1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic Apocalypse - The End of the World as We Know It

Discussion in 'Fiction' started by mwahaha, Sep 2, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    APOCALYPSE - THE END OF THE WORLD AS WE KNOW IT

    GENRE:
    Fiksi Ilmiah, Horor, Aksi/Laga, Petualangan, Tragedi, Virus, Infeksi, Remaja


    WATTPAD LINK CLICK BELOW:

    [​IMG]
    [​IMG]
    Prequel dari Apocalypse: Badai Pasti Berlalu

    Dulu, yang menjadi masalah bagi Topan hanyalah ejekan yang dilontarkan teman-temannya, gosip antara ia dan si cantik blasteran indo-amerika, serta masalah sekolah yang umum dihadapi para remaja seusianya. Kini, hal-hal tersebut hanya seperti sebuah ilusi jika dibandingkan dengan semua kejadian yang menimpa dirinya sekarang.

    Apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi semua hal itu? Apakah ia akan tetap bertahan, atau menyerah begitu saja?
    Cerita ini sudah tamat di Wattpad dan Part 2 lagi ongoing. Akan saya post bertahap di IDWS :ogbye:

     
    • Like Like x 3
    • Thanks Thanks x 1
    • Semangat! Semangat! x 1
    Last edited: Jan 21, 2017
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    [​IMG]
    "Tidak... Tolong aku... Siapapun, tolong aku!"

    "Hei tenanglah. Lebih baik cepat julurkan tanganmu sekarang."

    "Tidak bisa... Sudah tidak sempat lagi..."

    "Masih sempat! Aku pasti bisa menolongmu. Pasti!"

    "Tidak... Tidak... Aaaahhh!!!"

    "...."

    "...."

    "....HAHAHAHA!!!"

    Kalau mendengar percakapan itu tanpa tahu konteksnya, mungkin orang-orang akan mengira jika mereka sedang berada dalam bahaya besar. Tapi tidak. Bukan itu hal yang terjadi sebenarnya. Mereka—Bombom dan Nauval—bertingkah seolah-olah tengah diterpa bencana angin topan dan sibuk menyelamatkan diri mereka agar tidak terbawa angin yang mengamuk.

    "Hei, Topan. Gara-garamu, Bombom jadi terbang terbawa angin seperti itu. Kau harus tanggung jawab."

    Setelah melakukan aksi konyolnya, Nauval menghampiri seraya menggebrak mejaku. Ia menuntut kompensasi atas apa yang telah terjadi pada Bombom yang omong-omong, telah terhempas sampai ke luar kelas.

    Aku hanya tersenyum sinis seraya berkata, "gak salah tuh? Mana ada angin yang cukup kencang untuk menerbangkan tubuh Bombom yang bulat seperti bola itu."

    "Hei, apa yang kau katakan?" Bombom yang mendengar ejekan yang kulontarkan, segera berlari masuk ke kelas lagi dan turut mengepung mejaku.

    Aku hanya bisa menghela napas. Kalau saja aku tak dilahirkan dengan nama bodoh ini, aku pasti takkan mendapatkan perlakuan seperti ini dari mereka. Itu karena namaku adalah Topan Angkasa. Aku dilahirkan di musim hujan ketika angin topan sedang kencang-kencangnya melanda. Hanya karena alasan inilah, ayahku lalu memberikanku nama itu.

    "Setidaknya rambutku tidak seperti rambutmu yang super semerawut lantaran selalu ditiup angin topan setiap harinya!" balas Bombom dengan tampang penuh kemenangan.

    Well, sepertinya dia selalu tahu hal apa yang paling mengusikku jika dibicarakan. Selain namaku, aku juga paling kesal kalau orang lain membahas rambut keriting alamiku. Memang, rambutku sangat keriting hingga hampir terlihat seperti afro dan sangat susah sekali untuk dirapikan. Karena itu, aku tidak pernah menyisir rambut setelah mandi. Tapi, rambut ini merupakan warisan dari ibuku. Menghina rambutku sama saja dengan menghina dirinya.

    Aku berdiri dari tempat dudukku dan sudah bersiap untuk melontarkan kata-kata pedas sebagai balasannya ketika Bintang berlari ke dalam kelas dengan napas tersengal. "Semuanya, badai kedua datang!" seru Bintang dengan wajah serius yang terlampau dibuat-buat.

    Tak lama berselang, seorang gadis dengan rambut sebahu ber-highlight pink melangkah masuk ke kelas. Gadis itu memiliki wajah khas seseorang dengan darah blasteran Indo-Amerika. Ia tak terlihat terusik dan terus berjalan menuju bangkunya.

    Gadis itu bernama Katrina Storm. Aku yakin namanya itu diambil dari badai Katrina, salah satu badai terbesar yang pernah melanda Amerika beberapa tahun silam. Apalagi nama keluarganya juga memiliki makna yang berhubungan dengan angin. Karena dua hal itu, setiap hari ia selalu menjadi bahan ejekan, sama sepertiku.

    Sebenarnya kalau kita tidak satu kelas, ia mungkin tidak akan menjadi bahan olokan seperti sekarang. Yah, setidaknya tidak akan separah ini. Bagaimanapun juga, anak-anak nakal seperti rombongan Bombom butuh sesuatu yang bisa jadi bahan candaan. Dua orang dengan nama bermakna sama merupakan sesuatu yang sempurna untuk hal itu.

    Seperti yang aku alami, Bombom, Nauval, serta Bintang kembali bertingkah seolah-olah sedang diterpa angin kencang. Namun bedanya, hal ini tak dihiraukan oleh Katrina yang terus mengobrol dengan sohib karib yang duduk di depannya, Chairani, seperti biasa.

    "Haha, Katrina benar-benar cool ya. Jauh berbeda denganmu."

    Aku segera memberikan tatapan jengkel kepada Rudi yang duduk di belakangku dan sekaligus merupakan sahabat karibku. Dia hanya tertawa menanggapi tatapanku itu. Ugh, kalau kau benar-benar sahabatku, harusnya kau menolong, bukannya ikut-ikutan mengolokku seperti ini.

    Walaupun begitu, aku setuju dengan ucapan Rudi barusan. Katrina itu memang benar-benar cool! Lihat saja, rombongan Bombom sekarang terlihat begitu kesal karena ejekannya yang tidak ditanggapi.

    "Ngomong-ngomong, Topan. Kalau kalian menikah, nama anaknya kira-kira siapa ya? Badai? Angin? Atau Hujan? Hahaha."

    Tiga badut itu kembali mendapat bahan cemoohan baru seraya tertawa terbahak-bahak. Mereka seolah tak pernah kehabisan kosakata untuk menghina kami. Rasanya ingin sekali kuisi tubuh mereka, terutama Bombom, dengan Helium atau Hidrogen sebanyak-banyaknya biar terbang ke luar angkasa dan tidak pernah kembali selamanya.

    Yah, sebenarnya aku cukup senang diejek bersama Katrina seperti ini sih. Ketika tahu ada anak lain yang memiliki nama aneh sepertiku, aku langsung penasaran kira-kira seperti apa orangnya. Dan bisa dibilang aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat Katrina untuk pertama kalinya. Apalagi orangnya ternyata sangat keren seperti ini. Membuatku semakin kesengsem dengannya. Ah, tapi aku tak pernah menunjukkan hal itu dihadapannya. Aku memang orangnya cukup pemalu dengan lawan jenis. Selain itu, aku takut dia akan langsung menolakku jika tahu bahwa aku menyukainya.

    "Hehe, kenapa kau? Mau memukulku lagi?"

    Wah, bukannya berhenti, dia malah makin memanasiku dan mengundangku untuk memberikan sebuah jotosan padanya. Untungnya sebelum aku sempat bereaksi, Rudi telah menahan tanganku duluan.

    "Hei, ingat. Kau akan diskors kalau melakukannya lagi," tegahnya.

    Ugh, dia benar. Aku harus bisa mengontrol amarahku. Belum genap sebulan sejak aku terlibat perkelahian dengan tiga anak tengik ini, dan sekarang aku hampir melakukannya lagi.

    Untunglah bel tanda masuk segera berbunyi karena akhirnya trio badut itu menghentikan keusilannya. Mereka kembali ke bangku masing-masing sementara ketua kelas memimpin kami untuk memberi salam pada guru Bahasa Indonesia yang baru saja melangkah masuk. Pelajaran dimulai tak lama setelah kami semua duduk kembali.

    Seperti biasa, aku tidak bisa konsen dalam belajar. Pikiranku selalu melayang ke tempat lain. Memikirkan cerita komik yang kubaca tadi malam ataupun game yang ingin segera kutamatkan secepatnya, misalnya. Yah, aku tahu kalau sekarang sudah tahun terakhirku di SMA dan tinggal dua bulan lagi hingga Ujian Nasional tiba. Tapi masalah lulus atau tidak lulus serta universitas dan jurusan apa yang kupilih nanti membuatku merasa sangat tertekan. Karena itu, bukannya serius belajar, aku malah sibuk dengan hal-hal lain sebagai bentuk pelarianku.

    Aku yakin bukan cuma aku saja yang merasa demikian. Rombongan Bombom contohnya. Mereka pasti juga merasa tertekan karena harus memikirkan bagaimana masa depan mereka kelak. Menggodaku dan juga Katrina adalah salah satu bentuk pelampiasan stress bagi mereka. Tapi, hal itu tak berarti baik untukku, karena pada akhirnya malah aku yang jadi tambah stress dibuatnya.

    Tak lama kemudian bel berbunyi menandakan jam pelajaran Bahasa Indonesia telah berakhir dan akan dilanjutkan oleh pelajaran Sejarah. Baguslah, karena guru sejarah kami sudah berumur dan sudah mendekati masa pensiun. Matanya sangat rabun walau dengan kacamata sekalipun, membuatku yang tidak ada niat untuk belajar bisa tidur dengan leluasa hingga bel istirahat berbunyi.

    *****​

    "Bagaimana? Tidurmu nyenyak?"

    Aku mengangguk menjawab pertanyaan Rudi seraya menguap dan meregangkan otot-ototku yang kaku karena posisi tidur yang tidak nyaman. "Begitulah. Ke kantin, yuk," ajakku kemudian.

    Ketika kami telah berdiri dari bangku kami, seorang murid lelaki menghampiri dengan penuh semangat.

    "Kalian mau ke kantin, ya? Aku ikut!" seru si murid bernama Angga ini yang mengiringi kami menuju kantin.

    Angga adalah anak yang easy going dan tidak suka menempatkan dirinya dalam gang pertemanan apapun. Terkadang dia akan bergabung dengan rombongan anak kutu buku, terkadang juga bersama anak-anak super gaul, bahkan di lain hari dia akan bersama dengan rombongan Bombom, lalu hari ini ia bergabung bersama kami. Selain itu hobinya adalah mengobrol. Hal apapun akan ia bahas. Mulai dari masalah gosip terbaru yang sedang hangat-hangatnya di sekolah, masalah artis yang terlibat skandal, tentang anak tetangganya yang nakal, hingga masalah politik dan perekonomian yang tengah melanda Indonesia. Terkadang kami hanya setengah mendengar ocehannya dengan anggukan dan gumaman kecil karena ia takkan pernah berhenti berbicara jika terus menerus dilayani.

    Sembari melewati lorong sekolah, kusadari bahwa suasana sekolah hari ini terasa berbeda, lebih suram dari biasanya. Di sana-sini dapat terlihat para siswa, siswi, serta para guru yang sepertinya sedang menderita sakit flu dengan masker yang menutupi mulut dan batuk berulang kali.

    "Hei, kalian nonton berita pagi ini gak?" tanya Angga yang aku dan Rudi jawab dengan gelengan.

    "Sepertinya, muncul virus influenza jenis baru yang katanya lebih berbahaya dari flu burung atau flu babi karena proses penularannya yang sangat cepat. Sebaiknya kita tidak terlalu dekat dengan mereka yang saat ini sedang sakit supaya tidak tertular," jelasnya kemudian.

    Virus baru ya... Cukup bahaya juga ternyata. Aku tidak pernah melihat orang menderita sakit secara berjamaah seperti ini. Bahkan ketika masalah flu babi sedang hangat-hangatnya beberapa tahun lalu, tak satupun dari orang yang kukenal menderita penyakit itu.

    Flu ini sekarang sudah terasa seperti pandemik jadinya. Lihat saja si gadis berkacamata yang duduk di meja pojokan kantin itu. Barusan seorang siswa berjalan dan secara tak sengaja bersin ke arahnya. Tak lama berselang, ia turut bersin dan batuk-batuk seperti murid-murid yang lain.

    Nafsu makanku langsung menghilang melihat pemandangan yang dipenuhi dengan orang sakit ini. "Sepertinya aku tidak jadi makan deh," ujarku yang langsung diiyakan dengan yang lain.

    "Uggh... Sebaiknya kita kembali ke kelas sebelum ikutan tertular mereka," celetuk Angga sembari mengelus perutnya memeragakan gerakan orang yang sedang mual.

    "Ayo. Oh ya, lebih baik kita hindari berjalan terlalu dekat dengan orang-orang yang sakit," ujar Rudi yang juga terlihat gelisah.

    Kami bertiga akhirnya berjalan kembali ke kelas dan hanya bisa menunggu hingga bel istirahat berakhir dengan perut yang agak keroncongan. Maklum saja, pagi ini aku hanya makan selembar roti tawar karena terlalu buru-buru berangkat akibat bangun kesiangan.

    Pak Husain, guru Biologi kami, berjalan ke dalam kelas dengan agak sempoyongan dan terus batuk seraya menutupi mulutnya dengan saputangan. Bahkan guru Biologi pun tak luput dari serangan flu ini. Bukan hanya Pak Husain saja, beberapa teman sekelasku juga menunjukkan ciri-ciri yang sama.

    Aku lalu menatap Rudi yang hanya dibalasnya dengan memeragakan gerakan membekap wajah dengan tangan untuk memperkecil resiko kami juga ikut tertular. Aku mengikuti tindakannya, begitu juga dengan beberapa murid yang lain. Entah kenapa, melihat rasio penularan yang begitu cepat membuatku merasa sangat cemas. Padahal tadi pagi hanya ada satu dua orang yang terlihat sakit, itupun hanya sesekali terbatuk kecil. Kenapa beberapa jam setelahnya keadaan mereka jadi bertambah parah seperti ini?

    Layaknya seorang guru teladan, Pak Husain tetap melanjutkan pelajaran walau harus terus terbatuk. Semakin bertambah waktu, suara batuknya sudah melebihi suaranya ketika menjelaskan pelajaran. Pada akhirnya, 30 menit sebelum jam pelajaran berakhir, Pak Husain tak sanggup lagi menahan batuknya. Ia berhenti menjelaskan slide presentasi di papan tulis dan terus batuk tanpa henti di depan kelas. Ia bahkan sempat jatuh berlutut walau masih dengan tetap terbatuk.

    "Hei, sepertinya Pak Husain harus diberi pertolongan segera," bisik Rudi. Aku mengangguk menyetujui pendapatnya. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat seseorang batuk dengan cara yang begitu parahnya hingga memuntahkan sedikit darah ke lantai.

    Beberapa saat kemudian, Pak Husain berhenti terbatuk. Ia kembali berdiri walau dengan agak sempoyangan dan terus tegak diam di tempatnya sembari menundukkan wajahnya. Gelagatnya terlihat sangat aneh. Ia terus terhuyung-huyung di tempat ia berdiri, seolah kakinya sudah tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Akhirnya ia berjalan perlahan dan berhenti di depan meja salah satu murid masih dengan tetap menunduk.

    "P... Pak Husain?" murid itu berdiri seraya menegurnya.

    "Ce-cepat kau tolong!" Aku dapat mendengar bisikan dari anak yang duduk di belakang murid itu. Ia mengangguk lalu berjalan ke samping Pak Husain untuk membantu memapahnya.

    "Biar kubantu pak," ujarnya seraya menjulurkan tangannya.

    Pak Husain mengangkat wajahnya. Tapi ia kini terlihat berbeda. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang biasa. Begitu melihat wajah Pak Husain, seketika itu juga aku langsung mendapatkan sebuah firasat buruk. Firasat itu seolah berbisik padaku bahwa kehidupan normal yang selama ini kujalani, tak lama lagi akan segera berakhir.

    ----------------------------------------------


    Lagu pendamping:

    Theme Song: It's the End of the World as We Know It by R.E.M

    Chapter 1: Calm Before The Storm by Fall Out Boy

     
    • Like Like x 2
    Last edited: Jan 21, 2017
  4. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    [​IMG]
    Mengerikan. Kata itulah yang pertama kali terlintas di benakku ketika melihat kondisi Pak Husain. Bola matanya berwarna putih. Wajahnya juga berwarna putih pucat dengan pembuluh-pembuluh darah kemerahan yang menyemburat dengan sangat jelas dari balik kulit wajahnya. Mulutnya penuh darah akibat batuk keras sebelumnya. Aku sangat yakin ada yang tidak beres dengan Pak Husain dan apapun itu, itu adalah hal yang tak baik.

    Stefan, si murid yang menawarkan untuk memapah Pak Husain telah melingkarkan tangannya ke pundak pak Husain ketika hal yang terduga terjadi. Bahu kirinya digigit oleh guru yang tadinya ingin ia tolong hingga daging yang membalut kulit ikut terlepas dari tulangnya.

    Stefan berteriak melengking akibat sakit yang dideritanya. Bukannya berhenti, Pak Husain malah menyergap tubuh Stefan dan kali ini ia menggigit leher Stefan hingga darah segar menyembur kemana-mana.

    Hal ini kontan menimbulkan panik bagi seisi kelas. Ada beberapa murid yang mencoba menghentikan aksi Pak Husain, ada yang berdorong-dorongan berusaha lari keluar kelas, dan ada pula yang tetap bengong di meja masing-masing dengan tatapan tak percaya dengan beberapa murid perempuan yang menangis. Aku termasuk dalam kategori terbengong di meja masing-masing. Terus terang saja aku masih bertanya-tanya, apakah kejadian yang terjadi di hadapanku itu nyata adanya atau hanya mimpi buruk yang mengerikan? Kalau ini hanya mimpi, aku ingin agar bisa terbangun dari mimpi ini secepatnya dan kembali menjalani kehidupan sekolahku seperti biasa sembari menghardik mereka yang mengejek nama atau rambutku.

    "Hei, hei Topan... Topan!" teguran Rudi menyadarkan aku dari lamunan ini. Aku melihat dirinya, secara silih berganti dengan kondisi kekacauan di kelas.

    "Ayo kita segera keluar dari sini dan cari bantuan," katanya dengan wajah tegang.

    "Y-ya. Ayo..."

    Ucapanku terhenti tatkala aku mendengar geraman lain dari barisan meja dekat jendela. Beberapa anak yang tadi menunjukkan gelagat sakit yang sama seperti Pak Husain, sekarang turut menyerang para murid yang berada di sekitar mereka.

    "Cih, ayo cepat!" decak Rudi sembari menarik tanganku yang masih terbengong.

    Siapa saja, tolong jelaskan padaku. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Beberapa saat yang lalu kami masih melakukan kegiatan belajar-mengajar seperti biasa. Tapi kenapa sekarang situasinya jadi seperti ini? Aku masih saja melihat ke arah Pak Husain yang kini tengah menggigit tiga anak yang tadi berusaha menghentikannya dan rombongan siswa dan siswi yang juga berlaku sama kepada teman-temannya. Layaknya kanibal, mereka memakan tangan korbannya seolah itu adalah daging yang sangat lezat.

    "Topan, berhentilah menyaksikan mereka. Sekarang kita harus fokus keluar dari ruang kelas ini secepatnya!"

    Ucapan Rudi menarikku kembali ke alam nyata. Tapi, apa ini benar-benar kenyataan? Aku mencubit pipiku yang rasa nyerinya langsung bisa kurasakan. Sial... Jadi ini benar-benar bukan sebuah mimpi?

    "Topan, kenapa?" tanya Rudi yang hanya kujawab dengan gelengan.

    Kami bergegas berlari menuju pintu kelas bagian belakang karena terlalu berbahaya untuk keluar dari pintu depan. Dapat kusaksikan kepanikan yang juga terjadi di lorong sekolah. Murid-murid dari kelas lain juga berhamburan dari kelas masing-masing dengan ekspresi ketakutan yang menandakan bahwa hal yang sama juga terjadi di kelas mereka.

    "AAAAARGH!!!"

    Teriakan kesakitan terdengar tak jauh dari tempatku berdiri. Seorang siswa dari kelas sebelah berlari keluar dari kelasnya dengan lengan penuh darah diikuti oleh seorang siswi yang kondisinya sama seperti Pak Husain—mata berwarna putih dengan urat-urat wajah yang nampak sangat jelas dibalik kulit wajahnya yang putih pucat kemerahan.

    Keadaan horor ini diperparah dengan sejumlah murid dengan kondisi serupa mulai bermunculan dari dalam kelas dan mengejar siapapun yang terlihat. Jika diibaratkan, kelakuan mereka mirip seperti hewan yang menderita rabies.

    "Rudi, Topan, kesini!" seru sebuah suara memanggil nama kami. Ternyata Angga pemilik suara itu. Kami segera berlari untuk bergabung dengannya.

    "Lewat sana terlalu berbahaya. Sebaiknya kita pergi keluar sekolah lewat lorong utara saja," sarannya yang dijawab dengan anggukan dari kami.

    Sebelum berlari pergi, aku melirik ke arah lorong selatan. Ada dua jalan menuju ke luar sekolah, melalui lorong selatan maupun lorong utara. Lorong selatan merupakan jalan yang lebih singkat untuk keluar dari bangunan sekolah ini, namun karena banyak murid yang berpikir demikian, maka lorong selatan terlihat penuh sesak dan kebanyakan para murid yang telah berubah itu mengejar mereka yang berlari ke arah selatan. Walau arah utara sedikit lebih jauh untuk ditempuh, namun hanya sedikit murid yang memilih lorong ini, sehingga kami dapat berlari tanpa berdesakan dan lebih leluasa menghindari mereka yang mencoba menyerang.

    Tetapi ada suatu hal yang membuat mataku langsung terkunci ke arah sana. Ya, secara tak sengaja aku melihat Katrina bersama Chairani ikut berdesakan dengan murid lain untuk menyelamatkan diri. Akan sangat berbahaya bagi mereka jika kabur lewat sana. Lebih baik mereka kabur bersama kami lewat lorong ini.

    "Katrina, Chairani!" panggilku. Namun mereka tidak dapat mendengar suaraku dan yang menoleh ke arah kami malahan murid-murid monster itu.

    "Gawat, hei ayo lari! Katrina dan Chairani pasti bisa mengurus diri mereka sendiri!" seru Angga karena melihat dua orang murid yang tengah mencoba mengejar kami.

    Aku hanya bisa menelan rasa pahit ini dan menuruti perkataannya. Kususul Angga dan Rudi yang sudah berlari duluan. Semoga Katrina dan Chairani bisa kabur dengan selamat. Tapi, aku juga harus menyelamatkan diriku sendiri terlebih dahulu.

    Untunglah kami masih lebih cepat dari para pengejar kami. Mereka berlari dengan agak tertatih dan bahkan sempat terjatuh sebelum berdiri dan mengejar kembali. Kami berhasil menjaga jarak cukup jauh dari mereka. Ketika berlari melewati gudang olahraga, Angga tiba-tiba berhenti dan berusaha membuka paksa pintu gudang olahraga yang terkunci itu.

    "Hey, ayo bantu aku!" pintanya. Kami menurutinya karena jarak antara kami dan para pengejar itu masih cukup jauh. Dengan sekuat tenaga dan setelah mencoba beberapa kali, kami berhasil mendobrak pintu gudang itu. Angga langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling hingga matanya terhenti ke arah sekumpulan alat olahraga baseball. Ia mengambil salah satu bat dan memerintahkan kami untuk melakukan hal yang sama dengannya.

    "Baiklah, ayo cepat kita kabur..."

    Sial, ternyata dua murid itu telah berhasil menyusul kami. Salah seorang dari mereka berlari ke arah Angga yang dengan refleks, dipukul olehnya dengan wajah penuh ketakutan.

    "Haaah.... Haaaah....?!" Ia tersengal tapi tidak untuk waktu lama karena murid itu tengah berdiri kembali.

    "Apa-apaan?!" serunya panik.

    Murid yang satunya telah melancarkan serangan ke arah Rudi yang langsung ditangkis menggunakan bat-nya. "Uggh... Topan!" serunya meminta pertolongan. Tapi aku tidak bisa berkutik dan hanya bisa diam di tempatku tanpa bisa berhenti gemetar.

    Rudi berdecak melihat kelakuanku yang hanya bisa gemetaran di tempat. Ia lalu mencoba berusaha sendiri dengan mengayunkan tongkat yang ia gunakan untuk menangkis sebelumnya agar bisa terbebas, lalu kembali diayunkannya tongkat itu sekali lagi untuk memukul tengkuk murid yang menyerangnya.

    Tapi sama seperti kasus di pihak Angga, murid itu kembali berdiri seolah tak ada hal berarti baru terjadi padanya. Ia menggeram dengan leher yang telah patah, lalu sembari berjalan meringsut, ia mencoba menyerang Rudi kembali.

    "AAAAHHH!" teriak Angga putus asa. "Sialan, sialan, sialan. Mati kau, mati kau, mati kau!"

    Hal itu terus diucapkannya berulang-ulang sembari memukul murid yang menyerangnya tanpa henti. Di sisi lain, Rudi juga melakukan hal yang sama dan memukul murid yang ingin menyerangnya dengan wajah yang meneriakkan bahwa ia sangat terpaksa melakukannya.

    Setelah menerima bertubi-tubi serangan tanpa ampun, kedua murid itu tak lagi bergerak. Rudi dan Angga segera berlari mundur menjauhi korban mereka seraya langsung terduduk di lantai dengan napas tersengal.

    "Sial... Apa yang telah terjadi sebenarnya?" keluh Rudi yang kelihatannya masih tidak percaya dengan hal yang telah ia perbuat.

    Melihat kedua murid yang terkapar dengan kondisi mengenaskan—Lebam di sekujur tubuh, tangan dan kaki yang terpelintir karena patah, serta wajah yang melotot dengan sebagian kepala penyok dan menampakkan sedikit isi otaknya—membuatku merasa mual dan akhirnya muntah di sudut ruangan karena tak tahan menyaksikannya.

    "Ka... Kalian membunuh mereka?" tanyaku setelah memuntahkan semua isi lambungku yang hanya berupa cairan karena aku belum makan seharian dengan nada tak percaya. Bagaimana bisa mereka melakukan ini pada dua orang itu? Ya, aku tau mereka mencoba menyerang kami, tapi tak perlu segitunya sampai-sampai harus melakukan hal ini. Bukankah itu berarti bahwa Rudi dan Angga telah menjadi seorang pembunuh?

    "Jadi apa yang harus kita lakukan? Kau lihat kan, aku sudah memukulnya sekali tapi hal itu tidak memberikan efek padanya. Tak ada jalan lain yang bisa diambil. Pilihannya sekarang adalah membunuh, atau dibunuh," tukas Angga dengan wajah kesal.

    "Te-tetap saja..."

    Aku masih tidak bisa menerima perbuatan mereka itu. Tapi Rudi segera menyela ucapanku sebelum aku sempat menyelesaikannya. "Ayo, kita sebaiknya segera pergi dari sini. Bahaya kalau kita diserang dengan jumlah yang lebih banyak."

    Rudi bukanlah tipe orang yang banyak bicara. Sama sepertiku, ia cenderung suka mengobservasi keadaan terlebih dahulu sebelum berbicara. Mungkin karena itulah aku bisa jadi sangat dekat dengannya. Selain itu, Rudi juga dikenal sebagai orang paling bijak di kelas kami. Banyak murid berkonsultasi tentang masalah mereka padanya dan akan ia berikan solusi terbaik setelah pertimbangan yang masak.

    Walau aku juga pendiam, tapi aku bukan orang bijak sepertinya. Aku juga tak bisa dengan mudah beradaptasi dengan suatu hal yang baru, seperti sekarang misalnya. Walaupun kenyataan menyatakan hal yang sebaliknya, aku tetap bersikukuh bahwa membunuh adalah tindakan yang buruk. Aku tidak bisa bertindak seperti mereka dan memukul orang lain sampai mati hanya karena mereka mencoba menyerangku.

    "Aku juga sebenarnya tak mau melakukan ini, tapi keadaan memaksa kita," ujar Rudi di sela lari kami.

    "A-aku tahu... Aku paham maksudmu dan Angga. Tapi aku tidak bisa melakukannya." Aku hanya bisa menjawab dengan tangan gemetar sembari mengenggam erat bat yang kupegang.

    "... Tapi kami tak bisa terus melindungimu. Cepat atau lambat, akan datang saat di mana kau harus melindungi dirimu sendiri," imbuhnya lagi.

    Aku hanya terdiam mendengar ucapannya. Kulirik ke arah Angga yang masih terlihat kesal padaku. Mungkin dia pikir aku adalah orang lemah tanpa punya sama sekali. Sebaliknya, aku merasa heran dengan mereka berdua. Mereka terkesan begitu gampang beradaptasi dengan perubahan ini. Sekarang saja, contohnya. Angga dan Rudi terus memukul setiap orang yang ingin menyerang kami. Mata mereka terlihat nanar ketika melakukannya. Jujur saja, sekarang aku lebih takut dengan Angga dan Rudi daripada dengan mereka yang mengejar kami.

    Persimpangan lorong telah tampak di pelupuk mata. Angga terus memimpin jalan kami diikuti oleh Rudi dan aku. Angga begitu sibuk memukul para siswa yang menyerangnya sementara Rudi juga sibuk melindungi dirinya sendiri dan aku. Ia terlihat kesusahan, tapi ia tetap diam tanpa menyuruhku untuk ikut turun tangan. Mungkin dia ingin aku mau melakukan hal seperti mereka atas keinginanku sendiri. Tapi maaf, aku masih tidak mampu melakukannya.

    "Argh!!!"

    Teriakan Angga mengejutkanku. Ia kurang waspada dan tak menyadari ada sosok yang datang dari balik lorong. Sosok itu menggigit lengan kanan Angga yang lengah. Ia langsung meronta untuk melepaskan tangannya, tapi sosok itu tetap kerasan dan malah memperkuat gigitannya, membuat Angga kembali berteriak.

    Rudi segera memukul kepala sosok yang tengah tertunduk akibat masih menggigit lengan Angga. Karena pukulan itu, gigitannya melonggar memberikan Angga kesempatan untuk menendang sosok itu agar lengannya terbebas.

    Sosok itu masih gemetaran di lantai. Setelah kuperhatikan baik-baik, ia ternyata Pak Somat si bapak tukang bersih-bersih yang selalu ramah dengan kami. Perlahan ia mencoba bangkit, tetapi ia langsung tersungkur lagi karena menerima pukulan Angga.

    Angga yang mengamuk terus-menerus memukulnya dan takkan berhenti jika tak kami tahan. "Sudahlah. Ia sudah mati. Sekarang kita harus bergegas pergi lagi," ujar Rudi sembari menarik tangan Angga.

    "Lepaskan," ujar Angga dingin dengan napas tersengal. Ia kembali mencoba memimpin jalan. Tapi kecepatan larinya kini telah berkurang drastis dan dapat kulihat bahwa ia sekarang tengah menahan sakit, dengan buliran keringat dingin terus berjatuhan dari pelipisnya.

    "Ka-kau baik-baik saja? Mau kupapah?" tawarku yang khawatir dengan kondisinya.

    "Ck, sekali dilihat juga pasti sudah tahu. Bagaimana mungkin aku masih baik-baik saja setelah digigit seperti ini!? Sialan, kepalaku rasanya makin pening," Ia mendorongku dengan kasar. Rudi yang melihatnya, hanya menepuk pundakku mengisyaratkan bahwa aku harus bisa bersabar menghadapi Angga.

    Kami melanjutkan lari kami. Namun, kali ini dengan lebih hati-hati seraya menyesuaikan dengan tempo Angga. Akhirnya kami tiba di pintu masuk bangunan sekolah. Dapat terlihat banyak murid dan guru yang berlarian ke halaman dan menuju gerbang untuk menyelamatkan diri.

    Kami kembali menerima serangan dari beberapa orang yang mencoba menyerang. Seperti sebelumnya, Rudi dan Angga memukul untuk menghalau mereka. Tapi dapat kusadari bahwa kekuatan pukulan Angga kini berkurang drastis. Napasnya juga tidak teratur dan keringat dingin berjatuhan makin deras hingga ia terpaksa harus menyeka wajah dari keringatnya sesekali. Ia juga terlihat tengah menahan batuk yang diderita, tapi terbukti hal itu cukup susah untuk dilakukan karena ia masih terbatuk dengan suara yang cukup kencang.

    Aku dan Rudi hanya diam seribu bahasa melihat kondisi Angga yang sangat kacau. Aku menatap Rudi dan ia membalas dengan kembali menatapku. Sepertinya ia juga memiliki pikiran yang sama denganku tentang hal apa yang tengah terjadi pada Angga sekarang. Hanya saja kuharap hal yang kami pikirkan itu takkan terjadi. Semoga aku hanya terlalu paranoid dan Angga sebenarnya cuma sedikit lelah.

    Ketika kami sampai di halaman sekolah dan ingin berlari menuju gerbang sekolah, aku melihat Katrina dan Chairani tengah berlutut di salah satu sudut lapangan. Untunglah. Sepertinya mereka berdua baik-baik saja.

    "Hey, Katrina. Kalian tak apa?" sapaku seraya menghampiri mereka.

    Katrina tak menjawab dan hanya menatapku dengan cemas. Maaf, kutarik ucapanku barusan. Karena sebelumnya tubuh Chairani tertutup Katrina, aku tak menyadari kondisinya. Chairani sekarang tengah berada dalam pelukan Katrina. Di bagian dada kanan dekat dengan pundaknya, terlihat sebuah bekas gigitan yang merobek seragamnya, menampakkan sebagian daging di daerah tersebut yang telah terlepas, dengan darah tak berhenti mengalir dari pusat lukanya. Ia berkeringat dingin dan napasnya tak beraturan, tapi ia tetap memaksakan untuk memberikan sebuah senyuman untuk sahabatnya. Mungkin ia tak ingin Katrina merasa khawatir tentang keadaan dirinya.

    "Di-dia tergigit?" tanyaku.

    "Y-Ya... Ta-tadi di jalan... Se-seseorang menyerang kami dan... Da-dan ia... Ia menggigit Chairani. Kami berhasil lolos karena salah seorang guru memukulnya. Tapi Chairani jadi seperti ini tak lama kemudian..." Katrina terisak. Baru pertama kali aku melihat seseorang yang sehari-harinya terlihat begitu dingin menjadi sedih dengan wajah yang dipenuhi dengn air mata. Tubuhnya juga tampak gemetaran dan wajahnya juga terlihat sangat takut. Mungkin ia takut kehilangan sahabat satu-satunya itu.

    Sebagai anak blasteran yang telah tinggal di Amerika sejak lahir hingga berumur 15 tahun, ia jadi susah beradaptasi dengan kehidupan di Indonesia. Para siswi lain membencinya dan menganggapnya sombong karena sifatnya yang selalu tak acuh dengan orang lain. Bisa dikatakan, Katrina tak memiliki satu teman pun sebelum bertemu Chairani.

    Katrina sering menghabiskan waktu istirahat dengan sendirian membaca buku di perpustakaan. Di sana, ia bertemu dengan Chairani yang merupakan anggota kepengurusan perpustakaan sekolah. Chairani yang melihatnya selalu membaca buku sendirian, mendekatinya dan mengajaknya berkenalan. Setelah menghabiskan waktu mengobrol bersama, ia mengetahui bahwa ternyata Katrina memiliki selera buku yang sama dengannya. Akhirnya setiap hari Katrina akan datang ke perpustakaan hanya untuk bisa bertemu dengan Chairani lantaran mereka berbeda kelas. Untunglah mereka ditempatkan di kelas yang sama dari kelas 11 hingga sekarang. Katrina jadi tak perlu menghabiskan waktunya sendirian lagi dan punya teman yang bisa diajaknya berbagi.

    Mungkin aku terdengar seperti stalker karena aku bisa mengetahui hal pribadi di antara mereka seperti ini. Tapi aku mendengarnya sendiri dari mulut Chairani ketika aku menanyakan awal pertemuan mereka. Jujur saja pada awalnya aku dibuat agak terheran karena dua orang penampilan berbeda bisa jadi sahabat karib seperti ini. Katrina memiliki dandanan gaya anak nakal dengan rambut bob yang di highlight warna pink dan sifatnya juga cukup tomboy. Ia takkan segan memukul orang-orang yang berniat menindasnya. Sedangkan Chairani memiliki dandanan ala anak culun dengan rambut dijalin berkepang dua serta kacamata berlensa tebal dengan jerawat menghiasi kedua pipinya. Tapi setelah mendengar semua ceritanya dari Chairani, aku jadi bisa memahami situasi mereka sekarang. Walaupun kata Chairani, hanya akulah orang pertama yang berani bertanya langsung tentang kisah pertemanan mereka.

    Rudi menyikut pinggangku untuk memberitahukan kondisi Angga sekarang. Aku melirik dengan sudut mataku agar tidak ketahuan. Kondisi Angga terlihat makin parah dengan batuk yang tak kunjung berhenti. Di sisi lain, hal yang sama juga terjadi pada Chairani walaupunn ketika ia terbatuk, ia akan menoleh ke arah lain seraya menutup mulutnya agar tidak mengenai Katrina.

    "Topan, kita harus melakukan tindakan begitu hal yang tidak kita inginkan benar-benar terjadi. Aku tak bisa melakukannya sendirian. Karena itu, kuharap kau mau membantuku kali ini," bisiknya dengan cara yang sehalus mungkin agar tidak ketahuan Angga.

    Aku tahu maksud hal yang tidak diinginkan itu. Hanya saja aku masih ragu kalau aku bisa melakukan sesuatu seperti harapannya. Aku terus berdo'a agar keadaan mereka bisa mulai membaik sebentar lagi. Namun, semua itu hanyalah harapan kosong. Tubuh Chairani tiba-tiba gemetar hebat dan berhenti tak lama kemudian. Ia mengangkat kepalanya. Namun, bola matanya kini telah putih sempurna dengan kondisi tubuh yang sama persis dengan mereka yang menyerang kami sebelumnya.

    "Cha... I... Rani?" ucap Katrina dengan mata terbelalak sementara air mata masih berjatuhan dari kedua matanya.

    "GRRRR..... GRAAAH!!!"

    "AWAS!!!"

    Chairani menggeram dan berusaha menggigit Katrina yang masih memeluk tubuh dingin sahabatnya. Aku segera mengayunkan bat-ku untuk memukul wajah Chairani tanpa sadar dan segera menarik Katrina untuk menjauhinya.

    "Katrina! Ka-kau tak apa-apa? Apa kau terluka? Tergigit?" tanyaku dengan panik sembari memeriksa setiap jengkal tubuhnya. Aku menghela napas lega begitu menyadari bahwa tidak ada luka yang ia derita akibat serangan barusan.

    "Chai... Rani..." Ia masih terbengong dengan tatapan kosong. Gawat, sepertinya Katrina terlalu shock karena menyaksikan sahabatnya yang tiba-tiba berubah.

    "Hey, get a grip Katrina! Sekarang bukan waktunya untuk melamun. Topan, cepat bawa dia mundur!" seru Rudi dengan wajah panik.

    Mungkin karena Rudi berbicara kepada Katrina dalam bahasa Inggris, kesadaran Katrina mulai kembali. Walau begitu, ia masih terlihat kebingungan dengan hal apa yang telah terjadi barusan.

    "To-Topan! Apa yang baru saja kau lakukan? Kenapa kau memukulnya?!"

    Hal pertama yang ia lakukan adalah menghardikku dengan wajah penuh amarah. Aku sendiri sebenarnya tak menyangka kalau aku bisa melakukan hal itu. Padahal sesaat sebelumnya aku masih ragu untuk melakukan hal ini, tetapi begitu melihat Katrina dalam bahaya, tubuhku secara refleks bergerak sendiri dengan tujuan untuk melindunginya.

    "Ma-maaf... Aku... Aku..."

    "Katrina, tenanglah. Topan barusan hanya mencoba membantumu. Lihatlah kondisi Chairanis sekarang." Rudi segera menolongku untuk mengalihkan perhatian Katrina ke Chairani.

    Chairani telah berdiri kembali dengan sebelah lensa kacamatanya telah pecah dengan lebam di pipi dan darah menetes dari hidungnya. Dengan tubuh terhuyung, ia memeberikan kami sebuah tatapan kosong sementara air liur menetes dari mulutnya yang menganga seraya mengeluarkan suara geraman kecil. Rambutnya terlihat semerawut dan salah satu ikat rambutnya terlepas, membuat sebelah rambutnya jadi terurai. Kondisinya sekarang jauh berbeda dengan Chairani yang anggun dan rapi seperti yang kukenal selama ini.

    "Chairani...?" ucap Katrina lagi. Tapi dibanding kekhawatiran, wajahnya kali ini menunjukkan ketakutan diiringi dengan rasa tak percaya.

    ----------------------------------------------

    Lagu pendamping:

    Chapter 2: And Then It All Began by PhaZer
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jan 22, 2017
  5. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    This could be our only chance
    What we need's a call to action
    Display it in your coldest caption
    What we need's a call to action

    So long to what could never heal
    So long to your distant memory
    So long to what could never be

    You build me up to break me down again
    You kill me once you kill me every time
    Your disbelief it keeps me waiting in line

    I don't believe you're dull reaction
    What we need's a call to action
    Display it in your coldest caption
    What we need's a call to action

    So long to all your remedies
    So long to your desperate misery
    So long to what you think of me

    You kill me once you kill me every time
    Your disbelief it keeps me waiting in line

    I don't believe you're dull reaction
    What we need's a call to action
    Display it in your coldest caption
    What we need's a call to action

    You kill me once you kill me every time
    (Action)
    Waiting in line, waiting in line
    (Action)
    [x2]

    I don't believe you're dull reaction
    What we need's a call to action
    Display it in your coldest caption
    What we need's a call to action

    And at this moment I'm standing forward
    (Action)
    I've tried it your way so how do you like me now?
    Like me now
    How do you like me now?
    [​IMG]


    Belum hilang rasa kaget kami karena kondisi Chairani, terdengar sebuah suara menggeram dari arah belakangku. Aku segera menoleh dan kudapati pupil mata Angga juga telah berubah dengan warna kulit yang terlihat sangat pucat.

    "Aaaaah.... Aaaaahhhhh...." Ia berdesah dengan suara yang sangat berat tapi masih terdiam di tempatnya berdiri.

    Sekarang kami semua berada pada posisi yang benar-benar terpojok. Kami bertiga tak bisa bergerak sama sekali karena jika bergerak, aku yakin Angga atau Chairani akan langsung menyerang kami. Mereka bertingkah seolah tak dapat melihat kami. Mungkin kalau terus diam saja seperti ini, mereka akan pergi ke tempat lain.

    Di kejauhan, para murid terlihat gempar dan saling dorong mendorong ingin segera keluar dari pekarangan sekolah. Teriakan histeris mereka terdengar begitu menyakitkan. Tapi anehnya, keributan itu seolah tak terlihat menarik bagi Angga dan Chairani. Mereka tetap diam di tempat mereka seolah tengah menunggu kami bergerak tanpa menghiraukan hal-hal lain yang terjadi.

    Apa yang harus kami lakukan? Apa aku harus memukul Angga sementara Rudi memukul Chairani agar kami bisa segera terbebas dari mereka? Tapi nyaliku kembali menciut. Tanganku tak sanggup bergerak bahkan hanya untuk sekedar mengayunkan bat ini saja. Aku menelan ludah. Tak tahu harus melakukan apa. Namun, keheningan ini tidak bertahan lama. Rudi melakukan tindakan duluan untuk memukul wajah Chairani yang membuat kepalanya terpelintir ke belakang karena lehernya patah.

    Chairani tak terjatuh dan masih tegak di tempatnya seraya berjalan tertatih ke arah Rudi. Aku hanya bisa terbelalak tak percaya karena Chairani masih bisa bergerak walau kepalanya sekarang telah berputar 180 derajat.

    "...!?" Katrina tak bisa berkata apapun. Kurasa ia pasti juga turut menyadari bahwa sahabatnya itu sudah bukan lagi manusia normal seperti kami. Mana ada manusia yang masih bisa bertingkah seolah tak ada hal besar yang terjadi setelah lehernya patah, kan?

    "URRRGH... GRAAAAH!!!"

    Gawat, karena terlalu fokus pada Chairani, aku jadi melupakan Angga dan hampir terkena serangannya jika terlambat sedetik saja menahannya dengan bat-ku ini. Sial... Bagaimana ia bisa sekuat ini? Semakin lama aku semakin terdesak sementara posisi mulut Angga sudah tinggal beberapa senti saja dari tanganku.

    "Topan!"

    Sekali lagi Rudi menghantam Chairani yang membuatnya jatuh tersungkur. Ia lalu berbalik arah dan berlari ke arahku untuk memukul Angga sehingga aku dapat melepaskan diri darinya.

    "Sial... Mereka masih belum tumbang-tumbang juga..." gerutu Rudi sembari berdecak kesal begitu melihat Angga dan Chairani yang kembali berdiri.

    "Topan, kau harus membantuku sekarang! Aku tak mungkin bisa melawan mereka sendirian!" seru Rudi. Melihat tatapan tajam matanya, membuatku hanya bisa memalingkan muka karena aku masih tak sanggup melakukan hal yang sama dengannya.

    "Ugh, kau..." Rudi sepertinya mulai kesal karena diriku yang terkesan seperti pengecut. Aku juga sangat malu pada diriku sendiri. Kenapa, kenapa aku begitu bersikeras melakukan ini?

    Di saat aku tengah bergelut dengan perasaanku sendiri, kurasakan bahwa seseorang telah merebut bat yang kupegang. Kuangkat wajahku dan menemukan Katrina-lah sang pelakunya. Dengan bat itu, ia segera memukul tubuh Angga. Pukulan pertamanya tak memberikan efek berarti. Karena itu disambungnya pukulan itu dengan pukulan beruntun hingga bat kayu yang ia gunakan menjadi patah karenanya. Bersamaan dengan patahnya bat itu, Angga akhirnya tumbang dan tak lagi bergerak.

    Di sisi lain, di saat yang bersamaan ketika Katrina memukul Angga, Rudi juga melakukan hal yang sama terhadap Chairani. Dipukulnya Chairani mulai dari wajah, tangan, tubuh hingga kakinya sampai pada akhirnya, Chairani juga berhenti bergerak untuk selamanya.

    Aku hanya bisa menyaksikan mereka dengan mulut ternganga. Aku tidak bisa percaya mereka tega melakukan hal ini pada teman sekelas yang telah bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama-sama. Aku menoleh ke arah Katrina yang hanya bisa menatap Chairani yang terbaring di samping Rudi dengan wajah penuh kesedihan. Air matanya kembali menitik, tapi ia segera menyeka air matanya itu dengan tangannya.

    "Maaf, aku terpaksa melakukannya. Tapi tak ada jalan lain yang bisa kulakukan selain membunuhnya," ujar Rudi dengan wajah yang merasa sangat bersalah.

    Katrina menggeleng seraya berkata, "tak apa. Lagipula kau hanya melakukan apa yang menurutmu sebagai jalan terbaik, Rud. Orang yang kau bunuh itu bukanlah Chairani yang kukenal. Akan lebih baik segera mengakhiri hidupnya seperti ini daripada ia menyerang murid-murid lainnya."

    Aku tak menyangka Katrina bisa berkata dengan nada yang begitu dingin mengenai sahabat baiknya itu. Kukira ia akan marah dan memukul Rudi. Tapi ia malah menyetujui tindakan Rudi yang telah membunuh orang terdekatnya. Apa mungkin Katrina hanya berpura-pura kuat saja untuk menanggapi hal ini?

    "Ka-Katrina... Jangan berkata seperti itu. Chairani adalah sahabat terbaikmu. La-lakukanlah kalau kau ingin menangis. Tidak usah berpura-pura kuat," saranku.

    Ia berbalik dan memberikanku tatapan sinis. "Apa yang kau katakan? Jangan bertingkah seolah kau sangat memahamiku. Memangnya kau pikir kau itu siapa, hah?"

    Aku tak menyangka ucapannya begitu menohokku seperti ini. Tapi ia tak berhenti sampai disitu saja. "Selain itu, kenapa kau cuma bisa melamun dari tadi? Padahal kau bisa memukul Chairani dengan gampang sebelumnya."

    "Su-sudah kubilang kalau aku refleks melakukannya! La-lagipula, kalian tidak harus membunuh mereka. Masih ada pilihan lain yang bisa kita lakukan. Meninggalkan mereka disini dan berlari menyelamatkan diri, misalnya. Kita masih tidak tahu pasti apa yang menyebabkan mereka jadi seperti itu. Bagaimana kalau ternyata mereka dapat disembuhkan?" balasku.

    "Naif, kau masih terlalu naif, Topan. Lihatlah sekelilingmu. It's chaos everywhere. Kau akan berubah menjadi makhluk yang sama seperti mereka jika tergigit. Dan biarkan saja mereka, katamu? Like hell I would let my friend turn into monster and bite everything in her sight? Aku bukan orang yang sejahat itu, Topan."

    Keadaannya berbalik. Sekarang malah aku yang jadinya terkesan jahat. Tapi apa salahnya membiarkan mereka hidup? Apa Katrina tidak ingin bertemu dengan sahabatnya lagi untuk selamanya? Jujur saja aku masih tak bisa menerima ucapannya.

    "Dan aku tak yakin mereka dapat disembuhkan. Kondisi mereka sama seperti penderita rabies, dan kau tahu apa yang terjadi pada orang yang terkena rabies, kan?"

    Aku tak bisa membalas ucapan Rudi. Memang benar. Sekali terkena rabies, penderitanya akan menjadi buas dan menyerang apapun di sekitarnya hingga ia meninggal pada akhirnya. Kalau wabah yang sedang melanda sekarang merupakan variasi dari virus rabies, maka tak ada harapan yang tersisa untuk menyelamatkan mereka.

    Aku akhirnya mengangguk seraya menundukkan kepalaku. Aku masih tak rela, tapi aku kuakui kesalahan dalam pola pikirku sebelumnya. Bagaimanapun juga, aku harus mulai bisa menerima bahwa inilah kenyataannya. Dunia ini telah berubah, dan kami juga harus ikut berubah jika ingin tetap bertahan.

    "... Baiklah. Ayo kita pergi," ajak Rudi.

    Sebelum pergi, kuraih bat milik Angga sebagai pengganti senjataku. Ketika aku menunduk mengambilnya, aku melihat seseorang berlari untuk menyerangku. Posisi Rudi dan Katrina terlalu jauh. Mereka takkan sempat menolongku seperti sebelumnya. Kalau mau tetap hidup, aku tak boleh ragu lagi dan harus melakukannya.

    Begitu bat kayu itu berada dalam genggamanku, aku segera melompat ke samping untuk menghindari serangan yang datang. Kukitari dia hingga posisiku sekarang berada di belakangnya lalu memukul ubun-ubunnya sekuat tenaga. Dari semua yang kusadari ketika menyaksikan Rudi, Katrina dan Angga bertarung sebelumnya, orang-orang ini akan berhenti bergerak ketika kepalanya atau dengan kata lain, otaknya dihancurkan. Sebenarnya ini hanya mencoba peruntunganku belaka, tapi tak kusangka ternyata dia benar-benar berhenti bergerak setelah menerima satu pukulan dariku barusan.

    "....?!" Rudi dan Katrina terlihat pangling karena aku berhasil membunuh hanya dengan satu serangan.

    "Aku hanya mencoba teoriku. Tapi sepertinya teori itu benar adanya. Kelemahannya terletak pada otak mereka."

    "Benar juga, kepala adalah pusat dari tubuh kita selain jantung tentunya. Kau jenius, Topan," puji Rudi yang membuatku agak bersemu merah.

    "Baiklah. Kelemahan mereka sudah kita ketahui. Melawan mereka bisa jadi lebih gampang sekarang."

    Aku agak kecewa karena Katrina tidak memujiku dan masih terus bersikap dingin tapi segera kutapik perasaan itu karena ada hal lain yang lebih mengangguku sekarang. Aku memperhatikan gadis yang telah kubunuh barusan secara bergantian dengan senjataku. Jika sebelumnya aku hanya refleks memukul Chairani, kini kulakukan hal yang sama dengan kesadaran penuh. Kukira aku akan merasa sangat bersalah, sedih atau takut. Tapi nyatanya tak kurasakan semua hal itu. Malah aku menyadari sebuah sensasi yang aneh dan masih tak jelas apa maknanya, karena aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

    "Jadi kita sebaiknya kemana sekarang?" tanya Katrina membuyarkan lamunanku.

    "Tentu saja kita harus keluar sekolah ini secepatnya. Tapi daerah dekat gerbang masih terlalu ramai dan akan sangat berbahaya berdesak-desakan seperti itu. Sebaiknya kita tunggu di sini untuk sementara waktu hingga suasananya jadi lumayan lenggang," jelas Rudi. Ia lalu mengambil hp di saku celananya dan menekan tombol-tombolnya untuk menghubungi seseorang.

    "Siapa yang kau telepon?" tanyaku.

    "Polisi. Akan lebih baik kalau kita meminta bantuan pihak yang berwajib bukan?" jawabnya.

    "Ah, halo. Saya ingin melaporkan sesuatu..." ujarnya ketika telepon itu terhubung. Ia diam mendengarkan ucapan dari lawan bicaranya kemudian berkata, "Apa? Benar-benar tidak ada personel lagi yang bisa dikirim? Tapi kami butuh bantuan... He-hei tunggu!"

    "..."

    "A-apa katanya?" tanyaku yang penasaran dengan hasil pembicaraannya barusan.

    "Operator itu menutup sambungan telepon kami sekenanya karena ada laporan lain lagi yang masuk dan operator yang lain sedang sibuk semua, katanya. Ia juga bilang bahwa semua polisi di daerah ini sudah diturunkan ke lapangan sehingga tidak ada lagi polisi yang tersisa untuk membantu kita," jelas Rudi dengan wajah kesal.

    "So it's no use, then. Kalau begitu, tak ada cara lain yang bisa kita lakukan kecuali mencoba survive dengan mengandalkan kekuatan kita sendiri," ujar Katrina.

    "Oh ya, senjatamu bagaimana? Kau mau tukaran?" tawarku yang dijawab Katrina dengan gelengan. "Tak usah. Bagian yang patah dari bat ini masih bisa digunakan untuk memukul," jelasnya.

    Setelah keadaan di daerah gerbang sekolah menjadi agak lenggang, kami melanjutkan perjalanan kami kembali. Aku dan Rudi berjalan di depan dimana aku mengawasi sisi kiri dan Rudi mengawasi sisi kanan. Katrina berada di belakang kami untuk membantu memberikan men-support kami ketika bertarung.

    Suasana di luar sini ternyata tidak kalah kacaunya. Jalan di depan sekolah dipenuhi dengan kemacetan. Suara klakson mobil tak henti-hentinya terdengar karena masing-masing dari kendaraan itu tak ada yang mau kalah. Para pengendara motor masih lebih beruntung karena mereka bisa menyelip diantara mobil bahkan naik ke trotoar untuk menghindari kemacetan.

    Tidak ada diantara kami bertiga yang membawa kendaraan karena kebijakan sekolah yang melarang para muridnya menggunakan kendaraan. Karena itu kami menuju jalan raya yang lebih lebar agar bisa menemukan tumpangan. Seraya berjalan, aku dapat menyaksikan keegoisan para pengguna mobil ini. Tak ada satupun dari mereka yang mau membukakan pintu untuk memberikan tumpangan pada murid-murid, guru dan pejalan kaki yang memohon pertolongan.

    Akibat tak kunjung diberikan bantuan, beberapa dari mereka jadi bersikap anarkis. Ada yang mencoba naik secara paksa ke motor-motor yang berseliweran. Ada yang diam menghadang mobil hingga ia diijinkan naik. Bahkan ada yang memukul kaca mobil agar bisa memaksa masuk.

    Beberapa dari para pengemudi pun juga turut bersikap gila. Baru saja kusaksikan seseorang tetabrak motor karena ia terus berusaha menghalang-halangi laju motor itu. Ia jadi cidera dibuatnya yang membuat hatiku terketuk untuk menolongnya. Tapi Katrina segera menahan tanganku seraya menggeleng karena tak lama kemudian, siswa itu tergigit oleh seseorang yang berlari menuju arahnya.

    "Jangan buang-buang tenaga dan fokus untuk melindungi diri kita sendiri terlebih dahulu. Jangan sampai formasi kita buyar karena kau sibuk ingin menyelamatkan yang lain," nasehatnya.

    "Menyakitkan memang. Tapi Katrina benar. Lebih baik kita saling berusaha melindungi satu sama lain daripada disibukkan oleh seseorang yang tak kita kenal," imbuh Rudi sembari menepuk pundakku, hal yang selalu dilakukannya untuk menenangkanku.

    "Huff... Baiklah..." ujarku pada akhirnya.

    "GRAAAH!"

    Terdengar suara dari belakang kami yang berasal dari seorang siswa yang mencoba menyerang dengan buas. Katrina yang posisinya berada paling belakang segera bertindak dengan menusukkan bagian patah tongkatnya ke dahi siswa itu seraya berseru, "Go to hell, you damn infected!"

    "Infected?" tanyaku begitu ia menarik bat-nya yang menembus dahi siswa itu.

    "Ya. Akan lebih mudah memanggil mereka jika kita punya sebutan khusus untuk itu, kan?" balasnya.

    "Kedengaran simple dan mudah diingat. Daripada 'orang yang terinfeksi', infected lebih mudah untuk diucapkan," angguk Rudi menyetujui ide Katrina.

    "Let's continue," ajak Katrina begitu kami bertiga menyetujui penggunaan istilah 'infected' tersebut mulai sekarang.

    Kami lalu kembali berjalan sembari memukul setiap infected yang mencoba menyerang kami. Tak lama kemudian, kami telah sampai di sebuah simpang empat. Mudah-mudahan kami bisa menemukan pengemudi mobil yang mau berbaik hati menawarkan kami tumpangan.

    ----------------------------------------------

    Lagu pendamping:

    Chapter 3: Call to Action by Pillar
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Jan 21, 2017
  6. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    This could be our only chance
    To throw ourselves over the fence
    Tired of all the things being the same

    Getting up before the sun
    Tomorrow this will all be gone
    Tired of all the people still the same

    No matter what today will bring
    We’re gonna hit the road tonight
    Not gonna turn around for anything
    We’re gonna hit the road tonight

    Drive away into the light
    Doing what we’ve never tried
    Never going back from where we came

    Now it’s time for us to say
    For us to choose which price to pay
    Whatever way you put yourself to blame

    No matter what today will bring
    We’re gonna hit the road tonight
    Not gonna turn around for anything
    We’re gonna hit the road tonight

    This could be our only chance
    It’s time that we are heading for the same

    So follow us into the light
    Together we will make this right
    Never going back from where we came

    No matter what today will bring
    We’re gonna hit the road tonight
    Not gonna turn around for anything
    We’re gonna hit the road tonight
    [​IMG]
    Di persimpangan jalan itu, kami melihat sebuah mobil Honda Jazz berwarna putih berhenti di pinggir jalan. Di depan mobil ada tiga infected, di sisi kiri serta kanannya masing-masing ada satu infected, dan di belakang mobil ada dua infected. Total yang mengepungnya ada tujuh orang.

    Kami berjalan secara perlahan karena tak ingin mengusik perhatian para infected. Ketika posisi kami sudah sejajar, kami dapat mengetahui bahwa ada dua orang perempuan di dalamnya. Satunya yang duduk di bangku pengemudi adalah seorang wanita yang mungkin berumur 20-an. Satunya lagi seorang siswi dengan seragam sama seperti kami. Mereka berdua terlihat sangat ketakutan, dan ketika salah satu dari infected itu berhasil meretakkan kaca mobil di sisi sang siswi, kepanikan mereka semakin menjadi.

    "Ga-gawat... Bagaimana ini?" tanyaku yang cemas melihatnya.

    "... Lebih baik kita tolong mereka," jawab Rudi.

    "Are you crazy? Sudah kubilang kita tak perlu sibuk memikirkan yang lain," ujar Katrina dingin.

    "Mereka punya kendaraan. Kalau kita menolong mereka, mungkin mereka akan menawarkan kita tumpangan," jelas Rudi lagi.

    "..." Katrina terdiam mendengar ucapan Rudi lalu berkata lagi, "lalu, apa rencanamu?"

    "Itu...?" Rudi terlihat cukup kebingungan ketika suara klakson mengusik kami.

    Klakson itu berasal dari motor yang baru saja melesat kencang. Ternyata bukan hanya kami saja, para infected yang menyerang mobil itu serentak berhenti dan menoleh ke arah motor itu. Namun, karena laju motor yang begitu cepat, mereka mengabaikannya dan mulai menyerang mobil itu lagi.

    "... Suara. Kita harus buat suara gaduh seperti klakson barusan untuk mengalihkan perhatian para infected itu." Aku menyampaikan ideku.

    "Benar juga. Tapi dengan apa?" tanya Rudi.

    "Uhhm.. Itu..."

    Seolah menjawab pertanyaanku, sebuah sepeda motor terjatuh tak jauh dari kami. Pengendaranya yang jatuh terguling mulai mencoba berdiri secara sempoyongan. Ia memakai helm dengan kaca hitam dan pakaian lengkap. Tapi aku tahu ada yang tidak beres darinya, karena gerakannya mirip seperti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para infected.

    "Sepertinya dia sudah berubah. Lebih baik kita segera bunuh dia dan rebut motornya," saran Katrina yang kami jawab dengan anggukan.

    Karena sudah mulai terbiasa, menghabisi pengendara motor ini jadi terasa tak terlalu susah. Begitu selesai memastikan kematiannya, kami segera mengecek motor yang untungnya hanya mengalami lecet yang tak terlalu berpengaruh dengan fungsinya.

    "Baiklah. Siapa yang akan naik motor ini untuk jadi umpan?" tanya Katrina.

    "Biar aku saja yang melakukannya," tawar Rudi yang dijawab Katrina dengan anggukan. Aku sedikit merasa iri karena dari tadi Katrina terkesan terus saja membela Rudi sementara ia selalu bersikap dingin padaku.

    "Tu-tunggu. Aku juga bisa. Biar aku saja yang jadi umpan," jawabku.

    "Serius, Topan? Kau kan baru belajar bermotor tiga bulan yang lalu," sela Rudi.

    Memang aku baru mulai belajar motor selama beberapa bulan terakhir. Rudi-lah orang yang mengajarkanku. Ia memang hobi otomotif dan telah bisa mengendarai motor sejak usia 10 tahun. Bahkan motor pribadi miliknya adalah jenis motor gede yang sudah dimodif layaknya motor balap, tapi tak pernah dibawanya ke sekolah akibat peraturan yang berlaku.

    "Benar. Tapi aku lumayan yakin dengan kemampuanku," ujarku pede seraya membusungkan dada.

    "Sudahlah. Kau masih hijau dalam bermotor dan masih belum tahu teknik-teknik mengendarai motor. Lebih baik kau dan Katrina menyelamatkan mereka selagi aku mengalihkan para infected itu."

    "Tapi..."

    Rudi hanya memberikanku tatapan aneh untuk mengisyaratkanku agar segera berhenti memaksa jadi umpan seperti ini. Dia tahu aku menyukai Katrina. Apa dia sengaja melakukan ini biar aku bisa menghabisi waktu berdua saja dengan Katrina? Ah, sepertinya itu hanya pikiranku yang terlalu berlebihan.

    "Baiklah..." jawabku pada akhirnya.

    "Nah, lebih baik begitu kan? Oh ya, kau bawa hp-mu?"

    "Ada," jawabku sembari menunjukkan hp-ku.

    "Aku akan menghubungimu ketika aku sudah berhasil menghilangkan jejak dari mereka. Kita akan bertemu kembali setelah itu."

    "Oke," anggukku.

    Kami mulai menjalankan rencana ini. Rudi menaiki motor, menghidupkannya, lalu membawanya ke dekat mobil itu. Tepat ketika kaca jendela mobil yang retak tadi jadi pecah karena ulah infected, Rudi menekan klakson motor dan berteriak untuk menarik perhatian mereka. Cara ini ternyata sangat jitu, mereka meninggalkan mobil dan mengejar Rudi yang berlari dengan motornya dengan kecepatan yang cukup lambat agar para infected tidak tertinggal cukup jauh sehingga tidak berbalik ke arah mobil lagi. Begitu keadaan sudah aman, aku dan Katrina berjalan mendekati mobil.

    "Kalian tidak apa-apa?" tanyaku bernada khawatir.

    Aku memperhatikan mereka berdua yang masih gemetar ketakutan. Wanita berumur akhir 20-an dan berambut pirang panjang dengan baju khas pegawai kantor swasta yang berada di kursi supir mengambil bungkus rokok yang ada di sakunya lalu mencoba menghidupkan lighter dengan tangan gemetar. Sementara siswi yang berada di kursi penumpang disampingnya, dimana tempatnya merupakan letak kaca jendela pecah barusan, mengalami luka gigitan di bahu kirinya. Sial, kami terlambat. Gadis ini sudah terinfeksi dengan virus itu.

    "A... Aku tergigit barusan... Apakah aku akan berubah seperti mereka juga?" tanya gadis dengan rambut panjang diikat ini. Sepertinya ia sudah tahu konsekuensi bagi mereka yang tergigit oleh para infected. Mungkin ia telah menyaksikan temannya berubah.

    "... Maaf." kataku setelah terdiam selama beberapa saat. Tak ada gunanya mengucapkan kata penghibur karena ia juga telah tahu apa yang akan terjadi padanya beberapa saat lagi.

    "Uuuuh... Uuuuh... Tidak!" teriaknya frustasi.

    Hal yang ia lakukan selanjutnya benar-benar membuatku bingung. Pasalnya, ia malah mencoba menyerang wanita berambut pirang disampingnya. Padahal, aku yakin ia masih belum berubah. Namun, Katrina bergerak cepat. Ia mendorongku kesamping dengan kasar karena tubuhku menghadang jendela. Ia lalu menarik rambut panjang gadis itu untuk menghentikan serangannya sebelum ia sempat menyerang wanita di sampingnya. Katrina berhasil, gadis itu berteriak kesakitan dan tertarik hingga ia keluar dari jendela yang sudah pecah itu. Karena postur tubuhnya yang kecil, Katrina dapat menarik gadis itu keluar dengan mudah.

    Gadis itu memegang kepalanya yang kesakitan karena kulit kepala yang ditarik kasar. Badannya juga luka-luka karena ketika Katrina menariknya keluar, serpihan kaca jendela tajam, yang masih menempel di bagian bawah jendela mobil, melukainya.

    "Kau..... Bangsat!" teriak gadis itu yang kini malah berbalik menyerang Katrina. Aku melihatnya lagi dan yakin bahwa ia masih belum berubah, iris matanya masih hitam, namun kornea matanya berwarna sangat merah entah kenapa.

    Katrina dengan ekspresi dingin menusukkan bagian tongkat yang patah ke dahi gadis itu. Bagian yang patah itu cukup tajam dan menembus dahinya hingga menyebabkan kematian gadis malang itu.

    Oke, terkadang aku merasa takut melihat Katrina. Memang gadis ini sudah terinfeksi dan mencoba menyerangnya. Namun gadis itu masih belum berubah dan membunuhnya tanpa ekspresi apapun, Katrina seolah sudah menjadi mesin pembunuh berdarah dingin.

    "Ka... Kau membunuhnya? Well, ia memang pantas mati karena tadi mencoba menyerangku dan kelakuannya sama seperti monster tadi. Padahal aku sudah dengan baik hati menghentikan mobilku untuk menolongnya, tapi ia malah melakukan hal itu. Benar-benar tak tahu terimakasih." gerutu wanita berambut pirang tadi turun dari mobilnya dan melihat keadaan gadis malang yang mati dengan patahan bat yang masih tertancap di dahinya.

    "Fuuuh... Namaku Angeline White, kalian bisa memanggilku Anggie. Siapa nama kalian?" tanyanya seraya mengepulkan asap rokok yang ia hisap.

    Wanita ini kelihatannya juga blasteran sama seperti Katrina atau memang murni orang Amerika asli, ditambah ia juga memiliki rambut pirang yang sepertinya asli bawaan, bukan karena di cat. Matanya juga berwarna biru cerah dengan kulitnya putih khas orang barat, namun ia sangat fasih berbahasa Indonesia hingga ia dapat dikira sebagai murni orang Indonesia.

    "Namaku Katrina dan ini Topan. Kami butuh tumpangan mobil. Apakah boleh kami mengikutimu?" ujar Katrina.

    "Of course! Kalian adalah penyelamat hidupku, bukan hanya sekali tapi sudah dua kali. Tentu saja kalian bisa ikut, bahkan aku akan mengantarkan kalian ke rumah masing-masing jika itu yang kalian inginkan." katanya dengan senyum ramah. Aku membalas senyum Angie namun Katrina masih saja memasang tampang dingin tanpa ekspresinya. Mungkin sebagian perasaan Katrina menghilang setelah kejadian yang terjadi terhadap Chairani sebelumnya. Tapi kalau kuingat-ingat, Katrina memang tidak pernah senyum ke orang lain selain Chairani.

    Kami lalu menaiki mobil Angie. Aku dan Katrina duduk di kursi belakang karena kaca di kursi penumpang di depan sudah pecah dan terlalu berbahaya jika duduk di sana.

    Angie lalu bercerita banyak tentang dirinya. Kedua orangtuanya orang Amerika, namun ketika ibunya hamil, ayahnya yang bekerja di perusahaan multi internasional di tugaskan untuk bekerja di Indonesia. Ia telah berada di Indonesia sejak ia lahir. Karena itulah ia sangat fasih berbahasa Indonesia. Ketika kutanya berapa umurnya, ia mengatakan kalau itu merupakan sebuah rahasia bagi wanita. Tapi kalau harus kutaksir, umurnya kisaran 27-29 tahun.

    Angie mengatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan ke kantornya ketika wabah ini terjadi. Ia kebingungan karena jalanan tiba-tiba menjadi kacau. Orang-orang turun dari mobilnya dan menyerang orang lain disekitarnya. Bahkan ada tiga atau empat infected yang berkumpul untuk memakan seorang lelaki di pinggir jalan. Dari keterangannya, itu berarti para infected tidak hanya menyerang orang lain karena hanya ingin menularkan virus, tetapi terjadi kecenderungan untuk memakan orang lain juga, walaupun aku masih belum tahu apa penyebab kelakuan mereka ini.

    Angie lalu terus menyusuri jalan tanpa tujuan hingga seorang siswi memohon di pinggir jalan untuk menolongnya. Namun ketika ia berhenti, sekawanan infected datang mengepung mobil Angie dari seluruh arah hingga ia tidak bisa menggerakkan mobilnya. Ia sempat menyerah kepada nasib, untungnya kami datang menolong, walau agak sedikit terlambat.

    "Tapi, mengapa gadis tadi berusaha menyerang Angie? Padahal jelas-jelas ia belum berubah," gumamku mempertanyakan tindakan siswi barusan.

    "Karena ia tidak ingin menjadi infected sendirian. Mungkin ia merasa tidak adil, karena ia malah tergigit dan terinfeksi, sementara Angie yang juga bersamanya selamat. Hal itulah yang menyebabkan ia menyerang Angie, agar Angie juga menjadi seorang infected seperti dirinya," jelas Katrina dengan kesimpulan yang sangat masuk akal bagiku.

    Tapi, apakah gadis itu benar-benar berpikir bahwa tindakannya itu benar? Tidak, ini bukan masalah benar atau salah. Tindakan yang ia lakukan hanyalah untuk menuruti egonya yang merasa bahwa dunia ini tidak adil karena membuat dirinya begitu. Untuk itu, ia menyerang Angie demi memenuhi kepuasan tersendiri karena ia tidak ingin menjadi infected seorang diri.

    "The hell?! Aku sudah berbaik hati berhenti untuk menolongnya dan dia malah kepikiran untuk membawaku terjerumus dalam lubang yang sama? Salahnya sendiri kenapa ia tidak bisa melindungi diri. Uggh... Jika teringat kejadian tadi, aku jadi sangat kesal," gerutu Angie lalu kembali menghidupkan rokoknya sebagai pelampiasan stress.

    "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau mulai merokok Angie?" tanyaku untuk mengubah suasana yang memanas seraya mematikan AC karena Angie yang mulai merokok lagi.

    "Oh, thanks. Kadang-kadang aku sering lupa mematikan AC ketika merokok. Bukankah itu hal yang berbahaya? Hahaha..." tawanya santai. Sepertinya Angie termasuk orang yang cukup teledor.

    "Aku merokok sejak berumur 14 tahun. Banyak hal yang membuatku stress kala itu. Merokok dan meminum alkohol secara diam-diam membuat perasaanku menjadi lebih baik. Tentu saja, aku tidak menutup-nutupinya lagi setelah dewasa. Tapi hey, itu lebih baik daripada menggunakan narkoba, bukan?" jelasnya lalu meletakkan abu rokok di dalam asbak yang sudah ia taruh di samping setir mobilnya karena merokok dengan menurunkan kaca jendela di sisi itu terlalu berbahaya. Bagaimana bila infected tiba-tiba menyerang?

    "Oh ya, kita akan kemana dulu? Apa menunggu hingga temanmu menelepon atau langsung pergi ke tempat yang kalian tuju?" tanyanya.

    Aku sudah menjelaskan pada Angie bahwa kami memiliki satu teman lagi yang bernama Rudi yang tadi mengalihkan perhatian para infected yang mengepung mobil dan ia akan menghubungiku bila sudah berhasil kabur dari para infected yang mengejarnya.

    "Ya, mungkin dia akan menelepon sebentar lagi." kataku.

    Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tepat setelah aku mengatakan hal itu, teleponku berdering yang menandakan bahwa Rudi telah berhasil menghilangkan jejak dari para infected tadi.

    "Halo?" ujarku menjawab telepon darinya.

    ----------------------------------------------

    Lagu pendamping:

    Chapter 4: Hit The Road by The Doots
     
    • Like Like x 1
    Last edited: Jan 21, 2017
  7. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    I'm a man on a mission
    And my diligence won't wait
    There are supersonic killers in the sky
    Everything you do will be analyzed
    They control every step of your life

    Well, mankind has gone to a high extreme
    To the dark side on the way
    All I see is a masquerade
    And the termination waits

    Oh, I've seen the faces of a million leaving here
    Abandoned times and places of a world
    Built out of fear
    The quest is drawing near
    The mystery of fear is just about to clear

    What we need right now, is a miracle on earth
    Let out hearts cry out, so our voices can be heard
    Let us walk away together
    From the never ending rain
    'Til the sun will shine for all of us again

    So we travel on at the speed of light
    And the gods will light our way
    Gotta change our part in the master plan
    For another break in the race

    And the trumpet sound will soon be heard
    As the dead in mind awake
    And the joyful saints will guide us
    On the onward fight that we take

    Oh, I've seen a million
    Leaving right away from here
    Abandoned times and places of a world
    Built out of fear
    The quest is drawing near
    The mystery of fear is just about to clear

    What we need right now, is a miracle on earth
    Let out hearts cry out, so our voices can be heard
    Let us walk away together
    From the never ending rain
    'Til the sun will shine for all of us again

    Take my hand and you will see
    The mirror of your destiny
    So many came to read the signs
    To understand their meaning
    Now I see it's you and me
    So try to understand
    And we will walk the road of life
    Together hand in hand
    I do not dare, I do not dare
    But something's calling me
    For those who dared could not break free
    The one who will succeed
    I wonder, is it me?

    Give us a chance to live
    Give us a chance to die
    Give us a chance to be free
    Without fire from the sky
    Give us a chance to love
    Give us a chance to hate
    Give us a chance, before you kill us all
    Before you kill us, kill us all
    Before you kill us, before you kill us all
    Before you kill us
    [​IMG]


    "Halo, Topan? Aku sudah berhasil menghindari mereka. Kau dimana sekarang?" tanya Rudi dari seberang telepon.

    Aku menyebutkan lokasi kami, yang ternyata berada tak jauh dari tempat Rudi sekarang. Karena menepikan mobil terlalu berbahaya, kami memutuskan untuk menyusul ke tempat Rudi yang membutuhkan waktu sekitar 5 menit.

    Ia melambaikan tangannya ketika melihat kami. Rudi memilih jalan yang sepi dari rumah penduduk. Benar saja, tak ada seorang bahkan satu kendaraan pun yang berada di jalan ini. Karena hari ini merupakan hari Rabu dan masih di jam kerja, sehingga hanya jalan raya dan padat penduduk yang ramai.

    "Apa agenda kalian sekarang?" tanyanya ketika kami telah menepi.

    "Aku ingin pulang ke rumah dan mengecek keadaan ibuku. Di rumahku ada mobil yang lebih besar dari ini, jadi kita bisa menukar dengan mobil itu." jawab Katrina.

    "Ide yang bagus, mobil ini sudah terlalu berbahaya untuk digunakan. Apalagi salah satu jendelanya sudah pecah. Lagipula kalau kita ingin mengevakuasikan diri dari sini, kita butuh mobil jenis SUV, bukan mobil kecil khusus kota seperti ini."

    "Ada tempat yang ingin kau kunjungi juga, Angie?" tanyaku, karena sepertinya ia akan terus bersama kami.

    "Nope, orang tuaku sudah kembali ke NY. Aku hanya tinggal sendiri di apartemen," jelasnya.

    "Bagaimana denganmu, Topan? Apa kau akan pergi menemui adikmu?" tanya Rudi.

    "Tentu saja. Tapi seperti yang Angie bilang, mobil ini tidak cukup untuk kita berempat, apalagi jika ditambah adikku. Sebaiknya kita pergi ke tempat Katrina dulu untuk menyelamatkan ibunya dan mengganti mobil."

    Oh ya, aku lupa menjelaskan bahwa aku punya saudara. Aku memiliki seorang adik yang masih berusia sebelas tahun dan sekarang duduk di kelas lima SD. Anaknya pendiam dan sepertinya sering di bully karena memiliki nama yang sama aneh denganku, Badai Angkasa. Memang, adikku dilahirkan ketika hari sedang badai besar. Namun, hal yang sama terjadi hingga dua kali padaku dan juga adikku? Jangan-jangan itu bukanlah suatu kebetulan tapi entah dengan cara apa ayahku membuatnya, mungkin dengan membayar pawang hujan. Well, terkadang khayalanku sering terlalu berlebihan.

    Tapi mereka benar-benar tidak bertanggung jawab! Bayangkan, ayah dan ibuku kini tengah sibuk honeymoon di Australia untuk anniversary pernikahan mereka yang ke-20 dengan meninggalkan kedua anak mereka di rumah. Ayahku mengambil cuti selama 2 minggu untuk itu dan kini mereka sudah 1 minggu berada di sana. Bahkan, uang yang mereka tinggalkan kurang untuk membeli makanan jadi sehingga, aku harus memasak sendiri, dan membuat adikku setiap hari harus memakan makanan gosong buatanku. Walau begitu, kuharap kedua orangtuaku baik-baik saja di sana.

    "Lebih baik kau ikut denganku. Aku ingin ke rumah sakit untuk menjemput kakak perempuan dan ibuku. Bukankah sekolah adikmu berada di arah yang sama? Kita bisa pergi menjemput adikmu dulu baru ke rumah sakit. Katrina, bisakah mobilmu itu muat untuk 2 orang lagi?" saran Rudi sembari menanyakan muatan mobil Katrina.

    "Tentu saja, mobil keluargaku cukup untuk delapan orang penumpang."

    "Bagus, kita akan bertemu di rumah sakit setelah kau berhasil mendapatkan mobil itu. Bagaimana?" Rudi mempertanyakan pendapat kami tentang idenya.

    "It's an effective plan. Waktu kita jadi tidak terbuang sia-sia dengan membagi tugas," jawab Katrina.

    Aku lalu turun dari mobil dan duduk berboncengan dengan Rudi.

    "Oh ya, berapa nomor hape-mu, Katrina?" tanya Rudi. Wow, dia menanyakan nomor Katrina lebih dulu daripada aku. Aku tahu, kami butuh nomor Katrina untuk menghubunginya, tapi seharusnya dia membiarkan aku yang menanyakan Katrina nomornya. Yah, sudahlah.

    "08xx-xxxx-xxxx" kata Katrina yang kuulang-ulang di dalam otak agar nanti dapat kucatat di hp-ku.

    Rudi lalu memberitahukan nama Rumah Sakit tempat kami akan berkumpul lagi sebelum kami berpisah jalan, dimana aku dan Rudi akan menuju sekolah adikku terlebih dahulu baru pergi ke rumah sakit.

    Kakak perempuan Rudi adalah seorang perawat di rumah sakit itu, sedangkan ibu Rudi telah lumpuh karena stroke sejak setahun yang lalu. Ibu Rudi sering bolak balik rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lemah. Kali ini, ia juga berada di rumah sakit untuk rawat inap selama kurang lebih 2 minggu. Kadang, aku merasa kasihan dengan keadaan Rudi. Ayahnya telah tiada sejak 5 tahun lalu karena kecelakaan di tempatnya bekerja. Kantor ayahnya memberikan santunan dan mereka juga menerima uang asuransi, cukup untuk membiayai hidup mereka selama beberapa tahun, seperti untuk membiayai kakaknya untuk menyelesaikan sekolah keperawatan dan biaya sekolah Rudi. Namun semenjak ibunya menderita stroke setahun lalu, biaya hidup mereka melonjak untuk membiayai perawatan ibunya, sehingga kakaknya harus bekerja lebih keras dan mereka harus memotong pengeluaran mereka. Bahkan, Rudi mengatakan bahwa mereka harus meminjam uang ke bank untuk membiayai perawatan ibunya. Tapi karena wabah ini terjadi, sepertinya Rudi tidak perlu membayar hutang ke bank lagi. Ternyata ada sisi baiknya juga dari peristiwa ini walaupun sisi buruknya lebih banyak.

    Tidak berapa lama kemudian, kami sampai di sekolah adikku. Seperti di sekolah kami, sepertinya juga terjadi wabah yang sama disini dikarenakan daerah sekolah ini sudah sangat sepi. Aku dapat melihat seorang gadis sepantaran adikku di halaman sekolah yang juga telah menjadi infected. Melihat hal ini aku jadi sangat khawatir dengan kondisi adikku. Aku tidak yakin dia telah meninggalkan sekolah ini. Dia anak yang penakut, ketika melihat infected, dia pasti akan memilih sembunyi di suatu tempat karena ia payah dalam bidang olahraga sehingga lamban dalam berlari.

    Ketika gadis kecil itu melihat kami, ia langsung berusaha menyerang. Walaupun aku sudah membunuh beberapa infected, namun tetap saja aku tidak bisa membunuh seorang anak yang masih kecil. Namun Rudi segera mengambil tindakan. Ia memukul kepala gadis itu, tetapi ia masih tetap dapat bergerak. Rudi lalu memukul kepalanya sekali lagi seraya menutup matanya. Ia lalu membisikkan kata 'maaf' setelah gadis itu berhenti bergerak. Bahkan Rudi pun merasa bersalah ketika membunuh seorang gadis kecil.

    Kami lalu berjalan ke dalam gedung sekolah. Untunglah kami tidak menemukan infected lagi. Kemungkinan besar mereka mengikuti para anak-anak dan guru yang lari meninggalkan sekolah.

    "Kau yakin adikmu masih di sekolah? Apa ia tidak mempunyai hp?"

    "Aku yakin 99% kalau ia masih di sini. Ketika itu saja, sewaktu gempa yang cukup besar terjadi di siang hari, dimana murid-murid lain berhamburan keluar kelas, ia sembunyi di bawah mejanya. Dan, ayahku belum mau memberikan Badai hp hingga ia masuk SMP. Ayahku itu memang masih kolot," jelasku.

    Aku berteriak memanggil nama Badai untuk memancingnya keluar. Kami terus berjalan hingga mendekati ruangan kelas Badai.

    "Badai!" panggilku dan Rudi.

    "... Kak... Kak Topan!" samar-samar terdengar suara jawaban. Usaha kami membuahkan hasil, Badai ternyata masih berada di sekolah!

    "Badai, kau dimana? Jangan, keluar dari tempat persembunyianmu, kami akan datang menjemput!" perintahku padanya.

    "Kak, disini!" teriaknya lagi.

    Aku dan Rudi berjalan semakin dekat dengan sumber suara. Ketika aku memanggil namanya sekali lagi, Badai keluar dari sebuah meja panjang di lorong sekolah yang memiliki lemari yang cukup untuk anak kecil berada di dalamnya. Namun dari arah yang berlawanan, seorang guru yang terinfeksi virus muncul dari persimpangan dan berlari untuk menyerang Badai.

    "BADAI!!!" teriakku panik. Posisi kami terlalu jauh untuk menyelamatkannya. Tidak akan sempat, tidak akan sempat! Apa aku akan kehilangan adikku sendiri tepat di depan mataku?

    "Hyaaah!" seorang laki-laki muncul dari ruang kelas tepat di samping infected itu dan menyerangnya dengan gagang sapu. Untunglah, hal yang ia lakukan memberi kami cukup waktu untuk memperkecil jarak dan dengan sekuat tenaga, kupukul kepala infected yang menyerang adikku itu hingga menyebabkan bat milikku patah.

    Infected itu berhenti bergerak setelah menerima satu serangan ke kepala dariku. Jantungku berdegup begitu cepat. Aku langsung menarik tubuh adikku dan kuperiksa seluruh tubuhnya dengan agak kasar karena aku sangat khawatir jika ia sempat tergigit oleh infected sialan tadi.

    Untunglah, setelah kuperhatikan dengan sangat teliti, ia tidak menderita luka gigitan kecuali sedikit lecet-lecet kecil di kulitnya.

    "Kau tidak apa-apa? Apa barusan kau terluka?" tanyaku dengan nada khawatir untuk memastikan bahwa ia benar-benar tidak tergigit.

    Badai menjawab pertanyaanku dengan menggeleng kecil. Perasaan lega memenuhi diriku hingga aku kehilangan kekuatan untuk menopang kakiku. Aku berlutut di depannya hingga tinggi tubuh kami sama, lalu kupeluk dirinya dengan erat. Aku benar-benar bersyukur mengetahui adikku ini masih sehat wal-afiat.

    "Kamu, kakaknya Badai?" tanya laki-laki yang menolong adikku tadi. Sepertinya ia salah satu guru di sekolah ini.

    "Iya pak, terimakasih atas bantuannya tadi. Bapak...?"

    "Oh, nama saya Evan. Saya wali kelas Badai. Saya sedang memeriksa tiap kelas untuk melihat apakah masih ada murid yang belum menyelamatkan diri ketika saya mendengar suara kalian," terang pak Evan. Ia lalu melirik ke rekannya sesama guru yang barusan kubunuh. Badai juga ingin mencoba untuk mencuri lihat, namun aku segera menutup matanya agar ia tidak melihat keadaan gurunya yang mengenaskan.

    "Maaf, aku terpaksa untuk membunuhnya. Tapi tidak ada cara lain. Ia sudah terinfeksi oleh virus yang belum ada vaksinnya," terangku dengan perasaan bersalah. Aku masih belum terbiasa membunuh orang.

    "Yah, mau bagaimana lagi? Terus terang saja, aku juga telah membunuh salah satu rekan guru yang lain dan seorang murid yang terinfeksi. Hanya hal itulah yang dapat kita lakukan untuk bertahan hidup dan melindungi mereka yang masih belum terinfeksi," ia memaklumi tindakanku.

    "Kalau begitu, kita berpisah disini. Aku masih ingin mencari murid yang lain. Badai, kau ikutlah dengan kakakmu dan berusahalah untuk lebih berani. Oke?" nasehat Pak Evan pada Badai. Badai hanya mengangguk kecil seraya memelukku. Dia benar-benar anak yang sangat pemalu.

    "Terimakasih pak," ucapku sekali lagi sebelum kami berpisah. Pak Evan adalah orang yang baik. Kuharap ia bisa tetap selamat dan kami dapat bertemu lagi suatu saat nanti.

    Aku berlari sembari memegang tangan Badai agar kami tidak terpisah. Rudi berlari di depan kami karena hanya ialah yang memiliki senjata untuk saat ini sebab punyaku sudah patah untuk membunuh infected barusan.

    Selama pelarian kami keluar sekolah, kami hanya bertemu dengan dua infected. Rudi membunuh salah satu dari mereka dan hanya melumpuhkan satunya lagi ketika melihat tanda-tanda bahwa batnya sudah mulai retak juga.

    Rudi menaiki motor dengan Badai berada di tengah dan aku duduk paling belakang. Rudi lalu menyarankan bahwa sebelum ke rumah sakit, ada baiknya bahwa kami mampir dulu ke toko bangunan untuk mengambil senjata yang baru.

    "Ide bagus," sahutku, disambut dengan Rudi yang menancapkan gasnya untuk melaju pergi.

    ----------------------------------------------

    Lagu pendamping:

    Chapter 5: Man On A Mission by Gamma Ray
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Sep 4, 2015
  8. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    There's a space in the darkness, where a fire still burns
    It's beyond a reason, past point of no return
    There's a hunger that's calling, and the fever runs wild
    It's where the light throws shadows on the thoughts of every child

    Deep within this hallowed chamber where two worlds collide
    If you open up the door, don't cross the line

    You know it's tearing me apart, this is the dark side of my heart
    And I knew it from the start, there in the dark side of my heart

    Just a slave to the shadows, just a pawn in the game
    Drawn to the slaughter like a moth before a flame
    It's the good and the evil, walking side by side
    You can feel it coming, but there is no place to hide

    Tell me all your darkest secrets and I'll tell you mine
    Open up the door but don't cross the line

    You know it's tearing me apart, this is the dark side of me heart
    And I knew it from the start, here in the dark side of my heart

    There's an ager on my shoulder, but the devils whisper in my ear
    It's the battle old as time itself
    A taunt that never disappears

    Tell me all your darkest secrets and I'll tell you mine
    Open up the door but don't cross the line

    You know it's tearing me apart, this is the dark side of my heart
    And I knew it from the start, there in the dark side of my heart
    [​IMG]


    Kami menyusuri jalanan untuk menemukan sebuah toko bangunan yang sepi dari pemukiman penduduk. Sengaja kami hindari jalanan besar karena kemacetan banyak terjadi di daerah itu. Bahkan di jalan-jalan kecil yang tidak padat penduduk seperti inipun, dapat kulihat mobil atau motor yang lalu lalang dengan sangat cepat. Sepanjang perjalanan ini, aku sudah mendengar 3 sumber suara seperti ledakan, mungkin akibat kecelakaan kendaraan, dan juga puluhan mobil atau motor yang ringsek di jalanan. Aku memeluk Badai dengan erat ketika Rudi memiringkan motor untuk menghindari kendaraan yang ringsek di tengah jalan ataupun infected yang berkeliaran di jalanan. Harus kuakui, tekniknya membawa motor ini patut diacungi jempol.

    Akhirnya kami berhenti di sebuah toko bangunan di deretan ruko dimana daerahnya masih termasuk sepi. Sejauh mata memandang, tak satupun manusia lain terlihat selain kami di sekitar toko ini.

    Aku masih tetap memegang tangan adikku sementara Rudi memimpin kami masuk. Setelah mengawasi keadaan sekitar dan memastikan bahwa toko itu aman, Rudi memerintahkan kami untuk mencari senjata yang tepat.

    "Kau juga harus memberikan senjata untuk adikmu. Tidak mungkin membiarkan dia tanpa pertahanan dan selalu mengharapkan pertolongan orang lain. Apa yang akan terjadi padanya jika kalian terpisah lagi?" saran Rudi. Benar apa katanya. Aku tidak mungkin dapat melindungi adikku terus-terusan.

    Kami memilih-milih senjata apa yang akan kami gunakan. Rudi telah menentukan pilihannya, yaitu sebuah kapak besar sepanjang kurang lebih 1 meter dan memiliki 2 mata, mirip dengan kapak yang dipakai oleh Wiro Sableng dalam serial TV lawas, hanya saja, kapak yang Rudi pilih ukurannya 3x lebih besar. Selain itu, ia juga mengambil sebuah kapak kecil bermata satu untuk pertahanan jarak dekat.

    Kupikir, aku tidak cocok menggunakan kapak seperti Rudi. Aku lebih memilih untuk menghancurkan organ dalam kepala mereka dibandingkan memotong kepala mereka dengan kapak, karena jujur saja, aku masih tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Karena itulah, aku lebih suka menggunakan benda tumpul untuk menyerang karena akan langsung meremukkan organ dalam tubuh korbannya sehingga aku tidak perlu melihat terlalu banyak darah mengalir untuk sedikit mengurangi perasaan bersalahku. Jadi aku memilih sebuah Palu besar yang biasa digunakan untuk menghancurkan dinding bangunan atau juga dikenal sebagai sledgehammer.

    Ketika sedang memilah-milah senjata satu lagi yang akan kugunakan untuk pertahanan atau menyerang jarak dekat, aku melihat sebuah parang berbentuk aneh yang bagian mata tajamnya agak bengkok, mirip seperti sabit. Ketika kuambil parang aneh itu dari raknya, Rudi lalu datang mendekat dan mengomentari parang ini.

    "Pisau kukri. Kau ingin menggunakannya?"

    "Pisau kukri?" ujarku mengulangi kata-kata Rudi. Ternyata ini adalah pisau dan bukan sebuah parang?

    "Ya. Senjata tradisional yang berasal dari Nepal. Senjata itu sangat efektif untuk pertahanan jika dikepung. Aku pernah baca, beberapa tahun yang lalu, seorang prajurit Nepal melawan 40 bandit di dalam kereta api hanya dengan sendirian, dimana dia berhasil membunuh 3 dari bandit itu, melukai puluhan di antaranya, dan membuat sisa bandit itu kabur. Yah, walaupun kupikir kau harus tau tekniknya dulu agar bisa melakukan hal yang sama dengan prajurit itu," jelasnya.

    Wow, aku tak menyangka kalau pengetahuan Rudi tentang hal ini bisa seluas itu.

    "Keren. Darimana kau bisa tahu, Rud?" tanyaku penasaran.

    "Well, sebut saja aku sebagai weapon afficionado. Selain motor, aku juga suka mencari tahu tentang senjata-senjata. Kalau misalnya ada pistol di toko ini, aku juga sudah tahu bagaimana cara mengoperasikannya."

    Kata-katanya membuatku tercengang. Ternyata ada juga sisi Rudi yang begini. Sesuai sarannya, kuambil pisau kukri itu beserta sarungnya yang kukaitkan ke sabuk celanaku dan kuletakkan agak di belakang yang takkan terlihat dari depan. Sengaja kulakukan hal ini agar hal tersebut tak perlu menakuti korban selamat lain yang mungkin akan kami temui nanti.

    Tapi sledgehammer ini ternyata berat juga. Aku mencoba menimang-nimang senjata ini. Mungkin beratnya lebih dari 10 kg. Tapi, semakin berat senjata, tentu kekuatan serangannya akan semakin besar. Aku bisa one hit kill para infected itu. Aku lalu kembali memilih-milih senjata untuk adikku. Pilihanku akhirnya jatuh pada martil paku.

    "Bagaimana menurutmu, Rud?" tanyaku pada si self-claimed weapon maniac ini.

    "Hmm... Kupikir pisau army lebih cocok untuk adikmu. Bukankah kau pernah bilang kalau adikmu itu lemah? Percuma saja kau memberikan ia sebuah martil kalau ia tak bisa menggunakan kekuatan senjata itu sepenuhnya. "

    Harus kuakui, lagi-lagi pendapat Rudi ada benarnya juga. Adikku masih belum mempunyai cukup kekuatan untuk membunuh seorang infected. Dengan memberinya pisau army, paling tidak ia bisa menghambat infected yang menyerangnya, misalnya dengan memotong jari infected yang mencoba menerkam, lalu segera lari atau bersembunyi sampai salah satu dari kami datang menolong. Tentu saja takkan pernah kubiarkan Badai hanya seorang diri saja.

    "Thanks Rud," ujarku sembari menyerahkan sebuah pisau Swiss army pada Badai. Ia juga dapat menggunakan pisau itu untuk bermacam-macam hal lain karena fungsinya cukup lengkap. Bukankah itu akan sangat bermanfaat untuknya?

    Ia segera memasukkan pisau itu ke dalam sakunya lalu menatapku seraya mengangguk, yang berarti ia sedang menunjukkan rasa terimakasihnya padaku. Ia memang tak pernah mengeluarkan suaranya jika menurutnya itu tak diperlukan.

    Kami sudah bersiap meninggalkan toko bangunan ketika tiba-tiba dari ruangan belakang ruko itu, muncul dua orang infected yang kurasa pemilik dan pegawai toko bangunan ini.

    "Aku urus infected yang muda dan kau urus yang tua itu!" perintah Rudi padaku yang kujawab dengan anggukan. Rudi berlari seraya mengayunkan kapaknya tepat ke leher si infected yang lebih muda, hingga kepalanya terputus dan jatuh ke tanah layaknya sebuah bola.

    Sedangkan aku berlari dengan mengayunkan sledgehammer-ku dan sukses mengirim bapak tua itu terpental ke belakang dan meremukkan kepalanya. Mereka berdua berhenti bergerak setelah masing-masing menerima satu serangan dari kami. Harus kuakui, senjata baruku ini jauh lebih baik daripada bat baseball sebelumnya!

    "Baiklah, ayo kita segera berangkat ke rumah sakit," ujar Rudi setelah dirasa sudah tak ada lagi yang perlu dilakukan di sini yang langsung kubalas dengan anggukan.

    "... Kak..." Badai akhirnya mengeluarkan suaranya ketika kami sedang dalam perjalanan kembali ke motor kami.

    "Ya?" jawabku sembari menghentikan langkah kami. Tumben-tumbennya dia mengeluarkan suara emasnya. Kupikir, hal yang akan ia katakan sekarang merupakan hal yang cukup penting baginya.

    "Apa tidak ada cara lain selain membunuh mereka?" tanyanya dengan raut muka sedih.

    Aku terdiam beberapa saat, bingung untuk menjawab pertanyaannya. Aku sendiri juga mempertanyakan hal yang sama pada awalnya, sebelum akhirnya aku berpikir tidak ada cara untuk menyembuhkan mereka dan satu-satunya jalan adalah dengan membunuh mereka yang terinfeksi.

    "... Tidak. Tidak ada jalan lain, Badai. Mereka tidak dapat disembuhkan. Sekali tergigit, maka kematian satu-satunya jalan yang tersisa," jawabku seraya menepuk pundaknya untuk menenangkan pikirannya.

    "Tapi, aku melihat kakak membunuh orang tadi dengan wajah yang kelihatan sangat senang. Apa kakak merasa begitu bahagia dapat membunuh orang? Be... Begitu juga ketika di sekolah tadi. Wajah kakak saat membunuh guru waktu itu... Sangat mengerikan... "

    .... Apa yang kau katakan, Badai? Tentu, aku sangat marah ketika melihat adikku diserang. Karena itu wajahku terlihat begitu mengerikan. Tapi, berwajah bahagia katamu? Mana mungkin aku merasa senang ketika membunuh seseorang!?

    "Mu... Mungkin kau salah lihat, Badai. Aku tidak mungkin merasa bahagia ataupun senang ketika membunuh seseorang. Sudahlah, ayo kita kembali berjalan. Rudi sudah menunggu kita," kukontrol perasaanku yang sebenarnya sembari menjawab pertanyaan Badai. Tidak mungkin memarahinya sekarang karena menuduhku merasa senang ketika membunuh. Saat ini, hanya akulah satu-satunya orang tempat ia bersandar. Karena itu, aku ingin mencoba menjadi kakak yang tenang dan dapat diandalkan di depannya.

    "Apa yang kalian bicarakan barusan?" tanya Rudi melihat kami yang sempat berhenti berjalan dan berbicara.

    "Tidak apa-apa. Itu bukanlah suatu hal yang penting. Ayo, kita segera berangkat sekarang," ujarku mengalihkan pembicaraan. Rudi memang sahabat terbaikku. Ia tahu aku tidak ingin ditanya-tanya tentang soal yang tadi, ia hanya mengangguk-angguk kecil dan segera menghidupkan mesin motor lalu mengundang kami untuk naik.

    Selama perjalanan ke rumah sakit, suasana terasa begitu canggung. Tidak ada obrolan yang terjadi di antara kami. Adikku masih bertingkah seolah ia takut padaku. Ketika aku memegang pundaknya, ia malah terlihat terkejut dan menundukkan kepalanya, tidak ingin bertemu mata denganku.

    Perjalanan menuju rumah sakit yang hanya memakan waktu 10 menit terasa seperti satu jam. Untunglah kami sampai juga pada akhirnya. Aku dapat merasakan ketakutan dari adikku ketika aku mengenggam tangannya lagi agar tidak terpisah. Sialan, apa ia benar-benar sudah tidak percaya padaku?

    Rumah sakit ini begitu ramai dipenuhi infected. Di halaman parkirannya saja, mungkin ada 10 lebih infected yang berdiri bengong ataupun yang berjalan lunglai tanpa arah. Sudah tak nampak lagi orang-orang normal di sekitar sini. Mungkin mereka semua sudah kabur dari sini.

    "Kau lihat mata mereka yang putih kan? Aku sudah memikirkan ini sejak kita berada di sekolah. Kupikir mereka sebenarnya tidak dapat melihat dan hanya mengandalkan indra pendengaran mereka. Kau ingat apa yang terjadi dengan pak Husain kan? Ia hanya diam pada awalnya, namun ia menyerang Stefan karena Stefan berusaha bicara padanya."

    Benar juga. Kalau kupikir-pikir, semua infected yang kami temui tertarik dengan suara gaduh. Seperti waktu kejadian ketika mereka mengepung mobil Angie, mereka tidak tertarik dengan kami namun tertarik dengan mereka yang di dalam mobil karena gadis yang bersama Angie waktu itu berteriak-teriak ketakutan dan kami berhasil mengalihkan perhatian mereka ketika suara klakson yang lebih berisik lebih menarik perhatian bagi mereka.

    "Aku mengerti. Itu artinya jika kita berjalan secara perlahan, kita dapat masuk ke rumah sakit tanpa menarik perhatian mereka, kan?" aku mengemukakan pendapatku.

    "Itu benar. Selain itu, sebelum aku meneleponmu, aku telah menelepon kakakku. Ia bilang kalau dia dan ibu tengah mengurung diri di kamar perawatan ibuku yang berada di lantai 3. Kita bisa mencoba menaiki lift dan hanya bunuh para infected yang tengah berada dalam lift," jelasnya. Aku mengangguk menyetujui rencana itu dan kami memulai misi penyelamatan keluarga Rudi.

    Tepat seperti dugaan Rudi, mereka tidak mengejar kami dan hanya diam di tempat masing-masing. Namun kami memilih berjalan cukup jauh, sekitar 5 meter dari mereka agar suara langkah kami tidak terdengar.

    Di dalam rumah sakit di lantai dasar ini, juga terdapat puluhan infected. Kami berjalan dengan sangat perlahan agar tidak menarik perhatian mereka. Tinggal beberapa meter lagi hingga sampai ke pintu lift. Namun di lorong itu, terdapat 6 infected, dimana terdapat 2 infected yang berdiri tepat di depan pintu lift.

    "Apa yang harus kita lakukan?" bisikku pada Rudi. Namun ternyata, suara bisikan itu membuat infected tak jauh di depan kami melihat kemari, sebelum beberapa saat kemudian kembali menatap dinding di hadapannya.

    Rudi menempelkan jari telunjuk ke bibirnya memerintahku agar tidak berisik. Ia lalu menggunakan bahasa isyarat yang tidak kumengerti artinya, namun kupikir ia ingin mengatakan 'diam dan ikuti saja aku.'

    Sesuai perintah Rudi, aku hanya diam dan mengikutinya. Kucoba untuk percaya dengan rencana yang ia pikirkan. Kami berada tak jauh dari depan pintu lift, menjaga jarak dengan kedua infected di depan pintu agar mereka tak menyadari kami. Rudi lalu mengeluarkan hp-nya dan menekan beberapa tombol untuk membuka suatu aplikasi. Dan... Aplikasi yang ia buka ternyata pemutar musik!

    Aku memegang lengan Rudi untuk menahannya agar tidak menekan tombol play. Kugelengkan kepalaku sekuat tenaga, menunjukkan ketidak setujuanku atas rencananya ini. Namun ia malah menepis tanganku dan menekan tombol play. Sebuah lagi mulai melantunkan nadanya dengan bunyi yang paling nyaring. Semua infected langsung menoleh ke arah kami. Sial, tamatlah sudah riwayat kami bertiga...

    Tapi Rudi malah melemparkan hp-nya sejauh yang ia bisa. Beruntung seluruh lantai rumah sakit ini dilapisi karpet tebal, sehingga hp-nya tidak mati dan musik yang ia putar masih berbunyi.

    Semua infected kini mengalihkan perhatian mereka kepada musik itu termasuk dua infected yang berdiri di depan lift. Rudi langsung menekan tombol lift dan beruntunglah, pintu lift langsung terbuka dan kami segera naik ke dalam lift. Ternyata, ada satu infected di dalam lift. Rudi langsung mengapak lehernya sementara aku menekan tombol untuk menutup pintu lift dan tombol ke lantai 3. Aku lalu memeluk Badai agar ia tidak melihat mayat wanita infected yang terbunuh barusan.

    "Siap-siap," kata Rudi sembari mengambil ancang-ancang. Aku mendorong Badai ke belakangku dan memerintahkan padanya untuk tidak melihat mayat disampingnya sementara aku mengangkat sledgehammer-ku untuk bersiap menyerang infected yang mungkin telah menunggu kami di depan pintu.

    Terang saja, begitu pintu lift terbuka, dua infected yang berpakaian pasien menggeram dan berusaha menyerang kami. Rudi mengapak salah satu infected itu sementara aku mencoba menyerang yang satunya lagi.

    'Aku melihat kakak membunuh orang tadi dengan wajah sangat gembira. Apa kakak begitu senangnya dapat membunuh orang?'

    DEG!

    Aku kembali teringat perkataan adikku sebelumnya. Jantungku berdegup begitu kencang. Aku tahu perasaan ini. Perasaan yang sama ketika aku berhasil mendapatkan item langka di MMORPG yang sering kumainkan, perasaan yang sama seperti ketika aku mendapatkan sesuatu yang kuharapkan. Perasaan bergairah, bersemangat, gembira, larut dalam ekstasi yang membuat jantungku berdegup kencang akibat hormon endorfin secara berlebihan di produksi oleh otak.

    Serangan yang kulayangkan barusan melemah. Serangan itu hanya membuat sang infected terjatuh tanpa memberikan efek yang cukup untuk membunuhnya. Ia lalu kembali berdiri dan mencoba menyerangku. Aku hanya bisa diam, berdiri di tempat. Kupaksa tanganku untuk menggerakkan sledgehammer ini. Tetapi benda yang beratnya 10 kg ini, sekarang seolah terasa 100 kali lebih berat bagiku.

    Infected itu semakin mendekat, mengembangkan tangannya, bersiap untuk menerkamku. Aku hanya bisa menutup mata, pasrah dengan takdir yang akan kuterima.

    "Kak Topan... " kudengar suara bisikan adikku menyebut namaku. Kutunggu hingga beberapa saat, namun serangan itu tak kunjung datang. Kubuka mataku, dan hal pertama yang kulihat adalah Rudi berdiri di hadapanku dengan mayat infected itu di sampingnya seraya mengambil ancang-ancang untuk memukulku.

    Aku jatuh terjerembab, dengan rasa panas di pipi kiriku. Rudi memukulku dengan sekuat tenaga. Aku melihatnya dengan tatapan bingung, mempertanyakan tindakannya barusan.

    "Berhentilah melamun! Kau harus sadar kalau sekarang setiap saat adalah momen antara hidup dan mati. Beruntung aku berada di sampingmu saat ini. Tapi kalau kau bertingkah seperti ini terus, kau tidak akan dapat melindungi siapapun, termasuk dirimu sendiri."

    Kata-kata Rudi barusan begitu menusukku dan membuatku kembali tersadar. Aku benar-benar bodoh. Terjebak dalam dilema yang menolak apa yang kurasakan ketika membunuh seseorang. Mungkin jauh di lubuk hatiku, terdapat kegelapan yang menginginkan semua kegilaan ini. Sebuah perasaan yang ingin menentang moral dan tak ingin tunduk pada peraturan, dan ingin melakukan apapun yang melawan norma. Kurasa, bukan aku saja yang pernah merasakan hal seperti itu. Kalian juga pasti pernah merasakannya kan? Mengkhayalkan bagaimana rasanya melakukan sesuatu yang melawan hukum dan bertentangan dengan moral, namun tak ada seorangpun yang akan menghakimimu atau memberikanmu hukuman atas hal yang kau lakukan.

    Namun, itulah yang membedakan antara manusia normal dengan psikopat. Psikopat tidak peduli dengan hukuman yang akan mereka terima ataupun dengan konsekuensi yang akan terjadi akibat tindakan mereka. Tanpa berpikir bahwa tindakan itu salah, mereka tetap melakukannya demi memenuhi kepuasan pribadi. Namun manusia normal hanya sebatas memikirkan melakukan tindakan kriminal, tanpa benar-benar melakukannya. Dan aku tahu, aku adalah manusia normal, yang walaupun memiliki pikiran gelap, aku dapat menekan pikiran-pikiran tersebut dan menjalankan hidup sesuai dengan peraturan.

    Hanya saja, setelah hukum, moral dan norma itu menghilang dari bumi ini, tentu muncul kecenderungan untuk menuruti sisi gelap kita. Manusia normal akan cenderung bertingkah layaknya psikopat, mengingat tak ada lagi konsekuensi yang akan mereka terima. Namun tetap saja, bagi manusia normal, terdapat perasaan bersalah ketika pertama kali melakukan sesuatu yang salah itu. Bahkan Angga, Rudi dan Katrina, mereka menunjukkan wajah penyesalan dan perasaan bersalah ketika pertama kali membunuh para infected namun perasaan itu segera mereka tepis untuk dapat bertahan di dunia yang gila ini. Untuk dapat beradaptasi dengan dunia yang baru ini, maka kita juga harus sama gilanya. Menerima kegilaan itu sebagai bagian dari sifat mereka, hanya dengan itulah manusia normal dapat bertahan hidup.

    "... Maafkan aku. Aku takkan bertindak seperti ini lagi," ucapku dengan perasaan menyesal. Aku lalu berjalan ke arah adikku. Akhirnya kutemukan jawaban yang tepat untuknya.

    "Badai. Mungkin memang benar katamu kalau aku merasa senang ketika membunuh infected. Mungkin sekarang kau masih belum bisa mengerti dan takut padaku. Tapi mengertilah, semua kegilaan itu, semata-mata kulakukan untuk melindungimu, untuk melindungi semua orang yang berada di sekitarku. Untuk itu, aku siap jika sebagai gantinya aku harus menjadi sang iblis itu sendiri."

    Kebingungan sangat jelas tersirat di wajah Badai. Aku tahu ia masih belum mengerti maksud perkataanku. Kutepuk pundaknya sekali sembari tersenyum padanya. Berbeda dengan reaksi sebelumnya, ia tidak lagi melihatku dengan wajah takut, dan membalas senyumanku dengan senyumnya yang hangat. Rudi hanya melihat dari jauh sembari melipat tangannya dan memberiku tatapan seolah ia mengatakan, 'pidato yang bagus.'

    Akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami kembali. Kini tanpa ragu kupukul kepala para infected yang kutemui tanpa ampun. Infected di lantai ini tak sebanyak di lantai dasar. Selain itu, karena posisi kami di lorong kecil, sehingga situasi ini menguntungkan bagi kami karena kami tidak perlu takut terkepung oleh infected dari seluruh arah.

    Di depan kamar ibu Rudi, terdapat 4 infected yang berkerumun. Kami telah menghabisi 8 infected di sepanjang lorong lantai 3. Hal ini membuat tenaga kami terkuras ditambah dengan kami berdua yang menggunakan senjata berat, seolah sudah habis tenaga untuk mengangkat sledgehammer ini.

    "Kau masih sanggup?" Rudi memastikan keadaanku. Ia juga terlihat kelelahan, ditandai dengan napasnya yang tidak teratur, sama sepertiku.

    "Aku tidak yakin kalau harus melawan 4 infected, mungkin aku masih sanggup kalau hanya harus melawan 2 dari mereka."

    "Bagus, aku akan melawan dua dan kau lawan sisanya," kata Rudi lalu mulai berlari untuk menyerang mereka.

    "Apa...? Tu.. Tunggu, bukan begitu maksudku!"

    Namun Rudi seolah menutup telinganya tak mendengarkanku dan melancarkan serangan ke salah satu dari mereka dan diikuti dengan serangan susulan ke infected di sampingnya. Terkadang, tindakannya yang action first think later cukup membuatku jengkel. Sayang, serangan itu tak cukup kuat dan kedua infected yang terjatuh itu tengah berusaha berdiri lagi. Aku lalu langsung memukul 2 infected sisanya, namun seranganku juga tak sukses menumbangkan mereka. Keempat infected yang jatuh termundur itu sudah berdiri kembali dan berusaha menyerang kami. Untungnya di waktu yang sama, pintu di samping kami terbuka dan seorang wanita berseragam perawat berteriak memanggil kami dengan wajah cemas.

    "Cepat masuk!" perintahnya.

    Aku menarik kerah baju adikku yang berdiri tak jauh di sampingku dan kami berlari masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintu dengan timing yang sedikit terlambat karena tangan salah satu infected itu menghalangi tertutupnya pintu sehingga dengan cepat, Rudi langsung memotong tangannya dan kami berhasil menutup pintu tersebut.

    "Haaaaah... Haaaaah... Haaaaah..." kami menghela napas karena kelelahan, tapi belum selesai kami menghirup kembali udara segar, wanita perawat itu berteriak memerintahkan kami.

    "Kenapa hanya berdiri di sana saja? Cepat bantu aku mendorong lemari ini!" titahnya. Kami menurut dan mendorong lemari di samping pintu itu untuk menahan pintu agar tidak terdobrak oleh para infected yang berada di luar.

    Setelah keadaan dirasa cukup aman, Rudi memulai pembicaraan.

    "Kak, kenalkan. Ini temanku, Topan dan adiknya, Badai. Topan, ini kakak perempuanku, namanya Anita."

    Ternyata perawat wanita itu adalah kakaknya Rudi. Aku menyalami tangan kak Anita yang menatap kami berdua dengan tatapan jijik. Kuperhatikan diriku sendiri dan Rudi. Seragam sekolah kami penuh dengan bercak darah dari infected yang telah kami lawan, terutama di seragam Rudi yang membunuh menggunakan kapak, sehingga resiko terkena cipratan darahnya lebih besar daripada aku.

    "Di sana ada baju ganti untuk pasien. Sebaiknya segera kalian ganti seragam itu. Asal tahu saja, kalian juga dapat terinfeksi melalui darah," ujar kak Anita sembari menunjuk lemari pakaian. Semua pakaian di dalam lemari itu all size sehingga tidak perlu memilih-milih baju apa yang akan kupakai karena sama jeleknya. Mungkin sehabis dari sini, sebaiknya kami mampir ke toko baju dulu untuk mengambil baju yang setidaknya agak stylish.

    "Ibu... Aku berjanji akan menyelamatkan ibu dari sini," ujar Rudi berlutut di samping tempat tidur ibunya setelah kami usai berganti baju. Ibu Rudi hanya berguman kecil sembari tersenyum lemah menatap anaknya dengan tatapan hangat dan lembut. Kudengar, stroke yang diderita ibunya cukup parah hingga ibunya kini sudah tak dapat berbicara lagi.

    Namun kak Anita tetap melihat kami dengan tatapan jijik walaupun kami sudah mengganti baju kami, membuatku penasaran dengan apa yang dipikirkannya.

    "Jadi, sudah berapa orang yang telah kau bunuh?" tanyanya, entah hal itu ditujukan padaku atau pada Rudi.

    "Banyak." Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan singkat.

    "Apa kau sadar dengan perbuatanmu? Kau telah mengambil nyawa orang. Kau sekarang seorang pembunuh! Bagaimana bisa kau memotong tangan seseorang dengan entengnya seperti tadi? Aku tidak menyangka memiliki adik berdarah dingin seperti ini! " hardik kak Anita mempertanyakan tindakan kami dengan sebuah pertanyaan yang mungkin juga akan kulontarkan jika aku tidak tahu kondisi sebenarnya dan berada di posisi yang sama dengan kak Anita. Tapi sejak kejadian ini berlangsung, kak Anita hanya bersembunyi di dalam kamar ini. Jika ia berada di posisi yang sama dengan kami, aku ragu ia akan mengatakan hal tadi.

    "Jadi, apa yang kau pikir bisa aku lakukan untuk menyelamatkan kalian jika tidak dengan membunuh mereka?" Rudi balik melontarkan pertanyaan pada kakaknya.

    "Kau hanya perlu melumpuhkan mereka. Tidak perlu membunuhnya. Sebentar lagi vaksin akan dibuat oleh WHO untuk melawan virus ini dan menyembuhkan mereka yang telah terinfeksi."

    Jawaban kak Anita membuatku berpikir kalau ia masih belum mengetahui kondisi korban yang terinfeksi virus ini sebenarnya.

    "Anu, kak. Sebenarnya, kami sudah mencoba melumpuhkan mereka, bahkan mematahkan lehernya. Tapi tidak ada yang memberikan efek. Mereka akan terus berdiri dan berdiri lagi hingga kita menghancurkan otak mereka. Dengan kata lain, satu-satunya jalan untuk melumpuhkan merek adalah dengan membunuhnya," jelasku mencoba meluruskan persoalan ini. Kuharap kak Anita dapat mengerti arti dari tindakan kami.

    Kak Anita terdiam, memikirkan perkataanku. Pada akhirnya ia berkata, "ya sudah, jika memang tidak ada jalan lain. Tapi sebaiknya kita mencoba menunggu di sini hingga vaksin virus ini berhasil ditemukan."

    "Ngomong-ngomong, kau tahu dari mana kalau WHO tengah membuat vaksin virus ini?" selidik Rudi mempertanyakan pernyataan kak Anita barusan. Memang hal tersebut juga cukup membuatku penasaran karena kalau memang vaksin memang tengah dibuat, kami tak perlu membunuh para infected lagi.

    "Dari radio. Sebuah berita langsung disiarkan beberapa jam yang lalu, dimana presiden meminta masyarakat untuk tenang dan mengurung diri di rumah masing-masing atau segera mengevakuasi ke tempat yang telah disediakan sementara WHO yang bekerjasama dengan seluruh pemerintah di dunia tengah membuat vaksin virus ini. Jadi sebaiknya kita menunggu saja dengan tenang disini."

    "Atau kita bisa melarikan diri ke tempat evakuasi yang kau jelaskan tadi. Tidak mungkin kita bisa bertahan di dalam kamar ini selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tanpa makanan," ujar Rudi yang langsung menyambung penjelasan kakaknya. Aku yakin bahkan kak Anita juga tidak dapat berpikir jernih.

    "Pertama, panggil aku kakak, bukan 'kau'! Tapi.... Baiklah. Hanya saja, bagaimana cara kita membawa ibu keluar dari sini? Selain itu, bagaimana cara kita pergi ke tempat evakuasi yang berada di daerah yang sangat jauh dari sini?" cecar kak Anita pada Rudi dengan pertanyaannya.

    "Aku sudah menyusun rencana. Teman kami sedang dalam perjalanan dalam mengambil mobil SUV yang cukup untuk 8 orang. Aku akan menghubunginya setelah sampai di rumah sakit agar mereka bisa menjemput kita. Aku akan memintanya menjemput kita disini sementara aku dan kakak akan membopong ibu sementara Topan dan Katrina akan melindungi kita," jelas Rudi sembari merogoh saku celananya namun tiba-tiba ia berhenti.

    "....."

    "Kenapa?" tanya kak Anita.

    "Aku lupa kalau tadi aku membuang hp-ku sebagai umpan untuk pergi ke sini..."

    .... Lihatlah, tingkahnya yang Act First Think Later lagi-lagi kembali membuatku kesal. Aku tahu ia mempunyai otak yang brilian dan dapat menjadi penyusun strategi yang baik. Tapi terkadang ia lupa memikirkan akibat selanjutnya dari ide briliannya itu. Untung saja, ada aku yang akan selalu datang menolong dalam kesusahan.

    "Apa? Bagaimana bisa kau begitu sembrono? Kau ini....!" geram kak Anita melihat tingkah Rudi. Namun aku segera melerai mereka.

    "Tenang saja kak, aku masih memiliki hp-ku."

    Walaupun aku tidak langsung mencatat nomor Katrina, tapi aku masih dapat mengingat dengan jelas nomor tersebut. Kumainkan jariku dengan lancar di tombol hp dan segera menekan tombol dial.

    ".... Kau sebegitu sukanya dengan Katrina hingga kau bisa hapal nomornya yang hanya disebutkan sekali diluar kepala, ya."

    "Ssssh..." Aku memerintahkan Rudi untuk diam karena takut ledekannya didengar oleh Katrina karena teleponnya sudah tersambung dan tinggal menunggu Katrina mengangkat panggilanku.

    "Halo, siapa ini?" ujar suara dari ujung telepon yang rasanya sudah lama waktu berlalu sejak terakhir kali aku mendengar suara ini.

    "Halo, Katrina. Ini aku, Topan," jelasku ke gadis di seberang panggilan telepon ini.

    ----------------------------------------------

    Lagu pendamping:

    Chapter 6: Dark Side of My Heart by Accept
     
    • Like Like x 1
  9. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0


    [​IMG]
    1. Topan Angkasa
    [​IMG]
    Anak pertama dari dua bersaudara. 18 tahun. 171 cm. Hal yang paling disukai Topan adalah bermain game, terutama game dengan genre RPG. Ia paling malas jika disuruh melakukan pekerjaan rumah. Orang yang paling ditakutinya adalah ibunya sendiri, yang ia pikir lebih seram dari mak lampir ketika sedang marah. Orang yang paling tidak ia sukai adalah ayahnya sendiri, yang menurutnya terlalu absurd dalam setiap melakukan hal apapun. Seperti memberi nama bagi anaknya sebagai contohnya. Ketika Topan masih berumur 5 tahun dan terbangun di tengah malam karena bermimpi buruk, bukannya menenangkan anaknya yang menangis, ia malah mengurung Topan di dalam gudang selama semalaman sebagai shock therapy, katanya. Ia bukanlah ayah yang suka melakukan tindak kekerasan kepada keluarganya. Hanya saja, jalan pikirannya sedikit berbeda dari orang lain pada umumnya. Bahkan, karena menonton sebuah serial televisi Amerika yang mengisahkan tentang seorang ayah yang melatih anaknya kemampuan observasi sedari kecil, ia juga mempraktekkan hal yang sama pada Topan yang waktu itu baru berumur 8 tahun. Hal ini membuat Topan memiliki kecenderungan mengobservasi kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya walaupun kemampuan analisisnya tidak sehebat anak dalam serial televisi tersebut. Selain ayahnya, orang lain yang ia benci adalah para anak-anak yang sering mem-bully karena namanya dan rambutnya yang sangat keriting dan cenderung kusut karena tak pernah disisir. Topan memiliki perasaan ingin melindungi adiknya yang terlahir dengan tubuh cukup lemah, membuatnya menjadi anak yang cenderung pendiam, penakut, pemalu, dan payah dalam bidang olahraga. Sama seperti dirinya, Badai, sang adik juga sering di-bully oleh teman-temannya di sekolah, walaupun setiap ditanya Badai selalu menjawab hal yang sebaliknya. Orang yang ia sukai adalah Katrina Storm, seorang gadis blasteran Indo-Amerika yang langsung membuat hatinya kepincut sejak pandangan pertama. Katrina juga sering di-bully seperti Topan karena nama dan sifatnya yang dingin dan tidak pernah tersenyum atau bicara kepada orang lain selain sahabatnya. Topan merasa terdapat kesamaan nasib di antara mereka berdua dan selalu berusaha untuk mendekat, tapi sampai sekarang hal itu masih belum membuahkan hasil karena Katrina tidak pernah merespon kata-katanya dan hanya menjawab pertanyaan atau obrolan basa-basinya dengan 'ya' atau 'tidak'. Walau begitu, Topan tetap tidak menyerah untuk mengejar cinta pertamanya.



    2. Katrina Storm
    [​IMG]

    Anak Tunggal. 17 tahun. 163 cm. Ayahnya seorang pengusaha sukses berkebangsaan Amerika dan ibunya warga negara Indonesia yang menjadi anggota militer AS. Pindah ke Indonesia setelah 15 tahun tinggal di Amerika. Di hari pertamanya sekolah, banyak anak yang mengerubunginya. Mereka semua bersikap ramah terhadap Katrina dan banyak bertanya tentang kehidupan Katrina dulu di Amerika. Menjadi kepuasan tersendiri bagi mereka jika dapat berteman dengan Katrina karena murid blasteran dan pernah tinggal di Amerika merupakan hal yang jarang di sekolah itu sehingga mereka dapat berbangga diri di jejaring sosial jika mengenal dan berteman dengan bule seperti Katrina. Tapi Katrina yang paling benci dengan orang bermuka dua dapat merasakan kepalsuan dari keramahan mereka. Ia hanya menjawab pertanyaan mereka dengan dingin atau mengacuhkan sapaan dan teguran mereka. Tak butuh waktu lama hingga mereka menampakkan sifat aslinya. Mereka mulai membully dengan perkataan-perkataan kasar, yang awalnya secara berbisik-bisik makin lama makin terang-terangan di depan Katrina. Bahkan ada yang mencoba membully secara fisik namun hal itu tak pernah berhasil karena Katrina jago beladiri. Faktor iri juga menjadi alasan utama mereka membully Katrina. Hal ini karena Katrina selalu unggul dalam semua bidang pelajaran baik akademik maupun non-akademik. Ia selalu mendapat nilai sempurna dalam pelajaran matematika maupun sains. Bahasa pun bukan menjadi kendala baginya karena ia sudah diajarkan bahasa Indonesia sedari kecil oleh ibunya. Bahkan ia juga mengambil les bahasa Indonesia selama setahun di Amerika sebagai persiapan pindah ke Indonesia. Karena itulah, ia juga selalu mendapat nilai tinggi di bidang sosial seperti sejarah, geografi dan ekonomi. Di bidang kesenian, kemampuannya juga sudah tak dapat diragukan lagi. Ia mahir memainkan alat musik piano, biola dan gitar. Bahkan ia sempat membuat guru musiknya menangis karena mendengar suaranya yang merdu ketika menyanyikan salah satu lagu wajib nasional. Kemampuannya di bidang olahraga pun sudah setingkat atlet. Ia bahkan hampir memecahkan rekor kecepatan lari nasional. Ketika bermain sepak bola, voli, maupun basket, tim dengan Katrina di dalamnya sudah dapat dipastikan akan menang. Tidak heran jika hampir semua ekskul mengincarnya terutama ekskul di bidang olahraga. Namun semua tawaran itu ia tolak karena selain mengikuti ekskul bukan kewajiban di sekolah tersebut, ia juga tidak ingin merasa terikat dengan suatu klub. Katrina selalu menyempatkan diri untuk pergi ke perpustakaan ketika ada jam kosong. Berbeda dengan di kelas, di perpustakaan ia dapat membaca buku atau belajar dengan tenang tanpa perlu merasa tertekan dengan perkataan dan tatapan tidak senang dari teman-teman sekelasnya karena di sini semua murid sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ia pertama kali bertemu dengan Chairani setelah setiap hari datang ke perpustakaan selama kurang lebih satu bulan. Chairani merupakan anggota pengurus perpustakaan yang mewajibkan dirinya untuk datang ke perpustakaan setiap hari sekolah. Ia penasaran karena selalu melihat Katrina selalu datang dan membaca di sana sendiri, karena itulah suatu hari ia memutuskan untuk mendekati Katrina dan mengajaknya ngobrol. Awalnya Katrina juga mengacuhkan Chairani seperti yang ia lakukan pada murid lain. Namun ia tak merasakan adanya kepalsuan atau ucapan basa-basi kosong dari Chairani. Mereka bahkan memiliki selera buku dan memiliki kutipan kata-kata favorit yang sama, sehingga lambat laun Katrina mulai merasa nyaman bersama Chairani. Ia yang awalnya hanya datang ke perpustakaan sebagai pelarian, kini selalu bersemangat datang ke sana hanya agar bisa bertemu dengan Chairani karena mereka berbeda kelas. Semua hal mereka bicarakan, mulai dari buku favorit hingga masalah-masalah yang dibahas oleh gadis remaja pada umumnya seperti kosmetik yang digunakan atau film favorit. Disamping Chairani, Katrina dapat bertingkah seperti gadis remaja pada umumnya. Periang, ramah, dan murah senyum. Ia bahkan dapat tertawa lepas mendengar cerita lucu dari Chairani. Ketika kenaikan ke kelas 11, Katrina memilih peminatan sains dan secara tidak sengaja ditempatkan di kelas yang sama dengan Chairani. Sejak saat itu, mereka bagai kembar siam yang tak pernah terpisah dan kemana-mana selalu berdua. Pertemanannya dengan Chairani membuat ia tak pernah lagi mempedulikan kata-kata pedas dari mereka yang membullynya hingga lambat laun, mereka yang membully Katrina makin lama makin berkurang dan akhirnya berhenti dengan sendirinya. Namun di kelas 12, ada beberapa anak yang kembali membullynya walau hal itu disebabkan karena namanya yang maknanya mirip dengan Topan.



    3. Rudiantara
    [​IMG]
    Biasa dipanggil Rudi. Anak bungsu dari dua bersaudara. 18 tahun. 174 cm. Ia memiliki seorang kakak perempuan yang lebih tua 6 tahun darinya dan bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Ayahnya seorang mandor bangunan dan meninggal karena kecelakaan ketika sedang mensupervisi pembangunan sebuah gedung 5 tahun yang lalu. Keluarga Rudi mendapatkan asuransi dalam jumlah besar dan cukup untuk membiayai sekolahnya dan kakaknya. Namun semenjak sang ibu mengalami gagal ginjal, uang asuransi tersebut habis terpakai untuk biaya operasi dan cuci darah hingga mereka terpaksa meminjam di bank karena kekurangan dana untuk berobat. Bahkan sejak setahun yang lalu, sang ibu juga menderita stroke dan harus sering bolak-balik rumah sakit. Walaupun ia memiliki masalah keluarga yang berat, ia tak pernah menampakkan hal itu di sekolah. Rudi terkenal cukup dewasa di kalangan teman-temannya. Banyak yang meminta saran atau nasehat dari Rudi ketika mereka sedang mengalami masalah. Rudi selalu memberi saran yang bijak, karena itu ia termasuk anak yang populer di sekolah. Walau ia memiliki banyak teman, hanya Topan sahabat terdekatnya. Mereka sudah berteman sejak kecil karena ayah mereka berdua dulu adalah teman dekat ketika SMA. Bahkan ketika mereka sedang kekurangan uang untuk biaya pengobatan ibunya, ayah Topan dengan ikhlas memberikan pinjaman uang yang cukup besar tanpa memberikan batasan waktu pengembalian walau pada akhirnya mereka juga meminjam uang di bank karena tidak enak merepotkan keluarga Topan. Terkadang Topan merasa iri melihat teman Rudi yang begitu banyak sedangkan ia hampir tak punya teman selain Rudi. Karena itulah dengan setia Rudi selalu menemani Topan kemanapun ia pergi, baik itu ke kantin atau pulang bersama. Ia telah menganggap Topan sebagai adik sendiri dan merasa dirinya harus menjadi seorang figur kakak bagi Topan yang masih agak manja walau Topan selalu berusaha terlihat cool di depan Badai. Saking seringnya mereka bersama, rombongan anak jahil seperti Bombom dan Nauval sering meledek mereka dengan sebutan 'pasangan homo' yang selalu sukses membuat Topan meledak marah dan hanya ditanggapi dengan tawa oleh Rudi. Topan adalah korban yang paling sering mendapat ceramah gratis dari Rudi. Tak jarang Rudi harus menggunakan kekerasan untuk menyadarkan Topan dari kekeliruannya. Hal yang paling ia sering kritik dari Topan adalah ketidak seriusannya dalam menjalankan sesuatu. Ia tak pernah berusaha sekuat tenaga untuk melakukan suatu hal sehingga semua hasil yang ia peroleh hanyalah rata-rata. Bahkan semua nilai pelajarannya pada rapor semester lalu mulai dari pelajaran akademik hingga non-akademik adalah 7, hingga membuat wali kelas mereka merasa heran dan menyebut nilainya sebagai 'miracle sevens'. Karena itulah, Rudi selalu mengkritik Topan untuk berhenti bermain-main dan mulai berusaha mengingat mereka sekarang sudah berada di kelas 12 yang tidak terlalu ditanggapi secara serius oleh Topan. Sebenarnya, ia tidak akan selalu menasihati Topan jika Topan memang benar-benar tidak mempunyai kemampuan. Tetapi ia selalu menyaksikan bahwa Topan dapat melakukan hal yang mustahil jika itu karena adiknya. Misalnya saja, ketika mereka berumur 11 tahun dan Badai masih berumur 4 tahun, ia menangis karena balonnya terlepas dan terbang. Dengan lihai Topan memanjat pohon yang sangat tinggi dan meloncat dari pohon tersebut dan berhasil mengambil balon adiknya yang tengah terbang makin meninggi. Rudi yang mengira bahwa Topan setidaknya akan mengalami patah kaki karena meloncat dari pohon yang setinggi rumah bertingkat dua itu, merasa terkejut karena ternyata Topan hanya mengalami cedera lecet yang ringan di kakinya. Bahkan ketika mereka duduk di kelas 9 SMP, Rudi secara diam-diam harus meminta Badai agar bicara kepada kakaknya supaya ia dapat diterima di SMA paling favorit di sana agar ia dapat membanggakan kakaknya. Maka dalam kurun waktu 3 bulan, Topan belajar begitu serius hingga ia berhasil mendapatkan nilai ujian nasional nomor 9 tertinggi di tingkat nasional dan berhasil masuk ke SMA mereka sekarang dengan mudah sementara Rudi yang lumayan pintar nyaris tidak diterima di sekolah tersebut. Terkadang Rudi merasa iri karena Topan memiliki keluarga yang bahagia sementara keluarganya berantakan ditimpa masalah. Jika ia mulai merasa berpikir yang negatif, ia akan mengendarai motor gede kesayangannya dengan kecepatan tinggi untuk menghilangkan stres dan perasaan berkecamuk yang ia derita. Biasanya setelah kebut-kebutan dengan motor itu, perasaannya akan lapang dan dapat berpikir positif kembali.



    4. Angeline White
    [​IMG]
    Anak Tunggal. 28 tahun. 165 cm. Angeline merupakan anak dari pasangan suami istri berkebangsaan Amerika yang ketika itu tengah tinggal di Indonesia karena pekerjaannya. Walaupun ia orang Amerika tulen, tapi bahasa Indonesianya sangat fasih akibat telah tinggal puluhan tahun lamanya di Indonesia. Orangtuanya telah pulang ke Amerika 8 tahun yang lalu, tapi ia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia karena terlanjur cinta dengan bumi nusantara ini. Ia memiliki selera fashion yang tinggi dan sempat menjadi model selama 2 tahun. Namun merasa pekerjaan itu bukan passion-nya, ia memutuskan berhenti dan bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah fashion yang cukup terkenal. Sebagian waktu juga ia habiskan untuk merancang busana, namun masih kurang seterkenal merek-merek dari perancang busana terkenal. Ia merupakan seorang perokok dan peminum berat. Hal ini dimulai sejak ia berumur 14 tahun lantaran orangtuanya yang bercerai dan karena ia merasa terasingi dari teman sekelasnya. Hal ini dikarenakan ia yang bule tulen, sehingga anak lain merasa segan untuk mendekatinya. Walau hal ini sudah tak menjadi masalah buatnya lagi setelah beranjak dewasa, namun kebiasaan ini sulit untuk dihentikan sehingga masih ia lakukan sampai sekarang, sekedar untuk menenangkan pikiran karena pekerjaan atau hal lainnya.



    5. Badai Angkasa
    [​IMG]
    Adik dari Topan. 141 cm. 11 tahun. Anaknya pendiam, penakut, pemalu, ciri-ciri dari seorang introvert. Sifatnya ini membuatnya sering di bully di sekolah, baik secara lisan maupun fisik. Ia tak pernah melaporkan hal ini karena selalu di ancam oleh anak-anak yang membullynya. Jika ditanya, ia akan menjawab bahwa memar yang ia derita disebabkan karena terjatuh. Ia paling menyayangi keluarganya, terutama ibunya, menghormati ayahnya dan merasa segan dengan kakaknya. Ia selalu melihat Topan sebagai kakak yang serba bisa dan selalu dapat diandalkan, tempatnya bertanya tentang pelajaran yang susah dan yang selalu menjaganya dari hal apapun. Selain segan, ia juga cenderung merasa takut dengan kakaknya itu. Ia seperti orang yang berbeda jika menyangkut tentang adiknya. Misalnya ketika Badai berumur 7 tahun, 2 anjing liar yang buas mengepung dirinya ketika sedang pulang sekolah sendirian. Ia menangis sejadi-jadinya. Namun entah dari mana, kakaknya datang dan memukul kedua anjing itu secara kesetanan dengan batang kayu yang patah hingga keduanya mati. Kakaknya dengan tangan berlumuran darah dan wajahnya yang sedikit terkena percikan darah anjing itu, berjalan mendekati adiknya lalu memegang kedua pundak adiknya dan bertanya apakah ia tidak apa-apa dengan wajah yang sangat mencerminkan kecemasannya. Terkadang ia merasa bahwa kakaknya berkepribadian ganda, lantaran sang kakak biasanya paling tidak tahan dengan yang namanya darah dan paling benci dengan film horor atau bunuh-bunuhan. Tapi ia dapat dengan mudah membunuh kedua anjing buas itu, walau biasanya ia sangat penyayang dengan binatang. Bahkan ketika adiknya bertanya apa yang telah dilakukan sang kakak ketika mereka sampai di rumah, Topan terlihat seperti orang linglung bahkan terkejut melihat kedua tangannya yang berlumuran darah dan dengan segera membasuh tangannya hingga bersih. Memang kejadian seperti ini belum pernah terjadi lagi, namun hal ini membuat Badai trauma dan takut jika ia menceritakan tentang anak-anak yang mem-bully-nya itu, kakaknya mungkin akan mengirimkan mereka ke rumah sakit atau bahkan ke liang lahat.



    6. Chairani
    [​IMG]
    Anak pertama dari 6 bersaudara. 18 tahun. 156 cm. Sebagai anak sulung, Chairani sudah menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya. Keluarganya termasuk kurang mampu. Ayahnya kuli bangunan serabutan dan ibunya pembantu rumah tangga. Karena itulah, kedua orangtuanya berharap agar Chairani dapat sekolah tinggi dan sukses. Dari SD hingga SMA, Chairani selalu mendapatkan beasiswa untuk biaya sekolahnya. Bahkan ia telah menerima undangan untuk kuliah di Universitas negeri terkemuka di Indonesia. Di SMA, Chairani tak luput menjadi korban bullying. Penyebabnya hanya karena status sosialnya, dimana karena sekolah itu adalah salah satu sekolah terkemuka, Chairani yang selalu pergi sekolah dengan seragam, tas, dan sepatu yang lusuh membuatnya menjadi bahan ejekan. Memang tidak semua anak di sekolah itu bertingkah begitu, namun semua ejekan dan hinaan mereka membuat Chairani merasa minder. Terkadang ia merasa kalau nasibnya ini tidak adil dan juga ingin dilahirkan di keluarga yang berada. Namun ia tetap semangat sekolah ketika melihat wajah kelima adiknya yang masih polos dan masih kecil yang juga ingin mengecap rasanya bersekolah. Sama seperti Katrina, ia memilih menjadi pengurus perpustakaan untuk menjadi alasan baginya berada di perpustakaan itu setiap hari. Melihat Katrina yang selalu datang ke perpustakaan seperti dirinya, membuatnya merasa bahwa mereka berdua mirip dan mulai mendekati Katrina. Awalnya ia mengira bahwa Katrina adalah anak orang kaya blasteran dan sombong karena bersikap dingin dan acuh ketika disapa. Namun ia melihat buku yang di baca Katrina saat itu adalah buku favoritnya, dan tak mungkin orang yang membaca buku itu adalah orang yang jahat. Setelah banyak mengobrol, lambat laun Katrina jadi mulai terbuka. Mereka memiliki banyak kesamaan selera, mulai dari buku, pengarangnya bahkan kata kutipan dari karakter suatu buku. Pemikiran mereka tentang sistem politik dan ekonomi pun mirip, seolah mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat. Di hari ulang tahun Katrina yang ke 17, Chairani memberikan anting-anting perak berbentuk bintang dengan alasan bahwa Katrina sudah menjadi bintang penuntun dan penerang bagi dirinya. Walau harga anting itu mungkin tidak seberapa bagi Katrina, tapi nilainya itu priceless. Hingga saat ini, Katrina selalu menggunakan anting itu setiap hari sebagai salah satu benda paling berharga bagi dirinya.



    7. Angga Dwi Putra
    [​IMG]
    Anak kedua dari tiga bersaudara. 17 tahun. 168 cm. Ia memiliki kakak laki-laki yang hanya terpaut setahun dan adik perempuan yang terpaut umur 7 tahun. Menjadi anak tengah sangat tidak enak baginya. Ia selalu mendapat batang bekas kakaknya karena menurut orangtua mereka barang kakaknya itu masih bagus jika dibuang. Karena adiknya cewek dan umur mereka terpaut jauh, adiknya juga selalu mendapat barang baru dan membuatnya merasa kalau orang tua mereka sangat tidak adil. Selain masalah keluarganya itu, ia juga orang yang supel dan suka bergabung dengan grup mana saja, walau grup dimana Angga bergabung bersamanya terkadang merasa risih karena ada orang tak diundang bergabung bersama mereka. Orang yang paling disegani oleh Angga adalah Rudi. Rudi sudah bersifat sangat dewasa dan hal itu menjadi panutan bagi Angga. Karena itulah, ia paling sering bergabung dengan rombongan Rudi. Ia sering tak habis pikir, mengapa Rudi mau saja berteman dengan Topan. Karena ia banyak bergabung dengan rombongan lain, ia mengetahui bahwa banyak anak kurang menyukai Topan. Menurut mereka Topan itu orangnya suka tidak fokus dan tidak nyambung jika diajak bicara. Suka melamun dan jika ditegur atau disapa sering tidak menyahut, entah karena memang sengaja acuh atau memang tidak mendengar. Setelah bergabung dengan rombongan Topan, Rudi menceritakan padanya bahwa hal itu disebabkan karena Topan cenderung suka mengobservasi hal-hal yang ada di sekitarnya daripada fokus dengan hal yang terjadi di depannya. Topan juga orangnya suka menggerutu tentang kesialan yang ia rasakan, dan bagaimana kesalnya ia yang selalu diejek dengan rombongan Bombom cs. Tapi setelah mencoba bergabung dengan rombongan Bombom, ia mengetahui bahwa mereka menggoda Topan karena Topan itu sendiri. Mereka sudah sekelas dengan Topan sejak kelas 10 dan mencoba ramah dan menyapa Topan. Tapi ia malah membalas dengan tatapan sinis dan membuang muka. Sejak itu Bombom cs mulai membully Topan dengan ejekan karena rambut atau namanya yang juga selalu dibalas oleh Topan dengan mengejek fisik Bombom yang gemuk. Namun menurut Topan, ia bersikap sinis dan membuang muka karena waktu itu Bombom menyapanya dengan si rambut sarang burung dan bertanya ada berapa ekor burung yang bersarang di rambutnya sembari tertawa. Mungkin maksudnya hanya bercanda, tapi hal yang menyangkut rambut selalu dianggap serius oleh Topan. Walau banyak merasa ketidakcocokan dengan Topan, Angga tetap saja hang out bersamanya, karena menurutnya semua orang itu terlahir unik dan berbeda, dan hal itu jugalah yang menjadi alasan mengapa ia bergabung dengan berbagai macam jenis orang, untuk lebih mengenal seperti apa orang lain yang berbeda sifat dan minat dengan dirinya.
     
    • Like Like x 1
  10. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    Dance to the beat of the livin dead
    Lose sleep baby and stay away from bed
    Raw power is sho' to come a runnin to you
    If you're alone and you got the fear
    So am I baby let's move on out of here
    Raw power will surely come a runnin to you
    Raw power got a magic touch
    Raw power is much too much
    Happiness is a guaranteed
    It was made for you and me
    Raw power honey just won't quit
    Raw power I can feeeeeel it
    Raw power baby can't be beat
    Poppin eyes and flashin feet
    Don't you try
    Don 't you try to tell me what to do
    Everybody's always tryin to tell me what to do

    Look in the eyes of a savage girl
    Fall deep in love in the underworld
    Raw power is sure to come a runnin to you
    If you're alone and you got the shakes
    So am I baby and I got what it takes
    Raw power is sure to come a runnin to you
    Raw power got a healin hand
    Raw power can destroy a man
    Raw power it's a more than soul
    Got a son called rock and roll
    Raw power honey just won't quit
    Raw power I can feel it
    Raw power honey can't be beat
    Get down, baby and a kiss my feet
    Everybody's always tryin to tell me what to do
    Don't you try
    Don 't you try to tell me what to do
    Everybody's always tryin to tell me what to do
    Don't you try
    Don 't you try to tell me what to do

    Raw power's got no place to go
    Raw power honey it don't want to know
    Raw power is a guaranteed o.d.
    Raw power is laughin at you and me

    And this is what I wanna know
    Can you feeeeeel it
    Can you feeeeeeeeel it
    Can you feeeeeel it
    Can you feeeeeeeeeeeel it
    Raw power! raw powwwwwwer!
    Raw power! raw powwwwwwwwer!
    Can you feeeeeeeeeeeel it
    [​IMG]
    Katrina Point Of View (POV)

    1 jam sebelumnya...

    "Dari jalan besar ini nanti masuk ke kompleks perumahan di sebelah kanan. Rumahku berada tak jauh dari gerbang kompleks itu, bertingkat dua dengan dinding berwarna kuning matahari," jelasku pada Angie yang tengah mengemudikan mobilnya menuju kompleks perumahanku.

    Tak banyak obrolan yang terjadi di antara kami selama perjalanan. Angie menanyakan beberapa pertanyaan basa-basi tentang bagaimana kehidupanku di Amerika dan apakah lebih enak tinggal di Amerika atau Indonesia. Menurutku tinggal di manapun itu sama saja, karena tidak ada tempat yang terasa benar-benar istimewa bagiku.

    "Oke, kita sampai," ujarnya seraya memakirkan mobil di depan rumahku.

    Cukup jelas perasaan cemas terdengar dari suaranya yang bergetar melihat ada beberapa infected berada tak jauh dari kami. Aku menempelkan ibu jariku di bibir untuk berusaha menenangkan Angie.

    "Perlahan," perintahku pada Angie agar gerak-gerik kami tidak menarik perhatian para infected itu.

    Dengan hati-hati kubuka pintu mobil agar tidak berisik yang juga dituruti oleh Angie dengan ikut membuka pintu secara perlahan dan tidak menutup pintu secara rapat agar tak terdengar bunyi bantingan pintu.

    Kami berjalan secara perlahan dan mengingat tak seorang pun dari kami berdua yang memegang senjata, maka sebisa mungkin kami harus menghindari berhadapan dengan infected itu.

    Mereka berjalan lunglai tanpa arah dengan tatapan kosong ke arah langit dan sesekali menggeram. Walau aku telah meminta Angie untuk tenang, berjalan terlalu dekat dengan infected membuatnya berjalan sedikit tergesa dan tersandung. Memang ia tidak sampai terjatuh, tapi bunyi sepatu haknya yang beradu dengan batu itu membuat semua infected di sekitar kami dengan cepat memalingkan muka mereka dan menatap tajam kami dengan kedua mata putihnya itu.

    Aku langsung menahan Angie agar berdiri diam di tempat. Keringat dingin mulai terasa menetes dari dahiku. Angie telah berada di ambang kegelisahan, antara ingin pingsan dan berteriak takut. Namun aku mengenggam keras pergelangan tangannya agar ia sadar dan tidak bertindak bodoh.

    Cukup lama mereka menatap kami dengan geraman yang dapat membuat nyali langsung ciut. Kutegarkan hati untuk tidak kalah dengan rasa takutku terhadap mereka. Aku harus bisa berusaha sendiri tanpa bersandar pada orang lain. Sekali aku mengalah pada rasa takutku, maka saat itu juga tamatlah riwayatku.

    Akhirnya satu persatu dari mereka mulai menoleh ke arah lain dan kembali berjalan lunglai tanpa arah. Harus kuakui, kejadian barusan sukses membuatku sport jantung.

    Kami melanjutkan perjalanan dan dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah akibat pintu kaca rumahku yang telah pecah. Ini membuatku khawatir karena itu artinya setidaknya ada satu infected yang telah menembus rumah kami. Kuharap mom baik-baik saja di dalam.

    Kejadian di luar membuatku sadar bahwa aku takkan bisa berkutik tanpa senjata di tanganku. Aku lalu menuntun Angie menuju dapur untuk mengambil pisau sebagai senjata emergency kami. Shit, ternyata ada 1 infected sedang berdiri di sana, membelakangi kami dan berdiri ke arah peralatan dapur. Aku berpikir keras, memperhatikan semua benda di sekelilingku yang mungkin bisa dijadikan senjata untuk membunuhnya.

    PRANG

    Sekali lagi Angie menimbulkan masalah. Kali ini hak tinggi sepatunya secara tak sengaja menginjak pecahan kaca. Infected itu menyadari kami dan dengan cepat menoleh dan mulai berlari untuk menyerang dengan geraman mereka yang khas.

    "Die!" kudengar sebuah teriakan yang disambung dengan terbelah duanya kepala si infected sialan itu. Ketika ia terjatuh ke lantai, di belakangnya, berdiri seorang wanita separuh baya yang masih tampak muda dengan potongan rambut pendek dan di cat coklat sedang memegang sebuah pisau daging yang berlumuran darah. Wanita itu adalah ibuku.

    "Mom, you're okay?" tanyaku dengan nada khawatir.

    "Of course I'm okay. Masa kau meragukan kemampuan ibumu yang mantan tentara ini?" sergahnya dengan penuh percaya diri. Aku tersenyum dapat melihat mom yang bertingkah laku seperti biasa.

    Mom adalah warga Indonesia yang memilih menjadi anggota militer di negeri Paman Sam. Ia tetap menggunakan kartu imigrannya tanpa membuat permohonan untuk menjadi warga AS, sehingga kami tidak punya kesulitan yang berarti untuk pindah ke Indonesia dan membeli rumah, karena di kartu kependudukan, status mom masih sebagai warga negara Indonesia.

    Mom pernah bilang kalau ia cinta Indonesia, karena itulah ia tidak pernah mengajukan permohonan untuk mengubah kewarganegaraannya sebagai warga AS, walaupun telah tinggal di sana selama lebih dari 20 tahun. Namun hal ini selalu saja membuatku bingung. Jika ia memang mencintai Indonesia, mengapa ia lebih memilih menjadi anggota militer AS daripada menjadi anggota TNI Indonesia?

    "Aku sudah berkali-kali bilang pada James untuk tidak menggunakan pintu kaca di Indonesia, karena Indonesia ini berbeda dari AS. Tapi ia tetap bersikeras dengan alasan nostalgia. Lihat, beginilah jadinya. Kita tidak bisa lagi menggunakan rumah ini sebagai tempat berlindung. Dan sekarang ia sedang pergi dinas ke luar negeri pula. James benar-benar tak bisa diandalkan," gerutu mom. Ia selalu menyalahkan dad ketika hal buruk terjadi. Walau begitu, aku tahu mom sebenarnya masih sangat mencintai dad.

    "Oh ya mom, perkenalkan ini Angeline, orang yang mengantarkanku kesini dengan mobilnya."

    "Angeline White. Tapi panggil saja aku Angie."

    "Hai. Nama asliku Ela Pujiana, tapi sekarang telah berganti nama menjadi Ella Storm. Senang berkenalan denganmu, Angie. Dan terimakasih telah membantu putriku," ujar mom seraya menyambut jabat tangan Angie.

    "Salam kenal juga. Tapi sudah sewajarnya aku membantu Katrina. Ia telah menyelamatkan nyawaku sebanyak 2 kali, mengusir infected yang menyerang mobilku serta membunuh gadis gila yang berusaha menyerangku," ujar Angie menjelaskan bantuanku padanya. Padahal kupikir hal yang kulakukan itu bukanlah apa-apa. Lagipula saat itu kami sangat membutuhkan tumpangan. Dengan membantunya, kupikir ia akan memberikan tumpangan pada kami. Dan benar, ternyata tindakanku itu sangat tepat.

    "Jadi, kemana kita akan pergi mom?" tanyaku pada mom untuk memastikan langkah yang harus kami ambil selanjutnya.

    "Sebenarnya aku sudah menelepon teman baikku waktu SMA yang sekarang menjadi anggota TNI AD. Katanya, tak jauh dari luar kota terdapat stadium yang baru saja selesai di bangun dan masih belum aktif digunakan. Stadium itu merupakan stadium terbesar yang dibangun di Indonesia dan cukup untuk menampung puluhan ribu orang. Pemerintah juga telah menyampaikan lewat radio ataupun breaking news di televisi untuk segera mengungsi ke sana. Kalau kita cepat ke sana, mungkin kita bisa mendapatkan tempat di dalam sana," jelasnya.

    "Baiklah, tapi sebelum ke sana, bisakah kita mampir ke rumah sakit dulu? Teman-temanku tengah berada di sana untuk menyelamatkan keluarganya."

    "Tentu saja bisa. Nah kalau begitu, kita harus segera bersiap. Aku akan ganti baju dengan yang lebih nyaman dan mengganti senjataku. Kau juga sebaiknya bersihkan tubuh dan ganti pakaianmu. Dan kau Angie, sebaiknya kau gunakan sepatu kets-ku karena menggunakan hak tinggi itu sangat tidak menguntungkan dalam situasi seperti ini."

    "Allright," jawabku dan Angie berbarengan.

    Angie mengikuti mom, sementara aku menuju kamarku. Aku membasuh muka dan membersihkan tanganku yang terkena percikan darah dari para infected yang telah kubunuh. Aku mengganti seragamku dengan kemeja berwarna ungu dan bermotif kotak-kotak tanpa lengan. Aku lalu memasang sarung tangan lengan panjang di kedua lenganku agar terlindungi dari percikan darah infected, setidaknya sebagai tindakan pencegahan, siapa tahu aku dapat tertular jika darah mereka masuk ke tubuhku kalau-kalau aku nanti mengalami cedera. Selanjutnya aku mengganti rokku dengan hot pants agar mudah berlari, tak lupa kugunakan leggings panjang berwarna hitam untuk melindungi kakiku.

    Aku membuka pintu lemari tempat menyimpan barang-barang lamaku. Kuambil sebuah kotak kayu persegi panjang dari dalam lemari itu dan kuletakkan di atas ranjang. Di dalamnya, tersimpan 2 pedang anggar yang biasa kupakai untuk latihan anggar dengan teman mom, Ms. Fiore, ketika aku masih tinggal di Amerika dulu. Namun pedang anggar milikku bukanlah jenis foil, épée, atau sabre yang biasa dipakai dalam olahraga dan olimpiade, tetapi pedang ini berjenis rapier yang pada abad 16 dan 17 digunakan dalam pertarungan antara hidup dan mati. Aku menarik salah satu rapier ini dari sarungnya. Benar kata mom, rapier yang diberikan Ms. Fiore ini memang memiliki kualitas nomor 1. Walau tak pernah lagi kurawat dan tersimpan di dalam lemari selama hampir 3 tahun lamanya, rapier ini tetap terlihat tajam dan berkilap. Berbeda dari pedang anggar modern yang lentur dan ujung yang dibuat tumpul karena digunakan untuk olahraga, pedang ini memiliki tekstur kaku dengan memiliki mata pedang di kedua sisi serta ujung yang sangat tajam, cocok untuk membunuh para infected dengan sekali hunusan ke dahi ataupun digunakan untuk untuk menebas mereka.

    Aku mengebatkan kedua sarung pedang yang telah disertai dengan sabuknya masing-masing pada bagian kiri dan kanan pinggangku. Walau aku sudah menggunakan sarung tangan tipis dan panjang, kukenakan juga sarung tangan kulit yang biasa kugunakan ketika latihan anggar agar pedang tak licin dan terlepas dari tangan. Setelah merasa bahwa semua perlengkapan sudah kubawa, aku turun ke bawah untuk berkumpul kembali dengan mom dan Angie. It's time to fight back.

    Mom mengenakan jaket kulit favoritnya dan jeans panjang sementara Angie telah mengganti rok pendeknya dengan jeans dan sepatu hak tingginya dengan sepatu kets milik mom.

    "Mom, itu pedang samurai pemberian Mr. Hito, rekan kerja dad dari Jepang, bukan?" tanyaku melihat pedang samurai yang tergantung di sabuk celananya. Memang, ibuku ahli di bidang kendo atau seni berpedang dari Jepang. Ia pernah mempelajari kendo selama 2 tahun ketika masih aktif di militer. Hanya saja, kukira ia akan menggunakan pistol atau senapan karena ia mantan anggota militer. Jangan tanya bagaimana cara mom menyelundupkan kedua senjata api itu dari AS, yang pasti itu dilakukan secara ilegal.

    "Mungkin senjata api memang senjata paling menguntungkan, tapi lawan kita sekarang adalah monster yang tertarik dengan bunyi kuat. Suara dentuman pistol untuk membunuh 1 infected hanya akan mengundang puluhan infected lain di sekitarnya. Aku juga menyimpan pistol di saku untuk jaga-jaga, tapi untuk bertarung, senjata tajam merupakan pilihan paling tepat. Dan, jangan sebut ini dengan pedang samurai lagi, tapi katana, paham?" penjelasan ibuku ada benarnya juga. Aku lalu mengangguk tanda mengerti. Sementara itu, kuperhatikan senjata Angie yang ternyata hanya memilih pisau dapur.

    "Apa kau yakin hanya menggunakan senjata itu?" tanyaku.

    "Ya. Aku tidak memiliki fisik bertarung seperti kalian. Aku akan mendukung kalian dari belakang dan pisau ini hanya sekedar untuk melindungi diriku saja jika benar-benar terdesak."

    "Oh ya, kapan kita akan berangkat ke rumah sakit?" tanya mom.

    "Kita harus menunggu telepon dari Rudi dulu. Ia akan menelepon kita setelah mereka sampai di rumah sakit," jawabku. Kami lalu menunggu di ruang tamu tetap siaga mengawasi pintu kaca yang pecah itu, siapa tahu infected akan datang menyerang kami dari sana. Sembari menunggu, aku dan Angie memakan beberapa lembar roti di meja, sekadar untuk mengganjal perut, karena entah kapan kami mendapatkan kesempatan untuk makan lagi.

    Sekitar 15 menit kemudian, terdengar suara lantunan melodi 'fur elise' yang merupakan nada dering hp-ku. Shit, rupanya aku lupa men-silent-kannya. Buru-buru segera kumatikan suaranya agar tidak menarik perhatian para infected di luar. Aku tak menyangka bahwa aku bisa juga teledor begini.

    Nomor tak dikenal terpampang di layar hp. Aneh, padahal tadi aku sudah menyimpan nomor Rudi.

    "Halo, siapa ini?" ujarku, dan menunggu balasan jawaban dari seberang panggilan yang sedari tadi hanya terdengar suara nafasnya yang terdengar berat. It's sounds a bit freaky. Akhirnya ia menjawab pertanyaanku.

    "Ini aku, Topan."

    Ternyata Topanlah yang meneleponku. Damn, why you act like that? Aku tadi sudah agak parno dan mengira peneleponku ini adalah orang mesum atau stalker. Walau mungkin sebenarnya ia sudah hampir masuk ke dalam dua kategori itu.

    Sebenarnya, aku cukup malas berurusan dengan Topan. Dapat terlihat dengan sangat jelas bahwa ia tertarik padaku. Ia dan aku memiliki nama dengan makna yang mirip, sama-sama nama bencana alam yang berkaitan dengan angin. Cuma karena itu ia jadi menyukaiku, tapi kelakuannya yang mencoba mendekati aku secara terang-terangan itu membuatku risih.

    Kalau kucoba deskripsikan, tampangnya itu biasa saja, tidak ganteng dan juga tidak terlalu jelek. Rambutnya keriting awut-awutan, seolah-olah tak pernah ia sisir seumur hidupnya. Dan dia itu rajanya bengong. Kerjanya cuma melamun kalau tak diajak bicara dengan Rudi atau teman yang lain. Kadang ia akan menatapku lama dengan tatapan aneh, entah apa yang dipikirkannya. Awas saja jika dia berpikiran mesum ketika melihatku. Ia juga sering mengajakku bicara dengan pertanyaan basa-basi yang tentu saja tak pernah kujawab karena aku paling benci dengan basa-basi kosong. Bahkan selama aku bersama rombongannya tadi dan juga di dalam mobil, ia akan selalu mencuri pandang melihatku, seolah tak tahu kalau aku sebenarnya sadar diperhatikan seperti itu. Ingin rasanya kukatakan pada Topan untuk berhenti melirikku karena merasa risih, namun kupikir hal itu akan percuma saja, ia takkan berhenti melakukan itu.

    "Ya, kalian sudah di rumah sakit?" tanyaku langsung menuju ke pokok pembicaraan dengan nada dingin. Mungkin pikirnya aku ini orang yang ketus, tapi aku memang akan selalu terdengar jengkel seperti itu jika bicara dengan orang yang tak kusuka.

    "Be... Benar. Katrina... Itu..."

    Shit, berhenti bicara terbata-bata. Kau hanya membuang waktu berharga kita, katakan saja apa maumu!

    "Sini biar aku yang bicara," samar-samar terdengar suara Rudi dari sampingnya.

    "Katrina, kami sekarang sedang terdesak. Ibuku mengalami stroke yang membuatmu tak dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga aku dan kakakku harus membopongnya. Aku minta tolong bantuanmu untuk datang menjemput kami di lantai 3 rumah sakit agar kau dan Topan dapat melindungi kami agar kami bisa turun dengan selamat."

    Aku terdiam beberapa saat, melindungi mereka bersama Topan... Kenapa tidak bersama Rudi saja? Topan itu benar-benar tak berguna. Hanya satu kali dia pernah membunuh seorang infected, sisanya kulakukan bersama dengan Rudi. Tapi aku mengerti kalau Rudi tidak ingin menyerahkan tugas untuk membopong ibunya kepada orang lain.

    "Got it," kataku pada akhirnya. Aku mengakhiri panggilan dan kami segera berjalan ke garasi.

    "Angie, segera hidupkan mesin mobil. Begitu aku buka pintu garasi ini, kau langsung bawa mobil keluar. Katrina, naiklah ke dalam mobil. Biar aku yang lawan semua infected yang datang mendekat," perintah mom pada kami berdua. Aku menurut dan segera naik ke mobil. Mom menekan tombol yang membuat pintu garasi terbuka secara otomatis. Suara pintu garasi yang tengah terbuka itu lumayan berisik dan menarik perhatian 6 infected yang berada di sekitar.

    "Apa kau yakin ibumu dapat melawan mereka semua?" tanya Angie khawatir. Namun aku hanya diam saja menyaksikan mom dari dalam mobil. Aku yakin dengan kemampuannya.

    Ia mengambil kuda-kuda dengan tangan kiri memegang sarung katana dan tangan kanannya pada handle pedang untuk bersiap menarik katana itu dan menebas lawannya.

    SLASH

    Bukan hanya Angie, kekuatan ibuku juga turut membuatku takjub. Hanya dengan sekali tebas, tubuh tiga infected yang tadi berlari ke arah mom dan kini tengah berada di depannya, terpotong dua. Tiga infected sisanya yang juga berlari ke arah mom juga menderita nasib yang sama. Namun sesuai dugaan, walau kaki mereka telah terpisah dari badannya, namun para infected itu belum mati dan mencoba merangkak dengan tangan untuk menyerang ibuku. Terkadang aku merasa bahwa ibuku orang yang sadis, bukannya langsung membunuh mereka, ibuku malah memotong tangan keenam infected itu hingga hanya tinggal badan dan kepalanya saja. Namun mereka tetap belum mati, dan hanya bisa menggeram ke arah mom tanpa bisa bergerak.

    "Well, harus kuakui kalau ibumu lebih seram dari infected." ujar Angie sebelum mom naik ke mobil, takut ia mendengarkan komentarnya dan hanya bisa kujawab dengan anggukan. Tapi kekuatan mom itu memang bukan main. Setajam apapun sebuah pedang, pasti cukup sulit untuk menebas tiga tubuh hanya dengan sekali tebasan. Yup, She's a monster alright.

    ----------------------------------------------

    Lagu Pendamping:

    Chapter 7: Raw Power by Iggy Pop & The Stooges
     
    • Thanks Thanks x 1
  11. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    Imprisoned inside this mind
    Hiding behind the empty smiles
    So simple (the anguish)
    As it mocks me
    Crawling back into the dark

    Running, always running, into the distance
    Stop me before I bleed, again
    The echoes of my voice
    Follow me down
    The shadows I cast
    Follow me down

    Deeper I'm falling
    Into the arms of sorrow
    Blindly descending
    Into the arms of sorrow

    There must be serenity

    The echoes of my voice
    Follow me down
    The shadows I cast
    Follow me down

    Deeper I'm falling
    Into the arms of sorrow
    Blindly descending
    Into the arms of sorrow

    The demon of my own design
    This horror must not remain

    Deeper I'm falling
    Into the arms of sorrow
    Blindly descending
    Into the arms of sorrow

    There must be serenity

    There must be deliverance

    Deeper I'm falling

    Blindly descending
    [​IMG]
    Perjalanan menuju rumah sakit itu memakan waktu yang cukup lama, sekitar setengah jam. Di sepanjang jalan, aku hanya bisa memperhatikan pemandangan sekeliling yang dipenuhi oleh para infected yang berkeliaran di jalanan sekitar. Mobil yang lalu lalang tak sebanyak sebelumnya, sehingga kami tidak lagi terjebak macet. Namun jalanan yang cukup lenggang membuatku dapat melihat situasi di pinggir jalan, dimana dapat kulihat orang-orang berlarian dengan wajah panik untuk menyelamatkan diri mereka. Mataku tak sengaja bertemu dengan mata seorang wanita yang terjatuh karena kakinya berhasil di tangkap oleh seorang infected. Sementara dua infected lain mengerubunginya dan mencoba memakannya, ia menatapku dengan mata sayu seolah memohon pertolongan. Melihat hal itu, aku hanya bisa memalingkan muka dengan perasaan pahit di dadaku. Tentu terlintas di benakku untuk menolong perempuan itu. Tapi aku takkan mungkin sempat menolongnya, lagipula Rudi dan yang lain sedang menunggu kami untuk membantu mereka menyelamatkan diri dari rumah sakit.

    Aku hanya bisa melihat keadaan mereka yang tak bisa melindungi diri sendiri yang tak jauh berbeda dengan wanita tadi. Entah sudah berapa banyak kulihat korban berjatuhan akibat para infected, membuatku ingin segera sampai ke tujuan agar tak perlu lagi melihat mereka yang menderita sementara aku tak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka. Akhirnya, kami sampai juga ke tujuan.

    "Baiklah, aku akan segera menjemput mereka," kataku sembari turun dari mobil.

    "Aku akan menemanimu," ujar mom. Namun, aku segera menghentikannya.

    "Tidak perlu. Sebaiknya mom menemani Angie di sini. Aku bisa menangani para infected itu sendiri."

    Mom terlihat agak ragu mendengar kata-kataku. Bagaimanapun, aku anak semata wayangnya. Jadi wajar kalau dia mengkhawatirkanku.

    "Tenanglah mom. Kau percaya pada kemampuan anakmu, kan?" ujarku dengan usaha untuk kembali meyakinkannya.

    "... Baiklah, aku percaya pada kemampuanmu." ujar mom pada akhirnya setelah cukup lama berkelut dalam pikirannya.

    "Hati-hati ya," pesan Angie dengan wajah cemas. Kubalas ucapannya itu dengan anggukan kecil.

    Aku berjalan dengan perlahan, tidak ingin menarik perhatian puluhan infected yang berseliweran di halaman rumah sakit ini. Aku berhasil masuk ke dalam rumah sakit dengan aman. Kuhitung dengan teliti semua infected yang nampak. Totalnya ada 18 orang, dimana 3 infected berada di lobby tengah, 6 di lorong ke arah lurus, 5 di lorong ke samping kanan dan 4 berada di lorong kiri. Yang perlu kubunuh hanyalah 4 orang infected di lorong kiri karena lift terletak di sayap kiri rumah sakit.

    Aku berjalan dengan perlahan mendekati dua infected yang berdiri membelakangiku. Kucabut kedua rapier ini dari sarungnya dan dengan cepat kuhunuskan ke kepala mereka berdua hingga jatuh terjerembab. Aku segera menekan tombol lift yang membuat lift tersebut bergerak turun dari lantai 3 ke lantai dasar.

    Sementara aku menunggu hingga lift tersebut sampai, dua infected sisanya dan tiga infected di lobby tengah mengalihkan perhatian padaku karena mendengar bunyi terjatuhnya dua infected yang barusan kubunuh. Untung suara itu tidak cukup kuat untuk menarik perhatian seluruh infected di lantai ini.

    Seperti sebelumnya, kuhunuskan kedua rapierku ke dahi dua infected yang posisinya berada lebih dekat denganku. Lalu dengan cepat aku menarik rapier tersebut dan tanpa memutar badan, aku langsung menusuk dua infected di belakangku yang dapat kuketahui posisinya dari geraman mereka. Aku lalu melepaskan tanganku dari dua rapier itu dan segera melompat kecil untuk menghindari dari satu infected yang tersisa. Ia berhasil menyudutkan aku, dimana posisiku cukup jauh dari rapier yang sedang terhunus di kedua infected yang terjatuh. Namun infected di depanku ini adalah kakek-kakek yang mungkin sudah berumur 80-an, gerakannya lambat dan terlihat rapuh, sehingga aku langsung menendang kepalanya dengan tendangan berputar dan ia terjatuh ke lantai dengan mudahnya. Aku lalu berlari ke arah rapierku sementara si kakek infected tengah berusaha untuk berdiri kembali dengan susah payah. Belum sempat ia berdiri sepenuhnya, aku sudah menusuk dahinya.

    Pintu lift terbuka dan aku segera masuk kedalam sebelum infected lainnya datang. Di dalam sini, ternyata sudah ada 1 infected dengan kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya. Kemungkinan disebabkan oleh Rudi atau Topan. Kepala itu lalu melirikku dan menggeram dengan lemah. Ternyata mereka masih belum mati walau kepalanya sudah terlepas dari badannya. Aku lalu menghunuskan rapierku ke dahinya untuk menghentikan penderitaan wanita itu.

    Sepanjang lorong di lantai 3 ini bertebaran mayat infected. Ternyata mereka cukup lihai juga melawan infected sebanyak ini. Tapi aku yakin, sebagian besar dari mereka di bunuh oleh Rudi. Aku lalu mulai mencari kamar vip 308 tempat ibu Rudi di rawat, sesuai dengan yang ia jelaskan di telepon. Tidak terlalu susah rupanya, karena dapat kulihat 4 infected mengerubungi pintu sebuah kamar yang tertutup rapat. Infected-infected itu mencoba mendobrak pintu kamar tersebut dengan tetap mengeluarkan suara geraman mereka yang khas. Dapat terlihat jelas jika mereka sudah menderita cedera dari Rudi dan Topan karena terlihat banyak bekas luka dan dobrakan mereka yang tidak terlalu kuat.

    Mereka berempat tidak menyadari keberadaanku di belakang mereka karena suara langkah kakiku teredam oleh bunyi dobrakan mereka. Kuhunuskan rapierku ke bagian belakang kepala dua dari mereka dengan mudah. Ketika dua infected itu mati terjatuh, yang sukses mengalihkan perhatian dua infected sisanya padaku. Hanya saja, belum sempat mereka berbalik arah untuk menyerang, aku juga sudah melubangi kepala mereka.

    Aku mengawasi keadaan sekitar untuk mencari keberadaan infected lainnya yang mungkin tersembunyi. Ketika kurasa semua ancaman sudah dieliminasi sepenuhnya, aku lalu mengetuk pintu kamar tersebut sembari berkata,

    "Ini aku, Katrina."

    *****

    Topan POV

    Bunyi ketukan dan suara Katrina terdengar dari balik pintu. Walau sedari tadi aku cemas mengkhwatirkannya, aku bersyukur ia akhirnya berhasil datang kemari. Aku mendorong lemari yang menghadang pintu ke samping di bantu dengan Badai, sementara Rudi telah bersiap membopong ibunya bersama kak Anita. Aku lalu membukakan pintu dan tepat di depan, Katrina berdiri dengan wajah dingin tanpa ekspresinya.

    "Hai, Katrina. Kau baik-baik saja?" tanyaku seraya menunjukkan kecemasanku dengan sangat jelas. Namun matanya tetap menatapku dingin seolah berkata, 'sekali lihat juga kau sudah tahu, kan?'.

    Memang, setelah aku memperhatikan sekujur tubuh Katrina dengan seksama, dimana ia telah mengganti seragam sekolahnya dengan kemeja kotak-kotak ungu tanpa lengan, mengenakan sarung tangan lengan panjang yang tipis serta telapak tangannya dilapisi lagi dengan sarung tangan tebal dari kulit dan juga mengenakan hot pants dipadu dengan leggings hitam panjang dan sepatu kets ungu, ia tidak menderita bahkan satu luka lecet sekalipun.

    "Aku sudah membereskan beberapa infected di lantai dasar dan juga infected yang mengerubungi pintu ini tadi. Apa kalian sudah siap untuk pergi?" tanyanya pada rombongan Rudi dan kak Anita sembari mengacuhkanku. Haaaah... Sebenarnya apa salahku sampai kau akan terus tak mengacuhkanku seperti itu, Katrina?

    "Ya, kami sudah siap. Ayo pergi," jawab Rudi.

    "Hey, Katrina. Kau masih belum kenal dengan yang lain kan? Ini adikku, Badai. Yang bersama Rudi itu kakak, Anita dan ibunya." Aku berusaha memperkenalkan yang lain pada Katrina, dimana Katrina memperhatikan wajah mereka yang kuperkenalkan itu satu persatu lalu hanya mengangguk kecil dan kembali memimpin jalan. Wow, bukankah dia terasa bersikap lebih cuek padaku dari biasanya atau hanya perasaanku saja?

    Kami tiba di lift tanpa halangan yang berarti. Kami memasuki lift dengan posisi rombongan Rudi di belakang sedangkan aku dan Katrina berdiri di depan untuk menyambut para infected yang mungkin akan langsung menyambut kami setibanya kami di lantai dasar. Tepat dugaanku, begitu pintu lift terbuka, dua infected langsung mencoba menyerang kami. Serangan mereka begitu mendadak hingga aku tak sempat mengangkat sledgehammer-ku. Namun, dengan secepat kilat, Katrina langsung menusuk dahi dua infected itu dengan kedua pedangnya yang terlihat seperti pedang anggar. Tak hanya berhenti sampai disitu saja, ia langsung berlari keluar lift dan menghunuskan kembali pedang itu ke infected yang sedang berdiri di luar dan satunya lagi ke infected di sebelahnya tanpa mereka berdua menyadarinya karena tindakan Katrina yang begitu cepat.

    Harus kuakui kalau saat ini Katrina terlihat sangat keren. Aku sampai tak bisa berbuat apa-apa karena ia terus memonopoli infected yang mencoba menghadang kami. Bahkan Badai pun tak kalah terkesimanya, ditandai dengan genggaman tangannya yang semakin erat dan matanya yang berbinar melihat Katrina.

    Berbeda dariku dan Rudi, dimana ketika aku membunuh infected, akibatnya adalah kepala atau wajah mereka yang remuk sehingga terlihat cukup gore dan cara Rudi yang penuh darah mengucur dari leher infected yang dibunuhnya, gaya bertarung Katrina terlihat sangat elegan. Hunusan pedangnya begitu cepat, secepat timah panas yang melesat membelah angin, menembus kepala para infected. Mungkin ia menyadari aku yang menatapnya dengan tampang bodoh, tapi jujur saja, aku tak bisa menyembunyikan kekaguman ini. Di mataku, ia terlihat bagai dewi yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Seperti Dewi Athena yang serba bisa dan memimpin perang melawan para Titan, atau infected jika dikondisikan dalam hal ini.

    "Lebih baik kau buat dirimu jadi sedikit lebih berguna daripada terus menatapku dengan tampang blo'on seperti itu," ujar Katrina pada akhirnya.

    Aku merasa malu mendengar komentarnya itu. Bagaimana pun, aku harus tetap menjaga image di depannya dan juga Badai. Satu infected berlari ke arah kami dimana Katrina telah bersiap untuk menancapkan pedangnya lagi. Untuk memperbaiki image-ku yang telah jatuh barusan, aku dengan cekatan segera mendahului Katrina untuk menghancurkan kepala infected itu hingga kepalanya berputar 180 derajat.

    Katrina menatapku dengan tatapan sedikit terkejut karena aku berhasil mendahuluinya, yang hanya kubalas dengan senyuman yang penuh percaya diri karena dapat membuatnya menatapku kagum seperti itu. Aku langsung menyambung tindakanku tadi dengan menghantam kepala infected yang juga tengah berlari ke arahku. Satu, dua, tiga, empat... Tanpa henti kuhancurkan kepala semua infected yang datang mendekat. Entah kenapa, saat ini aku merasa seolah tengah mengayunkan sehelai bulu, bukan sebuah sledgehammer seberat 10 kg.

    Perasaanku saat ini begitu berkecamuk. Terdapat perasaan senang dimana aku bisa menunjukkan pada yang lain, terutama Katrina bahwa aku bisa diandalkan. Namun, aku merasa bukan itu bukan satu-satunya hal yang membuat aku kini merasa begitu senang, begitu gembira.

    Jantungku berdebar makin cepat seiring semakin banyaknya infected yang berjatuhan menjadi korban di tanganku. Tak sadar, kusungginkan senyuman di wajahku melihat mayat mereka yang bergelimpangan. Mungkin otakku sekarang sudah kacau, karena suara remuknya tengkorak kepala yang bertemu dengan sledgehammer terdengar seperti lantunan melodi piano yang merdu bagiku.

    *****

    Badai POV

    Sekeras apapun aku mencoba meyakinkan diriku bahwa kakak hanya melakukan hal ini demi melindungi kami, tapi tetap saja aku merasa ketakutan melihat dirinya sekarang. Tidakkah ia sadari bahwa ia sedang membunuh para infected dengan senyum mengembang di wajahnya? Mata yang biasanya terlihat kosong seperti orang linglung, kini terlihat begitu hidup dan penuh dengan semangat. Dengan melihat wajahnya sekarang, aku yakin kalau ia tidak melakukan ini karena terpaksa, tapi karena ia memang sangat ingin melakukannya.

    Aku mengenggam baju kak Rudi setelah kak Topan meninggalkanku untuk melawan para infected tadi. Kulihat wajah mereka bertiga yang juga menunjukkan keterkejutan yang sama sepertiku.

    "Topan, kau..." Samar-samar dapat kudengar gumaman kak Rudi melihat tindakan kakak yang terus membunuh para infected tanpa henti. Aku tak tahu apa yang sedang berada dalam pikirannya kini, namun yang pasti, ia juga terlihat takut melihat kelakuan kak Topan yang seperti itu.

    *****

    Katrina POV

    Aku masih tak percaya ia mampu mendahuluiku membunuh infected barusan. Bukannya sombong, tapi kecepatanku hampir setara dengan atlet nasional. Selain itu, berat rapier di kedua tanganku masing-masing tak sampai 1 kg sedangkan, palu besar yang jadi senjatanya terlihat lumayan berat, mungkin lebih dari 10 kg. Itu artinya, sekarang ini kecepatannya melebihiku. Padahal setiap pelajaran olahraga kecepatan larinya selalu rata-rata. Jadi bagaimana ia bisa lebih cepat dariku sekarang?!

    ... Tapi bukan itu yang jadi masalah utama untuk saat ini. Jujur, hal ini membingungkanku. Apakah orang itu benar-benar Topan atau ada sesuatu yang merasukinya? Lihat saja, sudah 9 infected yang telah ia bunuh sedari tadi. Dan bukan cuma itu, wajahnya terlihat sangat gembira ketika membunuh. Saat ini, ia terlihat sangat berbeda dari orang yang sebelumnya mengkritik diriku dan Rudi untuk tidak membunuh.

    Bahkan aku sendiri tak pernah merasa begitu gembira ketika membunuh infected, melainkan perasaan terpaksa karena hanya dengan cara inilah aku bisa bertahan hidup. Itulah mengapa wajahku terlihat selalu datar dan dingin setiap aku membunuh mereka, karena aku berusaha menahan rasa pedihku yang harus membunuh tanpa ada cara lain yang bisa kulakukan. Namun lihatlah dia. Dia berubah menjadi orang yang berbeda dengan tiba-tiba begitu saja. Padahal beberapa saat yang lalu, ia masih lelaki culun yang hanya bisa melihatku dengan tampang bodoh dan tak bisa diandalkan. Apakah inilah dirimu yang sebenarnya, atau kepribadianmu yang lain, Topan?

    *****

    Topan POV

    Setelah kuhitung, sepertinya aku sudah membunuh sekitar 10 atau 11 infected. Sepertinya aku terlalu bersemangat membunuh barusan hingga tak sadar kalau hal ini cukup menguras tenagaku. Akibatnya, gerakanku melambat. Aku mencoba menarik napas ketika seorang infected mencoba menyerangku yang sedang lengah. Untung saja Katrina datang menolongku tepat waktu. Ia masih melihatku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan maksudnya. Ia lalu membuang muka dariku ketika menyadari aku yang balik menatapnya dan melanjutkan pekerjaanku untuk melawan para infected di depan kami.

    Kami makin kerepotan karena makin banyak infected yang berkumpul di halaman rumah sakit ini, apalagi bertarung di tempat terbuka seperti ini sangat merugikan bagi kami. Tak pelak, kami terkepung dari semua sisi. Aku mencoba menjauhkan mereka yang berada di samping kiri dan kanan sementara Katrina melawan mereka yang berada di depan kami. Tapi jumlah mereka tak urung juga berkurang seolah tak ada habisnya. Padahal posisi mobil Katrina sudah tak jauh lagi dari kami.

    Namun seorang wanita separuh baya berambut pendek menurunkan kaca mobil dan menembak mobil lain yang berada di parkiran. Suara nyaring tembakan itu membuat pengaman mobil-mobil bekerja dan akibatnya bunyi alarm semua mobil disana berhasil mengalihkan perhatian sebagian infected itu.

    "Cepatlah kemari!" perintah wanita paruh baya berambut pendek itu pada kami. Kami lalu berlari diikuti dengan sekitar 20-an infected yang mengejar.

    Katrina yang pertama naik ke dalam mobil diikuti dengan adikku lalu aku. Aku hampir melupakan Rudi dan keluarganya dan masuk ke dalam mobil duluan. Untuk itu, dari dalam mobil, aku membantu Rudi menaikkan ibunya ke dalam. Ia pun turut naik dan diikuti oleh kak Anita. Namun salah satu infected di belakangnya berhasil menarik bahu kak Anita dan menggigitnya, diikuti dengan infected lain yang menarik tangan, pinggang, serta kakinya.

    Semua hal itu terjadi begitu cepat. Kami tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong kak Anita. Rudi menyerukan nama kakaknya dan mencoba meraih tangan sang kakak. Sayang, ia tak sempat menggapai tangan kakaknya yang ditarik duluan ke belakang oleh puluhan infected itu.

    "TIDAK! TOLONG AKU.... RUDI... IBU!!!" teriakan histeris kak Anita memilukan hatiku yang tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.

    "KAKAK!!!" Tak pernah kulihat Rudi yang sangat cemas seperti ini. Dengan sekuat tenaga aku menahannya agar tidak turun mengejar sang kakak sementara Katrina segera menutup pintu samping mobil tersebut.

    "Cepat berangkat!" titah wanita paruh baya penolong kami yang kemungkinan besar adalah ibunya Katrina pada Angie.

    "Tidak, hentikan mobil ini. Kak, KAK ANITA!!!" Rudi tidak terima dan mencoba memberontak, membuatku dan Katrina yang kini turun tangan membantuku menahannya jadi kewalahan.

    Aku memutuskan untuk mencoba cara yang sama seperti yang sering dilakukan Rudi padaku ketika aku sedang kacau dilanda kebingungan, yaitu dengan memukul wajahnya.

    "Cobalah mengerti Rud. Aku juga ingin menolong kak Anita, tapi sudah tak ada lagi yang bisa kita lakukan," jelasku seraya menunjuk kak Anita dari balik kaca mobil.

    Aku dapat merasakan suaraku bergetar dan mataku memanas melihat diri kak Anita yang perlahan-lahan menghilang tertutup oleh kerubunan para infected yang mengepungnya, entah hal apa yang akan mereka lakukan terhadapnya. Ia memang bukan saudari kandungku, tapi aku dapat merasakan kesedihan yang sama dengan Rudi.

    Ia akhirnya dapat menenangkan diri dan hanya dapat melihat ke arah gerombolan para infected yang mengambil kakaknya itu. Ibu mereka hanya bisa melihat putri sulungnya dengan tangis tertahan, begitu juga dengan Rudi. Air mata mengalir dari kedua matanya namun tak ada suara isak tangis yang terdengar. Di kondisi seperti ini pun, ia masih mencoba untuk bersikap tegar. Jika yang ada di sana adalah Badai, mungkin aku takkan bisa setegar Rudi dan tetap akan mencoba berbuat nekat untuk turun walau sudah ditegah oleh yang lain.

    "Salah kalian.... Ini semua salah kalian...." bisiknya tetap tanpa mengalihkan perhatian dari kakaknya yang makin lama makin menjauh dari pandangan kami. Suaranya teredam bunyi mesin mobil, namun aku dapat mengetahui ucapannya barusan dari gerakan mulutnya.

    Aku tahu ucapan itu ditujukan padaku dan Katrina. Jujur saja, aku merasa kalau ini memang salah kami, terutama aku. Rudi sudah meminta kami untuk melindungi mereka, tapi aku dan Katrina seolah melupakan hal itu dan terlalu bersemangat melawan para infected di depan kami tanpa mempedulikan mereka yang harus kami lindungi. Bahkan ketika ingin naik ke dalam mobil, bukannya memprioritaskan ibu Rudi dan kakaknya, kami dengan egois berusaha menyelamatkan diri sendiri dan naik ke dalam mobil duluan baru mencoba membantu mereka. Seharusnya, bagianku adalah menjaga mereka dari belakang, bukan ikutan melawan infected yang berada di depan.

    Aku merasa malu dengan diriku sendiri. Aku telah mengecewakan sahabat terdekatku dengan membiarkan saudarinya mati. Padahal aku sudah berjanji untuk melindungi semua orang, tapi nyatanya aku tak bisa melindungi siapapun. Menjijikkan, aku merasa muak melihat diriku sendiri yang hanya bisa berkoar mengumbar janji dengan kata-kata yang tinggi sementara pada kennyataanya, aku tak bisa melakukan apapun untuk memenuhi kata-kataku sendiri.

    "Maaf... Maafkan aku..." kataku dengan air mata yang mulai menetes. Tapi tak ada ucapan balasan dari Rudi, yang ada hanyalah keheningan yang mengisi mobil dengan semua orang yang ada di dalam sini menunjukkan berbagai perasaan berbeda dalam menyikapi kejadian ini. Marah, sedih, kecewa, takut, dan perasaan menyesal.

    ——————————————————————————————————————————————

    Lagu Pendamping:

    Chapter 8: The Arms Of Sorrow by Killswitch Engage
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Jan 22, 2017
  12. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    The evidence was there for you to point the finger,
    A momentary lapse casts me into oblivion.
    Am I wasting all this time
    Just trying to find the warmth in your eyes?
    I've been holding back myself
    But I'm closer to the edge.

    Dusk approaches, I'm standing in the city lights.

    Am I here in vain?
    Did you not hear a word I said
    When I asked you, I begged you, to just please let me through.
    I have falllen now, will you pick me up again?
    In the face of my failures,
    I just want you to hear these words.

    Forget the obvious mistakes so I can breathe
    Let me offer you all that I can give
    Don't shut me out again
    I'll shake but I will stand
    I'm slipping constantly
    I've falling off the edge.

    Am I here in vain?
    Did you not hear a word I said
    When I asked you, I begged you, to just please let me through.
    I have falllen now, will you pick me up again?
    In the face of my failures,
    I just want you to hear these words.
    [​IMG]
    Tak mencoba untuk terus berlarut dalam kesedihan, kami segera melaju untuk melanjutkan perjalanan kami menuju tempat evakuasi yang telah dipersiapkan oleh pemerintah. Perjalanan itu memakan waktu sekitar 2 jam karena lokasinya yang berada di luar kota dan berada di daerah pegunungan.

    Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan keheningan. Katrina mencoba menyibukkan diri dengan membersihkan pedang anggarnya dari darah para infected yang telah ia bunuh. Rudi memegang pundak ibunya yang masih menangis sedih. Adikku, Badai, terlihat termenung melihat keluar kaca mobil entah memperhatikan pemandangan luar atau hanya termenung. Aku mencoba mengisi kekosongan ini dengan memulai percakapan basa-basi.

    "Kita belum berkenalan, ya. Ibu orangtuanya, Katrina? Perkenalkan, namaku Topan. Yang kecil adikku, Badai. Lalu ini Rudi dan ibunya. Sedangkan yang tadi adalah..."

    "Kakakku, Anita," ucap Rudi menyambung penjelasanku.

    Ibu Katrina yang duduk di jok penumpang paling depan menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat kami satu persatu.

    "Namaku Ella Storm. Seperti yang kalian ketahui, aku ibunya Katrina," terangnya.

    "Aku turut menyesal atas apa yang terjadi pada kakakmu barusan nak Rudi, tapi kuharap kalian bisa tegar," lanjutnya lagi untuk menghibur Rudi dan ibunya.

    "Tak perlu meminta maaf, ini bukan kesalahan siapapun. Jika memang harus menyalahkan seseorang, ini adalah salahku sendiri yang mencoba naik ke dalam mobil duluan tanpa menolong kakakku terlebih dahulu."

    Benarkah ucapannya itu? Padahal aku sangat yakin ia berkata dengan berbisik bahwa ini semua salah kami yang tak becus menolong kakaknya. Apa aku hanya salah dengar?

    "Jangan berpikiran seperti itu. Ujung-ujungnya kau bisa stress sendiri kalau selalu menyalahkan diri-sendiri," nasehat ibu Katrina.

    "Oh ya, bu. Apa pekerjaan ibu? Kalau tidak salah ibu tadi menggunakan pistol untuk mengalihkan perhatian para infected tadi, kan? Bukannya penggunaan senjata api di Indonesia itu dilarang?" tanyaku sekadar untuk mengubah topik pembicaraan yang kelam tadi.

    "Aku? Aku sempat menjadi anggota militer AS selama 15 tahun sebelum aku memilih berhenti dan kami sekeluarga pindah ke Indonesia. Aku hanya menggunakan pistol di saat genting saja, karena bertarung jarak dekat menggunakan pistol itu sangat merugikan terutama karena bunyinya yang nyaring."

    "Anggota militer AS? Kalau begitu, bu Ella bukan penduduk Indonesia lagi, ya?" kali ini Angie yang menyambung pertanyaanku.

    "Nope, mom masih warga negara Indonesia. Di USA, imigran atau warga negara asing yang tak punya catatan kriminal diperbolehkan menjadi anggota militer. Hanya saja mereka tak dapat menduduki jabatan melebihi warrant officer ataupembantu letnan kecuali dengan mengubah status kependudukannya," jelas Katrina mewakilkan ibunya.

    "Hanya saja sebelum aku berhenti, aku sempat menduduki jabatan letnan. Mungkin karena aku telah bergabung dengan angkatan militer mereka selama 15 tahun, sehingga mereka berani memberikan aku posisi tersebut, ya." Kali ini Ella yang menjelaskannya.

    "Kenapa anda memilih berhenti, bu?" ujarku mempertanyakan alasan ibu Katrina untuk berhenti dari militer. Bukannya jabatan letnan itu sudah lumayan tinggi? Apalagi hanya ia satu-satunya warga negara asing yang mendapatkan kesempatan menduduki jabatan itu di AS? Ia pasti sudah sangat dipercaya oleh atasannya.

    "... Aku punya beberapa alasan. Tapi hey, biarkan saja itu menjadi rahasia, ok?" tutupnya mengakhiri pembicaraan. Yah, aku juga tidak bisa memaksa kalau Katrina dan ibunya ingin menyembunyikan alasan itu.

    Akhirnya kami sampai ke tujuan. Tempat evakuasi itu ternyata sebuah stadium olahraga yang baru saja selesai di bangun. Memang di daerah ini akan dilakukan pemekaran wilayah dengan membangun gedung-gedung baru di luar kota. Hanya saja, stadium ini merupakan bangunan paling besar disini karena kutaksir dapat menanggung muatan sekitar puluhan ribu orang.

    Ratusan atau mungkin ribuan mobil dan motor telah terparkir di luar stadium dan puluhan mobil tentara TNI juga turut memenuhi halaman parkiran stadium. Di samping stadium tersebut, juga terdapat banyak tenda-tenda militer di mana prajurit bersenjata api berkumpul dengan wajah tegang dan penuh kekhawatiran. Lihatlah, bahkan tentara yang sudah digembleng untuk menghadapi situasi seperti inipun tak luput dari perasaan cemas layaknya manusia normal.

    "Antriannya sangat panjang..." komentar Angie melihat lautan manusia berdiri di depan gerbang stadium menunggu giliran masing-masing agar mendapatkan izin masuk ke dalam. Ternyata, tak mudah memasuki stadium itu. Puluhan tentara berdiri di depan gerbangnya untuk menghadang orang-orang yang panik dan mencoba menerobos masuk. Yang mencoba masuk dengan cara resmi pun harus menjalani pemeriksaan ketat terlebih dahulu. Seluruh tubuhnya akan diperiksa, apakah menderita luka atau tidak dan juga kondisi mereka diperiksa, apa menunjukkan gejala sakit, seperti pucat, demam, atau flu.

    Kulihat seorang lelaki di keluarkan dari antrian itu dan di bawa ke tenda militer karena wajahnya yang pucat dan sedikit batuk-batuk. Ia mencoba meronta untuk melepaskan dirinya namun sayang, para tentara itu malah memukul dirinya dan hanya memperlakukan ia dengan lebih kasar. Entah apa yang akan para tentara itu lakukan terhadapnya di dalam tenda militer itu.

    "Sebaiknya kita temui temanku dulu." ujar Ella setelah dirasa cukup melihat kekacauan di sini. Kami semua beranjak turun dari mobil dan berjalan menuju tenda militer, dimana tentara-tentara yang berkumpul di sana langsung melihat kami dengan wajah tak bersahabat begitu kami datang mendekat.

    "Hei, kenapa kalian kemari? Disini bukan tempat untuk warga sipil. Segera kembali ke sana!" seru salah satu tentara itu menghadang kami dengan mengarahkan senapan yang dimilikinya.

    Yang benar saja, apakah kami terlihat begitu berbahaya? Padahal senjata-senjata yang kami gunakan telah kami tinggalkan di dalam mobil.

    "Hentikan, Henrik. Biarkan mereka ke sini. Mereka adalah tamuku," ujar seorang wanita berkulit putih yang sepertinya keturunan Chinese dan mungkin sebaya dengan ibu Katrina.

    "Ba... Baik Kapten. Maafkan atas kelancangan saya," ujarnya seraya menundukkan kepala dan menurunkan senapannya.

    "Jadi sekarang kau sudah menjadi kapten ya, Melda."

    "Tentu saja, tidak seperti dirimu yang memilih mengabdi pada bangsa asing dan berhenti. Sekarang kau hanya seorang ibu rumah tangga."

    Ibu Katrina hanya tersenyum mendengar sindiran temannya yang juga membalas dengan menyunggingkan senyuman. Mungkin mereka sudah berteman sangat akrab hingga ia sudah mengerti jika sindiran temannya itu tadi hanyalah sebuah candaan.

    "Anak-anak, perkenalkan. Namanya Imelda Kartika. Ia teman akrabku sejak SMA dan satu-satunya orang yang kutahu bisa kita andalkan. Seperti yang kalian lihat, ia kini menjabat sebagai kapten di TNI AD," ujar ibu Katrina memperkenalkan Imelda, sahabatnya.

    "Sepertinya sudah sangat banyak orang yang mengantri agar bisa masuk ke stadium. Apa kira-kira kau bisa memberi kami jalan cepat?" pinta ibu Katrina.

    "Hanya ada satu pintu stadium yang kami buka, yang lain sudah kami kunci agar tidak dimasuki penyusup. Satu-satunya cara hanya dengan mengantri bersama yang lain atau kau dan rombonganmu bisa mengungsi di tenda militer bersama kami," tawarnya. Mengungsi bersama dengan para tentara bersenjata lengkap mungkin buka pilihan yang buruk.

    "Hmm... Bagaimana? Apa kalian mau? Jika memilih untuk masuk ke stadium, paling cepat 5 jam lagi kita baru bisa masuk ke dalam melihat kondisi lautan antrian yang begitu panjangnya," ujarnya seraya melihat jam tangan di lengannya. Aku juga turut melihat jam tanganku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 19.30. Kalau harus menunggu 5 jam lagi, berarti kita baru bisa masuk jam 01.30. Itu bukan waktu yang sebentar, apalagi dengan bunyi bising dari mereka yang berebutan antri yang akan menarik perhatian infected di luar. Menunggu di luar tanpa pengamanan selama itu mungkin tidak aman.

    "Aku tidak peduli jika tidak dapat tempat evakuasi karena aku bisa menjaga diri sendiri. Yang penting ibuku bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan tempat istirahat yang cukup," ujar Rudi yang masih membopong ibunya dibantu dengan Angie. Entah kenapa ia menolak tawaranku untuk membantu membopong ibunya tadi.

    "... Kenapa ibumu?" tanya Imelda setelah memperhatikan kondisi ibu Rudi yang lemah. Kuperhatikan ibunya Rudi. Aku juga baru turut menyadarinya. Wajah ibu Rudi dipenuhi keringat dingin dan pucat. Ia memejamkan mata, seolah menahan sakit sembari tetap memasang senyumannya yang lemah.

    "Ibuku menderita stroke. Tubuhnya telah lumpuh sepenuhnya dan menjadi sangat lemah."

    Imelda lalu meninggalkan kami dan mengobrol dengan anak buahnya seraya berbisik-bisik agar kami tak mendengar dengan wajah yang serius. Ia lalu kembali dan berkata,

    "... Maaf, kalian boleh menginap di tenda kami kecuali ibumu."

    Oke, pernyataannya cukup mengejutkan kami semua. Tidak masalah bagiku, Rudi, Katrina ataupun ibu Katrina untuk bertahan di luar karena kami bisa melindungi diri dari kami dari serangan para infected. Namun aku mengkhawatirkan Angie, adikku dan ibunya Rudi yang jelas-jelas tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Cukup menjadi beban bagi kami untuk melawan infected sembari melindungi diri sendiri dan orang lain. Jangan salah paham, bukannya aku bermaksud dingin, tapi memang begitulah kenyataannya. Jika yang lain tidak berpikir hal yang sama denganku, pasti mereka tak memutuskan untuk ke sini dan tetap memutuskan untuk tinggal di dalam mobil. Namun obat-obatan dan makanan telah tersedia di tempat evakuasi, selain itu, para tentara juga dapat melindungi lebih baik dari kami.

    "Kenapa, Melda? Alasan kami kesini karena kupikir kalian dapat melindungi orang-orang sakit yang tak dapat melindungi diri sendiri," desak ibu Katrina mempertanyakan alasan Imelda.

    "... Baiklah. Ikut aku, Ela." ucapnya setelah berpikir cukup lama. Imelda bertingkah agak aneh dengan tidak mengemukakan alasannya di depan kami semua dan hanya kepada Ibu Katrina. Tebakku mungkin karena alasan itu cukup sensitif jika didengar oleh Rudi dan juga ibunya.

    Kami memperhatikan mereka dari jauh. Kulihat wajah ibu Katrina menegang mendengar penjelasan dari Imelda. Iya meletakkan telapak tangan di dagu menandakan ia sedang berpikir dan akhirnya ia membalas kata-kata Imelda yang tentu saja tak kami ketahui karena mereka berada cukup jauh dari kami.

    "Kita semua akan menunggu di mobil yang akan diparkirkan di dekat tenda militer. Pintu mobil sebaiknya dibiarkan terbuka dengan aku dan Angie akan tidur di jok paling depan, ibu Rudi tidur di jok tengah dengan posisi berbaring karena tubuhnya yang lemah. Rudi, Katrina, Topan serta Badai tidur di barisan jok paling belakang. Setuju?" tanya ibu Katrina menawarkan plannya setelah ia kembali dari berdiskusi bersama Imelda. Kami semua mengangguk namun sepertinya Rudi kurang setuju dengan rencana itu.

    "Sebaiknya aku tidur di jok tengah dengan ibuku. Lagipula, kenapa kita tidur dengan pintu terbuka? Bukannya lebih aman kalau semua pintu tertutup?"

    Benar kata Rudi. Lebih baik semua pintu tertutup agar lebih aman. Hanya saja, aku memiliki perasaan buruk melihat keadaan ibunya Rudi. Ia yang sebelumnya hanya terlihat lemah, kini terlihat berkeringat dingin serta batuk-batuk dan flu. Keadaannya mirip dengan mereka yang terjangkit flu sebelum akhirnya berubah menjadi infected. Aku melihat ekspresi mereka semua di sekelilingku. Sepertinya mereka juga memiliki pikiran yang sama, ditandai dengan wajah mereka yang memegang melihat ibu Rudi.

    Biasanya Rudi cukup peka untuk menyadari hal seperti ini seperti saat terjadi sesuatu yang aneh dengan Angga sebelumnya. Apakah karena kali ini orang itu adalah ibunya, ia tanpa sadar menolak untuk menyadari keanehan yang terjadi?

    "... Haaaah... Terserahlah kalau kau mau tidur mendampingi ibumu, tapi setidaknya pintu jok bagian tengah harus tetap terbuka, titik," ujar ibu Katrina setelah menghela napas panjang dan menutup pembicaraan tanpa ingin dibantah lagi.

    *****

    Aku tidak bisa tidur dengan tenang kalau begini caranya. Dengan mengenyampingkan kondisi ibu Rudi, kami berada di jok paling belakang dengan aku duduk di tengah dan diapit oleh Katrina dan Badai. Aku tidak tahu apa Katrina sekarang telah tertidur atau belum, tapi ia memosisikan kepalanya di bahu kananku, dan itu cukup untuk membuat jantungku berdetak tak karuan dan wajahku memerah. Akhirnya, 3 jam istirahat yang berharga berlalu dengan sia-sia. Sial, aku bahkan dapat merasakan nafas dan tubuhnya yang hangat diaampingku. Aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk merasa senang seperti ini tapi mau bagaimana lagi, ini adalah pertama kalinya aku pernah sedekat ini dengan Katrina.

    Aku mengangkat sedikit lengan kiriku dengan hati-hati untuk melihat jam berapa sekarang karena Badai kini tertidur dengan memeluk lengan kiriku, jadi sebisa mungkin aku tidak ingin membangunkannya. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dinihari. Sudah sangat malam dan aku masih belum bisa tidur.

    Aku mencoba melihat keadaan di luar melalui jendela samping. Masih banyak tentara yang berdiri berjaga lengkap dengan senjatanya. Mereka tampak memarahi siapa saja yang masih berkeliaran untuk segera masuk ke dalam mobil masing-masing. Kurasa hal ini dilakukan agar suasana malam bisa lebih terkontrol dengan tidak adanya orang yang berkeliaran di malam hari.

    Ketika aku mulai merasa ngantuk dan mencoba tidur, samar-samar kudengar kericuhan dari luar. Katrina langsung tersentak bangun dari tidurnya dan segera melihat keluar jendela.

    Aku juga turut melihat kembali keluar jendela. Dari arah stadium, ratusan orang mencoba berlari keluar stadium untuk menyelamatkan diri dari puluhan infected yang mengejar mereka. Yang benar saja, bagaimana bisa stadium yang jadi tempat evakuasi langsung dapat tertembus oleh infected hanya dalam waktu kurang dari 6 jam?

    "Sial, bahkan stadium pun juga tak aman? Untung kita tidak jadi masuk," ujar Angie mengomentari kejadian ini.

    "Kita harus segera pergi dari sini sebelum mobil kita terkepung dan terjebak macet dari kendaraan lain yang juga ingin menyelamatkan diri," seru ibu Katrina. Angie segera menghidupkan mesin mobil sementara Rudi mencoba menutup pintu sampingnya

    "Eits. Tunggu, tunggu. Apakah aku boleh ikut dengan kalian? Kumohon..." seorang pemuda berkacamata dan berambut agak panjang yang kemungkinan lebih tua beberapa tahun dariku menahan pintu yang akan ditutup oleh Rudi dengan susah payah, dengan menyelipkan tas jinjing yang menyerupai koper kecil berbahan kulit miliknya di sela-sela kusen pintu.

    "Ya sudah, cepatlah naik!" perintah ibu Katrina tanpa pikir panjang dengan nada panik karena puluhan infected tengah berlari ke arah kami.

    Pintu ditutup segera setelah pemuda itu naik. Angie langsung menancap gas agar kami semua segera pergi dari sana.

    "Sialan... Apa yang tengah terjadi barusan?"

    ——————————————————————————————————————————————

    Lagu Pendamping:

    Chapter 9: In Vain by Under The Flood
     
    • Like Like x 2
  13. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    ini...menarik :XD:

    saya suka sama konsep horror berbalut sci-fi yang ditampilkan di fic ini. baru baca 2 chapter, dan saya rasa keduanya merupakan pembuka yang bagus. buat karakter utamanya saya rasa bisa dibuat sedikit lebih dewasa. maksudku, mungkin agak aneh juga kalo anak2 sma masih hina2 nama orang. IMO.

    sisanya menarik. plot yang diusung tergolong umum, namun penyajian 2 chapter awal emang bagus n bikin penasaran :hmm:

    diksinya bisa lebih diperbagus btw, kayak repetisi yang ada bisa diminimalisir.
     
  14. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    The leaves they fall
    upon the day that makes a memory
    those pleading eyes,
    echoing, silently in me

    the final nights
    I guard her sleep, I can do without
    the fear's down deep
    There's nothing good in this morning...

    Oh, and I know...
    invested feelings in the one I would outlast
    My little friend is getting tired, fading fast...

    Did not want to see the signs of the dimming flame
    I need to have more time

    No, I don't want to let you go
    Tonight I fear I'll say goodbye to my little friend
    Don't want to let you go...

    the warmest heart I've found
    I lower into the ground
    my tears, forever with you
    resting under your tree

    you have always liked this place
    it now belongs to you...
    I need to set you free
    and go on alone

    one day in my feeble timeline
    You gave me your heart and stole mine
    tomorrows came too fast for me
    to hear your slow, silent goodbye...

    the kindest heart I've found
    I lowered into the ground
    your smile kept me alive
    back when the skies were still

    you always liked this place
    now sleep under the tree
    I planted here the day
    when you were born

    I should've been ready, seen the nearing end
    my little old friend, a child.
    That day I had to say goodbye and turn the bend
    but I'll never let go
    [​IMG]
    "Sialan... Apa yang tengah terjadi barusan?" gerutu ibu Katrina setelah kami telah berada cukup jauh dari lokasi.

    "Perjalanan jauh yang sia-sia," balas Angie yang menyetir mobil sembari merokok untuk menenangkan perasaannya. Sesekali ia meletakkan abu rokoknya di dalam asbak yang tak lupa ia bawa dari mobil Honda Jazz-nya terdahulu.

    Tapi aku setuju dengan kata-kata Angie, dan dilihat dari ekspresi wajah yang lain, sepertinya mereka semua juga setuju. Bayangkan perjuangan kami hingga ke lokasi evakuasi tadi, bahkan kak Anita pun menjadi korban. Namun setelah sampai di sana, mereka bahkan tak menerima kami dan kami diharuskan untuk tidur di mobil. Tidak sampai di situ saja, belum lagi kami mendapatkan istirahat untuk waktu yang lama di mobil, stadium tempat evakuasi itu sudah berhasil kebobolan para infected. Kalau dipikir, ada baiknya juga kami tak jadi mengungsi di dalam sana.

    "Oh ya, bukannya kau berasal dari dalam stadium?" tanyaku setelah teringat kalau lelaki yang duduk di depanku ini tadi tengah berlari dari arah stadium. Lelaki ini terlihat hanya beberapa tahun lebih tua dari kami. Ia nampak seperti keturunan Chinese, ditandai dengan mata yang agak sipit dan kulit yang kuning langsat. Ia mengenakan kacamata dan baju kemeja serta menjinjing sebuah tas berbahan kulit, sepertinya dia dosen atau mahasiswa yang pintar.

    "Ya, tapi setelah melihat keadaan di dalam yang kacau, dengan banyak orang yang tiba-tiba menunjukkan gejala sakit, aku memilih untuk mencoba kabur duluan keluar sebelum chaos tadi terjadi. Aku mencoba mencari tumpangan, tapi semua pintu kendaraan lain telah tertutup. Untunglah aku melihat ada satu pintu mobil yang terbuka, makanya aku segera berlari ke arah kalian. Terima kasih telah menolongku. Aku benar-benar berutang budi pada kalian."

    "No problem. Kita memang harus saling membantu," jawab ibu Katrina dengan nada riang. Ia sepertinya memang orang yang ramah, berbeda dengan anaknya yang masih saja bersikap dingin terhadapku.

    "Ngomong-ngomong, aku masih belum memperkenalkan diriku. Aku Kevin Natadirja, mahasiswa kedokteran semester 6. Salam kenal," ucapnya seraya berusaha berjabat tangan dengan Rudi yang duduk di sebelahnya, namun Rudi terlalu sibuk menjaga ibunya sehingga tidak mengapik salam perkenalan dari Kevin. Tak ingin keadaan menjadi canggung, dari belakang aku segera menjulurkan tanganku untuk membalas salam yang ia tujukan pada Rudi itu.

    "Aku Topan Angkasa, salam kenal juga."

    "Eh, oh ya..." jawabnya terbata seraya membalikkan badannya ke belakang untuk menyambut tanganku. Mungkin dia merasa bingung kenapa Rudi tak membalas salamnya.

    "Yang di sampingmu namanya Rudiantara, panggilannya Rudi serta disampingnya itu adalah ibunya. Yang kecil disampingku ini adikku, Badai Angkasa, sedangkan yang cewek ini Katrina Storm. Yang duduk di depanmu ibunya Katrina, Ella Storm, dan yang menyetir namanya Angeline White."

    "Oh ya, panggil saja aku Angie ya," kata Angie yang langsung menyambung penjelasan panjang lebarku.

    "Salam kenal semuanya," ujarnya lagi. Kevin sepertinya tipe orang yang benar-benar sopan.

    Angie membawa mobil tanpa tujuan yang jelas. Hanya saja, karena hari sudah sangat larut dan kami juga masih membutuhkan lebih banyak istirahat, kami memutuskan untuk beristirahat di pinggir hutan di tengah pegunungan ini. Karena mobil yang kami kendarai bertipe SUV, cukup mudah untuk membawa mobil tersebut turun ke jalan tanah untuk menyembunyikan mobil di antara pepohonan di pinggir jalan.

    "Nah semuanya, segeralah tidur. Aku akan tetap berjaga dan akan membangunkan kalian sekitar jam 6 atau jam 7 pagi," ujar ibunya Katrina.

    Aku melirik jam tanganku, sudah pukul 2 dinihari. Itu artinya kami punya waktu istirahat sekitar 4 hingga 5 jam. Kami tidak tahu apa yang akan kami hadapi besok, karena itu waktu istirahat ini harus digunakan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan kembali tenaga yang telah terpakai. Karena itu, kini aku meminta bertukar tempat duduk dengan Badai, dimana Badai akan duduk di tengah dan aku di pinggir. Dengan begini aku dapat tidur dengan tenang. Yahh setidaknya aku sudah mencicipi bagaimana rasanya bersebelahan dengan Katrina selama 3 jam. Kemajuan yang lumayan.

    *****

    "Uhuk... Uhuk..."

    Suara batuk ibu Rudi membuatku tak bisa tidur dengan nyaman. Semakin berjalannya waktu, aku merasa kalau batuknya jadi semakin parah.

    "Hey, Rudi. Apa kau yakin ibumu akan baik-baik saja?" Sayup-sayup kudengar suara Kevin berbisik menanyakan keadaan ibu Rudi.

    "Apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Tentu saja dia akan baik-baik saja. Ibuku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan luar, dan dia akan segera sembuh," jawab Rudi yang dari nada suaranya, ia jelas-jelas tak menyukai pertanyaan Kevin.

    "... Biar kutebak, sebelum pergi ke stadium, kalian pergi ke rumah sakit untuk menyelamatkan ibumu dulu, kan? Terlihat dari seragam ibumu, kau dan Topan yang mengenakan baju pasien."

    Wow, analisisnya sangat tepat. Padahal kami belum menceritakan hal tersebut pada Kevin. Ternyata predikat calon dokter sangat mencerminkan kejeniusannya. Kalian tahu kan, kalau jadi dokter itu bukan sesuatu yang gampang dan hanya mereka yang benar-benar pintar yang dapat diterima untuk kuliah di fakultas tersebut.

    "Lalu? Memangnya kenapa kalau benar begitu?" tanya Rudi ketus.

    "Begini, sejak wabah ini berlangsung, aku terus memperhatikan orang-orang disekitarku yang terjangkit virus flu. Umumnya, orang yang terkena flu memiliki pertahanan tubuh yang lemah, yang terlalu kelelahan, ataupun yang sedang terjangkit penyakit lain. Selama wabah virus flu itu berlangsung di luar, ibumu selalu berada di kamar rumah sakit yang steril, sehingga ia tidak terjangkit virus tersebut. Tapi tindakan kalian yang membawanya pergi dari rumah sakit, menyebabkan kondisi ibumu yang memang sedang rentan melakukan kontak dengan dunia luar, dimana virus flu mematikan itu sampai sekarang masih berada di udara. Ini bukan asumsi Rud, tapi aku sangat yakin kalau ibumu telah terjangkit virus flu tipe baru ini."

    Aku yang awalnya sedang membaringkan kepalaku langsung terduduk dan meluruskan badan di tengah-tengah penjelasan Kevin tentang keadaan ibu Rudi. Kata-katanya semakin meyakinkan aku kalau ibu Rudi memang telah terjangkit. Itu jugalah alasan utama mengapa para tentara militer itu tak mau menerima kami.

    Hanya saja, sesaat setelah Kevin menyelesaikan penjelasannya, Rudi langsung memegang kerah kemeja Kevin dengan kedua tangannya. Lalu dengan wajah penuh amarah yang samar-samar dapat kulihat di penerangan malam yang gelap ini, dia berkata,

    "Apa maksudmu, hah?!"

    "Hei, aku cuma menyatakan kenyataannya. Tak lama lagi, ibumu akan berubah jadi infected!

    Rudi langsung memanas mendengar hal itu dan ia langsung meninju wajah Kevin di dalam mobil yang tertutup rapat ini, sehingga membuat mobil ini bergoyang saking risuhnya. Aku langsung melihat ke sampingku. Ternyata Badai dan juga Katrina telah terbangun dari tidur mereka karena kericuhan yang disebabkan oleh Rudi. Ibu Katrina yang tengah berjaga di luar mobil juga menyadari pertikaian ini dan langsung membuka pintu yang berada di sisi Kevin.

    "Apa yang terjadi disini, hah?!" bentaknya marah menanyakan perihal penyebab pertikaian tersebut.

    "Ibuku hanya flu biasa. Ia tidak akan berubah menjadi infected!" bantah Rudi dengan berteriak histeris.

    Jujur, baru kali ini aku melihat Rudi seperti itu. Selama ini, ia selalu menjaga emosinya dan selalu mencoba untuk jadi lebih bijak dari orang lain seumurannya. Ia selalu dapat berpikir dengan kepala dingin dan dapat memutuskan pilihan apa yang paling tepat untuk dilakukan dalam situasi-situasi tertentu. Hal itulah yang membuatku kagum dan bangga menjadi temannya.

    Hanya saja, semenjak kematian kakaknya kemarin sore, sifatnya langsung berubah. Ia hanya diam sepanjang perjalanan ke stadium sebelumnya, dan ia bahkan tak merespon ucapan kami. Ia malah menyalahkan aku dan Katrina atas kematian kakaknya. Memang, aku akui kalau aku juga turut berperan dalam meninggalnya kak Anita akibat diriku yang terlalu egois untuk menyelamatkan nyawaku terlebih dahulu. Tapi, Rudi yang kukenal takkan menyalahkan orang lain dan pastinya akan memaklumi tindakanku itu.

    "Ayo semua keluar, keluar!" perintah ibu Katrina pada kami karena tampaknya ia tak senang melihat pertikaian terjadi di dalam mobil.

    Kevin meronta dan mendorong Rudi dengan paksa agar pegangannya di kerah Kevin terlepas lalu ia beringsut mundur turun dari mobil yang diikuti dengan Rudi. Dari sorot matanya menatap Rudi, aku tahu kalau dia tidak senang dengan Rudi yang tiba-tiba langsung meninju wajahnya seperti itu.

    "Puih." Ia meludah, dan di tanah dapat kulihat kalau gusi kirinya copot akibat menerima bogem mentah Rudi.

    Aku, Katrina dan Badai juga ikut turun dari mobil. Kulirik jamku, masih jam 4.20. Bintang dan bulanpun masih terlihat menyinari langit.

    "Sekarang, jelaskan padaku. Kenapa kau tiba-tiba memukul Kevin?" hardik ibu Katrina pada Rudi.

    Rudi hanya diam saja sembari membuang muka. Sebelum ibunya Katrina jadi tambah panas, aku menggantikan Rudi untuk menjelaskan pokok permasalahannya.

    "... Jadi begitulah masalahnya ibu Katrina," tutupku menjelaskan hal yang kusaksikan sedari tadi.

    "Hmm... Begitu ya. Oh ya, Topan. Panggil saja aku bu Ella. Tidak perlu selalu memanggilku sebagai ibunya Katrina. Dan Rudi, Kevin, lihat aku."

    Ibu Katrina... Maksudku bu Ella, memintaku untuk mulai memanggil namanya ketimbang selalu membawa-bawa nama Katrina. Ia lalu menoleh kepada Rudi dan Kevin serta memerintahkan mereka untuk menatapnya.

    "Sekarang dengarkan aku. Kevin, aku tahu maksudmu. Tapi kau juga harus mencoba mengerti perasaan Rudi. Kami memang belum memberitahukanmu kalau kakaknya Rudi baru saja meninggal ketika kami pergi dari Rumah Sakit. Tinggal ibunya yang menjadi satu-satunya keluarga Rudi sekarang. Karena itu, biarkan ia bersama ibunya hingga saat terakhir." Ia lalu menoleh ke arah Rudi.

    "Rudi, aku tahu kau anak yang cerdas. Kau juga pasti telah sadar kalau ibumu telah terjangkit virus itu. Itulah alasan mengapa temanku, Melda, tak mengizinkan ibumu mengungsi di dalam tenda militer. Lihatlah kondisi ibumu. Hanya tinggal hitungan jam bahkan menit sampai ia berubah. Saat hal itu terjadi, kumohon relakanlah ibumu," sambungnya. Rudi hanya bisa menunduk menatap tanah. Air mukanya menunjukkan kalau ia tetap tak rela membiarkan ibunya pergi.

    "... Kita belum tahu pasti. Ibuku hanya terserang flu biasa, dan aku yakin sebentar lagi ia akan sembuh," ujarnya kemudian.

    "Kenapa kau masih saja keras kepala?!" Dengan kesal bu Ella membentak Rudi yang terus menyangkal kebenarannya.

    "Sudah, tenanglah kak." Akhirnya Angie turun tangan menenangkan bu Ella yang sepertinya bertemperamen tinggi.

    "Rudi, aku mengerti mengapa kau terus menyangkal apa yang dikatakan Kevin dan juga kak Ella. Jadi aku mau tanya satu hal padamu, apa yang akan kau lakukan ketika ibumu berubah menjadi infected?" tanyanya.

    "Sudah kubilang..."

    Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, kami dikejutkan oleh suara batuk yang sangat parah. Suara itu berasal dari ibu Rudi yang kini tengah mengeluarkan batuk berdarah. Hal ini mengingatkan aku pada pak Husain yang juga batuk berdarah sebelum ia berubah menjadi infected.

    Rudi yang melihat kondisi ibunya, langsung berlari menghampirinya dengan gusar. Dari luar mobil, aku dapat melihat tubuh ibunya yang gemetar hebat dengan semburat urat syarafnya tersembul di balik kulitnya yang putih pucat serta bola mata hitamnya yang mulai memudar. Namun, masih ada setitik kesadaran dalam dirinya. Dipegangnya pundak Rudi, lalu dengan susah payah ibunya berkata,

    "Ru... Di... Re... Relakanlah... Ibu... Mu... Per... Gi..." Dan tepat setelah ia menyelesaikan kata terakhirnya, tubuhnya berhenti bergetar dan kepalanya langsung jatuh tertunduk. Celaka, ia sudah berubah!

    "GRAAARGH!!!"

    Ia kembali mengangkat kepalanya, namun kali ini dengan geraman keras dan mata yang sudah putih sempurna.

    Dengan cepat, kutarik Rudi yang masih terbengong tak percaya jika ibunya telah berubah menjadi infected, tepat sebelum sang ibu menerkam dirinya. Karena terburu-buru, aku tak mampu mengontrol tenagaku dan menarik Rudi terlalu kuat sehingga kami berdua jatuh terpental ke belakang dengan Rudi menimpa tubuhku. Ternyata ia lumayan berat juga, tapi kini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu.

    Katrina segera menyambung tindakanku dengan menarik pedang anggar dari sarungnya dan segera menghunuskan pedang itu tepat di tengah-tengah dahi ibunya Rudi. Katrina berhasil membunuhnya dengan elegan dan tanpa memberikan rasa sakit berlebihan pada dirinya.

    "IBU....!!! Kau sialan...!"

    Rudi tidak dapat menerima ibunya yang sudah tiada, dan tanpa bisa kutahan, ia berhasil melepaskan peganganku dari tubuhnya dan berlari ke arah Katrina secara kesetanan.

    Untunglah bu Ella langsung turun tangan untuk melindungi anaknya dari Rudi yang telah kehilangan akal sehat. Ia menodongkan pedang samurai pada leher Rudi dengan wajah penuh amarah.

    "Kau sentuh anakku, dan kau akan segera menyusul ibumu," ancamnya dengan nada dingin.

    Rudi langsung berhenti dan berjalan mundur karena sebuah mata pedang tajam mengancam lehernya, namun ia masih tetap menatap Katrina dengan tajam penuh amarah.

    "Sudah, hentikanlah kalian berdua. Rudi, dinginkanlah kepalamu. Kau juga, kak Ella," lerai Angie seraya mencoba menurunkan pedang bu Ella dari leher Rudi. Ia menurut dan menyarungkan kembali pedangnya namun tetap dengan posisi waspada.

    "Dengarkan aku, Rudi. Ibumu telah berubah, tidak ada hal lain yang dapat kita lakukan selain membunuh nya. Kau juga pasti akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi Katrina, kan? "

    Rudi hanya terdiam, tak bisa membalas ucapan Angie. Aku tahu, di sudut hatinya, ia memang merasa bahwa tindakan Katrina benar. Namun sebagian hatinya masih tidak bisa menerima kematian ibunya dan memilih untuk menyalahkan orang lain.

    ".... Biarkan aku sendiri," ujar Rudi pada akhirnya. Ia lalu berjalan menjauh dari kami dan duduk di bawah sebuah pohon besar yang rindang, menenggelamkan muka dalam tangannya dan larut dalam pikirannya sendiri.

    "... Dan kak Ella, sifatmu barusan sungguh kekanak-kanakan. Aku tahu kau ingin melindungi putrimu, tapi kata-kata yang kau ucapkan, 'Mengirim Rudi untuk menyusul ibunya'? Kau seharusnya memberikan support pada anak yang baru saja kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam satu hari, bukannya malah mengancam seperti itu," lanjut Angie setelah Rudi meninggalkan kami.

    "... Oke, kuakui aku salah. Semua hal yang telah terjadi membuat tensi-ku jadi naik. Sebaiknya aku juga menenangkan diriku sendiri," ujar bu Ella lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Rudi.

    "Mom..."

    Katrina tiba-tiba memanggil ibunya yang membuat sang ibu berhenti berjalan dan membalikkan muka.

    "Hmm?"

    "Thank you," ujarnya pendek.

    Tak kusangka Katrina dapat mengucapkan terimakasih pada orang lain. Yah, mungkin karena orang itu adalah ibunya sendiri. Bu Ella hanya tersenyum hangat dan kembali berjalan ke arah pepohonan dan berdiri bersandar di sebuah batang pohon.

    Baiklah, konflik telah teratasi. Apa yang harus kami lakukan selanjutnya?

    Kuperhatikan sekelilingku. Angie berdiri tak jauh dari kami seraya merokok untuk menenangkan pikirannya. Katrina berdiri bersandar di dinding mobil dengan melipat tangan dan menundukkan kepala serta dengan mata terpejam, seolah sedang memikirkan sesuatu entah apapun itu. Aku lalu berpaling ke arah mobil. Di dalam sana, ibu Rudi masih terbaring tanpa nyawa di jok tengah. Di sampingku, berdiri Badai yang sedari tadi tengah memeluk tanganku. Sedangkan Kevin tengah duduk beristirahat di tanah sembari memegang pipi kirinya yang pasti masih terasa sakit. Ketika mata kami bertemu, ia berdiri dan berjalan menghampiriku.

    "Bantu aku membereskan semua ini. Kita tak mungkin membiarkan ibunya Rudi tergeletak begitu saja di dalam mobil."

    Aku mengangguk dan berjalan menghampirinya untuk membantu menurunkan ibu Rudi secara hati-hati. Kulihat Badai melihat kami dengan wajah takut.

    "Dai, kau bisa memalingkan wajahmu kalau tak kuat melihat ini," ujarku. Namun Badai menggeleng dan tetap memperhatikan kami. Mungkin kini sudah waktunya ia menghadapi semua ini layaknya seorang laki-laki.

    Kami menyandarkan tubuh ibu Rudi di bawah rindangnya sebuah batang pohon. Rudi, bu Ella, Angie dan Katrina yang berpencar karena sibuk dengan pikiran masing-masing kembali berkumpul untuk memberi penghormatan terakhir pada ibu Rudi.

    "Siapa nama ibumu, Rud?" tanya bu Ella ketika kami semua telah berkumpul di depan jasad yang terbaring kaku itu. Benar juga, aku belum pernah mendengar Rudi memberitahukan nama ibunya.

    "... Rimawati," katanya kemudian.

    "Baiklah, Rima. Aku tahu pertemuan kita sangat sebentar. Kita bahkan belum sempat mengobrol karena kamu menderita stroke. Aku berduka cita untukmu yang telah kehilangan putrimu, dan kini, kau harus meninggalkan putramu pula." Bu Ella memulai salam perpisahannya.

    "Walau hampir seluruh syaraf tubuhmu telah mati, kau masih terus menyunggingkan senyuman agar anakmu tak khawatir. Bahkan, kau mencoba menyampaikan pesan terakhir untuk anakmu dengan susah payah. Aku mengagumimu sebagai sesama ibu. Semoga kau tenang di alam sana," tutupnya. Ia lalu berjalan mundur dan kini giliran Rudi yang mengucapkan perpisahan terakhir. Ia berlutut di depan ibunya seraya memegang wajah sang ibu untuk terakhir kali.

    "Ibu.. Maafkan aku yang tidak mampu melindungimu dan juga kak Anita. Kalian berdualah alasanku untuk bertahan hidup dan tanpa kalian, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk melanjutkan hidup di dunia gila ini."

    "Ja... Jangan berkata seperti itu, Rud..." ujarku menyelanya. Menurutku kata-katanya itu terasa terlalu melankolis dan sama sekali tak mencerminkan Rudi yang kukenal.

    "... Tapi, aku tahu kalian pasti menginginkan agar aku tetap terus hidup. Karenanya, aku bertekad untuk berusaha sekuat tenaga melindungi orang lain agar tidak mengalami hal yang sama sepertiku, dan akan kulakukan apapun juga untuk mengembalikan dunia ini seperti sedia kala. Kumohon awasi aku dari alam sana, bu."

    Rudi mengakhiri pesan perpisahannya dengan sebuah resolusi penting, yang menunjukkan bahwa ia telah melalui proses pendewasaan akibat kejadian ini. Aku jadi merasa malu mengatakan kalau Rudi telah berubah. Sebaliknya, ia kini telah menjadi semakin dewasa.

    Selanjutnya adalah giliran Angie yang mengucapkan salam perpisahan. Ucapannya hampir senada dengan bu Ella. Ketika bu Ella menawarkan Kevin dan juga Katrina untuk menyampaikan salam perpisahan mereka, mereka menggeleng pertanda bahwa mereka tak memiliki salam perpisahan untuk disampaikan.

    "Bagaimana denganmu, Topan? Ada yang ingin kau ucapkan?" tanya bu Ella beralih ke arahku. Aku lalu berjalan maju untuk menyampaikan uneg-unegku yang sejak dari rumah sakit tadi selalu kupendam.

    "Maaf. Maaf karena aku gagal melindungi putrimu. Aku terlalu egois dan hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal aku telah berjanji untuk melindungi orang-orang disekitarku, tapi dengan mudahnya kulanggar janji itu. Aku benar-benar minta maaf!" ujarku seraya membungkukkan badan meminta maaf. Aku dapat merasakan bulir-bulir air mata yang hangat menetes membasahi pipiku. Aku meminta maaf dengan setulus hati, dimana permintaan maaf ini sebenarnya lebih ditujukan pada Rudi. Namun aku tidak secara langsung mengatakan ini padanya karena takut ia tidak akan memberikan maafnya padaku.

    "Sudahlah, bukankah sudah kubilang untuk berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Bagaimanapun juga, seorang manusia tak memiliki kemampuan untuk memutar waktu. Berusaha saja untuk terus melakukan hal sebaik yang kau bisa."

    Ucapan penghibur bu Ella tak cukup membuat hatiku tenang. Yang kubutuhkan hanyalah permaafan dari Rudi.

    "... Hentikan. Tak perlu kau ungkit lagi masalah itu. Yang lalu biarlah yang lalu. Kakakku takkan kembali hidup seberapa kalipun kau meminta maaf, begitu juga dengan ibuku. Sekarang, lupakan masalah ini dan pikirkan langkah kita selanjutnya."

    Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Rudi. Sebegitu marahkah ia sampai-sampai kalimat 'aku memaafkanmu' tak dapat ia ucapkan? Kuanggap ini sebagai hukuman buatku. Selama Rudi tidak memafkanku, maka hubunganku dan Rudi takkan pernah kembali seperti yang dulu.

    *****

    "Biar aku bersihkan dan menyemprotkan disinfektan ke dalam mobil dulu. Walau kemungkinan besar kita takkan tertular virus itu, tapi tak ada salahnya untuk berjaga-jaga," ujar Kevin seraya mengambil sebuah semprotan disinfektan dan kain lap dari tasnya.

    "Apa maksudnya takkan tertular virus?" tanya Angie tak mengerti.

    "Hmm? Oh ya, kalian memang belum tahu tentang hal itu ya. Kalian masih belum tahu langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya, kan? Kalau mau, kalian bisa membantuku memecahkan misteri virus ini. Bagaimana?"

    ----------------------------------------------

    Lagu Pendamping:

    Chapter 10: Under Your Tree by Sonata Arctica

    Sorry udah sebulan baru update lagi di sini. Padahal di Wattpad udate lancar :gadisswt2:
     
    • Like Like x 1
  15. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    t's crazy but I'm frightened by the sound of the telephone, oh yeah
    I'm worried that the caller might have awful news, oh my
    Who knows these days where on earth the money goes, oh yeah
    No doubt we could put it to a better use, oh my

    You keep insisting that nobody showed you how to keep relationships, oh yeah
    Your daddy made a real good try, oh my
    You said you knew all along we could work it out, oh yeah
    Do you have to make a fuss everytime we fly

    Ooh I'm looking for clues

    I'll have to make an effort now just to be serious, oh yeah
    Nobody's gonna give you the benefit of the doubt, oh my
    Everytime I pick a paper up it's harder to believe the news, oh yeah
    I'm gonna have to shake it up and twist and shout, oh my

    You can't do nothing that you don't put your mind to, oh yeah
    I suspected all along you were a dream come true, oh my
    I'm never in the dark 'cause my heart keeps me well informed, oh yeah
    I'm convinced that there's a way of getting through to you

    Ooh I'm looking for clues

    It's crazy but I'm frightened by the sound of relationships, oh yeah
    I swear we could put it to a better use, oh my
    Do hurry baby you've forgotten how to catch a night groove, oh yeah
    You told all the callers you were not amused

    Ooh I'm looking for clues

    You keep insisting that nobody showed you how to use a telephone, oh yeah
    Nobody's gonna give you a second chance, oh my
    I don't have to make an effort now to find out where the money goes, oh yeah
    Do you have to make a fuss everytime we dance

    Ooh I'm looking for clues
    Do ya do ya do ya do ya
    Ooh I'm looking for clues
    Ooh I'm looking for clues
    Ooh I'm looking for clues
    [​IMG]
    ??? Journal

    10 Januari 20XX

    Hari ini semakin banyak orang yang menderita virus influenza baru. Dibandingkan kemarin, jumlah penderita mencapai 2x lipat. Sebenarnya apa yang terjadi?

    11 Januari 20XX

    Aku mengambil sampel virus dari mahasiswa yang baru saja terjangkit. Struktur virus ini mirip dengan virus influenza biasa, yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Hal apa lagi yang dapat kutemukan bila kuteliti virus ini lebih jauh?

    12 Januari 20XX

    Ini benar-benar mengerikan. Hari ini, struktur virus itu kembali berubah dan menjadi lebih kuat. Tak pernah kusaksikan hal yang sama seperti ini sebelumnya.

    Aku berhasil menemukan hal baru, bahwa virus ini akan melemah jika kontak dengan udara. Ini berarti, cukup kecil kemungkinan bagi mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat akan terjangkit virus ini. Namun jika terjadi kontak secara langsung dengan penderita melalui liur atau ludah, maka kemungkinan terjangkit meningkat hingga 99,99%.

    13 Januari 20XX

    Pagi ini, struktur virus itu telah berubah lagi. Hanya saja, bentuknya jauh berbeda dengan virus-virus yang pernah ditemukan sebelumnya.

    Di luar lab sangat ribut, tapi aku tetap mengurung diri di dalam lab ini.

    Aku harus menyelesaikan penelitian ini.

    Ini adalah poin-poin yang harus kalian ketahui tentang virus ini:
    1. Virus memiliki 2 tahap. Tahap 1 memiliki sifat dan bentuk seperti virus influenza.
    2. Virus tahap 1 melemah ketika kontak dengan udara. Hanya orang ber-imun rendah yang akan terjangkit.
    3. Butuh waktu selama 2-3 hari hingga virus tahap 1 berubah menjadi tahap 2. Kecepatan berubah tergantung dengan seberapa kuat atau lemahnya sistem imun tubuh.
    4. Virus tahap 2 yang berhasil menembus dinding pertahanan tubuh akan menyerang otak, membuat otak kehilangan kendali atas tubuh, dan membuat sang penderita akan bertindak tak terkontrol serta menyerang apapun di sekitarnya.
    5. Bagi mereka yang tertular dari penderita virus tahap 2, maka jangka waktu virus tahap 1 di tubuhnya akan jadi sangat pendek, sekitar 1 jam, hingga virus tersebut masuk ke tahap 2 dan membuat penderita menjadi gila.
    6. Vaksin mungkin dapat ditemukan, namun hanya efektif untuk mereka yang masih menderita virus tahap 1, semakin cepat diberikan semakin besar kemungkinan sembuh.
    7. Tidak mungkin memberikan vaksin kepada penderita virus tahap 2 karena sistem otak sudah dirusak, sehingga biarpun sembuh, penderita hanya akan masuk ke mode vegetatif.
    8. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan hanya tinggal dengan cara membunuh penderita virus tahap 2.
    9. Penderita virus tahap 2 tak lagi merasakan sakit karena sensor pemberi tahu rasa sakit pada otak telah dirusak, jadi percuma menyerang bagian tubuh mereka.
    10. Tempat yang paling efektif untuk membunuh mereka yaitu otak dan jantung. Namun untuk orang awam, cukup susah membidik jantung dalam sekali serang, karena itu disarankan untuk menyerang kepala mereka.

    Aku memiliki teori untuk menemukan vaksin dan telah kutulis di dalam lampiran jurnal ini, hanya saja peralatan di lab universitas ini kurang memadai untuk membuatnya. Bagi siapapun yang berhasil datang ke sini, tolong antarkan jurnalku pada WHO atau organisasi sejenis yang dapat melanjutkan penelitianku. Tolong pecahkan misteri virus ini agar dunia dapat kembali seperti sedia kala.

    *****

    14 Januari, 05:00 A.M

    Katrina POV

    "Memecahkan misteri apa maksudmu?" tanya mom dengan wajah bingung. Bukan hanya dia, yang lain, begitu juga dengan aku turut tak mengerti maksud ucapannya.

    "Begini, aku memiliki dosen yang juga spesialis masalah penyakit yang disebabkan oleh virus di Universitasku. Karena aku asisten lab, maka aku cukup dekat dengannya. Kemarin sekitar jam 6 sore, dia mengirimkan sebuah email berisi hasil scan jurnalnya. Kalian bisa lihat di sini," jelas Kevin. Ia mengeluarkan tablet dari tasnya lalu menunjukkan tulisan jurnal dari tanggal 10 Januari hingga 13 Januari, beserta lampiran dengan gambar-gambar dan penjelasan yang rumit dan tak kumengerti.

    Hal yang paling menarik perhatianku adalah 10 poin tentang virus itu. Ada beberapa yang kuketahui seperti harus membunuh mereka di jantung atau kepala, tapi poin-poin lain benar-benar sangat membantu, seperti berapa jangka waktu hingga seseorang akan berubah jadi infected. Namun, poin ke-7 dan ke-8 membuat diriku sedih sekaligus senang. Sedih karena itu artinya mereka yang telah menjadi infected sudah tak mungkin dapat disembuhkan, bahkan dengan vaksin sekalipun. Dan aku merasa senang karena tindakanku membunuh selama ini dapat dibenarkan, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan mereka. Hal ini cukup untuk mengurangi perasaan bersalahku yang sudah membunuh Chairani dan bu Rimawati.

    "Apa kau yakin dengan kebenaran poin-poin ini?" tanya mom setelah kami semua selesai membacanya.

    "99,99%" ujarnya.

    "99,99%? Bagaimana dengan 0,01% nya?"

    Kali ini aku yang berbicara. Di jurnal dosennya, ia juga menuliskan 99,99%. Kenapa tidak tulis saja 100%?

    "0,01% adalah margin error. Seakurat apapun sebuah penelitian, pasti akan selalu memiliki margin error. Satu-satunya hal yang tidak memiliki margin error hanyalah matematika murni."

    Margin error, berarti sebuah batas kesalahan. Benar kata Kevin, sebaik apapun suatu hal, kemungkinan terjadinya kesalahan pasti akan tetap ada. Misalnya kecelakaan pesawat yang terjadi karena kesalahan sistem, ataupun kemungkinan kematian jika menjalankan operasi di rumah sakit. Margin error pasti akan selalu tetap ada untuk hal karena bisa jadi terdapat variabel tak terduga yang akan mengubah hasil penelitian, sehingga kemungkinan itu tidak bisa 100% sempurna kecuali ilmu pasti.

    "Kalau begitu, kita hanya perlu membawa catatan itu ke perwakilan WHO atau laboratorium penelitian negeri, kan?" tanya Angie memastikan.

    "Ya dan tidak. Tidak karena masih ada hal yang harus kita ambil di laboratorium Universitasku sebelum kita dapat menyerahkan jurnal ini," jawab Kevin.

    "Dan, benda apa yang kau maksud?" ujar Angie balik bertanya.

    "Virus yang digunakan dosenku sebagai sampel penelitian."

    "Well, kenapa harus sampel itu? Tidak bisakah kita menggunakan sampel lain?" tanya mom yang mewakilkan pertanyaanku juga.

    "Tidak bisa. Laporan yang dibuat professor Malik dalam lampiran yang dia sertakan, sesuai dengan keadaan sampel virus itu. Mulai dari umur virus tersebut, hingga seberapa kali virus itu berubah. Virus ini berbeda dengan virus biasa yang cenderung stabil. Virus ini akan selalu bermutasi, hingga ke bentuk yang jauh berbeda dari bentuk awalnya. Karena itulah, penelitian tidak akan relevan bila menggunakan sampel virus lain," jelas Kevin dengan cukup terperinci. Akhirnya tak ada lagi dari kami yang memiliki pertanyaan lagi.

    "Baiklah. Kalau begitu, ayo kita lekas berangkat," ujar mom mengkomando kami.

    Sebelum masuk ke mobil, aku melihat ke arah bu Rima. Rudi masih berdiri di depan jasad ibunya yang terlihat layaknya orang yang sedang tertidur dengan tenang, ditemani seulas senyum kecil di wajahnya yang pucat. Terbesit perasaan bersalah melihatnya seperti itu. Walau aku tahu kalau hal yang kulakukan itu benar, namun tetap saja aku telah mengambil nyawa orang yang paling Rudi sayangi.

    Aku memperhatikan Rudi yang hanya berdiri terdiam di sana, entah apa yang dipikirkannya, dengan wajah sendu yang memendam kesedihannya sendiri. Aku ingin bilang padanya untuk melepaskan saja rasa sedih itu dan menangislah sekencang-kencangnya, tapi bukan posisiku untuk mengatakan hal itu. Tidak bisa, karena akulah pelaku pembunuh ibunya.

    Aku berbalik dan menuju mobil. Ternyata Topan masih belum masuk ke dalam. Ia berdiri di depan pintu mobil dengan murung. Haaaah... Entah kenapa, melihat Topan selalu membuatku kesal. Padahal ia bertingkah dengan normal saja sudah cukup menggangguku. Dan sekarang ia malah ber-emo ria? Please stop, for God's sake.

    "Minggir," seruku ketus sembari mendorongnya ke samping dengan kasar. Ia menatapku dengan terkejut, lalu aku berkata padanya, "Stop acting like a shit. He's just your friend, not your boyfriend."

    Aku memarahi serta mengejeknya yang terus murung seperti itu dengan memberi penekanan pada kata 'boyfriend'. Tapi sikapnya itu benar-benar seperti orang yang baru diputus pacar. Sangat menjengkelkan.

    Di barisan depan mobil ada Angie yang menyetir dan mom yang duduk di sampingnya. Di barisan tengah ada Rudi dan juga aku, dimana masing-masing dari kami saling bersandar di pintu sambil melihat jendela masing-masing. Posisiku tepat di belakang Angie, dan Rudi tepat di belakang mom. Sedangkan di barisan paling belakang ada Kevin, Badai dan Topan. Kevin berada tepat di belakangku, sedangkan Topan berada di belakang Rudi, dan Badai di tengah-tengah mereka. Karena selurusan, Kevin selalu mencoba mengajakku ngobrol yang sama sekali tak kuapik. Akhirnya ia menyerah dengan sendirinya. Yah baguslah, karena aku memang malas melayani orang yang suka sok kenal sok dekat.

    "Sebaiknya sekarang kita mampir di Supermarket dulu. Sekalian cari makan dan baju baru untuk Rudi dan Topan. Tidak mungkin kalian akan memakai baju pasien itu terus kan?" ujar mom mengemukakan rencananya. Ide bagus. Agak gerah juga melihat kedua orang ini berpakaian seperti itu, seolah-olah mereka pasien yang kabur dari rumah sakit.

    "It's a great idea, mom. Aku yakin semuanya juga pasti sangat lapar," jawabku menyetujui idenya. Kalau kuingat-ingat, terakhir kali kami makan yaitu malam kemarin, ketika para tentara itu memberikan kami bubur hangat. Mungkin kami juga bisa mengambil beberapa makanan kaleng untuk persediaan.

    Kami berhenti di sebuah Supermarket yang cukup terkenal di daerah ini. Angie ingin membawa mobil ke parkiran Supermarket, hanya saja, banyak para infected yang berkeliaran di sini.

    "Parkir di sini saja. Katrina, Rudi, Topan, kalian pergi ke Supermarket itu dan carilah barang-barang yang sekiranya diperlukan," perintah mom. Hanya saja kupikir Rudi dan Topan sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk bertarung sekarang.

    "Tapi mom, kupikir keadaan mereka berdua masih tidak memungkinkan. Bagaimana kalau kita saja?" tawarku, yang dibalas mom dengan, "Tidak mungkin membiarkan mereka bermanja-manja terus, lagipula kalian lebih tahu baju yang cocok untuk kalian."

    Mom menasihati mereka. Mungkin kata-kata Mom agak kurang tepat, karena kulihat ekspresi Rudi yang tiba-tiba kesal karena disebut ia hanya bermanja-manja. Yah, mungkin kata manja itu cocok bagi Topan, tapi kata berduka lebih cocok untuk mencerminkan Rudi saat ini.

    "... Baiklah," ujarnya pendek, mungkin tak ingin menambah masalah lebih jauh dengan Mom.

    Aku mengikuti Rudi yang turun duluan, lalu disusul oleh Topan yang masih bertingkah lesu tak jelas. Urgh, aku ingin sekali melabraknya dan memintanya berhenti bersikap seperti itu.

    "Kembali saja ke mobil kalau kau masih ingin bertingkah seperti ini terus. Aku dan Rudi sudah cukup untuk ini," ujarku dengan datar dan dingin, biar dia tahu kalau aku tak menyukainya.

    Topan melihatku dengan tatapan seolah tak percaya kalau aku bisa sedingin itu padanya. Akhirnya ia berhenti bertingkah lesu seperti tadi dan mulai terlihat seperti biasa.

    Kami berjalan dengan mengendap-endap, tak ingin menarik perhatian puluh infected itu. Dengan perlahan, kami dapat sampai di depan pintu Supermarket ini. Rudi lalu memegang gagang pintu kaca yang tertutup, hanya, pintu itu tak mau terbuka, seolah terkunci dari dalam.

    "Sialan..." gerutu Rudi. Keributan kecil kami ternyata menarik perhatian mereka yang di dalam. Ada sekitar 12 orang atau lebih survivor di sana, terdiri dari sekitar 7-8 ibu-ibu, 3 bapak-bapak dan 2 anak-anak. Mereka menatap kami dengan takut, melihat senjata yang kami pegang mungkin terlihat sangat mengintimidasi bagi mereka. Aku sangat yakin, tak ada seorangpun dari mereka yang punya pengalaman bertarung atau hanya beberapa dari mereka yang pernah membunuh infected.

    "Pergi dari sini! Kami tak ingin orang barbar seperti kalian datang menganggu," hardik salah satu bapak-bapak di dalam namun dengan berbisik, tak ingin menarik perhatian para infected.

    "Tenanglah, pak. Kami sama sekali tak berniat menjarah kalian. Kami hanya memerlukan beberapa baju baru dan makanan jika kalian bersedia memberi," ujar Rudi yang sudah mulai kembali ke dirinya yang biasa mencoba untuk bernegoisasi.

    Mereka saling pandang. Dari gelagatnya, aku yakin mereka sedang berpikir apakah bisa mempercayai perkataan kami atau tidak.

    "... Baiklah. Tapi buang dulu senjata kalian jauh-jauh," ujar bapak itu padahal akhirnya.

    Dengan terpaksa, kami menuruti syarat mereka dan meletakkan senjata itu agak jauh dari kami, namun dengan sangat berhati-hati agar tak menarik perhatian para infected.

    Kami menunggu cukup lama di depan pintu kaca itu. Akhirnya seorang ibu datang dengan membawa beberapa pakaian dan makanan kaleng. Salah seorang pria yang masih lumayan muda membuka pintu itu, hanya saja, bukannya mengundang kami masuk, ibu itu hanya menyerahkan barang-barang di tangannya dan memerintahkan kami untuk segera pergi.

    "Ini semua barang yang kau minta. Cepat kalian pergi dari sini," ujarnya sebelum menutup pintu itu lagi.

    Shit. Kelakuan mereka benar-benar menjengkelkan. Aku tahu kalau mereka takut dengan kami, tapi apa yang mereka takutkan, sebenarnya?

    "Su... Sudahlah. Tak usah terus bermuka masam begitu. Mau bagaimana lagi kalau mereka sudah sangat ketakutan begitu. Kita tidak tahu apa yang mereka alami sebelumnya. Mungkin mereka pernah dijarah dengan sekelompok manusia, makanya mereka jadi takut dengan kita. Setidaknya mereka memberikan kita pakaian dan makanan," ujar Topan ketika melihat tampangku yang super bete atas perlakuan mereka. Aku agak terkejut, bisa juga dia berkata bijak seperti itu.

    Kami lalu kembali ke mobil tanpa menarik perhatian para infected agar tak menguras tenaga sia-sia. Bagaimanapun, dengan sumber daya pangan yang terbatas, kami harus menyimpan tenaga agar stamina tak habis di saat-saat yang penting.

    Aku menyerahkan 8 makanan kaleng yang kami terima pada mom dan menjelaskan padanya apa yang kami hadapi barusan.

    "Apa boleh buat," katanya.

    Angie membawa mobil menjauh dari Supermarket ini dan mencari sebuah tempat yang cukup luas dan sepi dari para infected.

    "Bagaimana kalau di sini saja?" tanyanya yang disambut dengan anggukan mom. Angie lalu memakirkan mobil tepat di bawah pohon yang lokasinya berada di pinggir sungai.

    Sungai ini berbeda dari sungai di kota besar lain yang sudah tercemar. Karena kami masih berada di bawah kaki gunung, sungai ini berasal dari mata air pegunungan, sehingga airnya sangat jernih dan menurutku aman untuk langsung di konsumsi.

    Peralatan masak portable, panci beserta piring-piring selalu tersedia di dalam mobil karena keluargaku memang hobi melakukan perjalanan di weekend.

    Semua makanan kaleng telah di masak oleh mom. Harus kuakui, walau yang sedang kumakan sekarang hanyalah makanan kaleng murahan, tapi akibat dari rasa lapar yang sedari tadi melanda, rasanya sudah sama seperti makan dari restoran bintang 5.

    Kevin yang paling lahap makan di antara kami. "Sorry, bubur yang diberikan oleh para anggota militer malam kemarin sangat kurang bagiku. Lihat saja badanku. Wajar kalau aku makan lebih banyak, kan?" Ia membela dirinya sendiri ketika melihat kami semua yang menatapnya.

    Menurutku Kevin itu tidak gendut, tapi memang dia yang badannya paling berisi di antara kami. Sangat kontras kalau melihatnya berdiri di samping Rudi dan Topan. Badan Rudi yang paling ideal di antara mereka bertiga, tidak terlalu kurus maupun terlalu berisi. Sedangkan melihat Topan itu rasanya sama dengan melihat ranting pohon yang berdiri. Cukup mengejutkan ketika melihatnya dapat mengayunkan sledgehammer yang menjadi senjata pilihannya karena badan kurus cekingnya itu tak menunjukkan kalau ia ternyata punya kekuatan yang cukup besar.

    "Baiklah, kita sudah mengisi kembali tenaga. Saatnya berangkat!" seru mom semangat layaknya anak remaja. Kadang aku merasa illfeel melihat mom yang begitu.

    Semua barang telah dirapikan dan waktunya menuju kampus Kevin. Rudi dan Topan juga sudah mengganti pakaian pasien jelek mereka. Rudi mengenakan kaos hitam dipadu dengan jaket vest abu-abu bercorak army dan pants yang panjang, senada dengan warna jaketnya. Topan mengenakan kaos berwarna merah maroon dipadu dengan jaket berwarna hitam dan pants panjang yang warnanya juga sama dengan jaketnya. Well, I think their looks are not half bad.

    Selama perjalanan yang memakan waktu hampir 1 jam, tak banyak obrolan yang terjadi di antara kami. Hanya Kevin yang terkadang memulai percakapan, entah itu pada mom, Angie, Topan, dan juga Badai. Ia tidak mencoba bicara pada Rudi, mungkin hubungan di antara keduanya masih kaku. Well, aku tak dapat menyalahkan Rudi ataupun Kevin atas kejadian di hutan sebelumnya. Kevin hanya mengatakan yang sebenarnya tentang keadaan ibu Rudi tanpa memikirkan perasaan Rudi sebagai anaknya, dan Rudi cukup keras kepala jika itu menyangkut keluarganya. Mungkin aku juga akan bertindak sama jika aku berada di posisi Rudi. Jadi tak ada pihak yang dapat disalahkan ataupun dibenarkan. It's complicated, really.

    Oh ya, dari percakapan basa-basi Kevin, aku jadi tahu beberapa hal tentang Topan, Badai dan Angie yang tak ketahui sebelumnya. Misalnya, Angie ternyata pernah menjadi model walau akhirnya berhenti dan memilih menjadi jurnalis majalah fashion. Lalu dari Badai, kuketahui kalau Topan pernah mendapatkan tawaran untuk menjadi murid pertukaran pelajar ke luar negeri ketika kelas 10 SMA, tetapi ditolaknya. Padahal setahuku dia itu tidak terlalu pintar. The more you know about him, huh?

    "Baiklah. Kita sampai," ujar mom memberitahukan kami.

    Fakultas kedokteran di Universitas ini mendapat keistimewaan, sehingga bangunannya terpisah dari bangunan utama Universitas dan memiliki kompleks bangunan tersendiri yang sangat luas dan jauh dari bangunan fakultas-fakultas yang lain.

    Aku dapat melihat Kevin berdo'a sebentar sebelum akhirnya berkata,

    "Oke, semua sudah siap? Ayo berangkat."

    ____________________________________________________________

    Lagu Pendamping:

    Chapter 11: Looking For Clues by Robert Palmer
     
    • Thanks Thanks x 1
  16. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    Now I face out

    I hold out

    I reach out to the truth of my life seeking to seize on the whole moment, yeah


    Yeah, naked truth lies

    only if you realize

    Appearing in nobody's eyes

    till they sterilize

    Stop the guerrilla

    warfare to keep it fair

    Bro, change your rage to a smarter greater cause

    You know the stake is high stardom is near

    Those who sympathized you die killers pass by

    Do not waste your time in hating flirting guys

    Use your might to AIs do justice to them all


    Now I face out

    I hold out

    I reach out to the truth of my life seeking to seize
    on the whole moment to now break away

    Oh God let me out

    Can you let me out

    Can you set me free from this dark inner world

    Save me now Last beat in the soul
    [​IMG]
    "Oke, siapa saja nih yang turun dan menemaniku?" tanya Kevin yang ingin memastikan siapa yang bersedia akan menjalani misi ini sebelum kami semua turun.

    "Aku bisa melakukannya," ujarku dengan penuh percaya diri. Kulihat Rudi juga ikut mengangkat tangannya tanpa berucap apapun, menandakan bahwa ia juga menawarkan dirinya.

    "Umm, aku juga," Topan ikut bicara namun terdengar agak ragu-ragu. Well, kalau kau tidak berani, lebih baik tinggal saja di sini.

    "Kau yakin?" tanyaku memastikan keputusannya. Jujur saja, sekarang kami tidak butuh orang yang sekiranya akan menyusahkan nanti.

    "Ya." Kini dia bicara dengan suara yang terdengar tanpa ragu dan dengan tatapan mata yang penuh dengan kebulatan tekad.

    "... Baiklah," kataku setelah melihatnya yang yakin seperti itu.

    Aku tahu kalau sebenarnya ia memiliki kemampuan yang bahkan mungkin melebihiku kalau ia mau berusaha, seperti yang ia tunjukkan ketika kami sedang berada di rumah sakit. Hanya saja, dia tipe orang yang kurang percaya dengan dirinya sendiri, selalu penuh dengan kekalutan akan suatu hal dan tak pernah mencoba untuk menggunakan seluruh kemampuannya. Mungkin ia tak menyadari potensi dirinya sendiri, karena itulah, selalu berada di posisi genting seperti saat melawan infected, membuatnya mau tak mau harus berusaha sekuat yang ia bisa kalau tak mau mati di tangan mereka.

    "Katrina, kau tunggu saja di mobil. Biar aku yang pergi bersama mereka," ujar mom sesaat sebelum kami turun dari mobil. Lagi-lagi mom mengkhawatirkanku. Yah, aku cukup senang karena mom sangat menyayangiku, tapi ia harus belajar untuk mulai mempercayaiku.

    "Mom, tenanglah. Apa kau lupa dengan kemampuan anakmu? Aku bisa melakukannya, seperti yang kulakukan di rumah sakit sebelumnya," ujarku untuk meyakinkannya.

    "... Aku tahu. Hanya saja, aku memiliki firasat yang sangat buruk sekarang," katanya dengan wajah cemas.

    "Itu kan cuma perasaanmu, mom," kataku yang heran ternyata mom percaya dengan hal yang disebut firasat buruk seperti itu. Itu kan cuma mitos.

    "Jangan remehkan firasat seorang wanita yang juga mantan anggota militer, ya! Mempercayai firasat itu bisa memberikan perbedaan antara hidup atau mati di medan perang, lho. Entah sudah berapa kali aku selamat dari kematian karena mempercayai firasatku ini," serunya menjelaskan. Susah untuk membalas kata-katanya kalau dia sudah mulai mengungkit masa-masa ketika dia masih di militer dulu.

    "Kami akan melindungi Katrina, bu. Tidak usah khawatir." Topan membelaku sembari menatap mata mom dengan penuh keyakinan. Mom akhirnya luluh juga dan mengizinkanku.

    "Sigh, fine then. Tapi kalian harus ekstra hati-hati, karena firasatku ini biasanya selalu tepat. Nak Topan, kutitipkan Katrina padamu, ya."

    "Eh?...Ba... Baik," Topan menjawab dengan wajahnya yang bersemu merah.

    "Mom!" seruku karena ucapannya barusan itu terdengar sangat memalukan. Aku bisa menjaga diri sendiri, tak perlu berharap pada perlindungan orang lain, apa lagi Topan.

    "Ayolah. Mengobrol terus seperti ini hanya akan menarik perhatian infected pada kita. Kita harus mulai bergerak." Rudi memotong pembicaraan kami dengan dingin. Sejak kematian keluarganya, ia jadi lebih pendiam dan selalu terlihat datar dan dingin, bahkan melebihiku. Yah wajar saja, kehilangan keluarga seperti itu pasti merupakan goncangan yang besar bagi dirinya.

    "Kak, hati-hati," ujar Badai pada kakaknya sebelum kami berangkat.

    "Gak ada yang mau mengucapkan sesuatu padaku nih?" celetuk Kevin setelah diam sedari tadi. Sepertinya ia agak iri karena aku dan Topan sama-sama punya orang yang mengkhawatirkan kami.

    "Kevin, Rudi, hati-hati juga ya," ucap Angie yang ditujukan pada mereka berdua, membuat Kevin tersipu malu dan Rudi yang masih memasang wajah datarnya.

    "Angie manis juga ya. Walau ia mungkin lebih tua beberapa tahun dariku, aku sepertinya suka padanya," bisik Kevin mengajak kami bicara di sela-sela perjalanan kami.

    "Sayang sekali, vin. Sepertinya ia lebih suka dengan tipe orang yang kuat," ujar Topan menggoda Kevin, yang membuatnya jadi cemberut. Sigh, bisa-bisanya mereka bercanda di saat seperti ini.

    "Sssst..." peringatku pada mereka. Aku melihat infected tak jauh dari tempat kami dan suara bisik-bisik mereka mungkin akan mengalihkan infected itu ke sini. Mereka sepertinya juga menyadari infected itu dan berhenti bercanda.

    Rudi memimpin kami, aku berada di belakangnya, dengan Kevin lalu Topan yang berturut ada di belakangku. Aku dapat merasa tangan Kevin memegang pundakku, mungkin secara tak sadar karena ia ketakutan. Maklum saja, ia bukanlah tipe orang yang punya kekuatan untuk bertarung dan tak membawa senjata sama sekali. Namun kutepis tangannya karena ia yang terus menempel hanya akan memperlambat gerakanku.

    "Sekarang kita kemana?" bisikku pada Kevin ketika kami menemui persimpangan.

    "Te... Terus saja lurus. Ketika ada persimpangan lagi, belok ke kiri dan masuk ke dalam gedung," jelasnya.

    Fakultas kedokteran yang luas ini cukup membuatku kami kebingungan karena banyak sekali jalan yang bercabang.

    Dalam gedung yang ditunjukkan oleh Kevin ternyata tak kalah membingungkannya dengan di luar. Banyak sekali pintu yang membawa ke dalam ruangan, belum ditambah lagi dengan ruangan ruangan di lantai-lantai atas. Entah di antara ratusan ruangan ini, ruangan mana yang menjadi tujuan kami.

    "Baiklah, lab profesor Malik berada di lantai 3. Namanya tertera di pintu lab miliknya, jadi kita tidak perlu susah mencari," jelasnya lagi.

    Ketika kami ingin naik ke lantai 2, sledgehammer Topan berbunyi karena tak sengaja beradu dengan anak tangga. Ini membuat infected yang berada di lantai bawah dan lantai di atas kami menyadari keberadaan kami dan berlari mengerubuni kami. Kami sekarang terkepung di tengah-tengah barisan anak tangga.

    Aku dan Rudi melawan semua infected yang datang dari atas anak tangga sementara Topan melawan infected yang berasal dari bawah. Kevin hanya bisa berdiri di tengah-tengah kami dan bersandar di susuran tangga karena tak dapat berkontribusi apapun untuk menolong.

    Freakin' hell. Mereka seperti tidak ada habisnya. Karena mereka yang terus menggeram dan suara kericuhan dari ketika melawan mereka, para infected yang mengepung kami semakin lama malah semakin bertambah banyak. Bahkan dari sudut mataku, aku dapat melihat infected yang baru saja datang dari luar memasuki bangunan ini karena turut mendengar keributan kami.

    "Sial. Mereka tidak ada habisnya. Apa kalian punya ide, Rudi, Katrina?" tanya Topan pada kami. Aku berpikir keras sembari terus menghunuskan rapierku pada setiap infected yang berada di depanku.

    "Sesuatu, kita harus membuat bunyi yang cukup nyaring agar perhatian para infected teralih," seru Rudi di sela-sela tindakannya yang terus mengapak para infected.

    ... Benar juga! Kenapa tak terpikirkan dari tadi. Biasanya universitas bagus seperti ini memiliki alarm yang otomatis akan berbunyi bila sesuatu yang membahayakan terjadi, misalnya karena kebakaran.

    "Hei! Ada yang bawa pemantik api?" tanyaku dengan susah payah karena tetap harus sambil terus melawan infected.

    "A... Aku bawa, kenapa?" jawab Kevin. Bagus sekali, dengan begini rencana bisa di jalankan.

    "Coba cari alat pendeteksi api di langit-langit gedung. Lalu lemparkan pemantik api itu," jelasku. Kulihat wajah Kevin yang langsung terlihat paham dengan maksudku dan segera mencari alat pendeteksi api.

    "Itu, disana!" serunya sembari menunjuk sebuah benda bundar berwarna putih di langit-langit yang cukup mencolok kalau diperhatikan baik-baik.

    "Ba... Baik. Siapa yang melempar? Tenagaku tak cukup kuat untuk melempar sampai ke sana," jelas Kevin. Memang langit-langit gedung ini cukup tinggi dan butuh orang yang kuat agar bisa melempar pemantik api itu tepat pada sasaran.

    "Sini, serahkan padaku. Katrina, kau urus semua infected yang ada di depan!" perintah Rudi. Aku mengangguk dan dengan kedua rapierku, kulawan semua infected yang mencoba berani mendekat.

    Itu adalah pemantik api yang apinya dapat di kunci untuk terus hidup walaupun kita telah melepaskan tangan dari pemantik tersebut. Setelah menghidupkan api, Rudi mengambil ancang-ancang untuk melemparkannya. Ini satu-satunya jalan keluar kami. Bagaimanapun caranya, rencana ini harus berhasil.

    RIIING RIIING RIIING

    Bunyi alarm yang memekakkan telinga terdengar dari setiap sudut ruangan. Para infected berhenti menyerang kami dan terlihat kebingungan karena alarm tersebut memiliki sumber-sumber suara yang berbeda. Sekarang kesempatan untuk pergi!

    Kami dapat kabur dengan mudah dari mereka dan berhasil sampai di lantai 2. Disini juga tak ada rintangan yang berarti karena infected yang berada di lantai ini juga berdiri di tempat dan terlihat kebingungan, tak tahu sumber suara mana yang harus mereka ikuti.

    "Ke sini!" seru Kevin ketika kami sudah menginjak lantai 3 dan segera berlari ke arah yang ia tuju.

    Tepat ketika kami memasuki lab prosesor Malik, alarm berhenti berbunyi.

    "Sepertinya mesin penyiram otomatis sudah berhasil memadamkan sumber api yang kita buat. Bagaimana cara kita keluar lagi?" gumam Kevin khawatir.

    "Hal itu kita pikirkan nanti. Kau urus saja hal yang perlu dilakukan di sini sementara kami mencari cara untuk keluar," kata Rudi. Kevin mengangguk dan mulai mencari-cari sesuatu di atas meja yang dipenuhi dengan alat-alat penelitian dan dokumen-dokumen.

    Aku, Rudi dan Topan juga turut melihat-lihat barang di atas meja yang kira-kira bisa kami gunakan untuk membantu kabur dari sini. Di atas meja di depanku ada setumpuk dokumen yang kemungkinan berisi catatan profesor Malik tentang penelitiannya, beberapa mikroskop, tabung reaksi, pipet tetes, kaca objek, spatula dan barang-barang lain yang tak ku ketahui fungsinya.

    "Hei, ada spiritus di sini," ujar Rudi memberi tahu kami. Ada sekitar 5 spiritus berada di atas meja depan Rudi. Berarti tinggal mencari pemantik apinya.

    "Ketemu," Topan langsung menghampiri Rudi dan memberikan pemantik api itu padanya. Oke, persiapan untuk kabur sudah beres, sekarang tinggal menunggu Kevin menyelesaikan urusannya.

    Aku menoleh ke arah Kevin. Ia sedang membaca sebuah jurnal dan wajahnya kini terlihat menegang.

    "Ada apa?" kuhampiri dia dan menanyakannya. Terus terang saja, ekspresinya itu membuatku khawatir.

    Ia tidak meresponku dan tetap membaca jurnal itu. Dan tiba-tiba ia terduduk dengan salah satu tangannya memegang kepalanya, menunjukkan kalau ia sedang pusing menghadapi sebuah masalah.

    "Hei, katakan. Apa yang terjadi? Apa yang baru saja kau baca?" tanyaku sembari berlutut di sampingnya. Ia menatapku dengan mata yang menunjukkan seolah dia telah kehilangan semua harapan. Aku semakin panik melihatnya. Tapi aku tetap berusaha menjaga ketenanganku dan kembali berbicara,

    "Jelaskan pada kami, sebenarnya apa yang terjadi?" kataku sekali lagi.

    "Ini adalah jurnal milik profesor Malik yang sempat ia kirimkan data scan beberapa halaman padaku sebelumnya. Di dalam sini, ternyata terdapat beberapa tambahan halaman. Silahkan kalian baca sendiri," ujarnya lalu memberikan jurnal yang ia pegang padaku. Aku lalu membaca isi jurnal itu bersama Topan dan Rudi.

    *****

    Malik's Journal

    Kevin, aku tidak tahu apakah email yang kukirim sampai kepadamu. Tapi bila pada akhirnya kau atau siapapun itu datang ke sini dan membaca isi jurnal ini, tolong sampaikan hasil penelitianku pada semua orang karena sepertinya aku sudah mendekati batasku.

    Yang menjadi permasalahan pertama adalah asal dari virus ini. Virus ini tiba-tiba muncul dan hanya dalam jangka waktu beberapa hari, virus ini telah meneror seluruh umat manusia di dunia.

    Selama beberapa jam terakhir, aku telah menghubungi kolega-kolegaku yang berada di luar negeri. Sama seperti di Indonesia, para penderita virus flu ini di luar sana juga telah berubah dan menyerang manusia hidup lainnya.

    Yang jadi pertanyaan, mengapa virus ini tiba-tiba bemutasi dan masuk ke tahap 2 dalam waktu yang hampir bersamaan? Jawabannya cuma 1, ada dalang yang memprakarsai penyebaran virus ini. Ini bukan virus biasa. Ini adalah senjata biologis yang dibuat untuk melenyapkan seluruh umat manusia. Tapi apa alasannya, dan siapa yang melakukannya? Untuk saat ini, aku masih tidak dapat menjawab kedua pertanyaan tersebut.

    Sekarang adalah masalah kedua. Aku telah menjelaskan pada poin-poin penting di halaman sebelumnya, jika virus ini pada awalnya menyebar lewat udara, dan hanya orang yang memiliki antibodi rendah yang akan tertular. Tapi ternyata aku keliru. Pada kenyataannya, semua manusia telah memiliki virus ini dalam dirinya. Hanya tinggal menunggu waktu hingga virus itu mulai menggerogoti tubuh manusia.

    Sekarang akan kujelaskan cara kerjanya. Mirip seperti virus influenza biasa, virus ini adalah parasit yang hidup di dalam tubuh manusia dengan menginfeksi sel tubuh kita. Untuk manusia yang memiliki antibodi yang kuat, virus ini tidak aktif dan hanya tertidur di dalam tubuh sembari menunggu celah hingga sistem tubuh melemah.

    Ketika kesempatan itu datang, virus akan mulai menginvasi dan berkembang biak dengan bergantung pada sel tubuh kita sebagai makanannya. Virus influenza biasa terkenal memiliki kecepatan mutasi yang tinggi. Hanya saja, kecepatan mutasi virus ini ratusan kali lebih cepat dibanding virus influenza biasa.

    Karena itulah, sekali virus ini berhasil mendapatkan celah untuk menyerang sel kita, maka tidak akan ada lagi vaksin yang dapat digunakan untuk menghentikan penyebaran virus ini.

    Itu artinya, terdapat kesalahan pada poin nomor 6 yang kuberikan sebelumnya. Vaksin hanya akan efektif pada manusia yang belum menunjukkan tanda-tanda virus tahap 1. Kita harus menghabisi virus ini ketika masih dalam masa inkubasi atau tertidur. Itulah satu-satunya kesempatan untuk melawan virus ini. Kematian adalah satu-satunya pilihan bagi mereka yang jaringan tubuhnya telah terjangkit virus ini, tahap 1 maupun tahap 2.

    Aku memang memiliki teori untuk menciptakan vaksin penangkal virus ini. Tapi hal itu masih belum bisa dilakukan, karena aku tak memiliki kunci untuk itu. Lalu apa kuncinya?

    Itu adalah, manusia yang kebal dengan virus ini sepenuhnya. Manusia itu harus memiliki sistem imun yang sangat tinggi, yang bagaimanapun caranya takkan bisa ditembus oleh virus ini.

    Aku hanyalah seorang profesor di sebuah Universitas kecil. Tentu saja saat ini, sudah banyak para peneliti dari berbagai negara yang mendapatkan kesimpulan yang sama denganku. Dengan kecepatan mutasi virus yang ratusan kali lebih cepat dari virus biasa ini, itu artinya kemungkinan orang yang memiliki sistem imun yang lebih kuat dari virus ini adalah 0%, artinya tidak ada orang yang kebal dari virus ini sepenuhnya. There is no hope. Only despair awaits us on the front.

    *****

    Membaca jurnal ini membuat lututku langsung lemas. Senjata biologis? Tidak ada vaksin? Entah hal mana yang lebih mengejutkan bagiku setelah mengetahui kedua hal itu.

    "Sialan. Jadi apa gunanya kau memintaku untuk mengambil sampel virus penelitianmu di sini, profesor?!" seru Kevin frustasi. Kami telah mempertaruhkan nyawa kami dengan harapan akan menemukan vaksin untuk mengembalikan dunia seperti sebelumnya. Dan ternyata, kenyataan pahit ini yang kami temukan? Lelucon yang sangat tak lucu.

    Aku membanting jurnal yang kupegang itu dengan kesal. Rudi juga menunjukkan kekesalannya dengan memukul meja di sampingnya. Tak peduli apakah infected yang di luar akan mendengar kami, yang pasti kami perlu melampiaskan rasa kesal kami ini pada sesuatu.

    Sementara kami bertiga sedang di landa keputus asaan, Topan mengambil kembali jurnal yang telah kulempar ke lantai dan kembali membacanya. Terserah mau kau baca berapa kalipun, hal itu takkan merubah kenyataan yang telah kita ketahui.

    "... Hei, apa kalian telah membaca halaman ini?" katanya lalu menunjukkan sebuah tulisan aneh, yang entah kenapa, bukan ditulis di halaman selanjutnya dari tulisan yang kami baca tadi, tapi jauh di tengah-tengah halaman yang kosong, seolah ia menulisnya secara terburu-buru, nampak dari halaman kertas itu yang kusut dan tulisannya yang acak-acakan dan hampir tak dapat dibaca.

    AK MNUMKAN PTNJYA. ATI BDI HRS BMUTSI. PRSITME JD MTALISME. DUP BSMA. SMUA HRU THU. THER STI HOP

    Aku menemukan pentunjuknya. Anti bodi harus bermutasi. Parasitisme menjadi mutualisme. Hidup bersama. Semua harus tahu. There's still hope

    Itulah hal yang dapat kusimpulkan dari catatan itu, tapi apa maknanya, aku tidak mengetahuinya. Yang pasti, kalimat terakhir kembali memberikan harapan yang sudah pupus tadi.

    "Ini, ini pasti catatan terakhir Profesor. Sepertinya ia menemukan sebuah petunjuk baru sebelum ia berubah. Kita harus beritahukan hal ini pada semua orang!" seru Kevin dengan semangat setelah akhirnya menemukan secercah harapan.

    "Tunggu dulu. Kau mengerti maksud catatan ini?" tanya Rudi pada Kevin membuatnya kembali terlihat suram karena ia ternyata juga tak mengerti maksud pesan tersebut.

    "... Si... Situasinya sedang genting sekarang. Jadi aku tidak bisa menganalisis maksudnya. Tapi kalau kita bisa menemukan tempat yang tenang... Aku pasti dapat mengerti maksud pesan terakhir professor. Ya... Yang pasti, masih ada harapan, walaupun hal itu sangat kecil," katanya lagi.

    Benar juga, tak perlu terus berlarut dalam keputus asaan. Jika harapan itu masih ada, berarti kesempatan untuk mengembalikan hal ini seperti sedia kala juga masih ada.

    "Baiklah. Aku akan ke memeriksa ruangan pribadi profesor dulu. Mungkin masih ada petunjuk lain yang dapat membantu kita," ujarnya kemudian.

    Lab ini memiliki satu lagi ruangan kecil di dalamnya. Mungkin sebuah kamar pribadi, jika profesor Malik memutuskan untuk begadang menyelesaikan penelitiannya di lab ini.

    Kevin membuka pintu kamar yang tak terkunci itu. Lampu kamar itu mati. Tidak ada jendela yang bisa menolong untuk menjadi sumber penerangan. Kevin meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu. Dan tepat ketika lampu menyala, seorang infected ternyata telah berdiri di hadapannya dan langsung menyerangnya.

    "AAAARGH...!" teriaknya kesakitan ketika infected itu berhasil menggigit tangannya. Aku yang berada paling dekat langsung berlari dan menusukkan rapierku untuk membunuh infected itu.

    "Pro... Profesor? Ugh..." gumam Kevin ketika melihat infected yang telah terbaring di lantai itu seraya menahan rasa sakit di tangannya.

    "Shit, kita terlalu lengah," sesalku melihat keadaan Kevin.

    Harusnya kami mengecek situasi terlebih dahulu dan memastikan dimana profesor Malik yang telah berubah menjadi infected, karena bagaimanapun, ini ruangan tempatnya terakhir berada sebelum ia berubah.

    "Topan, cepat lempar alkohol di meja sebelahmu! Mungkin kalau kita cepat bertindak, ia masih bisa ditolong," seruku lalu menerima alkohol yang di lemparkan oleh Topan.

    Aku merobek bagian kemeja yang membalut tangan Kevin lalu segera menyiram luka itu dengan alkohol. Kevin hanya menatapku dengan senyum pahit. Napasnya sudah tak karuan dan matanya mulai terlihat tak fokus.

    "Aku... Mengerti maksud catatan... Terakhir profesor... Haaah... Haaah..."

    "Sudah, berhentilah bicara," ujarku untuk menenangkannya. Suaraku bergetar. Walau tak begitu lama kami melalui perjalanan bersama, aku masih tak tega melihatnya yang sebentar lagi akan berubah menjadi infected. Terus menyaksikan orang-orang di dekatku berubah menjadi infected, membuat kebulatan tekadku untuk menghilangkan hati nuraniku mulai goyah.

    "Parasit... Virus ini... Adalah parasit bagi tubuh... Karena itu... Ubah sifatnya... Hidup bersama... Haaah... Temukan orang... Yang dapat sembuh... Yang... dapat sembuh... Dari virus ini.... Dengan sendirinya... Orang yang... Argh... Memiliki antibodi yang juga... Bermutasi... Haah... Haaa... Pas... Pasti.... Masih ada... Kesem... patan..." Ia lalu terdiam dengan lehernya terkulai ke bawah. Aku sudah sering menyaksikan hal ini. Ia telah... Berubah.

    "GRAR...!!! ....RGH... GHHH..."

    Aku langsung menusuk dahinya tepat ketika ia mulai mengangkat kepala itu dan menunjukkan mata yang berwarna putih serta urat-urat syaraf menyembul dari kulit kuning langsatnya yang telah berubah menjadi putih pucat.

    "Good bye..." bisikku, dengan rasa hangat mulai membasahi pipiku.

    *****

    Topan's POV

    Ini kali keduanya aku menyaksikan Katrina menangis. Ia hanya menangis ketika Chairani, sahabat terbaiknya, berubah menjadi infected dan dibunuhnya. Kami baru sebentar bertemu Kevin. Tapi ketika ia meninggal, ia dapat membuat Katrina meneteskan air mata berharganya.

    .... Sialan. Aku merasa benci pada diriku sendiri karena merasa cemburu dengan Kevin yang dapat membuat Katrina menunjukkan sisi langkanya ini. Apakah dia juga akan menangis jika aku berubah menjadi infected?

    Setelah merasa cukup tenang, Katrina mengusap matanya lalu menatapku dan Rudi seraya berkata,

    "Topan, simpan jurnal milik profesor Malik. Kita harus segera keluar dari sini. Kita harus menyampaikan pesan terakhir mereka pada semua orang," perintah Katrina dengan tekanan suaranya yang dingin, namun dapat kudengar bahwa suara itu masih sedikit bergetar.

    "Rudi, kau pimpin jalan keluar kita. Bawa spiritus untuk mengalihkan perhatian para infected. Let's go," perintahnya pada Rudi yang di jawab Rudi dengan anggukan.

    Aku melihat ke arah Kevin untuk terakhir kalinya sesaat sebelum kami meninggalkan lab ini. Selamat jalan, Kevin. Kami akan berusaha keluar dari sini dengan selamat dan menyampaikan pesan terakhirmu pada semua orang.

    ________________________________________________________

    Lagu pendamping

    Chapter 12: Reach Out To The truth by Shihoko Hirata
     
    • Like Like x 1
  17. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0


    [​IMG]
    1. Anitasari
    Lebih sering dipanggil Anita, adalah putri sulung Rimawati dan kakak Rudi. 24 Tahun. Tinggi 157 cm. Anita bekerja sebagai perawat di sebuah Rumah Sakit swasta yang lumayan terkenal. Di mata Rudi, Anita terlihat sebagai wanita muda yang tegas, berpendirian teguh, sekaligus cerewet. Walau pemikiran sang adik jauh lebih dewasa dibanding dengan remaja seumurnya, tapi tindakan adiknya itu tidak pernah terlihat benar di mata Anita. Hal yang paling ia benci dari adiknya itu adalah hobi Rudi yang hampir tiap malam suka kebut-kebutan dengan motor gedenya. Anita takut adiknya akan mengalami kecelakaan dan meninggal seperti ayah mereka. Karena itu, ia selalu memarahi Rudi untuk semua tindakan yang ia lakukan. Hal ini membuat Rudi cenderung sering bertingkah tak hormat pada kakaknya dan hanya memanggil Anita dengan namanya langsung atau 'kau' tanpa embel-embel 'kak'. Walau begitu, Anita adalah tipe orang yang sangat sayang dengan keluarganya. Sebagai anak sulung dan sudah bekerja, Anita harus menjadi tulang punggung bagi ibu dan juga adiknya. Di tambah dengan ibunya yang kini menderita stroke, setiap hari ia terus merawat sang ibu tanpa lelah. Cita-cita Anita pada awalnya yaitu menjadi seorang pelukis. Lukisannya sangat bagus, dan sudah sering menjuarai lomba melukis sejak masih di jenjang SD hingga SMA. Saat kelas 2 SMA, lukisannya yang bertema kemerdekaan dan menggambarkan keadaan menyedihkan keluarga korban perang menuai banyak pujian dan pada akhirnya lukisan tersebut dipajang dalam pameran lukisan tingkat Internasional di Berlin. Setelah menerima penghargaan atas lukisannya tersebut, Anita menyadari kalau passion dia yang sebenarnya adalah ingin menolong banyak orang. Karena itulah, ia akhirnya tidak mengambil undangan untuk melanjutkan sekolah di jurusan seni rupa dan memilih berkuliah di Akademi Keperawatan.

    2. Rimawati
    Panggilannya Rima. 51 Tahun. 152 cm. Sebelum menderita stroke, ia dikenal sebagai ibu sangat menyayangi keluarganya dan pantang putus asa ataupun menyerah pada takdir. Rima adalah idola sekolah ketika ia masih SMA. Semua laki-laki berusaha mendapatkan cinta Rima, tapi pada akhirnya, cintanya itu ia berikan pada seorang siswa laki-laki yang terkenal bengal, suka bolos sekolah dan suka berkelahi, sangat jauh berbeda dengan Rima yang anggun dan terkesan pendiam. Banyak orang yang meremehkan hubungan mereka berdua dan mencap bahwa Rima takkan hidup bahagia bila menikah dengan laki-laki itu. Karenanya, lelaki itu lalu mencoba untuk berubah dan menghentikan kebiasaan buruknya seperti berhenti berkelahi, mengurangi bolos dan lebih rajin belajar. Akhirnya ia bisa lulus SMA dengan selamat dan kuliah di sebuah Universitas terkenal mengambil jurusan teknik sipil. Setelah berhasil lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan sebagai supervisor pembangunan di sebuah perusahaan konstruksi, ia lalu melamar Rima dan akhirnya mereka menikah. Rima merasa sangat bahagia bisa hidup bersama keluarga kecilnya itu. Ia dikaruniai 2 orang anak, perempuan dan laki-laki. Kedua anaknya menerima gen dari sang ibu yang membuat mereka berdua cantik dan tampan. Dan si anak laki-laki, Rudi, menerima trait kuat dan reckless dari ayahnya. Hanya saja, kebahagiaan keluarga kecil itu tak berlangsung lama.Sang suami pergi mendahului Rima karena sebuah kecelakaan di sebuah proyek konstruksi bangunan. Walau begitu, Rima tak putus asa. Dengan berbekal uang asuransi jiwa suaminya, ia menyekolahkan kedua anaknya di sekolah bergengsi agar anaknya tersebut dapat memiliki masa depan yang cerah walau tanpa ada lagi dukungan seorang ayah yang bisa menafkahi mereka. Ia tak pernah menampakkan kesedihannya pada siapapun, meski pada anaknya sendiri dan hal itu menjadi bumerang bagi Rima. Ketika mulai nampak tanda-tanda stroke di jari-jari tangannya, bukannya pergi ke rumah sakit, Rima hanya menahan sakit itu sendiri dengan memakan obat-obat penghilang rasa sakit. Hal ini berlangsung selama hampir 2 tahun hingga akhirnya stroke tersebut sudah menjadi sangat parah dan sudah tak dapat disembuhkan lagi. Walau begitu, senyuman tak pernah kikis dari wajahnya agar kedua anaknya tidak mengkhawatirkan sang ibu dan konsentrasi dalam mengejar masa depan masing-masing.

    3. Ella Storm (Ela Pujiana)
    Anak tunggal. 42 Tahun. 167 cm. Dari kecil Ela memang memiliki sifat yang tomboy, berbeda dengan gadis kecil seumurannya. Daripada bermain boneka atau rumah-rumahan, Ela lebih suka bermain bola bersama anak cowok, memanjat pohon, serta bermain perang-perangan. Karena itu, semua temannya laki-laki dan hampir tak memiliki teman perempuan. Pada saat SMA, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Imelda Kartika yang juga bersifat tomboy seperti dirinya. Bertemu dengan gadis lain bersifat sama membuatnya dan gadis itu menjadi rival. Ella menganggap kalau ia lebih hebat dari Imelda, begitu pula sebaliknya. Mereka saling berkompetisi di berbagai bidang, seperti olahraga dan beladiri. Bahkan hampir tak ada cowok di sekolah itu yang memiliki kemampuan setara dengan mereka. Hanya saja, lambat laun mereka berubah dari rival menjadi sahabat sejati. Ketika mereka sudah kelas 3 SMA, Imelda menanyakan apa yang akan dilakukan oleh Ela setelah lulus sekolah dan ia mengajak Ela untuk menjadi tentara bersamanya. Bagaimanapun, itu adalah pilihan yang tepat bagi cewek-cewek macho seperti mereka berdua. Namun, ayah Ela memintanya untuk melanjutkan sekolah ke Amerika dan tinggal bersama sang tante di sana. Sebagai anak tunggal, ia merasa tidak enak menolak permintaan sang ayah dan menurutinya. Ia pergi tanpa memberitahukan Imelda dan hal itu membuat hubungan mereka selama beberapa tahun menjadi tidak harmonis. Setelah beberapa bulan tinggal di Amerika, Ela mengetahui kalau ternyata tak perlu menjadi seorang warga Amerika untuk menjadi tentara di sana. Berdasarkan keisengan kecil dan untuk memenuhi niat yang gagal ia penuhi sebelumnya, Ela memutuskan untuk mengikuti serangkaian tes untuk menjadi tentara, dan tanpa di sangka, ia berhasil lulus dan resmi menjadi bagian dari pasukan militer Amerika. Setelah seminggu menimbang apa yang akan ia lakukan untuk masa depannya, Ela lalu memutuskan untuk berhenti kuliah dan serius menekuni pekerjaan barunya sebagai anggota tentara Amerika. Ela lebih suka turun langsung ke medan perang daripada hanya diam di belakang dan menunggu perintah atasan. Karena itu, setiap ada tawaran untuk bekerja sama dengan PBB dalam membantu menghentikan perang di berbagai negara, Ela pasti selalu menjadi orang pertama yang menawarkan diri. Ela bertemu kembali dengan Imelda di salah satu tugasnya di luar negeri ketika bekerja sama dengan PBB dan setelah meluruskan kesalahpahaman sebelumnya, hubungan mereka dapat menjadi akur kembali. Setelah beberapa tahun menjadi tentara, Ela berkenalan dengan David Storm dimana setelah setahun berkenalan, mereka memutuskan untuk menikah dan Ela mengganti namanya menjadi Ella Storm. Dari pernikahan itu, Ella dikaruniai seorang putri yang mereka beri nama Katrina karena Amerika sempat dilanda badai Katrina beberapa bulan sebelum sang putri lahir.

    4. Imelda Kartika
    Anak kedua dari 3 bersaudara. 41 Tahun. 166 cm. Imelda atau lebih sering dipanggil Melda adalah sahabat terbaik Ella selama SMA. Karena sifatnya yang tomboy, bertemparemen tinggi dan sangat ringan tangan, ia sangat ditakuti oleh semua orang d isekolahnya, baik itu murid laki-laki, perempuan maupun para guru. Selama SMP, ia juga sempat menjadi pemimpin gang berandalan dan sering tawuran dengan sekolah lain, membuatnya nyaris dikeluarkan dari sekolah. Hanya saja mulai SMA, ia berusaha lebih dewasa dan berhenti bergaul dengan anak berandalan lain maupun berkelahi dan berkonsentrasi untuk meningkatkan nilainya, terutama di bidang olahraga. Hanya saja, ternyata ia memiliki saingan yang mirip dengannya bernama Ella. Pada awalnya, ia menganggap Ella sebagai rival dan selalu berusaha untuk menang dari Ella ketika pelajaran olahraga. Mulai dari lari, voli, bola basket, bahkan beladiri, kemampuannya selalu seimbang dengan Ella. Pada akhirnya, entah sejak kapan hubungan mereka berubah dari rival menjadi sahabat baik. Sebelum kelulusannya, Melda mengajak Ella untuk masuk akademi militer bersama. Ia yakin mereka berdua dapat lulus dengan mudah dan persahabatan mereka masih bisa berlanjut lebih lama. Namun, tepat di hari kelulusan, Ella mengabarkan kalau ia tak bisa mengikuti tes Akmil dan akan pindah ke Amerika. Melda merasa dilhianati karena kabar yang tiba-tiba disampaikan oleh Ella seperti itu. Beberapa tahun berlalu sejak terakhir kali ia berhubungan dengan Ella sampai akhirnya mereka bertemu kembali ketika Melda mendapatkan tugas untuk bekerja sama dengan PBB dalam menghentikan sebuah perang. Ia merasa sangat terkejut begitu mengetahui kalau Ella juga menjadi seorang tentara seperti dirinya walaupun untuk melayani negara lain. Walau mereka bergabung dengan pasukan militer di negara yang berbeda, Ella berharap kalau pertemanan mereka masih dapat berlanjut. Putus komunikasi selama beberapa tahun telah mendinginkan kepala Melda dan menghapus rasa marah dan perasaan dikhianati oleh Ella sebelumnya. Ia memaafkan Ella dan sejak saat itu mereka menjadi sering menjalin komunikasi dan Melda bahkan menyempatkan dirinya untuk menghadiri pernikahan Ella dan menjadi bridesmaid-nya serta hadir dalam kelahiran anak pertamanya Ella untuk menjadi Godmother bagi Katrina.

    5. Kevin Natadirja
    Anak tunggal. 20 Tahun. 174 cm. Kevin adalah murid jenius dengan IQ yang lebih dari 150 dan menjadi salah satu anggota MENSA di usia 14 tahun. Selama sekolah, ia selalu meraih juara umum dan dengan mudah mendapatkan undangan untuk melanjutkan sekolah di fakultas kedokteran di salah satu universitas terkenal Indonesia. Ia salah satu mahasiswa langka yang menjadi "straight A-student" dalam setiap mata kuliah. Tidak heran kalau para profesor saling memperebutkannya untuk menjadi asisten mereka. Pada akhirnya, Kevin memilih professor Malik karena rasa tertariknya dengan penyakit yang disebabkan oleh virus. Sampai sekarang, virus dianggap sebagai mikroorganisme paling misterius karena virus bukanlah makhluk hidup dan dapat menginfeksi organisme lain bahkan bakteri sekalipun. Dengan kata lain, virus adalah sebuah entitas asing yang tak dapat dibunuh dan satu-satunya cara untuk melawan virus yaitu dengan membuat vaksin yang dapat membantu memperkuat sistem imun tubuh dalam melawan virus. Karena itu, ia tertarik untuk melakukan penelitian bersama professor Malik untuk memecahkan misteri berbagai jenis virus yang berbahaya bagi manusia dan menemukan vaksin untuk menyembuhkan virus-virus tersebut. Walau Kevin sangat terkenal di Universitasnya, ia belum pernah pacaran selama 20 tahun hidupnya. Kevin yang setiap hari selalu berhadapan dengan buku dan penelitian menjadi sesosok orang yang canggung jika harus berhadapan dengan wanita. Pada awalnya, banyak mahasiswi yang mencoba mendekati Kevin. Tapi begitu mereka mulai bercengkarama, para wanita itu merasa kalau obrolan Kevin terasa sangat aneh, garing dan susah untuk dimengerti. Walau Kevin sudah berusaha bersikap seramah dan seakrab mungkin, para mahasiswi itu pada akhirnya akan menjauhi Kevin karena merasa tidak nyaman jika bersamanya. Hal itu membuatnya merasa sedih dan terkadang berharap untuk tidak dilahirkan sebagai seorang yang jenius.



    KARAKTER STATUS

    1. Topan Angkasa

    Age: 18

    Height: 171 cm

    Weapon: Baseball bat, Sledgehammer, Kukri Knife

    Strength: 7

    Speed: 7

    Skill: 7

    Stamina: 7

    Intellect: 7

    Average: 7


    2. Katrina Storm

    Age: 17

    Height: 163 cm

    Weapon: Baseball bat, Rapier

    Strength: 7

    Speed: 9

    Skill: 10

    Stamina: 6

    Intellect: 9

    Average: 8,2



    3. Rudiantara

    Age: 18

    Height: 173 cm

    Weapon: Baseball bat, Double-headed Axe

    Strength: 9

    Speed: 7

    Skill: 8

    Stamina: 8

    Intellect: 8

    Average: 8


    4. Angga Dwi Mukti

    Age: 17

    Height: 168 cm

    Weapon: Baseball bat

    Strength: 8

    Speed: 7

    Skill: 7

    Stamina: 7

    Intellect: 6

    Average: 7


    5. Chairani

    Age: 18

    Height: 158 cm

    Weapon: -

    Strength: 5

    Speed: 5

    Skill: 6

    Stamina: 5

    Intellect: 9

    Average: 6


    6. Angeline White

    Age: 28

    Height: 169 cm

    Weapon: Kitchen Knife

    Strength: 5

    Speed: 6

    Skill: 6

    Stamina: 6

    Intellect: 7

    Average: 6


    7. Badai Angkasa

    Age: 11

    Height: 140 cm

    Weapon: Army Knife

    Strength: 4

    Speed: 3

    Skill: 6

    Stamina: 4

    Intellect: 8

    Average: 5


    8.Anitasari

    Age: 24

    Height: 157 cm

    Weapon: -

    Strength: 6

    Speed: 7

    Skill: 6

    Stamina: 6

    Intellect: 8

    Average: 6,6


    9.Rimawati

    Age: 51

    Height: 152 cm

    Weapon: -

    Strength: 3

    Speed: 5

    Skill: 5

    Stamina: 3

    Intellect: 8

    Average: 4,8


    10. Ella Storm

    Age: 42

    Height: 167 cm

    Weapon: Butcher Knife, Katana (Japanese Sword), Handgun

    Strength: 9

    Speed: 8

    Skill: 8

    Stamina: 9

    Intellect: 7

    Average: 8,2


    11. Imelda Kartika

    Age: 41

    Height: 166 cm

    Weapon: Machine Gun, Handgun, Stungun, Survival Knife, Hand Grenades, Smoke Grenades

    Strength: 9

    Speed: 7

    Skill: 8

    Stamina: 8

    Intellect: 8

    Average: 8


    12.Kevin Natadirtaja

    Age: 20

    Height: 174 cm

    Weapon: -

    Strength: 6

    Speed: 6

    Skill: 5

    Stamina: 5

    Intellect: 10

    Average: 6,4
     
    • Like Like x 1
  18. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Reopen by TS request :hmm:
     
  19. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    It's an omen
    It's an omen
    It's an omen

    Now the writing's on a wall
    It won't go away
    It's an omen
    You just run out of automation

    Now the writing's on a wall
    It won't go away
    It's an omen
    It's an omen
    It's an omen

    Now the writing's on a wall
    It won't go away
    It's an omen
    You just run out of automation
    Now, now

    Now the writing's on a wall
    It won't go away
    It's an omen
    You just run out of automation

    Now the writing's on a wall
    It won't go away
    It's an omen
    It's an omen
    It's an omen

    Now
    It's an omen
    Now

    Now
    Now
    Now
    [​IMG]
    "Uuuh... Kak... Kak..."

    Badai meracau dalam tidurnya. Tubuhnya sangat panas dan bulir-bulir keringat terus membasahi wajahnya. Kulap wajahnya itu dengan sebuah kain hangat dan berharap agar sakit yang ia rasakan ini segera berakhir.

    "Tenanglah, kau pasti akan baik-baik saja. Aku akan selalu di sampingmu dan melindungimu," ucapku dengan tujuan untuk menenangkannya. Entah ia mendengarkan ucapanku itu atau tidak, karena ia masih tetap meneruskan racauannya.

    Kugenggam dengan erat tangannya. Terdapat sebuah bekas gigitan yang masih baru di telapak tangan kirinya itu.

    "Kak... Kak..."

    Tenang saja, Badai. Takkan kubiarkan siapapun mengambilmu dariku. Walau pada akhirnya kau akan berubah, aku akan tetap melindungi dirimu sampai akhir. Karena kau, adalah saudaraku satu-satunya.

    Tiga bulan sebelumnya...

    Kami berhasil kabur dari Universitas itu dengan selamat. Angie, Ella dan Badai yang melihat kami kembali tanpa Kevin langsung memahami situasinya dan tidak berusaha mempertanyakan kondisi Kevin. Aku menoleh ke arah Universitas itu untuk terakhir kalinya sebelum mobil kami melaju dan bangunan fakultas itu menghilang dari pandangan.

    Kuperhatikan semua orang yang ada di dalam mobil. Dari raut wajahnya, Angie terlihat yang paling terpukul di antara kami karena kematian Kevin. Maklum saja, di antara kami semua, Kevin paling akrab dengan Angie karena cuma Angie yang mau merespon obrolannya. Jadi aku tahu kalau Angie pasti lebih merasa kehilangan daripada kami semua karena orang yang selalu mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan telah menghilang.

    "Fuuuh... Jadi, apa yang kalian dapatkan di sana?" tanya Angie ketika mobil kami telah berjalan agak jauh dari Universitas tadi seraya menghembuskan rokoknya, tanda ia sedang merasa stress sekarang.

    "Sayang sekali, teori awal yang mengatakan bahwa penderita virus bisa disembuhkan itu ternyata salah. Apalagi sebenarnya virus itu adalah senjata biologis dan telah berada di dalam diri kita semua, tinggal menunggu waktu hingga kita berubah," jelasku.

    Angie dan bu Ella terlihat sangat terkejut mendengarkan kata-kataku sementara Badai hanya terlihat kebingungan. Mungkin ia kurang mengerti tentang masalah ini.

    "Apa maksudmu dengan senjata biologis?!"

    "Tidak dapat disembuhkan?!"

    Masing-masing dari mereka terkejut untuk hal yang berbeda. Bu Ella terkejut ketika mengetahui kalau virus ini sebenarnya adalah senjata biologis sedangkan Angie terkejut kalau ternyata virus ini tak bisa disembuhkan.

    "Tenanglah, Topan belum selesai menjelaskan. Memang, ada kemungkinan kalau virus ini sengaja disebarkan oleh suatu pihak dan kemungkinan itu sangat tinggi. Mom ingat sejak tanggal berapa pertama kali ditemukan orang yang menderita flu ini?" ujar Katrina.

    "Kalau tidak salah sekitar awal tahun baru. Tanggal 1 atau 2 Januari."

    "Benar. Pada awalnya, virus ini sifatnya hampir sama dengan virus influenza biasa. Tingkat penularan dan bahayanya tidak terlalu tinggi. Tapi semakin bertambah hari, jumlah penderita semakin banyak. Dan pada tanggal 13 Januari, entah kenapa semua penderita serentak berubah menjadi infected dan menyerang manusia. Bukankah itu hal yang aneh?" jelas Katrina lagi.

    Kami semua merenungi kata-kata Katrina. Memang benar. Seperti yang kami lihat selama ini, ibunya Rudi sebagai contoh. Ia berubah menjadi infected setelah sekitar setengah hari menunjukkan gejala flu. Tapi bagaimana dengan orang yang telah menderita flu ini sejak tanggal 2 Januari? Kenapa mereka semua baru berubah pada tanggal 13 Januari juga? Satu-satunya jawaban untuk hal ini berarti ada suatu hal yang bertindak sebagai katalis pada tanggal 13 Januari, sehingga semua penderita secara serentak berubah menjadi infected.

    "Karena itulah, kemungkinan besar ada sebuah pihak yang terus menyebarkan virus itu ke udara. Mungkin pada awalnya, virus yang mereka sebarkan masih dalam tahap uji coba sehingga tingkat bahayanya tidak terlalu tinggi. Tapi pada tanggal 13 Januari, mereka menyebarkan virus sama yang telah di upgrade, sehingga tingkat bahaya dan penularannya lebih tinggi dan menyebabkan perubahan menjadi seorang infected."

    "Tunggu dulu, itu artinya organisasi ini sangat besar, bukan? Buktinya wabah ini telah terjadi di seluruh dunia. Dan untuk menyebarkan virus melalui udara ke seluruh dunia itu bukanlah hal yang mudah kalau hanya organisasi kecil yang mencoba melakukannya. Untuk bisa melakukan hal seperti ini, organisasi itu setidaknya sudah sebesar sebuah negara," ujar bu Ella menimpali ucapan Katrina.

    "Negara? Tunggu dulu. Maksud kak Ella, virus ini disebarkan oleh sebuah negara, begitu?!" seruan Angie mencerminkan rasa tak percayanya. Tapi jujur saja, aku juga tak menyangka kalau misalnya dalang dari semua ini adalah sebuah negara. Negara mana yang begitu tega seperti ini, coba?

    "Itu hanya sekedar asumsi, tapi kita tak bisa menampik kemungkinan tersebut," jelas bu Ella.

    "Baiklah, kalau benar virus ini memang sengaja disebarkan oleh suatu pihak, apa yang tujuan mereka melakukan hal ini? Bagaimanapun, wabah virus ini telah merubah keseimbangan dunia dan akan sulit mengembalikan keadaan seperti sebelumnya. Apalagi kau bilang kalau ternyata virus ini tak dapat disembuhkan," sambungnya.

    "Tentang hal itu... Kami belum tahu apa virus ini benar-benar tak dapat disembuhkan atau tidak." Rudi yang sedari tadi diam kini memutuskan untuk bicara.

    "Maksudmu?" tanya Angie tak mengerti.

    "Pada awalnya, kami menemukan jurnal Profesor Malik yang mengatakan kalau tidak ada manusia yang memiliki sistem imun yang lebih kuat dari virus ini. Dengan kata lain, virus ini tak dapat disembuhkan," jelas Katrina menyambung kata-kata Rudi. Kami menyimak penjelasannya dengan seksama.

    "Ketika kami mengira sudah tak ada harapan, kami menemukan halaman baru di jurnal Profesor Malik dimana ia telah menemukan jawaban untuk masalah tadi," sambung Katrina.

    "Dan solusi itu adalah....?" tanya Angie dengan sesekali melihat Katrina dari kaca mobil dan melihat ke arah depan karena sekarang ia sedang mengendarai mobil.

    "Hidup bersama dengan virus,"

    "HAAAH?" Kami semua minus Rudi dan Badai terkejut mendengar penjelasan Katrina.

    "Tunggu. Wajar kalau Badai tidak terkejut karena ia masih kecil. Tapi kalian bertiga pergi ke sana bersama Kevin. Kenapa kau ikut terkejut juga, Topan?!" seru bu Ella melihatku yang ikut terkejut bersama mereka sedangkan Angie hanya tertawa kering melihat tingkahku.

    "Euh... Kalau tidak salah aku memang membaca kalimat 'Hidup Bersama' di jurnal Professor Malik. Tapi aku tidak menyangka kalau maksudnya adalah hidup bersama dengan virus. Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan itu, Katrina? Dan apa maksud hidup bersama itu?" Aku membela diri dan melanjutkan dengan melontarkan pertanyaan pada Katrina.

    "Hmm... Terus terang saja, aku memiliki spekulasi yang sama dengan Katrina. Professor Malik mengatakan bahwa sifat virus tersebut harus diubah dari Simbiosis Parasitisme menjadi Simbiosis Mutualisme. Kupikir itulah yang dimaksud dengan hidup bersama, bukan begitu?" ujar Rudi mengutarakan pendapatnya.

    "Ya. Seperti pesan terakhir Kevin, pada dasarnya virus ini adalah parasit bagi tubuh dan hidup dengan menggerogoti sel tubuh kita. Pada saat ini, virus itu masih dalam kondisi inaktif sehingga masih belum berbahaya bagi kita. Namun ketika kondisi tubuh kita lemah, itulah yang memberikan mereka celah untuk menembus dinding pertahanan tubuh dan menyerang sel-sel hingga pada akhirnya kita berubah menjadi infected."

    "Tunggu dulu... Aku mengerti sekarang. Jadi maksudmu, orang yang harus kita temukan itu adalah orang yang sel tubuhnya telah diserang dan digerogoti oleh virus itu dan tinggal menunggu waktu untuk berubah menjadi infected, tapi entah bagaimana sistem imunnya juga turut bermutasi bersama virus yang menyerang. Pada akhirnya, bukannya menggerogoti sel tubuh, virus itu malah memberikan manfaat baik bagi tubuh yang terserang, bukan begitu?" simpulku setelah mendengar sebagian penjelasan Katrina.

    Katrina menatapku selama beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "ya, tepat seperti yang kau katakan."

    "Oooh... I see... Jadi seperti bakteria baik yang ada di dalam minuman ya*ult itu ya? Tapi memangnya hal itu mungkin dapat terjadi?" tanya bu Ella.

    "Betul. Sejauh ini, semua orang yang kita temukan dan telah tergigit atau menunjukkan gejala terserang virus, akan berubah menjadi infected. Itu artinya, hampir 99% hal itu tidak mungkin dapat terjadi bukan?" kata Angie dengan nada yang terdengar frustrasi.

    "...." Katrina, Rudi dan yang lain hanya bisa diam mendengar ucapan Angie. Tidak bisa dipungkiri kalau pada kenyataannya hampir tidak mungkin menemukan orang yang imun seperti itu. Lagipula, itu hanyalah sekedar teori yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

    "... Memang benar, sampai saat ini, kita masih belum menemukan orang yang imun terhadap virus ini. Tapi, selama kemungkinan itu masih ada, tak ada salahnya untuk berharap bukan?" ucapku untuk meringankan suasana walau pada kenyataannya aku berpikir hal yang sebaliknya.

    "Well, percuma saja kalau kita hanya terus memikirkan hal ini. Sekarang ini, kita fokus saja untuk bertahan hidup. Siapa tahu, suatu saat kita bisa menemukan orang tersebut," kata bu Ella pada akhirnya.

    Mobil kami terus melaju tanpa tujuan yang jelas. Selama kami belum menemukan orang yang dapat menjadi kunci tersebut, tak ada kemajuan yang berarti yang dapat dilakukan dalam membuat vaksin selain bertahan hidup dan berharap keajaiban itu akan datang secepatnya.

    Tak terasa sudah sehari berlalu sejak meninggalnya Kevin. Bensin yang sudah hampir habis dan rasa lapar akibat belum makan dari kemarin membuat kami mencari sebuah pom bensin dan berharap ada minimarket di sana untuk mencari makanan guna memenuhi permintaan perut yang sudah keroncongan.

    Kami akhirnya menemukan sebuah pom bensin yang masih memiliki cukup minyak tersisa. Namun sayang, tak ada makanan kaleng di mini market di sana. Yang ada hanyalah makanan ringan yang tak cukup untuk memenuhi rasa lapar kami.

    "Baiklah, bensin sudah penuh. Cepat kembali ke dalam mobil dan segera cari mini market lain," perintah Angie pada kami yang telah kembali keluar dari mini market tersebut dengan tangan hampa.

    Tepat setelah kami semua kembali ke dalam mobil. Sebuah mobil berjenis pick up yang membawa 6 laki-laki bertampang sangar berhenti tepat di depan mobil kami. Empat orang yang berdiri di gerobak pick up itu turun dan mengerubungi mobil kami, diikuti dengan 2 orang yang duduk di kursi supir dan penumpang.

    Masing-masing dari mereka memegang senjata seperti kapak, cangkul, parang, bahkan gergaji mesin serta memberi kami tatapan jahat serta ucapan-ucapan provokasi, entah apa tujuan mereka sebenarnya.

    "Berandalan sialan, apa mereka tidak sadar kalau keributan yang mereka timbulkan bisa memancing para infected kesini? Memang pom bensin ini jauh dari kota, tapi kita tetap harus hati-hati," ucap bu Ella dengan nada jengkel.

    "Hei, apa tujuan kalian sebenarnya? Tak ada hal berharga yang bisa kalian jarah dari kami. Kami bahkan belum makan dari kemarin, jadi cepat minggir dan berhenti menganggu kami!" perintah bu Ella pada mereka.

    "Hei, nek. Sebaiknya kau tidak usah banyak bacot deh. Tujuan kami bukan untuk menjarah kalian, tapi untuk mengambil kedua perempuan cantik ini. Hehehe, mereka bisa jadi barang mainan kami setidaknya selama satu minggu ini sebelum kami bosan dan mencari cewek lainnya," kata salah seorang dari mereka dengan tampang mesum yang menjijikkan.

    Mendengar kata-katanya yang merendahkan Katrina dan Angie membuatku merasa sangat muak. Aku merasa kalau hatiku sekarang sudah mendidih saking marahnya dan bersiap untuk menghajar mereka. Tapi belum sempat aku bicara, bu Ella telah turun duluan dari mobil.

    "Heh, kenapa nenek ini? Mau menantang kami ya?" tanya salah satu dari mereka seraya mengangkat parang yang dipegangnya untuk menodong bu Ella.

    "Tidak cukup kalian merendahkan anakku dan juga Angie, kalian juga memanggilku dengan sebutan nenek? Dengar ya, umurku masih 40 tahun dan aku masih kuat menghabisi kalian berenam sendirian!"

    Tepat setelah bu Ella mengakhiri ucapannya, ia mengirimkan tendangan lutut yang telak mengenai dagu pemuda itu dan mengirimnya terpental ke belakang dan pingsan seketika. Hal itu membuat kelima pemuda sisanya menjadi waspada dan mulai menyerang bu Ella.

    Katrina membuka pintu sebelahnya dengan kuat untuk menjatuhkan keseimbangan lelaki yang berdiri di sebelah pintu itu. Melihat kesempatan ini, bu Ella lalu mengirimkan tendangan kebelakang mautnya yang kedua, sementara tangannya mengeluarkan pedang dari sabuknya dan memukul muka laki-laki yang menyerangnya dari depan dengan gagang pedang itu. Dua dari mereka langsung ambruk seketika dan menyisakan 3 orang lagi yang kini menjadi lebih waspada dan menghentikan serangan tanpa pikir panjang mereka.

    Aku dapat melihat tatapan tak percaya serta takut dari mereka karena bu Ella yang dapat dengan mudah mengalahkan tiga orang dari mereka masing-masing hanya dengan satu serangan.

    "... Hehe..." Salah satu dari mereka tiba-tiba tertawa dan membuka pintu Angie lalu menariknya keluar dengan paksa dan menjadikannya sebagai sandera. Sial, kami lengah!

    "Kalau tak mau dia mati, sebaiknya jatuhkan senjatamu, nenek lampir!" perintah laki-laki itu dengan tidak sopan yang membuat urat-urat kemarahan di dahi bu Ella semakin jelas. Apa mereka masih tak mengerti kalau hal itu adalah kata-kata yang tabu?!

    "Huh, pintar juga. Kalian menyandera orang yang terlihat paling lemah untuk membalikkan keadaan. Tapi sayang, aku sudah menyiapkan senjata untuk saat-saat seperti ini!" Angie mengeluarkan sebuah pisau dari balik blazernya dan menusuk laki-laki penyanderanya tepat ketika ia mengakhiri kata-katanya itu.

    Tindakan Angie yang tak disangka membuat mereka lengah dan memberikan kesempatan bagi kami untuk membalas mereka. Aku segera membuka pintu dan memukul pemuda yang berdiri di samping pintuku dengan sledgehammer. Mungkin pukulanku terlalu kuat karena aku dapat mendengar suara beberapa tulangnya yang patah akibat beradu dengan sledgehammer-ku.

    Sementara itu, bu Ella memukul pemuda di sisinya dengan gagang pedangnya lagi, membuat pemuda itu hampir terjatuh karena ia sempat menghindar sehingga serangan yang ia terima tidak terlalu kuat. Namun, bu Ella segera menyambung serangan itu dengan tinju besinya dan membuat pemuda itu mau tak mau harus mencium tanah.

    *****​

    "Nah, hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kalian agar tidak lagi menantang orang sembarangan," nasehat bu Ella kepada keenam pemuda yang telah kami ikat tangan dan kakinya itu. Mereka hanya bisa meringis tanpa bisa membalas ucapan bu Ella.

    "Baiklah. Apa kalian berasal dari sini? Kalian tahu dimana kami bisa mendapatkan persediaan makanan di sekitar sini?" tanya Angie pada salah satu dari mereka.

    "Aaah, ya... Sekitar 10-20 kilometer dari sini, kalian akan masuk ke dalam kota dan ada sebuah mall yang cukup besar di sana. Di lantai bawah tanahnya ada pusat perbelanjaan yang lumayan besar. Masih banyak makanan kaleng maupun mentah yang tersisa di sana, kalian bisa mengambil sebanyak yang kalian mau," jelasnya.

    "Baiklah, sebaiknya mall itu jadi tujuan kita selanjutnya, bagaimana?" tanya Angie pada kami. Kami semua mengangguk karena hanya hal itulah yang menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

    Kami semua kembali ke mobil dan membiarkan mereka masih terikat di sana. Seiring mobil melaju pergi, aku dapat melihat kalau beberapa dari mereka menyungging sebuah seringai aneh, yang entah kenapa, mengirimkan perasaan tidak enak padaku. Aku berharap kalau hal itu hanyalah rasa kepercayaan diri kosong dan bukanlah sebuah pertanda kalau hal buruk akan menimpa kami nanti.

    ________________________________________________________

    Lagu pendamping

    Chapter 13: Omen by The Prodigy
     
    • Like Like x 1
  20. mwahaha M V U

    Offline

    Raidou Kuzunoha XVII

    Joined:
    Aug 17, 2010
    Messages:
    1,149
    Trophy Points:
    227
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +19,742 / -0
    Yeah!

    [Verse 1:]
    I feel theres something thats hidden inside
    It creeps up my spine and takes over my mind
    I can't control it no
    I think I'm losing control

    [Pre Chorus:]
    You just don't get it do you
    I'm not stuck here with you
    Your stuck in here with me (your stuck in here with me)
    You just don't get it do you
    I'm not stuck here with you
    Your stuck in here with me (your stuck in here with me)

    [Chorus:]
    One more word and we'll cut out your eyes
    One more time left to say your goodbyes (so say em)
    We can't, we cannot stop the growth
    We can't, we cannot stop the

    [Verse 2:]
    The candlelight melts all my shadows away
    Thanks for the hate cause its fueling my flames
    You can't control us no
    I think your losing control

    [Pre Chorus 2:]
    You just don't get it do you
    I'm not stuck here with you
    Your stuck in here with me (stuck in here with me)
    You just don't get it do you
    I'm not stuck here with you
    Your stuck in here with me (stuck in here with me)

    [Chorus:]
    One more word and we'll cut out your eyes
    One more time left to say your goodbyes (so say em)
    We can't, we cannot stop the growth
    We can't, we cannot stop the growth

    One more word
    One more time left to say your goodbyes (so say em)
    We can't, we cannot stop the growth
    We can't, we cannot stop the growth

    No!

    [Breakdown:]
    You just don't get it do you
    I'm not stuck here with you
    Your stuck in here with me (stuck in here with me)

    You just don't get it do you
    I'm not stuck here with you
    Your stuck in here with me (stuck with me)

    [Chorus:]
    One more word and we'll cut out your eyes
    One more time left to say your goodbyes (so say em)
    We can't, we cannot stop the growth
    We can't, we cannot stop the growth!
    [​IMG]
    "Baiklah, jadi ini mall yang mereka maksud," ujar Angie ketika kami sudah sampai di depan mall tersebut.

    Perasaan buruk semakin menjadi ketika melihat puluhan mayat infected bergelimpangan di sekitar mall itu dan tak ada tanda-tanda infected lain di sekitar mall ini.

    "Umm... Apa kita benar-benar akan pergi ke dalam sana? Kalian lihat mayat para infected itu? Kupikir sudah ada orang lain yang berada di dalam mall dan itu bukanlah hal yang baik," ujarku dengan cemas.

    "Kau benar-benar pengecut, Topan. Hal ini adalah kesempatan emas buat kita karena kita tak perlu repot lagi membunuh para infected. Lagipula, mayat-mayat infected ini menunjukkan kalau ada orang yang pernah pergi ke mall seperti kita, dan itu adalah hal yang wajar, karena banyak persediaan yang dapat kita ambil dari mall ini. Tapi bukan berarti mereka masih di dalam sana," kata Katrina yang cukup menusukku karena ia menyebutku sebagai orang yang pengecut. Karena itu aku hanya bisa diam dan tidak mencoba untuk berargumen lagi.

    "Baiklah, aku dan Katrina akan pergi ke dalam dan mengambil persediaan makanan untuk kita. Topan dan Rudi akan menjaga Angie dan Badai di mobil," perintah bu Ella.

    "Tunggu, bukankah sebaiknya kami saja yang pergi bu? Bagaimanapun, kami berdua laki-laki di sini," kataku.

    "Hah! Menurut estimasiku, di antara kita semua, aku yang paling kuat di sini diikuti oleh Katrina. Lagipula kami perempuan lebih pandai dalam memilih makanan yang paling bergizi untuk kita, jadi kalian laki-laki tidak berguna tunggu saja di sini," ujarnya menyombongkan diri.

    Memang, kuakui kalau kekuatan bu Ella setara dengan kekuatan kami bertiga jika digabungkan, serta Katrina adalah petarung yang paling efisien di antara kami. Ia dapat membunuh dengan gesit tanpa membuang-buang tenaga karena senjatanya yang ringan. Tapi dibilang sebagai laki-laki tak berguna itu rasanya agak menyakitkan, hiks...

    "Hati-hati ya kak Ella, Katrina," pesan Angie sebelum mereka pergi yang dijawab dengan anggukan dari mereka.

    "Ha... Hati-hati ya," kataku juga. Bu Ella meresponku dengan memberikan cengir lebar dan jempol kanan sementara Katrina bersikap seolah tak mengacuhkanku. Yah, lama-lama aku mulai terbiasa dengan sikapnya yang cuek padaku seperti itu.

    *****

    Kami menunggu mereka berdua di mobil dengan suasana yang canggung. Rudi sepertinya masih mencuekkanku sehingga aku tak enak untuk memulai pembicaraan lebih dulu. Aku ingin mengajak Angie ngobrol, tapi aku sendiri bingung hal apa yang harus kubicarakan. Sedangkan kalian tahu sendiri bagaimana sifat Badai. Ia bahkan jarang berbicara padaku, jadi aku juga bingung dengan hal yang harus kukatakan padanya selain tetap memegang pundaknya agar ia merasa tenang, karena sepertinya ia masih merasa tegang akibat kejadian di pom bensin tadi. Akhirnya Angie lah yang memecahkan suasana canggung ini dengan mengajak kami bicara.

    "Oh ya Topan, Badai. Bagaimana dengan orang tua kalian? Kalian tak pernah menceritakan tentang mereka dan selama 3 hari ini aku tak pernah melihat kalian mencoba menghubungi mereka," ujar Angie.

    "Eh, aku belum cerita ya? Orang tua kami pergi berbulan madu ke Australia selama dua minggu. Mereka masih di Australia karena ini masih minggu pertama mereka di sana," jelasku. "Aku sebenarnya ingin menghubungi mereka, tapi pulsaku tak cukup untuk melakukan sambungan Internasional. Jadi selama ini aku masih menunggu telepon dari mereka, tapi hingga sekarang mereka masih belum menelepon kami," sambungku lagi.

    "Begitu? Kenapa kau tidak bilang dari kemarin? Orang tuaku juga tinggal di luar negeri, jadi aku punya paket untuk telepon ke luar negeri. Sebentar biar kuperiksa batere hp-ku dulu.... Ah, tinggal 8% lagi. Tapi sepertinya masih cukup untuk menelepon sebentar. Nih, gunakanlah untuk menghubungi dan memastikan keadaan mereka," ujar Angie seraya menyerahkan telepon genggamnya padaku.

    Aku menerima hp-nya. Dapat kulihat mata Badai yang berbinar karena setelah 3 hari kami bisa juga mengetahui kondisi kedua orang tua kami. Dengan takut-takut kuketik nomor telepon ayahku. Sejujurnya, aku merasa takut mengetahui bagaimana kondisi orang tuaku sekarang. Aku takut setelah menekan tombol 'panggil' ini, tak ada orang di seberang telepon yang mengangkat panggilan ini atau nomornya sudah tidak aktif, yang berarti ada suatu hal yang tidak di inginkan telah terjadi pada mereka

    Glek. Rasanya sangat susah untuk menekan tombol berwarna hijau ini. Badai dan Angie memberikanku tatapan pemberi semangat agar aku dapat menekan tombol hijau ini. Batere HP Angie tinggal 7% lagi. Kalau aku diam seperti ini terus, bisa-bisa batere HP-nya habis duluan. Baiklah, apapun yang terjadi aku harus bisa tegar menerimanya. Here we go!

    Tuut.... Tuut...

    Tersambung! Tapi kini masih belum saatnya untuk senang karena masih belum ada yang mengangkat telepon ini.

    "Ya... Halo?" ucap sebuah suara dari seberang telepon. Suara itu terdengar begitu familiar dan membuat hatiku seketika menjadi tenang serta mataku mulai terasa hangat.

    "Halo? Ayah.. Ayah? Ini aku, Topan!" seruku saking senangnya. Badai terlihat begitu senang mengetahui bahwa ayah kami ternyata baik-baik saja.

    "Topan?! Syukurlah kau selamat. Badai bersamamu?" tanya ayah yang juga terdengar tak kalah cemas bercampur lega sepertiku.

    "Ya. Bagaimana dengan ibu?" tanyaku sembari menghapus bulir air mata yang mulai jatuh dari mataku dan juga Badai.

    "Dia juga baik-baik saja. Baguslah, kau harus jaga adikmu baik-baik sampai kami dapat menemukan cara untuk kembali lagi ke Indonesia! Ngomong-ngomong, kita sebaiknya memutuskan pembicaraan ini karena aku bersama beberapa orang lain sedang mengkarantina gedung hotel ini," katanya.

    "Kalian sedang mengungsi di hotel?" tanyaku.

    "Ya. Setelah 3 hari, situasi mulai agak tenang. Karena itu, kami berusaha membuat hotel tempat kami tinggal menjadi 'safe house' dan membersihkan seluruh ruangan hotel ini dari para infected itu agar aman ditinggali. Bagaimana dengan kalian?" tanyanya. Sepertinya mereka juga menggunakan istilah infected di sana.

    "Sementara ini kami masih tinggal di dalam mobil. Kami belum tahu apa nanti kami akan mencari tempat pengungsian atau tetap terus tinggal di dalam mobil," jelasku.

    "Hmm... Di dalam mobil bukanlah pilihan yang buruk. Kalian mendapatkan mobilitas, tetapi anggota grup kalian pasti hanya terbatas. Oh ya, aku harus memberikan nasehat pada kalian sebelum memutuskan sambungan telepon ini. Sebaiknya kalian jauhi tempat-tempat seperti hotel , mall, sekolah, super market maupun tempat umum lainnya. Karena tempat-tempat itu adalah lokasi pengungsian yang dipilih oleh banyak orang. Dengan keadaan yang kacau seperti sekarang, jangan harap kalian akan mendapat sambutan hangat dari mereka kalau kalian datang ke sana tanpa di undang. Karena mereka mungkin akan menganggap kalian sebagai penjarah dan mungkin akan membunuh kalian tanpa peringatan. Hati-hati dan..." pesan ayahku. Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, panggilan sudah terputus duluan karena batere hp Angie yang sudah habis.

    "..." aku mengembalikan hp Angie tanpa dapat berucap apa-apa. Benar kata ayahku. Kita tidak seharusnya masuk ke dalam mall secara teledor. Bagaimana kalau sudah ada orang di dalam sana dan mereka menyerang Katrina dan Ibunya secara diam-diam?!

    "Kenapa wajahmu tegang begitu?" tanya Angie yang tak mengetahui isi percakapanku dengan ayah karena panggilan telepon yang tidak ku loudspeaker-kan.

    "Bahaya... Sudah kubilang kalau mayat infected yang bergelimpangan ini bukanlah pertanda baik. Rud, kita harus pergi menyelamatkan Katrina dan bu Ella sekarang juga!" seruku.

    "Eh, tunggu. Apa maksudmu?" tanya Angie tak mengerti.

    "Kalian masih tak sadar juga? Memang bagi grup kecil seperti kita mobil ataupun rumah adalah pilihan yang tepat untuk mengungsi. Tapi bagaimana dengan grup survivor yang beranggotakan banyak orang? Tentu saja tempat utama yang akan mereka pilih adalah tempat umum yang cukup besar seperti sekolah, tempat ibadah, kantor, hotel, toko, maupun mall seperti ini, kan? Banyaknya mayat infected dan kenyataan bahwa tak ada infected di sekitar sini menunjukkan bahwa grup yang menghabisi mereka ini beranggotakan cukup banyak orang yang jago bertarung dan tak ragu untuk membunuh, mungkin ada belasan orang. Dan satu-satunya tempat umum yang ada di sekitar sini sebagai tempat pengungsian mereka adalah..."

    "Mall ini..?!" sambung Angie dengan nada seakan tak percaya namun setuju dengan pendapatku.

    "Gawat, ini berbeda dengan grup yang kita temui di supermarket sebelumnya. Grup ini sanggup membunuh puluhan infected yang ada di sekitar sini, berarti mereka juga sudah tidak ragu lagi untuk membunuh orang, apalagi jika mereka menganggap orang itu sebagai ancaman bagi mereka. Kuharap kak Ella dan Katrina tidak apa-apa, tapi susah juga kalau mereka di kepung oleh puluhan orang bersenjata yang memiliki akal dan logika, berbeda dengan mindless infected yang kita temui selama ini," ujar Angie dengan khawatir.

    "Karena itulah aku dan Rudi akan menyusul mereka. Angie, kau tetap kunci pintu mobil dan jangan buka sampai kami kembali. Kupikir, tidak ada infected yang akan datang menyerang dalam waktu dekat karena telah di habisi oleh mereka," ujarku sembari membuka pintu untuk turun diikuti dengan Rudi. Sepertinya, walau Rudi hanya diam saja sedari tadi, ia juga turut khawatir dengan Katrina dan bu Ella yang nampak dari raut wajahnya.

    Aku mendengar bunyi derap langkahku dan jantungku terasa langsung mencelos begitu menyadari kalau bunyi langkah kaki itu berasal dari belasan orang keluar dari pintu utama mall itu. Mereka semua adalah pria bertubuh kekar dan bertampang sangar, dan parahnya, mereka menawan Katrina dan bu Ella dimana keduanya menderita luka memar yang parah di wajah dan beberapa bagian tubuh yang terlihat.

    "Hehehe, ternyata anggota grup kedua wanita ini hanya anak-anak. Pantas saja, yang dikirim ke dalam mall hanya ibu tua jelek dan gadis kecil seperti ini. Hahaha!!" ujar salah satu dari mereka sembari tertawa diikuti dengan teman-temannya yang lain.

    "Ya, bos. Sepertinya ada satu perempuan lagi yang lumayan di dalam mobil itu. Memang satu dari perempuan ini cuma nenek tua, tapi gadis ini dan wanita di mobil itu sepertinya dapat melayani kita, bos," kata seorang pemuda kepada laki-laki berbadan tinggi kekar dengan bekas luka di wajahnya yang membalas ucapan anak buahnya itu dengan seringai licik.

    Dadaku memanas mendengar kata-kata mereka. Tak cukup dengan memukul Katrina dan bu Ella, mereka bahkan ingin menggunakan Katrina dan Angie sebagai bendapemuas nafsu mereka? Tak bisa dimaafkan... Mereka semua tak bisa dimaafkan...

    "Lepaskan tangan kotor kalian dari Katrina dan bu Ella, SEKARANG JUGA!!!" seruku sembari menatap mereka dengan tajam. Mereka tidak menganggapku dengan serius dan malah semakin tertawa terbahak-bahak.

    "Hahahahaha... Memangnya apa yang bisa kau lakukan dengan palu besar itu? Ingin melawan kami semua? Belum sempat kau mengayunkan palu itu, kau sudah pasti mati terbunuh!" ejek salah satu dari mereka.

    "Grrr... Sialan!" bu Ella memberontak dan mencoba melepaskan tangannya dari mereka. Namun, tanpa pedang dan tangan yang diikat, bu Ella tak bisa melakukan perlawanan berarti dan menerima pukulan di wajah serta di perut yang membuatnya jatuh tersungkur.

    "Urgh..."

    "Itu akibatnya kalau mau coba-coba melawan kami, nek tua!" bentak salah satu dari mereka dengan kasar sembari menendang kepala bu Ella.

    Aku melihat tatapan putus asa Katrina yang tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menyaksikan ibunya yang disiksa dengan ditendang dan diludahi seperti itu.

    ....Cukup, sudah cukup. Aku tak tahan melihat semua ini. Hal yang mereka lakukan sudah melewati batas, dan mereka harus menerima ganjaran akibat perbuatan mereka yang telah menyakiti Katrina dan bu Ella.

    *****

    Katrina's POV

    "Mom... Mom...!" teriakku. Aku ingin menyelamatkan mom tapi genggaman pria bertubuh kekar di belakangku ini membuatku tak bisa berkutik dan hanya daoat menyaksikan mereka menyiksa mom.

    "Dasar monster! Kalian semua tak ada ubahnya dengan para infected. Bahkan kalian lebih laknat dari mereka!" teriakku histeris.

    Mungkin ini pertama kalinya aku meluapkan emosiku secara gamblang seperti ini. Tapi siapa yang bisa tenang melihat orang tua mereka di siksa di depan mata seperti itu?!

    Shit! Kalau saja kami tidak lengah dan melonggarkan kewaspadaan kami, hal ini mungkin takkan terjadi. Aku dan Mom berjalan menuruni escalator ke lantai 1 di bawah tanah tempat di mana Super Market di dalam Mall itu berada. Hanya saja, ketika kami sedang memilih-milih makanan, lampu tiba-tiba mati dan aku dapat merasakan pukulan yang keras di belakang kepalaku yang membuatku jatuh pingsan. Begitu tersadar, tanganku dan mom telah terikat dan kami dikepung oleh 18 laki-laki bertubuh kekar dan bertampang sangar, di mana masing-masing dari mereka terlihat lumayan jago dalam bertarung dan memegang berbagai senjata tajam maupun tumpul yang berlumuran darah, mungkin dari mayat para infected yang bergelimpangan di luar Mall ini. Sial... Seharusnya aku mendengar kata-kata Topan dan bertindak lebih waspada.

    "Hehe, gadis kecil. Sebaiknya kau tidak usah memberontak seperti ini. Bagaimanapun, sayang rasanya melukai wajah dan tubuh yang bagus ini sebelum kami dapat menikmatinya," ujar lelaki yang memegang tanganku dengan tatapan mesum dan mencoba membelai wajahku. Urgh... Mendengar kata-katanya membuatku ingin muntah.

    "Lebih baik aku mati daripada menjadi mainan kalian!" seruku sembari meludahi wajah lelaki yang memegangku ini.

    "KAU...." geramnya dan mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya dengan ancang-ancang ingin memukulku. Tanpa merasa gentar, aku menatap matanya dengan tajam dan siap menerima pukulan yang akan ia layangkan.

    KLANG

    Bunyi besi yang beradu dengan lantai batu halaman mall mengalihkan perhatian kami. Topan membuang sledgehammernya ke tanah dan berjalan ke arah kami tanpa senjata. Apa yang sebenarnya tengah dipikirkan oleh si bodoh ini?!

    "Topan..." bisik Rudi dengan wajah cemas. Awalnya ia terlihat ingin menghentikan Topan, namun niat itu ia urungkan entah mengapa.

    "HAHAHAHA! Sekarang ia mencoba melawan kita tanpa senjata. Dia mau bunuh diri ya? Aduh, perutku sampai sakit," ujar salah satu lelaki brengsek ini sembari tertawa terbahak-bahak diikuti dengan lelaki brengsek lainnya.

    Sialan, walau begitu aku menyetujui ucapan mereka. Sebenarnya apa maksudmu membuang senjatamu Topan? Ingin melawan mereka semua yang bertubuh 2 kali lebih besar darimu ini dengan tangan kosong? Kau hanya akan mati sia-sia!

    Topan hanya menunduk dan masih terus berjalan maju, seolah tak menggubris ucapan mereka. Matanya tertutupi rambut keritingnya yang agak panjang, sehingga aku tak dapat membaca ekspresinya sekarang. Dia terus berjalan maju dan maju sampai akhirnya ia berdiri tepat di hadapanku.

    Para laki-laki brengsek ini masih terus mentertawai Topan. Mereka bahkan tidak menanggapinya dengan serius. Ada yang tertawa saking hebohnya sampai memegang perut karena kesakitan saking asyiknya tertawa.

    "Hahaha... Heh, cebol. Kau mau menolong tuan putrimu ini? Kau kira kau punya kekuatan super dan mencoba melawan kami dengan tangan kosong? Coba saja kalau bisa!" tantang pria yang memegang tanganku.

    Topan yang sedari tadi menunduk itu, kini mengangkat kepalanya. Tatapan mata yang dimilikinya sekrang... Terlihat sangat berbeda. It's a stare full of hostility. And although the man in front of me is Topan, at the same time, I'm pretty certain that he is NOT the Topan I knew.

    ________________________________________________________

    Lagu pendamping

    Chapter 14: Bad Blood by Escape The Fate (Not to be mistaken by Taylor Swift's Bad Blood!!!)
    Lanjutannya besok ya :omgatot:
     
    • Thanks Thanks x 1
    Last edited: Jan 25, 2017
  21. NodiX M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 7, 2011
    Messages:
    510
    Trophy Points:
    122
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +921 / -0
    mumpung mampir di sini, ngebom dulu bang :garing:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.