1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Class of Wishes

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Sep 15, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Can you live a life you've given up?
    [​IMG]
    Class of Wishes
    A journey about finding the true wish that nobody knows​

    Reincarnation, a concept of living back after dying, is a process every soul has to take part. Still, in the afterlife, everyone is given one last chance to fulfill their ungranted wish. That is, if their time still available.

    For those who cannot make in until the time arrives, they'll just reset their life without any conclusion about their wish.

    Shiraishi Sou
    Once meet a girl in the living world that he always want to meet again.

    Haruna Akari
    Student Council President in the Afterlife School, a lively young girl.

    Kamamiya Shiro
    The older brother of Kamamiya Siblings. Always arguing and fighting with her little sister whom he called her "brat."

    Kamamiya Emi
    The little sister of Shiro. Despite being his little sister, she mostly win over an argument with her brother.

    Miura Yuuji
    The bookworm of the student council who likes to read a lot. A total geek.

    Kagawa Haru
    Skilled at cooking, he then considered to be the group's cook.

    Natsuki Kanae
    A total silent girl. She is hard to be approached. She likes Haru's cooking a lot.




    Okelah, konsep orific ini udah kepikiran sejak pas bikin rific sebelumnya, mudah2an bisa dikelarin lagi.

    btw trit sementara saia lock sampe udah bisa posting.

    dikit intermezzo, buat SS Fiesta bakal aku umumin besok. ingetin buat yang inget jangan lupa :hmm:
     
    • Like Like x 1
    • Informatif Informatif x 1
    Last edited: Sep 27, 2015
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Prologue
    That Rainy Day

    “…mengapa kau memayungiku?”

    Sore itu, seorang lelaki berdiri disamping tubuhku yang basah kuyup diterpa hujan deras. Sebelah tangannya menggenggam payung yang cukup kecil untuk bisa memayungi kami berdua.

    Aku tak mengenalnya. Aku…sama sekali belum pernah bertemu dengannya.

    Meski demikian, entah mengapa lelaki itu serta merta memayungi tubuhku. Kesampingkan kenyataan bahwa payung yang ia gunakan hanya cukup untuk satu orang, seluruh tubuhku sudah terlanjur basah kuyup. Tak ada gunanya melindungiku dari hujan yang turun semenjak pagi. Apalagi, ia pun hanya berhasil memayungi belahan kiri tubuhku, karena bagian kanan tubuhku juga masih tersiram hujan.

    Meski demikian, ia tak ragu untuk melakukannya.

    Dan aku…

    Ah, aku tak tahu mengapa kakiku tak melangkah menjauh darinya dan tetap berdiam diri disini. Mmn. Membiarkannya melakukan apa yang ia inginkan.

    Kulihat tatapan mata sang lelaki yang tertuju pada lapangan sekolah di kejauhan. Awalnya hanya sebuah tatapan hampa yang tak bermakna. Meski demikian, lama kelamaan bisa kurasakan semacam perasaan hangat dari matanya. Aku pun lantas ikut larut dalam pemandangan yang ia lihat – lapangan sekolah, rumah-rumah penduduk, dan lautan luas di kejauhan.

    Aku tak bisa melihat semuanya dengan jelas. Butiran air hujan menghalangi pandanganku.

    Tetapi aku tahu bahwa pemandangan seperti itulah yang ada. Aku sudah amat hafal dengan pemandangan itu. Berada di tempat ini setiap hari membuatku hafal dengan semuanya.

    “Hei…”

    Kucoba menarik perhatiannya sekali lagi. Lelaki itu masih tak menjawab, namun kini ia menoleh padaku dan tersenyum kecil.

    “Apa kau bisa mendengarku?”

    Lelaki itu mengangguk.

    “Lalu, mengapa?”

    “………”

    “…mengapa kau memayungiku?”

    Sebuah senyum pahit menyembul di wajahku. Tentu, daripada sama-sama diterpa hujan, akan lebih baik bila ia menyelamatkan dirinya dan meninggalkanku sendirian.

    Ah, menyelamatkan diri sendiri.

    Di dunia ini, menyelamatkan diri sendiri adalah hal dasar yang ada pada benak setiap orang. Ibarat sebuah insting yang ada semenjak lahir, orang-orang pada akhirnya akan selalu berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, tanpa peduli bagaimana atau akan berdampak seperti apa hal itu bagi orang lain.

    Bahkan bila hal itu berarti menyakiti atau membunuh orang lain disekitarnya, setiap orang akan berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, entah secara psikologis atau fisik.

    Filosofi ini muncul bukan tanpa proses. Aku sudah melihat bagaimana orang-orang yang pada akhirnya hanya akan peduli pada diri mereka sendiri. Yah, seperti seniorku yang seringkali memeras juniornya untuk memenuhi nafsu psikologisnya, atau orang-orang yang berbuat curang saat ujian agar terhindar dari masalah, atau seperti ayah yang seringkali memarahiku hanya sekedar untuk melampiaskan amarah atau dendamnya.

    Menatap langit kelam, senyumku yang pahit terasa makin menjadi. Apa yang kualami hari ini membuatku tak bisa melakukan apapun selain mengasihani diriku sendiri.

    Ayah yang memarahiku habis-habisan.

    Wali kelasku yang menuduhku mencuri uang milik teman sekelas.

    Seisi kelas yang menganggapku mengerikan.

    Pipi lebam yang lagi-lagi kudapatkan dari para senior.

    Dan aku yang hanya terdiam tanpa bisa melawan.

    Ah…

    Mungkin akan lebih baik jika keberadaanku tak pernah ada. Kau tahu? Setiap orang di dunia terlahir untuk bahagia, bukan? Karena itulah mereka hidup. Untuk bahagia. Mmn. Agar mereka bisa bahagia dalam hidupnya.

    Dan, jika seseorang tak mendapatkan kebahagiaan, adakah alasan bagi seseorang itu untuk terus hidup?

    Adakah tujuan yang bisa terus membuatnya berada di dunia ini?

    Jika bukan untuk bahagia, apakah alasanku untuk tetap hidup?

    Hingga detik ini, aku masih tak bisa menemukan jawaban atas hal itu. makin hari kupikirkan, aku semakin yakin bahwa tak ada jawaban lain atas hal itu. setiap manusia terlahir untuk bahagia. Mereka yang tidak mendapat kebahagiaan dalam hidupnya tak pantas untuk tetap hidup.

    Karenanya, kini aku berada di atap sekolah, menunggu detik-detik dimana aku bisa melempar diriku sendiri dan memecahkan kepalaku. Bukan sekali saja aku berpikiran seperti ini. Sepuluh kali? Seratus kali? Aku sudah berhenti menghitung. Setiap kali aku mengingat apa yang terjadi denganku, keinginan untuk melompat dari atap sekolah ini selalu muncul.

    Lagipula, aku kasihan- tidak. Aku membenci diriku sendiri. Aku benci diriku yang tak bisa melakukan apapun untuk melawan ini semua.

    Meski demikian, kenapa?

    Kenapa lelaki ini merelakan sebagian tubuhnya basah agar bisa memayungiku – sebuah entitas yang tak memiliki alasan untuk ada di dunia ini?

    ………

    Kenapa?

    “…kau benar-benar tak mau menjawab, ya?”

    Lelaki itu tetap diam, dan kami tak mengucapkan sepatah katapun setelahnya. Sepuluh menit, dua puluh menit, kami berdua sama-sama terdiam. Masing-masing dari kami larut dalam suara gemericik hujan yang turun. Aku tak memintanya meninggalkanku, dan ia tak beranjak dari tempatnya. Tubuh kami sama-sama basah, dan kami sama-sama diam dibuatnya.

    Lama kami terdiam, hingga kemudian, hujan pun berhenti. Langit kelabu berganti oleh cahaya mentari yang muncul dari sela-sela awan yang bergerumul.

    Dan lelaki itupun menutup payungnya, sebelum melangkah menjauh.

    Aku hanya bisa menatapnya kebingungan, dan pertanyaan yang ingin kutanyakan sebelumnya kini kembali muncul.

    Siapa dia?

    Mengapa ia datang kesini, memayungiku?

    ………



    Mengapa kehadirannya membuatku sedikit lebih nyaman?

    Tepat sebelum sang lelaki turun ke lantai bawah, ia berbalik, menatapku dengan sebuah senyuman lepas.

    “Kau akan kembali kesini esok hari, bukan?”

    Ah…

    Aku tak bisa menjawab kata-katanya. Wajahku tak bisa berekspresi, dan aku hanya bisa menatapnya dalam-dalam.

    Namun bisa kurasakan sebuah perasaan senang yang muncul menerangi batinku. Ibarat sebuah lilin yang menerangi kegelapan, kata-katanya memberi cahaya pada hatiku yang gelap. Aku bisa saja salah berasumsi. Ia bisa saja menjadi orang yang kelak akan menyakitiku kelak.

    Namun entah mengapa aku tak keberatan. Setidaknya, untuk saat ini aku tak keberatan.

    Dan tanpa sadar-

    “…tentu.”

    -sebuah kata meluncur dari bibirku.

    open project :hmm:
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Sep 27, 2015
  4. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm....chapter pertama nya nginget gw ama chapter pembuka persona karen nya kurogane ken. sama2 ceritain tentang seorang yg mau bunuh diri gara2 hal yg terjadi irl. pembawaannya mudah dimengerti seperti biasa. cuman buat ceritanya ke depan kayaknya gw gk bisa nebak ini mau dibawa kearah mana.

    well good luck buat project barunya :top:
     
    • Like Like x 1
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    thanks mod :hmm:




    lama gak latihan, tulisan jadi amburadul :hiks:

    Chapter 01
    A Buch of Friends

    Ah…

    Mimpi itu lagi…

    Entah sudah berapa kali aku memimpikan gadis di hari hujan itu. Kenangan tentangnya dan perasaan bersalah yang muncul setelahnya terus menerus menghantuiku. Bahkan setelah aku tiba di dunia ini, perasaan itu tetap tak menghilang.

    Dan setiap kali mengingatnya, sebuah penyesalan selalu muncul mengisi hatiku. Kadangkala penyesalan itu terasa begitu berat, hingga membuatku menangis sesegukan di dalam kamar. Jika bisa. Mmn. Jika bisa, aku ingin menyelamatkannya.

    Aku amat berharap agar aku bisa kembali ke masa itu dan menyelamatkannya lebih cepat.

    ………

    Tepat sehari setelah aku menemuinya di atap sekolah, gadis itu ditemukan meninggal kehabisan darah. Sebuah pisau cutter ditemukan tergeletak disamping mayatnya. Pada pergelangan tangannya ditemukan sebuah luka sayatan. Tampaknya ia memotong urat nadinya sendiri.

    Jika aku tiba lebih cepat, gadis itu pasti takkan melakukan hal itu.

    Berkat perasaan bersalah itu, kini aku terjebak dalam dunia alternatif yang berada di dunia setelah kematian. Bukan surga, bukan neraka, hanya berupa alam antah berantah yang amat mirip dengan dunia di alam kehidupan yang sempat kujalani.

    Normalnya, setiap jiwa yang mati akan pergi ke alam kematian. Namun bagi mereka yang masih memiliki penyesalan dan keinginan yang belum tercapai, mereka akan sampai pada sebuah tempat transit sebelum benar-benar tiba di alam kematian. Sebuah tempat transit dimana jiwa-jiwa tersebut menlanjutkan kehidupan mereka tepat sesaat setelah mereka mati. Untukku sendiri, karena aku mati pada saat masih berada di bangku sekolah, maka aku terbangun di alam ini sebagai seorang siswa SMA dan ditempatkan di sebuah asrama.

    Ceremonial high, Ceremonial dorm, begitulah nama sekolah dan asrama tempatku berada.

    Dan untuk lulus dari tempat transit ini, aku dan orang-orang yang bernasib sama sepertiku harus bisa menerima apa yang telah terjadi pada kehidupan kami semua. Selama kami masih tidak menerima apa yang menjadi penyesalan kami di dunia kehidupan, maka kami akan terus berada di tempat ini. Selamanya.

    Meski demikian, memenuhi atau menghapus rasa penyesalan itu bukanlah hal yang mudah, bukan? Setidaknya, bagiku sendiri, itu bukan hal yang mudah. Aku harus bertemu kembali dengan gadis itu dan membantunya melewati hari-harinya yang pahit. Aku harus bisa memastikan bahwa ia bisa kembali tersenyum.

    Masalahnya, gadis itu…siapa?

    Aku tak mengenalnya sama sekali.

    Satu hal yang kuketahui pasti adalah, ia selalu berada di atap sekolah dengan wajah sedih.

    Sama sepertiku.

    ………

    Akh, sial…

    Sial!

    Aku ingin menyelamatkannya, dan aku bahkan tak tahu siapa dia.

    Menggerakan badanku perlahan, kini aku menggeliat dan bangun dari tempat tidur. Cahaya matahari yang menusuk mata terasa begitu menyilaukan.

    ***​

    “Ah, Shiraishi, kau sudah bangun?”

    Aku mengangguk perlahan setibanya di dapur asrama. Sementara aku masih berbalut piyama, seseorang tampak sudah bersiap dengan seragam sekolahnya.

    Miura Yuuji. Temanku di kamar sebelah. Ia selalu berangkat terlalu pagi ke sekolah.

    “Bangun terlambat lagi?”

    “Terlambat apanya?” Aku menggerutu. “Kau saja yang bangun terlalu cepat.”

    Miura tersenyum sambil merapikan kacamatanya yang mirip botol susu. Setelah mengepak laptop dan buku-bukunya kedalam tas – sebuah ranel kemping – Miura lantas mengambil sebuah ensiklopedia tebal dan menggenggamnya di pangkuannya. Itu belum termasuk catatan kecil di saku kemejanya.

    “Anu…”

    “Ya?” Miura melirik padaku, tersenyum.

    “Kamu…bawa bom didalam tas?”

    “Ahaha, kau lucu, Shiraishi.”

    Ugh, aku serius, sih.

    Bawa ransel kemping ke sekolah, orang ini pasti punya penyakit.

    “Mana mungkin aku membawa bom? Ini buku-buku yang masa pinjamnya harus kuperpanjang.”

    “Sebanyak itu?”

    “Yah, ini baru setengahnya, sih.”

    Gila!

    Si kacamata ini tidak punya otak! Aku tahu bahwa Miura merupakan kutu buku level A, tapi aku tak pernah tahu kalau ia bisa sampai segila itu dengannya.

    Mungkin ia harus naik level menjadi level S.

    Dan juga, kesampingkan hal itu. Si cebol mata empat ini tak mungkin bisa membawa barang-barang itu seorang diri. Dasar, rada bego.

    “Oi, Miura,” Aku menggerutu. “Kau yakin bisa membawa semua itu? Sisakan sebagian. Biar kubawakan sebagian untukmu.”

    “Eh? Ini berat loh. Kau yakin bisa membawanya?”

    “Meh, kalau orang cebol sepertimu saja bisa membawanya, masak aku tidak?” Kataku ketus. Melangkah perlahan ke hadapannya, aku lantas menyuruh Miura untuk melepas ranselnya.

    “Kalau aku sih, membawa ini semua seorang diri juga-“

    Sesaat setelah Miura mengoper tas miliknya, tanganku serasa diberi beban seberat gajah afrika!

    Laknat!

    Ini berat sekali!

    “Hei! Sapi! Ini isinya apa sih?”

    “Kan sudah kubilang, berat.” Miura tersenyum lugu. “Sudah, letakkan saja dilantai. Biar aku yang membawanya.”

    Aku bahkan tak sempat membalas perkataan Miura. Tanganku tak lagi kuat menahan buku-buku itu.

    Dan saat kujatuhkan tas Miura keatas lantai, sebuah suara dentuman besar terdengar hebat.

    ………

    Dasar gila!

    ***​

    Miura pergi sendirian setelah meninggalkanku degan tangan pegal. Percaya atau tidak, ia tak meninggalkanku salep pereda nyeri atau apa. Sementara ia pergi dengan santai menuju sekolah, aku dibuat kesulitan untuk memasak. Miura sudah membuatkanku bubur, sih. Namun aku sedang tidak berselera makan bubur.

    Berjalan sambil menggerakkan lengan, aku lantas dibuat terkejut oleh sebuah benda yang menabrakku dari belakang dengan kecepatan tinggi.

    “Selamat pagi, Shiraishi Senpai!”

    Ah, bukan sebuah benda. Ini, seseorang. Seseorang menabrakku dari belakang dan langsung melingkarkan tangan kecilnya ke pinggangku. Ia memelukku dari belakang dengan begitu erat, sambil terus menerus menyebut namaku.

    “Shiraishi-senpai, ahaha, aku kangen loh!”

    Dasar tuyul!

    Melihatnya memelukku dan mengusap-usap kepalanya membuatku sedikit kesal, dan gadis ini melakukannya hampir setiap hari.

    Meski demikian, aku selalu membiarkannya melakukan apa yang ia mau.

    “Y, Yo, Emi…” Kataku sambil tersenyum risih. “Selamat pagi. Kau memelukku lagi ya?”

    “Huh? Apa Senpai tidak suka?”

    “Bukan tidak suka, loh. Anu-”

    “Emi sudah cukup umur, loh!” Ia memotong, masih memeluk pingganggku. “Bulan depan Emi akan berumur enam belas tahun.”

    Kau berumur tujuh puluh dua tahunpun aku tak peduli, loh.

    “Hei, senpai, kau tahu? Saat seorang gadis beranjak dewasa…”

    Oi, oi, lepaskan aku!

    “…ia akan membutuhkan perlindungan dari seseorang. Mmn. Seseorang yang bisa melindunginya secara fisik dan emosional.”

    Wah, sial. Dia malah ceramah.

    “Selain itu, tidakkah senpai tahu bahwa seiring tumbuhnya seorang gadis, ia akan terlihat lebih segar secara fisik. Yah, seperti lebih bertubuh lebih tinggi dan memiliki ukuran dada yang lebih besa-”

    “Lebih besar gundulmu!!”

    Sebuah suara teriakan terdengar dari balik tubuh Emi. Bersamaan dengannya, tampak seorang lelaki urakan yang memasang wajah puas setelah menggetok kepala gadis malang ini dari belakang, membuat Emi jatuh ke tanah sambil meringis kesakitan.

    Meskipun aku kesal dengan sang gadis, namun pria ini sadis juga…

    “Uguu…”

    Ah, dasar laknat!

    Teroris!

    Gadis itu masih kecil, onta!

    Dan juga-

    “Bisa-bisanya kau menyebut ukuran papan cuci milikmu itu sebagai sesuatu yang besar!”

    “Apa? Papan cuci! Kepalamu sendiri terlihat seperti baskom!”

    “Hah! Kau bilang apa!? Aku ini kakakmu, dada rata!”

    “Kakak apanya?! Kakak bahlul!”

    -dia adikmu sendiri…

    Kamamiya Emi dan Kamamiya Shirou. Entah harus kusebut mereka adik kakak atau geng predator.

    “…dan juga, cengek, masakanmu yang kemarin itu rasanya seperti asbak!”

    “Memang sengaja aku tambah asbak! Lagipula bukannya kau biasa nelen asbak?”

    ………

    Tanda-tanda kiamat sudah dekat…

    Ampun, deh.

    Lebih baik aku menyingkir dan pergi mencari tempat berlindung yang aman dari perang nuklir.

    Aku baru mulai berbalik dan akan melangkah saat kemudian tubuhku membentur seseorang. Aku tidak membentur cukup keras, namun orang itu terjatuh saat tubuh kami berbenturan.

    “Akh, maafkan ak-“

    Setelah melihat orang yang kutabrak, aku berhenti bicara. Dihadapanku tampak seorang gadis berambut pendek kecoklatan yang terjerembab diatas tanah. Perlahan, ia bangun, berdiri.

    Gadis itu, aku mengenalnya.

    Gadis yang dijuluku sebagai hantu salju itu…

    Natsuki Kanae.

    “Natsuki-san, maafkan aku. aku tak melihatmu, jadi…”

    Gadis itu menggeleng kecil, mengabaikan uluran tanganku, membersihkan roknya, dan kembali berjalan tanpa menatapku sama sekali.

    Setelah kuperhatikan baik-baik, sebagian tangannya tampak luka. Merasa bersalah, refleks, aku mengejarnya.

    “Natsuki-san, kau tak apa-apa? Tanganmu sepertinya luka.”

    Natsuki berhenti melangkah saat kugenggam tangannya perlahan. Darah tampak mengalir dari luka kecilnya. Segera saja kubersihkan luka itu dengan sapu tanganku. Natsuki sama sekali tidak meringis kesakitan saat aku melakukannya. Wajahnya sama seperti biasa. Dingin, tanpa ekspresi.

    “…terima kasih.”

    Saat lukanya selesai kubalut, ia membungkuk kecil padaku dan kembali berjalan menuju asrama. Aku tidak merasa aneh dengan pemandangan itu. Natsuki-san kadang-kadang membolos sekolah. Ia hanya mau masuk kelas jika ia berniat melakukannya.

    Meski demikian, Natsuki amat mudah ditemui. Ia hampir selalu berada di dapur asrama dan menemani Kagawa memasak.

    Dan ngomong-ngomong soal Kagawa…

    “Oi, kalian, maaf terlambat. Tampaknya masakanku gagal lagi nih, haha!”

    …yah, muncul juga.

    “Tumben sekali bisa bertemu kalian disini, dan hei! Kanae, kau mau bolos lagi?”

    Natsuki terdiam mendengar suara Kagawa. Matanya tertuju padanya yang menatap Natsuki hangat.

    Kemudian, badannya kembali berbalik.

    “Nah, begitu! haha!” Kagawa bersorak. “Membolos itu tidak baik, Kanae!”

    Natsuki tetap diam, tak berekspresi, dan terus melangkah mengikuti iringan langkah Kagawa.

    Aku cukup terkejut dengan kemampuan Kagawa mengubah keinginan Natsuki untuk masuk kelas. Maksudku, Kagawa sendiri bukanlah seseorang yang pintar memotivasi orang lain. Kenyataan bahwa ia sering gagal dalam memasak membuatnya membolos secara rutin hanya untuk bisa memasak sebuah masakan yang menurutnya merupakan keinginan terbesarnya semasa hidup.

    “Aku…aku baru bisa pergi dari sini setelah memasak apa yang selama ini ingin kumasak.”

    “Begitu? Masakan seperti apa yang kau ingin masak?”

    “Itu…aku belum bisa memberitahu kalian.”

    Yah, mungkin karena itulah Kagawa sangat senang berada di dapur. Bahkan hingga membolos sekolah demi memasak. Tapi, dengan Kagawa yang seringkali gagal memasak, terkadang aku lebih memilih untuk makan masakan buatan Miura saja. Meski demikian, Kagawa hampir selalu mengundang kami semua untuk makan bersama – aku, Kamamiya bersaudara, Miura, Natsuki, dan satu orang lagi yang paling heboh diantara semuanya.

    Yah, aku memanggilnya heboh bukan tanpa alasan.

    Suatu hari, Kagawa memasak sup yang terlalu pedas. Kesampingkan Natsuki yang tak pernah bisa berekspresi, aku dan teman-temanku tak bisa menahan rasa pedas akan sup itu. meski demikian, Saat Kagawa menanyakan pendapat kami tentang masakannya, kami semua hanya geleng-geleng kepala atau tersenyum kecut.

    Tetapi satu orang ini…

    “Gila! Rasanya seperti bom! Kau sebut ini masakan?”

    …ia mengatakan blak-blakan apa yang dirasakannya.

    “Kau cicip dulu masakan ini, tidak?”

    Kagawa merasa kecewa, tentu. Dan untuk suatu alasan, kurasa ekspresinya terlalu berlebihan.

    “Oi, Haruna, sudahlah. Kagawa berusaha yang terbaik, loh.”

    “Hee? Apa salahnya? Itu kenyataan yang ada, bukan? Aku bilang begini agar ia lebih memperhatikan masakannya!”

    “Tapi, Haruna…”

    “Apa? Mau protes?”

    Ugh…

    Mengingat hal itu membuatku merinding saja.

    Haruna Akari, teman satu kelas kami. Aku lebih senang menyebutnya ketua geng.

    Mmn. Ketua geng. Kemanapun dan apapun yang kami lakukan, Haruna selalu jadi yang terdepan dalam melakukannya.

    Ia selalu menjadi pusat perhatian dari apa-apa yang kami lakukan. Pengambil keputusan, penyemangat tim, semua hal yang biasa seorang pimpinan lakukan, ia lakukan dengan baik.

    “Hooi!”

    Ah, baru saja aku memikirkannya, dan dia sudah muncul.

    “Yo, Haruna-senpaai. Pagi!”

    “Hee? Emi dan Shirou, ya? Selamat pagi!”

    Emi dan Shirou melambai tangan, membalas sapaan Haruna. Kagawa ikut menyapanya, namun Natsuki hanya diam.

    “Haruna, ceria seperti biasa, ya? Haha, selamat pa-“

    “Oi,” Haruna menoleh pada Shirou. “Si jangkrik ini siapa, sih?”

    Asem.

    “Yah, selamat pagi juga, tuan jangkrik. Apa kau yakin kau tidak salah orang?”

    Ugh…

    Lagi-lagi ia mengajak berkelahi.

    “Anuu, kamu punya amnesia, ya? Haruna?”

    Haruna meliri padaku dengan tatapan mata memincing, tajam, hingga membuatku ketakutan dibuatnya.

    “Anuu, ngeri, loh…”

    Setelah menatapku beberapa saat, Haruna kembali menatap teman-temanku yang lain.

    Seceria biasanya.

    “Baiklah, kita berlima, ayo berangkat!”

    “He…hei, apa aku tak dihitung lagi?” Teriakku. Haruna kembali menatap mataku dengan tatapan tajam, memincing.

    Dan membuatku kembali ketakutan.

    Namun sesaat setelanya, ia tersenyum.

    “Yah, baiklah, kita berenam, ayo berangkat. Haruna, Kagawa, Natsuki, Shirou, Eri, dan, err, tuan jangkrik.”

    “Oii! Namaku Shiraishi!”

    Haruna hanya tersenyum licik mendengarnya.

    ………

    Dasar ketua geng sialan!

    unedited
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Sep 27, 2015
  6. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm...ini kesannya rada beda ketimbang cerita2 situ yg sebelumnya, mungkin karena ada cast yg berwarna ketimbang interaksi nya sebatas satu dua karakter aja. buat gw idealnya tiap karakter yg ada bisa dieksplor secara seimbang. gw juga suka gaya2 komedinya yg rada fresh.

    kalo dari setting nya ini mungkin sesuatu yg bisa rada terlalu ambisius buat ngedevelopnya, tapi best of luck dah, moga2 situ have fun.
     
    • Like Like x 1
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    well, to be honest, I'm planning on make it into 4 volumes :hihi:

    anyway, thanks mod udah mampir. seriously, my free times has been taken away, so it's kinda hard to continue on it. much more moderating :iii:
     
    • Thanks Thanks x 1
  8. sherlock1524 MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Jan 26, 2012
    Messages:
    7,159
    Trophy Points:
    242
    Ratings:
    +22,538 / -150
    nice start :top:
    meskipun chapter 1 udah rame tiba2 semua chara muncul ya nggak apa kyknya. diapal seiring waktu.

    settinganya aja kyknya yg didetil saya rasa, soalnya beda ama realita bukn ini dunianya. :bingung:
     
    • Thanks Thanks x 1
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.