1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

OriFic There is a Song between You and Me

Discussion in 'Fiction' started by Fairyfly, Jul 7, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Bikin orific lagi :lempar:

    kampret semenjak meteorid, bikin orific gak pernah kelar :lempar:

    mudah2an aja yang ini bisa beres :swt:





    How long will you be able to wait for someone?
    Fairyfly's present
    [​IMG]
    There is a Song between You and Me



    Code:
    Prologue
    Chapter 01
    Chapter 02
    Chapter 03
    Interlude 01
    Chapter 04
    Chapter 05
    Chapter 06
    Interlude 02
    Chapter 07
    Chapter 08
    Chapter 09
    Interlude 03
    Chapter 10
    Chapter 11
    Chapter 12
    Chapter 13
    Epilogue
    :lalala:

    picture were taken from :
    http://wallbot.net/walls/preview/3585.png
    (V.N. credit : Katawa Shojo)
     
    • Like Like x 3
    Last edited: Sep 10, 2015
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Putih.

    Itu adalah hal yang pertama kali kulihat, sebongkah warna putih yang terang benderang.

    Saat kedua bola mataku bisa menangkap semuanya lebih jelas, kusadari bahwa kini aku sedang terbaring diatas tempat tidur. Cahaya putih dari lampu yang menempel pada langit-langit terasa begitu menyilaukan dan membuatku memincingkan mata. Aku seolah baru pertama kali melihat cahaya seterang ini.

    “Ugh…”

    Menggerakkan tubuhku perlahan, tampak seorang lelaki paruh baya duduk disamping tempatku tidur. Wajahnya terbenam pada ranjang yang kutempati.

    Ah, lelaki itu pun tertidur lelap. Tampak wajah pulas memenuhi wajahnya.

    ………

    Dia…siapa? Rasanya aku baru pertama kali melihatnya.

    Mmn. Aku tak mengenalnya. Siapa lelaki ini? Aku tak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Kenapa ia bisa ada disini?

    Ah, dan juga, ini sebenarnya dimana?

    Bagaimana aku bisa berakhir disini aku tak begitu ingat. Tempat apa ini, atau apa yang sebenarnya terjadi, aku juga tak tahu pasti.

    Tak lama setelah aku mencoba bergerak, kurasakan sebuah sensasi nyeri yang teramat sangat di sekujur tubuh. Melirik perlahan ke sekeliling, tampak kakiku yang ditopang sebuah penyangga dan menggantung diatas tempat tidur, juga tanganku yang dibalut perban. Rasa sakitnya sungguh luar biasa. Seluruh badanku seolah diremukkan oleh sesuatu yang tak bisa kujelaskan.

    “Guh!”

    Kugerakkan kepalaku perlahan, hanya untuk merasakan sakit yang teramat sangat di bagian leher. Lucu, aku yakin aku bahkan tak menggerakannya hingga sepuluh derajat.

    Meski demikian, aku memaksakan diri untuk bergerak. Mmn. Aku harus tahu apa yang sedang terjadi.

    Dan tepat saat kugerakkan kakiku perlahan, lelaki yang tertidur disampingku perlahan menggeliat. Ia bangun tak lama setelahnya, menatapku dengan mata setengah mengantuk. Aku balik menatapnya, dan seketika lelaki itu terperanjat, terkejut – amat terkejut hingga aku bisa mendengar suara napasnya yang berat.

    “Ka…kau sudah bangun?”

    Belum sempat aku menjawab, sang lelaki segera menekan sebuah bel elektronik yang ada disamping tempat tidur. Bunyi “dung, dung, dung,” dapat kudengar setelahnya. Rasanya begitu menyakitkan telinga. Tolong, hentikan.

    Meski demikian, sang lelaki tak berhenti membuat suara gaduh tersebut. Kedua bola matanya tampak senang sekaligus panik. Ia memencet bel berkali-kali layaknya orang gila.

    Dua orang berpakaian serba putih lantas datang dari arah pintu masuk. “Perawat! Perawat!” Ujar sang lelaki girang. “Anak ini, dia bangun!”

    Ah…

    Jadi aku masih anak-anak ya?

    Lucu. Kenapa aku tak sadar akan hal itu?

    “Tuan, mohon maaf, anda harus keluar terlebih dahulu. Kami harus memeriksa anak ini.”

    Meski sedikit keberatan, sang lelaki menurut. Ia masih menatap wajahkku dengan mata gembira saat melangkah keluar kamar. Sosok wajahnya baru menghilang saat salah seorang perawat menutup pintu masuk.

    “Hei, nak, bisa kau dengar aku?”

    Kesulitan berbicara, aku tak menjawab apapun dan hanya menolehkan pandanganku perlahan ke arah sang perawat.

    “Santai saja, nak. Beri tanda bila kau bisa mendengarku.”

    Aku mengangguk lemah.

    “Bagus.” Jawab sang perawat sambil kemudian mengeluarkan sebuah lampu senter kecil dari saku bajunya. “Nak, bisa kau lihat cahaya lampu ini?”

    Cahaya lampu senter yang dinyalakan sang perawat terasa lebih menyilaukan dibanding cahaya lampu yang pertama kali kulihat. Meski demikian, aku menurut. Kuikuti arah cahaya lampu senter tersebut. Saat sang perawat menggerakan senternya ke arah kanan, aku mengikuti laju cahayanya. Juga demikian saat ia menggerakkan ke kiri. Ia mematikannya tak lama kemudian.

    “Bagus sekali.” Kata sang perawat perlahan. “Kau anak yang tangguh.”

    Lagi-lagi, sang perawat memanggilku dengan sebutan “anak.” Ugh. Aku bahkan tak tahu berapa umurku.

    “Siapa namamu, anak tangguh?”

    Ah…

    Namaku…
     
    • Like Like x 3
  4. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Bangke! Aku telat!”

    Menyambar roti bakar setengah matang yang dimasak ibu, aku segera berlari ke sekolah. Masih bisa kudengar suara ibu yang berteriak dari balik punggung, bilang agar aku menghabiskan makananku dulu ketimbang menelannya sambil berlari.

    “Yuki! Makan yang benar!”

    Ugh, suara itu terdengar seperti geledek menyambar. Kasih sayang seorang ibu pada anaknya ternyata bisa ada dalam cara yang mengerikan.

    Mmn. Teriakan ibu kuanggap sebagai tanda kasih sayang orang tua pada anaknya. Ibu tak mau aku tersedak, tentu. Aku sih masa bodoh.

    Berlari menyusuri beberapa blok kota, jalanan sunyi, dan tepian pantai, aku dibuat terkejut saat kudapati beberapa siswa masih berjalan santai menuju Sanada High, sekolah tempatku berasal. Maksudku, aku yakin bahwa hari ini aku terlambat pergi ke sekolah, dan jam tanganku memastikannya. Bahkan saat aku tiba di gerbang sekolah lima belas menit kemudian, banyak dari para siswa yang masih berjalan santai.

    Apa kini datang terlambat ke sekolah sedang populer di masyarakat? Agh, ini aneh. Terlalu aneh.

    Eh, tunggu dulu.

    Kalau tidak salah, kemarin salah satu temanku menyarankan supaya aku mempercepat waktu di jam tangan milikku ini, agar aku tidak terlambat. Ah, ya. Aku ingat. Ia menyuruhku demikian, dan bahkan ia sendiri yang melakukannya. Tak kusangka idenya berhasil.

    “Yo, Yuki-chan, tumben datang pagi.”

    Sebuah suara yang tak asing terdengar dari balik punggung, membuatku lantas menoleh. Tampak dihadapanku kini sesosok lelaki kusut dengan penampilan gagal. Aku yakin badannya yang bau membuatnya dijauhi para wanita.

    “Saranku berhasil kan, Yuki-chan?”

    Ugh, berhenti memanggilku Yuki-chan! Dasar buaya!

    Pikiranku kini melayang jauh. Andaikata aku memiliki sebuah bom, akan kuletakkan didalam loker sepatunya agar wajahnya bisa meledak. Yah, siapa tahu setelahnya ia bisa berubah menjadi pria idaman wanita. Itupun kalau ia masih bernapas, sih.

    Ah, aku lupa satu hal. Loker sepatuku tepat disebelahnya. Tidak. Tidak. Itu ide buruk.

    “Ada apa, Yuki-chan?” Katanya lagi. “Melamun begitu?”

    “Berisik ah!” Gerutuku. “Dan juga, berhenti memanggilku Yuki-chan! Itu mengerikan, tahu. Kita ini kan sesama cowok.”

    “Oh, ayolah Yuki-chan. Aku sudah membantumu bangun pagi lho.”

    Idih…

    “Kalau begitu, bagaimana kalau Hiiragi-chan?”

    “Sama saja, bodoh!”

    Lelaki ini tertawa setelahnya. Saat aku melangkah perlahan, ia mengikuti. Sementara itu, disamping kiri dan kanan kami beberapa siswa masih asyik bercengkrama. Sebuah pemandangan yang aneh mengingat aku biasa datang terlambat dan berlari seorang diri.

    “Anu, Kenji, sebenarnya aku senang sih bisa datang lebih awal, tapi apa tidak ada yang aneh?” Tanyaku kemudian, sesaat setelah Kenji mencengkram leherku layaknya seorang sahabat baik – tidak, bukan. Layaknya seorang berandalan memeras juniornya. Mmn. Berandalan. Kenji sang berandal. Akan kuadukan ia ke kantor polisi agar dihukum gantung.

    “Aneh bagaimana?”

    “Ini, lihat!”

    Kuacungkan jam tangan milikku. Kenji menatap jam tersebut sambil membetulkan posisi kacamatanya.

    “Ini jam tujuh kurang sepuluh menit kan? Seharusnya murid-murid yang lain sudah berlarian ke kelas.”

    “Nah, santai saja, Yuki.” Jawab Kenji sambil menempuk-nepuk punggungku. “Jam punyamu itu sudah kuatur agar lebih dua puluh menit dari waktu normal.”

    “Hah?”

    “Iya.” Kenji mengangguk. “Dua puluh menit.”

    “Jangkrik!” Kataku setengah berteriak. “Kemarin kau bilang lima menit!”

    Kenji tampak terdiam beberapa saat, kebingungan. “Be…begitu ya? Aku tidak ingat, lho.”

    Astaga…

    Makhluk sialan.

    ***​

    Hiiragi Yuki, begitulah aku biasa dipanggil. Adapun teman ajaib yang kini berjalan bersamaku memiliki nama lengkap Kato Kenji. Aku mengenalnya sejak kelas satu, dan kami berteman akrab setelahnya.

    “Ngomong-ngomong, Yuki,” Gumam Kenji sambil melepas lengannya dari leherku. “Murid baru yang akan datang hari ini, kira-kira orangnya seperti apa ya?”

    “He?” Kataku bingung. “Kau bilang apa? Murid baru?”

    “Iya. Hari ini kelas kita kedatangan murid baru, kan?”

    “Eh?? Serius?” Jawabku setengah berteriak, terkejut. Maksudku, ini gila. Aku sama sekali tak tahu apapun soal itu.

    Kenji tampak memasang wajah gusar. “Astaga Yuki, masak kau tidak tahu? Ibu Yoshinori kemarin memberitahu kita semua, lho.”

    “Iya ya?” Jawabku sambil memiringkan kepala, bingung. Kenji menghela napas sebelum kembali berbicara, “Kau ini sengaja lupa atau memang pikun, sih?”

    Aku tak menjawab. Seingatku, kemarin Ibu Yoshinori langsung pulang setelah jam sekolah berakhir. Aku memang sedikit mengantuk sore itu, jadi mungkin aku tidak memperhatikan.

    Ah, yasudahlah. Intinya kelasku akan kedapatan beban, err, maksudku murid baru. Mudah-mudahan aku bisa berteman dengannya kelak.

    “Rasanya senang juga ya, mendapat penghuni baru di kelas.” Kenji kembali berucap santai. “Hei, Yuki-chan, bagaimana menurutmu?”

    “…biasa saja.” Jawabku mengantuk. “Dan juga, bisakah kau berhenti memanggilku Yuki-chan?”

    “Oh, ayolah, mana semangatmu?” Kenji tertawa girang. “Maksudku, bisa saja yang datang itu gadis cantik, kan?”

    Nah, ini dia.

    Meskipun aku memiliki beberapa majalah P*rn* di rumah, namun aku selalu bertindak low profile jika berhadapan dengan wanita. Sebaliknya, si bodoh ini selalu kegirangan tiap kali matanya menangkap sosok gadis cantik. Mungkin ini yang menjadi pembeda antara pria romantis dengan lelaki bejat.

    “Yah, tapi tetap saja, sih. Buatku Hotarun tetap yang paling cantik diantara semuanya. Haha.”

    Ugh, mulai lagi.

    Kenji memiliki sesosok idola bernama Furukawa Hotaru, teman sekelas kami yang juga anggota klub tenis. Sosoknya yang mengagumkan dan lincah, ditambah wajahnya yang manis, membuat Furukawa dikagumi banyak lelaki bahkan dari sekolah lain, dan Kenji merupakan salah satu korbannya.

    Yah, kuakui Furukawa memang manis, tapi aku sendiri tidak begitu berharap, sih. Selain karena aku tidak begitu tertarik padanya, kudengar Furukawa juga selalu menolak siapapun yang menyatakan cinta kepadanya. Entahlah, mungkin ia ingin fokus pada klub.

    Plus, aku tidak mau terlalu berharap banyak pada seorang gadis. Bukan berarti aku ini homo lho ya? Tetapi aku hanya tak mau terlalu percaya diri saat seorang gadis bersikap baik padaku. Yah, bisa saja kan ia memang bersikap baik pada semua orang?

    “Yo, Hiiragi.”

    Sebuah tepukan kembali mendarat di punggungku, membuat lamunanku buyar seketika. Saat aku menoleh, tampak sesosok gadis berambut pendek sebahu yang muncul sambil tersenyum. Ia membawa raket tenis disamping tas sekolah yang biasa kami bawa.

    Ah, sialan. Baru saja aku melamunkannya, dan ia sudah muncul.

    “Tumben datang pagi?”

    ………

    Furukawa Hotaru, teman sekelasku yang menjadi idola para pria jomblo. Musuh bersama para gadis yang memiliki pacar tukang selingkuh.

    Sadar bahwa yang baru menyapaku adalah Furukawa, Kenji langsung shock. Ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan wajahnya yang sumringah. Mulutnya tampak kaku. Tampak jelas bahwa ia ingin mengucapkan sesuatu, namun gagal. Ah, entahlah. Mungkin ia takut wajah mesumnya terlihat.

    “Ada apa, Furukawa?” Jawabku malas. Mendengarnya, Furukawa sedikit cemberut.

    “Hee, apa begitu caramu menyapa teman sekelas, Hiiragi?” Furukawa memasang wajah kusam. “Aku sudah menyapamu baik-baik, lho.”

    “………”

    “………”

    “Ah, baiklah, baiklah. Selamat pagi, Furukawa.”

    “Nah, begitu dong. Ehehe.”

    Dasar penyihir.

    “Aku duluan, Hiiragi. Sampai bertemu di kelas!” Sahut Furukawa seraya berlari sambil melambaikan tangan. Aku balas melambaikan tangan, ogah-ogahan. Kenji melambai dengan wajah mesum. Terdengar suara gumaman kecil dari mulutnya, “Hotarun, mengapa kau cantik sekali?”

    “Berhenti memasang wajah mesum begitu, dasar bejat!”

    “Eh, apa wajahku kelihatan mesum?”

    “Kelihatan jelas, dasar dungu!” Gerutuku. “Kamu mikir apa, sih?”

    Kenji tak menjawab. Tatapan matanya masih tertuju ke arah Furukawa yang perlahan menghilang. Aku tak mau membayangkan macam-macam soal isi otak Kenji saat ini. Maksudku, saat ini ia pasti sedang memikirkan adegan mandi atau, ah, sudahlah! Jangan dipikirkan!

    Berjalan kembali perlahan, masih bisa kudengar gumaman Kenji yang menjengkelkan. “Hotarun cantik sekalii.”

    Sableng.

    ***​

    “Tapi kamu beruntung sekali lho, Yuki-chan.”

    Kenji berkata santai saat kami tiba di ruang loker untuk mengganti sepatu. “Diantara semua lelaki di kelas, tampaknya Hotarun hanya bersikap spesial padamu.”

    “Jangan membuatku ge-er, ah!” Jawabku.

    “Ih, serius!” Jawab Kenji. “Maksudku, siapa tahu Hotarun memang benar-benar memiliki rasa padamu.”

    “Kalau itu terjadi, kau akan kehilangan idolamu, dong?” Jawabku menggoda. Namun Kenji malah tertawa santai.

    “Kalau itu terjadi, targetku tinggal diubah saja. Ada Kirishima di kelas 2-A, lalu Chiharu dan Sayuri di kelas 2-C, kemudian Miyamura di kelas 1-B, dan juga…”

    “Tu…tunggu dulu, jangkrik! Kamu punya berapa target?”

    “Dua puluh tiga. Hotarun sudah termasuk.”

    Ah, kampret.

    Kenji benar-benar makhluk bejat.

    “Yah, jadi meskipun nantinya kamu benar-benar pacaran dengan Hotarun pun, tak ada masalah buatku. Haha!”

    “Nah,” Jawabku sambil menutup pintu loker. “Kenji. Aku tidak mau berharap banyak. Siapa tahu Furukawa memang bersikap baik pada semua orang.”

    “Tidak, tidak, pasti hanya padamu, kok.”

    Aku tidak menjawab.

    Selesai mengenakan sepatunya, Kenji lantas berpamitan. “Kau duluan saja, Kenji. Aku mau ke toilet dulu.”

    “Ah, baiklah.”

    Kenji berjalan cepat, meninggalkanku. Tepat saat aku mengenakan sepatuku dan bersiap berjalan, sebuah tepukan kembali mengenai punggungku.

    Uh, sialan. Berapa tepukan yang harus kuterima hari ini, sih?

    Aku menoleh malas.

    “Yuki…”

    Sesosok gadis berambut panjang berdiri dihadapanku. Postur tubuhnya sedikit lebih pendek daripada Furukawa – mungkin kepalanya hanya sampai di leherku. Ia mengenakan jepit rambut berwarna biru cerah diantara rambutnya yang kecoklatan.

    Gadis ini…

    Cantik.

    Eh, tapi aku baru pertama kali melihatnya. Mengapa ia tahu namaku, ya?

    “Anu,” Kataku perlahan. “Siapa ya?”

    “Eh?”

    Sang gadis tampak sedikit terkejut. Menatapku kebingungan, ia kembali menyebut namaku sekali lagi.

    “Ya, namaku Yuki.” Jawabku. “Hiiragi Yuki. Kau siapa ya?”

    “Hi…Hiiragi?”

    “Mmn.”

    Sang gadis terdiam, memandangiku dengan tatapan lugu. Namun hanya untuk sesaat saja karena kemudian wajahnya berubah pucat.

    “He…hei! Ada apa?”

    Wajah sang gadis kini tampak kemerahan, menahan malu, dan aku menjadi panik dibuatnya. Aku tak mau dicap sebagai pria tidak bertangung jawab yang membuat seorang gadis lugu menangis.

    Ah, sial!

    Apa yang harus kulakukan? Jangan! Tolong jangan menangis! Tahukah kau bahwa 99 dari 100 orang di dunia pernah mengalami kasus salah memanggil orang? Dan satu orang yang tidak termasuk diantaranya pastilah memiliki umur dibawah satu tahun. Jadi, bukan hanya kau saja yang mengalaminya. Ah, gadis manis, tolong jangan menangis. Cup, cup, cup.

    Tetapi, tak ada gunanya. Setelah menatapku panik untuk beberapa saat, gadis itu berlari menjauh sambil berteriak malu, “Maaf, aku salah orang!”

    Dan seketika, akupun menjadi pusat perhatian massa.

    ………

    Ampun, deh.

    Satu kali masuk tepat waktu, dan seribu keanehan muncul.

    ***​

    “Nah, kau bisa kenalkan dirimu.”

    “Ba…baik! Anu, na…namaku Sakagami Risa!”

    Astaga…

    Murid baru itu ternyata si gadis salah orang yang kutemui di loker sepatu.

    “Salam kenal! Mohon kerjasamanya!”

    Ah, ini buruk.

    Ini buruk! Pertanda buruk bila gadis lugu ini sampai masuk ke kelasku! Agh! Aku bisa benar-benar dianggap sebagai penjahat kelamin oleh orang-orang yang melihat adegan di loker sepatu!

    Terlebih, wajah sang gadis terlihat begitu manis. Rasanya kemolekannya bisa dibandingkan dengan Furukawa. Dengan wajah seperti itu, pasti banyak lelaki yang siap menerkamnya saat ia tidur. Dan jika ada teman sekelasku yang tahu bahwa aku membuatnya menjerit di loker sepatu, aku pasti dianggap playboy jalanan, atau lebih buruk : aku akan dianggap manusia homo karena membuat gadis secantik dia menangis, atau…

    Agh! Berhenti berpikiran macam-macam!

    Uguu…

    “Nah, mulai sekarang, Sakagami akan menjadi bagian keluarga kita.” Ibu Yoshinori berkata santai. Senyumnya yang lucu bisa terlihat jelas. “Mohon, bantuannya, ya?”

    “SIAP BU!!”

    Wah, sialan! Semua murid lelaki bersemangat sekali! Dasar. Kelas ini benar-benar penuh oleh manusia laknat.

    Kelas kami, kelas 2-B, boleh dibilang merupakan surga bagi para lelaki. Selain memiliki Furukawa, wali kelas kami juga merupakan guru yang masih amat muda dan cantik. Beberapa temanku bahkan terang-terangan menaksirnya.

    Kemudian, dengan kedatangan sesosok malaikat baru ini…

    ………

    Menambah penyakit saja.

    “Sakagami, silakan ambil tempat duduk yang masih tersisa. Hmm, disana sepertinya bagus!”

    Huh?

    Aku mungkin salah melihat, tapi apakah Ibu Yoshinori baru saja menunjuk ke arahku?

    “Ah, baik.”

    Refleks, aku melirik kebelakang, dan…wah! Sialan! Sejak kapan bangku dibelakangku ini kosong? Atau, apa aku tidak menyadarinya dari dulu, ya?

    Ugh, entah aku harus senang atau sedih dengan hal ini. Ampun…

    Sakagami berjalan perlahan. Saat ia melangkah, mata murid-murid lelaki yang rata-rata berotak bejat tampak mengikutinya. Sakagami mengacuhkannya, tentu, atau mungkin ia terlalu lugu untuk menyadarinya. Entahlah.

    Meski demikian, aku benar-benar terkejut saat kemudian ia berhenti tepat disamping mejaku.

    “Anu, Hiiragi, ya? Mulai hari ini, mohon kerjasamanya, ya?”

    Eh?

    ………

    AAAAAAGGHH!

    Sialan! Kenapa lagi ini?

    Sakagami tersenyum lugu sebelum duduk tepat dibelakang mejaku, dan masih tersenyum setelahnya. Tingkah aneh Sakagami jelas membuatku panik! Terlebih…

    “Hiiragiiiii…”

    “Hiiragii…”

    “Hiiragi…”

    Ah…

    Sudah kuduga.

    Aku merasakan aura negatif yang kini memenuhi seisi kelas. Menoleh ke arah para lelaki, jelas sudah bahwa aura negatif ini datang dari mereka semua. Kenji juga termasuk, tentu.

    Ampun, mak.

    Mati aku…
     
    • Like Like x 3
  5. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Hiiragi!”

    Sakagami berteriak memanggilku, melambaikan tangan sambil tersenyum dari tempatnya duduk. Aku yang baru akan pergi ke kantin mendadak berhenti dan menoleh padanya. Diatas mejanya, sebuah kotak makan tampak terbungkus rapi.

    Aku inginnya berjalan balik, sih. Tetapi…

    “Hiiragi, dasar kau penjahat kelamin!”

    “Asem. Hiiragi beruntung sekali, ya?”

    “Oi, Hiiragi, bolehkah kulempar kau kedalam sumur?”

    “Hiiragi, raja harem!”

    “Hiiragi lagi, Hiiragi lagi. Padahal aku lebih tampan dari dia!”

    Horee! Hidup Hiiragi!

    Ucapan-ucapan itu memang tidak nyata. Namun, seandainya para lelaki ini mau jujur dengan isi pikiran mereka, pastilah hal itu yang akan terucap. Oh, dan juga, siapa tadi yang bilang bahwa dirinya lebih tampan dariku? Mimpi!

    Seminggu setelah Sakagami masuk kelas, dan aku sudah masuk rute Sakagami. Uuh…

    Sakagami menurunkan tangannya, namun senyumnya masih tampak jelas. Disamping wajahnya kini tampak dua kotak berisi dua buah pilihan. Pilihan pertama : pura-pura tidak lihat. Pilihan kedua : datangi dia. Yang mana yang harus aku pilih? Kotak satu? Kotak dua?

    Gah! Pusing aku!

    Tenang. Tenang. Jangan panik. Aku harus memilih opsi yang akan membawaku pada good ending.

    Otakku bekerja keras, memberi beberapa hasil analisa tentang pilihan yang harus kuambil. Jika kuambil pilihan pertama, prediksiku adalah bahwa Sakagami akan menjadi sedih. Level affection miliknya akan turun, dan kelak kami akan berada pada tingkatan dimana kami tidak merasa sebagai teman lagi. Jika sudah demikian, Sakagami mungkin akan mencari pria lain untuk dijadikan teman atau kekasih, dan kemungkinan besar sosok pria itu ada pada salah satu pria di kelas ini. Ah, itu buruk! Itu tidak boleh terjadi! Maksudku, 99% pria di kelas ini berotak bejat. Aku tak mau ia berpacaran dengan salah satunya dan berujung pada kehamilan diluar nikah.

    Karenanya, kuambil pilihan kedua.

    Melambaikan tangan, aku mencoba tersenyum sebisaku. “Yo, Sakagami, ada apa?” Tanyaku, meski aku tahu apa yang akan ia sampaikan.

    Dan Sakagami hanya tersenyum sambil tetap menatapku lugu.

    ………

    Ah, ampun…

    Berjalan perlahan, aku duduk kembali di kursiku. “Mau makan bersama lagi?”

    “Mmn!” Sakagami mengangguk. Bersamaan dengannya, level horror di kelas ini meningkat delapan puluh persen dan membuat bulu kudukku merinding.

    “A…Anu, Sakagami, hari ini aku tidak bawa bekal, lho.” Tanpa sadar aku mencoba mengelak. Mungkin karena tingkat kengerian di kelas ini yang sudah masuk level ekstrim.

    “Eh?”

    “Untuk hari ini, bolehkah aku makan diluar saja?”

    “Be…begitu ya?” Jawab Sakagami kecewa. Ah, celaka! Aku bilang apa, sih? Bukankah aku sudah memutuskan untuk masuk rute Sakagami?

    “Anu, tapi itu kalau kau tidak keberatan, sih.” Aku mulai gelagapan. “Atau begini saja! Aku beli makan dulu dan kembali lagi kesini! Bagaimana?”

    Sakagami, diluar dugaan, menaruh kotak makannya sedikit ketengah, seolah menyodorkan makanannya padaku. Ia lantas mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

    “He?”

    Sepasang sumpit cadangan.

    “Aku sudah mengantisipasi bilamana hal ini terjadi.” Jawabnya tersenyum. “Hiiragi, ayo kita makan bento ini bersama.”

    Gyaaa!!

    Sakagami, kumohon! Jangan membuatku terbunuh!

    Ah, tamat sudah riwayatku. Tuhan, terima kasih telah memberiku kehidupan yang menyenangkan.

    “Kau…tidak mau ya?”

    “Ti…tidak apa-apa kok.” Kataku lemas. “Kalau begitu, terima kasih.”

    “Mmn!” Sakagami mengangguk, tersenyum senang.

    Tepat sesaat sebelum aku mengambil sumpit, sebuah suara riang terdengar dari samping tubuhku, membuatkku lantas menoleh.

    “Yo.”

    Ah, kenapa…

    Kenapa penderitaanku harus bertambah lagi…

    “Aku boleh ikut?”

    Furukawa bediri disampingku sambil memegang sebuah kotak makan. Tanpa menunggu jawaban, ia mengambil sebuah kursi dan langsung duduk setelah menaruh kotak makannya diatas meja. Dan penderitaanku belum berakhir ketika kemudian muncul kembali sesosok makhluk yang paling tidak kuharapkan kemunculannya.

    “Yuki-chan, ikut ya?”

    Aku mengangguk bodoh. “Yasudah,” Suaraku terdengar lebih lemas dari sebelumnya – mungkin paling lemas diantara semua suara yang kubuat selama hidupku. “Aku tak peduli lagi. Silakan saja.”

    “Risa-chan, Hotarun, ikut numpang ya. Ehehe.”

    Furukawa dan Sakagami sama-sama tersenyum.

    Aku ikut tersenyum, namun dengan hati menangis. Terlebih dengan gurauan para lelaki yang samar-samar terdengar, “Hiiragi sialan! Mari kita bunuh Hiiragi sepulang sekolah nanti!”

    Ah, bodo amat. Bodoo…

    ***​

    “Sebelum kesini, aku sekolah di Higashi High.” Sakagami berkata perlahan sesaat setelah menyelesaikan makannya. Meski tak makan banyak, ia tampak segar.

    “Higashi High?” Furukawa bertanya seraya mengambil botol minumnya, dan mulai meminum isinya. Sempat ia tawarkan botol tersebut padaku, dan aku menerimanya. Eh, tunggu dulu. Jika dipikir-pikir, aku sedang melakukan indirect kiss dengan Furukawa, kan ya?

    Wah, sial. Aku tidak sadar. Dan, tunggu. Apa wajah Furukawa kini tampak kemerahan?

    Kenji tampak shock. Ia pasti berharap mendapat tawaran itu. Sayangnya, hanya aku yang mendapatkannya. Nice, Furukawa!

    “Mmn. Higashi High.” Jawab Sakagami. “Kota Higashi, kampung halamanku. Hei, apa diantara kalian ada yang pernah kesana?”

    “Higashi, ya?” Furukawa bergumam. “Aku belum pernah, sih. Selain jauh, aku juga tak punya saudara disana. Ah, bagaimana denganmu, Hiiragi?”

    “Belum.” Aku menggeleng singkat dan menoleh pada Kenji yang kini tersenyum kecil.

    “Waktu SD, aku tinggal disana. Tapi itupun hanya sampai kelas empat.” Jawabnya lugu. “Yah, tetap saja aku besar disini.”

    “Begitu ya?”

    Sakagami tampak kecewa mendengar jawaban kami, namun kurasa itu hal yang wajar. Maksudku, sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di kota asalnya, ia mungkin sedikit kesepian karena tiba-tiba harus pindah kota. Kenangan yang ia buat selama di kota kelahirannya pasti masih menghantuinya. Kenji pun tak bisa berbuat banyak karena ia hanya tinggal di Higashi saat ia kecil.

    Waktu istirahat selesai dan kamipun kembali ke tempat duduk masing-masing. Sisa jam pelajaran yang ada kulalui dengan mengantuk. Hingga tanpa terasa, bel pulang sekolah telah berbunyi.

    Ah, satu hari yang membosankan seperti biasanya.

    Merapikan buku, aku bisa mendengar jelas suara Kenji. “Yuki-chan, mau pulang bersa-?”

    “Berhenti memanggilku Yuki-chan, dasar jangkrik!” Aku memotong, setengah berteriak. “Cari pacar sana!”

    “Waah, Yuki-chan mengerikan. Ayo kita kabur! Hahaha!”

    Uh, sial! Harus berapa kali kubilang agar berhenti memanggilku seperti itu? Dasar. Menyebalkan.

    Furukawa ikut berpamitan padaku, diikuti teman-temanku yang lain. Aku sendiri masih menggeliat. Seluruh tubuhku terasa capek dan pegal. Menghela napas panjang, kuarahkan pandanganku keluar jendela.

    Langit masih tampak biru seperti biasanya. Ah, menatapnya memberiku sedikit ketenangan. Lautan biru luas yang terhampar bersama gumpalan awan putih, amat luas, membuatku serasa amat kecil.

    Entah berapa lama rasanya hingga tampaknya kini hanya ada aku seorang diri di kelas ini.

    Kembali aku menarik napas panjang, sebelum beranjak berdiri perlahan. “Saatnya pulang!” Kataku pada diriku sendiri.

    Namun tepat ketika akan melangkah, kurasakan bagian belakang seragamku ditahan oleh seseorang, membuatku menoleh perlahan.

    Whoa, Sakagami! Aku tak sadar kalau ia masih ada disini.

    “Sakagami, ada apa?”

    Sakagami tak lantas menjawab dan hanya menundukkan kepalanya. Setelah tampak ragu untuk beberapa saat, ia menatapku dalam-dalam.

    “Hiiragi…”

    “Ya?”

    Sakagami terdiam sejenak. “Ma…maukah pulang bersama denganku?”

    “He? Bisa kau ulang?”

    “Maukah kau pulang bersamaku?”

    ………

    Apa aku tak salah dengar?

    “Tidak boleh, ya?”

    Ugh, kesampingkan keinginannya untuk pulang bersama. Sejak kapan ia ada disini? Apa dia menungguiku sejak tadi?

    “Hiiragi?”

    Tersadar dari lamunanku, bisa kulihat wajah Sakagami yang menatapku sayu, penuh harap.

    Ugh, sial! Cantiknya…

    Kenapa ia bisa secantik ini?

    “A…aku tidak keberatan, sih.”

    “Benarkah?”

    Aku mengangguk, gugup.

    Raut wajah Sakagami kembali berubah. Kali ini tampak tersenyum senang. “Terima kasih.” Katanya perlahan. “Dan juga, Hiiragi,”

    “Ya?”

    “Bolehkah aku memanggilmu Yuki? Dan juga, kuharap kau mau memanggilku Risa mulai hari ini.”

    Astaga…

    Tuhan, kenapa aku diberkati dengan anugerah seperti ini? Maksudku, aku tidak keberatan, sih. Tapi, ini terlalu banyak, dan terlalu tiba-tiba.

    “Tak apa-apa kan? Hiiragi?”

    “Y…ya. tak masalah, kurasa.”

    Jawabanku membuat Sakagami kembali tersenyum senang. “Ka…kalau begitu, bolehkah kau mencobanya?”

    “…Risa.”

    “Sekali lagi.”

    “Risa.”

    “…terima kasih, Yuki.”

    Risa tampak amat senang. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang terlihat jelas diantara cahaya matahari senja.

    Dan entah untuk alasan apa, air matanya mulai menetes.

    “He…hei! Kenapa kau menangis?” Kataku panik. “Ri…Risa!”

    “Ah, aku menangis ya?”

    “Iya! Kelihatan jelas!”

    Menyeka air matanya, Risa lantas menampakkan senyum lepas. “Itu karena aku bahagia, Yuki.”

    ………

    Mengapa ia bisa merasa bahagia hanya karena namanya kusebut?

    Ah, aku tak mengerti.

    “Hei, Yuki,” katanya lagi. Risa lantas menanyakan sesuatu yang membuatku makin keheranan dengan sikapnya.

    “Apa kau suka menyanyi?”

    ***​

    Hari kedelapan. Tepat satu hari setelah aku dan Risa memutuskan untuk memanggil nama asli kami masing-masing.

    Panas terik menyengat, namun pelajaran olahraga harus terus berlangsung. Guru yang mengajar meminta kami untuk senam aerobik, diawali dengan lari tiga keliling lapangan sebagai pemanasan. Buatku yang sudah terbiasa berlari dari rumah ke sekolah, hal itu tidak menjadi masalah. Begitu pula dengan Furukawa yang berlari disampingku. Kenji yang berusaha mengikuti kami tampak kelelahan.

    Diluar dugaan, ternyata Risa yang tak bisa berbuat banyak. Ia terjatuh di putaran kedua. Kakinya terkilir, menyebabkannya tak bisa melanjutkan pelajaran olahraga hingga selesai. Guru kami meminta salah seorang teman kami untuk membawanya ke ruang UKS. Risa tampak tersenyum padaku saat teman kami memapahnya berjalan. Wajahnya basah oleh keringat.

    “Hei, Yuki-chan, kau harus menengok Risa-chan setelah pelajaran ini selesai.” Kenji berbisik padaku saat sesi senam aerobik dimulai. Ugh, sebenarnya, ia tak perlu memberitahuku karena aku memang berniat melakukannya.

    “Tapi aku tak tahu kalau Risa-chan bisa sampai begitu payah dalam olahraga.”

    “Yah, aku juga tak tahu, sih.” Kataku. “Ia tak pernah bilang apapun soal itu.”

    “Hee,” Kenji bergumam sinis. “Kupikir diantara kalian berdua sudah tak ada rahasia lagi.”

    “Apa maksudmu?” Tanyaku. Kenji menatapku dan tersenyum jahil.

    “Oh, ayolah, Yuki-chan, kau selalu saja pura-pura bodoh.” Katanya lagi. “Duduk berdekatan, makan berdua, dan kemarin sore kalian bahkan pulang bersama, kan?”

    “Hah?!” Aku dibuat panik seketika. “Kau tahu darimana?”

    “Takkan kuberitahu. Hehe.”

    Ah, sial.

    Aku tak sadar kedekatanku dengan Risa sudah sampai sejauh itu. Kesampingkan aura horror yang muncul dari kawan-kawan sekelas. Berada disamping Risa benar-benar membuatku nyaman, hingga membuatku tak sadar bahwa sudah muncul gosip-gosip tak sedap diantara kami.

    “Jadi, apa kalian sudah saling menyatakan cinta? Sudah berpegangan tangan? Ah, tunggu. Kalian pasti sudah pernah berpeluka-“

    “Berisik, jangkrik!” Aku memotong, malu. “Aku dan Risa cuma teman biasa saja, kok!”

    “Ohoo, dan apakah teman biasa memanggil satu sama lain dengan nama asli mereka?”

    “Tentu saja!” Gerutuku kesal. Bukan hanya kesal pada tingkah Kenji, melainkan juga karena tanpa sadar aku memanggil Sakagami dengan sebutan Risa.

    “Aku memanggilmu Kenji, bukan? Dan kau bahkan memanggilku Yuki-chan.”

    “Oh, itu karena hubungan kita sudah lebih dari sekedar teman biasa, kan? Pacar, barangkali?”

    “Ih! Dasar maho!” Kataku ketus. Kenji tertawa makin menjadi.

    “Yah, tapi aku juga takkan menghalangimu. Kelak jika kau bisa betul-betul berpacaran dengan Risa-chan, aku bisa lebih leluasa mengejar Hotarun. Ohoho!”

    Tuh, kan. Si bejat ini…

    ………

    Menoleh kearah Furukawa, ia tampak serius menjalani sesi olahraga kali ini.

    Saat Furukawa serius, wajahnya tampak...

    Mengerikan.

    ***​

    Aku bergegas berjalan ke ruang UKS begitu pelajaran olahraga selesai. Furukawa dan Kenji bilang bahwa mereka akan segera menyusul.

    Menyusuri beberapa anak tangga dan lorong sekolah, aku dibuat terkejut ketika kudapati pintu depan ruang UKS dipenuhi oleh murid-murid seisi sekolah. Beberapa diantara mereka tidak kukenal sama sekali, sementara sisanya ada yang merupakan teman sekelasku.

    Dan wajah-wajah mesum dari para lelaki yang ada benar-benar membuatku menghela napas.

    ………

    Tunggu dulu. Itu bukan wajah mesum. Bahkan murid wanita pun ada yang memasang wajah yang sama dengan para lelaki.

    Tidak. Ini lain. Ini lebih seperti, perasaan kagum akan sesuatu.

    Mmn.

    Sesuatu yang…positif.

    Tidak seperti aura negatif yang memancar dari wajah-wajah bejat, raut wajah kagum yang muncul dari mereka memberiku kesejukan tersendiri, dan membuatku penasaran dengan apa yang terjadi.

    Dan juga, ada hal lain yang aneh.

    Samar-samar, bisa kudengar seseorang yang sedang menyanyi.

    Suara sang penyanyi terdengar merdu, teramat merdu. Berbeda dengan suara penyanyi punkrock yang rata-rata membuat telingaku sakit, suara yang kudengar kali ini benar-benar memberi sebuah perasaan sejuk.

    Ah, betul. Suara ini melegakan. Rasanya ibarat berdiri ditengah-tengah padang bunga yang luas dan diterpa angin yang bertiup perlahan.

    Benar-benar nyaman.

    Lagu ini begitu indah…

    Dan tanpa kusadari, kini aku berjalan menuju pusat suara. Langkahku membawaku kearah kerumunan siswa yang berkumpul di ruang…

    UKS?

    Mmn. Tak salah lagi. Suara ini berasal dari dalam ruang UKS tempat Risa dirawat.

    “Anu, permisi, numpang lewat.” Kataku, mencoba menerobos. Mengintip dari sela-sela kerumunan, aku bisa melihat sesosok gadis yang duduk diatas kasur sambil menatap langit-langit dan tersenyum kecil. Sebuah jepit rambut berwarna biru cerah menempel di keningnya.

    Mulut sang gadis tampak aktif bergerak, melantunkan lagu indah yang sejak tadi kudengar.

    Risa…

    ………

    Lagu yang dilantunkan Risa berhenti tak lama setelah aku berhasil menerobos kerumunan dan berdiri tepat dihadapannya. Ia tersenyum senang saat menatapku.

    “Yuki, kau datang!”

    Risa turun dari kasur dan berjalan padaku perlahan. Langkahnya masih belum stabil. Dua langkah Risa berjalan, dan seketika kakinya goyah.

    “Uwa-“

    Beruntung aku tepat berada didepannya, sehingga lengaku masih bisa menyangganya.

    “Ah, maaf.”

    “Ti…tidak apa-apa.” Aku menjawab gugup, masih tak percaya bila yang baru saja menyanyi tadi adalah Risa. Wajah Risa memerah saat ia bangkit perlahan sambil memegangi tanganku.

    Dan…jelas. Hal itu membuat UKS ini menjadi tempat horror.

    Mak…

    Aku sudah tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Tentu, lelaki-lelaki dibelakangku ini kini sudah siap sedia untuk menjadikanku samsak tinju. Rasanya aku bisa mati hari itu juga.

    Salah seorang dari mereka lantas menggaet kerah bajuku bagian belakang.

    Ah, itu Omura, teman sekelasku.

    “Halo, Hiiragi, cuaca yang cerah ya? Bisa ikut sebentar?”

    Aku menoleh ngeri. Omura tampak tersenyum dengan wajah horror, dan lelaki-lelaki lainnya juga memasang wajah yang sama – senyum horror.

    “A…anu, Omura, aku sedang disuruh ibu Yoshinori, lho.”

    “Sebentar saja kok, Ehehe.”

    Bisa kudengar suara tenggorokanku sendiri yang menelan ludah, ketakutan.

    Dan setelahnya, aku hanya bisa pasrah saat Omura menarik kerah baju bagian belakangku dan menyeretku ke arah kamar mandi. Beberapa dari lelaki yang mengikutinya mulai mengerahkan jemari mereka dan membunyikan persendiannya.

    Sementara itu, Risa hanya menatap kami semua dengan wajah lugu, seolah bertanya apa yang sedang terjadi.

    Ah, nasib, nasib.

    ***​

    “Hei, Yuki, kau tidak apa-apa?”

    Aku tak mungkin menjawab bahwa aku baik-baik saja – tidak setelah dihajar habis-habisan oleh Omura dan beberapa lelaki yang bahkan tidak kukenal. Yah, setidaknya aku masih hidup, sih.

    “Maaf ya, ini semua gara-gara aku…”

    Ah, baiklah, baik. Setidaknya Risa sadar bahwa apa yang terjadi padaku adalah berkat ulahnya. Aku akan sangat marah bila ia pura-pura tidak tahu mengapa aku bisa bonyok seperti ini layaknya adegan-adegan di anime klise yang biasa kotonton.

    “Hei, Yuki, bilang sesuatu, dong!”

    “Ah,” Aku tersentak, sadar dari lamunanku. “Y…ya. Risa. Terima kasih, ya?”

    “Terima kasih?”

    “Mmn.” Aku mengangguk, tersenyum.

    “Ma…maksudmu, karena membuatmu dipukuli?”

    “Ah, ti…tidak, bukan begitu!” Aku menjawab panik, sedikit menyahut. “Maksudku, anu…”

    Kini aku yang dibuat bingung. Yah, pada awalnya, pikiranku memang mengatakan demikian, sih. Tapi apa mungkin aku tega mengatakan hal itu padanya? Bisa-bisa, aku mendapat bad ending dari rute Sakaga–Hei! Berhenti mencampuradukkan game dengan kenyataan!

    Gaaah…

    Sementara aku sibuk dengan diriku yang error, Risa masih tampak cemberut.

    “A…anu, terima kasih, karena…” Aku terdiam sesaat, memikirkan sesuatu yang pas untuk kukatakan sembari terus menatap wajah kusut Risa.

    “Ah, ya! Terima kasih karena suaramu benar-benar bagus. Bagus untuk kesehatan telinga. Ha…haha…”

    “Suaraku?”

    Astaga…

    Ah, sial! Sial! Tak adakah hal lain yang terpikirkan? Sedang terjepit begini, aku malah mengatakan hal konyol begitu. Aku bisa dikira sedang menggodanya!

    Tetapi begitu aku selesai bicara, Risa menghentikan langkahnya.

    Dan raut wajahnya berubah sayu seketika.

    “Menurutmu suaraku bagus?”

    Eh?

    “Yuki, apa menurutmu aku bisa menyanyi?”

    “Te…tentu saja!” Jawabku refleks. “Apa kau tidak tahu berapa banyak orang yang mendengar suaramu tadi siang?”

    “………”

    “………”

    “…begitu, ya?”

    Astaga…

    Aku tak tahu apakah Risa kurang percaya diri atau memang tak sadar dengan kemampuan dirinya sendiri. Makudku, kualitas suaranya benar-benar tak perlu diragukan lagi. Kenyataan bahwa banyak pria yang tertegun melihatnya di ruang UKS adalah buktinya.

    Karenanya, aku memancingnya untuk berbicara. “Ada apa, Risa? Apakah kau berpikiran bahwa suaramu jelek?”

    Risa tersenyum, menggeleng. “Mmm. Bukan aku. Seseorang pernah mengatakan hal seperti itu padaku.”

    Hah?

    Yang benar saja! Siapapun orangnya, pasti dia agak tidak waras bila berkata bahwa suara Risa kurang bagus didengar. Tentu, masalah suka atau tidak sukanya seseorang akan sesuatu tidak bisa dipukul rata. Meski demikian, aku jadi bertanya-tanya bagian mana dari suara Risa yang terdengar buruk.

    “Ah, lupakan.” Jawab Risa tersenyum. Ia membuang tatapannya kesamping kiri, dan tertegun setelahnya. Penasaran dengan apa yang ia lihat, aku ikut menoleh.

    Dihadapan kami terbentang bibir pantai yang mengarah ke lautan luas.

    Ah, ya. Sekolahku terletak dekat dengan laut, dan setiap kali pergi atau pulang sekolah, aku selalu melewati pantai ini.

    Tampak langit senja yang berwarna jingga keunguan. Rasanya menyenangkan juga melihat pemandangan ini bersama seorang gadis. Dan jika dipikir-pikir, ini kali pertama aku melakukannya, deh. Aku bahkan belum pernah melakukannya bersama Furukawa.

    “Indah, bukan?”

    Risa tidak menjawab.

    Tangannya bergerak perlahan, melepaskan jepit rambut yang biasa ia kenakan. Dibiarkannya poni rambut miliknya terurai.

    Ia masih tak berkata apapun. Terdiam mematung layaknya es abadi yang tak terpecahkan.

    ………

    Angin laut bertiup dari arah kota. Cukup kencang hingga membuat rambut Risa berkibar.

    “Risa?”

    “………”

    “Hei, Risa?”

    “Eh? I…iya?” Jawab Risa seraya menoleh. Wajahnya dapat kembali kulihat.

    Ah…

    Dengan poni rambut yang tergerai, ia tampak lebih cantik.

    Mmn.

    Risa benar-benar cantik.

    Risa-chan…

    ………

    Agh!! Aku mikir apa, sih? Bahaya! Bahaya! Hampir saja. Untuk sesaat kupikir aku sudah berubah menjadi makhluk laknat seperti Kenji. Hampir, hampir. Huf!

    Kutepuk pipiku berkali-kali agar aku sadar. Risa tampak keheranan melihat apa yang kulakukan, namun aku tak berhenti. Ia tersenyum tanpa menanyakan kegilaan macam apa yang menimpa diriku.

    “Hei, Yuki,”

    Aku berhenti menampari pipi. “Y…ya? Risa-chan?”

    “Eh? Risa-chan?”

    Gyaaaaa!!!

    Sialan! Mulut bejat! Apa yang baru saja kau ucapkan?

    “Risa, Risa, Risa, Risa, RISA! Lupakan aku bilang sesuatu setelah namamu!” Aku bermonolog, panik. Tidak. Aku tidak mau dicap sebagai manusia mesum.

    Namun Risa malah tertawa geli. “Kau boleh memanggilku begitu kalau kau menyukainya. Haha!”

    “Tidak, tidak!” Aku menolak, berteriak panik. “Risa saja sudah cukup.”

    Risa tertawa geli. Suara tawanya terdengar bagaikan lantunan melodi yang indah.

    Tak lama setelahnya, ia kembali memandang lautan luas.

    “Yuki, apakah laut selalu terlihat seperti ini?”

    “Hah?”

    “Aku selalu bisa melihat laut, tapi tak pernah sampai sedekat ini.” Kata Risa, tersenyum. “Kau tahu, aku selalu ingin melihatnya dari dekat.”

    “Yah, sekarang kau sedang melihatnya, kan?” Jawabku. Risa menoleh padakku, tersenyum lepas.

    Eh? Tunggu.

    Kalimat itu…

    “Kau tahu? Aku selalu ingin melihatnya dari dekat.”

    ………

    Rasa-rasanya, aku pernah mendengar kalimat seperti itu.

    Tapi, kapan? Dan dimana?

    Ah, ingatanku buruk. Aku tak bisa mengingatnya. Berkali-kali mencoba, aku tetap tak ingat. Meski demikian, aku yakin bahwa aku pernah mendengarnya.

    Menoleh kearah Risa, kini ia kembali menatap lautan luas.

    “Yuki,” katanya kemudian, tanpa mengalihkan pandangannya padaku. “Seandainya kita bisa menyentuh air laut dan merasakan ombak yang datang, rasanya pasti menyenangkan sekali.”

    Risa menoleh padaku.

    Dan tersenyum makin lebar.

    “Aku ingin melihat laut lebih dekat lagi.”

    Sebuah ajakan.

    Sebuah ajakan untuk berkencan.

    Dalam kondisi normal, aku mungkin akan berpikir dua kali untuk menerimanya. Hanya saja, untuk kali ini aku tak bisa menolahk. Terlebih, setelah melihat wajah Risa, entah mengapa kepalaku mengangguk dengan sendirinya.

    “Mmn.” Jawabku perlahan. “Aku akan mengajakmu suatu saat nanti.”

    “Apakah itu sebuah janji?”

    Aku mengangguk.

    Tersenyum.
     
    • Like Like x 3
  6. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    5 Juli.

    Delapan belas hari setelah bertemu Risa, dan hari tepat dimana aku berulang tahun.

    Berkat Kenji, kini aku selalu datang lebih awal ke sekolah. Sesekali bertemu Furukawa di jalan, dan bertemu murid-murid lain yang asyik bercengkrama.

    “Yo, Hiiragi.”

    Ah, dan, hari ini pun aku kembali bertemu dengannya.

    Furukawa lagi-lagi menepuk punggungku saat aku berjalan malas. Wajahnya tersenyum senang. “Selamat pagi.”

    “Mmn. Pagi, Furukawa.”

    “Lemas begitu? semangat, dong!” Furukawa menyahut, tertawa. Aku membalas sambil mengantuk bahwa semalam aku menonton acara TV hingga larut malam, sehingga membuatku sakit mata.

    “Hei, Hiiragi.” Furukawa berkata perlahan. Berjalan beriringan denganku, tampak wajahnya yang sedikit memerah.

    “Anu, ini kebetulan saja, sih. Kau tahu kalau keluargaku membuka toko kue, kan?”

    Aku mengangguk. “Yang ada dekat stasiun, bukan?”

    Furukawa mengangguk, tersenyum. Jemarinya bergerak perlahan, menelisik isi tas yang dijinjingnya. Dari dalam tas tersebut muncul sebuah kotak merah yang dibalut dengan pita kuning.

    Huh?

    Furukawa menyodorkan kotak itu padaku.

    “Ka…kalau tak keberatan. Ambillah.”

    Aku menatap Furukawa, melongo. Wajahnya tampak merah padam. Ia menatapku gugup dengan tangan gemetar.

    Ah, kenapa harus Furukawa?

    Kuambil kotak tersebut dengan perasaan gugup yang mungkin sama dengan apa yang dirasakan Furukawa. “Te…terima kasih.” Jawabku sesaat setelah menerimanya. Furukawa tampak tersenyum, dan berbisik perlahan ditelingaku.

    “Selamat ulang tahun, Hiiragi.”

    Ya Tuhan…

    Aku kembali menoleh padanya. “Sampai jumpa di kelas!”

    ………

    Kurasa Kenji benar. Furukawa memiliki perasaan padaku.

    Tapi aku…

    Gah! Sial! Sial! Kalau aku menerima perasaan Furukawa, Kenji pasti marah total. Belum termasuk kenyataan bahwa aku akan dihajar habis-habisan oleh seisi kelas. Tidak! Tidak! Meski Furukawa cantik, aku tak boleh menerimanya. Wanita adalah makhluk mengerikan. Ia bisa membuatmu terbunuh.

    Dan juga, aku berpikiran apa sih? Bukankah sekedar mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi hadiah merupakan hal yang umum untuk seorang teman?

    Tidak! Aku tak boleh berpikiran macam-macam. Jika kelak aku menyatakan perasaan pada Furukawa, dan ia menolakku, namaku pasti akan tercemar.

    Ngomong-ngomong, isi kotak ini apa ya?

    Penasaran, kubuka pita kotak ini dengan perasaan gugup, bertanya-tanya apa isinya. Kuharap bukan surat cinta atau semacamnya.

    Ah…

    Ternyata hanya sebuah kue tart kecil dengan tulisan yang terpampang cukup jelas.

    “Selamat ulang tahun, Hiiragi.”

    Ya, kau betul. Selamat ulang tahun, Hiiragi.

    ………

    Eeehh??

    Siapa itu tadi? Siapa yang bicara?

    Menoleh kebelakang, aku dibuat terkejut dengan kehadiran sesosok gadis yang menatap kue yang kupegang. Begitu terkejutnya sampai-sampai aku sedikit meloncat dibuatnya.

    Segera kututup kembali kotak kue ini. “Ri…Risa! Jangan sembarangan mengintip begitu!”

    Risa menatapku melongo, tersenyum dengan tangan yang tersembunyi dibalik badan. “Maaf, Yuki. Aku penasaran. Haha.”

    “Ampun, kau ini…”

    Risa masih tertawa lugu untuk sesaat, sebelum kemudian tersenyum senang.

    “Sebenarnya, aku juga punya sesuatu untukmu.”

    Ya ampun, apalagi ini?

    Risa lantas menunjukkan kedua tangannya, memperlihatkan benda yang ia sembunyikan.

    Sebuah kotak.

    Lagi?

    “Maaf, aku tak bisa membungkusnya lebih rapi.” Gumam Risa perlahan. Saat kuperhatikan, bungkusan kotak ini memang sedikit kurang rapi dibanding kotak yang Furukawa berikan. Bungkusnya berwarna putih dan dibalut dengan pita biru.

    “Kau boleh membukanya sekarang kalau kau mau.” Risa berkata sambil tersenyum. Aku menurut. Karena tangan kiriku kugunakan untuk menggenggam kotak kue pemberian Furukawa, aku harus menggunakan tangan kanan dan gigiku untuk membuka kotak dari Risa. Cukup sulit memang, namun aku berhasil melakukannya.

    Ah, ini…

    Sebuah kotak.

    Sebuah kotak musik berwarna coklat terang.

    ***​

    “Kuharap kau menyukainya.”

    Suara Risa terdengar lembut. Melamun semenjak bel pulang berbunyi, tanpa kusadari kini seisi kelas sudah menghilang. Hanya ada aku, Risa, dan sebuah melodi yang mengalun indah dari kotak musik yang ada diantara kami.

    “Darimana kau mendapatkannya?” Tanyaku senang. Kubenamkan pipiku diatas meja. Kedua mataku terpaku menatap kotak musik tersebut sambil hanyut dalam lantunan nada yang indah.

    “Haruskah kuberitahu?” Suara Risa terdengar perlahan dari hadapanku. Membenamkan pipinya di meja yang sama, sesekali bisa kurasakan rambutnya menyentuh wajahku. Aku ingin menjawab, tapi suaraku tertahan oleh indahnya lantunan nada dari kotak musik ini.

    “Higashi.” Risa menjawab tak lama kemudian. “Sebuah toko alat musik di Higashi.”

    “Eh?” Aku tersentak. “Kapan kau pergi ke Higashi?”

    Risa tersenyum. “Takkan kuberitahu.”

    Ah, tipikal jawaban yang seharusnya sudah bisa kuprediksi.

    Tersenyum singkat, aku kembali larut dalam alunan melodi yang terus muncul dari kotak musik tersebut. Nada-nada yang ada mengingatkanku pada suara Risa yang kudengar di UKS tempo hari.

    “Kau tahu, Risa? Kau benar-benar memiliki suara yang indah.”

    “Mmn. Terima kasih.” Jawab Risa perlahan, mengangguk.

    “Kau suka menyanyi?”

    Risa kembali mengangguk. “Suka. Sangat suka.”

    Aku tersenyum. “Kurasa kesukaanmu akan menular padaku.” Kataku, merujuk pada kejadian saat kami sama-sama memutuskan untuk memanggil nama kami masing-masing.

    Risa, untuk ketiga kalinya, mengangguk.

    Dan pikiranku melayang, kembali teringat dengan pertanyaan Risa sore itu.

    ***​

    “Apa kau suka menyanyi?”

    “Hmn, tidak juga.”

    “Ah…”

    ” Tapi aku tidak membencinya juga, sih. Biasa saja, mungkin.”

    “Be…begitu, ya?”

    “Memangnya kenapa dengan itu, Sakagami? Ah, maksudku, Risa?”

    “………”

    ***​

    “Yuki,”

    “Eh? Y…ya?”

    Tersadar dari lamunanku, kulihat Risa yang kini sudah terbangun, menatapku dengan senyumnya seperti biasa.

    “Ada apa, Risa?”

    “Kau sedang memikirkan apa?”

    “Aku? Ahaha, tidak. Tidak ada apa-apa. Haha.”

    Risa tersenyum makin lebar.

    “Ngomong-ngomong, Risa, bagaimana kau tahu kalau ini hari ulang tahunku?”

    Risa tampak tertegun sesaat, menatapku melongo. Cukup lama aku menunggu jawabannya yang tak kunjung muncul.

    “...Furukawa memberitahuku.” Pada akhirnya ia bisa mengatakannya. Ah, itu melegakan. Aku sempat menduga ia seorang Yandere yang berusaha membuatku jatuh hati padanya dengan berbagai cara.

    Meski boleh dibilang, aku takkan menolak andaikata ia memang seorang Yandere. Jujur, aku selalu merasa senang bila bersamanya.

    Mmn. Semenjak kami berjanji menatap laut bersama, kami menjadi lebih terbuka dengan diri kami masing-masing. Mengobrol bersama, makan bersama, tertawa bersama, hari-hari yang kulalui dengan Risa terasa sungguh menyenangkan.

    Dan lama kelamaan, aku tak lagi peduli dengan apa yang seisi kelas bilang tentang kami berdua. Tak lagi peduli dengan gossip yang beredar bahwa aku dan Risa telah menjadi sepasang kekasih. Dan anehnya, justru Furukawa yang paling sibuk dengan hal ini.

    Ah, perasaan nyaman ini, apa ini yang dinamakan cinta?

    ………

    “Tidak penting aku tahu darimana.” Kata Risa kemudian. “Yang terpenting adalah ulang tahunmu bisa berarti banyak bagimu.”

    “Ahaha, dasar kau,”

    Risa menjawab dengan senyuman lugu yang hanya berlangsung sesaat. Tatapan matanya perlahan tertuju kembali kearah kotak musik yang berhenti memainkan lagu.

    “Sebenarnya, Yuki,” Katanya kemudian. “Aku masih punya hadiah untukmu, lho.”

    “Eh? Yang benar?”

    “Mmn.”

    Aku tersenyum sumringah. “Kali ini apa? Kue ulang tahun? Atau-“

    “Sebuah lagu.”

    “Eh?”

    “Sebuah lagu.” Risa mengulang perkataannya. “Aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu.”

    Ah, sebuah lagu, ya?

    Aku sama sekali tak keberatan. Bahkan, boleh dibilang aku amat menunggu Risa bisa bernyanyi kembali untukku.

    “Kau akan menyanyikan lagu untukku? Serius?”

    Risa mengangguk, tersenyum. “Bolehkah aku menyanyikannya sekarang?”

    “Tentu!” Jawabku mengangguk, tersenyum. “Aku selalu menunggumu kembali menyanyi, lho!”

    Risa tertawa kecil dan berdiri tak lama kemudian. Berjalan kedepan kelas, iapun menarik napas dan mulai menyanyi.

    ………

    Perasaan ini…

    ***​

    “Hei, apakah kau suka menyanyi?”

    “Tentu.”

    “Ah, senangnya. Aku juga suka, lho.”

    “Hahaha. Kau bilang begitu juga, suaramu masih seperti kodok, lho.”

    “Apa?”

    “Suaramu jelek!”

    “Ah, jahat sekali!”

    ***​

    Entah apa yang membuatku menangis kala itu.

    Air mata ini mengalir beriringan dengan nada lagu yang dinyanyikan Risa. Lagu ini…ini benar-benar indah. Lirik, nada, dan melodi yang muncul seolah datang dari lubuk hatinya yang terdalam, menggambarkan perasaan bahagia dan kehidupan tanpa penyesalan.

    Aku tak begitu paham soal musik, namun lagu yang dinyanyikan Risa benar-benar menyentuh kalbu.

    ………

    Lagu ini…Semua ini…

    Keinginan Risa…

    Mmn. Lagu ini menggambarkan keinginan Risa akan kebahagiaan yang muncul dari hal sederhana, yang selalu ia temui, dan yang ia inginkan agar terus bertahan.

    Dan juga, keinginannya untuk berterima kasih atas kehidupannya. Sebuah kehidupan tanpa penyesalan.

    Apa yang membuatnya bisa menyanyikan lagu seindah ini?

    Risa…

    ………

    Suaranya masih terus terdengar, dan hal itu membuat batinku makin terenyuh. Tanpa sadar, kini aku berdiri dan berjalan mendekatinya perlahan.

    Kutatap wajah Risa dalam-dalam. Ia tampak begitu larut dalam lagu yang ia nyanyikan, sehingga tampak dimataku bahwa ia seolah tak sadar dengan keberadaanku.

    Risa terus menyanyi, dan menari.

    Berputar kedepan, kebelakang, kedepan, kebelakang, seolah seluruh dunia berada disekelilingnya dengan mata tertuju padanya.

    Seluruh dunia dan Risa…

    Kehidupannya…

    Kebahagiaannya…

    ………

    Sesaat sebelum lagu itu selesai, tanpa sadar aku sudah memeluk punggungnya.

    Risa tak menolak.

    Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan. Perlahan, tangannya menggenggam lenganku kuat-kuat.

    ***​

    Seperti biasa, kami pulang bersama. Hanya saja, kali ini malam sudah turun sedikit larut.

    “Risa, kau baik-baik saja?”

    Risa menundukkan kepalanya, mengangguk, tersenyum sebisanya. Ia hampir-hampir tak bicara sepatah katapun semenjak aku memeluk punggungnya.

    Dan juga, ada apa denganku? Memeluknya seperti itu, ugh, tak kusangka kini aku benar-benar berubah menjadi manusia mesum.

    “Tapi, aku benar-benar senang bisa mendengarnya. Belum pernah kudengar lagu seindah itu.” Kataku tersenyum. Membuang pandanganku jauh kelangit luas, tampak jutaan bintang terhampar jauh diangkasa.

    “Risa?”

    “…ya?” Risa menjawab lemas dengan wajah murung.

    Ah, sial! Jelas sudah bahwa ia benar-benar terganggu dengan tindakanku. Aku harus meminta maaf padanya.

    Tetapi, bagaimana caranya? Aku tidak begitu pandai meminta maaf. Apa aku harus bilang langsung padanya detik ini juga, atau menunggu beberapa hari agar ia sedikit lebih tenang?

    Sementara sibuk memikirkan cara meminta maaf, raut wajah Risa tampak tak berubah. Rasanya, aku seperti melihat sisi lain Risa yang tak kukenal.

    “Risa, maafkan aku.”

    Pada akhirnya aku bisa mengucapkannya. Meski jujur, aku tak menyesal bisa memeluknya seperti itu. Maksudku, kurasa itu hal yang wajar. Lagu yang dinyanyikannya tadi itu benar-benar menyentuh hati sehingga membuatku terbawa perasaan.

    “Itu, anu, lagu itu benar-benar indah, Risa. Dan juga, ditambah suaramu yang sangat bagus…”

    Risa menatapku perlahan. Melihatnya, aku tersenyum.

    “Aku baru pertama kali mendengarnya. Jadi, aku terbawa perasaan.”

    Risa kembali menundukkan kepalanya dan memaksakan senyumnya. “Mmn.” Gumamnya perlahan. “Itu kali pertama kau mendengarnya, jadi wajar saja.”

    Aku menghela napas panjang.

    Tampaknya ini akan jadi perkara yang cukup sulit.

    “Tanganmu…”

    “Hmn?”

    “…hangat.”

    Ah…

    Risa menatapku, kini dengan senyum yang lebih lebar. “Saat kau memelukku, tanganmu terasa hangat.”

    “…kau menikmatinya?”

    “Entahlah…”

    “………”

    “………”

    Kami sama-sama terdiam setelahnya.

    Ombak yang datang dari lautan luas terdengar bergemuruh. Menatap jauh ke arah laut, tampak konstelasi bintang yang memantul di lautan.

    “Risa,”

    “Ya?”

    “Kau masih ingin melihat laut dari dekat?”

    Risa tersenyum, mengangguk.
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Jul 9, 2015
  7. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    DCM.

    Dilated Cardiomyopathy.

    Entah bagaimana aku berakhir dengan penyakit yang bahkan tak kuketahui seperti apa. Namun, dengan perawatan rutin yang membuatku harus berakhir di rumah sakit, penyakit ini pastilah bukan penyakit biasa.

    Kami semua tentu merasa sedih. Ayah, ibu, dan aku. Perasaan takut akan kehilangan seseorang yang dicintai, takut akan rasa sakit yang luar biasa, takut akan kematian…

    Meski demikian, ketakutanku yang terbesar adalah perasaan kesepian yang muncul saat menjalani hari-hari di rumah sakit.

    Aku masih berusia sepuluh tahun saat hal itu terjadi. Minggu pertama meninggalkan kelas, ibu guru dan teman-teman masih datang menjenguk, dan aku masih bisa tertawa riang. Bahkan bapak kepala sekolah pun sempat datang membawakan makanan dan karangan bunga dari seisi sekolah, yang berisi pesan agar aku bisa segera sembuh. Beliau bilang bahwa aku akan selalu menjadi bagian dari keluarga besar sekolah dan lain hal, dan bahwa beliau akan datang berkunjung secara rutin. Semua itu benar-benar membuatku senang dan memberi harapan besar untukku agar bisa sembuh. Aku sangat bahagia, karena meskipun berakhir di rumah sakit, aku masih memiliki teman-teman dan keluarga yang takkan meninggalkanku.

    Berharap seperti itu, aku tak sadar bahwa aku begitu naïf, seolah baru tersadar dengan kenyataan bahwa bahwa tak ada sesuatu yang abadi di dunia ini.

    Mmn. Tak ada yang abadi, termasuk perasaan manusia.

    Setelah melewati beberapa bulan di rumah sakit, pada akhirnya hanya satu-dua teman saja yang masih mau berkunjung, dan satu bulan setelahnya, tak ada lagi yang datang. Bahkan ayah dan ibu mulai sering meninggalkanku dan membiarkanku dalam pengawasan dokter. Tentu aku sadar bahwa mereka berdua harus bekerja keras untuk membayar biaya rumah sakit. Hanya saja, terkadang aku hanya ingin agar mereka ada disini.

    Tanpa adanya seseorang, aku benar-benar merasa bosan.

    Kuhabiskan waktu di ranjang rumah sakit ini sambil sesekali membaca buku-buku yang dibawa ibu tiap kali berkunjung. Kebanyakan berupa manga, novel, dan majalah yang sudah lama – mungkin diambil dari rumah. Ibu tak begitu suka membaca.

    Salah satu yang menarik perhatianku adalah sebuah manga berjudul “Suara Seorang Gadis Kecil.” Ceritanya sendiri berkisah tentang seorang gadis yang dijauhi teman-temannya karena tak bisa berjalan sejak lahir. Ia harus menaiki kursi roda untuk berpindah tempat, dan itu merepotkan. Tak ada yang mau mengajaknya bermain, dan seringkali sang gadis merasa sedih saat melihat teman-teman sebayanya berlarian di lapangan dekat rumah. Begitu sedihnya, hingga seringkali ia menangis sendirian didalam kamarnya yang kecil. Meski begitu, perasaannya selalu terhibur tiap kali ia menyanyi. Ia selalu menyanyi siang malam, bersenandung tentang apa yang menimpa dirinya, dan tentang harapannya untuk bisa keluar dari kesepiannya. Makin lama, suara sang gadis terdengar makin merdu dan membuat beberapa anak tertarik padanya. Satu-dua anak seringkali berdiam diri ditengah jalan dan menatap jendela kamar sang gadis hanya untuk mendengar lagu yang dinyanyikannya. Hingga kemudian, seorang anak datang berkunjung ke rumahnya, memintanya untuk menyanyi. Sang gadis mengabulkan permintaan anak tersebut. Suaranya yang merdu membuat sang anak terenyuh, dan mulai menganggapnya teman. Perlahan, suara sang gadis juga sampai pada anak-anak lainnya, hingga pada akhirnya, sang gadis tak lagi merasa kesepian. Berkat nyanyiannya, sang gadis memiliki banyak teman.

    Manga itu membuatku tergerak untuk menyanyi. Entah mengapa, akupun berharap agar kelak, aku bisa mendapatkan banyak teman dari lagu yang kunyanyikan.

    Dokter tak pernah melarangku. Ia senang aku memiliki keinginan untuk menyanyi, dan bilang agar aku tidak berhenti. Meski kata-kata sang dokter hanyalah motivasi agar aku lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan, aku tak peduli. Aku ingin menyanyi dan terus menyanyi. Kulihat ibu pun menjadi lebih bahagia saat aku menyanyi, dan setelahnya beliau jadi lebih sering membawakanku buku-buku tentang teknik menyanyi, atau sekedar buku kumpulan lagu.

    ***

    “Sepertinya aku takkan menyanyi untuk hari ini.”

    Aku bilang untuk hari ini, meski mungkin saja hal ini berlaku untuk selamanya.

    Enam bulan berlalu dan aku masih terjebak di ruang sempit dengan dokter jaga yang selalu memberiku obat-obatan pahit. Mmn. Terjebak disini seorang diri, dengan hari-hari membosankan seperti biasa. Tak peduli seperti apa aku menyanyi, tak ada seorangpun yang datang. Semuanya berlangsung selama enam bulan yang terasa ibarat puluhan tahun, dan aku mulai lelah karenanya. Semangatku menurun drastis. Perasaan kesepian terus menggerogoti jiwaku, dan itu menyakitkan. Aku ingin segera mengakhirinya. Aku tak peduli bagaimana caranya – bahkan bila harus mati sekalipun.

    Dan saat tanpa sengaja kudengar suara dokter - yang bilang bahwa penyakitku tak mungkin disembuhkan, dan bahwa waktuku untuk hidup mungkin takkan lama lagi - aku bahkan tak peduli. Meski ibu menangis pilu, aku tetap tak peduli. Hidup dan mati takkan ada bedanya. Keduanya sama-sama menyakitkan.

    Malam itu bintang-bintang bersinar cerah diantara langit kelam, mengingatkanku pada sang gadis dalam manga yang seringkali menyanyi diantara hamparan bintang.

    Aku sungguh bodoh, mencampuradukkan manga dengan kenyataan. Maksudku, tentu saja lantunan lagu takkan pernah mendatangkan seseorang. Hal itu hanya akan mengusir perasaan sepi untuk sesaat, untuk membuatnya lebih buruk lagi.

    Ah, aku benar-benar berharap untuk bisa segera pergi dari dunia ini, agar perasaan kesepian ini benar-benar berakhir.

    ………

    Tanpa sadar, aku bersenandung.

    Lagu yang kunyanyikan kali ini tak seperti lagu-lagu yang kunyanyikan sebelumnya. Tak ada satupun lirik atau kalimat yang kulantunkan, hanya suara gumaman yang membentuk nada-nada yang entah apa. Meski demikian, semua itu datang langsung dari perasaanku yang paling dalam.

    Mmn.

    Senandung itu datang dari berbagai hal yang membekas menjadi kenangan pahit. Saat menyanyi, ingatanku kembali pada saat aku masih bisa pergi ke sekolah, saat aku meninju Masaki yang menjahili Keika, saat aku ikut bermain bola diantara para lelaki, saat pulang sekolah dan tertawa bersama Inori, Chiho, dan yang lainnya.

    Teringat masa-masa itu, bisa kurasakan wajahkku tersenyum.

    Dan tanpa sadar, air mataku menetes, jatuh keatas selimut yang membungkus sebagian tubuh.

    Ah...

    Mengapa aku menangis?

    Mengapa aku menangis untuk sesuatu yang bahkan kuanggap sudah menghilang? Apakah, jauh dilubuk hatiku, aku masih menginginkan semuanya?

    Larut dalam kenangan, aku dibuat terkejut saat kemudian pintu kamar ini terbuka perlahan. Segera kuhapus air mata ini mengenakan piyama yang menempel di tangan. Aku tak boleh membiarkan dokter melihatku menangis seperti ini.

    Tetapi kemudian, yang muncul dari pintu ini bukanlah dokter.

    Yang berdiri dihadapanku kini adalah seorang anak lelaki.

    Ia menatapku lugu, dan aku balas menatapnya. Postur tubuhnya yang kecil membuatku menebak-nebak bahwa anak itu masih berusia sekitar sepuluh tahun.

    Sama denganku.

    Apa yang dilakukannya disini? Apakah ia juga pasien di rumah sakit ini?

    Ah, aku tidak tahu. Aku bahkan tidak mengenalnya.

    Meski demikian, anak itu terus menatapku dengan tatapan mata lugu.

    Dan tersenyum tak lama setelahnya.
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Jul 9, 2015
  8. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    Dua puluh dua hari setelah bertemu Risa.

    Kami berjanji untuk bertemu di pantai – tentu saja aku tak berencana untuk mengajaknya menatap laut dari pagi hingga petang. Untuk pagi ini, mungkin aku akan mengajaknya keliling kota. Entahlah.

    Berjalan perlahan menyusuri rumah-rumah di sisi kiri dan kanan jalan, tiba-tiba saja telepon genggamku berbunyi.

    Sebuah pesan masuk datang dari Kenji.

    “Awas, anak orang. Jangan sampai hamil!”



    Anu, bolehkah kubanting telepon ini sekarang juga?

    Agh, pesan masuk ini membuatku ingin ganti telepon saja!

    Meski rencana kencan ini sudah kurahasiakan matang-matang, Kenji tetap saja tahu. Dan yang mengesalkan adalah kenyataan bahwa rencanaku diketahui karena tipu dayanya.

    “Yuki-chan, jadi berkencan minggu ini tidak?”

    “Hah?”

    “Kau akan jalan-jalan dengan Risa-chan hari minggu ini, kan?”

    “Asem. Tahu darimana?”

    “Eh? Ternyata benar ya? Haha, padahal aku hanya menebak-nebak, lho.”

    “Ah, sompret! Tukang tipu! Hei, laknat, jangan lari! Sini kamu!”

    Ugh, mengingatnya saja membuatku kesal…

    Yah, meski demikian, kedekatanku dengan Risa beberapa hari terakhir memang memungkinkan setiap orang berspekulasi tentang apa yang akan terjadi, sih. Bahkan Furukawa menjadi sedikit menjauh dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu di klubnya. Dan berkat Kenji, kini muncul isu bahwa aku menolak perasaan Furukawa demi Risa.

    Sial! Kenapa jadi begini? Aku bukan penjahat kelamin! Dasar Kenji bejat!

    Makin lama mengingatnya, aku jadi makin kesal. Untungnya aku sempat membeli satu kaleng kopi untuk mendinginkan suasana. Segera saja kuminum kopi kaleng itu sampai habis.

    Satu kaleng kopi dingin di hari yang panas terasa begitu menyegarkan.

    Yup. Hari itu panas terik menyengat. Jalanan memunculkan fenomena fatamorgana dimana aku bisa melihat genangan air diatas aspal yang panas. Satu-dua kendaraan muncul dalam rentang waktu lima menit sekali. Bersamaan dengannya, suara serangga musim panas terdengar bersahutan dari pepohonan sekitar.

    Menatap jam tangan, sembilan empat puluh. Ditambah dua puluh menit waktu normal, ini belum setengah sembilan. Kami berjanji bertemu pukul sepuluh pagi, jadi aku amat yakin bahwa aku takkan terlambat.

    Meski demikian, saat tiba di pantai sepuluh menit setelahnya, Risa tampak sudah berdiri menunggu di tepi jalan. Dan seolah sadar akan kedatanganku, ia menoleh. Senyumnya yang cerah tampak jelas diantara cahaya matahari yang terik.

    Kembali aku mengecek jam tangan. Sembilan tiga puluh. Aku datang tiga pukuh menit lebih cepat, namun Risa datang lebih cepat lagi. Benar-benar luar biasa.

    “Yuki!”

    Membalas sahutan Risa, aku melambaikan tangan, tersenyum. Risa balas tersenyum dan berjalan mendekatiku perlahan.

    Untuk seseorang yang akan pergi ke pantai, pakaian yang Risa kenakan tampak sedikit unik. Ia mengenakan kemeja kasual berumbai dengan celana panjang yang menutupinya hingga bagian bawah lututnya.

    Ugh, andai tahu begini, aku akan mengajaknya ke mall saja.

    “Ada apa, Yuki?”

    Risa bertanya sesaat setelah kami berdiri berhadap-hadapan. Menatap senyumnya, aku balas tersenyum sebisaku.

    “Anu, Risa, pakaianmu…”

    “Hmn? Ada apa dengan pakaian ini?”

    “…tidak.” Jawabku ragu-ragu, dan itu membuat Risa mendekatkan wajahnya padaku, penasaran.

    “I, iya, kau tampak cocok dengan baju itu, kau tahu?”

    “Benarkah?” Risa berkata kegirangan. “Ahaha, terima kasih.”

    Aku melepas sebuah senyum lega. “Tapi Risa, kenapa kau datang cepat sekali? Masih ada setengah jam sebelum jam sepuluh, kau tahu?”

    “Hm, entahlah.”

    Entahlah? Apa maksudnya? Ampun, gadis ini…

    “Kau datang dari jam berapa?” Tanyaku kemudian. Risa masih memasang senyum lugunya saat ia menjawab, “Jam sembilan, kalau tidak salah.”

    “Jam sembilan? Hei, kau tahu kan kalau kita janjian jam sepuluh.”

    Mendengarnya, Risa sedikit cemberut. “Memangnya kenapa kalau aku datang jam sembilan?”

    “Ti…tidak apa-apa, sih.” Jawabku panik. “Aku hanya tak mau kau menunggu lama, kau tahu?”

    “Hmm…”

    Risa tampak terdiam, memasang wajah lugu untuk sesaat, sebelum kembali tersenyum. “Yuki, kau juga datang setengah jam lebih awal, jadi tak apa-apa kan?”

    “Iya sih, tapi menunggu satu jam sebelumnya…”

    “Aku juga tak mau kau menunggu, kau tahu?”

    “Eh?”

    Risa tak berkata apapun lagi dan hanya tersenyum.

    Ini sungguh konyol. Maksudku, menunggu sejam lebih awal hanya karena tak mau membuat seseorang menunggu, dan orang yang ditunggunya bahkan rela datang setengah jam lebih awal.

    Kami berdua benar-benar bodoh, sama-sama terlalu takut terlambat.

    Atau, boleh kubilang bahwa kami berdua sama-sama peduli terhadap satu sama lain.

    Memikirkan hal itu, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Kulepaskan tawaku dihadapan wajah Risa – sebuah tawa lepas.

    Dan gadis itu ikut tertawa.

    Ah, sungguh lucu rasanya. Dua orang bodoh tertawa untuk hal konyol.

    Tak lama setelahnya, kutatap wajah Risa yang perlahan beralih memandang laut luas. Matanya menyiratkan kebahagiaan yang teramat sangat.

    Ia amat menyukai laut. Entah apa yang membuatnya demikian, namun aku senang melihatnya.

    “Hei, Yuki,” Katanya perlahan. “Terima kasih telah membawaku kemari.”

    ………

    Ada sesuatu yang lain dari senyumnya kali ini. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan secara pasti, namun mirip dengan sebuah perasaan kesepian, atau rindu, atau keduanya. Dan bahkan, aku bisa bilang bahwa Risa memaksakan senyumnya untuk kali ini.

    “Risa?”

    “Hmn?”

    “Kau baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

    Risa tertegun untuk sesaat. Matanya kini balik menatapku. “Apa aku terlihat seperti itu?”

    “Entahlah. Kau seperti sedang memikirkan sesuatu.”

    Risa tersenyum kecil. “Tidak ada, kok. Itu mungkin perasaanmu saja, Yuki.”

    Ah, betul.

    Mungkin ini hanya perasaanku saja. Namun hal ini tetaplah menggangguku. Maksudku, apakah ada sesuatu yang ia sembunyikan?

    “Tak usah khawatir tentangku, Yuki.” Ujar Risa, menenangkanku. “Aku baik-baik saja.”

    “Sungguh? Kau bisa bercerita padaku jika kau-“

    “Tak apa-apa.” Risa memotong. “Sungguh.”

    “Ba…baiklah kalau begitu.” Kataku mengalah. “Tapi kalau kau merasa ingin bicara, bicaralah. Aku akan selalu siap mendengarkan.”

    Risa mengangguk perlahan, tersenyum senang. “Terima kasih, Yuki.” Katanya kemudian. “Hei, ayo kita berangkat sekarang.”

    ***​

    Berkendara dengan kereta api, kami tiba di salah satu pusat belanja.

    Kubawa Risa berkeliling menyusuri aneka toko yang ada. Tanpa malu, kami melakukan banyak hal bodoh, seperti berlari berkeliling, mencoba berbagai pakaian di toko baju, mencicip aneka sampel kue yang disediakan penjual, juga menirukan suara kucing dan anjing di toko boneka layaknya dua orang dungu, dan itu belum ditambah dengan mengacak-acak toko bunga – aku harus membayar beberapa bunga yang rusak karenanya.

    Namun aku tak peduli.

    Aku tak peduli dengan biaya yang harus kukeluarkan, atau dengan apa yang kelak orang-orang pikirkan tentang kami. Yang terpenting bagiku adalah bahwa aku bisa melihat senyum Risa. Dan aku amat bersyukur saat menyadari bahwa aku bisa mendapatkannya di hari itu.

    Mmn.

    Membuat orang lain bahagia juga merupakan kebahagiaan tersendiri.

    Saat tersadar akan hal sederhana itu, aku jadi tak ingin hari ini berakhir.

    Aku ingin selalu ada disampingnya…

    ………

    Kuajak Risa makan siang di salah satu restoran yang ada. Setelahnya, kami memutuskan untuk kembali ke pantai.

    Dari stasiun Sanada, kami harus berjalan cukup jauh sebelum tiba kembali di pantai. Berjalan beriringan sambil sesekali bercanda, aku tak sadar bahwa Risa sudah teramat lelah. Ia tersandung saat berjalan, membuat jemarinya refleks meraih tanganku agar tidak terjatuh.

    Dan tentu saja aku amat terkejut dibuatnya.

    “Ma…maaf, Yuki…”

    “I…iya.” Jawabku gugup. “Tidak apa-apa, kok.”

    Risa kembali berdiri perlahan.

    Namun jemarinya tak mau melepaskanku, dan sejujurnya, akupun tak mau melepaskan genggaman tangannya. Bahkan saat kami mulai kembali melangkah, jemari kami masih beradu.

    ***​

    Ombak sesekali menyapu pasir putih diatas tempat kami duduk.

    Menatap jauh ke cakrawala, laut tampak begitu tenang. Angin yang datang terasa menyejukkan, bertiup membawa gulungan ombak kecil yang datang dan pergi berulang kali. Suara burung camar terdengar dari kejauhan.

    Pantai tempat kami berada merupakan pantai yang tak begitu bagus – hanya area berpasir di pinggir jalan. Hal itu membuat tempat ini cukup sepi, bahkan di akhir pekan sekalipun. Duduk diatas pasir, kulihat hanya ada sekitar lima orang saja disini. Risa dan aku sudah termasuk didalamnya.

    Suara camar laut kembali terdengar bersahut-sahutan sebelum menghilang diantara langit senja keunguan. Mengalihkan pandangannya pada burung-burung tersebut, Risa berkata perlahan, “Senangnya menjadi camar laut seperti itu.”

    “Hmn? Maksudmu?

    “Ya, menjadi camar laut dan terbang bebas kemanapun kau mau.” Risa memeluk lututnya sambil menatap jauh keatas langit. “Melihat hal-hal baru setiap hari, rasanya pasti menyenangkan.”

    Aku tersenyum. “Banyak hal mengerikan diluar sana, kau tahu?”

    “Mmn. Tapi aku tetap penasaran dengannya.”

    “Tidakkah kau pernah dengar sebuah ungkapan bahwa rasa penasaran bisa membunuh?”

    “Ya, tentu. Tetapi rasa penasaran yang tak tersalurkan pun bisa membunuh, bukan?” Gumam Risa, tersenyum. Aku tak menimpali kata-katanya lagi dan balas tersenyum. Salah satu tanganku tanpa sadar memainkan rambutnya perlahan.

    Risa tak menolak. Ia membiarkan tangan nakalku bermain diatas kepalanya.

    “Kau menyukainya?” Kataku sambil masih mengelus rambut panjangnya. Telapak tangaku lantas bergerak meraih jepit rambutnya yang biasa ia pakai, melepasnya, hingga sosok Risa dengan poni terurai kembali terlihat.

    “Apanya? Jepit rambut itu?”

    Kutatap jepit rambut berwarna biru cerah ini – masih tampak bagus meskipun Risa memakainya setiap hari. Ia pasti merawatnya dengan sangat baik.

    Kedua tangan Risa perlahan bergerak, berusaha merebut kembali jepit rambut itu dari tanganku. Aku menolak memberikannya, tentu, dan hal itu membuat Risa menggerutu.

    “Yah, sebenarnya bukan jepit rambut ini yang kumaksud.” Kataku kemudian saat Risa berhenti merebut jepit rambut ini. “Tapi itu bisa jadi obrolan yang menarik juga.”

    Risa kembali menoleh padaku, tersenyum. “Apa yang ingin kau tahu darinya?”

    Ia menggenggam kedua tanganku dan kembali mencoba merebut jepit rambut itu. Kali ini aku tak berminat lagi menahannya, hingga kubiarkan telapak tanganku terbuka. Risa meraih benda itu perlahan, menempelkannya lagi pada rambutnya yang panjang. Poninya kembali melekat di samping.

    “Entahlah.” Jawabku singkat. “Apapun yang mau kau beritahu, mungkin. Seperti beli dimana, berapa harganya, dan mengapa kau selalu memakainya setiap hari.”

    Risa menatapku lugu, tersenyum singkat sebelum menggeleng. “Kau ini penasaran sekali.”

    “Tidak boleh? Maksudku, jika kau benar-benar maniak jepit rambut, aku bisa membelikanmu saat kita bermain lagi nanti.” Kataku. “Aku tahu tempat yang bagus, lho. Kalau kau suka yang model seperti itu pun, aku bisa mendapatkannya.”

    Risa hanya tersenyum. “Terima kasih, tuan penjual jepit rambut.”

    “Hah? Kau bilang apa?”

    “Sales jepit rambut!”

    “Sialan, kau ya!”

    Risa tertawa senang saat aku memukul lengannya perlahan. Setelah puas tertawa, kami kembali menatap laut.

    “Jadi, Risa, apa kau menyukainya?”

    “…apanya?”

    “Semuanya.” Jawabku. “Lautan, hari ini, semuanya.”

    Risa mengangguk senang. “Apa kau harus memaksaku mengatakannya, Yuki? Kau ini jahat juga.”

    Aku tertawa kecil. “Hanya memastikan.”

    Risa membalas dengan merentangkan kedua tangannya jauh ke udara. Ia menggeliat, kelelahan. Aku tersenyum menatapnya.

    Risa balas menatapku, tersenyum.

    Kemudian, ia menempelkan kepalanya di pundakku.

    Bibirnya bergetar perlahan, “Terima kasih, Yuki.”

    “Ya, Risa.”

    Kurasakan jemari tangan Risa meraih jemariku, dan terdengar suara bisikannya perlahan “Kau tahu, Yuki? Aku…”

    Ah…

    Tunggu. Tunggu dulu.

    Apakah Risa akan mengatakan sesuatu yang baru saja kupikirkan?

    Jantungku berdegup kencang, menunggu kata-kata Risa selanjutnya. Aku amat yakin bahwa detik itu juga Risa akan mengungkapkan perasaannya padaku, bilang bahwa ia menyukaiku. Dan sebenarnya, aku juga ingin mengatakan hal yang sama.

    Hanya saja, kini aku menunggunya terlebih dahulu. Aku tak mau mendahuluinya. Ia pasti mengerahkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan hal itu. Biarkan. Biar dia saja yang mengatakannya. Lagipula, siapapun yang mengatakannya, jawabannya pasti sudah jelas : perasaan ini sama-sama berbalas. Esok hari kami akan menjadi sepasang kekasih, dan itu akan menjadi hal yang paling membahagiakan selama aku hidup.

    Tetapi setelah menunggu cukup lama, Risa tak juga mengatakannya.

    “Ada apa, Risa?”

    “Yuki…”

    “Ya?”

    “………”

    Risa tak mengatakan apa yang ingin ia katakan. Alih-alih, ia menarik kepalanya dari pundakku.

    “Hei, Risa? Ada apa?”

    Kini Risa tampak menunduk murung. Tatapan matanya jatuh keatas butiran pasr yang ada tepat dihadapannya.

    “Yuki, apa menurutmu lagu yang kunyanyikan tempo hari benar-benar bagus?”

    Ah…

    Pertanyaan itu.

    Apakah Risa masih beranggapan bahwa ia tak bisa menyanyi dengan baik?

    “Tentu,” Jawabku singkat. “Aku belum pernah mendengar lagu sebagus itu sebelumnya.”

    Risa tersenyum kecil, sayu. Melihatnya seperti itu, tanganku refleks menggenggam pundaknya dan membuat tatapan Risa kembali tertuju padaku.

    “Risa, kau tahu? Tak seharusnya kau merasa inferior seperti itu hanya karena seseorang bilang kau tak bisa menyanyi.” Kataku memberi semangat. “Suaramu bagus. Percayalah.”

    “Terima kasih, Yuki. Aku tahu kau akan mengatakannya.” Jawab Risa perlahan. Ia mengalihkan pandangannya kembali keatas pasir dan menepis tanganku yang menggenggam pundaknya.

    “Lagu itu, kurasa aku takkan menyanyikannya lagi.”

    “Eh, kenapa?”

    Risa tak lantas menjawab. Ia berdiri perlahan, menatap jauh ke lautan luas, dan menarik napas panjang.

    “Lagu itu kuciptakan untuk seseorang.” Ujar Risa tanpa melirik kearahku. “Aku tak seharusnya menyanyikannya untukmu.”

    Aku sontak terkejut mendengarnya. Berdiri perlahan, kurapikan celana panjangku yang penuh oleh pasir pantai. Terasa lengket di tangan.

    “Seseorang, siapa?”

    “Seorang teman.” Jawabnya tersenyum. “Seorang lelaki yang sangat istimewa untukku.”

    Ah…

    Seorang lelaki?

    Aku sedikit kecewa mendengarnya. Seorang lelaki? Siapa? Apakah mungkin bahwa Risa sudah memiliki seseorang yang ia sukai?

    Perasaan senang yang sempat muncul di hatiku kini mendadak hilang, berganti dengan sebuah rasa penasaran yang memenuhi otak. Kepalaku menjadi cukup panas dengan kenyataan bahwa Risa telah memiliki seseorang yang ia sukai. Maksudku, aku menyukai Risa, dan aku sudah amat yakin bahwa ia juga menyukaiku. Aku sudah menggenggam tangannya, dan bahkan memeluknya.

    “Lelaki…siapa?”

    “Seorang teman masa kecil.” Jawab Risa terseyum. “Boleh dibilang, ia adalah satu-satunya teman yang kumiliki. Karenanya ia menjadi amat spesial untukku.”

    “Be…begitu ya?”

    Risa mengangguk. “Tapi suatu hari kami berpisah. Tiba-tiba saja ia menghilang. Kabarnya ia pindah ke kota lain dan menetap disana.”

    “Dan selama ini kau menunggunya?”

    Risa terdiam cukup lama sebelum kembali menjawab pertanyaanku. “Mungkin. Entahlah. Aku juga tidak tahu…” Jawabnya perlahan dengan suara yang sayu. “Tapi, kau tahu? Aku ingin sekali bertemu dengannya lagi.”

    “………”

    “Hei, Yuki, bolehkah aku bertanya sesuatu?”

    “Apa itu?”

    Menarik napas panjang, suara Risa kembali terdengar.

    “Apakah menurutmu tindakanku benar? Menunggunya muncul hingga waktu yang entah kapan?”

    “Menunggunya?”

    Risa kembali mengangguk.

    Menunggunya, ya?

    Sejujurnya, aku ingin menjawab bahwa tindakannya salah, bahwa akan lebih baik baginya untuk melupakan orang tersebut dan melanjutkan kehidupannya. Meski demikian, sebuah perasaan bersalah menahanku. Ada semacam perasaan bersalah yang menahanku untuk mengatakan hal itu.

    Alih-alih, aku balik bertanya, “Apa kau sudah mencari tahu tentang temanmu itu?”

    “Aku pasti sudah melakukannya kalau aku bisa. Karena suatu hal, aku hanya bisa menunggunya saja.”

    “Ah, begitu.”

    Suaraku terdengar lemah kali ini.

    Mmn. Kurasa, kali ini aku benar-benar hancur. Siapapun orang ini, Risa pasti amat menyukainya – bahkan mungkin melebihi perasaan Risa padaku saat ini. Dan aku benar-benar bodoh telah berharap pada Risa.

    Ini benar-benar ironi. Aku sudah amat yakin bahwa aku telah berhasil mendapatkan hati Risa, dan tiba-tiba saja kenyataan terungkap, bahwa ada seseorang lain yang disukai Risa, jauh melebihi perasaannya padaku.

    “Jadi, Yuki…”

    “Y…ya?”

    Risa membalikkan badannya padaku dan tersenyum makin lebar. “Apakah menurutmu aku melakukan hal yang benar?”

    Itu…

    Apakah aku harus menjawab jujur?

    ………

    “Andai aku jadi kau,” Kataku perlahan. “Aku pasti takkan melakukannya.”

    “Eh?” Tatapan mata Risa berubah setelahnya. “Kau takkan melakukannya?”

    “Ya. Itu hal paling rasional yang bisa dilakukan, bukan?”

    Risa tampak tertegun, mendengarkan dengan saksama apa yang kuucapkan.

    “Maksudku, bukankah menunggu sesuatu yang tidak pasti itu hanya buang-buang waktu saja? Banyak hal yang bisa kau lakukan dalam masa penantianmu, kau tahu?”

    “…begitu, ya?”

    Aku mengangguk. “Kecuali kalau kau mau melakukan sesuatu untuk kembali bertemu dengannya.”

    “Dan jika kau tak bisa melakukannya?”

    “Jika tak bisa melakukannya, aku akan melangkah maju dan meneruskan hidupku. Aku akan menganggap sosoknya sebagai masa lalu yang indah. Meski demikian, ia hanyalah sebuah pesta. Dan layaknya semua pesta, suatu saat pesta tersebut akan berakhir, bukan?”

    Risa tampak makin tertegun dengan kata-kataku. Ia tak membalas kata-kataku sama sekali.

    ………

    Entah apa yang kukatakan benar atau salah, namun itulah yang ada dipikiranku.

    Dan seharusnya aku tak menyesal telah mengatakannya, karena bagaimanapun, aku telah berusaha menjawab sejujur-jujurnya. Namun kini, ada semacam perasaan bersalah yang memenuhi dada, yang bilang bahwa seharusnya aku tidak mengatakan hal itu.

    Darimana datangnya perasaan itu, aku juga tak tahu. Namun perasaan itu amat menyiksaku.

    “Maaf,” Kataku perlahan. “Mungkin jawabanku salah, ya?”

    Risa tersenyum kecil. “Tidak.” Jawabnya. “Kurasa kau benar.”
     
    • Like Like x 2
    Last edited: Jul 10, 2015
  9. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    mau komen bentar, ada beberapa bagian yg gw kurang ngerti di ch 3.

    itu ketemuan sama risa di ruang kelas atau di mana? dan sepertinya itu ruangan kayak'e kosong trus. dan gw gk tau juga itu kejadiannya kapan. apakah pas siang, atau pagi? dan kalo pagi rasanya pas ngebaca tiba2 malem gw jadi bingung, lah ini time leap nya jauh banget. ya mungkin karena gk ada deskripsi apa langsung loncat adegan jadinya gw gk ngeh.

    dan mungkin rada aneh juga gk kenapa2 tiba2 udah malem aja. itu pasti ada sesuatu yang kejadian di tengah2 sampe pulang nya lebih malem. ya itu menurut gw aja sih.

    ya sebener'e itu gk ganggu banget sih. tapi mungkin kalo diterusin dengan tone kek gini ceritanya lebih mengarah pada hal surealis, kalo bener2 diceritain. mungkin mirip ama adegan dalam mimpi malahan.

    well ntar gw lanjut baca lagi.
     
    • Like Like x 1
  10. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    thanks udah komen mod :hmm:

    well, benernya dari kalimat ini aku menyiratkan kalo adegannya pas udah sore sih :iii:

    mungkin masi misleading ya :iii:

    thanks masukannya mod, tar biar aku cek ulang :hmm:
     
  11. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    waini

    gw sama sekali gk kebaca ada itu bagian lol.

    ya jadi mulai makes sense kalo itu sendirian di kelas pas sore dan kenapa itu pulangnya malem, tapi aneh juga kalo memang gk ada yg ngintip ato mergokin mereka berdua (Kenji, misalnya). terutama habis beredar kabar burung. ya, mungkin yg ngintip blom ketauan kali. ato nggak terlalu penting buat cerita.

    oh well. itu aja sih.
     
    • Like Like x 1
  12. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    hmm....dat twist in the end

    gw jadi mulai nyadar kenapa situ rada susah buat ngelanjutin ceritanya.

    ya kalo menurut gw sih lebih enak dibikin datar aja. jadi dari interlude tadi, semuanya udah bisa ketebak ama pembaca (temen masa kecil nya si risa itu yuki dll), dan sisanya tinggal nuntasin backstory nya furukawa ama kenji sebelum hal itu kereveal ama yuki dan habis itu langsung lanjut ke ending.

    ya, mungkin in gw aja sih, tapi kayaknya sebagian besar cerita nya cuman fokus ke yuki ama risa doang trus supporting chara nya kerasa dapet porsi dikit banget.

    sampai akhirnya gw lebih tertarik ama furukawa dan kenji. dan terutama gw pengen ngeliat backstory nya kenji. apakah dia itu tipe2 seperti sunohara youhei yg diluar ya tipikal idiot friend tapi dia bener2 care ama sekitarnya?

    well, itu pendapat gw doang sih. kalo dilanjut kek gini, kalo gw sendiri yg nulis gk yakin bisa pas dapet 9 chapter dengan segera. ya kalo dari karakter si yuki yang kayaknya ngebet banget mau macarin risa tanpa mikirin apa yg si risa rasain. gw malah mikir kalo ujung2 nya dia gk bakal dapet juga, dan malah teman masa kecilnya itu si kenji lol.

    oh well, gw jadi mikir....kalo mungkin habis ini chara yg lain bakal dapet spotlight. ya, bukan gw juga yg bikin konsep ni cerita jadi, apapun yang terjadi, best of luck aja lah.
     
    • Like Like x 1
  13. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    and when I think I made it smoothly :hiks:

    welp, about 50% of your points are...correct :hiks:

    yasudahlah, aku lanjut dulu aja meskipun mod udah bisa nebak 50% jalan ceritanya :gadisnangis:

    ah iya, makasi juga udah baca sampe sini :hmm: aku lanjut dulu ae mod, sayang kalo ga dilanjut :hiks:
     
  14. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    well, santai aja sih.

    gw komen kek gini juga di meteorid dan ujung2 tamat juga 'kan :lalala:

    well have fun writing.
     
  15. Karin99 Members

    Offline

    Silent Reader

    Joined:
    May 23, 2014
    Messages:
    29
    Trophy Points:
    17
    Ratings:
    +6 / -0
    Awalnya, aku tidak ingin komentari masalah penulisan. karena aku sendiri sering typo, tetapi beberapa terlalu kentara. awalan di- untuk tempat selalu ditulis terpisah. ini lantunan lagu lama. di sini di sana di mana di sebelah di samping tidak terkecuali. Mungkin gara-gara tidak dibaca ulang setelah dibuat. atau aku yang salah, entah.
    penulisan kata 'tampak' dan 'bahwa' yang sebenarnya tidak dibutuhkan konteks kalimat juga membuat pembaca merasa ini hanya tulisan umum.

    untuk penulisan first pov, aku bertanya-tanya, mengapa pendalaman karakternya sedangkal third pov. tidak terasa bedanya kata aku diganti menjadi yuki karena karakter utama tidak memberitahu apa yang hatinya rasakan. rasa gundah? rasa gemetar ketakutan? rasa canggung? rasa euforia? rasa sakit seperti hati tertusuk seribu jarum?

    mengenai cerita, ceritanya bisa kutebak dari awal bahwa ini cerita tentang orang lupa ingatan. atau mungkin, risa hantu yang telah mati. terserah. Menurutku ceritanya bagus dan diksinya dewa. tetapi lemah karena tidak dijelaskan. aku yakin penulis suka membaca LN sehingga bahasanya kebawa ringan dan miskin pragraf deskriptif.

    Masalahnya LN memiliki gambar untuk menjelaskan hal tersebut. sedangkan tulisan anda, tidak. entah mengapa, karena terlalu sering membuat cerpen yang harus memakai paragraf singkat, dan huruf yang terbatas, banyak penulis di forum-forum melupakan hal teramat penting ini.

    tidak usah bertele-tele seperti matanya warna merah, mulutnya warna biru, kulitnya jingga karena akan memberikan pembaca bahwa anda hanyalah seorang penulis umum. berikanlah suatu hal yang mengena di hati pembaca, seperti bau kaus kaki yang menyengat; tipikal supir penarik angkot; handuk basah bau keringat tersemat di lehernya. hal-hal deskriptif semacam itu akan membangkitkan bayangan pembaca akan wajah karakter sehingga pembaca bisa lebih masuk ke dalam dunia penulis dan memproyeksikan diri menjadi karakter utama.

    Hal ini penting, karena masalah utama ketika aku membaca tulisan ini, mataku tidak mau menyantol masuk. perasaan dalam hatiku tidak menggelora. Aku hanya melihat orang bergambar katik/lidi berbicara tentang cantik, cinta, melodi. Apakah salah pembaca tidak mengerti bayangan penulis?

    contohnya saja 'konstelasi' bintang. tidak semua orang mengerti arti kata itu. tidak bisakah rasi bintang? atau perlak-perlik bintang terpantul mengalun lembut di atas sungai yang mengalir indah? gunakan bahasa provokatif yang gampang dimengerti. tetapi itu masalah selera juga sih. jadi aku tidak bisa bilang banyak.

    jujur, aku mengerti rasa 'yang penting menulis fun'. tetapi tidak karena alasan itu, kita melupakan asas-asas penting sebagai penulis. dan aku yakin penulis seperti anda sudah tahu akan hal itu. cuman, aku sedikit mengingatkannya saja karena mungkin terlupa oleh waktu.

    Karena jika anda membaca atau menonton semua buatan anime jepang. rata-rata mereka mendetail. bahkan memberikan spasi untuk kucing lewat. jika itu bukan deskriptif, apakah mereka hanya main-main saja?

    oya, anggapanku tidak selalu benar sih. keep writing ~ two thumbs up
     
    • Thanks Thanks x 1
  16. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Eh?”

    Risa tersenyum lebar dan menatapku dengan mata yang perlahan mulai berbinar.

    “Kurasa kau benar, Yuki. Aku…aku harus melupakan orang itu.”

    “Ti…tidak, Risa.” Jawabku panik. “Kau tahu? Tak semua masukan bisa kau terima mentah-mentah. Ada kalanya kau harus mempertimbangkan satu dan lain hal sebelum menerimanya.”

    “…begitukah?”

    Aku mengangguk berkali-kali dengan tempo cepat, berusaha sebisa mungkin agar Risa tak termakan oleh apa yang baru saja kuucapkan. Mengapa aku melakukannya aku juga tak tahu pasti.

    Ah, aku ini sungguh aneh.

    Seharusnya aku senang dengan jawabanku, bukan? Maksudku, jika Risa bisa melupakan orang itu, bukankah semuanya akan lebih baik untukku? Aku bisa berpacaran dengannya detik itu juga.

    Namun perasaan ini, perasaan bersalah yang muncul dan menahanku ini …

    Sial…

    Aku benar-benar tak mengerti.

    Mengapa aku tak bisa membuat Risa melupakan orang yang dinantinya? Sungguh, aku amat ingin bertindak egois. Aku amat ingin merebut Risa dari genggaman sosok yang ditunggunya.

    ………

    “Risa…”

    “Ya?”

    Aku memejamkan mata. Kubiarkan angin berhembus meniup semua bebanku saat kemudian aku berkata padanya perlahan, “Aku tak tahu siapa orang yang kau tunggu. Tetapi jika…jika kau masih mau menunggunya, tunggulah. Meski demikian, jika kau tanya pendapatku, aku-”

    “Kau akan melupakannya, bukan?”

    Aku mengangguk berat dan menundukkan kepala sedalam mungkin. Sebuah penyesalan yang tak bisa kujelaskan muncul memenuhi dada.

    Kami sama-sama terdiam setelahnya. Risa kembali menatap jauh ke langit luas, dan menggenggam jemariku erat-erat. Tak butuh waktu lama baginya untuk kembali merebahkan kepalanya di pundakku. Air matanya mulai meleleh.

    “Kurasa kau benar, Yuki. Aku tak boleh menunggunya. Lagipula, belum tentu orang itu akan menungguku, bukan?”

    “Risa…”

    Risa menyeka air matanya dan tersenyum kecil. “Yuki, kau tahu sesuatu?”

    “Apa itu?”

    Risa bergerak merapatkan tubuhnya dan memelukku erat-erat.

    “Aku menyukaimu, Yuki…”

    Ah…

    “…sangat menyukaimu.”

    Tubuh Risa terasa begitu hangat.

    Perlahan, kedua tanganku ikut merangkul tubuhnya. Kubelai rambut panjangnya perlahan saat aku berbisik. “Mmn. Aku juga menyukaimu, Risa.”

    Untuk beberapa saat setelahnya, Risa masih memelukku erat, seolah tak mau melepaskanku.

    Lalu samar-samar, bisa kudengar sebuah suara isak tangis yang teramat kecil. Bersamaan dengannya, bisa kurasakan tubuh Risa gemetar. Genggaman tangan Risa terasa makin kuat.

    Ia memelukku begitu erat dan menangis sejadi-jadinya.

    “Aku…aku…”

    “Hei, Risa, ada apa?”

    “Aku…”

    Risa tak menyelesaikan kata-katanya dan menangis makin menjadi. Suara isak tangisnya perlahan berubah menjadi jeritan pilu. Meski aku berusaha menenangkannya berkali-kali, ia tetap menangis keras-keras.

    Jelas sudah bahwa ia memendam sesuatu yang tak bisa diucapkan, dan itu membuat batinku sakit.

    ***​

    Kami pulang saat malam sudah teramat larut.

    Berjalan beriringan, Risa dan aku hampir-hampir tak mengatakan apapun. Dan tidak seperti saat kami berjalan menuju pantai, kali ini kami tidak menggenggam jemari tangan masing-masing.

    Hubungan asmara ini benar-benar dimulai dengan kikuk. Aku bahkan ragu apakah Risa benar-benar menyukaiku atau tidak. Saat melihatnya, tampak sesekali ia berusaha memaksakan senyumnya.

    Cukup lama kami berjalan, hingga pada akhirnya kami tiba di sebuah persimpangan jalan yang sunyi. Disini kami akan berpisah. Aku harus belok kanan untuk sampai ke rumah, sementara Risa harus terus berjalan lurus.

    Waktu benar-benar berlalu cepat.

    Pandangan mata Risa yang sayu membuatku tak bisa menahan diri untuk menanyakan sesuatu - sesuatu yang mungkin tak sebaiknya kutanyakan.

    “Risa…”

    “Ya?”

    “Apakah kau masih berharap bertemu teman lamamu itu?”

    Risa tak lantas menjawab. Alih-alih, ia mengalihkan matanya keatas tanah. Butuh waktu cukup lama sebelum ia mengangguk perlahan.

    Dan kembali hal itu membuat batinku hancur.

    “Tetapi,” Risa kembali berkata. “Mulai hari ini aku akan melupakannya.”

    Jawaban Risa yang demikian pun lantas membuat hatiku kembali senang. Ibarat sebuah pendulum yang bergerak stabil, sebuah senyum yang awalnya sempat memudar kini kembali mengembang di wajahku.

    “Maafkan aku, Yuki.” Risa berkata setengah berbisik, menatapku sambil tersenyum lebar. “Aku tahu kau pasti terganggu dengan tingkahku. Maafkan aku.”

    Berjalan mendekatinya, kugenggam kedua tangan Risa erat-erat.

    “Risa, aku sudah mengatakannya padamu pagi ini, bukan? Bicaralah padaku jika kau mau.”

    Risa hanya mengangguk dengan tatapan mata sayu.

    “Tidak apa-apa, sungguh.” Jawabnya. Saat aku berusaha membalas, ia tiba-tiba saja membenamkan dirinya di pelukanku, dan hal itu membuatku terdiam seketika.

    “Maafkan aku, Yuki.” Bisiknya perlahan. “Mulai sekarang, aku akan baik-baik saja.”

    “Kau yakin?”

    Kurasakan wajah Risa yang mengangguk didadaku. Ia memelukku makin erat dan berbisik perlahan, “Aku menyukaimu, Yuki.”

    Membelai rambut panjangnya, aku membalas. “Aku juga menyukaimu.”

    Kemudian, masing-masing dari kami melepaskan diri. Tampak Risa tersenyum lebar dengan mata berbinar.

    “Jadi, sampai disini saja, Yuki.” Kata Risa perlahan, tersenyum. “Selamat tinggal…”

    “Selamat tinggal.” Balasku sambil melambaikan tangan. “Sampai jumpa besok di sekolah.”

    Senyum Risa perlahan memudar. Tampak kedua bola matanya yang makin berbinar saat ia menatap wajahku dalam-dalam.

    Tak lama setelahnya, ia segera berlari menjauh.

    ………

    Aku yakin Risa masih memendam sesuatu – suatu hal yang membuatnya sedih bukan main. Demi Tuhan, aku tak mau melihat wajah sedihnya yang seperti itu. Aku ingin sekali bisa mengerti dirinya dan menghapus kesedihannya.

    Ah, andai saja aku tahu apa yang harus kulakukan…

    Sosok Risa perlahan menghilang ditelan malam. Aku masih menatap jalanan sunyi tempat dimana Risa menghilang saat kemudian seseorang memanggilku dari belakang.

    “Hiiragi…”

    Suara yang amat familiar.

    Menoleh kebelakang, kudapati Furukawa yang berdiri menatapku.

    Air matanya mengalir deras.

    ***​

    “Yo, Hiiragi,”

    Furukawa menyapa dengan riang ketika aku sedang menyiapkan sepatu di ruang loker. Aku sempat kikuk saat melihatnya, apalagi jika mengingat kejadian kemarin malam saat ia menyapaku di malam gelap dan menangis untuk alasan yang tidak kumengerti.

    Ah, tidak. Bukannya tidak kumengerti. Mari kita hadapi kenyataan. Furukawa menjadi korban NTR, dan aku amat tahu hal itu karena akulah tersangkanya. Yah, bukan saatnya lagi aku menolak kenyataan. Kuakui bahwa aku adalah seorang penjahat kelamin.

    Meski demikian, melihat senyumnya kali ini membuatku benar-benar bingung.

    “Y…yo, Furukawa.” Jawabku gelagapan. “Selamat pagi.”

    Furukawa menatapku heran. “Ada apa, Yuki? Kau tak seperti biasanya.”

    Huh?

    “Apa ada sesuatu? Ah, tunggu. Kau pasti lupa sarapanmu, ya?”

    Aneh.

    Benar-benar aneh.

    Kemarin malam, Furukawa menatapku dengan tatapan pilu dan meninggalkanku sambil menangis sesegukan. Kini ia menyapaku riang, seolah tak ada yang terjadi.

    “Anu, Furukawa…”

    “Hmn?”

    Ada keraguan yang muncul sebelum kulanjutkan kata-kataku. Pandangan mataku segera kualihkan. Butuh waktu cukup lama bagiku sebelum kembali berkata, “Furukawa, soal yang kemarin malam itu…anu…”

    “Kemarin malam?”

    “Itu…”

    Akh, aku benar-benar tak bisa mengatakannya. Aku tak bisa jujur padanya bahwa kini aku dan Risa telah menjadi sepasang kekasih. Itu akan terlalu menyakitkan baginya.

    Meski demikian, Furukawa masih tetap tersenyum. “Ada apa kemarin malam, Hiiragi?”

    ………

    Furukawa pasti berusaha sebisa mungkin untuk tampak senang dihadapanku. Tak mungkin ia bisa lupa begitu saja dengan peristiwa semalam. Ia melakukannya dengan sangat sempurna hingga wajahnya sama sekali tak menyiratkan satupun perasaan sedih.

    “…tidak.” Jawabku kemudian. “Lupakan saja.”

    “Hee…” Furukawa memiringkan kepalanya ibarat seorang gadis kecil yang penasaran. “Kau aneh, deh.”

    Aku tak menjawab apapun lagi dan hanya tersenyum sebisaku.

    Berjalan beriringan menuju kelas, Furukawa bercerita banyak hal soal klub tenisnya. Aku berusaha mengimbangi pertanyaannya dan menjawab sebisa mungkin.

    Tiba di kelas, kudapati Risa belum datang sama sekali.

    Aneh. Biasanya ia selalu datang sebelum aku tba.

    “Yo, Yuki-chan,”

    Kenji menyapaku dengan sapaan bejatnya yang membuatku ingin melemparnya keluar jendela saat itu pula. Duduk di kursi milikku, ia mengikuti dan berdiri disampingku.

    Aku menatap wajah mesumnya dengan mata miris. “Ada apa, jangkrik?”

    “Ya ampun, kau kasar sekali pagi ini, Yuki-chan, haha.”

    Ugh, dasar menyebalkan.

    “Kau pasti tahu kan apa yang kuinginkan?”

    “Tidak.”

    “Oh, ayolah!”

    Kenji pasti ingin aku bercerita tentang kencanku dengan Risa di hari kemarin. Tentunya, aku tak mau memberitahunya, terlebih dengan kehadiran Furukawa. Satu-satunya cara agar ia berhenti bertanya adalah dengan menghiraukannya.

    Meski demikian, ia amat keras kepala hari ini.

    “Yuki-chan, ayolah…”

    “Berisik, ah!” Gerutuku seraya membuang pandangan jauh keluar jendela. Namun Kenji kini malah mulai mencolek pundakku.

    “Yuki-chan, Cuma lima ratus yen saja kok.”

    Huh?

    Lima ratus yen?

    “Aku lupa membawa dompet. Besok aku ganti, deh.”

    ………

    Ia tidak menanyakan perihal kencan antara aku dan Risa.

    Berbalik menatapnya, perlahan Kenji duduk di bangku belakang – bangku milik Risa. Sial! Sebagai pacarnya, seharusnya aku yang mendapat keistimewaan duduk di bangkunya.

    “Ayolah Yuki-chan, aku bisa kelaparan.”

    Kukeluarkan sebuah dompet dari dalam tas. Menyodorkan uang seribu yen, tampak wajahnya yang kini tersenyum sumringah.

    Ah, dasar jangkrik!

    “Kembalikan secepat mungkin!” Kataku malas. “Dan juga, segera pindah dari situ. Risa mungkin akan datang sebentar lagi.”

    Senyum Kenji lantas menghilang. Wajahnya berganti dengan ekspresi keheranan yang tak bisa kujelaskan.

    “Hei, Kenji, kau dengar tidak?”

    “………”

    “Kenji, Risa akan segera datang.”

    “…kau bilang apa, Yuki?”

    Eh?

    Apa aku salah bicara?

    “Risa…siapa?”

    “Sakagami Risa! Murid baru yang menjadi target barumu setelah Furukawa.”

    Kenji masih terdiam beberapa saat, menatapku keheranan. Sementara, mendengar namanya kusebut, Furukawa menoleh dan tersenyum kecil. Ia melambaikan tangan perlahan dan berjalan ke arah kami.

    ………

    Aneh.

    Ini terlalu aneh.

    “Anu, Yuki, daritadi kau bicara apa sih?”

    “Apa ada yang salah dengan perkataanku?“

    “Tentu saja.” Kenji menjawab cepat. Mendapati Furukawa yang tiba dihadapan kami, Kenji lantas bertanya padanya.

    “Hotarun, coba kau dengar ini. Yuki-chan bilang ada murid baru di kelas ini yang duduk di bangku ini.”

    Furukawa menoleh padaku keheranan. “Hiiragi, kau bicara apa sih?”

    Aku hanya diam, tak bisa menjawab apapun. Furukawa lantas meneruskan kata-katanya.

    “Bangku ini kan sudah sejak lama kosong.”
     
  17. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    “Hei, kau tahu tidak soal rumor yang ada di kelas 2B?”

    “Apa?”

    Melangkah gontai di koridor menuju ruang kelas, aku hanya bisa menahan perasaan pahit saat mendengar suara dua orang gadis yang berbisik perlahan.

    Sudah seminggu ini Risa menghilang. Bersamaan dengannya, muncul desas-desus yang mengatakan bahwa ada sesosok hantu di sekolah. Detailnya menyebutkan bahwa ada seorang siswa yang percaya tentang keberadaan salah satu murid tambahan di kelasnya.

    Risa merupakan murid tambahan tersebut, dan hingga saat ini aku masih percaya bahwa ia bukanlah hantu atau khayalan. Meskipun demikian, seluruh orang kini menyangkal keberadaanya. Ibu Yoshinori bahkan tidak pernah menyebut namanya dalam ulangan atau absensi atau semacamnya.

    Aku tak mengerti mengapa Risa tiba-tba menghilang, dan mengapa seluruh sekolah tiba-tiba saja tak ingat apapun tentangnya. Padahal, semua yang kualami bersama Risa jelas-jelas merupakan suatu hal yang nyata. Wajahnya, senyumnya, dan hangat tubuhnya merupakan hal yang nyata dan masih bisa kurasakan.

    Mengapa orang-orang tiba-tiba saja lupa tentangnya?

    “Jangan keras-keras bicaranya!” Bisik salah satu murid tersebut. “Lihat! Orang itu, dia orang yang kau maksud.”

    “Eh? Yang benar? Mengerikan. Dia punya kemampuan supranatural, ya?”

    Aku ingin berteriak, membentak sejadi-jadinya bahwa aku tidak berkhayal sesuatu tentang Risa.

    Namun aku sudah melakukannya selama seminggu ini. Sudah kutanyai hampir setiap orang di sekolah ini soal keberadaan Risa, dan jawaban mereka selalu sama : bahwa mereka tak pernah tahu ada murid baru di sekolah ini.

    Ini amat aneh.

    Jika Risa hanyalah khayalan, mengapa hanya aku sendiri yang bisa mengingatnya?

    ***​

    “Sebaiknya kau konsultasi dengan ibu Nagato.”

    Furukawa berkata santai padaku saat jam istirahat makan siang berlangsung. Sempat ia mengajakku ke kafetaria, namun aku menolak. Semua tanda tanya ini bahkan membuatku kehilangan nafsu makan.

    “Ya, ya, Yuki-chan. Kau seharusnya bicara padanya. Ia mantan psikiater, kau tahu?”

    Sejujurnya, aku cukup kesal saat mereka menyuruhku bertemu Ibu Nagato. Kurasa aku belum cukup gila untuk bertemu psikiater.

    Meski demikian, kupendam rasa kesalku dalam-dalam. Lagipula kekesalanku takkan berarti banyak selain membuatku makin dijauhi orang-orang. Saat ini, semua teman-teman sekelasku sudah menganggap diriku aneh. Beberapa bahkan mulai menjauh, dan jika bukan karena Furukawa dan Kenji, aku pasti akan benar-benar ditinggalkan.

    “Anu, Yuki-chan,” Kenji mengunyah roti sandwichnya dengan cepat, menelannya, dan kembali berkata. “Sebenarnya aku penasaran juga lho dengan sosok Sakagami ini. Dia itu gadis yang seperti apa sih?”

    Mulutku sempat membuka perlahan, meski kemudian kuurungkan niat untuk menjawabnya. Mengatakan semua tentang Risa hanya akan berdampak buruk bagiku – setidaknya untuk saat ini. Dan juga, aku sudah pernah menjelaskan semuanya pada Kenji, dan ia hanya tertawa bodoh tanpa mempercayai kata-kataku.

    Mengapa aku harus kembali menjelaskan hal yang bahkan tak dipercayainya?

    “…akan lebih baik jika kau tak tahu, Kenji.”

    “Oh, ayolah,” Kenji tampak tidak piuas dengan jawabanku. “Kau selalu saja seperti itu.”

    Mengabaikan pertanyaan Kenji, kubuka bungkusan roti sandwich milikku dan mulai mengunyahnya perlahan. Kenji masih terus bertanya ini itu. Suaranya terdengar samar-samar ditelinga.

    ………

    Ah, sial…

    Semua hal ini tiba-tiba saja megingatkanku kembali pada Risa.

    Aku, Kenji, Furukawa, dan Risa, kami berempat pernah makan bersama dalam satu meja seperti ini. Kala itu, Risa membawakan sumpit cadangan untukku, dan kami makan dalam satu kotak makan yang sama. Furukawa datang dan melakukan indirect kiss denganku, sementara Kenji melihatnya dengan wajah suram.

    Semua kenangan itu masih melekat kuat dalam batinku. Semuanya masih terasa segar. Aku masih mengingatnya karena itu merupakan salah satu kenangan terindahku.

    Karenanya, pertanyaan yang sama muncul berulang-ulang di batinku.

    Bagaimana mungkin aku bisa lupa semua itu? Dan bagaimana mungkin hal itu menghilang begitu saja dari ingatan orang-orang?

    “Yuki-chan!”

    Risa…

    “Hei, Yuki-chan, kau dengar tidak?”

    “E, eh? Apa?”

    Suara Kenji yang keras membuatku kembali pada kesadaran. “Ternyata kau benar-benar tidak mendengarku, ya?” Ujarnya cemberut.

    “E, ehehe, maaf.” Aku tersenyum kikuk. “Jadi, kau bilang apa ya?”

    Kenji baru akan membuka mulutnya saat kemudian Omura memanggilnya dari jauh.

    “Oi, Kato, Ibu Yoshinori mencarimu!”

    “Ah, celaka!” Kenji berteriak panik. Furukawa yang menatapnya spontan bertanya, “Ada apa, Kato?”

    “Aku lupa mengembalikan formulir studiku pada ibu Yoshinori.” Jawab Kenji seraya beranjak dari kursinya. Berjalan menjauh perlahan, ia berteriak, “Kalian teruskan saja. Aku akan kembali secepatnya.”

    Kutatap sosok Kenji hingga ia menghilang dibalik kerumunan.

    “Jadi,” Furukawa bertanya perlahan. “Apa hubunganmu dengan Sakagami?”

    “Huh?” Aku menoleh pada Furukawa, penasaran dengan pertanyaannya.

    “Hubungan?”

    “Mmn.” Furukaa mengangguk. “Eh, tapi, bukannya aku ingin tahu atau apa, ya? Kenji yang awalnya menanyakan itu semua. Ahaha.”

    Sekarang Furukawa tampak kikuk, tertawa, namun juga panik.

    “Apa sih yang kau maksud, Furukawa?”

    “Hmm? Yah, seperti apa kalian berpacaran? Apa kalian pernah berkencan? Atau semacamnya.”

    Berkencan?

    Tentu, kami pernah berkencan. Kenji bahkan menggodaku dengan pesan singkat yang ia kirim.

    ………

    Tunggu dulu. Pesan singkat?

    Aha! Betul. Kenji pernah mengirimkan pesan soal kencanku dengan Risa. Jika kutunjukkan itu padanya, mungkin ia akan ingat soal Risa. Atau setidaknya, ia akan percaya bahwa Risa benar-benar nyata.

    Segera kuraih tas milikku. Saat kudapati sebuah telepon genggam didalamnya, secepat mungkin kulacak pesan yang pernah dikirim Kenji. Jantungku berdebar kencang saat melakukannya.

    “Hiiragi, ada apa?”

    Mengabaikan suara Furukawa, aku terus menggerakkan jemari. Mataku tak berhenti memindai setiap pesan masuk yang ada.

    “Hiiragi!”

    Semua pesan masuk selesai kupindai.

    “Tidak ada…”

    “He?”

    …tidak ada.

    Pesan itu tidak ada.

    Ini tidak masuk akal! Aku belum pernah menghapus setiap pesan yang masuk ke teleponku, namun kini pesan itu tak ada sama sekali.

    “Sial!”

    Tanpa sadar, aku mulai berteriak. Kuulangi pencarianku dari awal. Jantungku berdebar makin cepat. Hasilnya tetap sama.

    “Sial! Sial!”

    “Hi, Hiiragi, kenapa? Ada apa?”

    Aku beranjak berdiri, dan untuk sekali lagi jemariku bergerak, memastikan bahwa tak ada satupun pesan yang terlewat.

    Namun tak peduli berapa kalipun aku mencari, pesan itu tetap tak ada.

    “Seharusnya ada disini!”

    Teriakanku mulai menarik perhatian beberapa murid, namun aku tak peduli. Aku terus memainkan jemariku diatas layar telepon.

    Lagi dan lagi…

    Tetapi pesan itu tetap tak ada.

    Pesan itu tak ada.

    “Sialan!”

    Dengan perasaan kesal, kubanting telepon genggam itu keatas lantai.

    “Hiiragi! Kenapa? Ada apa?”

    Akh…

    Bagaimana bisa pesan itu menghilang dengan sendirinya?

    Kujatuhkan diriku kembali keatas kursi. Seluruh tubuhku rasanya begitu lemas.

    ………

    Ini tidak mungkin terjadi.

    Emosiku rasanya meledak dengan keras. Meski kutahan sebisa mungkin, kepalaku tetap terasa panas. Kutahan emosiku sambil memegangi kepala.

    Sial…

    Tak adakah satupun jejak Sakagami yang masih tersisa?

    Kurasakan air mataku meleleh. Bukan karena sedih, melainkan karena kesal – kesal karena semua keanehan ini tiba-tiba saja terjadi padaku.

    Aku amat ingin bisa menghabiskan waktuku bersama Risa. Dan saat semuanya sudah bejalan lancar, seketika semuanya berubah.

    “Hiiragi, tenanglah.” Suara Furukawa terdengar perlahan. Ia berlutut dihadapanku dan tersenyum. bisa kulihat sosok murid-murid dibelakangnya yang menatapku miris.

    ”Lihat mataku. Jangan kau pandangi yang lain.”

    Melihat sosok Furukawa yang tersenyum membuat kekesalanku mereda. Tubuhku yang awalnya gemetar hebat kini berangsur-angsur pulih.

    “Akan kutemani kau ke tempat ibu Nagato.”

    Aku mengangguk.

    ***​

    Meski ibu Nagato mau mendengarkan semua ceritaku, pada dasarnya beliau juga tidak percaya bahwa Risa benar-benar sosok yang nyata. Alih-alih, ia menanyakan banyak hal padaku dan menyarankan agar aku istirahat satu atau dua hari.

    Diagnosa sementara, aku dilanda stress berat yang membuatku berhalusinasi.

    “Hei, Hiiragi, kurasa perkataan ibu Nagato ada benarnya.”

    Atas saran Ibu Nagato, Furukawa menemaniku pulang sekolah. Kenji sempat ikut bersama kami. Namun rumahnya yang berbeda arah membuatnya harus berpisah terlebih dahulu.

    “Kau sebaiknya istirahat selama beberapa hari.”

    Tentu saja aku takkan menuruti perkataannya. Kurasa, aku cukup sehat untuk menolaknya.

    “Apakah ada suatu tempat yang ingin kau kunjungi?” Furukawa bertanya perlahan, dan bahkan sebelum aku sempat menjawabnya, suaranya kembali terdengar.

    “Ah, kau tahu? Ada aquarium besar di pusat kota. Kau bisa melihat berbagai macam ikan disana. Kalau mau, aku bisa menemanimu.”

    Aku tak menjawab kata-kata Furukawa.

    Berjalan sedikit lebih cepat, mulai kutinggalkan Furukawa dibelakang. Aku tak menyadarinya hingga Furukawa mencubit bagian belakang bajuku.

    “Hiiragi!”

    Kudapati Furukawa yang cemberut. Raut wajah cemas bercampur kesal muncul di wajahnya.

    “Tak apa, Furukawa.” Kataku dengan pikiran yang kalut. “Aku masih sehat. Ibu Nagato terlalu berlebihan bilang bahwa aku dilanda stress berat.”

    “Meskipun kau bilang begitu, tak ada artinya jika kau yang mengatakannya, kau tahu?”

    Ah, Furukawa benar.

    Semua kekacauan ini, semua racauan tentang Risa ini pastilah membuat orang-orang berpikir bahwa aku setengah gila. Tak peduli bagaimanapun aku mengatakannya, orang-orang takkan percaya padaku.

    Tak ada orang gila yang menyebut dirinya gila, bukan?

    “Hiiragi,”

    Aku menoleh tanpa menjawab. Kudapati wajah Furukawa yang masih tampak cemas.

    “Sakagami ini, pasti merupakan orang yang sangat penting untukmu.”

    “………”

    “Kau bisa mengingatnya bahkan saat orang lain tak tahu apa-apa tentangnya.” Kata Furukawa, tersenyum. “Ia pasti orang yang teramat istimewa untukmu.”

    “…ya, begitulah.”

    “Apa yang istimewa darinya hingga membuatmu bisa mengingatnya terus-menerus?”

    Sesuatu yang istimewa darinya…

    Suaranya.

    Senyumnya.

    Nyanyiannya.

    Pandangan matanya yang kesepian.

    Pandangan mata yang mengharapkan agar ia bisa bertemu seseorang yang tak pernah bisa ditemuinya.

    Demi Tuhan, aku amat ingin membuatnya bahagia. Belum pernah kurasakan dorongan yang begitu kuat untuk membahagiakan seseorang.

    ………

    Pada akhirnya aku tak menjawab pertanyaan Furukawa. Alih-alih, bisa kudengar Furukawa bergumam perlahan.

    “Sakagami…”

    Gumamannya terdengar amat kecil, terdengar ibarat hembusan angin laut yang menghilang dalam sedetik.

    Dan setelahnya, kami berdua sama-sama terdiam, hanya suara langkah kaki kami yang terdengar menggema di sore hari yang kelam.

    “Hiiragi,”

    “Hm?”

    Furukawa tersenyum. Ia menarik napas panjang sebelum berkata perlahan.

    “Kurasa kau tidak mengada-ada. Aku percaya Sakagami benar-benar nyata.”

    Aku menoleh pada Furukawa, terkejut. Furukawa masih tersenyum lugu.

    “Kau…kau percaya pada apa yang tidak kau ingat?”

    Furukawa mengangguk sebelum melanjutkan, “Tak mungkin kau mengada-ada soal dirinya, apalagi jika kau bilang bahwa aku juga pernah bertemu dengannya. Tetapi…”

    Tetapi?

    “…kurasa kau harus melupakannya, Hiiragi.”

    Ah…

    Melupakannya?

    “Aku tak mau melihatmu seperti ini.”

    Furukawa memasang wajah sayu seolah tak tega mengatakannya. Meskipun demikian, ia kembali mengatakan apa yang ada di pikirannya.

    “Tidakkah kau terganggu dengan kenyataan ini? Hanya kau yang dapat mengingat Sakagami, namun ia tak pernah muncul kembali bukan?”

    ………

    “Apa kau yakin Sakagami masih mengingatmu?”

    Kata-kata Furukawa sama persis dengan apa yang kuucapkan pada Risa, bahwa ia harus melupakan teman teristimewanya yang tiba-tiba menghilang. Sekarang semua kata-kata itu berbalik menyerangku.

    “Kau tak bisa menunggunya, Hiiragi. Kau harus melupakannya. Itu hal yang paling rasional yang bisa kau lakuka, kecuali kau mau menunggu dalam ketidakpastian.”

    Menunggu dalam ketidakpastian.

    Hal yang paling rasional…

    Ah, sial!

    ***​

    Aku menolak saran Ibu Nagato dan tetap datang ke sekolah keesokan harinya. Furukawa yang melihatku melangkah masuk kelas tampak amat amat terkeut.

    “Hiiragi, bukankah kau seharusnya istira-“

    “Aku baik-baik saja, Furukawa.” Kataku memotong, malas. Kulempar tas keatas meja sesampainya di bangku milikku.

    Furukawa mendekatiku meskipun aku sudah memasang wajah malas.

    “Hiiragi-“

    “Sudah kubilang aku tak apa-apa, Furukawa!”

    Gadis itu tampak terkejut mendengar suaraku yang keras. Menatap padanya risih, tampak raut wajahnya yang sedikit ketakutan.

    “Kau tak perlu cemas tentangku.”

    Furukawa masih bersikukuh bertanya. “Apa ini…soal Sakagami?”

    Ugh…

    Ia benar-benar mengganggu hari ini.

    Dan mendengar nama itu, aku menjadi begitu muak.

    “Hiiragi, maaf, aku…”

    Tanpa berniat mendengarkannya lebih lanjut, segera kuambil tasku kembali dan mulai melangkah keluar.

    “Hiiragi!“

    “Sakagami tidak pernah ada!” Teriakku kesal. “Aku tak pernah mengenal siapapun yang bernama Sakagami Risa atau apapun!”

    Seisi kelas kini menatapku seolah aku ini orang gila, namun aku tak peduli lagi. Mungkin aku memang benar-benar sudah gila.

    Kembali membalikkan badan, aku baru akan melangkah saat kudapati Kenji berdiri dihadapanku. Untuk sesaat, pandangan mata kami saling beradu.

    “Yo, Yuki.”

    ………

    Kuseruduk tubuh Kenji dan kembali meneruskan langkah. Tak kupedulikan lagi Kenji yang meringsi kesakitan.

    Saat itu juga aku amat ingin keluar sekolah, pergi sejauh mungkin yang kubisa. Namun jam pelajaran sebentar lagi akan dimulai, dan gerbang sekolah pasti sudah ditutup.

    ***​

    Aku berakhir di ruang UKS.

    Cukup mudah bagiku untuk membolos disini. Karena seisi sekolah kini menganggapku gila, aku bisa menggunakan hal itu sebagai alasan untuk menggunakannya.

    Untuk melupakan apa yang baru saja terjadi, aku memutuskan untuk tertidur di tempat ini. Meski demikian, pikiranku yang ,asih kallut membuatku bermimpi mendengar suara Risa yang lembut.

    Mimpi itu terasa begitu nyata, hingga saat aku membuka mata perlahan, masih bisa kudengar suara tersebut.

    ………

    Samar-samar, kulihat seseorang duduk disamping ranjang tempatku tertidur. Ia berhenti menyanyi saat aku membuka mata perlahan.

    “Kau sudah bangun?”

    Orang itu, aku amat tahu orang itu!

    Mmn. Seorang gadis dengan rambut panjang, dengan sebuah jepit rambut biru muda yang menempel diantara rambutnya.

    “…Risa?”

    Gadis itu tersenyum kecil, mengangguk.

    “Risa!”

    “Ya, Yuki, ini aku.”

    Mendapati Risa berada dihadapanku membuatku kehilangan kata-kata. Kemarin, aku sudah sempat berpikir bahwa aku memang gila, dan bahwa Risa merupakan khayalan yang tak pernah ada.

    Dan kini ia kembali muncul…

    “Lama tidak berjumpa, Yuki.”

    Kedua tanganku lantas meraih pundaknya untuk memastikan bahwa yang kulihat bukanlah sekedar halusinasi. Saat telapak tanganku menyentuhnya, aku yakin bahwa ia benar-benar nyata.

    Tanpa menunggu apapun, kurengkuh pundaknya dan kudekap tubuhnya dalam-dalam.

    “Risa,”

    “………”

    “Aku amat merindukanmu…”

    Untuk kali ini, Risa tak membalas pelukanku sama sekali. Saat kulepas tubuhnya, tampak ekspresi wajah Risa yang kelam.

    Ia terlihat sedih untuk suatu alasan.

    Wajah itu, itu wajah yang sama seperti yang terakhir kali kulihat.

    “Risa, kemana saja kau selama ini?” Tanyaku dengan suara gemetar, senang bercampur keheranan. Risa hanya diam dan membuang tatapan matanya keluar jendela. Masih memasang wajah sedih, ia kemudian berkata perlahan tanpa menoleh sedikitpun padaku.

    “Yuki, ada sesuatu yang harus kukatakan.”

    “Apa itu?”

    Risa memejamkan matanya sesaat, dan berkata dingin. “Aku tak bisa membalas perasaanmu padaku.”

    “Eh?”

    Pandangan mata Risa kembali tertuju padaku.

    “Maafkan aku, Yuki.”

    Tapi…

    Bukankah ia sempat mengatakan bahwa ia amat menyukaiku?

    “Tu…tunggu dulu!” Aku berteriak. “Apa maksudmu, Risa? Aku tak mengerti.”

    Risa kembali melempar senyum.

    Sebuah senyum yang hanya berisi kekosongan didalamnya.

    “Yuki, sejak awal, aku tak pernah ada di dunia ini.”
     
    Last edited: Jul 23, 2015
  18. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    kayaknya ini scene dimana yuki nolak furukawa rada diskip ya, cuman diceritain sekilas pas keesokan harinya.

    trus tiba2 jadi surreal gini lol

    satu2 nya penjelasan yg make sense buat gw itu si risa ternyata malaikat yg punya kekuatan super buat nge-distort satu universe. sampe apa yg udah kejadian bisa kayak gk pernah ada. dan penyakit misterius itu sebenernya bikin dia berevolusi, mirip fase kepompong.

    risa jadi kayak madokami dan klo yuki kek homura, tapi jadi cowok aja. klo misalnya itu yuri mungkin bakal mirip penpik madoka. si kenji jadi kyoko trus furukawa entah mami ato sayaka. tinggal ganti nama ama deskripsi aja. bisa kok bikin penpik madoka dari sini.

    tapi ujung2 klo kek gitu (risa is olev deus ex machina) gw jadi bingung juga, itu kayak yg ada di prolog jadi gk nyambung lagi.

    well setidaknya beberapa hal yg gw tebak kejadian, kek kenji ma furukawa dapet screentime.

    ya, good luck buat ceritanya. keknya akhir2 ini situ demen bikin yg rada surreal lol. kayak yg timeloop itu.
     
    • Like Like x 1
  19. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Wah enggak kerasa udah baca ampe chapter 6 :lalala:

    Rasanya kalau membaca berasa kek LN gini, terus sering menggunakan kata istilah manga, anime sampe VN juga.


    Aku juga pertama pas chapter2 awal ngerasa bingung risa yang tiba2 hadir seakan menunjukkan prrasaan suka pada yuki. Dipertengahan udah kerasa romantis, terus semua mendadak berubah menjadi agak membingungkan. Awalnya aku juga merasanya cerita akan mudah diperkirakan seperi momod sampaikan. Tapi kalau udah sampai sini alur mungkin rada susah ditebak.

    Terua soal penggambaran cerita udah bagus sih. Keep writing ya :smile4:
     
    • Like Like x 1
  20. Fairyfly MODERATOR

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Oct 9, 2011
    Messages:
    6,818
    Trophy Points:
    272
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,475 / -133
    modmod

    nope, mod, ini pure drama lo :hiks:

    ah, ya. scene Yuki nolak Furukawa diskip buat di bagian ini aja sih. rencananya keduanya bakal dapet porsinya menjelang akhir cerita :hmm: sisanya udah dibahas di lonje :hihi:

    noprirfnoprirf
    nggak, nggak, pasti mudah ketebak kok. maybe :hmm:




    anyway, thanks sudah baca sampe sejauh ini yaa, both of you. that means a lot for me :gadisterharu:

    kita lanjut dulu :lalala:

    Aku tak pernah mengira bahwa hidup ini bisa lebih mengerikan dari kematian.

    Mengisi hari-hari dengan perasaan bosan, sedih, dan kesepian, kurasa semuanya akan menjadi lebih baik bila aku mati saja. Entah sudah berapa kali pemikiran semacam itu muncul. Sepuluh? Seratus? Aku bahkan tak bisa menghitungnya lagi. Seringkali keinginan itu muncul begitu kuat hingga membuatku berpikiran untuk terjun dari jendela kamar ini.

    Tak ada yang salah dengan hal itu, bukan? Lagipula, apa dunia akan berubah hanya karena kehilangan seorang Sakagami Risa?

    Aku bukanlah sesuatu yang penting di dunia ini, dan karenanya, takkan ada yang berubah. Dunia akan tetap berputar. Orang-orang akan tetap berlalu lalang di jalan. Bintang-bintang akan tetap bersinar di malam gelap. Matahari akan tetap terbit, dan semuanya akan tetap berjalan normal seperti biasa. Teman-temanku di sekolah kelak akan lupa diriku – takkan peduli apakah aku masih hidup atau tidak. Ibu dan ayah sudah tahu bahwa umurku takkan lama lagi, dan keduanya pasti sudah mempersiapkan hal ini jauh-jauh hari.

    Mmn. Benar. Takkan ada yang berubah akibat kematianku.

    Dan jika hidup ini terlalu menyakitkan, bukankah lebih baik mati saja?

    ***

    “Mengapa kau menangis?”

    Sosok lelaki yang ada dihadapanku bersorak dari pintu masuk dan berjalan mendekat perlahan. Aku amat terkejut sekaligus keheranan dibuatnya, hingga mulutku tak bisa kugerakkan.

    “Apa kau baru saja bernyanyi?”

    Sebenarnya aku tidak menyanyi. Aku hanya melantunkan nada-nada yang muncul di lamunanku. Meski demikian, tanpa kusadari kepalaku mengangguk, dan anak itu tersenyum setelahnya.

    “Lagu apa yang baru saja kau nyanyikan?”

    “Eh? La…lagu?”

    “Maukah kau menyanyikannya lagi?”

    Air mata yang sempat menetes kini berhenti mengalir diantara senyumnya yang lepas. Meski tubuhku masih diam terpaku, namun jantungku kini berdebar kencang.

    Untuk suatu alasan, mendengar permintaannya membuat batinku sedikit lega.

    “Jika aku bernyanyi, apa kau akan mendengarkanku?”

    “Tentu saja!”

    Ah, mungkinkah ia jawaban atas harapanku?

    Aku berhenti menangis dan mulai menarik napas. Kubiarkan diriku larut dalam sebuah lagu yang biasa kulantunkan. Mengapa aku melakukannya aku tidak tahu. Apakah aku menyanyikannya dengan benar atau tidak, aku juga tidak tahu. Jantungku berdegup kencang saat menyanyikannya, dan sesekali napasku tersengal.

    Meski demikian, aku bisa mencurahkan semua perasaanku padanya.

    Mmn. Kucurahkan semua kekesalan dan kesedihanku melalui lagu di malam itu. Seluruh tubuhku gemetar hebat saat melakukannya. Aku tetap tak mengerti mengapa kunyanyikan lagu itu pada seseorang yang bahkan belum kukenal. Kurasa, jauh dilubuk hatiku, aku menaruh harapan padanya – harapan agar ia bisa membawaku keluar dari jurang kesepian dan kebosanan yang setiap hari kuarungi.

    “Hei, lagu yang bagus.”

    Anak itu menatapku tersenyum dengan matanya yang lebar. Melihatnya puas dengan lagu yang kunyanyikan membuat perasaanku lega. Dan jika aku tak bisa menahan perasaanku, aku pasti sudah menangis saat itu juga. Ya. Menangis. Menangis dan bercerita ini itu soal apa yang selama ini kurasakan, berharap ia akan membawaku pergi menjauh dari semua itu.

    Aku benar-benar berharap demikian.

    Saat aku akan mengatakan sesuatu, terdengar sebuah suara teriakan dari kejauhan. “Saito! Sedang apa kau disini?”

    “Ah, ibu!”

    Seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Mengenakan jas putih dan stetoskop, aku bisa tahu kalau ia merupakan salah satu dokter di rumah sakit ini.

    “Kemarilah.”

    Anak itu mengangguk. Ia tersenyum padaku sesaat sebelum melangkah, namun aku sama sekali tak bisa membalas senyumnya. Batinku hancur saat melihat anak itu pergi menjauh.

    Lagi-lagi harapanku musnah untuk kesekian kali.

    “Oh ya, anu…”

    Tepat ketika aku akan membuang jauh harapan itu, anak itu kembali menoleh.

    Dan mengatakan sesuatu sambil tersenyum lepas.

    “Aku akan mengunjungimu lagi besok.”

    ………

    “Tidak apa-apa, kan?”

    “…janji?”

    “Mmn. Janji!”

    Saat anak itu menghilang dari pandangan, bisa kembali kurasakan air mataku yang meleleh.

    Kali ini bukan karena sedih, melainkan karena bahagia. Aku amat bahagia bisa mendapatkan harapan untuk kembali bertemu dengannya di esok hari. Perasaanku yang hancur perlahan kembali menyatu menjadi sebuah kekuatan untuk tetap hidup.

    Aku sadar bahwa aku mungkin berharap terlalu besar padanya. Sebuah janji untuk bertemu di esok hari tidaklah menjamin bahwa ia takkan meninggalkanku kelak.

    Meski demikian, aku tak keberatan.

    Aku merasa amat bahagia hanya dengan menunggunya.

    ***

    “Risa! Saito datang menjenguk!”

    Suara ibu yang terdengar dari pintu masuk membuatku senang bukan main. Segera kurapikan buku-buku tua yang berserakan diatas tempat tidur.

    Saito, nama anak itu. Sesuai janjinya, ia datang berkunjung, dan bahkan di hari-hari berikutnya ia selalu datang menemani.

    Secara kebetulan, ayahnya baru saja ditunjuk sebagai kepala rumah sakit ini. Selain itu, ibunya pun juga merupakan salah satu dokter bedah disini. Pekerjaan kedua orang tuanya yang memakan banyak waktu membuat rumah sakit ini menjadi rumah kedua bagi Saito. Karenanya, ia bisa leluasa jalan-jalan berkeliling rumah sakit.

    Saito selalu bisa membuatku terhibur dengan ceritanya. Tentang dunia luar yang sering dilihatnya, tentang sekolah, tentang kota, tentang lelucon yang ia lihat di TV, dan semua yang sama sekali tak kuketahui soal dunia luar. Perasaan senang saat bersamanya tumbuh kian besar seiring jalannya waktu. Ibarat tetesan air yang memenuhi kolam, perasaan itu muncul memenuhi seluruh ruang di hatiku dan tak bisa kuhilangkan.

    Tanpa sadar, aku tiba di titik dimana aku amat berharap bisa terus bersamanya, dan berharap bahwa aku bisa bertahan hidup untuk satu hari lagi agar bisa bertemu dengannya. Aku tahu bahwa ia bisa saja menjadi penyakit dalam jiwaku, sama halnya seperti teman-temanku yang memberi harapan palsu. Tetapi entah kenapa aku tak merasa keberatan sama sekali.

    Cukup berada bersamanya membuatku begitu bahagia.

    “Berkelahi lagi?” Tanyaku sembari menunjuk pipi. Sebuah plester menempel di pipi Saito, membuatnya terlihat seperti berandalan.

    “Yah, begitulah.” Saito memalingkan wajahnya, tampak sedikit malu. “Akhir-akhir ini banyak sekali anak-anak berandalan yang mengganggu.”

    Aku tertawa kecil. “Kau ini benar-benar hobi berkelahi, ya?

    Seperti biasa, Saito hanya tersenyum lepas tanpa menjawab. Alih-alih, ibu yang ikut berbicara.

    “Tak masalah bagi seorang lelaki untuk berkelahi.” Katanya. “Seorang lelaki kan harus melindungi orang yang berharga untuknya.”

    Sesekali ibu ikut terlibat pembicaraan diantara kami. Aku sama sekali tak keberatan. Semenjak Saito datang menjenguk, bisa kulihat ibu menjadi sedikit lebih bahagia.

    “Jadi, apa yang akan kita mainkan hari ini? Aku bosan bermain kartu, mungkin kita bisa coba main yang lain.”

    “Hmm, apa ya?”

    “Tapi kalau kita bercerita saja pun tidak masalah, sih.” Ujar Saito sambil duduk diatas kursi yang ibu sediakan. “Aku masih punya banyak waktu hari ini, jadi santai saja.”

    Aku tersenyum. Mendengar ucapannya benar-benar membuatku bahagia.

    “Hei, Saito,”

    “Hmn?”

    “Jika suatu saat kau harus berkelahi demi melindungiku, maukah kau melakukannya?”

    Saito menjawab pertanyaanku tanpa ragu.

    “Tentu!”

    ***

    “Maafkan aku, Saito. Aku tak bisa bergerak banyak.” Kataku di suatu sore, menjawab tawaran Saito untuk berkeliling ke seluruh rumah sakit. Andai saja aku tak memerlukan kursi roda untuk bergerak, pasti aku sudah mengiyakan tawarannya.

    Jawabanku menbuat Saito tampak sedikit cemberut – cukup sedikit untuk membuatku panik.

    “Mu…mungkin nanti, ketika kondisiku membaik.”

    “Kapan kondisimu akan membaik?”

    Pertanyaan Saito lantas membuat senyumku memudar. Sadar telah mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaan, Saito segera meminta maaf.

    Aku menggeleng perlahan, murung. Aku sama sekali tak keberatan dengan pertanyaan Saito. Hanya saja, tidak seperti dulu, kenyataan bahwa aku bisa meninggal sewaktu-waktu kini membuatku takut bukan main. Tentu, penyakit ini tak memberiku banyak pilihan, namun semenjak bertemu dengannya, aku selalu berharap untuk tetap hidup di esok hari dan kembali melihatnya.

    Tak pernah aku merasa setakut ini untuk mati.

    Dan entah sejak kapan aku selalu berdoa untuk hidup keesokan hari.

    “Hei, Saito,”

    “Ya?”

    Menatap jauh keluar jendela, tampak dimataku lautan yang terbentang luas.

    Ah, laut…

    Aku selalu bisa menatap laut dari balik jendela ini, tetapi untuk sekali saja, aku amat ingin menyentuhnya.

    Mmn. Aku selalu ingin melihat laut dari dekat, merasakan hembusan anginnya yang datang dan pergi, dan juga merasakan deburan ombak menyapu kedua kakiku.

    “Ada apa, Sakagami?”

    “Apakah kau pernah pergi ke laut?”

    Saito tak lantas menjawab, membuatku kembali berbisik perlahan.

    “Kau tahu? Aku selalu ingin melihatnya dari dekat…”

    ***

    “Eh? Minggu depan kau akan berulang tahun?”

    Saito tampak terkejut saat kuberitahu bahwa ulang tahunku akan tiba di minggu berikutnya. Aku hanya bisa tersenyum.

    “Kenapa kau baru memberitahukku sekarang?”

    “Hmn? Ah, itu karena aku sendiri pun lupa dengan ulang tahunku, ahaha.”

    Ya, betul.

    Selama ini aku lupa hari ulang tahunku. Aku tak ingin mengingat peristiwa kelahiranku sendiri – tidak selama keinginan untuk mati mendominasi diriku. Tetapi karena Saito sekarang ada bersamaku, tak ada salahnya kuberitahu hal ini padanya.

    “Ah, seandainya aku tahu lebih cepat, mungkin aku bisa menyiapkan sesuatu untukmu.”

    Aku tersenyum bahagia dengan kata-katanya.

    Untuk saat ini, aku tak ingin apapun lagi. Bisa bertemu dengannya setiap hari sudah merupakan anugerah untukku.

    “Ngomong-ngomong, Saito, ulang tahunmu sendiri kapan?”

    “Aku? Ah, tanggal 5 bulan depan.”

    “Eh? Bulan depan??”

    Saito tertawa lepas, mengangguk. “Siapkan kado untukku, ya? Ahaha!”

    Perlahan, aku ikut tertawa bersamanya.

    Bisa kudengar hatiku berbisik, “Aku akan menyiapkannya.”

    ***

    Saito tampak begitu asyik membaca buku-buku usang yang ada di kamar ini. Sesekali ia tertawa dan menunjukkan bagian-bagian yang dirasanya lucu.

    Diantara semua buku yang ada dipangkuannya, ada sebuah manga yang menarik perhatianku. Suara Seorang Gadis Kecil. Itu merupakan manga yang sering kubaca beberapa bulan lalu. Manga yang membuatku amat suka menyanyi.

    Meraih manga yang ada dipangkuannya, aku bertanya perlahan. “Hei, apakah kau suka menyanyi?”

    Saito mengalihkan pandangannya padaku, menatapku lugu.

    “Tentu.”

    “Ah, senangnya.” Kataku lega. “Aku juga suka, lho.”

    “Hahaha. Kau bilang begitu juga, suaramu masih seperti kodok, lho.”

    “Apa?”

    “Suaramu jelek!”

    “Ah, jahat sekali!”

    Saito lantas tertawa sekencang-kencangnya, bahkan saat aku memukulnya dan melempar tubuhnya dengan manga yang kugenggam. Beberapa hari terakhir, suaraku memang sedang buruk. Entah karena apa.

    “Tapi, lagu yang kau mainkan tempo hari benar-benar indah.”

    “Benarkah?”

    “Yup.” Saito kembali mengangguk.“Kalau bisa, aku ingin mendengarnya lagi.”

    Aku tersenyum lepas. “Sejujurnya, aku sudah membuat sebuah lagu untukmu, lho.”

    “Sebuah lagu?”

    “Mmn.”

    “Kalau begitu, maukah kau menyanyikannya?”

    Aku mengangguk perlahan.

    Seiring dengannya, aku menarik napas dan mulai bernyanyi.

    ………

    Hanya sebuah lagu yang pendek, dengan lirik yang teramat singkat. Tak sampai dua menit, dan lagu itu pun selesai kunyanyikan.

    Namun aku senang bisa menyanyikan lagu ini untuknya.

    Karena lagu ini adalah luapan perasaanku padanya.

    ***

    “Lagu yang indah.”

    Kurasakan tatapan mata Saito tertuju padaku saat aku bernapas terengah-engah. Ia tersenyum kecil, menatapku dengan senyumannya yang lepas sebellum kemudian bertepuk tangan.

    Saat aku membalas senyumnya, tampak dimataku kedua tangannya yang perlahan bergerak meraih tas sekolah yang dibawanya.

    “Kurasa ada disini…”

    Aku menatap lugu saat tangannya kini mengacak-acak isi tasnya. Dari dalamnya, sebuah benda menyembul.

    Sebuah jepit rambut.

    Tidak terlalu bagus, tapi cukup lucu. Warnanya biru langit, terbuat dari plastik dengan ukuran yang relatif kecil.

    “Sakagami, aku tak bisa menemukan apapun lagi. Maaf ya?”

    “Ah, ini…”

    “Hadiah ulang tahunmu.”

    ………

    Menatap jepit rambut itu, aku tertegun. Wajahku tak menunjukkan eskpresi apapun. Begitu juga dengan tubuhku yang tak lantas bergerak meraihnya.

    Namun hatiku penuh oleh perasaan senang yang kembali meluap dibuatnya.

    Sungguh, aku tak membutuhkan apapun lagi, dan ia malah memberiku lebih dari apa yang aku mau.

    “Kau tak menyukainya?”

    Suara Saito membuatku kembali tersadar dan tersenyum bahagia, dan hal itu membuat raut wajah Saito terlihat lega.

    Kedua tangannya bergerak mendekati wajahku. Ia memakaikan benda itu tepat diantara rambutku yang terurai panjang.

    “Kurasa cocok untukmu, Sakagami.”

    Aku mengangguk senang. Tanganku perlahan ikut bergerak meraih hadiah ulang tahun yang kini menempel di kepala.

    Benda ini, jepit rambut ini…

    Aku akan menjaganya sebaik mungkin.

    “Terima kasih, Saito.”

    Saito mengangguk senang.

    Saito…

    ………

    “Anu, Saito,”

    “Ya?”

    Kurasakan jantungku berdebar saat serangkaian kata-kata meluncur keluar dari bibirku. Sebuah kata yang telah lama kupendam, namun baru bisa kukatakan.

    Sebuah pertanyaan singkat.

    “Bolehkah aku memanggilmu Yuki?”
     
    Last edited: Jul 22, 2015
  21. high_time Veteran

    Offline

    Senpai

    Joined:
    Feb 27, 2010
    Messages:
    6,038
    Trophy Points:
    237
    Ratings:
    +6,024 / -1
    btw ini buat interlude rasanya panjang juga.

    blom gw baca bener, tapi klo semua hurufnya dicetak miring jadi kurang enak dibaca buat gw.
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.