1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Konsenkuensi Mereka yang Melakukan Perbuatan Tak Seonoh di Sekolah

Discussion in 'Fiction' started by mabdulkarim, Feb 4, 2016.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    Coba bikin cerita di sini..
    Kali aja dapat kritik dan masukan sehingga bisa dikembangkan jadi novel...
     
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    I.Koneskuensi Perbuatan Tak Seonoh Mereka

    “Menurut kesaksian guru berinisial A, di ujian nasional tahun 2012-2013 terjadi manipulasi nilai besar-besaran. Manipulasi nilai diterangkan olehnya –yang tak boleh disebutkan namanya tersebut– terjadi karena ada beberapa siswa di sekolah ini mendapatkan nilai di bawah ambang batas yang ditetapkan Kementerian Pendidikan. Namun dalam hal memanipulasi sekolah ini, pihak sekolah yang bekerja sama diam-diam dengan dinas pendidikan setempat kota Run mengurangi beberapa nilai yang kebagusan menurut mereka dan memberikannya kepada yang kurang sekali.”


    “Apakah ini memang benar-benar terjadi?” gumam Anna berhenti mengetik sembari melihat tulisannya. “Harus ada bukti lebih selain wawancara sama Pak Anang. Kalau tidak ini bakal jadi fitnah luar biasa!”


    “Ini akan menjadi berita yang menarik, tapi menyulitkanku...”


    Anna melihat sudah jam 5.30 dan ia melihat sudah tak ada orang lagi di ruangan eskulnya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengunci ruangan tersebut dan pergi pulang.


    Situasi di sekolah Anna sekarang sangat sepi. Semua orang telah pulang karena semua kegiatan eskul seperti futsal, basket, marawis, marching band, dan weebo club atau resminya Japanese Club. Memang cukup banyak eskul-eskul di sekolah ini dan yang dipilih Anna adalah eskul pers sekolah. Sebagai anggota jurnalis junior, artikelnya sudah sering masuk di rubik utama majalah dinding sekolah dan dengan bahasa yang enak dibaca semua orang membuatnya menjadi salah satu orang penting di dunia majalah dinding sekolah yang eskulnya bernama Media Remaja Run 1. Kemampuannya tersebut mulai menyaingi senior-seniornya di semester dua ini bahkan bisa dibilang ia adalah anggota terbaik di Mejaru –singkatan dari eskulnya Anna. Biasanya ia menulis artikel-artikel kriminal remaja yang kritis di blog sekolah seperti tawuran, narkoba, dan hamil di luar nikah, tapi kalau di hari Jumat, dia akan menulis cerita komedi dan di hari kamisnya menulis cerita Romantic-Comedy. Hal ini dikarenakan anggota Mejaru hanya 9 orang dan mulai terpecah semenjak Anna aktif menulis artikel kriminal. Banyak senior yang ingin mengusirnya karena khawatir akan menghancurkan Mejaru, tapi ia masih bisa dilindungi oleh beberapa senior kelas 3 yang selalu backing. Anna tak suka dengan kondisi seperti ini dan ingin mengubahnya dengan menaklukan total Mejaru karena para senior tersebut akan pergi setelah kelulusan mereka.


    “Sepertinya ada yang terlupakan...” gumam Anna berhenti di gerbang sekolah. “Tapi apa ya?”


    Ia melihat semua yang ia bawa di baju dan roknya. Setelah dirasa tak ada yang hilang, ia melepas tas ranselnya dan melihat isinya. “Oh ya, kamera!” katanya lalu bergegas kembali ke kelas.


    Anna telah sampai di gedung satu di mana kelasnya berada yaitu 10-2. Ia berjalan santai di koridor gedung dan sesampainya di mulut pintu, ia langsung bersembunyi di balik pintu karena melihat seseorang di dalam kelas. Diam-diam ia menaikan sedikit kepalanya di jendela dan melihat dua orang lelaki yang berseragam putih abu-abu sepertinya sedang berdekap cukup mesra dengan sang pemeluk yang bernama Alan merangkul pinggang pasangannya, Yoko. Anna terperangah melihat kedua pria tersebut sedang bercium dan tanpa membuang waktu, ia langsung mengambil ponselnya dan memotret agedan yaoi nan panas tersebut berkali-kali!


    Merasa ada yang memotert, Yoko langsung melepas pelukan Alan dan memukul muka Alan sekencang-kencangnya. Alan terkapar lemah di lantai. Yoko membersihkan bibirnya dengan lengan baju kirinya dan merasa ada yang memperhatikannya, ia menoleh ke pintu dan melihat Anna masuk ke dalam sambil tersenyum tipis. Yoko mematung melihat kemunculan sang pemotret yang pergi ke tempat duduknya dan mengambil kamera yang ada di laci meja.


    “A-Anna, ini kesalahpahaman!” seru Yoko.


    Anna mengarahkan kameranya ke Yoko dan memotretnya. Blitz kamera tersebut membuat mata Yoko beberapa detik tak bisa melihat. Alan bangkit dan terkejut melihat kemunculan Anna, orang yang ia sukai.


    “Kalian mau foto yang tadi ku-tag di akun facebook kalian dan mention di twitter?” tawar Anna kepada Yoko.


    “Sudah kubilang tadi, itu hanya kesalahpahaman!”


    “Kesalahpahaman apa? Kalian tadi berciuman cukup mesra. Kalian mau lihat foto kalian? Ini!” kata Anna memperlihatkan gambar Yoko dan Alan berciuman di ponselnya. Gambar tersebut membuat sakti mata Alan dan Yoko sampai-sampai Yoko menjerit-jerit sambil menutup matanya.


    “Anna, dengarkan aku! Tadi beberapa menit lalu aku datang ke kelas setelah main-main di belakang sekolah dan melihat bocah laknat ini tidur. Aku mencoba membangunkannya tapi... DIA MALAHAN LANGSUNG MEMELUKKU DAN MENCIUMKU!” tutur Yoko marah lalu menghempaskan tonjokan keras ke Alan. Alan kembali tersungkur di lantai dan lukanya kali ini cukup menyakitkan untuknya. “Pasti karena memimpikan sesuatu sampai-sampai celananya basah. Lihat!!” kata Yoko menunjuk celana abu-abu Alan yang ada sedikit basah. Entah basah apa tapi Anna dan Yoko sudah bisa menebak.


    “Tapi apa yang kulihat kalian berdua menikmatinya bagaikan kekasihan. Nanti akan kutulis foto kalian ‘dua homo mengekspresikan cintanya’.”


    “ANNA!” sahut Alan yang baru saja bangkit. Ia langsung menghampiri Anna dan memegang kedua pundak jurnalis tersebut. Aksi tersebut mengagetkan Yoko dan Anna. “Jangan lakukan hal tersebut! Kalau tidak akan kucium kau!” ancam Alan mengegerkan Yoko dan Anna.




    Anna naik pitam. Ia yang merasa dihina itu langsung menghempaskan tinju ke perut Alan dan membuat korbannya pingsan. Wajar saja karena ia pernah ikut silat pas SMP bahkan pernah ikut lomba tingkat kabupaten dan meraih juara harapan.


    “K-Karena kalian telah menghinaku akan kusebar foto kalian!” ujar Anna kesal sembari mengunggah foto-foto homo Alan dan Yoko ke semua media sosial yang ia ketahui. Ia menulis di judul foto tersebtu ‘dua homo mengekspresikan cintanya’.


    “Anna, jangan!!” teriak Yoko menghampiri Anna. “Akan kulakukan apapun yang kau minta dengan syarat hapus foto tersebut!!” ujar Yoko yang tak tahu harus berkata apa. Reputasinya sebagai murid biasa yang suka mengkhayal akan hancur oleh foto tersebut.


    Anna sebenarnya tak ingin menyebar foto tersebut, namun karena Alan telah menghinanya, ia merasa perlu memberikan Alan dan Yoko pelajaran. Ia tak tahu harus meminta apa oleh Yoko. Kalau minta uang ia bukan tipikal seperti itu walaupun keluarganya terbilang kurang mampu. Sejenak ia memperhatikan Yoko. Anna mencoba mencari apa yang bisa ia dapatkan dari pria jangkung ini. Seingatnya Yoko itu suka menulis di blog apa saja, mau bahasan game atau sekolahnya bahkan khayalannya seperti ia menjadi seorang kaisar muda yang memperluas wilayahnya sampai ujung dunia karena terinspirasi oleh Alexander Agung dari Makedonia. Gaya penulisannya cukup menarik walaupun karya Yoko selalu ditolak penerbit. Mungkin karena ide ceritanya terlalu absurd dan penjabarannya yang mengerti hanya penulisnya. Jadi wajar saja kalau yang baca hanya 5 orang saja se-minggunya termasuk Anna di antaranya. Beberapa waktu ini mulai menyelediki bakat-bakat teman-teman sekelasnya dan mulai menaruh perhatian kepada Yoko. Anna yakin jika ia bisa mengeksplorasi bakat Yoko, beban menulis Anna akan berkurang.


    “Kalau begitu begini saja kau mengabdi menjadi asisten pribadiku selama 6 bulan dengan tes terlebih dahulu. Kalau kau menolak, akan kusebar sekarang juga fotomu! Begitu juga kalau kau gagal.”


    Yoko cukup terkejut dengan permintaan Anna. Kalau ia tolak harga dirinya akan hancur tapi kalau ia menerima, Yoko tak yakin apakah ia bisa lulus tesnya Anna. Ini memang permainan Anna dan dengan terpaksa ia harus menerimanya kalau ia ingin masa depan yang masih cerah. Mungkin Yoko bisa memaksa Anna dengan kekerasan untuk menghapus foto tersebut, tapi harus diingat kalau Anna adalah perempuan dan punya ilmu silat. Kalau Yoko mau coba, mungkin ia akan senasib dengan si mesum Alan.


    “Baiklah. Akan kuterima tantanganmu tersebut,” kata Yoko menerima tantangan.


    “Oke. Tes pertamamu adalah menyelidiki identitas Ilmi, teman kelas kita,” ujar Anna.


    “Ilmi? Siapa dia?”


    “Itulah tugasmu menyelidikinya. Besok sore tepatnya jam 5.15 di kelas ini aku minta kau melaporkan hasil penyelidikanmu.”


    “B-Baiklah. Akanku jalankan,” kata Yoko sedikit berat hati. Ia tak tahu apakah ia bisa mencari tahu lebih banyak soal Ilmi yang namanya saja baru ia dengar dan disadari sebagai teman sekelasnya.



    Gadis berkacamata tersebut pergi begitu saja dari kelas tersebut setelah menjepret Yoko dengan kameranya. Yoko yang ditinggalkan berdua dengan Alan yang masih pingsan itu mematung di depan papan tulis. Ia tak tahu mulai dari mana ia mencari tahu yang namanya Ilmi. Mungkin pertama-tama ia harus mencari tahu nama panjang dari Ilmi tapi hal tersebut bisa ia lakukan esok hari karena papan daftar siswa kelas ini sering dihapus-hapus teman-teman Alan yang iseng.


    ***

    40 menit yang lalu sebelum kejadian homo Yoko...


    Anna pergi ke toilet untuk buang air kecil dan di depan toilet antara laki-perempuan, ia tak sengaja menemukan bocah mirip anak SD tapi berseragam sekolahnya sedang memegang celana dalam perempuan berwarna hitam di antara pintu masuk toilet laki-perempuan.


    Anna tak mau membuang kesempatan emasnya tersebut. Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan memotert aksi mesum pelaku tersebut. Anak tersebut dengan gemetaran tak tahu harus berbuat apa. Ia langsung menyembunyikan celana dalam tersebut di saku celana belakangnya dan mengatakan, “A-Anu.. Apa yang kau l-lihat tadi..”


    “Oke, aku akan merahasiakan kau mengambil celana dalam cewek yang ketinggalan di dalam toilet tersebut, tapi apakah kau nafsu juga sama celana dalam pria?” tanya Anna melihat di tangan kanan bocah yang tingginya 155 meter tersebut memegang celana dalam pria berwarna putih. “Itu celana dalam Kepsek sekolah sebelah ya?” seloroh Anna menyeringai. Ia beberapa saat lalu mendengar kabar kalau STM tak terkenal di kotanya sedang tawuran sama SMAN karena masalah celana dalam Kepsek.


    Bocah tersebut tak menyadari kalau ada celana dalam tersebut di tangan kanannya. Ia baru ingat kalau celana dalamnya belum dipasang. Rasa malunya sudah mencapai batasannya. Kedua kakinya gemetaran dan kalau ia tak lari segera mungkin, ia akan bocor. Celana dalam cewek yang ia sembunyikan itu punya adiknya dan tak sengaja masuk di saku celananya yang diaduk-aduk adiknya yang masih SMP kelas 8 di tempat setrikaan. Ia baru menyadari hal tersebut beberapa waktu lalu. Dasar teledor, gumam bocah tersebut sedikit didengar Anna.


    “I-Ini kesalahpahaman!” kata bocah tersebut yang berancang-ancang lari. “I-Ini celana dalam Kepsek sebelah!” ujarnya berkilah.


    “Oke. Akan kurahasiakan hal ini dari orang-orang termasuk sekolah jawara tawuran. Tapi dengan syarat kau mau ikut permainanku. Apakah kau mau?”


    Bocah tersebut tak menyangka kalau Anna percaya kalau celana dalam ini celana dalam Kepsek tetangga. Akhirnya dengan berat hati, bocah tersebut mengangguk. Pada dasarnya ia ingin lari tapi ia takut kalau Anna akan menyebar fotonya dan menyebar rumor kalau ia pemicu tawuran STM padahal ia tak salah apa-apa.


    “Oke, caranya gampang: Kau selidiki siapa Arin dan beri aku jawaban di tempat ini di waktu yang sama.”


    “Arin? Siapa dia?” bingung bocah tersebut tujuh keliling. Maklum, murid baru.


    “Itulah tugasmu, Ilmi,” ujar Anna seraya meninggalkannya dengan masuk ke dalam toilet perempuan. Cukup kaget Ilmi mengetahui Anna mengenalinya padahal ia yang merupakan murid pindahan ini tak dikenali keberadaannya oleh teman-teman sekelasnya. Ia sendiri hanya mengenal beberapa orang termasuk Anna yang popularitasnya di kelas sebagai jurnalis Mejaru.


    ***

    40 menit sebelum Anna ke toilet


    Sebelum pergi ke ruangan eksulnya, Anna pergi ke perpustakaan sekolah. Di perpustakaan yang tak terlalu besar tersebut, ia menemukan tak ada orang di dalam perpustakaan tersebut.


    “Ke mana petugas? Padahal baru 15 bel pulang berbunyi?” gumam Anna sembari mengeliling lemari-lemari besi.


    AC perpustakaan tersebut masih menyala dan dinginnya cukup membuatnya kedinginan sehinga ia ingin cepat-cepat keluar untuk menghangatkan dirinya karena kalau tidak bisa-bisa ia mengantuk. Biasanya anak-anak laki kelas 11-12 pada lari ke perpustakaan kalau jam kosong. Bukannya untuk baca buku menambah ilmu malahan tidur-tiduran. Hal ini tidak dilarang petugas yang seharusnya bertindak karena ia ketiduran.


    Di celah-celah lorong lemari besi, Anna menemukan Arin, teman sekelasnya yang dulunya juara umum pas SMP, pernah masuk 5 besar di olimpiade matematika pas kelas 8 tingkat nasional, dan ranking 1 pas semester ganjil. Gadis berambut sedikit panjang sebahu tersebut sedang membaca suatu buku tulis. Merasa penasaran apa yang dibaca Arin sampai-sampai muka gadis tersebut tersipu-sipu, Anna mencoba melihat isi buku tersebut dari celah-celah lemari besi dan ia cukup terkejut melihat ada adegan homo yang mirip dengan aksi Yoko-Alan di buku tersebut yang merupakan komik amatir.


    Merasakan hawa keberadaan seseorang selain dirinya, Arin langsung menoleh ke belakang dan terkejut melihat Anna memotret dirinya membaca komik homo ini. Ia langsung reflek menyembunyikan komik tersebut ke dalam tasnya dan berkata dengan gemetaran, “I-Ini kesalahpahaman!”


    “Tenang kok, aku tak akan kasih tahu kalau kau pecinta komik homo,” kata Anna datar membuat Arin terkejut. “Fujoshi...” bisik kecil Anna yang pastinya tak dimengerti Arin.


    “Sudah kubilang, i-Ini kesalahpahaman!” seru Arin memerah mukanya. “A-Aku cuma dikasih komik buatan temanku dan mencoba bacanya.”


    “Tapi aku lihat kau menikmatinya. Aku tak pernah menyangka kalau anak pintar kelas 10 seperti kau ini ternyata seorang pencinta homo!”


    “T-Tolong, j-jangan kasih tahu orang lain!” pintanya memohon-mohon. “Reputasi aku a...” Arin kebingungan memilah kata. Karena ia kurang bersosialisasi dan takut salah dalam berbicara, jadinya ia selalu hemat dalam berbicara dan kalau berbicara terkadang-kadang lidahnya keselo.


    “Bisa saja dengan kau mengikuti permainanku,” kata Anna menjentikan jarinya. “Apakah kau mau?”


    Dengan berat hati, Arin yang tak tahu yang direncana teman jurnalisnya ini menangguk lemah setuju.


    “Gampang saja. Kau cari identitas Yoko dan kasih tahu hasilnya besok di perpustakaan ini di waktu yang sama. Kalau kau gagal atau tak memenuhi perjanjian ini, akan kusebar fotomu ini,” ancam Anna disertai senyuman tipis.


    “B-Baiklah,” jawab Arin berat hati. Ia tak yakin apakah ia bisa melaksanakan tugas yang dianggapnya lebih berat ketimbang soal olimpiade matematika. Ia tak pernah menduga kalau keberadaannya yang biasanya tak disadari banyak orang bisa diketahui Anna.

    Anna keluar meninggalkan perpustakaan setelah mengambil buku yang ia inginkan dan pergi ke ruangan eskulnya. Di sana ia bertemu dengan senior-seniornya yang sedang merancang majalah dinding untuk hari besok. Selain membuat majalah dinding, mereka juga membuat buletin mingguan yang 50% didominasi Anna dan membuat ketidaksukaan pihak senior kelas 2.

    ***

    Setelah meninggalkan Alan dan Yoko di kelas, Anna yang berjalan sendirian ke gerbang sekolah melihat foto-foto para pemain permainannya di ponselnya. Dengan senyuman tipis, ia tak pernah mengira kalau rencananya bakal berjalan mulus padahal ia belum melakukan persiapan untuk melaksanakannya. Tadinya ia ingin membuat pancingan agar para sasarannya, Yoko, Arin, dan Ilmi bisa masuk dalam permainannya, tapi karena mereka telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan, akhirnya Anna tak perlu mengeluarkannya. Perlu diketahui permainan yang dibuat Anna untuk mengetahui seberapa hebat pengumpulan informasi mereka.


    “Maafkan aku semua karena memakai foto ini untuk mengancam kalian,” gumam Anna melihat wajah-wajah Yoko, Arin, dan Ilmi. Ia sendiri tak sanggup untuk menyebar foto-foto yang bakal menjatuhkan nama baik mereka.


    “Semoga mereka bisa menjadi anak buahku yang bisa kuandalkan dan menjadi rekan yang baik satu sama lain.”
     
  4. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    2.Petualangan Para Pemain.
    “Menurut yang bersangkutan, hal ini sudah lumrah karena untuk menjadi tradisi lulus 100%. Untuk melakukan hal ini diperlukan biaya yang lumayan yaitu sekitar 5 juta perorangnya. Uang-uang tersebut digunakan untuk meminta tolong pihak dinas terkait dan menyembunyikan kemungkinan pihak pusat atau provinsi menciduk aksi ini yang sebenarnya sudah terjadi seluruh sekolah papan atas di kota ini.”

    “Baru satu paragraf! Semangat diriku!” gumam Anna sambil mengetik lagi di laptop Windows 7 miliknya di tengah malam ini.

    Sembari menulis artikel yang sudah puluhan paragraf tersebut, ia juga fokus menulis cerita buat hari Jumat. Kalau sudah dua paragraf ditulisnya setiap 15 menit, ia langsung ganti ke file word lain dan kembali menulis cerita tentang cowok yang ketemu teman masa kecilnya di SMA dan teman masa kecilnya tersebut. Anna tak yakin cerita ini bagus apa tidak dikarenakan minimnya khayalannya di beberapa hari ini. Ia mulai berpikir mungkin ada baiknya ia menonton film atau membaca novel atau nonton anime untuk mencari inspirasi. Tapi berhubung sekarang sudah jam 1 malam dan besok sekolah, ia mengurungkan niatnya untuk menulis cerita Romcon dan artikelnya.

    Anna langsung melompat ke kasur dan sebelum masuk ke dalam dunia mimpi, ia memikirkan apakah Yoko, Arin, dan Ilmi bisa mengikuti permainannya. “Semoga ini tak jadi malapetaka bagiku..” gumamnya sedikit terkantuk-kantuk dan masuk ke alam mimpi

    Sementara itu di rumahnya Yoko...

    “Agus, apakah kau tahu siapa Ilmi?” tanya Yoko lewat SMS.

    “Entahlah. Setahuku dia anak baru. Itu saja,” balas Agus, teman sebangkunya Yoko. “Jangan SMS aku lagi ya. Aku mau tidur!”

    “Dasar...” gumam Yoko mengeluh. Ia tak tahu harus mencari ke mana lagi informasi soal Ilmi. Mungkin besok ia bisa mendapatkan info lebih banyak lagi selain informasi yang ia sudah dapat yaitu nama lengkap Ilmi, asal sekolah sebelumnya, dan tanggal lahirnya.

    “Aku yakin dengan kemampuan berburuku akan kumenangkan permainan si Anna ini!”

    Keesokan harinya, Yoko pergi ke tempat Ilmi berada yaitu di pojok belakang kelas dan meneumi anak tersebut yang sedang mengerjakan LKS Matematika. Di tengah jalan, ia disahut Alan.

    “Bisa bicara sebentar, Yok?” tanyanya yang baru saja selesai main Get Rich.

    “Maaf. Aku tak mau ngomong sama orang kayak kamu lagi, Lan,” balas kasar Yoko seraya meninggalkan Alan. Tadi malam Yoko sempat mengasih tahu kepada Alan soal ia dan Anna. Alan bersyukur karena harga dirinya masih bisa diselamatkan untuk sementara waktu. Ia cukup berharap Yoko bisa membuat Anna tak menyebarkan foto mereka berciuman.

    “Tak apa-apalah sekali-sekali dicampakan,” gumam Alan lalu mencoba tidur.
    ***
    “Hoi, bisa bicara sebentar?” pinta Yoko baik-baik.

    Kehadiran Yoko cukup mengejutkan Ilmi dan membuatnya sedikit canggung. “Si-Silahkan,” kata Ilmi memberikan tempat duduk kepada Yoko.

    “Duduk sendirian ya?”

    Ilmi menangguk lemah sembari mengerjakan PR-nya.

    Yoko sedikit mengintip LKS-nya Ilmi. Ia melihat teman sekelas barunya ini kelihatan kewalahan mengerjakan soal-soal matematika. Yoko yang sedikit lumayan jago di matematika menawarkan bantuannya. “Bagaimana? Kau bersedia?” tawarnya dengan senyuman tipis. Jarang-jarang Yoko tersenyum. Kalau tersenyum seperti itu biasanya ada maksud tertentu seperti meminta nugget milik Agus.

    “T-Tidak perlu, Yoko. Aku bisa mengerjakan soal-soal ini,” balas Ilmi merasa mampu padahal aslinya tidak. Ilmi tak mau merepotkan orang lain jadinya ia sering menolak tawaran-tawaran orang lain, terlebih orang yang tak ia kenal. Makanya di sekolah lamanya ia kurang disukai karena sok bisa.

    “Wah Ilmi, apa yang aku kerjakan di nomer satu itu salah!” seru seorang yang mengejutkan Ilmi dan Yoko. Orang tersebut berjalan menghampiri mereka dari belakang dan dia adalah Arin. Dengan sedikit malu-malu, ia mencoba mendekati mereka, tapi rasa malunya membuatnya menjaga diri radius 2 meter dari mereka setelah Ilmi dan Yoko menatap matanya.

    “Siapa kau?” tanya Yoko yang tak hapal nama teman sekelasnya karena kebanyakan mengkhayal jadi prajurit Sparta.

    “A-Arin,” jawab Arin sedikit malu-malu. Jarang sekali Arin mau mengobrol dengan pria selain bapaknya, adiknya, dan guru-gurunya. Kalaupun terpaksa, ia akan mencoba menghindarinya. Tapi kali ini ia harus memaksakan mentalnya untuk berkata di depan kedua pria ini untuk mendapatkan informasi soal Yoko.

    Ilmi menghela nafas melihat incarannya sudah muncul. Awalnya ia kebingungan bagaimana ia bisa menghampiri gadis cerdas ini, tapi karena si Arin sudah muncul di depan hadapannya, Ilmi harus bisa menanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.

    “Wah, semua pemain berkumpul,” gumam Anna dari kejauhan. Selagi ia menyalin catatan ekonomi temannya, ia tak sengaja menemukan para pemain berkumpul. Anna hanya tersenyum melihat mereka mulai akrab satu sama lain di tengah pengumpulan informasi dalam permainan ini. Arin yang kelihatan canggung mulai bisa sedikit tenang walaupun masih menjaga jarak. Ilmi yang dari tadi menolak tawaran Yoko akhirnya luluh dan bersama Arin, Yoko memberikan pencerahan pada soal-soal matematika yang salah semua gara-gara Ilmi kurang mengerti logaritma.

    Setelah selesai mengerjakan PR yang seharusnya ia kerjakan tadi malam, Ilmi berterima kasih kepada semua teman barunya ini. Namun untuk mencegah Arin kembali ke tempat duduknya, Ilmi mencoba menanyakannya soal-soal halaman lain untuk mendapatkan informasi. Arin merasa sedikit terusik dengan permintaan Ilmi, tapi karena tidak enak, ia akhirnya meladeni tiap pertanyaan Ilmi, sekalian biar bisa menggali informasi Yoko.

    “Pintar juga ya kau, Arin. Kau juara terus ya dari SD-SMP?” tanya Ilmi mulai mencari informasi.

    “Y-Ya. M-Mulai kelas 3, aku sudah juara 5 besar satu angkatan dan terus begitu sampai sekarang,” jelas Arin. “Anu, aku b-bukan menyombongkan diriku tapi memang begitulah yang terjadi. Aku tak tahu bagaimana c-caranya merangkai kata jadi maafkan jika aku bic-caranya a-agak terb-bata.”

    “Tak apa-apa,” kata Ilmi. Ia merasa senang mengetahui Arin sebenarnya seperti apa, tapi baru kulitnya. Bisa saja dia sebenarnya berbeda dengan yang asli, pikir busuk Ilmi yang kebanyakan nonton sinetron karena setiap ia sedang mengerjakan PR, selalu TV rumah ditayangkan sinetron-sinetron yang ditonton ibunya di ruang tamu.

    “Y-Yoko, ngomong-ngomong aku p-pernah mendengar k-kalau kau itu pemburu ya?” tanya Arin yang infonya ia dapat dari teman satu SMP-nya Yoko, Armain.

    Yoko terkejut dengan pertanyaan tersebut. Ia tak mengira masa lalu kelamnya bakal diingat seseorang. Dulu waktu SMP, Yoko hobi sekali nonton film kolosal sehingga ia mencoba untuk menirukannya seperti mengambil bantal ruang tamu yang bentuknya persegi dan sapu iju yang bentuknya mirip pedang. Dengan kedua benda tersebut, ia langsung mengkhayal ia adalah seorang prajurit dan khayalan makin dalam ketika Armain meladeninya bertarung. Armain sama seperti Yoko, suka mengkhayal dan sampai sekarang terus berlangsung walaupun diam-diam layaknya Yoko yang masih mengembangkan busurnya untuk menembak.

    Yoko sedikit malu dengan julukan berburu tersebut yang ia dapatkan di suatu kejadian yang sangat memalukan. Ceritanya begini: Waktu ia kelas 8, ia berhasil membuat busur dengan mengambil batang kayu di tumpukan sampah komplek yang bentuknya sudah melengkung. Dengan cutter-nya, ia mengasah batang tersebut menjadi sebuah busur ala Longbow, sebuah busur yang cukup besar. Ia mengaitkan tali karet yang cukup lentur ke dua buah ujung busur dan jadilah busur. Untuk anak panah, ia mencari batang-batang kayu di tempat sampah dan mengasah lima belas batang kayu menjadi panah yang ujungnya tak terlalu runcing. Dengan senjata tersebut yang sebenarnya sangat berbahaya, ia mencoba melatih kemampuan memanahnya di lapangan sekolahnya ketika hari Sabtu-Minggu di mana tak ada orang di sana. Kemampuan memanahnya semakin hari semakin meningkat dan kalau dilatih terus ia bisa menjadi atlet panah PON, tapi ia tak punya cita-cita untuk menjadi atlet, malahan ia bercita-cita menjadi ksatria abad pertengahan.

    Untuk mengembangkan kemampuannya serta membuatnya makin keren, ia mulai memanah sambil bersepeda. Sambil mengayuh kencang, ia melesatkan panah ke belakang walaupun tak ada target yang dituju. Asalan-asalan biar keren. Sensai memanah sambil bersepeda seperti pemanah berkuda Mongol yang ditakuti di abad pertengahan walaupun keakuratannya jelek.

    Merasa tak puas, ia mencoba membuat busur-panah kecil yang terbuat dari isi pulpen yang sudah habis tintanya dan pulpen yang tak terpakai. Dengan kreativitasnya, ia mampu membuat busur kecil yang ditaruh ditengah-tengah busur sebuah pulpen yang berisi isi pulpen layaknya crossbow. Jika jarak tembak busurnya Yoko sekitar 20 meter, maka crossbow mini ini punya jangkauan yang cukup jauh yaitu 50 meter dengan akurasi yang sangat akurat dan tembakannya yang sangat menyakitkan, tapi tak sampai membunuh orang. Paling bikin kaget dan sakit sementara untuk manusia tapi Yoko tak pernah memakai senjata-senjatanya untuk menyerang orang. Ia paling menggunakannya untuk pamer ke Armain dan teman-teman lakinya karena ia takut ketahuan guru atau orang tuanya. Memang ia selalu membawa crossbow-nya di dalam tempat pensilnya dan memainkannya ketika tak ada guru dan para guru yang melihatnya bermain crossbow tersebut membiarkannya karena dianggap tak berbahaya. Hanya mainan biasa yang paling bisa menewaskan nyamuk atau lalat kalau jago sekali.

    Selain busur dan crossbow, ia juga mengembangkan bambu panjang yang ada di taman rumahnya menjadi tombak yang mematikan. Ujung tombak tersebut ia dapatkan dari potongan penggaris segitiganya yang tak sengaja patah gara-gara ia duduki. Dengan semua persenjataan tersebut, Yoko sudah merasakan ia seperti prajurit-prajurit yang ada di game yang dimainkannya. Contohnya saja saat menaiki sepeda sambil mengarahkan tombaknya ke depan layaknya pasukan kavaleri sedang menyerang. Beruntung ia tak punya niat tawuran karena semakin hari, ia semakin bersemangat untuk mengembangkan senjata-senjatanya bahkan kepikiran untuk membuat meriam dari bambu yang biasa digunakan bocah-bocah di malam ramadan.

    Namun perkembangan persenjataan Yoko terhenti ketika ia naik ke kelas 9. Ketika ia pergi ke sekolahnya untuk bermain-main di waktu liburan, ia yang selalu menyembunyikan di bawah loker kepergok oleh guru matematika. Guru matematika tersebut memberikan perintah untuk membuang tombaknya Yoko. Yoko dalam hati kecilnya menolak, tapi ia takut dengan gurunya yang bisa saja melapor ke orang tuanya. Akhir dengan berat hati ia menyerahkan tombaknya kepada gurunya dan guru tersebut langsung mematahkan bambu tersebut dengan golok yang dipinjamnya dari penjaga sekolah. Para penjaga sekolah sebenarnya sudah tahu Yoko menyimpan senjata, tapi mereka bungkam karena mereka sudah menjalin hubungan baik dengan Yoko.
    Setelah hilangnya tombak kesayangannya, hobinya terus berlangsung bahkan ambisi untuk mempraktekan kemampuan memanah ke medan pertempuran mulai muncul. Ia merasa ia perlu aksi dengan kemampuan memanahnya dan oleh karena itu ketika ada anak STM yang sedang tawuran dengan SMA, ia langsung pergi ke sana dengan mengayuh sepedanya dengan membawa busur, dan panah. Penampilannya saat itu mirip prajurit tempur Persia kuno campuran ksatria Eropa abad pertengahan: muka ditutupi sarung tebal dan helm motor SNI punya bapaknya, baju dipakaikan banyak sarung dan baju untuk menahan serangan fisik, membawa tas kecil di punggungnya yang dimodifikasi menjadi tempat anak panahnya, dan sepatu sekolah agar tak terjadi skenario di mana sendal ketinggalan di medna pertempuran. Ia tak mengincar membunuh orang, tapi ia cuma ingin merasakan tegangnya tawuran.

    Ketika orang yang suka main di rumah ini masuk ke medan tawuran, ia langsung diserang gerombolan anak STM yang mengiranya lawan, begitu juga di kubu musuh STM. Batu demi batu menghujaninya dan membuat Yoko melancarkan serangan hit and run. Tembakan panah demi panah ia lesatkan walaupun selalu meleset. Yang penting menyerang, pikir Yoko saat. Seiring kedua kubu mendesaknya dan panahnya sudah mendekati 50 panah, ia mulai kabur dan mulai hari itu, Yoko dijuluki orang-orang sebagai pemburu karena ia tak hanya bertarung dengan sepeda, tapi dengan bersembunyi-sembunyi di balik celah-celah gedung. Yoko selalu melakukan hal tersebut sampai masuk ke Januari 2014, bulan di mana ia memasuk bulan-bulan ujian. Selama ia menjadi sang pemburu, ia tak pernah membunuh satu pun manusia, palingan melukai orang-orang tapi tak sampai luka kritis.

    Sang pemburu menghilang dan identitasnya menjadi misteri urban. Orang-orang bertanya-tanya siapa orang gila tersebut dan yang mengetahui hanya dua orang menurut Yoko: ia dan Armain. Ada yang bilang ia pergi karena takut diburu anak-anak STM yang sudah bersumpah untuk menghabisinya, ada juga yang bilang kalau ia pergi untuk melawan anak-anak tawuran di Jakarta Selatan-pusat, ada lagi yang bilang ia menjadi buronan polisi, dan ada lagi yang bilang ia pergi ke timur Indonesia untuk berguru dengan para pemanah terbaik di suku Papua. Seluruh dugaan tersebut salah besar karena Yoko berhenti gara-gara busurnya disita ibunya dan dipatahkan. Hal ini terjadi ketika mau magrib ketika Yoko pergi ke sekolah untuk menyembunyikan busur, tapi ia ketahuan pas ketemu ibunya yang tak sengaja bertemu dengannya di gang perkampungan. Ibunya kaget melihat putra semata wayangnya membawa busur dan helm yang selama ini dicari-cari bapaknya Yoko. Ibunya Yoko tersebut langsung murka dan mengambil busur tersebut lalu mematahkannya. Akhirnya nasib sang pemburu telah berakhir dan Yoko mendapatkan hukuman tidak mendapat uang saku selama 1 bulan. Dengan kejadian ini senjata yang tersisa hanyalah crossbow dan Yoko mulai tak tertarik lagi mengembangkan persenjataan karena takut diincar polisi. Ia bersyukur sekali polisi tak mencari-carinya karena suka memanah orang-orang yang sedang tawuran.

    “Benar atau tidak?” tanya Arin memastikan.

    “Ah, itu bercanda apa kamu,” ujar Yoko sedikit tertawa. “Ngomong-ngomong, kau dengar hal tersebut dari mana?”

    “A-Armain,” bisiknya. “Maaf ya kalau salah.”

    “Tidak apa-apa,” kata Yoko. Yoko langsung melirik tajam Armain yang sedang membaca komik. Ia langsung mengepal tangannya dan berencana memberikan Armain pelajaran yang setimpal. Armain merasakan hawa berbahaya dari Yoko dan bersiap kabur jika marabahaya tersebut menerjangnya beberapa saat lagi.

    Anna menguping pembicaraan mereka dengan cara berpura-pura mengambil buku di lemari kelas yang ada di dekat mereka berada. Mendengar sebutan sang pemburu, ia jadi teringat pas ia kelas 9 di bulan November yaitu ketika ia sedang meliputi tawuran anak STM dengan SMA terbaik di kota Run.

    “Hoi lihat, itu sang pemburu!!” seru anak STM melihat Yoko mengayuh sekencang mungkin sepedanya ke anak-anak STM tersebut. Yoko langsung mengarahkan busurnya ke depan dan mengambil salah satu anak panah. Ia menarik tali busur dan melesatkan panah ke musuh-musuh yang ia lihat dari dalam helmnya.

    Puluhan anak STM langsung menangkis panah-panah tersebut dengan bambu runcing yang mereka punya dan lancarkan serangan balasan dengan mengejar sang pemburu. Bambu-bambu runcing mereka diarahkan ke musuh dan sang pemburu langsung mengayuh sekencang mungkin sepedanya ke arah lain untuk menghindari tajamnya bambu tersebut.

    “Kejar dia!!” teriak salah satu anak STM dan ratusan pemuda berhamburan mengejarnya. Lemparan demi lemparan baik gir motor maupun batu menghujaninya dan beruntung, sang pemburu tak kena dan ia malah menembak balik sehingga membuat lawan kocar-kacir.

    “Pemandangan yang seru,” gumam Anna dari balik gang-gang sempit. Dengan berbekal kamera barunya, ia memotret-motret aksi brutal Yoko menembaki lawannya layaknya pemanah berkuda Mongol. Waktu itu Anna baru saja pulang dari sekolah dan tak sengaja terjebak di daerah yang sering terjadi tawuran. Karena saat SMP Anna mulai suka menulis tema kriminal, ia sangat tertarik terjun ke medan sebenarnya.

    Tiba-tiba Yoko masuk ke gang tersebut untuk melarikan diri dan tak sengaja menabrak Anna. Anna langsung tersungkur dan tabrakan tersebut membuat kameranya terjatuh dan sedikit rusak. Merasa tak tahu harus apa, Yoko langsung pergi saja dan meninggalkan Anna yang sedikit kesakitan. Yoko tak pernah ingat ia pernah bertemu dengan Anna karena waktu itu Anna belum berkacamata dan rambutnya sedikit panjang ke punggung.

    Anna kesal dengan perilaku sang pemburu yang tak tanggung jawab walaupun kameranya masih bisa digunakan. Besoknya, Anna langsung mengetik tentang sang pemburu dengan keburukan 6 paragraf sehingga tak menyisakan kebaikan sang pemburu –memangnya ada ya? Pikir Anna kala itu. Dengan artikel tersebut, namanya mulai sedikit dikenal di kalangan anak muda.

    “Ehm, seperti Yoko itu sang pemburu. Nanti aku cari tahu ah biar aku bisa nagih kerugian,” pikir Anna lalu kembali ke tempat duduknya. Ia melihat pembicaraan Arin, Yoko, dan Ilmi makin intensif. Mereka mulai bisa menikmati pembicaraan dan sepertinya mereka mulai mengetahui identitas satu sama lain walaupun masih bagian luarnya.

    Pada sore hari, Anna pergi ke perpustakaan dan di sana ia menemui Arin yang sudah duduk di tempat di mana Arin dipergoki Anna.

    “Jadi apakah kau sudah mengetahui siapa Yoko?”

    “I-Iya,” jawab Arin sedikit gugup. Ia yakin apa yang ia cari baik dari orangnya langsung maupun teman terdekatnya sudah cukup.

    “Jelaskan padaku sekarang!” perintah Anna. Di dalam hatinya ia tertawa melihat betapa gugupnya Arin sekaligus penasaran Yoko versi Arin.

    “A-A... Yoko bernama asli Joko Persada. Ia dipanggil Yoko karena waktu SD nama Joko kebanyakan dan begitu pula dengan Persada. Ia lahir 14 Mei 1999 di kota ini. SD-nya di SDN Run 1 dan SMP-nya SMPN Run 3. Hobinya mengkhayal dan main game,” papar Arin. Semoga apa yang dipaparkannya benar, pikirnya sedikit bimbang.

    “Lumayan, tapi kurang!” seru Anna tidak puas.

    “T-Tolong mengertilah, Anna. Aku tak tahu bagaimana aku bisa mencari informasi lebih!” jelas Arin merasa pengetahuannya tentang Yoko sudah mencapai batasannya. Ia sudah bertanya dengan teman-temannya Yoko dan Arin takut melangkah lebih jauh karena takutnya disangka ia menyimpan perasaan kepada anak ingusan tersebut.

    “Baiklah, tapi aku minta sama kau untuk menjadi anak buahku!”

    Sontak Arin kaget. Ia mulai berpikir cepat apakah menerima atau menolak secara tegas. Dengan menimbang-nimbang kondisi dan posisinya, akhirnya ia menerima dengan berat hati. Ia berharap sekali kalau ia tak akan diperintahkan oleh orang yang ia belum kenal total.

    “Tenang saja, Rin,” kata Anna sedikit tersenyum menenangkan teman barunya ini dengan menepuk-nepuk pundak kirinya. “Yang hanya kau lakukan cuma membantuku menganalisa,” tambahnya. Arin merasa sedikit tenang meskipun ia tak mengerti kenapa ia dijadikan anak buahnya dan apa maksud dari menganalisa? Sepertinya Arin harus mencari tahu Anna lebih dalam.

    ***
    Di depan pintu masuk toilet laki-laki, Anna menemui Ilmi yang sudah menunggunya dari sepuluh menit lalu. Dengan berbekal secarik kertas kecil yang berisi informasi tentang Arin, ia siap menghadapi Anna.

    “Oke Ilmi, sepertinya kau sudah siap. Jadi bagaimana kita mulai saja?”

    “K-Kapan pun aku siap,” ujar Ilmi sesumbar. Ia mencoba meyakinkan dirinya seperti ketika ia menghadapi lomba pidato pas SMP kelas 9. Sayangnya ia kalah di perempatan final karena terlalu canggung kata-katanya. “Arin bernama panjang Ariani Fatimah. Dipanggil Arin biar lebih bagus menurut teman-temannya dan panggilan tersebut sudah dipakainya semenjak SD. Ia lahir di kota ini di 1 Desember tahun 1999. Sering juara semenjak SD. Hampir semua mata pelajaran ia kuasai kecuali olahraga dan seni,” papar Ilmi.

    “Sudah?” tanya Ilmi. Ia sudah kelelahan mencari sumber informasi soal Arin walaupun sebenarnya gampang. Hanya saja ia tak sanggup dikira ia suka sama sang juara tersebut oleh teman-teman sekelasnya.

    “Kurang!” seru Anna. Seluruh informasi Ilmi hanya 10% dari informasi yang Anna ketahui.

    “Jadi bagaimana?!”
    “Karena kau sudah menunjukan kemampuanmu, aku jadikan kau anak buah!”

    “Anak buah?!” kaget Ilmi. Ia bingung apa maksud anak buah. Apakah dalam konteks budak atau anak buah dalam bidang kerja? Ia tak mengerti. Semoga tak aneh-aneh. “Bisa diperjelas?”

    “Nanti akan dikasih tahu lebih lanjut,” kata Anna seraya meninggalkan Ilmi yang kebingungan.

    ***
    Di kelas sepi ini tepatnya jam setengah lima, Yoko yang dari tadi sudah menunggu Anna mempersiapkan segala yang ia bisa manfaatkan. Ia sudah bertanya-tanya intensif kepada Ilmi sepanjang hari ini sampai-sampai ia bisa mendapatkan id Line Ilmi. Aksi Yoko ini cukup membuat Ilmi kesal, tapi mau bagaimana lagi, teman kelas baru jadi wajar saja kalau ada yang punya ketertarikan setinggi Yoko.

    “Sepertinya kau sudah siap,” kata Anna yang muncul dari pintu. Ia mengambil foto Yoko yang sedikit terkejut dengan kemunculannya dengan kameranya.

    “Aku siap kapan saja,” ujar Yoko lalu menarik nafasnya dalam-dalam.

    Anna terkesan dengan sikap keren Yoko, tapi ia penasaran dengan penjabarannya Yoko. Apakah lebih baik dari dua orang yang ia temui atau malahan lebih buruk. “Jelaskan kepadaku, Yok!”

    “Oke. Ilmi bernama panjang Ilmi Irama Ismet. Lahir 9 September 1998. Sekolah lamanya MAN Run dan SMP-nya di SMP Run 2. Kalau SD di Jakarta,” papar Yoko.

    “Cuma segitu?”

    “Masih ada lagi,” kata Yoko seraya membaca buku catatannya.

    2 menit kemudian...

    “Bagus juga informasi yang kau bisa dapatkan, Ko,” puji Anna seraya menepuk tangannya beberapa kali. Ia tak menyangka Yoko bisa mendapatkan 50% informasi yang Anna ketahui soal Ilmi.

    “Jadi apakah aku tetap menjadi anak buahmu? Aku tak ingin menjadi budakmu!”

    “Budak? Tidak kok, Yok. Kau hanya membantuku dalam membuat artikel. Kau tahukan kalau aku suka menulis berita?”

    “Tentu saja. Bagus artikelmu dan mengundang kebencian untuk membenci kerusakan moral remaja bagi yang membencinya.”

    “Terima kasih karena sudah membaca,” kata Anna senang. “Jadi intinya aku ingin kau membantuku mendapatkan informasi dan mengamankan posisiku di Mejaru bahkan mengubah posisiku.”

    “Tunggu dulu! Apa maksudmu?” Yoko tak mengerti. Memangnya ada masalah apa dengan Mejaru.

    “Mungkin ada baiknya kalau aku ceritakan hal ini besok saja,” kata Anna berubah pikiran. “Sekalian aku pertemukan dengan rekan-rekan barumu.”

    “Apa maksudmu?”

    Belum menjawab pertanyaan Yoko, Anna pergi tiba-tiba dan membuat Yoko kesal. Kalau ia masih bocah, kursi bakal ia lempar ke orang seperti Anna yang dianggapnya tak jelas, tak berbudi, dan mempermainkan orang.

    Tiba-tiba Anna muncul kembali dari pintu. Yoko menjadi kaget dan lebih kaget lagi ketika Anna bertanya, “Yok, kau sang pemburu ya?”
     
  5. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Abis baca nih :siul:

    Baca ceritanya lumayan ngegelitik, terutama dari semua keberuntungan yang Anna dapetin dari temen2nya yang kebetulan lagi apes :lol:

    Dari gaya bahasa sih rasanya kurang, tapi masih oke pas dibaca. Ya itu aja, moga bisa lanjut ceritanya ya :smile4:
     
  6. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    makasih...
    nanti bakal lanjut walaupun terhambat-hambat
     
  7. mabdulkarim Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    Jul 4, 2012
    Messages:
    171
    Trophy Points:
    41
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +49 / -0
    “Aku ulangi sekali lagi pertanyaanku, Yok. Apakah kau sang pemburu?”

    Yoko kebingungan apakah ia mesti menjawab atau tidak. Kalau menjawab ia akan teringat dengan masa lalu kelamnya lagi, tapi sepertinya tak ada pilihan lain. Kalau ia lari, pintu sudah dikuasai Anna. Dan semisalnya ia mengelak, lawannya akan mengetahui dari gelegatnya.

    “E-Eh kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?” tanya Yoko berusaha untuk tenang. Cara mengelak yang biasa, kata Anna dalam hati.

    “Indikasi yang mengarah kepadamu sangat kuat. Arin menduga kalau kau itu sang pemburu dan dugaan pasti ada sebabnya. Jadi Yoko tolong jawab pertanyaanku sekarang atau foto homo kau akan kusebar,” ancam Anna sedikit gundah. Pasalnya ia sebenarnya tak mau main ancam-mengancam seperti ini dan foto homonya Yoko sudah ia buang beberapa saat lalu karena menganggap akan sangat berbahaya kalau orang lain mengetahuinya dan akan menghancurkan rencananya Anna yang mau sukses besar.

    Dengan berat hati akhirnya Yoko berkata, “Memang benar Dulu waktu SMP aku ikut-ikutan tawuran dengan menaiki sepeda dan menembaki orang dengan busur. Aku menutupi identitasku dengan helm dan sarung-sarung di badan.”

    “Apakah kau ingat seorang gadis di gang yang kau tabrak?”

    “Tidak? Memangnya aku pernah nabrak cewek ya?” tanya balik Yoko tak ingat. Biasanya ia nabrak Armin kalau lagi kesal dengannya. “Kalau nabrak cowok sering apalagi sekolah tetangga pas SMP.”

    Dengan menahan kekesalannya, Anna pun menjelaskan ciri-ciri dirinya dan memberikan lebih rinci ceritanya supaya ia lebih ingat. “Oh ya, aku ingat sekarang!” seru Yoko baru menyadari setelah memorinya kembali. “Itu kamu ya? Aku rasa cantikan kau pas SMP. Aku suka dengan perempuan yang rambutnya sedikit panjang seperti kau pas SMP.”

    “Terima kasih atas pujiannya,” ujar Anna sedikit tersipu. Jarang sekali ada orang yang memujinya terutama anak sepantaranya. “Tapi perlu kau ketahui bahwa kameraku sedikit rusak gara-gara tabrakan tersebut. Kau harus tanggung jawab atas perbuatanmu. Rp 300.000!!”

    Yoko terkejut dengan kompensasi ganti rugi tersebut. Belum selesai masalah soal insiden homo, muncul lagi masalah dari masa lalunya. Ia sangat menyesali tingkahnya pas SMP yang membuatnya ia menanggung beban yang berat di sekarang. Pasti ini yang namanya foya-foya sekarang melarat kemudian.

    “Eh… nyicil bisa?” tawar Yoko sedikit tak yakin.

    “Tentu saja. Maunya berapa?” tanya Anna sedikit meremehkan Yoko.

    “Rp 10.000 sehari?”

    “Ya sudah. Bayar 10.000 pertama sekarang,” pinta Anna mengadahkan tangannya.

    Dengan terpaksa, Yoko mengeluarkan sepuluh ribu miliknya dari saku bajunya dan memberikannya kepada sang reporter tersebut.

    “Terima kasih. Nanti sore kita ketemu lagi..”

    “Tapi kita ketemuan terus setiap hari biasa?” bingung Yoko.

    “Eh itu benar, tapi tak pernahkan kita kontak pas di kelas? Tak ada orang yang tahu kita pernah berbicara?”

    “Memang benar, tapi bukan berarti aku tak boleh bicara sama kau?”

    “Kapanpun kau boleh bicara denganku selama aku tak sibuk.”

    ***
    Setelah selesai urusannya dengan Anna, Yoko berjalan dengan berat ke gerbang. Ia tak punya ongkos untuk pulang karena seluruh uangnya sudah disedot oleh si reporter sialan tersebut. Jarak rumahnya dengan sekolahnya cukup jauh yaitu 3 kilometer. Kalau jalan kaki bisa saja tapi sudah mau Magrib dan bakal repot mengingat tingkat kejahatan kota Run sangat tinggi beberapa tahun belakang. Bisa-bisa ia diculik dan diperkosa sehingga keperjakaannya hilang.

    “Aduh, bagaimana ini,” bingung Yoko mengaruk-garuk kepalanya. Ia mengamati jalanan depan sekolahnya yang saat ini sepi dari banyak kendaran padahal kalau saat siang, tempat ini selalu menjadi rute alternatif orang-orang ke pusat kota.

    “Tak punya ongkos?” tanya Anna yang menghampirinya dari belakang. Ia merasa kasihan dengan anak buah barunya ini.

    Dengan sedikit malu, Yoko menangguk.

    “Rasanya aku perlu mengembalikan uangmu ini,” kata Anna memberikan selembar Rp 10.000 di tangan kiri Yoko. “Besok saja kau mulai setor ke aku.”

    “Terima kasih,” kata Yoko menerima uang tersebut sedikit malu-malu. Ia langsung memasukan uang tersebut ke dalam saku bajunya.

    “Pulang naik angkot?”

    “Iya.”

    “Rumah jauh?” tanya Anna. Ia mulai memancing Yoko untuk terbuka padanya agar ia bisa mendapatkan informasi lebih darinya selain menunggu angkot lewat.
    “Lumayan lah. Kalau kau? Tak naik motor seperti yang lain?”

    “Orang tua tak kasih izin,” jelas Yoko disambut tawa kecil Anna. “Kalau kau?”

    “Motorku dipakai kakak terus buat kuliah,” jelas Yoko sedikit tertawa kecil kalau mengingat kakaknya naik motor yang mirip pembalap Motor GP.

    “Yoko, apakah kau malu dengan tingkahmu pas SMP yang ikut-ikutan tawuran tak jelas?”
    “Bisa iya bisa tidak. Iya karena tak enak mengingat betapa idiotnya aku ikut-ikutan cari mati di tawuran, tapi tidak karena aku bisa merasakan bagaimana serunya hidup kalau bisa memakai busur dan panah. Oh, apakah kau mau mendengar ceritaku lebih lanjut?” tanya Yoko bersemangat.

    “Tentu saja,” ujar Anna seraya memanggil angkot yang lewat.

    Mereka berdua masuk ke dalam angkot dan satu tempat bersama beberapa siswi MTS yang tak terkenal sekolahnya. Duduk hadapan-hadapan membuat Yoko sedikit canggung, tapi ia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin. Biasanya kalau ia hadap-hadapan dengan cewek di angkut pasti ia akan memandang ke bawah terus biar tak dikira mesum.

    “Dulu aku pas SMP buat busur dan panah biar menyalurkan hobi yang terpendam karena kebanyakan main game perang,” tutur Yoko lalu memulai cerita yang cukup panjang dan menarik. Anna cukup senang mendengar cerita Yoko yang lumayan menarik, tapi ia merasa aneh kenapa Yoko hanya membahas soal keterlibatannya dengan tawuran-tawuran, bagiamana yang lain? Biarlah, kata Anna dalam hati. Yang penting dapat informasi biar bisa diserang Yoko kalau Anna lagi butuh dan jarang-jarang ada orang seperti Yoko yang nekat mewujudkan khayalan absurdnya.

    “Ngomong-ngomong, apakah kau pernah pacaran pas SMP?” tanya Anna membuat Yoko sedikit memerah mukanya dan salah tingkah.

    “A…” Yoko kebingungan untuk menjawab. Tangannya jelalatan. Matanya melirik kesana-kemari. Kakinya gemetaran. Inilah kalau semisalnya ia ditanya soal cinta, Yoko akan membatu karena malu. Kalau ia ada keberanian, Yoko akan menjelaskan kalau ia tak pernah karena selalu takut untuk bergerak kalau suka dengan lawan jenis. “B-Bagaimana d-denganmu?” tanya Yoko mencoba mengalihkan pertanyaan agar jantungnya tak berdetak kencang terus.

    “Sekali…” jawab Anna sedikit muram. Ia memalingkan pandangan ke jendela. “Dan tak akan lagi..” tambahnya dengan suara kecil. Mungkin akan lebih baik kalau Yoko tak bertanya lebih lanjut karena keberaniannya di bidang ini sudah diujung tanduk. Lagi pula ia tak suka bertanya soal masa lalu orang, terlebihi perempuan. Yoko mencoba menebak apa maksudnya sekali. Mungkin Anna pernah pacaran tapi diputusin sama pacarannya jadinya ia sedikit kesal mengingat masa lalunya. Hal ini pasti wajar terutama cewek seusia Anna.

    “Yoko, apakah semisalnya kalau aku minta kau untuk terlibat sesuatu yang berbahaya kau mau?” tanya Anna memulai topik yang serius kembali ke dirinya yang semula. Ia mulai berani bertanya ketika di angkot tersebut hanya menyisakan ia dan supir.

    Yoko terdiam. Ia berpikir sejenak menelaah maksud dari Anna menanyakan hal tersebut. Apakah ini mengartikan ia dijadikan anak buahnya buat terlibat sesuatu yang berbahaya? Sepertinya.

    “Tergantung disuruh seperti apa dulu.”

    “Kalau disuruh menyelidiki kasus korupsi atau narkoba?”

    “Itu bukannya urusannya KPK dan BNN ya? Cita-citaku mah jadi presi-“

    “Bukan itu. Menyelidiki di sekolah!”

    “Maksudnya?”

    “Seperti yang kau ketahui, Yok. Penyebaran narkoba sudah masuk ke golongan pelajar, bahkan anak TK juga sudah memakainya menurut berita koran hari ini! Di sekolah kita, aku merasa penyebarannya sudah cukup masif dan cukup menarik untuk diekspos. Begitu pula dengan korupsi. Menurut penyelidikanku, terjadi korupsi masif di sekolah kita!”

    “Korupsi? Korupsi di mana?”

    “Kau tahu lab komputer sekolah kita?” bisik Anna. Sepertinya dia tak enak berbicara besar-besar karena takut kedengaran pengendara yang lewat. Bisa saja salah satu dari mereka orang sekolah.

    Yoko menangguk.

    “Dinas memberikan hidah uang modernisasi lab komputer sebesar Rp 300 juta di tahun kemarin untuk menganti 50 komputer yang sudah jadul, masih windows Xp dan menggunakan layar tabung itu ke komputer lebih canggih. Dalam kenyataannya memang modernisasi tetap berjalan, tapi seperti yang kau lihat; kualitas monitor yang dibeli jelek! Seperti bekas punya dan mengindikasi ada penyelewengan oleh pihak sekolah!”

    Yoko terkejut mendengar pemamparan tersebut. “Tapi kenapa tak ada yang tahu? Seharusnya kalau semisalnya itu terjadi pasti sekolah sudah heboh!”

    “Nah, itu hebatnya sekolah kita! Hebat di luar, punya segudang prestasi, selalu lulus 100%, tapi bejat di dalam dan inilah realita sekolah-sekolah besar! Kau tahu soal ujian nasional? Pihak sekolah bermain di dalam ini soal permainan nilai agar yang jelek tetap bisa lulus dan pembocoran diam-diam di ujian sekolah.”

    “Loh, bukannya itu biasa saja di sekolah-sekolah. Waktu SMP aku dapat bocoran di guruku dari email dan seperti yang kau lihat, aku lulus sekarang walaupun nemnya biasa saja,” ujar Yoko yang sedikit kurang menyukai Anna menjelek-jelekan sekolahnya.

    “Yok, apakah kau tidak merasa harus merubah keadaan yang ada seperti ini? Kalau begini terus cita-cita Ki Hajar Dewantoro soal pendidikan adalah guru memberikan muridnya budi perketi tak akan terwujud. Dan jika ini dibiarkan terus, mau dibawa kemana pendidikan kita?

    “Lah, itulah realita. Kita tak bisa berbuat karena sistem sudah membuatnya seperti itu dan kita harus beradaptasi dengan lingkungan seperti ini. Inilah resiko hidup di negeri ini,” balas Yoko merasa tak sependapat dengan Anna. “Lagi pula masa bodoh dengan apa katamulah. Kalau kau mau mengajakku untuk merubah hal-hal seperti itu, maaf saja ya. Lebih baik kau lipatkan hutangku saja ketimbang aku ikut campur. Aku orangnya tak mau terlibat hal-hal yang bukan yang seharusnya aku terlibat!!

    “Lagi pula juga bagaimana kau merubah kondisi sekolah kita kalau kau kerjanya hanya menulis cerita dan membagikannya kepada orang-orang di sekolah. Apakah itu akan merubah? Kurasa kau malah dibenci karena ‘abnormal’,” tambah Yoko yang membuat Anna geram. Memang benar, niatnya tersebut memang ditentang keras orang-orang Mejaru dan membuatnya berpikir harus merebut Mejaru sebelum memulai apa yang ia inginkan.

    “Dan soal narkoba, apakah kau berpikir kau bisa mengubah keadaan dengan caramu? Aku rasa kau malah bakal dikeroyok atau diapakan sesuatu yang kita tak bisa bayangkan oleh para pelaku dan pengguna,” ujar Yoko pedas. Jarang-jarang Yoko bisa sepedas ini. Biasanya ia akan seperti ini kalau ia harus menyuarakan pendapatnya yang bertentangan dengan lawannya. “Sepertinya kita harus berpisah. Rumahku sudah dekat.”

    Beberapa saat kemudian, Yoko mengetok jendela dan angkot pun berhenti. Ia turun dari angkot dan meninggalkan Anna yang memperhatikannya dengan tajam. Sepertinya pilihannya terhadap Yoko adalah salah besar dan percakapan pertamanya ini sepertinya akan menjadi percakapan yang terakhir juga karena perbedaan tajam pandangan mereka.

    Anna memandangi Yoko yang berjalan menuju suatu gang. Perlahan-lahan Yoko menghilang dari pandangannya seiring angkot yang mulai mengebut. Anna kembali menatap ke depan dan menghembuskan nafasnya. “Semoga yang lain tak seperti dia..” kata Anna memperhatikan lampu-lampu penerangan jalan mulai menyala.


    ***
    Keesokan sorenya, Anna yang baru saja selesai menulis di ruangan eskulnya masuk ke kelasnya dan melihat Arin dan Ilmi sudah menunggunya. Arin dan Ilmi saling duduk jauh-jauhan dan mereka tak mengerti kenapa ada orang lain yang ikut menunggu Anna di kelas ini. Anna tak menemukan ada Yoko di kelas ini. Sepertinya ia serius tak mau menjadi anak buahnya Anna.

    “Selamat datang, Arin, Ilmi. Apakah kalian sehat?” tanya Anna basa-basi.

    “S-Sehat,” jawab Arin sedikit gugup.

    “Alhamdulliah, sehat,” kata Ilmi.

    “Apakah kalian tahu kenapa kalian dikumpulkan di tempat ini?” tanya Anna sedikit tersenyum kecil.

    Serentak mereka menggeleng dan untuk membuat mereka mulai mengerti tujuan sebenarnya Anna mengumpulkan mereka, ia mulai menjelaskan rencana pengumpulan mereka, idealisnya tujuannya, dan rencana kedepan yang membuat Arin dan Ilmi membuka matanya terhadap sisi gelap sekolah favorit ini.

    “Jadi, apakah kalian mau membantuku mulai dari sekarang?” tanya Anna kepada mereka semua. Dengan memegang meja yang ada di depannya, ia berharap mereka mau. Kalau tidak, ia akan kesusahan mencari orang yang berbakat di antara ribuan siswa sekolah ini.

    “Selama dalam kebaikan,” jawab Ilmi sedikit tertarik tujuan Anna yaitu merebut Mejaru.

    “A-Aku sebenarnya tak mau ikut-ikutan masalah internal eskul berhubung aku ini anggota eskul Sains, tapi kalau demi tujuan baik; mengungkap kebusukan sekolah, akan kulakukan!” kata Arin yang memberanikan untuk berpendapat dengan kondisi sekolahnya.

    “Tapi biar aku pastikan sekali lagi; apakah kalian tak merasa terganggu idealisku?” tanya Anna kembali memastikan. Ia sedikit takut kalau mereka akan seperti Yoko.

    “Aku sudah muak dengan kelakukan orang-orang dan guru-guru di sini yang cenderung korup walaupun lebih buruk sekolah lamaku. Aku tak peduli aku dikatakan latah atau munafik, tapi akan kukatakan satu hal: aku tak pernah menyontek dan membenci mereka yang menyontek,” terang Ilmi sedikit keras.

    “A-Aku sebenarnya tak mempermasalah teman-temanku menyontek aku atau berkerjasama. Yang aku permasalahkan adalah penyalahgunaan anggaran di sekolah ini seperti yang kau sebut-sebut atau permainan nilai,” jelas Arin. “Tapi aku ingin bertanya kepadamu, An, bagaimana caranya kau mengubah hal-hal tersebut?”


    “Tentu saja dengan cara menyuarakan hal-hal tersebut di Koran dinding sekolah. Dari situ akan muncul kesadara-“

    “An, aku tidak yakin cara tersebut akan berhasil. Sekali batu tetap akan menjadi batu walaupun dicat emas. Apalagi remaja-remaja seusia kita lagi masa-masanya terbakar semangatnya untuk mencari jati diri. Jadinya mereka cenderung tidak menuruti nasehat orang-orang tak seperti waktu SD,” jelas Ilmi.

    “Tapi tak ada cara lain selain menyadarkan sistem yang bergerak: orang-orang. Jika sudah benar orang-orang, maka sekolah akan menjadi bersih karena digoyang.”

    “Aku kurang sependapat denganmu, An,” Arin berpendapat. “Kita harus memikirkan lebih matang lagi kalau mau merubah keadaan sekolah ini. Kau harus tahu, Anna, kalau sekolah saja tak akan menang melawan siswa-siswinya kalau mereka ngotot. Apalagi kita yang terkepung!”

    “Kau benar, Arin,” ujar Anna senang melihat kecerdasan Arin. “Perlu rencana matang untuk bergerak. Tapi untuk memulai semuanya, kita harus menaklukan Mejaru!”

    “Caranya?”

    “Kita kendalikan senior-senior yang menentangku dan dengan itu, aku bisa menjadi ketua ketika ketua yang sekarang mundur di Maret. Untuk mengendalikan mereka, kita harus tahu kelemahan mereka dan kendalikan mereka dengan mengancam akan membocorkan rahasia mereka.”

    “Aku kurang suka dengan caramu, Anna,” seru Ilmi merasa Anna sedikit kejam. “Kita harus lebih pintar lagi kalau mau menaklukan Mejaru. Dan aku tahu caranya!”

    “Benarkah?” kejut Anna. Ia tak menyangka anak baru ini menyimpan potensi yang membuatnya kagum. “Jelaskan sekarang!”
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.