1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Apa Adanya

Discussion in 'Fiction' started by high_time, Jan 10, 2017.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    wah om sphinx ternyata udah balik lagi :terharu:

    sebenernya habis chapter 2 rata2 tensinya langsung turun sih, jadi semacam jeda plus monolog, mungkin pas di chapter 7 bakalan dikembangin lagi.

    thx banget udah mampir ya, moga2 buat bab yg akan datang bisa lebih bagus lagi :yahoo:
     
    • Thanks Thanks x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    udah selesai baca sampai bab 5...maaan...that was crazy...aku sampe muncrat ketawa setelah sekian lama ga baca cerita segila ini, sampe2 ada percikan ludah yang menempel di tablet aku :lol: (buru2 lap pake tisu)

    bacaan yang menyenangkan untuk jiwa2 yang stress :haha: <-- baru pulang kerja jam 10 malam hari ini

    namun disamping semua feeling absurd, aku masih dapat merasakan hardship of life dari karakter aku "the imaginary loli" dalam cerita ini.


    if the best I can do right now is nothing but ordinary...so be it
    if I have to crawl in this mud of life just to be a little bit better person...so be it
    despite all the pressure that never fail to suffocate me, I still refuse to give up
    because if I stop to chop down the thorny forest in front of me, I won't reach the fairy land that lies beyond

    gaaah, aku ingin menulis dengan bebas lagi! :gaswat:
     
    • Like Like x 2
  4. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    ya intinya just for fun ajah :haha: tengkyu udah mampir lagi ya om :xiexie:

    sampe jam 10 :shock1:

    gw paling malem pulang jam 7an sih, gw dulu baru bos belakangan.

    bos gw juga hari2 belakangan ini stress pulang malem terus, dia rasanya seneng banget pas hari kemarin pulang pagian.

    yup, semoga ke depan bisa dapet cukup waktu bt terus menulis :top:
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  5. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 7 : Dagelan Warung Kopi

    Mungkin aku tak sepantasnya mengeluh dengan pekerjaan ini. Aku bukannya capek badan harus mengangkat barang yang mencapai seribu dus, hanya duduk maupun berdiri dan mencatat stok yang masuk maupun keluar, dan bila jumlahnya memang terlalu banyak nanti juga bisa dihitung belakangan. Bosku yang melakukan hal serupa pun kadang pulang begitu malam.

    Hari ini, ada banyak tukang angkut yang tidak masuk. Pekerjaan mereka memang berat dan bayaran tak seberapa. Wajar sih mereka suka malas, aku sendiri yang pekerjaannya tidak terlalu berat pun kerapkali mengeluh, terutama bila pulang malam dan barang yang masuk dan keluar banyak sekali.

    Paman dan bibiku di toko begitu keras bekerja, sampai-sampai mereka bilang bermain game itu tidak berguna. Ah, menjengkelkan sekali. Rasanya ingin mati saja jika tak dapat bermain game.

    Saat sedang bekerja, aku sama sekali tak punya motivasi untuk menjadi lebih baik. Sepanjang hari aku memikirkan game favorit beserta proyek tulis-menulisku, Aku punya banyak ide yang ingin kukembangkan dan juga berbagai hal lainnya yang tak berhubungan dengan pekerjaanku.

    Pekerjaanku sederhana saja sih, dan praktis yang perlu diingat--cukup teliti dan konsentrasi saja.

    Kadang aku berpikir—apa lebih baik melakukan pekerjaan yang kucintai tapi menderita? Ataukah melakukan pekerjaan yang tidak kusukai tapi kehidupan menjadi lebih mudah dan terjamin? Aku tidak tahu apa aku begitu mencintai menulis hingga aku rela tak makan enak, tak tidur maupun tak punya uang.

    Tapi soal ingin hidup dari menulis, aku coba kembali membaca cerita yang populer, dan hampir seluruhnya terasa tak menarik. Apabila aku tak dapat menuliskan sesuatu sesuai selera pasar, artinya jalan masukku ke industri sudah tertutup rapat.

    Sampai sekarang aku berpikir-- apa lebih baik menulis untuk kesenangan saja? Tapi ya, aku tak mau juga harus bekerja seperti ini terus-terusan. Minimal saat aku genap setahun bekerja, aku ingin langsung mendapat kerja yang jauh lebih enak. Intinya, bayaran lebih besar, ada hari libur, jam kerja nyaman dan yang terpenting--aku termotivasi untuk menjadi lebih baik.

    Tapi, apakah aku bisa mendapat keahlian yang dapat membuatku sukses? Tak semua hal yang didedikasikan dengan serius akan membuat seorang kaya-raya. Bila bakatku di bidang IT, memang aku pasti akan begitu kaya, tapi bila soal tulis menulis maupun seni lainnya?

    Ya semuanya tergantung kemauan mayoritas juga.


    Bila dipikir-pikir, saat bermain game aku tak begitu menyukai tantangan. Aku selalu menggunakan 'cheat' apabila game itu mulai menjengkelkan. Biasa juga aku juga bermain pada tingkat kesulitan yang paling rendah. Di kehidupan nyata pun, ketimbang menantang diri sendiri untuk menjadi lebih baik, aku mau ambil aman untuk hidup enak dan mudah saja.

    Aku kembali bingung harus melakukan apa demi masa depanku. Sepulang kerja, aku bertemu temanku lagi di kedai kopi. Tempatnya cukup besar dan ada ruangan privat untuk membicarakan sesuatu. '

    "Kehidupan nyata dengan permainan RPG sangat berbeda."

    Begitulah katanya.

    "Di permainan RPG, kamu dapat menjadi lebih baik dengan melakukan hal yang sama terus menerus. Namun, bila kau lakukan hal itu di dunia nyata, yang ada kamu sampai kapan pun akan terus begini-begini saja."

    "Mungkin, paman dan bibimu berkata, bahwa bermain game tidak berguna lantaran mengajarkanmu cara berpikir yang jelek. Kau pernah bermain game gacha?"

    Aku mengingat kembali, saat ini aku masih belum dapat pensiun sepenuhnya dari game itu. Kujawab jujur saja bahwa aku masih memainkan hal itu. Meski segi gacha nya sungguh menjengkelkan, tapi permainan nya sendiri lumayan untuk mengisi waktu di kala kerja.

    "Ya, aku tidak mau terlalu menggurui sih. Kau dan aku sepantaran juga. Aku juga tak mau sok-sokan mentang-mentang hidupku sudah nyaman. Tapi aku yakin satu hal—keberuntungan tidak datang sendiri. Kau lakukan hal yang bermakna dan kau raup hasilnya. Tidak seperti permainan gacha di mana kau bisa langsung dapat item legendaris di siang bolong."

    Dapat item legendaris? Boro-boro. Peruntunganku begitu apes, tak ada satu pun item legenda yang pernah kudapat dari hoki. Aku tetap main saja lantaran hadiah nya cukup banyak, dan dapat diraih tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.

    Kujawab saja demikian: peruntunganku apes, namun aku jadi begitu kesal lantaran teman-temanku pada beruntung semua. Mereka punya hero legenda yang banyak sedangkan aku hanya dapat yang gratis saat mencapai level 30.

    Kalau kata orang-orang di internet, diriku punya mental kepiting. Bila aku tidak senang, maka orang lain tidak boleh senang. Kalau hidupku tidak enak, maka aku tak mau melihat orang lain hidup enak. Kalau hasil gachaku sialan, maka orang lain juga tak boleh beruntung.

    Namun ya, ketika melihat orang yang hidupnya lebis keras dari padaku, aku rasanya tak peduli. Aku anggap saja, ya itu kehidupan mereka, bukan kehidupanku. Mereka orang kuat sedangkan aku lemah. Semoga Tuhan memberkati hidup mereka, meski aku bukan seorang yang religius.

    Sekarang ini, rasanya menyisakan satu ataupun dua jam setiap minggunya untuk mendatangi tempat ibadah serasa buang-buang waktu saja. Aku mendapat kepuasan spiritual yang lebih besar saat aku menuliskan sesuatu apa adanya.

    Agama mengajarkan pada kita untuk memberi sedekah pada fakir miskin.

    Namun, bila ada pengemis yang minta uang, aku tak pernah berikan. Kau tak pantas mendapat uang ini. Bila kau mau uang, lakukan pekerjaan yang membuatmu pantas mendapat imbalan setimpal.

    Kau miskin bukan karena nasib, tapi lantaran kau tak berani mengambil tindakan yang akan membuatmu kaya—begitulah yang kupikirkan. Mengingat beberapa orang kaya yang kukenal berasal dari keluarga miskin, namun dengan kemampuan dan keuletan yang mereka miliki, mereka dapat menjadi orang kaya.

    Sungguh ironis, mengingat aku sekian lama bergantung pada orangtuaku, dan sekarang juga bergantung pada saudaraku untuk mendapat pekerjaan. Mengingat diriku yang seperti ini—malas, tak punya motivasi untuk mengembangkan keahlian—aku mungkin tak diterima di tempat lain.

    Tapi ya, aku sungguh ingin berubah. Agar perkataan dan prinsip hidupku tidak hanya sekedar bualan.

    "Hei teman, apa yang kau inginkan dalam hidup?"

    Sahabatku yang sekarang sukses sebagai pengusaha ini melontarkan suatu pertanyaan yang sudah coba kujawab berapa kali selama menulis.

    Kekayaan, kebebasan, kekuatan.

    "Apa yang dapat kau berikan untuk mendapatkannya?"

    "Sebelum aku menjawab, apakah ukuran alam semesta itu adil? Soalnya aku telah bekerja sebisa mungkin, tapi yang kudapat hanya ampasnya."

    Ada beberapa orang berbakat yang menjadi begitu sukses tanpa kerja keras. Mereka yang jenius dan dikarunai berbagai talenta. Seakan saat mereka lahir, berbagai macam 'cheat' sudah terimplementasi dalam hidup ini.

    ....memang ada yang seperit itu...

    ...tapi anehnya, aku tak ingat seorang pun orang sukses yang jenius dan berbakat. Bila kuingat satu atau dua nama, rasanya juga tidak begitu berkesan. Memang saat aku lulus kuliah, ada seorang lulusan terbaik yang juga peraih medali emas di permainan anggar maupun pencak silat, ia juga juara reguler di kompetisi piano tingkat nasional.

    ....pikiran sinisku hanya menjawab, ya kau berbakat, kau spesial—terus kenapa?

    Yang kuingat dari Albert Einstein pun adalah penderitaannya saat di sekolah hingga ia menjadi salah seorang pemikir paling cemerlang yang kuketahui.

    Tapi aku ingat seorang yang hidup dalam kemiskinan, Aristotle Onasis, lantaran kepiawaiannya menjadi salah satu orang terkaya pada masanya. Begitu juga dengan Oprah Winfrey.

    Tentang Socrates yang ditentang oleh penguasa lantaran mengajarkan anak-anak muda untuk berpikir, hingga harus mengakhiri hidupnya dengan minum racun.

    Nick Vujicic yang membuatku dapat berterima kasih kepada Tuhan meski diriku sendiri tidak religius. Meski fisiknya tak sempurna tapi senyuman yang ia berikan sungguh tulus.

    Bahkan tokoh fiksi seperti Gregor Samsa pun, yang hidupnya hanya bekerja sebagai salesman yang berakhir tragis—kisahnya membekas dalam ingatanku, melebihi banyak kisah tokoh fiksi lainnya.

    Kadang aku berpikir, saat aku kuliah dan terus mendapat uang dari orangtua, aku menganggap mereka sebagai mesin uang—layaknya keluarga Gregor memperlakukan dirinya. Tak memikirkan betapa kerasnya mereka bekerja pagi hingga malam agar aku dapat hidup nyaman di kota besar.

    Saat ayahku sedang sakit parah, aku diam-diam menginginkan agar ia bisa cepat 'dilepaskan' dari penderitaan itu, agar kehidupanku tak terus terganggu karenanya. Saat ia hidup, aku tak pernah mencoba mengenalnya lebih dekat—aku hanya melihat dirinya sebagai tempat untuk menyalurkan kasih sayang.

    Aku tidak begitu dekat dengan ibuku lantaran ia selalu marah ketika aku melakukan kesalahan sedikit saja. Sepeninggal ayah, aku tak memiliki orang yang cukup dekat denganku.

    Kadang aku berpikir, mungkin ayahku dipanggil ke surga lantaran di sana akan ada keluarga yang lebih pantas baginya. Akan ada seorang yang sungguh coba mengenal dan mengerti, ketimbang hanya mementingkan diri sendiri.

    Seperti Gregor, kepergiannya di dunia setelah ia menderita sakit parah mungkin suatu akhir yang baik, jika di akhirat ia mendapat jalinan keluarga yang hangat.

    "Terlepas dari adil atau tidaknya pertimbangan alam semesta. Apa kau begitu menginginkan hal itu, sampai kau berani bertindak secara berbeda demi mendapatkannya?"

    "Tergantung sih, bila aku tak pasti akan mendapatkan hal itu, mengapa harus capek-capek usaha? Aku sudah capek menulis sekian lama tanpa ada yang membaca."

    "Peduli. Setan. Kalau tulisanmu memang berkualitas, mereka sendiri yang rugi. Kau yang selalu mementingkan diri sendiri tak perlu memikirkan orang lain. Pikirkan dirimu sendiri, apa yang kau mau, apa yang ingin kau beri. Aku bilang begini soalnya aku juga begitu."

    "Lah, jika kau mentingin diri sendiri juga kok sampai capek-capeknya mendengarkan celotehanku?"

    "Jujur sih, aku tak mendengarkan omonganmu karena aku peduli atau ingin membuat hidupmu lebih baik. Ya, aku cuma merasa, mendengarkan kisah hidupmu memberiku pengalaman yang spesial, terutama saat aku ambil bagian, coba membuatmu dapat melihat perspektif lain. Aku jadi ingat pula pentunjuk yang dapat membuat hidupku lebih baik dengan membantu orang lain."

    "Begitu ya."

    "Omong-omong, aku punya suatu doa. Bukan dari kitab namun aku tahu dari pengarang favoritmu, kau pasti juga pernah membacanya."

    "Oh, Kurt Vonnegut."

    "Pengarang aslinya teolog bernama Reinhold Neibuhr sih, tuan Vonnegut mempopulerkan doa itu saja. Aku tadi cari di Wiki."

    Tuhan.

    Berikanlah aku kesabaran, untuk menerima hal yang tak bisa kuubah.

    Semangat untuk mengubah segala yang aku dapat.

    ...dan kebijakan, untuk dapat mengetahui perbedaan antara keduanya.

    ...

    Meski aku tidak religius, namun doa itu sangat berkesan bagiku.

    Saat temanku mau pulang dari warung kopi, ia berkata demikian:

    "Kadang, mencoba melakukan hal yang spesial untuk berubah, sama sekali tak berguna. Mungkin pemikiranku terlalu sederhana, tapi aku tak perlu menjadi seorang tokoh sejarah untuk merasa bermakna. Apabila aku dapat mengalami hal yang spesial di tengah rutinitas yang membosankan, apabila hari kemarin dan hari ini sungguh berbeda—itu sudah cukup."

    "Seperti cerita fiksi saja."

    "Jauh lebih baik dari itu, lantaran cerita fiksi hanya sekedar rangkuman. Bisa saja, dari suatu bab, hanya merangkum hal-hal penting yang terjadi selama satu tahun, dan sisanya jauh lebih membosankan dari hidup kita masing-masing. Di sini, kau dapat membuat setiap hari begitu spesial, karena kau sungguh mengalaminya."

    Saat kutanya bagaimana ia dapat mengalami begitu banyak hal yang spesial, ia hanya menjawab.

    Fokuslah pada hal yang paling kau inginkan dan bagaimana cara mendapatkannya, niscaya kesempatan akan terpampang depan mata.

    Ya, begitulah.

    Sepertinya terlalu ajaib untuk menjadi kenyataan, tapi tak ada salahnya dicoba.

    Toh hidupku sudah terjun ke jurang terdalam, arah yang ada hanyalah ke atas.
     
    • Like Like x 2
  6. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    Wow, this story sure match the title perfectly
    You don't waste time to polish the words just to make it more shiny.
    But the straight forward style story just flow naturally that I didn't realize I already finish the last 6-7 chapter
    Easy to swallow...

    Somehow, kisah nya mirip banget dengan pengalaman menulis kebanyakan author di sini di era aku masih aktif di forum
    mungkin termasuk aku..
    yep, menulis itu mudah
    Namun membuatnya menjadi aliran cerita utuh itu sama sekali ga mudah
    Dan membuatnya terkohorensi dengan untaian kata2 yang berkensan itu tantangan yang sama sekali berbeda.
    It takes time, lot of effort to read and to write
    it burns our brain every time we try hard just to make the story interesting
    the effort just killing most of the time, but we know that we can easily forget it even if it just 1 or 2 reader who accept and enjoy it
    but we hardly found that kind of reader...maaaan...that's suck!

    anyway, tokoh utama dalam cerita ini suram banget rasanya. keinginannya untuk berubah menjadi lebih baik kayaknya penuh struggle gitu
    rasanya berat banget dikarenakan udah terlalu lama terbiasa dengan sikap apatis, namun hidup terlalu perhatian juga malah jadi sering dimanfaatkan dan ditipu orang lain :sepi:
    tapi jangan bikin plan ending yang suram ya, aku hanya suka cerita hepi ending :oii:
    misalnya si tokoh utama dapat teman karyawan baru hoby IT lalu diajak bikin aplikasi android untuk memudahkan management gudang, bisa di kontrol dari mana aja oleh pemilik gudang.
    Atau si Aku akhirnya menekuni ilmu mengajar lalu berhenti dari pekerjaan nya yang sekarang 1 tahun kemudian untuk mengajarkan IT anak2 di desa tertinggal. di sana dia mengarang banyak buku pelajaran berbasis dan support e-learning sehingga ia bertemu wali murid jelita yang kemudian menjadi istrinya :haha:
     
    • Like Like x 1
  7. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    sebenernya cerita ini hepi2 aja sih, lantaran gaya penuturan si mc nya aja kali makanya terkesan suram :cambuk:

    kalo soal ending ini kayaknya baru setengah jalan, bisa sekitar 13 sampe 26 chapter totalnya. tapi ya, entah suram atau tidak yang penting ending nya coba dibikin pas dengan perkembangan cerita. btw i like happy ending too:haha:

    soal menulis itu sendiri, kayaknya bakal jauh lebih mudah kalo membuatnya supaya diri sendiri merasa senang ketimbang mencoba menelurkan amsterpiece dari langit ke enam. soal logic ato apakah ntar dolo yg penting saat menulis suatu bagian dsb. rasanya nikmat :top:
     
    • Like Like x 1
  8. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    anyway, untuk sementara gw hiatus dulu ya. balik nulis chapter lagi akhir maret ato awal april, pengen ngumpulin bahan dolo :cambuk:
     
    • Like Like x 1
  9. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    welp, inspirasi datang lebih awal sepertinya :haha:

    ===

    Bab 8 : Waktu Luang

    Entah semasa bekerja sekarang ataupun masih pengangguran dulu, rasanya waktu cepat sekali berlalu. Jam bagaikan menit dan hari berganti begitu saja. Tapi ya, hal ini jauh lebih baik ketimbang saat mengikuti kuliah dulu. Ceramah panjang lebar yang membosankan sungguh menyiksaku--jam pelajaran seakan tak kunjung usai. Semakin tua semester, beban jadi ringan--kecuali saat diuber skripsi.

    Memang waktu luangku saat dulu lebih banyak, namun menyisakan berapa jam tiap harinya untuk kuliah—ah, malas sekali. Kadang aku nitip absen dan bila belajar ya seadanya saja, toh yang penting asal lulus juga.

    Giliran saat bekerja, aku senang-senang saja sih. Lantaran tak perlu belajar hal rumit. Tak ada PR, Kuis, Ujian Mid, Ujian Akhir dsb, hidup serasa tenang.

    Diantara segala kesulitan yang ada saat kuliah, itu ditambah biaya hidup yang mahal dan uang semester juga. Untuk pekerjaanku, yang tidak enak ya gara-gara tiadanya hari libur saja—tak ada akses wi-fi juga. Enaknya ya, tiap bulan dibayar, dapat makan siang dan kalau masih ada bisa sampai sore. Kalau tidak ada truk yang masuk juga bebas sih.

    Meski gajiku kecil, biaya hidup di sini juga hampir tidak ada. Rumah tak perlu bayar sewa, listrik dan air pun diurus mereka--makan dan cucian juga diurus. Praktis yang kulakukan hanya bersih-bersih rumah saja. Paling pengeluaran yang ada hanya untuk sekali-kali jajan, maupun untuk transpor pulang.

    Yang tidak enak ya, lantaran rekening bank yang biasa kugunakan untuk transaksi online sudah hangus; kena biaya admin cukup besar tiap bulan dan juga tidak begitu dipakai, ya uangnya dipindahkan saja ke bank lain, yang tidak ada atm tapi tiab bulan tak kena biaya. Ibuku bilang kalau mau transaksi apa-apa pakai punya dia saja, tapi tidak enak juga mau beli apa harus melalui rekeningnya. Paling dia mengomel terus buat apa beli ginian, padahal nanti juga bakal kuganti dengan uangku sendiri.

    Rasanya sungguh malas melihat ibuku mengomel bila aku ingin membeli game baru lewat Steam. Paling ia ngomong begini : gak usah beli game lah, kerja yang serius. Masa' udah gede gini masih main game layaknya anak-anak?

    Kayak sinetron yang biasa dia tonton itu jauh lebih baik saja, tapi ya, sinetron juga gak bayar sih. Iklan nya saja banyaknya bikin muntah, pengen aku install Adblock Plus kalau bisa.

    Ya sudahlah, untuk sementara ini aku donlot versi pak tani saja. Nanti saat aku sudah kaya dan bisa belanja sepuasku dengan uangku sendiri, pasti akan kubeli. Bermain game gratisan juga lumayan sih. Android punya banyak game gratisan dan meski sebagian besar punya pembelian aplikasi, ada cukup banyak yang tak perlu tergantung dari pembelian itu untuk terus maju—yang terpenting ya, kau terus bermain saja.

    Di sini juga lantaran tak ada hari libur, mau belanja maupun jalan-jalan ke manapun juga tidak ada waktu. Lantaran ini kota kecil, mau beli apapun juga belum tentu ada barangnya. Aku jadi ingat mikrofon yang biasa aku gunakan untuk merekam suara gitar elektrik, sekarang hilang entah kemana--tak tau harus beli di mana juga. Senar gitar saja belum kuganti-ganti begitu lama.

    Omong-omong, saat dulu kuliah aku punya banyak hobi. Aku menulis, bermain musik maupun menggambar--tidak ada yang benar-benar sukses. Apabila aku sukses pun, hidup dari hobi semacam itu akan sungguh sulit, terutama di kota besar.

    Aku mendengar beberapa status yang diposting beberapa temanku di dunia maya. Beberapa dari mereka, makan saja pun susah, dengan berbagai kerja keras yang mereka lakukan dengan mencari komisi dan terus mengasah skill menggambar. Sedangkan diriku, setiap hari hanya duduk santai menunggu truk. Uang sama sekali tak masalah, makan juga sampai kenyang.

    Kadang aku berpikir—aku ingin mengejar apa yang membuatku senang, tapi aku juga tak ingin hidupku menderita. Bila aku serius mendalami hobiku, mungkin aku bisa sukses, tapi aku tak ingin juga stress lantaran berbagai tuntutan dalam bidang tersebut.

    Aku ingat saat dulu, aku begitu berambisi menjadi penulis yang hebat. Ujung-ujung aku jadi stress dan kuliahku berantakan. Saat itulah aku mulai beralih ke minuman keras, meski tidak segila pemabuk kebanyakan. Dengan berbagai stress itulah aku akhirnya masuk rumah sakit selama seminggu—menderita sekali di sana. Semenjak lahir, aku jarang sekali masuk rumah sakit. Sedari itulah, aku langsung tak mau terlalu serius lagi menekuni hobiku.

    Sejak saat itu, aku tak pernah menyentuh minuman beralkohol juga.

    Bagiku, hal paling menyenangkan untuk dilakukan sekarang bukanlah menulis, menggambar maupun bermain musik secara serius. Aku lebih senang bermain game maupun membaca cerita ataupun menonton film. Mungkin hal itu tidak akan membuatku sukses, tapi setidaknya waktu terasa begitu cepat dan menyenangkan. Jika demikian, apakah waktu berlalu begitu cepat lantaran hari-hariku cukup gembira?

    Jika demikian, hal terbaik untukku bukanlah menjadi orang sukses tapi menderita. Tak apa seumur hidup aku bukan siapa-siapa, yang penting hidupku nyaman, tenang dan bahagia. Tapi kalau dapat menjadi orang berhasil dengan kehidupan seperti itu, ya lebih bagus lagi.

    Ya sudahlah, ketimbang mencoba mengembangkan diriku, lebih baik aku temukan hal baru yang membuatku senang.

    Bila aku kembangkan diriku ya, pasti akan ada seorang yang jauh lebih baik. Bila ingin bersaing, pasti selalu ada kemungkinan aku tersingkir. Tapi bila aku ingin bahagia, aku tak harus melawan orang lain; tak mesti memperebutkan hal yang diinginkan banyak orang. Mungkin bagi mereka yang senang bersaing, bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan banyak orang sungguh membuat bangga, tapi buatku, lebih baik berfokus pada hal yang mudah didapat saja.

    Terlalu buang waktu, tenaga, dan capek hati selalu harus mengejar hal yang sulit diraih, saat diggapai pun, rasanya sama sekali tak pantas hasilnya, terlebih dengan segala kerja keras yang diperlukan. Belum lagi, jika kau menjatuhkan orang lain untuk mendapat hal yang kau inginkan, di masa depan orang itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkanmu.

    Hidup seperti itu sudah tidak enak, malah tambah cari musuh lagi.

    Ya sudahlah, mau hidup demikian itu urusan mereka. Aku lebih baik mengisi hari-hariku dengan tawa saja. Sesuatu yang ringan, sederhana, tapi menggelikan.

    Masalahnya ini saja sih:

    Aku tak begitu mengerti bagaimana menulis komedi.

    Ya, kucoba sajalah.

    Xxx

    Kukubima itu singkatan : kurang kuat, bini marah.

    Bila mau cari istri, pilih yang giginya ompong di tengah, sedotannya paling mantap.

    Begitulah satu dari banyak lelucon dari bosku. Ia saat ini beristri dan dikaruniai tiga orang anak. Aku tak ingin berbicara banyak tentang Bos—hal itu membuat perasaanku tidak enak.

    Intinya bagaimana ya.

    Aku biasa pergi ke gudang bersama Bos, kadang ia menelpon--suruh jalan ke tempat biasa atau aku pergi langsung ke rumahnya. Jaraknya tak jauh dari rumah kontrakanku sih. Meski pekerjaannya cukup santai, ia biasa pulang paling malam. Kadang aku merasa iba, melihat dirinya yang kadang mengeluh ngantuk. Baru tutup gudang jam sembilan lah, pas ada liburan bersama dia masih disuruh menyupir lah.

    Jika aku digaji tinggi pun, kalau setiap hari pulang malam rasanya sungguh tidak enak.

    Singkat kata, bosku ini bisa dibilang murah hati dan tidak saklek--mesti begini begitu. Kalau ada tukang bakso yang lewat, ia suka belikan makanan buat mereka. Jika ada nasi uduk maupun gado-gado kadang makan juga. Memang harganya murah meriah tapi rasanya sesuatu sekali. Kalau dibandingkan dengan jajanan kota besar, harganya beda jauh.

    Bagi diriku yang hobi makan, traktiran itu begitu spesial.

    Kalau aku melakukan kesalahan dsb. Bos juga dapat membetulkannya cepat. Aku jadi tak perlu banyak berpikir masalah gudang, tinggal ingat apa yang ia bilang saat-saat kemarin. Praktis kontribusiku hanyalah menjaga dan mengurus keluar masuknya barang di sini saat Bos sedang keluar, ataupun mengurus bongkaran yang lain saat dirinya sedang sibuk mengurusi hal lainnya. Di hari sibuk, bisa ada dua truk yang bongkar muat sekaligus.

    Selain daripada itu, kerjaku sebagai asisten tak terlalu signifikan.

    Kadang aku berpikir demikian: ya moga-moga bisnis di toko tidak terlalu baik, jadinya gudang bakal sepi terus. Bos dan aku bisa pulang pagi—kalau aku dipecat juga tak apa-apa, wong aku disuruh untuk kerja oleh orangtuaku kok, bukannya kemauan sendiri.

    Tapi ya, lingkungan kerja ini cukup hangat. Bagi diriku, hal yang paling membuatku ingin berhenti kerja adalah suasana yang tak harmonis dengan karyawan lain. Bila bersama dengan orang yang memusuhiku setiap hari, aku sungguh tersiksa.

    Aku tak menemuinya di tempat ini. Kadang, memang beberapa karyawan lain agak jengkel saat aku tak begitu konsen bekerja. Tapi sewaktu aku melakukannya dengan baik, sesuai ekspektasi, mereka cukup bersahabat. Aku juga seringkali dibantu mereka saat melakukan beberapa hal yang aku tak terlalu mahir.

    Mungkin saja, semangatku yang membara lagi untuk menikmati hidup, berawal dari kehangatan lingkungan ini.

    Aku ingat sebuah momen saat diriku dan Bos bercakap mengenai traktiran bakso. Awalnya ia bertanya soal bagaimana sistem yang ada pada gudang ini. Apakah ada peningkatan yang diperlukan dan sebagainya.

    Kujawab saja, sudah oke. Soalnya aku juga tak terlalu masalah, yang penting pekerjaan setiap hari tidak terlalu banyak dan aku dapat pulang lebih awal.

    Lalu, ketika ditanya mengenai peletakan barang, kujawab saja sudah rapi—tidak seperti yang ada di gudang sebelah, milik toko lain. Kulihat sekilas gudangnya begitu penuh dan sesak, barang asal dijejali sana sini tak beraturan.

    "Ya, itu karena...maaf ya, bos gudang sana asal main suruh saja, tidak begitu peduli sama karyawan. Kalau di sini ada bongkar muat trus ada jualan di depan 'kan biasa aku tanya 'mau bakso gak?', 'mau mi goreng gak?' Di sana ya, pas mereka lapar pun bosnya gak tanyain. Ya, gimana mau kerja bener kalau perut aja lapar. Kau aja yang gak ngangkat barang, kalau perut lapar apa bakal bener kerjamu?"

    "Nggak sih. Kalau lapar rasanya gak konsen gitu."

    "Makanya gudang di sebelah jadinya berantakan, ya mereka yang ngangkut bakalan mikir—ini barang bos juga, aku asal angkut saja lah. Intinya ya begitu, makanya kalau ada apa-apa aku ajak makan."

    Aku hanya dapat bergumam, jadi bos ternyata tak semudah yang dikira ya.

    Memang mereka biasa jadi yang paling kaya, tapi kerja dan tanggung jawab yang diemban juga paling besar. Saudaraku yang jadi bos di malah datang paling pagi dan pulang paling malam. Saat karyawan sudah pulang semua ia masih di kantor mengurus berbagai laporan yang ada. Pamanku yang sudah berumur pun, meski ia sudah begitu kaya, Senin hingga Sabtu masih kuat bekerja dari pagi hingga malam mengurusi beberapa bisnis kepunyaannya.

    Untuk sekarang ini, aku berpikir, adakah titik tengah dari menjadi orang kaya dan hidup santai? Adakah cara untuk mendapat banyak uang tanpa harus bekerja sekeras saudaraku, paman dan bosku?

    Sampai sekarang, aku masih belum menemukan jawaban yang tepat. Tapi ya, aku setidaknya punya alternatif.

    Jika tak dapat menghasilkan banyak uang, artinya tak usah boros. Bila penghasilan kecil, tapi pengeluaran lebih kecil, kau bakal semakin kaya juga.

    Mungkin, dari sudut pandang demikian, keputusanku untuk meninggalkan kota besar cukup tepat.

    Dulu aku sama sekali tak menghasilkan uang, pengeluaran juga besar. Sekarang aku punya penghasilan lumayan dan pengeluaran hampir nihil. Ya, apabila hasil kerjaku sudah terkumpul cukup banyak, akan coba kuinvestasikan pada sesuatu yang aman. Bisa dalam bentuk deposito ataupun menanam modal pada usaha saudaraku yang mahir berbisnis. Bila sudah waktunya, kuharapa aku dapat berinvestasi pada hal yang tepat.

    Untuk sekarang ini, kekayaan terbesar yang kumiliki adalah waktu. Lantaran pekerjaanku memberikan cukup banyak kesempatan untuk melakukan beberapa hal, seperti menulis maupun membaca—akan kugunakan sebaik mungkin.

    Entah setahun berikutnya aku akan sukses atau masih begini-begini saja, yang penting saat ini dan seterusnya hari-hariku sungguh bermakna.
     
    • Like Like x 2
  10. spinx04 Veteran

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Nov 22, 2009
    Messages:
    1,675
    Trophy Points:
    217
    Ratings:
    +2,539 / -0
    jleb2 again :haha:
    kerjaan santai, waktu luang banyak, gaji "cukup", pengeluaran minimum....surga dunia banget :terharu:
    kalo bisa aku pingin dapetin poin "kerjaan santai" n "waktu luang banyak" so aku bisa bikin macem2 experimen...hobi aku ga kalah banyak soalnya :hahai:
    selama 5 bulan terakhir aku cuma bisa ngedalamin flash dalam sisa2 waktu luang yang ada sepulang kerja sebelum tidur serta sabtu minggu. maklum basic kuliah nya bukan IT and IQ nge-pas, progress nya lama banget, dan banyak time skip dalam belajar karena masalah kerjaan yang bikin mood hilang.
    well, anyway, biar lambat aku tetap targetkan jadiin satu buku tutorial flash di penghujung tahun 2017

    untuk story telling, tetap mudah dicerna seperti bab2 sebelumnya. dan ntah kenapa dalam cerita bab 8 aku jadi penasaran sama kehidupan kerja dan sistem management di warehouse. gimana bisa ada yang bagus ada yang jelek? kan cuma nyimpan stock barang. tapi make sense juga karena aktual nya aku juga sering nemu toko2 yang berantakan, masuk nya aja males kalo bukan nyari barang murah atau ga ada di toko lain. ketika nanya "barang ini ada ga? saya mau beli sebanyak ini, cukup ga stock nya?", malah di jawab "ntar saya cek dulu ya dibelakang", padahal kalo datanya kesimpan di komputer bisa langsung search dan jawab, jangan bikin kita nya nunggu lama. sukur kalo ada dan cukup, kalo ga...:sigh:

    selain itu, aku yakin banget bahwa di tempat kerja manapun pasti ada conflict. so far conflict yang ada hanya diceritakan sekedar lewat. kalo ada cerita conflict yang muncul dari hal sepele namun ternyata membesar dan merembet kemana-mana sepertinya menyenangkan :blink:
     
    • Like Like x 1
  11. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    ya kalo stok nya tiap barang nya didata sih. jadi klo gk ada stok langsung jawab, gk nunggu lama cek dolo. dari stok awal keluar berapa tiap hari per barang langsung dikurang-kurangi aja, gk ruwet2 banget kok. tiap barang masuk juga dikasih nota stok lamanya brp.

    kalo gw sendiri sih bagus jeleknya sistem paling dari bosnya aja sering ngecek stok gudang ato nggak, klo bos di sini meski nyantai cukup rajin juga :top:

    entahlah, kalo soal konflik mungkin bukan terutama dari gudang ya :haha:

    btw semoga sukses belajar flash nya :doa:
     
    • Like Like x 1
  12. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Happy ending route go :semangat:

    ===

    Bab 9 : Kebahagiaan

    "Biasa gudang baru tutup sekitar jam sepuluh atau sebelas pas bulan puasa, banyak banget barang yang masuk ama keluar."

    Aku mendengar hal itu dari salah satu karyawan gudang, seperti pasrah saja dan menganggap jam kerja seperti itu wajar. Untukku sendiri, digaji demikian kecilnya, bahkan bila dibayar dua kali lipat pun aku tak mau sebulan penuh harus pulang begitu malam.

    Mendengar hal tadi, semangat kerjaku menjadi kian kendur dan aku melakukan kesalahan lagi saat menghitung barang yang dimuat untuk toko. Terlepas dari omelan kecil dari bos dan karyawan lain, aku sama sekali tak merasakan apapun. Kesadaranku bagaikan tak ada di sini lagi.

    Aku tak tahu kapan bulan puasa, tapi ya, mendengar bahwa hal seperti itu bisa kualami—ada bagian di jiwaku yang retak.

    Mengapa mereka begitu pasrah dengan jam kerja yang bagaikan kerja rodi untukku? Menghidupi keluarga, salah satunya.

    Istri yang dapat tinggal di rumah dan mengurus anak.

    Tapi aku berbeda, aku tak peduli dengan orang lain. Enak saja uang hasil kerja kerasku untuk pernikahan, lebih baik kusimpan saja agar aku setidaknya dapat hidup berapa bulan tanpa bekerja. Aku tak sudi menambah satu orang lagi mencampuri urusan pribadiku.

    Dapat dikatakan juga aku membenci anak-anak. Mendengar ricauan mereka yang berisik dan sikap kurang ajar mereka memanjat pagar rumah kontrakanku, rasanya aku ingin menghajar mereka habis-habisan. Bisa dikatakan, kalau aku bisa menahan emosiku pun saat berumah tangga, bila mempunyai anak, pasti aku akan jadi orangtua yang abusif terutama bila mereka menyentuh, bahkan merusak barang yang aku hargai.

    Ibu, soal cucu, kakak sudah menikah. Adik juga nanti akan masuk usia pernikahan, tapi diriku, sudah cukup kau campuri jalan hidupku.

    Sudah, cukup.

    Ya, aku sebenarnya sama sekali tak ingin bekerja. Karena terus dimarahi orangtuaku saja baru aku ikut. Tapi seharusnya aku tak perlu harus dipaksa untuk bekerja 'kan? Ini hidupku sendiri, aku bukan anak-anak apapun harus disuruh begini begitu. Lebih baik aku mati kelaparan saja tapi bebas. Aku hanya betah bekerja karena intensitas barang setiap harinya tak terlalu padat, tetapi bila ramai sekali lama kelamaan aku merasa tak kerasan.

    Jujur, aku sama sekali tak tertarik dengan urusan gudang.

    Aku ingin menulis cerita saja.

    Tapi mengapa aku tak memiliki bakat menulis maupun koneksi yang menunjang untuk hidup darinya?

    Mengapa aku lahir di negara persetan yang tak menghargai penulis mereka sendiri?

    Mengapa aku dikelilingi keluarga dan sanak saudara yang tak bisa mengerti apa jalan hidup yang ingin kutempuh?

    Aku juga sama sekali tak dapat berkata bahwa aku ingin hidup dari menulis. Aku tak ingin tulisanku dibaca orang-orang seperti mereka. Di sisi lain, aku tak ingin bekerja seperti ini lebih lama lagi.

    Kadang, aku berpikir. Mungkin, di dunia tanpa kesempatan ini, lebih baik menunggu mati saja, seorang diri tanpa harus bertanggung jawab dengan orang lain, begitulah enaknya masa lajang. Dulu aku berpikir untuk hidup lama, tapi sebenarnya hal itu tak ada maknanya. Untuk apa hidup lama jika keseharianmu tak dapat dikendalikan dirimu sendiri?

    Setiap hari hanya bekerja lantaran kewajiban.

    Dengan kata lain, kau hanya berada di dunia nyata, tapi kau sama sekali tak hidup. Kau cuma mayat hidup.

    Ada pepatah yang mengatakan, hiduplah setiap hari seakan kau akan mati besok, maka jalan yang tersembunyi akan terlihat. Dulu, aku masih takut akan kematian, tapi sekarang, bahkan kemungkinan harus pulang larut malam dan begitu lelah setiap harinya—dengan gaji kecil pula.

    Kematian tak terasa menyeramkan lagi. Di sisi lain, beban keseharian yang teramat berat seakan terangkat dari jiwaku. Sekarang, aku tak perlu khawatir apa yang akan kulakukan untuk masa depan maupun masa kini.

    Setiap saat, pasti ada kemungkinan diriku mati.

    Setiap manusia juga demikian, tapi mereka tak coba memikirkannya lantaran takut akan kematian. Di beberapa agama, setelah kehidupan akan ada surga dan neraka.

    Mereka takut masuk neraka, terlepas dari kemungkinan masuk surga. Lantaran standar baik dan buruk setiap orang berbeda-beda, tapi yang menentukan orang itu baik maupun jahat bukanlah manusia itu sendiri. Bagaimana pengadilan Tuhan juga tidak ada yang tahu pasti. Yang mereka tahu, Tuhan sudah pasti benar dan segala keputusan yang ia ambil selalu tepat.

    Lalu apa yang akan kamu lakukan, jika kau ternyata dianggap tak pantas masuk surga dan harus menjalani siksaan kekal di neraka?

    Siksaan kekal, tanpa adanya pengampunan maupun pembelajaran untuk kembali menjadi orang yang baik.

    Terutama bila kau menjalani hidupmu dengan baik. Apakah kau tetap akan menganggap Tuhan itu adil?

    Anggap saja di neraka kau tidak disiksa kekal, melainkan mendapat didikan untuk kembali ke jalan yang benar. Dilahirkan kembali ke dunia untuk mencoba lagi sampai ia mendapat hidup yang sempurna.

    Siapa yang untung coba, bila orang itu disiksa seumur hidup? Paling setelah sekian lama mental mereka akan langsung runtuh dan para penyiksa akan bosan juga seakan menghantam benda mati. Jika mereka dapat dikembalikan ke jalan yang benar, pasti ada kemungkinan, di kehidupan berikutnya mereka dapat menjadi orang yang berpengaruh positif di kehidupan manusia.

    Bila kau hidup sebagai orang baik tapi tetap dilempar ke sana untuk pembelajaran, apa kau tetap menganggap itu pantas?

    Aku tak tahu apapun mengenai Tuhan untuk dapat melabeli Dia begitu sadis sampai betah melihat seorang disiksa selama-lamanya, tapi beginilah pertimbanganku mengapa konsep neraka yang berupa 'siksaan kekal' itu sungguh tak punya fungsi tersendiri, selain daripada menakuti banyak orang agar memeluk agama.

    Mereka jadi tidak mempertanyakan hal yang penting dikarenakan rasa takut juga lantaran 'pertemanan' dengan orang beragama pada umumnya. Sekolah mengajarkan untuk berdiskusi, bukan berkontemplasi. Kepentingan kelompok ketimbang individu. Mendoktrin bagaimana kau harus berpikir ketimbang menuntunmu mencari ideologi paling pas.

    Entahlah bagaimana di sekolah filsafat, soalnya aku tak pernah kuliah bidang itu. Yang kutahu, bacaannya cukup banyak dan rumit.

    Tentang surga pun, misalnya yang masuk orang-orang baik di masa lampau, yang telah melakukan kontribusi besar pada uman manusia akan disekap di tempat, yang menurut berapa orang itu membosankan—selama-lamanya--hanya dapat mengikut perintah Raja Surga dan menyembahnya? Untuk mereka yang religius mungkin hal ini baik, tetapi untuk yang tak religius—hal ini mungkin sama saja dengan neraka.

    Aku percaya akan suatu hal tentang kehidupan setelah alam kematian. Alam semesta ini luas, lalu terdapat kemungkinan bahwa dimensi ini terhubung dengan dimensi lain yang tak terhingga jumlahnya. Bila demikian, teori di cerita model Isekai (dunia lain) yang ada di Light Novel bisa dibilang ada benarnya juga.

    Setelah seorang mati, ia dapat memilih menetap di akhirat berapa lama sampai ia siap dilahirkan kembali. Ataupun segalanya berlangsung tanpa jeda, dari kehidupan yang berakhir langsung memulai lembaran baru.

    Jiwa seseorang akan lahir kembali di dunia ini atau alam semesta lainnya di mana terdapat sihir, alien maupun tempat yang sungguh aneh di luar dugaan. Bisa menjadi makhluk dengan akal budi seperti manusia, atau bahkan alien berintelegensi tinggi. Tak tertutup kemungkinan juga, reinkarnasi selanjutnya bakal menjadi makhluk uniseluler seperti plankton.

    ...sungguh menyedihkan bila hal itu terjadi.

    Anggap aja ada keberadaan Tuhan disimbolisasikan oleh sebuah mesin, sebut saja namanya Deus ex Machina. Dari awal terciptanya alam semesta pertama dan seluruh parallelnya, mesin ini mengatur segala proses penciptaan dan pembentukan alam semesta. Banyak hal lain juga ia kerjakan, salah satunya meregulasi jiwa manusia yang telah mati pada tempat paling tepat.

    Lingkungan, beserta sifat-sifat bawaan yang muncul semenjak lahir.

    Itulah alasan mengapa aku lahir di sini dengan keluarga seperti ini dan kau lahir begitu.

    Kadang aku merasa kelahiranku di lingkungan sekarang adalah suatu kesalahan. Aku tak memiliki bakat khusus yang membuat diriku dapat hidup enak dan mudah.

    Soal kematian, aku tak tahu pasti. Apakah disebabkan oleh perhitungan Deus ex Machina atau keputusan manusia itu sendiri?

    Bila aku boleh memilih, lebih baik waktuku ditentukan saja. Yang dapat kulakukan hanyalah menantinya dan mendekap kematian itu erat-erat, sambil terus memikirkan hal terpenting bagi diriku sendiri.

    Yang kuminta hanyalah, saat waktuku tiba, jangan ada sama sekali penderitaan. Hidupku sudah cukup dipenuhi rasa sakit, biarlah aku pergi begitu saja tanpa bersusah-payah.

    Jika saat ini juga aku akan mati, hal terpenting bagi diriku adalah kesunyian dan ketenangan, untuk dapat mengekspresikan diriku secara utuh, tanpa mendapat gangguan dari orang lain.

    Dapat mengutarakan isi hatiku apa adanya, dengan bebas tanpa gangguan, adalah kebahagiaan terbesar yang dapat kumiliki.

    Di tempat kerja, aku merasa begitu kecil dan tak berdaya, namun saat aku menyalurkan isi hatiku—aku seperti menguasai dunia.

    Akan kulupakan masa lalu, masa kini dan masa depanku. Segalanya untuk tetap mendekap erat hal terpenting dalam hidupku saat ini.

    Bila esok hari pun waktuku masih ada, akankah aku bisa tetap mendekapnya?

    Anggap saja esok hari tak akan pernah datang.

    Diriku yang sekarang hanya sampai di sini.

    Biarlah diriku yang besok--bila hari itu masih ada--menjadi diriku yang besok.

    Tak apa engkau kembali patah arang. Diriku di sini sudah melakukan yang terbaik untuk bahagia.

    Berbahagialah dengan caramu sendiri, tak perlu khawatir denganku.

    Terima kasih, untuk terus hidup—apabila kau nanti akan ada.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
  13. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    btw ini pake sistim ARC aja ya ceritanya, chap ini menandakan berakhirnya ARC 1 :yahoo:

    ===

    Bab 9.5 : Apa Boleh Buat

    Kadangkala aku berpikir: mungkin saja hari-hariku di gudang bergantung pada seru atau tidaknya bacaan yang kudonlot di rumah. Saat sedang waktu kosong; tak ada barang masuk--bila bacaan yang ada tidak menarik, rasanya bekerja pun enggan.

    Kadang aku bermain game tapi lantaran hal itu menarik perhatian dan aku tak ingin ada yang mampir melihat, jadinya aku membaca saja. Di tempatku ini tak ada yang hobi baca, bahkan rata-rata juga tak bisa bahasa Inggris.

    Lantaran aku menghabiskan waktu dengan bacaan berbahasa Inggris, selain tak banyak yang melihat lantaran isinya tulisan semua; kalau melihat pun bahasanya tidak begitu mereka mengerti, aku serasa bebas di dunia sendiri.
    Tapi yang biasa kubaca bukan novel barat sih. Ini bahasa aslinya entah Jepang, Korea atau semacamnya lalu diterjemahkan ke Inggris.

    Baru-baru ini, aku cukup menggemari Web Novel, alias tulisan yang dipost melalui internet. Yang biasa kutulis juga dapat dikategorikan Web Novel tetapi pembacanya hampir tak ada. Berbeda dengan tipe cerita yang biasa ada di pasaran—sepertinya format ini lebih menunjang kreativitas penulis. Ceritanya bahkan bisa lebih menarik dan bervariasi ketimbang yang sudah diterbitkan dengan ilustrasi segala macam.

    Aku dapat langsung mencari tipe cerita yang tak sesuai selera pasar, lalu menemukan cukup banyak yang menarik. Meski begitu ya, lantaran format Web Novel tidak sepopuler yang sudah diterbitkan dengan anime + manga segala macam, yang menerjemahkan suka malas. Biasa, untuk proyek translasi Light Novel, bentuk terbit—donasi dapat lumayan, tapi untuk cerita Web Novel yang membuatku tertarik—ada sih yang sudah mencapai 1000 chapter di versi ori, tapi terjemahan baru sampai 50an.

    Ya, meski dapat bayaran lumayan, menerjemahkan 1000 chapter pendek pun bakal melelahkan. Belum lagi jika ceritanya jadi hambar di tengah jalan dan penerjemahnya hilang mood.

    Lantaran penulisnya bisa dibilang tak terikat kontrak dengan penerbit, ya update juga bisa kapan-kapan, meski biasanya progress cerita awal sudah jauh ketimbang yang diterjemahkan.

    Jadinya ya, aku biasa baca hingga chapter terbaru yang sudah Inggris terus ya pindah ke seri lain. Dilemma juga rasanya, saat segala bacaan yang menarik chapter nya sudah habis kubaca, terus yang tersisa tak begitu seru. Terutama lantaran tipe cerita yang kusukai tak begitu populer, entah dalam bentuk Light Novel ataupun Web Novel.

    Saat ini aku belum selesai membaca semuanya. Jika ada yang baru pun, aku ingin tunggu hingga satu ARC cerita nya selesai dulu biar tidak tanggung menunggu terjemahan berikutnya.

    Aku ingin juga menulis cerita semacam itu, sekedar menghabiskan waktu bila sedang tidak mood membaca. Bila aku serius menulis, pasti aku dapat menghasilkan cerita yang tak kalah menarik. Tapi ya, menulis cerita seperti itu tidaklah mudah. Bila dipikir-pikir, aku tak lancar bila harus membuat kisah demikian. Yang rata-rata kutulis hanyalah racauan dan monolog panjang-lebar tanpa arah.

    Setiap penulis memang punya satu dua hal yang paling nyaman untuk ditulis. Kadang aku melihat tulisanku sendiri lebih menyerupai diari ketimbang fiksi; entah bagaimanalah aku dapat menuliskan cerita fantasi seperti game RPG yang kusukai.

    Mungkin aku harus latihan membuat deskripsi.

    Xxx

    Entah bagaimana atau mengapa, aku mendapati diriku terjebak di dunia lain. Di kiri dan kananku dipenuhi gedung pencakar langit, hingga aku tak dapat melihat cakrawala saat itu.

    Aku berdiri di suatu jembatan penyeberangan; sekitarnya ditutupi kaca dan aku melihat beberapa orang berjalan mengenakan seragam astronot—wajah mereka tak kelihatan. Sedangkan diriku berpakaian seperti biasa: kaos, celana pendek karet dan sendal jepit.

    Dengan penerangan yang cukup nyaman aku dapat berdiri mengamati pejalan kaki lalu lalang, juga mobil terbang yang berseliweran diantara deretan gedung-gedung. Kutengok ke bawah; dasarnya tak dapat terlihat jelas, tertutup awan malahan.

    Bagian gedung yang tertutup awan bahkan tak terlihat seperti sudah bagian tengah ataupun bawah.

    Seberapa tinggikah tempat aku berada saat ini?

    Tak hanya dalam jembatan, di luar juga gemerlapan. Aku berada pada jalan antara gedung A dan B. Pertama-tama, aku perlu menyeberang hingga salah satu ujung lalu bertanya pada orang sekitar: apa tempat ini? Selebihnya ya urusan nanti saja.

    Deru pendingin ruangan membuat jalan kaki sungguh nyaman; mengapa yang lain pada pakai baju astronot ya? Meski aku bisa dibilang menonjol diantara kerumunan, tidak ada dari mereka yang berhenti sejenak untuk memandangku—seakan aku sama sekali tak ada. Sungguh aneh.

    Aku melamun tentang dua hal. Bagaimana kembali ke dunia asalku? Hal apa yang harus kutanyakan untuk mengenali dunia ini?

    Tak terasa, jarak tempuhnya tak begitu jauh. Di depanku terletak sebuah pintu otomatis yang seketika terbuka saat menjejakkan kakiku pada karpet bertuliskan 'Selamat Datang'. Pemandangan interior seperti Mall pada umumnya: di depan ada meja resepsionis dengan sebuah robot berbentuk manusia yang tengah bertugas. Selain dari itu, berbagai pengunjung berbaju astronot berseliweran di sini.

    Aku menoleh ke sekitar; terdapat deretan toko juga ditunggui robot bertipe serupa. Pendingin ruangan di sini sungguh sejuk dan lantainya sungguh nikmat dipakai jalan kaki.

    Meski aku ingin menjelajahi tempat ini, tapi yang terpenting adalah: mengetahui di mana aku saat ini berada. Aku bergegas ke meja resepsionis. Sontak robot yang bertugas menoleh kearahku dan membungkukkan kepala—pergerakannya sungguh halus.

    "Selamat malam tuan, ada yang bisa saya bantu?"

    Yang muncul bukanlah suara robotik, melainkan suara pria muda. Jernih, bening dan terngiang di telingaku layaknya presenter radio.

    "Saya baru pertama kali datang di tempat ini, kalau boleh—bisakah Anda berikan tur?"

    "Baiklah tuan. Pertama-tama, kenakan kacamata ini ya."

    Sebuah kacamata seperti Nerv-Gear di sebuah anime. Saat kukenakan aku langsung disuguhi berbagai macam hal interaktif: seperti membeli sesuatu di toko, menyicip makanan gratis maupun menang undian besar. Singkat kata, ini seperti Mall pada umumnya, kecuali bagian hoki. Tapi ya, berbagai sensasi yang kurasakan sungguh nyata—bahkan sampai pada rasa dan bau makanan sampel ataupun baju baru yang tadi kukenakan di simulasi.

    "Wah, presentasinya menarik sekali."

    "Terima kasih. Ada lagi yang bisa saya bantu?"

    "Saya mau tanya sih: mengapa pengunjung di sini pada pakai baju astronot? Apa mereka alien?"

    "Tidak, mereka manusia planet ini. Lantaran sebuah penyakit yang menginfeksi secara genetik dan menular hebat, tubuh mereka jadi begitu lemah pada udara sekitar. Bahkan udara yang diregulasi di sini pun masih mengharuskan pemakaian baju dengan tabung oksigen untuk kenyamanan."

    Ia menjelaskan lagi, untuk udara yang tak diregulasi, bahkan manusia planet ini tidak kuat bertahan; bahkan dengan baju astronot.

    "Apakah hal itu tidak aneh jika kau mendapati orang sepertiku berjalan tanpa adanya pakaian itu?"

    "Mungkin tuan adalah robot seperti saya. Di sini robot dapat hidup layaknya manusia normal, ada yang hampir sama sekali tak bisa dibedakan dengan manusia asli, tapi tubuh mereka ada pancaran gelombang elektromagnet."

    Resepsionis itu coba memindai tubuhku. Sebuah sinar hijau muncul dari kepalanya, bergerak perlahan menyusuri diriku.

    "Hmm...hasilnya negatif. Artinya tuan manusia mutan. Mereka biasa hidup di bawah awan dan fisik mereka sangat kuat, ditambah lagi setiap mutan memilki kemampuan khusus."

    Setiap mutan memilki kekuatan fisik dan otot jauh melebihi manusia planet Bumi yang sehat. Kemampuan khusus dimiliki setiap mutan sejak lahir: rata-rata berupa bakat Esper yaitu kemampuan telepati, telekinesis dll.

    Ada juga yang dapat menguasai ilmu sihir secara cepat atau sekedar jenius dalam bidang sains dan teknologi, di mana otak mereka berkembang jauh lebih cepat ketimbang mutan lainnya.

    Jadi, aku ini mutan? Sulit dipercaya, tapi bila mutan memang tahan terhadap udara sekitar, maka kesimpulannya dapat diterima.

    "Tadi orang-orang sekitar sama sekali tidak menoleh kearahku toh, padahal aku sendiri berjalan tanpa pakaian astronot di antara mereka."

    "Mereka memang sudah tak asing di masyarakat ini, kumpuian manusia super. Justru orang biasa dianjurkan tak menaruh perhatian pada mutan, bila tidak ingin mencari masalah dengan mereka."

    "Wah...."

    Sepertinya golongan mutan ini bermasalah ya.

    "Hal yang aneh adalah, mungkin lantaran tuan sama sekali tak menyadari bahwa tuan itu mutan. Biasanya, check-up talenta dan keahlian bawaan sudah dilakukan semenjak lahir. Terlepas dari berbagai alasan yang tuan miliki, di sini ada seorang dokter mutan--"

    Jadi aku dapat tahu keahlian superku? Rasanya seperti masuk ke dunia komik superhero saja, aku jadi penasaran.

    Seketika ada bunyi dering telepon. Resepsionis itu menyentuh layar hijau yang menyala dan berbicara seakan orang tersebut berada tepat depannya.

    Namun di sini, suara pihak yang satunya lagi tak terdengar sama sekali.

    "Halo? Ya, dokter? Ya, tuan ini sedang berbicara dengan saya. Baiklah, nanti dia akan langsung saya antar ke tempat Anda."

    "Memang tempat dokter ini di mana?"

    Karena penasaran, aku jadi ingin langsung bergegas ke sana. Mungkin bakal repot soalnya bangunan ini sepertinya tinggi sekali.

    "Tak perlu repot-repot, tuan. Apabila urusan dokter memang penting, begini saja sudah cukup."

    ...baguslah, tapi bagaimana caranya--

    Robot itu menekan sebuah tombol di meja resepsionis. Kulihat lebih lanjut, ternyata meja itu merangkap sebagai panel kontrol dan tak sekedar menerima telepon saja.

    Seketika cahaya silau menyorot diriku; refleks kupejamkan mata. Lambat laun, aku kehilangan sensasi sekujur tubuhku: dari kaki, badan hingga kepala. Kesadaranku hilang sejenak, kemudian dari atas sampai bawah tubuhku muncul kembali. Selang waktu berlalu, sinar itu meredup hingga aku dapat membuka mata.

    "Teleportasi sukses."

    Jadi itu teknologi teleportasi? Rasanya sedikit tidak nyaman—apakah perkembangannya masih tahap awal atau sudah mutakhir? Aku tak tahu pasti betapa majunya teknologi dunia ini.

    Jauh berbeda dari pusat perbelanjaan, ruangan ini ibarat dimensi lain yang tak kusangka berada di tempat ini. Meski sekilas terlihat seperti ruangan klinik pada umumnya, peralatan di sini terkesan futuristik. Sejumlah tabung silinder besar memuat spesimen makhluk aneh yang dibekukan. Di dinding terpampang poster model DNA manusia, lalu semacam poster propaganda : selamatkan dunia ini dan semacamnya. Ketimbang kasur pemeriksaan biasa, tempat pasien tidur adalah sebuah kapsul dan meja dokter berupa panel kontrol.

    Selain itu juga, terdapat berbagai macam alat pemeriksaan dan pengobatan yang seluruhnya bertenaga laser. Kulihat seorang lelaki tua beruban, namun posturnya masih tegap. Ia memeriksa spesimen di tabung pembekuan dengan sebuah pistol. Laser ungu yang keluar menyorot makhluk tersebut--seketika di dinding pojok terpampang berbagai grafik—otak, jantung, liver, otot serta anggota tubuh vital lain hingga arus peredaran darah.

    Dokter itu memunculkan sebuah panel menu di udara hanya dengan gerakan tangan, lalu ia menyimpan data yang ditampilkan di dinding.

    Sepertinya sistem komputer di sini dapat dioperasikan tanpa harus bergantung dengan mouse dan keyboard. Panel kontrol di sini mungkin menyuplai input dan daerah jangkauannya terbatas di ruangan ini. Untuk meja resepsionis, jangkanya terkesan lebih kecil, makanya robot itu hanya membuka menu di belakang meja dan sama sekali tak berpindah.

    Ataukah karena ia robot dan diprogram demikian, maka ia tak bergerak demikian? Tapi kesannya robot itu sudah secerdas manusia—seakan memiliki akal budi tersendiri.

    ........ya sudahlah. Tahu begini aku tanyakan lagi tentang robot, dokter ini kemungkinan besar juga pasti mengerti soal ini, bagaimana tidak--ia terlihat sungguh cerdas. Kacamatanya yang tebal, ekspresinya yang serius saat meneliti—rambutnya yang banyak uban karena kebanyakan mikir.

    Setelah selesai menyimpan data, ia menoleh ke arahku.

    "Ah, selamat datang. Mengapa kau tidak langsung bicara pas tadi?"

    ...lantaran aku sedang mengamati dokter dan ingin membuat lelucon garing, tapi untung saja aku tak keceplosan.

    "Dokter sepertinya sedang sibuk, aku jadi tak enak menganggu."

    Ah, bisa saja bikin alasan.

    "Ini? Ah ya, jujur yang kulakukan hanya mengisi waktu luang saja. Mengamati spesimen makhluk aneh sungguh menyenangkan."

    Hmm...orang pintar seperti dia tak jarang punya hobi aneh.

    "...kau tadi berpikir hobiku aneh bukan? Diantara banyak peneliti mutan, kesenangan ku termasuk pasaran tahu!"

    Itu yang dokter tanyakan pertama kali? Ketahuan dia sama sekali tak sadar aku cengengesan saat mengamati dirinya, ya sebelum dia menoleh ke sini juga sih.

    "Ya untuk orang awam sepertiku, baru pertama kali mendengar hobi begitu."

    Sepertinya diriku yang otaknya pas-pasan, punya hobi seperti itu memang ajaib. Tapi bisa saja sih, ketimbang meneliti makhluk aneh, lebih baik wanita muda cantik yang telanjang.

    Poin bonus bila dadanya besar.

    "Ah ya sudahlah, itu tak penting juga. Intinya kau mutan pertama yang belum pernah diperiksa sejak lahir? Masuk kapsul sajalah, di sana udaranya sejuk."

    "Aku bisa langsung tahu keahlianku?" tanyaku penuh semangat.

    "Benar, tapi mengingat talentamu sudah terlalu lama tidak dikembangkan, kemungkinan besar memunculkan hal itu akan sulit. Tapi yang penting usaha dulu. Okelah, silahkan masuk."

    Ia membawaku pada ruangan lain—di sini ada sebuah kapsul besar berbentuk kotak. Aku harus naik tangga dan turun tangga lagi untuk masuk ke dalamnya.

    Singkat kata, kapsul ini sungguh nyaman. Dalamnya cukup lega dengan bantal dan guling, beserta kasur empuk. Interiornya seperti kamar hotel, dengan kamar mandi, dapur dan televisi.

    "Kau tidurlah sejenak, pemindaian otomatis akan berlangsung sejam. Kau tak perlu langsung bangun sih, nanti bila kau sudah puas tidur, kau ambi langsung saja hasilnya di mejaku. Bila kau tak punya tempat bermalam, tidur di sini saja."

    Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Biasa aku juga tidur jam segitu—atau kadang lebih malam lagi, mumpung masih menganggur. Kumatikan lampu biru sejuk di kamar lalu kunyalakan lampu satunya lagi: berwarna jingga dan cahaya remang-remangnya membuatku nyaman.

    Di meja dekat tempat tidurku ada tempat wewangian dengan sumbu di bawahnya, saat kuputar knop di bagian bawah, api kecil keemasan membara, menghasilkan bau mint yang menyegarkan. Setelah menyikat gigi aku bergegas tidur—berguling sejenak di bawah selimut sebelum puas mengorok semalam suntuk.

    Rasanya kurang nyaman saat aku terbangun. Aku berada di ruangan yang sungguh terang. Saat membuka mata, tubuhku terbaring di kasur sempit seperti yang biasa di dokter umum dan ditimpa lampu sorot. Pada dinding terpampang diagram tubuh manusia beserta organ-organnya, mungkin inilah hasil pemeriksaanku.

    Dokter duduk di meja sebelah sambil menuliskan sesuatu. Seakan ia merasakan pandanganku, ia langsung menoleh.

    "Kau sudah terbangun."

    Aneh juga, mungkin lantaran saat ini aku objek penelitian si dokter, maka ia begitu awas akan setiap gerak-gerikku.

    ",,,ughh....jadi bagaimana hasilnya, dokter?"

    Aku langsung turun dari tempat tidur dan duduk di hadapannya. Berada di bawah lampu sorot cukup memuakkan.

    "Cukup aneh. Kau tidak memiliki kemampuan khusus seperti mutan dan fisikmu sama seperti manusia normal, tapi entah bagaimana kau tak kenapa-kenapa saat berhadapan dengan udara sekitar."

    Sebenarnya aku kecewa sih. Untung tokoh utama cerita Isekai lain, mereka pada dikaruniai kemampuan khusus. Giliran diriku, saat penghuni sini beberapa mempunyai kekuatan super, aku masih seorang manusia biasa.

    "Dokter. Aku ingin jujur saja, aku hanya manusia biasa dari dunia lain yang tiba-tiba saja terdampar ke sini. Suatu hari aku tengah berjalan kaki ke supermarket untuk jajan. Tak ada angin maupun hujan, aku langsung mendapati diriku berdiri di jembatan menuju bangunan ini. Apakah dokter percaya ada perjalanan antar alam-semesta?"

    "Hal seperti itu bukan bidangku. Jadi yang kau asumsikan adalah: lantaran kau baru semalam di planet ini, kau tak terkontaminasi udara cukup lama untuk menjadi lemah?"

    "Apakah dokter perlu periksa lagi untuk menunjukkan bahwa udara ini meracuniku?"

    Sekilas aku melihatnya tersenyum dan matanya menatap tajam kearahku, seakan ingin berteriak 'aha!'.

    "Soal itu sudah kulakukan. Begitu kau tertidur, aku memindahkanmu ke sini, menyuntikkan obat penenang herbal agar kau tak terbangun sampai pagi. Sisanya ya, kau lihat sendiri. Perkembangan kondisi vitalmu sudah kupantau selama delapan jam, setiap jamnya sudah tersimpan di sistem data."

    "Apa dokter tak perlu tidur?"

    "Aku ini mutan. Kemampuan khususku dapat memulihkan energi tanpa harus tidur. Diriku juga tak harus makan maupun minum, yang penting cukup minum air dan setiap pagi berjemur saja. Aku manusia tanaman."

    Ia menarik lengan baju dan seketika terlihat akar serabut pohon melilit tangannya.

    Ya sudah cukup, aku tak mau membayangkan dirinya terlihat telanjang dada.

    "Intinya begini." ucapnya lagi, "Komputer ini punya program simulasi yang akurat. Untuk manusia biasa yang berasal dari planet lain, berdasarkan data riset selama sepuluh tahun—jangka waktu sampai terdapat tanda penyakit sekitar limabelas menit. Tapi racun ini dapat disembuhkan dalam jangka waktu seminggu, sebelum menjadi cacat permanen.

    Hal ini tak berlaku pada anak yang orangtuanya terinfeksi, kecuali anak tersebut lahir di luar planet dan diberi terapi secara menyeluruh. Tapi untuk anak bayi, terkadang terapinya cukup ekstrim sehingga menyebabkan kematian. Ada yang diterapi di janin, dan angka keguguran juga cukup tinggi."

    "....mengapa udara tempat ini--"

    "Perang nuklir. Duaratus lima puluh tahun yang lalu, beberapa faksi geopolitis ingin membuktikan aliansi mana yang terkuat. Apabila planet lain menjunjung perdamaian, planet ini menyukai perang dan pembunuhan."

    "...perkembangannya menjadi jelas."

    "Melanjutkan hasil pemeriksaan tadi, aku tak menemukan adanya kontaminasi sedikitpun. Seakan kau punya imunitas terhadap udara planet ini, seperti mutan, tapi tanpa kemampuan khusus dan kelebihannya."

    "Omong-omong, aku penasaran mengenai asal-usul mutan dan robot cerdas."

    "Singkatnya, menyadari kehancuran umat manusia akibat perang nuklir, para ilmuwan berupaya keras merekonstruksi genetika mereka agar kebal dengan racun. Salah satu caranya adalah mengasimilasi genetika hewan, tanaman dan lainnya ke dalam tubuh spesimen. Eksperimen ini banyak memakan korban jiwa, tetapi dari mereka yang sukses—terlahirlah generasi mutan pertama yang diketahui.

    Tapi mereka biasa disebut 'mutan sintetik', lantaran beberapa orang tertentu yang menghirup udara ini, mengalami evolusi genetik sehingga menjadi mutan. Sifat mutan mereka diturunkan secara genetik dan sangat dominan, bila manusia biasa dan mutan beranak, hasilnya pasti mutan. Hal yang menarik adalah, bagaimana anak dapat memiliki kemampuan khusus yang jauh berbeda dari orangtua mereka.

    Kalau soal robot cerdas ya, itu perkembangan teknologi secara biasa. Namun sekarang mereka memiliki hak asasi dan mengikuti peraturan yang sama dengan manusai pada umumnya."

    Hak asasi robot dan hukum robotika yang dicanangkan Isaac Asimov. Salah satunya : robot tak boleh melukai manusia. Untuk keduanya lagi, aku lupa. Mungkin berhubungan dengan mengikuti perintah manusia dengan patuh dan menjadi partner sejati untuk mereka.

    Asal-usul mutan juga cukup menarik.

    "Aku masih bingung sih. Memang aku tidak terkontaminasi virus, tapi apa ada hal lain yang menarik dari situ? Aku beruntung saja sih masih sehat walafiat."

    "Bahwa kuantitas udara di tempat kau berada menurun drastis begitu cepat. Kau sepertinya punya kemampuan untuk menyelamatkan planet ini untuk generasi yang akan datang. Bila kau bepergian ke seluruh penjuru planet dan tinggal berapa lama, manusia biasa akan kembali bernapas lega."

    Bepergian ke seluruh penjuru dunia. Memang tempat ini menakjubkan sih, tapi aku pada dasarnya tak terlalu suka bepergian.

    "...bagaimana dengan mutan? Bukankah udara ini salah satu penyebab mereka dapat berevolusi?"

    Aku ingin mencari alasan lagi mengapa aku tak harus menjalani misi merepotkan ini, lagian buatku tak ada untungnya juga/

    "Jumlah kami sudah cukup banyak untuk terus melahirkan mutan baru, tak masalah. Jadi, apa kau mau selamatkan dunia atau tidak?"

    "....jujur saja, hal itu sungguh melelahkan. Untuk apa aku menolong orang yang sama sekali tak kukenal dan dunia asing yang baru kusinggahi semalam? Sebenarnya ada untungnya buatku tidak? Tak menutup kemungkinan juga 'kan, di tempat seperti ini, jika udara kembali segar manusia akan berperang lagi, mengulang tragedi yang bisa jadi semakin mengenaskan.

    Terus apa aku harus bersusah payah lagi melakukan itu dan setiap gila perang kembali menonjolkan ego mereka tanpa akhir?

    Bila mereka tahu kemampuanku, pasti aku akan terus dituntut untuk menyelamatkan dunia. Tapi sebenarnya hal ini tidak adil bukan? Mereka hanya terus menuntut orang lain untuk menolong mereka, lantaran tak bisa menolong diri sendiri, sungguh menyedihkan.

    Tapi, apapun yang kukatakan, pasti tak berguna 'kan? Aku tak punya kebebasan 'kan?"

    "Hmm....bila aku jujur, aku setuju dengan pendapatmu. Hal yang paling kubenci di dunia ini adalah perang. Mungkin, penderitaan seperti ini dibutuhkan sebagai pelajaran bagi orang lain, untuk tak melakukan kesalahan serupa.

    Kau tahu, benar adanya, banyak manusia tak dapat belajar dari kesalahan.

    Omong-omong, kau yang memikirkan untung dan rugi—bagaimana jika kau pulihkan planet ini, kau dapat pulang kembali ke dunia asalmu?

    Setidaknya, aku ingin tahu apa manusia di sini dapat belajar dari kesalahan, setelah mendapatkan kebebasan mereka lagi."

    "Pertama-tama, dokter. Berikan aku bukti bahwa kau dapat memulangkan diriku."

    "Bila planet sudah pulih, maka riset akan berjalan lancar—kelak pasti akan ada cara untuk kembali ke dimensi asalmu--"

    "Omong kosong. Teknologi semacam itu tak akan pernah dapat terwujud selama aku masih hidup."

    "Jadi apa yang mau kau lakukan? Bila kau ikut denganku kita akan keliling dunia dan mengunjungi tempat-tempat menakjubkan. Kadang kita bakal pergi ke planet lain juga untuk riset. Jika kau berasal dari dunia yang jauh berbeda, bukankah tawaranku sungguh menggiurkan?

    Atau kau ingin berlalu seorang diri saja tanpa arah dan tersesat, diantara makhluk sadis yang dapat mengakhiri hidupmu begitu saja?"

    Aku terdiam.

    Memang, petualangan ini sungguh menarik. Diriku yang hidup dengan keadaan yang biasa-biasa saja—sungguh membosankan—sekarang dihadapkan pada suatu dunia yang hanya ada di cerita fiksi-ilmiah.

    Tapi ya...

    "Dokter."

    "Jadi apa bisa kita mulai petualangan sekarang?"

    "Bunuh saja aku, jika bisa tolong jangan terlalu menyakitkan."

    Aku bukan karakter utama di cerita ini. Tak punya kebebasan, meski bahagia—tetapi semu. Setiap hari hanya ikut arus yang ditentukan orang lain.

    Artinya sepanjang masa aku bagaikan anjing dokter ini yang dituntun mengelilingi dunia. Aku benci diperlakukan demikian.

    Meski hidupku di dunia asal tak begitu menarik, setidaknya sebagai seorang NEET, aku bebas melakukan apa yang kumau. Memang sebentar lagi aku akan dipaksa mencari kerja, tapi kebebasan berapa bulan terakhir, sungguh ingin kunikmati sepuasnya.

    "Baiklah, sepertinya aku tak bisa memaksamu. Kau manusia yang menarik—belum tentu aku akan bertemu orang sepertimu lagi,"

    "Terima kasih."

    Tak lama kemudian, kesadaranku hilang sejenak.

    .....aku kembali berdiri di depan supermarket.

    Mungkin aku diliputi sesal lantaran harus bekerja nanti, ketimbang mengikuti si dokter di dunia penuh petualangan.

    Tapi ya, aku tahu, duniaku punya petualangan sendiri dan aku tokoh utamanya.

    Akan kuraih kebebasanku dengan tangan sendiri.

    Mengingat kecenderungan dokter yang oportunis itu, pasti ia membunuhku dengan dalil meneliti organ tubuhku, yang nantinya akan dijadikan alat pembersih udara.

    ...tapi sayang sekali, saat ini kau kurang beruntung.

    Aku kembali jadi manusia bebas untuk saat ini, semoga hari-hari depan tetap tenang dan damai.

    Bila dipikir-pikir, duniaku yang sekarang—tak begitu buruk.
     
    • Like Like x 1
  14. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Arc 2 : Metamorfosis​

    Bab 10 : Hiatus

    Saat pertama kali menulis dulu, rasanya begitu semangat. Ide cepat mengalir dan aku dapat menuliskan sesuatu dalam jangka waktu singkat. Jadwal dulu memang lebih longgar sih, tak disibukkan dengan pekerjaan. Kuliah tahun pertama dan seterusnya, bila dibandingkan dengan sekolah agak lebih longgar. Di tempat kost juga bebas melakukan apa saja tanpa pengawasan orang tua.

    Namun untuk sekarang ini, aku tak punya motivasi untuk menuliskan cerita. Diantara sekian banyak cerita yang dapat dikembangkan, aku selalu saja kembali pada keluihan dan celotehan yang tak kunjung selesai. Saat aku berhenti bekerja nanti, apakah aku sungguh dapat hidup dari menulis, melihat diriku yang idenya sering buntu di tengah jalan?

    Siapa sih yang mau membaca celotehan tak jelas kehidupan orang lain?

    Sekali lagi, ini bukan pertanyaan retoris. Aku tahu, lantaran saat aku mempunyai masalah dalam hidup dan aku tak tahu harus berbicara dengan siapa, kucoba kucurahkan masalahku dalam satu kalimat. Kuketik hal tersebut dalam mesin pencari, lalu aku dapat dengan mudah melihat.

    Bukan hanya aku sendiri yang seperti ini. Aku tak sendirian.

    Membaca kisah hidup orang lain dan uluran tangan pada mereka, aku terinspirasi untuk menjadi lebih baik.

    Kembali ke topik berikut, sepertinya semakin lama semakin sulit untuk menulis ala kadarnya. Setiap kalimat yang kutulis harus tepat berdasarkan keinginan hatiku, bila memaksakan plot harus begini maupun begitu, jadinya tak akan pernah jalan. Aku mengalami hal itu semenjak pertama menulis, meski prosesnya cepat, sebagian besar tak dapat selesai, dan bila selesai pun ending nya tak begitu baik.

    Bagaimana ya, misal aku ingin jadi penulis cerita komedi, aku sama sekali tak dapat menulis cerita sesuai rencana awal. Bila apa yang tertulis klop di hati, ya langsung lancar saja. Entah mengapa, kadang bisa dari romance, fiksi ilmiah, horror maupun hal abstrak dengan berbagai simbolisme tapi sebenarnya itu hanya asal tulis.

    Tapi jika mencoba membuat draft seperti cerita petulaangan badut dengan galon aqua, beserta tetek bengek yang ada, rasanya jadi malas.

    Setiap orang punya cara tersendiri untuk menulis. Untukku sendiri, hal terpenting adalah mencari kata-kata dan kalimat paling tepat, atau aku bakal begitu bosan.

    Kira-kira bagaimana ya, agar aku dapat menyalurkan 'talenta' menulis seperti ini sebaik-baiknya? Aku tahu saat dulu, sebagian besar ceritaku praktis tak punya plot semua. Dari dulu hingga sekarang, yang bisa tamat hanyalah kumpulan oretan asal dan kisahnya bisa langsung berakhir ketika aku sudah malas melanjutkannya lagi.

    Kalau ada ceritanya juga paling hanya berupa cerpen juga. Aku ingat saat dulu begitu stress juga menyusun kisah dengan rancangan plot. Di tengah jalan selalu malas melanjutkan sesuai rencana.

    Mungkin ada baiknya aku ikuti saja kata hatiku. Ya sudahlah, kalau cerita berplot segala macam lebih baik lewat bacaan saja. Tapi rasanya miris juga lantaran tipe kisah favoritku banyak yang belum selesai diterjemahkan, bahkan prosesnya jauh lebih lambat ketimbang kisah populer saat ini.

    Memang cerita tersebut penulisannya bagus dan pembangunan dunianya menakjubkan, tapi entah mengapa ada suatu faktor X yang menyebabkan diriku tak begitu tertarik untuk membaca lebih lanjut.

    Untuk cerita yang kutunggu-tunggu, kadang penulisannya tak terlalu bagus dan pembangunan dunianya kadang setengah-setengah, tapi ada suatu faktor tertentu yang menyebabkan diriku begitu tertarik. Bisa jadi lantaran ide ceritanya sungguh nyangkut di benakku dan juga jalan cerita beserta karakternya sungguh memikat diriku.

    Pokoknya benar-benar sesuai selera.

    Ah, menyebalkan.

    Di satu sisi aku ingin mempopulerkan tipe cerita tu, tapi di sisi lain aku tak dapat menulis dengan lancar bila tak sesuai kata hati.

    Baiklah, untuk cerita semacam itu coba kutulis dengan cara sendiri lah. Moga-moga di waktu dekat aku dapat memposkan kisah seperti yang suka kubaca.
     
    • Like Like x 2
  15. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 11 : Mengapa?

    Jujur, aku sudah letih harus bekerja setiap hari dari pagi hingga sore, tanpa hari libur—gaji kecil pula.

    Aku akan berhenti bekerja sampai sebelum bulan puasa dimulai. Aku ingin berfokus untuk menulis novel selama setahun. Namun, aku tak bisa mengatakannya pada keluargaku dan saudaraku. Mereka pasti tidak setuju.

    Tapi ya, tak ada salahnya mencoba. Esok aku akan berbicara dengan Bos mengenai apa yang ingin kulakukan. Lebih cepat lebih baik, lantaran jika ingin mencari pengganti bisa lebih mudah.

    Memang, aku sebenarnya tak ingin hobiku diketahui oleh keluargaku, namun jika aku membatasi diriku menulis cerita yang dapat diterima secara umum dan aku juga suka, mengapa tidak? Ya, sejelek-jeleknya di sini paling parah juga mati lampu, beli UPS saja.

    Sebagai sampingan aku juga bisa menulis sesuai dengan yang kumau dan tak perlu kutunjukkan semuanya pada mereka.

    Dulu, saat pertama kali menulis cerita di internet—aku mencoba banyak hal dan gagal, selalu dikritik habis sehingga saat ingin mencoba mengeposkan ceritaku, aku langsung takut—tak berani keluar dari zona nyamanku, meski tempatku biasa menulis sekarang sudah tak ada penghuninya lagi.

    Saat berada di komunitas online tertentu, aku sempat ribut dengan penulis lain dan pengalaman itu cukup pahit. Aku enggan berkenalan dengan orang baru dan mencoba sesuatu yang lain.

    Hal ini harus kuubah sekarang.

    Aku hanya mencoba bekerja seperti sekarang lantaran ingin mencari faktor pendorong, suatu rasa sakit dan menderita yang bagi orang sepertiku—sudah cukup—aku tak mau mengalaminya lebih lama lagi. Sesuatu yang membuatku harus serius dalam hidup apabila tak ingin sengsara demikian.

    Dulu, aku ingat membaca suatu buku motivasi. Intinya, faktor untuk menjadi sukses dimulai dengan membayangkan kenikmatan yang teramat sangat bila berhasil dan membayangkan penderitaan luar biasa jika gagal. Semakin detil dan nyata gambaran itu, khasiatnya akan semakin baik.

    Saat aku belum merasakan gelisah seperti ini, aku tak pernah serius menjalani hidup. Sekarang, aku ingin secepat mungkin keluar dari lingkaran setan ini.

    Aku hanya dapat membayangkan kenikmatan yang ada bila berhasil, tapi aku tak dapat merasakan rasa sakit jika gagal—lantaran bisa dibilang hidupku tak begitu diliputi kesusahan hingga saat ini.

    Baiklah, mari kita coba.

    Pertama-tama, bila aku berhasil: aku tak perlu bekerja setiap hari dalam seminggu. Sepanjang hari aku dapat berada di rumah, mendedikasikan diriku untuk menulis cerita sebaik-baiknya. Di sisi lain, aku juga memiliki waktu dua puluh empat jam penuh untuk menyalurkan hobi sebebas-bebasnya. Aku juga akan memiliki uang yang cukup dengan melakukan hal yang kusuka.

    Akan ada yang mengapresiasi bacaanku, ketimbang sekarang ini—bila ada yang mampir pun sudah bersyukur. Bila berhasil pun, tak tertutup kemungkinan ceritaku akan diadaptasi menjadi komik maupun anime ataupun film. Hal yang paling membahagiakan adalah, jika ceritaku dapat menginspirasi orang lain untuk mencapai mimpi mereka sendiri—melepas belenggu kedombaan dan menjadi seorang individu berpikiran bebas.

    Aku juga dapat bermain game sepuasnya dan mencari berbagai hal yang menarik, serta mengembangkan diri sepanjang hari, tak perlu khawatir akan jadwal. Segalanya diatur berdasarkan kemauanku sendiri dan tak akan ada yang protes. Jika uangku banyak dari menulis, aku bisa pindah lagi ke kota besar dimana jarang mati lampu dan internetnya lebih terjamin. Selain itu, aku pasti dapat memiliki pasangan hidup yang tepat, lantaran dengan menulis, aku menjadi diri sendiri, bukan seorang Yes Man yang sekedar mengangguk lantaran tak ingin berdebat dengan orang lain.

    Bila aku sudah kaya dari menulis, aku tak perlu diwajibkan melakukan apapun. Bila penghasilan pasif cukup tinggi pun, aku dapat melakukan apa saja tanpa adanya keharusan menulis. Saat aku mencapai tahap itu, aku akan menelurkan karya sesuai dengan aspirasiku sepenuhnya. Inilah yang kusebut sebagai titik tertinggi dalam hidup: kaya harta, kaya akan kasih sayang, waktu dan kebebasan.

    ...namun apa yang akan terjadi bila aku gagal?

    Itu biasa. Di setiap percobaan, pasti akan ada kegagalan.

    Tetapi hal itu tak akan membuat mimpiku sirna.

    Penyebab mimpi yang tak dicapai adalah sifatku yang tak serius.

    Aku sungguh tak ingin memikirkan kemungkinan terburuk, tapi aku harus.

    Sungguh harus.

    Jika tidak, aku tak akan pernah berhasil dalam hidupku. Sepanjang hayat akan dicap sebagai sampah di keluarga ini. Anak tak berguna, tak bisa apa-apa. Hidup hanya dapat menyusahkan orang--lebih baik mati saja.

    Dapat kurasakan kemarahan bos, orangtua dan saudaraku. Berulang-ulang mengkritik bagaimana aku harus menjalani hidup. Kalimat yang sama terngiang di telingaku hingga hatiku begitu pedih tapi aku sama sekali tak dapat membantah, karena aku juga tak bisa serius.

    Kelelahan setiap hari harus pulang malam dan terpaksa bekerja mati-matian, untuk keluarga yang dijalin lantaran kewajiban sosial persetan itu. Dengan istri yang selalu memaki dan anak-anak tak tahu diuntung. Keluarga yang berantakan dan tak peduli dengan diriku sama sekali, hanya mencapku sebagai mesin uang.

    Tak akan ada orang yang mau membantuku dan aku begitu frustrasi sehingga sakit keras dan mati.

    ...dan mereka akan tertawa bahagia.

    Sampah ini akhirnya sudah mampus juga.

    ...

    Bila aku tidak serius, seumur hidup aku akan menjadi sampah. Tapi ya, bagaimana caranya aku bisa serius?

    Apakah dengan perandaian seperti ini, sudah cukup kuat untuk mendorongku maju?

    Anggap saja ya.

    Aku tahu perubahan drastis tak serta-merta datang semalaman. Aku yakin, semakin aku menguasai perandaian ini, akan semakin besar semangatku untuk terus maju.

    Jika diambil kesimpulan, penderitaan manusia memiliki makna khusus, terutama bagi mereka yang bermimpi besar. Tetapi, hal itu bergantung pada seberapa keras kemauan manusia tersebut untuk terbebas darinya dan menjadi kuat, untuk berdiri kokoh seorang diri.

    Aku harus serius.
     
    • Like Like x 2
  16. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 12 : Jangan Tertawa

    Aku suka membaca cerita komedi. Entah mengapa, aku tak begitu suka hal-hal yang serius, tetapi bila hal tersebut menggelikan, rasanya begitu mudah mencerna cerita yang ada.

    Terakhir kali aku baca petualangan Gojo, kepikiran juga ada cermin yang bisa membuat pantat hewan meledak. Ada juga kisah yang tokoh utamanya menganggap pasukan Raja Setan sebagai gerombolan NEET dengan sindrom chuuni.

    Yang ini bukan cerita komedi sih, tapi intinya ada cowok sangar yang terakhir kembali sebagai wanita moe bohai berdarah naga—yang juga suka cewek lain, dan sewaktu dia sedang kepengen, otongnya bakal tumbuh sendiri. Saat aku terakhir baca, ia punya banyak istri dan semuanya hamil.

    Salah satu plot cerita yang paling absurd adalah seorang salesman yang suatu hari berubah menjadi kecoak, jatuh sakit dan mati—keluarganya malah senang. Suatu plot yang sebenarnya membuat tertawa, setelah dibaca membuatku sedih sekali.

    Tapi, buatku, cerita paling menggelikan adalah tentang robot kucing yang datang dari masa depan. Dengan meng-crop cerita komik lalu menampilkan di luar konteks, aku seakan membaca salah satu kisah paling menggelikan yang pernah ada.

    Hal itu terlalu surreal untuk dapat dilukiskan dengan kata-kata, coba cari page Facebook : Robot Kucing Hari Ini saja deh.

    Itu adalah cerita komik favoritku dari kecil. Terlepas dari cerita yang diambil di luar konteksnya, rata-rata kisah di komik ini sungguh menggelikan dan kreatif. Dengan berbagai alat mutakhir dari masa depan yang bisa membuat sang tokoh utama menjadi dewa, berbagai macam skenario absurd dapat terjadi.

    Sebal iklan? Dengan alat pengambil iklan, si tokoh utama mengambil kue yang sedang dimakan bintang iklan sehingga dirinya malah menggigit piring.

    Ada juga alat yang dapat melanjutkan siaran televisi sehingga episode berikutnya dapat langsung ditonton tanpa menunggu minggu selanjutnya. Benar-benar menggelikan saat tokoh utama seri itu jadi begitu letih.

    Beberapa siaran kartun yang dulu kutonton juga ada beberapa adegan lucu. Seperti cerita beberapa orang zaman prasejarah yang memperebutkan tulang—tapi pakai alat zaman modern seperti bom dan dinamit.

    Untuk diriku sendiri, entahlah. Aku tak begitu percaya diri akan keahlianku menulis hal-hal menggelikan. Yang ada mungkin jadinya cerita menyedihkan, tapi tak ada salahnya dicoba.

    Xxx

    Gadis itu sebatang kara. Nenek yang merawatnya semenjak dulu telah meninggal.

    Orangtuanya juga entah dimana. Gadis itu tak peduli, soalnya bila ia punya orangtua pasti ia dipaksa sekolah—sedangkan si nenek buta huruf dan tak menganggap sekolah itu keharusan.

    "Di sekolah banyak anak nakal. Lebih aman di rumah bersama nenek atau membaca di perpustakaan."

    Seumur hidupnya sampai beranjak remaja saat ini, ia tak pernah sekolah dan tak mau bergaul dengan siapapun—terlebih anak seusianya. Ia merasa dikucilkan karena berbeda, tapi ia tak merasa pertemanan itu penting juga.

    Yang terutama adalah, mereka sama sekali tak mengganggunya. Dunianya sejauh ini tenang bagaikan danau teduh.

    Sebelum meninggal, nenek memberikan sejumlah korek api pada si gadis.

    "Bila kau menyalakan korek ini, maka hal-hal menakjubkan akan segera terbayang."

    Beberapa hari kemudian, nenek ditemukan meninggal di tempat tidur. Si gadis saat itu memanggilnya untuk makan pagi.

    "Aneh sekali, saat kemarin nenek masih sehat walafiat. Mungkin ia semalam begitu lelah—nek, semoga nanti kau segar kembali saat bangun." pikirnya.

    Ia tak menyadari bahwa neneknya sudah meninggal.

    Barulah saat ia mendapati burung gagak berjejer di atap rumah dan beberapa orang tak dikenal, mengaku-ngaku sebagai saudara datang untuk menguburkan nenek.

    Mereka mengucap bela sungkawa dan mengerumuni si gadis—yang merasa sungguh tidak nyaman dengan keberadaan mereka.

    Ia berlari menuju kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia mendengar langkah kaki di belakang, beserta sejumlah orang yang menggedor pintu, berbicara dengan nada cemas.

    "....keluar dari rumahku. Biarkan aku sendiri dengan nenek, mengapa mereka tak kunjung pergi?"

    Dirinya sama sekali tak dapat berbicara di depan kerumunan orang, yang dapat ia lakukan hanya menghindar.

    Merasa terpojok, ia ingat korek api yang diberikan nenek untuknya.

    Saat ia menyalakan korek itu, keluarlah seorang peri yang berselimutkan api.

    "Apakah kau percaya akan keajaiban, gadis kecil?" suara baritonnya, seperti seorang paman ahli cerita, menggema di seantero ruangan, yang seketika berubah dari kamar lusuh berantakan menjadi ruangan yang begitu megah, pantas untuk tuan putri sekalipun.

    Meski demikian, penampilan peri itu agak aneh. Ia mengenakan masker gas dan baju pemadam kebakaran. Di punggungnya terdapat sayap berwarna merah bagaikan seorang iblis. Tapi entah mengapa, si gadis merasa jatuh hati pada suara dan juga penampilan 'menawan' peri tersebut.

    "Tuan putri, pelayanmu tengah mempersiapkan diri sebaik mungkin di balik pintu ini." berlagak seperti seorang kepala pelayan yang anggun, ia menundukkan kepalanya dan mengambil pose mempersilahkan di samping pintu. Suara ketukan yang tak nyaman tadi berganti menjadi iringan musik ria dan gemuruh suara pesta nan megah.

    "....tapi aku takut dengan orang lain, apa yang harus aku lakukan?"

    "jangan takut, tuan putri! Semua orang di dunia ini adalah teman. Bila kau tak percaya, tiuplah gelembung sabun ini. Lihatlah nanti wajah mereka yang diliputi senyum gembira dan betapa bersahabatnya orang dapat bersikap terhadapmu."

    "Sama sekali tak ada orang jahat?"

    "Dunia seindah ini tak mempunyai tempat untuk kejahatan, terlebih pada gadis semurni tuan putri. Aku, sebagai kepala pelayan, dapat mendampingi tuan putri adalah suatu berkat!"

    "Terima kasih."

    Gadis itu merasa sungguh berbunga-bunga mendengar sanjungan sang peri. Seumur hidup bersama dengan nenek, ia tak pernah begitu dicintai seperti ini.

    Saat kakinya agak merasa tersangkut, ia sadar pakaiannya yang dulu, tak menarik dan asal jadi, kini berubah menjadi gaun merah yang begitu menawan. Melihat dirinya di depan cermin, ia sekarang adalah wanita bangsawan yang teramat anggun.

    Dengan senyum lebar dan langkah kaki yang ringan, ia melepaskan kunci dan membuka pintu.

    "Tuan putri telah datang!"

    "Hidup tuan putri!"

    "Kami semua menantikan kedatanganmu!"

    Serentak sang gadis dihadapkan pada deretan pelayan pria dan wanita, tua maupun muda. Wajah yang polos dan bersahabat, dengan senyum tulus tanpa sedikitpun raut sinis.

    Hatinya begitu nyaman berada diantara mereka. Jauh berbeda dengan orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan, maupun yang tadi mengusik ketenangannya dengan nenek. Ia dapat dengan lurus melihat mata para pelayan yang ramah dan membalasnya dengan senyum. Hatinya yang dulu membeku kini kembali hangat.

    Lantaran ia masih belum dapat berbicara saat dihadapkan dengan begitu banyak orang, ia hanya dapat meniupkan gelombang sabun yang begitu indah sebagai rasa terima kasih.

    "Ohhhh!"

    Para pelayan yang melihat seketika berdecap kagum. Gelembung itu membentuk seekor naga kristal yang menyemburkan api pelangi. Mata mereka kemudian terfokus pada gelembung kedua, yaitu pasangan pangeran dan puteri yang menari di dalam lingkaran api naga. Pangeran dan putri itu lalu naik punggung sang naga dan terbang jauh ke angkasa.

    Gadis itu berjalan keluar pada sumber iringan musik, lalu menari bersama pelayan yang lain. Mereka bersama menghentak-hentakkan kaki dan bila ada syair lagu, seantero orang ikut bernyanyi.

    Saat halaman luar menjadi begitu riuh, ada seorang pangeran tampan bersayap putih bersih yang ikut turun.

    "Musik dan tarian ini sungguh menyenangkan, apakah aku boleh berdansa bersamamu, tuan putri?"

    Perhatikan bahwa ia tak menyebutkan berdansa 'denganmu' tapi berdansa 'bersamamu'. Apakah bedanya?

    Aku tak tahu juga.

    Sang gadis hanya mengangguk lalu meniupkan gelembung sabunnya lagi.

    "Gelembung yang begitu indah....terima kasih telah memberi kesempatan bagiku untuk melihatnya..."

    Bila Konosuba memiliki apresiator ledakan, maka kisah ini punya apresiator gelembung sabun.

    "....t-tidak masalah..." jawab si gadis lirih.

    Pangeran dan si gadis berdansa cukup lama, dengan iringan musik yang berbeda-beda. Mereka berputar, melompat, bersentuhan dan berpelukan, Sampai pada akhirnya, sang pangeran menangkap tubuh si gadis yang agak tersandung saat melompat.

    "Tuan putri, maukah kau tinggal bersamaku? Kastilku berada dekat sini tapi suasananya tak begitu membahagiakan. Alangkah indahnya jika tuan putri dapat menjadikan tempat itu sebagai surga dunia!"

    "....baiklah.....bawa aku...pergi..."

    ...hei, untukku pangeran itu tadi agak menyeramkan—kau langsung ingin ikut dia?

    Ya terserah kau sajalah.

    Sayap merah yang berpendar indah tumbuh dari punggung gadis itu, diiringi decak kagum para pelayan. Ia lalu terbang bersama sang pangeran ke langit—mereka pun hidup bahagia untuk selama-lamanya.

    .....atau begitulah yang berada dalam pikiran sang gadis.

    Apa tidak bosan? Sekali-kali ribut lah.

    ...

    Dari kejauhan, dapat dilihat deretan rumah yang terbakar api beserta jerit histeris sejumlah orang.

    Tak ada yang tahu pasti dimana keberadaan sang gadis saat ini, tapi hal yang terpenting, ia mendapatkan suatu akhir yang sangat bahagia.

    Saat ini, sang gadis berada dalam kastil bersama pangeran dan neneknya. Kehidupan damai mereka kini berlangsung tanpa akhir.

    ....tapi semuanya berubah saat negara a--

    Ups, lupakan...lupakan.

    Di dunia nyata pun, tawa bahagia mereka pun dapat terdengar nyaring di malam yang sepi, menyebarkan rasa senang pada umat manusia yang mendengar.

    "...dan niscaya, hidup yang tadinya membosankan akan menjadi berwarna."

    Suara bariton yang lembut menggema di seantero langit.

    Sang peri melihat keadaan sekitar. Merasakan dirinya puas, ia kembali bertualang di dunia khayalan, tanpa berusaha meninju sang penulis tanpa sebab terlebih dahulu.

    Xxx

    Setelah mencoba menulis komedi seperti ini—eh itu cerita komedi bukan? Ah iya, pokoknya aku menyadari bahwa kisah komedik memiliki dua sisi:

    Kepintaran dan kebodohan.

    Segi kepintaran mencakup pada sesuatu yang dipoles secara logis dan terencana.

    Segi kebodohan mencakup sesuatu yang acak dan aneh ataupun tak masuk akal.

    Sesuatu yang terlalu terpicu pada sisi kepintaran akan menjadi begitu serius, sehingga tak bisa dibuat komedi dan malah jadi membosankan—setidaknya untukku.

    Terlalu berat pada sisi kebodohan akan menjadikan sesuatu tak bermakna dan serasa tak penting dibaca, meski mungkin dapat menjadi sesuatu yang komedik, besar kemungkinan lawakannya tak bermutu.

    Keseimbangan dari keduanya, kuharap dapat menciptakan cerita komedi yang nikmat untuk kubaca.

    ...mungkin saja jadi harapan kosong, tapi ya sudahlah.

    Bila kosong, artinya dapat terus diisi hingga penuh 'kan?

    Salah satu yang kupelajari dari komedi:

    Jangan ragu untuk bertindak bodoh. Kebodohan dapat mendorongmu untuk meraih hal yang dulu tak tercapai—mendorongmu untuk seketika melakukan tindakan nyata.

    Jangan takut untuk berbuat kesalahan. Komedi dapat membantumu menertawakan kesalahanmu sendiri lalu terus melaju dalam hidup.

    Komedi membuatku sadar akan adanya keindahan dalam sesuatu yang tak sempurna. Dari berbagai kecacatan itulah, berbagai hal menggelikan dapat dibuat. Bahwa di balik kerasnya hirup, pasti ada saatnya untuk tertawa.

    Tapi kalau ada orang cacat, jangan dibikin lawakan ya. Mereka justru yang bakal balik menertawakanmu saat mereka sudah sukses--kalau kau bisa dengar sih.

    ...

    Bahwa hidup ini sebenarnya tak terlalu serius dan kau dapat melaluinya sesuai dengan yang kau mau.

    Aku menyadari kemudian, tak cukup sekedar menyalurkan apa yang ada dalam benakku.

    Aku ingin menyalurkan hal itu dengan tawa. Maka, aku bertekad untuk terus tertawa sepanjang hari.

    Hidup komedi.

    ...tadi kusebut salah satu tapi jadinya kok banyak ya?

    bonus, video referensi

     
    • Like Like x 1
  17. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 13 : Bebas

    Hari ini aku resmi pensiun game gacha. Alasan utamanya: aku sudah muak dengan berbagai macam 'grinding' yang ada di sini. Ya intinya saat bermain game ini aku terpaksa harus mengulang quest yang sama, tak terhitung jumlahnya, hanya untuk mendapatkan sumberdaya demi memperkuat tim pahlawanku. Meski permainan bisa di auto, tetap saja setelah hampir setahun berkecimpung dalamnya, aku sungguh bosan.

    Belum lagi untuk memperkuat karakter sampai tingkat paling lanjut membutuhkan waktu yang lama. Untuk satu tim pahlawan saja, bagi mereka yang tidak pernah mengeluarkan uang, hal itu dapat memakan waktu setahun. Hal ini belum terhitung perubahan metagame, yaitu semacam komposisi hero yang para pemain veteran anggap paling efektif. Misal kau punya seorang hero kuat dan kau kucurkan sumberdana untuk memaksimalkan kemampuannya--dalam update berikut ia dapat menjadi begitu lemah.

    Sebagai hasilnya, akan sulit untuk meraih kembali hasil terbaik dalam mode PvP (melawan pemain lain) dan PvE (vs musuh AI). Kau terpaksa harus melakukan grinding selama berbulan-bulan untuk memperkuat hero baru sampai dapat digunakan secara efektif. Belum lagi, lantaran ini game gacha, kau belum tentu mendapatkan hero yang kau inginkan, entah berapa banyak kristal yang kau kucurkan.

    Belum lagi, metagame sekarang baik dalam mode PvP maupun PvE, didominasi oleh hero legendaris. Rasio kemunculan mereka dalam gacha hampir mendekati nol.

    Meski game ini memiliki mode 'Scouting' dimana kau dapat mencari pemain dengan gold, saat mendapat yang kau inginkan, dapat dibeli menggunakan sumberdaya khusus yang didapat dari bermain PvP maupun PvE. Tapi ya, rasio kemunculan karakter legenda lebih rendah lagi, belum lagi untuk mendapatkan hero non-legenda yang kauinginkan, menemukan mereka saja sungguh sulit.

    Sebagian besar video di internet menunjukkan orang-orang yang membuang puluhan juta gold dan tak mendapatkan apapun. Untuk grinding quest sekali saja, gold terbanyak yang didapat hanya sekitar 7000 sampai 8000. Mungkin aku sungguh menyukai siksaan untuk setiap hari dan minggunya melakukan grinding ratusan kali demi mendapat gold.

    Menurutku desain semacam ini membuat berpikir--seakan developer game ini memaksa pemain untuk mengeluarkan uang demi mengumpulkan sumberdaya premium (Sphere Orb)--yang bisa didapatkan dalam jumlah kecil setiap minggunya melalui grinding quest tertentu, yang tingkat lanjutnya begitu sulit. Sphere Orb juga bisa didapatkan melalui promosi ke liga yang lebih tinggi dalam PvP. Tapi sumberdaya ini paling banyak didapat saat pembelian kas.

    Menggundakan Sphere Orb, kau dapat membeli banyak hal yang dibutuhkan dalam game, hero legenda maupun non-legenda, perlengkapan kelas divine, dll.

    Tanpa perlu mengandalkan hoki.

    Bila mengandalkan grinding Sphere Orb, minimal kau membutuhkan waktu sekitar sembilan bulan untuk hero legenda, dan itu kalau kau bisa mendapatkan posisi tinggi dalam PvP maupun PvE.

    Hal ini menjadi demikian sulit dikarenakan komposisi banyak pemain sungguh membuat frustrasi: seperti spam sihir penyembuh dan formasi yang tak dapat ditembus maupun strategi sapu bersih sekali lewat. Rata-rata juga menggunakan banyak hero legendaris yang set kemampuannya tak mempunyai counter diantara sebagian besar hero non-legenda, bahkan bila dicounter pun, efeknya tak begitu berpengaruh, kecuali kau menggunakan hero legenda juga.

    Ditambah lagi untuk mode PvE, berdasarkan guide yang ada, rata-rata mengandalkan hero legendaris semua. Bila dicoba dengan komposisi non-legenda, untuk tingkat lanjut tak ada yang berhasil menembusnya.

    Itu baru soal hero, belum lagi tentang slot equipment / perlengkapan. Setiap equipment memiliki tingkatan tersendiri dari common sampai divine, yang didapat dari penggabungan lima equipment satu tingkat di bawahnya, dimana semuanya sudah diperkuat hingga tingkat tertentu. Setiap equipment memiliki stat basic, yang seragam untuk satu tipe dan sub stat yang hasilnya acak dan bila hasilnya jelek dapat diroll kembali saat sudah diperkuat sampai level tertinggi.

    Untuk me-roll stat harus menggunakan Sphere Orb.

    ...mendapatkannya saja sungguh sulit. Tak menjamin juga, roll berikutnya menghasilkan sub stat terbaik. Tanpa sub stat yang sempurna, kau tak dapat bersaing di PvP maupun PvE tingkat tinggi.

    Belum lagi penggabungan equipment, terutama untuk kelas divine, tak menjamin dapat menghasilkan yang sesuai harapan. Untuk memperkuat equipment juga untung-untungan. Semakin tinggi tingkatan penguatan, semakin membuat frustrasi saja harus melihat satu equipment gagal seratus kali dan menghabiskan begitu banyak gold.

    Terlebih lagi jika untuk mendapatkan equipment kelas divine, kau harus memperkuat lima equipment kelas rare sebanyak limabelas kali--yang tingkat keberhasilannya sungguh rendah—sebelum digabung. Hasilnya juga untung-untungan lagi. Stress nya sungguh menyiksa.

    Sejauh ini, ada banyak hal menyebalkan, tapi aku tetap setia pada game itu begitu lama. Aku sendiri tak mengerti—mungkin lantaran perangkap psikologis di mana kau dapat berbagai sumberdaya berharga hanya dengan login setiap harinya, ditambah serangkaian misi tiap hari dan minggu, memberikan hadiah yang memukau pula.

    Setiap dua minggu juga ada event baru yang memberikan pemain berbagai sumberdaya langka saat menyelesaikan misi khusus.

    Aku juga mendapat cukup banyak teman di permainan ini dan akhirnya bergabung di sebuah guild yang diisi banyak tim kuat, beberapa bahkan dapat berlaga di level tertinggi PvP maupun PvE.

    Meski demikian, akhir-akhir ini mereka semua pensiun. Bisa jadi dengan alasan serupa denganku.

    Aku bosan, waktuku tidak banyak untuk memainkan game ini setiap harinya, mengulang misi harian yang sama dan juga grinding menjemukan disela-sela waktu senggang saat bekerja.

    Hal ini seakan tak menjadi permainan lagi, namun pekerjaan 'berhadiah'. Semakin lama, semakin tak ada artinya saja. Aku tak mau harus tidur agak malam untuk menunggu reset misi harian.

    Hidup sungguh tenang tanpa ada keharusan mengulang quest yang sama ratusan, ribuan kali—setiap hari, setiap minggu. Tak perlu menghadapi tim menjemukan yang sama dalam setiap laga PvP, maupun level-level yang prinsipnya sama semua dalam PvE.

    ....bila kau tak ingin bermain, kau terpaksa untuk terus bermain, jika tak ingin ketinggalan dengan yang lainnya. Sudah cukup sampai di sini saja lah.

    Aku ingin dapat tidur kapanpun kumau tanpa harus diatur game ini. Aku ingin bermain game tanpa harus diselimuti ketakutan akan tertinggal orang lain, maupun melewatkan hadiah jika tak main saat itu juga.

    Tapi ya, pendorong utama nya ya gara-gara aku frustrasi di PvP. Tim yang kubangun susah payah, akhirnya tak berguna juga, bahkan saat mengganti satu dua hero dengan yang baru dan sesuai metagame.

    Aku tak bisa menerima kekalahan seperti ini. Ditambah lagi timku sama sekali tak berkutik dengan komposisi mereka yang sungguh tak adil.

    Sudah capek-capek bermain tanpa henti selama hampir setahun, jadinya hanya begini? Bila kau tak beruntung maupun tak mengeluarkan banyak uang, kau itu sampah?

    Tapi ya, mereka pengembang game tak tahu, bahwa aku tak mau lagi jadi orang dungu yang bertingkah sekehendak mereka dengan segala hadiah yang ada.

    Kehidupanku di game tak ada artinya, mungkin karena aku tak bisa menang dari pemain lain. Tapi ya, aku letih juga seperti ini. Permainan ini jadi membuatku merasa bahwa keberuntunganku ini level sampah, sehingga perjalananku selalu mentok—tapi kesialan ini bisa dibilang mukjizat tersendiri.

    Aku akhirnya bisa pensiun dari lingkaran setan ini; menjadi orang bebas.

    ...

    Satu minggu berlalu semenjak aku bertekad pensiun. Aku sudah mencoba berhenti berkali-kali, dan akhirnya berhasil juga. Selama tujuh hari itu, tak sekalipun aku kembali bermain.

    Memang satu dua hari menjadi agak membosankan, tapi aku dapat melewati hari kerja dengan baik--hanya mengandalkan cerita yang bagus. Selama aku dapat terus mendapatkan cerita yang menyenangkan, hari-hari kerja tak akan selalu menyiksa.

    Aku dapat tidur kapan pun kumau dan aku tak dililit tanggung jawab akan segala hal yang tak berkaitan dengan pekerjaan.

    Hal terpenting adalah: aku punya lebih banyak waktu untuk melakukan apapun yang kumau, terlebih yang dapat mengembangkan diriku. Memang pekerjaan telah memotong sebagian besar waktu, tetapi dengan bebasnya aku dari permainan gacha—nafas kebebasan dapat kuhirup setiap harinya.

    Meski hanya sedikit, tapi aku tahu suatu saat pasti aku menjadi seorang yang dapat hidup bebas tanpa harus bekerja.

    Kusadari kemudian--segalanya dimulai dari langkah kecil. Entah belenggu maupun kebebasan.

    Untuk kali kemudian, akan kuingat kembali pengalaman ini agar tak kembali terjurumus dalam lingkaran setan serupa.

    Akan kugunakan waktu luang ini untuk hal terbaik!
     
    • Like Like x 1
  18. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 14 : Tiket tanpa Tujuan

    Banyak macam buku dan tontonan yang kunikmati sedari dulu--mereka mencamkan pentingnya tujuan hidup.

    "Apa yang ingin kau lakukan?"

    "Karena berkecimpung pada hal yang kau suka ribuan kali lebih baik, ketimbang menyibukan diri dengan aktivitas yang kau benci."

    "Bila kau tak tentukan keinginanmu, maka kau akan mendapat sesuatu yang tak diinginkan."

    "Jika kau tak punya tujuan, kau pasti tersesat."

    Pencarian jati diri dan impian masa muda. Meski usiaku sekarang tak muda lagi, aku ingin tetap menggapai mimpiku.

    Hal ini dimulai dengan berhenti dari pekerjaanku dan akhirnya memberikan yang terbaik dengan menulis.

    Meski demikian, apakah bekerja keras demi impianku adalah hal terbaik? Haruskah aku mengejar mimpi begitu saja, bila keadaan sekitarku tak menunjang?

    Yang jelasm aku terpaksa melakukannya lantaran aku sudah tak tahan lagi harus bekerja setiap hari, dari pagi hingga malam. Terlebih lagi, selama beberapa bulan ini, aku tak merasa ada sedikitpun peningkatan dalam performa kerja.

    Memang, jika melihat cita-citaku untuk menulis, keluargaku kemungkinan besar tak akan menyetujui. Pekerjaan penulis bagi mereka adalah profesi tanpa masa depan. Terlebih dengan orang sepertiku yang tak punya koneksi, sepanjang tahun menulis tak pernah jadi populer sampai membuka kesempatan untuk menghasilkan uang.

    Tapi aku tahu, itu diriku yang dulu.

    Bagi pribadiku sekarang, poin terpenting ialah menelurkan karya yang kuinginkan. Aku rela membuang segala prospek masa depan jika aku punya waktu seharian penuh, untuk menulis dengan tenang, sepanjang tahun.Terlebih lagi, tanpa harus mendeka pada aktivitas yang tak kusukai.

    Sebenarnya aku punya berbagai hobi selain menulis--mungkin saja peruntunganku tidak dalam bidang penulisan. Yang pastinya, aku tak punya masa depan di pekerjaan demikian. Semakin lama, aku jadi tak kerasan. Sampai berapa hari belakangan ini, yang kuinginkan hanyalah pulang sesegera mungkin, agar aku dapat kembali menulis dengan tenang.

    Aku masih takut bagaimana menghadapi orangtua dan saudaraku. Bagaimana menyusun kata yang tepat pada bosku sebagai salam perpisahan.

    Intinya aku ingin berkembang sesuai keinginanku dan pekerjaan ini sama sekali tak memotivasiku. Seberapa keraspun mereka memaksaku, aku tak dapat mengubah tekadku saat ini.

    Akan kutunjukan pada mereka, bahwa keputusanku kali ini tidak main-main.

    Xxx

    Ayah memberikan sebuah tiket tanpa tujuan. Kau dapat terus menaiki kereta dan turun kapan pun kau mau. Tiket ini membantuku mencari tempat terbaik untuk menghabiskan sisa hidupku. Lingkungan apa yang ingin kusinggahi saat sukses nanti?

    Ayahku berkata: kereta ini tak berjalan di atas rel, melainkan bergerak menuju tempat impian berbagai penumpang, jadinya pemandangan yang muncul ialah kolase impian sejumlah orang, bukan individu semata. Ia berpesan padaku, jika ada yang turun bersamaku, mereka akan jadi teman terbaikku. Bila ada seorang gadis diantaranya, yang secara spontan bercakap denganku, ialah pendamping hidupku.

    Seperti memberi penghiburan lantaran aku tak pernah dapat berteman, ia berkata:

    "Jika kau tak mendapat teman maupun pendamping hidup, jangan berkecil hati. Mereka hanyalah kemewahan. Bila kau punya, itu bagus--tapi kau juga dapat hidup tanpa mereka. Hal terpenting adalah menghargai makna hidup setiap harinya dan berfokus pada hal yang kau sukai."

    Mencamkan perkataan ayah dalam hati, aku bergegas menuju kereta. Stasiun ini berada di kota kelahiranku, sebuah tempat metropolitan yang serba macet dan berpolusi, bergelimang dengan kesempatan—namun aku gagal memanfaatkannya, sehingga aku jadi pindah ke kota kecil.

    Melihat figur ayahku yang kian menghilang, aku berharap dapat bertemu kembali dengannya seusai kutemukan tempat impianku.

    Aku berjalan memasuki kereta, diiringi banyak orang yang berjejalan denganku. Saat akhirnya dapat masuk, tempatnya sungguh sempit sehingga aku sama sekali tak dapat bernafas lega—bergerak pun tak bisa. Seluruh tempat duduk sudah terisi, demikian juga tali pegangan. Tempatku berdiri saat ini berada dekat pintu, dan aku pasti terdorong keluar jika mereka kembali berhamburan turun.

    Mengenai tempat keinginanku, entah bagaimanapun juga, hasilnya akan jauh lebih efektif bila sebagian besar orang telah turun. Kalau bisa, hanya ada segelintir orang, dan bila hanya ada diriku sendiri, maka tempat yang sempurna berdasar impianku akan muncul.

    Lantaran tak ingin tersesat dalam keinginan orang banyak, aku berkata demikian:

    "Permisi, saya tak ingin turun duluan, tolong beri saya ruang untuk menunggu di tengah."

    Meski bergerak saja demikian sulit, tapi mereka akhirnya menyisakan tempat bagiku untuk nenyempil menuju ruang tengah. Di sana tak ada tali pegangan, tapi ada sebuah jok bumper yang empuk, dimana kau dapat bersandar pada posisi berdiri.

    Sepertinya ini kekuatan tiket tanpa tujuan: bila kau menyerukan keinginan yang tak merugikan orang lain, maka penumpang kereta tak dapat mempersulitmu.

    Bersandar di jok bumper, aku menoleh ke jendela. Pemandangan kota metropolitan yang bergelimang lampu tengah terpampang. Sebuah distrik super mewah, apartemen serba mahal dengan berbagai mobil elit dan fasilitas bejibun.

    Langsung pintu terbuka dan lautan manusia berhamburan dari gerbong tempatku. Lantaran pintu berada di kanan dan kiri, dan tempatku berada hanya berupa jok, aku menghela nafas lega tak perlu terhempas lautan manusia. Melihat betapa banyak orang yang berpemikiran serupa—aku mengernyitkan dahi: apakah mereka semua dapat menjadi teman terbaik seumur hidup dengan cara begini? Tentu saja.

    Ayahku tak menjelaskan secara detil, seberapa erat hubungan 'teman terbaik' itu.

    Hal yang terbaik, bila tak didefinisi, bisa jadi merupakan hal yang 'oke' diantara tumpukan busuk.

    Pemandangan kedua adalah puri mewah diantara perbukitan hijau, dihiasi kuntum bunga yang cerah. Pemandangannya indah sekali—namun itu bukanlah tempat impianku. Aku masih belum menentukan pilihan; ingin kutunggu sampai setidaknya tak banyak orang lagi di sini.

    Seterusnya ada berbagai macam rumah: tempat tinggal sederhana, rumah pedesaan, kastil bertema tertentu—berbagai macam bangunan khas, sampai kapal antariksa pun muncul. Ada dua-tiga orang yang keluar saat aku melihat pemandangan planet Mars yang sudah dikolonisasi, maupun imajimasi mereka mengenai vila di Bulan.

    Semakin sedikit penumpang yang tinggal, pemandangan tempat impian menjadi begitu menakjubkan. Ada pula yang diambil dari seri Anime maupun novel ataupun game. Setelah para pencinta media tersebut keluar semua, kini yang berada di gerbong kereta tempatku hanya sekitar seperlima atau seperenam.

    Yang kulihat sekarang adalah dunia yang cukup unik. Ada yang hanya terbuat dari permen—ada pemandangan planet Orion, beserta gambaran surga maupun nereka yang dapat disinggahi.

    Segala rekaan kolektif tersebut memiliki penghuni tersendiri, semakin banyak orang yang menginginkan, maka dunia akan jadi semakin ramai dan berwarna, sedangkan yang diinginkan sedikit orang akan menjadi cukup sepi—kecuali imajinasi mereka sungguh kaya untuk menciptakan dunia yang sungguh hidup.

    Aku menunggu begitu lama hingga seluruh penumpang di gerbong ini telah turun.

    Hal pertama yang kuinginkan adalah: tidak ada seorangpun dapat naik kereta ini lagi, sebelum aku turun.

    Pemandangan yang berada di luar kereta silih berganti—berasal dari lubuk imajinasiku sendiri. Kucek gerbong depan, belakang dan kujelajahi seluruh kereta—seluruhnya kosong melompong. Bahkan di gerbong terdepan maupun terbelakang yang ada hanyalah pintu keluar—tak ada masinis maupun kru kereta.

    Letih menjelajah dan memang tak ada lagi orang lain di sekitar, aku kembali duduk.

    Kulihat rumahku di kota besar, saat masih tinggal bersama keluargaku. Juga kulihat tempat kosku, yang kutinggali sekian lama, bermalas-malasan semauku. Saat aku berkontemplasi mengenai pengalaman masa lalu, berbagai tempat yang berkaitan terpampang depan mata. Segalanya kian berubah begitu cepat....aku jadi merasa ngeri.

    ...sampai akhirnya, pemandangan berubah menjadi sebuah rumah sakit. Lain daripada sebelumnya, aku dapat melihat hal yang terjadi dalamnya.

    Seorang kakek tua tengah terbaring sendirian, tak bernyawa. Tak ada seorangpun yang menjenguknya. Saat aku melihat papan nama yang terpampang di kasurnya:

    "....namaku sendiri...."

    Namaku memang pasaran, tapi setelah melihat tanggal lahirnya dan usia kematian...ini sungguh figur diriku pada suatu kemungkinan masa depan. Sepertinya kakek ini telah hidup selama delapan puluh tahun penuh kesepian.

    Lantaran tak ada keluarga yang dapat dihubungi, maka tim dokter bersepakat membakar jenazahnya, lalu menyimpan abunya untuk ditebus keluarga yang bersangkutan—apabila ada yang peduli.

    Bila dipikir demikian, kematian kakek ini cukup menyedihkan. Meski usianya cukup panjang, tapi tak dapat dibayangkan kesedihan yang ia alami seumur hidupnya.

    "Apakah kau ingin mati?"

    Pemandangan rumah sakit beserta si kakek tua buyar seketika.

    Sontak ada suara seorang pria tepat dibelakangku. Saat aku menoleh, muncul malaikat berambut putih. Posturnya tinggi tegap, ia terlihat seperti seorang pria muda dengan jubah berwarna cerah.

    Nada pertanyaannya tak menyiratkan maksud untuk membunuhku; lebih seperti keingintahuan akan pandanganku tentang akhir hidup.

    "....tidak...aku tak ingin seperti ini."

    "Kau ingin kematian yang berbeda, ataukah kau tak ingin mati? Bila kau tak dapat mati, apakah arti dari hidupmu?"

    "Tergantung, apakah yang berada setelah kematian."

    "Bila aku bilang, aku sama sekali tak tahu menahu, dan dunia akhirat yang kau tuju dapat kau tentukan, apa jawabmu?"

    "...karena aku tak percaya Tuhan, lebih baik aku selamanya hidup—tak ada jaminan dunia akhirat akan sesuai keinginanku. Selama itu pula, aku akan terus menjadi muda, dan terus kukumpulkan kekuatan guna melawan takdir. Peruntungan tak akan jadi masalah dan apapun yang terjadi, aku pasti dapat mengatasinya.

    Petualangan yang tak terhingga akan kutempuh demi kebahagiaan. Bila segalanya sudah membosankan, seluruh pengetahuan beserta kemampuan yang kumiliki akan kugunakan untuk memberi awal baru bagi diriku sendiri.

    Aku pasti dapat terus menemukan hal baru dalam hidup ini. Selama aku mengenggam kekuatan terbesar, aku ingin terus hidup meski alam semesta nantinya akan musnah. Segalanya agar petualanganku tak kembali nol. Aku benci menjadi lemah dan tak mampu berbuat apa-apa melawan takdir, harus kembali bekerja keras mengumpulkan kekuatan.

    Namun segalanya tak penting, karena seberapa keraspun aku berusaha, hal tersebut tak menjamin kesuksesanku.

    Hal terpenting bagiku adalah tekadku untuk terus maju. Sampai akhir hidupku, aku harus menggapai keinginanku hingga berhasil."

    Selama aku melontarkan seluruh isi hatiku, malaikat tersebut sama sekali tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia hanya mendengarkan secara seksama, sebelum kembali melontarkan pertanyaan.

    "Kekuatan terbesar....apa menurutmu kekuatan terbesar itu? Apakah kau yakin bisa mendapatkannya, menjadikan hal tersebut milikmu untuk seumur hidup?"

    "Aku tak tahu pasti namanya. Tapi aku tahu kegunaaan daripadanya.

    Bila aku memiliki kekuatan tersebut, tak peduli berapa lama aku hidup, setiap hari akan sungguh bermakna dan menyenangkan. Betapapun besar keinginanku akan terkabulkan. Seluruh masalah yang ada, akan terselesaikan dengan mudah.

    Aku tak perlu bergantung lagi pada orang lain, seluruh pencapaianku dapat bergantung hanya padaku seorang. Selamanya aku tak perlu merasa kesepian dan tak dicintai.

    Dengan kekuatan itu, setiap harinya aku akan merasakan cinta dan persahabatan yang tak terbatas

    Malaikat, apa kau tahu kekuatan itu?"

    "Kejujuran.

    Apabila kau tak dapat jujur pada dirimu sendiri, mengenai hal yang kau mau, kau tak akan menyadari semua ini.

    Bila kau mendengarkan dirimu apa adanya, kau dapat mengetahui apa yang kau inginkan untuk bahagia, apa sumber permasalahanmu beserta solusinya. Memang segalanya tak akan dapat lancar begitu saja, tapi jika kau memiliki keinginan kuat untuk maju, hidupmu pasti berada pada jalur yang tepat.

    Semoga Tuhan memberkatimu, manusia. Meski kau tak mempercayai-Nya, tapi pasti ada bagian dari berkat itu yang membuatmu sadar akan kekuatan terbesarmu.

    Sebagai seorang hamba, yang kuminta bukanlah penyembahanmu pada-Nya. Bila nanti kau sudah berada pada tempat yang agung, bolehlah kau haturkan terima kasihmu setulus hati. Jika kau ingin memisahkan diri dari surga maupun neraka, aku berharap, meski kau berjalan seorang diri, kau tak akan pernah merasa sendirian."

    "Terima kasih, malaikat."

    "Jangan berterima kasih padaku, terima kasihlah pada Tuan yang menciptakanku."

    "Aku tak dapat melakukannya, kecuali kalau memang Tuhan yang mengutusmu padaku. Bila hal itu kehendakmu seorang, maka aku tak dapat menyangsikan inisiatifmu sebagai seorang individu."

    "Untuk hal itu, tak dapat kuutarakan atas kehendak siapa. Anggap saja, seluruh formalitas telah usai—sekarang apa yang ingin kaulakukan? Apa kau akan terus menghalangi jalan mereka yang ingin mencari tempat impian, ataukah kau akan langsung memilih?"

    ...

    "Tak terhitung betapa banyaknya dunia yang terpampang dalam jendela kereta, meski sebagian besar darinya sungguh menakjubkan, dunia tersebut tak dapat menampung aspirasiku....terkecuali

    ...dunia itu dapat diubah sekehendak hatiku, layaknya kanvas ataupun lembaran putih.

    Sebuah dunia yang statis pasti menjemukan. Terutama bila aku nanti hidup selamanya. Hanya semesta yang terus menerus berubah lah, yang dapat mengimbangi diriku yang tak mau berubah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

    Untuk teman maupun pendamping hidup, tak penting. Bila aku tahu kebutuhaknku, segala kemampuan dapat kukerahkan untuk memuaskannya tanpa membutuhkan mereka.

    Sudah kuputuskan—turunkan aku di dunia kanvas."

    Dunia ini putih bersih.

    Setelah kereta tersebut meninggalkanku, aku menoleh sejenak pada tiket tersebut.

    "Tujuan – dunia kanvas."

    Tiket itu tak lama kemudian memendarkan sinar menyilaukan dan melesat ke arah langit.

    Segalanya kian sepi tanpa suara maupun rupa. Terlihat agak menjemukan pada awalnya, namun aku percaya, dengan segala kemampuan yang kumiliki, dunia ini akan menjadi tempat paling menyenangkan untuk disinggahi sepanjang abad—setidaknya untukku.

    Saatnya kembali berimajinasi.
     
  19. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 15 : Pemalas

    "Jadi, gimana hasilnya?"

    "Gagal. Bosku tak setuju, katanya proyek menulisku lebih baik jadi sampingan saja. Dia bilang juga, yang penting kerjaan bawa santai."

    "Hahaha, persis dugaanku. Aku merasa aneh saja, kenapa kau tidak tanyakan padaku dulu? Meski aku sibuk, tapi bila masalahnya penting pasti aku sediakan waktu."

    "Bagaimana ya..."

    "Apa kau takut, jika sebelum bicara dengan bosmu, aku beri nasihat yang bikin semangatmu pudar?"

    "Kurang lebih."

    "Hmm....memang bekerja setiap hari, dari pagi hingga malam tidak enak juga. Jika aku mau menawarkan pekerjaan, yang rada santai paling kafe. Meski ada hari libur tapi jam kerjanya dari sore hingga dini hari, jam kerjanya kira-kira sama denganmu. Siklus tidurmu rusak nanti."

    "Kadang aku berpikir, mengapa aku harus dipaksa bekerja sih? Sudah waktu luang habis semua, bayaran nya kecil pula. Bila aku punya waktu penuh untuk menulis, pasti aku bisa hasilkan uang. Terlebih lagi, kalau aku buka usaha pun, selalu ada resiko untuk rugi. Sedang bila aku jadi penulis pengeluaran juga tak banyak."

    Kali ini, aku tidak bercakap dengan temanku di warung kopi.

    Segera setelah keinginanku pada Bos untuk mencarikan pengganti ditolak, aku mengirim pesan pada temanku seusai kerja. Aku minta sisakan waktu sejenak, aku punya hal penting untuk dibicarakan.

    Segala kata yang terlontar berlangsung via media sosial. Saat aku melihat lampu hijau di statusnya, aku tahu akunnya sedang aktif—kubuka jendela pembicaraan privat, jadilah percakapan ini.

    Aku pilih berbicara lewat internet, soalnya aku tak begitu lancar mengutarakan isi hatiku secara lisan. Tapi, lewat media ini, segalanya diutarakan lewat tulisan, dan aku sudah sedemikian lama mengekspresikan diriku secara demikian—hanya tak ada pendengar setia saja.

    Alasan terbesar nya ya, aku tak ingin ekspresiku terlihat olehnya. Bila bertatap langsung ada cukup banyak hal yang tak dapat kuutarakan dengan baik.

    Percakapan kembali berlanjut.

    Deru pendingin ruangan di kamar seakan hanyut oleh suara ketikan.

    "Ya, itu karena kau dari dulu terus dibeking keluargamu, jadinyaa pengeluaranmu kecil. Tadinya kau dari kemarin bilang, ingin mengandalkan dirimu sendiri. Sudahlah, aku tak ingin melanjutkan lagi—apa yang kupikirkan rasanya jadi terlalu menggurui."

    Aku juga sadar.

    Bila sehari-hari aku mengandalkan diri sendiri, selain bekerja aku juga harus mengurus berbagai tagihan, membayar sewa, masak sendiri—bila dipikir-pikir, gajiku saja tak bakal cukup.

    Aku hanya dapat hidup seperti ini karena dibantu oleh keluargaku, menjadi orang seperti ini, apa aku pantas mengatakan 'aku tak membutuhkan orang lain, biarlah suksesku hanya bergantung pada diri sendiri'?

    Tidak, itu bodoh namanya. Kalau mengerjakan sesuatu bisa lebih mudah jika dibantu dan ada yang menolong—untuk apa bersusah payah.

    Tapi ya, memang tak ada salahnya bersiap-siap. Beberapa hal juga, lebih baik dilakukan diriku seorang, meski hasilnya mungkin tak begitu baik.

    Salah satunya adalah menentukan masa depan. Mungkin orang lain yang lebih berpengalaman bisa memberi ide yang lebih baik dan logis, mau jadi apa aku kelak, tapi bila aku tak pernah mencoba menentukan masa depanku—sama saja artinya tak punya masa depan.

    "Meski demikian, aku tak tahan harus setiap hari menderita seperti ini."

    Ya,terutama bila barang yang masuk setiap harinya begitu banyak dan aku tak dapat beristirahat dan menikmati cerita favoritku di laptop.

    "Kau tak pernah melihat penderitaan pekerja yang lain. Ketimbang dirimu, ada banyak pekerja yang lebih sengsara. Terutama di Jepang, lihat saja jam kerja mereka. Memang di sana banyak yang jadi NEET karena pekerjaan sehari-hari begitu sulit, tapi kalau di sini, kerjaanmu bisa dibilang santai loh."

    ...bila aku lahir di sana, mungkin entah aku menjadi NEET atau bunuh diri.

    "Aku sebal juga, mengapa sih aku dari dulu tak pernah populer? Sekarang jalanku untuk menjadi penulis begitu sulit ditempuh. Jika aku serius menulis dari dulu pasti aku tak perlu berakhir dengan pekerjaan ini."

    "Menurutku jadi penulis memang gak mudah. Aku belum pernah coba berkarir demikian karena memang bukan panggilan, tapi persaingan penulis di luar negeri sana begitu ketat loh. Kalau kau memang coba jadi penulis pas diliit masalah duit—ujungnya bakalan lebih stress--memang lebih aman jadi sampingan dulu. Nanti kalau kau diterima di penerbitan besar, idealnya luar negeri, selebihnya tergantung kemampuanmu saja."

    "Untuk itu, aku lebih tak yakin lagi. Di sini saja, aku pembacanya saja tidak ada. Saat kau yang membaca juga, rata-rata paling kau bilang—ini mengingatkanku pada blablabla...trus bagian yang menarik ya ini itu."

    "Aku hanya membaca untuk hiburan sih, jadi kalau mau analisis yang mendetil jangan tanya diriku."

    "Susah juga ya."

    Aku menyetel sampel suara perapian. Bunyi gemericik api yang terbakar serasa menenangkan diriku.

    Kali ini, temanku seakan berpikir sejenak sebelum mengirimkan kembali pesan. Ataukah ia lagi ada urusan mendadak di salah satu bisnisnya? Ya aku tak apa-apa sih, justru aku malah jadi tak enak bila kerjaannya jadi terganggu lantaran mengurusi orang sepertiku.

    Ah, dia membalas juga.

    "Begini, kau pernah berpikir—mengapa kau seakan selalu dibantu oleh saudaramu?
    Memang manusia tak pernah puas, kau selalu menginginkan yang lebih. Jika kau tahu alasannya, pasti akan ada lebih banyak orang yang membantumu—jadinya jalanmu menuju sukses jadi lebih mudah.

    Dulu kau bilang padaku, kau tak memerlukan orang lain untuk sukses—koneksi bla-bla bla menjiilat blehblehbleh itu tak penting. Tapi kau selalu curhat padaku tentang masalah hidupmu. Menurutku pandangan hidupmu itu benar adanya.

    Kau tak memerlukan orang lain untuk sukses--kau perlu untuk dibutuhkan orang lain. Semakin kau dibutuhkan, kesempatanmu akan terus melebar."

    Dibutuhkan oleh orang lain--semuanya dapat dikembangkan dari diri sendiri?

    Sungguh sulit untuk dipercaya, tapi semakin kupikir, jadinya semakin masuk akal. Mereka yang berhasil biasanya dapat memberikan sesuatu yang akhirnya dibutuhkan banyak orang.

    Jika kau bergantung pada orang lain untuk meraih keberhasilan, maka di masa depan, orang tersebut akan memperbudakmu dan saat mereka meninggalkanmu begitu saja, demikian juga segala yang tengah kau bangun.

    ...mengapa saudaraku mau mengulurkan tangan?

    Apakah itu lantaran ibuku yang cukup akrab dengan mereka? Seingatku, ibu punya lumayan banyak teman dekat dan kenalan. Sewaktu aku tinggal bersama dengannya, ia menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol lewat telepon. Bila ada acara sembahyang maupun pesta yang diadakan saudara, ibu hampir pasti selalu datang meski pekerjaannya cukup sibuk.

    Di pesta pun, ia sempatkan mengobrol dengan kerabat yang lain. Mungkin lantaran mereka kenal akrab dengan ibuku, lantaran aku anaknya, mereka juga ingin baik padaku.

    Untuk diriku sendiri, aku sama sekali tak ada waktu untuk menjalin relasi. Pokoknya seusai kerja aku hanya ingin berada di rumah dan bersantai. Bila nanti berhenti bekerja pun, pertama-tama aku mau tidur seharian, melewatkan waktu dengan berbagai anime dan cerita wibu favoritku. Tidur sepuasnya dan bila mimpi indah bakal dilanjut terus sampai puas. Rasanya pergi ke pesta itu buang-buang waktu—kecuali kalau sedang ingin makan banyak.

    Di pesta demikian juga, aku diundang karena ibuku diundang. Di saat ibu berbicara dengan yang lain, aku hanya makan sekenyangnya, lalu duduk di pojokan atau tempat sepi yang tak dikunjungi kenalan. Saat begitulah aku biasa menghabiskan waktu bermain hp sampai saatnya pulang.

    Bila membangun relasi demikian, yang ada malah aku yang rugi.

    Ya sudah, lupakan sajalah.

    Mungkin intinya bisa dimulai dari membuat sesuatu yang dibutuhkan banyak orang dan sesuai dengan keahlianku.

    Tapi bagaimana ya? Entahlah. Aku masih bingung mengenai perkataan temanku tadi, sebelum akhirnya percakapan kami berhenti sampai di situ.

    "Kalau memikirkan tentang saudaramu terlalu sulit, ingat saja apa yang kau lakukan—hingga aku rela untuk selalu membantu dirimu sampai sejauh ini.

    ...dan yang kulakukan padamu sekarang, tak akan berarti sebelum kau benar-benar dapat sukses menggapai impianmu."

    Aku tak ingat jelas apa yang kulakukan berapa tahun silam. Yang kuingat, dia dulu hanya masuk kelas di semester pertama. Saat semester berikutnya ia tak pernah masuk sekalipun—adanya minta nitip absen terus dan akhirnya untuk seluruh mata kuliah dia gagal semua.

    Selama itu, aku sama sekali tak mengerti bagaimana jalan pikiranyna. Sepulang kuliah, ia sering pergi ke tempat kosku untuk nitip donlot ataupun minta kopikan game/anime/dll ke hard disk eksternalnya. Barulah saat suatu hari dia minta alamat media sosial, saat aku sedang online tiba-tiba ada pesan darinya--nada bicaranya depresi sekali.

    Aku ingat, permasalahannya ya seputar kuliah? Ia merasa hal itu tak ada gunanya. Pelajaran yang ia terima sungguh membosankan, berikut tetek bengek dengan keluarganya.

    Apa yang kukatakan padanya saat itu?

    Hmm....seingatku hal itu ada berhubungan dengan: apa yang kau inginkan? Jika kau tuliskan mimpimu, pasti semuanya akan jadi lancar. Jika kau jujur pada dirimu sendiri, maka jalan menuju impian akan terpampang.

    Aku juga berbuat demikian untuk menggapai mimpiku, namun aku masih di sini sedangkan dia sudah berhasil.

    Saat aku sadar kembali, perbedaan aku dengan dirinya sungguh besar.

    Ia sama sekali sendirian—keluarganya tak harmonis. Tapi, dirinya tak coba lari dari kenyataan, tak seperti diriku. Ia rela menanggung penderitaan yang berkepanjangan, dengan pekerjaan yang sungguh membuatku miris—hingga ia sekarang jadi sehebat ini.

    Sedangkan aku lemah. Ada penderitaan sedikit saja, aku sudah ingin mati. Aku juga tak kuat harus bekerja keras demi impianku. Segala jerih payahku adalah untuk tidur dan bermalas-malasan.

    ......apakah aku sungguh ingin berhasil seperti dirinya?

    Tentu saja tidak! Aku tak ingin bersusah-payah seperti dirinya. Bila aku tak begitu berhasil juga tak apa, yang penting aku menggapainya sesantai mungkin.

    Ya sudahlah, mungkiin aku fokus ke cerita santai dan komedi saja, yang tak begitu ribet untuk dibuat.
     
  20. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 16 : Arah

    Seminggu telah berlalu semenjak percakapan dengan sahabatku. Memang tiap pulang kerja rasanya agak letih, tapi aku tak begitu jemu lagi. Intinya, untuk sekarang aku ingin menikmati hidup saja. Salah satu keputusan terbaikkui ialah berhenti bermain game gacha. Setelah diriku pensiun, keseharianku lebih bebas; tak perlu disibukkan 'grinding' yang menjemukan di kala senggang.

    Waktu yang terpakai sekarang dapat kugunakan, terutama untuk mengeluti hobi dan bersantai. Memang saat bebas berkarya tidak banyak, tapi bila aku berhenti bekerja pun, setelah dipikir-pikir belum tentu juga aku dapat menggunakan waktu tersebut dengan baik. Bisa jadi, bila aku punya waktu seharian untuk mencari inspirasi dan menulis, hasilnya tak jamin bakal sebaik ataupun lebih baik dari menyisakan waktu sepulang kerja, ataupun saat senggang pas bekerja.

    Belum lagi, kotaku saat ini benar-benar payah. Hampir setiap hari pasti mati lampu. Aktivitasku menulis dan mencari ide akan terhambat. Alhasil tak dapat melakukan sesuatu yang signifikan.

    Memanfaatkan saat yang potensial menjemukan waktu bekerja, aku dapat mencari ide paling tepat untuk menghilangkan rasa bosan dengan cepat. Bila menganggur seharian, ya paling tidur saja terus. Untuk saat ini, aku ingin beralih dari penulisan acak tanpa tujuan tersendiri, menjadi suatu yang terstruktur dan punya makna yang jelas.

    Meski menulis sesuatu secara asal itu menyenangkan, tapi bila aku ingin membaca tulisanku sendiri, lebih baik sesuatu yang tak asal buat. Ya, hal tersebut dulu memang jadi ciri khas yang membuat kisahku terkesan menarik, tapi bila dipikir-pikir, aku tak begitu bangga akan hal tersebut. Bila melihat tumpukan tulisan acak itu, aku tak tertarik membaca ulang. Soalnya ya, itu tulisan tentang apa? Bila memang tak ada maknanya, ya lupakan saja.

    Untuk saat ini, aku ingin belajar membuat cerita yang sederhana. Sesuatu yang dapat dengan mudah dibuat dan semoga bisa dieksekusi dengan baik dari awal hingga akhir.

    Kupikirkan kembali alasan aku senang menulis dan berkarya. Saat aku membaca karyaku yang dulu, aku merasakan suatu kebanggaan tersendiri. Memang hal tersebut belum tentu bagus di mata orang, tapi aku menuliskan hal tersebut sesuai kegemaranku. Tak semuanya menarik dibaca ulang, tapi saat kutemukan yang pas, rasanya begitu nikmat.

    Memang di luar sana, terdapat banyak sekali cerita yang bagus. Tapi diantaranya, sesuatu yang kata-katanya berasal dariku dan membacanya ulang membakarku dengan hangatnya nostalgia—hal tersebut hanya dapat dihasilkan dari berkarya.

    Aku pernah mendengar tentang suatu pembaca impian.

    Bila kau inginkan seseorang untuk membaca karyamu yang terbaru maupun yang lama, kau selalu menuju padanya; mereka yang kau tunggu-tunggu pendapatnya. Kadang sampai nasib suatu cerita tak bergantung pada dirimu sebagai penulis, tapi perkataan mereka. Bila tak ada seorangpun yang membaca pun, jika masih ada pembaca seperti mereka—kau ingin terus menulis sebanyak apapun yang mereka mau. Tak peduli kau tak dibayar maupun tak menghasilkan cerita yang dilirik orang—apresiasi dari mereka sungguh tak ternilai.

    Yang mengerti seberapa kerasnya kau mencoba menyelesaikan suatu bab. Bagaimana kau berusaha menjalin mata rantai cerita, dengan detil dunia maupun karakter—nafas hidup yang kau tebarkan dalam bentuk tulisan. Kau ingin bertanya, siapa karakter favorit mereka? Apa kesan mereka tentang dunia yang kau ciptakan? Bagaimana reaksi mereka tentang keputusanmu membawa plot cerita? Bagaimana ekpektasi awal mereka--yang kau selalu tunggu--apa kau dapat selalu menyajikan cerita yang segar? Apa mereka tetap mendukungmu atau malah protes mengenai sesuatu yang kau tak sadari sebelumnya?

    Seorang pembaca impian bisa seorang yang ramah akan pujian ataupun keras dalam mengkritik, tergantung masing-masing penulis. Kriteria terpenting bagiku untuk mereka adalah : kepercayaan. Aku tahu, mereka pasti dapat menerima segala yang kutulis, betapa baik maupun buruknya karya tersebut tak apa.

    Aku dapat menulis segalanya sepenuh hati, apa adanya dan aku percaya, mereka pasti akan memberikan pendapat yang paling kubutuhkan saat itu.

    Yang perlu diingat adalah, pembaca impian tak akan pernah membuatmu ingin berhenti menulis. Jika kau merasa demikian, maka carilah orang lain—mereka tak cocok denganmu.

    Singkat kata, tak mudah menemukan pembaca impian. Mungkin kau perlu menjadi penulis yang lebih baik dahulu. Atau bisa saja hal tersebut hanya masalah waktu dan peruntungan.

    Bisa dibilang, tak semua cerita yang populer beredar itu baik adanya. Tak semua cerita tak populer itu buruk pula. Entahlah, semuanya mencari yang menarik untuk masing-masing dan aku tak yakin dapat menulis sesuatu yang dicari banyak orang.

    Saat ini, aku tak merasa puas jika ingin menulis bagi khalayak ramai. Jadi ya, tak masalah bila pembacaku sama sekali tak ada. Aku akan terus mengeksplor dan bersenang-senang dengan tulisan yang kubuat, sampai nantinya aku punya dasar terkuat untuk menulis cerita secara konsisten dari awal hingga akhir.

    Aku tak peduli nantinya aku baru dapat memulai saat berusia tigapuluh, empat puluh bahkan limapuluh tahun.

    Sekarang, biarlah aku terus berjalan di tempat yang sepi. Mungkin aku dapat mencoba kembali jika tempat teduh ini menjadi ramai lantaran karyaku, suatu saat kelak.
     
  21. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Bab 17 : Cerita Santai

    Seberapa lamakah aku harus menunggu, sebelum aku akhirnya menjadi sukses?

    Kupikir, hal terpenting untuk dilakukan saat ini adalah rileks. Maka dari itu, aku ingin membuat cerita santai saja.

    Sesuatu yang dapat kubaca ulang untuk mendapat ketenangan.

    Xxx

    Aku mendapati diriku di sebuah pantai pribadi. Sejauh mata memandang, terbujur laut biru cerah beserta deretan pasir yang berkilau di bawah terik mentari. Aku berdiri di bawah kursi santai berpayung sambil menyeruput jus jeruk. Kesegaranya membasuh kerongkonganku yang kerapkali kering. Tempatku saat ini agak berada di pojok, dekat deretan pohon kelapa nan rindang.

    Di belakangku ada jalanan menanjak yang di sampingnya tumbuh pepohonan dan rerumputan hijau. Jalanan itu mengarah pada sebuah vila bergaya Eropa, bertingkat empat dan lebarnya kurang lebih sama dengan hotel berbintang di sekitar. Aku sontak berdiri saat merasakan suatu pandangan tajam di belakangku. Dari pintu vila yang terbuka, keluarlah seorang pelayan wanita yang masih muda. Dengan gesit ia berjalan kearahku, menaruh piring berisi potongan buah segar dan juga secangkir susu krim. Gelas jus yang sudah kosong ia bawa ke nampannya.

    "Apa tuan muda menikmati liburan ini?" tanyanya dengan senyum yang begitu polos.

    "Sangat menikmati." jawabku lantang, "Bisa mengagumi pemandangan alam sepanjang hari tanpa dirundung kepenatan kerja adalah suatu anugerah."

    "Sampai kapan tuan muda akan terus tinggal? Ah, bukannya saya keberatan tuan muda ada di sini terus—saya hanya mau mengabari tuan besar...."

    "Mungkin sampai aku sudah puas dengan rutinitas santai ini. Katakan pada ayah, aku ingin menetap di mari dan kembali menulis."

    Setelah bertukar kata berkali kemudian, pelayan wanita itu kembali ke vila. Diriku kembali sendiri, mengagumi suara ombak di pantai yang teduh. Sandaran kursi kupanjangkan, sampai dapat kurenggangkan kaki sebebas-bebasnya. Dalam posisi tertidur, dan masih dilindungi payung maupun pepohonan, aku melahap buah segar satu persatu.

    Apel; nanas; semangka; sirsak; jeruk; anggur; aneka rasa potongan buah kecil kucucip perlahan. Di kejauhan terdengar kicau burung laut; mereka kadang pergi ke daratan untuk mencari kerang-kerangan dan kepiting. Di sana juga ada sebuah pulau kecil yang dipenuhi perbukitan dan pepohonan. Berbagai varietas tanaman dan hewan eksotik ada di sana. Pulau tersebut sering dikunjungi peneliti, yang kadang suka mampir di vila untuk bermalam.

    Mereka yang disini selalu minta izin dari ayahku sebagai pemilik tempat. Selain daripada peneliti, ada juga wisatawan kenalan ayah. Aku melihat berapa yang sewaktu malam membuat tenda di pantai dan menyalakan api unggun—ada juga yang memasang teleskop guna mengamati gugus bintang; baik di pantai maupun balkon lantai empat.

    Pantai ini memang punya langit yang begitu indah, tak peduli siang maupun malam. Daerah balkon juga kadang digunakan saat malam untuk pesta kembang api maupun santap bbq atau sekedar dipakai berenang, lantaran ada kolam di sana.

    Meski aku tak terlalu bercakap dengan mereka, tapi polah beberapa diantara mereka cukup menarik, hingga aku betah mengamati selama sejam ataupun dua jam.

    Untuk saat ini, yang menyinggahi tempat ini hanya diriku seorang bersama pelayan lain. Tak terasa buah-buahan tadi sudah habis kulahap, beserta susu krim sejuk yang teksturnya kental namun juga gurih. Lantaran langit mulai mendung, aku bergegas kembali ke vila, membawa piring buah dan gelas susu. Bakalan repot nantinya jika pelayan harus mengambilnya saat hujan deras.

    Mengamati langit yang mulai mendung, aku mempercepat langkahku ke vila dan membuka pintu utama. Kulepas sepatu; menggantinya dengan sendal rumah.

    "Kurasa nanti bakal hujan. Aku akan balik lagi membawa payung dan kursi nya, master."

    "Tak perlu repot-repot, tuan muda. Pak tua ini mau olahraga sejenak, di sini aku bisa pikun lantaran tak melakukan banyak hal."

    Tepat di ruang tamu, duduklah kepala pelayan vila yang tengah disibukkan dengan sebuah buku yang cukup tebal. Menyeruput teh dengan elegan sambil duduk tegak, meski berbaju santai, ia lebih terlihat sebagai yang memiliki vila ketimbang diriku. Meski usianya cukup lanjut, rambutnya tak terlihat beruban dan gerakannya jauh lebih gesit ketimbang aku yang masih muda.

    "Ya sudah bila demikian, terima kasih master."

    "Sama-sama, tuan muda."

    Ia langsung berjalan keluar dan kembali menutup pintu; tak lama berselang, langkah kakinya tak begitu terdengar lagi. Master memang biasa bekerja cepat.

    Interior vila tak dihiasi banyak barang antik maupun karya seni seperti di rumah ayah. Di sini, hal paling berkesan adalah lantai keramik yang dingin dan nyaman untuk dijejaki, beserta skema warna hangat dari dinding batu. Ada sejumlah pajangan yang rata-rata merupakan suvenir setempat dan dapat dibeli dengan harga terjangkau.

    Aku berjalan menuju dapur untuk menyerahkan piring dan gelas ke dapur sebelum kembali ke kamarku. Pemandangan dapurnya mirip yang ada di restoran paman: dengan meja besar di tengah tengah dan dua pojokan yang berisi kompor masak, oven dll. Di sana ada satu ruangan lagi untuk mencuci dan satu lagi menuju kamar kecil. Ada juga sebuah elevator makanan untuk mengantar hidangan ke lantai berikutnya. Di tempat cuci ada satu lagi sih yang menerima piring kotor;

    Tukang masak mengenakan baju biasa dengan celemek dan sarung tangan. Yang mengenakan baju pelayan di sini adalah yang bertugas bersih-bersih maupun mengantar makanan ataupun keperluan lain secara umum. Bila ada acara khusus—seperti penyambutan rombongan tamu, kepala pelayan—biasa kusebut master--memakai seragam formal dengan jas dan dasi, beserta emblem keluarga besarku.

    Aku mengenakan pakaian serupa—mengikuti instruksi master guna menyambut tamu dengan etiket yang tepat. Lantaran aku tak begitu berwawasan untuk berdialog dengan para tamu, yang biasa kulakukan hanyalah makan dan minum. Yang membuka dan mengarahkan pembicaraan hanya master saja.

    Terkadang ada anak kerabat ayah yang mampir kemari, dengan usia sepantaran denganku. Tetap saja topik mereka terlalu kelas tinggi untukku, yang bisa meladeni ya master juga. Aku tak begitu mendengarkan musik klasik apalagi konser dengan orkestra--film lawas maupun pertunjukan teater juga tidak. Kurang lebih bisa nyambung sih bila yang dibicarakan musik Jazz maupun rock lawas.

    Ayah menggemari musik rock lawas dan aku suka cukup banyak musisi pada jaman tersebut.

    Ya, intinya kadang pembicaraan bisa nyambung tapi aku rata-rata bukanlah seorang yang suka bersosialisasi. Terlebih mengenai tingkatan sosial para kerabat ayah, menyinggung pihak lain bisa berujung pada hal yang rumit—lebih baik diam dan menjauh saja. Kakak dan adikku lebih mahir untuk membangun relasi—aku lebih cocok berdiri di tempat sepi dan mendukung mereka dari belakang.

    Mereka sungguh berambisi untuk meraih predikat terbaik untuk perusahaan keluarga, tapi untuk saat ini, aku begitu letih dengan segala perencanaan dan pembangunan yang ada. Aku ingin kembali pada hobiku untuk menulis hal-hal yang dapat membuatku santai.

    Kamarku berada di lantai tiga. Di lantai empat hanya terdapat balkon dengan kolam renang dan beberapa meja di tempat teduh saja; elevator makanan tidak sampai ke sini. Bila ingin memesan makanan tiap kamar ada saluran telepon internal; di tiap lantai ada beberapa orang pelayan yang menunggu pesanan selagi jam tak terlalu malam. Makanan langsung diantar dari dapur menuju lantai yang dituju dengan lewat elevator makanan.

    Lantai satu hanya ditujukan untuk ruangan komunal, dapur dan kamar pelayan. Kamar tinggal untuk tamu dan tuan rumah hanya terdapat di lantai dua dan tiga. Meski demikian, dengan lebarnya vila ini, tiap lantai bisa menampung sekitar sepuluh kamar, dengan struktur koridor panjang seperti sekolahan, dengan tangga di paling tengah, membagi kamar menjadi lima di kiri dan kanan. Tepat di hadapan tangga, ada deretan jendela dimana kau dapat menikmati pemandangan luar.

    Kamar pelayan lantai dua dan tiga berada tepat diatas dapur, tepat sebelah kanan tangga. Kamarku adalah ruangan paling pojok kiri di lantai tiga, sedangkan ruangan ayah di pojok kanan lantai dua. Terkecuali ruanganku dan ruangan ayah, seluruh kamar tamu memiliki interior serupa.

    Lantaran tamu tidak banyak, ya rata-rata pelayan sedang libur dan praktis bila aku tak merasa begitu malas, aku selalu turun ke lantai satu untuk makan. Rata-rata ritual makan terdiri atas : sarapan, makanan siang, snack sore dan makan malam. Tapi ya, aku biasa melewatkan snack sore lantaran aku biasa sudah mencicip sesuatu saat di pantai. Mungkin lebih baik aku berhenti makan terus dan minum air putih saja—kurasa berapa minggu belakangan aku tambah gemuk.

    Menapaki tangga dari lantai satu ke lantai tiga, aku mulai mendengar deru guntur, mengamati awan mendung di deretan jendela.

    Sesampainya di kamar, aku menukar bajuku dengan yang biasa kupakai dalam vila: kaus tak berkerah dan celana pendek karet. Aku mandi sejenak dan menuliskan kesan hari ini di buku catatan.

    Luas kamarku seperti ruang kelas berukuran kecil.

    Ada tempat tidur besar dengan selimut tebal dan bantal dan guling yang besar di satu pojok, dan pojok lainnya mengarah pada kamar mandi. Isinya standar saja : shower dengan air hangat; bak mandi; cermin dengan perlengkapan sikat gigi; meja yang tertambat di dinding, terletak perlengkapan mandi; gantungan baju; toilet dsb.

    Terdapat deretan rak buku yang sejajar dengan pintu dan yang menghadap pintu adalah meja besar dimana buku catatanku berada. Tempat duduk berupa sofa empuk yang terbuat dari kulit ular. Di sebelah meja besar terletak meja panjang dimana aku menaruh tas, laptop beserta perlengkapan lain dari kota. Sampai sekarang tak begitu dipakai. Selain daripada itu, ada penghangat ruangan yang tak terpakai.

    Pada deretan dinding yang menghadap pintu, ada sejumlah jendela yang setengah tertutup gorden, peletakannya membuat seantero ruangan mendapat penerangan memadai. Ada juga pendingin ruangan yang letaknya agak menjauh dari tempat tidur.

    Selama ingin bersantai, aku mencoba jauhkan diri dari komputer maupun internet. Trauma yang kujalani dari kehidupan serba cepat kerapkali kembali, saat aku berhubungan dengan media tersebut.

    Aku biasa melewatkan waktu mengamati alam maupun membaca buku dan menulis. Bacaan seperti novel, majalah dan buku semacam catatan perjalanan. Aku ingin membayangkan suatu petualangan menyusuri lautan luas. Aku ingin mengubah arah menulisku dari yang terkesan seperti diari menjadi catatan santai maupun cerita petualangan.

    Saat hujan, aku biasa tak menyalakan pendingin ruangan. Kubuka jendela sedikit saja; membiarkan hawa sejuk dari hujan masuk. Lantaran tak banyak hal yang kutulis hari ini selain daripada keluh kesahku mengenai hidup dan bagaimana 'dialog' diriku dengan alam sekitar, aku melanjutkan kembali membaca novel karya Vander Wulf berjudul 'Masa Depan'.

    Kisah novel tersebut menceritakan kelompok manusia yang berevakuasi dari planet yang didera perang berkepanjangan. Terus menjelajah ruang angkasa hingga mendapatkan suatu planet yang damai dan dapat menerima mereka. Selama perjalanan, segelintir penderitaan dialami kelompok tersebut, hingga akhirnya kapal antariksa yang ditumpangi diserang bajak laut alien dan setelah perlawanan sengit, mereka kalah dan masing-masing yang tersisa dijual sebagai budak.

    Seorang diantara mereka adalah seorang bayi yang lahir di pesawat antariksa, tanpa diketahui siapa orangtuanya; menjalani masa kecil sebagai budak. Setelah mendengar cerita dari tetua kelompok yang masih hidup, mengenai planet asal yang didera perang. Kalimat penuh penyesalan dilontarkan berulang kali; merasa bahwa mungkin lebih baik mereka mati dalam perang, ketimbang berpegang dalam harapan untuk hidup bebas, melupakan bahwa mereka hanya manusia lemah.

    "Semua orang dapat bermimpi. Hanya yang terkuatlah dapat mempertahankan mimpi mereka. Jika tak dapat menjadi yang terkuat, mengabdilah pada mereka yang tak tertandingi. Kau tak perlu menjadi yang terbaik, untuk melayani yang terbaik.

    Jadilah dirimu sendiri. Bila kau dapat menyanding roda nasib lantaran keunikanmu, maka mereka yang terkuat akan menjadi tuanmu."

    Entah apa maksud perkataan tetua tersebut; aku sampai sekarang membaca kisah anak manusia yang sekarang menjadi budak rendahan seorang bangsawan planet alien. Seorang pedagang yang lewat tertarik dengannya dan mereka kembali bertualang menyusuri galaksi—ia mempelajari cara berdagang yang baik dari tuannya.

    Nantinya ia bercita-cita menjadi pedagang tersendiri, membangun kekayaan hingga akhirnya ia dapat kembali ke planet asalnya.

    Setelah dipikir-pikir, aku bisa dibilang beruntung. Meski keluargaku memang keras padaku dan selalu meminta standar tertinggi, tapi bila aku dapat memenuhinya, aku dapat melakukan apa yang kuinginkan. Keluargaku tak pernah mengalami kesulitan finansial, bahkan dari kehidupan mereka yang apa-apa serba mewah. Ayah mengajarkan padaku, bila kau memiliki keahlian yang cukup, kau dapat hidup semegah keahlian tersebut.

    Bila kau puas hidup miskin, tak perlu repot-repot harus bekerja keras. Bila kau ingin kaya tanpa harus bekerja keras, asah keahlianmu hingga kau dapat menghasilkan yang terbaik tanpa harus banyak berusaha. Perjalanan dapat lebih panjang, ketimbang mereka yang ingin terus membanting tulang seumur hidupnya. Tapi, bila itu keinginanmu dalam lubuk hati terdalam. Ikutilah dengan setia hingga akhir hidupmu.

    Meski demikian, dari dulu hingga sekarang, dalam segala aspek aku selalu didukung oleh ayah dan banyak orang lainnya: master; kakak; adik; ibu; paman maupun berbagai kenalan yang mampir.

    Sampai kapan aku dapat terus menjadi anak manja yang selalu bergantung pada kemahsyuran keluargaku? Bila dipikir-pikir, bila diriku mandiri pun, entah kapan aku dapat membangun bisnis yang sukses seperti ayah.

    ...kecuali aku dibantu untuk memulai usaha sendiri dari dirinya.

    Jikalau aku memang begitu lemah, mungkin hal terbaik yang dapat kulakukan adalah mencari mereka yang terkuat. Bisa jadi, kelemahan akan menjadi kekuatan tersendiri di saat yang dibutuhkan.

    Merasakan angin semilir dan gemericik deru hujan yang membasahi lingkungan sekitar; konsentrasiku dibuyarkan oleh suara ketukan di balik pintu.

    "Tuan muda."

    Suara master.

    Aku berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan, ia memberikan padaku secarik telegram dari ayah.

    "Tuan besar akan sampai di vila besok malam. Pesan di telegram ini ya...bagaimana ya....pokoknya nanti tuan muda baca saja."

    Master menutup pintu dengan muka merah padam, sepertinya ada sesuatu di telegram yang tak sengaja terbaca olehnya...apakah itu?

    "Ayah ingin ke sini lantaran ada seorang dokter ajaib. Ia berhasil merubah salah seorang rekan kerjaku menjadi loli.

    Ini adalah mimpi ayah setelah sekian lama.

    Setelah ini, ayah akan menjalani waktu selama berapa tahun di sekolah dasar, terlepas dari seluruh beban kerja. Ayah ingin mencari calon istri yang loli juga.

    Dalam masa itu, ayah serahkan seluruhnya pada kalian bertiga. Selamat bekerja dengan baik!"

    ..........sungguh tak terduga. Ternyata penyakit wibu ayah semenjak dulu tak pernah sembuh.

    Jadi ayah bekerja keras membangun kekayaan setinggi langit, akhirnya untuk menjadi loli juga.

    Jika terus begini, nanti seluruh keluargaku dipenuhi loli semua.

    Tak apalah.

    Nanti biar aku yang jadi pawangnya.
     
    • Like Like x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.