1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

Cerpen Cahaya & Wanita

Discussion in 'Fiction' started by debridementist, Jan 26, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Malam semakin larut. Ketika aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku, waktu telah menunjukkan pukul 21:35. Cukup malam memang. Tak heran kenapa saat ini diriku dilanda rasa kantuk yang amat sangat serta seluruh tubuh terasa lemas tak bertenaga. Inilah resiko seorang pegawai bank yang harus lembur di tiap akhir bulan tiba. Sepanjang sisa waktu lemburku, aku terus menatap ke monitor komputer. Memeriksa ratusan data yang berisi angka-angka yang cukup memusingkan. Mencocokkan antara debit dan kredit. Lalu tetek bengek lainnya yang membuat kedua mataku merasa lelah.

    Aku menguap lebar sembari menutup mulutku dengan tangan kiriku. Sedangkan tangan kananku sibuk menjijing tas kerja berbahan kulit berwarna hitam yang sudah tampak memprihatinkan. Aku rasa, saat ini tas itu cukup pantas bila dimuseumkan. Tapi aku tak akan melakukannya, ini adalah warisan dari ayahku yang kini telah tiada semenjak aku masih seorang mahasiswa. Itu terjadi sekitar 10 tahun yang lalu.

    Pandanganku beralih menyapu ke sekitarku. Selain diriku, ada beberapa orang yang sedang menunggu bus Transjakarta tiba. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan pakaian formal terlihat sedang hanyut dalam novel yang sedang dibacanya. Wanita itu duduk di bangku logam panjang di sisi kananku. Rambutnya yang terurai panjang dan mulai memutih tampak bergerak mengikuti gerakan kepalanya. Sesekali ia menyibaknya ke belakang telinganya ketika menghalangi pandangannya. Wanita itu mendeham, melirik arlojinya sejenak, lalu melemparkan pandangan ke arah jalan. Mencoba melihat apakah bus sudah datang apa belum. Setelah tahu tak ada tanda-tanda penampakan, wanita itu kembali melanjutkan membaca novelnya. Sebelumnya ia sempat membetulkan letak posisi kacamatanya yang berframe hitam.

    Di samping sang wanita terdapat seorang pria yang umurnya kutafsir sekitar 40an. Rambutnya terlihat tercukur rapi dengan model jaman 80an. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna kuning gading serta celana bahan hitam. Dikombinasikan dengan dasi berwarna merah cerah bermotifkan polkadot. Pria itu tampak sedang memejamkan kedua matanya. Tubuhnya tersender pada kaca di belakangnya. Kedua kakinya ia silangkan sedemikian rupa untuk menopang tubuhnya dan menjaganya agar tidak kehilangan keseimbangan. Sedangkan kedua tangannya memeluk tas ransel hitam berukuran cukup besar. Pria itu sedang tertidur rupanya. Aku rasa ia juga baru saja lembur seperti diriku. Rasa capai yang dirasakannya membuatnya memutuskan untuk tidur sejenak sembari menunggu kedatangan bus Transjakarta.

    Seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah berhasil menarik perhatianku. Aku meliriknya sambil menaikkan kedua alis mataku. Sungguh pemandangan yang luar biasa bila kau melihat seseorang masih mengenakan seragam sekolah di malam hari pada jam larut seperti ini. Gadis berambut ikal yang kini dikuncir ekor kuda tampak gusar sambil menggenggam handphone-nya dengan kedua tangannya. Jari-jarinya tampak sibuk menekan keypad dengan kecepatan yang mengagumkan. Tak lama kemudian, terdengar suara deringan dari handphone-nya. Gadis itu sempat tersentak beberapa saat sebelum ia mengangkatnya dan menaruhnya di telinga kanannya.

    Seseorang sedang menelponnya.
    “Iya, Maaa... aku lagi di terminal busway nih... busnya belum datang padahal aku sudah menunggu lama”, ujarnya melalui speaker handphone. Gadis itu menunjukkan ekspresi takut dan rasa bersalah. Kurasa aku tahu siapa yang menelponnya dan bagaimana perasaan gadis itu saat ini. “Tadi aku diantar sama supirnya Karina tapi di tengah jalan tiba-tiba ban mobilnya bocor...”, sambung gadis itu mencoba menjelaskan situasi yang ia alami.
    “Iya, Ma...”, sahutnya lagi dengan suara lirih. “Iya, Ma... Nanti kabarin aku yah Ma, kalau sudah sampai di Blok M...”. Tak beberapa lama kemudian ia mematikan handphone-nya. Tampaknya orang tuanya akan menjemputnya di halte Blok M.


    Pandanganku terakhir tertuju pada pria muda yang berdiri tepat di sebelah kiriku. Pria yang mengenakan pakaian kasual berupa kaos berwarna biru dan jiens belel itu sedang menyenderkan dirinya pada struktur terminal di sampingnya. Di kedua telinganya tampak sepasang headset yang samar-samar melantunkan sebuah irama. Ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya menyesuaikan irama yang didengarnya. Sedangkan kedua tangannya memeluk tas ransel hitamnya yang tergantung di perutnya. Aku rasa pria muda itu adalah seorang mahasiswa. Gayanya benar-benar mencerminkan seorang mahasiswa yang baru saja pulang dari menyelesaikan tugas.

    Pandanganku kembali menyelusuri jalanan di hadapanku. Walau masih cukup banyak mobil yang berlalu lalang, namun kemacetan telah terlalui. Beberapa mobil baru saja melalui terminal tempat kuberdiri dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Beberapa dari mereka hanya meninggalkan jejak cahaya yang semakin lama semakin pudar. Cahaya yang dihasilkan dari lampu mobil mereka. Cahaya yang setiap malam selalu menghiasi wajah kota Jakarta tanpa kenal lelah. Yang entah kenapa memberikan sebuah karya seni tersendiri yang cukup indah dipandang.

    Aku menyipitkan kedua mataku ketika angin berhembus kencang dengan tiba-tiba. Mengibar-ngibarkan poni rambutku yang telah panjang tak terurus. Hembusan itu cukup membawa suasana segar di kulitku. Membelai lembut setiap pori-poriku dengan hawa dinginnya yang memabukkan. Sebuah benda yang terlihat cukup kecil menjadi sasaranku berikutnya. Benda itu melayang-layang di angkasa dengan bebasnya. Berada di antara kegelapan yang menyelimutinya. Memberikan sebuah pendaran kecantikan melalui cahaya putih redupnya.

    Ah...
    Ternyata malam ini sudah waktunya bagi sang bulan menunjukkan seluruh tubuhnya. Bulan purnama. Bulan yang memiliki sejuta cerita dan mimpi. Begitu indah untuk dipandang. Jujur, aku tak akan bosan memandanganya sepanjang malam. Menghabiskan sisa waktu malam hari bersama seseorang yang sangat kau sayangi sambil ditemani oleh sang bulan purnama, kurasa itu adalah pemandangan yang sangat romantis. Tanpa sadar senyumanku mengembang.


    Aku teringat akan seseorang. Seseorang pernah menceritakanku sebuah dongeng tentang kelinci di bulan. Seseorang dari masa laluku. Seseorang yang sampai saat ini masih hidup di sanubariku. Aku akan selalu mengingat ekspresinya ketika ia menceritakan dongeng itu sebagai pengantar tidurku. Semuanya itu diakhiri dengan senyuman yang tulus dan sebuah kecupan di keningku. Dan aku selalu tertidur lelap setelahnya.

    Sepasang sinar lampu membangunkanku dari sebuah lamunan. Cukup terang dan menyilaukan mata sehingga aku harus memalingkan wajahku darinya. Bus Transjakarta telah tiba dari arah Kota menuju Blok M. Semua calon penumpang siap-siap untuk menaikinya. Wanita paruh baya yang beberapa saat lalu sibuk membaca, segera memberi tanda pembatas buku pada novelnya dan sempat mencolek pria di sampingnya. Pria itu terbangun. Dan dengan setengah kaget, iapun bangkit dan berdiri di belakangku.

    Bus berhenti tepat di halte. Dan pintu ganda kini berada persis dihadapanku. Suara desis terdengar ketika pintu itu terbuka disertai kemunculan seorang kenek pria muda berusia sekitar 20 tahunan yang mempersilahkan calon penumpang masuk. Aku melangkah masuk. Seketika hawa dingin akibat AC menyelimuti diriku. Aku sempat bergidik kedinginan sebelum akhirnya menempati kursi yang berada persis di samping pintu.

    Suasana di dalam bus cukup sepi. Selain aku dan orang-orang yang kusebutkan tadi, ada beberapa penumpang lainnya yang terlebih dahulu berada di dalam bus ini. Sepasang muda-mudi tampak asyik bercengkrama di kursi bagian belakang bus. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu sedangkan kedua tangan mereka saling menggegam dengan begitu erat. Tak jauh dari kursiku, di sisi yang berlawanan, tampak seorang bapak-bapak berusia sekitar 40an sedang sibuk mengutak-atik handphone-nya. Bapak bertubuh tambun itu tersenyum sambil tertawa kecil ketika selesai membaca pesan yang masuk ke handphone-nya. Perutnya yang buncit tampak bergetar ketika ia tertawa. Di sisi yang berseberangan dari pintu masuk, tampak 2 pria muda dan seorang wanita muda sedang mendiskusikan sesuatu. Tampaknya mereka adalah mahasiswa. Aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Yang pasti, aku dapat menangkap ekspresi tidak suka dari sang wanita.

    Bus pun mulai berjalan.
    Dan aku segera bangkit dan menempatkan posisi tepat di samping pintu sebelah kiri. Posisi favoriteku bila sedang menaiki bus Transjakarta. Karena dari sini, aku dapat menikmati keindahan kota Jakarta di malam hari. Keindahan yang entah kenapa hanya segelintir orang yang menyadari dan menikmatinya. Keindahan yang kasat mata bagi mereka yang terlalu sibuk serta berjalan terlalu cepat sehingga lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati apa yang ada di sekitar mereka.


    Entah sejak kapan aku memulainya, tapi menikmati keindahan kota Jakarta di malam hari menjadi agendaku hampir tiap malam. Beberapa orang menertawakan hobiku ini. Beberapa orang mengatakan kalau aku hanya buang-buang waktu saja. Beberapa lagi berpikir bahwa aku bisa melakukan hal lainnya yang lebih menarik dari pada sekedar keliling-keliling Jakarta.

    Aku terbiasa dengan itu semua. Aku dapat memaklumi kenapa mereka bereaksi seperti itu atau mengatakan hal itu. Dan menurutku itu wajar. Kadang-kadang orang terlalu memfokuskan ke sesuatu yang tampak lebih besar dan menarik baginya sehingga melupakan sesuatu yang kecil yang sebenarnya tak kalah menarik. Ketika kita hidup di kota besar seperti Jakarta ini, kita secara sadar tak sadar dituntut untuk mempercepat irama kehidupan kita. Bila kita tak mampu menyesuaikan kehidupan kota besar, kita akan tersingkirkan. Dan seperti apa yang pernah kubilang sebelumnya, orang Jakarta terpaksa melangkahkan kakinya lebih cepat untuk dapat bisa bertahan hidup dalam kerasnya ibu kota.


    Itu bukan sebuah kesalahan. Itu semua terjadi karena manusia mempunyai naluri untuk bertahan hidup seberat apa pun medan tempat mereka berada. Dan sekali lagi, itu hal yang manusiawi dan wajar. Aku pernah mengalaminya. Aku pernah larut dalam keadaan dan kondisi seperti itu. Aku pernah memaksa diriku untuk terus bergerak tanpa mengenal lelah untuk bisa bertahan dan mendapatkan apa yang kucita-citakan. Cita-cita hanya berhasil kita raih bila kita mau bekerja keras. Itu fakta yang benar dan tak bisa terbantahkan. Dan aku mempercayainya.

    Sampai akhirnya aku mulai merasa kelelahan. Sampai akhirnya aku menyadari aku telah banyak mengorbankan hal-hal lainnya hanya demi mengejar satu hal dalam hidupku. Walau tak sebesar hal yang kukejar, tapi entah kenapa tanpa hal-hal itu aku merasa begitu kosong. Merasa begitu hampa. Dan aku merasa seperti telah memperbudak diriku sendiri.

    Saat itu aku duduk terdiam. Dengan pandangan kosong, aku mencoba melihat sekelilingku. Pemandangan yang sempat terabaikan oleh diriku. Aku pun mulai mengamatinya. Hal-hal kecil yang beberapa saat lalu telah kuanggap remeh. Dan entah kenapa tiba-tiba aku menemukan sebuah ketenangan. Ketenangan yang memasuki sanubariku dan membuat diriku merasa jauh lebih nyaman. Melemaskan otot-ototku yang telah kaku begitu lama. Mengosongkan pikiranku yang begitu penuh sehingga tak mampu menampung lebih banyak lagi. Dan melapangkan dadaku yang telah sesak dengan aroma kehidupan Jakarta yang menyesakkan.

    Sebuah pemandangan kecil yang tak berarti telah menyadarkan diriku arti dari sebuah kehidupan yang saat ini tengah kujalani.

    Cahaya...
    Ya...
    Saat itu aku memandang puluhan cahaya yang menyelimuti sekelilingku. Cahaya yang menerangkan kota Jakarta di malam hari. Cahaya dengan keanekaragaman warna yang menghiasi wajah kota Jakarta di malam hari.
    Jakarta. City of Light.

    Secara tak sadar, sebuah senyuman menghiasi wajahku ketika aku menatap monas di sisi kiriku. Lengkap dengan cahaya biru yang menyinari sebagian besar strukturnya. Warna biru itu secara perlahan bergradasi ke ungu-hijau-kuning-jingga-merah dan kembali ke biru. Sedangkan pada bagian mahkota emas, tampak pendaran sinar kuning keemasan yang menunjukkan keeksistensiannya di antara gelapnya malam yang menyelimutinya. Sungguh cantik menurutku.

    Pandanganku beralih ke arah depanku. Menatap puluhan lampu jalanan yang menghiasi di setiap sisi jalan Thamrin. Cahaya kuning yang dihasilkannya tampak berbaris rapi mengikuti lekuknya jalan. Cahaya itu seakan-akan membimbing setiap orang yang melewatinya agar tidak tersesat. Menujukkan arah kemana mereka akan menuju. Dan yang pasti, menerangkan mereka dari kegelapan yang semu serta pekat.

    Cahaya kemerahan dan kuning yang dihasilkan dari lampu mobil menambah keanekaragaman keindahan itu. Puluhan cahaya-cahaya itu membaur menjadi satu dan membuat siluet sesuai dengan kecepatan yang mereka hasilkan. Sedangkan, di sisi jalan, lampu-lampu yang berasal dari gedung ikut serta meramaikan keindahan itu. Salah satu gedung menghasilkan warna yang berubah-ubah di setiap jendelanya. Membentuk formasi tertentu yang terlihat mengagumkan. Menunjukkan kalau ada kehidupan di balik jendela-jendela itu. Entah kehidupan apa yang telah dijalankannya hari ini. Apakah kehidupan yang menyenangkan atau sebaliknya. Aku tak tahu. Yang pasti kehidupan itu telah memberi warna pada lembaran hari-hari yang terus bergulir.

    Bus terhenti di halte Bundarahan HI. Secara otomatis aku mengalihkan tatapanku ke arah pintu masuk. Mencoba melihat siapakah sosok yang akan memasuki bus ini. Sosok yang beraneka ragam baik penampilan maupun ekspresi yang diperlihatkannya. Sosok yang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari walau kita tak pernah mengenal satu sama yang lain. Manusia dengan segala keunikannya tersendiri.

    Pintu masuk itu berdesis terbuka. Dan aku tertegun ketika melihat sosok yang memasuki bus ini. Untuk sesaat, aku tak bisa melepaskan pandanganku dari sosok itu. Aku terus mengikutinya sampai sosok itu duduk tepat di sisi yang berlawanan dari tempat aku berdiri. Posisi yang cukup strategis untuk aku dapat menikmatinya secara diam-diam.

    Bus kembali berjalan. Dan puluhan cahaya yang membias dari jendela bus memperindah kecantikan sosok itu. Pemandangan itu benar-benar telah berhasil membiusku. Kombinasi keindahan cahaya lampu dengan kecantikan sosok seorang wanita benar-benar menganggumkan. Aku cukup kesulitan untuk menemukan kata-kata yang dapat mendeskripsikannya. Keduanya saling melebur menjadi satu. Menciptakan sebuah karya seni yang sangat amat luar biasa.

    Ya...
    Cahaya dan sosok wanita dihadapanku.
    Keduanya berhasil menghiasi sisa kehidupanku di malam ini.
     
    • Like Like x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. ryrien MODERATOR

    Offline

    The Dark Lady

    Joined:
    Oct 4, 2011
    Messages:
    6,529
    Trophy Points:
    212
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +3,168 / -58
    Hmm, ntahlah ya... :iii:

    Aku bacanya datar-datar aja.. :iii: Well, ini emang mungkin bukan cerpen yang bikin excited pas baca, dan no plot tapi lebih ke tipe cerpen sol tanpa konflik.. dan cenderung deskriptif.. tapi ya gimana ya niat pengen skimmingnya itu tinggi banget... boring lah pokoknya... :ngacir: Terlalu bertele-tele gitu kali ya... :ngacir: I mean okelah deskripsinya, tapi menurut aku sih udh over... mana nggak ada plot pula.. Personally, aku udah lupa apa yang diomongin MC di atas padahal baru aja baca.. :ngacir:

    Penulisan sih mungkin bagian agak akhir aja kali ya :iii:

    Bus terhenti di halte Bundarahan HI. Secara otomatis aku mengalihkan tatapanku ke arah pintu masuk. Mencoba melihat siapakah sosok yang akan memasuki bus ini. Sosok yang beraneka ragam baik penampilan maupun ekspresi yang diperlihatkannya. Sosok yang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari walau kita tak pernah mengenal satu sama yang lain. Manusia dengan segala keunikannya tersendiri.

    Pintu masuk itu berdesis terbuka. Dan aku tertegun ketika melihat sosok yang memasuki bus ini. Untuk sesaat, aku tak bisa melepaskan pandanganku dari sosok itu. Aku terus mengikutinya sampai sosok itu duduk tepat di sisi yang berlawanan dari tempat aku berdiri. Posisi yang cukup strategis untuk aku dapat menikmatinya secara diam-diam.

    Bus kembali berjalan. Dan puluhan cahaya yang membias dari jendela bus memperindah kecantikan sosok itu. Pemandangan itu benar-benar telah berhasil membiusku. Kombinasi keindahan cahaya lampu dengan kecantikan sosok seorang wanita benar-benar menganggumkan. Aku cukup kesulitan untuk menemukan kata-kata yang dapat mendeskripsikannya. Keduanya saling melebur menjadi satu. Menciptakan sebuah karya seni yang sangat amat luar biasa.

    Ya...
    Cahaya dan sosok wanita dihadapanku.


    Kebanyakan kata sosok :swt: Oh, well kata 'cahaya', 'bus' juga banyak sih kalau dipikir-pikir :swt:

    Aku pikir situ duduk? Mungkin kata 'berada' lebih cocok :iii:

    Oh iya, ada satu lagi yg agak ganggu.

    Kata 'Dan' setelah titik atau maksud aku memulai suatu kalimat dengan 'Dan' itu gimana ya :iii: Setelah aku skimming sekali dari atas banyak banget ternyata :swt: Kayaknya nyambung aja deh lebih tepat... titiknya dihilangin.. seperti:

    'Bus kembali berjalan Dan puluhan cahaya yang membias dari jendela bus memperindah kecantikan sosok itu.'

    Atau sekalian cari kata lain, jangan awali dengan kata 'Dan' deh. 'Dan' lebih cenderung buat nyambungin dua kata dalam satu kalimat. Bukan kyk gini. Banyak yang nggak cocok juga kalau disambungin di atas. Atau hapus juga boleh, nggak ngaruh juga, jadi:

    'Bus kembali berjalan. Puluhan cahaya yang membias dari jendela bus memperindah kecantikan sosok itu.'

    Atau struktur kalimatnya yang diubah:

    'Puluhan cahaya yang membias dari jendela bus yang kembali berjalan memperindah kecantikan sosok itu.'

    Intinya mungkin boring karena banyak kata yang repetitif juga :iii:

    Ada juga dikit nemu beberapa yg typo kyk 'menjijing', 'menujukkan'.. tapi ya gpp lah..

    Well, itu aja deh good job :top:
     
    • Like Like x 2
  4. debridementist M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Jul 26, 2009
    Messages:
    313
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +25 / -0
    Makasih kritikannya
     
  5. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    hmm, mantap. suka sbnranya ama deskripsi ceritanya. :top:
    cuman ada bbrapa kalimat yg rada aneh, seperti:
    melirik terus menaikkan alis itu gimana ekspresinya ya. ngga natural banget. coba deh liat di cermin. saya udh coba soalnya :lol::lol:
    slain itu bgs.
     
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    well, to be honest, deskripsinya overused. secara singular, deskripsi yang dijabarkan memang bagus. cuma disini penulis menggunakannya secara berlebihan. dan tanpa disertai plot cerita yang jelas, cerpen ini berasa kumpulan deskripsi yang mengalir gitu aja tanpa poin penting.

    serius deh. buat sekedar deskripsi, kurasa ini bagus. cuma ya itu tadi, apa sih yang sebenarnya ingin diceritakan penulis? (selain sekedar duduk di bus dan mendeskripsikan apa yang dilihatnya)

    kalau inti ceritanya hanya sekedar deskripsi dari apa yang si penulis lihat, jujur kurang menarik, sih.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.