomoe menggenggam erat jemariku dan terus membenamkan kepalanya. Ah, momennya telah tiba! Bisikku dalam hati. Itu merupakan momen yang pas! Momen yang pas untuk berkata, “Tomoe, menikahlah denganku.”


    Maka kukumpulkan keberanianku. Sekali lagi kukumpulkan itu semua.

    “Tomoe,”

    “Hmm?”

    Tiba-tiba saja napasku tercekat. Sialan! Bagaimana aku mengatakan ini padanya aku juga tidak tahu. Kanae sudah menawarkan dirinya untuk membuat semacam teks bagiku agar aku bisa lancar melamar Tomoe, tapi karena kebodohanku, aku malah menolaknya.

    “Tomoe, aku…ah, begini. Aku…”

    “Kau mau bilang apa?”

    Jane dikalahkan oleh macan, macan dikalahkan oleh Samson, dan Samson dikalahkan oleh Jane. Tidak, bukan itu yang mau kukatakan. Yang baru terlintas di pikiranku tadi adalah peribahasa yang menggambarkan bahwa lelaki bisa mengalahkan macan dengan kekuatannya, tetapi akan selalu kalah oleh wanita. Baru saat ini aku menyadari peribahasa itu benar. Ini semua memalukan. Aku yang sehari-hari terkenal lepas dalam berbicara kini malah bernyali ciut dan kaku dihadapan gadis lemah tak berdaya ini. Sialan! Sialan!

    “Aku…aku…”

    Tomoe menaikkan kembali kepalanya dan menatapku lugu untuk sesaat, untuk kemudian tersenyum. Kurasakan ia menggenggam jemariku makin erat.

    “Lamaranmu kuterima, Sousuke.” Suara lembutnya terdengar ditelingaku, dan itu benar-benar membuatku terkejut.

    “Kau bilang apa?”

    “Bodoh kau. Tidak memakai earphone tapi minta diulang. Haha.” Tomoe tertawa malu-malu sesaat sebelum ia berbisik. “Lamaranmu kuterima, Sousuke.”

    Deg!

    Jantungku seakan berhenti berdetak. Entah apa yang terjadi dengan hatiku, namun napasku rasanya kini terasa akan meledak. Yang pasti aku merasa amat bahagia mendengar kata-kata Tomoe yang terus terngiang ditelingaku kini. Kami saling menatap satu sama lain.

    “Memangnya aku mau melamarmu? Percaya diri sekali.”

    “Lalu itu apa? Di saku mantelmu?”

    “Earphone.”

    “Masa?”

    Aku tak menjawab. Kutatap wajah Tomoe yang lugu, tersenyum padaku. Aku tersenyum balik. Selang beberapa saat kemudian kami tertawa konyol, amat lepas seperti anak-anak.

    Puas tertawa, kupasangkan sebuah cincin di jari manisnya. Kudapati Tomoe menahan isak tangisnya yang berat, meski air matanya menetes juga saat perlahan kumasukkan cincin berlapis emas itu ke jari manisnya.

    “Hei, Sousuke,”

    “Ya?”

    Tomoe tersenyum, menatapku bahagia. “Terima kasih.”

    Dan tanpa aba-aba Tomoe segera menabrakkan tubuhnya padaku, dan memeluknya erat-erat. Rasanya hangat sekali saat ia membenamkan kepalanya di dadaku. Kuelus rambutnya perlahan, menuruni punggungnya yang terbalut mantel tebal. Salju turun tiada henti di bulan-bulan ini dan membuat cuaca dingin, namun kami merasakan kehangatan tersendiri malam itu.

    “Mulai sekarang, tolong kau jaga aku baik-baik.” Katanya perlahan. Aku mengangguk, dan kuyakin ia bisa merasakannya, anggukanku.

    “Janji?”

    Aku kembali mengangguk, dan kukecup keningnya perlahan. Untuk pertama kalinya aku mengecupnya.

    ***

    Aku masih memeluk tubuh Tomoe erat-erat, saat kemudian kudapati sang pria asing memandangi kami. Beberapa saat kemudian ia berdiri, bergerak perlahan. Seketika wajahku berubah pucat saat ia mengeluarkan tangannya yang selama ini tersembunyi dari tangannya. Sang orang asing, tak kusangka ia menggenggam sebuah pistol di tangannya.

    Kulepaskan pelukanku dari Tomoe, membuat Tomoe sedikit keheranan.

    “Sousuke?”

    Aku tak menjawab dan terus menatap sang pria asing dengan kaku. Tomoe yang ikut penasaran menoleh padanya. Suara napasnya yang terkejut dapat kudengar beberapa saat kemudian.

    “Sembunyi dibelakangku, Tomoe!”

    “Sousuke, dia…”

    “Cepat!”

    Segera saja Tomoe berlari dan menyembunyikan dirinya dibalik punggungku. Tubuhku gemetar bukan main saat sang pria misterius tersenyum menakuti kami. Dan pistol yang digenggamnya, kini moncong benda itu mengarah ke tubuhku.

    “Mau apa kau?” Teriakku.

    “Jangan bergerak. Tetap tenang dan ikuti perintahku jika kalian berdua ingin hidup!”

    Andai sang perampok hanya berbekal pisau, aku mungkin masih bersedia untuk melawannya meskipun bermodalkan nekad. Bagaimanapun aku tak rela dirampok seperti ini, apalagi Tomoe ada bersamaku dan ikut menjadi korban. Namun karena yang digenggamnya adalah sebuah pistol, aku hanya bisa diam.
    Dengan kasar, ia meminta kami berdua mengeluarkan seluruh isi dompet kami dan seluruh barang berharga yang kami miliki saat itu. “Cepat, bangsat!” Teriaknya.

    Merasa terdesak dan terancam, aku terpaksa menurut. Tomoe tampak ketakutan dan gugup, hingga aku harus berbisik padanya agar ia bisa membongkar isi dompetnya.

    “T…tapi…”

    “Lakukan saja, Tomoe!” Bisikku. “Kita bisa mencari uang lagi, tapi nyawa kita hanya satu.”

    Tomoe tampak sedih. Perlahan ia melepas jam tangannya, lalu mengeluarkan dompetnya. Ragu-ragu ia melakukannya.

    “Lebih cepat, Goblok! Lebih cepat!” Teriak sang perampok saat Tomoe berusaha mengeluarkan telepon genggamnya dari dalam tasnya, membuat Tomoe bernapas gemetaran. Tak terima Tomoe diperlakukan seperti itu, refleks suaraku meneriaki balik sang perampok. Dan teriakanku baru berhenti saat sang perampok menodong kepalaku dengan pistolnya.

    “Heh, Anj—g, kau tidak benar-benar teriak padaku kan?” Katanya mengancam. “Satu kata lagi keluar dari mulut kotormu, kau akan menjadi mayat!”

    Aku diam seketika, menatap tajam mata sang perampok yang melotot padaku. Masih sambil menodongkan pistolnya ke arah kami berdua, sang perampok menjarah semua barang kami yang telah kami kumpulkan dihadapan kami : telepon genggam, dompet, jam tangan, bahkan kalung Tomoe yang menjadi hadiah di ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga kemarin juga terpaksa ia sodorkan.

    “Cuma segini?”

    Aku mengangguk. Tak ada lagi yang kumiliki kecuali baju yang kami pakai. Malas-malasan sang perampok menarik semua barang yang kami sodorkan. “Bangsat. Miskin sekali.” Katanya kemudian, dan kata-kata kasar terus terlontar dari mulunya, seperti “Bangsat,” “goblok,” “pelacur,” dan sebagainya. Sekali lagi ia menatap kami saat semua barang kami sudah dimasukkan kedalam tas punggung yang ia genggam.

    “Hei, apa itu?”

    Sang perampok berteriak amat keras, menatap Tomoe tajam. Tomoe sendiri amat terkejut. Kembali kudengar napas Tomoe yang tercekat ketakutan. Aku membeku saat menatap sang perampok yang dengan bersungut-sungut berjalan ke arah Tomoe dan menarik paksa lengannya.

    “Lepaskan aku!”

    “Kau punya cincin emas tidak bilang-bilang, eh?”

    “Lepaskan aku, sialan!” Tomoe meronta-ronta. “Aku takkan memberikan cincin ini padamu! Lepaskan aku. lep—aaaaa!”

    Sang perampok menarik rambut Tomoe hingga ia berteriak kesakitan. Aku tak bisa tinggal diam lagi. Sialan! Aku harus melawan.

    Segera saja kuterjang sang perampok. Kucoba melepaskan tangan kasarnya dari Tomoe sambil berteriak, “Preman anj—g! Lepaskan tangan harammu, dasar setan!”

    Kami masih bergumul, dan aku sedikit lega saat Tomoe berhasil keluar dari cengkramannya meski sambil memegangi rambutnya yang sakit. Namun demikian, sebuah benturan keras terasa mengenai kepalaku beberapa saat kemudian. Pistol yang digenggam sang perampok, ia menghantam kepalaku hingga aku pusing dibuatnya. Kurasakan darahku mengucur deras dari keningku.

    “Sousuke!” Tomoe yang ketakutan dan panik tampak merangkak ke arahku. Sang perampok berhasil menghalangi langkahnya. “Berikan cincin itu!” Teriaknya. Dapat kusaksikan wajah Tomoe yang membelalak kaget. Ia gemetar, ketakuan.

    Dan aku merasa amat bodoh karena tak bisa melakukan apapun. Terlebih saat sang perampok kembali menjambak rambutnya.

    “Aaaaa!”

    Teriakan Tomoe terdengar amat menyakitkan. Kucoba memaksakan diri untuk bangkit, namun tubuhku tak mau berkompromi.
    Tomoe masih meronta-ronta, berusaha lepas dari cengkraman sang perampok. “Berikan, pelacur! Kau dengar tidak?” Teriak sang perampok.

    “Apa saja boleh kau miliki, asal jangan cincin ini!” Teriaknya. “Lepaskan aku! Sousuke, tolong aku!”

    “Dasar wanita jalang!”

    Ayo bangkitlah, lelaki tidak berguna! Gerutuku pada diriku sendiri. Dan baru saja aku berhasil bangkit, saat kemudian kutatap moncong pistol sang perampok mengarah padaku. Mataku membelalak, kaget.

    “Sousuke!”

    Duar!

    Sebuah letupan senjata terdengar. Seluruh tubuhku dibuat kaku dan gemetar hebat saat suara letupan senjata itu menggema. Dan semuanya tampak bagai sebuah mimpi saat kini mataku menangkap sosok Tomoe yang tiba-tiba saja tampak dihadapanku, menghalangi peluru yang akan menerjang tubuhku.

    “Ahk…”

    Jantungku berdebar hebat saat kudapati Tomoe roboh ke lantai dengan darah mengucur deras dari dadanya. Sang perampok, ia menembak Tomoe. Ia berusaha membunuh orang yang amat kusayangi di dunia ini. Ia…

    “Tomoe!”

    Suaraku parau, bercamur dengan jerit tangisku yang entah sejak kapan muncul. Segera kuhampiri sosok Tomoe yang terkapar di tanah. Ia masih hidup! Meski kini ia bernapas dengan berat.

    “Tomoe! Tomoe!”

    “Sou…suke…”

    Aku sadar bahwa aku masih menyimpan selembar sapu tangan di saku bajuku, jadi segera saja kukeluarkan sapu tangan itu.

    “Tomoe! Tetap denganku. Bertahanlah!”

    Luka Tomoe tak berhenti mengeluarkan darah meski kini aku telah menekan luka itu kuat-kuat. Sementara itu sang perampok segera menghampiri Tomoe, meraih tangan Tomoe dengan kasar, dan merebut cincin emas yang masih menempel di tangannya, yang kuberikan padanya sebagai tanda bahwa ia bersedia menikah denganku.

    “Akan lebih mudah kiranya jika si pelacur ini langsung memberikan cincin ini padaku.”

    Kata-kata sang perampok membuat hatiku panas dan ingin berontak, namun untuk suatu alasan aku tak bisa bergerak sama sekali. Aku amat takut, bukan oleh sang perampok tetapi oleh kondisi Tomoe yang terus meredupkan matanya.

    Kabin bianglala yang kami naiki tiba di dasar, dan sang perampok dengan lincahnya segera berlari, menerjang beberapa pengunjung, dan menghilang. Beberapa orang yang mendapati Tomoe terkapar segera berteriak panik. Beberapa ada yang membantuku menghentikan pendarahan Tomoe.

    “Tomoe, bertahanlah…”

    Tomoe masih bernapas dengan berat saat ia meminta maaf padaku – entah mengapa ia meminta maaf. Aku terus menekan lukanya dan menggenggam jemarinya, terus bersamanya hingga matanya benar-benar tertutup. Darahnya berhenti mengalir beberapa saat kemudian, pertanda jantungnya tak lagi berdetak.

    Itu semua, aku amat tak percaya itu semua terjadi begitu saja. Semuanya terasa seperti sebuah mimpi.

    ***

    “Dan kau juga ada disana bukan? Di rumah sakit saat kau melihat jenazahku, lalu upacara pemakamanku. Sousuke…”

    Aku memegangi kepalaku kuat-kuat. Merasa tak sanggup mendengar kata-kata Tomoe, aku menangis terisak, terlebih saat Tomoe kembali berkata bahwa ia bukanlah sosok yang nyata.

    “Aku hanya bayang-bayang yang hidup di alam pikiranmu. Kau tahu aku tidak nyata, bukan?”

    Aku mengangguk. Ya, Tomoe tidak nyata. Ia kini hanyalah makhluk imajinasi yang terus muncul dihadapanku, menemaniku setiap waktu. Semua yang kami lalui, semuanya semu. Kami tak pernah benar-benar menikah. Aku hanya membayangkan sosoknya yang menikah denganku – sebuah mimpi yang tak tercapai.

    Meskipun begitu aku tak ingin lepas dari imajinasiku itu. Itu semua begitu indah, hingga aku tak mau menghilangkannya meskipun itu salah.

    “Tomoe, aku ingin terus melihatmu, bahkan jika hanya ilusi dirimu…”

    Tomoe tersenyum kecil, dan kembali merebahkan kepalanya di pundakku. Aku menlingkarkan tanganku mengelilingi punggungnya dan mengelus rambutnya perlahan. Saat aku bertanya padanya kenapa ia tak menyerahkan cincin emasnya pada sang perampok, ia hanya menunduk, muram. Perlahan ditatapnya jari manisnya. Cincin itu tak ada lagi disana.

    “Aku tak tahu kenapa, Sousuke. Tetapi, cincin itu amat berharga bagiku. Bahkan jika aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku rela.”

    “Kenapa?” Tanyaku lagi, namun Tomoe tak lagi menjawab. Kuulang kembali pertanyaan itu. Tomoe tetap tak menjawab.

    Perlahan akupun bangkit berdiri, menatap langit luas. Langit itu penuh bintang, sama seperti yang kulihat saat aku dan Tomoe berada di bianglala itu.
    Dan perlahan, kurasakan sebuah sentuhan hangat melingkari punggungku. Tomoe, ia membenamkan wajahnya di punggungku.

    “Sousuke, ini permintaanku,” katanya kemudian. “Aku ingin kau sembuh. Kumohon, jalani operasi itu, Sousuke.”

    Berat sekali bagiku untuk menjawab permintaannya. Operasi Mnemonicide, itu yang dokter Takuya katakan kemarin pagi. Dengan operasi itu aku bisa sesegera mungkin “membunuh” Tomoe, menghapuskannya dari ingatanku. Dan alasan kenapa ia sakit selama ini adalah akibat terapi yang kujalani, yang sedikit demi sedikit membunuh Tomoe. Tetapi aku tahu Tomoe adalah sosok yang kuat. ia terus bertahan dengan terapi yang kujalani. Akh, tidak juga. Mungkin itu karena aku bersikeras menolak pengobatanku, karena yang kuinginkan kini hanyalah bersama Tomoe. Aku masih tak ingin menghapuskan kenangan kami berdua. Banyak sekali hal-hal indah didalamnya. Saat-saat ketika kami bertemu untuk pertama kali, makan es krim bersama, menonton bioskop, kami memiliki masa-masa menyenangkan yang tak terhitung.

    “Sousuke, jauh di lubuk hatimu, kau juga ingin sembuh, kan?”

    Kurenungkan seluruh hidupku yang hancur selama ini. Bosku yang sudah hampir memberiku surat PHK, teman-temanku yang makin menjauh, tetanggaku yang menganggapku gila. Akh, hidupku berantakan. Dan, ya. Hatiku mengatakan bahwa aku harus terus berjalan. Aku harus menjalani kehidupanku sebaik mungkin, dan itu semua demi Tomoe juga.

    “Saat kau sembuh nanti, aku ingin kau terus berjalan maju, Sousuke. Kau harus tetap hidup.”

    “Akan sangat berat tanpamu, Tomoe.”

    Tomoe merengkuh tubuhku kian erat. “Aku tahu.”

    Suara serangga di pekarangan luar mulai terdengar nyaring. Ayam-ayam mulai berkokok. Pagi sudah mulai menjemput, dan waktu bagi kami untuk bersama semakin menyempit.

    “Kau jangan takut, Sousuke.” Tomoe kembali berbisik. “Kelak, kau akan selalu bisa menemukan Tomoe-Tomoe lain dalam hidupmu. Tetapi kau hanya punya
    satu kehidupan.”

    Aku mengangguk. Tomoe benar, aku hanya punya satu kehidupan. Dengan atau tanpa Tomoe, aku sadar bahwa aku harus terus hidup.

    Perlahan aku melepaskan diriku dari pelukan Tomoe. Kutatap kembali wajahnya – mungkin untuk terakhir kalinya.

    “Berjanjilah kau akan terus hidup, Sousuke.”

    Aku mengangguk, tersenyum sebisaku. Tomoe membalas senyumanku dengan senyuman yang amat lepas, meski dengan mata berbinar. Ia kembali membenamkan kepalanya di dadaku.

    “Aku akan merindukan masa-masa saat kita bersama, Tomoe.”

    “Ya,” Tomoe mengangguk, terisak. Perlahan, aku kembali memintanya untuk tetap bersamaku. “Untuk sisa malam ini saja, Tomoe, tetaplah bersamaku.”

    Ia mengangguk.

    ***​

    “Sousuke, setibanya di rumah, ingatlah untuk minum obat dalam botol-botol ini. Kau akan segera pulih kalau kau tak lupa minum obat.”

    Seorang gadis muda mengenakan mantel cokelat tampak dihadapanku, mengingatkanku untuk tak lupa minum obat. Sebelumnya ia menjemputku di rumah sakit, dan berada di dalam taksi yang sama denganku. Aku tak tahu siapa dia, tapi kurasa ia hanyalah seorang suster yang mengantarkanku ke rumah. Ada banyak sekali obat-obatan yang ia berikan padaku. Pill, kapsul, akh, banyak sekali.

    Saat kudapati kami berdiri di sebuah rumah kecil yang asri, gadis itu berbisik. “Nah, kita sudah sampai. Kau sudah pulang.”

    Aku menatap melongo ke rumah kecil itu. Interiornya, lampu, pot bunga yang berjajar di pekarangan, sebuah pohon kecil, semuanya.

    “Kau ingat semua ini, Sousuke?”

    Aku menggeleng. “Aku benar-benar punya rumah ini ya? Nyonya…”

    “Kanae,” jawab sang gadis ramah.

    Ia membuka kunci pintu utama dan mengajakku masuk ke rumah yang ia bilang sebagai rumahku. Ada semacam perasaan aneh saat aku menginjakkan kaki di rumah ini. Aku merasa pernah melihat semua pemandangan ini: lampu gantung, meja makan dari kayu yang tersusun rapi, dan TV besar dengan sofa didalamnya, juga komputer di sudut ruangan. “Saat kau di rumah sakit, aku membersihkan rumah ini. Maaf jika aku masuk tanpa izin.”

    Sebetulnya sang gadis tak perlu meminta maaf, karena aku sama sekali tak tahu tentang rumah ini.

    “Jika ini rumahku, lalu…”

    “Ah, kau periksa kamarmu, ayo.” Potong sang gadis. Aku hanya bisa mengangguk-angguk bodoh saat sang gadis menarik tanganku dan mengajakku ke depan sebuah pintu kayu yang unik. Dihadapan pintu kayu itu terbentang sebuah tulisan : Sousuke & Tomoe.

    “Tomoe?” Aku bertanya-tanya mengenai tulisan yang terpampaang di pintu tersebut. Tulisan itu amat lucu, terbuat dari kertas karton biru tua yang dihiasi titik-titik putih. Mirip seperti…langit berbintang.

    “Siapa Tomoe?” Tanyaku pada sang gadis. Ia tersenyum dan berbalik menatapku.

    “Bukan siapa-siapa,” jawabnya sambil membuka pintu. Dan mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku merasakan kehadiran seseorang lain – selain sang gadis yang mengantarku – yang ada di kamar ini.

    “Kau tak apa-apa?” sang gadis bertanya saat aku menatap isi kamar ini keheranan. Aku menoleh padanya, dan ia tersenyum.

    “Kau jangan memaksakan diri, Sousuke. Istirahatlah dulu.” Kata sang gadis lagi. “Aku akan ke dapur dan membuatkanmu segelas teh.”

    Tanpa berkata apapun lagi, sang gadis segera beranjak menjauh, menuju dapur yang terletak beberapa langkah setelah ruang dimana TV berada. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam kamar.

    Sebuah kamar yang indah. Aku duduk di ranjangnya, diam. Tampak dihadapanku sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan pekarangan hijau di depan rumah yang tak seberapa luas, tetapi cukup asri. Yang lebih menenangkanku, aku bisa melihat langit luas dari sini.

    Disamping ranjang tempatku duduk berdiri sebuah meja kayu unik, yang diatasnya kudapati sebuah miniatur bianglala dan sebuah sapu tangan bersih. Kuputar miniatur bianglala itu perlahan. Lucu, kurasa aku pernah melihat bianglala itu di suatu tempat. Tapi mungkin cuma perasaanku saja.

    “Sousuke, tehnya sudah siap!”

    “Ya, baiklah.” Jawabku. Kembali kutatap bianglala kecil itu.

    Bianglala yang indah.

    “Operasi Mnemonicide terus mengundang kontroversi dan menjadi topik pembicaraan hangat di masyarakat. Disaat dunia kedokteran amat antusias mempelajari operasi yang baru ditemukan di abad ini, masyarakat justri semakin menentang karena operasi ini dinilai sebagai operasi illegal yang menyalahi aturan alam. Melaporkan langsung dari kantor perdana menteri, tampak beberapa saat lalu perdana menteri baru saja selesai menyampaikan permintaan resmi kepada dinas kesehatan untuk segera turun tangan menghadapi konflik yang makin mengarah ke konflik sosial ini. Kembali kepada anda di studio, Haruka.”

    “Ya, terima kasih dan selamat bertugas kembali, Ayaka. Berita selanjutnya. Saudara, pagi ini kembali terjadi demonstrasi besar-besaran menolak dilakukannya Operasi Mnemonicide oleh para aktivis yang semakin hari, jumlahnya semakin besar. Sudah sejak malam mereka terus berdemonstrasi di depan gedung dewan pemerintah di Tokyo. Mereka beralasan bahwa operasi tersebut sudah menyalahi aturan alam, aturan dimana manusia mengingat semua yang dialami semasa hidupnya. Demonstrasi ini berakhir dengan bentrok saat polisi mencoba membubarkan paksa para demonstran yang dianggap memicu kerusuhan. Akibat demonstrasi ini dilaporkan bahwa beberapa orang mengalami luka-luka, termasuk didalamnya enam orang aktivis dan dua orang polisi. Situasi di lapangan tampak mencekam, ada banyak sekali lemparan batu, pecahan kaca, dan bahkan selongsong peluru di sekitar lokasi. Petugas medis dikabarkan telah turun tangan—“

    Pet!

    Berita di TV itu masih berkutat soal kontroversi Operasi Mnemonicide. Aku sudah mendengarnya berkali-kali, dan itu membosankan, jadi kumatikan saja TV Toshiba layar lebar itu.

    Ini masih jam delapan pagi, dan tampaknya libur kali ini akan kembali menjadi hari libur yang menjemukan.

    Aku menatap langit-langit yang luas, berusaha menentramkan diriku yang kini menggeliat, sedikit mengantuk. Beberapa saat kemudian aku beranjak, meraih segelas teh hangat yang kubuat bahkan sebelum aku mandi pagi. Teh itu terletak di meja di samping jendela. Saat aku meraihnya, sinar matahari langsung masuk menembus jendela dan menerpa mataku hangat.

    Tak banyak aktivitas yang tampak diluar sana. Jalanan sepi, lengang. Sesaat aku berpikir untuk kembali tidur, tetapi mataku terus terjaga.

    “Sousuke…”

    Perlahan, bibirku bergerak mengucapkan namanya saat kulihat pagar rumahku yang dicat putih. Ia tidak menghampiriku kali ini, tidak seperti hari-hari biasanya saat ia dengan ceria membuka gerbang, menghampiriku, menungguku di teras rumah untuk berangkat kerja bersama. Dan meskipun kami tidak bekerja di tempat yang sama, kami masih bisa menaiki bus yang sama untuk mencapai tempat kerja.

    “Haah, Sousuke bodoh.”

    Bingung dengan apa yang mau kulakukan, aku beranjak kembali ke kamar. Kudapati beberapa majalah berserakan di meja belajar di samping ranjangku. Duh, sial. Berantakan sekali. Tampaknya aku harus lebih disiplin dengan barang-barangku, maksudku, aku ini seorang gadis, dan seorang gadis sudah selayaknya memiliki kamar yang rapi.

    Baru saja aku akan membereskan majalah-majalah tersebut saat rasa isengku muncul. Sebuah majalah tampak menarik perhatianku. Ah, mungkin tak ada salahnya membaca dulu sebelum membereskannya. Lagipula, ini hari libur. Aku punya banyak waktu luang untuk membereskannya nanti.

    Kuambil sebuah majalah berjudul “The Science Monthly” yang kubeli kira-kira dua tahun lalu. Sampul majalah itu sudah usang, terlipat disana sini dan robek di beberapa bagian. Tapi siapa peduli dengan sampul? Isi majalahnya masih bagus. Lembaran demi lembaran majalah itu kubuka, hingga aku tiba pada sebuah artikel yang menarik perhatianku.

    Operasi Mnemonicide, itulah judul artikel yang kubaca.

    Operasi Mnemonicide merupakan sebuah metode operasi yang ditemukan oleh seorang dokter dari Inggris bernama Walter Scott, bekerja sama dengan beberapa ilmuwan antarnegara. Termasuk didalamnya adalah Imai Takuya, nama seorang dokter rumah sakit yang kini melambung tinggi karena beberapa operasi Mnemonicide yang berhasil dilakukannya. Namun sosoknya juga kontroversial karena ia amat bersikeras menolak bila operasi ini dihapuskan. Wajar bila ia menolak, pikirku. Ia kan penemunya.

    Operasi Mnemonicide memungkinkan sang dokter untuk menghilangkan ingatan pasiennya, dan pengobatan ini amat berguna untuk menyembuhkan orang yang menderita depresi dan sakit jiwa. Sebelum adanya metode ini, pengobatan depresi dan sakit jiwa memerlukan waktu berbulan-bulan melalui terapi yang melelahkan, dan hanya beberapa pasien yang berhasil melaluinya. Sisanya berhenti ditengah jalan dan tetap mengalami masalah dengan otak mereka. Dengan adanya operasi ini, ingatan buruk seseorang akan dengan mudah dihapuskan melalui sebuah alat supercanggih dan sebuah ********** bagi pasien berupa sebuah tempurung besi yang menempel di kepala. Setelah sistem alat pendukung menyala, sang dokter tinggal menekan tombol operate, dan memori seseorang akan dengan mudah terhapuskan dari ingatannya. Efek sampingnya, sang pasien mengalami kemungkinan 50% untuk lupa semua sesuatu yang telah ia alami sebelum menjalani operasi.

    Dan hal terakhir inilah yang memicu perdebatan di masyarakat. Beberapa orang memang kembali bahagia saat mendapati orang terkasih mereka kembali ceria, lepas dari penjara pikiran yang mengurungnya. Di lain pihak, beberapa yang lain mendapati bahwa orang yang mereka harapkan sembuh tidak pernah kembali sama seperti sebelumnya. Mereka berubah menjadi orang lain. Dan dua tahun kemudian, saat ini, operasi Mnemonicide baru menuai akibat yang ditimbulkannya : pro kontra dan konflik sosial di masyarakat.

    Tetapi, akh, kenapa aku harus peduli pada semua itu? Aku lupa tujuanku semula bahwa aku harus membereskan majalah-majalah ini. Ah, sial! Segera saja kututup “The Science Monthly” yang baru saja kubaca. Kuambil beberapa majalah lainnya. Kurapikan, dan kuletakkan di tempat yang seharusnya.

    Pagi yang menjemukan.

    ***

    “Ckrek.”

    Pintu gerbang itu kututup dan kukunci rapat-rapat. Kuharap tak ada pencuri yang masuk – rasanya sih takkan ada. Lagipula aku tak memiliki banyak barang berharga. Apa yang bisa dicuri dari rumah mungilku ini? TV? Aku bisa membelinya lagi dengan gajiku. Dan jika seseorang nekad mengambil TV, tetangga-tetanggaku pasti akan melihatnya dan segera meneriakinya maling. Jadi kurasa rumahku aman.

    Kutatap kembali rumahku dalam-dalam, rumah kecil dengan pekarangan yang dipenuhi rumput dan pepohonan kecil. Pintu rumahku tampak lucu, terbuat dari kayu jati kokoh yang tebal. Sejenak aku melongo, tersenyum. Aku ingat bagaimana lelaki itu, Sousuke, sering mengetuk pintu untuk meminjam beras di malam hari. Sousuke itu, gajinya bulanannya memang cukup meski tak terlalu besar, tapi pengeluaran bulanannya luar biasa. Karenanya aku jadi sering memberinya pinjaman beras. Dan meskipun ia jarang sekali membayarnya, aku tak keberatan. Aku senang hanya dengan bertemu dengannya di depan rumah, dan mengobrol satu dua hal dengannya. Ia seringkali bercerita mengenai gadis yang disukainya, Tomoe, dan bagaimana rencananya untuk segera meminangnya. Suatu hari aku pernah menawarkan diri untuk membuatkan naskah lamaran yang bagus, meski ia menolak.

    Sayangnya, aku tak pernah mau mengakui bahwa hatiku seringkali perih saat ia menceritakan banyak hal tentang Tomoe. Aku selalu menyembunyikannya, rasa sakit itu. Aku takut ia membenciku jika aku sampai menunjukkan rasa kesalku. Dan aku amat mahir dalam hal itu hingga Sousuke menganggapku teman yang paling enak untuk diajak bercerita tentangnya.

    “Hei, Kanae,” suatu hari ia bertanya padaku.

    “Hmm?” Jawabku lugu.

    “Kenapa kau baik sekali padaku?”

    Saat pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, aku tak mau menjawab. Aku segera mengalihkan perhatiannya dengan menawarkannya segelas teh, yang kemudian diakhiri oleh gelak tawa saat kami kembali bercanda. Saat malam sudah makin larut, Sousuke akan pulang kembali ke rumahnya yang berada tepat disebelah rumahku. Di depan gerbang,
    ia akan melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tidur.

    Kini rumah Sousuke tampak usang tak terawat. Pekarangannya telah ditumbuhi rerumputan liar yang tingginya mencapai setengah meter. Sebuah kursi di teras rumah juga telah berdebu, sepanjang yang kuingat.

    “Sousuke, setibanya di rumah, ingatlah untuk minum obat dalam botol-botol ini. Kau akan segera pulih kalau kau tak lupa minum obat.”

    Ah, ya. Itu yang kuucapkan saat aku memapahnya pulang dari rumah sakit dua tahun lalu. Aku memang sedih karena ia tak ingat apapun tentangku, namun satu hal yang melegakanku saat itu adalah bahwa ia bisa kembali berjalan maju, kembali memulai hidup baru meski ia tak ingat apapun tentang aku, tentang Tomoe, atau bahkan tentang dirinya. Kubantu ia bangkit. Kujelaskan bahwa ia bekerja di sebuah perusahaan di Kota Sapporo, di tempat yang tak jauh denganku. Ia percaya semua yang aku ucapkan, termasuk ketika kujelaskan padanya bahwa Tomoe tak pernah ada dalam kehidupannya. Kukatakan semua itu agar ia bisa lebih tenang, lebih bisa menjalani kehidupannya dengan baik, dan yang terpenting, agar aku bisa berada lebih lama dengannya.

    ***

    Jalanan yang kulalui sepi, lengang. Aku terus berjalan. Kemana aku akan pergi akupun belum tahu pasti. Aku tak biasa jalan-jalan sendiri. Biasanya Sousuke yang menentukan kemana kami akan pergi, dan aku selalu setuju dengannya, dan mungkin hanya perasaanku saja, tapi setiap tempat yang kami tuju pastilah amat menyenangkan.

    Ya, semuanya menyenangkan saat bersamanya.

    Kini aku merasa kesulitan menentukan arah kemana harus pergi. Langkah kakiku, bagaimanapun, kini membawaku ke sebuah pemberhentian bus. Entah untuk alasan apa aku menunggu bus kota.

    “Kanae!”

    Seseorang memanggilku dari samping. Seorang lelaki seusiaku, berambut pendek dengan tubuhnya yang tinggi. Ia berlari, kikuk. Perlahan aku memincingkan mataku. Aku benar-benar terkejut saat kudapati sosok itu melambaikan tangannya padaku, karena aku tahu betul sosok itu! Ya, aku tahu siapa dia! Untuk beberapa saat kami saling menatap dari kejauhan, dan aku amat senang saat melihatnya tersenyum bahagia padaku.

    “Sousuke!”

    Lelaki itu bergerak makin dekat, dan kini berada dihadapanku, menatapku dengan senyum lepas, senyum yang hanya ditampakkan oleh seseorang yang melepas kerinduan pada seseorang yang amat dirindunya.

    Tetapi senyumku perlahan memudar, karena kini aku tersadar dari lamunanku. Dan lelaki yang tampak dimataku kini, ia bukanlah Sousuke.

    “Kau bilang apa sih? Siapa itu Sousuke?”

    Tubuhku kembali lemas. Dia bukanlah Sousuke. Sejak tadi aku hanya bermimpi di siang bolong. Lelaki itu, dia sama sekali bukan Sousuke.

    “Kojirou?”

    “Ya, tentu. Aku Kojirou. Ko-ji-rou, haha.”

    Dia Kojirou, teman satu kantorku. Sadar bahwa ia bukan Sousuke kembali membuatku murung.

    Ia bertanya padaku kemana aku akan pergi, dan kujawab dengan sebuah gelengan kepala. Kojirou kembali berkata, kini menanyakan apakah aku sehat atau tidak. Kukatakan padanya bahwa aku baik-baik saja, dan ia percaya.

    “Kau mau ke pusat kota?” Tanyanya lagi. Merasa tak punya alternatif jawaban lain, aku mengangguk.

    Bus yang kami tunggu tiba sekitar dua menit kemudian. Kojirou masuk lebih dulu setelah sebelumnya bercerita banyak hal. Nada bicaranya yang gentle, ah, ia benar-benar pria yang baik. Di kantor, ia selalu bisa diandalkan saat aku butuh pertolongan. Bukan itu saja, ia juga selalu berbaik hati membelikanku makanan jika aku lupa membawa bekal, atau membayarkan tiket bus kala kami pulang kerja. Ia amat baik. Ia…terlalu baik.

    Tapi untuk suatu alasan aku tak bisa membalas semua kebaikannya itu. Aku selalu menolak saat ia mengajakku makan atau menonton film bersama, atau saat ia mengajakku pergi ke taman bermain. Aku lebih senang berada di rumah, sendirian dan memikirkan keadaan tetangga sebelahku, Sousuke.

    Dan saat kakiku mulai melangkah masuk, aku kembali ingat bagaimana Sousuke selalu menarik tanganku saat aku naik bus. Setiap aku menggenggam tangannya, itu adalah saat-saat yang menyenangkan. Meski hanya beberapa saat saja, itu menyenangkan.

    Hal menyenangkan lainnya di dalam bus adalah saat aku dan Sousuke bercerita banyak hal. Ia pernah bercerita bagaimana bosnya yang kikuk malah menjadi bahan candaan para karyawan di kantor, atau bagaimana pesta ulang tahun perusahaan berakhir dengan kebakaran kecil di aula. Banyak kebodohan kecil yang menjadi hal-hal lucu, yang menjadi indah dan menghiasi kehidupannya.

    Operasi Mnemonicide benar-benar menolongnya. Ia kembali ceria dan bersemangat, dan aku amat bersyukur dengan itu semua. Terlebih, ia tak lagi ingat tentang Tomoe. Tanpa Tomoe di pikirannya, aku bisa lebih leluasa berada di dekatnya.

    Tentunya aku juga tak mau kalah dalam bercerita. Kuceritakan padanya berbagai hal lucu di kantorku, dan semua itu kadangkala diakhiri oleh gelak tawa keras yang menggema di dalam bus ini, membuat beberapa penumpang terganggu. Suatu hari didalam bus, seorang nenek duduk dihadapan kami yang sedang asyik tertawa terbahak-bahak sambil menggebuk satu sama lain. Alih-alih marah, sang nenek berkata pada kami bahwa kami adalah pasangan serasi, dan bahwa kami harus segera menikah. Aku tentu terkejut dan panik, namun Sousuke segera meraih kepalaku dengan lengannya dan membenamkannya di pundakku.

    “Tentu, nek. Kami kan pasangan serasi, haha!”

    Aku tahu Sousuke hanya bercanda kala itu, tapi bila aku diberi kesempatan sekali lagi, aku ingin sekali kembali ke masa itu.

    “Kanae!”

    Suara itu terdengar amat menyentak, hingga aku kembali kealam sadarku. Segera aku menoleh ke arah kiri, tempat dimana Kojirou berdiri dan menggenggam handle yang menggantung di langit-langit. Kami berdiri karena tak ada lagi tempat duduk kosong.

    “Anu, kau dengar apa yang kubicarakan tadi?”

    Aku melongo. Aku sama sekali tak tahu apa yang Kojirou katakan semenjak kami menaiki bus. Ia kemudian menatapku khawatir. Tangannya menyentuh keningku beberapa saat kemudian.

    “Kau pasti sakit, Kanae. Istirahatlah.”

    Aku menggeleng, tersenyum. “Aku nggak apa-apa kok.”

    “Yakin?”

    “Mmm.” Aku mengangguk berulang-ulang sambil tersenyum layaknya anak tanpa dosa. “Jadi, sampai mana kita tadi, Kojirou?”

    “Iya, kau tahu, saat bos menyuruhku lembur, aku…” Kojirou terus bercerita banyak mengenai pekerjaannya. Aku terus tersenyum, sesekali tertawa.

    Aku sama sekali tak tahu apa yang ia bicarakan. Aku tak mau tahu.

    ***​

    Suasana pusat kota tampak berbeda dari kondisi di depan rumah. Tempat ini sangat ramai, begitu ramai sehingga telingaku terganggu oleh bisingnya kendaraan yang lewat atau suara obrolan orang-orang disekitarku.

    “Jadi, kau mau kemana?”

    Aku tersenyum, menggeleng. Aku mengartikan gelengan kepala itu sebagai tidak tahu, tapi Kojirou mungkin mengartikannya sebagai rahasia. Kojirou membalas senyumanku dengan penuh semangat.

    “Kau ini, main rahasia-rahasia saja. Haha.” Katanya. Masih kubalas kata-katanya dengan sebuah senyum kecil. Kojirou memandangi wajahku dengan sebuah senyum bahagia.

    Untuk sesaat kudapati tangannya berusaha meraih rambutku. Aku bisa saja membiarkannya meraih rambut ikalku dan mengelusnya, tapi tubuhku menolak. Aku mundur
    kebelakang secara refleks dan menampik tangan Kojirou.

    Kojirou tampak kecewa dengan sikapku, namun karena sikapnya yang gentle, ia malah meminta maaf. Aku mengangguk-angguk bodoh dan meminta maaf pula. Ada sedikit perasaan menyesal karena aku tak memberikannya kesempatan bahkan untuk menyentuh rambutku, tapi bagaimanapun aku tidak mau.

    “Kanae, mungkin setelah gajian nanti kita bisa nonton bersama.”

    “Akan kupertimbangkan.” Jawabku. Kojirou tersenyum kecut. Mungkin ia sudah tahu bahwa aku akan kembali menolak tawarannya.

    Ia melambaikan tangannya beberapa saat kemudian, pertanda kami berpisah disini. Aku melakukan hal yang sama saat ia melangkah pergi ke arah yang berlawanan dengan yang aku tuju. Saat sosoknya menghilang dari pandangan, aku berbalik, menatap langit, dan menghela napas panjang. Kembali timbul sedikit penyesalan dan rasa tidak enak pada Kojirou, tetapi kemudian aku kembali berpikir, kenapa pula aku harus menyesal? Setiap orang berhak memilih kepada siapa ia akan menyukai seseorang, dan pilihanku bukanlah dia.

    “Aku sendirian lagi.” Gumamku dalam hati. Kutatap langit siang hari itu. Terik, juga amat cerah. Langit siang hari yang biru dengan awan putih seperti kapas. Sebuah pesawat terbang tampak di kejauhan, mirip seperti burung yang terbang jauh. Mungkinkah Sousuke ada di pesawat itu? Tanyaku dalam hati.

    Aku tersenyum tak lama kemudian, dan kembali menatap trotoar yang dipenuhi orang-orang. “Saatnya maju, Kanae.” Gumamku dalam hati. “Saatnya kembali melangkah…”

    Trotoar tempatku berjalan amat ramai, penuh sesak oleh orang-orang yang lalu lalang. Meskipun begitu aku tetap merasa kesepian. Terlebih, ada sesuatu yang tidak mengenakkanku disini. Perasaanku mengatakan bahwa berjalan-jalan di trotoar ini akan menjadi hal yang buruk.

    ***

    “Kanae?”

    “Ya?”

    “Operasi Mnemonicide itu, menurutmu bagaimana?”

    Aku tak begitu mengerti apa yang Sousuke tanyakan, sebuah pertanyaan yang melambung setahun lalu saat aku berjalan-jalan dengannya di trotoar ini. Kukatakan padanya bahwa aku tidak begitu peduli dengan operasi Mnemonicide. Semua orang boleh memilih apa yang terbaik untuk kehidupannya, jawabku.

    “Begitu ya?”

    “Memangnya kenapa, Sousuke?”

    Sousuke menatapku dengan wajah serius, membuatku sedikit bergidik.

    “Sousuke?”

    “Aku tak tahu kenapa, tapi kurasa, seharusnya operasi Mnemonicide tak boleh ada.”

    Aku diam, melongo. Meskipun Sousuke amat tidak suka operasi Mnemonicide sejak dulu, baru kala itu ia menanyakan hal itu padaku. Mengapa ia tak suka operasi itu aku tak tahu pasti, bahkan hingga kini.

    “Hee, jadi kau peduli pada politik sekarang? Kau bilang semua politisi itu pembohong. Jangan-jangan kau akan jadi salah satunya, haha.”

    “Kau ini,” ia menggerutu saat aku menggodanya, dan kembali menatap kedepan dengan wajah cemberut. Sikapnya itu benar-benar membuatku gemas, dan andai saja aku punya keberanian lebih, aku amat ingin menggenggam tangannya. Tapi tanganku terus tersembunyi dibelakang tubuhku, saling menggenggam antara jemari kanan dan jemari kiri.

    “Ah, Sousuke, hari ini kita mau makan dimana?”

    Biasanya ia akan segera membalas pertanyaanku soal makanan, namun kali ini ia tetap diam. Saat aku melirik wajahnya, hal yang tampak dimataku adalah pandangan matanya yang terus menatap tajam, seolah ada sesuatu didepan matanya yang mengganggunya. Waktu itu aku tak tahu aia apa yang ia tatap, atau yang ia pikirkan.

    Hari itu adalah hari dimana pertama kalinya aku melihat pandangan matanya yang terus menatap sesuatu yang ada jauh di pikirannya, dan jujur itu membuatku khawatir.

    “Kau kenapa Sousuke?”

    “Kanae,” jawabnya perlahan. “Operasi Mnemonicide itu, suatu hari nanti aku akan menghapuskannya.”

    Aku menaikkan kepalaku dan menatapnya dalam-dalam. Hatiku kembali bertanya-tanya mengenai apa yang membuatnya amat membenci operasi Mnemonicide, bahkan semenjak ia pertama kali tahu tentang operasi tersebut. Kucoba menenangkannya, namun ia tak pernah bisa berhenti memikirkan operasi Mnemonicide itu. Dan aku menjadi semakin khawatir saat ia kembali bilang, “Operasi Mnemonicide itu, itu merupakan tindak kejahatan.”

    “Kau pikir begitu?”

    “Kau juga berpikiran hal yang sama, kan?” Ia bertanya padaku dengan nada yang lebih tinggi, hingga aku kembali takut dibuatnya.

    Dan hari-hari setelahnya kulalui dengan perasaan khawatir. Sousuke kerap kali membicarakan mengenai Operasi Mnemonicide di setiap waktu saat kami bersama, entah itu saat berada di dalam bus, saat ia menungguiku di teras rumah, atau di saat kami bermain bersama. Dan pandangan mata Sousuke tak pernah berubah semenjak hari itu.
    Pandangan mata yang selalu melihat jauh kedepan, tanpa menghiraukan kehadiranku disampingnya.

    Di trotoar ini, mataku menutup. Semuanya tampak begitu semu. Kenyataan dan imajinasi, semuanya semu. Setahun lalu aku masih bersamanya. Kini aku berjalan sendirian.

    Sousuke tak pernah tahu betapa aku merindukannya. Ia tak pernah mengerti betapa aku hanya ingin bersamanya.

    ***

    Hari sudah sore, dan matahari sudah mulai terbenam. Tampak daun-daun berguguran dari sebuah pohon di pojokan sebuah taman kecil. Dibawah pohon tersebut, sebuah kursi panjang dari kayu terbentang. Sepasang muda-mudi tampak duduk dibawahnya, murung. Sang lelaki berwajah mirip Sousuke, dan sang wanita berambut panjang ikal, sama sepertiku.

    Ah, ini pasti khayalanku lagi. Kedua orang itu, itu memang Sousuke dan aku enam bulan lalu. Kenangan itu kembali terulang.

    “Bilang padaku kau tak akan—“

    “Aku akan melakukannya, Kanae!”

    Perasaanku amat terhenyak saat mendegar bahwa Sousuke memutuskan bergabung dengan salah satu media massa yang merekrutnya untuk menjadi wartawan. The Social Life, nama perusahaan media massa itu. Aku sudah bilang padanya berkali-kali mengenai media itu yang kerap dicap anti pemerintah.

    Sambil menyibak daun kering yang jatuh menimpa rambutku, kembali aku mencoba meyakinkan Sousuke untuk tidak pergi. “Kau tahu, Sousuke, dua orang wartawan yang meliput kejadian demonstrasi kemarin sore juga dipukuli polisi dan tentara.”

    “Ya, aku tahu. Itu harga dari sebuah perjuangan.”

    Aku merasa terdesak oleh tekadnya, tapi ini belum berakhir. Bagaimanapun aku tak ingin ia berubah lebih jauh. Aku ingin ia menjadi seperti Sousuke yang selama ini kukenal.

    Enam bulan terakhir, Sousuke sering menulis kritik pedas di media massa yang isinya menentang pemerintah melakukan Operasi Mnemonicide. Semua tulisannya menggugah masyarakat untuk semakin waspada mengenai apa yang diakibatkan oleh operasi yang menurut Sousuke merupakan kejahatan itu. Berkat tulisannya pula, semakin hari semakin banyak saja demonstrasi yang terjadi. Kerusakan terjadi dimana-mana, namun Sousuke tetap pada pendiriannya.

    Dengan kesibukannya yang baru ini juga, aku menjadi semakin jauh dengannya meski rumah kami bersebelahan. Ia tak lagi menungguiku untuk berangkat kerja, tak lagi berangkat dengan bus yang sama, dan tak lagi bermain ke taman, atau ke restoran, dan semacamnya. Suatu hari aku kembali bertemu dengan sang nenek yang menyuruh kami menikah. Ia masih ingat denganku. Melihatku yang hanya sendiri, ia bertanya apa yang terjadi dengan Sousuke.

    “Tidak apa-apa, ia hanya sedang lembur.” Jawabku tersenyum. Sang nenek turun bus tak lama kemudian.

    Bila libur tiba, aku sering menyusul Sousuke ke rumahnya dan mendapati ia asyik dengan komputernya. Ia bahkan lupa dengan kondisi tubuhnya. Saat aku menyapanya dan menyiapkan sekedar teh untuknya, ia hanya berterima kasih tanpa melirik ke arahku sedikitpun. Dan bila aku memutuskan untuk diam di sampingnya berjam-jam sambil membereskan barang-barangnya, hal-hal yang ia katakan padaku hanyalah bahwa ia yakin perjuangannya akan membawa hasil.

    “Apa yang benar menurutmu, Sousuke…” kataku perlahan, “belum tentu benar di mata orang lain…”

    “Aku tahu itu, Kanae. Tapi ini keputusanku.”

    Sekali lagi kulihat dari dirinya sebuah pandangan mata yang tajam. Berbulan-bulan aku melihat pandangan mata itu, dan berbulan-bulan pula aku berusaha mengembalikan Sousuke menjadi seperti yang kuinginkan – sosok pemuda yang ramah, ceria, dan optimis.

    “Aku tak mau sesuatu terjadi padamu.”

    “Takkan ada yang terjadi padaku, Kanae. Percayalah.” Jawabnya optimis. Untuk sejenak aku tak menemukan kata-kata yang pas untuk menampiknya. Alih-alih, pikiranku kini melayang jauh, membayangkan bagaimana jadinya bila Sousuke benar-benar berubah. Satu-satunya hal yang kusyukuri adalah bahwa aku sadar bahwa aku masih bisa melihatnya setiap hari. Ia mungkin takkan memiliki jadwal kerja yang rutin sepertiku, atau naik bus yang sama denganku. Tetapi setidaknya aku bisa menunggunya saat malam tiba, melihatnya, dan bicara satu dua patah kata dengannya. Meski itu menyakitkan.

    “Kanae,” masih menatap ke kejauhan, Sousuke menjawab. “Kelak, saat mesin penghilang memori itu sudah kuhancurkan, aku ingin lebih lama berada denganmu. Jadi, maukah kau menunggu?”

    Aku sedikit terhenyak oleh kata-katanya. “Menunggu…”

    “Menungguku kembali, tentu.”

    “Memangnya, kau takkan berada di Sapporo?”

    “Kau bercanda ya?” Ia tertawa kecil. “The Social Life tak punya kantor redaksi di Sapporo, Kanae. Aku akan pergi ke Tokyo. Tiket pesawat sudah kudapat, dan besok aku akan berangkat.”

    Bak petir di siang bolong, hatiku amat terkejut, tak percaya. “Besok?”

    “Ya, besok.” Tegasnya.

    “Tapi, bukankah besok…”

    “Memangnya ada apa besok?”

    Aku tak bisa menyelesaikan kata-kataku. Napasku terlanjur tercekat di tenggorokan, menahan segala sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sousuke amat bodoh. Besok ulang tahunku, dan ia sudah berjanji akan merayakannya bersamaku.

    Tetapi kini semuanya berbeda. Dan aku sadar takkan ada lagi kata-kataku yang bisa mengubah tekadnya.
    Aku menghela napas. Sore itu, aku menyerah. Semua perjuanganku takkan ada gunanya lagi. Tekad Sousuke takkan bisa kulawan. Yang bisa kulakukan kemudian hanyalah menatap jauh ke langit senja, dan bepikir bagaimana semua ini tidak adil bagiku. Aku yang selalu peduli padanya, selalu memperhatikannya, selalu mencintainya, kini hanya mendapatkan rasa sakit seperti ini.

    “Kuharap kau mengerti dengan—“

    “Aku mengerti, Sousuke.” Jawabku tersenyum dengan mata berbinar. Kutahan napasku sedemikian rupa agar isak tangisku tak keluar, meski kemudian aku tak bias menahannya juga. Isak tangisku terdengar olehnya.

    “Kanae, kau baik-baik saja?”

    “Ya, Sousuke. Aku baik-baik saja. Aku…aku…”

    Sore itu aku tak dapat lagi memasang wajah manisku didepannya. Aku harus jujur dengan diriku, bahwa aku amat sedih harus kehilangannya.

    “Kanae,” Sousuke tampak berusaha menghiburku. “Ada apa?”

    Masih dengan isak tangis di mataku – yang kuseka sedemikian rupa agar tak terjatuh lebih deras, aku menjawab. “Tidak…tidak ada apa-apa…”

    “Kau yakin?”

    Tidak. Aku tidak yakin. Aku terus menangis sore itu. Dan untuk beberapa saat setelah aku dapat mengendalikan diriku, barulah kupasang sebuah senyum kecil padanya. Senyum yang amat kupaksakan.

    “Kau tahu, Kanae? Kau bisa genggam tanganku jika kau merasa sedang kacau.” Sousuke mengulurkan telapak tangannya. “Kita bisa pulang bergandengan tangan.”

    Kutatap telapak tangan itu – telapak tangan yang amat ingin kugenggam sejak dulu. Aku menghirup napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Terima kasih. Tapi, kurasa aku baik-baik saja.”

    Keesokan harinya, Sousuke pergi ke Tokyo, jauh dari tempatku berada, Hokkaido.

    ***

    “Ckrek.”

    Aku tiba di rumah. Gerbang depan sudah kututup. Hari sudah malam hingga dapat kudengar suara serangga yang bersahut-sahutan dari pekarangan depan. Aku suka pekarangan depan rumah. Dari sana, aku dapat melihat langit luas.

    Setelah mandi, aku segera ganti baju dan kembali menonton TV.

    “Pemirsa, saat ini baru saja terjadi insiden berdarah di Tokyo. Para demonstran yang berunjuk rasa di depan kantor pemerintah dinilai telah meresahkan warga dan membahayakan keamanan negara. Tentara dan polisi dipersilakan menggunakan kekerasan untuk menghalau para demonstran. Melaporkan langsung dari tempat kejadian, tampak suasana yang masih mencekam di sekitar kawasan kantor pemerintah. Beberapa polisi dan tentara tampak berjaga-jaga dengan persenjataan lengkap, sedangkan para demonstran berjaga dengan balok kayu dan senjata seadanya. Menurut mereka, kini mereka berjuang bukan lagi semata-mata demi dihapuskannya operasi Mnemonicide, tetapi juga demi membebaskan teman-teman mereka yang ditawan tentara. Petugas medis terus berdatangan demi mengantisipasi—“

    TV itu masih menyala. Aku tak lagi berniat menontonnya, tapi aku tak mematikannya malam itu. Alih-alih, aku membaringkan diriku diatas sofa, menatap langit-langit, menghela napas dalam-dalam.

    Kuingat satu hal bahwa Sousuke pernah memberikanku sebuah nomor telepon yang bisa kuhubungi saat aku butuh sesuatu. Kukeluarkan telepon genggamku dari tas dan kucari kontak dengan nama “Sousuke” yang sebetulnya kutulis dengan nama “Sou-chan.”

    Tuuuuttt…

    Tuuutt…

    Tuutt…

    Tak ada jawaban. Sia-sia. Akh, bukankah aku sudah mencobanya selama enam bulan ini, kenapa pula aku mencobanya lagi hari ini? Aku betul-betul bodoh. Dungu. Idiot. Segera aku beranjak, mematikan televisi, dan kembali berbaring.

    Sousuke…

    Kau sedang apa?

    Bagaimana keadaanmu sekarang?

    Kau tahu kenapa aku selalu baik padamu, Sousuke? Karena aku mencintaimu.

    Aku mencintaimu. Aku ingin selalu ada bersamamu, selamanya…


    Tak terasa air mataku menetes. Napasku juga sesekali terisak. Sousuke, sebenarnya ia ada dimana?

    Malam turun semakin larut. Esok hari aku harus kembali bekerja. Aku tahu ini akan sulit, tapi suatu hari nanti, aku ingin bisa kembali tersenyum lepas. Aku ingin senyum selepas mungkin, sama seperti saat pertama kali aku bertemu Sousuke di kota ini, yang tak pernah ia ingat.

    Dan dengan hanya Sousuke di pikiranku, aku terus menangis. Hingga tanpa kusadari aku telah tertidur lelap.

    Tap…tap…tap…

    Begitu kosongnya tempat ini sampai-sampai dapat kudengar sendiri suara ketukan langkahku yang menyaru di udara. Kabut mengapung tipis, dingin. Jarak pandang buram, lima meter sejauh yang kulihat. Berkali-kali aku memincingkan mata hanya untuk tahu ada apa didepan, meski jujur saja tak ada hal menarik yang bisa kulihat. Semuanya begitu gelap, begitu kosong. Tak ada apapun disini kecuali onggokan besi-besi tua yang merupakan sisa-sisa dari apa yang seharusnya menjadi wahana taman bermain.

    Kekhawatiran terbesarku sekarang adalah bahwa aku tak bisa sampai di bianglala setinggi seratus meter di timur. Semua wahana di taman bermain ini boleh saja hancur tak bersisa, tetapi untuk bianglala itu, akh, kuharap wahana itu masih utuh. Aku amat ingin berada disana. Meski aku harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, aku harus sampai di sana.

    Kurekatkan cardigan biru yang menempel di tubuhku kuat-kuat, dan makin kuat saat angin malam menyibak rambutku sampai mengapung. Wuzz, suaranya terdengar jelas ditelinga. Mataku menutup saat debu mulai beterbangan menghajar keduanya. Tetapi kakiku sendiri, keduanya terus melangkah tanpa henti. Dan rasanya aku sudah berjalan selama setahun penuh, saat kurasakan angin berhenti bertiup.

    Aku menoleh ke timur. Jauh dihadapanku, sebuah bianglala besar berdiri tegak.

    Menyadari bahwa bianglala itu masih ada disana, aku menghela napas lega. Meski tampak aneh bagiku saat kudapati benda besar itu tak berputar, tak bercahaya, dan tak berpenumpang. Ditambah dengan langit gelap berkabut sebagai latar belakangnya, kini sosok bianglala itu malah tampak menyeramkan, jauh dari kesan menyenangkan.

    Aku menatapnya, bianglala itu. Sesaat senyumku hilang karena yang kuinginkan adalah melihat bianglala itu kembali ramai oleh canda tawa.

    Terutama canda tawa kami, aku dan dia.

    ***

    “Kriik…kriik…”

    “Nggg…”

    Kubuka mataku perlahan. Semua yang ada dihadapanku kini tampak buram, dan berangsur-angsur jelas setelah beberapa kali mataku kukerjipkan. Ruangan tempatku berada tak berubah sama sekali – sebuah ruangan yang cukup kecil bagi seorang pasien, namun bersih sehingga aku merasa nyaman didalamnya. Jauh diluar, suara jangkrik terdengar bersahut-sahutan diantara rerumputan.

    Bianglala itu, lagi-lagi aku bermimpi tentangnya. Ini mungkin sudah ke lima puluh kalinya, atau mungkin ketujuh puluh atau malah ketujuh ratus kalinya semenjak pertama kali aku bermimpi tentang bianglala itu. Akhir dari mimpi itu selalu sama : bianglala yang mati, kekosongan, dan aku yang ada disana, sendirian. Tapi, akh, aku tak mau berlama-lama membahas mimpi, jadi segera aku bangun. Sejenak aku menggeliat, menetralkan otot-otot tubuhku yang kaku. Krek…krek…beberapa bagian tubuhku berbunyi. Satu lagi tidur yang nyenyak.

    Disampingku terhampar sebuah tempat tidur pasien. Sou tertidur lelap diatasnya, masih tak sadarkan diri. Ini sudah hari ke-30 semenjak ia dinyatakan koma. Para polisi itu memang biadab, seharusnya mereka tak memukulinya.

    Sou menjadi korban kerusuhan di Tokyo sebulan lalu. Aku ada bersamanya saat ia meliput kerusuhan yang terjadi akibat protes menentang operasi mnemonicide. Beberapa polisi yang melihat Sou tahu bahwa perusahaan tempat Sou bekerja – The Social Life – merupakan musuh pemerintah, dan karenanya mereka semua memandang Sou sebagai musuh juga. Ibarat suku-suku pedalaman yang memangsa buruannya, para polisi biadab itu berlarian ganas begitu melihat Sou. Mereka berteriak, mengumpat, dan mengejar Sou dengan mata memburu. Sou yang bingung dan ketakutan berusaha bersembunyi di sebuah sudut jalan, meski akhirnya seorang polisi menemukannya. Tanpa menunggu aba-aba, polisi-polisi lainnya datang dan langsung memukuli Sou dengan baton – terkadang menendang dan bahkan ada pula yang meludahinya. Sou sudah berkali-kali meminta ampun, tapi tak ada satupun dari aparat itu yang mendengarkan. Aku tak tinggal diam dan berusaha melindungi tubuh Sou dengan punggungku, tetapi baton-baton itu tetap mengenai tubuh Sou. Para polisi baru meninggalkannya setelah Sou tak sadarkan diri ibarat seonggok mayat, penuh darah.

    Aku berteriak panik, memanggil petugas medis untuk datang. Dalam sepuluh menit pertama tak ada seorangpun yang menyadari keberadaan Sou, sebelum akhirnya seorang petugas yang teramat kikuk menghampirinya. Kubentak dia karena ia pun tak tahu apa yang harus dilakukan sebagai seorang unit medis reaksi cepat. Ia terus saja melongo gemetaran tanpa melakukan apapun, seolah hari itu adalah hari pertamanya bertugas. Beberapa rekannya datang tak lama kemudian, dan rasa sesak memenuhi dadaku saat melihat tubuh Sou yang penuh darah dimasukkan ke dalam ambulan.

    Sou dibawa ke rumah sakit ini dan langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Selama sebulan setelahnya ia masih belum juga sadarkan diri. Bagaimana kondisi pastinya aku juga tak tahu. Ia mungkin akan bangun besok, atau mungkin saja sepuluh tahun lagi. Mungkin juga ia takkan pernah bangun lagi, aku tak tahu. Yang jelas, aku sudah memutuskan bahwa aku akan menunggunya hingga akhir. Aku ingin terus bersamanya.

    Jauh disudut ruangan, sebuah jam kecil berdiri diatas meja kayu. Tik…tok…tik…tok…suaranya masih terdengar jelas. Ini jam empat pagi. Diluar sana kabut tipis masih menutupi rerumputan. Aktivitas di rumah sakit ini juga masih belum terlihat.

    Tik…tok…tik…tok…

    Untuk setiap detik yang berdetak, aku amat ingin melaluinya bersama Sou. Untuk suatu alasan pula, aku masih tak bisa – dan tak mau – meninggalkannya.

    Kutatap Sou dalam-dalam. Ah, ia begitu lucu saat sedang tertidur. Dan dengan perban tebal yang menutupi kepalanya, ia lebih mirip penarik becak daripada pasien rumah sakit. Haha, rasanya aku jadi ingin mencubit pipinya atau meninju wajahnya.

    Lalu, tanpa kusadari, tanganku mengayun. Jemariku mulai bermain dikepalanya, rambutnya, dan beberapa saat kemudian aku jadi amat ingin berbisik padanya. Segera saja kudekatkan bibirku ke telinganya. Dapat kurasakan beberapa helai rambutku jatuh terurai, menyentuh wajahnya yang tenang.

    “Selamat pagi, Sou.” Bisikku.

    ***

    “…Melaporkan langsung dari kantor pemerintah, saudara, pagi ini Perdana Menteri menginstruksikan agar penggunaan Operasi Mnemonicide dihentikan untuk sementara di seluruh Jepang. Perundingan lebih lanjut antara dinas kesehatan dan pihak-pihak terkait akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Dinas kesehatan sendiri sebelumnya menyatakan belum menerima jika operasi Mnemonicide tak lagi digunakan, meskipun mereka menyatakan siap menerima apapun keputusan yang diambil perdana menteri. Kembali kepada anda, Haruka.”

    “Terima kasih atas laporan anda, Ayaka. Beralih ke berita selanjutnya. Saudara, menyusul bentrok yang terjadi tiga hari yang lalu…”

    TV di lobby berbunyi nyaring. Ada tiga orang yang berdiri didepannya, melongo dengan mulut terbuka dan berkata, “Woohh.” Salah seorang lainnya malah berteriak-teriak, “Berhasil! Hore, perjuanganku berhasil!” Ia kemudian berjingkrak-jingkrak di tengah ruangan seperti orang gila. Seorang lelaki yang baru saja masuk ke lobby melihatnya risih, seolah bertanya, “Kamu anak siapa?”

    Dulu aku memang menginginkannya - operasi penghapusan ingatan itu - agar Sou bisa terbebas dari dilemma dalam hidupnya, tapi kenyataannya, karena operasi ini pula sekarang Sou menjadi koma. Ketidaksukaannya kepada operasi mnemonicide memang cukup beralasan. Jauh di lubuk hatinya, Sou mungkin merasa dendam karena operasi itu merenggut satu-satunya kenangan antara aku dan dia. Mungkin saja.

    Setelah dua tahun berlalu, aku baru menyadari bahwa ternyata aku juga masih menginginkan Sou ada di sampingku. Dan lucu, kini aku malah ingin ia kembali mengingatku. Lalu, aku juga ingin semua hal yang telah kulalui bersamanya membekas dalam ingatan Sou. Dan aku juga ingin Sou bisa kembali tersenyum kala mengingat hari-hariku bersamanya.

    Dan juga…

    Dan juga…

    Kuurutkan semua keinginanku satu per satu, hingga dari semua keinginan yang ada, aku berkesimpulan bahwa yang sebenarnya kuinginkan adalah hidup seperti dulu, kembali ke masa-masa saat kami masih bisa tertawa bersama.

    “Hei, hei, kau tahu tidak?”

    “Apa?”

    Dua orang perawat berjalan perlahan, amat pelan, dan berhenti sejenak di depan kamar Sou ini. Aku menoleh pada keduanya. Yang satu berambut panjang terikat, dan yang satu lagi bertubuh tinggi semampai. Aku ingat keduanya sama-sama pernah mengunjungi kamar ini.

    “Kau mau bilang apa?” Tanya sang perawat berambut panjang, dan temannya menjawab dengan sebuah pertanyaan pula.

    “Iya, kau tahu tidak tentang hantu wanita itu?”

    “Hantu?”

    “Ya, ya, kabarnya dokter Goro pernah lihat. Hantu wanita, wajahnya pucat dan mulutnya mengeluarkan darah. Terus, dadanya, hii, di dadanya…”

    “Ada apa di dadanya?” Potong sang perawat berambut panjang.

    “Iya, di dadanya ada noda darah yang banyak, seperti bekas luka tusuk atau luka tembak.” Sang perawat bertubuh tinggi menjelaskan dengan antusias, dan sang perawat berambut panjang tak kalah antusias mendengarkan.

    “Oya? Terus, bagaimana?”

    “Iya, dan juga,” ia berbisik perlahan. “Hantu itu ada di kamar ini.”

    “Masa?”

    Kutatap kedua perawat itu lugu saat keduanya berbalik menatapku. “Hii, ngeri.” Jawab sang perawat berambut panjang kemudian, bergidik. Keduanya pun segera berjalan menjauh.

    Menatap keduanya, aku tersenyum kecil, meski sebetulnya perasaanku sakit karena obrolan mereka. Kuraba tubuhku di area dada perlahan. Darah masih mengucur deras dari sana. Darah akibat tembakan sang perampok dua tahun lalu. Menyedihkan, memang. Hidup yang kusimpan sebaik mungkin agar aku bisa terus bersama Sou hilang hanya oleh sebuah peluru. Ini, tak adil.

    Tetapi semuanya sudah terjadi dan aku tak bisa menolak kenyataan. Kini aku memutuskan untuk terus berada disisinya. Selama aku masih bisa berada disini, aku akan terus berada disampingnya.

    Sesaat aku memutuskan bangkit dari tempatku duduk dan berjalan ke arah lorong rumah sakit, jauh dari kamar Sou. Melewati sebuah jendela besar lima menit kemudian, tampak dimataku bayang-bayang semua benda dihadapan kaca besar itu. Semua benda, kecuali aku sendiri. Haha, hantu sepertiku mana punya bayangan? Tanyaku dalam hatiku yang perih. Ya, jika aku bahkan tak bisa melihat wujudku sendiri, bagaimana dengan Sou? Ia takkan bisa melihatku. Ia takkan pernah tahu bahwa aku selalu ada disampingnya.

    Dan tanpa kusadari, perlahan bibirku kembali memanggil namanya.

    “Sou…”

    Aku masih melamun saat kemudian suara seseorang kembali terdengar. Yang membuatku terkejut adalah ketika aku mendengar suara itu amat familiar di telingaku. Sebuah balasan hangat.

    “Tomoe.”

    Suara itu terdengar hangat, ibarat suara seorang kekasih yang memanggil orang yang amat disayanginya. Aku yang tersentak segera berbalik.
    Tampak dihadapanku kini seorang lelaki yang menatapku lugu. Pakaian seragam putih-putih khas pasien rumah sakit tampak membalut tubuhnya. Kepalanya terikat oleh secarik perban tebal. Ia menatapku dan tersenyum lega.

    Dugaanku benar. Sou, ia yang menjawab. Sou berdiri dibelakangku sambil menatap dalam-dalam padaku yang masih berdiri kaku, terkejut. Maksudku, bagaimana mungkin ia bisa tahu aku ada disini? Dan bagaiman ia bisa melihatku dan memanggilku?

    “Sou?”

    “Ya, ini aku Tomoe,”

    Jawabannya membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Ia bahkan bisa mendengar suaraku. Ini aneh. Amat aneh.

    “Ternyata benar, isu hantu di kamarku ini, itu kau.” Katanya kemudian sambil berjalan mendekat. Aku hanya bisa diam melongo menatapnya.

    “Kau bisa…bagaimana bisa kau melihatku?”

    Hanya itu yang bisa kutanyakan, meskipun masih ada beberapa pertanyaan lain di benakku. Kenapa ia bisa melihatku? Kenapa ia bisa berdiri disini? Dan bagaimana ia bisa mendengar suaraku? Aku tak sempat menanyakannya, karena jantungku kini berdebar kencang, membuat bibirku kaku.

    Sou berjalan perlahan, mendekatiku. Tiba dihadapanku ia mengacak-acak rambutku hingga berantakan.

    “Kau kenapa sih? Seperti orang kesetanan begitu?”

    Bodoh. Idiot. Aku memang setan, dasar idiot! Umpatku dalam hati. Dan kini, meski aku merasa amat senang karena bisa melihatnya lagi, aku masih penasaran dan ingin kembali bertanya padanya mengenai apa yang terjadi. Karena ini semua terlalu tiba-tiba.

    “Kau…”

    Hanya itu yang bisa terlontar dari bibirku perlahan, saat kemudian kulihat beberapa perawat tampak panik berlarian sambil berteriak, “Aku butuh dokter! Cepat! Ruang 204!”

    Apa? Ruang 204? Itu ruang dimana Sou berada! Apa yang terjadi?

    “Ah, ruanganku ya?”

    “Sou, ada apa?!” Tanyaku tidak kalah panik, tetapi Sou hanya tersenyum.

    “Mungkin sudah tiba saatnya.”

    “Eh?”

    Sou tersenyum dan segera meraih tanganku. “Ayo, Tomoe!” katanya penuh semangat. Aku yang kebingungan hanya bisa menurut saat ia membawaku berlari.

    Sou mengajakku kembali ke kamarnya. Didepan pintu kamar itu kini berdiri seorang gadis berambut ikal yang menghadap pintu dengan wajah gelisah. Ia menggenggam kedua telapak tangannya di depan dadanya, berdoa penuh harap dengan mata terpejam dan napas sesegukan. Ah, gadis itu. Aku sering melihatnya menunggui Sou juga selama sebulan terakhir, dan terkadang ia juga tertidur disamping ranjang Sou. Aku tahu ia memiliki perasaan pada Sou, sama sepertiku. Kadang aku malah cemburu padanya.

    Baru saja kami akan masuk ke kamar Sou, saat Sou kemudian menatap gadis itu dan tersenyum, dan berbisik perlahan. “Kanae, terima kasih untuk semuanya.”

    “Sou…” aku berkata lirih, masih tak mengerti apa yang ia bicarakan. Sou menoleh padaku dan kembali tersenyum.

    “Ayo.”

    Ia mengajakku masuk ke kamarnya, dan aku amat terkejut ketika kulihat Sou masih ada disana. Beberapa perawat mengelilinginya, membantu seorang dokter yang menyiapkan defibrillator – alat kejut jantung yang lebih mirip dua buah setrika bagiku.

    “Tekanan 200, clear?”

    “Clear.”

    Sang dokter menaruh dua setrika itu di dada Sou, membuat tubuhnya terlempar ke udara. Belum ada reaksi. Sou masih tak bergerak.

    “Tambah jadi 300!” Kata sang dokter lagi.

    “Segera, dok. 300 clear.”

    Kembali sang dokter menekan dada Sou dengan defibrilator itu, namun tak ada reaksi. Disamping Sou, sebuah alat kardiogram menunjukkan garis lurus statis, dengan suara lurus tanpa jeda. Sang dokter mencoba sekali lagi, berharap Sou masih bisa selamat.

    “Clear?”

    “Clear.”

    Dicobanya sekali lagi, namun hasilnya tetap sama. Sou tak bergerak, kaku. Dokter itu kemudian menatap Sou dengan tatapan pasrah, sementara seorang perawat geleng-geleng kepala.

    “Dok?”

    “Catat waktu kematian.” Kata sang dokter lagi. Seorang perawat dihadapannya segera melakukan perintah sang dokter.

    “Waktu kematian, 04.55. Sudah dikonfirmasi.”

    Sang dokter kemudian menutupkan selembar kain ke seluruh tubuh Sou.

    Aku menatap semua itu dengan wajah pucat, ngeri. Melihat orang yang berharga bagi kita mati begitu saja ternyata begitu mengerikan, bahkan bagi hantu sepertiku.

    Tetapi tidak bagi Sou. Ia tampak tersenyum lega.

    “Sou…”

    “Ada apa, Tomoe?” Ia bertanya dengan nada halus. Sebetulnya aku ingin kembali bertanya padanya banyak hal, tetapi kuurungkan niatku. Alih-alih aku malah menggeleng dan menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.”

    Ya, semua pertanyaanku tak ada artinya lagi. Semuanya sudah jelas. Sou sudah mati, dan yang berbicara padaku kini adalah sosoknya yang sudah jadi hantu, sama sepertiku. Dalam wujud hantu ini, akhirnya kami bisa kembali bersama. Syukurlah.

    Sou tersenyum, lembut, sama seperti bagaimana ia sering tersenyum padaku dulu. “Aku kembali, Tomoe.” Katanya perlahan.

    “Mmm,” aku tersenyum. “Selamat datang kembali, Sousuke.”

    Ia kembali mengacak-acak rambutku, memainkan jemarinya di rambutku dan membuatku tersenyum geli.

    “Sekarang kita bisa terus bersama.”

    “Mmm.” Aku mengangguk.

    Kanae masuk tak lama kemudian. Dengan mata sembab dan dipapah seorang perawat, ia merebahkan diri di samping tubuh Sou yang sudah kaku tak bernyawa. Isak tangisnya kemudian terdengar jelas dari balik tubuhnya yang gemetar. Ia terus memanggil-manggil nama Sou, meski tahu bahwa Sou sudah tak mungkin lagi mendengarnya.

    “Kau tahu, Sou,” kataku lirih, menatap sang gadis dalam-dalam. “Ia gadis yang baik. Aku sempat berpikir bahwa ia akan bisa menjadi istrimu seandainya kau tetap hidup.”

    Sou mengangguk perlahan dan terus menatap Kanae. Gadis itu terus menangis sambil menggenggam erat kain yang menyelimuti tubuh Sou. Tanpa bisa berkata apapun lagi, Sou berbalik perlahan, berjalan menjauh meninggalkan Kanae. Aku mengikutinya.

    ***​

    “Tinggal satu hal lagi yang mesti kita lakukan, Tomoe.”

    “Eh?” Aku tertegun. Kini kami sudah bersama, dan rasanya tak ada lagi yang perlu dilakukan. “Apa itu?” tanyaku lagi.

    “Kau pernah bermimpi tentang bianglala, kan?”

    “Ah, ya. Bagaimana kau tahu?” Tanyaku.

    “Aku memimpikan hal yang sama.”

    Aku tertegun sejenak. Mimpi paralel, paralel dream, kukira itu hanyalah sebuah dongeng. Kutanya Sou bagaimana bisa ia memimpikan hal yang sama denganku.

    "Entahlah, mungkin...takdir?" Jawabnya, dan mendengar jawabannya itu aku tak berminat untuk bertanya lebih jauh lagi.

    “Mimpi yang aneh,” kataku kemudian. “Di akhir mimpi itu hanya ada aku dan bianglala itu. Rasanya seperti…”

    “Mimpi yang belum selesai?”

    “Ya, ya.” Aku menjawab antusias. Sou tersenyum.

    “Sekarang, kita akan pergi ke akhir mimpi itu.”

    Lagi-lagi ia mengeluarkan statement yang aneh. Kutanyakan padanya bagaimana bisa aku mencapai akhir mimpi itu? Bukankah mimpi tak bisa ditentukan oleh kita? Tanyaku.

    Tetapi Sou hanya tersenyum.

    “Pejamkan matamu.”

    “Hah?”

    “Ya,” jawab Sou tanpa ragu. “Pejamkan matamu.”

    Aku tertawa ragu-ragu. pejamkan mataku? Ini konyol.

    “Sou, aku tak tahu apakah aku harus…”

    “Percayalah padaku, Tomoe.” Katanya sekali lagi dengan mantap. Dan menatap matanya yang tajam dan senyumnya, aku tak bisa membantah. Sebuah keyakinan kuat di matanya membuatku mengangguk dan menurut.

    “Kau percaya padaku?”

    “Ya.”

    Sou menggenggam tanganku kian erat, dan aku membalasnya dengan genggaman yang sama.

    “Tetap bersamaku. Percayalah padaku.”

    “Aku percaya padamu, Sou.”

    Aku masih memejamkan mata kuat-kuat, dan tersenyum. Terus tersenyum.

    “Kau masih bersamaku?”

    “Ya.”

    "Kau percaya padaku?"

    "Mmm."

    entah mengapa, mendengar semua kata-katanya yang lembut, aku merasa sangat bahagia. Lalu, untuk beberapa saat kemudian dapat kurasakan sebuah kecupan yang mendarat di keningku. Lembut dan hangat. Kecupan itu sudah lama tak kurasakan. Sebuah kecupan yang dua tahun lalu menjadi awal perpisahan kami, kini kembali.

    "Aku mencintaimu, Tomoe."

    "Ya, Sou." Jawabku mengangguk. "Aku juga mencintaimu."

    Tak lama setelahnya Sou kembali berbisik, “Sekarang buka matamu.”

    Dengan sebuah senyum geli, aku mengangguk, menurut. Saat mataku membuka, semua yang ada dihadapanku kini berubah.

    ***

    “Waaaaa…”

    “Haha…”

    Aku kini berdiri di sebuah taman bermain yang sangat ramai, penuh orang-orang lalu lalang. Canda tawa, semuanya bercampur menjadi sebuah aura kebahagiaan yang besar. Semua yang tampak dihadapanku, ini semua seperti mimpi—mimpi yang sering kualami. Hanya saja, ini lebih hidup.

    “Tomoe!”

    Sou memanggilku dari belakang. Ia tersenyum lebar dan segera menarik tanganku.

    "Sousuke, ini..."

    Sousuke mengganggam tanganku kuat-kuat dan kembali berteriak ditengah senyumnya yang kian lebar, “Ayo, ikut aku Tomoe!”

    Ia membawaku lari ke arah timur, ke tempat dimana bianglala yang ada di mimpiku berada. Seketika tawaku meledak. Terlebih saat kemudian kulihat bianglala itu perlahan memancarkan cahaya terang, berputar dari satu kabin ke kabin lainnya, hingga kemudian seluruh kabin bianglala itu memancarkan cahaya yang teramat terang.
    Disekelilingnya kembang api warna-warni meledak. Semua orang yang melihatnya terpana. Beberapa bersorak dan bertepuk tangan. Bianglala itu, kini tampak begitu hidup.

    “Ayo!” teriak Sou girang.

    “Ya.”

    Tanpa mempedulikan semua di sekeliling kami, aku dan Sou terus berlari sambil tertawa gembira.

    Dan entah keajaiban apa yang kemudian membuat ribuan orang berdiri disekitar bianglala itu, memberi jalan pada aku dan Sou. Mereka semua bersorak riang, menatap pada kami berdua dan bertepuk tangan riuh, bersorak, memberi semangat agar kami segera masuk ke dalam kabin. Jalan yang akan kami lalui kini dihiasi karpet merah dan taburan pita warna-warni.

    “Selamat yaa!”

    “Ayo, naiki bianglala itu!”

    “Go go go, yahoo!”

    Itu semua menyenangkan. Semua orang yang melihat kami, semuanya tampak bahagia. Sejenak aku terpana melihat semua itu sebelum kemudian Sou kembali menarik tanganku.

    “Ayo, Tomoe!”

    “Ya!”

    Kami kembali berlari sambil tertawa lepas, ibarat anak kecil tanpa dosa. Kami terus berlari diiringi sorak sorai orang-orang disekeliling kami, mengucapkan selamat.

    Tiba di kabin, seseorang sudah menunggu kami. Seorang gadis.

    “Kanae?”

    Berbeda dari sebelumnya, kini raut wajah gadis itu tampak amat bahagia. Ia tersenyum lepas saat membuka pintu kabin.

    “Ayo, segeralah naik, kalian berdua.”

    Sou mengangguk dan segera masuk. Aku menyusulnya. Kanae, ia melambaikan tangannya saat kemudian pintu kabin ini menutup, masih dengan senyumannya yang begitu lepas.

    Dan beberapa saat kemudian, saat kabin ini bergerak perlahan keatas, semua orang berteriak gembira. Ribuan siulan, tepuk tangan, ucapan selamat dan doa mengiringi kami berdua saat kabin ini naik.

    Selang beberapa saat kemudian, semua dihadapan kami tampak kecil. Suara orang-orang menghilang dari telinga kami. Semuanya memudar.

    Aku bahagia, Sou. Ini akhir mimpi yang indah. Terlalu indah.

    “Tomoe, lihat.”

    Aku menoleh saat Sou menunjukkan padaku apa yang ia lihat. Jutaan bintang yang tersebar di langit.

    “Indah sekali, Sou.”

    “Mmm.”

    Aku masiih menikmati pemandangan itu, saat kemudian Sou kembali menggenggam jemariku.

    “Sou?”

    “Tomoe, maukah kau menikah denganku?”

    Ia mengeluarkan sebuah cincin dari saku mantelnya. Sebuah cincin yang sama persis dengan apa yang ia beri padaku dua tahun lalu. Tanpa menunggu apapun lagi, ia segera memasukkan cincin itu ke jari manisku.

    “Jadilah istriku, Tomoe.”

    Aku mengangguk, tersenyum lepas. “Ya, Sou.” Jawabku.

    Sou tersenyum dan segera merangkul tubuhku. Menikmati bintang-bintang di langit luas, aku berbisik.

    “Sou,”

    “Ya?”

    Aku merekatkan tubuhku di pelukannya. Menatap jutaan bintang di langit, aku berbisik perlahan.

    “Terima kasih.”

    original link
     
  9. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Entry di antologi season 1

    Fighting the Monster
    Genre : slice of life, comedy, imouto, TARSOK ?

    Blam…blam…blam…

    Begitu suara langkah kaki yang memekakkan telinga itu kudengar, tubuhku seketika kaku. Battalion yang kupimpin seketika ikut shock ketakutan. Beberapa prajurit beranjak berdiri dengan mulut menganga sambil menatap ke sumber suara di kejauhan. Beberapa lainnya mengambil senapan dengan tangan gemetar. Beberapa lainnya berdoa.

    Markas rahasia kami lagi-lagi diserang. Ini sudah ketiga kalinya hari ini. Dan menyadari battalionku kini membeku, segera aku berteriak.

    “Serangan! Siapkan diri kalian! Siap di posisi masing-masing!”

    Para prajurit yang awalnya melongo kini seketika berlarian ibarat barisan semut yang ditiup. Sahut-sahutan komando terdengar jelas.

    “Unit 5, standby! Siapkan artileri dan ambil amunisi di gudang! Kita pertahankan benteng ini bahkan jika kita harus mati sekalipun!” Teriak Letnan Odin pada unitnya yang bahkan sudah bergerak sebelum ia berteriak. Jauh di garda depan, Letnan Arche juga berteriak lantang. “Unit 4, bersiap! Maneuver pertahanan! Bergerak! Cepat bergerak!” Sementara Letnan Yuri juga tak kalah seru bersorak. “Unit medis, cepat siapkan peralatan dan siap di posisi kalian!”

    Aku dapat melihat dengan jelas raut wajah para prajuritku. Mereka semua begitu lelah dan ketakutan. Dihantam berkali-kali oleh monster yang sama itu, rasanya benar-benar melelahkan. Aku sendiri, kurasa aku juga sudah sampai pada batasku. Tak ada peluru, air, dan obat-obatan memadai membuat otakku berpikir sepuluh kali lebih kuat.

    “Siap di posisi!”

    “Siap di posisi! Jangan gentar!”

    Teriakan-teriakan itu terus mengganggu pikiranku. Sialan! Sialan! Karir militerku tak pernah diuji sampai sejauh ini. Brengsek!

    “Kapten Andriy,” seorang gadis berdiri dihadapanku. Tangan kanannya memberi hormat sementara tangan kirinya menggantung didepan dadanya, terbalut oleh perban mitela segitiga. Ia mengalami patah tulang dalam serangan terakhir yang menghancurkan pos luar. Aku merasa amat bersalah padanya, karena sebetulnya ia terluka dalam upayanya melindungiku dari pecahan batu. Dan kini, ia masih saja bersikeras bertahan.

    “Pasukan siap, Kapten! Perintahmu!”

    Aku menoleh padanya, pada matanya yang menunjukkan kesiapan luar biasa untuk mati sekalipun. Tetapi aku tak ingin ia mati disini.

    “Maria, apa yang kau lakukan disini? Unit 1 sudah berkemas dan siap untuk mundur. Seharusnya kau…”

    “Perintahmu, Kapten!”

    Letnan berambut panjang itu lagi-lagi bersikukuh untuk tinggal. Aku sebetulnya sudah memintanya untuk memimpin Unit 1 yang kuperintahkan untuk membawa pesan ke markas pusat, sekaligus menyelamatkan mereka. Meski demikian, letnan berusia 21 tahun itu bersikukuh tinggal. Jabatannya sebagai wakil komandan tak mengizinkannya, begitu katanya

    “Perintahku adalah pimpin Unit 1 ke markas. Kau dengar? Kau harus kembali dan terus hidup.”

    Maria diam sejenak. Ditengah teriakkan para prajurit dan suara langkah kaki sang monster, ia perlahan tersenyum.

    “Untuk perintahmu yang satu ini, Kapten, aku tak bisa menyanggupinya.”

    “Maria, kau bisa kuadukan ke pengadilan militer! Apa kau…”

    “Kau jangan bicara lagi, Andriy.” Katanya tersenyum. perlahan tangan kanannya menyentuh pipiku. “Tanpamu, hidupku takkan berarti.”

    “Maria…”

    Blam…Blam…

    BLAM…BLAM…BLAM…

    “Kapten!” Seorang prajurit berteriak. “Musuh terlihat!”

    Aku dan Maria memandang jauh ke pintu masuk benteng. Dan untuk beberapa saat, semuanya tampak hening. Tak ada teriakan para prajurit, tak ada teriakan komando, yang ada hanyalah kesunyian, dan suara langkah kaki sang monster yang makin lama makin terdengar jelas.

    Aku menarik napas dalam-dalam. Tubuhku kaku. Detik-detik menunggu monster itu masuk terasa amat lama.

    Dan…Brakk!

    ***​

    “Kakak!”

    Gadis monster itu menerjang pintu kamar sambil tertawa keras-keras. Di lamunanku dapat kulihat para prajuritku yang menderita luar biasa diserang monster alien buduk. Letnan Odin, Letnan Arche, Letnan Yuri, semuanya tewas diinjak monster. Maria hilang entah kemana, dan kini hanya aku saja yang berdiri dihadapannya, menunggu untuk dibunuh.

    Ah, monster itu lagi-lagi mengacaukan hariku.

    “Hoi, Kakak.”

    Ia mengatakan “Hoi, kakak.” Tapi otakku mengatakan bahwa yang ia bilang sebetulnya adalah “WUAHAHAHA, MAMPUS KAU JUPRI!”

    Oh, well…

    Didepan laptop HP milikku yang menyala terang, aku mengepalkan tinju kuat-kuat, gemetaran. Dapat kubayangkan sosok bocah itu yang berlari-lari kesana kemari dibelakangku. Bruk…bruk…brukk… suara langkah kakinya itu keras sekali. Argh, menjengkelkan!

    Tapi, meski kehadirannya amat mengganggu konsentrasiku, aku tak boleh kasar padanya. Sabar…sabar…tenang…tarik napas. Huup…fuuh. Biarkan saja. Acuhkan saja monster kecil itu dan teruslah menulis, bisikku dalam hati.

    “Kakak.”

    Tenang. Diam. Acuhkan saja.

    “Kakak, hei, kakak.”

    …………

    “Kakak jomblo!”

    Jomblo?

    Berlarian dan membuat kerusuhan disana-sini mungkin masih bisa kutolerir, tapi memanggilku jomblo, itu lain hal.

    “Jomblo, jomblo, jomblo blo blo blo blooooo…”

    Eh, monyet! Dasar gila! Dia benar-benar monster!

    Mendengar semua itu aku tak tahan untuk terus mengacuhkannya lebih lama lagi, jadi dengan wajah kesal segera aku menoleh. Dan baru saja aku memalingkan wajahku saat kudapati sebuah benda terbang dengan cepat. Aku membayangkan saat-saat ketika benda itu datang dan menghantam mukaku. Rasanya saat itu jantungku juga ikut berhenti.

    “Gooollll! Yay!”

    Sebuah bola. Wajahku dihantam bola sepak yang ditendang monster itu.

    Aku menelan ludah. Napasku kini begitu berat seakan berada di tenggorokan. Saat bola yang ia tendang jatuh ke lantai, monster itu kembali mengambilnya. Dan dengan wajah super senang, dilemparnya bola itu, lagi-lagi ke wajahku.

    “Hahahahaha…”

    “Onta! Bisa diem nggak?” Teriakku berang.

    Onta. Begitu aku menyebutnya, gadis dua belas tahun ini. Kadang kujuluki ia monster neraka, atau gerandong, atau drakula atau Godzilla atau apapun yang bermakna buruk. Alasan kenapa aku memanggilnya demikian kurasa sudah cukup jelas. Dan bila di umur semuda ini ia sudah bertingkah luar biasa, saat sudah besar nanti aku yakin ia bisa jadi petinju yang andal.

    “Di sudut merah, inilah juara bertahan kita dari Indonesia. Oooooonnnnn…taaaaaaa!”

    Ah, cocok.

    ***​

    Namaku…ah, kurasa tidak penting.

    Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kurasa namaku penting juga.

    Namaku Andre. Umurku delapan belas tahun. Aku laki-laki, dan kurasa kau tak perlu tahu statusku yang masih jomblo. Dan, ah ya. Hobiku menulis. Sebagai seseorang yang punya hobi menulis, hal yang menyenangkan bagiku adalah ketika aku berada dalam kondisi paling tenang. Banyak hal yang bisa membuatku tenang, seperti berada di dalam kamar, menatap jendela sambil minum teh, dan mendengarkan musik instrumental yang lembut. Jika aku menatap jauh ke jendela, aku ingin melihat nikmatnya langit biru yang luas.

    Sebaliknya, situasi ribut dan absurd seperti sekarang sangat tidak kusukai karena hal itu seringkali membuatku hilang mood. Bagi seorang penulis sepertiku, mood yang baik itu sangat penting. Tanpa mood, meski aku memiliki jutaan ide dalam otak, tulisan takkan pernah bisa tercipta. Temanku pernah bilang padaku sebuah kutipan yang berasal dari gurunya di sekolah temannya yang tidak satu sekolah dengannya, dan ia mengutip :

    “Human brain is amazing! It works 24 hours a day and only stops when we take exam.” Bagiku, akhirannya agak berbeda. Mungkin kurang lebih, “…only stops when a monster came to strike you in the head.” Kurang lebih demikian.

    Dan monster kali ini tak berhenti menyerangku. Setelah menggunakan kekuatan fisik, kini ia menggunakan kekuatan psikis yang mungkin akan menguras Magic Pointku untuk melawannya.

    “Kakak, aku nggak bisa ngerjain PR, bantuin dong.”

    “Ogah!” Jawabku sambil kembali menatap laptop. Sialan, jangan harap. Gerutuku.

    “Atuuu, kakak.” Pintanya lagi sambil menarik-narik bagian bawah bajuku. Aku masih diam di depan laptop, bersikap acuh sambil memegangi kepala. Stress. Moodku belum kembali, dan ini semua gara-gara dia.

    “Bentar ya, ini belum selesai. Kalau ini udah selesai nanti kakak bantu deh.” Kataku lagi. Ya, aku tak mau lagi terlibat dengan tarsok. Ini sudah hari keenam dan cerpenku masih saja belum selesai. Meski cerpen yang kubuat kurasa cukup menjanjikan dan memiliki plot yang enak. Cerpen tentang bagaimana satu battalion yang diberi perintah untuk mempertahankan sebuah benteng dari serangan seekor monster ganas. Untuk tulisan yang satu ini memang tak sulit untuk mencari ide, terutama inspirasi tentang monster yang menyerang markas sambil mengamuk. Masalahnya, mood-ku untuk menulis selalu hancur berantakan.

    “Kakak.”

    Argh, baiklah, baiklah. Aku menyerah. Untuk kali ini aku memutuskan membantu si onta. Lagipula, aku tak bisa lanjut menulis jika terus begini.

    “Ada PR apa sih?”

    “Matematika, kak.”

    “Matematika?”

    “Matematika.” Jawabnya tersenyum. ogah-ogahan aku melihat catatan yang diberikannya padaku.

    “Jadi, yang mana…”

    “Matematika, ada orang jatuh cinta, manjat pohon kelapa, ditolak dewa budjana, Ahmad dhani maling celana. Ciyus? Miapah?”

    Buset.

    Bocah luar biasa.

    ***​

    “Ah, selesai juga. Makasih kak.”

    “Hooh,” jawabku malas sambil kembali menatap laptop. Tak lama kemudian si onta pergi keluar. Senangnya, akhirnya semuanya kembali tenang, pikirku.

    Beberapa patah kata terhampar jelas di layar laptop ini. Jika dirangkaikan, isinya masih mengenai satu battalion yang kerepotan menghadapi monster dari neraka, yang entah bagaimana bisa turun ke bumi.

    “Hmm, masih scene ini. Selanjutnyaaa…” gumamku. Kuputar otakku beberapa saat, melamun, mengkhayal ini itu. Mungkin di adegan selanjutnya aku bisa menulis bagaimana battalion itu berjuang mati-matian melawan sang monster dengan perlengkapan seadanya, misalnya peluru yang habis, dan peralatan medis yang kurang. Ah, ya. dari scene itu aku bisa menggali konflik dramatis lebih dalam.

    Dan kurasa, aku bisa menambahkan adegan romance antara sang komandan dengan wakilnya. Lalu, aku juga bisa menambahkan drama psikologis yang dialami beberapa prajurit, seperti kenangan mereka akan rumah, atau semacamnya.

    Ah, ya. Dapat. Ide brilian, pikirku dalam hati.

    Jemariku seketika bergetar, girang, tak sabar untuk segera menyentuh keyboard. Saat beberapa kata terukir di layar, jiwaku seakan terbang ke surga. Selama semenit setelahnya aku benar-benar berada di surga dunia. Ini luar biasa. Ide yang mengalir deras disertai mood yang baik untuk menulis. Mantap. Sebuah keyakinan muncul bahwa ini akan menjadi tulisan terbaikku.

    Tik…tok…tuk…

    Tik…tok…tuk…

    Perasaan ini, perasaan yang memacu tubuhku untuk terus menulis, ini luar biasa! Sungguh luar biasa!

    “Kakak, kamu lagi dimana? Belikan mak garam dong di warung.”

    Oh, syit.

    Itu si perusak mood.

    Baiklah. Ideku sedang mengalir deras. Aku tak boleh terganggu. Untuk kali ini, dan hanya untuk kali ini aku akan jadi anak bandel.

    “Kak? Kamu lagi di kamar?”

    Tenang. Tenang. Jangan panik. Acuhkan saja.

    Kembali aku menulis. Jemariku kembali menari, dan beberapa saat kemudian aku bisa kembali menuju surga. Hatiku meledak gembira saat kusadari mak berhenti bersorak. Mungkin si onta sudah mengambil alih tugasku. Ah, terima kasih, onta.

    Brak!

    “Aduh, Jonoooo!”

    Mak menggebrak pintu kamar.

    Damn. Dugaanku lagi-lagi salah. Dan sekedar informasi, namaku bukan Jono. Mak sering menggunakan kata Jono sebagai umpatan. Ibaratkan aku disuruh membeli lilin, tetapi aku malah kembali membawa petasan, maka mak akan bilang satu dari tiga kata berikut :

    “Bukan itu Jonoooo!”

    “Dasar Jonooo!”

    “Salah Jonoooo!”

    Mak telah membawa kata Jono ke level baru dalam khazanah tata kebahasaan bahasa Indonesia.

    “Ayo belikan mak garam dulu!”

    Tanpa melihat mak, aku terus mengetik saat menjawab, “Tanggung mak. Bentar lagi kelar nih.”

    “Kau kan bisa teruskan nanti. Mak lagi masak ini. Nanti kamu nggak bisa makan.”

    Ogah-ogahan, aku melihat mak, sedikit kesal bercampur pasrah.

    “Ayo segera berangkat!” Kembali mak bersorak. suaranya melengking tajam bagai pisau Guillotine.

    “Berangkat, berangkat, jadi tarsok nih, Jono!”

    “Eh, Jono!”

    Aku berlari, kabur. Kusambar uang dua ribu rupiah diatas kulkas.

    Beranjak ke warung tak jauh dari rumah, si onta tiba-tiba saja muncul dibelakang dan mengikutiku. Bagaimana caranya ia bisa berada di sana aku tak tahu. Dugaanku adalah kami bertemu di teras rumah, tapi aku tak melihatnya.

    “Kak, ikut ya.” pintanya. Malas-malasan aku menurut.

    Si onta berjalan dengan gembira. Ia memang masih kecil, tetapi kurasa ia sudah cukup besar untuk menggenggam telapak tanganku dan bernyanyi kegirangan. Hingga sekarang ia masih hobi melakukannya. Aku tak pernah merasa risih bila ia menggenggam erat tanganku, bahkan saat orang-orang bilang, “Aduh, kakak adik yang mesra.”

    Terlepas dari sikapnya yang seperti monster, gadis ini amat lucu. Ia bisa menjadi gadis paling manis di dunia andai sikapnya sedikit dimodifikasi. Jika kuajak jalan-jalan seperti ini, kami terlihat seperti orang pacaran. Apalagi ia senang menggenggam tanganku sambil melompat-lompat girang. Kuharap pacarku nanti bisa seperti ini juga.

    “Kak, nanti aku mau jajan ya?” katanya kemudian.

    “Eh, mak ngasih uang pas, lo.”

    “Masa? Bohong ah.”

    Ya, aku berbohong. Aku ingin menggunakan uang kembalian dari membeli garam untuk membeli kopi. Mak mungkin protes, tapi biar saja. Lagipula hari ini aku belum dapat uang jajan.

    Saat merapat di warung dipojokan jalan, aku kembali meyakinkan si onta. “Beneran kok, mak ngasih uang pas.” Kataku.

    “Ciyus? Miapa?”

    Bangsat!

    ***​

    “Permisiiii. Punteun.” Kataku saat berada di dalam warung. Si Onta ikut bersorak, “Ibuu, permisiii.”

    Dalam sepuluh detik pertama tak ada jawaban. Kembali kuulang panggilanku, namun masih saja sang ibu warung tak menjawab. Aku sudah bertekad bahwa bila lewat dari tiga kali panggilan masih tak ada jawaban, aku akan menyalakan bom di warung ini, dengan asumsi bahwa suara bom lebih keras dari suaraku. Masalah bomnya ada dimana masih kupikirkan. Tapi kalau bomnya sudah kudapat, aku akan memasukannya ke dalam ransel si onta, jadi warung ini akan meledak langsung dengan si onta. Ah, ya. betul. Sekali mancing dapat dua ikan.

    “Dek?”

    Suara itu membangunkanku lagi dari lamunanku. Suara ibu penjaga warung. Aku terlalu lama melamunkan tentang bom, hingga tanpa kusadari sang ibu penjaga warung sudah ada didepan. Wajah sang penjaga warung jauh dari kesan menyenangkan. Penuh beban, suram, seakan hutang-hutangnya belum dibayar atau bisul-bisulnya belum pecah.

    “Mau beli apa?”

    Aku beringsut. “Ah, iya, bu. Aku mau beli…”

    Glek.

    Aku menelan ludah. Tadi itu mak menyuruhku beli apa ya? Akh, Sial. Kenapa di saat-saat seperti ini aku malah lupa? Goblok betul. Kucoba ingat-ingat lagi perintah mak. Kureka-reka ingatanku.

    “Kakak, kamu lagi dimana? Belikan mak asam dong di warung.”

    Ah, asam. Ya, betul. Mak menyuruh beli asam.

    Kuberikan uang dua ribu rupiah yang sedari awal kugenggam di saku, sambil berkata penuh semangat.

    “Beli asam, seribu! Kopi satu!”

    Oh, yeah. Asam. Ingatanku sangat kuat.

    Dan aku masih bangga dengan ingatanku, sampai kemudian ibuku berteriak di rumah, “Salah Jonoooo!”

    ***​

    OK, mari kita lupakan kesalahan saat membeli garam. Aku tak mau bilang kalau aku harus kembali lagi ke warung dan menukar asam dengan garam, dan diomeli sang penjaga warung yang bilang, “Makanya ati-ati, Jonooo!”

    Tujuanku sekarang adalah laptop. Segera setelah aku memberikan garam pada mak, aku kembali ke kamar. Aku harus menyelesaikan cerita itu sebelum ideku hilang. Dan karena tak sabar ingin segera menulis lagi, aku sedikit berlari menuju kamar.

    “Hai kakak.”

    ………………

    Speechless. Aku tak bisa bicara. Kudapati si onta kini sudah asyik memainkan zuma deluxe di laptopku. Aku tak mau mengganggunya karena ia selalu mengadu pada mak, dan mak selalu memintaku mengalah. Mak tak mengerti bagaimana sebuah ide haruslah dijaga baik-baik, jangan sampai hilang dan berceceran.

    Tapi tak ada gunanya pula aku menggerutu. Kini si onta sedang asyik bermain zuma, dan aku hanya bisa diam, kurasa.

    “Kakak, ini susah. Bantu dong.”

    Kutatap si onta dalam-dalam. Otakku kembali memikirkan cara terbaik untuk membunuhnya. Di salah satu sudut otakku terpikir sebuah cara untuk memasang sebuah alat peledak kecil di sepatu sekolahnya, jadi ketika ia berangkat sekolah, sepatu yang ia pakai akan meledak. Tetapi, terlalu high expose, dan terlalu hambar rasanya bila hanya membunuh memakai bom. Aku harus memakai cara yang lebih professional dan lebih menyakitkan. Memakai racun. Ah, ya. racun. Ia akan mati pelan-pelan jika diracun. Dan, bagaimana jika aku menebar bubuk mesiu dosis tinggi di nasi gorengnya, atau di jajanannya? Ide brilian. Besok aku akan membeli sebanyak mungkin petasan untuk kubongkar dan kuambil mesiunya.

    “Kakak, mau bantu nggak?”

    Ah, tapi, sebagaimana menyebalkannya dia, dia tetaplah adikku. Aku tersenyum. Kembali kudekati dirinya, dan perlahan aku melihat layar laptopku.

    “Ah, kurang cepet, dek. Nih, harusnya kayak gini. Cari yang paling banyak. Ijo sama ijo, terus…”

    Kujelaskan padanya bagaimana memainkan game zuma yang lebih sering kusebut “kodok ajaib.” Awalnya si onta kesusahan, namun ia terus berusaha.

    Aku gagal menulis lagi, tapi melihat si onta bisa ceria seperti ini rasanya sedikit melegakan. Kuputuskan untuk berbaring di tempat tidur dan membaca komik saja. Doraemon volume 14, kobo-chan volume 2, Naruto volume 45, ah, yang mana dulu yang kubaca ya?

    “Dek, bantu mak potong sayur ya. kamu dimana?”

    Belum sempat kubaca satu komikpun, kini mak berteriak memanggil si onta. Bagus! Ini kesempatan bagus.

    “Ya, mak.”

    Si onta segera melompat turun dari kursi. “Kakak, laptopnya masih nyala yaa.” Oh, tidak apa-apa onta, bagus kau nyalakan karena aku jadi tak perlu menunggu lama untuk kembali memainkan jemariku ke keyboard laptop.

    “Yosh!” Aku tersenyum senang. Program kodok ajaib kututup, dan kembali kubuka program favoritku, Microsoft Office Word. Tulisanku masih disana. Bagus.

    Tapi tunggu, kini tampak ikon baterai di kanan bawah menunjukkan sebuah tanda “warning! Low battery!” Ini pasti gara-gara si onta main zuma, gerutuku. Segera saja kuambil alat recharge baterai.

    Kupasang alat recharge baterai itu sedemikian rupa, hingga aku kini tinggal memasukkan power utama ke suber listrik. Sebelum melakukannya aku mengucapkan doa, berharap kesialanku tak berlanjut dengan korsleting listrik atau semacamnya.

    Dan, power on. Korsleting, negative. System standby. Bagus.

    Aku kembali menghadap laptop. Tok…tik…tak…suara keyboard yang kutekan kembali terdengar. Tapi sesaat kemudian perhatianku kembali terusik. Ikon baterai di kanan bawah itu tidak bergerak sama sekali. Kuperhatikan baik-baik. Betul. Itu tak bergerak. Tapi kenapa? Kabel yang kupasang sama sekali tak ada yang salah.

    “Ndre, mati lampu nih. Beli lilin mau nggak?”

    Oh, well…

    ***​

    Saat malam tiba barulah listrik kembali menyala. Sayangnya ide yang sebelumnya sempat muncul di otakku kini sudah berceceran kemana-mana. Beringsut, kubuka program Microsoft Office Word. Tulisanku masih disana. Kubaca baik-baik beberapa paragraf terakhir.

    “Brakk!”

    “Kapten, Monster arah jam dua belas dan telah menembus dinding utama! Unit 4 dibantai habis!” Seorang prajurit berteriak.

    “Disini unit Tank 9! Kami dihajar musuh habis-habisan! Kami butuh bantuan! Kami butuh…uuaaargghh!” Seorang operator radio berteriak. Besamaan dengannya suara ledakan terdengar nyaring, diiringi teriakan kematian beberapa prajurit. Jauh dibelakang anggota medis tampak kewalahan menangani pasien yang datang tanpa henti.

    “Kapten Andriy!”

    Aku diam sesaat, menatap Maria yang kini ada dihadapanku dan menatapku pasrah, lugu.

    “Andriy, aku…”

    …………

    Sampai disitu saja tulisanku berakhir. Ideku lagi-lagi habis. Kucoba mengingat-ingat lagi semua yang ada di otakku tadi sore. Tentang drama psikologis, tentang romance. Tapi semuanya sia-sia.

    “Kakak!”

    Si onta berteriak dari lorong rumah, dan aku yakin tulisanku takkan selesai dengan adanya dia. Tapi kini aku tidak menolak. Aku sudah pasrah. Semuanya sudah berakhir. Ya, setidaknya untuk hari ini.

    “Kakak, aku mau main zuma dong, hehe.”

    Kumatikan program Microsoft Office Word. “Nih, dek.” Kataku tersenyum. Si onta dengan senang segera duduk didepan laptop dan membuka program kodok ajaib. Ada semacam perasaan bahagia yang tak bisa kujelaskan saat melihat si onta tertawa riang.

    Kembali kutegaskan pada diriku bahwa tulisanku takkan selesai hari itu. Aku sudah lelah. Besok matahari akan kembali bersinar dan aku akan meneruskan perjuanganku. Mungkin esok hari si onta takkan terlalu ganas menggangguku, atau mungkin sebaliknya. Entahlah. Esok masih menjadi misteri.

    Yang jelas, aku takkan berhenti menulis.

    “Hahahaha…”

    Si onta itu benar-benar berisik. Gadis lugu. Gadis calon petinju. Melihat punggungnya, aku kembali membayangkan hal yang tidak-tidak.

    Bak…buk…bak…buk…

    “Serangan masuk dari onta. Yak! Huk kiri! Huk kiri yang sangat akurat!” Sang komentator bersorak penuh semangat. Disekitarnya, para penonton bersorak keras-keras.

    Onta! Onta! Onta!

    Onta! Onta! Onta!

    Hahaha.

    Tak lama kemudian aku memutuskan untuk tidur. Aku perlu mengumpulkan tenaga untuk kembali menulis esok hari. Saat kurebahkan diriku diatas kasur, hatiku berbisik perlahan, “Tarsok, aku kembali.”

    original link
     
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Entri di antologi season 2, and dihajar si merp, lagi :swt:

    Secarik Kertas
    Genre : romance

    Adalah secarik kertas yang mengawali hariku pagi itu. Secarik kertas yang muncul dibalik pintu masuk rumah dan tergeletak begitu saja diatas lantai keramik. Ukuran kertas itu kurang lebih seukuran kartu pos – sebuah ukuran yang sangat pas dengan lubang surat yang menganga di bagian bawah pintu rumah. Tanpa pikir panjang kertas itu kuambil. Kubuka lipatannya, dan sebuah catatan tertulis diatas kertas tersebut.

    Malam ini. Pukul 24.00.

    Palang pintu kereta api. Dekat stasiun Natsuzora.

    Haru.

    Eh, apa?

    Ini…Haru?

    Sontak kurasakan jantungku berdegup kencang saat melihat nama Haru terpampang dalam catatan tersebut. Mataku sedikit berkunang-kunbang akibat darah yang seketika berdesir ke otak, membuatku pusing. Setengah tak percaya, kutatap kembali catatan tersebut, dan ternyata semuanya memang tak ada yang salah. Nama Haru benar-benar tertera di kertas itu.

    Ini…ini semua, ini bukan mimpi! Ini kenyataan!

    Haru…

    Aku baru setengah tahun mengenalnya, namun ia berarti banyak bagiku.

    Ia murid baru di sekolah tempatku belajar, masuk kelas yang sama denganku, dan duduk di sebuah bangku kosong tepat dibelakang bangku tempatku duduk. Hal pertama yang ia bilang padaku adalah, “Kau ini pendiam, ya?”

    Ya, memang. Aku bukan tipe gadis yang aktif berbicara ini itu. Aku lebih senang menyendiri.

    Setidaknya, sebelum mengenalnya.

    Awalnya aku selalu menjalani kehidupanku seorang diri. Di sekolah, saat yang lain bercanda riang di kafetaria, aku tak pernah diajak untuk beramai ria. Saat pulang sekolah, tak pernah sekalipun aku pulang bersama temanku yang lain. Saat jam istirahat dan yang lainnya bersantai ria di kelas, aku lebih sering diam, membaca buku di perpustakaan atau pergi ke atap sekolah menikmati angin dan langit biru, melamun, sendirian.

    Tapi, Haru, ia membuka pintu kehidupanku dan membuat semuanya berubah.

    Saat mengobrol dengannya, sebuah senyum hadir di wajahku. Untuk pertama kalinya semenjak sekolah disini, aku tahu rasanya pulang sekolah sambil bercanda bersama seorang teman. Dan untuk pertama kalinya pula aku punya seseorang untuk kuajak membaca buku atau mengambilkan buku-buku yang sulit kujangkau di perpustakaan.

    Oh, ya. Satu hal lagi. Selama aku bersekolah disini, aku selalu mengikat rambutku yang panjang. Hal itu kulakukan bukan karena senang, melainkan lebih kepada mengekang keinginanku untuk bebas menjadi diriku sendiri. Aku harus tetap menjadi orang yang pendiam dan tak banyak bicara, itulah prinsip yang kutekankan. Kenapa? Karena semua orang membenciku, kurasa. Dan mencoba bersikap baik pada semuanya tampaknya hanya akan menyakiti perasaanku.

    Namun di suatu siang yang cerah, saat kami sedang menikmati langit luas di atap sekolah, Haru melepaskan ikat rambutku. Saat ia menyentuh dan membelai rambutku, aku panik bukan main, dan lebih panik saat menyadari rambut panjangku berkibar.

    “Yuki, kau lebih cantik bila rambutmu diurai seperti itu.”

    Ah…

    “Kau tampak…lebih lepas. Lebih bebas.”

    Betulkah, Haru? Betulkah begitu?

    “Nah, mulai hari ini, Yuki, teruslah bahagia.”

    Ia melempar ikat rambutku itu jauh ke udara. Tindakan yang bodoh karena aku bisa mengikat kembali rambutku itu dengan tali rambut yang lain. Tapi kenyataannya, sejak saat itu aku tak pernah lagi mengikat rambut.

    “Kuharap kau selalu membiarkan rambutmu itu terurai.” Katanya tersenyum. Saat itu aku mengangguk dengan mata berbinar. Andai aku punya keberanian, aku amat ingin memeluknya.

    Aku sangat senang bersamanya. Momen-momen bersamanya sungguh berharga.

    Hanya saja, secarik kertas yang datang padaku pagi itu membuat semuanya berubah.

    Malam ini, jam 12 malam, di palang pintu kereta api dekat stasiun Natsuzora, tempat kami biasa berpisah saat pulang sekolah.

    Haru…

    ***​

    “Yuki!”

    Baru saja aku akan duduk di bangku kelas ini, dan Haru sudah bersorak memanggilku. Tanpa memalingkan muka padanya, aku segera duduk, membuka buku dan membaca, ah, bukan. Aku hanya menutupi mukaku dengan buku saja.

    Tapi Haru datang mendekat, hingga kusadari ia berdiri tepat disampingku.

    “Kenapa dengan rambutmu? Kau mengikatnya lagi?”

    Ugh…dia…

    Aku tidak menjawab. Tanganku masih bersikeras menutupi sebagian wajahku dengan buku catatan yang bahkan tak kusadari bahwa buku itu terbalik, hingga Haru membetulkan posisi buku itu.

    “Kamu kenapa sih? Apa yang terjadi?”

    ………

    Apa yang harus kujawab? Ah, tidak. Aku takkan menjawab apapun. Maafkan aku, Haru. Tapi pergilah.

    “Hei! Ada apa?”

    Aku memalingkan mukaku, membelakanginya. Keringat mulai mengucur, gugup, panik.

    “Hei, hei, Yuki, ada apa?”

    Tidak, Haru, jangan bicara padaku lagi. Pergilah. Pergilah. Ayo, pergilah.

    Sebuah tangan kemudian bergerak melingkari pundakku. Hal itu membuatku tersentak. “Yuki, hei, ada apa?”

    Haru menarik tubuhku tak lama setelahnya, membuat wajah kami kini saling berhadap-hadapan. Mata kami saling bertemu, saling memandang, dan pandangan mata Haru tampak tajam dan gelisah. Sesaat kemudian aku membuang pandanganku darinya.

    “Lepaskan aku.” Aku meronta. Kukeluarkan nada bicara yang setengah sayup. Bingung dan gundah memenuhi otak.

    Haru menurut, meski dari pandangan matanya kutahu ia masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Saat aku kembali duduk Haru mencoba kembali menarik perhatianku dengan berlutut sambil menatap wajahku dalam-dalam. Untunglah tak lama kemudian pak Takeshi datang, si cabe itu. Kedatangannya membuat semua orang duduk sigap ibarat tentara yang sedang dimaki-maki.

    Aku tahu Haru pasti bingung dan bertanya-tanya, tapi aku tak mau memberitahu padanya apa yang kini sedang kurasakan, atau apa yang sebenarnya terjadi.

    Dan andaikata aku mau memberitahunya, aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya.

    Mencatat pelajaran pak Takeshi, aku sama sekali tak menoleh pada Haru, meski sosoknya terus muncul di pikiranku.

    ***​

    “Hei, Yuki.”

    Ah, sial! Aku ketahuan.

    Kupercepat langkahku, berusaha agar tak lagi mendengar suara Haru dan sesegera mungkin menembus pintu gerbang sekolah. Haru mungkin akan mengejarku, tapi aku yakin aku bisa lepas darinya jika aku cepat bergerak. Ini jam pulang sekolah, jalanan pasti ramai oleh anak-anak sepertiku. Aku akan menyelinap masuk diantara kerumunan anak-anak itu agar Haru tak menyadari keberadaanku.

    Cepat. Aku harus cepat.

    Dan tap…tap…tap…langkah kakiku dapat kudengar dengan amat jelas, bergerak dengan kecepatan diatas rata-rata. Suara Haru yang memanggilku terdengar makin sayup, makin menghilang, pertanda aku berhasil lepas darinya. Mungkin.

    Kurang lebih lima menit berlalu, dan kini aku berada sebuah di persimpangan sepi. Dengan napas terengah-engah aku berbalik, Haru tak ada dibelakang. Bagus. Syukurlah. Kuharap aku tak bertemu dengannya hari ini.

    Sayangnya harapanku itu pupus saat sekitar tiga detik kemudian sosoknya kembali tampak. Bernapas terengah-engah dan diiringi mata memburu, ia berteriak, “Yuki!”

    Celaka!

    Kabur! Aku harus kabur sejauh mungkin! Jadi dengan segera aku berbalik dan melangkah setengah berlari.

    “Yuki!”

    Tidak, tidak Haru. Jangan dekati aku.

    Aku amat berharap bisa lepas darin kejaran Haru. Tapi pada kenyataannya Haru bisa menyusulku. Itu menjengkelkan, dan lebih menjengkelkan lagi saat kudapati sosoknya sudah berdiri dihadapanku. Sejenak kutatap wajahnya yang menatapku tajam, penasaran.

    Aku mencoba melepaskan diri. Saat mencoba mencari celah ke kiri dia juga ikut bergerak. Mencoba ke kanan, ia juga masih menghalangiku. Kuulangi lagi bergerak ke kanan dan ke kiri, namun Haru masih saja berhasil menghalangi jalanku.

    Ah, sia-sia. Tak ada pilihan lain, aku harus mengalah padanya.

    Kutatap wajah Haru yang berkerut. Matanya menatapku setengah memincing.

    “Kau mau apa?” Tanyaku lirih.

    “Mau apa? Hei, Yuki, tak biasanya kau begitu. Apa yang terjadi?”

    “Tidak ada.”

    “Katakan yang sejujurnya, Yuki.”

    “Aku sudah bilang yang sebenarnya.”

    “Lalu kenapa kau menjauhiku?”

    “Aku tidak menjauhimu!” Kataku setengah berteriak. Sesaat aku mencoba kembali melangkah, tetapi Haru masih menghalangiku.

    “Aku takkan membiarkanmu lewat sebelum kau mengatakan semuanya, Yuki.”

    Mengepalkan tangan kananku di depan dada, kutatap wajah Haru dengan perasaan kesal bercampur gugup. Tak lama aku kembali menundukkan kepala.

    “Haru, kumohon, aku lelah.”

    Perlahan Haru mendekatiku, berusaha kembali meraih pundakku – itu merupakan hal yang seringkali ia lakukan saat aku sedang sedih. Namun untuk kali ini, sebuah kekuatan memaksaku untuk mendorong tubuhnya menjauh. Kekuatan apa, aku tak tahu itu.

    “Yuki.”

    “Pergilah. Kumohon, pergilah.”

    Saat Haru kembali mencoba meraih pundakku, aku juga kembali mendorongnya.

    “Yuki, apa aku berbuat salah padamu?”

    Aku tak menjawab. Tak mau menjawab. Bingung bagaimana menjawab. Dan kurasa aku tak perlu menjawab apapun. Sesaat aku kembali melangkah, mengacuhkannya. Tapi Haru, ia meraih kembali lenganku.

    “Yuki!”

    Aku meronta. Berhasil.

    “Yuki!"

    Ugh, menyebalkan!

    "Bilang pada-“

    Plak!

    Refleks aku menampar pipinya, dan lagi-lagi aku tak tahu kenapa aku melakukannya. Kini, dengan mata memincing dan napas memburu, aku berteriak, “Tinggalkan aku sendiri, apa kau dengar?”

    Haru hanya diam terpaku, tersentak. Menatap mataku yang kini berbinar, ia tampak begitu kaku. Sementara menyadari apa yang kulakukan, aku berlari sekencang-kencangnya, berusaha kabur.

    Kabur, sejauh mungkin.

    ***​

    Ada sebuah bingkai foto di meja samping tempat tidur. Didalamnya menempel selembar foto yang selalu kupandangi dalam-dalam sebelum aku terlelap. Perasaan bahagia dari foto itu dapat terpancar meskipun kini mataku sembab – sudah hampir satu jam aku menangis.

    Sosok yang ada pada foto itu adalah aku dan Haru yang sedang bermain di taman. Memegangi pundakku, Haru menatap kamera dan membentuk sebuah senyum lepas. Saat itu aku amat panik dan gugup, karena itu adalah hari pertama aku berjalan-jalan ditaman dengan seorang pria, dan juga hari pertama Haru memegang pundakku. Jadinya, senyumku tampak tak terlalu bagus di foto itu.

    Tapi tetap saja, foto berdua dibawah pohon rindang itu membuat senyumku pahitku mengembang. Dan tanpa kusadari, jari jempolku bergerak, mengelus wajahnya yang tersenyum lepas.

    Haru…

    Andai kau tahu apa yang sedang kualami sekarang? Apa yang akan kau lakukan? Andaikata kau tahu apa sebenarnya yang terjadi, masihkah kau mau menjadi temanku?

    Tok…tok…

    Terdengar suara pintu diketuk. Ah, siapa yang bertamu malam-malam begini? Jam di dinding segera kulirik : masih jam delapan malam. Waktu berputar amat lambat apabila aku terjebak dalam sesuatu hal seperti ini. Bukan yang pertama kualami, memang. Tetapi rasanya ini yang terberat.

    Tok…tok…

    Gontai, aku melangkah menuju pintu depan sambil menyeka air mata. Kupandangi cermin yang ada di dekat pintu. Mataku masih sembab. Ah, sial. Bagaimanapun ini bukan berarti aku tak boleh menerima tamu dengan wajah riang. Kupaksakan untuk tersenyum. Senyum dengan mata sembab mungkin sedikit aneh, tapi ini yang terbaik yang bisa kulakukan.

    Tok…tok…

    “Ya,”

    Kubuka pintu perlahan. Sesosok lelaki tampak berdiri didepan pintu itu.

    Haru.

    Segera kubanting kembali pintu tersebut.

    “Yuki!”

    Gila! Apa yang ia lakukan disini?

    “Hei, Yuki! Tolong izinkan aku masuk!”

    Tentu saja takkan kuizinkan. Tidak. Tak mau.

    “Yuki!”

    Dibalik pintu aku duduk memeluk lutut. Air mataku kembali mengalir. Kenapa ia datang di saat seperti ini, justru disaat aku amat ingin sendiri?

    Haru terus menggebrak-gebrak pintu rumah, berkali-kali dan tanpa henti. Kupaksakan diriku sekuat tenaga bahwa aku takkan membuka pintu itu. Tidak! Tak akan! Kupeluk lututku erat-erat.

    “Yuki, dengarkan aku!”

    Diamlah! Diam dan pergi sajalah!

    “Yuki, aku takkan pergi sebelum kau bilang semuannya!”

    Kenapa? Kenapa ia masih berada disana dan bersikukuh?

    Kenapa?

    “Aku menyukaimu, Yuki.”

    Eh?

    Seketika mataku membelalak. Ia…menyatakan perasaannya padaku.

    “Yuki, aku menyukaimu, dan aku ingin selalu bersamamu.”

    Ah, benarkah itu? Haru, benarkah semua yang kau katakan itu?

    Kata-katanya itu bagaikan jutaan bintang yang bertaburan dilangit, amat indah. Tetapi juga sekaligus ibarat ribuan anak panah yang menusuk hatiku.

    Bahagia bercampur sakit.

    “Yuki, kau mendengarku, kan?”

    Ya, Haru, aku mendengarmu.

    Kuputuskan untuk membuka pintu tak lama kemudian. Wajah Haru yang berkeringat tampak jelas dimataku. Saat mata kami saling beradu, ia tersenyum.

    “Yuki, syukurlah.”

    Aku menatap wajahnya dengan perasaan campur aduk. Risih, bingung, senang, bahagia, semuanya berbaur. Kata-katanya, pernyataan cintanya…

    “Aku menyukaimu, Yuki. Aku ingin terus ada disampingmu, bersamamu.”

    Aku tersenyum, pahit. Adegan ini, ini semua seperti lawakan yang gagal bagiku.

    “Yuki…”

    Menunduk dalam-dalam, aku menjawab.

    “Bahkan bila aku bukan manusia, masihkah kau menyukaiku?”

    ***​

    Kisah seorang dewa kematian yang jatuh cinta kepada seorang manusia mungkin hanya akan menjadi kisah cinta yang datar, tapi kini aku mengalaminya.

    “Bukan manusia?”

    Aku mengangguk perlahan, lesu.

    “Apa maksudmu?”

    Otakku memuntahkan ribuan kata untuk memproses dan mencari jawaban yang paling bagus untuk kuberikan, tapi tak ada satupun kalimat atau bahkan kata yang kutemukan untuk menjawabnya. Dan karenanya, aku tak menjawab apapun. Hanya saja kini hatiku berbisik mengenai kenyataan yang ada.

    Haru, manusia.

    Aku, shinigami, dewa kematian.

    Sebagai dewa kematian, tugasku di dunia ini adalah untuk mengantar seseorang ke alam kematian dengan damai. Daftar orang yang harus kujemput selalu dikirim setiap pagi, lengkap dengan dimana dan bagaimana cara orang-orang itu mati.

    Karena kenyataan itulah aku menarik diri dari kehidupan. Aku berkomitmen untuk tidak membuat ikatan emosional dengan siapapun. Terlalu menyakitkan bagiku bilamana aku mendapat seorang teman dan ditugaskan untuk mengantarnya.

    Tetapi, aku gagal. Aku gagal mempertahankan komitmen itu.

    Aku tahu aku harus selalu siap dengan kenyataan yang ada bilamana sewaktu-waktu aku harus membawa Haru ke alam kematian, tapi aku tak pernah bisa mempersiapkan diriku. Bahkan hingga kini, saat aku sudah ditugaskan untuk membawa Haru pada kematiannya, aku tetap tak mau menerimanya.

    Karena kenyataannya, kini aku amat menyukai sosok yang berdiri di hadapanku ini.

    Sangat menyukainya…

    ingin selalu bersamanya…

    Haru…

    “Yuki.”

    Aku masih menunduk untuk beberapa saat, tak menjawab apapun.

    “Bilang padaku yang sebenarnya.”

    Yang sebenarnya? Aku adalah dewa kematian. Ah, aku tinggal mengatakan padanya bahwa aku dewa kematian.

    Aku dewa kematian, Haru. Aku ditugaskan untuk menjemputmu. Aku…

    “Haru, aku…”

    Aku dewa kematian. Aku dewa kematian. Ayo, katakanlah. Yuki sialan! Sialan! Katakan saja. Katakan saja bahwa kau dewa kematian.

    “Aku…”

    Kenapa kata-kata itu tak bisa kukatakan?

    Perlahan kurasakan seluruh tubuhku gemetar. Bibirku setengah ingin bergerak, namun tak ada satupun suara yang keluar darinya. Yang muncul kemudian malah isak tangisku, lagi.

    “Aku…aku…”

    Sialan! Kenapa tak bisa kukatakan?

    “Haru…”

    Dengan tubuh gemetar, aku terus berdiri mematung.

    “Haru…aku…”

    Suaraku mulai berat, tertambat oleh air mata yang mulai mengucur. Dan kenapa aku masih tak bisa bilang yang sejujurnya padanya? Sial! Sial! Apakah ada sesuatu yang kutakutkan? Akh, aku bingung. Aku tak tahu lagi.

    “Haru…”

    Haru, ia memelukku tak lama kemudian.

    “Ssshhh, sudah. Tenanglah.”

    Didalam pelukannya, aku menangis.

    Haru tak mengerti sama sekali.

    Ia tak mengerti bagaimana sakitnya menjadi dewa kematian yang harus memandu sebuah jiwa ke alam kematian, termasuk jiwa seseorang yang amat berharga baginya. Seperti Haru, bagiku. Aku tak mau menyukai Haru, meski kini aku juga merasakan hal yang sama seperti yang Haru rasakan padaku.

    “Yuki…”

    Berada di pelukan Haru, aku tetap tak bisa mengatakan apapun. Hanya menangis, dan terus menangis.

    Hingga tak lama kemudian, aku memaksakan diri lepas dari pelukannya dan berteriak, “Pergilah, Haru!”

    “Yu…Yuki! Kena-“

    “Haru sama sekali tak mengerti!”

    “Yuki!”

    BRAKK!!

    Kubanting pintu kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar. Haru kembali menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil namaku, namun aku tak mau menemuinya.

    “Yuki!”

    Pergilah, Haru!

    Pergilah…

    ***​

    Tik…tok…tik…tok…

    Jam berapa ini? Sebelas? Duabelas? Ah, hujan turun deras diluar sana.

    Aku menangis hingga terlelap, dan tanpa kusadari malam sudah sangat larut. Perlahan aku mencoba bangkit dan mereka-reka semua yang terjadi.

    Haru datang ke rumah, dan mencoba mencari tahu alasan kenapa aku menjauhinya. Aku menolak memberitahunya dan mengusirnya pulang. Kemudian, menyesali kenyataan bahwa aku dan dia tak bisa bersama, aku menangis hingga tertidur. Yang kutahu selanjutnya adalah, aku harus menjemputnya tepat jam dua belas malam.

    Sekarang pukul sebelas lewat empat puluh lima, lima belas menit sebelum jam kematiannya. Lima belas menit sebelum kami berpisah.

    Lima belas menit.

    ………

    Kuraih telepon genggamku, dan mulai mencari kontak nama Haru di layar telepon.

    Dapat.

    “Halo? Yuki?”

    “Haru,”

    “Yuki, ah, syukurlah. Kukira kau masih marah padaku.”

    “……….”

    “Anu, Yuki, tentang kejadian tadi, aku benar-benar minta maaf. Tak seharusnya aku menggedor-gedor pintu dan memaksamu menceritakan apa yang terjadi. Ahaha, aku ini-”

    “Haru,”

    “Y…ya? Yuki?”

    Aku terdiam sejenak, menggenggam telepon kuat-kuat di telinga. Kupejamkan mataku sambil menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba saja aku teringat semua kenanganku dengan Haru saat mataku tertutup, dan semua itu membuatku tersenyum.

    Kenangan saat pulang sekolah bersama, makan bersama, jalan-jalan di taman, melihat langit di atap sekolah, membaca buku di perpustakaan, semuanya terasa begitu indah.

    Semuanya mungkin akan berakhir, tapi…aku akan tetap menyimpan semua kenangan ini.

    Aku menyukai Haru, sungguh menyukainya.

    Kini, menghembuskan napas penuh kepasrahan, aku membuka mata. Sebuah senyum kecil dapat kurasakan tersungging di bibirku.

    “Sejujurnya, Haru, aku ingin meminta maaf padamu atas semua yang telah kulakukan.”

    “Eh, kenapa?”

    “………”

    “Yuki?”

    “Karena,” aku mengambil napas sebelum lanjut menjawab. “Karena kurasa inilah saatnya aku berpisah denganmu, Haru.”

    ***​

    Palang pintu dekat stasiun Natsuzora, pukul sebelas lewat lima puluh lima. Sudah lima menit aku berada disini. Berdiri dibawah siraman hujan, kini aku menunggu kemunculan Haru. Aku yakin ia akan datang.

    “Yuki!

    Ah, sesuai dugaanku, dia muncul. Aku tak memintanya datang ke palang pintu kereta api ini, tapi takdir kematiannya memanggilnya. Dengan suatu alasan ia tiba disini, dan akan mati tepat lima menit lagi.

    “Sedang apa kau disini?” Ia berteriak dari ujung palang pintu perlintasan sementara aku berada di ujung yang satunya.

    “Kau sendiri sedang apa disini?” Aku balas berteriak sambil melambai-lambaikan tangan. “Sudah waktunya tidur, bodoh!”

    “Aku kesini, ah, tadinya aku ingin datang ke rumahmu.”

    “Eh? Untuk apa?”

    Dari kejauhan, dapat kulihat Haru tersenyum.

    “Yuki, aku ingin terus bersamamu.”

    …………

    Aku tertegun, diam. Mendengar kata-katanya yang seperti itu, hatiku dibuat terenyuh.

    “Kau tahu, Yuki. Aku–”

    Teng…teng…teng…

    Ah…

    Palang pintu kereta api ini sudah mulai menutup. Suaranya yang tadi, apa yang ia akan katakan, semuanya terhenti oleh palang pintu kereta ini.

    “Yuki!” Kembali Haru berteriak, tapi aku tak bisa mendengar apa yang ia ucapkan dengan jelas.

    “Aku tak bisa mendengarmu, Haru!”

    Dan seolah tahu apa maksudku, Haru berteriak lebih keras.

    “Yuki, aku menyukaimu!”

    Eh…

    “Tinggallah bersamaku selamanya, jangan bilang perpisahan.”

    “………”

    “Apapun yang terjadi, aku akan terus ada disampingmu!”

    ………

    Bodoh.

    Betul-betul bodoh.

    Haru, seorang anak manusia yang masih berumur enam belas tahun, dengan bodohnya mengatakan hal-hal tidak masuk akal seperti itu. Ah, betul-betul tidak waras. Ia tak sadar bahwa dalam beberapa tahun lagi akan ada banyak hal yang menantinya. Ia harus kuliah, mengejar cita-citanya menjadi pilot, mendapat karir bagus, dan melakukan banyak hal-hal menyenangkan. Masih banyak hal lain yang seharusnya ia lakukan daripada tinggal bersamaku.

    Tapi, kata-kata yang ia ucapkan itu, entah mengapa aku amat bahagia karenanya. Dan lewat kata-katanya itu, dapat kurasakan kini mataku berbinar.

    Haru…

    Aku juga…ingin terus bersamamu.

    Haru melirik kiri dan kanan rel kereta. Sadar bahwa kereta masih belum terlihat, ia nekad menerobos palang pintu. Dipanjatnya besi bulat yang menghalangi jalan tersebut.

    Mencoba menyeberang rel kereta. Ia sedang berjalan menuju kematiannya.

    “Haru! Bahaya!”

    Entah kenapa suara itu keluar dari mulutku disaat aku seharusnya membiarkannya tewas. Haru sudah seharusnya mati, tapi aku tak mau itu terjadi.
    Aku benar-benar tidak mau.

    Aku ingin Haru tetap hidup.

    Kuputuskan bahwa aku takkan membiarkan Haru mati disini. Garis takdir Haru akan kuubah!

    “Haru! Jangan bergerak! Diam disana! Haru! Dengarkan aku!”

    Sirine kereta api terdengar tak lama kemudian. Di ujung sebelah kiri, cahaya lampu yang amat menyilaukan dari lokomotif kereta terlihat jelas.

    “Haru!”

    Ia kini sudah tiba di tepian rel kereta. Sial! Suaraku sama sekali tak terdengar olehnya.

    “Haru! Diam disana! Haru! Haru! Haru!”

    Suara sirine kereta terdengar makin jelas, dan Haru sama sekali tak sadar dengan kereta yang sudah semakin dekat itu. Ia malah mulai berlari.

    “Haru!”

    Jarak kereta itu semakin dekat. Sial! Haru bisa mati!

    Tak punya pilihan, akupun mengucapkan mantera! Setelahnya aku berteriak keras-keras.

    “TIME STOP!”

    Time stop.

    Kekuatanku sebagai dewa akhirnya kugunakan. Dengan time stop, waktu akan terhenti untuk beberapa saat, dan semua objek akan berhenti bergerak, kecuali aku, tentu.

    Dihadapanku kini tampak Haru yang menatap ke arah kiri dengan wajah lugu. Didepan wajah Haru, sebuah lokomotif kereta tampak diam. Masinis kereta itu menatap Haru dengan wajah amat terkejut.

    Berhasil!

    Haru tidak mati. Syukurlah.

    Perlahan aku beranjak, berjalan ke arah Haru dengan senyum pahit. Tiba dihadapan Haru, aku mendorong tubuhnya hingga jatuh. Namun demikian, ia masih dalam jangkauan kereta, jadi kuseret tubuhnya yang cukup berat - terus kuseret hingga ia tiba kembali dibalik palang pintu kereta api.

    Dengan begitu, Haru takkan mati. Ia akan terus hidup.

    Sebaliknya, akulah yang akan mati.

    Aku menyalahi takdir. Aku menyelamatkan seseorang yang sudah seharusnya menemui ajalnya. Setiap dewa kematian yang gagal menjalankan tugas, akan menghilang dari dunia ini.

    Dan perlahan aku juga dapat merasakan tubuhku menyatu dengan udara. Seluruh tubuhku bersinar terang, memudar menjadi buih-buih cahaya.

    Sebentar lagi, aku akan menghilang tanpa bekas.

    ………

    Aku tidak menyesal.

    Aku bahagia, karena di saat-saat terakhir seperti ini pun aku masih bisa bersama orang yang amat berharga bagiku.

    Tubuhku mulai menyatu dengan udara, memudar. Tanganku, kakiku, seluruh tubuhku mulai berwarna transparan. Aku mulai menghilang, aku mulai lenyap.

    Tapi, aku senang. Haru masih hidup, dan hanya itulah yang kini kuinginkan. Tak ada lagi yang lebih bisa membuatku tersenyum.

    Kupeluk tubuh Haru kuat-kuat, sadar bahwa itu akan jadi pelukan terakhirku.

    Haru…

    “Untuk semua yang kau lakukan padaku, terima kasih. Kau telah melakukan banyak hal dan aku tak bisa membalas satupun dari itu.”

    Tubuhku makin menghilang, makin memudar.

    “Andai aku bisa terus bersamamu…”

    Makin memudar.

    “Aku juga sangat ingin bersamamu…”

    Makin memudar.

    “Karena aku menyukaimu.”

    Wajahku, suaraku, dan wujudku, kini semuanya menghilang.

    Rumah milik Yuki mulai dikosongkan untuk dijual kepada penghuni baru.

    Tak ada seorangpun yang tahu kemana Yuki pergi. Beredar isu bahwa Yuki telah meninggal karena kecelakaan kereta api, dan jenazahnya sudah dimakamkan di suatu tempat yang tak seorangpun tahu. Mungkin ditenggelamkan di laut, mungkin dikremasi dan abunya ditebar, entahlah. Tak seorangpun tahu pasti.

    Namun kemudian, sebuah catatan harian ditemukan di rumah Yuki saat penghuni barunya mulai membereskan barang-barang miliknya. Catatan harian itu berbentuk sebuah buku dengan sampul berwarna ungu. Beberapa halaman buku itu terisi penuh oleh curahan hati seorang gadis. Didalamnya ada pula ikat rambut warna warni, dan foto seorang gadis yang tersenyum kikuk ditemani teman lelakinya yang merangkul pundaknya.

    Di dua halaman terakhir, sebuah cerita tertulis.

    ***​

    Untuk Haru,

    Catatan ini mungkin berlebihan, seperti serial drama di TV, tetapi aku tak tahu bagaimana lagi aku harus mengatakan ini semua. Dan, jujur saja, menulis semua ini, aku merasa kebingungan.

    Aku harus memberitahumu sesuatu, Haru. Sesuatu yang amat ingin kusampaikan sejak dulu. Mungkin kau akan marah atau kecewa dengan ini semua, maafkan aku.

    Haru,

    Aku bukan manusia. Aku adalah shinigami, dewa kematian.

    Tugasku di dunia ini adalah untuk membantu setiap jiwa pergi dengan tenang ke alam kematian. Dan mungkin saja, aku harus membawamu juga suatu saat nanti.

    Membayangkan hal itu terjadi, aku amat takut.

    Aku amat takut bilamana surat untuk menjemputmu datang. Andaikata aku diminta menjemputmu, aku tak tahu apakah aku akan sanggup melakukan tugas itu atau tidak.

    Terlalu banyak kenangan yang kita buat bersama, dan aku tak mau semua itu berakhir begitu saja dengan surat perintah kematian.

    Haru…

    Ingatkah saat kita pergi ke taman? Saat kita berjalan beriringan dibawah rimbunnya pepohonan? Kau bercerita ini itu tentang kehidupan, keluarga, dan cita-citamu sebagai pilot. Kau bilang bahwa kau amat ingin pergi ke langit, agar dapat melihat dunia lebih jelas.

    Dan Haru, ingatkah kau foto pertama kita?

    “Nah, Yuki, bilang cheese!”

    Cheese, jawabku ragu-ragu. Hahaha, lucu, ya?

    Bersamamu, Haru, banyak hal yang kulewati, yang masih ingin kulalui bersama bahkan untuk beberapa puluh tahun lagi. Membaca buku di perpustakaan, pergi ke pantai dan melihat laut, pulang sekolah bersama, berlarian di taman bunga, tidur bermalas-malasan sambil melihat awan yang bergerak.

    Haru, bagaimana reaksimu jika kukatakan bahwa semua itu tidak mungkin terjadi?

    Jika kukatakan padamu bahwa aku adalah seorang dewa kematian, dan harus menjemputmu suatu saat, akankah kau marah padaku? Akankah kau benci padaku?

    Haru…

    Entah bagaimana, kini suaramu dapat kudengar dengan jelas.

    “Hei, hei, Yuki, sudah coba restoran mie dekat stasiun?”

    “Ah, tak sampai ya? Sini kuambilkan. Kau memang suka sekali ensiklopedi ya? Haha.”

    “Yuki, nanti sore temani aku ke toko mainan ya?”

    “Yuki, ayo pulang bersama.”

    “Yuki…”

    “Yuki…”

    Aku bisa mendengarmu, Haru.

    “Mulai hari ini, Yuki, teruslah bahagia.”

    Ya, Haru. Aku bahagia, Haru.

    Enam bulan terakhir merupakan momen-momen paling menyenangkan bagiku. Kuharap, kita masih akan memiliki momen-momen ini dalam beberapa puluh tahun lagi. Namun bila ternyata semua ini harus berakhir dengan cepat, aku akan menyimpan semua kenangan ini bersamaku. Kenangan-kenangan bersamamu, aku tak mau menukarnya dengan apapun. Aku takkan mau menukarnya bahkan dengan seisi dunia sekalipun.

    Kau telah memberiku banyak hal dan aku masih belum bisa membalasnya dengan apapun.

    Maafkan aku, Haru.

    ……….

    Tulisan ini jadi terlalu panjang, jadi akan kuakhiri disini saja.

    Haru, aku memiliki kekuatan. Setiap dewa kematian memiliki kekuatan yang disebut Time Stop. Aku terpikir untuk menggunakannya bilamana aku harus menjemputmu. Bagaimanapun aku ingin kau terus hidup. Banyak hal yang masih harus kau lakukan. Juara kelas, lulus sekolah, masuk akademi pilot, menerbangkan pesawatmu…

    Sebagai bayaran atas kehidupanmu, aku akan menghilang dari dunia ini. Tapi aku takkan menyesal jika harus melakukannya.

    Karena bagaimanapun, kau adalah orang yang berharga bagiku, Haru.

    Mungkin akan terasa tidak adil jika aku tiba-tiba saja menghilang dari dunia ini.

    Tetapi, Haru, kau bisa menemukan banyak Yuki yang lain dalam hidupmu, aku yakin kau mampu. Sedangkan untuk kehidupanmu, kau hanya punya satu kehidupan.

    Karenanya, Haru, aku ingin kau tetap hidup.

    Tetaplah hidup, lulus sekolah, terus hidup dan bahaga sampai kau tua nanti, Haru.

    Ah, maafkan aku bila kertas ini basah. Air mataku keluar sendiri, hehe.

    Esok hari matahari masih akan terbit, dan kelas masih akan dimulai. Esok hari, temani aku lagi ya, Haru? Kau bilang kau akan mentraktirku makan mie ramen di warung disamping palang pintu kereta api Natsuzora. Hihi, aku jadi tak sabar menunggu esok tiba.

    Hmm, sedikit kata lagi saja.

    Haru, aku amat menyukaimu.

    Yuki

    original link
     
  11. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    entri di antologi season 3 :nikmat:

    Wish
    Genre : romance

    Majalah-majalah di meja samping tampak berserakan. Sudah kurapikan, memang, tapi aku kembali membaca beberapa. Banyak artikel menarik didalamnya, beberapa tentang bagaimana membina hubungan yang baik dengan teman, sahabat, atau kekasih. Aku menghabiskan waktuku di rumah sakit ini dengan membaca artikel-artikel tersebut, dan berharap bahwa saat aku sembuh nanti, aku bisa menerapkan beberapa trik romantis yang aku baca, seperti bermain berdua di taman bermain, memancing berdua di danau, atau makan sepiring berdua.

    Yang mengganggu pikiranku sekarang, adalah bahwa semua itu mungkin tak dapat terwujud bahkan sebelum aku mulai melakukannya.

    “Putus?”

    Alan menghentikan kata-katanya sejenak, menarik napas dalam-dalam dan kembali berbicara dengan nada suara yang berat, namun tegas. “Ya, aku ingin kita
    putus.”

    Aku tercengang dan terdiam untuk sesaat. Jantungku berdegup kencang. Semua yang ia katakan, semuanya begitu tiba-tiba. Saat aku mulai bahagia dengan kehidupanku, saat aku bisa menikmati hari-hariku dengan lepas, Alan memintaku mengakhiri hubungan ini. Ia mengatakan semuanya begitu saja, tanpa beban, tanpa mengerti apa yang aku rasakan saat ada disampingnya. Dan selama ini, aku terus memercayainya, sambil terus mereka-reka kenangan indah yang mungkin akan kubuat dengannya…

    Lalu, entah mengapa, seketika semua yang ada dihadapanku berputar lambat.

    “Ke…kenapa?”

    “Sebenarnya…”

    Aku mendengarkan dengan perasaan pahit saat Alan menceritakan semuanya. Tentang Ian, tentang Daniel, tentang taruhan yang mereka buat. Alan memang berandalan, tapi, untuk melakukan hal seperti itu, dan mengakhiri semuanya seperti ini, akh, aku tak pernah menyangka ia akan melakukannya. Seharusnya aku mendengarkan nasihat teman-temanku untuk tidak berpacaran dengannya.

    Tapi apa mau dikata, aku mencintainya. Bahkan hingga kinipun, saat ia menghancurkan perasaanku, aku masih sangat mencintainya.

    “Semua itu, hanya untuk makan gratis?”

    Alan mengangguk. “Maafkan aku.”

    Tak tahu apa yang harus kukatakan, aku tak menjawab. Tubuhku kaku, lemas. Saat Alan mulai meraih tanganku, aku hanya bisa diam untuk sesaat, untuk kemudian segera menarik tanganku perlahan.

    “Amy?”

    Aku diam, menggeleng, menundukkan kepalaku dengan perasaan pilu. Aku tak ingin melihat wajah Alan.

    “Amy maafkan aku…”

    Ia menghela napas untuk kemudian beranjak, melangkah perlahan, menatap jauh ke luar jendela. Aku masih menunduk, perasaanku amat sakit dibuatnya. Aku belum pernah merasa begitu bahagia seperti saat aku bersamanya, dan kini ia merenggut semuanya.

    Tubuhku gemetar perlahan. Tak kurasakan air mata yang entah sejak kapan mulai mengucur deras dari mataku, turun ke pipiku, dan jatuh menetes membasahi buah apel pemberiannya yang masih terbaring di telapak tanganku.

    “A…Amy?” Alan mulai mendekatiku dan meraih pundakku dengan kedua telapak tangannya. Aku tak tahan untuk berteriak.

    “Jangan sentuh aku!”

    “Amy, maafkan aku.”

    “Pergi! Pergi sana!”

    Alan masih tidak mau pergi. Ia tetap duduk di ranjangku, melihatku menangis. Aku tak mengerti mengapa – mungkin ia senang melihatku sakit hati.

    Dan kini ia mulai bertindak seolah ia menyesal dengan apa yang dikatakannya. Telapak tangannya mulai meraih rambutku perlahan, meski kemudian aku menangkisnya dengan keras.

    “Pergi!” Kembali aku berteriak. Kali ini suaraku sudah amat parau, bercampur dengan air mata yang mengalir deras.

    “Amy, mengertilah. Bukannya aku tak mencintaimu. Aku tiba-tiba saja mengenalmu, lalu aku juga amat menikmati saat-saat bersamamu. Aku…”

    Aku tak butuh penjelasan Alan. Aku hanya ingin ia pergi, menghilan dari pandanganku. Dan meskipun kini Alan mengatakan banyak hal yang mungkin membuat hatiku luluh, aku sama sekali tak mau mendengarnya. Pikiranku kacau balau. Aku hanya ingin sendiri, diam dan menangis.

    “…karena itu Amy, mengertilah.”

    Aku tetap geleng-geleng kepala dan terisak. Alan masih diam sesaat, berusaha kembali meraih tanganku, meski aku segera menangkisnya.

    “Kumohon, pergilah…”

    Ia menatapku sayu, tampak sedih sekaligus lega karena tujuannya telah tercapai. Beberapa saat kemudian Alan beranjak berdiri dan melangkah menjauh. Pintu kamar ini ia buka lebar-lebar.

    “Amy, sekali lagi aku minta maaf, dan terima kasih untuk sepuluh hari ini. Kuharap semua diantara kita akan baik-baik saja.”

    Kemudian terdengar suara pintu yang tertutup. Amat jelas terdengar. Ia kini sudah pergi. Akh, padahal aku sangat ingin ia ada disini menemaniku. Tetapi semuanya kini berantakan, dan aku amat bingung dengan apa yang sebenarnya baru saja kulakukan. Kini aku hanya bisa menangis terisak, membayangkan banyak hal yang hilang dari kehidupanku.

    Aku sangat ingin ia ada disini, menemaniku, memelukku, mencintaiku.

    ***

    “Dan untuk kelulusan kalian, sekali lagi selamat. Selamat menempuh dunia nyata, anak-anakku. Selamat berjuang.” Kepala sekolah Flintlock High School kembali mengucapkan selamat, diiringi tepuk tangan yang riuh dari seluruh siswa. Pesta kelulusan kali ini ditutup dengan peresmian kelulusan langsung oleh kepala sekolah. Isi peresmian itu macam-macam. Ada petuah-petuah, nasihat, wejangan tetek bengek yang sudah kudengar ribuan kali hingga bosan.

    Aku berjalan perlahan, melewati beberapa siswa yang tertawa lebar, senang karena mereka telah lulus. Beberapa menangis dan saling menyalami satu sama lain. Beberapa yang lain tampak masa bodoh, bengong seperti hantu.

    “Hei, hei, kau dengar?”

    “Apa?”

    “Kabarnya, Amy dan berandalan itu sudah putus.”

    “Hah? Iya?”

    “Ahaha, gadis itu kena karma. Biar tahu rasa dia bagaimana rasanya disakiti.”

    “Hei, hei, jangan begitu.”

    “Memang kenyataannya seperti itu kan? Gadis itu harus dapat pelajaran.”

    Hentikan! Hentikan! Semua itu menyakitkan!

    Aku hanya bisa berteriak dalam hati, tak bersuara. Dan tentu saja cacian itu tetap kudengar dari para lelaki. Bukan salahku jika aku memilih Alan, tapi mengapa
    mereka semua amat membenciku? Sementara hinaan-hinaan dan tawa sinis penuh dendam itu terus kudengar, beberapa orang malah terang-terangan mengatakan semuanya dihadapanku, bahwa aku adalah gadis sombong yang kini merasakan buah kesombonganku.

    Dan tentu saja, aku hanya bisa diam tanpa menjawab apapun.

    Baru tiga hari yang lalu Alan meninggalkanku, dan hidupku serasa sudah berakhir. Aku bahkan tak bisa berpikir untuk hal-hal lainnya, seperti masuk universitas, atau bekerja, atau hal lainnya. Perhatianku masih sering tertuju padanya, memikirkan hal-hal yang biasa kupikirkan saat aku masih mengaguminya, dan saat aku masih bersamanya. Pikiran-pikiran seperti apa yang sedang ia lakukan sekarang, ada dimana dia sekarang, dan apakah ia juga memikirkanku terus bermunculan, menghantuiku.

    Aku masih mencintainya.

    Siang itu merupakan siang yang amat cerah. Awan menggantung di langit luas. Burung-burung berkicau dan hinggap di pepohonan yang ada di pekarangan sekolah yang beralaskan rumput hijau luas. Daun-daun bertebaran ditiup angin, beberapa jauh menerpa kepalaku yang tampak lugu menatap itu semua. Perlahan angin yang cukup kencang berhembus. Kurapatkan jaketku, kudekap erat-erat melintangi tubuhku.

    “Amy!”

    Seseorang memanggilku, dan bukan seseorang yang asing, kurasa. Saat aku menoleh kebelakang, ke tempat suara itu berasal, kulihat Alan berdiri menatapku. Ia melambai-lambaikan tangannya dan berlari mendekat.

    Aku panik tak karuan, tentu. Segera aku membuang muka dan berjalan menjauh. Sebuah cengkraman erat kemudian terasa di pergelangan tanganku.

    “Amy, hei!”

    Aku meronta-ronta, berusaha lepas dari cengkraman tangan Alan, dan berhasil. Namun demikian Alan tak menyerah. Ia menghalangi jalanku hingga kini berada dihadapanku. Aku berusaha lepas ke kiri, dan ia ikut ke kiri. Aku ke kanan, ia ikut ke kanan. Aku menyerah dan menghela napas. Ia sangat keras kepala.

    “Mau apa kau?” Tanyaku datar tanpa melihat wajahnya sedikitpun. Hanya beberapa saat kemudian, kudapati sepucuk bouquet yang diacungkan oleh kedua tangannya.

    “Selamat atas kelulusanmu.”

    “Dia mau apa sih?” tanyaku dalam hati, pura-pura tak mengerti apa yang diinginkannya.

    “Amy, aku tahu kau pasti sangat terpukul dengan apa yang aku katakan beberapa hari yang lalu. Maafkan aku Amy. Tapi, aku tak mau jika harus terus berbohong padamu, aku…” Ia berhenti bicara sesaat, berusaha menggenggam telapak tanganku meski kemudian aku menghindar. “Amy, aku tak mau membohongimu terus.”

    “Itu tak penting lagi sekarang,” jawabku. “Semuanya sudah berakhir, tak ada lagi yang harus dipermasalahkan.”

    “Kalau begitu, syukurlah.” Katanya kemudian. “Kita masih berteman kan?”

    Berteman? Apa dia gila?

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku berusaha pergi, meski ia kembali menghalangiku, merentangkan tangannya ibarat palang kereta api.

    “Amy, kau masih marah padaku?”

    Brengsek! Betul-betul brengsek! Si brengsek ini sama sekali tak punya rasa empati! Tentu saja aku masih kesal padanya, kenapa ia harus tanyakan itu padaku?

    “Aku harus pulang.”

    “A…Amy!”

    Alan berusaha meraih pundakku, namun aku segera menangkisnya dan menatapnya tajam. “Jangan sentuh aku!” Balasku sambil berlalu melewatinya. Meskipun kemudian, Alan kembali menggenggam lenganku, membuatku kembali berbalik menatapnya.

    Ia menatapku tak karuan, panik, untuk kemudian membuang bunngkusan bunga yang ia bawa sebelumnya ke tanah dan mengeluarkan dua lembar tiket dari saku bajunya.

    “Amy, kau bilang beberapa hari lalu bahwa kau sangat ingin ke taman bermain kan? Ini…” Ia menyodorkan sebuah tiket bertuliskan “Tiket masuk Flintlock Amusement Park. Buka dari pukul 8 pagi hingga pukul 10 malam.”

    “Amy, mungkin kau tak akan memaafkanku, tapi tolong terima ini, dan datanglah besok jam tiga sore.” Ia memelas. “Biarkan aku berusaha. Mengenai kau memaafkanku atau tidak, terserah padamu.”

    Aku diam, menatap tiket pemberiannya. Tanpa aba-aba Alan meraih tanganku kembali dan menyelipkan tiket itu ke tanganku.

    “Aku akan menunggumu hingga taman bermain itu tutup.” Katanya lagi, dan beberapa saat kemudian ia berlalu. Kupandangi tiket itu perlahan. Kertas kecil berwarna-warni itu membuat perasaanku kian kesal saja. Segera tiket itu kurobek, kubuang, dan kembali aku berjalan.

    Hanya beberapa langkah saja aku berjalan, karena kemudian pikiranku kembali berkecamuk. Bertemu dengan Alan hari itu benar-benar membuatku sedih tak karuan. Aku ingin sekali menangis.

    Aku berhenti dan berbalik kebelakang, menatap tiket yang baru saja kurobek.

    ***

    “Selamat malam, tiket untuk berapa orang?”

    Sang penjaga tiket menyapaku ramah. Dibelakangku sudah banyak orang mengantri. Aku tak punya banyak waktu untuk melihat paket bermain yang disediakan taman bermain ini, yang tampak diatas jendela box tiket.

    “Ah, tolong untuk satu orang.” Kataku sambil mengeluarkan dompet, dan sang penjaga tersenyum makin lebar saat aku menyodorkan dua dolar padanya.

    “Kenapa kau sendirian saja? Pacarmu mana?”

    Aku tersenyum kecut. “Be…belum punya pacar.” Jawabku lagi.

    “Belum punya pacar? Ah, sayang sekali, padahal kau cantik. Banyak anak seusiamu datang bersama pacar mereka.” Kata-kata sang penjaga tiket membuatku tersenyum pahit. “Selamat bersenang-senang,” katanya kemudian.

    Aku menerima tiket pemberiannya, dan mulai melangkah masuk. Banyak sekali hal yang baru kulihat disini. Ada bianglala, rumah hantu, box foto, badut, perahu di tengah danau kecil, dan musik merdu yang membuatku bergairah untuk berdansa. Aku jadi kembali teringat pada majalah-majalah yang aku baca di rumah sakit, tentang hal romantis yang bisa kulakukan bersama pasangan. Andai aku masih bersama Alan, mungkin aku akan sangat bahagia bermain bersamanya disini. Aku bisa menggaet tangannya saat berjalan bersama, bisa memeluknya saat masuk ke rumah hantu, menikmati langit kota dari atas bianglala, dan sebagainya. Tiba-tiba saja sebuah senyum sedih kembali mengembang dari wajahku, dan rasa sesak segera memenuhi dada. Kini, meski aku juga akan bertemu dengannya, semuanya takkan sama lagi.

    Aku sendiri tak mengerti mengapa aku memutuskan untuk datang dan menemuinya. Ini sudah malam, sudah pukul tujuh, dan sudah waktuku untuk istirahat.

    Sejenak aku terpaku saat melewati seorang badut yang ada di dekat danau. Ia menampilkan atraksi yang lucu : melempar berbagai benda ke udara dan menangkapnya, untuk kemudian melemparnya lagi. Beberapa orang di sekitarnya bertepuk tangan dan berdecak kagum.

    Hanya sesaat aku menikmatinya, karena kemudian aku menangkap sosok Alan yang berdiri membelakangiku, menatap jauh ke danau.

    Senyumku hilang. Kuputuskan untuk menghampirinya. Keramaian taman bermain ini seolah hilang perlahan seiring langkah kakiku yang terus mengayun mendekat. Kini jarak antara aku dengannya hanya sekitar dua meter.

    Dan seolah tahu akan keberadaanku, Alan berbalik, menatapku.

    “Amy?”

    Hatiku sebetulnya sangat senang saat ia menyebut namaku, membuatku amat ingin menghampirinya dan menggenggam erat tangannya.

    “A…aku hanya tak ingin kau berkorban sia-sia.” Kataku kemudian, menggerutu. Alan tersenyum sesaat. Wajahnya tampak bahagia.

    “Ayo, kita jalan-jalan.”

    Aku hanya bisa diam, menurut. Masih aku menjaga jarak darinya.

    Alan mengajakku ke semua tempat yang awalnya kuharapkan menjadi mimpi-mimpi indah bagiku. Setelah mengajakku membeli es krim, ia mengajakku masuk ke rumah hantu. Desisan dan tawa berat hantu-hantu yang disajikan ternyata tak terlalu menakutiku, begitu pula dengan penampakan mumi, drakula, dan mayat-mayat hidup yang ada. Sama sekali payah.

    Tapi Alan terus menjerit sepanjang waktu. Jangankan ketika mendengar cekikikan sang hantu, ia bahkan menjerit sangat keras ketika pintu masuk rumah hantu ini tertutup rapat. Ia mencengkram lenganku erat saat bertemu mumi dan drakula yang penuh dengan saus tomat di wajahnya. Puncaknya, di pintu keluar, ia dibuat menjerit keras dengan kehadiran sosok nenek-nenek yang menggantung dirinya sendiri tepat di hadapan kami. Jelas sekali bagiku bahwa sang actor tak pandai berakting. Ia memakai rambut palsu yang samnagt tidak rapi, dan siapapun bisa melihatnya dan bilang bahwa jejadian itu palsu.

    Tapi Alan tidak. Ia segera berlari menjauh dan berteriak minta tolong. Kakinya kemudian menginjak ember kecil yang ada di sebuah pojokan, dan ia tak bisa melepaskan diri darinya. Saat ia berlari, suara gaduh ember logam yang menyentuh lantai dapat terdengan amat jelas. Tang-ting-tong-ting, berisik sekali.
    Setelah lama berlari menjauh, ia kembali berlari mendekat – masih dengan suara ember sialan yang menyentuh lantai – saat sesosok drakula mengejarnya. Mendapati sebuah sapu di pojokan, ia segera meraihnya dan memukul-mukulkan sapu itu berkali-kali ke arah sang hantu sambil berteriak “Makan nih! Onta! Makan nih!”

    Sang hantu menjerit-jerit, minta ampun, meski kemudian kembali berdiri dengan darah mengucur dari kepalanya – kurasa itu darah betulan. Dan entah bagaimana ember yang ada di kaki Alan tiba-tiba terlepas. Segera saja ia hantam kepala sang drakula dengan ember yang kini sudah ringsek itu. Sang drakula mengaduh, kepala bagian atasnya tertutup ember. Alan yang panik malah kembali memukulkan gagang sapu yang digenggamnya berkali-kali. Dong! Dong! “Ember dungu!” Ia kembali berteriak.

    Akibat tingkah Alan, sang drakula menjadi pusing dan berjalan tak tentu arah, terhuyung-huyung. Alan terus menjerit-jerit seperti gadis, membuat sang drakula ikut menjerit dan berlari, menabrak tembok, menghancurkan beberapa properti, dan jatuh.

    “Ahaha…ahahahaha…”

    Entah mengapa, tawaku kini meledak-ledak. Kupegangi perutku karena tak kuat menahan kegelian yang ada. Saat Alan kembali, aku masih tak bisa menyembunyikan tawaku.

    Alan menatapku tersenyum.

    ***

    Alunan musik lembut mulai diputar perlahan oleh mesin pemutar piringan hitam yang ada di sebuah meja, yang diputar oleh seorang operator. Beberapa muda-mudi tampak larut berdansa diatas dek kayu dekat danau ini.

    Setelah puas mengajakku berkeliling – menonton pertunjukan sulap, main tembak boneka, membeli roti sandwich, dan sebagainya – Alan mengajakku ke tempat dimana musik itu dialunkan. Saat nada-nada indah dari piringan hitam itu bergema, aku dan Alan larut dalam kelincahan, meliuk-liuk menari. Kaki-kaki kami berdetak di lantai kayu ini, dan tawa riang memenuhi udara.

    “Lagu hits hari ini, Edith Piaf!”

    Seiring dengan tempo lagu yang makin meninggi, aku menari kian lincah, melompat dan berlari kesana kemari. Alan mengikuti gerakanku dengan tempo yang sama. Saat lagu itu tiba di puncaknya, Alan mengulurkan tangannya padaku.

    “Ayo!” ajaknya, dan tanpa ragu aku tersenyum lepas, meraih tangannya.

    Alan menggenggam jemariku kuat-kuat, merentangkan tangannya dan membawaku berputar. Kurasakan rambutku yang halus berkibar di udara. Jantungku berdegup kencang. Kini kami berdiri bertatapan, saling menggenggam erat jemari masing-masing, berputar, dan tertawa ibarat anak-anak. Orang-orang yang melihat kami bertepuk tangan dan bersorak.

    Aku amat bahagia hari itu, hingga lupa bahwa aku sudah tak punya hubungan apa-apa lagi dengannya.

    Saat lagu itu selesai, putaran kami melambat. Menatap Alan yang tampak senang, aku tak kuasa menahan hasratku untuk memeluknya erat-erat.

    “Alan,”

    Alan tak menjawab, meski perlahan ia membalas pelukanku.

    “Aku mencintaimu.”

    ……………

    Apa yang kurasakan kini? Entahlah.

    Aku tetap mencintainya meskipun ia mengkhianati perasaanku.

    original link
     
  12. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    entri di antologi season 4, dan lagi2 dibom si merp. ternyata kalo dipikir2 dia perhatian banget sama aku :terharu:

    Faraway Home
    Genre : action, military

    Namaku James Kowalski. Sersan dua, James Kowalski.

    Aku tidak tahu kenapa aku berada di tempat terkutuk ini, atau bagaimana aku berada disini. Aku bahkan…tidak tahu apa yang kulakukan disini, dimalam ini, diantara Ian, dan para prajurit yang kacau balau ini.

    Andai aku sadar dengan apa yang akan menimpaku, mungkin saat perang pecah dua tahun lalu, aku akan memilih berada di rumah saja.

    ……

    Rasanya melelahkan sekali.

    Aku amat ingin pulang…

    ***​

    “Blarr!”

    Terdengar suara dentuman-dentuman meriam dari kapal-kapal destroyer dan cruiser yang memenuhi selat Channel, memecah keheningan pagi berkabut dan membuatnya menjadi hiruk pikuk.

    Blarr!

    Blarr!

    Agh, sial. Merusak gendang telingaku saja!

    Normandia, Perancis. 6 Juni 1944. Sekitar pukul setengah tujuh pagi. Itulah detail tempat dan waktu yang kuingat.

    Ombak menggulung lautan, mengombang-ambingkan kapal kecil ini sehingga beberapa dari kami mabuk laut. Langit pagi berkabut, dingin, dan semua menjadi semakin dingin saat angin dan air laut menerpa tubuhku yang berdiri diantara desakan dua puluh orang di dalam kapal pendarat kecil ini – kami menamainya kapal pembunuh, karena memang kapal ini akan membawa beberapa dari kami, jika tidak semuanya, terbunuh.

    Dan pagi ini seharusnya ini merupakan pagi yang sunyi dan indah bagi sebagian orang, namun suara dentuman peluru meriam dari kapal-kapal destroyer itu benar-benar mengganggu. Belum lagi bunyi deru mesin kapal yang berisik. Akh, telingaku benar-benar mau pecah.

    Tapi itu semua mungkin masih bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hujan peluru senapan mesin, artileri, dan mortar yang kelak akan kami – prajurit divisi infanteri ke-1 US Army – terima. Tidak. Kekacauan yang sebenarnya belum dimulai.

    “Sisi kiri merapat! Sisi kanan merapat! Begitu sampai pantai, semua maju. Diam atau mundur sama saja dengan menjemput ajal kalian masing-masing. Kompak! Kerjasama! Disiplin! Kita akan melewati…”

    Kapten Dylan terus memberi pengarahan kepada kami, meski aku menggerutu dalam hati. Ini jelas bukan perang pertamaku, dan aku tahu apa yang harus kulakukan.

    Di kapal kecil ini, banyak wajah-wajah yang baru kulihat. Mungkin sebagian dari mereka takkan pernah kulihat lagi untuk selamanya, namun aku tidak peduli lagi dengan itu semua. Aku sudah belajar untuk tak terlalu peduli pada orang-orang karena kelak mereka juga akan mati, agar aku tak terlalu sedih. Dan…

    Blaaaarrrrrrr!

    Ah, serangan artileri musuh sudah dimulai, mengakibatkan sebuah dinding air muncul disamping kanan kapal yang menjulang sekitar sepuluh meter tingginya. Derai air jatuh kemudian menimpa kami laksana rintik-rintik hujan.

    Beberapa orang melihat dinding air tersebut dengan terkesima, beberapa lainnya mengumpat. “Oh, ********! Apa itu?” Seseorang lainnya berteriak. “Demi Tuhan, itu membuatku tuli!”

    Dan kudengar semakin banyak saja yang mengumpat saat suara-suara letusan dari artileri-artileri berat musuh kami, Jerman, kembali menghujam pantai, membuat lebih banyak lagi dinding air. Suara-suara cercaan seperti “Setan, bangsat, anji––,” ramai berbunyi.

    Syuuu-BLARR!

    Syuuu-BLARR!

    Agh, sial! Berisik!

    “30 detik!” Seru Letnan Burton, seorang perwira muda yang lima hari lalu baru merayakan ulang tahunnya ke-20. Dibelakangnya, prajurit Joshua memeluk senjatanya erat-erat dan berdoa komat-kamit. Sementara disebelahnya, Kopral Lynn tampak merokok dengan gugup. Seorang lainnya, Prajurit Evans, muntah, mabuk laut. Seorang lainnya sibuk memandangi foto orang yang dicintainya.

    “Lihat itu!” Tampak seseorang di anjungan bersorak. “Astaga, kita masih beruntung!”

    Ia menunjuk kepada sebuah kapal kecil yang habis terbakar. Sedikit kuangkat kepalaku, dan yang tampak dimataku hanyalah kepulan asap hitam yang muncul dari seonggok besi. Beberapa detik sebelumnya besi itu merupakan kapal pengangkut pasukan.

    Dan hasil dari kejadian itu sudah jelas – beberapa potongan tubuh tercecer di lautan. Tangan kiri, jari, telinga, dan potongan kepala yang masih lengkap dengan helm tentara tampak berseliweran mengikuti arus laut. Darah memenuhi lautan. Aku bergidik, dan kuputuskan untuk memalingkan wajahku lagi.

    “Cek perlengkapan!”

    Mengikuti suara Kapten Dylan, suara kokang mesin-mesin senjata kami berbunyi keras, beradu di udara. M1 Garand, M1918A4 B.A.R., Thompson SMG, M1019, Springfield, Colt 45, semua telah siap menunggu aksi.

    Aku telah berkali-kali terjun dalam pertempuran, tetapi aku selalu merasakan hal yang sama setiap akan memulainya – debar jantung yang berdetak kencang dan napas yang tak beraturan. Pintu besi didepan kami tampak membeku. Aku amat berharap pintu itu terbuka lebar-lebar, agar aku tahu nasibku kelak. Hidup atau mati.

    Bila pintu itu sudah terbuka, maka Kapten Dylan akan keluar lebih dulu, diikuti Prajurit Evans lalu Letnan Burton. Setelahnya Prajurit Peter akan keluar, lalu Prajurit spesialis peledak Bruce, diikuti Prajurit Joshua dan Sersan Dunn. Dibelakang Sersan Dunn masih ada Kopral Lynn dan seorang prajurit pengganti yang belum kukenal. Setelah itu, maka giliranku yang akan terjun keluar.

    “Hei, James,”

    Aku menoleh kebelakang. Sahabat terbaikku, Sersan Ian, menatap wajahku dalam, penuh makna. Ia menyodorkan selembar permen karet padaku, namun aku hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.

    “Tidak baik untuk kesehatanmu, eh?”

    “Tidak, bukan begitu.” Teriakku, karena dengan nada normal, suaraku takkan terdengar lagi. “Rasanya tidak enak, seperti bangkai tikus!”

    “Kau pernah makan bangkai tikus?”

    “Tidak, bagaimana denganmu? Kudengar itu santapanmu sehari-hari.”

    Ian membalas dengan tawa lebar-lebar.

    Ia sudah amat stress dengan perang, sehingga dalam situasi mematikan seperti ini pun dia masih bisa membuat lelucon.

    Kapal kecil kami tiba-tiba saja berhenti bergerak. Amat tiba-tiba sehingga bisa kurasakan tubuhku terpental sedikit kedepan.

    Inilah saatnya! Saat-saat paling menentukan!

    “Buka palka!”

    Salah seorang prajurit memutar palka, dan pintu mulai terbuka perlahan.

    Seketika semua di sekelilingku terasa amat lambat, berputar, sangat lambat.

    Satu…

    Dua…

    Tiga…

    Setiap detik yang berlalu terasa amat lama.

    Tarr!

    “Argh!”

    Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja peluru mulai memenuhi lambung dan dek kapal.

    ***​

    Kapten Dylan berhasil keluar, namun orang yang berdiri dibelakangnya roboh tersambar peluru.

    Semuanya terjadi amat cepat. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja peluru-peluru mulai berdesingan di dinding kapal bagian dalam bahkan sebelum pintu ini benar-benar terbuka.

    “Arrggh!”

    “Uagh!”

    “Ukh!”

    Beberapa orang rontok, tewas. Darah mulai memancar, bercipratan disana-sini, dan segera saja dek kapal dipenuhi oleh tubuh teman-temanku yang terbaring kaku. Aku panik bukan main. Saat melihat seseorang didepanku tertembus peluru, segera saja kugunakan tubuhnya sebagai pelindung dan segera aku melompat keluar. Beberapa mayat kulangkahi begitu saja. Beberapa rintihan rasa sakit juga kuabaikan. Air merendam kakiku saat sepatu boots milikku menginjak pantai.

    Untuk sesaat aku hanya bisa menarik napas sambil berlari tak karuan mencari tempat berlindung yang tak kutemukan sama sekali. Tetapi begitu melihat prajurit-prajurit yang lain berlindung dibalik jebakan tank, tanpa pikir panjang aku juga ikut melakukannya – berlindung dibalik jebakan tank yang hanya berupa tiga onggok besi yang dibangun menjadi palang. Tak memberikan perlindungan berarti.

    Yang tampak dihadapanku kini adalah kekacauan. Peluru-peluru senapan MG-42 yang dimuntahkan musuh beterbangan di udara, menembus beberapa tubuh prajurit yang sedang berusaha sekeras mungkin untuk berlindung. Aku tetap merunduk dibalik jebakan tank.

    “Cari tempat berlindung! Cepat!”

    Ah, Kapten Dylan! Itu suara Kapten Dylan!

    Sedikit mengangkat mataku, tampak dimataku Kapten Dylan berlindung dibalik seonggok jebakan tank sambil terus meneriakkan komando. Begitu melihat ada sebuah kesempatan untuk maju, segera aku menghampirinya. Beruntung buatku, beberapa saat setelah aku beranjak maju, tempat asalku sembunyi terkena tembakan artileri. Dua orang prajurit mental ke udara karenanya.

    Kapten Dylan merupakan orang pertama yang berhasil keluar. Orang yang berdiri diantara aku dan dia sudah tewas atau terluka, dan tak ada satupun dari mereka yang berhasil menginjakkan kakinya di pantai.

    “Kowalski melapor, pak!” Teriakku.

    “Yang lain?”

    “Belum lihat!”

    “Merunduk dan maju!”

    Dan kembali, dentuman-dentuman artileri musuh membuat dinding air dan dinding pasir bermunculan, membuat beberapa tubuh terlempar ke udara. Mereka yang berhasil selamat dari peluru artileri langsung rontok dihujani peluru senapan mesin.

    “Hujan peluru dimana-mana, pak! Kita terjebak!”

    Kapten Dylan tak mendengar kata-kataku dan terus berteriak. “Maju, dasar laknat! Maju atau kita akan mati!”

    Dihadapan kami semuanya sudah tampak seperti neraka. Nyawa manusia benar-benar tak ada artinya lagi. Semuanya kacau balau. Jauh didepan, seorang prajurit terbaring, merintih kesakitan setelah perutnya tertembus peluru hingga ususnya tercerai-berai keluar. Beberapa orang petugas medis berlarian, sibuk menangani pasien dan mengabaikan panggilan dan cacian tentara lain yang menunggu ajal disekelilingnya. Beberapa tentara mulai menembak, meski tak lagi jelas bagiku yang mana peluru lawan dan yang mana peluru teman kami. Seorang sersan tampak sibuk berteriak-teriak melalui radio yang digendong seorang mayat. “Bantuan, dasar laknat! Bantuan! Kami disembelih disini!” Seorang pembawa radio yang ada beberapa meter dariku juga sibuk berteriak melalui radionya. “Cat F! Cat F! Disini Able 2! Minta bantuan untuk serangan artileri dengan koordinat X523, Y778. Kuulangi, X523, Y778! Kami butuh serangan itu sekarang!” Sementara itu, teriakan-teriakan komando seperti “Maju! Demi Tuhan, Maju atau mati!”,”Peluru! Peluru!”,”Ikuti saya!” atau “Merunduk! Tetap merunduk!” Tak henti-hentinya terdengar, disamping rintihan dan jerit kematian yang terus bergema.

    Peluru dan artileri terus beterbangan. Potongan-potongan tubuh terlempar ke udara, dan orang-orang rontok seperti nyamuk. Tak ada jeritan yang lebih mengerikan untuk aku dengar, selain jeritan-jeritan kematian yang kudengar pagi itu.

    “Ikuti saya!” Kapten Dylan berteriak, dan segera mengambil langkah maju, diikuti dua orang prajurit yang belum kukenal. Sebuah berondongan senapan mesin kemudian merobohkan ketiganya.

    Ini gila!

    Sungguh gila!

    ***​

    Melompat melewati dinding samping kapal, Ian berhasil keluar dan berjalan tertatih-tatih. Barang bawaan yang berat serta medan tanah berpasir menjadi kendala baginya – juga bagi setiap orang yang berhasil mendarat dengan selamat di pantai – untuk bergerak cepat.

    Aku menyahut padanya sambil melambai-lambaikan tangan, berharap ia melihatku. Dan tak lama ia melihatku juga. Tanpa pikir panjang ia berlari secepat kilat, menembus rentetan senapan mesin yang kadangkala berbunyi mengenai besi-besi jebakan tank ini – saat peluru senapan mesin musuh membentur jebakan tank, suara yang terdengar kurang lebih sama seperti suara sebuah batu yang dimasukkan kedalam kaleng sardine, lalu diaduk.

    “Kapten Dylan?”

    “Tewas!”

    Ian menatapku terbelalak, berusaha mencerna informasi bahwa komandan kami sudah tiada. “Letnan Burton terluka dan sedang dirawat petugas disana!” Ia menunjuk sebuah titik dibalik sebuah kapal pendarat yang karam. Beberapa detik kemudian titik tersebut dihantam peluru artileri, membuat beberapa potong tubuh melayang ke udara. Aku tidak yakin Letnan Burton masih selamat.

    “Bagus, sekarang apa?” Gerutu Ian. Aku tak bisa langsung menjawabnya. Situasi yang ada terlalu kacau dan panik untuk bisa berpikir cepat.

    Beberapa prajurit tampak merapat di tepian kakiku, merangkak ketakutan sambil memeluk senjata mereka – beberapa bahkan tidak membawa senjatanya. Sejumlah prajurit mencoba berlari maju. Semuanya rontok. Seorang petugas medis mencoba menyelamatkan salah satu dari mereka, sebelum akhirnya tertembak di kepala dan roboh.

    Tak ada Kapten, tak ada Letnan, kini hanya aku, Ian, dan beberapa sersan lain yang bisa mengendalikan situasi. Dan dengan beberapa prajurit di belakangku yang tampak gemetar ketakutan, aku tak bisa menampakkan rasa takutku. Segera kusiapkan senjata, untuk kemudian mengintip arah peluru lawan dari pelupuk mataku. Setelah mengambil napas dalam-dalam, aku bergerak. Seseorang mengikuti dibelakang.

    Kemudian, sebuah rentetan peluru kembali memenuhi udara. Sebuah benda serupa tongkat baseball yang bersinar kekuningan tampak didepan mataku, dan untuk beberapa saat, dadaku terasa seperti dihajar oleh pukulan tongkat baseball seorang atlit veteran UCLA.

    Aku roboh ke tanah. Sekujur tubuhku kini rasanya sakit sekali.

    Tampak di ujung mataku, prajurit yang awalnya mengikuti dibelakangku kini tiarap dan merayap kembali ke tempatnya semula, dan kurasakan beberapa prajurit lain menarik kerah bajuku, menyeretku yang terbaring ke tempat aman.

    “James!”

    Samar-samar kudengar Ian bersorak. Entah sejak kapan ia berada didepanku. Segera ia mengeluarkan perban dan menekan dadaku kuat-kuat. “Medis! Petugas medis! Ada yang terluka disini!”

    Desingan peluru terus terdengar. Rintihan kematian terus menggema di udara, dan korban terus berjatuhan.

    Darah mengucur deras dari mulutku. Perutku terasa mual. “Kau beruntung, kawan. Peluru ini masih jauh dari jantungmu, jadi bertahanlah.”

    “Mudah dikatakan tapi susah dilakukan, bodoh!” Gerutuku dalam hati.

    Satu hal yang kuingat dari Kapten Dylan tentang terkena tembakan adalah jangan panik, dan akupun berusaha rileks sebisaku, membiarkan Ian terus berteriak-teriak memanggil petugas medis. Perlahan, mataku terasa berat. Amat berat. Ian memanggil-manggil namaku, namun aku tak bisa menjawabnya sama sekali. Menyedihkannya aku.

    “Petugas medis!”

    Perlahan, pandanganku benar-benar kabur. Aku tahu mataku masih terbuka, tapi aku tak bisa melihat apapun.

    “James!”

    “James!”

    Ah, lupakan aku, Ian.

    Aku ingin istirahat sejenak.

    ***​

    “James.”

    Terbangun dari lamunanku, aku menoleh ke arah Ian yang duduk disampingku. Dadaku masih terasa amat sakit.

    “Jangan banyak bergerak, kawan.” Katanya sambil kembali mendorong tubuhku agar aku berbaring nyenyak. “Kau masih harus istirahat.”

    Ah, iya. Aku masih harus beristirahat.

    Menatap langit gelap yang luas penuh bintang, juga mendengar suara ombak yang malam ini terasa tenang, rasanya batinku sedikit terobati. Meski dari kejauhan masih dapat kudengar rentetan tembakan.

    “Beruntung sekali kau, bisa dapat tiket pulang ke rumah dengan cepat.”

    “Hah?” Tanyaku, yang kemudian disela dengan batuk-batuk yang cukup mengganggu. Beberapa saat setelahnya aku baru bisa menjawab pertanyaan Ian, meski dengan nada parau. “Apa maksudmu?”

    “Dengan lukamu itu, kudengar kau akan dipulangkan ke Inggris, dan mungkin akan terus ke Tennessee, kampung halamanmu.”

    Ah…

    Benarkah itu? Aku bisa pulang? Maksudku, ini bukan lelucon, kan? Tak hal lain yang kuinginkan selain bisa pulang ke rumah.

    “Kau bergurau, ya?” Tanyaku. Ian menjawab pertanyaanku dengan senyuman bodoh.

    “Mana kutahu? Itu kan hanya isu.”

    Ah, dasar sial. Kalau dia sampai bergurau, akan kupastikan dia tak dapat gaji bulan ini.

    “Sersan Moore!”

    Seseorang berteriak. Seorang perwira menengah dengan pangkat Mayor. Dia komandan battalion kami, Mayor Arnold.

    “Siap! Sersan Moore!” Ian berdiri, memberi hormat.

    “Terhitung hari ini kau kuangkat menjadi Letnan dua Moore. Pasukan Kapten Dylan akan berada dibawah arahanmu sekarang.”

    “Eh?”

    “Ada yang kurang jelas?”

    “Ti…tidak! Semuanya jelas, pak!”

    “Bagus!” Seru Mayor Arnold lantang. “Dan kau, sersan Kowalski!”

    “Siap, pak!” Jawabku lirih, karena masih harus terbaring diatas tandu yang sama sekali tidak senyaman ranjang rumah sakit.

    “Kau akan dirawat di rumah sakit terapung di kapal induk USS Missouri. Kuharap kau segera kembali pada kondisi terbaikmu.”

    Eh, apa?

    Dirawat di rumah sakit terapung?

    “Aku tak pulang ke Inggris, pak?”

    “Kau bercanda?” jawab Mayor Arnold. “Luka kecil seperti itu bisa sembuh dalam sebulan. Kau akan bertugas kembali setelahnya. Mengerti?”

    ………

    “Jelas?”

    “…Siap! Dimengerti, pak!”

    Mayor Arnold melirik kami berdua dengan tatapan kosong, tak peduli. “Lanjutkan,” ujarnya lagi. Perlahan ia melangkah menjauh, makin jauh, hingga ia berbaur dengan tentara lain dan aku tak bisa melihat sosoknya.

    “Hei, Letnan dua Moore.”

    “Diam kau!” Ian menggerutu. Aku sedikit tersenyum.

    “Jika kita pulang nanti, akan kutraktir kau makan sepuasnya.”

    “Jika kita bisa pulang, kawan.” Jawab Ian tersenyum. “Jika kita bisa pulang.”

    original link
     
  13. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    entri di antologi season 5 :lalala:

    Dismantle
    Genre : Sci-fi, Slice of Life, Romance

    Tampak sebuah android – robot berwujud manusia – di sebuah lorong kota, duduk diantara tumpukan besi rongsokan.

    Ditemani hujan yang turun dengan deras, wajah sang android tampak menunduk. Matanya setengah menutup. Tubuhnya tak bergerak sama sekali dan tampak beberapa tikus yang datang dan berjalan diatas kakinya, tangannya, wajahnya, hingga keatas kepalanya. Petir yang sesekali menyambar menambah kesan kelam yang sudah tampak begitu melekat pada android tersebut.

    Wujudnya berupa seorang gadis berusia 15 atau 16 tahun, berambut pirang sebahu, mengenakan kemeja putih yang lusuh dan rok yang tampak berlubang di beberapa tempat. Seluruh tubuhnya, termasuk wajahnya, tampak kotor, kusam. Cahaya di matanya tampak meredup, menandakan bahwa dalam beberapa menit, semua sistem di tubuhnya akan mati secara permanen. Itu artinya, ia takkan berfungsi lagi.

    Seperti android lain pada umumya, ia akan berakhir sebagai barang rongsokan yang akan dibawa oleh unit dismantle untuk dibongkar ulang. Kedua tangannya mungkin akan dilumerkan untuk material truk. Kaki kanannya mungkin akan menjadi bahan baku bor listrik, kaki kirinya mungkin akan menjadi bahan baku tulang besi bangunan, pun dengan perut, leher, atau kepalanya yang mungkin akan berakhir menjadi barang-barang lain.

    Namun diantara semua itu, yang paling ditakutkan sang android adalah seluruh system memori di tubuhnya yang mungkin takkan kembali seperti sediakala. Dengan kata lain, ia takkan punya data tentang apa yang telah ia alami selama masa hidupnya.

    Rintik air hujan yang mengalir dari matanya mungkin bisa diartikan sebagai air matanya, karena bila ia bisa, mungkin ia sudah menangis. Sayangnya robot tak punya air mata.

    Aku amat mengerti perasaan sang android, karena akulah android tersebut.

    Namaku Alpha 006.

    Boleh dibilang, aku merupakan android model lama. Peranku kini tergantikan oleh android model baru yang lebih canggih.

    Aku sadar bahwa hari dimana aku akan berakhir di bak sampah seperti ini akan tiba, menunggu dibawa oleh unit dismantle untuk ‘dimatikan’. Semua android sepertiku sadar akan hal itu, dan kami telah diprogram untuk ‘dengan senang hati’ menerima takdir ini.

    Tetapi untuk alasan tertentu, aku tak mau pergi. Aku ingin tetap hidup. Atau setidaknya, aku ingin agar memoriku tetap hidup.

    …bagaimanapun, aku telah menjalani kehidupan yang menyenangkan.

    Sebuah suara tiba-tiba terdengar mengiang di telingaku.

    Warning! Battery level is now 5%. Recharge immediately. System will be permanently shutdown in 10 minutes.

    ………

    ***​

    Tahun dimana aku hadir di dunia ini adalah tahun 2089.

    Sama seperti kota-kota lain pada umumnya, Windy Town – sebuah kota di daratan Eropa – mengalami perkembangan pesat dalam hal teknologi. Salah satu efek dari perkembangan teknologi itu adalah munculnya sebuah gagasan untuk memperkenalkan android pada umat manusia.

    Android, robot berwujud manusia, pada hakikatnya merupakan robot yang didesain untuk membantu manusia mengerjakan pekerjaan mereka sehari-hari. Entah itu dari sekedar urusan mencuci baju, hingga menjadi bodyguard pribadi, para android hadir untuk tujuan-tujuan itu, membuat para android bekerja layaknya ‘pelayan’ bagi umat manusia.

    Dan aku sendiri pun lahir dengan tujuan itu.

    Lahir, bekerja, rusak, dibongkar, daur ulang, lahir kembali, bekerja kembali, begitulah siklus hidup yang kelak akan kujalani.

    Satu hal yang mungkin tak disadari para manusia adalah, bahwa kami, para android, juga memiliki pikiran dan perasaan yang umumnya dimiliki manusia. Ini diakibatkan oleh sebuah setting pada mother system android yang membuat kami bisa merespon balik apa yang para manusia lakukan. Sebagai contoh, kami tersenyum ketika dipuji, atau sedih ketika dimaki. Para manusia menganggap semua emosi yang kami miliki sebagai emosi artifisial, emosi palsu, yang dengan mudah bisa dimusnahkan bila para teknisi robot mereset ulang system yang kami miliki.

    Namun bagi kami, semua emosi itu benar adanya, dan rasanya tak ada satu android pun yang mau emosi mereka dihilangkan, meski pada akhirnya kami tetap harus tunduk pada perintah dan keinginan manusia – dalam hal ini, majikan kami.

    Hari itu, setahun lalu, merupakan hari yang cerah. Menatap langit yang biru dari etalase toko, aku bisa merasakan keinginan untuk berlarian dijalan seperti enam orang anak lelaki yang tampak dari balik kaca di etalase toko. Sebuah senyum muncul di wajahku saat beberapa dari mereka datang menghampiriku, menempelkan wajahnya di jendela dan melihatku dengan kagum. Meskipun begitu, mereka berlari ketakutan saat aku mencoba mendekati mereka.

    Sudah hampir enam bulan berada di pajangan dan belum ada seorang pun yang berminat padaku, rasanya cukup menyebalkan juga.

    Di kanan dan kiriku berdiri delta 098 dan delta 045. Dua android itu merupakan android baru yang menggantikan dua rekanku yang sudah terjual, beta 101 dan beta 067 yang dibeli oleh seorang pemilik kedai untuk dijadikan pelayan. Di toko ini, atau mungkin di kota ini, tampaknya hanya aku satu-satunya Alpha yang tersisa. Kenapa aku terlahir sebagai Alpha juga aku tak tahu pasti.

    Alpha merupakan android generasi lama, dan kehadirannya kini sudah mulai tergantikan oleh android yang lebih canggih, beta dan delta. Menjadi satu-satunya Alpha yang tersisa memang menyebalkan, meski sebenarnya tidaklah terlalu buruk. Aku masih bisa melakukan beberapa pekerjaan meski tidak secepat beta dan delta. Hanya saja, biaya perawatan Alpha sangat tinggi, dan dengan suku cadang Alpha kini sulit didapat, aku jadi kurang diminati pembeli.

    “Bagaimana dengan yang itu?”

    Suara seseorang terdengar dari balik tubuhku saat pelayan toko android ini membuka lemari kaca tempatku bercokol. Aku sontak menoleh, berbalik, dan berjalan menghampiri sang pelayan toko. Ia tampak sibuk berbicara dengan seorang pria yang mengenakan jaket kulit berwarna kecoklatan. Di mulutnya menggantung sebuah rokok. Ugh, aku benci rokok, meskipun kenyataannya aku tak bisa teracuni oleh asap rokok, namun aku tetap saja membencinya.

    “Alpha 006. Meski ia model lama, ia masih kuat, enerjik, dan cekatan.” Kata sang pelayan toko, memuji.

    “Hmm,”

    “Tuan, bolehkah aku menegurmu untuk kesekian kalinya? Disini dilarang merokok.”

    “Ah, maaf.” Kata sang lelaki. Ia menarik rokoknya dari mulutnya dan menghembuskan asap kelabu ke udara, hingga sampai di wajahku. “Tak bisa berhenti merokok. Aku lebih baik bayar denda saja.”

    Sialan!

    “Andaikata anda membeli android ini, aku jamin ia takkan keberatan bila anda mero-“

    “Aku benci perokok.” Kataku ketus. Dan tentu saja kata-kataku itu membuat sang pelayan kaget luar biasa. Wajahnya kini tampak pucat.

    “Perokok sepertimu seharusnya ditonjok saja.”

    Yak, aku melakukannya lagi.

    Salah satu alasanku belum terjual selama enam bulan – selain karena aku merupakan model lama – mungkin karena sikapku yang selalu mengucapkan apa yang kuinginkan, dan menomorduakan perintah sang kepala toko untuk bersikap manis dihadapan calon pembeli. Aku pernah tertawa saat melihat seorang pengunjung toko yang gemuk luar biasa, dan berkata dengan tawa lebar, “makhluk itu, tubuhnya seperti galon berjalan.”

    Pemilik toko ini sudah mengancam akan mengirimku ke unit dismantle, namun ia tak pernah melakukannya, karena pada akhirnya aku selalu melakukan tugasku dengan baik.

    Seperti saat ini, ketika aku membungkuk, memberi hormat dengan tangan kananku kuletakkan didepan dada. Dengan posisi ini aku tampak seperti pelayan kelas atas.

    “Alpha 006, siap bekerja untuk anda, tuan.”

    “Charles.”

    Eh?

    “Namaku Charles. Salam kenal.”

    ………

    Baru kali ini aku mendapati seseorang yang memperkenalkan dirinya langsung padaku. Sedikit mengangkat kepalaku, aku bisa melihat wajahnya yang tesenyum lebar.

    “Maaf kalau aku merokok. Sudah kebiasaan.”

    Aku tak membalas ucapannya dan kembali membungkuk. Hal yang mengejutkanku selanjutnya adalah suaranya yang kembali terdengar, “Berapa harga untuk robot ini?”

    “Ah, anu…80.000 Poundsterling.”

    “Aku ambil dia.”

    Eh? Apa?

    Aku dibeli seorang perokok? Agh, mimpi buruk apa yang akan kualami kelak?

    “Terjual.” Kata sang pelayan toko. Ia mungkin sudah menunggu saat-saat ini tiba.

    Uh, akhirnya aku dibeli juga. Meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku kelak, kini aku mempunyai majikan yang harus kulayani. Seorang perokok urakan. Agh, sial.

    “Bangunlah, Alpha 006.”

    Menerima perintah sang perokok, aku berdiri. Senyumnya yang makin lebar tampak dimataku.

    Perlahan, aku turun dari etalase toko. Berada di lantai membuatku sadar bahwa tinggi tubuhku teramat pendek – tak sampai ke dagu si perokok ini.

    Ia menepukkan telapak tangannya ke kepalaku, mengacak-acak rambutku dan terus memberikan senyuman hangatnya.

    Para pelayan toko segera pergi ke gudang dan mengambil alat-alat pengepakan. Sang perokok tampak tak peduli dengan itu. Alih-alih, ia kini menjulurkan tangannya padaku.

    …apa sih yang dia inginkan?

    “Charles Hawkeye, penerbang. Senang berkenalan denganmu.”

    Aku mengerti bahwa berjabat tangan adalah isyarat untuk menandakan pertemanan. Namun aku belum pernah melihat seorang majikan yang berteman dengan android.

    Si Charles ini, kurasa otaknya terbakar hebat.

    “Kenapa?” Tanyanya lagi. “Tak mau kenalan?”

    “Anu…itu…”

    “Hm?”

    Menatap wajahnya yang tetap dipenuhi senyum, ragu-ragu aku menjabat tangannya. Kuayunkan tanganku dengan irama yang sangat lambat, hingga si perokok ini harus menggapai tanganku lebih dulu agar kami bisa bersalaman.

    “A…aku akan bekerja sebaik mungkin.”

    “Itu bukan jawaban yang tepat.”

    Eh? Apa maksudnya?

    “Kau seharusnya bilang namamu, dan juga bilang salam kenal.”

    “Tapi…”

    “Apa?”

    …dia gila! Tidak waras! Sinting!

    Aku hanya android, dan bagaimana mungkin dia menganggapku sebagai temannya?

    “Ayo!”

    “…Alpha 006, salam kenal.”

    Pada akhirnya kata-kata itu bisa kuucapkan perlahan. Dan apa yang kurasakan saat mengucapkannya adalah semacam perasaan bingung luar biasa.

    Meskipun…ada sedikit perasaan senang juga yang muncul, yang tak bisa kujelaskan.

    “Nama itu kurang cocok bagimu. Mulai sekarang, kau akan kupanggil Emmy.”

    “Hah?”

    “Cocok kan?”

    …Emmy?

    Aku hanya bisa mengangguk perlahan saat melihat senyumnya yang lebar.

    “Itu nama bintang P*rn* yang sedang popular di TV loh.”

    Sialan!

    Pelecehan! Laknat! Menyebalkan!

    Para pelayan kembali datang dengan berbagai peralatan untuk mengepak tubuhku, tapi Charles menolak. Ia bilang ia akan membiarkanku duduk di kursi depan truk. Saat para pelayan bilang bahwa biaya 80.000 poundsterling untuk membeliku sudah termasuk dengan biaya pengepakan, Charles hanya berkata singkat, “Anggap saja itu tip untuk kalian.”

    Dan begitulah pertemuan pertamaku dengan Charles, penerbang bodoh yang kelak akan menjadi majikanku. Pertemuan pertama yang singkat dan penuh kecacatan itu masih terekam jelas di memoriku.

    Aku harap, aku takkan lupa dengan adegan itu.

    Aku tak ingin ingatan itu hilang…

    Warning! Battery level is now 4%. Recharge immediately. System will be permanently shutdown in 7 minutes.

    ***​

    “Bagiku kau ini bukan sekedar besi berjalan.”

    Itu yang Charles katakan saat aku dan Charles berjalan pulang bersama, dan entah bagaimana kata-katanya membuatku tenteram.

    Empat bulan berlalu semenjak aku dibeli oleh Charles.

    Suatu hari, hujan deras tiba-tiba saja mengguyur seisi kota tanpa peringatan. Sebagai seorang android, aku menjalankan tugasku sebaik mungkin, berlari ke kantor tempat Charles bekerja di pusat kota sambil membawa payung. Jarak antara rumahnya dengan kantor tempatnya bekerja mungkin sekitar tiga mil.

    Aku tak peduli lagi dengan tubuhku yang diguyur hujan lebat. Bagiku Charles lebih penting.

    Pemandangan yang sama kudapati di Windy Town, dimana banyak dari para android melakukan hal yang sama sepertiku. Beberapa dari para android ada yang sudah bertemu majikannya, berjalan kehujanan sementara majikannya asyik berpayung ria. Beberapa majikan ada yang memarahi dan bahkan memukuli android mereka, mungkin karena kesal menunggu terlalu lama, atau mungkin karena alasan lain. Para majikan itu, semuanya bersikap dingin, berjalan dengan payung yang hanya akan memayungi tubuh mereka – tak ada yang mau berbagi payung dengan android.

    Charles tampak diujung jalan, membuang puntung rokok sambil berdiri santai. Saat aku tiba dihadapannya segera aku membungkuk dan mengulurkan payung padanya. Sambil meminta maaf karena terlambat datang, aku menyiapkan diriku untuk cercaan dan mungkin kekerasan fisik yang dilakukan Charles.

    Tetapi yang ia lakukan kemudian adalah memayungiku.

    “Ayo, payungan bersama.”

    Ia…

    “Ganti baju begitu sampai rumah.”

    “A…anu…”

    “Apa?”

    Aku melangkah menjauh dari naungan payung yang dibentangkan Charles, dan sekali lagi menunduk. “Tuan saja yang pakai. Aku…tidak apa-apa.”

    Beberapa orang mellihat Charles, tertawa geli melihat apa yang dilakukannya. Tentu saja memayungi android adalah tindakan yang bodoh dan pantas untuk ditertawakan.

    Tetapi Charles, dia menarik tanganku dan kembali memayungiku.

    “Tuan…”

    “Panggil saja Charles.” Katanya singkat. Tangan kanannya merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil satu batang, dan menyulutnya.

    “Aku benar-benar tidak keberatan jika…”

    “Hm?”

    Charles menoleh, tersenyum. Menatap sosoknya itu aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

    “Tak ada yang salah dengan ini, kan?” katanya singkat, dan senyum lebarnya kembali kulihat beberapa saat kemudian.

    “Bagiku, kau lebih dari sekedar besi berjalan.”

    ………

    Kata-katanya itu mungkin terdengar bodoh, namun itu membuatku bahagia.

    Charles merangkul pundakku sambil terus berjalan, layaknya seorang kakak yang berjalan pulang dengan adik perempuannya.

    Satu jam perjalanan pulang dengannya saat itu merupakan sesuatu yang amat menyenangkan.

    Meskipun demikian, sebuah perasaan takut muncul pertama kali padaku saat aku mendapati sebuah kejadian yang seharusnya umum terjadi bagi para android. Sistem pengelihatanku mengalami mafungsi. Pandangan mataku tampak buram untuk beberapa saat.

    Kala itu aku tak memberitahu Charles soal itu. Yang kutahu selanjutnya adalah, itulah awal perpisahanku dengannya.

    Alpha merupakan android generasi awal, sebuah prototip. Produksi Alpha dihentikan setelah banyak keluhan mengenai kerusakan system. Sama sepertiku.

    Warning! Battery level is now 3%. Recharge immediately. System will be permanently shutdown in 5 minutes.

    ………

    ***​

    “Kau yakin ini tidak apa-apa?”

    Suara baling-baling pesawat kecil terdengar mengiang dengan jelas. Meski tanpa landasan pacu yang pasti, pesawat ini masih bisa terbang karena bisa mendarat dan lepas landas dari laut. Dan rumah Charles memang berada tepi pantai.

    “Ini barang rongsokan, kau tahu?”

    Kata-kataku mengacu kepada pesawat bermesin piston yang dimilikinya. Siapa pula yang masih menggunakan mesin piston di masa ini selain dia? Disaat teknologi jet sudah ketinggalan jaman karena telah tergantikan oleh teknologi fuel cell, Charles masih memakai pesawat mesin piston yang nyata-nyatanya lebih buruk dari mesin jet.

    “Percaya sajalah padaku, Emmy. Ayo naik!”

    Ragu-ragu aku berjalan. Langkahku amat pelan karena aku tak lagi dapat melihat dengan jelas sejak mengalami reboot darurat minggu lalu. Charles harus memapahku hingga aku tiba di kokpit belakang.

    Satu tahun telah berlalu semenjak aku dibeli oleh Charles. Satu tahun yang menyenangkan.

    Berada di tepi pantai, rumah tempat tinggal Charles lebih mirip gubuk daripada bangunan permanen. Hanya ada empat kamar di rumahnya : dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu kamar yang bisa disebut ruang tamu, ruang santai, dapur, ruang makan, atau bahkan tempat tidur darurat. Meskipun begitu, aku tetap senang, karena aku bisa menikmati pemandangan yang indah setiap harinya – setidaknya saat aku masih bisa melihat.

    Untuk urusan pekerjaan, Charles sepertinya membeliku tanpa tujuan yang jelas. Ia hanya bilang bahwa aku akan menjadi asisten dalam pekerjaannya memantau kondisi cuaca di laut lepas, namun biasanya ia hanya akan menyuruhku mengisi bahan bakar atau mengencangkan baut-baut di pesawat rongsoknya. Selain itu, aku boleh melakukan apa saja. Dan karena diberi kelonggaran seperti itu aku biasanya jadi memiliki jadwal rutin sendiri. Di pagi hari aku biasa memasak untuk Charles. Siang hari bisa diisi dengan memancing atau jalan-jalan ke kota sambil menunggu Charles pulang, sore hari mengerjakan pesawat, malam hari bercerita atau membaca buku hingga tertidur. Sebuah kehidupan yang menyenangkan.

    Meskipun beberapa waktu belakangan ini aku tak bisa lagi bepergian jauh ke kota atau melakukan pekerjaan pada pesawat Charles.

    Seminggu yang lalu seorang teknisi robot datang dan memeriksa seluruh sistem di tubuhku, yang kemudian kutahu bahwa banyak dari sistem tubuhku yang terkena malfungsi. Dan karena suku cadang untuk Alpha kini sangat sulit didapat, sang teknisi menyarankan Charles agar membawaku ke unit dismantle dan membeli android baru.

    Kenyataan seperti itu memang berat kuterima, namun aku hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan yang ada.

    Tetapi Charles menolak kenyataan itu.

    Melewati diskusi berjam-jam, sang teknisi akhirnya bilang bahwa ia akan kembali datang ke rumah dalam dua minggu, menyiapkan suku cadang dan system restore, dan melakukan apa yang ia bisa agar aku bisa kembali normal. Namun dengan sistem komputer dan partisi yang rusak di seluruh tubuhku ini, kemungkinan tubuhku kembali normal hanyalah satu banding dua.

    “Siap, Emmy?”

    “Entahlah, aku…”

    “Terbang!”

    Astaga, si bodoh ini tidak dengar apa yang kukatakan! Sialan!

    Perlahan pesawat piston model lama ini melaju diatas air, makin lama makin cepat. Aku sama sekali tak percaya ketika pada akhirnya mesin rongsokan ini melayang ke udara, dan terbang tinggi.

    Terus terbang tinggi.

    Selama beberapa menit pesawat ini melaju kencang, sebelum menurunkan kecepatannya dan berada pada ketinggian yang stabil.

    “Jadi, bagaimana rasanya terbang untuk pertama kali?”

    “Takut!” Teriakku, dan Charles membalasnya dengan gelak tawa.

    Dia berjanji akan membawaku terbang setelah membuatku iri dengan cerita-ceritanya selama mengangkasa. Ia bilang bahwa perasaan terbaik yang ia miliki adalah saat ia berada di langit lepas. Aku awalnya tidak terlalu ingin terbang, namun kini aku mengerti kenapa Charles amat senang dengan langit.

    Meskipun semua pemandangan indah dihadapanku tampak pudar, perasaan lepas selama berada di tempat tinggi, rasanya semua masalah hilang dalam sekejap.

    “Kau menikmatinya, kan?” Suara Charles terdengar samar-samar dari kokpit depan, berpadu dengan suara mesin pesawat. Aku hanya bisa mengangguk.

    “...menakutkan.”

    “Bohong.”

    Melempar sebuah senyum kecil, kini aku kembali menatap laut jauh di bawah, juga awan dan langit biru di langit lepas. Yang tampak pada penglihatanku kini hanyalah gambaran potret warna biru yang tampak seperti saat aku melihat di dalam air.

    “Kau akan baik-baik saja, Emmy.”

    ………

    Kenyataan bahwa kondisiku sudah tidak seperti dulu lagi membuatku sering memaki diriku sendiri. Terkadang aku bertanya-tanya kenapa Charles membeliku untuk pertama kali. Aku tak pernah berani bertanya padanya tentang hal itu. Tapi mungkin, sekarang waktu yang tepat untuk menannyakannya.

    “Di toko android itu, kenapa kau memilihku, Charles?”

    “Hm?”

    Kukatakan padanya semua yang mengganjal pikiranku selama ini, mengapa ia memilih Alpha yang jelas-jelas mudah rusak daripada Beta atau Delta.

    “Karena aku tak bisa membiarkanmu sendirian.”

    “Maksudmu?” Tanyaku perlahan.

    “Kau satu-satunya Alpha yang tersisa di kota, Emmy. Entah bagaimana, aku tak bisa membiarkanmu sendirian. Yang muncul di pikiranku saat itu adalah, bahwa menjadi Alpha yang terakhir di kota tentunya menyakitkan. Sendirian, kesepian, berada di etalase toko untuk waktu yang lama, atau berakhir di unit dismantle, aku tak bisa membiarkanmu mengalaminya.”

    “…kenapa kau begitu peduli padaku?” Tanyaku perlahan. Charles tak menjawab. Sebuah senyum pahit mengembang di wajahku saat aku kembali berkata, “…aku hanya mesin, kau tahu?”

    “Bagiku tidak.” Jawab Charles. “Mesin sepertimu juga merupakan teman, sahabat, atau mungkin benda yang amat kusayangi. Sama seperti pesawat piston ini.”

    Pesawat yang kami naiki perlahan berbelok. Dari arah miringnya aku tahu bahwa pesawat ini berbelok 90 derajat ke arah kiri.

    “Aku mengalami hal yang sama, Emmy. Aku terlahir tanpa adanya orangtua yang mengakuiku, dan besar di jalanan kota. Sendirian, tanpa adanya orang yang peduli padaku, rasanya sungguh menyakitkan.” Katanya dengan nada yang cukup tenang. “Sekarang ketika aku sudah bisa berdiri sendiri dengan kehidupanku, aku takkan membiarkan hal yang sama terjadi pada orang lain.”

    “Meskipun pada robot sepertiku?”

    “Tentu.”

    “…kau bodoh.”

    “Memang.” Jawab Charles, sedikit tertawa. Dan aku tak bisa menahan senyumku juga.

    “Bodoh, idiot, dungu…” kataku berkali-kali, dan Charles hanya membalasnya dengan tawa kecil.

    Sadar bahwa aku tak sendiri membuatku nyaman.

    Untuk beberapa saat kami terdiam, membiarkan desiran angin menyibak tubuh kami dan membiarkan suara mesin piston meraung kencang.

    “Aku sedikit takut dengan apa yang akan terjadi denganku kelak.” Kataku sayu. “Charles, kau bisa menemukan Emmy yang baru bagimu, kau tahu? Emmy yang lebih baik dariku.”

    “Aku tahu.” Jawabnya. “Tetapi memoriku tentangmu mungkin takkan bisa hilang. Menghapus memori seseorang tidak semudah melempar batu.”

    “………”

    “Kau akan baik-baik saja, Emmy.” Jawab Charles kemudian. “Aku tahu kau akan baik-baik saja…”

    Aku tak bisa berkata apapun lagi.

    Kata-kata Charles, entah bagaimana, memberiku semangat untuk terus hidup.

    Warning! Battery level is now 2%. Recharge immediately. System will be permanently shutdown in 3 minutes.

    ***​

    Reboot yang dijadwalkan telah selesai dilakukan. Hasilnya berujung pada kegagalan.

    Tubuh Alpha sepertiku sangat rentan terhadap bongkar pasang, dan ditambah dengan suku cadang yang minim, sang teknisi akhirnya menyerah.

    Menghadapi kenyataan itu, kekesalanku pada diriku makin memuncak. Perasaan kesal, sedih, takut, semuanya seolah bercampur jadi satu. Diantara semuanya, perasaan takut akan kehilangan Charles, atau mungkin penyesalan karena telah mengecewakan Charles, mungkin merupakan yang paling dominan kurasakan.

    Aku sama sekali tak berani menatap mata Charles saat kembali bertemu dengannya. Andaikata aku berani pun, wajahnya takkan tampak lagi. Pandanganku kini gelap gulita.

    Kenyataan bahwa aku sudah rusak, dan akan berakhir di tempat daur ulang membuatku putus asa.

    Aku tak ingin ini terjadi. Aku ingin diriku pulih. Aku ingin bersama Charles…

    “Charles, maafkan aku…”

    Pada akhirnya aku bisa mengatakan sesuatu padanya. Suaraku parau, terdengar sayu. Wajahku menyembulkan sebuah senyum yang entah menggambarkan perasaan apa.

    “Aku tak keberatan bila kau membuangku, atau marah padaku, atau meninggalkanku, Charles. Kau berhak mendapat yang lebih baik dariku. Robot lama sepertiku sudah seharusnya mendapatkan ini semua…”

    Sudah sangat jelas bagi kami berdua, bahwa waktu bagi kami bersama sudah usai.

    Tetapi yang kudapati kemudian adalah tangan hangat Charles yang tiba di kepalaku, bermain di rambut pirang milikku.

    “Tak ada alasan bagiku untuk marah atau kecewa, Emmy.”

    Eh?

    Charles…

    Tangannya yang bermain di rambutku terasa amat hangat. Dan setelahnya, dia kemudian mengatakan sesuatu yang membuatku shock.

    “Bisa ada disini bersamamu merupakan sebuah anugerah.”

    Charles. Ia…

    “Kita mungkin akan berpisah, namun aku bersyukur bisa bertemu denganmu, bisa bersamamu. Tak peduli akan jadi seperti apa dirimu kelak, kau tetaplah Emmy, Alpha milikku yang paling berharga.”

    “…aku hanya robot, bodoh…” kataku perlahan, berusaha menyadarkannya kembali bahwa aku hanyalah seonggok besi yang sudah hampir habis masa pakainya. Dan layaknya besi, atau benda-benda lain pada umumnya, merupakan hal yang wajar apabila manusia membuangnya.

    “Kau seharusnya tak mempedulikan robot sepertiku ini…”

    “Sudah kubilang padamu bukan? Bagiku, kau lebih dari sekedar besi berjalan.”

    ………

    “Bahkan robot sepertimu pun bisa tersenyum, tertawa, sedih, marah, dan hal itu tak membedakanmu seperti manusia yang lain.”

    “Bodoh…”

    Kata-katanya itu, lagi-lagi membuatku merasa bahagia telah dilahirkan.

    Tanganku perlahan menggapai ke udara, mencari-cari sosok Charles. Saat kudapati tanganku berhasil menyentuh lengan bajunya, segera aku menubrukkan diriku padanya.

    “Kau Emmy-ku yang paling berharga.”

    Aku mengangguk. Sebuah suara menggema berkali-kali di telingaku, memanggil-manggil namanya.

    Charles…Charles…Charles…Charles…

    “Kau idiot.”

    “Memang.”

    Jawaban Charles membuatku tersenyum kian lebar, dan memeluknya kian erat.

    “Charles, maukah kau…temani aku disini? Hingga semuanya selesai?”

    “Dengan senang hati.” Jawab Charles, mantap.

    Warning! Battery level is now 1%. Recharge immediately. System will be permanently shutdown in 1 minute.

    ***​

    Aku seharusnya sudah mati. Seluruh sistem seharusnya tak ada lagi yang berfungsi.

    Entah apa yang membuatku bisa bertahan untuk beberapa menit. Ingatanku tentang Charles, barangkali? Aku tak tahu pasti.

    Titik hujan yang turun menuruni mataku mungkin merupakan jelmaan air mata bagiku.

    Charles mungkin akan mempunyai android baru, meninggalkanku disini sendiri. Aku akan dibongkar, kehilangan memoriku untuk selamanya.

    Tetapi andai aku bisa dilahirkan kembali, aku amat ingin bertemu kembali dengannya. Meskipun aku tak mengingatnya lagi, kuharap aku bisa kembali dibeli olehnya, dan mengulang semua pengalaman hidup ini.

    ………

    Ah, tubuhku lemas sekali. Baterai di tubuhku tampaknya sudah akan mati.

    Sebuah truk terdengar menepi. Mungkin itu truk dari unit dismantle yang akan membawaku.

    Saat beberapa petugas mengangkat tubuhku, bayangan wajah Charles, entah bagaimana, muncul di memoriku. Wajahnya yang tersenyum lebar, suaranya yang memanggil namaku perlahan, semuanya muncul bagaikan mimpi. Aku balik tersenyum padanya dan menggenggam tangannya saat ia menjulurkannya padaku.

    Dan dengan bayangan itu, system di tubuhku mati secara permanen.

    original link
     
  14. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Sempet nulis tapi ga puas ama hasilnya :swt:

    Sylvia's Feeling
    Genre : Shoujo, School Life, Slice of Life

    “Kak Sylvia!”

    Ah, suara itu, siapa yang memanggil namaku? Sekilas aku memang kenal suaranya, tapi aku tetap menoleh kebelakang.

    “Kak Sylvia!”

    “Iris?”

    Aku melongo, melihat gadis kikuk dengan rambut pigtail lurus itu berlari terengah-engah. Apa yang ia lakukan di lorong sekolah sambil berlari menghampiriku aku tidak tahu pasti. Yang tampak dimataku adalah bahwa ia berlari menghampiriku seolah kesetanan.

    Dari tindakannya itu saja aku sudah merasa cukup risih, terutama ketika beberapa orang siswa menatap ke arah kami berdua sambil berbisik – mungkin mereka membicarakan tentang berita yang akhir-akhir ini menjadi isu hangat di sekolah, tapi aku tak mau menduga-duga. Saat tiba dihadapanku, Iris tak langsung bicara. Ia malah bernapas terengah-engah seperti kuda liar yang baru saja menang balapan.

    Dasar, rada bego.

    “Kak Sylvia!”

    “Y…ya?” Ogah-ogahan aku menjawab. Iris, tanpa aba-aba, langsung menggenggam kedua telapak tanganku dengan erat. Aku kaget, tentu.

    “H…hei…Iris!”

    “Kak Sylvia, apa benar sudah putus sama kak Elric? Beneran itu kak? Beneran? Soalnya tadi…kak Elric…kak Elric nembak temanku! Itu tandanya kak Sylvia sudah putus, ya?”

    Bagus.

    Ditengah kerumunan orang-orang, tiba-tiba saja dia membuat pengumuman yang menawan. Ah, cerdas benar. Benar-benar bocah luar biasa. Mungkin aku harus merekomendasikannya untuk dapat penghargaan dari Negara. Hahaha. Kenapa aku dikelilingi orang bodoh ya?

    Dan akibatnya, sekarang seisi lorong menatap kami berdua. Duh, kami kan bukan artis.

    “A…anu, Iris…”

    “Kak Sylvia, sabar yaa, jangan nangis yaa, nanti kalau kak Sylvia butuh teman cerita, kak Sylvia tinggal datang ke aku saja.”

    “Oii, oi,” Aku menggeram. “Iris, anu, bukannya kamu ada kelas ya sekarang?”

    “Ah, apa iya?”

    Dia benar-benar tidak waras, ya?

    “Ah, maaf kak. Aku lupa kalo ini tempat umum. Seharusnya obrolan ini kan hanya diantara kita, kak.”

    Ah, iya, tidak apa-apa Iris. Lain kali sekalian saja bawa pengeras suara.

    “Jadi, jangan nangis ya kak.” Iris menggenggam telapak tanganku makin erat, seolah akan meremukkan tulang telapak tangan ini. urgh, sial.

    “Dah kak Sylvia, nanti sore kita latihan bersama lagi ya.”

    Sambil berlari dan melambaikan tangan, Iris berlalu pergi. Aku melihatnya dengan memasang senyum yang luar biasa palsu, menahan kesal. Sebetulnya aku ingin menonjoknya, sih. sayang, dia anak orang.

    “Oi, itu kan Sylvia, ketua klub karate.” Terdengar suara bisikan dari salah satu murid. Aku refleks menoleh kebelakang.

    Hanya samar-samar kulihat, memang. Namun beberapa siswa menatapku sinis sambil berbisik – ah, mungkin tidak juga, karena aku bisa mendengar suara mereka meskipun kecil.

    “Sylvia Autumn, ya? Kasihan dia, korban playboy.” Seorang pria berbisik. Seorang wanita yang berdiri disebelahnya ikut menimpali, “Eh, eh, yang mana?”

    “Itu, yang memakai jaket hijau. Yang rambutnya berwarna abu-abu dan diikat.”

    “Oh, yang itu. Ah, sayangnya. Ia cantik, kan?”

    “Salah sendiri memilih playboy.”

    “Hei, hei, sudah. Kasihan kan ketua klub karate itu? Sudah, biarkan saja dia sendiri. Jangan diganggu.”

    Aku menundukkan kepalaku, dan seketika wajah pria itu kembali muncul perlahan. Pria yang menurut sebagian orang merupakan seorang penjahat hati.

    Salah, ya?

    Elric…

    Mereka bilang, menyukaimu adalah sebuah kesalahan. Tetapi aku…

    ***

    “Nah, kelas hari ini selesai, jangan lupa kumpulkan PR, esok hari tepat jam 2 siang.”

    Suara pak guru menghabiskan sisa pelajaran hari itu.

    Segera kurapikan buku catatanku. Disekelilingku orang-orang berlalu lalang, beranjak pulang sambil berbincang ini itu tentang kehidupan mereka.

    Letak mejaku tepat disamping sebuah jendela yang besar. Dan karena kelasku ini di lantai tiga, aku bisa melihat anak-anak lain yang sedang pulang ke rumah, termasuk beberapa yang sedang bercanda ria dengan pacar mereka. Haha, senangnya bisa mengobrol seperti itu.

    Ah, diantara mereka ada juga temanku, Rin. Ia tampak senang sekali berbincang dengan kekasihnya. Iseng-iseng, aku membayangkan apa yang sedang mereka perbincangkan.

    Baik, jadi, inilah yang ada di pikiranku.

    “Hei, pacar, kau kok pucat gitu? Tadi ulangan dapat nilai jeblok ya?

    “Yah, gimana ya? Si lobak memang guru yang ajaib, sih. Mengajar matematika tapi memakai bahasa alien.” Jawab pacar Rin, yang dibalas senyum riang oleh Rin.

    “Itu gurumu, tahu. Hahaha,”

    “Si lobak?”

    “Iya.”

    “Dia sih bukan guru, dia ahli bahasa, mengajar pakai bahasa alien begitu.” jawab pacar Rin, merengut, dan Rin makin tertawa dibuatnya.

    Setelahnya Rin mungkin bertanya mengenai apa yang ia alami kemarin malam di rumah, dan kekasihnya itu, ia mungkin sedang menimpali cerita Rin dengan guyonan lucu. Dan keduanya akan terus bercanda ria hingga tiba saatnya salah satu dari mereka naik kereta api di stasiun. Rin mungkin akan melambaikan tangan pada kekasihnya yang naik kereta. Mereka akan saling menatap hingga masing-masing dari mereka hilang dari pandangan, menunggu esok datang lagi dengan sejuta kenangan manis yang baru.

    Dan saat esok hari datang, tak ada yang perlu ditakutkan. Selama mereka masih bersama.

    Tanpa sadar sebuah senyum pahit mengembang..

    Semua yang kulamunkan itu, aku pernah mengalaminya, bersama Elric. Mengobrol bersama saat pulang sekolah, menggaet tangannya, duduk-duduk di taman hingga malam tiba, menyandarkan kepalaku di bahunya, dan menunggu kereta api di stasiun.

    “Melamun saja,” sebuah suara terngiang tiba-tiba, mengejutkanku. Dan, buk. Sebuah hantaman kecil kemudian mendarat di kepalaku. Kupegangi kepalaku yang baru saja ditimpuk.

    “Anne?”

    Mengetuk kepalaku dengan sebuah buku catatan, gadis berkacamata itu kemudian kembali berkata, “Jangan terlalu banyak melamun. Kau bisa bodoh nanti.”

    Aku tak menjawab apapun, hanya menatap Anne dan terdiam.

    “Apa ini semua tentang…”

    “Dia?” aku memotong cepat. “Oh, tentu saja tidak. Hahaha, kau ini bicara apa sih?”

    Aku segera mengganti topic pembicaraan, meski Anne tak menggubris. Sambil merapikan kembali catatannya, ia bertanya, “Kau masih ingat tentangnya?”

    “Eh?”

    “Elric?”

    Aku menggeleng.

    “Kau masih mengingatnya, Sylvia. Ya, kan?”

    “Lupakan saja, Anne. Hubungan antara aku dan dia sudah berakhir.”

    “Begitu?”

    Anne merupakan sahabat baikku sejak kecil, dan hampir tak ada rahasia diantara kami berdua. Jadi mana mungkin aku berbohong padanya kali ini?

    “Kau bisa cerita kalau kau butuh teman, kok.”

    “Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” Jawabku sambil menggembungkan pipi. “Ampun, hidup kan harus tetap berjalan.” Kataku sok. “Lagipula, aku ini ketua klub karate. Mana mungkin aku galau, sih? haha.”

    “Begitu, ya?”

    Aku tersenyum kecil, dan menatap langit-langit kelas sebelum menghela napas panjang.

    “Ayo pulang.”

    “Bukannya kau punya acara klub?” Tanya Anne kemudian, sadar bahwa aku harus melatih di klub karate. Namun kemudian, aku menggeleng.

    “Aku tidak enak badan. Sudah kusuruh wakilku buat menggantikan, kok.”

    Anne tak menjawab apapun lagi. Aku segera mengambil inisiatif dan melangkah terlebih dahulu meninggalkan kelas.

    “Kau tahu, Sylvia, kau sebaiknya…”

    Suara Anne berikutnya tak dapat kudengar dengan jelas. Perlahan, pemandangan dihadapanku, semuanya kini berubah total. Di lorong sekolah ini, aku dan dia pernah berjalan bersama. Sama seperti saat aku berjalan saat ini.

    “Sylvia, kita mampir dulu di kedai es krim, yuk. Kau tahu, di dekat stasiun ada kedai es krim yang baru.”

    “Eh, masa?”

    Elric menggenggam tanganku erat-erat. Ia mengucapkan itu semua di suatu sore yang cerah, saat jam sekolah usai, sama seperti saat ini.

    Dan tanpa aba-aba, ia mengecup keningku, dan berlari sambil terus tertawa dengan aku di genggamannya. “Ayolah, ikut saja. Aku yang bayar.”

    Wajahku pucat pasi, tapi saat itu aku berhasil juga mengungkapkan rasa bahagiaku.

    “A…asyik!”

    Kedai es krim. Tempat pertama kalinya aku makan bersama setelah aku dan Elric berpacaran. Ah, sudah berapa lama waktu yang terlewati semenjak hari itu? Setahun? Ya, setahun.

    Lucu, tahun lalu, aku dan Elric masih bergandengan tangan di lorong sekolah ini.

    “-via.”

    “Eh?”

    “Kau melamun lagi?” Anne menoleh sinis, berhenti melangkah. Aku menoleh padanya.

    “Ah, maaf, aku kelelahan. Sepertinya aku betul-betul butuh istirahat nih, haha.” Jawabku kikuk. Anne, untuk kesekian kalinya, kembali bertanya, “Ini semua karena kau masih belum bisa melupakannya, kan?”

    “Tidak. Aku sudah melupakannya, Anne.” Jawabku dengan sebuah senyum yang sedikit dipaksakan.

    “…….”

    “Tak apa-apa kok. Tapi, kenapa kau jadi khawatir, sih?

    Anne tidak menjawab, mungkin bingung harus berkata apa.

    Tapi pertanyaan Anne itu? Melupakannya? Ah, entahlah. Yang jelas, yang kupikirkan sekarang, aku harus melangkah maju. Aku tak bisa diam ditempat dan bersedih terus. Karenanya, kemarin malam kubakar habis semua catatanku tentangnya, dan kubuang semua benda yang masih mengingatkanku tentangnya. Semua kukubur dalam-dalam. Ya, karena aku akan memulai hidupku yang baru.

    Ya, aku tak mau, dan tak akan menyerah pada perasaan yang menyiksa ini.

    “Sudah kubilang Anne, bukan…ah…”

    Kata-kataku terpotong saat tiba-tiba kulihat sesosok gadis keluar dari kelas sambil tertawa riang. Disebelahnya, seorang lelaki menemaninya berjalan.

    Elric.

    Sedang apa ia dan gadis itu? Ia…ia sudah memiliki kekasih lain?

    “Ah, Elric,” Anne menyahut. Elric refleks berbalik, dan menatap kami berdua.

    Lucu, aku tak berani menatap matanya.

    “Anne,”

    Ia menghampiri kami berdua. “Baru pulang?”

    “Ya.” jawab Anne singkat. Setelahnya, ia menoleh padaku. Perlahan pula, aku menoleh padanya.

    Elric.

    Elric…akankah ia menyapaku?

    “Kak Elric!” Gadis yang bersamanya bersorak. Elric perlahan menoleh padanya, tersenyum. Senyum yang ia lemparkan merupakan senyum yang sama seperti yang sering ia berikan padaku dulu.

    Aku terpaku menatap Elric, menatap senyumnya yang selalu membuatku ingin memeluknya erat-erat.

    “Aku datang.” Jawabnya kemudian, sambil berlari menjauh.

    Sesak…

    Kenapa dada ini tiba-tiba terasa begitu sesak?

    Aku sudah melupakannya, bukan? Ia sudah memilih berpisah denganku dan memilih gadis yang lebih baik dariku, jadi kenapa aku harus bersedih?

    Kenapa dadaku terasa sesak sekali?

    “Anne,” suaraku terdengar amat lirih. Anne yang sedari tadi melambaikan tangan ke arah Elric menoleh padaku.

    “Kau pulang duluan saja,”

    “Hah?”

    Aku tak pernah sekalipun meminta Anne meninggalkanku semenjak kami bertengkar di kelas satu dulu, tapi ini benar-benar aneh.

    “Aku…ada yang harus kulakukan.”

    “Sylvia? Ada apa?”

    Kulemparkan sebuah senyum lebar pada Anne.

    “Sampai bertemu besok.”

    “Oi, Sylvia!”

    Aku berbalik, segera berlari kencang tanpa menoleh kebelakang.

    ***

    Kenapa?

    Aku sudah melupakannya, kan?

    Aku sudah berhasil menempuh hidupku yang baru lagi, kan?

    Kenapa rasanya, hati ini masih terasa sakit saat melihatnya?

    Malam sudah tiba, tapi aku tak mau beranjak dari sebuah pojokan taman sekolah. Duduk sambil memeluk lutut dan membenamkan wajah, rasa-rasanya aku tak sanggup lagi berjalan.

    Aku gagal. aku gagal melupakannya. Aku masih menyayanginya.

    Bulan bercahaya jauh di langit. Jangkrik bernyanyian di rerumputan tempat aku duduk. Seharusnya malam itu menjadi malam tenang yang indah. Tapi, semua hal yang kualami, semuanya tetap mengingatkanku tentangnya, dan itu menyakitkan. Entah kenapa aku terus berada dalam rasa sakit ini, aku tak tahu jawabannya. Ah, ya. mungkin kini aku telah berubah menjadi seorang psikopat yang senang dengan rasa sakit.

    “Ketemu!”

    Terdengar seseorang bersorak girang dari samping. Dari suaranya aku tahu siapa ia.

    “Disini kau rupanya.”

    Ah, datang seorang lagi. Sahabat karibku. Anne.

    “Aku khawatir denganmu. Untung saja Iris tahu dimana kau berada.” Sapanya. Perlahan aku menoleh pada mereka berdua dengan mata sembab.

    “…sudah malam, seharusnya kalian pulang.” Kataku pilu.

    Anne menghampiriku perlahan. Iris berlari kecil dan berlutut disampingku.

    “Kenapa?” Tanya Anne lagi.

    “………”

    “Kenapa kau menyiksa dirimu, Sylvia?” Anne kembali bertanya dengan nada datar, namun penuh perhatian. Sesaat kemudian ia menatap ke rerumputan tepat di sebelah telapak kakinya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya disana. Ya, beberapa lembar foto yang kurobek, foto-foto antara aku dan Elric. Dipungutnya kembali foto-foto tersebut.

    Aku gagal. Aku gagal melupakan Elric. Aku gagal melangkah ke kehidupan baruku.

    “Aku gagal, Anne.” Jawabku lirih. “Aku tak bisa melangkah maju. Aku masih…”

    “Memikirkan dia, kan?” potong Anne, seolah tahu dengan apa yang ingin aku katakana. Perlahan, dan dengan kepala berat, aku mengangguk.

    “Berkali-kali kupikirkan hal ini, aku sadar, betapa bodohnya aku.”

    Ya, betul. Betapa bodohnya aku yang membiarkan perasaanku pada Elric terus tumbuh, sampai-sampai aku membuat kedua temanku ini khawatir.

    “Aku benar-benar lemah…hanya karena perasaan ini, dan kenangan ini, aku jadi lemah begini. Lucu, bukan?”

    Sebuah senyum pilu kulemparkan ditengah air mata yang mengalir deras. Meski kuusap berkali-kali, air mta itu tetap mengalir.

    “Aku masih menyayanginya…sangat menyayanginya…”

    “Kak Sylvia…”

    Kuusap rambut Iris perlahan yang berlutut dihadapanku. Sungguh malu rasanya melihat seseorang yang selama ini mendapat didikanku, melihatku menangis. Iris sangat mengagumi kemampuan karateku dan berharap suatu saat bisa sehebat diriku. Tapi apa yang harus kubanggakan kini?

    “Kalian tak perlu khawatir tentangku,” kataku lagi sambil sesekali terisak. “Pulanglah. Esok aku akan menjadi lebih baik.”

    “Nah, aku ragu akan hal itu.” Jawab Anne berkomentar. Perlahan, dapat kurasakan tubuhnya yang ikut duduk disamping tubuhku.

    “Hei, Sylvia,” katanya kemudian. “Tak ada yang salah dengan menjadi seorang yang lemah, kok.”

    Eh?

    “Bukankah lebih baik kalau kau jujur pada dirimu? Seperti apa yang kau katakan tadi?”

    “………….”

    “Kalau kau memang masih menyukainya, kenapa tidak jujur saja mengakui bahwa kau masih menyukainya?”

    Tersenyum kecut, aku menanggapi kata-kata Anne, “Aku takkan mungkin bisa mendapatkan Elric lagi, kau tahu?”

    “Aku tidak menyuruhmu mendapatkannya lagi, kok.” Anne kembali berujar. “Kau hanya, kau tahu, kau hanya tak perlu berpura-pura kuat. Berusaha tampil seolah kau sudah melupakannya, atau semacamnya, tak perlu bersikap begitu.”

    Tak perlu berpura-pura?

    Anne…

    “Tentu saja, kenangan indah yang selama ini terbangun antara kau dan Elric takkan bisa terhapus. Bahkan sampai kau mati sekalipun, semua itu akan tetap membekas. Jadi kenapa pula kau harus berusaha menghapuskan itu semua?”

    Itu…mungkin benar adanya. Tapi jika aku tidak menghapusnya, aku…

    “Bodoh, kau, Anne. Jika aku tidak berusaha menghapusnya, aku takkan bisa memulai kehidupanku lagi. Aku akan tetap mengingatnya, dan menginginkan semuanya kembali. Selamanya, aku akan terperangkap oleh perasaan menyiksa ini.” suaraku terputus sejenak, dan air mataku kembali mengalir.

    “Aku masih menyukainya…aku masih menginginkan Elric…Anne…aku…”

    “Kini kau mengakuinya, kan?” Jawab Anne dengan suara yang cukup riang. “Tak apa, Sylvia. Jujurlah pada dirimu, manusia tak bisa selamanya jadi kuat.”

    Aku mengangguk.

    “Kau mungkin takkan bisa kembali bersamanya, tapi ketahuilah, Sylvia. Aku, Iris, dan temanmu yang lain, semuanya akan ada untukmu. Dan andai kau perlu seseorang untuk menangis, kau bisa datang padaku. Kita ini, sahabat, kan?

    Tak ada lagi yang keluar selain isak tangisku. Anne, bagaimanapun, tak menjawab kata-kataku untuk sementara waktu.

    “Biarkan tangismu itu keluar, Sylvia…biarkan itu keluar…”

    Aku mengangguk. Merangkul tubuh Anne, aku terus terisak.

    “Tak ada salahnya mengakui itu semua, Sylvia.”

    Kugenggam jaket yang menempel di tubuh Anne erat-erat, sambil tetap kutumpahkan tangisanku di pundaknya. Anne, perlahan, mengelus-elus rambutku.

    “Semua kenanganmu tentangnya, kau tak perlu menyangkalnya. Itu semua merupakan sesuatu yang terjadi dalam hidupmu, dan kelak, itu bisa menjadi salah satu hal yang membuatmu lebih mengerti tentang kehidupan.”

    Ah, ya. itulah yang ingin kudengar.

    Sebenarnya, hal-hal itulah yang lebih ingin kudengar daripada sekedar ucapan penambah semangat, seperti “jangan menangis, sabar ya,” atau “ayo, melangkah maju.”

    Kulepaskan pelukanku darinya, dan perlahan kuusap air mataku.

    “Hei, Anne, apa kau menyesal dengan semua waktumu yang kau habiskan bersama Elric?”

    Aku menggeleng. Aku memang sedih semuanya terjadi. Tetapi, jauh di lubuk hatiku, kusadari bahwa waktu yang kuhabiskan bersama Elric merupakan momen-momen yang amat berharga. Seandainya aku diminta untuk menukarnya dengan satu kilogram emas pun, aku tak akan menukarnya.

    Momen saat ia menyatakan perasaannya di kantin sekolah, saat kami pulang bergandengan tangan, makan di kedai dekat stasiun, tertawa bersama di taman bermain, saat aku bercerita ini itu sampai menangis, saat ia menggenggam kedua tanganku tepat didepan dada, dan tertawa bersama…

    Akh, seperti aku bisa melupakan itu saja.

    “Sejujurnya, aku ingin mengingat itu semua.” Jawabku kemudian. “Masa-masa itu merupakan yang terindah dalam hidupku ini.”

    “Kalau begitu, simpan saja.” Jawab Anne. Ia kemudian beranjak berdiri dan menatap langit luas. Aku mengikutinya berdiri. Iris, tiba-tiba saja, juga ikut berdiri.

    “Semua yang terjadi dalam hidup ini tak selamanya indah, Sylvia. Tapi, biarlah semua itu terjadi pada hidup kita. Karena hidup ini anugerah.”

    Di kata-katanya yang terakhir ini, aku tak begitu paham apa maksudnya, sih.

    Tapi kini, aku merasa senang. Ya, aku senang karena aku bisa jujur pada diriku sendiri.

    Dibawah cahaya bulan yang bersinar terang, pertama kalinya aku bisa tersenyum dengan perasaan lega.

    ***

    “Heaaa!”

    Bruak!

    Aku berhasil membanting Iris. Haha, senang sekali rasanya menjadikannya korban bullying di klub karate ini.

    “Kak Sylvia kejam!” Iris berkata lirih. “Kok pakai tenaga?”

    “Ahaha, maaf ya.” jawabku sambil tersenyum lebar, meski dalam hati aku tertawa riang dan berkata, “Makanya jangan teriak-teriak di lorong sekolah.”

    Seminggu sudah lewat dari kejadian di malam hari itu, antara aku, Anne, dan Iris.

    Perlahan aku sudah kembali melangkah. Kini, tanpa menyangkal lagi pada diriku sendiri bahwa aku masih amat menyukai Elric. Di hatiku kini tertanam sebuah kenyataan, bahwa aku memang masih menyukai Elric. Aku takkan berbohong lagi. Aku akan membiarkan perasaan ini tumbuh, hingga suatu hari nanti, mungkin perasaan ini akan menghilang dengan sendirinya. Aku yakin.

    Aku tak peduli apakah Elric menyukaiku atau tidak, yang jelas, aku lega bahwa aku bisa jujur pada diriku sendiri.

    Diluar, matahari terik bersinar. Cuaca siang hari ini cerah, menyenangkan sekali.

    “Ahahaha…”

    Ah, gadis itu.

    Di kejauhan, mataku kembali menangkap sosok seorang gadis yang berjalan riang gembira di ruang olahraga ini. Dibelakangnya, Elric menyusul.

    Elric.

    Ah, ia menoleh padaku.

    Aku melongo sesaat, melihat wajah lugunya. Sesaat kemudian aku tersenyum.

    Elric balas tersenyum, meski tak selebar dan seindah yang ia lemparkan padaku sebelum-sebelumnya. Ia menghampiri gadis itu tak lama kemudian, dan terus berlalu.

    “Kak Sylvia, siap ya!” Iris bangkit, dan kembali memasang kuda-kuda. Aku tersenyum lebar menatap Iris.

    “Ayo!” Teriakku.
     
  15. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Entri di antologi season 6 :lalala:

    Writer's Road to Legend Anthology Season 6
    Genre : comedy, stress

    Yang ada dihadapanku merupakan satu unit HP-270, tapi andaikata mau disebut bom nanas juga boleh, sih.

    ………

    Anjrit…

    “Woi, baygon mana baygon?” Kataku pada Waluyo, sandal karet milikku yang tinggal sebelah. Tak usah ditanya kemana sebelah lagi – sudah kulempar sebagai shuriken untuk menghajar si Ivan.

    ***​

    Kejadian yang akan aku kisahkan ini bermula saat jam sekolah baru saja usai.

    Apa yang aku kira akan menjadi sebuah kesenangan justru menjadi sebuah bencana gunung meletus.

    Namaku Andre. Umurku masih 18 tahun, dan aku mohon, jangan percaya pada teman-teman laknat yang bilang bahwa umurku sudah kepala tiga. Itu fitnah dajjal.

    Berawal dari sebuah kontes menulis di sebuah forum, aku yang merasa bahwa tulisanku sudah mirip dengan tulisan Sir Arthur Conan Doyle ini merasa tertantang. Yah, sebetulnya ini juga bukan kali pertamaku ikut lomba menulis di forum ini, sih.

    Hanya saja untuk kali ini tampaknya aku harus menghadapi kesulitan sendiri. Selain karena jam sekolahku makin kacau, laptop milikku juga tidak bisa digunakkan. Si jangkrik, laptop kesayangan milikku, kini mendekam di service center gara-gara adikku yang keasyikan main zuma, si kodok laknat. Kuota internetku juga habis gara-gara adikku mendownload lagu-lagu cowboy junior dan suju selama lebih dari lima jam.

    Adik laknat.

    Sempat terpikir bahwa mungkin untuk kali ini aku absen saja, karena untuk lomba kali ini tak dianjurkan menulis kisah slice of life yang menjadi andalanku. Sampai ketika akhirnya aku menemukan sebuah quote yang luar biasa dari salah satu tokoh kartun ternama.

    Kesuksesan tak akan bisa mengganti persahabatan. Aku lebih baik menjadi orang bodoh.

    Patrick star.

    Aih, tunggu, maaf. Aku salah tulis.

    Selamat pagi cikgu.

    Upin ipin

    Damn! Salah lagi. Kok aku lupa ya dari siapa?

    Ah, lupakan. Anggap saja aku kini memiliki semangat dan motivasi untuk menulis. Setelah aku analisis baik-baik, ada beberapa hal yang mungkin akan menyulitkanku : tak ada laptop, tak ada internet, tak ada kopi.

    Tapi kalau aku sampai mundur gara-gara hal sepele semacam itu, bagaimana bila nanti aku harus menghadapi hal yang lebih besar? Tidak, aku tidak boleh mundur. Maju terus pantang mundur. Bangun pemudi pemuda Indonesia. Merdeka!

    Aku kemudian mencoba menyelesaikan satu-satu masalahku, dimulai dari hal terpenting. Sarana untuk menulis. Laptop. Si jangkrik.

    Maka semenjak kelas dimulai tadi, aku sudah mulai bergerak mencari pinjaman laptop. Dari seluruh teman yang ada di kelas, hanya Santi yang mau meminjamkan laptopnya padaku – itupun setelah aku berjanji mentraktirnya nasi jamblang, makanan khas Cirebon.

    “Nasi jamblang di kantin rasanya kurang enak ndre. Aku mau yang di mall Cirebon. Harga seporsinya enam puluh ribu plus minum. Gak papa ya?”

    “Walah, gak kurang mahal san?”

    “Di hotel Aruna delapan puluh ribu, udah plus kopi joss, gimana?”

    Jangkrik!

    Dia tak bisa diajak bercanda, ya?

    ………

    Benar-benar tak mengerti aku, harga nasi jamblang bisa semahal itu. Nasi jamblang plus kopi joss di angkringan alun-alun saja harganya bisa kurang dari sepuluh ribu.

    Ini sih pemerasan. Tapi, yowis lah, rapopo. Demi ikut lomba.

    “Aku tunggu sepulang sekolah, jam delapan. Sekalian kita jalan-jalan yaa.”

    Aih, si Santi ini. kalau suka bilang saja.

    “Nanti aku mau bawa pacarku, jadi gak papa ya?”

    Asem.

    Jujur, dan bersama tulisan ini, aku peringatkan kepada para wanita yang membaca tulisanku ini. Jangan pernah, sekali lagi jangan pernah, memberi harapan kosong kepada para lelaki – terutama kepada para pria jomblo. Salah seorang teman sekelasku, Waluyo, hampir-hampir gantung diri karena mendapat harapa palsu dari gadis pujaannya yang bernama Regina.

    Kejadiannya berlangsung di sore hari yang cerah. Aku masih ingat jelas sore hari itu, sore hari dimana aku memakan lotek yang sudah agak basi.

    “Ndre, aku mau nembak Regina nih sore ini.”

    “Lah, kamu belum tahu Wal? Regina kan baru jadian tadi siang.”

    Setelahnya, Waluyo tak pernah menampakkan senyumnya lagi. Ia telah mati. Dan untuk mengenangnya, namanya kini kuabadikan menjadi nama sandal jepit milikku.

    Sandal jepit cap Waluyo.

    Bagi para lelaki, kata-kata si Santi yang diucapkan padaku ini sangat menghancurkan perasaan. Layaknya seorang musisi yang terjun dari panggung dan berharap disangga penonton, namun para penonton malah menghindar, menyebabkan sang musisi gegar otak atau mungkin malah tewas di tempat

    Dan juga, kalau mau bawa pacar kenapa tidak minta traktir pacar saja?

    “Ndre, gak papa kan?”

    Ah, masa bodoh. Silakan! Yang penting aku sudah dapat laptop. Yosh!

    Aku mengangguk. “Deal,” kataku. Namun kemudian Santi malah memasang wajah khawatir. “Serius gak apa-apa? Bayarnya bagaimana?”

    Cuci piring.

    ***​

    Sekolah seharusnya bubar jam 3 sore nanti, tapi berhubung pak Bambang berhalangan hadir, kami jadi bebas beraktivitas sampai pulang. Daripada aku menghabiskan waktu main kartu gaple di kelas bersama geng kwetiau, aku lebih baik langsung menulis saja, pikirku. Oh, aku rajin kan?

    Pak Bambang, guru ekonomi kami itu boleh dibilang guru yang sedikit nyentrik. Sebagai contoh, suatu hari ia datang ke kelas sambil membawa bola basket dan memakai celana jeans. Dengan napas yang masih susah diatur, ia akhirnya berhasil membuat murid-murid mendengarkan apa yang ingin ia ucapkan.

    “Halo anak-anak, hari ini absen saja ya?”

    Semenjak saat itu, ia menjadi guru favorit.

    Ah, baiklah. Satu-satunya tempat yang penuh dengan sinyal wi-fi di sekolah ini adalah ruang perpustakaan. Untuk mencapainya, aku harus melewati ruang administrasi dan beberapa ruang kelas. Dengan laptop di depan dada, kacamata, dan tangan kiri di dalam saku, juga rambut keren, tentunya aku sudah cukup cool untuk dipanggil Shinichi Kudo, atau paling tidak, Afgansyah Reza.

    “Oi, Nobita!”

    Jangkrik!

    Siapa pula itu yang teriak-teriak? Segera aku menoleh. Kalau aku sedang kalap, aku sudah pasti akan menghajarnya.

    Yak, mataku kini menghadap sosok yang berteriak padaku tadi. “Siapa yang kau panggil Nobita? Hah?”

    Ah…

    Ade kumis.

    Berandalan sekolah yang sekarang jadi komandan tawuran.

    Astaga…aku mimpi buruk apa sih?

    “Kenapa memangnya?” kata Ade, sangar. Ia berjalan ke arahku dengan gaya petantang petenteng.

    Sial, apa yang harus kukatakan?

    “Kenapa? Mau protes?”

    “Ngg…nggak. Suaranya mirip Afgan.”

    Setelahnya aku berbalik dan segera kabur.

    ***​

    Aku sampai juga di ruang perpustakaan.

    Laptop segera kunyalakan. Inspirasiku masih buram, tapi kurasa aku bisa menulis dengan baik setelah aku berhadapan langsung dengan Microsoft Word.

    Biru…kuning…merah…hijau..welcome, ah, betapa aku senang sekali dengan pemandangan ini.

    “Password.”

    Makjan.

    Satu kata itu membuatku kembali ke dunia fana. Segera aku telepon Santi meskipun pulsa di hape milikku tinggal tiga ribu.

    “Halo,”

    “Santi! Onta! Kamu nggak bilang lo kalo ini laptop ada passwordnya?”

    “Ah, iya, haha, lupa. Maaf ya.”

    “Otakmu diisi gorengan ya?” Gerutuku. “Sudah, apa passwordnya?”

    "Passwordnya namamu.”

    Eh?

    Passwordnya…namaku?

    Ah, apakah Santi benar-benar suka padaku? Hingga menggunakan namaku untuk password laptopnya?

    “Na…namamu?”

    “Mmm. Sudah ya, aku sibuk.”

    Biip…biippp…biippp…

    ………

    Baiklah.

    Kini aku benar-benar terharu. Santi ternyata benar-benar suka padaku.

    Kuketik namaku di laptop Santi ini.

    A-n-d-r-e. Andre.

    “Login Failed.”

    Hah? Kok?

    Kuketik sekali lagi. Andre.

    “Login failed.”

    Sapiiiii…

    Kok tidak masuk?

    Kuketikkan berkali-kali namaku. Andre. andre. ANDRE. 417dr3.

    Gagal. Semuanya gagal. Ugh, sialan. Apa ini?

    Aku tak mau menyerah. Sekali lagi aku mencoba mengetik namaku.

    Andreas diCaprio.

    “Warning, One more failed attempt and your computer will not be accessible.”

    Argh, goblok! Santi laknat!

    Kucoba mengingat-ingat lagi kata-kata Santi di telepon tadi. Ugh, apa ya yang ia katakan tentang password?

    “Passwordnya namamu.”

    Namamu?

    Okay, aku coba ketika satu kata di dalam komputer laknat ini.

    namamu.

    “Login succeed.”

    ………

    ***​

    Baiklah, tema kali ini dianjurkan tidak mengambil SoL ataupun Romance, jadi aku memilih menggunakan salah satu skill spelialisasi milikku, Action.

    Aku sebenarnya sudah punya ide yang boleh dikatakan cukup brilian. Kisahku nanti akan menceritakan tentang satu kota yang tiba-tiba diserbu oleh sepasukan zombie. Alkisah, empat orang murid terjebak di sebuah sekolah. Mereka akan menceritakan kisah mereka masing-masing saat bertahan dari serbuan para zombie, sebelum akhirnya cerpenku akan ditutup dengan para zombie yang berhasil menembus barikade pertahanan mereka, dan empat orang murid itu berlari menerjang para zombie. Satu kata mutiara yang akan aku sisipkan dalam cerpen itu adalah, bahwa suatu hari, hidup juga akan berakhir. Yang penting adalah bagaimana dan jadi apa kita selama kita hidup.

    Baik, mulai menulis.

    ***​

    Kota Witchcraft, 17.00

    “Ellie, cepat lari!” Alan berteriak, berlari kebelakang sambil bernapas terengah-engah. Dibelakangnya, Ellie sudah tampak kelelahan.

    “Ellie!”

    Ellie masih berlari, dan terus berlari selama beberapa detik, sebelum kemudian ia ambruk di jalan. Alan yang mellihatnya kembali berteriak, panik. ia menghampiri Ellie yang berbisik perlahan.

    “Kalian larilah. Tinggalkan aku disini.”

    “Diam Ellie, ayo. Kau masih bisa melakukannya. ayo!”

    “Alan!”

    Shane ikut berteriak sambil menunjuk jauh ke arah belakang Ellie. Disana sudah berkumpul gerombolan makhluk lapar yang siap memangsa manusia.

    “Alan, larilah.” Ujar Ellie sambil menangis. “Berjanjilah padaku kau akan tetap hidup.”

    “Ellie…”

    “Alan, ayo lari…”

    “Setuju!”

    ***​

    “Setuju!”

    Anjrit!

    Apa-apaan sih? Suara teriakan itu? Agh, merusak konsentrasi saja.

    “Saat saya terpilih jadi ketua OSIS nanti, saya tidak menjanjikan hal yang muluk-muluk, tapi saya akan terus berusaha membawa perubahan yang lebih baik bagi rekan-rekan saya sesame siswa-siswi SMAN 6-“

    Ah, kampanye OSIS. Sialan!

    Dua orang yang tampaknya menjadi calon ketua OSIS kini sedang berdiri di pinggir lapangan, tepatnya di sebuah podium yang entah sejak kapan muncul. Salah satu dari mereka tampangnya cukup aneh. Wajahnya hitam seperti orang negro, rambutnya keriting, tapi semangatnya luar biasa tinggi. Ia kini sedang berteriak-teriak lantang, ibarat seorang jenderal perang yang sedang mengomandani pasukannya untuk bertempur. Tangannya mengepal jauh ke udara.

    “Kita sebagai siswa juga harus turut andil dalam pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Bung Karno pernah bilang, saudara-saudara. Beri aku sepuluh orang pemuda, maka akan kuguncang dunia. Kini, di sekolah ini, ada seribu pemuda. Dengan bantuan kalian, saudara-saudaraku, saya akan…ak-uhuk, uehuk, uhuk.”

    Mampus, makan aja mic nya sekalian.

    Aku tak mau membahas calon satunya lagi, buang-buang waktu saja. Agh, dasar. Pemilihan ketua OSIS itu membuang waktuku saja.

    Kembali kepada tulisanku, aku sadar bahwa aku belum menyelesaikan satu paragrafpun. Namun saat aku akan kembali menulis, aku merasa konsentrasiku kini buyar. Sial, benar-benar sial! Pemilihan calon ketua OSIS itu…

    Ah, saatnya minum kopi. Biasanya aku baru bisa berkonsentrasi kembali setelah minum kopi.

    Maka aku segera berjalan, pergi ke kantin. Karena aku malas menggunakan sepatu, akhirnya aku memakai sandal jepit saja. Oh ya, sebagai informasi, ruang perpustakaan di sekolahku ini menggunakan konsep lesehan. Setiap siswa yang ingin masuk diharuskan membuka sepatu dulu. Dan karena jalanan sering banjir akhir-akhir ini, aku juga membawa sandal jepit cap Waluyo sebagai antisipasi. Bagaimanapun aku tak mau sepatuku basah. Susah kering.

    Menuju kantin, aku bisa mendengar suara keributan dari arah podium pemilihan ketua OSIS. Ah, kenapa anggota PMR juga kini ada disana ya?

    “Permisi,” kataku iseng pada salah seorang siswa yang juga menonton adegan yang kulihat. “Ini ada apa ya?”

    “Itu, si Jefri, calon ketua Osis.”

    “Nelen mic?”

    “Bukan.” jawab sang siswa. “Katanya diare sih, sampai kejang-kejang.”

    “Oh, begitu. Makasih yaa.”

    Diare yaa? Bodo ah.

    Kembali berjalan, tak kudengar lagi orasi dari calon ketua OSIS. Ah, syukurlah. Aku bisa lebih tenang menulis.

    Ya, aku bisa lebih tenang andaikata aku tidak bertemu Ivan.

    “Ndre, sendirian?”

    ………

    Andai aku tahu Ivan ada di kantin, aku tak akan datang. Si jabrik ini…

    “Duduk sini, ndre.”

    Ogah! Gerutuku dalam hati.

    Ada alasan tersendiri kenapa aku tidak begitu suka bila bertemu Ivan, namun alasan yang paling sering kupakai adalah bahwa Ivan selalu meminjam uang tanpa pernah dibayar.

    “Ayolah, ndre, duduk.”

    Idih, maksa.

    Aku melirik pada penjaga kantin, berharap belas kasihan darinya untuk mengusir si Ivan dan membiarkanku membeli kopi dengan tenang.

    “Duduk ndre, kasian temenmu itu.”

    Ah, pak penjaga kantin, kenapa…

    Terpaksa aku duduk di sebelah Ivan, yang langsung menepuk punggungku sesaat setelah aku duduk. “Ngopi dulu aja bro, santai.”

    Santai gundulmu!

    “Kopi dua, pak. ABC susu.”

    Eh?

    Astaga, apa aku tak salah mendengar? Si Ivan memesan kopi. Biasanya ia selalu meminjam uang dulu padaku sebelum membeli sesuatu.

    “Kenapa ndre? Kamu suka ABC susu kan?”

    “Err, iya, tapi tumben kau membelikanku kopi.”

    Ivan tersenyum. “Sudahlah, ndre. Aku kan punya hutang juga padamu. Sekarang biar aku yang bayar.”

    ………

    Aku merasa ada hal yang aneh dengan ini. tapi kalau Ivan mau membelikanku kopi, yaa, baguslah.

    Duduk di kursi panjang, kami mengopi sambil mengobrol ini itu tentang kehidupan sekolah kami yang tinggal tiga bulan lagi. Ada perasaan sedih juga saat Ivan bilang padaku bahwa ia tidak akan meneruskan kuliah. “Orang tuaku ingin aku melanjutkan bisnis mereka, ndre.” Katanya perlahan sambil menyeruput kopi yang masih panas. Aku ikut meminumnya sedikit. Ah, nikmat.

    “Kata orang tuaku, meskipun aku kuliah pun, kelak aku yang akan meneruskan bisnis mereka, jadi aku lebih baik tidak kuliah saja dan langsung belajar berbisnis.”

    “Wah, kok begitu van?”

    Ivan hanya menggelengkan kepala. “Padahal aku amat ingin jadi wartawan, ndre. Sekarang, masa depanku sudah ditentukan. Aku akan menjadi pengusaha warung nasi.”

    Ah…

    Di zaman sekarang ini, ternyata masih ada keluarga yang beranggapan bahwa pendidikan bukanlah segalanya. Ah, bukan. lebih dari itu, yang jadi perhatianku adalah kenapa mereka mengekang kebebasan anak. Mungkin, mereka hanya ingin yang terbaik bagi anaknya, para orang tua itu. Tapi, bukankah anak juga bebas menentukan jalan hidup mereka sendiri?

    “Eh, ndre, sebentar ya. hapeku ketinggalan di kelas.”

    “Ok,” kataku. Tak lama Ivan berlari ke ruang kelas.

    Berlari…

    ………

    “Pak, Ivan yang bayar kan ini?”

    “Lah, kata Ivan kamu yang bayar, ndre?”

    Anjrit!

    Ivan laknat! Aku ditipu!

    Aku ikut berlari ke arah kemana Ivan berlari, mengabaikan teriakan penjaga kantin yang memintaku untuk membayar dua gelas kopi pesanan Ivan. Dia benar-benar jenius. Mengajakku mengobrol kesana kemari sebelum menghilangkan jejak. Sial! Sial! Ivan laknat!

    Akhirnya aku bertemu sosoknya di lorong kelas. Karena gusar, sontak aku berteriak, “Ivan sapi!”

    Ivan langsung berlari. Aku mencoba melemparnya dengan sandal milikku.

    Gagal.

    Sandal jepitku melambung jauh, terbang tinggi menuju atap sekolah.

    ***​

    Dengan langkah gontai, aku kembali ke ruang perpustakaan. Ivan berjanji akan membayar minggu depan untuk kopi yang ia pesan, tapi resikonya, aku kehilangan sebelah sandal jepit.

    “Ah, kamu.” Kata sang penjaga perpustakaan. “Kamu yang punya laptop itu kan?”

    “Huh?”

    Sang penjaga menunjuk ke arah laptop milik Santi. Ada yang aneh dengannya, kini laptop itu mengebulkan asap hitam tipis.

    “Astaga, itu laptop kenapa pak?”

    “Listrik disini tadi konslet.” Kata pak penjaga perpustakaan. “Laptopmu kan sedang di-charge tadi, nah, saat kejadian korsleting listrik itu, laptopmu tiba-tiba mati. Saat bapak periksa, eh, malah keluar asap.”

    ………

    Yang ada dihadapanku merupakan satu unit HP-270, tapi andaikata mau disebut bom nanas juga boleh, sih.

    Oh, baiklah. Baiklah. Kita sudahi saja cerita ini.

    baygon mana baygon?

    original link
     
    Last edited: Dec 20, 2014
  16. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    singkat aja deh buat keseluruhan.

    mungkin kebanyakan elemen SoL. awalan cerita juga rata2 kurang menarik. kecuali bagi yang lagi niat baca, mungkin rata2 bakal langsung berhenti baca pas di awal2.

    kalo kira2 situ bisa bikin sesuatu yang sama sekali berbeda, misal pake awalan yang rada menggelegar, mungkin reaksi yang lain bisa berbeda. yah itu pendapat gw aja sih.

    soal cerita secara keseluruhan dari beberapa yang gw baca, rata2 punya struktur yang mayan. coba tonjolin salah satu aspek biar gak terkesan monoton datar gitu aja.
     
  17. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    yup, working on it :oghormat:

    well sebenernya banyak cerpen yang lama2 juga sih :keringat: jadi yaa, banyak yang bias juga :iii:

    sedang mencoba menemukan ciri khas ini :lalala:
     
  18. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    well bukan ciri khas sih tepatnya. mungkin lebih ke sesuatu yang sama sekali fresh buat situ jadi pas nulis gak terasa stuck dan monoton molo :bloon:
     
  19. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    hemmm :iii:

    salah satu caranya mungkin harus banyak melakukan hal2 baru biar pikiran jadi refresh ini :iii:
     
  20. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    bisa juga begitu. kalo gw mungkin coba meniru cerita2 favorit gw dengan touch gw sendiri :hihi:
     
  21. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Celeng sebelah bulan Mei :iii:


    My Monologue
    Genre : Slice of Life, Drama

    Kakak,

    Maafkan aku karena lagi-lagi menulis surat cengeng padamu. Dan kumohon jangan marah ya, karena isi surat ini masih sama – rengekan adik kecilmu yang kini sudah berusia dua puluh tiga tahun.

    Mmm, aku memang payah. Sampai sekarangpun aku masih sering menangis sesegukan untuk hal-hal kecil. Mungkin nantinya kertas ini akan basah, jadi maaf ya.

    Ah, iya, kak. Cuaca hari ini cerah bersinar. Aku menulis surat ini di taman dekat rumah. Yah, sebetulnya bukan taman juga, sih. Dulu kau sering bilang bahwa tempat ini tidak lebih dari sekedar padang rumput luas – tempat bermain sapi-sapi pak Wales yang sering tersesat bahkan sampai ke halaman rumah. Sampai sekarangpun, sapi-sapi itu masih sering nyasar.

    Disini, kehidupan masih berlalu seperti biasa, damai. Karena hari ini aku sedang bahagia, maka aku akan menulis hal-hal bahagia dulu saja ya?

    Minggu lalu, Richard melamarku. Aku menerimanya, tentu, dan dengan izin dari hakim yang menjadi waliku, bulan depan aku akan menikah. Sejujurnya, aku tak tahu apa yang harus kukatakan padamu tentang hal ini. Lelaki pilihanku itu, kau mungkin pernah bertemu dengannya satu dua kali. Aku tak tahu apakah kau setuju atau tidak, tapi karena kau tak pernah keberatan dengan keputusanku, kuharap kali ini kau juga tidak keberatan. Bagaimanapun, lamaran Richard membuatku amat senang.

    Ia mungkin hanya seorang pelayan toko, tapi aku tak keberatan menikah dengannya. Kabarnya, pemilik toko tempatnya bekerja amat baik. Beliau memberikan Richard sebuah toko untuk ia kelola sendiri. Jika sudah menikah nanti, aku akan berhenti bekerja di kedai dan membantunya mengelola toko itu.

    Kehidupan seperti ini mungkin terasa seperti mimpi, ya kak? Maksudku, setelah berkali-kali kita terjatuh.

    Kau sering bilang bahwa dalam hidup ini ada banyak sekali lubang yang bisa membuat seseorang terjatuh. Entah itu lubang kemiskinan, lubang penderitaan, lubang kesedihan, dan lubang-lubang lainnya yang sering kau sebutkan satu per satu hingga aku lupa berapa banyaknya lubang yang kau maksud. Aku tak pernah benar-benar mengerti tentang lubang-lubang itu, kak. Tidak hingga kau meninggalkanku.

    ………

    Kakak,

    Karena saat ini kenangan tentangmu begitu kuat, biarkan aku menulis apapun yang kuingat, terutama tentang dirimu. Mungkin surat ini nantinya hanya menjadi monolog dari apa-apa yang tak pernah kusampaikan padamu, tapi aku tak peduli. Aku akan menulis semua kenangan ini, semua yang kualami saat pertama bertemu denganmu, hingga kini.

    Aku masih mengingat saat kita pertama kali bertemu di sudut pasar raya itu. Tapi kau pasti tak tahu apa yang kualami sesaat sebelum itu.

    Sore itu, hari hujan.

    Beberapa anak mengejarku yang sedang berlari tak karuan. Dengan beberapa buah roti di pelukan, aku menghindar sebisa mungkin. Namun stamina seorang perempuan tentunya berbeda dengan para lelaki, hingga akhirnya aku tertangkap.

    Salah satu berandalan segera menjambak rambutku hingga aku menjerit kesakitan. Roti-roti yang kubawa jatuh bercampur dengan tanah becek. Beberapa anak lain dengan sigap memungutinya untuk kemudian mereka makan sendiri.

    “Dasar maling kampung!”

    Kata-kata mereka memang benar adanya, tapi kemiskinan ini membuatku tak punya pilihan. Ayah yang kabur dengan wanita lain, juga ibu yang meninggal karena penyakit, membuatku harus berjibaku berebut kehidupan. Plus, aku masih punya dua adik yang harus kuberi makan, May dan Annie.

    Dan di lorong sepi itulah kau muncul, memberiku beberapa biji apel. Yang pertama kali terpikirkan olehku saat itu adalah, bahwa Tuhan telah mengutus seseorang untuk menyelamatkanku.

    “Mau berteman denganku?”

    Semenjak hari itu, kita menjadi teman, bahkan saudara. Tak ada pertalian darah diantara kita, tapi kau mau berteman dengan kami berempat, membawamu ke tempatmu tinggal – sebuah gubuk kumuh peninggalan almarhum orang tuamu. Kita sama-sama tak punya siapapun.

    Melalui hari demi hari dengan berat, kita bisa bertahan ditengah kerasnya kehidupan. Aku tahu semua itu amat berat, namun aku tetap bahagia karena aku masih memilikimu, juga kedua adikku.

    Meskipun itu semua tak bertahan untuk waktu yang lama.

    May terserang demam tinggi. Tak memiliki uang untuk berobat, ia meninggal tak lama kemudian.

    Kehilangan adik perempuanku yang kurawat semenjak kecil membuatku serasa jatuh kedalam lubang yang tak berdasar untuk kedua kalinya. Aku tahu bagaimana rasa sakit yang kuderita saat ibu meninggal. Atas alasan itu aku berjuang sekuat tenaga agar aku tak kehilangan orang yang kusayangi lagi.

    Mungkin aku kurang keras dalam berusaha, begitu yang terpikirkan olehku kala itu.

    Tapi kau menghiburku.

    “Kau baru saja jatuh dalam satu dari sekian banyak lubang di dalam kehidupan. Namun, sejauh apapun kau jatuh dalam lubang itu, kau takkan bisa keluar jika kau hanya diam.”

    ………

    Aku kemudian mengerti satu hal akan lubang yang kau maksud, bahwa kita harus terus berjuang dalam hidup agar bisa keluar dari lubang penderitaan, dan tidak jatuh di tempat yang sama.

    Jadi, begitulah. Aku kembali berjuang, merelakan apa yang sudah terjadi dan kembali memanjat naik. Aku bekerja, terus bekerja, terus bekerja…

    Dan lama kelamaan memoriku tentang May terhapus dengan sendirinya. Andai aku bisa, aku tak menginginkan itu terjadi. May, adik pertamaku itu, kalau bisa aku ingin selalu ingat.

    Kini aku hampir-hampir tak bisa mengingat wajah May saat melamun.

    Kakak,

    Kau ingat saat Annie mengalami depresi berat? Semenjak May meninggal, ia tak mau makan. Ia bahkan hampir-hampir tak mau kuajak bicara. Entahlah, sepertinya ia menyalahkanku akan kematian May. Kau ingat kan saat aku menamparnya keras-keras? Saat ia bilang bahwa akulah yang menyeretnya kedalam lubang penderitaan selama ini?

    Mungkin pemahamannya tentang lubang penderitaan itu memang belum begitu dalam, tapi aku benar-benar kesal saat ia bilang aku menyeretnya kedalam penderitaan. Apa ia tidak mengerti bagaimana ia bisa melanjutkan bersekolah? Aku rela kehilangan pendidikanku dan bekerja di pabrik baja demi melihatnya berhasil, dan ia bilang bahwa aku yang membuatnya menderita?

    Aku tahu tak seharusnya aku menamparnya, tapi aku amat marah kala itu.

    Dan Annie, sehari setelahnya, ia kabur dari rumah…

    ………

    Jadi, lagi-lagi aku kehilangan anggota keluarga…

    Aku tak mengerti, kak. Padahal, semenjak kehilangan May, aku bersumpah bahwa aku akan bekerja lebih keras dan mendapatkan banyak uang. Aku tak ingin kejadian May terulang pada Annie. Namun nyatanya, aku kembali jatuh di lubang yang sama. Peribahasa mengatakan, seekor kancil takkan jatuh pada lubang perangkap yang sama, jadi kurasa aku lebih buruk dari seekor kancil.

    Belum cukup dengan itu, aku kehilangan pekerjaan, dan lagi-lagi jatuh pada apa yang kau sebut lubang kemiskinan. Tapi aku tak peduli. Untuk apa aku bekerja begitu keras jika akhirnya aku tak punya siapa-siapa untuk kulindungi? May sudah meninggal, dan Annie pergi dari rumah.

    Aku putus asa…

    Apakah seseorang memang ditakdirkan jatuh di lubang yang sama berkali-kali? Apakah Tuhan begitu membenciku? Apakah ini semua bagian dari takdir? Itu yang kala itu muncul di benakku, dan aku sama sekali tak tahu jawabannya. Bahkan hingga berbulan-bulan kemudian, saat aku kembali mendapatkan pekerjaan, dan bekerja, dan bekerja, dan terus bekerja untuk alasan yang tidak kuketahui, aku masih tak mengerti jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

    Hidup berdua denganmu, aku mencoba bangkit dari lubang kehidupan, sama seperti apa yang selalu kau ajarkan padaku selama ini. Bangun! Bangun! Bangunlah disaat aku jatuh. Kau bisa, Ellie! Kau bisa!

    Bangun, meskipun alasanku untuk hidup ini tak bisa kuketahui lagi.

    ………

    Lalu hari itu, enam tahun setelah Annie kabur dari rumah…

    “Bagaimana dengan nama ini?”

    “Ah, itu…”

    Kondisi ekonomi kita berdua mulai stabil. Kau bahkan bisa membuka sebuah pabrik sepatu kecil-kecilan dan memiliki tiga orang pegawai. Aku amat senang dengan nama yang kau usulkan untuk pabrikmu itu. Annie Shoes Co. Mmm. Aku amat menyukainya. Kuharap dengan nama itu, Annie akan pulang.

    Tak, tok, tak, tok, suara-suara palu di pabrik sepatu itu masih kuingat jelas. Asap-asap cerutu yang mengepul dari para calon pembeli pun juga rasanya masih terbayang-bayang di otak, terutama asap cerutu pak Lawrence, orang pertama di kota kecil ini yang memiliki mobil. Ia tampaknya menjadi orang yang amat suka dengan sepatu-sepatu buatanmu.

    Perlahan, kita bisa membangun rumah tinggal yang lebih baik. Kuanggap bahwa kala itu, aku telah berhasil bangkit dari lubang penderitaan dan lubang kemiskinan.

    “Suatu saat nati, kita mungkin akan kembali jatuh di lubang yang sama.”

    “Tidak, tidak.” Jawabku kala itu. “Kita bisa selalu menghindarinya, ya kan? Kancil saja tidak jatuh kedalam lubang yang sama dua kali.”

    “Ellie,” Jawabmu. “Kita kan bukan kancil.”

    Mmm, kita bukan kancil. Kita tak lebih baik atau lebih buruk dari makhluk malang tersebut.

    Empat tahun berlalu semenjak kau membuka pabrik sepatu, dan ditengah badai, aku mendengar sebuah berita dari para tetangga. Sebuah kecelakaan kereta api terjadi di jembatan Greenwood. Evakuasi dihentikan karena badai masih terus terjadi.

    Dan saat itu, aku mengerti apa yang kau maksud dengan jatuh di lubang yang sama. Saat dimana aku sadar bahwa kau ada didalam kereta itu.

    Pemakamanmu berlangsung singkat, meninggalkan luka yang sampai saat ini mungkin masih tak bisa kuobati. Kehilangan penyelamat di saat kecil, kehilangan teman yang sama-sama berjuang untuk kehidupan yang lebih baik, teman yang sama-sama kehilangan orang tua dan besar di jalanan.

    Semua itu amat menyakitkan. Rasanya, semua kegelapan di masa lalu kembali menghantuiku.

    Tak lama setelah itu, pabrik sepatu milikmu berhenti beroperasi. Seluruh karyawan meninggalkan perusahaan. Annie Shoes Co. kini hanya tinggal sejarah. Dan Annie sama sekali belum kembali.

    Setahun berlalu setelah kepergianmu, aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan.

    Sesak…gelap…

    Rasanya aku juga ingin ikut mati saja. beberapa kali sempat terpikir untukku agar aku mengakhiri semua ini pada seutas tali tambang di gudang rumah.
    Tapi kemudian, aku kembali teringat akan satu hal yang kau katakan.

    “Suatu saat nati, kita mungkin akan kembali jatuh di lubang yang sama.”

    ………

    Jatuh di lubang yang sama.

    Kita akan selalu jatuh di lubang yang sama. Lubang kemiskinan, lubang penderitaan, lubang kehilangan, lubang kesepian, yah, ada banyak hal.
    Meskipun demikian, semua hal itu adalah bagian dari kehidupan juga, bukan?

    Karenanya, semenjak kehilangan kau, aku sadar satu hal. Kita mungkin jatuh di lubang yang sama, namun kita selalu bisa bangun kembali.

    Mmm, kak. Aku mengerti.

    Aku harus kembali bekerja, kembali membangun semuanya dari awal, dan terus hidup. Karena bagaimanapun, lubang-lubang dalam kehidupan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari, bukan? Esok hari mungkin masih akan menjadi misteri, entah itu baik atau buruk. Yang jelas, kau tidak menyuruhku untuk menyerah.

    Jadi, setelah kau pergi, aku berusaha tegar, berusaha tetap berdiri tegak. Aku tak ingin tetap berada pada lubang kesedihan yang tak kunjung usai. Aku akan bangkit. Aku berjanji aku akan kembali bangun.
    Itulah janjiku padamu, bahwa aku akan hidup.

    Dan begitulah, kini aku terus berusaha agar aku bahagia. Hari berlalu, minggu berlalu.

    Kini aku bekerja di sebuah kedai. Letaknya tepat diseberang toko kelontong. Kau ingat Richard? Mantan karyawanmu yang baru bekerja satu minggu sebelum kau meninggal? Kini ia bekerja di toko tersebut. Kami mulai sering bertemu, dan ia amat membantuku untuk bangkit.

    Ah, tentang Annie, ia masih belum kembali, namun aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya. Aku yakin, suatu hari nanti kami akan bertemu kembali.

    Dan juga…

    Aku berjanji akan selalu bangkit setiap kali aku jatuh di lubang yang sama. Karena bagaimanapun, lubang dalam kehidupan itu memang hal yang akan selalu ada kan?

    Ah, rasanya surat ini jadi semakin menjadi ajang monolog saja. Sebenarnya aku masih ingin bercerita banyak hal padamu, namun kita sudahi saja dulu. Dan juga, maaf telah membuat kertas ini basah. Saat menulis surat inipun, tanganku tak henti-hentinya bergetar.

    Jadi, sampai jumpa, kak.

    Aku akan menulis lagi padamu lain waktu.

    original link
     
    Last edited: May 23, 2014
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.