1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Almost Paradise

Discussion in 'Fiction' started by ffda, Jan 27, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. ffda M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 26, 2013
    Messages:
    4,694
    Trophy Points:
    227
    Ratings:
    +12,472 / -0
    [​IMG]

    Genre: Romance
    Story by: ffda
     
    • Thanks Thanks x 2
    • Like Like x 1
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. ffda M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 26, 2013
    Messages:
    4,694
    Trophy Points:
    227
    Ratings:
    +12,472 / -0
    [​IMG]

    [​IMG] [​IMG] [​IMG] [​IMG]
    [​IMG] [​IMG]
     
    Last edited: Jan 27, 2016
  4. ffda M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 26, 2013
    Messages:
    4,694
    Trophy Points:
    227
    Ratings:
    +12,472 / -0
    [​IMG]

    Lita memandang dengan mata berbinar gedung mewah dan megah dihadapannya sekarang ini. Gedung sekolah yang sudah sangat dinantikannya setahun lalu, setahun yang penuh perjuangan untuk bisa ada didepannya sekarang sebagai salah satu murid sekolah swasta paling bergengsi dan sulit dimasuki bagi mereka yang sangat menginginkannya. Gedung bercat putih dengan padanan warna hitam di pinggirannya, didominasi dengan dinding-dinding kaca sehingga aktivitas di setiap ruangan terlihat dengan jelas. Gerbang sekolah yang tidak kalah megahnya, berukuran sangat besar dengan pahatan indah, namun sulit ditembus.

    Lita mencoba mengingat kejadian beberapa bulan lalu, dimana dia setengah mati membujuk orangtuanya agar mengijinkannya bisa bersekolah disini.

    “Lita boleh kan daftar di Garuda Bangsa? Lita janji bakal rajin belajar dan nggak malas lagi bantuin mama.”

    “Aduh, Lita….. daftar di sekolah negeri biasa aja. Biayanya lebih murah dan sekolah negeri juga nggak kalah bagus dari sekolah swasta.” Mama Lita kelihatan pusing dengan rengekan Lita yang entah sudah kesekian kali.

    “Tapi, Ma, aku mau banget sekolah disana. Aku bisa usaha agar aku masuk kesana melalui beasiswa, jadi mama sama papa nggak perlu keluar biaya banyak,” Lita masih berusaha meyakinkan mamanya yang malah sibuk memasak didapur.

    “Beasiswa?” Mama Lita mengalihkan pandangannya sebentar dari masakannya.

    Lita mengangguk yakin, sementara adik perempuannya, Erin sedang mati-matian menahan tawanya.

    “Apa sih?” Lita mendelik sewot karena akhirnya Erin tertawa terbahak-bahak.

    “Kak Lita lucu. Mau dapat beasiswa di Garuda Bangsa? Tembus sepuluh besar aja di kelas susah.” Erin langsung berlari kekamarnya ketika melihat Lita melotot dan hendak mengejarnya.

    “Biar aku aja yang nanggung biaya Lita sekolah, Mbak.”

    Lita langsung urung mengejar Erin dan menatap Tante Nilam, adik mamanya, seolah tantenya itu adalah malaikat penolong yang datang sangat tepat waktu.

    “Jangan. Kamu sudah terlalu sering manjain dan beliin Lita sama Erin ini itu. Lagipula, biaya sekolah Lita sudah jadi tanggungjawabku dan Mas Arda.” Mama Lita menolak tegas.

    “Ayolah, Mbak, kalau bukan manjain Lita dan Erin, aku harus manjain siapa lagi?” suara Tante Nilam terdengar memelas.

    Mama Lita menghembuskan napas berat. Adik satu-satunya itu sudah hampir delapan tahun menikah dan belum juga dikaruniai seorang anak, dan itu yang membuatnya sangat menyayangi dan memanjakan Lita, juga Erin.

    “Biar aku yang nanggung semua biaya sekolah Lita kalau dia memang bisa diterima di Garuda Bangsa. Mbak sama Mas Arda kan jadi bisa nabung untuk biaya sekolah Erin dan kuliah Lita nantinya. Untuk SMA ini biar Lita aku yang urus. Aku yakin suamiku pasti sangat setuju.”

    “Ma, aku beneran janji sama mama dan Tante Nilam, aku pasti rajin belajar dan nggak malas-malasan lagi. Aku nggak akan ngecewain mama sama tante deh. Janji!”

    “Sebenernya apa sih, yang bikin kamu ngebet banget mau sekolah disana?” pertanyaan mamanya itu masih sangat jelas di telinga Lita.

    Lita kembali memandangi gedung sekolah barunya dan ketika pertanyaan mamanya itu terlintas di pikirannya, Lita tersenyum kecil dan melangkahkan kakinya masuk ke sekolah barunya dengan semangat yang menggebu. Semangat yang dikarenakan suatu hal yang sudah menjadi obsesi Lita sejak lama.
    *​

    “Ya ampun, Kak Lita masih stuck sama BBF?”

    Suara cempreng Erin yang mengintip dari kamar tidur Lita dari depan pintu kamar. Lita sedang menyibukkan diri didepan laptopnya yang tengah memutar drama Korea kesukaannya, Boys Before Flowers.

    “BBF tuh udah basi tau. Kak Lita harus nonton drama-drama baru. Ms. Panda and Mr. Hedgedog yang main Donghae Suju, Kak! Dia cakep banget disitu, bisa bikin kue pula.” mata Erin menerawang membayangkan adegan tiap adegan dari drama yang baru saja dia sebut tadi.

    “Atau drama Cyrano Dating Agency, yang mainnya Sooyoung SNSD. Duh, lucu banget dramanya, Kak. Terus, aktor yang jadi Master keren abis. Laki banget.” Erin masih menjelaskan ini itu sedangkan Lita masih tetap memusatkan mata dan pikirannya pada tontonan dari laptopnya.

    Erin yang dicuekin Lita lama-lama keki juga, tapi dia masih punya senjata yang bisa membuat kakaknya setidaknya sedikit kehilangan fokus, “Kak, ada drama judulnya Flower Boys Next Door, jadi ceritanya tentang satu cewek yang tetanggaan sama cowok-cowok ganteng.”

    Lita melirik sedikit, Erin menyeringai melihat perkataannya tadi bisa membuat fokus kakaknya buyar. Erin menghempaskan badannya diatas tempat tidur Lita, sambil berkata, “Kak, gimana MOS di Garuda Bangsa seminggu kemarin? Ketemu nggak sama Goo Joon Pyo, Yoon Ji Hoo, So Yi Jung dan Song Woo Bin versi nyata di Garuda Bangsa?”

    Lita langsung loncat dari kursinya dan melompat kearah tempat tidur, mendaratkan tubuhnya, yang untungnya, pas mendarat disamping Erin, bukan diatas badan Erin.

    “Kamu harus tau, Rin, SMA Garuda Bangsa keren banget. Persis kayak sekolah-sekolah di drama-drama Korea yang sering kita tonton. Seragamnya warna biru gelap, yang perempuan pakai rok pendek dan blazer, terus yang murid laki-laki pakai celana panjang yang warnanya senada sama jasnya. Kita juga pakai dasi! Kamu harus lihat, Rin.” Lita menceritakan dengan menggebu-gebu.

    “Beneran, Kak? Aku mau lihaaaatttt…..”

    “Nanti aku kasih lihat, seragam-seragamku baru aku masukin cucian tadi pagi, terus sebagiannya ada di loker sekolah.”

    “Kakak punya loker di sekolah?” Erin memekik histeris membuat Lita harus mengusap-usap telinganya yang kena sasaran suar toa Erin.

    “Iya, masing-masing murid dikasih dua loker. Satu buat tempat barang-barang, satunya lagi loker baju di kamar ganti tiap kita selesai pelajaran olahraga.”

    “Terus? Terus? Ada apalagi disana?”

    “Fasilitasnya bisa bikin kamu pingsan saking banyak dan kerennya. Ada lapangan bola seluas GBK, ada stadion badminton mirip di Istora, lapangan baseball, hockey, kolam renang, bahkan lapangan golf, Rin!”

    “Serius, Kak?” Erin menutup mulut dengan kedua tangannya, “Aku pengen banget kesana. Sayang orang luar nggak bisa sembarangan masuk.” Erin cemberut.

    Lita mengangguk-angguk, tidak sembarangan orang bisa masuk selain murid, guru dan staf dari Garuda Bangsa. Kalaupun ada barang murid yang ketinggalan, bisa langsung diantar ke pos satpam yang berdiri gagah berdempetan dengan gerbang raksasanya yang mewah, nanti barang yang ketinggalan itu akan diantar langsung kepada sang pemilik.

    “Eh, Kak Lita belum jawab pertanyaan aku. Ketemu nggak sama geng ganteng BBF versi Garuda Bangsa?”

    Lita mendadak lemas dan menggeleng, “Yang ganteng banyak, tapi yang kayak di BBF nggak ada. Yang kemana-mana selalu bareng, itu nggak ada.”

    “Yah, gagal dong misi Kak Lita masuk Garuda Bangsa buat jadi satu cewek yang dilindungi dan dijaga sama cowok-cowok ganteng pujaan satu sekolah?” Erin menjabarkan jelas misi konyol yang membuat Lita mati-matian berusaha bisa lolos seleksi Garuda Bangsa, bikin Tante Nilam repot mengurus pendaftaran ulang, karena awalnya Lita dinyatakan tidak lolos namun ada satu orang yang mengundurkan diri jadilah Lita lolos seleksi Garuda Bangsa.

    “Nggak tau ah.” Lita beranjak dari tempat tidurnya dan kembali menonton drama yang tadi sempat dia pause untuk menggosip mengenai sekolah barunya dengan Erin.
    *​


    “Loh, emangnya ada tugas apa hari ini?” Lita menghampiri Lerina, teman sekelasnya yang duduk didepannya.

    “Hmm…” Lerina menggumam singkat tidak peduli sama pertanyaan Lita.

    “Hmm apa? Emang ada mata pelajaran ‘hmm’?” Lita melempar tas ke bangkunya.

    Bukan rahasia lagi bagi Lita kalau dirinya tidak mempunyai teman akrab di sekolah barunya. Hampir semua teman sekelasnya berasal dari keluarga yang kaya raya, tingkat kecerdesan yang jelas diatas rata-rata Lita, gadget keluaran terbaru yang harganya bisa diatas sepuluh juta. Tapi, Lita tidak heran, bayaran sekolah disini saja sama dengan harga kuliah kedokteran perguruan tinggi swasta per-semesternya. Dan faktor utama yang membuat Lita tidak mempunyai teman akrab adalah dandanan Lita yang biasa saja. Kalau teman-teman perempuannya setiap ke sekolah selalu berdandan bak Miss World lengkap dengan lipstik warna ngejreng yang bikin silau mata, blush-on setebal dompet orang yang baru gajian, rambut yang kalau dikibas-kibas pasti bikin bintang iklan sampo iri setengah mati, saking bagusnya rambut anak sekolahan dibanding model kelas dunia seperti mereka.

    Kesederhaan menjadi ciri khas Lita, bukan sederhana sebenarnya, Lita memang malas dalam hal berdandan. Dia lebih suka biasa-biasa saja. Bedak tipis dan lipgloss sudah cukup baginya, rambutnya yang sepundak lebih sering digerai atau dikuncir kuda asal-asalan, jadinya rambut Lita suka terlihat berantakan yang anak rambutnya mencuat dimana-mana. Namun, menurut papanya itu yang membuat Lita terlihat manis.

    Masalah akademik dan tingkat kecerdasan Lita juga menjadi faktor lain yang menyebabkan anak-anak Garuda Bangsa malas bergaul dengannya. Berhasil lolos seleksi Garuda Bangsa sebagai cadangan, datang ke sekolah lima menit menjelang bel berbunyi, dan sifat pelupanya bikin orang lain malas mendekat.

    “Tugas apa sih? Kok gue nggak tau?” Lita kembali bertanya pada Lerina.

    “Ih, jangan deket-deket dong. Nanti seragam gue kusut.” Lerina mendelik kesal, karena Lita mendekat sambil mengintip pekerjaan Lerina dan membuat lengannya menempel dengan lengan Lerina.

    “Sini gue peluk elo erat-erat biar sekalian itu seragam beneran kusut.” Lita tersenyum manis dan sengaja menggoda Lerina.

    “Peluk aku aja, Sayang….”

    Lita melirik dan melihat Erick sedang membuka kedua tangannya lebar-lebar. Lita hanya tertawa kecil dan mengibaskan tangan kearah Erick. Erick memang ganteng, tapi kuku-kuku tangannya lebih indah dan mengkilau dari kuku-kuku tangan Lita sendiri.

    “Ler, tugas apaan sih? Gue nanya daritadi nggak dijawab.”

    “Jangan panggil gue ‘Ler’! Nama gue Lerina.” Lerina menutup bukunya dan menatap Lita marah.

    “Iya, gue tau nama lo Lerina, bukan iLer.”

    Perkataan terakhir Lita tadi malah membuat muka Lerina makin memerah menahan marah. Lita langsung mundur teratur sambil cengar-cengir.

    Bel berbunyi dan Lita selamat dari terkaman macan bernama Lerina, dia buru-buru duduk di bangkunya. Teman sebangkunya yang setipe dengan Lerina, bahkan tidak pernah bicara dari awal mereka bertemu di kelas. Lita bisa tahu kalau namanya Mary saja dari tulisan di buku catatannya.

    “Mar, ada emang ada tugas hari ini?” Lita masih berusaha bertanya dengan mengganti target yang ditanya.

    Mary mengangguk tanpa bersuara.

    “Tugas mata pelajaran apa?”

    Mary menggerakkan dagunya kearah depan, Lita mengikuti arah yang ditunjukkan.

    Mati gue! Jadi hari ini ada tugas Pak Robert! Mampus, mampus, dia kan paling seneng bikin malu muridnya. Argghhh!

    Sepuluh menit kemudian apa yang ditakutkan Lita benar-benar terjadi, sekarang dirinya sudah ada didepan kelas berdiri dihadapan 29 orang murid yang sedang memerhatikannya seksama. Lumayan, hiburan pagi-pagi.

    “Nah, Lita, berhubung saya orangnya baik hati dan ini masih minggu pertama kita mulai pelajaran, saya tidak akan kasih hukuman apapun sama kamu.”

    “Beneran, Pak?”

    Lita hampir melonjak gembira ketika Pak Robert mengangguk dan melanjutkan kalimatnya, “Karena pagi ini sangat cerah, coba kamu nyanyikan satu lagi yang bisa membuat pagi ini makin cerah.”

    “Loh, loh, Pak, katanya saya nggak dihukum?”

    “Apa menyanyi termasuk hukuman?” Pak Robert menunjukkan mimik heran dan mengajukan pertanyaan secara tidak langsung kepada murid-muridnya yang lain. Teman-teman sekelas Lita tentu menggeleng kompak penuh semangat. Lita mendelik sebal, tentu saja mereka geleng-geleng kepala, tuh lihat, Lerina aja saking semangatnya geleng-geleng kelihatan kepalanya mau copot.

    “Lagu apa aja ya, Pak?” pertanyaan Lita dijawab anggukan oleh Pak Robert.

    “Dirimu di hatiku tak lekang oleh waktu, meski kau bukan milikkuuuuuu…… intan permata yang tak pudar tetap bersinarrrrr…… mengisi kesepiannnn…..” Lita bersuara asal-asalan menyanyikan salah satu lagu Kerispatih, tidak peduli teman-temannya ada yang cekikikan geli, ada yang menutup kedua telinganya, dan Pak Robert sedang melongo.

    “Stop, Lita. Cukup.” Pak Robert tersenyum aneh sambil mengusap-usap telinganya.

    “Kok udahan? Tanggung. Biar saya selesaian dulu...”

    “Cukup. Kamu boleh duduk sekarang.” Pak Robert buru-buru menyuruh Lita duduk ketika dilihatnya Lita sudah siap melanjutkan nyanyian falsnya.

    Lita tersenyum lebar dan melangkah ke tempat duduknya.

    “Suara gue bagus banget pasti tadi didepan.” Lita menoleh kearah Mary yang terlihat menarik ujung bibirnya sedikit.

    Seluruh murid kelas 10-B tenggelam oleh catatan yang diberikan oleh Pak Robert sedangkan sang guru tengah berbicara dengan seseorang dari balik pintu kelas. Ketika Lita sedang berkonsentrasi memahami tulisan Pak Robert di papan tulis yang mirip huruf sanskerta, suara dengungan seperti lebah dan jeritan tertahan dari cewek-cewek sekitar membuat Lita menoleh kebingungan.

    “Ada apaan sih?” Lita melihat Mary yang sedang serius mencatat.

    “Artis.”

    Jawaban singkat Mary tidak membuat Lita tertarik lagi bertanya. Lita tahu ada beberapa artis ibukota yang sekolah disini, dia bingung kenapa teman-temannya yang berlagak high class itu harus heboh melihat artis berkeliaran. Itu kan hal wajar.

    “Kak Lita, blazernya!”

    Lita menangkap blazernya yang dilempar Erin dari dalam mobil. Hari itu dia sudah terlambat, dikarenakan mobil papanya yang mogok dijalan. Bayangkan, mogok ditengah kemacetan kota Jakarta? Dan, terlambat bagi mereka yang bersekolah di Garuda Bangsa adalah bencana. Ibarat kata, secara otomatis siapapun yang terlambat atau melanggar aturan yang sudah ditentukan Garuda Bangsa siap-siap saja ‘catatan dosa’-nya tidak lagi bersih. Lima poin untuk terlambat dan ditambah hukuman dari guru yang kebagian mengajar di jam pertama. Dan Lita mendapatkannya pagi itu.

    Kakinya yang pegal karena sudah berdiri satu jam lebih di koridor kelas dihentak-hentakkan pelan. Lita celingak-celinguk kanan-kiri dari ujung koridor yang satu ke ujung koridor satunya. Sepi. Iyahlah sepi, jam pelajaran pertama sedang berlangsung. Hanya Lita yang mendapatkan kehormatan berdiri di luar kelas sampai pelajaran Bahasa Inggris selesai nanti.

    Entah kenapa Lita merasa gerah, padahal seluruh gedung Garuda Bangsa dilengkapi oleh AC. Lita mengipasi lehernya yang kegerahan dengan tangan dan mulai mengambil kunciran yang ada di saku blazernya. Lita menguncir rambutnya yang tidak terlalu panjang, kemudian menyandarkan badannya yang pegal ke dinding lalu memejamkan mata sejenak.

    Baru beberapa detik Lita memejamkan mata, terdengar derap langkah kaki. Tidak hanya seorang, tapi lebih dari satu orang. Lita membuka matanya dan mencari sumber suara dari derap langkah kaki itu. Ketika Lita melihat apa yang sedang berjalan kearahnya, detak jantungnya seakan berhenti dan matanya terbelalak kaget. Dan tanpa dikomando otak Lita memutar alunan lagu yang sudah sangat dia hapal, lagu dari soundtrack drama Korea favoritnya. Didalam pikirannya lagu Paradise dari T-Max menjadi musik latar pemandangan ini….

    Lima orang cowok yang berwajah tampan dengan tinggi yang proporsional seimbang dengan bentuk badan mereka masing-masing. Sudah bisa dipastikan mereka berlima adalah murid dari Garuda Bangsa, Lita bisa melihat seragam yang mereka kenakan. Lita mencoba merekam kaum adam yang sedang berjalan dengan gaya masing-masing itu, dengan mata dan pikirannya secara cepat. Ada satu cowok yang lebih tinggi diantara yang lain wajah tampannya didominasi mimik galak, rambutnya yang berantakan dan kaus seragamnya yang keluar di bagian depan. Disebelahnya, cowok berkacamata berbingkai hitam, dasi yang dikenakannya terlihat sengaja dilonggarkan. Setelah si cowok berkacamata, ada cowok dengan wajah yang sangat manis sedang sibuk dengan ponselnya. Lalu, dibelakang mereka bertiga, seorang cowok berwajah serius menenteng jas yang semestinya dikenakan selama berada di lingkungan sekolah. Dan yang terakhir, Lita bisa melihat seorang cowok bersiul pelan sambil memutar-mutar dasi yang tidak dipakainya, bahkan kaus seragamnya seluruhnya dikeluarkan dan jasnya disampirkan di bahu kirinya.

    Lita kembali menahan napas ketika kelima cowok itu melintas disampingnya. Dan Lita hampir pingsan saat cowok berwajah manis yang tadi sibuk mengutak-atik ponselnya meliriknya sepintas. Kedua lutut Lita terasa gemetar saat si cowok berkacamata ikut menoleh kearahnya diikuti oleh ketiga cowok yang lain. Lita benar-benar ingin pingsan saat itu juga. Tolong!
    “Ler, kasih tau dong mereka itu siapa? Namanya siapa?” Lita menarik-narik ujung blazer Lerina tidak sabar.

    “Harus berapa kali sih gue bilang jangan mendekin nama gue jadi ‘Ler’!” Lerina menarik paksa tangannya dari Lita dan terus berjalan menuju kafetaria alias kantin sekolah.

    “Oke, Lerina Skandiani, siapa lima cowok ganteng yang tadi lewat depan sekolah pas gue lagi dihukum pagi-pagi?” Lita menggandeng tangan Lerina yang langsung ditepis kasar.

    “Emang ada di sekolah ini yang lebih ganteng dari gue? Bahkan mereka bisa menarik perhatian elo yang……” Erick membuat gerakan naik turun dengan telunjuknya.

    Lita mendengus keki. Kalau teman-teman sekelasnya yang cewek malas banget bergaul sama Lita, lain dengan para cowok. Lita yang nggak pernah dandan dan tampil apa adanya, ceplas-ceplos, bahkan nggak peduli dijudesin terus sama Lerina tapi tetap menganggap kalau Lerina itu teman baiknya, membuat teman-teman sekelasnya yang cowok sering sekali menggoda Lita untuk mendapatkan perhatiannya. Sayangnya, Lita selalu menganggap godaan itu sebagai bercandaan, karena tujuannya masuk ke sekolah ini bukan untuk pacaran. Dia punya misi dan cita-cita maha penting.

    “Gue pikir elo lesbian.”

    Lita menarik rambut Erick yang nyeplos sembarangan tadi. Erick mengaduh pelan dan merapikan kembali rambut-rambutnya.

    “Lagian elo ngapain sih ngikutin gue?”

    “Aku kan mau selalu ada disamping Lita Tersayang.” Erick mengedipkan mata.

    “Mar, ayo buruan jalan cepetan. Tuh, Lerina udah nggak keliatan kan.” Lita menarik tangan Mary yang dari dalam kelas dia paksa ikut ke kafetaria untuk mengikuti dan mengorek informasi dari Lerina si Miss Information, dia baru kelas 10 tapi segala macam informasi tentang Garuda Bangsa dia sudah pasti tahu. Lita malah menyebut Lerina adalah ensiklopedia Garuda Bangsa.

    “Lerinaaaaa, kasih tau dong.” gerakan Lita yang grasak-grusuk dan tiba-tiba membuat Lerina kaget dan tersedak makanan yang tengah dikunyahnya.

    “Gue hampir nelen sendok gara-gara suara cempreng lo!”

    Lita nyengir dan memberi kesempatan Lerina untuk minum.

    “Lo tuh nanya tentang siapa sih?” Lerina mendorong piringnya yang masih terisi setengah, risih juga makan diliatin Lita yang nggak sabar nunggu dia selesai makan.

    “Kalo gue tau mereka siapa, gue nggak akan ngejar-ngejar lo sampe sini,” Lita cemberut, “Pokoknya, tadi gue liat mereka pas gue lagi dihukum berdiri di luar kelas.”

    “Elo kira gue bodyguard yang ngeliatin elo sepanjang waktu. Males amat.”

    “Mereka ganteng-ganteng, keren, tinggi….. pokoknya ganteng deh.” Lita sulit mendeskripsikan sosok lima cowok yang tadi hampir membuatnya pingsan.

    Lerina mengerutkan kening, “Ganteng? Itu ganteng, itu keren, itu tinggi, itu ganteng, keren dan tinggi.” Jarinya menunjuk kebelakang Lita yang membuat Lita secara brutal mengubah posisi duduknya dan membuat Erick terjungkal kalau dia tidak sigap menahan diri.

    Melihat sosok-sosok yang ditunjuk Lerina pundak Lita yang tadinya tegak langsung merosot drastis, “Apaan itu sih standar!”

    “Belagu banget lo. Sok cantik.” Nada sombong Lerina kembali lagi.

    “Mereka yang tadi gue liat itu ada lima orang, dan gue yakin mereka pasti kemana-mana selalu berlima, kayak di drama Korea gitu. Salah satunya pakai kacamata bingkai hitam, ada yang mukanya judes, manis, serius, jahil. Tapi, ekspresi mereka datar semua.” Lita nggak peduli sama sindiran Lerina barusan, dia menjelaskan orang-orang yang dia cari dengan ingatan yang dimilikinya.

    Lerina dan Erick bingung mendengar penjelasan Lita yang cepat banget. Lerina malah sudah melanjutkan kegiatan makannya lagi yang tertunda.

    “Mungkin maksud Lita itu…… mereka?” Mary yang daritadi diam, menunjuk kearah belakang Lerina. Seketika Lita menggeser pundak Lerina yang lagi asyik makan, karena pandangannya terhalang.

    Lita melongo. Melihat ekspresi Lita, Lerina dan Erick jadi penasaran. Tepat lima meter dari mereka, ada lima orang cowok yang baru saja memasuki kafetaria dan duduk tidak jauh dari tempat mereka.

    “Ngapain lo nanyain mereka?”

    Sikutan Erick membuat Lita mengatupkan mulutnya yang terbuka, “Gue mau deket sama mereka.”

    “Deket? Maksudnya, elo mau pedekate sama mereka berlima?”

    Lita berdecak memandang Erick, “Nggaklah. Gue cuma mau deket. Mau temenan sama mereka.”

    “Gila.” Lerina meletakkan sendok garpunya hingga berdenting cukup keras.

    “Elo tau mereka siapa? Kasih tau gue, plisss….” Lita kembali mengikuti Lerina yang mulai beranjak keluar dari kafetaria. Sebelumnya, Lita menoleh dulu kearah lima cowok yang membuat misinya masuk Garuda Bangsa kembali menggebu-gebu. Si wajah manis sedang memakai earphone, si wajah judes lagi ngobrol sama si cowok kacamata, si wajah serius sedang melahap makannya dengan serius juga, dan si wajah jahil sedang berusaha memakai dasinya yang melilit asal-asalan di lehernya.

    “Lerina! Tunggu dong, kasih tau dulu nama mereka, mereka siapa.” Lita mengejar dan menjajari langkahnya dengan Lerina.

    “Plis, Lerina. Kalau bukan sama elo gue harus nanya sama siapa lagi? Elo kan paling tau seluruh hal yang berhubungan sama Garuda Bangsa. Nggak ada satu orang pun yang pengetahuan mengenai Garuda Bangsa-nya sehebat elo.”

    Langkah Lerina terhenti. Lita berusaha menyembunyikan senyum puasnya. Kata-katanya tadi memang sengaja disimpan terakhir kalau Lerina masih juga ngotot tidak mau memberitahu informasi apapun, dan ternyata kata-kata itu benar-benar ampuh.

    “Yang mukanya galak namanya Kay, yang pakai kacamata namanya Advin, terus yang tadi pakai earphone namanya Fiksa, yang lagi makan itu Seran, dan yang lagi ribet sama dasinya itu Daffa.”

    Lita tersenyum lebar dan mengingat nama-nama yang disebut Lerina tadi. “Terus, mereka itu siapa?”

    “Mereka murid sekolah sini lah. Kelas 12.”

    “Kok waktu kita MOS mereka nggak ada?” Lita mencoba mengingat-ingat MOS dua minggu lalu.

    “Buat apa mereka capek-capek ngurusin MOS? Mereka nggak ada waktu buat kegiatan begitu. Lagian, pas kita lagi MOS mereka lagi liburan ke Eropa sama-sama.” Lerina menjelaskan dengan nada bangga, karena bisa tahu sebegitu detail.

    Lita hendak membuka mulut lagi untuk bertanya, namun Lerina memotong cepat, “Dan, elo jangan gila sok mau deket sama mereka. Apalagi temenan. Lo pikir lo Angelina Jolie?”

    “Oke, makasih banyak ya, Lerina yang cantik.” Lita mencium pipi Lerina singkat dan langsung ngibrit. Erick dan Mary yang daritadi jadi penonton cuma bisa melongo.
    “LITAAAAA!!!!!!!” Lerina murka mengejar Lita sambil mengelap pipinya kasar.
    Kotak cantik berwarna putih berpita emas dipeluk erat oleh Lita. Tabungannya habis untuk membeli red velvet dari salah satu hotel bertaraf internasional di Jakarta. Itupun dia harus membobolnya diam-diam, kalau mamanya sampai tahu bisa murka hingga langit ketujuh, karena Lita rela membuang uang untuk membeli kue yang diameternya tidak lebih dari 20 sentimeter yang sama dengan harga HP.

    “Lerina, mereka biasanya suka nongkrong dimana kalo lagi di sekolah?” Lita langsung menghadang Lerina yang baru masuk kelas.

    Lerina mengerutkan kening antara bingung dan sebal pagi-pagi sudah diganggu sama suara berisik Lita.

    “Maksudnya gue itu, Kay, Advin, Seran, Fiksa, dan Daffa biasa nongkrong dimana kalo lagi di sekolah?” Lita mengulangi pertanyaannya.

    Lerina menggeser badan Lita yang menghalangi jalannya, lalu duduk dibangku. Dilihatnya Lita masih menunggu jawabannya sambil memeluk kotak berwarna putih.

    “Jangan bilang kalo……” Lerina sengaja menggantung kalimatnya, menunjuk kotak putih yang dibawa Lita.

    “Iya! Gue mau kasih ini sama mereka.” Lita nyengir lebar.

    “Erick!!!” seru Lerina ke penjuru kelas.

    Yang dipanggil menghampiri terburu-buru, “Apa? Apa?”

    “Bini lo gila. Tolong bawa dia ke rumah sakit jiwa. Sekarang.” Lerina menuding Lita dengan telunjuknya.

    Erick berkacak pinggang layaknya seorang suami yang mau memarahi istrinya, “Kamu nakal ya, Sayang? Nggak boleh gitu ah.”

    Lita memutar bola matanya sebal. Erick makin lama makin nyebelin, sampai-sampai Lerina memanfaatkan kegilaan Erick untuk membalas Lita tiap kali Lita mulai menghampirinya.

    “Gue serius.” Lita berusaha nggak terpengaruh bercandaan Lerina dan Erick.

    “Gue juga serius. Elo jangan gila cari perhatian sama mereka. Nanti sakit hati. Bunuh diri deh.” ujar Lerina datar.

    “Ya udah deh, gue usaha sendiri.” Lita melangkah keluar kelas.

    “Emang mau apa sih dia?” Erick jadi bingung sendiri.

    Lerina mengangkat bahu, “Mau mati kayaknya.”
    “Kayaknya separo Jakarta dipake buat lokasi sekolahan ini deh.”

    Setengah dari waktu istirahatnya sudah dipakai Lita mengelilingi sekolah demi menemukan kelima cowok yang membuatnya penasaran setengah mati, tapi mereka belum keliatan juga. Lita sudah mengelilingi gedung kelas 12, tapi mereka tidak terlihat. Tadinya Lita mau nekat melongok kedalam kelas 12 hanya saja Lita masih cukup waras buat nggak menarik perhatian terlalu heboh sebagai anak kelas 10 tanpa tujuan nggak jelas masuk ke kelas-kelas 12.

    Lita menatap kotak putih yang daritadi dipeluknya. Sebenarnya dia sendiri juga tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba saja kemarin membobol tabungannya, pergi diam-diam untuk membeli kue mahal ini dan berniat memberikannya pada lima cowok yang dianggapnya adalah jelmaan geng cowok-cowok ganteng yang ada di drama Korea favoritnya versi Garuda Bangsa. Kalau di drama Korea ada empat cowok, di Garuda Bangsa diberi bonus satu cowok ganteng lagi.

    Jam tangan Lita menunjukkan kalau lima menit lagi waktu istirahat akan selesai dan sehabis istirahat ini dikelasnya ada pelajaran kimia, dia nggak boleh terlambat. Tanpa terlambat saja, Lita sulit mengikuti pelajaran yang satu itu, apalagi jika terlambat dan dihukum, lagi, berdiri di koridor kelas. Lita berjalan memutar ke kelasnya, rencana memberikan kue yang sudah dibelinya harus diurungkan. Lita akan memberikannya sepulang sekolah nanti. Dia akan menunggu di gerbang sekolah sampai sekolah benar-benar sepi kalau perlu.

    Tiga menit sebelum bel berbunyi, Lita mempercepat langkahnya, kalau dia harus lewat koridor utama sudah jelas dia bisa terlambat. Koridor utama sekolah yang dekat dengan kelasnya dari tempat Lita berada sekarang itu jauh banget, Lita terpaksa memutar lewat lapangan futsal outdoor.

    “Kay, oper!”

    Refleks mendengar nama itu diserukan, Lita menengok kearah lapangan futsal. Dari jarak sepuluh meter Lita bisa tahu sangat jelas yang berada di lapangan futsal itu adalah orang-orang yang membuat waktu istirahat Lita terbuang tanpa hasil, eh, ada hasilnya sih walaupun sisa dua menit dari waktu istirahat.

    Si wajah galak Kay, mengoper bola yang berada di kakinya ke Fiksa yang berwajah paling manis, di gawang ada si muka serius merentangkan kedua tangannya menjaga kalau-kalau bola yang sedang digiring Fiksa mendekat ke gawangnya. Sementara Daffa yang tidak pernah memakai seragam dengan rapi, sedang menarik ujung jas Fiksa agar Fiksa lepas kontrol dari bola di kakinya.

    “Jangan curang dong.” Fiksa menarik tangan Daffa dari ujung jasnya.

    “Bukan Daffa kalau nggak mau kalah.” seru si cowok berkamacata, Advin dari pinggir lapangan.

    “Siapa suruh main masih pake jas.” Daffa kembali menarik jas Fiksa dan berhasil merebut bola yang daritadi berada di kaki Fiksa.

    Fiksa menggerutu mencoba mengambil kembali bolanya, namun oleh Daffa sudah terlanjur diluncurkan kedalam gawang yang dijaga Seran. Kay berjalan ke pinggir lapangan dan mengambil botol air dibawah kaki Advin.

    “Kebanyakan bergaul sama obat merah sampe ngga bisa jaga gawang ya? Elo bahkan kebobolan tiga kali sama si ikan duyung ini.” Kay menunjuk Fiksa dengan botol airnya.

    Kening Seran berkerut tanda ia nggak setuju sama kata-kata Kay, lalu mengambil botol air dari tangan Kay. Baru saja Fiksa mau mengambil botol air yang sedang diteguk Seran, Daffa merebutnya duluan dan menghabisinya menyiram kepalanya dengan air. Daffa mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil, lalu menyikut Kay untuk mengikuti pandangan matanya.

    Lita tersentak. Dia baru sadar kalau daritadi sibuk memerhatikan mereka berlima tanpa berkedip. Sekarang lima cowok itu sudah menatap Lita dengan wajah datar. Lita tertunduk dan ia sadar kalau ini kesempatan bagusnya untuk menyerahkan kotak putih ditangannya. Lita memberanikan diri melangkah ke lapangan futsal, lima cowok itu masih terdiam sambil terus melihat Lita mendekati mereka.

    “Ini…. buat kalian.” Lita menyodorkan kotak putih yang berisi kue kearah Kay.

    Mereka berlima tetap terdiam, melirik sepintas kotak putih yang disodorkan Lita. Seperti ada komando tanpa suara, mereka berlima berjalan meninggalkan lapangan tanpa menoleh sedikitpun ke Lita yang masih bengong dicuekin.

    “Tunggu! Ini saya beliin khusus buat kakak semua.”

    Lita yang melesat tiba-tiba didepan mereka, membuat Daffa hampir menabraknya kalau saja badannya tidak di rem tempat waktu.

    “Saya mohon terima ini.” Lita kembali menyodorkan kotak berisi kue diantara Kay dan Seran.

    “Minggir.” Gerakan kasar Kay berjalan disamping Lita tidak membuat cewek itu mundur. Baginya hal biasa kalau satu geng cowok ganteng populer itu ada yang galak dan judes, tapi teman-temannya yang lain pasti baik. Apalagi Fiksa yang berwajah manis atau Advin yang berkacamata, bisa jadi Daffa yang dasi dan jasnya tidak pernah dipakai. Pasti mereka baik dan ramah, Lita meyakinkan hatinya.

    Baru saja Lita memamerkan senyumnya, keempat cowok yang lain berjalan mengekor Kay yang jalan terlebih dulu tadi. Lita sempat terdiam sesaat kemudian sadar dan kembali mengejar mereka berlima.

    “Kenapa sih kakak-kakak ini nggak mau terima pemberian saya?” tanya Lita yang mulai terlihat tidak sabar.

    Fiksa maju satu langkah. Terdengar helaan napas lega Lita. Pasti Fiksa si peran protagonis nih, kan Kay keliatan banget kalau dia itu antagonis, kasar. Lita berbicara sendiri pada hatinya, masih sangat yakin kalau cowok-cowok didepannya ini persis cowok-cowok di drama kesukaannya, BBF.

    “Nggak ada diantara kita yang nyuruh lo beli ini kan?” Fiksa bertanya dengan wajah dan nada datar.

    Lita menggeleng, “Nggak ada, Kak, tapi…..”

    “Bawa pulang lagi.” Daffa berlalu menyusul Fiksa yang jalan duluan bareng Kay.

    “Nggak bisa. Kakak harus bawa pulang ini. Plis….” Lita memohon didepan Seran dan Advin. Seran dan Advin tidak memedulikan permohonan Lita, mereka meninggalkan Lita.

    “Kak, apa susahnya sih tinggal terima aja?” Lita masih belum menyerah.

    Tanpa diduga Kay memutar badannya dan mengambil kotak putih itu dari tangan Lita dengan kasar. Lita baru saja mau mengembangkan senyumnya, namun senyum itu harus ditelan paksa ketika kotak putih berisi kue yang dibeli dari hasil membobol tabungannya dibuang secara sadis ke tempat sampah oleh Kay.
    “Gue bingung. Gue nggak ngerti. Kok ada sih satu geng tapi isinya antagonis semua? Di setiap drama yang gue tonton kalo ada geng cowok-cowok ganteng pasti ada cowok yang baik, ramah, buat bikin seimbang cowok yang galak.” Lita membuka pintu lokernya, menaruh pakaian olahraga yang baru selesai dipakai.

    Sepanjang pelajaran olahraga hingga tadi Lita terus menceritakan kejadian kemarin pada Mary yang mendengarkannya dalam diam, tanpa komentar. Mulai dari dia harus membobol tabungannya hingga kue yang harganya selangit itu dibuang Kay ke tempat sampah. Tadinya Lita mau mengambil lagi kuenya yang dibuang Kay, tapi dia ingat kalau tempat sampah di Garuda Bangsa beda dari tempat sampah lainnya. Tempat sampah di Garuda Bangsa dibedakan dari sampah organik dan non-organik, dan dasar tempat sampahnya menempel pada lantai. Setiap sampah yang dibuang kedalam tempat sampah itu langsung meluncur kebawah basement pembuangan, yang nantinya akan mempermudah pembuangan sampah seluruh sekolah di tiap akhir minggu. Itu yang membuat Lita tidak bisa mengambil kembali kuenya, kecuali dia mau nekat turun ke basement pembuangan dan ngubek-ngubek sampah satu sekolah.

    “Itu drama. Fiksi. Bukan kehidupan nyata.” Mary berbicara dari balik lokernya.

    “Tapi, Mar, film atau drama Korea yang lo bilang fiksi itu kan diadaptasi dari kehidupan nyata.”

    “Kehidupan nyata yang mana? Semua itu berasal dari imajinasi penulis. Kehidupan nyata nggak ada yang sempurna kayak drama-drama Korea yang suka kamu tonton.” sanggah Mary.

    “Elo tuh sekalinya diem, diem banget. Tapi, sekalinya ngomong panjang banget dan kadang bikin impian orang buyar.” Lita bersandar di lokernya memandang Mary yang masih sibuk merapikan loker.

    Mary mengangkat bahu dibarengi dengan gebrakan dari loker Lerina yang terburu-buru mengambil handuk dan lari kearah ruang bilas.

    “Kamu ikut ekskul apa?” tanya Mary tidak mengacuhkan Lerina yang mengagetkannya.

    Lita melipat kedua tangannya, “Belum tau nih. Males ikutan ekskul. Tugas kita aja seabrek. Lo ikut apaan?”

    “Ekskul baca.”

    Lita menggaruk kepalanya yang nggak gatal. Dia bingung sama jawaban Mary. Emang ada ya, ekskul baca? Emangnya disini TK, kita diajarin baca. Mungkin maksud dia klub baca kali, ya. Yang setiap minggunya selalu membahas buku-buku terbitan terbaru atau yang pengarangnya peraih nobel terkenal.

    “Kenapa?” Mary menyadarkan lamunan Lita.

    “Nggak apa-apa. Gue lagi kepikiran yang kemarin aja.”

    “Lupain. Kamu hidup di dunia nyata yang nggak segalanya indah. Lagian, kan masih banyak cowok-cowok ganteng di sekitar kamu yang lebih ramah.”

    Lita baru saja mau mengangguk-angguk bertepatan dengan Lerina yang lagi-lagi menggebrak lokernya sehabis menaruh handuk dan baju olahraga, kemudian berlari ke loker barang. Lerina membubuhkan bedak dan blush-on ke wajahnya, memakai eye-liner, menyemprotkan parfum keseluruh tubuhnya, lalu kembali menutup pintu lokernya dengan gebrakan yang lebih dahsyat setelah mengambil stik golf.

    “Kenapa sih tuh anak? Lagi latihan kebakaran? Buru-buru amat.” Lita bingung akan sikap Lerina yang biasanya serba anggun, tapi kali ini grasak-grusuk yang bukan dia banget.

    “Hari ini dia ekskul golf.”

    “Terus?” Lita masih belum bisa menangkap jawaban Mary. Kalau hari ini Lerina ekskul golf, apa korelasinya sama dia yang kayak orang dikejar-kejar rentenir jahat?

    “Ketua golf anak kelas 11. Gebetannya. Pedekate terselubung.”

    Lita terdiam mendengar jawaban Mary yang kedua. Seperti baru ada bohlam besar menyala diatas kepalanya. Lita nyengir lebar. Dia punya ide yang sangat brilian, menurutnya….
    “Lerina……”

    Jam istirahat Lita menghampiri bangku Lerina membawa satu kotak makanan, lengkap dengan senyum termanis yang dibuat semenarik mungkin.

    “Gue bawain elo brownis kukus. Buatan nyokap.”

    Lerina melihat sepintas potongan-potongan brownis kukus yang dibawa Lita, “Nggak tertarik. Nggak level.”

    “Cobain dulu, baru komentar. Ini enak banget loh. Pasti ketagihan.” Lita menyodorkan kedepan Lerina yang menatapnya curiga. “Nggak gue kasih racun. Cobain dong. Nyokap gue bikin ini pagi-pagi banget, katanya khusus buat temen sekelas gue yang paling cantik.”

    Lerina berdecak sebal, walaupun akhirnya dia mengambil potongan kecil dari brwonis itu. “Enak kan?”

    “Hmm….” jawaban andalan Lerina.

    “Nih, buat elo semua,” Lita menyerahkan kotak makanannya, “By the way, Kay, Fiksa, Advin, Seran sama Daffa ikutan ekskul apa sih?”

    “Tuh kan! Udah gue duga dari awal, pasti ada maunya. Nih, ambil lagi brownisnya.” Lerina mendorong kotak makanan Lita lagi.

    “Eh, nggak, nggak, itu seriusan buat elo. Tadi gue cuma sekilas nanya aja. Kalo di berita-berita kan ada yang namanya Sekilas Info, kalo gue Sekilas Nanya.” Lita nyengir, berusaha ngeles.

    “Mereka kan kelas 12, pasti udah pensiun ikutan ekskul.” Mary ikut nyambung dari kursi belakang.

    “Yah…. iya, mereka kelas 12. Gue lupa.” gurat kecewa terlihat jelas di wajah Lita.

    “Bentar,” suara Lerina mencegah Lita yang sudah mau pergi dari hadapannya, “Mereka masih ikut ekskul.”

    “Oh ya? Apa aja? Kok bisa?” Lita kembali antusias membuat Lerina agak menyesal memberi tahu informasi barusan.

    “Khusus untuk mereka, kepsek kasih ijin untuk ngurus ekskul sampai pertengahan semester ini. Mereka cuma boleh menjabat sampai akhir semester satu, karena semester dua mereka harus konsen ujian akhir. Menurut kepsek, mereka bisa menarik minat murid-murid baru ikutan ekskul.” jelas Lerina panjang lebar.

    “Wah, keren,” Lita terkagum-kagum, “Terus, mereka ikut ekskul apa aja?”

    Lerina menarik napas panjang, “Kay, ketua basket. Advin, pengiring musik utama paduan suara. Fiksa, ketua renang. Seran, ketua PMR. Daffa, ketua futsal.”

    Senyum Lita kembali lebar mendengar informasi yang sangat berguna dari Lerina. Lita sampai lupa untuk bertanya dapat informasi darimana Lerina mengenai mereka berlima.

    “Ahhhh, makasih banyak, Lerina.”

    “Eh, eh, berani cium pipi gue lagi, gue lempar bangku nih.” Lerina sudah mengambil ancang-ancang kalau Lita mencium pipinya setelah dia memberitahu informasi yang dia tanyakan.

    “Oke, peace.” Lita mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya sambil nyengir lebar.

    Setelah mendapat informasi yang barusan disampaikan Lerina, Lita merasa rencana yang akan dijalankannya bisa berjalan sempurna. Sepulang sekolah nanti, Lita sudah berencana untuk memulai misinya. Misi awalnya yang membuat dia bersikeras harus bisa masuk Garuda Bangsa.




    Mohon kritik dan sarannya bagi siapapun yang baca :maaf:
     
    Last edited: Jan 28, 2016
  5. ffda M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 26, 2013
    Messages:
    4,694
    Trophy Points:
    227
    Ratings:
    +12,472 / -0
    [​IMG]

    “Apaan nih, Kak?” Erin mengambil selembar kertas dari berlembar-lembar kertas yang berantakan diatas meja ruang tengah.

    “Form ekskul.” jawab Lita singkat yang sedang sibuk menulis.

    “Kok banyak banget?” Erin membaca kertas-kertas itu, “Form ekskul basket, ekskul renang, ekskul futsal, ekskul PMR….. ekskul paduan suara?! Maksudnya apa nih?” Erin melotot membaca form-form ekskul yang diisi Lita.

    “Maksudnya, aku mau ikutan ekskul jadi harus isi form-form itu dulu.” Lita menjawab santai, tanpa mengalihkan perhatian dari form yang sedang diisinya.

    “Maksud aku, kakak kenapa ikutan segini banyak ekskul?”

    “Nggak usah segitu keponya deh.”

    “Kak, ekskul sebanyak ini bisa menyita waktu banget tau. Tugas-tugas Kak Lita pasti banyak di kelas. Cukup ambil satu atau dua aja kan bisa. Lagian, kakak ngapain ikutan futsal? Itukan mainan laki-laki. Terus, paduan suara, ya ampun, suara kakak kan…..”

    “Jangan cerewet ah.”

    “Aku sih ingetin aja, Garuda Bangsa punya sistem drop out buat murid yang nilainya nggak sesuai standar mereka. Jangan kecewain mama sama papa, apalagi Tante Nilam yang biayain sekolah kakak.”

    “Aku nggak akan kecewain mereka.” Lita menatap adiknya sebentar lalu melanjutkan menulis lagi.
    Mary memerhatikan Lita yang sehabis bunyi bel beberapa menit lalu terlihat sangat ribet. Mulai dari merapikan buku-buku dan alat tulis, mengeluarkan kertas-kertas, mengecek kertas tersebut satu-persatu, dan berdecak berkali-kali.

    “Hari ini gue ekskul basket sama renang. Takut ketinggalan formnya.” Lita berbicara sendiri, namun itu menjawab apa yang ada dipikiran Mary.

    “Sayang, kamu mau kemana? Ikut dong.” Erick duduk diatas meja Lita yang berantakan.

    “Maaf Kakanda, Adinda sibuk. Bye! Duluan, Mar!” Lita menepuk-nepuk pipi Erick yang selembut porselen bagai dibasuh air suci setiap hari.

    Lita langsung berlari keluar kelas, tidak lupa membawa kertas-kertas yang ada diatas mejanya. Dalam waktu dua menit Lita sudah berada didepan pintu lapangan basket indoor. Sebelum masuk, Lita mengatur napasnya dulu lalu melangkahkan kakinya kedalam lapangan dan tanpa sengaja menubruk seseorang didepannya, “Eh, sori, sori. Gue mau kedepan sana.” Lita tersenyum pada seorang cewek yang ditabraknya barusan.

    “Enak aja mau langsung kedepan. Antri.” kata cewek itu menghalangi jalan Lita.

    Hah? Antri?

    Lita menjinjitkan kakinya dan dia mundur selangkah. Meja registrasi ekskul bagi murid baru yang jaraknya lima meter lebih dari tepat dia berdiri bersama puluhan murid cewek lainnya, membuat Lita tidak habis pikir. Ini antrian serah-terima form ekskul basket apa bagi-bagi beras gratis?

    “Perhatian semuanya! Berhubung pendaftar tahun ini melebihi kuota tim dan kita nggak mungkin melatih kalian semua, kami dari tim inti basket akan mengadakan seleksi singkat. Seleksi akan dipilih langsung oleh ketua basket.” seorang cewek yang memakai baju basket Garuda Bangsa berwarna abu-abu dan biru memberikan pengumuman yang disambung teriakan histeris para pendaftar yang kebanyakan cewek-cewek.

    Ini konser apa beneran pada mau daftar ekskul sih? Lita celingukan ke samping kanan-kirinya. Semua cewek-cewek tipe Lerina yang suka dandan dan kecil kemungkinan mereka mau main basket panas-panas kalau ada latihan outdoor.

    Pekikan histeris makin membahana lapangan basket yang ber-AC ini, Lita sampai harus menutup kedua telinganya. Dia berani menjamin konser Super Junior beberapa bulan lalu di Jakarta pasti sama hebohnya seperti sekarang. Ternyata teriakan yang makin keras itu berumber dari munculnya seorang cowok tinggi, ganteng dan mukanya ditekuk banget. Kay.

    “Buat dua barisan. Kalo saya suruh maju, kalian drible bola dan masukin ke ring. Tiap saya tunjuk kalian dan bilang ‘out’ tandanya kalian gugur, ‘next’ untuk yang lolos.” Kay menjelaskan dengan suara beratnya, mukanya persis monster belum makan daging manusia seminggu.

    Dua barisan sudah siap dan seorang cowok disamping Kay meniup peluit. Tanda seleksi dimulai.

    Out.” ujar Kay berekspresi datar.

    Out.” masih Kay dengan ekspresi wajah datarnya.

    Out.” kening Kay berlipat dua.

    Out.” kening Kay berlipat tiga.

    Out.” kening Kay berlipat banyak.

    Next.” Lipatan kening Kay sedikit berkurang.

    Out.” muka Kay tertekuk seribu.

    “Argghh, out!” Kay makin bete melihat cewek yang bukannya menangkap bola, malah lari ketakutan, takut kena bola.

    Giliran Lita masih dua orang lagi didepannya. Sejauh ini belum ada setengah dari pendaftar yang diterima Kay. Memang sih, kebanyakan dari mereka kayaknya iseng doang daftar ekskul basket. Cewek-cewek iseng yang cuma mau lihat Kay beraksi dengan baju basket kebangsaan Garuda Bangsa dan berharap bisa mendapatkan seulas senyum Kay. Boro-boro seulas, setitik aja Kay nggak ngeluarin senyumnya.

    Tiupan peluit nyaring membuat Lita terlonjak, didepannya sudah tidak ada orang, ternyata sudah gilirannya dan tadi dia melamun. Hal itu membuat Kay makin bete kayaknya, ada yang melamun ditengah seleksi basket yang dijuri langsung oleh ketua basket.

    Bola basket dilemparkan kearah Lita dan ditangkapnya, Lita men-drible pelan bola basket itu menuju ring basket yang persis disamping ring basket ada Kay sedang memerhatikannya, lengkap sama muka galaknya. Lita jadi ingat peristiwa Kay membuang kue seharga HP itu ketempat sampah. Emang sih, Kay ganteng dan jelmaan cowok-cowok keren yang suka ada di drama Korea kesukaannya, tapi Lita tetap kesal kuenya dibuang begitu saja. Lita jadi membayangkan kalau ring diatas itu adalah wajah Kay. Lita melempar bola penuh emosi kearah ring dan bola itu memantul kencang hingga balik kearah Lita lagi, Lita yang masih dilanda emosi menangkap dengan sigap dan kembali mencoba memasukkannya kedalam ring dan ternyata masuk!

    Napas Lita terengah-engah, ditatapnya Kay yang masih diam menatapnya juga.

    Next.” tangan Kay digerakkan kearah barisan pendaftar yang lolos seleksi singkat. Lita diam sejenak masih belum percaya dia diterima.

    “Apa saya harus bilang ‘out’ biar kamu pergi dari depan saya?” ucapan Kay yang ketus menyadarkan Lita.

    “Maaf, Kak.” Lita langsung minggir dan ikut bergabung dengan mereka yang lolos seleksi.

    Seleksi singkat selesai dalam waktu setengah jam. Dari 200 pendaftar terpilih 20 orang yang lolos seleksi sebagai anggota ekskul basket. Latihan di hari pertama diisi dengan mengelilingi lapangan 20 kali, push-up dan sit-up yang masing-masing 25 kali, dilanjutkan latihan singkat menangkap operan bola. Menangkap operan bola yang Lita pikir mudah justru membuatnya jadi sasaran empuk nyinyir Kay. Ketika Lita tanpa sengaja bilang “Aww.” karena kaget dioper bola yang dilempar kencang kearahnya, Kay langsung membalas, “Manja.”. Tapi, Lita tidak peduli sama sikap Kay, dia punya tujuan masuk ke ekskul basket ini, sama seperti tujuannya ikut ekskul renang yang mempunyai jadwal di hari yang sama dengan ekskul basket.

    Dari lapangan basket, Lita harus berlari menuju kolam renang indoor yang jaraknya dari ujung ke ujung sama lapangan basket. Kalau ekskul basket dimulai jam satu siang hingga jam empat sore, ekskul renang dimulai tepat jam empat sore. Lita terlambat, karena ketika dia masuk ke area kolam renang beberapa orang terlihat sudah selesai peregangan. Untungnya ekskul renang nggak seheboh ekskul basket yang harus ada seleksi segala.

    “Maaf, Kak, saya terlambat.” ujar Lita yang napasnya nggak beraturan.

    Fiksa melihat jam tangan waterproof-nya, “Dua menit. Keliling sekitar kolam renang dua kali dan kamu peregangan sendiri.” nada suaranya tidak jauh beda dengan Kay, padahal wajah Fiksa manis sekali kalau dia mau tersenyum.

    “Saya lari aja ya, Kak? Saya udah peregangan kok. Tadi sebelum kesini, saya baru selesai ekskul basket.” Lita memegang dadanya yang sesak.

    Fiksa menatapnya tajam dan mengedikkan bahu singkat, “Terserah.”

    Lita langsung berlari mengeliling tepi kolam renang yang berukuran sangat luas. Sambil berlari Lita melihat di ujung kolam renang Fiksa sedang berbicara dengan para anggota ekskul yang baru. Sepertinya menjelaskan peraturan atau teknik renang dasar.

    Selesai berlari, Lita langsung menghampiri lainnya yang sedang berjajar di tangga papan loncat yang jaraknya dari kolam renang hanya satu meter. Jantung Lita berdetak kencang. Dia memang bisa renang gaya biasa, tapi kalau harus loncat dari papan loncat? Lita mulai berpikir mengundurkan diri. Dia takut ketinggian.

    Lagi-lagi Lita dikagetkan oleh pekikan peluit yang baru saja ditiupkan Fiksa. “Cepet loncat.”

    Lamunannya membuat Lita nggak sadar kalau sekarang sudah gilirannya untuk loncat. “Kak, saya…..”

    “Kenapa takut? Kamu bisa keluar dari sini kalo takut. Saya males punya anggota penakut dan manja.”

    Mendengar kata ‘manja’ membuat Lita ingat sindiran Kay di lapangan basket, tadi disana juga dia dikatain manja sama Kay, Lita harus membuktikan juga sama Fiksa kalau dia nggak manja dan penakut.

    “Saya nggak manja.” tanpa ba-bi-bu Lita langsung meloncat kedalam kolam renang.

    Bunyi kolam renang memercik nyaring bersamaan dengan jatuhnya tubuh Lita. Fiksa tanpa sadar menyipitkan matanya dan mengelus-elus pipinya sendiri melihat kejadian yang baru saja terjadi didepannya.
    “Hahahahahahahahahaha…….”

    “Heh! Mana ada cewek anggun ketawa nyablak gitu? Si ketua golf kabur baru rasa lo.” Lita bersungut kesal mendengar ketawa Lerina yang lebar banget dan nyaring.

    Lerina menutup mulutnya, namun Lita tahu si cewek yang kadang judes banget sama dirinya itu lagi setengah ampun menahan tawanya yang mau menyembur lagi.

    “Nih, tisu basah. Siapa tau itu merah-merahnya ilang dielap ini.” Erick menyodorkan tisu basah yang berasal dari saku jasnya. Agak takjub ada cowok bawa tisu basah sih, tapi kalau Erick udah nggak heran.

    Lita mengambil juga tisu basah yang diberikan Erick walaupun ia tahu tisu itu tidak akan bisa menghilangkan bekas merah di pipinya dalam sekejap.

    “Jadi, kemarin kamu asal nyebur dan itu pipi ketampar air karena kamu nggak tau gimana loncat yang bener dari papan loncat?”

    “Nggak usah diperjelas lagi, Mar!” Lita mendorong bahu Mary gemas.

    “Hahahahahaha…. malu-maluin abis.” tawa Lerina kembali menyembur dari mulutnya.

    “Diem sih.” Lita menelungkupkan kepalanya diatas meja. Dia masih merasa malu banget kalau ingat kejadian tadi sore. Gara-gara terlalu emosi dibilang manja sama Fiksa, dia loncat begitu aja kedalam kolam. Lita lupa kalau sebelumnya dia nggak memerhatikan anggota ekskul renang sebelumnya bagaimana mereka melompat, bagaimana ancang-ancang atau gaya mereka. Akibatnya, wajahnya duluan yang menghantam air dan itu sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi karena seluruh anggota ekskul yang ada di kolam renang menertawakannya, sedangkan Fiksa hanya diam memandangnya dengan mata yang disipitkan.

    “Terus, terus gimana kelanjutannya?”

    “Kalo gue ngalamin kejadian malu-maluin aja lo demen banget nanya. Giliran gue nanya-nanya sama lo, lo males-malesan jawabnya.” Lita mendelik pada Lerina yang masih tertawa di sela ucapannya, “Nggak ada terus-terus. Gue diketawain sama anggota lain disana sampe jam ekskul kelar. Puas lo?”

    Tidak ada jawaban. Hanya ada Lerina yang ngakak puas, sepertinya Lerina lupa mempertahankan imej anggun bak seorang putri raja khasnya, Erick yang menatap sok iba dan Mary yang senyum sedikit. Menatap ketiga orang didepannya, sebenarnya Lita bersyukur ada tempat dia mencurahkan segala kejadian yang dialaminya, termasuk kejadian memalukan kemarin. Lerina yang pada awal sekolah sangat anti pada Lita, lama-lama mulai menjawab dan membalas setiap perkataan Lita yang kadang tidak penting, walaupun masih tetap mempertahankan gaya sombongnya. Tapi, Lerina terkadang lupa sama gaya princess, seperti sekarang ini dia masih tertawa puas atas kejadian yang menimpa Lita.

    Sementara Erick memang dari awal sekelas sama Lita dia cowok paling suka dekat dan mendekati Lita. Lita hanya santai dan menganggap godaan Erick adalah bercandaan yang bisa menghiburnya, meskipun kadang suka bikin bete. Erick tetap teman cowok satu-satu yang dekat sama Lita dengan gaya metroseksualnya yang lebih rapi, bersih, fashionable, dari Lita yang seorang perempuan. Dan Mary, masih dengan sikap dan sifatnya yang emang ‘Mary banget’. Kadang bisa ngomong sepotong aja, ngangguk aja, tapi kadang juga bisa ngoceh panjang lebar melebihi guru Bahasa Indonesia yang lagi mendongeng.

    “Hari ini ekskul apa?” tanya Erick tengah sibuk merapikan rambut jigraknya yang emang udah rapih.

    “Siang PMR. Sorenya paduan suara.” Lita menjawab sambil melihat catatan kecilnya.

    “Kalo ada kejadian lucu lagi, jangan lupa cerita-cerita. Oke?” Lerina kembali tertawa.

    “Mending kamu siap-siap sekarang. PMR mulai jam satu kan?” Mary mengingatkan.

    Lita mengangguk kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas, tidak lupa melempar tisu basah bekasnya ke arah Lerina yang belum capek tertawa.

    Ekskul PMR diadakan di Aula Dua, luasnya sama seperti lapangan basket atau futsal indoor. Ketika memasuki aula sudah ada beberapa orang disana sedang sibuk masing-masing, ada yang mengobrol, ada juga yang sedang merapikan peralatan latihan. Lita baru saja mau duduk di pinggir panggung yang ada dalam aula itu ketika ia diberi perintah kalau semua anggota harus berkumpul ditengah aula dan duduk mengampar dibawah.

    “Jadi, hari pertama ini kita akan pengenalan awal dulu. Saya Tari, wakil ketua PMR, kelas 11. Sistem latihan kita tiap minggu itu perkelompok biar lebih gampang nantinya. Saya minta kalian bentuk kelompok terdiri dari enam orang. Laki-laki sama perempuan dipisah, ya. Terus, kalo udah kumpulin data kelompok kalian ke saya.”

    Semua anggota PMR yang baru langsung sibuk sana-sini mencari teman satu kelompok, sedangkan Lita celingukan mencari seseorang yang membuatnya daftar ekskul ini. Sang ketua ekskul malah nggak kelihatan sama sekali. Lita mulai curiga kalau informasi yang diberikan Lerina itu salah, karena nggak mungkin kan ketua terlambat atau bahkan nggak hadir dipertemuan pertama ekskulnya. Lita terpaksa harus berhenti mencari sosok ketua PMR, karena dia harus ikut dalam salah satu kelompok agar bisa ikut latihan.

    Sejam berlalu Lita sudah tenggelam dalam latihan Pertolongan Pertama. Dia kebagian jadi leader, seseorang yang memberi komando menangani korban di tiap kejadian. Seorang teman kelompoknya sudah terbaring menunggu diberi pertolongan pertama oleh Lita, sementara anggota kelompoknya yang lain siap siaga dibelakang Lita menunggu komando untuk membantu atau memberi peralatan yang Lita butuhkan. Rasanya Lita ingin sekali menggetok kepalanya, karena tadi ketika kelas 11 menjelaskan dan memberi contoh pertolongan pertama dia malah sibuk mencari-cari seseorang yang jelas-jelas tidak ada dalam aula itu. Alhasil, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Teman sekelompoknya yang menjadi korban mulai nampak kesal, karena Lita tidak juga memulai latihan, malah diam kebingungan.

    “Saya rasa dia udah mati, karena penolongnya hobi ngelamun.” seseorang disebelah Lita membungkukkan badannya, menatap si pasien yang tadi pura-pura pingsan jadi mau pingsan beneran karena ditengok ‘malaikat maut’ berwajah ganteng.

    Lita terlonjak kaget dan menoleh. Ada Seran disebelahnya memandangi Lita dengan wajah seriusnya.

    “Kamu bisa beli kain kafan sekarang juga. Pasien kamu udah dicabut nyawanya saking kelamaan ditolong.” Seran berlalu dari hadapan Lita yang masih bengong.

    Stupid mistakes part 2, setelah kejadian di kolam renang kemarin. Tapi, kalau kejadian ngelamun pas seleksi basket yang dijuriin langsung sama Kay juga termasuk kategori ‘stupid mistake’ berarti yang siang ini adalah kebodohannya part 3. Semoga di ekskul paduan suara nanti nggak ada acara ‘bodoh-bodohan’ lagi deh. Lita menggetok kepalanya sendiri.
    Ekskul PMR selesai lebih cepat dari jadwal yang ada, dan Lita berniat memanfaatkannya untuk makan siang yang belum sempat dia lakukan, karena tadi dia langsung ke Aula Dua. Lita terlebih dulu masuk ke ruang musik berniat menaruh tasnya, baru dia akan makan di kafetaria.

    Mungkin karena ekskul baru akan dimulai sekitar dua puluh menit lagi, ruang musik baru diisi tiga orang. Lita menaruh tasnya di tempat duduk urutan pertama, dia harus duduk paling depan agar apapun yang diajarkan dan diinstruksikan bisa dicerna baik olehnya. Tujuan utamanya sih bukan itu, dia duduk di pojok depan samping piano besar berwarna putih agar dia bisa melihat jelas pemain piano yang nantinya akan mengiringi tim paduan suara.

    Lita melangkah cepat ke arah pintu keluar, waktu untuk makannya tinggal tersisa lima belas menit sebelum ekskul keduanya hari ini dimulai.

    “Eh, aduh….” Lita mengusap-usap kepalanya yang membentur sesuatu yang membal, tapi lumayan bikin sakit keningnya.

    “Eits, sor….. kalo jalan pake mata dong!”

    Padahal Lita yakin banget tadi cowok didepannya ini mau bilang ‘sori’, tapi begitu lihat mata Lita berbinar memandangnya cowok yang dasinya dipakai asal-asalan, bahkan jasnya nggak kelihatan hari ini. Dua kali melihatnya jasnya selalu setiap terlampir di bahunya.

    “Maaf, Kak. Buru-buru.” Lita terpaksa meminta maaf sama Daffa yang mukanya berubah judes. Mirip Kay. Mirip Fiksa juga. Oke, mirip Seran juga tadi.

    Daffa masa bodo sama permintaan maaf dan ngeloyor masuk kedalam ruang musik sambil menenteng bola, tapi tidak lama dia keluar lagi dengan muka bingung. Lita yang melihat muka bingung Daffa, rasanya mau banget keluarin ponselnya dan mengabadikan ekspresi itu.

    “Advin mana sih?” Daffa berbicara sendiri, nengok kanan-kiri.

    “Kak Advin belum dateng, Kak.” Lita mencoba menjawab kebingungan Daffa, walaupun itu sebenernya itu bukan jawaban sih. Lebih bisa dibilang sedikit cari perhatian aja.
    “Nggak nanya.” Daffa kembali ngeloyor pergi dari hadapan Lita.

    Lita baru mau membuka mulut membalas kata-kata Daffa, tapi dari ujung koridor dilihatnya cowok berkacamata berjalan tergesa-gesa yang sesekali membetulkan letak kacamatanya, yang entah kenapa terlihat sangat keren.

    “Yah, nggak sempet makan deh gue.” ujar Lita mengelus perutnya begitu melihat Advin masuk ke ruang musik. Dia nggak boleh telat. Minimal dia harus punya imej anggota paduan suara baru yang sangat tepat waktu. Lita pun menyeret langkahnya masuk kedalam ruang musik.

    Beda dari tiga ekskul sebelumnya yang diawali basa-basi dari pengurus, ekskul paduan suara dimulai tanpa basa-basi. Bahkan Advin nggak mengenalkan siapa dia, mungkin dia merasa kepopulerannya sudah mewakili perkenalan yang hanya membuang waktu. Ekskul paduan suara memiliki anggota terbanyak kedua, setelah ekskul basket. Yaa, walaupun nggak seheboh ekskul basket sih.

    “Saya mau dengar suara dan kemampuan kalian pada tangga nada dasar. Oke, kita mulai.” kata Advin tanpa mengalihkan pandangannya dari tuts piano.

    “Do…. re…. mi…. fa…. sol….”

    “Stop.” Advin memberi tanda berhenti dengan tangannya. 25 orang yang ada dalam ruangan itu diam sekejap.

    “Kamu,” Advin menunjuk Lita yang duduk dekat dengan piano, “Samain suara kamu sama yang lain. Jangan beda sendiri.”

    “I-iya, Kak.” Lita tengsin abis, rasanya kalau aja Advin itu bentuknya kayak buto ijo pengen banget Lita sambit gitar disampingnya. Untung, Advin cakep meskipun yaaa, setipe ekspresinya sama Kay, Fiksa, Seran, dan Daffa.

    “Doo…….”

    Semua dalam ruangan menoleh ke Lita yang bersuara sendiri. Suara yang jauh dari kata merdu.

    “Saya kan belum suruh mulai.” suara Advin yang tadinya datar berubah mulai bete.

    “Maaf, Kak.” Lita menunduk. Malu.

    Advin menarik napas, “Oke…..”

    Krucuk…. Krucuk…..

    Advin menghempaskan jari-jarinya dengan kasar ke tuts-tuts piano. Konsentrasinya kacau, oleh suara dari ‘paduan suara’ cacing-cacing di perut Lita yang berdemo kelaparan.

    “Ma-maaf, Kak.” Lita makin menundukkan kepalanya. Malu, tengsin, dan segala macam jenis rasa malu yang ada di dunia ini pokoknya dirasakan Lita saat itu.

    Stupid mistakes part 4.
    Hahahahahahaha….. hahahhahahaha…..

    Lita melangkah lebar-lebar, keki banget barusan diketawain lagi sama Lerina yang ternyata memang Princess Abal-abal. Mana mungkin ada putri raja ketawa kayak kuda nil?

    Beberapa menit lalu Lita baru menceritakan kejadian ketika dia ekskul paduan suara yang berakhir mengenaskan. Dia diusir Advin untuk mengisi perutnya ke kafetaria. Lita dikasih waktu lima menit untuk makan. Selesai cerita, Lerina ketawa ngakak, Erick menepuk pundak Lita agar dia tabah, dan Mary cuek membaca buku rekomendasi dari klub baca yang diikutinya.

    Tawa ngakak Lerina sepertinya menempel jelas di telinga Lita, saking kesalnya Lita sampai menggaruk telinganya yang nggak bersalah.

    “Argghh, nenek lampir suaranya masih ada di kuping gue.”

    “Aduh!”

    “Aww….” Lita terpental sampai jatuh ke lantai.

    “Elo tuh kalo jalan nggak pernah pake mata ya?!” seru orang yang ditabraknya barusan.

    “Jalan kan pake kaki, bukan mata.” gerutu Lita sambil mengusap-usap pantatnya yang sakit membentur lantai.

    “Apa lo bilang?” kali ini muka Daffa sudah ada tepat didepannya.

    “Eh, Kak Daffa….”

    “Iya, ini gue Daffa. Tadi lo bilang apa?” Daffa makin nyolot.

    “Nggak apa-apa, Kak.” Lita nyengir lebar.

    Daffa menggeram kesal, lalu meninggalkan Lita begitu saja. Padahal Lita berharap Daffa mau membantunya bangun, tapiiii Daffa kan setipe sama temen satu gengnya yang datar bin judes, bin dingin, bin ngeselin, segala jenis bin yang ngeselin deh.

    “Heh, elo ngapain ngikutin gue?” seru Daffa sama Lita yang tahu-tahu sudah berada dibelakangnya.

    “Saya nggak ngikutin kakak. Saya mau kesana.” Lita menunjuk ke pintu lapangan futsal indoor.

    “Ngapain kesana?” tanya Daffa galak.

    Lita pengen banget narik dasinya yang melilit asal di leher Daffa tapi ditahannya keinginan itu, “Mau ekskul, Kak. Kakak nggak liat nih saya udah pake baju olahraga. Saya mau ekskul futsal.”

    “Hah? Ekskul futsal?”

    “Iya, ekskul futsal. Kemarin saya udah kasih form-nya sama sekretaris kok.”

    “Toni! Toni!!! Woy, cepetan lo kemarin!!!” Daffa berteriak sambil berjalan masuk kedalam lapangan.

    “Ada apa, Kak?” cowok yang sepertinya bernama Toni menghampiri Daffa.

    “Kenapa lo terima form ekskul dia?” Daffa menuding Lita yang berdiri mematung dibelakangnya, “Elo kan tau kita cuma terima murid cowok.”

    Eh? Futsalnya cuma khusus cowok? Lita bingung.

    “Ohh itu, gue nggak nerima dia buat jadi anggota futsal. Tapi kan kita lagi butuh manajer futsal, Kak. Jadi, gue terima aja form dia. Lo nggak keberatan kan, Kak?” jelas Toni yang sepertinya murid kelas 11.

    “Keberatan!” suara Daffa yang keras membuat Toni mundur selangkah.

    “Sebentar, saya juga keberatan. Saya daftar bukan buat jadi manajer, saya mau jadi anggota futsal. Saya main langsung di lapangan. Main futsal.” Lita sudah berada diantara Daffa dan Toni.

    “Disini bukan tempatnya cari perhatian.” kata Daffa sambil menyampirkan jas ke bahunya kasar.

    Kalau gerakan menyampirkan jas tadi membuat mata Toni hampir kesabet ujung jas Daffa, buat Lita adegan tadi itu keren banget. Mungkin ada yang konslet di otak Lita.

    “Saya nggak mau cari perhatian. Saya mau ekskul futsal.” Lita menegaskan sementara jantungnya berdegup kencang gara-gara adegan tadi.

    “Oke.” Daffa menarik tangan Lita yang membuat jantung Lita berdegup nggak karuan.

    Lita terus menatap tangannya yang berada dalam genggaman penuh Daffa yang kuat. Menyadari Lita hanya diam saja, Daffa menoleh sekilas dan langsung menghentakkan tangannya dari tangan Lita.

    “Sini lo.” Daffa sudah berada di tepi lapangan.

    Lita menghampiri Daffa yang sudah melempar jasnya ke lantai pinggir lapangan.

    “Sana, ke gawang. Jaga gawang.” suruh Daffa dingin.

    “Saya, Kak?” Lita menunjuk dirinya sendiri.

    “Iya, elo. Masa tuyul. Cepet sana.”

    Lita berjalan ragu memasuki lapangan dan berdiri di tengah gawang, menunggu perintah selanjutnya.

    “Ton, tendang bola ke gawang.” Daffa memberi komando pada Toni.

    “Serius, Kak?” Toni tampak ragu.

    “Seserius niat dia mau ikutan ekskul futsal.” Daffa menatap Lita sinis.

    Mati gue. Beneran mati. Gue mau di eksekusi mati. Nggak pake hukum tembak atau penggal kepala, atau hukum gantung. Tapi, jadi sasaran bola futsal yang diarahkan langsung ke jantung mungkin. Eh, itu bisa bikin mati nggak sih?

    Sett…..

    Suara desingan terdengar jelas di telinga sebelah kiri Lita. Ternyata selama Lita berbicara sendiri dalam pikirannya, Toni sudah menendang bola ke arah gawang.

    “Tendangan apaan tuh?” Daffa geram dan menggeser Toni dari posisinya.

    “Kak, cewek itu. Jangan serius-serius banget.” Toni coba mengingatkan.

    “Berisik.”

    Bisa dilihat ada kobaran api di mata Daffa, Lita makin menciut. Daffa didepannya kelihatan serius banget. Daffa sudah mengambil posisi menendang, sementara Lita merentangkan tangannya ragu-ragu. Semua yang ada di dekat lapangan menahan napas ngeri.

    “Daf, Daffa!” teriak seseorang dari tepi lapangan, membuat Daffa yang sudah siap menendang bola jadi hampir terpeleset.

    “Arghh, apa sih?” Daffa menghampiri seseorang yang memanggilnya, yang ternyata Kay.

    Lita menghembuskan napas lega. Kalau saja ekspresi wajah Kay nggak kayak T-rex yang diambil telurnya alias gahar banget, pasti Lita sudah jumpalitan berterimakasih karena menyelamatkannya dari tendangan petir Daffa.

    “Minggir sana lo.” Daffa sudah kembali setelah tadi terlihat berbicara dengan Kay.

    “Saya diterima, Kak?”

    “Terima apa sih?” Daffa mulai kesal lagi.

    “Diterima jadi anggota futsal.”

    “Duh, elo tuh….. ck, Ton! Urus nih, ajarin dia jadi manajer yang bener.”

    “Kak Daffa, saya nggak mau jadi….”

    Toni menarik Lita, “Udah, kalo emang lo mau jadi anggota futsal nurut aja apa kata Kak Daffa. Posisi manajer juga termasuk anggota futsal kok.”

    Lita akhirnya pasrah dibawa Toni ke pinggir lapangan.
    “Yang disana jangan lari kalo ada yang mau oper bola!”

    “Heh, itu kenapa malah bengong? Masukin ke ring bolanya!”

    Ekskul basket minggu itu didominasi oleh teriakan Kay yang dingin, tapi nyaring. Entah berasal darimana suara lantang itu, padahal badannya kurus.

    “Lo yang rambutnya digerai, keluar lapangan!” kali ini Lita yang kebagian jatah diteriakin Kay.

    “Kenapa, Kak?” Lita ngos-ngosan habis oper sana oper sini, lari sana-sini.

    “Rambut lo. Mau gue botakin apa lo iket?” Kay berkacak pinggang, gerah melihat Lita lari-larian di lapangan outdoor dengan rambut yang digerai.

    Lita menghela napas dan celingukan kebawah, matanya mencari-cari sesuatu. Lalu, dia memungut sesuatu dari aspal pinggir lapangan basket dan mengikat rambutnya asal-asalan.

    “Udah kan, Kak? Saya latihan lagi.” Lita sudah berlari lagi memasuki lapangan.

    Kay jadi bingung sendiri ada cewek macam Lita. Disuruh iket rambutnya yang pendek itu biar nggak ribet selama latihan, dia malah nyari karet gelang dari jalanan yang abis diinjek-injek entah oleh berapa orang yang lewat. Mana menguncir rambutnya asal-asalan, anak rambutnya masih berkeliaran di sekitar wajahnya yang basah oleh keringat.

    “Sha, oper sini sini.” Lita melambai-lambaikan tangannya meminta operan bola dari Marsha, teman satu timnya.

    Marsha tengok kanan-kiri sebelum mengoper bola ke Lita.

    “Bentar, Sha, bentar. Jangan oper dulu.” angin yang tiba-tiba berhembus kencang membuat anak rambut Lita yang tidak ikut terkuncir masuk ke matanya.

    Sayangnya, Lita apes. Marsha keburu melempar bola ke arah Lita dan sukses mengenai kepala Lita membuat dirinya mundur dengan mata terpejam dan menabrak tiang.

    “Aduduh… sejak kapan sih tiang ring pindah kesini?” Lita mengucek-ucek matanya agar mau terbuka karena perih tertusuk rambutnya sendiri.

    “Sejak sekarang.”

    Eh? Kok tiang bisa ngomong?

    Lita membuka mata, “Kak Kay, maaf. Saya kira tiang.”

    “Andin, masuk! Lo, keluar.”

    Cewek bernama Andin masuk ke lapangan.

    “Loh, kok saya diganti, Kak? Kan belum selesai.” Lita mengikuti Kay yang berjalan ke pinggir lapangan, tapi yang ditanya hanya diam.

    “Kak, kenapa saya diganti?”

    Kay masih diam, memerhatikan anggota tim basket cewek yang lagi latihan.

    “Kak, kenapa saya diganti? Gara-gara saya ngira kakak tiang? Maaf, Kak, saya beneran nggak tau. Bukannya sengaja mau ledekin kakak. Maafin saya dong, Kak. Saya boleh ikut main lagi kan, Kak?”

    “Kayak petasan. Ngerepet terus ngomongnya,” Kay mendekat ke tepi lapangan, “Marsha, yang bener kalo ngoper jangan asal lempar. Vani, sekali lagi bengong gue keluarin dari lapangan!”

    Lita menghentakkan satu kakinya kesal. Sampai jam ekskul selesai, dia jadi pajangan di pinggir lapangan dengerin Kay teriak-teriak kasih perintah.
    “Kok gerakannya kayak paus keseleo sih?” Fiksa berseru dari tepi kolam renang.

    “Mestinya gimana, Kak?” Lita sudah kewalahan mempraktekkan gaya kupu-kupu yang sebelumnya sudah Fiksa ajarkan.

    “Elo nyuruh gue ngajarin lagi?” Fiksa mulai terdengar menyebalkan seperti Kay.

    “Bukan, Kak, nggak gitu maksud saya….”

    “Udah, udah. Naik lo. Rio, turun.” Fiksa menyuruh kelas 10 lain yang bernama Rio untuk mempraktekkan gaya kupu-kupu hasil ajarannya.

    “Kak, saya kan cuma nanya gimana kok malah disuruh naik?” Lita langsung protes ke Fiksa, nggak terima disuruh keluar dari kolam renang begitu aja.

    “Rio, tangannya yang bener.” seru Fiksa tidak memedulikan protes Lita.

    “Kak Fiksa, saya salah apa?”

    Fiksa membalikkan badannya menghadap Lita, “Lari sepuluh kali keliling kolam renang. Sekarang.”

    “Tapi, Kak….”

    “Lari atau keluar dari sini?”

    Mendengar ancaman itu Lita langsung mulai berlari mengelilingi kolam renang. Apes bagian dua.
    “Lit, sakit. Pelan-pelan balutnya.” salah satu teman satu kelompok PMR Lita mengeluh karena ikatan yang dibuat Lita terlalu kencang.

    “Sori, sori.” Lita nyengir minta dimaklumi.

    “Lit, gue nggak bisa napas nih!” keluar protes lagi dari teman kelompoknya ketika Lita mencoba mengikat kain ke leher temannya itu.

    “Mau bikin pasien mati lagi kayak minggu lalu?” tahu-tahu Seran sudah ada disebelahnya.

    “Nggak, Kak. Saya nggak sengaja.” Lita kaget dan deg-degan, Seran selalu muncul tiba-tiba didekatnya. Dengan jarak wajah mereka yang nggak bisa dibilang jauh.

    “Elo tuh nggak bisa apa-apa, ya?” entah itu pertanyaan atau pernyataan, tapi yang jelas kata-kata itu membuat Lita ingin menangis. Tapi, dia harus kuat. Baru segini aja dia nggak boleh menyerah.
    “Lita, keluar deh. Suara lo bikin kacau.”

    Lita terdiam. Bukan malu, tapi merasa dadanya sesak. Di ekskul paduan suara pun dia harus mengalami kejadian tidak mengenakkan. Sudah tiga kali Advin harus mengulang lagu sebelum bisa sampai ke intro, dan itu karena kesalahan Lita. Suaranya tidak bisa disamakan dengan suara anggota padus lainnya.

    Lita duduk didepan pintu ruang musik mendengarkan teman-teman padusnya mulai menyanyikan lagu yang daritadi selalu gagal dinyanyikan karena kekacauan yang disebabkan Lita.

    “Sejak kapan ada arca disini?”

    Lita mendongakkan kepala. Si ekspresi datar yang seragamnya selalu berantakan memandangnya sinis.

    “Pasti diusir Advin, karena suara lo sember.” Daffa melongok ke ruang musik lewat jendela tanpa gorden itu.

    “Kak Daffa ada perlu apa?” tanya Lita dengan suara serak.

    Mata Lita yang berkaca-kaca menahan tangis membuat Daffa terkesiap sejenak, kemudian berdehem, “Nih, daftar anggota futsal sama jadwal pertandingan bulanan dan tahunan kita. Elo butuh ini. Sebagai manajer.” Daffa memberi map merah pada Lita.

    “Iya, Kak.”

    Daffa masih memerhatikan ‘arca’ yang hampir bisa menangis dihadapannya.

    “Kerja yang bener atau gue juga bakal ngeluarin elo persis yang Advin lakuin.”

    “Iya, Kak.”

    Daffa pun langsung berjalan meninggalkan Lita yang masih duduk menunduk dalam diam.

    “Kak Daffa, saya nggak dikeluarin Kak Advin kok.”

    Langkah Daffa terhenti dan menoleh sedikit kebelakang, terlihat Lita sudah berdiri dan menepuk-nepuk blazernya yang kotor terkena debu, lalu masuk kedalam ruang musik lagi. Modal nekat.
    Mata Lita sibuk membaca kertas-kertas yang ada ditangannya. Dia sibuk membolak-balik jadwal latihan, jadwal pertandingan dan segala macam yang berhubungan dengan kegiatan futsal Garuda Bangsa.

    “Kak Toni, ini tuh maksudnya apa?”

    “Oh, ini tuh jadi setiap minggu kita ada latihan rutin di luar sekolah dan tugas lo coba menilai penampilan kita udah bagus apa belum. Lo ngerti bola?”

    “Sedikit. Kadang suka nimbrung pas papa lagi nonton bola.”

    “Bagus, bagus.” Toni menepuk pundak Lita.

    “Woy, Ton! Sini lo latihan!” Daffa berteriak dari tengah lapangan.

    Toni berlari masuk ke lapangan mulai ikut latihan lagi setelah tadi istirahat lima menit untuk minum.

    Lita memerhatikan latihan dari tempat duduk khusus ofisial futsal Garuda Bangsa. Dia menghela napas lega, senggaknya ekskul futsal bisa bikin tenang hati. Nggak ada yang bentak-bentak kayak Kay, nggak disuruh lari sepuluh kali keliling kolam renang, dikasih ‘pujian’ nyelekit dari Seran, atau diusir dari ruang musik sama Advin. Di ekskul futsal kerjaan jadi manajer lebih santai, dan Daffa nggak terlalu peduli sama Lita, dia sibuk latihan futsal sama timnya.

    Pikiran Lita melayang ke beberapa minggu lalu, bahkan lebih jauh lagi ketika dia memutuskan mendaftar di Garuda Bangsa dan tantenya mau berbaik hati membiayai sekolahnya disini. Papanya yang seorang karyawan perusahaan swasta biasa dan mamanya yang seorang ibu rumah tangga pasti kesulitan kalau harus menanggung biaya sekolah di Garuda Bangsa. Ditambah Erin yang baru masuk SMP juga butuh biaya yang nggak sedikit.

    Lita merenungkan alasan dia mau mengikuti banyak ekskul sekaligus tiap minggunya. Dia benar-benar sudah diracuni drama Korea yang ditontonnya. Dia jadi punya cita-cita jadi tokoh cewek yang dilindungi dan dikelilingi oleh geng cowok-cowok tampan yang baik hati. Lita girang setengah mati ketika tahu dia menemukan sosok-sosok itu di sekolah barunya, tapi semua jauh dari bayangannya. Semua cowok-cowok itu nggak ada satupun yang baik hati atau ramah. Semuanya dingin, datar, galak, judes dan ngomongnya nyelekit. Dia ingat ketika Kay membuang begitu saja kue pemberiannya dan Lita memutuskan untuk mendekati mereka secara satu per satu, yaitu mengikuti semua ekskul yang disitu ada salah satu diantara mereka berlima. Lita mengira dengan mengikuti ekskul yang mereka latih secara langsung akan bisa membuatnya dekat sama mereka berlima atau minimal diberi sapaan hangat, tapi sejauh ini mereka semua menunjukkan sikap yang sama. Tidak peduli. Padahal Lita hanya ingin berteman dan dekat sama mereka, bukan menginginkan lebih seperti fans-fans mereka lainnya. Lita mulai berpikir, ini kekonyolannya semata karena habis menonton drama yang diulang berkali-kali atau bawaan hati yang nggak bisa ditolak?

    “Eh! Elo tuh bolot?” Daffa sudah berada didepan wajahnya, dengan tampang galak.

    “Kak Daffa manggil?” Lita tersadar dari lamunannya.

    Daffa mengambil botol minum disamping Lita dengan kasar, “Elo sebenernya bisa diandelin nggak sih?”

    Lita terpekur mendengar ucapan Daffa, tapi dikuatkan hatinya. “Bisa kok, Kak.”

    Suara serak itu lagi. Mata berkaca-kaca itu lagi. Daffa melempar botol airnya yang sudah kosong meninggalkan Lita sendirian lagi di pinggir lapangan.




    Mohon kritik dan sarannya bagi siapapun yang baca :maaf:
     
    Last edited: Jan 28, 2016
  6. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Ane komen Chapter pertama dulu ya, :hmm:
    Untuk cerita enjoyable banget dan sangat nyaman tiap bagiannya. Kalau di lihat Lita sangat berjuang demi masuk sekolah yang kabarnya banyak model kek bintang korea :siul: hanya saja apa yang ia harapkan justru berlawanan. :oggaring:.


    Tapi rasanya untuk satu Chapter aja banyak banget bagiannya :bloon:, semangat aja nulisnya ya:oghormat:
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. ffda M V U

    Offline

    Post Hunter

    Joined:
    Apr 26, 2013
    Messages:
    4,694
    Trophy Points:
    227
    Ratings:
    +12,472 / -0
    makasih banyak udah sempetin baca :matabelo:
    untuk soal satu chapter banyak bagiannya, untuk berikutnya akan dibagi2 ke chapter lain.
    kemarin2 agak keburu2 jadi gak sempet dibagi lagi :maling:
     
  8. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Ane komen lanjutannya :lalala:
    wawah, beneran serius perjuangannya, sampai ikutin semua ekskul yng jadi idol di sekolah, sampe kelima2nya :ogkaget:. menarik, walau kerasa berat ceritanya tapi masih awal rasanya, well tetepp semanggat nullis ya :ogbye:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.