1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic The Healer

Discussion in 'Fiction' started by Irenefaye, Mar 30, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    Dan ternyata saya gak tahan lagi untuk gak nulis fantasi. Jadi Here goes The Healer

    [​IMG]

    Semua orang mengatakan bahwa Darien sudah gila saat ia membereskan seluruh perlengkapannya dan memutuskan untuk menerima panggilan dari Morbos, desa terpencil yang terletak di pulau Vitum, pulau yang bahkan keberadaannya pun tak dapat di lihat dengan mata telanjang dari pelabuhan Roselan, kota tempat ia tinggal sekarang. Namun keputusan Darien sudah bulat, dia sudah muak dengan para bangsawan Roselan, dan baginya menolong orang-orang di Morbos jelas lebih menantang.
    Maka dengan membawa seluruh perlengkapan dan obat-obatan penyembuhnya, pemuda itu mengosongkan apartemennya di Roselan, dan mempersiapkan dirinya untuk Morbos, desa yang tak pernah dilihatnya. Desa yang jelas akan mengejutkannya.

    I don’t think that I’ve been in love as such
    although I liked a few folk pretty well
    Love must be vaster than my smiles or touch
    for brave men died and empires rose and fell
    for love, girls follow boys to foreign lands
    and men have followed women into hell
    in plays and poems someone understands
    there’s something makes us more than blood and bone
    And more than biological demands
    for me love’s like the wind unseen, unknown
    I see the trees are bending where it’s been
    I know that it leaves wreckage where it’s blown
    I really don’t know what I love you means
    I think it means don’t leave me here alone

    Darien menatap laut yang terhampar luas dihadapannya. Udara sore laut yang bercampur air dan garam jelas memberikan kesegaran pada kulitnya yang lebih sering di terpa debu dan asap perkotaan. Dia merasa bebas. Bebas dari kesibukan kota dan bangsawan-bangsawan menyebalkan yang selalu mengatur hidupnya.

    Perlahan tangannya meraih sebuah loket kecil yang tergantung di lehernya. Senyuman seorang wanita muda berambut merah menyambutnya saat ia membuka loket itu. Wajah Sabine, mediang istrinya, mengintip dari dalam loket. Sekalipun lima tahun telah berlalu sejak kematiannya, Darien tetap merasa tak ada yang dapat menghapus atau menggantikan sosok wanita itu dalam kehidupannya. Dia akan terus mengenang dan merindukan wanita itu.

    Seandainya saja wanita itu masih mendampingi dirinya, jelas sekali wanita itu akan menggelengkan kepala sambil berdecak kesal saat mendengar keputusannya. Bagaimanapun juga keputusan yang diambilnya kali ini jelas bertentangan sekali dengan gaya hidupnya selama ini. Tidak hanya itu wanita itu pasti akan memutar bola matanya dengan gaya meremehkan dan menyuruhnya melupakan keputusannya itu. Mau tak mau Darien tertawa membayangkan reaksi mediang istrinya.

    Tapi keputusan Darien sudah bulat. Ia tak bisa lagi menjalani kehidupannya di Roselan, kota yang menjadi saksi hampir tiga puluh tahun penuh masa kehidupannya. Dia sudah muak berhadapan dengan orang-orang yang mengaku berasal dari kaumnya. Orang-orang yang berusaha mengatur seluruh kehidupannya.

    “Hati-hati dengan lautan, nak! Sekalipun kau hanya menatapnya, bukan berarti mereka tak dapat menenggelamkanmu!” seruan seorang awak kapal yang tampak telah sangat berumur segera menyentakkan Darien dari lamunannya. Untuk pertama kali, sejak ia menaiki kapal itu seseorang menegurnya.

    Darien melontarkan senyuman ramah ke arah pria itu. Pria tua itu membalas senyumnya dan berjalan mendekat. Darien sama sekali tak dapat menjabarkan dari daerah mana pria itu berasal, tapi pria itu pasti tidak berasal dari Roselan. Tak ada orang asing yang akan menegurmu di Roselan. Bahkan mereka tidak akan menegurmu jika mereka tidak benar-benar mengenalmu.

    “Bagaimana cara lautan menenggelamkan kita jika yang kita lakukan hanya memandanginya? Memandangi bukan berarti melompat ke dalamnya, kan?” tanya Darien sekedar berbasa-basi.

    “Tubuhmu mungkin tak melompat, tapi pikiranmu telah meninggalkan tubuhmu dan menghambur ke arah deburan ombak yang mengiringi kapal ini. Hanya tinggal masalah waktu saja sampai mereka menenggelamkanmu, dan ketika saat itu tiba, kau akan menemukan dirimu berakhir seperti diriku, mencintai laut hingga rasanya aku tak dapat lagi hidup di daratan,” ujar pria itu sambil tersenyum pada lautan. Darien mau tak mau kembali tersenyum mendengar kata-kata pria tua itu.

    “Jadi apa yang membawamu ke Vitum, anak muda?” tanya pria itu setelah beberapa saat. Darien menatapnya dengan tatapan bingung.

    “Vitum adalah pulau terpencil yang bahkan keberadaannya pun tidak dapat kalian lihat dari Roselan. Yah, setahuku bahkan sebagian besar penduduk Roselan bahkan tidak tahu bahwa ada sebuah pulau yang bernama Vitum di dekat Roselan. Jadi apa yang membawamu ke pulau terpencil itu?”

    “Dari mana anda tahu bahwa saya berasal dari Roselan?” tanya Darien penasaran. Pria itu tertawa.

    “Hanya orang dari Roselan yang berbau seperti lautan tapi memiliki kulit sepucat kertas. Kalian terlalu sering menghabiskan waktu di dalam rumah dibanding lautan yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah kalian.” Kali ini giliran Darien yang tertawa. Bagaimanapun tebakan pria itu memang tepat.

    “Saya ke sana untuk memenuhi panggilan tuan tanah Morbos yang mencari tabib untuk melayani di desanya. Kurasa mereka sedang kekurangan tabib ...” ujar Darien sambil lalu. Pria menatapnya dengan heran selama beberapa saat.

    “Kau seorang tabib?” tanya pria itu tak percaya. Darien menjawabnya dengan anggukan.

    “Apa kau punya masalah di Roselan, anak muda? Klinikmu sarat pasien atau kau sedang dililit hutang di kota itu dan memutuskan untuk melarikan diri ke Vitum saat kau mendengar mereka membutuhkan tabib?” tanya pria itu lagi. Kini justru Darien yang menatap pria itu dengan heran.

    “Klinik saya cukup ramai saat saya meninggalkannya dan saya rasa saya tidak memiliki kesulitan keuangan yang cukup berarti yang dapat membuat saya berhutang dengan orang lain,” jelasnya singkat. Pria itu kembali menatapnya heran.

    “Jadi kenapa kau ke Vitum? Kau tak punya masalah apapun dan kau masih sangat muda. Apa yang membawamu ke Vitum?” tanya pria itu lagi.

    “Seperti yang saya katakan, saya merasa mereka kekurangan—“

    “Mereka tidak pernah memiliki seorang tabib yang melayani di desa mereka. Pulau itu tak membutuhkan seorang tabib.” Potong pria itu cepat.

    “Tapi tuan tanah Morbos sendiri yang—“

    “Morbos tidak butuh tabib, anak muda. Entah apa yang membuat, tuan tanah yang kau sebut itu mencari seorang tabib, tapi mereka tidak membutuhkan tabib. Mereka bahkan tidak percaya dengan kemampuan tabib!” ujar pria tua itu tegas.

    Darien terdiam di tempatnya setelah mendengar kata-kata itu. Pria tua itu memberikan tepukan ringan di bahunya sejenak, membuang ludah ke arah lautan dan kemudian berjalan menuju kabin kapal tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi.

    Darien hanya menatap punggung pria tua itu dalam diam. Ia harus mengakui bahwa ia sama sekali tidak mengetahui apapun mengenai Vitum, tapi kenyataan itu pulalah yang membuatnya ingin menerima panggilan dari pulau itu. Ia menginginkan pengasingan, dan ia merasa Vitum adalah tempat yang tepat baginya karena ia merasa tak akan ada orang yang akan mencarinya ke pulau terpencil itu. Tempat di mana ia bisa memulai kembali kehidupannya dari nol. Jauh dari politik dan kemunafikan para bangsawan yang selalu menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan.

    Sekali lagi ia melontarkan tatapannya ke arah langit di sebrang lautan. Perlahan namun pasti matahari mulai menghilang dan kegelapan serta kabut mulai menyelimutinya. Ketenangan malam seketika memantapkan hatinya. Darien menggosokkan kedua tangannya dan menciptakan pendaran cahaya hangat yang memberi sedikit penerangan di dek kapal yang gelap dan berkabut itu.

    Darien mendekatkan kedua telapak tangannya itu ke muka dan dalam satu tarikan nafas ia menghirup seluruh cahaya yang berpendar dari tangannya. Kehangatan perlahan menyelimuti tubuhnya, dan saat ia menghembuskan nafas, uap bercahaya tampak keluar dari mulutnya. Tubuhnya kini telah bersih dari seluruh udara kotor Roselan, dan dia siap menerima udara baru yang ditawarkan lautan menuju Vitum. Udara yang akan menjadi teman hidupnya mulai saat ini.

    Cerita ini adalah tanggapan saya untuk tantangan nulis 10000 kata dalam 30 harinya wattpad (jadi tentu saja ini ada di wattpad), karena itu kemungkinan kalau saya cukup energi dan semangat chapter 1 akan selesai besok. Selamat dibumbui dan dicaci maki
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Mar 31, 2016
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. dikatumang Members

    Offline

    Joined:
    Nov 19, 2012
    Messages:
    3
    Trophy Points:
    2
    Ratings:
    +0 / -0

    Cerita yang sebelumnya belum kelar, udah muncul cerita baru lagi. Sukses aja deh om buat karyanya, supaya bisa dapat tag TAMAT.
     
  4. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    Apdet ah ...
    Pagi-pagi sekali, saat matahari belum menampakkan dirinya, Darien tiba di Vitum. Sebuah kereta, sebagaimana yang dijanjikan tuan tanah Morbos, telah menunggunya. Bagaimana pun juga, sekalipun Vitum merupakan pulau berukuran kecil, Morbos merupakan desa yang terletak di tengah-tengah pulau tersebut, dan dibutuhkan tiga jam perjalanan menggunakan kereta untuk mencapainya.

    “Apa ada barang yang bisa saya naikkan ke kereta, tuan Plouton?” tanya kusir kereta itu sopan. Darien tersenyum ramah dan menyerahkan dua buah peti berukuran sedang pada pria yang tampak sedikit lebih tua darinya itu. Melihat ukuran kereta yang disediakan tuan tanah Morbos padanya, ia bersyukur telah mengirim hampir seluruh isi apartemennya ke Morbos satu minggu yang lalu. Kereta itu hanya memiliki ruang untuk dua orang dewasa, dan isi apartemen Darien tak dapat disama besarkan dengan satu orang dewasa. Ia yakin jika kereta ini adalah kereta yang sama yang digunakan untuk mengantar barang-barangnya, maka kereta itu pasti harus melakukan dua atau tiga kali perjalanan bolak-balik untuk mengantar seluruh koleksi buku dan perlengkapannya.

    Sepanjang perjalanan menuju Morbos, Darien berusaha untuk mengingat kembali apa yang diketahuinya tentang Vitum. Ada dua desa kecil di Vitum, yang pertama adalah desa nelayan, yang juga menjadi desa pelabuhan tempat kapal Darien melabuh, Pato. Sesuai dengan lokasi geografisnya, masyarakat Pato mencari nafkah dari lautan. Sebagian besar dari mereka adalah nelayan, tentu saja, tapi sisanya menghidupi diri dengan menyediakan jasa transportasi. Menyewakan kapal mereka untuk mengantar penduduk ke pulau utama, atau mengantarkan hasil laut dan bumi pulau Vitum untuk dijual ke Roselan.

    Morbos sendiri adalah desa pertanian. Masyarakat Morbos menghidupi diri dari bercocok tanam, dan mengembalakan hewan. Lokasi desa yang berada di tengah-tengah pulau, berbatasan langsung dengan hutan Samsara, hutan yang luasnya memenuhi separuh pulau. Dari apa yang dibaca Darien, hutan Samsara adalah hutan yang dianggap suci oleh penduduk Vitum, tapi apa yang menarik perhatiannya tentu saja adalah potensi hutan itu dalam menghasilkan tanaman-tanaman obat. Alasan lain yang membuat Darien memilih Vitum sebagai tempat pelariannya.

    Tuan tanah Morbos, atau yang bernama Ho’okano Garvi Morbos, adalah penguasa dari seluruh pulau Vitum. Ia awalnya hanyalah seorang pedagang yang cukup sukses di Roselan. Tanpa setetes darah bangsawan pun di tubuhnya, Ho’okano mendapatkan gelar ksatria saat ia secara kebetulan menyelamatkan raja Dontae, kerajaan yang menjadi penguasa hampir separuh benua Arav, saat beliau hampir terjatuh dari kudanya. Sebagai tanda terima kasih, raja pun menghadiahi pulau Vitum, pulau yang menjadi tanah kelahiran Ho’okano, padanya dan memberinya kuasa atas pulau itu. Sesuatu yang sempat menjadi sensasi yang menghebohkan di Roselan beberapa tahun yang lalu.

    Darien mengintip sedikit keluar dari keretanya dan menikmati pemandangan yang ditawarkan pulau Vitum. Pepohonan, yang mengiringi perjalanannya menuju Morbos, tumbuh dengan jarak yang tidak terlalu padat, memberikan nuansa hutan yang terang namun rindang. Matahari yang belum terlalu tinggi perlahan menghapus sisa kabut embun yang tadinya menutupi pemandangan indah yang ditawarkan beragam kecantikan tumbuhan yang memenuhi Vitum. Hanya dengan memandang sepanjang pinggiran jalannya saja Darien seolah melihat harta yang terbuang di jalanan. Tumbuhan-tumbuhan obat yang sulit didapatkan dan bahkan memiliki harga yang tinggi di Roselan tampak subur memenuhi sela-sela pohon. Darien berharap koleksi buku yang dikirimkannya ke Vitum juga mencakup buku yang akan membantunya dalam bercocok tanam, karena ia tahu bahwa ia pasti akan menghabiskan banyak waktu untuk berkebun.

    Hutan yang perlahan menipis memberi tanda pada bahwa perjalanannya akan segera berakhir. Jalan berliku dan menanjak membawa kereta Darien menuju sebuah pelataran terbuka, sebuah dataran luas yang dipenuhi ladang-ladang pertanian dan pagar-pagar kayu yang membatasi segerombolan ternak untuk melarikan diri. Di tengah dataran itu, berdiri bangunan yang sudah pasti merupakan kastil Morbos. Bangunan, dikelilingi tembok menyerupai benteng, yang tampak baru, dengan rumah-rumah beratap jerami, berukuran kecil dan sedang, tersusun rapi disekitarnya.

    Hari jelas masih betul-betul pagi, tapi Darien dapat melihat dengan jelas kesibukan masyarakat Morbos. Beberapa dari para petani dan peternak yang sedang bekerja di ladang dan peternakannya tampak berhenti sejenak untuk memperhatikan kereta Darien, tapi tak sampai semenit kemudian mereka kembali sibuk dan memilih untuk menghiraukannya. Darien dapat melihat segerombolan anak kecil bersenda gurau sambil melaksanakan tugas-tugas kecil yang mungkin diperintahkan orang tua mereka pada mereka. Saat Darien seumuran mereka, orang tuanya telah mengirimnya untuk belajar dan mendisiplinnya setiap ia mengambil waktu untuk bersenda gurau ditengah pekerjaan rumahnya. Pemandangan wajah anak-anak ceria, seperti yang dilihatnya di desa ini, sama sekali tak pernah dilihatnya di Roselan.

    Keretanya berhenti di depan sebuah pondok kayu berukuran sedang yang, sama seperti kebanyakan bangunan di Morbos, beratapkan jerami. Pondok itu terletak sedikit tersembunyi di dalam hutan. Memberinya sedikit jarak dari pusat desa, namun tak terlalu jauh dari gerbang kastil. Darien masih dapat mencapai keduanya dengan berjalan kaki, tapi kerimbunan pohon disekitar pondok, yang sudah hampir pasti merupakan miliknya itu, tampak sedikit mengisolasinya dari Morbos dan kastil penguasanya. Darien menyukainya.

    Kusir kereta membantu Darien menurunkan kedua peti berukuran sedangnya ke depan pondok, dan kemudian menyerahkan sebuah kunci dan secarik surat padanya. Kusir itu kemudian melontarkan sebuah anggukan singkat, sebelum kemudian kembali menaiki keretanya dan berkendara menjauh menuju desa. Darien menatap kepergian pria itu dalam diam sebelum kemudian menatap sekelilingnya dengan takjub.

    Pondoknya jelas bukanlah sebuah bangunan yang megah. Sama seperti kastil yang menjadi tetangganya, bangunan tempat tinggalnya ini terlihat masih sangat baru. Tuan tanah Morbos jelas membangun pondok itu setelah ia menandatangani surat perjanjiannya, namun Darien tak dapat menemukan tanda-tanda kalau bangunan itu dibangun dengan terburu-buru. Pondok itu memang tidak besar, tapi struktur tembok kayunya terlihat kokoh, dan kuat. Pondok itu memiliki sebuah teras, dua buah jendela dengan ukuran yang cukup memadai, dan saat ia memeriksa ke belakang pondok, ia dapat menemukan sebuah halaman kecil untuk digarap sesukanya. Halaman yang berbatasan langsung dengan hutan Samsara. Sesuatu yang memang dimintanya dari tuan tanah Morbos, sebagai bagian dari surat perjanjian kerjanya.

    Darien menghela nafas dengan puas dan menggunakan kunci yang diberikan kusir tadi untuk membuka pintu pondoknya. Ia menemukan peti-peti berisi barang yang dikirimnya satu minggu lalu, tersusun rapi di pojok ruangan. Darien menggabungkan dua peti yang dibawanya dengan tumpukan peti itu dan mencermati setiap sudut pondok yang akan disebutnya sebagai rumah mulai saat ini.

    Secara garis besar, Darien mendapati pondoknya cukup nyaman. Pondok itu memiliki dua buah kamar tidur dengan perabotan yang cukup lengkap. Masing-masing kamar memiliki sebuah tempat tidur, lemari pakaian dan sebuah meja kerja. Darien tidak terlalu mengerti mengapa tuan tanah Morbos memberinya dua kamar, tapi ia menduga bahwa salah satu dari kamar itu adalah kamar tamu. Ruang utama pondoknya merupakan gabungan dari dapur, ruang makan dan ruang duduk. Sesuai permintaannya, tuan tanah Morbos menyediakan empat buah rak buku besar yang mendominasi dinding ruangannya. Koleksi buku Darien sebenarnya jelas akan melebihi keempat rak buku itu, tapi Darien sudah memutuskan untuk menempatkan buku-buku pentingnya ke rak buku, dan sisa bukunya akan ia simpan di kamar tamu, yang setelah melihatnya saja, Darien tahu akan menjadikan ruangan itu sebagai ruang kerja merangkap gudang. Darien bahkan dapat membayangkan kamar tamunya itu sebagai ruang praktik, jika ia membutuhkannya.

    Kamar mandi bukanlah suatu budaya umum untuk penduduk Vitum. Mereka biasa memilih untuk membersihkan dan menyelesaikan urusan sanitasi mereka lainnya di sungai, tapi Darien berasal dari Roselan, dan dia bersyukur setelah menegaskan hal ini di surat perjanjiannya pada tuan tanah Morbos, pria itu menepati janjinya dengan membangun sebuah kamar mandi kecil di luar pondok. Tidak jauh dari pintu belakang pondoknya. Hal lain yang disyukuri Darien tentu saja adalah teknologi pipa air yang untungnya telah diterapkan di Vitum. Darien tak harus menghadapi ketakutan terbesarnya untuk berjalan bolak-balik menuju sungai dalam memenuhi kebutuhan airnya. Bagaimanapun juga Darien adalah seorang tabib. Sanitasi diri adalah prioritas utama profesinya.

    Puas melihat-lihat pondoknya, Darien menghempaskan dirinya ke sebuah kursi tangan yang berada di dekat perapian dan membuka surat yang tadi didapatkannya bersama kunci pondoknya. Surat itu adalah surat undangan makan malam dari tuan tanah Morbos. Hal ini mengingatkan Darien pada kenyataan bahwa ia dan tuan tanah Morbos belum membicarakan masalah tunjangannya. Darien menerima panggilan ini hampir sepenuhnya atas tawaran bekerja di tempat terasing yang dilengkapi dengan tempat tinggal. Dari tawaran itu Darien hanya menambahkan keinginannya atas empat buah rak buku berukuran besar dan kamar mandi. Konyol, tapi bagi Darien itu sudah cukup.

    Sebagai tabib, Darien tidak terlalu membutuhkan banyak hal, dan seluruh peralatan yang ia butuhkan sebagai tabib telah ia miliki. Pekerjaan sebagai tabib sendiri biasanya tidak membutuhkan tunjangan, ia hanya menjual jasa. Pasien membayarnya sesuai tarif tindakan yang mereka butuhkan. Takaran tarif ini adalah harga jual larutan milagres, larutan yang digunakannya untuk mempercepat kembalinya sihir dalam tubuhnya. Salah satu esensi utama yang dibutuhkan seorang tabib.

    Selain sihir, esensi lain yang menjadikan seseorang seorang tabib adalah ilmu pengetahuan. Tabib merupakan cabang lain dari praktisi sihir yang mendalami ilmu kesehatan. Seseorang harus memahami struktur tubuh manusia dan cara kerjanya sebelum mereka dapat mempelajari cara menggunakan sihir untuk merajut kembali jaringan tubuh yang terluka, atau mempelajari apa yang menyebabkan terjadinya sebuah penyakit sebelum menggunakan sihir untuk menyembuhkannya. Sihir sendiri adalah amunisi yang terbatas untuk seorang tabib dan itulah yang menyebabkan tabib membutuhkan bantuan larutan milagres.

    Sihir tentu saja adalah energi murni yang dapat dengan sendirinya dihasilkan secara alami oleh tubuh, namun asupan energi ini terbatas dan jika seseorang menggunakan energi sihirnya secara berlebihan sampai ke titik penghabisan, hasilnya tentu saja akan sangat berbahaya. Darien sendiri pernah memaksakan dirinya bekerja tanpa memberi kesempatan bagi tubuhnya untuk beristirahat. Hasilnya ia harus menghabiskan seminggu penuh berbaring di rumah sakit. Tabib yang merawatnya mengatakan bahwa ia tanpa sengaja telah menghabiskan lebih dari separuh kapasitas sihir tubuhnya. Darien menertawakan kenyataan itu sekarang, tapi sejak saat itu ia tak pernah lalai memperbaharui simpanan larutan milagresnya.

    Tuan tanah Morbos memang telah menanyakan masalah tunjangannya saat ia menandatangani surat perjanjian kerjanya, tapi Darien selalu mengundur topik ini dengan alasan ia tidak dapat memberikan harga pasti sebelum ia melihat Morbos dengan mata kepalanya sendiri, dan sekarang ia telah melihat Morbos, atau paling tidak mengintip sedikit kehidupan Morbos. Ia memang dapat menyusun teori tentang kemungkinan-kemungkinan masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapinya di Morbos, tapi tarifnya tetap bergantung dengan berapa banyak jasa yang dapat dijualnya di desa kecil ini. Ini adalah masalah yang tak benar-benar ingin dipikirkannya.

    Setelah beberapa saat termenung di depan perapian kosong yang sama sekali tak membuahkan jalan keluar bagi permasalahannya, Darien pun memutuskan untuk menata ulang pondok yang menjadi rumah barunya itu. Satu per satu ia mulai membuka peti-peti yang berisikan seluruh buku dan perlengkapannya dan mulai menata barang-barang itu sesuai dengan kebutuhan dan seleranya.

    Menjelang tengah hari saat seluruh perlengkapan pertabibannya tersusun di atas meja, pakaiannya terlipat di lemari dan separuh rak buku keempatnya telah terisi, Darien memutuskan untuk beristirahat. Peluh keringat membasahi wajah dan tubuhnya dan perut kosongnya mulai menuntut makanan. Saat itulah Darien menyadari salah satu kebutuhan terbesar yang benar-benar dilupakannya. Ia membutuhkan makanan tapi ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cara memasak.

    Mengutuki prioritas hidupnya yang berantakan Darien pun akhirnya mengunci rumah barunya dan berjalan menuju desa untuk mencari makan. Ia benar-benar berharap desa ini memiliki rumah makan, karena jika tidak ia benar-benar harus mencari seseorang yang mau memasak untuknya di desa itu, dan membayar juru masak tiga kali sehari sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Sebelum ia menikah, pengurus rumah tangganya adalah orang yang bertanggung jawab untuk mengatur pelayan dan juru masak di rumah orang tuanya, makanan selalu tersedia di meja makannya tiga kali dalam sehari. Setelah ia menikah, Sabine lah yang memastikan bahwa ia bekerja dengan perut terisi. Setelah wanita itu meninggal, Darien hanya makan saat ia merasa lapar, dan itu tak sulit dilakukannya karena ia hanya perlu pergi ke rumah makan yang berada di sebelah apartemen atau kliniknya. Rumah makan kini tak ada di sebelah tempat tinggalnya. Desa Morbos baru saja memberikan tamparan pertama pada tabib baru mereka yang merupakan seorang anak kota yang tak tahu apa-apa.

    Saat akhirnya Darien tiba di desa, ia dapat merasakan jantungnya berdetak dengan cepat dan nafasnya terasa berat. Peluh keringat yang kini jelas mengguyur sekujur tubuhnya mau tak mau membuatnya melepas jubah tebal yang telah ia kenakan sejak ia berangkat dari Roselan, dan energinya yang telah terkuras mau tak mau membuatnya mencari tumpukan jerami terdekat dan menghempaskan dirinya ke sana. Darien benar-benar tak percaya kalau dirinya selemah ini. Desa Morbos memang dapat dijangkaunya dengan berjalan kaki, tapi desa itu jelas tidak berada dalam jarak yang cukup dekat untuk ia capai setiap kali ia harus mencari makan. Ia benar-benar harus mencari seseorang yang bersedia untuk menjadi juru masaknya.

    “Orang asing!” seru anak laki-laki berbadan lusuh lantang, sambil menunjuk kearah Darien. Darien langsung menegakkan dirinya dan menatap bocah itu dengan takjub. Ia sama sekali tak menyangka akan ada anak kecil yang menyatakan keberadaannya. Tak ada orang yang akan memperdulikan apa yang ia lakukan di Roselan. Ia dapat berguling di tanah selama setengah hari penuh tanpa ada orang yang mempertanyakan apa yang sedang ia lakukan, tapi di Morbos, baru sebentar ia menghempaskan dirinya ke tumpukan jerami, seorang anak tiba-tiba saja sudah menyerukan keberadaannya.

    “Kahuna! Berapa kali harus kukatakan padamu untuk—“ seruan seorang wanita yang mungkin adalah kakak atau ibu dari anak itu seketika terpotong saat wanita itu pun menyadari keberadaan Darien.

    “Siapa kau?” tanya wanita itu penasaran. Darien berusaha tersenyum ramah pada wanita itu dan membersihkan sisa jerami yang menempel pada pakaiannya, tapi sebelum ia sempat memperkenalkan dirinya, wanita itu tiba-tiba saja berbalik dan berteriak ke arah ladang yang berada tak jauh dari tumpukan jeraminya.

    “Iokina! Ulani! Cepat datang kemari! Ada orang asing di desa kita!”

    Dengan teriakan itu, usaha Darien untuk mencari makan pun berakhir dengan pertemuan pertama dirinya terhadap penduduk Morbos, karena setelah anak laki-laki, wanita, dan dua orang pria yang kemudian dipanggil wanita itu, satu persatu penduduk Morbos pun berdatangan, dan hanya dalam waktu singkat Darien telah dikerumuni puluhan atau mungkin ratusan orang yang menatapnya dengan penasaran.

    “Siapa kau anak muda?” tanya seseorang yang tampaknya termasuk tetua di desa itu. Darien hanya tertawa singkat untuk memperingan suasana. Ini benar-benar adalah kali pertama dalam hidupnya dikerubungi orang seperti saat ini.

    “Hai, namaku Darien! Aku adalah tabib baru yang dipanggil oleh tuan tanah Morbos untuk bekerja di desa ini!”

    Biarin wee hahahahaha, btw baru pertama kali dipanggil om
     
  5. Aries44 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Dec 13, 2012
    Messages:
    25
    Trophy Points:
    2
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +0 / -0
    Lanjutkan bro, karyany cukup menarik dengan setting tokoh utama yang ingin melakukan sesuatu hal
    dikarenakan kebosanannya terhadap tempat ia tinggal :ogcihui:
     
  6. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    Humm udah terlalu lama gak nongol
    Saatnya apdet

    “Seorang tabib?! Ho’okano benar-benar sudah keterlaluan!” umpat Kalea seraya mencincang daging di depannya dengan kasar. Wanita setengah baya itu bergerak dari satu sisi ke sisi lain dapurnya dengan gesit dan dalam sekejap saja aroma semur kentang daging seketika memenuhi ruangan kecil itu. Darien menelan air ludahnya perlahan, separuh untuk mencegah air liurnya menetes karena lapar, separuh karena gugup.
    “Tiga tahun bocah kota itu menghabiskan waktunya untuk membangun benteng dan rumah mewahnya yang tak berguna, dan begitu akhirnya ia pindah ke desa ini, ia membawa segala jenis sihir kota tempatnya tinggalnya ke desa ini! Kami tidak butuh tabib! Kami tidak perlu sihir!” runtuk Kalea seraya menghempaskan sepiring semur kentang daging dan segelas air ke hadapan Darien.
    “Kau dengar aku anak muda? Kami tidak membutuhkanmu!” sembur wanita itu lagi, kali ini langsung ke wajah Darien yang hanya mampu ditanggapi tabib muda itu dengan anggukan. Pria itu jelas-jelas sedang kelaparan, tapi perlakuan Kalea dan gerombolan penduduk desa yang kini menatapnya curiga dari jendela dapur sama sekali tak dapat membuatnya berani menyendokkan sesuap daging pun ke mulutnya.
    “Apalagi yang kau tunggu, hah? Kau kelaparan, kan? Kalea adalah juru masak terbaik di desa ini, apa kau mau menghinanya dan tak mau memakan masakan seorang wanita desa?” hardikan salah seorang penduduk desa yang diiringi caci maki penduduk desa lainnya dari jendela mau tak mau langsung menyentakkan Darien di tempat duduknya. Ia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sebelumnya.
    Roselan adalah kota yang dingin, jika orang membencimu, maka mereka akan membicarakanmu secara diam-diam dan tanpa sepengetahuanmu, tiba-tiba saja seluruh kota menjauhimu seolah kau adalah seorang pengidap penyakit menular. Meninggalkanmu sebagai seorang terkucil yang kebingungan. Hal ini sepertinya tidak berlaku di Morbos. Mereka memang menyatakan kebencian mereka secara terbuka, tapi saat perut pengkhianat Darien berseru nyaring menuntut makanan, mereka tetap secara suka rela menyodorkannya ke arah rumah penginapan terdekat dan memperkenalkannya pada Kalea. Warga Morbos tak dapat dikatakan ramah, tapi mereka cukup manusiawi untuk tidak membiarkan seorang pendatang kelaparan.
    Berusaha menghiraukan tatapan menusuk dari orang-orang disekitarnya, Darien pun menyuapkan satu potong daging ke mulutnya, suapan itu kemudian disusul oleh suapan kedua dan ketiga, dan tanpa ia sadari, tiba-tiba saja ia sudah mengais dasar piringnya dengan sendok. Berusaha mendapatkan tetesan terakhir kuah semur yang kini telah berpindah tempat ke perutnya. Ia tak benar-benar sadar apakah ia terlalu lapar untuk merasakan makanannya, atau makanan itu terlalu enak sehingga membuatnya kehilangan ingatan selama beberapa saat, tapi dua hal yang pasti tentu saja adalah kenyataan bahwa satu piring semur daging tidak cukup untuk membuatnya kenyang, dan ia ingat bahwa ia terlalu takut untuk meminta porsi kedua.
    “Te, terima kasih atas makanannya ...” ucap Darien pelan sambil membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat. Darien berniat untuk segera membayar makanan yang baru disantapnya dan berlari kembali ke pondok kecilnya, tapi Kalea jelas memiliki ide yang berbeda.
    “Jangan menghinaku anak muda! Tak ada pelanggan yang keluar dari kedai penginapanku dengan perut masih lapar. Semua orang makan sampai kenyang di tempat ini dan kau bukanlah pengecualian!” gertak wanita itu seraya dengan cepat mengisi lagi piring Darien dengan lebih banyak daging dan kentang. Gelasnya pun kembali diisi dengan air, dan setelah Darien menghabiskan porsi besar semur kentang daging keduanya, menandaskan minumannya sampai habis dan menyandarkan dirinya pada sandaran bangkunya dengan puas, barulah ia sadar bahwa tak ada satu pun dari penduduk desa di luar jendela dan bahkan Kalea yang menyela waktu makannya. Mereka hanya mengamatinya dalam diam. Kecurigaan masih tergambar jelas di wajah mereka, tapi Darien juga dapat menemukan rasa ingin tahu yang sangat dalam pada setiap wajah mereka.
    Darien masih cukup ketakutan dengan para penduduk desa itu, tapi dengan perut yang terisi cukup penuh, pikirannya menjadi jauh lebih jernih. Rasa percaya dirinya yang tadi kandas pun perlahan meningkat. Darien mengingatkan dirinya bahwa tidak hanya di pedesaan seperti ini, tapi bahkan di Roselan pun banyak orang yang tidak mau mempercayai ilmu pertabiban. Keluarga yang tak memiliki bakat sihir kebanyakan takut dengan sihir, dan Darien sering menemukan kasus dimana pasien yang datang padanya adalah orang-orang putus asa yang datang ke tabib dengan kepercayaan bahwa mereka akan segera mati. Kasus itu tak benar-benar sama dengan skeptisme penduduk desa terhadapnya sekarang, tapi tak ada juga bukti yang mengatakan bahwa ia tidak dapat mencoba melakukan pendekatan yang sama dengan kasus yang dihadapinya di Roselan.
    “Belum pernah dalam hidupku sebelum hari ini, aku menikmati makanan senikmat dua piring semur ketang daging yang anda sediakan bagi saya, Nyonya Kalea, dan untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih,” mulainya seraya berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan mendekati wanita setengah baya yang kini hanya mentapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
    Darien penasaran dengan apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan, tapi sebelum wanita itu membuka mulutnya, dengan cepat Darien terlebih dahulu mengeluarkan sepuluh keping uang perak dari saku bajunya dan memaksakannya ke tangan wanita setengah baya itu. Ekspresi wajah Kalea saat menerima kepingan uang itu sama sekali tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Mulut wanita itu tampak terbuka namun tak ada sedecit suara pun yang keluar dari mulutnya. Seulas senyuman terukir di ujung bibirnya, pendekatan pertama pada skeptisme masyarakat adalah membuat mereka senang.
    Darien tentu saja sadar bahwa ia sedang bermain curang. Sepuluh keping perak di Roselan mampu membeli persedian bahan makanan untuk satu minggu, dan harga bahan makanan di Roselan sendiri sudah dapat dipastikan lebih mahal setidaknya dua kali lipat daripada di pedesaan, tapi baginya, hal ini hanyalah pengorbanan kecil dalam menarik perhatian seluruh penduduk desa Morbos yang ia ketahui mengawasinya dari balik jendela kecil dapur sederhana penginapan tempatnya berada saat ini.
    “Saya sadar sepenuhnya bahwa keberadaan saya di desa ini tidak berterima dengan penduduk setempat, tapi saya ingin meyakinkan anda, Nyonya Kalea, bahwa saya tidak akan memaksakan sihir saya pada anda, ataupun teman-teman dan kerabat anda. Saya datang ke tempat ini jauh dari Roselan, tempat dimana saya melayani sebelumnya, meninggalkan koneksi dan kenyamanan, sepenuhnya untuk menjadi seorang pelayan Morbos, dan apabila saya dapat membantu anda dalam bentuk apapun saya akan dengan senang hati melakukannya!” ujar Darien dengan cukup lantang dan percaya diri. Pendekatan berikutnya pada skeptisme masyarakat adalah meyakinkan mereka bahwa ia melakukan pengorbanan dan datang dengan misi yang mulia, namun Kalea yang telah mendapatkan pendiriannya kembali, tampak sama sekali tidak terpesona dengan kata-kata Darien. Mulut wanita setengah baya itu kembali terkatup dan dari sorot matanya, Darien tahu kalau ia telah melakukan kesalahan.
    “Kalaupun aku ingin memerasmu, anak kota, aku hanya akan mengambil lima keping perak darimu!” ujar wanita itu dingin sambil mengembalikan lima keping perak ke tangan Darien, “Kau mengatakan bahwa kau meninggalkan koneksi dan kenyamanan kota untuk menjadi pelayan? Apa kau tak menyadari kondisimu?” tanya wanita itu lantang sambil membuka pintu belakang dapurnya dan memberi isyarat agar Darien segera keluar dari tempat kerjanya.
    “Kami mengasihanimu, anak kota! Bukan hanya karena kau tak pernah menikmati semur kentang daging masakanku, tapi juga karena kami tak pernah melihat manusia sekelaparan dirimu sebelumnya! Aku tak tahu apa yang orang kota lakukan dengan uang mereka, tapi jika sebagian besar dari mereka seperti dirimu, yang memiliki uang tapi tak bisa memberi rasa kenyang, maka kami tidak ingin berurusan dengan orang-orang sepertimu! Selamat siang!” tandas wanita itu lagi seraya menutup pintu dapurnya dengan keras di wajah Darien.
    ***
    “Tabib baru anda, tuanku,” umum kepala pelayan kediaman tuan tanah Morbos seraya menggiring Darien masuk ke ruang kerja tuannya. Pria itu sedikit menggantungkan kalimatnya untuk memberi efek dramatis sebelum menyebutkan nama tamunya, “Tuan Darien Otoniel Plouton.”
    Darien pernah melihat gambar ilustrasi Tuan tanah Morbos di surat kabar beberapa tahun yang lalu. Sekalipun Darien hanya melihat gambar itu sekilas dan kebanyakan surat kabar sering melebih-lebihkan ilustrasi mereka terhadap seseorang, tapi pria yang kini berdiri dari meja kerjanya itu jelas tampak jauh berbeda dari potret yang pernah dilihat Darien.
    Tuan tanah Morbos adalah seorang pria yang seharusnya hanya lebih tua dua tahun dari Darien, tapi kantung mata dan garis-garis wajah yang cukup dalam pada wajah pria itu membuatnya tampak sekitar lima sampai sepuluh tahun lebih tua.
    Tubuh pria itu berisi, tapi tak juga dapat dikatakan gemuk, sesuatu yang cukup membuat Darien takjub, mengingat pria itu dulunya adalah seorang pedagang, dan dari pengamatan Darien selama di Roselan, pedagang biasanya memiliki ukuran tubuh dua atau tiga kali lebih besar dari orang biasa, hal yang mungkin disebabkan oleh sedikitnya aktifitas fisik mereka.
    Tuan tanah Morbos memiliki kesamaan fisik khas penduduk desa Morbos, tubuh kekar berotot, rambut ikal dan mata yang berwarna gelap, dan wajah yang tampak ramah sekalipun tanpa dihiasi senyuman, tapi warna kulitnya yang memucat dan caranya membawa diri memberi tahu Darien perkiraan waktu yang telah dihabiskan pria itu di Roselan. Tuan tanah Morbos mungkin lahir di Morbos, tapi pria itu jelas menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Roselan.
    “Terima kasih, Marc. Jika kau tak keberatan, bisakah kau memeriksa ke dapur untuk memastikan kesiapan makan malam, dan beri kabar pada istriku jika semua persiapan sudah selesai!” suruh pria itu seraya memberi isyarat agar kepala pelayannya segera meninggalkan ruangan. Pria tua yang mendampingi Darien itu langsung membungkuk dalam sebelum berjalan ke luar dan menutup pintu ruangan di belakang punggungnya.
    “Senang akhirnya berjumpa dengan anda, Tuan tanah Morbos!” ucap Darien seraya membungkukkan tubuhnya dengan hormat, tapi sebagai ganti membalas salam perkenalan darinya, pria yang merupakan majikannya itu justru menghiraukan salam perkenalannya dan menghempaskan dirinya ke sofa terdekat.
    “Jangan membungkuk padaku Tuan muda Plouton, karena kita berdua tahu kalau nama bangsawanmu berada jauh di atas nama bangsawan baru sepertiku,” ujar pria itu yang langsung membuat Darien mengangkat kepalanya dengan bingung.
    “Panggil aku Ho’okano! Morbos adalah nama desa ini, dan Garvi adalah nama belakang istriku. Ho’okano sebagai gantinya adalah nama yang diberikan oleh ayah dan ibuku, dan kuharap kau mau memanggilku dengan nama itu, karena itu adalah nama panggilan yang kuharap digunakan oleh teman-temanku, dan aku sangat berharap kau mau menjadi temanku!” ujar pria itu lagi seraya memberi isyarat agar Darien mau duduk di sofa yang berada di depannya. Pria itu tampak menimbang pilihannya sejenak sebelum kemudian ikut menghempaskan dirinya ke sofa dan tersenyum.
    “Hanya jika kau setuju untuk memanggilku Darien!” ujarnya yang langsung membuat Ho’pkano tertawa.
    “Sampai saat kau memasuki ruang kerjaku ini, aku masih tak percaya kalau kau benar-benar menjawab panggilan iklanku!” ucap pria itu lantang yang membuat Darien mengangkat sebelah alisnya.
    “Oh, berhentilah bertingkah seolah kau tak tahu apa yang kau lakukan tuan Darien! Kau adalah putra pertama dari keluarga Plouton, ahli waris dari keluarga bangsawan Plouton. Keputusanmu untuk menjadi seorang tabib saja langsung membuat kegemparan besar-besaran di Roselan! Semua orang membicarakanmu, bahkan diriku yang sebelumnya hanyalah seorang pekerja bawahan keluarga Garvi, tahu tentang keputusanmu yang sensasional! Sampai saat kau menyelesaikan pendidikan tabibmu pun semua orang tetap membicarakanmu, dan di puncak karirmu sebagai tabib, tiba-tiba saja kau menjawab iklan tak berartiku ini?” seru Ho’okano setengah tidak percaya, “Kau pasti sudah gila!” serunya lagi yang kini justru membuat Darien yang tertawa.
    “Berita sampah itu memang sempat menjadi bintang sekitar sepuluh tahun yang lalu, Ho’okano, tapi aku rasa mengatakan bahwa orang-orang masih tetap membicarakanku sampai saat ini cukup berlebihan bukan?” tanya Darien di sela tawanya, “Saat aku mengambil keputusan untuk menjadi seorang tabib, orang tuaku langsung menggeser namaku dari posisi ahli waris dan menyerahkan posisi itu pada adikku. Aku membayar biaya pendidikanku dengan mengambil pinjaman hutang pendidikan dari bank, dan setelah pendidikanku selesai aku menghabiskan hampir seluruh karirku dengan bekerja di klinik kecil Roselan untuk membayar hutang. Aku yakin hal itu tak dapat kau katakan sebagai puncak karirku, bukan?” tanyanya lagi yang langsung membuat Ho’okano berhenti tertawa.
    “Hal itu mungkin bukan puncak karirmu, Tuan Darien, tapi dari apa yang kudengar kau berhasil membayar semua hutang itu dalam waktu dua tahun, dan hal itu sama sekali tak memberiku penjelasan mengenai keputusan yang kau ambil saat ini!” tandas Ho’okano sambil menatap Darien penuh selidik.
    “Mengapa kau meninggalkan Roselan, Tuan Darien? Dan kenapa kau memilih Morbos sebagai gantinya?” tanya Ho’okano pelan, “Tidak karena hutang. Aku sudah meminta seseorang memeriksa latar belakangmu untuk memastikan hal itu. Istrimu sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu, jadi rasanya cukup terlambat bagimu untuk bekerja di Morbos hanya karena kau patah hati, jadi kenapa?” tanya pria itu lagi seraya menatap mata Darien lekat-lekat.
    “Kenapa kau mempertanyakannya? Dari apa yang kau katakan, bukankah itu berarti aku adalah orang yang cukup memenuhi syarat untuk menjadi tabib Morbos?” tanya Darien yang seketika langsung membuatnya menyesal, karena pertanyaan itu seketika langsung menghapus senyuman bersahabat Ho’okano.
    “Tentu saja kau memenuhi syarat!” ujar Ho’okano kini dengan nada yang cukup dingin, “Aku harus menerimamu karena kau adalah satu-satunya tabib yang menjawab tawaran iklan yang kutaruh di surat kabar, tapi nama besarmu terlalu ajaib untuk desa kecil seperti Morbos, dan dari usiamu, kau tak bisa membuktikan padaku bahwa ini bukanlah sekedar keputusan impulsif belaka, dan aku tidak sedang mencari tabib secara impulsif! Aku membutuhkan seseorang yang bisa memenuhi kebutuhan Morbos secara permanen!”
    Darien menatap mata pria yang duduk di depannya itu dalam diam. Sesuatu dari nada bicara pria itu terasa seolah Ho’okano ingin memancing amarah Darien, tapi jika itu yang diinginkan majikannya, ia sama sekali tak ingin memberinya kepuasan. Pria itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dan tersenyum, “Jika itu yang kau inginkan, Ho’okano, kenapa kau tak mencantumkan persyaratan itu dalam kontrak yang kau kirimkan padaku, dan kenapa kau memancingku sampai ke pulau ini sebelum kau menanyakan hal itu padaku?”
    Seulas senyum kembali terkembang di wajah Ho’okano, “Itu karena aku membutuhkanmu bukan sebagai tabib,” jawab pria itu tenang. Senyum Darien lah yang kini hilang dari wajahnya.
    “Apa maksudmu?” tanya pria itu berusaha menjaga emosinya.
    “Oh, tenanglah, aku masih berharap kau mau menjadi tabib untuk Morbos, tapi apakah kau diterima di Morbos sebagai tabib atau tidak, sama sekali di luar kendaliku!” ujar Ho’okano seraya berdiri dan berjalan mendekati meja kerjanya.
    “Morbos tidak pernah percaya dengan ilmu pertabiban. Segala masalah kesehatan yang mereka alami, mereka serahkan kepada hutan Samsara. Mereka percaya kalau jiwa hutan Samsara menjaga dan merawat mereka. Jika mereka terluka, penduduk desa akan membalur luka mereka menggunakan tanah dan bubur daun dari hutan Samsara dan mereka akan sembuh, sebagai gantinya jika mereka meninggal tubuh mereka dikuburkan di dalam hutan Samsara sebagai perrsembahan pada sang hutan,” jelas Ho’okano yang langsung membuat Darien menyimak setiap perkataannya dengan cermat, “Saat ada yang sakit berat, orang sakit tersebut akan diasingkan ke dalam hutan karena dianggap telah dikutuk oleh jiwa hutan. Jika mereka sembuh dan kembali mereka dianggap telah dimaafkan, dan jika mereka tidak kembali tak ada yang akan mencari mereka karena mereka dianggap telah ditelan oleh jiwa hutan!” sambungnya lagi seraya meraih peta pulau vitum dari atas meja kerjanya dan menunjukkannya pada Darien.
    “Orang-orang sakit itu diasingkan ke pekuburan umum, sekitar sehari perjalanan ke arah barat laut dari kastil ini,” sambung Ho’okano lagi sambil menunjuk sebuah lokasi terpencil tak jauh di bagian barat laut kastilnya pada peta. Darien mencatat lokasi itu di kepalanya, tapi Ho’okano yang tampaknya memiliki ide yang sama dengannya langsung melipat peta itu dan menyerahkannya ke tangan Darien.
    “Terakhir kali mereka mengirimkan seseorang ke sana adalah sekitar dua tahun yang lalu, orang itu tak pernah kembali, dan aku secara pribadi tak bisa lagi menemukan jejaknya. Dari kondisinya, sayangnya, kurasa ia tak akan bisa bertahan hidup sampai sekarang,” keluh Ho’okano seraya kembali menghempaskan dirinya kembali ke sofa di depan Darien.
    “Aku tak bisa menjadikanmu tabib Morbos. Posisi itu hanya bisa kau dapatkan saat Morbos mau menerimamu sebagai tabib mereka, dan itu haruslah kau lakukan dengan usahamu sendiri. Aku tak dapat membantumu. Morbos masih terlalu menatapku sebagai orang asing untuk mau mendengarkan kata-kataku,” tegas Ho’okano akhirnya.
    “Posisi pertabiban tertinggi di desa ini yang dapat kuberikan padamu, adalah menjadi tabib pribadiku, yang aku yakin hanya akan menjadi hinaan ke wajahmu, karena aku sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di Roselan dari pada di desa ini,” ujar pria itu lagi yang mau tak mau membuat Darien tersenyum. Ho’okano mungkin tidak mengetahui alasan mengapa ia memutuskan untuk melarikan diri ke Morbos, tapi pria itu jelas cukup cerdas untuk menebaknya.
    “Langsung ke intinya, Ho’okano! Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Darien akhirnya yang langsung mengembalikan senyuman Ho’okano.
    “Aku sudah menyusun kata-kata yang tepat sejak hampir seminggu yang lalu, dan kau lebih memilih untuk mendengar langsung inti pembicaraannya?” tanya pria itu yang langsung membuat Darien menatapnya jengah. Ho’okano hanya tertawa.
    “Baik! Jika kau memang ingin tahu inti kata-kataku! Aku memancingmu untuk datang ke pulau ini agar kau mau menjadi penasihatku!” tukas pria itu akhirnya, yang tentu saja langsung membuat Darien terperangah.
     
    • Like Like x 1
  7. Irenefaye M V U

    Offline

    Beginner

    Joined:
    Nov 15, 2010
    Messages:
    278
    Trophy Points:
    77
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +444 / -0
    Sepinya tempat ini ... tapi tetep pengen nulis ahahaha
    *SAYA MASIH IDUP!--teriak2 gaje di lapak bulukan punya sendiri*
    Ya udah deh update aja

    Darien menyeka keringat di dahinya sambil memandang “Luau,” kedai merangkap penginapan milik Nyonya Kalea, wanita setengah baya yang tepat hari ini, telah satu minggu penuh menjadi orang yang memastikan perut Darien penuh. Tubuhnya berbalur lumpur hampir dari puncak kepala sampai ke ujung kaki, dan aroma yang dikeluarkannya jelas tak jauh dari bau kotoran ternak, tapi Darien kelaparan. Dia tahu Kalea tak akan membiarkannya pulang dengan perut kosong, sekalipun ia kini lebih mirip patung lumpur berjalan, ketimbang seorang tabib.
    Jika harus berkata jujur, Darien sendiri pun tak merasa kalau dirinya, selama satu minggu terakhir ini, adalah seorang tabib. Penduduk desa Morbos sama sekali tak ada satu pun yang mencarinya untuk berobat, dan sekalipun Darien telah menawarkan jasanya untuk menolong setiap orang yang ditemuinya, sedikit orang yang mau ditolongnya itu pun hanya meminta bantuan dalam kegiatan bercocok tanam atau berternak. Bisa dikatakan, satu-satunya kegiatan yang mungkin dapat dihubungkan dengan dunia pertabiban yang dilakukannya di desa ini hanyalah saat salah satu penduduk desa memintanya membantu persalinan bayi ternak pagi ini. Hal yang juga menjadi alasan mengapa sekujur tubuhnya kini berbalur lumpur.
    “Kau pasti bercanda!” desis Kalea begitu melihat Darien memasuki kedainya. Wanita setengah baya itu langsung dengan sigap meraih lap basah dari dekat ember air cucian piringnya dan melemparkan kain itu ke wajah Darien.
    “Lepaskan sepatumu dan bersihkan tangan dan wajahmu!” seru wanita itu seraya mendorong Darien keluar beberapa langkah dari kedainya. Nyonya Kalea memiliki sebuah basin berisikan air untuk memberi minum kuda di luar kedainya, dan ke sanalah wanita setengah baya itu mendorong Darien.
    “Kau pasti gila jika kau berharap aku akan menyediakan makanan untukmu dengan penampilan seperti ini? Lagipula pekerjaan apa lagi yang kau lakukan kali ini sampai seluruh tubuhmu ditutupi kotoran seperti ini?” tanya wanita itu seraya mengisi gayung air di dekatnya dan menyiramkan isinya ke badan Darien.
    Seperti biasa Darien hanya membalas omelan dan perlakuan sedikit kasar dari Nyonya Kalea dengan senyuman. Berada di desa ini selama satu minggu mungkin tak cukup untuk membuatnya belajar banyak mengenai desa Morbos, tapi menghabiskan setiap waktu makan siang di Luau membuat Darien tahu kalau dibalik sifat kasar dan nada tinggi Nyonya Kalea, tersimpan wanita penuh perhatian dan kasih sayang. Bagi Darien, perlakuan yang didapatnya dari Nyonya Kalea ini mungkin adalah pengalaman pertama yang baginya paling dekat dengan perlakuan dari seorang ibu terhadap anaknya.
    “Aku membantu Akamai, salah satu lembunya mengalami persalinan yang sulit!” ujar Darien seraya menggunakan kain lap yang tadi dilemparkan Nyonya Kalea ke wajahnya untuk menyeka sisa-sisa air dan kotoran dari wajah dan tangannya. Sebagian besar tubuhnya masih tertutup lumpur, tapi ia tak lagi menyerupai patung lumpur berjalan sekarang. Wanita setengah baya di hadapannya itu hanya menghela napas panjang sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan masuk ke kedainya sambil menggerutu. Darien baru akan mengikuti langkah wanita itu saat, tak sampai semenit kemudian, Kalea keluar dengan senampan penuh makanan dan segelas besar minuman hangat.
    “Tak ada tempat untuk penyihir kuyup sepertimu di kedaiku hari ini! Aku tak mau seluruh lantaiku basah dan penuh lumpur karena ulahmu!” seru wanita itu seraya menyodorkan nampan makanannya ke dada Darien, yang langsung disambut pria itu dengan cengiran lebar.
    “Aaw, Ibu, kau tak harus mengusir pelangganmu dari kedai hanya karena aku pulang hari ini ... kau tahu aku tumbuh bersama para petani dan peternak berbalur lumpur, kan?” seruan dari seberang jalan seketika langsung membuat baik Darien dan Kalea menoleh.
    Seorang pria yang bagi Darien, tampaknya beberapa tahun lebih muda darinya, berdiri dengan tangan terentang dan cengiran yang bahkan lebih lebar dari cengiran Darien. Darien tak pernah melihat pria itu sebelumnya, tapi Kalea jelas sangat mengenal pria itu karena kini wanita setengah baya itu telah melupakan dirinya dan berlari menghampiri pria itu dan memberinya sebuah pelukan erat.
    “Keahi! Kau tak bilang kalau kau akan datang pada jam makan siang?” seru wanita setengah baya itu girang seraya menangkupkan kedua tangannya di wajah pria yang dipeluknya. Darien mencermati pria itu selama beberapa saat dan menyimpulkan kalau pria itu adalah putra dari Nyonya Kalea yang ia dengar selama ini bekerja di Pato.
    “Dan kau adalah orang asing!” ujar pria yang dipanggil Kalea sebagai Keahi itu seraya menatap Darien. Tidak dengan nada menuduh, tapi lebih ke arah nada bersahabat, yang tentu langsung membuat Darien tersenyum.
    “Hai, aku Darien!” ujar pria itu ramah sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
    “Aku Keahi! Senang berkenalan denganmu!” alih-alih menjabat tangannya Keahi langsung merangkul Darien dalam sebuah pelukan besar, dan saat Darien mengatakan “Besar,” hal itu bukan berarti kalau pelukan Keahi adalah sebuah pelukan bersahabat yang sangat erat, tapi lebih ke arah karena Keahi memiliki tubuh yang ukurannya hampir tiga kali dirinya. Dalam sekejap saja Darien sudah tenggelam dan hampir kehabisan napas.
    “Keahi! Lepaskan pria malang itu!” seru Kalea tegas yang langsung membuat Keahi melepaskan Darien dari pelukannya, tertawa dan menepuk-nepuk pundak Darien dengan keras.
    “Oh, ayolah ibu, selama hampir tiga puluh tahun aku tinggal di pulau ini, aku tak pernah melihat orang seperti dirinya berada di desa kita! Dari warna kulitnya aku yakin dia pasti orang dari Roselan!” seru Keahi lantang. Suaranya yang kuat jelas langsung menarik perhatian penduduk desa baik yang sedang berada di dalam kedai atau pun yang sedang beristirahat di ladang sekitar Luau. Dalam sekejap saja hampir seluruh desa sudah mengelilingi mereka dan menyambut kedatangan Keahi. Darien seolah melihat kembali adegan kedatangannya ke desa ini, tapi jelas dengan suasana yang jauh lebih bersahabat dan Keahi jelas mampu mengendalikan masa yang mengerubunginya.
    Sekali pun begitu, dengan cepat Darien dapat membaca kalau keberadaan dirinya jelas tetap menjadi salah satu berita besar di desa mereka. Saat orang-orang akhirnya memberi mereka kelonggaran dan kembali mengerjakan kegiatan mereka masing-masing, Keahi kini telah tahu kalau Darien adalah seorang tabib, dan dia bekerja untuk Ho’okano, yang dari kata-kata penduduk desa, tampaknya dipandang sebagai penguasa yang sombong. Sesuatu yang uniknya justru membuat Keahi tertawa.
    “Aku dan Ho’okano tumbuh bersama, tapi saat kami berumur tiga belas tahun, Ho’okano memutuskan untuk berguru pada seorang saudagar kaya yang kemudian membawanya ke Roselan, dan aku berguru pada nelayan di Pato,” jelas Keahi setelah Kalea akhirnya menyeret mereka berdua masuk ke dalam kedai dan menyediakan makanan untuk keduanya. Jelas benar-benar lupa kalau tubuh Darien sebenarnya masih separuh tertutupi lumpur.
    Tak butuh waktu lama bagi Darien untuk menyukai Keahi, karena seperti Ho’okano, pria itu adalah seseorang yang berpikiran cukup terbuka dan sangat bersahabat. Pria itu menjelaskan kalau pada dasarnya penduduk desa Morbos adalah orang-orang yang ramah, tapi juga sangat keras kepala. Hal inilah yang membuatnya merasa yakin kalau desa Morbos tidak akan dengan suka rela menerima ilmu pengobatan dengan sihir seperti yang kebanyakan dipakai di perkotaan. Berbeda dengan penduduk desa Pato yang lebih dekat dengan pelabuhan sehingga mereka lebih mudah berbaur dengan orang asing.
    “Mungkin seharusnya kau bekerja di Pato, Darien. Di sana keberadaanmu jelas akan jauh diterima. Mereka tidak memiliki akses sedekat penduduk desa Morbos ke hutan Samsara, sehingga kepercayaan mereka atas hutan Samsara tak sekuat Morbos!” ujar Keahi yang mau tak mau membuat Darien tersenyum.
    “Terima kasih, Keahi, tapi mungkin aku akan mencoba menolong orang-orang di desa ini terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, Ho’okano memanggilku ke desa ini dan bukan ke Pato,” ujar Darien yang akhirnya membuat Keahi ikut tersenyum.
    “Aku menghargai keputusanmu, Darien, tapi jika ada penduduk desa di Pato yang membutuhkan bantuan, kau pasti akan tetap datang jika kupanggil kan?” tanya pria itu setengah tertawa, yang langsung dijawab Darien dengan anggukan.
    “Aku akan mengunjungi siapa saja yang membutuhkan bantuanku di pulau ini! Kau tak perlu meragukan integritasku untuk hal ini!” jawabnya mantap.
    ***
    Pada hari ke-dua setelah kedatangan Keahi, Darien akhirnya tahu bahwa kedatangan pria itu tak serta merta hanya untuk mengunjungi ibunya. Ho’okano mengatakan bahwa istri Keahi sedang hamil besar di Pato dan Keahi datang ke Morbos untuk mencari tumbuhan obat di hutan Morbos. Sesuatu yang sebenarnya amat disayangkan oleh Ho’okano karena tindakan ini dipandangnya sebagai tindakan yang tidak bijak.
    “Kenapa?” tanya Darien penasaran.
    “Keahi mencari tumbuhan obat yang oleh penduduk desa ini dikenal sebagai Pepefitro,” Ho’okano berusaha menjelaskan. Darien mengangkat sebelah alisnya dengan bingung.
    “Kau mungkin mengenalnya sebagai Skotivaria!” kali ini penjelasan dari Ho’okano mulai dapat dipahami oleh Darien.
    Skotivaria adalah tumbuhan yang menjadi komposisi utama larutan obat yang banyak dipakai oleh seluruh tabib di Dontae. Tumbuhan ini memiliki khasiat untuk membersihkan darah dari kuman, dan merupakan tumbuhan yang memiliki harga jual sangat tinggi di Dontae. Tumbuhan ini bahkan dipercaya menjadi salah satu penyebab kerenggangan hubungan kerajaan Dontae dan Alantis, karena Alantis percaya kalau Dontae secara sengaja membatasi pasokan tumbuhan ini ke Alantis. Secara garis besar tumbuhan ini adalah salah satu komoditi terbesar kerajaan Dontae.
    “Skotivaria tumbuh di Samsara?” tanya Darien tak percaya. Ho’okano hanya tersenyum.
    “Kau sudah melihat tumbuhan di pinggiran hutan Samsara, Darien, dan aku percaya, setelah melihat kondisi tanah di pulau ini kau sendiri memiliki keinginan untuk menanam Skotivaria di belakang pondokmu. Aku rasa itu alasan kenapa kau memintaku untuk membangun pondok dengan halaman yang berbatasan langsung dengan hutan Samsara, pelataran kecil yang jelas sekali akan kau gunakan untuk bercocok tanam,” jawab Ho’okano yang langsung membuat Darien tersenyum.
    Entah untuk keberapa kalinya ia merasa kalau ia terlalu meremehkan kepintaran Ho’okano. Pria itu mungkin tidak memiliki pendidikan setinggi dirinya, tapi itu sama sekali bukan alasan untuk menyatakan bahwa Ho’okano tidak tahu apa-apa. Bagaimanapun juga pria itu telah membawa dirinya dari seorang anak tak berada dari sebuah desa kecil di Vitum dan kemudian diangkat menjadi tuan tanah Morbos.
    “Pepefitro, atau Skotivaria itu sayangnya bukanlah tumbuhan yang bahkan untuk hutan Samsara pun dapat dengan mudah ditemukan. Pinggiran hutan Samsara mungkin cukup aman untuk para penduduk desa ini, tapi hutan Samsara sendiri merupakan hutan yang tak dapat dikatakan aman, bagaimanapun juga penduduk desa ini jelas memiliki alasan yang kuat untuk menganggap hutan itu suci,” jelas Ho’okano seraya kembali merentangkan peta pulau Vitum di hadapan Darien dan menunjuk ke arah sebuah air terjun yang berada di tengah-tengah peta.
    “Pepefitro yang paling sering ditemukan di hutan Samsara, berada di celah bebatuan air terjun Samsara, tempat yang dipercayai oleh penduduk Morbos sebagai sumber air tersuci hutan Samsara, dan mengambil tumbuhan ini di hutan Samsara, termasuk kedalam salah satu pengadilan suci terbesar desa ini,” Ho’okano mengakhiri penjelasannya seraya menyeruput teh hangat yang tersedia di depannya.
    “Pengadilan suci terbesar desa Morbos?” tanya Darien tak mengerti.
    “Desa ini percaya bahwa air terjun Samsara adalah salah satu bentuk tangan penguasa Samsara, dan Pepefitro termasuk dalam daftar tumbuhan obat dewa untuk desa ini, yang artinya untuk mendapatkannya kau harus memohon kepada penguasa Samsara. Jika Keahi ingin mendapatkan Pepefitro, maka dia tidak diperbolehkan untuk menggunakan ********** apapun dalam menggapai tumbuhan itu. Jika ia terjatuh, terluka dan bahkan kehilangan nyawanya, itu berarti penguasa hutan Samsara tak mengizinkannya untuk mendapatkan tumbuhan itu!” jelas Ho’okano yang langsung membuat Darien tertegun.
    “Apa yang terjadi jika ia menggunakan **********?” tanya Darien.
    “Mengasumsikan ia berhasil dan tidak tertangkap oleh para penduduk desa ini, penduduk desa percaya bahwa ia akan mendapatkan kutukan dan tumbuhan obat yang didapatkannya tidak akan berkhasiat apapun.”
    “Jika ia tertangkap?”
    “Tetua Morbos akan menghujamnya dengan pisau upacara, dan meninggalkannya di hutan Samsara selama tiga hari. Jika ia berhasil bertahan hidup, maka itu berarti penguasa hutan ini memberinya izin untuk membawa tumbuhan obat itu, dan jika ia mati maka ia akan dilemparkan ke dalam gua pekuburan tanpa mendapatkan upacara layak,” jawab Ho’okano seraya menunjuk sebuah gua kecil yang berjarak tak jauh dari air terjun pada peta.
    “Dari mana kau tahu semua ini?” tanya Darien setengah tak percaya.
    “Kau menanyakan padaku bagaimana aku tahu tradisi desa tempat kelahiranku?” Ho’okano balik bertanya.
    “Bukan! Bagaimana kau tahu kalau Keahi mengincar Skotivaria?” tanya Darien gusar.
    “Ah, dia datang ke kediamanku kemarin malam dan memberitahuku tujuannya datang ke Morbos,” jawab Ho’okano tenang, yang membuat Darien ingin meninju pria yang dapat dihitung sebagai majikannya. Ia sama sekali tak percaya kalau Ho’okano dapat membiarkan seseorang yang diperkirakan Darien sebagai salah satu temannya, untuk pergi mempertaruhkan nyawanya begitu saja.
    “Jangan merisaukan dirimu untuk menghawatirkannya, Darien. Aku telah secara pribadi memperingatkannya untuk menghentikan pikiran gilanya, dan orang tak tahu diuntung itu sama sekali tak mengindahkan peringatanku. Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan saat ini adalah berdiam diri dan tidak memberi tahu penduduk desa. Selama tak ada satu orang pun selain kita yang mengetahui hal ini, maka itu adalah cara teraman untuk melindungi pria bodoh itu!” gerutu Ho’okano dengan sedikit emosi yang akhirnya memberi tahu Darien bahwa tingkah tenang pria itu hanyalah sandiwara belaka. Dia dapat menebak jika ia sedikit mendorong lebih jauh emosi Ho’okano, pria itu pasti akan meledak.
    “Kapan dia akan pergi untuk mengambil Skotivaria?” tanya Darien akhirnya.
    “Nanti sore. Dia memintaku untuk meminjaminya kuda, dan beberapa perlengkapan untuk membantu pendakiannya,” jawab Ho’okano singkat.
    “Itu artinya dia tidak akan mengikuti upacara suci tanpa alat?”
    “Kurasa sejak kami memutuskan untuk meninggalkan Morbos di usia tiga belas tahun dulu, kami berdua sudah memutuskan bahwa kami tidak lagi mengindahkan budaya dan kepercayaan desa ini!” terang Ho’okano yang hanya dapat membuat Darien menghela napas panjang.
    “Kau akan mengikutinya kan?” tanya Darien yang lebih menyerupai pernyataan ketimbang pertanyaan. Ho’okano hanya tersenyum dan mengangguk.
    “Itu artinya aku juga akan ikut dalam petualangan gila kalian ... lagipula jika dia Keahi benar-benar berhasil memetik Skotivaria di sana, itu juga berarti aku bisa mencari cara untuk mendapatkan benih Skotivaria dari tempat itu,” tandas Darien akhirnya yang mau tak mau membuat Ho’okano tersenyum.
    “Kurasa aku tidak cukup bijaksana saat memilihmu untuk menjadi penasihatku ...” ujar pria itu yang langsung membuat Darien menatapnya dengan tatapan jengah.
    “Bagaimana tidak, bukannya menasihatiku untuk tidak mengikuti misi gila sahabatku, kau malah memutuskan untuk ikut denganku!” seru pria itu lagi sambil tertawa. Darien hanya menatapnya dalam diam sebelum kemudian menghela napas sekali lagi.
    “Jika kalian harus mempertaruhkan nyawa kalian dalam petualangan gila, mungkin lebih bijaksana untuk membawa seorang tabib yang bisa melakukan sihir, ketimbang menasihati kalian untuk tidak gegabah!” gerutu Darien kesal yang langsung membuat Ho’okano tersenyum lebar.
    “Bilang saja kau takut jika aku mengalami kecelakaan dalam perjalanan ini, desa ini pasti akan mengusirmu!” seru Ho’okano yang langsung membuat Darien memutar bola matanya dan mengutuki nasibnya yang mendapatkan seorang petinggi yang jelas memiliki otak tak waras.
     
    • Like Like x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.