1. Disarankan registrasi memakai email gmail. Problem reset email maupun registrasi silakan email kami di inquiry@idws.id menggunakan email terkait.
  2. Untuk kamu yang mendapatkan peringatan "Koneksi tidak aman" atau "Your connection is not private" ketika mengakses forum IDWS, bisa cek ke sini yak.
  3. Hai IDWS Mania, buat kamu yang ingin support forum IDWS, bebas iklan, cek hidden post, dan fitur lain.. kamu bisa berdonasi Gatotkaca di sini yaa~
  4. Pengen ganti nama ID atau Plat tambahan? Sekarang bisa loh! Cek infonya di sini yaa!
  5. Pengen belajar jadi staff forum IDWS? Sekarang kamu bisa ajuin Moderator in Trainee loh!. Intip di sini kuy~

(stories) (lgbt+) Namanya Adam

Discussion in 'Fiction' started by apitnobaka, May 6, 2015.

Thread Status:
Not open for further replies.
  1. apitnobaka M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 23, 2010
    Messages:
    527
    Trophy Points:
    166
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,063 / -1
    udah diwarning di judul, ya, ini cerita temanya lgbt+ kalo komen cuma mau bilang ihh gay mending gak usah baca sekalian deh. thanks. dan ditunggu saran, kritik, masukan yang membangun.

    ( also at A03 )

    epilog.

    Tuhan menciptakan Adam dan Eve, kata mereka, Bukan Adam dan Steve. Adam mengacungkan jari tengah dari balik pelukan Steve, Yeah, just watch us, balasnya.
    [​IMG]


    bagian satu.


    Namanya Adam.

    Bocah itu baru saja meniup sepuluh lilin di kue ulang tahun saat ayahnya berpulang; meninggalkan Adam dengan ibu dan empat adik perempuannya. Komplikasi karena gagal ginjal, kata mereka. Kasihan, ya Tuhan, anaknya masih kecil-kecil, kata mereka. Adam mengepalkan tangan di pemakaman; berdiri tegak menahan air matanya untuk tidak tumpah. Bocah kecil itu ingat betul perkataan terakhir ayahnya; Kamu satu-satunya lelaki, Adam. Jaga ibu dan adik-adikmu.

    Adam bersepeda ke gym di tengah kota sore harinya; masih dengan mata sembab, masih dengan pakaian hitam-hitam. Aku ingin berlatih tinju, katanya sesenggukan pada gadis penjaga resepsionis, Aku tidak punya uang tapi aku bisa menyapu atau mengepel ruangan sebagai ganti biaya semuanya. Si resepsionis tidak menjawab, mengerutkan kening sambil pelan-pelan menggeleng. Tapi sang pemilik yang kebetulan lewat mendengarnya. Oke, kata pria bule paruh baya dengan logat bahasa Indonesia yang aneh itu, Kau bersihkan kamar mandi tiap hari jam lima sore. Tidak ada pelatih untukmu, Anak Kecil, tapi kau bisa pakai alat-alat di sini sesukamu.

    Adam mengelap ingusnya; mengangguk. Dia butuh jadi lebih kuat, jauh lebih kuat, untuk bisa memegang janjinya pada Ayah.



    Fina. Nani. Nina. Amanda. Nama adiknya. Fina dua tahun lebih muda. Nani dan Nina kembar, empat tahun terpaut dengan Adam. Amanda, dia ingat, baru belajar berjalan saat ayahnya pergi.

    Jaga ibu dan adik-adikmu, Adam; Adam memahat kalimat itu di dadanya.



    Adam kecil beranjak dewasa dengan sempurna. Rahangnya mengeras, ototnya terbentuk, tingginya bertambah. Dia harus menunduk untuk bisa mencium tangan ibunya sekarang. Keluarga mereka tidak hidup kekurangan—hanya cukup. Cukup untuk bisa makan tiga kali sehari, cukup untuk bisa membiayayai lima anak bersekolah. Ibunya dosen. Universitas tempat ibunya mengajar menawarkan beasiswa untuk keluarga pegawai dan karyawan. Adam mengambilnya. Teknik Mesin, Ibu berdecak saat Adam menunjukan berkas penerimaan mahasiswa baru padanya, Seperti ayahmu dulu.

    Adam mengulum senyum. Bangga.



    “Lagi cari cewek gak, Bang?” tanya Fina saat Adam menjemputnya di sekolah. Adam menaikkan sebelah alis, tanpa kata menyodorkan helm hitam dan menahan motor saat adiknya itu melompat ke jok belakang. Beberapa anak SMA yang lalu lalang di depannya menoleh kaget saat raungan Kawasaki milik Adam terdengar menyentak.

    Fina memukul belakang helmnya. Adam tertawa.

    Motor Kawasaki hitam itu adalah barang paling berharga yang Adam punya. Dia beli second dari tawaran salah satu anggota tetap gym tempatnya bekerja. Masih cicilan enam bulan, memang, tapi setidaknya dia bisa beli dari uang sendiri. Sudah hampir sepuluh tahun ini Adam kerja sambilan di gym tempatnya biasa berlatih. Herr Paul, pria Jerman pemilik gym yang sudah lama menetap dan berkeluarga di Indonesia, menawarinya menjadi pelatih tinju anak-anak saat Adam menginjak usia empat-belas. Upahnya tidak besar waktu itu, tapi cukup membuat Adam kecil melebarkan mata.

    Adam juga beberapa kali diam-diam ikut pertandingan tinju underground kelas bulu, memalsukan usianya, dan lolos lewat jalur belakang. Kadang dia menang, dan uang hadiahnya cukup untuk tidak lagi minta uang saku ke ibunya. Kadang dia kalah, dan wajah ibunya saat Adam pulang dengan luka berdarah dan babak belur di sekujur tubuh membuatnya sangat, sangat menyesal.

    Adam mundur dari tinju tidak lama kemudian, bersamaan dengan tawaran Herr Paul untuk merekrutnya sebagai pelatih fitness tetap di gym.

    Lampu merah. Adam menoleh ke belakang lewat spion. “Bilang apa tadi kamu, Fin? Cewek? Siapa yang lagi cari cewek?”

    “Iya Abang! Temen Fina banyak yang naksir tau sama Abang!” jawaban adiknya terdengar di antara bisingnya jalanan; bis kota dan mobil sedan di depannya saling salip-menyalip. “Lagian Abang gak pernah punya cewek, kan? Emang gak mau pacaran apa gimana, Bang?”

    Adam nyengir lebar. “Kan Abang udah punya empat cewek, Fin! Gak butuh cewek lagi!”

    Kali ini Fina ikut tertawa.



    Gadis pertama yang mendekatinya adalah kakak kelas di SMP; Jelita namanya, pemegang julukan ‘Ratu Sekolah’ tiga kali berturut-turut. Adam, kita pacaran yuk, katanya waktu itu, saat istirahat siang dan Adam sedang memainkan sedotan gelas tehnya di kantin. Adam cuma mengerjap. Kemudian sambil mengangkat bahu, dia bilang, Oke.

    Adam dan Jelita bertahan lima bulan. Jelita memakinya di telepon saat mereka putus, Adam, lu tuh cowok gak pengertian banget sih! Telepon gak pernah! Datengin ke kelas gak pernah! Ulang tahun cewek sendiri gak inget! Lu... lu gak cocok jadi pacar, Dam! Gue mita putus! Adam bahkan tidak berpikir ulang untuk bilang, Oh, oke, kita putus.

    Dia mengayuh sepedanya ke gym setelah telepon tertutup, melayangkan pukulan demi pukulan ke karung tinju sampai kepalan tangannya terasa nyeri. Adam pulang saat matahari mulai tenggelam. Fina langsung melompat ke pundaknya begitu Adam membuka pintu. Nina dan Nani bergelayutan masing-masing di lengannya. Amanda tertawa, memamerkan gigi ompongnya dari pelukan ibu mereka. Adam merasa dadanya sesak.

    Jaga ibu dan adik-adikmu, Adam; Selama Adam punya mereka, dia tidak butuh yang namanya wanita.



    Adam lihai mengelak dari pertanyaan seputar pacar semenjak itu. Saat teman kampusnya kumpul dan cerita tentang gadis mereka masing-masing, Adam cuma angkat bahu dan bilang, Belum ada yang cocok. Saat beberapa teman wanitanya mendekati Adam dan Adam tahu mereka ingin hubungan lebih, Adam menghindar dan mundur perlahan. Mengirim sinyal Kita cukup berteman, tanpa harus mengatakannya pada mereka.



    “Eh hai, udah punya cewek?”

    Ujung bibir Adam terangkat. “Oh. Empat.”



    Adam mengerjap saat dia pulang dari gym di hari Sabtu dan mendapati seorang pemuda usia tanggung yang belum pernah dia temui sebelumnya duduk di depan tv di ruang keluarga; membuka-buka koleksi komik milik Adam seolah ruangan itu adalah rumah sendiri.

    “Ehem,” dia berdehem. Saat si pemuda tidak mendengar dan masih bersiul-siul, Adam mengeraskan suara, “Ehem!

    Pemuda itu tersentak, buru-buru meluruskan duduknya dan menoleh ke arah Adam. Dug. Detak jantungnya melompat sesaat.

    Adam kerja di gym, oke? Gym untuk golongan menengah ke atas bahkan. Adam sudah kebal melihat wanita cantik berbodi seksi dengan sport bra dan legging ketat. Adam sudah biasa melihat lelaki tampan dengan six pack sempurna dan wajah bak artis ibukota. Tapi sosok pemuda yang balik menatapnya dengan mata melebar itu—

    “Bang Adam!” suara Fina membuyarkan apapun itu yang sedang terjadi di otak Adam.

    “Fina!” balas si pemuda tak dikenal, langsung melompat berdiri dan separo berlari ke arah Fina; membuka tangan lebar-lebar seolah meminta pelukan. Pelipis Adam berdenyut.

    “Bang Adam, Steve. Steve, Bang Adam,” Fina melempar senyum, mendorong si pemuda—Steve—dengan satu tangan saat Steve mencoba melingkarkan lengan di pundak Fina. Steve mengerucutkan bibir seolah terluka, tapi ada binar canda di matanya.

    “Hai, Adam,” katanya kemudian, memiringkan kepala ke arah Adam dan tersenyum kecil; mengulurkan tangan. “Steve.”

    Adam tidak membalasnya, bergantian menatap mereka berdua dengan alis tertaut. “Kamu pacaran sama Fina?”

    Hening sejenak. Senyum Steve perlahan melebar. Di sebelahnya, Fina tergelak saat menjawab, “Seandainya!” adik perempuannya itu berseru, kemudian menambahi sambil menepuk bahu Steve. “Enggak, Bang. Si Steve ini gay.”



    Lelaki pertama yang terang-terangan mendekatinya adalah keponakan Herr Paul; Lukas namanya. Kulitnya putih khas Eropa, bibirnya sewarna plum, iris matanya biru gelap, dan wajahnya akan merona sangat merah tiap kali Adam tersenyum padanya.

    Keenam kalinya Lukas berpapasan dengan Adam di gym, pemuda Jerman itu malu-malu mengajak Adam pergi ke kafe kecil di seberang jalan. Only if you want, of course, tambah Lukas buru-buru. Adam tidak punya jadwal menjemput Fina siang itu, tidak punya jadwal menjaga Nina-Nani juga. Di hadapannya, Lukas masih berdiri kikuk menunggu jawaban. Adam angkat bahu, Sure, but you pay. Kenapa tidak, eh.

    Saat kemudian mereka berjalan bersandingan kembali ke gym dan Lukas tiba-tiba mengecup pipi kanannya, Adam otomatis langsung mengambil langkah mundur. Oh my god I’m sorry! Lukas bicara gelagapan, ikut mundur beberapa langkah, I thought you are—I mean—You always smiled—Gosh, I’m so f*cking stupid, Adam, I’m sorry— Dan Adam cuma menggeleng, meletakkan tangan di pundak Lukas dan bilang, No, its—its okay. I’m not—into another guy, yes. But thats okay. Its fine.

    Mereka masih berhubungan via email setelah itu. Masih pergi ke kafe seberang tiap Lukas menghabiskan libur musim panasnya di Indonesia. Hanya kali ini, Lukas tidak lagi salah tingkah saat matanya beradu dengan Adam.

    I always forgot that homosexuality is still taboo here, kata Lukas pada suatu siang, mengaduk krim di gelas kopinya sambil memandang kosong tetesan air hujan dari balik jendela kafe. Adam tidak berkomentar; duduk diam di depan pemuda bule itu. I thought love is for us, right? For all of us. No matter what, no matter who.

    Adam tidak berani bilang kalau sekali dua kali, wajah Lukas sempat muncul di mimpinya.



    “Adam!”

    Steve. Lagi. Duduk di sofa ruang tengah dan kali ini membuka koleksi film milik Adam. Fina rebahan di karpet lantai; kertas manila besar dan puluhan pastel dan spidol berserakan di sekitarnya. Ada banyak potongan kertas warna warni entah apa menempel di rambut dan badan mereka. Adam menghela napas, entah anak jurusan seni memang seperti itu, atau hanya Steve dan Fina yang pengecualian.

    Adam membenahi selempangan tasnya di pundak. “Steve. Fina. Sibuk, huh?”

    Dari balik sofa, Fina malas-malasan mengangkat tangan; seolah berniat melambai tapi kekurangan energi. “Baru pulang, Bang? Gak sekalian besok pagi aja baliknya?”

    Adam cuma balas mendengus; melirik ke jam di atas tv—11.30—kemudian ke arah Steve, yang masih asik dengan wadah kepingan CD/DVD di pangkuan. Adam mengembalikan pandangan ke Fina, “Si Steve mau nginep, Fin? Kamu udah bilang ke Ibu?”

    “Hm-mh,” adik perempuannya itu menguap lebar, “Disuruh tidur di kamar Abang.” Saat Adam tidak menjawab dan cuma menaikkan alis sambil menggerakkan mulut Katamu-dia-gay tanpa suara, Fina memutar mata. “Iya, Ibu tau Steve gay. Enggak, tetep gak boleh tidur di kamar Fina soalnya dia cowok. Iya, Abang disuruh ambil kasur cadangan di gudang atas. Kata Ibu, tanda kutip, Tapi ntar bilang ke abangmu dia sama Steve gak boleh satu kasur berduaan, Fin.”

    Steve memilih saat itu untuk mengangkat kepala dan mengedipkan sebelah mata ke Adam. “Tapi aku enggak nolak lho, Dam, kalau ditawari sekasur berdua.”

    Fina tertawa terbahak. Adam berdecak sambil menggelengkan kepala; mengabaikan mereka berdua dan naik ke lantai atas untuk menyiapkan kasur tambahan di kamarnya.



    Marvel or DC, adalah pesan singkat pertama dari Steve di handphonenya; beberapa hari setelah kejadian Adam Mengira Steve Pacar Fina. Adam bahkan tidak tahu itu nomor siapa awalnya; yakin tidak ingat pernah memberikan nomornya ke Steve. Dia pikir itu cuma pesan asal dari orang iseng kurang kerjaan. Whatever, balasnya waktu itu.

    Ouch, adam, kata fina kamu suka komik u.s.

    Ah, Steve. Adam membuat catatan di otak untuk menjitak Fina saat pulang nanti. Adik ceweknya satu itu punya kebiasaan menyebar nomor handphone Adam ke teman-temannya tanpa ijin. Jaman sekolah dulu, SMS macam Kak Adam, saya naksir Kak Adam dan Kak Adam ganteng banget deh hampir tiap hari dia terima dari nomor tak dikenal. Fina cuma tertawa waktu Adam cerita padanya, Mereka bayar pakai makanan lho tiap minta info soal Abang, katanya waktu itu, Punya abang macem Abang mah harus dimanfaatkan, tambahnya sambil terkekeh.

    DC, adalah balasannya untuk Steve, Dan kau pasti marvel boy.

    Eh kok tau?

    Namamu steve kan. bukan bruce ato clark.



    “Itu Mum yang kasih nama Steve,” kata Steve tanpa basa-basi saat malamnya, handphone Adam berdering berkali-kali. Adam bahkan tidak sempat bilang Halo karena Steve langsung buka suara menyambarnya. “Entahlah. Mungkin Mum lihat ada komik Captain America di jalan ke rumah sakit atau ada anak pakai kaos Captain America waktu didorong masuk ke ruang persalinan.”

    Suara Steve di seberang terdengar tertahan, seperti sedang berbicara sambil memeluk guling—atau sambil membenamkan wajah di lipatan tangan. Adam cuma ber-hmm pendek, tidak tahu sedang dibawa ke mana arah pembicaraan oleh Steve.

    “Aku lahir di Inggris, Fina cerita padamu tidak?” kata Steve lagi setelah beberapa saat diam. Adam baru akan membuka mulut untuk menjawab Uh—saat sekali lagi, Steve menyelanya, “Mum baru delapan belas tahun waktu itu. Sedang sekolah animasi di Inggris. Bertemu pangeran kuda putihnya di sana. Sekali makan malam, dibawa ke apartemennya, dan bam,” Steve berhenti lagi; Adam bisa mendengar pemuda itu menghela napas di seberang. “Aku anak hasil cinta satu malam, Dam. Aku bahkan tidak tahu siapa ayahku.”

    Adam tidak menjawab. Adam tidak tahu harus memberi jawaban seperti apa. Adam tidak tahu kenapa Steve menceritakan hal itu padanya. Adam bahkan tidak yakin apakah Steve ingin jawaban darinya atau hanya ingin didengar.

    Yang Adam tahu, dia ingin melompati portal ke seberang dan menarik Steve dalam pelukan.

    Seperti saat Adam memeluk ibunya di hari keseratus kematian ayah. Atau saat Adam memeluk Nina dan Nani yang tidak pernah bisa tidur saat hujan deras dan petir menyambar. Atau saat Fina menangis sesengukan karena patah hati untuk pertama kalinya. Atau Amanda; tiap kali Ibu harus pergi dinas ke luar kota.

    Jaga ibu dan adik-adikmu, Adam; Adam tidak tahu kenapa Steve bisa masuk ke dalam bagian kalimat itu dengan mudahnya.



    “Adam!”

    Steve duduk di karpet ruang tengah saat Adam pulang dari kuliah sorenya. Fina tidak ada bersamanya, tapi Nina, Nani, dan Amanda mengerubungi pemuda itu seperti semut dapat gula. Saat dia berjalan mendekat, Adam melihat sebuah sketchbook A3 berada di tengah-tengah lingkaran mereka.

    “Bang Adam, Bang Adam,” Amanda menarik-narik ujung lengan jaket Adam; rambut ikal panjangnya terkepang melingkari kepala, yang dia tahu tidak mungkin dilakukannya sendiri, atau Nina atau Nani atau Fani. Steve berarti. “Bang, Kak Steve ngajarin nggambar nih, lihat.” Tangannya menarik Adam untuk duduk berjongkok di antara Amanda dan Steve.

    Nina membuka lembar pertama, halaman putih dengan warna merah dan kuning dan... cokelat kehijauan. “Bunga,” kata adiknya serius. Adam mengangguk—“Oke?”—meski tidak melihat kemiripan tumpahan cat itu dengan bunga.

    Nani membuka halaman selanjutnya. Penuh dengan warna hitam dan titik-titik putih. Kalau Nani bilang itu langit malam, Adam bisa paham. Tapi, “Nani coba bikin robot, Bang, lihat? Robot-robot yang ada di komik Abang!” kata Nani, diikuti anggukan antusias Amanda.

    Adam cuma mengangkat alis perlahan—“O...ke?”—dan berpikir bagaimana caranya untuk bisa menolak mata polos Amanda saat adik bungsunya itu bilang, “Ikutan nggambar yuk, Bang. Kak Steve punya pensil warna isinya seratus lho.”

    Dari ujung matanya, Adam melihat Steve menahan tawa.



    Mau nonton avengers yang baru barengan? Pesan singkat dari Steve itu masuk saat Adam sedang praktikum fisika lanjutan di lab. Adam melirik sekilas ke asisten yang masih sibuk menulis rumus di whiteboard sebelum mengetikkan jawaban, Kita berdua doang?

    Handphonenya bergetar, Si fina kan gak suka film superhero begituan.

    Ok. kamu yang bayar tapi?

    Tidak ada balasan selama beberapa lama. Adam kembali mengantongi ponselnya ke saku belakang celana dan balik berkonsentrasi ke papan sirkuit di mejanya. Baru dia akan memasang resistor ketiga, handphonenya bergetar.

    Kalo aku yang bayar, berarti kencan lho ya :9

    Adam tidak bisa berhenti tersenyum setelah itu, mati-matian mengabaikan tatapan bertanya dan senggolan menggoda cie-cie dari teman satu kelompoknya sepanjang sisa waktu praktikum.

    Kalo bisa dapet nonton gratis, fine :d



    Kadang, Adam merasa berbeda dengan teman laki-laki seumurannya. Saat pembicaraan kantin terarah ke obrolan tentang gadis dan payudara mereka dan inuendo s*ks, Adam mendapati dirinya membuang muka. Detail vulgar tentang tubuh molek seorang wanita bukannya merangsang otak Adam, tapi malah membuatnya merasa muak. Dia punya empat adik perempuan yang beranjak remaja, demi Tuhan. Dan alam bawah sadarnya tidak bisa memilah antara fantasi dengan kenyataan.

    Memikirkan seorang gadis dalam mimpi basahnya selalu membuatnya merasa berdosa; karena dia tidak bisa membayangkan jika orang lain memikirkan adik-adiknya dalam posisi semacam itu.



    “Sejak kapan kau tahu kalau kau gay?”

    Pertanyaannya membuat Steve menolehkan wajah dari layar laptop di depan mereka.

    Sabtu malam setelah Fina dan Steve dan beberapa lagi teman mereka selesai mengerjakan tugas lukisnya, Steve mengetuk pintu kamar Adam dan tanpa menunggu jawaban, langsung menerobos masuk begitu saja. Adam sedang maraton menonton ulang Star Wars di tempat tidurnya; layar laptop tiga puluh senti dari wajah. Steve mendorong Adam bergeser ke sisi kanan kasur dan memposisikan diri di sebelahnya. Mereka berdebat tentang Star Wars dan Star Trek dan menambahan komentar di tiap adegan sepanjang film. Fina sempat nimbrung sebentar, tapi kemudian mendengus, Geek, dan balik ke kamarnya sendiri. Dua episode sudah berlalu sejak itu.

    “Kau... ingin tahu sejak kapan aku gay,” ulang Steve lambat-lambat; membuat pertanyaan Adam menjadi pernyataan.

    Adam angkat bahu. Di layar, Yoda sedang mengangkat tiga jarinya. “Siapa tau kau cuma pura-pura jadi gay untuk bisa mendekati Fina?” jawabnya asal. Dia tidak punya alasan sebenarnya. Dia cuma ingin tahu.

    Steve mengerutkan kening beberapa saat, menatap Adam dengan bola mata cokelatnya. Seolah sedang mencari apapun itu yang Steve bisa dapat di mata Adam. Adam menahan diri untuk tidak beringsut menjauh.

    “Oke,” kata Steve kemudian. Telunjuknya menekan tombol space di keyboard dan Yoda berhenti bergerak. Dia bangkit dari posisi separo tidurnya, duduk bersila menghadap Adam. “Oke kalau kau minta pembicaraan ini. Up, Adam, apa yang mau kau tahu? Sejak kapan aku gay, huh? Well.

    Adam mengikuti perkataan Steve untuk duduk bersila; bersandar ke tembok di belakangnya. Steve, Adam menyimpulkan setelah menghabiskan banyak waktu bersamanya, punya kebiasaan mencampur kalimat dengan bahasa Inggris saat sedang gugup.

    “Uh, aku sudah tahu sejak kecil, mungkin?” Steve menggaruk bagian belakang kepalanya. “Mum, aku pernah cerita padamu, tidak pernah menikah. Dan Mum-ku itu wanita cantik, oke? Dia tinggi semampai, rambut hitam panjang, mata bulat, kulit seputih susu. Kalau kau lihat Mum, bahkan sekarang pun, mungkin kau bakal terpikat juga oleh pesonanya.” Ah, sekarang Adam tahu darimana Steve bisa dapan gen tampannya.

    Steve melanjutkan, “Tapi Mum itu, uh, bukan orang yang bisa memegang komitmen jangka panjang. Mum tidur dengan siapapun yang mau ditidurinya, kemudian pergi begitu saja. Kandungan Mum rusak saat hamil aku. Entahlah, semacam itu. Aku tidak paham saat Mum menjelaskannya. Tapi dokter bilang Mum tidak akan bisa punya anak lagi. Aku satu-satunya. Aku yang pertama. Dan aku yang terakhir buat Mum.”

    Bola mata cokelat Steve kembali mencari Adam. Saat Adam tidak berkomentar, Steve menghela napas dan melanjutkan, “Sejak aku kecil, umur enam atau lima tahun mungkin, Mum sering membawa pria ke rumah. Pria-pria tampan. Kadang lebih muda, kadang lebih tua. Dan saat mereka tahu Mum punya anak kecil—this cute little boy—mereka tidak bisa tidak menyukaiku. Mereka akan tesenyum lebar dan—they just gave me the attention, you know what I mean?—karena mereka berharap bisa tidur dengan Mum.”

    Steve berhenti untuk mengambil napas panjang; tangannya bergetar saat memainkan ujung selimut Adam. Melipatnya, memilinnya ke dalam, meluruskannya lagi. Dan diulang. Sebelum Adam sadar apa yang dia lakukan, tangan Steve sudah berada dalam genggaman tangannya.

    Telapak tangan Steve basah. Tapi Steve tidak menariknya. Adam tidak melepasnya.

    “Uhm,” Steve berdehem pelan. Adam mengamati semburat kemerahan muncul perlahan di pipinya. Saat Adam memberinya senyuman kecil seolah bilang Go on, tell the rest, Steve melanjutkan, “So. Um. Pria-pria Mum itu. Mereka memberiku perhatian, yeah? Membelikan mainan, mengelus-elus kepalaku—Good boy, Steve, kata mereka—menggendongku di pundak mereka. Dan aku, kau tahu, aku tidak pernah punya ayah. I like their attentionsI love itI crave for it—dan beranjak dewasa, aku tahu aku berbeda. Cewek tidak pernah ada di pikiranku. Tapi cowok—“

    Steve menelan ludah. Jemarinya mengelus telapak tangan Adam. Kepala Steve tertunduk sehingga membuat rambut hitamnya menirai. Adam tidak bisa melihat ekspresi wajahnya saat pemuda tampan itu berkata nyaris berbisik, “—guys just did something to me, Adam. They always do.



    Dan Steve langsung menarik diri setelah mengatakannya; memutar tubuh dengan sentakan dan separo berlari keluar dari kamar Adam tanpa menoleh. Adam mendengar deru mesin mobilnya dari bawah beberapa menit kemudian. Jauh dan semakin menjauh.

    Saat Fina duduk di tempat tidurnya dan bertanya dengan nada menuduh, Steve pamit pulang wajahnya mau nangis gitu, habis kamu apain, Bang? Adam tidak menjawab.



    Trailer batman v superman, steve. thoughts?



    Oke, fine, kau tidak suka dc. sori.



    “Bang Adam!”

    Sesaat Adam mengira—berharap—Steve duduk di sofa seperti biasanya. Tapi bukan pemuda manis itu yang duduk di sana. Fina, dengan tangan dan wajah berlumur cat, mengacungkan ponsel miliknya ke arah Adam. Adam melengos; berjalan mendekat setelah melempar sarung tangan tinjunya ke pojok ruangan.

    “Apa lagi sekarang?”

    Fina mengabaikanya. “Steve SMS begini maksudnya apaan?”

    Adam langsung menyambar Samsung putih itu dari tangan Fina. Pesan di dalam kotak hijau itu tertulis panjang dan Adam tidak sadar dia menahan napas saat membacanya.

    Fin, bilangin sori ke abangmu dong. aku enggak maksud kabur gitu. cuma kan, kamu tau... udah gak sanggup lagi aku fin. mending gak deket dulu beberapa waktu deh daripada selalu berasa nyesek gini. plis plis plis. aku beliin itu sepatu yang kamu mau. apapun. tapi plis bilangin ke adam.

    Kepala Adam berputar hebat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada denyut aneh yang dia rasakan di dadanya. “F*ck,” katanya pelan.

    Semuanya masuk akal sekarang. Senyuman Steve padanya. Rayuan menggoda yang selama ini dianggapnya bercanda. Rona merah muda di wajah Steve. Oh, f*ck, ini semua sama seperti Lukas dulu.

    Saat Adam mengembalikan handphone itu ke tangan adiknya, Fina memandanginya tanpa berkedip. Otak Adam langsung menggabungkan potongan puzzle di depannya. “Shit. Fina. Kau tahu.” Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan.

    Fina bergeming. “Soal Steve suka sama Abang? Iya. Soal apa yang bikin dia SMS begini ke Fina? Enggak,” dia diam sebentar, kemudian menambahi, “Inget waktu pertama kali Steve datang ke rumah? Waktu pertama kali ketemu sama Abang? Dia langsung bisik-bisik ke Fina; Fin, abang kamu ganteng, boleh buatku gak? Katanya.”

    Adam menelan ludah; mengingat tatapan yang diberikan Steve padanya waktu itu—dengan mata cokelat berbinar dan senyum lebar. Bisakah seseorang jatuh cinta hanya dari pertemuan pertama? Adam tidak yakin.

    “Fina cuma ketawa waktu itu. Fina pikir dia bercanda. Tapi ternyata...” gadis berambut pendek itu angkat bahu, “Dia serius, Bang. Kalau Abang gak bisa lanjut, mending berhenti mainnya sampai sini.”

    Tapi Steve temannya. Teman dekatnya bahkan. Entah sejak kapan, sepotong kecil Steve selalu ada di tiap harinya. Mulai dari SMS-SMS tidak penting yang selalu membuatnya mendengus geli. Telepon tengah malam cuma untuk bilang Batman sucks, Adam, get over it. Dan—oh, Adam baru sadar kalau Steve selalu datang ke rumah di hari Sabtu. Mengerjakan tugas dengan Fina atau main dengan Nina-Nani-Amanda siangnya, dan duduk membaca komik di kamar Adam saat Adam pulang malam harinya. Oh, f*ck, Steve bahkan mengajaknya nonton dan makan dan—“Kalau aku yang bayar, kencan, kan?”—Adam tidak membiarkannya selalu bayar, tentu saja; kadang Adam yang merogoh dompet untuk bon berdua. Tapi, ya Tuhan, tetap saja.

    “Sejak kapan?” Adam mendapati dirinya bertanya.

    “Fina tau pas Steve bilang mau nonton sama Abang,” Fina menjawab, kemudian sambil memainkan handphone di tangannya, melanjutkan, “Mungkin lebih awal dari itu. Mungkin bahkan sejak awal. Isi sketchbooknya, kalau Abang tau, isinya Bang Adam semua.”

    Adam membuang muka ke langit-langit. Oh, God. “Dan sampai kapan?” dia bertanya.

    “Sampai Steve bisa deket sama Abang dan merasa cukup cuma jadi temen biasa.”


    bagian satu selesai.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: May 19, 2015
  2. Ramasinta Tukang Iklan

  3. apitnobaka M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 23, 2010
    Messages:
    527
    Trophy Points:
    166
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,063 / -1
    bagian dua.

    Saat Adam menginjak remaja, dia tidak tahu harus bertanya pada siapa tentang perubahan tubuhnya. Jakunnya mulai tampak, suaranya berubah lebih berat, dan dia mendapati ada rambut di bagian-bagian yang tidak wajar. Di usia itu pula, Adam mimpi basah untuk pertama kalinya.

    Adam ingat pergi ke kamar mandi tengah malam untuk mencuci sprei tempat tidurnya; merasa sangat malu karena kelepasan mengompol meski sudah masuk SMP. Saat kemudian dia pergi ke gym sore itu untuk bekerja seperti biasa dan Herr Paul bilang kalau dia bertingkah aneh, Adam tidak bisa lagi menyimpannya—semua pertanyaan yang mengganjal, semua desahan-desahan samar di mimpinya, semua Kenapa, Apa, dan Bagaimana di otaknya. Herr Paul lah yang kemudian duduk dan memberinya birds-and-bees-talk; tentang organ intim pria dan wanita, tentang bagaimana bayi bisa terbentuk, tentang hubungan s*ks.

    Adam ingat pertanyaan polosnya waktu itu, Tapi bagaimana dengan cowok dan cowok atau cewek dengan cewek, Herr? Mereka kan bisa saja saling jatuh cinta.

    Adam juga ingat, Herr Paul tidak memberikan jawaban.



    Gak nonton ant-man, steve?



    Ah, ya, kamu pernah bilang ga suka ant-man.



    “Bang Adam!”

    Amanda berlari menubruknya begitu Adam membuka pintu. Adam balas tertawa dan mengacak rambut adik bungsunya itu. Kepangannya berantakan, tidak seperti kalau—ah—Steve yang menatanya. “Ini siapa yang ngepang, An? Fina?”

    Amanda mengangguk; manyun. “Jelek nih kalau Kak Fina yang ngepang. Lebih rapian Kak Steve,” katanya, kemudian sambil menarik-narik tali jaket Adam melanjutkan, “Kak Steve kenapa lama gak ke sini, Bang?”

    Dari seribu satu alasan yang bisa Adam katakan, dia pilih, “Steve sibuk, Amanda. Gak ada waktu buat main sama bocah macam kamu.” Kemudian memberinya jitakan di kening dan tertawa saat adiknya itu balik mencoba menonjok bahu Adam.

    Ibunya melempar pertanyaan yang sama saat Adam mengambil makan malam di dapur. Adam tidak menjawab—dia tidak bisa berbohong pada ibunya.

    Fina, yang sedang duduk di meja makan, mengerling sekilas ke arahnya. Dan begitu sadar bahwa Adam cuma bakal bergeming diam sepanjang malam, adik sulungnya itu melengos dan menawarkan cerita versinya, “Steve punya pacar baru soalnya, Bu. Gak bisa lagi malam mingguan di sini.”

    Adam mengabaikan bagaimana jantungnya tiba-tiba menghentak sesaat.



    Steve kamu gak ganti nomer kan?



    Ada satu gadis di gym yang sejak pertama kali gadis itu datang, mata tajamnya langsung terarah ke Adam. Gadis chinesse; tidak begitu cantik, tapi punya dada sangat besar. Laura, katanya saat memperkenalkan diri, kemudian mengedipkan sebelah mata dan melanjutkan dengan nada menggoda, Salam kenal, Adam.

    Laura datang kelas yoga tiap hari Selasa dan Kamis. Jam dua siang hari Selasa dan jam empat sore hari Kamis. Pakaiannya selalu ketat dan Adam tidak bisa menyalahkan kalau hampir semua pria yang ada di gym menoleh ke arahnya tiap Laura lewat. Kecuali satu dua yang, Adam mengerutkan kening, gay.

    Gadis mantan model sampul majalah remaja itu kuliah di tempat yang sama dengan Adam. Tahun terakhir jurusan Sastra Inggris. Sekali waktu, saat Adam mengantarnya balik ke kampus karena ban depan mobilnya bocor, Laura memberinya kecupan di bibir sebagai ucapan terimakasih. Adam berdiri mematung beberapa detik setelahnya.

    Pertanyaan yang ditunggu-tunggu datang di akhir bulan; saat Adam sedang duduk di meja resepsionis depan sambil malas-malasan membuka halaman majalah sport-golf-entahlah terbaru.

    Lagi punya pacar gak, Dam, tanya Laura. Sori, jawab Adam.



    “Tapi itu Laura FIB, bro!” Angga, teman kampusnya berkomentar saat Adam bilang kalau ya, dia kenal Laura FIB Sastra Inggris. Pernah dicium. Pernah digoda. Pernah ditawari jadi pacar. “Lu gak liat barang-nya—“ tangan Angga bergerak-gerak melengkung di depan dada, seolah menekankan poin pembicaran, “—yang segede melon gitu?!”

    Adam tertawa lepas. “Gue cari yang sedang-sedang aja, lah, Ngga.”



    Jangan-jangan kamu lupa. ini adam.



    “Steve apa kabar, Fin?”

    Fina bahkan tidak repot menoleh dari kanvasnya saat menjawab, “Baik.”



    Malam itu, Adam memimpikan Steve.

    Mereka duduk di depan sofa seperti biasa. Menonton sebuah film yang hanya samar-samar bisa diingat Adam. Steve tertawa. Poni rambut menutupi sebagian matanya. Adam tidak tahu apa yang terjadi kemudian, tapi dia mendapati tangannya meraih wajah Steve; menyapukan helai rambut hitam itu kembali ke belakang telinga. Kemudian waktu seolah terhenti sesaat. Steve menatapnya tanpa berkedip, membuka mulutnya dengan Oh pelan. Tangan Adam merambat turun, menyentuh pipinya, berhenti di lekukan bibir bawahnya. Steve bergeser mendekat. Adam bisa melihat semburat keemasan di iris cokelat Steve. Bisa menghitung bulu mata lentiknya. Bisa merasakan hangat nafas pemuda itu di wajahnya.

    Dan kemudian Steve menciumnya.

    Suara-suara di belakang kepala Adam berteriak untuk menyuruhnya berhenti; bahwa mencium sesama pria adalah salah, bahwa Steve adalah teman adiknya—sahabatnya; bahwa—OH—oh, tangan Steve merayap ke selangkangannya. Memberi tekanan pelan dan bergerak memutari zakar. Sejak kapan celana jeansnya terlepas, Adam tidak tahu; tapi saat Steve memperdalam ciumannya dan mereka saling beradu lidah, jemari Steve menemukan jalannya menyusup ke balik celana dalam Adam.

    F*ck. Adam terbangun dengan cairan mani merembes dari bokser hitamnya.



    “Steve apa kabar, Fin?”

    Fina angkat bahu. “Masih kayak orang habis putus cinta,” katanya.



    Laura FIB masih rutin datang ke gym. Masih senang berbaju ketat dan main mata dengan Adam. Masih berambisi untuk bisa jadi pacar Adam tidak peduli berapa kali Adam menggeleng dan bilang, No thanks.

    Mayang, gadis manis asal Solo yang kerja di resepsionis cuma menaikkan alis tiap kali mendapati Laura cari kesempatan untuk bisa bergelayut di lengan Adam. Kamu gak mau coba pacaran aja sama dia, Mas? Sapa tau cocok, katanya suatu hari, berbisik di telinga Adam sambil mengedik ke arah Laura yang sedang kayang di tikar yoganya. Adam tidak tahu apa Mayang mengatakannya bercanda atau serius karena Adam sama sekali tidak bisa membayangkan dirinya menjalin hubungan dengan Laura. Mereka tidak punya hobi yang sama, tidak tahu apapun tentang satu sama lain, dan Adam tidak yakin mereka bisa mengobrol lima menit tanpa Laura menyentuhnya.

    Pertanyaan selanjutnya dari Mayang lah yang kemudian membuat Adam terpaku diam. Eh tapi Mas Adam gak gay, kan, ya?

    Gay, huh.



    Mungkin memang karena banyak menghabiskan waktunya di gym Herr Paul, hal yang dianggap tabu seperti homoseksual bukan hal baru untuk Adam.

    Dia lihat dua pria bergandengan tangan masuk ke ruang fitnes, saling tersenyum dan menggoda seolah dunia milik berdua. Dia lihat dua gadis berpelukan; tertawa, kemudian saling kecup-mengecup pipi. Dia lihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang-orang, tidak peduli apapun gendernya, bisa saling jatuh cinta.

    Tapi sisi lain dirinya juga tahu bahwa itu salah. Bahwa adat timur masih menganggapnya sebagai penyimpangan; penyimpangan sosial, penyimpangan seksual, penyimpangan norma budaya. Bahwa orang-orang akan memandangmu dengan sebelah mata jika mereka tahu dirimu adalah seorang homoseksual.

    I thought love is for us, dia ingat Lukas pernah berkata padanya. For all of us. No matter what, no matter who.

    Adam tidak bisa tidak setuju dengannya.



    “Steve apa kabar, Fin?”

    Fina mengerutkan kening. “Dia masih belom balesin SMS Abang?”



    Adam bangun, untuk yang kedua kalinya dalam seminggu, dengan celana basah di sela-sela paha.

    Dia hampir yakin membayangkan payudara size D di awal skenario. Tapi kemudian otaknya menghianatinya dan menambahkan iris cokelat di tokoh tak berwajah itu; diikuti dengan rambut hitam, dan pundak lebar, dan sebelum dia sadar, Adam sudah berpandangan dengan Steve. Ujung bibirnya terangkat. Tangannya merayap naik ke balik kaos Adam.

    F*ck me, Adam bergulung dan membenamkan wajahnya di bantal.

    Dia butuh jawaban. Dan dia butuh jawaban cepat.



    “Angga. Gue butuh tanya ke elu tentang sesuatu.”

    Mereka sedang ada di perpustakaan sore itu, mengerjakan tugas makalah kelompok yang batas akhir pengumpulannya tinggal besok pagi-pagi. Saat Lia dan Dian, dua temannya di kelas yang sama, sibuk berdebat tentang rumus apalah itu di ujung meja, Adam menarik Angga untuk bergeser menjauh.

    Dia melirik ke arah Lia dan Dian sebentar, memastikan duo kutu buku itu masih berkutat dengan pendapat masing-masing dan tidak menyadari kalau Adam dan Angga sudah memisahkan diri ke ujung lain meja panjang perpustakaan.

    “Kalau,” dia memulai, merendahkan suaranya agar cuma Angga yang bisa mendengar, “Kalau, ya. Kalau misalnya ada cewek bohai cantik ngedeketin elu dan—“

    “Laura,” Angga memotong.

    “—huh?”

    “Laura FIB, kan? Cewek bohai cantik yang ngedeketin elu?” tanya Angga. “Dan?”

    Adam baru mau buka mulut untuk mengelak Kalau, Ngga, 'kalau', tapi akhirnya melengos kalah juga setelah Angga cuma menaikkan sebelah alis seolah bilang Nice try bro, tapi gue gak bisa dibohongin ke Adam. “Fine. Laura. Si Laura ngedeketin gue dan gue sama sekali gak ada rasa ke dia. Meskipun dia pake baju ketat di depan gue. Meskipun belahan dada dan pangkal pahanya keliatan. Meski kayaknya dia bakal striptease sewaktu-waktu, tapi no—nada—sama sekali gak ada reaksi.” Dan malah cowok yang lagi-lagi datang ke mimpi. “Menurut lu itu normal gak?”

    Angga diam. Matanya menyipit—sesuatu yang dilakukan anak Bekasi itu ketika sedang berpikir serius. Saat dia menjawab kemudian, nada main-mainnya hilang. “Lu tanya ke gue... apakah elu gay... apa enggak,” katanya, perlahan menyimpulkan.

    Deg. Adam merasa darah di jantungnya berhenti terpompa. Saat Mayang mengatakannya tempo hari, dia bisa tertawa sambil bercanda. Tapi Angga— Adam menelan ludah. Ini temannya. Teman baiknya di satu angkatan. Teman yang dia harap bisa jadi sahabat lama nantinya. Adam mendekatkan wajahnya ke depan Angga dan berkata, “Kalau lu homophobe, Ngga, mending bilang sekarang. Gue bakal pergi dari hidup lu. Gue bakal hapus nama lu dari otak gue selamanya. Gue bakal lupain dua tahun pertemanan kita."

    Lia dan Dian masih berdebat panas. Pengunjung perpustakaan semua sibuk dengan urusan masing-masing. Adam dan Angga masih saling beradu mata menantang. Sampai kemudian ujung bibir Angga bergerak naik dan sambil menggeleng, mengangkat tangannya di depan dada dalam pose defensif. “Santai, bro. Gue bukan anti-gay. Lu suka tongkat apa kuali itu bukan urusan gue,” katanya. “Gue cuma mikir kenapa tiba-tiba lu tanya begitu ke gue. Ada sesuatu kan? Seseorang?” Adam masih tidak bergerak dari posisinya. Angga makin menyipitkan mata. “Si Steve, ya?”

    Kali ini Adam tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. What the hell. Dia yakin tidak pernah menyebut nama Steve di luar lingkungan amannya. Cuma orang rumah yang selama ini tahu. Apa Angga kenal dengan Steve. Apa Steve cerita ke teman-temannya tentang Adam. Mungkin Angga sempat kebetulan melihatnya di bioskop atau kafe atau—di mana lagi Adam dan Steve pernah pergi berdua, eh. Tapi bagaimana bisa Angga dapat nama Steve.

    "Darimana lu tau?"

    Angga nyengir kecil. “Hape lu, Dam,” katanya. “Isi inbox paling atas lu tuh cuma orang yang namanya Fina. Dia adik lu, kan? Ya. Dan Steve. Yang adalah..." Pemuda berambut keriting itu memberi jeda waktu dramatis untuk menggoyang-goyangkan alis. "Temen? Cowok? Gebetan?”

    Adam mengerang, menutup wajahnya dengan tangan.



    "Tapi serius. Orientasi seksual seseorang gak ada hubungannya, Dam. Lu masih Adam temen gue, kan? Masih Adam yang hobi nge-PES? Yang ngebolehin gue nyalin tugas MATLAB? Yang suka nonton—oh you f*cker! Pas gue ajak lu nonton Avengers dan lu bilang lu udah ada janji itu, lu nonton sama Steve ya?!"



    SMS Steve datang tiga hari setelahnya, saat Adam sudah menyerah dan memutuskan untuk melepas Steve melakukan apapun yang dia inginkan.

    Adam, kita butuh bicara, tulisnya.

    Oke, jawab Adam.



    Mereka janjian bertemu di kafe depan gym Adam hari Rabu siang; karena cuma itu satu-satunya kafe yang Adam tahu dan kebetulan dia kenal dengan anak-anak barista yang kerja di sana.

    Wiwin Wiwina, gadis potongan cepak dengan tato naga di tangan kanan yang sedang kebagian jadwal shift siang itu, mengedik ke arah Steve—duduk sendiri di meja pojokan, dengan kemeja merah kotak-kotak yang dibiarkan tidak terkancing dan celana jeans pensil; jemari panjang mengetuk-ketuk cangkir kopinya dalam suatu irama—dan bilang, “Cowok ganteng di sana. Dia nungguin elu katanya. Temen, Dam? Kenalin ke gue dong.”

    Adam tertawa menimpali, “Kalo lu cowok mungkin dia baru tertarik, Win.”

    Wiwin menaikkan alis sebentar, tapi kemudian ber-tsk kecewa. “Ah parah ni. Semua yang ganteng pada jeruk makan jeruk sekarang.”

    Adam cuma tertawa mendengarnya; geleng-geleng kepala sambil berjalan ke meja Steve.

    "Hai," sapanya, kemudian menarik kursi di depan Steve dan duduk berhadapan dengannya.

    Steve mengangkat kepala, melebarkan mata sesaat begitu tatapannya bertemu dengan Adam. "Hai... Adam."

    Steve potong rambut, adalah yang pertama di pikiran Adam. Kemudian Oh, sejak kapan ada tato di leher kanannya, adalah yang kedua. Dan Ah, dia pakai kaos batman, adalah yang ketiga; yang kemudian membuatnya tersenyum dan berkata, “Kamu punya kaos batman juga, eh?”

    Steve menunduk untuk melihat kaos hitam dengan logo kuning batman itu, kemudian balik menatap Adam dan balas tersenyum kecil. “Kalau kubilang ini sebenernya mau aku kasih ke kamu tapi sayangnya keburu kepakai duluan, kamu percaya?”

    Adam nyengir. “Kalau kamu mau barter, aku punya kaos captain america lawas,” katanya enteng.

    Wiwin datang di saat itu untuk mengantarkan minuman cokelat pesanan Adam; melirik sekilas ke arah Steve. Kemudian dengan gaya yang kelewat dibuat-buat, gadis tomboi itu mengedipkan sebelah mata dan melempar kiss-bye pada Steve sebelum balik ke belakang meja konternya. Steve cuma mengerjap; mulutnya membuka dan menutup seolah sedang menimbang apa perlu dia meluruskan kesalahpahaman barusan atau membiarkannya berlalu.

    Adam merasa agak kasihan juga akhirnya dengan Steve. Dia angkat bicara. “Cewek yang tadi itu namanya Wiwin. Dia cuma bercandaan, Steve. Wiwin tahu kamu gay, aku bilang padanya tadi di depan,” katanya, kemudian melebarkan mata sesaat setelah kalimat itu keluar dari mulutnya. “Sori. Apa aku gak boleh bilang kalau kamu, uh, gay ke orang-orang?”

    Steve, yang masih bolak-balik menatap Adam dan Wiwin bergantian, menggeleng. “Nah. No. Its okay. I’m out. And proud,” katanya.

    Kalau giliran Wiwin yang jaga, playlist kafe adalah lagu-lagu akustik; semua dari coveran Boyce Avenue, sampai full albumnya Sabrina. Kadang bahkan cuma hasil download-an dari youtube orang. Thinking Out Loud sedang terputar saat itu; suara bening Ed Sheeran dan petikan gitarnya mengisi kekosongan suasana kafe di siang hari. Adam diam, menunggu Steve untuk lebih dulu membuka percakapan. Tapi Steve juga diam, memainkan sendok kecil di cangkir kopinya dan menolak mengangkat wajah untuk bertemu pandang dengan Adam.

    Saat lagu kafe berganti dengan lirik dari Taylor Swift—yang Adam tidak tahu lagunya, tapi Fina sering memutarnya, Adam mengalah dan berdehem. “Jadi,” katanya memulai. “Kau bilang kau butuh bicara.”

    Hening sejenak. Steve menghela napas, masih sambil pura-pura sibuk mencampur krim vanila di kopinya. “Soal kemarin dulu,” katanya. “Fina bilang dia tunjukin SMSku ke kamu?” Adam mengangguk. Steve melanjutkan, “Dan kamu tahu kan berarti? Kalau aku— That I have this—crush—on you?” Ragu-ragu, Adam mengangguk lagi. Steve tersenyum tipis. “Yeah, thats pretty much what happened. Kita—aku—butuh jarak, Dam. Jarak aman.”

    Saat Adam cuma mengernyit tidak paham, Steve melepas napas panjang. “I—I was this close... to fall in love with you, okay? This close.” Dia mendekatkan ujung ibu jari dan telunjuknya, membuatnya hanya berjarak beberapa mili. “Kalau pas itu kamu tetep kasih aku perhatian, aku gak jamin bisa nahan perasaanku ke kamu,” katanya melanjutkan. “Dan aku gak mau lagi jatuh cinta sama cowok straight, Dam. Been there, done that. Sakit rasanya.”

    Ah. Adam buka mulut untuk angkat bicara. “Uhm, dengar, Steve—“

    “JADI!” Steve menyela, melempar senyum yang terlihat terpaksa ke Adam. “Jadi cukup lah kita cuma jadi teman. Sahabat. BFF,” katanya. “Selama kita bikin batas buat Do’s and Dont’s, everythings gonna be okay. Kita masih bisa main. Kita masih bisa curhat-curhatan. Kita masih bisa nonton bareng dan bayar sendiri-sendiri.”

    Its a love story, baby, just say yes, senandung Taylor Swift dari speaker kafe.

    Steve melepas matanya dari Adam, melempar pandangan ke papan hitam bertulis menu spesial hari itu—Nasi Goreng Keju! With Sausage And Seafood And Stuff! Napasnya memburu dan wajahnya memerah. Adam menelan ludah; mengatur detak jantungnya saat berkata kemudian, “Oke. Kau benar, Steve... Aku bukan gay,” katanya lambat-lambat. Di hadapannya, dia lihat tangan Steve bergetar.

    Mungin elu bi, kali, Dam, Angga bilang kemarin lusa, saat Adam mengaku bahwa dirinya mungkin tidak seratus persen straight seperti yang dia kira sepanjang dua puluh tahun lebih hidupnya, Kalo lu masih suka cewek tapi gak nolak sama cowok.

    “Tapi kau juga salah. Karena aku tahu aku bukan straight,” dia menyelesaikan, membiarkan bomnya jatuh dan menunggu reaksi Steve. “Tidak se-straight yang kau kira, paling tidak.”

    Mata Steve langsung terarah ke Adam. Tampak jelas rona keterkejutan di wajahnya. Selama beberapa saat, dia cuma menatap Adam dengan mata melebar dan mulut terbuka. Suaranya naik satu oktaf saat kemudian dia berbisik tertahan, “Are you saying—are you saying you’re bi?!

    Adam angat bahu, nyengir kecil. “Mungkin?”

    Oh my god, you are—“ Steve masih menggeleng separo tidak percaya. Tapi warna merah di wajahnya terlihat lebih hidup dan binar di iris cokelat muda itu kembali cerah. “You’re such a spaghetti straight!

    Adam mengerutkan kening. “Spaghetti apa?”

    “Spaghetti straight, Adam,” Steve tertawa. “Lurus-lurus saja sampai dikasih sesuatu yang panas.”

    Oh. Oh.



    Steve menolak saat Adam menawarkan diri untuk membayar nota kafe mereka; meminta bon terpisah ke Wiwin.

    Ini bukan kencan, katanya. Dan waktu Adam mendebat bahwa sesama teman cowok juga biasa saling traktir-mentraktir, Steve berdecak, The Do’s and Dont’s, remember? I need it.



    “Terus? Dia bilang apa?” tanya Angga besok siangnya, sambil menyeruput jus jeruk di tangan.

    “Dia bilang gue spaghetti straight.”

    Angga tidak berhenti tertawa sampai mereka masuk ke kelas satu jam kemudian.


    bagian dua selesai.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: May 19, 2015
  4. apitnobaka M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    May 23, 2010
    Messages:
    527
    Trophy Points:
    166
    Gender:
    Female
    Ratings:
    +2,063 / -1
    bagian tiga.


    Orang-orang yang dekat dengan Adam bisa dihitung dengan jari. Keluarganya, nomor satu. Herr Paul dan gymnya, nomor dua. Teman kampusnya, nomor tiga.

    Saat SD, yang dia ingat adalah duduk di kursi sebelah tempat tidur ayahnya di rumah sakit. Kemudian bergantian membantu mengerjakan tugas sekolah Fina dan Nina dan Nani. Dan ketika ibunya kelelahan, Adam ambil alih mengurus Amanda. Tidak ada waktu yang bisa dia habiskan dengan bermain mobil-mobilan, atau petak umpet, atau sepak bola bersama teman-teman sekelasnya waktu itu. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Adam langsung menjemput adiknya di gedung sekolah seberang dan berjalan kaki menuntun mereka pulang.

    Masa-masa SMP dan SMA dia habiskan di gym Herr Paul. Teman sekolahnya hanya sebatas teman sekolah. Adam tidak pernah ikut mereka bermain ke mall, atau saat diajak menonton konser band, atau saat mereka ramai-ramai pergi ke bioskop. Adam tidak punya waktu. Dia punya empat adik yang harus diurus saat ibunya bekerja. Dia punya jadwal latihan tinju dan kerja sambilan di gym. Dan dia masih harus belajar dan mengerjakan tugas sekolah malamnya. Dia tidak bisa menghamburkan uang begitu saja hanya untuk ‘main’ lagipula.

    Kemudian waktu berjalan cepat, dan empat adiknya beranjak dewasa.

    Jaga ibu dan adik-adikmu, Adam; Adam sudah melakukannya lebih dari separuh hidup. Adam lupa bagaimana rasanya punya orang lain selain mereka.



    “Jadi.” Adam menoleh dari lembar tugas hitungannya dan mendapati Fina berdiri bersandar di kusen pintu kamar. Lengannya terlipat di dada. “Bang Adam dan Steve,” katanya.

    Adam duduk tegak. “Kenapa dengan Steve?”

    Fina menaikkan sebelah alis. “Si Steve,” katanya. “Muka dia udah gak kayak kertas kusut lagi sekarang. Dan kadang senyum-senyum sendiri gitu pas lagi buka hape. Kalian udah baikan?”

    Ah. Adam angkat bahu. “Semacam itulah.”



    Satu semester, dua semester terlewati. Dan tidak terasa, status Adam sudah jadi Kakak Senior sekarang di kampusnya.

    Steve masih kerap datang ke rumah; entah mengerjakan tugas dengan Fina, atau cuma datang untuk bermain. Mereka punya jadwal tidak tertulis untuk mulai menonton Doctor Who dari season awal tiap Sabtu malam—Steve menolak menyebutnya Malam Minggu—dan berakhir dengan Steve menggelar kasur lipat di lantai kamar Adam, mengobrol tanpa arah sampai satu di antara mereka tidak lagi menjawab.

    Sekali waktu, Steve dan Adam pernah kelepasan tertidur di satu kasur dan bangun dengan tangan Steve melingkar di punggung Adam; celananya menenda. Ibunya yang saat itu sedang membuat sarapan pagi cuma menaikkan alis tidak berkomentar begitu Steve turun dari kamar Adam dan buru-buru pamit pulang. Adam angkat bahu dan menolak memberi jawaban. Fina menatapnya lama, sebelum kemudian senyum-senyum sendiri seolah tahu apa yang Adam tidak tahu. Amanda merengut kecewa seharian karena, dan Adam kutip, Kak Steve udah janji mau ngajarin Amanda pakai cat minyak padahal.

    Lukas sempat ke gym akhir bulan Juni kemarin, saat anak gadis pertama Herr Lukas menikah. Dia datang dengan lelaki tegap berkulit hitam yang otot bisepnya mungkin dua kali lengan Adam. My boyfriend, Fritz, kata Lukas saat memperkenalkannya pada Adam, And this is Adam, the ex-crush of mine from a long time ago. Adam tertawa, membalas jabat tangan Fritz dan berkata menimpali, Yeah, thats me. Nice to meet you, Fritz.

    Mereka pergi ke kafe seberang gym kemudian, hanya untuk bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing selama mereka tidak bertemu. Adam bercerita tentang adik-adiknya, tentang teman kampusnya, tentang Herr Paul dan gymnya. Lukas bercerita tentang bagaimana dia sempat pacaran dengan empat orang sebelum akhirnya bertemu dengan Fritz di pantai kecil di Florida musim semi dua tahu lalu dan sudah tinggal bersama dengannya sejak itu. I think about marrying him one day you know, kata Lukas, tesenyum lebar sambil menggenggam erat tangan Fritz, I just want to spend the rest of my life with him.

    Adam balas tersenyum, mengamati bagaimana Fritz tidak bisa melepaskan pandangan dari Lukas. Bagaimana Lukas terlihat sangat bahagia dengan Fritz di sampingnya. Bagaimana lebih dari sekali, mereka mengindahkan Adam dan seolah berada di dunia mereka sendiri. Thats good to know, katanya pada akhirnya, You guys deserved each other. You guys deserved to be happy.

    Adam sama sekali tidak menyinggung nama Steve.



    “Lu gak mau ngenalin gue ke Steve, Dam?” tanya Angga saat sore itu mereka berdua sedang ada jadwal menjadi asisten lab.

    Adam melirik ke ruang praktikum, mengecek anak-anak tahun pertamanya masih sibuk berkutat dengan kabel dan segala rupanya di meja masing-masing, sebelum balik menoleh ke Angga.

    “Ngapain tiba-tiba lu minta dikenalin ke Steve?” dia balas bertanya.

    Angga angkat bahu. “Karena gue temen lu dan Steve pacar lu?”

    Adam memutar mata. “Berapa kali harus gue bilang, Ngga. Steve sama gue cuma temen.”

    “Oke, fine. Karena gue temen lu dan Steve temen lu dan menurut logika itu, gue sama dia seharusnya ada di diagram venn yang sama?”

    Adam cuma tertawa; pura-pura sibuk dengan tumpukan tugas yang harus dinilainya sebelum praktikum berakhir dan menolak untuk terbujuk oleh umpan Angga.



    Adam tahu ada rumor tentang dirinya di kampus. Bahwa anak-anak tahun bawah kerap berbisik-bisik, Kak Adam yang ganteng tapi katanya gak pernah punya pacar itu, ya, dan kakak-kakak angkatan atas sering menyenggolnya sambil bilang, Tampang kayak elu kok bisa sih gak punya pacar sampai sekarang, Dam.

    Adam tidak bodoh, tentu saja. Dia tahu apa yang mereka simpulkan dari situ. Apa yang mereka pikirkan. Sekali dua kali, teman-temannya sekelasnya melempar candaan dan berseru memanggil, Heh, Adam Angga, pasangan homo di sana, berhenti pacaran oi! Ayo futsal! Angga menanggapinya dengan acungan jari tengah dan balasan, Kalo ada yang mau threesome, kita lagi buka lowongan nih! Adam cuma memutar mata mengabaikan.

    Hanya ada dua orang, sepanjang pengetahuan Adam, yang tahu tentang kebingungan Adam soal masalah normal-tapi-tidak-begitu-normal-garis-miring-tidak-normal-tapi-masih-terasa-normal-nya: Angga, yang langsung menyimpulkan bahwa Adam adalah bi. Dan Steve, yang menawarkan istilah spaghetti straight.

    Well, you’re not a ruler straight either, kata Steve saat mereka membicarakaannya suatu malam, yang membuat Adam bertanya-tanya dalam hati sebenarnya ada berapa jenis istilah straight yang terdefinisi.

    Fina, mungkin, mengingat kedekatannya dengan Steve, meski berulang kali Steve meyainkan Adam bahwa, Enggak, Adam, aku gak cerita ke siapa-siapa. Enggak ke Fina juga. Dan kadang Adam mendapati Fina memandanginya dengan tatapan aneh, seolah sedang mencari jawaban tentang apapun yang dia ingin tahu dari Adam tanpa perlu komunikasi dua pihak. Fina cuma menggeleng sambil berlalu saat Adam menanyakannya.

    Lia, teman seangkatannya yang sedang diincar oleh Angga, beberapa kali memberi tanda bahwa dia tidak ada masalah dengan homoseksual. Sekali waktu bahkan, Lia pernah mendatangi Adam dan bercerita dengan mata berkaca-kaca, Dam, aku habis dikasih film sama Angga. Judulnya Brokeback Mountain. Sedih banget, Dam, ceritanya. Adam yang bingung harus berkomentar apa cuma mengangguk sambl menepuk-nepuk bahu Lia.

    Angga angkat tangan saat Adam menuduhnya ikut campur. Dia sendiri kok yang bongkar-bongkar leptop gue. Tanya film apa yang bagus. Ya udah gue tunjukin Brokeback Mountain dan bilang kalo lu suka sama itu film.

    Adam tidak tahu sampai berapa lama dia bisa menyimpan rahasianya. Tapi untuk saat ini, dia cukup dengan hanya dua orang itu.



    “Siapa saja yang tau kalau Steve gay, Fin?”

    Mereka sedang duduk di sofa di depan tv malam itu. Adam dengan kopian catatan Lia, dan Fina dengan sketchbooknya. Ibu ada di ruang kerja. Nani-Nina sudah masuk kamar sejak setengah jam yang lalu, mungkin diam-diam sedang menonton film di komputer. Amanda sudah tidur, bahkan sejak sebelum jarum pendek menunjuk angka sembilan.

    Fina berhenti mengoreskan pensil warnanya, mengerutkan kening ke arah Adam. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”

    Adam angkat bahu. “Pingin tau,” jawabnya. “Dia sering bilang kalau dia out and proud. Semua anak kampusmu tau?”

    Fina tertawa. “Oh, Bang. Seandainya Abang liat pas perkenalan mahasiswa baru dulu,” dia menutup sketchbooknya dan bergeser untuk duduk berhadapan dengan Adam; cengiran lebar di wajah. “Si Steve,” katanya memulai. “Dia baru berdiri maju aja udah disiulin sama cewek-cewek. Ada yang teriak-teriak bilang minta nomer hape lah, ada yang tanya udah punya pacar apa belum lah,” Fina tiba-tiba berhenti, memandang Adam dengan kening berkerut. “Persis kayak Abang, kalo sekarang dipikir-pikir,” katanya.

    Adam sebisa mungkin memasang tampang paling tidak pedulinya, menaikkan satu alis dan memberi sinyal agar Fina meneruskan ceritanya tanpa banyak ba-bi-bu.

    Fina balas memiringkan kepala, tapi tidak berkomentar. Adik sulungnya itu angkat bahu dan melanjutkan, “Ya, pokoknya gitu lah. Terus pas Steve udah maju ke depan, kan ada kakak-kakak senior juga tuh di sana. Nah, terus ada ini satu kakak senior, cowok, yang gantengnya kurang ajar,” Fina berhenti lagi, nyengir kecil ke Adam, “Sori, ya, Bang, tapi ini beneran. Kak Rio namanya. Gantengnya, yah, paling enggak satu setengah kalinya Abang lah.”

    Adam tertawa menanggapi. Fina, masih dengan cengiran khasnya, geleng-geleng kepala melanjutkan, “Dan si Steve, pas udah ada di depan gitu, langsung jalan ke arahnya Kak Rio. Terus sambil pasang tampang sok malu-malu, bilang gini ke Kak Rio; Kak, boleh minta nomer Kakak? Saya semalem aja udah cukup kok kalau sama Kakak. Gitu coba, Bang! Di depan anak-anak baru sama senior-senior angkatan atas!”

    Tawa Adam makin menjadi. Dia hampir bisa membayangkan wajah kakak angkatan Fina yang namanya Rio ini kalau ditawari Steve one-on-one sedekat itu. Oh, man.

    “Kita yang lihat cuma bisa megap-megap gak percaya, sampai Kak Rio sadar dan langsung lompat mundur sambil bilang; Nope, sori, saya gak doyan batangan, seenak apapun itu batangnya. Ohmaigod, Bang! Bayangin!” Fina berhenti untuk mengusap air matanya yang keluar karena kebanyakan tawa.

    Baru setelah Fina bisa mengatur napasnya lagi, gadis berambut pendek itu menyelesaikan, “Jadi iya, semua anak kampus tau kalau Steve gay. Kalau pun ada yang belum tau, pasti ntar ada aja yang bilangin.”

    Adam duduk sambil memegang perutnya, terasa sakit setelah tertawa habis-habisan. “Dan gak ada yang komentar miring tentang Steve?” tanyanya.

    Bibir Fina melengkung ke atas. “Kita anak seni, Bang. Semua yang gak normal di mata orang, normal di mata kita.”



    Kampus lagi ada pameran modern art, mau dateng? Pesan singkat dari Steve itu datang saat Adam sedang separo tertidur mendengarkan dosennya menjelaskan tentang mekanika kuantum. Di sebelahnya, Angga bahkan sudah terang-terangan mendengkur.

    Pameran apaan? kok si fina gak bilang apa-apa?

    Di baris depan, dia lihat Lia serius mencatat. Isi binder Lia, kalau sudah dekat dengan ujian semester, menjadi kotak harta karun di tengah tumpukan tengkorak. Adam tidak percaya dengan stereotip gender sebenarnya, tapi kalau melihat kenyataan bahwa buku catatan perempuan selalu lebih rapi dibanding catatan amburadul laki-laki, mau tidak mau Adam harus mengiyakannya juga.

    Masa sih? fina lupa kali?

    Adam mendengus. Sejak kecil, Fina memang sering lupa dengan satu hal kalau sudah terlalu antusias dengan hal lain. Saat sedang sibuk dengan tugas, misalnya, Adam berani bertaruh kalau adiknya itu bakal lupa makan. Jari Adam bergerak di keypad ponsel, Mungkin. ok. kapan? di mana?

    Jumat besok sampai minggu. di aula kampus. tau kampus kita kan? ntar sms aja kalo udah nyampe.

    Jumat aku ke gym. sabtu deh.

    Adam memaksa matanya terbuka untuk memperhatikan dua slide penuh rumus di papan proyeksi di depan kelas sampai handphone di kantong celananya kembali bergetar.

    Okay. ditunggu :}



    “Adam!”

    Steve melambai dari kejauhan, tersenyum lebar. Kemejanya bermotif bunga dengan campuran warna yang mencolok. Jeansnya sobek-sobek di paha kanan dan tempurung lutut kiri, entah karena fashion atau karena memang sudah tersobek sebelumnya. Adam memasukkan tangan ke kantong celana dan berjalan mendekat.

    Sepanjang mata memandang, jalan menuju aula penuh dengan poster dan patung-patung kecil dari kardus dan sterofoam dalam berbagai bentuk. Batang pohonnya dihiasi dengan potongan kertas barwarna-warni. Dan ada beberapa tempelan balon kata besar di sana-sini—Modern Art is the New Art!, Welcome to the Annual Art Exhibition!, We Know You Dont Know We Are Here to Make You Know!, dan sebagainya.

    Adam tidak pernah mengklaim tahu tentang seni; ‘seni’ yang dia kenal cuma sebatas komik dan kartun, terimakasih. Tapi meskipun ada beberapa yang membuatnya mengerutkan kening—segitiga bermata satu besar-besar yang Adam tidak tahu apa itu propaganda iluminati atau cuma segitiga bermata satu; kotak berwarna putih dengan titik merah di tengah entah apa maksudnya; onggokan yang kelihatannya sampah tapi orang-orang mengerumuninya untuk mengambil foto—sebagai orang awam, dia merasa kalau kampus itu sukses disulap menjadi tempat pameran yang menarik.

    “Fina lagi di dalam, mau kuajak muter-muter dulu apa ketemu Fina?” tanya Steve saat Adam sudah berhadapan dengannya.

    Adam nyengir kecil. “Yang mana aja boleh lah.”

    Dan kemudian tangan Steve melingkar di lengan Adam.

    Adam cuma sempat melebarkan mata sebentar sebelum menyadari bahwa Steve sudah menariknya berjalan masuk ke aula, karena wow, ini pertama kali Adam bergandengan tangan dengan seseorang yang bukan ibu atau adiknya.



    Fina langsung melompat memeluk dari belakang begitu melihat Adam. Adam balas tertawa dan mengacak rambutnya; sempat pura-pura marah sebentar karena dia tahu soal pameran kampus Fina dari Steve dan bukan dari Fina-nya langsung. Fina cuma meringis dan bilang, Sori, Bang, Fina beneran lupa.

    Kemudian dengan diapit Fina dan Steve, Adam mendapati dirinya diajak berputar-putar ruangan, mendengar mereka berdua mengomentari tiap lukisan yang terpajang, dan diperkenalkan ke orang-orang yang kebetulan berpapasan.

    Bang Adam, nih, kata Fina.

    Oh, jadi ini Bang Adam yang terkenal itu, kata mereka.

    Saat kemudian tidak terasa siang berganti sore dan Steve mengajaknya makan ke kantin, Adam sudah melihat lebih dari lima puluh karya absurd, kenal dengan dua puluhan teman Fina dan Steve—termasuk Kak Rio Yang Gantengnya Setengah Kali Bang Adam, dan sempat berdebat dengan satu gadis berkaos batman-superman tentang: Seriusan? Kamu beneran mikir batman sama superman diam-diam tidur bareng? yang dibalas dengan dengusan si gadis, Tentu saja! Apa kita baca komik yang beda?

    Fina balik duluan ke aula karena ada kakak senior yang memanggilnya. Steve mengantar Adam ke tempat parkir dan bilang, Makasih udah dateng, Dam, sambil tersenyum.

    Adam pulang dengan perasaan aneh berdesir di dadanya.



    Dua hari kemudian, dunia Adam seolah runtuh tiba-tiba.



    Adam sedang berada di lab, menyiapkan alat untuk praktikum anak-anak tahun bawah, saat handphonenya berdering. Nomor tak dikenal. Adam mengabaikan dan meneruskan mengecek oscilator di depannya.

    Beberapa menit kemudian, ponselnya kembali berdering; nomor yang sama tertera di layar. Adam mendengus dan menekan tombol reject. Orang iseng kurang kerjaan, pikirnya, kemudian ganti menyeting oscilator lain.

    Baru setelah lebih dari lima kali nomor itu terus masuk dan Angga memaksanya mengangkat atau dia sendiri yang bakal banting itu Samsung, Adam mengalah.

    “Halo?”

    “Selamat sore. Apa kami bicara dengan Saudara Adam sekarang?”

    Adam mengernyit, langsung merasa aneh dengan nada formal si penelepon. “Ya? Saya Adam. Ada perlu apa?”

    “Ah. Kami dari Rumah Sakit Permadani Husada. Beberapa jam lalu kami mendapat pasien dengan identitas Ibu Tuti Sukmawati. Beliau dibawa ke ruang gawat darurat karena serangan jantung tiba-tiba. Kondisinya sudah lebih stabil sekarang, tapi kami perlu menghubungi keluarga yang bersangkutan. Nomor Anda ada di list contact person pertama. Jika memungkinkan, bisa mohon dikonfirmasi hubungan Saudara Adam dengan pasien?”

    Tidak.

    “Halo?”

    Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.

    “Halo? Apa kami masih tersambung dengan Saudara Adam?”

    Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.

    “Hal—piiip.”


    Handphone Adam terjatuh dari tangan.


    bagian tiga selesai.
     
    • Like Like x 1
    Last edited: May 19, 2015
  5. noprirf M V U

    Offline

    Lurking Around

    Joined:
    Mar 14, 2014
    Messages:
    1,337
    Trophy Points:
    142
    Gender:
    Male
    Ratings:
    +427 / -0
    Wih ceritanya menarik nih :top:
    Berasa SoL banget. Berputar tentang kehidupan adam ini kaknya :bingung:
    Ceritanya bagus. hanya mungkin karena latar permasalahannya tak terlalu banyak jadi terasa biasa saja. baiklah mungkin di bagiab kedua ada semavam humor bb+ nya mungkin itu yang membuatnya sedikit kurang :iii:. secara keseluruhan bagus sih :hmm:
     
Thread Status:
Not open for further replies.

About Forum IDWS

IDWS, dari kami yang terbaik-untuk kamu-kamu (the best from us to you) yang lebih dikenal dengan IDWS adalah sebuah forum komunitas lokal yang berdiri sejak 15 April 2007. Dibangun sebagai sarana mediasi dengan rekan-rekan pengguna IDWS dan memberikan terbaik untuk para penduduk internet Indonesia menyajikan berbagai macam topik diskusi.