1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Bluebell

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Jun 6, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    another trial. might lead to another failure, but I don't care.

    I will keep trying no matter what.



    [​IMG]
    Bluebell
    ~a man, a robot, another chance to live~
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    • Setuju Setuju x 1
    Last edited: Jun 6, 2016
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Chapter 00
    Professor

    Menggenggam erat tanganku, professor menuntunku meninggalkan gedung laboratorium.

    Untuk pertama kalinya semenjak diciptakan, aku berada di dunia luar. Entah sudah berapa lama aku menunggu saat-saat seperti ini. Sehari, seminggu, setahun, ah, aku tak tahu pasti. Yang jelas, kini aku merasa amat bahagia.

    Berada di dunia yang sering diceritakan professor, kupikir hal itu hanyalah sebuah mimpi yang tak akan terwujud. Sejak awal aku bisa mengingat sesuatu, dunia yang kukenal hanyalah sebuah ruangan kecil berdinding biru yang tertutup kaca tebal, dan sebuah pintu besi sebagai satu-satunya akses keluar masuk. Tak banyak yang bisa dilihat dari duniaku itu – hanya orang-orang berjas putih, dan komputer, dan komputer, dan komputer. Suasana yang kualami tidaklah nyaman. Sempit, sunyi, dan membosankan. Terkurung dalam ruangan yang orang-orang sebut laboratorium tes ini benar-benar membuatku kesepian.

    Bahkan kala ruangan ini dipenuhi orang-orang, perasaan kesepian itu tetap tak menghilang.

    Mmn. Itu karena, hampir tak ada seorangpun yang mau berbicara padaku. Orang-orang berjas putih yang kadangkala datang kemari pun tak pernah mau berbicara banyak, dan hanya memberiku perintah simpel belaka. Angkat tanganmu, bagaimana kondisimu, apakah ada malfungsi yang terdeteksi di microchip milikmu, yah, hal-hal semacam itu.

    Seiring berjalannya waktu, perasaan sepi yang kualami terus menumpuk. Dan meski menginginkannya, aku tak pernah bisa mengobrol dengan mereka. Lebih-lebih bercanda, tersenyum, tertawa, merasakan marah, dan lain sebagainya. Seringkali aku merasa iri kala melihat orang-orang itu berekspresi, sementara aku hanya bisa berdiri memandangi mereka.

    Untuk suatu alasan, hal itu membuatku…sakit.

    Sungguh lucu, pikirku. Maksudku, emosi yang kurasakan ini pada dasarnya hanyalah sebuah program computer, yang sengaja diciptakan agar aku terlihat lebih mirip manusia pada umumnya. Perasaan sedih, senang, dan kesepian yang kurasakan tak lebih dari sekedar reaksi atas data lapangan yang kuterima. Meski demikian, perasaan sepi yang muncul ini merupakan suatu hal yang nyata.

    Karenanya, aku selalu merasa kesepian. Selalu. Selalu…

    Hingga suatu hari-

    “Yo, Lise.”

    -muncul seseorang yang membuatku terhibur.

    Seorang professor. Satu dari sekian banyak orang berjas putih yang biasa kulihat.

    Aku memanggilnya professor, karena aku tak pernah tahu siapa nama orang ini sebenarnya. Meski demikian, beliau adalah orang yang baik.

    Professor…ia amat mengerti akan apa yang selalu kurasakan, dan apa yang kuinginkan.

    “Kenapa melamun begitu? Ah, ini hari yang cerah, ya?"

    Ah, ya, professor. Meski sebenarnya Lise tidak tahu seperti apa kondisi cuaca di luar sana, namun setiap kali melihat professor, rasanya hari selalu cerah dan menyenangkan.

    Dari waktu ke waktu, professor selalu menemuiku. Kadang professor membukakan pintu besi yang membatasi duniaku dan membawaku berjalan-jalan di sekitar laboratorium. Bahkan di saat-saat tertentu, professor menggenggam telapak tangaku dengan erat, dan hal itu membuatku amat nyaman.

    “Professor, mau Lise buatkan teh? Atau bagaimana bila makan malam? Hei, professor, ada yang bisa Lise lakukan? Perintahkan apa saja.”

    Setiap kali kuminta, professor tak pernah menjawab. Beliau malah lebih sering tersenyum sambil mengelus rambutku yang diwarnai cokelat gelap. Kadang aku jadi berpikir bahwa professor tak membutuhkanku, dan aku sering merasa sedih karenanya.

    Yah, bagaimanapun, aku ini diprogram sebagai robot asisten.

    Alpha 01, Lise Bluebell, robot tipe android yang khusus diciptakan untuk menjadiasisten serbaguna.

    Professor berkata bahwa Alpha merupakan satu-satunya di jenisku. Sebuah prototip, begitu yang selalu beliau katakan. Meski untuk saat ini aku hanya seorang diri, professor berkata bahwa aku akan memiliki teman-teman yang setipe denganku kala seluruh tahapan tes selesai. Jumlahnya? Banyak. Amat banyak hingga aku takkan merasa kesepian lagi.

    Karenanya, aku selalu berusaha untuk menunjukkan sisi baikku pada Professor.

    Aku akan melakukan apapun untuk keluar dari perasaan sepi ini.

    “Professor, Lise bisa membersihkan ruangan ini, lho.” Sahutku di suatu hari kala professor berkunjung. “Ah, dan catatan professor, Lise bisa mengarsipnya hingga tuntas. Dan juga, dan juga-“

    “Lise,”

    “Ya, Professor?”

    “Sudah saatnya mengisi baterai. Ayo, kembali ke ruanganmu.”

    Mendengar perintah professor, aku mengangguk sambil cemberut.

    Hal itu terus terjadi berulang kali. Aku menawarkan bantuan, dan professor tetap tak mempekerjakanku. Kalau dipikir-pikir, rasanya menyebalkan juga. Tak melakukan apapun dan hanya diam di dalam ruangan kaca, mengamati orang-orang berjas, melalui serangkaian tes yang tak pernah kuketahui lagi fungsinya…

    ………

    Apakah esok, professor akan meminta tolong padaku, ya?

    ***

    “Lise belum pernah melihatnya ya?”

    Aku mengangguk cepat, penasaran dengan cerita professor tentang sungai di kaki bukit.

    Melalui supercomputer di tubuhku, dengan mudah aku bisa memproyeksikan semua hal yang professor ceritakan. Sungai, gunung, laut, aku tahu akan semua hal itu. Satu-satunya yang membuat cerita professor menarik adalah kenyataan bahwa aku belum pernah melihat langsung semua hal tersebut.

    “Sedingin apakah air sungai di kaki bukit itu, professor?”

    “Hahaha, Lise pasti tahu, kok.”

    “Eh, kok begitu saja sih, jawabannya?”

    Yah, aku tahu bahwa suhu air sungai berkisar antara 40 derajat celcius sampai -20 derajat celcius, tergantung lokasi dimana sungai itu berada. Dan jika kau tanya tentang sungai terpanjang atau terlebar di dunia, sudah pasti aku bisa menjawabnya. Namun mengetahui sesuatu dan merasakan secara langsung merupakan dua hal yang amat berbeda, bukan?

    Semakin hari, aku dan professor semakin sering bertemu. Bahkan asisten yang biasa datang dan memberiku tatapan dingin kini tak ada lagi, berganti oleh professor yang ramah.

    Ah, menyenangkan sekali…

    “Penculik? Uuh, Lise belum pernah lihat, sih. Mereka orang jahat, kan ya?”

    Melalui professor, aku jadi tahu tentang banyak hal. Tentang manusia, tentang eksistensi robot, dan tentang dunia yang ada diluar laboratorium – yang satu ini paling membuatku tertarik.

    Sebuah dunia yang ada diluar laboratorium, seperti apakah kira-kira bentuk dunia tersebut?

    Tempat dimana seseorang bisa melihat langit, laut, gedung-gedung tinggi, awan, pepohonan, dan bintang-bintang diangkasa, ah, tanpa sadar aku jadi ingin melihatnya. Meski sadar bahwa suatu hari nanti, aku pun bisa melihat dunia tersebut, namun aku amat ingin bisa melihatnya bersama professor. Mmn. Bersama professor, hanya bersamanya…

    Kupendam keinginan itu dalam-dalam. Setiap hari, setiap waktu, hingga pada suatu malam, pada akhirnya keinginanku tercapai.

    “Professor mau mengajakku keluar, memangnya tidak apa-apa?”

    “Tenang saja. Lise belum pernah melihat dunia luar, kan?”

    “Uuh, professor tidak bohong, kan?”

    “Tentu tidak, Lise.”

    “Benarkah professor tidak berbohong?”

    “Mmn!”

    “Betulkah? Apa ini nyata? Ah, senangnya!”

    Aku hampir-hampir melompat kegirangan kala mendengar ucapan professor. Jika bukan karena professor yang menahan tubuhku, tubuhku pasti sudah jatuh.

    “Anu, professor, apa yang harus kubawa? Mungkin aku harus bawa kotak makan, ya? Ah, bukan. Yang terpenting adalah gelas. Manusia seperti professor takkan bisa hidup tanpa air, jadi aku harus membawa gelas. Hmm, apa sepuluh buah gelas cukup?”

    Professor tertawa geli melihat tingkahku, dan entah mengapa aku jadi merasa kesal. Yah, aku sama sekali tak tahu apa yang professor tertawakan, sih.

    Tetapi, perasaan kesal tersebut menghilang kala professor mulai menggenggam tanganku, dan mengajakku berjalan perlahan. Aku merasa canggung kala professor mengganti pakaian laboratorium yang biasa kupakai dengan mantel putih tebal, dan sebuah woolen hat. Dan saat pintu utama laboratorium ini terbuka, aku jadi merasa amat gugup.

    Sebentar lagi. Dunia yang selalu diceritakan professor akan bisa kulihat tak lama lagi. Rasa-rasanya, tubuhku kini seperti dialiri listrik yang entah darimana. Tanpa sadar, genggaman tanganku menguat, dan senyumku tiba-tiba saja muncul.

    Kala pintu ini terbuka seutuhnya, aku dibuat takjub oleh apa yang kulihat.

    “Waaah~”

    “Bagaimana?”

    Anda professor tak mulai melangkah, aku pasti hanya akan berdiri diam dan terkesima.

    Gedung-gedung tinggi, jalanan sunyi, angin yang berhembus, langit, bintang di angkasa…

    “Bagus, bukan?”

    Aku tetap tak menjawab, dan terus tersenyum senang.

    ***

    “Yahoo, jalan-jalan bersama professor!”

    “Hei, hei, jangan berisik!”

    Professor menutup mulutku dan menempelkan telunjuk di mulutnya. Aku paham bahwa itu adalah isyarat yang dilakukan manusia untuk meminta seseorang diam. Akupun lantas mengangguk, menurut.

    Meski untuk suatu alasan, sebenarnya aku masih ingin bernyanyi riang.

    Mmn. Tentu.

    Karena di hari itu, untuk pertama kalinya aku bisa melihat indahnya langit malam.

    Untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan sejuknya angin yang berhembus.

    Untuk pertama kalinya, aku bisa bebas berlarian kesana kemari.

    Memikirkan itu semua, aku benar-benar merasa bahagia.

    Ya, benar. Aku bersyukur bisa tercipta sebagai android tipe Alpha. Aku senang bisa hidup sebagai Lise Bluebell, dan bisa berada di dunia ini.

    ………

    Tetapi, untuk suatu alasan, professor tampak murung.

    Kira-kira, apa yang sedang dipikirkan professor, ya?

    ***

    “548, 549, 550, uuh, masih banyak, ya?”

    Saking terpesonanya melihat bintang, semenjak tadi aku tak berhenti menghitung jumlahnya.

    Awalnya, jumlah bintang yang terekam pada sensor retina artifisialku ini adalah 432 buah. Namun angka tersebut terus berubah-ubah, naik dan turun. Untuk memastikannya, aku melakukan penghitungan secara manual.

    Tak pernah kusangka bila menghitung jumlah bintang bisa jadi pekerjaan yang begitu melelahkan.

    “Lise tahu jumlah bintang di angkasa sana, kan?”

    “Mmn!” Jawabku senang. “Jumlahnya, uuh, terestimasi sepuluh triliun. Tapi kok aku hanya melihat sedikit saja, ya?”

    Lagi-lagi professor tertawa melihatku. Uugh, menyebalkan sekali.

    ………

    “Professor,”

    “Hmn?”

    “Apa professor sedang memikirkan sesuatu?”

    “Ah, itu…”

    Aku menanyakannya, karena di malam ini, professor tak terlihat seperti biasanya.

    Sosok professor yang selalu tersenyum dan bahagia, kini tampak seperti sedang serius memikirkan sesuatu, Aku tak tahu apa, namun hal itu sepertinya membuatnya gelisah dan sedih.

    “Lise, kau tahu kemana kita akan pergi?”

    “Mmn!” Jawabku kembali mengangguk. “Ke sungai tempat professor memancing, kan?”

    “………”

    “Uh, salah ya?”

    “Ah, maaf. Haha.” Jawab professor kikuk. “Benar kok. Lise pintar ya?”

    Entah mengapa, senyum professor benar-benar terasa hambar. Meski demikian, aku tak menanyakan hal itu lebih jauh. Aku bahkan tak peduli bila professor membawaku ke tempat lain.

    Aku yakin, kemanapun professor membawaku, pasti akan ada hal menyenangkan disana.

    Kami melewati sebuah pusat daur ulang dalam perjalanan. Tampak di lensa mata artifisialku, beberapa orang yang sedang sibuk membongkar barang-barang bekas dan besi-besi tua. Diantara barang-barang yang dibongkar itu terdapat beberapa buah robot. Tampak sudah amat usang, namun satu-dua buah terlihat masih baru.

    Entah mengapa, aku menjadi sedikit ngeri meliat pemandangan itu.

    “Lise, ada apa?”

    Ah, tanpa sadar aku berdiri mematung dihadapan tempat daur ulang ini. Mataku tak berhenti menatap robot-robot yang sudah tak terpakai itu. Tubuh mereka diangkut begitu saja oleh sebuah excavator raksasa. Beberapa anggota tubuh mereka ada yang hancur atau terlepas, namun mesin excavator tetap memindahkan mereka ke tempat lain.

    Mungkin karena merasa diperhatikan, beberapa dari para petugas daur ulang itu menoleh dan balik menatapku. Aku tak tahu mengapa, namun tatapan mereka tampak begitu sinis.

    “Ayo, lekas. Nanti keburu pagi.”

    Professor kembali menggenggam tanganku dan menuntunku pergi. Orang-orang itu, bagaimanapun, masih tetap memandangiku. Terasa sungguh menakutkan. Kasar, jahat, mereka seolah ingin memusnahkanku. Apa karena terlalu lama bekerja disana, orang-orang itu jadi refleks ingin memusnahkan robot sepertiku ini, ya?

    Tanpa sadar, aku menggenggam erat lengan jas professor.

    “Kenapa, Lise?”

    Aku hanya menggelengkan kepala dan menyembunyikan wajah di balik tubuh professor. Tanganku gemetar ketakutan. Professor yang melihatku lantas menepuk kepalaku dan mengusap rambutku perlahan sambil terus berjalan.

    “Professor,” gumamku perlahan. “Suatu saat, Lise akan berada di sana juga, bukan?”

    “Ah, itu…”

    Professor menatap perlahan ke arah pusat daur ulang tersebut. “Tentu, Lise. Tapi tidak untuk saat ini, kok. Tenang saja.”

    Meski professor berusaha menenangkanku, aku tetap tak bisa mengontrol rasa takut yang muncul begitu saja. Ah, apa mungkin ini bug ya? Sebab, perasaan takut ini baru pertama kali kurasakan. Saat kulakukan instant checking atas sistemku ini, tak kutemukan satupun bug, error, atauapapun.

    Perasaan takut ini, ini nyata.

    Aku tidak menyukai perasaan ini. Sama sekali tidak menyukainya. Kuharap, apa yang kurasakan saat ini bisa lenyap begitu saja.

    “Professor,”

    “Hmn?”

    Menggenggam lengan jas professor kuat-kuat, aku kembali berbisik. “Lise…Lise tak mau berada disana. Lise ingin terus bersama professor!”

    Professor tersenyum sambil menepuk kepalaku perlahan.

    “Tenang saja,” Jawabnya.

    ***

    “Waah, ternyata ini sungai yang sering professor ceritakan, ya? Indah sekali!”

    Aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku kala melihat sebuah sungai besar yang seumur hidup baru pertama kali kulihat.

    Pantulan cahaya bulan tampak diatas air yang mengalir tenang. Membungkukkan badan, aku juga bisa melihat bebatuan kecil yang ada di dasar sungai. Beberapa ikan tampak berenang dengan lincah. Dan juga, suara serangga malam bisa terdengar dengan jelas. Berkat cahaya rembulan yang terang, aku bisa melihat semuanya dengan cukup jelas tanpa harus mengaktifkan indera penglihatan malam.

    Tanpa sadar, kumasukkan telapak tanganku kedalam air sungai, sebelum memainkannya dan membuat riak-riak air yang tak beraturan.

    Dan senyumku lagi-lagi mengembang dengan sendirinya.

    Rasanya sungguh menyenangkan…

    “Berapa suhu air didalamnya, Lise?”

    Eh?

    “Bisakah kau memberitahuku?”

    “Ah, ba…baik!” Jawabku gugup. Memasukkan tanganku kembali kedalam air, komputerku mulai memproses data air sungai tersebut.

    Ini pertama kalinya professor meminta tolong padaku.

    Semenjak aku bertemu dengan professor, untuk pertama kalinya beliau meminta tolong padaku. Ah, aku sangat bahagia…

    Aku akan melakukan yang terbaik!

    “Suhu airnya? Uuh, sembilan belas derajat celcius! Professor, kau bisa berenang disini selama sejam tanpa khawatir merusak tubuhmu. Suhu airnya normal!”

    Aku menoleh pada professor yang berdiri dibelakangku, menatapku dengan wajah yang memancarkan senyuman.

    Tetapi, senyuman itu…

    Kurasa, professor tidak sedang bahagia.

    …kenapa?

    “Professor, ada apa?”

    ………

    Apakah professor…tidak senang berjalan-jalan denganku?

    Sesaat setelah kukeringkan tangan ini, professor tampak menatapku dalam-dalam, dan memelukku erat-erat setelahnya.

    “…professor?”

    Beliau tak menjawab. Kedua tangannya terus merangkul tubuhku sedemikian erat, seolah tak mau melepaskanku.

    Tetapi, kenapa?

    “Lise,”

    “Ya, professor?”

    “Ada satu permintaan lagi…yang ingin kuajukan.”
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    • Setuju Setuju x 1
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,819
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Chapter 01
    Bridge

    Berkali-kali kupikirkan, hidup ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

    Mungkin akan berlebihan jika kukatakan bahwa hidup ini tak berarti. Namun dari apa yang kulihat dan kualami, kehidupan yang kujalani selalu penuh dengan kebohongan yang menyakitkan.

    Sebagai contoh, bisakah kau tebak ada berapa banyak orang baik yang tersingkirkan di dunia ini? Ada berapa banyak orang baik yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh orang lain? Meskipun norma-norma di masyarakat selalu mengajarkan setiap orang untuk berbuat baik, pada kenyataannya orang-orang baik hanya akan mengalami penindasan dan tersingkirkan.

    Jika kenyataan berkata demikian, mengapa masyarakat selalu berpesan untuk selalu berbuat baik?

    Mengapa muncul peribahasa yang mengatakan bahwa kebaikan akan berbuah kebaikan?

    “Hei, maafkan sikapku yang mungkin berlebihan. Tetapi, aku butuh bantuanmu, Kazuki. Maukah kau membantuku?”

    Ya.

    “Sekali lagi selamat, Yumi. Presentasimu yang memukau benar-benar membuat semua klien kagum. Ah, dan juga, kau akan mendapat promosi sebagai kepala seksi mulai besok. Sebagai permulaan, kau akan dikirim untuk belajar di Jerman selama enam bulan.”

    Hidup ini penuh dengan kebohongan.

    “Kazuki, dengan berat hati aku harus memberhentikanmu dari pekerjaan ini.”

    Orang yang bersikap baik dan lembut akan selalu tersingkirkan. Sikap baik, yang selama ini ditekankan pada setiap orang, pada akhirnya hanya akan berbuah penyesalan dan sakit hati belaka.

    Bukan hanya sekali atau dua kali aku mengalami hal ini. Saat aku masih SMA dan mendapat nilai tinggi, teman-teman sekolah memanfaatkanku untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Saat ujian sekolah akan tiba, gadis yang menolakku tiba-tiba saja mendekat, hanya untuk meninggalkanku begitu ujian selesai. Kala kedatangan murid baru yang mantan teman SMP dulu, semua keburukanku diceritakan dengan bahasa yang amat memukau olehnya, membuatnya menjadi anak terpopuler di kelas. Kala menolong seseorang yang mengalami bullying, aku berakhir di ruang BP. Temanku yang menjadi pelaku kekerasan itu nyatanya kini bisa menjalani hidup mewah di Australia, sementara aku berakhir menjadi seorang pengangguran.

    Tentang mengapa aku menjadi seorang penganggur, Yumi yang memecatku. Yumi yang kutolong hingga mendapatkan posisi baru sebagai kepala seksi, akhirnya membuangku untuk alasan yang entah apa.

    Karenanya, hidup ini selalu penuh dengan kebohongan.

    “Pada intinya, kunci kesuksesan adalah bersikap baik pada semua orang.”

    Seorang motivator ternama, Sakai Yuuji, pernah mengatakan hal itu pada sebuah acara talkshow. Sosoknya menjadi idola banyak orang, termasuk intelek-intelek dari berbagai negara.

    Sakai Yuuji.

    Sakai Yuuji, teman sekelas yang selalu memperlakukan juniornya ibarat samsak tinju kala sekolah.

    “Intinya, kerja keras, kejujuran, dan disiplin membuat restoran Fujimiya ini maju pesat.”

    Fujimiya Shoko, pebisnis. Di sekolah dulu, ia sering berlaku curang dan menghalalkan segala cara agar bisa mendapat nilai baik.

    …bahkan sumber sebuah kenyataan pun berasal dari sebuah kebohongan.

    Ah, rasanya aku tak perlu bercerita lebih jauh lagi tentang semua itu. Kurasa, sudah cukup jelas mengapa aku amat membenci kehidupan ini.

    Meski tidak selamanya hidupku penuh oleh penyesalan, namun jika boleh memilih, aku amat ingin membuang kehidupan yang kujalani ini. Mmn. Membuangnya, karena aku tak mungkin mengulang kehidupanku dari awal, dan berubah menjadi seseorang yang kuinginkan.

    …karenanya, malam ini aku memutuskan untuk melompat dari atas jembatan.

    Melompat, menghempaskan diri diatas air beku, dan menggelamkan diri di sebuah sungai yang berada tak jauh dari tempat tinggalku.

    ***

    Hujan deras turun bersama petir di malam ini.

    Memanggul ransel penuh batu, dan tali untuk mengikat kedua tangan dan kaki, aku berjalan dibawah guyuran hujan. Tubuhku basah kuyup, gemetar. Berada dibawah guyuran air hujan untuk waktu yang cukup lama, tubuhku mungkin akan tumbang sewaktu-waktu. Tetapi tekad untuk mengakhiri semuanya membuatku terus berjalan.

    Ah, benar-benar malam yang sempurna untuk mengakhiri hidup. Dengan hujan sederas ini, aku tak perlu khawatir akan ketahuan polisi atau penduduk setempat. Jarak pandang yang terbatas ini benar-benar membuat penyamaran sempurna atas niatku ini.

    Melangkah menyusuri pagar jembatan, sempat kupikirkan sekali lagi soal keputusanku ini. Apakah aku membuat keputusan yang tepat? Apakah kehidupanku memang tak layak untuk dipertahankan? Apakah aku masih bisa menanggung beban yang ada? Mungkinkah esok hari, semuanya akan berubah?

    Tetapi, semakin aku melangkah, semakin aku tak menemukan jawaban atas semua pertanyaan itu.

    Semua ketidakadilan yang kualami, semua omong kosong dalam hidup ini, aku yakin semuanya akan tetap sama. Bahkan jika aku hidup untuk satu, dua, atau sepuluh tahun lagi, kurasa semuanya takkan berubah.

    Aku telah hidup selama dua puluh enam tahun. Dan selama itu, tak ada satupun hal yang berubah. Sikap baik yang kulakukan selalu berbuah penyesalan – tak ada satupun hal baik yang keluar darinya.

    Seperti yang sudah kukataan, hidup ini penuh oleh kebohongan.

    Kecuali ada keadilan di dunia ini, mungkin aku akan mengurungkan niatku. Namun, kurasa hidup akan selalu tidak adil.

    Hidup akan selalu tidak adil…

    Benar.

    ………

    Entah sudah berapa lama melangkah, kurasa kini aku hampir tiba di tengah jembatan. Dari sini, bahkan jika aku ingin menyelamatkan diri, aku pasti takkan bisa melakukannya. Tinggi tepian jembatan dari permukaan air kurang lebih berjarak empat puluh meter. Dengan batu yang ada di ranselku sebagai pemberat, dan setelah mengikat kedua tangan dan kakiku, aku takkan mungkin lolos dari maut.

    Menghilangkan segala keraguan, kupercepat langkah kakiku.

    Tetapi, tepat kala aku mulai berlari, sesuatu tiba-tiba saja menahan kaki ini dan membuatku terjatuh. Ransel besar yang ada di punggungku kini menahan tubuhku yang tertelungkup. Rasanya cukup menyakitkan.

    Ah, bahkan untuk mengakhiri hidup pun, aku masih tertahan oleh sesuatu…

    Refleks, aku menoleh kebelakang, penasaran dengan benda yang membuatku tersandung. Aku tak bisa melihat dengan jelas benda tersebut, namun bentuknya cukup besar. Untuk suatu alasan, bentuknya juga terlihat seperti sesosok manusia.

    Lebih tepatnya…seorang gadis.

    Seorang gadis duduk bersandar pada pagar jembatan. Kedua kakinya menjulur begitu saja ke trotoar – mungkin kakinya itu yang membuatku terjatuh.

    Perlahan, aku bangkit, duduk. Mengambil ranselku yang jatuh, kutatap baik-baik sang gadis.

    Tubuhnya terlihat kaku. Baju yang dikenakannya kotor bukan main dan robek di beberapa bagian. Woolen hat yang dikenakannya juga sudah tak lagi utuh. Tangan kanannya menggenggam sebuah kain putih yang lebih cocok disebut robekan lap.

    Gadis itu…ia tampaknya tak sadarkan diri dan hanya duduk disana. Ia bahkan tak sadar bahwa kakinya baru saja kudepak.

    “Ma…maaf.”

    Gadis itu tak menjawab. Tetap diam, seolah tak mendengar apapun yang kukatakan.

    Dan…mengapa aku malah meminta maaf padanya? Bukankah ini adalah masa-masa terakhir hidupku? Akan lebih baik jika aku mencacinya dan menghantam wajahnya, bukan? Menghalangi jalanku, ah, ya, benar. Aku seharusnya memarahinya saja karena sudah menghalangi jalanku.

    Tetapi aku…masih saja berpikir bahwa itu merupakan suatu hal jahat. Bahkan setelah melihat semua kebohongan di dunia ini, hatiku tetap lembek, dan aku amat membenci hal itu.

    Mmn. Membencinya.

    “Kau tak apa-apa?”

    Membenci hatiku yang lembek, membenci diriku, membenci dunia ini…

    Mengapa kini aku malah mendekati sang gadis, dan menanyakan kondisinya? Mengapa kini aku malah khawatir dan merasa kasihan padanya?

    Bersikap jahatlah. Bersikap jahatlah. Berkali-kali kata-kata itu muncul di benakku.

    Namun aku tetap tak bisa melakukannya…

    ………

    Kudekati sosok sang gadis yang sepertinya tak sadarkan diri itu. Setelah melihat lebih dekat, aku tahu bahwa gadis itu bukanlah manusia.

    “Ah, ini, robot ya?”

    Dari kulit lengannya yang terkelupas, beberapa komponen mesin dengan jelas terlihat. Bekas sayatan tampak di bagian kulit leher dan paha, menandakan bahwa ia mengalami kekerasan sebelum tiba disini.

    Kekerasan terhadap robot…

    “Kazuki! Jangan menghalangi kami! Kau mau berurusan dengan polisi? Robot tak boleh lagi ada di negeri ini!”

    ………

    Kekerasan yang dialami robot bukanlah suatu hal yang aneh. Semenjak pemerintahan baru melarang penggunaan robot untuk bekerja, para robot banyak diburu dan dimusnahkan secara masal. Kaum robot dianggap mengambil alih pekerjaan manusia dan menyebabkan pengangguran massal.

    Orang-orang itu, mereka tak sadar di zaman seperti apa mereka hidup.

    Dengan biaya pemeliharaan yang murah dan tak perlu gaji, robot sudah tentu akan menjadi pilihan para pengusaha untuk mengganti karyawannya. Lagipula, robot selalu menuruti perintah manusia, dan tak pernah malas ataupun membuat kesalahan. Mereka meakukan segala sesuatunya dengan cepat dan sempurna.

    Meski demikian, karena kesempurnaan yang dimilikinya, orang-orang menilai bahwa robot tidak boleh ada di dunia ini. Jumlah robot semakin dikurangi setiap tahunnya, hingga pada puncaknya, perdana menteri yang baru membuat kebijakan untuk melarang penggunaan robot pekerja – yang berujung pada pelarangan robot secara massal. Masyarakat diminta untuk menyerahkan robot yang dimilikinya secara sukarela untuk dimusnahkan.

    Tentu saja tidak semua orang menerima kebijakan ini. Beberapa yang menolak memutuskan kabur bersama robot yang mereka miliki. Meskipun pemerintah telah menawarkan untuk membeli robot-robot mereka dengan harga tinggi, orang-orang ini tetap saja menolak.

    Dan sejak hari itu, perburuan terhadap robot pun dimulai.

    Aku, meskipun menolak kebijakan yang ada, nyatanya tak bisa berbuat apapun untuk hal ini. Setiap harinya, aku hanya bisa melihat dengan tatapan iba kala para robot dibawa untuk dimusnahkan.

    Robot ini…mungkin ia merupakan salah satu yang selamat dari pemusnahan. Meski demikian, riwayatnya juga sepertinya akan segera berakhir.

    Benar-benar akhir yang tragis baginya.

    ………

    Mengapa aku jadi memikirkannya? Akh, bodoh.

    Memanggul kembali tas berisi paket bunuh diri, aku lantas kembali berdiri. Untuk terakhir kali, kutatap kembali sang robot yang duduk tak berdaya di tepi jembatan.

    Diterpa hujan deras, aliran air yang mengalir melalui matanya tampak seperti air mata manusia yang memancarkan kesedihan tersendiri.

    Aku amat paham bahwa ia hanyalah sebuah robot, namun untuk suatu hal, ia tampak seperti seorang gadis yang sedang sedih.

    Aku tak bisa menolongnya.

    Ia hanya robot. Menolongnya takkan membawa manfaat apapun.

    Lagipula, hidupku akan segera berakhir. Aku tak perlu repot-repot lagi berbuat baik pada siapapun, tak perlu lagi menolong siapapun. Aku tak perlu lagi menolong seseorang karena dorongan perasaan.

    Mmn. Aku tak perlu melakukan apapun lagi karena hidupku akan segera berakhir.

    Meski demikian, mengapa kakiku tak mau melangkah?

    Menatap terus air yang mengalir dari matanya, aku diam, terpaku.

    Jika ia bisa bicara, apakah kini ia sedang meminta tolong untuk diselamatkan?

    ***

    Koridor apartemen ini becek akibat tubuhku yang basah kuyup. Ibu pemilik pasti akan mengomel soal ini, namun saat ini aku sama sekali tak bersemangat untuk membersihkannya.

    Mengelap tubuhku dengan handuk, kutatap sosok robot yang kini ada di hadapanku.

    Duduk terkulai diatas lantai tatami enam petak – yang menjadi tempat tinggalku selama beberapa tahun terakhir – mata sang robot tampak telah kehilangan cahaya. Biasanya, sosok robot memiliki mata yang bercahaya bahkan bila ia berada pada posisi stand down.

    Rambut artifisialnya yang coklat pendek tampak kusut tak beraturan. Ada juga luka bakar di beberapa bagian tubuhnya. Baju yang dikenakannya sudah tak layak digunakan.

    Merupakan sebuah keajaiban bagi sang robot untuk bisa selamat sampai sejauh ini. Melihat kondisinya, aku tak bisa membayangkan perlakuan apa yang telah dialaminya sebelum tiba di tepi jembatan.

    Meski demikian, mengapa aku peduli tentang hal itu?

    Seharusnya aku sudah mati. Namun kini aku malah mengambil toolbox, menyalakan senter,dan mulai memeriksa kondisi sang robot.

    Semenjak robot tak lagi diperlukan, tingkat pengangguran menurun drastis. Meski demikian, hal itu tak berlaku bagiku yang seorang teknisi robot. Dan latar belakang pekerjaanku ini membuatku kesulitan mencari pekerjaan baru.

    Menjadi pengangguran kala semua orang yang kubenci meraih kesuksesan mereka, rasanya seperti sebuah komedi yang sungguh lucu.

    ………

    Dengan pikiran-pikiran seperti itu di benakku, aku mulai membongkar tubuh sang robot. Untuk alasan yang masih tak kuketahui, aku mulai membetulkannya.
     
    • Like Like x 1
    • Thanks Thanks x 1
    • Setuju Setuju x 1
    Last edited: Jun 7, 2016
  5. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    Hmmm...tadiny gw gk merasa begitu tertarik krn gk ad sinopsis dsb tp habis gw bc lg pas senggang mayan bagus jg delivery nya.

    Keep on writing gunz
     
    • Thanks Thanks x 1
  6. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    lupa komen :haha::haha:
    overall, napa robot-robotan lagi ini :lol:
    tapi kata2nya rada meyakinkan sih di bab 1 itu. maksudnya yg pikiran si mc nya.
     
    • Thanks Thanks x 1
  7. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Setiap cerita robot jadi ingat terminator :iii:
    Tapi semangat aja, moga2 lebih dari ceritamu sebelumnya :)
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.